Jejak Vol 8 (2) (2015): 151-162. DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6167
JEJAK Journal of Economics and Policy http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak
EFISIENSI TEKNIS, ALOKATIF DAN EKONOMI BUDIDAYA PADI Avi Budi Setiawan 1, Prasetyo Ari Bowo2 FE, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6167 Received: Juli 2015; Accepted: Agustus 2015; Published: September 2015
Abstract This research aims to analyse efficiency of rice cultivation at Grobogan regency. This regency was chosen as the research area because it gave major contribution in the rice crop in Central Java province and it has become national food stock. There are three efficiency analyses: technical, allocative, and economic analyses. The result showed that the farmers in Grobogan regency were still not efficient both technically and economically in growing the rice.The inefficiency was driven due to the overuse of input. The excessive use of production factor caused the decrease of soil quality. It then made the production of the crop less optimal. Besides, the use of excessive inputs caused decreasing return to scale because of the generated marginal output was less than the marginal input.
Keywords: Efficiency, Rice, Technical, Allocative, Economy, Grobogan.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi pada budidaya tanaman padi di Kabupaten Grobogan.Kabupaten Grobogan dipilih sebagai daerah penelitian karena menjadi penyumbang utama hasil panen padi di Provinsi Jawa Tengah dan menjadi lumbung pangan nasional. Terdapat tiga analisis efisiensi yakni efisiensi teknis,alokatif dan efisiensi ekonomi. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa petani padi di Kabupaten Grobogan masih belum efisien dalam membudidayakan tanaman padi baik secara teknis, harga maupun ekonomi.diketahui bahwa penyebab inefisiensi adalah penggunaan input yang berlebihan. Penggunaan factor produksi yang berlebihan justru menyebabkan kualitas tanah menjadi menurun sehingga tidak dapat menghasilkan panen yang optimal. Selain itu, penggunaan input yang berlebihan ternyata bersifat decreasing return to scale karena marginal output yang dihasilkan lebih sedikit dari marginal input yaaang dikeluarkan.
Kata Kunci: Efisiensi, Padi, Teknis, Alokatif, Ekonomi, Grobogan How to Cite: Budi Setiawan, A., & Ari Bowo, P. (2016). EFISIENSI TEKNIS, ALOKATIF DAN EKONOMI BUDIDAYA PADI. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 8(2), 151-162. doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6167
© 2015 Semarang State University. All rights reserved
Corresponding author : Address: Kampus Unnes Sekaran, Semarang 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 1979-715X
152
Avi Budi Setiawan dan Prasetyo Ari Bowo , Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Budidaya Padi
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor utama yang memegang peranan dalam pembangunan ekonomi daerah. Pertanian merupakan salah satu faktor penting mengingat kebutuhan konsumen akan pangan sangatlah besar, mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia juga berasal dari sektor agraris. Di era globalisasi ini pengembangan sektor pertanian harus dilakukan mengingat komoditas pertanian tidak hanya menjadi barang konsumsi namun juga komoditas industri baik sebagai bahan baku, maupun barang siap konsumsi (Mahabubul, 2009). Ekonomi Pembangunan secara umum dan ekonomi pertanian memiliki fokus terhadap bagaimana sector pertanian dapat memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.(Svotwa, 2009). Sektor pertanian di Indonesia merupakan salah satu sektor utama penggerak perekonomian hal ini dibuktikan dengan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia merupakan yang terbesar kedua setelah sektor industri.Dalam pengembangannya sektor pertanian masih terkonsentrasi di Pulau Jawa terutama untuk komoditas tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai).Sehingga Pulau Jawa dapat dikatakan merupakan penopang sektor pertanian di Indonesia.Dimana dalam kontribusinya terhadap peta pertanian nasional provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah agraris utama di pulau jawa. Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah pemasok pangan nasional. Kontribusi produksi pangan beras mencapai 16% dari produksi beras nasional (Dispertan Jateng: 2007). Perbandingan produksi
beberapa komoditas pangan penting, dapat dilihat pada Tabel 1
nasional
Tabel 1. Penyediaan Pangan Jawa Tengah Tahun 2009-2010 (dalam ton) Pertu No Komoditas 2009 2010 mbuh 1 Padi 5.362.423 5.634.368 5,07 an 2 Jagung 2.782.63 2.949.831 6,01 3 Kedelai 3,65 9148.883 154.312 4 Daging 303.173 319.381 5,35 5 Telur 281.559 295.975 5,12 7 Susu 317.427 323.775 2,00 Sumber: Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Jawa Tengah tahun 2010 Dari tabel 1 dapat kita lihat bahwa komoditas padi adalah komoditas tertinggi di Jawa Tengah, sedangkan komoditas terendah adalah komoditas telur. Secara pertumbuhan dari tahun 2009 sampai tahun 2010, komoditas jagung memiliki pertumbuhan tertinggi dalam hal penyediaan pangan yaitu 6,01 persen. Kabupaten Grobogan adalah Kabupaten dengan luas wilayah terluas ketiga di Jawa Tengah terdiri dari 18 kecamatan.Dengan potensi luas wilayah yang besar menjadikan Kabupaten Grobogan sebagai salah satu lumbung pangan di Jawa Tengah bahkan Indonesia, mayoritas penduduk Kabupaten Grobogan juga bekerja di sektor pertanian. Komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Grobogan terdiri dari tiga komoditas yaitu padi, jagung, dan kedelai. Ketiga komoditas tersebut menjadi komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Grobogan mengingat kontribusinya yang besar terhadap total output sektor pertanian dan kualitas produksi yang baik. Oleh karena penelitian ini dilakukan pada komoditas padi mengingat komoditas tersebut terhadap produksi pertanian di Kabupaten Grobogan.
153
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 151-162
Tabel 2. Produksi Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten Grobogan tahun 2010 (dalam ton) No. 1.
Komoditas Padi
Produksi 663.758
2.
Jagung
708.013
3. 4.
Kedelai Kacang Hijau
78.164 23.842
5.
Kacang Tanah
1.441
Sumber: BPS Kabupaten Grobogan tahun 2010 Produksi komoditas jagung adalah komoditas tertinggi di Kabupaten Grobogan,
hal ini dapat kita lihat pada tabel 2.Sedangkan komoditas padi tertinggi kedua setelah komoditas jagung.Padi merupakan salah satu komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Grobogan, seluruh petani selalu menanam padi setiap tahun dengan intensitas penanaman yang bervariasi tergantung pada topografi wilayah dan ketersediaan jaringan irigasi.Ketersediaan faktor produksi seperti pupuk dan benih bersertifikat juga menjadi alasan petani untuk menanam padi.
Tabel 3. Sentra Padi yang Tersebar pada 12 Kabupaten di Jawa Tengah tahun 2010 (kw/ha) Kabupaten/Kota
Luas Panen (ha)
Hasil/Hektar (kw)
Produksi (ton)
01.
Cilacap
135.233
57,39
776.165
02.
Banyumas
69.728
54,66
381.161
03.
Kebumen
76.667
58,25
446.585
04.
Klaten
54.801
55,40
303.591
05.
Sragen
95.876
56,56
542.299
06.
Grobogan
110.104
62,31
686.003
07.
Blora
80.110
53,41
427.899
08.
Pati
110.836
54,99
609.506
09.
Demak
102.863
58,69
603.689
10.
Pemalang
78.333
49,72
389.455
11.
Tegal
63.775
55,24
352.299
12.
Brebes
93.567
60,74
568.324
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 Tabel 3 menunjukkan bahwa Kabupaten Grobogan dengan luas panen sekitar 110.104 hektar, memiliki hasil panen yang tertinngi di antara kabupaten di Jawa Tengah yaitu sebesar 62,31 kuintal/hektar. Tingginya kontribusi Kabupaten Grobogan terhadap total produksi komoditas pertanian di Jawa Tengah khususnya komoditas
tanaman pangan padi membuat Kabupaten Grobogan menjadi salah satu sentra pertanian di Provinsi Jawa Tengah terlebih dengan luas wilayah Kabupaten Grobogan adalah yang terbesar ketiga di Jawa Tengah tentu saja akan berdampak pada semakin besarnya lahan usahatani potensial yang digarap.
154
Avi Budi Setiawan & Prasetyo Ari Bowo, Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Budidaya Padi
Tabel 4. Target dan Realisasi Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai di Kabupaten Grobogan tahun 2010 No. Komoditas Target Realisasi Produksi Produksi (ton/Ha) (ton/ Ha) 1.
Padi
10
6,33
2. 3.
Jagung Kedelai
5,5 3
5,3 2,5
Sumber: Dipertan TPH Kabupaten Grobogan 2010
Pemerintah Kabupaten Grobogan yang dalam hal ini adalah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura. Target yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah 10 ton per hektar, namun realisasi produksi usaha tani padi hanya 6,33 ton per hektar. Tingkat produktivitas yang di bawah target tersebut merupakan permasalahan dalam penelitian ini apakah terjadi inefisiensi pada usahatani padi yang menyebabkan produksi berada di bawah target pencapaian. METODE PENELITIAN
Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara target produksi tanaman pangan untuk komoditas padi, jagung dan kedelai dengan realisasi produksi di lapangan. Ketidaksesuaian antara target dan realisasi ini merupakan sebuah fenomena yang perlu untuk dikaji terutama terkait dengan efisiensi usahatani. Bahwa patut diduga terjadi inefisiensi penggunaan faktor produksi yang menyebabkan produksi di bawah target yang ditetapkan. Sektor pertanian dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan penggunaan input dan meningkatkan produkstivitas. Komponennya meliputi tenaga kerja, air, tanah, pestisida, dan pupuk. (Masood Anwar, 2015). Pertanian juga merupakan masalah politik yang penting karena mencerminkan keadaan ketahanan pangan suatu negara, karena mencapai dan mempertahankan pertanian swasembada adalah tujuan utama suatu negara.(Baldwin, 2013). Komoditas padi merupakan komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Grobogan, kebutuhan masyarakat sangat besar terhadap permintaan ketiga komoditas ini.Produktivitas usahatani padi di Kabupaten Grobogan ternyata berada di bawah target yang ditetapkan oleh
Menurut Arikunto (2010: 173) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi.Studi atau penelitiannya disebut studi populasi atau studi sensus.Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang pasar Karangayu Kota Semarang yang berjumlah 1934 pedagang. Menurut (Sugiyono, 2010: 118) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi.Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Penentuan sampel dihitung dengan rumus yaitu sebagai berikut. 𝑁
rumus sampel : n = 1+𝑁𝑒 2 Dimana : N adalah Ukuran populasi N adalah Ukuran populasi ( jumlah seluruh populasi pedagang pasar Karangayu ) e adalah presentase ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir atau diujikan, untuk penelitian ini digunakan 10% (slovin dalam Riyan, 2009: 28).
155
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 151-162
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model fungsi produksi dengan pendekatan produksi frontier stokastik 8 variabel. Model matematis fungsi produksi usaha tani padi, jagung, dan kedelai dengan
pedekatan produksi frontier stokastik dalam penelitian ini adalah: Usahatani Padi LnYp=b0 + b1LnX1p + b2LnX2p + b3LnX3p+ b4LnX4p + b5LnX5p+b6LnX6p+ b7LnX7p + b8LnX8p (V1-U1)
Tabel 5. Definisi Variabel Fungsi produksi usaha tani padi, jagung, dan kedelai No
Variabel
Kode
Definisi
Skala pengukuran
Usahatani Padi 1
Dependen
Yp,j,k
Produksi
Rp, Kg
2
Independen
X1 p,j,k
Luas lahan
Rp, Hektar
X2 p,j,k
Bibit
Rp, Kg
X3 p,j,k
Pupuk UREA
Rp, Kg
X4 p,j,k X5 p,j,k
Pupuk TSP Pupuk Phonska
Rp, Kg Rp, Kg
X6 p,j,k X7p X8p
Tenaga Kerja Obat-obatan jenis 1 (regent) Obat-obatan jenis 2 (saprodap)
Rp, Jam Kerja Rp, Liter Rp, Liter
X7j X8j
Obat-obatan jenis 1 (regent) Obat-obatan jenis 2 (gusadrin)
Rp, Liter Rp, Liter
X7k
Obat-obatan jenis 1 (skor)
Rp, Liter
X8k
Obat-obatan jenis 2 (atabron)
Rp, Liter
b0 b1-b8
Intersep Koefisien regresi
Efisiensi Teknis Dalam penghitungan efisiensi teknis dapat dilakukan pendekatan rasio varian sebagai berikut: = (u2) / (v2 + u2) Apabila mendekati 1, u2 mendekati nol dan uiadalah tingkat kesalahan dalam persamaan di atas menunjukkan inefisiensi. Dalam penelitian ini, perbedaan pengelolaan dan hasil efisiensi adalah bagian terpenting karena kekhususan dalam pengelolaan. Selanjutnya analisis tersebut untuk mengidentifikasi pengaruh-
pengaruh dari perbedaan beberapa faktor.Untuk mendapatkan efisiensi teknis (TE) dari usaha tani padi, jagung, dan kedelai dapat dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut: TE = exp [E(i | ei)] Dimana 0 TEi 1 dan exp [E(i | ei)] adalah stochastic production frontier. Efisiensi Harga Menurut Nicholson (2002), efisiensi harga tercapai apabila perbandingan antara nilai produktivitas marginal masing-masing
156
Avi Budi Setiawan & Prasetyo Ari Bowo, Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Budidaya Padi
input (NPMXi) dengan harga inputnya (v i) sama dengan 1. Kondisi ini menghendaki NPMxsama dengan harga faktor produksi X, atau dapat ditulis sebagai berikut: NPM = Px
bYPy X
= Px
Dimana: Px = harga faktor produksi Dalam praktek nilai Y, PY, X dan PX adalah diambil nilai rata-ratanya, sehingga persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut:
bYPY =1 XPX Efisiensi Ekonomi Efisiensi ekonomi merupakan hasil kali antara seluruh efisiensi dengan efisiensi harga/alokatif dari seluruh faktor input. Efisiensi ekonomi usaha tani padi, jagung, dan kedelai dapat dinyatakan sebagai berikut: EE = TER.ARE Dimana: EE = Efesiensi Ekonomi TER = Technical Efficiency Rate AER = AllocativeEfficiency Rate Menurut Suryawati (2005) dalam Yulianik (2006), efisiensi ekonomi merujuk kepada produksi dengan ongkos terendah (least-cost production). Dengan kata lain, pada jumlah output tertentu, produsen mencapai efisiensi ekonomi dalam produksinya jika dan hanya jika produsen menggunakan faktor-faktor produksi (input) pada rasio tertentu di mana ongkos (per unit input) untuk sejumlah output tersebut adalah paling rendah. HASIL DAN PEMBAHASAN Efisiensi Teknis Secara definisi efisiensi teknis berarti hubungan antara tingkat pengunaan input
dan output yang dihasilkan. Apabila dikaitkan dengan produksi usahatani maka efisiensi teknis adalah hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan oleh petani dengan hasil panen yang didapat, apakah input yang dikeluarkan telah sebanding dengan output yang dihasilkan. Efisiensi teknis dinyatakan dengan notasi antara 0 hingga 1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa tingkat efisiensi usahatani padi di Kabupaten Grobogan adalah sebesar 0,8741. Hal ini berarti usahatani padi di Kabupaten Grobogan masih belum efisien secara teknis. Para petani di Kabupaten Grobogan masih belum mampu memanfaatkan faktorfaktor produksi yang dimiliki sehingga menyebabkan usahatani padi yang mereka jalani belum efisien secara teknis. Tingkat efisiensi teknis yang kurang dari 1 menunjukan bahwa petani umumnya terlalu banyak dalam menggunakan faktor produksi yang dimiliki sehingga justru menyebabkan ketidakefisienan. Petani dianggap perlu untuk mengurangi penggunaan faktor produksi yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi usahatani padi. Efisiensi Harga Efisiensi harga adalah suatu kondisi dimana nilai produktivitas marjinal (NPM) masing-masing input dan harga input nilainya sama dengan 1. Artinya bagaimana produsen dapat memaksimalkan keuntungannya. Berdasarkan hasil penelitian dengan menghitung nilai Net Profit Margin (NPM) untuk masing-masing variabel maka dapat diketahui bahwa usahatani padi di Kabupaten Grobogan masih belum efisien secara harga. Hal ini dapat dilihat dari tabel 6 yaitu nilai NPM untuk masing-masing variabel masih lebih besar dari 1 yang artinya
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 151-162
seluruh faktor produksi usahatani padi masih belum efisien secara harga. Ditambah lagi dengan nilai rata-rata NPM yang menunjukan tingkat efisiensi harga secara keseluruhan dengan nilai 1,08. Dengan demikian dapat dikatakan usahatani padi masih belum efisien secara harga. Tabel 6. Efisiensi Harga Usahatani Padi No.
Variabel
NPM
1
Luas Lahan
-256,405
2
Benih
56,48
3
Pupuk Urea
3,84
4
Pupuk TSP
27,85
5
Pupuk Phonska
4,56
6
Tenaga Kerja
-14,64
7
Obat-obatan jenis 1
-75,26
8
Obat-obatan jenis 2
266,131
Efisiensi Harga
1,08
Sumber: Data primer diolah Para petani padi di Kabupaten Grobogan dianggap masih belum mampu memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani dianggap belum sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Inefisiensi usahatani padi secara harga ini yang ditunjukan dengan nilai NPM total sebesar 1,08 menunjukan bahwa petani masih perlu meningkatkan tingkat efisiensi usahatani secara harga dan perlu untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dengan cara melakukan efisiensi pada elemen biaya faktor produksi. Akan tetapi usahatani padi secara harga sudah hampir mencapai tingkat efisiensi harga karena nilai NPM total telah mendekati angka 1. Efisiensi Ekonomi Efisiensi ekonomi sendiri adalah hasil kali antara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Tingkat efisiensi ekonomi
157
menggambarkan kondisi efisiensi secara keseluruhan Berdasarkan hasil penghitungan efisiensi ekonomi maka diketahui bahwa nilai efisiensi ekonomi usahatani padi di Kabupaten Grobogan sebesar 0,94. Hal ini berarti usahatani padi yang dijalankan oleh petani masih belum efisien secara ekonomis sehingga perlu dilakukan perubahan dalam komposisi penggunaan faktor-faktor produksi agar tercapai efisiensi ekonomis. Efisiensi ekonomi = 0,8741 . 1,08 = 0,94 Nilai efisiensi ekonomi untuk usahatani padi yang sebesar 0,94 ini memang memberikan arti bahwa usahatani padi di Kabupaten Grobogan memang masih belum efisieni secara ekonomi, ditambah lagi secara teknis dan harga usahatani padi juga masih belum efisien. Akan tetapi nilai efisiensi ekonominya telah mendekati angka 1. Kondisi ini memberikan sebuah pernyataan baru bahwa walaupun usahatani padi masih belum efisien secara ekonomi akan tetapi tingkat efisiensi usahatani padi sudah hampir mendekati efisien karena telah mendekati angka 1. Komoditas padi merupakan komoditas yang utama dan selalu dibudidayakan oleh petani di Kabupaten Grobogan pada setiap tahunnya. Apabila usahatani yang dijalankan menggunakan lahan sawah maka pasti petani akan menanam padi. Yang menjadi perbedaan antara petani satu dan yang lain pada masing-masing wilayah adalah intensitas penanamannya. Ada yang menanam dua kali setahun ada yang hanya sekali dalam setahun. Kondisi di atas menggambarkan bagaimana pentingnya komoditas padi bagi mata pecaharian petani di Kabupaten Grobogan, sehingga diperlukan serangkaian strategi dan analisis yang tepat guna
158
Avi Budi Setiawan & Prasetyo Ari Bowo, Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Budidaya Padi
mencapai kemajuan petani dengan komoditas padi sebagai komoditas utama. Dari hasil penelitian telah dibahas bahwa usahatani padi masih belum efisien baik secara teknis, harga maupun ekonomis. Disebutkan bahwa petani belum mampu
mengoptimalkan penggunaan faktor-faktor produksi agar lebih efisien. Nilai efisiensi seperti yang ditampilkan pada tabel di 7 menunjukan bahwa usahatani padi belum efisien secara keseluruhan.
Tabel 7. Hasil penghitungan Efisiensi Teknis, Harga, dan Ekonomi Usahatani Padi Nilai Efisiensi Keterangan
Teknis
Harga
Ekonomi
0,8741 Belum efisien
1,08 Belum efisien
0,94 Belum efisien
Sumber: Data primer diolah Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui bahwa petani banyak menemui kendala dalam menjalankan usahataninya. Banyak hambatan yang harus dihadapi oleh petani. Sebagai contoh, petani kurang mendapatkan informasi dan pengetahuan yang cukup terkait usahatani padi. Petani padi di Kabupaten Grobogan sering tidak mengetahui komposisi penggunaan faktor-faktor produksi. Dengan kata lain, petani sering menggunakan faktor produksi secara tidak proporsional. Dalam kasus di lapangan sering ditemukan kejadian bahwa penggunaan pupuk urea dan TSP serta Phonska oleh petani untuk merawat tanaman padi dianggap terlalu berlebihan, sehingga justru akan mengurangi tingkat kesuburan tanah karena zat yang terkandung di dalam tanah menjadi berlebihan dan pekat. Kondisi ini membuat pertumbuhan tanaman terganggu dan tidak maksimal, yang akibatnya menjadikan hasil panen tidak bagus. Petani awalnya menganggap bahwa dengan pemberian pupuk dalam jumlah besar akan membuat hasil panen padi menjadi melimpah. Akan tetapi sebaliknya, kondisi ini malah justru mengurangi tingkat kesuburan tanah. Serupa dengan kondisi ini penelitian yang dilakukan Yulianik (2006)
juga mengatakan bahwa penggunaan faktorfaktor produksi untuk usahatani masih belum efisien secara teknis diduga karena penggunaan faktor produksi yang terlalu berlebihan sehingga diperlukan pengurangan penggunaan faktor produksi agar tercapai efisiensi. Akan tetapi, kerugian yang diperoleh oleh petani yang menjual gabah dalam kondisi basah kepada tengkulak juga cukup banyak. Pertama, petani kehilangan harga gabah yang ditetapkan oleh pemerintah dalam mekanisme HPP karena gabah yang dijual adalah gabah basah. Padahal harga gabah kering jauh lebih mahal dibandingkan harga gabah basah. Margin keuntungan yang besar ini nantinya tidak dinikmati oleh petani namun oleh tengkulak dan pedagang besar. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa petani padi tidak memiliki posisi tawar yang tinggi. Petani yang menanam padi dengan susah payah dan penuh dengan kesulitan pada saat panen justru tidak terlindungi dengan kebijakan yang baik. Berlawanan dengan realitas empiris di atas, teori bauran pemasaran menyatakan bahwa harga ditentukan oleh produsen yang dalam hal ini adalah petani. Apabila kondisi ini terealisasikan maka petani akan dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik karena
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 151-162
bertindak sebagai price maker. Akan tetapi kondisi di lapangan berjalan sebaliknya. Petani padi tidak dapat menentukan harga jual gabah, otomatis petani tidak dapat menikmati harga jual gabah yang baik karena penetapan harga gabah ditentukan oleh mekanisme pasar dalam hal ini gudang beras besar, dan distributor beras yang sangat mempengaruhi harga, belum lagi peran tengkulak sebagai spekulan ikut mempengaruhi harga. Implikasinya adalah margin harga yang sangat besar antara gabah di sawah dengan beras konsumsi namun margin harga tersebut tidak dinikmati petani Petani padi di Grobogan memang sudah menggunakan benih unggul dan berlabel. Sehinggakualitas benih yang ditanam tentu saja baik. Namun, penggunaan benih yang berlebihan juga diduga menjadi penyebab inefisiensi usahatani padi di Kabupaten Grobogan. Berdasarkan hasil pengamatan dan penjelasan dari petani-petani padi diketahui bahwa kadang-kadang petani harus mengulang kembali melakukan penebaran benih di lokasi persemaian padi karena benih yang ditebar sebelumnya telah rusak karena hama atau diterjang banjir. Pengulangan penyemaian ini tentu saja membuat bibit yang ditebar menjadi lebih banyak dan biaya yang dikeluarkan lebih besar. Penyediaan pupuk juga menjadi perhatian terkait inefisiensi pada usahatani padi baik secara teknis, harga maupun ekonomis. Selama ini memang kebutuhan petani akan pupuk urea dapat dipenuhi melalui pupuk bersubsidi. Untuk pupuk TSP dan Phonska kebutuhan petani relatif tidak besar karena kedua pupuk ini hanya bersifat komplementer. Meskipun penggunaannya tidak disubsidi oleh pemerintah namun karena kebutuhan akan kedua jenis pupuk
159
ini tidak banyak maka implikasinya terhadap biaya produksi tidak begitu signifikan. Penggunaan pupuk urea secara masiv olehpetani membuat ketersediannya di pasar menjadi tidak menentu. Selama ini, kebutuhan petani untuk pupuk urea disuplai melalui kelompokkelompok tani. Jadi hanya petani yang menjadi anggota kelompok tani saja yang dapat membeli pupuk bersubsidi. Kenyataannya, petani sering mengalami kekurangan pasokan pupuk urea. Hal ini dikarenakan jatah yang diterima oleh petani memang belum proporsional, kemudian sering ditemukan kejadian bahwa menjelang musim tanam pupuk sering langka dipasaran. Petani yang semula menggantungkan kebutuhan pupuknya dari kelompok tani terpaksa harus membeli pupuk yang tidak bersubsidi karena untuk memenuhi kebutuhan akan pupuk. Tentu saja harganya menjadi lebih mahal, ditambah lagi dengan kondisi menjelang masa tanam ketika pupuk langka lalu petani terpaksa membeli dengan harga yang jauh lebih mahal. Distribusi pupuk yang terlalu panjang juga diduga menyebabkan inefisiensi usahatani padi. Hal ini dapat terjadi mengingat panjangnya mata ranta distribusi memungkinkan ada margin harga pada masing-masing rantai akibat harapan keuntungan yang ingin diperoleh oleh distributor tersebut. kondisi ini tentu saja membuat harga jula pupuk pada level petani menjadi mahal. Terlebih beban harga jual yang tinggi ini tentu saja dibebankan kepada konsumen yang dalam hal ini adalah petani. Sesuai dengan hal ini Budi Setiawan (2008) juga menyatakan bahwa mata rantai distribusi pupuk yang terlalu panjang menghambat kinerja usahatani padi. Petani
160
Avi Budi Setiawan & Prasetyo Ari Bowo, Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Budidaya Padi
menunggu pupuk datang terlalu lama sedangkan masa tanam sudah dimulai sehingga membuat petani terpaksa mengandalkan pupuk non subsidi dengan harga jauh lebih mahal. Hal ini belum lagi dengan tidak sesuainya pasokan pupuk yang dikirimkan kepada petani lewat kelompok tani dengan kebutuhan akan pupuk bersubsidi. Sektor pertanian berbeda dengan sektor formal. Pada sektor formal tenaga kerja mendapatkan jam kerja yang jelas dan terencana. Namun, tenaga kerja pada sektor pertanian berbeda karakternya dengan pada sektor formal. Di sektor pertanian, tenaga kerja tidak bekerja setiap hari. Namun pada saat-saat tertentu saja. Misalnya menjelang masa tanam, perawatan, dan masa panen dan pasca panen jika tidak ditebas kepada tengkulak. Tenaga kerja di sektor pertanian sering disebut pengangguran musiman, karena bekerja hanya pada saat musimmusim tertentu saja. Upah tenaga kerja biasanya dihitung dengan sistem harian. Tidak ada mekanisme UMR di sektor pertanian. Terlebih biasanya yang bekerja di sawah adalah anggota keluarga yang sifatnya membantu. Beberapa waktu lalu di salah satu wilayah di Kabupaten Grobogan terjadi hama wereng, petani mengalami gagal panen karena sawah yang siap panen langsung rusak karena diserang wereng. Rusaknya tanaman berlangsung sangat cepat dan menyebabkan kerugian yang besar karena efek terburuk dari wereng adalah gagal panen. Petani berupaya untuk mengatasi wereng dengan menyemprotkan obat-obatan namun yang terjadi justru sebaliknya, hama wereng semakin banyak dan semakin meluas wabah wereng ke sawah-sawah sekitarnya. Tingginya biaya pembelian obat-obatan namun dengan tidak teratasinya masalah hama penyakit tadi menyebabkan inefisiensi
usahatani padi karena dorongan biaya produksi tidak diikuti dengan peningkatan produksi, malah justru terjadi penurunan produksi. Pada usahatani padi, kebanyakan petani mengusahakan kegiatan pertanian di atas lahan sendiri, meskipun ada pula lahan sewa yang digarap. Biasanya lahan sewa berasal dari tanah desa yang disewakan dengan sistem lelang tahunan. Harga sewa lahan sangat ditentukan oleh lokasi lahan sawah berada. Lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, dekat dengan jaringan irigasi akan memiliki nilai sewa yang tinggi. Teori von thunen mengatakan bahwa harga tanah akan semakin mahal apabila semakin dekat dengan lokasi jalan raya, namun hal ini sedikit berbeda dengan kondisi realitas di lapangan yang menunjukan bahwa lahan pertanian akan semakin mahal apabila dekat dengan jaringan irigasi (pengairan), dan tingkat kesuburan yang tinggi. Sesuai dengan hal ini, David Ricardo menyatakan bahwa nilai sewa tanah akan semakin mahal apabila memiliki tingkat ksuburan yang tinggi dan dekat dengan jaringan irigasi. SIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan ini diperoleh beberapa kesimpulan bahwa usahatani padi, masih belum efisien baik secara teknis, harga dan ekonomi. Hal ini ditunjukan dengan nilai efisiensi teknisnya sebesar 0,8741 kemudian efisiensi harga 1,08 dan efisiensi ekonomi 0,94. Hal ini disebabkan karepa penggunaan factor produksi yang terlalu berlebihan. Penggunaan factor produksi yang berlebihan justru menyebabkan tanah menjadi jenuh dan tidak optimal karena eksploitasi berlebihan. Di sisi lain, biaya produksi usahatani menjadi besar karena pengunaan
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 151-162
factor produksi yang terlampau banyak sehingga keuntungan yang diharapkan juga tidak dapat maksimal karena output yang tidak optimal dan input yang besar. Maka dari itu, perlu upaya pendampingan dari penyuluh pertanian dan praktisi pertanian untuk memberitahukan kepada petani bahwa apa yang mereka lakukan selama ini ternyata belum efisien. Perlu ada transformasi penggunaan factor produksi dan perubahan paradigma yang memandang semakin banyak input maka semakin banyak output. Karena input yang berlebihan justru tidak mengefisienkan output. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi.2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : STIE YKPN Baehaqi, Achmad. 2007. Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Kabupaten Lampung Tengah. Tesis, Institut Pertanian Bogor Budi Setiawan, Avi. 2008. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Jagung Di Kabupaten Grobogan tahun 2008, Skripsi, UNNES Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Rencana Strategis dan Program Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan 2001-2004. Badan Bimas Ketahanan Pangan. Jakarta. BPS Provinsi Jawa Tengah. 2007. Jawa Tengah Dalam Angka: Jawa Tengah. BPS Provinsi Jawa Tengah. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka: Jawa Tengah. BPS Kabupaten Grobogan 2007. Grobogan Dalam Angka: Grobogan BPS Kabupaten Grobogan 2008. Grobogan Dalam Angka: Grobogan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Grobogan, 2007, Luas Panen dan Produksi Tanaman Jagung Tahun 2002-2007: Grobogan. Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Grobogan. 2006, Petunjuk Pelaksanaan Program
161
intensifikasi Tanaman pangan dan perkebunan. Grobogan. Katherine, Baldwin. 2013. Feeding the Dragon and the Elephant: How Agricultural Policies and Trading Regimes Influence Consumption in China and India. Journal of International Commerce & Economics May Edition. Mahabubul A, Gazi. 2009. The Role of Agriculture Education and Training on Agriculture Economics and national Development of Bangladesh. African Journal of Agricultural Research Vol. 4 (12), pp. 1334-1350. Mason, R.D.,1996, TeknikStatistika untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: Erlangga. Masood A, Muhammad. 2015. Agriculture sector performance: An analysis through the role of agriculture Sector share in GDP. Journal of Agricultural Economics, Extension and Rural Development: ISSN-2360-798X, Vol. 3(3): pp 270-275 Mosher, A.T., 1978, An Introduction to Agricultural Extension, Agricultural Development Council, New York Mosher, A.T, 1985. Menggerakkan dan Membangun Pertanian Saduran Krisnandhi C.V. Yasaguna, Jakarta. Mubyarto, 1989, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta : LPES. Nicholson, Walter. 2002, Mikro Ekonomi Intermediate. Jakarta. Erlangga Permadi, Bambang. 1992. Analysis Hierarchy Process. Jakarta. PAU EK Universitas Indonesia Saaly, TL. 1987. The Analytic Hierarchy Process- What it is and How it is used, Math Modelling, Pergamon Journals Ltd. Great Britain Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Grobogan. http://www.grobogankab.go.id. Situs Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. http://www.jawatengah.go.id. Setiawan, A., & Prajanti, S. (2015). ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHA TANI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2008. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 4(1). doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v4i1.4642 Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas (Theory of Production Economics with Special Discussion on Cobb-Douglas Production Function). 3rd Edition, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
162
Avi Budi Setiawan & Prasetyo Ari Bowo, Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Budidaya Padi
Sukirno,Sadono, 2005, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Raja Grafindo Persada: Jakarta Sucihatiningsih, DWP, 2010.Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyuluh Pertanian dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Tani:Studi Empiris di Provinsi Jawa Tengah. Disertasi. UNDIP Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suryana, Sawa, 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Jagung di Kabupaten Blora (Studi Kasus Produksi Jagung Hibrida di Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora). Tesis. UNDIP Susilowati, Indah, Mudjahirin T, Waridin, Tri Winarni A, Agung S. 2004. Pengembangan Model Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Koperasi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Kabupaten dan Kota Pekalongan. RUKK Kantor Menneg Ristek dan LIPI. Jakarta. Susilowati, Indah. 2009. Penguatan Kinerja Agribisnis Tanaman Pangan Unggulan Provinsi Jawa Tengah dalam Mendukung Ketahanan Pangan.Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Kerjasama UNDIP dan Badan Litbang. Deptan. Svotwa, E. 2009. Organic Farming in the Small Holder Farming Sector of Zimbabwe. Journal of Organic Systems – Vol.4 No.1 Syahyuti. 1995. Pendekatan Kelompok dalam Pelaksanaan Program/Proyek Pembangunan Pertanian.Majalah Forum Agro Ekonomi. Vol. 13. No. 2 Desember 1995. Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor Syahyuti. 2003. Pembangunan pertanian indonesia dalam pengaruh kapitalisme dunia: analisis ekonomi politik perberasan. Pusat penelitian dan pembangunan sosial ekonomi pertanian. Vu. Linh H. 2004. Efficiency of Rice Farming Households in Vietnam :A DEA with Bootstrap and Stochastic Frontier Application. University of Minnesota. USA Yotopoulos, Pan A and JB Nugget. 1976, Economic of Development: Empirical Investigation, Harper International. USA Yulianik, Siswi. 2006. Analisis Efisiensi penggunaan Faktor-faktor Produksi pada Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Brebes (Studi Kasus di Desa larangan). Skripsi. UNDIP.