Jejak Vol 8 (2) (2015): 189-207. DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6170
JEJAK Journal of Economics and Policy http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak
KAJIAN EVALUASI PENETAPAN TARGET PENERIMAAN RETRIBUSI IMB KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG Fernandes Simangunsong1 1
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Indonesia
Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6170 Received: Juli 2015; Accepted: Agustus 2015; Published: September 2015
Abstract The aim of this study is for knowing the realization of IMB levy achieved by all districts in Bandung regency and their potency. This study implemented qualitative and quantitative approach with triangulation technic. After analizing the data, there are some findings. First, there are only five districts that can achieve the target of 100%. They are Pasir jambu, Cicalengka, Soreang, Kutawaringin and Cimenyan. Next, the average realization of IMB levy in Bandung regency is Rp Rp. 820.034.365,00 or 72,53% of total target. It is is still far from the target due to some factors. They are limited human resources, low monitoring, low society’s participation in having IMB and low motivation from implementers for carrying out the policy. Further, based on high , moderat, and low approach, the potency of receiving IMB levy is good enough. If the assumption of IMB levy is 5%, the estimation of levy target is 47.849.901.114 with high approach, Rp 41.969.646.924 with high moderate and, Rp 36.099.392.733. with low approach.
Keywords: levy target, levy, IMB
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui capaian realisasi retribusi IMB Kecamatan di Kabupaten Bandung dan untuk mengetahui potensi IMB Kecamatan di Kabupaten Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik triangulasi dan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 31 Kecamatan di Kabupaten Bandung, capaian retribusi IMB yang mencapai target 100% berhasil dicapai oleh 5 Kecamatan (Pasir Jambu, Cicalengka, Soreang, Kutawaringin dan Cimenyan). Rata-rata capaian realisasi retribusi IMB Kabupaten Bandung adalah Rp. 820.034.365,00 (72,53%). Capaian realisasi ini masih jauh dari yang ditargetkan karena dipengaruhi oleh faktor Sumber Daya Manusia yang terbatas, pengawasan yang masih belum maksimal, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pengurusan ijin IMB dan kepatuhan implementor dalam melaksanakan kebijakan masih rendah. Potensi penerimaan retribusi IMB cukup bagus baik berdasarkan pendekatan tinggi, moderat ataupun rendah. Jika asumsi bayar retribusi IMB sebesar 5% maka estimasi target retribusi IMB Kecamatan di Kabupaten Bandung berdasarkan pendekatan tinggi adalah Rp 47.849.901.114, pendekatan moderat Rp 41.969.646.924 dan pendekatan rendah Rp36.099.392.733.
Kata Kunci: target penerimaan, retribusi, ijin mendirikan bangunan How to Cite: Simangunsong, F. (2016). KAJIAN EVALUASI PENETAPAN TARGET PENERIMAAN RETRIBUSI IMB KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 8(2), 189-207. doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6170
© 2015 Semarang State University. All rights reserved
Corresponding author : Address: Jalan Ir. Soekarno KM 20, Desa Cibeusi, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat E-mail:
[email protected]
ISSN 1979-715X
190
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
PENDAHULUAN Implementasi otonomi daerah membawa konsekuensi yang sangat besar dalam paradigma pengelolaan daerah. Otonomi daerah termasuk didalamnya adanya desentralisasi fiskal dimana daerah mempunyai kewenangan pengelolaan keuangan yang tinggi (Setiaji dan Adi, 2007). Dalam era otonomi ini, daerah dituntut untuk semakin meningkatkan kemandirian (keuangan) untuk membiayai berbagai belanja daerah. Menurut BAB IV Pasal 7 ayat 1 UU No 32/2004 Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya. Sedangkan pasal 2 menyebutkan Kewenangan bidang lain meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, penerimaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alamserta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Paradigma pengelolaan keuangan daerah, baik ditingkat propinsi maupun kabupatan/ kota mengalami perubahan yang sangat berarti seiring dengan diterapkannya otonomi daerah sejak awal tahun 2001. Hal ini diperkuat melalui UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta UU No 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berlakunya kedua undang-undang ini memberikan peluang yang lebih besar kepada daerah untuk lebih mengoptimalkan potensi yang ada, baik menyangkut sumber
daya manusia, dana maupun sumber daya lain yang merupakan kekayaan daerah. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah, termasuk didalamnya pengelolaan keuangan. Mardiasmo (2002) memberikan pendapat bahwa dalam era otonomi daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potensi yang selama era otonomi bisa dikatakan terpasung. Pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, bukan hanya terkait dengan pembiayaan, tetapi juga terkait dengan (kemampuan) pengelolaan daerah. Terkait dengan hal itu, pemerintah daerah diharapkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai kegiatan pelayanan publik guna meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi (dukungan) publik terhadap pemerintah daerah juga semakin tinggi. Cita-cita dan tujuan nasional memberikan arah bagi pelaksanaan pembangunan agar dapat berjalan dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan sasarannya adalah dengan melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Tujuan dari pelaksanaan desentralisasi adalah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis, maka diperlukan adanya kebijakan yang mampu merealisasikan cita-cita dan tujuan tersebut. Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pada dasarnya terdiri dari desentralisasi politik (political
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
decentralization), desentralisasi administrasi (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization) (Depkeu,2008:1). Pelaksanaan desentralisasi diwujudkan melalui pemberian bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat, ditambah dengan argumen untuk menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyebabkan lebih menguatnya sistem sentralisasi (Depkeu,2009:2). Sistem sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintah pusat selama ini melahirkan krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda dan memberikan dampak positif dan dampak negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan memunculkan ketergantungan pemerintah daerah dalam hal penetapan kebijakan yang diambil di daerah dikarenakan selalu menanti kebijakan yang diatur dari pusat dan berlaku secara umum di daerah, termasuk di dalamnya adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat berupa subsidi dan transfer untuk pendanaan pembangunan yang dilakukan di daerah. Untuk itu diperlukan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah (Mardiasmo,2004:3). Perubahan dari pola pikir sentralisasi ke pola pikir desentralisasi, dalam arti penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom, sangat dibutuhkan saat ini. Kalau dulu untuk mengambil keputusan menunggu penunjuk dan pengarahan dari pusat dalam bentuk usulanusulan strategis, sejalan dengan itu memunculkan undang-undang untuk
191
mengelola administrasi pemerintah daerah serta pemberdayaan keuangan daerah untuk lebih berguna bagi pembangunan daerah mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusiannya merupakan instrumen untuk meningkatkan sumber pendapatan daerah (Yustika, 2006:9) Dalam pembenahan dan alternatif pembangunan salah satu kebijakan, diperlukan adanya pemberian keleluasan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan roda pemerintahan dan bertanggungjawab akan pelaksanaan pembangunan di daerah sesuai peraturan yang berlaku dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah melalui Undangundang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan pemerintah daerah (Depkeu,2008:2). Sumber-sumber penerimaan daerah mengacu kepada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai urusan pemerintahan yang diserahkan yakni kewenangan memungut sekaligus mendayagunakan pajak dan retribusi daerah, hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumbersumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya serta untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumbersumber pembiayaan dengan prinsip dasarnya uang mengikuti fungsi (Money Follow Function) (Yuwono,2008:46).
192
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
Sumber penerimaan daerah seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) diwujudkan di daerah dengan kewenangan memungut pajak dan retribusi daerah yang diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 dengan peraturan pelaksanaannya berupa PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Ditinjau dari kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah sampai saat ini terjadi ketimpangan yang relatif besar terhadap distribusi kewenangan perpajakan antara pusat dan daerah yang tercermin dari jumlah penerimaan pajak yang tidak berdampak besar bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena pembiayaan kebutuhan di sebagian besar daerah pada kenyataannya hanya memiliki PAD kurang dari 10 % dan hal ini sangat bervariasi disetiap daerah yakni antara 10 % -50 % karena kewenangan perpajakan (taxing power) daerah sangat terbatas dan akhirnya akan bermuara pada rendahnya kemampuan keuangan daerah (Yuwono,2008:47). Ciri utama kemampuan suatu daerah adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan dalam menggali sumber keuangan sendiri untuk menjalankan fungsi pemerintahan faktor keuangan suatu hal yang sangat penting karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Pemerintah daerah tidak saja menggali sumber-sumber keuangan akan tetapi juga sanggup mengelola dan menggunakan secara value for money dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah, sehingga ketergantungan kepada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin dapat ditekan. Dengan dikuranginya
ketergantungan kepada pemerintah pusat maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi sumber keuangan terbesar. Kegiatan ini hendaknya didukung juga oleh kebijakan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sebagai prasyarat dalam sistem pemerintahan negara (Koswara,2000:50). Kemampuan keuangan daerah diukur dengan melihat dua aspek penting yakni ditinjau berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) dengan melihat perbandingan antara besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan besarnya penerimaan daerah secara keseluruhan dan selain itu juga dapat ditinjau berdasarkan Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dengan melihat perbandingan persentase besarnya nilai Pendapatan Asli Daerah dengan pengeluaran rutin daerah yang distandarkan dengan kriteria masingmasing akan tetapi daerah-daerah masih berada pada kisaran 10 % sampai 50% (Kuncoro,1995:9). Otonomi daerah dan desentralisasi membutuhkan kesiapan semua pihak di daerah baik eksekutif, legislatif maupun masyarakat di daerah. Salah satu aspek penting pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dengan menggali sumbersumber potensi daerah yang belum dioptimalkan oleh daerah dalam wadah desentralisasi fiskal otonomi daerah di bawah desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel (Kaho,1991:123) Indikator rendahnya kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan dapat dilihat dari Indek Kemampuan Rutin (IKR) yang diperoleh dari besarnya rasio perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pengeluaran rutin daerah.
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
Kabupaten Bandung yang tentunya mengalami masalah tentang rendahnya kemampuan daerah dalam mendapatkan pendanaan dalam rangka membiayai pembangunan di daerah sehingga dibutuhkan upaya menggali potensi pendapatan yang diperoleh daerah. Kondisi struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan pendapatan daerah tidak sebanding dengan pertumbuhan belanja daerah secara keseluruhan baik belanja langsung maupun tidak langsung termasuk pengeluaran rutin daerah yang memperkuat Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah sebagai indikator yang menegaskan kondisi kemampuan keuangan suatu daerah. Setelah otonomi berjalan selama sepuluh tahun, masih dirasakan kurang optimalnya daerah menggali sumber pendapatan daerah. Salah satu kendala dalam meningkatkan pendapatan daerah adalah tidak adanya data dan rencana induk pengembangan tentang potensi PAD (Pendapatan Asli Daerah). Potensi pendapatan asli daerah Kabupaten Bandung selama ini tak terdata dengan baik. Akibatnya anggaran pendapatan dan belanja daerah dari tahun ke tahun tak pernah bisa meningkat secara signifikan. Kenaikan anggaran hampir selalu terjadi karena limpahan sisa lebih perhitungan anggaran atau Silpa tahun sebelumnya. Salah satu cara yang tepat untuk melakukan pendataan dan rekapitulasi pendapatan daerah serta pengembangan potensi daerah kedepannya adalah dengan menyusun Rencana Induk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kesediaan data potensi PAD dan rencana induk pengembangan PAD juga merupakan perwujudan dari transparansi anggaran sehingga publik dapat
193
mengaksesnya secara luas serta dapat mengawal dan mengadvokasi penggunaan anggaran publik tersebut. Secara umum, retribusi daerah menurut UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, diklasifikasikan dalam 4 (empat) sumber, yaitu : (i) PAD (Pendapatan Asli Daerah); (ii) Dana Perimbangan; (iii) Pinjaman Daerah; serta (iv) Lain-lain Penerimaan yang sah. Khusus mengenai PAD dapat dikatakan bahwa peranannya/sumbangannya terhadap keseluruhan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) masih relatif kecil. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dijelaskan bahwa penerimaan daerah terdiri dari 2 sumber, yaitu: (1) Pendapatan Daerah, dan (2) Penerimaan Pembiayaan Daerah. Pendapatan Daerah terdiri dari : (1) PAD, (2) Dana Perimbangan, dan (3) Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sedangkan pinjaman daerah masuk menjadi bagian dari Penerimaan Pembiayaan Daerah. Retribusi Daerah Kabupaten/ Kota menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dikelompokkan menjadi 3 golongan retribusi, yaitu (1) Retribusi Jasa Umum, (2) Retribusi Jasa Usaha, dan (3) Retribusi Perizinan Tertentu. Jenis-jenis retribusi yang termasuk golongan retribusi jasa umum meliputi: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan, Retribusi Penggantian Biaya
194
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
Cetak Kartu tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kabakaran, Retribusi Pengganian Biaya Cetak Peta, Retribusi Penyediaan dan/ atau Penyedotan Kakus, Retribusi Pengolahan Limbah Cair, Retribusi Pelayanan Tera/ tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Sedangkan jenis-jenis retribusi yang termasuk dalam golongan retribusi jasa usaha adalah : Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/ atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi PelayananKepelabuhan, Retribuai Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di Air, dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. Jenis-jenis retribusi yang termasuk dalam retribusi perizinan tertentu adalah : Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Penetapan Target Penerimaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Kabupaten Bandung berpedoman pada Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 16 Tahun 2009 tentang Tata Bangunan dan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan tertentu. Berdasarkan kedua Perda tersebut di atas menjelaskan bahwa Izin Mendirikan Bangunan dalam penyelenggaraan tata bangunan meliputi; a) Mendirikan
Bangunan; b) Mengubah Fungsi Bangunan; dan c) Mengubah Bangunan. Setiap kegiatan mendirikan bangunan, mengubah fungsi bangunan untuk keperluan tertentu, dan mengubah bentuk bangunan di wilayah Kabupaten Bandung wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan. Permohonan izin mendirikan dan/atau mengubah fungsi dan/atau mengubah bangunan diajukan secara tertulis kepada Bupati sesuai dengan tata cara dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bupati. Sedangkan kegiatan yang Tidak Memerlukan Izin Bangunan adalah: a) Fasilitas TNI/POLRI Dan Pemerintah Yang Bersifat Rahasia; b) Bangunan-Bangunan Darurat Untuk Kepentingan Yang Bersifat Sementara Tidak Lebih Dari 100 (Seratus) Hari; dan c) Bangunan Jalan Dan Bangunan Air Yang Dibiayai Dan Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kecuali Yang Bersifat Usaha Komersial. Pemerintah dapat mengatur dan meningkatkan retribusi dengan berbagai upaya. Shackelford dkk (2010) menyampaikan bahwa dalam lingkungan kebijakan, pendekatan tradisional yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perintah melalui peraturan. Taylor (2013) mengemukakan bahwa masyarakat bersedia untuk membayar retribusi pada saat yang dibutuhkan dan terhadap hal – hal yang rentan di masyarakat. Namun demikian, masih terdapat hambatan jika ingin mengintensifkan retribusi, yaitu pendapatan masyarakat. Jika pendapatan masyarakat meningkat, maka kemungkinan intensifikasi retribusi bisa lebih mudah. Hal ini senada yang disampaikan Putri (2013) dimana terdapat hubungan positif antara pendapatan per kapita terhadap pajak, dimana pajak senada dengan retribusi. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, terdapat berbagai permasalahan yang dapat diidentifikasi yaitu
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
belum tercapainya target penerimaan retribusi IMB Kecamatan secara maksimal di Kabupaten Bandung dan Belum tergali dan termanfaatkan potensi-potensi IMB yang dimiliki kecamatan untuk pencapaian target penerimaan retribusi IMB kecamatan di Kabupaten Bandung. Adapun fokus penelitian diarahkan pada evaluasi penetapan target penerimaan retribusi IMB Kecamatan sehingga nantinya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bandung. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimanakah mekanisme pencapaian target penerimaan retribusi IMB Kecamatan secara maksimal di Kabupaten Bandung dan bagaimanakah tata cara untuk menggali dan memanfaakan potensi-potensi IMB yang dimiliki kecamatan untuk pencapaian target penerimaan retribusi IMB kecamatan di Kabupaten Bandung. METODE PENELITIAN Untuk memperoleh data yang akurat dan mengadakan pendekatan obyek sasaran penelitian serta utuk menjamin adanya data yang sepadan dengan arah dan tujuan yang diharapkan harus didukung oleh penggunaan metode penelitian yang tepat. Metodelogi berasal dari kata “metos” dan “logos” yang artinya cara mengatur atau menguraika, jadi metodelogi artinya uraian tentang cara-cara mengatur sesuatu dengan sebaik-baiknya. Sedangkan “’penelitian” merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporan. Tentang istilah penelitian, David H. Hendry (2004:1) menyatakan bahwa : penelitian pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlukan
195
pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta. Dalam kajian ini menggunakan metode penilitan deskriptif analisis dan kuantitatif analisis. Menurut Lexy J. Moleong dikutip dari Bagdav dan Taylor (2003:3) bahwasanya Metode Kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati (Lexy J. Moleong, 2003 : 3). Sedangkan oleh Natsir (1999:63) disebutkan bahwa tujuan daru penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, actual dan factual mengenai faktor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Dengan demikian dalam proses pembahasan dan analisa data, penelitian ini akan menyandarkan langkah-langkahnya melalui proses pemecahan masalah yang dimiliki dengan menggambarkan atau mencoba melukiskan keadaan yang sebenarnya dari subyek/obyek yang akan diteliti (seorang, lembaga, sistem kerja dan lain-lain) dengan kondisi terakhir yang didasarkan pada faktafakta yang tampak seperti apa adanya. Dari beberapa pernyataan yang telah diutarakan tersebut dapat dijelaskan bahwa metode penelitian deskriptif adalah suatu metode atau cara dalam penelitian yang menekankan pada penggambaran kondisi riil atau keadaan yang sebenarnya yang ada dilapangan dengan mengikutsertakan bukti-bukti otentik yang keabsahannya masih terlihat dengan lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam pengkajian ini instrumen pengkajian yang utama adalah peneliti sendiri. Namun dalam perkembangannya akan disusun instrumen penelitian yang diharapkan dapat digunakan untuk
196
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
menjaring data pada sumber data yang lebih luas, dan mempertajam serta melengkapi data hasil wawancara dan observasi. Fokus penelitian pada prinsipnya untuk mempertegas kembali apa saja yang menjadi sentral dari sebuah penelitian yang dilakukan. Dengan kata lain, kompleksnya masalah-masalah yang muncul dan timbul dalam latar dimana sebuah penelitian dilakukan tentu akan mempersulit peneliti, karena terkadang muncul masalah yang hampir sama dengan tujuan sebenarnya dari peneliti. Data yang diperlukan dalam pengkajian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan pada evaluasi penetapat target penerimaan retribusi IMB Kecamatan merupakan fokus pengamatan yang dibedakan atas; a) data primer, diperoleh
Pengumpulan data tahap
pertama
Didiskusikan dengan Informan, dan nara sumber
Analisis Data Secara Komprehensif
dengan pengkajian lapangan, dilakukan dengan jalan melihat, mengamati, mencatat serta mewawancarai secara langsung pejabat politik, aparatur daerah, tokoh masyarakat dan kelompok sasaran lainnya; dan b) data sekunder, dikumpulkan untuk melengkapi data primer, baik yang tersedia di kabupaten, kecamatan dan instansi lain yang mempunyai informasi yang berkaitan dengan topik pengkajian ini. Data sekunder ini diperoleh dengan pengkajian terhadap dokumen, laporan dan bahan kepustakaan lainnya. Adapun teknik pengumpulan data yang dipilih dalam riset lapangan adalah menggunakan kuesioner, wawancara, observasi dan studi literatur. Analisis data dapat dijelaskan ke bentuk bagan berikut.
Analisis Tahap Pertama untuk mefokuskan pada pengumpulan data selanjutnya
Triangulasi: Sumber data metode dan data
Klarifikasi data secara konsisten dan berulangulang
Pengumpulan data selanjutnya berdasarkan acuan analisis tahap I
Dibandingkan norma yang berlaku
Hasil Dan Temuan
Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis Data Data kualitatif akan dianalisa melalui pendekatan isi dan kedalaman menterjemahkan suatu fenomena mengenai obyek kajian. Dari daftar struktur pertanyaan terbuka, kemudian dilengkapi dengan kompilasi hasil wawancara secara mendalam,
kemudian dengan pengamatan di lapangan kemudian variabel itu akan dikompilasi melalui file terstruktur. Dalam pengujian keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi yaitu chek, rechek dan cross chek
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
terhadap data yang diperoleh (Bogdan dan Biklen, 1986: 192). Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data yaitu untuk keperluan pengecekan sebagai pembanding data. Triangulasi dapat dilakukan dengan meminta masukan, saran, kritik dan komentar dari peneliti atau pengamat lain untuk mengidentifikasi ancaman terhadap validitas, bias dan asumsi peneliti serta kelemahankelemahan logika pengkajian yang sedang dilakukan. Teknik triangulasi yang digunakan adalah teknik pemeriksaan yang memanfaaatkan penggunaan sumber (pengamatan, wawancara, studi kepustakaan dan arsip). Triangulasi dengan sumber berarti membandingakan dan mengecek balik derajat kepercayaaan suatu informan yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Target Penerimaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kabupaten Bandung berpedoman kepada Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 16 Tahun 2009 tentang Tata Bangunan. Izin Mendirikan Bangunan dalam penyelenggaraan tata bangunan meliputi; a) Mendirikan Bangunan; b) Mengubah Fungsi Bangunan; dan c) Mengubah Bangunan. Setiap kegiatan mendirikan bangunan di wilayah Kabupaten Bandung wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan. Setiap orang yang mengubah fungsi bangunan untuk keperluan tertentu selain fungsi yang ditentukan dalam Izin Mendirikan Bangunan wajib memiliki Izin atas perubahan fungsi bangunan tersebut. Setiap pemilik bangunan gedung yang hendak mengubah bentuk bangunannya wajib memiliki izin atas
197
perubahan bentuk bangunan tersebut. Untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan. Tujuan diberikan izin mendirikan bangunan di Kabupaten Bandung adalah; a) Memberikan Keabsahan Hukum Dalam Setiap Kegiatan Tata Bangunan, b) Mengendalikan Kegiatan Penyelenggaraan Tata Bangunan, c) Memberikan Landasan Kepastian Hukum Dan Perlindungan Hukum Dalam Kegiatan Tata Bangunan dan d) Melindungi Kepentingan Masyarakat Dan Lingkungan Hidup. Target dan realisasi penerimaan retribusi IMB di Kabupaten Bandung pada masing-masing kecamatan Tahun 2014 seperti pada Tabel 1. Berdasarkan pada tabel 1, maka dapat dipaparkan klasifikasikan persentase capaian realisasi retribusi IMB masing-masing kecamatan dari target retribusi yang sudah ditetapkan yaitu capaian realiasi retribusi IMB antara 25%-50%, antara 50%-75%, antara 75%-100% dan di atas 100%, adalah sebagai berikut. Untuk kecamatan-kecamatan yang persentase capaian realiasi retribusi IMB per kecamatan di Kabupaten Bandung dari target retribusi IMB yang capaian realisasinya antara 25%-50% bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung perlu melakukan invetarisasi data bangunan dan rumah yang kena retribusi IMB, perlu pengawasan dan peningkatan SDM dalam pemungutan retribusi IMB dan juga sosialisasi kepada masyarakat mengenai retribusi IMB guna meningkatkan capaian retribusi IMB kecamatan dari target yang sudah ditetapkan. Begitu juga pada kecamatankecamatan yang persentase capain realisasi retribusi IMB antara 50%-75% juga perlu pengawasan dan peningkatan SDM aparatur
198
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
dalam memungut retribusi IMB supaya capaian realisasi retribusi IMB dalam
No 1
meningkat hingga 100%.
Tabel 1. Target dan Realisasi Retribusi IMB Per Kecamatan Tahun 2014 Retribusi IMB Nama Kecamatan % Target Realisasi Ciwidey 27.989.843,00 8.060.000,00 28,80
2 3
Rancabali Pasirjambu
21.801.240,00 14.940.000,00
12.574.000,00 18.319.190,00
57,68 122,62
4
Cimaung
14.439.919,24
12.604.000,00
87,29
5
Pangalengan
47.394.000,00
17.705.000,00
37,36
6 7
Kertasari Pacet
4.660.000,00 13.284.600,00
1.390.500,00 7.047.680,00
29,84 53,05
8
Ibun
16.100.000,00
15.643.000,00
97,16
9
Paseh
25.030.429,72
9.351.000,00
37,36
10
Cikancung
12.448.086,76
10.589.463,00
85,07
11 12
Cicalengka Nagreg
32.460.000,00 19.058.000,00
37.931.950,00 9.737.000,00
116,86 51,09
13 14
Rancaekek Majalaya
92.007.552,00 31.680.000,00
42.385.000,00 26.126.085,00
46,07 82,47
15 16 17
Solokanjeruk Ciparay Baleendah
15.397.136,00 40.067.500,00 48.000.000,00
12.862.625,00 31.898.500,00 43.333.000,00
83,54 79,61 90,28
18 19
Arjasari Banjaran
15.060.760,00 33.224.247,20
8.752.961,00 10.780.000,00
58,12 32,45
20 21
Cangkuang Pameungpeuk
13.932.000,00 9.950.010,00
9.800.000,00 7.082.600,00
70,34 71,18
22 23
Katapang Soreang
26.447.904,80 38.366.450,00
19.012.750,00 38.394.500,00
71,89 100,07
24
Kutawaringin
41.705.692,66
44.610.741,00
106,97
25 26
Margaasih Margahayu
132.617.900,00 92.227.700,00
108.101.688,00 52.243.215,00
81,51 56,65
27
Dayeuhkolot
45.506.360,00
35.765.000,00
78,59
28
Bojongsoang
44.208.328,56
23.451.000,00
53,05
29 30
Cileunyi Cilengkrang
97.261.400,00 26.061.406,00
84.565.997,00 22.517.170,00
86,95 86,40
31
Cimenyan Jumlah
37.279.239,00 1.130.607.704,94
37.398.750,00 820.034.365,00
100,32 72,53
820.034.365,00
72,53
Kabupaten Bandung 1.130.607.704,94 Sumber: Laporan Realisasi Pendapatan SKPD, 2014
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
Sedang kecamatan-kecamatan yang sudah mencapai 100% bahkan lebih dari 100% diharapkan Pemerintah Kabupaten Bandung juga perlu melakukan pengawasan dan pembinaan secara berkala agar kecamatan-kecamatan tersebut bisa mempertahankan capaian realisasi retribusi IMB dan bila perlu juga dapat ditingkan lagi target retribusi IMB kecamatan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi evaluasi Retribusi IMB pada kecamatankecamatan di Kabupaten Bandung adalah pertama Faktor Sumber Daya Manusia (SDM). SDM merupakan faktor penting dalam melaksanakan aktivitas di dalam organisasi, terutama dalam mengimplementasikan kebijakan yang sudah dibebankan kepada organisasi. Karena keterbatasan dan ketidakmampuan memiliki SDM yang berkualitas dan unggul dalam hal teknis dan teoritis, tentunya akan sangat menyulitkan organisasi dalam merealiasikan tujuan yang sudah ditetapkan. Ditinjau dari input memang organisasi memiliki keterbatasan SDM untuk melakukan pengelolaan retribusi IMB dengan baik. Sehingga dibutuhkan koordinasi dengan lembaga publik lainnya untuk bisa melaksanakan pecapaian target retribusi IMB dengan baik, termasuk berkoordinasi dengan pihak kecamatan dan desa/kelurahan. Sebab keterbatasan SDM yang dimiliki sangat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan terutama dalam proses sosialisasi, pemungutan dan pengawasan. Kedua faktor pengawasan. Pengawasan merupakan usaha untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dari rencana-rencana, instruksi-instruksi, saran-saran dan sebagainya yang telah di tetapkan, sehingga dengan adanya pengawasan yang dilakukan
199
segala apa yang direncanakan dapat diwujudkan. Oleh karenanya dalam proses pengawasan adanya standart, penilaian dan evaluasi. Proses pengawasan memang belum maksimal, terutama dalam pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat tetapi tidak memiliki IMB. Fakta ini sangat banyak terjadi dilapangan, sehingga sangat membutuhkan pengawasan yang ekstra keras agar pembangunan yang dilakukan masyarakat sudah memiliki IMB. Sebab dengan adanya pengawasan yang maksimal, diharapkan kepedulian dan keinginan masyarakat untuk mengurus IMB semakin besar dan tinggi. Faktor ketiga dalam evaluasi retribusi adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat terhadap program pemerintah, baik secara fikiran, mental dan pendanaan. Keter-libatan yang terjadi memberikan makna bahwa masyarakat merupakan subjek dan objek dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah. Partisipasi masyarakat memang sangat dibutuhkan, terutama akan kesadaran masyarakat terhadap pengurusan IMB yang sangat penting dalam melaksankan pembangunan fisik. Oleh karen itu, dalam membangkitkan partisipasi masyarakat tersebut, dibutuhkan pendekatan persuasif yang lebih intens, sehingga masyarakat memiliki pemahaman akan pentingnya pengurusan IMB dan pembayaran IMB kepada pemerintah. Kepatuhan implementor merupakan faktor keempat dalam evaluasi retribusi. Kepatuhan merupakan ketaatan individu terhadap beban tugas yang diberikan dan untuk dilaksanakan. Tingkat kepatuhan yang tinggi dari implementor dalam melaksanakan kebijakan sangat dibutuhkan. Karena dengan kepatuhan tersebut, maka
200
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
implementor dapat melaksanakan kebijakan sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku. Kepatuhan implementor yang perlu dibenahi adalah dalam penerapan sanksi kepada masyarakat yang tidak mengikuti aturan dalam melaksanakan pembangunan fisik. Namun fakta di lapangan masih banyak implementor yang tidak patuh untuk
menerapkan sanksi yang sudah ditetapkan. Tabel 2 di bawah ini akan menyajikan estimasi mengenai luas bangunan dan harga bangunan untuk menghitung retribusi IMB serta persentase tarif IMB menurut Perda Kabupaten Bandung No. 19 Tahun 2009 tentang Tata Bangunan, yang secara rinci sebagai berikut.
Tabel 2. Estimasi Luas Bangunan, Harga Dasar dan % Tarif IMB No
Harga Dasar Per M2 (Rp) Tinggi
Moderat
Rendah
% Tarif IMB
21, 36, 45, 56, 72, 90
2.000.000
1.750.000
1.500.000
0,5%
100, 150, 200, 250
3.000.000
2.750.000
2.500.000
0,5%
300, 400, 500, >500
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,5%
500
5.000.000
4.500.000
4.000.000
0,5%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
1000
5.000.000
4.500.000
4.000.000
0,5%
c.
1500
5.000.000
4.500.000
4.000.000
0,5%
150
3.000.000
2.500.000
2.000.000
0,5%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
200
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,5%
c.
250
5.000.000
4.500.000
4.000.000
0,5%
150
3.000.000
2.500.000
2.000.000
0,5%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
200
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,5%
c.
250
5.000.000
4.500.000
4.000.000
0,5%
Klasifikasi Bangunan
Luas Bangunan (m2)
Rumah Tinggal Tunggal a.
Klasifikasi Sederhana
b. Klasifikasi Tidak Sederhana c.
Klasifikasi Khusus
Rumah Tinggal Sementara a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Rumah Tinggal Jamak a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Hunian Campuran a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Industri a.
1000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,1%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
Klasifikasi Sederhana
2500
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,1%
c.
5000
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,1%
150
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,9%
250
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,9%
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Perdagangan a.
Klasifikasi Sederhana
b. Klasifikasi Tidak
201
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
No
Harga Dasar Per M2 (Rp)
Luas Bangunan (m2)
Tinggi
Moderat
Rendah
% Tarif IMB
300
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,9%
150
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,8%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
250
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,8%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,8%
Klasifikasi Bangunan Sederhana c.
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung tempat Penyimpanan a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Perhotelan a.
150
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,7%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
Klasifikasi Sederhana
250
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,7%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,7%
150
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,6%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
250
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,6%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,6%
150
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,5%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
250
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,5%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,5%
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Perkantoran a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Wisata dan Rekreasi a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Terminal a.
150
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,4%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
Klasifikasi Sederhana
250
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,4%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,4%
200
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,2%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
300
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,2%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,2%
200
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,2%
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Pendidikan a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Pelayanan Kesehatan a.
Klasifikasi Sederhana
202
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
No
Harga Dasar Per M2 (Rp)
Luas Bangunan (m2)
Tinggi
Moderat
Rendah
% Tarif IMB
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
300
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,2%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,2%
200
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,2%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
300
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,2%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,2%
200
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,2%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
300
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,2%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,2%
200
2.500.000
2.000.000
1.500.000
0,2%
b. Klasifikasi Tidak Sederhana
300
3.500.000
3.000.000
2.500.000
0,2%
c.
400
4.000.000
3.500.000
3.000.000
0,2%
Klasifikasi Bangunan
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Kebudayaan a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Olah Raga a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Bangunan Gedung Keagamaan a.
Klasifikasi Sederhana
Klasifikasi Khusus
Merujuk pada hasil estimasi jumlah rumah dan bangunan serta etimasi harga dan luas bangunan, maka dapat diperoleh estimasi Retribusi IMB bahwa 31 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung memiliki target pencapaian retribusi yang harus dikejar oleh aparat pemerintah baik di Kabupaten maupun di wilayah yaitu kecamatan, desa dan kelurahan dengan menggunakan 3 pendekatan yaitu : pencapaian retribusi dengan estimasi secara rendah, moderat dan tinggi. Jika pemerintah daerah memutuskan menggunakan model moderat, maka masing-masing kecamatan memiliki kewajiban yang harus dicapai sesuai dengan perhitungan target diatas, begitu juga jika pemerintah daerah menggunakan pendekatan rendah atau pendekatan tertinggi.
Hasil estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Rumah Tinggal Tunggal Kabupaten Bandung Tahun 2014 untuk pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 540.688.191.750, pendekatan moderat sebesar Rp 484.433.726.224 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 428.179.260.695. secara rinci perkecamatan dapat dilihat pada lampiran Tabel Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Rumah Tinggal Tunggal Perkecamatan Tahun 2014. Hasil Target Retribusi IMB Bangunan Rumah Tinggal Sementara Kabupaten Bandung Tahun 2014 untuk pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 180.042.096.000, pendekatan moderat sebesar Rp 155.805.660.000 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 131.569.224.000. Secara rinci estimasi perkecamatan dapat dilihat pada lampiran Tabel Estimasi Target
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
Retribusi IMB Bangunan Rumah Tinggal Sementara Perkecamatan Tahun 2014. Adapun estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Rumah Tinggal Jamak pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 36.354.654.000, pendekatan moderat sebesar Rp 31.204.411.350 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 26.054.168.700. Sedangkan Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Hunian Campuran adalah Rp 12.983.805.000 untuk pendekatan tinggi, sebesar Rp 11.144.432.625 berdasar pendekatan moderat dan Rp 9.305.060.250 untuk pendekatan rendah. Hasil estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Industri pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 142.821.855.000, pendekatan moderat sebesar Rp 120.749.386.500 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 98.676.918.000. Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Perdagangan pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 35.800.245.527, pendekatan moderat sebesar Rp 29.365.471.769 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 22.930.698.011. Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Tempat Penyimpanan adalah Rp 657.000.000 untuk pendekatan tinggi, sebesar Rp 538.800.000 berdasar pendekatan moderat dan Rp 420.600.000 untuk pendekatan rendah. Adapun Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Perhotelan adalah Rp 202.125.000 untuk pendekatan tinggi, sebesar Rp 173.250.000 berdasar pendekatan moderat dan Rp 144.375.000 untuk pendekatan rendah. Adapun estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Perkantoran pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 2.188.200.000, pendekatan moderat sebesar Rp 1.819.200.000 dan pendekatan rendah adalah
203
sebesar Rp 1.450.200.000. Sedangkan Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Wisata dan Rekreasi adalah Rp 56.250.000 untuk pendekatan tinggi, sebesar Rp 45.000.000 berdasar pendekatan moderat dan Rp 33.750.000 untuk pendekatan rendah. Hasil estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Terminal pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 62.000.000, pendekatan moderat sebesar Rp 49.600.000 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 37.200.000. Hasil estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Pendidikan pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 1.763.300.000, pendekatan moderat sebesar Rp 1.451.800.000 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 1.140.300.000. Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Pelayanan Kesehatan adalah Rp 177.600.000 untuk pendekatan tinggi, sebesar Rp 146.400.000 berdasar pendekatan moderat dan Rp 115.200.000 untuk pendekatan rendah. Adapun Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Kebudayaan adalah Rp 31.000.000 untuk pendekatan tinggi, sebesar Rp 24.800.000 berdasar pendekatan moderat dan Rp 18.600.000 untuk pendekatan rendah. Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Olah Raga pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 64.000.000, pendekatan moderat sebesar Rp 51.200.000 dan pendekatan rendah adalah sebesar Rp 38.400.000. Estimasi Target Retribusi IMB Bangunan Gedung Kegamaan adalah Rp 2.234.700.000 untuk pendekatan tinggi, sebesar Rp 1.840.200.000 berdasar pendekatan moderat dan Rp 1.445.700.000 untuk pendekatan rendah. Setelah menghitung estimasi masingmasing Retribusi IMB dari masing-masing klasifikasi bangunan, maka dapat diketahui
204
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
rekapitulasi target penerimaan Retribusi IMB
Kecamatan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Estimasi Target Retribusi IMB Kecamatan di Kabupaten Bandung Retribusi IMB
Asumsi Bayar Retribusi IMB (5%)
No
Nama Kecamatan
Tinggi
Moderat
Rendah
Tinggi
1
Ciwidey
22.819.441.580
20.019.121.883
17.218.802.185
1.140.972.079
Moderat
Rendah
1.000.956.094 860.940.109
2
Rancabali
17.936.283.712
15.733.146.104
13.530.008.497
896.814.186
786.657.305
676.500.425
3
Pasirjambu
23.803.481.066
20.882.475.158
17.961.469.250
1.190.174.053
1.044.123.758
898.073.463
4
Cimaung
24.003.362.867
21.055.827.037
18.108.291.207
1.200.168.143
1.052.791.352
905.414.560
5
Pangalengan
41.509.059.020
36.422.850.986
31.336.642.953
2.075.452.951
1.821.142.549
1.566.832.148
6
Kertasari
20.128.773.822
17.658.008.299
15.187.242.776
1.006.438.691
882.900.415
759.362.139
7
Pacet
29.009.745.842
25.449.956.593
21.890.167.344
1.450.487.292
1.272.497.830 1.094.508.367
8
Ibun
23.023.369.602
20.197.262.914
17.371.156.227
1.151.168.480
1.009.863.146
9
Paseh
37.119.881.644
32.569.459.620
28.019.037.596
1.855.994.082
1.628.472.981 1.400.951.880
10
Cikancung
23.016.074.976
20.190.803.017
17.365.531.057
1.150.803.749
1.009.540.151
11
Cicalengka
34.218.402.713
30.019.690.846
25.820.978.979
1.710.920.136
1.500.984.542 1.291.048.949
12
Nagreg
12.799.930.068
11.226.925.047
9.653.920.026
639.996.503
561.346.252
13
Rancaekek
47.901.473.065
42.026.983.796
36.152.494.527
2.395.073.653
2.101.349.190 1.807.624.726
14
Majalaya
44.634.709.244
39.162.063.145
33.689.417.046
2.231.735.462
1.958.103.157
1.684.470.852
15
Solokanjeruk
22.735.368.068
19.944.097.360
17.152.826.651
1.136.768.403
997.204.868
857.641.333
1.913.251.367
1.645.903.716
868.557.811 868.276.553 482.696.001
16
Ciparay
43.611.980.333
38.265.027.331
32.918.074.328
2.180.599.017
17
Baleendah
64.613.025.334
56.699.487.005
48.785.948.676
3.230.651.267
2.834.974.350 2.439.297.434
18
Arjasari
26.563.594.422
23.301.276.012
20.038.957.601
1.328.179.721
1.165.063.801
1.001.947.880
19
Banjaran
32.506.350.689
28.515.634.305
24.524.917.920
1.625.317.534
1.425.781.715
1.226.245.896
20
Cangkuang
19.196.027.887
16.839.323.898
14.482.619.909
959.801.394
841.966.195
724.130.995
19.810.030.955
17.376.855.008
14.943.679.060
990.501.548
868.842.750
747.183.953
21 Pameungpeuk 22
Katapang
32.203.583.865
28.254.812.616
24.306.041.368
1.610.179.193
1.412.740.631
1.215.302.068
23
Soreang
30.446.495.223
26.710.257.011
22.974.018.799
1.522.324.761
1.335.512.851
1.148.700.940
24 Kutawaringin
35.079.978.536
30.778.676.663
26.477.374.790
1.753.998.927
1.538.933.833 1.323.868.740
25
Margaasih
36.994.966.800
32.458.847.361
27.922.727.922
1.849.748.340
1.622.942.368 1.396.136.396
26
Margahayu
33.924.413.247
29.763.863.494
25.603.313.742
1.696.220.662
1.488.193.175
1.280.165.687
27
Dayeuhkolot
34.646.559.800
30.398.804.513
26.151.049.225
1.732.327.990
1.519.940.226
1.307.552.461
28
Bojongsoang
32.004.330.531
28.079.745.643
24.155.160.755
1.600.216.527
1.403.987.282 1.207.758.038
29
Cileunyi
44.844.588.436
39.346.218.143
33.847.847.849
2.242.229.422
1.967.310.907 1.692.392.392
30
Cilengkrang
14.330.164.021
12.568.756.134
10.807.348.247
716.508.201
31.362.574.912
27.476.681.529
23.590.788.147
1.568.128.746
31
Cimenyan TOTAL
628.437.807
540.367.412
1.373.834.076 1.179.539.407
956.798.022.280 839.392.938.471 721.987.854.659 47.839.901.114 41.969.646.924 36.099.392.733
Sumber: Pengolahan Data, 2014 Rekapitulasi Estimasi Target Retribusi IMB Kecamatan di Kabupaten Bandung berdasarkan pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 956.798.022.280, pendekatan moderat sebesar Rp 839.392.938.471 dan pendekatan rendah sebesar Rp 721.987.854.659. Jika Asumsi Bayar Retribusi
IMB sebesar 5%, maka rekapitulasi Estimasi Target Retribusi IMB Kecamatan di Kabupaten Bandung berdasarkan pendekatan tinggi adalah sebesar Rp 47.839.901.114, pendekatan moderat sebesar Rp 41.969.646.924 dan pendekatan rendah sebesar Rp 36.099.392.733.
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207
Melihat hasil estimasi tersebut, masih terdapat potensi untuk meningkatkan Retribusi IMB di Kabupaten Bandung. Adapun pendekatan yang dapat diambil adalah pendekatan tinggi, moderat atau rendah, dimana masing – masing mempunyai besaran yang berbeda dan konsekuensi yang berbeda pula. SIMPULAN Berdasarkan hasil estimasi, maka disimpulkan bahwa potensi penerimaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Bandung cukup bagus, baik berdasarkan pendekatan tinggi, moderat ataupun rendah. Diperlukan strategi yang tepat untuk meningkatkan penerimaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Bandung. Hal yang disarankan untuk merealisasikan estimasi retribusi adalah; 1) Pada tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Kabupaten Bandung disarankan agar menetapkan target penerimaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dalam APBD menggunakan angka hasil perhitungan potensi dan meninggalkan metode incremental yang hasilnya lebih rendah dari yang seharusnya dapat dicapai, 2) Menyiapkan SDM yang berkualitas dan unggul dalam hal teknis dan teoritis untuk melakukan proses sosialisasi, pemungutan dan pengawasan, serta pengelolaan retribusi IMB dengan baik, dan 3) Melakukan pengawasan secara aktif dan berkala untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dari rencana-rencana, instruksi-instruksi, saran-saran dan sebagainya yang telah di tetapkan, sehingga dengan adanya pengawasan yang dilakukan segala apa yang direncanakan dapat diwujudkan. Serta pengawasan yang ekstra keras agar pembangunan yang dilakukan
205
masyarakat sudah memiliki IMB. Sebab dengan adanya pengawasan yang maksimal, diharapkan kepedulian dan keinginan masyarakat untuk mengurus IMB semakin besar dan tinggi. DAFTAR PUSTAKA Agustino,E, Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Journal : CURES Working Paper No 05/01 January 2005, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya . Ahmad, Jamaluddin, 1990, Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, Studi Kasus DI Aceh, Jawa timur dan DKI Jakarta, Desertasi Doktor UGM, Yogyakarta (Tidak Dipublikasikan). Arsyad, Nurjaman, 2004, Hubungan Fiskal Antar Pemerintahan di Indonesia, Peranan dan Masalahnya, Journal : Analisis CSIS, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri dan Fisipol UGM,1991, Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Tingkat II dalam Rangka Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Jakarta. Bawazier, Fuad, 1996. “Pungutan Pada Dunia Usaha”. Seri Kajian Fiskal dan Moneter, No.19, hal. 5-14. Binder, Briant, 1984. “A Possible Concept for Equalization, Grant for Indonesia Regional Development”. Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol. 12, hal. 13-25. Boadway dan Wildasin, 1984, Public Sector Economic, Second, Litle Brown, Boston, Torronto. Booth, Anne, 2001. “Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan”. Dalam Donald K Emmerson, (Ed.), 2001. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Davey, Kenneth,1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Praktek dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, terjemahan Amanullah, UI Press, Jakarta. David, FR, 1997. Strategic Management 6th Edt. New Jersey: Prentice Hall. Deny, Junanto, (2002) Penerapan Desentralisasi Fiskal Untuk Meningkatkan Sektor Pariwisata, Journal Bunga Rampai LAN, Jakarta. Devas Nick, Brian Blinder Anne Booth, Kenneth Davey, Roy Kelly, Penterjemah Masri Maris, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta.
206
Fernandes Simangunsong, Kajian Evaluasi Penetapan Target Penerimaan Retribusi Imb Kecamatan Di Kabupaten Bandung
Halim, Abdul, 2004. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Ichsan, dkk,1997, Administrasi Keuangan Daerah : Pengelolaan dan Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), cetakan pertama, PT Danar Wijaya, Brawijaya University Press, Malang. Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Ismail, Tjip, 2003. “Peran Pendapatan Asli Daerah Sebagai Pendamping Dana Perimbangan Dalam Pembiayaan Pembangunan Guna Mewujudkan Kemandirian Daerah”. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Departemen Keuangan. Kristiadi,J.B.,1988, Masalah Sekitar Pendapatan Daerah, Prisma No 12, LP3ES, Jakarta. Lains, Alfian, 1985. “Pendapatan Daerah Dalam Ekonomi Orde Baru”. Prisma, No. 4, 40. Lewis, Blane D, 2003. Some Empirical Evidence On New Regional Taxes And Charges In Indonesia. Laporan Penelitian, Research Triangle Institute, Nort Carolina, USA. Mamesah, 1997 Sistem Administrasi Keuangan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mardiasmo,2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit : Andi Offset, Yogyakarta. Meliala, Tulis S, 1991. Perpajakan Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Yama Widya Dharma. Musgrave Richard A and Musgrave Peggy B,1989, Public Finance Theory and Practice, Journal : Analisis CSIS, Jakarta. Pasalbessy,Victor,2005. Analisa Sumber-sumber PAD yang Potensial Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Jayapura, Tesis.Pascasarjana Unibraw, Malang.Tidak dipublikasikan. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2000 Tentang Retribusi Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Pajak Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Tata Bangunan. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu.
Prihanto Eko Y, 2001, Laporan Penelitian, Pendapatan Asli Daerah Pasca UU No 18 Tahun 1997, Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka, Malang Radianto, Elia,1997, Otonomi Keuangan Daerah Tangkilisan, Hessel Nogi S., 2005. Manajemen Tingkat II Suatu Studi di Maluku, Journal : Prisma, VOL.IX, No.3.24-37. Putri, Phany Ineke. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak. JEJAK Journal of Economics and Policy. Vol 6 No 2 (2013). Septiawan,Dwi, 2004. Kemampuan Keuangan Daerah Ditinjau Dari Kontribusi Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Pasuruan, Tesis, Pascasarjana Unibraw, Malang.Tidak dipublikasikan. Shackelford, Douglas A., Shaviro, Daniel N., and Slemrod, Joel. 2010. Taxation And The Financial Sector. National Tax Journal, December 2010, 63 (4, Part 1), 781–806. Soeratno dan Suparmoko, 2002, Urgensi Pajak Daerah dan Penghasilan Daerah dalam Struktur Pendapatan Asli Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Akuntansi dan Manajemen Edisi I, Agustus 2002, Hal 13-21 Sutrisno,PH, 1982, Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara, Cetakan III, BPFE UGM, Yogyakarta. Syahroni, 2002. Pengertian Dasar dan Generik Tentang Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta: German Technical Cooperation (GTZ). Swasono, Sri Edi, 2004. “Pembangunan Menggusur Orang Miskin Bukan Menggusur Kemiskinan”. Mimeo, makalah pada seminar bulanan ke 20 Pustep-UGM. Taylor, Madeline. 2013. Is it a levy, or is it a tax, or both? Revenue Law Journal. Vol 22 Issues 1. Todaro, Michael P., 1991. Economic Development in The Third World, 4th edition. New York dan London: Longman Publishing. Tumilar,RLH,1997, Otonomi Keuangan dan Ekonomi Daerah Tingkat II di Propinsi Sulawesi Utara, Tesis PS IESP UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 189-207 Yani, Ahmad, 2008, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Yuwono,Sony, 2008, Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah), Bayumedia Publishing, Jawa Timur. Yustika,Ahmad Erani,2006, Perekonomian Indonesia (deskripsi, preskripsi dan kebijakan) Banyumedia Publishing, Malang.
207