JENIS DAN FLUKTUASI NYAMUK SERTA PENGARUH ANTINYAMUK Liquid Vaporizer TERHADAP NYAMUK YANG MENGHISAP DARAH PADA MALAM HARI DI DESA BABAKAN KECAMATAN DARMAGA
MOCHAMAD DWI SATRIYO B04104075
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
1
RINGKASAN MOCHAMAD DWI SATRIYO. Jenis dan Fluktuasi Nyamuk serta Pengaruh Antinyamuk Liquid Vaporizer Terhadap Nyamuk yang Menghisap Darah pada Malam Hari di Desa Babakan Kecamatan Darmaga. Dibimbing oleh Upik Kesumawati Hadi dan Sugiarto.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan fluktuasi nyamuk serta efek antinyamuk berbahan piretroid dalam liquid vaporizer (LV) terhadap nyamuk yang menghisap darah pada malam hari di Desa Babakan Kecamatan Darmaga. Penelitian ini menggunakan metode bare leg collection, yaitu penangkapan nyamuk menggunakan aspirator dengan umpan orang dalam rumah. Penangkapan dilakukan pada pukul 21.00-01.00 WIB di 14 rumah dan dilakukan setiap 3 kali seminggu dalam kurun waktu 3 minggu. Malam pertama penangkapan pada setiap minggunya merupakan masa pra perlakuan dan dilakukan pada semua rumah. Adapun malam kedua dan ketiga merupakan masa perlakuan. Nyamuk yang tertangkap kemudian ditusukkan pada jarum serta diberi kode sesuai lokasi dan waktu penangkapan untuk keperluan identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 1323 ekor nyamuk tertangkap yang terdiri atas lima spesies Culex (99,24%), dua spesies Aedes (0.61%), dan satu spesies Armigeres (0.15%). Spesies dominan adalah Culex quinquefasciatus (63.87%). Fluktuasi nyamuk menunjukkan puncaknya pada pukul 22.00-23.00 (26,68%) dan berangsur-angsur turun hingga penangkapan berakhir pukul 01.00 (24,94%). Di rumah yang dipasang antinyamuk LV menunjukkan jumlah nyamuk tertangkap lebih sedikit dibandingkan dengan rumah kontrol. Penurunan jumlah nyamuk tertangkap di rumah yang dipasang antinyamuk LV sebanyak 85,04%. Kata kunci
: Jenis nyamuk, fluktuasi nyamuk, antinyamuk (liquid vaporizer)
2
ABSTRACT The research was carried out to study the species and fluctuation of mosquito and the effect of pirethroid base Liquid Vaporizer anti-mosquito against blood sucking mosquitoes at night in Babakan Village Darmaga Sub District. The bare leg collection method was used in this research by using respirator. The collection was done between 21.00-01.00 in 14 houses, three times a week for three weeks. The first night of mosquito collection weekly was the pre treatment period, and was done in all houses. The second and third night of those collection were the treatment period. The collected mosquitoes were pinned for identification. The result showed that 1323 mosquitoes were collected and consisted of five Culex species (99,24%), two Aedes species (0.61%), and one Armigeres species (0.15%). The dominant species was Culex quinquefasciatus (63.87%). The fluctuation of the mosquitoes was peak betweens 22.00-23.00 (26,68%) and decreased gradually until the collection was end at 01.00 (24,94%). The houses treated by LV antimosquitoes showed less in number of mosquitoes collected than in the control houses. The reduction of collected mosquitoes in the treated houses was 85,04%. Keyword: mosquito, mosquito fluctuation, antimosquito (liquid vaporizer).
3
JENIS DAN FLUKTUASI NYAMUK SERTA PENGARUH ANTINYAMUK Liquid Vaporizer TERHADAP NYAMUK YANG MENGHISAP DARAH PADA MALAM HARI DI DESA BABAKAN KECAMATAN DARMAGA
Oleh :
MOCHAMAD DWI SATRIYO B04104075
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
4
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Jenis dan Fluktuasi Nyamuk serta Pengaruh Antinyamuk Liquid Vaporizer Terhadap Nyamuk yang Menghisap Darah pada Malam Hari di Desa Babakan Kecamatan Darmaga
Nama
: Mochamad Dwi Satriyo
NRP
: B04104075
Menyetujui, Pembimbing Pertama
Pembimbing Kedua
Dr. Drh. Hj. Upik Kesumawati Hadi, MS. NIP. 131 415 083
Drh. Sugiarto
Mengetahui, Wakil Dekan FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP: 131 669 942
Tanggal lulus
: 5
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Jenis dan Fluktuasi
Nyamuk
serta
Pengaruh
Antinyamuk
Liquid
Vaporizer
Terhadap Nyamuk yang Menghisap Darah pada Malam Hari di Desa Babakan Kecamatan Darmaga” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi. Bogor, Januari 2009
Mochamad Dwi Satriyo NRP B04104075
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Oktober 1986 di Kotamadya Magelang, Jawa Tengah sebagai anak ke-2 dari 2 bersaudara pasangan Bapak H. Abdul Djalal Mas’Udi, ST. dan Ibu Hj. Sumini. Pendidikan
taman
kanak-kanak
diselesaikan di Kab. Wonosobo.
hingga
sekolah
menengah
atas
Penulis memulai pendidikan di TK Pertiwi
Selomerto pada tahun 1991. Tahun 1992 penulis masuk ke SD N 6 Wonosobo dan lulus tahun 1998, kemudian penulis melanjutkan ke SLTP N 2 Wonosobo dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU N 2 Wonosobo dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa FKH-IPB penulis aktif berorganisasi sebagai Kepala Departemen Kebijakan Publik Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (PB IMAKAHI) tahun 2006 - 2008, Ketua Ikatan Mahasiswa Wonosobo 2007, Kepala Departemen Kebijakan Publik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pembaharuan tahun 2006 - 2007, dan Ketua BEM “Harmoni” FKH IPB tahun 2007 - 2008. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat nasional, yaitu pengabdian masyarakat di Bali pada tahun 2006, di Sulawesi Selatan pada tahun 2007, serta di Sumatera Barat pada tahun 2008.
7
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Jenis dan
Fluktuasi Nyamuk
Serta
Pengaruh
Antinyamuk
Liquid
Vaporizer
Terhadap Nyamuk Yang Menghisap Darah Pada Malam Hari Di Desa Babakan Kecamatan Darmaga”.
Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih secara tulus kepada : 1. Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS., dan drh. Sugiarto selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, koreksi, saran, dan masukan dalam penelitian hingga penulisan skripsi ini. 2. Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini,MS selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan
bimbingan,
arahan,
dan
masukan
dalam
menyelesaikan skripsi ini. 3. Kedua orang tua (H. Abdul Djalal Mas Udi dan Hj. Sumini), kakakku Mochamad Wahyu Agustina, serta keluarga besar KH.Abdul Kholiq dan Pono Mudjiono yang sangat penulis cintai dan hormati. 4. Utami Kemala Sari dan Keluarga H. Erif Kemal Syarif yang banyak memberikan motivasi. 5. Prof. Dr. drh. Singgih HS., Dr.drh. Susi Soviana, Dr.drh. FX. Koesharto, Dr. drh. Ahmad Arif Amien yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan. 6. Bapak Yunus, Bapak Heri, Bapak Opik, Ibu Juju atas bantuan yang diberikan sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar. 7. Dr. drh. Hera Maheswari dan drh. R.P. Agus Lelana, SpMp yang banyak memberikan motivasi selama ini. 8. Pengurus BEM Harmoni FKH IPB dan adik-adikku di Ikatan Mahasiswa Wonosobo atas segala dukungannya dan nuansa kekeluargaan selama ini.
8
9. Rekan-rekanku di Toko My Chick (Muhan, Kuga, Sugi) dan FKH-41 (Fuad, Dhani, Budi, Nanang, Eki, Uloh, Faisal, Bama, Dwi, Martian, Andro, dll) untuk kebersamaan dan bantuannya. 10. Teman kost Wisma Rizki dan Wisma Persia. 11. Semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan seluruh pihak yang membutuhkan
Bogor, Januari 2009
Mochamad Dwi Satriyo
9
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................. 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fauna nyamuk di Indonesia ................................................................. 3 2.2 Morfologi dan klasifikasi nyamuk ....................................................... 4 2.3 Penyebaran geografis ........................................................................... 6 2.4 Siklus hidup .......................................................................................... 6 2.5 Habitat dan perilaku .............................................................................. 9 2.6 Nyamuk sebagai vektor penyakit ......................................................... 10 2.7 Pengendalian ........................................................................................ 13 2.8 Piretroid ................................................................................................ 15 3 MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan waktu ................................................................................. 17 3.2 Antinyamuk yang digunakan ................................................................ 18 3.3 Metode penelitian ................................................................................. 18 3.4 Identifikasi dan pengamatan nyamuk.................................................... 19 3.5 Analisis dan penyajian data................................................................... 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-jenis dan fluktuasi nyamuk ......................................................... 21 4.2 Pengaruh antinyamuk liquid vaporizer (LV) ....................................... 25 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 27 5.2 Saran ..................................................................................................... 27 6 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 28 7 LAMPIRAN ................................................................................................. 31
10
DAFTAR TABEL
No
Teks
Halaman
1 Jenis – jenis nyamuk yang tertangkap dengan umpan badan dari jam 21.00- 01.00 di Kampung Cangkurawok, Desa Babakan, Kecamatan Darmaga ........................................................... 21 2 Jenis nyamuk tertangkap setiap jam penangkapan (ekor) ............................. 23 3 Fluktuasi nyamuk tertangkap pada masa pra perlakuan dan perlakuan ........ 25
11
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
Halaman
1 Siklus hidup nyamuk (Anonimus 2008a) .....................................................
7
2 A:Telur nyamuk (Anonimus 2008b), B: Larva nyamuk (Anonimous 2008c), C: Pupa nyamuk (Anonimous 2008d), D: Nyamuk dewasa (Anonimous 2008e) ..................................................... 9 3 Rumus kimia piretrin .................................................................................... 15 4 Tempat perindukan nyamuk yang dijumpai di lokasi penelitian ................. 17 5 Jumlah nyamuk tertangkap berdasarkan waktu ............................................ 24
12
DAFTAR LAMPIRAN
No
Teks
Halaman
1 Jumlah nyamuk tertangkap pada minggu I .. ................................................. 32 2 Jumlah nyamuk tertangkap pada minggu II . ..................................................33 3 Jumlah nyamuk tertangkap pada minggu III ..................................................34 4 Penghitungan rumus reduksi ........................ ................................................. 35 5 Tabel dan gambar jumlah nyamuk tertangkap setiap minggunya (ekor) ….. 37 6 Tabel dan gambar jumlah nyamuk tertangkap menurut waktu penangkapan (ekor) ..................................... ................................................ 38 7 Tabel dan gambar jumlah nyamuk tertangkap dari setiap kondisi rumah pada masa perlakuan (ekor) ............. ………………………………. 39
13
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyamuk merupakan satu di antara serangga yang sangat penting dalam dunia kesehatan. Nyamuk termasuk dalam filum Arthropoda, ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga sub famili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres,) dan Anophelinae (Anopheles). Nyamuk merupakan ektoparasit pengganggu yang merugikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Hal ini dikarenakan kemampuannya sebagai vektor
berbagai penyakit. Nyamuk tergolong serangga yang cukup tua di alam dan telah mengalami proses evolusi serta seleksi alam yang panjang sehingga menjadikan insekta ini sangat adaptif tinggal bersama manusia (Hadi & Koesharto, 2006). Sejak dahulu, kelas Insecta memiliki anggota dengan jenis terbanyak (>900.000) dalam filum Arthropoda (Hendrix & Robinson, 2006). Di dunia terdapat 3100 macam spesies nyamuk, di antaranya 100 spesies merupakan vektor penyakit pada manusia (James & Harwood, 1979). Menurut Foster dan Walker (2002) kini nyamuk terdiri atas 3200 spesies, sebagian besar ditemukan di daerah hutan hujan tropis yang faunanya sangat beranekaragam dibandingkan fauna di daerah beriklim sedang. Penyebaran nyamuk merata di seluruh dunia, sehingga menimbulkan permasalahan global. Indonesia merupakan daerah tropis dan menjadi satu di antara tempat perkembangan beberapa jenis nyamuk yang membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Pada manusia, nyamuk Anopheles berperan sebagai vektor penyakit malaria, Culex sebagai vektor Japanese enchepalitis, Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue, serta beberapa genus nyamuk yaitu Culex, Aedes, Mansonia, dan Anopheles dapat juga menjadi vektor penyakit filariasis (DEPKES, 1999). Nyamuk juga menularkan beberapa penyakit pada hewan. Nyamuk Culex dan Armigeres berperan sebagai vektor Dirofilaria immitis (cacing jantung pada anjing) (Hadi & Koesharto, 2006).
14
Kampung Cangkurawok merupakan suatu wilayah di Desa Babakan, Kecamatan
Dramaga,
Kabupaten
Bogor.
Kondisi
topografi
kampung
Cangkurawok berupa dataran dengan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, persawahan, peternakan, maupun tanaman palawija. Di kampung Cangkurawok juga terdapat aliran sungai Ciapus. Keadaan lingkungan ini sangat memungkinkan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Banyaknya faktor yang dapat memacu berkembangbiaknya nyamuk di daerah tersebut menuntut masyarakat sekitar untuk lebih waspada terhadap timbulnya penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Usaha masyarakat dengan pengendalian lingkungan terhadap perkembangbiakan nyamuk merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan. Upaya pengendalian merupakan suatu usaha menekan jumlah serangga hama dari populasi agar tidak merugikan masyarakat. (Sigit, 2006).
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan fluktuasi nyamuk serta efek antinyamuk liquid vaporizer ( LV ) terhadap nyamuk yang menghisap darah pada malam hari di Desa Babakan Kecamatan Darmaga.
15
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fauna nyamuk di Indonesia Indonesia memiliki keragaman jenis nyamuk. Terdapat 457 jenis nyamuk yang ditemukan di Indonesia, yaitu 80 spesies Anopheles, 82 spesies Culex, 125 spesies Aedes, dan 8 spesies Mansonia. Adapun 162 spesies lainnya merupakan anggota dari genera yang tidak penting dalam penularan penyakit. (DEPKES, 1987).
Di Indonesia terdapat empat penyakit penting dengan vektor berupa
nyamuk yang menjadi perhatian khusus Departemen Kesehatan. Empat penyakit tersebut adalah malaria, demam berdarah dengue, Japanese enchepalitis (radang otak) dan filariasis (DEPKES, 1999). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui keberagaman spesies nyamuk yang terdapat di Indonesia. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Munir (1992) di desa Perigi Baru, Tangerang yang melaporkan terdapat lima belas spesies nyamuk yang terdiri atas tujuh spesies Culex, enam spesies Anopheles, satu spesies Armigeres, dan satu spesies Mansonia. Di kabupaten Aceh Besar terdapat delapan spesies Culex, lima spesies Anopheles, tiga spesies Mansonia, dan satu spesies Aedes (Zulfi, 1994). Di Desa Segara Kembang terdapat satu spesies Aedes, delapan spesies Anopheles, tujuh spesies Culex, satu spesies Mansonia, dan dua spesies Armigeres (Taviv, 2005). Di sekitar kampus IPB Dramaga ditemukan 34 spesies dari sepuluh genus, yaitu tiga belas spesies Culex, delapan spesies Anopheles, dua spesies Armigeres, satu spesies Mansonia, satu spesies Toxorhynchites, satu spesies Malaya, satu spesies Topomyia, satu spesies Tripteroides, dan satu spesies Uranotaenia (Andiyatu, 2005). Keragaman spesies nyamuk yang ditemukan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan suatu wilayah yang bagus untuk perkembangbiakan nyamuk. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki permasalahan kompleks berkaitan dengan penyakit yang dapat ditularkan melalui nyamuk.
16
2.2 Morfologi dan klasifikasi nyamuk Nyamuk merupakan serangga bertubuh kecil dengan sepasang sayap yang memungkinkan untuk terbang. Dalam bahasa Inggris, nyamuk dikenal sebagai "Mosquito", berasal dari sebuah kata dalam bahasa Spanyol yang berarti lalat kecil. Penggunaan kata Mosquito bermula sejak tahun 1583. Di Britania Raya nyamuk dikenal sebagai gnats (Anonimous 2008f). Nyamuk termasuk dalam ordo Diptera dengan tiga kelompok sub ordo, yaitu Cylorrhapha, Brachycera dan Nematocera. (Freeman, 1973). Ciri utama serangga Nematocera adalah memiliki tubuh yang kecil, mempunyai antena berbentuk filiform dengan delapan ruas, memiliki maksilari palpi yang terdiri dari empat – lima ruas, serta larva dan pupanya bersifat akuatik (Hadi, 2000). Pada perkembangannya, nyamuk memiliki metamorfosis sempurna (holometabola) dengan empat tahap perkembangan yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Menurut Service (1986) nyamuk diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Fillum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Diptera
Famili
: Culicidae Nyamuk termasuk ke dalam famili Culicidae dengan 3 subfamili, yaitu
Toxorhynchitinae (Toxorhiynchites sp.), Anophelinae (Anopheles sp.), dan Culicinae (Culex sp., Aedes sp., Mansonia sp., Armigeres sp.). Di seluruh dunia terdapat 34 genus nyamuk dengan sekitar 3100 spesies (Hadi, 2000). Contoh subfamili Toxorhyncitinae adalah nyamuk Toxorhyncites sp. yang memiliki ukuran sangat besar, sehingga sering disebut nyamuk gajah.
Sisik
nyamuk Toxorhyncites berwarna metalik dan memiliki probosis yang melengkung ke bawah.
Toxorhyncites termasuk golongan nyamuk diurnal. Telur
Toxorhyncites sering ditemukan menempel pada daun ataupun benda yang tergenang di dalam air. Larva Toxorhyncites bersifat predator terhadap larva nyamuk lain ataupun hewan air yang lebih kecil darinya.
Sifat larva yang
predator ini telah dimanfaatkan beberapa negara sebagai usaha pemberantasan
17
nyamuk. Nyamuk Toxorhyncites jantan maupun betina dewasa tidak menghisap darah.
Nyamuk
Toxorhyncites
menghisap
cairan
tumbuhan
untuk
perkembangannya (Hadi, 2000). Golongan subfamili Culicinae mudah ditemukan di lingkungan sekitar tempat tinggal, bahkan ditemukan pula di kawasan terpencil seperti hutan dan gunung. Secara anatomis, nyamuk ini memiliki skutelum yang trilobus. Nyamuk betina memiliki maksilari palpi yang lebih pendek daripada separuh panjang probosis.
Abdomen nyamuk tertutup oleh sisik–sisik yang kuat dan lebar
mendatar (Hadi & Koesharto, 2006). Subfamili Anophelinae memiliki satu genus utama yaitu Anopheles. Probosis dan maksilari nyamuk Anopheles sama panjang dengan bentuk skutelum yang bulat dan tidak berlobus. Abdomennya tidak bersisik dan memiliki kaki yang langsing. Anopheles memiliki 300 jenis dan subjenis yang telah diberi nama (Levine, 1994). Tubuh nyamuk memiliki tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Kepala berbentuk bulat dan menyatu dengan toraks. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena, sepasang palpi, dan sebuah probosis. Pada betina, probosis lebih panjang yang disesuaikan dengan fungsinya untuk menghisap darah. Bagian ini terdiri atas labium pada bagian bawah yang memiliki saluran, pada bagian atas terdapat hipofarings, labrum epifarings, sepasang mandibula yang berfungsi sebagai penyobek, serta maksila yang bergerigi. Antena terdapat pada kepala bagian depan dan terletak diantara kedua mata majemuk, berukuran panjang dan langsing terdiri atas 15 segmen. Antena nyamuk jantan memiliki banyak bulu, disebut antena plumose, sedangkan pada yang betina sedikit berbulu, disebut antena pilose. Nyamuk betina sub famili Culicinae memiliki maksilari palpi yang lebih pendek dengan panjang setengah dari panjang probosis. Pada Anophelinae, panjang palpi pada umumnya sama dengan panjang probosis serta akan membentuk sudut 45o dengan permukaan induk semang (Levine, 1994). Sayap pada beberapa spesies seperti Culex dan Aedes dapat dipergunakan untuk menentukan jenis kelamin nyamuk. Pola venasi sayap berperan penting
18
dalam menentukan mekanik gerakan sayap dalam menghasilkan getaran yang berbeda antara nyamuk jantan dan betina. Perbedaan sayap jantan dan betina berkaitan dengan komunikasi mekanik berupa suara yang dihasilkan oleh kepakan sayap (Hadi, 2000). Warna, pola sisik dan rambut pada toraks berguna dalam menentukan genus dan spesies. Bagian posterior terdapat skutelum yang bentuknya membulat pada Anophelinae dan berbentuk trilobus pada Culicinae. Abdomen berbentuk silindris dan memanjang dengan 10 segmen. Hanya segmen 1 hingga 8 yang terlihat, sedangkan segmen 9 dan 10 merupakan bagian yang dimodifikasi menjadi alat kelamin jantan atau betina. Abdomen yang memiliki bentuk ramping ini akan berubah seperti bentuk balon berwarna merah setelah betina menghisap darah (Service, 1986). Bagian posterior abdomen memiliki 2 sersi kaudal yang berukuran kecil pada nyamuk betina, sedangkan yang jantan memiliki organ seksual yang disebut hipopigium (Hadi & Koesharto, 2006)
2.3 Penyebaran geografis Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia mulai dari daerah kutub sampai ke daerah tropika, dapat dijumpai pada ketinggian 5500 meter di atas permukaan laut sampai pada kedalaman 1250 meter di bawah permukaan tanah di daerah pertambangan (Service, 1986). Beberapa jenis nyamuk bersifat kosmopolit dan mudah ditemukan seperti Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti. Tetapi terdapat juga beberapa nyamuk yang terbatas di daerah tertentu seperti Haemogogus dan Sabethes ditemukan hanya di Amerika Tengah dan Selatan, sedangkan Psorophora hanya ditemukan di Amerika Utara (Hadi & Koesharto, 2006).
2.4 Siklus hidup Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dengan empat tahap dalam siklus hidupnya yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa (Gambar 1). Siklus hidup dapat secara lengkap dilalui dalam waktu satu minggu atau lebih tergantung temperatur, makanan, spesies, lingkungan, dan faktor
19
lainnya. Telur, larva dan pupa secara umum memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya.
Meskipun demikian, terdapat spesies seperti Aedes aegypti yang
telurnya dapat bertahan hidup lama tanpa air, meskipun harus dalam lingkungan yang lembab (Hadi, 2000). Kebiasaan meletakkan telur berbeda – beda pada setiap spesies. Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya di permukaan air satu persatu atau bergerombolan tetapi saling lepas. Telur Anopheles memiliki pelampung dari khorion yang berlekuk–lekuk dari sebelah lateral. Nyamuk Culex meletakkan telur di atas permukaan air secara bergerombol dan bersatu berbentuk rakit sehingga mampu mengapung. Nyamuk Aedes meletakkan telur pada benda yang terapung di atas air atau menempel pada permukaan benda tersebut. Nyamuk Mansonia menempelkan telurnya pada tumbuhan–tumbuhan air dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga (Hadi & Koesharto, 2006) Telur (Gambar 2 A) akan menetas setelah tiga hari pada suhu 300C dan dapat mencapai tujuh hari pada suhu 160C (Hadi & Koesharto, 2006). Nyamuk yang belum pernah bertelur disebut nulliparous (DEPKES, 1987).
dewasa
barisan telur (diletakkan di atas permukaan air)
permukaan air
pupa
larva
Gambar 1 Siklus hidup nyamuk (Anonimous 2008a)
20
Larva nyamuk (Gambar 2 B) biasanya terdapat dalam berbagai tempat akuatik seperti kolam, wadah-wadah buatan, lubang-lubang pohon dan pada genangan lainnya (Borror et al. 1992, Hadi & Koesharto, 2006). Larva terdiri atas 3 bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Tubuh larva tertutup oleh rambut–rambut keras yang panjang (tufts of bristles). Kepala larva lebar dan datar, terdapat antena pada ujung anteriornya. Sepasang mata terdapat pada bagian lateral yang dekat dengan posterior kepala, serta terdapat mulut pada bagian anteroventral. Bagian mulut berbentuk seperti sikat yang pada beberapa spesies berfungsi untuk mencengkram mangsanya. Bagian toraks larva lebih lebar daripada bagian abdomen. Struktur dan jumlah rambut pada kepala dan toraks berfungsi dalam identifikasi spesies. Abdomen berbentuk lebih panjang dan silindris serta terdiri dari 9 segmen (Hadi & Koesharto, 2006). Saluran pernafasan larva nyamuk atau sifon memiliki bentuk yang beragam.
Larva Culex memiliki sifon yang tumbuh langsing, pekten yang
berbentuk sempurna dan umumnya mempunyai lebih dari satu kelompok rambut (hair tuft). Pada Aedes, bentuk sifon tidak langsing dan hanya memiliki satu pasang hair tuft serta pekten yang tumbuh tidak sempurna. Larva Mansonia memiliki sifon yang berbentuk lancip disesuaikan untuk menusuk tumbuhan air ketika mendapatkan oksigen. Larva Anopheles memiliki pekten dan sepasang spirakel pada ujung abdomen (Hadi, 2000). Larva nyamuk bersifat akuatik dan mengalami 4 kali pergantian kulit (instar) yang selanjutnya akan menjadi pupa (DEPKES, 1987). Stadium larva sangat dipengaruhi oleh adanya makanan dan suhu. Stadium larva berkisar selama 7 hari pada suhu 270C (French et al., 1984). Stadium larva dapat juga terjadi selama 4 – 8 hari pada suhu 280C dengan pemberian ekstrak hati dan vitamin B komplek (De Meillon, 1989). Pupa (Gambar 2 C) berbentuk oval dengan ujung abdomen seperti ekor dan memiliki sepasang tabung udara. Stadium pupa berlangsung 2-3 hari pada suhu normal, tetapi dapat diperpanjang hingga 10 hari pada suhu rendah, bahkan pupa tidak berkembang pada suhu dibawah 100C. Pada saat menetas (eksklosi),
21
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 2 A: Telur nyamuk (Anonimous 2008b), B: Larva nyamuk (Anonimous 2008c), C: Pupa nyamuk (Anonimous 2008d), D: Nyamuk dewasa (Anonimous 2008e) kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan kegiatan bentuk dewasa (Gambar 2 D) yang melepaskan diri (Hadi & Koesharto, 2006).
2.5 Habitat dan perilaku Nyamuk merupakan binatang berdarah dingin. Proses metabolisme dan perkembangannya tergantung pada temperatur, makanan, spesies, lingkungan, dan faktor lainnya. Suhu rata–rata untuk perkembangan nyamuk adalah 250C sampai 270C (Russel et al., 1963). Beberapa serangga bersifat antropofilik, zoofilik, antropozoofilik, dan hidup bebas di alam. Spesies antropofilik adalah serangga yang aktivitas kehidupannya sangat menyukai berdekatan dengan manusia. Spesies zoopilik adalah kelompok serangga yang lebih menyukai hidup berdampingan dengan hewan atau ternak. Antropozoofilik adalah serangga yang dapat hidup dalam lingkungan permukiman ataupun dengan hewan. Spesies yang hidup bebas di alam umumnya hidup dari bahan yang tersedia di alam seperti cairan tumbuhan, sisa kotoran dari tumbuhan dan hewan (Hadi & Koesharto, 2006). Nyamuk jantan tidak menghisap darah. Nyamuk betina menghisap darah untuk nutrisi telur–telurnya sehingga dapat ditetaskan dan berkembang biak. Pemilihan tempat peletakan telur yang akan menetas dilakukan oleh nyamuk betina dewasa. Tempat berkembang biak berbeda–beda setiap spesies. Culex menyukai air dengan tingkat polusi tinggi (kotor), Aedes menyukai genangan air yang bersih, sedangkan Anopheles menyukai air yang mengalir secara perlahan. Faktor pencahayaan, lama genangan air, jenis tumbuhan air, serta jenis–jenis
22
binatang air juga sangat mempengaruhi perkembangan spesies nyamuk pada stadium perkembangan pra dewasa. Beberapa ikan dapat berlaku sebagai predator larva nyamuk seperti ikan Poecilia reticulate dan Panchax panchax (ikan kepala timah) (Hadi & Koesharto, 2006). Nyamuk secara alami memiliki kebiasaan terbang untuk kelangsungan hidupnya. Keadaan ini mengakibatkan kecepatan angin sangat mempengaruhi aktifitas terbang nyamuk. Kecepatan angin 11-14 meter per detik atau 25-31 mil per jam akan menghambat penerbangan nyamuk secara langsung. Jauhnya jarak terbang berbeda antar spesies.
Nyamuk Anopheles memiliki jarak terbang
maksimum 1-3 mil dan pada umumnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina memiliki jarak terbang 50-500 meter. Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina juga dilaporkan mampu terbang dengan mudah dan cepat dalam mencari tempat perindukan di seluruh daerah yang diteliti di Singapura dengan radius 320 meter. Keadaan lingkungan tempat tinggal manusia yang cenderung padat dan kotor dengan banyaknya genangan air menjadikan nyamuk mudah berkembang biak, sehingga populasi nyamuk cenderung tiggi (Hadi & Koesharto, 2006).
2.6 Nyamuk sebagai vektor penyakit Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk di antaranya adalah Malaria, filariasis, chikungunya, japanese enchepalitis, dan demam berdarah dengue. Seekor nyamuk dapat termasuk dalam kriteria vektor penyakit pada manusia apabila memenuhi beberapa syarat tertentu. Syarat tersebut antara lain umur nyamuk, kepadatan, adanya kontak dengan manusia, sensitifitas terhadap agen, dan ada sumber penularannya.
Umur nyamuk harus cukup lama untuk bisa
menjadi vektor sehingga parasit bisa menyelesaikan siklus hidupnya di dalam tubuh nyamuk. Sebagai contoh untuk virus dengue pada Aedes aegypti akan berkembang dalam 8 – 10 hari, Wuchereria bancrofti pada Anopheles vagus selama 12 hari, dan larva Plasmodium vivax pada Anopheles barbirostris selama 7 hari.
Untuk menularkan agen penyebab penyakit, nyamuk harus melakukan
kontak langsung dengan cara menggigit (DEPKES, 1987).
23
Kontak antara manusia dengan nyamuk terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Waktu untuk melakukan kontak antara nyamuk–hospes ini dipengaruhi oleh sifat dan perilaku nyamuk tersebut. Terdapat nyamuk dengan kebiasaan menggigit malam hari (nokturnal), ada pula nyamuk dengan kebiasaan menggigit pada pagi dan sore hari (diurnal). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan apakah seekor nyamuk bisa menjadi vektor atau tidak. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan pada kerentanan nyamuk untuk menjadi vektor suatu penyakit. Pertama adalah jumlah parasit yang terdapat di dalam tubuh nyamuk, bila terlalu sedikit, maka sistem imun nyamuk akan dapat membunuh parasit tersebut. Jumlah parasit yang terlalu banyak dalam tubuh nyamuk dapat menyebabkan kematian pada nyamuk tersebut.
Kedua adalah
kerentanan nyamuk parasit dengan kekhususan tersendiri (host specific). Misalnya malaria pada burung (P. relictum) ditularkan oleh nyamuk Culex, malaria pada ayam (P. gallinaceum) oleh nyamuk Aedes, dan malaria pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles (DEPKES, 1999). Malaria pada manusia merupakan penyakit berbahaya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Setiap tahun di daerah tropis dan subtropis terdapat 300-500 juta orang terkena penyakit malaria dengan tingkat mortalitas sekitar satu juta orang. Sebagian besar yang terjangkit penyakit malaria adalah anak–anak, turis, pengungsi, wanita hamil, atau pekerja dengan kekebalan tubuh rendah yang berada di daerah endemis malaria (WHO, 2000). Di Indonesia, salah satu daerah endemik malaria adalah Papua. Penyakit ini merupakan satu dari sepuluh penyakit utama penyebab kematian pada manusia. Dinas Kesehatan provinsi Papua juga menyebutkan bahwa beberapa obat seperti cloroquin, fansidar (SP), dan kina sudah resisten terhadap malaria. Jika dipetakan secara nasional, terdapat 424 kabupaten dan kota dengan faktor alamnya
yang
memungkinkan
terjadinya
kasus
malaria.
Maraknya penyakit tropis ini cukup berdampak pada kesehatan dunia. Saat ini sekitar 100 negara Asia, Amerika Latin, dan Afrika memiliki daerah endemik malaria. Dalam peta malaria terbaru dalam kurun 40 tahun terakhir (khususnya kawasan Asia) sekitar 2,37 miliar penduduk hidup di tempat perkembangbiakan
24
nyamuk Anopheles.
Disebutkan juga, hanya berselang 30 detik satu anak
meninggal akibat malaria. Malaria merupakan satu dari dua penyakit tropis yang selama ini menjangkiti satu miliar penduduk dunia selain tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan penyakit tropis yang juga berbahaya. Jumlah pasien dari penyakit malaria dan tuberkulosis setara dengan seperenam jumlah populasi manusia saat ini (Anonimous 2008f). Penyakit lain yang berbahaya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk adalah demam berdarah dengue (DBD) dan enchepalitis.
DBD merupakan
penyakit infeksi oleh virus dengue dan termasuk Arthropod Borne Virus . Vektor penyakit ini adalah nyamuk Aedes.
Andiyatu (2005) melaporkan di sekitar
kampus IPB Darmaga, Aedes aegypti dan Aedes albopictus memperlihatkan dua puncak jam penangkapan. Aedes albopictus memiliki puncak aktivitas pada pukul 16.00-18.00 dan 08.00-09.00, sedangkan Aedes aegypti paling banyak beraktivitas pada pukul 18.00-20.00 dan 06.00-08.00. Wabah DBD pertama kali pada tahun 1780 yang terjadi secara bersamaan di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Wabah DBD terjadi kembali pada tahun 1950 di Asia Tenggara. Hingga tahun 1975 demam berdarah menjadi penyebab kematian utama yang terjadi pada anak–anak di Asia Tenggara (Womack, 1993). Enchepalitis atau biasa disebut radang otak ditularkan oleh nyamuk Culex dan Anopheles. Penyakit ini tersebar di seluruh belahan dunia. Ada berbagai nama penyakit Enchepalitis, di antaranya adalah Japanese Enchepalitis (JE) yang terjadi di Jepang dan kawasan Asia, Eastern Equine Enchepalitis di Michigan (USA), California Enchepalitis di Kalifornia (USA), ataupun Venezulean Equine Enchepalitis yang terjadi di kawasan Amerika Selatan yang menyerang kuda dan manusia. JE virus (JEV) adalah salah satu penyebab utama penyakit enchepalitis dengan kejadian 35.000-50.000 setiap tahunnya (Bowman et al., 2003). Penyakit penting lain yang ditularkan oleh nyamuk adalah filariasis. Filariasis disebabkan adanya infeksi cacing filaria pada saluran limfatik, sedangkan mikrofilarianya terdapat dalam darah. Filariasis tersebar hampir di seluruh dunia.
Terdapat tiga spesies penyebab filariasis yaitu : Wuchereria
25
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Di Indonesia telah teridentifikasi sebanyak 23 spesies nyamuk dari 5 genus sebagai vektor penyakit filariasis yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres. Mansonia merupakan vektor Brugia malayi tipe sub periodic nocturnal, Anopheles merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan.
Sementara Anopheles barbirostris
merupakan vektor Brugia malayi (Kusnanto & Tomar, 2007). Pada tahun 1999 kasus filariasis di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 1721 kasus, tahun 2000 sebanyak 6154 kasus yang tersebar di 26 propinsi. Data ini dilaporkan oleh 42% puskesmas dari 7221 puskesmas (DEPKES, 2000). Berdasar survei darah jari pada tahun 2002-2005, jumlah penderita filariasis terbanyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera. Data tersebut menggambarkan bahwa Kalimantan dan Sumatera merupakan daerah endemis filariasis (Kusnanto & Tomar, 2007). Selain sebagai vektor penyakit, nyamuk juga menyerang binatang dan hewan ternak yang dapat menyebabkan kehilangan darah (blood loss), iritasi, dan alergi (Mullen & Durden, 2002).
2.7 Pengendalian Upaya pengendalian nyamuk sebagai serangga pengganggu dan vektor penyakit sangat tergantung pada sifat–sifat nyamuk, perilaku manusia, serta kondisi alam. Pada pengendalian nyamuk ada beberapa hal yang perlu dilakukan seperti pemetaan jenis–jenis nyamuk yang berada di suatu daerah, pemonitoran populasi nyamuk secara berkelanjutan, pengembangan program pengendalian nyamuk dengan cara kimia maupun non kimia, dan penyuluhan kepada masyarakat (Hadi dan Koesharto, 2006). Adapun prinsip dasar dalam pengendalian vektor adalah pengendalian vektor harus menerapkan bermacam – macam cara pengendalian agar vektor tetap berada pada garis batas yang tidak merugikan atau membahayakan. Pengendalian merupakan suatu usaha untuk menekan serangga hama dari populasi yang merugikan menjadi tidak menimbulkan masalah lagi (Sigit, 2006). Secara umum pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengendalian kimiawi dan pengendalian non kimiawi.
Pengendalian
26
kimiawi
terhadap
nyamuk
dilakukan
dengan
menggunakan
insektisida.
Insektisida berasal dari kata insect, yang berarti serangga dan –cide yang berarti membunuh. Insektisida mengendalikan serangga dengan cara mengganggu proses fisiologis tubuhnya. Berdasarkan cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga (mode of entry), insektisida disebut sebagai racun kontak, racun pencernaan, dan racun pernafasan. Insektisida dikenal sebagai racun kontak apabila diaplikasikan akan bereaksi langsung menembus integument serangga (kutikula), trakhea, atau kelenjar sensorik dan organ lain yang berhubungan dengan kutikula. Insektisida dikenal sebagai racun perut apabila masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pencernaan. Insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pernafasan dikenal dengan racun pernafasan.
Berdasar cara kerjanya
(mode of action) insektisida terbagi dalam lima mekanisme, yaitu dengan mengganggu sistem saraf, penghambat produksi energy, mengganggu sistem endokrin, penghambat produksi kutikula, dan mengganggu keseimbangan air. Jenis insektisida yang sering digunakan antara lain piretroid, inorganik, organoklorin,
organofosfor,
karbamat,
neonikotinoid,
pirol,
avermektin,
fenilpirasol, mikrobial, organofluorin, fumigan, repelen, zat pengatur tumbuh serangga, dan sinergis (Wirawan, 2006). Untuk keberhasilan dan efektifitas penggunaan jenis insektisida tersebut maka dilakukan formulasi insektisida.
Bentuk formulasi di antaranya adalah
Emulsifiable concentrates, Suspension concentrate, Soluble liquid (mudah larut dalam air), Wettable powder, Oil miscible concentrate, Ultra low volume, granul (untuk hama berhabitat di tanah), umpan, Fumigan (untuk gudang), Capsule suspension, Aerosol, penguap elektrik (Vaporizer, liquid vaporizer, mat vaporizer), antinyamuk bakar (Mosquito coil), dan Lotion (Wirawan, 2006). Pengendalian non kimiawi dilakukan dengan pengelolaan lingkungan sehingga menjadi tidak sesuai lagi bagi perkembangan serangga tanpa menggunakan bahan kimia. Berbagai upaya yang dapat dilakukan antara lain memodifikasi lingkungan, manipulasi lingkungan, serta memanipulasi tempat tinggal atau mengubah tingkah laku manusia. Modifikasi lingkungan merupakan kegiatan mengubah fisik lingkungan secara permanen agar tempat perindukan
27
nyamuk hilang. Kegiatan yang sering dilakukan dalam modifikasi lingkungan adalah 3M (menutup, menguras, dan menimbun) berbagai tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk. Manipulasi lingkungan merupakan usaha menjadikan lingkungan tidak lagi menguntungkan bagi nyamuk untuk
sementara waktu.
Contoh manipulasi lingkungan adalah pengangkatan lumut dari laguna.
Upaya
manipulasi tempat tinggal dan mengubah tingkah laku manusia dapat dilakukan dengan
menempatkan
kembali
penduduk
yang
berasal
dari
sumber
perkembangbiakan nyamuk, perlindungan perseorangan (personal protection), penyediaan
fasilitas
pembuangan
air,
sampah,
dan
buangan
lainnya.
Pengendalian non kimiawi untuk nyamuk dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami nyamuk atau dikenal dengan pengendalian hayati. Pengendalian hayati memanfaatkan predator, patogen, atau parasit sebagai musuh alaminya (Hadi & Koesharto, 2006). Pengendalian non-kimiawi dapat dibagi dalam delapan jenis, yaitu sanitasi, intersepsi, eksklusi, pembersihan harborage, modifikasi habitat, trapping, pemonitoran, dan penghisapan.
Pengendalian dengan metode non-
kimiawi merupakan kegiatan pengendalian di luar pestisida yang bersifat pencegahan dalam jangka panjang (Wirawan, 2006).
2.8 Piretroid Piretroid merupakan suatu sintesa senyawa yang menyerupai piretrin (Gambar 3). Piretroid dibuat karena piretrin memiliki harga yang mahal dan sangat tergantung pada alam (terbatas). O
H C
CH3
H C
R
H CH2
C
O
CH CH3
CH3
H
C O
H
R1
CH3 Gambar 3 Rumus kimia piretrin
28
Berdasarkan waktu penemuannya, piretroid dapat dikelompokkan dalam empat generasi yaitu generasi pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Generasi pertama adalah aletrin yang ditemukan tahun 1949. Efektifitas aletrin setara dengan piretrin, namun aletrin tidak efektif terhadap lipas. Generasi kedua adalah tetrametrin (1965) yang bersifat knockdown cepat, resmetrin (1965) yang memiliki toksisitas 20 kali terhadap lalat, fenotrin (1973) yang merupakan racun kontak dan racun perut, serta bioaletrin dan S-bioaletrin (1969) yang efektif mengendalikan serangga terbang dan merayap. Generasi ketiga adalah permetrin (1973) memiliki sifat fotostabil, fenvalerat (1974) yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan mata manusia, sifenotrin (1976) yang merupakan racun kontak dan racun perut.
Generasi keempat contohnya adalah bifentrin, lamda sihalotrin,
siflutrin, deltametrin, esfenvalerat, empentrin, dan zeta-sipermetrin (Wirawan, 2006). Sifat kimia dan fisika piretroid diantaranya adalah terhidrolisa oleh alkali (basa), mengalami fotooksidasi di bawah pengaruh matahari, mengalami polimerasi dalam keadaan pekat atau dikenai cahaya matahari, tidak menguap, larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air. Daya kerja fisiologi dan sifat lain piretrin adalah beracun terhadap serangga dengan menghasilkan keracunan dan kelumpuhan dengan cepat, serangga dapat sembuh dari keracunan dan kelumpuhan. Dosis kematiannya 6-10 kali dosis kelumpuhan.
Piretroid
bertindak sebagai racun syaraf, menyebabkan gangguan idera karena merangsang pusat saraf.
Piretroid bekerja pada pertemuan antara syaraf dan otot
(Sastrodihardjo, 1984). Berdasarkan aktifitas lamanya residu, piretroid apat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu piretroid kelompok residu panjang dan piretroid kelompok residu pendek atau bahkan tanpa residu. Berdasar struktur kimia penyusunnya piretroid dibagi menjadi kelompok alfa-siano dan non-alfa siano. Kelompok alfa-siano mengandung gugus siano yang dapat menyebabkan iritasi kulit dan mata pada manusia. Kelompok non-alfa-siano tidak mengandung gugus siano dan hanya menimbulkan iritasi ringan (Wirawan, 2006).
29
3 MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian dilakukan pada 14 rumah di kampung Cangkurawok, desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Desa Babakan berbatasan
dengan desa Cibanteng pada sebelah timur, pada sebelah barat berbatasan dengan Kotamadya Bogor, sedangkan sebelah utara dan selatan berbatasan dengan Desa Cikarawang dan Desa Darmaga.
Areal pemukiman di sekitar desa Babakan
terlihat padat dengan kondisi lahan juga digunakan sebagai persawahan, perkebunan maupun perkandangan. Selain areal persawahan juga terdapat areal perikanan. Kawasan kampung Cangkurawok juga terdapat wilayah hutan pendidikan Fakultas Kehutanan IPB.
Di Cangkurawok terdapat
selokan air
menggenang dan kotor (Gambar 4 A), bak penampungan air yang terbuka (Gambar 4 B), bekas kolam ikan (Gambar 4C). Sungai Ciapus mengalir melalui wilayah kampung Cangkurawok dengan kondisi tidak pernah kering dan memiliki banyak genangan air di antara bebatuan maupun pada cekungan–cekungan di pinggir sungai (Gambar 4 D).
A
C
B
D
Gambar 4 Tempat perindukan nyamuk yang dijumpai di lokasi penelitian A:Selokan, B: Penampungan air yang terbuka, C: Kolam ikan, D: Genangan air di pinggir sungai Ciapus
30
Penelitian
dilaksanakan
pada
bulan
November
2007.
Frekuensi
penangkapan nyamuk sebanyak sembilan kali yang dilakukan tiga hari dalam satu minggu dan dilaksanakan selama tiga minggu. Penangkapan nyamuk dilakukan selama empat jam dimulai dari jam 21.00-01.00. 3.2 Antinyamuk yang digunakan Antinyamuk yang digunakan adalah mengandung piretroid sintetik generasi terakhir dalam formulasi liquid vaporizer (LV). Bahan antinyamuk ini diperoleh dari PT Sumitomo Chemical Enviro Agro Asia Pasific, Malaysia. 3.3 Metode penelitian Penangkapan dilaksanakan melalui metode bare leg collection, yaitu penangkapan nyamuk menggunakan aspirator dengan umpan orang dalam rumah dalam kondisi kaki dan tangan terbuka. Dalam setiap rumah terdapat seorang pengumpan dan seorang penangkap nyamuk. Pada setiap jam selama 45 menit dilakukan penangkapan nyamuk, sisa waktu digunakan untuk prosesing dan preservasi nyamuk. Koleksi nyamuk dilakukan dari jam 09.00-01.00. Penelitian dilakukan dalam waktu tiga minggu dengan pelaksanaan tiga kali seminggu. Hari pertama dalam setiap minggunya dilakukan pra perlakuan pada semua rumah, yaitu penangkapan nyamuk dengan kondisi rumah tanpa antinyamuk. Adapun hari kedua dan ketiga dilakukan penangkapan pada sepuluh rumah yang diberi antinyamuk LV, dua rumah tanpa antinyamuk sebagai kontrol negatif, dan dua rumah sebagai kontrol alami juga tanpa antinyamuk. Rumah yang diberlakukan sebagai kontrol negatif digilir secara acak pada setiap hari penangkapan, sedangkan dua rumah sebagai kontrol alami tetap tidak berubah dari awal hingga akhir pelaksanaan penangkapan nyamuk selama tiga minggu. Rumah kontrol alami digunakan sebagai pembanding antara rumah-rumah yang diberi antinyamuk dan rumah kontrol negatif.
Jika tidak ada nyamuk
tertangkap dalam rumah kontrol alami maka pelaksanaan penangkapan nyamuk pada hari tersebut diulang.
31
Koleksi dilakukan di ruang tamu atau ruang keluarga dengan pintu rumah terbuka.
Nyamuk yang ditangkap hanyalah nyamuk yang menggigit umpan.
Orang yang bertugas sebagai umpan hanya menggunakan celana pendek. Nyamuk yang telah tertangkap selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas plastik berpenutup kain kasa. Nyamuk-nyamuk yang telah tertangkap dimasukkan ke dalam sebuah wadah dan dipingsankan menggunakan kloroform.
Setelah pingsan, nyamuk
tersebut ditusuk dengan jarum untuk menjadi preparat serta diberi kode sesuai lokasi dan waktu penangkapan.
Koleksi nyamuk yang telah memiliki kode
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kotak karton yang telah diberi kamper agar terhindar dari jamur maupun semut yang dapat merusak koleksi nyamuk.
3.4 Identifikasi dan pengamatan nyamuk Identifikasi dan pengamatan spesies nyamuk dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Untuk menentukan spesies, acuan yang digunakan adalah Kunci Identifikasi Culex Jentik dan Dewasa di Jawa (DEPKES, 1989), sedangkan pengamatan koleksi dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo.
3.5
Analisis dan penyajian data Data hasil penelitian mengenai jenis spesies, jumlah spesies, persentase
nyamuk tertangkap beserta distribusinya menurut waktu dan tempat penangkapan disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan narasi. Efektivitas penggunaan LV sebagai antinyamuk dihitung dengan menggunakan rumus reduksi yang diadopsi dari Serit (2007) % Reduksi = 100 – (C1 X T2) (C2 X T1)
X 100
32
C1
= Jumlah nyamuk tertangkap dari rumah-rumah kontrol negatif pada masa pra perlakuan .
C2
= Jumlah nyamuk tertangkap dari rumah-rumah kontrol negatif pada masa perlakuan.
T1
= Jumlah nyamuk tertangkap dari rumah-rumah perlakuan pada masa pra perlakuan.
T2
= Jumlah nyamuk tertangkap dari rumah-rumah perlakuan pada masa perlakuan.
33
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-jenis dan fluktuasi nyamuk Selama penelitian berlangsung, nyamuk yang tertangkap berjumlah 1323 ekor, terdiri atas 8 jenis (Tabel 1).
Tabel 1 Jenis – jenis nyamuk yang tertangkap dengan umpan badan dari jam 21.00-01.00 di Kampung Cangkurawok, Babakan, Darmaga No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Spesies
Jumlah (ekor)
Persentase ( % )
Culex quinquefasciatus
845
63,87
Culex tritaeniorhynchus
308
23,28
Culex vishnui
154
11,64
Culex bitaeniorhynchus
4
0,30
Culex pseudovishnui
2
0,15
Aedes aegypti
7
0,53
Aedes albopictus
1
0,08
Armigeres subalbatus
2
0,15
1323
100
Total
Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat delapan jenis nyamuk yang menghisap darah pada malam hari di kampung Cangkurawok yang terdiri atas lima spesies Culex (99,24%), dua spesies Aedes (0,61%), serta satu spesies Armigeres (0,15%). Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Andiyatu (2005) bahwa di sekitar kampus IPB Darmaga nyamuk Culex paling banyak tertangkap dibandingkan genus lainnya, yaitu sekitar 71.76% dari total seluruh penangkapan. Dari hasil penangkapan, nyamuk yang tertangkap semuanya merupakan nyamuk subfamili Culicinae. Semua nyamuk yang tertangkap berjenis kelamin betina. Hal ini dikarenakan hanya nyamuk betina yang menghisap darah untuk pematangan telurnya, sedangkan nyamuk jantan hanya menghisap cairan tumbuhan.
Nyamuk betina memerlukan darah untuk pematangan telur yang
34
disebut anautogenous development.
Nyamuk betina yang tidak memerlukan
darah untuk perkembangannya disebut autogenous development (Hadi, 2000). Nyamuk
Culex
yang
tertangkap
terdiri
atas
5
spesies.
Culex
quinquefasciatus merupakan spesies paling banyak tertangkap berjumlah 845 ekor (63,87 %), Culex tritaeniorhynchus 308 ekor (23,28%), Culex vishnui 154 ekor (11,64%), Culex bitaeniorhynchus 4 ekor (0,30%), dan Culex pseudovishnui 2 ekor (0,15%). Banyaknya spesies Culex yang tertangkap disebabkan oleh sifatnya yang nokturnal, yaitu aktif menggigit di malam hari. Selain itu, Culex bersifat endofagik dan endofilik, yaitu mencari makan dan beristirahat di dalam rumah. Kondisi perumahan yang berhimpitan dan padat juga mempengaruhi keberadaan nyamuk Culex. Di sekitar lokasi penangkapan terdapat selokan air menggenang dan kotor yang merupakan tempat potensial untuk berkembangbiak nyamuk Culex. Selain itu, terdapat juga beberapa genangan air, baik genangan air hujan maupun tempat penampungan air rumah tangga yang tidak tertutup. Larva nyamuk umumnya terdapat dalam berbagai tempat akuatik seperti kolam, wadahwadah buatan, lubang-lubang pohon dan pada genangan lainnya ( Borror et al. 1992, Hadi & Koesharto, 2006). Jumlah nyamuk Aedes yang tertangkap sebanyak delapan ekor, tujuh ekor di antaranya adalah jenis Aedes aegypti dan satu ekor Aedes albopictus. Kedua jenis ini perlu diwaspadai karena merupakan vektor demam berdarah dengue dengan tempat perkembangbiakan di lingkungan pemukiman dan di daerah semi urban (Hadi & Koesharto, 2006). Tertangkapnya delapan ekor nyamuk Aedes yang bersifat diurnal ini menunjukkan kemungkinan adanya perubahan pola menggigit yang disebabkan oleh banyak faktor lingkungan. Nyamuk Aedes tertangkap pada malam hari dengan jumlah sekitar 1- 4 ekor setiap jamnya. Andiyatu (2005) juga melaporkan adanya nyamuk Aedes yang tertangkap dengan metode bare leg collection sampai dengan jam 21.00 di sekitar kampus IPB Darmaga. Sementara itu, Hadi et al (2006) melaporkan bahwa telur Aedes aegypti dapat menetas dan berkembang hingga dewasa dalam beberapa media yang mengandung polutan (air kotor).
Hal ini mungkin
35
merupakan bentuk perubahan perilaku juga, yang sesungguhnya pra dewasa Aedes aegypti berkembang di air yang bersih. Spesies lain yang tertangkap adalah nyamuk Armigeres subalbatus. Sedikitnya nyamuk Armigeres yang tertangkap dikarenakan waktu aktif nyamuk ini adalah pada sore hari menjelang matahari terbenam. Adanya hutan dan kebun palawija di sekitar lingkungan merupakan sebuah media hidup bagi nyamuk Armigeres (Hadi & Koesharto, 2006) Tabel 2 Jenis nyamuk tertangkap setiap jam penangkapan (ekor)
Waktu Penangkapan (Jam) Jenis nyamuk
Total
21.0022.00
22.0023.00
23.0024.00
24.0001.00
Culex.quinquefasciatus
195 (64,14%)
228 (64,60%)
222 (66,07%)
200 (60,61%)
845 (63,87%)
Culex tritaeniorhynchus
70 (23,03%)
83 (23,51%)
71 (21,13%)
84 (25,46%)
308 (23,28%))
Culex vishnui
36 (11,84%)
39 (11,05%)
36 (10,71%)
43 (13,03%)
154 (11,64%)
2
0
2
0
4
(0,66%)
(0%)
(0,60%)
(0%)
(0,30%))
0
1
1
0
2
(0%)
(0,28%)
(0,3%)
(0%)
(0,15%)
1
1
1
7
(0,33%)
(0,28%)
4 (1,19%))
(0,30%)
(0,53%)
0
0
0
1
1
(0%)
(0%)
(0%)
(0,30%)
(0,08%)
0
1
0
1
2
(0%)
(0,28%)
(0%)
(0,30%)
(0,15%)
304 (22,98%)
353 (26,68%)
336 (25,40%)
330 (24,94%)
1323 (100%)
Culex bitaeniorhynchus
Culex pseudovishnui
Aedes aegypti
Aedes albopictus
Armigeres subalbatus
Total
36
Tabeel 2 menggaambarkan jeenis-jenis nyyamuk tertanngkap berdaasar waktu p penangkapan n.
Pada setiap s jam penangkapaan, nyamuk yang palin ng banyak
t tertangkap adalah Culeex quinqueffasciatus (663,87%), Cuulex tritaeniorhynchus ( (23,28%), dan d Culex viishnui (11,644%). Nyam muk – nyam muk tersebut tertangkap p pada setiap jam j penangkkapan yaitu dari d pukul 21.00 hingga pukul 01.00 0. Flukttuasi nyamu uk yang tertaangkap padaa setiap jam ppenangkapan disajikan p pada Gambar 5. Berddasarkan Tabbel 2 dan Gambar G 5 teerlihat nyam muk paling b banyak tertaangkap padaa jam 22.00--23.00 seban nyak 353 ekoor (26,68%) dan paling s sedikit padaa jam 21.000–22.00 sebbanyak 304 ekor (22,998%). Jumlaah nyamuk t tertangkap berangsur-an b ngsur menuurun jumlahhnya hinggaa penangkap pan selesai p pukul 01.00 sebanyak 3330 ekor (24,94%).
Gambarr 5 Jumlah nyyamuk tertanngkap berdaasarkan wakttu
37
4.2 Pengaruh antinyamuk liquid vaporizer (LV) Pelaksanaan penangkapan nyamuk dibagi dalam dua masa yaitu masa pra perlakuan dan masa perlakuan. Fluktuasi nyamuk yang tertangkap pada masa pra perlakuan dan perlakuan dapat terlihat pada Tabel 3. Hasil penangkapan secara umum pada saat pra perlakuan (tanpa antinyamuk) menunjukkan jumlah nyamuk lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah pada saat perlakuan (dengan antinyamuk).
Tabel 3 Fluktuasi nyamuk tertangkap pada masa pra perlakuan dan perlakuan No.
Kondisi
Jumlah (ekor)
Persentase (%)
1.
Pra perlakuan
823
62,20
2.
Perlakuan
500
37,80
1323
100
Total
Jumlah seluruh nyamuk yang tertangkap pada masa pra perlakuan adalah 823 ekor (62,20%) dari total seluruh penangkapan. Setelah pra perlakuan, pada hari ke dua dan ke tiga dilakukan masa perlakuan.
Jumlah nyamuk yang
tertangkap pada masa perlakuan sebanyak 500 ekor (37,80%) dari total seluruh penangkapan (Tabel 3). Kelompok perlakuan dilakukan pada 10 rumah yang diberi antinyamuk LV, dua rumah diperlakukan sebagai kontrol negatif, dan dua rumah sebagai kontrol alami. Pada rumah-rumah yang diberi antinyamuk LV tertangkap 111 ekor (22,20%). Nyamuk yang tertangkap pada rumah kontrol negatif adalah 207 ekor (41,40%), sedangkan nyamuk yang tertangkap pada lokasi kontrol alami berjumlah 182 ekor (36,40%) (Lampiran 7).
Jumlah nyamuk yang tertangkap
pada rumah yang diberi antinyamuk LV lebih sedikit dibandingkan jumlah nyamuk pada kontrol negatif dan kontrol alami. Hasil penangkapan nyamuk pada kontrol negatif dan kontrol alami lebih banyak jika dibandingkan dengan rumah yang diberi antinyamuk LV. Hal ini dikarenakan pada rumah kontrol negatif dan kontrol alami tidak terdapat zat yang tidak disukai oleh nyamuk.
38
Antinyamuk LV yang mengandung piretroid tersebut memberikan efek penurunan frekuensi nyamuk yang menggigit pada malam hari.
Hal ini
menunjukkan bahwa antinyamuk tersebut mengurangi jumlah nyamuk yang menggigit orang pada malam hari. Penghitungan nilai efektivitas penggunaan LV sebagai antinyamuk dilakukan dengan menggunakan rumus reduksi yang diadopsi dari Serit (2007). Dari hasil perhitungan jumlah nyamuk tertangkap, nilai C 1 diperoleh 154 yang merupakan jumlah nyamuk tertangkap dari rumah-rumah kontrol pada masa pra perlakuan. Nilai C 2 sebesar 207 yang merupakan jumlah nyamuk tertangkap dari rumah-rumah kontrol pada masa perlakuan. Nilai T 1 sebesar 552 merupakan jumlah nyamuk tertangkap dari rumah-rumah perlakuan pada masa pra perlakuan. Niliai T 2 sebesar 111 ekor yang didapatkan dari jumlah nyamuk tertangkap pada rumah-rumah perlakuan (Lampiran 4). % Reduksi = 100 – (154 X 111) (207 X 552)
X 100
= 85,04 % Berdasarkan rumus reduksi ternyata antinyamuk LV dapat menurunkan populasi nyamuk sebesar 85,04 %. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang cukup besar dari pemberian antinyamuk yang digunakan. Insektisida piretroid yang terkandung dalam antinyamuk bertindak sebagai racun syaraf yang menyebabkan gangguan fungsi indera karena bekerja pada pertemuan antara syaraf dan otot (Sastrodihardjo, 1984).
Piretroid akan
menyebabkan inkoordinasi alat gerak, jika nyamuk tidak dapat melakukan detoksikasi maka nyamuk akan mati akibat kerusakan saraf yang terjadi (Wirawan, 2006).
39
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1
Nyamuk yang tertangkap di Kampung Cangkurawok, Desa Babakan, Kecamatan Darmaga dari jam 21.00 – 01.00 WIB terdiri atas 8 jenis yaitu Culex quinquefasciatus, Culex tritaeniorhynchus, Culex vishnui, Culex bitaeniorhynchus, Culex pseudovishnui, Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Armigeres subalbatus.
2
Jenis nyamuk dominan yang tertangkap adalah Culex quinquefasciatus.
3
Jumlah nyamuk tertangkap terbanyak pada jam 22.00 – 23.00 WIB.
4
Pemberian piretroid sintetik dalam formulasi liquid vaporizer (LV) sebagai antinyamuk dapat menurunkan jumlah dan fluktuasi nyamuk yang menggigit pada malam hari sebanyak 85,04%.
5.2 Saran Perlunya pengendalian lingkungan dengan cara modifikasi lingkungan, manipulasi lingkungan, manipulasi tempat tinggal, dan mengubah tingkah laku kehidupan masyarakat sehingga tempat perkembangbiakan nyamuk akan berkurang.
40
6 DAFTAR PUSTAKA Andiyatu. 2005. Fauna Nyamuk di Wilayah Kampus IPB Darmaga dan Sekitarnya Serta Potensinya Sebagai Penular Penyakit. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Anonimous]. 2008a. [29 Agustus 2008].
Moslifecycle.
http://www.enchantedlearning.com
[Anonimous]. 2008 b. Egg Raft. http:// images.google.co.id [29 Juni 2008]. [Anonimous]. 2008 c. Larval Anatomy. http:// images.google.co.id [29 Juni 2008]. [Anonimous]. 2008 d. Pupa Nyamuk. http:// images.google.co.id [29 Juni 2008]. [Anonimous]. 2008 e. Mosquito-adult. http:// images.google.co.id [29 Juni 2008]. Memori Columbus dan Ledakan [Anonimous]. 2008f. http:www.mediaindonesia.co.id.html [29 Agustus 2008].
Penyakit.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. S Partosoedjono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemah dari : An Introduction to the Study Insect. Bowman DD, Lynn RC, Eberhard ML, Alcaraz A. 2003. Georgis’ Parasitology for Veterinarians. 8th Ed. Saunders College Publishing. USA. De Meillon, B. 1989. Time of Arrival of Gravid Aedes Aegypti and Ovipotition. J. Am. Mosquito Control. 36: 7-14. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1987. Ekologi Vektor dan Beberapa Aspek Perilaku. Dit.jen. PPM & PLP. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1989. Kunci Identifikasi Culex Jentik dan Dewasa di Jawa. Dit.jen. PPM & PLP. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1999. Entomologi Malaria, Modul I. Dit.jen. PPM & PLP. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2000. Laporan Situasi dan Distribusi Kasus Kronis Filariasis di Indonesia. Sub Dit. Filariasis dan Schistosomiasis Depkes RI. Jakarta. Freeman P, 1973. Diptera Introduction. (Dalam) K.G.V. Smith (Ed). Hal 21-36. Insects and Other Arthropods of Medical Importance. British Museum of Natural History, London.
41
French WL, Baker RH, Kitzmiller JB. 1984. Preparation of Mosquito Chromosome. Mosq News. 22 : 377-383. Hadi UK. 2000. Diktat Ektoparasit: Nematocera. Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Patologi FKH-IPB. Bogor. Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed) Hal. 23 -51 .Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. FKH-IPB. Bogor. Hadi UK, Agustina E, Sigit SH. 2006. Keberadaan Jentik Aedes aegypti di Daerah Pedesaan dan Perilaku Bertelur serta Berkembangbiak dalam Air Terpolusi di Laboratorium. Prosiding Seminar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang. Donggala. DEPKES RI. Hendrix CM, Robinson ED. 2006. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. 3th Ed. Mosby Inc. St. Louis. London. James, MT, Harword RF. 1979. Entomology in Human and Animal Health. 7th Ed. Macmillan Publ. Co. In. New York. USA. Kusnanto H, Tomar SB. 2007. Proses Pengobatan Massal Filariasis di Kabupaten Kepulauan Mentawai. KMPK-UGM. Yogyakarta. Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gatut Ashadi, penerjemah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mullen G, Durden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. Academic press. Hongkong. Munir L. 1992. Epidemiologi Filariasis Di Desa Perigi Baru, Tangerang & Beberapa Aspek Kevektorannya. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Russel, West, Manwell, McDonald. 1963. Practical Malariology. Second Edition. London Oxford University Press. London. Sastrodiharjo S. 1984. Pengantar Entomologi Terapan. Penerbit ITB Bandung. Bandung. Serit M. 2007. Field efficay of liquid vaporizer formulations against mosquitoes in living premises. Sumitomo Chemical Enviro. Agro Asia Pasific. Malaysia. Service, M.W. 1986. Blood Sucking Insect Vector of Disease. Edward Arnold Publisher Ltd. London.
42
Sigit
SH. 2006. Masalah Hama Permukiman Dan Falsafah Dasar Pengendaliannya. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed) Hal.1-13. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. FKH-IPB. Bogor.
Taviv, Y. 2005. Fauna Nyamuk di Desa Segara Kembang, Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wirawan IA. 2006. Insektisida Permukiman. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed) Hal. 315 - 433. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. FKHIPB. Bogor. Wirawan IA. 2006. Pengendalian Non-Kimiawi. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed) Hal. 464 – 474. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. FKH-IPB. Bogor. WHO. 2000. Situation Analysis of Malaria in Indonesia, [Online], available: http://www.whosea.org. (2008) Womack, M. 1993. The Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats. 5 (4) : 4-7. Zulfi, C. 1994. Epidemiologi dan Beberapa Aspek Kevektoran Filariasis di Kabupaten Aceh Besar. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1 Jumlah nyamuk tertangkap pada minggu I Minggu I Pra Perlakuan I RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
TOTAL
21.00-22.00
6
10
3
4
1
2
4
1
3
5
3
5
2
2
51
22.00-23.00
9
10
2
3
1
3
0
0
3
5
5
6
3
2
52
23.00-24.00
5
8
4
1
6
3
2
0
4
3
4
5
4
1
50
24.00-01.00
2
6
5
2
4
1
0
3
5
6
3
3
2
2
44
TOTAL
22
34
14
10
12
9
6
4
15
19
15
19
11
7
197
Perlakuan I RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
TOTAL
21.00-22.00
2
1
1
1
7
0
1
0
0
0
4
7
5
3
32
22.00-23.00
0
1
0
0
0
4
0
0
0
2
8
10
7
2
34
23.00-24.00
0
1
0
0
2
1
1
0
0
0
4
3
6
2
20
24.00-01.00
0
0
0
0
0
1
1
0
1
2
2
7
4
2
20
TOTAL
2
3
1
1
9
6
3
0
1
4
18
27
22
9
106
Perlakuan II RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
TOTAL
21.00-22.00
4
0
2
0
1
0
0
0
5
4
1
2
12
1
32
22.00-23.00
1
0
0
0
0
0
0
0
8
4
0
0
9
1
23
23.00-24.00
2
0
1
0
2
2
0
0
4
7
0
0
8
4
30
24.00-01.00
2
1
1
0
2
2
0
0
7
4
0
0
12
3
34
TOTAL
9
1
4
0
5
4
0
0
24
19
1
2
41
9
119
: Rumah kontrol alami
: Rumah kontrol Negatif
45
Lampiran 2 Jumlah nyamuk tertangkap pada minggu II Minggu II Pra Perlakuan II RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
21.00-22.00
4
5
3
5
1
1
3
0
22.00-23.00
4
7
6
5
6
6
1
23.00-24.00
4
10
3
2
3
3
24.00-01.00
4
11
4
6
7
16
33
16
18
17
TOTAL
9
10
11
12
13
14
TOTAL
1
6
2
3
9
1
44
3
2
4
3
2
5
3
57
7
4
5
7
3
4
3
7
50
2
4
4
6
3
3
2
7
7
70
12
15
11
14
20
11
11
24
18
236
Perlakuan III RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
TOTAL
21.00-22.00
0
2
0
0
0
0
3
2
0
2
2
0
3
3
17
22.00-23.00
0
0
0
0
1
1
3
6
1
3
0
0
5
4
24
23.00-24.00
0
0
0
0
0
0
5
3
1
1
0
0
7
2
19
24.00-01.00
1
0
0
0
0
0
2
1
0
0
0
0
3
1
8
TOTAL
1
2
0
0
1
1
13
12
2
6
2
0
18
10
68
Perlakuan IV RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
TOTAL
21.00-22.00
0
0
0
0
1
1
2
0
0
0
0
1
3
1
9
22.00-23.00
0
0
0
0
3
1
0
0
1
0
2
0
3
2
12
23.00-24.00
0
0
0
0
1
2
1
0
1
0
0
0
1
1
7
24.00-01.00
0
0
0
3
0
2
0
0
1
1
0
0
1
0
8
TOTAL
0
0
0
3
5
6
3
0
3
1
2
1
8
4
36
: Rumah kontrol alami
: Rumah kontrol Negatif 46
Lampiran 3 Jumlah nyamuk tertangkap pada minggu III Minggu III Pra Perlakuan III RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21.00-22.00
2
7
2
11
10
14
1
9
22.00-23.00
6
10
9
1
10
8
2
23.00-24.00
8
12
6
8
6
7
24.00-01.00
6
12
11
4
3
22
41
28
24
29
TOTAL
10
11
12
13
14
TOTAL
3
5
4
6
3
3
80
10
4
3
10
10
10
6
99
7
5
6
4
9
10
8
8
104
6
7
4
12
6
7
10
8
11
107
35
17
28
25
18
30
36
29
28
390
10
11
12
13
14
TOTAL
Perlakuan V RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21.00-22.00
0
1
5
14
0
2
0
0
0
2
1
0
5
5
35
22.00-23.00
1
2
8
14
0
2
0
1
0
0
0
0
8
5
41
23.00-24.00
0
1
7
5
0
0
2
1
0
2
0
0
8
4
30
24.00-01.00
0
0
8
1
0
0
0
0
2
2
0
0
9
6
28
TOTAL
1
4
28
34
0
4
2
2
2
6
1
0
30
20
134
10
11
12
13
14
TOTAL
Perlakuan VI RUMAH WAKTU
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21.00-22.00
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
4
22.00-23.00
2
2
0
0
2
0
0
0
1
0
0
0
2
2
11
23.00-24.00
2
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
3
11
24.00-01.00
3
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
11
TOTAL
8
13
0
0
3
1
0
0
1
0
0
0
5
6
37
: Rumah kontrol alami
47 : Rumah kontrol Negatif
Lampiran 4 Perhitungan rumus reduksi CI = Jumlah nyamuk tertangkap pada rumah-rumah kontrol pada masa pra perlakuan (Rumah 1&2 minggu I)+(Rumah 3&4 minggu II)+Rumah (5&6 minggu III) = (22 + 34) + (16 + 18) + (29+35) = 154 C2 = Jumlah nyamuk tertangkap pada rumah-rumah kontrol pada masa perlakuan (Rumah 9,10,11,12 minggu I)+(Rumah 5,6,7,8 minggu II)+(Rumah 1,2,3,4 minggu III) = (24+19+18+27)+(5+6+13+12)+(8+13+28+34) = 207
TI = Jumlah nyamuk tertangkap pada rumah-rumah perlakuan pada masa pra perlakuan ( Rumah 3,4,5,6,7,8,9,10,11,12 minggu I)+(Rumah 1,2,5,6,7,8,9,10,11,12 mingguII)+(Rumah 1,2,3,4,7,8,9,10,11,12) = (14+10+12+9+6+4+15+19+15+19)+ (16+33+17+12+15+11+14+20+11+11)+(22+41+28+24+17+28+25+18+30+ 36) = 552
35 48
T2 = Jumlah nyamuk tertangkap pada rumah-rumah perlakuan (pemberian antinyamuk) pada masa perlakuan (Rumah1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 hari 1 Minggu I)+ (1,2,3,4,5,6,7,8,11,12 hari ke 2 minggu I) + (Rumah 1,2,3,4,5,6,9,10,11,12 hari 1 minggu ke II) + (Rumah 1,2,3,4,7,8,9,10,11,12 hari ke 2 minggu II) + (Rumah 1,2,5,6,7,8,9,10,11,12 hari ke 1 minggu III) + (Rumah 3,4,5,6,7,8,9,10,11,12 hari ke 2 minggu III) = (2+3+1+1+9+6+3+0+1+4) + (9+1+4+0+5+4+0+0+1+2) + (1+2+0+0+1+1+2+6+2+0) + (0+0+0+3+3+0+3+1+2+1) + (1+4+0+4+2+2+2+6+1+0) +(0+0+3+1+0+0+1+0+0+0) = 111
% Reduksi = 100 – (C1 X T2) (C2 X T1)
X 100
% Reduksi = 100 – (154 X 111) (207 X 552)
X 100
= 85,04%
49
Lampirran 5 Tabel jumlah nyaamuk tertanggkap setiap m minggunya (ekor) ( No.
Waktu W penanggkapan
Jumlah (eekor)
Persentasse (%)
1
Minnggu I
422
31,9 90
2
Minnggu II
340
25,7 70
3
Minnggu III
561
42,4 40
3 1323
1000
Total
50
Lampiran 6 Tabel jumlah nyamuk tertangkap menurut waktu penangkapan (ekor) No
Waktu penangkapan
Jumlah nyamuk (ekor)
Persentase (%)
1
Masa pra perlakuan
823
62,20
2
Masa perlakuan
500
37,80
1323
100
Jmlah nyamuk tertangkap (ekor)
Jumlah
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
823
500
Masa pra perlakuan
Masa perlakuan Waktu penangkapan
Gambar jumlah nyamuk tertangkap menurut waktu penangkapan
51
Lampiran 7 Tabel jumllah nyamuk tertangkap dari L d setiap koondisi rumahh p pada masa peerlakuan (ekkor) No
Kondisi rumah
Jumllah nyamuk (ekor)
Persentase (% %)
1
Pembberian antinyyamuk LV
111
22,20
2
Kontrrol negatif
207
41,40
3
Kontrrol alami
182
36,40
Jumlaah
500
100
52