65
BAB 4 TANGGUNG JAWAB BANK DALAM KASUS MIS-SELLING DI INDONESIA DAN PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN
4.1. Pertanggung jawab Bank dalam Kasus Mis-selling di Indonesia Produk jasa keuangan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang pesat dan memiliki kompleksitas tinggi, bahkan memotong batas antara security investment, banking, dan asuransi.99 Ditambah dengan kondisi pasar yang kompetitif menyebabkan bank, salah satu penjual produk keuangan, melakukan inovasi
khususnya
terhadap
instrumen
keuangan
yang
pada
akhirnya
menghasilkan produk-produk jasa keuangan baru. Inovasi instrumen keuangan ini pada satu sisi memberikan banyak pilihan kepada nasabah untuk menginvestasikan uangnya dan memberikan nilai tambah yang dapat dinikmati oleh investor. Disisi lain, inovasi instrumen keuangan ini juga meningkatkan resiko yang dihadapi oleh bank. Pasar yang sangat kompleks, ditambah produk jasa keuangan juga semakin komplek, maka ketika investor atau nasabah membeli suatu produk jasa keuangan yang kurang dikenal, mereka biasanya mengandalkan pada informasi, pendapat atau rekomendasi yang sediakan oleh wakil (reperenstative) dari penjual. Dari waktu ke waktu semakin banyak investor yang mengandalkan bahkan tergantung pada penasehat investasi untuk mencari produk jasa keuangan yang cocok untuk kepentingannya. Departemen marketing produk jasa keuangan pada bank juga melihat ini sebagai suatu celah bisnis. Mereka kadang menginformasikan atau memberikan opini kepada calon investor untuk membeli produk jasa keuangan yang mereka tawarkan. Sudah menjadi praktek bisnis bahwa departemen marketing dibebani target penjualan, sehingga mereka semakin gencar untuk mencari nasabah yang prospektif. Namun ada kalanya jawaban-jawaban praktis, informasi dan rekomendasi atas banyak pertanyaan nasabah oleh wakil penjual (dalam kasus ini karyawan
99
Alexsa Lam, “The Risk of Product Mis-selling” http://www.sfc.hk/sfc/doc/EN/speeches/speeches/06/acl_061120.pdf, diunduh 11 Desember 2010. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
66
bank yang menjual produk bank atau jasa keuangan) ini kadang-kadang kurang sesuai dengan kebutuhan khusus dari pembeli. Bahkan merugikan konsumen. Ketidaklengkapan informasi mengenai produk keuangan yang ditawarkan dapat terjadi disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah faktor “hilang”nya informasi. Skema di bawah ini menggambarkan bagaimana dalam suatu rantai proses, informasi yang disampaikan “hilang” dari borrower sampai pada investor akhir. Artinya memang ada resiko bahwa informasi yang disampaikan kepada nasabah mengalami penurunan kualitas atau “hilang”. Sehingga dengan adanya informasi “hilang” tersebut konsumen dirugikan karena dapat saja bahwa ia akhirnya memutuskan menginvestasikan uangnya pada produk yang tidak sesuai dengan kebutuhannya yang pada akhirnya menimbulkan kerugian. Hal tersebut juga dapat berpotensi menyebabkan timbulnya mis-selling.
Gambar 4.1 Hilangnya Informasi100
100
Nigel Jenkinson, Adrian Penalver dan Nicholas Vause, “Financial Innovation: What Have we Learnt?” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1275792, diakses, 11 Desember 2010.
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
67
Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa yang dapat dianggap sebagai mis-selling adalah: a) penawaran produk investasi berisiko tinggi seperti structured product yang kurang jelas
atau penawaran produk investasi dimana informasi yang
diberikan kurang jelas, misalkan informasi mengenai produk tersebut, tingkat risiko, kelebihan dan kekurangan, mekanisme perhitungan serta penjaminan, dll. b) Menjual produk pada nasabah yang tidak membutuhkannya c) Kurangnya informasi terkait kelalaian (Omission) d) penjualan produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tipe nasabah Untuk membahas mengenai tanggung jawab bank terhadap mis-selling produk yang dijual oleh mereka telebih dahulu kita lihat hubungan hukum antara bank dan nasabahnya. Hubungan hukum antara bank dan nasabah terdiri dari dua bentuk101, yaitu: a. Hubungan kontraktual Hubungan kontraktual didasarkan adanya perjanjian/perikatan diantara bank dan nasabahnya. Merujuk Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt servanda, maka semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat layaknya undang-undang bagi para pihaknya. Hubungan kontraktual merupakan hubungan yang paling utama dan lazim dalam perbankan. Hal ini berlaku hampir terhadap nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non deposan. b. Hubungan non kontraktual102 Ada enam jenis hubungan hukum antara bank dengan nasabah, selain hubungan kontraktual, yaitu: a) Hubungan fidusia (fiduciary relation) b) Hubungan konfidensial c) Hubungan bailor-bailee 101
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hal.
104 102
ibid. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
68
d) Hubungan principal-agent e) Hubungan mortgagor-mortgagee f) Hubungan trustee-beneficiary
Produk Bank adalah produk yang diciptakan, diterbitkan,
dan/atau
dikembangkan oleh Bank dalam rangka penghimpunan dan penyaluran dana, antara lain meliputi giro, tabungan, deposito, obligasi, kredit, medium term notes, produk derivatif, dan principally protected structured product. Produk ini dapat diciptakan sendiri oleh bank tersebut atau bekerja sama dengan lembaga keuangan lainnya. Mis-selling
produk
bank
yang
diciptakan,
diterbitkan,
dan/atau
dikembangkan oleh Bank dan lembaga keuangan lainnya tentu memiliki perbedaan pertanggungjawaban hukumnya dengan mis-selling pada produk bank yang di kembangkan oleh bank itu sendiri. Apabila bank menciptakan, menerbitkan dan mengembangkan sendiri maka bank bertanggungjawab penuh, namun apabila bank bekerja sama dengan pihak lain dan hubungannya adalah hubungan keagenan maka yang bertanggung jawab adalah prinsipalnya sepanjang bank bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Namun demikian ini dapat berubah dengan dilakukannya perjanjian antara para pihak, khusunya mengenai tanggung jawab hukum. Berikut beberapa dasar/alasan pertanggung jawab bank atas mis-selling yang dilakukannya.
4.1.1. Tanggung jawab pelaku usaha yang melakukan mis-selling berdasarkan wanprestasi Prinsip pertanggung jawab ini merupakan implementasi dari suatu doktrin privity of contract yang menegaskan bahwa ada hubungan kontraktual antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen. Kontrak ini mengikat layaknya undangundang diantara mereka sesuai dengan asas pacta sunt servanda sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Konsumen yang dimaksud adalah
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
69
konsumen akhir bukan konsumen perantara.103
Konsumen akhir yang
dimaksudkan dalam UU Perlindungan Konsumen adalah subyek hukum kodrati (alami) bukan badan Hukum.104 Perjanjian yang terjadi harus sah dan mengikat para pihak (berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata jo. 1338 KUHPerdata). Hal menarik dalam tanggung jawab kontaktual ini adalah bahwa perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen ini meliputi dua bentuk: pertama adalah warrenties dan kedua, representation. Warrenties meliputi hal-hal yang diperjanjikan dan representation merupakan pernyataan informasi yang berguna untuk ”mengantarkan” konsumen menuju area kesepakatan. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa representation merupakan alasan terjadinya kesepakatan. Terdapat pandangan yang berbeda mengenai repesentasi ini apakah masuk dalam kontrak atau tidak. Pendapat pertama mengatakan bahwa mispresentasi merupakan bagian dari kontrak antara pelaku usaha dan konsumen. Pandangan kedua adalah misreprentasi bukan bagian dari hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pandangan pertama adalah bahwa misrepresntasi merupakan bagian dari kontrak manakala pernyataan palsu tersebut terdapat dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dengan konsumen. Dalam hal ini maka dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian maka akibat hukum adanya misrepresentasi tersebut adalah hubungan kontratual yang terjadi dapat dimintakan pembatalan. Karena syarat sahnya perjanjian khususnya adanya ”cacat” dalam kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi misrepresentasi dalah hubungan kontraktual terjadi breach of contract (wanprestasi) dan atas dasar wanprestasi tersebut menimbulkan hak bagi kreditur untuk meminta ganti kerugian. UU Perlindungan Konsumen menganut prinsip yang berbeda mengenai representasi yaitu menganggap bahwa representasi bukan merupakan kontraktual 103
Lihat Pasal 1 point 2 UU Perlindungan Konsumen, selengkapnya pasal tersebut berbunyi „ konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masarakat, baik demi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 104 Az Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999 – L.N. 1999 No.42“ makalah di unduh dari http://www.pemantauanperadilan.com/opini/53-ASPEK%HUKUM%20PERLINDUNGAN%, diundur 11 Desember 2010.
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
70
sehingga pelanggarannya bukan merupakan wanprestasi akan tetapi merupakan PMH, sebagaimana dapat ditemukan secara implisit dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f dan Pasal 9 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Sehingga dengan demikian dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pelaku usaha dalam hal terdapat mis-selling dalam hubungan kontraktual hanya terbatas pada pelanggaran terhadap Warrenties yang dibuat oleh pelaku usaha bank.
4.1.2. Tanggung jawab pelaku usaha yang melakukan mis-selling berdasarkan PMH 4.1.2.1.
Pelanggaran terhadap fiduciary duty
Kebanyakan negara, tanggung jawab untuk mis-selling atas produk-produk selalu ditujukan pada agen penjualan dibandingkan dengan pembuat dari produk itu sendiri. Namun seorang pembuat dapat saja bertanggung jawab jika seorang agen menjual produk tersebut dibawah kewenangan dari prinsipalnya atau dengan hubungan keagenan. Tanggung jawab ini dapat diterapkan dalam hal produk bank yang ditawarkan bank bekerjasama dengan lembaga keuangan lainnya. Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang105 tidak mengatur mengenai perjanjian keagenan dan distributor.106 Namun dengan semangat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu kebebasan berkontrak maka para pihak dapat membuat perjanjian apa saja termasuk keagenan asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata).107 Dalam praktik bisnis, perjanjian keagenan merupakan hubungan kontraktual antara prinsipal dengan agen dalam hal ini agen memberikan kewenangan kepada agen untuk bertransaksi dengan pihak ketiga.108 Hubungan 105
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengenal komisioner dan makelar. Bedanya agen lahir dari kesepakatan para pihak, sementara makelar dan komisioner terjadi dengan perbuatan sepihak ditambah dengan campur tangan dari pemerintah. 106
Suharnoko, op.cit., hal 38.
107
Lihat, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps. 1388 dan Ps. 1337. 108
Ibid. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
71
antara prinsipal dengan agen ini dapat saja perwakilan ataupun jual beli biasa. Dalam hal hubungannya adalah perwakilan, si agen bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya. Hubungan antara prinsipal dan agen adalah fiduciary relationship.109 Maka apabila ada akibat hukum yang timbul yang bertanggung jawab adalah prinsipalnya. Tentu saja tindakan agen ini masih dalam wewenang yang diberikan oleh prinsipal, karena apabila agen bertindak diluar dari kewenangan yang diberikan maka agen sendiri yang bertanggung jawab. Dalam kondisi hubungan prinsipal dengan agen yang berbentuk jual beli biasa maka agen bertindak untuk namanya sendiri maka apabila ada kerugian yang ditimbulkan maka agen tersebut yang bertanggung jawab. Keagenan disebutkan di atas tidak dikenal dalam KUHPerdata, namun demikian apabila dicari konsep perjanjian yang mirip maka keagenan mirip dengan perjanjian pemberian kuasa.
Persamaannya adalah sama-sama dapat
terjadi secara diam-diam110, dan mengenal keadaan umum dan khusus.
Perbedaan antara perjanjian kuasa dan agen yang prinsip adalah: a) Agen dapat bertindak untuk dan atas nama prinsipal atau atas nama sendiri, sementara kuasa selalu bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. b) Agen dilakukan dengan upah, sedangkan pemberian kuasa tidak selalu dengan upah, tetapi dapat juga dilakukan dengan upah c) Pemberian kuasa adalah 1ebih bebas lagi, karena da1an hal ini dapat dilakukan hak substitusi dan juga bo1eh tidak, sedangkan tanggung jawabnya tergantung dan ada tidaknya hak itu; d) Agen sangat berada di bawah pengaruh prinsipal, sedangkan pemberiari kuasa tidak demikian
109
Ibid, hal. 41. Mengutip W. Michael Garner, Franchise and Distribution Law and Practice, 1994: 40. “A Fiduciary is generally held to standartd of loyality to its principal indeed, the fiduciary must act in the best interest of the principal” 110
Secara diam-diam maksudnya adalah tidak membatah atau mengajukan keberatan terhadap pemberian kuasa atau keagenan. Atau secara diam-diam menjalankan kuasa yang telah diberikan (vide Pasal 1793 ayat (2). Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
72
4.1.2.2.
Misrepresentation
Representation dalam penjualan produk perbankan adalah segala pernyataan pelaku usaha mengenai produk perbankan yang mempengaruhi konsumen untuk memberikan kesepakatan sedemikian rupa sehingga apabila informasi yang disampaikan berbeda maka konsumen tidak akan memberikan kesepakatannya.111 Misrepesentation terjadi manakala terdapat pernyataan palsu dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dengan konsumen baik tertulis maupun tidak tertulis. Leder, mendefinisikan misrepesentation sebagai ” a false statement of fact which includes the other party to enter into a contract”112 kemudian Oxford A Dictionary of Law, pengertian misrepresentasi adalah:
“misrepresentation is an untrue statement of fact, made by one party to the other in the course of negotiating a contract, that induces the other party to enter into the contract. The person making the misrepresentation is called the representor, and the person to whom it is made is the representee. A false statement or law, opinion, or intention does not constitute a misrepresentation; nor does a statement of fact known by the representee to be untrue. Moreover, unless the representee relies on the statement so that it becomes an inducement (though not necessarily the only inducement) to enter into the contract, it is not a misrepresentation. The remedies for misrepresentation according to the degree of culpability or the representor, If he is guilty of fraudulent misrepresentation (i.e. if he did not honestly believe in the truth or his statement, which is not the same as saying that he knew it to be false) the representee may, subject to certain limitations, set the contract aside by rescission and may also sue for damages. If he is guilty or negligent misrepresentation (i.e. if he believed in his statement bur had no reasonable Wounds for thing so) the representee was formerly entitled only to rescission but may now (under the Misrepresentation Act or by an action in tort for negligence) also obtain damages. If the representor has committed merely an innocent misrepresentation (one he reasonably believed to be true) the epresentee is restricted to rescission, subject so the discretion or the court under the l967Aet to award him damages in lieu. A representee entitled to rescind a contract for misrepresentation may decide instead to affirm”.113 111
David Oughton & John Lowry, Textbook on Consumer Law (Sussex: Hailsham and Scaynes Hill, 1997) hal. 84. 112
Malcolm Leder and Pater Shears, Frameworks Consumer Law, Fourth Edition (London: Financial Times Pitman Publishing, 1999)., hal. 26 113 Oxford A Dictionary of Law, fifth edition, (New York: Oxford University Press, 2003)., p. 317
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
73
Apabila ditinjau dari asal katanya bahwa misrepesentasi berasal dari kata representasi. Kata representasi sendiri adalah peristiwa kebahasaan. Dalam representasi sangat mungkin terjadi misreprentasi, yaitu ketidakbenaran pengambaran, atau kesalahan penggambaran. Dalam pemahaman perlindungan konsumen, sebagaimana Miru sampaikan bahwa misrepresentasi adalah kesalahan persepsi atau pengertian konsumen mengenai suatu produk karena adanya penawaran/promnosi dan pelaku usaha yang tidak benar.114 Hal ini di atur dalam Pasal 9 dan 10 UU Perlindungan Konsumen.
Apabila dikaitkan dengan mis-selling, misrepsentasi merupakan
suatu kesalahan baik karena kesengajaan maupun kelalaian mengenai suatu penjelasan atau penginformasian suatu produk bank yang menyebabkan produk tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan profile nasabah yang diajukan. Suatu istilah yang relavan untuk diajukan disini adalah istilah misstatement. Menurut Oxford a Dictionary of Law, misstatement diartikan sebagai: “negligent misstatement (negligent misrepresentation. carelesstatement) A false statement of fact made honestly but carelessly, A statement or opinion may be treated as a statement or fact if it carries the implication that the person making it has reasonable Wounds for his opinion. A negligent misstatement is only actionable in tort ir’ there has been breach or a duty to take care in making the statement that has caused damage to the claimant. There is no general duty of care in making statements, particularly in relation to statements on financial matters Responsibility for negligent misstatements is imposed only if they were made in circumstances that made it reasonable to rely on them. If a negligent misstatement induces the person to whom it was made to enter into a contract with the maker or the statement, the statement may be actionable as a term or the contract if the parties intended it to be a term or it ma give rise to damages or rescission under the Misrepresentation Act 1967”115 Informasi atau pendapat dari pihak penjual/wakil penjual (bank) terkait penawaran produk secara konsep dapat dibedakan menjadi misrepresentation di satu pihak dan mis-selling di lain pihak. Perbedaannya adalah dalam 114
Ahmnadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.2, (Jakarta: PT RalaGrafindo Persada. 2004). hal. 55. 115
Oxford A Dictionary of Law., op.cit. p. 328. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
74
misrepresentation terdapat pernyataan palsu/tidak benar (false statement) yang dibuat oleh pelaku usaha dan/atau bawahannya terhadap konsumen. Sementara mis-selling adalah penjualan produk perbankan yang tidak patut, dalam
hal
ini
mencakup
faktor
kesesuaian
dan
kebenaran
informasi/pengungkapan. Ukuran kepatutan disini adalah dari profile dan penyampaian informasi yang benar kepada konsumen. Sementara kesesuaian adalah bahwa informasi tersebut harus sesuai keadaan sesungguhnya dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa misrepesentation merupakan bagian dari mis-selling. Sebagaimana
diuraikan
sebelumnya
bahwa
baik
mis-selling,
misrepesentasi ataupun mis-statement yang dilakukan oleh pelaku usaha (bank) apabila menimbulkan kerugian, dan kerugian tersebut karena salahnya dan melawan hukum maka dapat dimintakan pertanggung jawab hukum berdasarkan PMH.
4.1.2.3.
Duty of Care
Duty of care adalah kewajiban untuk bertindak hati-hati. Walaupun pada awalnya perkembangan doktrin ini mucul diawali oleh pemikiran doktrin privity of contact. Dengan demikian awalnya duty of care terjadi apabila terdapat hubungan hukum kontraktual antara penggugat dan tergugat (dalam hal ini adalah hubungan kontraktual antara pelaku usaha dengan konsumen. Namun doktrin ini berkembang tidak khususnya di Inggris ketika The House of Lord menghapuskan doktrin privity of contract dalam perkara Donoghue v. Stevenson, 1932.116 Kasus ini merupakan yuriprudensi yang penting dan fenomenal bagi ketidakberlakukan doktrin privity of contract. Kasus ini, Mrs. Donoghue sebagai penggugatmeng-klaim bahwa ia telah mengalami shock dan harus dirawat karena telah mengalami gastro-entritis akibat mengkonsumsi sebagian besar minuman ginger beer yang di produksi oleh stevenson. Sebelumnya Donoghue ia tidak mengetahui bahwa minuman tersebut terkontaminasi siput busuk di bagian dasar botol. Hal itu disebabkan botol 116
Anita Stuhmoke, Essential Tort Law, ed. 2, (London: Cavendish Publishing, 2001), hal
2. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
75
minuman tersebut buram. Pada saat menuangkan botol tersebut untuk kesekian kali ia akhirnya mendapatkan dan menyadari bahwa minuman tersebut terkontaminasi siput busuk. Akibatnya ia mengalami shock dan harus dirawat karena gastro-entritis. Minuman tersebut dibelikan oleh temannya. Baik temanya maupun penjual minuman tersebut tidak menyadari bahwa terdapat siput busuk dalam minuman tersebut. Kemudian Donoghue menggugat produsen (Stevenson) dengan alasan adanya kelalaian karena penyakit yang disebabkan oleh bir yang terkontaminasi siput tersebut. Stenvenson mengajukan dalil pembelaan, karena ia tidak membeli sendiri maka tidak terjadi hubungan kontraktual sehingga undang-undang perlindungan konsumen tahun 1932 tidak dapat diterapkan dalam kasus tersebut. Majelis hakim berpendapat bahwa Mrs. Donoghue tetap memiliki klaim yang sah walaupun tidak ada hubungan hukum kontraktual, namun Stevenson tetap bertanggung jawab untuk menganti kerugian yang diderita oleh Donoghue, dengan penggunaan konsep strict liability. Anggota The House of Lord, Lord MacMillan, berpendapat bahwa kasus ini harus dianggap sebagai kasus perlindungan yang baru, dan Lord Atkin berargumentasi bahwa hukum haruslah mengakui prinsip bahwa sesungguhnya kita memiliki kewajiban yang sewajarnya kepada sesama.117 Vivien Harpwood berpendapat
bahwa setidaknya dalam kasus tersebut
terdapat lima hal penting yang lahir118, yaitu: a. Kelalaian telah diakui sebagai tort yang terpisah; b. Gugatan terhadap negligence dapat dilakukan walaupun tidak ada hubungan kontraktual antara pelaku usaha dengan konsumen; c. Gugatan terhadap negligence sukses apabila penggugat dapat membuktikan adanya duty of care yang seharusnya dilakukan tergugat kepada penggugat dan adanya breach duty of care tersebut.
117
Ibid., hal.7
118
Vivienne Harpwood 1, Modern Tort Law, (London: Cavendish Publishing, 2005), hal.
7. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
76
d. Untuk menentukan adanya duty of care dilakukan pengujian neighbour test119 yang didasarkan pada suatu tindakan yang dapat masuk akal untuk diperkirakan. e. Produsen atau pelaku usaha memiliki duty of care terhadap konsumen. Berdasarkan pemahaman tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa duty of care adalah bagaimana seseorang bertindak secara hati-hati menurut ukuran tingkah laku tertentu agar tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Ukuran untuk menentukan bahwa terjadi breach of duty dalam konsep common law adalah reasonable man test,
yang merupakan penilaian secara
obyektif dengan menempatkan seseorang ’resonable man’ ditempatkan pada posisi tergugat. Dalam ukuran duty of care, maka dalam konteks hukum Indonesia lebih khusus lagi dalam PMH maka konsep ini terdapat dalam melanggar kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Sehingga dalam hubungan dengan mis-selling, pelaku usaha bank yang tidak patut, teliti dan hati-hati dalam menawarkan produk sehingga mengakibatkan produk yang dijual tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen dapat dikenakan pertanggung jawab hukum berdasar perbuatan melawan hukum. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaku usaha (bank) dalam menjalankan kegiatannya harus senantiasa berdasarkan asas kehati-hatian (prudential principles). Dengan demikian pelaku usaha (bank) memiliki duty of care terhadap konsumen. Yang pada akhirnya pelanggaran terhadap duty of care tersebut menimbulkan kerugian ekonomi kepada konsumen. Karena menimbulkan kerugian ekonomi maka berdasarkan aturan PMH akan mengganti kerugian ekonomi tersebut dengan kompensasi. 119
Vivienna Harpwood 2, Principles of Tort Law, ed. 4, (London: Cavendish Publishing, 2000), hal. 23, kreteria baru dalam Neighbour test sebagaimana dalam putusan di atas menurut Lord Atkin adalah: “ the rule that you are to love your neighbour become, in law, you must not injure your neighbour; and the lawyer’s question ‘who is my neighbour?’ receives a restreced reply. You must take responsible care to advoid acts or omissions which you can reasonably foresee would be likely to injure your neighbour. Who then in the law is my neighbour? The answer seems to be – persons so closely and directy affected by my act that I ought reasonably to have them in contemplation as being so affected when directing my mind to the acts or omissions are called in question” Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
77
Sehingga secara umum, ketiga hal di atas, adanya misrepresentation, breach of fiduciary duty, dan breach of duty of care merupakan dasar-dasar bagi pelaku usaha bank untuk dapat dikenakan tanggung jawab PMH. Namun demikian, pelaku usaha dikatakan bertanggung jawab dengan dasar PMH apabila ia telah memenuhi unsur-unsur norma sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam hal terjadi kerugian akibat mis-selling, pihak yang dirugikan dapat meminta pertanggung jawab bank berdasarkan kesalahan (negligence). Tanggung jawab menurut Hukum di Indonesia, terkait dengan kesalahan di dalam KUHPerdata berdasarkan PMH. Dikatakan setiap perbuatan seseorang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain akan selalu diikuti dengan tanggung jawab dari pelaku tanpa terlalu mempedulikan apakah adanya unsur kesalahan atau kelalaian. KUHPerdata merumuskan norma PMH dalam Pasal 1365. Dimana suatu bank atau agen dapat diminta pertanggungjawaban berdasarkan PMH apabila memenuhi unsur-unsur norma dalam Pasal 1367 jo. 1365 KUHPerdata. Unsurunsur tersebut adalah (a) adanya perbuatan, (b) melawan hukum, (c) adanya kesalahan, (d) kerugian, dan (d) adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan. Klaim mis-selling dengan menggunakan Pasal 1367 jo 1365 KUHPerdata dapat dikabulkan apabila si penggugat dapat membuktian bahwa tergugat memenuhi semua unsur dalam pasal tersebut. Pengaplikasian unsur-unsur norma dalam Pasal 1365 KUHPerdata dalam kasus mis-selling adalah sebagai berikut: a. Perbuatan Perbuatan disini dapat saja perbuatan aktif atau perbuatan pasif. Perbedaannya adalah perbuatan yang merupakan kesengajaan, dilakukan secara aktif
dan
perbuatan
yang
merupakan
kelalaian
(pasif/tidak
berniat
melakukannya).
b. Melawan Hukum Unsur melawan hukum terpenuhi apabila salah satu dari empat katagori melawan hukum dilanggar, yaitu (a) bertentangan dengan hak subyektif orang Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
78
lain, (b) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, (c) bertentangan dengan kesusilaan, dan (d) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian (PATIHA). Dikaitkan dengan mis-selling maka kategori melawan hukum yang mungkin diterapkan adalah; pertama adalah melanggar hak subyektif orang lain. Hak subyektif orang lain dapat dibagi menjadi (a) hak kebendaan, (b) hak pribadi, dan (c) hak –hak istimewa. Mis-selling dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain dalam hal melanggar hak-hak istimewa yang dimiliki oleh nasabah yang diberikan oleh undang-undang. Hak tersebut adalah hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, lebih khususnya adalah Pasal 4 butir (c) yaitu “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Kedua adalah melanggar kewajiban hukum si pelaku. Dalam hubungan antara bank dan nasabah, bank memiliki kewajiban hukum untuk berhati-hati (duty of care) terhadap nasabahnya. Kewajiban hukum tidak hanya bersumber dari peraturan perundang-undangan yang memberikan kewajiban pada bank namun juga sampai pada kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya praktis dalam perbankan. Kewajiban bank tersebut adalah dapat ditemukan dalam peraturan perundangundangan pada UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan UU Perlindungan Konsumen. Kewajiban bank sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu “untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Informasi yang dimaksudkan adalah informasi tentang produk. Hak atas informasi ini penting, karena hak ini menjadi dasar bagi pelaksanaan hak-hak yang lainnya, misalnya hak untuk memilih. Kewajiban hukum yang diamanatkan dalam UU Perlindungan Konsumen adalah bank sebagai pelaku usaha yang rumuskan dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen. Dikaitkan dengan mis-selling setidaknya dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, beberapa kewajiban bank adalah: (a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, (b) memberikan informasi yang benar, jelas Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
79
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, dan (c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Dengan demikian maka undang-undang memberikan suatu kewajiban (duty by law) bagi bank (pelaku usaha) dan oleh karenanya bank harus menjalankan kewajiban tersebut. Apabila bank tidak melaksanakan kewajiban baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya tersebut maka bank dianggap telah melanggar kewajiban tersebut (breach duty of care). Oleh karenanya bank dapat dimintakan pertanggung jawab hukum. Kategori melawan hukum yang ketiga adalah bertentangan dengan PATIHA. Sebagaimana kita ketahui bahwa inovasi terhadap instrumen keuangan menciptakan produk baru yang kompleksitasnya tinggi. Bank dalam menawarkan produknya harus melaksanakan dengan prinsip kehati-hatian (Prudential principles) dan manajemen resiko. Dengan melakukan penawaran produk bank yang tidak tepat kepada nasabah, yang menimbulkan kerugian pada nasabah maka atas kesalahan dari bank atau karyawan bank tersebut bank telah melanggar prinsip ”know your customer”. Dengan pelanggaran terhadap prinsip Know Your Customer dengan sendirinya bank telah tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian. Dengan kondisi ini maka bank dapat dikatakan telah memenuhi katergori melawan hukum yang bertentangan dengan kehati-hatian.
c. Kesalahan Dengan mensyaratkan adanya kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pembuat undang-undang menekankan bahwa si pelaku perbuatan hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, bila mana perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya.120 Unsur kesalahan pada suatu perbuatan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan unsur melawan hukum. Unsur kesalahan menekankan pada kombinasi antara kedua unsur yaitu perbuatan dan melawan hukum. Hanya saja perbuatan tersebut berdasarkan kesengajaan atau kelalaian. KUHPerdata tidak mengenal 120
Sebagaimana di kutip dari Ruttern, Verbintenissenrecht, hal. 439 oleh M A Moegni Djododirdjo., Op. cit., hal. 65 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
80
perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian, karena KUHPerdata menganut pemahaman kesalahan dalam arti luas. Pelanggaran terhadap kesalahan baik karena sengaja maupun lalai adalah sama-sama ganti kerugian. Hal ini berbeda dengan negara yang membedakan antara kesalahan dan kelalaian, misalkan di Ingris atau Amerika Serikat. Kedua negara tersebut apabila kesalahaan dilakukan karena kesengajaan maka akan dikenakan punitive damages, disamping ganti rugi biasa. Unsur kesalahan terpenuhi apabila Bank memiliki kesengajaan atau kelalaian dalam memberikan informasi, rujukan, dan/atau penentuan produk perbankan kepada nasabah yang tidak sesuai dengan kebutuhannya.
d. Kerugian Unsur Kerugian dimaksud adalah baik itu kerugian materil ataupun immaterial yang diderita oleh si korban. Kerugian (schade) dalam perbuatan melawan
hukum
ada
juga
yang
mengatakan
kerugian
kekayaan
(vermogensschade) atau hal ini dikatakan kerugian materil, artinya kerugian tersebut adalah kerugian atas kekayaan yang berupa kerugian uang.121 Disamping kerugian kekayaan ada kerugian moril atau idiil. Ini yang disebut sebagai kerugian immaterial. Kerugian immaterial ini misalkan ketakutan, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup. Mengenai unsur kerugian, tidak harus bahwa kerugian itu nyata diderita oleh korban untuk dikatakan unsur kerugian terpenuhi. Namun dapat juga kerugian ini baru berupa potential lost. Dalam hal mis-selling. Nasabah dalam hal menentukan pilihan produk yang dibeli atau diinvestasikan tergantung pada informasi yang disampaikan oleh pihak bank. Dalam hal informasi tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan nasabah dan menimbulkan kerugian maka bank dapat dimintakan pertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan tersebut.
e. Hubungan kausalitas (sebab akibat) antara kesalahan dan kerugian.
121
Djododirdjo., op. cit., hal. 76 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
81
Antara kesalahan dan kerugian harus ada hubungan kausalitas (sebab akibat). Dikaitkan dengan mis-selling, bahwa kesalahan yang terjadi apakah itu disebabkan kesengajaan ataupun kelalaian harus memiliki hubungan kausal dengan kerugian yang ditimbulkan oleh nasabah. Keadaan bahwa tergugat melakukan suatu PMH adalah tidak cukup untuk menyatakan seseorang bertanggung jawab namun harus dilakukan “pengujian”. Pengujian ini berfungsi untuk tujuan hukum memastikan bahwa seseorang tidak akan dihukum untuk membayar ganti rugi untuk kerugian yang tidak dia timbulkan.
4.1.3. Tanggung jawab pelaku usaha yang melakukan mis-selling berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen Tanggung jawab produk (product liability) di banyak Negara hanya pada produk yang berupa “barang” yang memiliki adanya cacat (defect), dimana adanya cacat tersebut menimbulkan kerugian. Atas dasar itu maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawab hukum atas kerugian yang ditimbulkan oleh ’produk’ yang cacat tersebut. Pengertian produk konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen memang tidak tegas, apakah hanya barang atau jasa atau kedua-duanya (Pasal 1 angka 4 dan 5 UU Perlindungan Konsumen). Namun semangat yang terdapat dalam undang-undang tersebut bahwa apapun yang diproduksi oleh pelaku usaha apakah itu barang atau jasa tidak merugikan konsumen. Apabila produk barang dan/atau jasa tersebut merugikan konsumen maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembuktian terbalik. Inosentius Samsul berpendapat setidaknya tiga hal yang di anggap masalah yang kompleks terkait dengan perlindungan terhadap nasabah (konsumen perbankan).122 a. Hak Konsumen atas Informasi Perbankan b. Hak Konsumen atas “Fair Agreement” dalam Praktek Perjanjian Perbankan
122
Inosentius Samsul, “Pengembangan Model Penyelesaian Sengketa Perbankan Dalam Perspektif Perlindungan Kepentingan Konsumen. Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan”, Volume 7, Nomor 1, Januari 2009 (Jakarta: Direktorat Hukum Bank Indonesiah, 2009) h:19 - 24 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
82
c. Hak Konsumen Perbankan untuk Mendapatkan Ganti Kerugian Pasal 4 huruf c UUPK mengatur mengenai hak konsumen atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sebaliknya hak tersebut menjadi kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b. Hak konsumen dan kewajiban bagi pelaku usaha
yang diatur dalam UUPK, sejalan dengan kewajiban bank
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu “untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Informasi yang dimaksudkan adalah informasi tentang produk. Hak atas informasi ini penting, karena hak ini menjadi dasar bagi pelaksanaan hak-hak yang lainnya, misalnya hak untuk memilih. Dikaitkan dengan tahapan traksaksi konsumen, dimana terdapat tiga tahap123, yaitu: (1) tahap Pra-transaksi konsumen, (2) tahap transaksi konsumen, dan (3) tahap purna-transksi konsumen. Permasalahan mis-selling ini terjadi pada tahap pra-tansaksi. Pada tahap ini, transaksi atau penjualan/pembelian barang dan/atau jasa belum terjadi. Dalam tahap ini kedua pihak memang memiliki kewajiban hukum. Dari pihak konsumen harus bijak dan cerdas artinya konsumen dalam melakukan transaksi wajib mempertimbangkan pembelian dengan tujuan dan kebutuhannya. Namun disisi lain pelaku usaha (bank) juga memiliki duty of care terhadap produk yang ditawarkan. Kewajiban tersebut adalah harus berhatihati, teliti dan menawarkan produk secara patut agar produk yang dipilih konsumen tepat sesuai dengan profile konsumen dan kebutuhannya. Pada tahapan pra-tansaksi hal yang paling penting adalah informasi yang benar, jelas, dan jujur serta akses untuk mendapatkannya.124 UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut. Setidaknya doktrin memberikan batasan apa yang dimaksud dengan benar, jelas 123
124
AZ. Nasution, op.cit., hal 16-17 Ibid. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
83
dan jujur. Benar adalah bahwa informasi yang diberikan oleh pelaku usaha adalah benar materinya125. Artinya memberikan informasi yang benar akan produk yang ditawarkan. Jelas artinya jelas pengukapan atau pemaparannya, kesemuanya harus jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda pada konsumen; menggunakan (minimal bahasa Indonesia (Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen); atau gambar yang informatif, atau menunjukan data atau ukuran yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jujur adalah bahwa pemberian keterangan tersebut harus dilandaskan pada itikad baik ( Pasal 7 a dan 7b UU Perlindungan Konsumen). Kejujuran produk perbankan yang ditawarkan diperlukan oleh konsumen dalam menentukan pilihan produk bank yang akan mereka ambil bukan sekadar informasi untuk menarik minat konsumen saja. Singkat kata bahwa saat ini memang perlindungan konsumen dalam bisnis perbankan mendapat perhatian yang cukup besar. Apalagi dengan berkembangnya produk-produk perbankan yang ditawarkan, upaya perlindungannya semakin di tingkatkan. Bank Indonesia sebagai regulator dan pengawas pun dalam cetak biru Arsitrektur Perbankan Indonesia (API) pun mengganggap bahwa salah satu pilar penting yang perlu di bangun adalah pilar perlindungan nasabah perbankan yang notabene adalah konsumen. Dunia perbankan pun tidak resistensi terhadap kebijakan tersebut, karena hidup matinya Bank sangat ditentukan oleh nasabahnya. Nasabah dalam perbankan merupakan konsumen pengguna jasa. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan perbankan berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada.126 Dilihat dan sisi penyerahan dana, nasabah yang berposisi sebagai kreditur dan bank sebagai debitur. Namun dalam hal nasabah sebagai peminjam dana maka posisi nasabah sebagai debitur dan Bank sebagai kreditur. Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya friksi antara nasabah dan Bank terutama disebabkan oleh empat hal yaitu (i) informasi yang kurang 125
Ibid,
126
Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)., hlm. 282. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
84
memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank, (ii) pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang, (iii) ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana, dan (iv) tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.127 Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yaitu (lihat gambar 1):128 1. Struktur perbankan yang sehat 2. Sistim pengaturan yang efektif 3. Sistim pengawasan yang independen dan efcktif 4. Industri perbankan yang kuat 5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi 6. Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen dalam pilar keenam diajabarkan dan mencakup empat aspek, yaitu:129 (1) menyusun standard mekanisme pengaduan nasabah, hal yang diperjuangkan adalah menetapkan persyaratan minimum dalam mekanisme pengaduan konsumen. (2) Membentuk Lembaga Mediasi Independen;
127 Muliaman D. Hadad, “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasakah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia”, Makalah dipresentasikan di Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta, 16 Juni 2006. www.bi.go.id. Diakses, 13 Mei 2010. Lihat pula Erna Priliasari, Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Perlindungan Terhadap Nasabah Bank, http://www.legalitas.org/content/mediasi-perbankan-sebagai-wujud-perlindungan-terhadapnasabah-bank diakses, 11 Mei 2010. 128 “Enam Pilar API”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2502404A-6622-46A4-903000CF3FC86A7A/1378/enam_pilar.pdf diakses 11 Mei 2010 129
Agus Sugiarto, 2004. “Membangun Fundamental Perbankan yang Kuat”, Media Indonesia tanggal 26 Januari 2004. Lihat juga Sugiarto 2003, “Arsitektur Perbankan Indonesia: Suatu Kebutuhan dan Tantangan Perbankan ke Depan”, Kompas, 5 Juni 2003. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
85
(3) Menyusun Transparansi Informasi Produk; upaya yang ditempuh dengan memfasilitasi penyusunan standard minimum transparansi informasi produk bank (4) Promosikan Edukasi Untuk Konsumen; API berusaha mendorong bank-bank untuk melakukan edukasi pada konsumen tentang produk-produk financial
Gambar 4.2 Enam Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia
Bank Indonsia serius untuk mewujudkan program API. Misalkan dalam upaya menciptakan struktur perbankan yang sehat dan peningkatan fungsi pengawasan Bank Indonesia, BI mengeluarkan paket kebijakan Oktober 2006 yang dikenal dengan Pakto 2006 yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI.2006 juncto kebiiakan mengenai pemberian insentif dalam rangka konsolidasi perbankan sebagaimana diatur dalam Peraturan BI Nomor 8/17/PBI/2006 yang telah dirubah dengan Peraturan BI Nomor 9/12/PBI/2007. Kebijakan tersebut dikenal dengan Kebijkann Kepemilikan Tunggal (single presence policy). Terkait program API, khusus mengenai perlindungan terhadap konsumen Bank Indonesia sendiri telah mengeluarkan regulasi yang lebih ketat, terutama sejak krisis keuangan global pada akhir tahun 2008-2009 dimana Bank Indonesia mengatur secara spesifik tentang structured products, memperketat penjualan produk-produk offshore dan juga bancassurance. Rangkaian pengaturan ini dimaksudkan untuk mengatur mekanisme operasional bank dalam melakukan penjualan produknya. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
86
Namun memang, seperti yang telah disampaikan sebelumnya pengaturan mengenai Mis-selling belum diatur secara spesifik dan lebih menekankan pada kelengkapan administratif dan informasi produk, namun belum secara keseluruhan mencakup aspek kepatutan dan kebutuhan (profile and need) dari calon nasabah. Selain itu pemahaman masyarakat, dalam hal ini nasabah Bank, akan hak-haknya juga masih minim. Dalam hal pembentukan lembaga arbitrase perbankan, BI mengeluarkan PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. PBI tersebut merupakan standar minimun mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah, agar penyelesaian sengketa efektif dan dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang memadai. Upaya penyelesaian sengketa antara pelaku usah bank dan nasabah dapat diselesaikan
dengan jalan negosiasi,
konsiliasi,
mediasi
dan arbitrase,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui jalur pengadilan. BI juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana diubah dengan PBI No.10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Pasal 1 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006, menyatakan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang dipersengketakan. Berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP, tertanggal 1 Juni 2006, bahwa Bank Indonesia telah menjalankan fungsi mediasi perbankan sebagai sarana yang sederhana, murah dan cepat dalam penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank belum dapat memuaskan nasabah yang menimbulkan sengketa antara nasabah dan bank. Dalam konteks keluhan nasabah terkait produk, jumlahnya masih cenderung sedikit, seperti yang dapat kita lihat pada table berikut:
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
87
Tabel 4.1 Data statistik permohonan mediasi perbankan yang diterima DIMP tahun 2006-2010130
130
Sumber DIMP. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
88
4.2. Perbandingan aturan dan tanggung jawab bank terkait mis-selling di negara lain 4.2.1. Pertanggung jawab bank dalam kasus mis-selling di Singapura Monetary Authority of Singapore (MAS) memberikan 2 (dua) rekomendasi apabila nasabah mengalami masalah mis-selling produk-produk keuangan. Pertama, selesaikan masalah tersebut dengan institusi keuangannya. Nasabah disarankan untuk memastikan tujuannya; menyiapkan berkas-berkas bahkan dokumen-dokumen pendukung. Kemudian menyimpan rekaman-rekaman yang layak, mencatat nama orang yang diajak berbicara, membuat salinan dari dokumen-dokumen, serta menyimpan data email atau surat dari institusi keuangan yang dimaksud.131 Kedua, mengunakan pendekatan skema arbitrase yang independen. MAS merekomendasikan a) Financial Industry Disputes Resolution Centre Ltd (FIDReC) yang dapat membantu sengketa antara bank dan nasabah dengan klain yang tidak lebih dari $ 50,000. Pilihan lain adalah Consumers Association of Singapore (CASE), Singapore Mediation Centre (SMC) atau Small Claims Tribunal (SCT) dan membawa sengketa ke pengadilan.132 Dalam hal regulasi, spesifik masalah penjualan dan pendistribusian produkproduk investasi diatur dalam Securities and Futures Act (SFA) dan The Financial Advisers Act (FAA). Pendekatan yang digunakan Pemerintah Singapura dalam pengaturan ini adalah: a.
pengungakapan yang memadai dari penerbit atau penjual produk mengenai fitur, karakteristik dan resiko dari suatu produk investasi; dan
b.
apakah nasihat atau rekomendasi atas suatu produk yang ditawarkan pada calon investor/nasabah memiliki dasar yang sesuai/patut.
131 The ins and outs of mis-selling
diakses 11 Mei 2010. 132
Ibid. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
89
Salah satu aturan kunci mengenai code of conduct dalam perlindungan investor adalah “suitability rule”. The Financial Advisers Act (Cap 110) s27(1) merupakan pengejawantahan dari prinsip suitability rule ini dimana penasihat keuangan (financial advisers) termasuk dalam hal ini karyawan Bank, sekuritas, asuransi ataupun Penyedia Jasa Keuangan lainnya harus memiliki landasan yang patut/sesuai atau suitable dalam merekomendasikan suatu produk investasi kepada calon investor. Secara konvensional, prinsip ini dikaitkan dengan prinsip “know your client” karena hanya melalui pengenalan yang cukup terhadap klien, termasuk didalamnya profil, kondisi dan kebutuhannya, maka rekomendasi atau penawaran atas suatu produk investasi dapat dilakukan dengan benar atau sesuai. Prinsip ini menuntut adanya pemahaman mengenai keadaan keuangan klien, risk tolerance (tingkat resiko yang dapat ditolerir), pengetahuan atau pengalaman berinvestasi dan kebutuhan serta tujuan berinvestasi. Selain dari faktor suitability rule diatas, FAA juga mengatur bahwa mis-selling dapat juga terjadi bilamana terjadi mis-representation yaitu adanya kesalahan penyampaian informasi atau pemberian informasi yang tidak akurat dan/atau lengkap mengenai fitur, karakteristik serta resiko suatu produk. Sebagai pedoman bagi pelaksanaan FAA ini maka Monetary Authority of Singapore (MAS) mengeluarkan pedoman yaitu The Guidelines on Standards of Conduct for Financial Advisers (Guideline No.FAA-G04). Pedoman ini mengatur hal-hal yang harus dipatuhi oleh Financial Advisers (Penasihat/penyedia jasa keuangan) termasuk juga karyawan atau perwakilan yang menawarkan atau memberikan rekomendasi atas suatu produk kepada klien/nasabah. Secara umum, pedoman ini mengatur tentang Integritas, Objektivitas, Kerahasiaan, Kompetensi, Prinsip Kehati-hatian dan Due Dilligence, Pengungkapan (Disclosure) kepada klien, Conflict of Interest dan Penanganan Keluhan.
4.2.2. Pertanggung jawab bank dalam kasus mis-selling di United Kingdom Miss-selling bukalah konsep baru. Tahun 2003, Financial Services Authority (FSA) di United Kingdom mengeluarkan catatan yang mengklarifikasi apa misselling itu. Prinsip Bisnis yang dianut oleh FSA yang terdapat dalam FSA 11 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
90
Principles of Business, terdapat landasan yang relevan dalam konteks mis-selling. Kesebelas prinsip bisnis tersebut adalah:
1. Integrity - A firm must conduct its business with integrity. 2. Skill, care and diligence - A firm must conduct its business with due skill, care and diligence. 3. Management and control - A firm must take reasonable care to organise and control its affairs responsibly and effectively, with adequate risk management systems. 4. Financial prudence - A firm must maintain adequate financial resources. 5. Market conduct - A firm must observe proper standards of market conduct. 6. Customers’ interests - A firm must pay due regard to the interests of its customers and treat them fairly. 7. Communications with clients - A firm must pay due regard to the information needs of its clients and communicate information to them in a way which is clear, fair and not misleading. 8. Conflicts of interest - A firm must manage conflicts of interest fairly, both between itself and its customers and between a customer and another client. 9. Customers: relationships of trust - A firm must take reasonable care to ensure the suitability of its advice and discretionary decisions for any customer who is entitled to rely upon its judgement. 10. Clients’ assets - A firm must arrange adequate protection for clients’ assets when it is responsible for them. 11. Relations with regulators - A firm must deal with its regulators in an open and co-operative way and must disclose to the FSA anything relating to the firm of which the FSA would reasonably expect notic.133 Tiga dari 11 prinsip binis dari FSA, ada lima prinsip yang utama terkait dengan mis-selling. Prinsip nomor satu (1), prinsip nomor dua (2), prinsip nomor enam (6), prinsip nomor tujuh (7), dan prinsip nomor 9 (Sembilan). Sejalan dengan ini, ditekankan bahwa Bank harus memahami nasabah, kebutuhankebutuhan subtasialnya, dan memberikan kepada mereka petunjuk yang ekstensif sehingga tercapai standar dalam penawaran penjualan dan pengambilan keputusan oleh bank dan nasabah. Serupa, di Singapore, Section 27 dari Financial Advisers Act (FAA), yang mengatur mengenai penjualan dari produk perbankan, dirumuskan bahwa adviser
133
FSA “FSA Principles of Business” diakses 11 Mei 2010. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
91
harus memiliki 'reasonable basis' ketika membuat suatu rekomendasi untuk investor potensional. Rumusan section 27 Financial Advisers Act (FAA):
(1) No licensee shall make a recommendation with respect to any investment product to a person who may reasonably be expected to rely on the recommendation if the licensee does not have a reasonable basis for making the recommendation to the person. (2) For the purposes of subsection (1), a licensee does not have a reasonable basis for making a recommendation to a person unless (a) he has, for the purposes of ascertaining that the recommendation is appropriate, having regard to the information possessed by him concerning the investment objectives, financial situation and particular needs of the person, given such consideration to, and conducted such investigation of, the subject-matter of the recommendation as is reasonable in all the circumstances; and (b) the recommendation is based on the consideration and investigation referred to in paragraph (a). (3) Where — (a) licensee, in making a recommendation to a person, contravenes subsection (1); (b) the person, in reliance on the recommendation, does a particular act, or refrains from doing a particular act; (c) it is reasonable, having regard to the recommendation and all other relevant circumstances, for the person to do that act, or to refrain from doing that act, as the case may be, in reliance on the recommendation; and (d) the person suffers loss or damage as a result of doing that act, or refraining from doing that act, as the case may be, then, without prejudice to any other remedy available to that person, the licensee is liable to pay damages to that person in respect of that loss or damage. (4) In this section, a reference to the making of a recommendation is a reference to the making of a recommendation expressly or by implication. (5) This section shall not apply to any licensee or class of licensees in such circumstances or under such conditions as may be prescribed.134
134
Financial Advisers Act, Singapore. < http://statutes.agc.gov.sg/non_version/cgibin/cgi_retrieve.pl?actno=REVED110&doctitle=%20FINANCIAL%20ADVISERS%20ACT%0a&date=latest&method=part > diakses 11 Mei 2010. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
92
4.2.3. Pertanggung jawab bank dalam kasus mis-selling di Hongkong Joseph Yam, Chief Executive, Hong Kong Monetary Authority, dalam laporannya tahun 2009, mengatakan :“While it is true that no single regulatory and enforcement regime can absolutely prevent mis-selling, the HKMA’s stance has always been to process the allegations of mis-selling seriously according to the rules”135 Kasus mis-selling terbesar yang dihadapi oleh Hong Kong adalah kasus produk-produk yang terkait Lehman Brothers. Pada Januari 2009, Hong Kong Monetary Authority (HKMA) menerima hampir 19.000 keluhan (complaints) terkait produk-produk terkait Lehman dan 240 dari kasus tersebut ditujukan kepada Securities and Futures Commission (SFC) untuk ditindak lanjuti.136 Esensi dari keluhan tersebut adalah bahwa distributor telah melakukan misrepresentasi terhadap obligasi mini (minibonds) dan produk-produk yang terkait Lehman sebagai produk yang beresiko rendah tanpa menjelaskan resiko dan kompleksitas dari produk yang ditawarkan. Lebih lanjut para distributor telah gagal memutuskan kesesuaian (suitability) dari produk yang ditawarkan melanggar serta profil resiko dari investor. Para investor ini umumnya tidak berpengalaman dalam berinvestasi, lanjut usia, dan pensiunan. Sehingga distributor gagal dalam memberikan “adequate risk disclosures”, atau pengungkapan resiko secara memadai kepada investor. Terkait dengan Investment advisor, di Hong kong terdapat tiga group yang menyediakan jasa pelayanan penasehat investasi kepada masyarakat, yaitu (1) Securities and Futures Commission (SFC) licensed investmlent advisers (2) banks (3) insurance intermediaries.137
135
Joseph Yam, “Report on the Work of the Hong Kong Monetary Authority”, Hong Kong Monetary Authority, 2 Februari 2009. http://www.legco.gov.hk/yr0809/english/panels/fa/papers/fa0202cb1-709-2-e.pdf diakses 11 Mei 2010. 136
Herberth Smith, 2008 Annual Review: Contentious issues facing financial services institutions,, Reflections on 2008, Key themes for 2009 (Hong Kong: n/a. 2008) p. 2-3 137
P M Nienaber, loc.cit, hal. 2. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
93
Securities and Futures Commission (SFC) secara langsung melakukan pengawasan hanya pada Investment advisor terlisensi SFC, sedangkan HKMA adalah regulator utama untuk institusi-institusi yang terdaftar (misalkan bank) yang juga adalah para Investment advisor. Namun, antara Investment advisor yang berlisensi SFC dan Bank adalah subyek yang tunduk pada SFC regulatory requirements [(misalkan Code of Conduct and the Internal Control Guidelines138) dan aturan-aturan hukum yang relevan di bawah the Securities and Futures Ordinance (the “SFO”)]. Sementara Insurance intermediaries, dilain pihak, diatur di bawah regime pengaturan yang berbeda, yaitu dibawah Insurance Companies Ordinance dan ini diadministrasikan di bawah otoritas ansuransi (Insurance Authority) dan dua self— regulatory organizations (SROs). Bank dan SFC lisensi sebagaimana dipaparkan sebelumnya dalam menjalankan usahanya tunduk pada SFC Code of Conduct and the Internal Control Guidelines. SFC Code of Conduct tersebut berisikan Sembilan prinsip umum yang pada prinsipnya mengutamakan honesty, fairness, dan due diligent. Kesembilan prinsip umum (general principles = GP)139 tersebut adalah: “ GP1 Honesty and fairness; In conducting its business activities, a licensed or registered person should act honestly, fairly, and in the best interests of its clients and the integrity of the market. GP2 Di1igence In conducting its business activities, a licensed or registered person should act with due skill, care and diligence, in the best interests of its clients and the integrity of the market.
138
Securities and Futures Commission, Code of Conduct for Persons Licensed by or Registered with the Securities and Futures Commission (Hong kong: Securities and Futures Commission, 2006) p. 3. Dalam point 1.3. Persons to which the Code applies, “ Although the Code applies to all licensed or registered persons in carrying on the regulated activities for which the persons are licensed or registered, the Commission recognizes that some aspects of compliance with the Code may not be within the control of a representative. In considering the conduct of representatives under the Code, the Commission will consider their levels of responsibility within the firm, any supervisory duties they may perform, and the levels of control or knowledge they may have concerning any failure by their firms or persons under their supervision to follow the Code” 139
Ibid., p. 1-2. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
94
GP3 Capabilities A licensed or registered person should have and employ effectively the resources and procedures which are needed for the proper performance of its business activities. GP4 Information about clients A licensed or registered person should seek from its clients information about their financial situation, investment experience and investment objectives relevant to the services to be provided. GP5 Information for clients A licensed or registered person should make adequate disclosure of relevant material information in its dealings with its clients. GP6 Conflicts of Interest A licensed or registered person should try to avoid conflicts of interest, and when they cannot be avoided, should ensure that its clients are fairly treated. GP7 Compliance A licensed or registered person should comply with all regulatory requirements applicable to the conduct of its business activities so as to promote the best interests of clients and the integrity of the market. GP8 Client assets A licensed or registered person should ensure that client assets are promptly and properly accounted for and adequately safeguarded. GP9 Responsibility of senior management The senior management of a licensed or registered person should bear primary responsibility for ensuring the maintenance of appropriate standards of conduct and adherence to proper procedures by the firm. In determining where responsibility lies, and the degree of responsibility of a particular individual, regard shall be had to that individual's apparent or actual authority in relation to the particular business operations, and the factors referred to in paragraph 1 .3 below. Terlihat dari kesembilan prinsip umum tersebut terdapat penekanan bahwa bahwa bank dan perusahaan jasa keuangan lainnya mempunyai kewajiban untuk bertindak yang terbaik untuk nasabah dan pasar. Tanggung jawab utama untuk mewujudkan standar etika tersebut berada di bawah pengelolaan manajemen senior. Lebih lanjut bahwa standar tersebut membutuhkan secara detil bahwa bank atau perusahaan menjamin para karyawannya fit and proper, terlatih dan dibawah pengawasan yang baik. Mengenai tanggung jawab, maka bank dan perusahaan Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
95
bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh karyawan atau agen mereka. Kewajiban utama yang berhubungan dengan resiko mis-selling adalah kebutuhan bank atau perusahaan akan jaminan bahwa produk-produk yang dijual sesuai dengan konsumen mereka. Hal itu menegaskan bahwa bank dan perusahaan wajib mengetahui situasi keuangan konsumennya, pengalaman berinvestasi, dan tujuan dari investasi mereka (prinsip umum ke empat SFC). Dan memperhatikan bahwa dalam hal informasi “…when making a recommendation or solicitation, ensure the suitability of the recommendation or solicitation for that client is reasonable in all the circumstances”140 Ini menandakan bahwa orang yang melakukan penilaian yang tapat harus mempunyai pengalaman dan keahlian yang tepat untuk melakukan tugasnya, mengerti produk yang ditawarkan dan diawasi dengan baik. Karena pada akhirnya konsumen (nasabah) akan sangat tergantung pada pengalaman dan keahlian pada saat memutuskan untuk bertansaksi atau berinvestasi. Aturan sanksi di Hong Kong adalah denda di bawah section 194 (2) dan 196 (2)
akan dikenakan oleh SFC di mana ‘regulated person’
(a) guilty of
misconduct; atau (b) considered by the SFC not to be a fit and proper person to be or to remain the same type of regulated person.141 Dalam
menghadapi
kasus-kasus
mis-selling,
SFC
melakukan
dua
pendekatan, pertama melakukan invesitigasi setiap keluhan (complaint) secara individual dan kedua melakukan investigasi terhadap kebijakan dan praktek sistem penjualan pada setiap bank dan perusahaan. 142 Disamping sanksi denda, Hong kong juga mengkriminalisasi mis-selling. Dua orang karyawan bank yang melakukan mis-selling di Hong Kong ditahan
140
Ibid., p. 10.
141
“The Licensing Regime Under The Securities And Futures Ordinance” p. 13. http://www.legalink.ch/xms/files/Newsletter/Hong_Kong_Charltons_newsletter_3.pdf, diunduh 11 November 2010. 142
Mark Edward, “Mis-selling: Consequences at http://www.sfc.hk/sfc/doc/EN/speeches/speeches/08/ms_20081023_wmc.pdf, Desember 2010.
a Glance” diunduh 11
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
96
oleh kepolisian.143 Alasan penahanan kedua karyawan tersebut, karena mereka menjual melakukan mis-selling atas produk-produk terstruktur dari Lehman Brothers Amerika Serikat secara tidak benar. Mereka dituduh telah secara ceroboh dan curang menawarkan dan menjual kepada delapan nasabah dalam periode tahun 2005 dan 2008 untuk estimasi jumlah HK $ 3,5 juta (US $ 449,000)144 Ini bukan kali pertama, di Hongkong, karyawan bank ditahan oleh kepolisian dalam kasus mis-selling.
Berdasarkan beberapa perbandingan tersebut diatas dapat kita pelaqjari bahwa pengaturan mengenai mis-selling tidak hanya terbatas pada bagaimana menjelaskan, menyampaikan informasi karakteristik produk kepada nasabah tetapi lebih luas dari pada itu yaitu nasabah seperti apa, dengan profil dan kebutuhan seperti apa yang dapat ditawarkan produk terkait. Adanya kejelasan aturan mengenai hal ini, tentunya akan membawa implikasi positif baik bagi Bank dan nasabah. Bagi Bank dapat menjadi panduan dan pedoman serta bagi nasabah juga menjadi pedoman dan perlindungan hukum. Aspek lain yang dapat kita analisa bahwa dengan adanya hukum atau undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai aspek penjualan produk perbankan maupun produk investasi, maka cakupan sanksi tidak hanya kepada lembaga, dalam hal ini Bank, namun juga kepada karyawan yang bersangkutan. Hal inilah yang masih menjadi hal yang menurut penulis perlu diperhatikan karena dengan berbagai peraturan Bank Indonesia mengenai produk dan penjualannya, sanksi hanya dikenakan secara administratif kepada Bank baik berupa sanksi dministratif, penurunan tingkat kesehatan, pencantuman dalam daftar hitam, dan lain-lain. Namun, bagi oknum karyawan sendiri, yang telah secara sengaja melakukan mis-selling tidak dikenakan sanksi. Yang perlu dikhawatirkan adalah bahwa oknum-oknum tersebut dapat secara mudah
143
HK arrests two bank staff for mis-selling products < http://www.chinapost.com.tw/china/local-news/hong-kong/2010/03/28/250193/HK-arrests.htm> diakses 11 Mei 2010. 144
Ibid. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
97
berpindah dari satu bank ke bank lain dan pada akhirnya membawa lingkungan yang tidak baik bagi industri perbankan.
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.