3
Jurnal Pusaka September - Desember 2013
KETIKA PESANTREN BERJUMPA DENGAN INTERNET:
SEBUAH REFLEKSI DALAM PERSPEKTIF CULTURAL LAG Oleh : Muhammad Adib, M.Ag.
T
ulisan ini menfokuskan diri pada tantangan dan respon pesantren dalam era informasi. Berawal dari asumsi pesantren sebagai subkultur yang menyaring berbagai unsur luar yang tampak lebih dominan dalam rangka menjamin keutuhan Islam. Karakter seperti inilah yang menjadi alasan kenapa pesantren bisa eksis dalam kurun waktu yang sangat panjang. bisa disimpulkan bahwa pesantren saat ini sedang mengalami “kesenjangan budaya” (cultural) di saat berinteraksi dengan internet. Hal ini terbukti dari kompleksitas respon pesantren terhadap internet dan adanya arus digitalisasi pesantren yang susah dibendung. Kata Kunci : Pesantren, Cultural Lag, Internet
A. Pendahuluan Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa pesantren adalah sebuah subkultur (sub-culture) dalam pengertian sebagai gejala yang unik, otonom, dan cenderung terpisah dari dunia luar. Seperti diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (2001), labelisasi pesantren sebagai subkultur tidak lepas dari adanya tiga elemen dasar yang melekat dalam kehidupan pesantren, yaitu: (1) cara hidup yang dianut, (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, dan (3) hirarki kekuasaan internal yang ditaati sepenunya.1
Jurnal Pusaka September - Desember 2013
Pandangan bahwa pesantren adalah subkultur juga diperkuat oleh Said Aqil Siraj (2006). Ketua Umum PBNU yang sering disapa akrab dengan “Kang Said” ini bahkan menyatakan bahwa selain sebagai “makelar budaya” (cultural broker), pesantren juga berfungsi sebagai “filter budaya” (cultural filter) yang menyaring berbagai unsur luar yang tampak lebih dominan dalam rangka menjamin keutuhan Islam. Karakter seperti inilah, tegas Kang Said, yang menjadi alasan kenapa
4
1 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, cetakan I (Yogyakarta: LKiS, 2001), halaman 9-10.
pesantren bisa eksis dalam kurun waktu yang sangat panjang. Namun, lanjut Kang Said, karakter itu tidak lantas membuat pesantren bersifat statis. Sepanjang sejarahnya, pesantren memiliki dinamime yang bersifat adaptatif terhadap kemajuan di luarnya, sejauh tidak berbenturan dengan pandangan hidup dan tata nilai yang diyakni.2 Dalam ungkapan Rayhani (2009), dalam merespon dunia luar, pesantren cenderung menempuh “caranya sendiri” (in its own way); ada yang cepat tetapi juga ada yang lamban. Respon cepat biasanya ditunjukkan oleh pesantren modern (khalaf), sementara respon lamban biasanya ditunjukkan oleh pesantren tradisional (salaf). 3 Predikat sebagai “subkultur”, “makelar budaya”, dan sekaligus “filter budaya” di atas menarik ketika dibawa pada konteks era informasi saat ini, di mana pesantren sudah mulai berjumpa dengan internet. Seiring dengan akselerasi teknologi yang begitu massif selama tiga dekade terakhir, masyarakat dunia saat ini telah menjel-
2 Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi, cetakan I (Bandung: Mizan, 2006), halaman 207-209. 3 Rayhani, Curriculum Construction in the Indonesian Pesantren: A Study of Curriculum Development in Two Different Pesantrens in South Kalimantan, cetakan I (Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing, 2009), halaman 145.
Kedua, massifnya arus informasi yang disajikan oleh internet, apalagi ketika didorong oleh kapitalisasi media digital, 4 Http://www.en.wikipedia.org, artikel “Information Society” (akses tanggal 10 Mei 2013). 5 Tentang tiga gelombang peradaban manusia tersebut, baca: Alvin Toffler, The Third Wave, cetakan I (New York: Bantam Books, 1980). 6 Marshal McLuhan, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man, cetakan I (Toronto: University of Toronto Press, 1962), halaman 21 dan 31.
Mengamati respon pesantren menghadapi ujian di atas tentu sangat menarik. Pada konteks ini, pesantren sedang menghadapi situasi problematis antara pemenuhan kebutuhan menyerap informasi dari luar yang semakin lama semakin membesar, di satu sisi, dan komitmen untuk mempertahankan fungsi kelembagaan dan tata nilai yang dianut selama ini, di sisi yang lain. Pesantren dewasa ini, meminjam ungkapan Peter Mandaville (2009), sedang berada dalam arus “digitalisasi” Islam yang telah menjadi gejala global dunia Islam dewasa ini, di mana batas-batas pengetahuan keagamaan menjadi berubah begitu rupa.8 Memotret respon pesantren tersebut memang tidak begitu mudah, karena dinamika pemikiran keagamaan dan pengembangan kelembagaan di dunia pesantren sebenarnya cukup kompleks. Namun, dinamika tersebut sebenarnya bisa dipotret, meskipun mungkin tidak bisa memuaskan, dengan menggunakan 7 AG. Eka Wenats Wuryanta, “Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Desember 2004, halaman 139. 8 Peter Mandaville, “Digital Islam: Changing the Boundaries of Religious Knowledge?”, ISIM (Leiden University), Edisi Maret 2009, halaman 23.
Jurnal Pusaka September - Desember 2013
Dalam konteks perjumpaan dengan internet, pesantren menghadapi tantangan serius sekurang-kurangnya pada dua hal. Pertama, internet saat ini merepresentasikan apa yang oleh Marshal McLuhan (1962) sebagai “kampung global” (global village), di mana dunia dengan adanya media elektronik publik—saat itu adalah radio dan televisi—telah menyempit begitu rupa selayaknya sebuah kampung besar.6 Dengan adanya internet, jarak dan batas sudah tidak berfungsi lagi. Setiap orang yang mengakses internet dapat dengan seketika mengetahui apa yang sedang dan telah terjadi di belahan dunia lain serta berkomunikasi dengan siapapun di mana saja dengan mudah. Pada titik ini, di saat pesantren sudah mengenal internet, maka predikat “subkultur” yang disandangnya sebenarnya menghadapi ujian serius, karena pada saat itu pesantren sebenarnya telah menjadi bagian dari “kampung global” tadi.
berarti bahwa—meminjam ungkapan AG. Eka Wenats Wuryanta (2004)—informasi yang diterima oleh masyarakat atau setiap orang bisa merupakan “banjir” informasi. Di satu sisi, kondisi itu menguntungkan bagi sebagian masyarakat yang haus informasi untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Namun, di sisi yang lain, terpaan informasi tersebut bisa membuat situasi beban berlebih atas seluruh proses informasi yang diterima. Muncullah paradoks masyarakat informasi, yaitu situasi di mana informasi yang laksana “air bah” itu justru membuat mereka kesulitan mencerna informasi yang diterima sekaligus membangun tata sosial dan budaya yang lebih baik.7 Pada titik ini, ketika sudah mengenal internet, pesantren mau tidak mau berhadapan dengan situasi ini, sehingga predikatnya sebagai “makelar dan filter budaya” selama ini benar-benar mendapatkan ujian yang serius.
5
ma menjadi apa yang oleh para pakar ilmu sosial disebut dengan “masyarakat informasi” (information society) atau “masyarakat digital” (digital society) yang sebenarnya merupakan pengembangan terminologis dari “masyarakat pascaindustri” (post-industrial society).4 Mengacu kepada prediksi futuristik Alvin Toffler (1980), masyarakat yang dia sebut dengan “super post-industrial society” ini merupakan wujud dari gelombang ketiga (third wave) perkembangan peradaban manusia, yakni dari masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian masyarakat pascaindustri (masyarakat informasi);5 sebuah prediksi yang kemudian menjadi kenyataan.
perspektif “kesenjangan budaya” (cultural lag) yang digagas pertama kali oleh William F. Ogburn (1886-1959), yakni situasi di mana dunia budaya non-material tidak mampu mengikuti laju perkembangan dunia budaya materal, di mana akibat yang muncul adalah “kekagetan budaya” (cultural shock) dan sejumlah problem sosial, seperti menipisnya solidaritas sosial dan munculnya konflik sosial.9 B. Internet di Indonesia
Jurnal Pusaka September - Desember 2013
Penggunaan internet di Indonesia memang menorehkan prestasi yang luar biasa. Menurut hasil survey Akamai Technologies edisi 2012, kecepatan koneksi internet di Indonesia menduduki peringkat teratas se wilayah Asia Pasifik dengan peningkatan kecepatan dengan stabil rata-rata 22% setiap tahun. Indonesia dalam hal ini mengalahkan negara-negara lain yang jauh lebih maju, semisal Cina, Australia, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, dan bahkan Amerika Serikat sendiri.10 Prestasi ini berbanding lurus dengan data pengguna internet di Indonesia yang terhitung sangat mencengangkan. Berdasarkan hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia per akhir tahun 2012 mencapai 63 juta orang atau meningkat 8 juta dari tahun 2011 yang berjumlah 55 juta orang.11 Fakta bahwa Indonesia menempati peringkat 5 dunia dalam hal penggunaan twitter dan peringkat 4 dalam hal penggunaan facebook—seperti dirilis oleh lembaga riset Semiocast pada tahun 2012—menjadi mudah dipahami.12 Selain itu, lembaga riset MarkPlus Insight pada tahun 2012 juga menyajikan data yang menarik tentang perilaku pengguna internet di Indonesia, misalnya (1) 40%
6
9 R.W. Smolens Jr., “Cultural Lag: Applying Time to Culture”, http://www.dialogin.com (akses tanggal 21 Mei 2013). 10 Http://www.kominfo.go.id, artikel “Indonesia Miliki Koneksi Internet Tercepat di Asia Pasifik” (akses tanggal 19 Mei 2013). 11 Http://www.apjii.or.id, artikel “Statistik: Indonesia Internet Users” (akses tanggal 21 Mei 2013). 12 Http://www.inet.detik.com, artikel “Kebanggaan Semu Indonesia Sebagai ‘Raja’ Facebook & Twitter” (akses tanggal 21 Mei 2013).
pengguna mengakses Internet lebih dari 3 jam setiap harinya, (2) komunitas terbesar pengguna didominasi oleh kalangan kelas menengah pada rentang usia 15-35 tahun, (3) 56,4% pengguna tahan berselancar di internet selama berjam-jam, dan (4) belanja akses per orang pengguna rata-rata mencapai Rp. 150.000,00.13 Terlepas dari akurasinya, hasil survey di atas, di satu sisi, bisa dianggap sebagai indikasi positif bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Pihak Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Kominfo), misalnya, bertekad untuk memajukan teknologi komunikasi dan informasi untuk mendorong seluruh masyarakat Indonesia menjadi cerdas dan produktif supaya bisa meningkat kesejahteraan. Salah satu program yang saat ini sedang disiapkan adalah Universal Service Obligation (USO), yaitu penyediaan area-area WiFi atau akses internet tanpa kabel di sejumlah daerah.14 Namun, di sisi yang lain, hasil survey di atas juga menyisakan pertanyaan penting: “Apakah meningkatnya penggunaan internet di Indonesia berjalan seiring dengan laju kualitas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya? Apakah internet di Indonesia sudah digunakan sesuai dengan fungsi dan tujuannya?”. Meskipun tidak bertujuan untuk menjawab pertanyaan di atas, dua kenyataan berikut ini sekurang-kurangnya menyajikan sebuah gambaran tentang realitas internet di Indonesia. Pertama, berdasarkan data statistik edisi 2012 yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), indeks pembangunan manusia (IPM) masyarakat Indonesia menduduki peringkat 121 dunia atau berada pada kategori negara kelas menengah (medium). Dengan peringkat tersebut, Indonesia masih kalah dari sejumlah 13 Http://www.kominfo.go.id, artikel “Pengguna Internet Indonesia Tertinggi Ketiga di Asia” (akses tanggal 19 Mei 2013). 14 Http://www.kominfo.go.id, artikel “Kemkominfo Bertekad Majukan TIK” dan “Kemenkominfo Butuh Payung Hukum Penyediaan Area WiFi” (akses tanggal 21 Mei 2013).
15 Http://www.hdr.undp.org, artikel “Human Development Index (HDI) - 2012 Rankings” (akses tanggal 21 Mei 2013). 16 Http://www.hdrstats.undp.org, artikel “Country Profile: Human Development Indicators” (akses tanggal 21 Mei 2013). 17 Http://www.inet.detik.com, artikel “Indonesia Punya 15 Juta Penggila Game Online” (akses tanggal 21 Mei 2013).
C. Respon Pesantren Sebagaimana disebutkan di atas, respon pesantren terhadap internet memang cukup kompleks. Seperti dijelaskan oleh Ahmad Budi Setiawan (2011) ketika melakukan penelitian di sejumlah pesantren di Surabaya, dalam hal pemanfaatan internet, pesantren sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah pesantren yang memanfaatkan internet sepenuhnya untuk menunjang aktivitas pesantren, baik untuk keperluan administrasi maupun untuk keperluan belajar-mengajar. Kelompok ini diwakili oleh PP Hidayatullah Surabaya dan PP Amanatul Ummah Surabaya, meskipun keduanya relatif berbeda tentang regulasi dan pemilahan akses santri terhadap internet. Kedua adalah pesantren yang memanfaatkan internet secara parsial, yakni hanya untuk keperluan administrasi saja, sementara santri secara umum tidak diperkenankan untuk mengakses internet kecuali jika mendapatkan izin dari pengasuh dan pengurus pesantren. Kelompok ini dipercontohkan dengan PP Mamba’ul Fallah Surabaya dan PP Al Khoziny Surabaya. Ketiga adalah pesantren yang sama sekali tidak memanfaat ataupun menyediakan fasilitas internet, baik untuk keperluan administrasi maupun kegiatan pembelajaran. Sayangnya, Ahmad Budi Setiawan tidak memberi contoh pesantren yang mewakili kelom18 Http://www.jpnn.com, artikel “Inilah 10 Daerah Pengakses Situs Porno” (akses tanggal 19 Mei 2013).
Jurnal Pusaka September - Desember 2013
Kedua, Sean Kim, Business Adviser Qeon Interactive di auditorium Universitas Bina Nusantara, pada tanggal 22 Mei 2013 yang lalu menyatakan bahwa Indonesia lebih berpotensi bagi industri game dibanding negara lainnya di Asia Tenggara. Selain karena jumlah penduduk yang sangat besar, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 15 juta penggila game online, 3.000 pengembang game, dan sedikitnya 20 publisher game.17 Selain itu, pihak Kominfo telah melansir data tingginya transaksi dan jumlah pengakses situs-situs porno di Indonesia. Tingginya belanja akses situs porno yang mencapai USD 3.673 per detik atau setara dengan Rp 33.000.000,00 lebih setiap detiknya membawa nama Indonesia bertengger di peringkat tertinggi di dunia. Dari 34 provinsi di Indonesia, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan tampil dalam 10 besar
wilayah pengakses situs porno.18 Padahal tujuh provinsi tersebut termasuk kawasan pendidikan dan agama dengan jumlah lembaga pendidikan keagamaan terbesar di Indonesia. Terlepas dari kaitannya dengan maraknya kekerasan dan seks bebas di Indonesia akhir-akhir ini, data ini setidak-tidaknya menjadi indikasi bahwa akselerasi perkembangan internet di Indonesia sebenarnya masih belum dipergunakan sesuai dengan fungsi dan tujuan esensialnya.
7
negara yang telah dikalahkannya dalam hal jumlah penggunaan internet, semisal Australia (peringkat 2), Amerika Serikat (3) Korea Selatan (peringkat 12), Singapura (peringkat 18), Malaysia (peringkat 64), Cina (peringkat 101), dan Thailand (peringkat 103)—kecuali Vietnam yang berada pada peringkat 127.15 Ketertinggalan Indonesia dari negara-negara tadi ditunjukkan, antara lain, dengan indikator pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang masih mencapai USD 4.154 per tahun; kalah jauh dari, misalnya, Thailand (USD 7.722 per tahun), Cina (USD 7.945 per tahun), dan Malaysia (USD 13.676 per tahun).16 Data ini menjadi indikasi bahwa peningkatan luar biasa penggunaan internet di Indonesia sebenarnya tidak berjalan seiring dengan peningkatan kualitas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
pok ketiga. Selain membuat kategorisasi, Ahmad Budi Setiawan juga menyajikan keprihatinan kalangan pengasuh pesantren terhadap pola penggunaan internet di kalangan santri untuk ragam keperluan yang tidak begitu penting, seperti game online, chatting melalui situs jejaring sosial semacam twitter, facebook, dan friendster, atau malah mengakses situs porno.19
Jurnal Pusaka September - Desember 2013
Keprihatinan inilah yang sebenarnya menjadi titik tolak atau alasan utama penolakan sejumlah kalangan pesantren terhadap bentuk penggunaan tertentu dari fasilitas internet. Sikap penolakan terhadap penggunaan tertentu fasilitas internet ditunjukkan, misalnya, oleh Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri (FMP3) di Lirboyo Kediri pada bulan Mei 2009 yang melontarkan fatwa haram terhadap penggunaan facebook, friendster, twitter, dan situs jejaring sosial lainnya jika digunakan secara berlebihan. Fatwa mereka tersebut ditekankan pada adanya hubungan pertemanan spesial lawan jenis yang berlebihan. Jika hubungan pertemanan spesial tersebut dilakukan dalam proses khithbah (menjajaki karakter pasangan untuk menikahnya) serta mendapatkan restu dari orang tua, maka hal tersebut tetap diperbolehkan.20 Meskipun sempat diklarifikasi oleh salah seorang juru bicara PP Lirboyo Kediri bahwa yang diharamkan sebenarnya adalah “berpacaran” via jejaring sosial, bukan menggunakan jejaring sosial itu sendiri,21 namun fatwa tersebut tak urung memancing reaksi dari berbagai lapisan masyarakat. Tidak tangung-tanggung, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui salah seorang juru bicaranya menyatakan bahwa memfatwakan haram terhadap facebook dan jejaring sejenis sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena selain situs
8
19 Ahmad Budi Setiawan, “Penanggulangan Dampak Negatif Akses Internet di Pondok Pesantren Melalui Program Internet Sehat”, Jurnal Penelitian Komunikasi, Volume 14, Nomor 2, November 2011, halaman 105-108. 20 Http://www.inet.detik.com, artikel “Fatwa Haram Internet, dari Facebook Sampai YouTube” (akses tanggal 21 Mei 2013). 21 Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Pesantren Lirboyo Klarifikasi Facebook Haram” (akses tanggal 21 Mei 2013).
tersebut bersifat netral, kegunaannya pun seimbang atau malah lebih banyak daripada efek negatifnya. Buktinya, tokoh-tokoh nasional seperti Gus Dur dan Din Syamsuddin, juga memanfaatkan jejaring ini.22 Pihak Kominfo pun sempat memberi komentar bahwa jika memang jejaring sosial memang benar-benar mengancam, maka peraturan perundang-undangan tentang telekomunikasi sebenarnya cukup ampuh untuk mengatasi persoalan tersebut.23 Di luar perdebatan pada rangkaian contoh kasus di atas, pesantren sebenarnya sudah menunjukkan sejumlah usaha kreatif dalam memanfaatkan jejaring sosial secara positif. Hal ini terlihat dari menjamurnya grup-grup jejaring sosial yang dibentuk oleh komunitas pesantren dan rata-rata diberi nama sesuai dengan lembaga masing-masing. Selain sebagai media perekat sosial, grup-grup juga difungsikan sebagai media diskusi dan sharing gagasan terkait dengan isu-isu aktual yang berkembang. Pesertanya pun dari lintas “generasi”, mulai dari kalangan santri, alumni, guru, hingga pengasuh pesantren. Contoh lainnya adalah munculnya situs salampesantren.com sebagai jejaring sosial bagi komunitas pesantren dengan konsep dan fitur yang mirip dengan facebook dengan sejumlah modifikasi yang disesuai dengan alam pesantren. Situs yang dibuat oleh seorang santri dari Banten pada tahun 2012 ini terbukti mendapat sambutan hangat dari komunitas pesantren, termasuk di antaranya PP Gontor.24 Dua contoh tersebut melengkapi bentuk-bentuk kreativitas lain yang telah bermunculan sebelumnya, seperti situs-situs pesantren dan jurnal-buletin buatan pesantren, sebagai gejala adanya arus baru interaksi pesantren dengan internet, yaitu digitalisasi pesantren dan munculnya pesantren digital. 22 Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “MUI Belum Bahas Facebook Haram atau Halal” (akses tanggal 21 Mei 2013). 23 Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Depkominfo: Facebok Haram Perlu Dibicarakan” (akses tanggal 21 Mei 2013). 24 Http://www.inet.detik.com, artikel “Salampesantren. com, ‘Facebook’ ala Anak Pesantren” (akses tanggal 21 Mei 2013).
Uraian Ogburn tersebut tepat untuk menggambarkan realitas internet di pesantren dan respon sosial terhadapnya. Di saat pesantren berjumpa dengan internet, atau lebih tepatnya di saat internet mulai masuk ke dunia pesantren, maka persoalan penyesuaian diri antara pesantren dan internet menyembul ke permukaan. Di satu sisi, internet sebagai bagian dari industri kapitalisme global memiliki kepentingan untuk merambah lahan-lahan baru dan menghegemoni dunia. Indonesia, termasuk pesantren, dalam hal ini dianggap sebagai pasar yang sangat menjanjikan, mengingat masyarakatnya yang cenderung mudah “terpesona” oleh 25 Jesus Romero Monivas, “Cultral Lag”, George Ritzer dan J. Michael Ryan (ed.), The Concise Encyclopedia of Sociology (New Jersey: Wiley-Blackwell, 2011), halaman 109.
Dalam konteks ini, pesantren sebenarnya sedang berada pada—meminjam ungkapan Eka Wenats Wuryanta (2004)27 — masa transisi dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat konsumen informasi. Komodifikasi informasi oleh kekuatan kapitalisme modern telah membentuk logika konsumerisme informasi. Logika episemik yang dimiliki oleh pesantren menjadi terbalik karena terbentuk menjadi struktur konsumen, bukan produsen, informasi. Pesantren kemudian cenderung menjadi “penonton” pasif yang selalu siap menerima arus informasi yang melanda seperti air bah. Dalam menggunakan internet dan menyerap informasi pun, pesantren tidak lagi menyerap informasi dalam bentuk nilai guna atau utilitasnya, tetapi lebih banyak berkaitan dengan logika sosial dan gaya hidup baru yang semakin terasing dari kebutuhan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Fakta bahwa komunitas pesantren menjadi bagian dari jumlah fantastis pengguna internet di Indonesia mengindikasikan semua itu. Kasus-kasus penggunaan internet yang menyimpang di sejumlah kalangan dunia pesantren, termasuk di dalamnya ragam reaksi internal pesantren terhadapnya, juga menjadi semacam “sisi lain” dari realitas internet di pesantren. Namun, dunia pesantren sebenarnya tidak dalam kondisi “diam” menghadapi situasi transisional di atas. Ragam usaha kreatif yang dilakukan oleh sejumlah kalangan 26 Hal ini dinyatakan sendiri secara terbuka oleh Nophin sebagai penggiat gadget dari Jeruknipis.com dalam acara Ngopi Bareng detikINET yang bertajuk “Rahasia di Balik Ketenaran BlackBerry di Indonesia”. Lihat: Http://www. inet.detik.com, artikel “BlackBerry Laku Karena Orang Indonesia Latah” (akses tanggal 21 Mei 2013). 27 Eka Wenats Wuryanta, “Digitalisasi.”, halaman 139-140.
Jurnal Pusaka September - Desember 2013
Kompleksitas respon pesantren terhadap internet sebagaimana digambarkan di atas sebenarnya bisa dipahami sebagai sebuah gejala “kesenjangan budaya” (cultural lag). Menurut William F. Ogburn (1966) yang mencetuskan teori ini, teknologi adalah mesin utama penggerak kemajuan (primary engine of progress) namun senantiasa berbenturan dengan respon sosial terhadapnya. Bertumpu kepada asumsi dasar “middle technological determinism”, Ogburn menyatakan bahwa kesenjangan budaya terjadi pada tahapan akhir dari empat tahapan perkembangan teknologi, yaitu: (1) penemuan (invention), yaitu tahapan di mana teknologi pertama kali diciptakan, (2) akumulasi (accumulation), yaitu proses pertumbuhan dan perkembangan teknologi, (3) difusi (diffusion), yaitu proses pertukaran dan pergulatan gagasan seputar teknologi yang pada gilirannya memunculkan temuan-temuan baru, dan (4) penyesuaian diri (adjustment), yaitu tahapan di mana aspek-aspek non-material dari budaya merespon temuan-temuan teknologi tersebut. Keterlambatan respon budaya non-materal inilah yang menyebabkan munculnya kesenjangan budaya.25
peradaban Barat dan hal-hal yang dianggap modern.26 Sementara itu, di sisi yang lain, pesantren juga mau tidak mau harus ikut dalam “permainan” kapitalisme global itu, dengan kesadaran bahwa informasi dari luar mutlak diikuti dan dicerna oleh pesantren jika tidak ingin tertinggal dari akselerasi informasi yang begitu massif dewasa ini.
9
D. Gejala Cultural Lag
pesantren sebagaimana telah diceritakan di atas menjadi gambaran yang jelas bahwa pesantren sedang melakukan apa yang oleh Ogburn (1966) disebut sebagai upaya “penyesuaian diri” (adjustment) seperti telah disebutkan di atas. Upaya yang dilakukan oleh komunitas pesantren tadi merupakan langkah awal yang baik untuk mempersempit kesenjangan antara temuan baru kebudayaan (new materal invention) dan ragam aspek kebudayaan non-material (non-material culture); dengan kata lain, untuk mengakhiri masa “kesenjangan budaya” (cultural lag). Namun, proses penyesuaian tersebut tentu masih memerlukan jangka waktu yang lama serta usaha keras yang tidak akan mudah. Selain karena mereka masih berhadapan dengan kompleksitas respon pesantren terhadap internet dan persoalan sumber daya, proses penyesuaian diri dalam konteks kesenjangan budaya, sebagaimana ditegaskan oleh Ogburn sendiri, biasanya memang memakan waktu yang lama, bahkan bisa puluhan tahun.28 E. Penutup
Jurnal Pusaka 10 September - Desember 2013
Dari seluruh uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa pesantren saat ini sedang mengalami “kesenjangan budaya” (cultural) di saat berinteraksi dengan internet. Hal ini terbukti dari kompleksitas respon pesantren terhadap internet dan adanya arus digitalisasi pesantren yang susah dibendung. Dunia pesantren pun berusaha untuk beradaptasi seraya mengkonstruksi bentuk-bentuk penggunaan internet yang sesuai dengan tata nilai yang mereka anut, di satu sisi, dan kebutuhan terhadap informasi, di sisi yang lain. Proses adaptasi tersebut, pada gilirannya, membawa pengaruh perubahan yang cukup besar terhadap cara berpikir, pola perilaku, dan gaya hidup pesantren itu sendiri yang acapkali tertatih-tatih di dalam mengejar akselerasi perkembangan internet yang mereka gunakan. Dunia pesantren memang dituntut untuk benar-benar siap menjadi bagian dari mas28 Http://www.sociologyguide.com, artikel “Basic Concepts of Cultural Lag” (akses tanggal 20 Mei 2013).
yarakat informasi, jika memang tidak ingin tertinggal jauh atau kehilangan jati diri. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh pesantren adalah menentukan konsep teknologi dan masyarakat informasi seperti apa yang hendak dibangun. Pesantren harus segera merumuskan visi, misi, dan strategi yang jelas terkait dengan aksestabilitasnya terhadap internet, sehingga akselerasi internet yang semakin pesat dewasa ini bisa menjadi kekuatan (strengths) sekaligus peluang (opportunities), bukan malah ancaman (threats) ataupun kelemahan (weaknesses), bagi pengembangan kualitas SDM pesantren sendiri dalam arti yang sebenarnya. Akan lebih strategis lagi, jika pesantren mampu mempertautkan secara sinergis antara tata nilai yang dianutnya dan akselerasi internat yang diikutinya. Apabila hal ini berhasil, maka pesantren bukan hanya bisa melewati fase genting “kesenjangan budaya” yang dialaminya saat ini semata, tetapi juga bisa menjadi model bagaimana sebuah produk kapitalisme global bisa diserap dan dikelola secara konstruktif dan produktif. Agenda ini jelas belum dikatakan terlambat untuk dilakukan sekarang ini. Mengapa, sebab pesantren harus melihat perkembangan teknologi dan informasi secara paralel dengan proses industri dan logika internal yang menyertainya, sekaligus harus tetap menyikapinya secara kritis. Artinya, digitalisasi pesantren jangan sampai semakin mengalienasi dan mereduksi fungsi pesantren berikut tata nilai yang dianutnya selama ini. Last but not least, tulisan ini tentu sangat jauh dari kata memuaskan. Ragam kelemahan, kekurangan, dan bahkan kesalahan tentu mustahil untuk dihindari dari tulisan ini. Itulah sebabnya, kritik konstruktif dari dosen pengampu dan teman-teman sekelas bisa menjadi pendorong penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin. Wa Allāh a‘lam bi al-shawāb.
Yogyakarta, 16 Juli 2013.
Abdurrahman Wahid, 2011. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Edisi digital. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. AG. Eka Wenats Wuryanta. 2004. “Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi”. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 1, Nomor 2, Desember 2004. Ahmad Budi Setiawan. 2011. “Penanggulangan Dampak Negatif Akses Internet di Pondok Pesantren Melalui Program Internet Sehat”. Jurnal Penelitian Komunikasi. Volume 14, Nomor 2, November 2011. Mandaville, Peter. 2009. “Digital Islam: Changing the Boundaries of Religious Knowledge?”. ISIM (Leiden University). Edisi Maret 2009. McLuhan, Marshal. 1962. The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Cetakan I. Toronto: University of Toronto Press. Monivas, Jesus Romero. 2011. “Cultral Lag”. George Ritzer dan J. Michael Ryan (ed.), The Concise Encyclopedia of Sociology. New Jersey: Wiley-Blackwell. Rayhani. 2009. Curriculum Construction in the Indonesian Pesantren: A Study of Curriculum Development in Two Different Pesantrens in South Kalimantan. Cetakan I. Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing. Said Aqil Siraj. 2006. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi. Cetakan I. Bandung: Mizan. Smolens Jr., R.W. “Cultural Lag: Applying Time to Culture”. Http://www.dialogin.com (akses tanggal 21 Mei 2013). Toffler, Alvin. 1980. The Third Wave. Cetakan I. New York: Bantam Books. Http://www.apjii.or.id, artikel “Statistik: Indonesia Internet Users” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.en.wikipedia.org, artikel “Information Society” (akses tanggal 10 Mei 2013).
Http://www.hdr.undp.org, artikel “Human Development Index (HDI) - 2012 Rankings” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.hdrstats.undp.org, artikel “Country Profile: Human Development Indicators” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.inet.detik.com, artikel “BlackBerry Laku Karena Orang Indonesia Latah” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.inet.detik.com, artikel “Fatwa Haram Internet, dari Facebook Sampai YouTube” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.inet.detik.com, artikel “Indonesia Punya 15 Juta Penggila Game Online” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.inet.detik.com, artikel “Kebanggaan Semu Indonesia Sebagai ‘Raja’ Facebook & Twitter” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.inet.detik.com, artikel “Salampesantren.com, ‘Facebook’ ala Anak Pesantren” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.jpnn.com, artikel “Inilah 10 Daerah Pengakses Situs Porno” (akses tanggal 19 Mei 2013). Http://www.kominfo.go.id, artikel “Indonesia Miliki Koneksi Internet Tercepat di Asia Pasifik” (akses tanggal 19 Mei 2013). Http://www.kominfo.go.id, artikel “Kemkominfo Bertekad Majukan TIK” dan “Kemenkominfo Butuh Payung Hukum Penyediaan Area WiFi” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.kominfo.go.id, artikel “Pengguna Internet Indonesia Tertinggi Ketiga di Asia” (akses tanggal 19 Mei 2013). Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Depkominfo: Facebok Haram Perlu Dibicarakan” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “MUI Belum Bahas Facebook Haram atau Halal” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.nasional.news.viva.co.id, artikel “Pesantren Lirboyo Klarifikasi Facebook Haram” (akses tanggal 21 Mei 2013). Http://www.sociologyguide.com, artikel “Basic Concepts of Cultural Lag” (akses tanggal 20 Mei 2013).
Pusaka 11 Jurnal September - Desember 2013
Daftar Rujukan
PESANTREN DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh: Ahmad Atho’ Lukman Hakim, S.Ag, M.Sc
Fokus tulisan ini adalah : (1) menjelaskan keterkaitan pesantren dengan
Jurnal Pusaka 12 September - Desember 2013
perubahan sosial dalam perspektif normatif dan historisnya. Penjelasan normatif diharapkan memperjelas nilai-nlai dasar yang menjadi grand theory yang dihayati pesantren dan menjadi basis ideologi gerakannya. Sedangkan penjelasan historis dimaksudkan memaparkan implementasi nilai-nilai dalam ranah sosial. (2) menjelaskan tantangan-tantangan obyektif kontemporer yang dihadapi pesantren beserta tawaran paradigma pendidikan pesantren untuk menjadikan pendidikan pesantren relevan dengan jaman sekarang dan nanti (sholih fi zaman al-hal wa mustaqbal).Tulisan Ini adalah kajian pustaka dan menjadikan literaturliteratur klasik yang nota bene menjadi tradisi pesantren salaf itu sendiri menjadi sumber literatur primer. Pembahasan awal adalah menguraikan nilai-nilai dasar yang menjadi grand theory dari pendidikan salaf yang diambil dari tradisi mereka. Kemudian, akan disajikan kenyataan sejarah sosial pesantren untuk memotret implementasi nilai-nilai dasar itu dalam kenyataan sosialnya. Dalam ranah normatif dan kesejarahannya pesantren telah membuktikan diri menjadi pilar utama dalam perubahan sosial yang sekarang mengalami tantangan yang harus disikapi dengan tepat sesuai dengan peran-peran sosialnya. Kata Kunci : Pesantren, perubahan sosial.
Pendidikan harus sesuai dengan tantangan zamannya. Tesis ini tidak terbantahkan. Pendidikan sebagai bekal manusia hidup seharusnya selaras dengan tujuan hidup manusia itu sendiri. Pada sisi lain, tantangan manusia untuk memenuhi kebutuhannya pada tiap zaman akan selalu berbeda sebab zaman selalu berubah. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri, begitulah adagium yang diterima oleh semua kalangan. Perubahan adalah sunnatullah. Kita dari bayi kemudian besar menjadi anak dan dewasa, tua dan kemudian mati. Demikian pula sejarah, ia akan selalu berubah. Sejarah masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Berkaitan dengan perubahan sejarah, jika kita bicara dari unit analisis mode of productions,maka sejarah paling tidak bergerak dari agraris –sebelumnya ada zaman pra agragris yakni zaman manusia berburu, nomaden serta tidak mengenal cocok tanam--. Kemudian zaman industrialisasi yang berbasis pada produksi manufaktur. Sekarang sudah masuk pada masa post-industri yang berbasis pada informasi dan jasa1. Kedepan, sejarah juga akan berubah, entah kemana. Singkatnya, sejarah terbagi menjadi tiga, sejarah masa lalu yang menjadi kenangan dan pelajaran, masa sekarang yang menjadi kenyataan dan masa yang akan datang yang menjadi tantangan. Dan pada setiap masa mempunyai tantangan dan problematikanya sendiri-sendiri yang tentu saja membutuhkan respon yang tidak sama. Kaitannya dengan pendidikan, sebagai sebuah produk peradaban yang berfungsi sebagai wahana sosialisasi dan beradaptasi oleh generasi penerus agar manusia dapat eksis dalam budayanya, maka usia pendidikan sudah setua ma-
1 Salah satu penjelasan perkembangan sejarah dengan basis analisis mode of productions beserta tantangan-tantanganya dalam segala aspek khususnya berkaitan dengan demokratisasi dapat dilihat dalam, Alvin dan Heidi Toffler, Menciptakan Peradaban Baru : Politik Gelombang Ketiga (Yogyakarta : Ikonteralitera, 2002).
nusia itu sendiri.2 Dengan ungkapan lain, pendidikan adalah sebuah produk budaya manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya sekaligus mengeksplorasi potensi-potensi yang ada agar nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki termanifestasikan secara tuntas. Karenanya, pendidikan harus menyesuaikan diri dengan problematika yang dihadapi manusia. Tidak mungkin paradigma pendidikan zaman agraris diterapkan pada zaman industri. Ibarat memberi terapi, maka obat yang diberikan harus sesuai kenyataan obyektif penyakitnya. Memang benar ada nilainilai universal dari pendidikan yang tidak lekang ditelan waktu seperti sosialisasi nilai-nilai ketuhanan, akan tetapi nilainilai partikular yang dibelenggu oleh zaman dan tempat mengharuskan pendidikan peka terhadap problem lokalitas yang terkait dengan ruang dan waktu. Di sinilah pendidikan dituntut untuk selalu beradaptasi agar output pendidikan tersebut relevan dengan zaman yang ada. Pemikiran inilah yang dimakud oleh Ali bin Abi Thalib ra. “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah generasi baru dan bukan generasi tatkala kamu dididik”.3 Maksud serupa seperti yang dikuatkan oleh Ilmuan futuristik kebangsaan Amerika, Alvin Toffler, yang mengatakan; “education must shift into the future tense”.4 Berkaitan dengan Satu poin penting diatas, yakni pendidikan harus relevan dengan zaman, maka mau tidak mau membicarakan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tantangan sosial obyektif yang ada. Tantangan sosial yang muncul dari sistem sosial membutuhkan pembacaan tersendiri yang kemudian diturunkan pada filsafat dan out put pendidikan yang dibutuhkan. 2 Mansur Fakih “komodifikasi pendidikan sebagai ancaman kemanusiaan” dalam “pengantar” buku Francis Wahono Kapitalisme Pendidikan : Antara Kompetisi dan Keadilan cet.(II) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. Ii 3 Dikutip dari Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998), hlm. 28 4 ibid
Pusaka 13 Jurnal September - Desember 2013
A. Latar Belakang
Jurnal Pusaka 14 September - Desember 2013
Namun persoalannya kemudian, masyarakat tentang elemen-elemen dasar apakah pendidikan harus afirmatif dengan yang mempengaruhi dinamika historis. arus sistem sosial yang ada? Atau pendidi- Kajian tentang perubahan sosial dengan kan ditempatkan sebagai salah satu alat demikian fokus terhadap arah perubahan rekayasa perubahan sosial? Jika yang dipi- dan faktor-faktor penyebab perubahan lih yang pertama, maka pendidikan hanya tersebut. menjadi alat penopang eksistensi sistem Lebih jelasnya, fokus yang hendak sosial, dengan kata lain out put pendikan dielaborasi dalam tulisan ini adalah : (1) hanya akan diabdikan pada kelangsungan menjelaskan keterkaitan pesantren dengan dan kelanggengan mainstream konstruksi perubahan sosial dalam perspektif norsosial yang sedang berlangsung. Sedanmatif dan historisnya. Penjelasan normatif gkan jika yang dipilih yang kedua maka diharapkan memperjelas nilai-nlai dasar pendidikan ditempatkan sebagai garda yang menjadi grand theory yang dihayati depan perubahan sosial pesantren dan menjadi yang dianggap sesuai basis ideologi gerakandengan citra dan panSedangkan jika yang nya. Sedangkan pendangan dunia tentang jelasan historis dimakkemanusiaan itu sendiri. dipilih yang kedua maka sudkan memaparkan Apapun pilihan diantara pendidikan ditempatkan implementasi nilai-nilai dua pertanyaan diatas, dalam ranah sosial. (2) pada hakekatnya tergansebagai garda depan menjelaskan tantantung pada pandangan obyektif perubahan sosial yang gan-tantangan filsafat manusia, yang kontemporer yang dihpada gilirannya berimdianggap sesuai dengan adapi pesantren beserta bas pada pandangan tawaran paradigma penfilsafat sosial dan pen- citra dan pandangan dunia didikan pesantren untuk didikannya. menjadikan pendidikan tentang kemanusiaan itu pesantren relevan denTema pendidikan gan jaman sekarang dan dan perubahan sosial sendiri. nanti (sholih fi zaman inilah yang akan dibical-hal wa mustaqbal). arakan, lebih khusus terkait pendidikan di pesantren. Disamping Pembahasan yang dilakukan disadari argumentasi yang telah dijelaskan tentang tidak bisa berlaku universal yang secara keterkaitan antara pendidikan dengan general dapat diterapkan disemua pesantperubahan sosial, pesantren sejak awal ren. Tulisan ini berangkat dari kesadaran kelahirannya telah menempatkan dirinya bahwa pesantren tidak bermuka tunggal. sebagai agen perubahan sosial dimasGambaran yang diberikan tidak mewakili yarakat. Watak Islam, yang tidak asosial semua pesantren akan tetapi kenyataan yang dibawakan pesantren dan semangat umum belaka dari kompleksitas wajah penegakan nilai-nilai ideal yang diyakini pesantren di Indonesia. Demikian juga berkelindan dengan upaya memecahkan paradigma yang ditawarkan, diperlukan tantangan sosial yang dihadapi, menjadiadaptasi seperlunya sesuai dengan karakkan pesantren menempati posisi sejarah teristik pesantren. sosial yang unik dalam perubahan sosial Pesantren yang dimaksudkan dalam dimasyarakat Indonesia. tulisan ini adalah pesantren salaf. Yang Perubahan sosial yang dimaksud dimaksud pesantren salaf pesantren yang adalah perubahan tatanan sosial. Perubamempertahankan pengajaran kitab Islam han tatanan sosial ini adalah tafsir sejarah klasik sebagai inti pendidikan. Dhofier
B. Perubahan Sosial dalam Tinjauan Nilai-Nilai Dasar Pendidikan Pesantren Untuk memberikan kontekstualisasi wacana tentang pendidikan pesantren dan perubahan sosial maka perlu dipaparkan secara ringkas diskursus keterkaitan pendidikan dan perubahan sosial.Dalam teori tafsir sosial yang berusaha membaca relasi-relasi sosial, nalar, struktur atau kepentingan dibalik fenomena sosial terdapat dua aliran besar.Pertama, aliran subyektifis. Aliran ini berpendapat bahwa realitas sosial adalah konstruksi dari agen. Karenanya, ketika membicarakan keadilan sosial maka aliran ini mengatakan bahwa jika ketidak adilan sosial terjadi maka titik perbicangannya adalah manusia dan kesadarannya itu sendiri sebagai akar persoalan. Aliran ini terbagi menjadi dua yakni : humanis dan fenomenologis. Jika yang pertama, arahan ditujukan pada diri manusia.Sedang yang kedua diarahkan pada kesadaran yang ada dalam diri manusia.Perbedaan ini dapat dicontohkan, jika anda sadar bahwa meninggalkan sholat itu berdosa mengapa anda tidak rajin melakukannya? Maka menurut prespektif humanis, kesadaran tersebut mungkin saja dimiliki tetapi kesadaran tersebut belum mampu untuk menggerakkan dirinya melakukan sholat. Sedang prespektif yang kedua mengajarkan bahwa lalainya orang tersebut dalam melaksanakan sholat disebabkan kesadaran tentang sholat itu belum benar. Sedang aliran yang kedua,aliran 5 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994). Hlm. 1
obyektifis. Aliran ini berpendapat bahwa sistem dan struktur masyarakat yang mengkonstruksikan agen.Ketika membicarakan ketidakadilan sosial, aliran ini menyatakan bahwa sumber ketidak adilan adalah diluar agensi manusia, tetapi struktur yang tidak adil atau sistem sosial mengalami disfungsi sosial sehingga terjadi anomie. Aliran ini terbagi menjadi dua : strukturalis dan fungsionalis. kelompok pertama, menyatakan bahwa struktur sosial yang menyebabkan manusia mengalami ketidakadilan. Karenanya, jika perjuangan sosial dalam mengubah keadaan dari ketidakadilan menuju keadilan maka yang musti dirombak adalah struktur sosialnya. Sedang kelompok kedua, menyatakan bahwa ketidakadilan terjadi disebabkan ada disfungis entitas masyarakat. Dengan analog biologistik, prespektif ini memandang susunan sosial masyarakat ibarat tubuh, jika ada yang sakit sudah dapat dipastikan ada yang disfungsi organ yang mengakibatkan penyakit sosial.6 Lalu apa kaitannya dengan pendidikan? Berikut bawah ini akan dikemukakan dua contoh model pemikiran pendidikan dari dua aliran besar agar dapat diperbandingkan. Untuk aliran pertama akan mengambil contoh McCelland dan yang aliran yang kedua Paulo Friere. Dengan memakai analisis psikologi sosial, McCelland mempunyai tesis bahwa need of achievment mempunyai keterkaitan erat dengan dimensi pertumbuhan ekonomi. Asumsi ini adalah jawaban dari dari pertanyaannya “mengapa beberapa bangsa tumbuh pesat di bidang ekonomi sedang bangsa yang lain tidak?”.Kesimpulan yang dihasilkan ternyata mengamini penelitian, Max Weber yang menyatakan bahwa teologi Calvinis mempunyai peran penting dalam pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Hal itu bisa dilihat dari pandan6 Musadda Alwi “Gerakan Mahasiswa dan Civil Society: Menapak Jalan Panjang Strategi Kebudayaan” dalam jurnal Tradem edisi kedua, Juni-Agusuts 2001, hlm. 35-36. Lihat juga Mansur Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi cet (i) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 35-42
Pusaka 15 Jurnal September - Desember 2013
memberikan karakteristik pesantren salaf ini sebagai lembaga pendidikan yang terikat kuat dengan pemikiran fiqh, hadist, tauhid, tafsir dan tasawwuf dari abad tujuh sampai abad tiga belas.5 Pada kenyataan sosiologisnya, pesantren salaf ini menjadi basis komunitas organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).
gan McCelland yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat tergantung pada motivasi (Achievement) dan bukan faktor yang lain. Karenanya, jika ini disepakati maka model pendidikan yang musti dikembangkan adalah pendidikan yang bisa meningkatkan motivasi dan skill masyarakat, agar mereka dapat terberdayakan. Pelatihan dan gaya pendidikan seperti Achivement and Motivation Training (AMT) adalah model pendidikan yang ideal menurut prespektif ini.7 Dalam prespektif ini tampak jelas faktor internal manusia adalah penentu perubahan sosial.Karenanya, ketika menjawab mengapa ada negara miskin dan mengapa ada yang tidak maka jawabnya adalah perbedaan motivasi yang dipunyai oleh masing-masing negara yang mengakibatkan nasib mereka berbeda.Rekomendasinya, untuk meningkatkan kesejahteraan maka motivasi dan skill sumber daya manusia negara tersebut harus ditingkatkan.Dengan demikian model pendidikan yang harus dikembangkan adalah model pendidikan yang dapat memompa semangat dan skill masyarakat seperti Achievement and Motivastion Training tersebut. Dalam optic teori sosial, apa yang dikembangkan oleh McCelland termasuk kedalam aliran subyektifis tepatnya fenomenologis, yang mempersoalkan inner manusia yang berupa kesadaran yang dalam bahasa McCelland alalah need of achievement.
Jurnal Pusaka 16 September - Desember 2013
Hal yang berbeda diuraikan oleh Paulo Friere.Dalam pandangannya pendidikan adalah membebaskan manusia dari semua penindasan. Filsafat Friere bertolak dari kenyataan bahwa sebagain penduduk dunia ini ada masyarakat yang menderita sementara sebagian yang lain menikmati jerih-payah orang lain, justru dengan cara-cara yang tidak adil. Suasana seperti inilah yang dianggap Friere sebagai “penindasan”8Basis filfasat manusia Friere 7 Mansur Fakih, ibid. hlm. 56-62 8 Roem Tomatipasang dkk, Belajar dari Pengalaman : Panduan Latihan Pemandu Pendidikan Orang Dewa untuk Pengembangan Masyarakat, cet. (ii) (Jakarta : P3M, 1990), hlm. 38
yang menjadi landasan konseptualnya ia sebut sebagai the man’s ontological vocation, yakni keharusan manusia untuk merambungkan tugas kesejarahannya dalam mengubah tatanan sosial sesuai dengan apa yang seharusnya. Karenanya, manusia yang sejati adalah subyek bukan obyek. Sebagai subyek manusia bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau yang mungkin menindas.9 Dengan filsafat manusia yang demikian dia merumuskan formulasi pendidikannya sendiri dengan paradigma “belajar bersama dengan ” bukan “belajar diperuntukkan bagi”. Bagi dia, pendidikan adalah proses humanisasi yang berarti pembebasan , bukan penguasaan, pendidikan juga merupakan pemerdekaan bukan penjinaan.10 Tampaknya dia sangat terpengaruh oleh Gramsci dengan konsep hegemoni. Salah satu tesis yang popular dari dia adalah bahwa ilmu pengetahuan sangat mungkin menjadi ideologis dalam arti menjadi ideological apparatus dari jaring-jaring kekuasaan.Media yang ampuh untuk menancapkannya adalah melalui pendidikan. Oleh karenanya, perlu ada sebuah media pendidikan yang mampu “menelanjangi” ideological apparatus itu dengan caracounter hegemony. Dalam konteks counter hegemony inilah konsep pendidikan Poulo Freire dapat dipahami.11 Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa proses pendidikan Friere adalah usaha memanusiakan kembali manusia. Gagasan ini adalah antitesa dari konsep pendidikan yang menjadi ajang hegemoni dan menjadi bagian dari jaring-jaring ideologis kekuasaan yang menindas. Dengan pilihannya itu, kemudian, ia menjelaskan lebih lanjut teori sosial dengan mengkategorikan kesadaran manusia menjadi tiga: pertama, kesadaran magis, yaitu suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu menjelaskan kaitan 9 Ibid 10 ibid. hlm. 41 11 Mansur Fakih, Sesat Pikir….op.cit. hlm. 29-30
Keterkaitan dengan penjelasan tersebut, kalau kita tilik paradigma-paradigma pendidikan Paling tidak ada tiga paradigma pendidikan, pertama, paradigma konservatif; kedua, paradigma liberal; dan ketiga, paradigma kritis. Paradigma konservatif mempunyai asumsi bahwa perubahan sosial tergantung pada agensi. Kemiskinan, kebodohan adalah salah manusia sebab banyak manusia yang berusaha bekerja keras agar dapat menjadi kaya.Paradigma ini cenderung menyalahkan subyek jika dia bodoh, malas, atau miskin tanpa melihat struktur yang ada. Paradigma liberal cenderung mengisolasi pendidikan dari proses perubahan sosial. Pendidikan dinilai netral. Perubahan pada pendidikan hanya diorientasikan pada modernisasi dengan asumsi bahwa semakin canggih infrastruktur dan manajemen pendidikan maka dengan sendirinya akan menghasilkan out put pendidikan yang bagus pula. Meski mengklaim pendidikan adalah bebas nilai, tidak memihak serta obyektif, pendidikan liberal ini pada 12 ibid. hlm.31-34
kenyataannya mengafirmasi struktur sosial yang penuh persaingan; siapa yang kuat dia yang menang, sedangkan yang lemah dia yang kalah.Pilihan paradigma ini didasarkankan pada teori fungsionalisme-struktural yang memposisikan pendidikan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai yang ada tanpa harus berurusan dengan kenyataan sosial yang ada disekitarnya.Sedang paradigma kritis berasumsi bahwa pendidikan sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial.Kenyataan sosial obyektif terepresentasikan dalam pendidikan.Pendidikan menurut paradigma ini harus diarahkan pada pembebasan manusia dari segala belenggu yang mereduksi kemanusiaannya.13
Yang pertama, keduanya sepakat bahwa ilmu adalah alat untuk
perubahan, akan tetapi karena berbeda cara pandang tentang perubahan sosial maka arah perubahan yang diciptakan berbeda.” Dari dua aliran besar tentang perubahan sosial ini secara eksplisit terdapat tiga hal¸ pertama, nilai guna ilmu, kedua, arah perubahan yang dinginkan melalui pendidikan dan, ketiga, faktor utama perubahan sosial dan implikasinya terhadap paradigma pendidikan.Yang pertama, keduanya sepakat bahwa ilmu adalah alat untuk perubahan, akan tetapi karena berbeda cara pandang tentang perubahan sosial maka arah perubahan yang dicitakan berbeda. Mc Celland berorientasi mendeterminasikan pada manusia sedang Freire mencitakan perubahan struktur melalui pendidikan.Kedua pandangan tersebut 13 Liht Mansur Fakih, dalam “pengantar” Francis Wahono, Kapitalisme…op.cit. hlm.v-vii
Pusaka 17 Jurnal September - Desember 2013
antara satu faktor dengan faktor yang lain. Kesadaran ini mengarahkan pada sebab diluar manusia terhadap apa yang menimpa diri manusia itu sendiri. Atau sering ia sebut teori sosial fatalistik. Kedua, kesadaran naïf.Kesadaran ini tumbuh dari teori sosial yang hanya melihat “aspek manusia” sebagai faktor perubahan sosial.Jadi ketika menganalisis mengapa masyarakat terpinggirkan dalam sebuah sistem sosial, teori ini manyalahkan manusia sebagai penyebabnya.Karena itu, rekomendasi dari teori ini untuk perubahan sosial adalah pembangunan sumber daya manusia. Ketiga, adalah kesadaran kritis.Kesadaran ini tumbuh dari teori sosial yang mempersoalkan sistem dan struktur sosial sebagai sumber masalah. Pendekatan ini menghindari blaming the victimsdengan menganalisis secara kritis sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana keterkaitannya dengan kenyataan obyektif masyarakat.12
jelas berbeda dengan pandangan dunia pesantren dalam melihat pendidikan dan perubahan sosial. Tradisi pesantren secara tegas menekankan bahwa ilmu adalah alat.Sebagaimana ditemukan dalam kitabta’lim muta’limyang menyatakan bahwa ilmu adalah wasilah untuk menjadi pribadi yang takwa serta memperoleh kebahagiaan hakiki yang abadi.14 Dalam Ihyaditegaskan bahwasanya hanya dengan ilmulah manusia akan dapat memposisikan dirinya sebagai mestinya. Membicarakan konsep pendidikan pesantren dengan perubahan sosial tidak mungkin melepaskan membicarakan eksistensi manusia itu sendiri, sebab ilmu pada dasarnya inhern dengan penciptaan manusia.
Jurnal Pusaka 18 September - Desember 2013
Pertanyaan pertama, bagaimana pesantren memandang?Mengapa ia ada dan apa tugasnya? Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan eksistensi manusia sebagaimana berikut : : “Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba (beribadah) kepadaku”15Eksistensi kehambaan ini sudah ditegaskan dalam perjanjian primordial antara manusia dengan Allah sebelum terlahir kedunia. “ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu hendak mengembangkan dari anak cucu Adam, yakni dari benih-benih mereka( umat manusia), kemudian Tuhan meminta mereka menjadi saksi (dan bersabda), ‘Bukankah Aku ini 14 Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muata’lim, (Surabaya: Mahkota, tt.), hlm. 3 15 Al-Qur’an surat Al-dzariyat ayat 56 Dalam menjelaskan pengertian ayat tersebut, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa eksistensi kehambaan manusia tidak akan sempurna jika manusia itu tidak memiliki kesadaran ilahiyyah dan kesadaran ubudiyah. Kesadaran ilahiyah adalah kesadaran tentang eksistensi Allah sebagai rab bagi alam semesta.Kesadaran ini meniscayakan adanya penolakan Tuhan selain Allah; tidak ada yang berkuasa selain Allah; tidak ada yang patut disembah, dipuja dan dipuji selain Allah. Sedang kesadaran ubudiyah adalah kesadaran akan kewajiban manusia untuk menghamba atau mengabdi hanya kepada Allah. Manusia harus mengerti posisinya sebagai makhluk yang harus patuh kepada Khaliknya. Karenanya, kesadaran akan posisinya inilah kemudian ketaqwaan seseorang dapat diukur kualitasnya, hal ini sesusai dengan pengertian takwa itu sendiri sebagaimana berikut, Lihat Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-din Juz III (Surabaya : Hidayah, tt.), hlm 4
Tuhanmu sekalian?’ mereka menjawab,’ Ya, benar, kami bersaksi.’ Maka janganlah kamu kelak dihari Kemudian berkata,’Sungguh kami semua lupa akan perjanjian ini.”16 Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa manusia akan melaksanakan kebenaran sesuai perintah Allah dan menjauhi kemunkaran. Karena itu, secara potensial manusia mempunyai kecenderungan (hanif) pada kebenaran, kebaikan dan kesucian.Inilah pangkal kerinduan yang manusia akan menjadi tenang ketika dapat memperolehnya.Demikian pula sebaliknya, ketentraman dan kedamaian akan hilang jika dia menghamba kejahatan, kepalsuan dan kekejian.17 Dengan potensi kearah kebenaran inilah Allah menjadikan manusia sebagai wakil Allah (khalifah). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.18 Sebagai khalifah atau wakil, tentu ada beban yang ditanggung. Inilah yang dinamakan istikhlaf dari Allah yang dibebankan kepada manusia yang berupa syari’ah.Istihlaf ini berkaitan dengan relasi manusia dengan Allah dan relasi dengan sesama makhluk.19 Secara ringkas, tugas
16 QS: Al-a’raf :172 17 Khalifah pada dasarnya adalah melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikan maupun sesudahnya. Dengan demikian, khalifah Allah adalah mengganti Allah atau melaksanakan perbuatan atas nama Allah. Allah selalu dikaitkan dan dijadikan rujukan oleh manusia dalam berbuat.Sebab perbuatan manusia adalah cerminan dari perbuatan Allah, sifat manusia harus juga mencerminkan sifat Allah. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan cet. (xi) (Bandung: Mizan, 1998) 52-53 18 QS: Al-Baqarah :30 19 Syari’ah ini berupa perangkat peraturan yang
Dengan kata lain, hanya dengan
ilmu manusia akan mampu mengemban amanah dari Allah sebagai khalifah. Penjelasan diatas secara tersurat menegaskan bahwa eksistensi kekhalifahan manusia bisa tegak hanya dengan ilmu. Gambaran jawaban Allah terhadap keraguan malaikat dengan menyuruh Adam mendemonstrasikan pengetahuan yang telah diajarkan oleh Allah membuktikan hal tersebut. Dengan kata lain, hanya dengan ilmu manusia akan mampu mengemban amanah dari Allah sebagai khalifah. Kemudian, diatas juga sudah dijelaskan bahwa tugas manusia adalah mengabdi pada Tuhan dengan menegakkan tauhid dan membawa kebaikan dibumi. Kedua tugas ini tidak bisa dipisahkan.Artinya, tugas al-ishlah fi al-ard adalah manifestasi dari ketauhidan manusia.Dengan demikian, seorang manusia mempunyai tugas-tugas sosial yang berakar pada nilainilai abadi yang bersifat transendental.Pediberikan Allah kepada manusia untuk dapat dilaksanakan agar manusia tidak tersesat kejalan yang salah. Atau dengan kalimat yang lebih terperinci istikhlaf ini dapat diungkapkan dengan pernyataan sebagaimana berikut; apa tugas dan tanggung jawab manusia dalam berhubungan dengan Allah; apa tugas dan tanggung jawab manusia terhadap sesamanya; dan apa tugas dan tanggung jawab manusia terhadap alam. 20 Lihat Q:S At-Tin :4-6, lihat juga Q:S Al-A’raf: 56 21 Q:S. Al-Baqarah: 31-34
rubahan sosial yang dilakukan selalu terkait dan harus disinari dengan nilai-nilai ketauhidan yang menjadi orientasi serta arah perubahan sosial yang dilakukan. Untuk menjelaskan orientasi perubahan sosial yang diidealkan oleh Islam kita harus mengerti tentang visi sosial Islam sendiri.Perbedaan memahami visi inilah yang kemudian mengakibatkan perbedaan manifestasi keberagamaan yang muncul. Dalam beragama, paling tidak ada tiga kecenderungan: pertama, kecenderungan mistikal (solitary); kedua, profetik-ideologikal (solidarity); dan ketiga, humanis fungsional.Kecenderungan pertama lebih menekankan hubungan personal-individual antara manusia dengan Tuhannya. Puncak dari beragama yang mistikal adalah bersihnya hati sehinga tercipta hubungan yang intim antara dirinya dengan Tuhan.Tuhan adalah sosok Kekasih yang sangat didamba cinta dan kasih sayang-Nya. Sedang yang kedua cenderung menekankan misi agama, maka tidak heran jika komitmen keberagamaan model ini seringkali diartikulasikan melalui aset politik atau ekonomi dalam pelataran praktek sosial, terutama kekuasaan politik. Sedang kecenderungan ketiga titik tekannya penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan agama.Beragama dalam model ini adalah bereksistensi untuk memunculkan kemanusiaan dirinya yang sejati. Satu hal yang musti dicatat bahwa pembedaan kategorisasi ini adalah persoalan aksentuasi bukan pemilahan secara kaku. Dengan pemilahan yang demikian kita akan mencoba melihat watak sejati Islam. Berkaitan dengan hal itu, bagi Hasan Hanafi, watak sosial Islam adalah revolusioner yang membawa misi pembebasan manusia. Lebih lanjut, ulama asal Mesir ini menyatakan bahwa semua tradisi agama mempunyai semangat revolusi. “Agama adalah revolusi sejati dan nabi adalah revolusioner pembaharu sejati”. Ibrahim adalah cermin revolusi akal dan revolusi
Pusaka 19 Jurnal September - Desember 2013
manusia sebagai khalifah adalah menegakkan aqidah dengan memerangi kekufuran dan kemusyrikan serta melakukan ishlah atau perbaikan dimuka bumi dan memerangi atau bertindak terhadap kemungkaran yang terjadi.20 Sebagai modal bagi khalifah ini, Allah membekali manusia dengan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan inilah manusia lebih unggul dari pada makhluk lain, bahkan malaikat dan iblis diminta Allah untuk menghormati Adam sebab keunggulan ilmu pengetahuan itu.21
tauhid melawan berhala-berhala. Musa adalah pemimpin revolusi melawan otoritarianisme Fir’aun. Isa adalah imam revolusioner pembebasan ruh dari dominasi materialisme. Dan Muhammad adalah pemimpin sejati kaum papa dalam melawan kaum borjuis Quraisy. Kemudian dia juga menegaskan ruh dari agama adalah pembebasan manusia yang ditandai dengan kemandirian akal dan kemampuan meningkatkan derajat progresifitasnya sendiri. Ringkasnya, dalam bahasa Abdurrahman Wahid, pemikiran humanitas Hassan Hanafi ditopang pendekatan pengintegrasian wawasan keislaman kaum muslimin dalam upaya menegakkan martabat manusia melalui upaya pencapaian otonomi individu bagi masyarakat; penegakan kedaulatan hukum; penghargaan HAM dan penguatan masyarakat. 22
Islam sangat potensial untuk membangun peradaban yang damai dalam pengertian yang luas. Dari uraian singkat itu jelas watak sosial Islam yang demikian radikal dalam membela nilai-nilai kemanusiaan. Nilai humanitas inilah, menurut Nurcholis Madjid, yang menjadi inti dari Islam. Dia menjelaskan Islam adalah agama fitri yang berarti Islam adalah agama kemanusiaan. Jadi jelaslah bahwa watak agama Islam bukan a-sosisal, tetapi sebaliknya mengemban misi sosial yang bermuara pada pembebasan manusia. Pembebasan manusia yang dimaksud adalah melepaskan manusia dari kungkungan nafsu, kemusyrikan dan ketertindasan struktural maupun kultural demi terwujudnya manusia yang sejahtera dan mempunyai spirit ketuhanan yang kuat, atau dalam bahasa agama Islam menjadi Insan Kamil.
Jurnal Pusaka 20 September - Desember 2013
Senada dengan ... dengan mempertimbangkan kompatibilitashal tersebut, Asghar Ali Enginer membangun nya dengan fungsi manusia sebagai khalifah, ilmu teologi pembebasan23 dan pendidikan dalam Islam tidak bebas nilai. Ia sebagai refleksi komitmen keimanan dan harus diarahkan untuk kebaikan manusia dan kejujuran intelektual. Lebih lanjut ia menyaalam sekitarnya (ishlah fil-ard). takan nabi Muhammad dengan petunjuk Allah membangun formulasi sosial baru yang Karena itu, dari uraian tentang fillebih adil dan tidak eksploitatif serta mesafat manusia dan visi sosial Islam diatas, nentang oligarki yang menumpuk kekaada dua poin penting yang dapat ditarik yaan dan kekuasaan ditangan segelintir sebagai kesimpulan. Pertama, dalam kaiorang tannya dengan manusia sebagai hamba, Keduanya memiliki kesamaan beilmu dan pendidikan tidak boleh menrangkat dari konsep tauhid yang dijadikan inggalkan nilai-nilai transendental. Hal weltanschaung dalam memandang keini berbeda dengan apa yang terjadi pada hidupan. Dengan konsep Tauhid24 inilah modernisasi dari Barat ketika pengeta22 Hasan Hanafi “Kiri Islam” Dalam Kazuo huan menjadi bebas nilai sehingga yang Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dn didapati dari hasil pendidikan adalah Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hannafi, cet. III (Yogyakarta: LKiS, 1997) produk kebudayaan yang lepas kendali 23 Menurut Asghar teologi pembebasan adalah dari moral agama, dengan ideologi sekusuatu teologi yang meletakkan tekanan berat pada larismenya, seperti yang kita lihat saat kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi dan menolak keras penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia atas manusia. Lihat, Asghara Ali Engineer, Islam dan Pembebasan (Yogyakarta : LKiS, 1993), hlm. 80 24 Bagi
Hassan
Hannafi
maupun
Asghar
konsep tauhid bukan hanya konsep vertikal tetapi juga membutuhkan penerjemahanan dalam realitas sejarah. Keduanya mempunyai pendirian bahwa konsep tauhid adalah sumber dari peradaban Islam.
Berkaitan dengan poin yang pertama, pendidikan spiritual harus menjadi bagian integral dengan poin kedua. Artinya, integralisasi keilmuan antara pendidikan spiritual dengan bidang studi lain --apapun bidang studinya-- harus terjadi. Implikasinya, jika belajar matematika, maka harus ada penghayatan akan nilai spiritualitas,jaditidak bebas nilai. Begitu seterusnya pada mata pelajaran yang lain. Dampak berikutnya, segala ilmu yang digunakan dalam mengeksplorasi alam untuk kepentingan manusia juga harus didasari nilai spiritualitas yang tentu akan lain ceritanya dengan apa yang terjadi pada revolusi industri yang menjadi pintu masuk modernisasi di Eropa. Ada nilai spiritualitas yang menjadi arah modernisasi. Kerusakan yang tidak perlu akibat kerakusan manusia tidak akan terjadi. Kemudian, menyangkut peran sosial Islam, pendidikan pesantren yang harus ditampilkan adalah Islam yang kritis dan progresif bukan yang fatalistik ala Jabariyah. Sejarah harus lebih banyak ditentukan dan dirubah oleh manusia dan produknya yang berupa sistem dan struktur sosialnya. Keberagamaan yang antroposentris dalam hal ini menjadi pilihannya. Hal ini senada dengan ayat Al-Qur’an sebagaimana berikut : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…. (Ar-Rad 8) Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa, dalam pandangan Islam, perubahan sosial harus mengarah pada memposisikan fungsi manusia secara benar sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba manusia dituntut mempunyai kesadaran
transendental yang berpusat pada konsep tauhid, penghambaan hanya untuk Allah, manusai berasal dan kembali pada-Nya (konsep sangkan paran). Dampak turunannya, sebagai khalifah manusia dituntut memelihara dan menggunakan alam semesta seperlunya dengan tidak boleh merusak, sebagaimana kehendak Allah. Dan yang terakhir, sebagai makhluk sosial, seperti yang telah diuraikan pada visi sosial Islam diatas, maka manusia dituntut untuk menegakkan keadilan dengan cara membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan Out put pendidikan pesantren dengan demikian adalah sebagaimana yang disebut al-Ghazali sebagai ulama al-akhirah. Ulama al-akhirah adalah lawan dari ulama al-dunya (ulama al-su’) yang ilmunya diarahkan untuk memperoleh kenikmatan duniawi dan menjadi wahana untuk pengukuhan status sosial (hubb aljah). Tentang outputpendidikan pesantren, mari kita renungkan apa yang dituliskan Imam Nawawi dalam kitabnya Qomi’u al-Thughyan yang salah satu babnya berisi tentang “ilmuan akhirat” (Ulamaal-akhirah) atau ilmuan yang tidak hanya berorientasi dunia saja, sebagai idealtype kaum terdidik ala pesantren, berikut diantaranya: a. Tidak mempunyai kecenderungan mencintai dunia b. Konsisten atau mempunyai sifat integralistik antara nilai yang diyakini dengan sikap dan tindakan yang diambil. c. Siap menjadi barisan terdepan dalam memperjuangkan nilai yang diyakini, serta akan mengambil jarak terhadap nilai yang bertentangan. d. Tidak menjadikan ilmunya menjadi “kosmetik” (dalam bahasa sekarang untuk meningkatkan status sosial atau sejenisnya). Baginya ilmu harus diarahkan pada medan perjuangan hidup. e. Tidak sembarang melontarkan statemen dan mengumbar perdebatan yang tidak berguna,
Pusaka 21 Jurnal September - Desember 2013
ini. Kedua, dengan mempertimbangkan kompatibilitasnya dengan fungsi manusia sebagai khalifah, ilmu dan pendidikan dalam Islam tidak bebas nilai. Ia harus diarahkan untuk kebaikan manusia dan alam sekitarnya (ishlah fil-ard).
f. Hidup dalam kesederhanaan, qana’ah serta bersahaja. g. Menjaga independensi dibelentara jaring-jaring kekuasaan. h. Siap menjadi pelopor gerakan yang transformatif jika terjadi ketidakadilan ditengah masyarakat. 25 C. Pesantren dan Perubahan Sosial dalam Lintasan Sejarah Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia. Menurut Agus Sunyoto, Menjelang akhir Majapahit, pesantren-pesantren yang menggantikan asrama dan dukuh Syiwa-buddha telah tumbuh berkembang menjadi lembaga pendidikan tempat siswa menuntut ilmu. 26 Menurut Abdurrahman Wahid pesantren adalah lembaga yang diambil dari sistem mandala, lembaga pendidikan pra Islam di jaman Majapahit. 27
Jurnal Pusaka 22 September - Desember 2013
Sejak awal pendiriannya, pesantren telah memainkan peran penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Peran yang paling utama adalah mulusnya penerimaan Islam oleh masyarakat Indonesia. Nilai-nilai universal Islam yang disampaikan dengan pemahaman sosiokultural masyarakat adalah kunci keberhasilan pesantren dalam berdakwah. Para Wali, sebagai juru dakwah yang note bene adalah pendiri awal pesantren, melakukan strategi asimilasi religio-sosio kultural yang merupakan kunci sukses dakwah Islam. Hal itu terjadi pada seperempat pertama abad 15. Sebenarnya, Islam sejak abad 9 Masehi Islam sudah didakwahkan di Indonesia. Menurut Agus Sunyoto, para pendakwah Islam ini selalu berakhir dengan terbunuh. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Sultan Al-Gabah (nama daerah dekat Samarkand-pen) dari negeri Rum 25 Muhammad An-Nawawi, Qomi’u At-Tughyan (Surabaya : Shohabat Ilmu, tt), hlm 18-19
26 Agus Sunyoto, Pasang Surut Pesantren Dalam Sejarah, makalah tidak dipublikasikan 27 Abdurrahman Wahid, Pesantren dan Pengembangan Watak Mandiri, dalam “Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren (Jogjakarta : LKiS, 2001), hlm. 91
mengirim 4000 keluarga muslim untuk mengislamkan Jawa. Tetapi semua tewas terbunuh. Sultan mengirim lagi 2000 keluarga, tetapi semuanya tewas terbunuh. 28 Asimilasi sosio-kultural yang dilakukan adalah membumikan Islam sesuai budaya setempat, mengislamkan anasir Hindu, memanfaatkan ajaran Kapitayan. Mendirikan lembaga pendidikan seperti asrama syiwa-budha –yang nanti disebut pesantren--, mengubah ajaran Bhairawa-Tantra dan mengubah kebiasaan dan tradisi keagamaan. 29 Perkembangan yang luar biasa terjadi sejak kebangkitan kerajaan Demak. Pesantren kemudian menjadi satu-satunya lembaga pendidikan para putra raja, saudagar, dan pejabat keraton. Pesantren menjadi tempat para tokoh dan pimpinan masyarakat dipersiapkan. Dari didikan pesantren ini kemudian lahir tokoh-tokoh politik seperti Raden Fattah, Sultan Adiwijaya, Sultan Agung, Patih Jugul Muda, Pangeran Kajoran, Sultan-sultan Yogyakarta, raja-raja Surakarta, raja-raja Mangkunegaran, Sultan-sultan Banten, Sultan-sultan Cirebon dan sebagainya. Bahkan produk-produk hukum seperti KUHP Demak (Angger Surya Ngalam), KUHP Pajang (Jugul Muda), KUHP Mataram (Angger Pradata Dalem dan Anggerbiru) lahir dari rahim tradisi pesantren. Demikian juga dibidang ilmu pemerintahan dan karya-karya metafisika dan sastra. . 30 Prestasi besar pesantren dalam mencetak tokoh dan intelektual ini sangat mempengaruhi perubahan sosio-kultural masyarakat Jawa khususnya dan nusan28 Agus Sunyoto, Walisongo dan Islamisasi Jawa Dakwah Islam Cina – Campa Dalam Budaya Islam NusantaraMakalah disampaikan pada Seminar Internasional “Cheng Ho, Walisongo dan Muslim Tionghoa Indonesia di masa lalu, kini dan esok” di Gedung Jatim Expo Surabaya, 26-27 April 2008. 29 Upaya-upaya tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut : menamkan tempat sholat dengan langgar, shaum dengan puasa (apuwasa), sholat dengan sembahyang (Sembah Hyang, bahkan nama Allah seringkali diganti dengan Hyang Widi dan sebagainya. Lihat ibid 30 Ibid
Peran sosial pesantren yang sangat besar ini kemudian sedikit demi sedikit dipersempit karena masyarakat Indonesia diperkenalkan dengan pendidikan system sekolah oleh kolonial Belanda. Kebijakan Belanda yang membutuhkan tenaga kerja terampil dari pribumi Pada era selanjutnya, sampai Indonesia merdeka menghasilkan kebijasistem sekolah inilah yang kemudian diakomodasi kan politik etis yang salah satunya adalah menjadi sistem pendidikan nasional dan nasib menyelenggarakan dan mengontrol penpesantren menjadi bagian diluar sistem. didikan. Pendidikan yang diakui adalah pendidikan yang dibawah kontrol BelanPada tahun 1509 Portugis datang ke da. Pesantren yang sejak mula mempunyai Malaka. Sadar akan niat buruk Portugis tradisi perlawanan terhadap Belanda denRaja Malaka mengusir bangsa Eropa tersegan sendirinya tidak diakomodasi dalam but. Namun pada tahun 1511 Portugis sistem ini. Pada era selanjutnya, sampai kembali dengan kekuatan kurang lebih 1. Indonesia merdeka sistem sekolah inilah 200 tentara. Singkatnya, setelah pertemyang kemudian diakomodasi menjadi puran sengit berlangsung Malaka jatuh sistem pendidikan nasional dan nasib peke tangan Portugis31. Dengan kesadaran santren menjadi bagian diluar sistem. geo-politik dan ekonomi yang tinggi kerajaan Demak menyadari keberadaaan bahaMemasuki masa kemerdekaan, ya tentara Portugis tersebut, maka dengan meskipun pesantren berada diluar sistem pasukan yang dipimpin Pati Unus, Demak pendidikan nasional, akan tetapi peran menyerang Malaka. Meskipun kalah, kesosial pesantren tidak bisa disepelekan. simpulan yang bisa dipetik adalah tradisi Studi-studi yang ada tentang pesantren perlawanan terhadap kolonialisme diawali menunjukkan bahwa pesantren berkonoleh orang-orang pesantren. Tradisi pertribusi besar dalam membangun manusia lawanan terhadap kolonialisme ini nanti Indonesia. Pendidikan yang dilakukan akan terus dipelihara oleh orang-orang serta gerakan sosial, kultural bahkan pesantren, seperti Pangeran Diponegoro. ekonomi telah terbukti membawa banyak Bahkan pada era paska kemerdekaan, manfaat bagi masyarakat. Para era Orde dalam mempertahankan kemerdekaan Baru program-program pemerintah sepRepublik Indonesia, KH Hasyim Asy’ary erti, pajak, kependudukan, pertanian, dsb, mengeluarkan Resolusi Jihad yang menye- banyak memanfaatkan jaringan pesantren. babkan pecahnya peristiwa 10 November Bahkan kalangan pesantren berjasa besar yang diperingati sebagai hari Pahlawan dalam dialog ideologi yang menghasilkan Indonesia. Peran pondok pesantren dalam diterimanya Pancasila sebagai ideologi perjuangan memperoleh kemerdekaan tunggal pada era pertengahan delapan RI juga tidak bisa dianggap sebelah mata. puluhan. Banyak laskar-laskar yang berasal dari pesantren: seperti laskar Hizbullah dan D. Konstruksi Sosial Kontemporer : AnSabilillah. caman dalam pendidikan 31 M. C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 3233
Ada satu kata yang cukup menjelaskan konstruksi sosial saat ini, yakni glo-
Pusaka 23 Jurnal September - Desember 2013
tara pada umumnya. Islam benar-benar menjelma sebagai kekuatan kultural yang mengilhami tatanan sosial politik masyarakat. Peran ini terus berlanjut sampai era kolonialisme.
balisasi. Apapun kenyataan sosial hari ini hampir mustahil lepas dari keterkaitannya dengan globalisasi. Globalisasi adalah nama lain dari liberalisme. Liberalisme ini bisa dipahami dari tiga dimensi, pertama, filsafat sosialnya atau gagasan, kedua, aktor utamanya serta ketiga, dampaknya.
mengalami pergeseran. Yang terjadi selanjutnya adalah komodifikasi atau liberalisasi disemua bidang kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Liberalisasi pendidikan Liberalisasi pendidikan memiliki dua makna. Pertama, kapitalisasi pendidikan. Lembaga pendidikan tidak hanya berfungsi sosial tetapi juga sebagai pelipat ganda kapital. Salah satu cara kerja komodifikasi bidang pendidikan adalah menghilangkan subsidi dalam bidang pendidikan. Beralihnya status perguruan tinggi menjadi BHMN adalah salah satu bukti kebijakan negara yang sejalan dengan dogma neoliberal yang anti subsidi
Jurnal Pusaka 24 September - Desember 2013
Mansur Faqih menyatakan bahwa globalisasi pada dasarnya adalah salah satu fase perjalanan panjang dari kapitalisme liberal. Yang secara teoritis dikembangkan oleh Adam Smith. 32Teori Adam Smith ini mempunyai asumsi bahwa individu mendahului masyarakat. Asumsi yang dibangun adalah jika hendak mencapai kemakmuran masyarakat maka individu diberi hak untuk mengejar kepentingannya. Jika Yang musti dipikirkan oleh pesantren hak individu telah terpenuhi secara otomatis adalah apakah strategi tersebut mempunyai daya kesejahteraan masyartahan perjuangan yang panjang, atau justru akat akan terpenuhi. Keputusan individu mendegradasi peran moral dan kultural yang tersebut akan diarahkan dan diharmonikan selama ini menjadi khittah peasantren dalam oleh invisible hand. perjuangannya? Smith dan pengikutnya percaya hanya dengan jaminan kebebasan Kedua, pendidikan diukur dengan individu kesejahteraan dapat diwujudkan. nilai-nilai kapitalistik baik dalam proses Sifat altruis sejauh mungkin disingkirkan maupun outputnya. Muncul kesadaran sebab akan menganggu kompetisi yang umum bahwa lembaga pendidikan yang sehat. 33 baik adalah lembaga pendidikan yang Teori ini pada bidang ekonomi melsesuai dengan asumsi-asumsi produk dari ahirkan kapitalisme atau neoliberalisme ideologi dominan hari ini (kapitalisme). yang mempunyai tiga ajaran pokok : priHal ini terjadi tidak hanya pada pengelola vatisasi; deregulasi dan pencabutan subsipendidikan tetapi juga pada pandangan di sosial. Sedangkan pada bidang politik masyarakat. Hal inimenggoda pesantren melahirkan demokrasi prosedural dan untuk ikut menjadi bagian. Sehingga visi dilema demokrasi. Dilema demokrasi ini utama peantren menjadi terancam. berkaitan dengan konsep kedaulatan. LaModernisasi yang dilakukan oleh nehirnya pemerintahan global memaksa ada gara telah membawa pesantren dalam popergeseran makna kedaulatan yang semsisi dilematis. Jika tidak mengikuti sistem ula rakyat atau warga negara pemegang yang digariskan negara maka pendidikan kedaulatan penuh kini kekuatan eksternal pesantren “tidak diakui”. Akan tetapi jika juga dapat mengintervensi kebijakan nemasuk ke dalam sistem tersebut, identitas gara. Dengan demikian fungsi negara juga dan karakteristik pesantren kemungkinan 32 Mansur Faqih, op. cit. 211 33 Khudori, Neoliberalisme Menunpas Petani, akan terdegradasi. (Jogjakarta : Resist Book, 2004), hlm. 16
Pesantren akhir-akhir ini juga terpancing ikut masuk pada proses-proses politik praktis. Yang musti dipikirkan oleh pesantren adalah apakah strategi tersebut mempunyai daya tahan perjuangan yang panjang, atau justru mendegradasi peran moral dan kultural yang selama ini menjadi khittah peasantren dalam perjuangannya. Liberalisasi politik ini mengancam pengkerdilan pesantren yang menempatkannya hanya sebagai legitimasi politik kalangan tertentu. E. Peran Strategis Pesantren dalam Perubahan Sosial Di Indonesia. Perubahan sosial di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor. Akan tetapi arah global perubahan sosial di Indonesia tidak bisa dilepaskan penjelasan tentang globalisasi yang telah dipaparkan diatas. Penjelasan berikut ini adalah upaya menterjemahkan nilai-nilai normatif pendidikan yang ada dalam tradisi pesantren untuk diwujudkan kedalam kenyataan sosial sebagai respon dari perubahan sosial yang terjadi. Secara singkat dapat dirumuskan Totalitas kehidupan pesantren adalah merupakan pendidikan bagi semuacivitasnya. Keterkaitan antara pendidikan dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari menjadi ciri khas pesantren yang tidak mungkin dinafikan. Oleh karena itu membicarakan peran strategis pesantren dalam perubahan sosial harus juga meninjau fungsi-fungsi pesantren dalam dinamika sosial dimasyarakat. Dan sebagaimana diterangkan diatas bahwa dalam pandangan pesantren
keterkaitan pendidikan dan perubahan sosial menharuskan pendidikan mampu mengarahkan manusia pada fungsi dan kedudukan manusia secara benar sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba manusia dituntut mempunyai kesadaran transendental yang berpusat pada konsep tauhid, penghambaan hanya untuk Allah, manusai berasal dan kembali pada-Nya (konsep sangkan paran). Dampak turunannya, sebagai khalifah manusia dituntut memelihara dan menggunakan alam semesta seperlunya dengan tidak boleh merusak, sebagaimana kehendak Allah. Dan yang terakhir, sebagai makhluk sosial, seperti yang telah diuraikan pada visi sosial Islam diatas, maka manusia dituntut untuk menegakkan keadilan dengan cara membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Untuk mengemban hal tersebut peantren harus menterjemahkan kedalam tiga fungsi sosialnya yang ketiganya adalah melekat dan tidak bisa dipisahkan, ketiganya tersebut adalah : (1) sebagai institusi keilmuan. Peantren pada dasarnya adalah Sebagai institusi ini pesantren hendaknya memperhatikan keterangan Imam Al-Ghazali dalam membagi ilmu pengetahuan dengan ilmu syari’ah dan ghoiru syari’ah,ilmu syari’ah dihukumi fardlu ain dan ghoiru syari’ah hukumnyafardhu kifayah, selama tidak tergolog ilmu madzmumah. Dari pembagian ini dapat disimpulkan bahwa core bussines pesantren adalah ilmu syari’ah, dan pesantren musti memikirkan pengembangan keilmuannya kearah ilmu ghoiru syari’ah la maszmuamah tanpa meninggalkan core bussines-nya. Untuk melakukan hal tersebut ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pesantren : (a) harus mempertahankan tradisinya. Pendidikan pada pesantren kuat dan terbukti menghadirkan kontribusi yang riel dimasyarakat jika memegang teguh tradisinya. Tradisi pesantren berakar pada dua hal, pertama, peng-
Pusaka 25 Jurnal September - Desember 2013
Ancaman berikutnya adalah penyandaran hidup hanya pada kesenangan duniawi yang menjadi buah dari kultur kapitalisme adalah gambaran umum budaya masyarakat kita hari ini. Jika masyarakat sebagai penyangga utama pesantren sudah dirasuki kultur yang demikian dikhawatirkan jika pesantren tidak kuat bisa jadi ia akan menjadi bagian dari kultur ini.
Jurnal Pusaka 26 September - Desember 2013
etahuan hati, kedua, pengetahuan akal. Epistemologi dari dua tradisi ini serta cara memperoleh atau metode pendidikannya juga berbeda. Pengetahuan hati ini mencakup pada intinya adalah ilmu suluk untuk menuju pada Tuhan. Pendidikan ilmu hati ini tidak cukup hanya formal, akan tetapi panduan langsung yang terus menerus bahkan sampai kapanpun dari seorang kyai kepada santrinya. Sebab keterkaitan yang bersifat transendental antara santri dan kyai ini kemudian pesantren dapat membentuk jaringan sosial yang kuat dan berbeda dengan lembaga pendidikan manapun. Sedang pengetahuan akal mencakup fikih, ilmu alat dan ilmu-ilmu yang diinginkan pesantren untuk mengembangkannya. Penjelasan dan watak yang harus dikembangkan dalam keilmuan pada poin ini tercakup pada poin yang kedua berikut ini. (b) Terbuka dan Kritis. Sebagai lembaga yang mengembangkan keilmuan sudah menjadi keharusan bagi pesantren untuk mengembangkan tradisi ilmiah. Salah satu tradisi ilmiah adalah bersikap terbuka terhadap tradisi keilmuan yang selama ini dianggap bukan tradisi keilmuan pesantren. Apakah wujud keterbukaan ini dengan membangun sekolah-sekolah? Tidak ada yang salah dengan pembangunan sekolah-sekolah selama tujuan utamanya buka terbawa arus kecenderungan sebagaimana dipaparkan di atas yaitu liberalisasi pendidikan serta sistem pendidikan yang dikooptasi negara. Kritis adalah mampu menjaga jarak dari semua nilai dan ideologi sehingga dapat membentuk subyektifitas diri. Untuk membangun sikap kritis di sini maka harus dimulai dengan pembekalan tentang pengenalan diri sebagai kalangan pesantren yang memiliki keunikan yang kaya serta pengetahuan tentang cara berpikir kritis, plus pengetahuan tentang ideologi-ideologi lain bersama dengan kelebihan dan kekurangannya. Hal ini seiring dengan sikap terbukanya yang mesti dimiliki pesantren. Progresif adalah menterjemah-
kan pengetahuan menjadi daya dorong perubahan yang diinginkan. Dengan demikian dalam pesantren mustinya juga diajarkan tentang sejarah masyarakat, sejarah pengetahuan dan ideologi serta ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu pendukung bagi peran pesantren baik sebagai pencetak kader-kader pelopor keagamaan maupun sebagai lembaga keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Dengan daya dukung ilmu-ilmu tersebut maka dapat diharapkan pesantren dan para alumninya menjadi sholih fi kulli zaman wa makan. (2) Sebagai institusi keagamaan. Tidak seperti IAIN yangdiharapkan oleh Amin Abdullah34 hanya sebagai lembaga keilmuan an sich, sebuah lembaga yang hanya melukan pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian masyarakat, lebih dari itu pesantren sudah semustinya menjadi lembaga keagamaan. Lembaga keagamaan yang dimaksud adalah lembaga yang menghidupkan dan mengembangkan agama sehingga pesantren bukan hanya lembaga keilmuan yang berposisi menjadi “pengamat” akan tetapi aktor pembangunan keberagamaan masyarakat. Menjadi lembaga keilmuan sekaligus menjadi lembaga keagamaan bukanlah hal yang dilematis sebagaimana yang dikhawatirkan Amin terhadap IAIN, sebab watak keilmuan pesantren memang bukan keilmuan yang berada di menara gading. Pendidikan dipesantren diarahkan utamanya untuk pembentukan watak yang langsung dipraktikkan dalam kehidupan. Ilmu dipesantren adalah ilmu untuk menjalani hidup, karenanya proses pendidikan dipesantren tidak bisa disamakan dengan pendidikan yang berorientasi ijazah. Lama santri dalam menghabiskan pendidikanpun tidak dibatasi, semua diserahkan pada santri tentang kecukupannya memperoleh ilmu dari pesantren. 34 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 104-105
- Al-Ghozali
Pesantren dalam dalam perjalanannya harus merupakan lembaga keagaamaan yang menginkubasi masyarakat dengan ajaran Islam yang mncerminkan watak Islam sebagai agama rahmata lil alamin. Pesantren paling tidak tetap menjadi rujukan moral masyarakat. Watak sub-kultur pesantren wajib dipertahankan. Peran ini sungguh sangat penting disaat serbuan nilai dan ideologi baru yang bersifat merusak, baik yang datang dari ajaran Islam sendiri ---seperti ideologi radikal para teroris--- maupun dari nilai-nilai sekuler—seperti hedonisme, dsb. Kepemimpinan keagamaan pesantren tidak boleh Mengembangkan keagamaan yang progesif. Tumbuhnya media dikalangan pesantren --baik cetak maupun elektronik— adalah salah satu perwujudan dari idealitas ini. Pesantren perlu memikirkan pemanfaatn teknologi, perkembangan sosial kultural masyarakat untuk mempromosikan nilai-nilai pesantren agar diterima oleh masyarakat luas. Strategi asimilasi sosio-kultural walisongo bisa dijadikan contoh bagus untuk diterjemahkan secara kreatif pada era sekarang. (3) Sebagai istitusi sosial kemasyarakatan. Pesantren lahir dari masyarakat dan berjalan seiring dinamika perkembangan masyarakat, sehingga pesantren tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Sebagai institusi sosial masyarakat pesantren mempunyai konsep dakwah. Dalam konteks ini konsep dakwah diperluas menjadi sebuah usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh dari perwujudan ini salah satunya adalah yang dilakukan oleh pesantren Maslakul Huda di Pati. Agar usaha-usaha yang dilakukan benar-benar transformatif dan tidak sekedar karitatif, perlu pengetahuan tentang sejarah sosial, baik masa lalu saat ini maupun yang akan datang. Sehingga dapat dirumuskan secara jelas problem makro maupun mikro masyarakat yang ujungnya dapat dilakukan usaha-usaha memecahkan problem masyarakat dengan tepat. Dalam Ihya’ Ulumiddindisebutkan : “Seseorang tidak akan sampai pada derajat yang mulia kecuali dengan ilmu dan amal, dan tidak akan pernah sampai pada amal tanpa ilmu tentang bagaimana cara amal itu dilakukan”35 Dari statemen Al-Ghazali tersebut, pesantren sudah seharusnya mempelajari bagaimana membantu masyarakat akan kebutuhan-kebutuhannya. Hal itu terkait erat dengan pengetahuan sejarah makro baik politik, ekonomi sosial budaya, menejemen, dsb, untuk mendukung peran-peran sosial dari pesantren. 35 Al-Ghazali, op. cit. hlm. 13
Pusaka 27 Jurnal September - Desember 2013
“Seseorang tidak akan sampai pada derajat yang mulia kecuali dengan ilmu dan amal, dan tidak akan pernah sampai pada amal tanpa ilmu tentang bagaimana cara amal itu dilakukan”
PENUTUP A. Kesimpulan Dari keterangan di atas dapat di simpulkan sebagai berikut : 1. Secara normatif, pendidikan pesantren mempunyai keterkaitan erat dengan perubahan sosial. Pendidikan peantren harus mampu mengarahkan manusia pada fungsi dan kedudukan manusia secara benar sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba, manusia dituntut mempunyai kesadaran transendental yang berpusat pada konsep tauhid, penghambaa nhanya untuk Allah, manusia berasal dan kembali pada-Nya (konsep sangkan paran). Dampak turunannya, sebagai khalifah manusia dituntut memelihara dan menggunakan alam semesta seperlunya dengan tidak boleh merusak, sebagai mana kehendak Allah. Dan yang terakhir, sebagai makhluk sosial. Seperti yang telah diuraikan pada visi sosial Islam di atas, manusia dituntut untuk menegakkan keadilan dengan cara membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan.
Jurnal Pusaka 28 September - Desember 2013
2. Sejak awal pendiriannya, pesantren telah memainkan peran penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Pendidikan pesantren membuktikan telah menghasilkan ulama terkemuka dengan berbagai disiplin ilmu, baik agama, politik dan pemerintahan, sastra, filsafat, dan sebagainya. Sejak diperkenalkan system sekolah dan modernisasi lembaga pendidikan, pesantren disingkirkan dalam system pendidikan nasional. Meskipun demikian, peran social pesantren dalam proses berbangsa dan bernegara tidak bias dianggap remeh. Penerimaan Pancasila sebagai ideology tunggal bangsa Indonesia adalah salah satu contoh kontribusi pesantren dalam hal ini. 3. Peran pesantren dalam perubahan social dapat dilakukan pesantren dengan tiga fungsinya; yakni (a) sebagai lembaga keilmuan; (b) sebagai lembaga keagamaan; dan (c) sebagai lembaga social keagamaan. Sebagai lembaga keilmuan, core business pesantren adalah ilmusyari’ah. Pengembangan ilmu ghoiru syari’ah dilakukan harus tanpa mengorbankan core bussines-nya. Sebagai lembaga keagamaan, pesantren dituntut untuk
menginkubasi masyarakat dengan ajaran Islam yang mencerminkan watak Islam sebagai agama rahmatanlilalamin. Pesantren, paling tidak, tetap menjadi rujukan moral masyarakat. Watak sub-kultur pesantren wajib dipertahankan. Sedangkan sebagai lembaga social kemasyarakatan, pesantren dituntut benar-benar transformative dan tidak sekedar karitatif. Pesantren perlu mengenal pengetahuan tentang sejarah sosial, baik masa lalu, saat ini, maupun yang akan datang. Dengan demikian dapat dirumuskan secara jelas problem makro maupun mikro masyarakat yang ujungnya dapat dilakukan usaha-usaha memecahkan problem tersebut dengan tepat. B. Saran dan Harapan Tugas utama pesantren adalah mencetak ulama yang sesusungguhnya dalam arti kader-kader pelopor berbasis agama. Dengan orientasi yang jelas tersebut, maka pesantren tidak mudah terombang-ambing oleh tawaran semu dari segala system pendidikan lain yang berbeda orientasinya. Dengan demikian pesantren dapat terhindar dari menghasilkan ulama tukang yang justru menggunakan ilmu agamanya serta gelar yang disandangnya sebagai ulama—sebagai alat untuk meraih hal-hal yang sifatnya duniawi. Pesantren juga perlu mempertimbangkan untuk memperkuat ilmu-ilmu pendukung. Di samping tradisi keilmuan yang khas pesantren, ilmu-ilmu pendukung juga harus secara intensif dikenalkan di pesantren. Pengenalan tersebut tidak harus diberikan secara formal tapi bisa melalui jalur-jalur informal seperti halaqah-halaqah lepas. Di samping itu, salah satu yang mendesak dilakukan adalah pengembangan perpustakaan menjadi lengkap, tradisi akademik, dan pengenalan ilmu-ilmu sosial yang diorientasikan pada pencetakan ulama terutama yang berkenaan dengan konteks masyarakat sekitar, seperti pengetahuan tentang globalisasi dan segal aefeknya serta ideologi-ideologi yang efeknya terasa sampai di jantung pesantren dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah,Amin,Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan cet. (xi),Bandung: Mizan, 1998
Alvin dan Heidi Toffler, Menciptakan Peradaban Baru: Politik Gelombang Ketiga (Yogyakarta: Ikonteralitera, 2002).
Hasan Hanafi “Kiri Islam” Dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dn Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hannafi, cet. III, Yogyakarta: LKiS, 1997 Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan,Yogyakarta: LKiS, 1993 Muhammad An-Nawawi, Qomi’u AtTughyan,Surabaya : Shohabat Ilmu, tt.
Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998), hlm. 28
Agus Sunyoto, Pasang Surut Pesantren Dalam Sejarah, makalah tidak dipublikasikan
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994
Abdurrahman Wahid, Pesantren dan Pengembangan Watak Mandiri, dalam “Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren,Jogjakarta: LKiS, 2001
Musadda Alwi “Gerakan Mahasiswa dan Civil Society: Menapak Jalan Panjang Strategi Kebudayaan” dalam jurnal Tradem edisi kedua, Juni-Agusuts 2001 Lihat juga Mansur Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi cet (i), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Roem Tomatipasang dkk, Belajar daari Pengalaman : Panduan Latihan Pemandu Pendidikan Orang Dewa untuk Pengembangan Masyarakat, cet. (ii),Jakarta : P3M, 1990 Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muata’lim, Surabaya: Mahkota, tt. Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-din Juz III,Surabaya: Hidayah, tt.
Agus Sunyoto, Walisongo dan Islamisasi Jawa Dakwah Islam Cina – Campa Dalam Budaya Islam NusantaraMakalah disampaikan pada Seminar Internasional “Cheng Ho, Walisongo dan Muslim Tionghoa Indonesia di masa lalu, kini dan esok” di Gedung Jatim Expo Surabaya, 26-27 April 2008. M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1993 Khudori, Neoliberalisme Menunpas Petani, Jogjakarta: Resist Book, 2004
Pusaka 29 Jurnal September - Desember 2013
Mansur Fakih “Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan” dalam “Pengantar” buku Francis Wahono Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan cet. (II),Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
REORIENTASI PEMAHAMAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH Oleh: Nur Qomari
Jurnal Pusaka 30 September - Desember 2013
Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Indonesia dibedakan menjadi empat: pesantren, majlis ta’lim, madrasah, dan lembaga akademik (perguruan tinggi). Masing-masing kelembagaan tersebut tentunya memiliki karakteristik sesuai dengan porfermen masing-masing. Pesantren merupakan lembaga yang mengembangkan ilmu-ilmu keislaman paling tua di Indonesia, yang hingga kini masih eksis sesuai dengan model pembelajaran kyai pengasuh yang sekaligud penguasa tunggal masingmasing dan tetap dibuthkan oleh masyarakat dimana pesantren berada. Model pembelajarannya mengikuti karakter kyai-nya dan kyai-nya mengikuti kyai-nya begitu seterusnya. Majlis ta’lim merupakan lembaga yang sifatnya non formal, dengan tujuan utama mensosialisasikan pendidikan agama Islam di tengah-tengah masysrakat. Sementara Madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang berusaha mengkompromikan sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan Nasional dengan misi utama memadukan pengetahuan agama dan pendidika umum yang nota bene diasumsikan bersumber dari negara barat. Sedangkan perguran tinggi Islam merupakan lembaga akademik yang misi utamanya mencetak intelektual muslim.
Pendidikan Agama Islam saat ini di sekolah sedang menghadapi tantangan yang cukup serius, sebagaimana upaya pemerintah menyelenggarakan pendidikan agama pada semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan yang semuanya itu mendapatkan apresiasi posisitif dari berbagai pihak. Orientasi pendidikan Agama Islam di Sekolah adalah untuk mencetak hamba Allah di muka bumi ini menjadi khalifah fi al-ardl sekaligus untuk lebih memberikan penajaman potensi fitrah manusia secara maksimal menuju kedewasaan intelektual (intellectual ability), kematangan emosional (emotional ejurity). Kata Kunci : Reorientasi, Pendidikan Agama Islam, tarbiyah
Pemerintah mewajibkan penyelenggaraan pendidikan agama pada semua strata pendidikan yang sekaligus merupakan bentuk kesadaran bersama mencapai kehidupan manusia yang kaffah, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 dan amanat Tap MPR Nomor:II/MPR/1993 tentang GBHN yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah hendak meningkatkan kualitas manusia Indonesia Indonesia; yaitu: berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, trampil, disiplin, etos kerja kuat, profesional, bertanggungjawab, produktif serta sehat jasmni rohani. Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah selama ini terfokus hanya pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) yang itu semua lebih pada masalah pendidikan bukan pengajaran, sehingga masalah charakter building terabaikan. Karenanya masalah yang sering muncul di akhir proses pembelajaran siswa sering terjadi rendahnya kualitas lulusan dan rendahnya peradaban (civility) di masyarakat pada umumnya. Sehingga tidak heran kalau sampai detik ini pendidikan belum sepenuhya mampu mencetak manusia-manusia yang beradab dengan kecerdasan yang cukup. Akhir-akhir ini sudah banyak kritikan-kritikan yang dialamatkan pada penyelenggara pendidikan mulai tingkat sekolah sebagai pelaksanakan kebijkan pendidikan dan pemerintah yang memproduknya tentang praktek destruktif anak muda yang menandakan gagalnya pendidikan agama di sekolah. Perilaku destruktif pola pikir, sikap, perilaku sehari-hari anak muda yang merambah hampir belahan Indonesia memang tidak serta merta terproduk dari penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah, tetapi juga diakibatkan oleh
perkembangan teknologi yang semakin menggelobal. Tetapi sinyalemen keformalan yang masih menjadi issu di masyarakat itu cukup beralasan bahwa pendidikanlah yang dipercaya sebagai lembaga yang paling berkompeten dan berprestasi untuk menginstal kepribadian anak bangsa masa depan lebih baik, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 45, TAP MPR Nomor: II/MPR/1993 dan UU Nomor 2 tahun 1989 tentang sisdiknas, pendidikan agama di sekolah telah memperolah tempat yang layak dalam pembangunan karakter bangsa (nation caracter building).1 Pemetaan lebih jauh ruang lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam konteks pembelajaran yang lebih mementingkan budi pekerti luhur, moral yang baik, mental spiritual yang sejati harus lebih dipertajam lagi dalam kurikulum tertulis (written curriculum) maupun kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Secara sempit Pendidikan Agama Islam dimaknahi sebagai pelajaran yang dibedakan dengan pendidikan umum mainnya. Selama ini yang terjadi, terdapat kekeliruan pragmatig di lembaga pendidikan kita, yaitu siswa diperankan sebagai student (muta’allim) yang pasif daripada learner (murid atau thalib) yang cenderung aktif. Ketika siswa dipahami sebagai student, maka implikasinya guru puas hanya mengajarkan hal-hal yang abstrak dari pendidikan agama dan lepas dari persoalan riil di masyarakat. Pendidikan Agama Islam yang diajarkan cenderung tercabut dari akar-akar historis dan kehidupan praktis manusia dan lepas dari prolmematika kehidupan kemanusiaan. Akhirnya pendidikan Agama Islam di sekolah, meminjam istilah Djohan Effendi,2 tidak lagi membuahkan elan vital (gairah hidup) dan tidak memunculkan kekuatan batin (inner force). Sedangkan paradigma learner (murid 1 Mujahid AK, Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Umum” dalam Edukasi, Volume 2, April – Juni 2003, hal. 45. 2 Djihan Effendi, “Konsep-konsep Teologis,” (jakarta: Paramadina, 1994), cet ke 1 hal. 54.
Pusaka 31 Jurnal September - Desember 2013
A. Pendahuluan
atau thalib) dalam konteks pendidikan meniscayakan aktifitas siswa yang kreatif dan produktif, sehingga guru hanya menjadi fasilitator yang mengarahkan siswa sesuai dengan kompetensinya masing-masing, melayani, membimbing, membina dan menginstal dirinya sebagai konsultan akademik yang piawai mengantarkan siswa ke gerbang keberhasilan. Maka dengan demikian mutlaq harus dilakukan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam secara integral, diharapkan dengan mengoptimalkan Pendidikan Agama Islam mata pelajaran yang lain dapat berjalan sesuai dengan rencana pembelajaran sebelumnya.
toleran terhadap perkembangan sosial budaya. Kadang sering kita dengar sebuah pertanyaan, benarkan Islam memiliki konsep pendidikan? Karena sebagaian orang mengatakan bahwa Islam dalam hal pendidikan hanya mengadaptasi dan mengadopsi sistem pendidikan dari lingkungan yang dihadapinya sebagaimana disampaikan Sayyed Hosain Nasr (1981). Sementara Abdul Fttah Jalal (1977) dengan konsep “ta’lim”3 dalam kitab Ta’limul Mutaallim, dia menyatakan bahwa semua itu adalah hasil dari konsep pendidikan islam. Ahmad Syalaby mengetakan bahwa kata ta’lim berorientasi pada masalah pendidikan dan pengajaran, sementara tarbiyah merupakan konsep pendidikan Islam yang relevan dengan perkembangan modern yang diperkenalkan berbarengan dengan bergulirnya pembaharuan dalam Islam pada abad XX M.
Jurnal Pusaka 32 September - Desember 2013
Kalau boleh jujur apa yang dicita-citakan oleh penyelenggara pembelajaran PAI di sekolah adalah siswa dapat mentradisikan praktek dan perilaku keagamaan yang di kalangan siswa khususnya dan semua warga sekolah pada ... paling tidak konsep ideal pendidikan PAI umumnya, maka untuk mengacu pada cita-cita terse- harus bisa diarahkan pada kerangka manajemen but, maka tentunya sistem profesional baik dari sisi perencanaan, strategi, pembelajaran PAI harus dismetodologi, dan evaluasinya. empurnakan mengacu pada prinsip “terbentuknya masyarakat yang berpredikat belajar” (leaner Sasaran Pendidikan Agama Islam ada society). Reformulasi model (desain dan dua. Pertama, mendidik manusia supaya strategi) pembelajaran PAI sesungguhnya menjadi hamba Allah dan wakil Allah di bagaimana mengintegrasilan ilmu-ilmu muka bumi. Kedua mendidik manusia umum dengan ilmu agama dalam satu agar menumbuhkembangkan kelengkapan ranah, memang kalau kita lihat sudah dasar dan fitran manusia secara maksimal banyak buku-buku yang ditulis yang isinya menuju kedewasaan intlektual (intlektual bagaimana menciptakan pembelajaran ability) dan kematangan emosional (emoPAI di sekolah yang efektif. Namun detional ability). Pernyataan ini sebetulnya mikian munculnya buku ini penulis hanya mengarah pada konsep ideal Pendidikan ingin memberikan masukan yang lebih Agama Islam (PAI). Makna pendidikan praktis yang bisa dibaca kerangka metoddifahami sebagai usaha untuk memenuhi ologisnya dan diharapkan pembaca bisa kebutuhan anak didik, memuaskan minatterbuai untuk membacanya. nya, menghormati kepribadiannya, dan memberikan kesempatan untuk berkembang dengan baik dan mampu beradabtasi B. Sasaran Pendidikan Agama Islam dengan lingkungannya diserta penyejian Islam merupakan agama yang lentur materi yang baik pula. Sistem pendididan mampu mengakomodir semua tuntutkan moderent bertumpu semua kepada an hidup dan kehidupan manusia di muka 3 Abdul Fattah Jalil, “Min Usul al-Tarbiyah fi al-Islam (Mebumi dalam bahasa lain Islam adaptif dan sir al-Markaz al-Duwali li-al-Ta’lim 1977), hal 12.
Kalau dilihat fitrah masing-masing siswa, maka titik tekan Pendidikan Agama Islam (PAI) harus berdasarkan kemampuan masing-masing siswa yang tentunya juga mnemiliki karakter serta kepribadian masing-masing. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikatakan dengan jelas bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengarah pada perkembangan manusia seutuhnya (lahir dan bathin). Allah menyatakan “dan orang-orang mengatakan, “Ya Tuhan kami, anugrahkan kepada kami pasangan dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa” (Qs. Al-furqa, 25, 74) ungkapan ayat al-qur’an tadi mengisaratkan kita untuk bekerja yang kompak dan harmonis. 1. Permasalahan pengajaran PAI Masalah prinsip dan mendasar yang terjadi akhir-akhir ini adalah komunikasi antar sesama yang kurang harmonis, dan lemahnya apresiasi ajaran ahlak.5 Karena dipengaruhi oleh keyakinan masing-masing yang bersifat subjektif. Memaknai Islam sebagai agama yang mengemban misi utama rahmatan lil-alamien dan konteks PAI kiranya perlu terus ditradisikan kepada siswa, dengan demikian fitrah 4 Ahmad Barizi dan Syamsul Arifin, “Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi (Malang, UMM Press, 2001), hal 146. 5 A. Qodri Azizy,0p. cit., hal 63.
islam sebagai agama yang bersifat universal mengakui adanya pluralitas (kemajmukan) ditingkat pemikiran, etika, budaya, dan prespektif keagamaan. Oleh karena itu agama yang menolak pluralitas sebenarnya akan membelenggu dan membatasi diri sendiri dan akhirnya menjadi kerdil dalam lingkup pergaulan dunia. Mengajari siswa untuk bersikap baik terhadap sesama sebetulnya merupakan inti dari ajaran humanisme Islam. Pemahaman keagamaan yang universal diharapkan dapat menumbuhkan pola didik yang baikbagi pengembangan potensi kecerdasan siswa, semisal pola didik yang salah di kelas ialah siswa merasakan semua aktifitasnya dipaksa, seperti warna sepatu harus sama, bahkan perilaku beragamapun harus sama satu siswa dengan yang lain, mereka hampir tidak memiliki ruang untuk ekspresi diri. Sayangnya wacana yang berkembang selama ini bahwa PAI yang bersifat indoktrinatif dengan mengedepankan isi dan muatan materi daripada proses dan metodologinya. Transisi PAI yang mengedepankan formalisasi akan membawa siswa menjadi tertutup dan kaku dalam pergaulan sosialnya. Untuk menanggulangi kesalahan doktrinal tersebut, kiranya teori Blom masih relevan untuk ditekankan kembali pada pembelajaran PAI, antara lain, pertama, aspek kognitif dapat dilakukan dengan proses tranmisi ilmu agama sebanyak-banyaknya kepada siswa. Termasuk dalam kecakapan ini diantaranya adalah evaluasi, analisis, aplikasi, pengertian dan pengetahuan agama itu sendiri. Kedua, aspek afektif dengan mengedepankan tranformasi dan internalisasi nilai-nilai agama daripada tranmisi kognitif semata. Ketiga, aspek psikomotorik dengan upaya lebih menekankan kemampuan/ kecakapan siswa untuk dapat menumbuhkan motivasi dalam diri sendiri sehingga mampu menggerakkan, menjalankan, dan mengaktualisasikan ajaran agama yang lebih tertanam pada dirinya.
Pusaka 33 Jurnal September - Desember 2013
siswa, siswa sebagai objek dan kutub aktif yang menggambarkan akhir keberhasilan proses pembelajaran, sementara guru di kutub yang pasif. Dengan istilah lain keberhasilan atau kualitas pengajaran banyak ditentukan oleh siswa, semakin mampu menampilkan ketrampilan, dan pemahamannya, maka akan semakin jelas titik keberhasilan sistem pengajaran tersebut, begitu juga sebaliknya, paling tidak konsep ideal pendidikan PAI harus bisa diarahkan pada kerangka menejemen profesional baik dari sisi perencanaan, strategi, metodologi, dan evaluasinya.4
2. Membangun pribadi yang berfikir posisitif Dalam Al-Qur’an surat al-Zumar Allah membedakan orang yang berilmu dan yang tidak berilmu, orang mempunyai ilmu niscaya akan banyak melakukan aktifitasnya sesuai dengan keilmuan yang dimiliki. Muhammad Abduh (w. 1905 M) menegaskan bahwa suatu bangsa akan disinari oleh cahaya ilmu mereka niscaya semua jalan akan terbuka lebar, mereka memberikan solusi terhadap permasalahan kehidupannya dengan jelas. Bahkan dengan ilmu, bangsa akan menjadi istemewa, karena maju mundurnya bangsa di dunia ini tergantung pada tingkat keilmuan masyarakat bangsa tersebut.6
reflect atau refleksi, dalam bahasa indonesia mengandung makna merenung yang tentunya suatu kegiatan mengingat kembali. Atau sering kali diinterpretasikan bahwa berfikir itu harus diimbangi dengan berdzikir akan terexpresi pada kebenaran yang sesungguhnya.7 Terbentuknya komunitas pelajar senantiasa dikaitkan dengan tiga hal, antara lain; tradisi, peran, dan konteks. Interaksi ketiga hal tersebut melahirkan seorang pribadi yang memiliki kemampuan disiplin ilmu cukup, maka peran PAI dalam menciptakan pribadi yang ilmuan perlu dengan metodologi pembelajaran yang membawa pada pembiasaan, pemeranan dan penciptaan lingkungan kegamaan yang yang kaffah.
Jurnal Pusaka 34 September - Desember 2013
Kewajiban menuntut ilmu berati merupakan keharusan membangun masyarakat Akhir-akhir ini aroma religius di negara Indonesia pembelajar (learner socienyaris hilang karena godaan globalisasi abad ke ty) yang akan memuncul21 yang luar biasa. Penyebab utamanya adalah kan “revolusi pemikiran keagamaan” yang secara meterialisasi yang dianggap segalanya dalam esensial akan mewujudkehidupan manusia. kan “revolusi kebudayaan” yang menyeluruh. Dalam Al-Qur’an, komunitas pembelajar disebut Ciri khas masyarakat belajar sebagai Ulul Albab yang diilustrasikan beberapa insan pengabdi kepada Allah yang utuh kali dalam Al-Qur’an mengesankan sedebanyak detentukan dengan dua hal, yaitu mikian penting mancari ilmu. dzikir dan fikir yang dalam Al-Qur’an disebut Ulul Albab. Peran fital orang tua Makna yang lebih jelas dari kata ulul sebagai mitra pengajar di rumah haralbab nampak pada surat Ali Imran ayat us semakin diberdayakan, karna kalau 189-190, orang senantiasa sibuk berdzikir dihitung satu kali 24 jam siswa di sekolamengingat Allah SWT sambil duduk, han maksimal 8 jam, sementara 16 jam berdiri maupun berbaring dan sibuk merbersosialisasi di lingkungan keluarga enungkan ayat-ayat Allah SWT di langit masing-masing. Maka ketika seorang dan di bumi waktu siang dan malam. pelajar gagal dalam mengaplikasikan Terdapat dua hal yang cukup fundamental ilmunya, itu bukan semata kesalahan guru dalam mendefinisikan ulul albab, yaisebagai tenaga pendidik, tetapi andil orang tu dzikir dan fikir, menyebutkan dzikir tua juga sanga menentukan. Kesimpulanterlebih dulu berarti derajatnya lebih nya, keberhasilan peserta didik, terutama tinggi dari pada fikir. Dua kata itu secara dalam pelajaran PAI ditentukan seberapa implisit dalam Al-Qur’an sebetulnya saling kuat jalinan atau kerja sama antara guru melengkapi satu dengan yang lain. Kata dan orang tua, dalam istilah lain, strategi Fakkara sering diterjemahkan dengan to dan metode pembelajaran PAI di sekolah 6 Muhammad, “Imarah, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh (bairut: Al-Mu’assash al-Arabiyah li harus mampu memuaskan akal siswa, al-Dirasaat wa al-Nasr, 1980) juz III cet. Ke 2, hal 25.
7 Ibid, hal. 111-112.
C. Reaktulasisi Makna PAI di Sekolah
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan rencana cermat agar peserta didik dapat belajar, mau belajar, terdorong belajar, dan tertarik untuk melekukan proses pembelajaran dalam memperdalam agama Islam baik sebagai ilmu pengetahuan, mapun sebagai pola perilaku keseharian, sehingga mendapatkan pengetahuian pola perilaku Agama Islam yang benar di tengah-tengah masyarakat.
Nilai-nilai keluhuran budaya, kejujuran, kesersamaan, pengorbanan pernah mewarnahi pola perilaku bangsa Indonesia dimasa-masa dulu hal tersebut sering diaktualisasikan dengan istilah gotong-royong. Akhir-akhir ini aroma religius di negara Indonesia nyaris ... karena selama ini yang terjadi hilang karena godaan globalisPendidikan Agama Islam hanya dilihat dari asi abad ke 21 yang luar biasa. sisi ilmu pengetahuan saja, yang penting Penyebab utamanya adalah meterialisasi yang dianggap segalanya siswa mampu dalam memahaminya sudah dalam kehidupan manusia. Itu cukup, ... semua kalau diruntut karena Proses pembelajaran sebetulnya gagalnya pelaksanaan pembelajaran PAI merupakan konsep bagaimana mendi sekolah akibat ada pergeseran pemagoptimalkan siswa agar tergerak dalam haman tentang eksistensi PAI di sekolah. mengekpresikan kemampuan dirinya, Maka pertanyaannya sekarang, bagaimaterutama dalam Pendidikan Agama Islam na seharusnya sistem pendidikan agama (PAI) di sekolah, karena selama ini yang di sekolah disampaikan, sehingga dapat terjadi Pendidikan Agama Islam hanya dimemberikan makna yang sidnifikan bagi lihat dari sisi ilmu pengetahuan saja, yang pengembangan sikap dan perilaku siswa penting siswa mampu dalam memahaminyang posisitf. ya sudah cukup, sementara bagaimana 1. Strategi Pembelajaran PAI di Sekolah pengetahuan agama itu sebisa mungkin Dalam kamus besar Bahasa Indomempengarui pola perilaku dalam kenesia kata “strategi” diartikan sebagai hidupan sehari-hari tidak menjadi titik “rencana yang cermat mengenahi kegiatan tekan di lembaga pendidikan. Sebagaimauntuk mencapai sasaran khusus”,8 sedanna diungkapkan di muka bahwa dalam gkan pembelajaran adalah “proses, cara pemahaman pendidikan Islam dikenal tiga menjadikan makhluq hidup sebagai insan istilah yang terkait dengan pendidikan, pembelajar”9 berangkat dari pengertian tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Istilah tarbiyah tersebut, maka dapat dipahami bahwa mengacu pada “proses pembinaan dan “strategi pembelajaran” adalah rencana pengarahan bagi pembentukan kepribayang tepat, cermat untuk membantu dian dan sikap mental” sedangkan kata proses belajar-mengajar dalam mencapai ta’lim mengesankan proses tranfer ilmu tujuan yang sudah ditatapkan sebelumnya. (pengarahan),11 sementara konsep yang Atau dapat diartikan sebgai “pola umum lebih dekap dengan pembelajaran adalah kegiatan guru dan siswa dalam melakkata ta’dib. sanakan kegiatan belajar mengajar untuk Berdasarkan tiga istilah tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.10 sudah jelas bahwa pendidikan mengacu 8 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakrta: Balai Pustaka, 1993) Edisi 2, Cet, ke 2 hal. 964. 9 Ibid., hal. 99-100. 10 Fadhilah Suralaga, Strategi Pembelajaran (Jakarta: Makalah pada Workshop “Model Pembelajaran PAI di SMU” (PPSDM UIN Jakarta, tgl 2 Oktober 2003)
11 Mastuki HS, “Problem dan Alternatif Pengembangan Pembelajaran Agama pada Jenis dan Jenjang Pendidikan Islam”. (Jakarta: Makalah pada Orientasi Guru MTs se Indonesia Direktorat Mapendais Departemen Agama RI Kerja sama Dengan Pusat Mutu Pendidikan, Jakarta tanggal 17-19 September 2003.
Pusaka 35 Jurnal September - Desember 2013
artinya bisa membangkitkan kesadarannya melalui sentuhan emosional siswa.
kepada sebuah proses pembentukan atau pengarahan dari orang kepada dirinya sendiri yang mencakup pengembangan aspek pengetahuan, skill, sikap, mental atau kepribadian dan moral atau etika. Karena bersentuhan dengan aspek pengembangan sikap, moral, dan kepribadian, maka pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah saat ini sarat dengan nilai.12 Sebagaimana sifat pendidikan nilai mempunyai muatan yang bersifat kognitif, efektif, dan psikomotorik. Pendidikan Agama Islam memuat sejumlah prinsip-prinsip dasar yang harus disampaikan kepada siswa, meliputi dimensi keyakinan, peribadatan, pengalaman dan dimensi penghayatan dan dimensi pengetahuan.13 Ada tiga langkah strategis yang perlu mendapatkan penghargaan dalam perubahan perilaku siswa dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah. Pertama, menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman siswa yang dilaksanakan dengan pre-tes. Kedua, penyampaian materi dan latihan. Mereka mampu menunjukkan kegairahan belajar dan percaya diri yang tinggi. Ketiga, evaluasi pembelajaran yang dilakukan dengan post-tes dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran siswa. 2. Tantangan pendidikan Agama Islam di Sekolah
Jurnal Pusaka 36 September - Desember 2013
Krisis moral yang terjadi di akhir-akhir ini ditumpahkan terhadap gagalnya sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah, lalu kemudian, apakah memang sedemikian rupa adanya? Atau vonis itu sekedar mengesankan bahwa pelaksanaan pembelajaran PAI di sekolah gagal, sementara di madrasah tidak? Bukankah krisis moral bersifat sosiologis, sementara pembelajaran bersifat sistematik? Abdul Mukti isri (2003) mengemukakan dua macam tantangan yang dihadapi pembelajaran PAI, internal dan eksternal. Tantangan internal yaitu 12 Mastuki HS, op. cit. 13 E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. 100.
terkait dengan program, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sistem pembelajaran PAI di sekolah. Sementara tantangan eksternal terkait dengan kemajuan iptek, globalisasi informasi, perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Problematika kegagalan pembelajaran PAI di sekolah umum, begitu komplek. Maka usaha untuk meminimalisir kegagalan tersebut harus dilakukan, ketika guru agama melaksanakan pembelajaran agama islam terhadap siswa, disarankan memperhitungkan kemampuan siswa dari berbagai aspek (akal, emosional, minat, sosial). Yang paling krusial dari problematika pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah umum sesungguhnya terletak pada pelaku (guru dan siswa). Posisi guru di sekolah umum dikelasduakan, meskipun seharusnya menjadi primadona di sekolah. Yang kedua siswa enggan belajar agama, apatis terhadap keadaan buruk yang dihadapinya, pergaulan yang menohok perilaku sosialnya dan penyakit mental lainnya, itu semua ternyata berakibat kesulitan siswa mempelajari pesan-pesan nilai agama yang benar. Menginstal kembali perilaku mental dan sosial siswa yang sedemikian membutuhkan kepiawaian seorang guru. Terdapat kesalahan persepsi dalam memahami guru, guru bukan sekedar penyampai pesan-pesan moral, tetapi justru guru harus berperan sebagai seorang yang mampu mengubah pola pikir, sikap dan perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain seorang guru memiliki tiga tugas terhadap perkembangan sisiwa ke arah yang lebih baik. Pertama, guru agama harus mampu mengkaji akar permasalahan yang mendorong timbulnya perilaku negatif siswa. Kedua, menghindari sikap mengekang, merendahkan, dan menghindari penggunaan cara-cara keras dalam menyelesaikan permasalahan. Ketiga, memberikan sanksi dan reward terhadap siswa dengan bijaksana.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) perlu diulangi kembali agar berangkat dari pemahaman awal sudah bisa mencerminkan, bagaimana tingkat keberhasilan PAI di sekolah bisa dilihat pada out-putnya. Paling tidak pembelajaran PAI di sekolah diorientasikan pada dua hal. Pertama, mendidik manusia supaya menjadi hamba dan Wakil Allah di muka bumi. Kedua, mendidik manusia untuk menjadi pelopor yang mampu menumbuhkembangkan potensi dasar yang fitrah menuju kedewasaan intlektual (intlektual ability) dan kematanagan emosional (emotional majurity). Demikian makalah singkat telah tertulis, besar harapan saya atas saran, kritik untuk kebaikan dan kesempurnaan karya ilmiah ini. Dan mohon maaf manakala terdapat kesalahan, kekhilafan dari berbagai aspek.
Pendidikan Agama Islam memuat sejumlah prinsip-prinsip dasar yang harus disampaikan kepada siswa, meliputi dimensi keyakinan, peribadatan, pengalaman dan dimensi penghayatan dan dimensi pengetahuan.
1. Mujahid AK, Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Umum” dalam Edukasi, Volume 2, April – Juni 2003, hal. 45. 2. Djihan Effendi, “Konsep-konsep Teologis,” (jakarta: Paramadina, 1994), cet ke 1 hal. 54. Ahmad Barizi dan Syamsul Arifin, “Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi (Malang, UMM Press, 2001), hal 146.3. Abdul Fattah Jalil, “Min Usul al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir al-Markaz al-Duwali li-al-Ta’lim 1977), hal 12. 4. Ahmad Barizi dan Syamsul Arifin, “Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi (Malang, UMM Press, 2001), hal 146. 5. A. Qodri Azizy,0p. cit., hal 63. 6. Muhammad, “Imarah, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh (bairut: Al-Mu’assash al-Arabiyah li al-Dirasaat wa al-Nasr, 1980) juz III cet. Ke 2, hal 25. 7. Ibid, hal. 111-112. 8. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakrta: Balai Pustaka, 1993) Edisi 2, Cet, ke 2 hal. 964. 9. Ibid., hal. 99-100. 10. Fadhilah Suralaga, Strategi Pembelajaran (Jakarta: Makalah pada Workshop “Model Pembelajaran PAI di SMU” (PPSDM UIN Jakarta, tgl 2 Oktober 2003) 11. Mastuki HS, “Problem dan Alternatif Pengembangan Pembelajaran Agama pada Jenis dan Jenjang Pendidikan Islam”. (Jakarta: Makalah pada Orientasi Guru MTs se Indonesia Direktorat Mapendais Departemen Agama RI Kerja sama Dengan Pusat Mutu Pendidikan, Jakarta tanggal 17-19 September 2003. 12. Mastuki HS, op. cit. 13. E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. 100.
Pusaka 37 Jurnal September - Desember 2013
D. Penutup
HIBRIDISASI BUDAYA JAWA:
SEBUAH RENUNGAN DALAM
PERSPEKTIF CULTURAL STUDIES Oleh: Mibtadin, M.S.I
Jurnal Pusaka 38 September - Desember 2013
Globalisasi dapat diartikan pula proses homogenisasi nilai. Tata nilai dari berbagai sumber berkontestasi, saling mengisi hingga terjadi hibridasi budaya, tidak terkecuali budaya Jawa. Berangkat dari kegelesihan inilah tulisan ini bertolak. Kegelisahan akan terpinggirkannya budaya Jawa di era borderless ini membawa pada satu pertanyaan apakah budaya Jawa ini bisa survive atau justru akan tergers oleh tatá nilai baru yang mencerabut budaya Jawa dari pemiliknya ? Serta bagaimana strategi kebudayaan yang harus menjadi perhatian Agar budaya Jawa dapat melakukan harmonisasi dengan tat nilai yang lain sehingga menghasilkan manusia Jawa Baru yang tidak kehilangan Kejawaannya sekaligus tidak teralienasi sabagai anggota manusia kesejagatan. Tulisan ini menawarkan pendidikan enkulturasi, yakni pendidikan yang perlu mengorientasikan pembentukan manusia yang berbudaya. Dengan strategi ini manusia jawa perlu dikenalkan cara pandang sampai kesenian sehingga tidak Ada satu komponen ilmu pengetahuanpun yang terlepas dari budaya Jawa. Dengan cara itu proses hibridasi yang menghasilkan manusia Jawa Baru akan terwujud
Keyword : Globalisasi, BUdaya Jawa, enkulturasi
1 M. Waters, Globalization, (London: Routledge, 1995), hlm. 9. 2 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 114.
kita terhadap wacana global tersebut.3 Penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas, sedangkan “intensifikasi kesadaran dunia” secara refleksif dapat dicerminkan secara lebih baik oleh budaya. Paul Hirst dan Grahame Thompson menjelaskan bahwa globalisasi sering diasumsikan sebagai proses menghilangnya garis-garis batas budaya nasional (national culture), ekonomi nasional, dan wilayah nasional yang semakin kabur.4 Dari semua cara pandang di atas, satu hal yang perlu dicatat bahwa globalisasi membawa dampak yang luar biasa terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Salah satu dampak globalisasi yang cukup terasa adalah dalam bidang budaya (culture). Budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan dari pola perilaku yang termanifestasikan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan serta semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia yang mencakup nilai cipta, karsa, dan karya.5 Dalam term Jawa, budaya dapat didefinisikan sebagai “angen-angen kang mbabar kaendahan” ”manunggaling cipta, karsa, lan karya manungso, utawi uwoh pangulahing budi, pakarti lahir adedhasar kaluhuran lan kautamaan, ugi uwohing pakarti bathin nyaket dumateng Gusti kang akarya jagad.” Sejalan dengan itu, David Held menjelaskan budaya adalah bentuk konstruksi sosial (social construction), artikulasi (articulation), dan penyerapan makna (reception of meaning).6 Maka budaya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dari tatanan kehidupan masyarakat, baik politik, ekonomi, sosial, agama maupun aspek lainnya. 3 R. Robertson, Globalization, (London and Newbury Park, CA: Sage, 1992), hlm. 79. 4 Paul Hirst dan G. Thompson, Globalisasi adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 1. 5 http://organisasi.org/arti-definisi-pengertianbudaya-kerja-dan-tujuan-manfaat-penerapannya-padalingkungan-sekitar, diakses pada 12 Mei 2013. 6 David Held, dkk., Global Transformation, (Cambridge: Polity Press, 1991), hlm. 328.
Pusaka 39 Jurnal September - Desember 2013
A. Pendahuluan Tulisan ini berangkat dari kegelisahan (sungkawa) penulis sebagai wong Jawa, merasa terenyuh ketika menyaksikan semakin terpinggirkannya budaya Jawa adiluhung yang disebabkan oleh derasnya arus globalisasi. Globalisasi merupakan fenomena “budaya baru” (new culture), yang kehadirannya tidak akan mungkin untuk dihindari lagi di tengah “global village” (kampung global) dewasa ini. Dengan adanya gelombang globalisasi menjadikan tatanan sistem dunia (world order) tidak menentu, di mana berbagai metafora tentang relasi pasti dan teratur antara aspek ekonomi, politik, sosial serta budaya, akan berubah menjadi relasi yang bersifat kaotis, rizomorfis, dan disjungtif. Dalam era globalisasi, kebudayaan dalam pengertian cultural studies telah memainkan peranan penting dalam ketidakmenentuan situasi dewasa ini. Tema hibriditas, glokalisasi, dan kreolisasi yang dieksplorasi oleh cultural studies berbicara banyak tentang identitas, musik, pemuda, budaya, tari, fashion, food, etnisitas, nasionalitas, bahasa, dan konsep kebudayaan itu sendiri.1 Cultural studies dengan wacana hibriditas dan kreolisasi pada dasarnya mengarah pada satu titik, yaitu homogenisasi budaya (homogencency of culture)—yang diorientasikan pada penghilangan terhadap keragaman budaya (heterogencency of culture). Globalisasi merupakan salah satu dari sekian banyak tema yang diusung oleh cultural studies, yang dipahami sebagai bentuk ekonomi kapitalis dunia, sistem informasi global, sistem negara-bangsa (nation-state), serta orde militer dunia.2 Menurut Robertson, konsep globalisasi mengacu kepada “penyempitan dunia” secara intensif peningkatan kesadaran kita atas dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global (global connection) dan pemahaman
Jurnal Pusaka 40 September - Desember 2013
Budaya merupakan bentuk digolongkan menjadi dua kriteria, perwujudan semua tindakan manusia yaitu (1) masyarakat Jawa berdasarkan dalam mengatasi berbagai persoalan etnis, dan (2) masyarakat berdasarkan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.7 Sedangkan Apabila normativitas budaya Jawa unsur-unsur universal sebuah kebudayaan meliputi tujuh sistem, tersebut dihadapkan dengan globalisasi, yaitu (1) sistem religi, (2) sistem maka adanya arus ini akan mendorong organisasi masyarakat, (3) sistem terjadinya perubahan yang cukup bahasa, (4) sistem pengetahuan, (5) sistem kesenian, (6) sistem mendasar dalam budaya lokal, termasuk mata pencaharian, serta (7) eksistensi budaya Jawa itu sendiri. sitem teknologi dan peralatan. Semua sistem kebudayaan letak geografis. Akan tetapi, jika tersebut terdapat dalam masyarakat dari membincangkan budaya Jawa, maka lebih tingkatan primitif hingga masyarakat bersifat keseluruhan, karena dimanapun dalam tingkatan modern, dan sistem orang Jawa berada maka mereka akan sulit budaya tersebut mengalami dinamika sebagai akibat pergaulan antar masyarakat lepas dari berpikir.10 Apabila normativitas budaya Jawa tersebut dihadapkan dengan pendukungnya dengan kebudayaan globalisasi, maka adanya arus ini akan lain.8 Dengan memperhatikan tujuh mendorong terjadinya perubahan yang sistem budaya tersebut, secara umum cukup mendasar dalam budaya lokal, wong Jawa memiliki karakteristik budaya termasuk eksistensi budaya Jawa itu yang khas sesuai dengan kondisi sosial sendiri. Hal ini dapat dilihat mulai kemasyarakatannya. Secara umum, dari bergesernya pandangan hidup budaya Jawa dapat dibagi menjadi dua, (worldview), identitas sosial (social yaitu (1) budaya lahir, dan (2) budaya 9 identity), dan wujud budaya lainnya batin. Pertama, budaya lahir merupakan dari budaya Jawa di mana telah tergerus segala hal yang terkait dengan kedudukan dengan “budaya baru” (new culture) yang masyarakat Jawa sebagai makhluk ditampilkan oleh cultural studies dengan individu maupun makhluk sosial. Dalam gerbong globalisasi. hal ini budaya Jawa memiliki kaidahkaidah yang dapat dengan mudah Sisi positif yang dapat dilihat dari diindetifikasi berdasarkan ungkapanadanya globalisasi adalah semakin ungkapan budaya sebagai manifestasi mudahnya orang mengakses dengan cepat nilai-nilai budaya yang didukung oleh budaya lain yang notabenenya budaya masyarakatnya. Kedua, budaya batin asing. Hal ini disebabkan adanya faktor berhubungan dengan segala sesuatu strukturalisasi serta pola penjarakan yang terkait dengan persoalan-persoalan (distanciation) ruang waktu proses di yang bersifat supranatural dan kekuatanmana masyarakat akan direntangkan kekuatan adikodrati yang tidak dapat di dalam jangka waktu yang lebih panjang empriskan dan objektifkan. atau lebih pendek. Pun kemudian berbagai budaya di dunia ini dapat berinteraksi Menurut M. Damami, struktur satu sama lain dalam global village, semua sosiologis masyarakat Jawa dapat 7 Muhammad Damami, Makna Agama dalam sistem di dunia menjadi satu, dan dunia Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 7-8. tanpa jarak. Sedangkan dari sisi negatif 8 Dhanu Priyo Prabowo, dkk., Pengaruh Islam dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, (Yogyakarta: Narasi, dari globalisasi, interaksi antar budaya 2003), hlm. 24. 9 Dhanu Priyo Prabowo, dkk., Pengaruh Islam. Ibid., hlm. 25.
10 Muhammad Damami, Makna Agama, Ibid., hlm. 11-12.
B. Globalisasi Budaya dan Identitas Etnisitas Jawa Globalisasi budaya merupakan proses “menjadi globalnya” suatu kebudayaan tertentu. Globalisasi budaya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi maupun juga teknologi transportasi menyebabkan globalisasi budaya dengan mudah terjadi di seluruh belahan dunia. Meminjam istilah Held, menyebut hal tersebut dengan istilah “cultural transmission”—di mana akan sangat mudah terjadi ketika buku, barang, makanan, rekaman, tanda, pesan, ataupun manusia dapat dengan mudah bergerak atau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.11 Cepatnya perpindahan barang, informasi, atau pesan tertentu akhirnya mempermudah terjadinya proses globalisasi budaya tersebut, termasuk terhadap budaya Jawa. 11 Held menyatakan bahwa cultural globalization can also be charted in terms of speed…., at which images or ideas can be communicated from one pllace to another…” David Held, Global Transformation, Ibid., hlm. 329.
Menjamurnya stasiun TV nasional dan lokal ini mengindikasikan perkembangan yang luar biasa dalam bidang komunikasi dan informasi. Perkembangan stasiun TV ini juga menjadi indikasi terjadinya globalisasi budaya, sekaligus menjadi salah satu agen yang juga ikut serta dalam proses terjadinya globalisasi. Di Indonesia sendiri terdapat hampir 3.000 stasiun radio internet,13 serta ribuan stasiun radio lain, baik radio swasta, pemerintah maupun radio komunitas. Di Yogyakarta saja, misalnya, terdapat 46 stasiun radio swasta, dan 32 stasiun radio komunitas.14 Sedangkan di Surakarta sendiri terdapat ada 5 TV lokal, serta puluhan stasiun radio yang sebagai “corong” dari budaya global. Sebagai agen globalisasi budaya, TV dan radio membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia, termasuk budaya Jawa, khususnya dalam proses penyebaran budaya-budaya pop. Dengan hadirnya media komunikasi
12 http://www.asiawaves.net/indonesia-tv.htm, diakses pada 15 Mei 2013. 13 http://tunein.com/radio/Indonesia-r100356/, diakses pada 15 Mei 2011. 14 http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar-stasiunradio-di-DIY, diakses pada 15 Mei 2013.
Pusaka 41 Jurnal September - Desember 2013
(interculture) ini semakin tinggi Sebagai agen globalisasi budaya, TV intensitasnya, maka percampuran dan radio membawa dampak yang budaya (sinkretism) menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari sangat besar bagi masyarakat Indonesia, lagi. Sedikit banyak, suatu budaya termasuk budaya Jawa, khususnya dalam akan diserap oleh budaya lainnya. proses penyebaran budaya-budaya pop. Meskipun demikian, masing-masing budaya tentunya berusaha untuk Kehadiran teknologi komunikasi membentengi dan mempertahankan sangat mempengaruhi terjadinya budayanya agar apa yang menjadi ciri globalisasi budaya Jawa yang pada khas dan identitasnya tidak luntur. akhirnya akan merubah tatanan wajah Arus globalisasi cenderung bersifat dan identitasnya. Sebut saja TV, radio, kosmopolitan, yang akan menyebabkan dan internet memainkan peranan kemurnian identitas (pure identity) suatu penting dalam proses globalisasi budaya budaya menjadi berkurang, dan melalui tersebut. Di Indonesia misalnya, saat ini ruang globalisasi pula budaya dapat ada sekitar 13 stasiun televisi nasional, berinteraksi dengan budaya di lur dirinya. 9 stasiun telivisi yang berjaringan Karena globalisasi juga suatu kebudayaan dengan stasiun televisi lokal, dan ada akan terpenetrasi dengan budaya lainnya, sekitar 13 stasiun telivisi berlangganan.12 seperti halnya budaya Jawa sebagaimana Perkembangan stasiun TV di Indonesia yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. sangat pesat dalam satu dekade terakhir.
Etnisitas bukanlah persoalan perbedaan kultural yang telah ada sebelumnya, melainkan suatu proses pembentukan sekat ...
Jurnal Pusaka 42 September - Desember 2013
tersebut, tentu akan membawa dampak yang luar biasa bagi identitas etnistas, termasuk masyarakat Jawa. Eksistensi identitas etnis Jawa akan mengalami kekaburan, karena tergerus dengan budaya asing yang diimpor melalui berbagai media tersebut. Dalam berbagai literatur, etnisitas merupakan konsep budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik budaya. Terbentuknya “suku bangsa” Jawa adalah bersandar pada penanda budaya yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang secara historis, sosial, politis tertentu, dan yang mendorong rasa memiliki (handarbeni) yang paling tidak, sebagian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Etnisitas dibentuk dengan cara identitas kelompok (groups identity), dan mengindentifikasi diri dengan tanda dan simbol. Etnisitas merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan kategori identifikasi diri dan askripsi sosial. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita tergantung pada apa yang kita pikir bukan bagian dari kita. Jika dikatakan wong Jawa, maka bukan seorang Sasak, Badui, Dani, atau Asmat. Etnisitas dapat dipahami sebagai proses pembentukan sekat yang dikonstruksi dan dipelihara pada sosio-historis tertentu.15 Etnisitas bukanlah persoalan perbedaan kultural yang telah ada sebelumnya, melainkan suatu proses pembentukan sekat dan pemeliharaan tidak berarti bahwa perbedaan semacam itu tidak dapat dikonstruksikan secara sosial di sekitar penanda (signified) yang memang mengandung makna universalitas, teritori, dan kemurniannya, misalnya metafora darah, kekerabatan, dan tanah air.16 15 F. Barth, Ethnic Groups and Boundaries, London: Allen & Unwin, 1969, hlm. 76. 16 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik. Ibid., hlm. 117.
Apabila wacana etnisitas tersebut dikaitkan dengan cultural studies, maka titik temunya pada mempertahankan identitasnya dalam menghadapi globalisasi budaya di mana akan melahirkan dampak yang negatif bagi kebudayaan lokal, misalnya terjadinya culture shock (guncangan kebudayaan), dan juga culture lag (ketertinggalan budaya).17 Namun, banyak pula yang menilai bahwa globalisasi budaya tidak hanya mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat di suatu tempat tertentu, seperti di tengah kehidupan masyarakat Jawa. Kehadiran globalisasi budaya justru dianggap mampu memperkaya kebudayaan lokal melalui bentuk sinkretisme, akulturasi, dan bahkan mampu berintegrasi ke dalam budaya lokal tersebut. Kehadiran globalisasi budaya tidak menghancurkan (destruction) nilai-nilai lokal yang sudah ada, namun membantu nilai-nilai lokal itu untuk dikomunikasikan dengan cara yang lebih baik. Budaya Jawa merupakan hasil berfikir (olah pikir) dan merasa (olah rasa) wong Jawa yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, dan wujud budaya tidak dari situasi di mana suatu budaya tersebut dihasilkan. Setiap budaya akan mengalami perubahan, dan dalil ini berlaku juga bagi budaya Jawa. Seperti terjadinya penyempurnaan sehingga ditemukan adanya perkembangan budaya bangsa-bangsa dunia ini, dari tingkat yang sederhana (little tradition) menuju yang lebih kompleks (great tradition). Dengan terjadinya globalisasi, ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai universal, dan ditemukan pada bangsabangsa yang ada di belahan dunia ini. 17 http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2005/0505/07/khazanah/lainnya04.htm , diakses pada 15 Mei 2013.
C. Hibiridisasi Budaya Jawa
hybrid, yang mengadopsi nilai-nilai yang dianggap baik dari masing-masing budaya, dan meninggalkan hal yang dianggap kurang baik. Proses hibridisasi atau percampuran budaya ini memberikan warna yang luar biasa pada budaya lokal yang ada. Istilah hybrid dalam konteks budaya hamper mirip dan sejalan dengan kandungan makna sinkretisme, intergrasi, dan akulturasi. Lahirnya budaya hybrid merupakan akibat dari terjadinya globalisasi budaya yang dibawa oleh cultural studies. Globalisasi budaya tidak dengan serta merta menghancurkan nilainilai identitas atau instrinsik dari budaya lokal, akan tetapi dijadikan dasar pijakan bagi lahirnya perpaduan budaya yang lebih baik. Globalisasi budaya merujuk pada suatu proses terbentuknya suatu kebudayaan yang jauh lebih baik pada satu sisi, dan “penghancuran” (destruction) budaya lokal pada sisi yang lain. Menurut Hamelink dengan teori sinkronisasi budaya melihat bahwa gejala budaya hybrid ini merupakan bentuk lalu lintas produk budaya masih berjalan satu arah, dan pada dasarnya mempunyai modelyang sinkronik. Artinya, konfrontasi budaya dua arah di mana budaya yang satu dengan budaya yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi, yang kemudian akan menghasilkan budaya yang lebih kaya (kompilasi). Sedangkan konfrontasi budaya searah akan memusnahkan
Globalisasi budaya sebagai sebuah proses utuh dan tak terpisahkan antara satu bagian dengan yang lainnya. Dalam konteks dampaknya terhadap budaya lokal, ada sebagian kalangan yang menilai bahwa globalisasi budaya membawa dampak terhadap terjadinya proses hibridisasi budaya. Secara umum, hibridisasi merupakan sebuah istilah yang lazim digunakan dalam ilmu Kimia Globalisasi budaya merujuk pada suatu maupun Biologi. Dalam kajian Kimia, proses terbentuknya suatu kebudayaan hibidisasi merupakan sebuah konsep bersatunya orbital-orbital atom yang jauh lebih baik pada satu sisi, dan yang kemudian akan membentuk “penghancuran” (destruction) budaya “orbital hybrid” yang baru sesuai lokal pada sisi yang lain. dengan penjelasan kualitatif sifat 19 ikatan atom itu sendiri. Dalam budaya yang pasif dan lebih lemah. Lebih kaitannya dengan budaya, hibridisasi jauh Hamelink menekankan bahwa merujuk pada proses saling mengikatnya apabila otonomi budaya didefinisikan kebudayaan yang satu dengan yang sebagai kapasitas masyarakat untuk lain yang akhirnya membentuk budaya memutuskan alokasi sumber-sumber 18 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 31. dayanya sendiri demi suatu penyesuaian 19 F. Barth, Ethnic Groups and Boundaries, Ibid., diri yang memadai terhadap lingkungan, hlm. 76.
Pusaka 43 Jurnal September - Desember 2013
Dalam proses perubahan budaya, ada unsur budaya yang sukar berubah, dan ada yang mudah berubah. Budaya dalam hal ini dibedakan menjadi dua: (1) inti kebudayaan (covert culture), dan (2) perwujudan kebudayaan (overt culture).18 Dalam konteks modernitas yang rasionalistik, materialistis, dan egaliter, budaya Jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistik yang lebih kompleks. Sebagai budaya lokal, budaya Jawa memang memilki nilai universal, di samping nilai lokalnya. Nilai keuniversalnya tersebut terletak pada nilai-nilai spiritualnya yang relegiusmagis, yang tidak akan ditemukan pada budaya lainnya. Dengan modal ini, maka budaya Jawa akan tetap mampu eksis dengan mempertahankan identitas etnisitas kulturalnya di tengah arus globalisasi dan wacana cultural studies yang sedang menggejala.
Jurnal Pusaka 44 September - Desember 2013
maka sinkronisasi budaya Proses hibridisasi ini membantu masyarakat tersebut jelas merupakan ancaman bagi otonomi budaya untuk tidak merasa takut meninggalkan budaya lokal demi sesuatu yang baru, atau masyarakatnya. Hibridisasi budaya lokal membantu pun sebaliknya tidak perlu merasa takut proses pengkomunikasian kehilangan nilai-nilai lokal ketika mencoba nilai-nilai tersebut yang hal-hal yang baru. kemudian berujung pada semakin mudahnya nilaimengatasi perbedaan-perbedaan, bisa nilai budaya tersebut dikenal, diakui, bekerjasama, dan saling menerima untuk serta dilaksanakan dalam kehidupan mencapai tujuan hidup bersama di masyarakat. Globalisasi budaya akhirnya tengah masyarakat. Sistem budaya Jawa semakin memperkaya kebudayaan lokal mempunyai tuntutan yang mengharuskan masyarakat, dan menyebabkan nilai-nilai masyarakat Jawa untuk menjaga budaya tersebut dapat dengan mudah harmonitas dalam kehidupan mereka. “dikonsumsi” oleh masyarakat secara Karena dengan hidup harmoni masyarakat luas. Proses hibridisasi ini membantu Jawa akan dapat melakukan segala hal masyarakat untuk tidak merasa takut yang membuat mereka bahagia dalam meninggalkan budaya lokal demi sesuatu kehidupan mereka.21 Masayarakat Jawa yang baru, atau pun sebaliknya tidak perlu cenderung meminilmalisir segala bentuk merasa takut kehilangan nilai-nilai lokal konflik, pertentangan, serta kepentinganketika mencoba hal-hal yang baru. Dalam kepentingan yang bersifat individu dan globalisasi budaya ini, kita akan melihat lebih mementingkan sistem budaya yang bagaimana hibridasi yang terjadi pada bersifat komunal atau kebersamaan demi budaya Jawa, mulai dari falsafah hidup, terciptanya harmonitas sosial. Hal ini kesenian, makanan, maupun fashion Jawa seperti peribahasa orang Jawarame ing yang mulai ada proses overt culture yang gawe sepi ing pamrih, mangan ora mangan dibentuk oleh arus cultural studies sing penting kumpul, dan lain sebagainya. (1). Falsafah Hidup Wong Jawa: Berubah Sebagai core budayanya, etika Jawa Haluan diarahkan untuk menjaga eksistensi diri dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Secara umum, wong Jawa cenderung Jawa juga memiliki orientasi utama dalam mempertahankan (ngregem, ngugemi) membangun seorang insan yang berbudi budayanya dengan memegang teguh luhur. Untuk mencapai derajat yang pola dasar kehidupan mereka, yaitu berbudi luhur maka dibutuhkan berbagai harmoni, sebagai bentuk kosmologi macam bentuk pengendalian diri, seperti pandangan hidupnya—kondisi hidup pentingnya seseorang menghindari yang serasi, selaras, dan sejalan dalam tindakan srei, drengki, dakwen, panas aten, hubungan interaksinya dengan Tuhan,20 wedi isin, serta pentignya memiliki sikap manusia, dan alam. Masyarakat harus mental (attitude) eling lan waspada dengan bisa hidup “rukun” untuk mencapai di landasi kesabaran. Semua hal itu ketenteraman dan kedamaian satu sama perlu dilakukan bagi masyarakat Jawa lain. Harmoni juga berarti harus bisa 20 Serat Gatholoco, gagasan yang ada di untuk mencapai kasumpurnaning dalamnya bersumber dari penghayatan terhadap agama urip (kesempurnaan hidup) sebagai yang bersumber dari konsep “Sangkang paraning manifestasi insan budi luhur yang dumadi.” Bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, 22 dalam pemahaman Jawa (baca: Kejawen) untuk mencapai diidam-idamkan masyarakat Jawa. Oleh “penyatuan dengan Tuhannya” yang dikenal dengan “Manunggaling Kawula Gusti” harus ditempuh dengan beberapa tahapan: (1) melaksanakan sembah raga, (2) sembah cipta, (3) sembah jiwa, dan (4) sembah rasa.
21 Moh. Roqib, Harmoni dalam Budaya Jawa, (Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007), hlm. 227. 22 Dhanu Priyo Prabowo. dkk, Pengaruh Islam.
Misalnya lagi, pitutur luhur (1) aja Ibid., hlm. 26.
dhumuko, aja gumon, aja kagetan, (2) aja dhumeh, tepo sliroh, ngerti kualat, lan (3) sugih tanpa bondho, digdhoyo tanpa aji, ngalurug tanpa bala, menang tanpa ngasarake, (4) sepi ing pamrih rame ing rawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli, (5) aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman, (6) aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka, sing was-was tiwas, (7) aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendo, (8) urip iku urup.23 Dewasa ini nilai itu sudah tidak kita temukan lagi, hal ini diperparah dengan semakin sedikitnya penggunaan bahasa krama inggil (alus) oleh wong Jawa, karena lebih bangga memilih bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa asing. Selain itu, media seperti TV menjadi “corong” yang ampuh dalam menyuburkan budaya global, apalagi masyarakat kita kebanyakan telah memakai antena parabola, sehingga akses informasi semakin cepat untuk diketahui, dan pada titik ini dunia semakin sempit. Dampaknya, pandangan hidup (paugeraning urip) masyarakat Jawa bergeser pada pola (1) “Westernisasi” yang semakin marak, di mana budaya Barat (Western culture) dianggap sebagai budaya yang lebih maju, trend, dan harus ditiru, terutama oleh negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. (2) Lunturnya jati diri bangsa, karena anak muda berkiblat terhadap kebudayaan asing dan kurang menghargai kebudayaan sendiri, sehingga ada kecenderungan kebudayaan semakin lama semakin tergerus arus globalisasi, dan (3) budaya hedonisme, materialisme, dan konsumerisme yang terus berkembang tanpa bisa dicegah.24 Hal ini sejalan dengan sepenggal bait shalawatan KH. Ma’ruf Islamuddin, Ponpes. Walisongo, Sragen, “iki zaman globalisasi, akeh bocah ra gelem ngaji, rina wengi nonton TV, sing
23 Koenjaraningrat, Manusia dan Kedayaan, (Jakarta: Djambatan,2000), hlm.71. 24 http://tarucing.wordpress.com/2011/10/02/14prinsip-pandangan-hidup-orang-jawa/ diakses pada 15 Mei 2013.
Pusaka 45 Jurnal September - Desember 2013
karenanya, masyarakat Jawa dituntut sikap dahwen (suka mencela orang lain), open (pamrih pribadi) dan jail (suka membuat susah orang lain) yang semua itu harus dilandasi sikap ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tapi ya jangan begitu). Maka, dalam pandangan wong Jawa, menjadi “Jawa” berarti harus menjadi manusia yang beradab (njawani), memahami bagaimana seharusnya bertingkah laku yang baik (tindak-tanduk, muna-muni, solah-bawa). Hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, memperlihatkan tingkah laku yang halus, sopan, sabar, berkata-kata yang pantas dan mempertahankan tatanan yang teratur, sebagai prinsip wong Jawa “emban-papan, dugo-prayoga, lan lambe-ati.” Adanya globalisasi budaya “memaksa” adanya hibridasasi budaya Jawa, termasuk adanya pergeseran falsafah (shifting of philosophy) dan pandangan hidup (worldview) wong Jawa. Seperti pandangan hidup Jawa yang menyatakan “ajineng diri saka lathi, ajineng sliro soko busuno” ini telah memudar seiring dengan adanya globalisasi yang ditandai “hilangnya budaya malu” dalam masyarakat Jawa dewasa ini. Wong Jawa di tengah arus global ini sedang mengalami “sakit” (sick society) dengan semakin tergerusnya etika (tata krama) Jawa seperti membungkukan badan kepada orang yang lebih tua, tradisi sungkeman, nyuwun sewu, kulon nuwun, dan bentuk unggah-ungguh lainnya yang mulai hilang. Kalau kita merujuk pada ramalan Prabu Jayabaya, raja Kerajaan Kediri, salah satunya disebutkan bahwa “kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, lan wong wadon ilang wirange.” Selain itu, orang tua juga tidak bisa lagi menjadi “panutan” (contoh) yang baik bagi kaum muda, akibatnya, nilai etis dalam falsafah Jawa “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” seakan “tidak berlaku” lagi.
ditiru wong luar negeri.”
Jurnal Pusaka 46 September - Desember 2013
Selain berkiblat pada budaya Barat (Westrn culture), derasnya arus globalisasi mendorong keterbukaan budaya, termasuk bentuk penggunaan falsafah hidup wong Jawa sedikit demi sedikit mulai digerus oleh ideologi “Islamis” yang diimpor dari Timur Tengah (Middle East). Pandangan hidup wong Jawa yang dasarnya harmoni, rukun, “ngajeni,” dan “ngregani” tersebut, dewasa ini mendapatkan ujian yang serius, di mana masyarakat lebih cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu persoalan. Banyaknya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama (violence in the name of God) yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dewasa ini merupakan wujud nyata dari ideologi “Islamis” yang bersifat eksklusif, fundamentalis, dan rigid-tekstual. Nilai dasar budaya Jawa yang menekankan pada prinsip “sedaya agami sae” kemudian terwujud dalam bentuk paradigma “agama ageing aji” dan piwulang luhur ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Globalisasi dengan arus hibridadisasi menjadikan budaya Jawa di bawah himpitan ideologi “Islamis” yang mengusung cara beragama yang keras dan mengabaikan budaya lokal. Budaya Jawa pada konteks ini harus bergulat dengan budaya Barat yang mengusung konsumerisme, hedonisme, dan matrealisme di sisi lain, dan bertarung melawan budaya Timur Tengah yang ditampilkan dengan kekerasan ideologis yang mentasnamakan Islam sebagai counter discourse terhadap budaya Barat yang dinilai atheis. Secara umum, pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa selesai masih dalam proses untuk menemukan sebuah bentuk baru, di mana keduanya bisa saling berinteraksi dan bertukar tanpa harus kehilangan ruh dari masing-masing budaya. Menurut Mohammad Damami, ada tiga format untuk membedah
interaksi Islam-Jawa, yaitu: pertama, agama dinilai dari kepentingan politik yang selanjutnya memunculkan istilah Islam sinkretis. Kedua, ada konflik antara Islam normatif dan Islam kultural yang kemudian memunculkan Islam sintetis; dan ketiga, ada konflik Islam normatif dengan superioritas budaya lokal dan memunculkan Islam komplementatif. Dewasa ini, tampilan Islam dengan wajah sintetis dan kontemplatif ini lebih mendominasi ruang publik dalam konteks beragama masyarakat Jawa, akibatnya, budaya Jawa banyak tersingkirkan dan tercerabut dari akar budayanya sendiri, yang diklaim atas nama “agama.” Pada titik ini, hibridisasi budaya berjalan tidak seimbang, di mana posisi budaya Jawa sebagai ortodoks yang seharusnya menjadi pusat dan budaya “Islamis” sebagai heterodoks, akan tetapi posisi tersebut justru bertolak belakang, yang heterodok melakukan kontrol terhadap ortodoks. (2). Kesenian Jawa: Di Persimpangan Jalan Musik merupakan hasil karya seni yang tercipta atas perpaduan intelegensi dan rasa yang dimiliki oleh manusia. Globalisasi budaya membawa dampak pada proses hibridisasi musik lokal dalam bentuk genre musik yang ada di negara lain. Misalnya adalah musik hip hop dengan menggunakan bahasa daerah. Musik hip-hop adalah sebuah gerakan kebudayaan yang mulai tumbuh sekitar tahun 1970-an yang dikembangkan oleh masyarakat AfroAmerika dan Latin-Amerika.25 Hip Hop merupakan perpaduan yang sangat dinamis antara elemen-elemen yang terdiri dari MCing (rapping), DJing, breakdance, dan Graffiti. Elemen-elemen musik ini dipadukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perpaduan 25 Drissel, David. Hip-Hop Hybridism: Diasporic Youth Constructing Black-Inflected Identities. Paper presented at the annual meeting of the American Sociological Association, New York, New York City. August 10, 2007.
Aneh dan tidak lazim memang menggabungkan hip hop dengan bahasa Jawa, akan tetapi musik mereka tetap diminati oleh kaum muda. Misalnya kelompok Jogja Hiphop Foundation yang menggunakan bahasa Jawa dalam setiap lagu hip hop yang mereka gubah.26 Berbeda dengan pemerintah yang mewajibkan penggunaan bahasa Jawa dalam percakapan seharihari, grup musik Jogja Hiphop Foundation melestarikan bahasa Jawa itu sendiri lewat semua lagu-lagu mereka, yang jelas beraliran hip hop. Aneh dan tidak lazim memang menggabungkan hip hop dengan bahasa Jawa, akan tetapi musik mereka tetap diminati oleh kaum muda. Begitupun dengan sosok Soimah, seorang sinden dan penyanyi yang menggunakan bahasa Jawa dalam lagu-lagu Jazz maupun juga hip hop.27 Selain musik hip hop, beberapa jenis musik lain misalnya jazz, raege, dan yang lainnya pun mulai menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa yang dipakai dalam syair-syair lagunya, serta mengkombinasikannya dengan instrumen musik atau gamelan Jawa. Hal ini sangat membantu masyarakat untuk tetap mengenal bahasa daerahnya dan tidak melupakannya begitu saja. Selain itu, instrumen-instrumen 26 http://id.wikipedia.org/wiki/Hip-hop, diakses pada 15 Mei 2013. 27 http://magz.hiphopheroes.net/profile/rapperprofile/sundanis.html, diakses pada 15 Mei 2013.
musik daerah tetap bisa dipakai dan diperdengarkan kepada masyarakat. Selain bahasa yang menjadi pembeda, pesan-pesan toto kromo yang disampaikan dalam lagu-lagu tersebut pun sangat kaya dan selalu mencoba menggambarkan keyakinan dan prinsip-prinsip yang ada dalam nilai-nilai lokal masyarakat.28 Selain itu, kesenian tradisional wayang orang Bharata Jakarta, Ngesthi Pandawa di Surakarta, kini tampak sepi seolah tidak ada pengunjungnya. Wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Jawa yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik. Contoh lainnya, kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri.”29 Wayang orang, Tayub, Jaran Kepang, dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi. Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “kethoprak” yang dipopulerkan ke layarkaca oleh kelompok Srimulat. Selain ketoprak, masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit (ringgit purwa). Wayang atau ringgit merupakan media tuntunan (etika) dan tontonan (estetika), yang didalamnya memberikan gambaran tentang perjalanan kehidupan manusia serta makna filosofis—seperti kayon, kelir, gong, suluk,30 dan lainnya.
28 http://sumbaisland.com/tarian-njara-humbadan-jai-tembus-belanda/, diakses pada 15 Mei 2013. 29 http://jawatimuran.wordpress. com/2013/05/21/masyarakat-pandalungan-polahibridisasi-budaya/ diakses pada 15 Mei 2013. 30 Contoh suluk: (1) “Meh rahinasemu bang hyang aruna kadi netra ning ogha rapuh, sabda ni kokila ring kanigara saketer ni kidung ning akung.”
Pusaka 47 Jurnal September - Desember 2013
musik yang sempurna dan indah. Ketika musik hip hop ini masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia tidak serta merta menerima aliran musik ini. Hal yang menarik adalah ketika musik hip hop ini kemudian dipadukan dengan unsurunsur kebudayaan lokal, misalnya dengan menggunakan bahasa Jawa serta memadukannya dengan instrumeninstrumen daerah seperti gamelan, angklung, serta yang lainnya.
Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Enthus Susmono, Ki Anom Suroto, dan Ki Bayu Aji, tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara langsung. Persoalan lainnya, generasi generasi muda Jawa sekarang kebanyakan sudah tidak mengenal lagi dengan semua keseniannya, seperti wayang, kethoprak, ludruk, gendhing Jawa (pupuh)—Dhandanggula, Kinanthi, Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durma, Wirangrong, Pucung, Mijil, Asmaradana, Girisa, atau Sinom terlebih lagi dengan aksara Jawa. Selain itu, masyarakat Jawa juga lebih senang dengan nuansa musik atau berkesenian model Timur Tengah yang ditengarai lebih “Islami” seperti Gambus, dan lagi-lagi budaya Jawa menjadi “korban” dalam hal ini. (3). Makanan Jawa: Komoditas Langka
Jurnal Pusaka 48 September - Desember 2013
Hal lain yang mencerminkan terjadinya proses hibridisasi dalam kebudayaan adalah dalam hal makanan. Hadirnya makanan siap saji atau makanan cepat saji merupakan akibat dari proses globalisasi. Selain sebagai bagian dari globalisasi ekonomi, makanan cepat saji juga mendatangkan akibat semakin terpinggirnya budaya lokal masyarakat Jawa. Makanan siap saji adalah istilah untuk makanan yang dapat disiapkan dan dapat dilayankan dengan cepat.31 Biasanya istilah ini merujuk kepada makanan yang dijual di sebuah restoran atau toko dengan persiapan yang berkualitas rendah dan dilayankan kepada pelanggan dalam (Wancinipun) meh ndungkap raina, srengenge (langit ing sisih wetan) katingal semu abrit, kados (abritipun) mripat (ingkang ngleresi) sakit, ocehing peksi engkuk ing wit kanigara kados suwanten pangrengiking kidungipun tiyang nandhang brangta. Pindha ungeling sulingipun tiyang Indu, cekikering ayam wana ing pagagan, peksi merak nyengungong undang-undang, kombang (tawon) mangrurah sekar ing kamar pasarean wangi (endah). (2) “Yahni yahning talaga kadi langit, mambang tang pas wulan upama nika, Ooo, wintang tulyang kusuma yasumawur, lumra pwekang sari kadi jalada.” 31 http://www.jackinthebox.com/, diakses pada 15 Mei 2013.
sebuah bentuk paket untuk dibawa pergi. Makanan siap saji (fast food) merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Barat. Karena ingin efisiensi dan efektivitas dalam hal makanan, maka lahirlah pola konsumsi makanan cepat saji. Di Indonesia, makanan cepat saji mengalami proses hibridisasi. Misalnya, ketika kita ingin membeli satu paket KFC (Kentucky Fried Chicken), maka kita akan mendapatkan satu porsi ayam goreng dengan nasi putih. Di tempat asalnya, jika masyarakat ingin menikmati satu paket KFC, maka mereka hanya mendapatkan satu paket ayam saja. Karena makanan pokok masyarakat Indonesia adalah nasi, maka lahirlah hibridisasi makanan seperti ini. Masyarakat tidak perlu takut mengkonsumsi ayam goreng dengan resep KFC karena makanannya juga termasuk nasi. Masyarakat tidak perlu takut lupa pada makanan pokok dan cita rasa lokal karena semuanya bisa dipadukan dengan baik.32 Selain KFC, McDonald, ada juga Mr. Berger, Steak, Pizza Hut, kebab Arabian, nasi kabuli, dan berbagai makanan ringan (junk food) makanan sampah, telah “membanjiri” di pasar-pasar masyarakat Jawa. Sedangkan makanan Jawa dewasa ini telah menjadi “benda asing” yang keberadaannya semakin langka, misalnya Gethuk, Gronthol, Uwi, Mbili, Ganyong, Pecel, Tumpang, Klepon, Thiwul, Embel-Embel, Gandhos, Cenil, dan lainnya, akan sulit kita menemukan di tengah globalisasi makanan seperti dewasa ini. Selain beberapa contoh yang sudah disebutkan di atas, hibridisasi juga terjadi dalam kegiatan-kegiatan peringatan keagamaan.33 Misalnya, ketika merayakan Idul Fitri, Natal, maupun acara-acara lainnya masyarakat Jawa selalu menghidangkan “Coca-Cola” sebagai minuman. Hibridisasi yang terjadi dalam 32 http://www.waspada.co.id/index2. php?option=com_content&do_pdf=1&id=2843 diakses pada 15 Mei 2013. 33 http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm diakses pada 15 Mei 2013.
peringatan-peringatan keagamaan ini menyebabkan masyarakat tidak perlu takut kehilangan nilai-nilai lokal yang diakui dan dipercaya. Coca-Cola seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan peringatan keagamaan seperti ini. Sedangkan minuman khas Jawa tersendiri “telah tersungkur” dari peredaran, seperti Klegen, Dawet, Wedang Ronde, dan minum lainnya. (4). Fashion Jawa: Merubah Identitas Selain pandangan hidup, kesenian, dan makanan masyarakat Jawa, aspek lain dari budaya yang mendapat pengaruh globalisasi budaya adalah pakaian atau fashion. Globalisasi budaya menyebabkan wong Jawa semakin gemar menggunakan pakaian maupun bentuk-bentuk busana Barat dan trend Timur Tengah yang dinilai lebih “Islami”. Seperti Jeans, t-shirt, jaz, dasi, singlet, jubah, hijab, dan lainnya merupakan contoh-contoh macam pakaian dari Barat dan Timur Tengah yang ditampilkan oleh cultural studies dalam kaitannya dengan identitas. Secara sosiologis kultural, masyarakat Jawa memiliki pakaian adatnya sendiri, seperti kain tenun, batik, ulos, beskap, blangkon, dan lain sebagainya. Hibridisasi budaya akhirnya melahirkan perpaduan yang eksotis dari dua budaya atau lebih yang berbeda. Kombinasi yang sempurna dari batik dan jeans melahirkan perpaduan eksotisme lokal dan Barat. Dengan memadukan batik dan jeans masyarakat tidak perlu takut untuk menggunakan batik yang dianggap kuno dengan jeans yang lebih praktis untuk digunakan. Dengan demikian masyarakat bisa mendapatakan efisiensi dan efektivitas dari masing-masing
produk. Selain itu, dengan memadukan batik dengan jeans masyarakat ikut membantu kegiatan promosi budaya Jawa kepada masyarakat lain. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu takut kehilangan kebudayaan lokalnya dan tidak perlu canggung dengan kehadiran hal-hal baru dari luar. Hadirnya batik yang dipadukan dengan jeans atau bahkan sekarang ada yang sudah menggunakan bahan kain jeans untuk batik,34 merupakan proses hibridisasi budaya lokal dengan hal-hal yang baru dari luar. Dalam perkembangan terakhir, banyak kain batik dengan motif klub-klub sepakbola— seperti Real Madrid, AC Milan, Inter Milan, Barcelona, MU, Chelsea, dan klub elit Eropa lainnya. Efek negatif dari gejala ini adalah berbagai “ageman” tersebut, seperti ulos, beskap, dan pakian tradisional lainnya ada kecenderungan untuk ditinggalkan oleh masyarakat Jawa sendiri, terutama generasi muda. (5). Pendidikan dan Pewarisan Budaya Jawa: Langkah Konservasi Dalam teori budaya fungsional yang diungkapkan oleh Malinowski, bahwa budaya merupakan keseluruhan alat dan adat yang sudah merupakan suatu cara hidup yang telah digunakan secara luas, sehingga manusia berada di dalam keadaan yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dalam penyesuaiannya dengan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya.35 Oleh karenanya, budaya difungsikan secara luas oleh manusia sebagai sarana untuk mengatasi: masalah-masalah yang dihadapi sebagai upaya penyesuaiannya dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai ragam budaya Jawa yang telah “disaliro” (dihayati dan dipraktekkan) oleh masyarakatnya 34 http://www.parasantique.com/index. php?content=berita&id=1, diakses pada 15 Mei 2013. 35 http://www.teoribudaya. org/index.php?option=com_ content&task=view&id=887&Itemid=81, diakses pada tanggal 22 Juli 2013.
Pusaka 49 Jurnal September - Desember 2013
Sedangkan minuman khas Jawa tersendiri “telah tersungkur” dari peredaran, seperti Klegen, Dawet, Wedang Ronde, dan minum lainnya.
paling tidak harus bisa difungsikan sebagai media untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup. Seperti mengoptimalkan fungsi berbagai budaya Jawa mulai dari cara pandang (worldview), makanan, pakaian, maupun kesenian dikemas dalam bentuk yang baik sehingga
orang tua mengeluh karena anaknya sering menentang dan durhaka kepada mereka, para pejabat dan aparat tidak bisa lagi dijadikan sebagai suri teladan dan masih banyak lagi lainnya. Kesemuanya itu menggambarkan kemerosotan kebudayaan di Indonesia (Jawa).37
Ukuran moralnya dapat tercermin dalam realitas dewasa ini, di mana banyak guru yang tidak dihargai oleh muridnya, orang tua mengeluh karena anaknya sering menentang dan durhaka kepada mereka, para
pejabat dan aparat tidak bisa lagi dijadikan sebagai suri teladan dan masih banyak lagi lainnya.
budaya Jawa yang terkesan tradisional terlihat modern. Fungsionalisasi budaya Jawa dengan cara “mengemas” tetapi tidak kehilangan esensi dari budaya itu sendiri menjadi nilai poin dalam melestarikan budaya. Model konservasi seperti ini paling tidak bisa menjaga budaya Jawa tetap adi luhung, genuine, dan akan memastikan budaya Jawa tetap eksis di tengah pergumulan arus globalisasi.
Jurnal Pusaka 50 September - Desember 2013
Selain model pengemasan budaya, penjagaan budaya atau pewarisan budaya juga bisa dilakukan paling tidak dengan cara pembudayaan sejak dini agar nilainilai yang ingin diinternalisasikan dengan baik oleh setiap individu masyarakat Jawa. Proses pembudayaan dan internalisasi yang cukup efektif digunakan adalah melalui jalur pendidikan, yang kemudian terintegrasikan dalam berbagai bentuk kurikulum dalam pendidikan. Menurut Mohammad Damami, dengan adanya arus informasi dan globalisasi pada aspek kognitif, pendidikan budaya Jawa memang tidak mengecewakan, tetapi dari segi afeksi dan psikomotorik rasa Jawa seperti kepedulian sosial, sopan-santun dan sebagainya sudah semakin memudar.36 Ukuran moralnya dapat tercermin dalam realitas dewasa ini, di mana banyak guru yang tidak dihargai oleh muridnya, 36 Muhammad Damami, Makna Agama, Ibid., hlm. 65.
Menurut Soedarsono, lemahnya kebudayaan itu menyebabkan sebagian besar orang Jawa meninggalkan tata cara Jawa yang diwariskan oleh leluhurnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prabu Jayabaya bahwa “cina walanda kari sajodho, wong Jawa kari separo”. Ungkapan ini menurutnya lebih bermakna pada keniscayaan interaksi antara budaya Jawa yang dahulunya dominan terhadap budaya asing, dan kondisi sekarang justru sebaliknya. Keadaan ini menurut Moh. Damami karena lebih banyak disebabkan oleh lemahnya manajemen pengelolaan penggalian budaya Jawa. Wacana di atas mempunyai nilai penting, bagaimana menjelaskan suatu budaya haruslah dipahami dari budaya (atau sistem budaya yang berlaku) itu sendiri. Internaslisasi budaya Jawa melalui pendidikan dapat dilakukan dengan memasukan berbagai hal tersebut ke dalam muatan lokal pada seluruh lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar (SD) bahkan sampai pada perguruan tinggi (PT). Pada titik ini, lembaga pendidikan harus memberikan porsi yang lebih besar terhadap muatan lokal untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, dan memasukan ke dalam 37 http://www.parisada. org/index.php?option=com_ content&task=view&id=887&Itemid=81, diakses pada tanggal 22 Juli 2013.
Sebagaimana yang tertera dalam UU No. 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, terutama pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya kemampuan dan watak (the muold the character and mind of young generation), maka pendidikan akan mempunyai peran yang sentral dalam pewarisan nilai-nilai budaya. Menurut Harahap, paling tidak pendidikan mempunyai beberapa aspek sebagai kebudayaan, diantaranya (1) pendidikan sebagai bentuk pembinaan tingkah laku, (2) pendidikan adalah pendidikan diri sendiri (self education). (3) Pendidikan seluruhnya diorientasikan kepada aspek kebudayaan dan kepribadian, (4) pendidikan berlangsung seumur hidup, (5) pendidikan merupakan bentuk penyiapan penyesuaian yang intelligent terhadap perubahan sosial, dan (6) pendidikan diarahkan pada cita-cita luhur.40 Aspek-aspek kebudayaan yang ada dalam pendidikan tersebut sekiranya bisa dijadikan bahan bacaan awal untuk melakukan pewarisan budaya Jawa kepada generasi muda, dengan peneguhan kepribadian yang agung sebagai bentuk falsafah hidup wong Jawa sampai berbagai macam bentuk dan sikap yang dapat diaplikasikan seumur hidup. Selain itu, dengan pendidikan akan membantu individu untuk mengembangkan kreativitas, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilainilai, dan keyakinan sosial yang baik.
Sedangkan Harun Nasution berpendapat bahwa dalam melakukan pewarisan kebudayaan, paling tidak akan harus mengaitkan dengan dua aspek lainnya, yaitu agama dan pendidikan. Hal ini ini didasarkan pada asumsi pemikiran bahwa landasan kebudayaan terdapat dalam akal manusia, yaitu terkait dengan cara, cara merasa berpikir, berpikir, dan beraksi. Selain itu, kandungan kebudayaan didalamnya mencakup pengetahuan, cara pandang, keyakinan, tata susila, hukum, adat, dan kebiasaan. Dalam pandangan Harun, pendidikan bertujuan bukan hanya mengisi yang anak didik dengan ilmu pengetahuan dan mengembangkan ketrampilannya, akan tetapi juga mengembangkan aspek moral dan agamanya. Konsep pendidikan yang diinginkan oleh Harun bukan hanya pengintegrasian nilai-nilai kebudayaan nasional—termasuk budaya Jawa, akan tetapi juga pengintegrasian ajaran agama dalam pendidikan, maka akan ada budaya yang bernafaskan agama.39 Oleh karena itu, pewarisan budaya Jawa akan lebih efektif jika semua pihak berperan serta, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, praktisi pendidikan, terlebih orang tua agar mau menjadikan budaya Jawa sebagai fungsi yang hidup.
Pendidikan dalam sumbangannya untuk pewarisan budaya Jawa paling tidak dapat dibaca dalam beberapa karakter, yaitu lerning to know (mengetahui), learning to do (mengenal jati diri), learning to be, dan learning life together (membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmonis).41
38 I.C Sudjarwadi, Seni Macapat Madura: Laporan Penelitian Universitas Negeri Jember, 1980, hlm. 10. 39 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 287.
40 Hujair Sanaky A. H., Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani, 2003), hlm. 146. 41 http://ejurnal.uin-alauddin.ac.id/artikel/01%20 Peranan%20Pendidikan%20Formal%20-%20Juanda.pdf diakses tanggal 20 Juli 2013
Pusaka 51 Jurnal September - Desember 2013
kurikulum mata pelajaran. Konservasi budaya Jawa melalui pendidikan ini dimaksudkan untuk nguri-uri dan melestarikan budayanya serta diharapkan semua orang Jawa mampu menjiwai setiap nilai yang terkandung dalam budaya adiluhung Jawa tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan I.C Sudjawardi, yang menyatakan bahwa pelestarian budaya luhur dapat dijadikan media sosialisasi dan enkulturalisasi (pembudayaan melalui pendidikan) nilai dan norma budaya masyarakat yang bersangkutan.38
Dengan keempat karakter tersebut, paling tidak pewarisan budaya Jawa akan bisa landing secara masif kepada generasi muda, karena melalui pendidikan, dapat mendorong anak didik dalam mengembangkan dirinya secara psikologis, fisik, sosial, dan potensinya secara maksimal. Dengan cara penanaman nilai-nilai budaya Jawa sejak dini dimaksudkan sebagai bentuk antisipasi agar generasi muda Jawa tidak tercerabut dari akar budayanya yang adi luhung di tengah arus global dewasa ini. Pada titik ini, pendidikan formal berada pada aspek enkulturasi, di mana term ini merujuk pada wacana pembentukan manusia yang dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya, mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mempertahankan kelangsungan hidup dan budayanya, baik sebagai individu maupun makhluk sosial.
Jurnal Pusaka 52 September - Desember 2013
Tujuan dasar pendidikan adalah pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), maka pendidikan perlu disinergikan dengan kondisi kehidupan nyata, salah satunya dengan realitas budaya Jawa, mulai cara pandang sampai keseniannya. Dengan demikian, nilainilai budaya Jawa yang akan ditanamkan dengan pengetahuan akademis terkait hubungan yang kontinum. Tidak satupun komponen ilmu pengetahuan yang lepas dari nilai dan norma budaya, karena mengetahui sesuatu tidak dapat dipisahkan dengan dari budaya yang memediasi dan menstranform tindakan ke pengetahuan. Pada akhirnya, pendidikan merupakan upaya untuk membangun budaya suatu masyarakat—termasuk budaya dan masyarakat Jawa—sehingga akan tercipta masyarakat yang maju, modern, berbasis pada akar budayanya, dan harmonis. Dengan pendidikan juga terdapat proses enkulturasi yang dipahami sebagai upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan adanya
perubahan sikap tanpa mengabaikan budayanya, dalam hal ini budaya Jawa.
“ojo rumongso biso, ananging bisoho ngrumangsani,” D. Catatan Penutup Globalisasi membawa dampak yang luas dalam kehidupan budaya Jawa, di mana akan ada banyak perubahan dalam budaya (changing of culture) masyarakat lokal itu sendiri. Ada yang beranggapan kehadiran globalisasi dengan pola hibridisasi tidaklah menghancurkan budaya lokal, akan tetapi di sisi lain melihat sebaliknya, yaitu memperkaya kebudayaan tersebut. Globalisasi memampukan sebuah kebudayaan untuk menguji apakah benar-benar mampu survive di tengah kelahiran dan menjamurnya kebudayaan pop yang begitu luar biasa, diantaranya budaya Jawa yang menjadi “meeting pot” antara budaya Barat (Western) dengan budaya “Islamis” (Midle East) mulai dari pandangan hidup (worldview), kesenian, makanan, dan fashion. Globalisasi budaya sangat ditunjang akan keberadaan teknologi komunikasi dan transportasi, semisal televisi, radio, maupun alatalat transportasi yang memudahkan perpindahan barang, bentuk-bentuk budaya maupun manusia ke berbagai tempat. Pada akhirnya (ing wusana) pendidikan denga aspek enkulturasi menjadi salah satu alternatif dalam penanaman nilai-nilai dan pewarisan budaya Jawa, baik cara pandang, kesenian, dan kepribadian sebagaimana yang digariskan oleh budaya Jawa. Sebagaimana prinsip wong Jawa “ojo rumongso biso, ananging bisoho ngrumangsani,” demi sempurnanya tulisan ini, kami mengharap masukan dari Dr. H.M Damami, M.Ag dan teman “tunggal guru.”
Daftar Bacaan Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Wacana, 2005). Dhanu Priyo Prabowo, dkk., Pengaruh Islam dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, (Yogyakarta: Narasi, 2003). Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002). David Held, dkk., Global Transformation, (Cambridge: Polity Press, 1991). F. Barth, Ethnic Groups and Boundaries, London: Allen & Unwin, 1969. http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm diakses pada 15 Mei 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar-stasiun-radio-di-DIY, diakses pada 15 Mei 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Hip-hop, diakses pada 15 Mei 2013. http://jawatimuran.wordpress.com/2013/05/21/masyarakat-pandalungan-pola-hibridisasibudaya/ diakses pada 15 Mei 2013. 2013.
http://magz.hiphopheroes.net/profile/rapper-profile/sundanis.html, diakses pada 15 Mei
http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-budaya-kerja-dan-tujuan-manfaatpenerapannya-pada-lingkungan-sekitar, diakses pada 12 Mei 2013. http://sumbaisland.com/tarian-njara-humba-dan-jai-tembus-belanda/, diakses pada 15 Mei 2013. http://tarucing.wordpress.com/2011/10/02/14-prinsip-pandangan-hidup-orang-jawa/ diakses pada 15 Mei 2013. http://tunein.com/radio/Indonesia-r100356/, diakses pada 15 Mei 2011. http://www.asiawaves.net/indonesia-tv.htm, diakses pada 15 Mei 2013. http://www.jackinthebox.com/, diakses pada 15 Mei 2013. http://www.parasantique.com/index.php?content=berita&id=1, diakses 15 Mei 2013
http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2843 diakses pada 15 Mei 2013. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995) Koenjaraningrat, Manusia dan Kedayaan, (Jakarta: Djambatan, 2000). Moh. Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2002). M. Waters, Globalization, (London: Routledge, 1995). Paul Hirst dan G. Thompson, Globalisasi adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001). R. Robertson, Globalization, (London and Newbury Park, CA: Sage, 1992).
Pusaka 53 Jurnal September - Desember 2013
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/07/khazanah/lainnya04.htm, diakses pada 15 Mei 2013.
UPAYA REFORMASI PENDIDIKAN MELALUI IMPLEMENTASI SCHOOL BASED MANAGEMENT DALAM
MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh : Noer Rohmah
Jurnal Pusaka 54 September - Desember 2013
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah menuju ke arah kemajuan, dalam era persaingan yang semakin bebas, lembaga pendidikan dituntut untuk dapat memberikan kualitas pendidikan yang bermutu karena lembaga Pendidikan yang kurang bermutu lama kelamaan akan ditinggalkan oleh masyarakat dan tersingkir dengan sendirinya. Bentuk dari upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menetapkan kebijakan Manajemen berbasis sekolah (School Based Management) yang merupakan salah satu isu yang kuat didorong ke permukaan dalam konteks implementasi gagasan reformasi pendidikan yang direfleksikan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai kebijakan afirmatif terhadap UU No. 22 tahun 1999 yang mengotonomisasikan sektor pendidikan pada daerah. Agar tidak terjadi sistem yang sentralistik di pemerintah daerah, maka pemerintah mendorong otonomi itu diimplementasikan pada tingkat sekolah, yang melibatkan kepala sekolah , guru ,orang tua siswa, siswa dan masyarakat dalam proses pengambilan berbagai keputusan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ada di sekolah. Keywords: Reformasi Pendidikan, School Based Management, Mutu Pendidikan
Lembaga pendidikan atau sekolah itu dikembangkan salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan permintaan berbagai pihak konstituen, yakni pemerintah, para ahli pendidikan, orang tua siswa, siswa itu sendiri, serta berbagai anggota masyarakat yang menaruh harapan-harapan kepada hasil pendidikan. Dengan demikian sangat fair sekali jika mereka yang memiliki harapan-harapan terhadap sekolah tersebut ikut serta dalam merumuskan ide-ide dan pemikiran-pemikiran dalam proses penetapan keputusan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan sekolah untuk meningkatkan mutu serta kualitas hasil pendidikan siswa-siswa di sekolah tersebut. Dan salah satu cara untuk meningkatkan mutu sekolah adalah melalui reformasi pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah. Reformasi pendidikan diarahkan agar penyelenggaraan pendidikan itu semakin demokratis1 , yakni memperluas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting untuk diimplementasikan dalam pengembangan program, sehingga sekolah semakin aspiratif terhadap ide dan gagasan publiknya, kemudian dukungan masyarakat meningkat, dan tanggung jawab mereka terhadap pendidikan juga tinggi, karena mereka dilibatkan secara aktif. Semakin pendidikan itu didorong ke bawah, dan semakin masyarakat dilibatkan untuk berpartisipasi dalam pendidikan, maka aliran dana masyarakat untuk sekolah akan semakin lebar, dan akan semakin menguntungkan bagi siswa, karena banyak proses pembelajaran yang dapat dibiayai. Bersamaan dengan itu manajemen sekolah juga akan terkontrol oleh banyak pihak karena setiap donasi menuntut pertanggungjawaban manajemen, sehingga administrasi keuangannya akan semakin akutabel dan efisien.2 1 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, ( Jakarta : Kencana, 2003 ) h. 273. 2 Ibtisam Abu Duhou, School Based
Pelibatan masyarakat tersebut tidak sebatas dalam penyusunan program, kebijakan kurikulum, dan proses pembelajaran lainnya, tapi juga dalam budgetting serta berbagai upaya yang dapat memenuhi kebutuhan anggaran untuk peningkatan kualitas pelayanan pembalajaran bagi para siswa. Pelibatan masyarakat dalam budgetting tersebut bukan dalam konteks pengelolaan serta pengadministrasian, tapi lebih pada upaya-upaya fundrising serta berbagai kebijakan untuk mendorong partisipasi masyarakat pada sekolah dalam upaya memperbesar saluran uang masuk ke sekolah, dan sebagai implikasinya, mereka punya hak untuk memperoleh pelaporan dari manajemen sekolah tersebut sebagai bukti pertanggungjawaban serta akses kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas manajerialnya. Semain akuntabel manajemen sekolah, maka akan semakin tinggi kepercayaan masyarakat. Dan makin tinggi kepercayaan masyarakat pada sekolah maka akan semakin tinggi pula partisipasi mereka terhadap upaya reformasi pendidikan yang ada di sekolah dan hal ini akan semakin bisa meningkatkan mutu sekolah sehingga sekolah ke depan akan tetap mampu menghadapi persaingan bebas yang semakin tajam dalam dunia global. Dasar dan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah Semenjak diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No 25 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan direvisi menjadi UU No 32 dan 33 tahun 2004, maka berkenaan dengan otonomi daerah yang awalnya sentralisasi menjadi desentralisasi dan sekolah diberi kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan pendidikan sesuai dengan visi, misi dan tujuan sekolah tersebut berada dengan mengacu undang-undang yang telah ada. Disebutkan pula dalam UU Sisdiknas
Management, ( Paris : UNESCO, 1999 ) h, 280
Pusaka 55 Jurnal September - Desember 2013
Pendahuluan
tahun 2003 pasal 50 ayat 5 berbunyi “pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Dan juga disebutkan dalam pasal 51 ayat 1 yang berbunyai “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah”3 Secara umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, essensi MBS=otonomi sekolah + fleksibelitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.4
Jurnal Pusaka 56 September - Desember 2013
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolak ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Unsur esensial dalam otonomi sekolah dengan pola SBM adalah sebagai berikut : 3 Undang-Undang RI No. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Aulia, Bandung, 2005, hal. 44-45 4 Mulyasa E, Manajemen Konsep Strategi dan Implementasi, ( Rosda Karya, 2004 ) h. 135
20 Tahun 2003, Penerbiat Nuansa Berbasis Sekolah; Bandung : remaja
1. Bahwa ciri fundamental dari SBM adalah delegasi. 2. Esensi SBM adalah pemindahan tanggung jawab pengambilan keputusan sekolah dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah itu sendiri. 3. Fondasi SBM adalah distribusi kewenangan dalam pengambilan keputusan. 4. Tulang punggung dari SBM adalah pendelegasian otoritas manajemen dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah. 5. Inti dari SBM adalah pengembangan tanggung jawab pengambilan keputusan terhadap stekeholder sekolah dan dilakukan di sekolah. 5 Kelima kutipan diatas menyampaikan sebuah gagasan yang sama, bahwa SBM itu adalah pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan dari pemerintah kepada sekolah. Dalam konteks ini, kewenangan sekolah tidak sebatas pengaturan alokasi waktu, serta implementasi kurikulum dan strategi, tapi diperluas meliputi 6: 1. Pengetahuan; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan susunan kurikulum, termasuk rumusan kompetensi siswa dari setiap mata pelajaran, serta kompetensi mereka setelah lulus dari sekolah tersebut. 2. Teknologi ; yakni pendelegasian kewenangan kepada sekolah untuk memutuskan alat-alat yang diperlukan untuk proses pembelajaran siswa. 3. Kekuasaan ; yakni pendelegasian kewenangan kepada sekolah untuk menetapkan berbagai keputusan. 4. Material ; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan penggunaan berbagai fasilitas, serta alat-alat pembelajaran. 5. Orang ; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan tentang komposisi SDM, serta proses
5 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, ( Jakarta : Kencana, 2003 ) h. 275 6 Ibtisam Abu Duhou, School Based Management, ( Paris : Unesco, 1999 ) h, 30-31
peningkatan kompetensi mereka baik dalam penguasaan bahan ajar, strategi pembelajaran, teknik evaluasi maupun berbagai keterampilan keguruan lainnya. 6. Waktu ; pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan pengaturan alokasi waktu.
lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa dan karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh mas-
... jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan
yarakat, ilmuwan, usahawan, dsb) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerja sama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerja sama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan
Pusaka 57 Jurnal September - Desember 2013
Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilitasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk mutu pendidikan.
Dengan kepemilikan ini, maka sekolah akan menjadi pusat perubahan (reformasi) dan pembaharuan masyarakat sedang unit-unit di atasnya ... Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), dan memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Dengan kepemilikan ini, maka sekolah akan menjadi pusat perubahan (reformasi) dan pembaharuan masyarakat sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Jurnal Pusaka 58 September - Desember 2013
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah. 2) Bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya) 3) Bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah. 4) Memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya. 5) Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja. 6) Komitmen yang tinggi pada dirinya, dan 7) Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.7 7
Murphy, Joseph and Lynn G.Beck, School Based
Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah 8: a. Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menyelenggarakan semua warga sekolah. b. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental. c. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak. d. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif. e. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan. f. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum. g. Kemandirian, sekolah harus diberi otonom sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana. h. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders, sekolah. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) MBS bertujuan untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MBS bertujuan untuk: a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerManagement as School Reform, ( California: 1995 ) h. 132 8 Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta) h. 127
Karakter Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) berdasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output. 1. Output yang diharapkan Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievement).10 Output prestasi akademik misalnya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, 9 Mulyasa E, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan Implementasi, ( Bandung : remaja Rosda Karya, 2004 ) h. 155 10 Kennedy, Carol, Managing With The Gurus , Mengelola Bersama para Guru ( Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1999 ) h. 88
Matematika, Fisika), cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasioanal, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerja sama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian, dan kepramukaan. 2. Proses Sekolah yang efektif pada umumnya memilikin sejumlah karakteristik proses sebagai berikut 11 a. Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM bukan hanya sekedar memorisasi dan recall, bukan sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tantang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).12 b. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat Pada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, 11 Edward Sallis, Total Quality Management In Education, ( Jogjakarta: IRCiSod, 2008 ) h. 165- 167 12 Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam ( Bandung: Mimbar Pustaka, 2004 ) h. 103
Pusaka 59 Jurnal September - Desember 2013
jasama, akuntabilitas, substansibilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya tersedia; b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.9
c.
d.
e.
Jurnal Pusaka 60 September - Desember 2013
f.
dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah, sekolah yang menerapkan MBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisi kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah. Sekolah memiliki budaya mutu Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan energi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekoah merasa memiliki sekolah.13 Sekolah memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
13 Arcaro Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 0 h. 221
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah. g. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya. h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat Hal ini dilandasi oleh keykinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. i. Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol. j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik) Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap yang dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) teruta-
tujuan yang dikehendaki atau tidak. o. Sekolah mampu menjaga sustainabilitas( kelangsungan hidup ) Sustainibilatas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainibilkitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. 3. Input pendidikan a. Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah. b. Sumberdaya tersedia dan siap Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.14 c. Staff yang kompeten dan berdedikasi tinggi Bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staff yang 14 Nanang Fattah, landasan Manajemen Pendidikan, ( Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2004 ) h.88
Pusaka 61 Jurnal September - Desember 2013
ma mutu peserta didik. k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus. l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/ tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. m. Memiliki komunikasi yang baik Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. n. Sekolah memiliki akuntabilitas Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah mencapai
Jurnal Pusaka 62 September - Desember 2013
kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan. d. Memiliki harapan prestasi yang tinggi Kepala sekolah dan guru memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Sedang peserta didik mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan prestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. e. Fokus pada pelanggan (khususnya siswa) Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. f. Input manajemen Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Pada dasarnya essensi konsep MBS adalah peningkatan otonomi sekolah plus
... dalam arti yang sebenarnya,
tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. pengambilan keputusan secara partisipatif. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah)15. Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan sosialisasi Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan cara berfikir seperti ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” MBS diselenggarakan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialisasikan kon-
15 Jerome Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 ), h. 142
2. Merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah (tujuan stuasional sekolah) a. Visi Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.16 Dengan kata lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat. b. Misi Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut.17 Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dalam kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. c. Tujuan Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan” tujuan akan dicapai.18 Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 ta16 Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, ( Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 2005 ) h. 146 17 Ibid. h. 148 18 Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, ( Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998 ) h. 31
hun. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah yang menuju visi yang telah dicanangkan. 3. Mengidentifikasi tantangan nyata sekolah Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektifitas, dan efisiensi.19 Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah kualitas output sekolah yang bersifat akademik dan non-akademik. Produktivitas adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal.20 Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah. 4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang 19 Nur Kholis, Kiat Sukses Jadi Praktisi Pendidikan,( Sleman : Palem, 2004 ) h. 124 20 Joseph Murphy, Restructuring America’s School, an Overview, dalam Chester E.Fin Jr. And Theodor Reberber, Education Reform The ‘90, ( New York : McMillan Publishing Company, 1992 ) h. 221
Pusaka 63 Jurnal September - Desember 2013
sep MBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dsb) melalui berbagai mekanisme, misalnya diskusi, rapat kerja, workshop dan sebagainya.
diperlukan untuk mencapai sasaran Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya fungsi proses belajar mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah-masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas. 5. Melakukan analisa SWOT ( Strength, Weakness,Opportunity,and Threat ) Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.21 Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal.
Jurnal Pusaka 64 September - Desember 2013
Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria kesediaan yang diperlukan untuk mencapai sasaran, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan. 6. Alternatif langkah pemecahan masalah Dari hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih 21 Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2006 ), h. 133
langkah-langkah pemecahan persoalan (peniadaan), yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang ditetapkan tidak akan tercapai. 7. Menyusun rencana dan program peningkatan mutu Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang: aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun dari orang tua siswa, baik dukungan pemikiran, moral, material maupun finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga memuat rencana anggaran biaya (rencana biaya) yang diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah. Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan rencana adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder pendidikan, khususnya orang tua siswa dan masyarakat (BP3/komite sekolah) pada umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan sekolah dan pemerintah untuk menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar. 8. Melaksanakan rencana peningkatan mutu Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara orang
22 Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999 ), h. 124
gahan semester untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada pertengahan semester dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada semester berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Hasil evaluasi pelaksanaan MBS perlu dibuat laporan yang terdiri dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksanaan dan hasil MBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan (income generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka laporan harus dikirim kepada pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, komiet sekolah, orang tua siswa. 10. Merumuskan sasaran mutu baru Hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orang tua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, kare-
Pusaka 65 Jurnal September - Desember 2013
tua siswa, guru dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang kuat untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam. Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah, dengan cara memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan dengan cara tidak membuat guru dan staf lainnya merasa terkekang. 9. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang.22 Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir perten-
na dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang tersedia. Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-langkah pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang mengandung persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat.
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/ perilaku sekolah.
Jurnal Pusaka 66 September - Desember 2013
Peningkatan Mutu Pendidikan Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat.23 Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses dan output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya manusia ( kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa ) dan sumberdaya selebihnya ( peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dan sebagainya ). Input perangkat lunak seperti struktur 23 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, ( Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983 ), h. 25
organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dan sebagainya. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan sasaran –sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendah nya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam pendidikan berskala mikro ( tingkat sekolah ), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan proses-proses lainnya. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah ( guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan, dans ebagainya ) dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan ( Enjoyable Leaning ), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan mereka tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan yang lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus ( mampu mengembangkan dirinya ). Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/ perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya,
Prinsip-Prinsip Mutu Pendidikan 1. Fokus pada pelanggan (peserta didik) Siswa merupakan obyek yang utama dan pertama dalam proses pendidikan, yang ini lebih dititikberatkan pada proses pendidikan dari pada hasil pendidikan, karenanya fokus pada siswa dalam proses belajar mengajar ini merupakan hal yang sangat urgen dalam mencapai mutu. Pelanggan disini juga tertuju pada pelanggan eksternal yakni orang tua, pemerintah, institusi lembaga swasta (LSM), dan lembaga-lembaga lain yang mendukung terwujudnya mutu pendidikan yang unggul. 2. Perbaikan proses Perhatian secara terus menerus bagi setiap langkah dalam proses kerja sangat penting untuk mengurangi keragaman dari output dan memperbaiki keandalan. Tujuan pertama perbaikan secara terus menerus ialah proses yang handal, sedangkan tujuan perbaikan proses ialah merancang kembali proses tersebut untuk output yang lebih dapat memenuhi kebutuhan pelanggan, agar pelanggan puas.
3. Keterlibatan total Pendekatan ini dimulai dengan kepemimpinan manajemen senior yang aktif dan mencakup usaha yang memanfaatkan bakat semua karyawan dalam suatu organisasi untuk mencapai suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage) di pasar yang dimasuki. Guru dan karyawan pada semua tingkatan diberi wewenang/kuasa untuk memperbaiki output melalui kerja sama dalam struktur kerja baru yang luwes (fleksibel) untuk memecahkan persoalan, memperbaiki proses dan memuaskan pelanggan. Pemasok juga dilibatkan dan dari waktu ke waktu menjadi mitra melalui kerja sama dengan para karyawan yang telah diberi wewenang/kuasa yang dapat menguntungkan. Ciri-Ciri Mutu Pendidikan Era globalisasi merupakan era persaingan mutu. Oleh karena itu lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi harus memperhatikan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan berperan dalam kegiatan jasa pendidikan maupun pengembangan sumber daya manusia harus memiliki keunggulan-keunggulan yang diprioritaskan dalam lembaga pendidikan tersebut. Transformasi menuju sekolah bermutu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staff, siswa, guru, dan komunitas. Proses diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut. Visi mutu difokuskan pada lima hal, yaitu: a. Pemenuhan kebutuhan konsumen Dalam sebuah sekolah yang bermutu, setiap orang menjadi customer dan sebagai pemasok sekaligus. Secara khusus customer sekolah adalah siswa dan keluarganya, merekalah yang
Pusaka 67 Jurnal September - Desember 2013
produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/ bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi belajar siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam : (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, UAN, karya ilmiah, lomba akademik; dan (2) prestasi non akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, keterampilan kejuruan, dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan ( proses ) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
b.
c.
d.
Jurnal Pusaka 68 September - Desember 2013
e.
akan memetik manfaat dari hasil proses sebuah lembaga pendidikan (sekolah). Sedangkan dalam kajian umum customer sekolah itu ada dua, yaitu customer internal meliputi orang tua, siswa, guru, administrator, staff dan dewan sekolah yang berada dalam sistem pendidikan. Dan customer eksternal yaitu masyarakat, perusahaan, keluarga, militer, dan perguruan tinggi yang berada di luar organisasi namun memanfaatkan output dari proses pendidikan. Keterlibatan total komunitas dalam program Setiap orang juga harus terlibat dan berpartisipasi dalam rangka menuju kearah transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab dewan sekolah atau pengawas, akan tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak. Pengukuran nilai tambah pendidikan Pengukuran ini justru yang seringkali gagal dilakukan di sekolah. Secara tradisional ukuran mutu atas sekolah adalah prestasi siswa, dan ukuran dasarnya adalah ujian. Bilamana hasil ujian bertambah baik, maka mutu pendidikan pun membaik. Memandang pendidikan sebagai suatu sistem Pendidikan mesti dipandang sebagai suatu sistem, ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami oleh para profesional pendidikan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para professor pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan. Perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat output pendidikan menjadi lebih baik. Mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama “kalau belum rusak jangan
diperbaiki”. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru “bila tidak rusak perbaikilah, karena bila tidak dilakukan anda maka orang lain yang akan melakukan”. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.24 Kesimpulan Pendidikan merupakan kunci kemajuan , semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat/ bangsa, maka kualitas masyarakat/ bangsa tersebut akan semakin baik pula. Oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui reformasi pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah ( School Based Management ) yaitu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar dan fleksibilitas/ keluwesan-keluwesan kepada sekolah serta mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan ini adalah sebagai berikut: (1) Melakukan sosialisasi, (2) Merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah (tujuan stuasional sekolah), (3) Mengidentifikasi tantangan nyata sekolah, (4) Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran,(5) Melakukan analisa SWOT, (6) Alternatif langkah pemecahan masalah, (7) Menyusun rencana dan program peningkatan mutu, (8) Melaksanakan rencana peningkatan mutu, (9) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan, (10) Merumuskan sasaran mutu baru. 24 Jerome Arcaro, Ibid, hal. 11-14
DAFTAR RUJUKAN Abu Duhou, Ibtisam, School Based Management, Paris : UNESCO, 1999 Arcaro, Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 Fattah, Nanang, landasan Manajemen Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2004 Ihsan, Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998 Kennedy, Carol, Managing With The Gurus , Mengelola Bersama para Guru , Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1999 Kholis, Nur, Kiat Sukses Jadi Praktisi Pendidikan, Sleman : Palem, 2004 Mulyasa E, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan Implementasi, Bandung : remaja Rosda Karya, 2004 Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 2005 Murphy, Joseph and Lynn G.Beck, School Based Management as School Reform, California: 1995 Murphy, Joseph, Restructuring America’s School, an Overview, dalam Chester E.Fin Jr. And Theodor Reberber, Education Reform The ‘90, New York : McMillan Publishing Company, 1992 Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta Rosyada, Dede , Paradigma Pendidikan Demokratis,Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : Kencana, 2003 Sallis, Edward, Total Quality Management In Education, Jogjakarta: IRCiSod, 2008
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Penerbiat Nuansa Aulia, Bandung, 2005 Usman, Husaini, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2006 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983 Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Pusaka 69 Jurnal September - Desember 2013
Tafsir, Ahmad, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam , Bandung: Mimbar Pustaka, 2004
MEMBANGUN METODOLOGI PENELITIAN
MATAN HADITS Oleh: Abdurrahman, S.H.I., M.Pd.
Hadith as a search data is a complicated job and need for a sufficient knowledge. As a data, the Hadith is an object of study already had an established methodology buildings, except the validity of the Matan. Not many references are trying to organize in a concrete methodology, except for some general criteria. As the data semantically, Matan has two side studies; lafdzì and ma’nawì. This two associated with two criterion validity of the data Hadith; Syadz and ‘illat. Syàdz research can only be done, if there are two or more conflicting data of hadith. And in illat conditions, the formulation of criteria for the data appear as “false hadith”, all of which are related to the condition of Matan. Keywords: Hadith Study, criterion validity, Matan of Hadith
A. Pendahuluan
Jurnal Pusaka 70 September - Desember 2013
Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Artinya dalam Metode Penelitian terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu: cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Dari empat keriteria Metode Penelitian di atas, maka Metode Penelitian Hadits adalah: sebuah cara penelitian ilmiah yang rasional, empiris dan sistematis, berdasarkan data empiris yang valid, reliable dan obyektif, dengan tujuan untuk membuktikan keraguan terhadap suatu informasi Hadits tertentu dan kemudian digunakan untuk memecahkan masalah validitas Hadits sebagai sebuah data.
Terkait dengan metodologi penelitian, terdapat dua hal yang mempengaruhi hasil sebuah penelitian, yaitu: kualitas instrument penelitian dan kualitas pengumpulan data. Instrument yang digunakan dalam penelitian Hadits adalah peneliti itu sendiri. Seorang peneliti Hadits sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Dalam metodologi penelitian, teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam sebuah penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa teknik yang
Untuk menentukan otensitas data Hadits yang orosinil bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Para Ulama merumuskan beberapa instrument standar validitas data (Abdurrahman, 2012: 7-11), yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Memiliki data sanad (Musnad) Perawi yang memenuhi kualifikasi (adàlah al-rawi) Perawi yang memiliki kualitas intelektual tinggi (dlabth al-rawi) Kebersambungan transmisi sanad (ittishàl al-sanad) Tidak bertentangan dengan data yang lebih valid (‘adam al-syudzùdz) Tidak terdapat indikasi yang melemahkan validitas data (‘adam al-‘ilal).
Ketika kita sepakati bahwa Hadits Nabi adalah sebuah data atau informasi yang bersalah dari tradisi Nabi Muhammad SAW. 14 abad yang lalu, maka untuk memastikan otensitas data tersebut benar-benar bersumber dari Nabi adalah dengan menelusuri sumber-sumber data yang hanya dapat kita temukan berupa catatan-catatan di buku-buku Hadits. Dan lebih lanjut catatan itu juga harus dipastikan memuat orang-orang yang bertanggungjawab atas keasliannya ketika ia menyampaikan data tersebut. Orangorang tersebut biasa disebut perawi Hadits (ruwàtul Hadits atau rijàlul Hadits). Sedangkan rangkaian transmisi para perawi tersebut biasa disebut dengan “sanad”. Redaksi Hadits yang memuat data ini disebut data Hadits yang “musnad”. Setelah catatan transmisi sanad dapat dipastikan, harus dipastikan juga bahwa para perawi itu adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai seorang perawi Hadits, yaitu: muslim, mukallaf, melaksanakan ketentuan Agama, dan
memelihara citra diri (murù’ah) (Umi Sunbulah, 2008: 64).Keempat kualifikasi ini harus dimiliki seorang perawi ketika ia menyampaikan sebuah data Hadits, artinya ketika ia menerima sebuah data, ia tidak disyaratkan telah memenuhi kualifikasi tersebut kecuali bahwa ia harus sudah dapat memahami apa yang diterimanya (mumayyiz). Kepastian tentang hal ini penting, karena sangat berkaitan dengan latarbelakang kepentingan pribadi (personal subjectivity) dankejujuran, sebab sebuah data akan dapat dijamin otensitasnya jika disampaikan dengan jujur apa adanya tanpa terganggu oleh kepentingan apapun. Di samping itu, harus dipastikan bahwa para perawi itu memiliki kualitas intelektual yang dapat menjamin orisinilitas data yang ia sampaikan sebagaimana yang pernah ia dapatkan. Ketika perawi mendapatkan sebuah data informasi, kualitas intelektual perawi menggambarkan kemampuan mendengarkan, kemudian memahami informasi tersebut secara mendalam dan dapat menjaganya semaksimal mungkin hingga dapat ia informasikan kepada orang lain dengan tepat, walaupun tidak harus persis secara redaksional. Inilah yang disebut dengan “dlabth”. Artinya, dlabth merupakan kecakapan perawi dalam empat hal: 1) mendengarkan, 2) memahami, 3) menjaga dan 4) menyampaikan dengan sempurna. Untuk aspek menjaga, dapat berupa hafalan (dlabth al-shadr) atau catatan (dlabth al-kitab). Sementara itu, catatan tentang biografi setiap perawi dalam rangkaian transmisi sanad belum cukup membuktikan bahwa data tersebut otentik dan orisinil. Kita harus memastikan bahwa rangkaian transmisi perawi tersebut benar-benar valid, artinya bahwa perawi pertama benar-benar memperoleh data Hadits itu dari perawi kedua, dan perawi kedua mendapatkannya dari perawi ketiga, demikian seterusnya sampai pada sumber data yaitu: Nabi Muhammad
Pusaka 71 Jurnal September - Desember 2013
bernar, seorang peneliti Hadits tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar. Kegiatan pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara.
SAW. Untuk memastikannya harus dilacak biografi para perawi itu, mulai dari tempat dan tahun lahir, dimana ia tinggal, dimana ia belajar, kepada siapa saja ia belajar, kepada siapa saja ia mengajar, sampai tempat dan tahun kematian. Dengan demikian kita dapat memastikan kemungkinan perawi pertama benar-benar mendapatkan data dari perawi kedua yang ia sebutkan, atau bahwa perawi kedua benar-benar menyampaikan data itu kepada perawi pertama. Kepastian ini disebut dengan “ittishàl al-sanad”. Kemudian, harus dipastikan juga bahwa data Hadits tersebut tidak bertentangan dengan data lain yang dinilai lebih valid, baik bertentangan dalam data (matan) atau dalam sanad.Dan pada akhirnya, harus dipastikan secara teliti dalam validitas data Hadits tersebut tidak terdapat cacat yang menyelinap yang disebabkan oleh kesalah-fahaman dan/atau kekeliruan penerimaan atau penyampaian perawi dan dapat melemahkan validitas data tersebut. Artinya walaupun secara lahiriyah terlihat valid, namun ada kemungkinan terdapat sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak validitas data itu. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada redaksi matan atau pada sanad. Dari enam standar validitas data Hadits di atas, yang berkaitan dengan penelitian matan hanya dua kriteria; Syàdzdan ‘Illat.
Jurnal Pusaka 72 September - Desember 2013
No.
Standar Validitas
Objek Penelitian
1
Musnad
Sanad
2
‘adalah al-rawi
Sanad
3
Dlabth al-Rawi
Sanad
4
Ittishal al-Sanad
Sanad
5
‘Adam al-Syudzdudz
Sanad dan Matan
6
‘Adam al-‘Ilal
Sanad dan Matan
Harus diakui bahwa dalam kajian Studi Hadits, tidak banyak penulis memberikan gambaran tahapan secara jelas metode penelitian matan. Syuhudi Islamil sendiri, yang pernah menulis makalah tebal yang
kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Metodologi Penelitian Hadits, mengakui bahwa; ia tidak menemukan sumber yang menjelaskan langkah-langkah penelitian yang jelas, buku-buku itu, menurutnya hanya menunjukkan kriteria dan tolok ukur matan yang valid (Syuhudi Ismail, 1992:121). Perjalanan matan Hadits dimulai sejak adanya larangan kodifikasi data Hadits langsung dari Rasulullah Saw. Nabi secara tegas memerintahkan para penulis dan sekretaris untuk tidak mencatat apa yang ia sampaikan, atau data lain selain AlQur’an, atau sesuatu yang diperintahkannya untuk dicatat. Selain itu, ada penilaian tentang kemampuan daya ingat yang dimiliki oleh para Sahabat ketika itu, tentang data yang ia terima atau ia dengar atau lihat sendiri. Kondisi ini sebenarnya bukan hal yang aneh, jika kita dasarkan penilaian itu pada data berupa keseharian, bukan data redaksional. Seperti halnya seseorang yang menceritakan keluarganya yang sedang menikah atau bepergian. Karena memang dalam penyampaian data Hadits, redaksi hanya sebagai alat komunikasi antara perawi dalam tranformasi data Haditsnya. seorang perawi dapat menggunakan bahasanya sendiri, dan dengan redaksi yang ia gubah sendiri, ini disebut dengan legalitas penyampaian kandungan informasi (riwàyat bil ma’na). Kondisi ini menjadi lebih parah lagi, matan ternyata berkembang sampai salah satu bagiannya berada di luar “jalur“. Banyak ditemukan data-data palsu, imitasi dan gadungan. Bermotif kepentingankepentingan sesaat dan berlatar belakang ideologis tertentu. Data palsu dari matan itu disebutkan sebagai bagian dari data Hadits secara struktural yang kita kenal dengan istilah hadits maudlu’, walaupun sebenarnya bukan hadits sama sekali. Matan sebenarnya merupakan redaksi dari isi informasi atau pesan data sebuah hadits,sehingga sesungguhnya penelitian matan hadits adalah penelitian
redaksional, yang memiliki dua sisi bahasan; pertama : sisi kaedah kebahasaan (nadzar lafdzì), dan kedua: sisi pemaknaan kandungan (nadzar ma’nawì).Matan di sini adalah redaksi yang sudah disepakati tertulis dalam buku-buku Hadits, dimulai sejak tulisan al-Zuhri (abad ke-2 H.) atau setidaknya data redaksional yang patut untuk menjadi objek penelitian matan. Hal ini dinilai penting bagi para pemerhati data Hadits, terbukti dengan konsistensi mereka terhadap validasi redaksi-redaksi itu pada buku-buku yang ditunjuk. Berikut misalnya beberapa istilah yang membuktikan perhatian para Ulama terhadap validasi redaksi; No. 1. 2. 3. 4.
Istilah Wa fì riwàyat Hàdza lafdzu Muslim Muttafaq ‘alaih wallafdzu lil muslim Wa zàda Muslim …
Terjemahan Dalam riwayat lain (dengan redaksi berbeda) Redaksi ini adalah data valid dalam buku karya Muslim Data riwayat Bukhari dan Muslim, namun redaksi ini adalah milik Muslim Dan Muslim menambahkan redaksi dengan kata-kata berikut ….
Kriteria yang dibuat Ulama di atas, mengandung pengertian bahwa; matan berhubungan hanya dengan dua dari enam standar validitas data hadits; pertama: tidak bertentangan dengan data lain yang lebih kuat (‘adam al-syudzūdz), dan kedua: tidak mengandung indikasi yang melemahkan validitas data (‘adam al-illat). Pembagian wilayah kerja pada kriteria di atas adalah sebagai berikut: No.
Kriteria validitas matan
Standar validitas
1.
tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an yang muhkam
Illat
2.
tidak bertentangan dengan data hadits lain yang lebih valid
Illat dan syādz
3.
tidak bertentang nalar akal sehat, data empiris dan fakta sejarah
Illat
4.
tidak mengandung redaksi yang kaku dan rancu
Illat
Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian matan, peneliti perlu membuat klasifikasi status matan. Klasifikasi ini akan membantu peneliti untuk menentukan status matan sebagai pertimbangan penetuan status data hadits yang diteliti, apakah shahīh, hasan atau dla’īf. Sepanjang pengetahuan penulis mengenai hal ini, dalam berbagai sumber, Ulama memakai dua istilah yang berbeda; pertama: matan yang diterima (maqbūl) dan
Pusaka 73 Jurnal September - Desember 2013
Validasi redaksi ini penting, untuk memastikan data objek penelitian pada sisi pertama, yaitu pada sisi kebahasaan (nadzar lafdzì). Sementara untuk sisi kedua (nadzar ma’nawì), Ulama, sebagaimana disampaikan Subhi Shalih (1988:264-266), menentukan beberapa kriteria umum yang perlu ketelitian dan keluasan wawasan untuk menjalankan penelitian matan dengan kriteria berikut ini: 1. tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an yang muhkam 2. tidak bertentangan dengan data hadits lain yang lebih valid 3. tidak bertentang nalar akal sehat, data empiris dan fakta sejarah 4. tidak mengandung redaksi yang kaku dan rancu.
matan yang ditolak (mardūd), dan kedua: matan yang shahīhdan matan yang palsu (Syuhudi Ismail, 1992:127). Istilah pertama dipakai oleh al-Baghdadi dalam al-kifāyah(al-Baghdadi: 432). Istilah yang pertama ini, sebenarnya adalah istilah klasifikasi kriteria pertimbangan validitas data pada keseluruhan kegiatan penelitian hadits; matan yang diterima atau yang ditolak. Sementara istilah kedua adalah status dari matan tersebut untuk kemudian menjadi penentuan diterimanya data matan.Ini menunjukkan bahwa; matan yang berstatus shahih adalah matan yang diterima, sedangkan matan yang palsu adalah matan yang ditolak. B. Kontradiksi Data
Jurnal Pusaka 74 September - Desember 2013
Syādz adalah suatu kondisi dimana sebuah data hadits yang valid kontradiksi dengan data hadits lain yang lebih valid, yang tidak dapat dikompromikan (Muhammad al-Maliki, 1982: 124). Kondisi Syādz dapat terjadi pada dua komponen data hadits; sanad dan matan. Artinya dalam hal kondisi Syādz, peneliti akan meneliti dua objek penelitian sekaligus; kondisi Syādz dalam sanad, dan kondisi Syādz dalam matan. Data hadits dinilai memenuhi standar validitas, jika terbebas dari kondisi syādz dalam sanad dan matannya. Penelitian kontradiksi data ini dapat dilakukan, jika terdapat dua atau lebih data hadits yang saling bertentangan, baik dalam sanadnya ataupun dalam matannya. Data pertama adalah data objek penelitian, sementara data lain adalah data pembanding untuk menentukan adanya kontradiksi dengan data pertama, baik dalam sanadnya maupun dalam matannya. Namun jika hanya satu data hadits, atau tidak ditemukan hadits lain yang lebih valid dan bertentangan dengan data hadits yang sedang diteliti, maka tidak perlu dilakukan lagi penelitian kondisi syādz ini, dan peneliti bisa langsung melanjutkan penelitiannya pada standar validitas berikutnya, yaitu identifikasi ‘illat.
Tulisan ini tidak akan membahas penelusuran kondisi syàdzdalam sanad, walaupun sebenarnya penelitian kondisi syādz dalam matan dilakukan setelah penelitian syādz dalam sanad. Penelitian syādz dalam matan dilakukan lewat prosedur berikut: 1. identifikasi data lain dalam satu topik, sebagai data pembanding. 2. jika ada, adakan kajian mendalam dan serius terhadap matan data pembanding ini dan bandingkan redaksinya dengan data matan yang sedang diteliti 3. Jika ditemukan perbedaan, upayakan kompromi 4. Jika tidak dapat dikompromikan, maka data objek adalah sanad yang syādz.
Dualisme penelitian syàdzpada matan dan sanad, membuat peneliti harus cermat dalam memilih dan menentukan data pembanding, sebab data pembanding dalam dua jenis penelitian itu tidak sama, atau bahkan data pembanding bagi yang satu justru bukan data pembanding yang lain. setidaknya peneliti harus tahu bahwa data pembanding yang dimaksud dalam penelitian matan bukan merupakan data al-mutabi’ dan al-syahid. Karena Al-Mutabi’ adalah dukungan jalur lain yang berujung pada sahabat yang sama,sedangkan al-Syahid adalah dukungan jalur lain dari sahabat lain pula, dukungan al-syahid jika dengan redaksi matan yang sama disebut dengan syahid lafdzi, dan jika dengan redaksi yang berbeda namun kandungan yang sama disebut syahid ma’nawi(Abdurrahman, 2012: 45). Artinya data al-mutabi’ dan al-syahid hanya dapat menjadi data
2.
3.
4.
5.
nal oleh banyak orang. Al-Syakhawi memberikan nama kolektor Hadits yang mencatat hadits tertentu di buku sumber asli, namun jika diketahui secara pasti bahwa data itu tidak terdapat di buku-buku sumber asli, ia akan memberikan catatan : “tidak bersumber” (la ashla lah), dan jika tidak diketahui apakah pernah dikoleksi oleh salah satu kolektor Hadits, maka ia akan memeberikan catatan: “aku tidak mengetahuinya” (la a’rifuh). Tamyiz al-Thayyib min al-Khabitz karya Abdurrahman ibn Ali ibn al-Diba’ al-Syibani (w. 944). Ia adalah murid dari al-Syakhawi, dan bukunya ini adalah ringkasan dari kitab gurunya (al-Maqashid al-Hasanah) dengan beberapa tambahan. Kasyfu al-Khafa’ wa Muzilu al-Ilbas karyaIsma’il ibn Muhammad al-Jarahi al-‘Ajaluni (w. 1162). Bukunya ini memuat 3254 Hadits yang dikumpulkan dari beberapa kitab sebelumnya, seperti al-Maqashid al-hasanah karya al-Syakhawi (w. 902), al-La’ali al-Mantsurah karya Ibn Hajar (w. 852), dan al-Durar al-Muntatsirah karya al-Suyuthi (w. 911). Kelebihan buku ini, adalah catatan secara tegas jika sebuah data diketahui bukan Hadits, dan terdapat tambahan pendapat para Ulama tentang suatu data tertentu. Asna al-Mathalib fi Ahadits Mukhtalifat al-Maratib karya Muhammad ibn Darwish al-Hut (w. 1276). Bukunya ini adalah ringkasan dari kitab Tamyiz al-Thayyib karya Ibn al-Diba’ (w. 944). al-Jami’ al-Shaghir karya Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi bakar alSuyuthi (w.911). buku ini memuat 1031 Hadits dan memberikan catatan dengan menggunakan kode-kode, mengenai nama kolektor Hadits dan status Hadits (shahih, hasan, atau
Pusaka 75 Jurnal September - Desember 2013
pembanding pada penelitian syàdzpada sanad. Untuk menentukan data pembanding pada penelitian matan, seorang peneliti harus memiliki pengetahuan luas tentang tematik data Hadits yang ada dalam buku-buku Hadits, ia harus tahu bahwa data objek yang sedang ditelitinya berkontradiksi dengan data lain yang dinilai lebih valid, atau setidaknya kecakapan untuk menelusuri topik yang mirip dalam buku-buku tersebut. penelusuran data seperti ini biasa disebut dengan Takhrìj ‘anil matn, sebua mekanisme penelusuran data matan yang sama dalam buku-buku sumber. Takhrìj ‘anil matn dilakukan dengan melalui penelusuran di buku-buku kamus Hadits yang memuat alamat-alamat dimana data hadits dimaksud dapat ditemukan pada buku-buku sumber asli (Abdurrahman, 2012: 32) Buku sumber asli adalah buku-buku kolektor Hadits yang mengkoleksi Hadits dan memuat data redaksi isi Hadits secara lengkap dan data transmisi sanad Hadits secara lengkap, seperti Kutub al-Sittah. Sementara buku kamus adalah buku-buku yang memuat koleksi Hadits dengan data isi (matan) yangkadang tidak lengkap dan memberikan alamat-alamat atau setidaknya nama kolektor Hadits untuk menemukan data tersebut di buku-buku sumber asli. Setidaknya ada dua pola yang dapat dilakukan peneliti untuk menelusuri data pembanding dengan cara Takhrìj, bertolak dari kata pertama yang ada pada data matan (awwali lafdzi min matnil Hadits), atau dari kata yang jarang dugunakan (al-kalimah yaqillu daurànihà ‘alal alsinah).Pada pola pertama, Ali Jum’ah (2004: 15) menyampaikan beberapa koleksi buku-buku kamus yang diperlukan dalam pola ini antara lain: 1. al-Maqashid al-hasanah karya Muhammad ibn Abdurrahman al-Syakhawi (w. 902). Buku ini memuat 1356 data Hadits yang dike-
dla’if), sementara nama Sahabat disebutkan setelah kode nama kolektor. Sementara pola kedua dilakukan dengan menggunakan buku: Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Ahadits al-Nabawiyah. Buku ini memuat kata-kata Hadits yang disusun dengan urutan alfabeth dan aturan grammatical serta morfologi Arab. Buku ini disusun oleh sekelompok orientalis dan diterbitkan oleh salah satu dari mereka, yaitu: A.J. Wensinck (w. 1939 M.) seorang Profesor Bahasa Arab di Leaden Belanda dengan judul Concordance Et Indices de la Tradition Musulmane. Diterbitkan oleh penerbit Brill Leaden Belanda, jilid 1 sampai 6 pada tahun 1936, dan jilid tujuh pada tahun 1969. Proyek penyusunannya memakan waktu 33 tahun dan mendapatkan dukungan dana dari Lembaga Keilmuan Britania, Denmark, Swedia, Belanda, UNESCO, Aleksander Pasa, Lembaga Sosial Belanda, dan lembaga-lembaga keilmuan lainnya. Penerbitannya didukung juga oleh Dr. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi (w. 1382 H.) sebagai editor.
Jurnal Pusaka 76 September - Desember 2013
Buku ini memberikan informasi alamat-alamat hadits dari 9 buku (kutub tis’ah), dengan kode-kode. Terlihat bahwa sistem informasi yang digunakan sangat detail sehingga sangat bergantung pada akurasi buku sumber asli yang dimaksudkan dalam buku kamus ini. Terutama untuk tiga buku sumber asli: Shahih Muslim, dan Al-Muwaththa’ yang keduanya menggunakan alamat nomor Hadits, dan Musnad Ahmad ibn Hanbal yang menggunakan alamat juz dan halaman. Dr. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi telah berusaha untuk menertibkan babarapa diantara buku-buku sumber asli agar sesuai dengan sistem alamat yang ada dalam kamus ini, namun ia belum berhasil menertibkan seluruh buku sumber asli menurut alamat yang dimaksudkan dalam kamus ini sampai beliau wafat pada 1382 H. diantara buku yang ditetibkannya adalah Shahih Muslim, Sunan Ibni Majah, al-Muwaththa’, Sunan al-Tirmidzi pada ji-
lid ke-3 dan Shahih al-Bukhari yang diterbitkan dengan sekaligus Syarah-nya; Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-Asqalani oleh penerbit al-Mathba’ah al-Salafiyahdi Kairo. (Mahmud Thohhan, 1979: 69). Sebagai contoh kasus; Imam Muslim meriwayatkan dari Nubaysyah al-Hudzayli:
حدثنا رسجي بن يونس حدثنا ه�شمي أ�خربان خادل عن أ�ىب املليح عن نبيشة الهذىل قال « أ�ايم-صىل هللا عليه وسمل- قال رسول هللا » الترشيق أ�ايم أ�لك ورشب Hadits ini hanya menjelaskan tentang beberapa hari setelah hari raya kurban, disebut dengan ayyām al-tasyrīq. Bahkan Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam bab larangan puasa pada ayyām al-tasyrīq (bab tahrīm shiyām ayyām al-tasyrīq)(Muslim: 153). Pada data lain yang hanya diriwayatkan oleh Musa ibn Ulayy menambahkan data matan tidak hanya tentang ayyām al-tasyrīq, ia menambahkan hari arafah (yaum arafah) dan hari kurban (yaum al-nahr)(Abu Daud: 424). Para pakar menilai bahwa data hadits Musa ibn Ulayy mengandung data matan yang syādz, karena ia tidak lebih kuat dari data sebelumnya.. C. Identifikasi ‘Illat Data hadits tersajikan secara tertulis pada berbagai sumber, data redaksional ini adalah objek penelitian yang konkrit, dan masih ada data yang abstrak yang dapat mempengaruhi validitas data. Data abstrak inilah yang disebut dengan ‘illat. ‘Illat merupakan adanya data abstrak yang melemahkan validitas data itu (Mahmud Thohhan, 1979: 83). Berbeda dengan kondisi syādz, kondisi illat merupakan kejanggalan yang tidak terlihat. Hal ini menuntut peneliti untuk dapat melihat data abstrak yang sama sekali tidak terlihat itu, karena secara konkrit, redaksional data yang konkrit “menyembunyikan” data yang abstrak.
1.
2.
3.
4.
Indikasi data abstrak dalam data hadits yang dapat melemahkan autensitas data yang secara lahir tampak kuat dan data abstrak tersebut bukan domain kritik perawi (jarh). Indikasi dalam data hadits berupa kritik perawi, seperti tuduhan kebohongan, kealpaan dan/atau buruknya intelektualitas perawi dan indikasi tersebut dapat melemahkan autensitas data hadits. Indikasi apapun dalam data hadits yang dapat melemahkan autensitas data hadits, termasuk praktekcanceling data (naskh). Indikasi apapun dalam data hadits, termasuk indikasi yang tidak melemahkan autensitas data hadits.
Definisi pertama sama sekali tidak memasukkan penelitian kritik perawi (jarh) sebagai ‘illat. Berbeda dengan definisi kedua yang menghendaki penelitian kritik perawi (jarh) sebagai ‘illat. Sehingga mencakup beberapa istilah lain yang terindikasi lemah disebabkan factor human error (jarhu ruwàt), seperti terputusnya transmisi sanad (munqathi’) dan bahkan data palsu (maudlu’). Lebih luas lagi, pada definisi ketiga yang dipopulerkan oleh al-Khalil Abdullah al-Khalilì (w. 447 H.), definisi ini memasukkan faktor canceling data (naskh) sebagai factor penyebab indikasi yang melemahkan data hadits (‘illat). Sementara definisi keempat yang dipopulerkan oleh al-Turmudzi, bahkan mencakup indikasi apapun yang dapat disebut dengan ‘illat walaupun sama sekali tidak melemahkan data hadits. Definisi pertama adalah definisi yang sering diungkapkan dalam buku-buku kajian Hadits. Namun menariknya jika ditelusuri, Menurut Mahfudz, buku-buku yang menguraikan ‘illat Haditscenderung menggunakan definisi kedua. Penulis menganggap penemuan Mah-
fudz sangat menarik, dimana ia mencatat 50 buku yang konsen dalam menelusuri hadits dengan indikasi ‘illat, dan bahkan ditambah dengan sekian banyak buku-buku yang juga membahas hal yang sama, walaupun juga bersamaan dengan pembahasan lain. buku-buku tersebut menurutnya menggunakan definisi kedua, yang menghendaki data ‘illat tidak hanya data abstrak (amru khafì), tapi juga data konkrit (amru wujudì). Di saat yang sama, para pakar justru lebih banyak menyampaikan definisi pertama dalam buku-buku kajian Hadith Studies, yang menganggap data ‘illat hanya terwujud dalam bentuk data abstrak saja, sehingga kemudian menjadikan penelitian ‘illat Hadits sebagai kajian yang teramat sulit dijangkau. Dalam hal ini, Subhi Shalih (1988: 185-186) menyatakan; Seorang Peneliti Hadits ketika mendapatkan data dengan label; “bahwa data hadits ini mengandung ‘illat disebabkan kelemahan si-polan”, tidak boleh langsung menfonis bahwa data tersebut mengandung data ‘illat sebagaimana diistilahkan oleh para pakar Hadits. Sebab memang ada beberapa pakar yang menggunakan kata ‘llat untuk keperluan di luar yang kita maksud dalam bab ini. Sehingga label di atas tidak boleh menambah refrensi si-peneliti pada data ‘llat yang berbentuk konkrit (dzàhir) yang nota bene justru sebuah kritik terhadap perawi atas kealpaan atau kebohongannya. Data konkrit seperti ini justru mencegah sebuah data untuk disebut sebagai data terindikasi ‘llat (mu’allal). Karena ‘llat adalah indikasi abstrak yang dapat melemahkan data hadits. Hanya saja, memang ada beberapa pakar yang berpendapat bahwa definisi seperti ini adalah semata definisi yang umum (aghlabi), sehingga tidak menutup kemungkinan adanya definisi lain yang memasukkan data ‘illat yang berbetuk data konkrit.
Pusaka 77 Jurnal September - Desember 2013
Mahfud Rahman (1985: 37-38)menyebutkan empat definisi terminologi kata ‘illat dalam kajian Hadits;
Perdebatan mengenai bentuk data ‘illat dalam Hadits, berakhir pada tingkat definitif sebagaimana pernyataan Subhi Shalih. Poin kritis makalah ini mengenai bentuk data ‘illatsesuai dengan empat definisi di atas, dapat terlihat pada tabel berikut: No. 1.
2.
3.
4.
Definisi Indikasi data abstrak dalam data hadits yang dapat melemahkan autensitas data yang secara lahir tampak kuat dan data abstrak tersebut bukan domain kritik perawi (jarh) Indikasi dalam data hadits berupa kritik perawi, seperti tuduhan kebohongan, kealpaan dan/atau buruknya intelektualitas perawi dan indikasi tersebut dapat melemahkan autensitas data hadits Indikasi apapun dalam data hadits yang dapat melemahkan autensitas data hadits, termasuk praktek canceling data (naskh) Indikasi apapun dalam data hadits, termasuk indikasi yang tidak melemahkan autensitas data hadits.
Data ‘illat Abstrak
Domain ‘Illat Tidak termasuk kritik perawi
Keterangan Definisi paling umum terdapat dalam buku-buku pedoman
Abstrak dan Konkrit
Termasuk kritik perawi
Definisi yang cenderung digunakan oleh buku-buku ‘illat Hadits
Abstrak dan Konkrit
termasuk canceling data (naskh)
dipopulerkan oleh al-Khalil Abdullah al-Khalilì
Abstrak dan Konkrit
Termasuk indikasi yang tidak melemahkan
dipopulerkan oleh al-Turmudzi
Terlihat jelas, meskipun tersedia empat pilihan definisi dengan mekanisme yang makin terjangkau, namun penelitian matan (naqdul matn) sama sekali tidak beranjak dari definisi pertama, yang berarti bahwa kajian matan adalah kajian data ‘illat yang abstrak, sebagaimana dinyatakan dalam definisi tersebut sebagai kajian yang bukan domain kritik perawi (laisa liljarh madkhal), dan sepanjang pengetahuan penulis, domain inilah satu-satunya jalan yang bermuara pada data ‘illat konkrit. Mahfudz (1985: 43) yang malansir dari Al-Hakim menyebutkan sepuluh jenis ‘illat yang seluruhnya ternyata fokus pada penelitian sanad (diràsatul asànid). Walaupun ada klasifikasi lain yang dilakukan para pakar, sebagaimana disebutkan oleh Mahfudz (1985: 39-42);
Jurnal Pusaka 78 September - Desember 2013
1. 2. 3. 4. 5. 6.
‘illat dalam sanad yang sama sekali tidak melemahkan data ‘illat dalam sanad yang melemahkan data sanad saja ‘illat dalam sanad yang melemahkan data sanad dan matan sekaligus ‘illat dalam matan yang sama sekali tidak melemahkan data ‘illat dalam matan yang melemahkan data matan saja ‘illat dalam matan yang melemahkan data sanad dan matan sekaligus
Untuk mengendus adanya data ‘illat, Mahir Yasin (1999) dari hasil penelitiannya menyebutkan dua jenis data ‘illat yang berkaitan dengan penelitian matan, pertama data ‘illat yang terdapat hanya pada matan (‘ilalul matn), dan kedua data ‘illat yang bisa jadi terjadi pada matan dan/atau pada sanad (al-‘ilal al-musytarakah).Mahir membagi jenis pertama pada tujuh kemungkinan kondisi yang diusung oleh beberapa kelompokmadzhab; 1. 2. 3.
data hadits ahàd yang bertentangan dengan Al-Qur’an atau data Hadits lain adanya keranguan(Malikiyah dan Hanafiyah) data hadits ahàd yang berkaitan dengan kepentingan umum (mà ta’ummu bihìl bakwà)(Hanafiyah)
4. 5. 6. 7.
data hadits ahàd yang bertentangan dengan fatwa Sahabat(Hanafiyah) data hadits ahàd yang bertentangan dengan qiyàs (Hanafiyah) data hadits ahàd yang bertentangan dengan konsensus penduduk Madinah (Malikiyah) data hadits ahàd yang bertentangan dengan kaedah umum(Malikiyah)
Tujuh kondisi pada jenis pertama di atas, menurut penulis terkait dengan rumusan kriteria data hadits palsu, yang semuanya berkaitan dengan kondisi matan. Para pakar sebagaimana dilansir oleh Subhi Shalih (1988:264-266)merumuskan kriteria data hadits palsu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. No. 1. 2.
mengandung susunan bahasa yang rancu bertentangan dengan akal sehat dan sulit diinterpretasikan secara rasional bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam bertentangan dengan hukum alam bertentangan dengan fakta sejarah bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an atau Hadits yang muhkam dan qath‘i diluar kewajaran ukuran rasionalitas hukum.
3.
Kriteria data palsu Pertama Kedua, keempat dan ketujuh Ketiga
4. 5.
Kelima Keenam
Jenis data ‘illat Tidak ada Kondisi ketujuh
Keterangan Domain penelitian kebahasaan Berpengaruh menurut Malikiyah
Kondisi ketiga, empat, dan lima Kondisi keenam Kondisi pertama
Berpengaruh menurut Hanafiyah Berpengaruh menurut Malikiyah Berpengaruh menurut Jumhur Ulama
Dari pembahasan di atas, maka prisedur penelitian data ‘illat dalam matan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
pastikan data objek adalah data hadits ahad identifikasi adanya kerancuan dalam susunan bahasa dengan penelitian kebahasaan identifikasi data hadits lain yang terindikasi lebih kuat jika ada, adakah kajian mendalam untuk mengendus kontradiksi dalam hal kandungannya dan/atau redaksinya, seperti adanya itthiràb, ziyàdah, syàdz, idràj, taqlìbdan bahkantahrìf. Identifikasi data selain hadits, baik dari Al-Qur’an, interpretasi rasional, tujuan pokok ajaran Islam, hokum alam, fakta sejarah, dan ukuran kewajaran rasionalitas hokum. Jika tidak dapat dikompromikan, maka data objek terindikasi data ‘illat.
Pusaka 79 Jurnal September - Desember 2013
Sementara pada jenis kedua, terdapat lima kondisi: 1. bertentangan dengan data hadits lain yang sama kuat dan tidak dapat dikompromikan, ini disebut dengan itthiràb 2. penambahan redaksi dalam matan oleh perawi yang dinilai kuat (tsiqqah) 3. data riwayat perawi yang kuat bertentang dengan data riwayat beberapa perawi lain yang sama kuat, ini disebut dengan syàdz. 4. penambahan redaksi dalam matan hadits, ini disebut dengan idràj 5. adanya kesalahan perawi, seperti redaksi yang terbalik (taqlìb) ataubahkan distorsi (tahrìf)
D. Kesimpulan
Contoh kasus: Data hadits yang diriwayatkan oleh Suhayl ibn Abi Shalih (al-Turmudzi, 1996: 20):
حدثنا يعقوب بن �إبراهمي ادلوريق حدثنا عبد العزيز بن محمد قال حدثين ربيعة بن أ�يب عبد الرمحن عن سهيل بن أ�يب صاحل عن أ�بيه عن قىض رسول هللا صىل هللا: أ�يب هريرة قال عليه و سمل ابلميني مع الشاهد الواحد Hadits ini menyatakan bahwa Nabi hanya menggunakan satu saksi dalam suatu kasus. Hal ini bertentangan dengan konsep persaksian yang ada dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
واستشهدوا شهيدين من رجالمك ف�إن مل يكوان رجلني فرجل وامر أ�اتن ممن ترضون من الشهداء
Jurnal Pusaka 80 September - Desember 2013
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa prosedur penelitian kriteria validitas data matan Hadits pada aspek Syàdzmenuntut adanya data lain sebagai data pembanding. Jika tidak ditemukan data pembanding, maka sebenarnya hampir dapat dipastikan bahwa data objeksama sekali tidak memiliki kemungkinan adanya unsur syàdz. Sebab syàdzadalah suatu kondisi dimana data objek dinilai bertentangan dengan “data lain”. Sementara pada aspek ‘illat, walaupun terdapat empat pilihan definisi yang memungkinkan penelitian pada aspek ini menjadi lebih terjangkau dengan adanya data ‘illat yang berbentuk konkrit, namun dalam penelitian matan sama sekali tidak beranjak dari definisi yang hanya menghendaki indikasi data ‘illat anstrak saja. Terlihat dalam prosedur penelitian di atas, bahwa untuk mengendus adanya data ‘illatdalam matan data objek, perlu diadakan penelitian kebahasaan. Jika tidak ada kerancuan dalam aspek ini, maka kemudian beranjak pada identifikasi data lain, baik berupa data hadits lain, atau data selain hadits. Dan pada identifkasi data selain hadits, penelitian ini dapat mengadopsi kriteria data hadits palsu. Wallàhu a’lam.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Al-Karim Abdurrahman, Metodologi Penelitian Hadits, (Malang; Q-Press, 2012) Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Riyadh; Maktabah al-Ma’arif, tt) al-Baghdadi, al-Kifāyah fi Ilm al-Riwayah, (Madinah; al-Maktabah al-Ilmiyah, tt) Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, (Bairut; Dar al-Gharab al-Islami, 1996) Imad Ali Jum’ah, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsāt al-Asānīd al-Muyassarah, (Riyad; Dar al-Muslim, 2004) Mahfudz Rahman dalam al-Daruquthn, al-‘Ilal al-wàridah fìl Haditsin Nabawiyah, cetakan 1, (Riyad; Daru Tayyibah, 1985) Mahir Yasin, Atsaru ‘Ilalil Ahàdìts fì Ikhtilàfil Fuqahà’, (Bagdad: Shaddam University, 1999) Mahmud Thohhan, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsāt al-Asānīd, (Bairut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979) Muhammad al-Maliki, al-Minhal al-Latīf fī Ushūl al-Hadīts al-Syarīf, (Jedah: Mathabi’ Sahar, 1982) Muslim, al-Jamī’ al-Shahīh, (Kairo: Dar al-Salthanah al-‘Aliyah al-Bahirah, tt) Shubhi Shalih, Ulūm Al-Hadīts wa mushthalahuh, (Dar al-Ilmi li Al-Malayin, 1988) Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Wensinck, Concordance Et Indices de la Tradition Musulmane (al-Mu’jam alMufahras li Alfadzi al-Hadits al-Nabawi), (Leaden: E.J. Brill, 1936)
Pusaka 81 Jurnal September - Desember 2013
Umi Sunbulah, Kritik Hadits, Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Press, 2008)
Jurnal Pusaka 82 September - Desember 2013