KORPORASI SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG/JASA CORPORATE AS A CONVICTED DEFENDANTS OF CORRUPTION IN PROCUREMENTS OF GOODS/SERVICES
Muhammad Yusuf Putra, Aswanto, Anwar Borahima Bagian Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Muhammad Yusuf Putra Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 082197112300 Email :
[email protected]
Abstrak Tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa merupakan tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi dan berkaitan dengan korporasi sebagai badan hukum penyedia barang/jasa. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa dengan korporasi sebagai terdakwa masih belum diterapkan oleh Penuntut Umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penuntutan dan pemidanaan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empirik dengan inventarisasi dan analisis peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, putusan pengadilan dan pendapat ahli serta obeservasi dan wawancara dan dokumentasi dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan pada daerah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan selama periode 2009-2011 belum ada korporasi yang dituntut dan dipidana sebagai terdakwa dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa karena model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan hanya penuntututan terhadap pengurus korporasi saja serta hukum acara pidana masih belum jelas mengatur penuntutan korporasi dan Penuntut Umum belum menguasai teori dan teknis penuntutan korporasi. Diharapkan adanya ketentuan hukum acara pidana yang khusus mengatur penuntutan korporasi dan peningkatan kemampuan teknis yuridis Penuntut Umum. Kata kunci: Penuntutan korporasi, tindak pidana korupsi, pengadaan barang/jasa.
Abstract Corruption in procurement of goods/services is a corruption of the most common related to the corporation as a legal entity of goods / services. Corporate criminal liability in corruption in procurement of goods services which corporate as a convicted defendant is not yet implemented by the Public Prosecutor. This study aims to determine the prosecution and conviction of the corporation as a legal subject of criminal corruption in procurement / services .. This study uses normative-empirical approach to inventory and analysis of legislation, case law, court decisions and opinions of experts as well as observation and interviews with qualitative analysis and documentation. The results showed that there has not been corporate charged and convicted as a defendant on corruption in procurement of goods /services in the legal area of South Sulawesi Chief Public Prosecution during the period 2009-2011 because the public prosecutors only prosecute the corporate personil and the criminal procedural law is not clear set of corporate prosecutions and prosecutors have not mastered the theory and technically to prosecute a corporation. It is hoped the criminal law provisions which specifically regulate the prosecution of corporations and the increased the judicial technical capabilities of prosecutor. Key words: Prosecution of corporations, corruption, procurement of goods / services.
PENDAHULUAN Pengadaan barang/jasa oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tugas pemerintah dalam mewujudkan pembangunan nasional yang pembiayaannya menggunakan anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD serta pembiayaan dari pinjaman dan bantuan asing (negara maupun lembaga keuangan). Untuk itu pengadaan barang dan jasa pemerintah harus dilaksanakan dengan efektif dan efisien sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan dan manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Kenyataan membuktikan bahwa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah seringkali tidak berjalan sesuai dengan mekanisme pengadaan barang/jasa yang ditetapkan pemerintah karena telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan berupa perbuatan korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara dan atau perekonomian negara. Perbuatan korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan modus korupsi konvensional yang banyak terjadi dan berdasarkan riset Bank Dunia (World Bank), setiap tahunnya di Indonesia dari sekitar Rp.85 Trilliun anggaran yang diperuntukkan dalam pengadaan barang/jasa telah terjadi kebocoran anggaran sebesar 20 % - 40 % dari jumlah anggaran yang diperuntukkan pengadaan barang dan jasa, hal mana menurut Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), apabila rata-rata kebocoran dari belanja barang dan jasa pemerintah adalah 30 % maka dari keuangan pemerintah pusat saja potensi kebocoran bisa mencapai Rp.25 Trilliun (iprocwatch, 2012). Kebocoran yang terjadi antara lain diakibatkan oleh perbuatan para pihak yang terlibat dalam rangkaian tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah berupa tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa masih merupakan tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi dan belum berkurang secara signifikan. Data KPK menunjukkan sebanyak 28.501 Laporan Korupsi yang diterima KPK dari masyarakat/pelapor dalam kurun waktu tahun 2008-2011 sejumlah 3.773 Laporan Korupsi merupakan Laporan Korupsi di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sementara dalam hal penindakan KPK telah melakukan penanganan perkara tindak pidana korupsi di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebanyak 96 perkara dari 235 perkara tindak pidana korupsi selama tahun 20042011 (Laporan Tahunan KPK Tahun 2011). Sementara berdasarkan data penuntutan tindak pidana korupsi dalam daerah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dalam periode tahun 2009, 2010 dan tahun 2011 menunjukkan pada periode tahun 2009 terdapat 53 perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa dari 95 perkara tindak pidana korupsi; periode tahun 2010 terdapat 52 perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan
barang/jasa dari 127 perkara tindak pidana korupsi dan Periode tahun 2011 terdapat 66 perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa dari 122 perkara tindak pidana korupsi (Data Laporan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2011). Berdasarkan data penanganan perkara KPK sejak tahun 2004-2011 tersebut diatas menunjukkan untuk seluruh kasus tindak pidana korupsi yang terkait pengadaan barang dan jasa yang ditangani KPK yang melibatkan pihak rekanan penyedia barang dan jasa yang berbentuk badan hukum hanya menjerat pengurus korporasi sebagai terdakwa dan belum mendudukkan korporasi sebagai terdakwa, demikian halnya pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan tidak terdapat perkara tindak pidana korupsi dibidang pengadaan barang/jasa yang penuntutannya diajukan terhadap korporasi sebagai terdakwa (Analisis Data Laporan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2011). Mengingat penerapan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dituntut dan dijatuhi pidana masih jarang diterapkan oleh penegak hukum. Dalam hal ini, penerapan korporasi sebagai pelaku delik atau subjek hukum tindak pidana oleh Penegak Hukum khususnya Penyidik dan Penuntut Umum masih mengalami kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Untuk itu dibutuhan suatu kajian akademik untuk mengetahui penuntutan dan pemidanaan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa. Penelitian ini ingin mengkaji penuntutan dan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa dan kendala penerapannya dalam praktik hukum.
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kejaksaan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri Makassar. Teknik Pengumpulan Data. Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan studi dokumen, yaitu menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa serta melakukan wawancara untuk mendapatkan data primer yang dilakukan melalui tanya jawab secara lisan antara peneliti dan narasumber sementara observasi atau pengamatan langsung dilakukan untuk mendapatkan data yang dipergunakan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang lebih luas terhadap penerapan penuntutan dan pemidanaan
terhadap korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan diproses secara identifikasi, klasifikasi, sistematis dan analisis. Sesuai dengan metode pendekatan normatif empirik yang menekankan pada data sekunder, maka strategi atau pendekatan yang digunakan dalam menganalisa data adalah metode analisa kualitatif. Analisa kualitatif digunakan bersifat deskriptif dan prespektif, yaitu akan berusaha memberikan data yang ada dan menilainya kemudian menganalisa masalah-masalah yang berkaitan dengan penuntutan korporasi dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa serta memberikan kontribusi berupa solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
HASIL Pertanggungjawaban pidana yang dianut dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi bersifat kumulatif-alternatif, dengan adanya kalimat “korporasi dan/atau pengurus” dalam rumusan pasal 20 ayat (1), maka untuk menuntut dan menjatuhkan pidana dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi dapat dilakukan terhadap “korporasi dan pengurus” atau terhadap “korporasi” saja atau “pengurus” saja. Dalam hal tindak pidana korupsi dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka tuntutan pidana dan penjatuhan pidana yang dilakukan terhadap korporasi dan pengurus atau korporasi saja, maka berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (3) jo Pasal 20 ayat (4) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, korporasi diwakili oleh Pengurus Korporasi dan pengurus korporasi yang mewakili korporasi dapat diwakili oleh orang lain. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus korporasi yang mewakili korporasi dan mewakilkannya lagi kepada orang lain, ditentukan bahwa Hakim dapat memerintahkan agar pengurus korporasi tersebut menghadap sendiri pada pemeriksaan disidang pengadilan dan dapat pula hakim memerintahkan agar pengurus yang dimaksud dibawa ke sidang pengadilan. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undangundang Tindak Pidana Korupsi, ditentukan bahwa dalam penuntutan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan : a). ditempat tinggal pengurus; b). ditempat pengurus berkantor. Pemidanaan terhadap korporasi terdiri dari pidana pokok berupa pidana denda yang diperberat 1/3 dari ancaman pidana maksimal dengan pidana tambahan
sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (7) jo Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
PEMBAHASAN Pengertian pengurus korporasi dalam Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan pengurus bukan hanya terbatas kepada mereka yang menjadi organ korporasi yang menjalankan kepengurusan sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasar (pengurus dalam arti formal yuridis), tetapi termasuk juga siapa saja yang dalam kenyataannya atau secara faktual menentukan kebijakan korporasi termasuk pengurus yang sekalipun secara formal yuridis tidak memiliki kewenangan untuk melakukan kepengurusan, tetapi dalam kenyataannya menjalankan kepengurusan. Namun dalam hal untuk bertindak mewakili korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi dalam penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4); ayat (5) dan ayat (6) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, maka pengurus korporasi harus dibekali surat tugas atau surat perintah dan bukan surat kuasa karena didalam hukum acara pidana tidak dikenal adanya terdakwa yang memberikan kuasa kepada orang lain untuk hadir dipemeriksaan sidang pengadilan (Wiyono, 2008). Bahwa dalam setiap AD/ART dari suatu korporasi, pada umumnya telah diatur dan ditentukan pengurus korporasi tertentu yang ditunjuk untuk bertindak mewakili korporasi baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan, akan tetapi sehubungan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa surat panggilan disampaikan di tempat tinggal “pengurus” atau di tempat “pengurus” berkantor, maka pengurus dalam Pasal 20 ayat (6) menurut Wiyono (2008) adalah : “pengurus yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam menjalankan kepengurusan korporasi sesuai dengan anggaran dasar dari korporasi, misalnya Direktur Utama dari suatu perseroan terbatas. Bahwa kemudian direktur utama menunujuk salah satu dari pengurus untuk mewakili korporasi, penunjukan tersebut merupakan salah satu pengurus untuk mewakili korporasi, penunjukan tersebut merupakan urusan intern dari korporasi sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan.” (R.Wiyono, 2008).
Persoalan teknis yuridis lain yang mengemuka adalah bagaimana Penyidik merumuskan identitas tersangka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka dan dalam berkas perkara demikian halnya dengan Penuntut Umum dalam merumuskan identitas terdakwa dalam Surat Dakwaan (Harahap, 2006 ). Secara normatif dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, telah ditentukan syarat formil Surat Dakwaan yang disusun Penuntut Umum yaitu berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Bahwa ketentuan mengenai korporasi sebagai
subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi selain yang ditentukan dalam Pasal 20 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999, selama ini belum ditemukan ketentuan hukum acara pidana yang mengatur kedudukan korporasi sebagai tersangka atau terdakwa baik dalam tahap penyidikan menyangkut pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tersangka maupun dalam tahap penuntutan menyangkut identitas terdakwa, mengingat Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP hanya mengakomodir identitas orang sebagai subjek hukum dalam tindak pidana. Sedangkan syarat formil yang mengharuskan Surat Dakwaan memuat uraian lengkap identitas terdakwa sebagaimana tersebut di atas, tentunya mengacu pada identitas orang perorangan yang merupakan manusia alamiah (naturlijk persoon) sebagai subjek hukum pidana sementara ketentuan mengenai syarat formil identitas dalam Surat Dakwaan bagi korporasi sebagai subjek hukum pidana yang menjadi terdakwa tidak ditentukan dalam KUHAP
sebagai lex generalis demikian halnya dalam Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi sebagai lex specialis. Kekeliruan dalam merumuskan identitas terdakwa dalam Surat Dakwaan mengakibatkan surat dakwaan dapat dibatalkan oleh Hakim. Sehubungan dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Surat Jaksa
Agung
RI
Nomor
:
B-036/A/Ft./06/2009,
Perihal
:
Korporasi
sebagai
tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi, tanggal 29 Juli 2009 (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, 2009 : 47-49) yang menegaskan penuntutan korporasi sebagai tersangka atau terdakwa, apabila pertanggungjawaban pidana dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut melekat secara kumulatif baik terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan dan korporasi sebagai subjek hukum korporasi, maka berkas perkara dan surat dakwaan terhadap korporasi dilakukan dan diajukan secara terpisah dengan berkas perkara dan surat dakwaan bagi pengurus korporasi. Sementara keberadaan BAP tersangka dengan tersangka korporasi digariskan tidak bersifat mutlak. Selanjutnya terhadap perbuatan pidana yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana dan mempunyai pertanggungjawaban pidana dan untuk itu dapat dituntut dan dijatuhi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (7) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum ancaman pidana dendanya ditambah 1/3 (satu per tiga) dan dapat dikenakan pidana tambahan berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. pidana tambahan terhadap korporasi berupa : a). perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; b). pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi; c). penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d). pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Dengan demikian pemidanaan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana pokok berupa pidana denda yang diperberat dengan menambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman maksimum pidana denda dan pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Sehubungan dengan penuntutan korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan di atas, maka penulis akan meninjau sejauhmana praktik hukum yang berlaku dalam hal korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa yang menjadi terdakwa ditingkat penuntutan. Bahwa berdasarkan data penuntutan tindak pidana korupsi dalam daerah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dalam periode tahun 2009, 2010 dan tahun 2011 menunjukkan pada periode tahun 2009 terdapat 53 perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa dari 95 perkara tindak pidana korupsi; periode tahun 2010 terdapat 52 perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa dari 127 perkara tindak pidana korupsi dan Periode tahun 2011 terdapat 66 perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa dari 122 perkara tindak pidana korupsi (Tabel.1). Dari data tersebut juga diketahui tidak terdapat perkara tindak pidana korupsi dibidang pengadaan barang/jasa yang penuntutannya diajukan terhadap korporasi sebagai terdakwa dan model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan hanya pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan yang menjadi terdakwa (Tabel. 2 dan Tabel 3). Sehubungan dengan belum adanya korporasi yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa pada daerah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, sekalipun berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 1 angka 3 jo Pasal 20 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi telah mengatur korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi yang dapat dituntut dan dipidana. Penulis melakukan wawancara kepada responden : 1). M.Ahsan Thamrin, Jaksa Muda, Kepala Seksi Penuntutan pada Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (03 Mei 2012) yang menerangkan bahwa secara yuridis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa tersebut memang korporasinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan Penyidik maupun Penuntut Umum masih kesulitan merumuskan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam suatu perkara serta keberadaan korporasi berupa perusahaan yang secara ekonomi kuat dan mempunyai dukungan politik terkait dengan pihak-
pihak yang berkepentingan menjadi hambatan. 2). M.Syahran Rauf, Jaksa Muda, Kepala Seksi Penyidikan pada Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, mengemukakan bahwa penyidikan terhadap korporasi sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa karena aparat Penyidik masih mengacu pada perbuatan materiil yang dilakukan secara fisik oleh orang perorangan yaitu Direktur atau Kuasa Direktur suatu Perusahaan yang menjadi rekanan/kontraktor dalam kasus korupsi pengadaan barang/jasa dan menyatakan tidak ada hambatan non hukum dalam melakukan penyidikan terhadap korporasi sebagai tersangka sepanjang terpenuhinya unsur delik yang didukung bukti yang cukup. Selanjutnya dengan menggunakan konstruksi hukum pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka penulis akan menelaah salah satu perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa yang diajukan dipersidangan pada Pengadilan Negeri Makassar dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yaitu perkara tindak pidana korupsi Nomor Perkara : 139/Pid.B/2010/PN.Mks, atas nama terdakwa Drs.Ramin Abdullah dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan Genset/Generator Listrik pada RSUD Labuang Baji TA.2008 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp.220.000.000,-. dapat memenuhi konstruksi hukum pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga seharusnya model pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat diterapkan adalah pertanggungjawaban pidana dari terdakwa selaku Direktur CV.Total Teknik dan pertanggungjawaban pidana dari CV.Total Teknik sebagai korporasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Penulis melakukan wawancara dengan Jan Manoppo, Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Hakim Ketua Majelis yang menyidangkan perkara tersebut pada tingkat pertama (04 Mei 2012), menerangkan bahwa dalam perkara pidana Hakim hanya berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum berdasarkan surat dakwaan berikut berkas perkara pidananya sesuai asas dominis litis yang dianut KUHAP, sehingga sepenuhnya kewenangan untuk melakukan penuntutan atau tidak terhadap CV.Total Teknik sebagai subjek hukum korporasi ada pada Penuntut Umum. Lebih lanjut menurut pendapatnya, dalam perkara tersebut cukup berlebihan jika
dilakukan
penuntutan
terhadap
korporasi
sekalipun
fakta
hukumnya
dapat
dikonstruksikan sebagai pertanggungjawaban pidana korporasi, sudah cukup apabila terdakwa yang merupakan Direktur CV.Total Teknik yang bertindak untuk dan atas nama CV.Total Teknik yang dituntut dan dipidana. Sementara wawancara terhadap Andarias P, Jaksa Muda, Jaksa/Penuntut Umum yang menangani perkara tersebut (04 Mei 2012), mengemukakan ia sependapat dengan penulis bahwa secara hukum CV.Total Teknik sebagai subjek hukum
korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dengan konstruksi hukum yang penulis uraikan di atas, namun ia berpendapat masih sulit menerapkannya dalam praktik karena sudah terbiasa dengan keberadaan orang (manusia alamiah) sebagai terdakwa dan juga karena selama menjadi Jaksa Penuntut Umum belum pernah melakukan penuntutan terhadap korporasi selain itu dari segi strategi dan kepentingan praktis pembuktian di persidangan lebih mudah untuk membuktikan pertanggungjawaban pidana terdakwa selaku Direktur CV.Total Teknik daripada CV.Total Teknik sebagai terdakwa korporasi oleh karena hukum acara pidana belum mengatur secara jelas penyidikan dan penuntutan korporasi sebagai tersangka/terdakwa serta pertimbangan nilai kerugian negara yang relatif tidak besar. Masih belum diterapkan penuntutan terhadap korporasi sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa menurut Chaerul Amir, Jaksa Utama Pratama, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dalam wawancaranya (04 Mei 2012) menegemukakan karena secara yuridis tidak memenuhi syaratsyarat pertanggungjawaban pidana korporasi, dalam hal ini modus operandi perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa yang dominan adalah pinjam meminjam perusahaan atau pemberian Kuasa Direktur atau pengalihan pekerjaan kepada pihak lain (subkontraktor) yang menyalahi ketentuan Keppres No.80 Tahun 2003 dan Perpres No.54 Tahun 2010 yang berakibat merugikan keuangan negara. Pertimbangan lain menurutnya adalah dari sisi penindakan tindak pidana korupsi dimana pidana badan terhadap pengurus korporasi dipandang cukup memberikan efek jera dan besarnya kerugian keuangan negara yang terjadi, dimana penuntutan terhadap korporasi sebagai terdakwa diprioritaskan hanya untuk tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara/perekonomian negara yang besar selain itu masih kurangnya penguasaan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi oleh para Jaksa dan minimnya pengalaman para Jaksa dalam menyidik dan menuntut korporasi sebagai terdakwa.
KESIMPULAN DAN SARAN Bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan pada daerah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan periode tahun 2009, 2010, 2011 hanya terbatas pada penuntutan terhadap pengurus korporasi saja, sementara penuntutan kepada korporasi serta penuntutan terhadap korporasi dan pengurus korporasi (kumulatif) belum diterapkan. Belum diterapkannya penuntutan korporasi sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa disebabkan 2 faktor yaitu faktor hukum dan faktor non hukum. Faktor hukum yaitu secara yuridis materi perkara tidak memenuhi syarat untuk adanya
pertanggungjawaban pidana korporasi; masih belum ada ketentuan hukum acara pidana yang secara jelas mengatur penuntutan korporasi; kepentingan praktis pembuktian dipersidangan serta strategi dan prioritas pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan besarnya nilai kerugian keuangan negara. Sedangkan faktor non hukum adalah keterbatasan SDM Jaksa selaku Penyidik dan atau Penuntut Umum dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan hukum dan kemahiran teknis yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi serta keberadaan korporasi yang mempunyai kekuatan ekonomi dan dukungan secara politik dari pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk itu Penulis memberikan saran–saran yakni diperlukan aparat penegak hukum yang memahami konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dan memiliki kemahiran dalam menerapkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi melalui upaya peningkatan dan pengembangan SDM penegak hukum; dan diperlukan ketentuan hukum acara pidana yang khusus mengatur penyidikan, penuntutan dan persidangan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi dalam perubahan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan perubahan KUHAP .
DAFTAR PUSTAKA Data Laporan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2011. Harahap, Yahya.(2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Sinar Grafika Edisi Kedua : Jakarta. http : //www.iprocwatch.org.id. diakses 2 Februari 2012. http : //www.kpk.go.id. 2012). Kejaksaan Agung RI.(2009). Himpunan Tata Naskah dan petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus: Jakarta. Keputusan Presiden RI No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta Perubahannya. Undang-undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-undang RI No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Wiyono, R. (2008). Pembahasan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika Edisi Kedua.
LAMPIRAN
Tabel 1. Data Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Daerah Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2011. Periode JanuariDesember
Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Jumlah
Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa 53 52 66 171
95 127 122 344
Tabel 2 : Data Korporasi dan atau Pengurus Korporasi sebagai Terdakwa dalam Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Daerah Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2011. Periode JanuariDesember Tahun 2009 2010 2011 Jumlah
Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa 53 52 66 171
Korporasi sebagai terdakwa
Orang (Pengurus Korporasi) sebagai terdakwa
-
23 28 34 95
Tabel 3 : Data Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa pada Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2009-2010 dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2011.
Periode Tahun
Jumlah Perkara Tipikor
Tipikor Pengadaan Barang/Jasa
2009 2010 2011 Jumlah
15 14 67 171
5 2 38 45
Pengurus korporasi sebagai terdakwa 3 1 12 16
Korporasi sebagai terdakwa -