JAMINAN KEHALALAN BERDASARKAN KELOMPOK BISNIS PANGAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGAN DENGAN BEBERAPA NEGARA
ELVINA AGUSTIN RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013 Elvina Agustin Rahayu NRP F 252100015
RINGKASAN ELVINA AGUSTIN RAHAYU. Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara Dibimbing oleh DAHRUL SYAH dan JOKO HERMANIANTO. Jaminan kehalalan bagi penduduk muslim Indonesia merupakan kewajiban yang harus disediakan pemerintah. Indonesia memiliki populasi muslim terbesar saat ini yaitu 88 % dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 239 juta penduduk. Kegiatan sertifikasi halal semata, belum cukup menjadi cara untuk menjamin kehalalan produk bagi konsumen muslim Indonesia. Penelitian LP POM tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 113.515 produk yang beredar sesuai dengan izin BPOM hanya 36,73 persen yang telah memiliki sertifikat halal. Dengan kata lain, 63,27 persen produk sisanya tidak ada jaminan kehalalannya, jika ditinjau dari pola pikir sertifikasi Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan regulasi halal di Indonesia, melalui 4 kelompok bisnis pangan yang ada. Berdasarkan PP No.28/2004 ada 4 kelompok bisnis yaitu kelompok bisnis pangan segar, industri rumah tangga ,industri pangan dan pangan siap saji. Selain poin diatas, dilakukan juga identifikasi terhadap penerapan system Jaminan kehalalan di beberapa Negara yaitu : (1) Negara Negara Teluk (dalam penelitian ini Arab Saudi dan Uni Arab Emirat), (2) Singapura, (3) Uni Eropa (Jerman dan Belanda), (4) Australia. Identifikasi terhadap penerapan system Jaminan kehalalan didasarkan pada model kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu ; (1) legislasi/regulasi, (2) Pengendalian, (3) Jasa Laboratorium, (4) Inspeksi dan (5) Pelatihan, publikasi dan sosialisasi. Identifikasi regulasi secara detail dilakukan hanya untuk Indonesia, sementara untuk 4 negara lain yang ada dalam penelitian ini, identifikasi dilakukan berdasarkan data yang tersedia dari media public. Keberadaan regulasi halal di Indonesia di identifikasi dengan menelaah 98 regulasi dalam bentuk undang undang termasuk UU Pangan no 18/2012, peraturan pemerintah dan peraturan mentri atau kepala badan di setiap 4 kelompok bisnis yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan regulasi halal di Indonesia yang paling lengkap ada pada kelompok bisnis pangan segar sedangkan yang paling tidak lengkap ada pada bisnis pangan siap saji. Selain kesenjangan, penelitian ini juga menunjukkan adanya inkonsistensi dalam aturan. Regulasi terkait dengan peredaran atau masuknya daging ke Indonesia secara implisit menunjukkan bahwa daging halal yang bersertifikat dan yang tidak bersertifikat dapat masuk ke Indonesia. Hal ini terdapat pada PP No.95/2010 pasal 31 dan Permentan No.50 /2011 pasal 19. Dua (2) pasal tersebut pada hakekatnya bertolak belakang dengan aturan yang lebih tinggi yaitu Undangundang Kesehatan Masyarakat Veteriner No.8/2009 pasal 56 ayat 4 yang menyatakan bahwa semua daging hewan yang masuk ke Indonesia harus disertai dengan sertifikat veteriner dan halal. Ada 5 model sistem jaminan kehalalan yang tertangkap dari hasil penelitian ini. Model pertama jaminan kehalalan hanya berdasarkan proses sertifikasi halal yang sifatnya sukarela (voluntary). Indonesia merupakan negara dengan model sistem jaminan tersebut. Model kedua , negara yang menerapkan
hukum Islam sebagai dasar hukum Negara. Jaminan kehalalan menjadi bagian dari tanggungjawab pemerintah, terutama untuk produk impor. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab masuk dalam model kedua dari sistem jaminan kehalalan yang tertangkap dalam penelitian ini. Model ketiga diwakilkan oleh negara Singapura. Jumlah populasi muslim di negara ini memang minoritas yaitu 15 %, tetapi pemerintah menjamin kebutuhan muslim dengan adanya aturan yang tertuang pada AMLA (the Administration of Moslem Law Act). Jaminan kehalalan dilakukan melalui kegiatan sertifikasi halal yang dilakukan oleh Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang merupakan bagian dari pemerintah. Model keempat adalah model yang diwakili oleh negara-negara Uni Eropa. Jaminan kehalalan merupakan upaya mandiri dari organisasi muslim atau komunitas muslim setempat. Awalnya pemerintah tidak ikut campur dalam pengelolaan halal di Uni Eropa ini. Sejak Januari 2013 negara sudah ikut menetapkan standar penyembelihan berdasarkan aturan agama (religious) untuk penduduk muslim dan yahudi. Model kelima adalah negara yang diwakili oleh Australia. Pemerintah bersama dengan organisasi muslim di negara tersebut bekerjasama untuk menyediakan daging halal dalam rangka kebutuhan ekspor ke negara muslim. Sertifikat halal menjadi bagian dari dokumen negara. Pemerintah yang berperan aktif melakukan komunikasi ditingkat negara untuk kemudian di komunikasikan ke lembaga sertifikasi halal yang ada di Australia. Dari penelitian ini, arsitektur jaminan kehalalan di Indonesia yang diajukan adalah menjadikan UU Pangan No.18/2012 sebagai payung dari pelaksanaan halal di Indonesia, sementara 4 kelompok bisnis pangan yang ada menjadi pilar dari bangunan dan regulasi terkait halal menjadi landasannya. Untuk itu harus terdapat pernyataan eksplisit yang menekankan jaminan kehalalan bagi konsumen muslim disetiap aturan turunan Undang Undang Pangan. Dengan demikian jaminan kehalalan dilakukan dengan mengadopsi model sistem jaminan kehalalan negara negara Teluk (Gulf Cooperation Council). Pada masa transisi prinsip voluntary (jaminan kehalalan melalui sertifikasi) dapat dilakukan untuk membiasakan pola kerja produksi halal. Sertifikat halal sebagai hasil dari proses sertifikasi halal harus menjadi bagian dari dokumen Negara sebagaimana yang diterapkan di Negara Australia. Kata kunci: Jaminan kehalalan, model sistem jaminan kehalalan, regulasi halal.
SUMMARY The research to identify the existence of halal regulation at different category/type/group of foood business was conducted based on content analysis of availablelasify of food business. Based on Government Regulation (PP) No.28/2004, food business in Indonesia are grouped into 4 category, namely fresh food,home industry product (PIRT), industrial food products as well as fast food and restaurant. The existence of Halal regulation is identified for each step of business. Started from registration of business, processing and packaging until product distribution.the identification also includes surveillance and follow up of noncomplying status based on content analysis. Next, the availability of explicit statement of halal assurance clause(s)l in the current regulation was evaluated. Besides , this study also identified the Halal Assurance System (HAS) in some countries.The selected countries in this study are Indonesia, Gulf Countries (focus on Saudi Arabia and Uni Emirat Arab), Australian,Singapore, Germany and Netherland. Halal Assurance System of countries are identified based on the infrastructure model of food safety assurance that are as follows : (1) Regulation/Legislation (2) Controlling (3) Inspection (4) Laboratory Service (5) Training,publication and socialization. In general Indonesia does not have proper halal assurance at any group of food business. The coverage of halal regulation at fresh food group is relatively wider than other categories. Meanwhile fast food and restaurant group has a big lack/gap in halal assurance system. Explicit statement of halal assurance was found only at distribution step. Elimination of this gap could be used to design halal assurance model to cover each steps in all category of food business from fresh food, processed food until fast food/ restaurant. Based on currently matrice,there are 5 models of Halal Assurance System implemented throughout the world. Implementation of HAS in Indonesia could be done by combining lesson learned drawn from currently experience. It should be carried out, especially to eliminate the gap identified by this study. The HAS that proposed to be run in Indonesia should be developed by combining the activities performed in Gulf countries (full inpection by government) and certification process performed in Australia. Keywords : Halal Assurance ,Certification , infrastructure model,food business
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
JAMINAN KEHALALAN BERDASARKAN KELOMPOK BISNIS PANGAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGAN DENGAN BEBERAPA NEGARA
ELVINA AGUSTIN RAHAYU
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji luar komisi pada ujian tugas akhir: Dr Ir Feri Kusnandar, MSc
Judul Tugas Akhir
: Jaminan Kehalalan Berdasarkan Kelompok Bisnis Pangan di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara
Nama
: Elvina Agustin Rahayu
NIM
: F 252100015
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Dahrul Ssyah, MSc Agr
Dr Ir Joko Hermanianto
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Dr Ir Dahrul syah, MSc Agr
Tanggal ujian : 22 Juni 2013
Tanggal lulus :
PRAKATA Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, atas kehendak dan kemudahanNya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Karya ini penulis dedikasikan untuk almarhum kedua orangtua, mama papa tercinta dengan prinsip hidup yang telah ditanamkannya.Penulis berharap karya ini akan menjadi manfaat untuk orang banyak sehingga mengalir penghargaan dari Nya untuk kedua almarhum orangtua tercinta. Rasa terimakasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kedua dosen pembimbing, Bapak Dr.Ir.Dahrulsyah dan Bapak Dr.Ir.Joko Hermanianto yang telah banyak memberikan bimbingan, semangat dan kepercayaannya kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Hanya Allah yang dapat memberikan balasan yang terbaik. Untuk anak-anak ku tercinta dan terkasih Wadiah, Widad, Muhammad dan Hilmi kalian adalah semangat hidupku. Semoga karya ini bisa menjadi inspirasi dan semangat kalian untuk menjadi orang besar yang bermanfaat. Untuk mbak-mbak dan mas mas ku, terutama Mbak Min ,Mbak Tuti dan Mas Beny terimakasih atas dukungan kalian yang sangat berarti yang mungkin tidak kalian sadari. Kesempatan dan pengajaran yang tidak ternilai yang telah diberikan oleh Prof Hj.Aisjah Girindra dan Prof.Tun Tedja kepada penulis tidak akan pernah terlupakan. Hanya balasan terbaik dari Nya yang pantas untuk keduanya.. Sahabat-sahabat dan saudaraku, Mbak Jus dan Mbak Wida terimakasih atas kebersamaan, semangat dan doa yang senantiasa kalian hembuskan. Terimakasih untuk Mbak Muti atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalankan penelitian ini. Untuk Teti terimakasih atas bantuannya untuk mengedit tulisan ini serta teman dan sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Pembalasan dari Allah yang terbaik untuk semua yang telah kalian berikan. Akhirnya hanya kepada Allah semua kupersembahkan karyaku… A miles of journey start from one small step (alm Papa tercinta) “if you do one thing you will get everything..but if you do everything you will get nothing (Prof Hj.Aisjah Girindra, 1994)
Bogor, Juli 2013
Elvina Agustin Rahayu
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan dari pasangan Suryo Wiyono (alm) dan Deliana Sagala (alm) di Lhokseumawe, Aceh pada tanggal 23 Agustus 1969. Penulis menamatkan sekolah SD hingga Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Lhokseumawe,Aceh. Kemudian penulis melanjutkan sekolah dan menamatkan sekolah lanjutan atas di SMAN 5 Surabaya pada tahun 1988, untuk selajutnya memulai kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1988 dan memilih jurusan Teknologi Pangan. Tahun 1993, penulis menyelesaikan kuliah di jurusan Teknologi Pangan dan bergabung dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Setelah hampir setahun di YLKI penulis kemudian bergabung dengan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI) pada tahun 1994 hingga saat ini. Pada tahun 2001 penulis bergabung sebagai tim eksternal di Laboratorium Terpadu IPB untuk mendirikan lembaga sertifikasi keamanan pangan dalam skema akreditasi KAN. Saat ini penulis sebagai tenaga ahli dan lead auditor keamanan pangan berbasis ISO 22000 dan HACCP di lembaga tersebut. Dari tahun 2005 hingga saat ini penulis berpartisipasi dalam kegiatan rutin tahunan sebagai evaluator (lead evaluator) SNI Award yang dilaksanakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Tahun 2011 penulis bergabung di TUV Rheiland Indonesia sebagai eksternal food hygiene auditor utuk pemeriksaan sarana Food & Beverages di jaringan hotel grup Accor dan Tauziyah. Kegiatan tetap lainnya adalah mengisi kolom halal di majalah An Nisaa sejak tahun 2011.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Penelitian C. Ruang Lingkup D. Manfaat Penelitian
1 2 3 3 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Regulasi Pangan Halal B. Pengertian Produk Halal C. Produk Domestik Bruto dan Jumlah Penduduk Muslim Dunia D. Potensi Pasar Halal Dunia E. Penerapan Halal di berbagai Negara Mekanisme Jaminan Halal F. Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia G. Jaminan Halal dan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia
3 3 4 5 7 7 8 10
BAB III. METODOLOGI A. Tahapan Penelitian B. Objek dan Pengumpulan data C. Personal sebagai nara sumber
10 10 11 11
BAB IV. ANALISIS KONTEN TERKAIT ATURAN HALAL A. Aturan Halal di Indonesia 1. Pangan Segar 2. Produk Industri Rumah Tangga 3. Produk Pangan Industri Pengolahan 4. Pangan Siap Saji
11 11 13 15 16 18
BAB V. KONDISI PENERAPAN HALAL DI BERBAGAI NEGARA A. INDONESIA B.ARAB SAUDI DAN NEGARA TELUK C.AUSTRALIA D.SINGAPURA E.EROPA
19 20 26 30 34 37
BAB VI. JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA A. Analisa konten terhadap legislasi dan manajemen pengawasan B. Analisa konten terhadap kegiatan inspeksi dan pelayanan C. Analisa konten terhadap edukasi,komunikasi dan informasi
44 44 47 49
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
50 52 56
DAFTAR TABEL
1.
Produk Domestik Bruto dan Jumlah Penduduk Muslim
6
2.
Populasi Muslim per kawasan
7
3.
Regulasi halal di Indonesia pada kelompok bisnis pangan
14
4.
Regulasi Halal pada kelompok bisnis Pangan Segar
15
5.
Regulasi Halal Pangan PIRT
17
6.
Regulasi Halal Pangan Industri Pengolahan
18
7.
Regulasi Halal pada produk pangan siap saji
19
8.
Penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara
19
9.
Hasil Pengawasan Januari 2008 –Oktober 2011
22
Matriks inspeksi pangan impor berdasarkan kriteria seleksi vs
29
10.
tipe kanal. 11.
Pembiayaan Sertifikasi di Singapore (sumber Website MUIS)
37
12.
Perbandingan model sistem jaminan kehalalan di beberapa
51
Negara
DAFTAR GAMBAR
1.
Perkiraan Jumlah Populasi Muslim pada tahun 2030 (Sumber :
6
Pew Research Center’s Forum, 2011) 2.
Visi 2025 Indonesia.
9
3.
Organisasi pelaksana sertifikasi halal
23
4.
Proses Sertifikasi Halal
24
5.
Proses Sertifikasi Online
25
6.
Struktur GCO
27
7.
Struktur Organisasi Majelis Ugama Islam Singapura
36
8.
Organisasi Yayasan HFF
39
9.
Organisasi Lembaga Sertifikasi HFFIA
39
10.
Organisasi Lembaga Sertifikasi Halal Correct
40
11.
Organisasi Lembaga Sertifikasi Halal Control
40
12.
Alat yang digunakan dalam kegiatan halal politie
43
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
Hasil Penelitian Jaminan kehalalan beberapa negara berdasarkan poin kerangka infrastruktur regulasi pangan
56
Kuisoner Penerapan Halal di Beberapa Negara
63
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia memiliki jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Persentase muslim Indonesia diperkirakan 88% dari sekitar 240 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia, karenanya Indonesia termasuk negara berkembang yang menjadi potensi pasar yang cukup menjanjikan. Kehalalan pangan menjadi salah satu hal penting bagi penduduk Indonesia. Konsumen Muslim yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia, mutlak mendapatkan jaminan kehalalan produk yang akan dikonsumsi. Mengkonsumsi pangan halal bagi konsumen muslim menjadi bagian dari Ibadah menjalankan ajaran agama. Ketersediaan pangan halal di Indonesia merupakan hak asasi yang harus dipenuhi oleh negara. Ketersediaan produk halal bagi konsumen muslim dapat berasal dari jaminan yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga ulama atau swadaya komunitas muslim. Sertifikasi halal merupakan salah satu bentuk jaminan terhadap produk yang dihasilkan. Di Indonesia penetapan fatwa halal untuk suatu produk pangan menjadi wilayah otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majelis Ulama Indonesia membentuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Kosmetika (LP POM) sebagai lembaga pemeriksa di lapang dalam rangkaian proses sertifikasi halal. Prospek pangan halal menjadi suatu hal yang menjanjikan. Ketersediaan pangan halal menjadi kebutuhan setiap muslim tanpa pengecualian. Populasi muslim dunia pada perhitungan tahun 2009 mencapai 1.83 milyar, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1.8 persen pertahunnya sehingga pertambahan penduduk menjadi sekitar 117 juta pertahunnya. Pasar produk halal saat ini mendekati US$ 2.3 triliun. Perspektif pangan halal tidak hanya untuk konsumen muslim , tetapi menjadi perhatian konsumen non muslim. Saat ini konsumen muslim Indonesia mendapatkan jaminan kehalalan dari proses sertifikasi yang dilakukan oleh LP POM MUI untuk produk pangan kemasan dan pangan siap saji. Sementara untuk produk pangan segar hewan, Kementrian Pertanian (Kementan) merupakan lembaga otoritas yang melaksanakan pengelolaan daging dan produk turunannya agar sesuai aturan kesehatan dan kehalalannya. Jaminan kehalalan melalui proses sertifikasi masih belum bisa menjangkau semua produk yang beredar di Indonesia. Berdasarkan data LP POM MUI (2010) produk pangan, obat dan kosmetika yang terdaftar di Badan POM, hanya 36.73 % dari 113.515 produk tersebut yang memiliki sertifikat halal. LP POM MUI dalam melakukan aktifitas sertifikasi bersifat voluntary bukan mandatory. Disamping itu kondisi demografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan menyebabkan adanya peluang untuk masuknya barang impor illegal yang faktor kehalalannya juga sangat diragukan. Di era globalisasi pertukaran produk antar negara sudah menjadi hal yang mudah. Bagi masyarakat Indonesia masalah halal menjadi hal yang sangat penting. Sertifikasi halal menjadi salah satu penjamin kehalalan suatu produk atau
2 bahan yang dikirim ke dalam wilayah negara Indonesia. Produk yang masuk ke Indonesia umumnya berasal dari negara yang minoritas muslim. Permasalahannya importir tidak jarang membawa sertifikat halal dari lembaga yang tidak diakui oleh MUI. Keadaan ini memberikan sejumlah alasan dan keluhan bagi industri bahwa halal menjadi semacam hambatan. Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai etnis,suku dan budaya, dengan level kehidupan ekonomi yang perbedaannya cukup besar. Sertifikasi terhadap usaha makanan seperti warung nasi atau pun restauran yang dimiliki oleh para pengusaha bermodal kecil menjadi suatu kendala yang cukup signifikan dari segi pelaksanaan dan biaya. Pangan halal merupakan isu global, tidak lepas dari isu rantai pangan. Saat ini jaminan kehalalan pangan didapat melalui mekanisme sertifikasi halal dan dalam beberapa kasus adanya jaminan pemerintah melalui instansi terkait. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pola jaminan kehalalan yang telah dilaksanakan di Indonesia dan model jaminan kehalalan yang dilakukan pada beberapa negara di dunia. Kegiatan ini dilakukan untuk melihat pelaksanaan jaminan kehalalan di Indonesia serta pemaparan sistem jaminan kehalalan di beberapa negara. Pembandingan sistem jaminan kehalalan dilakukan dengan menggunakan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu (1) Legislasi, (2) Pengawasan, (3) Inspeksi, (4) Penggunaan Laboratorium, (5) Informasi, edukasi dan pelatihan. Sistem jaminan kehalalan di Indonesia akan dilihat lebih dalam melalui perangkat hukum dan pelaksanaan yang telah dilakukan pada sektor (1) Pangan segar, (2) Industri Rumah Tangga, (3) Industri Pengolahan, (4) Pengolahan Pangan Siap Saji Pembandingan sistem jaminan kehalalan di berbagai negara serta efektifitas pelaksanaan sistem jaminan kehalalan yang telah ada, akan disarankan untuk perbaikan pengelolaan sistem jaminan kehalalan di Indonesia. Pelaksanaan sistem jaminan kehalalan dari berbagai negara ini akan dipaparkan. Pemaparan ini diharapkan bisa menjadi alat bantu bagi negara negara yang penduduknya mayoritas muslim untuk mengembangkan sistem jaminan kehalalan yang komprehensif. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu persiapan atau proses untuk “satu standar halal global” atau one global halal standard.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini terdiri Tujuan Umum dan Tujuan Spesifik. Tujuan Umum dari penelitian ini adalah telaah efektifitas pengelolaan halal yang telah dilakukan di Indonesia serta membandingkan sistem jaminan kehalalan di beberapa negara melalui pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah : 1. Identifikasi regulasi yang memuat pernyataan halal secara eksplisit di Indonesia berdasarkan jenis usaha (i) Pangan segar, (ii) Industri Rumah Tangga, (iii) Industri Pengolahan, (iv) Pengolahan pangan siap saji. 2. Identifikasi sistem jaminan kehalalan pada beberapa negara dengan menggunakan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan
3
3.
keamanan pangan yaitu (i) Legislasi, (ii) Pengawasan, (iii) Inspeksi , (iv) Pengujian Laboratorium, (v) Informasi, edukasi dan pelatihan. Merumuskan dan mengajukan model sistem jaminan kehalalan yang ideal di Indonesia.
C. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah identifikasi terhadap aspek regulasi halal yang telah ada di Indonesia pada 4 sektor yaitu pangan segar, industri rumah tangga, industri pengolahan dan pengolahan pangan siap saji. Identifikasi model jaminan kehalalan di beberapa negara dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan. Negara yang menjadi lingkup dari penelitian ini dikelompokkan pada sistem pelaksanaan halal yang dikelola oleh negara dan organisasi masyarakat atau swasta. Untuk 4 negara selain Indonesia belum dapat dilakukan tahapan identifikasi aspek regulasi halal di kelompok bisnis pangan yang ada di negara negara tersebut karena keterbatasan sumber informasi. Identifikasi awal dilakukan berdasarkan komunikasi surat elektronik,wawancara dan atau informasi yang terdapat pada website resmi dari negara yang menjadi objek penelitian. Objek dari penelitian ini adalah lembaga sertifikasi halal atau badan otoritas dari negara yang telah ditetapkan pada penelitian ini.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan: 1. Menjadi bahan atau pun informasi yang akurat bagi para pembuat keputusan untuk menetapkan skema jaminan kehalalan yang tepat di Indonesia 2. Memiliki data atau informasi yang transparan tentang pelaksanaan sistem jaminan kehalalan dari masing masing negara. 3. Informasi tentang keberadaan regulasi halal pada 4 kelompok bisnis pangan di Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Regulasi Pangan Halal
Pangan Halal dalam perspektif muslim merupakan bagian dari Ibadah yang harus dijalankan sebagaimana ibadah lainnya.Mengkonsumsi pangan halal dalam ajaran Islam tertera dalam QS : 2: 168
4
yang artinya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. Payung hukum tentang pangan halal dalam aspek legal di Indonesia antara lain diatur dalam UU Perlindungan Konsumen No.8/1999 pasal 8 yaitu : Pengusaha tidak diizinkan untuk memproduksi dan atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan proses produksi halal jika perusahaan mencantumkan label halal. Sementara beberapa pasal dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan telah mengakomodasi kepentingan umat Islam terhadap pangan halal. UU Pangan ini juga telah mendefinisikan halal sebagai bagian dari pengertian keamanan pangan. Pangan Halal juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.69/1999 pada pasal 10 dan 11 tentang kemasan pangan dan yang diproduksi atau di diperdagangkan dan dinyatakan bahwa pangan tersebut halal, maka perusahaan harus bertanggungjawab pada kebenaran label halal dan pangan tersebut serta telah diuji oleh laboratorium uji yang terakreditasi. (Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan No.69/1999). Regulasi pangan halal lainnya terkait dengan pangan segar yang berasal dari hewan adalah Undang-Undang No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan Mentri Pertanian No.13/2010 tentang Persyaratan RPH Ruminansia dan Unit Penanganan Daging , Peraturan Mentri Pertanian No.50/2011 tentang Rekomendasi persetujuan pemasukan karkas,daging,jeroan dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara RI dan Peraturan Pemerintah No 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
B.
Pengertian Produk Halal
Produk Halal adalah salah satu terminology dalam aturan Islam. Lawan kata dari halal adalah haram . Terkait dengan produk pangan , maka kehalalan produk ditinjau dari segi bahan dan prosesnya. Produk Halal adalah produk yang selain dari yang diharamkan oleh Alquran atau berdasarkan hadist . Dalil tentang keharaman suatu produk seperti pada ayat berikut :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,maka tidak
5
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al Baqarah:173]. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi dimana kedua hal tersebut dikuasai oleh non muslim, maka rambu-rambu diatas menjadi tidak sederhana dan terkadang sulit untuk dideteksi dalam bentuk pangan yang beredar di pasaran. Al Qadarawi (1984) didalam Riaz (2004) menyampaikan ada 11 prinsip yang secara umum diterima terkait dengan kehalalan dan keharaman suatu produk yaitu : 1. Prinsip dasar bahwa semua yang diciptakan oleh Sang Pencipta adalah mubah kecuali yang dilarang. 2. Hanya Sang Pencipta yang memiliki otoritas untuk menyatakan status mubah dan pelarangan atas sesuatu. 3. Melarang sesuatu yang mubah dan membolehkan sesuatu yang diharamkan sama halnya menyamakan posisinya seperti sang Pencipta. 4. Pelarangan atas suatu bahan karena semata untuk kebaikan manusia. 5. Sesuatu yang dibolehkan lebih banyak daripada yang dilarang. PelaranganNya atas sesuatu karena memang tidak terdapat manfaat untuk manusia justru malah membahayakan. 6. Sesuatu yang memfasilitasi untuk mengarah pada sesuatu yang diharamkan, maka media ata cara tersebut menjadi haram pula. 7. Tidak dibolehkan mengatakan yang haram menjadi halal. 8. Niat yang baik tidak menjadikan sesuatu yang tidak dibolehkan menjadi dapat diterima 9. Hal yang meragukan sangat dianjurkan untuk dihindari dan ditinggalkan 10. Segala sesuatu yang diharamkan tidak ada pengecualian untuk semua muslim, pengecualian hanya untuk non muslim 11. Persyaratan/ketentuan yang bersifat darurat. Elemen dasar halal dalam rantai suplai memiliki pengertian ketaatan terhadap hukum syariah, tingkatan produk yang berkualitas tinggi,keamanan produk, kesejahteraan hewan dan perdagangan yang adil (Sungkar, I dan D.Hasim.,2009). Dalam menjalankan fungsi sertifikasi halal di Indonesia LP POM MUI melakukan audit berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI terkait dengan audit halal yaitu (1) air daur ulang , (2)produk mikrobial, (3) penyembelihan, (4) alkohol, (5) vaksin polio, (6) kepiting, (7) penggunaan organ tubuh untuk obat dan kosmetika, (8) kloning, (9) pemanfaatan cacing dan jangkrik, (10) budidaya kodok, (11) konsumsi daging kelinci, (12) kopi luwak, (13) pencucian alat yang terkena najis dan (14) cara pencucian ekstraks ragi dari hasil pengolahan bir (Indonesia Halal Directory 2011)
C. Product Domestic Bruto dan Jumlah Muslim Dunia Product Domestic Bruto (PDB) dan jumlah penduduk muslim di beberapa negara yang menjadi objek penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
6 Tabel 1. Produk Domestik Bruto dan Jumlah Penduduk Muslim No Negara 1 2 3 6 7 8 9
Indonesia Arab Saudi Uni Arab Emirat Singapura Belanda Jerman Australia
Jumlah Populasi Muslim* (88%) 215.998.410 (100%) 27.019.713 (99%) 2.576.686 (20%) 898.430 (3 %) 494.744 (1.7% ) 1.401.179 (1.5%) 303.961
PDB dalamUS$** (109) 3.910 (29) 25.085 (6) 64.840 (10) 51.162 (14) 46.142 (21) 41.513 (7) 67.723
(milyar)
*data dari www.asoon.org/a-world.htm ** Data IMF, 2012
Indonesia saat ini memiliki jumlah muslim terbesar di dunia. Ditinjau dari urutan nilai PDB (product domestic bruto) terbesar dari negara yang ada dalam penelitian ini adalah Negara Uni Emirat, Australia dan Singapore. Berdasarkan sumber data dari Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life, (2011) jumlah penduduk muslim diharapkan meningkat 35 % dalam waktu 20 tahun mendatang yaitu dari 1.6 milyar pada tahun 2010 menjadi 2.2 milyar pada tahun 2030. Diperkirakan populasi muslim akan meningkat dua kali lebih besar dibanding dengan populasi non muslim selama dua dekade. Peningkatan jumlah populasi muslim di dunia dapat dilihat pada grafik yang tersaji pada gambar 1. Sedangkan Populasi Muslim per kawasan dapat dilihat pada tabel 2.
Gambar 1. Perkiraan Jumlah Populasi Muslim pada tahun 2030 (Sumber : Pew Research Center’s Forum, 2011)
7
Tabel 2. Populasi Muslim per kawasan 2010 Estimasi populasi muslim Dunia Asia-Pacific Sub Saharan Afrika Eropa Amerika
2030
1,619,314,000 1,005,507,000 242,544,000
Estimasi persentase populasi muslim global 100,0% 62,1% 15,0%
Proyeksi populasi muslim 2,190,154,000 1,295,625,000 385,939,000
Proyeksi persentase populasi muslim global 100,0% 59.2% 17,6%
44,138,000 5,256,000
2,7% 0,3%
58,209,000 10,927,000
2,7 0,5%
Sumber : Pew Research Center’s Forum,2011
D. Potensi Pasar Halal Dunia Pasar halal merupakan pasar yang menjanjikan. Secara global pasar halal diperkirakan bernilai US $ 2.3 triliun (di luar perbankan Islam) dengan rincian Food &Beverages sekitar 67% , farmasi 22%, kosmetika dan personal care 10 persen. Pertumbuhan pasar halal pun cukup menjanjikan yaitu 1.8 % per tahunnya. (Kassim, AM. 2010). Jumlah penduduk muslim di wilayah Asia Pacific merupakan penduduk dengan persentase muslim terbesar yaitu 61.9%, Timur Tengah 20.1 %, Sub Sahara 15.3% , Eropa 2.4 % serta Amerika 0.3 % serta sisanya sebesar 22.9 persen (Kassim, AM.2010). Berdasarkan data dari Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (2012) diperkirakan potensi ekspor produk Halal dari Indonesia senilai US$ 146.52 milyar dari target ekspor produk Indonesia tahun 2012 senilai US$ 186.10 milyar. Sedangkan berdasarkan harian Bernama Malaysia (2012) pasar global untuk pangan berada pada nilai US$ 720 miliar berdasarkan harga tahun 2009 , dimana pasar halal untuk Malaysia senilai US$ 12,21 milyar atau 6.3 % dari nominal GDP Malaysia yaitu US$ 192.82 milyar.
E. Penerapan Halal di berbagai negara Dengan berkembangnya ilmu dan industri yang terkait dengan pangan, penggunaan bahan yang meragukan bagi konsumen muslim menjadi suatu permasalahan yang cukup penting. Karenanya jaminan kehalalan dalam bentuk sertifikasi atau penandaan produk menjadi salah satu bentuk jaminan kehalalan dan ketersediaan produk yang aman bagi konsumen muslim. Produk pangan segar yang beredar di wilayah Indonesia baik produk lokal ataupun impor dikendalikan oleh Kementrian Pertanian melalui badan karantina pertanian. Untuk pangan olahan berada dalam wilayah otoritas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baik produk impor atau lokal. Sedangkan untuk produk pangan siap saji merupakan otoritas Departemen Kesehatan.
8 Ketersediaan Pangan Halal di Indonesia belum menjadi suatu kewajiban (mandatory). Sertifikasi halal adalah bagian dari jaminan. Di Indonesia peran sertifikasi halal dilakukan oleh LP POM MUI sejak tahun 1988. Persyaratan Halal yang baru saja diluncurkan oleh LP POM MUI adalah HAS (Halal Assurance System ) 23000, berisi 11 kriteria persyaratan sertifikasi halal. HAS 23000 merupakan induk dari 12 persyaratan atau Kriteria lainnya. Kriteria Sistem Jaminan kehalalan berdasarkan HAS 23000: 2012 adalah : (1) Kebijakan Halal, (2) Tim Manajemen Halal, (3) Pelatihan dan Pendidikan, (4) Bahan, (5)Produk, (6) Fasilitas produksi, (7) Prosedur tertulis untuk aktifitas kritis, (8) Penanganan produk tidak sesuai, (9) Mampu telusur, (10) Audit Internal dan (11) Tinjauan Manajemen. Di Malaysia proses sertifikasi dilakukan oleh pemerintah melalui Jabatan Kemajuan Islam (JAKIM) berdasarkan standar MS 15000:2009 Halal Food serta MS 22000:2008 Halal Cosmetic and Personal Care . Sementara Thailand proses sertifikasi berdasarkan TAS :8400: 2007 dan Singapura berdasarkan standar MUIS-HC-S001 - General Guidelines for the Handling & Processing of Halal for the Development Food dan MUIS-HC-S002 - General Guidelines &Implementation of Halal Quality Management. Bentuk lain jaminan kehalalan yang dikembangkan di Singapura adalah memberikan kesempatan kepada pengusaha muslim untuk “self declaration” terhadap produk yang dijualnya. Pengusaha muslim yang akan melalukan self declaration harus memiliki izin atau licence dari pemerintah terhadap usaha yang dijalankannya.(Salleh,MA, 2012).
F. Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia Indonesia dikukuhkan sebagai pusat halal dunia oleh Mentri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pada Juni 2011 (Jurnal halal,2012). Indonesia mengukuhkan diri sebagai Pusat halal Dunia dengan beberapa alasan yang dikemukakan oleh Shaberah,Amidhan (2012) yaitu : 1. Penduduk Muslim terbesar di dunia; 210 juta jiwa 2. Indonesia sebagai pasar halal terbesar dengan jumlah penduduk muslim terbesar 3. Indonesia melalui MUI memiliki persyaratan Halal yang akurat yang umumnya diterima diseluruh dunia 4. Memiliki pengalaman dalam melakukan sertifikasi halal dalam dan luar negeri selama 22 tahun 5. Indonesia memiliki system Jaminan kehalalan/ Halal Assurance System (HAS) yang memberikan jaminan untuk konsumen dan produsen 6. Peraturan dan regulasi mendukung halal yaitu Undang-Undang Pangan dan Undang Undang Perlindungan Konsumen 7. Indonesia memiliki peran penting dalam bisnis halal di seluruh dunia. Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku sertifikasi luar negeri. Ada 7 kriteria persyaratan terhadap lembaga sertifikasi yang dapat diakui oleh Majelis Ulama Indonesia yaitu :
9
Lembaga Sertifikasi halal harus didirikan oleh organisasi Islam atau pusat Islam yang memiliki tugas utama untuk mendidik dan syiar Islam juga menyediakan fasilitas ibadah dan pendidikan /pengajaran ilmu agama 1. Organisasi Islam tersebut harus memiliki kantor tetap dinegara yang beroperasi dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualifikasi dan kredibel 2. Organisasi Islam tersebut harus memiliki komisi fatwa yang berfungsi memutuskan atau memberi fatwa tentang halal status dan juga memiliki sejumlah auditor yang berkualifikasi. Jumlah minimum aggota komisi fatwa 3 orang sementara auditor minimum 2 orang yang kompeten didalam bidang atau ruang lingkup auditnya. 3. Lembaga Sertifikasi tersebut harus memiliki prosedur operasional yang standar untuk melakukan proses sertifikasi halal termasuk prosedur untuk pelaksanaan fatwa 4. Memiliki system yang baik untuk memantau perusahaan yang telah diberi sertifikat halal 5. Lembaga sertifikasi halal harus memiliki jaringan yang luas terutama dengan World Halal Food Council dan World’s Halal Product Trade Institution 6. Mampu bekerjasama dengan MUI untuk mengatur pemeliharaan dan aktifitas monitor produk halal di Indonesia. (Sabherah, 2012). Indonesia memiliki visi pada tahun 2025 untuk menjadi 8 negara terbesar dengan beberapa pertimbangan, seperti yang disampaikan oleh Lukman, A (2012) sebagaimana gambar 2.
Gambar 2. Visi 2025 Indonesia
Indonesia akan menjadi potensi pasar pangan halal yang menjanjikan. Menurut data dari Pew Research Indonesia pada tahun 2011 memiliki jumlah penduduk muslim terbesar. Diperkirakan pada dekade 20 tahun mendatang Indonesia menempati posisi kedua setelah India.
10 G. Jaminan Halal dan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia Penduduk muslim Indonesia menurut data Pew Research (2011) sekitar 88 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Bagi konsumen muslim jaminan kehalalan terhadap produk yang akan dikonsumsi adalah bagian dari kenyamanan bathin yang harus dipenuhi. Menurut Hariyadi (2008) keamanan pangan merupakan prasyarat bagi pangan yang bermutu dan bergizi. Keamanan pangan yang dimaksud adalah keamanan pangan rohani (yaitu yang sesuai dengan keyakinan,kehalalan misalnya) juga faktor keamanan jasmani. Di Inggris 1-2 % populasi dewasa dan 5-7% populasi anak-anak atau sekitar 1.5 juta penduduk Inggris menderita alergi (Hariyadi,2008). Uni Eropa melalui European Commission menetapkan aturan label pangan yang wajib mencantumkan semua ingredien termasuk bahan yang menyebabkan alergi yang telah diketahui pada Directive 2000/13/EC. Kasus alergi dapat disetarakan dengan kasus halal. Salah satu amanah yang disampaikan pada konferensi internasional tentang gizi di Roma ,Itali pada tahun 1992 di dalam Hariyadi (2008) yaitu akses untuk mendapatkan kecukupan gizi dan pangan yang aman adalah hak setiap orang. Aman ini kemudian diterangkan lebih lanjut oleh Hariyadi (2008) sebagai keamanan bathin dan jasmani.
BAB III METODOLOGI A. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua (2) tahapan utama yaitu : (A) Tahapan analisa jaminan kehalalan pada kelompok bisnis pangan di Indonesia dan (B ) Tahapan pembandingan sistem jaminan kehalalan yang ada pada beberapa negara dan sintesis untuk menggabungkan temuan tahapan A dan B. Tahapan A terdiri dari beberapa langkah yaitu : 1. Penetapan tahapan dan identifikasi dari masing masing kelompok usaha pangan di Indonesia 2. Melakukan analisa konten regulasi yang ada terhadap keberadaan jaminan kehalalan secara eksplisit. Aturan yang dikaji dalam penelitian ini aturan jaminan kehalalan secara eksplisit pada kelompok bisnis pangan mulai dari Undang undang hingga turunannya. 3. Pemetaan keberadaan regulasi halal secara eksplisit pada setiap tahapan dan menelaah kesenjangan yang ada. 4. Usulan perbaikan bentuk jaminan kehalalan di Indonesia. Tahapan B terdiri dari beberapa langkah yaitu : 1. Penetapan wilayah/negara yang menjadi tempat pembandingan sistem jaminan kehalalan
11
2. Mengumpulkan data dan informasi dari negara yang sudah ditetapkan berdasarkan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan. 3. Melakukan analisa konten terhadap informasi yang didapat 4. Menggabungkan hasil pada tahapan A dan B untuk memberikan usulan model sistem jaminan kehalalan untuk negara Indonesia.
B. Objek dan Pengumpulan Data Regulasi di Indonesia pada setiap aktifitas bisnis di bidang pangan yaitu : Pangan segar, Produk Industri Rumah Tangga, Produk olahan Industri menengah besar dan Pangan Siap Saji. Aktifitas bisnis yang dikaji meliputi (1) perijinan, (2) proses penjaminan kualitas, (3) surveillance/pengawasan, dan (4) tindakan hukum. Data dan informasi setiap negara yang ada dalam objek penelitian ini berdasarkan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu : (1) persentase penduduk muslim, (2) PDB (Produk Domestik Bruto), (3) Regulasi dan pengawasan, (4) inspeksi, (5) Pelayanan laboratorium, (6) Informasi,edukasi dan pelatihan. Cara yang digunakan melalui wawancara langsung atau sumber internet. Kuesioner yang diajukan seperti tertera pada Lampiran 2. C.
Personal sebagai nara sumber
1. Arab Saudi dan UEA : Mr Saud Al Askar ( Conformity Assessment Director of GSO) 2. Australia ( Dr. M.Lotfi dan Br.Ali Chawk ; Australian Halal Food Services) 3. Singapura (Mohammed Ariff Mohammed Salleh: Senior Executive Halal Certification Strategic Unit; Majelis Ugama Islam ) 4. Belanda ( Abdul Qayyum ; Halal Feed and Food Inspection Authorithy ) 5. Jerman ( Mahmoud Tatari, Dipl,Ing : Halal Control , Jerman)
BAB IV ANALISIS KONTEN TERKAIT ATURAN HALAL A. Aturan Halal di Indonesia Berdasarkan PP No.28 tahun 2004 tentang Keamanan ,Mutu dan Gizi pangan, ada 4 kelompok bisnis pangan di Indonesia, yaitu (1) Pangan segar, (2) Industri Rumah Tangga, (3) Pangan Olahan Industri menengah besar, (4) Pangan Siap Saji. Undang undang Pangan terbaru yaitu UU No.18 tahun 2012 dapat menjadi payung hukum pelaksanaan pangan halal di Indonesia. Selain Undang undang Pangan, beberapa aturan yang memuat aturan halal secara eksplisit
12 adalah (1) Undang- Undang No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, (2) Undang Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (3) Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (4) Peraturan Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, (5) Permentan 50-tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan dan/atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia, (6) Permentan No. 13 tahun 2010 tentang persyaratan Rumah Potong Hewan (RPH) Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, (7) Permenkes No. 924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, (8) Peraturan Mentri Pertanian (Permentan) No. 34/2006 tentang Persyaratan dan tata cara penetapan instansi karantina hewan, pasal 10, (9) Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik, (10) Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan, (11) Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007, Tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Pelaksanaan halal di Indonesia dapat ditinjau secara lebih mendalam dengan melakukan pemetaan regulasi halal pada setiap langkah bisnis di berbagai kelompok bisnis seperti yang disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan informasi yang terlihat pada Tabel 3 regulasi halal terlengkap ada pada kelompok pangan segar, sementara regulasi halal yang paling kosong terdapat pada bisnis pangan siap saji. Proses produksi merupakan tahapan kritis dalam menjamin suatu produk halal. Regulasi yang terkait jaminan kehalalan pada tahapan produksi hanya terdapat pada kelompok bisnis pangan segar, sementara untuk kelompok bisnis pangan PIRT, produk pangan olahan industry menengah besar dan siap saji belum memiliki pernyataan yang secara eksplisit memuat regulasi yang terkait dengan jaminan kehalalan. Regulasi tentang label kemasan, distribusi dan peredaran juga merupakan isu kritis pada kelompok bisnis pangan segar, PIRT, dan produk olahan industri menengah besar. Peraturan Kepala BPOM No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan, pasal 4 menyatakan bahwa suplemen makanan dan pangan yang mengandung bahan tertentu wajib mencantumkan informasi kandungan bahan tertentu pada penandaan/label. Jika bahan mengandung babi, maka wajib mencantumkan tanda khusus berupa tulisan “mengandung babi” atau gambar babi. Ketentuan tersebut hanya ditujukan untuk produk yang berkemasan dan berlabel seperti produk pangan olahan industri menengah besar dan pangan PIRT, tidak untuk pangan siap saji dan restauran. Sementara untuk distribusi dan peredaran pangan PIRT, pangan olahan industry menengah besar dan pangan siap saji yang didaftarkan diatur jaminan kehalalannya pada Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik
13
Keberadaan regulasi halal yang dianalisa dilakukan pada setiap tahapan mulai dari perizinan hingga pengawasan serta sanksi yang ada di setiap kelompok bisnis pangan. Secara lebih rinci jaminan kehalalan pada setiap kelompok bisnis pangan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pangan segar Pangan segar yang terkait dengan regulasi halal adalah rumah potong hewan dan produknya serta produk susu dan olahannya. Regulasi halal yang digunakan pada kelompok bisnis pangan segar ini adalah UU No. 18/2009 pasal 58 ayat 1 dan Pasal 62 ayat 1, Permentan No. 13/2010 pasal 38 dan 39 serta Permentan No. 50/2011 pasal 2 ayat 2. Regulasi tersebut menyampaikan bahwa keberadaan RPH dan Usaha Pemotongan Daging dan atau penanganan daging harus mampu menyediakan produk daging yang memenuhi ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Sementara Permentan No. 50/2011 lebih menekankan pada aspek perizinan pemasukan produk daging dari luar Indonesia berupa rekomendasi persetujuan pemasukan (pasal 2). Pada tataran produksi dan pelabelan, PP No. 95/2012 pasal 8 menyampaikan cara yang baik (good practices) di RPH. Permentan No. 13/2010 pasal 4, 6, dan 41 menyampaikan bahwa lokasi produksi harus terpisah dengan RPH babi dan harus memiliki juru sembelih halal di RPH. Untuk distribusi dan peredaran, PP No. 95 pasal 18, dan 21 menyampaikan tempat penjualan dan pengumpulan yang harus terpisah antara produk halal dan yang tidak halal. Permentan No. 50/2011 pasal 19 ayat 2 mengatur tentang daging yang bersertifikat halal dan yang tidak halal harus ditempatkan pada kontainer yang berbeda. Tabel 4 menunjukkan regulasi yang terkait dengan jaminan kehalalan yang eksplisit yang ada pada setiap tahapan. Pengawasan produk pangan segar dapat dilakukan terhadap keberadaan sertifikat veteriner dan sertifikat halal. PP No. 95 pasal 31 dan 54, Permentan No. 50 pasal 15 ayat 3 e dan f serta keputusan kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007 menyampaikan tentang keberadaan sertifikat veteriner dari negara asal dan sertifikat halal untuk yang dipersyaratkan. .
Tabel 3. Regulasi halal di Indonesia pada kelompok bisnis pangan Aktifitas/Jenis bisnis pangan Izin dan pendaftaran (RPH) dan persyaratan (termasuk produk impor)
Pangan Segar
Produk Industri Rumah Tangga
Produk Industri Pengolahan Pangan
Pangan Siap Saji
Peraturan KBPOM RI No.HK.03.1.23.04.12.2205/2012 (materi halal sebagai materi pendukung dalam proses pemberian izin PIRT)
PP No.13/1995 tentang izin industri (tidak ada terkait halal)
Tidak ada terkait persyaratannya
PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1,2 (aturan halal terkait label kemasan) tidak ada aturan terkait tempat produksi yang memenuhi persyaratan halal
PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1,2 (aturan halal terkait label kemasan) tidak ada aturan terkait tempat produksi yang memenuhi persyaratan halal
Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu,kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat,obat tradisional,suplemen makanan dan pangan Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji
Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu,kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat,obat tradisional,suplemen makanan dan pangan Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji
Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji
PP No.95/2012 pasal 31,54
UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h
UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2
Tidak ditemukan aturan terkait pengawasan untuk pangan siap saji -
Permentan No.50/2011 pasal 31-33 pengawasan terhadap persyaratan karantina hewan dan kesehatan masyarakat veteriner
PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2
-PP No.22/1983 pasal 3 ayat 1,2 (izin usaha; tdak terkait tentang halal)
UU No.18/2009 Pasal 58 (1) dan Pasal 62
dengan
halal
dan
Permenkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM
Permentan No.13/2010 pasal 38 (untuk pendirian RPH) dan pasal 39 (untuk izin usaha pemotongan hewan dan atau Unit penanganan daging) Proses Produksi (tempat produksi dan label kemasan)
Permentan No.50/2011 pasal 2 UU No.18 pasal 58 ayat4 PP No.95/2012 pasal 8 924/MENKES/SK/VIII/1996
.
Permentan no.13/OT.140/2010 pasal 4 (a),6 (2g) dan 41 (11)
Distribusi dan Peredaran (termasuk peredaran produk impor)
Permentan 50/2011 (pasal 15 ayat 2 (b), 3 (d,e,f) dan pasal 17 (3 e,f)) UU No.18/2009 pasal 58 ayat4 PP No.95/2012 pasal 18,21 Permentan No.50/2011 pasal 19
Pengawasan: produk lokal dan impor
Permenkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM
Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No.436/2007 Sanksi
UU Perlindungan Konsumen
UU Perlindungan konsumen
UU Perlindungan Konsumen
PMK RI No.1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasa bogaTIDAK TERKAIT dengan /JAMINAN KEHALALAN
ATURAN
cara
15
Tabel 4. Regulasi Halal pada kelompok bisnis Pangan Segar Tahapan
Regulasi Halal
Izin/pendaftaran
(1)registrasi produk hewan sebagai salah satu menjamin produk hewan yang ASUH (aman sehat utuh dan halal), (2) pemda kabupaten/kota wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis. (3) izin mendirikan RPH dan izin pemotongan hewan dan atau penanganan daging, (4) izin pemasukan daging dan karkas oleh pelaku usaha
Produksi dan Label kemasan
(1) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.(2) Cara yang baik (good practices) di RPH, (3)persyaratan RPH untuk menyediakan daging ASUH. Pasal 6 : pesyaratan lokasi yang terpisah secara fisik dari kompleks RPH babi atau dibatasi dengan tembok min.3 meter. Pasal 41 : juru sembelih harus memenuhi persyaratan minimal memiliki sertifikat sebagai juru sembelih halal, (4) Pemberian label (f) tanda halal bagi yang dipersyaratkan, (5) Instalasi karantina..harus mendapat menjamin produk didalamnya tidak mengalami perubahan fisik,mutu sertta memperhatikan aspek keamanan pangan dan kehalalan (1) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal, (2)cara yang baik di tempat pengumpulan dan penjualan, pemisahan produk hewan yang halal dengan produk lain yang tidak halal. (3) karkas,daging ,jeroan dan atau olahannya yang mempunyai sertifikat halal harus terpisah dari wadah atau kontainer karkas,daging,jeroan,dan atau olahannya yang tidak mempunyai sertifikat halal (1)pasal 31produk hewan dari negara yang telah disetujui wajib memiliki serrtifikat veteriner dan sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan. Pasal 54 : sertifkat produk hewan meliputi sertifikat veteriner dan SH bagi yang dipersyaratkan, (2) persyaratan teknis : juru sembelih halal bagi yang dipersyaratkan, memiliki SJH,supervisi LP POM MUI yang dituangkan dalam bentuk sertifkat dari negara asal, (3) untuk produk susu dan olahannya, dokumen sertifkat halal diperlukan di karantina Sanksi administratif dan pidana
Distribusi dan peredaran (termasuk peredaran produk impor)
Pengawasan produk lokal impor
Sanski
: dan
Baik pasal yang terdapat pada PP No.95 tahun 2012 atau Permentan No.15 tahun 2011 menunjukkan bahwa jaminan kehalalan tidak wajib di Indonesia. Pasal pasal tersebut keberadaannya bertentangan dengan pasal yang terdapat pada aturan atau regulasi yang hirarkinya lebih tinggi, yaitu UU No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 58 ayat 4.
2. Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) Untuk pangan PIRT, perizinan diatur oleh Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205/2012. Materi halal sebagai materi pendukung dalam proses pemberian izin PIRT. Untuk proses produksi tidak ada aturan spesifik
16 yang terkait dengan halal pada CPP PIRT (Cara Produksi Pangan PIRT, peraturan KBPOM RI.No.HK.03.1.23.04.12.2206/2012). Aturan halal terkait dengan pelabelan sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan, PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2 terkait dengan aturan halal sebagai bagian dari persyaratan label kemasan Pada penjelasan pasal 10 PP 69 tahun 1999 dinyatakan bahwa terkait dengan pencantuman tulisan halal, maka kebenarannya tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya. Sementara CPPB PIRT sama sekali tidak memuat aturan tentang halal, padahal PP No.69/1999 merupakan salah satu konsideran yang terdapat pada CPPB PIRT tersebut. Tabel 5 menunjukkan regulasi halal yang secara eksplisit tersedia pada kelompok bisnis pangan PIRT. Distribusi dan peredaran pangan PIRT yang terkait dengan jaminan kehalalan menjadi bagian dari pengaturan cara ritel, yang diatur dengan peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Sementara pengawasan terhadap pangan PIRT terkait pencantuman halal dapat merefer pada UU No. 8/1999 pasal 8 d, e, dan h. Monitoring terhadap izin PIRT dinyatakan oleh regulasi perizinan PIRT dilakukan setahun sekali. Sementara untuk sanksi yang berlaku selain yang terdapat pada UU No. 8/1999 juga dapat dilakukan pencabutan sertifikat PIRT oleh bupati/walikota.
3. Produk Pangan Olahan Industri Menengah Besar Aturan Halal untuk tahap registrasi produk pangan olahan industri menengah besar dalam negeri, diatur oleh Permenkes No. 924/1996 yaitu tentang pencantuman tulisan halal pada label kemasan. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Sama halnya dengan pangan PIRT, pada tahapan produksi tidak ada pernyataan terkait dengan isu halal pada aturan yang dikeluarkan oleh Mentri Perindustrian No.75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik. Sementara salah satu konsiderasi dari aturan tersebut adalah PP No.69/1999 yang memuat tata cara produksi yang harus memenuhi persyaratan halal jika produk mencantumkan halal pada kemasannya. Aturan label kemasan yang terkait halal diatur oleh PP No. 69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2 serta Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan.
17
Tabel 5. Regulasi Halal Pangan PIRT Tahapan
Regulasi
Izin /Pendaftaran Produksi kemasan
dan
label
Lampiran D.Tata cara pemberian SPP-IRT : Materi Pendukung tentang pencantuman label halal (1)Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada labelnya.(2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa bagian yang tidak terpisahkan dari label Pasal 3 ayat (2) Dalam hal asal bahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan atau produk yang mengandung asal bahan tertentu telah mendapat sertifikasi dari lembaga yang berwenang,maka keterangan sertfikat yang bersangkutan hrs dicantumkan dalam penandaan/label. (3) dalam hal keterangan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat diatas berupa label halal,maka pencantumannya harus sesuai dengan yang tercantum dalam sertifikat yang bersangkutan. Pasal 4 : yang mengandung babi harus mencantumkan berupa tanda khusus berupa tulisan” mengandung babi”. Atau ayat (3) jika proses pembuatan bersingungan dengan bahan yang berasal dari babi dituliskan : “Pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”. Ayat (5) untuk pangan selain berupa tulisan mengandung babi juga tanda gambar babi
dan (termasuk produk
Lamp.point 6.5 : Pangan mengandung babi harus terpisah (transportasi,karyawan yang menangani,peralatan,adanya logo dan tulisan mengandung babi pada kemasan) Point 7.6 penyimpanan pangan mengandung babi harus terpisah dari yang tdk mengandung babi Point 8.1.5 tidak menggunakan BTP/ingredien yang tidak jelas kehalalannya. Point 9.2.3. pemajangan pangan mengandung babi dipisah dengan yang tidak mengandung babi dan ada peringatan “PANGAN MENGANDUNG BABI”
Pengawasan : produk lokal dan impor
Pasal 8 .Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang (d) tidak sesuai dengan kondisi,jaminan..sebagaimana dinyatakan dalam label, (h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label Pasal 10 ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label
Sanksi
Sanksi administratif dan pidana
Distribusi peredaran peredaran impor)
Tabel 6 menunjukkan regulasi halal eksplisit pada tahapan kelompok bisnis pangan olahan industri menengah besar. Untuk distribusi dan peredarannya aturan yang terkait dengan regulasi halal menjadi bagian dari Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Sementara pengawasan kelompok bisnis pangan olahan industry menengah besar
18 yang terkait dengan jaminan kehalalan terdapat dalam UU No. 8/1999 pasal 8 d, e, dan h, PP No. 69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2. Selain dua aturan tersebut, pengawasan halal yang dilakukan oleh BPOM (post surveillance) dilakukan berdasarkan Permenkes No. 924/1996. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran dapat dilakukan berdasarkan aturan yang terdapat Permenkes tersebut atau merujuk pada UU No.8 tahun 1999. Tabel 6. Regulasi Halal Pangan Industri Pengolahan Tahapan Izin /Pendaftaran Produksi dan label kemasan Distribusi dan peredaran (termasuk peredaran produk impor)
Regulasi Permenkes No.924/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM Idem seperti tabel PIRT Idem seperti tabel PIRT
Pengawasan : produk lokal dan impor
UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2 Permenkes No.924/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM
Sanksi
Sanksi administratif dan pidana
4. Pangan Siap Saji Pada kelompok bisnis pangan siap saji, aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan sangat minim. Pada saat registrasi tidak ada aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan. Registrasi biasanya dilakukan di dinas kesehatan. Untuk tempat/sarana/cara produksi pangan siap saji dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096/MENKES/PER/VI/2010 tentang Higiene sanitasi jasa boga. Aturan ini tidak memuat tentang jaminan kehalalan. Tabel 7 menunjukkan regulasi halal yang eksplisit yang hanya terdapat pada tahap distribusi. Sementara untuk distribusi dan peredaran produk pangan siap saji yang didaftarkan pada dinas kesehatan, maka jaminan kehalalan pada tahapan ini berlaku sama sebagaimana pangan PIRT, produk pangan olahan industri menengah besar yang memiliki izin MD atau ML yaitu Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Untuk tahapan pengawasan dan sanksi pada produk pangan siap saji tidak ditemukan aturan jaminan kehalalan pada regulasi yang ada.
19
Tabel 7. Regulasi Halal pada produk pangan siap saji Tahapan Izin /Pendaftaran Produksi dan label kemasan Distribusi dan peredaran (termasuk peredaran produk impor) Pengawasan : produk lokal dan impor Sanksi
Regulasi Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji (sama seperti PIRT dan Industri pengolahan) Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan halal Sanksi administratif dan pidana
BAB V KONDISI PENERAPAN HALAL DI BERBAGAI NEGARA Tabel hasil penelitian secara lengkap terhadap komponen kerangka infrastuktur tersaji pada Lampiran 1. Penerapan sistem jaminan kehalalan yang dilakukan melalui pendekatan infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan dievaluasi berdasarkan pelakunya. Pada setiap poin dievaluasi apakah pelakunya pemerintah atau lembaga sertifikasi dan organisasi masyarakat muslim. Ringkasan penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara disajikan pada Tabel 8 berikut : Tabel.8 Penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara Negara/Point
Legislasi Halal
Indonesia
Ada, tapi tidak lengkap
Singapura
Saudi Arabia/UEA Uni Eropa Australia
Manajemen Pengawasan Negara dan lembaga sertifikasi
Inspeksi
Layanan Laboratorium Bagian dari sertifikasi
Edukasi,Informasi, Pelatihan Lembaga sertifikasi dan yayasan swadaya masyarakat Lembaga sertifikasi
Tersedia terbatas untuk pelaksanaa sertfikasi halal untuk kepentingan muslim Singapura Ada
Organisasi Islam (MUIS) dibawah Negara
Negara dan lembaga sertifikasi halal Organisasi Islam (MUIS) dibawah Negara
Negara
Negara
Negara
Negara
Tidak tersedia
Lembaga Sertifikasi Negara dan lembaga sertifikasi halal
Lembaga Sertifikasi Negara dan lembaga sertifikasi halal
Tidak tersedia
Lembaga Sertifikasi
Tidak tersedia
Negara dan lembaga sertifikasi halal
Tersedia terbatas untuk pelaksana sertifkasi halal untuk kepentingan ekspor
Bagian dari sertifkasi
Berikut penjelasan rinci hasil penelitian dan pembahasan masing komponen infrastuktur di setiap negara :
dari masing
20
A. INDONESIA A.1. Legislasi Halal Di Indonesia aturan Halal ada dalam (1) Undang-Undang Pangan No 18 tahun 2012 tentang Pangan , (2) Undang-Undang No.18 tahun 1999 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,(3) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (4) Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (5) Peraturan Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, (6) Permentan No.50 tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas,Daging, Jeroan dan /atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia, (7) Permentan No.13 tahun 2010 tentang persyaratan RPH Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, (8) Permenkes No. 924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, (9) Permentan No. 34/2006 tentang Persyaratan dan tata cara penetapan instansi karantina hewan, pasal 10, (10) Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik, (11) Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan, (12) Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007, Tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Pada regulasi tersebut diatas, aturan halal termuat secara eksplisit. Pada regulasi tersebut aturan halal masih bersifat sukarela di Indonesia. Sekalipun konsumen terbesar di Indonesia adalah konsumen muslim, tetapi hak terhadap ketersediaan pangan halal belum dapat terjamin secara utuh. Saat ini secara umum disepakati bahwa jaminan kehalalan produk yang beredar di Indonesia dengan adanya label halal pada kemasan. Keberadaan label halal bersifat legal ketika produk tersebut memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui proses audit yang dilakukan oleh LP POM MUI. Undang-Undang (UU) No.18 tahun 2012 tentang Pangan merupakan UU Pangan yang menggantikan UU Pangan No.7 tahun 1996. Dalam UU Pangan No.18/2012 definisi keamanan pangan telah mengakomodasi keamanan pangan dari sudut agama dan keyakinan. Pasal 1 ayat 5 mendefinisikan keamanan pangan sebagai berikut : Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. UU Pangan No.18/2012 telah banyak mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam hal berikut : 1. Impor Pangan. Pasal 37 menyatakan impor pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi
21
persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. 2. Distribusi Pangan. Pasal 48 ayat b menyatakan pengelolaan sistem distribusi pangan yang dapat mempertahankan keamanan,mutu, gizi dan tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan dan budaya masyarakat. 3. Penyelenggaraan Keamanan Pangan. Pasal 67 menyatakan bahwa keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Selanjutnya pasal 69 menyatakan bahwa penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui (g) jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan. 4. Jaminan Produk Halal bagi yang dipersyaratkan.Pasal 95 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap pangan. (2) Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Label dan Iklan Pangan. Pasal 101 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya. Pasal 105 ayat 1 setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya Pengaturan dan peredaran bahan pangan segar di Indonesia menjadi tanggungjawab Kementrian Pertanian (Kementan). Untuk bahan pangan olahan pengaturan dan pengawasannya ada di Badan Pengawasan Pangan dan Obat (BPOM). Untuk produk pangan PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) dan Pangan siap saji menjadi tanggungjawab setiap kepala daerah (Gubernur, Bupati/walikota) dan dinas terkait setempat. Pembagian tugas ini berdasarkan amanat PP No.28 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Namun pada Peraturan Pemerintah tersebut belum terakomodasi kepentingan konsumen muslim dalam hal keamanan bathin yaitu kehalalan.Hal ini disebabkan PP No.28 tersebut masih merupakan turunan dari UU Pangan No.7/1996 yang belum mengakomodir halal sebagai definisi keamanan pangan sebagaimana yang terdapat pada UU No.18 /2012.
A.2. Manajemen Pengawasan Dengan berlakunya UU Pangan No.18 tahun 2012, aturan halal sudah menjadi bagian dari definisi keamanan pangan. Artinya aturan halal sama posisinya dengan makna keamanan pangan dalam arti bebas dari bahaya fisik, kimia dan mikrobiologis. Di Indonesia pengawasan kehalalan produk pangan olahan menjadi otoritas dari Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) dan untuk produk pangan segar menjadi otoritas Kementrian Pertanian. Untuk pengawasan produk berlabel halal menjadi bagian dari kegiatan di BPOM, karena izin pencantuman label halal
22 ada pada BPOM dan mengacu pada PP No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pengawasan produk pangan segar terkait dengan aturan halal adalah produk hewan. Lalu lintas produk hewan dan jaminan kehalalannya di wilayah Republik Indonesia dilakukan berdasarkan Permentan No.50/2011. Pengawasan produk pangan olahan yang beredar di Indonesia menjadi otoritas dari BPOM, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK 0005231455 tentang Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan. Dalam aturan tersebut tidak disebutkan persyaratan tentang halal. Pada pasal 3 ayat 1 aturan tersebut menyatakan bahwa pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan tentang pengawasan terhadap pangan yang beredar di Indonesia terkait aturan halal adalah UU Pangan No.18/ 2012, UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999 dan PP No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Disamping itu BPOM juga melakukan post market surveillance. Untuk menguji apakah informasi yang diberikan oleh perusahaan pada saat pendaftaran mengacu pada Peraturan Kepala BPOM No. HK 03/15.121109955 tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan danTata Laksana Pangan Olahan, Peraturan Kepala BPOM No. 03/15.121109956 tahun 2011 tentang Tata Laksana Pendafataran dan Permenkes No.924/1996 tentang aturan pencantuman tulisan halal pada label makanan. Aturan Permenkes tersebut menyatakan untuk pencantuman label halal pada kemasan maka produsen dan importer wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM. Aturan halal tidak secara ekplisit dikemukan pada kedua Peraturan Kepala BPOM diatas, kecuali pada Permenkes No.924/1996. Berikut data pengecekan kesesuaian label yang ada di pasaran dengan informasi yang disampaikan saat pendaftaran. Data tersebut merupakan hasil survei oleh BPOM pada periode Januari 2008 hingga Oktober 2011.Kasus penyimpangan terhadap label halal termasuk dalam kategori tidak memenuhi ketentuan (TMK) pada label. Tabel 9. Hasil Pengawasan Januari 2008 –Oktober 2011 Temuan Produk Tidak Memenuhi Ketentuan Tahun
Produk Rusak (item)
2008 2009 2010
122 111 464
2011
156
Produk Daluwarsa (item) 610 905 1468 872
616 1996 2021
Produk TMK Label (item) 123 388 270
1033
76
Produk TIE (item)
853 3855 5666 Total Sumber : Materi Presentasi Deputi III BPOM tentang Label Pangan, 2011
857
Pengawasan terhadap masuknya produk olahan impor yang terkait dengan isu halal saat ini masih pada produk susu dan olahannya. Saat masuk ke Indonesia salah satu dokumen yang dipersyaratkan adalah sertifikat halal seperti termaktub
23
dalam Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No.436 tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Karantina Hewan terhadap susu dan produk olahannya.
A.3. Kegiatan Inspeksi Kegiatan Inspeksi dalam makalah ini dapat memiliki makna yang sama dengan kegiatan audit. Inspeksi terkait halal biasanya dilakukan oleh suatu negara yang pemerintah ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan jaminan kehalalan. Sedangkan kegiatan audit dilakukan pada negara yang pemerintahnya tidak ikut berpartisipasi. Di Indonesia, pemastian jaminan kehalalan saat ini masih dilakukan melalui kegiatan sertifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI). Lembaga ini melakukan kegiatan audit dengan serangkaian pemeriksaan terhadap fasilitas dan sistem yang menjamin untuk produksi halal. Audit dilakukan pada sarana lokasi produksi. LP POM MUI juga memiliki lembaga yang melakukan sertifikasi disetiap daerah yang dinamakan sebagai LP POM MUI daerah. Hubungan antara LP POM MUI pusat dan daerah adalah koordinasi dan keputusan fatwa tetap berada pada MUI daerah. Pemerintah dalam hal ini BPOM melakukan kegiatan inspeksi untuk mendukung pelaksanaan jaminan kehalalan produk pangan olahan industry pangan menengah besar. Aktifitas tersebut merupakan rangkaian pemberian nomor registrasi kepada produk yang diproduksi oleh suatu produsen. Inspeksi yang dilakukan oleh BPOM sebelum produk diluncurkan ke pasaran (pre market surveillance) dan post market surveillance. Halal dapat menjadi bagian yang di inspeksi dalam proses ini dan dilakukan berdasarkan Permenkes No.924/1996 tentang aturan pencantuman tulisan halal pada label makanan .
A.4. Organisasi pelaksana Sertifikasi Halal Organisasi Pelaksana Sertifikasi Halal yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Organisasi pelaksana sertifikasi halal Dewan Pelaksana terdiri dari divisi : (1)Auditing , (2) Sistem Jaminan kehalalan, (3) Penelitian dan Pengkajian Ilmiah, (4) Pembinaan LP POM Daerah,
24 (5) Standard Halal dan Pelatihan (6) Sosialisasi dan Promosi, (7) Bidang Informasi.
A.5. Prosedur Audit LP POM MUI melakukan proses audit halal berdasarkan alur proses dapat dilihat pada Gambar 5. Sejak tahun 2012, LP POM MUI sudah memberlakukan sistem sertifikasi on line, Cerol SS 23000. Melalui sistem ini perusahaan melakukan proses sertifikasi secara on line mulai dari pendaftaran dan pemantauan terhadap proses yang berjalan. Proses sertifikasi online seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses Sertifikasi Halal
25
Gambar 5. Proses Sertifikasi Online A.6. Struktur Pembiayaan Basis pembiayaan sertifikasi di LP POM adalah per dua tahun dan dilakukan berdasarkan kontrak/aqad antara perusahaan dan LP POM MUI. Aqad dibuat berdasarkan jumlah dan jenis produk berdasarkan kategori produk yang sudah ditetapkan (ada 40 kategori produk untuk produk pangan, kosmetika dan obat).
A.7. Pelayanan Laboratorium Jika diperlukan, analisis laboratorium dapat dilakukan. Dalam proses sertifikasi halal, produk yang masuk dalam kategori resiko tinggi seperti produk daging dan olahannya. Analisa laboratorium dilakukan untuk memastikan apakah produk tersebut bebas dari kontaminasi barang haram. sama halnya untuk kandungan alkohol terhadap produk tertentu yang juga dianggap perlu.Saat ini LP POM MUI menggunakan alat uji cepat untuk memastikan bahwa produk tidak tercemari barang hewan dengan meggunakan Pork detection Kit Prosedur untuk pengujian laboratorium terhadap pengujian kandungan babi dan turunannya terdapat pada prosedur HAS 23000:2 poin 4.7.1 dan pengujian kandungan alcohol pada poin 4.7.2.
A.8. Edukasi, Informasi dan Komunikasi LP POM MUI memiliki lembaga sosialisasi dan training serta melakukan kegiatan tersebut secara aktif ke masyarakat dan perusahaan.Pelatihan dilakukan
26 secara berkala baik di kelola oleh bagian Pelatihan atau dilakukan sebagai in house training langsung ke perusahaan yang berkepentingan. Setiap tahun LP POM MUI juga melakukan acara pertemuan dengan semua perusahaan pemegang sertifikat halal,dalam rangka memberikan informasi yang berkaitan dengan kebijakan kebijakan baru di LP POM MUI. Acara rutin tahunan lainnya adalah expo dan pertemuan Internasional untuk para lembaga sertifikasi halal di seluruh dunia dan semua perusahaan yang juga berada di luar Indonesia. Salah satu kegiatan sosialisasi dan komunikasi halal yang dilakukan oleh LP POM MUI adalah melalui media cetak yang bernama Jurnal Halal dan media internet melalui situs jaringan yang dikelola oleh LP POM MUI . Jurnal halal pernah memuat temuan-temuan terkait adanya pelanggaran terhadap penggunaan label halal atau tidak adanya keterangan mengandung babi pada makanan impor yang mengandung babi.
B.
Arab Saudi dan Negara-Negara Teluk (Gulf Countries) B.1. Legislasi Halal
Aturan Nasional Arab Saudi berdasarkan syariah Islam. Sehingga Negara menjamin bahwa semua produk yang masuk harus memenuhi persyaratan halal. Tidak ada babi dan produk turunan atau yang mengandung babi diperbolehkan masuk ke Negara tersebut. Arab Saudi bagian dari gabungan Negara-negara Teluk. Negara yang tergabung dalam Negara-negara Teluk adalah ; (1) Negara Uni Emirat Arab, (2) Kerajaan Bahrain, (3) Kerajaan Arab Saudi, (4) Kesultanan Oman, (5) Qatar, (6) Kuwait dan (7) Republik Yaman. Ketentuan pengembangan standar di negara negara Teluk adalah jika sudah ada standar yang dikeluarkan oleh Gulf Countries Council (GCC) Standard Organization (GSO ), baik telah berlaku atau sekalipun masih dalam bentuk draft, maka tidak akan ada pengembangan standar tersebut di masing masing negara. Arab Saudi merupakan negara anggota Teluk yang memiliki pasar pangan dan minuman terbesar diantara Negara-negara Teluk. Arab Saudi merepresentasikan sekitar 63 persen dari 9 milyar US dollar dari pasar GCC. Aturan Halal untuk Negara Arab Saudi mengikuti ketentuan dari standar regional GSO (GCC Standardization Organization). GSO telah menetapkan bahwa semua pangan kemasan berlabel harus sesuai dengan hukum Islam, harus menyatakan bahwa produk bebas dari babi dan turunannya. Standar Halal yang telah ditetapkan oleh GSO adalah : (1) GSO 9/1995 : Labeling of Prepackaged Foods (2) GSO 993/1999 :Animal Slaughtering according to Islamic Law (3) GSO 1931/2009 Halal Food Part (1) : General Requirement. (4) GSO 2055/2010 : Halal Food Part (2) : Guideline for Halal Food Certification Bodies and their Accreditation Requirements. B.2. Organisasi/Struktur GSO Struktur organisasi dari Gulf Standard Organization adalah sebagai berikut :
27
Dewan Pengarah Komite Pengarah
Sekretariat Umum Komite Teknis
Konsil Teknis Komite komite teknis
Gambar 6. Struktur GSO (sumber website GSO) Board of Directors terdiri dari para mentri yang kompeten dan bertanggung jawab pada standarisasi dari masing-masing anggota Negara gabungan. Jika salah satu dari mentri yang berkompeten dari masing masing Negara anggota tersebut tidak dapat berpartisipasi, maka perwakilannya harus memiliki level yang sama dengan menteri. Technical Council terdiri dari pimpinan organisasi standar di masingmasing Negara atau yang secara resmi mewakili organisasi standar dari masingmasing Negara tersebut. Adapun sekretaris umum (sekjen) organisasi dan sekjen dari perwakilan masing-masing Negara harus hadir dalam pertemuan technical council tanpa memiliki hak suara. Technical council dapat mengundang organisasi publik atau pribadi yang peduli pada masalah standar dari negara anggota dalam pertemuan , tetapi organisasi tersebut tidak memiliki hak suara. Pertemuan yang diselenggarakan untuk memutuskan suatu ketentuan hanya akan valid jika dihadiri oleh mayoritas anggota Negara Teluk. Uni Emirat Arab (UEA) adalah negara anggota yang juga juga merupakan gabungan dari 7 negara-negara Arab. Regulasi pangan Halal di UEA dilakukan oleh Emirat Authority for Standardization and Metrology (ESMA) dan UEA General Secretariat of Municipalities (GSM). ESMA bekerjasama dengan anggota GSO lainnya untuk mengembangkan dan mengadopsi standar-standar internasional. GSM bertanggungjawab terhadap keberadaan aturan keamanan pangan berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh National Food Safety Committee (NFSC) dan Veterinary Committee (VC) serta berkoordinasi dengan negara-negara yang tergabung dalam Uni Emirat Arab. Skema regulasi Halal di UEA yang disampaikan oleh Samia A.,et al (2012) adalah sebagai berikut : Standard dikeluarkan oleh ESMA atau oleh GSO seperti : persyaratan pemotongan halal, persyaratan untuk pusat-pusat akreditasi termasuk badan sertifikasi pangan halal, metode uji babi dan lemak babi (lard) dalam produk pangan, standard untuk komoditi pangan yang mengandung daging, alkohol dan gelatin. Legislasi GSM berupa : (1) keputusan tentang turunan babi dan lemak babi, penyembelihan halal sebagai persyaratan dari Good Hygiene Practices (GHP), persyaratan untuk pakan dan persyaratan untuk mengimpor daging, (2) keputusan tentang prosedur untuk akreditasi lembaga Islam dan rumah potong hewan (RPH), daftar tanda tangan yang berwenang, RPH yang
28 diakui, Islamic centers dan industry pangan, serta level alkohol yang diijinkan di dalam produk minuman dan jus. Legislasi GSM juga berupa manual tentang : pemeriksaan terhadap RPH dan peternakan, pemeriksaan (inspeksi) daging pada checkpoint di perbatasan, pemeriksaan pada asosiasi muslim dan inspeksi daging pada toko toko yang menjual daging (butcheries). Legislasi GSM juga mengeluarkan persyaratan tentang importasi daging berupa persyaratan bagi RPH yang melakukan ekspor serta lembaga sertifikasinya berdasarkan keputusan 4/3/1982-4-3, persyaratan dan prosedur untuk akreditasi lembaga Islam yang terlibat dalam urusan sertifikasi halal berdasarkan keputusan GSM/32. Fungsi GSM selain membuat aturan juga mengatur dan mencegah munculnya permasalahan halal dengan menetapkan antara lain : a. Pengaturan permasalahan Pork dan Lard melalui laporan wajib bebas “pork and pork derivatives”. b. Jika mengandung gelatin maka gelatin harus berasal dari hewan yang halal untuk muslim c. Mengeluarkan daftar RPH yang sudah diakreditasi beserta organisasi Islam d. Memberikan otorisasi kepada kedutaan UEA di berbagai negara untuk memonitor proses kehalalan Negara Uni Emirat Arab memiliki “Food Law” Nomor 2 tahun 2008 untuk pangan yang beredar di Uni Emirat Arab. Food Law dikeluarkan oleh Abu Dhabi Food Control Authority (ADFCA). Food Law juga mengatur hal terkait halal pada pasal 8 ayat 2 dan pasal 16 ayat 3.
90B.3.
Kegiatan Inspeksi
Kegiatan Inspeksi yang dilakukan terdiri atas ketersediaan daging dan proses penyembelihannya berdasarkan standar GSO 993/1999. Inspeksi juga dilakukan untuk memantau produk pangan yang beredar di Arab Saudi dan Negara Teluk lainnya berdasarkan standar GSO 2055/2010 yaitu Guideline for Halal Food Certification Bodies and their Accreditation Requirements. Tidak ada lembaga sertifikasi halal di Arab Saudi. Negara ini menerapkan sistem akreditas sesuai yang dengan standar GSO 2055/2010, Guideline for Halal Food Certification Bodies and their Accreditation Requirements untuk lembaga sertifikasi yang akan memasukkan produknya ke dalam negara tersebut. Inspeksi yang dilakukan di Negara UEA adalah inspeksi terhadap pangan impor berdasarkan kategori kanal versus kriteria produk.Inspeksi yang dilakukan di Arab Saudi dilakukan oleh regulator yaitu Arab Saudi Food and Drug Authorithy sementara di negara UEA dilakukan oleh Abu Dhabi Food Control Authority.
29
B.4. Manajemen Pengawasan Pengawasan terhadap masuknya produk impor ke wilayah Arab Saudi dan Negara-negara Teluk diatur oleh masing-masing Negara yang tergabung dalam GCC. Gulf Cooperation Council telah melakukan kesepakatan untuk menerapkan single market. Untuk Arab Saudi pengontrolan produk yang masuk ke Negara tersebut dikelola oleh Saudi Food and Drug Authority, termasuk monitor rumah potong hewan, cara pemotongan hewan. UEA sebagai salah satu Negara anggota Teluk juga memiliki mekanisme pengawasan yang relatif sama. Mekanisme pengontrolan produk pangan yang beredar di UEA dilakukan oleh ADFCA (Abu Dhabi Food Control Authority) . Produk pangan yang beredar di UEA bisa merupakan produk lokal atau impor. Tempat pengecekan produk impor dilakukan pada tempat yang berbeda dengan pengontrolan produk lokal Setiap produk pangan yang akan masuk ke UEA, menggunakan bahan tambahan yang mengandung asal hewan harus memiliki sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal yang telah disetujui oleh UEA. Sementara untuk produk yang dibuat secara lokal biasanya mengikuti prosedur yang sesuai dengan aturan Islam dan regulasi yang ditetapkan oleh GSM dan otoritas lokal.(Samia A.,et al ,20) Salah satu aturan yang digunakan oleh Abu Dhabi Food Control Authority (ADFCA) untuk mengawasi makanan dan bahan pangan yang beredar di pasaran di Negara UEA adalah Food Importer Guide dalam bentuk code of practice. Panduan tersebut didasari oleh konsep keamanan pangan yang mengintegrasikan konsep halal. Alur masuk produk impor mengikuti kanal yang tersedia berdasarkan kriteria produk seperti yang terlihat pada Tabel 10. Pada bab 2 panduan tersebut dinyatakan dokumen dan sertifikat yang diperlukan untuk pangan impor. Sertifikat halal diperlukan untuk daging, unggas dan produk olahannya. Produk olahan yang berasal dari hewan termasuk susu juga memerlukan sertifikat halal. Sertifikat halal harus berasal dari lembaga Islam yang telah diakui. Bab 9 panduan tersebut mengatakan adanya pasal tentang penahanan (detention) dan penolakan terhadap pengiriman produk impor, termasuk kasus halal. Tabel 10. Matriks inspeksi pangan impor berdasarkan kriteria seleksi vs tipe kanal Kriteria Seleksi Pangan Resiko Tinggi Pangan Resiko Menengah Pangan Resiko Rendah
Kanal Merah 80-100 % 1 5 - 2 5 % 5 - 1 0 %
Kanal Kuning 0 - 1 0 % 1 5 - 2 5 % 0 - 5 %
Kanal Hijau 0 - 1 0 % 50-70% 85-90%
Sumber : Food Importer guide,2008
Saat ini negara-negara Teluk sedang dalam proses untuk memberlakukan mandatori Authorised Halal stamp untuk semua daging impor yang akan masuk ke kelompok negara tersebut.
30
-B.5.
Struktur Pembiayaan
Mekanisme pembiayaan sepenuhnya dikelola oleh pemerintah baik Arab Saudi atau negara-negara Teluk. Sejak tahun 2003 GCC menetapkan biaya masuk ke negara-negara Teluk yang disebut Unified Custom Law & Single Custom Tariff. Biaya masuk tersebut ditetapkan sebesar 5 persen untuk semua produk pangan olahan yang masuk ke wilayah GCC. Sementara sebelum tahun 2003, UEA, pada tahun 1998 telah menerapkan biaya masuk sebesar 1 persen untuk semua produk impor. Biaya ini terpisah dari biaya sebesar 5 persen tersebut.
B.6. Pelayanan Laboratorium Untuk produk daging dan produk pangan lainnya yang masuk ke Arab Saudi dilakukan pengujian laboratorium pada setiap pengapalan , walaupun ekportir menyertakan semua dokumen yang diperlukan. Untuk uji identifikasi babi secara rutin dilakukan pada produk daging dan produk yang mengandung daging. Semua daging dan produk yang mengandung daging yang salah satu komposisinya mengandung bahan rekayasa genetik tidak diperbolehkan untuk masuk ke Negara Arab Saudi. Uni Emirat Arab menetapkan bahwa uji laboratorium menjadi suatu keharusan untuk pengiriman awal produk (co sample) masuk ke negara tersebut. Pengiriman selanjutnya dilakukan sampling secara random atau acak.
B.7. Edukasi, Informasi dan Komunikasi Baik Arab Saudi dan Negara-negara Teluk memiliki situs jaringan yang dikelola oleh GCC untuk mengkomunikasikan kebijakan dan aturan bagi pihak yang berkepentingan.
C. AUSTRALIA C.1. Legislasi Halal Australia adalah negara pengekspor daging terbesar di dunia dan merupakan negara pelopor produksi halal di dunia dimana pemerintah ikut berperan. Aturan Halal secara legal ditujukan untuk tujuan ekspor ke negaranegara yang mayoritas muslim.Pemerintah Australia sangat peduli dengan pelaksanaan halal dan memiliki kepentingan untuk bekerjasama dengan komunitas muslim di Australia dalam rangka bisnis halal. Lembaga resmi pemerintah yang turut berperan dalam industry daging dan susu di negara tersebut adalah Australian Quarantine and Inspection Service (AQIS) berada di bawah Department Agriculture, Fisheries,and Forestry (DAFF) .
31
AQIS Meat Notice 2009/08 adalah panduan untuk persiapan, identifikasi, penyimpanan dan sertifikasi untuk ekspor daging (red meat) dan produk olahannya. Panduan ini berada di dibawah Export Control (Meat and Meat Product) Order (ECMMPO’s) Orders Schedule 1 Sub –clause 31.(b) yang efektif sejak Juli 2005. Ruang lingkup dari Meat Notice ini juga untuk semua perusahaan ekspor yang teregistrasi yang memproduksi, memproses dan atau memiliki gudang penyimpanan daging halal dalam rangka kepentingan ekspor. Meat Motice juga berlaku untuk organisasi Islam yang melakukan supervisi dan sertifikasi halal untuk daging yang akan di ekspor. Aktifitas ini berfungsi mengendalikan setiap perusahaan (RPH) untuk memiliki prosedur yang terdokumentasi . Selain itu AQIS melakukan perjanjian dengan lembaga sertifikasi halal dan juga perusahaan yang akan melakukan ekspor daging halal. Aturan lain yang terkait penyedian daging dan produk olahan daging untuk keperluan ekspor terdapat pada Approved Arrangements (AA) AA merupakan panduan bagi semua perusahaan yang teregistrasi untuk memenuhi aturan seperti Good Hygienic Practices, Keamanan Pangan, Wholesomeness dan persyaratan negara pengimpor.Lembaga sertifikasi halal yang akan berperan untuk memeriksa persyaratan negara pengimpor terkait sertifikasi halal. Kegiatan Ekspor daging dari Australia ke berbagai negara merupakan kegiatan G to G (government to government). Sehingga setiap keputusan atau kebijakan negara pengimpor harus disampaikan ke lembaga sertifikasi halal di Australia melalui pemerintah Australia. Insfrastruktur yang ada di AQIS untuk kegiatan ekspor daging halal terdiri dari 3 elemen yaitu seorang dokter hewan pemerintah (veteriner government), Quality Assurance dan lembaga sertifikasi halal. Semua keputusan terkait dengan kehalalan atau persyaratan tertentu dari negara pengimpor diputuskan oleh lembaga sertifikasi atau organisasi Islam yang melakukan sertifikasi. Pemerintah Australia tidak campur tangan dalam area syariah ini. Pemerintah Australia melakukan audit ke 3 elemen yang terkait dengan kegiatan ekspor daging halal setiap 6 bulan sekali. Audit yang dilakukan oleh pemerintah terhadap 3 unsur atau elemen tersebut dilakukan secara terpisah. Sementara lembaga sertifikasi melakukan pengecekan ke RPH minimum 3 bulan sekali atau tergantung masalah yang timbul di RPH. Pemerintah Australia memiliki program Australian Government Authorised Halal Program (AGAHP) yang merupakan bagian dari aktifitas AQIS. Program tersebut semacam petunjuk untuk melakukan persiapan, identifikasi, penyimpanan dan sertifikasi untuk ekspor halal daging dan produk olahan daging.
C.2. Manajemen Pengawasan Pengawasan untuk kehalalan di Australia tidak dilakukan terhadap peredaran makanan halal di dalam negeri tersebut. Aturan halal hanya untuk kepentingan ekspor ke negara-negara muslim. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah memperbaharui dan menyetujui lembaga sertifikasi halal dalam bentuk Approved Islamic Organisation (AIO) untuk kepentingan ekspor daging halal.
32 Mekanisme yang terjadi adalah setiap permintaan atau pesanan atas daging halal memerlukan AIO yang terdaftar. AIO bertanggungjawab terhadap supervisi keagamaan, ketentuan sertifikasi untuk produksi daging halal yang ditujukan ekspor . AIO adalah organisasi yang disetujui oleh sekretaris atau delegasi yang sesuai dengan persyaratan rinci dalam ECMMPOs berdasarkan kepentingan pengawasan dan sertifikasi daging halal untuk ekspor. Daftar AIO dipertahankan dan dipublikasi secara periodik oleh AQIS. Setiap AIO memiliki otoritas untuk menyeleksi para pejagal muslim untuk bekerja di perusahaan yang akan melakukan ekspor daging halal. Pejagal muslim merupakan perpanjangtanganan lembaga sertfikasi halal yang dibayar oleh perusahaan yang menyediakan daging halal untuk keperluan ekspor. Pengawasan lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah penggunaan halal stamp sebagai item yang terkontrol dan bertanggungjawab. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh AIO diartikan sebagai bagian dari dokumen negara selain dokumen lainnya. Dokumen tersebut dilampirkan dan mengiringi setiap produk yang diekspor ke negara tujuan.
C.3. Kegiatan Inspeksi Ada 3 (tiga) lembaga yang terlibat dalam urusan halal di Australia terkait dengan penyediaan daging dan produk olahan daging untuk kepentingan ekspor. Pertama adalah perusahaan yang melakukan kegiatan penyedian daging dan produk olahan daging halal, kedua adalah Approved Islamic Organisation (AIO) yaitu lembaga sertifikasi halal yang disetujui oleh pemerintah Australia berdasarkan persetujuan dari negara tujuan ekspor, dan ketiga adalah pemerintah yang berada di bawah Department Agriculture Fisheries dan Forestry (DAFF) atau tepatnya AQIS. Perusahaan yang akan memproduksi daging halal atau produk olahan daging halal harus memiliki izin resmi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan tambahan yaitu sebagaimana yang disampaikan dalam Approved Arrangement . Daging halal yang disiapkan harus diidentifikasi melalui pemeriksaan/inspeksi dengan keberadaan halal stamp resmi dari pemerintah pada kemasan produk tersebut. Peran AIO memastikan bahwa daging atau produk olahan daging yang akan mendapatkan halal stamp telah memenuhi persyaran halal melalui pengendalian yang dilakukan melalui kegiatan inspeksi .Sedangkan AQIS melakukan dokumentasi dari kedua belah pihak yaitu dengan AIO dan perusahaan dalam hal persyaratan yang terkait AA. AQIS melakukan audit/inspeksi dan memverifikasi kesesuaian perusahaan terhadap semua aspek non religious dalam proses produksi daging halal. AQIS bersama AIO mengeluarkan dokumen penjelasan tentang kehalalan produk untuk tujuan ekspor.
33
C.4. Struktur Organisasi Organisasi yang berperan untuk aktifitas halal di Australia ada 3 lembaga/organisasi yaitu: (1) Perusahaan yang sudah di setujui untuk menyediakan produk atau daging halal dan mendapatkan persetujuan sebagaimana persyaratan yang terdapat dalam Approved Arrangements (2) Lembaga Sertifikasi yang disetujui atau Approved Islamic Organisation (AIO) juga menjadi bagian dari struktur AQIS dan (3) pemerintah dalam hal ini AQIS (dokter hewan pemerintah dan Quality Assurance).
C.5. Prosesur Audit/Pemeriksaan Tiap organisasi atau lembaga yang berperan pada aktifitas halal di Australia memiliki prosedur kerja sebagai berikut : 1.Lembaga Sertifikasi Halal atau dalam istilah yang disampaikan diatas adalah Approved Islamic Organisation (AIO) adalah Islamic Organisation (IO) yang terpilih berdasarkan persyaratan detail dalam Export Control (Meat and Meat Products Orders 2005 untuk kepentingan pengawasan produksi dan sertifikasi daging halal. IO tersebut juga harus diakui oleh mesjid lokal setempat , diakui oleh otoritas negara pengimpor, memberikan data yang detail terhadap pelaksanaan pelatihan serta pengawasan terhadap pejagal muslim. Kriteria lainnya adalah menghasilkan pejagal muslim yang terlatih (ditandai dengan kartu identitas). Prosedur audit yang dilakukan oleh AIO dengan melakukan audit pengawasan terhadap perusahaan secara regular minimal setiap 3 (tiga) bulan sekali untuk fasilitas pemotongan dan minimal 6 (enam) bulan sekali untuk fasilitas non slaughtering seperti misalnya ruangan untuk deboning yang terpisah , pendingin dan alat transportasi. Lembaga sertifikasi halal melakukan prosedur audit dan melaporkan hasil audit ke AQIS sebagaimana format laporan yang telah ditetapkan. Lembaga sertifikasi melakukan audit ke perusahaan untuk memastikan apakah persyaratan halal dan produk halal yang dihasilkan cukup memuaskan. 2.Perusahaan melakukan prosedur penjaminan produk halal dengan cara memastikan dan bertanggungjawab terhadap karkas hewan yang disembelih berdasarkan syariah Islam. Kondisi tersebut dibuktikan dengan halal stamp setelah memenuhi persyaratan halal. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut maka perusahaan melakukan aktifitas seperti monitor, verifikasi dan tindakan koreksi untuk setiap aktifitas. Melakukan penandaan jika adanya pelanggaran atau ketidaksesuaian terhadap produk halal. Perusahaan melakukan aktifitas rutin yaitu audit halal secara internal terhadap prosedur halal yang diterapkan di perusahaan melalui kegiatan operasi, rekaman, dan kendali terhadap produk halal dan non halal. Perusahaan juga harus memastikan bahwa terjadi pemisahan total antara produk halal dan non halal . 3.AQIS melakukan audit dan verifikasi berdasarkan prosedur National Establishment Verification System (NEVS) untuk penyembelihan, identifikasi, proses, penyimpanan, pemisahan dan sertifikasi halal. AQIS akan mengaudit AIO untuk menjamin bahwa pekerjaannya berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui.
34 C.6. Struktur Biaya Tidak ada data terkait dengan proses pembiayaan sertifikasi halal. Pemerintah tidak ikut campur tangan dalam masalah pembiayaan terkait sertifikasi halal. Terkait struktur biaya sertifikasi halal, maka pihak yang terlibat hanya antara perusahaan dan lembaga sertifikasi halal.
C.7. Pelayanan Laboratorium Sejauh ini tidak ada prosedur pemeriksaan laboratorium yang terkait dengan kegiatan halal. Di Australia, untuk fasilitas RPH yang melakukan kegiatan ekspor daging halal, tidak diperkenankan untuk menyembelih babi pada RPH tersebut.
C.8. Edukasi,Informasi,Komunikasi Training atau edukasi terhadap kompentensi dari seorang pejagal muslim menjadi tanggungjawab dari AIO. AIO juga berperan dalam berkomunikasi dan memberikan informasi kepada delegasi suatu negara yang melakukan inspeksi atau kunjungan ke RPH. Perusahaan atau RPH dengan berkonsultasi dengan AIO memastikan bahwa training aspek non religious terhadap tenaga muslim (selaku pejagal muslim) juga dilakukan. Perusahaan juga memastikan bahwa semua pekerja memahami aturan halal yang diimplementasikan di perusahaan tersebut.
D. SINGAPURA D.1. Legislasi Halal Legislasi halal di Singapura berada dalam payung hukum Administration of Muslim Law Act of Singapore (AMLA) 88A (1) dan AMLA 88A (5). Jaminan kehalalan di Singapura kemudian dilakukan dengan aktifitas sertifikasi yang berada di Majelis Ugama Islam sejak tahun 1972. Majelis Ugama Islam (MUIS) berada di bawah kementerian Pemuda. Adapun yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan halal di Singapura adalah mentri yang beragama Islam dimanapun posisinya (tidak hanya sebagai Menteri Kepemudaan.
D.2. Manajemen Pengawasan Manajemen pengawasan Halal di Singapura dilakukan oleh Majelis Ugama Islam sebagai bagian dari Halal Certification. Singapura juga menerapkan self halal declaration bagi pengusaha muslim untuk mengklaim bahwa produknya diproduksi sesuai dengan syariah Islam. Ketentuan ini hanya berlaku bagi
35
pengusaha yang beragama Islam. Logo resmi halal tidak boleh digunakan pada kemasan produk yang tidak memiliki sertifikat halal. Pelanggaran terhadap penyalahgunaan logo halal atau klaim halal akan terkena sangsi yang cukup keras seperti yang tertulis pada AMLA 8 (1) . Pengawasan dilakukan oleh kementerian pemuda Singapura atau mentri yang beragama Islam yang ada di pemerintahan. Untuk setiap produk pangan yang akan masuk ke Singapura, harus melalui Agri Food & Veterinary Authority of Singapore atau AVA. Masalah kehalalan belum masuk kedalam dokumen atau pun persyaratan yang dikeluarkan oleh AVA terhadap negara negara yang akan memasukkan produknya ke Singapura.
D.3. Kegiatan Inspeksi Sertifikasi Halal dilakukan oleh MUIS (Majelis Ugama Islam) secara formal sejak tahun 1978 sepuluh tahun setelah MUIS ditetapkan. Kegiatan sertifikasi dilakukan melalui aktifitas audit. Skema sertifikasi yang dilakukan di Majelis Ugama Islam (MUIS) terhadap fasilitas tempat makan seperti kegiatan sertifikasi restaurant, halal corner, konfeksionari, bakeri, kantin sekolah, food court dan “temporary stall “, proses produk pangan dan non pangan yang seluruh proses atau sebagian proses dilakukan di Singapura, katering untuk rumah sakit, restauran yang berada di airport, rumah potong ayam, fasilitas penyimpanan (gudang dan gudang simpan dingin). skema sertifikasi juga dilakukan juga pada kegiatan “endorsement”/pengesahan terhadap produk impor yang telah memiliki Sertifikat halal dari lembaga sertifikasi yang diakui oleh MUIS. Inspeksi yang dilakukan oleh pemerintah diwakili oleh AVA. Dalam pelaksanaan inspeksi, belum terlihat ada masalah kehalalan terkait dengan kegiatan atau pun persyaratan yang ditetapkan oleh AVA.
D.4. Struktur Organisasi Struktur Organisasi MUIS merupakan bagian dari struktur yang ada dalam pemerintahan, digambarkan seperti terlihat pada gambar 8.
D.5. Prosedur Audit Prosedur yang ditetapkan oleh Majelis Ugama Islam untuk memperoleh sertifikat halal adalah sebagai berikut : a) Sebelum mengajukan sertifikasi halal perusahaan harus memastikan bahwa perusahaan telah sesuai atau memenuhi persyaratan umum sertifikasi yang telah ditetapkan oleh MUIS seperti, (i) Persyaratan halal, (ii) persyaratan system dalam hal ini adalah Singapore MUIS Halal Quality Management System (Hal MQ) sebagai suatu persyaratan baru sejak Maret 2008, (iii) Persyaratan pengaturan staf.
36
Jaringan internasional Kantor Mufti Pengembangan kebijakan Pendidikan generasi muda Keterlibatan generasi muda
Kebijakan dan perencanaan madrasah Madrasah Pengembang an kurikulum
Akademi Muis Pusat harmoni Keterlibatan masyarakat Komunikasi korporasi Komunikasi strategis
Keuangan Sertifikasi Halal Layanan haji Zakat & wakaf
Kantor Perencanaan masjid Kelompok peningkatan masjid Pembayaran dan pemberdayaan
Gambar 7. Struktur Organisasi Majelis Ugama Islam Singapura
b) Mengajukan aplikasi baik yang baru atau pun perpanjangan via Muis eHalal System (MeS), untuk aplikasi baru, maka pembayaran aplikasi menjadi suatu keharusan. Audit atau inspeksi akan dilakukan ke lokasi dalam waktu 7 hari (untuk aplikasi ekspress) dan dan dalam waktu 14 hari kerja untuk aplikasi normal. c) Selama proses persetujuan, sertifikat halal dapat diambil langsung ke MUIS bersama dengan persetujuan notifikasi dan biaya sertifikasi. MUIS juga memperlakukan audit sidak atau “unannouncement audit”.
D.6. Struktur Biaya Biaya sertifikasi yang ditetapkan oleh MUIS adalah seperti pada Tabel 11.
Perencanaan perusahaan Sistem informasi Sumber daya manusia Keunggulan organisasi
37
Tabel 11. Pembiayaan Sertifikasi di Singapore (sumber Website MUIS) Proses Norma l
Audit dilakukan dalam waktu 14 hari kerja
$ 100/aplikas i
Proses Cepat/ekpress
Audit dilakukan dalam waktu 7 hari kerja
$ 175/aplikas i
Skema “eating establishment”
Restauran (<185.5 m2) $ 480/tahun Restauran (> 185.5 m2) $ 640/tahun Hawker $ 320/tahun Snack Bar & Halal Corner $480/tahun School Canteen Stall $ 50/tahun Temporary Stall $ 65/tahun Biaya tahunan/Annual Fee $ 500/tahun Produk per jenis/ merek $ 25/tahun Katering/Fasilitas dapur (<185.5 m2) $ 630/tahun Katering/fasilitas dapur (> 185.5 m2) $ 670/tahun Biaya tahunan/Annual Fee $ 200/tahun Per halal label $ 0.01 Biaya tahunan/ Annual Fee $ 670/tahun Per pengapalan $ 1 2 0 Per karton/drum $ 0.25
Skema Produk Skema Katerin g
Skema rumah potong Ayam Skema Gudang Skema pengesahan /(endorsement)
D.7. Pelayanan Laboratorium Analisa Laboratorium menjadi bagian dari persyaratan sertifikasi halal. Analisa laboratorium digunakan untuk memastikan bahwa produk yang akan disertifikasi halal tidak mengandung bahan non halal. D.8. Edukasi,Informasi , Komunikasi Pelatihan baik secara internal dan eksternal dilakukan oleh MUIS. Standar MUIS dapat diperoleh melalui pembelian on line. MUIS telah mengimplementasikan Muis eHalal System (MeS) pada bulan Agustus 2006. MUIS meyakini kegiatan ini merupakan kegiatan yang pertama di dunia yang mengontrol dan mengatur keseluruhan aspek sertifikasi halal melalui situs jaringan yang dikelola oleh MUIS.
E.EROPA E.1. Legislasi Halal Negara Uni Eropa menerapkan standar Ritual Slaughtering di Eropa per Januari 2013, yaitu EU Regulation No.1099/2009 berkaitan dengan ritual slaughtering . Aturan ini tidak hanya terkait dengan halal bagi muslim, tetapi juga terkait dengan kosher untuk yahudi. Negara yang ada dalam penelitian ini adalah Belanda dan Jerman. Pada 2 (dua) negara Eropa yang terlibat dalam
38 penelitian ini, awalnya pemerintah tidak ikut terlibat dalam urusan pengaturan halal baik untuk urusan ekspor atau pun peredaran pangan yang ada di dalam negara tersebut. Impor pangan dari negara lain selama tidak membahayakan kesehatan dan membawa penyakit yang akan mengancam pertanian negara tersebut maka bukan aturan penting bagi pemerintah. Namun ketika salah satu EU Regulation akan diberlakukan, maka secara otomatis pemerintah pada masing-masing negara akan terlibat. Untuk aturan penyembelihan, Belanda mengaturnya dalam aturan “besluit ritueel slachten”. atau Ritual Slaughter. Aturan ini tidak hanya untuk konsumen muslim tetapi juga untuk agama Yahudi. Awalnya semua aturan dan kebutuhan untuk konsumen muslim diserahkan pada masing-masing individu. Karenanya di Eropa komunitas muslim dari berbagai negara seperti Turki, Timur Tengah berinisiatif untuk mendapatkan makanan halal sebagai suatu hal yang mendesak yang harus dipenuhi. Berdasarkan kondisi inilah lembaga sertifikasi halal muncul. Keberadaan pangan halal di Eropa merupakan inisiatif dari masing-masing komunitas muslim. Awalnya komunitas muslim mempercayakan seorang tokoh yang dianggap kompeten untuk mewakili mereka dalam memastikan kehalalan suatu produk terutama daging. Kegiatan ini yang disebut sebagai self certifier , informal certifier dan do-it yourself certificates. Kemudian kegiatan ini ada yang berkembang menjadi lembaga sertifikasi halal karena ada kepentingan atau permintaan halal dari negara muslim di luar Eropa. Eksistensi lembaga sertifikasi halal tergantung dari pengakuan negaranegara muslim yang akan mengimpor pangan dari negara tersebut. Selain EU Regulation No 1099/2009 tentang ritual slaughtering, Uni Eropa sedang mengembangkan Standar Pangan Halal Eropa yaitu European Standard on Halal Food-Requirements on the Food Chain.
E.2. Manajemen Pengawasan Untuk semua negara Eropa sampai dengan waktu penelitian ini dilaksanakan belum ada pengawasan terhadap halal yang memiliki kekuatan hukum. Di Eropa boleh dikatakan bahwa aturan halal berjalan tanpa regulasi dan pengawasan dari pemerintah. Reliable Certificate kembali kepada masing-masing personel yang menjalankannya.
E.3. Kegiatan Inspeksi Karena belum ada peran pemerintah dalam urusan halal, maka kegiatan inspeksi yang kami paparkan disini adalah kegiatan inspeksi/audit yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi halal yang ada di Belanda dan di Jerman. Lembaga sertifikasi yang dipilih adalah lembaga yang memiliki kredibilitas yang tinggi dan diterima di mayoritas negara negara muslim Kegiatan audit yang dilakukan oleh organisasi /lembaga sertifikasi halal di Belanda dilakukan oleh beberapa lembaga. Lembaga yang kami ambil dalam
39
penelitian ini adalah : (i) HFFIA dan (ii) Halal Correct serta satu lembaga dari Jerman yaitu (iii) Halal Control. Kegiatan inspeksi/audit yang dilakukan berdasarkan setiap lembaga sertifikasi tersebut yang lebih detail dijelaskan pada hal berikut ini.
E.4. Struktur Organisasi E.4.1. HFFIA terdiri dari struktur organisasi yayasan dan lembaga auditing/inspeksi. Majlis ALIFTA Majelis Fatwa Yayasan Halal Feed and Food
Otoritas Inspeksi -HFF
Koordinasi Majelis
Majelis Hubungan Masyarakat
Berbagai Majelis Gambar 8. Organisasi Yayasan HFF
Direktur Inspeksi dan Pengawasan
Penelitian dan Sertifikasi
Humas dan Pendidikan
Gambar 9. Organisasi Lembaga HFFIA (Halal Feed and Food Inspection Authority)
Dari ketiga lembaga sertifikasi yang ada dalam penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pemisahan antara personal yang melakukan sertifikasi dan yang melakukan keputusan pengambilan fatwa. Hal ini merupakan hal yang dipersyaratkan untuk memenuhi kriteria lembaga yang disetujui oleh MUI dan tercatat pada daftar lembaga yang disetujui oleh MUI.
40
E.4.2. Halal Correct, Belanda Yayasan Total Quality Halal Correct Certification Laboratorium dan PenelitianScientanova –Penelitian Pangan
Fatwa dan Penelitian-Dewan Islami untuk Fatwa dan Penelitian
Audit Halal Correct
Audit Halal Correct
Manajemen Halal Correct
Departmen Inspeksi Halal-Daging dan produk olahan daging
Departemen Inspeksi Halal –Makanan Supleman
Humas dan Penelitian dan Pengembangan
Gambar 10. Organisasi Lembaga Sertifikasi Halal Correct
E.4.2. Halal Control, Jerman Dewan Direktur Manajemen Eksekutif Perusahaan Panel Sertifikasi: Kesesuaian-Fatwa Departeme n Teknis
Manajemen Kualitas
Unit Standarisasi Komunikas i
Akuntan
Pengelolaan SDM
Gambar 11. Organisasi Lembaga Sertifikasi Halal Control.
E.5. Prosedur Audit Prosedur audit yang dilakukan oleh ketiga lembaga sertifikasi yang dipilih dalam penelitian ini secara umum adalah sama. Prosedur audit secara umum meliputi tahapan pendaftaran dan persetujuan aqad, proses screening terhadap bahan baku, tambahan dan penolong yang digunakan apakah sesuai dengan persayaratan halal. Sebelum terjadi proses aqad, lembaga sertifikasi melakukan
41
komunikasi via telepon untuk melihat prospek perusahaan yang akan diaudit, apakah perusahaan memungkinkan untuk dilakukan proses sertifikasi halal. Tahapan yang sangat awal diperlukan untuk mendapatkan informasi bahwa perusahaan yang akan diaudit “free from pork”. Tahapan ini dilakukan sebelum transaksi dilakukan. Setelah tahapan tersebut, dilakukan tahapan evaluasi dokumen yang disebut juga sebagai tahapan screening. Pada tahap ini perusahaan diminta untuk mengisi formulir dan semua data terkait dengan produk dan fasilitas yang ada. Tahapan screening ini dilakukan untuk dua (2) hal yaitu: (1) melihat kemungkinan adanya bahan yang mengandung babi ada pada material yang digunakan, (2) bahan yang akan digunakan dalam produk yang akan disertifikasi halal. Dilihat pula kesesuaian (compliance) terhadap kebijakan halal negara lainnya. Pada tahapan screening ini dilakukan penetapan apakah perusahaan memungkinkan untuk dilanjutkan atau tidak proses sertifikasinya. Proses selanjutnya adalah audit lapang yang bisa juga dilakukan dalam dua tahapan pre audit dan audit. Pemeriksaan kembali laporan audit sebelum masuk ke tahapan fatwa dan pengeluaran sertifikat halal. Kesamaan yang tidak bisa ditawar dari ketiga lembaga sertifikasi halal tersebut adalah harus memenuhi kondisi “pork free facilities”. Tidak ada kompromi untuk aturan tersebut. Ketiga lembaga sertifikasi halal tersebut sudah diakui oleh LP POM MUI. Sehingga tidak ada disparitas yang penting dalam pelaksanaan halal dengan prinsip yang diterapkan oleh LP POMMUI. Jika ada perbedaan dengan LP POM , maka perbedaan itu tidak merupakan perbedaan yang penting. Ketiga lembaga tersebut juga meminta kepada klien untuk menerapkan system semacam jaminan kehalalan, yang di Indonesia dinamakan Sistem Jaminan Halal (SJH). Di HFFIA system tersebut dinamakan Halal Quality Assurance System, sementara di Halal Correct dan Halal Control meminta perusahaan mengadopsi penuh SJH yang dikeluarkan oleh LP POM MUI dengan mengunduh aturan tersebut dari website LP POM MUI.
E.6. Struktur Biaya Biaya sertifikasi halal yang diajukan oleh lembaga sertifikasi halal di Eropa beragam dari 3000 Euro hingga 12000 Euro pertahunnya tergantung besar dan kompleksitas dari industrinya. Kontrak sertifikasi biasanya dilakukan pertiga tahun, dengan pembayaran setiap tahunnya. HFFIA Belanda misalnya untuk biaya sertifikasi pertahunnya sekitar 5000 Euro pertahunnya. Biaya tambahan sertifikasi yang biasanya diterapkan yaitu per kg produk yang dianggap sebagian lembaga sertifikasi sebagai “blood money”. Sementara lembaga sertifikasi halal lainnya seperti Halal Correct, Belanda menerapkan biaya sertifikasi pertahunnya sekitar 3000 hingga 5000 Euro pertahunnya. Sementara Halal Control, Jerman memiliki struktur biaya antara 3000 Euro hingga 12000 Euro. Namun dalam perjalananya jika ada penambahan produk baru perusahaan harus membayar 250 Euro per produknya. Tetapi sampai jumlah tertentu ketika perusahaan sudah cukup banyak membayar sejumlah biaya maka pada saat perpanjangan Halal control akan mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan tersebut dalam bentuk potongan hingga 50 persen. Namun jumlah biaya yang diterima oleh lembaga sebenarnya hanya 50 persen karena
42 setengahnya merupakan pajak. Intinya lembaga sertifikasi seperti Halal Control menetapkan struktur biaya dengan proporsional karena tidak menghendaki kondisi yang akhirnya cukup memberatkan konsumen muslim.
E.7. Pelayanan Laboratorium Dari ke 4 lembaga sertifikasi halal tersebut , tidak ada layanan laboratorium sebagai bagian dari prosedur audit yang dilakukan.
E.8. Edukasi,Informasi,Komunikasi Halal Informasi dan edukasi di Belanda dan di Jerman sudah mulai tumbuh dan berkembang. Masing –masing lembaga sertifikasi dalam penelitian ini melakukan kegiatan edukasi atau pun komunikasi serta informasi yang terkait dengan peningkatan kesadaran halal . Ada kegiatan yang murni penyadaran halal bagi konsumen muslim dan tidak terkait dengan sertifikasi seperti aktifitas yang bernama “HALAL POLITIE” . Kegiatan ini sangat menarik dan punya afiliasi dengan HFFIA. Kegiatan ini disiarkan melalui internet berupa TV Streaming bernama HALAL TV dan Facebook “Halal Politie”. Aktifitas yang dilakukan oleh Halal Politie adalah memberikan pengetahuan tentang halal dan haram suatu produk serta menjawab pertanyaan konsumen tentang kondisi suatu produk. Kegiatan Halal Politie didanai oleh dana zakat. Salah satu target dari program ini adalah generasi muda yang merupakan bagian terbesar dari generasi gadget. Salah satu kegiatan yang ada di Halal Politie adalah investigasi ke restauran atau tempat produksi yang mengklaim halal. Investigasi ini dilakukan berdasarkan dua hal pertama atas permintaan pengusaha sendiri dan kedua berdasarkan permintaan dari para follower. Investigasi yang dilakukan berdasarkan kriteria yang telah dibuat. Untuk restauran atau pengusaha yang telah memproduksi halal sesuai dengan persyaratan akan mendapatkan peringkat tertentu serta di informasikan dan disebarkan via internet. Kegiatan investigasi ini dapat dijadikan panduan bagi konsumen muslim untuk mencari restauran halal yang tepat. Definisi restauran halal yang dikembangkan adalah restauran yang tidak sekedar menjual makanan dan minuman halal, tetapi juga tidak menjual minuman keras dan bahkan rokok. Restauran atau tempat produksi yang telah dikunjungi oleh Halal politie dapat diberi tanda approved atau suspected. Semua penilaian ini akhirnya diberikan pada konsumen untuk mensikapinya. Pengenalan halal yang dilakukan oleh Halal Politie tidak terbatas pada produk tetapi juga gaya hidup halal. Berikut tanda atau sticker yang diberikan oleh Halal Politie terhadap objek yang telah dikunjungi. Halal Politie juga melakukan pengecekan terhdap produk yang dikunjungi dengan melakukan test cepat untuk pengecekan terhadap pemalsuan daging. Rapid test yang menjadi perlengkapan yang dibawa oleh Halal politie merupakan hasil kerjasama dengan produsen rapid test tersebut. Beberapa gambar dibawah menunjukkan sticker yang diberikan kepada perusahaan dan juga rapid test yang menjadi bagian dari perlengkapan investigasi
43
Gambar 12. Alat yang digunakan dalam kegiatan halal politie Adapun kegiatan sosialiasasi halal yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi halal di Jerman, Halal Control terkait dengan sertifikasi. Berbagi informasi antara ulama lembaga sertifikasi tersebut dengan para industriawan. Kegiatan ini sangat menarik dan merupakan kegiatan win win solution yang dilakukan dan diatur oleh lembaga sertifikasi. Kegiatan ini bebas biaya. Hal positif didapat oleh keduabelah pihak, pihak lembaga sertifikasi mendapatkan pengetahuan dan teknologi baru dari para industriawan, sehingga ilmu dan teknologi tersebut diketahui oleh para auditor lembaga tersebut. Sedangkan para industriawan atau para peneliti dari industri mendapatkan solusi hukum terkait dengan produk yang akan mereka produksi. Para industriawan sangat sadar akan pentingnya pengembangan produk mereka sesuai dengan aturan Islam. Banyak keuntungan yang didapat dari segi biaya dan waktu. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh Halal Control setiap bulannya.
44
BAB VI JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA Sistem jaminan Pproduk Halal dari berbagai negara dievaluasi dengan mengikuti kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan ditambah beberapa hal yang menggambarkan struktur dan aktifitas lembaga atau badan yang berwenang terhadap masalah halal. Kerangka infrastruktur terdiri dari beberapa hal yaitu : (A) Legislasi Halal, (B) Manajemen Pengawasan, (C) Kegiatan inspeksi, (D) Pelayanan laboratorium dan (E) Informasi, Edukasi,Komunikasi dan Pelatihan. Hal lain yang menjadi tambahan adalah gambaran tentang struktur organisasi, prosedur audit dan struktur biaya dari suatu lembaga sertifikasi.
A.Analisa konten terhadap Legislasi dan Pengawasan Jaminan produk halal untuk konsumen muslim Indonesia belum menjadi hal yang wajib (mandatory),walaupun dari segi jumlah penduduk muslim Indonesia merupakan jumlah terbesar di dunia. Dari segi legislasi regulasi halal, Undang-Undang (UU) Pangan No.18 tahun 2012 telah mengakomodasi kepentingan konsumen muslim terhadap halal. Halal dalam UU Pangan telah dimasukkan ke dalam definisi keamanan pangan, berbeda dengan UU Pangan No.7/1996 yang belum mengakomodasi halal secara integral. Halal dalam UU Pangan terdahulu hanya ada pada bagian label dan iklan pangan. Dalam UU Pangan yang baru pernyataan halal secara implisit pada pernyataan tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan. Penyelenggaraan keamanan pangan pada pasal 67 dan 69, untuk menjaga keamanan pangan yang dimaksud salah satunya adalah dengan penerapan jaminan kehalalan. Pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Untuk industri pengolahan pangan menengah besar dan industri rumah tangga, aturan tentang halal pada regulasi di bawah Undang-Undang hampir tidak memuat secara eksplisit tentang halal. Pengawasan halal untuk produk kemasan baik produk lokal dan impor sebatas dengan kesesuaian antara informasi yang diberi pada saat pendaftaran dengan label produk yang beredar. Untuk pangan segar, selain Undang-Undang No.18 tahun 2012 tentang Pangan, UU No.19 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sangat jelas menyampaikan bahwa hanya hewan yang bersertifikat veteriner dan halal yang boleh masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia. Aturan lain seperti Peraturan Pemerintah (PP) No.95 tahun 2012 juga gamblang mencantumkan masalah halal sejak dari proses pemotongan,tempat pengumpulan dan penjualan serta transportasi yang harus terpisah antara hewan halal dan non halal. Penjaminan kehalalan produk hewan salah satunya adalah dengan sertifikasi halal oleh institusi yang berwenang.
45
Untuk produk hewan yang masuk ke dalam wilayah Indonesia Permentan no.50/2011 menyatakan harus disertai dengan sertifikat halal dari LP POM MUI. Pada permentan tersebut pasal 19 ayat 2 menyatakan bahwa karkas, daging, jeroan dan olahannya yang punya sertifikat halal harus terpisah dari wadah dan kontainer karkas, daging ,jeroan dan atau olahannya yang tidak mempunyai sertifikat halal. Pasal tersebut masih memberikan peluang untuk produk hewan yang disertifikasi dan tidak disertifikasi halal. Hal ini menunjukkan bahwa jaminan kehalalan di Indonesia bukan merupakan hal yang wajib. Permentan tersebut bertolak belakang dengan UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan. Pengawasan terhadap produk yang beredar untuk produk pangan segar merupakan wilayah otoritas Kementrian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian. Untuk produk kemasan dengan nomor pendaftaran MD atau ML merupakan wilayah otoritas Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM. Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) dan pangan siapan saji pengawasannya dilakukan oleh pemda setempat dan dinas kesehatan. Terhadap pengawasan mutu dan keamanan daging dan produk daging Kementan belum memiliki perangkat seperti halnya BPOM, akibatnya hampir tidak ada pengawasan terhadap peredaran daging dan produk olahannya dimasyarakat kecuali bergantung pada keaktifan pemda setempat untuk melakukan pengawasan. Pengawasan pangan kemasan dilakukan oleh BPOM berdasarkan data pendaftaran yang disetujui oleh BPOM terhadap informasi yang diberikan oleh produsen. Pengawasan terhadap label halal didasarkan pada aturan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.924 tahun 1996 yang merupakan perubahan dari Permenkes No.82 tahun 1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Pada pasal 8,10,11,12 dan 17 disebutkan antara lain bahwa produsen atau importir yang akan mengajukan tulisan Halal diwajibkan diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari MUI dan Dirjen POM (saat ini menjadi BPOM). Permenkes ini sebenarnya merupakan ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal, sebagai penyempurnaan Surat Keputusan (SK) bersama antara Mentri Kesehatan dan Mentri Agama No.427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Aturan halal yang terkait dengan produk impor selain daging, adalah susu dan produk olahannya. Melalui Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436.a/kpts/PD.670.320/L/11/07 tentang petunjuk pelaksanaan tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Dalam aturan tersebut sertifikat halal merupakan dokumen yang dipersyaratkan dan harus dipenuhi di Pelabuhan/Bandar Udara tempat masuk produk. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM terhadap halal dikategorikan dalam TMK ( tidak memenuhi ketentuan). Artinya apakah label halal yang dicantumkan oleh perusahaan sudah memiliki sertifikat halal seperti yang telah ditetapkan. Pengawasan halal yang dilakukan oleh BPOM hanya terbatas pada pangan kemasan baik produk lokal atau pun impor. Sementara untuk produk PIRT yang dikemas diluar lingkup pengawasan BPOM, demikian juga untuk makanan yang tidak dikemas.
46 Ditinjau dari segi legislasi regulasi tentang kehalalan, saat ini Indonesia sudah memiliki perangkat aturan halal, terutama di sektor pangan segar dan pangan kemasan (diluar PIRT). Sementara di sektor lainnya aturan teknis tentang jaminan kehalalan belum muncul secara eksplisit. Jaminan kehalalan di Indonesia belum menjadi suatu hal yang wajib sebagaimana di negara Arab Saudi yang penduduknya 100 persen muslim, atau Uni Emirat Arab yang masih membolehkan pangan non halal melalui jalur yang sudah ditetapkan. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab merupakan anggota dari GCC (Gulf Cooperation Council). Regulasi tentang halal di negara-negara GCC mengacu pada standar yang sama yaitu GSO (GCC Standard Organization) No 9/1995 Labelling of prepacking food , GSO N0.993/1995 animal slaughtering according to Islamic Law, GSO No.1931/2009 Halal Food Part (1) General Requirement, GSO No. 2055/2010 Halal Food Part (2) Guideline for Halal Food Certification Bodies and Their Accreditation Requirement. Tidak ada pengembangan standar pada setiap negara, jika kelompok negara Teluk telah mengeluarkan suatu standar yang sama. Food Law No. 2 tahun 2008 tentang pangan yang dikeluarkan oleh UEA memuat hal tentang halal pada pasal 8 ayat 2 menyatakan bahwa untuk menangani pangan yang mengandung babi dan produk turunannya serta produk yang mengandung alkohol tidak boleh dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Jika aturan tersebut dilanggar maka pasal 16 ayat 3 menjelaskan sangsi dan pinaltinya. Untuk pangan yang masuk ke wilayah GCC selain menggunakan aturan pelabelan GSO 9/2007, UEA juga memiliki aturan Food Importer Guide tentang keharusan menyertakan sertifikat halal dari lembaga Islam yang telah disetujui untuk daging, unggas dan produk turunannya termasuk susu. Pada aturan GSO 9/2007 pada pangan yang dikirim ke negara negara Teluk, informasi minimal yang terdapat pada kemasan harus memuat deskripsi produk, komposisi dan asal negara. Jika menggunakan sumber lemak hewan maka harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih secara halal. Untuk yang menggunakan lemak babi hanya boleh dijual di daerah tertentu dan ditandai dengan jelas dengan gambar babi. Aturan tentang penggunaan lemak babi tidak berlaku untuk negara Arab Saudi. Negara negara Teluk juga melarang untuk menggunakan nama produk yang berasosiasi dengan produk alkohol dan babi, seperti tidak dibolehkan menggunakan nama Turkey Ham, Beef bacon untuk produk yang dikonsumsi konsumen muslim. Di Indonesia penggunaan gambar babi atau tulisan pada produk yang mengandung babi merupakan suatu aturan yang dikeluarkan oleh Peraturan Kepala BPOM No.HK 03.1.23.06.105166. Namun berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh Jurnal halal LP POM MUI pada tahun 2000 an masih ada produk impor yang mengandung babi yang tidak mencantumkan tanda gambar babi atau pun tulisan mengandung babi. Hal ini bisa dapat dikategorikan sebagai produk TMK atau TIE (tanpa izin edar). Legislasi dan pengawasan produk pangan di Singapura di lakukan oleh AVA (Agri-Food &Veterinary Authority of Singapore). Terhadap produk pangan impor yang masuk, AVA tidak memasukkan halal sebagai syarat impor
47
produk pangan yang masuk ke wilayah Singapura. AVA hanya menekankan pada persyaratan kesehatan dan keamanan daging dan produk daging yang masuk ke Singapura. Pengawasan halal yang dilakukan oleh Singapura sepenuhnya ada pada MUIS. Pelanggaran terhadap aturan halal di Singapura atas produk yang beredar atau pun restauran maka terdapat sangsi sebagaimana yang tercantum pada AMLA 88 A (5). Negara Australia memiliki aturan halal resmi hanya untuk kepentingan bisnis ekspor negara tersebut. Dibawah AQIS aturan halal dan pelaksanaannya ada dalam Australian Government Authorised Halal Program (AGAHP). Pelaksanaan halal terhadap rumah potong hewan yang ada di Australia, merupakan kerjasama 3 pihak yaitu Organisasi Islam yang sudah disetujui oleh pemerintah Australia dan negara pengimpor sebagai pihak yang melakukan sertifikasi halal, kemudian dokter hewan dan quality assurance dari pihak pemerintah. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi menjadi bagian dokumen resmi negara. Pemberlakuan halal stamp pada produk dilakukan oleh pemerintah berdasarkan data dari ketiga pihak terkait. Dokumen yang dikirim bersama dengan produk ke negara tujuan adalah dokumen tentang kesehatan hewan dan kebersihan sarana produksi serta sertifikat halal. Ketiga dokumen memiliki keterkaitan . Negara Uni Eropa per Januari tahun 2013 telah memberlakukan izin untuk memberlakukan pemotongan secara ritual.Aturan pemotongan secara ritual ini bukan saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk agama Yahudi. Aturan Ritual Slaughtering tersebut tidak membolehkan penyembelihan tanpa pemingsanan. Hal yang masih banyak ditentang oleh mayoritas muslim dan semua pengikut yahudi. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada produk hewan dan turunannya yang akan di kirim ke negara-negara Islam. Penyembelihan halal di Uni Eropa boleh dilakukan tetapi wajib dengan pemingsanan, sementara beberapa negara pemingsanan sebelum penyembelihan tidak diperkenankan. Penetapan atas aturan tersebut bagi komunitas muslim Eropa banyak yang pro kontra. Bagi komunitas muslim yang tidak setuju dengan adanya pemingsanan terutama untuk ternak unggas, maka bagi mereka tidak akan ada daging atau produk olahannya yang berasal dari Eropa yang menjadi halal untuk dikonsumsi. Demikian juga untuk komunitas yahudi di Eropa.
B.Analisa konten terhadap Inspeksi dan Laboratorium Inspeksi pada makalah ini dapat digantikan dengan audit ketika tidak ditemukan adanya kegiatan inspeksi terkait dengan isu halal pada objek penelitian ini. Inspeksi merupakan salah satu kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh regulator. Audit adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan apakah suatu organisasi memenuhi ketentuan yang tertulis pada suatu standar yang telah ditetapkan. Standar adalah hasil perumusan atau konsensus terhadap suatu permasalahan dari semua pemangku kepentingan (stake holder). Indonesia dengan jumlah mayoritas muslim terbesar, kegiatan yang terkait dengan halal dilakukan dalam bentuk inspeksi dan audit. Berdasarkan keberadaan produk pangan yang beredar di Indonesia, maka pengawasan halal melalui
48 inspeksi sudah dilakukan pada produk pangan olahan industry menengah besar. Inspeksi ini dilakukan secara rutin oleh BPOM melalui kesesuaian label yang didaftarkan dengan yang beredar. Ketika informasi yang tercantum pada label halal tidak sesuai dengan pengajuan saat pendaftaran, maka merupakan suatu ketidaksesuaian yang disebut dengan TMK . Data yang seperti yang tercantum pada Tabel 8. menunjukkan adanya peningkatan TMK dari tahun 2008 hingga tahun 2009 tetapi menurun hingga tahun 2011. Namun tidak diketahui dalam kasus TMK tersebut berapa sebenarnya data ketidaksesuaian terhadap halal. Berbeda dengan inspeksi terhadap pangan segar, inspeksi terhadap halal dilakukan pada karantina pertanian. Inspeksi terhadap kesesuaian antara sertifikat halal dan produk yang masuk. Inspeksi produk pangan segar yang beredar di pasar belum dilakukan sebagaimana halnya dilakukan oleh BPOM. Padahal aturan yang terkait dengan pangan segar yaitu Undang Undang No.18/2009 , Peraturan Pemerintah No.95/2012.Permentan No.13/2010 dan Permentan No.50/2011 telah mensyaratkan adanya inspeksi untuk memastikan produk pangan segar yang beredar sesuai dengan yang telah disepakati antara pengusaha dan pemerintah. Namun terlihat pengawasan dalam bentuk inspeksi rutin atau mendadak (sidak) terkait isu halal, masih sangat minim terhadap peredaran produk segar (daging). Inspeksi halal yang dilakukan terhadap pangan segar yang beredar di Indonesia lebih banyak bersifat responsif. Sementara untuk pangan yang beredar tanpa kemasan belum ada mekanisme inspeksi halal yang dilakukan sebagaimana inspeksi rutin yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap masalah keamanan pangan. Kondisi yang sama terjadi untuk produk PIRT. Arab Saudi dan UEA merupakan anggota negara Teluk. Negara Teluk telah melakukan harmonisasi terhadap aturan produk pangan impor. Selain itu Negara Teluk telah menerapkan GCC Unified Custom Law and Single Custom Tariff (UCL). Inspeksi yang dilakukan terhadap pangan yang masuk adalah kesesuaian antara ketentuan label (GSO No 9/1995). Pangan yang mengandung babi dan alkohol tidak boleh masuk ke negara Arab Saudi. Uni Emirat Arab masih membolehkan setelah pemberitahuan terlebih dulu. Berbeda dengan negara seperti Singapura, Australia dan Uni Eropa, keberadaan pangan halal yang terjamin berada pada mekanisme audit halal. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal tergantung dari masing masing negara. Untuk Singapura keberadaan halal tidak ada dalam bentuk inspeksi gabungan yang dilakukan oleh AVA. Keberadaan halal yang memiliki jaminan hukum ada pada kegiatan sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUIS. Australia jaminan kehalalan dalam bentuk sertifikasi dilakukan dengan aktifitas audit halal pada unit bisnis yang akan melakukan ekspor ke negara yang memerlukan sertifikat halal. Sementara Uni Eropa, pemerintah tidak melakukan inspeksi terkait dengan sertifikasi halal. Produk yang terkait dengan jaminan kehalalan, dilakukan setelah aktifitas audit halal yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang ada di negara tersebut. Audit halal dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang bisa dimiliki oleh organisasi Islam atau pribadi. Secara “de facto” lembaga lembaga sertifikasi halal baik di Eropa maupun di Australia merupakan lembaga yang telah mendapat
49
pengakuan dari MUI. Ini berarti lembaga tersebut telah diperiksa keberadaannya oleh MUI sebelum dilakukan pengakuan. Pengakuan MUI sangat diperlukan oleh lembaga sertifikasi yang ada diluar wilayah Indonesia, untuk kepentingan lembaga melakukan audit sertifikasi di negaranya. Hal ini disebabkan perusahaan perusahaan multinasional menyadari bahwa untuk memasarkan produknya ke Indonesia maka status halal merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Sehingga pengakuan LPPOM MUI terhadap sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal dari negara setempat merupakan hal yang krusial. Indonesia dan Arab Saudi serta negara negara Teluk lainnya, memiliki kesamaan dalam hal tingginya populasi muslim. Namun Arab Saudi dan negara negara Teluk tidak memiliki mekanisme audit halal dalam rangka jaminan kehalalan di negara tersebut. Jaminan kehalalan sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah, dengan aturan bahwa tidak ada peredaran produk yang mengandung babi dan alkohol di Arab Saudi. Sementara di beberapa negara Teluk masih membolehkan produk yang mengandung babi dan alkohol dengan pemberitahuan terlebih dahulu serta memiliki jalur yang telah ditetapkan. Pemerintah sepenuhnya menyerahkan mekanisme audit halal pada organisasi Islam di negara pengimpor setelah memenuhi persyaratan ketentuan yang telah ditetapkan. Di Indonesia jaminan kehalalan untuk produk yang beredar lebih banyak dilakukan dari mekanisme audit halal yang dilakukan oleh LP POM MUI. Sementara pemerintah belum menjamin sepenuhnya terhadap keberadaan halal melalui inspeksi yang dilakukan. Pemeriksaan Laboratorium yang terkait dengan halal di Indonesia, belum merupakan suatu persyaratan. Sementara di Arab Saudi dan negara negara Teluk sudah menerapkan uji deteksi babi pada pintu masuk ke negara tersebut. Arab Saudi pernah menolak beberapa kontainer gelatin yang diklaim sebagai gelatin sapi, tetapi setelah diuji terdapat kandungan babi pada gelatin tersebut. Sementara di Australia, Singapura dan Uni Eropa pemeriksaan laboratorium terkait isu halal belum merupakan suatu kebijakan.
C.Analisa Konten Edukasi ,Komunikasi dan Informasi halal Terkait dengan edukasi/pelatihan, komunikasi dan informasi halal sudah cukup banyak keberadaannya. Indonesia melalui LP POM MUI, sudah melakukan pelatihan halal secara rutin bagi lembaga sertifikasi di beberapa negara. Keikutsertaan lembaga sertifikasi dari beberapa negara merupakan bagian dari persamaan persepsi tentang mekanisme audit yang harus dilakukan. Makna lainnya adalah pelatihan tersebut bisa bersifat bagian atau proses dari tahapan pengakuan yang dilakukan oleh LP POM MUI. LP POM MUI juga memiliki media informasi yang memuat dan mensosialisasikan permasalahan halal ke konsumen muslim. Media Jurnal Halal sudah cukup lama keberadaaannya. Produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari LP POM MUI menjadi bagian dari informasi yang disampaikan di Jurnal Halal.
50 Selain pelatihan ke lembaga sertifikasi halal di luar Indonesia, LP POM MUI juga melakukan pelatihan rutin untuk organisasi pemegang sertifikat halal MUI atau calon pemegang sertifikat halal MUI. LP POM MUI juga secara aktif melakukan kegiatan sosialisasi halal dalam bentuk “halal go to school”, ceramah ceramah pada instansi pemerintah atau pun swasta. Arab saudi dan negara Teluk lainnya menyampaikan informasi halal terkait dengan regulasi yang harus dipenuhi oleh para importir. Tidak ada pelatihan terkait dengan halal diselenggarakan di negara tersebut. Sementara negara Australia melalui AGAHP, pelatihan terkait halal dilakukan oleh lembaga sertifikasi terhadap tenaga penyembelih. Informasi terkait halal yang dikelola oleh pemerintah sebatas untuk kepentingan bisnis ekspor negara tersebut. Informasi terkait halal juga disampaikan melalui situs jaringan yang dikelola oleh lembaga sertifikasi halal di berbagai negara. Situs tersebut selain memberikan informasi terkait produk halal juga sebagai sarana promosi bagi lembaga sertifikasi tersebut. Lembaga sertifikasi halal di Uni Eropa yang cukup progresif melakukan penyebaran informasi ke komunitas muslim adalah HFFIA. Lembaga ini memiliki aktifitas rutin dan program sosialisasi halal ke komunitas muslim. Program komunikasi dan sosialisasi halal yang baru saja diluncurkan adalah Halal Politie. Program ini semacam detektif yang melakukan investigasi kehalalan produk terhadap sarana produksi berdasarkan pengaduan atau laporan konsumen muslim. Program ini sudah di tayangkan di media maya. Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) juga melakukan kegiatan pelatihan halal ke perusahaan perusahaan yang akan dan telah mendapatkan sertifikat halal dari lembaga tersebut. Informasi terkait dengan halal dan aktifitas dari lembaga sertifikasi MUIS ditayangkan di situs jejaring yang dikelola oleh MUIS.
VII. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Pada akhirnya jaminan kehalalan untuk konsumen muslim di Indonesia menjadi sangat lemah dikarenakan produk pangan yang dianggap kritis dari perspektif kehalalan, seperti daging hewan halal masih dapat masuk ke Indonesia tanpa sertifikat halal. Selain itu mekanisme pengawasan distribusi daging antara pulau (melalui karantina) masih sangat lemah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sistem jaminan kehalalan di Indonesia memiliki potensi pola yang terintegrasi tergambar dari 4 kelompok bisnis pangan yang ada. Berdasarkan tahapan yang diidentifikasi, keberadaan regulasi halal secara eksplisit paling lengkap pada kelompok bisnis pangan segar, sedangkan yang paling kosong pada kelompok pangan siap saji. Selain itu ada aturan yang bertentangan dalam penjaminan kehalalannya di regulasi pangan segar yaitu UU No.18/2009 dengan PP No.95/2012 dan Permentan 50/2011. Kesenjangan jaminan halal yang tersaji pada ke 4 kelompok bisnis tersebut merupakan area yang dapat diperbaiki untuk membuat model sistem jaminan halal
51
di Indonesia menjadi lebih komprehensif dan terintegrasi. Undang Undang Pangan No.18/2012 dapat dijadikan payung hukum pelaksanaan jaminan halal di Indonesia. Dari penelitian ini juga menunjukkan ada 5 (lima) model system jaminan kehalalan yang tertangkap. Adanya 5 model ini disebabkan adanya perbedaan tata pengelolaan halal di setiap negara yang dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk muslim, dasar hukum suatu Negara dan kepentingan ekonomi Negara. Pengelolaan halal dapat dilakukan oleh Negara, lembaga sertifikasi ataupun representasi organisasi Islam yang ada di suatu Negara. Lima (5) model system jaminan kehalalan yang ada dapat dilihat seperti pada Tabel 12 berikut : Tabel 12 Perbandingan model sistem jaminan kehalalan di beberapa Negara. Kriteria/Negara Penduduk Muslim Legislasi Halal
Indonesia Mayoritas Ada, tapi tidak lengkap
GCC Mayoritas Ada
Australia Minoritas Ada sebatas kepentingan sertifkasi halal untuk kepentingan ekspor
Manajemen Pengawasan
Negara dan Lembaga Sertifikasi Negara dan lembaga Sertifikasi Lembaga Sertifikasi Lembaga Sertifikasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat
Negara
Negara dan Lembaga sertifikasi Negara dan Lembaga Sertifikasi NA
Inspeksi
Pelayanan Lab Edukasi,Komunik asi dan Informasi
Negara
Negara Negara
Negara dan lembaga sertifikasi
Singapura Minoritas Ada sebatas untuk aktifitas sertifkasi untuk kepentingan muslim Singapura Negara melalui MUIS MUIS
Uni Eropa Minoritas Tidak ada
MUIS
NA
MUIS
Lembaga sertifkasi
Lembaga sertifikasi Lembaga sertifkasi
Dari penelitian ini, model sistem jaminan kehalalan di Indonesia yang diajukan adalah menjadikan UU Pangan No.18/2012 sebagai payung dari pelaksanaan halal di Indonesia, sementara 4 kelompok bisnis pangan yang ada menjadi pilar serta regulasi terkait halal menjadi landasannya. Untuk itu harus terdapat pernyataan eksplisit yang menekankan jaminan kehalalan bagi konsumen muslim disetiap aturan turunan Undang Undang Pangan. Dengan demikian jaminan kehalalan dilakukan dengan mengadopsi model sistem jaminan halal negara negara Gulf Cooperation Council. Pada masa transisi prinsip sukarela (voluntary) yaitu jaminan halal melalui sertifikasi dapat dilakukan untuk membiasakan dan mengoptimalkan pola kerja produksi halal. Sertifikat halal harus menjadi bagian dari dokumen negara sebagaimana yang diterapkan pada pola sertifikasi di negara Australia.
52
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan detail pola sistem jaminan halal pada negara negara yang ada dalam penelitian ini terutama di negara negara yang terhimpun di Gulf Cooperation Council (GCC)
DAFTAR PUSTAKA Kassim, AM.2010. The Global Market Potential of Halal. Presentation at International Conference &Expo on Halal Industry, Lahore.Pakistan Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI).2012. Halal Assurance System 23000 Lembaga Pengkajian Pangan Obatdan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI) .2010 Sosialisasi Program dan Kebijakan LP POM MUI. Bogor Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI).2011. Indonesia Halal Directory Shabera,A.2012 . The Role of MUI for Strengthening Halal Globally. Presentation at International Workshop World Halal Food Council. Jakarta Riaz,MN & Chaudry,MM. 2004. Halal Food Production. CRC Press.Washington, DC . USA Sungkar,I dan Darhim Hashim.2009. The Global Halal Food Market and Updates on Global Halal Standards. Presentasi pada The First EAP Regional Agribusiness Trade and Investment Conference.Agro –enterprose without borders.Singapore 30-31 July 2009..Singapore Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life.2011. The Future of The Global Muslim Population. Salleh,MA.2012. Komunikasi personal. Majelis Ugama Islam Singapore. Singapore Lukman,Adhi.2012. Challenges & Opportunity of Halal Global Market, Indonesia Perspectives. Presentasi pada Global Halal Forum 2012.Jakarta 5 July 2012. Jakarta Hariyadi,P.2008. Double Burden: Isu terkini terkait dengan keamanan pangan. Makalah pada Pra Widya KArya Nasional Pangan dan Gizi IX,2008.Pokja Mutu dan Keamanan Pangan,Hotel Bumikarsa,Bidakara 9 Juni 2008. Jakarta. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No 22 Tahun 2010 tentang Perubahan atas peraturan mentri perdagangan No.62/M-DAG/PER/12/2009 Tentang Kewajiban pencantuman label pada barang. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.0005.52.4040 tahun 2006 tentang Kategori Pangan. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No, HK.00.5.1.2569 tahun 2004 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan.
53
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.15 Tahun 2006. Pengawasan dan Pengendalian Impor,Pengedaran dan Penjualan dan Perizinan Minuman Beralkohol. Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia No.75 tahun 2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yag Baik. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.23.06.10.5166 tahun 2010 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu, kandungan alcohol dan batas kedaluarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.00.05.23.1455 tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.23.12.11.10569 tahun 2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang baik Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.3.12.11.10692 Tahun 2011 tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.5.12.11.09956 Tahun 20111 Tentang Tata Laksana Pendaftaran Pangan Olahan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.5.12.11.09956 Tahun 20111 Tentang Tata Laksana Pendaftaran Pangan Olahan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 56 tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha kecil dan Menengah Keputusan Menteri Agama R.I. No. 518 tahun 2001 tanggal 30 November 2001 tentang Pedoman dan tata cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah tangga Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang baik untuk Industri Rumah tangga Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.23.04.12.2207 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah tangga Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 11 Tahun 2002 tentang Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 43/MDAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan pengendalian Minuman Beralkohol
54 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.011/2010 tentang Penetapan Tarif Bea masuk atas Impor Produk-Produk Minuman yang Mengandung Etil Alkohol tertentu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.13 tahun 1995 tentang Izin Usaha sendiri Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2000 Tentang Karantina Hewan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.16 Tahun 1977 Tentang Usaha Peternakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1983 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,Mutu dan Gizi Pangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja sama Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 18/Permentan/OT.140/3/2011 Tentang Pelayanan Dokumen Karantina Pertanian Dalam Sistem Elektronik Indonesia National Single Window (INSW) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21/Permentan/OT.140/2.2010 Tentang Pemasukan Hewan Babi dan Produkya ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/Permentan/OT.140/2/2008 Tentang Pedoman Pengawasan dan Pengujian Keamanan dan Mutu Produk Hewan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 Tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas,Daging, Dan/atau Jeroan dari Luar Negeri Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007 Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 Tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas,Daging dan Jeroan Dari Luar Negeri Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 34/Permentan/OT.140/7/2006 Tentang Persyaratan dan Tata cara Penetapan Instansi Karantina Hewan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/7/2008 Tentang Persyaratan dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan yang Baik (Good Manufacturing Practices) Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 44/permentan/OT.140/5/2007 Tentang Pedoman Berlaboratorium Veteriner yang Baik (Good Veterinary Laboratory Practice)
55
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 50/Permentan/OT.140/9/2011 Tentang Rekomendasi Persetujuan Karkas,Daging,Jeroan Dan/atau Olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 61/Permentan/OT.140/8/2007 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64.Permentan/OT.140/12/2006 Juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007 Tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging Dan Jeroan Dari Luar Negeri Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 02/Kpts/OT.140/1/2007 Tentang Dokumen Sertifikat Karantina Hewan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No.436.a/Kpts/PD.670.320/L/11/07 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Karantina Hewan terhadap Susu dan Produk Olahannya. Surat Keputusan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia No.SK10/Dir/LP POM MUI/XII/07. Tahun 2007 Tentang Logo LP POM MUI Pedoman Pelabelan Produk Pangan.2004 Direktorat Standardisasi Produk Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan danBahan Berbahaya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.03.1.23.11.11.09909 Tahun 2011 tentang Pengawasan Klain dalam Label dan Iklan Pangan Olahan. Peraturan Pemerintah No 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.
Lampiran 1. Hasil Penelitian Jaminan kehalalan beberapa negara berdasarkan poin kerangka infrastruktur regulasi pangan Countries /Points INDONESIA
Legislasi Halal
Manajemen pengawasan
Kegiatan Inspeksi
Pelayanan Lab
Edukasi,Informasi, Komunikasi
Di Indonesia Isu Halal ada dalam : (1) Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan , (2) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (3) Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan, (4) Undang-Undang No.36 tahun 2012 tentang Kesehatan, (5) Permentan 50tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas,Daging, Jeroan dan /atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia ,(6) Peraturan
Di Indonesia karena halal bukan menjadi mandatory, maka hanya perusahaan yang mampu yang melakukan sertifikasi yang mendapatkan status halal pada produknya. Untuk pengawasan produk berlabel halal menjadi bagian dari kegiatan di BPOM ,karena izin pencantuman label halal ada pada BPOM
Kegiatan inspeksi atau halal audit untuk melakukan sertifikasi dilakukan oleh lembaga MUI melalui LP POM nya.
Di Indonesia, analisa Lab dijadikan sebagai alat verifikasi
LP POM memiliki lembaga sosialisasi dan training serta melakukan kegiatan tersebut secara aktif ke masyarakat dan perusahaan
Pengawasan terhadap kehalalan sebatas klaim pada ketentuan label. Tidak ada jaminan bahwa produk yang masuk ke Indonesia harus halal.
LP POM MUI memiliki aktifitas sertifikasi di seluruh Indonesia dan di berbagai belahan dunia. MUI juga melakukan aktifitas akreditasi atau pengakuan terhadap lembaga sertifikasi yang berada di Luar Indonesia Standard untuk melakukan penilaian terhadap lembaga sertifikasi belum merupakan
57
Countries /Points
Legislasi Halal
Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, (7) Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan (SK) bersama antara Mentri Kesehatan dan Mentri Agama No.427/Menkes/SK BMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan (1) UU Pangan No 18/2012 (2) UU Perlindungan Konsumen No.8/1999
Manajemen pengawasan
Kegiatan Inspeksi
standar yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh lembaga sertifikasi yang ingin mendapatkan SH dari LP POM MUI Secara detail akan disampaikan pada tabel terpisah
Pelayanan Lab
Edukasi,Informasi, Komunikasi
58
Countries /Points
SINGAPORE
Legislasi Halal
(3) PP tentang Label dan Iklan No.69/1999 Di Indonesia, legislasi halal menjadi bagian dari UU Pangan dan UU Perlindungan Konsumen dan PP tentang Label dan Iklan.Namun produk yang beredar di Indonesia tidak menjadi mandatory untuk halal. Label Halal menjadi wajib ketika perusahaan menghendaki untuk menjadi halal dan harus dipertanggungjawa bkan klaim tersebut AMLA bagian 88A (1) dan 88A (5).
Manajemen pengawasan
Kegiatan Inspeksi
Pelayanan Lab
Pengawasan halal dilakukan oleh Kementerian Pemuda yang kemudian menjadi tanggungjwab bagi seorang mentri yang beragama Islam
Sertifikasi Halal dilakukan oleh MUIS (Majelis Ugama Islam) secara formal sejak tahun 1978 sepuluh tahun setelah MUIS
Analisa Lab menjadi bagian dari persyaratan sertifikasi halal
Edukasi,Informasi, Komunikasi
Training baik secara dilakukan oleh MUIS.
internal dan eksternal
59
Countries /Points
KSA/UEA
Legislasi Halal
Produk yang masuk ke wilayah Saudi Arabia wajib halal. Tidak ada produk yang mengandung bahan haram masuk ke wilayah ini. Jaminan kehalalan menjadi tanggungjawab pemerintah. Regulasi halal terkait dengan prosedur persetujuan untuk rumah potong hewan dikeluarkan oleh SFDA (bagian pangan/food sector) atau mengacu pada standard yang dikeluarkan oleh SASO atau GCC Regulasi halal di UEA Legislasi tentang halal dikeluarkan oleh General Secretariat Municipal (GSM)
Manajemen pengawasan
Kegiatan Inspeksi
dimana pun posisi kementeriannya. Pengawasan terhadap produk hewan dan produk olahannya melalui inpeksi yang dilakukan ke negara pengekspor.
ditetapkan.
Pengawasan terhadap peredaran pangan di UEA dilakukan oleh ADFCA melalui Food Law No.2/2008 isu tentang halal terdapat pada pasal 8 ayat 2 dan pasal 16 ayat 3
Di Uni Emirat Arab, inspeksi dilakukan di pintu masuk pada saat produk impor datang. Inspeksi dilakukan berdasarkan kiteria pangan dan jalur warna (red,yellow dan green channel) Inspeksi dilakukan oleh ADFCA
Kegiatan inspeksi dilakukan oleh petugas SFDA untuk memverifikasi lokasi pemotongan hewan di negara pengekspor. Dilakaukan berdasarkan keputusan administrasi No.75/31/k tertanggal 26 Juni 2010.
Pelayanan Lab
Edukasi,Informasi, Komunikasi
Uji cepat untuk deteksi babi dilakukan rutin pada sertiap kedatangan produk di pintu masuk
Informasi tentang aturan halal atau kebijakan baru yang terkait dengan halal dipublikasikan melalui situs jaringan masing masing negara.
UEA mempersyaratkan bagi produk impor mengirimkan hasil uji lab terlebih dulu sebelum barang datang.
60
Countries /Points
Eropa
Legislasi Halal
dan standard dikeluarkan oleh Emirat standard and Meteorology Authority (ESMA) atau menggunakan standard GCC. Di UEA juga memiliki Food Law no.2 yang dikeluarkan oleh ADFCA (Abu Dhabi Food Control Authority) Hampir semua Negara Eropa tidak memiliki legal hukum terhadap pelaksanaan halal. Pemerintah menganggap bahwa halal adalah masalah agama yang tidak perlu diatur oleh pemerintah. Namun di Belanda ,tata cara penyembelihan ada aturan legal nya yaitu yang disebut
Manajemen pengawasan
Kegiatan Inspeksi
Pelayanan Lab
Edukasi,Informasi, Komunikasi
Tidak ada pengawasan terkait dengan tidak adanya legal hukum halal di Negara-negara Eropa umumnya .Sekali pun ada pelanggaran ketika tidak ada pengaduan maka pelanggaran atau adulteration tidak akan ditindak secara hukum
Inspeksi dalam konteks penelitian ini dapat diartikan sebagai aktifitas sertifikasi halal, Untuk negara negara Eropa dalam lingkup peneltian ini aktifitas sertifikasi merupakan bagian dari Jaminan kehalalan untuk konsumen muslim di negara masing masing. Untuk keperluan ekspor
Hampir semua lembaga sertifikasi di Eropa belum memiliki pelayanan laboratorium atau menjadikan uji laboraorium sebagai bentuk verifikasi dari tahapan audit.
Halal Informasi dan edukasi di Holland sudah mulai tumbuh dan berkembang. Ada lembaga sertifikasi halal di Belanda yang cukup antusias dengan kegiatan sosialisasi halal terutama untuk menyadarkan halal pada generasi muda. Program sosialisasinya cukup menarik dan mengikuti jiwa muda. Program tersebut di namakan “HALAL POLITIE” Acara rutin tahunan yang dilakukan oleh lHalal Control Jerman. Kegiatan tersebut berisi tukar informasi antara perusahaan dengan ulama Halal Control. Kegiatan tahunan ini bersifat simbiosis mutualisme.
61
Countries /Points
Legislasi Halal
Manajemen pengawasan
sebagai “besluit ritueel slachten”. Aturan yang memuat tatacara penyembelihan secara ritual (untuk muslim dan yahudi). Pemotongan hewan berdasarkan agama sudah diberlakukan per Januari 2013 AUSTRALIA
Di Australia, halal menjadi isu penting dan bagian dari AQIS ( karantina Australia) . Hal ini terkait dengan ekspor daging dan intermediate nya ke Negara-negara yang mayoritas muslim sehingga Halal cukup penting bagi Australia
Pengawasan halal terkait dengan ekspor. Lembaga sertifikasi halal di control oleh suatu lembaga pemerintah di Australia, dan secara regular melapor ke lembaga tersebut. Namun tidak menjadi otomatis hak konsumen muslim di Australia menjadi terjamin Halal awareness di masyarakat terutama industry pangan sudah
Kegiatan Inspeksi
negara tersebut juga memerlukan lembaga sertifikasi halal. Lembaga sertifikasi halal dalam lingkup penelitian ini merupakan lembaga yang diakui oleh MUI dan memenuhi persyaratan minimum yang diterapkan. Inspeksi halal dilakukan oleh lembaga sertifikasi . dalam rangka proses sertifikasi halal. Inspeksi secara periodik juga dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan halal di rumah potong hewan sesuai dengan yang ditetapkan Inspeksi halal dapat dilakukan secara bersama dengan pemerintah atau
Pelayanan Lab
Edukasi,Informasi, Komunikasi
Terkait dengan aktifitas sertifikasi
Halal training dilakukan terkait dengan aktifitas sertifikasi dalam kaitannya ekspor. Sosialisasi halal yang dilakukan secara terorganisir belum ditemukan dalam penelitian ini. Namun dibeberapa tempat seperti restauran dan bahkan restauran hotel sudah mulai meningkat kesadaran dengan mencantumkan sertifikat halal pda gerainya.
62
Countries /Points
Legislasi Halal
Manajemen pengawasan
Kegiatan Inspeksi
mulai meningkat. Sudah ada web yang menawarkan produk produk halal dengan berbagai criteria. Sanksi terhdap pelanggaran halal masih berupa sanksi moral
terpisah. Dokumen halal menjadi bagian dari dokumen legal pemerintah ketika akan melakukan ekspor
Pelayanan Lab
Edukasi,Informasi, Komunikasi
Lampiran 2.Kuisoner Penerapan Halal di Beberapa Negara Country : Government Body : Department Islamic Organization : 1. Existing of HCB based on what reason a. Export /business purposes b. Moslem Needs (self effort from moslem) c. Other reason (any cases regarding halal false) 2. Development of HCB is affected by what reason? 3. Halal Product availability for the moslem consumer in the country 4. How the government involved to the development of HCB in country 5. Mechanism and Halal regulation in a country? (legislation,regulation and controlling) 6. Control of Halal performing in a country especially for moslem people 7. The requirements of HCB in performing halal certification a. Legal requirements b. Procedure (s) to conduct the halal audit c. Competence and skill of the fatwa committee and halal auditors d. Is there any laboratory test as part of halal certification process e. Contribution of HCB for education, dissemination of halal awareness