ISSN 0216 - 1517
JURNAL GEOGRAFI Volume 3 No. 1 / Januari 2010
HUBUNGAN INDEKS PENGUAPAN DI SAMUDERA HINDIA DENGAN SEBARAN CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT Relationship between Evaporation Index in Hindia Ocean and Rainfall Distribution in West Sumatera Nuryadi, Djoko Harmantyo dan Dodo Gunawan PEMETAAN KEBENCANAAN DALAM SELURUH SIKLUS Disaster Mapping in All Cycles Fahmi Amhar dan Aris Poniman
ZONASI RAWAN BENCANA MARIN DI PANTAI BARAT PROPINSI SULAWESI SELATAN
Vulnerability Zone of Marine Hazard in West Coastal of South Sulawesi Province Nasiah dan Suprapta
POTENSI KERUSAKAN LAHAN DI SUKABUMI MENGGUNAKAN DATA INDERAJA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Potential Land Damage in Sukabumi using Remote Sensing and Geographic Information System (GIS) Nanik Suryo Haryani dan F. Sri Hardiyanti Purwadhi
KAJIAN KARAKTERISTIK DAS LUKULO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH
Study of Upstream Lukulo Watershed Characteristic Using Remote Sensing Data Puguh Dwi Raharjo
PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERAYU HULU Land Cover Changes in Upper Serayu Watershed Andry Rustanto, Dhruba P. Shrestha and Victor G. Jetten Diterbitkan oleh: Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
JURNAL GEOGRAFI Volume 3, Nomor 1/Januari 2010
Penerbit : Departemen Geografi FMIPA UI Pelindung : Dekan FMIPA UI Penanggung Jawab : Ketua Departemen Geografi FMIPA UI
Dr. Ir. Iwan Gunawan, M.Sc (Sistem Informasi Geografis) Dr. rer. nat. Eko Kusratmoko, MS (Hidrogeografi, Klimatologi) Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc, APU
Susunan Dewan Redaksi Ketua : Dr. Rokhmatuloh, M.Eng
(Geomorfologi, Aplikasi Remote Sensing untuk Geografi Fisik)
Anggota Prof. Dr. F. Sri Hardiyanti, APU (Aplikasi Remote Sensing untuk Penggunaan Lahan, Lingkungan)
Drs. Triarko Nurlambang, MA
Dr. Raldi H. Koestoer, M.Sc, APU (Geografi Kota, Geografi Regional)
(Geografi Ekonomi dan Transportasi) External Reviewer Prof. Dr. Aris Poniman (BAKOSURTANAL) Prof. Dr. S.B. Silalahi, MS (Univ. Nusa Bangsa) Dr. Ridwan Jamaludin (BPPT)
DAFTAR ISI
Editorial Relationship between Evaporation Index in Hindia Ocean and Rainfall Distribution in West Sumatera Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat Nuryadi, Djoko Harmantyo dan Dodo Gunawan
Halaman 1
Disaster Mapping in All Cycles Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus Fahmi Amhar dan Aris Poniman
17
Vulnerability Zone of Marine Hazard in West Coastal of South Sulawesi Province Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan Nasiah dan Suprapta
29
Potential Land Damage in Sukabumi using Remote Sensing and Geographic Information System (GIS) Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menuggunakan Data Inderaja dan Sistem Informasi Geografis Nanik Suryo Haryani dan F. Sri Hardiyanti Purwadhi
37
Study of Upstream Lukulo Watershed Characteristic Using Remote Sensing Data Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu Dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh Puguh Dwi Raharjo
47
Land Cover Changes in Upper Serayu Watershed
56
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Andry Rustanto, Dhruba P. Shrestha and Victor G. Jetten
Redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah hasil riset dari para pakar, ahli, dan praktisi, yang berkaitan dengan pengembangan Ilmu Geografi. Tulisan dapat dilayangkan ke alamat redaksi : Departemen Geografi FMIPA UI, Kampus Baru UI Depok, 16424. Telp : (021) 7270030, 78886680. Fax : (021) 7270030. E-mail :
[email protected] Jurnal Geografi ini didukung oleh Ikatan Geografi Indonesia (IGI)
EDITORIAL Pembaca yang terhormat, Jurnal Geografi Vol. 3 No. 1, Januari 2010 ini kembali hadir di hadapan pembaca dengan topik-topik yang menarik untuk disimak. Tulisan-tulisan yang masuk berasal dari penelitianpenelitian para pakar dan praktisi. Tulisan pertama mengenai indeks penguapan di Samudera Hindia dan kaitannya dengan sebaran hujan di Sumatera Barat oleh Nuryadi, dkk. Tulisan kedua oleh Dr. Fahmi Amhar dan Prof. Aris Poniman yang mengevaluasi pemetaan dalam seluruh siklus kebencanaan, terutama didasarkan pada beberapa pengalaman berkaitan dengan ketersediaan data dan informasi spasial dan pemanfaatannya dalam penanggulangan bencana besar yang pernah terjadi di Indonesia. Tulisan ketiga oleh Nasiah dan Suprapta yang membahas penentuan wilayah-wilayah Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan dengan teknik purposif sampling dengan pendekatan bentuklahan. Tulisan keempat menyajikan potensi kerusakan lahan di Sukabumi dengan memanfaatkan data citra Landsat dan SIG oleh Nanik Suryo Haryani dan Prof. F. Sri Hardiyanti Purwadhi. Tulisan kelima merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puguh Dwi Rahardjo (LIPI) yang mengkaji karakterstik DAS Lukulo hulu dengan memanfaatkan data citra Landsat TM. Adapun penelitian terakhir dilakukan oleh Andry Rustanto, M.Sc yang membahas mengenai perubahan tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu dengan memanfaatkan data citra Landsat TM dan ETM+ dengan metode klasifikasi terselia yang digabungkan dengan no-change vector analysis.
Terima kasih dan selamat membaca.
Depok, Januari 2010
Editor
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
HUBUNGAN INDEKS PENGUAPAN DI SAMUDERA HINDIA DENGAN SEBARAN CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT Relationship between Evaporation Index in Hindia Ocean and Rainfall Distribution in West Sumatera Nuryadi 1, Djoko Harmantyo 2, dan Dodo Gunawan 1 Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) 2) Departemen Geografi, FMIPA UI
1)
Abstract The purpose of this study is to reveal the relationship between the index of evaporation in the Indian Ocean with the distribution of rainfall in West Sumatra. The sea evaporation index can be estimated from wind speed, and the difference between sea surface temperatures and air temperatures. The calculation is carried out by using monthly surface meteorological data during 30 years period (1971-2000) obtained from NCEP Realtime Marine Data for territorial water of the Eastern Indian Ocean. Relationship between the evaporation index and rainfall of West Sumatera was evaluated using linear regression analysis expressed by the magnitude of correlation coefficient. Results of calculation showed that the monthly mean of the evaporation index of the southern equatorial of part Indian Ocean was higher than of the northern equatorial and become smaller to the onshore area. In the northern part of equator, the evaporation index increased on April and October and reached its peak is November, while in the southern part the increase occurred from June to August. West Sumatera own four patterns of rainfall with the highest rainfall occurred in coastal area and hilly region on the westside of Bukit Barisan, while up at tertiary hilly region to the eastside of Bukit Barisan the rainfall gradually decreased. In normal condition, the periode of March and November is represented by the highest rainfall value. The evaporation index around the equatorial part of Indian Ocean generally have positive and strong correlation with monthly rainfall of coastal area and hilly region on the westside of Bukit Barisan. Closer the distance to the coast, the correlation coefficient gets higher. The correlation coefficients of the relationship between monthly rainfall and the evaporation index for the same months were higher than the correlation between monthly rainfall and the evaporation index of the previous month. Key Word : rainfall, evaporation index, correlation coefficient, Indian Ocean, West Sumatra
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan antara indeks penguapan di Samudera Hindia dengan sebaran curah hujan di wilayah Sumatera Barat. Indeks penguapan laut dihitung dari besarnya kecepatan angin, serta selisih antara suhu muka laut dan suhu udara permukaan. Perhitungan indeks penguapan dilakukan dengan menggunakan data meteorologi permukaan bulanan selama periode 30 tahun (1971-2000) yang diperoleh dari NCEP Realtime Marine Data di perairan Samudera Hindia. Analisis hubungan indeks penguapan dengan curah hujan di Sumatera Barat menggunakan regresi linear yang dinyatakan dari nilai koefisien korelasinya. Hasil perhitungan menunjukkan rata-rata indeks penguapan bulanan bagian selatan ekuator Samudera Hindia lebih tinggi dibandingkan bagian utara ekuator dan makin ke arah pantai indeks penguapan semakin rendah. Di bagian utara peningkatan indeks penguapan terjadi pada bulan April dan Oktober hingga puncaknya di bulan November, sedangkan di bagian selatan peningkatan terjadi mulai bulan Juni hingga Agustus. Sumatera Barat memiliki 4 pola hujan dengan sebaran curah hujan tertinggi di pesisir barat dan wilayah perbukitan sebelah barat Bukit Barisan, sedangkan ke arah wilayah perbukitan tersier sebelah timur Bukit Barisan curah hujan semakin rendah. Pada kondisi normal, bulan Maret dan November merupakan bulan dengan nilai curah hujan yang paling tinggi. Indeks penguapan laut di sekitar ekuator Samudera Hindia umumnya berkorelasi kuat dan positif dengan curah hujan bulanan di pesisir barat dan wilayah perbukitan sebelah barat Bukit Barisan. Semakin dekat jaraknya ke arah pantai nilai koefisien korelasinya makin tinggi. Koefisien korelasi indeks penguapan dengan hujan bulanan pada bulan yang sama lebih tinggi dibanding menggunakan indeks penguapan satu bulan sebelumnya. Kata Kunci : curah hujan, indeks penguapan, koefisien korelasi, Samudra Hindia, Sumatera Barat.
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
1
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
I.
PENDAHULUAN
Secara umum, muka bumi wilayah Sumatera Barat terdiri dari wilayah pantai yang sempit di bagian barat dibatasi oleh wilayah pegunungan vulkanik yang membujur dari utara ke selatan dengan patahan Semangko di tengahnya. Ketinggian di wilayah ini mencapai lebih dari 1000 meter yang merupakan rangkaian pegunungan vulkanik. Di sebelah timur pegunungan ini membentang bukit-bukit lipatan tersier (Sandy, 1996). Pengaruh dari bentuk medan wilayah tersebut menyebabkan tempat-tempat yang terletak di lereng pegunungan yang menghadap ke barat memperoleh hujan terbesar, karena wilayah ini merupa-kan daerah yang langsung menghadap Samudera Hindia, dimana angin dari arah barat atau barat daya kaya akan uap air. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa di Samudera Atlantik dan Pasifik suhu permukaan laut dan suhu udara per-mukaan mempunyai korelasi yang hampir tetap dan tidak berubah secara musiman (Namias 1973 dalam Cazyan & Daniel 1990). Cazyan menunjukkan bahwa kore-lasi yang besar tidak hanya pada nilai suhu, tetapi juga untuk variansinya (σ2sml/ σ2sat≈1). Dalam penelitiannya, Pariwono, et al 1999, menunjukkan adanya kelompokkelompok wilayah dengan fluks bahang dan fluks kelembaban yang tinggi di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dalam skala besar suhu Samudera Hindia dan suhu Samudera Pasifik mempunyai kaitan dekat dalam rangkaian proses meteorologi lautan yang dikenal dengan El Nino, sedangkan angin sebagai peubah atmosfer yang mempunyai kaitan dekat dengan perubahan tekanan dan berkaitan dengan fluktuasi yang dikenal dengan Osilasi Selatan. Hasil analisis pola hujan di wilayah perairan (Philander, 1990), pola suhu permukaan laut (BoM Australia, 2007), dan pola kepusaran (vorticity) di atas wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya (BoM Australia, 2007),
2
menunjukkan adanya andil yang besar dari Samudera Hindia dalam pembentukan sistem cuaca di Sumatera Barat. Pola curah hujan yang dibuat oleh BMG, menunjukkan bahwa sebaran curah hujan bulanan di Sumatera Barat semakin tinggi ke arah pantai. Pola angin di atas wilayah Samudera Hindia yang diperoleh dari analisis data ratarata bulanan selama periode 30 tahun (19712000), mengindi-kasikan adanya arah angin dari Samudera Hindia yang menuju ke wilayah Sumatera Barat pada bulan-bulan tertentu. Berdasarkan hasil analisis dari beberapa parameter tersebut terlihat adanya pola yang saling mendukung. Keadaan tersebut memberikan indikasi tentang adanya sistem tertentu yang memberi ciri cuaca di wilayah perairan Samudera Hindia dan pengaruhnya terhadap sebaran curah hujan di Sumatera Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan antara indeks penguapan di Samudera Hindia dengan sebaran curah hujan di wilayah Sumatera Barat. II.
METODOLOGI
2.1. Kerangka Konsep Cuaca, utamanya curah hujan, adalah hasil proses interaksi sistem cuaca berbagai skala, yaitu skala besar (makro), skala sedang (meso), dan skala lokal (mikro). Kaitannya dengan penelitian ini, proses dalam skala makro meliputi adanya sistem monsun yang salah satunya ditandai dengan perbedaan suhu udara permukaan, sistem tekanan udara yang mengakibatkan gerakan angin, dan gejala alam El Nino yang salah satu indikatornya adalah suhu muka laut. Proses dalam skala meso adalah terjadinya penguapan di Samudera Hindia, sedangkan skala mikro atau lokal adalah pengaruh dari bentuk medan wilayah Sumatera Barat terhadap pem-bentukan curah hujan. Dengan memandang bahwa curah hujan, adalah hasil proses interaksi sistem cuaca
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
berbagai skala tersebut, maka korelasi antara penguapan di Samudera Hindia dengan sebaran curah hujan di Sumatra Barat prosesnya dapat digam-barkan dalam Gambar 1. 2.2. Data dan Proses Pengolahannya Data meteorologi permukaan rata-rata bulanan diperoleh dari NCEP Realtime Marine
PROSES DALAM SKALA BESAR (MAKRO)
Data untuk suhu permukaan laut, suhu udara permukaan (1000 mb), dan vektor angin, yang digunakan untuk perhitungan indeks penguapan. Periode data yang digunakan adalah selama 30 tahun (1971-2000) dengan cakupan wilayah 900 – 1000 BT dan 2,50 LU – 5,00 LS.
Gejala ENSO Samudera Hindia
Sistem Tekanan Udara Indek Osilasi Selatan (IOS)
Suhu Muka Laut (Ts)
Kecepatan Angin (U)
Sistem Monsun Suhu Udara Permukaan (Ta)
Penguapan Laut PROSES DALAM SKALA PANJANG (MESO)
PROSES DALAM SKALA LOKAL (MIKRO)
Indeks Penguapan (I) I = U (Ts-Ts)
Sebaran Curah Hujan Sumatra Barat
Korelasi Indeks Penguapan Dengan Sebaran Curah Hujan
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
Data curah hujan bulanan dan koordinat pos hujan diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Stasiun Klimatologi Sicincin Sumatera Barat. Jumlah total stasiun hujan yang dapat digunakan adalah 52 stasiun untuk periode pengamatan tahun 1971-2000. Sementara Peta Rupa Bumi dengan skala 1:250.000 yang mencakup seluruh Provinsi Sumatera Barat diperoleh dari Bakosurtanal. a. Indeks Penguapan Wilayah penelitian pada posisi 900 – 1000 BT dan 2,50 LU – 5,00 LS dibagi dalam 16 grid dengan ukuran 2,50 x 2,50. Hasil pembagian keenam belas grid yang dihitung indeks penguapannya disajikan pada Gambar 2. Data meteorologi permukaan diolah secara
dijital dengan menggunakan perang-kat lunak qbasic, Surfer 7 dan GRaDS pada setiap grid. Unsur cuaca dihitung nilai rata-rata bulananya, meliputi suhu permukaan laut, suhu udara permukaan pada tekanan 1000 mb (permukaan), arah dan kecepatan angin untuk komponen U (timur-barat) dan V(utara-selatan) Besarnya penguapan ber-kaitan dengan suhu laut dan kondisi atmos-fer di atasnya dapat ditaksir dengan meng-gunakan dasar besarnya fluks bahang pada permukaan laut dan banyaknya uap air yang terdapat dalam udara. Fluks bahang keatas pada permukaan laut (Qs) bergantung kepada kecepatan angin (u), beda antara suhu permukaan laut dan suhu udara permukaan diatasnya (Ts–Ta), serta kapasitas bahang udara per satuan volume (ρacp),
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
3
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 2 : Pembagian wilayah indeks penguapan
Qs = cHu (Ts – Ta) (ρacp)
...................(1)
dengan cH konstanta tak berdimensi yang besarnya berkaitan dengan stabilitas udara yang dikenal dengan sebutan bilangan Stanton (Gill, 1982). Fluks bahang tersebut (1) berbentuk bahang pendam (latent heat) yang dibawa oleh uap air. Laju penguapan (E) atau massa air yang teruapkan per satuan luas per satuan waktu sebanding dengan kelembapan spesifik (q). E = ρacE u (qs – qa)
…..........................(2)
dengan ρa=rapat massa udara, cE=konstanta tak berdimensi yang disebut bilangan Dalton, u=kecepatan angin pada ketinggian anemometer, qs=kelembapan spesifik pada permukaan laut, dan qa=kelembapan spesi-fik pada paras standar (1000 hPa). Kedua rumus tersebut menunjukkan bahwa penguapan bertambah sebanding dengan beda suhu muka laut dan suhu at-mosfer diatasnya. Makin tinggi suhu muka laut dan makin rendah suhu atmosfer daya penguapan makin besar. Pengeluaran ba-hang sebagai proses perpindahan bahang dari laut ke atmosfer menimbulkan pendi-nginan permukaan laut yang besarnya se-banding dengan besarnya penguapan. Laju penguapan sebagai perpindahan bahang dari 4
lautan ke atmosfer sebesar rata-rata 1 m/tahun atau sekitar 3 mm/hari. Namun demikian uap air di dalam atmosfer tidak terus bertambah (Oort, 1971 dalam Gill, 1982). Dengan demikian persamaan (1) dan (2) memberikan nilai sebagai indikator yang baik bagi keadaan kelembapan atmosfer. Merujuk kepada persamaan (1) dan (2), bila cH , ρa dan cp merupakan bilangan yang tetap, maka nilai Qs sebanding dengan laju penguapan laut dan sebanding pula dengan u (Ts–Ta). Nilai u (Ts–Ta) mempu-nyai dimensi yang memberi pengertian transfer bahang dari laut ke atmosfer. Atmosfer adalah fluida yang mudah berge-rak, maka perubahan suhu selain terjadi karena penyinaran matahari setempat, juga berkaitan dengan suhu lingkungan. Peruba-han total suhu mengikut ruang dan waktu dirumuskan sebagai : dT/dt=∂T/∂t + U•∇T. Besarnya perubahan suhu atmosfer yang mengikuti arah vertikal dan horizontal me-nandai stabilitas udara. Dalam skala besar stabilitas merupakan salah satu parameter indikator udara dalam sistem monsun. Dengan demikian ketiga parameter Ts, Ta, dan U yang mempunyai arti fisis berkaitan dengan transfer bahang laut–atmos-fer,
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
dalam skala besar mempunyai kaitan dengan fenomena El Nino, SOI, dan Mon-sun sehingga parameter angin (U), suhu muka laut (Ts), dan suhu atmosfer permu-kaan (Ta) mempunyai cukup arti sebagai penduga besarnya nilai proses laut–atmosfer dalam skala besar. b. Curah Hujan Sebaran 52 pos hujan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokan berdasarkan ketinggian dalam 4 wilayah sebagai berikut (lihat juga Gambar 3): – Wilayah 1 (dataran rendah pesisir barat, dengan ketinggian kurang dari 200 m dpl), meliputi 12 pos hujan, Airbangis (63), Sasak (59a), Tiku (55c), Limau-purut (52c), Bandarbuat (43f), Tabing (43a), Telukbayur (44e), Painan (32a), Kotokandis (39b), Balaisalasa (25a), Indrapura (38a), dan Tapan (35a). – Wilayah 2 (perbukitan sebelah barat Bukit Barisan, dengan ketinggian 200-1500 m dpl), meliputi 9 pos hujan, Suka-menanti (59b), Simpangtiga (59d), Maninjau (52d), Sicincin (51c), Lubuk-sulasih (46), Lubukbasung (55), Muara-labuh (29), Matur (52a), dan Palembayan (53f). – Wilayah 3 (perbukitan sebelah timur Bukit Barisan, dengan ketinggian 200-1500 m dpl), meliputi 14 pos hujan, Talu (61), Bonjol (58c), Lubuksikaping (59), Gobah (54f), Bukittinggi (54), Situjuh-batur (55b), Padangpanjang (53), Sumpurkudus (48a), Batusangkar (50), Rambatan (50d), Solok (47), Sumani (47f), Huberta (28c), dan Tapus (62b). – Wilayah 4 (perbukitan tersier bagian timur Sumatera Barat, dengan ketinggian 200-500 m dpl), meliputi 17 pos hujan, Lubukgadang (30), Kumanis (49a), Sawahlunto (49), Sijunjung (36a), Seilangsat (35), Sitiung (36b), Paya-kumbuh (56), Suliki (56b), Kototinggi (56a), Kotobaru (57), Seidareh (34), Rao (62), Tarusan (42e), Tanjungpati (57a), Padangganting (48d), Tanjunggadang (36), dan Alahanpanjang (38).
Pewilayahan pola hujan bulanan dilakukan dengan menggunakan metode cluster. Dalam metode tersebut n kompo-nen utama dari seluruh pos hujan disusun dalam bentuk matriks seperti pada Tabel 1. Selanjutnya dapat dipandang bahwa setiap baris menyatakan vektor dalam ruang n, maka selisih dua vektor menyatakan beda nilai komponen utama dari kedua pos hujan yang bersangkutan. Beda tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti berikut : i=N
dij = [ Σ (zik - zjk)2 ]1/2.....(3) i=1
dengan : dij adalah jarak euclid antara pos hujan ke i dengan pos hujan ke j; zi (sifat dari pos hujan ke i), zj (sifat dari pos hujan ke j), k (sifat yang menjadi perhatian), dan n (banyaknya sifat) Untuk menentukan jarak antar sub-sub kelompok digunakan jarak terjauh atau disebut dengan complete linkage dengan notasi : dG1G2 = max [dij ] ...............................(4) i∈G1, j∈G2 Metode statistik baik analisis korelasi dan regresi digunakan untuk melihat hubungan antara besaran curah hujan di Provinsi Sumatera Barat dengan besaran indeks penguapan di Samudara Hindia. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pola Indeks Penguapan Bulanan Samudera Hindia Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai bulan Juni sampai Agustus pada grid 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 yang berada di selatan ekuator terjadi peningka-tan nilai indeks penguapan, kemudian pada bulan September dan Oktober mengalami penurunan hingga mencapai terendah pada bulan April. Sementara
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
5
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
itu, pada grid 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 yang berada di utara ekuator peningkatan indeks penguapan terjadi pada bulan April dan Oktober hingga puncaknya pada bulan November. Tabel 1 : Matriks komponen utama berdasarkan data curah hujan bulanan Pos Hujan
Data Rata-Rata Curah Hujan Bulanan 1
2
3
4 …………………n
1
z11 z12 z13 z14
2
z21 z22 z23 z24 …………z2n
..………z1n
.
.
.
.
K
zk1 zk2 zk3 zk4
…………zkn
Apabila dikaitkan dengan pergerakan matahari, mulai pada bulan Maret ke April matahari bergerak menuju belahan bumi utara dari ekuator, sehingga pada wilayah bagian utara (dalam hal ini grid 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7) indeks penguapan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah bagian selatan equator. Pada saat matahari mulai bergerak kembali menuju ekuator yaitu pada bulan Oktober, indeks penguapan di wilayah bagian utara equator kembali lebih tinggi. Sementara itu, pada wilayah bagian selatan ekuator (dalam hal ini grid 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16) nilai indeks penguapan berlawanan dengan wilayah bagian utara. Grafik rata-rata indeks penguapan bulanan selama periode 1971-2000 untuk semua grid, disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3: Ketinggian tempat dan sebaran pos hujan di Sumatera Barat
Secara spasial pola indeks penguapan bulanan wilayah kajian Samudera Hindia pada bulan Januari dan Febuari di sebelah barat bagian selatan ekuator umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pada bulan Maret, indeks pengua-pan umumnya menurun dibanding bulan sebelumnya baik 6
di bagian utara maupun selatan ekuator dan semakin ke arah pantai makin rendah. Pada bulan April indeks penguapan meningkat kembali dibanding-kan bulan sebelumnya dan di bagian utara ekuator lebih tinggi dibandingkan bagian selatan. Pada bulan Mei dan Juni indeks penguapan hampir sama dengan bulan Maret.
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Pada bulan Juli, Agustus, dan September indeks penguapan meningkat tajam dan bagian selatan ekuator lebih tinggi dibandingkan bagian utara dan semakin ke arah pantai indeks penguapan menurun. Pada bulan Oktober, November, dan Desember indeks pengupan menurun
dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Sebaran rata-rata indeks penguapan bulanan di wilayah kajian Samudera Hindia untuk kasus bulan Januari, April, Agustus dan November dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4: Indeks penguapan rata-rata bulanan periode 1971-2000 di setiap grid
Januari
April
Agustus
November
Gambar. 5: Rata-rata indeks penguapan untuk bulan Januari, April, Agustus dan November periode 1971-2000.
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
7
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Secara umum pola indeks penguapan bulanan di wilayah selatan ekuator Samudera Hindia lebih tinggi dibanding-kan dengan sekitar ekuator. Ditinjau dari seba-ran suhu udara permukaan, pada wilayah bagian selatan ekuator umumnya lebih rendah dibandingkan sekitar ekua-tor. Dengan demikian, selisih antara suhu muka laut dan suhu udara permukaan di bagian selatan ekuator umumnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan sekitar ekuator yang mengakibatkan indeks penguapan akan lebih tinggi. 3.2. Pola Curah Hujan Tahunan dan Bulanan Pola hujan tahunan di wilayah Sumatera Barat untuk periode tahun 1971-2000, menunjukan bahwa tempat-tempat yang terletak di lereng Bukit Barisan yang menghadap ke Barat (exposure) memperoleh jumlah hujan tahunan terbesar. Kota Padang, Solok, dan sebagian besar Kab. Pasaman memperoleh curah hujan tidak kurang dari 4000 mm setahun. Sebaliknya, tempat-tempat yang terlindung di balik bukit seperti sebagian besar Kabupaten Limapuluh Koto, Kota Payahkumbuh, Kabupaten Sawahlunto memperoleh curah hujan kurang dari 3000 mm setahun (lihat Gambar 6). Secara umum, pola hujan bulanan wilayah Sumatera Barat memiliki dua puncak maksimum dalam setahun, yaitu puncak pertama pada bulan Maret dan puncak kedua pada bulan November. Kecenderungan curah hujan dari Januari ke Februari menurun, kemudian meningkat kembali pada bulan Maret dan April. Pada bulan Mei curah hujan menurun dari bulan sebelumnya dan mencapai minimum pada bulan Juni. Selanjutnya mulai Juli hingga Oktober curah hujan meningkat hingga puncak-nya pada bulan November. Pola hujan bulanan tersebut sejalan dengan gerak matahari yang menimbulkan Daerah Konvergensi Antar Tropik pada bulan April dan November (Boerema, 1922; Sandy,
8
1987). Pada Gambar 7 diperlihatkan pola curah hujan di Provinsi Sumatera Barat untuk Bulan Januari, Maret, Agustus dan November. Pola umum curah hujan bulanan tidak jauh berbeda dengan pola curah hujan tahunan. Bulan November, seperti yang terlihat adalah bulan paling basah untuk sebagian besar wilayah, sebaliknya bulan Agustus adalah bulan paling kering. 3.3. Pewilayahan Pola Hujan Bulanan Hasil analisa cluster dari 52 pos hu-jan dihasilkan dendogram dan plot jarak antar pos hujan pada setiap step penge-lompokan. Kemudian dapat ditentukan jumlah kelompok optimum, yakni yang didapat pada step 48 dan dengan jarak 180. Jumlah kelompok optimum pada jarak 180 adalah 4 (empat) kelompok. Berdasarkan hasil pengelompokkan pos hujan tersebut diperoleh sebanyak empat wilayah pola hujan di Sumatera Barat (lihat Gambar 8), yaitu - Pola 1, meliputi wilayah pantai barat dan perbukitan sebelah barat Bukit Barisan serta sebagian dari sebelah timur Bukit Barisan di Agam dan Pasaman. Curah hujan di wilayah ini lebih tinggi diban-dingkan dengan wilayah Pola 2 dan Pola 4. Namun demikian sedikit lebih rendah dibandingkan wilayah Pola 3. - Pola 2, meliputi sebagian besar wi-layah perbukitan sebelah timur Bukit Barisan serta sebagian wilayah bagian timur Lima Puluh Koto, Sawah Lunto, dan Sijunjung. Curah hujan di wilayah ini lebih rendah dibandingkan dengan wilayah Pola 1 dan Pola 3. Namun sedikit lebih tinggi dibandingkan wilayah Pola 4. - Pola 3, meliputi wilayah perbukitan sebelah barat Bukit Barisan di Padang Pariaman dan Pasaman serta Solok bagi-an selatan. Curah hujan di wilayah ini paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
- Pola 4, meliputi wilayah bagian timur Pasaman, Payakumbuh, dan Tanah Datar, serta bagian utara Solok, Sawah Lunto
dan Sijunjung. Curah hujan di wilayah ini merupakan yang terendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Gambar 6: Curah Hujan Tahunan Provinsi Sumatera Barat Periode 1971-2000
Gambar 8: Pola wilayah Curah Hujan di Provinsi Sumatera Barat
Gambar 7: Curah hujan bulan Januari, Maret, Agustus dan November untuk Provinsi Sumatera Barat Periode 1971-2000.
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
9
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
3.4. Pola Arah Angin Bulanan Wilayah Samudera Hindia Analisis vektor angin di wilayah kajian perairan timur Samudera Hindia antara 2,50 LU-5,00LS dan 90,00 BT-100,00 BT, diperoleh berdasarkan hasil pengolahan data dijital periode 1971-2000 dari NCEP Realtime Marine Data. Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data tersebut menggunakan qbasic, surfer 7 dan GrADS. Pola arah angin di wilayah kajian ba-gian utara ekuator ( 00–2,50 LU) pada Januari dan Februari dari barat daya ke timur laut dan terjadi pusaran pada posisi 00 LU – 2,50 LU dan 900 BT – 950 BT. Pada bulan Maret dan April dominasi arah angin dari barat ke timur menuju wilayah Sumatera Barat Pada bulan Mei sampai dengan Oktober dominasi arah angin dari barat daya ke timur laut. Selanjutnya pada bulan November arah angin dari barat ke timur menuju wilayah Sumatera Barat, sedangkan pada bulan Desember dari barat membelok ke timur laut dan terjadi pusaran pada posisi 00 LU–2,50LU dan 900 BT–950 BT. Pola arah angin di wilayah kajian bagian selatan ekuator (00–50 LS ) pada bulan Januari dan Februari dari barat berbelok ke tenggara. Pada bulan Maret dan April dominasi arah angin dari barat ke timur menuju wilayah Sumatera Barat. Pada bulan Mei sampai dengan Oktober dominasi arah angin dari tenggara berbelok ke timur laut. Selanjutnya pada bulan November arah angin dari barat ke timur menuju wilayah Sumatera Barat, se-dangkan pada bulan Desember dari barat membelok ke tenggara. Gambar rata-rata vektor angin di Samudera Hindia untuk bulan Januari, Maret, Agustus, dan November disaji-kan pada Gambar 9. Daerah khatulistiwa mempunyai empat pola dasar, yang berkaitan dengan adanya daerah tekanan. Keempat pola tersebut adalah: equatorial duct, equatorial bridge, equatorial step, dan simple cross equatorial drift (Johnson
10
& Morth. 1960) Equatorial bridge adalah pola yang dibentuk oleh pasangan tekanan rendah di sebelah menyebelah khatulistiwa. Dalam keadaan terdapat equatorial bridge angin di sekitar khatulistiwa menjadi dari barat dan bersifat geostropik, kemudian di sebelah timur daerah tekanan rendah berbelok siklonal ke utara dan ke selatan khatulistiwa. Equatorial step, adalah pola yang dibentuk oleh pasangan tekanan tinggi di utara dan tekanan rendah di selatan khatu-listiwa. Angin di sekitar khatulistiwa ber-sifat quasi geostropik. Dalam keadaan ter-dapat equatorial step, angin yang melintas khatulistiwa berubah menjadi baratan khatulistiwa. Keadaan demikian sering ter-jadi pada waktu awal monsun dingin Asia dalam bulan Nopember - Desember. Berdasarkan hasil analisis, gerakan udara rata-rata di wilayah perairan Samu-dera Hindia memiliki dua pola yang dipisahkan oleh garis ekuator. Di bagian utara ekuator (00–2,50 LU) pada bulan Januari dan Februari arah angin dari barat daya ke timur laut dan terjadi pusaran pada posisi 00 LU–2,50 LU dan 900 BT–950 BT. Sedangkan di bagian selatan ekuator (00– 50 LS) arah angin dari barat berbelok ke tenggara. Pada bulan Maret, April, dan November baik di bagian utara maupun selatan ekuator dominasi arah angin dari barat ke timur menuju wilayah Sumatera Barat. Hal ini karena adanya pengaruh dari pola equatorial bridge dan equatorial step. 3.5 Korelasi Indeks Penguapan dengan Sebaran Hujan Bulanan a. Korelasi Secara Simultan Korelasi dilakukan terhadap dua variabel, yaitu peubah respon (dependent) adalah curah hujan bulanan di Sumatera Barat dan peubah prediktor (independent) adalah in-deks penguapan bulanan di Samudera Hin-dia. Data yang digunakan adalah selama 30 tahun atau 360 bulan periode 1971-2000.
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 9 : Rata-rata vektor angin bulan Januari, Maret, Agustus dan Bulan November (Sumber COLA/IGES, 2006).
Data hujan bulanan dari setiap pos hujan pada masing-masing wilayah pola hujan dikorelasikan dengan indeks pengua-pan di 16 wilayah grid. Selanjutnya dihi-tung nilai ratarata koefisien korelasi dari pos-pos hujan di setiap wilayah pola hujan untuk setiap grid. Indeks penguapan di daerah penelitian Samudera Hindia umumnya memiliki kore-lasi positif dan kuat terhadap curah hujan bulanan di wilayah pola 1 dan pola 3 Sumatera Barat, kecuali mulai pada posisi 40 LS ke arah selatan korelasinya mulai negatif dan lemah. Semakin mendekati ekuator koefisien korelasi positif semakin tinggi hingga mencapai 0,5. Sementara itu, terhadap wilayah pola 2 korelasinya lebih rendah dibandingkan dengan wilayah pola 1 dan 3. Semakin mendekati ekuator koefisien korelasi positif lebih tinggi hingga bisa mencapai 0,2. Mulai pada posisi 20 LS ke arah
selatan dan 20 LU ke arah utara korelasinya negatif. Pada Gambar 10 diperlihatkan peta yang menunjukkan rata-rata koefisien kore-lasi indeks penguapan bulanan di Samudera Hindia terhadap hujan bulanan wilayah pola 1 Sumatera Barat; pola 2; pola 3; dan pola 4. Korelasi antara variabel indeks pe-nguapan terhadap curah hujan bulanan di wilayah pola 4 umumnya negatif dan le-mah. Semakin mendekati ekuator dan pan-tai koefisien korelasi semakin tinggi namun tetap negatif. Apabila ditinjau dari posisi grid, indeks penguapan yang berada di sekitar ekuator membujur mulai dari 900 BT - 980 BT umumnya berkorelasi positif terhadap ke- empat wilayah pola hujan Sumatera Barat, dan semakin mendekati pantai umumnya koefisien korelasi semakin tinggi.
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
11
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 10. Rata-rata nilai r koefisien korelasi antara indeks penguapan dengan hujan bulanan untuk tiap pola wilayah curah hujan Provinsi Sumatera Barat.
Pada Gambar 11 diperlihatkan grafik yang menunjukkan bagaimana pengaruh faktor jarak terhadap nilai r korelasi antara variabel indeks penguapan dengan curah hujan di Sumatera Barat. Sebagai kasus disini adalah indeks penguapan pada grid 4, 5, 6 dan grid 7 (sekitar ekuator) dikore-lasikan dengan wilayah pola hujan di Sumatera Barat. Selanjutnya dari setiap grid dihitung rerata jaraknya terhadap masing-masing wilayah pola hujan. Hasil korelasi menunjukkan nilai r koefisien korelasi makin tinggi pada jarak yang relatif dekat dan selanjutnya makin kecil jika jaraknya semakin jauh. Secara spasial, korelasi indeks penguapan di sekitar pantai ekuator Samudera Hindia (grid 7) dengan curah hujan bulanan Maret dan November di Sumatera Barat disajikan pada Gambar 12.
12
Gambar 11: Koefisien korelasi indeks penguapan sekitar ekuator Samudera Hindia dengan jarak terhadap wilayah pola hujan Sumatera Barat
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
b. Korelasi Menggunakan Lag 1
penguapan bulan Febuari dengan hu-jan bulan Maret, dan indeks penguapan bu-lan Oktober dengan hujan bulan November koefisien korelasinya lebih kecil dibanding-kan dengan korelasi secara simultan. Dengan demikian, hubungan antara indeks penguapan dengan curah hujan akan lebih baik jika menggunakan bulan yang sama
Analisis korelasi bulanan secara simul-tan dan menggunakan lag 1 dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang hubungan dua variabel pada bulan yang bersamaan dan satu bulan sebelumnya. Dalam hal ini, akan dihitung nilai koefisien korelasi secara simultan dari indeks penguapan bulan Maret dengan curah hujan bulan Maret. Kemudian dihitung dengan menggunakan lag 1, yaitu indeks pengua-pan bulan Febuari dengan hujan bulan Maret. Pada bulan November secara simultan dihitung nilai koefisien korelasi dari indeks penguapan bulan November dengan curah hujan bulan November. Kemudian menggunakan lag 1, yaitu indeks penguapan bulan Oktober dengan hujan bulan November. Sebagai contoh, analisis dilakukan berdasarkan indeks penguapan pada Grid 6 terhadap curah hujan di seluruh pos hujan di Sumatera Barat yang hasilnya disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 13. Gambar 13 tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan lag 1, yaitu indeks
c.
Uji Koefisien Korelasi
Uji koefisien korelasi dilakukan pada 4 pos hujan, yaitu Tabing (43a) yang merupakan perwakilan dari wilayah Pola 1, Muara Labuh (29) merupakan perwakilan wilayah Pola 2, Padang Panjang (53) merupakan perwakilan wilayah Pola 3, dan Sawah Lunto (49a) merupakan perwakilan wilayah Pola 4. Wilayah grid yang diuji adalah grid 4, 5, 6, dan 7 yang terletak di sekitar ekuator Hasil analisis regresi linear dan uji koefisien korelasi pada setiap grid untuk keempat pos hujan dengan menggunakan perangkat lunak sofeware minitab disajikan pada Tabel 2
Tabel 2 : Uji korelasi pada setiap wilayah pola hujan No. Grid
Pola
r
R2
P
n
Persamaan Regresi
Signifikansi
4
1
Tabing
0,21
0,22
0,00
360
Y = 286,4 + 17,9 G4
Signifikan
2
Muara Labuh
-0,05
0,01
0,28
360
Y = 228,3 - 3,3 G4
Tidak
3
Padang Panjang
0,20
0,21
0,00
360
Y = 222,6 + 17,6 G4
Signifikan
4
Sawahlunto
-0,04
0,04
0,78
360
Y = 188,0 + 0,8 G4
Tidak
1
Tabing
0,28
0,32
0,00
360
Y = 301,0 + 16,1 G5
Signifikan
2
Muara Labuh
-0,03
0,05
0,78
360
Y = 219,4 - 0,9 G5
Tidak
3
Padang Panjang
0,26
0,37
0,00
360
Y = 223,7 + 19,9 G5
Signifikan
4
Sawahlunto
-0,04
0,04
0,45
360
Y = 183,1 + 2,5 G5
Tidak
1
Tabing
0,36
0,41
0,00
360
Y = 305,3 + 16,3 G6
Signifikan
2
Muara Labuh
0,06
0,10
0,80
360
Y = 213,8 + 0,9 G6
Tidak
3
Padang Panjang
0,34
0,39
0,00
360
Y = 220,4 + 23,2 G6
Signifikan
4
Sawahlunto
0,02
0,02
0,64
360
Y = 186,3 + 1,6 G6
Tidak
1
Tabing
0,51
0,58
0,00
360
Y = 305,5 + 18,1 G7
Signifikan
2
Muara Labuh
0,10
0,20
0,36
360
Y = 207,5 + 3,5 G7
Tidak
3
Padang Panjang
0,49
0,50
0,00
360
Y = 211,6 + 29,3 G7
Signifikan
4
Sawahlunto
0,07
0,10
0,47
360
Y = 184,1 + 2,7 G7
Tidak
5
6
7
Pos Hujan
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
13
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Analisis regresi dan uji korelasi menggunakan sofeware minitab secara otomatis menganalisis dengan tingkat signifikansi 95%.
Jika nilai P< 0,05 maka korelasi bisa diterima (ada hubungan), jika P>0,05 maka korelasi tidak bisa diterima (tidak ada hubungan).
Gambar 12. Sebaran nilai koefisien korelasi antara variabel Indeks penguapan pada grid 7 dengan hujan bulan Maret dan hujan bulan November.
0.8
Koefisien Korelasi Indeks Penguapan Grid 6 dan Hujan Lag1 = Penguapan Febuari, Hujan Maret Simultan = Penguapan Maret, Hujan Maret
0.6 0.4
0 T Te abin lu g Lu k B ay bu ur k G ad Ba an tu Sa g Ba ngk a la iS r ala Ku sa m Se an is iL an gs at M an in ja u Lu Su bu l ik k i Si ka Su p in ka g m en an ti T Pa ap u le m s Ta bay an nju ng Pa i ti Su Hu be m r p ta Ta ur nju Ku ng dus G ad an g G ob ah
Koefisien
0.2
-0.2 -0.4 -0.6 -0.8
Pos Hujan
0.8
Lag1 Simultan
Koefisien Korelasi Indeks Penguapan Grid 6 dan Hujan Lag1 = Penguapan Oktober, Hujan November Simultan = Penguapan November, Hujan November
0.6
Koefisien
0.4 0.2 0 T Te abin lu g Lu k B ay bu ur k G ad Ba an tu Sa g Ba ngk a la iS r ala Ku sa m an Se is iL an gs a M an t in ja u Lu Su bu l ik k i Si Su kap in ka g m en an ti T Pa apu le s m Ta bay an nju ng Pa i Su Hu ti be m rta pu Ta r nju Ku ng du G s ad an g G ob ah
Korelasi indeks penguapan bulanan di sekitar ekuator Samudera Hindia dengan curah hujan bulanan pada keempat wilayah pola hujan adalah sebagai berikut : - Pola 1 (Tabing), memiliki korelasi yang kuat dan signifikan, dinyatakan dengan nilai r= 0,30 - 0,51 dan nilai P = 0,00. - Pola 2 (Muara Labuh), korelasi tidak signifikan yang dinyatakan dengan nilai r= 0,00 sampai 0,01 dan nilai P > 0,05. - Pola 3 (Padang Panjang), memiliki kore-lasi yang kuat dan signifikan, dinyatakan dengan nilai r= 0,21 sampai 0,40 dan nilai P = 0,00. - Pola 4 (Sawah Lunto), korelasi tidak signifikan yang dinyatakan dengan nilai r= 0,00 dan nilai P > 0,05.
-0.2 -0.4 -0.6 -0.8
Pos Hujan
Lag1 Simultan
Gambar 13: Perbandingan hasil r koefisien korelasi antara indeks penguapan di Grid 6 dengan curah hujan dengan metode simultan dengan lag1, masing-masing untuk curah hujan bulan Maret dan November
14
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
d.
Pembahasan
Hasil analisis korelasi indeks pengua-pan wilayah Samudera Hindia dengan curah hujan bulanan pada setiap pola hujan di Sumatera Barat secara simultan menun-jukkan bahwa tidak seluruhnya berkorelasi positif, yaitu indeks penguapan tinggi ber-korelasi dengan curah hujan yang tinggi. Apabila ditinjau dari pola gerakan udara di Samudera Hindia dan letak posisi grid, keduanya saling menunjang dan umumnya sesuai dengan nilai koefisien korelasi yang diperoleh Pada wilayah yang menghasilkan kore-lasi negatif, gerakan udara lebih dominan mengarah ke timur laut di bagian utara ekuator dan mengarah ke barat laut atau tenggara di bagian selatan ekuator menjauhi wilayah Sumatera Barat. Sebagai akibatnya, peningkatan indeks penguapan di wilayah tersebut tidak memberikan peningkatan curah hujan di wilayah Sumatera Barat. Indikasi tersebut menggambarkan bahwa selain indeks penguapan, maka faktor yang mempengaruhi hujan di Sumatera Barat adalah arah angin dari Samudera Hindia, serta topografi atau bentuk fisik wilayah. Dari empat wilayah pola hujan, yang umumnya memiliki korelasi positif cukup tinggi dengan indeks penguapan di Samu- dera Hindia adalah wilayah pola 1 dan pola 3. Kedua wilayah tersebut meliputi pesisir barat sampai wilayah perbukitan sebelah barat Bukit Barisan yang menghadap ke Samudera Hindia. Ditinjau dari posisinya, indeks pengua-pan yang berada di sekitar ekuator membu-jur mulai dari 900 BT sampai 980 BT berko-relasi positif terhadap keempat wilayah pola hujan Sumatera Barat. Korelasi sangat kuat terhadap wilayah pola 1 dan pola 3. Berdasarkan perhitungan dari jarak antara posisi grid di sekitar ekuator terhadap keempat wilayah pola hujan, menunjukkan bahwa semakin mendekati pantai korelasinya semakin kuat yang ditandai dengan ni-lai koefisien korelasi yang semakin tinggi.
Korelasi bulanan indeks penguapan pada keempat grid di sekitar ekuator dilaku-kan terhadap bulan Maret dan November dimana dominasi arah angin di Samudera Hindia menuju Sumatera Barat. Korelasi dengan menggunakan lag 1, yaitu indeks penguapan bulan Febuari de-ngan hujan bulan Maret, koefisien korela-sinya lebih kecil dibandingkan secara si-multan. Pada bulan November dengan menggunakan lag 1, yaitu indeks pengua-pan bulan Oktober dengan hujan bulan November, koefisien korelasinya jauh lebih kecil dibandingkan secara simultan. Hal ini menunjukkan bahwa penguapan yang terjadi pada suatu bulan meng-akibatkan terjadinya hujan pada bulan yang bersangkutan. Dengan demikian, hubungan antara indeks penguapan dengan curah hujan korelasinya lebih tinggi jika meng-gunakan bulan yang sama. IV. KESIMPULAN Rata-rata indeks penguapan bulanan di wilayah bagian utara ekuator meningkat pada bulan April dan Oktober hingga pun-caknya pada bulan November. Sementara itu, di wilayah bagian selatan ekuator peningkatan terjadi mulai bulan Juni hing-ga Agustus, kemudian menurun mulai September dan Oktober hingga mencapai angka terendah pada bulan April. Semakin ke arah pantai, umumnya indeks pengua-pan makin rendah. Sumatera Barat memiliki 4 wilayah pola hujan. Curah hujan tertinggi turun di sebagian besar wilayah pesisir barat hingga wilayah perbukitan sebelah barat Bukit Barisan, dan curah hujan semakin rendah ke arah wilayah perbukitan tersier sebelah timur Bukit Barisan. Sebaran curah hujan tahunan dan bulanan memiliki pola yang mirip dengan pembagian wilayah pola hujan. Rata-rata curah hujan bulanan memiliki dua puncak maksimum dalam setahun, yaitu Maret dan November. Rata-rata arah angin di wilayah penelitian perairan Samudera Hindia memiliki dua
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
15
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
pola yang dibatasi oleh garis ekuator. Pada bulan Mei sampai Oktober di wilayah utara ekuator dominasi arah angin dari barat daya ke timur laut, sedangkan wilayah selatan ekuator dari tenggara ke timur laut. Pada bulan Desember di wilayah utara ekuator dari barat ke timur laut, sedangkan wilayah selatan ekuator dari barat ke tenggara. Namun demikian, pada bulan Maret, April, dan November baik di bagian utara maupun selatan ekuator dominasi arah angin dari barat ke timur menuju wilayah Sumatera Barat. Indeks penguapan di sekitar ekuator Samudera Hindia berkorelasi positif dan kuat dengan curah hujan bulanan di seba-gian besar wilayah pesisir barat hingga per-bukitan sebelah barat Bukit Barisan yang posisi medannya menghadap Samudera Hindia. Semakin mendekatan pantai koefi-sien korelasinya makin tinggi. Hubungan indeks penguapan dengan hujan bulanan pada bulan yang sama memiliki koefisien korelasi yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan indeks penguapan satu bulan sebelumnya.
Pariwono, J.I. and Andri P. 1999. Variability of Sea-Air Interaction and Surface Mixed Layer in The Indonesian Waters. Proc. 2nd Int. Conf. on Science and Technology For The Assessment of Global Climate Chance and Its Impacts on Indonesian Maritime Continent- 29 Nov.-1 Dec. 1999. BPPT Jakarta. Philander, Gorge S. 1990. El Nino, La Nina, and the Southern Oscillation. Academic Press, Inc. N.Y. Sandy, I.M. 1987. Klimatologi Regional Indonesia. Jurusan Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia, Jakarta. Sandy, I.M. 1996. Geografi Regional Republik Indonesia. Jurusan Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia. PT Indograph Bakti. Jakarta .
DAFTAR PUSTAKA Boerema, J. 1922. Typen Van Den Regen-val in Nederlandsch-Indie (Rainfall types in the Netherlands Indies). Verhandelingen No. 18. Koninlijk Magnetisch en Meteorogisch Observatorium te Batavia. BoM (Buro of Meteorology) Australia. 2007 Siaran hasil analisis. Cazyan and Daniel R. 1990. Large-Scale Relationship between Sea Surface Temperature and Surface Air Tempe-rature. Univ. of California. American Met. Soc. Gill, A.E., 1982. Atmosphere-Ocean Dynamics. Pergamon Press. Johnson, R. H. and Morth. 1960. Heat and moisture sources and sinks of Asian monsoon precipitating systems, J. Meteor. Soc. Japan, 70, 223–371
16
Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran Curah Hujan di Sumatera Barat
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
PEMETAAN KEBENCANAAN DALAM SELURUH SIKLUS Disaster Mapping in All Cycles Fahmi Amhar dan Aris Poniman Tim Geospasial Antisipasi Bencana Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Jl. Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong Telp./fax. 021-87906041, Email:
[email protected],
[email protected] Abstract Objective of this paper is to evaluate mapping in all cycles of disaster. The evaluation is mainly based on several experiences related to the availability of spatial data and information and its usage in disaster management in Indonesia. The problems and their solution in the evaluated data and information availability covers all of disaster cycles, i.e. mitigation, emergency responses, rehabilitation and reconstruction, so that it should reduce the future disaster risk. Keywords: cycles of disaster, disaster management, disaster risk.
Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mengevaluasi pemetaan dalam seluruh siklus kebencanaan. Evaluasi terutama didasarkan pada beberapa pengalaman berkaitan dengan ketersediaan data dan informasi spasial dan pemanfaatannya dalam penanggulangan bencana besar yang pernah terjadi di Indonesia. Permasalahan dan pemecahan ketersediaan data dan informasi spasial yang dievaluasi meliputi seluruh siklus kebencanaan, yaitu mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, sehingga lebih dapat mengurangi risiko bencana yang akan datang. Kata kunci: siklus kebencanaan, penanggulangan bencana, resiko bencana.
I.
PENDAHULUAN
Berbagai bencana telah melanda di sebagian wilayah di Indonesia. Secara historispun tercatat adanya bencana-bencana yang lebih besar yang pernah terjadi. Bencana alam masih akan terjadi baik yang sudah dapat diprediksi maupun yang belum dapat diprediksi waktunya. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diharapkan manusia dapat mereduksi dampak bencana yang terjadi. Beberapa pengalaman dalam penanggulangan bencana, diperlukan peta kebencanaan yang berbeda pada setiap siklus dan jenis kebencanaan. Terdapat bencana tunggal, tetapi juga dapat terjadi beberapa bencana yang terjadi hampir bersamaan. Selain itu, dapat pula muncul bencana lain akibat dampak yang tidak diantisipasi akan terjadi. Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
Inovasi, kreativitas dan sinergitas antar pelaku perlu dikembangkan dalam memecahkan permasalahan yang tidak menimbulkan permasalahan baru. Kemajuan iptek geomatika dan ICT memang dapat mempercepat aksesibiltas, kontinuitas dan utilitas data dan informasi. Namun dari berbagai pengalaman, masih harus mempertimbangkan kondisi dan karakteristik setempat, baik kondisi dalam keadaan normal (sebelum terjadi bencana), kondisi dalam keadaan terjadinya bencana, maupun dalam kondisi pemulihan. Tujuan makalah ini yaitu untuk mengevaluasi pemetaan kebencanaan dalam seluruh siklus berdasarkan pengalaman dalam penanggulangan bencana. Dalam siklus bencana, antisipasi bencana atau penanggulangan bencana meliputi 17
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
tiga tahap, yaitu tahap mitigasi (pencegahan dan kesigapan), tanggap darurat, dan rehabilitasirekonstruksi (pemulihan). II. METODOLOGI Evaluasi dilakukan dengan mengevaluasi beberapa peta kebencanaan yang pernah dan perlu dibuat. Sumber data pertama adalah dari Badan Nasional Penanggulangan Becana sendiri, sebagai lembaga yang menurut Undangundang bertugas melakukan manajemen kebencanaan secara menyeluruh. Dari BNPB didapat tabel excel berisi data jenis dan frekuensi seluruh kejadian bencana pada setiap kabupaten beberapa tahun terakhir. Data ini kemudian dihubungkan dengan data geografis batas kabupaten sehingga didapat peta tematik jenis dan frekuensi bencana se Indonesia. Jenis bencana disimbolkan dengan kode GLIDE, yakni kode bencana internasional. Sedang frekuensi bencana direpresentasikan dalam tingkat intensitas warna (Amhar & Darmawan, 2007). Selain dari BNPB, terdapat data daerah rawan bencana menurut beberapa instansi yang terkait. Pusat Gempa Nasional - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peta episenter gempa yang pernah tercatat di Indonesia. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Departemen ESDM mengeluarkan peta-peta kawasan rawan bencana gunung api. Badan Geologi bersama Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI juga mengeluarkan peta-peta gerakan tanah (longsor) di berbagai tempat. Departemen PU bekerjasama dengan instansi lain (seperti BMKG dan Bakosurtanal) mengeluarkan petapeta genangan banjir di berbagai wilayah. Sejumlah pemerintah daerah (seperti Semarang) juga mengeluarkan peta kawasan tergenang oleh rob (pasang surut) di daerah tersebut. Semua peta-peta ini terkategori peta mitigasi bencana (pra-bencana), dibuat dengan mempelajari sejarah bencana di kawasan tersebut, sehingga 18
berguna dalam pencegahan, yakni dengan meningkatkan kapasitas masyarakat di daerah itu. Setelah mengetahui daerah itu rawan gempa, mungkin aturan bangunan (building code) perlu diperketat. Dengan mengetahui kawasan rawan bencana gunung berapi, daerah aliran lava atau jatuhan batuhan piroklastik dapat dikosongkan dari permukiman. Demikian juga, untuk daerah rawan banjir dapat dibangun tanggul-tanggul ataupun sistem pompa. Untuk peta-peta bencana pada saat tanggap darurat evaluasi dilakukan pada saat terjadi suatu bencana di suatu tempat. Tim Bakosurtanal dikirim dalam kurun tanggap darurat yang bisa berkisar tiga hari hingga beberapa bulan. Pada saat bencana di Situ Gintung, tanggap darurat hanya beberapa hari, karena dimensi bencana juga terbatas. Pada gempa di Padang 2009, tanggap darurat kurang lebih 17 hari, meski semula diproyeksikan satu bulan. Yang terbesar memang gempa dan tsunami di Aceh 2004 yang tanggap darurat berjalan hingga tiga bulan. Petapeta yang dievaluasi adalah yang digunakan dan dihasilkan oleh Tim Bakosurtanal dalam membantu BNPB (atau sebelumnya BakornasPB) dalam mengoptimalkan pekerjaan di lapangan, terutama dalam kaji cepat kerusakan, pemulihan infrastruktur, distribusi logistik dan sejenisnya. Evaluasi juga dilakukan atas petapeta sejenis yang digunakan oleh relawan dari berbagai LSM, termasuk relawan dari Luar Negeri. Yang terakhir adalah peta-peta bencana pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada saat ini baru ada dua daerah yang mengalami bencana dalam dimensi yang cukup besar sehingga membutuhkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang juga besar, yaitu gempat dan tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogya 2006. Pasca gempa dan tsunami Aceh 2004, Bakosurtanal dan BRR membentuk satgas geospasial Bakosurtanal-BRR yang bertugas menyediakan segala data untuk mendorong proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Sedang Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
pasca gempa Yogya 2006, pemerintah membentuk Tim Teknis Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi (TTNRR) yang antara lain memiliki bidang Pemanfaatan Sistem Informasi dan Koordinasi Donor. Tim ini berhasil membuat Peta Tematik Pemantauan Kegiatan Rehabilitas dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi Provinsi DIY dan Jateng 2007. Seluruh aktivitas di atas ditambah dengan kuesioner yang ditujukan kepada berbagai stakeholder untuk mengukur sejauh mana kebutuhan mereka pada peta, dan berapa persen peta-peta yang tersedia selama ini telah memenuhi kebutuhannya. Hingga tulisan ini disusun, kuesioner yang kembali belum dapat dikatakan representatif, sehingga analisisnya belum dapat disajikan dalam makalah ini. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Beberapa contoh peta yang memuat informasi spasial kebencanaan yang diperlukan
dan yang telah dibuat pada setiap siklus penanggulangan bencana disampaikan berikut ini. 3.1 Peta Mitigasi Bencana (Pre-Disaster Map) Untuk skala makro, sudah didapatkan peta-peta rawan gempa, bahaya vulkanik dan banjir atau genangan. Gambar 1 menyajikan peta gempa yang pernah terjadi seabad terakhir di Indonesia dapat memberikan pendidikan dan peningkatan pengetahuan kebencanaan kepada pengambil keputusan dan masyarakat. Nampak bahwa Pulau Kalimantan dan kawasan timur Pulau Sumatera merupakan wilayah NKRI yang sangat jarang dijumpai gempa. Namun demikian, sesungguhnya masyarakat memerlukan informasi yang lebih mikro, misalnya tentang sesar di wilayahnya. Peta rawan gempa yang skala mikro ini relatif masih sulit didapatkan.
Gambar 1. Peta gempa seabad terakhir di Indonesia (Sumber: BMKG, 2010)
Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
19
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Untuk peta kawasan rawan bencana gunung api, situasinya agak lebih baik. Ini mungkin karena arealnya lebih mudah diamati dan dipelajari. Meski Badan Geologi masih tetap mengejar target untuk menyelesaikan peta kawasan rawan bencana gunung api di seluruh Indonesia, namun peta-peta yang telah
ada sudah dapat disajikan melalui internet (Subagio & Amhar, 2009). Bakosurtanal telah mengembangkan Aplikasi SIG Mitigasi Bencana Alam dengan fokus peta kawasan rawan bencana gunung api, dilengkapi dengan jalur evakuasi, pos pengungsi dan informasi lainnya yang diperlukan (Gambar 2).
Gambar 2. Peta kawasan rawan bahaya gunung api dalam WEB-GIS Bencana
Untuk peta rawan banjir, BMKG, PU dan Bakosurtanal mengeluarkan peta prediksi banjir. Pada contoh untuk kota Semarang, tampak bahwa kawasan utara kota Semarang hampir semuanya rawan banjir tingkat sedang dan tinggi. Meski peta-peta ini bermanfaat, namun untuk keperluan praktis masih diperlukan tinggi genangan yang lebih detil, yang dapat bermanfaat untuk tindakan mitigasi ataupun tanggap darurat, misalnya di mana perlu dibangun tanggul atau tempat evakuasi. Dalam skala mikro diperlukan peta dengan skala yang lebih besar yang berarti akurasi kontur yang
20
dibutuhkan akan lebih tinggi. Karena genangan setinggi 50 centimeter saja sudah akan membuat lalu lintas lumpuh, maka akurasi kontur yang diharapkan paling tidak juga 50 centimeter, atau berarti interval kontur 1 meter atau skala peta 1:2000. Akibat akurasi yang belum ideal ini, peta genangan yang dihasilkan oleh instansi yang berbeda menjadi berbeda pula. Sebagai contoh peta rawan banjir (Gambar 3) tampak agak berbeda dengan peta genangan rob (Gambar 4). Skala kedua peta tersebut memang berbeda.
Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 3. Peta rawan banjir Semarang.
Gambar 4. Peta kerawanan banjir rob di Semarang (sumber: Pemda Semarang)
Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
21
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Untuk skala nasional, data dari BNPB telah dicoba divisualisasi secara spasial (Gambar 5). Dengan adanya informasi ini, dapat dibedakan jenis bencana antar kabupaten dan kota. Keakuratan data juga perlu ditingkatkan, ketika dideteksi dijumpai laporan yang salah atau
tidak lengkap, misalnya abrasi atau tsunami pada daerah yang tidak berpantai. Karena luas cakupan bencana sangat bervariasi, semestinya laporan semacam ini dapat dirinci hingga level desa, sehingga data ini juga operasional pada saat tanggap darurat.
Gambar 5. Bencana yang dilaporkan Prov. Jawa Tengah ke BNPB. Intensitas warna menunjukkan frekuensi bencana, Kode GLIDE menunjukkan jenis bencana.
Secara umum peta-peta mitigasi bencana sudah banyak menjadi kajian di kalangan akademisi. Namun pemetaan mitigasi perlu dilakukan secara sistematis sehingga seluruh daerah di Indonesia mampu menyediakan peta rawan bencana yang berkualitas, seperti yang diamanatkan UU no. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Data spasial pada peta rupabumi Indonesia (RBI) dapat dianalisis untuk menghasilkan berbagai peta-peta baru, seperti peta lereng yang dengan kombinasi peta geologi, bentuk lahan, vegetasi dan curah hujan dapat dijadikan peta rawan longsor. Dengan demikian peta kawasan rawan bencana tidak hanya mengandalkan 22
yang bersifat historis namun juga dapat bersifat prediktif, yakni untuk suatu kawasan yang selama ini tidak pernah mengalami bencana tertentu, namun di masa depan berpotensi mengalami bencana ketika terjadi degradasi lingkungan atau akibat perubahan iklim global (Darmawan & Theml, 2007). Untuk itu memang sinergi antar instansi seperti Bakosurtanal (untuk peta RBI dan peta lereng), Badan Geologi (untuk peta geologi dan bentuk lahan), LAPAN (untuk kondisi terakhir cakupan vegetasi dilihat dengan citra satelit) dan BMKG (untuk data curah hujan dasarian) sangat diperlukan. Sinergi ini tentunya akan lebih optimal lagi bila Infrastuktur Data Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Spasial Nasional di beberapa instansi ini sudah berjalan.
peta kerusakan dan peta evakuasi / distribusi logistik.
Untuk membuat peta risiko bencana, yakni dengan melibatkan data kapasitas sosialekonomi masyarakat, sinergi itu bahkan harus ditambah dengan data yang tersedia misalnya di Departemen PU, Depdagri, Depkes, Depsos dan TNI/Polri setempat. Dengan demikian dapat diketahui kemampuan mitigasi ataupun tanggap darurat pada setiap kawasan secara spasial. Peta-peta risiko ini sangat menarik bagi dunia asuransi (Matindas et al, 2007).
Peta-peta ini dapat dibuat dengan dua cara: dari darat dan dari udara.
3.2 Peta Tanggap Darurat (On Disaster Map) Berbeda dengan peta mitigasi, peta-peta tanggap darurat relatif masih jarang diminati kalangan akademis. Padahal peta-peta tanggap darurat sangat penting dalam upaya kaji cepat untuk memberikan bantuan secara terarah yang bahkan dapat menyelamatkan nyawa. Secara umum peta-peta tanggap darurat terdiri dari
Pertama dengan survey lapangan (di darat) secara langsung, di mana petugas survey berbekal peta dasar (peta RBI) - dan bila perlu alat GPS - mendata kerusakan seperti bangunan yang runtuh atau jalan yang terputus. Untuk daerah yang sulit dijangkau, petugas pada umumnya percaya pada informasi penduduk setempat tentang jumlah kerusakan di wilayah tersebut. Saat gempa Padang 2009, tim Bakosurtanal sangat terbantu oleh para relawan Wanadri yang selalu menginformasikan jumlah dan lokasi kerusakan pada daerah yang mereka tinjau. Meski informasi ini sangat berguna, namun untuk wilayah yang cukup luas, posisi kerusakan secara akurat tetap diperlukan. Untuk itulah, petugas survey sebaiknya dilengkapi GPS (Gambar 6).
Gambar 6. Petugas survei sedang mendata kerusakan secara spasial.
Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
23
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Cara pertama ini sangat mengandalkan keberadaan jumlah petugas atau relawan, yang barangkali juga menghadapi tugastugas kemanusiaan di depan mata. Untuk itu cara pertama ini perlu dilengkapi dengan cara kedua, yaitu pemetaan dari udara atau angkasa. Pemetaan dari udara biasanya menggunakan kamera digital small format yang terintegrasi dengan alat penentu posisi (GPS-kinematik atau INS) yang dapat dipasang pada kaki helicopter atau pesawat yang terbang di atas daerah bencana. Foto-foto yang didapatkan diharapkan dapat langsung dimosaik secara orto dalam waktu kurang dari sehari. Pemetaan dengan helicopter atau pesawat kadang-kadang terkendala ketersediaan pesawat
Sebelum gempa
yang lebih diprioritaskan untuk pertolongan. Karena itu citra satelit beresolusi tinggi (seperti Quickbird atau GeoEye) atas daerah bencana sering menjadi sumber data yang diharapkan. Hanya saja, banyak kasus sulit mendapatkan citra yang jernih akibat tutupan awan. Hanya citra radar (seperti TerraSAR-X Spotlight modus) yang dapat menembusnya. Sayangnya, citra radar memerlukan keahlian analisis yang jauh lebih rumit dibanding citra optis. Pemetaan dengan citra satelit ini, selama mendapatkan citra yang ideal, sangat membantu upaya kaji cepat. Dengan dua citra satelit sejenis yang diambil sebelum dan sesudah bencana, daerah kerusakan dapat dilokalisir jauh lebih mudah (Gambar 7).
Sesudah gempa
Gambar 7. Perbandingan citra sebelum dan sesudah gempa
Ukuran peta yang diharapkan di lapangan hanyalah sebatas ukuran A3. Untuk itu tim pemetaan tanggap darurat perlu dilengkapi dengan satu set pemetaan cepat (disaster mapping kit) yang antara lain printer ukuran A3. Perlengkapan standar pemetaan cepat yang ideal adalah: kamera digital small format ber-GPS, GPS handheld, distomat, klinometer,
24
laptop kecil untuk processing, individual wi-fi & internet access, hingga piranti telekomunikasi (hp satelit). Setiap sore, peta-peta yang dihasilkan langsung dipresentasikan di posko bencana (contoh Gambar 8), sehingga dapat menjadi panduan kerja seluruh tim penyelamat dan relawan pada hari berikutnya.
Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 8. Contoh peta kerusakan rumah ibadah hasil survei cepat.
Peta kerusakan yang telah divisualisasi secara spasial dapat digunakan untuk mengetahui daerah-daerah yang meski tidak secara langsung terkena bencana, namun terkena dampak bencana, misalnya akibat terputusnya infrastruktur atau berhentinya sektor produksi di daerah tetangga yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Selain peta kerusakan, hal yang tak kalah pentingnya adalah peta atau sistem informasi geografis yang dapat digunakan untuk mendistribusikan logistik secara tepat. GIS dapat memuat database tentang jumlah pengungsi di setiap pos pengungsian, kemudian memonitor secara terus menerus cadangan logistik yang tersedia. Ketika cadangan tersebut menipis misalnya tinggal tiga hari, Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
maka warna simbol pos pengungsian itu akan berubah menjadi kuning. Dan ketika cadangan tinggal untuk satu hari, maka simbol tersebut akan berubah menjadi merah dan kelap kelip. Ini berarti distribusi logistik ke pos tersebut menjadi prioritas nomor satu. Sistem ini dalam versinya yang masih terbatas sempat diuji saat bencana tsunami di Aceh 2004 oleh tim Bakosurtanal (Gambar 9). Persatuan Bangsa-bangsa memiliki satuan yang disebut United Nation On Site Operation Center (UNOSOC) yang memiliki unit pemetaan bernama MapAction (Gambar 10). Peta ini dipakai untuk koordinasi (”Who is doing What and Where”).
25
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 9. Sistem informasi untuk lokasi pengungsi membantu distribusi logistik.
Gambar 10. Peta koordinasi dari MapAction.
26
Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Pada semua aksi tanggap darurat ini, keberadaan peta dasar baik dalam format cetak (hardcopy) maupun digital (softcopy) sangat vital. Bakosurtanal masih perlu meningkatkan kemampuan menyediakan keduanya. Petapeta cetak yang sudah dirancang untuk setiap kawasan potensial bencana dan dilayout dalam format A3 masih harus banyak disiapkan. Kalangan LSM yang ingin membantu sangat terbantu ketika Bakosurtanal selama masa tanggap darurat memutuskan untuk memberikan akses bebas unduh (free-download) untuk data daerah bencana dalam berbagai format. Memang dibutuhkan berbagai jenis format untuk keperluan yang berbeda-beda. Format JPG atau PDF diperlukan untuk visualisasi atau plotting cepat, karena data sudah disiapkan berikut layoutnya. Format gis (SHP) diperlukan untuk overlay data survey GPS ke atas peta. Pada saat terjadi bencana, Satuan Respon Cepat (SRC) perlu memiliki akses segera atas data-data tadi, sehingga seluruh peta cetak sebaiknya sudah dideponir di suatu lokasi yang bisa diakses oleh anggota SRC dan tidak perlu lagi melalui jalur birokrasi normal. Mengharapkan data yang sudah ada pada pemerintah setempat terbukti sulit atau bahkan mustahil, karena boleh jadi gedung tempat menyimpan peta, data dan alat-alat pemetaan tersebut juga runtuh untuk membahayakan bila dimasuki. Demikian juga dengan akses data digital. Bila akses bebas untuk jangka dekat belum dapat direalisasi, maka SRC dapat diberikan kode akses (password) yang diperlukan segera saat terjadi bencana. Untuk itu semua data digital sudah harus diletakkan ke dalam server. Yang menjadi kritis adalah bila koneksi internet ke daerah bencana ternyata sangat lambat, terputus, atau bahkan listrikpun padam. 3.3 Peta Rehabilitasi & Rekonstruksi (Post Disaster Map) Evaluasi ini menunjukkan bahwa peta Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
rehabilitasi dan rekonstruksi tidak berbeda jauh dengan peta-peta pembangunan biasa. Permasalahannya hanyalah, banyak daerahdaerah kita yang selama ini memang dibangun tanpa peta-peta yang memadai, sehingga ketika terjadi bencana, kita mengalami kesulitan karena kondisi awalnya tidak diketahui dengan akurat. Pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi, isu yang paling hangat biasanya adalah isu pertanahan dalam rangka relokasi pemukiman. Sejumlah lahan yang semula didiami telah rusak secara permanen (longsor, atau menjadi laut), sedang status kepemilikan lahan-lahan itu kadang-kadang tidak jelas. Para pengungsi juga ada kalanya berkeras tidak mau direlokasi, sehingga rekonstruksi fisik membutuhkan alternatif lain. Kearifan lokal dalam bentuk musyawarah biasanya dapat meredakan ketegangan ini. Selebihnya adalah pekerjaan pemantauan pembangunan, yang juga biasa dilakukan untuk proyek-proyek pada kondisi normal. Hanya saja, pasca bencana jumlah yang dibangun per satuan waktu bisa sangat banyak. Pasca tsunami Aceh, BRR harus membangun lebih dari 20.000 rumah setiap tahun. Ini jumlah yang sangat besar sehingga memang memerlukan peta pemantauan yang sangat dinamis. IV. KESIMPULAN Evaluasi pemetaan kebencanaan ini menyimpulkan bahwa: 1. Pemetaan tematik dalam seluruh siklus kebencanaan perlu terus dielaborasi dan ditingkatkan cakupan serta kualitasnya sejalan dengan UU no. 24/2007 tentang penanggulangan bencana. 2. Data dan informasi spasial real time dan near real time serta rapid mapping sangat diperlukan pada tahap tanggap darurat. Keterlambatan dalam penanggulangan bencana dapat berakibat fatal pada korban bencana. 27
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
3. Perlu dikembangkan prosedur operasional baku pemetaan bencana, baik dalam hal spesifikasi standar peta maupun standar atas akses data, sehingga pelayanan pemerintah dalam kebencanaan ini pun akan memenuhi standar pelayanan minimum. DAFTAR PUSTAKA Amhar, F. dan Darmawan, M. 2007. Sebuah Kajian atas Peta-Peta Multi Bencana. Bakosurtanal-BRR.
28
Darmawan, M. dan Theml, S. 2006. Katalog Methodologi untuk Pembuatan Peta GeoHazard. BRR-GTZ. Matindas, R.W. , Poniman, A. dan Amhar, F. 2007. Pemetaan Bencana dan Asuransi. Prosiding Forum Riset Geomatika 2007 Subagio, H. and Amhar, F. 2009. On Integrating of Multi-Hazard Mapping in Indonesia. Proceeding Map Malaysia 2009.
Pemetaan Kebencanaan Dalam Seluruh Siklus
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
ZONASI RAWAN BENCANA MARIN DI PANTAI BARAT PROPINSI SULAWESI SELATAN Vulnerability Zone of Marine Hazard in West Coastal of South Sulawesi Province Nasiah dan Suprapta
Jurusan Geografi FMIPA Universitas Negeri Makassar
Abstract The objectives of this research are: 1) to identify the spread of marine hazard sensitive stage, 2) to determine of coastal management system according to coastal condition. The research is done by purposive sampling with landform approach. The result of this research are : The Marine Hazard sensitive stage, including the high category as long as 49,80 km (13,39%) spread on the Pinrang regency, the medium category as long as 239,88 km (64,50%). Coastal arrangement system had done by the government and the society to anticipate the marine hazard are : build the Talut/dike, broker silinder, concertina wire, groin, and mangrove plants. However, in the plan of areas space arrangement has not a priority on the coastal area yet. The form of west coastal arrangement anticipating the marine hazard are : tapak kambing plants in the sand area, the coral cultivation in the coral reef, mangrove in the tidalflat area, and estuaria/dike in the denudational coastal area . Key word: marine hazard, west coastal, South Sulawesi
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menggambarkan persebaran tingkat kerawanan bencana marin di wilayah pantai, 2) menentukan cara-cara pengelolaan wilayah pantai yang sesuai dengan karakteristik pantai. Penelitian ini dilakukan dengan teknik purposif sampling dengan pendekatan bentuklahan. Hasil penelitian yaitu ; Tingkat kerawanan bencana marin yang termasuk kategori tinggi sepanjang 49,80 km (13,39 %) yang tingkat sedang sepanjang 239,88 km (64,50 %), dan tingkat rendah sepanjang 82,22 km (22,11 %). Tingkat kerawanan bencana marin tingkat tinggi tersebar di wilayah Kabupaten Pinrang, tingkat rendah tersebar di wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan dan Kabupaten Maros. Tingkat sedang tersebar di wilayah Kabupaten Pinrang, Kota Parepare, Kabupaten Barru, Kota Makassar, dan Kabupaten Takalar. Bentuk arahan mengenai cara-cara pengelolaan Pantai Barat untuk mengantisipasi bencana marin yaitu : tanaman tapak kambing pada wilayah bentuklahan gisik dan beting gisik, pembudidayaan terumbu karang pada wilayah pantai beting karang, mangrove pada wilayah rataan pasut dan muara sungai, talut/tembok pada wilayah pantai denudasional Kata kunci : bencana marin, pantai barat, Sulawesi Selatan
I.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki 17.508 buah pulau yang dihubungkan oleh laut dan selat, sehingga Indonesia termasuk Negara yang memiliki garis pantai yang panjang, yaitu 80.791 km (Sunarto, 1999). Pantai dengan jalur lebar bervariasi dimulai dari kedudukan muka air laut terendah meluas ke darat hingga dipengaruhi oleh aktivitas laut (Bird, 1970). Wilayah pantai di Indonesia berkembang dengan pesat dengan berbagai keperluan di antaranya sebagai
daerah permukiman penduduk, pelabuhan, kawasan industri, perikanan, pertanian dan kawasan wisata (Sunarto, 1999). Sekitar 75% jumlah kota di Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa terletak di wilayah pantai (Soegijoko & Kusbiantoro, 1997). Hal itu menandakan pantai dan lautan mempunyai peranan penting bagi kehidupan. Akibatnya wilayah pantai di Indonesia banyak mengalami masalah seperti erosi, abrasi, akresi, maupun intrusi air asin yang masing-masing wilayah memiliki tingkat kerawanan bencana.
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
29
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Pengembangan suatu wilayah pantai sangat perlu memperhatikan karakteristik wilayahnya yaitu mengelolah berdasarkan kemampuan kondisi alamnya. Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan memiliki wilayah yang luas dan genesis pantainya bervariasi dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 371,90 km. Genesis wilayah Pantai Barat Sulawesi Selatan bervariasi dari utara Pinrang dipengaruhi oleh struktur dataran dengan proses fluviomarin, Parepare dipengaruhi kuat oleh struktur gunungapi, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, dan Takalar struktur dataran aluvial dengan proses fluviomarin. Oleh karena genesisnya berlainan, maka dimungkinkan sekali proses alam (erosi, abrasi, sedimentasi, intrusi air asin dan tsunami), serta tingkat kerawanan bencana marin yang berlang-sung di wilayah tersebut juga berlainan. Di wilayah Pantai Barat Sulawesi Selatan banyak dijumpai kota-kota besar yang merupakan kotamadya dan ibu kota kabupaten (Makassar, Maros, Pangkajene, Barru, Parepare, dan Pinrang), kawasan industri (Kota Makassar), pertambakan (Makassar, Maros, Pangkajene, Barru, dan Pinrang), serta prasarana jalan dan pelabuhan Makassar dan Parepare. Hal ini merupakan aset nasional dan aset daerah yang perlu dipertahanakan kelestariannya. Untuk mempertahankannya diperlukan caracara pengelolaan wilayah pantai yang mamadai yang disesuaikan dengan kondisi wilayah Pantai Barat Sulawesi Selatan ber-dasarkan tingkat kerawanan bencana marin. Oleh karena itu Pantai Barat Sulawesi Selatan membentang arah Utara Selatan dengan berbagai fenomena bentuk-lahan yang kompleks, baik yang ada di hinterland maupun pada daerah yang berbatasan dengam Selat Makassar, seperti dataran pantai, daratan aluvial pantai dan beberapa delta besar seperti delta Tanjungbunga. Delta tersebut dibentuk oleh adanya interaksi proses antara aktivitas marin, aktivitas dari lahan guritan (hinterland) serta campur tangan manusia di 30
dalam memanfaatkannya wilayah Pantai Barat Sulawesi Selatan tersebut. Sulawesi Selatan secara garis besar mempunyai dua musim yaitu musom barat yang jatuh pada bulan Oktober hingga April dan musom Timur yang terjadi pada bulan-bulan antara bulan April hingga Oktober. Adanya kedua musim tersebut meng-akibatkan adanya dua musim yang tegas yaitu musim penghujan (musom barat) dan kemarau (muson timur). Hal demikian ini sangat berpengaruh besar terhadap pola arus dan gelombang di Selat Makassar yang berpengaruh pula terhadap perkembangan Pantai Barat Sulawesi Selatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diketahui adanya dua masalah yang dirumuskan menjadi pertanyaan penelitian yaitu: 1) Bagaimana tingkat kerawa-nan bencana marin di wilayah pantai tersebut, 2) Bagaimana cara-cara pengelo-laan wilayah pantai yang sesuai dengan kondisi pantai. Untuk menyelesaikan masalah pene-litian ini dilakukan dengan pendekatan bentuklahan. Bentuklahan dijadikan pende-katan, karena memuat informasi tentang morfologi pantai, material pantai, proses geomorfik, struktur geologi, dan kronologi. Bentuklahan ini dipadukan dengan bencana marin dan tingkat kepentingan. Untuk mengetahui bencana marin didasarkan pada faktor-faktor yang menyebabkannya yaitu morfodinamik, hidrodinamik, ekodinamik, dan geodinamik. Morfodinamik dan hidro-dinamik menyebabkan terjadinya erosi pantai, abrasi dan sedimentasi. Ekodinamik menyebabkan intrusi air asin, sedangkan geodinamik menyebabkan tsunami. Tingkat kepentingan ditentukan berdasarkan kepa-datan penduduk dan bentuk penggunaan lahan. Perpaduan antara bencana marin, bentuklahan, dan tingkat kepentingan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat bencana marin. Berdasarkan tingkat ben-cana marin, sehingga dapat ditentukan sistem pengelolaan wilayah pantai. Pemikiran ini secara diagram dapat dilihat seperti pada Gambar 1.
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Erosi Abrasi Sedimentasi Abrasi
Hidrodinamik Morfodinamik
Ekodinamik
Intrusi air laut
Geodinamik
Tsunami
Bencana
Morfologi pantai Material pantai Proses geomorfik Struktur geologi Kronologi
Bentuklahan
Tingkat kepentingan
Tingkat kerawanan bencana marin
- Kepadatan penduduk - Penggunaan lahan
Cara Pengelolaan wilayah pantai
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
II. METODE PENELITIAN Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: Peta Rupabumi skala 1:50.000, Peta Geologi skala 1:250.000, Peta Potensi Airtanah skala 1:250.000, Peta Tanah skala 1:500.000, Peta Penggunaan Lahan 1:100.000, Peta Lingkungan Laut Nasional skala 1:500.000, lembar Sulawesi Selatan. Alat yang di gunakan yaitu; Theodolit, EC meter, kompas Geologi, GPS, Anemometer, Fish Pinder, Abney Level, Roll meter, Thermometer, Stopwatch, botol Nansen (botol sampel air), layang-layang arus, dan Camera digital, dan Kuesioner dan daftar ceklist. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran lapangan, dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait. Data sekunder yang
dikumpulkan meliputi ; data iklim (curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, dan arah angin), data lingkungan laut, pasang surut, serta jumlah penduduk. Untuk memperoleh data primer akan dilakukan dengan teknik pengambilan sampel secara purposif dengan mem-pertimbangkan satuan bentuklahan, proses geomorfik yang berlangsung, dan bentuk penggunaan lahan. Data primer yang akan dikumpulkan meliputi: bentuk pantai, tipe pantai, tipe batuan, relief pantai, proses pantai (perubahan garis pantai, abrasi dan akresi pantai), bangunan pantai, gelombang (tinggi, kecepatan, dan panjang gelom-bang), arus susur pantai (arah dan kecepatan), arah pantai, bentuk penggunaan lahan, dan kondisi penduduk (data demografi, meliputi luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk). Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu tahap pra lapang, tahap kerja
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
31
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
lapang, dan tahap pasca lapang. Pada tahap pra lapangan dilakukan Studi kepustakaan yang relevan, hasil-hasil penelitian yang terdahulu, majalah-majalah, brosur-brosur yang ada kaitannya dengan objek peneli-tian. Mengurus izin penelitian dan orientasi lapang untuk mengetahui gambaran secara umum. Mengumpulkan bahan dan alat-alat penelitian, seperti foto udara pankromatik hitam putih, citra SPOT 4, peta rupabumi, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta tanah, data iklim (curah hujan, suhu udara, kecepatan dan arah angin), data lingkungan laut (pasang surut, peta kedalaman laut / batimetrik, dan peta arus laut). Menyiapkan peralatan dan yang akan digunakan dalam interpretasi foto udara seperti stereoskop cermin, plastik transparan dan spidol. Interpretasi citra digunakan komputer dengan program Er-Mapper. Interpretasi citra SPOT 4, dibantu dengan peta geologi, peta rupabumi, peta penggunaan lahan untuk membuat peta bentuklahan. Menyusun dan menggambar peta satuan bentuklahan tentatif. Menentukan titik sampel secara purposif pada setiap satuan bentuklahan. Tahap kerja lapang dilakukan pengecekan hasil interpretasi maupun peta yang dikumpulkan sebelumnya; melakukan pengamatan dan pengukuran parameter geologi, geomorfologi, oseanografis, hidro-logis, dan tanah; pengambilan sampel sedimen dan air untuk kepentingan analisis laboratorium; melakukan wawancara pada masyarakat tentang keadaan air sumurnya, dan keadaan tentang gempa bumi. Pengumpulan data penduduk menggunakan data sekunder di kantor statistik. Pada tahap pasca lapangan dilakukan analisis sampel sedimen dan air di labora-torium; pengolahan data primer, data sekunder dan data laboratorium; analisis mengenai karakteristik fisis dan non fisis di pantai; penaksiran tingkat kerawan bencana marin didasarkan pada penjumlahan harkat variabel bencana marin dan tingkat kepen-tingan; dan penggambaran peta tingkat kerawanan bencana marin serta menen32
tukan cara pengelolaan wilayah pantai. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Tingkat Kerawanan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan Tingkat kerawanan bencana marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan didasarkan pada hasil penjumlahan harkat karakteristik Pantai yang terdiri atas: dinamika pantai (abrasi/erosi dan sedimen-tasi), intrusi air asin, rawan tsunami, tingkat kepentingan (kepadatan penduduk dan penggunaan lahan). Abrasi/erosi dan sedimentasi. Pada musim angin timur di wilayah Pantai Barat sebagian besar mengalami sedimentasi yaitu sepanjang 240,43 km (64%), dan hanya 70,59 km (18,98%) yang mengalami abrasi/erosi. Daerah yang terabrasi tersebar di tiga kabupaten yaitu Kab. Pinrang, Kota Makassar, dan Takalar. Wilayah yang mengalami sedimentasi pada musim timur (angin timur) akan mengalami abrasi pada musim barat (angin barat). Abrasi/ erosi yang terjadi pada musim angin timur didominasi oleh pengerjaan arus susur pantai pada wilayah aluvial pantai. Hal ini berlangsung secara terus-menerus tiap tahun. Sebagian besar wilayah telah mengalami intrusi air asin yaitu sepanjang 208,81 km (56,14%), dan 163,09 km (43,85%) yang tidak mengalami intrusi. Intrusi air asin tersebar 5 kabupaten yaitu Kabupaten Barru, Pangkep, Maros, Makassar, dan Takalar. Intrusi air asin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan disebabkan oleh wilayahnya sebagian besar adalah endapan laut dan sungai (dataran aluvial). Wilayah Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan yang rawan tsunami kategori 1 dan 2, yaitu Kabupaten Pinrang, kemudian kategori 3 yaitu Kab./Kota Parepare; kategori 4 Kab. Barru, kategori 5 yaitu Kab. Barru dan Kab. Takalar, dan kategori 6 yaitu Pangkep, Maros,
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
dan Makassar, Takalar. Tingkat rawan tsunami didasarkan pada persebaran titik-titik pusat gempa dangkal di laut yang kedalamannya kurang dari 70 km. Klasifikasi rawan bencana marin Pantai Barat didasarkan pada penjumlahan harkat karakteristik Pantai Barat dilihat pada Tabel l, Tabel 2, dan Gambar 2. Peta Tingkat Kerawanan Bencana Marin Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan. Bedasarkan Tabel 2 dan Peta Tingkat Rawan Bencana Marin menunjukkan bahwa tingkat rawan bencana marin tertinggi tersebar
di wilayah Kabupaten Pinrang dan terendah di wilayah Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Panjang pantai yang tingkat kerawanan bencana marinnya tinggi sepanjang 49,80 km (13,39%) yang tersebar di wilayah Kab. Pinrang. Sepanjang 239,88 km (64,50%) tingkat kerawannya sedang tersebar di wilayah Kab. Pinrang, Parepare, Barru, Makassar, dan Takalar. Kabupaten Maros dan Pangkajene Kepulauan masuk kategori rawan bencana marin tingkat rendah sepanjang 82,22 km (22,11 %).
Tabel 1. Karakeristik Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan No.
Lokasi
Dinamika Pantai
Intrusi Air Asin
Rawan Tsunami
Kepadatan Penduduk
Penggunaan Lahan
Kabupaten Pinrang 1
Kayuangin
Seimbang
Tidak ada
Rawan II
Rendah
Permukiman
2
Ujung Baru
Seimbang
Tidak ada
Rawan I
Rendah
Permukiman
3
Wakka
Seimbang
Sedikit
Rawan I
Rendah
Permukiman
4
Langnga
Erosi
Tidak ada
Rawan II
Rendah
Permukiman
5
Parengki
Sedimentasi
Sedikit
Rawan III
Rendah
Permukiman
Kota Parepare 6
Tg.Tanrangan
Sedimentasi
Tidak ada
Rawan III
Rendah
Permukiman
7
Lumpue
Sedimentasi
Tidak ada
Rawan III
Rendah
Rekreasi Permukiman
Kabupaten Barru 8
Lojie, Tg.Bojo
Sedimentasi
Sedikit
Rawan IV
Rendah
9
Labuangge
Sedimentasi
Tidak ada
Rawan IV
Rendah
Permukiman
10
Mangkoso
Sedimentasi
Tidak ada
Rawan V
Rendah
Permukiman
11
Attapangge
Sedimentasi
Tidak ada
Rawan V
Rendah
Permukiman
12
Pancana
Sedimentasi
Intrusi
Rawan V
Rendah
Tambak
Kabupaten Pangkep 13
Kekeang
Sedimentasi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Tambak dan mangrove
14
Bawa Salo
Sedimentasi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Tambak dan mangrove
Kessi Kebo
Sedimentasi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Tambak dan mangrove
15
Kabupaten Maros 16
Babanga
Sedimentasi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Tambak dan mangrove
17
Kurilompo
Sedimentasi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Tambak dan mangrove Dermaga
Kota Makassar 18
Rotterdam
Seimbang
Intrusi
Rawan VI
Sedang
19
Tanjung merdeka
Seimbang
Intrusi
Rawan VI
Tinggi
Tambak
20
Pantai Aakkarena
Erosi
Intrusi
Rawan VI
Tinggi
Tempat rekreasi
21
Patung Layar
Seimbang
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Tambak
22
Muara Jeneberang
Erosi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Tempat rekreasi
23
Barombong
Erosi
Tidak ada
Rawan VI
Rendah
Tempat rekreasi
Kabupaten Takalar 24
Saro
Erosi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Rekreasi
25
TopeJawa
Erosi
Intrusi
Rawan VI
Rendah
Permukiman, rekreasi
26
Punaga
Sedimentasi
Tidak ada
Rawan V
Rendah
Permukiman, rekreasi
Sumber : Hasil Analisis Data Primer dan Sekunder, 2009.
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
33
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Tabel 2. Klasifikasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan No.
Lokasi
Dinamika Pantai
Intrusi Air Asin
Rawan Tsunami
Kepadatan Penduduk
Penggunaan Lahan
Jumlah Harkat
Rawan Bencana
Kabupaten Pinrang 1
Kayuangin
2
1
5
1
5
14
Sedang
2
Ujung Baru
2
1
6
1
5
15
Tinggi
3
Wakka
2
2
6
1
5
16
Tinggi
4
Langnga
3
1
5
1
5
15
Tinggi
5
Parengki
1
2
4
1
5
13
Sedang
Kota Parepare 6
Tg.Tanrangan
1
1
4
1
5
12
Sedang
7
Lumpue
1
1
4
1
5
12
Sedang
12
Sedang
Kabupaten Barru 8
Lojie, Tg.Bojo
1
2
3
1
5
9
Labuangge
1
1
3
1
5
11
Sedang
10
Mangkoso
1
1
2
1
5
10
Sedang
11
Attapangge
1
1
2
1
5
10
Sedang
12
Pancana
1
3
2
1
5
12
Sedang
Kabupaten Pangkep 13
Kekeang
1
3
1
1
1
7
Rendah
14
Bawa Salo
1
3
1
1
1
7
Rendah
15
Kessi Kebo
1
3
1
1
1
7
Rendah
Kabupaten Maros 16
Babanga
1
3
1
1
1
7
Rendah
17
Kurilompo
1
3
1
1
1
7
Rendah
Kota Makassar 18
Rotterdam
2
3
1
2
4
12
Sedang
19
Tanjung Merdeka
2
3
1
3
4
13
Sedang
20
Pantai Akkarena
3
3
1
3
4
14
Sedang
21
Patung Layar
2
3
1
1
4
11
Sedang
22
Muara Jeneberang
3
3
1
1
4
12
Sedang
23
Barombong
3
3
1
1
4
12
Sedang
Kabupaten Takalar 24
Saro
3
3
1
1
4
12
Sedang
25
Tope Jawa
3
3
1
1
5
13
Sedang
26
Punaga
1
1
2
1
5
10
Sedang
Sumber : Hasil Analisis Data Primer dan Sekunder, Mei 2009
34
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 2. Peta Tingkat Kerawanan Bencana Marin Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
35
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
3.2. Cara-Cara Pengelolan Pantai untuk Mengantisipasi Bencana Marin Cara pengelolaan pantai yang telah dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk mengantisipasi bencana marin yaitu pembuatan talut/tembok, briker silinder, bronjong, groin, dan tanaman mangrove. Berdasarkan karakteristik lahan Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan, maka diarahkan 4 macam pengelolaan yaitu pembudidayaan tanaman tapak kaki kambing pada wilayah bentuklahan komplek gisik dan beting gisik, mangrove pada muara sungai dan rataan pasut, pembiakan terumbu karang pada bentuk-lahan beting karang, pembuatan tembok/ talut pada bentuklahan denudasional. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Tingkat kerawanan bencana marin yang termasuk kategori tinggi sepanjang 49,80 km (13,39%) yang tingkat kera-wanan bencana marinnya sedang sepan-jang 239,88 km (64,50%). Tingkat kerawanan bencana marin tingkat tinggi tersebar di wilayah Kabupaten Pinrang, tingkat kerawanannya sedang tersebar di wilayah Kabupaten Pinrang, Parepare, Barru, Makassar, dan Takalar. Kabupaten Maros dan Pangkep masuk kategori rawan bencana marin rendah sepanjang 82,22 km (22,11%). 2. Cara pengelolaan pantai yang telah dilakukan pemerintah dan masyarakat
36
untuk mengantisipasi bencana marin yaitu pembuatan talut/tembok, briker silinder, bronjong, groin, dan tanaman mangrove. Bentuk arahan cara pengelo-laan Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan untuk mengantisipasi bencana marin yaitu tanaman tapak kambing pada wilayah gisik dan beting gisik, pembudidayaan terumbu karang wila-yah pantai beting karang, mangrove pada wilayah rataan pasut dan muara sungai, talut/ tembok pada wilayah pantai denudasional. 4.2. Rekomendasi 1. Perlu melanjutkan penelitian yang lebih detail dalam waktu yang lebih lama yang mencakup dua musim di Pantai Barat. 2. Perlunya kesadaran akan pelestarian bangunan penghalang pantai baik bersifat alami maupun buatan, seperti terumbu karang, tanaman pantai, dinding pantai dan bangunan lainnya, perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA Bird, E.C.F. 1970. Coast: An Introduction to Systematic Geomorphological. The MTT Press, Massachusetts. Soegijoko, B.T.S., dan Kusbiantoro, B.S. (Eds). 1997. Perencana Pembangunan Di Indonesia. Grasindo, Jakarta. Sunarto 1999. System Pengelolaan Wilayah Pantai Berdasarkan Tingkat Kerawanan Bencana Marin Di Pantai Utara Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.
Zonasi Rawan Bencana Marin di Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
POTENSI KERUSAKAN LAHAN DI SUKABUMI MENGGUNAKAN DATA INDERAJA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Potential Land Damage in Sukabumi using Remote Sensing and Geographic Information System (GIS) Nanik Suryo Haryani1 dan F. Sri Hardiyanti Purwadhi 2 1)
2)
Lembaga Penerbangan dan Antarikas Nasional Lembaga Penerbangan dan Antarikas Nasional dan Departemen Geografi FMIPA-UI
Abstract Building activity that does not pay enough attention to environmental aspect will bring about the effect to the environment, particulary to the event of land damage. The effort to control and recover land damage calls for complete and accurate data and information. Along with the remote sensing technology development, it enables to study of land damage effectively and efficiently in the region of large scale. The research method with geographical approach by using Landsat-TM image and Geographic Information System (GIS) analysis to determine the stage of land damage. Potential determination of land damage is carried out by weighing the indicator of land damage that all together function as the variable. The result shows that the stage of land damage in Sukabumi from 1994 until 2009 is the class rather damaged increases to 2.26% while the damaged class decreases is 6.84% and the big damaged increases is 0.48 %. Key words: land damage, climate, erosion, landslide, slope
Abstrak Pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan akan membawa dampak terhadap lingkungan, terutama terjadinya kerusakan lahan. Upaya untuk pengendalian dan pemulihan kerusakan lahan memerlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat. Seiring dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh memungkinkan untuk melakukan kajian mengenai potensi kerusakan lahan secara efektif dan efisien pada wilayah yang berskala luas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan geografis dari citra LandsatTM dan analisis sistem informasi geografis (SIG), untuk penentuan tingkat kerusakan lahan. Penentuan potensi kerusakan lahan dilakukan dengan pembobotan indikator kerusakan lahan yang sekaligus berfungsi sebagai variabelnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kerusakan lahan di Sukabumi dari tahun 1994 sampai dengan 2009 cenderung bervariasi. Wilayah dengan tingkat kerusakan lahan agak rusak dan sangat rusak bertambah masing-masing sebesar 2,26% dan 0,48%, sebaliknya wilayah dengan tingkat kerusakan lahan dalam kelas rusak berkurang sebesar 6,84%. Kata Kunci : kerusakan lingkungan, iklim, erosi, longsor, lereng
I.
PENDAHULUAN
Kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi keprihatinan banyak pihak, baik di dalam negeri maupun oleh dunia internasional. Hal ini ditandai dengan meningkatnya bencana alam yang dirasa-kan, seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat. Upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi
lingkungan sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1970-an melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (PPHTA), melalui Inpres Penghijauan dan Reboisasi, kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), Gerakan Nasional Kemi-traan Penyelamatan Air (GNKPA) dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehu-tanan (RPPK). Tujuan dari upaya-upaya tersebut pada dasarnya adalah
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
37
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
untuk mewujudkan perbaikan lingkungan seperti penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air, serta memberikan manfaat sosial ekonomi nyata bagi masyarakat. Pembangunan wilayah yang sangat pesat dan meningkatnya kebutuhan lahan, serta dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan, kurang keterpaduan antar sektor dan antar wilayah. Terutama pada era otonomi daerah, di mana sumberdaya alam ditempatkan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga banyak terjadi perubahan peng-gunaan lahan di berbagai wilayah. Kegiatan pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan akan membawa dampak terhadap perubahan lingkungan, seperti ter-jadinya kerusakan lahan akibat perubahan penggunaan lahan tersebut. Penelitian mengenai potensi kerusakan lahan merupakan hal penting untuk dilaksanakan secara berkesinambungan dalam upaya pengendalian dan pemulihan keru-sakan lahan. Teknik inventarisasi lahan secara konvensional memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga kurang efektif dari segi waktu, tenaga dan biaya. Seiring dengan perkembangan teknologi pengin-deraan jauh memungkinkan untuk dilaku-kannya inventarisasi kerusakan lahan secara efektif dan efisien pada wilayah berskala luas. Hasil penilaian potensi kerusakan lahan dapat mendukung pembangunan berkelan-jutan dan berwawasan lingkungan, oleh karena itu penelitian ini dilakukan. Informasi kerusakan lahan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan rehabilitasi lahan maupun konservasi tanah serta dapat digu-nakan sebagai bahan penyusunan kebijakan, strategi pengelolaan dan pemanfaatan lahan berwawasan lingkungan. 38
Penelitian ini bertujuan melakukan pengolahan dan analisis data satelit penginderaan jauh untuk penentuan potensi dan tingkat kerusakan lahan yang terjadi di Kabupaten Sukabumi. Letak geografis Kabupaten Sukabu-mi berada pada koordinat antara: 106o 49’ 00” BT sampai dengan 107o 00’ 00” BT dan 06o 57’ 00” LS sampai dengan 07o 25’ 00”LS. Kabupaten Sukabumi secara admi-nistratif di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudera Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor. II. METODOLOGI Metodologi mencakup rancangan model, pengumpulan data, penyusunan basis data, pengolahan citra, dan analisis kerusakan lahan. Rancangan model (lihat Gambar 1) didasarkan pokok permasalahan, yang mengarahkan pada ruang lingkup penelitian, dibagi dalam empat tahapan, yaitu pengumpulan data, klasifikasi penu-tup lahan, analisis potensi kerusakan lahan, dan penyajian hasil analisis potensi kerusakan lahan
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010 Citra Landsat TM 1994 & 2009
Layers Peta tanah
Proses multi temporal
Titik Kontrol Tanah (GPS)
Survei Lapangan
Klasifikasi Penutup Lahan 1994 dan 2009
Overlay
S I G
Perubahan Penutup Lahan 1994 -2009
Kriteria Kerusakan Lahan (Kepres No. 32 Tahun 1990)
Iklim
Koreksi Radiometrik dan Atmosferik
Kelerengan
Koreksi Geometrik dan Penajaman citra
Klasifikasi Kerusakan lahan 1994 dan 2009
Peta RBI/ Topografi
Klasifikasi Kerapatan Vegetasi 1994 dan 2009
Overlay
Overlay
Perubahan Kerusakan Lahan 1994 -2009 Perubahan Kerapatan Vegetasi 1994 -2009
Pembobotan parameter
Potensi Kerusakan Lahan 1994 – 2001
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Peta Potensi Kerusakan Lahan
Pengumpulan data meliputi data spasial dan data tabular. Pengumpulan data merupakan tahap awal dari setiap penelitian ilmiah, apalagi hasil penelitian akan digunakan sebagai rekomendasi dalam pelaksanaan kebijakan. Data harus diper-oleh dari sumber data yang tepat, agar data relevan dengan tujuan, dan tidak menim-bulkan bias dalam analisis maupun pengambilan kesimpulan. Adapaun data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Data spasial dari data penginderaan jauh satelit, yang digunakan dalam kegiatan ini adalah citra Landsat TM tahun 1994 (Path/ Row 122/65 rekaman tanggal 18-6-1994) dan tahun 2009 (rekaman tanggal 15-5-2009). 2. Data spasial berbentuk vektor berupa peta dasar dan peta tematik, yaitu Peta Rupa Bumi/ Topografi, Peta Tanah, dan Peta Kawasan Hutan. 3. Data iklim dan literatur yang berkaitan dengan masalah lahan.
4. Data survei lapangan tentang kondisi fisik, mencakup nama lokasi, posisi lokasi (diukur dengan GPS), pengece-kan hasil interpretasi penutup lahan, bentuk lahan, kondisi lingkungan, kelerengan, tanah, batuan, hidrologi permukaan (danau, sungai), cuaca, dan foto lokasi. Proses klasifikasi penutup lahan dilakukan secara digital dengan klasifikasi terselia (supervised classification). Klasifi-kasi terselia yang didasarkan pada pengena-lan pola spektral (spectral pattern recog-nition) yang terdiri atas tiga tahap (Purwadhi, 2001), yaitu: 1. Tahap training sampel, yakni analisis menyusun “kunci interpretasi” dan mengembangkan secara numerik spektral untuk setiap kenampakan. dengan me-meriksa batas daerah (training areas). 2. Tahap klasifikasi setiap pixel pada serangkaian data citra dibandingkan setiap kategori pada kunci interpretasi numerik, yaitu menentukan nilai pixel yang tak dikenal dan paling mirip dengan kategori yang sama. Perban-dingan tiap pixel citra dengan kategori pada kunci interpretasi dikerjakan secara numerik dengan menggunakan berbagai strategi klasifikasi dipilih kemiripan maksimum (maximum likelihood). Setiap pixel kemudian diberi nama sehingga diperoleh matriks multidimensi untuk menentukan jenis katego-ri penutup lahan yang diinterpretasi. 3. Tahap keluaran berupa matriks didelineasi, sehingga terbentuk peta penutup lahan, dibuat tabel matriks luas setiap jenis penutup lahan. Metode pendekatan dilakukan dengan pendekatan geografis, yaitu pende-katan analisis keruangan (spasial), analisis perbandingan, dan pembobotan parameter yang mempengaruhi kerusakan lahan. 1. Analisis spasial yang dapat menunjuk-kan perubahan kondisi fisik secara spasial yang dapat menentukan daya dukung lingkungan secara fisik seperti bentuk lahan (relief
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
39
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
topografi), informa-si diperoleh dari data penginderaan jauh dan data lain 2. Analisis perbandingan secara spasial penutup lahan untuk mengetahui perubahannya, dari citra satelit penginderaan jauh multi temporal (1994 dan 2009). 3. Analisis pembobotan parameter untuk menentukan tingkat kerusakan wilayah, digunakan sebagai acuan penentuan potensi kerusakan lahan Penentuan potensi kerusakan lahan dengan pembobotan indikator kerusakan lahan yang berfungsi sebagai variabelnya. Berdasarkan Kepres No. 32 Tahun 1990, potensi kerusakan lahan dibedakan menjadi 3 variabel yang meliputi: Iklim/ inten-sitas curah hujan, tanah/ kepekaan tanah terhadap erosi, dan topografi/ kemiringan lereng. Penentuan tingkat kerusakan lahan berdasarkan matriks antara potensi kerusakan lahan dengan variabel penutup lahan.
Masing-masing variabel indikator mempu-nyai tingkatan nilai variabel yang berbeda. 1. Iklim/Curah Hujan dibedakan menjadi 5 kelas, yang diperoleh dari rerata curah hujan per tahun dalam kurun waktu 28 tahun. Klasifikasi curah hujan berdasar-kan kisaran normal diperlihatkan pada Tabel 1. 2. Tanah/ kepekaan tanah terhadap erosi. Tanah dibedakan menjadi 5 kelas, diper-oleh berdasarkan kepekaan tanah terha-dap erosi sesuai dengan kriteria Bapedal (2001) (lihat Tabel 2) 3. Topografi/lereng, yang dibedakan men-jadi 5 kelas, sesuai kriteria yang ter-cantum dalam peta kemampuan tanah (lihat Tabel 3) 4. Penentuan potensi kerusakan lahan berdasarkan variabel indikator diberikan nilai dan bobot. Besarnya pemberian nilai dan bobot variabel indikator sesuai indikator Bapedal (2001) pada Tabel 4.
Tabel 1 Perhitungan Interval Curah Hujan Berdasarkan Sebaran Normal No Kelas Kisaran 1 Sangat Rendah < Xrat – Stdev 2 Rendah Xrat – Stdev s/d Xrat – 0,5 Stdev 3 Sedang Xrat – 0,5 Stdev s/d Xrat + 0,5 Stdev 4 Tinggi Xrat + 0,5 Stdev s/d Xrat + Stdev 5 Sangat Tinggi > Xrat + Stdev Keterangan : Xrat = 1900; Stdev = 439,4 Sumber: Hasil perhitungan dari data curah hujan data BMG (1966-1994)
Nilai < 1460 mm/th 1460 – 1680 mm/th 1681 – 2120 mm/th 2121 – 2339 mm/th > 2339 mm/th
Tabel 2. Kelas Tanah Berdasarkan Jenis Tanah dan Kepekaan Tanah Terhadap Erosi No. 1 2 3 4 5
Kelas Rendah/tidak peka terhadap erosi Sedang/agak peka terhadap erosi
Jenis Tanah Aluvial, Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterit Air Tanah Latosol
Tinggi/kurang peka terhadap erosi Sangat Tinggi/peka terhadap erosi Amat Sangat Tinggi/ sangat peka terhadap erosi
Kambisol, Mediteran, Brown Forest Soil, Non Calcic Brown Vertisol, Andosol, Grumusol, Laterit, Podsol, Podsolik Litosol, Organosol, Rensina, Regosol
Sumber: Bapedal, 2001. Tabel 3. Kelas Topografi Berdasarkan Besarnya Kemiringan Lereng No. 1 2 3 4 5
Kelas Datar – Bergelombang Bergelombang – Berombak Berombak – Berbukit Berbukit – Bergunung Bergunung
Kemiringan Lereng 0 %–8 % > 8 % – 15 % > 15 % – 25 % > 25 % – 40 % > 40 %
Sumber: Peta Topografi, 1990.
40
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010 Tabel 4. Pemberian Nilai dan Bobot Variabel Indikator Kerusakan Lahan No 1
Variabel Indikator Iklim/ Intensitas Curah Hujan
2
Tanah/ Kepekaan terhadap erosi
3
Topografi/ Kemiringan lereng
Nilai Variabel Indikator 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi 1. Rendah / tidak peka (aluvial, glei, planosol, hidromorf kelabu, laterit air tanah) 2. Sedang / agak peka (latosol) 3. Tinggi / kurang peka (kambisol, mediteran, brown forest soil, non calcic brown) 4. Sangat tinggi (vertisol, andosol, grumusol, laterit, podsol, podsolik) 5. Amat sangat tinggi (litosol, organosol, rensina, regosol) 1. landai 0 % - 8 % 2. miring > 8 % - 15 % 3. agak curam > 15 % - 25 % 4. curam > 25 % - 40 % 5. sangat curam > 40 %
Bobot 20
30
50
Sumber: Bapedal, 2001
5. Penentuan tingkat kerusakan lahan menggunakan variabel penutup lahan, yang dibedakan menjadi 3 (tiga) kelas berdasarkan kerapatan penutup yaitu sangat rapat, sedang, jarang. Formulasi perhitungan dengan proses analisis pem-bobotan menggunakan formulasi sistem informasi geografis (SIG). Proses dalam SIG menggunakan formulasi sebagai berikut C = f (lu, so, tp ,cl)……………
keterangan: C = Kerusakan lahan, f = fungsi, lu = penutup/ penggunaan lahan, so= tanah, tp = topografi, cl = Iklim.
6. Penentuan tingkat kerusakan lahan berdasarkan matriks antara penutup lahan atau kerapatan penutup lahan dengan potensi kerusakan lahannya. Hasil perhitungan diperlihatkan pada Tabel 5.
(1)
Tabel 5. Matriks Penentuan Kerusakan Lahan Kerapatan Penutup lahan (Land cover density)
Potensi Kerusakan Lahan
Keterangan
High
Medium
Low
Low Skoring: <125
1
2
3
1 = Sangat Baik (SB) 2 = Baik (B)
Medium Skoring: 125 – 175
2
4
6
3 = Cukup Baik (CB) 4 = Agak Rusak (AR)
High Skoring: > 175
3
6
9
6 = Rusak (R) 9 = Sangat Rusak (SR)
Sumber: Hasil perhitungan, 2009.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi berdasarkan data BPS tahun 1999 didominasi oleh kebun/ ladang dengan proporsi 26% dari luas kabupaten, dan hutan dengan proporsi
21%. Jenis penggunaan lahan paling kecil adalah lahan kosong/lahan tidak diusahakan serta padang rumput dengan proporsi masingmasing 1% dari luas wilayah.
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
41
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
3.1. Penutup Lahan Hasil Interpretasi Kab. Sukabumi Penutup lahan Kabupaten Sukabumi dari hasil interpretasi dan klasifikasi citra Landsat tahun 1994 dan tahun 2009 diper-oleh 10 (sepuluh) kelas, yang terdiri dari hutan lebat, hutan sedang, hutan jarang, kebun campur,
sawah, lahan terbuka, tam-bak, perkotaan/ permukiman, perairan dan awan (lihat Gambar 2 dan 3). Sementara luas untuk setiap penutup lahan hasil klasifikasi untuk tahun 1994 dan 2009 serta perubahannya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas penutup/ penggunaan lahan Kab. SukabumiTahun 1994 dan tahun 2009 dan perubahannya No.
Kelas Penutup/ Penggunaan Lahan
1
Hutan Lebat
Luas 1994
Luas 2009
Perubahan 1994-2009
Hektar
%
Hektar
%
Hektar
%
40660,83
9,37
42864,57
9,88
2203,74
+ 0,51
2
Hutan Sedang
53036,55
12,23
83507,31
19,25
30470,76
+ 7,02
3
Hutan Jarang
56595,33
13,05
140870,2
32,47
84274,87
+ 19,43
4
Kebun Campur
165339,5
38,11
39341,7
9,07
125997,8
- 29,05
5
Sawah
26,1
0,01
18,45
0,00
7,65
+ 0,00
6
Lahan Terbuka
11797,38
2,72
11797,38
2,72
0
+ 0,00
7
Tambak
81385,02
18,76
97011,27
22,36
15626,25
+ 3,60
8
Kota
3980,79
0,92
1262,25
0,29
2718,54
- 0,63
9
Air
15618,87
3,60
17127,46
3,95
1508,59
+ 0,35
10
Awan
5360,22
1,24
0
0,00
5360,22
- 1,24
433800,6
100
433800,6
100
268168,42
61,82
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2009
Perubahan penutup lahan dari tahun 1994 sampai tahun 2009 berkisar antara 0,01% sampai dengan 29,04%. Penutup lahan paling sedikit mengalami perubahan adalah sawah sebesar 0,01%, sedangkan perubahan terbesar terjadi pada penutup lahan kebun campur sebesar 29%. Pada tahun 1994 luas kebun campur 165.339 hektar dan pada tahun 2009 berkurang menjadi 39.342 hektar. Hutan lebat bertambah 0,51%, hutan sedang bertambah 7,02%, hutan jarang bertambah 19,42%, lahan terbuka bertambah 3,60% dan air bertambah 0,35%. Sedangkan penutup la-han kebun campur berkurang 29,04%, sawah berkurang 0,01%, permukiman ber-kurang 0,63% dan awan berkurang 1,24%. Jenis penutup lahan yang tidak mengalami perubahan (tetap) adalah tambak sebesar 2,72%. Gambar 2. Penutup lahan Kabupaten Sukabumi 1994
42
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 3. Penutup lahan Kabupaten Sukabumi 2009
3.2. Tingkat Kerapatan Vegetasi Penutup Lahan Kabupaten Sukabumi Penentuan tingkat kerapatan vegetasi penutup lahan menggunakan variabel kerapatan
vegetasi (tingkat kehijauan penutup lahan), yang dibedakan menjadi 3 (tiga) kelas kerapatan penutup lahan yaitu kera-patan sangat tinggi, sedang dan kerapatan rendah. Pengelompokan tingkat kerapatan vegetasi penutup lahan menjadi 3 (tiga) kelas tersebut didasarkan pada tingkat kehi-jauan penutup lahan atau yang dikenal dengan NDVI (Normalize Defference Vegetation Index). Rumus NDVI untuk data Landsat 5 TM = (R4 – R3) / (R4 + R3) di mana R3 adalah albedo kanal/ band 3 dan R4 adalah albedo kanal/ band 4. Klasifikasi kerapatan vegetasi pada penelitian ini berdasarkan penutup lahannya, yaitu 1. Kerapatan sangat tinggi pada penutup lahan hutan lebat, hutan sedang, hutan jarang 2. Kerapatan sedang pada penutup lahan kebun campur dan sawah. 3. Kerapatan rendah pada lahan terbuka, tambak dan permukiman/ perkotaan. 4. Kelas perairan dan awan dikategorikan non kelas atau tidak termasuk dalam kelas kerapatan vegetasi penutup lahan. Luas untuk masing-masing kelas kerapatan vegetasi penutup lahan di daerah studi diperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Luas Kerapatan vegetasi penutup lahan di Sukabumi Tahun 1994 dan 2009 No.
Kerapatan Vegetasi
Luas 1994 (hektar)
1994 (%)
2009 (hektar)
2009 (%)
1
Tinggi (High)
150.293
36.07
267.242
63.33
2
Sedang (Medium)
165.366
39.69
39.360
9.33
3
Rendah (Low)
100.985
24.24
115.401
27.35
Jumlah
416.643
100
422.003
100
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2009.
Wilayah dengan kelas kerapatan vegetasi tinggi bertambah seluas 116.949 hektar atau 28,07% dari luas kabupaten. Wilayah dengan kerapatan vegetasi sedang dalam kurun waktu 15 tahun berkurang seluas 126.005 hektar atau
30,24%, sedang-kan wilayah dengan kerapatan vegetasi rendah bertambah 12.907 hektar atau 3,1%. Pada Gambar 4 dan 5 diperlihatkan kerapatan vegetasi penutup lahan di Kabupaten Sukabumi tahun 1994 dan tahun 2009.
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
43
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 4. Kerapatan Vegetasi Kabupaten Sukabumi 1994
Gambar 5. Kerapatan Vegetasi Kabupaten Sukabumi 2009
3.3. Potensi Kerusakan Lahan Kabupaten Sukabumi
bulan Juni. Besarnya evapotranspirasi di Kabupaten Sukabumi sebesar 989 mm pada suhu maksimum, sehingga masih memiliki surplus air sekitar 2117 mm. Curah hujan di Kabupaten Sukabumi diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi berdasarkan pada interval sebaran normal (lihat Tabel 1).
Penentuan potensi kerusakan lahan dilakukan menggunakan pembobotan indi-kator kerusakan lahan yang sekaligus sebagai variabelnya, yaitu iklim/intensitas curah hujan, tanah, dan topografi/ lereng. a.
44
Iklim/Intensitas curah hujan. Berdasarkan data dari BMG rerata curah hujan tahunan di Kabupaten Sukabumi adalah sebesar 3353 mm. Curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Agustus dengan rata-rata 124 mm dan curah hujan terbesar pada bulan Januari dengan rerata 427 mm. Berda-sarkan tipe iklim Schmidth– Ferguson, wilayah Sukabumi termasuk tipe iklim A yaitu tipe iklim sangat basah. Suhu udara berkisar antara 25°C–27°C, de-ngan suhu maksimum terjadi pada bulan Oktober dan suhu minimum terjadi pada
b.
Jenis tanah & kepekaan tanah Berdasarkan Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 yang diterbitkan Lembaga Penelitian Tanah (LPT)- Bogor, Kab. Sukabumi tersusun atas 8 (delapan) jenis tanah, yaitu: Aluvial, Regosol, Andosol, Non Calcic Brown, Brown Forest Soil, Rensina, Grumusol, Mediteran, Latosol, dan Podsolik. Kepekaan tanah terhadap erosi dapat dibedakan menjadi 5 kelas berdasarkan jenis
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
tanahnya, yaitu kepekaaan tanah terhadap erosi rendah (tidak peka), sedang (potensial peka), tinggi (agak peka), sangat tinggi (peka) dan amat sangat tinggi (sangat peka) (lihat Tabel 2). c.
berpotensi tinggi, yang terjadi pada wilayah perbukitan dan pegunungan dengan sungai besar, yang terletak di bagian selatan dan bagian utara.
Topografi/lereng dibedakan menjadi 5 (lima) kelas, yaitu landai dengan lereng 0% - 8%, miring dengan lereng > 8% - 15%, agak curam dengan lereng 15% - 25%, curam dengan lereng 25% - 40% dan sangat curam dengan lereng >40%.
Hasil dari pembobotan ketiga variabel potensi kerusakan lahan (iklim, tanah/ kepekaan terhadap erosi dan topografi/ lereng), yang dilakukan dengan metode overlay dalam sistem informasi geo-grafis (SIG), adalah peta potensi kerusakan lahan di Kab. Sukabumi (lihat Gambar 6). Potensi Kerusakan lahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu kelas potensi tinggi, kelas potensi sedang, kelas potesi rendah. Rata-rata potensi kerusakan lahan di Kab. Sukabumi adalah 3.4. Tingkat Kerusakan Lahan Kabupaten Sukabumi Tingkat kerusakan lahan di Kabupaten Sukabumi dalam kurun waktu 15 tahun (1994 s/d 2009) dapat dilihat pada Tabel 8, dimana kondisi lahan rusak bertambah seluas 28.860 hektar atau 6,84 % dari luas kabupaten. Kondisi lahan sangat baik dan baik (tidak terjadi kerusakan lahan) ber-kurang masing-masing seluas 10.033 hektar (2,38 %) dan 5.188 hektar (1,23 %).
Gambar 6. Potensi kerusakan lahan Kabupaten Sukabumi
Kerusakan lahan yang dalam kategori sangat rusak yang terjadi di bagian selatan terjadi di sekitar sungai, umumnya disebabkan oleh adanya penambangan/ pengambilan material sungai berupa pasir dalam jumlah besar. Sebaran kondisi lahan yang rusak di Kabupaten Sukabumi tahun 1994 dan 2009 diperlihatkan pada Gambar 7 dan 8, sedangkan luas masing-masing kelas kerusakan lahan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Tingkat Kerusakan Lahan di Sukabumi Kondisi/ Tingkat Kerusakan Lahan
Tahun 1994
Tahun 2009 Hektar
%
Perubahan (%)
20.,43
96.282
22,80
+ 2,38
27,58
121.647
28,81
+ 1,23
Hektar
%
Kondisi Sangat Baik
86.249
Kondisi Baik
116.459
Kondisi Cukup Baik
45.032
10,67
47.114
11,16
+ 0,49
Kondisi Agak Rusak
15.549
3,68
25.075
5,94
+ 2,26
Kondisi Rusak
147.188
34,86
118.328
28,02
- 6,84
Kondisi Sangat Rusak
11.754
2,78
13.785
3,26
+ 0,48
Jumlah
422231
100
422.231
100
-
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2009 Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
45
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Gambar 7. Kerusakan lahan Kabupaten Sukabumi 1994
IV. KESIMPULAN Hasil penelitian mengenai potensi kerusakan lahan Kabupaten Sukabumi menggunakan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Hasil klasifikasi digital dari citra Landsat TM Kabupaten Sukabumi tahun 1994 dan tahun 2009 berdasarkan metode kemiripan maksimum diperoleh 10 kelas penutup lahan yang terdiri dari hutan lebat, hutan sedang, hutan jarang, kebun campur, sawah, lahan terbuka, tambak, perkotaan, perairan dan awan. 2. Perubahan penutup lahan di Kabupaten Sukabumi dalam kurun waktu 15 tahun (tahun 1994 - 2009) terbesar terjadi pada kelas kebun campur dan hutan jarang dan terkecil terjadi pada kelas sawah. 3. Rata-rata potensi kerusakan lahan di Kabupaten Sukabumi adalah berpotensi tinggi, yang dapat ditemui pada wilayah perbukitan dan pegunungan. 4. Tingkat kerusakan lahan sangat rusak 46
Gambar 8. Kerusakan lahan Kabupaten Sukabumi 2009
disebabkan adanya penambangan, terutama pengambilan material kapur di daerah perbukitan, dan penambangan pasir di sungai dalam jumlah yang besar. DAFTAR PUSTAKA Badan Meteorologi dan Geofisika, 1988. Data Intensitas Curah Hujan tahun 1960 – 1988. BMG. Jakarta. Bapedal – Pusat Studi Sumberdaya Lahan Universitas Gadjah Mada, 2001. Laporan Akhir: Pengembangan Data dan Informasi Kerusakan Lahan di Indonesia. PSSL UGM, Yogyakarta. Haryani, N.S. dan Kushardono, D. 2000. Analisis perubahan lingkungan perkotaan melalui pengamatan penutup lahan dari data LandsatTM multitemporal (Studi Kasus: DKI Jakarta Tahun 1994 – 1997). Majalah Ilmiah Widya, No. 176 Th. XVII, Edisi Mei 2000, Jakarta. Purwadhi, S.H.F. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Potensi Kerusakan Lahan di Sukabumi Menggunakan Data Inderaja dan Sistem Iinformasi Geografis
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
KAJIAN KARAKTERISTIK DAS LUKULO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH Study of Upstream Lukulo Watershed Characteristic Using Remote Sensing Data Puguh Dwi Raharjo Balai Informasi dan Konservasi Kebumian, Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Karangsambung Km. 19 Kebumen 54353 Jawa Tengah Email :
[email protected]
Abstract Upstream Lukulo watershed is one of the watershed had been having land degradation. It is showed from high sedimentation level in watershed zone. By using data remote sensing the analyze of watershed characteristic is to be easy. The current problems are water resource such flood and drought. Upstream Lukulo watershed’s wide is about 26.635 ha with dendritic flow pattern. Its landform consist of structural, denudational, fluvial process source landforms. Most of the watershed region is classified in steep slope level class. The vegetation brightness in alluvial zone shows low spectral radiation. It because high sediment and mining activities. The watershed characteristic region that still has lots of bed rock cause high surface flow value and low groundwater storage. Keywords: surface fow, Upstream Lukulo watersheed, degradation, watersheed cahracteristic, remote sensing.
Abstrak DAS Lukulo Hulu merupakan salah satu DAS yang telah mengalami degradasi lahan. Hal tersebut terlihat dari tingkat sedimentasi yang berlebih pada kawasan DAS. Dengan menggunakan data penginderaan jauh, maka dengan mudah dapat dianalisis karaktersitik DAS secara umum. Permasalahan yang ada pada DAS ini adalah mengenai sumberdaya air meliputi banjir, dan kekeringan. DAS Lukulo Hulu memiliki luas kurang lebih 26.635 hektar dengan pola aliran dendritik. Bentukan lahan yang ada meliputi bentuklahan asal proses struktural, bentuklahan asal proses denudasional, serta bentuklahan asal proses fluvial. Sebagian besar wilayah dalam DAS masih tergolong dalam kategori kelas kemiringan yang curam. Tingkat kecerahan vegetasi di daerah sekitar bentuklahan dataran aluvial menampakan pancaran spektral yang rendah. Hal ini dikarenakan adanya endapan sedimentasi yang berlebih serta adanya aktivitas penambangan. Wilayah karakteristik DAS yang masih banyak terdapat batuan dasar menyebabkan nilai aliran permukaan yang tinggi dan simpanan air tanah rendah. Kata Kunci : aliran permukaan, DAS Lukulo Hulu, degradasi, karakteristik DAS, penginderaan jauh.
I. PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang di batasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama. Dalam permasalahan hidrologi daerah tangkapan air lebih ditekankan pada tinjauan menyeluruh komponen-komponen hidrologi, pengaruhnya
satu terhadap yang lain serta kaitannya dengan komponen lain di luar jalur hidrologi perlu dilakukan (Asdak, 1995). Daerah aliran sungai (DAS) dapatlah dianggap sebagai suatu ekosistem. Pada suatu ekosistem terdapat hubungan antara lingkungan biotik, lingkungan abiotik, dan lingkungan budaya yang saling berinteraksi dari berbagai fungsi komponen untuk membentuk satu kesatuan yang teratur.
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
47
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Ekosistem daerah aliran sungai (DAS) terdiri dari tiga bagian, yaitu DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir. Ketiga bagian DAS tersebut mem-punyai ciri khas yang berbeda. DAS adalah suatu sistem dalam hidrologi, sehingga di sini terdapat sistem masukan dan sistem keluaran. Salah satu keluran dari sistem DAS adalah debit aliran sungai. Debit aliran sungai adalah integrator dari suatu DAS. Hal ini mempunyai arti bahwa debit aliran sungai merupakan penyimpan informasi tentang ciri dan kondisi DAS tersebut. Air hujan yang jatuh di daerah hulu DAS sebagian besar akan menjadi aliran permukaan, hal tersebut disebabkan karena adanya alih fungsi lahan yang intensif dan tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Aliran air permukaan mampu menggerus permukaan tanah yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi sehingga akan mengakibatkan erosi di bagian hulu daerah aliran sungai. Akibat adanya lahan pemukiman yang padat, air hujan tidak mampu meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan akan mengalir, mengumpul pada alur-alur sungai, sehingga apabila air yang masuk pada sistem sungai tidak dapat tertampung maka akan menyebabkan banjir. Kondisi curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan debit air sungai lebih besar dari kapasitas alur sungainya sehingga terjadilah limpasan, terjadinya debit puncak banjir. Kota-kota yang mengalami penggenangan diakibatkan karena debit aliran yang mengalir pada sistem drainase kota cukup besar sehingga sungai-sungai yang ada tidak mampu menampung air dan menimbulkan luapan disekitar sungai (Puguh, 2005). Citra penginderaan jauh berupa Landsat TM (Land Sattelite Thematic Mapper) merupakan citra multispektral yang dapat menyajikan informasi fisik permukaan lahan suatu daerah. Landsat TM terdiri dari tujuh saluran dengan resolusi spasial 30 meter untuk band 1-5 dan band 7, resolusi spasial untuk band 6 (inframerah thermal) adalah 120 meter. Perkiraan ukuran cakupan adalah 170 kilometer sebelah utaraselatan dan 183 kilometer sebelah timur-barat.
48
Output dari analisis citra penginderaan jauh dilakukan suatu gambaran spasial dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Perkembangan mengenai pengelolaan DAS informasi spasial sangat dibutuhkan, yaitu dengan melakukan permodelan-permodelan ataupun analisis data. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu penyajian data keruangan dengan tujuan tertentu. Dengan menggunakan analisis penginderaan jauh dan SIG, maka keterbatasan mengenai lahan khususnya dalam pengelolaan DAS untuk mengetahui kekritisan DAS dapat dilakukan pengkajian. Puguh & Saifudin (2008) dalam penelitiannya mengenai tingkat erosi di DAS Lukulo Hulu ini dengan menggunakan data penginderaan jauh dan SIG. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan pendekatan persamaan “Universal Soil Loss Equation” (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara fisik DAS Lukulo Hulu sebagian besar mempunyai tingkat kemiringan yang curam yaitu sekitar 33,64 % dengan curah hujan tinggi lebih dari 3.000 mm/th sehingga DAS Lukulo Hulu ini memiliki aliran permukaan yang tinggi dan mengakibatkan erosi dan sedimentasi pada sistem sungai. Dengan menggunakan data penginderaan jauh dan SIG kelas erosi sangat berat di DAS Lukulo Hulu meliputi desa Wadasmalang, Langse, Wonotirto, Kalibening, Pesangkalan, Kebutuhjurang, Seboro, Pagedangan, Gunungjati, Kebondalem, Duren, Lebakwangi dan Kedunggong, dan kelas erosi berat terdapat di desa giritirto, pesangkalan, dan tersebar merata pada DAS. DAS Lukulo Hulu merupakan DAS yang mempunyai nilai ilmiah tinggi, hal tersebut dikarenakan pada DAS ini berlokasi di Cagar Alam Geologi Karangsambung dimana di tempat tersebut banyak terdapat singkapan batuan yang di lindungi baik batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Untuk itu, diperlukan suatu pengkajian terhadap karakteristik DAS Lukulo Hulu guna mendapatkan gambaran
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
secara umum mengenai kondisi DAS dalam hubungannya dengan sumberdaya air. II. METODOLOGI
survei lapangan dan peralatan lapangan. Gambar 1 merupakan peta kajian wilayah DAS Lukulo Hulu. 2.2 Metode
2.1 Data Penelitian ini dilaksanakan pada DAS Luk Ulo hulu yang secara administrasi terdapat di Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Citra satelit Landsat TM path/row 120/065, citra radar SRTM 30 tile e100n40, peta dasar digital, komputer dengan aplikasi sofware untuk pemrosesan digital dan vektor, alat tulis-menulis, dan perlengkapan
Bahan citra berupa satelit Landsat TM dilakukan suatu pengkoreksian sebelum dilakukan analisis, koreksi tersebut meliputi koreksi geometrik, yaitu koreksi pada citra agar terdapat kesamaan geometri antara citra dengan permukaan bumi akibat adanya rotasi bumi dan pergerakan wahana sensor. Koreksi yang kedua adalah koreksi radiometrik yang merupakan koreksi sebagai pembebasan awan.
Gambar 1. Lokasi DAS Lukulo Jawa Tengah
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
49
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Komposit warna semu (False Color Composit) digunakan pada citra dengan maksud agar dapat menonjolkan karakteristik tertentu permukaan sesuai dengan tujuan. Pada penelitian ini digunakan analisis intepretasi citra secara visual. Band komposit yang digunakan pada penelitian ini antara lain menggunakan
RGB 432 dan RGB 457. Komposit warna 342 digunakan untuk mendeteksi dan menganalisis tutupan lahan vegetasi, sedangkan penggunaan citra komposit RGB 457 ini digunakan dalam mendeteksi konfigurasi permukaan agar terlihat dengan jelas topografi dan bentuk-bentuknya. Gambar 2 merupakan diagram alir penelitian.
Citra Landsat
Citra SRTM
Koreksi Geometrik
Proses
Komposit Warna
Komposit Warna
Penutup
Konfigurasi
Survei Lapangan
DEM
Topografi
Pemetaan Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Citra radar SRTM 30 tile e100n40 digunakan untuk mengetahui nilai DEM (digital elevation model) dari DAS Lukulo. Data SRTM tersebut dilakukan pengkonversian ke dalam bentuk vektor sehingga dapat dilakukan pengkelasan terhadap kemiringan lerengnya dengan menggunakan Metode Horn. Dengan mengetahui keadaan secara umum permukaan maka akan dapat dilakukan suatu kajian mengenai karaktersitik DAS Lukulo. III. HASIL DAN PEMBAHASAN DAS Lukulo merupakan salah satu DAS yang telah mengelami degradasi lahan serta
50
dalam keadaan yang kritis, hal tersebut terlihat dari penambangan pasir pada endapan sungai sungai yang terlalu berlebihan. Penggunaan peralatan mesin (mesin sedot) sudah tidak melakukan penambangan pada daerah pengendapan-pengendapan lagi tetapi juga mulai melakukan penambangan di wilayah yang merupakan dataran aluvial dan dataran banjir yang peruntukannya sudah sebagai lahan pertanian. Untuk mengetahui kondisi permukaan vegetasi pada DAS Lukulo Hulu maka digunakan analisis komposit citra. Gambar 3 merupakan peta citra satelit Landsat TM komposit warna 432 DAS Lukulo Hulu. Penggunaan komposit RGB 432 tersebut saluran 4 dengan panjang gelombang 0,78 µm
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
– 0,90 µm merupakan saluran inframerah dekat peka terhadap pantulan vegetasi sekitar 50 %, pantulan tanah kering sekitar 30 %, diberikan
warna merah; saluran 3 dengan panjang gelombang 0,63 µm – 0,69 µm merupakan saluran visibel dengan warna cenderung ke
Gambar 3. Peta Citra Satelit Landsat TM Komposit Warna 432 DAS Lukulo Hulu
arah merah peka terhadap pantulan tanah kering sekitar 28 %, pantulan vegetasi sekitar 11 % diberikan warna hijau; saluran 2 dengan panjang gelombang 0,53 µm – 0,61 µm merupakan saluran visibel dengan warna cenderung ke arah hijau - kuning peka terhadap pantulan tanah kering sekitar 25 %, pantulan vegetasi sekitar 12 % dan pantulan air sekitar 5 % diberikan warna biru. Kenampakan akan vegetasi dipermukaan lebih jelas dengan penggunaan komposit warna RGB 432 citra Landsat ini. Vegetasi merupakan faktor yang penting dalam terjadinya erosi, air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan dapat tertahan dalam tajuk-tajuk vegetasi sehingga tenaga kinetik air tidak langsung mengenai permukaan tanah. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah (1) melalui fungsi melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, (2) menurunkan kecepatan air larian, (3) menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya, dan (4)
mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (Asdak 1995). Vegetasi peka terhadap panjang gelombang inframerah dekat, sehingga vegetasi pada komposit RGB 432 ini akan memancarkan warna merah, begitu juga dengan saluran merah pada komposit ini merupakan kenampakan asli dari warna hijau di permukaan yang diintepretasikan sebagai vegetasi, warna biru diberikan pada panjang gelombang warna hijau sehingga kenampakan seperti tubuh air akan nampak lebih kehijau-hijauan. Pada Gambar 2 tersebut terlihat bahwa kondisi DAS Lukulo Hulu ini masih relatih rapat vegetasinya, akan tetapi lokasi ini merupakan bagian dari hulu DAS sehingga perlu diperhatikan tingkat kerapatannya. Kenampakan warna birukehijauan tersebut menandakan bahwa lokasi tersebut merupakan permukaan suatu tubuh air atau lahan terbuka dan bahkan dapat juga berupa tanaman vegetasi dengan tingkat
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
51
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
kerapatan yang sangat jarang. Di sepanjang sungai pantulan memperlihatkan adanya suatu pola yang merupakan suatu lahan terbuka dan juga merupakan wilayah luapan (warna cyan) ketika terjadi hujan. Secara administratif desa-desa yang merupakan wilayah dengan vegetasi sangat jarang terdapat di Desa Labak, Kalidadap, Cangkring, Wonosari, Seboro, Pucangan, Kaeangsambung, Banioro, Kebakalan, Logandu, Clapar, Pagebangan. Di antara beberapa desa tersebut yang berada pada wilayah upstream adalah Desa Labak, Kalidadap, Cangkring, dan Desa Wonosari. Kerapatan vegetasi pada daerah
atas tersebut memiliki jenis vegetasi berupa tegalan, kebun campur serta sebagian besar merupakan hutan produksi. Pada DAS Lukulo Hulu ini masih banyak ditemukan singkapan batuan baik pada lokasi hulu ataupun hilir DAS, sehingga air hujan sebagai input utama dalam sumberdaya air sebagian besar akan mengalir menjadi aliran langsung permukaan (runoff). Hal ini terbukti pada musim penghujan ketika hujan datang wilayah bagian hilir sering terjadi luapan air permukaan dari sistem sungainya. Gambar 4 merupakan peta citra satelit Landsat TM komposit warna semu 457 DAS Lukulo Hulu.
Gambar 4. Peta Citra Satelit Landsat TM Komposit Warna 457 DAS Lukulo Hulu
Pada Gambar 3. merupakan citra FCC RGB 457, dimana band 4 yang mempunyai panjang gelombang 0,78 – 0,90 µm, band 5 yang mempunyai panjang gelombang 1,55 – 1,75 µm dengan pantulan terkuat berupa tanah kering sekitar 52% dan pantulan vegetasi sekitar 38% diberikan warna hijau, dan band 7 yang mempunyai panjang gelombang 2,09 – 2,35 µm dengan pantulan terkuat berupa tanah kering dan 52
vegetasi. Kenampakan konfigurasi permukaan pada komposit warna ini lebih kentara, sehingga dapat diketahui bentukan lahan yang ada di DAS Lukulo Hulu. Dari hasil citra tersebut (Gambar 4) terlihat pada bagian utara terkesan adanya kesan dengan permukaan yang keras hal ini tercermin dari kondisi pengaliran dan adanya efek bayangan dari citra serta pantulan air/kelembaban relatif sedikit atau hampir
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
tidak ada, wilayah ini yang disebut sebagai daerah melang (keras). Sedangkan pada bagian selatan terlihat seperti adanya suatu cekungan dengan kondisi kelembaban tinggi dan lahan terbuka (warna cyan) wilayah ini merupakan suatu antiklinal yang telah mengalami proses denudasi. Secara umum bentuklahan yang ada di kawasan ini meliputi bentuklahan struktural, bentuklahan denudasional serta bentuklahan fluvial, akan tetapi sebagian besar dari bentuklahan pada kawasan ini merupakan bentuk lahan asal proses struktural, yaitu blok patahan dan lipatan. Bentuklahan denudasional merupakan suatu bentukan lahan di permukaan yang telah mengalami/terkena tenaga dari proses eksogen. Pelapukan yang terjadi mengakibatkan proses gradasi dan agrasi permukaan. Pada kawasan ini proses erosi sangat mudah terjadi walaupun dalam ruang lingkup yang kecil, seperti pada daerah Waturanda perlapisan batuan sangat kentara dan tanah yang terjadi masih relatif tipis berada di atas bidang batuan yang padu, ketika terjadi hujan maka longsoran-longsoran tanah kerap terjadi. Pada daerah perbukitan terisolasi terjadi pula longsoran tanah yang mengakibatkan wilayah di sekitarnya tertimbun material longsoran. Kebanyakan proses pelapukan ini merupakan pelapukan fisika dan menyebabkan longsor akibat adanya tenaga gravitasi oleh beban air pada waktu hujan. Bentuklahan fluvial pada kawasan hanya sebagian kecil saja yaitu hanya di sekitar sungai. Bentuklahan fluvial dipengaruhi oleh adanya tenaga air yang mengalir sehingga proses erosi, transportasi dan sedimentasi dari material-material permukaan di proses pada zona ini. Bentuklahan fluvial di kawasan meliputi daerah dataran aluvial yang secara material penyusun merupakan daerah yang subur akan tetapi daerah yang sering terkena dampak banjir pada saat sungai meluap. Gosong sungai adalah dasar dari sungai tersebut, sungai yang melewati kawasan Karangsambung ini
merupakan sungai meander sehingga banyak ditemukan point- bar yang merupakan material yang terendapkan oleh transportasi air. Proses hydrolic action yang berupa menumbuk, menggerus dan menggendapkan sangat intensif terjadi. Selain banyak terdapat endapan akibat hydrolic action tersebut maka semakin lama sungai semakin tidak terkontrol, meandering yang terjadi semakin besar dan akan memotong sungai mencari jalur yang lebih pendek. Daerah yang ditinggalkan akan membentuk seperti danau yang mirip dengan tapal kuda dan juga terdapat sungai mati. Permukaan lahan digunakan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas masyarakat. Daerah dengan kondisi topografi yang landai, mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, air tanah yang melimpah serta sistem pengaliran air permukaan yang baik maka masyarakat akan lebih banyak dan terkonsentrasi di daerah tersebut. Kesesuaian penggunaan lahan sangat menentukan kenyamanan dalam bermukim, dengan menggunakan citra satelit tutupan lahan dapat diketahui keberadaan serta luasannya. Pola aliran juga terlihat jelas pada komposit warna 457 ini, pola aliran yang terbentuk pada DAS Lukulo Hulu ini merupakan dendritik dengan, bentuklahan fluvial terdominasi oleh bentuklahan dataran banjir serta bentuklahan aluvial. Pada daerah upstream terlihat banyak adanya perbukitan-perbukitan yang menampakan bentuk prismatik, kesan ini dikarenakan zonasi pada wilayah upstream merupakan wilayah struktural yang masuk pada zona melange, dimana terdapat berbagai macam batuan dengan umur pra-tersier yang yang teraduk. Selain mengakibatkan luapan pada sistem sungai, aliran air permukaan di DAS Lukulo Hulu juga menyebabkan sedimentasi pada sungai, hal ini dikarenakan adanya erosi yang berlebih pada wilayah hulu. Secara morfometri DAS Lukulo Hulu ini memiliki bentuk DAS yang membulat sehingga sehingga waktu konsentrasinya (Tc) sangat
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
53
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
cepat untuk mencapai pada titik keluar (outlet). Grafik antara debit dengan waktu membentuk suatu puncak yang apabila terjadi hujan maka akan menyebabkan terjadinya banjir. Kemiringan dapat dihitung dengan
menggunakan analisis dari DEM (Digital Elevation Model) yang didapat dari data SRTM 30. Tabel 1 merupakan kemiringan lereng pada DAS Lukulo Hulu.
Tabel 1. Kemiringan Lereng DAS Lukulo Hulu Kemiringan Lereng (%) 0-5 5 -15 15 - 35 35 -50 > 50
Topografi Landai Agak curam Curam Sangat curam Terjal
Nilai LS
Hektar
0,25 1,20 4,25 9,50 12,00
3950,280 7455,290 8960,463 3888,190 2381,101
Sumber : Perhitungan SIG, 2008
Luasan kemiringan paling tinggi berada pada wilayah yang curam yaitu sekitar 8960,463 hektar, kemiringan sekitar 15 – 35 % dengan penyebaran lokasinya meliputi Desa Kebutuhduwur, Pesangkalan, Kedunggong, Kaliguwo, Pesodongan, Kalidadap, dan Desa Giritirto. Sehingga termasuk dalam DAS dengan kemiringan lereng yang relatif tinggi dengan angka-angka pengaliran air permukan yang besar. Daerah-daerah dengan topografi yang tinggi dengan tidak ada/jarang penutup lahan yang efektif, maka akan mempengaruhi kepekaan tanah untuk tererosi. Selama kemiringan meningkat, maka kecepatan aliran permukaan meningkat yang meningkatkan kekuatan pengikisan tanah. Dengan mengetahui karaktersitik DAS Lukulo Hulu ini, maka dapat dilakukan langkah konservasi serta rekomendasi mengenai arahan-arahan penggunaan lahan guna terciptanya konsep pengelolaan DAS yang terpadu. IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan data penginderaan jauh dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi 54
awal mengenai karaktersitik DAS Lukulo Hulu guna terciptanya pengelolaan DAS yang tepat. DAS Lukulo Hulu memiliki bentuk DAS yang membulat dimana aliran permukaan yang terjadi dapat menimbulkan luapan sungai. Selain aliran permukaan (runoff) yang tinggi DAS Lukulo Hulu juga memiliki tingkat sedimentasi yang cukup besar pula. Tingkat kebutuhan akan air (sumberdaya air) pada DAS Lukulo Hulu, air tanah dirasa kurang memadai hal ini dikarenakan karakteristik wilayah yang masih banyak batuan dasar sehingga air hujan sebagian besar menjadi aliran permukaan dan hanya sedikit yang tersimpan dalam tanah. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 1995. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Puguh, R. 2005. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh Untuk Mengkaji Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Kreo Semarang. Skripsi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. (tidak dipublikasikan) Puguh, R. dan Saifudin. 2008. Pemetaan Erosi
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
DAS Lukulo Hulu dengan menggunakan Data Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol. 8 No. 2. hal. 103 -113.
Kajian Karakteristik DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh
55
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu Land Cover Changes in Upper Serayu Watershed Andry Rustanto1, Dhruba P. Shrestha2, and Victor G. Jetten2 1)
2)
Departemen Geografi FMIPA UI Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente, NL Email :
[email protected] Abstract
The upper Serayu watershed is one of several agriculture centres production in the Central Java province. The land cover of this area has been changed since it was utilized as agricultural and plantation area. The land cover changes observation of the upper Serayu watershed was done for 20 years period, it was during 1989 to 2009 period. The land cover changes analysis were done by using Landsat TM and ETM+ images. The results are series of land cover maps which were obtained by using supervised classification method together with no-change vector analysis method. The land cover of the upper Serayu watershed in 1989 was dominated by forest cover while in 1994 was dominated by dry land cultivation. Dry land cultivation and plantation dominated land cover of the upper Serayu watershed in 1999 dan 2003, while in 2009 was dominated by plantation cover. Land cover changes in the area between 1989 to 1994 was dominated by forest cover conversion to dry land cultivation, while conversion from dry land cultivation and forest cover to plantation was dominated land cover changes of the area in the 1994 to 2009 period, beside forest cover conversion to dry land cultivation. According to field observation in 2009, plantation cover is dominated by albasiah plantation which is fast growing plant. Dry land cultivation is dominated by potato and cabbage. Key words : Upper Serayu watershed, land cover change, supervised classification, no-change vector analysis Abstrak Daerah aliran sungai Serayu hulu dikenal sebagai salah satu pusat produksi pertanian sayur mayur di wilayah Jawa Tengah. Daerah ini telah mengalami perubahan tutupan lahan semenjak diusahakan sebagai wilayah budidaya pertanian dan perkebunan. Perubahan ini berhasil diamati selama kurun waktu 20 tahun semenjak 1989 sampai dengan 2009. Analisis perubahan tutupan lahan ini dilakukan dengan bantuan citra rekaman sensor satelit Landsat TM dan ETM+. Hasil pengolahan citra berupa peta tutupan lahan dihasilkan dengan metode klasifikasi terselia yang digabungkan dengan no-change vector analysis. Tutupan lahan di daerah aliran sungai Serayu hulu pada tahun 1989 didominasi oleh tutupan hutan, sedangkan pada tahun 1994 tutupan lahan di daerah ini didominasi oleh pertanian tanah kering. Pada tahun 1999 dan 2003 tutupan lahan di daerah ini didominasi oleh pertanian tanah kering dan perkebunan, sedangkan pada tahun 2009 tutupan lahan di daerah ini didominasi oleh tutupan lahan perkebunan. Perubahan tutupan lahan yang terjadi antara tahun 1989 sampai dengan 1994 didominasi oleh perubahan tutupan hutan menjadi pertanian tanah kering, sementara pada kurun waktu 1994 sampai dengan 2009 didominasi oleh perubahan tutupan pertanian tanah kering dan hutan menjadi perkebunan di samping hutan menjadi pertanian tanah kering. Berdasarkan pengamatan lapangan pada tahun 2009, tutupan perkebunan didominasi oleh tanaman albasiah yang memiliki waktu panen relatif singkat, sementara pertanian tanah kering didominasi oleh tanaman kentang dan kubis. Kata kunci : Daerah aliran Sungai Serayu hulu, peruban tutupan lahan, klasifikasi terselia, no-change vector analysis
56
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang sangat dinamis memberikan dampak pada berbagai komponen lingkungan tempat hidup masyarakat tersebut, salah satunya adalah pada tutupan lahan yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut antara lain dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan penunjang kehidupan. Usaha pemenuhan kebutuhan tersebut membutuhkan lahan baru atau menyebabkan alih fungsi lahan, dengan kata lain menyebabkan terjadinya perubahan tutupan lahan. Salah satu dampak perubahan tutupan lahan di Indonesia yang menajadi sorotan dunia adalah deforestasi atau berkurangnya tutupan hutan. Laju deforestasi di Indonesia setiap tahunnya kurang lebih mencapai 1 juta hektar (Pagiola 2004). Perubahan tutupan hutan ini sebagian besar antara lain menjadi lahan perkebunan; menjadi semak belukar, lahan terbuka atau hutan sekunder akibat penebangan liar maupun kebakaran hutan; serta menjadi lahan pertanian maupun permukiman pernduduk (Djajadilaga, et al. 2009). Perubahan tutupan lahan pada prinsipnya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan sosial ekonomi dan demografi masyarakat yang sangat dinamis. Terlebih lagi di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 228 juta jiwa atau terbesar ke empat di dunia dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen (Djajadilaga, et al.2009). Namun demikian, guna meng-antisipasi dampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungannya yang mungkin ditimbulkan, diperlukan adanya monitoring secara berkala terhadap perubahan tutupan lahan (Lambin, et al. 2006). Berbagai macam cara dan teknik telah dikembangkan manusia sejak lama mengikuti perkem-bangan teknologi pemetaan dan observasi muka bumi, dan saat ini monitoring perubahan tutupan lahan
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
sangat terbantu dengan teknologi penginderaan jauh (Ramankutty, et al. 2006). Penelitian perubahan tutupan lahan ini difokuskan pada wilayah daerah aliran Sungai (DAS) Serayu Hulu Jawa tengah (Gambar 1). Hal ini berkaitan dengan isu perubahan tutupan lahan di daerah ini selama 20 tahun terakhir semenjak giatnya aktivitas pertanian sayur mayur pada era 1980-an. Secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo dengan luas 95.173 hektar. DAS Serayu hulu dikelilingi oleh komplek pegunungan vulkanik pada wilayah utara (komplek dataran tinggi Dieng) dan timur (Gunung Sumbing dan Sindoro) yang terletak pada ketinggian 225 m dpl sampai dengan 3325 m dpl. Sedangkan di sebelah selatan di batasi oleh perbukitan lipatan (Gambar 2).
Gambar 1. Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Gambar 2. Kenampakan topografi DAS Serayu Hulu
57
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Dampak negatif yang disinyalir terjadi akibat perubahan tutupan lahan di daerah aliran Serayu hulu ini selain deforestasi adalah meningkatnya tingkat erosi tanah yang berimbas pada terganggunya operasional waduk PB Sudirman (Mrica) yang berlokasi di outlet daerah ini (Syariman & Soewarno, 2008). Di samping itu, erosi juga dapat berdampak pada menu-runnya kualitas tanah atau berkurangnya kesuburan tanah. Hal ini dapat memicu pembukaan lahan pertanian baru guna menjaga stabilitas produksi di samping lebih intensifnya penggunaan pupuk kimia. Memperhatikan fenomena dampak negatif yang disinyalir muncul akibat perubahan tutupan lahan di daerah aliran Serayu hulu, diperlukan adanya monitoring perubahan tutupan lahan. Hasil dari monitoring ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk analisis lebih lanjut mengenai dampak perubahan tutupan lahan bagi kehidupan manusia dan lingkungan di daerah aliran Serayu hulu. Lebih jauh, hasil ini juga dapat digunakan sebagai arahan kebijakan penggunaan tanah di daerah ini guna melanjutkan pembangunan daerah yang lebih berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. II. METODOLOGI 2.1 Data Monitoring tutupan lahan dalam jangka waktu 20 tahun (1989–2009) dengan bantuan citra satelit dengan akses data yang relatif mudah, dapat dilakukan dengan seri citra satelit Landsat. Hal ini dikarenakan seri satelit Landsat telah beroperasi semenjak tahun 1971 dengan perkem-bangan resolusi spektral dan spasial yang signifikan (NASA 2010) serta memadai untuk pemetaan tutupan lahan dengan skala 100.000 (Anderson, et al. 1976; Houghton, et al. 2004). Di samping itu, seri data citra landsat disediakan secara gratis oleh beberapa instansi pemerintah maupun universitas di Amerika Serikat. Data citra satelit Landsat yang digunakan 58
antara lain : a. Landsat ETM + akuisisi 21.06.2009 diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). b. Landsat ETM + akuisisi 18.06.2008 diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). c. Landsat ETM + akuisisi 07.06.2004 diperoleh dari GLCF University of Maryland (http:/glfc.umiacs.umd.edu). d. Landsat ETM + akuisisi 20.05.2003 diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). e. Landsat ETM + akuisisi 01.07.2001 diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). f. Landsat ETM + akuisisi 13.08.1999 diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). g. Landsat ETM + akuisisi 20.06.1994 diperoleh dari LAPAN. h. Landsat ETM + akuisisi 28.06.1991 diperoleh dari GLCF University of Maryland (http:/glfc.umiacs.umd.edu). i. Landsat ETM + akuisisi 11.04.1989 diperoleh dari USGS (glovis.usgs.gov). Data yang dikumpulkan untuk monitoring 5 tahunan dalam penelitian ini lebih dari 5 citra Landsat. Hal ini dikarenakan kondisi citra yang terkadang direkam dalam kondisi berawan sehingga membutuhkan citra Landsat lain sebagai penambal tutupan awan tersebut. Citra Landsat penambal ini di pilih dari waktu akusisi yang terdekat dengan citra Landsat utama. Survei di lapangan (Groundcheck) un-tuk menilai tingkat akurasi hasil klasifikasi citra Landsat dilakukan pada 347 lokasi pengamatan dengan bantuan global positioning system (GPS) (Gambar 3). Penen-tuan lokasi titik sampel ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor aksesi-bilitas Pengamatan lapangan dilakukan secara acak yang terstruktur (stratified random sampling). Sebelum ke lapangan, 60 titik yang akan dikunjungi dari 10 kelas tutupan lahan ditentukan dan dipersiapkan pada peta survey sebagai estimasi awal berdasarkan pengamatan peta topografi dan citra dari googleearth.
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
2.2 Pengolahan Data Pengolahan dan interpretasi citra Landsat untuk memperoleh informasi tutupan lahan dibantu dengan dukungan perangkat lunak GRASS GIS 6.4 RC5. Selain itu, dukungan analisis statistik spektral untuk melakukan klasifikasi seri citra Landsat tahun sebelumnya dibantu dengan dukungan perangkat lunak RKWard dan R. Tahapan pengolahan citra Landsat untuk mendapatkan peta tutupan lahan dilakukan sebagai berikut:
Gambar. 3. Lokasi titik pengamatan lapangan
A. Pra-pengolahan Tahap ini dilakukan untuk mengurangi efek topografi, bising atmosfer serta memperbaiki adanya bising garis akibat kesalahan sensor (striping) serta menambal tutupan awan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra serta membuat seri citra Landsat dapat digunakan untuk analisis waktu berseri (time series) (Yuan & Elvidge 1996; Lunetta et al. 1995; Song et al. 2000; Olthof et al. 2005). Koreksi topografi Daerah aliran Sungai Serayu hulu yang terletak pada wilayah vulkanik dan lipatan yang kompleks memberikan efek iluminasi pada perekaman citra Landsat daerah ini. Hal ini dapat mengakibatkan kurang akuratnya hasil klasifikasi citra, untuk itu koreksi topografi dipelukan. Metode yang digunakan adalah Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
metode C correction (Teillet et al. 1981). Metode ini dianggap paling sesuai untuk wilayah tropis (Twele & Erasmi 2005). C correction merupakan metode semi empiris yang menggunakan pendekatan regresi statistik antara nilai reflektansi band yang asli dengan perkiraan nilai iluminasi di lapangan yang diperoleh dari model ketinggian digital (DEM). Koreksi atmosfer Kondisi atmosfer yang dinamis mengharuskan dilakukannya koreksi pada citra yang digunakan dalam analisis tutupan lahan berseri (time series land cover analysis) (Moran et al. 1992; (Chavez 1996); (Song et al. 2000). Koreksi atmosfer yang dilakukan adalah koreksi akibat hamburan Mie dan Rayleigh, dimana kedua hamburan ini adalah bising yang paling sering dan dominan ada pada citra penginderaan jauh (Mather & Tso 2009; Richards & Jia 2006). Hamburan tersebut menyebabkan efek kabut tipis pada citra. Metode koreksi atmosfer yang digunakan pada penelitian ini adalah dark object substraction-4 (DOS-4) (Song et al. 2000). Metode DOS-4 merupakan pendekatan koreksi atmosfer yang dipandang cukup baik dibandingkan dengan metode koreksi atmosfer dengan pendekatan citra lainnya (Song et al. 2000) Normalisasi radiometrik relatif Berkaitan dengan analisa waktu berseri citra Landsat yang dilakukan pada penelitian ini, selain koreksi atmosfer, diperlukan juga normalisasi radiometrik pada seluruh citra yang digunakan dalam penelitian ini agar dapat dibandingkan satu sama lain. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir variasi kondisi permukaan objek pada citra yang direkam pada waktu dan kondisi permukaan objek yang berbeda yang dapat diakibatkan antara lain oleh perbedaan kelembaban objek dari waktu ke waktu (Mas 1999). Metode yang digunakan untuk normalisasi 59
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
radiometrik relatif dalam penelitian ini adalah dengan regresi linear nilai reflektansi objek pada citra yang tidak berubah dari waktu ke waktu (Lunetta et al. 1995). Metode ini dianggap cukup efektif dibandingkan dengan metode lainnya (Yuan & Elvidge. 1996). Penambalan awan dan bising garis Penambalan awan dan bising garis akibat kerusakan sensor Landsat (SLC-off) dilakukan dengan metode cropping awan dan bising garis pada citra dan menggantinya dengan citra lain dari waktu perekaman yang berdekatan dengan menggunakan formula matematika. Formula yang digunakan adalah : Citra_akhir=if(mask=true,
,) B. Klasifikasi citra Landsat terkini Setelah semua tahap pra-pengolahan citra dilakukan, selanjutnya citra Landsat terkini dapat diklasifikasi dengan training sampel dari data hasil pengamatan lapangan. Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing dengan bantuan algoritma Sequential Maximum A Posteriori (SMAP). Algoritma ini dipilih dengan pertimbangan bahwa hasil klasifikasi yang diperoleh memberikan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa metode populer lain seperti algoritma Maximum Likelihood (ML) (McCauley & Engel. 1995). Algorit-ma SMAP memiliki keunggulan berupa pendekatan geometrik disamping pendeka-tan radiometrik sebagaimana algoritma ML, sehingga dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi (Neteler & Mitasova 2005). Mekanisme klasifikasi algoritma SMAP dijelaskan oleh Bouman & Shapiro (1994) adalah dengan membangun file signature awal dari training sampel yang ditentukan menggunakan pendekatan distribusi Gaus-sian Mixture berdasarkan rata-rata nilai spektral dan parameter kovarian. Selanjut-nya nilai spektral dan parameter kovarian ini digunakan sebagai 60
kode identifikasi kelas tutupan lahan yang diketahui dengan menyertakan nilai spektral tetangga yang berbeda yang diasumsikan memiliki kelas yang sama pada berbagai skala hingga menghasilkan hasil yang paling halus (smoth). Jika pixel tetangga yang berbeda menghasilkan beberapa kelas yang berbeda pada beberapa proses pengulangan (iterasi), maka skala penghalusan dikurangi. Hal ini dilakukan hingga mencapai kestabilan. Hasil dari klasifikasi menggunakan algorit-ma SMAP memiliki segmentasi dengan region yang lebih halus (McCauley & Engel 1995). C. Penilaian tingkat akurasi hasil klasifikasi Setelah citra Landsat melalui tahap klasifikasi, tahap selanjutnya adalah melakukan penilaian tingkat akurasi hasil klasifikasi terhadap sample tutupan lahan yang diperoleh dari lapangan. Metode yang digunakan adalah error matrix dan kappa statistics (Congalton & Green 2009). D. Klasifikasi citra Landsat tahun-tahun sebelumnya Setelah proses klasifikasi citra Landsat terkini dilakukan, maka proses selanjutnya adalah melakukan ekstraksi nilai spektral reflektansi semua kelas yang diteliti yang digunakan sebagai panduan klasifikasi 4 citra Landsat tahun-tahun sebelumnya, dalam hal ini memiliki 5 tahun interval ke belakang. Asumsi yang digunakan adalah setiap objek di lapangan memiliki karak-teristik reflektansi kanopi tertentu yang kurang lebih tidak berubah (Richards & Jia 2006). Nilai reflektansi kanopi tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek yang sama pada citra dengan waktu perekaman yang berbeda setelah melalui tahap pra-pengolahan sebagaimana dijelas-kan pada sub-bab sebelumnya (Yuan et al. 1996; Lunetta et al. 1995). Proses identifikasi karakteristik reflektansi objek tertentu dapat dilakukan dengan bantuan identifikasi feature space dan analisis Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
statistik dari hasil ekstraksi nilai reflektansi hasil klasifikasi yang menjadi referensi (dalam hal ini hasil klasifikasi citra Landsat terkini) (Mather & Tso 2009). Adanya kumpulan titik yang berdekatan atau awan titik pada feature space multi spektral mengindikasikan sebuah kelas objek dari citra Landsat (Gbr. 4). Nilai tengah dari awan titik itu meng-informasikan nilai moda dari objek yang bersangkutan. Posisi sebuah awan titik pada feature space dapat diidentifikasi dengan menggunakan nilai sudut dan magnitudo dari awan titik sebuah objek (Gambar 4).
x è X = arccos X
dimana: è X = sudut vektor magnitudo terhadap sumbu band x
(2)
Untuk mengakomodasi variasi dalam satu kelas tutupan lahan maka interpretasi manual dilakukan dengan bantuan histo-gram masingmasing kelas pada masing-masing band (Gambar 5).
Gambar 5. Penentuan jangkauan magnitudo/ sudut pada suatu kelas pada satu band Gambar 4. Posisi objek (awan titik) pada feature space
Konsep vektor pada feature space ini yang dimanfaatkan untuk mengklasifikasi citra Landsat tahun-tahun sebelumnya. Untuk mengetahui nilai magnitudo awan titik terhadap pusat sumbu pada feature space, digunakan persamaan di bawah ini. X = x12 + x 22 + x32 + x 42 + x52 + ... + x n2
(1)
Dimana : X = nilai magnitudo vektor awan titik x = nilai reflektasi band Untuk mengetahui nilai sudut posisi objek pada feature space terhadap masing-masing sumbu yang dalam hal ini mewakili masing band, digunakan persamaan di bawah ini. Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Dengan demikian diperoleh nilai jangkauan sudut dan magnitudo masing-masing kelas pada tiap band yang digunakan untuk memperkirakan objek-objek yang tidak mengalami perubahan. Setelah objek-objek tersebut teridentifikasi maka selanjutnya digunakan sebagai training sampel untuk proses klasifikasi lebih jauh dengan metode SMAP. Metode ini diadaptasi dari Kontoes (Kontoes 2008). 2.3 Analisis Perubahan Tutupan Lahan Analisa perubahan tutupan lahan dilakukan dengan metode pasca klasifikasi. Metode ini sangat umum digunakan dan didukung oleh banyak perangkat lunak penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (Chen et al. 2003). Teknik yang umum digunakan adalah tumpang susun yang disusul dengan operasi tabel. Dua hasil klasifikasi dari dua waktu 61
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
yang berbeda yang ditumpang-susunkan bila menunjukkan atribut tabel yang sama mengindikasikan tidak adanya perubahan tutupan lahan dan sebaliknya. Di samping itu analisis tumpang susun dapat dilakukan secara virtual dengan bantuan kalkulator peta (map calculator) sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini.
bawah. Di bagian puncak pegunungan vulkanik dijumpai semak belukar, tanah terbuka serta danau kawah.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil klasifikasi seri citra Landsat DAS Serayu Hulu menghasilkan delapan jenis tutupan lahan, yaitu, daerah terbangun, persawahan, badan air, pertanian tanah kering, hutan, semak belukar, perkebunan dan tanah terbuka. Lebih lengkap mengenai kondisi tutupan lahan di DAS Serayu Hulu dijelaskan pada bagian 3.1. Sementara itu, dari hasil penilaian akurasi terhadap hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2009 didapatkan nilai akurasi keseluruhan sebesar 85,7% dan nilai perkiraan kappa sebesar 0.83. 3.1 Tutupan Lahan 1989 – 2009 Tutupan lahan di DAS Serayu Hulu pada tahun 1989 (Gambar 6) didominasi oleh tutupan hutan dengan proporsi sebesar 43,7% dari luas DAS, disusul oleh pertanian tanah kering 24,4%, perkebunan 16,5% dan persawahan 10,8%. Tutupan hutan dapat ditemui di bagian utara, tengah, timur dan barat dari DAS Serayu Hulu. Daerah-daerah yang memiliki tutupan hutan pada umumnya merupakan kaki pegunungan vulkanik sampai dengan wilayah kerucut vulkanik dan punggungan monoklinal. Sementara pertanian tanah kering secara dominan dijumpai pada wilayah Plato Dieng. Perkebunan dapat dijumpai di wilayah tengah dan selatan yang merupa-kan wilayah berlereng terjal yang telah tererosi dan wilayah teras aliran utama Sungai Serayu. Persawahan dapat dijumpai pada wilayah teras aliran utama Sungai Serayu dan beberapa anak sungai yang berada di kaki pegunungan vulkanik bagian 62
Gambar 6. Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 1989
Tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu pada tahun 1994 (Gambar 7) didominasi oleh pertanian tanah kering dengan proporsi sebesar 36,3%, disusul oleh tutupan hutan 29,4%, perkebunan 16,7% dan persawahan dengan proporsi 7,8%. Jika dibandingkan dengan luasan pa-da tahun 1989, terjadi penurunan yang cukup signifikan dari luas areal tutupan hutan dan sebaliknya terjadi pertambahan luas pertanian tanah kering yang juga signifikan. Luas tutupan lahan Persawahan berkurang sebesar 20% dibandingkan dengan luasnya pada tahun 1989.
Gambar. 7. Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 1994
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Pada tahun 1999, tutupan lahan didominasi oleh tutupan pertanian tanah kering sebesar 31,6%, hutan sebesar 23,2%, perkebunan sebesar 22,2%, semak belukar sebesar 10,1% dan persawahan sebesar 9,3%. Dibandingkan dengan luasan tutupan lahan tahun 1994, luasan wilayah pertanian tanah kering mengalami sedikit penurunan, demikian juga luasan tutupan hutan. Di sisi lain luas perkebunan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Semantara luas areal persawahan mengalami sedikit peningkatan (lihat gambar 8). Gambar 9. Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 2003
Gambar 8. Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 1999
Adanya perluasan perkebunan dapat diamati pada bagian atas dari wilayah berlereng terjal yang telah tererosi yang terletak di bagian tengah menuju kaki pegunungan vulkanik di bagian utara. Sementara perluasan semak belukar dapat diamati pada kaki pegunungan sampai dengan puncak gunung berapi. Pada tahun 2003, tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu (Gambar 9) didominasi oleh pertanian tanah kering sebesar 29,5%, disusul oleh perkebunan sebesar 24,7%, hutan sebesar 19,3%, semak belukar sebesar 17% dan persawahan sebesar 5,7%. Bila dibandingkan dengan tutupan lahan pada tahun 1999, pertanian tanah kering mengalami sedikit penurunan luas areal, demikian juga tutupan hutan. Sementara itu luas areal persawahan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Perluasan areal perkebunan antara lain dapat diamati pada wilayah kaki pegunungan vulkanik sampai dengan wilayah tengah dari kerucut vulkanik pada bagian barat laut dan tengah dari daerah aliran Sungai Serayu Hulu. Sementara itu perluasan semak belukar pada umumnya terjadi pada wilayah kerucut vulkanik dan kaki pegunungan vulkanik di bagian timur dan utara daerah aliran Sungai Serayu hulu. Tutupan perkebunan sebesar 36,2% mendominasi tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu pada tahun 2009 (Gambar 10). Disusul oleh pertanian tanah kering sebesar 21,8%, semak belukar sebesar 19,3%, hutan sebesar 11,2% dan persawahan sebesar 6%. Dibandingkan dengan luasan pada tahun 2003, wilayah pertanian tanah kering mengalami penurunan yang cukup signifikan, demikian juga tutupan hutan. Sebaliknya perluasan wilayah perkebunan sangat signifikan, sementara semak belukar mengalami sedikit pertambahan luas wilayah. Untuk tutupan wilayah terbangun, meskipun proporsi luasannya kurang signifikan dibandingkan luas keseluruhan daerah aliran Sungai Serayu Hulu tapi jika dibandingkan dengan luasan pada tahun 2003 mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Perluasan perkebunan dapat ditemui pada wilayah tengah dari daerah aliran Sungai Serayu Hulu, sementara semak belukar telihat meluas pada wilayah kerucut vulkanik. Sementara itu 63
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
perluasan wilayah terbangun terlihat menyebar di seluruh wilayah daerah aliran Sungai Serayu Hulu.
Gambar 10. Tutupan lahan DAS Serayu Hulu tahun 2009
3.2 Perubahan Tutupan Lahan 1989 – 2009 Selama kurun waktu 1989 sampai dengan 2009, telah terjadi perubahan tutupan lahan yang cukup signifikan dan dinamis di daerah aliran Sungai Serayu Hulu. Tutupan hutan telah berubah menjadi wilayah pertanian tanah kering, perkebunan maupun semak belukar. Berdasarkan analisa perubahan tutupan lahan, luasan hutan turun sebesar 33% dalam kurun waktu 1989 sampai dengan 1994 dan terus menurun sampai dengan tahun 2009 sebesar rata-rata 26%. Secara keseluruhan penurunan luasan hutan semenjak tahun 1989 sampai dengan 2009 adalah sebesar 74%. Alih fungsi hutan menjadi wilayah pertanian tidak terlepas dari motif pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang juga dipengaruhi oleh faktor sosial politik Indonesia selama kurun waktu tersebut (Lavigne & Gunnell 2006). Alih fungsi pertanian tanah kering menjadi perkebunan yang juga silih berganti terjadi pada kurun waktu 1989 sampai dengan 2009 tidak terlepas dari kecenderungan daya serap pasar terhadap produk pertanian terutama kentang yang fluktuatif di samping munculnya wilayahwilayah sentra produksi baru serta menurunnya kualitas kesuburan tanah. Selama kurun waktu 64
1989 sampai dengan 1994 terlihat jelas perubahan tutupan hutan, perkebunan dan persawahan menjadi pertaniana tanah kering yang sebagian besar memproduksi kentang sebesar 11.000 ha. Menurut informasi pemerintah lokal, hal ini dapat difahami berkaitan dengan permintaan produksi kentang di wilayah Jawa Tengah dan Nasional yang sedang meningkat. Pada periode berikutnya luasan pertanian tanah kering berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Sebaliknya perubahan itu lebih banyak kepada perluasan perkebunan albasiah yang dikenal dapat tumbuh dengan cepat sehingga dapat segera dipanen serta memiliki pasar yang relatif lebih stabil. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa klasifikasi citra Landsat, dominasi tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu didominasi oleh hutan dan pertanian tanah kering pada kurun waktu 1989 sampai dengan 1999. Sementara pada kurun waktu berikutnya sampai dengan tahun 2003, dominasi tutupan lahan di daerah ini adalah pertanian tanah kering kemudian perkebunan, sedangkan sampai dengan tahun 2009 didominasi oleh perkebunan kemudian pertanian tanah kering. Perubahan tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu selama kurun waktu 1989 sampai dengan 1994 didominasi secara berurutan oleh konversi hutan, perkebunan, semak belukar dan persawahan menjadi pertanian tanah kering. Sementara selama kurun waktu 1994 sampai dengan tahun 1999 dominasi secara berutuan oleh perubahan tutupan lahan adalah dari hutan, pertanian tanah kering, semak belukar dan persawahan menjadi perkebunan. Perubahan persawahan, hutan, pertanian tanah kering, perkebunan dan padang rumput menjadi semak belukar mendominasi perubahan tutupan lahan pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2003 di daerah ini. Sedangkan konversi lahan persawahan, pertanian tanah Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
kering, hutan dan semak belukar menjadi perkebunan mendominasi perubahan tutupan lahan di daerah aliran Sungai Serayu Hulu pada kurun waktu tahun 2003 sampai dengan 2009. V. UCAPAN TERIMA KASIH
Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 69(4), 369-379. Congalton, R., & Green, K. 2009. Accuracy Remotely Sensed Data (Second Edi., p. 183). Boca Raton: CRC Press.
Tulisan ini merupakan bagian dari tesis penulis pertama untuk meraih gelar Master of Science di Faculty of ITC University of Twente, Netherlands. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua pembimbing, Dr. Dhruba Pikha Shestha dan Prof. Dr. Victor G. Jetten. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Geografi Universitas Indonesia, Drs. Triarko Nurlambang, MA atas dukungan penuh terhadap studi penulis di Faculty of ITC University of Twente.
Djajadilaga, M., Agustina, H., Pribadi, W., Harimurti, Lindawati, Gaol, L. P., et al. 2009. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008 (State of Environment Report of Indonesia). Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Kontoes, C. C. 2008. Operational land cover change detection using change vector analysis. Int. J. of Remote Sensing, 29(16),4757-4779. doi: 10. 1080/01431160801961367.
Anderson, B. J., Hardy, E. E., Roach, J. T., & Witmer, R. E. 1976. A Land Use And Land Cover Classification System For Use With Remote Sensor Data. Development (964 ed., Vol. 2001, p. 41). Washington: United States Department of the Interior and USGS. Bouman, C. A., & Shapiro, M. 1994. A Multiscale Random Field Model for Bayesian Image Segmentation. IEEE transactions on image processing : a publication of the IEEE signal processing society, 3(2), 162-77. doi: 10.1109/83.277898. Chavez, P. 1996. Image-based atmospheric corrections-revisited and improved. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 62(9), 1025–1035. [Falls Church, Va.] American Society of Photogrammetry. Retrieved from http:// www.asprs.org/publications/pers/96journal/ september/1996_sep_1025-1036.pdf. Chen, J., Gong, P., He, C., Pu, R., & Shi, P. 2003. Land-Use/Land-Cover Change Detection Using Improved Change-Vector Analysis.
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu
Houghton, R. H., Joos, F., & Asner, G. P. 2004. Land Change Science. In Land Change Science, Remote Sensing and Digital Image Processing (Vol. 6, pp. 237-256). Dordrecht: Springer Netherlands. doi: 10.1007/978-14020-2562-4.
Lambin, E. F., Geist, H., & Rindfuss, R. R. 2006. Introduction: Local Processes with Global Impacts. In Land-Use and Land-Cover Change, Global Change - The IGBP Series (pp. 1-8). Springer Berlin Heidelberg. doi: 10.1007/3-540-32202-7. Lavigne, F., & Gunnell, Y. 2006. Land cover change and abrupt environmental impacts on Javan volcanoes, Indonesia: a longterm perspective on recent events. Reg. Env. Change, 6(1-2), 86-100. doi: 10.1007/ s10113-005-0009-2. Lunetta, R. S., Elvidge, D., Yuan, D., & Weerackoon, R. D. 1995. Relative Radiometric Normalization Landsat Multispectral Scanner (MSS) Data Using an Automatic Scattergram Controlled Regression. Ame. Soc. for Photogrammetry and Remote Sensing, 61(10), 1225-1260.
65
Jurnal Geografi, Vol. 3 No. 1 / Januari 2010
Mas, J. 1999. Monitoring land-cover changes: a comparison of change detection techniques. Int. J.of Remote Sensing, 20(1), 139–152. London: Taylor \& Francis, c1980-. Mather, P., & Tso, B. 2009. Classi-fication Methods for Remotely Sensed Data, Sec. Ed. (Second., p. 347). Boca Raton: CRC Press. Retrieved from http://www. informaworld. com/978-0-415-25908-8. McCauley, J., & Engel, B. 1995. Comparison of scene segmentations: SMAP, ECHO, and maximum likelihood. IEEE Tran.on Geoscience and Remote Sensing, 33(6), 1313-1316. doi: 10.1109/36.477185. Moran, M., Jackson, R., Slater, P., & Teillet, P. 1992. Evaluation of simplified procedures for retrieval of land surface reflectance factors from satellite sensor output. Remote Sensing of Environment, 41(2-3), 169-184. doi: 10.1016/0034-4257(92)90076-V. NASA. 2010. The Landsat Program - History. Retrieved from http://landsat. gsfc.nasa.gov/ about/landsat5.html. Neteler, M., & Mitasova, H. 2005. Open source GIS: A GRASS GIS Approach (2nd, p. 417). Boston: Kluwer Acad. Pub.. Retrieved from http://books. google. com/books?hl=nl&lr=&id=5JIwSM_frYC&pgis=1. Olthof, I., Pouliot, D., Fernandes, R., & Latifovic, R. 2005. Landsat-7 ETM+ radiometric normalization comparison for northern mapping applications. Remote Sensing of Environment, 95(3), 388-398.doi:10.1016/j. rse.2004.06.024. Pagiola, S. 2004. Land Use Change in Indonesia. Others. Washington. Retrieved from http://econwpa.wustl. edu/eps/othr/ papers/0405/0405007.pdf.
66
Ramankutty, N., Graumlich, L., Achard, F., Alves, D., Chhabra, A., DeFries, R. S., et al. 2006. Global Land-Cover Change: Recent Progress, Remaining Challenges. In The IGBP Series (pp. 9-39). Springer Berlin Heidelberg. doi: 10.1007/3-540-32202-7. Richards, J., & Jia, X. 2006. Remote sensing digital image analysis : an introduction (Fourth edi., p. 439). Berlin: SpringerVerlag. Song, C., Woodcock, C. E., Seto, K. C., Lenney, M. P., & Macomber, S. A. 2000. Classification and Change Detection Using Landsat TM Data: When and How to Correct Atmospheric Effects? Remote Sensing of Environment, 4257(00). Syariman, P., & Soewarno. 2008. Sedimentation Control: Part II. Intensive Measures The Inside of The Mrica Reservoir, Central Java. Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation, 3(1), 17-24.Retrieved from www. trisanita.org. Teillet, P. M., Guindon, B., & Goodenough, D. G. 1981. On the Slope-Aspect Correction of Multispectral Scanner Data. Symposium A Quarterly Journal In Modern Foreign Literatures. Twele, A., & Erasmi, S. 2005. Evaluating topographic correction algorithms for improved land cover discrimination in mountainous areas of central sulawesi. Remote Sensing and GIS for Environmental Studies, 113, 287-295. Yuan, D., & Elvidge, C. 1996. Comparison of relative radiometric normalization techniques. J .of Photogrammetry and Remote Sensing, 51(3), 117–126. Elsevier. Retrievedfrom http://linkinghub.elsevier. com/ retrieve/pii/0924271696000184.
Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu Hulu