JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6
1
Pengaruh Konsentrasi Katalis Natrium Karbonat pada Proses Depolimerisasi Limbah Botol Polietilen Tereftalat (PET) Nina Amalia dan Lukman Atmaja Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected] Abstrak— PET (Polietilen Tereftalat) merupakan salah satu jenis plastik yang sering digunakan, khususnya untuk kemasan minuman. Meningkatnya jumlah penggunaan PET menyebabkan jumlah PET dengan cepat meningkat pula ditiap tahunnya. Oleh karena itu diperlukan daur ulang limbah botol plastik ini melaui proses depolimerisasi dengan katalis natrium karbonat dan menggunakan metode glikolisis. Glikolisis dilakukan selama 8 jam pada suhu 190°C. Etilen glikol digunakan sebagai pelarut dengan perbandingan mol PET:EG sebesar 1:7,6. Penggunaan katalis natrium karbonat divariasi dengan perbandingan mol PET:Katalis sebesar 380:1, 190:1, 90:1, 48:1, 24:1. Hasil rendemen terbaik diperoleh dengan variasi perbandingan PET:Katalis sebesar 90:1 yakni sebesar 64,11%. Hasil depolimerisasi PET yang berupa BHET tersebut dikarakterisasi menggunakan FTIR untuk mengonfirmasi adanya gugus fungsi –OH, C-O dan C=O. Kemudian BHET dengan rendemen terbaik dianalisa dengan TGA/DSC, sehingga didapatkan titik lelehnya sebesar 119,13°C. Kata Kunci : BHET, Depolimerisasi, Glikolisis, natrium karbonat, PET
I. PENDAHULUAN
D
EWASA ini, pengunaan plastik memang sudah sedemikian luasnya. Hal ini dikarenakan plastik memiliki kelebihan khusus, yakni memiliki kekuatan yang tinggi, densitas rendah, desain yang mudah digunakan, massa yang ringan dan biaya produksi yang relatif rendah [17]. Namun menurut [13] plastik juga memiliki kekurangan, plastik merupakan polimer yang sangat tahan terhadap degradasi. PET (Polietilen Tereftalat) merupakan salah satu jenis plastik yang sering digunakan, khususnya untuk kemasan minuman. Meningkatnya jumlah penggunaan PET menyebabkan jumlah PET dengan cepat meningkat pula. [18] menyebutkan bahwa penggunaan PET di dunia sebagai kemasan botol minuman mencapai 1,5 juta ton setiap tahunnya. Hal tersebut di dukung oleh [7] yang menyebutkan bahwa pada tahun 2010 jumlah penggunaan PET meningkat hingga mencapai 56 juta ton. Meskipun PET bukan termasuk bahan yang berbahaya, namun PET termasuk jenis plastik yang non biodegradable sehingga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu plastik jenis ini penting untuk di daur ulang (Colomines, G. dkk., 2005) Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi masalah limbah plastik. Salah satu diantaranya adalah proses depolimerisasi. Dalam proses depolimerisasi, plastik di degradasi menjadi bagian-bagian yang memiliki struktur kimia lebih sederhana (oligomer, dimer dan bahkan kembali menjadi monomer-monomernya) yang tidak lagi mencemari alam dan dapat dimanfaatkan kembali [2].
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk mendepolimerisasi polimer, yakni secara kimiawi, mekanik dan biologis. Namun PET hanya dapat mengalami depolimerisasi secara mekanik dan kimiawi saja. PET tidak dapat mengalami depolimerisasi secara biologi, hal ini disampaikan oleh [1] bahwa PET merupakan jenis plastik yang tidak dapat tergedradasi secara alami dikarenakan tidak adanya organisme yang dapat mengonsumsi molekul PET yang relatif besar. Telah banyak penelitian dilakukan mengenai depolimerisasi kimiawi pada PET. Penelitian tersebut dilakukan dengan berbagai metode solvolisis sesuai dengan pelarut yang digunakan, yaitu alkoholisis dengan menggunakan alkohol, hidrolisis dengan menggunakan air, dan glikolisis dengan menggunakan glikol [7]. [19] menyebutkan bahwa alkoholisis menggunakan metanol (metanolisis) dalam bentuk gas maupun cair akan menghasilkan di metil tereftalat (DMT), yang memiliki kekurangan yakni volatilitas dari metanol yang tinggi sehingga dapat menyulitkan teknis dalam prosesnya. Hidrolisis PET pada suasana asam atau basa yang dilakukan oleh [3] menghasilkan asam tereftalat (TPA), yang didalam prosesnya dapat menimbulkan korosi dan polusi[15]. Menurut [6], glikolisis merupakan metode yang paling menguntungkan dibanding ketiga metode lainnya karena prosesnya yang lebih sederhana. Selain itu, monomer yang dihasilkan, BHET, dapat digunakan sebagai bahan awal dalam proses sintesis PET, sedangkan DMT dan TPA yang dihasilkan dalam proses alkoholisis dan hidrolisis tidak dapat digunakan kembali. Keuntungan yang lain tersebut adalah tidak diperlukan adanya proses pemisahan glikol dari pelarut dalam proses depolimerisasi [7] dan BHET hasil depolimerisasi dapat dicampur dengan BHET yang baru sehingga dapat menghemat biaya produksi [5]. Walaupun demikian proses ini memiliki kelemahan yaitu produk reaksi bukan merupakan bahan kimia yang mudah untuk dipisahkan, melainkan BHET yang merupakan oligomer tingkat tinggi yang sulit untuk dimurnikan dengan metode sedehana [6]. Monomer BHET banyak digunakan dalam sintesis material polimer, mulai dari resin poliester rantai jenuh dan polietilen tereftalat (PET) sebagai sistem biocompatible yang baru. BHET juga digunakan sebagai plasticiser pada resin poliester rantai jenuh dan poliuretan baik kaku maupun yang fleksibel (lentur). Penelitian-penelitian mengenai glikolisis PET dengan berbagai macam katalis telah banyak dilakukan. Penelitian ini antara lain menggunakan katalis seng asetat dengan rendemen 66% [14] dan 78% [16]. Disamping itu, [8] serta [6] melakukan penelitian yang sama dengan membandingkan katalis seng asetat dengan logam asetat yang lain, seperti kobalt asetat, mangan asetat, dan tembaga asetat. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa katalis
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6 seng asetat lebih efektif, namun memiliki efek negatif terhadap lingkungan karena bersifat toksik dan non biodegradable [4]. Pada penelitiannya, [4]. menyimpulkan bahwa katalis seng asetat dapat digantikan dengan katalis natrium karbonat yang lebih ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan kedua katalis tersebut memiliki efektivitas yang hampir sama dengan rendemen 50% untuk natrium karbonat dan 64% untuk seng asetat pada perbandingan konsentrasi katalis yang sama.. [12] telah melakukan penelitian mengenai depolimerisasi PET menggunakan katalis kalium karbonat dan menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah katalis yang digunakan pada batas tertentu (perbandingan PET:Katalis 28:1), maka semakin banyak BHET yang diperoleh (55,95 %). [9] juga telah melakukan penelitian mengenai depolimerisasi PET menggunakan katalis seng setat dan menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah katalis yang digunakan pada batas tertentu (perbandingan PET:Katalis 48:1), maka semakin banyak BHET yang diperoleh (63 %). [11] sebelumnya telah melaporkan bahwa waktu optimum dari proses depolimerisasi dengan menggunakan metode glikolisis dengan katalis natrium karbonat adalah 8 jam. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, maka diperlukan penelitian lanjut untuk mengetahui konsetrasi optimum dari katalis natrium karbonat dalam metode ini. Konsentrasi katalis natrium karbonat yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu dengan perbandingan mol PET (unit berulang): natrium karbonat adalah 380:1, 190:1, 90:1, 48:1, 24:1. Angka ini diperoleh atas dasar penelitian pendahuluan yang dilakukan [4] dimana 98:1, 190:1 dan 380:1 adalah hasil optimum untuk berbagai macam katalis. Sederetan angka ini didapatkan dari perbandingan mol antara PET(unit berulang) terhadap mol katalis natrium karbonat. II. METODOLOGI A. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah peralatan refluks yang tersusun dari peralatan-peralatan gelas seperti labu tiga leher, kondensor, magnetic stirrer, termometer. Neraca analitik, Mettler Toledo StareTGA/DSC serta Spektoskopi FTIR Shimadzu. Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah PET yang didapat dari botol plastik air mineral bermerk Aquase, Etilen Glikol (EG) sebagai pelarut saat proses glikolisis, aquades dan natrium karbonat sebagai katalis padat. B. Prosedur Kerja 1. Preparasi Sampel Limbah PET Limbah PET yang diperoleh dari botol plastik air mineral bermerk Aquase pertama-tama dicuci terlebih dahulu dengan detergen. Kemudian botol dikeringkan dan dipotong dengan ukuran 2x2 mm hingga 4x4 mm. Setelah kering, potongan botol di cuci kembali hingga bersih, kemudian dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada suhu 60 °C. 2. Depolimerisasi PET Sampel PET yang telah dipreparasi sebelumnya di timbang sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam serangkaian alat refluks yang terdiri dari labu tiga leher, magnetic stirrer, kondensor serta termometer. Setelah itu 22,2 ml etilen glikol ditambahkan ke dalam labu (dengan
2 Tabel 1. Jumlah Natrium Karbonat yang dibutuhkan dalam reaksi depolimerisasi PET Perbandingan PET : Natrium Karbonat 380 : 1 190 : 1 90 : 1 48 : 1 24 : 1
Natrium Karbonat (gram) 0,0145 0,0291 0,0613 0,1150 0,2300
perbandingan mol PET:EG sebesar 1:7,6) dan ditambahkan pula natrium yang ditunjukkan pada Tabel 1. Reaksi glikolisis ini berlangsung selama 8 jam pada suhu 196 °C dengan kecepatan pengadukan sebesar 800 rpm. Penangas yang digunakan pada reaksi ini adalah penangas pasir. Reaksi glikolisis ini berlangsung selama 8 jam sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh [11]. Proses glikolisis ini dilakukan pada suhu 196 °C, suhu ini mengacu pada penelitian[19], [4] dan [20] yang menjelaskan bahwa proses depolimerisasi PET akan optimum pada suhu tersebut karena suhu 196 °C merupakan titik didih dari etilen glikol. Setelah reaksi berlangsung selama 8 jam, hasil glikolisis dipindahkan dan langsung didinginkan dalam penangas es selama 30 menit. Selanjutnya air destilasi panas sebanyak 70 ml ditambahkan ke dalam padatan hasil glikolisis tersebut sehingga padatan menjadi larut (BHET cukup larut dalam air panas). Ketika padatan hasil gikolisis ditambahkan air panas, terbentuklah suspensi berwarna putih yang kemudian dengan cepat disaring menggunakan pompa vakum. Filtrat hasil penyaringan dipanaskan hingga homogen, kemudian disaring kembali dengan pompa vakum untuk memastikan bahwa tidak ada sisa PET yang tercampur dalam filtrat. Kemudian filtrat hasil penyaringan yang kedua disimpan dalam lemari pendingin selama 16 jam pada suhu 3 °C untuk proses kristalisasi. Setelah itu terbentuk dua fasa yang kemudian disaring kembali menggunakan pompa vakum. Endapan hasil penyaringan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 °C selama 30 jam. Hasil depolimerisasi tersebut kemudian ditimbang untuk mengetahui massa BHET yang terbentuk. Percobaan dilakukan secara duplo. 3. Karakterisasi a) Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR) Serbuk hasil depolimerisasi diambil sebanyak 0,01 gram, kemudian ditambahkan KBr sebanyak 0,99 gram. Kedua campuran kemudian dicampur sampai homogen dengan menggunakan mortar agat dan dipress sampai menjadi pellet yang tipis. Hasil pellet dimasukkan ke tempat sampel (sample holder) kemudian dikarakterisasi dengan spektroskopi inframerah untuk mengetahui adanya gugus fungsi pada bilangan gelombang 4000 cm-1 sampai 400 cm1 . Selanjutnya dilakukan pengukuran untuk sampel. b) Analisis Termal Analisis termal serbuk hasil depolimerisasi dengan Thermogravimetric Analysis/Differential Scanning Calorimetry (TGA/DSC) untuk mengetahui nilai Tm (titik leleh) dari BHET yang telah disintesis. Serbuk hasil depolimerisasi diambil sebanyak 5 mg ditempatkan dalam wadah alumunium lalu ditutup, kemudian dianalisis pada kisaran suhu 20 °C hingga 350 °C dengan laju pemanasan 10 °C/menit.
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Depolimerisasi Limbah Polietilen Tereftalat (PET) Proses depolimerisasi PET ini dilakukan menggunakan metode glikolisis. Etilen glikol dipilih karena dalam proses glikolisis Etilen glikol dapat menyebabkan pemutusan ester dalam rantai PET [4]. Selanjutnya katalis natrium karbonat ditambahkan sebanyak yang ditunjukkan pada. Etilen glikol pada proses depolimerisasi ini berfungsi sebagai pelarut, sedangkan natrium karbonat berfungsi sebagai katalis. Katalis natrium karbonat dipilih juga dikarenakan katalis ini mudah larut dalam etilen glikol. Perhitungan waktu reaksi ini dimulai pada saat suhu optimum telah dicapai (196 °C). Karena pada suhu tersebut semua campuran yang awalnya tidak homogen mulai menjadi homogen, dan disitulah awal dari reaksi glikolisis dimulai. Suhu optimum tercapai saat waktu reaksi sekitar 2 jam setelah pencampuran awal dan terbentuk larutan jernih kekuningan. Campuran homogen ini menunjukkan bahwa PET mulai terkonversi menjadi oligomer atau bahkan sudah menjadi monomer. Penangas yang digunakan pada reaksi ini adalah penangas pasir.
Gambar 1 Reaksi reversibel polimerisasi Gambar 2 Polietilen Tereftalat
Kristal BHET sesuai dengan perbandingan mol
Hasil glikolisis yang didapatkan merupakan campuran dari monomer BHET, oligomer, etilen glikol, katalis dan sebagian PET yang tidak terkonversi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan padatan monomer BHET, perlu dilakukan pemurnian lanjut. Setelah reaksi glikolis berlangsung selama 8 jam, hasil dipindahkan ke dalam beker gelas dan langsung didinginkan dalam penangas es. Setelah hasil glikolisis tersebut didinginkan selama 30 menit. Proses pendinginan yang dilakukan secara mendadak ini bertujuan agar reaksi dapat berhenti. Hal ini karena reaksi glikolisis merupakan reaksi reversible sesuai dengan persamaan reaksi pada Gambar 1 Jika reaksi glikolisis ini tidak dihentikan, maka produk hasil reaksi akan kembali menjadi reaktan (PET). Kemudian ke dalam hasil depolimerisasi yang berupa padatan tersebut ditambahkan air destilasi panas sebanyak 70 ml sehingga padatan menjadi larut (BHET cukup larut dalam air panas). Karena monomer BHET memiliki titik leleh 109 °C [6] sementara dimer BHET memiliki titik leleh 170 °C [7], maka proses ini bertujuan untuk memisahkan BHET dengan oligomer (seperti dimer ataupun trimer). Selain itu, penambahan air destilasi mendidih juga berfungsi untuk melarutkan katalis serta kemungkinan oligomer yang tidak larut [4]. Saat ditambahkan air panas, terbentuklah suspensi berwarna putih yang merupakan campuran dari partikel padat berupa dimer serta cairan yang terdiri dari oligomer dari BHET, Etilen glikol dan katalis. Pada saat keadaan masih panas, suspensi hasil glikolisis tersebut kemudian dengan cepat disaring menggunakan pompa vakum karena BHET yang terlarut akan segera memadat kembali seiring turunnya suhu dari air destilat. Filtrat yang saat panas berwarna jernih kekuningan dan endapan berwarna putih susu. Ketika dingin, ke dalam filtrat tersebut akan muncul padatan BHET yang berwarna putih. Kemudian filtrat pertama dipanaskan hingga homogen
3 Tabel 2 Massa BHET hasil depolimerisasi. Massa BHET yang Massa BHET Perbandingan Katalis diperoleh (ke-1) yang diperoleh (Na2CO3) : Mol PET (gram) (ke-2) (gram) 1:380 6,93 4,94 1:190 2,99 4,32 1:90 5,23 7,61 1:48 4,18 4,50 1:24 4,23 6,49
dan disaring kembali dengan pompa vakum untuk memastikan bahwa tidak ada sisa PET yang tercampur dalam filtrat kedua. Pada saat filtrat kedua mulai dingin, terbentuk endapan berwarna putih di dasar beker. Kemudian filtrat kedua ini disimpan dalam lemari pendingin selama 16 jam pada suhu 3 °C untuk proses kristalisasi. Setelah itu terbentuk dua fasa yang kemudian disaring kembali menggunakan pompa vakum. Dari pemisahan tersebut menghasilkan filtrat berwarna jernih kekuningan yang merupakan etilen glikol dan katalis yang terlarut dan juga diperoleh endapan yang berupa padatan BHET. Endapan hasil penyaringan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 °C selama 30 jam untuk menguapkan pelarut dan air yang tersisa dalam BHET serta agar massa BHET lebih konstan. Hasil dari proses depolimerisasi ditimbang untuk mengetahui massa BHET yang terbentuk (Tabel 2). Kristal BHET yang dihasilkan pada proses depolimerisasi sesuai dengan variasi perbandingan mol ditunjukkan pada Gambar 2. [4] menyebutkan bahwa pada proses depolimerisasi limbah plastik PET, reaksi glikolisis terjadi karena reaksi substitusi nukleofilik pada gugus hidroksi yang terdapat
Gambar 3 Mekanisme reaksi depolimerisasi limbah plastik
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6 pada etilen glikol menyerang gugus karbonil pada rantai ester yang dimiliki oleh PET. Gugus fungsi karbonil pertama-tama diaktifkan oleh kation Na+ pada katalis. Logam natrium yang berikatan dengan oksigen pada karbonil membentuk karbokation. Reaksi ini dianggap sebagai suatu kompleks yang terbentuk oleh adanya koordinasi antara gugus karbonil pada ester dengan kation Na+ tersebut. Proses koordinasi ini menurunkan kerapatan elektron dari gugus karbonil tersebut dan membuka kemungkinan adanya serangan nukleofilik dari gugus hidroksil terhadap atom karbon yang telah terpolarisasi ini. Sebagai akibatnya terjadi pemutusan rantai polimer PET dan menghasilkan monomer BHET. Mekanisme reaksi yang ditunjukkan pada Gambar 3 merupakan gambaran umum dari mekanisme reaksi yang telah dijelaskan oleh [4]. Proses degradasi pada polimer PET dengan metode glikolisis ini berlangsung secara bertahap, mulai menjadi oligomer, dimer kemudian akan menjadi monomer BHET. B. Perhitungan Rendemen Hasil dan Penentuan Konsentrasi Optimum Katalis Setelah diketahui massa BHET yang diperoleh dari proses depolimerisasi menggunakan katalis natrium karbonat (Tabel 3), maka hasilnya digunakan untuk menghitung rendemen hasil yang didapat dengan Persamaan (1). W HE endemen x Persamaan (1) WPE
dimana WBHET merupakan berat BHET hasil dari depolimerisasi dan WPET merupakan berat awal dari limbah plastik PET yang digunakan saat proses depolimerisasi [12]. Dari perhitungan dengan Persamaan (1), maka didapatkan pengaruh konsentrasi katalis natrium karbonat terhadap rendemen hasil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa hasil optimum yang diperoleh adalah 64,11 % yakni pada saat perbandingan 90:1 . Namun terlihat pula terdapat hasil optimum kedua sebesar 59,17 % yakni pada perbandingan 380:1. Hasil ini didukung oleh penelitian [4] yang menyebutkan bahwa hasil rendemen terbaik pada reaksi depolimerisasi menggunakan Na2CO3 adalah sebesar 50 % dengan perbandingan 380:1. Penelitian yang dilakukan oleh [11] juga menyebutkan bahwa pada waktu optimum 8 jam dengan katalis natrium karbonat yang digunakan sebesar
4 Tabel 3 Perolehan BHET dari hasil depolimerisasi Perbandingan Massa Na2CO3 yang BHET rataMol Na2CO3 digunakan (gram) rata (gram) : Mol PET Glikolisis 1 Glikolisis 2 1:380 0,0168 0,0148 5,93 1:190 0,0298 0,0300 3,65 1:90 0,0630 0,0630 6,41 1:48 0,1159 0,1185 4,59 1:24 0,2301 0,2336 5,36
bahkan ada kemungkinan mengalami penurunan. Penambahan konsentrasi katalis natrium karbonat yang lebih besar membuat hasil yang didapatkan tidak meningkat secara signifikan, bahkan pada perbandingan PET:katalis 190:1dan 48:1 hasil rendemen cenderung menurun. Penurunan hasil rendemen ini diakibatkan adanya penurunan aktifitas katalitik dari natrium karbonat C. Karakterisasi 1. Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR) Hasil dari proses depolimerisasi dianalisis dengan FTIR pada bilangan gelombang 400-4500 cm-1. Seperti yang terlihat pada Gambar 5, BHET merupakan senyawa yang terdiri dari gugus hidroksi (OH-) dan gugus karbonil (C=O). Hasil spektra IR dari BHET ditunjukkan oleh Gambar 6. Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa hasil depolimerisasi PET (BHET) memiliki beberapa puncak yang khas pada berbagai bilangan gelombang. Terdapat puncak dengan intensitas sedang pada bilangan
Gambar 5 Struktur senyawa BHET
gelombang 3448 cm-1 untuk gugus –OH pada asam karboksilat. Puncak dengan intensitas yang kuat pada bilangan gelombang 3062 cm-1 menunjukkan adanya stretching dari ikatan C-H aromatik, demikian pula stretching dari ikatan C-H (sp3) ditunjukkan dengan adanya Tabel 4 Hasil serapan FTIR produk hasil depolimerisasi Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi
O-H
C-H arom atik
C-H sp3
C=O
3450
3070
2954
1715
1284
1135
727
380 : 1
3448
3062
2962
1713
1284
1134
729
190 : 1
3448
3062
2962
1713
1284
1134
729
90 : 1
3448
3062
2962
1716
1284
1134
729
48 : 1
3448
3062
2962
1713
1288
1134
725
24 : 1
3448
3062
2962
1713
1284
1134
725
Perbandingan PET : Katalis
[14]
Gambar 4 Grafik pengaruh konsentrasi katalis terhadap rendemen hasil
0,01 gram (mendekati perbandingan 380:1). Begitu juga dengan [4] yang menyebutkan bahwa pada saat perbandingan rasio molar 245:1 hingga 100:1, rendemen hasil yang didapatkan semakin meningkat dan berhenti secara signifikan pada rasio molar 100:1. Setelah itu tidak akan ada lagi kenaikan hasil randemen secara signifikan
Oop C-H
C-O
puncak dengan intensitas yang kuat pada bilangan gelombang 2962 cm-1. Gugus karbonil pada asam karboksilat (C=O) dengan intensitas yang kuat ditunjukkan dengan adanya puncak pada bilangan gelombang 1713-1716 cm-1. Ikatan C-O pada gugus karboksilat ditunjukkan pada bilangan gelombang 1284-1288 dan 1134 cm-1 dengan intensitas yang kuat pula.Out of plane (oop) dari ikatan C-H aromatik muncul pada bilangan gelombang 725-729 cm-1 dengan intensitas yang kuat. Pada spektra terlihat bahwa pada masing-masing rasio mol memiliki puncak yang
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6
5
hampir sama dan diperkuat dengan hasil yang dilaporkan oleh [14] (Tabel 4). Dengan demikian dapat dibuktikan bahwa hasil depolimerisasi PET yang berupa BHET telah terbentuk.
Gambar 7 Termogram DSC hasil depolimerisasi PET (BHET)
Gambar 6 Spektra FTIR dari hasil depolimerisasi PET (BHET
2.
Analisis Termal Analisis termal pada hasil depolimerisasi PET (BHET) dilakukan dengan menggunakan instumen Thermogravimetric Analysis / Differential Scanning Calorimetry (TGA/DSC) untuk mengetahui titik leleh (Tm) serta kemurnian dari produk. Karakterisasi ini dilakukan pada produk hasil depolimerisasi PET dengan perbandingan mol PET:Katalis 90:1, oleh karena pada perbandingan tersebut memiliki persen rendemen hasil yang paling tinggi dari perbandingan yang lain. Hasil analisis Differential Scanning Calorimetry (DSC) ditunjukkan pada Gambar 7. Terlihat bahwa BHET hasil depolimerisasi pada penelitian ini menunjukkan puncak menurun yang tajam yang menandakan bahwa produk mengalami reaksi endotermis pada suhu 119,13 °C yang merupakan titik leleh (Tm) dari produk tersebut. Keberadaan puncak endotermik ini mendekati penelitian sebelumnya, yakni sebesar 109-111 °C yang dilakukan oleh [14]. Pergeseran titik leleh ini dimungkinkan produk yang terbentuk masih belum murni dan terdapat campuran pengotor berupa dimer BHET [7]. Selain itu terdapat puncak endotermik dengan intensitas rendah pada suhu 218,11°C yang menandakan masih terdapat pengotor lain yang tercampur pada produk hasil depolimerisasi ini. [5] melaporkan bahwa oligomer dengan komposisi lain terdeteksi oleh DSC pada suhu sekitar 250°C. Ketidakmurnian juga dapat disebabkan oleh adanya aditif yang ditambahkan pada saat pembuatan botol plastik PET. Penambahan aditif tertentu dapat menyebabkan perubahan sifat mekanik dari hasil akhir [10]. Apabila dibandingkan dengan BHET komersial seperti yang dilakukan oleh [4] terlihat puncak meruncing tajam menurun pada suhu 110°. Hasil depolimerisasi PET (BHET) juga dianalisis menggunakan instrumen Thermogravimetric Analysis (TGA). Analisis TGA dilakukan untuk mengetahui stabilitas termal dari suatu material. Berat sampel sebanyak 5 mg pada proses ini diukur secara berkelanjutan pada suhu 0-350 °C. Termogram TGA untuk hasil depolimerisasi PET (BHET) pada penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 8. Terlihat pada Gambar 8 tersebut, terdapat dua kali proses dekomposisi termal pada hasil depolimerisasi PET (BHET)
pada penelitian ini. Pertama terjadi pada suhu 149,17°C hingga 150,95°C sekitar 0,0772 %, dimana penulis belum mendapatkan literatur tentang dekomposisi dengan prosentase yang sangat kecil ini. Dimungkinkan pada proses ini merupakan dekomposisi termal dari bahan aditif yang ditambahkan pada botol yang tidak diketahui. Proses dekomposisi termal kedua mulai terjadi pada suhu 240,47 °C hingga 299,15 °C sebesar 35,48 %. Pengurangan bobot yang kedua menunjukkan terjadinya dekomposisi termal dari BHET. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh [19] yang menyebutkan bahwa dekomposisi termal dari BHET terjadi pada suhu antara 200-220 °C. Dengan adanya pengurangan bobot pada dekomposisi termal, merupakan bukti bahwa BHET berhasil didapatkan pada reaksi glikolisis yang dilakukan. Namun, produk yang dihasilkan pada penelitian ini tidak 100 % murni, tetapi hanya 35,48 % BHET yang berhasil didapatkan. Terdapat pergeseran suhu dekomposisi termal dari BHET ke arah suhu yang lebih tinggi pada penelitian ini. Hal tersebut juga diakibatkan ketidakmurnian dari produk hasil depolimerisasi dan adanya pengotor berupa dimer, oligomer BHET maupun pengotor dengan komposisi lain yang tercampur dalam produk.
Gambar 8 Termogram TGA hasil depolimerisasi PET (BHET)
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Konsentrasi katalis natrium karbonat pada penelitian dapat memberikan pengaruh pada persen rendemen hasil dari depolimerisasi limbah PET. 2. Konsentrasi optimum dari katalis natrium karbonat yang digunakan pada proses depolimerisasi ini adalah pada perbandingan mol PET:Katalis 90:1 dengan rendemen hasil sebesar 64,11 %. 3. Hasil depolimerisasi limbah PET yang berupa BHET
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6 dari penelitian ini memiliki titik leleh sebesar 119°C. V. KESIMPULAN/RINGKASAN Tuliskan kesimpulan dari penelitian yang artikelnya Anda tulis ini tanpa mengulang hal-hal yang telah disampaikan di Abstrak. Kesimpulan dapat diisi pula tentang pentingnya hasil yang dicapai dan saran untuk aplikasi dan pengembangannya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lukman Atmaja, Ph. D. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan membimbing, memberikan pengetahuan, saran dan nasehat dan semua rekan-rekan di kelompok riset atas dukungan dan masukanmasukan yang bermanfaat serta semua pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung yang berperan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Awaja, F dan Pavel, D. 2 5. “ ecycling of PE ”. European Polymer Journal 41, 1453-1477. [2] Al-Salem, S.M., Lettieri, P. dan aeyens, L. 2 9. “ ecycling and ecovery outesofplastic Solid Waste (PSW)”. Waste Management 29, 2625-2643. [3] aliga, S. dan Wong, W ,. 2 9. “Depolymerization of Poly(Etylene Terephtalate) Recycled From Post-Consumer Soft-Drink ottles”. Journal Of Polymer Science Part A: Polyme Chemistry 27, 20712082. [4] Fonseca, R.L., Duque-Ingunza., B. de. Rivas., S. Arnaiz dan J.I.Gutierrez O. 2 . “Chemical ecycling of Post-Consumer PET Waste by Glycolysis in he Presence of Metal Salts”. Polymer Degradation and Stability 95, 1022-1028. [5] Fonseca, R L., Itxaso, D., Beatriz, R., Laura, F., Jose I. G. 2011. “Kinetics of Catalytic Glycolysis of PE Waste with Sodium Carbonate”. Chemical Engineering Journal 168, 312-320. [6] Ghaemy, M and Mossadegh, K. 2 5. “Depolymerization Of Poly(Ethylene erephtalate) Fibre Waste Using Ethylene Glycol”. Polymer Degradation and Stability 90(3), 570-576. [7] Imran, M., Kim, ., Han, M., Cho, dan Kim, D. 2 . “Sub and Supercritical Glycolysis of Polyethylene Terephtalate (PET) into The Monommer Bis(2-Hydroxyethyl) erephtalate ( HE )”. Polymer Degradation and Stability 95, 1686-1693. [8] Kao, C.Y., Cheng, W.H dan Wan, .Z. 997. “Investigation of Catalytic of Polyethylene Terephtalate by Differential Scanning Calorimetry”. hermochimica Acta 292, 95-104. [9] Kemala, F M.S. 2 2. “Pengaruh Konsentrasi Katalis Seng Asetat Dihidrat pada Daur Ulang Limbah Polietilen ereftalat (PE )”. Skripsi Kimia. Jurusan Kimia-FMIPA. Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. ITS. [10] Kattas, L., Fred, G., Inessa, L. 2004. Plastic Additives, Research Analyst. Townsend Tarnell, Inc. New Jersey. [11] Lova, . 2 2. “Pengaruh Waktu Depolimerisasi pada Daur Ulang Limbah Polietilen Tereftalat (PET) Menggunakan Etilen Glikol dan Katalis Natrium Karbonat”. Skripsi Kimia. Jurusan Kimia-FMIPA. Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. ITS. [12] Mahmudah, . 2 2. “Pengaruh Konsentrasi Katalis Kalium Karbonat pada Proses Depolimerisasi Limbah Botol Plastik Polietilen Tereftalat (PE )”. Skripsi Kimia. Jurusan Kimia-FMIPA. Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. ITS. [13] Orhan, dkk.2 4. “ iodegradation Of Plastic Compos Bag Under Controlled Soil Conditions”. Acta Chimica Slovenica 51, 579-588 [14] Pingale, N D. and Shukla, S . 2 8. “Microwave Assisted Ecofriendly Recycling Of Poly(Ethylene erephtalae) ottle Waste”. European Polymer Journal 44, 4151-4156.
6 [15] Rogers, Martin E. and Timothy, Long E. 2003. Synthetic Methods in Step-Growth Polymer. John Willey & Sons, Inc. Hoboken. New Jersey. [16] Sanchez, A C. and Collison, S . 2 . “ he Selective Of Mixed Plastic Waste Of Polyactic Acid and Polyethylene Terephtalate By Control Of Process Conditions”. European Polymer Journal, 19701976. [17] Siddique, Raffat. 2008. Waste Material and By-Product in Concrete: Recycled/Waste Plastic. Berlin: Springer Verlog Berlin Heidberg,pp, 93-120. [18] Suh, D.J., O.O. Park dan K.H. Yoon. 2 . “ he Properties of Unsaturated Polyester Based on the Glycolyzed Poly(Ethylene Terephtalate) with Various Glycol Compositions”. Polymer 4 , 46 466. [19] Wang, H., Yanqing, L., Zengxi, L., Xiangping, Z., Soujiang, Z. dan Yanqiang, Z. 2 9. “Glycolysis of Poly(Ethylene erephtalate) Catalyzed by Ionic Liquids”. European Polymer Journal 45, 5351544. [20] Yue, Q.F., C.X. Wang., L.N. Zhang., Y. Ni. dan Y.X. Jin. 2011. “Glycolysis of Poly(Ethylene erephtalate) (PE ) Using asic Ionic Liquids As Catalyst”. Polymer Degradation and Stability 96, 399-403.