JURNAL ILMIAH TANGGUNG JAWAB MEDIS TERHADAP RESIKO AKIBAT OPERASI BEDAH CAESAR
Oleh: Zaenathul Mardiani NIM D1A011360
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2015
TANGGUNG JAWAB MEDIS TERHADAP RESIKO AKIBAT OPERASI BEDAH CAESAR Zaenathul Mardiani NIM.DIA011360 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wanprestasi dalam pelayanan kesehatan khususnya dalam kasus operasi bedah Caesar, akibat hukum wanprestasi dari tindakan dokter, tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap resiko operasi bedah Caesar. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan Konseptual dan pendekatan Sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa tindakan operasi bedah Caesar oleh dokter dapat dikatakan wanprestasi sehingga akibat hukum wanprestasi dari tindakan dokter yaitu berupa penggantian biaya sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1239 KUHPerdata serta secara hukum rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit sesuai dengan Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 Tentang Rumah Sakit. Kata Kunci : Wanprestasi MEDICAL RESPONSIBILITY OF THE RISK ASSOCIATED WITH CAESAREAN ABSTRACT This research aims to find out default in health care, especially in the case of C-section, what the legal consequences of default of medical practice, and how the legal responsibility of the hospital to the risk of a caesarean. The method is an empirical legal research with statute approach, conceptual approach and sociological approach. From the research is conclude that the C-section by default so that the doctor can be said legal consequences of medical practice physicians in the form of compensation provided for in Article 1239 of the civil code and the hospital legally held responsible for any losses incurred on negligence by health workers at the hospital in accordance with Article 46 of constitution No. 44 of 2009 about the hospital. Key Word : Breach of contract
i
I.
PENDAHULUAN
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan dan kedokteran serta didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih telah membawa manfaat yang besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu contoh dari perkembangan teknologi di bidang kesehatan dan kedokteran ialah perkembangan berbagai teknik obstetric dan ginekologi dalam persalinan yakni dengan ditemukannya metode operasi bedah caesar. Operasi bedah caesar ialah proses persalinan melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu dan rahim untuk mengeluarkan bayi. Dengan
ditemukannya
operasi
bedah
caesar
ini
dapat
mempermudah proses persalinan normal yang bermasalah. Meskipun demikian, melakukan operasi bedah caesar tentu bukannya tanpa resiko. Bahkan terjadinya suatu kelalaian dan resiko dari tindakan medis semakin besar apabila tidak dilakukan secara cermat, teliti serta kehati-hatian yang tinggi. Ada satu contoh kasus yang terjadi di masyarakat pasca persalinan caesar. Peristiwa ini bermula dari seorang pasien yang mengalami pendarahan abnormal setelah enam hari melakukan operasi bedah caesar di rumah sakit X. Pada dasarnya hubungan hukum yang terjadi antara dokter dengan pasien adalah hubungan dua subjek hukum yang membentuk hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam pelayanan kesehatan. Hubungan ini disebut dengan perjanjian terapeutik. Di dalam perjanjian terapeutik maka prestasi yang harus dipenuhi ialah berbuat
ii
sesuatu secara cermat, teliti dan kehati-hatian yang tinggi dari dokter dalam melakukan tindakan medisnya. Sehingga apabila prestasi itu tidak dipenuhi maka dapat menimbulkan wanprestasi dalam pelayanan kesehatan. Hal ini memotivasi penyusun untuk melakukan penelitian terhadap apakah tindakan operasi bedah caesar yang telah dilakukan oleh dokter tersebut dapat dikatakan wanprestasi?, lalu apa akibat hukum wanprestasi dari tindakan dokter?, dan bagaimana tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap resiko operasi bedah caesar? Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum empiris yakni penelitian yang melihat hukum dalam penerapannya di dalam masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan sosiologis. Sumber data dan bahan hukum yang digunakan adalah data yang diperoleh dari lapangan berupa data primer dan data sekunder dan bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik untuk memperoleh data yaitu studi dokumen dan studi lapangan, kemudian menggunakan analisis Deskriptif Kualitatif. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk dapat mengetahui apakah tindakan dokter dapat dikatakan wanprestasi, akibat hukum wanprestasi dari tindakan dokter, dan tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap resiko operasi bedah caesar. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah manfaat teoritis yang dapat menambah literatur, refrensi, dan
iii
bahan-bahan informasi ilmiah serta pengetahuan dibidang hukum khususnya untuk memberikan deskripsi yang jelas mengenai bentuk tanggung jawab hukum terhadap resiko operasi bedah caesar. Manfaat praktisnya yakni dapat memberikan informasi melakukan operasi bedah caesar.
kepada pasien dalam
iv
II.
PEMBAHASAN
A. Wanprestasi Dalam Pelayanan Kesehatan Wanprestasi adalah suatu perbuatan seseorang yang tidak memenuhi suatu prestasi (kewajiban) didalam perjanjian yang telah kedua belah pihak sepakati. Dalam hukum perdata seseorang dianggap telah melakukan perbuatan wanprestasi atau ingkar janji apabila: 1. Tidak melakukan apa yang telah disepakati untuk dilakukan atau tidak melakukan prestasi sama sekali, 2. Melakukan prestasi tetapi sudah terlambat, tidak tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan, 3. Melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai kualitas atau kuantitas dengan yang diperjanjikan, 4. Melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukan. Dalam kaitannya dengan kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh dokter tersebut ialah unsur ketiga yakni melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya. Karena perjanjian terapeutik merupakan upaya dokter secara optimal untuk melakukan tindakan medis dalam upaya penyembuhan penyakit pasiennya. Untuk dapat melihat apakah tindakan dokter itu dapat dikatakan wanprestasi atau tidak adalah pertama, dengan melihat hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi berdasarkan kontrak terapeutik. Dengan adanya kontrak terapeutik maka pasien dapat mengajukan rekam medik atau dengan persetujuan tindakan medik yang diberikan oleh pasien. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh pasien, bahwa
v
memang benar, pasien telah melakukan hubungan kontrak terapeutik dengan dokter, serta telah mempunyai rekam medis yang bernomor 01XXX dan persetujuan tertulis yang telah disimpan di rumah sakit. Sehingga
dapat dianggap
telah terjadi perjanjian terapeutik.
Selanjutnya unsur yang kedua, harus dibuktikan dengan adanya kesalahan atau kelalaian dokter. Kesalahan dan kelalaian dokter dapat dianalisis dan dilihat dari keterangan pasien yakni pada tahap yang ke-5 yaitu dokter kurang teliti dan lalai dalam mengambil placenta yang menyebabkan sebagian placenta masih tertinggal didalam rahim sehingga yang menyebabkan terjadinya pendarahan. B. Akibat Hukum Wanprestasi dari Tindakan Dokter Akibat hukum wanprestasi bagi dokter itu sendiri ialah penggantian biaya-biaya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata yaitu tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Selain itu di dalam Pasal 1246 KUHPerdata menerangkan bahwa biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya tanpa mengurangi pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini. Wujud kerugian akibat wanprestasi (malpraktik kedokteran) hanya berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai uang,
vi
terutama biaya perawatan, biaya perjalanan, dan biaya obat-obatan (pengobatan). Kerugian-kerugian ini dapat dituntut oleh pasien atau ahli waris kepada dokter atau rumah sakit yang melakukan perawatan.1 Wujud
ganti
kerugian
itu
sendiri
bertujuan
untuk
memperbaiki keadaan dan sebagian besar berupa sejumlah uang. Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
pasien,
biaya
operasi
pengangkatan rahim pasca persalinan Caesar, biaya perawatan dan biaya obat-obatan semuanya ditanggung oleh pasien. Sehingga dalam hal ini tidak ada wujud ganti kerugian yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien.2 Ukuran cermat dan baik dalam pelayanan medis dokter adalah standar profesi medis dan standar prosedur operasional, termasuk kebiasaan umum yang wajar dari sudut disiplin ilmu kedokteran. Sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara benar dan patut menurut standar profesi, standar prosedur operasional maka meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan tidak melahirkan malpraktik kedokteran dari sudut hukum. Namun apabila setelah perlakuan medis terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan atau bisa jadi lebih parah sifat penyakitnya karena perlakuan medis dokter yang menyalahi standar
53 2015
1
Adam Chazawi, malpraktik kedokteran, Cet.1, Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm.
2
Hasil wawancara dengan Ibu Nina, pasien operasi bedah Caesar pada tanggal 7 Januari
vii
profesi atau standar prosedur maka dokter dapat dianggap melakukan malpraktik kedokteran. 3 Di dalam penjelasan Pasal 50 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran: Standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Sedangkan standar operasional prosedur adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi. Jadi, dengan dipenuhinya standar profesi dan standar prosedur operasional dalam melaksanakan tindakan medisnya, seorang dokter atau dokter gigi serta tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat terhindar dari kasus dugaan malpraktik yang dituntut oleh pasien. C. Tanggung Jawab Medis Terhadap Resiko Akibat Operasi Bedah Caesar Dengan timbulnya akibat hukum kerugian perdata maka terbentuklah pertanggung jawaban hukum perdata bagi dokter
3
Adam Chazawi, Op.cit., hlm. 51
viii
terhadap kerugian yang timbul. Hubungan hukum dokter dengan pasien dalam pelayanan kesehatan disebut dengan perjanjian terapeutik. Perjanjian ini lahir karena adanya kesepakatan dan persetujuan yang diberikan oleh pasien dengan suatu persetujuan baik lisan ataupun tertulis yang disebut informed consent. Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 Tentang Rumah Sakit menerangkan bahwa secara hukum, rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Menurut Guwandi, dalam buku Hukum Kesehatan, suatu rumah sakit mempunyai empat bidang tanggung jawab, yaitu: Tanggung jawab terhadap personalia hal ini berdasarkan hubungan “majikan-karyawan”. Hubungan ini, dahulu berlaku universal dan Negara kita sampai kini masih berlaku berdasarkan KUHPerdata Pasal 1366 jo 1365 jo 1367. Di dalam tanggung jawab ini termasuk seluruh karyawan yang bekerja di rumah sakit, Tanggung jawab terhadap professional mutu pengobatan atau perawatan hal ini berarti bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan, baik oleh dokter maupun oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi. Dengan demikian, maka secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab apabila ada pemberian pelayanan “cure and care” yang tidak lazim atau dibawah standar. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan Dalam bidang tanggung jawab ini
ix
termasuk peralatan dasar perhotelan, perumahsakitan, peralatan medis, dan lain-lain. Yang paling penting adalah bahwa peralatan tersebut selalu harus berada di dalam keadaan aman dan siap pakai pada setiap saat. Tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya misalnya, bangunan roboh, genteng jatuh sampai mencederai orang, lantainya licin sehingga sampai ada pengunjung yang jatuh dan menderita fraktur, dan lain-lain. Di Indonesia diatur dalam KUHPerdata Pasal 1369 yaitu tanggung jawab pemilik terhadap gedung.4 Tanggung jawab profesi kedokteran dapat dikategorikan menjadi dua hal, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum. Tanggung jawab hukum ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tanggung jawab berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hal ini penyusun memfokuskan berdasarkan hukum perdata. Pada dasarnya tanggung jawab hukum perdata timbul karena adanya hubungan hukum yang terjadi antara dokter dengan pasien yang disebut dengan perjanjian terapeutik. Kemudian, setelah perjanjian dilakukan secara benar dan sah, maka timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak atas pemenuhan
perjanjian
dimaksud.
Gugatan
untuk
meminta
pertanggung jawaban dokter bersumber pada dua sumber hukum, yaitu berdasarkan wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 4
J. Guwandi dalam Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Cet.1, Nuha Medika, Yogyakarta, 2014, hlm. 231
x
KUHPerdata dan berdasarkan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam hal ini berkaitan dengan tanggung jawab medis terhadap resiko operasi bedah Caesar. Terkait dengan resiko operasi bedah Caesar berarti kita berbicara mengenai resiko dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Setiap tindakan medik, sekecil apapun tindakan medik itu selalu menimbulkan resiko yang kadangkadang tidak dapat diprediksi sedikitpun. Disini sangat diperlukan penjelasan-penjelasan tentang kemungkinan-kemungkinan atau resiko yang akan terjadi apabila dokter melakukan tindakan medisnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 52 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, yang mengharuskan setiap tindakan kedokteran harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarganya dan penjelasan lengkap tentang tindakan medisnya. Apabila dokter atau dokter gigi telah berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan medis tetap juga terjadi. Dengan demikian kecelakaan medis atau resiko medis ini tidak dapat dipertanggung jawabkan atas akibat yang tidak dikehendaki dalam melakukan pelayanan medis.
xi
III.
PENUTUP
Tindakan operasi bedah Caesar yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dapat dikatakan wanprestasi, hal ini didasari atas keterangan yang diberikan pasien yaitu dokter kurang teliti, kurang hatihati pada saat melakukan tindakan operasi bedah Caesar. Yang disebabkan karena pada saat dokter mengambil placenta, serta mengangkat dan membersihkan placenta yang diambil dari dalam rahim tidak secara teliti dan hati-hati
sehingga sebagian placenta masih
tertinggal di dalam rahim yang menyebabkan terjadinya pendarahan. Akibat hukum wanprestasi dari tindakan medis dokter yaitu penggantian biaya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata yaitu setiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Wujud kerugian akibat wanprestasi hanya berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan, dan biaya pengobatan. Wujud kerugian dalam wanprestasi pelayanan dokter harus benar-benar akibat dari perlakuan medis yang menyalahi standar profesi dan standar prosedur operasional. Dengan timbulnya akibat hukum kerugian yang diterima oleh pasien akibat dari tindakan medis yang dianggap tidak memenuhi standar profesi dan standar prosedur operasional maka terbentuklah suatu tanggung jawab yang harus diberikan oleh dokter, tenaga kesehatan ataupun rumah sakit. Secara
xii
hukum, rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Di dalam hukum perdata tanggung jawab medis terdiri dari pertanggung jawaban karena wanprestasi dan pertanggungjawaban karena perbuatan melawan hukum. Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan timbul karena tindakan seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Sedangkan perbuatan melawan hukum bertumpu pada tiga asas dalam Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata. Setiap dokter dalam melakukan tindakan mediknya harus memperhatikan kewajiban serta melakukannya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasionalnya serta diiringi dengan sikap ketelitian, kehati-hatian serta kecermatan yang tinggi sehingga dengan begitu dokter dapat memenuhi kewajibannya dengan baik sehingga dapat memperkecil baik kesalahan maupun resiko yang akan terjadi terhadap pasien setelah tindakan medik itu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Buku: Amiruddin; Asikin Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012 Atmasasmita Romli, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH, Jakarta, 1989 Chazawi Adami, malpraktik Kedokteran, Bayumedia Publishing, Malang, 2007 Bratasasmita Ningrum, Hamil Sehat dan Menyenangkan, Grafindo Litera Media, Yogyakarta, 2012 Indiarti M.T, Cesar Kenapa Tidak? Cara Aman Menyambut Kelahiran Buah Hati Anda, elMSTERA Publishing, Yogyakarta, 2007 Machmud Syahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, CV Mandar Maju, Bandung, 2008 Fuady Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010 Nasution Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2013 Safitri Haryani, Sengketa Medik Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di luar KUHPerdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 Triwibowo Cecep, Etika dan Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, 2014
2.
Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik
Kedokteran. Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Indonesia , Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit . Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
tentang
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran. Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010
tentang
Kedokteran. Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum perdata
Standar
Pelayanan