J. Sains & Teknologi, April 2016, Vol.16 No.1 : 62 – 69
ISSN 1411-4674
PENGARUH BERBAGAI INTENSITAS CAHAYA TERHADAP LAJU PEMANGSAAN PAKAN DAN SINTASAN LARVA RAJUNGAN (Portunus Pelagicus) STADIA ZOEA The Effect of Various Light Intensities to Feed Predation and Survival Rate of Blue Swimming Crab (Portunus Pelagicus) Larvae
Azis, Yushinta Fujaya, Muhammad Yusri Karim Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected])
ABSTRAK Peningkatkan sintasan larva rajungan (P. pelagicus) pada stadia zoea sampai megalopa memerlukan intensitas cahaya yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan intensitas cahaya yang optimal dalam meningkatkan pemangsaan pakan dan sintasan yang tinggi pada larva rajungan stadia zoea-megalopa. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2015 di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Desa Boddia, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan mempunyai 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan nilai konsumsi pakan larva rajungan (P. pelagicus) tertinggi diperoleh pada perlakuan C (Intensitas cahaya 2500 lux) dengan rata-rata konsumsi pakan 260 ind/ml selanjutnya di susul perlakuan B (Intensitas cahaya 1500 lux) dengan rata-rata konsumsi pakan 220 ind/ml, perlakuan C (Intensitas cahaya 3500 lux) dengan konsumsi pakan 219,33 ind/ml dan terendah pada perlakuan A (Intensitas cahaya 500 lux) dengan rata-rata konsumsi pakan190,67 ind/ml. sintasan larva rajungan (P. pelagicus) tertinggi diperoleh pada perlakuan C (Intensitas cahaya 2500 lux) dengan rata-rata sintasan 3,17% selanjutnya di susul perlakuan B (Intensitas cahaya 1500 lux) dengan rata-rata sintasan 1,71%, perlakuan D (Intensitas cahaya 3500 lux) dengan rata-rata sintasan 1,25% dan terendah pada perlakuan A (Intensitas cahaya 500 lux) dengan rata-rata sintasan 0,96%. Kata Kunci: Intensitas Cahaya, Larva, portunus pelagicus, konsumsi pakan sintasan
ABSTRACT Improvement of survival rate of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus) larvae at stadia zoea to megalopa require optimal light intensity. This study aimed to determine the optimal light intensity in improve feed predation and survival rate on blue swimming crab larvae stadia zoea-megalopa. This study was conducted in June-November 2015 in Hall of Brackish Water Aquaculture (BPBAP) Boddia Village, District Galesong, Takalar, South Sulawesi. This study used a Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and each treatment has 3 replications. The results showed that the highest value of feed intake (P. pelagicus) larvae obtained in treatment C (light intensity 2500 lux) with mean of feed intake is 260 ind / mL and another subsequent in treatment B (light intensity 1500 lux) with an average feed intake 220 ind / ml, treatment C (light intensity of 3500 lux) with feed intake 219.33 ind / ml and the lowest in the treatment of A (light intensity of 500 lux) with an average feed intake 190,67 ind / ml. the highest survival rate of crab(P. pelagicus) larvae obtained in treatment C (light intensity 2500 lux) with an average survival rate is 3.17% and another subsequent on treatment B (light intensity 1500 lux) with an average survival rate of 1.71%, treatment D (light intensity 3500 lux) with an average survival rate of 1.25% and the lowest in the treatment of A (light intensity 500 lux) with an average survival rate of 0.96% Keywords: Light Intensity, Larvae, Portunus pelagicus, Feed Intake, Survival Rate
62
Intensitas Cahaya, Larva, portunus pelagicus, konsumsi pakan sintasan
ISSN 1411-4674
pemangsaan pakan dan sintasan yang tinggi pada larva rajungan (P. pelagicus) stadia zoea-megalopa.
PENDAHULUAN Usaha budidaya rajungan (Portunus pelagicus) mulai dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi yang menjadi kendala utama yang dihadapi dalam budidaya adalah ketersediaan benih. Tingkat kematian larva tersebut disebabkan oleh kulaitas pakan yang rendah dan lingkungan pemeliharaan yang kurang optimal. Salah satu faktor lingkungan yang diduga berpengaruh pada pemeliharaan larva rajungan adalah intensitas cahaya. Intensitas cahaya merupakan faktor abiotik penting yang secara substansial dapat mempengaruhi kinerja larva kepiting, termasuk berenang, perilaku makan dan pertumbuhan (Andres et al., 2010). Menurut Duray et al (1996), pengaruh cahaya sangat strategis terhadap konsistensi respon aktivitas pemangsaan yang optimal. Penelitian terkait dengan cahaya pada larva telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Riani & Dana (2003), pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan kualitas larva udang windu (Paneus manodon), Hatche et al (2015), tentang efek lama pencahayaan pada larva Lobster yang dipelihara di Hatchery, Andres et al (2010), tentang lama pencahayaan pada larva rajungan dalam kondisi terkontrol, Webley & Connoly (2007), tentang respon pergerakan vertikal pada megalopa (Scylla serrata) , Karim et al (2003), pada larva kepiting bakau (Scylla serrata), Karim (2013), pada S. olivacea. Hasil-hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa terdapat kondisi dan intensitas cahaya yang optimal dalam meningkatkan sintasan larva. Meskipun, sebagian besar larva krustasea tidak terlalu mengandalkan penglihatan visual, namun mereka mungkin masih memanfaatkan cahaya untuk pemanfataan pakan yang lebih efisien (Rabbani & Zeng, 2005). Tujuan penelitian ini adalah menentukan intensitas cahaya yang optimal dalam meningkatkan
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai November 2015 di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Desa Boddia, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Wadah Penelitian Wadah penelitian yang digunakan adalah baskom plastik warna hijau tua bervolume 30 L sebanyak 12 buah dilengkapi dengan peralatan aerasi. Wadah tersebut diisi air media sebanyak 30 L dengan kepadatan larva 50 ind/liter. Semua wadah pemelihaan ditempatkan dalam bak beton indoor yang berukuran 3x4 m. Hewan Uji Pengambilan Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva rajungan (P. pelagicus) stadia zoea 1 yang ditebar dengan kepadatan 50 ind/L. Larva tersebut diperoleh dari hasil pembenihan di BPBAP, Galesong, Takalar. Pakan Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pakan alami rotifera (Branchionus plicatilis) dan nauplius Artemia. Rotifera tersebut diperoleh dari hasil kultur massal di BPBAP Takalar sedangkan nauplius Artemia berasal dari hasil penetasan kista Artemia stain great salt lake. Pemberian pakan dilakukan 4 kali sehari yaitu pada pukul 08.00, 12.00, 16.00 dan 20.00 WITA. Rotifer diberikan pada pukul 08.00 dan 16.00 dengan kepadatan 20 ind/ml. Rotifer diberikan sejak larva ditebar hingga memasuki stadia zoea 4 sedangkan Artemia diberikan pada pukul 12.00 dan 20.00 dengan kepadatan 5 ind/ml pada saat
63
Azis
memasuki Megalopa.
ISSN 1411-4674
stadia
zoea
2
sampai
konsumsi pakan yang disarankan Djajasewaka 1985 dalam Kristina (2014), adalah KP = F-S. Keterangan: KP= Tingkat Konsumsi Pakan (individu); F = Jumlah pakan yang diberikan (individu); S = Pakan yang tersisa (individu). Sintasan dihitung pada akhir penelitian berdasarkan jumlah larva yang berhasil bermetamorfosis menuju stadia megalopa. Rumus tingkat kelangsungan hidup (SR) yang disarankan Zairin (2002), adalah SR = Nt/No X 100. Keterangan: SR= Sintasan (%); Nt = Jumlah larva rajungan pada akhir penelitian (ekor); No = Jumlah larva rajungan awal penelitian (ekor). Data yang diperoleh berupa konsumsi pakan dan sintasan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Apabila terdapat pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut W-Tuckey untuk melihat perbedaan antar perlakuan (Steel & Torries,1993). Sebagai alat bantu untuk uji statistik tersebut digunakan alat program SPSS versi 21.0.
Metode penelitian Induk rajungan matang gonad tingkat II dan III didatangkan dari nelayan sekitar dan dipelihara dalam bak induk berukuran 2x3 m yang dilengkapi dengan kurungan yang terbuat dari kayu. Setelah induk matang gonad tingkat IV atau telur sudah berwarna hitamselanjutnya dipindahkan ke bak fiber dengan kapasitas 2 ton yang diisi air dengan salinitas 33 ppt, telur menetas 1-2 hari dipelihara dalam bak penetasan. Selanjutnya larva dipanen dan di aklimatisasi sebelum dipindahkan ke wadah pemeliharaan. Pergantian air media pemeliharan dilakukan pada stadia zoea II dengan jumlah 25% dari volume air pemeliharaan. Sedangan larva pada stadia zoea III dan zoea IV persentase pergantian air berkisar antara 50% sampai 75%. Untuk mengetahui parameter kualitas air media pemeliharaan agar tetap dalam kondisi layak bagi larva maka dilakukan pengukuran kualitas air.
HASIL Konsumsi Pakan Perlakuan pengaruh intensitas cahaya terhadap konsumsi pakan larva rajungan setelah dianalisis menunjukkan pengaruh nyata disajikan pada tabel 1. Pakan larva rajungan. (P. pelagicus) tertinggi diperoleh pada perlakuan C (Intensitas cahaya 2500 lux) dengan ratarata konsumsi pakan 260 ind/ml selanjutnya di susul perlakuan B (Intensitas cahaya 1500 lux) dengan ratarata konsumsi pakan 220 ind/ml, perlakuan C (Intensitas cahaya 3500 lux) dengan konsumsi pakan 219,33 ind/ml dan terendah pada perlakuan A (Intensitas cahaya 500 lux) dengan ratarata konsumsi pakan190,67 ind/ml. Ratarata konsumsi pakan masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 2.
Perlakuan dan Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rangcangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing mempunyai 3 ulangan. Dengan demikian, pada penelitian ini terdapat 12 satuan percobaan Adapun perlakuan yang dicobakan adalah intensitas cahaya sebagai berikut: A. 500 lux B. 1500 lux C. 2500 lux D. 3500 lux Pengukuran Peubah Total konsumsi pakan di hitung setiap kali pemberian pakan pagi dan sore hari. Sisa pakan dihitung, sehingga diperoleh jumlah pakan yang di konsumsi oleh larva. Rumus untuk menghitung
Sintasan Perlakuan pengaruh intensitas cahaya terhadap sintasan larva rajungan 64
Intensitas Cahaya, Larva, portunus pelagicus, konsumsi pakan sintasan
memberikan setelah dianalisis ragam (ANOVA) memperlihatkan pengaruh nyata disajikan pada tabel 3. sintasan larva rajungan (P. pelagicus) tertinggi diperoleh pada perlakuan C (Intensitas cahaya 2500 lux) dengan rata-rata sintasan 3,17% selanjutnya di susul perlakuan B (Intensitas cahaya 1500 lux) dengan rata-rata sintasan 1,71%, perlakuan D (Intensitas cahaya 3500 lux) dengan rata-rata sintasan 1,25% dan terendah pada perlakuan A (Intensitas cahaya 500 lux) dengan rata-rata sintasan 0,96%. Rata-rata sintasan larva rajungan pada akhir penelitian dapat dilihat pada tabel 4.
ISSN 1411-4674
dibanding perlakuan yang lain tersebut menunjukkan bahwa dengan intensitas cahaya semakin besar pada batasan tertentu akan meningkatkan laju pemangsaan pakan yang optimal. Hal ini berkaitan dengan perilaku pakan yang diberikan dengan gerak vertikal ke arah atas atau fototaksis positif akibat penyinaran dengan intensitas cahaya yang lebih tinggi, dan memberikan efek kekontrasan atau perubahan warna tubuh pakan. Larva cenderung berada sedikit di bawah permukaan air sehingga peluang pemangsaan pakan menjadi lebih besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Rabbani dan Zeng (2005), cahaya yang optimal akan merangsang aktivitas berenang zoea sehingga meningkatkan kemungkinan pertemuan antara larva dan pakan sehingga terjadi pemangsaan.
PEMBAHASAN Tingginya konsumsi oleh pakan larva pada perlakuan C (2500 Lux)
Tabel 1. Analisis ragam konsumsi pakan larva rajungan (Portunus pelagicus) Sum of Mean Squares Df Square F Between Groups 7307.667 3 2435.889 53.05 Within Groups 367.333 8 45.917 Total 7675 11
Sig. 0
Tabel 2. Konsumsi pakan larva rajungan (Portunus pelagicus) pada akhir penelitian Intensitas cahaya (lux) Konsumsi Pakan (Ind/ml) 500 190,67 ± 7,09c 1500 220 ± 4,58b 2500 260 ± 7,94a 3500 219,33 ± 7,02b Tabel 3. Analisis ragam sintasan larva rajungan (Portunus pelagicus) Sum of Mean Df F Squares Square Between 8.689 3 2.896 14.142 Groups Within Groups 1.638 8 0.205 Total 10.327 11 Tabel 4. Sintasan larva rajungan (Portunus pelagicus) pada akhir penelitian Intensitas cahaya (lux) Sintasan (%) 500 0,96 ± 0,52 b 1500 1.71 ± 0,16 b 2500 3,17 ± 0,56a 3500 1,25 ± 0,44b 65
Sig. 0.001
Azis
ISSN 1411-4674
Menurut Bell et al. (1995) dalam dalam Notowinarto (1999), kemampuan pemangsaan berhubungan dengan organ penglihatan larva yang berfungsi sebagai fotoreseptor untuk menerima cahaya. Kesempatan memperoleh intensitas cahaya yang lebih besar sejak awal pertumbuhan larva akan memperkuat kemampuan penglihatan, yakni dengan meningkatnya pembentukan sel-sel kubus pada retina mata sehingga diameter mata menjadi lebih besar. Sedangkan menurut Blaxter (1980), mata larva mempunyai kemanpuan mengakomodasi kondisi fisik lingkungan, sehingga dapat mendeteksi pakan dengan baik. Faktor lingkungan yang turut berperan penting dalam budidaya organisme perairan adalah cahaya, terutama berhubungan erat dengan organ penglihatan pada larva. Secara fungsional, cahaya berperanan secara tidak langsung sebagai faktor penyelimut (masking factor) yang memberikan efek memicu pemangsaan, terutama bagi organ penglihatan (Notowinarto, 1999). Larva krustasea mampu makan dalam kondisi gelap dan tidak tergantung pada kondisi cahaya, namun cahaya adalah faktor abiotik yang penting, secara subtansial dapat mempengaruhi kinerja larva kepiting, termasuk berenang, perilaku makan dan pertumbuhan (Minagawa & Murano, 1993; Minagawa, 1994; Gardner & Maguire, 1998). Pada penelitian lain juga berpendapat bahwa meskipun, sebagian besar larva krustasea tidak terlalu mengandalkan penglihatan visual, namun mereka mungkin masih memanfaatkan cahaya untuk pemanfataan pakan yang lebih efisien (Rabbani & Zeng, 2005). Rotifer dan naupli Artemia merupakan jenis pakan alami yang umum digunakan pada pemeliharaan larva krustasea (Southgate & Patridge, 1998; Serang et al., 2002). Pakan alami ini memiliki keunggulan dibanding pakan buatan terutama dalam hal kemampuannya menyebar merata ke dalam kolom air. Larva rajungan stadia
awal belum memiliki kemampuan yang baik untuk menangkap mangsa sehingga persebaran pakan alami yang lebih merata akan memudahkan larva stadia awal menangkap mangsa secara acak dalam kolom air (Ikhwanuddin et al., 2012). Tingginya sintasan larva rajungan pada perlakuan C (2500 Lux) dibanding perlakuan yang lain disebabkan tingkat pemangsaan pakan oleh larva lebih besar sehingga tersedia energi bagi larva untuk pertumbuhan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Keberhasilan hidup larva sangat erat hubungannya dengan sifat dan perilaku larva dalam pemangsaan serta lingkungan yang mendukung. Menurut Jobling (1993), adanya perubahan kondisi cahaya akan menyebabkan terjadinya respon peningkatan produksi mediasi fotostimulan, yang akan mempengaruhi proses singkronisasi ritme vitalitas larva. Dengan demikian, dengan intensitas cahaya yang tepat, akan mempengaruhi lingkungan yang meningkat secara gradual dan mengarah kepada efisiensi pemanfaatan pakan secara maksimal hingga dapat meningkatkan vitalitas larva. Menurut Duray et al. (1996), pengaruh cahaya sangat strategis terhadap konsistensi respon aktivitas pemangsaan yang optimal. Intensitas cahaya minimun berakibat mengurangi kemampuan kelangsungan hidup larva rajungan untuk periode berikutnya Rendahnya tingkat kelulusan hidup larva rajungan pada perlakuan A (500 Lux) karena laju konsumsi pakan yang lebih rendah sehingga energi yang diperoleh tidak mencukupi untuk mempertahankan hidupnya, selain itu pada kondisi cahaya yang rendah pada perlakuan A (500 Lux) larva cenderung menyebar dalam mencari mangsa sehingga energi yang dibutuhkan lebih besar. Menurut Juwana (1997), Sintasan larva rajungan yang masih rendah diakibatkan karena tingginya angka kanibalisme, kegagalan molting yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan 66
Intensitas Cahaya, Larva, portunus pelagicus, konsumsi pakan sintasan
nutrisi yang dinilai tidak optimal bagi kelangsungan hidup larva rajungan. Menurut Catacutan (2002), kepiting tumbuh secara baik, bila diberi pakan yang mengandung protein 32%-40%, tinggi rendahnya kadar protein pakan dapat membatasi pertumbuhan dan pertambahan bobot tubuh. Lebih lanjut dijelaskan dalam Serang et al. (2007), bahwa pakan untuk benih rajungan (P. pelagicus) diharapkan mengandung protein 35%. Menurut Daud et al., (2011) pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh faktor alamiah (internal) meliputi keturunan, ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan memanfaatkan pakan, sedangkan faktor dari luar (eksternal) meliputi suhu, oksigen, kualitas serta kuantitas pakan, ruang gerak dan lainlain. Pemasukan energi yang diperoleh dari pakan dapat dimanfaatkan untuk keperluan proses metabolisme, pertumbuhan, perkembangan gonad dan sebagian hilang melalui feses dan urine (Kamler & jobling, 1992).
ISSN 1411-4674
conditions. Aquaculture 300:218– 222. Bell M. V., Batty R.S., Dick, J. R., Fretwell K.,Navaro J. C., & Sargent J.R. (1995). Dietary Defesiency of Decosahexaenoic Acid Implairs Vision at Low Light Intensities in Juvenile Herring (Clupea harengus L.). Lipids 30, (5): 443-449 Blaxter J.H.S. (1980). Fish Hearing. In: 'Oceanus, Senses of the Sea', 23(3), 27-33. Woods Hole Catacutan M. R. (2002). Growth and Body Composition of Juvenile mud Crab, Scylla serata, fed Different Dietary Protein to Energy Ratios. Journal Aquaculture 213: 113123. Daud S.P, Rachmansyah & Mangawe A.G. (2011). Penelitian budidaya bandeng intensif dalam karamba jaring apung di laut. Teknologi budidaya laut dan pengembangan sea farming di Indonesia departemen kelautan dan perikanan bekerjasama dengan japan international corporasion Egency. Jakarta Duray M.M., Estudillo C.B., & Alpasan L.G. (1996). The effect of background colour and rotifer density on rotifer intake, growth and survival of the grouper (Epinephelus suillus) larvae. Aquaculture 146, 217–225. Fyhn HJ. (1989). First feeding of marine fish larvae: Are free amino acid the source of energy. Aquaculture 80:111120. Gardner C. & Maguire G.B. (1998). Effect of photoperiod and light intensity on survival, developmentand cannibalismof larvae of the Australian giant crab Pseudocarcinus gigas (Lamarck). Aquaculture 165, 51–63.. Hatche R., Mallet M.D, & Dumas A. (2015).Efffects of light regime on larvae survival, growth and settling behavior of hatchery reared American lobster (Homarus
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tepat dapat memberikan respon nyata terhadap konsumsi pakan, sehingga kebutuhan energi pada larva rajungan terpenuhi dan mampu mempertahankan kelangsungan hidup sampai stadia megalopa. Intensitas cahaya terbaik pada penelitian ini adalah 2500 lux. Salah satu parameter kualitas air yang juga perlu diperhatikan dalam pemeliharaan larva rajungan adalah intensitas cahaya. Selain itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang perkembangan mata larva rajungan DAFTAR PUSTAKA Andres M., Rotllant G., & Zeng C. (2010). Survival, development and growth of larvae of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus, cultured under different photoperiod 67
Azis
ISSN 1411-4674
americanus). Aquaculture 443:3139. Ikhwanuddin M., Azra M.N., Talpur A.D., Abol-Munafi A.B, & Shabdin M.L. (2012). Optimal water temperature and salinity for production of blue swimming crab, Portunus pelagicus 1st day juvenile crab. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation 5(1):4-8 Jobling M. (1993). Bioenergenetics: feed intake and energy partitioning. Page 1-44. In J. C. Rankin and F. B. Jensen, editors. Fish ecophysiology. Chapman and Hall, London-madres. Juwana S. (1997). Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus) Oseana vol. XXII No: 4. Hal: 9. Kamler, E. & Jobling. (1992). Respiration and Metabolisme, in Fish and Fisheries Series 13: Fish Bioenergetics. Chapman and Hall. London. Karim Y., Azis H.Y., & Afriani. (2003). Vitalitas Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal) yang Dipelihara pada Berbagai Kondisi Pencahayaan. Jurnal Ilmiah Bimi Kita, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Vol. 2 (3) : 1412-4173. Karim M. Y. (2013). Kepiting Bakau (Bioekologi, Budidaya, dan Pembenihannya). Penerbit Yarsif Watampone, Jakarta. Kristina R., Arini E., & Hastuti S. (2014). Effect of highly Dense Spreading Survival Rate, Feed Consumtion, Feed Effesiency and Growth Rate Juvenil Freshwater Lobster (Cherax sp.). Universitas Diponegoro, Semarang. Minagawa M., (1994). Effects of photoperiod on survival, feeding and development of larvae of the red frog crab, Ranina ranina. Aquaculture 120 (1–2), 105–114. Minagawa M. & Murano M. (1993). Larval feeding rhythms and food consumption by the red frog crab
Ranina ranina (Decapoda, Raninidae) under laboratory conditions. Aquaculture 113 (3), 251–260. Notowinarto. (1999). Pengaruh berbagai kondisi pencahayaan terhadap konsumsi pakan, laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva kerapu macan (Epinephalus fuscoguttatus). Insitut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Rabbani A.G. & Zeng C. (2005). Effect of tank colour on larval survival and development of mud crab Scylla serrata (Forskal). Aquac. Res. 36, 1112–1119. Riani & Dana R. (2003). Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan kualitas larva udang windu (Paneus manodon). Fakultas Ilmu Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Serang A. M., Suprayudi M.A., Jusadi D., & Mokoginta. (2007). Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan Berbeda terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Akuakultur Indonesia 6 (1): 5563. Southgate, P.C. & Partridge G.J. (1998). Development of artificial diets for marine finfish larvae: problems and prospects. In: S.S.Ž. De Silva (Ed.), Tropical Mariculture. Academic Press, San Diego, California: 151171. Steel R. G. D. & Torrie J. H. (1993). Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik) Penerjemah B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Webley JAC & Connolly RM. (2007) Vertical movement of mud crab megalopae (Scyllaserrata) in response to light: doing it differently down under. J Exp Mar Biol Ecol341: 196-203
68
Intensitas Cahaya, Larva, portunus pelagicus, konsumsi pakan sintasan
Zairin M. (2002). Sex reversal memproduksi benih ikan jantan dan
ISSN 1411-4674
betina. Penebar Swadaya. Jakarta.
69