Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Tahun 2012, Volume 25, Nomor 1: 1-7
Model Implementasi PNPM Mandiri Perdesaandi Kabupaten Banyumas Dwiyanto Indiahono1, Hikmah Nuraini, Darmanto Sahat Satyawan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Soedirman ABSTRACT The poverty rate in Banyumas successfully dropped 5percent during theperiod2008 to2009.The poverty rateof33, 6 percent initially successfully reduced to 27, 4 percent. PNPM Mandiri Pedesaan (PNPM-Mandiri Perdesaan National Program for (Rural) Community Empowerment – PNPM MP) have contributed positively in the poverty reduction. PNPM-MP in Banyumas rolled outto19Kecamatan/ subdistrictscovering234villages. “Model Implementationfor PNPM-MP in Banyumas”research becomes a very important study because it can map out the factors and identify the variables that often appear in the accounts for the failure or success of PNPM-MP program in Banyumas. Qualitative research methods have been conducted at three locations: in Sumpiuh, Ajibarang and KedungBanteng.Interview and focus group discussion(FGD) was conducted in three locations, involving 77 peopleof PNPM-MP activists at village and subdistrict level. “Model Implementation for PNPMMP research in Banyumas”concluded that implementation of PNPM-MP influenced by several factors: the characteristics of the target group, executive officers, socialization and communication and monitoring. This study also provides recommendations to the Governmentof Banyumas to concentrate on improving three things: monitoring massifications, determine the target group in a more selective, and make allowances for the target groups who have problems. Key words: empowerment, the target group, executiveofficers, dissemination, monitoring ABSTRAK
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) berhasil mengurangi angka kemiskinan di Banyumas. Karena PNPM-MP itu, tingkat kemiskinan turun lima persen pada 2008-2009 di Banyumas yang terdiri dari 19 kecamatan mencakup 234 desa. Penelitian tentang implementasi model PNPM-MP di Banyumas ini memetakan faktor-faktor dan mengidentifikasi variabel-variabel yang sering dipakai mengukur keberhasilan atau pun kegagalan suatu program. Metode penelitian kualitatif digunakan di tiga lokasi: Sumpiuh, Ajibarang dan Kedung Banteng. Wawancara dan diskusi kelompok fokus (FGD) dilakukan di tiga tempat itu, melibatkan 77 orang aktivis PNPM-MP di tingkat desa dan kecamatan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi PNPM-MP dipengaruhi oleh beberapa faktor: ciri-cirikhas kelompok sasaran, para pejabat eksekutif, sosialisasi, komunikasi dan monitoring. Studi ini juga menyarankan pemerintah Banyumas untuk memperbaiki tiga hal: memonitor kelompok target secara lebih luas, menentukan kelompok target secara lebih selektif, dan memberi bantuan pada kelompok-kelompok sasaran yang punya masalah. Kata kunci: kemiskinan, Banyumas, pemberdayaan, kelompok sasaran, monitoring, diseminasi. Sampai dengan Maret 2010 BPS melaporkan bahwa sampai saat ini jumlah warga miskin masih besar, yaitu mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di 1 Korespondensi: Dwiyanto Indiahono, jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Soedirman. Alamat: Jalan Prof. DR. H. Bunyamin 993 Purwokerto – Indonesia 53122. E-mail:
[email protected]
daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen (Berita Resmi Statistik BPS No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010). Pemerintah dengan segala komitmennya terus berupaya menggelontorkan berbagai kebijakan dan kegiatan untuk mereduksi angka kemiskinan. Pembangunan tak bisa lepas dari angka kemiskinan. Sebab pembangunan tanpa pemberdayaan kaum miskin hanya akan menimbulkan pembangunan yang elitis. Data BPS di atas menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di daerah perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah orang miskin yang hidup di daerah perkotaan. Pemerintah sejak tahun 2007 telah memulai paradigma baru dalam pembangunan Indonesia, terutama sektor pedesaan. Pendekatan pembangunan yang semula sangat top down (blue print) mulai digantikan dengan program-program bottom up (proses belajar sosial) demi mendapatkan hasil yang lebih baik. Pemerintah mulai mengubah arah ini sejalan dengan berubahnya keyakinan bahwa yang mampu memberdayakan masyarakat adalah bukan institusi dari luar, tetapi masyarakat sendiri. Pemerintah mulai mendedikasikan diri sebagai fasilitator program-program pemberdayaan yang diselenggarakan di desa-desa seraya menumbuhkembangkan kemampuan manajerial para aparat, dan para stakeholder di desa. Program yang sedang didiskusikan ini adalah program PNPM – Mandiri Perdesaan. Angka kemiskinan di Kabupaten Banyumas berhasil turun 5 persen selama kurun 2008 hingga 2009. Angka kemiskinan yang semula 33,6 persen berhasil diturunkan menjadi 27, 4 persen, dari sekitar 1,5 juta jiwa lebih. PNPM Mandiri Perdesaan diyakini telah berkontribusi positif dalam penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Banyumas. Pemberdayaan yang dilakukan dalam PNPM MD seperti usaha ekonomi produktif, simpan pinjam, pasar dan perbaikan infrastruktur telah mendukung kelancaran ekonomi rakyat pedesaan. Sejak tahun 2008 dana yang telah dikucurkan melalui PNPM adalah sebesar 147, 5 M, dan untuk tahun 2010, dana yang digulirkan sebesar Rp 45 M bersumber dari BLM APBN yang disertai dengan alokasi anggaran dari APBD sebesar Rp 6 M atau 20%. Dana tersebut digulirkan untuk 19 kecamatan yang terbagi untuk 234 desa (http://sigapbencana-bansos.info/pantauan-media/6801-pnpm-turunkan-kemiskinan.html). Kajian mengenai model implementasi PNPM-MP di Kabupaten Banyumas menjadi kajian yang penting karena dapat memetakan faktor-faktor atau mengidentifikasi variabel-variabel yang sering muncul dalam menyumbang kegagalan atau kesuksesan program PNPM-MP di Banyumas. Hasil kajian ini akan sangat bermanfaat sebagai bahan evaluasi dan masukan untuk program-program sejenis di Kabupaten Banyumas, kabupaten-kabupaten lain dan program pengentasan kemiskinan di pedesaan di masa yang akan datang. Berdasarkan latar belakang di atas maka menjadi amat penting untuk mengungkap: 1) faktor-Faktor apa sajakah yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan PNMP – MD di Kabupaten Banyumas?; 2) bagaimanakah model implementasi PNPM – MD di Kabupaten Banyumas?; dan 3) hal-hal apa sajakah yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki implementasi PNPM MD di Kabupaten Banyumas?. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan PNPM-MP di Kabupaten Banyumas; 2) menyusun model implementasi PNPM – MD di Kabupaten Banyumas; dan 3) memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diambil oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam rangka memperbaiki implementasi PNPM – MD di Kabupaten Banyumas. Manfaat penelitian secara praktis adalah: 1) memberikan informasi yang lebih menyeluruh tentang implementasi PNPM – MD di Kabupaten Banyumas; 2) memberikan masukan yang akuntabel bagi perbaikan program PNPM – MD di Kabupaten Banyumas, dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan benchmark kabupaten lain untuk melakukan perbaikan program PNPM, atau program-program pengentasan kemiskinan. Kebijakan publik dalam definisi yang terkenal dari Dye adalah whatever governments choose to do or not to do. Maknanya Dye hendak menyatakan bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan. Jika anda melihat banyak jalan berlubang, jembatan rusak atau sekolah rubuh kemudian Anda mengira bahwa pemerintah tidak berbuat apa-apa, maka “diamnya” pemerintah itu menurut Dye adalah kebijakan. Interpretasi dari kebijakan menurut Dye di atas harus dimaknai dengan dua hal penting: pertama, bahwa kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Selain Dye, James E. Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pembicaraan tentang kebijakan memang tidak lepas dari kaitan kepentingan antar kelompok, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat secara umum (Anderson
1979:2-3).Implementasi kebijakan merupakan proses yang amat penting dari suatu kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu kebijakan, bahkan mungkin tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan (Jones dalam Arif 2006:80). Pembangunan Pedesaan sudah lama didengungkan oleh banyak pihak dari kalangan praktisi, pemerintah, akademisi, peneliti dan lembaga swadaya masyarakat. Pembangunan pedesaan diakui amat strategis dalam menggerakkan perekonomian kerakyatan dan pembagian pembagian kesejahteraan (distribution of welfare). Perdebatan tentang pertumbuhan, kemiskinan dan keadilan sosial memang telah menjadi perdebatan dan diskusi yang menarik (Kanbur 2005, Chatterjee 2005, dan Smeeding 2005). Penelitian di India membuktikan bahwa kebijakan pemerintah India untuk membelanjakan anggaran pemerintah untuk pembangunan jalan-jalan antar desa dan penelitian agrikultur telah memberikan dua keuntungan besar. Keuntungan yang pertama adalah dengan program ini lebih banyak dan luas orang desamiskin yang dapat merasakan subsidi. Keuntungan kedua, lebih dari sekedar keuntungan pertama, kebijakan ini ternyata secara tidak langsung telah menstimulan produktifitas produksi agrikultur yang lebih besar. Hasil ini merupakan analisis evaluasi dari sebuah kebijakan pembangunan antar desa di India (Fan, dkk dalam Indiahono 2009:235). Pemerintah Indonesia sejak tahun 2007 mulai mengimplementasikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri (PNPM-Mandiri). PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM-Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pandampingan dan pendanaan simultan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan (Pedoman Umum PNPM-Mandiri 2007:11). Sasaran yang ingin dicapai oleh PNPM-Mandiri adalah mengurangi angka kemiskinan menjadi 8 persen pada tahun 2009 dari 18 persen di bulan Maret 2006, dan menurunkan tingkat pengangguran dari 10 persen pada tahun 2006 menjadi 5 persen pada tahun 2009. Sasaran ini hendak dicapai melalui pemaduan antara kegiatan pembangunan berbasis masyarakat (CDD –Community Driven Development) dan kegiatan padat karya selama tahun 2007, kemudian berlanjut menjadi dua model pemberdayaan masyarakat (perkotaan dan pedesaan) dengan bantuan tunai bersyarat ( conditional cash transfer) terintegrasi ke dalamnya pada tahun 2008, tujuan dari PNPM-Mandiri adalah meningkatkan kesejahtraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di pedesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan . PNPM-MP dengan demikian turut serta dalam membangun modal sosial. Modal sosial ini penting bagi masyarakat desa untuk eksis dan berkembang. Morgan (2000 dalam Rustiadi dkk 2009:2) telah mencoba memperjelas antara sumberdaya modal sosial dan barang-barang modal. Menurut Morgan sumber daya modal sosial pada dasarnya merupakan suatu stok sumberdaya yang bersifat non-spesifik tetapi produkti, yang terakumulasi sebagai keterkaitan seasal (cognate) di antara anggota masyarakat atau keterkaitan tidak seasal (noncognate) di antara anggota masyarakat dan individu-individu di luar masyarakat. Metode Penelitian Penelitian model implementasi PNPM-MP di Kabupaten Banyumas ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif diyakini dapat akomodatif terhadap para peneliti dan responden yang diteliti untuk bekerjasama, saling bergantung, dan saling membantu. Pendekatan kualitatif juga lebih bisa menjelaskan, memberikan pengertian, serta menggali penyebab, alasan-alasan hingga ke akar-akarnya (Sriyuningsih 2003). Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah observasi partisipatori yakni dengan cara berdiskusi dengan orang-orang yang diteliti dan mengajak mereka ”meneliti” bersama-sama peneliti tentang implementasi Program PNPM-MP di Kabupaten Banyumas. Cara ini merupakan cara yang tepat untuk menggali, menganalisis, dan selanjutnya mengetengahkan data kualitatif yang bermutu. Permasalahan dan fokus penelitian sangat terkait, oleh karena itu permasalahan penelitian dijadikan acuan dalam penentuan fokus, maka fokus dalam penelitian ini adalah 1) faktor-faktor atau variabel yang sering muncul dalam menyumbang kegagalan atau kesuksesan program PNPM-MP di Kabupaten Banyumas; 2) model implementasi program PNPM-MP di Kabupaten Banyumas; dan 3) rekomendasi perbaikan implementasi program PNPM-MP di Kabupaten Banyumas.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi PNPM-MP di Kabupaten Banyumas. Lingkungan kebijakan yang dinamis dapat bermakna bahwa pertama, lingkungan kebijakan memiliki tingkat dinamika yang tinggi. Perubahan lingkungan kebijakan amat sulit diprediksi sehingga capaian kebijakan tidak maksimal dan berbeda-beda antar daerah. Kedua, lingkungan kebijakan memiliki tingkat diferensiasi yang tinggi. Capaian kebijakan bisa jadi berbeda-beda antar tingkat lokal meskipun pada tingkat lokal dalam lingkup yang sangat sempit. Implementasi PNPM-MP di Kabupaten Banyumas setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: kapasitas kelompok sasaran, kapasitas aparat pelaksana, kualitas komunikasi dan sosialisasi, dan monitoring. Pertama, Kapasitas kelompok sasaran Kapasitas kelompok sasaran ini menunjuk sejauh mana kelompok sasaran mampu mengelola program PNPM-MP di tingkat lokal. Kapasitas kelompok sasaran ini pun dipengaruhi oleh kepemimpinan kelompok, tingkat pendidikan dan pengalaman, budaya, dan rasionalitas kelompok sasaran. Kepemimpinan kelompok mempengaruhi kualitas implementasi PNPM-MP ini ditunjukkan dengan gaya kepemimpinan yang diperagakan oleh pimpinan kelompok sasaran. Pemimpin yang kaku cenderung tidak disukai daripada pemimpin yang demokratis dan egaliter. Pada suatu desa, anggota kelompok sasaran lebih merasa nyaman ketika program SPP- PNPM-MP ditangani oleh orang yang memiliki tingkat toleransi tinggi. Namun hal ini juga tidak berdampak baik bagi implementasi PNPM-MP itu sendiri karena pemimpin yang toleran dan demokratis menurut pandangan anggota kelompok sasaran justeru berdampak pada diabaikannya fungsi pengawasan oleh ketua kelompok kepada anggotanya. Gaya kepemimpinan kelompok sasaran yang demokratis dan toleran ini seharusnya dapat menjadi jalan yang baik guna mengarahkan anggota kelompok untuk bertanggung jawab, dan bukan sebaliknya, menjadi gaya kepemimpinan yang toleran dengan tindakan indisipliner para anak buahnya. Tingkat pendidikan dan pengalaman kelompok sasaran mempengaruhi implementasi PNPM-MP ditunjukkan dengan cenderung dipilihnya ketua-ketua yang memiliki track record bagus di masyarakat. Orangorang yang memiliki rekam jejak yang baik ini biasanya adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan di atas rata-rata dan pengalaman organisasi yang memadai. Selain hal tersebut, tingkat pendidikan yang rendah dari kelompok sasaran juga menjadi kendala proses monitoring program. Para pemimpin kelompok cenderung memberikan toleransi yang tinggi kepada anggota kelompok sasaran yang berpendidikan rendah karena takut melukai hati para anggota. Sehingga, para pemimpin kelompok cenderung memberikan toleransi yang amat tinggi kepada anggota kelompok sasaran. Budaya kelompok sasaran mempengaruhi implementasi PNPM-MP yaitu faktor nilai dan adat yang berlaku dimasyarakat dapat mempengaruhi derajat pencapaian implementasi kebijakan. Budaya kelompok sasaran ini ditunjukkan dengan betapa tingginya nilai toleransi, guyub dan gotong-royong masyarakat dalam program PNPM-MP. Masyarakat yang guyub cenderung memberikan toleransi yang tinggi ketika terdapat anggota kelompok sasaran yang tidak melakukan tugasnya secara baik. Dilain pihak, karena merasa senasib sepenanggungan (sak iyek sak eko proyo) para anggota kelompok menutupi kekurangan anggota lain dengan sumber daya bersama. Hal ini diperagakan dengan praktek tanggung renteng dalam program SPP dalam PNPM-MP. Namun yang diinginkan dari tanggung renteng ini tidaklah penuhnya berjalan dengan baik di seluruh wilayah, di satu kelompok ditemukan adanya boikot dari Ketua Kelompok UEP untuk tidak melakukan tanggung renteng karena adanya anggota yang tidak bertanggungjawab. Ketua kelompok itu menyatakan: “Kalau berbicara tanggung renteng, ternyata tidak menjadi tanggung renteng yang diharapkan, tapi akhirnya menjadi tanggung kamplek. Biasanya tanggung kaplek ke koordinator kelompok, tolong ditalangi ndhisit.”(Informan A31). Hal ini membuktikan bahwa rasionalitas kelompok sasaran memang berbeda-beda, yang satu menginginkan agar tanggung jawab pinjaman di tanggung bersama, namun di sisi yang lain, ada anggota yang “hanya” sekedar menaruh beban kepada pihak lain. Pada kelompok sasaran pun memiliki rasionalitas tersendiri untuk mensukseskan program menurut pemahaman mereka. Rasionalitas ini ditunjukkan dengan cenderung dimasukkannya orang-orang menengah ke atas pada setiap kelompok sasaran. Hal ini dikarenakan, ketakutan mereka jika seandainya ada anggota kelompok yang tidak dapat menunaikan kewajibannya akan dapat ditunaikan oleh “orang-orang kaya” dalam kelompok tersebut. Praktek seperti ini juga ditemui dalam kajian sebelumnya. Praktek ini sebenarnya secara konseptual dikenal sebagai risk transfer. Risk transfer yaitu sebuah konsep yang memandang upaya yang harus dilakukan
pebisnis/ pengusaha kala melakukan bisnisnya. Risk transfer ini pun dilakukan oleh para kelompok sasaran. Mereka mencoba eksis dengan mentransfer resiko kegagalan usaha dengan memilih rekan bisnis yang kuat secara finansial (orang kaya). Tabel 1. Tipologi Anggota Tipologi Anggota
Sebelum
Sesudah
1. Anggota berhasil
- Pekerjaan Ibu Rumah Tangga - Income rumah tangga kecil - Motivasi berkembang tinggi, namun tidak ada modal.
Memiliki usaha sendiri Income bertambah Pola pikir menjadi kreatif
2. Anggota Kurang berhasil
- Ibu rumah tangga - Income rumah tangga kecil - Tidak mempunyai motivasi untuk berkembang, namun terdorong oleh banyaknya kebutuhan.
- Ibu Rumah Tangga - Income hanya mengandalkan suami (stagnan). - Pola pikir kurang kreatif, karena uang yang dipinjam hanya untuk kegiatan konsumsi
Sumber : data primer diolah (2011)
Adapun untuk mempertajam pemahaman mengenai perilaku perempuan, peneliti membuat tipologi mengenai perilaku sebelum dan sesudah mendapatkan dana SPP PNPM-MP. Tipologinya seperti pada Tabel 1. Perbedaan diatas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara anggota yang berhasil dan kurang berhasil. Mereka yang berhasil memiliki ciri semangat yang tinggi sedangkan mereka yang kurang berhasil kurang memiliki semangat untuk berubah. Hal ini memperkuat bahwa kapasitas kelompok sasaran amat mempengaruhi keberhasilannya dalam program PNPM Mandiri Perdesaan. Kedua, Kapasitas aparat pelaksana. Kapasitas aparat pelaksana menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi PNPM Mandiri Pedesaan. Sebagian besar pegiat PNPM MD di Kabupaten Banyumas adalah mereka yang sebelumnya pernah aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Para aparat pelaksana ini memiliki kemampuan manajerial yang cukup baik. Sebagian mengaku ditunjuk berdasarkan kriteria mampu dan mau untuk memegang kendali PNPM MD di desanya. Kemampuan aparat pelaksana bukan hanya tercermin dari kemampuan manajerial, namun juga dipilih secara demokratis. Kapasitas aparat pelaksana juga menjadi amat penting saat program mengalami kendala di lapangan, misalnya saat kredit macet atau terjadi penunggakan. Beberapa orang aparat pelaksana yang memiliki kapasitas dan komitmen terhadap program melaksanakan teguran atau penagihan kepada person yang menunggak. Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa di ranah empirik terdapat juga aparat pelaksana yang enggan melakukan teguran atau penagihan karena beberapa sebab, diantaranya adalah faktor ewuh pekewuh (sungkan) atau tidak enak hati dan faktor kelompok sasaran yang memang diketahui benar-benar tidak mampu. Hal yang baik yang dapat dijadikan panutan adalah tumbuhnya nilai kepercayaan dari aparat pelaksana kepada penerima manfaat program. Tumbuhnya kepercayaan antara pelaksana dengan kelompok penerima manfaat adalah suatu modal sosial yang harus dikembangkan. Kepercayaan ini tentu saja harus diiringi dengan komitmen melakukan pendampingan dan monitoring atas usaha yang dilakukan. Ketiga, Kualitas komunikasi dan sosialisasi. Kualitas komunikasi dan sosialisasi merupakan salah satu yang mempengaruhi kinerja PNPM MD. Komunikasi yang dilakukan secara baik akan berdampak positif terhadap kinerja implementasi PNPM MD. Komunikasi yang dilakukan secara intensif dan partisipasi yang tinggi dari masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dihindarkan menjadi dua faktor penyebab kinerja tinggi pada implementasi PNPM MD di desa. Komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan di tangkap positif oleh komunitas yang memiliki tingkat partisipasi tinggi akan berdampak pada penerimaan program dan rasa memiliki dari program itu sendiri. Komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan selama ini adalah memanfaatkan media yang telah ada sebelumnya. Pertemuan di luar pertemuan rutin yang telah ada sebelumnya pun dapat dilakukan ketika
membutuhkan pertemuan khusus yang berkaitan dengan proses di PNPM MD. Bahkan secara nyata internalisasi (pelembagaan) program PNPM ini sudah nampak di desa, ini dapat dilihat bukan hanya pada pertemuan yang rutin dilakukan oleh pengurus RT, RT dan desa, namun ternyata juga sudah dapat diterima menjadi sesuatu yang dapat dimaklumi jika pertemuan dilakukan pada hajatan warga. Komunikasi yang dilakukan secara demokratis dan sesuai dengan karakteristik masyarakat pun menjadi amat penting. Hal ini dicontohkan pada program SPP. Pada program simpan pinjam (pada kelompok) perempuan di desa X disebutkan mereka bersepakat untuk menempelkan pengumuman di berbagai tempat yang berisi para orang yang menunggak (belum membayar) cicilan. Hal ini dilakukan karena hal tersebut merupakan kesepakatan. Cara yang ditempuh para pegiat PNPM MD di desa ini ternyata berhasil. Hal ini dibuktikan tidak sampai setengah hari setelah pengumuman ditempel, kebanyakan para penunggak datang untuk membayar angsuran. Mereka kebanyakan datang untuk membayar seraya berpesan untuk segera mencabut pengumuman. Pengumuman tersebut telah membuat mereka wirang (malu), apalagi jika ditempel terlalu lama. Mekanisme yang ditempuh oleh pegiat PNPM MD di desa X ini menjadi cermin bahwa perasaan malu (bagian dari kearifan lokal) dapat membantu menyukseskan program PNPM MD (yang merupakan program nasional). Karakter lokal masyarakat setempat harus benar-benar dikenali oleh para pegiat PNPM MD untuk dapat memperkuat implementasi program di ranah empirik.
Kapasitas Kelompok Sasaran
MONITORING
Kinerja Implementasi Kapasitas Aparat Pelaksana
Kualitas Komunikasi dan Sosialisasi
Gambar 1. Model Implementasi PNPM-MP di Kabupaten Banyumas. Sumber: Data Primer Diolah 2011 Keempat, Monitoring. Monitoring merupakan faktor penting yang mempengaruhi kinerja implementasi PNPM MD di Kabupaten Banyumas. Monitoring yang dilakukan selama ini seakan dilakukan setengah hati. Para program SPP dan UEP misalnya, para penerima manfaat tidak dimonitor secara periodik, sehingga menimbulkan kesan bahwa usaha produktif tidak menjadi penting, dan yang penting adalah pengembalian hutang atau pinjaman kepada TPK. Usaha produktif yang dilakukan menjadi sekedar persyaratan simbolik saat akan meminjam uang. Tidak heran jika pada salah satu FGD di Kecamatan X terdapat perdebatan sengit mengenai jumlah usaha produktif yang masih aktif. Salah satu pegiat di tingkat desa menyatakan tidak sampai 20 persen usaha produktif yang aktif, namun pegiat PNPM MD di tingkat kecamatan menyatakan bahwa ada sekitar 80 persen usaha produktif yang aktif. Terlepas dari angka ini, memang menjadi penting untuk memonitor keberlanjutan usaha produktif tersebut. Berapa alasan pentingnya dilakukan monitoring antara lain, bahwa 1) usaha produktif yang dilakukan bisa jadi hanya menjadi “akal-akalan” para anggota masyarakat untuk meminjam uang untuk usaha konsumtif; 2) uang pinjaman yang seharusnya untuk usaha produktif bisa jadi tidak sepenuhnya digunakan untuk usaha. Di ranah empirik ini diakui oleh para pegiat PNPM MD, di lapangan kisaran
penggunaan pinjaman yang tidak digunakan untuk usaha sampai 50 persen. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, sebab selama berusaha para penerima manfaat pun pada kenyataan memerlukan pemenuhan kebutuhan konsumtifnya; dan 3) banyak kelompok penerima manfaat berhenti berusaha karena ketiadaan kemampuan mengelola kegiatan usahanya. Hal ini dibuktikan dari perilaku penerima manfaat yang tidak mampu mengelola usahanya, padahal usahanya terbilang lancar. Beberapa orang pada saat FGD di Kecamatan Z, menyatakan bahwa program PNPM MD sudah bagus untuk memberikan kail bukan ikan, namun ternyata hal ini masih kurang. Hal yang kurang tersebut adalah bahwa orang-orang yang menerima kail tidak diberi pengetahuan tentang bagaimana cara mengail yang baik. Banyak orang sudah bisa berusaha (berwiraswasta) namun banyak pula yang gagal karena tidak tahu cara bagaimana mengelola usaha secara profesional. Monitoring juga menjadi penting dilakukan ketika banyak pegiat PNPM Mandiri Perdesaan yang mengeluhkan tentang keterlambatan pencairan uang dan tidak sesuainya turunnya dana dengan program yang telah dibuat (khususnya pada program pembangunan fisik. Keterlambatan pencairan dana ini bukan hanya masalah teknis tetapi dapat juga mempengaruhi substansi program. Model Implementasi PNPM-MP di Kabupaten Banyumas. Simpulan Penelitian Model Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Banyumas ini menyimpulkan bahwa implementasi PNPM Mandiri Perdesaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: karakteristik kelompok sasaran, aparat pelaksana, sosialisasi dan komunikasi serta monitoring. Penelitian Model Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Banyumas ini juga memberikan rekomendasi untuk perbaikan implementasi PNPM Mandiri Perdesaan dikemudian hari, yaitu: Pertama, Masifikasi monitoring, monitoring dalam PNPM Mandiri Perdesaan diperlukan guna memberikan support atau semangat baru dalam mengimplementasikan program dan upaya menumbuhkan motivasi kepada aparat pelaksana dan kelompok sasaran untuk dapat maju dan berkembang. Monitoring dalam kerangka pemberdayaan masyarakat jangan didudukkan sebagai person yang akan memberikan vonis kepada aparat pelaksana level bawah dan kelompok sasaran. Monitoring oleh aparat pelaksana tingkat menengah harus mendahulukan upaya-upaya memberikan semangat, motivasi dan kerangka solusi atas masalah-masalah yang dihadapi oleh para aparat pelaksana level bawah dan kelompok sasaran. Kedua, Penentuan kelompok sasaran lebih selektif, kehadiran para keluarga mampu dalam implementasi PNPM MD haruslah menjadi pioner dan motivator bangkitnya keluarga miskin dari lembah kemiskinan. Pemerintah harus melakukan upaya monitoring dan evaluasi atas kehadiran keluarga mampu dalam implementasi PNPM MD ini. Bukan pada aspek memberikan hukuman dan pengkerdilan partisipasi keluarga mampu, tetapi pada aspek memberikan porsi yang lebih dominan pada keluarga miskin. Ketiga, Berikan kelonggaran bagi kelompok sasaran yang bermasalah. Para aparat pelaksana di ranah empirik sudah mulai menumbuhkan kepercayaan kepada kelompok sasaran, bahwa kelompok sasaran adalah pihak yang dapat dipercaya untuk bangkit dari kemiskinan. Nilai ini baik dikembangkan dalam programprogram pemberdayaan masyarakat. Pemerintah di sisi yang lain harus mampu memberikan kepercayaan serupa kepada kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah kelompok miskin perdesaan, yang mereka amat minim modal dan ilmu pengetahuan tentang usaha mereka. Proses pembelajaran dalam berwirausaha, jatuh bangkit dan bisnis merupakan hal yang wajar. Pemerintah harus memberikan kelonggaran kepada kelompok sasaran untuk terus berusaha. Aspek pengguliran pinjaman adalah insentif pemerintah untuk mendukung anggota masyarakat untuk berdaya dalam usaha produktif yang dibangun secara mandiri. Pemerintah jangan langsung memvonis bahwa kegagalan seseorang dalam berbisnis (yang diukur dari kemacetan angsuran), merupakan gejala awal ketidakmampuan seseorang dalam berbisnis. Pemerintah harus berbesar hati, ada warga negara yang sedang belajar berusaha produktif secara mandiri. Pemerintah harus mau memberikan pendampingan dan bantuan kembali kepada warga negara untuk terus berusaha. Daftar Pustaka Anderson JE (1979) Public Policy-making. Holt, Rinehart and Winston: New York. Arif Saiful (ed). (2006) Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik. Malang: Averroes Press. Berita Resmi Statistik BPS No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. Chatterjee S (2005) Poverty Reduction Strategies-Lessons from the Asian and Pacific Region on Inclusive Development. Asian Development Review 22(1):12.
http://sigapbencana-bansos.info/pantauan-media/6801-pnpm-turunkan-kemiskinan.html. [Diakses 13 Maret 2011]. Indiahono D (2009) Mencari Partai Politik Ber-Platform Pembangunan Pedesaan. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 22(2):232-235. Kanbur R (2005) Growth, Inequality And Poverty: Some Hard Questions. Journal of International Affair 58(2):223. Pedoman Umum PNPM-Mandiri (2007):11 Rustiadi E, Susnun S & Dyah RP (2009) Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Smeeding TM (2005) Public Policy, Economic Inequality, and Poverty: The United States in Comparative Perspective. Social Science Quarterly 86:955. Sriyuningsih N (2003) Penelitian yang Berperspektif Gender, pada Pelatihan Metodologi Penelitian Berperspektif Gender. Lembaga Penelitian, UNSOED, Purwokerto.