44
BAB VI JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA Sistem jaminan Pproduk Halal dari berbagai negara dievaluasi dengan mengikuti kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan ditambah beberapa hal yang menggambarkan struktur dan aktifitas lembaga atau badan yang berwenang terhadap masalah halal. Kerangka infrastruktur terdiri dari beberapa hal yaitu : (A) Legislasi Halal, (B) Manajemen Pengawasan, (C) Kegiatan inspeksi, (D) Pelayanan laboratorium dan (E) Informasi, Edukasi,Komunikasi dan Pelatihan. Hal lain yang menjadi tambahan adalah gambaran tentang struktur organisasi, prosedur audit dan struktur biaya dari suatu lembaga sertifikasi.
A.Analisa konten terhadap Legislasi dan Pengawasan Jaminan produk halal untuk konsumen muslim Indonesia belum menjadi hal yang wajib (mandatory),walaupun dari segi jumlah penduduk muslim Indonesia merupakan jumlah terbesar di dunia. Dari segi legislasi regulasi halal, Undang-Undang (UU) Pangan No.18 tahun 2012 telah mengakomodasi kepentingan konsumen muslim terhadap halal. Halal dalam UU Pangan telah dimasukkan ke dalam definisi keamanan pangan, berbeda dengan UU Pangan No.7/1996 yang belum mengakomodasi halal secara integral. Halal dalam UU Pangan terdahulu hanya ada pada bagian label dan iklan pangan. Dalam UU Pangan yang baru pernyataan halal secara implisit pada pernyataan tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan. Penyelenggaraan keamanan pangan pada pasal 67 dan 69, untuk menjaga keamanan pangan yang dimaksud salah satunya adalah dengan penerapan jaminan kehalalan. Pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Untuk industri pengolahan pangan menengah besar dan industri rumah tangga, aturan tentang halal pada regulasi di bawah Undang-Undang hampir tidak memuat secara eksplisit tentang halal. Pengawasan halal untuk produk kemasan baik produk lokal dan impor sebatas dengan kesesuaian antara informasi yang diberi pada saat pendaftaran dengan label produk yang beredar. Untuk pangan segar, selain Undang-Undang No.18 tahun 2012 tentang Pangan, UU No.19 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sangat jelas menyampaikan bahwa hanya hewan yang bersertifikat veteriner dan halal yang boleh masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia. Aturan lain seperti Peraturan Pemerintah (PP) No.95 tahun 2012 juga gamblang mencantumkan masalah halal sejak dari proses pemotongan,tempat pengumpulan dan penjualan serta transportasi yang harus terpisah antara hewan halal dan non halal. Penjaminan kehalalan produk hewan salah satunya adalah dengan sertifikasi halal oleh institusi yang berwenang.
45
Untuk produk hewan yang masuk ke dalam wilayah Indonesia Permentan no.50/2011 menyatakan harus disertai dengan sertifikat halal dari LP POM MUI. Pada permentan tersebut pasal 19 ayat 2 menyatakan bahwa karkas, daging, jeroan dan olahannya yang punya sertifikat halal harus terpisah dari wadah dan kontainer karkas, daging ,jeroan dan atau olahannya yang tidak mempunyai sertifikat halal. Pasal tersebut masih memberikan peluang untuk produk hewan yang disertifikasi dan tidak disertifikasi halal. Hal ini menunjukkan bahwa jaminan kehalalan di Indonesia bukan merupakan hal yang wajib. Permentan tersebut bertolak belakang dengan UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan. Pengawasan terhadap produk yang beredar untuk produk pangan segar merupakan wilayah otoritas Kementrian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian. Untuk produk kemasan dengan nomor pendaftaran MD atau ML merupakan wilayah otoritas Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM. Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) dan pangan siapan saji pengawasannya dilakukan oleh pemda setempat dan dinas kesehatan. Terhadap pengawasan mutu dan keamanan daging dan produk daging Kementan belum memiliki perangkat seperti halnya BPOM, akibatnya hampir tidak ada pengawasan terhadap peredaran daging dan produk olahannya dimasyarakat kecuali bergantung pada keaktifan pemda setempat untuk melakukan pengawasan. Pengawasan pangan kemasan dilakukan oleh BPOM berdasarkan data pendaftaran yang disetujui oleh BPOM terhadap informasi yang diberikan oleh produsen. Pengawasan terhadap label halal didasarkan pada aturan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.924 tahun 1996 yang merupakan perubahan dari Permenkes No.82 tahun 1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Pada pasal 8,10,11,12 dan 17 disebutkan antara lain bahwa produsen atau importir yang akan mengajukan tulisan Halal diwajibkan diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari MUI dan Dirjen POM (saat ini menjadi BPOM). Permenkes ini sebenarnya merupakan ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal, sebagai penyempurnaan Surat Keputusan (SK) bersama antara Mentri Kesehatan dan Mentri Agama No.427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Aturan halal yang terkait dengan produk impor selain daging, adalah susu dan produk olahannya. Melalui Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436.a/kpts/PD.670.320/L/11/07 tentang petunjuk pelaksanaan tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Dalam aturan tersebut sertifikat halal merupakan dokumen yang dipersyaratkan dan harus dipenuhi di Pelabuhan/Bandar Udara tempat masuk produk. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM terhadap halal dikategorikan dalam TMK ( tidak memenuhi ketentuan). Artinya apakah label halal yang dicantumkan oleh perusahaan sudah memiliki sertifikat halal seperti yang telah ditetapkan. Pengawasan halal yang dilakukan oleh BPOM hanya terbatas pada pangan kemasan baik produk lokal atau pun impor. Sementara untuk produk PIRT yang dikemas diluar lingkup pengawasan BPOM, demikian juga untuk makanan yang tidak dikemas.
46 Ditinjau dari segi legislasi regulasi tentang kehalalan, saat ini Indonesia sudah memiliki perangkat aturan halal, terutama di sektor pangan segar dan pangan kemasan (diluar PIRT). Sementara di sektor lainnya aturan teknis tentang jaminan kehalalan belum muncul secara eksplisit. Jaminan kehalalan di Indonesia belum menjadi suatu hal yang wajib sebagaimana di negara Arab Saudi yang penduduknya 100 persen muslim, atau Uni Emirat Arab yang masih membolehkan pangan non halal melalui jalur yang sudah ditetapkan. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab merupakan anggota dari GCC (Gulf Cooperation Council). Regulasi tentang halal di negara-negara GCC mengacu pada standar yang sama yaitu GSO (GCC Standard Organization) No 9/1995 Labelling of prepacking food , GSO N0.993/1995 animal slaughtering according to Islamic Law, GSO No.1931/2009 Halal Food Part (1) General Requirement, GSO No. 2055/2010 Halal Food Part (2) Guideline for Halal Food Certification Bodies and Their Accreditation Requirement. Tidak ada pengembangan standar pada setiap negara, jika kelompok negara Teluk telah mengeluarkan suatu standar yang sama. Food Law No. 2 tahun 2008 tentang pangan yang dikeluarkan oleh UEA memuat hal tentang halal pada pasal 8 ayat 2 menyatakan bahwa untuk menangani pangan yang mengandung babi dan produk turunannya serta produk yang mengandung alkohol tidak boleh dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Jika aturan tersebut dilanggar maka pasal 16 ayat 3 menjelaskan sangsi dan pinaltinya. Untuk pangan yang masuk ke wilayah GCC selain menggunakan aturan pelabelan GSO 9/2007, UEA juga memiliki aturan Food Importer Guide tentang keharusan menyertakan sertifikat halal dari lembaga Islam yang telah disetujui untuk daging, unggas dan produk turunannya termasuk susu. Pada aturan GSO 9/2007 pada pangan yang dikirim ke negara negara Teluk, informasi minimal yang terdapat pada kemasan harus memuat deskripsi produk, komposisi dan asal negara. Jika menggunakan sumber lemak hewan maka harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih secara halal. Untuk yang menggunakan lemak babi hanya boleh dijual di daerah tertentu dan ditandai dengan jelas dengan gambar babi. Aturan tentang penggunaan lemak babi tidak berlaku untuk negara Arab Saudi. Negara negara Teluk juga melarang untuk menggunakan nama produk yang berasosiasi dengan produk alkohol dan babi, seperti tidak dibolehkan menggunakan nama Turkey Ham, Beef bacon untuk produk yang dikonsumsi konsumen muslim. Di Indonesia penggunaan gambar babi atau tulisan pada produk yang mengandung babi merupakan suatu aturan yang dikeluarkan oleh Peraturan Kepala BPOM No.HK 03.1.23.06.105166. Namun berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh Jurnal halal LP POM MUI pada tahun 2000 an masih ada produk impor yang mengandung babi yang tidak mencantumkan tanda gambar babi atau pun tulisan mengandung babi. Hal ini bisa dapat dikategorikan sebagai produk TMK atau TIE (tanpa izin edar). Legislasi dan pengawasan produk pangan di Singapura di lakukan oleh AVA (Agri-Food &Veterinary Authority of Singapore). Terhadap produk pangan impor yang masuk, AVA tidak memasukkan halal sebagai syarat impor
47
produk pangan yang masuk ke wilayah Singapura. AVA hanya menekankan pada persyaratan kesehatan dan keamanan daging dan produk daging yang masuk ke Singapura. Pengawasan halal yang dilakukan oleh Singapura sepenuhnya ada pada MUIS. Pelanggaran terhadap aturan halal di Singapura atas produk yang beredar atau pun restauran maka terdapat sangsi sebagaimana yang tercantum pada AMLA 88 A (5). Negara Australia memiliki aturan halal resmi hanya untuk kepentingan bisnis ekspor negara tersebut. Dibawah AQIS aturan halal dan pelaksanaannya ada dalam Australian Government Authorised Halal Program (AGAHP). Pelaksanaan halal terhadap rumah potong hewan yang ada di Australia, merupakan kerjasama 3 pihak yaitu Organisasi Islam yang sudah disetujui oleh pemerintah Australia dan negara pengimpor sebagai pihak yang melakukan sertifikasi halal, kemudian dokter hewan dan quality assurance dari pihak pemerintah. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi menjadi bagian dokumen resmi negara. Pemberlakuan halal stamp pada produk dilakukan oleh pemerintah berdasarkan data dari ketiga pihak terkait. Dokumen yang dikirim bersama dengan produk ke negara tujuan adalah dokumen tentang kesehatan hewan dan kebersihan sarana produksi serta sertifikat halal. Ketiga dokumen memiliki keterkaitan . Negara Uni Eropa per Januari tahun 2013 telah memberlakukan izin untuk memberlakukan pemotongan secara ritual.Aturan pemotongan secara ritual ini bukan saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk agama Yahudi. Aturan Ritual Slaughtering tersebut tidak membolehkan penyembelihan tanpa pemingsanan. Hal yang masih banyak ditentang oleh mayoritas muslim dan semua pengikut yahudi. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada produk hewan dan turunannya yang akan di kirim ke negara-negara Islam. Penyembelihan halal di Uni Eropa boleh dilakukan tetapi wajib dengan pemingsanan, sementara beberapa negara pemingsanan sebelum penyembelihan tidak diperkenankan. Penetapan atas aturan tersebut bagi komunitas muslim Eropa banyak yang pro kontra. Bagi komunitas muslim yang tidak setuju dengan adanya pemingsanan terutama untuk ternak unggas, maka bagi mereka tidak akan ada daging atau produk olahannya yang berasal dari Eropa yang menjadi halal untuk dikonsumsi. Demikian juga untuk komunitas yahudi di Eropa.
B.Analisa konten terhadap Inspeksi dan Laboratorium Inspeksi pada makalah ini dapat digantikan dengan audit ketika tidak ditemukan adanya kegiatan inspeksi terkait dengan isu halal pada objek penelitian ini. Inspeksi merupakan salah satu kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh regulator. Audit adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan apakah suatu organisasi memenuhi ketentuan yang tertulis pada suatu standar yang telah ditetapkan. Standar adalah hasil perumusan atau konsensus terhadap suatu permasalahan dari semua pemangku kepentingan (stake holder). Indonesia dengan jumlah mayoritas muslim terbesar, kegiatan yang terkait dengan halal dilakukan dalam bentuk inspeksi dan audit. Berdasarkan keberadaan produk pangan yang beredar di Indonesia, maka pengawasan halal melalui
48 inspeksi sudah dilakukan pada produk pangan olahan industry menengah besar. Inspeksi ini dilakukan secara rutin oleh BPOM melalui kesesuaian label yang didaftarkan dengan yang beredar. Ketika informasi yang tercantum pada label halal tidak sesuai dengan pengajuan saat pendaftaran, maka merupakan suatu ketidaksesuaian yang disebut dengan TMK . Data yang seperti yang tercantum pada Tabel 8. menunjukkan adanya peningkatan TMK dari tahun 2008 hingga tahun 2009 tetapi menurun hingga tahun 2011. Namun tidak diketahui dalam kasus TMK tersebut berapa sebenarnya data ketidaksesuaian terhadap halal. Berbeda dengan inspeksi terhadap pangan segar, inspeksi terhadap halal dilakukan pada karantina pertanian. Inspeksi terhadap kesesuaian antara sertifikat halal dan produk yang masuk. Inspeksi produk pangan segar yang beredar di pasar belum dilakukan sebagaimana halnya dilakukan oleh BPOM. Padahal aturan yang terkait dengan pangan segar yaitu Undang Undang No.18/2009 , Peraturan Pemerintah No.95/2012.Permentan No.13/2010 dan Permentan No.50/2011 telah mensyaratkan adanya inspeksi untuk memastikan produk pangan segar yang beredar sesuai dengan yang telah disepakati antara pengusaha dan pemerintah. Namun terlihat pengawasan dalam bentuk inspeksi rutin atau mendadak (sidak) terkait isu halal, masih sangat minim terhadap peredaran produk segar (daging). Inspeksi halal yang dilakukan terhadap pangan segar yang beredar di Indonesia lebih banyak bersifat responsif. Sementara untuk pangan yang beredar tanpa kemasan belum ada mekanisme inspeksi halal yang dilakukan sebagaimana inspeksi rutin yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap masalah keamanan pangan. Kondisi yang sama terjadi untuk produk PIRT. Arab Saudi dan UEA merupakan anggota negara Teluk. Negara Teluk telah melakukan harmonisasi terhadap aturan produk pangan impor. Selain itu Negara Teluk telah menerapkan GCC Unified Custom Law and Single Custom Tariff (UCL). Inspeksi yang dilakukan terhadap pangan yang masuk adalah kesesuaian antara ketentuan label (GSO No 9/1995). Pangan yang mengandung babi dan alkohol tidak boleh masuk ke negara Arab Saudi. Uni Emirat Arab masih membolehkan setelah pemberitahuan terlebih dulu. Berbeda dengan negara seperti Singapura, Australia dan Uni Eropa, keberadaan pangan halal yang terjamin berada pada mekanisme audit halal. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal tergantung dari masing masing negara. Untuk Singapura keberadaan halal tidak ada dalam bentuk inspeksi gabungan yang dilakukan oleh AVA. Keberadaan halal yang memiliki jaminan hukum ada pada kegiatan sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUIS. Australia jaminan kehalalan dalam bentuk sertifikasi dilakukan dengan aktifitas audit halal pada unit bisnis yang akan melakukan ekspor ke negara yang memerlukan sertifikat halal. Sementara Uni Eropa, pemerintah tidak melakukan inspeksi terkait dengan sertifikasi halal. Produk yang terkait dengan jaminan kehalalan, dilakukan setelah aktifitas audit halal yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang ada di negara tersebut. Audit halal dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang bisa dimiliki oleh organisasi Islam atau pribadi. Secara “de facto” lembaga lembaga sertifikasi halal baik di Eropa maupun di Australia merupakan lembaga yang telah mendapat
49
pengakuan dari MUI. Ini berarti lembaga tersebut telah diperiksa keberadaannya oleh MUI sebelum dilakukan pengakuan. Pengakuan MUI sangat diperlukan oleh lembaga sertifikasi yang ada diluar wilayah Indonesia, untuk kepentingan lembaga melakukan audit sertifikasi di negaranya. Hal ini disebabkan perusahaan perusahaan multinasional menyadari bahwa untuk memasarkan produknya ke Indonesia maka status halal merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Sehingga pengakuan LPPOM MUI terhadap sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal dari negara setempat merupakan hal yang krusial. Indonesia dan Arab Saudi serta negara negara Teluk lainnya, memiliki kesamaan dalam hal tingginya populasi muslim. Namun Arab Saudi dan negara negara Teluk tidak memiliki mekanisme audit halal dalam rangka jaminan kehalalan di negara tersebut. Jaminan kehalalan sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah, dengan aturan bahwa tidak ada peredaran produk yang mengandung babi dan alkohol di Arab Saudi. Sementara di beberapa negara Teluk masih membolehkan produk yang mengandung babi dan alkohol dengan pemberitahuan terlebih dahulu serta memiliki jalur yang telah ditetapkan. Pemerintah sepenuhnya menyerahkan mekanisme audit halal pada organisasi Islam di negara pengimpor setelah memenuhi persyaratan ketentuan yang telah ditetapkan. Di Indonesia jaminan kehalalan untuk produk yang beredar lebih banyak dilakukan dari mekanisme audit halal yang dilakukan oleh LP POM MUI. Sementara pemerintah belum menjamin sepenuhnya terhadap keberadaan halal melalui inspeksi yang dilakukan. Pemeriksaan Laboratorium yang terkait dengan halal di Indonesia, belum merupakan suatu persyaratan. Sementara di Arab Saudi dan negara negara Teluk sudah menerapkan uji deteksi babi pada pintu masuk ke negara tersebut. Arab Saudi pernah menolak beberapa kontainer gelatin yang diklaim sebagai gelatin sapi, tetapi setelah diuji terdapat kandungan babi pada gelatin tersebut. Sementara di Australia, Singapura dan Uni Eropa pemeriksaan laboratorium terkait isu halal belum merupakan suatu kebijakan.
C.Analisa Konten Edukasi ,Komunikasi dan Informasi halal Terkait dengan edukasi/pelatihan, komunikasi dan informasi halal sudah cukup banyak keberadaannya. Indonesia melalui LP POM MUI, sudah melakukan pelatihan halal secara rutin bagi lembaga sertifikasi di beberapa negara. Keikutsertaan lembaga sertifikasi dari beberapa negara merupakan bagian dari persamaan persepsi tentang mekanisme audit yang harus dilakukan. Makna lainnya adalah pelatihan tersebut bisa bersifat bagian atau proses dari tahapan pengakuan yang dilakukan oleh LP POM MUI. LP POM MUI juga memiliki media informasi yang memuat dan mensosialisasikan permasalahan halal ke konsumen muslim. Media Jurnal Halal sudah cukup lama keberadaaannya. Produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari LP POM MUI menjadi bagian dari informasi yang disampaikan di Jurnal Halal.