JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan Daerah dan Ormas Partai Desak Munas Minggu, 24 Agustus 2014 JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2004-2009 Jusuf Kalla mengatakan, tradisi Partai Golkar selama ini selalu berada di dalam pemerintahan atau mendukung pemerintah. Oleh karena itu, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Golkar, musyawarah nasional digelar pada awal Oktober. ”Ini bukan pendapat saya. AD/ART Golkar yang menyatakan itu, dan tradisi Golkar sejak berdiri hingga sekarang ini, ya, memang begitu,” kata JK, yang kini wakil presiden terpilih, bersama presiden terpilih Joko Widodo, kepada Kompas, Sabtu (23/8), di Jakarta. Menurut JK, di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, Golkar bukannya mendukung mantan ketua umumnya yang pada Pemilu Presiden 9 Juli lalu maju sebagai calon wapres mendampingi calon presiden Jokowi, melainkan memilih mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. ”Namun, banyak teman Golkar yang tidak suka pilihan tersebut. Jadi, kalau sekarang banyak yang mendesak Munas Partai Golkar digelar awal Oktober, ya, wajar saja. Sebab, mereka, kan, pegangannya AD/ART dan tradisi Golkar selama ini,” lanjut wapres periode 2004-2009 ini. JK menyatakan, munas yang segera digelar akan dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang terjadi selama ini. ”Munas akan mempersatukan kembali kader dan elite Golkar yang terpecah agar bisa solid dan berkarya lagi,” tuturnya. Soal rekomendasi Munas Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, tahun 2009, yang menyebutkan munas digelar pada 2015, JK mengatakan, derajat hukum rekomendasi berada di bawah AD/ART. Ditanya siapa calon ketua umum Golkar yang akan didukung, JK yang tidak ingin menjadi ketua umum Golkar lagi menyatakan terserah munas. Ironi Golkar Secara terpisah, salah seorang kader Golkar yang dipecat, Poempida Hidayatulloh, khawatir, apabila Golkar terlambat merespons perkembangan politik setelah putusan 1
sengketa perolehan suara di Mahkamah Konstitusi, yang menolak permohonan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta, kerugian justru di Partai Golkar sendiri. ”Munas harus segera diadakan untuk menyelesaikan masalah dan mengantisipasi masa depan dan arah Golkar. Jangan kepentingan segelintir elite Golkar merugikan Golkar secara keseluruhan organisasi,” ujarnya. Berdasarkan analisis Poempida, jika Golkar tetap berada di Koalisi Merah Putih, ironi politik Golkar akan terjadi. ”Masa Golkar harus beroposisi dengan kadernya dan mantan ketua umumnya sendiri,” tuturnya. Hal senada disampaikan Ketua DPD Partai Golkar Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, yang mendukung upaya elite dan kader Golkar untuk bergabung dengan Jokowi-JK. Hampir semua bupati, wali kota, dan gubernur asal Partai Golkar serta ormas partai diyakini punya aspirasi yang kuat untuk mendorong Golkar menjadi bagian dari pemerintah. ”Saya yakin, mayoritas kader Golkar yang duduk sebagai bupati/wali kota dan gubernur juga punya pemikiran yang sama, yakni melanjutkan sejarah dan tradisi Golkar sebagai pendukung pemerintah. Hal ini penting demi sinkronisasi program pembangunan dan pemerintahan dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota,” ujarnya. Anwar, yang juga Gubernur Sulawesi Barat, berharap Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie segera melakukan pendekatan kepada presiden-wapres terpilih Jokowi-JK. Golkar tak perlu berlama-lama terlena dengan jargon koalisi permanen yang dideklarasikan pasangan Prabowo-Hatta. Cepat atau lambat, partai pendukung Koalisi Merah Putih dinilai akan berubah haluan untuk merapat ke pemerintahan Jokowi-JK. ”Ironis jika Golkar yang selama ini menjadi bagian dan pendukung pemerintah justru terlangkahi oleh manuver dari partai-partai lain. Bergabung dengan pemerintah berarti menyelamatkan Golkar dari keterpurukan yang berkepanjangan,” ujarnya. Solid Dihubungi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lalu Mara Satriawangsa mengatakan, pengurus Partai Golkar masih merasa solid untuk mendukung Koalisi Merah Putih meskipun JK berada di pemerintahan terpilih.
2
”Siapa bilang ada keresahan (di pengurus Golkar)? Kalau berada di luar pemerintahan, apakah buruk? Justru pengurus Golkar di daerah yang ingin penetapan Koalisi Merah Putih di daerah,” katanya. (RYO/NAR/HAR)
"Tradisi Golkar adalah selalu berada dalam pemerintahan." Salim Said Begitu Kata Jusuf Kalla dan sejumlah besar petinggi Golkar sejak beberapa tahun silam. Kita harus hati-hati membaca pernyataan ini. Selama Orde Baru Golkar memang kekuatan politik yang didisain oleh Presiden Soeharto untuk menguasai DPR dan MPR. Agar kekuasaan militer kelihatan legal dan demokratis harus dibuktikan oleh dukungan mayoritas di DPR dan MPR.Jadi yang membuat Golkar selama puluhan tahun selalu menjadi pendukung pemerintah, bukan orang Golkar sendiri, melainkan rezim Soeharto. Adalah Soeharto dengan militer yang membangun Golkar sebagai kekuatan politik dengan tugas menduduki kursi-kursi DPR/MPR/DPRD lewat sejumlah pemilu Orde Baru. Secara singkat, marilah kita lihat perjalanan Golkar. Pada 24 Oktober 1964 dibawah lindungan militer --dalam rangka konflik dan pertarungan politik mereka dengan golongan Komunis -- Golkar berdiri sebagai Sekber (Sekretariat bersama Golongan Karya). Mereka yang tergolong dalam Sekber itu adalah sejumlah besar ormas yang mencari "perlindungan dari pengejaran politik PKI" Segala macam organisi yang diincer PKI bergabung dalam Sekber tersebut, termasuk Muhammadiah, PWI, Soksi, MKGR, Kosgoro, dan banyak lagi lainnya. Menjelang pemilu 1971 ABRI memerlukan kendaraan politik yang akan mereka pakai untuk menguasai DPR dan MPR. Setelah melalui "pembersihan" seperlunya, Sekber Golkar terpilih. Sejak pemilu 1971, pemilu pertama Orde baru, hingga pemilu terakkhir rezim Soeharto, 1997, Golkar selalu menduduki posisi mayoritas. Tentu tidak sulit menduduki posisi demikian jika para Gubernur hingga lurah (birokrasi) dan dari Panglima ABRI hingga Babinsa diwajibkan mendukung Golkar. Setelah reformasi, terjadi demokratisasi dan Golkar kehilangan patron dan pemakainya, Rezim Suharto dan kekuatan politik militer. Akbar Tanjung lalu mendeklarisan Golkar menjadi partai Golkar yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan banyak partai yang muncul di masa awal reformasi. Ini berarti posisi Partai Golkar (duduk di pemerintahan atau di luar kekuasaan) tergantung 3
pada keputusan rakyat yang memilih. Kalau rakyat memilih Golkar untuk memerintah, maka partai tersebut berada dalam kekuasaan. Kalau tidak, ya boleh saja menjadi oposisi atau penyeimbang. Berkuasa atau penyeimbang (artinya tidak bagian dari pemerintah) sama sekali tidak haram dan sangat sesuai dengan adat dan kebiasaan demokrasi. Jadi kalau sekarang muncul lagi cerita "Golkar selalu bagian dari pemerintah," maka soalnya adalah soal politik, soal kekuasaan, dan jelas bukan soal tradisi. Bagaimana akan bicara tradisi kalau usia Golkar sebagai partai tidak lebih tua dari umur Reformasi. Ini bukan untuk pertama kalinya terjadi. Sepuluh tahun silam SBY-JK memenangkan pilpres, sementara Golkar pimpinan Akbar Tanjung memilih bergabung dengan Megawati dalam koalisi kebangsaan yang berada di luar pemerintahan, Dengan alasan "Golkar selalu dalam pemerintahan," Wapres JK, lewat Munas Golkar di Bali merebut Golkar dari tangan Akbar Tanjung dan menjadikannya partai pendukung pemerintah. Dengan dukungan Golkar, posisi JK terhadap SBY menjadi menguat yang memunculkan ketegangan diam-diam SBY-JK. Akhir cerita JK tersingkir dari pemerintahan SBY jilid dua. Sekarang Golkar di bawah Ketua Umum Abu Rizal Bakri (ARB atau Ical) bergabung ke Koalisi Merah Putih pimpinan Prabowo yang berada di luar pemerintah. Mereka yang tidak mendukung ARB mulai lagi ribut bicara tentang "Golkar selalu mendukung pemerintah" Di balik ribut-ribut tersebut ada beberapa hal yang sebaiknya kita ketahui: 1. Memang ada sejumlah anggota Golkar yang sudah telanjur terlatih menjadi bagian dari pemerintah dan gamang berada di seberang pemerintah (oposisi atau penyeimbang). 2. Mantan Ketua Umum Golkar-- yang dulu merebut Golkar dari kekuasaan Akbar Tanjung di Bali-- adalah JK yang sekarang menduduki kursi Wapres untuk kedua kalinya. Banyak tokoh Golkar berharap JK merebut lagi Golkar dan menjadikan anggota-anggotanya di DPR pendukung Jokowi -JK. 3. Kelemahan ARB banyak. Tidak memenangkan posisi sebagai Presiden maupun Wapres, gagal mencapai target perolehan suara pada pileg, dan tidak memenuhi janji membangun gedung DPP Golkar setinggi 32 tingkat. Dia juga dipandang telah menjadikan dirinya hanya "pelengkap penderita di bawah sebuah partai (Gerindra) yang pendukungnya lebih kecil dari pendukung Golkar dalam pileg. Dengan kata lain, selain gagal ARB juga dianggap telah menghinakan Golkar, partai
4
terbesar kedua lewat pileg yang lalu. Ini alasan kongkrit "pemberontakan" sejumlah tokoh Golkar terhadap ARB. 4. Suara pendukung Jokowi-JK di DPR berada di bawah suara yang mendukung Koalisi Merah Putih. Untuk mengantisipasi "hambatan dan gangguan di DPR" nanti, pihak Jokowi-JK hari-hari ini dari jauh melambai-lambai kepada Golkar, mungkin juga PPP, Partai Demokrat (PD) dan PAN agar hijrah saja dari kubu Prabowo untuk bergabung ke koalisi pendukung Jokowi-JK . Hari-hari terakhir ini sejumlah elit Golkar mendesak Munas segera diadakan. Mereka berharap ARB dan kepengurusannya terpinggirkan sebelum 20 Oktober (hari pelantikan Presiden dan Wapres) agar ketika bergabung ke kubu Jokowi-JK masih ada waktu bagi sejumlah tokoh Golkar untuk masuk dalam kabinet yang segera akan diumumkan Jokowi-JK tidak berjarak lama setelah pelantikan 20 Oktober nanti. *** Bung Salim.
5