Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
000-praisi.indd 1
05/03/2017 10:34:42
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau member izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara pa ling lama 7 (tujuh tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana de ngan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
000-praisi.indd 2
05/03/2017 10:34:42
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
Christianata, S.H., M.H.
LD L Lembaga Literasi Dayak
Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD) 2017
000-praisi.indd 3
05/03/2017 10:34:42
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa Christianata, S.H., M.H. Cetakan Ke-1, Tangerang, Lembaga Literasi Dayak 2017 vi-138 hlm, ukuran 14 x 21 cm. ISBN: 978-602-6381-40-8 LD L Lembaga Literasi Dayak
Desain Cover/Tata Letak: Diddy S. Penerbit Lembaga Literasi Dayak Jl. Palem Kuning, Palem Semi Jl. Sutanegara 15, Palangka Raya email:
[email protected] Cetakan Ke-1, Januari 2017 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit.
000-praisi.indd 4
05/03/2017 10:34:42
Daftar Isi
Kata Pengantar......................................................... Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 BAB 5
Sistem Pengadaan Barang/Jasa dan Tata Pemerintahan yang Baik............... Kerangka Teoritik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/ Jasa dan Kegagalan Konstruksi................... Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian................... Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian............................ Penutup.........................................................
vi
1
10
32
49 74
Indeks ..............................................................................78 Daftar Pustaka......................................................... 82 Lampiran................................................................... 86 Biografi Singkat....................................................... 137
Daftar Isi
000-praisi.indd 5
v
05/03/2017 10:34:42
Kata Pengantar
Pengadaan Barang/Jasa merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan pemerintahaan yang bertujuan menyediakan prasarana pendukung baik untuk kegiatan pelayanan publik dan penunjang aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sering terjadi salah kaprah di dalam masyarakat tentang kegiatan Pemerintah yang melakukan pengadaan barang dan jasa. Masyarakat luas menganggap bahwa pe ngadaan barang/jasa merupakan kegiatan administratif Pemerintah semata, dan tidak ada sangkut pautnya de ngan kehidupan masyarakat. Akan tetapi, ketika kegiatan pembangunan tersebut dilakukan ternyata memberikan dampak terhadap hajat hidup mereka, barulah masyarakat menyadari arti penting pengadaan barang/jasa oleh pemerintah. Karena pengadaan barang/jasa membutuhkan pendanaan yang begitu besar jumlahnya, selain itu kebutuhan pemerintah yang rutin dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadikan Keppres 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa sebagai instrument hukum yang sering digunakan. Walaupun demikian, Keppres tersebut tidak tanpa kelemahan. Hal ini dikarevi
000-praisi.indd 6
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:34:42
nakan Keppres 80 Tahun 2003, hanya digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan ada dan tidaknya indikasi pelanggaran administratif, hukum keperdataan yang berkaitan dengan kontrak kerja, dan tindak pidana korup si yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintahan. Kemudian menjadi permasalahannya bilamana ketentuan hukum yang berlaku sekarang dapat diterapkan apabila terjadi tindak pidana-tindak pidana terkait persekongkolan tender, tindak pidana korupsi dengan modus pengelembunggan harga (mark up), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, pemalsuaan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain akibat pengadaan barang/jasa berupa pembangunan gedung untuk prasarana dan fasilitas publik, yang meng alami kegagalan konstruksi. Mengacu pada permasalah tersebut, ternyata ke giatan pengadaan barang/jasa termuat kompleksitas hukum di dalamnya. Seperti yang dicontohkan dalam buku ini tentang pengadaan barang/jasa prasana publik berupa Jembatan Mulyorejo yang dibangun dengan APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kemudian mengalami kegagalan konstruksi dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Menarik untuk diketahui dalam peristiwa hukum tersebut, yaitu tentang siapa dan bagaimana pertanggungjawaban pidana para pelaku usaha (perseorangan maupun badan usaha berbentuk korporasi) yang terlibat dalam proyek pemborongan pembangunan jembatan Mulyorejo Kata Pengantar
000-praisi.indd 7
vii
05/03/2017 10:34:42
yang mengalami kegagalan konstruksi dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Diharapkan buku ini menjadi pustaka yang selain memerkaya pengetahuan mengenai pertanggungjawab an pidana terhadap kegagalan konstruksi yang meng akibatkan kematian dalam pengadaan jasa pemborongan pembangunan jembatan, melainkan juga peristiwa hukum serta tindakan hukum di dalamnya. Palangka Raya, Februari 2017
viii
000-praisi.indd 8
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:34:42
Bab 1
Sistem Pengadaan Barang/Jasa dan Tata Pemerintahan yang Baik
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 antara lain menyebutkan secara eksplisit bahwa penyelengaraan peme rintahan ditujukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh kehidupan yang layak dan setara, tanpa perbedaan. Pemerintah wajib untuk menyediakan prasarana dan fasilitas umum untuk mendukung aktivitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka seharihari. Melaksanakan kegiatan pemerintah tersebut dalam rangka pembangunan infrastruktur dan prasarana umum, maka pemerintah harus melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa secara terpadu, efisien, eko nomis dan tepat sasaran, yang didukung oleh sistem pe ngadaan barang/jasa yang baik. Menurut Adrian Sutedi, “Sistem pengadaan barang/jasa yang baik adalah sistem yang mampu menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), mendorong efisiensi, dan efektivitas belanja publik, serta penataan perilaku Bab 1 Sistem Pengadaan Barang/Jasa dan Tata Pemerintahan yang Baik
001-isi bab1-2.indd 1
1
04/03/2017 22:46:52
tiga pilar (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik.”1 Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang mekanisme pengadaan barang dan jasa tersebut. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Keppres 80/2003), merupakan pedoman baku bagi pemerintah dalam mengadakan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Menurut ketentuan pasal 1 Keppres 80/2003, Pe ngadaan barang/jasa yaitu: Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah/kegiatan pengadaan barang/jasa yang di biayai oleh APBN/ APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Karena kegiatan pembangunan melibatkan keuangan Negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (selanjutnya disingkat APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disingkat APBN) maka harus diupayakan seefektif dan seefisien mungkin perancangannya untuk membiayai pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Jadi, dibutuhkan kemampuan manajemen yang dapat mengelola alokasi dana yang tersedia secara tepat guna, sesuai dengan kapasitas peruntukannya melalui berbagai analisis terhadap faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi daya dukung penyelesaian pekerjaan, yang tepat waktu, dan tetap menjaga kualitas pekerjaan sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah. 2
001-isi bab1-2.indd 2
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:52
Konteks inilah dibutuhkan rekanan dari kalangan pelaku usaha yang profesional dan mempunyai komitmen, loyalitas, tanggung jawab bersifat integral dengan komitmen pemerintah yang menjalankan fungsi pelayanan umum. Kegiataan pengadaan barang/jasa hakekatnya untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah dan pelaku usaha yang nantinya mempunyai kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap realisasi proyek pembangunan, berupa tersedianya sejumlah sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum sebagai penunjang aktivitas kehidupannya. Pengadaan barang/jasa tidak lepas dari kepenting an pemerintah sebagai pengguna jasa yang merupakan bentuk pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan kepen tingan ekonomi/keuntungan finansial bagi penyedia barang/jasa. Jadi, secara tidak langsung terdapat korelasi antara kepentingan pemerintah dan kepentingan pelaku usaha. Dengan demikian, untuk memaknainya diperlukan penjabaran dari berbagai rambu-rambu, baik yang berbentuk suatu aturan main berupa peraturan perundangundangan maupun dalam bentuk-bentuk “kode etik”. Hal tersebut berfungsi sebagai alat kontrol, khususnya pada saat proses penyaringan pihak-pihak dari kalangan pelaku usaha yang dipercayakan dan bertanggung jawab sebagai pelaksana lapangan yang mengerjakan sejumlah proyek pembangunan dalam bentuk lelang atau tender, maupun selama tahap pekerjaan berlangsung serta kegiatan akhir dari pelaksanaan proyek. Bab 1 Sistem Pengadaan Barang/Jasa dan Tata Pemerintahan yang Baik
001-isi bab1-2.indd 3
3
04/03/2017 22:46:52
Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya merupa kan upaya pihak pengguna jasa untuk mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang diinginkannya. Yaitu de ngan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Agar hakikat atau esensi pengadaan barang barang/jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka pihak pengguna jasa dan penyedia barang/jasa haruslah berpatokan pada filosofi logis dan sistematis, etika dan norma pengadaan barang/jasa yang berlaku, mengikuti prinsipprinsip, metode dan proses pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Keppres 80/2003. Pada umumnya, sering terjadi salah kaprah di dalam masyarakat tentang kegiatan pemerintah yang melakukan pengadaan barang dan jasa. Masyarakat luas sering kali menganggap bahwa pengadaan barang/jasa merupakan kegiatan administratif pemerintah semata dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan masyarakat. Akan tetapi, ketika kegiatan pembangunan tersebut dilakukan ternyata memberikan dampak terhadap hajat hidup mereka, barulah masyarakat menyadari arti penting pengadaan barang/jasa oleh pemerintah. Terdapat beberapa aspek hukum pada pengadaan barang/jasa oleh pemerintah. Pertama, aspek hukum administratif yang kaitannya dengan mekanisme pengadaan lelang atau seleksi barang/ jasa yang berpedoman pada Keppres 80/2003. Kedua, aspek hukum perdata yang kaitannya dengan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa oleh pemenang 4
001-isi bab1-2.indd 4
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:52
lelang/seleksi yang dituangkan dalam kontrak kerja/perjanjian pengadaan barang/jasa. Ketiga, aspek hukum pidana yakni apabila dalam pe ngadaan barang/jasa telah terjadi tindak pidana korupsi baik yang dilakukan oleh pejabat negara atau suap/gratifikasi yang dilakukan oleh pelaku usaha yang ingin memperoleh keuntungan/memperkaya diri sendri atau orang lain. Keppres 80/2003 secara umum menetukan ketiga aspek hukum tersebut termuat di dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintahan, tetapi pada kenyataanya pelaksanaan pengadaan barang/jasa juga terdapat aspek hukum pidana yang berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi sebagai badan hukum dan atau pengurusnya dalam hal terjadinya suatu tindak pidana. Hal itu mengingat bahwa dalam proses pengadaan barang/jasa, sebagian besar peserta lelang/seleksi pelaku usaha berbentuk badan usaha berupa badan hukum Perseroan Terbatas (PT) atau Commanditaire Vennontschap (CV), Firma, dan lain-lainnya. Kemudian yang menjadi permasalahannya: apakah ketentuan hukum pidana dan perundang-undangan yang berlaku sekarang dapat mengakomodasi secara kompeherensif akibat-akibat hukum dari pengadaan barang/jasa yang berdampak merugikan kepentingan masyarakat luas. Sebagai contoh kasusnya sebagaimana yang akan diuraikan kemudian, yaitu terdapat peristiwa tentang kegagalan konstruksi yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Pada umumnya, kegagalan konstruksi dalam membangun sebuah jembatan dapat terjadi karena kesalahan Bab 1 Sistem Pengadaan Barang/Jasa dan Tata Pemerintahan yang Baik
001-isi bab1-2.indd 5
5
04/03/2017 22:46:53
rancang bangun/desain (proses perancangan teknis) atau kesalahan dalam pelaksanaan pembangunan. Selain itu, sering pula terjadi dalam proyek pemborongan pembangunan jembatan, pelaku usaha melakukan tindakan yang melanggar hukum atau itikad tidak baik dalam melaksanakan pekerjaan pemborongan. Misalnya, dengan mengganti spesifikasi teknis dan bahan bangunan berbeda dengan spesifikasi perancangan teknis yang seharusnya, padahal pelaku usaha menyadari bahwa apabila dengan mengganti spesifikasi teknis akan mengakibatkan kegagalan konstruksi. Hal ini dilakukan hanya demi mencari keuntungan lebih atau menekan biaya konstruksi. Ambil sebagai contoh pengadaan “jasa pemborongan”2 pembangunan jembatan Mulyorejo milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Desember 2008 sungguh berdimensi bukan hanya menyangkut kegagalan konstruksi, melainkan juga menjadi tragedi kemanusiaan karena menyebabkan meninggalnya tiga pekerja. Jembatan Mulyorejo tersebut dikerjakan oleh PT. Waskita Karya pihak Konsultan Pelaksana Konstruksi; Sebelumnya Perencana Proyek adalah CV Tirta Adinugroho tapi kemudian dilimpahkan kepada PT Wahana Adya. Adapun Konsultan Pengawas adalah PT Cipta Karya. Jembatan Mulyorejo memiliki panjang 27,5 meter yang melintasi sungai Kalidami yang menghubungkan kelurahan Kecawan Putih Tambak dengan Kelurahan Kalisari Damen, Mulyorejo Surabaya. Bangunan jembatan sudah mencapai 80 Persen, agar pekerjaan jembatan cepat selesai sebanyak 16 pekerja diminta lembur. Pada saat kerja lembur terse6
001-isi bab1-2.indd 6
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
but, jembatan kemudian runtuh dengan korban meninggal 3 (tiga) orang pekerja, dan 2 (dua) orang pekerja luka berat.3 Kemudian dari hasil pemeriksaan penyidik Polisi Resort Surabaya Timur menetapkan tersangka adalah Dhiang Pinardi selaku Direktur Utama PT Wahana Adya sebagai perusahaan konsultan perencana karena lalai dalam melaksanakan pengerjaan rancang bangun jembatan Mulyorejo. Berdasarkan data labotorium uji beton oleh ahli konstruksi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Muji Irmawan, telah terjadi kelalaian dalam merencanakan teknis pembangunan jembatan. Dengan kata lain, telah terjadi kesalahan sejak proses perencanaan, kesalahan tersebut terletak pada perhitungan numeric tulangan jembatan yang terdapat selisih 400 Persen. Seharusnya, tulangan jembatan sebanyak 28 bagian, tetapi faktanya hanya berjumlah 8 bagian saja.” 4 Selain itu, terdapat kesalahan teknis dalam perencanaan beban jembatan, menurut spesifikasi teknis seharusnya 266 ton per meter, tapi sesuai faktanya perencanaan jembatan itu hanya dibangun dengan kapasitas beban 71,50 ton per meter. Akibat perbuatan tersangka yang mengubah spesifikasi teknis tersebut sehingga jembatan Mulyorejo mengalami kegagalan konstruksi yang berakibat hilangnya nyawa pekerjanya. Berdasarkan peristiwa kegagalan konstruksi yang berakibat hilangnya nyawa pekerjanya, sangat perlu dikaji ketentuan pidana apa saja yang dapat diterapkan terhadap kegagalan konstruksi yang mengakibatkan kematian. HaBab 1 Sistem Pengadaan Barang/Jasa dan Tata Pemerintahan yang Baik
001-isi bab1-2.indd 7
7
04/03/2017 22:46:53
sil kajian diharapkan dapat menjadi bahan masukan, sekaligus refleksi bagi pihak-pihak terkait agar kasus serupa dapat dieliminasi di waktu-waktu yang akan datang. Terlebih-lebih, melihat aspek hukum pidana di dalam setiap peristiwa kegagalan konstruksi yang berakibat pada cidera atau hilangnya nyawa pekerjanya.
8
001-isi bab1-2.indd 8
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
Catatan Akhir
1 2
3 4
Adrian Sutedi., Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa (dan Berbagai permasalahannya), Sinar Grafika, Cetakan I, Jakarta, 2008, hlm. 6. Keppres 80/2003 Pasal 1 angka 12, yang di maksud dengan Jasa Pemborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencana teknis dan spesifikasinya ditetapkan pengguna barang/jasa dan proses serta pelaksanaanya diawasi oleh pengguna barang dan jasa. www.detiksurabaya.com/ Berita regional online, Kamis, 11 Desember 2008. Ibid.
Bab 1 Sistem Pengadaan Barang/Jasa dan Tata Pemerintahan yang Baik
001-isi bab1-2.indd 9
9
04/03/2017 22:46:53
Bab 2
Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
“Tindak pidana” merupakan istilah yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dalam penggunaan istilah ini oleh para ahli tidaklah seragam, adakalanya digunakan istilah delik dari kata delict atau dikenal juga dengan istilah strafbaar feit dalam bahasa Belanda. Atau istilah “perbuatan pidana”5 yang digunakan oleh Moeljadno dan Roeslan Saleh yang diambil dari frasa criminal act dalam bahasa Inggris. Jadi, istilah tentang perbuatan pidana yang dimaksud dalam tesis ini adalah tindak pidana dalam pengertian Strafbaar Feit. Tinjauan Pengertian Tindak Pidana Beberapa pakar hukum pidana berusaha memberikan perumusan definisi mengenai Strafbaar Feit6 atau yang disebut dengan perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana atau delik, antara lain: Menurut Simons seperti dikutip Martiman Prodjohamidjojo, bahwa “Strafbaar Feit” adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan di10
001-isi bab1-2.indd 10
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
lakukan oleh orang yang bertanggung jawab.”7 Selain itu, Hamel dan Noyon-Lange Meyer, juga berpendapat bahwa : “Strafbaar Feit itu sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang-undang, yang bersifat melanggar hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.”8 Menurut Moeljatno, definisi mengenai tindak pidana, yaitu bahwa “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang telah melanggar larangan tersebut. Mengenai perbuatan ini menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan pidana ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan perbuatan yang merugikan masyarakat.”9 Sementara Roeslan Saleh, menyatakan bahwa “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.” 10 Selain istilah-istilah di atas, dalam masyarakat pengertian tindak pidana ini juga dikenal dengan istilah “kejahatan” dalam artian kriminologis. J.M. Van Bemmelen mengatakan bahwa kejahatan dalam artian kriminologis yaitu : Tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.11 Dari penjelasan mengenai pengertian tindak pidana di atas, terdapat kesimpulan bahwa suatu perbuatan Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 11
11
04/03/2017 22:46:53
akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu memenuhi unsur sebagaimana yang dikemukakan oleh Moeljatno, yaitu: 1. Ada unsur Kelakuan dan akibat (perbuatan) 2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4. Unsur melanggar hukum yang objektif 5. Unsur melanggar hukum yang subjektif.12 Karenanya Perbuatan tindak pidana dianggap merugikan masyarakat, bertentangan dengan pergaulan masyarakat serta tata tertib dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Sutan Remy Sjahdeini, “yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika perilaku itu dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.”13 Terdapat dua doktrin dalam hukum pidana tentang tindak pidana, yaitu doktrin monoistik dan doktrin dualistis14; “Pandangan monistik berpandangan bahwa keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini berprinsip bahwa di dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang, pertanggungjawab an pidana dan kesalahan.“15 Adapun pandangan dualistis, berpendapat bahwa “tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana adalah dua hal yang terpisah, tindak pi12
001-isi bab1-2.indd 12
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
dana hanya mencakup criminal act, dan criminal responsibilty tidak menjadi unsur tindak pidana. Untuk terjadinya pidana tidak cukup hanya terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan/pertanggungjawaban pidana.”16 Dari pendapat para ahli hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana dititikberatkan pada dapat atau tidaknya perbuatan/ tindak pidana tersebut dipidana (syarat objektif).
Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana 1) Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana tidak mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Muladi dan Barda N. Arief menyatakan bahwa dalam tindak pidana terkandung siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat), dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya, yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian.”17 Sementara itu, menurut pendapat Roeslan Saleh bahwa, “Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu pelaku dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila pelaku mempunyai kesalahan.”18 Jadi, sesorang yang melakukan perbuatan yang memiliki kualitas sebagai suatu kesalahan/ perbuataan yang tidak pantas oleh masyarakat umum Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 13
13
04/03/2017 22:46:53
merupakan perbuatan yang dapat dicela, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika tidak ingin berbuat demikian. Terhadap hal demikian, Roeslan Saleh berpendapat bahwa: Dilihat dari segi masyarakat ini menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Demikian misalnya pandangan dari pembentuk KUHP, tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin dari pada terdakwa, tetapi tergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai keadaan batihnya itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan.19 Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa rumusan tentang “kesalahan dipengaruhi oleh perbuatan lahiriah yang bertentangan dengan hukum atau tindak pidana/ criminal act yang dilakukan oleh pelaku (unsur objektif) dalam hukum pidana dikenal dengan istilah actus reus”20 dan dipengaruhi pula sikap mental/batin (unsur subyketif) yang di sebut mens rea21. Sedangkan menurut Martiman Prodjohamidjojo, seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal yakni: 1. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum (unsur objektif). 2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuat 14
001-isi bab1-2.indd 14
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
an yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.22 Selanjutnya Pompe mempergunakan istilah ontoerekenbaarheid dan bukan ontoerekeningsvat baarheid mengatakan bahwa: Pertanggungjawaban yang dapat dihubungkan de ngan Pasal 44 KUHP. Ia ada pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal, dan kemauan, dan oleh karena cukup mampu untuk mengerti arti perbuatannya dan sesuai dengan pandangan itu untuk menentukan kemauannya. Keadaan jiwa sedemikian rupa terdapat pada orang-orang normal. Jadi menurut Pompe, unsur-unsur ontoerekenbaarheid adalah: 1. Kemampuan berpikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pi kirannya dan menentukan kehendaknya. 2. Dan oleh sebab itu, pembuat dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya. 3. Dan oleh sebab itu pula, pembuat menentukan pula kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibatnya).23 Kemampuan berpikir itu terdapat pada orang normal, dan oleh sebab itu kemampuan berpikir dapat diduga pada pembuat. Dengan kata lain, adanya toerekeningsvatbaarheid (sebagai salah satu unsur kesalahan pidana), itu berarti bahwa pembuat cukup mampu menginsyafi arti perbuatannya, dan sesuai dengan keinsyafannya itu daBab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 15
15
04/03/2017 22:46:53
pat menentukan kehendaknya. Selain itu, Van Hamel berpendapat, bahwa: Pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk : 1. Memahami arti dari akibat perbuatannya. 2. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat. 3. Menentukan kemampuan terhadap perbuatanperbuatan itu. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa toerekensvatbaarheid mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.24 Dari pendapat para pakar hukum pidana tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan: 1. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas (schuld in riumezin) mempunyai tiga bidang yaitu: a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid). b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya: - Perbuatan yang ada kesengajaan, atau - Perbuatan yang lalai atau kurang hati-hati atau kealpaan (culva schuld in enge zin). c. Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi pembuat (anasir toerekenbaarheid).
16
001-isi bab1-2.indd 16
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
2. Kesalahan dalam arti sempit (schuld in enge zin) mempunyai bentuk, yaitu : a. Kesengajaan (dolus). b. Kealpaan (culpos)25. Sementara dalam Rancangan Undang-undang KUHP Baru, yang dirumuskan dalam Pasal 34 tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu: Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. Melihat pada penjelasan pasal 34 tersebut, yaitu tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala ada pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.26 2. Bentuk/Corak Kesalahan dalam Tindak Pidana Sebelum masuk ke pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai unsur kesalahan sebagai syarat pertanggunggungjawaban pidana. Mengacu pada ajaran doktrin dualistis tentang tindak pidana, maka tindak pidana merupakan hal yang terpisah dengan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan tersebut (sebagai unsur delik), sehingga untuk dapat dipidana, selain memenuhi unsur delik, juga harus terdapat Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 17
17
04/03/2017 22:46:53
syarat kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Pertanyaan yangmuncul: apakah seseorang yang melakukan tindak yang tercela (schuldverwitj27) selalu dijatuhi pidana? Pada umumnya demikian adanya. Tolak ukurnya adalah apakah pelaku mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan tindak pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu pelaku akan dipidana. Tetapi manakala pelaku tidak mempunyai kesalahan, walaupun pelaku telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, maka tidak dapat dipidana. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.28 Hal ini sesuai dengan adagium yang berbunyi: “Tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (actus non facit reum, nisi mens sit rea)”.29 Adigium ini mengandung arti seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dengan dijatuhi sanksi pidana karena telah melakukan suatu yang menurut hukum merupakan tindak pidana, dengan mana perbuatan tersebut tidak disengaja (tidak berdasarkan opzet atau dolus) atau bukan karena kelalaian (culpa). Dengan kata lain adagium tersebut tidak boleh dibalik menjadi tiada kesalahan tanpa pidana. 18
001-isi bab1-2.indd 18
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
Jadi kesalahan selalu mengenai perbuatan tidak patut; melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Ditinjau secara seksama kesalahan memandang hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dalam arti kata adalah sesunggunya adalah merupakan perbuatannya.30
Sementara menurut Jan Remmelink, “Kesalahan merupakan pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya.”31 Jadi, unsur “kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melanggar hukum. Dengan adanya keterkaitan dengan ketiga unsur tersebut dengan keadaan batin pembuatnya inilah pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan pada orang itu.”32 Dengan demikian, secara umum kesalahan itu memuat unsur-unsur: 1. Kesengajaan (dolus/opzet). 2. Kelalaian (culpa). 3. Dapat dipertanggungjawabkan.33 a) Kesengajaan (dolus/opzet) Kesengajaan dikenal dengan istilah dolus malus34 yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai perbuatan yang dikehendaki dan pelaku menginsafi bahwa perbuatan tersebut dilarang dan di ancam dengan hukuman. Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 19
19
04/03/2017 22:46:53
Sedangkan menurut Satochid Kertanegara meng utarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willen en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah “Se seorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.35
Mengacu pada ketentuan pasal 191 dan Pasal 338 KUHP, opzettelijk berasal dari kata Opzet, oleh pembentuk perundang-undangan telah digunakan untuk menunjukkan adanya suatu kesengajaan atau dolus, sedangkan perkataan schuld dipergunakan untuk menunjukan adanya suatu ketidaksengajaan atau suatu culpa.36 Pada umumnya tidak ada definisi yang spesifik tentang bentuk dari Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan (culpa), akan tetapi “dolus dapat didefinisikan dengan sederhana yaitu suatu perbuatan/tindakan yang dilakukan dengan pengetahuan/akal budi atau secara sadar (wetens) menghendaki (voliteif) akibat dari perbuatan (tindak pidana tersebut), jadi tindakan dengan sengaja mengandung unsur “dikehendaki (willens) dan disadari atau diketahui (wetens)”37. Sedangkan kealpaan (cupla) merupakan tindakan (tindak pidana) yang secara sadar tidak diingini akibatnya, dengan kata lain pelaku dolus menghendaki akibat yang diancam pidana di dalam undang-undang, sedangkan pelaku culpa justru tidak menghendaki akibat yang dianggap bertentangan/melanggar perundang-undangan. Jadi dolus dan culpa merupakan 20
001-isi bab1-2.indd 20
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
perbuatan pidana yang sama sekali berbeda secara konsep dalam konstruksi terjadinya kesalahan dalam suatu delik. 38 b) Kealpaan (culpa) Sebagaimana dijelaskan Jan Remmelink, tidak ada definisi yang baku merumuskan tentang tidak pidana dalam artian kealpaan atau culpa, tetapi D. Schaffneister; N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, culpa dibagi dalam dua bentuk umum, yaitu: 1. Conscious, yaitu kealpaan yang disadari/sembrono (roekeloos); lalai/tidak acuh (onachtzaam); orang menyadari akan resiko tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi. 2. Unconscious, Kealpaan yang tidak disadari, kurang berpikir (onnadenkend); lengah (onoplettend); orang seyogyanya harus sadar akan risiko (tetapi tidaklah demikian).39 “Arti kata culpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi di dalam ilmu hukum, memiliki arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.”40 Sememtara dalam rumusan hukum pidana, culpa terdiri dari unsurunsur “(1). Perbuatan yang dilakukan karena kelalaian/ kealpaan (2). Perbuatan itu disebut culpose delicten atau schuld delicten (3). Ancaman hukumannya adalah lebih ringan dari pada doleuze delicten”41. Jika melihat pada ketentuan pasal 359 KUHP, “R. Soesilo menjelaskan bahwa Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 21
21
04/03/2017 22:46:53
hilangnya nyawa seseorang karena salahnya, diakibatkan kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa), karena salahnya sama dengan kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian”42 Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi 1). Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa Menurut ketentuan pasal 1 Keppres 80/2003, Pe ngadaan barang/jasa yaitu: Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah/kegiatan pengadaan barang/jasa yang di biayai oleh APBN/ APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Istilah pengadaan barang dan jasa atau procurement ini diartikan secara luas, mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau adminstrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa juga tak hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian (purchasing) atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perijinan, penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi keuangan, jasa konsultasi hukum atau jasa lainnya.43 22
001-isi bab1-2.indd 22
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
Adapun yang dimaksud dengan pengguna barang dan jasa menurut Keppres 80/2003 pasal 1 ayat 2, adalah “Kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/ pemimpin bagian proyek/pengguna anggaran Daerah/pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan unit kerja/proyek tertentu”.
Sementara menurut pasal 1 ayat 3 Keppres 80/2003, “Penyedia barang dan jasa adalah badan usaha atau orang perseorang yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa.”
Mengacu pada Ketentuan Umum pasal 1 angka 4 UU Jasa Konstruksi, tidak di jumpai istilah korporasi, tetapi menggunakan istilah badan usaha. Pada penjelasan pasalnya dapat dijumpai penggunaan istilah badan merupakan badan usaha atau bukan badan usaha (instansi dan lembaga pemerintah), sedangkan badan usaha dapat berbentuk badan hukum dan bukan berbadan hukum. 2). Pengertian Kegagalan Konstruksi Sebelum membahas tentang pengertian kegagalan konstruksi, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai jasa konstruksi. Jika mengacu pada ketentuan pasal 1 ayat 1 UU Jasa Konstruksi: Adalah layanan jasa konsultasi pekerjaan perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 23
23
04/03/2017 22:46:53
konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Dari ketentuan pasal tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) bentuk pelaku usaha dalam penyediaan jasa konstruksi, yaitu (1) Konsultan Perencana Pekerjaan Konstruksi, ( UU Jasa Konstruksi pasal 1 ayat 9) adalah penyedia jasa perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang perencanaan konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain. (2) Pelaksana Konstruksi, (UU Jasa Konstruksi pasal 1 ayat 10, adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang pelaksanaan konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lainnya. (3) Pengawas Konstruksi, (UU Jasa Konstruksi pasal 1 ayat 11 adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai diserahterimakan. Pada ketentuan pasal-pasal yang termuat dalam UU Jasa Konstruksi tidak ditemui definisi mengenai kegagalan konstruksi, demikian pula dalam penjelasan pasalpasalnya. Tetapi dirumuskan dalam pengertian kegagalan bangunan, dengan demikian agar tidak terjadi pandangan yang ambigu tentang definisi tersebut, dalam tesis ini ke 24
001-isi bab1-2.indd 24
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
gagalan konstruksi termasuk dalam pengertian kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan menurut pasal 1 ayat 6 UU Jasa Konstruksi adalah Keadaan bangunan, yang telah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja kontruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa/pengguna jasa. Kesalahan yang mengakibatkan kegagalan konstruksi ini akibat dari kesalahan penyedia jasa adalah perbuatan yang dilakukan secara sadar dan direncanakan atau akibat ketidaktahuan atau kealpaan (garis bawah dari penulis) yang menyimpang dari kontrak kerja konstruksi sehingga menimbulkan kerugian (penjelasan pasal 1 angka 6 tentang kegagalan konstruksi). Sedangkan jika mengartikan kegagalan konstruksi dari sudut padang profesi teknik sipil, yaitu, fungsi utama bangunan adalah memikul beban dan pengaruh lingkung an luar. “Bangunan yang gagal adalah jika tidak mampu memikul beban atau rusak akibat pengaruh lingkungan luar. Adapun tolok ukurnya adalah kekuatan dan kekakuan struktur, dan tidak terbatas setelah waktu penyerah an saja tetapi telah dimulai sejak pelaksanaan.”44 Berdasarkan terjemahan Ensiklopedia Wikimedia, kegagalan struktur adalah kondisi dimana ada satu atau dua komponen struktur, atau bahkan struktur Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 25
25
04/03/2017 22:46:53
tersebut secara keseluruhan kehilangan kemampuan menahan beban yang dipikulnya. Umumnya dipicu oleh adanya beban berlebih yang menyebabkan kekuatan (strength) struktur mencapai kondisi batas sehingga menimbulkan fraktur atau lendutan yang besar. Para profesional menyebutnya sebagai keruntuhan struktur.45 Ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya kegagalan konstruksi, menurut Feld dan Carper, struktur bangunan dapat mengalami kerusakan dini (kegagalan) akibat hal-hal berikut: 1. Pemilihan lokasi yang berisiko: daerah yang rawan gempa, banjir atau lereng perbukitan yang tidak stabil terhadap perubahan lingkungan, atau kondisi tanah yang labil atau ekspansif. Meskipun demikian selama risiko tersebut dapat diidentifikasi secara tepat, misalnya dengan dilakukan penyeledikan-penyelidikan khusus (tambah biaya) dan selanjutnya diperhitungkan secara baik pula maka tentunya hal tersebut tidak menjadi masalah. 2. Kesalahan perencanaan: akibat gambar dan spesifikasi yang tidak lengkap, pemilihan sistem struktur yang rentan kerusakan atau detail yang rawan ter hadap kerusakan jangka panjang (misal detail baja yang menangkap air hujan sehingga mudah terjadi korosi), atau karena perencananya sendiri tidak mempunyai kompetensi yang cukup (asal dapat menjalankan program komputer rekayasa dan langsung 26
001-isi bab1-2.indd 26
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:53
mengadopsi hasil, meskipun sebenarnya mengan dung kesalahan) dsb. 3. Kesalahan pelaksanaan: misal pada penggalian tanah, kecelakaan alat, urutan pelaksanaan atau metode pelaksanaan yang tidak disesuaikan dengan perencanaannya, atau mengganti spesifikasi dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal. 4. Material yang tidak bermutu: meskipun ada sampel material yang diuji dan telah memenuhi spesifikasi teknis yang ada tetapi dapat saja terjadi cacat yang tidak terdeteksi dan baru ketahuan setelah ada kegagalan sehingga tidak bisa dikategorikan kesalahan perencana atau pelaksana. 5. Kesalahan pemakaian: Beban hidup yang tidak sesuai rencana dan fungsinya, misalnya dari hunian menjadi gudang sehingga beban hidupnya berlebihan. Bisa juga akibat kelalaian dalam perawatan, misal lapisan pelindung (cat) pada struktur baja rusak sehingga korosi. Kecuali hal-hal di atas, akibat perkembangan situasi dunia yang begitu cepat maka perlu ditambahkan juga penyebab baru yang harus diperhitungkan.46
Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam publikasiasi hasil penelitian hukum ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pertama, bahan hukum primer yakni terdiri Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 27
27
04/03/2017 22:46:53
pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusanputusan hakim yang berkaitan dengan pengadaan barang/ jasa, Tentang jasa konstruksi dan Bangunan Gedung, ketentuan-ketentuan pidana yang berkaitan dengan kegagalan konstruksi, serta pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi; 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung 3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ; 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pe ngadaan Barang/Jasa. Kedua, bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus-kamus hukum, pendapat para sarjana terhadap Undang-undang atau Putusan Pengadilan yang kesemua nya berkaitan/relevansi dengan permasalah penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang (naturelijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon) sebagai subjek hukum pidana.
28
001-isi bab1-2.indd 28
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:54
Catatan Akhir
5 6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, Tanpa Tahun, hlm. 13. Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar-komentar Pasal-pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia), Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 86. Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Penerbit Pradnya Paramita, Cetakan 1, Jakarta, 1997, hlm. 15. Pendapat Hamel dan Noyon-Lange Meyer sebagaimana dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo, Ibid. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan-7, Jakarta, Tahun 2002, hlm. 59. Martiman Prodjohamidjojo, Op. cit, hlm. 17. Roeslan Saleh, Op. cit, hlm. 19. Moeljatno, Op. cit. hlm. 69. Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2007, hlm. 27 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Cetakan ke 2, Malang, 2009 hlm. 105. Ibid. Ibid, hlm. 107. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Cetakan 3, Bandung, 2005. hlm.136. Roeslan Saleh, Op.cit. hlm.76. Ibid., hlm. 77. HLM.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007, hlm. 42. Ibid., hlm.51. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 31. Pendapat Pompe, sebagaimana dikutip Martiman Prodjohamidjojo, Ibid., hlm. 32.
Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 29
29
04/03/2017 22:46:54
24 Pendapat Van Hamel sebagaimana dikutip Martiman Prodjohamidjojo, Ibid., hlm. 33. 25 Ibid., hlm. 35. 26 Tongat, Op. cit., hlm.200. 27 Jan Remmelink , Op. cit., hlm.148. 28 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Tinjauan Kritis Terhadap teori pemisahan tindak pidana dan Pertanggungjawaban Pidana)., Kencana Prenada Media, Cetakan 1, Jakarta, 2006, hlm. 6. 29 Ibid., hlm.5. 30 D. Schaffneister; N. Keijzer; E. PHLM. Sutorius; Hukum Pidana, Liberty, Edisi Pertama, Cetakan 2, Yogyakarta, 2003, hlm. 84. 31 Jan Remmelink , Op. cit., hlm.142 32 Pendapat Wirjono Prodjodikoro, sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, cetakan 3, 2007, hlm. 91. 33 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Edisi Revisi, Jakarta, hlm. 103. 34 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Media Grafika, Cetakan 4, Jakarta, 2008, hlm.13. 35 Pendapat Satochid Kertanegara, sebagaimana dikutip Leden Marpaung, Ibid. 36 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan 3, Bandung, 1997, hlm.276, 37 Jan Remmelink, Op. cit., hlm. 152, 38 Ibid., hlm.178. 39 D. Schaffneister; N. Keijzer; E. PHLM. Sutorius; Op.cit., hlm.110 40 Wirjono Prodjodikoro; Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia; Rafika Aditama, Cetakan kedua; Edisi Revisi, Tahun 2008, hlm. 72. 41 HLM.A. Zainal Abidin Farid, Op.cit., hlm.328. 42 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Komentar-komentarnya, Politeia, Bogor, 1995, hlm. 248. 43 Tranparency International, Alih Bahasa Fahmia Biadib, Buku Panduan Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa (Handbook - Curbing
30
001-isi bab1-2.indd 30
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:46:54
Corruption in Public Procurement), dipublikasi Tranparency International, Berlin Germany, 2006., hlm. 2. (online book www.ti.or.id). 44 http:/www.dscrib.com/Wiryanto Dewabroto/Simulasi Numerik Berbasis Komputer Sebagai Solusi Pencegah Bahaya Akibat Kegagalan Bangunan/slip line theory., hlm. 1. 45 Terjemahan bebas dari kamus online Wikipedia., http://en.wikipedia. org. 46 Pendapat Feld dan Carper sebagaimana dikutip Wiryanto Dewabroto., Op. cit., hlm. 2.
Bab 2 Kerangka Teoretik Umum Tindak Pidana dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa dan Kegagalan Konstruksi
001-isi bab1-2.indd 31
31
04/03/2017 22:46:54
Bab3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
Pada Bab 1 di muka telah diuraikan bahwa dalam kegiatan pengadaan barang/jasa oleh pemerintah, terdapat aspekaspek hukum yaitu Hukum Administrasi Negara, Hukum Keperdataan dan Aspek Hukum Tindak Pidana Korupsi. Tetapi pada kenyataanya terdapat pula aspek hukum pidana umum. Agar tesis ini tidak menyimpang dari rumus an masalah yang ada, maka analisis yang akan ditelaah lebih khusus adalah dalam ranah hukum pidana umum yang berkaitan dengan kegagalan konstruksi, serta ketentuan pidana terkait tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Ketentuan Pidana Menurut Pasal 43 UU RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Unsur Ke gagalan Konstruksi) Isu hukum yang termuat dalam rumusan masalah yaitu tentang hilangnya nyawa seorang pekerja yang membangun prasarana/fasilitas negara berupa jembatan. Kemudian mengalami kegagalan konstruksi yang berakibat 32
002-isi bab-3.indd 32
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:48:59
runtuhnya jembatan tersebut. Dari hal tersebut kemudian timbul pertanyaan hukum mengenai apakah telah terjadi tindak pidana terhadap peristiwa tersebut? Hal itu terkait peristiwa seorang pekerja menjadi korban akibat runtuhnya jembatan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui aspek tindak pidana apa saja yang terkait dengan kegagalan konstruksi menurut pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi tersebut. Mengacu pada kasus posisi di atas, dapat disimpulkan dua aspek hukum didalamnya, yaitu mengenai kegagalan konstruksi dan hilangnya nyawa orang lain. Ketentuan hukum mengenai kegagalan konstruksi yang memuat sanksi pidana yaitu pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi. Rumusan pasalnya sebagai berikut: Barang siapa yang melakukan pekerjaan perencana an konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dipidana paling lama 5 tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 Persen dari nilai kontrak. Pelaku tindak pidana tersebut di atas oleh pembuat Undang-undang ditujukan kepada penyedia jasa konsultan perancangan konstruksi, baik berupa orang pribadi ataupun badan usaha (selanjutnya disebut korporasi). Dengan kata lain subjek hukum pidana dalam UU Jasa Konstruksi diperluas maknanya dengan menentukan frasa “barang siapa” merupakan definisi dari seseorang atau korporasi. Dengan demikian, rumusan pasal tersebut memberikan peluang bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk mendakwa Bab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 33
33
04/03/2017 22:48:59
korporasi dan organ/pegawainya yang apabila melakukan tindak pidana. Hal ini menyimpang dari konsep subjek hukum pidana menurut KUHP yang hanya mengenal manusia sebagai subjek hukum. Dengan demikian UU Jasa Konstruksi termasuk dalam golongan tindak pidana khusus (Delicta Propria). Dogmatik hukum menentukan seseorang (termasuk korporasi) dapat dipidana apabila memiliki unsur-unsur kesalahan di dalam perbuatannya. Karena pada asasnya seseorang tidak dapat dipidana jika tidak memiliki kesalah an (actus non facit reum, nisi mens sit rea), apabila tidak ada kesalahan maka tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Bentuk kesalahan yang termuat dalam pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi tersebut unsur deliknya dapat berupa kesalahan dalam pengertian kesengajaan (selanjutnya di sebut dolus/opzet), atau kesalahan dalam bentuk kealpaan (selanjutnya disebut culpa). Hal ini dapat dilihat pada penjelasan UU Jasa Konstruksi pasal 1 angka 6 tentang kegagalan konstruksi menentukan tindak pidana yang dilakukan tersebut dapat berupa kesalahan dalam bentuk perbuatan yang dilakukan secara sadar dan direncanakan; atau kesalahan dalam bentuk akibat ketidaktahuan atau kealpaan (garis bawah dari penulis) yang menyimpang dari kontrak kerja konstruksi sehingga menimbulkan kerugian. Apabila dihubungkan dengan fakta bahwa terdapat kesalahan dari konsultan perencana berdasarkan data labotorium uji beton oleh ahli konstruksi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Muji Irmawan. Telah terjadi kesalahan dalam merencanakan teknis pembangunan 34
002-isi bab-3.indd 34
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:48:59
jembatan Mulyorejo, yaitu pada perhitungan numeric tulangan jembatan terdapat selisih 400 persen. Seharusnya tulangan jembatan sebanyak 28 bagian, tetapi faktanya hanya berjumlah 8 bagian saja. Dengan demikian terdapat unsur kesalahan yang menjadi dasar untuk menyimpulkan adanya tindak pidana. Karena kesalahan telah terjadi sejak awal perencanaan teknis (rancang bangun) jembatan Mulyorejo maka PT. Wahana Adya selaku konsultan perencanalah yang bertanggunjawab atas kegagalan konstruksi yang terjadi. Mengacu pada hasil uji labotorium tersebut di atas yang menunjukan bahwa secara ketekniksipilan konsultan perencana tidak mendasarkan perencanaan/rancang bangun jembatan Mulyorejo dengan memperhatikan aspek-aspek standarisasi teknik perencanaan bangunan. Walaupun pihak konsultan perencana berupaya untuk memodifikasi/merubah spesifikasi teknis rancang bangun untuk menekan biaya pembangunan jembatan Mulyorejo tersebut, tetapi akibat ketidakhati-hatiannya jembatan tersebut mengalami kegagalan konstruksi. maka unsurunsur pasal 43 ayat 1 telah terpenuhi. Dengan demikian, perusahaan PT. Wahana Adya selaku konsultan perencana (selanjutnya disebut konsultan perencana) bertanggungjawab terhadap runtuhnya jembatan Mulyorejo. Asas kesalahan1 pada hukum pidana merupakan landasan/pondasi dari suatu delik agar dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain kesalah an merupakan dasar untuk “mensahkan” pidana. Supaya suatu perbuatan/tindak pidana dapat dijatuhi pidana harus terdapat aspek kesengajaan didalamnya, atau Bab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 35
35
04/03/2017 22:48:59
sekurang-kurangnya terdapat kealpaan mutlak. Jadi, kesengajaan atau kealpaan merupakan keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya kesalahan (legitimate basis for punishment). Unsur kesalahan pada peristiwa hukum di atas, menunjukan telah terjadi tindak pidana yang dilakukan perusahaan konsultan perencanaan jembatan Mulyorejo. Akibat kelalaiannya dalam merencanakan konstruksi jembatan Mulyorejo tersebut runtuh dan mengakibatkan hi langnya nyawa orang lain. Perbuatan yang dilakukan oleh konsultan perencana tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana culpa yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Walaupun terdapat unsur menyadari dan merencanakan mengganti atau merubah spesifikasi teknis, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan bagi konsultan perencana, tidaklah tepat untuk menyimpulkan bahwa tindak pidana yang dilakukan merupakan bentuk kesengajaan (dolus). Ketentuan pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi, tidak merumuskan sanksi pidana bilamana kegagalan konstruksi tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain de ngan kata lain tidak ada rumusan delik culpa didalamnya, hal ini merupakan kelemahan dari pasal 43 yang hanya menjelaskan apabila terjadi kegagalan konstruksi maka di ancam dengan pidana 5 (lima) tahun penjara atau denda sebesar 10 (sepuluh) persen dari nilai kontrak, demikian pula dengan stelsel pemidanaan pasal 43 ayat 1 yang bersifat alternatif, hal ini ditandai dengan kata “atau” yang termuat pada sanksi pidana pasal tersebut. Konsekuensi diterapkannya stelsel alternatif memberikan peluang bagi 36
002-isi bab-3.indd 36
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:48:59
hakim hanya menjatuhkan pidana salah satu dari sanksi pidana yang ada, yaitu pidana penjara atau pidana denda. Stelsel pemidanaan alternatif dengan sanksi pidana 5 (lima) tahun penjara atau denda paling banyak 10 (sepuluh) persen dari nilai kontrak pada UU Jasa Konstruksi, serta tidak ada batas minimal sanksi pidana bagi pelaku menunjukan lemahnya sanksi hukum terkait dengan kegagalan konstruksi, di samping itu pembuat Undang-undang kurang cermat dalam merumuskan pasal tersebut, karena pasal 43 UU Jasa Konstruksi tujuannya hanya melindungi kepentingan pengguna jasa, tetapi tidak melindungi kepentingan masyarakat umum, pembuat Undang-undang seharusnya memperhitungkan bahwa pada kenyataannya kegiatan pembangunan (konstruksi) suatu bangunan dimungkinkan terjadi resiko kegagalan konstruksi yang menimbulkan korban. Di samping itu, harus dicermati pula rumusan pasal 1 angka 6 menjelaskan unsur dolus dan culpa bukan merupakan unsur tindak pidana (delik) yang dirumusakan pasal 1 angka 6 maupun pasal 43 ayat 1, tetapi hanya sebagai tolak ukur untuk menggolongkan apakah perbuatan konsultan perencana merupakan kesengajaan atau kealpaan yang mengakibatkan kegagalan konstruksi, hal ini di tandai dengan tidak disebutkannya secara tertulis rumusan dolus atau culpa yang di muat dalam rumusan pasal 1 angka 6 dan pasal 43, dolus dan culpa hanya ditemui pada penjelasan pasal 1 angka 6 UU Jasa Konstruksi. Hal ini tentu akan menyulitkan Penuntut Umum apabila mendasarkan dakwaannya hanya dengan menerapkan pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi untuk menuntut perBab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 37
37
04/03/2017 22:48:59
tanggungjawaban pidana terkait hilangnya nyawa orang lain akibat kegagalan konstruksi. Karena pasal tersebut hanya ditujukan untuk perbuatan konsultan perencana yang mengakibatkan kegagalan konstruksi. Dengan demikian, ketentuan pasal ini hanya berguna bagi Penuntut Umum sebatas membuktikan telah terjadi tindak pidana terkait dengan kegagalan konstruksi akibat kelalaian konsultan perencana. Karena ketentuan pidana di dalam UU Jasa Konstruksi tidak mengatur tentang akibat kegagalan konstruksi yang menghilangkan nyawa orang lain, maka ketentuan pidana yang dapat dijadikan dasar hukum bagi Penuntut Umum menuntut pertanggungajawaban pidana terkait tindak pidana terhadap nyawa orang lain, baik oleh dolus maupun culpa yaitu pasal 338 KUHP dan pasal 359 KUHP, yang dapat didakwakan pada korporasi dan pengurus/pegawainya yang tidak berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga menghilangkan nyawa orang lain. Ketentuan Pidana Menurut Pasal 338 KUHP (Unsur Kesengajaan (Dolus) yang Mengakibatkan Hilang nya Nyawa Orang Lain) KUHP menganut sistem pertanggunjawaban pidana ha nya dapat dilakukan oleh manusia (naturlijk persoon) konsekuensinya korporasi tidak dapat dituntut melakukan tindak pidana. Telah ditegaskan di atas peristiwa hukum yang dianalisis pada tesis ini merupakan tindak pidana khusus berkaitan kegagalan konstruksi maka Undang-undang yang khusus mengatur mengenai hal tersebut adalah UU Jasa Konstruksi. Pasal 1 angka 4, menentukan bahwa 38
002-isi bab-3.indd 38
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:48:59
penyedia barang/jasa dapat berupa badan usaha (identik dengan bentuk korporasi) dan perseorangan. Maka yang dapat didakwa menurut UU Jasa Konstruksi adalah manusia dan korporasi. Akan tetapi pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi memiliki beberapa kelemahan. Yaitu pasal tersebut tidak mengatur tentang kegagalan konstruksi yang mengakibatkan kematian. Konsekuensi sistem hukum nasional menganut Civil Law, maka aspek (asas) legalitas2 sangat diutamakan untuk menegakan keadilan. Mengacu pada rumusan pasal 45 UU Jasa Konstruksi yaitu apabila terjadi hal-hal lain dan tidak di atur di dalam UU Jasa Konstruksi maka de ngan sendirinya berlaku ketentuan KUHP. Telah diuraikan di depan tentang aspek hukum terkait kegagalan konstruksi, maka selanjutnya akan dianalisis tentang aspek hukum terkait hilanganya nyawa orang lain. Ketentuan pidana yang dapat diterapkan Penyidik maupun Penuntut Umum agar dapat mendakwa konsultan perencana yang salah dalam membuat rancang bangun jembatan Mulyorejo sehingga mengalami kegagalan konstruksi, dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain yaitu pasal 338 KUHP, dengan rumusan pasal: Barang siapa yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan de ngan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun penjara. Pasal ini menentukan bahwa pelaku adalah manusia, sedangkan ancaman pidananya diarahkan pada akibat yang dilarang (garis bawah dari penulis) dari perbuatan Bab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 39
39
04/03/2017 22:48:59
pelaku. Pasal 338 KUHP merupakan bentuk dari tindak pidana materil. Jadi harus dapat dibuktikan bahwa perbuat an tersebut mengakibatkan kejadian yang dilarang oleh Undang-undang, dengan kata lain harus ada hubungan sebab akibat (kausalitas). Terhadap pasal tersebut R. Soesilo menjelaskan bahwa agar tindak pidana (doodslag) pada pasal 338 KUHP dapat terpenuhi, “maka harus terdapat perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, dan kematian tersebut disengaja, artinya memang pelaku memiliki niat untuk melakukan tindak pidana tersebut.”3 Rumusan delik/tindak pidana pada pasal 338 KUHP menempatkan unsur kesalahan dalam bentuk dolus sebagai unsur utama terjadi tindak pidana pembunuhan. Dengan kata lain, menghilangkan nyawa orang lain merupakan kehendak dari pelaku, sehingga untuk membuktikannya harus dapat dibuktikan pula niat dari pelaku. Mengacu pada kasus posisi di atas konsultan perencana dapat didakwa dengan pasal 338 KUHP, karena konsultan perencana merubah spesifikasi teknis jembatan yang seharusnya numeric tulangan jembatan sebanyak 28 bagian tetapi faktanya hanya berjumlah 8 bagian saja. Sehingga terdapat selisih 400 Persen. Selain itu terdapat kesalahan teknis dalam perencanaan beban jembatan, menurut spesifikasi teknis seharusnya 266 ton per meter, tapi sesuai faktanya perencanaan jembatan itu hanya dibangun dengan kapasitas beban 71,50 ton per meter. Konsultan Perencana adalah perusahaan yang profesional dibidangnya, maka seharusnya kesalahan-ke 40
002-isi bab-3.indd 40
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:48:59
salahan dalam menyusun konstruksi suatu jembatan yang demikian dapat diperkirakan dari segi ketekniksipilan. Dengan kata lain, karyawan/pegawai yang mendapatkan tugas membuat rancang bangun tentu saja akan melaporkan pekerjaannya kepada pimpinan perusahaan konsultan perencana, dan apabila terdapat kesalahan maka seharus nya diperbaiki sebelum di serahkan kepada konsultan pembangun. Apabila ternyata dapat dibuktikan/terdapat bukti bahwa pimpinan menyetujui rancang bangun yang tidak sesuai dengan standarisasi ketekniksipilan, atau bahkan mengajurkan untuk merubah spesifikasi teknis agar perusahaan konsultan perencana mendapatkan keuntungan finansial dalam pengerjaan proyek perencanaan jembatan Mulyorejo. Selain itu, pimpinan/maupun karyawan padahal mengetahui perbuatan tersebut melanggar undangundang, maka terdapat aspek kesengajaan (dolus) dari pe ngurus/pimpinan perusahaan merubah spesifikasi teknis, sehingga atau setidak-tidaknya memberikan potensi yang lebih besar terjadinya kegagalan konstruksi. Mengacu pada pasal 55 KUHP pengurus/pimpinan perusahaan konsultan perencana yang berwenang untuk itu dapat dikategorikan sebagai pelaku yang menyuruh melakukan (doenpleger) tindak pidana, karena tindakan dari karyawan tersebut merupakan perintah dari pimpin annya. Dengan demikian pimpinan, pemilik atau pengurus yang berwenang menjalankan korporasi tersebut dapat dituntut pertanggungjawaban pidana karena menyuruh atau menganjurkan pegawai/karyawannya dalam mendeBab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 41
41
04/03/2017 22:48:59
sain gambar teknik Jembatan Mulyorejo yang mengalami kegagalan konstruksi sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Jadi, perbuatan dari konsultan perencana merubah spesifikasi teknis jembatan Mulyorejo dapat digolongkan sebagai perbuatan yang disengaja dan direncanakan. De ngan kata lain, karena pihak konsultan perencana secara sadar merubah atau merencanakan kembali spesifikasi teknis jembatan Mulyorejo di luar dari standar spesifikasi teknis perencanaan, sehingga mengakibatkan kegagalan konstruksi yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Perbuatan dari konsultan perencana tersebut jika dikonstruksikan dalam bentuk modus, yaitu konsultan perencana bermaksud melakukan tindak pidana terhadap pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi, yaitu melakukan perencanaan konstruksi yang tidak sesuai dengan standarisasi ketekniksipilan. Akan tetapi, akibat perbuatan konsultan perencana tersebut terjadi kegagalan konstruksi yang berakibat hilangnya nyawa orang lain. Harus dicermati di sini yaitu, hilangnya nyawa orang lain tersebut merupakan akibat, bukan tujuan dari pelaku (garis bawah dari penulis). Walaupun terdapat keadaan error in objecto4 (kekeliruan berkenaan dengan objek) dari sudut pandang hukum pidana tidaklah penting. Jadi, bentuk delik/tindak pidana tersebut diklasifikasikan dalam bentuk “dolus indirectus, yaitu bila suatu perilaku yang terlarang (tindak pidana) yang dilakukan dengan sengaja menghasilkan suatu akibat yang tidak dikehendaki.”5 42
002-isi bab-3.indd 42
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:48:59
Tetapi dapat pula berbentuk dolus eventualis, yaitu bilamana secara kehendak pelaku sepenuhnya ada, tetapi unsur mengetahui (weten) hanya sebatas pada kesadaran akan kemungkinan terjadinya akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki (tidak ada unsur willen). Kesulitannya kemudian akan muncul dalam hal pembuktian apa yang sebenarnya terjadi dalam kesadaran pelaku. Oleh karena itu, apabila dapat dibuktikan adanya keadaan bahwa konsultan perencana ternyata sengaja merencanakan (berniat/bermaksud) merubah spesifikasi teknis. Walaupun tidak ada niat melakukan delik/tindak pidana pembunuhan, tetapi akibat perbuatan yang dise ngajanya tersebut terjadi kegagalan konstruksi yang meng akibatkan hilangnya nyawa orang lain. Jadi, walaupun unsur weten tidak terpenuhi tetapi unsur willen terpenuhi, “maka tidak perlu lagi membuktikan unsur mengetahui (weten), karena orang yang menghendaki pastilah mengetahui apa yang dikehendakinya termasuk akibat yang akan terjadi.” 6 Dengan kata lain, hilangnya nyawa orang lain akibat perbuatannya tersebut secara tidak langsung dikehendaki oleh konsultan perencana, karena perbuatan merubah/mengganti spesifikasi teknis jembatan Mulyorejo tersebut disadari dan dikehendakinya. Dengan demikian terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dengan akibat dari konsultan perencana, sehingga memenuhi unsur delik/tindak pidana pasal 338 KUHP. Maka perbuatan dari konsultan perencana tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan biasa menurut pasal 338 KUHP. Bab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 43
43
04/03/2017 22:48:59
Ketentuan Pidana menurut Pasal 359 KUHP (Unsur Kelalaian (Culpa) yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain) Terkait peristiwa hukum yang telah diuraikan di atas, apabila Penuntut Umum tidak dapat membuktikan tindak pidana/delik dolus dapat menerapkan delik culpa, maka fakta hukumnya harus memenuhi unsur-unsur delik pasal 359 KUHP, yaitu: Barang yang karena salahnya menyebabkan matinya orang di hukum penjara selama-lamanya lima tahun atau sekurang-kurangnya selama satu tahun Menurut R. Soesilo, matinya orang dalam rumusan pasal ini tidak dimaksud sama sekali oleh pelaku, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-hati atau lalainya pelaku. Tidak ada maksud dari pelaku untuk menghilangkan nyawa orang lain, hilangnya nyawa orang lain hanya merupakan akibat dari perbuatan pelaku yang tidak hati-hati/alpa. 7 Telah dijelaskan di atas bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh konsultan perencana ditujukan pada pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi, sedangkan hilangnya nyawa orang lain merupakan akibat perbuatan dari konsultan perencana yang merubah/mengganti spesifikasi teknis jembatan Mulyorejo. Tetapi apabila fakta hukumnya menunjukan keadaan semata-mata peristiwa tersebut akibat adanya unsur kelalaian dalam merancang konstruksi jembatan tersebut maka dapat diterapkan tindak pidana/ delik culpa. 44
002-isi bab-3.indd 44
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:48:59
Menurut pandangan teori hukum delik culpa demikian itu berbentuk culpa yang disadari (istilah teknisnya adalah luxuria8). Hubungan antara kesadaran pelaku dan akibat dari perbuataanya yang (seharusnya) dapat dihindari harus dibuktikan. Dengan kata lain, bahwa konsultan perencana sudah memperhitungkan kemungkinan yang muncul akibat tindakannya, namun pelaku yakin bahwa resiko yang terjadi dapat dihindari atau dicegah. Hal yang patut dicermati di sini, yaitu dapat dibuktikannya bahwa konsultan perencana secara nalar tidak bermaksud menghilangkan nyawa orang lain sehingga culpa harus dianggap ada, karena apabila tidak dapat dibuktikan maka dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dengan syarat (dolus eventualis).9 Sebagaiamana dijelaskan di atas bahwa, culpa yang dilakukan dengan kesadaran yaitu bilamana pelaku betul memikirkan kemungkinan munculnya akibat lain dari tindakannya. Namun, kemudian tetap melakukannya karena tidak percaya bahwa kemungkinan itu akan muncul dan tidak akan melakukannya bila seandainya kemungkinan tersebut dianggapnya sebagai sesuatu hal yang pasti akan terjadi. Sifat ketercelaan dalam delik culpa yang dilakukan dengan kesadaraan (bewuste culpa)10 harus memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan perbuatan yang sama, akan tetapi dilakukan tanpa di sadari (onbewuste culpa)11. Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Remmelink, “bahwa syarat untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku delik culpa adalah culpa lata (kelalaian yang ketara/berat) bukan culpa levis (kelalaian ringan).“12 Bab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 45
45
04/03/2017 22:49:00
Dijelaskan pada bab terdahulu bahwa konsep kesalahan dalam bentuk dolus dan culpa merupakan dua hal yang berbeda, delik culpa merupakan tindakan yang secara sadar tidak diingini akibatnya oleh pelaku, dengan kata lain pelaku delik culpa tidak menghendaki akibat yang dianggap bertentangan/melanggar perundang-undangan. Adapun pelaku delik dolus justru menghendaki akibat yang diancam pidana di dalam undang-undang. Jadi, dolus dan culpa merupakan perbuatan pidana yang sama sekali berbeda secara konsep dalam konstruksi terjadinya kesalahan dalam suatu delik. Berdasarkan bentuknya unsur kesalahan dari konsultan perencana adalah Culpa Conscious, yaitu kealpaan yang disadari/sembrono (roekeloos); lalai/tidak acuh (onachtzaam); orang menyadari akan resiko tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi.13 Konsultan perencana memang menyadari resikonya apabila perencanaan teknis jembatan tidak sesuai dengan standarisasi/syarat keteknikan maka dimungkinkan terjadi kegagalan konstruksi lebih besar. Mengacu pada teori kehendak (voorstelling theorie)14 dalam tindak pidana, apabila konsultan perencana tidak bermaksud/menghendaki atau tidak berniat untuk memperoleh keuntungan yaitu dengan cara merubah spesifikasi teknis jembatan Mulyorejo yang bertentangan dengan Undang-undang, tetapi semata-mata karena kealpaan/ kelalaian dari pegawai/karyawan yang mengerjakan perancangan teknis jembatan tersebut. Dengan kata lain, apabila Penyidik atau Penuntut Umum kesulitan membuktikan unsur willens (kehendak 46
002-isi bab-3.indd 46
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:49:00
dari pelaku), tetapi dapat membuktikan unsur kelalaian dari perbuatan konsultan perencana. Maka perbuatan konsultan perencana dapat diklasifikasikan dalam bentuk culpa yang dilakukan dengan kesadaraan (bewuste culpa). Dengan demikian, dapat didakwa dengan pasal 359 KUHP.
Bab 3 Ketentuan Pidana: Penerapannya pada Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
002-isi bab-3.indd 47
47
04/03/2017 22:49:00
Catatan Akhir
1
2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
48
002-isi bab-3.indd 48
Adalah asas yang diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbutan tidak patut yang obyektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya., lihat D. Schaffneister; N. Keijzer; E. PHLM. Sutorius, Op. Cit., hlm.82. Tidak ada suatu perbuatan pun yang terlarang atau diharuskan kecuali hal tersebut telah dinyatakan secara tegas dalam suatu ketentuan Undang-undang. (dikenal dengan adigium nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali), P.A.F. Lamintang, Op. cit., hlm. 141. R. Soesilo., Op.cit. hlm. 240. Jan Remmelink., Op.cit., hlm. 167. Ibid. hlm. 168. Didik Endro P., Bahan Perkuliah Kebijakan Hukum Pidana, Program Magister Hukum Universitas Airlangga, 2009, hlm. 17. R. Soesilo, Loc. cit. Jan Remmelink, Op. cit., hlm.180. Ibid. hlm. 155 Didik Endro P., Loc cit. Ibid. Jan Remmelink, Op. cit., hlm.179. Schaffneister; N. Keijzer; E. PHLM. Sutorius; Loc. cit. Didik Endro P., Loc. cit.
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 22:49:00
Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
Pada bab terdahulu telah dijelaskan mengenai tindak pi dana/delik dan pertanggungjawaban pidana, maka selan jutnya pada bab ini akan dianalisa tentang pelaku tindak pidana. Berawal dari hal tersebut, maka pertanyaan yang timbul adalah siapa yang dapat menjadi pelaku tindak pi dana? Pertanyaan ini sangat penting, mengingat sanksi pidana tersebut dijatuhkan pada pelakunya, dengan de mikian sangat penting menurut hukum pidana untuk mengetahui siapa yang dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Mengacu pada pengertian tindak pidana dan pertang gungjawaban pidana, maka segera dapat diketahui bahwa unsur pertama tindak pidana/delik adalah merupakan perbuatan manusia. Pada dasarnya, yang dapat menjadi pelaku tindak pi dana adalah manusia (natuurlijk persoon). Hal ini ditandai dengan tidak adanya satupun pasal di dalam KUHP yang menyebutkan bahwa subjek hukum pidana selain manusia. Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 49
49
05/03/2017 10:28:37
Dengan kata lain, hanya manusia yang memiliki maksud, kehendak, jiwa/kalbu (mens rea) yang dapat dicela/dipi dana. Seperti yang dijelaskan Jan Remmelink, rumusan KUHP selalu menunjuk pada frasa hij die, yang berarti “ba rang siapa” yang berarti “siapa pun. ” Mengacu pada frasa tersebut dalam bahasa Indonesia kata “siapa” menunjuk kepada manusia, maka frasa barang siapa/siapa pun be rarti setiap manusia (garis bawah dari penulis), misalnya pasal 338 KUHP merumuskan, Barang siapa yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan de ngan pidana penjara selama-lamanya lima belas ta hun penjara. Jika di atas menentukan manusia sebagai pelaku tin dak pidana dengan mengacu pada frasa hij die, maka apa bila mencermati dari sanksi pidananya berupa pidana pen jara atau kurungan, dengan mengacu pada ketentuan pasal 10 KUHP sangat jelas menentukan yang dapat dipidana adalah manusia. Dengan demikian sistem KUHP tegas membatasi subjek hukum pidana hanya pada pengertian manusia. Ketentuan yang demikian mengisyaratkan bah wa pertanggungjawaban pidana hanya dapat diberlakukan bagi manusia, karena hanya manusia yang memiliki akal budi, kehendak, memiliki actus reus dan mens rea. Adigium actus non facit reum, nisi mens sit rea meru pakan konsep pemidanaan yang dianut secara luas dalam ilmu hukum, dan menjadi tolak ukur dalam menentukan seseorang telah melakukan tindak pidana/delik sehingga dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana terhadap 50
003-isi bab-4.indd 50
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:37
perbuatannya tersebut. Kesalahan merupakan dasar un tuk memidanakan seseorang, sehingga sesorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana apabila memiliki kesalahan. Kesalahan dipengaruhi oleh perbuatan lahiriah yang bertentangan dengan hukum atau tindak pidana/ criminal act yang dilakukan oleh pelaku (unsur objektif) dalam hukum pidana dikenal dengan istilah actus reus; dan dipengaruhi pula sikap mental/batin (unsur subjektif) dari pelaku yang di sebut mens rea. Konsep tentang pertanggungjawaban pidana di dalam sistem KUHP menegaskan batasan-batasan bilamana ses eorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yang tercela (melanggar norma masyarakat), walaupun seseorang melakukan tindak pidana/delik belum tentu da pat dipidana. Hal tersebut sesuai dengan argumentasi dari van Hammel bahwa seseorang yang dapat dipidana adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dan kecakapan secara hukum. Selanjutnya dari keadaan demikian, van Hammel mengatakan bahwa: Pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk: 1. Memahami arti dari akibat perbuatannya. 2. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenar kan atau dilarang oleh masyarakat. 3. Menentukan kemampuan terhadap perbuatanperbuatan itu. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa toerekensvatbaarheid mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.1 Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 51
51
05/03/2017 10:28:38
Pada argumentasi tersebut di atas tercakup pemikiran bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi tertentu, yang sedemikian rupa dilalui oleh proses pemikiran terarah pada suatu tujuan (bertentangan dengan hukum) yang dikehendaki oleh pelaku. Sehingga dari keadaan demikian dapat ditemui batasan suatu tin dak pidana dapat dijatuhkan atau tidak dijatuhkan pada pelaku. Jadi, hanya manusia/seseorang yang berkemam puan dan kecakapan secara hukum yang dapat dipidana. Asas tersebut menentukan bahwa tanggung jawab ab solut/mutlak terletak pada diri manusia karena memiliki actus reus dan mens rea. Walaupun demikian, menurut Hans Kelsen, argumentasi tentang mens rea tersebut tidaklah serta merta harus demikian adanya tanpa pengecualianpengecualian. Di samping itu, jika “memungkinkan untuk menuduhkan tindakan fisik yang dilakukan oleh seseorang (manusia) kepada badan hukum walaupun badan hukum tersebut tidak mempunyai fisik, maka mesti dimungkin kan juga untuk menuduhkan suatu tindakan fisik kepada badan hukum, dengan kondisi bahwa organnya telah ber tindak dengan dikehendaki dan dengan itikad jahat.”2 Pada pasal 59 KUHP tidak dirumuskan pemidanaan terhadap korporasi/badan usaha oleh pembuat Undangundang, tetapi hanya pertanggungjawaban pidana oleh pengurus/organ atau pengawai dari korporasi, hal ini da pat dilihat dari rumusan pasal tersebut yaitu : Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggar an terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas 52
003-isi bab-4.indd 52
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:38
pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelangga ran itu telah di luar tanggungannya.3 Sedangkan menurut Kertanegara sebagaimana di kutip oleh H.A. Zainal Abidin Farid yang menafsirkan isi pasal 59 KUHP, yaitu “jika terjadi pelanggaran terhadap sesuatu peraturan yang ditujukan terhadap bestuur (pe ngurus) atau komisaris dari suatu perkumpulan, pelangga ran mana diancam dengan hukuman, maka hukuman tadi tidak dapat dijalankan terhadap anggota pengurus atau komisaris, jika ternyata bahwa pelanggarannya dilakukan di luar pengetahuannya.” 4 Selanjutnya Kertanegara men jelaskan bahwa tidak berarti perkumpulan tersebut meru pakan subjek dalam delik/tindak pidana. “Pada hakekatnya pasal 59 KUHP menganut sistem pertanggungjawaban pi dana yang lazim di sebut strict liability, dengan memung kinkan para terdakwa membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.”5 Secara a contrario pasal tersebut menentukan bahwa pidana dijatuhkan pada pengurus, anggota badan pe ngurus, atau komisaris-komisaris (suatu korporasi) yang melakukan campur tangan dalam pelaksanaan tindak pi dana yang terhadap tindak pidana tersebut diancamkan pidana kepada pengurus.6 Menurut van Bemmelen, keten tuan yang tercantum dalam pasal 59 KUHP7 sama sekali tidak dibicarakan tindak pidana yang dilakukan oleh ko rporasi. Hal ini didasarkan atas suatu pemikiran bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan manusia ilmi ah.8 Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 53
53
05/03/2017 10:28:38
Ketentuan ini menetapkan bahwa jika pelanggaran dan sanksi yang diancamkan kepada pengurus, ang gota, organ-organ pengurus atau komisaris, padahal pelanggaran terjadi di luar sepengetahuan mereka, maka mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawab an. Aturan demikian tidak berkelebihan, karena ber dasarkan pandangan yang dahulu berlaku-yakni hanya dasar-dasar yang meniadakan pidana yang tertulis turut diperhitungkan (Pasal 37 et seq, pasal 44 dst. KUHP)- para pengurus tidak akan dapat mem bebaskan diri dengan alasan ketidaktahuan (yang da pat dibenarkan) atau kesesatan/kekeliruan (dwaling) perihal duduk perkara yang sebenarnya.9
Adanya pandangan demikian menurut Jan Rem melink, karena pemerintah ketika itu mengikuti padangan Von Savigny, yang menyatakan bahwa korporasi sebagai salah satu fiksi hukum yang diterima dalam ranah hukum keperdataan merupakan gagasan yang tidak cocok diambil alih begitu saja untuk kepentingan hukum pidana.10 Jadi, harus diakui bahwa hanya manusia yang memungkinkan terjadinya suatu delik dan pemidanaan yang menimbul kan perasaan bersalah akibat dipidana hanya terjadi pada manusia. Jika pasal 59 KUHP Indonesia dibandingkan dengan pasal 51 KUHP Belanda yang baru11, yang telah menentu kan bahwa pidana bukan saja dijatuhkan kepada pengu rus, tetapi juga kepada korporasi itu sendiri.12 Menurut pasal 44 RUU KUHP Republik Indonesia, yang dalam pen jelasannya menentukan bahwa berdasarkan ketentuan 54
003-isi bab-4.indd 54
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:38
pasal ini korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana. Dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan yang dilakukan. Selain itu banyak pula Undang-undang Tindak Pidana Khusus yang menjadi kan korporasi sebagai subjek hukum pidana misalnya UU Psikotropika, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan seterusnya. Eksistensi korporasi sebagai subjek hukum, diakui dalam ranah hukum perdata. Pada sistem hukum perdata, subjek hukum adalah manusia sebagai natural persoon yang memiliki kemampuan untuk memenuhi hak dan kewa jiban. Akan tetapi dalam perkembangannya, hukum men ciptakan bentuk subjek hukum baru selain manusia, yaitu badan hukum/korporasi (fiksi hukum) yang memiliki ciriciri hukum yang sama dengan manusia. Ciri-ciri hukum tersebut adalah badan hukum/korporasi dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum, dapat memenuhi hak dan kewajiban seperti layaknya manusia. Bertolak dari logika tersebut di atas maka korporasi dapat pula melakukan perbuatan yang tercela (melakukan tindak pidana). Argumentasi tentang logika demikian tidaklah serta merta dapat diterapkan, mengingat bahwa hingga seka rang masih terdapat pro dan kontra mengenai konsepkonsep hukum yang dapat menjadi dasar argumentasi untuk membenarkan/mengakui korporasi sebagai subjek hukum pada ranah khususnya hukum pidana. Jika me ngacu pada ketentuan pasal 1 angka 4 UU Jasa Konstruk si, penyedia jasa merupakan perseorangan yang berarti adalah orang pribadi (naturalijk persoon), dan badan usaha yang berbentuk dan tidak berbentuk badan hukum. Sub Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 55
55
05/03/2017 10:28:38
jek hukum pidana menurut UU Jasa Konstruksi adalah seseorang dan badan usaha/korporasi. Hal ini tentu saja bertentangan dengan KUHP karena tidak mengenal kor porasi sebagai subjek hukum pidana. Selain itu, pemidana an juga tidak dapat diterapkan kepada korporasi karena bagaimana mungkin menjatuhkan sanksi pidana penjara atau kurungan terhadap korporasi yang merupakan fiksi hukum/bersifat semu (artificial).13 Mengingat pengerjaan proyek pengadaan barang/ jasa (tender) membutuhkan modal finanansial yang besar, maka pemerintah membutuhkan rekan kerja yang mapan secara finansial dalam pengerjaan proyek. Oleh karena itu, hampir seluruhnya peserta yang terlibat pada pele langan atau seleksi pengadaan barang/jasa bentuk Peru sahaan/korporasi. Hal tersebut dikarenakan perusahaan/ korporasi memiliki kekuatan modal dan jaringan relasi yang luas. Jika mayoritas peserta tender adalah korporasi, dan apabila terjadi peristiwa hukum terkait tindak pidana sebagaimana dicontohkan pada latar belakang masalah, maka hal tersebut tentu akan menimbulkan kesulitan bagi penyidik untuk menentukan siapa pelaku yang dapat di jadikan tersangka. Pemidanaan terhadap korporasi yang didakwa me lakukan tindak pidana menimbulkan permasalahan hu kum, mengenai bagaimana membuktikan sikap batin/ka lbu (mens rea) dari korporasi, bagaimana niat, kehendak dan mengetahui atau merencanakan terlebih dahulu. Menurut van Bemmelan, bahwa syarat mutlak ialah dibuktikan adanya kesengajaan paling kurang pada salah seorang manusia yang telah melakukan per 56
003-isi bab-4.indd 56
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:38
buatan sehingga terwujud suatu delik. Demikian pula halnya bilamana badan hukum tersebut menyatakan bahwa dilindungi oleh salah satu dasar pemaaf, mi salnya terjadi kekhilafan tentang hal melawan hu kumnya perbuatan (error in facti), maka disyaratkan bahwa orang yang bertindak untuk dan atas nama perseroan berada dalam keadaan khilaf (tentang fak ta).Orang yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum itu disyaratkan bahwa melakukan perbuatan tersebut yang termasuk fungsi badan hukum itu dan seorang tersebut memang berwenang untuk itu. 14 Menurut pasal 59 KUHP yang dapat dibebankan per tanggungjawaban pidana hanyalah pengurus/organ atau pengawai dari korporasi. Mengacu pada kasus kegagalan konstruksi yang mengakibatkan hilangnya nyawa peker janya, maka yang bertanggungjawab secara hukum adalah pimpinan perusahaan konsultan perencana, karena pe gawai yang lalai dalam melaksanakan tugasnya merupa kan tanggung jawab dari pimpinan perusahan konsultan perencana. Di samping itu, perusahaan konsultan perencana me rupakan badan usaha yang secara profesional diakui keahli annya dalam merancang sebuah bangunan, dan memi liki sertifikasi keahlian dalam perancangan konstruksi. Seharusnya, dalam merancang sebuah konstruksi, perusa haan konsultan perencana harus berpatokan pada standa risasi keteknikan dengan perhitungan dan perkiraan yang tepat sehingga tidak terjadi kegagalan konstruksi. Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 57
57
05/03/2017 10:28:38
Jika mengacu pada Doctrine of Vicarious Liability, yaitu pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tin dak pidana yang dilakukan oleh A kepada B, yang harus dicermati pada doktrin ini adalah pertanggungjawaban bukan ditujukan atas kesalahan orang lain, tetapi ter hadap “hubungannya” dengan orang lain tersebut. Dengan mana menurut Undang-undang memiliki hubungan yang demikian merupakan tindak pidana. Agar pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada pimpinan perusahaan dapat dibenarkan, maka harus terdapat “hubungan” antara pimpinan perusahaan dan karyawan. Hubungan tersebut dalam hal ini yaitu pe gawai/pelaksana perancang konstruksi jembatan melak sanakan tugas wewenang yang diberikan oleh pimpinan perusahaan kepadanya dengan kapasitas sebagai karya wan/pegawai. “Jadi, a guilty mind dari karyawan dapat dihubungkan kepada pimpinan perusahaan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of power and duties”) menu rut Undang-undang.”15 Hal ini sesuai dengan pendapat Hans Kelsen, yaitu tatkala sanksi pada prinsipnya ditujukan kepada se mua anggota komunita yang digambarkan sebagai badan hukum, sungguh pun delik/tindak pidana itu telah dilakukan hanya oleh salah seorang dari me reka, meskipun dalam kapasitasnya sebagai komuni ta. Sanksi itu tidak di tujukan kepada orang tertentu yang ditentukan secara perseorangan, melainkan kepada sekelompok individu yang ditentukan secara 58
003-isi bab-4.indd 58
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:38
kolektif oleh peraturan hukum. Itu adalah makna dari pernyataan bahwa sanksi ditujukan kepada badan hu kum.16 Adanya unsur culpa yang dilakukan oleh pegawainya dalam merancang struktur bangunan jembatan Mulyorejo merupakan unsur kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan secara langsung kepadanya, akibat kealpaannya sehingga terjadi perancangan teknis yang tidak sesuai de ngan standarisasi ketekniksipilan. Dengan kata lain, ter dapat ketidakcocokan spesifikasi teknis dengan rancang bangun jembatan Mulyorejo, yang merupakan liability base on fault karyawan/pegawai perusahaan konsultan peren cana tersebut. Walupun demikian, menurut Doctrine of Vicarious Liability harus terdapat 2 (dua) keadaan pertang gungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pegurus, pemilik, atau pimpinan perusahaan konsultan perencana. Pertama, apabila terdapat “pendelegasian kewenangan.”17 Dengan kata lain pemilik, pengurus atau pimpinan yang memberi perintah bertanggungjawab terhadap perbuatan bawahan yang berkerja untuknya atau sebatas pada per intahnya. Jadi kealpaan dari karyawannya haruslah dapat dianggap merupakan tanggung jawab dari para pemberi perintah atau pemimpin yang nyata, maupun terhadap korporasi itu sendiri. Dalam teori hukum pidana kadang-kadang dipertahan kan bahwa para pemberi perintah atau pimpinan yang nyata, tidak perlu mempunyai unsur dolus atau culpa yang dipersyaratkan dalam rumusan tindak pidana untuk badan hukum. Karena kepemimpinan sama Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 59
59
05/03/2017 10:28:38
dengan pemberi perintah ada hubungannya dengan perbuatan yang di larang, maka dalam perbuatan pi dana dengan unsur dolus dan culpa, pemberi perintah itu harus juga menyangkut (timbulnya) dolus dan culpa badan hukum.18 Keadaan yang kedua, yaitu bilamana dalam penafsir an atas fakta perbuatan dari pegawai/karyawan, sekalipun tidak ada pendelegasian, menunjukkan bahwa pelaku (karyawan/pegawainya) berbuat bukan dalam kapasitas pribadinya sendiri. “as long assistant is acting as agent rather than as a private individual.”(Ashworth, 1991:84).19 Jika dikaitkan dengan kasus posisi tersebut di atas, karyawan bekerja untuk mencapai tujuan perusahaan konsultan perencana, bukan untuk kepentingan pribadi karyawan. Maka dengan demikian tindakan/pekerjaan dari karya wan tersebut bertujuan untuk menjalankan kepentingan korporasi dengan sendirinya pula menjadi kepentingan pemilik atau pimpinan perusahaan konsultan perencana, selaku directing mind dari korporasi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana (Rechtpersoon) Istilah korporasi sebagai subjek hukum pidana baru mun cul di dalam peraturan perundang-undangan tindak pi dana khusus. Hal ini terjadi karena lambat-laun di dalam kehidupan masyarakat korporasi sedemikian rupa men jelma menjadi suatu bentuk “pribadi hukum (subjectum juris)” yang memiliki pengaruh dan kemampuan yang besar layaknya manusia di dalam kehidupan masyarakat. Kare 60
003-isi bab-4.indd 60
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:38
na sifat dari perbuatan korporasi layaknya manusia, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus di luar ketentuan KUHP. Mengingat ketentuan KUHP yang ada sekarang sudah tertinggal jauh dengan masalah hukum yang sedemikian kompleksnya, maka hukum ha rus dinamis. Korporasi merupakan perhimpunan orang-orang yang memiliki kesamaan tujuan atau meminjam kalimat dari Hans Kelsen, korporasi merupakan suatu organisasi orang-orang, yakni suatu tatanan hukum yang mengatur perbuatan orang-orang.20 Dengan kata lain, korporasi merupakan suatu perhimpunan yang didirikan oleh be berapa orang atau lebih yang memiliki tujuan bersama, yang dilembagakan oleh hukum yang berlaku untuk hal tersebut. Korporasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris, di sebut corporation, dan dalam bahasa Belanda di sebut corporatie, dan dalam bahasa Jerman di sebut korporation, se cara etimologi berasal dari kata corpotatio dalam bahasa lat in.21 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, pengertian korporasi dibagi dalam pengertian luas yaitu, korporasi dapat menja di badan hukum dan bukan berbadan hukum. Sedangkan dalam pengertian sempit, korporasi adalah badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensinya dan kewenangannya diakui oleh hukum perdata.22 “Menurut Utrecht, menyatakan bahwa badan hukum (korporasi) adalah badan hukum yang menurut hukum ber wenang menjadi pendukung hak, atau setiap pendukung hak yang tidak berjiwa. Selanjutnya Rochmat Soemitro, badan hukum (korporasi) adalah suatu badan yang dapat Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 61
61
05/03/2017 10:28:39
mempunyai harta, hak, serta berkewajiban seperti orang pribadi.”23 Pendapat bahwa korporasi layaknya “pribadi (badan)” tersebut sejalan dengan padangan Hans Kelsen, yang menyatakan “suatu tatanan hukum yang mengatur perbuatan sejumlah individu dapat di pandang sebagai “pribadi” (badan), yang berarti dapat dipersonifikasikan.” 24
Sedangkan menurut Chidir Ali definisi dari korporasi sebagaimana dikutip oleh Arief Amarullah, yaitu : Hu kum memberikan kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain di anggap sebagai orang yang merupa kan pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertang gunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (ko rporasi) bertindak harus dengan perantaraan orang biasa. Akan tetapi, orang yang bertindak itu bertin dak tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggunggugatan korporasi.25
Beranjak dari logika bahwa korporasi dapat melaku kan perbuatan hukum perdata maupun hukum adminis trasi, maka dengan demikian korporasi dapat pula ber buat tindak pidana, misalnya korporasi sering didakwa melakukan manipulasi pajak dan di hukum karena itu, dan sanksi yang dijatuhkan sering kali berbentuk denda. Pemidanaan dalam bentuk denda pada dasarnya menyeru pai sanksi-sanksi perdata yaitu ditujukan pada harta keka yaan korporasi. Menjatuhkan sanksi pidana denda kepada korporasi akan lebih sulit dibandingkan menjatuhkan hu 62
003-isi bab-4.indd 62
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:39
kuman perdata terhadap kekayaan korporasi. Dari sistem pemidanaan itu tampak tidak mungkin apabila menjatuh kan hukuman badan seperti hukum mati dan penjara ter hadap korporasi, hanya manusia yang dapat dicabut jiwa atau kebebasannya. Di lain sisi patut pula dicermati dalam hal mengenai dakwaan yang ditujukan kepada korporasi, yaitu mendakwakan tindakan-tindakan manusia kepada korporasi, maka dengan demikian secara tidak langsung menganggap korporasi sebagai “legal personality”26 atau di istilahkan oleh Hans Kelsen sebagai pribadi hukum. Terdapat pro dan kontra mengenai dapat atau tidaknya suatu korporasi dipidana. Pendapat yang beranggapan bahwa tidak dapat dipidananya korporasi beranjak dari doktrin “societas not potest delinquere, suatu asosiasi tidak dapat melakukan suatu kejahatan, didasarkan pada fakta bahwa badan hukum tidak mempunyai perasaan bersalah, yang berarti keadaan jiwa tertentu yang merupakan unsur kesalahan (dolus atau culpa), karena badan hukum bukan pribadi nyata, sama sekali tidak memiliki keadaan jiwa.” 27 Di samping itu, terdapat pendapat para sarjana lain yang menentang criminal liability dari korporasi, yang ber pendapat bahwa suatu korporasi tidak memiliki sikap kal bu (state of mind) sendiri, oleh karena itu tidak mungkin menunjukan suatu nilai moral yang disyaratkan untuk da pat dipersalahkan secara pidana.28 Sedangkan menurut Frank dan Lynch sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, mengemuka kan bahwa keberatan-keberatan prinsipiil dari corporate criminal resposibilty adalah bahwa orang yang Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 63
63
05/03/2017 10:28:39
tidak bersalah dapat terkena hukuman. Derita dari pemidanaan terhadap korporasi dapat terbebankan kepada pihak-pihak lain. Akibatnya, para konsumen, pemegang saham, dan para pegawai dapat menjadi pihak-pihak terhukum.29 Sejalan dengan pandangan tersebut di atas, Clark son dan Keating, mengemukakan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada suatu perusahaan berupa pidana den da sama artinya dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak-pihak yang tidak bersalah, yaitu para pemegang sa ham, kreditor, para pegawai masyarakat harus memikul denda tersebut.30 Walaupun demikian, terdapat pula pandangan yang menyatakan bahwa korporasi bukanlah sekedar fiksi hu kum, tapi korporasi benar-benar eksis dan memiliki posisi penting dan dapat menimbulkan kerugian seperti halnya manusia. Menurut kelompok yang setuju dibebankan nya criminal resposibilty terhadap korporasi, beranggapan bahwa hal tersebut sejalan dengan asas persamaan dih adapan hukum (equality before the law), sehingga korpo rasi seharusnya diwajibkan pula untuk menghormati nilainilai fundamental masyarakat. Oleh karena itu Elliot dan Quinn, sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, memberikan beberapa alasan korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, yaitu : a. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusa haan-perusahaan bukan mustahil dapat menghindar kan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya 64
003-isi bab-4.indd 64
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:39
yang dituntut karena telah melakukan tindak-tindak pidana yang sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan. b. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah menuntut perusahaan daripada memuntut pegawainya. c. Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk mem bayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai perusahaan tersebut. d. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan da pat mendorong para pemegang saham melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. e. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntung an dari kegiatan usaha yang ilegal, maka seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai peru sahaan itu. f. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah peru sahaan-perusahaan untuk menekan para pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung, agar para pegawai itu tidak mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan kegiatan usaha yang ilegal. g. Publisitas yang merugikan dan pengenaan denda ter hadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pence gah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan yang ilegal, di mana hal ini tidak mungkin terjadi apabila yang dituntut itu adalah para pegawainya.31 Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 65
65
05/03/2017 10:28:39
Dari perbedaan pendapat oleh para ahli hukum di atas mengenai dapat atau tidaknya pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada korporasi, penulis sependa pat dengan pandangan bahwa seyogyanya korporasi da pat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Dari uraian sub bab di atas telah dijelaskan bahwa pada asasnya ko rporasi tidak bertindak sendiri, tetapi melalui pengurus, pegawainya atau organ korporasi lainnya yang bertujuan untuk memberikan manfaat baik secara langsung ataupun tidak langsung kepada korporasi. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Kegagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian Tidak ada satu pasal pun dalam KUHP merumuskan ko rporasi sebagai subjek hukum pidana, di dalam KUHP hanya mengenal manusia (natural persoon) sebagai pelaku tindak pidana, dilihat pada ketentuan pasal 59 KUHP, hal ini dapat dijumpai dari rumusan tindak pidana yang selalu di mulai dari frasa hij die32 atau “barang siapa…” Yang patut dicermati dalam hal ini bahwa KUHP tidak memberikan peluang untuk menuntut korporasi dihadap an pengadilan pidana, walaupun demikian perumusan ter hadap delik/tindak pidana harus pula memperhitungkan bahwa kenyataannya manusia dapat melakukannya suatu perbuatan melalui korporasi/untuk korporasi. Dengan de mikian rumusan delik/tindak pidananya akan diarahkan kepada pengurus/organ korporasi tersebut. Terdapat perbedaan yang signifikan antara konsep ba dan hukum menurut hukum perdata dan hukum pidana, menurut hukum perdata “korporasi dibedakan dalam ben 66
003-isi bab-4.indd 66
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:39
tuk badan hukum (memiliki kekayaan yang terpisah dari pengurusnya) dan tidak berbadan hukum (kekayaan ko rporasi melekat pada pengurusnya).”33 Berbeda halnya hukum pidana tidak membedakan korporasi seperti konsep hukum perdata, korporasi menu rut hukum pidana adalah kumpulan terorganisasi dalam bentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum, keten tuan pidana yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya dapat dilihat pada pasal-pasal Un dang-undang Tindak Pidana Khusus34, dan atau pasal 166 Rancangan Undang-undang KUHP Baru35 yaitu: Korporasi adalah kumpulan teroganisir dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Hal ini merupakan penyimpangan terhadap KUHP, sehingga menimbulkan pro dan kontra antara para ahli hukum mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana. Perkembangan sektor ekonomi, memberikan pengaruh yang kuat terhadap eksistensi korporasi sebagai subjek hukum baik dalam ranah hukum perdata maupun hukum pidana. Korporasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena pada praktiknya terjadi pergeseran pemikiran awal korporasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan ma nusia, kemudian korporasi beralih menjadi subjek hukum dengan pertimbangan bahwa korporasi berkemampuan menimbulkan kerugian terhadap masyarakat luas. Misal nya, korporasi melalui pegawai/pengurusnya melakukan manipulasi pajak agar korporasi tidak mengalami keru Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 67
67
05/03/2017 10:28:39
gian, atau pencemaran lingkungan berupa libah pabrik milik korporasi. Dari contoh di atas, timbul permasalahan hukum bilamana korporasi melakukan tindak pidana? jika dikaitkan dengan sistem hukum pidana yang telah dike mukakan di atas yang tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dari uraian di atas, apabila dikaitkan dengan kasus posis, penulis berpendapat pihak yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana jika mengacu pada keten tuan pidana dalam pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi pelaku tindak pidana selain manusia/seseorang juga men genal korporasi. Sedangkan pasal 338 KUHP serta pasal 359 KUHP hanya membatasi pelaku tindak pidana adalah manusia/seseorang. Dengan demikian, apabila bahwa pe gawai/bawahan melakukan kesengajaan (dolus) ataupun kealpaan (culpa) dalam menyusun desain konstruksi, seh ingga berakibat kegagalan konstruksi yang menimbulkan korban dan kerugian. Tentu saja harus ada pihak yang ber tanggungjawab terhadap tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain tersebut. Pembebanan pertanggungjawaban pidana dapat di terapkan terhadap korporasi bilamana pegawai/ pemimpin perusahaan konsultan perencana melakukan tindakan (dalam bentuk bertentangan dengan hukum atau tidak, dengan maksud untuk keuntungan finansial korporasi dan anggotanya) yang telah delegasikan kepadanya yaitu mengerjakan perencanaan teknis jembatan Mulyorejo demi menjalankan kegiatan usaha dari korporasi. Maka, dengan demikian sepatutnya lah korporasi ikut serta dibe bankan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan 68
003-isi bab-4.indd 68
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:39
pengurusnya. Jadi terdapat aspek kewenangan pengu rus yang dibenarkan oleh hukum, sehingga harus dapat diasumsikan bahwa tindakan pengurus merupakan ke hendak dari korporasi. Jika korporasi dikaitkan dengan aspek mens rea (kal bu/state of mind) penulis sependapat dengan pandangan dari Hans Kelsen, bahwa asas actus non facit reum, nisi mens sit rea, bukan tanpa pengecualian-pengecualian. “Hakekat yang sesungguhnya dipahami secara keliru dalam mengar tikan sifat kalbu/pribadi fisik atau natura dari badan hu kum, karena seseorang harus diasumsikan memiliki suatu kehendak agar menjadi seorang “pribadi” hukum.”36 Selanjutnya, Hans Kelsen mengatakan bahwa, “saat ini ahli hukum menyadari suatu badan hukum tidak bisa mempunyai kehendak dalam arti di mana seseorang ma nusia mempunyai suatu kehendak.”37 Jadi, untuk menen tukan suatu konsep tentang pribadi atau mens rea dari badan hukum, seyogyianya berangkat dari pandangan dan syarat-syarat yang ditentukan dan dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Hukum dan pranatanya lah yang da pat menentukan bagaimana bentuk pribadi, fisik dan mens rea dari korporasi, karena pada hakekatnya korporasi itu merupakan ciptaan hukum (a creature of the law). Apabila ternyata hukum dan pranatanya tidak menentukan hal demikian maka diperlukan “pengecualian-pengecualian” sebagaimana dimaksud oleh Hans Kelsen. “Sehingga sangatlah dimungkinkan untuk membuat korporasi bertanggungjawab, dengan menjatuhkan kepadanya suatu denda atau melaksanakan suatu denda atau melaksanakan suatu sanksi perdata ter Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 69
69
05/03/2017 10:28:39
hadap kekayaannya, atas suatu tindak pidana (delik) yang dilakukan oleh salah satu anggotanya ini meru pakan tanggung jawab tidak langsung atas delik yang dilakukan oleh seseorang.” Atau dikenal pula dengan Vicarious Liabilty.38 Selanjutnya aspek manfaat pemidanaan, yaitu dari dalam hal melaksanakan pidana denda korporasi lebih memiliki kemampuan daripada pengurusnya, dengan di jatuhkan pidana denda berat, misalnya dengan denda yang dibebankan sebesar 10 Persen dari nilai proyek oleh pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi, maka terdapat ancaman se cara langsung terhadap aset-aset dan harta kekayaan dari korporasi. Selain itu, dengan adanya pemidanaan berupa denda yang berat, dapat mendorong tindakan pencegahan dan pengawasan ketat secara internal dari pengurus dan pemegang saham korporasi tersebut agar lebih hati-hati mengawasi dan memberikan kebijakan kepada pemimpin atau pegawainya dalam menjalankan kegiatan usaha kor porasi. Selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidana hilangnya nyawa orang lain akibat perbuatan konsultan perencana baik menurut rumusan pasal 338 KUHP dan Pasal 359 KUHP, dapat dibebankan pada pegawai/atau pun pemimpin perusahaan konsultan perencana. Karena korporasi tidak dikenal sebagai pelaku menurut rumus an pasal tersebut, konsekuensinya korporasi tidak dapat didakwa dengan pasal 338 KUHP dan 359 KUHP. Secara umum pasal 338 KUHP dan pasal 359 KUHP menganut pertanggungjawaban mutlak (strict liability). 70
003-isi bab-4.indd 70
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:39
Sehingga pasal tersebut hanya dapat diterapkan terhadap pegawai/pengurus perusahaan konsultan perencana. Berdasarkan uraian analisa di atas, maka pegawai/ pengurus konsultan perencana dapat dibebankan per tanggungjawaban pidana, karena dengan sengaja merubah spesifikasi teknis (dolus), maupun terhadap perbuatan bawahannya yang tidak berhati-hati (culpa) dalam melak sanakan tugasnya, yang akibatnya merugikan masyarakat. Dengan demikian, seyogyanya Penuntut Umum di dalam dakwaan dapat menuntut pertangggungjawaban pidana terhadap para pihak tersebut di atas. Yakni, berdasarkan ketentuan pasal 338 KUHP dan 359 KUHP guna menun tut pertanggungjawaban pidana hilangnya nyawa orang lain, terhadap pengurus dan pegawainya yang melakukan kesengajaan atau kelalaian, sedangkan pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi, dapat digunakan untuk menuntut per tanggungjawaban pidana kepada perusahaan (korporasi) konsultan perencana dalam hal ini PT. Wahana Adya se laku pemenang tender jasa konsultan perencana Jembatan Mulyorejo.
Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 71
71
05/03/2017 10:28:39
Catatan Akhir
1 2
3 4 5 6 7 8
9 10 11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
72
003-isi bab-4.indd 72
Pendapat Van Hamel sebagaimana dikutip Martiman Prodjohamidjojo, Loc. cit. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Dasar Ilmu Hukum Empirik Deskriptif) Alih bahasa : Somardi; Rimdi Press; Cetakan 1, Edisi Terbatas; Jakarta, 1995, hlm. 106. R. Soesilo, Op.cit. hlm. 77. HLM.A. Zainal Abidin Farid, Op.cit., hlm.397. Ibid. Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hlm. 61. Bandingkan dengan pasal 51 KUHP Belanda (WvS). Pendapat van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh M. Arief Amrul lah, Kejahatan Korporasi, Banyumedia, Cetakan pertama, Malang, 2006, hlm.208. Jan Remmelink, Op.cit. hlm. 98. Ibid., hlm. 99. Di Belanda, korporasi sebagai subjek hukum dicantumkan pada pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten 1950, yang di ubah dengan Undang-undang Tanggal 23 Tahun 1976 Stb.377 yang disahkan tanggal 1 september 1976, yang mengubah rumusan pasal 51 WvS., Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hlm. 67 Ibid. Ibid., hlm.53 HLM.A. Zainal Abidin Farid, Op. cit., hlm. 400. Barda Narwawi Arief,. Op. cit., hlm. 237. Hans Kelsen, Op. cit. hlm.108. Chairul Huda., Op. cit. hlm. 42. D. Schaffneister; N. Keijzer; E. PHLM. Sutorius, Op. cit. hlm. 287. Pendapat Ashworth, sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda., Loc. cit. Hans Kelsen, Op. cit., hlm. 111 Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hlm.41.
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:39
22 Ibid., 43. 23 Pendapat Utrecht dan Rochmat Soemitro, sebagaimana dikutip oleh M. Arief Amrullah, Op. cit., hlm. 202. 24 Hans Kelsen, Op. cit., hlm.102. 25 Pendapat Chidir Ali sebagiamana di kutip oleh M. Arief Amrullahlm., Loc. cit. 26 Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hlm.51. 27 Hans Kelsen, Op. cit., hlm.106. 28 Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hlm. 53. 29 Ibid. 30 Pendapat Clarkson dan Keating, sebagaimana dikutip Sutan Remy Sjah deini, Ibid. hlm. 54. 31 Ibid., hlm. 54-56. 32 Jan Remmelink, Op.cit. hlm. 97. 33 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hlm. 45. 34 Lihat Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU RI Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, UU RI Nomor 25 Tahun 2003 Tindak Pidana Pencucian Uang. 35 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hu kum dan HAM, Tahun 2005. 36 Hans Kelsen, Op. cit. hlm. 108. 37 Ibid., hlm. 109. 38 Ibid.
Bab 4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Kegagagalan Konstruksi yang Mengakibatkan Kematian
003-isi bab-4.indd 73
73
05/03/2017 10:28:39
BAB 5 PENUTUP
1. Kesimpulan Berdasarkan analisis kasus dan uraian pendapat di atas penulis menarik kesimpulan bahwa: a. Tindak pidana yang dilakukan oleh konsultan pe rencana tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa (doodslag) dengan ancaman pidana penjara 15 (lima belas) tahun penjara, karena dengan sengaja me rubah/mengganti spesifikasi teknis jembatan Mulyo rejo yang berakibat runtuhnya jembatan tersebut dan menimbulkan korban meninggal dunia. Walaupun tidak ada niat melakukan delik/tindak pidana pem bunuhan, tetapi akibat perbuatan yang disengajanya tersebut terjadi kegagalan konstruksi yang mengaki batkan hilangnya nyawa orang lain. Jadi, walaupun unsur weten tidak terpenuhi tetapi unsur meng hendaki (willen) terpenuhi, maka tidak perlu lagi membuktikan unsur mengetahui, karena orang yang menghendaki pastilah mengetahui apa yang dike hendakinya termasuk akibat yang akan terjadi. b. Dengan kata lain, hilangnya nyawa orang lain akibat perbuatannya tersebut secara tidak langsung dike 74
003-isi bab-4.indd 74
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:39
c.
hendaki oleh konsultan perencana, karena perbua tan merubah/mengganti spesifikasi teknis jembatan Mulyorejo tersebut disadari dan dikehendakinya. De ngan demikian terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dengan akibat dari konsultan perencana, sehingga memenuhi unsur delik/tindak pidana pasal 338 KUHP. Maka perbuatan dari konsultan perencana tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan biasa menurut pasal 338 KUHP. Pasal 359 KUHP dimungkinkan dapat diterapakan terhadap kasus posisi tersebut di atas sepanjang da pat dibuktikan hubungan antara kesadaran pelaku dengan akibat dari perbuataanya yang (seharusnya) dapat dihindari. Dengan kata lain, bahwa konsultan perencana sudah memperhitungkan kemungkinan yang muncul akibat tindakannya, namun pelaku ya kin bahwa risiko yang terjadi dapat dihindari atau dicegah. Yang patut dicermati di sini, yaitu dapat dibuktikannya bahwa konsultan perencana secara nalar tidak bermaksud menghilangkan nyawa orang lain sehingga culpa harus dianggap ada, karena apa bila tidak dapat dibuktikan maka dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dengan syarat (dolus eventualis).
2. Saran Mengacu pada kesimpulan tersebut di atas, maka penulis mengajukan saran sebagai berikut : a. Seyogyanya ketentuan pasal 43 UU Jasa Konstruksi dapat diperbaharui. Karena, pada kenyataanya se tiap kegiatan pengerjaan konstruksi selalu terdapat Bab 5 Penutup
003-isi bab-4.indd 75
75
05/03/2017 10:28:40
risiko kecelakaan yang dapat merugikan kepentingan umum, dalam bentuk luka-luka berat dan hilangnya nyawa orang lain, serta risiko-risiko lainnya. Selanjut nya, ketentuan pidana pasal 43 UU Jasa Konstruksi haruslah mencerminkan perlindungan hukum selain kepada pengguna jasa, tetapi juga terhadap kepenting an masyarakat. Yaitu dengan memperbaiki misalnya rumusan pasal 43 ayat 1 UU Jasa Konstruksi, Barang siapa yang melakukan pekerjaan peren canaan konstruksi yang tidak memenuhi keten tuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan, dan menimbulkan korban meninggal dunia dipi dana paling lama 15 tahun penjara dan dikena kan denda paling banyak…
Atau
Barang siapa yang melakukan pekerjaan peren canaan konstruksi yang tidak memenuhi keten tuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan, dan menimbulkan korban luka-luka berat di pi dana paling lama 5 tahun penjara dan dikenakan denda paling banyak….
b. Seyogyanya stelsel pemidanaan dalam UU Jasa Kon struksi diperbaharui dengan stelsel pemidanaan ku mulatif, yaitu dengan menggabungkan antara pidana denda dan pidana penjara. Dengan argumentasi, 76
003-isi bab-4.indd 76
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
bahwa pelaksanaan pekerjaan konstruksi lazimnya dilakukan oleh perusahaan/korporasi, apabila ter jadi tindak pidana maka selain pengurus/pegawainya yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana juga diterapkan terhadap korporasi. Karena pada praktiknya lebih mudah menuntut korporasi dari pada pegawainya/pengurusnya, disamping itu korpo rasi memiliki kemampuan finansial yang lebih besar dari pada pengurus/pegawainya.
Bab 5 Penutup
003-isi bab-4.indd 77
77
05/03/2017 10:28:40
Indeks
a creature of the law 69 actus non facit reum 18, 34, 50, 69 actus reus 14, 50, 51, 52 barang/jasa 1, 2, 3, 4, 10, 22, 23, 28, 39, 56 bestuur 53 bewuste culpa 45, 47 cidera 8 Civil Law 39 Commanditaire Vennontschap (CV) 5 criminal liability 18 criminal act 10, 13, 14, 51 corporation 61 culpa 18, 19, 20, 21, 34, 36, 37. 38,44, 59, 60, 71, 75 culpa lata 45 culpa levis 45 culpos 17, 21 corporate criminal resposibilty 63 criminal liability 18, 63 culva schuld in enge zin 16 CV Tirta Adinugroho 6 78
003-isi bab-4.indd 78
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
delict 10, 21, 34 delik 10, 17, 21, 22, 34, 36, 37, 43, 49, 51, 57, 66, 70, 75 doodslag 40, 74 doenpleger 41 dolus 17, 18, 19, 20, 34, 37, 38, 44, 59, 68, 71, 75 doktrin monoistik 12 doktrin dualistis 12, 17 doodslag 40, 74 equality before the law 64 good governance 1 hilangnya nyawa 5, 7, 8, 22, 33, 36, 42, 57, 70, 74, 76 hij die 50, 66 infrastruktur 1 jembatan Mulyorejo 6, 7, 35, 36, 39, 42, 59, 68, 71, 74, 75 kegagalan konstruksi 5, 6, 10, 22, 25, 32, 37, 46, 57, 66 konstruksi 5, 6, 10, 22, 24, 32, 37, 46, 57, 66 legal personality 63 legitimate basis for punishment 36 mens rea 14, 50, 51, 52, 69 naturlijk persoon 38 nisi mens sit rea 18, 34, 50, 69 numeric 7, 35, 40 Indeks
003-isi bab-4.indd 79
79
05/03/2017 10:28:40
opzet 18, 19, 20, 34 opzettelijk 20 onoplettend 21 ontoerekenbaarheid 15 ontoerekeningsvat baarheid 15 pidana 5, 7, 10 , 11, 17, 21, 32, 3, 42, 43, 50, 54, 60, 61, 74, 75, 76, 77 prasarana 1, 3, 32 PT Wahana Adya 6, 7, 35, 71 purchasing 22 PT Cipta Karya 6 rechtpersoon 28, 60 roekeloos 21, 46 schuld in enge zin 16, 17 schuld in riumezin 16 schuldverwitj 18 sarana 3, 67 societas not potest delinquere 63 Strafbaar Feit 10, 11 state of mind 63, 69 subjectum juris 60 tender 3, 22, 56. 71 toerekensvatbaarheid 16, 51 terpadu 1
80
003-isi bab-4.indd 80
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
wetens 20 willens 20, 46 Vicarious Liabilty 70 voliteif 20 voorstelling theorie 46
Indeks
003-isi bab-4.indd 81
81
05/03/2017 10:28:40
Daftar Pustaka
Arief, Barda N., Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Cetakan 1, Bandung, 2003. Amrullah, M. Arief., Kejahatan Korporasi, Banyumedia, Ce takan I, Malang, 2006. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, cetakan 3, 2007. Farid, H.A. Zainal Abidin., Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Cetakan ke 2, Jakarta, 2007. Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Tinjauan Kritis Terhadap teori pemisahan tindak pidana dan Pertanggungjawaban Pidana)., Kencana Prenada Media, Cetakan 1, Jakarta, 2006. Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Edi si Revisi, Jakarta, 2008. Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Dasar Ilmu Hukum Empirik Deskriptif) Alih bahasa: Somardi; Rimdi Press; Cetakan 1, Edisi Terbatas; Jakarta, 1995. Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan 3, Bandung, 1997. Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Media Grafika, Cetakan 4, Jakarta, 2008. 82
003-isi bab-4.indd 82
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
Muladi., Arief, Barda Nawawi., Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Cetakan 3, Bandung, 2005 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cip ta, Cetakan-7, Jakarta, Tahun 2002 Purwoleksono, Didik Endro., Bahan Perkuliah Kebijakan Hukum Pidana, Program Magister Hukum Universitas Airlangga, 2009. Prodjodikoro, Wirjono; Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia; Rafika Aditama, Cetakan kedua; Edisi Revisi, Ta hun 2008. Prodjohamidjojo, Martiman; Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Penerbit Pradnya Paramita, Cetakan 1, Jakarta, 1997. Puspa,Yan Pramadya; Kamus Hukum (Edisi Khusus Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris), Penerbit Aneka Ilmu, Se marang, 1977. Remmelink, Jan; Hukum Pidana (Komentar-komentar Pasalpasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia), Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Saleh, Roeslan; Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, Tanpa Tahun. Schaffneister, D.; Keijzer E, N.; Sutorius, PH.; Hukum Pidana, Liberty, Edisi Pertama, Cetakan 2, Yogyakarta, 2003. Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Komentar-komentarnya, Politeia, Bogor, 1995. Sjahdeini, Sutan Remy; Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2007. Daftar Pustaka
003-isi bab-4.indd 83
83
05/03/2017 10:28:40
Sutedi, Adrian., Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa (dan Berbagai permasalahannya), Sinar Grafika, Ceta kan I, Jakarta, 2008. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Cetakan ke 2, Ma lang, 2009. SUMBER INTERNET /WEBSITE Online book www.ti.or.id/Tranparency International, Alih Bahasa Fahmia Biadib, Buku Panduan Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa (Handbook Curbing Corruption in Public Procurement), dipublikasi Tranparency International, Berlin Germany, 2006. http:/www.dscrib.com/Wiryanto Dewabroto/Simulasi Numerik Berbasis Komputer Sebagai Solusi Pencegah Bahaya Akibat Kegagalan Bangunan/slip line theory Kamus online Wikipedia., http://en.wikipedia.org. www.detiksurabaya.com DAFTAR UNDANG-UNDANG Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Kontruksi; Lembaran Negara No mor 54 Tahun 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung; Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Peraturan Hukum Pidana; Lembaran Negara Nomor : 127 Tahun 1958 84
003-isi bab-4.indd 84
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 80 Ta hun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa; Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4330 Rancangan Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana (RUU KUHP); Direktorat Jenderal Peraturan Perun dang-undangan, Departemen Hukum dan HAM, Ta hun 2005.
Daftar Pustaka
003-isi bab-4.indd 85
85
05/03/2017 10:28:40
Lampiran: Berita terkait Peristiwa Ambruknya Jembatan Mulyorejo Jembatan Ambruk, Tiga Pekerja Tertimbun/Kamis, 11 Desember 2008 | 10:11 WIB *SURABAYA, KAMIS —* Sebuah jembatan yang menghubungkan Kelurah an Kecawan Putih Tambak dan Kelurahan Kalisari Damen, Mulyorejo, Surabaya, ambruk, Rabu (10/12) malam. Kejadian ini mengakibatkan tiga pekerja proyek jembatan tertimbun dan dua lainnya menga lami luka berat. Demikian dikatakan Kapolsek Muly orejo AKP Puguh di Surabaya, Kamis (11/12). Menurut penjelasan Puguh, proyek penger jaan jembatan itu sudah berjalan 80 persen. Agar pengerjaan cepat selesai, sebanyak 16 pekerja proyek diminta untuk lembur. Kerja lembur dimulai Rabu selepas maghrib. Sekitar pukul 20.30, jembatan men dadak kolaps menimbun tiga pekerja yang berada di bawahnya. Mereka yang tertimbun adalah Amat, Id ris, Khaidiri. Sementara dua pekerja lainnya menga lami patah tulang, yaitu Aditi Somat dan Taufik. Saat ini kepolisian tengah melakukan evakuasi beton jem batan dan pekerja yang luka berat tengah dirawat di RSU Dr Soetomo. *Sindy Fathan Mubina* 86
003-isi bab-4.indd 86
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
News Surabaya Selasa, 06/01/2009 18:05 WIB Pemeriksaan Saksi Jembatan Ambrol Tak Ada Hasil *Steven Lenakoly* - detikSurabaya * File: detiksurabaya.com Pemeriksaan saksi jembatan ambrol di kawasan Mulyorejo dari Dinas Permukiman Pemprov Jatim tidak membuahkan hasil. Saksi itu menyatakan tidak tahu-menahu mengenai teknis jembatan tersebut. Saksi dari Pemprov Jatim yakni Igor Simarmata seba gai Kepala Satuan non Vertikal Tertentu Dinas Permu kiman Provinsi Jatim. “Kepada penyidik ia mengaku tidak tahu mengenai masalah teknis jembatan,” kata Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur, AKP Hartoyo kepada wartawan di Mapolres Surabaya Timur, Jalan Kapasan, Selasa (6/1/2008). Hal ini, lanjut Hartoyo, terdapat kejanggalan pada proses penentuan pem bangunan jembatan yang memakan tiga korban itu. Pasalnya, Igor adalah orang yang menandatangani persetujuan pembangunan. Artinya ia harus menguasai proyek jembatan atau paling tidak membaca dengan detail gambar dan spesifikasi jembatan sebelum menyetujui proyek tersebut. Meski begitu, polisi tetap menghargai ke terangannya. Dan hingga saat ini masih belum ada penetapan tersangka akibat kelalaian yang mengki batkan orang lain meninggal. “Kita tetap menyidik kasus ini hingga menemukan siapa yang paling ber tanggungjawab atas ambrolnya jembatan,” tegasnya. Sebelumnya, jembatan di kawasan Mulyorejo ambrol dan menyebabkan 3 pekerjanya jadi korban terkena reruntuhan. Lampiran
003-isi bab-4.indd 87
87
05/03/2017 10:28:40
Surabaya - Polisi telah menetapkan tersangka ambrolnya jembatan di Mulyorejo. Tersangka itu yakni manajer CV Tirta Adi Nugraha yang juga konsultan perencanaan pembangunan. Namun nama tersangka itu masih belum bisa dipub likasikan ke masyarakat. Pasalnya masih menunggur rilis dari Polres Surabaya Timur. Dia ditetapkan seba gai tersangka lantaran lalai dalam pembangunan jem batan sehingga menyebabkan tiga pekerjanya tewas. “Sudah ada yang ditetapkan jadi tersangka yak ni manajer CV Tirta Adi Nugraha,” kata Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur AKP Hartoyo saat dihubungi detiksurabaya.com, Selasa (27/1/2009). Hartoyo menjelaskan, penetapan tersangka itu se telah data dari pemeriksaan saksi ahli dan hasil data laboratorium uji beton dan bangunan. Dia telah lalai dalam merencanakan teknis pembangunan jembatan hingga membuat jembatan itu ambrol. Dalam pemeriksaan saksi ahli konstruksi dari ITS Muji Irmawan tersebut, diketahui terdapat ke salahan konstruksi bangunan yang terjadi sejak proses perencanaan. Kesalahan sendiri diketahui ter jadi pada perhitungan numberic tulangan jembatan. Dalam perhitungan tulangannya terdapat selisih seki tar 400 persen. Saat itu pakar ITS mencontohkan, seharusnya tulangan sebanyak 28, tapi dalam per hitungan perencananya hanya 7 saja. “Hal itu yang membuat kami menetapkan jadi tersangka,” tegas Hartoyo. 88
003-isi bab-4.indd 88
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
Mantan Kapolsek Gubeng itu masih belum bisa mengungkapkan identitas tersangka. Namun dia akan diperiksa sebagai tersangka pada hari Kamis (29/1/2009). Pada hari yang sama nantinya, Kapol res Surabaya Timur AKBP Eko Iswantono yang akan mengumumkan ke publik. Sementara Jembatan Mu lyorejo ambrol 10 Desember lalu dan mengakibatkan 3 pekerjanya tewas seketika. Tersangka dijerat dengan pasal 359 KUHP dan pasal 43 UU 18/1999 tentang Jasa Konstruksi dengan ancaman hukuman hingga lima tahun penjara.(stv/fat)
Surabaya - Berkas pemeriksaan jembatan ambrol di Mulyorejo dinyatakan lengkap oleh Polres Surabaya Timur. Berkas itu telah dikirim ke Kejaksaan Negeri Surabaya. “Sudah kami kirim ke Kejari,” kata singkat Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur AKP Hartoyo saat dihubungi detiksurabaya. com via ponselnya, Selasa (17/2/2009). Berkas penyidikan jembatan dinyatakan lengkap setelah polisi menetapkan seorang tersangka ambrol nya jembatan yang menyebabkan 3 orang pekerja tewas. Tersangka ini adalah Direktur Utama PT Wa hana Adya, Dhiang Pinardi. Perusahaan konsultan perencana pembangunan itu dinilai lalai dengan me ngurangi tulangan jembatan. Hartoyo menjelaskan, tulangan atau penyangga beton jembatan berkurang hingga 400 persen dari ke Lampiran
003-isi bab-4.indd 89
89
05/03/2017 10:28:40
tentuan minimal. Jembatan itu seharusnya menggu nakan 28 tulangan namun hanya menggunakan 8 tu langan. Akibatnya jembatan menjadi lebih rapuh dan bisa ambrol. “Dengan dikirimnya berkas yang sudah selesai ini, berarti kasus jembatan sekarang berada di tangan Kejari,”ucapnya. Dhiang sebagai tersangka tunggal dikenakan pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang membuat pekerjanya tewas dan atau pasal 48 ayat 1 UU 18 ta hun 1999 tentang Jasa Konstruksi dengan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara. Seperti diberitakan sebelumnya, jembatan pro yek milik Pemprov Jatim ambrol pada 10 Desember 2008 lalu dan mengakibatkan 3 pekerja tewas ter timbun reruntuhan jembatan. Jembatan ini memiliki panjang 27,5 meter yang melintas di Sungai Kalidami. (stv/fat)
Surabaya - Hampir dua minggu sejak dilimpahkan BAP (Berkas Akhir Pemeriksaan) kasus ambrolnya Jembatan Mulyorejo ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Suraba ya, tim penyidik Polres Surabaya Timur hingga saat ini be lum menerima penetapannya. Hal ini menjadi pertanyaan bagi penyidik. Apakah berkas tersebut sudah sempurna atau belum. “Kami belum menerima berkas tersebut,” ujar Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur AKP Hartoyo kepa da wartawan di Mapolres Surabaya Timur, Jalan Kapasan, Selasa (3/3/2009) pagi. 90
003-isi bab-4.indd 90
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:40
Padahal berkas pemeriksaan ambrolnya jem batan yang menghubungkan Jalan Kalisari Damen dan Jalan Kejawan Putih Tambak sudah dinyatakan lengkap oleh tim penyidik Satreskrim Polres Suraba ya Timur dan sudah dilimpahkan ke Kejari Surabaya. Namun hingga kini masih belum ada jawaban dari Kejari.Berkas itu dinyatakan lengkap setelah polisi menetapkan seorang tersangka ambrolnya jembatan yang menyebabkan 3 pekerjanya tewas. Tersangka adalah Direktur Utama PT Wahana Adya, Dhiang Pi nardi. Perusahaan tersebut merupakan konsultan perencana pembangunan jembatan dinilai lalai dengan mengurangi tulangan jembatan. Pengu rangan tulangan itu membuat jembatan ambrol. Dhiang dinyatakan sebagai tersangka tunggal dan dikenakan pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang membuat pekerjanya tewas dan atau pasal 43 ayat 1 UU 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dengan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara. Jembatan milik Pemprov Jatim itu ambrol pada 10 Desember 2008 dan menyebabkan tiga pekerjanya tewas seke tika. Jembatan ini memiliki panjang 27,5 meter yang melintas di Sungai Kalidami.(stv/fat) Surabaya - Polisi menemukan bukti baru dalam penye lidikan ambrolnya jembatan Mulyorejo. Pekerjaan pem bangunan jembatan oleh PT Waskita Karya dioperkan ke pihak lain yang tidak diketahui sebelumnya. Sayangnya, siapa pihak lain yang diserahi pembangunan itu identitas Lampiran
003-isi bab-4.indd 91
91
05/03/2017 10:28:41
nya masih belum dipublikasikan oleh polisi. Alasan polisi sendiri karena masih diperlukan penyidikan beberapa sak si untuk menguatkan temuan itu. Diduga kuat, pihak lain itulah yang melakukan kesalahan pembangunan hingga menyebabkan jembatan ambrol. “Ada perkembangan baru bahwa pekerjaan tersebut disubkan (diberikan pihak lain),” kata Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur AKP Hartoyo dalam pesan SMS yang dikirimkan ke wartawan, Kamis (29/1/2009).Rencananya, polisi hari ini memeriksa manajer CV Tirta Adi Nugraha sebagai tersangka. CV Tirta Adi Nugraha adalah rekanan konsultan per encana PT Waskita Karya ketika jembatan yang me nyebabkan tiga pekerja tewas. Pihak konsultan per encana ini ditetapkan menjadi tersangka lantaran telah menyalahi prosedur pembangunan. Masih belum jelas apakah pihak lain itu be rada di bawah PT Waskita Karya selaku pimpro atau di bawah CV Tirta Adi Nugraha. “Nanti saja saya juga masih menyelidiki,” pesan AKP Hartoyo. Dengan temuan itu maka kemungkinan tersangka akan bertambah. Pasalnya dugaan kesalahan pem bangunan juga dilakukan oleh pihak lain itu.Masih dalam SMS itu, Hartoyo mengatakan polisi akan mendatangkan saksi ahli hukum perdata dari Unair. Saksi ahli itu akan memberikan keterangan mengenai tata cara pengerjaan proyek yang diberikan ke pihak lain.(stv/bdh).
92
003-isi bab-4.indd 92
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
05/03/2017 10:28:41
Surabaya - Penyelidikan terhadap jembatan Mulyorejo yang ambrol mendatangkan saksi ahli hukum perdata Un air. Saksi ahli hukum perdata Unair yang didatangkan Pol res Surabaya Timur yakni Prof Yohanes Sogar Simamora. Pemeriksaan itu rencananya akan dilakukan besok, Sabtu (31/1/2009).”Pemeriksaan ini untuk mengetahui, menda patkan data dan menentukan tersangka berikutnya,” kata Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur, AKP Hartoyo saat dihubungi detiksurabaya.com, Jumat (30/1/2009). Seperti diberitakan sebelumnya, Polres Surabaya Timur mendatangkan saksi ahli hukum perdata un tuk mendapatkan informasi mengenai prosedur pe ngalihan pengerjaan jembatan yang menewaskan tiga pekerja itu. Saksi ahli itu lantaran polisi menemukan bukti baru yakni pengerjaan jembatan diberikan ke pada pihak lain. Pihak lain yang mengerjakan jem batan itu yakni Ir Dian. Ia mengerjakan proyek yang didapatnya secara pribadi. Hartoyo menambahkan, status Ir Dian saat ini sta tusnya masih sebagai saksi. “Tapi bisa berubah sewak tu-waktu menjadi tersangka,” tegasnya. Polisi hingga kini telah menetapkan manajer CV Tirta Adi Nugraha sebagai tersangka karena telah mengurangi spesifika si jembatan. Perusahaan itu adalah konsultan peren cana pembangunan jembatan dan rekanan PT Waskita Karya sebagai pimpinan proyek jembatan Mulyorejo. Sebelumnya, jembatan Mulyorejo ambrol pada 10 Desember 2008. Dalam insiden itu tiga pekerja tewas seketika.(stv/fat)
Lampiran
003-isi bab-4.indd 93
93
05/03/2017 10:28:41
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional; c. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi baik kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal, maupun bagi kepentingan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c diperlukan Undang-undang tentang Jasa Konstruksi; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 2. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi;
94
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 94
04/03/2017 23:16:48
3. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkai an kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain; 4. Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi; 5. Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiat an usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi; 6. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; 7. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah di serahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/ atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa; 8. Forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan Pemerintah mengenai halhal yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri; 9. Registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat; 10. Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain; 11. Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain; 12. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 95
95
04/03/2017 23:16:49
pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan ne gara. Pasal 3 Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk : a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas; b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi. BAB III USAHA JASA KONSTRUKSI Bagian Pertama Jenis, Bentuk, dan Bidang Usaha Pasal 4 (1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. (2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi. (3) Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan pe nyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.
96
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 96
04/03/2017 23:16:49
(4) Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi. Pasal 5 (1) Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha. (2) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. (3) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya. (4) Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Pasal 6 Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masingmasing beserta kelengkapannya. Pasal 7 Ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Peme rintah. Bagian Kedua Persyaratan Usaha, Keahlian, dan Keterampilan Pasal 8 Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus : a. memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi; b. memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 97
97
04/03/2017 23:16:49
Pasal 9 (1) Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan ha rus memiliki sertifikat keahlian. (2) Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja. (3) Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian. (4) Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahli an kerja. Pasal 10 Ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan, dan sertifikasi keahlian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Profesional Pasal 11 (1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan orang perseorang an sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus bertanggung jawab ter hadap hasil pekerjaannya. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi prinsipprinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum. (3) Untuk mewujudkan terpenuhinya tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditempuh melalui mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keempat Pengembangan Usaha Pasal 12 (1) Usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu. (2) Usaha perencanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi dikembangkan ke arah usaha yang bersifat umum dan spesialis.
98
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 98
04/03/2017 23:16:49
(3) Usaha pelaksanaan konstruksi dikembangkan ke arah : a. usaha yang bersifat umum dan spesialis; b. usaha orang perseorangan yang berketerampilan kerja. Pasal 13 Untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui : a. perluasan dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan, b. pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan. BAB IV PENGIKATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI Bagian Pertama Para Pihak Pasal 14 Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari : a. pengguna jasa; b. penyedia jasa. Pasal 15 (1) Pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi. (2) Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank. (3) Bukti kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran biaya, dan/atau fungsi bangun an yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara pengguna jasa dan penyedia jasa. (4) Jika pengguna jasa adalah Pemerintah, pembuktian kemampuan untuk membayar diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran. (5) Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Pasal 16 (1) Penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b terdiri dari: a. perencana konstruksi; Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 99
99
04/03/2017 23:16:49
b. pelaksana konstruksi; c. pengawas konstruksi. (2) Layanan jasa yang dilakukan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tiap-tiap penyedia jasa secara terpisah dalam pekerjaan konstruksi. (3) Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dapat dilakukan secara terintegrasi dengan memperhatikan besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan teknologi canggih, serta risiko besar bagi para pihak ataupun kepentingan umum dalam satu pekerjaan konstruksi. Bagian Kedua Pengikatan Para Pihak Pasal 17 (1) Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas. (2) Pelelangan terbatas hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi. (3) Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan de ngan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung. (4) Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. (5) Pemilihan penyedia jasa hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. (6) Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Pasal 18 (1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup : a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. (2) Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi.
100
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 100
04/03/2017 23:16:49
(4) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 19 Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang meng ubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum. Pasal 20 Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelelangan umum ataupun pelelangan terbatas. Pasal 21 (1) Ketentuan mengenai pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berlaku juga dalam pengikatan antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. (2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, penerbitan dokumen dan penetapan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Kontrak Kerja Konstruksi Pasal 22 (1) Pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. (2) Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai : a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak; b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 101
101
04/03/2017 23:16:49
c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi. f. cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; g. cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; h. penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; j. keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. k. kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; l. perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; m. aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan. (3) Kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. (4) Kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif. (5) Kontrak kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang sub-penyedia jasa serta pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku. (6) Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
102
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 102
04/03/2017 23:16:49
(7) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dengan subpenyedia jasa. (8) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak atas kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan mengenai pemasok dan/atau komponen bahan bangunan dan/atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI Pasal 23 (1) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran. (2) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlin dungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. (3) Para pihak dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 (1) Penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat menggunakan subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian khusus sesuai de ngan masing-masing tahapan pekerjaan konstruksi. (2) Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. (3) Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi hakhak subpenyedia jasa sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. (4) Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 103
103
04/03/2017 23:16:49
BAB VI KEGAGALAN BANGUNAN Pasal 25 (1) Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. (2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli. Pasal 26 (1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pe rencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. (2) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi. Pasal 27 Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi. Pasal 28 Ketentuan mengenai jangka waktu dan penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, tanggung jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 serta tanggung jawab pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PERAN MASYARAKAT Bagian Pertama Hak dan Kewajiban Pasal 29 Masyarakat berhak untuk :
104
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 104
04/03/2017 23:16:49
a. melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi; b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 30 Masyarakat berkewajiban : a. menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi; b. turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum. Bagian Kedua Masyarakat Jasa Konstruksi Pasal 31 (1) Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi. (2) Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilaksanakan melalui suatu forum jasa konstruksi. (3) Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Pasal 32 (1) Forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) terdiri atas unsurunsur : a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi; b. asosiasi profesi jasa konstruksi; c. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi; d. masyarakat intelektual; e. organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dan berkepentingan di bidang jasa konstruksi dan/atau yang mewakili konsumen jasa konstruksi; f. instansi Pemerintah; dan g. unsur-unsur lain yang dianggap perlu. (2) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi nasional yang berfungsi untuk : a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; b. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan jasa konstruksi nasional; Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 105
105
04/03/2017 23:16:49
c. tumbuh dan berkembangnya peran pengawasan masyarakat; d. memberi masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Pasal 33 (1) Lembaga sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3) beranggotakan wakil-wakil dari: a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi; b. asosiasi profesi jasa konstruksi; c. pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi; dan d. instansi Pemerintah yang terkait. (2) Tugas lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi; b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi; c. melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja; d. melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi; e. mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi. (3) Untuk mendukung kegiatannya, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengusahakan perolehan dana dari masyarakat jasa konstruksi yang berkepentingan. Pasal 34 Ketentuan mengenai forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII PEMBINAAN Pasal 35 (1) Pemerintah melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. (2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan peraturan perundang-undangan dan standar-standar teknis. (3) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi.
106
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 106
04/03/2017 23:16:49
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. (5) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi. (6) Sebagian tugas pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Pertama Umum Pasal 36 (1) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (3) Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Pasal 37 (1) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan. (2) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak. (3) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi. Bagian Ketiga Gugatan Masyarakat Pasal 38 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 107
107
04/03/2017 23:16:49
(1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara : a. orang perseorangan; b. kelompok orang dengan pemberian kuasa; c. kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan. (2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi peri kehidupan pokok masyarakat, Pemerintah wajib berpihak pada dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Pasal 39 Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 40 Tata cara pengajuan gugatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diajukan oleh orang perseorangan, kelompok orang, atau lembaga kemasyarakatan dengan mengacu kepada Hukum Acara Perdata. BAB X SANKSI Pasal 41 Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/ atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini. Pasal 42 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi; c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi; e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi; c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; d. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi;
108
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 108
04/03/2017 23:16:49
e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi; f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi. (3) Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43 (1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. (2) Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak. (3) Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44 (1) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan jasa konstruksi yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai diadakan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. (2) Penyedia jasa yang telah memperoleh perizinan sesuai dengan bidang usahanya dalam waktu 1 (satu) tahun menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, terhitung sejak diundangkannya. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan peraturan per
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 109
109
04/03/2017 23:16:50
undang-undangan yang mengatur hal yang sama dan bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 46 Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang undang ini, dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 54
110
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 110
04/03/2017 23:16:50
PENJELASAN ATAS UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI I. U M U M 1. Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 2. Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan pekerjaan konstruksi secara lebih efisien dan efektif, sedangkan struktur usaha yang kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis, dan terampil, serta perlu diwujudkan pula ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban. 3. Dewasa ini, jasa konstruksi merupakan bidang usaha yang banyak diminati oleh anggota masyarakat di berbagai tingkatan sebagaimana terlihat dari makin besarnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. Peningkatan jumlah perusahaan ini ternyata belum diikuti dengan pe ningkatan kualifikasi dan kinerjanya, yang tercermin pada kenyataan bahwa mutu produk, ketepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal, dan teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena persyaratan usaha serta persyaratan
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 111
111
04/03/2017 23:16:50
112
keahlian dan keterampilan belum diarahkan untuk mewujudkan keandalan usaha yang profesional. Dengan tingkat kualifikasi dan kinerja tersebut, pada umumnya pangsa pasar pekerjaan konstruksi yang berteknologi tinggi belum se penuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa konstruksi nasional. Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu ditingkatkan, termasuk kepatuhan para pihak, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa, dalam pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, agar dapat mewujudkan bangunan yang berkualitas dan mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan. Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan manfaat dan arti penting jasa konstruksi masih perlu ditumbuhkembangkan agar mampu mendukung terwujudnya ketertiban dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi secara optimal. Kondisi jasa konstruksi nasional dewasa ini sebagaimana tercermin dalam uraian tersebut di atas disebabkan oleh dua faktor: a. faktor internal, yakni: 1) pada umumnya jasa konstruksi nasional masih mempunyai kelemahan dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan permodalan, serta keterbatasan tenaga ahli dan tenaga terampil; 2) struktur usaha jasa konstruksi nasional belum tertata secara utuh dan kokoh yang tercermin dalam kenyataan belum terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa dalam berbagai klasifikasi dan/atau kualifikasi; b. faktor eksternal, yakni; 1) kekurangsetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa; 2) belum mantapnya dukungan berbagai sektor secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi kinerja dan keandalan jasa konstruksi nasional, antara lain akses kepada permodalan, pengembangan profesi keahlian dan profesi ke terampilan, ketersediaan bahan dan komponen bangunan yang standar; 3) belum tertatanya pembinaan jasa konstruksi secara nasional, masih bersifat parsial dan sektoral. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya, dalam dua dasa warsa terakhir, jasa konstruksi nasional telah menjadi salah satu potensi Pembangunan Nasional dalam mendukung perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja serta
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 112
04/03/2017 23:16:50
peningkatan penerimaan negara. Dengan demikian potensi jasa konstruksi nasional ini perlu ditumbuhkembangkan agar lebih mampu berperan dalam pembangunan nasional. 4. Sejalan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan perluasan cakupan, kualitas hasil maupun tertib pembangunan, telah membawa konsekuensi meningkatnya kompleksitas pekerjaan konstruksi, tuntutan efisiensi, tertib penyelenggaraan, dan kualitas hasil pekerjaan konstruksi. Selain itu, tata ekonomi dunia telah mengamanatkan hubungan kerja sama ekonomi internasional yang semakin terbuka dan memberikan peluang yang semakin luas bagi jasa konstruksi nasional. Kedua fenomena tersebut merupakan tantangan bagi jasa konstruksi nasional untuk meningkatkan kinerjanya agar mampu bersaing secara profesional dan mampu menghadapi dinamika perkembangan pasar dalam dan luar negeri. 5. Peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional memerlukan iklim usaha yang kondusif, yakni : a. terbentuknya kepranataan usaha, meliputi : 1) persyaratan usaha yang mengatur klasifikasi dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi; 2) standard klasifikasi dan kualifikasi keahlian dan keterampilan yang mengatur bidang dan tingkat kemampuan orang perseorangan yang bekerja pada perusahaan jasa konstruksi ataupun yang melakukan usaha orang perseorangan; 3) tanggung jawab profesional yakni penegasan atas tanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya; 4) terwujudnya perlindungan bagi pekerja konstruksi yang meliputi: kesehatan dan keselamatan kerja, serta jaminan sosial; 5) terselenggaranya proses pengikatan yang terbuka dan adil, yang dilandasi oleh persaingan yang sehat; 6) pemenuhan kontrak kerja konstruksi yang dilandasi prinsip kesetaraan kedudukan antarpihak dalam hak dan kewajiban dalam suasana hubungan kerja yang bersifat terbuka, timbal balik, dan sinergis yang memungkinkan para pihak untuk mendudukkan diri pada fungsi masing-masing secara konsisten; b. dukungan pengembangan usaha, meliputi: 1) tersedianya permodalan termasuk pertanggungan yang sesuai dengan karakteristik usaha jasa konstruksi; 2) terpenuhinya ketentuan tentang jaminan mutu; 3) berfungsinya asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi dalam memenuhi kepentingan anggotanya termasuk memperjuangkan ketentuan imbal jasa yang adil; Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 113
113
04/03/2017 23:16:50
c. berkembangnya partisipasi masyarakat, yakni: timbulnya kesadaran masyarakat akan mendorong terwujudnya tertib jasa konstruksi serta mampu untuk mengaktualisasikan hak dan kewajibannya; d. terselenggaranya pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Masyarakat Jasa Konstruksi bagi para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi agar mampu memenuhi berbagai ketentuan yang dipersyaratkan ataupun kewajiban-kewajiban yang diperjanjikan; e. perlunya Masyarakat Jasa Konstruksi dengan unsur asosiasi per usahaan dan asosiasi profesi membentuk lembaga untuk pengembangan jasa konstruksi. f. Untuk meningkatkan pemberdayaan potensi nasional secara optimal dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, pengguna jasa dan penyedia jasa perlu mengutamakan penggunaan jasa dan barang produksi nasional/dalam negeri sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang mengenai usaha kecil. g. Untuk mengembangkan jasa konstruksi sebagaimana telah diuraikan di atas memerlukan pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, terpadu, dan menyeluruh dalam bentuk Undang-undang sebagai landasan hukum. h. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi mengatur tentang ketentuan umum, usaha jasa konstruksi, pengikatan pekerjaan konstruksi, penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, kegagalan bangunan, peran masyarakat, pembinaan, penyelesaian sengketa, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. i. Pengaturan tersebut dilandasi oleh asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, serta keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. j. `Dengan Undang-undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undangundang tentang Jasa Konstruksi. k. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi ini menjadi landasan untuk menyesuaikan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait yang tidak sesuai. Undang-undang ini mempunyai hubungan komplementaritas de ngan peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain: 1) Undang-undang yang mengatur tentang wajib daftar perusaha an;
114
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 114
04/03/2017 23:16:50
2) Undang-undang yang mengatur tentang perindustrian; 3) Undang-undang yang mengatur tentang ketenagalistrikan; 4) Undang-undang yang mengatur tentang kamar dagang dan industri; 5) Undang-undang yang mengatur tentang kesehatan kerja; 6) Undang-undang yang mengatur tentang usaha perasuransian; 7) Undang-undang yang mengatur tentang jaminan sosial tenaga kerja; 8) Undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas; 9) Undang-undang yang mengatur tentang usaha kecil; 10) Undang-undang yang mengatur tentang hak cipta; 11) Undang-undang yang mengatur tentang paten; 12) Undang-undang yang mengatur tentang merek; 13) Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup; 14) Undang-undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan; 15) Undang-undang yang mengatur tentang perbankan; 16) Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen; 17) Undang-undang yang mengatur tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; 18) Undang-undang yang mengatur tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa; 19) Undang-undang yang mengatur tentang penataan ruang. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Dalam jasa konstruksi terdapat 2 (dua) pihak yang mengadakan hubungan kerja berdasarkan hukum yakni pengguna jasa dan penyedia jasa. Angka 2 Pekerjaan arsitektural mencakup antara lain : pengolahan bentuk dan masa bangunan berdasarkan fungsi serta persyaratan yang diperlukan setiap pekerjaan konstruksi. Pekerjaan sipil mencakup antara lain : pembangunan pelabuhan, bandar udara, jalan kereta api, pengamanan pantai, saluran irigasi/kanal, bendungan, terowongan, gedung, jalan dan jembatan, reklamasi rawa, pekerjaan pemasangan perpipaan, pekerjaan pemboran, dan pembukaan lahan. Pekerjaan mekanikal dan elektrikal merupakan pekerjaan pemasangan produk-produk rekayasa industri.
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 115
115
04/03/2017 23:16:50
Pekerjaan mekanikal mencakup antara lain : pemasangan turbin, pendirian dan pemasangan instalasi pabrik, kelengkapan instalasi bangunan, pekerjaan pemasangan perpipaan air, minyak, dan gas. Pekerjaan elektrikal mencakup antara lain: pembangunan jaringan transmisi dan distribusi kelistrikan, pemasangan instalasi kelistrikan, telekomunikasi beserta kelengkapannya. Pekerjaan tata lingkungan mencakup antara lain: pekerjaan pengolahan dan penataan akhir bangunan maupun lingkungannya. Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu de ngan tempat kedudukan baik yang ada di atas, di bawah tanah dan/atau air. Dalam pengertian menyatu dengan tempat kedudukan terkandung makna bahwa proses penyatuannya dilakukan melalui penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pengertian menyatu dengan tempat kedudukan tersebut dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan adanya asas pemisahan horisontal dalam pemilikan hak atas tanah terhadap bangunan yang ada di atasnya, sebagaimana asas hukum yang dianut dalam Undang-undang mengenai agraria. Hasil pekerjaan konstruksi ini dapat juga dalam bentuk fisik lain, antara lain: dokumen, gambar rencana, gambar teknis, tata ruang dalam (interior), dan tata ruang luar (exterior), atau penghancuran bangunan (demolition). Angka 3 Pengertian orang perseorangan adalah warga negara, baik Indonesia maupun asing. Pengertian badan adalah badan usaha dan bukan badan usaha, baik Indonesia maupun asing. Badan usaha dapat berbentuk badan hukum, antara lain, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau bukan badan hukum, antara lain: CV, Firma. Badan yang bukan badan usaha berbentuk badan hukum, antara lain instansi dan lembaga-lembaga Pemerintah. Pemilik pekerjaan/proyek adalah orang perseorangan atau badan yang memiliki pekerjaan/proyek yang menyediakan dana dan bertanggung jawab di bidang dana. Angka 4 Pengertian orang perseorangan dan badan usaha, penjelasannya sama dengan penjelasan pada angka 3. Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi penyedia jasa dapat berfungsi sebagai subpenyedia jasa dari penyedia jasa lainnya yang berfungsi sebagai penyedia jasa utama. Angka 5 Cukup jelas
116
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 116
04/03/2017 23:16:50
Angka 6 Kesalahan penyedia jasa adalah perbuatan yang dilakukan secara sadar dan direncanakan atau akibat ketidaktahuan atau kealpaan yang menyimpang dari kontrak kerja konstruksi sehingga menimbulkan kerugian. Kesalahan pengguna jasa adalah perbuatan yang disebabkan karena pengelolaan bangunan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Cukup jelas Angka 10 Cukup jelas Angka 11 Cukup jelas Pasal 2 Asas Kejujuran dan Keadilan Asas Kejujuran dan Keadilan mengandung pengertian kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya. Asas Manfaat Asas Manfaat mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional. Asas Keserasian Asas Keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi. Asas Keseimbangan Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 117
117
04/03/2017 23:16:50
keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa. Asas Kemandirian Asas Kemandirian mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional. Asas Keterbukaan Asas Keterbukaan mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan. Asas Kemitraan Asas Kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis. Asas Keamanan dan Keselamatan Asas Keamanan dan Keselamatan mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum. Pasal 3 Huruf a Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam sistem pembangunan nasional, untuk mendukung berbagai bidang kehidupan masyarakat dan menumbuhkembangkan berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Huruf b Cukup jelas Huruf c. Peran masyarakat meliputi baik peran yang bersifat langsung sebagai penyedia jasa, pengguna jasa, dan pemanfaat hasil pekerjaan konstruksi, maupun peran sebagai warganegara yang berkewajiban turut melaksanakan penga-
118
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 118
04/03/2017 23:16:50
wasan untuk menegakkan ketertiban penyelenggaraan pembangunan jasa konstruksi dan melindungi kepentingan umum. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pekerjaan perencanaan konstruksi dapat dilakukan dalam satu paket kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi atau perbagian dari kegiatan. Studi pengembangan mencakup studi insepsion, studi fasibilitas, penyusunan kerangka usulan. Ayat (3) Pekerjaan pelaksanaan konstruksi dapat diadakan dalam satu paket kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan hasil akhir pekerjaan atau per bagian kegiatan. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pembatasan pekerjaan yang boleh dilakukan oleh orang perseorangan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap para pihak maupun masyarakat atas risiko pekerjaan konstruksi. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 119
119
04/03/2017 23:16:50
Pasal 8 a. Fungsi perizinan yang mempunyai fungsi publik, dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dalam usaha dan/atau pekerjaan jasa konstruksi. b. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalahpengakuan tingkat keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pe ngakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi, yang meliputi : klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Penyelenggaraan jasa konstruksi berskala kecil pada dasarnya melibatkan pengguna jasa dan penyedia jasa orang perseorangan atau usaha kecil. Untuk tertib penyelenggaraan jasa konstruksi ketentuan yang menyangkut keteknikan misalnya sertifikasi tenaga ahli harus tetap dipenuhi secara bertahap tergantung kondisi setempat. Namun penerapan ketentuan perikatan dapat disederhanakan dan pemi lihan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (3). Pasal 9 (ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4) a. Standar klasifikasi dan kualifikasi keterampilan kerja dan keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keterampilan kerja dan keahlian kerja setiap orang yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi ataupun yang bekerja orang perseorangan. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/ lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan re gistrasi yang meliputi : klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi. Dengan demikian hanya orang perseorangan yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. b. Standardisasi klasifikasi dan kualifikasi keterampilan dan keahlian kerja bertujuan untuk terwujudnya standar produktivitas kerja dan mutu hasil kerja dengan memperhatikan standard imbal jasa, serta kode etik profesi untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya tanggung jawab profesional. c. Pelaksanaan ketentuan sertifikasi khususnya ayat (4) dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kondisi tenaga kerja konstruksi nasional dan tingkat kemampuan upaya pemberdayaannya.
120
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 120
04/03/2017 23:16:50
Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mekanisme pertanggungan dimaksud dapat dilakukan melalui antara lain sistem asuransi. Di samping itu untuk memenuhi pertanggungjawaban kepada pengguna jasa, dikenakan sanksi administratif yang menyangkut profesi. Pasal 12 Ayat (1) Dengan pendekatan ini diharapkan terwujud restrukturisasi bidang usaha jasa konstruksi yang menunjang efisiensi usaha, karena kemampuan penyedia jasa baik dalam skala usaha maupun kualifikasi usaha akan saling mengisi dalam kemitraan yang sinergis dan komplementer, karena saling memerlukan, yang dalam hubungan transaksionalnya dilandasi oleh kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Ayat (2) Dalam pengembangan usaha tersebut, dimungkinkan tumbuhnya jasa antara lain dalam bentuk manajemen proyek, manajemen konstruksi, serta bentuk jasa lain sesuai dengan tuntutan dan pertumbuhan dunia jasa konstruksi. Ayat (3) Sama dengan penjelasan ayat (2). Pasal 13 Pendanaan berupa modal untuk investasi dan modal kerja dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang terdiri dari bank atau bukan bank sebagai mitra usaha. Untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dapat ditempuh melalui pertanggungan dengan mitra usaha antara lain : Jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka, jaminan sosial tenaga kerja, Construction All Risk Insurance, Professional Liability Insurance, Professional Indemnity Insurance.
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 121
121
04/03/2017 23:16:50
Di samping itu jasa konstruksi juga memerlukan dukungan sumber informasi mengenai ketersediaan peralatan, bahan dan komponen bangunan. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wakil” adalah orang perseorangan atau badan yang diberi kuasa secara hukum untuk bertindak mewakili kepentingan pengguna jasa secara penuh atau terbatas dalam hubungannya dengan penyedia jasa. Penunjukan wakil tersebut tidak melepaskan tanggung jawab pengguna jasa atas semua kewajiban dalam pekerjaan konstruksi yang harus dipenuhi kepada penyedia jasa. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bukti kemampuan membayar dalam bentuk lain” antara lain jaminan dalam bentuk barang bergerak dan/atau tidak bergerak. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan “kelengkapan yang dipersyaratkan” adalah berbagai surat keterangan dan izin yang harus dimiliki oleh pengguna jasa yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penggabungan ketiga fungsi tersebut dikenal antara lain dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement, and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pemba ngunan (design and build) dengan tetap menjamin terwujudnya efisiensi.
122
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 122
04/03/2017 23:16:50
Pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan pada umumnya bersifat kompleks, memerlukan teknologi canggih serta berisiko besar seperti: pembangunan kilang minyak, pembangkit tenaga listrik, dan reaktor nuklir. Dalam pemilihan penyedia jasa untuk pekerjaan tersebut di atas, tetap diwajibkan mengikuti ketentuan pengikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Pasal 17 Ayat (1) Pengikatan merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengguna jasa dan penyedia jasa pada kedudukan yang sejajar dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Dalam setiap tahapan proses ditetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang adil dan serasi yang disertai dengan sanksi. Prinsip persaingan yang sehat mengandung pengertian, antara lain: a. diakuinya kedudukan yang sejajar antara pengguna jasa dan penyedia jasa; b. terpenuhinya ketentuan asas keterbukaan dalam proses pemilihan dan penetapan; c. adanya peluang keikutsertaan dalam setiap tahapan persaingan yang sehat bagi penyedia jasa sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan; d. keseluruhan pengertian tentang prinsip persaingan yang sehat tersebut dalam huruf a, b, dan c dituangkan dalam dokumen yang jelas, lengkap, dan diketahui dengan baik oleh semua pihak serta bersifat mengikat. Dengan pemilihan atas dasar prinsip persaingan yang sehat, pengguna jasa mendapatkan penyedia jasa yang andal dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana konstruksi ataupun bangunan yang berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang ditetapkan. Di sisi lain merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuh dan berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing. Pemilihan yang didasarkan atas persaingan yang sehat dilakukan secara umum, terbatas, ataupun langsung. Dalam pelelangan umum setiap penyedia jasa yang memenuhi kualifikasi yang diminta dapat mengikutinya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Keadaan tertentu antara lain meliputi : 1. penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 123
123
04/03/2017 23:16:50
2. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak; 3. pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan ke selamatan negara; 4. pekerjaan yang berskala kecil. Ayat (4) Pertimbangan antarkesesuaian bidang serta keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja serta kinerja penyedia jasa dimaksudkan agar penyedia jasa yang terpilih betul-betul memiliki kualifikasi dan klasifikasi sebagaimana yang diminta serta memiliki kemampuan nyata untuk melaksanakan pekerjaan. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prinsip keahlian dalam menyusun dokumen penawaran” adalah dengan mengindahkan prinsip profesionalisme, kesesuai an, dan pemenuhan ketentuan sebagaimana tersebut dalam dokumen pemilih an dan dokumen tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “mengikat”, adalah bahwa materi yang tercantum dalam dokumen penawaran yang disampaikan penyedia jasa, atau dokumen pemilihan yang diterbitkan oleh pengguna jasa tidak diperkenankan diubah secara sepihak sejak penyampaian dokumen penawaran sampai dengan pe netapan secara tertulis. Ayat (4) Cukup jelas
124
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 124
04/03/2017 23:16:50
Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Yang dimaksud dengan “perusahaan terafiliasi” adalah perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh satu perusahaan induk. Pemberian pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi dengan pengguna jasa tersebut dapat dibenarkan apabila pemilihannya didasarkan pada proses pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Pasal 21 Ayat (1) Pada dasarnya subpenyedia jasa adalah penyedia jasa. Oleh karena itu sebagaimana perlakuan terhadap penyedia jasa yang berfungsi sebagai penyedia jasa utama, subpenyedia jasa mempunyai kewajiban yang sama dalam keikutsertaan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi melalui persaingan yang sehat sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “identitas para pihak” adalah nama, alamat, kewarganegaraan, wewenang penandatanganan, dan domisili. Huruf b Lingkup kerja meliputi hal-hal berikut. 1. Volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan termasuk volume pekerjaan tambah atau kurang. Dalam mengadakan perubahan volume pekerjaan, perlu ditetapkan besaran perubahan volume yang tidak memerlukan persetujuan para pihak terlebih dahulu. Bagi pekerjaan perencanaan dan pengawasan, lingkup pekerjaan dapat berupa laporan hasil pekerjaan konstruksi yang wajib dipertanggungjawabkan yang merupakan hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. 2. Persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi. Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 125
125
04/03/2017 23:16:50
3. Persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa. 4. Pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat. Perlindungan tersebut dapat berupa antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga bukan bank. 5. Laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Nilai pekerjaan, yakni jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan. Huruf c dan d Cukup jelas Huruf e Yang dimaksud dengan “informasi” adalah dokumen yang lengkap dan benar yang harus disediakan pengguna jasa bagi penyedia jasa agar dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Dokumen tersebut, antara lain, meliputi izin mendirikan bangunan dan dokumen penyerahan penggunaan lapangan untuk bangunan beserta fasilitasnya. Huruf f Pembayaran dapat dilaksanakan secara berkala, atau atas dasar persentase tingkat kemajuan pelaksanaan pekerjaan, atau cara pembayaran yang dilakukan sekaligus setelah proyek selesai. Huruf g Cidera janji adalah suatu keadaan apabila salah satu pihak dalam kontrak kerja konstruksi: 1. tidak melakukan apa yang diperjanjikan; dan/atau 2. melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; dan/atau 3. melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat; dan/atau 4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Yang dimaksud dengan tanggung jawab, antara lain, berupa pemberian kompensasi, penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, atau pemberian ganti rugi.
126
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 126
04/03/2017 23:16:50
Huruf h Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang tatacara penyelesaian perselisihan yang diakibatkan antara lain oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau pelaksanaan berbagai ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi serta ketentuan tentang tempat dan cara penyelesaian. Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun pengadilan. Huruf i Cukup jelas Huruf j Keadaan memaksa mencakup: 1. keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya; 2. keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya; Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain, melalui lembaga pertanggungan (asuransi). Huruf l Perlindungan pekerja disesuaikan dengan ketentuan undang-undang mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, serta undang-undang mengenai jaminan sosial tenaga kerja. Huruf m Aspek lingkungan mengikuti ketentuan undang-undang mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ayat (3) Kekayaan intelektual adalah hasil inovasi perencana konstruksi dalam suatu pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya yang kepemilikannya dapat diperjanjikan. Penggunaan hak atas kekayaan intelektual yang sudah dipatenkan harus di lindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “insentif” adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu se suai dengan yang dipersyaratkan. Insentif dapat berupa uang ataupun bentuk lainnya. Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 127
127
04/03/2017 23:16:50
Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Tahapan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi adalah perencanaan yang meliputi : prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik; serta pelaksanaan beserta pengawasannya yang meliputi: pelaksanaan fisik, pengawasan, uji coba, dan penyerahan bangunan. Kegiatan dalam setiap tahap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi: a. penyiapan, yaitu kegiatan awal penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk memenuhi berbagai persyaratan yang diperlukan dalam memulai pekerjaan perencanaan atau pelaksanaan fisik dan pengawasan; b. pengerjaan, yaitu ; 1) dalam tahap perencanaan, merupakan serangkaian kegiatan yang menghasilkan berbagai laporan tentang tingkat kelayakan, rencana umum/induk, dan rencana teknis; 2) dalam tahap pelaksanaan, merupakan serangkaian kegiatan pelaksana an fisik beserta pengawasannya yang menghasilkan bangunan; c. pengakhiran, yaitu kegiatan untuk menyelesaikan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 1) dalam tahap perencanaan, dengan disetujuinya laporan akhir dan dilaksanakannya pembayaran akhir; 2) dalam tahap pelaksanaan dan pengawasan, dengan dilakukannya penyerahan akhir bangunan dan dilaksanakannya pembayaran akhir. Ayat (2) Ketentuan tentang keteknikan meliputi : standar konstruksi bangunan, standar mutu hasil pekerjaan, standar mutu bahan dan atau komponen bangun an, dan standar mutu peralatan.
128
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 128
04/03/2017 23:16:50
Ketentuan tentang ketenagakerjaan meliputi : persyaratan standar keahlian dan keterampilan yang meliputi bidang dan tingkat keahlian serta keterampilan yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Ayat (3) Kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi : a. Dalam kegiatan penyiapan : 1. pengguna jasa, antara lain : a. menyerahkan dokumen lapangan untuk pelaksanaan konstruksi, dan fasilitas sebagaimana ditentukan dalam kontrak kerja konstruksi; b. membayar uang muka atas penyerahan jaminan uang muka dari penyedia jasa apabila diperjanjikan. 2. penyedia jasa, antara lain : a) menyampaikan usul rencana kerja dan penanggung jawab pekerjaan untuk mendapatkan persetujuan pengguna jasa; b) memberikan jaminan uang muka kepada pengguna jasa apabila diperjanjikan; c) mengusulkan calon subpenyedia jasa dan pemasok untuk mendapat kan persetujuan pengguna jasa apabila diperjanjikan. b. Dalam kegiatan pengerjaan : 1. pengguna jasa, antara lain : memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan kontrak kerja dan menanggung semua risiko atas ketidakbenaran permintaan, ketetapan yang dimintanya/ditetapkannya yang tertuang dalam kontrak kerja; 2. penyedia jasa, antara lain: mempelajari, meneliti kontrak kerja, dan melaksanakan sepenuhnya semua materi kontrak kerja baik teknik dan administrasi, dan menanggung segala risiko akibat/kelalaiannya. c. Dalam kegiatan pengakhiran : 1. pengguna jasa, antara lain : memenuhi tanggung jawabnya sesuai kontrak kerja kepada penyedia jasa yang telah berhasil mengakhiri dan melaksanakan serah terima akhir secara teknis dan administratif kepada pengguna jasa sesuai kontrak kerja. 2. penyedia jasa, antara lain : meneliti secara seksama keseluruhan pekerjaan yang dilaksanakannya serta menyelesaikannya dengan baik sebelum mengajukan serah terima akhir kepada pengguna jasa. Ayat (4) Cukup jelas Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 129
129
04/03/2017 23:16:50
Pasal 24 Ayat (1) Pengikutsertaan subpenyedia jasa dibatasi oleh adanya tuntutan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dan ditempuh melalui mekanisme subkontrak, dengan tidak mengurangi tanggung jawab penyedia jasa terhadap seluruh hasil pekerjaannya. Bagian pekerjaan yang akan dilaksanakan subpenyedia jasa harus mendapat persetujuan pengguna jasa. Pengikutsertaan subpenyedia jasa bertujuan memberikan peluang bagi subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian spesifik melalui mekanisme keterkaitan dengan penyedia jasa. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Hak-hak subpenyedia jasa, antara lain adalah hak untuk menerima pembayaran secara tepat waktu dan tepat jumlah yang harus dijamin oleh penyedia jasa. Dalam hal ini pengguna jasa mempunyai kewajiban untuk memantau pelaksanaan pemenuhan hak subpenyedia jasa oleh penyedia jasa. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan kegagalan hasil pekerjaan konstruksi oleh pihak ketiga selaku penilai ahli dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan pe netapan suatu kegagalan hasil pekerjaan konstruksi. Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang atau lembaga yang disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif dan profesional. Pasal 26 Ayat (1) Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan
130
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 130
04/03/2017 23:16:50
yang pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem pertanggungan bagi perencana dan pengawas konstruksi. Ayat (2) Pertanggungjawaban pelaksana konstruksi di bidang usaha dikenakan kepada pelaksana konstruksi maupun sub pelaksana konstruksi dalam bentuk sanksi administrasi sesuai tingkat kesalahan. Besaran ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaksana konstruksi dalam hal terjadi kegagalan hasil pekerjaan konstruksi diperhitungkan dengan mempertimbangkan antara lain tingkat kegagalannya. Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan yang pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem pertanggungan bagi pelaksana konstruksi. Pasal 27 Lihat penjelasan Pasal 25 ayat (3). Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Hak masyarakat dalam melakukan pengawasan, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pekerjaan, maupun pemanfaatan hasilhasilnya. Penggantian yang layak diberikan kepada yang dirugikan sepanjang dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pekerjaan konstruksi didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 Kewajiban dimaksud mengandung makna bahwa setiap orang turut berperan serta dalam menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang jasa konstruksi. Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Asosiasi perusahaan jasa konstruksi, merupakan satu atau lebih wadah organi sasi dan atau himpunan para pengusaha yang bergerak di bidang jasa kon-
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 131
131
04/03/2017 23:16:50
struksi untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi para anggotanya. Asosiasi profesi jasa konstruksi, merupakan satu atau lebih wadah organisasi atau himpunan perorangan, atas dasar kesamaan disiplin keilmuan di bidang konstruksi atau kesamaan profesi di bidang jasa konstruksi, dalam usaha mengembangkan keahlian dan memperjuangkan aspirasi anggota. Asosiasi bersifat independen, mandiri dan memiliki serta menjunjung tinggi kode etik profesi. Mitra usaha asosiasi perusahaan barang dan jasa adalah orang perseorangan atau badan usaha yang kegiatan usahanya di bidang penyediaan barang atau jasa baik langsung maupun tidak langsung mendukung usaha jasa konstruksi. Wakil-wakil instansi Pemerintah yang duduk dalam forum jasa konstruksi adalah pejabat yang ditunjuk oleh instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi pembinaan dalam bentuk pemberdayaan dan pengawasan di bidang jasa konstruksi. Peran Pemerintah dalam pembinaan jasa konstruksi masih dominan, dengan Undang-Undang ini, pengembangan usaha jasa konstruksi diserahkan se penuhnya kepada masyarakat jasa konstruksi. Dalam tahap awal pelaksanaan Undang-Undang ini peran Pemerintah masih diperlukan untuk: a. mengambil inisiatif/prakarsa dalam mewujudkan peran forum; b. memberikan dukungan fasilitas termasuk pendanaan untuk memungkinkan terwujud dan berfungsinya peran masyarakat jasa konstruksi (wadah organisasi pengembangan jasa konstruksi) berikut lembaga-lembaga pelaksanaannya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Wakil instansi Pemerintah yang duduk dalam lembaga adalah yang ditunjuk oleh instansi yang mempunyai tugas dan fungsi pembinaan di bidang jasa konstruksi.Dalam mewujudkan peran lembaga, pada tahap awal Pemerintah dapat mengambil inisiatif dalam menetapkan pembentukan lembaga, serta memberikan dukungan fasilitas termasuk pendanaan operasionalnya. Ayat (2) Huruf a Pengembangan jasa konstruksi yang dilakukan oleh lembaga dimaksudkan, antara lain:
132
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 132
04/03/2017 23:16:50
1) agar penyedia jasa mampu memenuhi standar-standar nasional, regional, dan internasional; 2) mendorong penyedia jasa untuk mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional; 3) mengembangkan sistem informasi jasa konstruksi. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 (ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, dan ayat 6) a. Mengingat peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional, maupun dalam mendukung perluasan kesempatan usaha dan lapangan kerja, serta mengingat kewajiban Pemerintah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional pada umumnya, maka Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap jasa konstruksi. b. Pembinaan yang meliputi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan, dilakukan oleh Pemerintah terhadap: 1) jasa konstruksi, dengan tujuan: a. menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan peran strategisnya dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa konsekuensi timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya; b. mendorong terwujudnya penyedia jasa untuk meningkatkan kemampuannya, baik secara langsung maupun melalui asosiasi, agar mampu memenuhi hak dan kewajibannya; c. menjamin terpenuhinya kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga mendorong terwujudnya tertib usaha jasa konstruksi maupun tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 133
133
04/03/2017 23:16:51
2) pengguna jasa, dengan tujuan: a. menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan tugas dan fungsinya serta hak dan kewajibannya dalam pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; b. menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga mendorong terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 3) masyarakat, dengan tujuan: a. menumbuhkan pemahaman akan peran strategis jasa konstruksi dalam pelaksanaan pembangunan nasional; b. menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam mewujudkan tertib usaha jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam memanfaatkan hasil pekerjaan konstruksi; c. dalam pelaksanaannya, pembinaan dapat dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu kegiatan dalam bentuk forum dan lembaga. d. Forum merupakan fasilitas dan/atau sarana untuk mendorong terciptanya pemanfaatan dan pengawasan secara optimal terhadap penyelenggaraan jasa konstruksi nasional bagi masyarakat pada umumnya dan atau masyarakat jasa konstruksi pada khususnya. e. Lembaga merupakan wadah pembinaan pelaksanaan pengembang an jasa konstruksi. f. Sebagian pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat di limpahkan kepada Pemerintah Daerah. Pasal 36 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai suatu sengketa jasa konstruksi untuk menjamin kepastian hukum. Pasal 37 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini untuk mempertegas bahwa sengketa jasa konstruksi dapat terjadi pada kegiatan para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
134
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 134
04/03/2017 23:16:51
Ayat (2) Sejalan dengan ketentuan tentang kontrak kerja konstruksi para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka dapat diselesaikan dengan menggunakan jasa pihak ketiga sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa. Penunjukan pihak ketiga tersebut dapat dilakukan sebelum sesuatu sengketa terjadi, yaitu dengan menyepakatinya dan mencantumkannya dalam kontrak kerja konstruksi. Dalam hal penunjukan pihak ketiga dilakukan setelah sengketa terjadi, maka hal itu harus disepakati dalam suatu akta tertulis yang ditandatangani para pihak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jasa pihak ketiga yang dimaksud di atas antara lain: arbitrase baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi, konsiliasi atau penilai ahli. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hak mengajukan gugatan perwakilan” pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu: a. memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi; b. menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi; c. memerintahkan seseorang (salah satu pihak) yang melakukan usaha/ke giatan jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi. Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi
004-lampiran undang-undang.indd 135
135
04/03/2017 23:16:51
Yang dimaksud dengan “biaya atau pengeluaran riil” adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan sudah dikeluarkan oleh masyarakat dalam kaitan dengan akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 40
Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3833
136
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
004-lampiran undang-undang.indd 136
04/03/2017 23:16:51
Biografi Singkat
CHRISTIANTA, S.H., M.H. dilahirkan di Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1981. Menempuh pendidikan dasar dan Menengah di kota Palangka Raya, Alumni tahun 2000 SMA 2 Palangka Raya ini, kemudian melanjutkan pendidikan sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA) Jawa Timur. Di bangku kuliah, ia memiliki prestasi akademik yang sangat baik, hal ini dibuktikannya dengan memperoleh penghargaan sebagai Lulusan Teladan Fakultas Hukum Universitas Surabaya tahun 2004. Putra Pertama pasangan Reddy Siram dan Irene Yan Guan (alm.) setelah memperoleh gelar sarjana hukum ia masuk sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2006 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Universitas Palangka Raya. Setelah menjadi Dosen Tetap di Universitas Palangka Raya, ia kemudian melanjutkan Pendidikan Pasca Sarjana Konsentrasi Pidana dan Peradilan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Jawa Timur pada tahun 2008 lulus pada tahun 2009. Biografi Singkat
005-biografi.indd 137
137
04/03/2017 23:20:08
Setelah menempuh pendidikan pascasarjana, ia kembali mengajar dan dipercayakan menjadi Ketua Bidang Pidana di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya. Tahun 2012 s.d. 2016, kemudian di tingkat Universitas Ia dipercayakan menjadi Ketua Tim Hukum Universitas Palangka Raya dari tahun 2014 hingga sekarang. Hingga kini, ayah dua orang anak ini masih aktif mengajar di bidang hukum pidana dan peradilan di fakultas hukum Universitas Palangka Raya. Ia juga masih aktif melaksanakan tugas Jabatannya Sebagai Wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan di Fakultas Hukum Periode 2016 s.d. 2020. Kontak Penulis :
[email protected]
138
005-biografi.indd 138
Aspek Hukum Pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
04/03/2017 23:20:08