Halaman Analisis Pemanfaatan Data CMORPH-IRI untuk Estimasi Curah Hujan Wilayah di Palangka Raya, Kalimantan Tengah dan Pekanbaru, Riau Indah Prasasti dan Suciantini ....................................................................................................................................
1
Pengaruh Kerapatan Akar, Pupuk dan Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2 dari Tanah Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit Setiari Marwanto, Supiandi Sabiham, Untung Sudadi, dan Fahmuddin Agus .........................................
9
Pengaruh Ameliorasi Tanah Rawa Pasang Surut untuk Meningkatkan Produksi Padi Sawah dan Kandungan Besi dalam Beras Subowo, N. Putu Sri Ratmini, R. Purnamayani, dan Yustisia ..........................................................................
19
Status Natrium pada Tanah Tercemar Limbah lndustri Tekstil di Rancaekek, Kabupaten Bandung Muhamad Djuwansah ...................................................................................................................................................
25
Pencemaran Nitrat pada Air Sungai Sub DAS Klakah, DAS Serayu di Sistem Pertanian Sayuran Dataran Tinggi Mas Teddy Sutriadi dan Sukristiyonubowo ...........................................................................................................
35
Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Berbagai Kandungan Kimia Air secara Spasial dan Temporal di dalam Daerah Aliran Sungai Nani Heryani, Hidayat Pawitan, M. Yanuar J. Purwanto, dan Kasdi Subagyono ....................................
45
Karakteristik Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu di Kecamatan Kunduran, Blora, Jawa Tengah Sofyan Ritung dan Erna Suryani ..............................................................................................................................
57
JTI
Vol. 37
No. 1
Hal 1-68
Bogor, Juli 2013
ISSN 1410-7244
ISSN 1410-7244
Jurnal TANAH dan IKLIM Indonesian Soil and Climate Journal Volume 37 Nomor 1, Juli 2013 Terakreditasi LIPI, No. 471/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 Ketua pengarah: Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Ketua penyunting: Dr. Yiyi Sulaeman Anggota penyunting: Prof. Dr. Fahmuddin Agus Dr. Budi Kartiwa Dr. Markus Anda Dr. Edi Husen Dr. Dedi Nursyamsi Dr. Rizatus Shofiyati Penyunting pelaksana: Drs. Widhya Adhy Wahid Noegroho Mitra Bestari: Prof. Dr. Budiman Minasny (Soil Mapping/Pedometrik, The University of Sidney, Australia) Prof. Shamshuddin Jusop (Soil Genesis and Mineralogy, UPM, Malaysia) Prof. Dr. Budi Indra Setyawan (Hidrologi & Fisika Tanah, IPB) Prof. Dr. Abdu Hadi (Mikrobiologi/Unlam) Prof. Dr. Azwar Maas (Pedology, UGM) Prof. Dr. Antonius Suwanto (Mikrobiologi/Bioteknologi, IPB) Prof. Dr. Aris Poniman (Geo Informasi Spasial & Inderaja, BIG) Dr. M. Rokhis Khomaruddin (Inderaja, LAPAN) Dr. Ali Jamil (Kimia dan Kesuburan Tanah, Badan Litbang Pertanian) Dr. Ai Dariah (Konservasi Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian) Dr. Eleonora Runtunuwu (Agroklimatologi, Badan Litbang Pertanian) Dr. Fadjry Djufry (Agroklimatologi/Crop modeling, Badan Litbang Pertanian) Dr. Ladiyani Retno Widowati (Kesuburan Tanah, Badan Litbang Pertanian) Dr. D. Subardja (Genesis & Klasifikasi Tanah, Badan Litbang Pertanian) Dr. Sukarman (Pemetaan Tanah, Badan Litbang Pertanian) Penerbit: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Alamat Redaksi: Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114 Telp. (0251) 8323012 Fax. (0251) 8311256 Email:
[email protected] http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id Frekuensi terbit: Dua kali per tahun (Juli dan Desember)
Pengantar Pembaca yang budiman, tampilan Jurnal Tanah dan Iklim mulai Volume 37 Nomor 1 Tahun 2013 ini mengalami sedikit pembaharuan baik pada disain sampul, penomoran maupun pada isi jurnal. Pembaruan ini selain untuk menambah daya tarik jurnal, juga diharapkan memberi kenyamanan bagi pembaca dengan pemilihan huruf yang tepat dan sesuai. Jurnal Tanah dan Iklim Volume 37 Nomor 1 Tahun 2013 ini menyajikan tulisan yang membahas aspek analisis pemanfaatan data CMORPH-IRI untuk estimasi curah hujan; kombinasi pengaruh kerapatan akar, pupuk, dan variasi kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2; ameliorasi tanah rawa pasang surut untuk meningkatkan produksi padi; status natrium pada tanah tercemar limbah industri tekstil; pencemaran nitrat pada air sungai Sub DAS Klakah; dinamika aliran bawah permukaan pada berbagai kandungan kimia air; dan karakteristik tanah dan kesesuaian lahan tanaman tebu di Blora. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu dan teknologi di bidang ilmu tanah dan iklim. Redaksi juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para pakar (Mitra Bestari) yang telah meluangkan waktunya untuk menilai artikel yang dimuat pada edisi ini. Redaksi mengundang para praktisi, akademisi, dan peneliti di bidang ilmu tanah dan iklim untuk mempublikasikan hasil penelitiannya maupun ideide atau gagasan baru yang orisinil. Kontribusi dari para pembaca dengan mengirimkan tulisan, saran dan komentar sangat diharapkan. Sebagai media komunikasi ilmiah dalam bidang ilmu tanah dan iklim, jurnal ini berperan dalam menyebarluaskan berbagai hasil penelitian guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya sumberdaya lahan bagi keberlanjutan produktivitas tanah dan tanaman. Akhir kata, redaksi berharap semoga artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal ini memberi inspirasi bagi para pembaca untuk berperan aktif dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi terutama di bidang ilmu tanah dan iklim. Bogor, Juli 2013
Redaksi
PETUNJUK BAGI PENULIS KETENTUAN UMUM
Makalah lebih disukai apabila dikirim secara online. Penulis dapat memengirimkannya melalui alamat website:
Jurnal ini mempublikasikan makalah-makalah penelitian dengan topik-topik penelitian terbaru dan makalah tersebut belum pernah dipublikasikan di jurnal ilmiah lainnya. Jurnal ini selalu mempertahankan standar mutu dan penelaahan (reviewing) yang ketat.
http://124.81.86.163/ojs/index.php/jti/user
RUANG LINGKUP
Judul harus jelas, faktual, informatif dan terdiri atas maksimum 15 kata. Nama lengkap penulis ditulis di bawah judul yang dilengkapi dengan alamat penulis.
Jurnal ini menerima makalah-makalah dari berbagai sumber jika memberikan kontribusi yang orisinal terhadap pemahaman teoritis dan percobaan, serta aplikasi dari teori dan metodologi dari berbagai aspek ilmu tanah dan ilmu iklim pertanian di Indonesia. Jurnal dipublikasikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dua kali dalam satu tahun. PENGIRIMAN MAKALAH Makalah diketik pada kertas ukuran A4 dengan spasi ganda dan pias atas, bawah, kiri, kanan 3 cm, dengan maksimum 20 halaman. Font menggunakan Time New Roman 12pt dalam format MS Word. Makalah harus diberi nomor baris. Tabel dan gambar harus dipisahkan dari tubuh tulisan dan diletakan setelah daftar pustaka. Lokasi tabel dan gambar harus ditandai di dalam tubuh tulisan. Untuk pengiriman, makalah harus disusun dalam urutan sebagai berikut: 1. Surat pengantar ke Editor 2. Abstrak (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) 3. Tubuh tulisan a. Pendahuluan b. Bahan dan metode c. Hasil dan Pembahasan d. Kesimpulan e. Ucapan terima kasih (jika ada) f. Daftar pustaka g. Tabel dengan nomor tabel h. Gambar dengan nomor gambar i. Daftar judul tabel j. Daftar judul gambar 4. Lampiran (jika ada)
Untuk pengiriman makalah secara online, penulis mendaftar ke sistem yang dipandu secara online. PENYIAPAN MAKALAH
Abstrak meringkaskan penelitian dalam satu paragraf dan ditulis tidak lebih dari 250 kata. Abstrak menguraikan secara singkat masalah yang dikaji, cakupan penelitian, mengindikasikan data yang penting untuk ditampilkan, dan menyajikan penemuan utama dan kesimpulan. Makalah terdiri atas Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, dan Daftar Pustaka. Ucapan terima kasih dan Lampiran boleh ditambahkan jika perlu. Pendahuluan meletakan penelitian dalam persfektif penulis, mengulas literatur secara singkat, dan menyatakan secara jelas tujuan dan arti penting dari penelitian. Detil yang cukup disajikan dalam Bahan dan Metode agar peneliti lain dapat menilai penelitian dan menduplikasi prosedur. Gambar dan tabel disajikan di bagian Hasil dan Pembahasan yang menguraikan hasil dalam hubungannya dengan tujuan dan hasil penelitian lainnya. Kesimpulan ditarik sesuai dengan judul, tujuan dan pembahasan hasil. Ucapan terima kasih disajikan secara singkat (kurang dari 40 kata) Penyitiran dalam teks menggunakan sistem namatahun dalam dua bentuk, yaitu Subandi (1990) atau (Subandi 1990). Jika lebih dari satu sitiran, sitiran harus disebutkan bersamaan dan ditulis dalam urutan tanggal; contohnya, (Partohardjono and Adiningsih 1991; Widjaja-Adhi 1995; Muljadi 1997). Jika lebih dari dua penulis, ditulis nama pertama dan diikuti et al. Singkatan et al. TIDAK PERNAH digunakan dalam Daftar pustaka. Semua sitiran/acuan harus disajikan dalam Daftar Pustaka. Daftar Pustaka disusun menurut urutan alfabetis. Masing-masing pustaka yang disitir adlah yang tercantum dalam teks. Format pembuatan pustaka adalah sebagai berikut:
Makalah beserta kelengkapannya dikirimkan ke alamat berikut:
Artikel Jurnal
Dewan Redaksi Jurnal Tanah dan Iklim Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Tentara Pelajar 12, Cimanggu, Bogor, Indonesia Email:
[email protected]
Akhter, M. and C.H. Sneller. 1996. Yield and yield components of early maturing soybean genotypes in the mid-south. Crop Sci. 36: 877882.
69
Buku Bosc, A.N., S.N. Ghosh, C.T. Yang, and A. Mitra. 1991. Coastal Aquaculture Engineering. Oxford and IBH Pub. Co. Prt. Ltd., New Delhi. 365 pp. Artikel di Buku/Bab Powers, D.A. and P.M. Schulte.1996. A molecular approach to selectionist/neutralist controversy. p. 327-352. In J.D. Ferraris and S.R. Palumbi (Eds.) Molecular Zoology: Advances, Strategies, and Protocols. Wiley-Liss, Inc., Wilmington, Delaware (DE). Disertasi/tesis Simpson, B.K. 1984. Isolation, Characterization, and Some Application of Tripsin from Greenland Cod (Gadus morhua). PhD Thesis. Memorial University of Newfoundland, St. John's, Newfoundland, Canada. 179pp. Prosiding Konferensi Tangendjaja, B. and E. Wina. 2000. Tannins and ruminant production in Indonesia. p. 40-43. In J.D. Brooker (Ed.) Tannins in Livestock and Human Nutrition. Proceedings of an International Workshop, Adelaide, Australia, 31 May-2 June, 1999. ACIAR Proceedings no. 92. Artikel Konfrensi Chin, L.J., L.M. Tan, and K. Wegleitner. 2007. Occurrence of mycotoxins in feed samples from Asia. A continuation of the Bromin mycotoxin survey program. Paper presented in 15th Annual ASA-IM Southeast Asian Feed Technology and Nutrition Workshop, 27-30 May 2007, Bali-Indonesia. Artikel penelitian (working paper)/laporan/artikel kerja Hanya artikel yang merupakan bagian dari serial publikasi oleh institusi yang dikelompokan sebagai artikel penelitian (Working Paper). Ini harus mencantumkan nomor artikel penelitian yang diberikan oleh institusi. Contoh: Heidhues, P. and B. Kassogi. 2005. The Impact of Consumer Loss Aversion on Pricing. Centre for Economic Policy Research Discussion Paper 4849. Artikel online Hawk, A. 2004. Mycotoxins. Proc. Grain Elevator and Processing Society (GEAPS). http://www.geaps. com/ proceedings/2004/Hawk.ctm. (1 July 2008).
70
Korespondensi pribadi tidah disebutkan dalam Daftar Pustaka tetapi dapat disitir dalam teks secara langsung: (Z.Harahap, pers. com.). Tulisan yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum dipublikasikan dapat disitir sebagai 'in press' dalam Daftar Pustaka, dan harus disertai dengan nama jurnal. Contoh: Husen, E., A.T. Wahyudi, A. Suwanto, and R. Saraswati.2008. Prospectif use of ACC deaminase-producing bacteria for plant growth promotion and defence againstbiotic and abiotic stresses in peat-soil-agriculture. Microbiol. Indones. (in press). Satuan Pengukuran menggunakan sistem SI untuk semua jenis pengukuran. Tabel harus diketik dengan spasi ganda, dinomori secara berurut, mempunyai judul yang singkat, dan diacu dalam teks. Garis vertikal tidak diperbolehkan. Catatan kaki menggunakan nomor dengan superscript. Ilustrasi: gambar garis dibuat menggunakan tinta hitam pada kertas putih. Semua gambar disesuaikan dengan ukuran jurnal dan proporsional tanpa kehilangan detil. Gambar yang dibuat dengan microsoft office dapat dikirim dalam file utuh atau yang sudah dikonversi ke dalam bentuk file .tif. Setiap gambar diberi judul, diikuti oleh deskripsi singkat. Simbol-simbol singkatan yang terdapat dalam gambar harus dilengkapi dengan penjelasan. Setiap gambar dinamai dengan nama penulis, judul tulisan, dan nomor gambar. Foto yang dikirimkan harus memiliki kualitas baik dengan tingkat ketajaman yang cukup. KOMENTAR EDITOR Semua makalah yang dikirimkan ke Jurnal Tanah dan Iklim dinilai (di-review) oleh Dewan Editor yang terdiri atas Penyunting dan Mitra Bestari yang bertindak sebagai wasit sesuai dengan topik dan cakupan keahlian masing-masing. Para wasit akan menilai apakah makalah yang dikirimkan memberikan kontribusi yang nyata pada Ilmu Tanah dan Ilmu Iklim Pertanian di Indonesia, orisinal, dan hasil penelitian sah dan nyata. Penolakan makalah oleh Dewan Editor bersifat final.
Analisis Pemanfaatan Data CMORPH-IRI untuk Estimasi Curah Hujan Wilayah di Palangka Raya, Kalimantan Tengah dan Pekanbaru, Riau Application of CMORPH-IRI Data Analysis for Rainfall Estimation on Palangka Raya, Central Kalimantan and Pekanbaru, Riau 1Indah
Prasasti* dan 2Suciantini
1
Peneliti pada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jalan Kalisari No. 8, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur
2
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16114
INFORMASI ARTIKEL
Riwayat artikel: Diterima: 28 Desember 2012 Disetujui: 7 Juni 2013
Kata kunci: Curah hujan CMORPH-IRI Validasi silang Analisis regresi Keywords: Rainfall CMORPH-IRI Cross-validation Regression analysis
Abstrak. Ketersediaan data curah hujan observasi permukaan seringkali menjadi pembatas dalam pengembangan model, pemantauan dan kajian iklim.Oleh sebab itu, pemanfaatan data satelit menjadi salah satu alternatif solusi yang perlu dikembangkan, seperti pemanfaatan data CMORPH-IRI.Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi pemanfaatan data curah hujan CMORPH-IRI dan mendapatkan model estimasi curah hujan dari data CMORPH-IRI di wilayah Pekanbaru, Riau dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Analisis dilakukan menggunakan analisis regresi, sedangkan validasi model dengan teknik validasi silang. Keterandalan model dinilai dari nilai korelasi (r) dan RMSEP antara nilai dugaan model terhadap nilai observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data CMORPH-IRI mempunyai potensi cukup baik sebagai penduga curah hujan dengan nilai korelasi baik (r > 0,5), kecuali untuk musim hujan di Palangka Raya, dengan RMSE berkisar antara 36,4-58,4 mm. Model dugaan di masing-masing wilayah penelitian adalah sebagai berikut: Palangka Raya: Musim Kemarau: y = 0,003(CH MK)2 + 0,301(CH MK)(R2 = 54,2%); Musim Hujan: y = 0,824(CH MH) (R 2 = 20,8%), sedangkan untuk Pekanbaru: Musim Kemarau: y = 0,867(CH MK) (R2 = 26,2%); Musim Hujan: y = 0,984(CH MH) (R2 = 37,9%). Hasil validasi silang menunjukkan model tidak konsisten antar tahun akibat adanya keragaman curah hujan yang tinggi. Abstract. Availability of rainfall data from surface observation is one of the limiting factors for model development, monitoring and studyof climate. Therefore, the application of satellite data is an important alternative to be developed, such as the application of CMORPH-IRI data. The objectives of this research were to analyze the potential application of CMORPH-IRI rainfall data and obtain the estimation model using data CMORPH-IRI in Pekanbaru, Riau and Palangkaraya, Central Kalimantan. Analysis was done using regression analysis, while the validation of the model was based on cross-validation techniques. Reliability of the model was based on the correlation coefficient and RMSEP value.The results showed that the CMORPH-IRI data has good potential to be developed as a predictor of rainfall and good correlation coefficient (r > 0.5), except for rainy season in Palangkaraya (r=0.47). RMSEP value ranged from 36.4 to 58.4 mm. The model of rainfall estimation in Palangkaraya was y = 0.003(CH-MK) 2+0.301(CH-MK) (R2=54.2%) andy = 0.824(CH-MH) (R2=20.8%)for dry and rainy seasons, respectively, while in Pekanbaru was y = 0.867(CH-MK) (R2=26.2%) and y = 0.984(CH-MH) (R2=37.9%)for dry and rainy seasons, respectively. Cross validation results indicate that the model was not consistent between years due to high rainfall variability.
Pendahuluan Di antara unsur iklim yang lain, curah hujan merupakan unsur yang sangat penting. Data curah hujan banyak dimanfaatkan dalam pengembangan model, pemantauan dan kajian iklim terutama terkait dengan * Corresponding author : Indah Prasasti, email :
[email protected]
ISSN 1410-7244
adanya isu perubahan iklim dewasa ini. Namun dalam banyak kasus, ketersediaan data seringkali menjadi faktor pembatas. Ketersediaan data iklim, khususnya curah hujan sangat bergantung pada stasiun pengamatan. Namun, jaringan stasiun pengamatan di Indonesia masih belum mencakup seluruh wilayah. Selain itu, pengumpulan informasi ke pusat yang berjalan lambat, jumlah stasiun hujan dan tenaga ahli yang masih sangat kurang menjadi faktor 1
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
pendukung keterbatasan data. Permasalahan utama lainnya yang dihadapi adalah format dan struktur data yang belum standar, sehingga sulit untuk dapat langsung digunakan dalam penelitian. Keadaan ini akan menyebabkan terbatasnya ketersediaan data untuk berbagai aplikasi penggunaan. Pendugaan curah hujan menggunakan data satelit dapat menjadi salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut. Kebutuhan terhadap ketersediaan data dan informasi yang aktual dan cepat untuk beberapa waktu ke depan telah mendorong berkembangnya model prediksi, baik yang berbasis statistik maupun stokastik. Berbagai jenis data curah hujan estimasi dan parameter iklim lainnya dari data satelit telah dikeluarkan oleh NOAA dengan tingkat keakuratan yang relatif cukup baik. Hal ini membuat penggunaan data estimasi curah hujan yang berasal dari satelit geostationary menjadi alternatif utama bagi peneliti dalam dan luar negeri untuk melakukan kajian iklim. Sebagai contoh, pemanfaatan data CMORPH untuk estimasi curah hujan permukaan diharapkan dapat menjadi jalan keluar dalam masalah ketersediaan data iklim. CMORPH (CPC MORPHing technique) merupakan salah satu teknik estimasi hujan dengan resolusi temporal yang tinggi. Teknik ini berusaha menggabungkan antara hujan estimasi yang dihasilkan oleh passive microwave dan pergerakan awan dari satelit geostationary yang berasal dari infrared 10,7 µm saat ketinggian awan 4 m (Joyce et al. 2004). Menurut Janowiak (2007), TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) TMI (TRMM Microwave Image) yang digunakan CMORPH untuk estimasi penyebaran hujan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam estimasi hujan dengan tingkat kesalahan kecil. IRI (International Research Institute) mempublikasi data curah hujan dasarian wilayah (Provinsi dan atau Kabupaten) di Indonesia yang dibangun dari data CMORPH dalam situs http://iridl.ldeo.columbia.edu/ maproom/.Fire/, selanjutnya dalam penelitian ini data CMORPH ini disebut dengan data CMORPH-IRI. Data ini tersedia mulai Desember 2002 hingga sekarang dan bisa diakses secara gratis. Selain gratis, cara perolehannya pun relatif mudah. Namun dalam pemanfaatannya perlu penyesuaian dan faktor koreksi untuk masing-masing wilayah. Data CMORPH-IRI ini belum banyak dimanfaatkan sebagai alternatif sumber data curah hujan dalam penelitian. Tulisan ini menganalisis potensi pemanfaatan data curah hujan CMORPH-IRI dan mendapatkan model estimasi curah hujan dari data CMORPH-IRI di wilayah Palangka Raya, Kalimantan Tengah dan Pekanbaru, Riau.
2
Bahan dan Metode Bahan dan Alat Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan CMORPH wilayah kabupaten yang diperoleh dari IRI melalui situs http://iridl.ldeo. columbia. edu/maproom/.Fire/. Data sekunder sebagai pembanding yang digunakan adalah data curah hujan observasi dari dua stasiun pengukuran, yakni: Pekanbaru dan Palangka Raya. Data yang dianalisis adalah data tahun 2003-2009. Data curah hujan observasi diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta. Posisi lokasi masing-masing stasiun pengukuran hujan disajikan pada Tabel 1. Alat yang digunakan untuk proses pengolahan data adalah komputer dengan perangkat lunak Microsoft Excell dan Minitab 14. Tabel 1. Lokasi stasiun hujan yang dikaji Table 1. Rainfall station locations were examined Stasiun Pekanbaru Palangka Raya
Posisi Bujur
Lintang
101o 26’ BT 113o 57’ BT
00o 28’ LU 02o14’ LS
Ketinggian m 31 27
Metode Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Ekstraksi data curah hujan dasarian CMORPH-IRI wilayah penelitian melalui situs http://iridl. ldeo.columbia.edu/maproom/.Fire/. Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan data curah hujan dasarian wilayah penelitian; 2) Memplotkan kedua jenis data dalam sebuah grafik. Tahapan ini dilakukan untuk menilai apakah curah hujan CMORPH mampu mengikuti perubahan curah hujan observasi; 3) Menguji korelasi antara kedua jenis data. Tahapan ini ditujukan untuk menilai seberapa kuat hubungan antara data CMORPH dengan data observasi. Semakin baik hubungan antara kedua data, maka potensi data CMORPH semakin baik digunakan untuk menduga curah hujan; 4) Menguji dua persamaan regresi untuk menilai perlu atau tidaknya dilakukan pemisahan antara model estimasi pada musim hujan (MH) dengan musim kemarau (MK) dengan menggunakan uji Z. Tujuan ini dicapai melalui uji dua regresi dengan membangun persamaan regresi sederhana untuk MK dan MH dan mengganggap intersep = 0 sehingga persamaannya menjadi Y = bx. Uji dua regesi dilakukan dengan persamaan: z=
.......................................................... (2-1)
Indah Prasasti dan Suciantini : Analisis Pemanfaatan Data CMORPH-IRI untuk Estimasi Curah Hujan
dengan b1 adalah slope persamaan 1 (musim hujan), b2 adalah slope persamaan 2 (musim kemarau), sb1 adalah SE Coef b1, dan sb2 = SE Coef b2. Jika z < taraf nyata berarti kedua persamaan tidak berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan pemisahan antara musim hujan dan musim kemarau, dan sebaliknya. Taraf nyata yang digunakan pada penelitian ini adalah 5%; 5) Analisis regresi untuk mendapatkan model estimasi curah hujan. Untuk tujuan analisis ini dilakukan plotting kedua data dalam grafik scatter diagram (diagram pencar) guna membangkitkan model yang sesuai (linier ataukah non linier). Model persamaan penduganya dapat berupa persamaan linier atau non-linier (polinomia, eksponensial, logaritmik); 6) Validasi model. Validasi ini dilakukan dengan teknik validasi silang untuk mengukur keterandalan model. Tingkat keterandalan model ditinjau dari nilai RMSEP (Root Mean Square Error Prediction) dan korelasi (r) antara nilai dugaan model dengan nilai observasi. RMSEP menunjukkan tingkat bias pendugaan yang dilakukan oleh model pendugaan. Nilai RMSEP dihitung berdasarkan rumus:
Hasil dan Pembahasan Analisis hubungan curah hujan CMORPH-IRI dilakukan terhadap data curah hujan di Palangka Raya dan Pekanbaru menggunakan data tahun 2003-2009. Model dibangkitkan berdasarkan data dasarian (10 harian). Penggunaan data dasarian dimaksudkan untuk mereduksi keragaman (fluktuasi) yang sangat besar pada data harian. Berdasarkan pola curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 2003-2009 hasil observasi BMKG di Palangka Raya dan Pekanbaru terlihat bahwa tinggi curah hujan rata-rata bulanan di Palangka Raya pada musim kemarau dan hujan sangat jelas perbedaannya, sedangkan di Pekanbaru tampak tidak memiliki perbedaan yang jelas antara MH dengan MK (Gambar 1). Di Palangka Raya, MK berlangsung dari bulan Mei-Oktober, sedangkan MH dari bulan November-April. Sementara itu menurut BMKG, MK di Pekanbaru berlangsung dari bulan April sampai September dan MH dari bulan Oktober hingga Maret (Gambar 1).
................................... (2-2)
dengan n adalah banyaknya data, Xobi dan Xdgi berturutturut adalah nilai observasi dan nilai dugaan ke-i. Korelasi antara nilai prediksi (dugaan) (Xdg) dengan nilai observasi (Xob) dihitung berdasarkan: ......... (2-3)
Semakin kecil nilai RMSEP dan semakin besar nilai korelasi (r) antara nilai dugaan dengan nilai observasi, maka model semakin baik dan andal. Selain itu, penilaian akurasi hasil dugaan model terhadap nilai observasi dilakukan berdasarkan koefisien efisiensi (Nash-Sutcliffe, 1970) yang dihitung menggunakan persamaan berikut: ............................................. (2-4)
Dengan CE adalah koefisien effisiensi, observasi ke-t,
adalah nilai
adalah nilai dugaan model ke-t, dan
adalah nilai rata-rata observasi. Nilai CE adalah <= 1. Nilai koefisien efisiensi 1 (CE = 1) menunjukkan hasil simulasi sempurna atau dengan kata lain model memiliki tingkat kemiripan 100% dengan observasi. Nilai CE yang semakin kecil dari 1 menunjukkan penurunan tingkat akurasi model. Nilai CE negatif menunjukkan model tidak layak untuk diaplikasikan. Nilai koefisien efisiensi dengan demikian dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat akurasi luaran suatu model secara kuantitatif.
Gambar 1. Pola curah hujan di Pekanbaru dan Palangka Raya Figure 1.
Rainfall patterns in Pekanbaru and Palangka Raya
Hasil plotting antara curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi di Palangka Raya dan Pekanbaru memperlihatkan bahwa curah hujan CMORPH-IRI mampu mengikuti pola perubahan curah hujan observasi permukaan (Gambar 2). Selain itu, hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa data CMORPH-IRI mempunyai hubungan cukup erat dengan curah hujan observasi di kedua wilayah penelitian, yakni masing-masing sebesar 0,68 di Palangka Raya dan sebesar 0,60 di Pekanbaru. Sementara itu, korelasi curah hujan CMORPH dengan observasi pada MK di Palangka Raya (r = 0,72) lebih tinggi dibandingkan dengan MH (r = 0,47), sedangkan di Pekanbaru terjadi sebaliknya korelasi pada MK (r = 0,56) lebih kecil dibandingkan pada MH (r = 0,64). Dengan demikian, data curah hujan CMORPH-IRI mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai penduga curah hujan observasi. 3
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
a. Musim Kemarau di Palangka Raya
b. Musim Hujan di Palangka Raya
c. Musim Kemarau di Pekanbaru
d. Musim Hujan di Pekanbaru
Gambar 2. Perbandingan pola curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi Figure 2. Comparison of rainfall patterns CMORPH-IRI with observations
Sementara itu, dari hasil uji dua persamaan regresi antara MK dan MH di kedua wilayah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata antara model pendugaan musim kemarau dengan musim hujan di Palangka Raya (α (0,0000) < 5%). Di Pekanbaru, hasil uji Z menunjukkan perbedaan kecil antara musim kemarau dengan musim hujan (α (0,0082) <5%) (Tabel 2). Dengan demikian, selanjutnya dalam pembentukan model estimasi hujan akan dipisahkan antara model estimasi curah hujan pada musim hujan dengan musim kemarau. Selanjutnya untuk mendapatkan model pendugaan curah hujan dari data CMORPH-IRI dilakukan analisis regresi antara kedua data pada masing-masing musim. Bentuk hubungan antara data curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi dibangkitkan dari pola diagram pencar antara kedua data. Gambar 3 menunjukkan pola hubungan antara curah hujan MH dan MK di Palangka Raya dan Pekanbaru. Hasil analisis di Palangka Raya menunjukkan bahwa keragaman model estimasi curah hujan MK lebih baik dibandingkan dengan MH dengan R2 masing-masing 4
54,2% dan 20,8%. Sementara itu di Pekanbaru, keragaman model estimasi curah hujan MK (R2 = 26,2%) lebih kecil dibandingkan dengan curah hujan MH (R2 = 37,9%) (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 54,2% keragaman curah hujan MK di Palangka Raya dapat diwakili oleh model, sedangkan untuk curah hujan MH hanya sebesar 20,8%. Di Pekanbaru, keragaman yang dapat diwakili oleh model sekitar 26,2% pada MK dan sebesar 37,9% pada MH. Tabel 2. Hasil uji Z pada model regresi linier MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru Table 2. Results of Z test on a linear regression model at dry season and wet season in Palangka Raya and Pekanbaru
MH MK [MH-MK] Z α (tabel)
Pekanbaru Koefisien SE koef 0,984 0,05251 0,868 0,05488 0,116 0,00237 2.382779 0,0082
Palangka Raya Koefisien SE koef 0,824 0,04009 0,672 0,04031 0,152 0,00022 10,24784 0,0000
Indah Prasasti dan Suciantini : Analisis Pemanfaatan Data CMORPH-IRI untuk Estimasi Curah Hujan
a. Musim Kemarau di Palangka Raya
b. Musim Hujan di Palangka Raya
c. Musim Kemarau di Pekanbaru
d. Musim Hujan di Pekanbaru
Gambar 3. Bentuk hubungan CH CMORPH-IRI pada MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru Figure 3. Relationships CMORPH CH-IRI at dry season and wet season in Palangka Raya and Pekanbaru
Adapun model estimasi curah hujan untuk MK dan MH untuk dua wilayah penelitian adalah sebagai berikut: Palangka Raya: 2
2
Musim Kemarau: y = 0,003(CH-MK) + 0,301(CH-MK)(R = 54,2%) Musim Hujan: y = 0,824(CH-MH) (R2 = 20,8%)
Pekanbaru:
Tabel 3. Periode data untuk verifikasi model dan validasi Table 3. Period of data for verification and validation model No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Periode data verifikasi model 2004 - 2008 2003, 2005 - 2008 2003 - 2004, 2006 - 2008 2003 - 2005, 2007 - 2008 2003 - 2006, 2008 2003 - 2007 2003 - 2008 (Palangka Raya)
Tahun validasi 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Musim Kemarau: y = 0,867(CH-MK) (R2 = 26,2%) Musim Hujan: y = 0,984(CH-MH) (R2 = 37,9%)
Untuk menguji keterandalan dan konsistensi modelmodel tersebut perlu dilakukan validasi. Validasi dilakukan dengan teknik validasi silang. Pembagian tahun untuk verifikasi model dan tahun untuk validasi seperti pada Tabel 3, khusus untuk Palangka Raya ditambah dengan periode tahun 2003-2008 untuk verifikasi model dan tahun 2009 untuk validasi.
Berdasarkan hasil validasi silang menunjukkan bahwa kisaran korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi di Palangka Raya berturut-turut berkisar antara 0,46-0,93 untuk MK dan 0,03-0,71 untuk MH. Korelasi terendah terjadi pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2004 untuk MK, serta terendah pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2006 untuk MH. Tingkat kesalahan estimasi (RMSEP) pada MK berkisar 25,81-54,60 mm, sedangkan pada MH sebesar 40,06-70,14 mm. Selain pada
5
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
a. Korelasi
b. RMSE
Gambar 4. Nilai korelasi dan RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi pada MK dan MH hasil validasi silang di Palangka Raya dan Pekanbaru Figure 4.
RMSE values and the correlation between the value of the model with observations on dry season and wet season from cross validation results in Palangka Raya and Pekanbaru
tahun 2004 (r = 0,93) dan 2005 (r = 0,46), korelasi dari hasil validasi dugaan model untuk MK relatif baik dan stabil (persisten) sedangkan untuk MH relatif tidak stabil (Gambar 4). Sementara itu, hasil validasi di Pekanbaru memperlihatkan bahwa nilai korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi pada MK berkisar antara 0,27 (pada tahun 2007) hingga 0,90 (pada tahun 2003), sedangkan pada MH berkisar antara 0,10-0,88. Korelasi terendah pada tahun 2004 dan tertinggi pada tahun 2005. Dari hasil validasi silang ini tidak terlihat adanya konsistensi perolehan korelasi, baik pada MK maupun pada MH (Gambar 4). Kondisi ini memperlihatkan bahwa tingkat keragaman curah hujan sangat tinggi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Keragaman curah hujan sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi, adanya siklon, ENSO (El-nino Southern Oscillation), MJO (Madden Julian Date), DMI (Dipole Mode Index), dan sirkulasi lokal lainnya. Selanjutnya, hasil perbandingan antara nilai curah hujan dugaan model dengan observasi disajikan pada Gambar 5. Hasil perbandingan pola curah hujan dasarian dugaan model terhadap observasi pada MK dan MH di Palangka Raya menunjukkan bahwa model pendugaan pada MK (r = 0,74) lebih baik dibandingkan pada MH (r = 0,47). Besarnya bias (RMSE) antara nilai dugaan model terhadap nilai observasi untuk MK sebesar 36.4 mm, sedangkan untuk MH sebesar 58.4 mm. Sebaliknya di Pekanbaru, model pendugaan pada MH (r = 0,64) sedikit lebih baik dibandingkan pada MK (r = 0,56). Tingkat bias nilai dugaan model untuk MK sebesar 53,8 mm dan untuk MH sebesar 55.6 mm. Model tidak mampu menjangkau nilai curah hujan pada kondisi ekstrim. Nilai korelasi di
6
Palangka Raya antara MK dan MH relatif berbeda, sedangkan di Pekanbaru sedikit sekali perbedaannya. Kondisi ini disebabkan Pekanbaru memiliki pola hujan ekuatorial dengan curah hujan hampir merata sepanjang tahun, sementara di Palangka Raya memiliki pola hujan monsun dengan perbedaan musim yang jelas. Tabel 4. Nilai koefisien efisiensi (nilai CE) Table 4. Coefficient of efficiency value (CE value) Musim
Palangka Raya
Pekanbaru
Musim Hujan (MH)
0,21
0,38
Musim Kemarau (MK)
0,72
0,26
Sementara itu, hasil penilaian efisiensi model berdasarkan nilai koefisien efisiensi menunjukkan bahwa nilai CE model pendugaan MK (CE = 0,72) di Palangka Raya lebih baik dibandingkan dengan nilai CE model pendugaan MH (CE = 0,21) (Tabel 4). Nilai CE model pendugaan MH (CE = 0,38) di Pekanbaru lebih baik dibandingkan dengan nilai CE model pendugaan MK (CE = 0,26) (Tabel 4). Nilai CE semakin mendekati nilai 1 menunjukkan bahwa model dugaan semakin akurat. Dengan demikian, dari hasil ini menunjukkan bahwa model pendugaan MK untuk Palangka Raya paling baik dan cukup akurat di antara model-model yang lain. Selain itu, menunjukkan pula bahwa nilai dugaan model cukup mendekati nilai observasi. Kecilnya nilai koefisien efisiensi model dugaan MH di Palangka Raya dan model dugaan MK dan MH di Pekanbaru dapat disebabkan oleh kondisi curah hujan pada musim hujan di Palangka Raya dan curah hujan musim hujan maupun musim kemarau di
Indah Prasasti dan Suciantini : Analisis Pemanfaatan Data CMORPH-IRI untuk Estimasi Curah Hujan
a. Musim Kemarau di Palangka Raya
b. Musim Hujan di Palangka Raya
c. Musim Kemarau di Pekanbaru
d. Musim Hujan di Pekanbaru
Gambar 5. Perbandingan antara curah hujan dugaan model dengan observasi pada musim kemarau dan musim hujan di Palangka Raya (a dan b) dan di Pekanbaru (c dan d) Figure 5. Comparison between rainfall models with observations in the dry season and the rainy season in Palangka Raya (a and b) and in Pekanbaru (c and d) Pekanbaru yang sangat beragam dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: faktor musim, kondisi topografi, gangguan atmosfir, dan sebagainya. Kondisi ini mengakibatkan model tidak dapat menjangkau kondisi curah hujan yang berada di luar kondisi normalnya (rataratanya). Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki keragaman sangat tinggi di antara unsur iklim lainnya, baik dari musim ke musim maupun tempat ke tempat. Selain itu, kondisi Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa, memiliki tingkat non-linieritas yang tinggi sebagai akibat dari beragamnya topografi dan pengaruh monsun, sehingga kondisi atmosfer di wilayah ini sulit diprediksi dibandingkan dengan wilayah lintang tinggi (Satiadi dan Subarna 2006; Hermawan 2005). Beragamnya topografi dan adanya pengaruh monsun yang kuat juga menyebabkan adanya perbedaan pola hujan pada wilayahwilayah Indonesia. Keragaman curah hujan di wilayahwilayah Indonesia lainnya juga dapat terjadi disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian hujan di
Indonesia, antara lain monsun, ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone), DMI, ENSO, dan sirkulasi lokal lainnya. Menurut Junaeni (2011), koefisien keragaman curah hujan di daratan lebih tinggi dibandingkan di laut dan berbeda antar tempat satu dengan tempat lain. Keragaman curah hujan di daratan terjadi akibat keanekaragaman kondisi permukaan daratan, sedangkan keragaman di laut relatif kecil. Keragaman curah hujan juga berbeda antara antar lokasi, seperti Pulau Jawa memiliki keragaman curah hujan lebih besar dibandingkan dengan Pulau Bali dan Lombok. Faktor lain adalah letak Indonesia di antara benua Asia-Australia dan Samudera Pasifik-Samudera Hindia, dan secara geografis berada di sekitar ekuator dengan ribuan pulau. Kedua samudera tersebut merupakan pengendali iklim dunia. Kondisi ini menyebabkan curah hujan wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh karakteristik monsun (Murakami and Matsumoto 1994; Wu dan Kirtman 2007) yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan di benua Asia dan Australia secara
7
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
bergantian yang terjadi pada skala waktu tahunan (Ramage 1971). Musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkaitan dengan monsun Barat yang berlangsung pada Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim kemarau berlangsung bersamaan dengan monsun Timur yang terjadi pada Juni-Juli-Agustus (JJA). Di antara monsun Barat dengan monsun Timur terdapat musim peralihan (pancaroba), yakni: yang pertama berlangsung pada bulan Maret-April-Mei, sedangkan yang kedua pada bulan September-Oktober-November (SON). Keragaman yang terjadi pada pola umum ini dipengaruhi oleh proses pemanasan global, fluktuasi fenomena ENSO (Philander 1989; Halpert and Ropelewski 1992), siklon tropis, dan faktor-faktor lokal seperti beragamnya topografi, dan sebagainya. Sementara itu intensitas, frekuensi, distribusi, dan wilayah hujan dipengaruhi oleh faktor iklim lainnya seperti angin, suhu, kelembaban udara dan tekanan atmosfer.
Kesimpulan Data curah hujan CMORPH-IRI dasarian wilayah kabupaten memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai penduga curah hujan suatu wilayah dengan faktor koreksi yang disesuaikan untuk masingmasing tempat. Keuntungan pemanfaatan data CMORPHIRI adalah mudah diperoleh dan bebas biaya dengan tingkat ketepatan relatif baik serta tanpa harus melakukan proses dari data mentah. Adapun model estimasi curah hujan MK dan MH untuk dua wilayah penelitian adalah sebagai berikut: Palangka Raya: Musim Kemarau: y = 0,003(CH-MK)2 + 0,301(CH-MK) (R2 = 54,2%) Musim Hujan: y = 0,824(CH-MH) (R2 = 20,8%) Pekanbaru: Musim Kemarau: y = 0,867(CH-MK) (R2 = 26,2%) Musim Hujan: y = 0,984(CH-MH) (R2 = 37,9%) Tingkat keragaman yang dapat diwakili model sangat dipengaruhi oleh kondisi keragaman curah hujan yang terjadi di masing-masing wilayah pada suatu waktu.
Daftar Pustaka Halpert, M.S. and C.F. Ropelewski. 1992. Temperature patterns associated with the Southern Oscillation., J. Climate 5: 577-593. Hermawan, E. 2005. Karakteristik dan mekanisme osilasi Madden-Julian di atas Kototabang dan sekitarnya 8
berbasis hasil analisis data EAR, BLR, dan TRMM. Dalam Intisari Hasil Penelitian 2005. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung. Janowiak, J., R.J. Joyce, and P. Xie. 2007. Kalman filter approach to CMORPH : a skill and error assessment of instantaneous and propagated passive microwave estimated rainfall. Program to Evaluate High Resolution Precipitation Product. Switzerland (3-5 Des). Juaeni, I. 2011. Mengapa curah hujan sulit diprediksi? Inderaja II(3): 49-57. Joyce, R.J., J. Janowiak, and P. Xie. 2004. CMORPH: A method that produces global precipitation estimates from passive microwave and infrared data at high spatial and temporal resolution. J. Hydromet. 5:487503. Murakami, T. and J. Matsumoto. 1994. Summer monsoon over the Asian continent and Western North Pasific. J. Meteor. Soc. Japan 62:69-87. Nash, J.E. and J.V. Sutcliffe. 1970. River flow forecasting through conceptual models part I-A discussion of principles. Journal of Hydrology 10(3):282-290. Philander, S.G.H. 1989. El Ni˜no, La Ni˜na, and the Southern Oscillation., International Geophysical Series, Academic Press. 46:289. Ramage, CS. 1971. Monsoon Meteorology. International Geophysics Series.Academic Press. 15:296. Satiadi, D. dan D. Subarna. 2006. Indikasi kekritisan yang diatur-sendiri pada data pengamatan curah hujan permukaan dari penakar hujan optik di Kototabang. Perubahan Iklim dan Lingkungan di Indonesia. Paper dipresentasikan pada Simposium Meteorologi Pertanian, Bogor. Wu, R. and B.P. Kirtman. 2007. Roles of the Indian Ocean in the Australian Summer Monsoon-ENSO Relationship. Center for Ocean-Land-Atmosphere Studies and George Mason University. 4041 Powder Mill Road, Suite 302. Calverton, Maryland 20705.
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Pengaruh Kerapatan Akar, Pupuk, dan Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2 dari Tanah Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit The Influence of Root Density, Fertilizer, and Water Table Depth in CO2 Emission from Peat under Oil Palm Plantation 1Setiari
Marwanto*, 2Supiandi Sabiham, 2Untung Sudadi, dan 1Fahmuddin Agus
1
Peneliti Badan Litbang Pertanian pada Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
2
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
INFORMASI ARTIKEL
Riwayat artikel: Diterima: 10 Mei 2013 Disetujui: 14 Juni 2013
Kata kunci: Kerapatan akar Pupuk Kedalaman muka air tanah Emisi CO2 Perkebunan kelapa sawit
Abstrak. Emisi gas karbondioksida (CO2) dari tanah gambut di perkebunan kelapa sawit berasal dari respirasi mikroba (heterotrofik) dan dari respirasi yang berhubungan dengan aktivitas akar tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kombinasi pengaruh kerapatan akar, pupuk, dan variasi kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit. Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit umur 15 tahun di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Januari 2012. Emisi CO2 diukur secara langsung dengan cara menempatkan sungkup gas pada beberapa jarak tertentu dari batang kelapa sawit. Contoh tanah diambil untuk keperluan analisis kimia dan kerapatan akar. Pengukuran kedalaman muka air tanah dilakukan pada saat pengukuran emisi CO2 dilangsungkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi CO2 total memiliki korelasi linear terhadap kerapatan akar halus (R2 ≥ 0,9), pH dan konsentrasi hara makro (R2 ≥ 0,7) kecuali unsur N, dan kedalaman muka air tanah (R2=0,9). Dari ketiga variabel ini, kedalaman muka air tanah dan konsentrasi hara makro merupakan variabel yang berhubungan erat dengan respirasi heterotrofik. Untuk itu pengaturan kedalaman muka air tanah seminimal mungkin dan peningkatan efisiensi pemupukan diharapkan dapat menurunkan emisi dari respirasi heterotrofik tanpa mengorbankan hasil tanaman.
Lahan gambut
Keywords: Root density Fertilizer Water table depth CO2 emissions Oil palm plantation Peatland
Abstract. Carbon dioxide (CO2) emissions from peat soils under oil palm plantations are generated by microbial (heterotrophic) respiration and root-related activities and root respiration. This research aimed to study the influence of root density, fertilizer, and water table depth on CO2 emissions at oil palm plantation. Field research was conducted in peat land under 15-year old oil palm plantation in Muaro Jambi District, Jambi Province in January 2012. The CO2 emission was measured directly by placing gas chambers at several distances from the centre of oil palm trunk. Peat samples were carried out for both soil chemical and roots density analyses, while water table depth for each chamber were measured during CO2 measurements. Research result showed that CO2 emission was linearly correlated with fine root density (R2 ≥ 0.9), soil pH and macro nutrient concentration (R2 ≥ 0.7) except for N, and water table depth (R2=0.9). From these three factors, it seems that water table depth and macro nutrient concentration mostly influence heterothrophic respiration. Therefore, keeping water table as shallow as possible and increasing nutrient efficiency would reduce CO2 emission without sacrificing crop yield.
Pendahuluan Gas CO2 dari lahan gambut berasal dari proses respirasi heterotrofik yang dikendalikan oleh mikroba dan respirasi autotrofik yang merupakan respirasi akar. Respirasi heterotrofik berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sedangkan respirasi autotrofik sebagian besar dinetralisir melalui proses fotosintesis yang menyerap CO2 dari atmosfer. * Corresponding author : Setiari Marwanto, email :
[email protected]
ISSN 1410-7244
Beberapa peneliti telah berusaha memisahkan antara respirasi heterotrofik dan autotrofik untuk mengetahui kontribusi dari masing-masing variabel tersebut meskipun belum mendapatkan hasil yang dapat disepakati karena asumsi dan metodologi yang masih terus berkembang (Agus et al. 2010, Murdiyarso et al. 2010, Wang et al. 2005) . Berbagai penelitian mengenai kontribusi perakaran tanaman terhadap emisi CO2 total pada berbagai jenis tanah dan sistem penggunaan lahan tersebut menghasilkan nilai yang lebar yaitu antara 30 hingga 93% (Agus et al. 2010, Xu et al. 2001, Ryan et al. 1997, Laudelout and 9
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Thierron 1996, Bowden et al. 1993, Nakane et al. 1983). Rentang nilai yang lebar tersebut tidak terlepas dari jenis dan karakteristik lahan, iklim, serta jenis penggunaan lahan yang berbeda. Hutan tropis yang lebat di tanah mineral akan memiliki jumlah perakaran yang banyak dan memiliki potensi menghasilkan gas CO2 yang lebih besar dibandingkan dengan lahan kering dengan tanaman budidaya semusim. Vogt et al. (1996) melaporkan bahwa perakaran memiliki kontribusi 50% dari total siklus karbon tahunan di hutan. Pertumbuhan biomassa akar merupakan sumber Corganik tanah melalui mekanisme rhizodeposition (Rønn et al. 2003). Bahan organik yang dilepaskan dari mekanisme rhizodeposition dapat berupa eksudat, sekresi, mucilagh, mucigel, dan lysater. Bahan yang mengandung polisakarida ini akan menjadi sumber makanan bagi mikroba yang selanjutnya akan memproduksi gas CO2. Akar juga menjadi sumber C-organik dari kehilangan jaringan fungsional akar serta proses dekomposisi saat akar tersebut mati (Keith et al. 1986; van Noordwijk et al. 1994). Jumlah, ukuran, dan volume akar tanaman kelapa sawit sangat terkait dengan jarak perakaran tersebut dari batang tanaman (Harahap, 1999). Akibat respirasi autotrofik dan heterotrofik yang sangat terkait dengan akar, maka gas CO2 yang teremisi pada daerah perakaran juga akan terpengaruh oleh jarak dari batang tanaman. Penelitian pada tanaman akasia juga menyebutkan bahwa zona yang mengemisi CO2 terbesar adalah zona terdekat dengan batang tanaman (Jauhiainen et al. 2012). Beberapa peneliti juga telah berusaha menghubungkan emisi dari lahan gambut dengan beberapa variabel lingkungan yang mudah diamati seperti tinggi muka air tanah, suhu, dan subsidensi (Couwenberg and Hooijer, 2012; Berglund et al. 2010, Vien et al. 2010, Hooijer et al. 2009, Dinsmore et al. 2009, Dirks et al. 2000, Wösten et al. 1997). Kedalaman muka air tanah merupakan variabel yang banyak dijadikan rujukan dalam perhitungan emisi karena kemudahan dalam pengamatan dan pengaruhnya yang besar terhadap potensial redoks tanah. Kedalaman muka air tanah akan menentukan volume pori udara pada gambut sehingga pada saat muka air tanah turun menyebabkan volume pori udara meningkat. Kondisi aerobik sangat diperlukan bagi aktivitas biota dan perakaran serta proses oksidasi oleh mikroba tanah (Blodau and Moore, 2002; Jauhiainen et al. 2005). Hubungan penurunan muka air tanah dengan emisi CO2 bukan hubungan yang kontinyu. Hanya pada kedalaman tertentu dan pada waktu tertentu saja penurunan muka air tersebut mengakibatkan emisi CO2. Penelitian di lahan rawa yang berdrainase menyebutkan bahwa penurunan muka air tanah hingga kedalaman 30-40 cm akan meningkatkan fluks CO2, sedangkan variasi kedalaman 10
muka air tanah di bawah 40 cm dari permukaan tanah tidak saling berbeda secara nyata (Silvola et al. 1996). Penelitian pada contoh bahan gambut dangkal di Vietnam menyimpulkan bahwa fluks CO2 dari oksidasi gambut menurun seiring dengan peningkatan kandungan airnya hingga batas tertentu (Vien et al. 2010). Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa pada musim kemarau, fluks CO2 lebih disebabkan oleh respirasi akar dibandingkan dengan oksidasi gambut. Beberapa unsur hara seperti N, P, Mg, Fe, Co, Ni, dan Mn sangat dibutuhkan oleh mikroba dalam mendekomposisi gambut (Yavitt et al. 2004). Semakin banyak kandungan hara di dalam tanah gambut maka jumlah, keragaman, dan aktivitas mikroba juga akan semakin besar dan kemungkinan gambut juga akan terdekomposisi dengan lebih cepat. Hal ini mempengaruhi asumsi bahwa pemupukan di lahan gambut dapat meningkatkan emisi CO2. Proses mineralisasi yang dapat meningkatkan pelepasan gas CO2 juga dilaporkan oleh GrØnlund et al. (2008). Meskipun penelitian tersebut dilakukan di daerah kutub (boreal), tetapi proses yang terjadi dapat menjadi acuan bagi gambut tropis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kerapatan akar, pupuk, dan variasi kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dari lahan gambut yang ditanami kelapa sawit. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan variabel mana yang signifikan meningkatkan emisi CO2 dan apa opsi teknologi yang mungkin dikembangkan untuk menurunkan emisi CO2.
Bahan dan Metode Lokasi penelitian merupakan lahan gambut yang dikelola sebagai perkebunan sawit rakyat mulai tahun 1996; terletak di Desa Sumber Agung, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, pada koordinat 10 43’ 0,7” LS 1030 52’ 56,7” BT. Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Januari 2012. Lokasi merupakan blok kebun (planting block) dan dibatasi oleh saluran drainase dimana satu blok kebun berukuran 200 x 1.000 m. Penelitian ini menggunakan tiga transek dimana masing-masing transek memiliki tiga pohon pengamatan dengan jarak rata-rata dari saluran drainase adalah 12 m (P1), 54 m (P2), dan 99 m (P3) sehingga jumlah pohon pengamatan adalah 9 pohon. Pengukuran emisi CO2 menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) tipe LI820. Sungkup terbuat dari paralon berdiameter 25,5 cm dengan tinggi 25 cm, dipasang pada jarak 1 m, 1,5 m, 2 m, 2,5 m, 3 m, 3,5 m, 4 m, dan 4,5 m dari pusat batang kelapa sawit. Jumlah keseluruhan titik pengamatan adalah 72 titik. Perhitungan emisi CO2 mengikuti formula penentuan fluks CO2 dari Madsen et al. (2009). Identifikasi
Setiari Marwanto et al. : Pengaruh Kerapatan Akar, Pupuk, dan Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2
Gambar 1. Penempatan sungkup dengan berbagai jarak dari tengah batang kelapa sawit Figure 1.
Placement of gas chambers at different distances from center of oil palm trunk
karakteristik gambut meliputi ketebalan, kematangan, kandungan karbon (C), dan BD (bulk density/berat isi) gambut. Penentuan kandungan C dan kadar abu gambut dilakukan dengan metode Loss on Ignition/LOI. Kerapatan akar dan konsentrasi hara dianalisis dari contoh tanah menggunakan bor akar dan bor gambut dengan volume masing-masing 500 cm3. Pengambilan contoh dilakukan pada dua kedalaman yaitu 0-15 dan 1530 cm. Contoh gambut dari bor akar dicuci dengan air dan selanjutnya akar dipisahkan dari gambut berdasarkan kenampakan visual dengan bantuan alat penyaring dan pinset. Setelah akar terkumpul, dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 70 0C selama 48 jam hingga mencapai berat konstan. Jaringan akar yang telah kering oven tersebut dipisahkan lagi berdasarkan diameter akar fungsional sebagai berikut: a) Ø>5 mm (akar primer), b) Ø 2,5 - 5 mm (akar sekunder), c) Ø 0,5-2,5 mm (akar tersier), dan d) Ø <0,5 mm (akar kuarter). Setelah dipisahkan, akar dalam keadaan kering oven tersebut selanjutnya ditimbang. Analisis sifat kimia yang dilakukan meliputi analisis pH H2O dan unsur hara makro yang meliputi total unsur N, P, K, Ca, dan Mg. Sebelum dianalisis, contoh gambut komposit terlebih dahulu dikering-anginkan dan disaring hingga lolos ayak ukuran 2 mm. Analisis tanah dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor. Kedalaman muka air tanah ditentukan dengan cara membuat lubang hingga mencapai kedalaman muka air tanah menggunakan tongkat besi. Pembuatan lubang dilakukan pada jarak sekitar 20 cm di samping sungkup pada setiap titik pengukuran emisi CO2. Pengukuran dilakukan dengan cara memasukkan meteran tongkat. Perhitungan kedalaman muka air dimulai dari pusat
tongkat pengukur yang dimasukkan dalam lubang hingga batas basah akibat tercelup air gambut. Data kedalaman muka air tanah dikoreksi dengan elevasi permukaan tanah dengan menggunakan metoda selang air (waterpass). Matriks korelasi (Uji Pearson) digunakan untuk menganalisis hubungan jarak titik pengamatan dan distribusi perakaran terhadap emisi CO2. Data yang saling berhubungan dan berbeda nyata pada taraf p < 5% selanjutnya dianalisis menggunakan regresi linear sederhana. Pengolahan data dilakukan dengan program MS Excel.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik lokasi penelitian Ketebalan gambut di lokasi penelitian cukup bervariasi dengan rata-rata 575 ± 66 cm. Gambut di bagian permukaan memiliki tingkat kematangan dominan saprik (matang lanjut). Gambut di bagian tengah memiliki tingkat kematangan yang bervariasi meskipun didominasi oleh tingkat kematangan fibrik. Gambut di lapisan paling bawah di dekat lapisan mineral memiliki tingkat kematangan saprik. Tanah gambut dekat lapisan mineral memiliki kandungan mineral yang tinggi akibat tercampurnya kedua bahan tersebut. Rata-rata kandungan karbon (C) gambut yang dihitung dari permukaan tanah hingga lapisan substratum sebesar 77 ± 21 kg C m-3. Nilai ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Page et al. (2002) yang memperkirakan kandungan C di Asia Tenggara rata-rata sebesar 60 kg C m-3. Perbedaan hasil tersebut diakibatkan oleh skala pengamatan yang berbeda. Dari data BD yang diambil mulai dari lapisan permukaan hingga lapisan mineral dapat diketahui bahwa pada kedalaman 0-50 cm muncul pola yang seragam 11
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
dimana pada lapisan gambut permukaan (0-15 cm) memiliki rata-rata BD tertinggi (0,18 g cm-3) dan kemudian menurun secara berangsur pada lapisan 15-30 cm dan 30-50 cm sebesar 0,13 g cm-3 dan 0,12 g cm-3. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan permukaan telah terjadi pemadatan yang dapat diakibatkan oleh perubahan kandungan air. Pada kedalaman > 200 cm, BD relatif lebih kecil dibandingkan dengan lapisan gambut permukaan. BD pada lapisan terbawah yang berbatasan dengan lapisan tanah mineral sudah mengalami pencampuran sehingga menyebabkan nilai BD tinggi. Lapisan permukaan tanah gambut (0-15 cm) dan pada lapisan 100-200 memiliki kadar abu yang tinggi (>3%) dan selanjutnya menurun dengan nilai yang bervariasi. Emisi CO2 di daerah perakaran Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai emisi tertinggi (138±73 t CO2 ha-1 th-1) berada pada jarak terdekat (1 m) dari pusat batang kelapa sawit dan menurun mengikuti pola logaritmik hingga nilai terendah (31±12 t CO2 ha-1 th-1) pada titik terjauh (4,5 m) dari pusat batang. Dari titik 1 m hingga 3 m terjadi penurunan sangat nyata yang menunjukkan pengaruh variabel lingkungan yang tinggi seperti variabel akar, kedalaman muka air tanah dan pemupukan. Pengaruh variabel tersebut menjadi sangat berkurang pada titik 3 m hingga 4,5 m dari pusat batang kelapa sawit. Pola emisi CO2 terhadap jarak tanaman juga dilaporkan oleh Jauhiainen et al. (2012) di perkebunan akasia yang menghasilkan kesimpulan bahwa emisi CO2 yang tinggi terjadi pada jarak terdekat dari pusat batang akasia. Pengaruh kerapatan akar terhadap emisi CO2 Kerapatan akar kuarter (Ø <0,5 mm) pada kedalaman 0-15 cm hingga radius 4,5 m dari pusat batang berkisar antara 0,19-1,87 g dm-3. Semakin jauh dari batang kelapa sawit kerapatan akar kuarter semakin berkurang. Akar
tersier (Ø 0,5-2,5 cm) juga mengikuti pola seperti pada akar kuarter. Kerapatan akar tersier lebih rendah dibandingkan akar kuarter yaitu antara 0,06-1,49 g dm-3 di dalam radius 4,5 m. Kerapatan akar sekunder (Ø 2,5-5,0 cm) di dalam radius 4,5 m berkisar antara 0,06-0,65 g dm-3. Akar sekunder pada kedalaman 0-15 cm hanya dijumpai dalam jumlah sedikit dan tidak menunjukkan pola yang jelas terhadap jarak titik pengamatan dari pusat batang kelapa sawit. Akar primer (Ø > 5,0 cm) sama sekali tidak dijumpai pada lapisan permukaan ini. Pertumbuhan akar pada kedalaman 15-30 cm memiliki pola yang hampir sama dengan akar pada kedalaman 0-15 cm dimana kerapatan tertinggi pada daerah perakaran terdekat dari pusat pohon dan menurun linear dengan bertambahnya jarak. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pertumbuhan akar tersier dan kuarter pada lapisan ini jauh lebih konsisten dibandingkan pada lapisan atas dan kurangnya interaksi akar dengan variabel lingkungan di atas permukaan tanah. Pada akar sekunder, akar hanya dijumpai pada jarak 1 m (0,10 g dm-3), 2 m (0,41 g dm-3), dan 2,5 m (0,114 g dm-3) dari pusat batang sawit. Sedangkan akar primer (Ø > 5,0 cm) pada lapisan permukaan ini hanya dijumpai di titik terjauh (4,5 m). Gambar 3 merupakan hasil rata-rata dari kerapatan akar kedalaman 0-15 dan 15-30 cm. Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa kerapatan akar tersier dan kuarter pada kedalaman 0-30 cm sangat berhubungan dengan jarak dari batang kelapa sawit. Sementara akar yang memiliki diameter lebih besar tidak menunjukkan hubungan yang nyata. Pola kerapatan akar ini sama dengan pola emisi CO2 yang diukur pada titik yang sama yang mencerminkan hubungan yang kuat antara aktivitas akar tersier dan kuarter dengan emisi CO2 yang terjadi.
Tabel 1.
Profil BD, kandungan C, kerapatan C, dan kandungan abu gambut di lokasi penelitian
Table 1.
Profile of BD, C content, C density, and ash content of peat at research location
Kedalaman cm 0-15 15-30 30-50 50-100 100-200 200-300 300-400 400-500 >500
BD
Kandungan C -3
g cm 0,18 ± 0,04 0,13 ± 0,03 0,12 ± 0,03 0,15 ± 0,04 0,17 ± 0,05 0,14 ± 0,03 0,13 ± 0,03 0,15 ± 0,03 0,29 ± 0,27
Keterangan: nilai merupakan rata-rata ± standar deviasi.
12
% 49,47 ± 1,95 50,48 ± 1,80 50,53 ± 1,88 50,42 ± 0,78 50,96 ± 1,04 51,28 ± 0,58 51,17 ± 0,78 49,88 ± 2,61 39,61 ± 10,30
Kerapatan C -3
g cm 0,09 ± 0,02 0,06± 0,02 0,06 ± 0,02 0,07 ± 0,02 0,09 ± 0,02 0,07 ± 0,01 0,07 ± 0,02 0,08 ± 0,01 0,09 ± 0,02
Kandungan abu % 3,83 ± 1,62 2,00 ± 0,68 2,14 ± 1,20 1,90 ± 0,99 3,16 ± 2,01 1,25 ± 0,48 1,29 ± 0,46 4,01 ± 4,10 13,20 ± 9,67
Setiari Marwanto et al. : Pengaruh Kerapatan Akar, Pupuk, dan Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2
Fluks CO2 (t ha-1 th-1)
250 200 150
2
R = 0.95 100 50 0 50
100
150
200
250
300
350
400
450
Jarak dari batang kelapa sawit (cm)
Gambar 2. Emisi CO2 dari berbagai jarak titik pengamatan dari pusat batang kelapa sawit (n=76 untuk setiap titik pengamatan). Garis tegak menunjukkan standar deviasi Figure 2.
CO2 flux from several observation points from the center of oil palm trunk (n=76 for each measurement point). Bars showed standard deviation
1.6
Kerapatan akar (g dm-3)
1.4 Ø < 0,5 mm
1.2
Ø 0,5-2,5
2
R = 0.91
Ø 2,5-5 mm
2
1
R = 0.89
Linear (Ø < 0,5 mm)
0.8
Linear (Ø 0,5-2,5) Linear (Ø 2,5-5 mm)
0.6 R2 = 0.04
0.4 0.2 0 -0.2
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Jarak dari batang kelapa sawit (cm)
Gambar 3. Kerapatan akar pada kedalaman 0-30 cm (n=9 untuk setiap titik dan setiap kelas diameter akar) pada berbagai jarak dari pusat batang kelapa sawit Figure 3.
Root density at 0-30 depth (n=9 for each observation point and each diameter class) on several distances from the center of oil palm trunk
Berdasarkan analisis regresi sederhana (Gambar 4), diketahui adanya hubungan nyata antara kerapatan akar dengan emisi CO2 pada lapisan 0-30 cm dengan R2 = 0,98 untuk akar tersier (Ø 0,5-2,5 cm) dan R2 = 0,87 untuk akar kuarter (Ø < 0,5 cm). Akar dengan diameter yang lebih besar tidak menunjukkan hubungan dengan emisi CO2. Pengaruh sifat kimia tanah terhadap emisi CO2 Seluruh contoh tanah (n=72) pada kedalaman 0-30 cm menunjukkan pH dan konsentrasi hara makro yang rendah.
Hal ini dapat dipahami karena sifat asli gambut yang memang miskin hara sehingga diperlukan penambahan amelioran dan pemupukan (Agus dan Subiksa 2008). Kebun sawit ini sudah dipupuk dua bulan sebelum pengambilan contoh tanah. pH dan kandungan hara makro total (Ca, P, Mg, dan Na) menunjukkan pola logaritmik terhadap jarak dari batang (Gambar 5). Urutan koefisien regresi dari yang terbesar adalah Ca (R2 = 0,83), disusul oleh kandungan pH (R2 = 0,80), P (R2 = 0,63), Mg (R2 = 0,63), Na (R2 = 0,61), dan terakhir adalah K (R2 = 0,56). Konsentrasi N total tidak terpengaruh oleh jarak dari batang kelapa sawit (R2 = 0,15). 13
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
160 R2 = 0.98
Emisi CO2 (t ha-1 th-1)
140
R2 = 0.87
120 100
R2 = 0.04
80 Ø < 0,5 mm
60
Ø 0,5-2,5 Ø 2,5-5 mm
40
Linear (Ø < 0,5 mm) Linear (Ø 0,5-2,5)
20
Linear (Ø 2,5-5 mm)
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
-3
Kerapatan akar (g dm )
Gambar 4. Hubungan emisi CO2 dan kerapatan akar pada kedalaman 0-30 cm Figure 4.
Relationship between CO2 emission and root density at 0-30 cm depth
P (%)
K (%)
Mg (%)
Na (%)
pH H2O
N (%)
Ca (%) 4.5
Konsentrasi hara P, K, Mg, dan Na (%)
4.0
0.35
3.5
0.30
3.0
0.25 2.5
0.20 2.0
0.15 1.5
0.10
1.0
0.05
0.5
0.00
pH dan konsentrasi hara N dan Ca (%)
0.40
0.0 50
100
150
200
250
300
350
400
450
Jarak dari batang kelapa sawit (cm)
Gambar 5. pH dan konsentrasi hara pada kedalaman 0-30 cm sebagai fungsi jarak dari pusat batang kelapa sawit (n=9 untuk setiap titik dan sifat kimia gambut) Figure 5.
pH and nutrient concentration at 0-30 depth as a function of from the center of oil palm trunk (n=9 for each observation point and each soil chemical property)
Kebiasaan petani di lokasi penelitian adalah memberikan secara rutin dolomit seminggu sebelum pemupukan dengan dosis 1,1 kg/pohon setiap 3 bulan sekali. Pemberian dolomit dan pupuk dilakukan petani dengan cara ditebar merata di dalam piringan kelapa sawit dengan radius 2 m dari batang kelapa sawit. pH dan konsentrasi hara lebih tinggi pada jarak yang terdekat dengan batang, kemudian menurun secara gradual seiring dengan jauhnya jarak dari batang kelapa sawit. Pola pH tersebut kemungkinan sangat berkaitan dengan pengaruh dari konsentrasi dari Ca dan Mg yang memiliki pola sama. P total juga menunjukkan sebaran serupa 14
dengan Ca, Mg, dan K total. Mikrotopografi piringan kelapa sawit yang berbentuk cembung menghasilkan kelerengan yang mampu meningkatkan energi aliran air dalam mengangkut unsur P ke tempat yang lebih rendah. Dari tepi batang hingga jarak 100 cm dari pusat batang kelapa sawit memiliki kelerengan lebih rendah sehingga konsentrasi hara masih lebih tinggi dibandingkan dengan jarak 100-200 cm dari pusat batang kelapa sawit. Faktor kelerengan ini mungkin lebih dominan dalam mempengaruhi distribusi hara dibandingkan dengan sifat porositas dan laju infiltrasi gambut yang juga tinggi sehingga menyebabkan pupuk yang diberikan rentan
Setiari Marwanto et al. : Pengaruh Kerapatan Akar, Pupuk, dan Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2
160 R2 = 0.85
R = 0.74
140
Emisi CO2 (t ha-1 th-1)
pH H2O
R2 = 0.96
R2 = 0.73
120
N (‰)
R2 = 0.90
2
R2 = 0.89
P (%) K (%) Ca (‰)
100
Mg (%)
80
Na (%) Linear (pH H2O)
60
Linear (N (‰))
40
R2 = 0.19
Linear (P (%)) Linear (K (%))
20
Linear (Ca (‰))
0 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
Linear (Mg (%)) Linear (Na (%))
Konsentrasi hara
Gambar 6. Hubungan sifat kimia gambut pada kedalaman 0-30 cm dan emisi CO2 Figure 6.
Relationship between soil chemical properties at 0-30 cm depth and CO2 emission
terhadap pencucian (Lim et al. 2012). Mobilitas unsur Na yang tinggi dan pengaruh dari pergerakan air yang mampu mengangkut Na ternyata belum mampu membuat unsur Na tersebut terkikis secara nyata. Konsentrasi Na tertinggi terdapat pada titik terdekat dengan pusat batang dan menurun secara gradual. Hara N merupakan unsur yang sangat mobil sehingga konsentrasinya sangat bervariasi di masing-masing titik pengamatan. Kemudahan hilangnya unsur hara N tersebut mengakibatkan distribusinya tidak sama dengan unsur hara yang lain dan cenderung lebih merata di seluruh area pengambilan contoh tanah. Hasil analisis regresi linear juga menunjukkan bahwa emisi CO2 memiliki hubungan yang kuat dengan pH serta kandungan unsur hara makro lainnya (Gambar 6). Urutan koefisien regresi dari yang terbesar adalah Ca (R2 = 0,96), disusul oleh P (R2 = 0,90), kandungan pH (R2 = 0,89), Na (R2 = 0,85), K (R2 = 0,74), dan terakhir adalah Mg (R2 = 0,73). Unsur hara N selain tidak terdistribusi menurut jarak dari batang kelapa sawit juga tidak berhubungan dengan emisi CO2 yang terjadi dengan hanya menunjukkan koefisien regresi sebesar 0,19. Pemberian abu gambut dilaporkan mampu meningkatkan konsentrasi P, K, Ca, Mg, dan Fe pada tanah gambut (Hytönen, 1998). Pembukaan lahan di lokasi penelitian dilakukan dengan cara dibakar sehingga terjadi penambahan abu di permukaan. Proses penimbunan gambut di daerah piringan sawit yang menggunakan gambut lapisan permukaan berkontribusi terhadap tingginya konsentrasi hara di sekitar batang kelapa sawit. Pada tanah mineral, pemberian pupuk anorganik juga menyebabkan peningkatan emisi CO2, sementara pemberian pupuk kandang menghasilkan emisi lebih tinggi dibandingkan pupuk anoganik (Mei et al. 2011; Smith et al. 2012).
Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 Dari total 72 titik pengamatan dan dengan asumsi bahwa titik terjauh dari batang kelapa sawit (450 cm) merupakan titik awal pengukuran elevasi (beda tinggi), maka rata-rata selisih antara titik terdekat dan titik terjauh dari batang kelapa sawit adalah 25 cm. Permukaan gambut yang lebih tinggi dan berbentuk cembung mulai dari tepi batang kelapa sawit hingga jarak 300 cm dari pusat batang kelapa sawit. Elevasi tersebut merupakan hasil dari penimbunan di sekitar piringan yang dilakukan oleh petani pemilik lahan. Penimbunan tersebut telah dilakukan selama dua kali yang dimaksudkan untuk memperkuat area tegakan kelapa sawit sehingga tidak mudah roboh. Pengukuran kedalaman muka air tanah dilakukan bersamaan dengan pengukuran emisi CO2 sehingga jumlah datanya sama dengan data emisi CO2. Muka air tanah relatif dalam (> 110 cm) karena penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau. Hasil pengukuran kedalaman muka air seperti pada Gambar 7 menunjukkan bahwa area di dalam radius 300 cm dari pusat batang kelapa sawit mempunyai muka air tanah yang lebih dalam, dan kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh hisapan air daripada sekedar fenomena fluktuasi kedalaman air. Hasil analisis regresi pada Gambar 8 menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah berkorelasi positif dengan emisi CO2 (R2 = 0,98). Di dalam radius 300 cm dari pusat batang kelapa sawit memiliki muka air tanah lebih dalam sehingga mempengaruhi zona aerobik (zona tidak jenuh air) menjadi lebih luas yang dapat mempengaruhi peningkatan aktifitas respirasi autotrof dan heterotrof. Aktifitas respirasi akar dipengaruhi oleh kerapatan akar (Gambar 4) sedangkan respirasi heterotrof dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi hara dari pengaruh pemupukan (Gambar 6), serta kedalaman muka air tanah (Gambar 7).
15
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Elevasi piringan
Kedalaman air tanah
Kedalaman/ketinggian (cm)
50
0 50
100
150
200
250
300
350
400
450
-50
-100
-150
-200
Jarak dari batang kelapa sawit (cm)
Gambar 7. Elevasi permukaan tanah (n=9 untuk setiap titik pengamatan) dan kedalaman muka air tanah (n=76 untuk setiap titik pengamatan) terhadap beberapa jarak dari pusat batang kelapa sawit. Garis tegak menunjukkan standar deviasi Figure 7.
Peat surface elevation (n=9 for each measurement point) and water table depth (n=76 for each measurement point) at several distances from the center of oil palm trunk. Bars showed standard deviation
Emisi CO2 (t ha -1 th-1)
160
R2 = 0.98
140 120 100 80 60 40 20 0 110
115
120
125
130
135
140
Kedalaman air tanah (cm)
Gambar 8. Hubungan kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 Figure 8.
Relationship between water table depth and CO2 flux
Hubungan kuat antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Dinsmore et al. 2009; Hooijer et al. 2009, 2012;), meskipun ada juga hasil penelitian yang tidak menunjukkan hubungan tersebut akibat keragaman lahan gambut yang tinggi (Jauhiainen et al. 2012; Kechavarzi et al. 2010). Pengaturan muka air tanah sedangkal mungkin tanpa menyebabkan kerusakan akar kelapa sawit menjadi salah satu cara untuk menurunkan emisi gas CO2 tanpa menurunkan hasil tanaman.
hingga mencapai emisi CO2 terendah pada jarak 4,5 m sebesar 30±12 t CO2 ha-1 th-1. 2.
Emisi CO2 juga merupakan fungsi dari kerapatan akar halus, konsentrasi hara makro, dan kedalaman muka air tanah. Hasil analisis regresi linear menunjukkan bahwa emisi CO2 memiliki korelasi kuat dengan kerapatan akar halus Ø 0,5-2,5 mm dan <0,5 mm (R2 ≥ 0,9), pH dan konsentrasi total P, Ca, Mg, dan K (R2 ≥ 0,7), dan kedalaman muka air tanah (R2 = 0,9). Konsentrasi N total di dalam tanah lapisan 0-30 cm tidak berhubungan dengan emisi CO2 dan tidak dipengaruhi oleh jarak dari batang kelapa sawit.
3.
Emisi CO2 di sekitar pusat batang kelapa sawit dipengaruhi oleh muka air tanah yang lebih dalam sehingga aktivitas respirasi akar dan dekomposisi oleh
Kesimpulan 1.
16
Emisi CO2 merupakan fungsi jarak dari batang kelapa sawit. Emisi CO2 tertinggi terjadi pada titik terdekat dengan pusat batang kelapa sawit yaitu sebesar 137±73 t CO2 ha-1 th-1 dan menurun secara gradual
Setiari Marwanto et al. : Pengaruh Kerapatan Akar, Pupuk, dan Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2
4.
mikroba menjadi lebih tinggi. Emisi CO2 juga dipengaruhi oleh pupuk dan eksudat akar tanaman karena dapat merangsang peningkatan aktivitas mikroba.
GrØnlund, A., H. Atle, H. Anders, and P.R. Daniel. 2008. Carbon loss estimates from cultivated peat soils in Norway: a comparison of three methods. Nutr Cycl Agroecosyst. 81:157-167.
Pengaturan kedalaman muka air tanah seminimal mungkin dan peningkatan efisiensi pemupukan merupakan tindakan yang harus dilakukan untuk menurunkan emisi CO2 dari respirasi heterotrofik tanpa mengorbankan hasil tanaman.
Harahap, E.M. 1999. Perkembangan Akar Tanaman Kelapa Sawit pada Tanah Terdegradasi di Sosa, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Disertasi Doktor (Unpublished). Program Pascasarjana (S3) IPB.
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Reducing Emission from Deforestation and Degradation through Alternative Landuses in Rainforest of the Tropics (REDD-ALERT), European Community's Seventh Framework Programme [FP7/2007-2013] No. 226310.
Daftar Pustaka Agus, F., E. Handayani, M. van Noordwijk, K. Idris, and S. Sabiham. 2010. Root respiration interferes with peat CO2 emission measurement. Paper presented in 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. 1-6 August 2010, Brisbane, Australia. Published on DVD.
Hooijer, A., S. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, X.X. Lu, A. Idris, and G. Anshari. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands: reducing uncertainty and implications for CO2 emission reduction options. Biogeosciences 9:1053-1071. Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wösten, and J. Jauhiainen. 2009. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences Discuss. 6:72077230. Hytönen, J. 1998. Effect of peat ash fertilization on the nutrient status and biomass production of shortrotation willow on cut-away peatland area. Biomass and Bioenergy 15(1):83-92. Jauhiainen, J., A. Hooijer, and S.E. Page. 2012. Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences 9:617-630.
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia.
Jauhiainen, J., H. Takahashi, J.E.P. Heikkinen, P.J. Martikainen, and H. Vasander. 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Global Change Biology 11:1788-1797.
Berglund, Ö., K. Berglund, and L. Klemedtsson. 2010. A lysimeter study on the effect of temperature on CO2 emission from cultivated peat soils. Geoderma 154: 211-218.
Kechavarzi, C., Q. Dawson, M. Bartlett, and P.B. LeedsHarrison. 2010. The role of soil moisture, temperature and nutrient amandment on CO2 fluks from agricultural peat soil microcosm. Geoderma 154:203210.
Blodau, C. and T.R. Moore. 2002. Micro-scale CO2 and CH4 dynamics in a peat soil during a water fluctuation and sulfate pulse. Soil Biology & Biochemistry 35: 535-547. Bowden, R.D., K.J. Nadelhoffer, R.D. Boone, J.M. Melillo, and J.B. Garrison. 1993. Contribution of above-ground litter, belowground litter, and root respiration to total respiration in a temperate mixed hardwood forest. Canadian Journal of Forest Research 23:61-71. Couwenberg, J. and A. Hooijer. 2012. Towards robust subsidence-based soil carbon emission factors for peat soils in south-east Asia, with special reference to oil palm plantations. Mires and Peat 12(01):1-13. Dinsmore, K.J., U.M. Skiba, M.F. Billet, and R.M. Rees. 2009. Effect of water table on greenhouse gas emission from patland mesocosm. Plant Soil 318: 229-242. Dirks, B.O.M., A. Hensen, and J. Goudriaan. 2000. Effect of drainage on CO2 exchange patterns in an intensively managed peat pasture. Clim Res. 14:57-63.
Keith, H., J.M. Oades, and J.K. Martin. 1986. Input of carbon to soil from wheat plants. Soil Biology & Biochemistry 18:445-449. Laudelout, H. and V. Thierron. 1996. Contribution of root respiration to total CO2 efflux from the soil of a deciduous forest. Canadian Journal of Forest Research 26:1142-1148. Lim, K.H., S.S. Lim, F. Parish, and R. Suharto. 2012. RSPO Manual on Best Management Practices (BMPs) for Existing Oil Palm Cultivation on Peat. RSPO, Kuala Lumpur. Madsen, R., L. Xu, B. Claassen, and D. McDermitt. 2009. Surface monitoring method for carbon capture and storage projects. Energy Procedia 1:2161-2168. Mei, Z.L., L.H. Bin, Z.J. Zong, H. Jing, and W.B. Ren. 2011. Long-term application of organic manure and mineral fertilizer on N2O and CO2 emissions in a red soil from cultivated maize-wheat rotation in China. Agricultural Sciences in China 10:1748-1757. 17
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Murdiyarso, D., K. Hergualc’h, and L.V. Verchot. 2010. Opportunities for reducing greenhouse gas emission in tropical peatlands. PNAS 107(46):19655-19660. Nakane, K., M. Yamamoto, and H. Tsubota. 1983. Estimation of root respiration rate in a mature forest ecosystem. Japanese Journal of Ecology 33:397-408. Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H.V. Boehm, A. Jaya, and S. Limin. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997, Nature 420:61-65. Rønn, R., F. Ekelund, and S. Chritensen. 2003. Effect of elevated atmospheric CO2 on protozoan abundance in soil planted with wheat and on decomposition of wheat roots. Plant and Soil 151:13-21. Ryan, M.G., M.G. Lavigne, and S.T. Gower. 1997. Annual carbon cost of autotrophic respiration in boreal forest ecosystems in relation to species and climate. Journal of Geophysical Research 102(D24):28871-28883. Silvola, J., J. Alm, U. Ahlholm, H. Nykänen, and P.J. Martikainen. 1996. CO2 fluxes from peat in boreal mires under varying temperature and moisture conditions. J Ecol 84:219-228. Smith, K., D. Watts, T. Way, H. Torbert, and S. Prior. 2012. Impact of tillage and fertilizer application method on gas emissions in a corn cropping system. Pedosphere 22(5):604-615. van Noordwijk, M., G. Brouwer, F.W. Konig, F.W. Meijboom, and W. Grzebisz. 1994. Production and decay of structural root material of winter wheat and sugar beet in conventional and integrated cropping systems. Agricultural Ecosystem and Environment 51:99-113. Vien, D.M., N.M. Phuong, J. Jauhiainen, and V.T. Guong. 2010. Humification at the Vo Doi National Park, Vietnam. Paper presented in 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. 16 August 2010, Brisbane, Australia. Published on DVD. Vogt, K.A., C.C. Grier, S.T. Gower, D.G. Sprugel, and D.J. Vogt. 1996. Overestimation of net root production: A real or imaginary problem? Ecology 67:577-579. Wang, W., K. Ohseb, J. Liuc, W. Mob, and T. Oikawa. 2005. Contribution of root respiration to soil respiration in a C3/C4 mixed grassland. J. Biosci. 30(4):507-514, Indian Academy of Sciences. Wösten, J.H.M., A.B. Ismail, and A.L.M. Van Wijk. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78:25-36. Xu, M., T. DeBiase, Y. Qi, A. Goldstein, and Z. Liu. 2001. Ecosystem respiration in a young ponderosa pine plantation in the Sierra Nevada Mountains. California Tree Physiology 21:309-318.
18
Yavitt, J., C. Williams, and R. Wieder. 2004. Soil chemistry versus environmental controls on production of CH4 and CO2 in northern peatlands. European Journal of Soil Science. 56(2):169-178.
Pengaruh Ameliorasi Tanah Rawa Pasang Surut untuk Meningkatkan Produksi Padi Sawah dan Kandungan Besi dalam Beras Amelioration Effect on Tidal Swamp Soil to Increase Lowland Rice Production and Iron Content in Rice 1Subowo*, 2N.
Putu Sri Ratmini, R. 3Purnamayani, dan 2Yustisia
1
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114
2
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumsel, Jl. Kol. H. Barlian Km 6, Palembang
3
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal V Kotabaru 36128
INFORMASI ARTIKEL
Riwayat artikel: Diterima: 27 Juli 2012 Disetujui: 28 Desember 2012
Katakunci: Rawa pasang surut Ketahanan pangan
Abstrak. Pengembangan padi sawah di lahan rawa pasang surut merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Masalah yang dihadapi adalah biaya produksi mahal dan kualitas hasil rendah, sehingga harga jual produk rendah. Pengembangan komoditi padi dengan orientasi sebagai pangan fungsional akan meningkatkan harga jual produk dan pendapatan petani. Penelitian ini menggunakan rancangan Petak Terpisah, pengelolaan air sebagai faktor utama dan ameliorasi tanah sebagai anak petak. Pemberian pupuk (Urea, SP-36, dan KCl) dan pengendalian hamapenyakit terpadu (PHT) digunakan sebagai perlakuan dasar dan padi var. Punggur sebagai tanaman indikator. Budidaya penggenangan terus-menerus meningkatkan produksi padi rawa pasang surut dibanding irigasi terputus pada sistem tata air mikro. Namun untuk meningkatkan kandungan besi (Fe) dalam beras sosoh 1 kali dapat dilakukan dengan pengelolaan sistem tata air mikro. Pemberian amelioran pupuk kandang sapi 10 t ha-1 meningkatkan produksi maupun kandungan besi pada beras sosoh 1 kali prosesing.
Pangan fungsional Kandungan besi dalam beras Amelioran Keywords: Tidal swamp Food security Functional food Iron content in rice Ameliorant
Abstract. Developmentof lowland rice in tidal swampland is strategic alternative to increase national food security. The problem faced is its expensive production cost and low quality of the product, so that the product-selling price is low. The development of rice commodity with the orientation as a functional food will increase product-selling price and farmer income. This research was conducted by split plot design with water management as primary factor and soil amelioration as a secondary factor. Applying fertilizers (Urea, SP-36, and KCl) and controlling integrated pest-diseases management were used as a basic treatment and rice var. Punggur was used as plant indicator. Rice cultivation by continuously flooding in tidal swampland increased rice production compared with intermittent drainage system as in micro water manag ement. However, to increase iron (Fe) content in rice in one pass processing can be done by micro water management treatment. Application of 10 t ha-1cattle manure as ameliorant increased rice production and also iron content in rice with one pass processing.
Pendahuluan Pengembangan pertanian di lahan pasang surut merupakan alternatif strategis untuk mengimbangi penciutan lahan produktif yang telah beralih fungsi menjadi lahan non pertanian, terutama untuk meningkatkan produksi dan melestarikan swasembada pangan. Teknologi pengelolaan lahan untuk produksi tanaman pangan telah berhasil dikembangkan, namun pemanfaatan lahan rawa sampai saat ini belum meluas. * Corresponding author : Subowo, email :
[email protected]
ISSN 1410-7244
Hal ini terjadi sebagai akibat terbatasnya infrastruktur dan pola tanam yang dapat dikembangkan hanya dapat dilakukan pertanaman 1 musim tahun-1 pada saat musim hujan. Yanter et al. (2007) menyatakan bahwa di Prov. Sumatera Selatan 63,3% petani padi yang berada di wilayah lahan rawa pasang surut miskin, dengan 86,82% pendapatan berasal dari kegiatan usahatani. Hasil pengkajian yang dilakukan BPTP Sumsel juga didapatkan bahwa nilai B:C rasio kegiatan usahatani padi di lahan rawa pasang surut dengan penilaian kuantitas produksi semata hanya sebesar 0,97-1,11 (Subowo 2007).
19
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Selama ini mutu produk pertanian khususnya padi dihargai semata-mata untuk cita-rasa, konversi kandungan energi, dan penampilan. Sedangkan mutu produk pertanian yang berorintasi pada kandungan mineral yang bermanfaat bagi kesehatan manusia belum banyak diperhitungkan. Akibatnya produk beras di daerah rawa pasang surut dengan biaya produksi yang tinggi dan fasilitas pasca panen terbatas tidak memiliki daya saing yang kuat. Widmeen dalam Rahmat dan Herliwati (2004) menyatakan bahwa manusia membutuhkan besi (Fe) dalam tubuhnya sebanyak 12-300 mg yang terkandung dalam makanan/ minuman yang dikonsumsi per hari. Suryana (1999) mengemukakan bahwa dengan meningkatnya kualitas produk pertanian dapat meningkatkan nilai ekonomis dan sekaligus memperluas peluang pasarnya dalam arti tidak hanya untuk memasok kebutuhan lokal saja tetapi juga untuk kebutuhan global. Untuk meningkatkan kualitas beras pasang surut salah satunya adalah dengan memperkenalkan pangan fungsional yang kaya mineral. Pangan fungsional adalah bahan pangan yang memiliki kandungan bahan aktif tertentu yang memiliki fungsi untuk kesehatan. Selama ini, kebutuhan tubuh akan bahan mineral cukup tinggi, sementara suplai dari makanan belum mencukupi sehingga diperlukan usaha untuk memperkaya produk pertanian melalui peningkatan pangan fungsional yang kaya mineral. Dari hasil penelitian Ratmini et al. (2005) diketahui bahwa kandungan unsur mikro seperti besi (Fe), mangan (Mn), dan seng (Zn) di wilayah pasang surut Sumatera Selatan tergolong sangat tinggi. Subowo et al. (2006) mendapatkan bahwa tanaman padi lokal lahan rawa var. Ketan Abang mampu mengakumulasi mineral antioksidan Fe dalam beras cukup tinggi. Pada kondisi reduksi Fe berada dalam bentuk fero (Fe2+) yang dalam jumlah terbatas dan pada waktu yang singkat dapat terserap dan digunakan tanaman yang berada pada tanah basa (Bohn et al. 1979). Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa konsentrasi fero (Fe2+) dalam tanah dapat meningkat sampai 600 ppm setelah digenangi 3-4 minggu berturut-turut. Pada saat kelarutan fero tinggi, kandungan Fe2+ pada padi dapat mencapai 300 ppm yang merupakan batas kritis keracunan Fe untuk tanaman padi (Yusuf et al. 1990). Kandungan Fe pada daun padi sawah di tanah Oxisols Sitiung setelah penggenangan 60 hari dapat mencapai lebih dari 2.500 ppm (Jugsujinda and Patrick, 1993 dalam Hartatik et al. 2010). Bahkan kandungan besi pada jaringan tanaman padi yang di tanam pada lahan bekas tambang timah di Babel masing-masing adalah 26.471,67 ppm Fe pada akar, 2.784,67 ppm Fe pada batang dan daun,
20
dan 232,33 ppm Fe pada beras (Meekert 1994 dalam Sitorus et al. 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa sistem drainase lebih dominant untuk menurunkan konsentrasi besi dalam tanah, kemudian dapat diikuti dengan penambahan bahan organik dan kapur (Hartatik et al. 2010). Untuk itu penanaman padi sawah di tanah lahan rawa pasang surut yang kaya Fe diharapkan dapat dihasilkan beras kaya Fe (iron rice) bermineral tinggi dan nilai jual yang lebih baik. Pemanenan mineral Fe melalui pengkayaan produk pangan fungsional akan mampu meningkatkan kualitas produk pertanian lahan rawa pasang surut, sehingga memperoleh kompensasi harga lebih baik dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Desember tahun 2007 pada tanah sulfat masam potensial, di Desa Telang Karya (P8-12S), Muara Telang, Jalur 8, Jembatan 6, Banyuasin, Sumatera Selatan. Varietas padi yang digunakan padi Punggur dengan jarak tanam 25 x 25 cm2. Penelitian menggunakan rancangan Petak Terpisah 2 x 4 dengan tiga ulangan. Ulangan dilakukan untuk setiap petani dengan ukuran petak masing-masing seluas 625 m2. Petak Utama merupakan faktor pengelolaan air, yaitu : I.
Tata Air Mikro (TAM) (penggelontoran air genangan dilakukan saat tersedia air segar masuk di petakan).
II. Penggenangan secara terus-menerus (tinggi genangan permanen ± 5 cm). Anak Petak merupakan perlakuan ameliorasi tanah, yaitu: 1.
Kontrol
2.
Pemberian jerami dengan dosis 10 t ha-1.
3.
Pemberian pupuk kandang sapi 10 t ha-1.
4.
Pemberian Kapur pertanian (Kaptan) 2 t ha-1.
Teknologi anjuran berupa pemberian pupuk urea 200 kg ha-1, SP-36 100 kg ha-1, KCl 100 kg ha-1, dan pengendalian hama-penyakit terpadu (PHT) diperlakukan sebagai perlakuan dasar. Selama penelitian dilakukan penggelontoran air segar pada perlakuan TAM sebanyak 21 kali (interval waktu ± 5-7 hari sekali). Data yang dikumpulkan dalam kegiatan ini meliputi: produksi gabah kering panen (GKP) dan kandungan besi (Fe) beras (ekstraksi Perklorat-nitrat) dengan penyosohan 1 kali (one pass).
Subowo et al. : Pengaruh Ameliorasi Tanah Rawa Pasang Surut untuk Meningkatkan Produksi Padi Sawah
Hasil dan Pembahasan Kondisi tanah menunjukkan bahwa lokasi kegiatan di lahan sawah rawa pasang surut ini memiliki tingkat kesuburan tanah tinggi (Tabel 1). Lokasi kegiatan merupakan lahan sawah intensif yang selama ini ditanami padi dua kali per tahun, bahkan ada yang tiga kali per tahun. Setiap musim tanam dilakukan pengolahan tanah dan penambahan pupuk Urea, SP-36, dan KCl. Demikian juga sumber air di hulu lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan berasal dari daerah vulkan dengan Gunung Dempo yang merupakan gunung api aktif, sehingga kaya akan mineral hara yang terangkut bersama air sungai yang masuk ke lahan. Sehubungan pengolahan tanah sempurna dan berada di kawasan dengan kelembaban tinggi, maka bahan organik pada lapisan olah cepat melapuk dan melepaskan hara yang dikandung di dalamnya. Tabel 1. Karakteristik kimia tanah lapisan olah (0-20 cm) lahan pasang surut di Desa Telang Karya Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan Table 1. Chemical characteristics of the soil topsoil (0-20 cm) tidal swamp land in the Muara Karya Village, Muara Telang Sub District, Banyuasin Regency, South Sumatra Jenis analisis
Nilai
Kriteria*)
pH : H2O KCl Nitrogen total (%) C-organik (%) P potensial (mg 100g-1) K potensial (mg100g-1) P tersedia (ppm) Kapasitas tukar kation (cmol kg-1) Ca (cmol kg-1) Mg (cmol kg-1) Na (cmol kg-1) K (cmol kg-1) Mineral antioksidan (eks. perklorat-nitrat): Fe (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Se (ppm)
4,6 3,9 0,50 1,69 79 171 37,87 25,82
Masam Sedang Rendah Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Tinggi
0,09 0,69 1,24 0,40
Sangat rendah Rendah Sangat tinggi Sedang
8.692 32 5,2 17 12,4
Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi
*) Keterangan: berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2009)
Kandungan bahan organik tanah rendah dan kesuburan kimia tanah cukup tinggi. Sedangkan pemupukan menyebabkan pengkayaan kandungan unsur makro, seperti nitrogen, fosfor dan kalium, karena lahan rawa pasang surut datar dan tidak terjadi pencucian yang intensif seperti halnya di wilayah lain yang berlereng. Akan tetapi karena
lahan tersebut tidak diberikan kapur dan di daerah bukan berbahan induk kapur, maka kandungan kalsium dan magnesium tanah rendah. Kadar total unsur besi (Fe) pada tarafi tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil survei oleh Ratmini et al. (2005), yang menyatakan bahwa lahan sawah pasang surut di Kecamatan Muara Telang memiliki kadar Fe paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Produksi gabah kering panen (GKP) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan dengan tata air mikro (TAM) memberikan hasil produksi gabah kering panen padi varietas Punggur lebih rendah dibanding dengan perlakuan penggenangan terus-menerus (Tabel 2). Masalah yang banyak dialami untuk produksi padi di lahan rawa pasang surut adalah adanya oksidasi pirit (FeS2) yang selanjutnya dapat menurunkan pH tanah akibat dihasilkannya asam sulfat. Tanah akan menjadi masam dan dapat merusak struktur liat dan melepaskan Al, selanjutnya mengganggu sistem pertukaran ion ha-1ra bagi akar tanaman dan tanaman tumbuh merana/mati. Perlakuan penggenangan terus-menerus akan mencegah terjadinya oksidasi pirit dan menyangga pH tanah mendekati netral, sehingga ketersediaan hara fosfat menjadi lebih tersedia. Selain itu adanya penggelontoran air pada perlakuan TAM sebanyak 21 kali dengan interval 5-7 hari mengakibatkan pencucian hara tanah utamanya N dan K, terjadinya peningkatan aerasi tanah dan meningkatnya potensial redoks (Eh), pirit teroksidasi, pH tanah menurun dan produksi gabah lebih rendah dibanding pada perlakuan penggenangan permanen. 4 FeS2 + 19 O2 2 Fe2O3 + 8 SO4= Tabel 2. Produksi gabah kering panen (GKP) padi varietas Punggur di lahan pasang surut Sumatera Selatan Table 2. Production of dry grain field (GKP) of rice var. Punggur in tidal swamp land South Sumatra Anak petak
1. Kontrol 2. Jerami 10 t ha-1 3. Pukan sapi 10 t ha-1 4. Kaptan 2 t ha-1 Rata-rata
Petak utama Tata air mikro Penggenangan Rata-rata (TAM) permanen 6,70 a 6,93 ab 7,57 b 6,72 ab 6,98 A
t ha-1 7,87 ab 7,61 a 8,93 b 7,88 ab 8,07 B
7,28 ab 6,77 a 8,25 b 7,30 ab 7,40
Keterangan: Angka diikuti dengan huruf kecil yang sama dan dalam kolom yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata sampai taraf nyata 5% DMRT. Angka diikuti dengan huruf besar yang sama dalam baris yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata sampai taraf nyata 5% DMRT.
21
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Di antara perlakuan ameliorasi yang dicobakan terlihat bahwa ameliorasi dengan jerami maupun kaptan tidak terdapat beda nyata dengan perlakuan kontrol, baik pada TAM maupun pada penggenangan. Hal ini terjadi karena pada kondisi disawahkan/pelumpuran nilai fungsi amelioran bahan organik dari jerami yang lebih menonjol hanya pada fungsi kimia dengan kandungan hara yang terkandung di dalamnya. Sementara tanah percobaan pada prinsipnya sudah memiliki kesuburan kimia cukup tinggi (Tabel 1). Akibatnya fungsi pengkayaan hara hasil dekomposisi bahan organik dari jerami yang miskin hara tidak memiliki pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman padi. Demikian juga pada kondisi disawahkan/ tergenang laju dekomposisi bahan organik untuk melepaskan hara yang terkandung didalamnya berlangsung lambat. Bahkan untuk bahan organik dari jerami pada proses dekomposisi awal juga diperlukan hara untuk aktivitas organisme dekomposer, sehingga justru terjadi persaingan hara dengan tanaman padi sendiri. Pemberian jerami tidak memiliki pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman untuk musim tanam pertama. Hesse (1984) menyatakan bahwa fungsi bahan organik terhadap sifat fisik tanah lebih menonjol untuk budidaya padi gogo, sedang untuk padi sawah hanya berfungsi sebagai fungsi kimia (penyediaan hara). Akibatnya pengaruh amelioran pupuk kandang sapi yang memiliki kandungan hara lebih lengkap dan tinggi memberikan pengaruh peningkatan produksi lebih baik dibanding jerami maupun kapur pertanian yang hanya memiliki fungsi sebagai bahan amelioran. Sesuai dengan nilai fungsi jerami padi sawah lebih berorientasi pada nilai perbaikan fisik tanah, maka pada perlakuan TAM yang sering dilakukan pengeringan akan terjadi proses dekomposisi lebih cepat. Bahan organik menjadi lebih cepat lapuk dan juga dapat dilepaskan sebagian hara yang dikandungnya, sehingga memberikan pengaruh lebih baik dibanding kontrol. Sebaliknya pada penggenangan terus-menerus memiliki pengaruh lebih buruk dibanding kontrol. Keberadaan fisik jerami yang tidak mengalami pelapukan justru mengganggu ruang kontak antara akar tanaman dengan hara dalam tanah. Kemampuan serapan hara bagi akar tanaman padi mengalami gangguan/menurun. Perlakuan amelioran dengan kapur pertanian (kaptan) dengan target perbaikan pH tanah dan peningkatan ketersediaan Ca memberikan pengaruh lebih baik dibanding kontrol.
(Tabel 3). Adanya penyanggaan pH tanah mendekati pH netral pada tanah tergenang, maka tanah percobaan yang ber pH masam (Tabel 1) akan mengalami peningkatan pH. Meningkatnya pH tanah yang tergenang ini akan mengendapkan Fe, sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Pada tanah dengan pH tinggi akan terjadi pengikatan Fe oleh ion hidroksi (OH-) (Brady, 1980; Salisbury, 1992). Hesse (1984) juga menyatakan bahwa meskipun lambat dekomposisi bahan organik pada kondisi disawahkan (tergenang) tetap terjadi pelepasan CO2 yang selanjutnya dapat membentuk ikatan kompleks dengan Fe dan Mn. Pada perlakuan penggenangan permanen terjadi suasana reduktif secara terus-menerus, sehingga peluang terjadinya serapan Fe hanya terjadi sekali pada tahap awal penggenangan dan selanjutnya tanaman mengalami kemunduran pertumbuhan. Sebaliknya pada perlakuan TAM intensitas suasana perubahan reduktif ke oksidatif atau sebaliknya sering terjadi, sehingga peluang perbaikan pertumbuhan ataupun tekanan pertumbuhan tanaman selalu bergantian. Akibatnya akumulasi serapan Fe menjadi lebih besar pada perlakuan TAM. Kandungan Fe dalam beras sosoh satu kali pada perlakuan TAM lebih tinggi dibanding pada perlakuan penggenangan terusmenerus. Demikian pula pada perlakuan amelioran pukan sapi yang lebih potensial menurunkan nilai potensial redoks (Eh), sehingga ketersediaan Fe2+ tinggi dan peluang terjadinya serapan Fe tanaman lebih tinggi, baik pada perlakuan TAM maupun perlakuan tergenang. Hanum (2004) mendapatkan bahwa pemberian pupuk kandang akan mempercepat penurunan kondisi redoks tanah dan meningkatkan kelarutan besi dan kadar P tanah. Tabel 3. Hasil analisis kandungan Fe (eks. Perkloratnitrat) dalam beras penyosohan satu kali Table 3. The analysis results of the Fe (ex. Perchloratenitrate) rice contents in one pass Petak utama
22
Kandungan Fe beras ppm
A. Tata air mikro (TAM)
1. Kontrol 2. Jerami 10 t ha-1 3. Pukan sapi 10 t ha-1 4. Kaptan 2 t ha-1 Rata-rata
3,28 a 3,92 a 5,24 b 5,91 b 4,59 B
B. Penggenangan
1. Kontrol 2. Jerami 10 t ha-1 3. Pukan sapi 10 t ha-1 4. Kaptan 2 t ha-1 Rata-rata
3,27 ab 3,27 ab 5,24 b 2,62 a 3,60 A
Kandungan Fe pada beras sosoh satu kali (one pass) Kandungan Fe dalam beras penyosohan satu kali (one pass) didapatkan bahwa perlakuan TAM relatif lebih tinggi dibanding dengan penggenangan terus-menerus
Perlakuan Anak petak
Keterangan: Angka diikuti dengan huruf kecil dan huruf besar yang sama dan dalam kolom yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata sampai taraf nyata 5% DMRT.
Subowo et al. : Pengaruh Ameliorasi Tanah Rawa Pasang Surut untuk Meningkatkan Produksi Padi Sawah
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa serapan Fe dalam beras tidak dipengaruhi oleh kemampuan produksi tanaman, namun lebih dipengaruhi oleh kondisi tanah tempat tumbuh tanaman. Pada kondisi tergenang terusmenerus serapan Fe rendah, sebaliknya pada kondisi penggenangan terputus (TAM) serapan Fe lebih tinggi. Namun Fe merupakan unsur hara mikro esensial yang diperlukan dalam jumlah sedikit, sehingga ketersediaannya juga diperlukan tanaman. Peran unsur Fe antara lain dalam pembentukan ultrastruktur khloroplas (Romheld and Nicolic, 2007). Terry dan Abadia (1986) mengemukakan, sekitar 80% Fe dalam daun terdapat dalam khloroplas dan berperan dalam proses fotosintesis. Pada tanaman, Fe berfungsi sebagai transport elektron, merupakan komponen protein feredoksin, terlibat dalam sintesa protein dan perkembangan meristimatik ujung akar. Jika kekurangan Fe tanaman akan mengalami klorosis pada tulang daun muda dan pada kahat berat klorosis akan menyebar pada daun tua. Sedangkan keracunan Fe akan menyebabkan daun kecoklatan dengan titik-titik coklat pada daun. Sehubungan kandungan Fe pada lokasi percobaan relatif tinggi, maka serapan Fe tanaman tidak berkorelasi dengan produksi, bahkan cenderung berkorelasi negatif. Untuk meningkatkan serapan Fe pada beras pada tanah rawa pasang surut yang kaya Fe (Tabel 1) dapat dilakukan dengan mengupayakan budidaya padi dengan TAM dan pemberian amelioran pupuk kandang sapi.
Kesimpulan Untuk meningkatkan produktivitas padi var. Punggur di lahan rawa pasang surut dapat dilakukan dengan sistem budidaya penggenangan terus-menerus. Sedang untuk meningkatkan kandungan besi (Fe) dalam beras dapat dilakukan dengan membatasi lama genangan dengan pengelolaan sistem Tata Air Mikro (TAM). Pemberian amelioran pupuk kandang sapi 10 t ha-1 dapat meningkatkan produksi maupun kandungan besi pada beras sosoh 1 kali (one pass), baik pada pengelolaan tergenang terus-menerus maupun TAM.
Daftar Pustaka Bohn, H.L., B.L. McNeil, and G.A. O’Connor. 1979. Soil Chemistry. A Wiley Interscience Publication. John Wiley & Sons. New York, Chichaster, Brisbane, Toronto. 327 p. Brady, N.C. 1990. Tha Nature and Properties of Soils. The Mac Millan Publishing Company, New York.
Hanum, H. 2004. Peningkatan Produktivitas Tanah Mineral Masam yang Baru Disawahkan Berkaitan dengan P Tersedia Melalui Pemberian Bahan Organik, Fosfat Alam dan Pencucian Besi. Tesis Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Hartatik, W., Sulaeman, dan A. Kasno. 2010. Perubahan sifat kimia tanah dan ameliorasi sawah bukaan baru, Dalam Tanah Sawah Bukaan Baru, edisi ke-2. Agus, F., Wahyunto, dan D. Santoso (Eds.). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Hlm 53-76. Hesse, P.R. 1984. Potential of organic materials for soil improvement. In Organic Matter and Rice (IRRI, ed.), IRRI Los Banos, Laguna, Philippines, Pp 35-43 Ponnamperuma, F.N. 1978. Electrochemical Changes in Submerged Soil and the Growth of Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. Rahmat, M. dan Herliwati. 2004. Kandungan Logam Besi (Fe) dalam Tubuh Ikan yang Ditangkap di Perairan Sungai Kapuas Murung Pasca Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Hektar. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Ratmini, N.P., Subowo, K. Nugroho, Subardja, T. Arief, Waluyo, R. Purnamayani, I.S. Marpaung, dan Yenni. 2005. Studi Pemanfaatan Sumber Daya Mineral Rawa Pasang Surut untuk Meningkatkan Nilai Tambah Produk Pertanian di Sumatera Selatan. Laporan Proyek, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan. Romheld, V. and M. Nicolic. 2007. Iron. Pp. 329-350. In A.V. Barker and D.J. Pilbeam (Eds.) Handbook of Plant Nutrition. CRC Press. Boca Raton. Salisbury, F.B. 1992. Plant Physiology. Walworth Publishing Company, Belmont, California. Sitorus, S.R.P., E. Kusumastuti, dan L. Nurbaeti Badri. 2008. Karakteristik dan teknik rahabilitasi lahan pasca penambangan timah. Jurnal Tanah dan Iklim (27): 5774. Subowo, N.P. Sri Ratmini, Waluyo, dan R. Purnamayani. 2006. Potensi Daya Saing dan Prospek Pengembangan Beras Fungsional Lahan Rawa Lebak Sumatera Selatan. Hlm 144-152. Dalam Prosiding Semnas Pemberdayaan Masyarakat Melalui Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Lumbung Pangan Nasional. Subowo. 2007. Inovasi teknologi pertanian mendukung Sumatera Selatan lumbung pangan dan energi untuk pengentasan kemiskinan. Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Kebangkitan Teknologi, Balitbangda Sumsel, Palembang, 27 Agustus 2007. Suryana, A. 1999. Memposisikan pembangunan pertanian sebagai poros penggerak pembangunan nasional. Hlm 35-54. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Tanah, Iklim dan Pupuk. Buku I.
23
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Terry, N. and J. Abadia. 1986. Function of iron in chloroplasts. J. Plant Nutr. (9):609-646. Yanter, H., Budi Rahardjo, dan Suparwoto. 2007. Analisis perbandingan kemiskinan petani di agroeksistem pasang surut dan rawa lebak Sumatera Selatan. Hlm 333-342. Dalam Prosiding Semnas Dukungan Teknologi Pertanian dalam Upaya Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Usahatani. BPTP Kepulauan Bangka Belitung, Yusuf, A. 1992. Pengaruh Redoks Potensial dan pH terhadap Ketersediaan Fe, Al, dan Mn pada Tanah Sawah Bukaan Baru Jenis Oxisols di Daerah Transmigrasi Sitiung, Sumatera Barat. Disertasi Universitas Padjadjaran Bandung. Hlm 223.
24
Status Natrium pada Tanah Tercemar Limbah lndustri Tekstil di Rancaekek, Kabupaten Bandung Sodium Status on Polluted Soils by Textile Industrial Waste in Rancaekek, Kabupaten Bandung 1Muhamad 1
Djuwansah*
Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kompleks LIPI, Jl. Sangkuriang. Bandung 40135
INFORMASI ARTIKEL Riwayat artikel: Diterima: 26 Juni 2013 Disetujui: 17 Juli 2013 Katakunci: Polusi Tanah Natrium Salinitas Dispersi tanah Keywords: Pollution Soil Sodium Salinity Soil dispersion
Abstrak: Pencemaran lahan oleh Natrium dari limbah industri di Rancaekek Kabupaten Bandung menyebabkan sawah di lokasi tersebut selalu gagal panen sehingga tanah diberakan. Beberapa parameter sifat kimia-fisik dan mineralogi dari contoh tanah pada lahan tersebut dianalisis untuk mengetahui tingkat pencemarannya. Akumulasi Natrium menyebabkan tanah menjadi sodik sampai sangat sodik dan salin. Pengaruh sodisitas saat ini terhadap kerusakan fisik tanah belum tampak jelas karena relatif sedikitnya proporsi mineral liat, dan karena kapasitas adsorpsi tinggi yang dimiliki smektit sebagai mineral liat dominan. Fenomena pelarutan tanah dapat terjadi bila Natrium telah menjenuhi kapasitas adsorpsi tanah. Daerah pencemaran Natrium akan meluas apabila akumulasi Natrium tetap berjalan seperti yang berlangsung sampai saat ini. Abstract. Land pollution by sodium from industrial waste have caused repeating harvest failures of ricefield in the area that finally the land remained unplanted. Several soil physicalchemical parameters and mineralogy from soil samples were analyzed to determine the level of pollution. Sodium accumulation caused the soils to become sodic to very sodic and saline. Effect of sodicity on soil physical damage did not appear yet because of small proportion of clay minerals and high adsorption capacity of smectite as the predominant clay minerals. Soil dispersion phenomenon may happen when sodium had saturated all soil adsorption capacity. Sodium polluted area will be expanded if the accumulation of sodium keeps running.
Pendahuluan Sekitar 1.250 hektar sawah di hilir kawasan industri Rancaekek, Kabupaten Bandung tidak dapat ditanami lagi karena tercemar limbah. Lahan tersebut kini terlantar sebagai lahan bera, hanya ditumbuhi gulma lahan basah seperti mendong (Fimbistylis globulosa) dan eceng gondok (Eichornia crassipes). Kawasan Industri di Rancaekek dimulai pada tahun 1978, khususnya industri tekstil. Semenjak itu, sawah beririgasi teknis yang terletak di hilir kawasan semakin sering gagal panen sehingga pada akhirnya diberakan. Proses industri tekstil biasa memakai Natrium Hydrophosphat (sodium hydrogen phosphate dihydrate: 2NaHPO4.2H2O) untuk pemutih (bleaching) serta pengolah limbah dan bahan mengandung logam berat untuk pewarna. Umumnya industri memiliki instalasi pengolah limbah karena disyaratkan peraturan (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 01 tahun 2010). *Corresponding author : Muhamad Djuwansah, email:
[email protected]
ISSN 1410-7244
Meski demikian, hasil analisis tanah di hilir kawasan industri memperlihatkan kandungan yang tinggi beberapa pencemar B3 dan logam berat, dimana kandungan Cu, Zn, dan Co di atas batas kritis (Suganda et al. 2002), sedangkan Natrium (Na) mencapai lebih dari 10 kali batas kritisnya. Kandungan Na di dalam tanah biasa dekspresikan dengan sodisitas sebagai bagian dari kation garam total yang biasa diekspresikan dengan salinitas. Salinitas dan sodisitas yang terlalu tinggi membawa pengaruh buruk bagi tanaman, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Salinitas yang tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat karena turunnya tekanan osmotik, sehingga menyulitkan pengambilan unsur hara oleh akar (Foth and Turk 1972). Sodisitas tinggi menyebabkan keracunan Na dan ion-ion sejenis, seperti Boron dan Molibdenum. Disamping itu, terdapat efek tidak langsung dari keduanya berupa peningkatan nilai pH tanah yang menyebabkan imobilitas beberapa unsur hara penting seperti Ca, Mg, P, Fe, Mn, dan Zn sehingga unsurunsur tersebut tidak dapat di ambil oleh akar tanaman.
25
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Kandungan Na yang sangat tinggi di dalam tanah akan berakibat buruk bagi sifat fisika tanah karena akan menyebabkan pelarutan liat (clay dispersion) yang lebih jauh lagi dapat mengakibatkan penyumbatan dan pembentukan kerak pada kesarangan tanah sehingga kelulusan tanah akan berkurang dan kepadatan tanah akan meningkat (Regasamy et al. 1984). Apabila semua kapasitas adsorpsi tanah telah dijenuhi oleh ion Na +, akan terjadi fenomena “Tanah Larut” (dispersive soils). Penjenuhan kapasitas adsorpsi menyebabkan lempenglempeng dalam partikel liat saling tolak-menolak sehingga melarut (disperse) dalam air dalam bentuk koloidal berukuran submikron atau ångström. Di alam, fenomena ini tampak sebagai pembentukan larutan koloidal tanah yang sukar mengendap dan mengeruhkan perairan. Proses pelarutan tanah akan berlangsung bila tanah sodik (jenuh Na+) digenangi atau dicuci oleh air yang salinitasnya lebih rendah, seperti misalnya ketika tanah sodik tertimpa air hujan atau digelontor dengan air sungai yang tawar. Kawasan industri di Rancaekek dibangun di sepanjang sisi sebelah utara jalan Raya Bandung-Garut (Gambar 1).
Pesawahan terletak di sebelah selatan jalan, pada posisi geografis antara 107o 43’5” – 107o49’5”LS dan 6o57’0” – 7o10’0” BT, ketinggian 680 sampai 725 m di atas permukaan laut, dibawah pengaruh curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.200 mm. Kebutuhan air Industri dipenuhi dari berbagai sumber setempat, baik aliran permukaan maupun airtanah. Air limbah dialirkan ke anak-anak sungai Cikijing dan Cimande yang juga dipakai untuk mengairi pesawahan, sebelum keduanya bergabung dengan Sungai Citarik dan bermuara ke Citarum. Pencemaran paling berat dijumpai antara Sungai Cikijing dan Citarik, tetapi kadang-kadang pengaruhnya dirasakan pula di Kawasan Solokan Jeruk di hilir, berjarak sekitar 7 km dari kawasan industri. Pengamatan pada tahun 2001 (Suganda et al. 2002) menunjukkan bahwa sawah masih bisa ditanami tetapi produktivitasnya sangat menurun karena menghasilkan butir gabah hampa walaupun dipupuk sesuai anjuran. Pengamatan pada 2008 (Rahmat et al. 2008) melaporkan bahwa pencemaran hanya terjadi di permukaan tanah dan menyebabkan sebagian besar sawah yang terletak antara Sungai Cikijing dan Citarik sudah tidak pernah ditanami sama sekali.
Gambar 1. Situasi area pencemaran natrium di Rancaekek Figure 1. Situation of sodium polluted area in Rancaekek
26
Muhamad Djuwansah : Status Natrium pada Tanah Tercemar Limbah lndustri Tekstil
Menurut Peta Tanah Semi Detail Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993), Tanah yang tercemar tergolong pada great group tropaquept dari group typic, vertic dan aeric, berkembang di atas endapan pesisir pantai danau purba (Dam 1994) yang tersususn dari bahan pasir/lempung tufaan. Tulisan ini difokuskan untuk mengkaji status pencemar Na di dalam tanah tercemar di Rancaekek, serta penanganannya di masa mendatang.
Bahan dan Metode Contoh tanah diambil secara acak dari beberapa titik lokasi di lahan sawah yang sudah diberakan (Gambar 1) di antara sungai Cikijing dan Citarik, pada lima lokasi masing-masing dengan kedalaman 0-5 cm dan lebih dari 5 cm. Analisis laboratorium dilakukan untuk parameterparameter: Tekstur tanah, pH (H2O dan KCl), C organik, N total. P2O5, K2O, NTK (Na+, K+, Ca++, Mg++) dan Kapasitas Absorpsi (NH4). Analisis dilakukan di Lab tanah Puslit Geoteknologi-LIPI. Mineralogi tanah dianalisis dengan Diffraksi Sinar-X untuk bubuk (powder) tanah (Φ butiran < 50 µ) dan fraksi liat (Φ butiran < 2 µ). Mineral liat diidentifikasi pada diagram difraksi preparat-preparat pasta contoh terorientasi tanpa perlakuan, penjenuhan Mg, penjenuhan Mg disertai pemanasan 550oC., Penjenuhan K, dan penjenuhan K serta pemanasan 550oC. Analisis dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Tanah Dan Agroklimat. Proporsi jenisjenis mineral liat diduga pada diagram difraksi preparat penjenuhan Mg, berdasarkan tinggi puncak diagram, dan derajat kristalisasi mineral diobservasi berdasarkan area basal (Brindley and Brown, 1980). Kandungan Na dalam tanah dievaluasi menggunakan parameter-parameter Persentasi Na Dapat Dipertukarkan (exchangeable sodium percentage = ESP) dan Rasio Jerapan Na (sodium adsorption ratio =SAR), sedangkan Salinitas Tanah dinyatakan sebagai Daya Hantar Listrik (DHL) dalam satuan dS m-1 yang didekati melalui Konsentrasi Total Kation (total cation concentration = TCC). Batasan dan cara penentuan masing-masing parameter adalah sebagai berikut. ESP adalah Persentasi Na terhadap seluruh kation teradsorpsi yang dapat dipertukarkan : ESP = 100 * Na+ / Kapasitas adsorpsi SAR adalah perbandingan Jerapan Na+ terhadap Ca++ dan Mg++, yang merupakan perbandingan aktivitas kation Na+ terhadap kation lainnya, dihitung dengan rumus:
DHL (daya hantar listrik), biasa diukur langsung dengan satuan dS m-1, atau dihitung melalui jumlah
TCC (total cation concentration) dalam satuan mst 100gr-1, melalui rumus: TCC (mst L-1) ≈ 10 * DHL (dS m-1), atau [Na+] + [K+] + [Ca++] + [Mg++] (mst l-1) ≈ 10 * DHL (dS m-1)
Konsekwensi kandungan Na di dalam tanah terhadap sifat fisik dan kesuburan di evaluasi berdasarkan Nilai Kapasitas Adsorpsi dan Mineralogi Liat.
Hasil dan Pembahasan Fisik dan Kandungan Hara Makro Tanah Tanah bertekstur halus sampai sedang dengan kandungan fraksi butiran debu berkisar antara 45% dan 83%. Berdasarkan kriteria kesuburan tanah di Indonesia (Pusat Penelitian Tanah 1983), hampir semua unsur hara penting yang dianalisis pada tanah tercemar ini berada pada kandungan yang sangat rendah atau rendah (Tabel 1). Kalium dapat dipertukarkan merupakan satu-satunya parameter yang kandungannya sedang, sedangkan Na kandungannya sangat tinggi. Kemasaman tanah berada pada kisaran masam sampai agak alkalis. Selisih pH H2O dan pH KCl yang berkisar antara 0,26-1,61 serta kapasitas adsorpsi antara 9 -17,4 mst 100 gr-1, menunjukkan bahwa tanah akan memberikan respons pertumbuhan tanaman yang baik bila diberikan pemupukan yang sesuai (Dajou 1961 dalam Baize 1988). Kecuali kandungan Na yang sangat tinggi, komposisi kandungan hara tanah ini masih dalam batas yang sesuai untuk tanah yang dibudidayakan secara intensif. Seandainya tidak ada masalah salinitas atau sodisitas, kekurangan hara yang ada masih dapat dikoreksi dengan dosis pemupukan yang tepat. Sifat Mineralogi Tanah Mineral-mineral yang terdeteksi oleh analisis Difraksi Sinar-X (Gambar 2) dalam bubuk tanah adalah Kuarsa, Feldspar Na atau Albit (Labradorit) dan mineral-mineral liat. Pada fraksi butiran < 2µ, mineral liat yang tampak adalah Kaolinit, Smektit, Haloysit, dan Illit. Kaolinit dan smektit merupakan mineral terbanyak. Kaolinit dicirikan dengan puncak 7 Å yang tinggi dan tajam pada diagram tanpa perlakuan (TP), sedangkan smektit pada 15,66 Å untuk diagram TP serta pada 17,6-17,9 Å untuk diagram Mg+Gliserol. Haloysit terdeteksi kadang-kadang menyertai kaolinit pada puncak 7,65Å, sedangkan illit terdeteksi kadang-kadang dengan jumlah yang sedikit, ditandai dengan puncak 10,41 Å yang rendah pada diagram. Secara umum, kaolinit dan smektit dominan dalam tanah dengan jumlah yang relatif berimbang, sedangkan illit hadir dengan jumlah yang sedikit.
27
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Tabel 1. Beberapa parameter kimia dan fisika tanah tercemar Table 1. Some physics and chemical parameters of polluted soils No.
Kode contoh **)
pH H2O
pH KCl
Kadar CN-total air Org.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
RC1 (0/5) RC1 (22/70) RC2 (0/5) RC2 (27/130) RC5 (0/5) RC5 (19/36) RC7 (0/5) RC7 (40/100) RC8 (0/5)
7,13 7,98 7,44 7,07 6,52 6,61 5,62 6,16 7,28
6,05 7,59 6,22 5,46 5,78 5,91 5,13 5,90 6,33
.............. % .............. 8,52 0,17 1,96 6,94 0,02 3,23 11,11 0,24 1,63 11,31 0,05 3,51 12,64 0,10 0,05 11,3 0,07 1,73 9,03 0,09 3,59 12,03 0,19 1,09 10,7 0,15 0,76
10.
RC8 (40/100) Rata rata Stdev
7,09 6,89 0,642
6,39 6,07 0,62
12,48 10,60 1,76
0,02 0,10 0,07
0,2 1,77 1,24
P2O5
K2O
Na
NTK*) K Ca
Mg
Kapasitas adsorpsi
................................... mst 100g-1 ................................... 7,75 20,73 2,25 0,1 0,34 0,22 8,58 6,40 12,21 1,52 0,1 0,28 0,15 10,78 4,93 8,28 3,46 0,3 0,29 0,22 9,02 2,81 2,97 2,03 0,4 0,36 0,21 15,18 8,66 6,35 3,38 0,4 0,26 0,17 13,64 12,90 8,56 2,78 0,3 0,24 0,13 15,18 11,37 6,07 2,95 0,1 0,22 0,15 13,86 5,69 7,74 4,79 0,3 0,24 0,14 16,72 2,85 5,42 1,02 0,5 0,29 0,12 17,38 2,05 6,95 3,42
2,65 8,09 4,97
1,42 2,56 1,08
0,5 0,30 0,15
0,30 0,28 0,04
0,13 0,16 0,03
9,90 13,02 3,05
Pasir
Besar butir Debu Liat
................ % ................ 2,72 82,76 14,52 40,58 45,61 13,81 3,52 65,86 30,62 4,97 69,41 25,72 1,15 78,65 19,48 1,22 75,44 23,34 26,00 69,28 4,72 7,92 67,3 24,78 19,08 76,44 4,48 17,34 58,16 24,50
*) NTK = Nilai tukar kation **) (0/5) = kedalaman 0 - 5 cm di bawah permukaan tanah
a
b
a
b
Gambar 2. Diagram hasil analisis contoh tanah dengan difraksi sinar-X. a. Bubuk tanah, b. Fraksi liat < 2µ, TP = tanpa perlakuan, Mg = dijenuhkan dengan Mg, Mg + Glycerol= dijenuhkan dengan Mg dan Gliserol, K = dijenuhkan dengan K, K+550 = dijenuhkan dengan K dan dipanaskan 550 oC Figure 2.
28
Diagrams of X-ray diffraction analyses results. a. Soil powder, b. clay fraction < 2µ, TP = without treatment, Mg = Mg saturated, Mg + Glycerol= Mg and Gliserol saturated, K = K saturated, K+550 = K saturated and heated to 550oC
Muhamad Djuwansah : Status Natrium pada Tanah Tercemar Limbah lndustri Tekstil
d
Gambar 3. Korelasi antara kapasitas jerapan dengan kandungan liat pada contoh tanah tercemar di Rancaekek Figure 3.
Correlation between adsorption capacity and clay content in the samples of polluted soils in Rancaekek
Smektit dikenal sebagai mineral dengan Kapasitas Adsorpsi yang tinggi (80-150 mst 100g-1) dibandingkan dengan illit (10-40 mst 100g-1) dan kaolinit (8-15 mst 100g-1) yang memiliki Kapasitas Adsorpsi rendah (Chamayou and Legros 1989). Dengan kandungan fraksi liat berkisar antara 4,5-31% dan dengan Kapasitas Jerapan antara 9 dan 17 mst 100gr-1 tanah (Tabel 1), tampak bahwa kapasitas jerapan terletak antara nilai-nilai yang dimiliki smektit dan Kaolinit. Tidak adanya korelasi antara nilai Kapasitas Jerapan dan prosentasi kandungan fraksi liat (Gambar 3) memengindikasikan bahwa pencampuran mineral liat di dalam tanah tidak homogen. Adanya Kapasitas Jerapan tinggi pada conto dengan kandungan liat yang kecil mengindikasikan pentingnya pengaruh partikel kolodal bukan liat, biasanya dalam bentuk bahan organik dan oksi-hidroksi besi dan alumunium (Chamayou and Legros 1989), terhadap kapasitas jerapan tanah di Rancaekek. Susunan mineralogi tanah banyak berpengaruh terhadap sifat fisik tanah (Foth and Turk 1972). Kandungan smektit di dalam tanah menyebabkan tanah bersifat plastis dan dapat menyebabkan terbentuknya rekahan-rekahan di permukaan tanah pada musim kering. Hadirnya kaolinit atau illit dan oksi-hidroksi logam (besi dan alumunium) secara bersamaan akan memberikan stabilitas terhadap agregat tanah karena akan saling menetralkan muatan antara satu dan lainnya. Oksida dapat juga mengakibatkan agregat menjadi keras dalam keadaan kering apabila hadir bersama smektit. Mineralogi liat berpengaruh terhadap sifat kimia tanah melalui Kapasitas Jerapannya (Foth and Turk 1972, Chamayou dan Legros 1989). Tanah dengan Kapasitas Jerapan tinggi akan dapat menahan kation dalam jumlah yang lebih besar dalam bentuk kation yang dapat
dipertukarkan. Mineral liat dapat pula mengikat humus dengan adanya oksi-hidroksi logam koloidal di dalam tanah (Monier 1965, dalam Chamayou and Legros 1989), sehingga meningkatkan kapasitas jerap tanah. Karena Na tertahan di dalam tanah sebagai kation yang dapat dipertukarkan, maka semakin tinggi kapasitas jerap tanah, semakin banyak pula limbah Na yang dapat tertahan di dalam tanah. Status Na dalam Tanah Tercemar di Rancaekek Hasil analisis kimia tanah (Tabel 1) memperlihatkan semua contoh memiliki kandungan Na yang jauh di atas kriteria sangat tinggi (> 0,1 mst 100gr-1) menurut standar kesuburan tanah di Indonesia (Pusat Penelitian Tanah 1983). Kandungan Na di bagian permukaan tanah (kedalaman 0-5 cm) umumnya lebih besar dibandingkan dengan di kedalaman, kecuali pada sample tanah yang diambil di tepian sungai (RC 7 dan RC 8). Na di dalam tanah, paling umum dijumpai sebagai kation (Na+) dapat dipertukarkan (exchangeable cation), larut dalam airtanah tetapi terikat oleh muatan (elektronegativitas) partikel-partikel tanah, terutama mineral liat. Diantara kation-kation yang umum dijumpai di dalam tanah Na merupakan ion yang paling sulit dipertukarkan (Foth and Turk 1972) dibanding ion-ion lainnya (Al, Ca, Mg, dan K). Kation dapat dipertukarkan berperan penting dalam metabolisme tumbuhan. Bentuk Na dalam tanah lainnya adalah yang berasosiasi dengan bahan organik, dan fraksi kation yang berada dalam struktur kristal mineral. Definisi kuantitatif tentang salinitas dan sodisitas ditetapkan berbeda di berbagai Negara. Sistem di Australia (Northcote and Skene 1972) membedakan sodisitas
29
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
berdasarkan ESP: tanah non sodik apabila ESP < 5, sodik apabila 6<ESP<14 dan sangat sodik pada ESP>15. Sedangkan sistem Amerika Serikat (USDA 1999), disamping digunakan parameter ESP>15 (Ogle 2010), tanah dinyatakan sodik apabila juga memiliki nilai SAR >13. Tanah salin ditentukan dengan nilai DHL > 4 dS m-1 pada 25oC pada ekstrak larutan tanah jenuh. Sodisitas dan salinitas tanah tercemar di Rancaekek yang dihitung berdasarkan nilai-nilai konsentrasi Na+, NTK, dan Kapasitas adsorpsi (Tabel 2) memperlihatkan bahwa sebagian besar tanah tercemar di Rancaekek term asuk sangat sodik (ESP > 14) menurut klassifikasi Australia, kecuali RC8(0/5) yang tergolong sodik. Berdasarkan SAR yang mendasari sistem USDA, kandungan Na tanah tersebut masih rendah untuk kelas tanah sodik (SAR > 13). Kegaraman tanah tergolong salin dan dengan proporsi Na+ yang sangat tinggi (53-88%) terhadap total kation yang dapat dipertukarkan, bahkan beberapa contoh memperlihatkan nilai di atas rata-rata kegaraman air laut (DHL ≈ 40 dS m-1). Budidaya tanaman padi jelas akan gagal pada tingkat salinitas dan sodisitas di atas, apalagi karena padi yang umum ditanam di dataran tinggi di indonesia bukan varietas yang diperuntukkan bagi tanah sodik atau salin. Berbagai varietas padi umumnya dapat tumbuh pada salinitas < 8 dS m-1. Pada salinitas <3 dS m-1 produksi panen tidak terpengaruh oleh kegaraman, tetapi diatas 3 dS m-1 setiap kenaikan 1 dS m-1 menyebabkan penurunan produksi panen sekitar 12 % (Maas and Hoffmann 1977). Pada kenyataannya setiap varietas padi memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap salinitas maupun sodisitas (Yasin et al. 2002). Sebuah test di Tamil Nadu India mendapati suatu padi hibrida yang produktivitasnya dapat bertahan sebesar 67% dibandingkan dengan produktivitas di atas tanah normal, ketika ditanam pada tanah dengan
tingkat sodisitas ESP ≈ 20 dan SAR > 10 (Gheeta et al. 2005). Di Indonesia, DHL > 5,5 menjadi batas kendala berat untuk budidaya padi sawah (S3), dan pada DHL> 6.5 dianggap tidak layak (N) untuk sawah (Djaenudin et al. 2003). Kecuali proses pelarutan tanah, proses-proses kerusakan fisik tanah lainnya yang diakibatkan oleh sodisitas seperti peningkatan kekerasan tanah, penyumbatan kesarangan tanah dan hilangnya permeabilitas tidak mudah tampak di permukaan. Pelarutan tanah secara massif akan terjadi apabila semua Kapasitas Adsorpsi Tanah sudah dijenuhi oleh Na. Pada keadaan aktual saat penjenuhan partikel-partikel liat mungkin telah terjadi secara setempat. Kandungan mineral liat pada tanah tersebut relatif sedikit dan penjenuhan oleh Na pada kapasitas adsorpsi (KB) baru mencapai rata-rata 26,6 persen (Tabel 2), tetapi jumlah Na yang menjenuhi mencapai rata-rata 74% dari total kation. Pengaruh sodisitas terhadap kerusakan fisik tanah belum tampak jelas disebabkan karena proporsi mineral liat relatif kecil, dan karena spesies mineral liat yang mendominasinya adalah smektit yang memiliki kapaitas adsorpsi 5 sampai 10 kali kapasitas mineral liat lainnya. Pada tingkat sodisitas saat ini, tanah tercemar di Rancaekek masih bisa menerima Na sebesar 3-4 kali lipat jumlah yang terdapat untuk menjenuhkan seluruh Kapasitas Adsorpsi tanah. Upaya Penanggulangan Akibat pencemaran Na di Rancaekek yang muncul permukaan, sejauh ini, adalah hilangnya produktivitas lahan sawah, sedangkan pelarutan tanah belum tampak nyata. Hilangnya produktivitas lahan sawah secara sosial ekonomi sementara ini tidak dianggap masalah terlalu besar karena penduduk setempat mendapatkan keuntungan
Tabel 2. Sodisitas dan salinitas contoh tanah tercemar di Rancaekek Table 2. Sodicity and salinity of polluted soils samples in Rancaekek No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
30
Kode contoh RC1 (0/5) RC1 (22/70) RC2 (0/5) RC2 (27/130) RC5 (0/5) RC5 (19/36) RC7 (0/5) RC7 (40/100) RC8 (0/5) RC8 (40/100) Rata rata stdev
ESP %
SAR
DHL (dS/m)
KB*) %
Na+/NTK %
26.22 14.10 38.36 13.37 24.78 18.31 21.28 28.65 5.87 14.34 20.53 8.86
4.24 3.27 6.87 3.78 7.25 6.45 6.81 10.98 2.25 3.06 5.50
3.47 2.51 4.78 3.54 4.69 3.83 3.78 5.88 2.31 2.82 3.76 1.05
33.83 19.32 47.42 19.49 31.19 22.81 24.57 32.90 10.93 24.15 26.66 9.59
77.52 73.00 80.90 68.63 79.44 80.30 86.64 87.09 53.67 59.40 74.66 10.55
2.52
Muhamad Djuwansah : Status Natrium pada Tanah Tercemar Limbah lndustri Tekstil
Gambar 4. Kandungan Na contoh tanah tercemar di Rancaekek pada diagram sodisitas-salinitas menurut nilai ESP dan DHL Figure 4.
Sodium content of polluted soil samples from Rancaekek at sodicity-salinity diagram acconding to ESP and EC values
Gambar 5. Proporsi Na+, NTK dan kapasitas jerapan dalam contoh tanah tercemar Rancaekek Figure 5.
Proportion of Na+, total EC, dan adsorption capacity in polluted soil samples of Rancaekek
lain dari adanya industri, yang tampaknya memadai, sebagai pengganti kerugian di lahan sawah. Meski tidak dapat ditanami lagi, nilai ekonomi lahan tidak hilang karena suatu saat dapat dikonversi menjadi pemukiman atau penggunaan lain. Tetapi apabila lahan ini tetap mendapatkan masukan Na, maka pada suatu saat pelarutan tanah akan tetap terjadi dan akan mengancam tegaknya bangunan-bangunan di atasnya. Oleh karena itu upaya untuk menanggulangi pencemaran dan rehabilitasi lahan tercemar harus tetap diupayakan. Pada dasarnya jumlah Na yang terlarut dalam airtanah dan Na yang terikat sebagai kation yang dipertukarkan di
dalam tanah selalu dalam kesetimbangan. Pengenceran airtanah oleh air hujan akan melarutkan sebagian Na yang dapat dipertukarkan dan akan tercuci bersama aliran. Tetapi, apabila konsentrasi masukan Na kebih tinggi daripada konsentrasi yang dapat tercuci maka tanah akan menjerapnya sehingga akan terjadi akumulasi yang menambah kandungan Na dalam tanah. Proses awal pelarutan tanah adalah pelarutan mineral liat. Hilangnya mineral liat dari dalam tanah akan menghilangkan sifat kohesif tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Partikel tanah yang paling mudah terangkut aliran air adalah partikel pasir halus dan debu (Weischmeier and
31
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Schmidt 1978). Hasil analisis tekstur (Tabel 1) memperlihatkan fraksi debu merupakan kandungan terbesar butiran (rata-rata = 71%) tanah tercemar di Rancaekek. Besarnya proporsi fraksi debu memberikan gambaran tingginya intensitas erosi yang dapat terjadi apabila kapasitas adsorpsi tanah di rancaekek telah terjenuhi. Peningkatan dayaguna lahan pertanian secata teknis biasa dilakukan melalui dua pendekatan, atau kombinasi keduanya: yang pertama cara biologis dengan mengembangkan jenis-jenis tanaman yang dapat beradaptasi dengan keterbatasan lahan atau, yang kedua, dengan memperbaiki lahan dengan cara mengurangi atau menghilangkan kendalanya. Untuk implementasinya, disamping penguasaan teknis, diperlukan pula peraturan dan perundang-undangan yang menjamin keberhasilan pelaksanaan di lapangan. Kemungkinan penerapan setiap pokok upaya penanggulangan adalah sebagai berikut.
Jenis padi yang toleran terhadap salinitas telah dikembangkan di Indonesia, terutama untuk memenuhi kebutuhan daerah pasang surut. Permasalahan kesuburan tanah untuk padi di daerah pasang surut adalah salinitas akibat pengaruh air laut, tetapi dengan kadar yang umumnya hanya sampai tingkat payau dengan salinitas rendah (DHL < 10). Percobaan penanaman galur/varietas padi toleran salinitas pada media tumbuh dengan salinitas 4000 ppm atau pada konsentrasi garam NaCl 4 mgr/L atau pada DHL= 4 dS/m di laboratorium (Utama dkk. 2009) memberikan hasil yang menjanjikan. Tetapi hasil laboratorium ini tidak berkorelasi dengan hasil ujicoba di lapangan untuk varietas-varietas padi yang sama. Di lapangan dengan cekaman salinitas yang kebih rendah (2.98 dS/m), varietas padi yang diuji memberikan hasil yang lebih rendah. Tanah tercemar di Rancaekek memiliki salinitas (berkisar antara 2.31 s.d. 5.88 dS/m) masih berada pada kisaran salinitas lahan-lahan pasang surut di Indonesia. Tetapi, salinitas tanah tercemar sebagian besar berasal dari Na, sehingga disamping salinitas, terdapat juga masalahan sodisitas. Referensi tentang pengembangan padi yang toleran terhadap sodisitas (khusus Na) di Indonesia masih sulit ditemukan, karena sodisitas bukan masalah yang umum dijumpai di Indonesia. Bagaimanapun, penanaman lahan tercemar Na di rancaekek dengan varietas padi yang toleran salinitas perlu dicoba.
jenuh dan dapat ditumbuhi tanaman (Abrol et al. 1988). Pengendalian dilakukan dengan pencucian berkala oleh air hujan atau air irigasi. Lahan ditanami dengan varietas yang toleran terhadap salinitas/sodisitas, umumnya diperoleh melalui pemuliaan (Yasin et al. 2002) Masalah utama yang dihadapi di daerah arid tidak mencukupinya air yang tersedia untuk keperluan pencucian maupun pengairan (Ogle et al. 2010). Untuk kasus tanah tercemar di Rancaekek, perbaikan tanah dengan cara pencucian dapat lebih mudah dilakukan karena disamping mendapat curah hujan yang cukup tinggi, memiliki kemiringan lereng yang cukup untuk pengaliran yang cepat, dilalui pula oleh aliran anak-anak sungai yang membawa air bersalinitas rendah dari hulu. Pada daerah dengan curah hujan diatas 2000 mm/tahun seperti di Rancaekek, tampaknya penurunan kadar Na akan terjadi dengan sendirinya asalkan sumber penambahannya dihentikan. Beberapa percobaan yang telah dilakukan di lab. (Rusydi et al. 2009; Rahmat 2010) memperlihatkan bahwa perbaikan tanah dengan pencucian telah menurunkan kadar Na di dalam tanah dengan cepat. Hasil penelitian lainnya memperlihatkan (Kurnia dkk. 2009) bahwa pengolahan tanah yang disertai dengan pencucian atau drainase dengan air yang belum tercemar mampu menurunkan kandungan Na. Pengolahan tanah dimaksudkan untuk mengaduk garam yang terakumulasi pada lapisan olah tanah dan agar larut dalam air pada saat pencucian. Kandungan Na dalam air drainase menurun dari 1100 ppm menjadi 450 ppm setelah pengolahan pertama dan menjadi 300 ppm setelah pengolahan kedua. Selama pertumbuhan tanaman, konsentrasi Na di dalam air drainase berkurang dari 300 ppm pada minggu pertama setelah penanaman menjadi 60 ppm pada minggu ke 15. Setelah pencucian, pertumbuhan tanaman meningkat dan memberikan hasil yang mencapai 8 - 10 ton/Ha gabah, seperti sebelum terjadinya pencemaran. Prasyarat keberhasilan remediasi lahan tercemar adalah menghentikan penumpukan Na pada tanah. Seandainya penghentian pasokan limbah Na tidak dihentikan, maka jumlah yang akan dibuang pada perioda waktu tertentu harus terencana dengan baik sehingga tidak terjadi penumpukan yang mengganggu tanaman. Limbah Na hanya boleh dilepas ke badan air umum dalam konsentrasi larutan yang tidak melampaui batas aman sehingga tidak menyebabkan salinasi/sodisasi di daerah hilir, misalnya pada konsentrasi limbah dengan nilai SAR dan salinitas setengan kali nilai toksik (SAR = 6 dan DHL < 2).
Teknologi Penanggulangan lahan Tercemar Na
Implementasi Peraturan dan Perundangan
Pendayagunaan lahan salin/sodik di daerah arid biasa dilakukan dengan mengendalikan konsentrasi Na dalam tanah serendah mungkin agar tidak mencapai konsentrasi
Peraturan dan Perundangan yang saat ini berlaku tampaknya tidak mendukung upaya untuk rehabilitasi dan pencegahan lahan tercemar Na. Pada Peraturan Menteri
Pengembangan Padi Toleran terhadap Na:
32
Muhamad Djuwansah : Status Natrium pada Tanah Tercemar Limbah lndustri Tekstil
Negara Lingkungan Hidup No. 01 tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air, Na tidak termasuk jenis pencemar dalam air limbah. Pada Peraturan Menteri Kesehatan (MENKES/PER/IV/2010) tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Kandungan Na tidak juga menjadi parameter yang harus diperiksa. Jumlah Na di dalam air Limbah menurut peraturan Pengendalian Pencemaran Air hanya dibatasi secara tidak langsung oleh nilai pH yang tidak boleh melebihi 9, sedangkan pada peraturan Persyaratan Air Minum dengan pH < 8.5. Dengan materi peraturan seperti diatas, akan sulit mengharapkan perusahaan penghasil limbah Na untuk berupaya agar tidak menggangu lingkungan sekitarnya karena aktivitasnya legal, apalagi bila mereka telah pula melakukan upaya pencegahan pencemaran dengan mengolah limbah-limbah lainnya yang dipersyaratkan peraturan. Bagi para petani dan pemilik lahan di sekitar lokasi industri penghasil limbah, tidak ada jaminan keamanan dari gangguan limbah Na, dan untuk lahan yang telah tercemar, tidak ada jaminan untuk keberhasilan rehabilitasi lahan. Untuk menjamin keamanan dan keadilan berusaha dalam jangka panjang, diperlukan peninjauan ulang dan perumusan kembali peraturan dan perundangan lingkungan yang berkaitan dengan pengendalian konsentrasi Na pada air limbah buangan yang masuk ke perairan umum.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1.
2.
3.
Akumulasi pencemar Na pada lahan sawah di Rancaekek menyebabkan tanah menjadi sangat sodik dan agak salin sampai salin. Jumlah Na pencemar belum menjenuhkan kapasitas Adsorpsi tanah, sehingga fenomena pelarutan tanah belum terjadi secara massif. Bila jumlah pencemar Na serta cara pengendalian seperti saat ini terus berlangsung, maka di masa mendatang daerah akumulasi Na akan meluas dan peluang terjadinya pelarutan tanah akan semakin besar. Upaya penanggulangan/pemulihan hanya akan berhasil apabila limbah produksi limbah Na dihentikan atau dikendalikan jumlahnya sehingga menjamin tidak terjadinya jumlah akumulasi Na di dalam tanah yang membahayakan.
Saran Perlu dirumuskan kembali peraturan tentang maksimum konsentrasi Na pada air limbah diperbolehkan dibuang ke perairan umum.
Ucapan Terimakasih Analisis mineralogi liat pada penelitian ini merupakan kenangan khusus dan terakhir kami bagi Bapak Almarhum Bambang Hendro MSc. dari Laboratorium Mineral Tanah, Puslit Tanah dan Agroklimat, Bogor. Terima kasih kami sampaikan dan do’a kami panjatkan untuk beliau. Terimakasih kami sampaikan untuk para Analis dan Teknisi di Laboratorium Tanah Puslit Geoteknologi-LIPI. Penelitian ini dibiayai oleh Program penelitian KompetitifLIPI tahun 2009-2010. Terimakasih kepada Bapak Arief Rahmat M.S. sebagai ketua tim yang telah mengijinkan penggunaan data hasil analisis tanah untuk dipublikasikan secara terpisah dalam naskah ini.
Daftar Pustaka Abrol I.V., J.S.P. Yadav, and F.I. Massoud. 1988. Salt affected soils and their management. FAO Soils Bulletin No. 31, Soil Resource and conservation Service Manual. Land and Water Development Div. FAO. Baize, D. 1988. Guide des Anayses Courantes en Peddologie. Institute Nationale de la Recherches Agronomique-Paris. Brindley, G.W. and G. Brown. 1980. Crystal structures of clay minerals and their X-ray identification. Mineraolgical society. P 493. Chamayou, H. et J.P. Legros. 1989. Les Bases Physiques, Chimiques et Mineralogiques de la Sciences du Sols. Techniques Vivants. Agence de Cooperation Culturelle et Technique Conseil International de la Langue Francaise. Presse Unversite de France. Dam, M.A.C. 1994. The Late Quartenary Evolution of the Bandung Basin, West Java, Indonesia. Academicsch Proefschrift Vrije Universiteit Amsterdam. Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagio, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Durand, J.H. 1983. Les Sols Irigables. Techniques Vivants. Agence de Cooperation Culturelle et Technique Conseil International de la Langue Francaise. Presse Unversite de France. Foth, H.D. and L.M. Turk. 1972. Fundamentals of Soil sciences. Willey Int. Edition.
33
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Gheeta S., P. Shanthi, S. Jeberaj, and S.E. Naina Mohamed. 2006. Gene action of sodicity tolerance rice. Indian Journ. Crop Science 1(1-2):201-202. Kurnia, U., H. Suganda, R. Saraswati, dan Nurjaya. 2009. Lahan sawah dan pengelolaannya: pengendalian pencemaran tanah sawah. Hlm 240-271. www. balittanah.deptan.go.id/dokumentasi/buku/.../tanah sawah9../. Diakses Juni 2012. Maas, E.V. and G.V. Hoffman. 1977. Crop salt tolerance, current assessment. Journ. of irrigation and drainage Div., ASCE 103(IR2):115-134. Monnier, G. 1965. Action des Matières Organique sur la Stabilite du Sol. Thèse, Paris. Northcote, K.H. and J.K.M. Skene 1972. Australian soils with saline and sodic properties. CSIRO Australia, Division of Soils. Soil Publication No. 27. Ogle, D.G. and L. St. John. 2010. Plant for saline to sodic soil conditions. Technical Note Plant Material No. 9A USDA_NRSCS, Boise, Idaho-Salt Lake City, Utah. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 01/2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan Menteri Kesehatan tahun 20120 (MENKES/ PER/IV/2010) tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Survei Kapabilitas Tanah. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk keperluan Survei dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Klassifikasi Kesesuaian Lahan. TOR No. 59/1983 PPT-P3MT, Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Peta Tanah Semi Detail Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu, Bandung-Jawa Barat. Rahmat, A., E. Soebowo, dan K. Lumban Gaol. 2008. Identifikasi penyebaran polutan industri tekstil di bagian timur cekungan Bandung untuk menanggulangi pencemaran air tanah dangkal. Laporan Akhir Puslit Geoteknologi- LIPI, 2008.
34
Rahmat, A. 2010. Identifikasi penyebaran polutan industri tekstil di bagian timur cekungan Bandung untuk menanggulangi pencemaran air tanah dangkal. Laporan kumulatif kegiatan program kompetitif LIPI TA 2008-2010. Puslit Geoteknologi LIPI. (Unpublished). Regasamy, P., R.S.B. Greene, G.W. Ford, and A.J. Mehanny. 1984. Identification of dispersive behavior and the management of red brown earth. Aust. Journ. Soil Research, 22. Rusydi, A.F., A. Muliono, A. Rahmat, dan M. Djuwansah. 2009. Kemampuan adsorpsi tanah lempung lanauan rancaekek terhadap Natrium. Dalam Prosiding Pemaparan Hasil penelitian Puslit GeoteknologiLIPI. Suganda, H., D. Setyorini, H. Kusnady, I. Saripin, dan U. Kurnia. 2002. Evaluasi pencemaran limbah industri tekstil untuk kelestarian lahan sawah. Dalam Prosiding Semnas Multifungsi dan Konservasi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. USDA Soil Survey Staff, 1990. Key to Soil Taxonomy. USDA Soil Management Support Service Technical Monograph No. 19. Utama, M.Z.H., W. Haryoko, R. Munir, dan Sunadi. 2009. Penapisan varietas padi toleran salinitas pada lahan rawa di Kabupaten Pesisir Selatan. J. Agron. Indonesia 37(2):101-106. Weischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting rainfall erosion losses-a guide to conservation planning. Handbook 537 USDA. Purdue Agric. Exp. Station. Yasin, M., M. Thahir Rashid and M.Y. Arain. 2002. Intervarietal Variability in Rice for Sodicity Tolerance. Pakistan J. Agric Res. Vol. 17 No. 2, 2002.
Pencemaran Nitrat pada Air Sungai Sub DAS Klakah, DAS Serayu di Sistem Pertanian Sayuran Dataran Tinggi Nitrate Pollution in River Water at Klakah Sub Watershed, Serayu Watershed of Highlands Vegetable Farming Systems 1Mas 1
2
Teddy Sutriadi* dan 2 Sukristiyonubowo
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
INFORMASI ARTIKEL
Riwayat artikel: Diterima: 16 Agustus 2012 Disetujui: 7 Maret 2012
Kata kunci: Sistem usahatani sayuran dataran tinggi Pupuk nitrogen Pencemaran nitrat Air sungai Keywords: Highland vegetable farming system Nitrogen fertilizer Nitrate pollution
Abstrak. Pemantauan konsentrasi nitrat pada Sub DAS di areal budidaya tanaman sayuran di dataran tinggi perlu dilakukan mengingat praktek aplikasi pemupukan nitrogen yang berlebihan yang sering dilakukan petani. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui dosis pemupukan N yang diterapkan petani budi daya tanaman sayuran di daerah pertanian dataran tinggi, dan (2) Mengetahui dampak pemupukan N terhadap konsentrasi nitrat air sungai. Penelitin ini dilaksanakan pada sub DAS Klakah, DAS Serayu di Kabupaten Wonosobo pada musim penghujan 2008-2009 dan di musim kemarau 2009. Penelitian menggunakan penedekatan kuantitatif meliputi format deskriptif ex post facto dan analisis contoh air. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Dosis pupuk N yang diterapkan petani pada tanaman kentang, kubis, dan jagung berturut-turut adalah 312, 167, dan 43 kg N ha-1 per musim atau setara dengan 678, 363, dan 93 kg urea ha-1 dan lebih tinggi 70 dan 6% dari dosis rekomendasi untuk tanaman kentang dan kubis, sedangkan untuk tanaman jagung masih di bawah dosis rekomendasi. Pemberian pupuk N anorganik dan pupuk organik kotoran ayam memberikan korelasi nyata pada produksi kentang yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi (R) masing-masing 0,5564 dan 0,5806. Pemupukan N dosis tinggi berpengaruh nyata (pada taraf 0,05) meningkatkan konsentrasi nitrat dalam air sungai sebesar 64% dan 68% lebih tinggi dari konsentrasi nitrat air sungai di bagian hulu masing-masing pada musim kemarau dan hujan. Namun, konsentrasi nitrat di semua lokasi pengamatan menunjukkan nilai yang lebih rendah (24,00-40,97 mg nitrat-NO3-L-1 pada musim kemarau dan 6,91-17,88 mg nitrat-NO3-L-1) dari konsentrasi nitrat-NO3- yang diperkenankan untuk air minum (45 mg L-1). Jumlah nitrat yang terbawa air sungai dalam satu hari masing-masing sebanyak 187 kg nitrat-NO3- atau setara dengan 90 kg urea pada musim kemarau dan 380 kg nitrat-NO3- atau setara dengan 90 kg urea.
River water Abstract. Monitoring the concentration of nitrate in sub-watershed in the area of vegetable cultivation in the highlands needs to be conducted considering the frequent excessive nitrogen fertilization practiced by farmers. The aims of the study were to (1) know dose N fertilizer applied by farmers in highland vegetable cultivation area, and (2) examine the impact of N fertilization on stream water nitrate concentrations. The research was carried out in Klakah sub-watershed, Serayu watershed of Wonosobo District in rainy season of year 2008-2009 and dry season of year 2009. This research used quantitative approach including descriptive format of Ex Post Facto and analyzing water samples. The results show that the rates of N fertilizer applied by farmers on potato, cabbage, and corn were 312, 167, and 43 kg N ha-1 per season, respectively, which were equivalent to 678, 363, and 93 kg urea ha-1 and higher 70 and 6% of the recommendation rate for potato and cabbage crops, meanwhile the application for corn was still below the recommendation rate. Inorganic N fertilizer and organic fertilizer from chicken manure gave significant correlation in potato production indicated by the correlation coefficient (R) 0.5564 and 0.5806, respectively. High rate of N fertilization significantly (at 0.05 level) increased the concentration of nitrate in river water by 64% and 68% higher than the nitrate concentration in the upstream of river water in the dry and rainy seasons, respectively. However, nitrate concentrations in all sampling sites showed lower values (24.00 to 40.97 mg nitrate-NO3- L-1 in the dry season and from 6.91 to 17.88 mg nitrate-NO3- L-1) of allowable nitrate-NO3-concentrationsfor drinking water (45 mg L-1). Amount of nitrate carried by river water in one day was 187 kg nitrate-NO3-, equivalent to 90 kg of urea in the dry season and 380 kg of nitrate-NO3-, equivalent to 90 kg of urea. * Corresponding author : Mas Teddy Sutriadi, email :
[email protected]
ISSN 1410-7244
35
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Pendahuluan Sebagian besar lahan pertanian di Indonesia telah berubah menjadi lahan kritis akibat pengaruh penggunaan bahan agrokimia (pupuk anorganik dan pestisida) berlebihan. Penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan selain pemborosan juga berdampak negatif terhadap kelestarian lahan dan lingkungan, yaitu meningkatnya residu di lahan pertanian dan lingkungan sekitarnya seperti sumber air dan sungai. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang sangat penting artinya untuk meningkatkan produksi padi. Namun demikian penggunaan pupuk dan pestisida ini ternyata telah mencemari sebagian sumber daya lahan, air, dan lingkungan. Sekitar 85% air yang mengairi sebagian besar lahan sawah di Jawa mengandung 54 mg l-1 nitrat atau 20% lebih tinggi dari batas toleransi yaitu 45 mg l-1 (Las et al. 2006). Hasil pengukuran contoh air dari sumur dan air irigasi yang ada di daerah aliran sungai (DAS) Citarik dan Kaligarang menunjukkan bahwa kadar nitrat pada beberapa sumur di bawah kondisi budi daya tanaman lahan kering telah melebihi batas maksimum konsentrasi nitrat (Nursyamsi et al. 2001 dalam Agus dan Irawan 2006). Seperti halnya pada budidaya padi sawah, tanaman sayuran merupakan tanaman semusim yang banyak dibudidayakan di lahan kering dataran tinggi, juga sering dituding tidak ramah lingkungan, antara lain karena potensi terjadinya erosi sangat tinggi dan pencemaran lingkungan akibat dari tingginya pemakaian masukan produksi (pupuk dan pestisida). Penggunaan pupuk kimia dalam usahatani sayuran cenderung berlebihan. Hal ini semata-mata untuk meningkatkan produksi tanpa memperhatikan kebutuhan tanaman dan kemampuan dari tanah untuk menyediakan hara. Dosis pupuk nitrogen (N) yang diterapkan oleh petani pada sentra produksi sayuran di dataran tinggi Kabupaten Wonosobo sangat tinggi yaitu lebih dari 500 kg urea per hektar ditambah dengan paling sedikit 15 t pupuk organik per hektar (Balai Penelitian Tanah, 2007). Padahal dosis rekomendasi pemupukan urea dan pupuk organik untuk tanaman sayuran adalah masing-masing 200-400 kg per hektar dan 10-20 t ha-1 (Ditjen Bina Produksi Hortikultura 2003, Asandhi et al. 1989, Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara 1992, Tim Pakar Prima Tani 2005). Pemakaian pupuk N secara berlebihan selain pemborosan, juga tidak menguntungkan bagi kelestarian lahan dan lingkungan. Residu pupuk N berupa nitrat (NO3-) dapat mencemari lingkungan, sehingga menurunkan kualitas sumber daya air, baik air irigasi maupun air tanah (sumur), bahkan tanah ataupun produk pertanian. Nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-) adalah ion-ion anorganik alami, yang termasuk dalam bagian dari siklus
36
N. Aktivitas mikroba di tanah atau air menguraikan sampah yang mengandung N organik pertama-pertama menjadi amonia, kemudian dioksidasi menjadi nitrat dan nitrit. Oleh karena nitrit dapat dengan mudah dioksidasi menjadi nitrat, maka nitrat adalah senyawa yang paling sering ditemukan di dalam air bawah tanah (ground water) maupun air yang terdapat di permukaan (surface water). Pencemaran oleh pupuk N, termasuk amonia anhidrat seperti juga sampah organik hewan maupun manusia, dapat meningkatkan kadar nitrat di dalam air. Senyawa yang mengandung nitrat di dalam tanah biasanya larut dan dengan mudah bermigrasi atau tercuci (leaching) dengan air bawah tanah. Tingginya kadar nitrat di dalam air akan berdampak buruk pada kualitas air. Air yang mengandung nitrat melebihi baku mutu yang diperkenankan, jika dimanfaatkan oleh manusia, sebagai sumber air minum baik untuk manusia maupun ternak akan menyebabkan gangguan kesehatan, akibat dari direduksinya nitrat menjadi nitrit, contohnya: keracunan akut pada bayi dan kematian pada kambing atau sapi. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, tingginya dosis pupuk N pada budidaya tanaman sayuran diduga akan meningkatkan konsentrasi nitrat pada air sungai melewati batas maksimum kosentrasi nitrat. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pemantauan konsentrasi nitrat pada Sub DAS di areal budidaya tanaman sayuran. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui dosis pemupukan N yang diterapkan petani budi daya tanaman sayuran di daerah pertanian dataran tinggi, dan (2) Mengetahui dampak pemupukan N terhadap konsentrasi nitrat air sungai.
Metode Penelitian Penelitian lapang dilaksanakan pada areal sayuran di sub DAS sungai Klakah, yang merupakan bagian DAS Serayu di Kecamatan Wonosobo, mulai bulan Juli 2008– Januari 2009. Penelitian dilaksanakan pada areal sayuran dimana petani mengaplikasikan pupuk N dengan dosis tinggi, yaitu dosis yang lebih tinggi dari dosis rekomendasi. Balai Penelitian Tanah (2007) melaporkan bahwa pada lokasi studi petani menerapkan dosis sangat tinggi yaitu lebih dari 500 kg urea per hektar ditambah dengan paling sedikit 15 t pupuk organik per hektar. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan format deskriptif ex post facto mengenai dampak tingginya pemupukan N pada budi daya sayuran di Sub Das Sungai Klakah, DAS Serayu, Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo lagi (Bungin, 2008, Nazir 1983). Penelitian diawali dengan menentukan lokasi penelitian dengan cara menarik garis dari puncak lereng
Mas Teddy Sutriadi dan Sukristiyonubowo : Pencemaran Nitrat pada Air Sungai Sub DAS Klakah, DAS Serayu
dari masing-masing kontur, sehingga akan didapat suatu wilayah dari daerah aliran sungai, dimana air larian dari wilayah tersebut masuk ke aliran sungai yang akan diamati. Nitrat dari pupuk yang terbawa oleh aliran permukaan dan leaching masuk ke dalam sungai yang diamati. Pelingkupan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan software Arc GIS. Penentuan garis batas lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan peta topografi skala 1:10.000. Kemudian berdasarkan tinggi lokasinya, daerah aliran sungai tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian sebelah atas dengan tinggi lokasi lebih dari 1.450 m, bagian tengah dengan tinggi lokasi 1.350-1.450 m, dan bagian bawah dengan tinggi lokasi kurang dari 1.350 m. Hasil pelingkupan digunakan untuk menentukan cakupan daerah penelitian dan titik pengamatan pada contoh air dan contoh petani. Contoh petani ditetapkan dengan mengunakan metode non proporsional stratified sampling, dengan membagi petani dalam 3 kelompok populasi yaitu populasi petani yang lahannya berada pada tinggi lokasi lebih dari 1.450 m (atas), 1.450-1.350 m (tengah), dan kurang dari 1.350 m (bawah). Kemudian dari masing-masing kelompok populasi petani tersebut dipilih sejumlah petani contoh dengan menggunakan metode random sederhana (simple random sampling), yaitu petani contoh dipilih dengan cara diacak. Pemilihan acak dilakukan dengan cara memberikan suatu nomor yang berbeda kepada setiap anggota populasi, kemudian memilih petani contoh. Populasi petani yang terdapat pada wilayah studi adalah 107 petani, yang terdiri atas 37 petani pada tinggi lokasi lebih dari 1.450 m, 46 petani pada tinggi lokasi 1.350-1.450 m, dan 24 petani pada tinggi lokasi kurang dari 1.350 m. Sehingga ditetapkan 75 petani contoh yang terdiri dari 22 petani contoh pada tinggi lokasi lebih dari 1.450 m, 36 petani contoh pada tinggi lokasi 1.350-1.450 m, dan 17 petani pada tinggi lokasi kurang dari 1.350 m. Jumlah petani contoh pada lokasi penelitian yang telah dipilih ditetapkan berdasarkan rumus yang dikemukan oleh Bungin (2008) dan Sarwono (2006), yaitu:
n N N d 2 1 Keterangan: n = Jumlah petani contoh yang dicari N = Jumlah populasi petani d = Nilai presisi 10%. Contoh air diambil dari sungai-sungai yang terdapat pada sub DAS Klakah, pada sungai bagian atas yaitu tinggi lokasi lebih dari 1.450 m, bagian tengah yaitu 1.350-1.450 m, dan bagian bawah yaitu kurang dari 1.350 m. Sebagai pembanding, diambil contoh air dari sungai bagian atas (hulu) di mana lahan tidak ditanami sayuran,
tetapi ditanami tanaman teh. Dosis pemupukan urea untuk tanaman teh adalah 250 kg ha-1. Jumlah contoh air yang diambil adalah tiga contoh untuk setiap titik pengamatan pada setiap anak sungai yang mengalir ke sungai utama (S. Klakah) (Gambar 1).
Gambar 1. Denah lokasi pengambilan contoh air Figure 1. Map of water sample location
Lokasi titik pengamatan ditetapkan pada setiap pertemuan antara anak sungai dengan sungai utama, sehingga terdapat sembilan titik pengamatan yaitu satu titik pada bagian hulu, 1 titik pada bagian atas (S. Klakah), 2 titik pada bagian tengah (S. Siwaru dan S. Klakah), dan 5 titik pada bagian bawah (S. Siwaru 1 titik, S. Klakah tiga titik, dan S. Jambangan satu titik). Waktu pengambilan contoh sebanyak dua kali pada musim kemarau dan musim hujan. Pada penelitian ini dikumpulkan sebanyak 54 contoh air sungai. Pada setiap titik pengambilan contoh air, juga diukur debit airnya dengan cara megukur panjang, lebar, dan dalam sungai, serta kecepatan arus sungai. Contoh air selanjutnya dikirim ke laboratorium untuk dianalisis kandungan nitratnya. Parameter yang diamati adalah dosis pemupukan nitrogen, debet air sungai, konsentrasi nitrat air sungai, dan jumlah nitrat terbawa air sungai. Analisis yang digunakan adalah analisis statistik distribusi rata-rata dan korelasi, dan analysis of Variance (ANOVA), yang dilanjutkan dengan uji beda nyata duncan multiple range test (DMRT) pada selang kepercayaan 5% untuk mengetahui perbedaan rata-rata konsentrasi nitrat.
37
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Tanah dan Kemiringan Lereng Andisols adalah tanah yang utama yang terdapat pada lokasi penelitian, tanah lainnya adalah tanah Latosols (termasuk Alfisols) dan Grumusols (Vertisols). Tanah Andisols mempunyai kandungan C-organik yang tinggi (3,09-3,98%) dengan kadar N sedang (0,20-0,25%) dan pH tanah agak masam (5,6-6,3). Retensi P tinggi (76,692,2%), dengan kandungan P-potensial sangat tinggi (95460 mg/100g), serta K-potensial sedang (10-14 mg 100g-1), tetapi mengandung P-tersedia rendah-sedang (19-27 ppm) dan K dapat dipertukarkan rendah sangat rendah (0,080,21 cmolc kg-1). Berdasarkan sifat-sifat tersebut tanah di wilayah studi termasuk tanah yang mempunyai tingkat kesuburan tanah sedang. Kendala utama dalam mengelola tanah ini adalah kemiringan tanahnya yang lebih besar dari 8% dan hara P yang dijerap oleh tanah sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Karakteristik tanah seperti ini dapat disimpulkan bahwa walaupun tanah di wilayah studi tidak memerlukan pupuk anorganik (N, P, dan K) dan pupuk organik dalam jumlah yang tinggi, tetapi rentan pada pencucian hara dan erosi. Pencucian hara dan erosi selain akibat kemiringan tanahnya yang lebih besar dari 8% juga teksturnya yang berpasir dan struktur tanahnya yang gembur. Oleh karena itu penerapan dosis pemupukan dan teknik konservasi perlu dilakukan sehingga dihasilkan sistem pertanian yang berkelanjutan. Dosis Pemupukan Nitrogen Pupuk urea diaplikasikan oleh semua petani yang disurvei. Pupuk urea memberikan kontribusi 92% dari dosis pupuk N anorganik, kemudian berturut-turut pupuk NPK (7%) dan ZA (1%) (Gambar 1). Hal ini memperlihtkan bahwa petani tidak menerapkan pemupukan berimbang. Petani mengaplikasikan urea lebih banyak dibandingkan pupuk P dan K. Hal ini dikarenakan bahwa pupuk urea selain lebih tersedia di kios pertanian dibandingkan pupuk N lainnya, juga harganya masih disubsidi oleh pemerintah. Pupuk urea adalah pupuk yang dibutuhkan oleh tanaman terutama pada masa pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang dipupuk urea akan menunjukkan respon pertumbuhan yang cepat, sehingga petani cenderung memberikan dalam jumlah yang banyak. Pupuk organik kotoran ayam diaplikasikan oleh semua petani responden seperti halnya urea. Penggunaan pupuk organik kotoran ayam sangat diperlukan pada lahan kering, utamanya untuk tanaman sayuran. Lahan kering
38
dataran tinggi, umumnya mempunyai topografi bergelombang, sehingga sangat peka pada erosi yang dapat mempercepat hilangnya C-organik tanah. Aplikasi pupuk organik ditujukan selain untuk memelihara dan meningkatkan C-organik tanah, juga untuk memperbaiki struktur tanah, sehingga kondisi tanah menjadi optimum bagi petumbuhan tanaman. Karakteristik lahan di wilayah studi walaupun memerlukan pupuk dalam jumlah yang tidak banyak, tetapi sangat rentan pada pencucian hara, erosi, dan terjadinya longsor. Sistem pertanian yang berkelanjutan harus mempertimbangkan pemupukan dengan dosis yang rasional dan seimbang, yang mengkombinasikan pupuk anorganik dan organik serta menerapkan teknik konservasi tanah.
Urea
7% 1%
NPK
92% ZA
Gambar 2. Kontribusi jenis pupuk N pada dosis pupuk N yang diaplikasikan oleh petani responden pada usahatani sayuran di Sub DAS Klakah, DAS Serayu, Kabupaten Wonosobo Figure 2. Contribution of N anorganic fertilizer at N doses that are applied by the responden farmers at vegetable farming in Klakah Sub watershed, Serayu Watershed, Wonosobo District
Dosis pupuk N anorganik yang diaplikasikan oleh petani responden pada tanaman sayuran kentang, kubis, dan jagung disajikan pada Tabel 1. Dosis pupuk N pada tanaman kentang, kubis, dan jagung adalah berturut-turut 312, 167, dan 43 kg N ha-1 atau setara dengan 678, 363, dan 93 kg urea ha-1, sedangkan dosis rekomendasi untuk tanaman kentang, kubis, dan jagung adalah berturut-turut 185, 161, dan 138 kg ha-1 N atau setara dengan 400, 350, dan 300 kg urea ha-1. Hal ini menunjukkan petani responden memupuk N anorganik untuk tanaman sayuran seperti kentang, dan kubis, dengan dosis masing-masing lebih tinggi 70%, dan 6% dari dosis rekomendasi, sedangkan untuk tanaman jagung, petani memupuk N
Mas Teddy Sutriadi dan Sukristiyonubowo : Pencemaran Nitrat pada Air Sungai Sub DAS Klakah, DAS Serayu
anorganik 95 kg ha-1 atau lebih rendah 200% dari dosis rekomendasi. Pemupukan N yang lebih tinggi dari rekomendasi berbahaya bagi lingkungan, karena tidak semua N dapat dimanfaatkan tanaman. Sebagian besar N dalam bentuk nitrat akan hilang tercuci masuk ke air tanah kemudian ke air sungai, sehingga konsentrasi nitrat dapat melebihi batas yang diperkenankan. Dampak ekologis meningkatnya konsentrasi nitrat adalah terjadinya eutrofikasi pada kolam-kolam penampungan yang bersumber dari sungai tersebut, sehingga akan mengakibatkan meningkatnya kematian ikan pada kolam tersebut. Hasil wawancara dengan petani yang memiliki kolam ikan mengemukakan bahwa tingkat kematian ikan pada musim kemarau meningkat hingga 15%. Selain itu juga jika air sungai tersebut dimanfaatkan sebagai sumber air minum dapat menyebabkan keracunan akut pada manusia dan ternak. Tabel 1. Dosis pupuk N anorganik yang diaplikasikan oleh petani responden pada usahatani sayuran di Sub DAS Klakah, DAS Serayu, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo Table 1. N anorganic fertilizer doses that are applied by the responden farmers vegetable farming in Klakah Sub watershed, Serayu Watershed, Wonosobo District No. Lokasi pengamatan
1. 2. 3.
Atas Tengah Bawah Rata-rata
Dosis pupuk N anorganik Kentang Kubis Jagung ………..….. kg ha-1 ……..…….. 320 175 52 315 180 35 301 146 39 312 167 43
Dosis pupuk N organik dari kotoran ayam pada tanaman kentang, kubis, dan jagung adalah berturut-turut 25,0; 12,1, dan 1,4 t ha-1 (Tabel 2), sedangkan dosis pupuk organik untuk tanaman sayuran adalah 10-20 t ha-1 dan palawija 1-2 t ha-1. Pada lahan di wilayah studi, tanah umumnya mempunyai kandungan C-organik tanah yang sedang, sehingga seharusnya diberi pupuk organik pada dosis yang tidak terlalu tinggi (+ 15 t ha-1). Hal tersebut menunjukkan bahwa petani memupuk tanaman kentang dengan dosis pupuk organik kotoran ayam yang lebih tinggi 5 t ha-1 atau 25% dari dosis rekomendasi. Sedangkan untuk tanaman lainnya, yaitu kubis dan jagung sudah sesuai dengan rekomendasi. Penggunaan organik kotoran ayam dengan dosis yang rasional sangat menguntungkan untuk keberlanjutan budi daya sayuran di lahan kering dataran tinggi. Pupuk organik akan mengurangi jumlah pemakaian pupuk anorganik
yang merupakan pupuk kimiawi, yang residunya dapat mencemari lingkungan. Pupuk organik dalam larutan tanah akan membentuk khelat-organik yang akan mengikat hara kation yang dijerap oleh koloid tanah, kemudian dilepaskan secara bertahap ke dalam larutan tanah, sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu aplikasi pupuk organik kotoran ayam pada wilayah studi akan meningkatkan ketersediaan hara P dan K untuk tanaman. Hal ini dapat ditunjukkan pada petani yang tidak memupuk P dan K untuk tanaman jagung, tetapi jagung masih dapat menghasilkan. Pupuk kandang kotoran ayam broiler umumnya mempunyai kadar hara P yang relatif lebih tinggi dari pupuk kandang lainnya. Kadar hara ini sangat dipengaruhi oleh jenis konsentrat yang diberikan. Selain itu pula dalam kotoran ayam tersebut bercampur sisa-sisa makanan ayam serta sekam yang dapat menyumbangkan tambahan hara ke dalam pupuk kandang untuk tanaman sayuran. Namun pemberian pupuk kandang kotoran ayam perlu mendapat perhatian yang lebih seksama dampak negatifnya untuk lingkungan, karena pupuk kandang kotoran ayam broiler dapat mengandung beberapa hormon yang digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ayam. Residu hormon ini dalam pupuk kandang kotoran ayam dikhawatirkan dapat terbawa ke dalam jaringan tanaman, dan masuk ke tubuh manusia. Tabel 2. Dosis pupuk N organik yang diaplikasikan oleh petani responden pada usahatani sayuran di Sub DAS Klakah, DAS Serayu, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo Table 2. N organic fertilizer doses that are applied by the responden farmers vegetable farming in Klakah Sub Watershed, Serayu Watershed, Wonosobo District No. Lokasi pengamatan
1. 2. 3.
Atas Tengah Bawah Rata-rata
Dosis pupuk N organik Kentang Kubis Jagung …………… t ha-1 …………… 29,5 12,5 1,0 25,5 10,0 2,0 20,5 13,8 1,2 25,0 12,1 1,4
Dampak Pupuk Nitrogen pada Produksi Pemberian pupuk N anorganik dan organik memberikan korelasi yang nyata pada produksi kentang (Tabel 3). Pupuk urea adalah sumber pupuk N anorganik yang memberikan korelasi yang nyata dengan nilai R= 0,5664, sedangkan sumber pupuk N anorganik lainnya
39
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
(NPK dan ZA) tidak berkorelasi nyata. Hal ini dikarenakan bahwa tidak semua petani memupuk dengan pupuk NPK atau ZA, sehingga pengaruhnya secara tunggal tidak tampak. Berpengaruhnya dosis pupuk N pada produksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, juga dikemukakan oleh Ramos et al. (2002) bahwa pengurangan aplikasi pupuk N sekitar 50% akan mengakibatkan menurunnya rata-rata hasil sekitar 5%, dan juga menurunkan 50% nitrat yang hilang melalui leaching.
sehingga akan mengubah amonium dari pupuk urea menjadi nitrat. Selanjutnya nitrat yang berada dalam larutan tanah dapat tercuci oleh air perkolasi, dan masuk ke sungai. Hasil pengukuran kandungan nitrat pada musim kemarau 2008 disajikan pada Tabel 4. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata pada debit sungai, konsentrasi nitrat, dan nitrat terbawa dari lokasi pengamatan. Nilai rata-rata konsentrasi nitrat pada semua lokasi pengamatan berbeda nyata dengan konsentrasi nitrat pada bagian hulu. Konsentrasi nitrat air sungai pada sungai bagian tengah hingga rendah meningkat sebesar 68-152% dari bagian hulu, tetapi masih lebih rendah dari batas yang diperkenankan (45 mg l nitrat-1 ). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan konsentrasi nitrat air sungai yang nyata akibat aktivitas budi daya tanaman sayuran di Sub DAS Klakah. Pada bagian hulu aktivitas pertanian yang ada adalah perkebunan teh, dengan dosis pupuk sesuai dengan rekomendasi yaitu 90 kg N, 75 kg P 2O5, dan 60 kg K2O per ha, sedangkan pada bagian tengah hingga bawah adalah tanaman sayuran (kentang, kubis, jagung, dan tembakau). Pada lokasi Sub DAS Klakah pertananaman dapat dilakukan sepanjang tahun dengan indeks pertanaman 300, sehingga memungkinkan terjadi pergerakan nitrat dari pupuk N ke badan sungai akibat berlebihannya jumlah pupuk N yang diberikan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1 dan 2. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di Lembah Sungai Bagian Atas Pantanoso Provinsi Argentina Tenggara yang dilaporkan Costa et al. (2002), konsentrasi
Tabel 3. Korelasi antara pupuk N anorganik dan organik dengan hasil kentang pada Sub DAS Klakah, Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Table 3. Coorelation between N anorganic and organic fertilizer with potatos yield at Klakah Sub Watershed, Serayu Watershed, Wonosobo District No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis pupuk 1. N anorganik a. Urea b. NPK c. ZA 2. N organik/pupuk organik
Koefisien korelasi (R) 0,6709* 0,5664* 0,0455 -0,031 0,5806*
Keterangan: *) nyata pada taraf 0,05
Dampak Pemupukan Nitrogen pada Konsentrasi Nitrat dalam Air Sungai Tanah di wilayah studi mempunyai pH yang berkisar antara 5,6-6,3. Pada pH tersebut dengan kondisi tanah yang aerob maka proses nitrifikasi berjalan cukup baik,
Tabel 4. Debit air sungai, konsentrasi nitrat dan jumlah nitrat terbawa (loaded) pada sub Das Klakah, DAS Serayu di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Musim Kemarau 2008 Table 4. River water debite, nitrate concentration, and loaded nitrate at Klakah Sub watershed, Serayu watershed, Wonosobo district. Dry Season 2008 No.
Lokasi pengamatan
Debit sungai
Konsentrasi nitrat
-1
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hulu (atas) Klakah (atas) Siwaru (tengah) Klakah (tengah) Klakah (bawah) Siwaru (bawah) Klakah (bawah) Jambangan (bawah) Klakah (bawah) CV (%)
l detik 63,33 d 2,30 a 19,33 ab 11,33 ab 40,00 bc 61,67 d 67,00 d 47,67 cd 106,67 e 39,4
-1
mg l 14,67 a 40,97 d 30,00 bc 25,67 b 24,67 b 28,33 b 31,33 bc 37,00 cd 24,67 b 15,4
Konsentrasi nitrat1) mg l-1 - 30,33 - 4,03 - 15,00 - 19,33 - 20,33 - 16,67 - 13,67 - 8,00 - 21,00 -
Nitrat terbawa (loaded) mg detik-1 921 b 95 a 565 ab 293 ab 922 b 1.729 c 2.033 cd 1.771 c 2.667 e 35,9
Keterangan: 1)
tanda (-) menunjukkan nilai konsentrasi nitrat di bawah baku mutu
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf sama adalah tidak beda nyata pada taraf 0,05 Duncan Multiple Range Test.
40
40.00
35.00
35.00
30.00 Produksi kentang (t/ha)
Produksi kentang (t/ha)
Mas Teddy Sutriadi dan Sukristiyonubowo : Pencemaran Nitrat pada Air Sungai Sub DAS Klakah, DAS Serayu
30.00 25.00 20.00 15.00
y = 0.0429x + 3.5079 R2 = 0.4501
10.00
25.00 20.00
y = 0.2844x + 10.084 R2 = 0.3371
15.00 10.00 5.00
5.00 0.00 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Dosis N-anorganik (kg/ha)
0.00 0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
Dosis pukan (t/ha)
Gambar 3. Regresi linear hubungan antara dosis pupuk dengan produksi kentang selama 3 musim pertanaman pada Sub DAS Klakah, DAS Serayu di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo Figure 3.
Linear regresi correlatin between fertilizer doses with potatos yield during 3 seasons at at Klakah Sub Watershed, Serayu Watershed, Wonosobo District
nitrat tinggi pada air sungai berhubungan dengan pola penggunaan lahan pertaniannya. Area dengan konsentrasi N-nitrat yang lebih tinggi dari 10 mg l-1 berada pada lokasi dimana aktivitas pertaniannya lebih intensif seperti tanaman pertanian. Area dengan konsentrasi N-nitrat yang lebih rendah dari 10 mg l-1 berada pada lokasi dimana aktivitas pertaniannya rendah, seperti tanaman pakan ternak dan padang rumput. Konsentrasi nitrat yang tinggi pada air bawah tanah tanaman pertanian mengindikasikan bahwa aktivitas budi daya pertanian adalah sumber utama dari pencemaran nitrat. Selanjutnya Andraski dan Bundhy (1999) dalam Kraft and Stites (2003), pada petak percobaan di Winconsin Central Sand Plain yang ditanami tanaman kentang kehilangan 53% dari pupuk N yang diaplikasikan akibat leaching dengan dosis rekomendasi 224 kg N ha-1 Sedangkan Ramos et al. (2002) melaporkan bahwa pada tanaman kentang nitrat yang hilang akibat leaching diantara 38 dan 65%. Hasil penelitian Costa et al. (2002), Zhang et al. (1996), Andraski dan Bundhy (1999) dalam Kraft and Stites (2003) tersebut di atas sesuai dengan hasil pengamatan konsentrasi nitrat di wilayah studi. Budidaya tanaman sayuran terutama kentang mempunyai kontribusi yang tinggi untuk meningkatkan konsentrasi nitrat air sungai. Hal ini terutama disebabkan bahwa tanaman sayuran khususnya tanaman kentang membutuhkan banyak N untuk jumlah dan kualitas hasil serta mempunyai sistem perakaran dangkal. Oleh karena itu nitrat-N menjadi mudah hilang oleh leaching. Konsentrasi nitrat pada bagian hulu (kebun teh) adalah 14,67 mg l-1, kemudian ketika masuk ke S. Siwaru bagian atas konsentrasi nitratnya meningkat menjadi 30 mg l-1. Hal ini memperlihatkan bahwa aktivitas budidaya tanaman
sayuran pada bagian atas S. Siwaru sangat intensif dengan dosis pemupukan nitrogen yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan peningkatan nitrat yang cukup tinggi. Selanjutnya konsentrasi nitrat pada S. Siwaru bagian bawah hampir sama dengan yang di atasnya yaitu 28,33 mg l-1 memperlihatkan bahwa tingkat pemupukan pada lokasi S. Siwaru bagian bawah hampir sama dengan tingkat pemupukan di S. Siwaru bagian atas. Konsentrasi nitrat air sungai dari satu anak sungai akan semakin menurun dengan semakin tingginya debit sungai, sehingga terjadi pengenceran. Hal ini dapat ditunjukkan pada Sungai Siwaru dimana konsentrasi nitrat pada bagian tengah 30 mg nitrat-NO3- l-1 dengan debit sungai 19,33 l detik-1 menurun menjadi 24,67 mg nitrat-NO3- l-1 dengan debit sungai yang meningkat menjadi 40,00 l detik-1 atau pada Sungai Klakah dimana konsentrasi nitrat pada bagian tengah 25,67 mg nitrat-NO3- l-1 dengan debit sungai 11,33 l detik-1 menurun menjadi 24,67 mg nitrat-NO3- l-1 dengan debit sungai yang meningkat menjadi 40,00 l detik-1. Pada Sungai Klakah yang merupakan sungai utama di Sub DAS Klakah, peningkatan konsentrasi nitrat akan terjadi, jika terdapat tambahan nitrat dari anak sungainya (Sungai Siwaru), sedangkan debit sungai tidak jauh berbeda dengan debit sungai di bagian atasnya. Kemudian konsentrasi nitrat akan menurun kembali jika debit sungai meningkat secara nyata, akibat terjadinya pengenceran oleh air hujan yang masuk langsung ke badan sungai. Pada Sungai Klakah bagian atas konsentrasi nitratnya paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi nitrat pada bagian sungai yang lain, yaitu 40,97 mg nitrat-NO3- l-1. Hal ini dikarenakan pada Sungai Klakah pada bagian atas tidak terdapat air sungai yang mengalir, sehingga air sungai yang diukur adalah mata air yang ke luar dari tebing sungai. Oleh karena itu air yang diukur tersebut
41
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Tabel 5. Debit air sungai, konsentrasi nitrat, dan jumlah nitrat terbawa (loaded) pada Sub Das Klakah, DAS Serayu di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Musim Hujan 2008 Table 5. River water debite, nitrate concentration, and loaded nitrate at Klakah Sub Watershed, Serayu Watershed, Wonosobo District, Rainy Season 2008 No.
Lokasi pengamatan
Debit sungai
Konsentra-si Nitrat
-1
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hulu (atas) Klakah (Atas) Siwaru (tengah) Klakah (tengah) Klakah (bawah) Siwaru (bawah) Klakah (bawah) Jambangan (bawah) Klakah (bawah) CV (%)
Konsentrasi nitrat2)
l detik 80,50 bc 4,47 a 47,23 ab 21,07 ab 75,70 bc 117,33 d 182,07 e 94,87 cd 421,80 f
-1
-1
mg l 6,27 a 17,88 d 11,90 c 8,22 ab 10,19 bc 6,91 ab 10,35 bc 12,35 c 10,42 bc
mg l - 38,37 - 27,12 - 33,10 - 36,78 - 34,81 - 38,09 - 34,65 - 32,65 - 34,58
30,7
18,6
-
Nitrat terbawa (loaded) mg detik-1 509 a 79 a 557 a 163 a 701 ab 791 ab 2.225 c 1.477 bc 4.395 d 39,5
Keterangan: 2)
tanda (-) menunjukkan nilai konsentrasi nitrat di bawah baku mutu
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf sama adalah tidak beda nyata pada taraf 0,05 Duncan Multiple Range Test.
tidak mengalami pengenceran, langsung dari aliran air bawah tanah. Hasil pengukuran kandungan nitrat pada musim hujan 2008 disajikan pada Tabel 5. Nilai rata-rata konsentrasi nitrat menunjukkan perbedaan nyata antara konsentrasi nitrat air sungai di bagian hulu dengan konsentrasi nitrat air sungai di bagian bawahnya. Konsentrasi nitrat-NO3pada seluruh lokasi pengamatan menunjukan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi nitrat pada pengamatan di musim kemarau. Rata-rata konsentrasi nitrat-NO3- pada musim hujan lebih rendah 2,9 kali dari konsentrasi nitrat-NO3- pada musim kemarau (Tabel 4 dan 5). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengenceran akibat masuknya air hujan ke badan sungai. Curah hujan pada bulan Juli (musim kemarau) adalah 29 mm, sedangkan pada bulan Desember (musim hujan) adalah 581 mm. Pada musim kemarau dan musim hujan konsentrasi nitrat-NO3- di seluruh lokasi pengamatan menunjukkan nilai yang lebih rendah dari konsentrasi nitrat-NO3- yang diperkenankan yaitu 45 mg l-1 atau 10 mg nitrat-N l-1. Lebih rendahnya konsentrasi nitrat-NO3- dari batas toleransi menunjukkan bahwa alam yaitu tanah masih mampu menahan nitrat-NO3 yang tidak dapat dimanfaatkan tanaman, sehingga nitrat yang masuk ke badan sungai masih di bawah toleransi. Tetapi hal ini tidak mungkin akan terjadi sepanjang masa, pada satu waktu tanah tidak mampu lagi menahan jumlah nitrat. Jika daya lenting tanah sudah terlewati maka kemampuan tanah menahan nitrat dalam larutan tanah akan semakin
42
menurun, sehingga semakin banyak nitrat yang terbuang dan masuk ke dalam badan sungai. Oleh karena itu upayaupaya yang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N harus dilakukan. Nitrat terbawa air sungai semakin ke bawah akan semakin banyak yaitu dari 565 menjadi 1.729 mg nitratNO3- detik-1 (musim kemarau) dan dari 557 menjadi 1.791 mg nitrat-NO3- detik-1 (musim hujan) pada Sungai Siwaru, dari 95 menjadi 2.667 mg nitrat-NO3- detik-1 (musim kemarau) dan dari 79 menjadi 4.395 mg nitrat-NO3- detik-1 (musim hujan) pada Sungai Klakah. Nitrat terbawa menunjukkan bahwa jumlah nitrat yang terdapat air sungai per satuan detik, sehingga merupakan jumlah nitrat yang hilang terbawa air sungai per satuan waktu. Jika jumlah nitrat terbawa diasumsikan tetap, maka pada musim kemarau dalam satu hari akan terbawa 187 kg nitrat-NO3atau 41 kg nitrat-N atau 90 kg urea setara dengan uang Rp 135.000,- jika harga urea Rp 1.500,-. Dalam satu bulan akan terbuang uang senilai Rp 4.057.000,-. Sedangkan pada musim hujan dalam satu hari akan terbawa 380 kg nitrat-NO3- atau 84 kg nitrat-N atau 183 kg urea, sehingga akan terbuang uang senilai Rp 175.165,-. Dalam satu bulan di musim hujan akan terbuang uang senilai Rp 8.255.000,-. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkahlangkah yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N, sehingga jumlah pupuk N yang terbuang dapat ditekan serendah mungkin. Jumlah nitrat yang terbawa air yang meningkat di bagian hilir daripada di bagian hulu mengindikasikan adanya pengaruh pemupukan N yang tinggi pada budi
Mas Teddy Sutriadi dan Sukristiyonubowo : Pencemaran Nitrat pada Air Sungai Sub DAS Klakah, DAS Serayu
daya sayuran, utamanya kentang. Kraft dan Stites (2003) juga mengemukakan bahwa budi daya tanaman kentang menyuplai lebih banyak nitrat dibandingkan tanaman sayuran lain seperti jagung manis.
Kesimpulan 1.
Dosis pupuk N yang diterapkan petani pada tanaman kentang, kubis, dan jagung berturut-turut adalah 312, 167, dan 43 kg N ha-1 atau setara dengan 678, 363, dan 93 kg urea/ha dan lebih tinggi 70% dan 6% dari dosis rekomendasi untuk tanaman kentang dan kubis, sedangkan untuk tanaman jagung masih di bawah dosis rekomendasi.
2.
Pemberian pupuk N anorganik dan pupuk organik kotoran ayam memberikan korelasi nyata pada produksi kentang yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi (R) masing-masing 0,5564 dan 0,5806.
3.
Pemupukan N dosis tinggi berpengaruh nyata (pada taraf 0,05) meningkatkan konsentrasi nitrat dalam air sungai sebesar 64% dan 68% lebih tinggi dari konsentrasi nitrat air sungai di bagian hulu masingmasing pada musim kemarau dan hujan. Namun, konsentrasi nitrat di semua lokasi pengamatan menunjukkan nilai yang lebih rendah (24,00-40,97 mg nitrat-NO3- l-1 pada musim kemarau dan 6,91-17,88 mg nitrat-NO3- l-1) dari konsentrasi nitrat-NO3- yang diperkenankan untuk air minum (45 mg l-1). Jumlah nitrat yang terbawa air sungai dalam satu hari masingmasing sebanyak 187 kg nitrat-NO3- atau setara dengan 90 kg urea pada musim kemarau dan 380 kg nitrat-NO3- atau setara dengan 90 kg urea.
Daftar Pustaka Agus, F. and Irawan. 2006. Agricultural land conversion as a threat to food security and environmental quality Dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Ai Dariah, N.L. Nurida, Irawan, E. Husen, dan F. Agus (Eds.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Asandhi, A. Azirin, S. Sastrosiswojo, Suhardi, Z. Abidin, dan Subhan. 1989. Kentang Edisi ke-2. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang. Balai Penelitian Tanah. 2007. Laporan Tahunan Hasil Penelitian. Bogor. Bungin, B. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik, serta
Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Ed. 1 Cet. 3. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Costa, J.L., H. Massone, D. Martinez, E.F. Suero, C.M. Vidal, and F. Bedmar. 2002. Nitrate contamination of rural aquifer and accumulation in the unsaturated zone. Agriclutural Water Management (57):33-47. Elsevier Science B.V. Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2003. Budi Daya Kentang. Dirjen Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. ---------------. 2004. Budi Daya Sayuran Daun dan Tunas. Dirjen Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. Kraft, G.J. and W. Stites. 2003. Nitrate impact on groundwater from irrigated-vegetable system in a humid north-central US sand plain. Agriculture, Ecosystem and Environmental (100):3-74. www.sciencedirect.com. Elsevier Science B.V. Las, I., K. Subagyono, dan A.P. Setiyanto. 2006. Isu dan pengelolaan lingkungan dalam revitalisasi petanian. Dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Ai Dariah, N.L. Nuraida, Irawan, E. Husen, dan F. Agus (Eds). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Notodarmodjo, S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Penerbit ITB, Bandung. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara. 1992. Petunjuk Bertanam Sayuran. S. Kusumo dan H. Sunarjono (Ed). Jakarta. Ramos, C., A. Agut, and A.L. Lidon. 2002. Nitrate leaching in impoertant crops of the Valencian Community region (Spain). Environmental Pollution (118):215-223. Elsevier Science B.V. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Edisi pertama. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Smith, R.F. 1976. The Agroecosystem management. IRRI. IPC/SP6.
and
pest
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah IPB, Bogor. Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. John Wiley & Sons, Inc. Canada.
43
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Tim Pakar Prima Tani. 2005. Kumpulan Teknologi Unggulan Pendukung Prima Tani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Yuningsih. 2007. Keracunan nitrat-nitrit pada ternak ruminansia dan upaya pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian, 26(4):153-158. Zhang, W.L., Z.X. Tian, N. Zhang, and X.Q. Li. 1996. Nitrate pollution of groundwater in northern China. Agriculture, Ecosystem, and Environmental (59):223231. Elsevier Science B.V.
44
Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Berbagai Kandungan Kimia Air secara Spasial dan Temporal di dalam Daerah Aliran Sungai Subsurface Flow Dynamics on Spatial and Temporal Variations of Water Chemistry in a Water Catchment Area 1Nani
Heryani*, 2Hidayat Pawitan, 2M. Yanuar J. Purwanto, dan 3Kasdi Subagyono
1
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl. Tentara Pelajar No. 1A, Bogor 16111
2
Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB, Jl. Raya Darmaga Bogor
3
Sekretariat Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Jl. Ragunan 29 Pasar Minggu Jakarta 12540
INFORMASI ARTIKEL
Riwayat artikel: Diterima: 27 Juli 2012 Disetujui: 28 Desember 2012
Katakunci: Keragaman kimia air secara spasial dan temporal Konsentrasi pelarut
Abstrak. Menentukan jalur aliran yang dominan di dalam daerah aliran sungai dan bagaimana air mengalir berpengaruh terhadap terhadap kandungan kimia airnya merupakan hal penting dalam memahami proses limpasan. Saat ini pendekatan secara hidrometrik dan hidrokimia telah banyak dilakukan untuk memahami perbedaan persepsi antara pendekatan menggunakan model dengan konsep formal dalam mempelajari proses limpasan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dinamika aliran bawah permukaan selama proses limpasan dan mempelajari keragaman ketersediaan kandungan kimia air secara spasial dan temporal. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: karakterisasi wilayah penelitian, pengamatan kedalaman batuan (bedrock), pemasangan peralatan pengamatan hidrometrik dan hidrokimia, dan pengambilan sampel air untuk analisis kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika perilaku aliran bawah permukaan mempengaruhi keragaman kandungan kimia air secara spasial dan temporal. Perubahan besaran dan arah aliran bawah permukaan di wilayah lereng disebabkan adanya perubahan konsentrasi kimia air secara spasial dan temporal.
Aliran bawah permukaan Keywords: Spatial and temporal water chemistry variation Solutes concentration Subsurface flow
Abstract. Defining the dominant flow path and how the water undergoes chemical changes is critical in understanding the process of runoff. In recent decades, hydrometric and hydrochemical approaches have been done much to understand the differences in perception between the models and the formal concepts of runoff processes. The aims of the research were to study the subsurface flow dynamics during runoff process and the spatial and temporal variation of water chemistry. The research was conducted through several stages, i.e. characterization of the study area, observation of bedrock depth, installation of hydrometric and hydro-chemical equipment and water sampling and analysis. The results showed that the dynamics of subsurface flow behavior affected the diversity of water chemistry spatially and temporally. Changes in the amount and direction of the subsurface flow in sloping area were caused by the change in solute concentration spatially and temporally.
Pendahuluan Mekanisme proses aliran bawah permukaan wilayah hutan di DAS bagian hulu telah menjadi perdebatan sejak tahun 1930-an (Bonell 1998; McGlynn et al. 2002). Menurut Subagyono dan Tanaka (2007) tidak hanya aliran permukaan (surface runoff) yang berkontribusi terhadap proses limpasan dan kandungan kimia airnya, tetapi aliran bawah permukaan juga berperan dalam proses hidrologi yang terkait dengan transport larutan (solute transport). Penelitian dengan menggunakan metode tunggal melalui pendekatan hidrometrik dianggap memerlukan waktu lama, sehingga saat ini kombinasi pengamatan melalui pendekatan hidrometrik dan perunut hidrokimia merupakan metode standar untuk mengatasi perbedaan *Corresponding author:
[email protected]
ISSN 1410-7244
persepsi antara model dengan konsep-konsep formal tentang proses limpasan di wilayah hulu suatu DAS (McDonnell 2003). Meskipun beberapa penelitian hidrologi yang mempelajari aliran bawah permukaan di lereng (hillslope) sudah banyak dilakukan di luar negeri pada berbagai kondisi iklim, topografi, dan kondisi geologi, namun masih sedikit yang mengkarakterisasi proses aliran air (limpasan). Di Indonesia penelitian tentang proses limpasan menggunakan perunut hidrokimia nampaknya belum dilakukan, padahal manfaat yang dapat diperoleh cukup banyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari hasil penelitian di lereng dapat digunakan oleh komunitas ilmuwan untuk pengembangan dan validasi model atau konseptualisasi aliran bawah permukaan (Tromp-van Meerveld 2008). Teknik pemisahan aliran air/limpasan yang dapat mengkuantifikasi
45
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
sumber (source) aliran sangat penting dalam mendesain stuktur hidraulik, evaluasi model hujan-aliran permukaan, mempelajari proses pengendalian banjir, serta pendugaan dan pengurangan kontaminasi air. Penelitian ini penting karena masih terbatasnya informasi tentang mekanisme proses aliran air dengan menggunakan perunut hidrokimia di Indonesia. Dalam bidang pertanian, masalah kesuburan tanah dan aplikasi pupuk telah banyak diketahui. Dinamika perilaku unsur hara dalam kaitannya dengan kehilangan melalui erosi, pengambilan oleh tanaman dan perolehan dari aplikasi pemupukan sudah banyak dipelajari. Namun dinamika kehilangan hara melalui proses transpor melalui aliran air masih sedikit. Selain itu pengelolaan lahan pertanian yang intensif sering mendatangkan polusi misalnya karena pemupukan yang berlebihan. Oleh karena itu pengetahuan tentang dinamika konsentrasi pelarut yang dipengaruhi oleh dinamika aliran bawah permukaan sangat diperlukan untuk perencanaan pemberian pupuk yang lebih baik dan perlindungan lingkungan (Subagyono 2007). Secara alami, produksi pelarut melalui pembentukan batuan dan deposisi dari atmosfir seimbang dengan yang terbawa oleh aliran air dan hilang selama terjadinya reaksi kimia. Proses-proses ini menyebabkan perubahan komposisi kimia di dalam tanah sama seperti perubahan hidrokimia di dalam suatu DAS. Besarannya bervariasi sesuai dengan jenis tanahnya dan sangat nyata berbeda antara satu DAS dengan DAS lainnya tergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Tujuan penelitian adalah mempelajari dinamika perilaku aliran bawah permukaan selama proses limpasan dan mempelajari keragaman ketersediaan kandungan hidrokimia secara spasial dan temporal.
Bahan Dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di DAS mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, pada Mei 2008 sampai September 2010. DAS Mikro Cakardipa memiliki 6 jenis penggunaan lahan, disajikan pada Gambar 1. Areal hutan (H) mencakup luasan 0.13 ha atau 0,22 % dari total areal DAS mikro Cakardipa, sedangkan kebun campuran (KC) terdapat di sebelah kanan kiri jalur aliran seluas 26,19 ha atau 43,09 % dari total areal DAS Mikro Cakardipa. Areal ini didominasi oleh tanaman tahunan seperti alpokat, nangka, sirsak, pisang, akasia, dan suren. KS (kebun sayuran) mencapai luas 3,11 ha atau 5,11% dari total areal DAS mikro Cakardipa, ditanami cabe, caisin, kacang panjang, dan wortel. Budidaya sayuran dan bunga dilakukan di rumah kaca (Ki) dengan luas 0,77 ha atau 1,26 % dari total areal DAS Mikro Cakardipa. Daerah
46
Gambar 1. Penggunaan lahan di DAS mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, Bogor Figure 1.
Land use in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus Subcatchment, Ciliwung upstream catchment area, Bogor
pemukiman (KP) terdiri pemukiman penduduk dan pekarangan terdapat di kampung Lemah Neundeut dan Bojong Keji seluas 7,20 ha atau 11,85% dari total areal DAS mikro Cakardipa. Penggunaan lahan yang dominan adalah sawah (Sw) mencakup areal seluas 23,39 ha atau 38,47% dari total areal DAS mikro Cakardipa.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu: peta rupabumi skala 1:25.000, peta geologi skala 1:100.000, dan peta geohidrologi skala 1:250.000; data tinggi muka air (debit); sifat fisik, kimia, dan mineral tanah. Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu: alat pengukur penetapan kedalaman air tanah; piezometer, tensiometer, suction sampler (pompa pengambil air tanah dan air bumi); botol untuk menyimpan sampel air; ring sampel; GPS (global positioning system); AWLR (automatic water level recorder); ARR (automatic rainwater recorder) tipe HOBO; current meter; bor tanah; dan seperangkat komputer, plotter, dan digitizer; software Arc-View ver. 3.3.
Metodologi Pengamatan Kedalaman Batuan dan Pengamatan Hidrokimia Pengamatan kedalaman tanah dan batuan (bedrock) diperlukan sebagai dasar dalam menentukan kedalaman pemasangan jaringan peralatan pengamatan hidrokimia
Nani Heryani et al. : Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Berbagai Kandungan Kimia Air
(piezometer, tensiometer, dan suction sampler). Untuk menentukan kedalaman batuan dilakukan pengeboran tanah pada setiap kedalaman 50 cm sampai 1 m untuk melihat karakteristik dari tanah dan batuannya. Pemasangan jaringan pengamatan hidrokimia dilakukan pada suatu transek yang ditetapkan sesuai dengan jalur aliran air di lahan kering berlereng (hillslope) masing-masing 5 titik pada lereng arah timur dan 4 titik pada lereng arah barat dari sungai DAS mikro Cakardipa. Pemasangan alat pengamatan hidrokimia secara vertikal disajikan pada Gambar 2. Jaringan alat pengamatan hidrokimia seluruhnya berjumlah 68 buah, terdiri atas 25 tensiometer, 16 piezometer, dan 27 suction sampler yang dipasang pada beberapa kedalaman. Tensiometer dipergunakan untuk mengukur potensial air tanah, piezometer untuk mengukur kedalaman muka air tanah dan pengambilan contoh air bumi (groundwater), sedangkan suction sampler untuk menyedot sampel air tanah.
Pengamatan Hidrometrik Untuk mempelajari karakteristik aliran DAS Mikro Cakardipa dilakukan instalasi alat pengukur tinggi muka air otomatis (AWLR) tipe pelampung. Persamaan lengkung debit pada bangunan weir berbentuk persegi panjang sebagai berikut:
Q C * L * H 1,5 * 2.g
.................................................. (1)
dengan: Q = debit (m3 s-1) H = tinggi muka air pada weir (m) C = koefisien weir (0,35) g = percepatan gravitasi bumi 9,8 m s-2 L = lebar mulut weir (m) Persamaan kurva lengkung debit weir DAS Mikro Cakardipa, sebagai berikut: Ketinggian muka air < 29 cm, maka Q = 0,35x0,9xH1,5 x(2x9,8)0,5 ................................ (2) Ketinggian muka air > 29 cm, maka Q = 0,35x0,39x(0,29)1,5 x(2x9,8)0,5+ 0,35x1,98x(H0,29)1,5 x(2x9,8)0,5 ...................................................... (3) Untuk mempelajari karakteristik hujan sesaat dilakukan instalasi pengamat hujan otomatis dalam interval waktu 5 menit.
Ketinggian (m dpl)
Penentuan Arah Aliran Air secara Vertikal dan Lateral
Bedrock Tensiometer Piezometer Groundwater Table
Jarak dari aliran sungai (m)
Gambar 2. Skema pemasangan jaringan pengamatan hidrokimia di lereng sebelah barat dan timur DAS mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu Figure 2.
Scheme of hydrochemical observation network installation at west and east slope of Cakardipa micro catchment, Ciliwung upstream catchment area
Keterangan: L1, L2, L8,L9: terdiri dari tensiometer dan suction sampler pada beberapa kedalaman L3, L4, L5, L6, L7: terdiri dari tensiometer, piezometer, dan suction sampler pada beberapa kedalaman
Jalur aliran ditentukan di wilayah lereng atas, tengah, dan bawah sampai ke jalur sungai. Jalur aliran bawah permukaan ditetapkan berdasarkan garis equipotensial yang menggambarkan titik-titik yang memiliki potensial air yang sama. Arah aliran bawah permukaan secara vertikal dan lateral ditentukan berdasarkan perbedaan (gradient) tinggi hidrolik air bumi antara dua titik pengamatan pada kedalaman yang berbeda di areal lereng tengah dan bawah. Menurut Subagyono dan Tanaka (2007), gradien tinggi hidrolik secara vertikal (∂Η/∂z) dihitung berdasarkan persamaan 4: ∂H/∂z = (H2-H1)/(z2-z1) .................................................. (4) dengan : H1 dan H2 adalah tinggi hidrolik pada kedalaman pemasangan alat pengamatan hidrokimia (tensiometer) terendah (0,25 m) dan tertinggi (9 m), serta z1 dan z2 adalah ketinggian tempat titik pengamatan.
47
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Tabel 1. Jumlah sampel air dan metode pengambilannya Table 1. Total water samples and sampling method No
Jenis sampel
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Air tanah Air bumi Air sungai Air hujan Aliran Permukaan Air saluran Total
Metode pengambilan sampel
Jumlah lokasi sampling
Suction sampler Piezometer Manual Ombrometer Chin-ong meter Manual
Gradien tinggi hidrolik secara lateral (∂Η/∂z) dihitung berdasarkan persamaan 5: ∂H/∂z = (Hb-Ha)/(zb-za) .................................................. (5) dengan: Ha dan Hb tinggi hidrolik pada titik pengamatan L4 dan L5, sedangkan za dan zb adalah ketinggian tempat pada titik pengamatan L4 dan L5. Keragaman Unsur Kimia Air secara Spasial dan Temporal Keragaman unsur kimia air secara spasial ditentukan dengan menghitung standar deviasi dan koefisien keragaman. Sedangkan analisis data berdasarkan seri waktu (time series) digunakan untuk mengetahui keragaman unsur kimia air secara temporal. Untuk mempelajari proses hidrologi dan hidrokimia yang dapat berubah secara temporal, digunakan analisis autokorelasi dengan menggunakan metode Hann (1977) pada persamaan 6:
Frekuensid
21 16 3 1 4 1 48
Total sampel
Bulanan dan setiap kejadian hujan Bulanan dan setiap kejadian hujan Bulanan dan setiap kejadian hujan Pada saat kejadian hujan Pada saat kejadian hujan Bulanan dan setiap kejadian hujan
193 412 87 16 140 26 874
Pengambilan Sampel Air Pengambilan sampel air menggunakan suction sampler, kemudian dimasukkan kedalam botol sampel. Pengambilan sampel air meliputi air tanah dan air bumi (groundwater) yang diambil dan diamati melalui tensiometer, suction sampler, dan piezometer. Selain itu juga diambil sampel air sungai di bagian hulu, tengah, dan hilirnya. Analisis air dilakukan terhadap kandungan unsur: K+, Na+, Ca2+, Mg2+, Al3+, Fe3+, SiO2, SO42-, PO42-, NO3-1, Cl-1, dan HCO3-. Anion ditentukan dengan ion chromatography, sedangkan kation dengan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Jumlah sampel air dan metode pengambilannya disajikan pada Tabel 1.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Curah Hujan dan Debit Karakteristik curah hujan tanggal 14 Februari 2010 digunakan dalam mempelajari dinamika aliran bawah permukaan disajikan pada Gambar 3.
ϼ(τ) = Cov (X(t) , (X(t+ τ))/Var (X(t)) ................................. (6) 0,0 120
1,0 intensitas hujan
2,0
Debit
100
Debit (L dtk -1)
3,0 80
4,0 5,0
60
6,0 40
k __
Var (X(t)) = Σ (Xi - X)2ni/(n – 1) ..................................... (8) i=1
dengan: X(t) merepresentasikan proses stokastik X rata-rata data k jumlah kelompok data, dan n adalah jumlah data pengamatan.
48
8,0 20 9,0
8:00
10:00
6:00
4:00
2:00
0:00
22:00
20:00
18:00
16:00
14:00
12:00
8:00
10:00
6:00
4:00
10,0 2:00
0 0:00
m ___ _____ Cov (X(t), X(t+τ)) = Σ (Xi(t) - X(t))(Xi(t+τ) - X(t + τ))/m ................... (7) j=1
7,0
Intensitas hujan (mm 5 mnt-1)
dengan: ϼ(τ) adalah fungsi autokorelasi, Cov (X(t)), X(t+τ) adalah autocovarian, dan Var X(t) adalah keragaman. Covarian ditentukan menggunakan persamaan 7, sedangkan keragaman ditetapkan melalui persamaan 8, sebagai berikut:
Waktu
Gambar 3. Intensitas hujan dan debit sesaat pada episode 14 Februari 2010 di DAS Mikro Cakardipa Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu Figure 3. Raining intensity and momentarily water debit at episode of 14th February 2010 in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus subcatchment, Ciliwung upstream catchment area
Nani Heryani et al. : Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Berbagai Kandungan Kimia Air
Gradien tinggi hidrolik secara lateral
Gradien tinggi hidrolik secara vertikal 0
0
-0,2
-0,4
-0,4
-0,8 -0,6
-1,2 -0,8
-1,6
-1
-2
-1,2
Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Jan Peb Mar
Agu Sep Okt Nop Des Jan Peb Mar
Gambar 4. Fluktuasi tinggi hidrolik bulanan air bumi secara lateral dan vertikal di DAS mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu Figure 4.
Monthly fluctuation of hydraulic height of groundwater, laterally and vertically in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus subcatchment, Ciliwung upstream catchment area
Curah hujan maksimum pada episode hujan ini mencapai 3.6 mm 5 mnt-1 atau 42.7 mm jam-1 dengan puncak debit sekitar 80 L dtk-1. Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Saat Hujan
Menurut Subagyono (2002) air akan terdistribusi ke dalam profil tanah dan sebagian akan bergerak ke lereng bagian bawah pada kedalaman 1 meter dan ini merupakan aliran bawah permukaan. 2.
Adanya perubahan arah aliran pada lereng bagian tengah (antara jaringan pengamatan L2 dan L3) menjadi aliran lateral pada saat hujan mencapai puncaknya. Adanya perubahan arah aliran yang konsisten dengan adanya penambahan curah hujan dan tingkat kebasahan tanah sangat dipengaruhi oleh ketajaman lereng. Kondisi topografi merupakan faktor fisik yang dominan dan sangat mempengaruhi arah aliran (Beven dan Kirby, 1979; dan O’Loughlin, 1986). Beberapa model hujan-aliran permukaan memperhitungkan indeks topografi untuk melihat distribusi dan dinamika hubungan air-tanah secara spasial di dalam DAS. Indeks topografi baru (TWI*d) yang dikemukakan oleh Lanni et al. (2011) merupakan salah satu indeks yang dapat digunakan untuk menggambarkan proses aliran bawah permukaan pada saat topografi (dalam hal ini aliran lateral) merupakan faktor penentu dalam mekanisme aliran bawah permukaan.
3.
Adanya aliran (vertikal dan lateral) yang bervariasi antara batas lereng bagian bawah dengan daerah di dekat aliran sungai (antara jaring pengamatan L4 dan L6). Menurut McGlynn et al. (1999) adanya perbedaan ketinggian yang jelas di lereng akan terdapat aliran yang bervariasi.
4.
Adanya aliran lateral di dekat daerah aliran sungai (L5) dengan aliran sungai. Menurut Tsuboyama et al. (1994), McDonnell (1990), dan Uchida et al. (1999), pergerakan air secara lateral dalam tanah merupakan proses penting dalam kaitannya dengan pendistribusian air, hara, dan larutan. Aliran secara
Aliran air bervariasi secara vertikal dan lateral dalam skala waktu. Data-data tinggi hidrolik berdasarkan pengamatan melalui tensiometer dan piezometer menunjukkan bahwa aliran air secara vertikal dan aliran air dari lereng ke arah sungai (lateral) berfluktuasi dalam skala waktu (Gambar 4). Pada saat terjadi aliran air secara vertikal unsur hara akan terangkut ke lapisan tanah yang lebih dalam, sedangkan pada saat terjadi aliran air secara lateral unsur hara akan terangkut ke alur sungai. Pada saat awal terjadinya hujan, aliran air mengalir secara vertikal, aliran kemudian menjadi aliran lateral karena adanya penambahan curah hujan. Terdapat pola aliran yang berbeda pada segmen-segmen 1.
Pada awal kejadian hujan terjadi aliran vertikal di dekat punggung bukit. Aliran air yang cepat jelas terjadi di lereng selama terjadi hujan sehingga memungkinkan unsur kimia tercuci dari bagian lereng ini. Potensial air dan jalur aliran dimana air mengalir juga mempengaruhi perbedaan konsentrasi kimia air yang melalui lereng hingga ke sungai. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa di area yang memiliki lereng curam, tanah tipis, air akan bergerak secara vertikal, lalu tertahan pada lapisan antara tanah dan batuan (soil-bedrock interface), dan kemudian bergerak secara lateral (McDonnell 1990, Tani 1997; Sidle et al 2000; Freer et al 2002; Uchida et al. 2002). Di daerah lereng air akan terinfiltrasi dengan cepat ke dalam tanah diikuti oleh meningkatnya tingkat kebasahan pada zone bawah permukaan yang dangkal.
49
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Gambar 5. Dinamika aliran bawah permukaan pada 14 Februari 2010 di DAS mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung hulu Figure 5.
Subsurface flow dynamics on 14th February 2010 in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus subcatchment, Ciliwung upstream catchmanet area
lateral juga berperan pada pencucian hara/nutrient flushing (Buttle et al. 2001), serta pendistribusian aliran ke sungai (Freer et al. 2002; McDonnell, 1990) dan ke zone riparian (zone basah) (McGlynn dan McDonnell, 2003a). Menurut Subagyono (2002), Tanaka dan Ono (1998) perubahan arah aliran air tanah di lereng dipengaruhi oleh ketebalan (kedalaman) tanah dan keadaan lereng. Pada penelitian ini lereng bagian bawah memiliki ketebalan tanah dan kedalaman batuan yang jauh lebih kecil dibandingkan lereng atas. Perbedaan kedalaman tanah dan batuan serta posisi titik pengamatan yang sangat berbeda ketinggiannya terdapat pada titik L4 dan L5, L5 dengan L6 serta L5 dan L6 dengan alur sungai. Akumulasi unsur hara pada umumnya meningkat di titik L5 dibandingkan dengan L4. Aliran air secara perlahan menjadi aliran vertikal selama penurunan kurva hidrograf (resesi). Air yang mengalir secara perlahan ke dalam aliran sungai selama kurva resesi menunjukkan adanya penurunan jumlah
50
(proporsi) aliran yang bertahap pada hydrograf. Perbedaan ketinggian tempat dan ketebalan tanah dan kedalaman batuan antar pengamatan L4 dan L5 demikian juga pengamatan L6 dan L5 mengakibatkan peningkatan unsur hara di segmen ini. Keragaman Hidrokimia secara Spasial Konsentrasi unsur hara di lereng bagian atas dan bawah menunjukkan trend yang khas (Gambar 6 dan 7). Trend ini erat kaitannya dengan proses aliran, dimana aliran ke segmen lereng bagian bawah menyebabkan akumulasi hara di segmen tersebut. Karena aliran yang sangat cepat terjadi di segmen lereng bagian atas pada saat terjadi hujan, biasanya konsentrasi unsur hara tercuci dari segmen ini. Pada Tabel 2 dapat dilihat terdapat keragaman konsentrasi kimia air secara spasial (pada beberapa sumber limpasan) dan temporal (musim). Pada musim kemarau pada umumnya konsentrasi kimia air di dalam air tanah lebih besar dari pada air bumi. Konsentrasi pelarut yang
Nani Heryani et al. : Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Berbagai Kandungan Kimia Air
tinggi pada air tanah diduga karena pada musim kemarau air tidak dapat mengalir sampai ke kedalaman air bumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada musim kemarau air hujan tidak menjadi sumber limpasan bagi DAS mikro Cakardipa. Hal ini sejalan dengan penelitian Bernal et al. (2006) yang menyatakan bahwa lereng (hillslope), air tanah riparian, dan air hujan (event wáter) merupakan sumber aliran di dalam DAS, namun kimia aliran tidak dapat dijelaskan oleh ketiga sumber limpasan tersebut pada saat musim kemarau.
Berbeda dengan unsur kimia air lainnya yang konsentrasinya lebih besar pada air tanah dibandingkan air bumi baik pada musim kemarau maupun musim hujan, konsentrasi SiO2 ternyata lebih besar pada air bumi dibandingkan air tanah yaitu sebesar 20,510 dan 15,164 mg L-1 berturut-turut pada air bumi dan air tanah pada MK, dan 10,964 dan 9,580 mg L-1 berturut-turut pada air bumi dan air tanah pada MH. Konsentrasi kimia air pada air hujan pada umumnya lebih kecil dibandingkan yang
Gambar 6. Kandungan kation dan anion utama di dalam air bumi di beberapa titik pengamatan (Musim Kemarau 2009) di DAS mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu Figure 6.
The dominant cation and annion content in groundwater at several observation points (Dry Season 2009) in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus subcatchment, Ciliwung upstream catchmanet area
Gambar 7. Kandungan kation dan anion utama di dalam air bumi di beberapa titik pengamatan Figure 7. The dominant cation and annion content in groundwater at several observation points 51
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Tabel 2. Keragaman konsentrasi hidrokimia secara spasial pada musim kemarau dan hujan di DAS mikro Cakardipa, DAS Ciliwung hulu Table 2. Variability of hydrochemical concentration spatially at dry and rainy seasons in Cakardipa micro catchment, Ciliwung upstream catchmanet area Musim
Konsentrasi
Sumber aliran
+
K
Na
+
Ca
2+
Mg2+
SiO2
SO42-
NO3-
Cl-
HCO3-
-1
MK
MH
Air bumi
Rerata SD CV(%) n
……………………………………………… mg l ……………………………………………… 1,092 6,665 14,617 3,295 20,510 6,365 4,081 2,784 0,768 0,535 2,804 6,078 1,643 14,364 8,609 2,999 3,366 0,573 48,966 42,079 41,584 49,874 70,033 135,260 73,506 120,886 74,637 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Air tanah
Rerata SD CV(%) n
6,645 8,202 123,437 11
73,172 94,855 129,633 11
49,485 20,390 41,205 11
3,761 2,256 59,983 11
15,164 8,722 57,519 11
19,980 15,852 79,339 11
15,095 14,612 96,798 11
23,856 10,369 43,467 5
1,635 0,407 24,897 11
Air bumi
Rerata SD CV(%) n
0,647 0,551 85,198 126
4,928 1,593 32,327 126
13,457 5,717 42,488 126
4,134 1,543 37,332 126
10,964 8,286 75,580 126
2,829 3,020 106,746 117
3,979 5,768 144,964 123
4,439 1,278 28,795 120
0,925 0,385 41,677 118
Air tanah
Rerata SD CV(%) n
1,468 2,384 162,361 104
7,371 8,161 110,710 105
25,669 12,067 47,010 105
4,837 3,128 64,671 105
9,580 5,358 55,931 104
5,436 7,115 130,875 97
5,341 6,545 122,549 79
9,116 13,697 150,254 93
1,474 1,222 82,896 74
Air hujan
Rerata SD CV(%) n
0,576 0,607 105,271 14
1,118 1,424 127,309 14
3,770 4,127 109,480 14
0,724 1,277 176,414 14
1,890 5,371 284,154 14
1,440 1,064 73,917 14
7,114 7,207 101,313 14
3,987 0,444 11,129 14
4,929 3,376 68,481 14
Keterangan: MK: musim kemarau, MH: musim hujan, SD: standar deviasi, CV: koefisien keragaman, n: jumlah contoh
terdapat pada air bumi maupun air tanah. Konsentrasi kalsium pada umumnya dominan pada air bumi maupun pada air tanah, baik pada musim hujan maupun kemarau. Keragamannya juga tinggi sesuai dengan koefisien keragamannya. Untuk mempelajari keragaman konsentrasi kimia air secara spasial di lereng (di titik-titik pengamatan) dan sekitar alur sungai disajikan pada Gambar 6 dan 7. Hasil analisis terhadap sampel air pada musim kemarau menunjukkan bahwa fluktuasi kandungan kation dan anion air bumi memiliki pola yang serupa, meskipun pada titik pengamatan L5 (posisinya di lereng bagian bawah) dan transek di dekat sungai unsur-unsur tersebut memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Menurut Subagyono (2007) kecenderungan konsentrasi yang lebih tinggi adalah berkaitan dengan proses aliran dimana aliran ke bawah di zone lereng bagian bawah menyebabkan terjadinya akumulasi unsur kimia tersebut. Aliran air yang cepat jelas terjadi di lereng selama terjadi hujan sehingga memungkinkan unsur kimia tercuci dari bagian lereng ini. Potensial air dan jalur aliran dimana air mengalir juga mempengaruhi perbedaan konsentrasi hidrokimia yang melalui lereng hingga ke sungai.
52
Konsentrasi Ca di lereng lebih rendah karena adanya proses pencucian dan Ca yang terlarut mengalir ke daerah transek/perpotongan antara lereng dan sungai, fenomena ini dapat menjelaskan adanya hubungan antara zone lereng dan zone bukan lereng selama proses limpasan. Hal ini sejalan dengan penemuan McGlynn et al. (1999) dan Subagyono (2002) yang menyatakan bahwa aliran yang bervariasi (lateral dan vertikal) terjadi karena adanya perbedaan ketinggian daerah lereng. Gambar 6 dan 7 menyajikan kandungan anion dan kation utama di dalam air bumi di beberapa titik pengamatan berturut-turut pada musim kemarau (periode Juni-September 2009) dan musim hujan (periode Oktober 2009-April 2010). Gambar 8 a-e menyajikan fluktuasi konsentrasi kation dan anion air tanah pada beberapa kedalaman. Pada kedalaman 250 cm di titik pengamatan L4 konsentrasi kation dan anion lebih tinggi dibandingkan dengan L3 dan L6, hal ini terlihat nyata pada Na, Cl, Ca yang jauh lebih tinggi dibandingkan unsur yang lain (Gambar 8 a). Pada kedalaman lainnya (gambar 8 b-e) konsentrasi Ca juga rata-rata lebih tinggi dari unsur lainnya. Ca juga meningkat pada titik pengamatan di lereng yang tinggi dan menurun pada titik pengamatan di daerah lereng bawah dan mendekati sungai. Menurut Subagyono et al. (2005)
Nani Heryani et al. : Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Berbagai Kandungan Kimia Air
perubahan yang mencolok pada konsentrasi Ca dibandingkan unsur lain adalah berkaitan erat dengan proses aliran yaitu karena aliran secara lateral di lereng berjalan lebih dalam, maka konsentrasi Ca di dalam air tanah dan air bumi meningkat. Keragaman Kimia Air Secara Temporal Untuk melihat dinamika konsentrasi pelarut secara time series digunakan fungsi autokorelasi. Plot fungsi autokorelasi air bumi, air tanah, dan air hujan pada angka lagnya disajikan pada Gambar 9, 10, dan 11. Pada Gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua unsur kimia air memiliki pola acak (random). Hampir semua unsur kimia air di dalam air bumi memiliki dinamika yang cukup besar kecuali NO3, hal ini menggambarkan bahwa NO3 ini mudah tercuci. Fungsi autokorelasi pada air hujan lebih besar dibandingkan dengan air bumi dan air tanah. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman konsentrasi hidrokimia
secara temporal pada air bumi dan air tanah berbeda dengan di air hujan. Air hujan akan bergerak secara vertikal pada awal kejadian hujan di wilayah lereng bagian atas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pencucian unsur hara. Pada saat menjelang puncak hujan air bumi bergerak secara vertikal dan lateral di lereng bagian bawah, dan memungkinkan terjadi akumulasi unsur hara di lereng bagian bawah. Hal ini sejalan yang dikemukakan Subagyono dan Tanaka (2007) bahwa pada kejadian hujan yang besar aliran preferensial terjadi di lereng, sementara pada beberapa kejadian hujan aliran pada ruang antara lapisan tanah dan batuan (soil bedrock interface) dapat terjadi di lereng tetapi tidak mencapai air bumi dalam di daerah yang basah sekitar sungai. Aliran preferensial di lereng sangat potensial menyebabkan pencucian hara, sedangkan aliran vertikal di daerah basah sekitar aliran sungai menyebabkan akumulasi hara. Proses pencucian hara dan kecepatan aliran air di areal lereng dapat dikurangi dengan mengaplikasikan teknik konservasi tanah melalui pembuatan rorak dan alley cropping. Selain itu budidaya tanaman tahunan dapat meningkatkan 35
K
a
200
Ca
150
Mg SiO2
100
SO4
50
NO3 Cl
0
Konsentrasi (mg L -1 )
L3
40 35 30 25 20 15 10 5 0
L4 Titik Pengamatan
200 cm
30
Na
Konsentrasi (mg L -1 )
250
250 cm
K
Na
b
25
Ca
20
Mg
15
SiO2
10
SO4
5
NO3 Cl
0
L6
L3
L4 L6 Titik Pengamatan
L7
300 150cm cm 150
K
Na
c
Ca Mg SiO2 SO4 NO3
Cl
L3
L4 Titik Pengamatan
Konsentrasi (mg L-1 )
Konsentrasi (mg L-1)
300
250
100 cm
d
K Na Ca
200
Mg
150
SiO2
100
SO4 NO3
50
Cl
0
L7
L3
L4 L5 Titik Pengamatan
L6
Konsentrasi (mg L-1 )
50 K
e
40
Na Ca
30
Mg SiO2
20
SO4 NO3
10
Cl
0
L1
L3
L4
L5 L6 L7 Titik Pengamatan
L8
L9
Gambar 8. Distribusi kation dan anion pada air tanah pada beberapa kedalaman secara spasial di DAS Mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung hulu Figure 8.
Cation and annion distribution in groundwater at various depth spatially in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus Subcatchment, Ciliwung upstream catchment area 53
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Gambar 9. Korrelogram beberapa unsur kimia air pada air bumi di DAS Mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung hulu periode Juni 2009-April 2010 Figure 9. Correlogram of some water chemical elements in groundwater in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus subcatchment, Ciliwung upstream catchmanet area in the period of June 2009 to April 2010
intersepsi dan infiltrasi dan mengurangi laju aliran air dibandingkan tanaman semusim. Informasi dinamika pergerakan air, pergerakan dan ketersediaan unsur hara secara spasial dan temporal yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam pengelolaan lahan berlereng yang mendominasi wilayah Indonesia.
Kesimpulan Keragaman kimia air secara spasial dan temporal sangat dipengaruhi oleh dinamika perilaku aliran bawah permukaan yang melalui lereng atas, lereng bawah dan sungai dari suatu daerah tangkapan air. Pada musim kemarau dan musim hujan konsentrasi K, Na, Ca, Mg, SO4, NO3, Cl, HCO3 pada air tanah (soil water) lebih besar daripada air bumi (groundwater). Konsentrasi K,Na, Ca, Mg, SiO2, SO4, dan Cl pada air hujan lebih kecil daripada air tanah dan air bumi. Aliran air vertikal di lereng bagian bawah menyebabkan terjadinya akumulasi
54
unsur hara. Besaran dan arah aliran bawah permukaan dapat mengakibatkan perubahan konsentrasi kimia air secara spasial dan temporal. Informasi perilaku hidrologi dan kimia air dalam suatu DAS bermanfaat dalam menyusun perencanaan pengelolaan lahan pertanian di daerah berlereng. Kesuburan tanah sangat dipengaruhi oleh perilaku unsur hara, sehingga status kesuburan tanah pada suatu DAS akan sangat dinamis dan dapat mempengaruhi produktivitas pertanian.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) (DIPA TA. 2009-2010) dan DIPA Balitklimat (2008-2009) atas dukungan dana terhadap penelitian ini. Penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada Dr. Budi Kartiwa, CESA dan Ir. Sawiyo, MSi atas kerjasama yang baik selama penelitian.
Nani Heryani et al. : Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Berbagai Kandungan Kimia Air
Gambar 10. Korrelogram Beberapa Unsur Kimia Air pada Air Tanah di DAS Mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu periode Juni 2009-April 2010 Figure 10.
Correlogram of Some Water Chemical Elements in Subsurface Water in Cakardipa Micro Catchment, Cisukabirus Subcatchment, Ciliwung Upstream Catchmanet Area in the period of June 2009 to April 2010
Daftar Pustaka Bernal, S., A. Butturini, and F. Sabater. 2006. Inferring Nitrate Sources Through End Member Mixing Analysis in An Intermittent Mediterranean Stream. Abstract. Biogeochemistry 81, 269–289. Buttle, J.M., S.W. Lister, A.R. Hill. 2001. Controls on runoff components on a forested slope and implications for N transport. Hydrological Processes 15 (6): 1065–1070 Bonell, M. 1998. Progress in the understanding of runoff generation dynamics in forests. Journal of Hydrology. 150: 217–275. Beven, K.J., M. J. Kirkby. 1979. A physically based variable contributing area model of basin hydrology. Hydrology Science Bulletin 24(1): 43– 69. Freer, J., J.J. McDonnell, K.J. Beven, N.E. Peters, D.A. Burns, R.P. Hooper, and B. Aulenbach. 2002. The role of bedrock topography on subsurface storm flow. Water Resources Research. 38(12): 1269. doi:10. 1029/ 2001 WR 000872. Haan, C.T. 1977. Statistical Methods in Hydrology. The Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA. p. 236-288.
Lanni, C., J.J. McDonnell, and R. Rigon. 2011. On the relative role of upslope and downslope topography for describing water flow path and storage dynamics: a theoretical analysis. Hydrol. Process. 25: 3909–3923. Published online 28 September 2011 in Wiley Online Library (wileyonlinelibrary.com) DOI: 10.1002/hyp.8263 McDonnell, J.J. 2003. Where does water go when it rains? Moving beyond variable source area concept of rainfall-runoff response. Hydrological Processes 17, 1869–1875. McGlynn, B.L. and J.J. McDonnell. 2003a. Quantifying the relative contributions of riparian and hillslope zones to catchment runoff. Water Resources Research. 39(11). doi:10.1029/2003WR002091. McGlynn, B.L., J.J. McDonnell, D. Brammer. 2002. A review of the evolving perceptual model of hillslope flowpaths at the Maimai catchment, New Zealand. J. Hydrol. 257, 1–26. McGlynn, B.L., J.J. McDonnell, J.B. Shanley, and C. Kendall. 1999. Riparian zone flowpath dynamics during snowmelt in small headwater catchment. Journal of Hydrology 222:75-92. McDonnell, J.J. 1990. A rationale for old water discharge through macropores in a steep, humid catchment. Water Resources Research. 26(11): 2821–2832. 55
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Gambar 11. Korrelogram beberapa unsur kimia air pada air hujan di DAS mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung hulu periode Juni 2009-April 2010 Figure 11.
Correlogram of some water chemical elements in rainwater in Cakardipa micro catchment, Cisukabirus subcatchment, Ciliwung upstream catchmanet area in the period of June 2009 to April 2010
O’Loughlin, E.M. 1986. Predicition of subsurface saturation zones in natural catchments by topographic analysis. Water Resour. Res. 7:425448. Subagyono, K. And T. Tanaka. 2007. The role of subsurface flow dynamic on spatial and temporal variation of water chemistry in a headwater catchment. Indonesian Journal of Agricultural Science. 8(1): 17-30. Subagyono, K., T. Tanaka, Y. Hamada, and M. Tsujimura. 2005. Defining Hydrochemical Evolution of Streamflow Through Flowpath Dynamics in Kawakami Headwater Catchment, Central Japan. Abstract. Hydrological Processes 19 (10):1939– 1965. Subagyono, K. 2002. Linking Runoff Process and Spatial and Temporal Variation of Water Chemistry in a Forested Headwater Catchment. PhD Dissertation in Geoscience. University of Tsukuba, Japan. Sidle, R.C., Y. Tsuboyama, S. Noguchi, I. Hosoda, H. Fujieda, and T. Shimizu. 2000. Stormflow generation in steep forested headwaters: a linked hydrogeomorphic paradigm. Hydrological Processes 14(3): 369–385. Tromp-van Meerveld, H. J., A. L. James, J. J. McDonnell, and N. E. Peters. 2008. A reference data set of
56
hillslope rainfallrunoff response, Panola Mountain Research Watershed,United States, Water Resour. Res., 44, W06502. Tanaka, T. and T. Ono. 1998. Contribution of soil water and its flow path to stormflow Generation in a forested headwater catchment in Central Japan. In Kovar K, Tappeiner U, Peters NE, Craig RG(eds.). Hydrology, Water Resources and Ecology in Headwater. IAHS Publ.No 248:181-188. Tani, M. 1997. Runoff generation processes estimated from hydrological observations on a steep forested hillslope with a thin soil layer. Journal of Hydrology 200: 84–109. Tsuboyama Y, R.C. Sidle, S. Noguchi, and I. Hosoda. 1994. Flow and solute transport through the soil matrix and macropores of a hillslope segment. Water Resources Research 30(4): 879–890. Uchida, T., K.I. Kosugi, and T. Mizuyama. 2002. Effects of pipe flow and bedrock groundwater on runoff generation in a steep headwater catchment in Ashiu, central Japan. Water Resources Research 38(7). Uchida, T., K. Kosugi, and T. Mizuyama. 1999. Runoff characteristics of pipeflow and effects of pipeflow on rainfall runoff phenomena in a mountainous watershed. Journal of Hydrology 222: 18–36.
Karakteristik Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu di Kecamatan Kunduran, Blora, Jawa Tengah Soil Characteristics and Sugar Cane Land Suitability in Kunduran District, Blora, Central Java 1Sofyan 1
Ritung* dan 1Erna Suryani
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
INFORMASI ARTIKEL
Riwayat artikel: Diterima: 8 Maret 2013 Disetujui: 11 April 2013
Katakunci: Evaluasi lahan Tebu Kesuburan tanah Kebutuhan air
Abstrak. Faktor pembatas merupakan faktor penentu perencanaan pemanfaatan lahan. Untuk pengembangan pertanaman tebu perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang membatasi pertanaman dan peningkatan produksi. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian lahan dan faktor pembatas dominan untuk pengembangan tanaman tebu. Analisis dilakukan dengan mencocokkan setiap nilai karakteristik lahan dengan kebutuhan tanaman tebu, lalu menyimpulkannya menggunakan nilai kelas terkecil (hukum minimum) sebagai keputusan kesesuaian lahan. Metode yang digunakan mengacu pada FAO, parameter yang diamati adalah temperatur, curah hujan, drainase, tekstur, kedalaman tanah, KTK, kejenuhan basa, pH H2O, C-organik, N total, P2O5 tersedia, K2O tersedia, lereng, bahaya erosi, banjir, batuan di permukaan, dan singkapan batuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 2.980 ha (21,81%) cukup sesuai (S2) untuk tebu, dan sekitar 10.684 ha (78,19%) sesuai marjinal (S3) dengan faktor pembatas: retensi hara (pH agak alkalis), hara tersedia, drainase, kedalaman tanah dan lereng. Dengan asumsi faktor pembatas tersebut dapat diatasi, maka terjadi perbaikan kelas kesesuaian lahan, dari S3 menjadi S2, dan S2 menjadi S1. Berdasarkan hasil analisis statistik bahwa hara N merupakan faktor penentu terhadap produktivitas tebu, disusul hara K dan P.
Keywords: Land evaluation Sugarcane Soil fertility Water requirement
Abstract. The limiting factors are the main factor to determine land-use planning. To develop sugarcane plantation, factors that limit crop growth and increase production need to be considered. The purpose of this study was to evaluate land suitability and investigate the dominant limiting factors to develop sugarcane plantation. Analysis was conducted by matching each land characteristic value with sugarcane crop requirement, and then concluded the results using the value of the smallest class (the legal law of the minimum) as land suitability decision. The method used was based on the method of FAO, with the parameters measured were temperature, precipitation, drainage, texture, soil depth, Cation Exchange Capacity (CEC), base saturation, pH (H2O), organic-C, total N, available P2O5 and K2O, slope, erosion, flooding, and surface rock outcrop. The results showed that approximately 2,980 ha (21.81%) was moderately suitable for sugarcane and about 10,684 ha (78.19%) was marginally suitable (S3) with the limiting factors were nutrient retention (slightly alkaline pH), nutrient availability, poorly drainage, soil depth and slope. Assuming the limiting factors could be overcome, it can improve suitability class, for example from S3 to S2 and S2 to S1. Based on statistical analysis, the nutrient N was the limiting factor to sugarcane productivity followed by potassium and P availability.
Pendahuluan Kebutuhan gula akan terus meningkat, sejalan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri hilir berbahan baku gula. Pada tahun 2010 produksi gula nasional sebesar 2,21 juta ton, sedangkan permintaan mencapai 4,15 juta ton atau naik rata-rata 3,87% per tahun. Kekurangan sebesar ± 2 juta ton tersebut dipenuhi dari gula impor. Kesenjangan kebutuhan dan * Corresponding author : Sofyan Ritung, email :
[email protected]
ISSN 1410-7244
produksi gula nasional ini nampaknya akan terus berlangsung. Pada tahun 2014 diproyeksikan total kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton, terdiri atas 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung, dan 2,74 juta ton untuk keperluan industri. Produksi (tahun 2014) diperkirakan 5,7 juta ton, apabila lahan dari Kementerian Kehutanan tersedia untuk perluasan areal tanaman tebu dan revitalisasi PG milik BUMN dilaksanakan sesuai dengan rencana (Ditjen Perkebunan 2011). Dalam rangka mendukung program swasembada gula nasional sebesar 5 juta ton pada tahun 2014, pemerintah
57
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
berupaya melakukan perluasan areal tanam tebu, sekaligus untuk mendongkrak rendahnya produksi gula nasional. Swasembada gula diartikan sebagai tercukupinya gula berbasis tebu minimal 90% dari kebutuhan konsumsi masyarakat. Dalam sistem pergulaan nasional, kebutuhan gula dibedakan atas dua, yaitu untuk konsumsi langsung (rumah tangga), dan konsumsi tidak langsung untuk industri makanan, minuman dan farmasi (http//:www. indonesia.go.id). Kabupaten Blora merupakan salah satu penghasil gula di Jawa Tengah. Perluasan areal tanam untuk pengembangan areal tanam tebu perlu didukung oleh evaluasi lahan, penyuluhan dan pendampingan petani dalam budidaya. Perencanaan pemanfaatan lahan perlu mempertimbangkan faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan peningkatan produksi. Di Indonesia tanaman tebu diusahakan di berbagai jenis tanah, seperti tanah berpasir, tanah berliat, tanah masam, dan tanah bergaram (pasir pantai) (Adisewojo 1971). Secara umum, tebu banyak diusahakan pada tanah dengan tekstur berliat. Tanah berlempung merupakan tanah dengan komposisi pasir, debu, dan liat dalam jumlah yang relatif seimbang (sekitar 40-40-20). Tanah ini dianggap ideal untuk bercocok tanam karena memiliki cukup hara dan humus dibandingkan tanah berpasir. Serapan dan drainase tanah lebih baik dibandingkan tanah berdebu, dan lebih mudah diolah dibandingkan tanah berliat (Supriyadi 1992). Erwin dan Sastrosasmito (1995) menyatakan bahwa tanah yang paling sesuai untuk tanaman tebu adalah tanah aluvial berdrainase baik, tekstur berlempung (lempung berliat). Berbeda dengan Prawirosemadi (1991) bahwa tanaman tebu tidak memerlukan tipe tanah khusus asalkan secara fisik sesuai. Sifat dan kondisi tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan kadar gula dalam batang tebu. Richard (2005) mengemukakan bahwa tanaman tebu dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada kondisi tanah yang subur, gembur, kemampuan menahan air, infiltrasi dan permeabilitas baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi lahan dan faktor pembatas dominan untuk pengembangan tanaman tebu di Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Bahan dan Metode Lokasi Penelitian Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora secara geografis terletak antara 06o58’48,15” – 07o09’2,76” LS dan 111o11’42,47” – 111o18’59,25” BT. Luas wilayah Kecamatan Kunduran sekitar 13.664 ha. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian (2004), Kecamatan Kunduran dibedakan atas tiga Grup Landform utama, yaitu Aluvial, Karst dan 58
Tektonik/Struktural, terdiri atas bentuk wilayah datar seluas 7.855 ha, berombak seluas 4.994 ha, dan bergelombang seluas 815 ha. Tanah berkembang dari aluvium (endapan liat), batugamping, napal, batupasir dan batupasir berkapur. Tanah yang dijumpai dibedakan atas lima ordo tanah, yaitu: Entisols, Inceptisols, Mollisols, Vertisols dan Alfisols. Pada yang lebih tinggi menurunkan 10 subordo, 11 great group dan 16 subgroup tanah. Pengukuran Karakteristik Lahan Pengukuran karakteristik lahan dilakukan pada setiap satuan lahan. 1) Penentuan kesesuaian lahan dilakukan melalui: a) overlay peta-peta, yaitu peta landuse, peta iklim, peta kontur/elevasi, peta administrasi, dan peta tanah serta persyaratan tumbuh tanaman tebu untuk menghasilkan peta kesesuaian lahan, dan b) survei lapangan guna pengambilan contoh tanah untuk dianalisis di laboratorium. Karakteristik lahan yang diukur antara lain: lereng/kontur, relief makro, tekstur, drainase, kedalaman perakaran, batuan di permukaan, dan singkapan batuan. Sebagai peta kerja adalah adalah Peta Satuan Lahan hasil penelitian Balai Penelitian Tanah (2004). Hasil penelitian lapangan dilengkapi dengan hasil analisis tanah di laboratorium digunakan untuk evaluasi lahan. Penentuan kesesuaian lahan mengacu pada FAO (1976). Analisis data dilakukan melalui: a) Analisis Geographical Information System (GIS) menggunakan software Arc-View Spatial Analist. Hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan pada pada tingkat kelas (4 kelas), yaitu: S1 (highly suitable), S2 (moderately suitable), S3 (marginally suitable) dan N (not suitable). Kriteria evaluasi lahan untuk tanaman tebu mengacu pada Petunjuk Teknis Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian (BBSDLP 2011). Karakteristik Lahan sebagai Sifat Fisika, Kimia dan Mineralogi Tanah Sifat fisika dan kimia tanah dihasilkan dari analisis contoh tanah di laboratorium. Analisis terhadap sifat fisika dan kimia tanah meliputi: tekstur (persentase pasir, debu, dan liat), pH H2O, C organik, N total, P, K, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB). Analisis mineralogi meliputi fraksi pasir dan liat. Identifikasi Karakteristik Lahan Penentu Produktivitas Tebu Karakteristik lahan penentu produktivitas adalah karakteristik lahan yang berpengaruh/menentukan produktivitas. Karakteristik lahan penentu ini ditetapkan berdasarkan pengamatan di lapang dan analisis contoh tanah di laboratorium. Pengaruh karakteristik lahan terhadap produktivitas tebu diuji menggunakan regresi
Sofyan Ritung dan Erna Suryani : Karakteristik Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu
linear, dilanjutkan regresi bertahap (stepwise) menggunakan program analisis statistik MINITAB 14. Analisis regresi linear bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik lahan dengan produktivitas. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), regresi linear adalah persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara satu peubah bebas (X, independence variable) dengan satu peubah tak bebas (Y, dependence variable), hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Kehandalan persamaan regresi dalam menggambarkan hubungan tersebut dinyatakan dengan koefisien determinasi (R2). Semakin besar nilai R2, maka semakin besar kemampuan persamaan regresi menerangkan peubah tak bebas (Y), nilai berkisar antara 01. Dalam penelitian ini karaktersitik lahan dinyatakan mempunyai hubungan dengan produksi bila mempunyai R2 ≥ 0.50. Analisis regresi stepwise bertujuan mengetahui karakteristik lahan penentu produktivitas. Menurut Gomez and Gomez (1983) dalam regresi stepwise peubah-peubah yang kurang berpengaruh terhadap produksi akan hilang (tidak muncul), sehingga tersisa peubah-peubah yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Lahan Penilaian kesesuaian lahan didasarkan pada kecocokan (matching) antara karakteristik lahan dengan kebutuhan tanaman tebu. Ringkasan karakteristik lahan di daerah penelitian disajikan pada Tabel 1. Topografi Ketinggian lahan di Kecamatan Kunduran bervariasi, antara 25 m dpl sampai dengan 500 m dpl. Kecamatan Kunduran memiliki rata-rata ketinggian tanah 262 m dpl. Lahan datar umumnya berada pada ketinggian 24-48 m dpl, sedangkan lahan berombak dan bergelombang umumnya terdapat pada ketinggian 56-320 m dpl (Statistik Kecamatan Kunduran 2006). Kondisi umum Kecamatan Kunduran merupakan representasi kondisi Kabupaten Blora secara umum, yaitu adanya hamparan lahan datar, berombak, dan bergelombang.
di musim penghujan dan kemarau. Jumlah curah hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Jati dan terendah di Kecamatan Jepon. Musim kemarau terjadi bulan Mei/Juni sampai September/Oktober. Musim hujan mulai bulan Oktober-Mei. Menurut Oldeman et al. (1978), Kabupaten Blora termasuk zona C3 dan D3 yang dicirikan bulan kering 4-6 bulan dan bulan basah 4-5 bulan. Sedangkan Kecamatan Kunduran termasuk dalam zona C3 (Badan Litbang Pertanian, 2004). Perhitungan neraca air dari beberapa stasiun di Kabupaten Blora menunjukkan bahwa daerah utara Kabupaten Blora, termasuk Kecamatan Kunduran mempunyai rejim kelembaban tanah ustik, defisit (185265 mm) terjadi selama 5 sampai 6 bulan yang terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Surplus terjadi selama tiga bulan (Januari sampai Maret) sebesar 258 mm (Badan Litbang Pertanian, 2004). Data curah hujan Kecamatan Kunduran peride 20062010 yang diperoleh dari UPTD Pertanian Kecamatan Kunduran disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa bulan kering di Kecamatan Kunduran terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus. Data ini sangat penting untuk mengatur musim tanam tebu di Kecamatan Kunduran. Berdasarkan data curah hujan tersebut musim tanam tebu dapat dilakukan pada bulan Agustus dan musim panen pada bulan Juli atau Agustus. Masih pada Tabel 2, terlihat rata-rata bulan kering dalam lima tahun terakhir di Kecamatan Kunduran adalah 3 bulan, yaitu Juni, Juli dan Agustus. Jumlah bulan kering tersebut adalah optimal untuk pertumbuhan tanaman tebu yang menghendaki 3-5 bulan. Gambar 1. Pola curah hujan Pola III A di Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora Figure 1. The rainfall type of Type III A in Kunduran District, Blora Regency
Iklim Sebagai daerah beriklim tropis, Kabupaten Blora mempunyai suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 26,50C sampai 28,40C dan rata-rata tahunan 27,50C, sedangkan curah hujan tahunan berkisar antara 1.496 mm sampai 2.506 mm, dimana terdapat perbedaan curah hujan
Berdasarkan Peta Iklim (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2003), wilayah Kecamatan Kunduran umumnya masuk daerah dengan curah hujan tipe III A, kecuali Kunduran paling utara dengan curah hujan tipe III C.
59
60
Tabel 1. Nilai data karakteristik lahan pada titik observasi Table 1. Values of land characteristics data on point observation Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan
Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Kematangan Retensi hara( f) KTK-tanah (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2 O C-organik (%) Hara tersedia (n) Total N P2 O5 K2 O Toksisitas (c) Salinitas (dS/m) Sodisitas (x) Kejenuhan Al (%) Kedalaman sulfidik (cm) Terrain (s) Lereng (%) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Kemudahan pengolahan (p) Bahaya erosi (e) Bahaya banjir (b)
EP-2
EP-3
EP-4
EP-5
EP-6
EP-7
EP-8
EP-9
Satuan Lahan Pengamatan EP-10
EP-11
EP-12
EP-13
EP-14
EP-15
EP-16
EP-17
EP-19
EP-20
EP-21
EP-22
EP-23
EP-24
EP-28
EP-29
EP-30
24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30 24 - 30
> 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 ≤ 70 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 > 1.800 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 1587 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 sedang terham bat SL C 0 0 70 100
baik
baik
baik
baik
baik
baik
C < 15 70
terham bat C 0 100
C < 15 75
C < 15 65
C < 15 75
SL < 15 100
C < 15 80
terham Terham bat bat C C 0 0 120 120
baik C < 15 80
terham terham bat bat C C 0 0 120 120
Baik
baik
baik
Baik
SiL < 15 120
SL < 15 120
C < 15 65
SiL < 15 120
terham terham terham bat bat bat C C C 0 0 0 120 100 120
T 100 6
T 100 8
S 100 7
S 100 8,2
S 100 8
T 100 7
S 100 8
R 100 4,5
S 100 8
T 100 7
T 100 7
T 100 7,9
T 100 7,2
T 100 6,9
R 100 8
SR 100 4,5
22 100 7,1
14 100 7,9
100 6,8
100 7
T 100 6,4
0,78
0,78
0,69
0,52
0,52
0,78
1,61
0,37
0,52
0,8
0,8
0,92
0,8
0,8
0,37
0,43
1,61
0,37
0,61
0,78
0,78
SR ST R
SR ST R
SR T ST
SR T ST
SR T ST
SR ST R
R SR R
SR R R
SR T ST
SR S R
SR S R
SR T ST
SR S R
SR S R
SR R R
SR S SR
R SR R
SR R R
SR ST R
SR ST R
SR ST R
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3-8 0 0 R F0
0 -3 0 0 R F1
5-8 <5 <5 R F0
5-8 5 5 R F0
5 <5 <5 R F0
0 -3 0 0 R F1
5-8 <5 <5
5-8 <5 <5
0 -3 0 0 R F1
5-8 <5 <5 R F0
0 -3 0 0 R F1
0 -3 0 0 R F1
5-8 <5 <5 R F0
5-8 <5 <5
5-8 <5 <5
R F0
0 -3 0 0 R F1
5-8 <5 <5
R F0
5-8 <5 <5 R F0
R F0
R F0
R F0
0 -3 0 0 R F1
baik SiL < 15 120
100 8
terham terham bat bat C C 0 0 100 120
baik C < 15 60
terham bat C 0 120
100 8
100 7
100 6,4
100 7,7
0,81
0,74
SR R R
SR ST R
SR ST R
SR T ST
SR S R
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0 -3 0 0 R F1
0 -3 0 0 R F1
5-8 <5 <5 S F0
0 -3 0 0 R F1
0 -3 0 0 R F1
5-8 <5 <5 S F0
0 -3 0 0 R F1
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Temperatur (t) Temperatur rerata (°C) harian Ketersediaan air (w) Curah hujan (mm) 10 harian Kelembaban udara (%) Sinar matahari (jam/th) Curah hujan/tahun (mm) Bulan kering (< 75 mm) LGP (hari) Media perakaran (r) Drainase
Satuan Lahan Pengamatan EP-1
Sofyan Ritung dan Erna Suryani : Karakteristik Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu
Tabel 2. Data curah hujan UPTD pertanian dan perkebunan Kecamatan Kunduran Table 2. Rainfall data of UPTD agriculture and plantation, Kunduran Subdistrict Hari ke-
Tahun
Jumlah HH Jumlah HH Jumlah HH Jumlah HH Jumlah HH Rata-rata
2006 2007 2008 2009 2010 mm hh
Jan 114 6 180 6 133 7 202 15 340 21 193,8 11
Feb Mar Apr Mei 111 123 239 11 7 7 9 1 223 270 245 38 9 10 15 2 369 175 168 98 19 14 11 4 357 341 155 155 14 14 18 14 225 301 257 225 12 12 10 13 257 242 212,8 105,4 12,2 11,4 12,6 6,8
Bulan Jun Jul 24 12 4 2 87 5 90 21 4 4 138 66 10 6 67,8 19,8 4,6 3
Agu 26 2 18 2 2 24 3 125 8 38,6 3,4
Sep 148 3 48 3 73 6 106 4 245 7 124 4,6
Okt Nov Des 87 162 172 8 5 11 136 202 137 10 10 9 243 204 134 15 13 10 141 232 258 9 11 12 188 366 318 11 14 14 159 233,2 203,8 10,6 10,6 11,2
Total 1.229 65 1.584 81 1.597 101 2.082 122 2.794 138 1.857,2 101,4
Sumber: Diolah dari data UPTD Pertanian Kecamatan Kunduran, 2011
Gambar 2. Pola curah hujan Pola III C di Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora Figure 2. The rainfall type of Type III C in Kunduran District, Blora Regency
Tanaman tebu menghendaki hujan yang cukup selama masa pertumbuhannya, dan pada masa pemasakannya memerlukan keadaan kering. Pada masa kering pertumbuhan vegetatif berhenti, dan masa kering tersebut dipergunakan untuk mempertinggi kadar gula (rendemen). Pada daerah yang mempunyai curah hujan sedang seperti Kabupaten Blora, tindakan pengelolaan air perlu mendapatkan prioritas. Kekurangan air di daerah ini sangat terasa terutama pada musim kemarau yang ditandai dengan mengeringnya sejumlah sungai (Suprapto et al. 2006). Menurut Karama (2002), Blora termasuk kedalam wilayah yang rawan kekeringan, karena air hujan yang jatuh waktunya relatif singkat, dan sebagian air berubah menjadi aliran permukaan (run off) sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan tanah menyerap air. Kondisi biofisik tanah yang mendominasi wilayah ini cepat jenuh karena mempunyai aerasi yang jelek. Oleh karena itu, pembuatan embung di berbagai wilayah Kabupaten Blora dinilai banyak pihak akan sangat membantu meningkatkan produksi pertanian. Untuk mengatasi keterbatasan tersedianya air perlu dipikirkan tanaman–tanaman yang
tidak banyak membutuhkan air yaitu tanaman–tanaman yang berumur pendek dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat diintroduksikan dalam pola tanam yang diatur sesuai dengan daya dukung lahan serta sumberdaya alam yang tersedia. Selain masa tanam yang tepat dan tercukupinya kebutuhan hara, faktor lain yang menentukan keberhasilan budidaya tebu adalah air yang dapat dikendalikan. Artinya bila terjadi defisit air tanaman tebu dapat diberi tambahan air pengairan, demikian sebaliknya apabila terjadi kelebihan air dapat diputus. Williams dan Joseph (1976) menyatakan bahwa tebu (umur 24 bulan) yang kebutuhan airnya tercukupi mampu menghasilkan gula 12-14 t ha-1, sedangkan tebu yang kekurangan air perolehan gulanya hanya 8 t ha-1. Cambpell (1967) menyatakan bahwa untuk menghasilkan 1 kg tebu atau setara dengan 0,1 kg gula diperlukan sekitar 100 kg air; sedangkan Hunsigi (1993) menyatakan bahwa untuk memproduksi 1 g berat tebu (segar), 1 g berat kering dan 1 g gula, diperlukan air berturut-turut sebesar 50-60, 135-150, dan 1.000-2.000 g air. Jumlah kebutuhan air sejalan dengan umur tanaman tebu, dan sangat bervariasi tergantung pada fase pertumbuhan dan lingkungan tumbuhnya (agroekologi). Secara garis besar fase pertumbuhan tebu dibagi menjadi empat, yaitu: 1) perkecambahan (0-5 minggu), 2) pertunasan (5 minggu - 3,5 bulan), 3) pertumbuhan cepat (3,5-9 bulan), dan 4) pemasakan batang (≥ 9 bulan). Puncak kebutuhan air pada tanaman tebu terjadi pada fase pertumbuhan cepat, yaitu mencapai 0,75-0,85 cm air per hari. Kondisi Perakaran Kondisi perakaran merupakan kualitas lahan yang terdiri dari beberapa karakteritik lahan, diantaranya drainase tanah, tekstur dan kedalaman perakaran (efektif).
61
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Drainase tanah
Terrain
Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa drainase yang terhambat dijumpai tersebar di Desa Gagaan, Kunduran, Sambiroto, Jagong, Muraharjo, Klokah, Jetak, Karanggeneng, Bejirejo, Tawangrejo, Blumbangrejo, Plosorejo, Ngilen, Kalangrejo, Kemiri, Sonokidul, Kodokan, Cungkup, dan Sempu. Kondisi drainase yang agak terhambat ini biasanya berada di daerah dengan bentuk wilayah agak cekung, datar sampai agak berombak. Kondisi demikian dinilai sebagai sesuai bersyarat (conditionally suitable) untuk tanaman tebu.
Hasil observasi di lapangan tentang kondisi terrain di lokasi penelitian antara lain mencakup: a) lereng, b) batuan di permukaan, dan c) singkapan batuan.
Tekstur tanah Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar daerah penelitian memiliki tekstur tanah yang relalif halus. Hal ini sesuai dengan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sebagian besar (92,25%) daerah penelitian tanahnya didominasi oleh tekstur halus (liat). Tanah dengan kondisi tekstur demikian sesuai untuk mendukung tumbuhnya tanaman tebu dengan baik. Pada tanah yang mempunyai tekstur kasar dan berkerikil, tanaman tebu menjadi sulit untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengaruh tekstur tanah terhadap sifat fisik tanah sangat ditentukan oleh macam mineral liat dan kandungan bahan organik. Kedalaman perakaran Kedalaman perakaran yang optimal untuk tanaman tebu adalah > 50 cm (BBSDLP 2011). Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa di daerah penelitian memiliki solum atau kedalaman perakaran yang termasuk klasifikasi sedang (50-75 cm) sebesar 2.751 ha (20,13%), termasuk klasifikasi dalam (75-100 cm) seluas 9.615 ha (70,33%) dan termasuk klasifikasi sangat dalam (>100 cm) seluas 1.297 ha (9,5%). Kondisi demikian ini sesuai sebagai persyaratan untuk tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman tebu.
Lereng Bentuk wilayah daerah penelitian sebagian besar tergolong datar (0-3%) yaitu seluas 7.855 ha (57,49%), dan sebagian lagi berombak (3-8%) seluas 4.993 ha (36,50%), dan bergelombang (8-15%) seluas 815 ha (5,97%). Daerah dataran yang berada di bagian tengah berupa hamparan dataran dengan kemiringan lahan yang relatif landai, kurang dari 8%, sedangkan bagian yang berombak dan bergelombang ada di sebelah utara dan selatan. Batuan permukaan dan singkapan batuan Batuan di permukaan, dan singkapan batuan sedikit <10%, sehingga daerah ini sesuai untuk budidaya tanaman tebu. Batuan permukaan dan singkapan batuan yang sedikit mengindikasikan tidak banyak batu yang akan menghalangi akar tanaman untuk dapat berkembang dengan baik, sehingga memudahkan pengolahan tanah dan pertumbuhan tanaman tebu tidak akan terhambat. Tipe Mineral Liat Tanah-tanah di daerah penelitian berkembang dari bahan-bahan yang bersifat basis baik dari sedimen berkapur maupun dari endapannya. Hasil analisis mineral liat dari lima pedon pewakil menunjukkan bahwa sebagaian besar mempunyai tipe mineral liat 2:1 yaitu liat smektit (montmorilonit) dan sebagian kecil mempunyai tipe mineral liat 1:1 yaitu liat kaolinit (Tabel 3). Retensi Hara Tanah Retensi hara tanah mencakup: a) kapasitas tukar kation (KTK), b) derajat keasaman (pH H2O); c) kejenuhan basa; dan d) C-organik.
Tabel 3. Hasil analisis tipe mineral liat dari lima tanah di daerah penelitian Table 3. Results of analisys of clay mineralogy type of five soils samples in research area No. Contoh 1. 2. 3. 4. 5.
EP 4/43-65 EP 14/37-70 EP 16/18-75 EP 17/I-II EP 19/18-78
Smektit +++ ++++ + +++ +++
Vermikulit Kaolinit ++ + ++ + +
Illit
Gibsit
Kuarsa
Gutit
(+)
Keterangan : ++++ = predominan; +++ = dominan; ++ = sedang; + = sedikit; (+) = sangat sedikit
62
Sofyan Ritung dan Erna Suryani : Karakteristik Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu
Kapasitas tukar kation (KTK) Sebagian besar tanah-tanah di daerah penelitian didominasi oleh mineral liat tipe 2:1 montmorilonit (smektit), sehingga mempunyai nilai kapasitas tukar kation yang tinggi pula. Tanah di Desa Ngawenombo (EP-16) mempunyai KTK sangat rendah (<5 cmol(+) kg-1); titik observasi Desa Ngawenombo (EP-8), Karanggeneng (EP15 dan EP-19), Jagong (EP-20), Tawangrejo (EP-23 dan EP-24) mempunyai KTK rendah (5-16 cmol(+) kg-1); titik observasi di Desa Sendangwates (EP-3 dan EP-9), Kedungwaru (EP-4), Jagong (EP-5), Karanggeneng (EP-7 dan EP-17), dan Sempu (EP-29) mempunyai KTK sedang (17-24 cmol(+) kg-1); sedangkan titik observasi di Desa Sambiroto (EP-1 dan EP-2), Jagong (EP-6), Kalangrejo (EP-10 dan EP-14), Sonokidul (EP-11 dan EP-30), Sempu (EP-12 dan EP-13), Karanggeneng (EP-18), Blumbangrejo (EP-21 dan EP-22), dan Botoreco (EP-28), mempunyai KTK yang tinggi (25-40 cmol(+) kg-1). KTK tanah rendah (5-16 cmol(+) kg-1) sampai dengan sangat rendah (<5 cmol(+) kg-1) dijumpai di Desa Ngawenombo, rendah pada EP-8 dansangat rendah pada EP-16. Tanah di Ngawenombo mempunyai KTK yang sangat rendah, hal ini disebabkan karena tanah didominasi oleh mineral liat tipe 1:1 kaolinit dengan kandungan mineral liat smektit dalam jumlah sedikit. Reaksi tanah (pH H2O) pH lapangan menunjukkan bahwa derajat kemasaman (pH) tanah di daerah penelitian berkisar antara 6,0-8,2. pH ini sesuai untuk pertumbuhan tanaman tebu. Lokasi-lokasi yang pH H2O > 7,5 yaitu: Desa Sambiroto (EP-2), Kedungwaru (EP-4), Jagong (EP-5), Karanggeneng ((EP7, EP-15, dan EP-19), Sendangwates (EP-9), Sempu (EP12 dan EP-29), Tawangrejo (EP-23), dan Botoreco (EP28). Tingginya pH disebabkan tanah mengandung kapur (CaCO3) yang tinggi. Kejenuhan basa Kejenuhan basa tergolong sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan tanah potensial subur, karena akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah. Kejenuhan basa adalah perbandingan jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa rendah mengindikasikan bahwa tanah mempunyai derajat kemasaman tinggi, sebaliknya kejenuhan basa mendekati 100% tanah bersifat alkalis. Terdapat korelasi positif antara kejenuhan basa dan pH. Akan tetapi hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh sifat koloid dalam tanah
dan kation-kation yang diserap. Tanah dengan kejenuhan basa sama, namun komposisi koloid berlainan, akan memberikan nilai pH tanah yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat disosiasi ion H+ yang diserap pada permukaan koloid (Anonim 1991). Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut. Umumnya basa-basa mudah tercuci, sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno, 2003). C-organik Kandungan C-organik tanah-tanah di daerah penelitian diklasifikasikan rendah (< 2%). Desa Sambiroto (EP-1 dan EP-2) adalah 0,78%; Karanggeneng (EP-7) adalah 1,68%; EP-15 adalah 0,37%; EP-17 adalah 1,61%; EP-19 adalah 0,37%; Kalangrejo (EP-14) adalah 0,8%; Ngawenombo (EP-16) adalah 1,68%; Jagong (EP-20) adalah 0,61%; Blumbangrejo (EP-21) adalah 0,78%; EP-22 adalah 0,78%; Tawangrejo (EP-24) adalah 0,81%; dan Botoreco (EP-28) adalah 0,74%. Sedangkan di Desa Kedungwaru (EP-14); Karanggeneng (EP-17), dan Blumbangrejo (EP22) kandungan C-organik tergolong sangat rendah. Bahan organik merupakan faktor yang berperan penting dalam keberhasilan budidaya pertanian. Hal ini disebabkan bahan organik dapat meningkatkan dan memelihara kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Disamping itu, bahan organik sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007) menyatakan bahwa kandungan bahan organik (C-organik) di tanah tidak boleh kurang dari 2 persen. Kekurangan bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah, agregat menjadi rusak, dan tanah menjadi padat (Anonim 1991).
Hara Tersedia Kondisi hara tersedia daerah penelitian, seperti N (Nitrogen) umumnya semua sangat rendah, P (Phosfor) dalam tanah yang tersedia relatif bervariasi antara rendah sampai sangat tinggi, sedangkan kandungan unsur hara K (Kalium) tersedia relatif rendah kecuali lima titik observasi sangat tinggi. Total nitrogen (N) Hasil analisis contoh tanah di laboratorium menunjukkan bahwa kandungan N total sangat rendah (< 0,10%), kecuali pada titik observasi di Desa Karanggeneng (EP-17 dan EP-7) yang tergolong rendah (0,10-0,20%).
63
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Nitrogen (N) merupakan elemen pembatas pada hampir semua jenis tanah yang tidak dipupuk dengan cukup. Oleh karenanya, pemberian pupuk N yang tepat sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya dalam sistem pertanian intensif. Unsur N diserap tanaman dalam bentuk ion ammonium (NH4+) dan ion nitrat (NO3-). Unsur N merupakan penyusun semua protein (asam-asam amino dan enzim) dan klorofil dalam koenzim dan asam-asam nukleat, serta hormon tumbuh seperti sitokinin dan auksin (Hanafiah, 2009). Tebu merupakan tanaman yang memerlukan hara dalam jumlah yang tinggi untuk dapat tumbuh secara optimum. Menurut Foth (1984) serapan hara N pada bagian batang tanaman tebu adalah 107,6 kg ha-1. Hunsigi (1993), dan Halliday and Trenkel (1992) dalam Ismail (2008) mengemukakan bahwa dalam 1 ton hasil panen tebu terdapat 1,95 kg N yang berasal dari dalam tanah. Ini berarti pada setiap panen tebu akan terjadi pengurasan hara N yang sangat besar dari dalam tanah. Oleh karena itu pada sistem budidaya tebu diperlukan pemupukan N yang cukup tinggi agar hasil panen tebu tetap tinggi dan daya dukung tanah dapat dipertahankan. Menurut Yang et al. (2006) pemupukan N mutlak diperlukan karena N bukanlah hara yang berasal dari dalam tanah. Semua hara N yang ada di dalam tanah berasal dari luar tubuh tanah, antara lain dari (i) bahan organik dari akar dan batang yang melapuk, serta dari daun-daun yang ke tanah, (ii) penambatan N dari udara oleh jasad renik tanah (sendiri atau bekerjasama dengan tanaman), (iii) dari air irigasi, dan (iv) dari pupuk yang mengandung hara N. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pemupukan N masih sangat rendah. Hara N yang diserap oleh sebagian besar tanaman hanya berkisar antara 30 50% dari hara N yang diberikan melalui pupuk (Miller, 1982). Efisiensi pemupukan N rendah tersebut disebabkan karena sebagian hara N hilang melalui proses denitrifikasi (5-30%), pencucian dalam bentuk ion NO3- (5-20%), dan erosi serta hilang melalui penguapan dalam bentuk NH3 khususnnya pada tanah-tanah alkalin/basa. Oleh karena itu di dalam budidaya tebu biasanya diperlukan pupuk N dalam jumlah besar. Unsur hara N ini diperlukan tanaman untuk pembentukan protein dan hijau daun, disamping itu berperan penting dalam asimilasi karbohidrat. Kekurangan N akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dengan jumlah anakan sedikit dan produksi rendah. Sebaliknya, pemupukan N berlebihan dan diberikan terlambat akan memperpanjang masa vegetatif, menaikkan kadar air, menurunkan kadar gula dan kualitas nira, disamping itu tanaman akan menjadi lebih peka terhadap serangan penyakit. Besarnya derajat cekaman kekurangan N bervariasi pada setiap tanaman (PC atau ratoon). Pada awal pertumbuhan, besarnya derajat cekaman kekurangan 64
N dapat mengurangi jumlah anakan, dan jumlah batang pada ratoon, daun menjadi kuning, pendek dan sempit. Kekurangan N pada saat mendekati panen, dapat menyebabkan menurunnya diameter batang dan jumlah batang yang dapat diperah (millable cane) (Yang et al. 2006). LNS (low nitrogen stress) mengurangi laju fotosintesis dan sangat berpengaruh pada awal pertumbuhan dibandingkan dengan late growth serta berpengaruh besar terhadap PC dari pada ratoon (Yang et al. 2006) . Fosfat (P2O5) Hasil analisis contoh tanah di laboratorium menunjukkan kandungan P tanah-tanah daerah penelitian bervariasi sangat rendah sampai sangat tinggi. Kandungan P menurut lokasi contah tanah adalah sebagai berikut: (i) Kandungan P sangat rendah (<10 mg 100g-1) di titik observasi di Desa Karanggeneng (EP-7 dan EP-17); (ii) kandungan P rendah (10-20 mg 100g-1) di titik observasi Desa Ngawenombo (EP-8), Karanggeneng (EP-15 dan EP19) dan Tawangrejo (EP-23); (iii) Kandungan P sedang (21-40 mg 100g-1) di titik observasi Desa Kalangrejo (EP10 dan EP-14), Sonokidul (EP-11 dan EP-30), Sempu (EP13), Ngawenombo (EP-16) dan Karanggeneng (EP-18); (iv) kandungan P tinggi (41-60 mg 100g-1) di titik observasi Sendangwates (EP-3 dan EP-9), Kedungwaru (EP-4), Jagong (EP-5), dan Sempu (EP-12 dan EP-29); dan (v) kandungan P sangat tinggi (>60 mg 100g-1) di titik observasi Desa Sambiroto (EP-1 dan EP-2), Jagong (EP-6 dan EP-20), Blumbangrejo (EP-21dan EP-22) dan Botoreco (EP-28). Menurut Foth (1984) serapan hara P pada bagian batang tanaman tebu adalah 26,9 kg ha-1. Sedangkan Hunsigi (1993), dan Halliday and Trenkel (1992) dalam Ismail (2008), di dalam 1 ton hasil panen tebu terdapat 0,82 kg P2O5 yang berasal dari dalam tanah. Ini berarti pada setiap panen tebu akan terjadi pengurasan hara P yang cukup besar dari dalam tanah. Oleh karena itu pada sistem budidaya tebu diperlukan pemupukan P yang cukup agar hasil panen tebu tetap tinggi dan daya dukung tanah dapat dipertahankan. Sumber P dapat diperoleh dari TSP (Superfosat Tunggal/Ts). Pupuk ini dikenal pula dengan sebutan Enkel-superfosfst disingkat dengan ES. Bentuknya berupa bubuk berwarna abu-abu dan mengandung zat fosfat (P) 14-20%. Pupuk dibuat dari fosfat alam dan asam belerang. Pupuk ini mudah larut dalam air dan agak sedikit hidroskopis. Pupuk ini cocok dicampur dengan ZA, karena amoniaknya akan terikat, kekurangannya kalau dicampur sering mengeras sehingga perlu dihaluskan terlebih dahulu sebelum digunakan, sewaktu memberikan pupuk ini harus dibenamkan agar dapat mencapai perakaran tanaman (Lingga 1997).
Sofyan Ritung dan Erna Suryani : Karakteristik Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu
Kalium (K2O) Kandungan K di daerah penelitian berdasarkan hasil analisis tanah di laboratorium bervariasi sebagian besar termasuk dalam klasifikasi rendah, namun sebagian kecil dalam klasifikasi sangat tinggi. Kandungan K sangat rendah (<10 cmol(+) kg-1) di titik observasi di Desa Ngawenombo (EP-16). Kandungan K rendah (10-20 cmol(+) kg-1) di titik observasi Desa Sambiroto (EP-1 dan EP-2), Sendangwates (EP-3), Jagong (EP-6), Karanggeneng (EP-7), Ngawenombo (EP-8), Kalangrejo (EP-10), Sonokidul (EP-11), Sempu (EP-13), Kalangrejo (EP-14), Karanggeneng (EP-15, EP-17 dan EP-19), Jagong (EP-20), Blumbangrejo (EP-21 dan EP-22), Tawangrejo (EP-23 dan EP-24), Botorejo (EP-28) dan Sonokidul (EP-30). Kandungan K sedang (21-40 cmol(+) kg-1) di titik observasi di Desa Karanggeneng (EP-18). Kandungan K sangat tinggi (>60 cmol(+) kg-1) di titik observasi Desa Sendangwates (EP-3 dan EP-9), Kedungwaru (EP-4), Jagong (EP-5) dan Sempu (EP-12 dan EP-29). Menurut Foth (1984) serapan hara K pada bagian batang tanaman tebu adalah 251,1 kg ha-1. Di dalam 1 ton hasil panen tebu terdapat 1,17-6,0 kg K2O yang berasal dari dalam tanah (Hunsigi 1993, Halliday and Trenkel 1992 dalam Ismail (2008). Ini berarti pada setiap panen tebu akan terjadi pengurasan hara K yang cukup besar dari dalam tanah. Oleh karena itu pada sistem budidaya tebu diperlukan pemupukan K yang cukup agar hasil panen tebu tetap tinggi dan daya dukung tanah dapat dipertahankan. Kadar K potensial pada tanah ini umumnya tinggi tetapi K tersedia sering rendah sehingga tanaman mengalami kekahatan. Hal ini disebabkan karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit (Borchardt, 1989) yang dominan di tanah tersebut. Ghousikar dan Kendre (1987) mengemukakan bahwa tanah-tanah tersebut mempunyai kapasitas fiksasi K (Kfixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBCK) yang sangat tinggi. Dengan demikian maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga jumlah bentuk K cepat tersedia bagi tanaman. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam organik dan sejumlah kation (amonium, natrium, dan lain-lain) mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketersediaan K tanah. Asam oksalat dan sitrat dapat melepaskan K tidak dapat dipertukarkan (Ktdd) menjadi K dapat dipertukarkan (Kdd) dan K larut (Kl) pada tanah-tanah yang berbahan induk batukapur, dimana asam oksalat mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat (Zhu and Luo 1993). Sejumlah kation dapat membebaskan K yang terfiksasi pada tanah-tanah yang banyak mengandung mineral liat
tipe 2:1. Kation tersebut antara lain: Na+ (Ismail 1997), NH4+ (Kilic et al. 1999; Evangelou dan Lumbanraja, 2002), dan Fe3+. Kation Fe berpotensi untuk membebaskan K terfiksasi karena berdasarkan deret liotropik kation tersebut mempunyai jerapan yang lebih tinggi daripada kation K (Havlin et al. 1999). Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk pengembangan pertanian adalah kecocokan fisik lingkungan (iklim, tanah dan terrain) dengan persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara fisik lingkungan dengan komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut. Sifat-sifat fisik lingkungan untuk evaluasi lahan dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristic). Kualitas lahan yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan antara lain: temperatur udara (tc), ketersediaan air (wa), ketersediaan oksigen (oa), media perakaran (rc), retensi hara (nr), hara tersedia (na), bahaya erosi (eh), bahaya banjir (fh), dan persiapan lahan (lp). Sedangkan karakteristik lahan yang dinilai antara lain: temperatur rerata (ºC), curah hujan (mm), drainase, tekstur, kedalaman tanah (cm), KTK (cmol(+) kg-1), pH H2O, hara NPK, lereng, dan penyiapan lahan. Hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman tebu disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa kelas kesesuaian lahan tanaman tebu di daerah penelitian secara aktual tergolong kelas S2 dan S3. Faktor pembatas yang ada seperti retensi hara, ketersediaan hara, drainase dan lereng. Dengan perbaikan terhadap faktor pembatas tersebut, maka kelas kesesuaian lahan dapat meningkat menjadi kelas S1 dan S2. Secara aktual sesuai kondisi saat penelitian, lahan yang tergolong cukup sesuai (S2) seluas 2.980 ha (21,81%) dan sesuai marjinal (S3) seluas 10.684 ha (78,19%). Hal ini disebabkan karena faktor pembatas retensi dan ketersediaan hara, drainase terhambat dan sedikit lereng. Namun jika faktor pembatas tersebut diperbaiki melalui pemberian hara yang cukup, pemberian bahan organik dan perbaikan drainase, maka secara potensial kelas kesesuaiannya akan naik satu tingkat menjadi sangat sesuai (S1) seluas 2.980 ha (21,81%) dan cukup sesuai (S2) seluas 10.684 ha (78,19%). Faktor Pembatas Penentu Untuk mengetahui faktor pembatas penentu terhadap produksi tebu di daerah penelitian dilakukan analisis regresi stepwise. Menurut Gomez dan Gomez (1983)
65
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Tabel 4. Hasil evaluasi kesesuain lahan untuk tanaman tebu di Kecamatan Kunduran Table 4. The result of land suitability evaluation for sugarcane in Kunduran District Sub Kelas Aktual Potensial S2na S2nr,na S3nr,na S3rc,na S3nr,na,eh S3na/S3oa,na S3oa,na
S1 S1 S2 S2 S2 S2 S2
Faktor pembatas
No. SPT
Hara tersedia N rendah Retensi hara (KTK rendah), ketersediaan hara NPK rendah-sedang pH agak alkalis, hara tersedia N rendah Kedalaman tanah sedang, ketersediaan hara NPK rendah Retensi hara, ketersediaan hara, lereng 8-15% Ketersediaan hara NPK rendah, drainase terhambat Drainase terhambat, hara tersedia NK rendah
dalam regresi stepwise peubah-peubah yang kurang berpengaruh terhadap produksi akan hilang (tidak muncul), sehingga tersisa peubah-peubah yang sangat berpengaruh terhadap produksi. Regresi linear karakteristik-karakteristik tanah (drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, KTK tanah, pH, C organik, N total, P 2O5 tersedia, dan K2O potensial) terhadap produktivitas tebu menghasilkan empat karakteristik tanah yang mempunyai hubungan erat dengan produktivitas tebu, yaitu drainase (R2 = 0,72), N total (R2 = 0,65), P2O5 tersedia (R2 = 0,52), dan K2O potensial (R2 = 0,54). Trend hubungan keempat karakteristik tanah tersebut dengan produktivitas tebu disajikan pada Tabel 5. Analisis stepwise terhadap keempat karakteristik tanah terpilih (Tabel 5) menghasilkan tiga karakteristik tanah yang sangat berpengaruh nyata (P-value <0,10) terhadap produktivitas tebu, yaitu N total (P-value = 0,000), K2O potensial (P-value = 0,068), dan dan P2O5 tersedia (Pvalue = 0,072). Persamaan penduga produktivitas terbaik yang dihasilkan ketiga karakteristik tanah tersebut adalah: Produktivitas tebu = 7638 + 100665 N tot. + 276 P2O5 ters.+1582 K2O pot. (R2 = 70,2)
6 8;9 4;5;7 10 11 2 1;3
Luas ha
%
237 2.743 1.307 707 815 1.393 6.463 13.664
1,74 20,07 9,57 5,17 5,97 10,19 47,30 100,00
Keterangan: Produktivitas tebu dalam kg ha-1, N total dalam persen (%), K2O -1 potensial dalam mg 100g tanah, dan P 2O5 tersedia dalam ppm
Dari persamaan terbaik yang dihasilkan tersebut, setelah divalidasi dengan produktivitas tebu, ketiga karakteristik tanah tersebut sangat baik menduga produktivitas tebu rata-rata 79,08%, sisanya 20,92% diduga oleh karakteristik tanah lain yang tidak dimasukkan sebagai peubah dalam persamaan regresi. Peranan P2O5 yang sangat nyata terhadap produksi tebu sangat berkaitan dengan tingginya pH tanah pada sebagian besar tanah di daerah ini, yaitu tergolong netral sampai agak alkalis. Pada reaksi tanah yang agak alkalis sampai alkalis (pH >7,5) ketersediaan hara makro khususnya P dan K semakin sedikit begitu juga unsur hara mikro (Fe, Mn, Cu, dan Zn) (Soepardi 1983). Demikian pula dengan unsur K sebagai penentu terhadap produktivitas tebu. Ketersediaan K yang cukup di dalam tanah menjamin ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit dan merangsang pertumbuhan akar (Soepardi 1983). Kahat K pada tanaman akan menghambat proses metabolisme sehingga produksi turun. K dikenal sebagai hara penentu mutu produksi tanaman, pada tanaman tebu kekurangan K
Tabel 5. Persamaan regresi karakteristik tanah vs produktivitas tebu Table 5. Regression equation of soil characteristics versus sugarcane productivities Karakteristik tanah Drainase Tekstur Bahan kasar Kedalaman tanah KTK tanah pH H2O C organik N total P2O5 tersedia K2O potensial
Satuan % cm me 100g-1 tanah % % ppm mg 100g-1
Persamaan regresi Y = 11765x + 28235 Y = - 211,31x + 80720,94 Y = - 1428,6x + 80000 Y = 650,74x + 23274 Y = - 580,28x + 90176 Y = - 6867,7x + 125413 Y = - 20839x + 94668 Y = 281181x + 49586 Y = 631.95x + 52987 Y = 3165x + 40044
R2 0.72* 0.00 0.09 0.28 0.08 0.19 0.07 0.65* 0.52* 0.54*
Keterangan : karakteristik lahan yang berkorelasi baik dengan produktivitas tebu
66
Sofyan Ritung dan Erna Suryani : Karakteristik Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Tebu
menyebabkan rendemen gula rendah. Dengan demikian tanah-tanah masam dan alkalis akan menghadapi masalah kekurangan unsur-unsur hara bagi pertumbuhan tanaman.
Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ir. Edy Purnawan staf Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian yang telah memfasilitasi kegiatan ini sehingga pengumpulan data di lapang dan analisis tanah di laboratorium dapat terlaksana dengan lancar.
Kesimpulan dan Saran 1. Kunduran adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah terletak pada landform Aluvial, Karst dan Tektonik/Struktural. Tanahnya berkembang dari batuan sedimen berkapur, batukapur dan aluvium basis menghasilkan tanah yang umumnya mempunyai sifat-sifat antara lain: tekstur halus, drainase terhambat sampai baik, kedalaman tanah sedang sampai sangat dalam, pH tanah agak masam sampai alkalis, KTK tanah sedang sampai tinggi, kejenuhan basa umumnya sangat tingggi, kandungan P2O5 sedang sampai sangat tinggi, K2O umumnya rendah N-total sangat rendah. 2. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1.4962.506 mm dengan bulan kering 3-4 bulan, merupakan kondisi yang ideal untuk pertumbuhan tanaman tebu. 3. Evaluasi lahan untuk tanaman tebu menunjukkan sekitar 2.980 ha secara aktual cukup sesuai (S2), dan sekitar 10.684 ha tergolong sesuai marjinal (S3). Faktor pembatas utama adalah retensi hara (pH alkalis), hara tersedia rendah, drainase terhambat. Secara potensial melalui perbaikan terhadap faktor pembatas menghasilkan kelas kesesuaian lahan potensial sangat sesuai (S1) dan cukup sesuai (S2) untuk tanaman tebu. 4. Analisis regresi stepwise terhadap karakteristik lahan yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas tebu menunjukkan tiga karakteristik lahan yang berpengaruh nyata (taraf 10%), yaitu N total, K2O potensial, dan P2O5 tersedia. Hal ini menunjukkan peningkatan produktivitas tebu sangat ditentukan oleh ketiga karakteristik lahan tersebut.
(ZAE) Skala 1:50.000 di Kabupaten Blora. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian Edisi Revisi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Bappeda Kabupaten Blora. 2010. Peta Administrasi Kabupaten Blora. Blora. Bappeda Kabupaten Blora. 2010. Draft Rancangan Perda Tentang RTRW Kabupaten Blora 2009-2029. Blora. Borchardt, G. 1989. Smectites. Pp 675-727. In Minerals in Soil Environments. Second ed. SSSA. Madison, WI. Cambpell, R.B. 1967. Sugarcane. Pp 649-654. In Hagan R.M., H.R. Haise, J.W. Edminser (Eds.). Irrigation of Agricultural Lands, ASA Monograph 11, Wisconsin, USA: Ditjen Perkebunan. 2011. Rencana Kerja Pencapaian Produksi Gula 2011. Kementerian Pertanian. Jakarta. Erwin dan M. Sastrosasmito. 1995. Evaluasi kesuburan tanah dan pemupukan di areal kebun konversi PG Kuala Madu, PT Perkebunan IX Medan. Dalam Risalah hasil penelitian Areal kebun konversi PG Kuala Madu PT Perkebunan IX Medan. Medan. Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan : Purbayanti, E.D. Lukyowati, dan R. Triwulatsih. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ghousikar, C.P. and D.W. Kendre. 1987. Potassium supplying status of some soils of Vertisol type. Potash Review No. 5/1987. International Potash Institute, Switzerland. Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1983. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke-2. Sjamsuddin E., Baharsjah J.S. (penerjemah). Jakarta UI Press. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Halliday, D.J. and M.E. Trenkel. 1992. Word ferilizer use manual. International Fertilizer Industry Association. Paris. Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L. Nelson. 1999. Soil fertility and fertilizers an introduction to nutrient management. 6th ed. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. P 497.
Daftar Pustaka
Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta.
Adisewojo, R.S. 1971. Bercocok Tanam Tebu. Sumur Bandung. Bandung.
http//:www.Indonesia.go.id. Kabupaten Blora upayakan kontribusi swasembada gula di Jawa Tengah [Akses 19 Agustus 2013].
Bachri, S., T. Sanjonyo, Y. Mulyadi, W. Gunawan, dan N. Suharta. 2004. Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agro-Ekologi
dan
Hunsigi, G. 1993. Production of Sugarcane. Theory and Practices. Springer-Verlag, Berlin.
67
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 37 No. 1 - 2013
Ismail, I. 1997. The role of Na and partial substitution of KCl by NaCl on sugarcane (Saccharum officinarum L.) growth and yield, and its effect towards soil chemical properties. Disertasi Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Ismail, I. 2008. Pengujian Pupuk N-Alternatif pada Tebu Tanaman Pertama (PC) di PG Pesantren Baru dan di PG Jombang Baru. Sumber: http://sugarresearch.org/ wp-content/uploads/2008/12/pengujian-pupuk-nalternatif-pada-tebu.pdf. Didownload Maret 2011. Karama, A.S., S.G. Irianto, H. Syahbuddin, dan W. Estiningtyas. 2002. Karakteristik dampak El nino terhadap pertanian di Indonesia. Sosialisasi hasil analisis data iklim untuk antisipasi dampak El Nino. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Klingebiel, A.A. and F.H. Montgomery. 1961. Land Capability Classification. US Dept. Agriculture Handbook. No. 210. Kilic, K., M.R. Derici, and K. Saltali. 1999. The ammonium fixation in great soil groups of Tokat Region and some factors affecting the fixation. I. The affect of potassium on ammonium fixation. Tr. J. Agric. For. 23:673-678. Lingga, P. 1997. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. Mattjik, A.A. dan Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid ke-2. Bogor: IPB Press. Miller, F.P. 1982. Fertilizers and our environment. Pp. 2168. In W.C. White & D.N. Collins (Eds.). The Fertilizer Handbook. The Fertilizer Institute, Washington. Pawirosemadi, M. 1991. Himpunan Diktat Khusus Tanaman Tebu. P3GI. Pasuruan. Prasetyo, B.H., J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan R.D.M. Simanungkalit. 2004. Mineralogi, kimia, fisika, dan biologi lahan sawah. Dalam F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, dan W. Hartatik (Eds.) Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Richard, M.J. 2005. Sugarcane yield, sugarcane quality and soil variability in Lousiana. Agronomy Journal. 97(3):760-771. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suprapto, T. Prasetyo, dan C. Setyani. 2006. Embung Sebagai Alternatif Mencukupi Kebutuhan Air untuk Usaha Tani di Kabupaten Blora. Badan Litbang Pertanian. Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu. Kanisius. Jakarta.
68
Yang, Rong-Zhong, Yu-MoTan, Li-Ming Liu, Lun-Wang Wang, Fang Tan, and Yang-Rui Li. 2006b. Effect of low nitrogen stress on early growth, phisiomorphological and quality attributes of sugarcane. Pp 483-486. In Proc. Internl. Symp. on Technologies to Improve Productivity in Developing Countries. Zhu, Yong-Guan, and Luo Jia-Xian. 1993. Release of nonexchangeable soil K by organic acids. Pedosphere 3:269-2765