EVALUASI PENGENDALIAN PAJANAN KEBISINGAN ARMADA MASKAPAI PENERBANGAN GARUDA INDONESIA (B777-300ER, B747-400, B737-800NG, B737-300, B737-500, A330-300, A330-200) DI APRON TERMINAL II BANDARA INTERNASIONAL SOEKARNO-HATTA TAHUN 2013 Jhonwart Charmindo Agustian Siregar, Chandra Satrya Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Jawa barat, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian Evaluasi Pengendalian Pajanan Kebisingan Armada Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia (B777-300ER, B747-400, B737-800NG, B737-300, B737-500, A330-300, A330-200) di Apron Terminal II Bandara Internasional Soekarno-Hatta Tahun 2013 ini dilakukan karena adanya pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia pada pekerja Line Maintenance yang akan berdampak pada risiko penurunan fungsi pendengaran maupun kerusakan fungsi pendengaran secara permanen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi kegiatan pengendalian pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia dengan studi deskriptif dan metode penilaian kualitatif. Tingkat risiko didapatkan dengan model penilaian risiko yang telah diterapkan Garuda Indonesia yakni melalui perhitungan dan interpretasi antara Probabilitas dan Konsekuensi pada Pre dan Post Operation Risk Assesment Garuda Indonesia. Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari tujuh tipe armada yang dimiliki Garuda Indonesia, B737-800NG merupakan tipe armada yang paling berisiko memajankan kebisingan kepada para pekerja Line maintenance karena: 1) Tipe armada B737-800NG merupakan armada terbanyak dengan total 64 armada; 2) Frekuensi penerbangan armada tipe B737-800NG adalah yang tertinggi dengan 157 penerbangan per hari; 3) durasi transit tipe B737-800NG hanya berkisar ± 45 menit. Kata kunci : Pengendalian, Pajanan Kebisingan, Probabilitas, Konsekuensi.
ABSTRACT The research of The Evaluation of Noise Exposure Controlling of Garuda Indonesia Aircraft (B777-300ER, B747-400, B737-800NG, B737-300, B737-500, A330-300, A330-200) in Apron Area, Terminal II, Soekarno-Hatta International Airport on 2013 is based on noise exposure of Garuda Indonesia Aircraft to Line Maintenance Engineer which impacted to both Noise Induced Hearing Loss and Permanently Hearing Broke. The objectif of this research is to observe dan evaluate the Risk Control Compliance of Garuda Indonesia aircraft by using Descritive Study and Qualitative Assesment Methode. The level of Risk is calculated by Garuda Indonesia Operation Risk Assesment Methode, Pre and Post Risk Assesment while using calculation and interpretation of Likelihood and Consequence for each aircraft types. The results of this research is B737-800NG is the most Noise Exposure to the Line Maintenance Engineer because: 1) B737-800NG is highest totally aircrafts, which 64 aircrafts; 2) Flight frequencies area the highest one which 157 flights per day; 3) Ground time od B737-800NG is about 45 minutes. Key Words: Risk Management, Noise Exposure, Likelihood, and Concequences
PENDAHULUAN Aktivitas manusia yang dinamis merupakan karakteristik dari keberadaan manusia itu sendiri. Manusia selalu berupaya menemukan solusi yang mampu menjawab kebutuhan dari setiap aktivitas yang dilakukan, termasuk dalam aktivitas kerja
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
yang dilakukan oleh manusia tersebut. Aktivitas kerja menuntut adanya efisiensi dan efektivitas dalam proses pelaksanaannya. Aktivitas kerja yang baik memerlukan sebuah lingkungan kerja yang baik dan nyaman. Aktivitas kerja dan lingkungan kerja menjadi dua komponen yang saling berkaitan dalam pencapaian produktivitas kerja yang maksimal. Perkembangan teknologi yang begitu pesat merupakan salah satu hal yang dapat menjadi solusi dalam menjawab kebutuhan manusia akan aktivitas kerja manusia yang dinamis tersebut. Teknologi menjadi media bagi manusia dalam melakukan mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini pula yang terjadi pada aktivitas penerbangan. Menurut laporan ICAO “Airport Planning Manual” tahun 2002, sejak diperkenalkannya armada pesawat jet, kebisingan telah menjadi pusat perhatian yang dianggap sebagai masalah lingkungan yang sangat penting, terutama lingkungan kerja di dunia penerbangan. Tingkat kebisingan yang terus meningkat di bandara akibat aktivitas penerbangan didunia disebabkan oleh dua hal, yakni karena; (1) adanya gabungan emisi buang kebisingan antara satu armada dan armada penerbangan lain dan (2) peningkatan jumlah frekuensi aktivitas penerbangan di bandara tersebut (ICAO, 2002). Masalah kebisingan di area Bandara bersumber dari armadaarmada maskapai penerbangan yang beraktivitas di area tersebut. Kebisingan armada maskapai penerbangan dapat berpengaruh terhadap awak pesawat, penumpang, pekerja di sekitar landasan dan penduduk yang bertempat tinggal di sekitar area bandara. Tingkat kebisingan yang ditimbulkan, dipengaruhi oleh jenis pesawat dan frekuensi penerbangan dalam satu hari (Pusarpedal, 2011). Namun, selama ini penelitian terkait masalah kebisingan di area Bandara masih terpusat pada Bandara itu sendiri. Padahal, yang menjadi sumber masalah kebisingan adalah berasal dari armada-armada maskapai penerbangan. Sehingga, perlu dilakukan evaluasi kebisingan pada maskapai penerbangan secara lansung. Maskapai penerbangan Garuda Indonesia adalah satu satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dimiliki oleh Indonesia. Garuda
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Indonesia beroperasi menggunakan beberapa tipe armada pesawat. Jenis pesawat umumnya digunakan adalah tipe Boeing 737 dengan mesin turbo jet. Pesawat jet komersial mempunyai tingkat kebisingan bisa mencapai 100 dBA yang dalam operasionalnya suara mesin pesawat terbang tersebut menimbulkan kebisingan. (Basuki, 1985). Berdasarkan Data-Base perusahaan Garuda Indonesia tahun 2013, terdapat 157 frekuensi penerbangan rute domestik dan 29 rute internasional dalam sehari. Rute-rute ini adalah rute yang berpola Penerbangan Lansung dan Penerbangan Transit. Rute-rute ini merupakan rute yang melayani penerbangan dari dan menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta baik untuk penerbangan lansung maupun penerbangan transit. Semua aktivitas penerbangan rute domestik dan internasional Garuda Indonesia dari dan menuju Indonesia (Jakarta) dilakukan di satu terminal, yakni terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sehingga, jumlah frekuensi penerbangan armada maskapai Garuda Indonesia dan kapasitas daya tampung terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta sudah tidak bersesuaian lagi. Tingginya frekuensi penerbangan yang dilakukan armada maskapai penerbangan Garuda Indonesia, membuat kinerja mesin armada semakin tinggi pula. Semakin sering dan semakin lama durasi penggunaan armada, maka akan semakin tinggi pula emisi kebisingan yang dihasilkan armada (Pusarpedal, 2011). Sehingga, hal ini memerlukan adanya sebuah perawatan dan pemeliharaan kembali mesin-mesin dari armada Garuda Indonesia yang telah mengalami penurunan kualitas emisi kebisingan mesin. Tidak hanya terjadi di area Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Masalah lingkungan kerja yang diakibatkan dari permasalahan kebisingan yang dihasilkan dari mesin (Engine) armada Garuda Indonesia terjadi pula pada para pekerja, kontraktor, dan tamu Garuda Indonesia yang memiliki aktivitas kerja di area Apron Terminal 2 Bandara Internasional SoekarnoHatta. Pajanan kebisingan dari mesin armada Garuda Indonesia kepada para pekerja, kontraktor, dan tamu Garuda Indonesia di Apron Terminal 2
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Bandara Internasional Soekarno-Hatta menjadi lebih berisiko tinggi karena mesin-mesin armada Garuda Indonesia yang akan mendapatkan perawatan dan pemeliharaan oleh para teknisi adalah mesin-mesin yang telah mengalami
penurunan
kualitas
emisi
kebisingan
sebagai
akibat
penggunaan armada untuk aktivitas penerbangan. Serta, sebelum dilakukan perawatan dan pemeliharaan, maka harus dilakukan pengujian terlebih dahulu tingkat kebisingan mesin armada yang megalami penurunan kualitas mesin, khususnya emisi kebisingan yang dihasilkan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian yang secara khusus meneliti pajanan kebisingan yang dihasilkan mesin armada Garuda Indonesia kepada para pekerja, kontraktor, dan tamu Garuda Indonesia yang memiliki aktivitas kerja di area Apron Terminal 2 Bandara Internasional
Soekarno-Hatta
untuk
memanajemen
risiko
pajanan
kebisingan yang dihasilkan mesin armada Garuda Indonesia. Tinjauan Teoritis Suara merupakan gelombang mekanik yang dihantarkan oleh suatu medium, umumnya melalui udara. Kuantitas dan kualitas suara ditentukan oleh Intensitas (Loudness), Frekuensi, Periode (kontinyu atau terputus) dan durasi (Mansyur, 2003) Bunyi adalah ransangan-ransangan yang diterima telinga karena getaran-getaran melalui media elastis. Terdapat dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yakni frekuensi dan intensitas. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut Hertz (Hz). Hertz merupakan jumlah gelombang bunyi yang lengkap, yang diterima oleh telinga setiap detiknya. Biasanya kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombanggelombang sederhana dari beraneka frekuensi (Olishifski, 1987). Bunyi memiliki frekuensi, amplitudo dan bentuk gelombang. Frekuensi gelombang bunyi adalah kecepatan osilasi gelombang gelombang udara per unit waktu. Telinga manusia dapat menangkap frekuensi yang bervariasi dari sekitar 20 sampai 20,000 Hertz (Hz) (Waldron, 1989)
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Gambar 01. Panjang Gelombang Sumber: (OSHA 2013)
Frekuensi adalah jumlah getaran suara per detik. Frekuensi merupakan nilai variasi tekanan suara per detik yang dinyatakan dalam Hertz atau Cycleper Second (cps). Suara yang dapat didengar manusia terdiri dari beberapa frekuensi yang berlainan, rentang nilai frekuensi yang terjadi sangat besar dan lebar. Umumnya spektrum frekuensi suara diklasifikasikan berdasarkan tiga pita frekuensi, yaitu (Pusarpedal, 2011): 1. Frekuensi Infrasonik (< 20 Hz) 2. Frekuensi Audisonik (20 Hz – 20KHz) 3. Frekuensi Ultrasonik (>20 KHz) Bunyi berfrekuensi rendah mempunyai nada rendah. Begitu pula sebaliknya, bunyi berfrekuensi tinggi memiliki nada tinggi. Frekunesi suara yang dihasilkan manusia melalui pita suara berkisar sekitar 65 Hz sampai 1000 Hz. Mekanisme frekuensi manusia paling sensitif terhadap suara dengan frekuensi 1000 Hz. Amplitudo adalah ukuran energi atau intensitas fluktuasi tekanan. Gelombang bunyi dengan amplitudo yang berbeda diinterpretasikan sebagai perbedaan dalam kekerasan (Waldron, 1989). Ukuran bunyi dinyatakan dalam desibel (dB). Satuan dB digunakan sebagai satuan pengukuran tingkat tekanan suara. Dengan mengambil tekanan suara paling rendah yang dapat didengar oleh telinga manusia sebagai tekanan referensi (20µPa), maka suatu skala yang menunjukkan pengukuran besaran suara bisa didapat yaitu berdasarkan tingkat suara relatif terhadap tingkat suara yang rendah, yang masih dapat diterima oleh indera pendengaran manusia. Dengan demikian, secara teoritis dikatakan bahwa 0 dB sama dengan tidak ada bunyi yang terbentuk (Pusarpedal, 2011). Daya suara sama dengan berbanding lurus dengan kuadrat tekanan suara. Oleh karena itu diperlukan rasio kuadrat tingkat suara yang terukur
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
dengan kuadrat suara terendah (0.000022 Pa). Skala dimulai dari 0 sampai 120 dB (Pusarpedal, 2011). Menurut OSHA tahun 2013, telinga manusia lebih sensitif pada suara yang berada di jangkauan frekuensi 1 KHz sampai 4 KHz daripada suarasuara yang berada diluar jangkauan frekuensi tersebut. Saat akan melakukan pengukuran terhadap suara, alat ukur pada umumnya disesuaikan dengan jenis filter yang akan dipakai, yang diadaptasi pada respon suara yang diukur terhadap suara-suara yang manusia dapat terima. Terdapat tiga jenis filter suara yang digunakan, yaitu: 1. dB(A), filter desibel A adalah yang paling sering digunakan. 2. dB(B) 3. dB(C) Gambar 02. Standard Weighting Networks Sumber: (OSHA, 2013) Metode Penulisan
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Terdapat beberapa contoh bunyi beserta ukurannya dalam kehidupan sehari-hari seperti bunyi bisikan suara manusia sekitar 20 dB, percakapan tenang berkisar 50 dB, pabrik yang bising sekitar 100 dB. Bunyi yang melebihi 140 dB tidak diperkenankan memapari manusia walaupun hanya sesaat. Hal terjadi karena, bunyi dengan ukuran diatas 140 dB dapat merusak total indera pendengaran manusia (Waldron, 1989). Kebisingan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48/1996 adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alatalat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertrans No PER.13/MEN/X/2011). Kebisingan merupakan salah satu Hazard Fisik yang masih dapat dirasakan oleh manusia melalui indera pendengaran. Paparan kebisingan yang berlansung dalam intensitas yang sangat kuat maupun secara terus menerus dapat mengakibatkan kecelakaan dan gangguan kesehatan pada indera pendengaran manusia, seperti kerusakan indera pendengaran permanen maupun penurunan fungsi pendengaran. Metode Penulisan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah evaluasi manajemen risiko pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia berdasarkan acuan kesepakatan ICAO, IATA, dan CASR. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yakni analisis kualitatif dengan melakukan evaluasi manajemen risiko berupa observasi lapangan, wawancara, dan dokumen resmi perusahaan terhadap pajanan dan pengendalian kebisingan di armada maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Analisis penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari dokumen perusahaan, wawancara dan observasi risiko pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia. Validasi data dilakukan dengan cara
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
menggunakan triangulasi sehingga diperoleh gambaran mengenai data yang diteliti. Penelitian ini dilakukan di salah satu perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia yakni Garuda Indonesia. Lokasi pengukuran dan pengambilan data penelitian
dilaksanakan di area Apron Terminal 2 Bandara
Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Lokasi penelitian ini dipilih karena terdapat beberapa alasan, yakni: 1. Apron Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta merupakan tempat dilakukannya pengujian, perawatan, dan pengecekan armada pesawat Garuda Indonesia pada saat setelah kedatangan (Arrival) dan keberangkatan
(Departure)
atau
biasa
dikenal
dengan
Land
Maintenance. 2. Terdapat tujuh tipe armada yang berbeda, yang Garuda Indonesia gunakan sebagai armada penerbangan yaitu B777-300 ER, B747-400, B737-800 NG, B737-300, B737-500, A330-300, dan A330-200 untuk melayani rute penerbangan domestik dan internasional. Sehingga, akumulasi pajanan kebisingan yang dihasilkan seluruh armada Garuda Indonesia kepada manusia (pekerja) dan lingkungan (area Apron Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta) telah melampaui tingkat kebisingan yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan RI yakni 80dBA (PP No. 40/2012) yakni pada kawasan kebisingan tingkat III. Waktu penelitian dilakukan pada bulan November dan Desember 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh area lingkungan kerja (area Apron Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta) yang sering dilalui para pekerja, kontraktor, dan tamu yang memiliki aktivitas kerja terkait manajemen risiko pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia (B777-300 ER, B747-400, B737-800 NG, B737-300, B737-500, A330300, dan A330-200) yang dimiliki maskapai penerbangan Garuda Indonesia.
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Sampel dalam penelitian ini adalah tahapan-tahapan proses kerja (pra dan paska) dalam melakukan perawatan kebisingan engine armada Garuda Indonesia (B777-300 ER, B747-400, B737-800 NG, B737-300, B737-500, A330-300, dan A330-200) terkait kegiatan manajemen risiko pajanan kebisingan. Informan yang dijadikan nara sumber dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan program pengendalian kebisingan armada Garuda Indonesia adalah divisi K3 dan Teknik, yakni pihak: -
Quality, Safety & Environmental
-
Flight Operation
-
Ground Operation
-
Operation Support
Hasil Penelitian No
Tipe Armada Garuda Indonesia
1
Karakteristik Armada Number in Fleet: 1 Engines: GE90-115B Max Speed: 1090 km/h Range: 13520 km Seat Capacity: 8/38/268 Crew: Cockpit 2, Cabin 17
B777-300ER 2
Operated in: 2013 – present Number in Fleet: 2 A/C Engines: GE CF6-80C2B1F Max Speed: 990 km/h Range: 14180 km Seat Capacity: 42/386 Crew: Cockpit 2, Cabin 16
B747-400 3
Operated in: 1994 – present Number in Fleet: 55 A/C Engines: L CFM56-7B
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Max Speed: 853 km/h Range: 5425 km Seat Capacity: 12/144 Crew: Cockpit 2, Cabin 6 Operated in: 2009 – present B737-800NG 4
Number in Fleet: 3 A/C Engines: CFM56-3C1 Max Speed: 840 km/h Range: 3515 km Seat Capacity: 16/94 Crew: Cockpit 2, Cabin 5 B737-300
No
Tipe Armada Garuda Indonesia
5
Operated in: 1989 – present Karakteristik Armada Number in Fleet: 5 A/C Engines: CFM56-3C1 Max Speed: 840 km/h Range: 3515 km Seat Capacity: 12/84 Crew: Cockpit 2, Cabin 5
B737-500 6
Operated in: 1989 – present Number in Fleet: 6 A/C Engines: RR Trent 768 Max Speed: 913 km/h Range: 10800 km Seat Capacity: 42/215 Crew: Cockpit 2, Cabin 15
A330-300 7
Operated in: 1996 – present Number in Fleet: 8 A/C Engines: RR Trent 772C
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Max Speed: 913 km/h Range: 13400 km Seat Capacity: 36/186 Crew: Cockpit 2, Cabin 11 Operated in: 2009 – present A330-200 Hasil Pembahasan a. Kebijakan Tertulis Kebijakan Tertulis Garuda Indonesia terkait implemetasi K3 di perusahaan dimulai sejak tahun 2007. Kebijakan K3 ini disertifikasi oleh IATA selaku asosiasi badan pengawas keselamatan operasi maskapai penerbangan. Kebijakan ini lansung ditandatangani oleh Direktur Utama Garuda Indonesia (Bapak Emirsyah Satar). Kebijakan K3 ini diperbaharui setiap dua tahun sekali, sehingga kebijakan K3 yang dimiliki oleh Garuda Indonesia telah ada dan mengalami pembaharuan sebanyak empat kali yaitu 2007, 2009, 2011, dan 2013. Pengajuan sertifikasi kelayakan Kebijakan K3 diserahkan kepada IATA pertama kali pada tahun 2007. Namun, proses ini mengalami keterlambatan kelayakan kebijakan K3 selama satu tahun, karena terdapat permasalahan prosedur keselamatan perizinan penerbangan Garuda Indonesia ke destinasi Eropa yaitu Amsterdam. Sehingga, sertifikasi kelayakan kebijakan ini baru keluar pada tahun 2008. Namun, di tahun 2009 Garuda Indonesia sudah harus memperharui kelayakan Kebijakan K3 kepada IATA. Di tahun 2011 dan 2013, sertifikasi kelayakan Kebijakan K3 terlaksana dengan baik.
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Gambar 42. Piramida Standar Peraturan Internasional dan Nasional yang Diadopsi Garuda Indonesia Sumber: Dokumentasi Perusahaan Dalam ketetapan standar internasional dan nasional terkait kebijakan K3 di dunia aviasi, Garuda Indonesia menerapkan kebijakan maupun standar yang dipakai adalah ICAO, CASR, Other Country Regulations, IATA, dan Garuda Indonesia Regulations. 1. International Civil Aviation Organization (ICAO) ICAO merupakan organisasi dibawah naungan Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) yang mengembangkan teknik dan prinsip-prinsip navigasi udara internasional serta membantu perkembangan perencanaan dan pengembangan angkutan udara internasional untuk memastikan pertumbuhannya terencana dan aman. Dewan ICAO mengadopsi standar dan merekomendasikan praktik mengenai penerbangan, pencegahan gangguan campur tangan yang ilegal, dan pemberian kemudahan prosedur lintas negara untuk penerbangan sipil internasional. Dalam praktik pelaksanaan keselamatan penerbangan, peserta ICAO merupakan negara-negara yang tergabung dalam organisasi ini. Terdapat 191 negara peserta dalam ICAO, dimana Indonesia termasuk didalamnya. Ketetapan ICAO bersifat rekomendasi. Ketetapan yang dibuat oleh ICAO hanya dijadikan sebagai bantuan referensi dalam
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
membuat sebuah kebijakan keselamatan aviasi di setiap negaranegara peserta. Sebuah negara diperkenankan untuk menerapkan atau tidak menerapkan hasil ketetapan yang telah ICAO hasilkan. Negara tersebut dapat menerapkan ketetapan yang dihasilkan oleh ICAO jika segala ketetapan yang dihasilkan bersesuaian dengan kebutuhan dari negara tersebut. Namun, negara tersebut diperkenankan untuk menolak dan tidak menerapkan ketetapan yang telah dihasilkan ICAO jika pada proses pelaksanaannya terdapat satu atau beberapa ketetapan ICAO yang tidak bersesuaian dengan kondisi maupun kebutuhan negara tersebut. Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia mengadopsi ketetapan yang
dihasilkan
oleh
ICAO.
Namun
dalam
proses
pelaksanaannya, pengadopsian ketetapan ini tidak secara lansung diterapkan oleh Garuda Indonesia. Proses pelaksanaan adopsi ketetapan ICAO mengalami proses yang panjang sebelum diadopsi oleh Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia, yakni sebagai berikut: 1. ICAO 2. Indonesia 3. Kementerian Perhubungan RI 4. Dirjen Perhubungan Udara 5. Perusahaan Maskapai Penerbangan Penerapan ketetapan ICAO secara tidak lansung ini merupakan proses yang panjang sebelum ketetapan tersebut diadopsi dan diterapkan oleh perusahaan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia. Regulasi ICAO terkait pengendalian kebisingan sebuah armada Maskapai Penerbangan tercantum dalam ICAO International Standards
and
Recommended
Practices
Annex
16
“Environmental Protection” Volume I Aircraft Noise. Sertifikasi kelayakan
pajanan
kebisingan
sebuah
armada
maskapai
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
penerbangan,
harus
terdapat
komponen-komponen
sebagai
berikut: Item 01
Name of State
Item 02
Title of the Noise Document
Item 03
Number of Document
Item 04
Nationality or Common Mark and Registration Marks
Item 05
Manufacturer and Manufacturer’s Designation of Aircraft
Item 06
Aircraft Serial Number
Item 07
Engine Manufacturer, Type and Model
Item 08
Propeller Type and Model for Propeller-Driven Aeroplanes
Item 09
Maximum Take-Off Mass in Kilograms
Item 10
Maximum Lineing Mass in Kilograms
Item 11
The Chapter and Section of This Annex According to Which the Aircraft was Certificated
Item 12
Additional Modifications Incorporated for the Purpose
Item 13
The
Lateral/Full-Power
Noise
Level
in
the
Corresponding of Compliance with the Applicable Noise Certfication Standards Item 14
The Approach Noise Level in the Corresponding Unit for Documents
Item 15
The Flyover Noise Level in the Corresponding Unit for Documents
Item 16
The Overlight Noise Level in the Corresponding Unit for Documents
Item 17
The Take-Off Noise Level in the Corresponding Unit for Documents
Item 18
Statement of Compliance
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Item 19
Date of Issuance of the Noise Certification Document
Item 20
Signature of the Officer Issuing It
Dalam melakukan pengukuran titik kebisingan sebagai salah satu bentuk pengendalian pajanan kebisingan armada Maskapai Penerbangan, ICAO menetapkan tiga model titik pengukuran pajanan kebisingan, yaitu: 1. Lateral Noise Measurement Point Merupakan titik yang diukur pada Line Parallel dan berjarak 650 meter dari pusat jalur Runway dimana tingkat kebisingan berada pada level maksimum selama Take-Off berlansung. 2. Flyover Noise Measurement Point Merupakan titik pengukuran yang jaraknya masih menjadi bagian dari jalur Runway sejauh 6.5 Km dari awal lepas lineas armada. 3. Approach Noise Measurement Point Titik pengukuran yang diambil pada Ground Operation yang jaraknya masih menjadi bagian dari jalur Runway sejauh 120 meter secara vertikal dibawah dengan sudut kemiringan 30 dari titik keberangkatan sejauh 300 meter. Pada saat Ground Operation, koresponden berada pada jarak 2000 meter dari titik keberangkatan. 2. Civil Aviation Safety Regulation (CASR) CASR merupakan regulasi nasional yang dimiliki Indonesia melalui Kementerian Perhubungan RI (Dirjen Perhubungan Udara). Regulasi ini mencakup seluruh aspek ketentuan keselamatan penerbangan di Indonesia. Ketentuan keselamatan penerbangan Indonesia terkait sertifikasi standar kebisingan jenis armada pesawat tercantum dalam CASR Part 36 Amandement 1. Sertifikasi ini ditetapkan Kementerian Perhubungan melalui
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Peraturan Menteri Perhubungan No. Km 29/2009 tentang sertifikasi standar kebisingan jenis pesawat terbang dan kelayakan udara. 3. Other Country Regulations Kebijakan
keselamatan
penerbangan
negara-negara
lain
merupakan tanda kesepakatan yang harus dipatuhi oleh setiap perusahaan maskapai penerbangan, termasuk Gauda Indonesia. Negara-negara yang menjadi rute destinasi internasional Garuda Indonesia adalah Singapura, Malaysia (Kuala Lumpur dan Penang), Thailand (Bangkok), Hongkong, Jepang (Narita, Haneda dan Osaka), Korea Selatan (Seoul), China (Guangzhou, Beijing dan Shanghai), Taiwan, Saudi Arabia (Jeddah dan Abu Dhabi), Australia (Perth, Melbourne, Sydney dan Brisbane), serta Eropa (Amsterdam dan London). Garuda Indonesia harus tunduk dengan peraturan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negaranegara destinasi internasional tersebut, sehingga negara-negara tersebut dapat memberikan izin operasional penerbangan kepada Garuda Indonesia. 4. International Air Transport Association (IATA) IATA merupakan asosiasi perusahaan maskapai penerbangan. Sampai dengan tahun 2013, terdapat 191 perusahaan maskapai penerbangan global yang menjadi anggota dalam asosiasi penerbangan
ini.
Garuda
Indonesia
mewakili
Indonesia
merupakan satu-satunya maskapai penerbangan yang menjadi anggota di asosiasi ini. Dalam kesepakatan kebijakan yang ditetapkan oleh IATA. Standar maupun kebijakan keselamatan penerbangan setiap negara anggota harus dapat memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh IATA. Keuntungan dengan adanya keanggotaan Garuda Indonesia didalam IATA adalah memudahkan jalinan kerja sama antar sesama perusahaan
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
maskapai penerbangan yang memiliki sertifikasi internasional. Sehingga, pelaksanaan Code Sharing, yakni kerja sama operasional penerbangan untuk rute-rute yang belum dijangkau Garuda Indonesia dengan armada sendiri, namun dapat diatasi dengan
melanjutkan
penerbangan
menggunakan
armada
perusahaan maskapai penerbangan yang telah bekerja sama dengan Garuda Indonesia. 5. Garuda Indonesia Regulations Kebijakan tertulis Garuda Indonesia merupakan cakupan terluas dalam piramida regulasi. Garuda Indonesia memiliki regulasi K3 secara umum yakni tercakup dalam Safety Policy, Environmental Policy, Quality Policy, dan Occupational Health Safety Environmental (OSHE Policy). Empat kebijakan tersebut secara garis besar merupakan kebijakan yang membahas kebijakan K3 secara umum yang telah diterapkan di Garuda Indonesia. Perbedaan yang mendasari adalah tahun pembentukan kebijakan tersebut. Safety Policy merupakan kebijakan K3 pertama kali yang diterapkan oleh Garuda Indonesia yakni sejak tahun 2003 dan pada tahun 2007, Garuda Indonesia mengajukan sertifikasi kebijakan pada IATA untuk memperoleh pengakuan internasional terkait implementasi Safety di dunia aviasi. Kemudian pada tahun 2009, 2011, dan 2013, Garuda Indonesia mengembangkan kebijakan-kebijakan yang lebih spesifik lagi yakni dengan menerbitkan OSHE Policy, Quality Policy, dan Environmental Policy. Secara khusus, kebijakan tersendiri terkait pengendalian kebisingan armada maupun pernyataan mengendalikan pajanan kebisingan belum ada. Namun, hal ini telah terintegrasikan kedalam empat kebijakan tersebut.
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Sehingga dalam implementasinya, Garuda Indonesia lebih mengacu pada ketetapan Civil Aviation Safety Regulation (CASR) dan International Air Transport Association (IATA). a. Pengendalian Teknik (Engineering Control) Kebisingan Armada Garuda Indonesia Pengendalian secara teknik terhadap kebisingan yang dihasilkan Engine armada Garuda Indonesia adalah dengan mempertahankan unit komponen yang terdapat dalam engine armada tersebut. Yakni, dengan memenuhi segala ketentuan penggunaan unit komponen spesifikasi oleh perusahaan manufaktur pesawat dan merekayasa emisi kebisingan yang dihasilkan oleh armada Garuda Indonesia pada saat operasional penerbangan, yakni pada saat Take Off dan Land Rolling. b. Pengendalian Administratif (Administrative Control) Kebisingan Armada Garuda Indonesia Pengendalian secara administratif pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia pada pekerja Garuda Indonesia dan GMF AA adalah dengan memberlakukan tiga shift kerja, dengan masing-masing selama delapan jam kerja. c. Pengendalian
Menggunakan
Alat
Pelindung
Diri
(Personal
Protection Equipments) dari Kebisingan Armada Garuda Indonesia Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) terkait pajanan Kebisingan pada proses kerja Line Maintenace adalah dengan menggunakan Earplug dan Earmuff. Tipe Earplug dan Earmuff yang digunakan adalah sebagai berikut: Sumber: GMF AA (2013)
Gambar 43. Earplug Ultra Fit
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Gambar 44. Earmuff PeltorTM OptimeTM 98 Sumber: GMF AA (2013)
Earplug Ultra Fit memiliki NRR = 25 dBA dan Earmuff PeltorTM OptimeTM 98 = 25 dBA, sehingga kemampuan untuk memproteksi diri pekerja dari pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia adalah dapat dihitung berdasarkan persamaan matematis berikut: dBA’ = dBA – (
!""!!" !
)
keterangan: dBA’
: dBA efektif
dBA
: dBA awal / hasil pengukuran
NRR
: dB Reduksi pada APD
cf
: Correction Factor
½
: kemampuan proteksi APD hanya sebesar 50%
Maka, berdasarkan hasil pengukuran pada tipe armada B737-800NG yaitu sebesar: A: Area depan Engine = 94.4 dB (Pada saat pesawat datang di Parking Stand sebelum Engine Shut Down) B: Area belakang Engine = 86.6 dB (Pada saat proses Engine akan Shut Down) C: Exhaust APU = 94.7 dB (Posisi di belakang pesawat) D: Air Inlet APU = 91.3 dB NRR yang diberikan pada Earplug UltraFit dan Earmuff Peltor: dBA’
= dBA Area Depan Engine – ( = 94.4 dBA - (
!"!! !
!""!!" !
)
)
= 85.4 dBA
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
dBA’
= dBA Area Belakang Engine – ( = 86.6 dBA - (
!"!! !
!""!!" !
)
)
= 77.6 dBA dBA’
= dBA Area Exhaust APU – ( = 94.7 dBA - (
!"!! !
!""!!" !
)
)
= 85.7 dBA dBA’
= dBA Area Air Inlet APU – ( = 91.3 dBA - (
!"!! !
!""!!" !
)
)
= 82.3 dBA Terdeskripsikan bahwa Area Exhaust APU dan Area Depan Engine armada B737-800NG merupakan area yang setelah dilakukan pengendalian pajanan kebisingan dengan APD, pajanan kebisingan yang dihasilkan pun masih melebihi standar NAB yang telah ada yakni 85 dB selama 8 jam kerja. Pekerja proses Line Maintenance pada area Apron dimandatorikan untuk menggunakan Earplug atau Earmuff pada saat proses kerja tersebut berlansung. Namun, mandatori yang diberikan adalah dengan menggunakan salah satu tipe APD ini saja. Namun, fakta di lapangan banyak yang belum sesuai dengan mandatori kebijakan yang telah ditetapkan 7.1 Evaluasi Manajemen Risiko Aspek Output a. Output Manajemen Risiko Pajanan Kebisingan Armada Garuda Indonesia 6. Hasil formulasi dosis pajanan kebisingan para pekerja, kontraktor, dan tamu Garuda Indonesia Hasil formulasi dosis pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia kepada para pekerja Garuda Indonesia dan GMF AA di aktivitas kerja Line Maintenance merupakan persentasi pajanan kebisingan yang telah diterima dan terpajan oleh pekerja selama
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
aktivitas kerja berlansung. Peneliti mengacu pada Formulasi Dosis Kebisingan yang ditetapkan oleh NIOSH (1998) untuk mengetahui
besar
presentasi
dosis
pajanan
berdasarkan
pengukuran tingkat kebisingan armada Garuda Indonesia di area Apron Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pengukuran ini dilakukan oleh pihak GMF AA dibantu oleh pihak ketiga yakni 3M. Pengukuran tingkat kebisingan yang dilakukan oleh GMF AA adalah pada tipe armada B737-800NG dengan selang waktu pelaksanaan Line Maintenance adalah 45 menit (waktu transit), yakni sebagai berikut:
A B
D C
Gambar 45. Titik Pengukuran Sumber: GMF AA (2013)
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
A: Area depan Engine = 94.4 dB (Pada saat pesawat datang di Parking Stand sebelum Engine Shut Down) B: Area belakang Engine = 86.6 dB (Pada saat proses Engine akan Shut Down) C: Exhaust APU = 94.7 dB (Posisi di belakang pesawat) D: Air Inlet APU = 91.3 dB Sehingga, formulasi dosis pajanan kebisingan yang dihasilkan adalah: Tn =
! !(!!!")/!
TA =
!
TC =
!(!".!!!")/!
= 0.911 TB =
= 0.850
!
TD =
!(!".!!!")/!
= 5.527
Dose = 100 x (
! !(!".!!!")/!
! !(!".!!!")/!
= 1.866 !" !!
Dose = 100 x ( = 100 x (
+
!" !!
!" !!
+
!.!" !.!""
+ ... +
!" !!
+
+
!" !!
!.!" !.!"#
!" !!
+
+
)
!" !!
)
!.!" !.!"#
+
!.!" !.!""
)
= 100 (%) x 2.243 = 224.3 % Dosis pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia B737-800NG adalah 224.3% Sehingga untuk mengetahui rata-rata pajanan kebisingan selama delapan jam kerja di Apron Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta adalah TWA = 10 x log (D/100) + 85
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
TWA = 10 x log (D/100) + 85 = 10 x log (224.3/100) + 85 = 88.508 dB NIOSH menyatakan bahwa pajanan kebisingan rata-rata selama delapan jam kerja yang diperbolehkan untuk terpajan bising adalah 85 dB, sementara rata-rata pajanan kebisingan armada B737-800NG pada pekerja di area Apron selama delapan jam kerja adalah 88.508 dB. Hal membuktikan pajanan kebisingan yang dihasilkan oleh armada tersebut telah melampaui NAB yang telah ditetapkan. Sehingga, diperlukan pengendalian pajanan kebisingan yang bersumber dari armada tersebut. 7. Hasil evaluasi manajemen risiko pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia (Check List) Hasil evaluasi manajemen risiko pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia (B777-300ER, B747-400, B737-800NG, B737300, B737-500, A330-300, A330-200) adalah: ü Kegiatan manajemen risiko pajanan kebisingan armada Garuda
Indonesia
belum
pernah
dilakukan
dalam
operasional penerbangan Garuda Indonesia, khususnya pada proses kerja Line Maintenace. ü Terdapat tujuh tipe armada yang Garuda Indonesia gunakan dalam operasional penerbangan maskapai tersebut yaitu B777-300ER, B747-400, B737-800NG, B737-300, B737500, A330-300, dan A330-200. Dari tujuh tipe tersebut, yang
perlu
untuk
mendapat
pengendalian
pajanan
kebisingan secara khusus adalah tipe B737-800NG karena tipe tersebut adalah tipe armada yang jumlahnya paling banyak dimiliki oleh Garuda Indonesia yaitu 64. Serta, frekuensi penerbangan adalah terbanyak baik untuk rute domestik maupun internasional dengan waktu transit hanya 45 menit non-stop.
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
ü Pengendalian secara Engineering, Administrative, dan PPE adalah tiga bentuk pengendalian yang diterapkan pada pengendalian risiko keselamatan operasional penerbangan. Namun,
secara
khusus
untuk
pengendalian
pajanan
kebisingan masih berpusat pada pengendalian PPE. b. Sosialisasi Risiko Pajanan Kebisingan Armada Garuda Indonesia Belum terdapat proses evaluasi risiko pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia pada pekerja Line Maintenance karena dibutuhkan sosialiasasi ataupun pelatihan yang bersifat cepat dan tepat guna untuk meningkat kapasitas dan kapabilitas kerja selama operasional penerbangan berlansung. Kesimpulan Output manajemen risiko pajanan kebisingan armada Garuda Indonesia adalah hasil formulasi dosis pajanan kebisingan dari tipe armada B737-800NG yakni 224.3% atau TWA 88.508 dBA. Tipe ini mendapat perhatian khusus karena telah dilakukan pengukuran pajanan kebisingan di area apron SHIA dan jumlah armada serta jumlah frekuensi terbanyak dibandingkan tipe armada lain. Armada tipe ini merupakan armada yang memiliki waktu transit tersingkat yakni 45 menit. Saran 1. Sumber Bising (Engineering Control): Garuda Indonesia dan GMF AA berkenan mempertimbangkan untuk mengawasi kembali pelaksanaan perawatan berkala Engine armada GA A330-200. Tipe perawatan yang dilakukan terdiri dari: -
A Check Interval: Setelah 50-200 jam terbang (flight hours) Ground Time: ≤ 24 jam
-
C Check Interval: Setelah 1.000-3.000 jam terbang (flight hours) Ground Time: 1-2 minggu
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
-
D Check Interval: 4-5 tahun Ground Time: 3-6 minggu
Pekerja: 2. (Education and Training) Garuda Indonesia dan GMF AA berkenan mempertimbangkan untuk Memberikan Edukasi dan Training kepada pekerja Garuda Indonesia dan GMF secara rutin dan lengkap selama proses kerja berlansung. Contoh: 1. HSE Induction Training, merupakan materi pengenalan aspek Health, Safety, dan Environment kepada para pekerja yang baru bergabung di Garuda Indonesia maupun GMF terkait penjelasan Identifikasi, Analisis, dan Penilaian Risiko pajanan kebisingan dalam operasi penerbangan (Sumber-Lingkungan-Pekerja/Manusia) 2. Workshop Kebisingan, merupakan penyelenggaraan program yang membahas isu-isu terkini terkait kebisingan di dunia aviasi. 3. Pelaporan dan pendokumentasian Hazard (Operatinal Hazard Report) dan Incident (Air Safety Report), akibat pajanan kebisingan sebagai akibat interaksi bahaya bising yang telah melebihi ambang batas yang ditetapkan selama proses kerja. 3. (Administrative Control) Garuda Indonesia dan GMF AA berkenan mempertimbangkan untuk Mengawasi dan memastikan kembali prosedur pelaksanaan aktivitas kerja sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan. Contoh: 1. Pemberian izin kerja (Permit To Work / PTW) hanya akan diberikan jika pekerja telah memahami secara tepat proses
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
pelaksanaan aktivitas kerja yang berhubungan dengan pajanan bahaya bising di operasional aviasi 4. (Personal Protective Equipment) Garuda Indonesia dan GMF AA berkenan mempertimbangkan untuk Mewajibkan dan memastikan penggunaan APD secara tepat kepada semua pekerja yang dalam proses kerjanya terpajan oleh kebisingan baik yang bersumber dari armada pesawat maupun sumber lainnya. Penggunaan jenis APD harus memperhatikan NRR (Noise Reduction Rate) yang tertera pada APD tersebut. Daftar Referensi Adiati, Ririn Restu dan Benno Rahardyan. (2007). Estimasi Kondisi Eksisting Sebagai Dasar Rancangan Eco Airport Bandar Udara Soekarno Hatta. http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2012/07/15308028-Ririn-RestuAdiati.pdf. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung: Bandung. Diunduh pada 27 September 2013, pukul 10.00 WIB Adisasmita, Sakti Adji. (2012). Level Of Service Analysis And Airport Terminal
Development. http://www.ijens.org/Vol_12_I_02/126302-8383-IJETIJENS.pdf. Department of Civil Engineering, University of Hasanuddin: Makassar. Diunduh pada 27 September 2013, pukul 10.00 WIB
Airbus. (2013). Aircraft Characteristics Airport and Maintenance Planning. http://www.airbus.com/fileadmin/media_gallery/files/tech_data/AC/AirbusAC-A330-Apr2013.pdf. Airbus: France. Diunduh pada 27 September 2013, pukul 18.00 WIB Airports Commision. (2013). Discussion Paper 05:Aviation Noise. https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file /223764/airports-commission-noise.pdf. Diunduh pada 26 September 2013, pukul 10.00 WIB
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
AirportWatch. (2011). Aircraft Noise: Time for a Rethink. http://www.aef.org.uk/downloads/Noise_Document.pdf. Airport Watch: UK. Diunduh pada 27 September 2013, pukul 10.00 WIB Basner, Mathias. (2012). Design for A US Field Study on the Effects of Aircraft Noise on Sleep. http://web.mit.edu/aeroastro/partner/reports/proj25/proj25bfinal.pdf. Massachusetts Institute of Technology: USA. Diunduh pada 19 Oktober 2013, pukul 11.00 WIB Basuki. (1985). Merancang Merencana Lapangan Terbang. Universitas Diponegoro: Semarang Bell, Randall. (2001). The Impact of Airport Noise on Residential Real Estate. http://www.eltoroairport.org/issues/AirportNoise.pdf. Diunduh pada 26 September 2013, pukul 10.00 WIB Bertetti, A.C., R. Martelli and M. Masoero. (2001). Low Noise Emission Rolling And Take-Off Procedures: Monitoring Of Courier Carriers For The Orio Al Serio Airport. http://www.icacommission.org/Proceedings/ICA2001Rome/6_03.pdf. Dipartimento di Energetica Politecnico di Torino: Italy. Diunduh pada 27 September 2013, pukul 10.00 WIB Boeing. (2009). 777-200LR/-300ER/-Freighter Airplane Characteristics for Airport Planning. http://www.boeing.com/assets/pdf/commercial/airports/acaps/777_2lr3er.pdf. Boeing: Seattle. diunduh pada 27 September 2013, pukul 18.00 WIB Boeing. (2009). 737Airplane Characteristis for Airport Planning. http://www.boeing.com/assets/pdf/commercial/airports/acaps/737.pdf. Boeing: Seattle. diunduh pada 27 September 2013, pukul 18.00 WIB
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013
Boeing. (2009). 747Airplane Characteristis for Airport Planning. http://www.boeing.com/assets/pdf/commercial/airports/acaps/747_4.pdf. Boeing: Seattle. diunduh pada 27 September 2013, pukul 18.00 WIB Boeing. (2005). Scaled 737 Drawings. http://www.boeing.com/assets/pdf/commercial/airports/acaps/737sec9.pdf. Boeing: Seattle. diunduh pada 27 September 2013, pukul 18.00 WIB C. Asensio, I. Pavón, M. Ruiz, R. Pagán, M. Recuero. (2009). Aircrafts’ taxi noise. Sound power level and directivity frequency band results. http://onlinepubs.trb.org/onlinepubs/acrp/Aircrafts_taxi%20noise.pdf. Diunduh pada 26 September 2013, pukul 10.00 WIB Chaeran, Mochamad. (2008). Kajian Kebisingan Akibat Aktivitas di Bandara (Studi Kasus Bandara Ahmad Yani Semarang). Universitas Diponegoro: Semarang Civil Aviation Authority. (2012). Noise Exposure Contours for Heathrow Airport 2011. http://www.heathrowairport.com/static/Heathrow_Noise/Downloads/PDF/ERCDReports-1201-Noise-Exposure-Contours-for-Heathrow-Airport-2011.pdf
Evaluasi pengendalian..., Siregar, Jhonwart Charmindo Agustian, FIK UI, 2013