JURNAL SENI BUDAYA VOLUME 25 NO. 2 SEPTEMBER 2010
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2010 i
DEWAN PENYUNTING Jurnal Seni Budaya MUDRA Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Nomor: 108/DIKTI/Kep/2007. tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2007 Jurnal Seni Budaya MUDRA diakui sebagai jurnal terakriditasi, dengan peringkat B.
Ketua Penyunting I Wayan Rai S. Wakil Ketua Penyunting Rinto Widyarto Penyunting Pelaksana I Ketut Murdana I Wayan Setem I Gusti Ngurah Seramasara Diah Kustiyanti Ni Made Ruastiti Ni Luh Sustiawati Penyunting Ahli I Wayan Rai S. (ISI Denpasar) Ethnomusicologist Margaret J. Kartomi. (Monash University) Ethnomusicologist Jean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of Art Ron Jenkins. (Wesleyan University) Theatre Michael Tenzer. (UMBC) Ethnomusicologist ISSN 0854-3461 Alamat Penyunting dan Tata Usaha: UPT. Penerbitan ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar 80235 Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail: isidenpasar®yahoo.ac.id. MUDRA diterbitkan oleh UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantum pada halaman belakang (Petunjuk Untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya Dicetak di Percetakan PT. Percetakan Bali Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis. Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalam bentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungan dengannya yang dapat dimuat pada jumal ini. Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from the authors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requires permission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution, institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.
iii
ISSN 0854-3461
JURNAL SENI BUDAYA VOLUME 25
SEPTEMBER 2010
Nomor 2
1.
Multikulturalisme dalam Diskursus Memperkuat Kebinekaan dan Kemejemukan di Indonesia Anak Agung Gede Rai ........................................................................................................ 101
2.
Multikulturalisme dan Pariwisata Bali Ni Made Ruastiti ................................................................................................................ 108
3.
Eksistensi Desa Pakraman dalam Pelestarian Adat dan Budaya Bali I Wayan Suarjaya ................................................................................................................. 120
4.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan : Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan Bali Gusti Ayu Made Suartika .................................................................................................... 131
5.
Reklamasi Pantai Sanur dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Bali I Made Darma Oka ............................................................................................................ 150
6.
Estetika Hindu : Rasa sebagai Taksu Seni Sastra I Wayan Suka Yasa .............................................................................................................. 159
7.
Penerapan Konsep Joged Mataram dakam Tari Supriyanto ........................................................................................................................... 172
8.
Pragmatik Imperatif dalam Dialog Lakon ”Semar Mbangun Gedhong Kencana” Sajian Ki Mujaka Jaka Raharja S. Hesti Heriwati................................................................................................................. 185
v
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
KEBUDAYAAN DAN KEBIJAKAN KERUANGAN: ESENSI BUDAYA DALAM PENGATURAN BATAS KETINGGIAN BANGUNAN DI BALI Gusti Ayu Made Suartika Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Denpasar, Indonesia Abstrak Tulisan ini mendiskusikan nilai dan wujud budaya, dengan memakai batas ketinggian bangunan 15 m di Bali sebagai media pembahasan. Perwujudannya merupakan bagian dari hasil penelitian fundamental, yang didanai oleh Departemen Pendidikan Indonesia. Studi yang dimaksud dikontekstualisasikan oleh terjadinya perdebatan berkelanjutan terkait Peraturan Daerah Nomor 3 (2005) yang kontroversial. Peraturan ini memberikan ijin bagi pembangunan struktur berketinggian melebihi batas ketinggian yang sedang berlaku, tata aturan yang kemungkinan merusak tatanan budaya lokal. Artikel ini bukan penolakan ataupun persetujuan terhadap perubahan regulasi yang ada. Tetapi, memberi penekanan pada ide budaya sebagai karakter penentu dalam organisasi keruangan di Bali. Argumentasi di dalamnya dikonsentrasikan pada budaya keruangan dan dinamisasinya – territoriality. Melalui penerapan Matrix of Culture, sebuah metode penelitian kualitatif yang diderivasi oleh seorang anthropologis, E.T. Hall (1973: 50-129), keruangan strategis berfungsi budaya didefiniskan, dikorelasikan dalam sembilan dimensi budaya. Artikel ini dipresentasikan dalam empat bagian. Bagian pertama, mengkaji pembatasan ketinggian bangunan di Bali. Bagian kedua dan ketiga menganalisa wujud dan praktek budaya keruangan, yang dikonsepsikan berperan penting dalam pengaturan ketinggian bangunan, jika kebudayaan Bali akan dilestarikan. Bagian keempat, menggambarkan kesimpulan-kesimpulan mendasar yang akan mempengaruhi pembangunan berbudaya di Bali ke depannya.
Culture and Spatial Policy: The Importance of Culture in Regulating Height Limit of Buildings in Bali
Abstract This paper discusses cultural forms and values, using the medium of the existing building height restriction in Bali of 15 m. The results form part of findings emanating from fundamental research activities funded by the Indonesian Department for Education. The study has been contextualised in the ongoing debate over Bali’s contentious Local Government Regulation No 3, (2005). That directive authorises structures exceeding the currently imposed height limit, one which could be detrimental to local culture. The article is neither a rejection of the aforementioned regulatory amendment nor is it an approval. However, it does emphasize the idea that culture should be the determining characteristic of Bali’spatial organisation. The argument concentrates on the culture of space and its dynamics - territoriality. Using a qualitative research method of Matrix of Culture derived by anthropologist, E.T. Hall (1973: 50-129), culturally strategic territorialities are defined, correlated within nine cultural dimensions. The article will be presented in four sections. Firstly, it examines building height restrictions in Bali. The second and third sections analyse territorial cultural forms and practices which are deemed important to the building height restriction, if the Balinese culture is to be sustained. Fourth, significant conclusions are drawn which affect Bali’s cultural future development. Keywords: Bulding height, cultural forms, cultural practices, spatial planning
131
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
Peraturan Daerah Bali No 2, 3, 4 Tahun 1974 mengatur ketinggian bangunan yang tidak melebihi ketinggian pohon kelapa atau jika dimetrikan ketinggian ini telah diekuivalenkan dengan 15 m. Produk regulasi ini memiliki kekhususan karakter tersendiri, bahkan telah menjadi ikon yang memperkaya koleksi keunikan yang melekat pada pulau Dewata, salah satu pulau kecil penyusun gugusan kepulauan Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Dalam perkembangan ke berikutnya, Pemerintah Darah Bali melalui Peraturan Daerah No 5 Tahun 2005 tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, memberi peluang pemberian ijin –pada kondisikondisi khusus– bagi pengadaan bangunan/struktur dengan ketinggian yang melebihi 15 m. Perda ini akan tetapi tidak memberi kejelasan akan kondisi-kondisi khusus yang dimaksud disini. Tentunya untuk tujuan efektivitas pemberlakuan sebuah tata aturan, diperlukan sebuah acuan akan bagaimana peraturan ini harus ditaati dalam prakteknya di masyarakat (Suartika, 2005: 1-10). Akan tetapi, terkait dengan pengaturan batas ketinggian bangunan (PBKB) di Bali, belum ditemukan sebuah guideline ataupun dokumen tata aturan pelengkap lanjutan yang memenuhi fungsi ini. Misalnya, secara fundamental, belum ada produk regulasi yang secara jelas memberikan tuntunan bagaimana ketinggian bangunan diukur, kecuali penjelasana dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar No 6 Tahun 2001 tentang Ijin Bangun Bangunan, yang mendefinisikan: “tinggi bangunan adalah jarak tegak lurus ruang diukur dari rata-rata permukaan tanah asal dimana bangunan tersebut didirikan sampai kepada garis pertemuan antara tembok luar atau tiang struktur bangunan dengan atap” (Peraturan Daerah Kota Denpasar, 2001: 6). PBKB Bali bersifat menyeluruh – satu berlaku untuk semua (one for all). Bagaimana peraturan ini bertautan dengan peraturan perencanaan atau perancangan keruangan daerah lainnya, juga belum dijelaskan. Disadari jika kondisi semacam bukan keadaan yang spesifik hanya terjadi dalam PBKB, tetapi lebih sebagai kondisi umum, bagian integral dari sistem pembangunan daerah – bahkan termasuk di level nasional dalam kasus ini (Dove, 1988: 3-5). Harus diakui bahwa berbicara tentang level pencapaian sistem perencanaan yang terintegrasi dan strategis di Indonesia, kita masih dalam tahap proses
132
yang sedang berjalan, baik secara administrasi, implementasi, serta system kontrolnya (Warren, 1993: 48-53). Latar belakang eksisting PBKB di Bali bermula dari keberadaan Hotel Bali Beach Sanur, akomodasi pariwisata pertama yang sengaja dibangun untuk mendukung industri pariwisata Bali atas ide Presiden Sukarno, yang meletakan pondasi pikir akan penunjukan Bali sebagai pusat perkembangan industri kepariwisataan di Nusantara (Picard 1996: 29-55, Pitana 1994: 22-35, 1999: 30-35). Menurutnya, Bali membutuhkan tempat para wisatawan menginap selama mereka berwisata. Terkait inspirasi ini, di pertengahan tahun 60-an dibangunlah Bali Beach Hotel (sekarang bernama Inna Grand Bali Beach Hotel), berlantai 10, dan berpotensikan pemandangan pantai Sanur, kehidupan masyarakat, tata nilai dan wujud kebudayaan yang berkembang di daerah ini. Hotel Bali Beach dibangun dengan memanfaatkan dana pampasan perang Jepang dari Perang Dunia II. Dari segi waktu, ide Presiden Sukarno ini terealisasi segera beriringan dengan ekspansi lapangan udara internasional Ngurah Rai di tahun 1964. Pasca pembangunan hotel ini, pakar-pakar pemerhati Bali terkesiap dengan ketinggian Bali Beach hotel yang menjulang. Tiba-tiba pandangan mata terhalang oleh sebuah bangunan yang sepertinya berusaha menggapai langit Sanur. Ketinggiannya telah menhalangi akses pandangan mata langsung ke pantai, pada proporsi skala lebar dan tingginya. Kondisi ini bahkan dirasakan jauh melebihi proporsi fisik dari hotel ini sendiri. Respon psikologis ini secara logika bisa dipahami. Jika kita mencoba membayangkan kondisi desa Sanur, pantai, dan lingkungan disekitarnya 40 tahun yang lalu, maka kita akan memperoleh pemandangan sepanjang pantai yang lenggang, belum dipadati hotel, restaurant, atau bangunan lain pendukung kepariwisataan. Bangunan pada proksimiti wilayah desa Sanur-pun tidak sepadat apa yang kita temui saat ini, dimana perumahan dan struktur dengan berbagai fungsi lainnya, berdesakdesakan menempati bidang lahan yang tersedia sebagai tempat aktivitas masing-masing.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
Gambar 1. Inna Grand Bali Beach Hotel 1 Sumber: Http://www.Innagrandbalibeach.com, diakses 01/12/2009
Sehingga 40 tahun yang lalu, bisa dipahami jika bangunan Bali Beach Hotel sepertinya dipandang memaksakan keberadaannya di sebuah site dan lingkungan sekitar yang belum akomodatif terhadap struktur multi-lantai, kecuali untuk bangunan berfungsi ritual – parahyangan. Sementara hotel merupakan wadah yang diperuntukan untuk kebutuhan berlindung manusia – pawongan. Hotel adalah tempat tinggal, – walau dalam hal ini tempat tinggal sementara para wisatawan. Lebih lanjut, dilihat dari sirkumstansi nonfisiknya, bangunan hotel ini disituasikan dalam kehidupan masyarakat tradisional, dimana kesakralan sebuah struktur berkorelasi dalam dua arah, yaitu secara horizontal dan vertikal – ketinggian. Jika secara horizontal definisi zona sakral bervariasi sesuai dengan daerah dan kondisi tertentu yang dihadapi, maka kesakralan dalan aksis vertikal menunjukan praktek yang sama di seluruh pulau Dewata, termasuk Sanur. Ketinggian bergerak sejajar dengan konsep sakral. Semakin tinggi sebuah tempat, semakin sakral nilai yang dikandung atau sebaliknya. Jika konsep ini dikorelasikan dengan ketinggian bangunan, maka semakin tinggi sebuah gedung, semakin sakral fungsi yang diwadahi. Atau dengan kata lain, tertinggi adalah tersakral, Secara konsekuensi, ketinggian struktur berfungsi non-sakral berada pada ketinggian yang lebih rendah daripada struktur berfungsi sakral (Eisemen, 1990:30-70, Mantra, 1993: 40-45, 1996:30-33, Geriya, 1995: 52-55). Timbul pertanyaan akan yang manakah fungsi sakral dan yang manakah non-sakral. Fungsi sakral dikaitkan dengan praktek-praktek yang muncul karena adanya
sradha (kepercayaan) akan ke-Tuhan-an atau halhal yang di-Tuhan-kan. Sradha ini memunculkan aktivitas-aktivitas yang membutuhkan wadah, berupa tempat-tempat suci atau yang disucikan, baik yang berwujud ruang maupun ruang dalam bangunan atau struktur pura. Sedangkan fungsi-fungsi berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan lingkungan sekitarnya diklasifikasikan ke dalam fungsi non-sakral (Samadhi, 2004: 206-210). Termasuk dalam kategori ini adalah tempat berlindung manusia – tempat tinggal termasuk hotel –, dan bentang lingkungan alamiah sekitarnya. Konsistensi terhadap konsep ini mengimplikasikan bahwa ketinggian Bali Beach hotel tidak diijinkan melebihi ketinggian beragam pura, termasuk pura Segara yang berlokasi di sepanjang pantai Sanur. Sedang pada kenyataan terjadi sebaliknya – Inna Grand Bali Beach Hotel adalah struktur yang tertinggi. Violasi terhadap tatanan tradisi inilah yang menjadi landasan pengaturan ketinggian bangunan di Bali. Fokus perhatian disini bermuara pada konsep proteksi terhadap tata nilai dan praktek-praktek dari sistem kepercayaan Hindu-Bali yang berperan sangat kental dalam pembentukan tata cara dan pola kehidupan di masyarakat. Jika kepercayaan merupakan bagian dari kebudayaan, maka usaha mengkonservasi budayalah yang menjadi landasan utama PBKB di pulau Dewata. Kesadaran lokal yang memandang pentingnya advokasi konservasi budaya untuk ditanamkan dan dipraktekan dalam setiap kesempatan telah menjadi induk semang instigasi kebijakan perencanaan keruangan, perancangan daerah, dan wujud tata bangunan di pulau ini, dari pertengahan tahun 70-an sampai saat ini. Sampai saat ini, belum ada kejelasan akan asal muasal pohon nyiur – kelapa – dipakai sebagai pembanding metaforik PBKB Bali. Seseorang hanya bisa menduga-duga dan membangun asumsi masingmasing berdasarkan kemampuan analisis dan pengalaman personal. Pohon kelapa seringkali dipakai sebagai simbol karena ke multi-fungsi-annya. Daun kelapa sangat potensial dimanfaatkan sebagai atap rumah, batangnya dipergunakan untuk bahan struktur bangunan ataupun furniture, sementara buahnya dikonsumsi sebagai bahan makanan. Seperti kita ketahui bersama, organisasi kepramukaan di Indonesia misalnya, memakai pohon kelapa sebagai simbol institusional.
133
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
Penulis dalam hal ini mengajukan tiga alternatif pemikiran berkenaan pemilihan pohon kelapa sebagai acuan PBKB di Bali. Pertama, sebagai sebuah pulau kecil yang dikelilingi daerah perairan dengan geografi yang berada di lintang dan bujur tropis, pohon kelapa akan dengan mudah ditemui di seluruh pelosok pulau Bali. Pengambilan tingginya pohon kelapa sebagai acuan batas ekspansi vertikal akan memudahkan dalam prakteknya di lapangan. Seseorang tidak akan perlu susah-susah mencari acuan ukuran, karena pembandingnya – pohon kelapa – sudah disediakan oleh alam, lingkungan dimana aktivitas konstruksi akan dilaksanakan. Kedua, secara fisik pohon kelapa memiliki ketinggian yang menjulang, walau diakui jika ketinggian ini tidak selalu merupakan yang tertinggi di sekitar site pembangunan. Akan tetapi karena eksistensinya yang mudah ditemukan, dan dengan penyebaran yang merata, pohon kelapa memiliki relevansi dipakai sebagai acuan ketinggian.
Gambar 2. Pohon Kelapa di Bali Sumber: Dokumentasi pribadi
Ketiga, landasan ini dikaitkan dengan kemultifungsian pohon kelapa dalam mendukung keberlangsungan kehidupan berbudaya di Bali. Selain fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas, khususnya dalam kehidupan masyarakat Bali yang sangat ritual, setiap komponennya dimanfaatkan sebagai pendukung berbagai aktivitas yang berkaitan dengan praktek-praktek sradha dan kemasyarakatan. Misalnya, komponen pohon kelapa merupakan komponen utama dari patus – kontribusi materi dari anggota masyarakat (krama adat) – dalam berbagai macam wujud olahannya. Misalnya, berbagai bentuk sajen terbuat dari janur; klangsah (anyaman terbuat 134
dari daun kelapa hijau sebagai bahan penutup atap taring (tenda); buah kelapa sebagai bahan pejati (salah satu bentuk sesajen); dan minyak kelapa. Jadi pohon kelapa selain memiliki peran pendukung kehidupan manusia, juga merupakan komponen penting dalam mendukung berbagai praktek ritual yang berurat akar dalam kehidupan masyarakat dimana PBKB diberlakukan. Itulah alasan utama pemilihan pohon kelapa sebagai acuan PBKB di Bali yang bisa diasumsikan dalam tulisan ini. TRADISI DAN KEBUDAYAAN DI BALI Dalam periode kolonialisasi di Indonesia, Belanda menemukan bahwa kebudayaan Bali sangatlah kaya dan memiliki daya pikat yang sangat memukau bangsa kulit putih dari Negeri Kincir Angin ini. Selain bertugas memonopoli perdagangan serta sistem produksi di Kepulauan Sunda Kecil dimana Bali merupakan salah satu pulau yang termasuk di dalamnya, Belanda sangat protektif terhadap keberadaan dan keberlangsungan wujud budaya yang mereka kagumi. Belanda berusaha mencegah kebudayaan ini dari kepunahan. Dengan penuh kesadaran staf kolonial Belanda bertugas di Bali saat itu membendung arus masuknya ajaran Nasrani dan Islam yang dipandang sebagai ancaman yang berpotensi mengikis kebudayaan Bali pada level yang membahayakan keutuhannya secara keseluruhan. Kekuatan budaya Bali bersandar pada sistem adat yang dipraktekan secara luas dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem ini berurat akar di masyarakat dimana sistem ini diimplementasikan dan ditaati. Dilandasi kehidupan yang sangat dekat dengan lingkungan alamiah dan praktek-praktek ritual yang kompleks terkait Hinduisme-Bali, krama adat anggota masyarakat yang menjunjung sistem adat percaya akan konsep keseimbangan dan keharmonisan kosmos. Keseimbangan dipercaya sebagai sumber kebahagiaan yang direfleksikan dalam keharonisana hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya; manusia dengan manusia; dan manusia dengan lingkungan alamiah sekitarnya. Konsep yang menempatkan manusia pada posisi sentral dikenal dengan Tri Hita Kharana.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
Harmonisasi ini tidak hanya terjadi dalam alam kasat mata, tetapi melingkup harmonisasi dengan komponen-komponen dari ketiga elemen di atas yang dipercaya keberadaannya akan tetapi infisibel dari penglihatan atau perabaan. Dalam prakteknya, konsep Tri Hita Kharana ini memiliki fleksibilatas yang dituangkan dalam konsep tempat – desa –; waktu – kala –; dan situasi – patra. Hubungan yang dianggap harmonis bersifat spesifik disesuaikan dengan dimana, kapan dan dalam konteks yang bagaimana hubungan ini didefinisikan dan dipraktekan oleh kelompok krama adat dari desa adat tertentu. Sementara pada saat yang sama, kebaikan dan keburukan dipercaya juga sebagai sumber keseimbangan. Seluruh komponen budaya telah diwujudkan sebagai perpaduan antara baik dan buruk; timur-barat; utara-selatan; baik-buruk; terang-gelap; perempuan-lelaki; kelahiran-kematian. Keburukan tidak bisa dihancurkan dengan tujuan untuk memelihara yang baik saja. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lain. Pengakuan terhadap suatu kondisi tidak akan mungkin tanpa pengakuan terhadap kondisi kebalikannya. Inilah yang dikenal dengan konsep Rwa Bhinedha dalam tradisi dan kebudayaan di Bali.
kebudayaan, kita bergelut pada disiplin keilmuan yang sangat luas jangkauannya. Kemungkinan untuk kehilangan arah sangatlah potensial. Akan dibutuhkan sebuah metode yang menawarkan cara mengklasifikasikan elemen-elemen budaya, sehingga kebudayaan bisa dirumuskan dan diidentifikasi komponennya. Kepentingan ini bersifat krusial, khususnya untuk tujuan studi PBKB Bali, yang sarat akan muatan budaya. Untuk tujuan ini, penulis menyodorkan sebuah metode yang ditawarkan seorang anthropologis kenamaan, E.T. Hall (1973: 50-129) yang dikenal dengan “Matrix of Culture” (Tabel 1). Keunggulan dari Matrix ini adalah kemampuannya untuk menunjukan komponen penyusun kebudayaan secara kronologis. Walau tetap mengakui bahwa, operlap antar satu elemen dengan yang lainnya masih harus dipertimbangkan. Pemikiran Hall bukan bertujuan mensimplifikasi budaya itu sendiri, tetapi mengafirmasi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks.
Lebih lanjut, tradisi dan adat di Bali merupakan wujud kebudayaan yang dilandasi oleh konsep hierarkhi yang kokoh, yang dimanifestasikan dalam beragam bentuk. Konsep Tri Angga membagi sesuatu dalam tiga bagian secara vertikal: kepala (utama, sakral); badan (madya); dan kaki (nista, kurang sakral). Pembagian ini juga dimanifestasikan dalam bahasa Bali, yang juga memiliki tiga tingkatan, utama, madya dan nista. Beragam upacara ritual juga dibagi dalam tiga tingkatan yang disesuaikan dengan kemampuan kondisi yang dihadapi masing-masing kelompok masyarakat pelaku. Sementara ruang bukan perkecualian. Keseluruhan pulau: pura, desa, rumah dibagi dalam tiga zona sesuai dengan konsep Tri Angga. HALL’S MATRIX UNTUK KEBUDAYAAN Kita sudah mengetahui konsep-konsep dasar yang melandasi wujud dan praktek kebudayaan di Bali. Selanjutnya akan didemonstrasikan bagaimana konsep-konsep tersebut terwujudkan dalam tata nilai dan bentuk/praktek budaya. Berbicara mengenai
135
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
Tabel 1. Hall’s Matrix of Culture
Sumber: diadaptasikan dari (Hall 1973)
136
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
137
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
Hall berpendapat bahwa kebudayaan adalah wujud dari proses dimana manusia bermediasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kebudayaan merupakan meaknisme komunikasi antara manusia dan lingkungannya. Kebudayaan memiliki 10 elemen pembentuk, yang masing-masing memiliki wujud nilai/praktek dan wujud bentuk. Masing masing elemen ini diberi nama primary message system (PMS). Wujud nilai dipresentasikan dalam arah horizontal dan wujud bentuk dalam arah vertikal dari Hall’s Matrix. Interaksi dari tata nilai dan bentuk dari satu PMS dengan PMS lainnya dipresentasikan dalam setiap kotak bernomor. Masing-masing kotak memiliki wujudnya tersendiri. Detail dari masing-masing kotak akan bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Disesuaikan dengan kebudayaan yang sedang
diteliti, – dari komunitas masyarakat yang mana, serta pada lingkungan yang bagaimana kebudayaan ini muncul dan berkembang. Setelah mengevaluasi relevansi dari Hall’s Matrix of Culture ini, penulis menyarankannya sebagai sebuah metode penelitian yang potensial bagi para akademis, peneliti, maupun ilmuwan yang mengkonsentrasikan bahasan materinya pada kebudayaan dan isu-isu terkait. Dalam bagian berikut ini, kita akan menyimak bagaimana Matrix ini diimplementasikan dalam menjelaskan wujud kebudayaan Bali. Bagan 1 berikut ini menggambarkan bagaimana konsep pendukung kebudayaan Bali dikombinasikan dengan 10 elemen kebudayaan (PMS) yang dijabarkan Hall.
Bagan 1. Kebudayaan Bali dan Hall Klasifikasi untuk Kebudayaan
138
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
Berikut akan didiskusikan kebudayaan Bali dengan format yang disesuaikan dengan 10 elemen budaya/ primasy message system (PMS) dari Hall. Tujuan utama yang akan dicapai dari proses ini adalah mengidentifikasi wujud budaya keruangan di Bali, yang akan menjadi langkah awal dalam penentuan ruang-ruang berfungsi budaya. Pengetahuan akan eksistensi ruang-ruang ini akan memiliki peran strategis jika advokasi pelestarian kebudayaan akan ditindak lanjuti dalam pengaturan batas ketinggian bangunan (PBKB). Pengetahuan ini akan menggambarkan karakter spasial sebuah area, yang selanjutnya akan menjadi tolak ukur dalam penentuan tinggi bangunan/struktur yang dijinkan untuk dibangun di atas lahan kosong disekitar area bersangkutan. Praktek dan Wujud Budaya Selain menjelaskan bentuk dan praktek (tata nilai) budaya dari 9 elemen (PMS) kebudayaan, sebagai penekanan, analisa dalam bagian ini akan ditekankan pada bentuk dan praktek budaya keruangan dan keterkaitannya dengan 9 elemen budaya lainnya. Strategi ini dikaitkan dengan fokus diskusi yang berbicara tentang ketinggian bangunan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi pada akhirnya akan berkorelas dengan arti budaya yang dimiliki oleh area dimana pembangunan gedung direncanakan. Seperti disimak bersama, beberapa kotak dalam Tabel 1 telah dibuat dalam ketebalan yang berbeda. Ini juga bertujuan untuk memberikan penekanan diskusi budaya dalam konteks keruangan (territoriality). a. Territorial – Territoriality Yang dimaksudkan dengan elemen territorial/territoriality dalam hal ini adalah proses komunikasi (= proses yang memunculkan budaya) yang terjadi karena adanya usaha, berkaitan dengan kepemilikan, tata guna, perlindungan, maupun pembelaan terhadap sebuah area/teritori. Sejarah menunjukan peradaban manusia selalu diwarnai oleh usaha kelompok tertentu yang merasa terancam untuk membela teritorinya, sementara di pihak lain, bagi pihak yang merasa memiliki superioritas akan melakukan perampasan teritori yang bukan menjadi hak miliknya. Kolonisasi yang terjadi sebelum Perang Dunia II merupakan contoh nyata dari praktek semacam, dalam rangka penguasaan lahan yang kaya akan sumber daya alam atau berbagai sumber pendukung proses produksi.
Bahkan sampai saat sekarang pun praktek-praktek semacam ini tetap berlangsung, yang seringkali berlanjut pada konflik politik yang berkepanjangan. Negara-negara di Timur Tengah misalnya, dimana negara Israel dan pemerintah Palestina berseteru selama hampir 5 dekade terakhir untuk memperebutkan territori kenegaraan. Negara kita, Indonesia juga memiliki permasalahan serupa saat mempertahankan Timor Timur, atau saat ini dalam usaha mempertahankan Irian Barat maupun Aceh. Pada kasus lain, China berhasil memperoleh kembali Hong Kong yang sebelumnya disewakan kepada Inggris. Sedang di pihak lain China sedang bergulat mempersatukan territori yang dianggap menjadi bagian dari wilayahnya, yaitu Taiwan dan Tibet. Bahkan ambisi Cina menguasai Tibet telah menimbulkan berbagai protes internasional, yang hampir mengancam diboikotnya Olimpiade 2008 yang baru-baru ini berlangsung di Beijing. Perwujudan praktek dan bentuk budaya spasial dalam kebudayaan di Bali mengacu pada penerapan konsep Tri Angga dan Sanga Mandala, diorientasikan dari utara ke selatan (orientasi kosmik) dan timur barat (orientasi alamiah). Dalam skala rumah tangga, pekarangan sebuah rumah tradisional, zone yang dianggap paling sakral (utama=kepala) adalah lokasi dimana pura rumah tangga (sanggah/merajan) berada. Area dimana anggota keluarga tinggal diklasifikasikan sebagai zone madya (badan), dan area dimana pembersihan diklasifikasikan sebagai zone nista (kaki). Pada skala yang lebih besar, dalam level Bali sebagai sebuah pulau secara keseluruhan, zona utama adalah dimana gunung (arah utara, area tertinggi) berada. Sedangkan area pemukiman adalah zona madya dan area pembersihan direpresentasikan dimana air atau laut (arah selatan) berlokasi. Gambar 2. mempresentasikan bagaimana konsep ruang ini diaplikasikan.
139
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
Gambar 2. Territoriality dalam Kebudayaan Bali
Secara umum arah timur laut memiliki nilai religius yang signifikan dalam kaitannya dengan orientasi kosmik dan alamiah. Dalam praktek, zone ini sangat disakralkan dan merupakan zona dimana strukturstruktur berfungsi ritual ditempatkan. Seperti telah ditekankan sebelumnya bahwa kombinasi antara konsep hirarkhi Tri Angga, konsep keseimbangan Tri Hita Kharana dan konsep perbedaan Rwa Bhineda, mengarahkankan absennya demarkasi absolut antara zone satu dengan yang lain. Lebih lanjut, setiap zone juga dibagi dalam tiga tingkatan mikro zone yang sejenis. Misal di zone utama akan terdapat pula sub-zone yang tersakral, madya, dan nista. Seperti pula halnya dengan zone-zone lainnya. Contoh dalam kawasan pura yang diklasifikasikan sebagai zone utama, pada saat yang sama memiliki zone utama (dimana aktivitas pemujaan tertinggi dilaksanakan), madya (dimana aktivitas pendukung pemujaan utama dilaksanakan), dan nista (dimana masyarakat berkumpul sebelum mempersiapkan diri untuk memasuki area madya ataupun utama. Penzoningan ini biasanya juga didemonstarsikan melalui perbedaan level ketinggian, dengan zone utama berada di ketinggian tertinggi, diikuti zone madya dan nista. Di laut yang secara umum diplot sebagai zone nista, pada saat yang sama juga merupakan area sakral. Laut merupakan tempat dimana aktivitas peleburan, pembersihan dilaksanakan, termasuk pembersihan simbol dan
140
perwujudan dari dewa/dewi yang dipuja dan disucikan. Bergerak dari teritori dalam pengertian lahan secara tradisional di Bali, lahan dikonotasikan sebagai ibu pertiwi, warisan leluhur yang diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengaturannya berada di tangan lembaga adat/institusi desa adat. Pada zaman sebelum hak pribadi atas tanah diakui oleh Negara Kesatauan Republik Indonesia melalui pemberlakuan Undang-Undang Agraria dan Pertanahan 1960, setiap krama adat (1 keluarga) diberikan sebidang tanah – tanah karang desa – untuk membangunan rumah dan pekarangan keluarga. Kelompok krama adat yang berada pada lokasi tertentu dengan luasan tertentu pula akan membentuk satu banjar adat. Sebaliknya, sebagai anggota banjar dan desa adat, krama adat disyaratkan untk memenuhi kewajiban untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas adat dalam bentuk kontribusi ayahan (tenaga) dan patus/pesu-pesuan (materi). Aktivitas adat ini meliputi, kegiatan ritual bersama, interaksi antar krama adat, dan keharmonisan hidup dengan alam. Dengan diberlakukannya UU Agraria dan Pertanahan 1960, hak adat untuk memakai lahan adat harus ditinggalkan, kecuali di beberapa desa Bali Aga (Bali Asli), dimana hak semacam tetap dipegang teguh. Desa Bali Age ini termasuk desa Tenganan, Desa Bayung Gede dan Desa Penglipuran.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
komunikasi yang bersifat non-linguistik, Hall primary message system untuk interaction secara khusus berbicara mengenai bahasa sebagai unsur utama dalam berkomunikasi. “to be able to interact with the environment is to be alive, and failure to do so is to be dead (Hall 1973: 55).” Pernyataan ini tidak mengesampingkan arti penting dari elemen budaya lainnya, tetapi lebih pada penekanan kebudayaan sebagai bentuk komunikasi, dengan bahasa sebagai komponen utamanya.
Gambar 3. Deretan Rumah di Desa Adat Bayung Gede Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 4. Deretan Rumah di atas Tanah Karang Desa Sumber: Dokumentasi pribadi
Dari sini bisa dipahami kompleksitas dari budaya keruangan di Bali, yang sangat berbeda dengan sistem budaya yang lainnya. Semua ini telah mendasari perwujudan sistem interaksi yang unik dan kompleks dalam kaitannya dengan budaya keruangan. Secara konsekuensi, sirkumstansi ini tidak memberi kesempatan untuk mengeneralisasi suatu kondisi dengan menyusun produk regulasi yang bersifat ’satu untuk semua (one for all). b. Interactional – Interaction Berbeda halnya dengan sembilan elemen budaya (PMS) lainnya yang merepresentasikan wujud
Bahasa dalam kebudayaan di Bali sangatlah kompleks yang diperkuat oleh intonasi dan gerakan tubuh. Seperti penjelasan awal yang telah diberikan dalam Bab ini, seiring konsep hierarkhi bahasa Bali dibagi dalam tiga tingkatan: utama, madya, dan nista – bahasa Bali halus, bahasa Bali madya, dan Bahasa Bali nista. Pemanfaatan masing-masing disesuaikan dengan konsep desa, kala, patra: dimana, kapan, dan dalam konteks yang mana bahasa ini dipergunakan. Bahasa halus biasanya dipergunakan dalam konteks formal, penuh perumpamaan, berbunga-bunga, dan mengandung penghormatan. Bahasa ini sering juga dipakai berkomunikasi untuk orang yang tidak dikenal untuk tujuan kesopanan. Sedangkan bahasa Bali biasa dimanfaatkan dalam interaksi keseharian. Dan bahasa kasar biasanya dipakai dalam konteks yang sangat informal, misalnya sebagai bahasa keseharian jika seseorang marah, mengumpat ataupun berkomunikasi untuk menyampaikan kondisi psikologis yang tidak setuju dengan suatu keadaan. Pemakaian bahasa disini juga berkaitan dengan kasta dari kelompok orang yang diajak berkomunikasi. Bahasa halus dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan kelompok masyarakat yang berasal dari golongan kasta yang lebih tinggi atau dengan krama adat yang juga memiliki jabatan sebagai anggota kepemimpinan lembaga adat atau tokoh di masyarakat. Jadi dalam hal ini bahasa Bali mempresentasikan level kompleksitas tertentu yang merefleksikan interaksi sekaligus struktur dan hubungan sosial. Dalam kaitannya dengan territoriality dan interaction dalam kebudayaan Bali, ditemukan variasi yang luas dalam level yang berbeda: rumah tangga, desa, dan keseluruhan pulau. Secara umum interaksi disini berkaitan erat dengan konsep keseimbangan, Tri Hita Kharana. Interaksi yang paling menonjol terjadi
141
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
karena adanya budaya ritual yang sangat berurat akar. Tanpa hari tanpa upacara. Kegiatan ini membutuhkan sumber daya material dan alamiah, termasuk melibatkan partisipasi krama adat dalam jumlah yang besar dalam persiapannya. Situasi ini menimbulkan masyarakat yang saling berketergantungan satu dengan yang lain yang mensyaratkan respon timbal balik, baik di tingkat rumah tangga, desa adat, atau keseluruhan pulau, sehingga pola interdependansi ini memungkinkan untuk dijalankan kondisi ini lebih lanjut mewujudkan hubungan kemasyarakatan komunal yang secara luas menentukan praktek dan wujud budaya keruangan di Bali. Kita mulai penjelasan hubungan anatar interaksi dan territoriality dari level rumah tangga. Dengan digaris bawahi oleh prinsip-prinsip interaksi umum yang dijelaskan diatas, ada dua territory utama yang ditemukan dalam rumah tradisional: halaman rumah – natah – yang menjadi pusat orientasi, dan
ruang kosong di depan pintu masuk/keluar rumah – telajakan. Bagan 3 menunjukan posisi dari masingmasing ruang yang dimaksud dalam struktur tipikal rumah tradisional di Bali daratan. Natah memiliki multi peran. Selain sebagai pusat dimana interaksi antar anggota keluarga terjadi, natah juga dimanfaatkan sebagai ruang diselenggarakannya berbagai upacara ritual keluarga. Sementara itu, keberadaan telajakan memiliki kemiripan fungsi, tetapi lebih menitik beratkan pada kegunaannya saat keluarga bersangkutan memiliki upacara yang melibatkan partisipasi krama adat lainnya sehingga tidak semua orang maupun aktivitas bisa ditampung di dalam rumah. Telajakan ini sangat terasa kepentingannya pada waktu pelaksanaan upacara ngaben (pembakaran mayat), sebagai tempat untuk mempersiapkan beberapa perlengkapan upacara (yang tidak bisa dipersiapkan di dalam rumah), sebelum siap diarak ke kuburan.
Bagan 3. Diagram Tipikal Rumah Tradisional di Bali Daratan
142
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
Dalam level desa adat ruang-ruang strategis yang menampung interaksi di masyarakat bisa diklasifikasikan dalam dua group, yaitu pertama ruang umum yang mengakomodasi interaksi berfungsi ritual, dan kedua, ruang umum yang memanpung interaksi sosial kemasyarakatan. Klasifikasi pertama meliputi wantilan (keberadaan tempat pertemuan) di pura, natar (natah) pura, jaba (ruang di luar pura). Sedangkan dalam klasifikasi kedua mencakup tempat bertemunya anggota banjar(balai banjar); tempat bertemunya anggota krama adat dan lembaga adat (wantilan desa); ruang terbuka umum untuk kegiatan olah raga, hiburan, maupun aktivitas informal lainnya (alun-alun), yang biasanya terletak di pusat permukiman. Keberadaan ruang-ruang berfungsi ritual juga diperlukan dalam skala yang lebih besar, bagi pura-pura yang aktivitasnya tidak hanya dipartisipasikan oleh anggota masyarakat dimana pura tersebut berada, tetapi oleh seluruh umat baik yang di dalam maupun di luar pulau Bali.
kelahiran. Orang yang terlahir dari keluarga brahmana akan secara langsung berkasta brahmana. Paktek ini memiliki kemiripan dengan klan.
c. Organizational – Association Yang dimaksudkan disini adalah wujud kebudayaan yang terjadi karena adanya komunikasi antar anggota masyarakat yang dipengaruhi oleh fungsi masingmasing dalam kehidupan yang melibatkan satu group atau beberapa group orang, misalnya: masyarakat, klass sosial di masyarakat, kasta, dan bahkan sebuah negara. Semua ini biasanya terjadi dalam suatu institusi yang terorganisasi. Praktek-praktek keorganisasian/asosiasi dalam kebudayaan di Bali bisa diidentifikasi ke dalam tiga kategori utama. Pertama, asosiasi yang berdasarkan teritori, seperti misalnya institusi desa adat, dan institusi banjar. Asosiasi ini akan memunculkan ruang-ruang aktivitas yang biasanya ditampung dalam balai desa, wantilan, dan banjar adat.
d. Economic – Subsistence Dalam primary message system subsistence, Hall mengartikan bentuk budaya sebagai wujud komunikasi yang terjadi dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya berkaitan dengan pengadaan dan pengolahan makanan, serta peningkatan level ekonomi. Spasial dimensi dari system subsistence dalam masyarakat di Bali didominasi oleh aktivitas bercocok tanam lahan kering maupun basah. Pertanian lahan basah terhampar dari pusat dataran Bali kearah selatan, sementara usaha pertanian lahan kering bergerak dari pusat daerah pegunungan, dataran tinggi ke utara. Ini bisa dibuktikan dengan adanya hamparan lahan pertanian padi dan vegetasi lainnya yang menghiasi sebagian besar landskap dari pulau ini. Sementara kehidupan masyarakat di daerah perairan, menggantungkan sumber kehidupan dan ekonominya dari nelayan.
Kedua, asosiasi yang berdasarka group-group sosial yaitu soroh (sistem kasta dan klan) yang keduanya didasari oleh garis kelahiran dan keluarga. Interaksi dari kelompok ini biasanya berkaitan dengan keberadaan pura-pura keluarga. Keberlangsungan pura-pura ini menjadi tanggung jawab dari masingmasing group/klan. Berbeda dengan praktek kasta dalam ajaran Hindu, kasta di Bali tidak menginterprestasikan keterlarangan hubungan antara kasta satu dengan yang lainnya (sudra, brahmana, satrya, maupun weisya). Kasta di Bali tidak didasari peran seseorang di dalam hidup, tetapi diturunkan dari
Ketiga, asosiasi yang pembentukannya dimotivasi oleh profesi, kesamaan minat, status, dan pandangan. Asosiasi semacam biasanya disebut sekeha, yang keberadaannya dan keanggotaannya sering kali bersifat temporal. Ruang-ruang aktivitas untuk berbagai sekeha di masyarakat sering kali memanfaatkan ruang-ruang umum yang ada di masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat keoganisasiannya yng tidak permanen. Eksistensi sekeha juga sering kali dikaitkan dengan minat yang sedang berkembang di masyarakat. Atau pada kesempatan lain kepentingan pembentukan sekeha juga didasari adanya tugas-tugas tertentu yang harus diselesaikan yang membutuhkan keorganisasian baru. Subak merupakan organisasi irigasi juga termasuk ke dalam kelompok sekeha.
Proses semacam menimbulkan ruang-ruang tertentu yang akhirnya memberikan karakter dalam kehidupan berbudaya di Bali. Masing-masing sumber mata pencaharian memunculkan ruang-ruang khusus yang menjadi tanggung jawab dan dilindungi oleh masingmasing group mata pencaharian. Dominan dari pola ini adalah munculnya pura-pura yang merefleksikan kepentingan dan peran dari masing-masing group. Misalnya, pura Melanting untuk mereka yang bermata pencaharian sebagai pedagang; pura Dugul
143
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
untuk krama adat yang bergelut di bidang bercocok tanam padi; dan pura Segara untuk para nelayan. Masing-masing pura memiliki ruang-ruang extra dimana masing-masing kelompok berkomunikasi dan berinteraksi. e. Sexual – Bisexuality – Gender Dalam PMS ini Hall memasukan wujud komunikasi yang terjadi karena adanya perbedaan dua kelompok jenis kelamin – lelaki dan perempuan – di masyarakat. Seperti halnya pola kehidupan di masyarakat di kebanyakan negara di dataran Asia, Bali menganut pola patrilineal dimana posisi kaum lelaki memiliki dominasi diatas kaum perempuan. Dalam kehidupan adat, sebuah keluarga diwakli oleh si bapak sebagai kepala keluarga. Pengukuran skala rumah dalam pekarangan rumah tangga juga didasari pada ukuran si bapak, sekali lagi sebagai aktor utama keluarga. Setelah menikah, seorang wanita juga mengikuti kasta dari si suami. Kasta si anak juga akan mengikuti kasta si bapak. Pada kondisi tertentu yang dianggap tidak suci – sebel –, wanita tidak memiliki kesempatan untuk memasuki ruang-ruang yang disucikan, seperti misalnya area pura atau tempat-tempat persembahyangan lainnya, area permandian umum tertentu, atau tempat-tempat tertentu lainnya yang dianggap suci. Larangan ini diberlakukan secara khusus bagi w anita yang sedang mengalami menstruasi atau baru saja melahirkan. Bahkan dalam kasus tertentu, seorang wanita yang baru melahirkan hanya diijinkan menginjakan kaki di dapur dan sumur keluarga setelah 42 hari terhitung dari hari kelahiran. Sementara, tidak ada kondisi yang sejajar yang memposisikan kaum pria pada kondisi yang sama. Akan tetapi ada kondisi-kondisi tertentu yang melarang baik wanita maupun lelaki untuk memasuki area-area ang disucikan. Seperti misalnya adanya kematian di dalam keluarga. Kemudian, sepasang penganten baru tidak diijinkan untuk memasuki area tempat suci sebelum upacara pernikahan secara adat dilaksanakan. Selain contoh-contoh di atas, secara prinsip umum, tidak ada perbedaan perlakuan spasial terhadap lelaki maupun perempuan berkaitan dengan akses ke ruang-ruang keluarga maupun umum yang ada di masyarakat. Namun studi ini mengakui bahwa isu gender akan mempengaruhi konsep mendasar ruang.
144
f. Temporal – Temporality Dalam elemen budaya ini dibicarakan beragam wujud ruang yang dikaitkan dengan interaksi yang berhubungan dengan urutan, patrun, putaran waktu, dan ritme. Kompleksitas interaksi ini dalam kebudayaan di Bali dituangkan dalam kalendar Bali ’Tika’ yang merupakan tuntunan urutan dari beragam interaksi sosial dan ritual, termasuk aktivitas keseharian dari masyarakat kebanyakan. Sekali lagi ditekankan kembali bahwa ini bukan hanya merupakan ukuran waktu, tetapi juga menunjukan makna budaya dari setiap satuan waktu yang menentkan dalam putaran kehidupan manusia di Bali. Kalendar ini didasari oleh dua system perhitungan waktu secara bersamaan: solar – lunar system, dan pawuhan. Sistem Hindu Solar dan Lunar memiliki kemiripan dengan Gregorian kalendar yang dipakai secara luas saat ini dengan durasi setahun sama dengan 12 bulan. Sedangkan perhitungan berdasarkan pawukuan didasari pada satu wuku yang panjangnya sama dengan satu minggu. Dalam setahun terdapat 30 minggu. Kedua sistem inilah yang dipakai secara mendasar sebagai aturan penghitungan waktu. Selain hitungan waktu ini, orang Bali juga mengenal tahun Caka yang berasal dari suku Scythian di bagian selatan India. Tahun ini diawali pada hari pertama dari bulan ke sepuluh – kedasa – dari sistem Hindu Solar dan Lunar kalendar, dan berawal 78 tahun di belakang tahun Gregorian. Sistem pengaturan waktu yang kompleks ini mempengaruhi bagaimana ruang, baik yang berada pada level keluarga maupun yang menampung aktivitas kemasyarakatan, dimanfaatkan. Kalendar ini berperan sebagai time schedule bagaimana ruang diregulasi pemanfaatannya; daya tampugnya dikaji; kondisi fisiknya dipelihara; dan keberlangsungannya dijaga. Ruang yang menjadi fokus pengaturan dalam kalendar ini biasanya yang berkaitan dengan ruang berfungsi umum, seperti misalnya pura-pura besar yang mengundang keterlibatan seluruh atau sebagian besar krama adat di seluruh Bali. g. Instructional – Learning Dalam primary message system ini, Hall berbicara mengenai wujud komunikasi yang terjadi karena terjadinya interaksi yang bertujuan membagi dan mentrasfer informasi, instruksi, dan pengetahuan.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
Dalam kehidupan di masyarakata proses ini lebih dikenal dengan proses pembelajaran, bagaimana pengetahuan dibagi dan dipelajari melalui proses pembelajaran, baik formal maupun informal. Hall memandang tahapan ini sebagai proses adaptif yang diperluas dalam kerangka waktu dan ruang melalu alat komunikasi: bahasa. Proses ini juga merefleksikan interaksi bagaimana seseoang belajar mengenai kebudayaan, sebagaimana kebudayaan sendiri merupakan tingkah laku yang dipelajari dan ditanamkan. Melalui proses pembelajaran, seseorang akan mengenal bagaimana pola komunikasi dari kelompok masyarakat tertentu. Pembelajaran merupakan agen di masyarakat, yang dalam konteks keberlangsungan kehidupan berbudaya di Bali, seringkali terjadi melalui proses informal melalui berbagai aktivitas kemasyarakatan yang mengambil tempat di berbagai ruang berfungsi umum: wantilan, pura, alun-alun. Penelitian ini mengakui jika budaya tulis dan membaca bukan menjadi pola tingkah laku dari kebanyakan orang Bali secara tradisional. Proses pembelajaran seringkali dilaksanakan melalui proses lisan (mulut ke mulut) dari kelompok yang menguasai pengetahuan kepada kelompok yang membutuhkannya. Jadi tempat-tempat dimana kedua kelompok ini bertemu menjadi ruang strategis yang harus ada dan dijaga keberlangsungannya. Karena sistem kemasyarakatan yang komunal, hubungan sosial yang dekat, dan koperatif, pembelajaran sangat dominan terjadi pada waktu masyarakat bertemu satu sama lain, pada event-event komunal, seperti rapat adat, upacara ritual di pura, gotong royong, atau aktivitas komuniti lainnya. Jadi ruang-ruang umum kemasyarakatan perannya menjadi sangat strategis dalam suatu sistem kebudayaan, khususnya di Bali. h. Recreational – Play Dalam mengkaji primary message system play melingkupi komunikasi akibat interaksi yang terjadi untuk tujuan, rekreasi, kesenangan, permainan, dan termasuk pertandingan, atau bahkan perjudian. Seperti halnya dengan budaya pembelajaran, elemen ini utamanya terjadi di ruang-ruang yang menampung aktivitas kemasyarakatan. Interaksi-interaksi terkait biasanya dilakukan sebagai bagian dari interaksi pada sistem kemasyarakatan komunal dengan kehidupan ritual yang sangat kental. Permainan bisa
dilaksanakan dalam level keluarga di ruang natah dan di luar rumah di tempat-tempat umum, seperti misalnya wantilan, alun-alun, balai desa, balai banjar, dan natar pura. Perjalanan menuju ke pura-pura selain merupakan perjalanan ritual juga berperan rekreasional. Pemandangan alam yang di lalui, percakapan yang terjadi, humor yang diceritakan merupakan bagian dari proses untuk menyenangkan diri secara fisik maupun psikologis. Jadi keberadaan ruang-ruang umum dan pemandangan scenik alamiah merupakan bagian spasial dari aktivitas budaya, khususnya yang berkaitan dengan elemen permainan dan rekreasi. i. Protective – Defense Dalam menjelaskan PMS defense, Hall melibatkan interaksi umat manusia dan metode-metode yang mereka manfaatkan untuk melindungi dirinya, tidak hanya dari ancaman alamiah tetapi juga dari masyarakat dan kekuatan-kekuatan yang dianggap merusak yang ada di masyarakat. Ada beragam wujud interaksi dalam system kebudayaan dan tradisi di Bali yang berfungsi sejenis. Kepercayaan terhadap Hinduisme-Bali dan beragam wujud prakteknya merupakan sebuah usaha untuk melindungi kehidupan masyarakat dari hal-hal yang membahayakan yang disebabkan oleh alam maupun oleh insting dasar yang dianggap merusak yang melekat pada diri manusia. Sistem adat dan lembaga adatnya merupakan wujud institusi kemasyarakatan yang melindungi krama adat dari berbagai kelompok yang melakukan pelanggaran terhadap bermacam norma maupun kode etik yang diyakini atau disepakati sebagai kebenaran di masyarakat (Geertz 1991: 45-50, Suartika 2006a: 57, 2006b: 2-3, 2007a: 8-7). Tata cara pengobatan tradisional dengan memenfaatkan elemen-elemn alamiah yang ada di sekitarnya, merupakan wujud proteksi dari penyakit yang membahayakan eksitensi manusia. Perwujudan arsitektur Bali, juga merupakan wujud proteksi dari kondisi-kondisi ekstrem yang tidak diinginkan, seperti misalnya panas, dingin, hujan, petir, banjir, kejahatan, atau bentuk-bentuk ketidak nyamanan lainnya. Secara mendasar, teritorial komponen yang mengijinkan praktek-praktek berkaitan dengan elemen pembelaan diri dan perlindungan diri ini
145
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
sebagian bertepatan dengan ruang-ruang yang mewadahi praktek-praktek ritual (pura) yang tersebar di seluruh pelosok pulau, ruang umum yang dimanfaatkan oleh lembaga adat (wantilan, balai banjar), dan berbagai wujud karya arsitektur. j. Exploitational – Exploitation Istilah exploitation mengandung pengertian interaksi manusia dengan lingkungan alamiah untuk memperoleh keuntungan tertentu melalui proses yang adaptif. Aktivitas bercocok tanam padi tadah hujan yang berkembang dengan baik di Bali, tidak terlepas dari usaha untuk memanfaatkan potensi lahan yang subur yang disediakan oleh alam. Curahan lahar dari deretan gunung merapi di Bali dan curah hujan yang tinggi telah memberi manfaat besar terhadap tingkat kesuburan lahan pertanian. Kondisi inilah yang dimanfaatkan dengan mengembangkan system bercocok tanam yang relevan. Pemanfaatan bahanbahan bangunan yang tersedia di lingkungan sekitar terdekat, seperti misalnya, bambu, atap ilalang, dan kayu, juga merupakan contoh lain dari wujud interaksi yang memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
146
Perwujudan pola natah dalam pengaturan bangunan dan perencanaan site merupakan contoh keberikutnya. Yang mana di satu sisi merupakan usaha mengantisipasi pengaruh lingkungan dengan kelembababn dan suhu yang relatif tinggi, keadaan yang harus dihadapi hampir merata disepanjang tahun. Sedang di sisi lain, penataan ini dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari sirkulasi udara yang cukup kencang yang mengalir dari arah selatan perairan Bali. Sebagai rangkuman penjelasan tentang kebudayaan Bali, Tabel 2 dibawah ini meringkas kebudayaan Bali yang disesuaikan dengan konsep sepuluh primary mssage system yang dipekenalkan oleh E.T.Hall. Table ini memfokuskan ringkasannya pada hubungan antara beragam praktek dan bentuk kebudayaan dari setiap primary message system dengan territoriality – keruangan. Setiap hubungan diberi kode numerik yang disesuaikan dengan informasi sistem numerik yang diterapkan di dalam Tabel 1.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
Table 2. Ringkasan Praktek dan Wujud Budaya Keruangan di Bali
147
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 131-149
Tabel di atas telah menggambarkan paktek-praktek keruangan dalam system kebudayaan di Bali. Dari Tabel ini juga bisa diketahui jika pemanfaatan wujudwujud keruangan berikatan erat antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, wujud ruang-ruang yang muncul sebagai akibat interaksi terkait PMS protective-defense juga dimanfaatkan sebagai ruang diperlukan untuk PMS instrictional-learning, atau sebaliknya. Salah satu alasan akan multifungsi ini adalah sebagai akibat dari orientasi kemasyarakatan komunal yang secara dominan berkembang di Bali. Beberapa fungsi akomodasi dalam satu ruang. Sehingga keberadaan kontekstual lingkungan sekitar dimana sebuah sistem budaya berakar dan berkembang, sangatlah krusial dalam pengidentifikasian ini. Disamping kompleksitas dari Hall’s matrix kebudayaan yang diterapkan disini, penerapannya masih diwarnai usaha untuk mensimplifikasikan kemungkinan operlap yang terjadi di antara beragam aspek penyusun kebudayaan lokal tertentu.
eksistensinya. Tindakan ini dipentingkan jika gaung pengaturan ketinggian bangunan yang berjiwakan pelestarian tata nilai dan praktek budaya akan tetap digemakan. Secara implisit mengimplikasi pesan pemikiran lanjutan yang seyogyanya menjadi bahan pertimbangan jika pengaturan ketinggian bangunan yang bernafaskan kebudayaan di Bali dire-instigasi keberadaannya suatu saat ke depan. Jika keputusan ini dipandang relevan, maka akan prioritas pendahuluan diletakan pada kebutuhan akan sebuah studi pendahuluan yang mengkaji sejauh mana tata aturan yang ada telah atau belum berbudaya. Salah satu acuan kajian yang bisa dirumuskan dalam tahap preliminari ini adalah mempertanyaan akomodasi hierarkhi keruangan dalam produk regulasi yang dipertanyakan. Seiring keberadaan konsep tingkatan keruangan secara tradisional, diperlukan pemahaman akan bagaimana konsep ini dijabarkan didalam peraturan yang sedang berlaku, baik secara vertikal maupun horisontal.
SIMPULAN Pembatasan ketinggian bangunan di Bali merupakan suatu response terhadap pembangunan di pertengahan tahun 60-an yang dianggap tidak selaras dengan tata nilai ritual hierarkhis vertikal. Pertanyaan akan relevansi tata aturan ini setelah tiga setengah abad masa temuannya, terus bergulir, seiring eskalasi kebutuhan dan nilai ekonomis lahan yang semakin membubung, khususnya di daerah berkepadatan tinggi. Dengan tidak mengesampingkan kondisi sirkumsial ini, pembahasan dalam artikel ini telah diposisikan di bawah advokasi bahwa tata aturan pembatasan ketinggian bangunan merupakan sebuah mekanisme potensial dalam pelestarian kebudayaan Bali – esensi dari aktivitas pembangunan di Pulau Dewata –, termasuk dalam hal ini elemen keruangannya. Jika advokasi di atas akan ditindak lanjuti dan dkonsepsi sebagai sebuah landasan yang tepat dalam konteks pembangunan di Bali, identifikasi terhadap elemen budaya keruangan dan kaitannya dengan elemen kebudayaan lainnya telah dirumuskan di dalamnya. Dengan mengimplementasikan Hall’s Matrix of Culture sebagai methode pembahasan yang telah merangkum wujud dan praktek budaya keruangan yang strategis untuk diberlangsungkan
148
Tata aturan yang ada sekarang, yang satu untuk semua – one for all – belum secara keseluruhan merefleksi kompleksitas budaya keruangan Bali yang menjiwai tata aturan ini dari awalnya.
DAFTAR RUJUKAN Dove, M R. (1988), Introduction: traditional culture and development in contemporary Indonesia in Dove, M R (Ed) The Real and Imagined Role of Culture in Development: Case Studies from Indonesia Honolulu: University of Hawaii Press. Eisemen JR, F B. (1990), Bali Sekala & Niskala, Volume I: Essays on Religion, Ritual, and Art Hongkong: Periplus Editions (HK) Ltd. Geertz C. (1991), (Ed) State and Society in Bali: Historical. Textual and Anthropological Approaches Leiden: KITLV Press Geriya, W. (1995), Pola Partsipasi dan Model Pemberdayaan Sumber Daya Desa Adat Dalam Perkembangan Pariwisata Denpasar: Upada Sastra.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan... (Gusti Ayu Made Suartika)
Hall, E T. (1973), The Silent Language Garden City, New York: Anchor Press/Doubleday. Mantra, I B, (1993). Bali. Masalah Sosial, Budaya dan Modernisasi Denpasar: Upada Sastra. Mantra, I B, (1996), Landasan Kebudayaan Bali Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Peraturan Daerah Kota Denpasar No 6 Tahun 2001 Picard, M. (1996), Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture Singapore: Archipelago Press.
_________. (2005), Vanishing Paradise: Planning and Conflict in Bali A thesis submitted in fullfilment of the reqquirements for the degree of Doctor Philosophy, Sydney (Australia): University of New South Wales. ____________. (2006a), Examining the impacts of national social and political strategies on culture and territoriality across the Nusantara: the case study of Bali, Proceedings for the 2nd Asean PGS 2006, Asean Postgraduate Seminar in Built Environment, 4 -6 December 2006, Kuala Lumpur (Malaysia): University Malaya, Faculty of The Built Environment.
Pitana, I G. (1999), Pelangi Pariwisata Bali: Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad Denpasar, Bali: Bali Post, p: 130.
_____________. (2006b), Cultural dimension of space and state urban planning practices: the conflicting interests in land development, Proceedings for the International Conference and Workshop of Urban Culture, Arte-Polis 1 Department of Architecture, Planning and Policy Development, Institute of Technology Bandung, 21-23 July 2006.
Samadhi, N T. (2004), Man, culture and environments: an anthropological approach to determining the Balinese urban design unit The Journal of Urban Design 9 (2), p: 205-224.
____________. (2007a), ‘Territoriality and the market system – Adat land vs. state regulations on land matters in Bali’ Habitat International Journal, 31 (2007): 167-176.
Suartika,G A M. (2001), ‘Capital and land use: local Balinese institutions as mediators for local communities and land use change’ Proceeding for the Global Change and Sustainable Development in Southeast Asia: A SARCS Regional SciencePolicy Conference, Chiang Mai, Thailand, 17-19 February 2001.
____________. (2007b), ‘Perencanaan keruangan, wujud komunikasi kepentingan dalam pembangunan (Spatial planning: forms of communication in development processes’ Journal Natah, Vol 5, No. 2, Denpasar, Bali: Laboratorium Pemukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana.
Pitana, G. (1994), Desa Adat dalam arus modernasasi, in Pitana, G (Ed) Diinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali Denpasar: Bali Post, p:137-169.
a
Suartika,G A M. (2001 ), ‘Regional development and land management: sustaining local concerns in land use change, case study of Bali’ Proceeding for the Association of Collegiate Schools of Planning (ACSP) 43 Annual Conference, Cleveland, Ohio, USA, 8-11 November, 2001. _________. (2003), ‘Conforming to the process of land commodification and deterioration of territorial cultural interaction: the case study of Bali’ Proceeding for Public Art Observatory Annual Conference Public Art & Public Design: Interdisciplinary and Social Perspectives, Waterfronts of Art III, Barcelona, 2-4, October, 2003.
_________ (2008 a ), Kajian produk regulasi keruangan: Mempertanyakan batas ketinggian bangunan di Bali, Kumpulan Makalah Seminar Pemukiman , Departemen Pekerjaan Umum, 1 Juli 2008. ___________. (2008b), Arsitektur organik dan tradisi keruangan: Setinggi pohon kelapa di Bali, Kumpulan Makalah Seminar tentang Arsitektur Nusantara Institute Teknologi Surabaya, 12 September 2008. Warren, C. (1993), Balinese Communities and the Indonesian State Singapore: Oxford University Press. Waters, M. (2000), Globalisation 2nd ed. London: Routledge. 149
Indeks Pengarang Jurnal Seni Budaya MUDRA Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010
Darma Oka, I Made., 150 Gede Rai, Anak Agung., 101 Herawati, S. Hesti., 185 Ruastiti, Ni Made., 108 Suarjaya, I Wayan., 120 Suartika, I Gusti Ayu Made., 131 Suka Yasa, I Wayan., 159 Supriyanto., 172
198
Daftar Nama Mitra Bestari sebagai Penelaah Ahli Tahun 2010 Untuk Penerbitan Volume 25 No. 1 JANUARI 2010 dan Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010 semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal Seni Budaya Mudra telah ditelaah oleh para mitra bestari (peer reviewers) berikut ini
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
I Wayan Rai S. (Institut Seni Indonesia Denpasar) ethnomusicologist Sardono W. Kusumo (Institut Kesenia Jakarta) dance Sal Margianto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) dance Ron Jenkins (Wesleyan University-USA) theatre I Nyoman Sirtha (Universitas Udayana Denpasar) sastra Ni Luh Sutjiati Beratha (Universitas Udayana Denpasar) sastra Soegeng Toekio M (Institut Seni Indonesia Surakarta) visual arts M. Dwi Maryanto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) visual arts Jean Couteau (Pengamat Seni tinggal di Bali) sociologist of art I Wayan Geria (Universitas Udayana Denpasar) anthropology I Made Suastika (Universitas Udayana Denpasar) sejarah Ida Bagus Gde Yudha Triguna (Universitas Hindu Denpasar) religion Ketut Subagiasta (Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar) religion Jean Couteau (Pengamat seni tinggal di Bali)
Penyunting Jurnal Seni Budaya Mudra menyampaikan peng-hargaan setinggi-tingginya dan terima kasih sebesarbesarnya kepada para mitra bestari tersebut atas bantuan mereka.
PETUNJUK UNTUK PENULIS JUDUL NASKAH (all caps, 14 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, l4 pt) Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) 1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Penelitian, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt) TITLE (All caps, 14 pt, bold, centered) (Blank, one single space of 14 pt) First Authorl, Second Author2, and Third Author3 (12 pt) (Blank, one single space of 12 pt) 1. Department’s Name, Faculty’s Names, University’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Reseach Group, Institution’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) (Blank, one single space of l2 pt) E-mail: writer@ address. com (10 pt, italic) (Blank, two single spaces of 12 pt) Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penelitian, metode penelitian, serta hasil analisis. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, l2 pt) Title in English (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Abstrak1 (12 pt, bold) (Blank, one single space of 12 pt) Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 12 pt) Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 12 pt)
PENDAHULUAN (12 pt, bold) (satu spasi kosong, 10 pt)
Introduction (12 pt, bold) (blank, one single space of 10 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel. Jika naskah jauh melebihi jumlah tersebut dianjurkan untuk menjadikannya dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika ditulis dalam bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhi standar tata bahasa Inggris baku. Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Keywords ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan akhir abstrak.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables. When the manuscript go far beyond that limit the contributors are advised to make it into two separate papers. The manuscript is written in Indonesian or English. When English is used strict adherence to English grammatical rules must be applied. The title should be short and informative, and does not go over 20 words. Keywords are in English and presented at the end of the abstract.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Simpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Simpulan dan sebelum Daftar Rujukan. Headings dalam bahasa Inggris disusun sebagai berikut: Introduction, Method, Results and/ or Discussion, Conclusion. Acknowledgement (jika ada) diletakkan setelah Conclusion dan sebelum Reference. Sebaiknya, penggunaan subsubheadings dihindari. Jika diperlukan, gunakan numbered outline yang terdiri dari angka Arab. Jarak antara paragraf satu spasi tunggal.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Method, Results and/or Discussion, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between one paragraph to the next is one single space.
Singkatan/Istilah/Notasi/Simbol Penggunaan singkatan diperbolehkan, tetapi harus dituliskan secara lengkap pada saat pertama kali disebutkan, lalu dibubuhkan singkatannya dalam tanda kurung. Istilah/kata asing atau daerah ditulis dengan huruf italic. Notasi, sebaiknya, ringkas dan jelas serta konsisten dengan cara penulisan yang baku. Simbol/ lambang ditulis dengan jelas dan dapat dibedakan, seperti penggunaan angka 1 dan huruf 1 (juga angka 0 dan huruf O).
Abbreviations/Terms/Symbols Abbreviations are allowed, but they should be written in full when mentioned for the first time, followed by the abbreviations inside the brackets. Foreign and ethnic terms should be italicized. Notation must be compact and clear, and consistently follows the accepted standard. Symbols are written clearly and easily distinguished, such as number 1 and the letter l (or number 0 and the letter O).
Tabel ditulis dengan Times New Roman berukuran 10 pt dan diletakkan berjarak satu spasi tunggal di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 9 pt (bold) dan ditempatkan di atas tabel dengan format seperti terlihat pada contoh. Penomoran tabel menggunakan angka Arab. Jarak tabel dengan paragraf adalah satu spasi tunggal. Tabel diletakkan segera setelah perujukkannya dalam teks. Kerangka tabel menggunakan garis setebal 1 pt. Jika judul pada setiap kolom tabel cukup panjang dan rumit, maka kolom diberi nomor dan keterangannya diberikan di bagian bawah tabel.
Tables are written with Times New Roman size 10pt and put one single space down below the tables’ titles. The titles are printed bold in the size of 9 pt as theyare shown in the example. The tables are numbered with Arabic numbers. The distance of a table with the preceding paragraph is one single space. The tables are presented after they are being referred to in the text. 1 pt thick lines should be used to outline the tables. If the titles for the columns are long and complicated, the columns should be numbered and the explanation of each number should be put below the table.
(kosong satu spasi, 10 pt)
(blank, one single space of 10 pt)
Wacana Estetika Posmodern Idealisme Mitologi Mimesis Imitasi Katarsis Transeden Estetika Pencerahan Teologisme Relativisme Subjektivisme Positivisme
Wacana Estetika Modern Rasionalisme Realisme Humanisme Universal Simbolisme Strukturalisme Semiotik Fenomenologi Ekoestetik Kompleksitas Etnosentris Budaya Komoditas
Wacana Estetika Postmodern Poststrukturalisme Global-Lokal Intertekstual Postpositivisme Hiperrealita Postkolonial Oposisi biner Dekonstruksi Pluralisme Lintas Budaya Chaos
Tabel 1. Wacana Estetika (sumber: Agus Sochari, 2002: 9) (Two single spaces of 10 pt)
Gambar diletakkan simetris dalam kolom halaman, berjarak satu spasi tunggal dari paragraf. Gambar diletakkan segera setelah penunjukkannya dalam teks. Gambar diberi nomor urut dengan angka Arab. Keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan berjarak satu spasi tunggal dari gambar.
Pictures are put in the center of page, one single space from the preceding paragraph. A picture is presented after it is pointed out in the text. Pictures are numbered using Arabic numbers. Information on the picture is put one single space down below the picture.
Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf berukuran 9 pt, bold dan diletakkan seperti pada contoh. Jarak keterangan gambar dengan paragraf adalah dua spasi tunggal. Gambar yang telah dipublikasikan oleh penulis lain harus mendapat ijin tertulis penulis dan penerbitnya. Sertakan satu gambar yang dicetak dengan kualitas baik berukuran satu
The information should be written with the size of 9 pt and in bold according to the example. The information is two single spaces of 10 pt above the following paragraph. Permissions should be obtained from the authors and publishers for previously published pictures. Attached a full page of the picture with a good printing quality, or electronic file with
halaman penuh atau hasil scan dengan resolusi baik dalam format {nama file}.eps, {nama file} jpeg atau {nama file}.tiff. Jika gambar dalam format foto, sertakan satu foto asli. Gambar akan dicetak hitamputih, kecuali jika memang perlu ditampilkan berwarna. Font yang digunakan dalam pembuatan gambar atau grafik, sebaiknya, yang umum dimiliki setiap pengolah kata dan sistem operasi seperti Simbol, Times New Romans dan Arial dengan ukuran tidak kurang dari 9 pt. File gambar dari aplikasi seperti Corel Draw, Adobe Illustrator dan Aldus Freehand dapat memberikan hasil yang lebih baik dan dapat diperkecil tanpa mengubah resolusinya.
either formats: {file name}.jpeg, {file name}.esp or {file name}.tiff. If the picture is a photograph, please attach one print. Pictures will be printed in black and white, unless there is a need to have them in colors. It is advisable that the fonts used in creating pictures or graphics are recognized by most word processors and operation systems, such as Symbols, Times New Romans, and Arial with minimum size of 9 pt. Picture files from applications such as Corel Draw, Adobe Illustrator and Aldus Freehands have better quality and can be reduced without changing the resolution. (blank, one single space of 10 pt)
Kutipan dalam naskah menggunakan sistem kutipan langsung. Penggunaan catatan kaki (footnote) sedapat mungkin dihindari. Kutipan yang tidak lebih dari 4 (empat) baris diintegrasikan dalam teks, diapit tanda kutip, sedangkan kutipan yang lebih dari 4 (empat) baris diletakkan terpisah dari teks dengan jarak 1,5 spasi tunggal, berukuran 10 pt, serta diapit oleh tanda kutip.
The journal prefers direct quotation. The usages of footnotes should be avoided wherever possible. Quotations of no more than 4 lines should be integrated in the text and in between quotation marks. When the citation exceeds 4 lines, it should be put separately 1.5 single spaces away of 10 pt from the main text and put between quotation marks.
Setiap kutipan harus disertai dengan nama keluarga/ nama belakang penulis. Jika penulis lebih dari satu orang, yang dicantumkan hanya nama keluarga penulis pertama diikuti dengan dkk. Nama keluarga atau nama belakang penulis dapat ditulis sebelum atau setelah kutipan. Ada beberapa cara penulisan kutipan. Kutipan langsung dari halaman tertentu ditulis sebagai berikut (Grimes, 2001: 157). Jika yang diacu adalah pokok pikiran dari beberapa halaman, cara penulisannya adalah sebagai berikut (Grimes, 2001: 98-157), atau jika yang diacu adalah pokok pikiran dari keseluruhan naskah, cara penulisannya sebagai berikut (Grimes, 2001).
Every quotation must be followed by the family name of its author. When there is more than one author, only the first author’s family name is printed followed by et alia. The name or family name of the author can be mentioned before or after the quotation. There are some ways of writing quotations. Direct citation from a specific page is written as follows: (Grimes, 2001:15). When a reference is made to the main idea of a couple of pages, the following should be used: (Grimes, 2001: 98–157). When a reference is made to a text in general, the following should be used (Grimes, 2001).
Daftar Rujukan (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
List of References (Blank, one single space of 10 pt)
Penulisan daftar acuan mengikuti format APA (American Psychological Association). Daftar acuan harus menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Sebaiknya, acuan juga menggunakan naskah yang diterbitkan dalam jurnal MUDRA edisi sebelumnya. Daftar acuan diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang penulis. Secara umum, urutan penulisan acuan adalah nama penulis, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam dalam kurung, tanda titik, judul acuan, tempat terbit, tanda titik dua, nama penerbit. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak tiga orang. Jika lebih dari empat orang, tuliskan nama penulis utama dilanjutkan dengan dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah nama penulis agar memudahkan penelusuran kemutakhiran bahan acuan. Judul buku ditulis dengan huruf italic. Judul naskah jurnal atau majalah ditulis dengan huruf regular, diikuti dengan nama jurnal atau majalah dengan huruf italic. Jika penulis yang diacu menulis dua atau lebih karya dalam setahun, penulisan tahun
The journal adheres to the APA format when it comes to list of references. Primary sources should be used (journals and books). It is wise to include previous works published in MUDRA. The references are listed alphabetically according to the authors’ family names. In general, the order of writing is the following: author’s name, period, title, place of publication, colon, publisher. The maximum number of authors mentioned for each reference is 3. When there are 4 authors, mention the main author followed by et.al. Chinese and Korean names do not need to be reversed because the family names are at the beginning. Year of publication should be printed right after the author to make it easier to note how up-todate the sources are. Titles are written in italics. Journal and magazine articles’ titles are written in regular letters, followed by the names of the journal or magazine in italics. If two or more cited works of the same author were published in the same year, the publishing years are followed by the letters a, b etc. For example: Miner, JB. (2004a), Miner, J.B. (2004b).
terbit dibubuhi huruf a, b, dan seterusnya agar tidak membingungkan pembaca tentang karya yang diacu, misalnya: Miner, J.B. (2004a), Miner, J.B. (2004b). Contoh penulisan daftar acuan adalah sebagai berikut:
namanya, dan pada tahun penerbitan ditambah huruf latin kecil sebagai penanda urutan penerbitan. Greenberg, Josepth H. (1957), Essays in Linguistics, University of Chicago Press, Chicago
Acuan dari buku dengan satu satu, dua, dan tiga pengarang Reference from books with one, two and three authors Anderson, Beneditct R.O.G. (1965), Mythology and the Tolerance of the Javanese, Southeast Asia Program, Departement of Studies, Cornell University, Ithaca, New York.
_________________. (1966a), Language of Africa, Indiana University Press, Bloomington.
Bandem, I Made & Frederik Eugene DeBoer. (1995), Balinese Dance in Transition, Kaja and Kelod, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Kartodirjo, Sartono, Mawarti Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. (1997), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta. Acuan bab dalam buku Reference from a book chapter Markus, H.R., Kitayama, S., & Heiman, R.J. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higgins & A.W. Kruglanski (Eds.); Social psychology: Handbook of basic principles. The Guilford Press, New York. Buku Terjemahan Translated Books Holt, Claire. (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change atau Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terjemahan R.M. Soedarsono. (2000), MSPI, Bandung. Read, Herber. (1959), The Meaning of Art atau Seni Rupa Arti dan Problematikanya, terjemahan Soedarso Sp. (2000), Duta Wacana Press, Yogyakarta. Beberapa buku dengan pengarang sama dalam tahun yang sama. A couple of books with similar authors in the same year Dalam hal ini nama pengarang untuk sumber kedua cukup diganti dengan garis bawah sepanjang
_________________. (1966b), “Language Universals”, Current Trends in Linguistics (Thomas A. Sebeok, ed.), Mounton, The Hangue, Artikel dalam Ensiklopedi dan Kamus Articles from Encyclopedia and Dictonary Milton, Rugoff. (tt), “Pop Art”, The Britannica Encylopedia of American Art, Encylopedia Britannica Educational Corporation, Chicago. Hamer, Frank & Janet Hamer. (1991), “Terracotta”, The potter’s Dictionary of Material and Technique, 3 Edition, A & B Black, London. Acuan naskah dalam jurnal, koran, dan naskah seminar Reference on a text in a journal, newspaper, and conference paper Hotomo, Suripan Sandi. (April 1994), “Transformasi Seni Kendrung ke Wayang Krucil”, dalam SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IV/02, BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta. Kwi Kian Gie. (4 Agustus 2004), “KKN Akar Semua Permasalahan Bangsa” Kompas. Buchori Z., Imam. (2-3 Mei 1990), “Aspek Desain dalam Produk Kriya”, dalam Seminar Kriya 1990 ISI Yogyakarta, di Hotel Ambarukmo Yogyakarta. Acuan dari dokumen online (website/internet) Reference from online document Goltz, Pat. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki had a Good Idea, But… http/www. Seghea com/homescool/ Suzuki.htlm Wood, Enid. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki 1889-1998: Violinist, Educator, Philosoper and Humanitarian, Founder of the Suzuki Method, Sinichi Suzuki Association. http/www. Internationalsuzuki.htlm
Acuan dari jurnal online Reference from online journal Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of Internet Psychology, 4. Diunduh 16 November 2006 dari http://www. Journalofinternet psychology. om/archives/volume4/ 3924.htm1 Naskah dari Database Text from database Henriques, J.B., & Davidson, R.J. (1991) Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diunduh 16 November 2006 dari PsychINFO database Acuan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi Reference from final projects, undergraduate final essay, thesis and dissertation Santoso, G.A. (1993). Faktor-faktor sosial psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Acuan dari laporan penelitian Reference from research report Villegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does education play a role in body image dissatisfaction?. Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: Pusat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional. Daftar Nara Sumber/Informan Dalam hal ini yang harus disajikan adalah nama dan tahun kelAhiran/usia, profesi, tempat dan tanggal diadakan wawancaara. Susunan data narasumber diurutkan secara alfabetik menurut nama tokoh yang diwawancarai.
Erawan, I Nyoman (56th.), Pelukis, wawancara tanggal 21 Juni 2008 di rumahnya, Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, Bali. Rudana, I Nyoman (60 th.), pemilik Museum Rudana, wawancara tanggal 30 Juni 2008 di Museum Rudana, Ubud, Bali.
Lampiran (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Appendices (blank, one single space of 10 pt)
LampiranlAppendices hanya digunakan jika benarbenar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasil perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Acuan/Reference. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab.
Appendices are used when they are really needed to support the text, for example questionnaires, legal citations, manuscript transliterations, analyzed interview transcription, maps, pictures, tables containing results of calculations, or formulas. Appendices are put after the references and numbered using Arabic numbers.
2. Naskah Hasil Penciptaan
2. Result of Creative Work
JUDUL NASKAH (all caps, 14 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, l4 pt)
TITLE (all caps, 14 pt, bold, centered) (blank, one single space of l4 pt)
Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
First authorl, Second author2, and Third author3 (12 pt) (blank, one single space of 12 pt)
1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Pencipta, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal,l2 pt)
1. Department’s name, Faculty’s name, University’s name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Group of creator, Institution’s name, Address, City, Postal code, Country (10 pt) (blank, one single space of l2 pt)
E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
E-mail: author@ address. com (10 pt, italic) (blank, two single spaces of 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (blank, one single space of 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penciptaan, metode penciptaan, serta wujud karya. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, l2 pt)
Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 12 pt)
Keywords: maksimum 4 kata kunci ditulis dalam bahasa Inggris (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tungga1, 12 pt)
Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 12 pt)
PENDAHULUAN (12 pt, bold) (satu spasi kosong,10 pt)
INTRODUCTION (12 pt, bold) (blank, one single space of 10 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup pendahuluan, metode penciptaan, proses perujudan, wujud karya, Kesimpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Kesimpulan dan sebelum Daftar Acuan.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Creative Method, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between paragraphs is one single space.
Lebih lanjut mengenai singkatan/istilah/notasi/simbol dan daftar rujukan sama dengan naskah dari hasil Penelitian.
The directions on abbreviations/terms/notations/symbols and references follow the directions for the research manuscript.