JURNAL PMI Media Pemikiran dan Pengembangan Masyarakat
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
JURNAL PMI Media Pemikiran dan Pengembangan Masyarakat
Penanggung Jawab: Ketua Jurusan PMI Pimpinan Redaksi: Dr. Pajar Hatma Indra Jaya Sekretaris Redaksi Siti Aminah, M.Si. Anggota Redaksi Dr. H. Waryono, Dr. Sriharini Drs. H. Moh. Abu Suhud, M.Pd, M. Fajrul M. M.Ag, Tata Usaha As’adi, M. Pd.I
Alamat Redaksi Alamat Redaksi: Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto, Yogyakarta 55221, Telp (0274) 515856 Surel :
[email protected]. http://journal.uin-suka.ac.id/jurnalpmi
Jurnal PMI (Pengembangan Masyarakat Islam) diterbitkan pertama kali bulan September 2003 oleh Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, dan terbit dua kali dalam setahun: bulan Maret dan bulan September.
ii
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
JURNAL PMI Media Pemikiran dan Pengembangan Masyarakat
DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI
v-vi
PEMBINAAN MUALLAF; BELAJAR DARI YAYASAN UKHUWAH MUALLAF (YAUMU) YOGYAKARTA Noorkamilah
1-20
DESA JAMU: MUNCUL DAN DAMPAKNYA BAGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DUSUN KIRINGAN, CANDEN, JETIS, BANTUL Sulistyary Ardiyantika
21-36
PEMBERDAYAAN UMKM MELALUI CSR: STUDI PADA PROGRAM CSR BANK INDONESIA YOGYAKARTA Sela Marlena
37-52
PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI SOLUSI MENGATASI KEMISKINAN UMMAT Afif Rifai
53-66
MAQAMAT DALAM AJARAN TASAWUF Muhammad Hafiun
67-80
FUNGSI HADITS NABI MUHAMMAD SAW TERHADAP AL-QUR’AN: STUDI TENTANG MATERI DAKWAH Mukhyar Sani
81-104 iii
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
POTRET PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN DI ORDE KERAKYATAN Ahmad Izzudin
105-120
KECEMASAN MAHASISWA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI DALAM MENGHADAPI DUNIA KERJA Said Hasan Basri 121-140
iv
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal PMI tidak akan “lari” dari kajian-kajian transformasi sosial dan model-model intervensinya. Pada edisi kali ini Jurnal PMI mempunyai cakupan tema yang cukup luas, dari kajian pemikiran sampai studi lapangan, mulai studi tentang ekonomi sampai kajian teologi, dari berbicara tentang muallaf sampai berbicara tentang tahapan tasawuf. Dilihat dari penulisnya jurnal edisi ini juga menunjukan keberagaman, mulai dari alumni Jurusan PMI UIN Sunan Kalijaga sampai IAIN Banjarmasin. Edisi kali ini diawali tulisan Noorkamila tentang pemberdayaan terhadap para muallaf yang selama ini “sedikit” terlupakan oleh pemerintah. Noorkamila menemukan tahapan untuk memberdayakan muallaf dari tahap prasyahadat, syahadat, pasca syahadat, dan pembinaan lanjut. Dilihat dari bentuk intervensinya pembinaan terhadap muallaf harus dilakukan dalam bentuk pembinaan keagamaan dan pembinaan kewirausahaan. Tulisan kedua, bercerita tentang terbentuknya desa jamudi Dusun Kiringan yang diulas menggunakan teori trickle down efeck. Tulisan ketiga berisi tentang pemberdayaan masyarakat (UMKM) dalam program CSR Bank Indonesia di Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Kepis dan usaha gula merah KSU (Koperasi Serba Usaha) Jatirogo Kulonprogo. Tulisan keempat berisi tentang pengelolaan zakat untuk mengentaskan kemiskinan. Pada tulisan tersebut Afif Rifai optimis bahwa zakat dapat mengentasan kemiskinan, asalkan melalui enam langkah pemberdayaan. Tulisan kelima mengajak pembaca untuk melakukan refleksi diri tentang posisi keagamaan kita, terutama dilihat dari maqomat tasawuf. Tulisan keenam berisi kajian pemikiran yang panjang tentang cara dakwah yang baik. Tulisan ketujuh merupakan tulisan yang cukup teoritis terkait gerakan feminism pasca reformasi dan tulisan terakhir v
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
merupakan refleksi terhadap keilmuan dakwah dan dunia kerja. Tulisan tersebut memaparkan bahwa tingkat kecemasan mahasiswa pria ternyata lebih tinggi dalam menghadapi dunia kerja dibanding dengan wanita, sedangkan tingkat prestasi akademik, ternyata mahasiswa wanita lebih tinggi prestasi akademiknya dari pada pria.
vi
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
PEMBINAAN MUALLAF; BELAJAR DARI YAYASAN UKHUWAH MUALLAF (YAUMU) YOGYAKARTA Noorkamilah1 Abstrak Tulisan ini merupakan hasil penelitian di Yayasan Ukhuwah Muallaf (Yaumu) Yogyakarta, sebuah lembaga berbadan hukum yang memiliki mandat untuk membina orang yang masuk Islam dan membimbing orang yang sudah masuk Islam (muallaf). Tema ini menjadi penting dan menarik, karena masih minimnya pembinaan muallaf yang dilakukan secara serius dan sistematis. Padahal pembinaan kepada muallaf sangat penting dilakukan mengingat mereka umumnya masih lemah, dari sisi aqidah belum kokoh, ibadah belum sempurna dan dari sisi muamalah boleh jadi menemukan masalah-masalah baru yang kompleks sebagai implikasi dari status barunya sebagai muslim. Melalui penelitian ini, diketahui bahwa muallaf yang dibina Yaumu adalah para muallaf yang melakukan peng-Islaman di Yaumu maupun di tempat lain, kemudian mengikuti pembinaan di Yaumu. Model pembinaan dilaksanakan dalam bentuk klasikal maupun individual, yang terpola dalam empat tahapan, yakni tahap pra syahadat, peng-Islaman, pasca syahadat dan tahap lanjutan. Adapun materi yang diberikan terbagi dalam dua kelompok besar yakni materi keagamaan dan materi kewirausahaan. Sementara itu, strategi yang digunakan adalah strategi pembinaan intensif, rutin dan referal. Kata Kunci: Model Pembinaan Mualaf, Tahap Pembinaan Mualaf 1
Pengajar di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
1
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
A. Pendahuluan Adanya konversi (perubahan) pemeluk suatu agama kepada agama yang lain, merupakan fenomena yang cukup menarik. Dapat dikatakan bahwa fenomena konversi agama ini ada sejak munculnya keyakinan/agama baru, yang cenderung berusaha menyebarkan agama barunya tersebut kepada seluruh ummat manusia. Pada akhirnya kecenderungan ini, menjadi karakter setiap agama di dunia. Perubahan keyakinan seseorang dari suatu agama tertentu ke dalam agama Islam, dalam bahasa agama (Islam) dikenal dengan istilah ‘muallaf’. Perkembangan muallaf di Indonesia khususnya, menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Sebutlah misalnya, muallaf di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta, setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Sampai pertengahan tahun 2012 sudah tercatat sebanyak 193 orang yang menyatakan ke-Islamannya. Bahkan beberapa bulan di akhir tahun 2012, dapat mencapai 40 orang dalam sebulan, padahal di bulan-bulan sebelumnya biasanya rata-rata hanya 10-15 orang2. Akan tetapi meningkatnya angka muallaf, ternyata tidak diimbangi dengan pembinaan yang terstruktur bagi para muallaf ini. Kalau toh ada pembinaan, terjadi secara sporadis dan tersebar di berbagai titik seperti masjid kampus, masjid kampung, dan lain-lain. Pembinaan selama ini tidak dilakukan dengan cukup komprehensif yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan seorang muallaf. Maka tidak mengherankan apabila para muallaf ini kembali kepada agama sebelumnya. Sebagaimana pengakuan seorang murtad (keluar dari agama Islam), sebagai berikut: ‘mengapa saya memilih kembali kepada agama saya semula, ini benar-benar kesadaran diri saya sendiri. Tidak ada paksaan atau tekanan dari siapapun. Bukan juga karena motif ekonomi. Hanya saja saya merasa selama saya menjadi seorang muslim, saya tidak mampu menjalankan ibadah sebagai seorang Islam dengan sempurna. Setelah bertahun-tahun saya menjadi seorang muslim, saya belum bisa melaksanakan shalat dengan baik, saya juga tidak bisa membaca Al-Qur’an. Saya jadi bertanya-tanya, apakah Tuhan akan menerima ibadah saya kalau shalat saja saya tidak bisa bacaannya, apalagi sambil membaca bacaannya dari buku, kok rasanya lucu ya...’.3 2 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/18/m742svmualaf-di-indonesia-alami-peningkatan. 3 Diungkapkan oleh ibu X, seorang murtad yang pernah menjadi muallaf, pada Desember 2012.
2
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
Ungkapan tersebut merupakan salah satu bukti, bahwa belum ada pembinaan yang dilakukan secara intensif dan integratif kepada para muallaf. Mereka yang dalam agama semula senantiasa menjalankan ibadah dengan bersungguh-sungguh, akan dihadapkan pada keraguan dan dilema, bagaimana seharusnya menjalankan ritual ibadah dalam agama Islam yang baik dan benar.4 Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya berbagai hal yang tidak diinginkan, sangat perlu dan penting diadakan berbagai upaya guna memberikan pembinaan terhadap para muallaf ini dari berbagai aspek. Hal ini perlu dilakukan agar hidayah yang mereka dapatkan untuk masuk ke dalam agama Islam, diikuti dengan pembinaan yang diberikan secara komprehensif, sehingga mampu menguatkan keimanan mereka. Yayasan Ukhuwah Muallaf (YAUMU) adalah salah satu organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam pembinaan muallaf. Yayasan ini sengaja didirikan sebagai respon atas kondisi muallaf yang pada saat itu belum ada pembinaan yang serius dari lembaga tertentu yang memang memiliki kepedulian khusus terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi para muallaf. Untuk menjalankan misi tersebut, YAUMU melakukan dua kegiatan utama yaitu pembinaan keagamaan terkait aqidah dan ibadah, serta pembinaan pelatihan ketrampilan dalam bidang usaha ekonomi produktif. Dalam bidang pembinaan keagamaan YAUMU mencoba memberikan yang terbaik untuk para muallaf dengan memberikan pembinaan agama berupa pengajian khusus muallaf setiap pekan serta pengajian umum dan muallaf setiap bulannya, yang dibimbing oleh ustadz-ustadz yang menguasai ilmu agama Islam. Di samping itu, dua kali dalam sepekan, yayasan ini juga mengadakan pembinaan iqro atau membaca Al Qur’an rutin untuk para muallaf, juga diberikan ilmu kristologi di waktu-waktu tertentu yang memungkinkan. Adapun terkait pembinaan pelatihan keterampilan dalam bidang usaha ekonomi produktif, YAUMU telah merilis beberapa usaha untuk para muallaf yang telah tersingkir dari komunitasnya, bahkan kehilangan keluarga, saudara dan pekerjaannya. Beberapa usaha yang pernah ada dan sampai saat ini masih berjalan dengan baik adalah bu4
Memang kondisi seperti demikian tidaklah dirasakan oleh semua muallaf, sebagian muallaf juga ada yang menemukan kemantapan dan tetap mempertahankannya meskipun berbagai kendala menghadang, bahkan sampai kepada adanya berbagai bentuk kekerasan. Sebagai contoh dapat disimak dalam sebuah buku biografi seorang muallaf, Margaretha, Perjalanan Panjang Menggapai Iman; memoar pergolakan batin seorang pemeluk agama tentang iman yang diyakininya, PT Pustaka Insan Madani: Yogyakarta, 2009.
3
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
didaya jamur kuping, toko bahan bangunan dan nasi gudeg. Sehingga para muallaf yang kehilangan pekerjaan dan tidak mempunyai keterampilan di bidang usaha, YAUMU berusaha membina mereka dengan langsung melatih dan mempekerjakan di usaha-usaha yang telah dirintis tersebut, dengan harapan suatu saat mereka dapat mandiri5. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa YAUMU merupakan salah satu institusi atau lembaga yang memiliki keperdulian dengan menyelenggarakan pembinaan secara intensif dan komprehensif kepada para muallaf. Sejak berdiri tahun 2004 YAUMU telah mengadakan berbagai kegiatan yang tidak hanya berada di Yogyakarta saja sebagai pusat kota, melainkan juga merambah ke daerahdaerah lain sekitar Yogyakarta seperti Pandak Bantul, Kulonprogo, Mlati Sleman, dan berbagai tempat lain, dengan berbagai upaya pembinaan yang dilakukan dan telah membuahkan hasil yang cukup signifikan. Sejumlah muallaf juga telah menyatakan diri bergabung dalam keanggotaan Yaumu. Oleh karena itu, lembaga ini layak untuk dijadikan sebagai lembaga percontohan dalam membangun model pembinaan bagi para muallaf. B. Tinjauan tentang Muallaf Kajian tentang muallaf merupakan tema yang cukup menarik. Seringkali kata muallaf ini merujuk pada istilah yang digunakan untuk mereka yang baru memeluk agama Islam. Meskipun demikian, ada pula yang memaknainya sebagai orang-orang yang keimanannya dalam Islam masih lemah, betapapun telah memeluk Islam sejak lahir. Secara bahasa, muallaf berasal dari bahasa Arab yang berarti tunduk, menyerah, dan pasrah. Sedangkan dalam pengertian Islam, muallaf digunakan untuk menunjuk seseorang yang baru masuk Islam. Tak ada perbedaan mencolok dari dua pengertian tersebut.6 Dalam al-Qur’an kata ini ditemukan dalam Q.S. at-Taubah ayat 60 sebagai “mu’allaf quluubuhum” yang diartikan sebagai “yang dilunakkan hatinya (mu’allaf).”7 Secara definitif, istilah muallaf memiliki pemaknaan yang berbeda, 5
http://yaumu.wordpress.com/ Pengertian muallaf, http://muallaf.com/pengertian-mu’allaf/ diakses pada 27 Oktober 2014 pukul 23.24. 7 Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Qur’an, 2012.. Hal. 196. 6
4
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
baik secara historis, teologis maupun dalam makna sosiologis-politis.8 Sementara itu penggunaan istilah ini juga berbeda-beda, seperti penggunaannya dalam kehidupan keseharian, dalam dunia akademik, maupun penggunaan istilah ini secara sosiologis-politis.9 Secara historis, ada pergeseran pemaknaan terhadap kelompok muallaf ini. Pada zaman Rasulullah, kaum muallaf memperoleh perhatian yang cukup istimewa. Sebagaimana yang tercantum dalam Qs. At-Taubah; 60, bahwa muallaf adalah termasuk salah satu kelompok yang berhak menerima zakat. Demikian pula, Nabi Muhammad SAW, memberikan para muallaf ini zakat kepada mereka, dengan maksud untuk meneguhkan hati mereka, sehingga tetap pada keimanan mereka yang baru. Hati mereka para muallaf ini dilunakkan dengan pemberian zakat. Akan tetapi pada masa Abu Bakar, mereka para muallaf ini tidak lagi menerima zakat. Hal ini dikerenakan adanya perbedaan antara motif para muallaf ini dalam memeluk agama Islam. Pada masa Rasulullah, para muallaf betul-betul masuk Islam atas dasar hidayah Allah, bukan karena keterpaksaan atau sebab lainnya10. Sementara pada masa kekhalifahan berikutnya, menganggap bahwa kondisi ummat Islam sudah berbeda, saat itu Islam sudah berjaya, dan muallaf sudah tidak ada lagi karena mereka justru menjadi punggawa peradaban Islam. Bahkan, dalam hal tertentu, kualitas mereka lebih baik dibandingkan dengan kaum Quraisy Arab11. Secara teologis, pemberian zakat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, merupakan pilihan yang sangat tepat, sejalan dengan penyampaian risalah agama Islam. Dengan pemberian zakat, kelompok muallaf ini merasa menjadi kelompok orang yang diperhatikan oleh kelompok barunya12. Secara sosiologis, mereka yang dijinakkan hatinya (muallafah quluubuhum) adalah kelompok masyarakat yang belum memiliki basis pengetahuan yang mendalam akan ajaran Islam. Oleh karena itu, pemberian zakat pada golongan muallaf dimaksudkan agar mereka makin teguh, kualitas keimanan mereka makin menancap, dan pada akhirnya mereka dapat mengimplementasikan keimanannya dalam 8 Choirotun Chisaan, Mualaf, dalam Nurcholis Setiawan, dkk. Meniti Kalam Kerukunan, Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen, PT. BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2010, hal. 86-98. 9 Ibid, hal. 98-103. 10 Chisaan, ibid, hal. 88 11 Khudlari Beik, dalam Kalam Kerukunan, hal. 90. 12 Chisaan, Mu’alaf, hal. 91.
5
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
lingkungan masyarakat Islam, atau juga dengan sesama kaum muallaf lain13. Secara politis, istilah ‘muallafah quluubuhum’ mengandung pesan ‘politik penjinakkan hati’. Ini merupakan sarana politik yang diciptakan untuk memberi gambaran bahwa Islam menebarkan kelembutan, kesabaran dan kedamaian. Politik penjinakkan hati dimaksudkan untuk tujuan persaudaraan dan kedamaian masyarakat secara umum14. Sementara itu, Syekh Yusuf Qardhawi memberikan batasan muallaf adalah mereka yang diberi harta zakat dalam rangka mendorong mereka untuk masuk Islam, atau mengokohkan keislaman mereka, atau agar condong dan berpihak kepada Islam, atau untuk menolak keburukan mereka terhadap muslimin, atau mengharap manfaat dan bantuan mereka dalam membela kaum muslimin, atau agar mereka dapat menolong kaum muslimin dari musuh mereka, atau yang semisalnya.15 Secara lebih rinci, Yusuf Qardhawi membedakan muallaf dalam beberapa kategori, yakni 1) mereka yang diharapkan masuk Islam dengan memberikan pemberian kepada mereka atau mampu mengajak kaumnya, 2) mereka yang dikhawatirkan berbuat keburukan atau gangguan kepada kaum muslimin dan dengan memberinya akan mencegah perbuatan buruknya, 3) mereka yang baru masuk Islam lalu diberikan bantuan dari dana zakat agar mereka tetap teguh dalam keislamannya, 4) tokoh dan pemimpin muslim suatu kaum yang memiliki pengaruh besar terhadap keislaman kolega-kolega mereka yang masih kafir, 5) para pemimpin kabilah yang lemah imannya tetapi sangat ditaati oleh kaumnya, sehingga diharapkan dengan memberi mereka akan bertambah kuat imannya.16 Dengan demikian terdapat pemaknaan istilah yang berbeda mengenai batasan muallaf, bahwa mereka adalah orang yang baru masuk Islam, sehingga dasar-dasar pengetahuannya masih lemah dan dikhawatirkan kembali kepada agamanya semula. Adapun pengertian kedua, merujuk pada makna muallaf sebagai sekelompok orang yang tidak membenci Islam dan diharapkan suatu saat kelak mereka memperoleh hidayah dan masuk Islam. Pemahaman makna muallaf pada era modern saat ini, lebih merujuk pada pengertian pertama, Ibid, hal. 94. Ibid, hal. 95-96. 15 Yusuf Qardhawi dalam kitabnya “fiqh al-zakat” halaman 594-598, lihat http:// ibrahmu.blogspot.com/2012/11/pengertian-mu’allaf.html diakses pada 28 Oktober 2014 pukul 12.16 16 Ibid 13 14
6
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
sementara itu pemaknaan muallaf pada awal mula diturunkannya Islam merujuk kepada kedua pengertian tersebut diatas. Sehingga pada tulisan ini, yang dimaksud muallaf adalah mereka yang baru masuk Islam dan dinilai masih lemah (atau rawan dilemahkan) dalam hal keimanannya, sehingga dikhawatirkan kembali lagi kepada agamanya semula. Bagaimanapun pemaknaan terhadap istilah muallaf ini, sebenarnya tidaklah menjadi halangan untuk menemukan metode yang paling tepat bagi pembinaan mereka. Karena sesungguhnya, kata muallafmerujuk kepada orang yang masih lemah dalam ber-Islam dan dimungkinkan dapat berubah pada keyakinan lain atau keyakinan awal (bukan Islam), sehingga yang lebih penting untuk dilakukan adalah bagaimana upaya-upaya agar kondisi yang secara sosiologis disebutkan bahwa mereka belum memiliki basis pengetahuan yang mendalam akan ajaran Islam, dapat menjadi kuat. Hal ini menjadi tugas mulia para muslim untuk memberikan pembinaan yang komprehensif bagi para muallaf ini. Tim penyusun buku Muallaf yang diterbitkan sebagai kerjasama antara Kemenag RI dengan Jama’ah Al-Fikr, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membangun pola pembinaan muallaf dalam empat fase pembinaan, yakni pembinaan pra-syahadat, proses peng-Islaman, pembinaan pasca syahadat dan pembinaan tindak lanjut pasca muallaf.17 Ketiga fase pembinaan ini haruslah dilaksanakan secara konsisten sehingga proses pembinaan terhadap muallaf dapat dilakukan secara komprehensif. Pelaksanaan pembinaan pada umumnya dilakukan oleh organisasi atau institusi tertentu, yang merasa bertanggung jawab akan adanya pembinaan terhadap muallaf. Salah satu instansi atau lembaga yang melakukan pembinaan terhadap muallaf tersebut adalah Yayasan Ukhuwah Muallaf (YAUMU) Yogyakarta. Lembaga yang berdiri pada tahun 2004 ini, mendedikasikan seluruh programnya untuk pembinaan dan pengembangan muallaf. Visi lembaga yang diusungnya adalah “Mewujudkan muallaf menjadi pribadi muslim yang muttaqin, tangguh, mandiri dan kokoh aqidahnya”. Setelah sepuluh tahun berkiprah, telah banyak program yang dilakukan oleh lembaga ini. Tercatat telah ratusan orang yang telah melakukan peng-Islaman dibawah yayasan ini. Proses pembinaan ter17
Suisyanto (ed.),Pembinaan Muallaf, Yogyakarta, 2011
7
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
us-menerus dilakukan, meskipun hingga saat ini yayasan ini belum memiliki kantor sekretariat sendiri. Diantara program yang dilaksanakan adalah 1) Pembinaan dan pembimbingan keagamaan, 2) Pelatihan ketrampilan/keahlian, 3) Kepedulian sosial, dan 4) Kerjasama antar lembaga. Pada kesempatan kali ini, akan diungkap bagaimana pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Ukhuwah Muallaf terhadap anggotanya. C. Model Pembinaan Muallaf di YAUMU Merujuk pada empat fase pembinaan terhadap muallaf di atas, secara umum pembinaan muallaf yang dilaksanakan oleh Yaumu Yogyakarta mencakup keempat fase pembinaan tersebut. Akan tetapi, ada beberapa hal lain yang terkait dengan pembinaan ini, sehingga bahasan juga mencakup bentuk pembinaan, tahapan pembinaan, strategi pembinaan dan materi pembinaan. 1. Bentuk Pembinaan Bentuk pembinaan yang dilakukan Yaumu terbagi dalam dua bentuk, yakni pembinaan dalam bentuk klasikal dan individual. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing bentuk pembinaan. a. Pembinaan Individual Yang dimaksud pembinaan individual adalah pembinaan yang dilakukan secara privat, satu pembimbing satu muallaf. Sifatnya ada yang wajib, ada pula yang dilakukan berdasarkan permintaan muallaf. Pembinaan yang diwajibkan adalah pembinaan individual yang dilakukan pada awal pembinaan sebelum muallaf mengucapkan syahadat. Pembinaan pada periode ini dilaksanakan secara intensif, minimal tiga kali berturut-turut. Hal ini dilakukan agar muallaf semakin menemukan kemantapan untuk masuk Islam, sebagaimana diungkapkan oleh ibu Linda, “supaya masuk Islamnya sungguh-sungguh, ditunjukkan dengan komitment mengikuti pembinaan”.18 Pembinaan individual yang tidak diwajibkan adalah, pembinaan intensif yang dilakukan berdasarkan permintaan muallaf, seperti pembinaan baca Al-Qur’an. Beberapa muallaf meminta Yaumu untuk membimbing mereka membaca Al-Qur’an. Beberapa orang lainnya meminta diberi bimbingan di bidang ekonomi, misalnya, atau bidang yang lain, termasuk di dalamnya melayani 18
8
Wawancara dengan ibu Linda, Rabu, 12 Desember 2012, pk. 14.30.
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
‘curhat’ dari para muallaf ini. Proses pembinaan dapat berlangsung di tempat tinggal pembimbing, di masjid atau di tempat lain yang disepakati bersama. Terkadang pembimbing juga melakukan home visit, kunjungan langsung ke rumah muallaf. Hal ini selain bertujuan untuk melakukan bimbingan langsung kepada muallaf yang bersangkutan, juga diharapkan dapat sekaligus melakukan dakwah kepada keluarga muallaf, jika situasinya memungkinkan. Ada ketentuan tidak tertulis yang disepakati Yaumu, bahwa seorang pembina hanya diperkenankan untuk membina sebanyak-banyaknya tujuh orang muallaf. Hal ini dilakukan mengingat seorang pembina akan sangat kesulitan bila membina lebih dari tujuh orang muallaf, khawatirnya muallaf tidak akan terbina secara optimal, demikian pula pembinanya dikhawatirkan akan terbebani sehingga justru mengganggu ritme kehidupan keseharian para pembina.19 b. Pembinaan Klasikal Proses pembinaan klasikal dilakukan layaknya sebuah majlis taklim. Pembinaan klasikal ini dipusatkan di masjid An-Nur, sebuah masjid kampung yang berada di sekitar sekretariat Yaumu. Demikian pula di masjid-masjid yang menjadi mitra binaan Yaumu, menggunakan metode pembinaan klasikal ini. Dalam prosesnya, semua peserta pembinaan membentuk formasi melingkar. Termasuk pembina ada diantara mereka. Selain para muallaf, para pengurus yayasan juga kerap mengikuti prosesi pembinaan klasikal ini. Umumnya waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pembinaan sekitar 1,5 jam. Di masjid An-Nur sendiri, pembinaan klasikal dilaksanakan setiap hari Ahad sore, mulai pukul 16.00 – 17.30. c. Pembinaan Bersama Pembinaan model ketiga ini, yakni pembinaan bersama, dimaksudkan untuk pembinaan klasikal, akan tetapi dari sisi materi merujuk kepada permasalahan individu, sedangkan dari sisi strategi penyelesaian masalah, dilakukan secara bersama-sama antara semua warga dan pengurus. Model pembinaan bersama ini dilakukan secara berkala setiap bulan sekali, tepatnya setiap hari Ahad sore, pada pekan ke-4. Bersama-sama dalam sebuah forum membentuk lingkaran 19
Wawancara dengan Bapak H. Is, 10 Desember 2012
9
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
besar, dilakukan semacam sharing antar individu. Masing-masing warga diberi kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai masalah, hambatan atau rintangan, serta kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi solusi atas apa yang menjadi permasalahan tersebut ditawarkan kepada seluruh warga yang hadir. Boleh jadi diantara para muallaf tersebut ada yang pernah mengalami hal yang sama, dan hendak berbagi pengalaman dengan saudaranya sesama muallaf. Konsepnya memang sharing, berbagi pengalaman antara muallaf yang satu dengan lainnya, akan tetapi dalam proses ini tetap didampingi oleh pengurus atau oleh pembina ahli, yang berperan untuk memberikan klarifikasi atas berbagai persoalan yang muncul, yang sekiranya belum mengarah pada pemecahan masalah yang tepat. Sehingga, berangkat dari proses seperti demikianlah, forum pembinaan ini dinamakan oleh penulis sebagai pembinaan bersama. 2. Tahapan Pembinaan Tahapan pembinaan dimaksudkan sebagai proses pembinaan kepada para muallaf, berdasarkan pada status muallaf. Terdapat empat tahapan pembinaan, yakni tahap Pra-Syahadat, tahap peng-Islaman (syahadat), tahap Pasca-Syahadat dan tahap pembinaan lanjutan. Tahap Pra-Syahadat adalah tahap pembinaan yang ditujukan bagi calon muallaf yang baru meminta kepada Yaumu untuk di-Islamkan. Adapun tahap peng-Islaman, adalah tahap calon muallaf mengikrarkan dua kalimah syahadat sebagai bukti bahwa ia masuk Islam.
Gambar : Alur Tahapan Pembinaan Muallaf Sumber : Diolah dari data penelitian Sedangkan tahap ketiga adalah, tahap pasca syahadat, tahap 10
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
pembinaan yang ditujukan bagi mereka yang sudah memiliki status sebagai muallaf muslim. Dan tahap pembinaan lanjutan adalah tahap regenerasi, yakni penyiapan kader pembinaan muallaf. Adapun tahapan tersebut dapat ditunjukkan dalam gambar di atas. a. Pembinaan Pra Syahadat Bila dalam konteks pelayanan sosial, proses mendapatkan klien (pemanfaat layanan) dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan mendatangi langsung klien (jemput bola) atau sebaliknya, klien yang mencari/menemui pemberi layanan. Proses mendapatkan klien (calon muallaf) di Yaumu menggunakan cara yang kedua, yakni klien langsung mendatangi Yaumu dan meminta pembinaan dari Yaumu. Tahap ini ditegaskan lagi oleh Yaumu, dengan meminta calon muallaf membuat pernyataan tertulis yang dapat digunakan sebagai bukti bahwa calon muallaf tersebut benar-benar meminta pembinaan kepada Yaumu secara sukarela dan tidak terpaksa. Pada tahap ini, calon muallaf memiliki kewajiban untuk melakukan bimbingan intensif (private) bersama salah seorang pembimbing yang telah ditentukan oleh Yaumu. Proses ini sekurang-kurangnya dilakukan selama tiga kali, sebelum dilakukan peng-Islaman. Pembinaan intensif ini dilakukan semata-mata untuk memberikan kemantapan pada diri calon muallaf, bahwa mereka telah memilih jalan yang benar. Bahwa mereka pernah berada di jalan yang salah adalah masa lalu, dan kini saatnya memandang masa depan yang lebih baik. Biasanya, pada saat peng-Islaman, para calon muallaf ini memang sudah mantap masuk Islam dan telah memahami betul resiko-resiko yang dapat timbul dari keputusannya berpindah agama, sebagaimana yang dituturkan oleh Amelia, seorang muallaf yang baru saja melakukan peng-Islaman, ketika ditanya tentang kesiapannya berhadapan dengan keluarga besarnya, sebagai berikut: “saya siap dengan berbagai resiko yang harus saya terima, bahkan untuk resiko terburuk, saya dikeluarkan dari daftar keluarga-seperti yang dialami saudara sepupu saya, saya sudah siap”.20 b. Tahap Peng-Islaman Proses peng-Islaman biasanya dilakukan sesegera mungkin. 20
Wawancara dengan Am, beberapa saat setelah peng-Islaman, pada hari Senin, 10 Desember 2012, di sekretariat muallaf.
11
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Yaumu tidak akan menunda-nunda proses peng-Islaman apabila muallaf sudah siap untuk di-Islamkan. Hal ini menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti adanya kemungkinan yang bersangkutan berubah pikiran, tidak jadi masuk Islam, atau bahkan tidak sempat mengucapkan kalimah syahadat karena dipanggil Tuhan, sebagaimana yang dituturkan oleh ibu Linda, “Yaumu biasanya merespon cepat permohonan pengislaman. Khawatirnya mereka berubah pikiran, dan siapa yang tahu kan ajal seseorang....”.21 Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang muallaf sebelum dilakukan peng-Islaman, yakni; 1) Foto copy KTP yang masih berlaku, 2) mengajukan permohonan, 3) mengikuti pembinaan instensif sekurang-kurangnya 3 kali. Proses peng-Islaman ini dilaksanakan oleh seorang pembimbing laki-laki untuk muallaf laki-laki dan seorang pembimbing perempuan untuk muallaf perempuan. Bila yang masuk Islam adalah suami istri, maka peng-Islaman dibimbing oleh pembimbing laki-laki. Adapun prosesi dari peng-Islaman ini adalah sebagai berikut:22 1) Pembacaan permohonan peng-Islaman oleh muallaf. 2) Teks permohonan sudah disiapkan dan sudah ditandatangani oleh calon muallaf. Pada saat prosesi, teks ini dibacakan kembali, dan didengar oleh seluruh warga yang menyaksikan prosesi peng-Islaman. 3) Membaca Basmallah. 4) Prosesi peng-Islaman diawali dengan membaca lafadz Basmallah, Bismillaah arrahmaan arrahiim, dibimbing oleh pembimbing peng-Islaman. 5) Membaca dua kalimah syahadat, beserta artinya. 6) Kata demi kata pembimbing membacakan dua kalimah syahadat. Bila pembacaan kalimah syahadat ini belum begitu jelas, maka pembimbing mengulang-ulangnya sampai beberapa kali. Setelah itu, baru kemudian dibaca artinya. 7) Pemberian tausyiah. 8) Tausyiah atau nasihat disampaikan begitu prosesi pengIslaman selesai. Bagi muallaf perempuan, tausyiah disampaikan oleh pembimbing perempuan, dan bagi muallaf 21 22
12
Wawancara dengan ibu Li, Rabu, 12 Desember 2012. Hasil observasi hari Ahad, 9 Desember 2012.
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
laki-laki, tausyiah diberikan oleh pembimbing laki-laki. Materi tausyiah melipuiti 3 aspek, pertama, tentang aqidah, kedua, tentang ibadah dan ketiga, tentang muamalah.23 9) Pembacaan do’a. 10) Pembacaan do’a bersama dipimpin oleh salah seorang pembina. Biasanya bila yang memberi tausyiah laki-laki, maka beliau inilah yang sekaligus juga memimpin do’a bersama. Akan tetapi bila muallafnya perempuan, dan yang menyampaikan tausyiah juga perempuan, maka pembacaan do’a bersama dipimpin oleh seorang laki-laki. 11) Pemberian cinderamata, sebagai tanda cinta kasih. 12) Cinderamata ini berisi; Al-Qur’an dan Terjemah, Panduan Shalat, Fiqh dan Tafsir. Diharapkan cinderamata ini dapat menjadi bekal muallaf ketika ada sesuatu hal yang harus segera ditemukan jawabnya. Cinderamata ini sengaja berisi ajaran yang pokok-pokok saja, seperti tuntunan shalat dan fiqh. Pada akhir peng-Islaman, biasanya semua jama’ah yang menghadiri prosesi ini diminta untuk memberikan salam, mengucapkan selamat kepada muallaf. Suasana haru biasanya akan mengikuti prosesi ini. Betapa tidak, ini adalah momuntum bersejarah bagi para muallaf, dan bagi para hadirin yang menyaksikan juga merupakan kebahagiaan tersendiri atas hidayah Allah yang telah diturunkan kepada salah seorang hamba-Nya.24 Diantara hak muallaf selain memperoleh cinderamata, mereka juga memperoleh sertifikat, sebagai tanda bukti telah berpindah keyakinan. c. Pembinaan Pasca Syahadat Proses pembinaan pasca syahadat ini bukan berarti hanya diberikan kepada mereka para muallaf yang melakukan prosesi peng-Islaman di Yaumu saja, melainkan berlaku bagi siapa saja muallaf, baik yang telah lama menjadi muallaf maupun yang baru saja menjadi muallaf, baik yang melakukan peng-Islaman di Yaumu maupun di tempat lain. Pembinaan pasca syahadat sangat perlu dilakukan untuk menjaga semangat ke-Islaman muallaf dan meningkatkan keimanan dan keyakinan muallaf yang relatif masih baru mengenal 23 24
Wawancara dengan Bapak Is, hari senin, 10 Desember 2012. Hasil observasi pada hari Ahad, 9 Desember 2012.
13
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Islam. Tidak sedikit muallaf yang kembali kepada keyakinannya semula, salah satunya disebabkan karena tidak adanya pembinaan yang dilakukan kepada mereka setelah mengikrarkan kalimah syahadat. Padahal sebenarnya, apapun motivasi dibalik keinginan para muallaf masuk agama Islam, itu merupakan hidayah Allah yang sudah seharusnya disambut baik oleh kaum muslim. Banyak para muallaf yang akhirnya harus mencari sendiri sumber-sumber yang dapat membantu mereka meningkatkan kualitas keislaman mereka. Selama semangat ber-Islam masih kuat, sebenarnya tidak ada masalah dengan hal demikian. Akan tetapi, tidak semua muallaf memiliki semangat dan motivasi yang tinggi untuk terus-menerus menyempurnakan keislamannya. Bagi yang kurang kuat, sangat mungkin mereka memilih untuk kembali kepada keyakinannya semula, karena mungkin, merasa dalam Islam tidak menemukan apa yang mereka harapkan. Dengan demikian, sebenarnya pembinaan pada tahap pasca syahadat ini menempati kedudukan yang sangat menentukan. Meningkat atau tidaknya kualitas keislaman seorang muallaf sangat ditentukan dari pembinaan yang dilakukan pada tahap ini. Hal inilah yang sangat disadari oleh para pengurus Yaumu. Sehingga tidak mengherankan bila para pengurus ini, khususnya mereka yang termasuk pengurus senior, bekerja all out dalam yayasan ini25. d. Pembinaan Lanjutan Pembinaan yang dimaksudkan lebih merupakan proses kaderisasi dalam tubuh Yaumu. Walaubagaimanapun Yaumu membutuhkan proses regenerasi pembina. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membina mereka yang dipandang potensial secara lebih maksimal sehingga mereka, para muallaf ini juga mampu membina muallaf yang lain. Karenanya, saat ini terdapat beberapa muallaf yang telah menjadi pembina bagi muallaf lainnya, bahkan telah mampu melakukan pembinaan pada pra syahadat dan membimbing prosesi peng-Islaman.26 3. Materi Pembinaan Materi pembinaan muallaf di Yaumu terbagi dalam dua hal, yakni materi keagamaan dan materi kewirausahaan. Mengapa hal ini dilakukan, karena sebenarnya Yaumu sangat menyadari betul, bahwa 25 26
14
Hasil wawancara dengan ibu Li, tanggal 12 Desember 2012 Hasil observasi pada hari Senin, tanggal 10 Desember 2012
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
“tidak bisa membina agama, sementara perutnya keroncongan”.27 Bahkan bukan rahasia lagi kalau ternyata banyak orang Islam yang murtad karena masalah perut ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa, “kefakiran akan mendekatkan seseorang pada kekufuran”. Sudah umum diketahui di beberapa daerah tertentu, keimanan seseorang hanya sebesar Mie Instan, dapat berubah begitu saja hanya karena di beri Mie Instan. Hal ini merupakan fenomena yang cukup memprihatinkan. Bahkan ada beberapa daerah yang pada tahun sebelumnya 100% muslim, saat ini sulit mencari keluarga muslim, karena hampir semua penduduk telah berpindah agama. Oleh karena itu, pembinaan perlu dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan rohani saja, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan jasmani. a. Pembinaan Keagamaan Pembinaan keagamaan dalam hal ini dilakukan dengan membina muallaf dari aspek keagamaan. Materi-materi yang diberikan terkait pembinaan keagamaan adalah materi-materi pokok, seperti penguatan aqidah, ibadah dan muamalah. Materi penguatan aqidah perlu diberikan karena, mereka para muallaf ini masih relatif baru mengenal Islam, sehingga penguatan aspek aqidah menjadi penting untuk dilakukan. Terlebih ada perbedaan yang cukup tajam antara hal-hal yang diyakini sebagai Tuhan pada keyakinan sebelumnya dengan materi ketauhidan dalam agama Islam. Oleh karena itu, dalam pemberian materi aqidah ini, senantiasa dilakukan perbandingan-perbandingan, ditunjukkan perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar antara hal-hal yang harus diyakini dan diimani dalam Islam dengan apa yang para muallaf yakini sebelumnya. Untuk menguasai materi ini, kerapkali pengurus mengambil tema khusus membahas Kristologi, karena secara kuantitatif juga, para muallaf ini lebih banyak yang berasal dari agama Kristen dan Katolik, meskipun ada sebagian kecil yang berasal dari agama Hindu atau Budha. Materi keagamaan yang terkait dengan ibadah, diberikan terutama pada bab shalat. Yaumu mempertimbangkan bahwa shalat adalah kewajiban muslim yang harus dilakukan dan merupakan amal pertama yang dihisab kelak di yaumil akhir. Oleh karena itu, ada penekanan khusus dalam pembinaan materi ibadah shalat 27
Wawancara bersama bu Yu, 8 Desember 2012
15
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
ini.
Para muallaf dibimbing sejak bab thaharah, bagaimana cara mereka berwudlu, bahkan bagaimana cara bersuci seketika usai melakukan ikrar syahadat. Berikutnya adalah bagaimana shalat ditegakkan, tata cara beserta bacaannya. Materi ini diberikan tidak hanya dalam bentuk teori, melainkan juga praktik. Sehingga pembimbing dapat langsung membetulkan bila ada praktik yang dianggap masih kurang sempurna. Materi ibadah akan terusmenerus meningkat kepada bab berikutnya seperti bab puasa dan zakat. Materi pembinaan terkait muamalah menjadi penting pula diberikan mengingat sebagai seorang muallaf, mereka menyandang status baru. Tentu saja status baru akan berimplikasi pada peran sosial yang baru di masyarakat. Mereka tidak akan lagi mengikuti ritual ibadah bersama penganut agama sebelumnya. Sebaliknya, mereka akan bertemu dengan banyak orang yang baru dikenalnya. Mereka juga dihadapkan pada kemungkinan orang terdekatnya menolak keputusan yang mereka ambil, teutama orang tua dan keluarga besarnya. Khusus untuk interaksi dengan orang tua, Yaumu sangat menekankan pentingnya berbuat baik kepada orang tua, apapun agamanya. Para muallaf disarankan untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti orang tua mereka, betapapun dihadapkan pada resiko terburuk, dicoret dari daftar anggota keluarga. Selamanya orang tua adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkan hingga dewasa. Karenanya, Islam mewajibkan setiap ummatnya untuk senantiasa berbuat baik kepada orang tua. b. Pembinaan Kewirausahaan Pembinaan kewirausahaan hanya diberikan kepada mereka yang secara ekonomi masih lemah. Pembinaan dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha, yang jumlahnya bervariasi sesuai kebutuhan permodalan muallaf, yakni berkisar Rp. 500.000,00 – Rp. 1.000.000,00. Modal yang diberikan tesebut merupakan uang pinjaman, lebih tepatnya, pinjaman tanpa bunga-- yang tetap harus dikembalikan kepada Yaumu dengan mekanisme tertentu. Mekanisme yang dimaksud adalah, dengan mewajibkan penerima modal untuk menyisihkan uang hasil usaha hari itu untuk dua hal pokok, yakni infaq (yang jumlahnya sesuai kemampuan) 16
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
dan nyicil angsuran pinjaman modal. Sehingga dalam waktu yang telah ditentukan, pinjaman ini pun berakhir dan dinyatakan telah selesai atau dilunasi. Untuk memperoleh pinjaman tersebut, Yaumu mensyaratkan dua hal agar dipenuhi oleh muallaf yang membutuhkan pembinaan kewirausahaan, yakni; 1) surat permohonan, dan 2) naskah kerjasama, dan 3) kesediaan mengembalikan pinjaman. Setelah hal tersebut dipenuhi, pihak Yaumu akan memberikan modal yang dibutuhkan sesuai dengan usulan pinjaman yang diajukan, setelah terlebih dahulu dilakukan analisis kebutuhan oleh pihak Yaumu berdasarkan jenis usaha yang akan dilakukan. Tidak hanya bantuan modal, Yaumu juga turut memberikan bantuan teknis dalam mengembangkan usaha muallaf. Misalnya, dengan memberikan masukan-masukan ketika muallaf merasa tidak menemukan jalan keluar, seperti usaha apa yang sebaiknya dijalankan, bagaimana menjalankan usaha itu, dimana usaha itu dijalankan, dsb.28 4. Strategi Pembinaan Pada prinsipnya, pembinaan yang dilakukan oleh Yaumu mengacu kepada cita-cita sederhana tetapi mulia, yakni ”Memfasilitasi orang yang mau masuk Islam dan membimbing orang yang telah masuk Islam”.29 Oleh karena itu, secara umum pembinaan yang dilakukan Yaumu terhadap warganya, tidak lepas dari cita-cita mulia tersebut. Strategi pembinaan dimaksudkan sebagai upaya untuk mencapai cita-cita tersebut. Ada tiga strategi besar yang digunakan Yaumu dalam proses pembinaan, yakni pembinaan yang dilakukan secara intensif, pembinaan rutin dan pemberian rujukan (referal). a. Pembinaan Intensif Pembinaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat evolutif. Sebuah proses membangun kesadaran dan pemahaman atas sesuatu hal yang memang menjadi materi pembinaan. Akan tetapi dalam situasi tertentu yang dianggap merupakan kondisi emergency, proses evolusi ini ‘dipaksa’ melakukan tugasnya sesingkat mungkin. Sehingga diperlukan proses penguatan kesadaran dan pemahaman dalam waktu yang relatif singkat. Maka dilakukanlah pembinaan intensif, dengan tujuan dalam waktu sesingkat mungkin terbentuk kesadaran baru. 28 29
Wawancara dengan Bapak H. Is, 10 Desember 2012 Wawancara dengan Bapak H. Is, tanggal 10 Desember 2012
17
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Pembinaan intensif diberikan Yaumu kepada calon muallaf yang telah menyatakan keinginannya untuk berpindah keyakinan ke dalam agama Islam. Bagi Yaumu, seketika ada orang yang mengutarakan keinginannya, itu adalah bagian dari hidayah Allah yang harus segera disambut dan disikapi secara positif. Yaumu tidak akan memperpanjang dan memperlambat proses, prinsipnya, kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat? Pembinaan intensif akan sangat membantu calon muallaf untuk semakin memantapkan bathinnya dalam memasuki agama baru, yang sangat berbeda dengan keyakinannya semula. Melalui pembinaan intensif ini, secara mental calon muallaf juga disipakan untuk mampu menghadapi berbagai resiko pasca perpindahan agamanya. b. Pembinaan Reguler Pembinaan reguler merupakan pembinaan yang dilaksanakan secara rutin setiap pekan, yang dilaksanakan setiap hari Ahad sore, bertempat di masjid An-Nur, Bantengan, Yogyakarta. Adapun agenda pembahasan pada Ahad pekan pertama adalahkajian aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalah, diselang-seling setiap pekannya dengan kajian Kristologi. Sementara itu materi kajian pada Ahad kedua sampai ke lima, berisi tentang pendalaman ke-Islaman. Acara pembinaan pekanan ini diawali dengan membaca tilawah dan terjemah Al-Qur’an, kemudian kultum oleh pembina yang bertugas pada pekan tersebut, dan diakhiri dengan tausyiah oleh ustadz/ustadzah yang ditunjuk. Semua petugas tilawah, kultum maupun tausyiah telah terjadwal, yang berlaku selama satu tahun. Diluar agenda rutin pekanan tersebut, seringkali ada acara peng-Islaman, sehingga agenda yang sudah direncanakan dirangkaikan dengan acara peng-Islaman tersebut. Pembinaan rutin juga dilakukan di daerah-daerah yang menjadi mitra binaan Yaumu. Ada yang secara rutin dilakukan pekanan, 2 pekanan, bulanan, bahkan ada yang setiap 3 bulan. Dalam acara rutin di daerah mitra binaan ini, pengurus Yaumu akan hadir di lokasi, betapapun jaraknya cukup jauh. c. Rujukan (Referal) Referal yang dimaksud disini adalah pengalihan pembinaan yang dilakukan Yaumu karena ada kendala teknis, seperti ja18
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
rak tempat tinggal yang jauh. Biasanya para muallaf ini ditanyai masjid terdekat dengan rumahnya, kemudian pihak Yaumu secara resmi menyampaikan kepada masjid tersebut bahwa ada diantara warganya yang telah menjadi muallaf. Yaumu juga meminta pihak masjid untuk melanjutkan pembinaan terhadap muallaf tersebut. Masih dalam strategi ini, Yaumu juga memiliki mitra binaan, yang tersebar di beberapa daerah di Yogyakarta, yakni di Imogiri dan Pundong di Bantul, kemudian di Kisik Kulonprogo dan Gamping serta Minggir, di Sleman. Setiap mitra binaan ini memiliki komunitas dampingan muallaf. Berbagai kegiatan dampingan dipusatkan di masjid-masjid. Umumnya daerah yang menjadi mitra binaan ini adalah termasuk daerah yang rawan pemurtadan. Sebagai contoh, mitra binaan di Pundong Bantul, terbentuk beberapa saat setelah adanya bencana gempa bumi di Bantul. Yaumu sangat menyadari bahwa dalam kondisi semacam itu, sangat rawan terjadi pemurtadan. Sehingga Yaumu berinisiatif untuk membuka posko bantuan kemanusiaan, dan sampai sekarang daerah ini menjadi mitra binaan Yaumu. D. Kesimpulan Muallaf pada hakikatnya merupakan kelompok orang Islam yang masih lemah dalam ke-Islamannya. Keimanannya belum kokoh, masih sangat mungkin goyah, sehingga diperlukan pembinaan yang intensif untuk menguatkan kondisi keimanannya. Meskipun demikian, permasalahan muallaf tidaklah hanya sebatas masalah keyakinan yang belum kokoh, melainkan juga tidak sedikit muallaf yang juga dihadapkan pada masalah perekonomian yang lemah. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya pembinaan secara komprehensif, sehingga terjadi peningkatan kualitas muallaf dari segi keimanan, maupun sosial ekonomi kemasyarakatan. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada kebijakan yang secara tegas dan jelas mengatur siapa sebenarnya pihak yang paling bertanggung jawab melakukan pembinaan-pembinaan tersebut. Adanya inisiatif dan keinginan mulia yang dimiliki oleh masyarakat, seperti YAUMU, kemudian mengisi kekosongan peran yang semestinya telah diantisipasi dan dilaksanakan secara serius oleh pihak terkait, dalam hal ini adalah pemerintah, khususnya Kementerian Agama. 19
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemah New Cordova, Syamil Qur’an: Bandung, 2012. Choirotun Chisaan, Mu’alaf dalam Nurcholis Setyawan, dkk. Meniti Kalam Kerukunan, Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen, PT BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2010. Margaretha, Perjalanan Panjang Menggapai Iman; memoar pergolakan batin seorang pemeluk agama tentang iman yang diyakininya, PT Pustaka Insan Madani: Yogyakarta, 2009. Suisyanto, dkk., Pembinaan Muallaf, Dirjen Kemenag dan Kelompok Studi al-Fikroh: Yogyakarta, 2011. h t t p : / / w w w. r e p u b l i k a . c o . i d / b e r i t a / d u n i a - i s l a m / i s l a m nusantara/12/07/18/m742sv-mualaf-di-indonesia-alami-peningkatan. http://www.mualaf.com http://yaumu.wordpress.com/about/
20
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
DESA JAMU: MUNCUL DAN DAMPAKNYA BAGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DUSUN KIRINGAN, CANDEN, JETIS, BANTUL Sulistyary Ardiyantika1
Abstrak Keberadaan jamu saat ini sudah tidak seeksis di zamannya dahulu. Jamu sebagai warisan nenek moyang yang seharusnya dilestarikan keberadaanya saat ini bernasib sangat memprihatinkan. Apalagi di tengah perkembangan obat-obatan modern yang kiat menjamur saat ini semakin menggiring jamu menuju ambang kepunahan. Namun pemandangan berbeda terjadi di Dusun Kiringan Bantul, ratusuan ibu-ibu di dusun ini masih tetap menjaga eksistensi jamu tradisional. Dusun ini bahkan sampai dijuluki sebagai dusun jamu karena keberadaan para penjual jamunya yang sudah hampir beratus-ratus tahun lamanya memproduksi jamu. Awal mula lahirnya Dusun Kiringan sebagai Dusun Jamu dimulai dari keberhasilan satu orang yang menular ke tetangganya yang akhirnya membuat satu kampung melakukan peniruan. Dilihat dari dampak, profesi sebagai penjual jamu telah menjadikan ibu-ibu di Dusun Kiringan lebih produktif yang mampu berpenghasilan sendiri demi membantu dan meningkatan kesejahteraan keluarganya. Kata Kunci: Lahirnya Desa Jamu, Peniruan, Peningkatan Kesejahteraan. 1 Sulistyary Ardiyantika S.Sos.I Merupakan alumnus dari Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam dan saat ini aktif menjadi Volunteer di Pusat Layanan Difabel serta menjadi salah satu pengurus Laboratorium PMI.
21
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
A. Pendahuluan Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal sebagai daerah tropis yang kaya akan berbagai jenis spesies. Luas wilayah Indonesia sekitar 9 juta km2 terdiri dari 2 juta km2 daratan dan 7 juta km2 lautan. Indonesia mempunyai tingkat keberagaman kehidupan yang sangat tinggi sehingga dikenal sebagai Mega Center dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar kedua setelah Brazil. Indonesia mempunyai sekitar 30.000 jenis tumbuhan endemik atau asli Indonesia, yang mana 7.000 diantaranya dipercaya memiliki khasiat sebagai obat.2 Khasiat obat yang terkandung dalam berbagai tumbuhan tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan berbagai ramuan kesehatan tradisional, seperti jamu. Jamu di Indonesia pertama kali muncul di lingkungan istana, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dahulu resep jamu hanya dikenal di kalangan keraton dan tidak diperbolehkan keluar dari keraton. Sampai permulaan abad XX tradisi meracik jamu tersebut masih menjadi sesuatu yang ekslusif dan hanya dikerjakan oleh kalangan tertentu saja. Tetapi seiring perkembangan zaman, orangorang lingkungan keraton mulai mengembangkan dan mengajarkan bagaimana meracik jamu kepada masyarakat di luar benteng keraton dan menyebar di seluruh wilayah di Jawa sehingga keberadaan jamu sangat identik dengan masyarakat Jawa.3 Tradisi meramu tanaman untuk obat tidak hanya terdapat di Indonesia, beberapa wilayah seperti India, Arab dan China mempunyai tradisi serupa dengan tradisi jamu di Indonesia. Di Arab memiliki tradisi pengobatan tradisional yang dikenal dengan sebutan Thibb AsySya’biy dan diperkirakan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW terdahulu. Sedangkan di India istilah meramu obat tradisional dikenal dengan filosofi Ayurveda. Adapun di China, obat tradisional China (Traditional Chines Medicine) telah lebih dari 3000 tahun dipercayakan masyarakat sebagai sistem pengobatan umum sampai saat ini dan bahkan oleh pemerintah China menetapkan obat tradisional China sebagai salah satu pusaka negara4. Hal ini berbeda dengan perkembangan jamu di Indonesia, seiring 2 Sampurno, Obat Herbal Dalam Prespektif Medik Dan Bisnis. Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta, 2007. 3 Joko Prasetiyo, “Jamu-Nusantara”, Http://Www.Bursaide.Com/Ide/143/ Jamu-Nusantara. Diakses pada 08-04-2013. Ibid, Joko Prasetiyo, Http://Www.Bursaide.Com/Ide/143/Jamu-Nusantara Diakses pada 08-04-2013 4
22
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
perkembangan zaman keberadaan jamu semakin tergeser dari kehidupan masyarakat oleh kehadiran berbagai macam obat modern. Keampuhan obat modern yang dianggap lebih cepat dalam menyembuhkan penyakit menjadikannya sangat populer di kalangan masyarakat. Apalagi dalam dunia kedokteran, obat-obatan modern selalu diberikan kepada pasiennya sebagai resep utama untuk penyembuhan. Padahal jika diteliti, sebenarnya dibalik keampuhan obat-obatan modern tersebut terdapat efek samping yang merugikan dan banyak meninggalkan residu bagi tubuh manusia. Walaupun efektivitas dan stabilitas produknya sudah teruji, tetapi tingkat keamanan dan keberhasilannya masih diragukan. Apalagi Jika dikonsumsi secara berlebihan dan terus-menerus, beresiko tinggi menimbulkan kerusakan pada jantung, ginjal, hati dsb. Kondisi ini secara otomatis akan memunculkan persoalan baru di masyarakat karena niat hati mengkonsumsi obat untuk menyembuhkan penyakit tetapi justru merupakan sumber datangnya suatu penyakit. Anggapan bahwasanya mengkonsumsi obat modern lebih cepat menyembuhkan penyakitpun semakin mematahkan keberadaan obat-obatan tradisional, seperti jamu. Jamu sebagai salah satu bukti napak tilas perjalanan kehidupan nenek moyang terdahulu, saat ini jejaknya semakin menghilang dan terus bergeser menuju kepunahan.5 Pergeseran kebudayaan yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman serta pilihan menerapkan pola hidup serba instan menjadi tren di masyarakat sehingga mengakibatkan keterpurukan bagi dunia perjamuan. Perubahan karakter masyarakat yang sudah bermetamorfosis dengan dunia modern juga menjadi pemicu utamanya. Usia yang lama lantas tidak menjamin suatu kepopuleran, buktinya saja keberadaan jamu yang sudah ribuan tahun berkiprah menemani masyarakat bisa terhimpitkan seiring berjalannya waktu. Namun, di Dusun Kiringan, Canden, Kecamatan Jetis, Bantul hampir semua rumah memproduksi jamu sehingga dikenal sebagai “dusun Jamu”.6 Dusun ini bahkan dikenal sebagai sentra penghasil jamu terbesar di Yogyakarta. Berbagai resep tradisional diperoleh langsung dari nenek moyangnya dari generasi ke generasi. Keberhasilan dalam menjaga eksistansi jamu tidak terlepas dari peran para perempuan di 5 Perpustakaan Nasional RI, Seri Obat-Obatan Tradisional Dalam Naskah Kuno. ( Jakarta: 1993). Hal. 504. 6 Wawancara dengan Bapak Karjilan, Masyarakat Dusun Kiringan, Canden, Jetis Bantul. Tanggal 25 April 2013 pukul 11.40 WIB.
23
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Dusun Kiringan. Jamu-jamu tersebut diproduksi dan didistribusikan oleh para perempuan ke berbagai penjuru di daerah Bantul dan sekitarnya. Berdasarkan latar belakang di atas saya ingin mengetahui 1). Bagaimana sejarah munculnya Dusun Kiringan sebagai dusun jamu? dan 2). Bagaimana dampak dari adanya profesi sebagai penjual jamu tersebut dalam peningkatan kesejahteraan keluarga. B. Kajian Pustaka Terdapat beberapa penelitian yang mengulas tentang Dusun Kiringan. Seperti halnya Penny Rahmawaty, Nahiyah Jaidi Faraz dan Gunarti dalam penelitiannya yang berjudul ”Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Jamu Gendong Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Kabupaten Bantul”7 yang difokuskan kepada pengurus dan anggota kelompok pengerajin jamu gendong yang tergabung dalam Koperasi Seruni Putih. Sedangkan penelitian kedua membahas tentang hasil Evaluasi Program Pemberdayaan Perempuan Berbasis Iptek Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Bantul DIY.8 Dalam penelitian ini membahas sejauh mana tingkat keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan melalui kelompok pengerajin jamu gendong “Seruni Putih” di Kiringan dan manfaat yang diperoleh dari hasil pemberdayaan bagi para penjual jamu tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, secara keseluruhan belum ada yang membahas secara spesifik mengenai bagaimana sejarah awal terbentuknya dusun Kiringan sehingga menjadi dusun jamu dan dampak yang dihasilkan dari profesinya sebagai penjual jamu tersebut dalam proses peningkatan kesejahteraan keluarganya. C. Kerangka Teori Dampak merupakan suatu akibat yang timbul setelah dilakukannya sesuatu. Adapun dampak yang bersifat positif akan menguntungkan dan dampak negatif bersifat merugikan. Serupa ketika suatu dampak menghasilkan hal yang positif akan menjadi rujukan banyak kalangan untuk pro dan berusaha mengikutinya akan tetapi sebaPenny Rahmawaty, dkk. Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Jamu Gendong Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Kabupaten Bantul. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. UNY: Yogyakarta, 2007). 8 Nahiyah Jaidi Faraz, dkk. Evaluasi Program Pemberdayaan Perempuan Berbasis Iptek Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Bantul DIY. Proseding Pengembangan Kewirausahaan Perempuan Dalam Mikro Dan Kecil. Lipi: Yogyakarta, 2007. Hal, 421. 7
24
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
liknya ketika dampak tersebut bersifat negatif akan dijauhi dan sebisa mungkin untuk segera diperbaiki. Teori Trickle Down Effect merupakan teori yang pertama kali dikembangkan oleh Arthur Lewis (1954) dan diperluas oleh Ranis Fei (1968) kemudian menjadi salah satu topik penting dalam literatur pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang pada dekade 1950-an dan 1960-an. Model ini di Indonesia dikenal dengan model Rostow. Pajar Hatma Indra Jaya dalam tulisannya berjudul Trickle Down Effect: Strategi Alternatif Dalam Pengembangan Masyarakat meminjam teori Trickle Down Effect untuk digunakan sebagai model strategi pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan yang menekankan munculnya pertumbuhan ekonomi dalam suatu kelompok atau komunitas masyarakat yang dinilai berhasil, kemudian terjadi rembesan ke bawah yakni berupa pengadopsian atau peniruan (imitatation or copy paste) yang dilakukan oleh kelompok atau komunitas lainnya di masyarakat tersebut.9 D. Metodologi Penelitian Data dari tulisan ini diolah dan dianalisis menggunakan metode penelitian kualitatif yang lebih mengedepankan proses dari pada hasil sehingga penelitian ini lebih cenderung meneliti proses di lapangan berupa sejarah kemunculan dusun Kiringan sebagai dusun jamu, serta meneliti bagaimana dampaknya dalam proses peningkatan kesejahteraan keluarganya. Pengambilan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling).10 Alasannya, pengambilan informan dengan bola salju dikarenakan cara ini mampu melacak informasi yang kaya dari informan kunci, guna menambah informasi baru yang dimulai dari satu menjadi semakin lama semakin banyak. Pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.
Baca tulisan Pajar Hatma Indra Jaya, “Trickle Down Effect : Strategi Alternatif Dalam Pengembangan Masyarakat ”, Jurnal Welfare State Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni 2012), hal. 76. 10 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2000. hal. 224. 9
25
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
E. Temuan 1. Sejarah Munculnya Dusun Kiringan Sebagai Dusun Jamu Menurut pakar bahasa Jawa Kuno, jamu berasal dari kata jampi atau usodo yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian. Istilah Jampi banyak ditemukan pada naskah zaman Jawa Kuno seperti naskah Gatotkaca Sraya, yang digubah oleh Mpu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri, masa pemerintahan Jayabaya pada tahun 1135-1159 M.11 Tidak ada yang dapat memastikan sejak kapan tradisi meracik dan meminum jamu muncul. Menurut keyakinan masyarakat, tradisi ini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu dan membudaya sejak periode kerajaan Hindu-Jawa. Bukti sejarah tertua yang menggambarkan kebiasaan meracik, pemeliharaan kesehatan dan meminum jamu ditemukan pada relief Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh dan Tegalwangi yang dibangun pada masa Kerajaaan Hindu dan Budha.12 Selain itu bukti lainnya adalah ditemukannya Prasasti Madhawapura dari jaman Majapahit yang menyebut adanya profesi tukang meracik jamu yang disebut Acaraki. Tradisi membuat dan meracik jamu di Dusun Kiringan sebenarnya sudah ada sejak zaman londo13. Terdapat beberapa versi yang menceritakan mengenai sejarah munculnya jamu di Dusun Kiringan, tetapi dalam hal ini penulis memilih informasi yang dianggap paling akurat yaitu dari Simbah Kerto Pawiro14 merupakan informan tertua yang juga berprofesi sebagai penjual jamu. Dahulu sekitar tahun 1950an15, bernama Simbah Joyo Karyo merupakan seorang dukun beranak yang bekerja membantu persalinan para ibu-ibu, melihat pada masa itu masih belum ditemukan bidan, dokter, rumah sakit, bahkan puskesmas sekalipun. Sehingga keberadaan Simbah Joyo Karyo sebagai dukun beranak berperan sangat penting dalam membantu proses persalinan. Beberapa kebiasaan dan tradisi yang seringkali dilakukan Simbah Joyo Karyo selain membantu persalinan adalah membuatkan jamu bagi ibu-ibu yang baru melahirkan dan sedang menyusui tersebut, dimana jamu dipercaya memiliki khasiat memperlancar ASI dan 11 12
Http://Www.Bursaide.Com/Ide/143/Jamu-Nusantara Diakses pada 08-04-2013.
ibid.
Londo merupakan istilah masyarakat Jawa dalam menyebut penjajah. 14 Simbah Kerto Pawiro, usia 86 tahun merupakan cucu buyut dari leluhur pembuat jamu di Dusun Kiringan yaitu simbah Joyo Karyo dan beliau berjualan jamu sejak usia 14 tahun, 07 November 2013. 15 Ibid. 13
26
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
membantu menjaga kesehatan ibu dan bayinya. Setelah beberapa tahun kemudian, Simbah Joyo Karyo pun beralih pekerjaan dari dukun beranak menjadi seorang penjual jamu keliling. Simbah Joyo Karyo sangat ahli dalam meracik jamu. Sehingga keahliannya dalam meracik jamu diturunkan ke generasi selanjutnya yaitu anak-anaknya sendiri yang bernama Simbah Totaruno dan Simbah Ngadinah dan keduanya pun berprofesi sebagai penjual jamu. Adapun Simbah Ngadinah memiliki sembilan orang anak dimana lima diantaranya adalah laki-laki dan empat sisanya adalah perempuan. Dari keempat anak perempuan yang dimiliki, Simbah Ngadinah kembali menurunkan keahliannya kepada empat anak perempuannya yaitu Tukiyem, Jumiyem, Jumilah dan Kerto Pawiro sehingga mereka pun menggantungkan mata pencahariannya sebagai penjual jamu. Dari ketiga anaknya tersebut hanya Kerto Pawiro yang masih hidup dan berjualan jamu sampai sekarang. Kemudian Simbah Kerto Pawiro juga masih memiliki seorang keponakan yang juga berjualan jamu yaitu Simbah Samirah merupakan anak dari kakaknya Simbah Jumiyem. Seiring berjalannya waktu, ternyata keahlian dalam meracik bahan jamu terus berkembang dan banyak ditiru oleh ibu-ibu di Dusun Kiringan sebagai mata pencaharian utamanya. Berawal dari warisan nenek moyang terdahulu yang hanya dilakoni segelintir orang saja berkembang menjadi ratusan orang penjual jamu. Sehingga tradisi ini telah mendarah daging dalam kehidupan mereka hingga sekarang. 2. Perkembangan dan Perubahan Cara Berjualan Setiap pagi suasana kehidupan masyarakat satu dengan lainnya terlihat hampir sama. Umumnya saat pagi hari sudah bersiap-siap hendak berangkat bekerja maupun sekolah. Serupa dengan yang terjadi di Dusun Kiringan, sekitar pukul 08.00 WIB akan terlihat puluhan ibu-ibu yang berbondong-bondong keluar dari dusun untuk menjajakan jamunya. Memakai sepeda onthel maupun sepeda motor terlihat beriringan sembari membawa peralatan dan bahan bahan jamu seperti keronjot dan seisinya serta beberapa buah botol yang berisi air matang, batok kelapa, panci, saringan, ember, plastik, dan berbagai jenis racikan jamu khas Kiringan. Pemandangan seperti itu dianggap sudah tidak asing lagi karena telah berjalan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. 27
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Seiring perkembangan zaman, banyak sekali tradisi-tradisi lama yang sudah berubah dan mempengaruhi tradisi jamu di Kiringan mulai dari tata cara, peralatan yang digunakan, sistem transportasi dan sebagainya. Dahulu, tata cara membuat jamu dilakukan dengan sangat sederhana baik dari proses peracikan, penggilingan, pemipisan, pemasakan dan pewadahan. Proses menggiling jamu hanya menggunakan alat seperti cobek berbentuk datar disertai muntunya yang dikenal dengan istilah pipisan. Mulanya bahan-bahan tersebut digiling menjadi sangat halus sampai tekstur tidak terlihat jelas, kemudian proses pemasakan untuk beberapa jenis jamu seperti kunir asem menggunakan kuali atau kendil dimasak di tungku. Saringan yang digunakan pun sangat unik yaitu jenis saringan berbahan dasar tembaga untuk memeras jamu yang disimpan dalam wadah botol beling atau kaca. Dahulu, cara menjual jamu di Kiringan masih sangat tradisional yaitu memikul bakul sebagai tempat meletakkan jamu serta berkostum jarik, kebayak dan lengkap dengan tapihnya16 untuk menggendong jamu. Selanjutnya mereka berkeliling ke kampung-kampung dengan berjalan kaki menjajakan jamu. Rutinitas tersebut dilakukan setiap hari, berangkat setelah subuh dan kembali ke rumah menjelang maghrib dengan berjalan kaki. Perubahan lain yang mengalami perkembangan pesat adalah kebiasaan berjualan jamu dengan berjalan kaki saat ini sudah jarang bahkan langka dilakukan. Kendaraan sejenis sepeda onthel dan sepeda motorlah yang banyak digunakan para penjual jamu. Sebenarnya, kondisi demikian semakin memudahkan dalam menjangkau lokasi dan jarak tempuh dalam berjualan. Jika berjalan kaki hanya mampu menjangkau sekitar ±5 km saja, menggunakan sepeda onthel mampu menjangkau jarak ±6-10 km sedangkan jika menggunakan sepeda motor mampu menempuh jarak ±12-16 km per harinya. 3. Resolusi Konflik Antar Penjual Jamu Bukti adanya interaksi sosial yang tinggi antar masyarakat dapat terlihat dalam penentuan lokasi berjualan para penjual jamu satu dengan lainnya. Walaupun jumlah penjual jamu sangat banyak, akan tetapi mereka tidak pernah memperebutkan lokasi ataupun terjadi konflik karena memperebutkan lokasi berjualan. Padahal jika 16
Tapih: sejenis kain panjang yang biasa dipakai oleh ibu-ibu zaman dahulu untuk menggendong jamu.
28
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
dibayangkan dari sekian banyak jumlah warga Dusun Kiringan yang berjualan jamu, seharusnya sangat besar kemungkinan untuk timbulnya suatu konflik terkait pemilihan lokasi berjualan. Bayangan awal yang menganggap akan terjadi banyak konflik dalam menentukan lokasi berjualan dapat terjawab. Jadi, dalam menentukan lokasi berjualan mereka tidak pernah mengalami masalah. Nggeh mboten to mbak, kita kan udah ada tempatnya sendiri-sendiri. Langganannya pada punya semua. Jadi yo nggak perlu rebutan, kan ada yang masih nerusin langganannya simbah yang dulu juga.17 Tidak hanya diwarisi ilmu meracik dan membuat jamu saja, tetapi lokasi berjualan pun juga menjadi warisan. Sebab, hingga saat ini rata-rata lokasi berjualan jamu yang didatangi oleh para ibu-ibu merupakan lokasi yang dulunya juga menjadi lokasi langganan berjualan jamu nenek moyangnya. Bagi sebagian penjual jamu terdapat beberapa kesulitan dalam mencari lokasi berjualan apalagi mereka merupakan penjual jamu awal yang dulunya belum ada peninggalan lokasi dari keluarganya. Karena satu kebiasaan dari warga adalah ketika langganan jamunya belum datang, mereka akan memilih menunggu langganannya daripada harus membeli di penjual jamu lainnya. 4. Perbedaan Jamu Kiringan dengan Jamu-Jamu Lainnya Istilah jamu sangat identik sebagai minuman tradisional Jawa yang rasanya pahit dan terbuat dari jenis tanaman obat-obatan serta dibuat dengan proses yang sama. Tetapi jamu di Dusun Kiringan berbeda, terdapat beberapa keunikan yang tidak dimiliki oleh penjualpenjual jamu di tempat lainnya. Cara membuatan, peracikan serta penyajian jamu di Kiringan memiliki ciri khas tersendiri dimana cara membuatnya masih tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alami dari tanaman obat herbal. Selain itu, terdapat perbedaan cara meracik jamu yaitu menggunakan alat berupa pipisan untuk menggilas jamu. Setelah masing-masing bahan dipipis satu per satu barulah hasil dari pipisan tersebut dimasukkan dalam satu wadah khusus sesuai jenisnya tetapi tidak dibaur menjadi satu. Ketika ingin memesan jamu, para penjual jamu akan menjumputnya menggunakan tangan sesuai keinginan pembeli. Terkadang pembeli juga bisa meminta untuk dicampurkan dengan bahan jamu 17
Wawancara dengan ibu Suki penjual jamu. 07 November 2013 pukul 14.20 WIB.
29
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
lainnya. Setelah itu barulah hasil jumputan jamu ditambahkan air matang secukupnya untuk dicairkan kemudian disaring dan penyaringannya diulangi sampai dua kali. Umumnya, cara penyajian jamu yang diberikan kepada pelanggan menggunakan gelas biasa, sedangkan penyajian jamu di Dusun Kiringan menggunakan wadah yang sangat antik yaitu batok kelapa sebagai pengganti gelas. Adapun berbagai jenis jamu yang dijual meliputi beberapa macam. Hampir setiap jamu memiliki ciri khas yang berbeda-beda dari kunir asem, beras kencur, uyup-uyup, cabe puyang, watukan, pilis, pahitan, parem taun, sambiloto, sehat lelaki, sehat putri dan lain sebagainya. Dari beberapa jenis jamu yang ada kunir asem, beras kencur dan uyup-uyup merupakan jamu favorit selain karena rasanya yang tidak pahit, jenis jamu ini memiliki kesegaran tersendiri jika dibandingkan dengan jamu lainnya sehingga paling banyak diminati terutama oleh anak-anak, para remaja dan masyarakat yang tidak menyukai jamu pahit. 5. Dampak Berjualan Jamu Keberadaan para pengerajin jamu di dusun Kiringan ternyata telah membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat Dusun Kiringan sehingga terjadi suatu perubahan yang menimbulkan dampak positif berupa: a. Peningkatan Pendapatan Keluarga Tidak bisa dipungkiri, jika hanya mengandalkan penghasilan suami saja tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga apalagi dalam keluarga tersebut memiliki beberapa tanggungan seperti tanggungan sandang, pangan, papan serta menyekolahkan anak. Rata-rata penghasilan utama kepala keluarga adalah sebagai buruh bangunan, petani maupun buruh tani. Dari 266 jumlah KK yang ada, profesi sebagai buruh bangunan sangat mendominasi. Walaupun terdapat beberapa bentangan sawah yang luas akan tetapi bagi mereka pekerjaan bertani dianggap sebagai pekerjaan sampingan saja. Berprofesi sebagai buruh bangunan maupun petani juga belum menjamin kebutuhan hidup keluarga dapat terpenuhi sepenuhnya. Perhitungan seseorang bisa dikatakan petani adalah jika memiliki tanah minimal ½ hektar. Sedangkan jika memiliki tanah 30
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
kurang dari ½ hektar mereka dikatakan sebagai buruh tani.18 Itupun hanya bisa ditanami padi sebanyak dua kali dan satu kali tanaman palawija dalam 1 tahun. Dan sebagian para petani ini akan berpenghasilan banyak hanya pada musim-musim panen yang tidak menentu waktunya. Jika dikalkulasikan secara rinci, pendapatan suami yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan rata-rata berkisar antara Rp. 35.000,00-Rp.50.000,00 per hari. Jika dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi seluruh keluarga dalam satu hari, belum mencukupi kebutuhan hidup. Desakan ekonomi keluarga inilah yang menjadi motif mereka bekerja sebagai penjual jamu. Prospek pendapatan yang menjanjikan menjadikan mereka terus bertahan. Jika dihitung pendapatan bersih perharinya rata-rata mencapai nominal Rp.40.000,00-Rp.60.000,00. Berarti dalam satu bulan akan memperoleh penghasilan bersih kira-kira sebanyak Rp.1.200.000,00-1 .500.000,00 per bulannya jika berjualan jamu secara rutin. b. Perubahan Tingkat Pendidikan Dahulu di Dusun Kiringan tidak sedikit masyarakat yang mengalami buta huruf, sehingga menyulitkan mereka untuk mengakses lapangan pekerjaan. Bahkan, sebagaian besar masyarakat Dusun Kiringan hanya menamatkan pedidikan sampai sekolah dasar dan terkadang sampai sekolah dasarpun ada yang tidak sampai lulus. Begitu juga yang dihadapi oleh para perempuan penjual jamu Dusun Kiringan, rata-rata mereka hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar. Karena akses untuk memperoleh pekerjaan di ranah publik dirasa tidak mampu, akhirnya mereka memilih berprofesi sebagai penjual jamu dengan mengikuti jejak nenek moyangnya. Setelah lulus dari sekolah dasar, dari situlah kemudian mereka memulai profesi sebagai penjual jamu dengan keahlian meracik jamu yang diperoleh dari nenek moyangnya terdahulu. Saat ini di Dusun Kiringan hampir lebih dari 50% masyarakat mampu mengenyam pendidikan tinggi minimal sampai tingkat SMA bahkan sampai perguruan tinggi. Seperti ibu Darmi mampu menyekolahkan anaknya hingga menjadi perawat. Padahal beliau hanyalah seorang janda yang memikul beban keluarga sendirian 18
Wawancara bapak Mujiono selaku ketua RT 4 Dusun Kiringan usia 61 tahun.
31
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
dengan berjualan jamu. Sebagian besar penjual jamu di Kiringan memang menginginkan agar anak keturunan mereka tidak berjualan jamu seperti halnya dirinya. c. Perubahan Kondisi Perumahan dan Lingkungan Salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat selain dari bidang pendidikan adalah dapat tercermin dari keadaan perumahan dan lingkungan sekitarnya. Selain sebagai tempat tinggal dan tempat berteduh bagi penghuninya dari hujan, sengatan matahari dan gangguan keamanan lainnya, rumah juga dijadikan sebagai ukuran status sosial dalam masyarakat. Karena itu, keberadaan rumah menjadi sangat penting bahkan menjadi prioritas utama bagi sebagian besar masyarakat. Hasil survei menunjukkan bahwa secara umum, kondisi perumahan dan lingkungan masyarakat Dusun Kiringan menjadi semakin baik. Artinya, dari segi bentuk bangunan tipe, kualitas serta fasilitas lainnya semakin memadai dan sesuai dengan harapan. Dari segi konstruksi dan kualitas bangunan mengalami peningkatan. Sebelum adanya profesi ini, umumnya masyarakat dusun kiringan berupa rumah semi permanen yang bahan utamanya dari kayu dan anyaman bambu serta lantai yang terbuat dari tanah. Selain itu, sarana penunjang kebersihan dan kesehatan seperti MCK, fasilitas berupa air bersih dan kamar mandi sudah memenuhi standar walaupun untuk mendapatkan air bersih harus menggali sumur sampai beberapa puluh meter terlebih dahulu. Tetapi tidak bisa dipungkiri, sejak peristiwa gempa bumi yang melanda Bantul dan sekitarnya, Dusun Kiringan merupakan salah satu wilayah yang disorot pemerintah karena mengalami kerusakan berat dan merenggut banyak nyawa. Berbagai bantuan yang diberikan pemerintah maupun swasta juga telah banyak membantu dalam merekonstruksi perumahan yang ada di Dusun Kiringan. F. Kesimpulan Dari keseluruhan data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemunculan Dusun Kiringan sebagai dusun jamu mulai diperkenalkan sekitar tahun 1950-an oleh seorang dukun beranak bernama simbah Joyo Karyo yang memiliki kebiasaan membuatkan jamu bagi ibu-ibu yang baru melahirkan dan beliaupun merubah 32
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
profesinya dari dukun beranak menjadi penjual jamu. Awalnya profesi sebagai penjual jamu hanya dilakukan seorang diri kemudian terus menerus diturunkan kepada dua anak perempuanya, kemudian pada empat orang cucunya dan akhirnya profesi tersebut banyak ditiru oleh masyarakat sekitar sehingga mengalami berkembangan menjadi satu dusun yang berjualan jamu seperti sekarang. 2. Terciptanya profesi perempuan sebagai penjual jamu ternyata telah berdampak pada kehidupan para penjual jamu di Dusun Kiringan. Hal ini dapat terlihat dari berbagai perubahan positif yang terjadi dalam kehidupan mereka. Dalam bidang ekonomi, terjadi perubahan positif berupa peningkatan pendapatan keluarga, perubahan tingkat pendidikan, perubahan kondisi perumahan dan lingkungan. Berdasarkan temuan di lapangan, untuk meningkatkan dampak positif profesi penjual jamu bagi kesejahteraan masyarakat maka saya memberikan saran: 1. Meningkatkan dan menggencarkan lagi promosi mengenai Desa Jamu Kiringan, baik dalam bentuk website atau dalam berbagai even-even penting kedinasan agar semakin dikenal di masyarakat luas. 2. Peningkatan sumberdaya manusia (SDM) bagi para perempuan penjual jamu melalui pelatihan-pelatihan mengenai pengetahuan tentang manfaat dari masing-masing jamu, dosis yang dianjurkan, cara penyimpanan, dan sebagainya sehingga mereka memiliki pengetahuan yang luas mengenai seluk beluk perjamuan. 3. Pengadaan dan penanaman bahan baku jamu, agar para penjual jamu tidak membeli di luar tetapi memanen jamu hasil budidaya sendiri. Hal ini dapat dimulai dengan meneliti tingkat kesuburan lahan yang ada di Dusun Kiringan dengan harapan agar dusun tersebut dapat ditanami bahan-bahan jamu seperti membuat TOGA (Tanaman Obat Keluarga) sehingga mereka mampu memproduksi sendiri bahan-bahan jamunya. 4. Meneliti kadar dosis serta pengetahuan-pengetahuan mengenai kandungan jamu secara medis sehingga dapat menambah pengetahuan para penjual jamu. 5. Menanamkan pengetahuan mengenai seluk beluk jamu kepada anak-anak, terutama anak perempuannya agar regenerasi penjual 33
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
jamu tidak terputus. 6. Perlu adanya standar harga produk jamu sehingga terciptanya kebersamaan persaingan yang lebih sehat dan membawa dampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas produk. 7. Tetap menjaga kualitas keaslian jamu sehingga tidak mengurangi khasiat yang terkandung dalam jamu. 8. Sebelum memberikan ke pembeli, hendaknya dijelaskan apa saja kandungan dan manfaat dari jamu yang akan diminum konsumen agar tidak terjadi kesalahan dalam meminum jamu karena jika jamu tidak sesuai akan berakibat fatal.
34
Sulistyary Ardiyantika, Desa Jamu: Muncul dan Dampaknya Bagi....
DAFTAR PUSTAKA Http://Www.Bursaide.Com/Ide/143/Jamu-Nusantara Joko Prasetiyo, “Jamu-Nusantara”, Http://Www.Bursaide.Com/Ide/143/Jamu-Nusantara. Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2000. Nahiyah Jaidi Faraz, dkk. Evaluasi Program Pemberdayaan Perempuan Berbasis Iptek Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Bantul DIY. Proseding Pengembangan Kewirausahaan Perempuan Dalam Mikro Dan Kecil. LIPI: Yogyakarta, 2007. Pajar Hatma Indra Jaya, “Trickle Down Effect : Strategi Alternatif Dalam Pengembangan Masyarakat ”, Jurnal Welfare State Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni 2012). Penny Rahmawaty, dkk. Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Jamu Gendong Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Kabupaten Bantul. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. UNY: Yogyakarta, 2007. Perpustakaan Nasional RI, Seri Obat-Obatan Tradisional Dalam Naskah Kuno. Jakarta: 1993. Sampurno, Obat Herbal Dalam Prespektif Medik Dan Bisnis. Yogyakarta: Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, 2007.
35
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
36
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
PEMBERDAYAAN UMKM MELALUI CSR: STUDI PADA PROGRAM CSR BANK INDONESIA YOGYAKARTA Sela Marlena1
Abstrak UMKM (Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah) merupakan kelompok masyarakat yang telah mempunyai usaha meskipun skalanya kecil ataupun mikro. UMKM memiliki potensi untuk tumbuh besar sehingga mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Untuk itu dibutuhkan pemberdayaan pada kelompok usaha ini agar tumbuh dengan baik. Bank Indonesia Cabang Yogyakarta sejak tahun 2006 mempunyai program untuk memberdayakan UMKM dalam kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Pada tahun 2012 Bank Indonesia Yogyakarta memberikan bantuan kepada klaster UMKM Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Kepis dan UMKM KSU (Koperasi Serba Usaha) Jatirogo untuk pemberdaayan petani gula semut di Kulon Progo. Hasil dari implementasi program CSR BI Yogyakarta menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan, yang dilakukan melalui empat aspek, yaitu bina manusia dengan memberikan pelatihan-pelatihan dan studi banding untuk anggota dan kelompok usaha, bina usaha dengan memberikan alatalat produksi dan akses pemasaran agar produksi dapat dijangkau oleh masyarakat luas, bina lingkungan dengan membuatkan kolam untuk KPI Mina Kepis dan pembuatan dapur higienis bagi petani gula semut, dan bina kelembagaan dengan memberikan pendampingan koperasi dan penguatan manajemen organisasi serta keuangan. 1
Sela Marlena merupakan mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga.
37
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Dilihat dari hasil pemberdayaan tampak bahwa terjadi peningkatan sektor perekonomian terutama di wilayah Sleman dan Kulon Progo. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan pendapatan dari penjualan ikan di KPI Mina Kepis Sleman dan kapasitas produksi komoditas gula semut di Kulon Progo. Kata Kunci: Pemberdayaan UMKM, Implementasi CSR, Hasil Pemberdayaan A. Pendahuluan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tanggung jawab suatu perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Hal ini perlu diperhatikan dan menjadi sebuah keharusan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan keuntungan di masa mendatang berupa pembangunan bekelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan ini memiliki tiga elemen kunci yaitu people (masyarakat), planet (lingkungan), dan profit (keuntungan)2 yang mana dari ketiganya itu harus dilakukan secara seimbang agar manfaatnya dapat dirasakan secara keseluruhan baik bagi masyarakat sekitar maupun perusahaan. Saat ini, CSR menjadi perhatian dan bahan pembicaraan di dunia bisnis yang menjadi salah satu tanggung jawab suatu perusahaan dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berprinsip pada sustainable development. Dasar hukum CSR terdapat dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pasal 74 ayat 1: Mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam (SDA) melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan; Pasal 74 ayat 2 : Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.3 Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang CSR, sudah seharusnya perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia memperBambang Hudayana, Sutoro Eko, Andi Sandi, dkk., Menjadi Katalis Perubahan Reposisi CSR Untuk Penanggulangan Kemiskinan dalam Konteks Desentralisasi, IRE: Yogyakarta, 2011, hal 13. 3 Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika: Jakarta, 2007, hal 89. 2
38
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
hatikan tanggung jawabnya terhadap masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. CSR tidak hanya diterapkan untuk Perseroan dan BUMN, akan tetapi CSR juga berada pada ruang lingkup perbankan atau lembaga milik negara. Salah satu lembaga milik pemerintah yang menjalankan dan berkomitmen dalam CSR adalah Bank Indonesia. Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga milik pemerintah dalam bidang Perbankan Tunggal dan sebagai Bank Sentral Indonesia, Bank Indonesia juga mempunyai tugas tunggal yaitu untuk dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah,4 selain dituntut untuk dapat melaksanakan tugas utamanya tersebut, Bank Indonesia juga dituntut untuk tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan (komunitas) sebagai wujud Corporate Social Responsibilitynya. Pada tahun 2009, Bank Indonesia sudah berkomitmen dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat sekitar khususnya khususnya masyarakat kurang mampu dan lingkungan. Hal ini ditunjukkan malalui CSR Bank Indonesia dengan konteks program Bank Indonesia Social Responsibility (BSR). Dalam konteks ini, program BSR yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia diharapkan dapat membantu mengurangi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat baik dalam aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, sosial, kesenian, budaya, olahraga, dan keagamaan.5 Berbagai aspek yang telah disebutkan di atas dilakukan oleh Bank Indonesia melalui CSR, dalam prakteknya program BSR yang telah terprogram pada masing-masing Kantor Perwakilan (selanjutnya akan disingkat KPw) Bank Indonesia di Indonesia sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat. Pada saat ini, BSR berubah menjadi Program Sosial Bank Indonesia (selanjutnya akan disingkat PSBI) sebagai kepanjangan tangan CSR Bank Indonesia. Salah satu PSBI yang dilakukan yaitu pada KPw Bank Indonesia Yogyakarta bekerjasama dengan Pemerintah Kota/Kabupaten dan perguruan tinggi menyalurkan dana PSBI yang terfokus pada pengembangan dan pemberdayaan UMKM. Pengembangan UMKM ini dilakukan seperti pada pengembangan klaster ikan tawar Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis di 4
http://www.03_status_tujuan_rev1BI.pdf, diakses pada tanggal 19 April 2013. Bank Indonesia, “Gambaran Umum Program Bank Indonesia Social Responsibility 2009”, http://www.annual_report_BSR_2009.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2013. 5
39
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Sleman,6 pola partisipatif peningkatan produksi beras di lahan marjinal yang berlokasi di Bantul mampu meningkatkan hasil produksi padi di kabupaten Bantul, upaya peningkatan nilai tambah petani cabai yang berlokasi di Kulon Progo dengan memberikan pendampingan untuk membudidayakan cabai melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) serta mendapat edukasi Perbankan melalui kegiatan Financial Inclusion sehingga petani cabai tersebut telah mencapai perbaikan dari sisi efisiensi, produksi dan produktifitas gabah kering, serta pengembangan Klaster Gula Semut di Kulonprogo dengan memfasilitasi melalui pembangunan kantor dan gudang koperasi gula semut.7 Pada tahun 2007 program Desa Kita di Dusun Manding, Bantul8 dalam pengembangan kerajinan kulit, keberhasilan kerajinan ini terbukti dengan semakin dikenalnya Dusun Manding sebagai pusat kerajinan kulit di Yogyakarta dan semakin banyaknya pengunjung yang datang untuk berbelanja di sana. Dari berbagai pemberdayaan UMKM yang dilakukan oleh Bank Indonesia Yogyakarta, peneliti telah mengambil dua UMKM sebagai contoh dari pelaksanaan CSR Bank Indonesia Yogyakarta yaitu klaster Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Kepis di Dusun Burikan, Sleman dan klaster Gula Semut, Kulon Progo. Menurut Bapak Mahmudi, dua klaster UMKM tersebut hasil produksi dan pendapatannya semakin meningkat setiap tiga bulan.9 Melalui pemberdayaan UMKM yang dilakukan oleh CSR Bank Indonesia Yogyakarta tersebut, diharapkan UMKM mampu berkembang dan meningkatkan hasil produksi serta penjualan. Pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh Bank Indonesia sangatlah bermanfaat bagi masyarakat guna melakukan pemberdayaan (empowerment). Hal ini berdampak dengan perkembangan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup masyarakat yang sejauh ini masih banyak dibawah standar kelayakan untuk hidup. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mengkaji tentang strategi pemberdayaan UMKM 6
http://www.antarayogya.com/berita/309593/bi-salurkan-bantuan-kepada-petaniikan-sleman, diakses pada tanggal 28 Oktober 2013. 7 BANK INDONESIA: Bank Sentral Indonesia, Pameran Wirausaha Baru Bank Indonesia (New Wave Entrepreneur) 2013, 28 Juni-2 Juli Gedung Heritage Bank Indonesia Yogyakarta, hlm. 26. 8 Bank Indonesia, “Dusun Manding Disinggahi Komisi VI DPR RI”, http:// www. annual_ report_BSR_2009.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2013. 9 Wawancara dengan Bapak Mahmudi, bagian Unit Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia Yogyakarta, di Sleman, tanggal 23 Oktober 2013.
40
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
oleh CSR Bank Indonesia cabang Yogyakarta, terutama klaster ikan tawar KPI Mina Kepis di Sleman dan Klaster Gula Semut di Kulon Progo. Berdasarkan latar belakang penulis akan mengkaji berbagai hal, yaitu 1). Bagaimana implementasi CSR Bank Indonesia Yogyakarta dalam pemberdayaan bidang pembudidayaan ikan Klaster KPI Mina Kepis di Sleman dan Klaster Gula Semut di Kulon Progo? 2). Bagaimana hasil dari pemberdayaan UMKM bidang pembudidayaan ikan Klaster KPI Mina Kepis di Sleman dan Klaster Gula Semut di Kulon Progo yang melalui CSR Bank Indonesia Yogyakarta? B. Tinjauan Pustaka Terdapat dua penelitian yang saya temukan terkait bagaimana implementasi CSR pada perusahaan, yaitu Sodiq Hidayatullah (2003) dan Iin Purnamasari (2005). Kedua penelitian ini sama-sama membahas tentang bagaimana implementasi CSR. Penelitian pertama membahas bagaimana konsep dan implementasi CSR Pamella Yogyakarta dan penelitian kedua melihat implementasi CSR oleh Pabrik Kulit PT. Adi Satria Abadi (ASA) untuk masyarakat sekitar. Penelitian pertama menyimpulkan konsep CSR sebagai sebuah kepedulian sosial dengan tingkat empati yang tinggi dan memegang prinsip etika bisnis yang islami, bahwa usaha ekonomi yang digeluti merupakan ibadah kepada Allah SWT. Sedangkan implementasi atau penerapan corporate philanthropy sebagai bagian dari CSR yang baik dengan mengalokasikan dana sosial berupa zakat sebesar 2,5% yang diwujudkan dengan membantu orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan penelitian kedua menyimpulkan bahwa pelaksanan CSR yang dilakukan PT. ASA dampaknaya tidak membawa perubahan yang cukup berarti bagi masyarakat sekitar karena kegiatan yang dilaksanakan hanya bersifat incidental, yaitu kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan hanya pada waktu-waktu tertentu saja dan tidak bersifat pemberdayaan. Disisi lain, tidak terlalu banyak membawa perubahan pada bidang ekonomi masyarakat dan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan dua penelitian sebelumnya, kajian ini memiliki objek penelitian yang sama yaitu CSR, namun hasil penelitian terdahulu belum membahas satu variabel yang menunjukkan penelitian mengenai pemberdayaan UMKM.
41
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
C. Kerangka Teori Pengertian “daya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak.10 Kemunculan konsep pemberdayaan (empowerment) didasari oleh gagasan yang menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri. Dalam praktek pemberdayaan yang dilakukan oleh banyak pihak, seringkali pemberdayaan difokuskan pada bidang ekonomi untuk pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) atau penanggulangan kemiskinan (poverty reduction). Oleh karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat selalu dilakukan dalam bentuk pengembangan kegiatan produktif untuk meningkatkan pendapatan (income generating).11 Menurut Mardikanto (2003), ada empat upaya pokok dalam pemberdayaan masyarakat yaitu: 12 1. Bina Manusia. Bina manusia merupakan upaya yang paling pertama dan utama dalam pemberdayaan masyarakat, sebab manusia merupakan pelaku dan atau pengelola manajemen itu sendiri. Hal ini dilandasi bahwa tujuan pembangunan adalah untuk perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan manusia. 2. Bina Usaha. Bina manusia dan bina usaha merupakan satu kesatuan yang penting dalam pemberdayaan masyarakat, karena bina manusia tanpa memberikan dampak atau manfaat pada perbaikan kesejahteraan (ekonomi) tidak akan laku, dan bahkan menambah kekecewaan. 3. Bina Lingkungan. Isu tentang lingkungan menjadi sangat penting sejak dikembangkannya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan terlihat pada kewajiban dilakukannya AMDAL (Analisis Manfaat dan Dampak Lingkungan) dalam setiap kegiatan investasi, ISO 1400 tentang keamanan lingkungan, sertifikat ekolebel. Termasuk dalam tanggungjawab sosial adalah segala kewajiban yang harus dilakukan terkait dengan upaya perbaikan kesejahteraan sosial Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa IndonesiaBalai Pustaka, Jakarta, 1989, hal 188. 11 Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebianto, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik, Alfabeta: Bandung, 2012, hal 113. 12 Ibid, hal. 114-116. 10
42
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar lingkungan kerja, maupun yang mengalami dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan para pelaku penanam modal atau perseroan. Sedangkan yang termasuk tanggungjawab lingkungan adalah segala kewajiban yang ditetapkan dalam persyaratan investasi dan operasi yang terkait dengan perlindungan, pelestarian, dan pemulihan (rehabilitasi atau reklamasi) sumber daya alam dan lingkungan hidup. 4. Bina Kelembagaan Kata kelembagaan sering dikaitkan dengan dua pengertian, yaitu pranata sosial (social institution) dan organisasi sosial (social organization). Pada prinsipnya, suatu bentuk relasi social dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu: (a) Komponen person, dimana orang-orang yang terlibat didalam suatu kelembagaan dapat diidentifikasi. (b) Komponen kepentingan, dimana orang-orang yang memiliki kepentingan tersebut terikat oleh suatu kepentingan dan tujuan, sehingga di antara mereka terpaksa harus saling berinteraksi. (c) Komponen aturan, dimana setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut. (d) Komponen struktur, dimana setiap orang memiliki posisi dan peran yang harus dijalankan secara benar sesuai dengan peran yang diemban. Untuk teori implementasi CSR, Ada 8 indikator yang sebaiknya ada dalam kinerja implementasi CSR, yaitu: 1. Leadership (Kepemimpinan) Seorang pemimpin harus memiliki kesadaran filantropik yang menjadi dasar pelaksanaan program karena program CSR dikatakan akan berhasil jika mendapat dukungan dari top management (pimpinan) perusahaan. 2. Proporsi bantuan CSR tidak semata-mata hanya pada kisaran anggaran saja, melainkan juga pada tingkatan serapannya karena anggaran tidak dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan program CSR. Artinya, apabila cakupan areanya luas maka anggarannya juga harus lebih 43
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
3.
4. 5.
6.
7.
8.
besar. Transparansi dan akuntabilitas (a) Adanya laporan tahunan (annual report). (b) Mempunyai mekanisme audit sosial dan finansial, dimana audit sosial terkait pengujian sejauh mana program-program CSR ditujukan secara benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mendapatkan umpan balik dari masyarakat melalui interview dengan para penerima manfaat. Coverage area (cakupan wilayah) Perencanaan dan mekanisme monitoring dan evaluasi (a) Dalam perencanaan perlu ada jaminan untuk melibatkan multi-stakeholder pada setiap siklus pelaksanaan program. (b) Terdapat kesadaran dalam memperhatikan aspek-aspek lokalitas (local wisdom), pada saat pelaksanaan ada kontribusi, pemahaman, dan penerimaan terhadap budaya-budaya lokal yang ada. Stakeholders Enggagement (pelibatan stakeholder) Terdapat mekanisme koordinasi reguler dengan stakeholder, teutama masyarakat dan menamin partisipasi masyarakat untuk dapat terlibat dalam siklus pelaksanaan program. Sustainability (keberlanjutan) (a) Terjadi alih-peran dari korporat kemasyarakat. (b) Tumbuhnya rasa memiliki (sense of belonging) dari masyarakat mengenai program dan hasil program. (c) Adanya pilihan partner program yang bisa menjamin bahwa tanpa keikutsertaan perusahaan, program bisa tetap berjalan dengan partner tersebut. Outcome (hasil nyata) (a) Terdapat dokumentasi hasil yang menunjukkan yang menunjukkan berkurangnya angka kemiskinan (dalam bidang ekonomi) atau parameter lainnya sesuai dengan bidang CSR yang dipilih oleh perusahaan. (b) Terjadinya pola pikir masyarakat. (c) Memberikan dampak ekonomi masyarakat yang dinamis. (d) Terjadi penguatan komunitas (community empowerment).13
13
44
Ibid, hal. 54-55.
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
D. Metode Penelitian Kajian ini meruapakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan teknik penarikan informan menggunakan bola salju (snowball,)14 yaitu proses awal melakukan wawancara dengan pihak Bank Indoenesia Yogyakarta (Bapak Mahmudi). Lokasi penelitian Bank Indonesia Yogyakarta, Klaster Kelompok Pembdidaya Ikan (KPI) Mina Kepis di Sleman, dan Klaster Gula Semut di Kulon Progo. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2014 sampai Juni 2014 dengan teknik pengumpulan yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan 1). pihak Bank Indonesia Yogyakarta untuk memperoleh informasi mengenai tahapan dan proses dalam melakukan pemberdayaan UMKM. 2). UMKM KPI Mina Kepis dan Gula Semut sebagai sasaran pemberdayaan guna memperoleh informasi mengenai hasil dan dampak pemberdayaan tersebut. Observasi dilakukan dengan mengamati bagaimana program yang diberikan Bank Indonesia Yogyakarta kepada dua UMKM tersebut, sedangkan dokumentasi dengan mencari data ke Bank Indonesia Yogyakarta dan dua UMKM mengenai implementasi dan hasil pemberdayaan. E. Temuan 1. Implementasi Pengembangan dan Pemberdayaan UMKM Implementasi merupakan bentuk pelaksanaan atau penerapan dari apa yang telah disepakati dulu.15 Implementasi ini diwujudkan dalam bentuk tahapan atau proses dari sebuah kebijakan melalui program-program untuk direalisasikan kepada masyarakat maupun stakeholders yang bersangkutan. Implementasi tersebut diwujudkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia (selanjutnya akan disingkat KPw BI) salah satunya pada KPw BI Yogyakarta sebagai kepanjangan tangan dari CSR Bank Indonesia melalui Program Sosial Bank Indonesia (selanjutnya akan disingkat PSBI). Kantor perwakilan ini berkomitmen untuk melakukan pendampingan dan pemberdayaan UMKM. Tujuannya adalah untuk meningkatkan upaya produksi, kapasitas usaha, nilai tambah (value added) terhadap ekonomi masyarakat dan meningkatkan profesionali14 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2012, hal 224. 15 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka: Jakarta, 1976, hal 377.
45
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
tas kelompok masyarakat dalam menjalankan usahanya.16 Sampai dengan akhir tahun 2013, beberapa bentuk kegiatan pengembangan UMKM dilaksanakan oleh KPw BI Yogyakarta antara lain: pemberdayaan Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Kepis di Sleman dan program ketahanan pangan dan program pengembangan komoditas unggulan untuk gula semut (brown sugar) di Kulon Progo. Untuk Klaster KPI Mina Kepis dan Klaster Gula Semut, KPw BI Yogyakarta melakukan sinergisitas dengan pihak internal BI Yogyakarta sendiri, yaitu Bapak Mahmudi, Bapak Burhan, Bapak Budi, Ibu Anita Lubis dan Ibu Anfal. Sedangkan untuk pihak eksternal, Bank Indonesia melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi seperti UGM, UKDW dan UMY, Dinas Perikanan, Dinas Pertanian, Pemkab Sleman dan Pemkab Kulon Progo. Pihak Bank Indonesia Yogyakarta melakukan FGD (Forum Group Discussion) dengan sistem Top Down atau melalui Bupati Sleman untuk Klaster KPI Mina Kepis dan Bupati Kulon Progo untuk Klaster Gula Semut. FGD ini dilakukan untuk melakukan need assessment dan mendapatkan data guna mengetahui komoditas-komoditas unggulan apa yang ada di daerah tersebut, terutama yang termasuk lima besar komoditas unggulan yang ada di masing-masing wilayah.17 a. Klaster KPI Mina Kepis Beberapa tahapan yang dilakukan oleh KPw BI Yogyakarta dalam memfasilitasi dan melakukan pendampingan UMKM klaster KPI Mina Kepis. Sebelum melakukan pendampingan, pihak KPw BI Yogyakarta melakukan pemantauan kelompok KPI Mina Kepis berdasarkan data-data dan sumber-sumber yang bersangkutan seperti data BPS maupun data dari Disperindagkop Kabupaten Sleman, melakukan riset sebagai langkah net assessment, melakukan FGD dengan Pemkab Sleman dan dengan anggota kelompok, kemudian kelompok mengajukan proposal kepada Bank Indonesia Yogyakarta sebagai syarat administrasi untuk pelepasan dana dan melakukan program.18 Tahapan-tahapan yang dilakukan yaitu: 16 BI Anggarkan Rp 80 Miliar untuk Bantuan Sosial pada 2014, http://skalanews. com/berita/detail/166929/BI-Anggarakan-Rp80-Miliar-untuk-Bantuan-Sosial-pada-2014, diakses pada tanggal 29 April 2014. 17 Wawancara dengan Bapak Mahmudi, bagian Unit Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia Yogyakarta, di Sleman, tanggal 3 Juni 2014. 18 Wawancara dengan Bapak Mahmudi, bagian Unit Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia Yogyakarta, di Sleman, tanggal 3 Juni 2014.
46
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
1) Pemilihan klaster berdasarkan keputusan atau ketetapan Pemerintah Kabupaten Sleman (MOU Bank Indonesia-Pemkab Sleman). 2) Identifikasi masalah baik dalam aspek produksi, pemasaran, manajemen maupun akses kredit perbankan. 3) Pemberian Bantuan Teknis (Bantek), praktek dan studi banding bekerjasama dengan Fak. Pertanian Jurusan Perikanan dan Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sleman untuk memperoleh ilmu mengenai cara budidaya ikan yang baik. 4) Penguatan kelembagaan kelomnpok tani ikan dan kelompok wanita tani (KWT). 5) Program pembinaan dan peningkatan produksi, Linkage pelaku usaha, keuangan dan pemasaran. Mempromosikan dan pemasarkan produk olahan ikan pada saat pameran UMKM, Koperasi, PKBL Kementerian Koperasi dan UMKM RI di Ambarukmo Plaza Yogyakarta (memperoleh juara II). Selain itu, Bank Indonesia melakukan linkage pada sumbersumber pembiayaan dan modal usaha, seperti pendirian koperasi bersama Bank BRI, BPD, Bukopin serta Dinas Perindagkop Sleman. 6) Dukungan dan perluasan sarana dan prasarana fisik dan infrastruktur. Program peningkatan fasilitas fisik dilakukan sebagai pendukung peningkatan kapasitas produksi.19 b. Klaster Gula Semut Untuk klaster gula semut, Bank Indonesia Yogyakarta memfasilitasi alat-alat produksi untuk mempermudah para petani dalam memproduksi gula semut. Seperti pada klaster KPI Mina Kepis, sebelum program dilaksanakan Bank Indonesia Yogyakarta melakukan pemantauan berdasarkan data-data dari BPS maupun Dinas terkait (Disperindagkop Kulon Progo, dan lain-lain) dan hasil riset dengan perguruan tinggi seperti Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarata, kemudian melakukan FGD dengan sistem Top Down yaitu terlebih dahulu melakukan pertemuan dengan Pemkab Kulon Progo maupun SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) setempat setelah itu melakukan sosialisasi kepada petani gula kelapa, dan setelah itu KSU Jatirogo mengajukan proposal kerjasama dengan Bank Indonesia Yogyakarta sebagai 19
Dokumentasi UMKM Bank Indonesia Yogyakarta, Klaster KPI Mina KepisSleman-Yogyakarta.
47
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
syarat administrasi.20 Berikut ini adalah tahapan-tahapan yang dilakukan oleh BI Yogyakarta: 1) Pemilihan klaster berdasarkan keputusan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo (MOU Bank Indonesia-Pemkab Kulon Progo) dan berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. 2) Program legislasi atau HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Produk gula semut ini merupakan komoditas unggulan daerah Kulon Progo sebagai gula organik yang cakupan pemasarannya lebih banyak ke luar negeri. Oleh karena itu, produk ini harus memiliki sertifikasi baik organik maupun terdaftar PIRT untuk penguatan kualitas dan perlindungan produk yang memiliki kekhususan. 3) Pemberdayaan petani penderes berupa pelatihan-pelatihan dan peningkatan kapasitas produksi. 4) Pembinaan pasar domestik sebagai sarana untuk memperkenalkan dan mempromosikan produk gula semut, khususnya di wilayah Yogyakarta. 5) Dukungan sarana dan prasarana fisik seperti gudang, dapur sehat dan alat produksi (oven).21 2. Hasil Pengembangan dan Pemberdayaan UMKM Hasil pemberdayaan UMKM melalui CSR Bank Indonesia dalam Program Sosial Bank Indonesia KPw BI D.I. Yogyakarta sedikit banyak dapat membantu melakukan pengembangan UMKM Klaster KPI Mina Kepis (2012-2013) dan Klaster Gula Semut (2012-2013) dan membantu dalam proses pemberdayaan UMKM tersebut. Kurang berkembangnya kebanyakan UMKM saat ini adalah seperti kurangnya modal karena sulitnya akses pembiayaan untuk UMKM, alat-alat produksi dan dukungan dari pemerintah setempat. Hal inilah yang membuat CSR Bank Indonesia melalui KPw BI D.I. Yogyakarta berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat dalam pengentasan kemiskinan, mensejahterakan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja dengan melihat potensi ekonomi yang bisa dikembangkan sehingga nantinya diharapkan program sosial ini 20 Wawancara dengan Bapak Mahmudi, bagian Unit Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia Yogyakarta, di Sleman, tanggal 3 Juni 2014. 21 Dokumentasi UMKM Bank Indonesia Yogyakarta, Klaster Gula Semut-Kulon Progo-Yogyakarta.
48
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan mampu memberikan andil bagi ketahanan ekonomi nasional maupun stabilitas ekonomi.22 Dari berbagai tahapan melalui program yang diberikan KPw BI D.I. Yogyakarta, sedikit banyak mampu meningkatkan baik meningkatkan produksi maupun meningkatkan pendapatan klaster. Pengembangan UMKM inilah yang diharapkan oleh KPw BI D.I. Yogyakarta agar dapat meningkatkan kesejahteraan, khususnya di wilayah Yogyakarta. a) Klaster KPI Mina Kepis Hasil dari pengembangan dan pemberdayaannya yaitu: a) Adanya peningkatan penjualan dan pendapatan petani dari tahun ketahun semakin juga meningkat. Pada tahun 2011 totalnya 1,5 milyar sedangkan pada tahun 2013 total perolehan meningkat hingga 2 milyar,23 b) Peningkatan keterampilan (skill) oleh kegiatan usaha KWT (Kelompok Wanita Tani) melalui peningkatan nilai tambah produk olahan ikan seperti abon ikan, nila krispi, otak-otak ikan, nugget dan bakso. Selain itu, adanya pelatihan pembenihan ikan bawal dan grasscarp dengan sistem kawin suntik, c) Terbentuknya akses jaringan usaha dan keuangan kepada kelompok, d) Meningkatnya kapasitas produksi. b) Klaster Gula Semut Hasil dari pengembangan dan pemberdayaannya yaitu: a) Meningkatnya kualitas produk dan kapasitas produksi gula semut dengan adanya fasilitasi oven (alat pengering), b) Peningkatan penjualan gula semut, c) Penguatan kelembagaan koperasi Program ini dilakukan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)24 sehingga mampu melakukan penguatan manajemen organisasi koperasi KSU Jatirogo, d) Linkage poduk dan akses keuangan UMKM sebagai sumber pembiayaan dan modal. F. Kesimpulan dan Saran Kegiatan CSR Bank Indonesia Yogyakarta untuk pemberdayaan UMKM Klaster Mina Kepis dan Klaster Gula Semut dilakukan mela22
2012, BI Yogyakarta kucurkan dana sosial Rp1,7 M, http:///sindonews.com/ read/2013/01/16/34/707751/2012-bi-yogyakarta-kucurkan-dana-sosial-rp1-7-m, diakses pada tanggal 29 April 2014. 23 Dokumentasi Laporan Keuangan KPI Mina Kepis, tanggal 26 Maret 2014. 24 Dokumentasi UMKM Bank Indonesia Yogyakarta, Klaster Gula Semut-Kulon Progo-Yogyakarta.
49
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
lui beberapa tahapan atau pola umum, yaitu: a) Pemilihan klaster, b) Identifikasi masalah, c) Pemberian Daya. Dari semua tahapan tersebut, Bank Indonesia Yogyakarta melakasanakan program-program, seperti: 1) Pelatihan (peningkatan keterampilan baik melalui Bantuan Teknis (Bantek), praktek, maupun studi banding). Tujuan dari pelatihan adalah peningkatan produksi. b). Penguatan kelembagaan baik melalui penguatan manajemen kelompok atau organisasi, penguatan Sumber Daya Manusia (SDM), maupun penguatan manajemen keuangan, c). Linkage Program, yaitu menghubungkan dengan pelaku usaha lain, dengan lembaga keuangan, dinas-dinas terkait dan pemasaran, d). Dukungan dan perluasan sarana dan prasarana fisik dan infrastruktur. \ Hasil pemberdayaan yang dilakukan menunjukan kemajuan, untuk klaster KPI Mina Kepis adanya peningkatan omset dan pendapatan untuk penyewaan kolam penjualan ikan. Hal ini dibuktikan oleh data perolehan penghasilan dari tahun ketahun. Pada tahun 2011 total perolehan 1,5 milyar sedangkan pada tahun 2013 total perolehan meningkat hingga 2 milyar. Selain itu, program CSR Bank Indonesia Yogyakarta di Mina Kepis juga meningkatkan keterampilan terkait pengolahan ikan dan sistem pembenihan ikan bawal dan grasscarp melalui kawin suntik. Sedangkan untuk klaster Gula Semut Untuk hasil pemberdayaan gula semut, setelah adanya pendampingan dan fasilitasi alat-alat produksi seperti alat pengering (oven) yaitu secara langsung petani merasa terbantu untuk memproduksi lebih banyak gula semut (3 kwintal/kw) daripada sebelum mendapat bantuan mesin pengering (80 kilogram/kg). Selain itu, dari segi tenaga juga terbantu dengan adanya alat produksi walaupun hasil produksi belum mencapai target yang diinginkan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Program CSR Bank Indonesia Kantor Perwakilan (KPw) Yogyakarta telah berperan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, namun demikian masih ada beberapa saran yang muncul dari tafsiran/pengamatan peneliti dan saran dari anggota KPI Mina kepis dan Gula Semut. Saran tersebut adalah: 1. Dalam hal pemasaran ikan telah berjalan dengan baik, namun untuk produk olahan ikan produksi belum berjalan secara rutin. Hal tersebut merupakan salah satu kendala dalam pasar, maka dari itu Bank Indonesia Yogyakarta maupun dinas terkait juga bisa membantu memfasilitasi agar produk olahan KWT Mina Kepis dapat 50
Sela Marlena, Pemberdayaan UMKM Melalui CSR:....
tembus ke pasaran modern, seperti supermarket maupun tokotoko di wilayah Yogyakarta. 2. Saran bagi Pemkab Kulon Progo dan Bank Indonesia Yogyakarta, gula semut merupakan komoditas unggulan di wilayah Kulon Progo akan tetapi masih sedikit masyarakat Kulon Progo yang mengkonsumsi produk ini. Oleh karena itu, Pemkab Kulon Progo dan Bank Indonesia dapat bersama-sama mengembangkan pasar domestik/lokal untuk gula semut khususnya di wilayah Kulon Progo. 3. Peneliti dan petani gula semut juga menyarankan bagi Bank Indonesia Yogyakarta untuk menambah alat produksi khususnya alat pengering (oven) bagi petani supaya dapat memproduksi gula semut sesuai dengan target.
51
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
DAFTAR PUSTAKA Bambang Hudayana, Sutoro Eko, Andi Sandi, dkk., Menjadi Katalis Perubahan Reposisi CSR Untuk Penanggulangan Kemiskinan dalam Konteks Desentralisasi, IRE, Yogyakarta, 2011. Bank Indonesia, “Dusun Manding Disinggahi Komisi VI DPR RI”, http:// www.annual_ report_BSR_2009.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2013. Bank Indonesia, “Gambaran Umum Program Bank Indonesia Social Responsibility 2009”, http://www.annual_report_BSR_2009.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2013. BANK INDONESIA: Bank Sentral Indonesia, Pameran Wirausaha Baru Bank Indonesia (New Wave Entrepreneur) 2013, 28 Juni-2 Juli Gedung Heritage Bank Indonesia Yogyakarta. BI Anggarkan Rp 80 Miliar untuk Bantuan Sosial pada 2014, http://skalanews.com/berita/detail/166929/BI-Anggarakan-Rp80-Miliaruntuk-Banntuan-Sosial-pada-2014, diakses pada tanggal 29 April 2014. BI Yogyakarta kucurkan dana sosial Rp1,7 M, http:///sindonews.com/ read/2013/01/16/34/707751/2012-bi-yogyakarta-kucurkan-danasosial-rp1-7-m, diakses pada tanggal 29 April 2014. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1989. Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika: Jakarta, 2007. http://www.03_status_tujuan_rev1BI.pdf, diakses pada tanggal 19 April 2013. http://www.antarayogya.com/berita/309593/bi-salurkan-bantuankepada-petani-ikan-sleman, diakses pada tanggal 28 Oktober 2013. Iin Purnamasari, “Implementasi Corporate Social Responsibility oleh Pabrik Kulit PT. Adi Satria Abadi Untuk Masyarakat Sekitar”, Skripsi mahasiswa jurusan PMI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga: Yo52
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
gyakarta, 2005. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2012. Sodiq Hidayatullah, “Konsep dan Implementasi Corporate Social Responsibility Pamella Yogyakarta”, Skripsi mahasiswa jurusan PMI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2003. Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebianto, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik, Alfabeta: Bandung, 2012. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka: Jakarta, 1976.
53
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
54
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI SOLUSI MENGATASI KEMISKINAN UMMAT Afif Rifai1 Abstrak Salah satu problema sosial yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya ummat Islam adalah kemiskinan.Padahal Islam sebenarnya memiliki solusi untuk mengatasi kemiskinan tersebut yaitu zakat, infak dan shodaqoh.Namun demikian, kenyataannya pelaksanaan rukun Islam yang ketiga itu belum sesuai dengan harapan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan dan penyaluran zakat yang tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak memberikan solusi bagi kemiskinan ummat. Pengelolaan zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan dari segi syari’at maupun perkembangan zaman. Pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat Islam masih memerlukan tuntunan serta metode yang tepat dan mantap baik kepada muzakki maupun kepada mustahik. Dalam Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang dimaksud dengan pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Selanjutnya dalam pasal lima disebutkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan: pertama, meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan ketentuan agama, kedua, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, dan ketiga meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Untuk mencapai tujuan tersebut zakat perlu dikelola secara profesional. 1
Pengajar di Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
55
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Dari pendapat berbagai ahli diperoleh gagasan bahwa zakat, sedekah dan infaq dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan ummat dengan syarat dikelola secara profesional dengan langkahlangkah sebagai berikut: pertama pengelolaan zakat dilakukan secara professional, karenanya memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah haul, dan mustahiq zakat.Kedua, sosialisasi dan mobilisasi gerakan zakat melalui dakwah dalam berbagai media.Ketiga, dilakukan pemetaan muzakki dan mustahiq, dengan melakukan survai, keempat penggunakan manajemen yang profesional dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Kelima perencanaan yang matang dalam pendayagunaan zakat, dapat berupa program pemberian beasiswa, pemberian ketrampilan, pemberian modal, pelatihan kewirausahaan, dan sebagainya sesuai dengan kondisi masyarakat yang diberdayakan. Keenam monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan program, langkah ini penting agar setiap program dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai target yang ditetapkan. Dari uraian di atas jelaslah bahwa pendayagunaan dan pengelolaan zakat secara terencana dan terarah akan memberi perubahan yang mendasar terhadap kondisi masyarakat lemah menuju kondisi yang lebih baik. KataKunci: Zakat, Muzakki, Mustahik
A. Pendahuluan Kemiskinan ummat menjadi salah satu problema sosial yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya ummat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia.Sebenarnya solusi mengatasi kemiskinan tersebut telah dimiliki oleh ajaran Islam yaitu zakat, infak dan shodaqoh.Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah fardhu ain dan kewajiban ta’abbudi. Dalam Al-Qur’an perintah zakat sama pentingnya dengan shalat. Namun demikian, kenyataannya pelaksanaan rukun Islam yang ketiga itu belum sesuai dengan harapan.Kisruh pembagian zakat yang dibagikan langsung oleh muzakki yang terekam dan disajikan diberbagai media merupakan cermin dari pengelolaan dan penyaluran zakat yang tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak memberikan solusi bagi kemiskinan ummat.Pengelolaan zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan dari segi syari’at maupun 56
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
perkembangan zaman.Pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat Islam masih memerlukan tuntunan serta metode yang tepat dan mantap baik kepada muzakki maupun kepada mustahik. Menurut KH Sahal Machfud (1994) orang yang membayar zakat (muzakki) misalnya, masih melakukan pekerjaan secara terpencar. Pembagian zakat pun masih jauh dari memuaskan. Ini perlu penataan dengan cara melembagakan zakat itu sendiri. Penataan ini tidak hanya terbatas dengan pembentukan panitia zakat saja.Lebih dari itu, penataan hendaknya juga menyangkut aspek manajemen modern yang dapat diandalkan, agar zakat menjadi kekuatan yang bermakna. Penataan itu menyangkut aspek-aspek pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian, dan yang menyangkut kualitas manusianya. Lebih dari itu, aspek yang berkaitan dengan syari’at tidak bisa kita lupakan.Ini berarti kita memerlukan organisasi yang kuat dan rapi. Telah banyak organisasi pengelola zakat yang ada di Indonesia, namun demikian belum semua organisasi pengumpul zakat tersebut dikelola dengan baik. Belum ada pendataan dan pengelolaan yang maksimal tentang muzakki, padahal Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang amat besar, hanya sajapersentase masyarakat yang memiliki kesadaran menunaikan kewajiban zakat sesuai dengan ketentuan masih relatif kecil. Kemungkinan hal itu disebabkan karena sosialisasi tentang zakat dalam dakwah juga masih kurang proporsinya, tema dakwah masih berkutat pada masalah ibadah seperti sholat dan puasa, sedangkan tema zakat belum mendapat porsi yang memadai, bahkan nyaris diberikan pada waktu bulan puasa saja, demikian juga ajakan zakat dalam bentuk spanduk muncul di bulan puasa saja.Hal ini disebabkan karena pada bulan puasa ada kewajiban zakat fitrah, sehingga keterangan mengenai zakat mal digabungkan saja dengan zakat fitrah. Masalah lain yang juga dihadapi dalam pengelolaan zakat adalah data mengenai penerima zakat, belum ada penelitian tentang kondisi sosial ekonominya serta data keagamaannya berikut masalah yang dihadapinya. Padahal kondisi tersebut sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh penerima zakat agar dapat keluar dari kemiskinan yang melilitnya. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah belum optimalnya penggunaan dana zakat ini. Kadang, penyaluran dana zakat hanya sebatas pada pemberian bantuan saja tanpa memikirkan kelanjutan 57
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
dari kehidupan si penerima dana.Sehingga pengelola zakat adalah dalam distribusi zakat perlu memikirkan dan milah-milah apakah penyaluran zakat dalam bentuk uang tunai atau pemberian modal atau dalam bentuk barang/peralatan yang dibutuhkan, sesuai dengan kondisi penerima zakat. Pemerintah dalam masalah pengelolaan dan pendayagunaan zakat sebenarnya telah menerbitkan Undang-Undang tentang penelolaan zakat, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut kemudian diikuti oleh keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 dan Pedoman Teknis Pengeloaan Zakat berdasarkan kepada keputusan Direktorat Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 Tahun 2000. Namun demikian dalam kenyataannya undang-undang tersebut belum bisa terlaksana dengan baik.Problemproblem disekitar pengelolaan zakat tersebut menjadi agenda dari ummat Islam dalam memikirkan solusinya agar tantangan zakat sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia dapat terwujud. B. Tinjauan Tentang Zakat Zakat menurut bahasa berarti bertambah, kesucian, barokah dan tazkiyah atau pensucian. Sedangkan secara istilah zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah kepada orang yang berhak. Menurut Nazar Bakry (1994: 29) zakat adalah kadar harta yang tertentu diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat yang tertentu. Kata zakat disebutkan berulang-ulang dalam AI-Qur’an diantaranya disebutkan besama-sama dengan perintah sholat. Diantara ayat-ayat yang berhubungan dengan perintah salat dan zakat adalah dalam surat al-Baqarah:43 yang artinya Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang–orang yang rukuk, kemudian dalam al-Baqarah:83 yang artinya Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…, surat al-Baqoroh ayat 110 yang artinya Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat, surat al-Mujadiilah:13 yang artinya Maka dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…, dalam surat al-Muzammil ayat 20 yang artinya Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa zakat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Islam dan hukumnya adalah 58
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
wajib.Selain zakat kita juga diperintahkan untuk mengeluarkan infak. Zakat ada ketentuannya secara khusus, sedangkan infak tidak demikian. Besar kecilnya sangat tergantung kepada keadaan keuangan dan keikhlasan memberi infak. Di antara hikmah zakat dan infak (M. Ali Hasan:2006) adalah pertama mensucikan harta, kedua menyucikan jiwa si pemberi zakat dari sifat kikir (bakhil), ketiga membersihkan jiwa si penerima zakat dari sifat dengki dan yang keempat membangun masyarakat yang lemah. Menurut garis besarnya zakat terdiri dari dua jenis yaitu : 1. Zakat harta (zakat mal) seperti zakat emas, perak, binatang ternak, hasil tumbuh-tumbuhan baik berupa buah-buahan, biji-bijian dan harta perniagaan. 2. Zakat jiwa (zakat nafs). Zakat ini populer di dalam masyarakat dengan nama zakatul fitri yaitu zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim di bulan Ramadhan menjelang shalat Idul Fitri (Tim Penyusun, 1983). Sedangkan dalam undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, harta yang dikenai zakat adalah: 1). Emas, perak dan uang, 2).Perdagangan dan perusahaan, 3).Hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan, 4).Hasil pertambangan, 5).Hasil peternakan, 6).Hasil pendapatan dan jasa, 7).Rikaz. Menurut ‘kitab kuning’ (Sahal Machfudh, 2004) barang-barang yang wajib dizakati adalah emas, perak, simpanan, hasil bumi, binatang ternak, barang dagangan, hasil usaha, rikaz, dan hasil laut. Mengenai zakat binatang ternak, barang dagangan, dan emas perak, hampir tidak ada perbedaan antara para ulama dan imam madzahab. Sedangkan mengenai zakat hasil bumi, ada beberapa perbedaan di antara madzhab empat. 1. Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, bambu, rumput, dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbuah, wajib dizakati; 2. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manisoa wajib dizakati, kecuali buah-buahan yang berbiji, seperti buah pir, delima, jambu, dan lain-lain; 3. Menurut Imam Syafi’i, setiap tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama, dan dibudidayakan manusia, wajib dizakati; 4. Menurut imam Ahmad Bin Hanbal, biji-bijian, buah-buahan, rum59
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
put yang ditanam wajib dizakati. Begitu pula tumbuhan lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, mismis, buah tin, dan mengkudu, wajib dizakati. Pada saat sekarang muncul istilah zakat profesi atau zakat dari gaji, Menurut Imam Syafi’i tidak wajib dizakati (Sahal, 2004). Sebab kedua hal tersebut tidak memenuhi syarat haul dan nisab. Gaji kalau ditotal setahun, mungkin memenuhi nisab.Tetapi bukankah gaji diberikan tiap bulan?Dengan demikian, gaji setahun yang memenuhi nisab itu hanya memenuhi syarat hak dan tidak memenuhi syarat milik.Padahal benda yang wajib dizakati harus merupakan hak milik. Gaji maupun upah jasa lainnya kalau dikenakan zakat, adalah zakat mal, jika memang sudah mencapai nisab dan haul. Dalam masalah mustahiq (yang berhak menerima) zakat juga tidak ada perbedaan pendapat. Sebab mustahiq sudah jelas disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 60. Mustahiq adalah fakir, miskin, ‘amil, mualaf, riqab, gharim, sabilillah, dan Ibnu Sabil.Para mustahiq itu biasa disebut asnaf ats-tsamaniyah (delapan kelompok).Yang masih sering diperdebatkan adalah tentang kategori masing-masing mustahiq,terutama untuk sabillillah.Jumhur ulama berpendapat, sabillillah adalah perang dijalan Allah.Bagian untuk sabillillah diberikan kepada para angkatan perang yang tidak mendapat gaji dari pemerintah.Tetapi menurut Imam Ahmad bin Hanbal, bagian zakat untuk sabillillah bisa dita-sharuf-kan (digunakan) untuk membangun madrasah, masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya (Sahal Machfudh, 2004). Perintah zakat mengandung dua fungsi, pertama bagi pembayarnya, yaitu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, mensucikan harta dan mengikis sifat kikir dan tamak. Kedua zakat berfungsi sosial seperti meringankan beban hidup fakir miskin, menumbuhkan persaudaraan dan menjembatani jurang antara si kaya dan si miskin mengangkat derajat orang yang lemah dan memberi jaminan ekonomi masyarakat Islam. Dengan demikian zakat mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan kesejahteraan umat dan bisa dijadikan sumber dana bagi menciptakan pemerataan kehidupan ekonomi masyarakat Islam. Lebih jauh lagi zakat dapat menjadi sarana penunjang pengembangan dan pelestarian ajaran Islam di dalam masyarakat.Melalui zakat, Islam telah membukakan jalan untuk menciptakan pemerataan ekonomi menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur. 60
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
Berbagai fungsi zakat tersebut dalam realitasnya belum sepenuhnya dapat dirasakan dan belum dapat dilihat hasilnya secara maksimal artinya zakat belum dapat dijadikan jawaban yang mendasar dalam mengatasi persoalan kesejahteraan umat. Di antara berbagai kendala yang ada, salah satunya adalah karena pengelolaan zakat yang belum maksimal, efektif, dan efisien. C. Pengelolaan Zakat untuk Mengatasi Kemiskinan Ummat Dalam Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang dimaksud dengan pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Sedangkan zakat diberi pengertian harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh seorang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Selanjutnya dalam pasal lima disebutkan bahwa penelolaan zakat bertujuan: pertama, meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan ketentuan agama, kedua, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, dan ketiga meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Untuk mencapai tujuan tersebut zakat perlu dikelola secara profesional.Pengelolaan zakat secara professional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-maslaah haul, dan mustahiq zakat. Begitu pula sulit dibayangkan apabila pengelola zakat tidak penuh dedikasi, bekerja lillahi ta’ala. Banyak ekses akan terjadi. Lebih-lebih bila pengelola zakat tidak jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak sampai kepada mustahiq dan kemungkinan pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi saja. Oleh karena itu, tenaga terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, jujur, dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat yang professional (Sahal Machfudh, 2004). Agar pengelolaan zakat dapat berjalan dengan baik maka harus membentuk sebuah organisasi pengelolaan zakat (OPZ). Organisasi Pengelolaan Zakat memiliki dua “jiwa” sekaligus: jiwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan jiwa Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS). Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi pengelolaan zakat 61
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
adalah lembaga pemberdayaan yang mempunyai tujuan besar yaitu merubah keadaan sebagai mustahiq menjadi muzakki (Widodo, 2001). Dalam perencanaan ini, organisasi pengelola zakat harus paham, peka, serta menyatu dengan masyarakat dan lingkungannya, terutama yang berada di wilayah kerjanya. Organisasi pengelola zakat harus tahu persis kondisi relijius, sosial, budaya, maupun ekonomi masyarakatnya. Pemahaman yang menyeluruh dan mendalam akan membantu organisasi pengelolaan zakat dalam mengembangkan program-program yang dapat menyelesaikan problematika secara menyeluruh pula. Di sisi lain organisasi pengelolaan zakat adalah sebagai lembaga keuangan syari’ah karena menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat berupa zakat, infaq, shadaqah atau dana lainnya. Pada umumnya dana yang diterima organisasi pengelolaan zakat tidak terlepas dari realisasi keimanan seseorang terhadap syari’ah Islam. Organisasi pengelolaan zakat harus dapat membuktikan bahwa dana yang berupa zakat dikelola dengan baik dan benar sehingga dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi masyarakat lemah. Diperlukan persyaratan tertentu untuk meciptakan pengelolaan zakat yang baik antara lain : 1. Kesadaran masyarakat akan makna, tujuan serta hikmah zakat karena itu diperlukan mobilisasi dan gerakan zakat. 2. Amil zakat benar-benar orang yang amanah, karena masalah zakat adalah masalah yang sensitif. 3. Perencanaan dan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan zakat yang baik (Team Penyusun, 1983). Dalam sosialisasi dan mobilisasi gerakan zakat diperlukan fundraising yaitu proses mempengaruhi masyarakat agar menyerahkan dananya kepada sebuah organisasi. Dalam hal ini masyarakat mau menyerakan zakat, infaq dan sedekah kepada organisasi pengumpul zakat. Menurut April Purwanto (2009) kata mempengaruhi dalam proses fundraising mengandung makna: pertama memberitahukan kepada masyarakat tentang seluk beluk organisasi pengelola zakat agar mengenalnya dengan benar. Kedua mempengaruhi dapat juga bermakna mengingatkan dan menyadarkan bahwa masyarakat aghniya bahwa mereka mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan.Ketiga, mempengaruhi dalam arti mendorong masyarakat mau menyerahkan zakat, infak dan shadaqah kepada organisasi pengumpul zakat. 62
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
Dalam proses mempengaruhi tersebut digunakan informasi program dan juga dasar rasional serta argumen dari ajaran Islam tentang zakat, infak dam shadaqah. Sedangkan menurut Qodry Azizy (2000) untuk mengelola zakat dengan baik maka diperlukan dua hal yaitu:Pertama, menggunakan manajemen sebagai pendekatan untuk mengumpulkan zakat. Dalam pengumpulan zakat, kita ditantang bagaimana bisa berhasil mengumpulkan zakat sebanyak-banyaknya dengan biaya (termasuk waktu) yang efektif dan efisien. Dengan menggunakan fungsi managemen tersebut, maka pengumpulan zakat tidak hanya dilakukan ala kadarnya saja dengan kedok Lillahi ta’ala, akan tetapi dilaksanakan dengan terprogram dan terencana, termasuk ditentukan jadwalnya dengan jelas, dan tetap berlandasan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas.Kedua, membuat asumsi atau hipotesa untuk mendayagunakan zakat (untuk membuat sebuah perencanaan diperlukan banyak hal, seperti; survei lapangan, human resource, jenis kerja dan lain-lain). Tantangan yang muncul kemudian adalah bagaimana mendayagunakan harta zakat yang telah berhasil dikumpulkan bisa bermanfaat yang sebesar-besamya dan benar-benar bisa jatuh ke tangan mereka yangberhak untuk memperbaiki nasibnya. Dengan membuat asumsi atau hipotesa, pendayagunaan harta zakat hendaknya sebisa mungkin menghindari dan sifat konsumtif masyarakaf khususnya yang fakir miskin. Dalam rangka usaha menanggulangi kemiskinan, maka perlu sekali diusahakan agar pendayagunaan zakat tersebut dapat berlangsung cara efektif. Hal itu berarti pendayagunaannya harus dilakukan secarakonstruktif dan mengarah pada sifat produktif. Pembagian zakat pada saat ini sebaiknya tidak sekedar disampaikan kepada fakir miskin saja, tetapi lebih diarahkan agar zakat dapat membebaskan orang-orang fakir dari kefakirannya, sehingga dia dapat menempuh hidupnya secara lebih baik. Dalam mengalokasikan harfa zakat, bisa dimulai dengan mengkategorikan para mustahiq (yang berhak atas zakat) ke berbagai kelas (Nabalah, 2000).Untuk itu maka ditentukan terlebih dahulu jenis orang mana saja yang bisa menerima dengan tunai, misalnya bagi mereka yang sudah tidak mampu mencari nafkah sama sekalr seperti orangorang jompo, lumpuh, cacat dan lain sebagainya, maka dapat diberikan secara langsung. Sedangkan bagi mereka yang tergolong sebagai fakir miskin yang mampu bekerja, maka zakat yang diberikan kepada 63
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
mereka hendaknya diawasi dengan baik dan diberi arahan agar zakat tersebut tidak habis dikonsumsi saja, akan tetapi untuk dikembangkan atau dijadikan modal dalam menjalankan usaha kecil-kecilan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup selanjutnya dan tidak selalu menggantungkan diri pada bantuan-bantuan untuk melangsungkan hidupnya. Dalam melaksanakan program-program untuk mengumpulkan zakat pasti akan menghadapi faktor penghambat, yang dapat mempengaruhi terhadap pengumpulan zakat dan pendayagunaannya dalam meningkatkan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Yang menjadi salah satu faktor penghambat adalah Pertama, kadar keimanan masyarakat mampu (aghniya’) untuk melaksanakan ajaran yang telah diwajibkan oleh Allah kepada manusia sebagai khalifah di bumi ini. Kedua, kurangnya menggunakan pendekatan atau metode yang tepat dalam mensosialisasikan ajaran zakat, Ketiga, banyak di antara masyarakat mengeluarkan zakat diberikan langsung kepada fakir miskin, tidak melalui amil zakat yang ada, sehingga tidak ada pemerataan dalam pengentasan kemiskinan. Agar pendayagunaan zakat mencapai tuluan maka perlu ada program-program yang menjadikan masyarakat tidak mampu (dhua’fa’) menjadi produktif. Diantara program-program tersebut antara lain adalah sebagai berikut:Pertama, program memberi bekal keterampilan kerja bagi orang miskin, dengan diawali dengan survei jumlah orang-orang miskin yang bisa diberi bekal keterampilan, yang sesuai dengan kemampuan kerja (Nabalah, 2000) atau kemampuan keahlian masyarakat.Kedua, memberikan training untuk melatih masyarakat miskin memiliki keterampilan dan jiwa interpreneur. Dana zakat dapat diambil sebagian untuk melaksanakan kegiatan training tersebut, di samping utamanya untuk modal usaha setelah dilakukan training. Sedangkan menurut Yusuf Qordhawy (1999) pendayagunaan zakat untuk pengembangan masyarakat khususnya masyarakat miskin dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan sebagai berikut:Pertama, mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas (Qordhawy, 1999). Dalam hal ini dana zakat bisa digunakan sebagai beasiswa kepada para dhu’afa’ untuk melanjutkan pendidikannya. Karena pendidikan yang lemah bisa menjadi salah satu penyebab kemiskinan seseorang. Kebodohan seseorang tidak akan mampu dan tidak mempunyai planning untuk merencanakan kehidupan yang lebih 64
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
maju atau untuk meningkatkan kehidupannya, baik dalam bidang ekokonomi maupun yang lainnya. Program ini dapat memberikan arti penting bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia khususnya masyarakat Islam yang selama ini selalu terbelakang.Kedua, mengembangkan kekayaan finansial. Diantara kewajibanmasyarakat Islam adalah mengeluarkan harta yang ditangannya untuk diputar dan diinvestasikan, karena uang dan harta itu ada bukan untuk ditahan dan ditimbun akan tetapi uang itu dibuat untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya (Qordhawy, 1999). Bentuk dan upaya ini dapat berupa koperasi simpan pinjam tanpa bunga, yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat miskin.Ketiga, menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu (dhu’afa’). Penyediaan ini hendaknya dapat menunjang terhadap peningkatan kehidupan masyarakat dan disesuaikan dengan bidang yang digeluti masyarakat setempat. Misalnya pengadaan peralatan teknologi tepat guna, untuk pertanian, home industri, dan sebagainya. Menurut Sahal Machfudh (2004) Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun tertentu. Dalam upaya pembentukan dana, sesungguhnya zakat tidak sendirian. Jika keperluannya adalah penyantun fakir miskin, sesungguhnya fiqh telah menetapkan kewajiban lain atas hartawan muslim untuk menyantuni mereka. Kewajiban ini jika dikembangkan justru merupakan potensi lebih besar ketimbang zakat. Kewajiban itu adalah memberikan nafaqah (nafkah).Menurut ketentuan fiqh, bila tidak ada baitul mal, maka wajib bagi para hartawan untuk memberi nafkah kepada fakir miskin.Nafaqah berbeda dengan sedekah adalah ibadah sunah, sedangkan nafaqah bersifat wajib.Sedekah juga bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah sosial. Sebab, seperti juga nafaqah, sedekah tidak terikat ketentuan nisab dan haul, sebagaimana zakat. Orang boleh saja bersedekah kapan saja dan berapa saja.Sebagai alternatif, sedekah dan nafaqah banyak memberikan kemungkinan.Lebih-lebih bila diingat di negara kita tidak ada ritual baitul mal.Maka nafaqah sebagai ibadah wajib, perlu digalakkan pelaksanaannya. Demikian juga untuk pengembangan dan pembangunan masyarakat kita perlu menghimpun dana melalui sedekah.
65
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014 D. Kesimpulan
Dari paparan dimuka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa zakat, sedekah dan infaq dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan ummat dengan syarat dikelola secara profesional dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pengelolaan zakat secara professional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah haul, dan mustahiq zakat. 2. Sosialisasi dan mobilisasi gerakan zakat melalui dakwah dalam berbagai media. Sosialisasi dan mobilisasi ini diharapkan menumbuhkan kesadaran para aghniya untuk sadar zakat dan menyalurkannya ke lembaga-lembaga pengumpul zakat yang dipercaya. 3. Pemetaan muzakki dan mustahiq, dengan melakukan survai, penelitian dan menggunakan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga peneliti atau Biro Pusat Statistik. 4. Menggunakan manajemen sebagai pendekatan untuk mengumpulkan zakat. Penggunaan manajemen yang profesional dan dapat dipercaya atau amanah akan semakin menarik orang untuk menyelurkan zakat atau sedekahnya kepada organisasi pengumpul zakat. 5. Perencanaan yang matang dalam pendayagunaan zakat. Perencanaan ini dapat berupa pemberian beasiswa, pemberian ketrampilan, pemberian modal, pelatihan kewirausahaan, dan sebagainya sesuai dengan kondisi masyarakat yang diberdayakan 6. Monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan program, langkah ini penting agar setiap program dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai target yang ditetapkan, atau dapat mengentaskan mayarakat yang diberdayakan dari kesulitan hidup yang dihadapi. Dari uraian di atas jelaslah bahwa pendayagunaan dan pengelolaan zakat secara terencana dan terarah akan memberi perubahan yang mendasar terhadap kondisi masyarakat lemah menuju kondisi yang lebih baik.
66
Afif Rifai, Pengelolaan Zakat sebagai Solusi...
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, Mencari Jalan Keluar, WS, Yogyakarta, 2000. April Purwanto, Manajemen Fundraising bagi Organisasi Pengelola Zakat, Teras, Yogyakarta, 2009. Hertanto Widodo danTeten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan Untuk Organisasi Pengeloloan Zakat, Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 2001. M. Ali Hasan, Zakat dan Infak Salah satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006. M. Faruq An-Nabalah, Sistem Ekonomi Islam, Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis Dan Sosialis, UII Press, Yogyakarta, 2000. Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1994. Sahal Machfudh, Nuansa Fiqih Sosial, LkiS, Yogyakarta, 2004. Team Penyusun Text Book, Ilmu Fiqih jilid I, Cet. Ke-2, Dirjen Binbaga Islam, Jakarta, 1983. Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat YusufAI-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, Judul Asli : Malamih alMujtama’ AI-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Penerjemah : Setiawan Budi Utomo, Pustaka AI-Kautsar, Jakarta, 1999.
67
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
68
Muhammad Hafiun, Maqamat dalam Ajaran Tasawuf
MAQAMAT DALAM AJARAN TASAWUF Muhammad Hafiun1
Abstrak Salah satu dari teori dalam tasawuf adalah teori tentang maqomat. Berbagai tokoh sufi telah merumuskan teori itu lewat karya-karya mereka baik secara sederhana yang gampang dipahami, maupun secara rumit yang sulit dimengerti oleh kalangan awam. Para tokoh sufi berbeda pendapat dalam hal teori maqomat ini. Dalam penjelasan pengertian setiap tingkatan dan urutan masing-masing maqomat yang harus dilalui seseorang dalam terjun ke dunia tasawuf selalu saja ada perbedaan pendapat di antara mereka, terutama dalam hal perbedaan jumlah maqomat.Tulisan ini bertujuan bukan mempersoalkan tentang perbedaan dan perbandingan pendapat diantara para tokoh sufi tadi, tapi mengambil aspek-aspek persamaan yang telah disepakati. Hasil kajian penulis terhadap berbagai pendapat para tokoh sufi, ada enam maqomat yang telah disepakati, yaitu Taubat, Wara’, Zuhd, Shabr, Tawakkkal dan Ridla. Keenam maqomat (tingkatan) ini merupakan syarat mutlak yang harus dilalui dan dimiliki seseorang dalam menempuh perjalan ma’rifat terhadap Allah. Kata Kunci: Ma’rifat, Tasawuf, Tahapan Maqamat
A. Pendahuluan Dalam karya tulisan para tokoh-tokoh tasawuf, banyak sekali kita menemukan berbagai macam topik yang berkaitan dengan proses bagaimana seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada 1
Pengajar tasawuf pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga.
69
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Allah. Dalam buku-bukutasawuf karya para tokoh sufi menyajikan berbagai macam teori sesuai dengan pengalaman rohaniah mereka masing-masing, mulai dari pendapat mereka tentang asal usul sejarah tasawuf sampai pada teori tentang proses dan metode mengembangkan ajaran tasawuf.Di antara sekian banyak teori yang mereka sodorkan, salah satunya adalah teori tentang tahapan-tahapan seseorang dalam menuju Allah.Kaum sufi telah merumuskan teori-teori, bahwa jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai (dekat) pada Allah harus memelalui tangga-tangga yang dimulai dari bawah hingga mencapai puncak (Allah). Tanpa melalui proses lewat tangga-tangga tersebut seseorang tidak akan pernah sampai (mengenal) Allah. Dalam dunia tasawuf, tangga-tangga tersebut dinamakan Maqamat. Tulisan ini ingin merangkum sebagian dari pendapat yang telah dituangkan oleh para tokoh sufi lewat tulisan atau karya-karya mereka yang berkaian dengan Maqamattersebut,dengan harapan agar gampang dipahami untuk dijadikan pedoman bagi kita semua, terutama bagi mereka yang berminat terjun ke dunia tasawuf. B. Maqomat Maqamatadalah jama’ dari kata maqam,yang secara harfiah berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.2Dan dapat juga diartikan dengan fase atau tangga-tangga, posisi, tingkatan (station) atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam terminologi sufistik dapat diartikan dengan kedudukan spiritual atau martabat seseorang hamba dihadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya.3 Banyak definisi yang dikemukakan oleh para sufi tentang apa yang dimaksud dengan maqamat. Al-Qusyairi, misalnya mengatakan :“Maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban”.4Al-Thusi mengatakan :“Kedudukan hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihanlatihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata2
362.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung: Jakarta, 1990, hal
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf, Hamzah: Wonosobo, 2005, hal 136. Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah fi’Ilm al-Tashawwuf, tahqiq Ma’ruf Zuraiq dan Ali Abd al-Hamid Balthaja, Dar al-Khair: Mishr, tt., hal 56. 3 4
70
Muhammad Hafiun, Maqamat dalam Ajaran Tasawuf
mata untuk berbakti kepada-Nya”.5Abu Nashr As-Sarraj mengatakan bahwa maqamat adalah kedudukan (tangga) manusia dihadapan Allah yang disebabkan oleh mujahadahnya, riyadhahnya, dan pencurahan hatinya kepada Allah.6Dari beberapa pengertian tadi,dapat disimpulkan bahwa maqamatadalah tahapan, tingkatan, fase, kedudukan atau tangga seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Tentang berapa jumlah tahapan atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Allah, dikalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammadal-Kalabadzy mengatakan bahwa jumlah maqamat itu adalah al-taubah, al-zuhud, al-shabar, al-faqr, al-tawadlu, al-taqwa, al-tawakal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.7AlQusyairi mengatakan bahwa maqamat itu ada enam tahapan dengan urutan : at-Taubat, al-wara, al-zuhud, al- tawakal, ash- shabar dan al-ridlo.8Al-Thusi mengatakan ada tujuh tingkatan dengan urutan:alTaubat, al- wara, al-zuhud, al-fakir, ash- shabar, al-tawakal dan al-ridlo.9AlGhazali mengatakan sepuluh dengan urutan berikut : al-Taubat, ashshabar, al-syukur,al-raja’, al-khouf, al- zuhud, al-mahabbah,al-‘asyik,al-uns dan al-ridlo10. Sementara Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat AlMakkiyah menyebutkan bahwa maqamat dalam ilmu tasawuf itu ada enam puluh maqam dengan tidak menyebutkan secara sistematis urutannya.11 Dari berbagai pendapat di atas terlihat bahwa para tokoh sufi berbeda pendapat dalam merumuskan tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menuju Allah. Namun mereka sependapat bahwa attaubah, as-shabr, al-zuhud dan al-ridlo merupakan tangga-tangga yang harus dilalui.Al-Ghazali tidak memasukkan maqam al-faqir, al-takwa, al-tawadu’ dan al-tawakkal dalam kategori maqam, tetapi memasukkan al-syukur, al-roja’, al-khouf, danal-mahabbah.Sementara Al-Kalabadzy dan Al-Thusi mengenyamping al-raja’, al-khauf dan al-mahabbah, tetapi Abu Nashr Al-Sarraj Al-Thusi, Al—Luma’, Tahqiq abdal-Halim Mahmud dan Abd al-Baqi’ Surur, Dar al-Haditsah: Mishr, 1960, hal 65. 6 Totok Jumantoro,Op. Cit., hal 136. 7 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamIslam, Bulan Bintang: Jakarta, 1983, hal 62. 8 Al-Qusyairi, op.cit.,hal 49. 9 Al-Thusi, op.cit.,hal 68. 10 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Mathba’ah Al-Amirat Al-Syarfiyyah, 1909, jilid V, hal 345. 11 Totok Jumantoro, Op. Cit., hal 138. 5
71
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
mengutamakan al-tawadu’ dan al-faqr.Al-Ghazali sepakat dengan AlKalabadzy untuk memasukkan al-mahabbah dan al-ma’rifah, sementara Al-Qusyairi dan At-Thusi tidakmemasukkannya. Perbedaan pendapat tentang bentuk maqamat di antara para tokoh sufi di atas menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pengalaman rohani untuk merasa dekat dengan Allah di antara mereka berbeda satu dengan yang lain, sehingga teori-teorimereka tentang maqamat juga ikut berbeda. Al-Ghazali misalnya, menempatkan al-Roja’ dan al-khouf menjadi tangga-tangga yang harus dilalui.Artinya, untuk mencapai kedekatan pada Allah seseorang harus mempunyai rasa optimis dan takut pada Allah. Padahal, menurut tokoh-tokoh sufi lainnya, bahwa al-roja’ dan al-khouf bukan merupakan bagian darimaqamat melainkanbagian dari Ahwal, karena al-roja’ dan al-khoufadalah suatu kondisi kejiwaan yang tidak bisa menetap, yang bisa muncul seketika danjuga bisa hilang seketika, tidak bisa diusahakan dengan latihanlatihan. Berbeda dengan maqamat, bisa diusahakan dengan lewat berbagai macam latihan kejiwaan. Al-Qusyairi mengatakan, maqam adalah upaya (makasib), sedangkan ahwal adalah karunia (mawahib).Ahwal mengandung keaadaan tertentu yang tidak tetap dan jika keadaan ini menjadi menetap maka akan naik menuju keadaan lain yang lebih halus dan begitu seterusnya.12Maka khouf (rasa takut), raja’(rasa optimis), mahabbah (rasa cinta), shauq (rasa rindu untuk bertemu), muraqqabah (rasa dekat) dan uns (rasa intim) oleh kebanyakan tokoh tasawuf tidak termasuk dalam kategori maqamat, melainkan masuk dalam kategori ahwal . Walaupun mereka berbeda pandangan dalam jumlah urutan tangga-tangga maqam, tetapi mereka sepakat bahwamaqam al-taubah, al-zuhud, al-shabar dan al-ridlomerupakan syarat mutlak sebagai tahapan-tahapan yang harus dilalui.Para tokoh sufi lainnya mensyaratkan bahwa disamping al-taubat, al-zuhud, al-shabar dan alridlo, juga memasukkan maqam al-tawakal, al-syukur danal-wara’.Pembahasan tentang maqamat berikut ini merujuk pada maqamat yang telah disepakati oleh kebanyakan tokoh-tokoh sufi, yaitu dengan urutan: altaubat, al-wara’, al-zuhud, al-shabar, al-tawakal dan al-ridlo. 1. Taubat Secara harfiahal-taubat berarti kembali.13 Sedangkan al-taubat yang 12 13
72
Al-Qusyairi, Op.cit., hal 57. Mahmud Yunus, Op. Cit., hal 79.
Muhammad Hafiun, Maqamat dalam Ajaran Tasawuf
dimaksud oleh kalangan para sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan, disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa-dosa atau kesalahankesalahan yang telah dilakukan, disertai dengan melaksanakan amalamal kebajikan.14 Di kalangan para sufi, kata taubat memiliki arti yang lebih dari artian tersebut, dimana juga mesti bertaubat dari bisikanbisikan yang tidak baik dalam diri seperti iri, dengki, riya, dan lainlain, juga bertaubat dari kelalaian mengingat Allah (ghaflah).15 Taubat dalam tasawuf seperti dikatakan oleh Dzu al-Nun alMisri terbagidua yaitu : taubat orang awam dan taubat orang khawash.“Taubatnya orang-orang awam adalah taubat dari dosa-dosa, sedangkan taubatnya orang khawas adalah taubat dari ghaflah (lalai mengingat Allah)”.16 Bagi orang-orang awam atau orang umum kebanyakan taubat berarti menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang telah dilakukan, berjanji untuk tidak mengulanginya dan mengisi kehidupan dengan amal shaleh. Dosa yang dimaksudkan di sini adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah atau larangan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan manusia, kelalaian dari mengingat Tuhan belum dianggap sebagai dosa. Bagi orang khawas, orang-orang tertentu yang telah mendalamikehidupan sufi, kelalaian mengingat Tuhan (ghaflah) adalah suatu dosa. Ghaflah dilihat sebagai sumber segala macam bentuk kemaksiatan. Dalam pandangan kaum sufi, seseorang tidak akan melakukan kemaksiatan, jika ia benar-benar dalam keadaan ingat kepada Tuhan. Bagaimana ia akan melakukan kemaksiatan, jika ia mengingat dan meyakini bahwa ia dalam pengawasan Tuhan di mana semua amal dan perbuatannya akan diperhitungkan dan akan diberikan ganjaran. Dengan demikian, taubat merupakan pangkal dari peralihan hidup cara lama yang ghaflah kepada kehidupan baru yang senantiasa ingat kepada Allah sepanjang masa dan dimana saja. Kesempurnaan taubat dalampandangan para sufi adalah apabila sampai kepada maqam “taubat dan taubatnya sendiri”. Yakni taubat dari kesadaran keberadaan dirinya dan kesadaran akan taubatnya sendiri. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali: Jakarta,2009, hal 198. M. Jamil Cakrawala tasawuf, Gaung Persada: Jakarta, 2007, hal 48. 16 Dikutip dari Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1997, hal 51. 14 15
73
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Dalam tradisi tasawuf, maqam taubat adalah maqam (tahapan) pertama yang harus dilalui oleh mereka yang ingin terjun ke dunia sufi. Bila seseorang telah menyadari dan menyesali semua dosa-dosa yang pernah dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja, dosa lahir maupun bathin dan berjanji tidak mengulangi lagi, untuk selanjutnya menyibukkan diri dengan beribadah dan mengerjakan kebajikan dan amal saleh, maka untuk selanjutnya ia harus melangkah menuju tahapan (maqam) berikutnya, yaitu wara’. 2. Wara’ Secara harfiah wara’ artinya saleh, mejauhkan diri dari perbuatan dosa.17Dalam pengertian pandangan para tokoh sufi, wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi dari yang syubhat ini adalah merupakan isyarat dari Nabi sebagaimana tertuang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :”barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram”.18 Dalam pandangan para sufi sesuatu yang haram akanmenyebabkan noda hitam di dalam hati yang pada akhirnya dapatmematikan hati yang karenanya tidak dapat berhubungan dan dekat dengan Allah. Karena itu, para sufi sangat hati-hati, sesuatu yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya pun mesti ditinggalkan. Dalam pandangan kaum sufi, seperti yang dikatakan oleh Ibrahim bin Adham mengatakan :“Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.19 Ibnul Qayyim sebagaimana dikutif oleh Hasyim Muhammad, membagi wara’ dalam tiga tahapan, yakni tahap meninggalkan kejelekan, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan namun dikhawatirkan akan jatuh pada halhal yang dilarang, dan tahap menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membawanya kepadaselain Allah.20 Dalam pengertian lain, wara’bukan saja meninggalkan hal yang syubhat dan kenikmatan dunia, tetapi juga menghindari berbagai hal yang tidak berhubungan dengan Allah.21 Jadi, wara’ dalam pandangan Mahmud Yunus, Op.Cit., hal 497. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali: Jakarta, 2009, hal 199. 19 Simuh, Op. Cit.,hal 56. 20 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002, hal 33. 21 Al- Qusyairi, al-Risalah fi ‘ilm al-Tashawwuf, Kairo, 1966, hal 146-147. 17 18
74
Muhammad Hafiun, Maqamat dalam Ajaran Tasawuf
kaum sufi meliputi dua hal, yaitu wara’ lahir dan wara’ bathin. Wara’ lahir menyangkut meninggalkan hal yang syubhat dan kesenangan dunia dan wara’ bathin, yaitu dimana hati tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah.22 Dalam pandangan tasawuf, seseorang yang betul-betul berada pada tingkatan wara’ apabila orang tersebut telah berhat-hati terhadap dunia, sebab menurut Abdul Qodir al-Jailani, akibat mencintai kesenangan dunia akan mencampur adukkan yang halal dan yang haram sehingga kehilangan rasa malu terhadap Allah.23Bila seseorang betulbetul telah berhati-hati terhadap kesenangan dunia, maka tahapan berikutnya ia harus menjalani kehidupan zuhd. 3. Zuhd Lois Ma’luf menjelaskan bahwa arti zuhd secara harfiah berasal dari bahasaArab zahada yang artinya benci dan meninggalkan sesuatu.24 Dalam pemahaman teori tasawuf zuhud adalah meninggalkan kesenangan duniadanberkonsentrasi kepada kehidupan akhirat. Abdul Hakim Hasan dalam kitabnya At-Tashawwuf fi Asy-syi’ir Al-Arabi mengatakan, zuhd adalah menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindari diri dari keinginan menikmati kelezatan dunia.25 Syekh Abdul Qodir al-Jailani menjelaskan tentang zuhd sebagai berikut: bahwa zuhd itu terbagai dua, yaitu zuhd hakiki dan zuhdshury. Zuhd hakiki adalah orang yang menghilangkan dunia secara keseluruhan dalam hatinya.Sementara zuhdshury adalah orang yang hanya menghilangkan dunia dari tangannya, tetapi hatinya tetap memikirkan dan menginginkan dunia.26 Adapun Zuhd yang merupakan maqamat dalam ajaran tasawuf adalah zuhd hakiki, yaitu menghilangkan hati dari urusan dunia dan menyibukkan diri dengan urusan akhirat.Tetapi bukan berarti menolak rezki yang datang dari Allah, melainkan tetap menerima rezki tersebut untuk dijadikan sarana beribadah kepada Allah.Hati senantiasa merasacukup dengan bagian yang telah dianugerahkan Allah tanpa berorientasi untuk mencari dan mengejarnya.Dalam kenyataan seseorang tidak bisa lepas dari urusan, seperti makan dan minum serta 22
hal279.
Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi,Cakrawala: Yogyakarta, 2009,
Ibid, hal 280. Lois Ma’luf, Kamus al-Munjid, Dar El Masyriq: Beirut, 1975. 25 Abul Hakim Hasan, At-Tashawuuf fi Syi’ir Al-Arabi,Al-anjalu Al-Misriyyah, Mesir, 1954, hal 24. 26 Muhammad Sholikhin, Op. Cit. hal 283. 23 24
75
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
memiliki rumah. Maka makna zuhd dalam tasawuf bukan berarti seseorang harus tidak makan dan tidak minum serta hidup beratap langit, melainkan tetap melakukan itu semua, dengan syarat mengambil secukupnya untuk keperluan ibadah. Pada tingkat zuhud yang tertinggi, seorang sufi akan memandangsegala sesuatu tidak punya arti, kecuali Allah semata. Pada tingkatan ini, seorang zahid meninggalkan kehidupan dunia bukan dikarenakan imbalan akhirat tetapi karena kecintaan kepada Allah semata.Ruwaim mengatakan : “Zuhd adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati”.27Sementara Abu UsmanmengatakanZuhd itu adalah ”kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak perduli siapa yang mengambilnya”.28 Jika wara’ seperti yang telah diterangkan di atas bermakna menghindarkan sesuatu atau hal-hal yangdianggap atau diyakini syubhat atau sesuatu yang dianggap tidak penting meskipun halal, maka zuhd berarti tidak ada kecenderungan terhadap dunia dan melepaskan ikatan hati darinya, ada dan tiadanya dunia, siapa pun yang mengambilnya tidak berpengaruh bagi seorang sufi. Bila seorang telah menghayati dan menjalani ini semua, berarti ia telah berada pada tahapan (maqam) zuhd. Ini berarti ia telah memiliki kesadaran yang tinggi dalam mempraktekkan apa yang telah dituangkan dalam alQur’an: “Katakanlah kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (An Nisa: 77). Dan juga firman Allah:“Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (Al-a’la: 17). 4. Shabr Secara harfiah shabr berarti “tabah hati”.29Dalam pandangan tasawuf sebagaimana dinyatakan oleh Zun al-Nun al-Mishry, shabr artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap qonaah (cukup) walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.30Inilah pengertianShabr sebagai tahapan (maqamat) dari teori tasawuf.Syekh Abdul Qodir al-Jailani membagi shabr dalam tasawuf Simuh, Op. Cit. hal 58. Ibid.,hal 57. 29 Mahmud Yunus, Loc. Cit., hal 211. 30 Al-Qusyairi, Op. Cit., hal 184. 27 28
76
Muhammad Hafiun, Maqamat dalam Ajaran Tasawuf
menjadi tiga tingkatan.Pertama, sabar untuk Allah (shabr liAllah),yaitu keteguhan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.Kedua, sabar bersama Allah (shabr maa’ Allah), yaitu keteguhan hati dalam menerima segala keputusan dan tindakan Allah. Ketiga, sabar atas Allah (shabr ‘ala Allah), yaitu keteguhan hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan-Nya berupa rezki, kelapangan hidup, dan sebagainya.31 Dalam ajaran tasawuf, maqam shabr sebagaimana pengertian di atas harus dimiliki seseorang yang sedang menjalani kehidupan sufi, sebab maqam taubat, wara’ dan zuhd tidak akan pernah nyampai dan tertanam dalam jiwa jika tidak disertai dengan shabr. Maka para tokoh sufi menempatkan maqam shabr di atas maqam zuhd dan wara’. Seseorang bisa berlaku zuhd dan wara’ jika ia terlebih dahulu bisa berlaku sabr. Setelah seseorang bisa berlaku sabar, maka tahap selanjutnya ia harus menapaki tahap berikutnya, yaitu al-tawakkal. 5. Tawakkal Tawakkalsecara harfiah berarti menyerahkan diri.32Adapun dalam pengertian tasawuf, tawakkal diartikan menyerahkan diri sepenuhnya kepada ketentuan Allah. Sikap penyerahan diri bukan berarti berlaku pasif ,tetapi harus aktif lewat ikhtiar. Hakekat tawakkal dalam tasawuf adalah memutuskan perantara tuhan-tuhan selain Allah.33 Harun Nasution mengartikan tawakkal dengan percaya kepada janji-jani Allah, menyerah kepada Allah dan karena Allah.34 Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakkal terdiri dari tiga tingkatan yaitu Pertama, yaitu hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan Allah. Ini adalah maqam bidayah (permulaan). Imam Ghazali memberikan contoh tawakkal ini sebagai tawakkalnya seseorang kepada wakil, karena ia telah meyakini bahwa wakilnya memiliki sifat pengasih dan wakilnya memang dapat membimbing danmengurus urusannya, yang karena keyakinan itulah yang menyebabkan ia menyerahkan urusannya kepada wakil tersebut. Kedua, taslim, yaitu merasa cukup menyerahkan urusankepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya. Ini adalah maqam mutawassith yang menjadi sifat orang khawas. Ketiga, tawit, yaitu orang yang telah Totok Jumantoro, Op. Cit., hal 199. Mahmud Yunus, Op. Cit., hal 506. 33 Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hal 285. 34 Harun Nasution, Op. Cit., hal 202. 31 32
77
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
ridla menerima ketentuan atau takdirAllah. Ini adalah maqam nihayah yaitu orang-orang muwahhidin dan khawas al-khawas, seperti Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Karena tawakkal adalah bagian dari tangga atau tahapan yang harus dilalui dan harus dikejar dengan usaha keras, maka tawakkal tidak dapat diartikan dengan semata-mata menyerahkan pada Allah dan menolak ikhtiar.Sebab untuk memperoleh derajat tawakkal itu sendiri harus dilewati dengan ikhtiar, yang di dalam teori tasawuf dinamakan mujahadah.Bahkan, ada yang berpendapat, bahwa tidak dikatakan tawakkal kalau tidak disertai ikhtiar (mujahadah), dan sebaliknya tidak dikatakan ikhtiar (mujahadah) kalau tidak disertai tawakkal. Jadi, antara tawakkaldan ikhtiar adalah satu adanya dan tidak dapat dipisahkan. Untuk lebih memahami arti sebenarnya dari tawakkal, Yusuf Qardhawi cenderung mendefinisikan tawakkal: “menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, tidak ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah.35 Seseorang yang ada pada maqam tawakkal akan mereasakan ketenangan dan ketenteraman. Ia merasa mantap dan optimis dalam bertindak, rela menerima segala keputusan Allah, dan memiliki harapan atas segala yang dikehendaki dan dicita-citakanya.36 6. Ridla Ridha secara harfiah berarti rela, suka atau senang.37 Harun Nasution mengatakan bahwa ridla itu adalah tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar Tuhan dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka.38 Ridla adalah buah dari tawakkal. Jika seorang sufi telah benarbenar melaksanakan tawakkal maka dengan sendirinya ia akan sampai pada maqam ridlo.39 Dzunnun al-Mishri berpendapat, ridla adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati.Adapun tanda-tandanya 35 Yusuf Qordhawi, Tawakal, terj. Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar: Yogyakarta Jakarta, 1996, hal 36. 36 Ibid., hal 133-146 37 Mahmud Yunus, Op. Cit., hal 188. 38 Harun Nasution, Op. Cit., hal 69. 39 Ibnul Qoyyim al-Jauzi, Madaarij al-Salikin baina Manazilu Juz I, Daaral-Kitab al-Ilmiyyah: Beirut, hal 179.
78
Muhammad Hafiun, Maqamat dalam Ajaran Tasawuf
adalah mempercayakan hasilpekerjaan sebelum datang ketentuan dan tidak resah sesudah terjadi ketentuan.40 Jadi ridla adalah kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atassegala karunia yang diberikan atau malapetaka yang ditimpakan kepadanya. Ia senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap mental yang seperti ini adalah merupakan maqam tertinggi(puncak dari segala tahapan) yang dicapai oleh seorang sufi.41 C. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori tentang maqamat dalam ajaran tasawuf adalah merupakan latihan-latihan kejiwaan yang harus dilalui mulai dari tahap paling rendah hingga sampai kepada tahap yang paling tinggi.Tahap pertama yang dilalui adalah dimulai dengan taubah.Bila telah berhasil melalui fase ini baru dilanjutkan dengan menjalani sikap wara’ dengan disertai hidup zuhd. Wara’ dan zuhd tidak akan mencapai kesempurnaan tanpa memilki sikap shabr. Maka shabr merupakan maqam yang berada di atas maqam zuhd.Hasil dari taubah, wara’, zuhd dan shabr akan membuah maqam tawakkal. Bila seseorang telah mencapai maqam tawakkal, maka ia akan menapak pada tahapan terakhir, yaitu ridla.Teori tentang maqamat yang dijelaskan para tokoh sufi ini dalam membuat rumusan dari setiap maqamat selalu berbeda satu sama lain. Hal ini adalah wajar, karena pengalaman mereka dalam melalui setiap tahapan tidak pernah sama, tergantung kadar anugerah Allah yang diberikan kepada mereka. Tetapi hakekat semuanya adalah sama, yaitu masing-masing berusaha untuk sampai kepada Allah.
40
hal 139. 41
54.
Ibrahim Basuni, Nasaih al-Tashawwuf al-Islam, Daar al-Ma’arif: Kairo, 1969, Qomar Kaylani, Fi al-Tashawwuf al-Islam, Daar al-Ma’arif: Kairo,1969, hal 35-
79
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Hasan, At-Thashawwuf fi Syi’ir Al-Arabi, al-Anjalu alMisriyyah, Mesir, 1954. Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf alIslam, terj. Ahmad Rafi’ Utsmani, “Sufi dari Zaman ke Zaman”, Pustaka, Bandung, 1985. Abu Nashr Al-Sarraj Al-Thusi, Al—Luma’, tahqiq abdal-Halim Mahmud dan Abd al-Baqi’ Surur, Dar al-Haditsah, Mishr, 1960. Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Mathba’ah Al-Amirat Al-Syarfiyyah, 1909, jilid V. Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah fi’Ilm al-Tashawwuf, tahqiq Ma’ruf Zuraiq dan Ali Abd al-Hamid Balthaja, Dar al-Khair, Mish, tt. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973. Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Ibnul Qoyyim al-Jauzi, Madaarij al-Salikin baina Manazilu, Daar al-Kitab al-ilmiyyah, Beirut, tt. Ibrahim Basuni, Nasaih al-Thashawwuf al-Islam, Daar al-Ma’rif, Kairo, 1969. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Gaung Persada, Jakarta, 2007. Lois Ma’luf, Kamus Al-Munjid, Dar El Masyriq, Beirut, 1975. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990. Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi, Cakrawala, Yogyakarta, 2009. Qomar Kaylani, Fi al-thashawwuf al-Islam, Daar al-Ma’arif, Kairo, 1969. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. 80
Muhammad Hafiun, Maqamat dalam Ajaran Tasawuf
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf, Hamzah, Wonosobo, 2005. Ubuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Gaung Persada, Jakarta, 2007. Yusuf Qordhawi, Tawakkal, terj. Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1996
81
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
82
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
FUNGSI HADITS NABI MUHAMMAD SAW TERHADAP AL-QUR’AN: STUDI TENTANG MATERI DAKWAH Mukhyar Sani1
Abstrak Al-Qur”aan merupakan sebuah kitab suci umat Islam yang berisikan kumpulan wahyu Allah swt.yang disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang kandungannya bersifat global, sehingga pesan-pesannya masih butuh kejelasan bagi umat agar dapat memahaminya dengan baik. Nabi Muhammad saw mendapat amanah untuk menjelaskan apa yang belum jelas di dalam kitab itu melalui hadits atau sunnah. Dalam hal ini tentu diperlukan al-bayan, al-tafsir, altafshil, al-taqrir, bahkan mungkin al-naskh yang bersumber dari nabi Muhammad saw. dimana sesuai dengan pengakuan al-Qur’an bahwa beliau adalah “mubayyan”nya al-Qur’an dan disinilah letak fungsi hadits nabi Muhammad saw yang menjadi sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an. Para ulama baik ahl atsar maupun ahl al-ra’yi sepakat bahwa hadits fungsinya mensyarah dan menjelaskan al-Qur’an, kecuali ulama ahl al-ra’yi memberi batasan penjelasan hadits yang diperlukan, sedang ahl al-atsar memperluas lapangan penjelasan itu, sehingga semua hadits shahih mengenai masalah yang telah dijelaskan al-Qur’an harus dipandang menjelaskan alQur’an, mentakhshishkan ke-umumannya, dan mentaqyidkan kemuthlaqan al-Qur’an. Kata Kunci: Hadits, Sunnah, Kully, Al-Tafsir, Al-Bayan, Al-Taqyid, Al-Taqrir, Al-Naskh, Tasyri’ 1
Pengajar di Fakultas Dakwah, IAIN Antasari, Banjarmasin.
83
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
A. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan hadits nabi Muhammad sawsebagai salah satu sumber ajaran Islam memang banyak dipermasalahkan orang, terutama terkait dengan fungsinya terhadap kitab suci al-Qur’an atau pesan ayat-ayat al-Qur’an. Sudah diketahui umum, bahwa keduanya adalah merupakan wahyu dari Allah swt sehingga ketika ditemukan suatu masalah di masyarakat, umpamanya yang membutuhkan penjelasannya dari agama, orang bisa merujuk kepada al-Qur’an dan pada saat yang bersamaan orang juga bisa merujuk kepada hadits atau sunnah rasul. Hal ini tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari jika saja pemecahan itu benar-benar kembali kepada keduanya secara terintegrasi sebagai satu kesatuan ketentuan, namun yang dikhawatirkan adalah ketika suatu masalah hanya dikembalikan kepada ayat, padahal ayat itu masih butuh penjelasan, atau sebaliknya, ketika suatu masalah langsung merujuk kepada hadits pemecahannya, tanpa merujuk terlebih dahulu kepada al-Qur’an. Hal ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan bias tentang hasil pemahaman yang diambil, artinya bisa bertentangan satu dengan yang lain; yang satu merujuk kepada wahyu Tuhan dalam bentuk al-Qur’an, sedang yang lain merujuk kepada hadist nabi Muhammad saw. Hadist nabi Muhammad saw yang menjadi al-bayan bagi alQur’aan sangat dibutuhkan dalam memahami teks-teks ayat al-Qur’an, oleh karena itu eksistensi hadits harus seirama arah dan pesannya dengan al-Qur’aan sebagai sumber pertama ajaran Islam. Al-Qur’aan jelas mengungkapkan bahwa di dalamnya tidak ada yang luput dari perhatiannya, tetapi yang dimaksud “tidak luput” ini adalah secara global, tidak secara rinci, sebab kalau segalanya sudah rinci, memunculkan kesan seolah ia telah membatasi dirinya didalam pesan-pesannya itu dengan hanya mengakomodasi peradaban dan kebudayaan yang terefleksi dalam perkembangan 23 tahun secara berangsur-angsur dalam kurun waktu diturunkan. Memang disadari al-Qur’aan adalah kitab suci terakhir dan untuk seluruh umat manusia, petunjuk-petunjuk yang terdapat didalamnya tentu saja bersifat universal, lengkap, dan mampu menghadapi tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia sepanjang zaman. Dalam hubungan ini dikatakan dalam al-Nahl 89. ”Dan ingatlah hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan 84
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia.Dan Kami turunkan kepadamu kitab (al-Qur’aan) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. Kemudian, disebutkan pula dalam al-An’am ayat 38
Artinya “tidak ada sesuatupun yang Kami lupakan didalam alQur’an.” Tentu saja yang dimaksudkan dalam ayat-ayat diatas adalah bahwa tidak ada sesuatu dari apa saja yang penting kemudian tidak dijelaskan Allah di dalam al-Qur’an secara global, karena Allah selalu menjaga dan memperhatikan kemaslahatan semua makhluk-Nya (Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy : 2299). Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Islam memuat segala sesuatu yang diperlukan oleh umat manusia sepanjang zaman.Yang dimaksud dengan al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu itu tidaklah berarti bahwa kitab itu menjelaskan segalanya secara rinci.Al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu diartikan bahwa segala sesuatu peraturan yang bersifat umum atau global dengan dasar-dasar universal yang dapat diterapkan dalam segala kasus atau masalah yang dihadapi umat manusia dikemudian hari, baik selaku pribadi maupun selaku umat, baik untuk umat masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang (A.Atha’illah, 2006: 27). Umat menyadari bahwa masih banyak masalah baru yang tidak terdapat penyelesaiannya dalam al-Qur’an sehingga para ulama harus melakukan ijtihad untuk memecahkannya.Akan tetapi, mereka dalam berijtihadselalu berpegang pada dasar-dasar umum yang terdapat dalam kitab al-Qur’an sehingga hukum-hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tidak pernah atau tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut (A.Atha’illah, 2006: 27).Pertanyaannya, adalah apakah perkembangan yang ada selama itu (semasa al-Qur’an diturunkan) dapat merepresentasikan dan mengakomodasi peradaban dan perkembangan kurun-kurun sesudahnya, tentu saja tidak.Karena itu, rangkaian kata-kata dalam al-Qur’an sebagai sebuah mu’jizat mengandung beberapa pengertian untuk terus dipahami dengan baik. 85
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Al-Qur’an tampak memberi ruang pada umat untuk menjabarkan dan memahami kandungannya dengan sebaik-baiknya terutama tergambar dalam surah Muhammad ayat 24
Artinya ,”Maka apakah mereka tidak memahami al-Qur’aan ataukah hati-hati mereka terkunci”. Kemudian surah Shad ayat 29
Artinya; “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkannya kepada engkau yang penuh keberkatan, supaya mereka memahami ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang berakal kuat mengambil pengajaran dari padanya.” Ayat terakhir ini,tampak menunjukan kesan bahwa nabi Muhammad saw harus mengambil peran menjelaskan ayat-ayat itu kepada umatnya, bahkan juga para ulama harus mempunyai tangung jawab yang sama memahamkan kepada umat sebagai para pewaris nabi. Munculnya sekian banyak cabang ulum al-Qur’an yang sangat banyak itu, seperti al-nasikh dan al-mansukh, al-muhkamat dan al-mutasyabihat, altafsir dan al-ta’wil, masalah qira’at, asbab al-nazul, makky dan madaniy, dan lain-lain, -boleh jadi- merupakan bagian usaha para ulama membantu umat dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an sesungguhnya, tetapi harus diingat bahwa tentang pesan-pesan al-Qur’an itu banyak sekali penjelasan yang dijabarkan oleh sunnah, baik sunnah qauliyah(hadits) atau sunnah fi’liyah, bahkan mungkin banyak juga tentang maksudmaksud ayat yang dijelaskan oleh sunnahtaqririyah.Sudah menjadi pengakuan agama bahwa nabi Muahmmad adalah utusan Allah yang menjelaskan kepada umat tentang ajaran Islam itu, sehingga hadits merupakan penjelasan yang penting bagi upaya memehami pesanpesan al-Qur’an.T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan: ”al-Qur’an mengandung kaidah-kaidah ‘aam dan hukum-hukum kully dan memang al-Qur’an harus bersifat demikian, supaya menjadi kitab undang-undang yang kekal dan abadi selama kekal kebenaran.Maka al-hadits-al-sunnah memberikan perhatian yang penuh untuk mensyarahkan kandungan al-Qur’an, mencabang hukum86
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
hukum juz’ie dari hukum-hukum kulliy yang termateri dalam alQur’an.”(T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, 1993:177). B. Beberapa Pengertian Pada bagian ini -sebagaimana lazimnya sebuah karya ilmiahpenulis ingin menjelaskan beberapa pengertian yang terkait hadits, sehingga apa yang dimaksud dengan hadits sesungguhnya dapat ditangkap maknanya dan dapat memudahkan memahami seberapa jauh kedudukan hadits dan sunnah terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Kita susah membayangkan bagaimana umat dapat memahami dengan baik ayat-ayat alQur’an, ketika pesannya tidak jelasatau masih tidak rinci, dan tidak ada penjelasan dari nabi Muhammad saw. Bayangkan, ketika alQur’an memerintahkan menegakkan shalat lima waktu dengan tidak menjelaskan caranya atau hadits sama sekali tidak menjelaskan hal itu, memungkinkan puluhan penafsiran bermunculan kepermukaan dan menimbulkan praktik berbeda dalam kaitannya dengan pelaksanaan shalat. Oleh karena itu, diperlukan pengertian-pengertian seperti pengertian hadits dansunnahyang dianggap relevan dengan tema bahasa tulisan ini. Kata-kata hadits-dari bahasa Arab- dan tampaknya sudah sangat populer dikalangan umat Islam sehingga ketika kata-kata itu disebutkan, asosiasi orang langsung terarah padaapa yang diucapkan nabi Muhammad saw, baik yang terkait dengan hukum, akidah, maupun akhlak, dan lain-lain. Kata-kata tersebut adalah mashdar dari kata “hadatsa, yahditsu, haditsan, dan hadisatan dimana menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam Ushul al-Hadits; Ulumuh wa Mushthalahuh(2009; 26 ), kata-kata dimaksud dapat diartikan dengan yang “baru’ dalam pengertian sesuatu yang kemudian ada setelah sebelumnya tidak ada atau setelahtidak ada kemudian menjadi ada. Akan tetapi, kata-kata hadits bisa pula searti dengan al-tharriy atau bahkan searti dengan alkhabar dan al-kalam; yang pertama asal artinya adalah lunak,lembut, dan baru, sedang yang kedua arti asalnya adalah berita,informasi atau pembicaraan (Abu al-Faid Muhammad bin Muhammad Ali al-Farisi, 1992: 24 dan T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, 1999: 1). Dalam konteks ini Ibn Faris mengungkapkan bahwa kata-kata hadits yang searti dengan al-thariy menunjukkan bahwa berita atau kalam itu datangnya silih berganti sebagaimana perkembangan usia seseorang yang terus berjalan dari 87
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
masa kemasa, silih berganti dari hari kehari sebagaimana yang kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehubungan dengan makna hadits secara etimologi ini didalam “Lisan al-Arab” Muhammad bin Mukarram Ibn Mandzur mengatakan bahwa “hadits bisa bermakna aljadid( yang baru ) lawan dari –al-qadim (yang lama) dan bisa bermakna “kalam atau khabar”(Muhammad bin Mukarram Ibn Mandzur: 131). Pengertian hadits dalam perspektif terminologi para ulama hadits tampak tidak satu pendapat, tetapi esensinya sama karena semua menisbahkannya kepada nabi Muhammad saw. Dengan demikian orang paham bahwa hadits adalah ucapan atau sabda nabi Muhammad saw dan oleh karena itu, hadits beliau banyak sekali, karena banyak yang diucapkan beliau selama menjadi rasul selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Ada yang mendefinisikan hadits adalah “segala perkataan nabi Muhammad saw. perbuatan dan ihwalnya. Mereka menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ihwal “adalah segala pemberitaan tentang nabi Muhammad saw.” seperti terkait dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaannya.Kemudian para ahli hadits lainnya merumuskan pengertian hadits dengan “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya. Bahkan ada diantara para ahli hadits itu yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah sesuatu yang didasarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir,dan sifatnya (M.Syuhudi Ismail, 1992:20). Dari beberapa definisi itu telah tampak persamaan dan perebaan pendapat diantara mereka tentang definisi hadits, tetapi semua sepakat menisbahkannya kepada nabi Muhammad saw, apakah itu perkataan, perbuatan, sifat, ihwal maupun taqrirnya sendiri. Akan tetapi, ketika semuanya disandarkan kepada beliau, para ulama sering menyebutnya dengan memakai terminologi “sunnah”, bukan hadits.Sunnah lebih umum muatannya, sedang hadits khusus untuk perkataan beliau. Dalam buku-buku yang berbicara tentang Ulum al-Hadits atau Mushthalah al-Hadits pendapat-pendapat ulama-ulama hadits, ulama fukaha, dan para ulama ushul sering diungkapkan tentang masalah pengertian hadits secara terminologi ini,sebagai contoh umpamanya dalam kitab Ushul al-Hadits”Ulumuh wa Mushthhalahuh, Muhammad ‘Ajaj al-Khatibmengemukannya yang maksudnya sebagai berikut.Ulama hadits mengatakan bahwa hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari nabi Muhammad saw, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, maupun hal ihwal beliau. Pemaknaan seperti ini tampak 88
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
begitu banyak muatannya, sehingga apa saja yang bersumber dari beliau, perkataan, perbuatan, bahkan taqrirpun termasuk dalam definisi tersebut. Dengan demikian, ulama hadits tidak membatasinya hanya pada hal-hal yang terkait dengan hukum fikih atau dengan ushul fikih sebagaimana definisi yang diberikan oleh ulama ushul dan ulama fikih dibawah ini.Menurut ulama ushul fikih yang disebut dengan hadits adalah “segala sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad saw selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau yang bersangkutan dengan masalah hukum syara’.Ulama fikih yang domainnya adalah pemahaman-pemahaman mengenai fikih maka dengan sendirinya pengertian hadits secara terminologi ini mereka tarik ke arah hal-hal yang tidak terkait dengan masalah yang fardhu atau wajib sehingga definisi hadits mereka rumuskan sebagai “segala sesuatu yang ditetapkan nabi saw yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah yang fardhu atau wajib(Muhammad ‘Ajaj al-Khathitb, 2009:19). Ulama ushul fikih memandang nabi Muhammad saw sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadik1an landasan ijtihad oleh para mujtahid pada zaman sesudah beliau wafat. Disamping itu, mereka menempatkan nabi sebagai pemberi penjelasan tentang undang-undang kehidupan umat, karena itu terdapat perbedaan pendapat dengan ahli hadits, sebab ahli hadits mengambil segala hal yang berhubungan dengan nabi Muhammad saw, seperti biografi, akhlak, berita-berita, ucapan dan perbuatannya, baik yang berkaitan dengan hukum syara’, maupun tidak. Dalam perbendaharaan ulum hadits, istilah hadits sering juga disebut dengan sunnah, khabar atau atsar(Badri Khaeruman, 2010: 63-64). Kemudian mengenai pengertian sunnah dimana kata-kata ini asalnya berarti jalan atau kebiasaan, baik kebiasaan yang baik maupun yang jelek, demikian dikemukakan Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam bukunya Ushul al-Hadits; Ulumuh wa Mushthalahuh, hal 13, dimana pengertian seperti ini misalnya tampak dalam hadits riwayat Imam Muslim.
89
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Secara terminologi sebagaimana ketika merumuskan definisi hadits, ulama sesuai latar belakang keilmuannya, mereka melihat pengertian al-sunnah dari perspektif ilmu mereka masing-masing. Sebagai contoh umpamanya ulama hadits melihatnya bahwa sunnah itu adalah segala yang terkait atau dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw dari perjalanan hidupnya, beritanya, akhlaknya, perkataannya, perbuatannya,baik berfungsi sebagai hukum syara’ maupun tidak berfungsi sebagai hukum syara’ sesudah mendapat tanggung jawab sebagai nabi dan sebelumnya. Jadi mereka melihatnya secara umum, tidak secara khusus sebagaimana umpamanya rumus yang dibuat oleh ulama ushul fiqh dimana mereka mengkhususkan sunnnah semua yang bersumber dari nabi Muhammad saw yang secara khusus terkait dengan syara’ atau hukum saja.Segala yang bersumber dari nabi Muhammad selain al-Qur’an tetapi terkait dengan hukum syara’ kata mereka, baik perbuataan, perkataan, atau ketetapan (taqrir). Sedangkan para ulama fikih melihatnya terkait dengan pemahaman kefikihan mereka sehingga yang disebut sunnah itu adalah semua yang tetap dari nabi, tidak saja terbatas pada hal yang fardhu atau wajib, tetapi juga pada masalah yang lainya, maka semuanya disebut dengan sunnah(Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, 2009 : 14). Kelihatannya, ada perbedaan penekanan antara pengertian hadits dengan sunnah dimana yang pertama lebih kepada perkataan, tetapi yang kedua atau sunnah, mencakup semuanya itu, tidak saja pada perkataan, berita, dan kabar lisan dari nabi sebagaimana disebutkan sedikit diatas,tetapi berita lisan, tulisan atau juga perbuatan. Oleh karena itu, maka pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga sunnah, begitu juga sunnah dapat disebut hadits, sehingga haditsmutawatir dapat disebut sunnah muawatir, dan sunnah mutawatir dapat juga disebut dengan hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan banyak perawi dimana menurut adat tidak mungkin diantara mereka yang berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad dimana hadits seperti ini merupakan hadits yang memiliki martabat tertinggi dan wajib untuk diaplikasikan (Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, 2009: 197) walaupun ruang lingkup sunnah itu tampak lebih luas dari hadits. C. Nabi Muhammad Sebagai Sumber Sunnah dan Hadits Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa sunnah adalah jalan yang ditempuh atau adat kebiasaan, yaitu prilaku dan pola hidup 90
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
yang sudah mentradisi, oleh karena itu, semua perbuatan atau prilaku yang dikerjakan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan bagi seseorang, apakah perbuatan itu baik atau buruk, hal ini bisa disebut dengan sunnah. Misalnya orang yang telah terbiasa mendirikan shalat Dhuhaketika pagi hari, hal ini merupakan sunnah atau kebiasan bagi yang bersangkutan. Dalam hubungannya dengan agama Islam, pengertian sunnah adalah prilaku atau semua keteladanan yang dicontohkan nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah. Semua perbuatan, sikap dan perkataan beliau menjadi model bagi pelaksanaan ajaran agama oleh umatnya. Al-Qur’aan menegaskan bahwa sikap nabi Muhammad adalah sesuatu yang harus diteladani yang merupakan pengejawantahan dari pesan al-Qur’an itu sendiri seperti disebut dalam surah al-Ahzab 21
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” dan al-Qalam ayat 4 :
Artinya agung.”
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
Melalui sunnahnya, umat mengetahui secara detail tata laksana bagaimana seseorang mendekatkan dirinya kepada Tuhan terutama melalui pelaksanaan dari sisi ibadah, bahkan juga dari sisi akidah, dan akhlak. Sebagai seorang rasul yang menjadi panutan umatnya, dengan sendirinya prilaku, tindakan dan perkataan, bahkan diamnya beliau juga menjadi legalitas/pembenar bagi umatnya buat melakukan hal yang sama.Tentu saja dalam rangka menjadikan beliau sebagai “model panutan” sebagaimana diungkapkan di atas, maka setiap umat harus memahami betul tentang sumbernya, sebab sunnah rasul adalah uswah hasanah “model terbaik” yang dapat diketahui melalui 91
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
beberapa segi. Pertama, dari sisi sabda ataual-qauliyah, yang dimaksudkan disini adalah meliputi seluruh sabda beliau yang disabdakan, didengar pula oleh para sahabatnya dan kemudian disebar luaskan untuk masyarakat luas dimana didalam kitab-kitab hadits, sunnah seperti ini kebanyakan dipakai kata-kata seperti qaala, yaquulu, hadatsa, dan lain-lain. Contoh-contoh untuk ini banyak sekali ditemukan didalam kitab-kitab hadits. Kedua, sunnahfi’liyah dimaksudkan di sini adalah perbuatan nabi Muhammad saw yang kemudiandiinformasikan kepada umatnya untuk-tentunya-dicontoh oleh mereka sebagai alat dan dasar legalitas ketika perbuatan yang sama mereka lakukan dikemudian hari. Sebagai contoh Nabi melakukan perbuatan-perbuatan dalam shalat-bukan bacaan-baacaan didalam perbuatan itu- seperti umpamanya ruku, sujud, i’tidal dan lain-lain dan lazimnya dalam kontek ini dipakai katakata kaanarasulullah atau raaitu rasulallah saw. Ketiga, adalah taqririyah dalam kontek ini adalah pengamatan rasulullah, dimana ketika dari nabi tidak ada perintah untuk melakukannya dan tidak ada pula larangan untuk meninggalkannya, kemudian hal ini dijadikan juga sebagai asas legalitas jika dikemudian hari terjadi dikalangan umat Islam terutama ketika itu adalah para sahabat, walaupun mungkin ini jarang terjadi. Kewenangan dan tugas rasul Muhaammad saw tidak hanya terbatas pada bagaimana menyampaikan wahyu yang diterimanya dari Jibril as kepada umatnya, tetapi beliau juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasanpenjelasan yang dibutuhkan sehingga pesan wahyu itu betul-betul dipahami secara baik oleh umatnya. Penjelasan-penjelasan itu bisa dalam bentuk bahasa lisan dan bisa pula dalam bentuk praktek nyata secara konkret, bahkan berupa sikap. Tindakan, dan prilaku nabi Muhammad saw adalah perwujudan atau aplikasi dari ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal ini tentu semuanya itu merupakan bahasa-bahasa tersendiri yang bisa memberi suatu pengertian kepada umat tentang pesan yang disampaikan melalui komunikasi itu; lisan, tulisan, tindakan atau prilaku, maupun ketetapan atau taqririyah beliau. Walaupun Nabi Muhammad saw adalah sumber sunnah bagi umatnya dalam melegalisir perbuatan, sikap, perkataan mereka kemudian, tetapi tidak semua sunnah rasul itu-ada sebagiannya- yang hanya untuk beliau sendirian dan tidak untuk umatnya, sebab pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan beliau, terdapat khushsushiyah. Sebagai con92
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
toh adalah praktek poligami dimana beliau mendapat kekhususan beristeri lebih dari empat orang, bahkan sampai sebelas orang dimana umatnya dilarang melakukan hal yang sama dari sisi jumlahnya sebagaimana disebut dalam surah al-Nisa ayat 3. Selain itu, ada sesuatu yang terlarang bagi beliau, tetapi dibolehkan bagi umatnya, seperti menerima zakat umpamanya dimana umatnya yang memenuhi persyaratan seperti miskin, fakir, sabilillah, ibn sabil, dan lain-lain terhitung menurut al-Qur’an sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Dalam pada itu, nabi Muhammad saw adalah sumber hadits, yaitu sesuatu yang dinisbahkan kepada beliau terutama dalam bentuk perkataan yang diucapkan selama beliau menjadi nabi atau rasul, kurang lebih 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Hadits ini dihafal diluar kepala oleh para sahabat, walaupun sesungguhnya karena pertimbangan tertentu, selama beliau hidup, para sahabat lebih dianjurkan untuk memberi perhatian lebih besar kepada bagaimana menghafal al-Qur’an, yang ini dilatar belakangi oleh suatu kekhawatiran tercampurnya antara ayat—ayat al-Qur’an dengan hadits nabi Muhammad saw. Suatu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah beberapa waktu setelah beliau wafat, gagasan untuk mengumpulkan, bahkan membukukan hadits telah muncul dikalangan umat Islam, bahkan bukan itu saja, tetapi juga memilah-milah dengan baik mengenai tingkat kualitas hadits dengan melihat berbagai aspek yang dibutuhkan; aspek itu umpamanya matan dan sanadnya,jarh, dan ta’dil, mutawatir, ahad, dan lainlain. Hal ini kemudian mengantarkan terciptanya pembagian hadits kepada beberapa macam umpamanya haditsmutawatir dan hadits Ahad dimana yang terakhir ini terbagi lagi kepada beberapa bagian kecilsesuai kualitasnya, seperti maqbul, mardud, shahih, hasan, shahih lidzatih, hasan, hasan lidzatih, sementara mutawarir menyebar kepada mutawatir lafdzi, amaly dan ma’nawiy, dan lain-lain. Pembahasan tentu tidak berakhir disitu saja, tetapi sampai kepada menyangkut kredebilitas para perawi-perawi hadits itu sendiri dari segi ingatannya umpamanya, bagaimana mengkritik parawi, melakukan jarh dan ta”dil dan lain-lain. Perkembangan selanjutnya adalah masa dimana muncul gagasan para ulama untuk menyusun kitab-kitab hadits, seperti al-Muwaththa karya Imam Malik, Shahih alBukhary, Shahih Muslim,Sunan Ibnu Majah, Sunan Nasa”ie, Sunan Abu Daud, dan lain-lain. Atau kitab-kitab hadits yang disebut al-Ushul al93
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Khamsah seperti Shahih al-Bukhariy, Shahih Muslim,Sunan Abu Daud, Sunan al-Turmuzdi, dan Sunan al-Nasa’ie, atau Kutub al-Sitah dengan memasukan Sunan Ibn Majah (M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, 2011: 232). Kalau dibanding dengan sunnah, tampak ditemukan perbedaan mencolok, mengapa, sebab sampai sekarang tidak ditemukan sebuah kitabpun yang secara khusus memuat tentang sunnah rasul, dalam pengertian sunnah secara umum yang memuat banyak hal tentang nabi Muhammad, kalaupun ada mungkin hanya termasuk dalam uraian sejarah hidup beliau.Tidak ditemukan sunnah nabi Muhammad karya si Fulan, karya di Fulanah, atau sejenisnya. Disinilah kiranya kelebihan hadits atau perkataan beliau dan hal ini akhirnya membawa para ulama, terutama ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits sebagaimana disebutkan diatas.Dengan hadits itu umat menjadi mudah memahami ajaran al-Qur’an dan dengan hadits itu pula mereka mengembangkan pemahaman-pemahaman atas agama Islam itu terutama ketika kepada mereka dihadapkan pada masalah yang belum ada ketentuan hukumnya dengan melakukan ijtihhad. Bisa dibayangkan jika tidak ada hadits atau perkataan nabi yang ditemukan, umpamanya hanya dalam bentuk sunnah saja tidak termasuk hadits (perkataan), boleh jadi bagi umat sesudah beliau akan terkendala dalam memahami dan menjabarkan ajaran agama Islam itu dan al-Qur’an kepada bagian-bagian kecil atau rinci. D. Hadits: Fungsinya terhadap Al-Qur’an Didalam al-Qur’aan surah al-Nahl ayat 44 diungkapkan
Artinya “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’aan, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
94
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
Kemudian pada surah Ali Imran 164 dikemukakan
Artinya : Sungguh Aku telah memberi karunia kepada orangoranng yang beriman ketika (Allah) mengutus seoraang rasul (Muhammad), ditengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan (jiwa) mereka,dan mengajarkan kepada mereka kitab (al-Qur”aan) dan hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Ayat-ayat ini pesan pokonya- di antaranya- adalah; Pertama, bahwa tugas Nabi menjelaskan kepada umatnya tentang kandungan alQuraan, Kedua, bahwa kandungan al-Qur’an itu masih mujmal atau global sehingga perlu dijelaskan lebih lanjut agar mereka mengerti dengan baik maksudnya. Dari sini para ulama berkesimpulan bahwa hadits diantara fungsinya adalah li al-bayan,li al-taqrir, bayan tasyri’, bahkan bayan al-tafsir dan al-naskh. Menurut Abddul Majid Khan” semua ulama mengakui adanya hubungan bayan sunnah/hadits terhadap al-Qur’an, tetapi berbeda dalam istilah yang mereka pergunakan… Misalnya al-Razi berpendapat penjelasan sunnah terhadap al-Qur’an terbagi menjadi tiga hal, yaitu bayan taqrir (memperkuat), bayan tafsir (menjelaskan yang sulit), dan bayan tabdil atau naskh (mengganti atau menghapus). Imam Malik membagi atas lima bagian, yaitubayan taqrir, bayan taudhih (bayan tafsir), bayan tafshil(penjelasan terperinci ), bayan basthi/bayan ta’wil (keterangan yang panjang lebar), dan yang terakhir bayan tasyri’(menciptakan suatu hukum). Kemudian dari pada itu, Imam al-Syafi’ie-murid Imam Malikmenetapkan sebanyak-bayan itu- kepada lima sebagaimana Imam Malik, tetapi dengan terminologi yang berbeda dan pembagian bayan al-Syafi’ie sepakat dengannya Imam Ahmad bin Hambal- yaitu bayan naskh, bayan tasyri’, bayan ta’yin (menetapkan satu atau lebih dari 95
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
dua makna), bayan tafshil, dan terakhir bayan takhshis. Kemudian, Ibn Qayyim didalam karyanya A’lam al-Muwaqqi’iin”menjelaskan bahwa Imam Ahmad membagi bayan hadits untuk al-Qur’aan kepada empat macam, masing-masing; bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri, kemudian bayan takhsish, dan bayan taqyiid (memberikan batasan yang mutlak) (Abdul Majid Khan, 2011: 21). Oleh karena itu, dilihat dari fungsinyahadits atau sunnah secara umum memiliki kaitan yang sangat kuat dengan al-Qur’an, sebab hadits atau sunnah itu mempunyai fungsi sebagai penjelas atau penafsir al-Qur’an yang membuka rahasia-rahasia al-Qur’an dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah swt dalam perintah dan hukum-hukumNya. Menurut pendapat ulama ahl al-ra’yi bahwa suatu perintah alQur’an yang khusus tidak butuh pada penjelasan hadits, hadits yang datang berkaitan dengan perintah yang khas dengan sendirinya tertolak karena dianggap menambah hukum, kecuali hadits itu memiliki kekuatan yang sama persis dengan ayat al-Qur’an. Mengapa mereka berpendapat demikian? Merujuk kepada fatwa Siti Aisyah, Abu Bakar, dan Umar sebagai berikut: Petama, Abu Bakar pernah mengumpul para sahabat, kemudian meminta mereka menolak hadits yang kebetulan berlawanan pesannya dengan al-Qur’an. Kedua, Siti Aisyah menolak hadits yang menjelaskan bahwa orang mati disiksa dengan sebab keluarganya dengan mengacu kepada ayat 164 surah al-An’am: “Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.Ketiga, Umar pernah menolak hadits Fatimah binti Qais yang menjelaskan bahwa isteri yang tertalaq habis tidak berhak diberi nafkah dan tempat tinggal karena berlawanan dengan zahir ayat surah al-Thalaq dimana menurut ayat itu, semua wanita yang ditalaq mendapat nafkah dan tempat tinggal selama dalam iddah. Umar mengatakan, saya tidak mau meninggalkan kitab Allah lantaran berita dari seorang wanita yang boleh jadi benar dan boleh jadi salah.Kemudian, ulama Ahl al-atsar berpendapat bahwa semua hadist shahih mengenai masalah yang telah dijelaskan al-Qur’an dipandang sebagai menjelaskan al-Qur”aan, mentakhsishkan ke-umuman al-Qur’an, dan meng-qayid-kan kemuthlaq’an al-Qur’an (Badri Khaeruman, 2010:46-47).Walaupun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, ketika ditinjau dari aspek dilalahnya terhadap kandungan alQur’an, terutama hukum-hukumnya, baik secara global maupun rinci, fungsi hadits dapat dibagi setidaknya kepada empat bagian penting (Abdul Majid Khon, 2011: 16-18). 96
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
1. Bayan Tafsir Sebagaimana diketahui bahwa umat Islam yang memenuhi persyaratan tertentu, berkewajiban melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari-semalam, yaitu isya, subuh, zuhur, ashr, dan maghrib, dimana kewajiban ini dasarnya termaktub dalam sekian banyak ayat al-Qur’an, sayangnya perintah mengenai hal ini disampaikan secara global, umpamanya hanya dengan menyebut “dirikanlah shalat, dan seterusnya tanpa merinci caranya,waktunya, dan lain-lain yang terkait dengan pelaksanaan shalat itu sendiri. Al-Qur’an tidak menjelaskan pelaksanaan shalat, pelaksanaan zakat, dan bahkan tidak dijelaskan bagaimana ruku’ bersama orang yang ruku’ itu, sehingga memunculkan pertanyaan, umpamanya berapa kali dalam sehari shalat itu, berapa raka’atnya, kapan waktunya, ruku-rukunya, dan lain sebagainya. Kemudian juga tentang zakat dan haji, al-Qur’an tidak merincinya. Hal ini kemudian dijelaskan didalam hadits-hadits,seperti; Pertama, hadits riwayat Ahmad dan al-Bukhariy dari Malik bin Huwairits yang terkait dengan shalat :
Artinya “shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihat caranya aku shalat.”Kedua, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah dari Anas bin Malik yang terkait dengan zakat,
Artinya “berikanlah dua setengah persen –sebagai zakat-dari hartahartamu.”Ketiga tentang haji-kemujmalannya-dijelaskan oleh hadits riwayat Muslim, Abu Daud, dan al-Nasa’ie
Artinya “Ambillah olehmu dari padaku perbuatan-perbuatan yang dikerjakan dalam pelaksanaan ibadah haji.” Merinci yang mujmal kepada detail seperti ini sering disebut orang dengan istilah “tafshil mujmal Kemudian dari pada itu, didalam al-Qur’aan surah al-Nisa, ayat 11 diungkapkan sebagai berikut:
97
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Artinya :Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Ayat ini sesungguhnya untuk pembagian harta warisan kepada anak adalah jelas, tetapi dianggap oleh para ulama masih bersifat umum sehingga diperlukan pentakhshisan yang melarang orang-orang dan kelompok atau turunan tertentu untuk mendapatkan harta waris. Hal ini umpamanya dapat dilihat dalam hadits dibwah ini : 98
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
Artinya: “Kami kelompok para nabi tidak meninggalkan harta warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” Pembunuh tidak dapat mewarisi harta pusaka sebagaimana dalam hadits riwayat al-Tirmidzi “laa wasitsa li qatil, yang seperti ini menjelaskan yang umum dengan yang khas dengan hadits nabi, sering disebut dengan takhshish aam atau oleh sebagian ulama disebut dengan bayan takhshish. Kemudian dari pada itu yang termasuk didalam kelompok “bayan tafsir” selain yang dua tersebut diatas adalah “taqyid muthlaq”dalam hal ini umpamanya terkait dengan ayat 38 al-Maidah tentang potong tangan bagi pencuri,
Artinya “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potong tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak, nama tangan tanpa dijelaskan dimana batas tangan itu yang mesti dipotong. Kata-kata tangan mutlak meliputi hasta dari bahu, pundak, lengan, berikut sampai ke telapak tangan. Pembatasan itu kemudian dijelaskan nabi Muhammad saw setelah seorang pencuri menghadap beliau dan diputuskan hukuman dengan potong tangan dan kemudian dipotong pada pergelangan tangannya. 2. Bayan taqrir. Bayan taqrir ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan “bayan ta’kid disini hadits fungsinya -bukan memperjelas-tetapi hanya sebagai memperkuat kedudukan ayat-ayat al-Qur’aan sehingga pesanpesannya kemudian diperkuat oleh hadits nabi Muhammad saw. Dalam kontek ini sebagai contohnya adalah tentang shalat, puasa, zakat, dan haji umpamanya. Tentang shalat dan zakat umpamanya ayatnya telah disebutkan diatas ketika kita membicarakan tentang “tafshil mujmal” yaitu ayat 43 al-Baqarah dan tentang puasa ayat 183 al-Baqarah 99
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Dan tentang haji ayat 97 Ali Imran
Artinya :Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. Hadits dibawah ini berasal dari Ibn ‘Umar dan diriwayatkan oleh al-Bukhari tidak merinci tentang bagaimana pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi sekedar mengkuatkan ayat-ayat alQur’aan yang terkait dengan masalah itu. Hadits itu
Artinya sebagai berikut “Islam tegak diatas lima pilar; menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan naik haji bagi orang-orang yang mampu berjalan kesana. Oleh karena itu, dalam kontek ini fungsi hadits hanya sebagai mengulangi tentang masalah yang sesungguhnya sudah diungkapkan Tuhan dalam al-Qur’aan dan hadits di atas tidak menjabarkan ayat-ayat al-Qur’aan tentang pelak100
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
sanan shalat, puasa, zakat, dan haji, sebab semua ini dijelaskan didalam hadits lain. 3. Bayan tasyri’. Dalam masalah bayan tasyri’ ini hadits sebenarnya berfungsi sebagai menentukan suatu hukum agama yang –hukumnya- tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, walaupun dalam masalah ini ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan bolehnya hadits berfungsi seperti ini, tetapi mayoritas mereka berpendapat bahwa hadits berdiri sendiri sebagai dalil hukum, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits menetapkan dalil yang tersirat secara implisit didalam teks atau pesan ayat al-Qur’an (Abdu. Majid khan: 19). Dalam konteks ini, ditemukan hadits hukum-hukum yang al-Qur’an tampak tidak atau belum sempat menjelaskannya-dalam hal ini menurut ulama- hadits tidak sebagai “penjelas dan tidak sebagai pengkuat” al-Qur’an, tetapi hadits sendiri yang menjelaskan yang tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehubungan dengan ini didalam al-Baqarah 275
Artinya “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” 101
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Selanjutnyadalam an-Nisa 29 disebutkan :
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Di dalam dua ayat ini-menurut ulama-tidak dijelaskan keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya, hal ini justeru dijelaskan oleh hadits-hadits nabi Muhammad saw. Kemudian contoh lain tentang hukum yang al-Qur’an tidak menyebutkannya seperti menghukum dengan bersandar pada seorang saksi dan sumpah apabila mudda’itidak dapat mendatangkan dua orang saksi dan juga seperti Saudara sesusuan (al-radh’ah) dimana nabi mengharamkan bagi keduanya untuk melakukan ikatan pernikahan sebagaimana dalam hadits nabi yang melarang untuk itu yang berasal dari Siti Aisyah riwayat Ahmad dan Abu Daud :
Artinya “Diharamkan lantaran radha’ (sesusuan) apa yang diharamkan lantaran hubungan nasab atau keturunan. Al-Qur’an dalam hal ini hanya menyebut haram ikatan pernikahan karena hubungan nasab atau keturunan, tetapi hadits mengharamkan juga karena sesusuan (Badri Khaeruman, 2010 : 53). 4. Bayan tabdil atau bayan naskh Dalam kaitan dengan bayan tabdil atau bayan nasakh ini, hadits berfungsi menasakh atau menghapus suatu hukum yang sesungguhnya sudah ditetapkan al-Qur’an dimana menurut ulama ahl al-ra’yi,hadits bisa menasakhnya asal hadits itu statusnya adalah mutawatir, masyhur 102
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
atau mustafid(Khaeruman Baderi: 51). Dalam konteks ini, Abd.Majid Khan mencontohkan tentang kewajiban berwasiyat yang diterangkan dalam al-Baqarah ayat 180
Artinya :Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu (kedatangan) tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiyat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa). Ayat ini-hukumnya dinasakh –menurut sebgaian ulama -dengan hadits nabi riwayat al-Nasa’ie,
Artinya “Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiyat itu wajib bagi waris. Disatu sisi al-Qur’an mewajibkan wasiyat, sedang hadits menghapus kewajiban wasiyat itu, dalam kontek ini menurut ulama-terutama Ahl al-ra’yi, hadits menghapus atau mengganti hukum yang terdapat dalam ayat tersebut (Abd.Majid Khan, 2011: 19). E. Kesimpulan Sebagaimana tergambar pada uraian terdahulu bahwa al-Qur’an adalah kitab undang-undang yang kandungannya kully atau mujmal, tidak semuanya rinci, tetapi masih banyak pesannya yang bersifat umum, sebut saja umpamanya tentang shalat, pelaksanaanya, demikian juga tentang puasa, zakat, haji, waris, dan lain-lain, bahkan mungkin ada masalah lain yang hukumnya tidak disebutkan oleh al-Qur’an. Kemujmalan kandungan al-Qur’an ini-sesungguhnya- memberi kita isyarat untuk memahaminya dengan sebaik-baiknya dan disinilah perlunya penjelasan-penjelasan. Akan tetapi, mampukah umat memahaminya dengan baik tanpa-seandainya-hadits-hadits nabi Muhammad saw tidak merincinya dengan jelas- disinilah diperlukan hadits menjelaskannya.Iahadir ke tengah-tengah umat untuk menjelaskan dan merinci kemujmalan al-Qur’an dimana kehadirannya itu bisa berfung103
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
si sebagai tafsir, ta’kid, taqrir, naskh, dan lain-lain. Dengan demikian, secara otomatis tertolaklah pendapat sebagian orang yang mengatakan, bahwa untuk pentunjuk dalam kehidupan ini “kita mencukupkannya hanya dengan al-Qur’an”, mungkin yang seperti ini adalah sikap mereka yang mengingkari hadits atau sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, disarankan agar mereka menela’ah lebih mendalam lagi kandungan al-Qur’an, ilmu-ilmu al-Qur’an dan kemudian memahami dengan baik tentang hadits atau sunnah rasul sehingga mereka mengerti betul tentang fungsi hadits terhadap al-Qur’an. Saya yakin, tela’ah mereka yang baik, insya Allah akan menghasilkan kesimpulan yang sama dengan para ulama yang mengatakan bahwa hadits atau sunnah berfungsi sebagai “pengurai” dari globalnya kandungan kitab suci al-Qur’an.
104
Mukhyar Sani, Fungsi Hadits Nabi Muhammad SAW....
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet.ke-5, Amzah, Jakarta,2011. Abu al-Faid al Muhammad bin Muhammad Ali Farisiy, Jawahir Ushul al-Hadits fi ‘Ilm Hadits al-Rasul, Dar al-Fikr, Beirut,1992. Badri Khaeruman, Ulum al-Hadits, cet.ke-1, Pustaka Setia, Bandung, 2010. M Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, cet. ke-1, PT.Remaja Rosakarya, Bandung, 2011. M.Atha’illah, Sejarah al-Qur’aan; Verifikasi tentang Otentisitas al-Qur’aan, Antasari Press, Banjarmasin,2006. Muhammad bin Mukarram IbnMandzur, Lisan al-Arab, tanpa tahun, Beirut. Michael Cook, Oposisi Penulisan Hadits, Terj.Masrur Abdul Ghaffar, cet. ke-, Marja, Bandung,2012. Muhammad Alawiy al Maliki, Ilmu Ushul Hadits,Terj. Adnan Qahar, cet. ke-3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2012. Muhammad Jamal al-Din al Qasimy, Mahasin al-Ta’wil, Dar Ihya alKutub al-Arabiyah, Mesir, juz ke-4 Muhammad Khathibal ‘Ajaj, Ushul al-Hadits; Ulumuh wa Mushthalahuh, Dar al-Fikr,Beirut,2009. Mahmud al Thahhaniy, Taisir Mushthahah al-Hadits, Dar al-Fikr, Tanpa tahun, Beirut. T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet. ke-11, Bulan Bintang, Jakarta, 1993. ________ ,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, PT.Pustaka Rizki, Semarang, 1999. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir al-Qur”aan, al-Qur’aan dan Terjemahnya, Departemen Agama RI,Jakarta,1984-1985.
105
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
106
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
POTRET PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN DI ORDE KERAKYATAN
Ahmad Izzudin1
Abstraksi Pemilu presiden 2014 dengan melahirkan dua sosok presiden dan wakil presiden terpilih—Joko Widodo dan Jusuf Kalla—telah menggugah kita untuk menganalisis, mengklasifikasi bahkan menafsirkan fenomena yang terjadi di masyarakat tentang tingkat partisipasi politik yang masif dan sistematis. Partisipasi ini ditengarai oleh keinginan masyarakat akan perubahan bangsa dalam pembangunan, ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Tak ayal, jika selama 15 tahun di masa transisi pemerintahan setelah era reformasi, tampaknya sah-sah kita mengklaim bahwa pemilu 2014 merupakan era baru yakni orde kerakyatan untuk kemandirian bangsa. Tak luput, tingkat partisipasi tersebut, sosok perempuan mulai dari kalangan artis, pedagang, pengusaha, bahkan cendikiawan muslim perempuan turut ikut andil dalam dinamika politik nasional. Untuk itu, melalui goresan pena ini penulis akan mengupas tentang partisipasi perempuan dalam bidang politik dan pembangunan. Kata Kunci: Perempuan, Politik, Pembangunan dan Orde Kerakyatan
1
Ahmad Izzudin adalah Mahasiswa Megister Interdisciplinary Islamic Studies konsentrasi Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga, dapatdihubungi di ahmadizudin25@ yahoo.com
107
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
A. Partisipasi Perempuan dan Pemerintahan Indek Pembangunan Manusia (IPM) adalah satu indikator tunggal dalam mengukur tingkat keberhasilan suatu wilayah atau negara dalam pembangunan manusia. IPM atau Human Development Indeks (HDI) merupakan hasil konsensus yang dikeluarkan oleh United Nation Development Program (UNDP) untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat.2 Kita sadari bersama bahwa keberhasilan pembangunan adalah terpenuhinya syarat dasar kesejahteraan rakyat yakni ketentraman, kesenangan hidup, kemakmuran dan keamanan.3 Kondisifaktualtentangrendahnyakesejahteraanmasyarakat Indonesia dapat kitaketahuidarihasillaporan World Bank Report 2004 bahwatingkatpendapatanperkapita Indonesia merupakantingkatpendapatanterendahdibandingkandengannegaraAseanlainnyayaitusebesar US $3500.4Dalampadaitu, Indonesia jugadihadapkansoalmasalahrumityaitutingginyaangkakemiskinan dan kesenjangan sosial. Biro 2
HDI dipelopori oleh Mahbub ul Haq, seorang pakar ekonomi Pakistan pada tahun 1990 sebagai Human Development Report di United Nation Development Program (UNDP). Ul haq bekerja dengan Paul Streeten, Frances Steward, Gustav Ranis, Keith Griffin, Sudhir Anand, dan Meghnad Desai. Lihat, Riant Nugroho, Public Policy for the Developing Countries, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2014, hal. 14. HDI lebih difokuskan pada indikator pencapaian dari pada indikator masukan (input). HDI mengukur prestasi keseluruhan suatu negara menurut tiga dimensi Pembangunan Manusia, yaitu: 1) Panjangnya usia–diukur berdasarkan angka harapan hidup saat lahir, 2) Pengetahuan– diukur berdasarkan angka melek huruf orang dewasa dan gabungan partisipasi sekolah di tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi (dengan pembobotan yang sama pada kedua indikator), 3) Standar hidup layak–diukur oleh pendapatan riil per kapita. Lihat, K. Seeta Prabhu, Senior Assistant Country Director, Oktober 2009, www.undp.or.id. 3 Kesejahteraan merupakan cita-cita bangsa ini. Berkaca pada sejarah, sejatinya Indonesia sejak rezim Orde Baru istilah pembangunan sudah tidak asing ditelinga kita. Tetapi faktanya konsep developmentalisme tersebut telah membutakan stakeholder negeri ini, yakni terbelenggu dalam lingkungan kapitalisme global akibat tendensi dari IMF dan World Bank. Dampaknya tragedi kelam bangsa ini berujung pada akhir Orde Baru. Konsep pembangunan masa kelam tersebut, dalam pandangan Mahbub ul Haq, dimana era informasi yang begitu pesat pada kehidupan nyata masyarakat Indonesia telah menumbuhkan pengembangan konsep developmentalisme, yang mana pendekatan praktek pengentasan kemiskinan lebih identik dengan top down. Pemerintah menggunakan pendekatan institual dengan menyalahkan masyarakat tidak bisa mengembangkan diri untuk terbebas dari lilitan tirai kemiskinan. Paradigma ini melahirkan konsep tujuh dosa perencanaan pembangunan di sebuah bangsa. Lihat dalam; Mahbub ul Haq, Tirai Kemiskinan Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga Sekapur Sirih oleh Mochtar Lubis, dengan judul asli The Poverty Curtain, terj. Masri Maris, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1983. 4 Indonesia pada tahun 2009 berada pada peringkat ke 111 dan tahun 2010 berada pada posisi 108, dengan status Medium (86-127). Sumber: www.undp.or.id, akses tanggal 22 Agustus 2014.
108
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
PusatStatistik (BPS) mengumumkanangkakemiskinan Indonesia tahun 2012sebesar 14,15% atau32,53jutajiwa dari jumlah populasi penduduk (Harian Kompas, 15/08/2014). Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pelaksanaan kebijakan pembangunan selama ini belum memberikan kontribusi berarti bagi kesejahteraan masyarakat walaupun harus diakui bahwa konsep pembangunan memiliki kontribusi positif bagi perkembangan suatu bangsa. Melihat kondisi ini semestinya pemerintah harus segera menindaklanjuti persoalan demikian mengingat kondisi ekonomi Indonesia dihadapkan pada Free Trade M arket ASEAN pada awal 2015 mendatang. Karena itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Riant Nugroho bahwa pemerintah tidak hanya bertugas untuk memelihara ketertiban dan menegakkan hukum tetapi lebih dari itu bertugas untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.5 Menyadari kompleksitas di atas, maka berbagai langkah harus ditempuh oleh pemerintah guna mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial demi mewujudkan kondisi masyarakat berdaya saing menuju Millenium Development Goals (MDGs).6Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan telah ditetapkan oleh pemerintah yang meliputi segala aspek kehidupan. Namun demikian, dalam implikasi kebijakan-kebijakan dimaksud belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara utuh. Masih banyak warga masyarakat yang masih tetap hidup dibawah garis kemiskinan, ketidakberdayaan dan kesenjangan sosial. Banyak faktor yang dapat saja menjadi penyebab selain faktor ekonomi, sosial dan budaya, faktor lain yang berhubungan adalah komitmen dan orientasi kebijakan pemerintah yang terkadang tidak berpihak kepada masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah sangat bersifat sentralistik dan top down.Tak ayal, terjadi kurang mengakomodir kondisi nyata di lapangan. Pada saat implementasi kebijakan dimaksud, sering menyimpang dari mekanisme dan tidak berorientasi kepada tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Riant Nugroho, Public Policy for the Developing Countries, hal. 40. Pembangunan MDGs ada delapan sasaran yakni menurunkan angka kematian balita,menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, membangun kemitraan global untuk pembangunan, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, dan memastikan kelestarian lingkungan hidup. Sumber: UNFPA, 2003. 5 6
109
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Hal ini merupakan suatu fenomena yang sering terjadi, sehingga David Osborne dan Ted Gaebler berpendapat bahwa masalah implementasi kebijakan merupakan masalah krusial, bahkan menjadi batu sandungan terberat dan serius bagi efektivitas kebijakan pembangunan di bidang sosial-ekonomi, terutama di negara-negara berkembang.7 Seiring dengan paradigma politik ketatanegaraan pada masa kini yang lebih bersifat desentralistik manakala Pemerintah Daerah telah memiliki kewenangan yang lebih luas bahkan sangat luas sehingga diharapkan Pemerintah Daerah bersama rakyat membangun daerahnya sesuai karakteristik daerah menuju tercapainya tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Untuk itu, dituntut adanya inisiatif dan kreativitas dari Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada untuk dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Kenyataan ini turut mendorong peran serta perempuan dalam pembangunan yang kita lihat semakin meningkat diberbagai sendi kehidupan. Perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga tetapi telah meluas dalam peran-peran lain, seperti; bekerja dan membuka usaha bahkan menjadi pimpinan instansi maupun pemerintahan.8Kini peran perempuan menjadi pertimbangan bagi setiap sendi kehidupan sosial kita. Tak ayal, bila ruang-ruang publik saat ini semakin banyak di isi oleh perempuan potensial. Karena semakin luas partisipasi perempuan maka di era transisi kepemimpinan negeri ini—pasca pemilu presiden 2014—kita tidak bisa menutup mata bahwa partisipasi perempuan dalam bidang politik dan pembangunan negeri ini semakin menguat. Banyak asumsi bahwa lahirnya pemimpin presiden di tahun 2014 merupakan dampak David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, (Addison-Wesley, 1992), hal. 41. 8 Sebuah perspektif analisis dalam bentuk perbedaan dari tindakan anti-oppressif dan tawaran beberapa hal secara garis besar dalam tindakan praktik anti-diskriminasi. Survey membuktikan bahwa perdebatan tentang ras, kelas dan gender, dalam pandangan Lesley Day dari jalan yang kompleks telah di uji dengan model-model anti-opperession yang bergaul dan mempengaruhi hidup perempuan. Ia berkontribusi dalam mengakses tentang warna kulit perempuan baik warna hitam dan putih yang memperdebatkan tentang posisi kelas dan ras dari cara memulihkan perempuan dalam pengalaman hidup dari kesetaraan gender. Mereka mendesak hal tersebut dari kompleksitas gap atau perbedaan esensial dengan hubungan yang lainnya untuk saling mengerti keberadaan posisi perempuan sebagai eksistensi di hadapan publik. Lihat dalam: Mary Langan, Women Oppression and Social Work Issues in Anti-Discriminatory Practice, Taylor & Francis e-Library: London, 2002), hal. 5-6 7
110
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
dari sosok calon presiden memiliki kharisma kepemimpinan dan kesederhanaan yang masyarakat pandang dapat membawa perubahan bagi bangsa ini. Lahirnya pemimpin negeri ini, yakni Jokowi-JK, tampaknya membawa angin segar semakin meningkatnya partisipasi masyarakat—tak menutup mata bahwa partisipasi perempuan pun meningkat—dalam mengawal pemerintahan ke depan. Disinyalir, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mengawal pemerintahan ke depan, pemerintahan yang diidealkan masyarakat kebanyakan akan segera terwujud. Aura segar tentang keterbukaan publik, mobilitas relawan, nampaknya semakin menguat ketika gaya kepemimpinan dua sosok presiden dan wakil presiden itu dipandang sebagai refresentasi kaum perempuan. Tak ayal, dalam slogan kampanye pasangan calon presiden terpilih bahwa ‘Jokowi adalah kita’ itu mengindikasikan bukti kepercayaan dan kedekatan pemimpin dengan rakyatnya. Maka kami menamakan saat ini menuju fase “Era Kerakyatan” setelah 15 tahun masa transisi di era reformasi. Untuk itu, karena luasnya ruang lingkup pelayanan dan jasa publik yang cenderung sangat tergantung kepada ideologi dan sistem ekonomi suatu negara. Maka konsep yang diusung terkait keterbukan akan segera menangkal sindrom kesenjangan sosial dan kemiskinan di negeri ini. Karena itu, semakin kuat posisi pemerintah dalam melahirkan keterbukaan dan partisipasi publik makaistilah pelayanan publik akan baik ketika sistem kualitas demokrasi yang kuat dapat kita benarkan. Demokrasi sebagai sistem yang final di Indonesia, hal ini semakin mendorong masyarakat dan peran perempuan di wilaya-wilayah domestik semakin kuat. Sejalan dengan itu, prinsip market oriented organisasi pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (aparatur) harus mengutamakan pelayanan dengan masyarakat. Demikian juga prinsip catalitic government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah perlu memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah membantu 111
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (helping people to help themselves). Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan prinsip self-help atau steering rather than rowing. B. Potret Perempuan Masa Kini: Membandingkan 3 Ideologi Feminisme Dinamika perkembangan eksistensi perempuan menarik untuk diperbincangkan. Mengingat perjuangan perempuan dalam lintasan sejarah begitu luas akan cakrawala makna. Bagaimana gerakan perempuan memperjuangan diri mereka dengan bercucur keringat, harkat dan martabat. Perempuan memperjuangan eksistensinya yang di balut oleh dominasi laki-laki dalam wilayah-wilayah domestik.9 Perjuangan perempuan ini melahirkan potret ideologi besar bagi pemikiran tentang relasi makna gender. Ideologi besar di dunia yang lahir dari perjuangan perempuan dalam melawan dominasi laki-laki pada wilayah domestik dan publik, pada demikian ini tidak terlepas dari peran politik dan ekonomi. Ada tiga ideologi teori besar di dunia yang mempengaruhi pemikiran gerakan gender, yakni ideologi feminisme radikal, liberal dan sosialisme. Feminisme Radikal Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi perjuangan separatisme perempuan. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta 9 Dominasi laki-laki ini biasa disebut dengan ketidakadilan gender. Dimana ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk. Paling tidak ada lima bentuk ketidakadilan; marginalisasi (peminggiran), stereoripe (pelabelan negatif bagi perempuan), subordinasi (penomorduaan), violence (kekerasan), dan double burden (beban ganda). Lihat; Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Mizan: Bandung, 1999. Dalam pandangan Aan Scales bahwa selama musim panas terdahulu Presiden Nixon’s ketika itu mengundurkan diri tahun 1974, banyak yang melihat ada sebuah berdiri tegap seorang laki-laki Italia. Dalam setiap kali makan, dia menekan kaum perempuan untuk menjelaskan mengapa orang Amerika merasa terganggu. Dia berkata, pemerintah, semua jajaran pemerintahan korupsi dan melakukan skandal sehingga melahirkan generasi penerusnya (pemerintah) memiliki hal yang sama. Orang Amerika bisa benar-benar menjadi naif melihat hal tersebut, melihat posisi politik seperti ini bagi kaum perempuan harus ada respon, mengapa ketika dipimpin laki-laki dalam hal kebijakan selalu melahirkan persoalan pemerntah yang korup semisal. Lihat; Aan Scales, Legal Feminism Activism, Lawyering and Legal Theory, New York University Press:New York, 2006, hal. 17.
112
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas termasuk lesbianisme, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. The personal is political menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Bagi pandangan feminisme radikal dalam melihat masalah ketika melakukan praktek kerja, hal paling penting adalah melihat dari budaya patriarki yang muncul di masayakata. Bagi kalangan ini memberikan cara yang efektif dengan fokus pada satu tujuan penyelesaian hal tersebut—khsusnya budaya masyarakat yang membangun stigma negatif terhadap perempuan. Kemudian, memberikan alternatif pilihan yang dihadapi oleh masyarakat dengan mengidentifikasi persoalan struktur sosial masyarakat.10 Feminisme radikal dalam pemetaan masalah kerja hal mendasar ideologi ini melakukan proses identfikasi persoalan terkait budaya patriarki di masyarakat dengan pertumbuhan individu tanpa batas sebagai sebuah hasil produk patriarki. Kemudian, pertama dan kedua dari bentuk hubungan kesepakatan dengan karakteristik patriarki, melihat dampak institusi—struktur masyarakat—sebagai proses individu dengan pendekatan pemberdayaan peran sosialisasi bagi perkembangan individu. Selain itu, membangun kesepakatan antara laki-laki dengan perempuan (melihat pada eliminasi psikologi tersendiri); sehingga melahirkan dorongan dan pertolongan pribadi dalam kelompok bagi perempuan, beberapa hal yang melahirkan kontroversi dari bentuk 10 Identifikasi struktur sosial masyarakat untuk pemetaan antara laki-laki dan perempuan di era keterbukaan informasi memang memudahkan kita. Apalagi menyoal tentang peran kepemimpinan di wilayah publik. Coba kita bandingan di era saat ini gap gender tersebut teralienasi oleh peran dan fungsi pembelajaran dari sistem politik dan pendidikan di Indonesia. Tak ayal, jika subordinasi bagi kaum perempuan masih marak terjadi di sana sini. Lihat, Amany Lubis, “Gender Gap in Leadership Roles in the Educational and Political Fields”, in Women in Indonesia Society: Acces, Empowerment, and Opportunity, Sunan Kalijaga Press: Yogyakarta, 2002, hal. 43-60.
113
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
emosi yang dilahirkan. Sehingga langkah strategisnya adalah menjadikan kedua agen (laki-laki dan prempuan) duduk bersama dalam menyelesaikan masalah. Sehingga dalam menciptakan individu dan membangun kesadaran kolektif terhadap problem personal sampai pada akar persoalan budaya patriarki yang membuat stigma bahwa dalam politik sama rata. Membangun kembali pemahaman yang salah tentang maskulin dan atribut personal tentang pandangan feminim, niscaya akan melahirkan transendensi personal yang bisa membangun hubungan baik—antara laki-laki dan perempuan dalam wilayah domestik (saling melengkapi). Feminisme Liberal Feminis Liberal memilki pandangan mengenai struktur masyarakat dan negara adalah sebuah identitas penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda. Pandangan ini berasal dari teori pluralisme. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum laki-laki, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum laki-laki. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis—perempuan cendrung berada di dalam negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan atau menjadi stakeholder yang dapat berpartisipasi lebih banyak. Maka dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik. Dalam perkembangannya, pandangan dari kaum Feminis Liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara dan masyarakat.11Bagi feminisme liberal dalam melakukan sebuah perubahan dalam hal status quo, pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi secara individu, khususnya tentang akar peran sosial. Kemudian, melakukan kajian tentang identifikasi masalah terkait kesempatan dalam struktur (kerja di wilayah public), terutama persoalan kesempatan perempuan dalam hal struktur-struktur masyarakat yang saling mempengaruhi satu sama lain. Mathew H. Kramer, Critical Legal Theory and the Challenge Feminism, A Philosophical Recencoption, Rowman & Littlefield Publishers: USA, 1995, hal.43. 11
114
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
Dalam melakukan identifikasi masalah feminisme liberal memiliki empat level yang mungkin terjadi di antaranya, (1) memperkirakan kekurangan deajat dan manifestasi seseorang. (2) mengakses derajat dan dampak dari masalah yang menjadi rintangan dalam kesempatan kerja di wilayah public, (3) menyebutkan dan memberikan prioritas yang saling memperngaruhi Antara kekurangan individu dan kesempatan public, (4) mengakses tentang adanya bantuan institusi sosial.12 Selanjutnya, dalam bekerja feminisme liberal identik menggunakan terapi tradisional, yakni konseling individu, treatment kelompok untuk memetakan patologi sosial, casework dengan pendekatan lingkungan sekitar, berusaha untuk mencari sumber masalah sampai pada tingkat kebutuhan emosi dan keberlangsungan hidup seseorang, dan mengadvokasi kebutuhan dan problem yang dihadapi oleh individu baik yang berhubungan dengan diskriminasi, dasar-dasar kebutuhan manusia dan memberikan dorongan terhadap klien yang konteks dengan persoalan. Bagi pandangan feminisme liberal tujuan dari penyelesaian masalah adalah dengan melakukan koreksi terhadap individu yang mempunyai problem tentang kesempatan kerja di wilayah public, dan membangun dorongan terhadap kelompok klien dan memberikan pilihan tentang apa saja yang menurut klien dilakukan yang terbaik.13 Feminisme Sosialisme Pandangan ini, adalah sebuah faham yang berpendapat bahwa Tidak Ada Sosialisme Tanpa Pembebasan Perempuan. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.14 Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan Janet A. Nes and Peter Iadicola, Toward a Definition of Feminist Social Work: A Comparison of Liberal, Radical, and Socialist Models, National Association of Social Work, 1988, hal. 15. 13 Ibid., hal. 17. 14 Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Diadit Media: Jakarta, 2007, hal. 75. 12
115
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Sebagai contoh, Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin.Sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan. 15 Paham teori feminisme sosialis dalam melakukan identifikasi masalah hal utama yang dilakukan adalah pemilahan kelas yang ada di masyarakat sebagai domain utama: dampak dari teori system isntitusional dan perbandingan kelas. Setelah itu, dari dua acuan baku tersebut kemudian melahirkan dua system yang disikapi yakni ujian personal antara dominasi yang masuk dengan yang keluar dalam struktur masyarakat. Kemudian, gagasan ini membangun pemahaman pertentang kelas, kesetaran gender, dan hubungan yang berdampak pada bentuk oppreasif. Karena itu, melakukan sebuah advokasi terhadap kelompok dan memberikan dorongan pada pertolongan pribadi sehingga antara satu sama lain saling membutuhkan. Dalam kajian dari tujuan tersebut, mencerabut dominasi laki-laki dalam status quo baik politik maupun ekonomi. Dari 3 ideologi besar feminisme tersebut maka kita dapat menganalisis bahwa fenomena partisipasi politik di masa transisi kepemimpinan nasional semakin menguatkan kita tentang perjuangan hak-hak perempuan dalam dinamika pembangunan negeri ini untuk kesejahteraan. Dengan begitu—baik feminisme liberal, radikal, dan sosilis—tindakan apirmatif di masyarakat yang mengatasnamakan kalangan relawan pendukung Jokowi-JK menarik kita klasifikasikan dalam dimensi perjuangan hak asasi manusia perempuan. Konkret, gerakan-gerakan perempuan dari berbagai daerah dengan rela tanpa ada beban dan tendensi politik manapun mereka berdaPeter Murphy, “Agnes Heller”, dalam Peter Beilharz, Teori-teori Sosial Observasi terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005, hal. 231-232. 15
116
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
tangan silih berganti mendukung secara suka rela kepada Jokowi-JK sebagai naluri dan keterpanggilan hati mereka. Hal ini tentu membuktikan teori di atas, perempuan ingin perubahan. Akses perempuan di wilayah-wilayah domestik akan menjadi menarik ketika fase selanjutnya terkait program-program dan janji politik pasangan presiden terpilih nantinya keikutsertaan peran perempuan layak kita tunggu. Apalagi konsekuensi partisipasi kuota 30 persen wajah anggota wakil rakyat dibarengi dengan wajah 30 persen jajaran menteri kabinet pemerintahan Jokowi-JK menarik untuk di analisis ke depannya. C. Bias Gender: Politik Dan Pembangunan, Mungkinkah? Isu gender merupakan sebuah falsafah pengetahuan yang tidak akan ada habisnya. Ibarat air yang ada di dalam perut bumi selalu menetes tiada henti menjadi teman sejati manusia untuk hidup. Namun, persoalannya kini adalah dari sisi mana kita akan membincang gender tersebut. Jelas bila merujuk pada awal latar belakang tulisan ini adalah mengenai partisipasi perempuan dalam bidang politik dan pembangunan. Hemat penulis, sudahkah peran dan fungsi perempuan di wilayah publik tersebut—memiliki keterlibatan aktif dan berpartisipasi dalam politik dan pembangunan. Sudah barang tentu, pertanyaan mendasar itu kita perlu menelusuri konteks bias gender yang terjadi pada masa kini. Hal pertama dalam bidang politik. Pada umumnya peran perempuan dalam politik tidak bisa terlepas dari exercaise of power yang selalu dibicarakan dalam pemerintahan dan institusi-institusi lainnya.16Bahasa itu tentu kita ingat ungkapan Harold Lawsell dalam bukunya “Politics: Who Get What, When and How”, bahwasanya definisi politik itu pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas-aktivitas publik yang bernotabene kegiatan itu dilakukan oleh laki-laki.17 Definisi ini tentu memasung hak perempuan yang sejatinya memiliki keluasan makna politik. Agak mengherankan jika dunia kontemporer saat ini masih membincang perempuan itu bagian kedua (subordinasi). Barangkali jugdment tersebut lahir karena budaya patriarkhi di Indonesia masih menjadi momok yang belum bisa hilang. Padahal, bila kita mengaca pada negara maju, semisal Jerman, Inggris, Fran16 Nur Iman Subono, “Ilmu Politik, Bias Gender dan Penelitian Feminis”, Jurnal Perempuan No. 48, Juli tahun 2006, hal. 58. 17 Harold D. Lawsell, Politics: Who Get What, When and How, World Publishing: New York, 1972.
117
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
cis, Amerika bahkan negara-negara Skandavia, partisipasi perempuan dalam bidang politik begitu tinggi.18 Karena mereka sadar betul bahwa pembangunan akan berhasil itu dilandasi oleh kesadaran. Maka dari itu, kesadaran lahir dari hasil proses pendidikan yang mapan. Tak ayal, prosesnya lahir sebagaimana diamanatkan dalam UU negara kita bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat. Fakta ini sejatinya harus menjadi alat bagi kaum perempuan untuk menunjukan eksistensi di wilayah publik. Karena jelas undangundang negara ini mengamanat tingkat partisipasi yang tinggi bagi semua golongan. Solusi tepat yang bisa kita dorong adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan, khsususnya bagi perempuan, di bumi pertiwi ini. Selain pola tersebut, langkah konkret yang bisa diusung dalam menangkal gagasan bias gender adalah dengan mengikutsertakan perempuan dalam wilayah privat publik. Salah satu solusi konkretnya dengan gagasan pemberdayaan masyarakat (people empeworment). Itulah sebabnya dalam upaya menangkal virus bias gender itu, selain membebaskan dari kemiskinan, tetapi juga dari kebodohan, dan keterbelakangan merupakan kunci utama yang mesti dilawan di era Orde Kerakyatan ini.19Pemerintah Indonesia sudah memperlihatkan kesungguhan dalam memajukan kaum perempuan melalui tujuan-tujuan pembangunan umumnya dan melalui program-program khusus. Namun demikian, berbagai kalangan menilai bahwa banyak kebijakan tetap saja menyisakan persoalan lama bahkan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Untuk menerangkan alasan-alasannya, kebijakan makro secara terpisah dari kebijakan-kebijakan yang ditujukan khusus bagi perempuan dijadikan sebagai titik tolak analisis. Ini penting ditegaskan karena kebijakan-kebijakan makro cenderung “buta gender”, dalam pengertian bahwa kebijakan-kebijakan itu dirancang dan dilaksanakan tanpa memperhatikan lebih dahulu dampaknya bagi perempuan sebagai pekerja, anggota masyarakat dan keluarga, dan warga negara.20 Samir Amin, Accumulation on a World Scale a Critique of the Theory of Underdevelopment, Monthly Review Press: New York-London, 1974. 19 Murniati Ruslan, “Pemberdayaan Perempuan dalam Dimensi Pembangunan Berbasis Gender”, Jurnal Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010, hal. 80. 20 Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, LP3ES: Jakarta, 2004, hal. 12. 18
118
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
D. Kesimpulan Berdasarkan fakta masalah di atas, maka dapat kami simpulkan sebagaimana paparan berikut ini: 1. Dinamika perempuan memiliki arti yang luas. Apalagi setelah kita tahu bahwa perempuan menjadi salah satu ikon prubahan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga keseriusan dari pemerintah terus dilakukan upaya-upaya peningkatan partisipasi dalam ranah politik dan pembangunan. Ini terbukti dengan adanya tujuan dan dorongan internasional guna mengejar Human Development Indeks (HDI) dalam upaya agar senantiasa menjalankan program MDGs. Kini perempuan—feminis sosialis, radikal dan liberal—telah menjadi ikon pandangan ideologi berpikir bagi semua kalangan yang akan bergiat dalam isu-isu gender. Untuk itu, penomordoaan perempuan seyogyanya harus terhapus di negeri yang konon mensejahterakan dan penyamaratan akan hak hidup seluruhnya. 2. Tingkat partisipasi perempuan dalam ranah publik akan terdorong oleh peran serta serius pemerintah. Dalam hal ini di era kerakyatan setelah hasil pemilu 2014 lalu, nampaknya masyarakat antusias bahkan rela menjadi relawan tanpa ada tendensi dan sandra politik dari manapun. Tak ayal, relawan itu tidak terlepas dari peran serta perempuan. Maka dari itu, lahirnya pemimpin baru di negeri ini memunculkan spirit baru yakni tentang janjijanji politik dan kebijakan pemerintah untuk menghapuskan kemiskinan pada perempuan, kebodohan dan kesenjangan bagi semua elemen bangsa. Karena itu, sumber utama dalam pemecahan kesejahteraan sosial dimulai dari lingkungan keluarga. Maka untuk mensejahterakan keluarga perempuan hal utama yang mesti disejahterakan.
119
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
DAFTAR PUSTAKA Aan Scales, Legal Feminism Activism, Lawyering and Legal Theory, New York University Press: New York, 2006. Amany Lubis, “Gender Gap in Leadership Roles in the Educational and Political Fields”, in Women in Indonesia Society: Acces, Empowerment, and Opportunity, Sunan Kalijaga Press: Yogyakarta 2002. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Diadit Media: Jakarta, 2007. David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, AddisonWesley, 1992. Harold D. Lawsell, Politics: Who Get What, When and How, World Publishing: New York, 1972. Janet A. Nes and Peter Iadicola, “Toward a Definition of Feminist Social Work: A Comparison of Liberal, Radical, and Socialist Models”, National Association of Social Work, 1988. K. Seeta Prabhu, Senior Assistant Country Director, Oktober 2009, www.undp.or.id. Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, LP3ES: Jakarta, 2004. Mahbub ul Haq, Tirai Kemiskinan Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga, Sekapur Sirih oleh Mochtar Lubis, dengan judul asli The Poverty Curtain, terj. Masri Maris, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1983. Mary Langan, Women Oppression and Social Work Issues in Anti-Discriminatory Practice, Taylor & Francis e-Library: London, 2002. Mathew H. Kramer, Critical Legal Theory and the Challenge Feminism, A Philosophical Recencoption, Rowman & Littlefield Publishers: USA, 1995. Murniati Ruslan, “Pemberdayaan Perempuan dalam Dimensi Pem120
Ahmad Izzudin, Potret Perempuan dalam Pembangunan....
bangunan Berbasis Gender”, Jurnal Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010. Nur Iman Subono, “Ilmu Politik, Bias Gender dan Penelitian Feminis”, Jurnal Perempuan No. 48, Juli tahun 2006. Peter Murphy, “Agnes Heller”, dalam Peter Beilharz, Teori-teori Sosial Observasi terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005. Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Mizan: Bandung, 1999. Riant Nugroho, Public Policy for the Developing Countries, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2014. Samir Amin, Accumulation on a World Scale a Critique of the Theory of Underdevelopment, Monthly Review Press: New York-London, 1974.
121
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
122
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
KECEMASAN MAHASISWA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI DALAM MENGHADAPI DUNIA KERJA Said Hasan Basri1
Abstrak Realitas persaingan dunia kerja semakin ketat dan berat, seiring dengan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia dibanding jumlah manusia yang membutuhkannya. Setiap pencari kerja, termasuk mahasiswa dituntut untuk mampu berkompetisi agar mendapatkan pekerjaan. Padahal dunia kerja juga menuntut kualifikasi persyaratan kerja yang multi skilling beserta pengalaman dan keterampilan yang sesuai. Kondisi inilah yang melatarbelakangi penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara prestasi akademik dengan kecemasan mahasiswa menghadapi dunia kerja. Penelitian ini juga ditujukan untuk mengungkap perbedaan tingkat kecemasan menghadapi dunia keja, dan jenis kelamin ditinjau dari jenis kelamin. Sampel penelitian dipilih secara purposive dengan kriteria mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi tingkat akhir atau angkatan 2009. Ada 80 mahasiswa yang dilibatkan dalam penelitian ini, yang terdiri dari 36 pria dan 44 wanita. Hasil analisis korelasi product moment dari Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat singnifikan antara prestasi akademik dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Hasil uji t juga menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kecemasan menghadapi dunia kerja dan prestasi akademik mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin. Tingkat kecemasan mahasiswa pria lebih 1
Pengajar di Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kaljaga Yogyakarta.
123
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
tinggi dalam menghadapi dunia kerja dibanding dengan wanita. Sedangkan tingkat prestasi akademik, ternyata mahasiswa wanita lebih tinggi prestasi akademiknya daripada pria. Kata Kunci: Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja, Prestasi Akademik
A. Pendahuluan Manusia sebagai organisme tidak lepas dari pemenuhan kebutuhannya. Seperti yang dikatakan Maslow (dalam Rita L. Atkinson dkk)2 bahwa kebutuhan manusia secara garis besar dapat dibagi atas kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Oleh sebab itu, manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari aktivitas bekerja. Sebagian orang bekerja untuk tujuan mencari uang, dan sebagian yang lain untuk sekedar mengisi waktu luang, tetapi ada pula yang bekerja untuk mencari identitas, dan lain sebagainya. Apapun alasannya, aktivitas bekerja yang dilakukan manusia semuanya adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini memberi gambaran bahwa sebenarnya makna bekerja bagi manusia tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan materi semata, tetapi juga berkaitan dengan kebutuhan psikologisnya. Karena pekerjaan yang dilakukan seseorang dapat memberikan nilai pada identitas diri dan status sosialnya. Di Indonesia, mencari pekerjaan bukan perkara yang mudah. Realitas kehidupan masyarakat modern saat ini menempatkan pekerjaan sebagai sesuatu yang sangat berharga, karena minimnya jumlah atau sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia dibanding manusia yang membutuhkannya. Hal ini memicu tingginya tingkat persaingan dan kompetisi untuk mendapatkan kesempatan kerja tersebut, belum lagi kualifikasi persyaratan kerja yang menuntut berbagai hal seperti pengalaman, keterampilan serta kompetensi yang sesuai. Seperti yang dijelaskan Lukman bahwa tingginya persaingan kerja banyak disebabkan oleh terbatasnya lapangan pekerjaan, banyaknya jumlah pengangguran serta kurangnya pengalaman kerja. Ditambah kompetensi Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, terjemah Nur Jennah dan Rukmini Burhan Jilid 1, Penerbit Erlangga: Jakarta, 2000, hal, 215. 2
124
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
yang dipersyaratkan menuntut adanya multi skilling (keahlian ganda), karena perusahaan mencari keuntungan dengan cukup merekrut satu orang pekerja yang memiliki beberapa keahlian3. Kenyataan tersebut telah menyebabkan masing-masing individu berusaha meningkatkan kualitas diri terutama kualitas pendidikan yang dimiliki individu tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang maka semakin luas pula kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Walaupun kesempatan dan peluang kerja akan lebih terbuka bagi individu yang berpendidikan tinggi seperti mahasiswa sebagai calon sarjana, tetapi tidak otomatis memberikan keyakinan apalagi jaminan akan cepat mendapatkan pekerjaan, karena gelar bukanlah hal mutlak bagi individu dalam mendapatkan pekerjaan, banyak faktor lain yang harus dipersiapkan agar mudah mendapatkan pekerjaan. Hal inilah yang terkadang menjadi dilema bagi setiap mahasiswa sebagai calon pencari kerja, pasti mempunyai keinginan segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmunya setelah lulus kelak. Kondisi ini, tentu dapat menimbulkan berbagai persoalan bagi pencari pekerjaan. Apalagi bagi mahasisa semester akhir, seringkali mengalami kebingungan untuk memikirkan dan menentukan langkah-langkah yang harus dilakukannya. Kalau bekerja, apakah ada pekerjaan yang sesuai dengan bidang dan harapannya. Belum lagi tuntutan dari lingkungan seperti orang tua yang telah membiayai pendidikannya, banyak dari orang tua yang beranggapan bahwa semakin tinggi level pendidikan anaknya semakin terjamin masa depannya. Kondisi ini tentu menjadi beban bagi mahasiswa yang akan lulus, karena dengan sendirinya merasa dituntut untuk dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Padahal, mencari pekerjaan bukan suatu hal yang mudah, para mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya harus bersaing dengan banyak sarjana lain yang lebih dulu lulus dan belum bekerja atau masih menganggur. Berbagai kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh calon-calon sarjana tersebut, bahwa jumlah pencari kerja atau yang berstatus pengangguran semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang kian pesat, dengan jumlah usia produktif yang juga semakin bertambah. Pertumbuhan pesat ini akan berdampak pada tidak seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan peluang kerja yang ada. Lukman. “Dunia Kerja”, 2012, dalam. http://www.google.com,keyword, diakses pada 21 Oktober 2012. 3
125
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Hal ini tidak menutup kemungkinan juga akan menimbulkan masalah psikologis bagi dirinya. Masalah psikologis yang mungkin muncul bisa berupa kecemasan. Hal ini dapat dialami oleh individu yang belum mendapat pekerjaan, sebagai akibat dari tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi, apalagi mahasiswa semester akhir tergolong usia produktif. Seperti yang dilaporkan oleh Imam Sholikhin dalam penelitiannya terhadap mahasiswa semester akhir, yang menemukan bahwa kecemasan yang dialaminya lebih dikarenakan persepsinya tentang persaingan kerja yang sangat ketat4. Kecemasan adalah suatu keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan juga sebagai respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman5. Menurut Kagan dan Haveman bentuk dari kecemasan yang ditimbulkan adalah berupa gejala fisik yang ditandai dengan gangguan pencernaan, gangguan tidur, kepala pusing, jantung berdebar-debar, gemetar, letih, lesu, keringat berlebihan, tangan dan kaki menjadi dingin, dan gejala psikologis yaitu tidak dapat memusatkan perhatian, merasa rendah diri, mudah marah, takut terhadap hal-hal yang akan datang, merasa khawatir dan merasa tidak aman6. Rita L. Atkinson dkk7 menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti kekhawatiran, keprihatinan dan perasaan takut. Calhoun dan Acocella8 mengatakan bahwa kecemasan adalah ketakutan (baik realistis maupun tidak realistis), yang disertai dengan kondisi psikis yang tidak seimbang. Hal senada juga diungkapkan Elisabeth B. Hurlock9 bahwa kecemasan merupakan suatu kekhawatiran umum tentang suatu peristiwa yang tidak jelas atau tentang peristiwa yang akan da4
Imam Sholikhin. “Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Mahasiswa Semester Akhir IAIN Walisongo”, Skripsi. Tidak diterbitkan. Semarang: IAIN Walisongo, 2011, dalam, http://one.indoskripsi.com.//3693/2/ F100040097.Pdf, diakses pada 20 September 2012. 5 J.S. Nevid, S.A. Rathus, and B. Greene, Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 1, Penerbit Erlangga: Jakarta, 2003, hal 163. 6 J.l. Kagan dan E. Haveman, Psychology An Introduction, Harcourt Brace Javanovich: New York, 89, hal 407. 7 Rita L. Atkinson., dkk., Op.Cit., Pengantar................, hal 113. 8 J.F. Calhoun, dan J.R. Acocella, Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan dengan Kemanusiaan, terjemahan. IKIP Press: Semarang, 1995, hal 123. 9
126
Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Erlangga: Jakarta, 1999, hal 145.
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
tang. Tanda-tanda yang biasa muncul berupa perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan yang kurang menyenangkan. Biasanya disertai oleh rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri serta tidak sanggup untuk menyelesaikan masalah. Zakiyah Daradjat10 mempertegas bahwa kecemasan merupakan suatu pengalaman emosional yang muncul dalam bentuk respon antisipatif terhadap kondisi yang akan datang. Biasanya hal ini terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan (konflik). Kondisi dunia kerja saat ini merupakan tantangan yang penuh kompetisi. Banyak individu yang beranggapan bahwa persaingan dalam dunia kerja adalah sesuatu yang menantang, tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa persaingan tersebut adalah hal yang menakutkan. Kondisi dunia kerja yang dianggap sebagai hal yang menakutkan ini dapat dijadikan titik tolak bagaimana kecemasan menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya. Seperti yang dikemukakan Firman bahwa kecemasan dalam menghadapi dunia kerja adalah perasaan khawatir yang dialami seseorang ketika menghadapi atau memasuki dunia kerja. Kecemasan dapat disebabkan oleh banyak hal di antaranya peluang kerja yang semakin sempit, persaingan yang semakin ketat dan pengangguran semakin banyak, pengalaman yang sedikit dan dibutuhkannya kompetensi seperti pengetahuan dan tuntutan keterampilan yang harus dikuasai.11 Jadi kecemasan menghadapi dunia kerja merupakan suatu pengalaman emosional yang bersifat subjektif yang dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan dianggap sebagai suatu hambatan, ancaman, terkait dengan peristiwa yang akan datang yang sumbernya berasal dari kondisi persaingan kerja yang penuh dengan tuntutan. Sehingga menimbulkan adanya gejala fisiologis dan psikologis seperti rasa takut, tidak berdaya, khawatir dan gelisah ketika harus dihadapkan pada berbagai hal yang terkait dengan pekerjaan. Seperti yang dikemukakan oleh Rita L. Atkinson dkk12 bahwa berbagai hal dapat menjadi sumber kecemasan. Konflik, dan frustasi, ancaman terhadap fisik maupun harga diri, serta tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan, juga dapat menimbulkan kecemasan. 10
43.
Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, Gunung Agung: Jakarta, 1990, hal
11 Firman, “Warung Info Bisnis”, 2012, dalam, (http://warung info bisnis.blogspot. com), di akses pada 04 Oktober 2012. 12 Rita L. Atkinson, dkk. Op.Cit., Pengantar ......................hal 212
127
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Kecemasan dapat terjadi karena menghadapi stimulus-stimulus yang mengancam dan membahayakan, baik dari luar maupun dari dalam diri individu. Kecemasan muncul karena stimulus-stimulus tersebut tidak dapat diatasi atau sulit dikendalikan, dan kondisi ini terus-menerus menghantui dan mengancam individu. Biasanya stimulus dari luar yang menjadi pemicu kecemasan seringkali muncul akibat situasi eksternal yang menekan dan mendatangkan stes, seperti halnya persaingan di dunia kerja13. Kecemasan menghadapi persaingan kerja terjadi karena membayangkan hal-hal yang akan dihadapi dalam persaingan memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Hal-hal yang sering dibayangkan tersebut,14 antara lain sebagai berikut: 1. Persaingan ketat dengan para pencari kerja yang lain, yaitu kondisi lapangan kerja yang semakin sempit sementara pencari kerja semakin banyak 2. Tipe pekerjaan, tipe pekerjaan yang diharapkan sesuai dengan bidangnya sangatlah sulit untuk diperoleh. Banyak sekali ragamnya, mulai dari pekerjaan yang paling melelahkan sampai tipe pekerjaan yang paling rileks, dan dari yang paling sederhana sampai yang modern. 3. Gaji, gaji yang layak dan dapat memenuhi kebutuhan menjadi tujuan orang yang bekerja. Tetapi semakin besar gaji yang diberikan semakin tertariklah orang pada pekerjaan itu. 4. Status sosial pekerjaan, pada umumnya orang merasa tidak senang dengan jenis pekerjaan yang mendatangkan anggapan tentang status sosial yang rendah. Mereka lebih senang dengan pekerjaan yang bersih di kantoran walaupun gajinya rendah. 5. Persyaratan kerja atau kualifikasi yang ditetapkan perusahaan, yaitu adanya keterampilan khusus atau pengalaman kerja yang meyakinkan. Greenberger dan Padesky dikutip oleh Iman Solikhin,15 mengkategorikan aspek-aspek kecemasan dalam menghadapi dunia kerja menjadi empat, antara lain: 1. Reaksi fisik Individu yang mengalami kecemasan, biasanya menunjukkan reaksi fisik berupa telapak tangan berkeringat, otot tegang, jantung 13 E.Koswara, Teori-teori Kepribadian (Psikoanalisa, Behaviorisme, Humanistik), PT Eresco: Bandung, 1991, hal 44. 14 Pandji Anaroga, Psikologi Kerja, Rineka Cipta: Jakarta, 2001, hal 1-6. 15 Imam Sholikhin, Op. Cit., Hubungan Antara......................., diakses pada 20 September 2012.
128
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
berdebar-debar, pipi merona kemerahan, pusing-pusing dan sulit bernafas. Kondisi ini biasanya terjadi pada saat seseorang yang cemas terhadap dunia kerja tersebut melihat berita di televisi atau media massa mengenai berbagai macam problema dalam dunia kerja. Reaksi fisik ini dapat berlangsung lama maupun sebentar tergantung pada lama tidaknya situasi yang dihadapinya. Ada kemungkinan reaksi fisik yang dialaminya tersebut akan hilang setelah selesai melihat berita tentang dunia kerja tersebut, akan tetapi dapat terjadi kembali manakala individu tersebut melihat berita serupa. 2. Pemikiran Orang yang cemas biasanya memikirkan bahaya secara berlebihan, menganggap dirinya tidak mampu atau merasa tidak siap menghadapi serta mengatasi masalah, dan mengabaikan bantuan yang ada serta berpikir tentang hal yang buruk. Seseorang yang cemas terhadap dunia kerja, memiliki pemikiran-pemikiran yang negatif mengenai mampu tidaknya dirinya menghadapi dunia kerja. Biasanya pemikiran ini akan menetap cukup lama. Tanpa ada usaha dari individu untuk merubah pemikiran tersebut menjadi sesuatu yang lebih positif maka pemikirannya akan tetap seperti itu. Pemikiran negatif yang timbul dapat berupa apa saja namun efeknya tetap sama yaitu membuat kondisi seseorang menjadi tidak nyaman karena seringkali memikirkan hal tersebut. 3. Perilaku Orang yang cemas menghadapi dunia kerja akan berperilaku menghindari atau meninggalkan situasi saat kecemasan muncul atau terjadi, kemudian mencoba melakukan banyak hal secara sempurna dan mencoba mencegah bahaya. Cemas menghadapi dunia kerja biasanya ditandai dengan adanya usaha untuk menghindari situasi yang menyangkut seputar dunia kerja misalnya informasi-informasi tentang dunia kerja atau pertanyaan-pertanyaan seputar dunia kerja. Perilaku ini terjadi dikarenakan individu merasa dirinya terganggu dan merasa tidak nyaman. 4. Suasana Hati Suasana hati orang yang cemas menghadapi dunia kerja meliputi perasaan gugup, jengkel, khawatir dan panik. Suasana hati juga dapat berubah secara tiba-tiba ketika dihadapkan pada kondisi yang memunculkan kecemasan tersebut. Perasaan gugup dan panik dapat memunculkan kesulitan dalam memutuskan sesuatu. Misalnya dalam hal keinginan dan minat. 129
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Kecemasan menghadapi persaingan dunia kerja tentunya juga akan dialami oleh mahasiswa sebagai calon pencari kerja. Khususnya mahasiswa yang berada pada semester akhir. Mahasiswa semester akhir termasuk dalam kategori usia dewasa awal. Salah satu tugas perkembangan masa dewasa awal ini menurut Havighurst16 adalah mulai bekerja. Setelah lulus dari perguruan tinggi maka para mahasiswa tersebut akan dihadapkan pada berbagai pilihan, salah satunya adalah mencari pekerjaan. Menghadapi perubahan lingkungan dan tuntutan tugas perkembangan merupakan hal yang tidak mudah untuk dilewati. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan pada diri mahasiswa. Salah satunya kecemasan dalam menghadapi dunia kerja sebagai wujud dari tujuan masa depannya. Apalagi kenyataan yang terjadi saat ini adalah lapangan kerja yang tersedia tidak dapat menampung jumlah pencari kerja yang terus bertambah setiap tahunnya, karenanya tingkat persaingan sangat tinggi. Hal tersebut dapat memicu kecemasan dalam diri mahasiswa yang menginginkan pekerjaan yang tepat bagi dirinya jika lulus kelak. Kecemasan terhadap dunia kerja yang dirasakan mahasiswa tentunya berbeda antara satu dan yang lain. Hal ini karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam maupun dari luar diri mahasiswa tersebut. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh pada kecemasan menghadapi dunia kerja adalah prestasi akademik. Karena prestasi akademik menjadi salah satu prasyarat ketika melamar pekerjaan. Sehingga, jika prestasi akademik mahasiswa tersebut tinggi, maka diprediksikan akan dapat meminimalisir kecemasan yang dirasakannya, karena individu yang bersangkutan memiliki harapan dan peluang yang lebih baik daripada yang prestasi akademiknya rendah, karena merasa salah satu prasyarat untuk mendapatkan pekerjaan sudah dimilikinya. Pada hakekatnya,17 prestasi akademik merupakan pencerminan dari usaha belajar. Semakin baik usaha belajar yang dilakukan individu, maka semakin baik pula prestasi yang dicapai. Keberhasilan mahasiswa dalam belajar ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri, yang mencangkup konsentrasi, minat, bakat, intelegensi, motivasi, cita-cita, intensitas mahasiswa dalam mengkaji semua materi kuliah 16 17
142.
130
Elizabet B Hurlock, Op., Cit., psikologi ....................., hal 56. Syaiful Bachri Djamarah. Psikologi Belajar, Rineka Cipta: Jakarta, 2002, hal
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
dan kemampuan mahasiswa dalam menguasai suatu keterampilan, termasuk keterampilan kerja. Selanjutnya faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri mahasiswa, termasuk lingkungan fisik seperti keadaan udara, suhu, cuaca, alat-alat yang dipakai, dan sebagainya. Kemudian lingkungan sosial individu, baik yang hadir secara langsung maupun secara tidak langsung yang dapat mempengaruhi keberhasilan mahasiswa. Menurut Syaiful Bachri Djamarah18 salah satu faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor psikologis, seperti minat, kecerdasan, bakat, motivasi, kemampuan kognitif (persepsi, mengingat, berfikir) dan bahkan kecemasan juga merupakan faktor psikologis. Hal yang tidak kalah pentingnya jika menghubungkan prestasi akademik dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja adalah bahwa prestasi akademik merupakan indikator kemampuan yang dimiliki seseorang, seperti yang dikatakan Zaenal Arifin,19 prestasi akademik merupakan masalah yang bersifat peremial dalam sejarah manusia karena rentang kehidupannya, manusia selalu mengejar prestasi sesuai dengan bidang dan kemampuan masingmasing. Karena prestasi akademik merupakan indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan, kepuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dan indikator internal dan eksternal individu. Maka tentunya hal-hal tersebut sangat berkaitan dengan kondisi psikologis individu termasuk tingkat kecemasannya. Individu yang merasa prestasi akademiknya rendah dapat dimungkinkan memiliki kecenderungan kecemasan yang lebih tinggi daripada individu yang memiliki prestasi akademik yang lebih baik. Mahasiswa sebagai calon pencari kerja tergolong ke dalam kelompok usia produktif karena telah memasuki usia 20 tahun ke atas, sudah memasuki usia dewasa awal. Pada usia ini menurut F.J. Monk, A.M.P. Knoer & R Siti Haditono20 dianggap sebagai batas kedewasaan, karena pada usia ini individu sudah mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, termasuk di Indonesia. Kondisi ini tentu memiliki konsekwensi tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tugas perkembangannya, seperti yang dikatakan JW. Santrock21 bahwa Ibid, hal 142 Zaenal Arifin. Op.Cit., evaluasi ..................., hal. 30 20 F.J. Monk, A.M.P. Knoer & R Siti Haditono, Psikologi Perkembangtan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Gadja Mada University Press, Yogyakarta, 2001, hal 291. 21 J.W. Santrock, Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup, jilid 2, ter. Ahmad Chusairi dan Juda Damanik, Penerbit Erlangga: Jakarta, 2003, hal 73. 18 19
131
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
mendapatkan pekerjaan setelah lulus kelak bagi mahasiswa merupakan bagian dari kemandirian secara ekonomi, dan hal ini adalah salah satu dari tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa awal. Dalam rangka memenuhi tugas perkembangan ini pulalah mahasiswa akan terlibat masalah, karena mungkin menganggapnya sebagai beban tanggung jawab yang harus diterimanya. Masalah yang dimungkinkan adalah terkait dengan kecemasannya dalam menghadapi dunia kerja. Oleh sebab itu, hal ini perlu dibuktikan, apakah terdapat hubungan antara prestasi akademik dengan kecemasan menghadapi dunia kerja, dan apakah ada perbedaan tingkat kecemasan menghadapi dunia kerja pada mahasiswa pria dan wanita? B. Metode penelitian Keseluruhan subjek yang digunakan dalam pengambilan data sebanyak 80 orang dengan komposisi pria 36 orang dan wanita 44 orang. Kedelapan puluh subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini, secara umum memiliki latar belakang yang heterogen, baik dari segi etnis suku, jurusan atau bidang studi, serta jenis kelamin. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, komposisi subjek berdasarkan etnisnya, paling banyak dari adalah etnis Jawa dengan jumlah mencapai 46 orang, disusul oleh etnis Madura sebanyak 8 orang, kemudian yang berasal dari suku Sunda, Melayu, dan Batak yang masingmasing berjumlah 7 orang, kemudian terakhir yang berasal dari Nusa Tenggara yang beretnis Ende berjumlah 5 orang. Berdasarkan latar belakang jurusan yang dimasuki para mahasiswa, atau terkait dengan bidang studi yang digeluti. Maka subjek penelitian yang paling banyak berasal dari jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang mencapai 18 orang, kemudian berlatar belakang jurusan Kesejahteraan Sosial berjumlah 17 orang, adapun subjek yang berasal dari jurusan Manajemen Dakwah berjumah 16 orang, lalu yang berasal dari jurusan Bimbingan dan Konseling Islam berjumlah 15 orang, kemudian yang terakhir adalah berlatar belakang jurusan Pengembangan Masyarakat Islam yang berjumlah 14 orang. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode summated ratings (penilaian yang dijumlahkan) berupa skala sikap. Metode ini bersifat kuantitatif yang berisi pernyataan favorable dan unfavorable22. Skala dalam penelitian ini berupa skala kecemasan Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikolog,. Edisi I, Cet. Ke-5, Pustaka Pelajar Offset: Yogyakarta, 2003, hal 11-12. 22
132
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
menghadapi dunia kerja yang disusun berdasarkan teori Greenberger dan Padesky (dalam Iman Solikhin),23 yang menyebutkan empat aspek kecemasan dalam menghadapi dunia kerja, yaitu reaksi fisik, pemikiran, perilaku, dan suasana hati. Skala kecemasan menghadapi dunia kerja ini disusun dengan memperhatikan sifat favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Setiap aitem memiliki empat pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skor aitem yang favorable (mendukung) adalah SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, dan sebaliknya untuk skor unfavorable (tidak mendukung) adalah STS = 4, TS = 3, S = 2, SS = 1. Skor total yang diperoleh akan menunjukkan tingkat kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa subjek memiliki kecemasan menghadapi dunia kerja yang tinggi, dan skor yang rendah akan menunjukkan rendahnya tingkat kecemasan individu dalam menghadapi dunia kerja. Adapun rincian penyebaran aitem-aitem skalanya dapat dilihat pada tabel 1. No 1. 2. 3. 4
Aspek Reaksi fisik Pemikiran Perilaku Suasana hati Jumlah
No Aitem Favorable Unfavorable 1, 8, 18, 30, 40, 48 5, 11, 15, 22, 26, 35 6, 16, 20, 28, 34, 36 2, 12, 25, 31, 41, 44 3, 10, 24, 37, 39, 47 7, 13, 19, 33, 43, 45 4, 9, 21, 38, 42, 46 14, 17, 23, 27, 29, 32 24 24
Jumlah 12 12 12 12 48
Tabel 1: Kisi-kisi Skala Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Sebelum Uji Coba Hasil uji validitas pada skala kecemasan menghadapi dunia kerja menunjukkan bahwa dari 48 aitem yang diujicobakan diperoleh 23 aitem valid dan 25 aitem gugur. Adapun koefisien korelasi butir-total (rix) aitem-aitem valid pada skala kecemasan menghadapi dunia kerja bergerak dari 0.300 sampai 0.600. Sedangkan hasil uji reliabilitas skala kecemasan menghadapi dunia kerja, diperoleh koefisien reliabilitas (rxx’) sebesar 0,897 dengan signifikansi (p) < 0.01. Jadi skala kecemasan menghadapi dunia kerja merupakan alat yang andal untuk mengukur tingkat kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Rincian aitem-aitem yang valid dan gugur pada skala kecemasan menghadapi dunia kerja, dapat dilihat pada tabel 2. 23
Imam Sholikhin, Op. Cit., Hubungan .........., diakses pada 20 September 2012.
133
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
No Aitem Jumlah Favorable Unfavorable Valid Gugur Valid Gugur Valid Gugur 1 Reaksi fisik 18,30,48 1,8,40 15 5,11,22,26,35 4 8 2 Pemikiran 28,36 6,16,20,34 12,25,31 2,41,44 5 7 3 Perilaku 24,37 3,10,39,47 7,13,19,33,43 45 7 5 4 Suasana 21,46 4,9,38,42 14,23,27,29,32 17 7 5 hati Jml aitem valid 9 14 23 Jml aitem 15 10 25 gugur No
Aspek
Tabel 2: Aitem-Aitem Valid dan Gugur Pada Skala Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Setelah Uji Coba
C. Hasil dan Pembahasan Uji asumsi dilakukan sebagai prasyarat pengujian hipotesis. Uji asumsi ini meliputi uji normalitas sebaran dan uji linieritas hubungan. Uji normalitas dilakukan terhadap variabel kecemasan menghadapi dunia kerja dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test (uji K-S). Kaidah yang digunakan adalah jika p > 0.05 maka sebarannya normal, sebaliknya jika p < 0.05 maka sebarannya dinyatakan tidak normal. Pada penelitian ini skor K-S (Kolmogorov-Smirnov Test) sebesar 1.264 dengan p sebesar 0.082, dengan demikian maka sebarannya normal. Sedangkan hasil uji linieritas variabel bebas prestasi akademik dan variabel terikat kecemasan menghadapi dunia kerja menunjukan angka 0,019 dengan signifikansi 0,023 atau p < 0.05. Dapat disimpulkan bahwa prestasi akademik berkorelasi secara linier dengan variabel kecemasan menghadapi dunia kerja. Adapun deskripsi data dalam penelitian ini mencakup rerata empirik dan rerata hipotetik pada masing-masing variabel. Hasil analisis data statistik deskriptif secara rinci dapat dilihat pada tabel 3. Variabel Prestasi Akademik Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Jenis Kelamin
∑ Skor Hipotetik Skor Empirik σ Min Maks M Aitem Min Maks µ SD 5 5 25 15 3,33 1 5 0,055 0,787 23
23
92
2
2
4
57,5 11,5 3
Tabel 3: Data Statistik Diskriptif Penelitian 134
0,33
23
92
1,15
6,440
1
2
0,022 0,501
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
Keterangan: a. Skor Hipotetik 1. Skor minimal (min) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai terendah dari pembobotan pilihan jawaban. 2. Skor maksimal (maks) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai tertinggi dari pembobotan pilihan jawaban. 3. Rerata hipotetik (µ) dengan rumus µ = skor min+skor max 2 4. Standar deviasi (σ) hipotetik adalah σ = skor maks-skor min 6 b. Skor Empirik 1. Skor minimal (min) adalah skor terendah yang diperoleh subjek. 2. Skor maksimal (maks) adalah skor tertinggi yang diperoleh subjek 3. Rerata empirik (M) adalah hasil pembagian skor total suatu skala dengan jumlah subjek penelitian. 4. (SD) adalah standar deviasi. Berdasarkan hasil analisis data deskriptif diketahui rerata hipotetik skala kecemasan menghadapi dunia kerja sebesar (µ) 57,5 dengan standar deviasi (σ) sebesar 6,440, maka kategorisasi nilai berdasarkan distribusi rerata hipotetik pada skala kecemasan menghadapi dunia kerja secara terperinci dapat dilihat pada tabel 4. Variabel Norma Rentang Skor Kecemasan x <(µ−1,0σ) X < 46 menghadapi (µ-1,0σ) ≤ x <(µ+1,0σ) 46 ≤ X < 69 69 ≤ X dunia kerja (µ+1,0σ) ≤ x
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Tabel 4: Kategorisasi Skor Skala Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Kategorisasi skor skala dari kategori rendah, sedang dan tinggi. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam menghadapi dunia kerja cenderung pada taraf sedang. Sehingga jika diilustrasikan, seperti di bawah ini: 46 69 rendah
sedang
tinggi 135
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
Adapun untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini meliputi pengujian hipotesis korelasional dan komparasional. Untuk p����� engujian hipotesis korelasional yang berbunyi “ada hubungan negatif antara prestasi akademik dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada mahasiswa, semakin tinggi prestasi akademik mahasiswa, maka semakin rendah tingkat kecemasannya dalam menghadapi dunia kerja. Sebaliknya semakin rendah tingkat prestasi akademik mahasiswa, maka semakin tinggi tingkat kecemasannya dalam menghadapi dunia kerja”, metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut adalah teknik analisis korelasi Product Moment dari Pearson (Pearson Correlation). Hasil uji hipotesis korelasi menunjukkan bahwa r = 0.293, dengan p < 0.01 yaitu 0.004. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi lebih kecil dari 0,01 maka H1 diterima, sehingga ada hubungan yang sangat signifikan antara kedua variabel tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara prestasi akademik dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Artinya tinggi rendahnya kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat prestasi akademik mahasiswa. Diterimanya hipotesis pertama ini menunjukkan bahwa prestasi akademik dapat dianggap sebagai salah satu variabel yang ikut mempengaruhi kecemasan mengadapi dunia kerja. Hasil ini menunjukkan adanya bukti dari teori yang dikatakan Syaiful Bachri Djamarah,24 bahwa salah satu faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor psikologis. Faktor psikologis meliputi minat, kecerdasan, bakat, motivasi, kemampuan kognitif (persepsi, mengingat, berfikir) dan ambisi. Salah satu faktor psikologis itu adalah kecemasan. Kecemasan merupakan suatu kekhawatiran umum tentang suatu peristiwa yang tidak jelas atau tentang peristiwa yang akan datang. Tanda-tanda yang biasa muncul berupa perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan yang kurang menyenangkan. Biasanya disertai oleh rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri serta tidak sanggup untuk menyelesaikan masalah.25 Untuk hasil analisis sumbangan faktor prestasi akademik terhadap tingkat kecemasan menghadapi dunia kerja, dapat dilihat dari besarnya nilai R2 yang mencapai 0.086. Hal ini menjelaskan bahwa sumbangan efektif prestasi akademik terhadap kecemasan mengah24 25
136
Syaiful Bachri Djamarah. Op., Cit.,Psikologi Belajar ........., hal 142. Elisabeth B. Hurlock., Op. Cit., Psikologi .........., hal 145.
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
dapi dunia kerja adalah sebesar 0.86 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa prestasi akademik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dan memberikan kontribusi bagi tingkat kecemasan individu dalam menghadapi dunia kerja. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Wahyu Safitri dari jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Penelitian tersebut terkait dengan faktor–faktor penyebab kecemasan menghadapi dunia kerja berkaitan dengan prestasi belajar terdiri dari konflik, frustasi, ancaman, harga diri dan lingkungan. Menggunakan teknik total sampling, dengan metode pengumpulan data berupa skala psikologis tentang faktor–faktor penyebab kecemasan menghadapi dunia kerja berkaitan dengan pretasi belajar. Berdasarkan analisis persubvariabel dari faktor konflik sebagai penyebab kecemasan menghadapi dunia kerja berkaitan dengan prestasi belajar menunjukkan prosentase sebesar 70,8%. Faktor frustasi menunjukkan prosentase sebesar 59,07%, ancaman sebesar 50,35%, harga diri sebesar 73,4%, dan faktor lingkungan sebesar 67,83%.26 Adapun untuk pengujian hipotesis kedua, dengan menggunakan teknik uji t, dalam program SPSS 15.0 for windows disebut sebagai independent-sample t test, dengan membandingkan rata-rata kedua variabel. Hipotesis komparasional ini meliputi pengujian dua hipotesis, yaitu: Pertama berbunyi “ada perbedaan kecemasan menghadapi dunia kerja ditinjau dari jenis kelamin. Kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa pria lebih tinggi daripada kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa wanita”. Hasil dari independent-sample t test menunjukkan bahwa skor F sebesar 0.697 dengan t sebesar 1.349 lebih besar dari taraf signifikansi yang hanya 0.405, sehingga H0 ditolak, dan H1 diterima. Artinya ada perbedaan kecemasan menghadapi dunia kerja yang signifikan antara pria dan wanita. Hasil dari analisis independent-sample t test yang ditunjukkan melalui table group statistics, nilai rata-rata tingkat kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa pria (73.56) lebih tinggi daripada mahasiswa wanita (71.61). Dengan membandingkan nilai rata-rata kecemasan menghadapi dunia kerja antara pria dan wanita tersebut dapat 26 Wahyu Safitri, “Studi Deskriptif Tentang Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Berkaitan dengan Prestasi Belajar Pada Kelayan Panti Bina Remaja Wira Adi Karya Ungaran Angkatan II Tahun 2010”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang: Semarang, 2010.
137
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
disimpulkan bahwa hipotesis komparasi pertama diterima. Artinya kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa pria lebih tinggi daripada kecemasan menghadapi dunia kerja pada mahasiswa wanita. Hal ini mengindikasikan bahwa kecenderungan dari tuntutan tugas dan tanggung jawab pria yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan menjadi tulang punggung keluarga telah menyebabkan tingkat kecemasannya dalam menghadapi dunia kerja lebih tinggi daripada wanita. Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Nugraha Dwi Widayanto, yang menemukan bahwa kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa laki-laki lebih rendah dengan skor (M=103,64) dibandingkan dengan mahasiswa perempuan tingkat akhir (M=113,57). Sehingga ada perbedaan yang signifikan antara kecemasan menghadapi dunia kerja ditinjau dari jenis kelamin dengan nilai p = 0,013.27 Hipotesis komparasi kedua berbunyi “ada perbedaan prestasi akademik mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin, prestasi akademik mahasiswa wanita lebih tinggi daripada prestasi akademik mahasiswa pria”. Hasil dari independent-sample t test menunjukkan bahwa skor F sebesar 1.972 dengan t sebesar -1.275 lebih besar dari taraf signifikansi yang hanya 0.164, sehingga H0 ditolak, dan H1 diterima. Artinya ada perbedaan prestasi akademik yang signifikan antara mahasiswa pria dan wanita. Hasil dari analisis independent-sample t test yang ditunjukkan melalui table group statistics, nilai rata-rata tingkat prestasi akademik mahasiswa wanita (3.11) lebih tinggi daripada mahasiswa pria (2.89). Dengan membandingkan nilai rata-rata prestasi akademik antara pria dan wanita tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis komparasi kedua diterima. Artinya prestasi akademik mahasiswa wanita lebih tinggi daripada prestasi akademik pria. Hal ini mengindikasikan bahwa kecenderungan dari karakteristik wanita yang tekun, ulet dan rajin mempengaruhi kegiatannya dalam belajar. Hal ini pulalah yang menyebabkan prestasi akademik mahasiswa wanita lebih tinggi daripada pria.
27 Nugraha Dwi Widayanto. “Perbedaan Kecemasan dalam Menghadapi Dunia Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pada Mahasiswa Tingkat Akhir di Universitas Negeri Malang”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Malang: Perpustakaan Digital Universitas Negeri Malang. 2011, dalam. http://library.um.ac.id. Diakses Pada 22 September 2012.
138
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Prestasi akademik berhubungan secara negatif yang sangat signifikan dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada mahasiswa. Semakin tinggi prestasi akademik yang dimiliki mahasiswa, maka akan semakin rendah tingkat kecemasannya dalam menghadapi dunia kerja. Sebaliknya semakin rendah prestasi akademik yang dimiliki mahasiswa maka akan semakin tinggi tingkat kecemasannya dalam menghadapi dunia kerja. Sehingga variabel prestasi akademik dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang ikut memberikan kontribusi atau yang mempengaruhi kecemasan menghadapi dunia kerja. Di samping itu penelitian ini menemukan bahwa ada perbedaan kecemasan menghadapi dunia kerja ditinjau dari jenis kelamin. ����� Tingkat kecemasan menghadapi dunia kerja pada mahasiswa pria lebih tinggi daripada kecemasan mahasiswa wanita dalam menghadapi dunia kerja. Sedangkan dalam perbedaan prestasi akademik mahasiswa juga berbeda, tingkat prestasi akademik mahasiswa wanita lebih tinggi daripada prestasi akademik pada mahasiswa pria. Berdasarkan hasil penelitian ini hendaknya para mahasiswa dapat lebih meningkatkan dan memperbaiki prestasi akademiknya agar dapat membantu dalam mengurangi tingkat kecemasannya dalam menghadapi dunia kerja. Sedangkan untuk Fakultas Dakwah dan Komunikasi diharapkan dapat lebih mengembangkan kurikulum yang dibutuhkan dunia kerja, sehingga memberikan keyakinan pada mahasiswa. Pada akhirnya akan mengurangi kekawatiran mahasiswa untuk menghadapi dunia kerja jika sudah lulus kelak. Bagi para peneliti selanjutnya, dianjurkan untuk mencari variabel lain selain variabel prestasi akademik yang mempengaruhi kecemasan menghadapi dunia kerja seperti kompetensi entreprenership, pola asuh, pengalaman kerja praktek dan lain sebagainya.
139
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
DAFTAR PUSTAKA
E. Koswara, Teori-teori Kepribadian (Psikoanalisa, Behaviorisme, Humanistik), PT Eresco Bandung: Bandung, 1991. Elisabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan (Sepanjang Rentang Kehidupan), Erlangga: Jakarta, 1999. F.J. Monk, dkk. Psikologi Perkembangtan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Gadja Mada University Press: Yogyakarta, 2001. Firman, “Warung Info Bisnis”. 2012, dalam, (http://warunginfobisnis. blogspot.com), di akses pada 04 Oktober. 2012. Imam Sholikhin, “Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Mahasiswa Semester Akhir IAIN Walisongo”, Skripsi. Tidak diterbitkan. Semarang: IAIN Walisongo, 2011, dalam, http://one.indoskripsi.com.//3693/2/ F100040097.Pdf, diakses pada 20 September 2012. J.F Calhoun dan J.R. Acocella, Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan dengan Kemanusiaan, IKIP Press: Semarang, 1995. J.L Kagan dan E. Haveman, Psychology An Introduction, Harcourt Brace Javanovich: New York, 1989. J.S, Nevid, dkk. Psikologi Abnormal, Edisi Kelima Jilid 1, Penerbit Erlangga: Jakarta, 2003. J.W. Santrock, Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid 2, Terjemahan. Ahmad Chusairi dan Juda Damanik, Penerbit Erlangga: Jakarta, 2003. Lukman. “Dunia Kerja”, 2012, dalam. http://www.google.com,keyword, diakses pada 21 Oktober 2012. Nugraha Dwi Widayanto, “Perbedaan Kecemasan dalam Menghadapi Dunia Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pada Mahasiswa Tingkat Akhir di Universitas Negeri Malang”. Skripsi, Tidak diterbitkan. Malang: Perpustakaan Digital Universitas Negeri Malang, 2011, dalam http://library.um.ac.id. diakses pada 22 September 2012. 140
Said Hasan Basri, Kecemasan Mahasiswa Fakultas Dakwah....
Pandji Anoraga, Psikologi Kerja, Rineka Cipta: Jakarta, 2001. Rita L Atkinson,Dkk. Pengantar Psikologi, Jilid II, Erlangga: Jakarta, 1999. Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologi, Pustaka Pelajar Offset: Yogyakarta, 2003. Syaiful Bachri Djamarah, Psikologi Belajar, Rineka Cipta: Jakarta, 2002. Wahyu Safitri, “Studi Deskriptif Tentang Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Berkaitan dengan Prestasi Belajar Pada Kelayan Panti Bina Remaja Wira Adi Karya Ungaran Angkatan II Tahun 2010”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang: Semarang, 2010. Zaenal Arifin, Evaluasi pendidikan, Bumi Aksara: Jakarta, 1998. Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, Gunung Agung: Jakarta, 1990.
141
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
142
Noorkamilah, Pembinaan Muallaf; Belajar dari Yayasan....
KETENTUAN PENULISAN JURNAL
Redaksi Jurnal PMI menerima tulisan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Artikel dapat berupa hasil penelitian ataupun gagasan yang bertemakan persoalan sosial, strategi, dan model alternative dalam pengembangan masyarakat. 2. Artikel belum pernah diterbitkan di media lain dan tidak mengandung unsure plagiat. 3. Naskah diketik di kertas HVS kwarto sebanyak 15 sampai 25 halaman spasi ganda. 4. Artikel dapat ditulis menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Menggunakan model transliterasi yang digunakan oleh Jurnal PMI-EYD. 5. Artikel minimal memuat, judul, nama penulis dan identitas (institusi atau alamat e-mail dalam bentuk catatan kaki), abstrak, kata kunci, Pengantar (minimal latar belakang), temuan/pembahasan dalam subbab-subbab, kesimpulan, dan daftar pustaka. 6. Referensi dapat ditulis menggunakan catatan samping dan jika perlu penjelasan dapat menggunakan catatan kaki. 7. Daftar pustaka hanya berisi pustaka yang dirujuk dan disusun berdasarkan urutan alfabetis dengan tata urutan minimal sebagai berikut. Pajar Hatma Indra Jaya, Raja Di Tengah Gelombang Demokrasi: Loyalitas, Perubahan Sosial & Kepentingan, Pustaka Publiser dan Jurusan PMI: Yogyakarta, 2012. M. Noor Romadlon, Art (Batik) Under Pressure dalam Jurnal Riset Daerah, Edisi Khusus Vol.I No.1 Desember Tahun 2012. http://www.antaranews.com, diakses pada tanggal 31 Juli 2012. 8. Artikel dikirim berupa file dalam format Rich Text Format atau Microsoft Word
[email protected]. 9. Artikel ditulis dengan huruf Time New Roman/Time New Arabic 143
Jurnal PMI Vol. XII. No. 1, September 2014
ukuran 12. 10. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. 11. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat tiga buah eksemplar. 12. Jurnal PMI dapat diakses melalui http://journal.uin-suka.ac.id/jurnalpmi/index
144