persiapan data, analisis awal (observasi, reconnaissance) untuk mencari zone of interest (zona menarik), penentuan parameter dekomposisi spektral yang tetap
berdasarkan analisis awal, pemrosesan dekomposisi spektral, analisis hasil (zona menarik) dekomposisi spektral, interpretasi volume frekuensi diskrit dan terakhir, estimasi ketebalan lapisan.
Tahap persiapan data hingga
pemrosesan data seismik dapat dikatakan
merupakan tahap awal yang sangat penting dalam aplikasi praktis metode dekomposisi spektral. Tahapan ini dapat digunakan untuk menentukan apakah pemrosesan data menggunakan metode dekomposisi spektral ini perlu dilakukan lebih lanjut ataukah tidak.
Dalam penelitian ini, tahap awal dimulai dengan
persiapan data meliputi interpretasi data, dengan asumsi bahwa data seismik 3dimensi yang digunakan dalam penelitian memiliki kualitas yang cukup baik meskipun tidak beresolusi tinggi. Hasil interpretasi data seismik menjadi salah satu data masukan (input) dalam analisis awal dan penentuan parameter pemrosesan dekomposisi spektral. Sebagai keluaran dari tahapan awal ini, adalah data volume seismik disebut tuning cube dalam daerah asal frekuensi (frequency domain) sebagai hasil dari transformasi data dalam domain waktu menggunakan
metode DFT (Transformasi Fourier Diskret). Metode DFT sengaja dipilih dengan asumsi bahwa DFT cukup baik diterapkan pada jendela analisis lebih besar dari 30 ms, dan dengan dasar bahwa zona menarik belum didapat diketahui seberapa tebal dan sejauh mana penyebarannya. Pada tahap ini, setelah dilakukan beberapa kali proses iterasi, jendela analisis yang cukup baik adalah sekitar 100 ms.
Pada penelitian ini digunakan 2 metode pemrosesan dekomposisi spektral yaitu menggunakan acuan horison tunggal dan interval antara dua horison. Dengan mempertimbangkan bahwa daerah penelitian secara geologi merupakan rift yang dipping (miring) ke arah barat (ke arah sesar batas) dengan kemiringan sekitar
30o, maka agar pemrosesan dekomposisi spektral lebih optimal sehingga dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi bawah permukaan, dilakukanlah pendataran (flattening) terhadap data seismik yang digunakan.
42
IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik
Langkah berikutnya setelah dilakukan pemrosesan data seismik 3-dimensi dengan menggunakan dekomposisi spektral dan ekstraksi atribut seismik, dilakukanlah interpretasi paleogeografi secara terintegrasi terhadap hasil dari pemrosesan data tersebut untuk tiap tahap pembentukan rift sub-cekungan Aman Utara. IV.5.1. Sistem trak (tahap) pre-rift Sistem trak pre-rift diasosiasikan dengan tahap sebelum terjadinya rift. Secara
kronologis, berdasarkan penelitian sebelumnya, tahap ini diasosiasikan dengan basement (batuan dasar). Geometri segitiga rift Sub-cekungan Aman Utara ini,
pada bagian barat rift dibatasi oleh sesar batas (border fault) yang memanjang relatif berarah Utara-Selatan. Pada tahap atau sistem trak ini, bila dilihat pada hasil dekomposisi spektral maupun ekstraksi atribut seismik, sistem sesar yang mengontrol pembentukan rift tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Demikian pula dengan fasies-fasies pengendapan yang kemungkinan diendapkan di atas batuan dasar ini. Meskipun tren dominan dari sesar-sesar normal en echelon masih dapat diidentifikasi melalui ekstraksi atribut amplitudo absolut total (gambar IV.9.a) yang berarah relatif timurlaut-baratdaya. Sebagian besar sesar ini diinterpretasikan menerus hingga ke Formasi Upper Red Beds dan dapat menjadi sekat (seal) yang cukup potensial bagi prospek-prospek minyak di daerah ini.
Ekstraksi atribut frekuensi spektral, tidak banyak memberi informasi geologi bawah permukaan, hal ini disebabkan even-even refleksi yang biasanya mampu mendelineasikan suatu fitur geologi tidak lagi banyak dijumpai pada sekuen ini. Frekuensi rendah dan tinggi (1-60 hz) bercampur sedemikian rupa sehingga tidak ada tren geologi khusus yang dapat diindentifikasi (gambar IV.9.b).
Tidak jauh berbeda dengan hasil dari ekstraksi atribut amplitudo maupun frekuensi seismik, hasil pemrosesan dekomposisi spektral dalam tuning cube pada sistem trak ini kelihatan masih sulit untuk diinterpretasi dengan meyakinkan karena frekuensi rendah dan tinggi bercampur sedemikian rupa sehingga bentuk-
43
bentuk geometri dari fasies pengendapan tidak dapat diidentifikasi dengan jelas (gambar IV.10). Dominant Frequency
Total Absolute Amplitude
Gambar IV.9. Esktraksi atribut seismik (a) amplitudo absolut total dan (b) frekuensi dominan dengan acuan Top Basement. Frekuensi Dominan ~22 hz
a)
b)
Gambar IV.10. (a) Tuning Cube dengan acuan horison interpretasi Top Basement diiris pada frekuensi 22 hz (b) histogram sebaran data frekuensi, frekuensi dominant pada 22 hz..
44
Di bagian relatif selatan hingga tenggara, teridentifikasi sesar-sesar berarah relatif timurlaut-baratdaya. Dari aplikasi metode dekomposisi spektral pada sistem trak ini terlihat bahwa transformasi data seismik dari domain waktu ke domain frekuensi dinilai tidak banyak membantu dalam interpretasi paleogeografi bawah permukaan dengan meningkatkan resolusi khususnya resolusi secara lateral sehingga mampu mendelineasikan penyebaran suatu fasies pengendapan maupun sistem sesar.
IV.5.2. Sistem trak (tahap) rift Initiation
Kondisi geologi sistem trak rift-initiation di sub-cekungan Aman Utara hingga saat ini belum banyak di ketahui secara detil. Hal ini disebabkan miminnya informasi yang diperoleh dari pengeboran sumur-sumur hidrokarbon yang dilakukan di daerah ini. Hampir semua sumur yang telah dibor di daerah ini, tidak menembus hingga Formasi Lower Red Beds.
Pada sistem trak ini sedimen Lower Red Beds mulai diendapkan dan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, paleogeografi sistem trak ini diinterpretasikan sebagai alluvial/fluvial plain lithofacies. Topografi sistem trak ini relatif landai (minimum), sehingga sistem drainase aliran fluvial yang berkembang, sangat dikontrol oleh tektonisme. Dari peta ketebalan dalam domain waktu (isokron) antara Top Basement dan Top Lower Red Beds pada gambar IV.11, dapat diketahui terjadinya pengendapan sedimen non-marin yang berasal dari arah sesar batas di sebelah barat dan dari arah hinge margin di sebelah timur menuju pusat cekungan (depocenter) ini. Ketebalan sedimen di bagian pusat cekungan berkisar antara 200-300 ms, sementara pada bagian hinge margin berkisar antara 0-100 ms.
Secara khusus, interpretasi paleogeografi bawah permukaan menggunakan peta isokron, masih sulit untuk dilakukan dengan lebih meyakinan. Hal ini dikarenakan kesulitan dalam mendelinesikan geometri fasies-fasies pengendapan dan juga bagaimana sistem sesar mengontrol pembentukan sistem trak ini.
45
Tipis
Tebal
Gambar IV.11. Peta isokron Top Basement dan Top Lower Red Beds (interval kontur 25 ms). Memperlihatkan kemungkinan arah pengendapan sedimen dari arah hinge margin dan sesar batas menuju pusat cekungan (depocenter).
Pada sistem trak ini ekstraksi amplitudo seismik cukup jelas menggambarkan kenampakan fitur-fitur sistem sesar dengan arah dominan sesar-sesar normal en echelon tersebut timurlaut-baratdaya (gambar IV.12.a). Sementara dari ekstraksi
frekuensi spektral dan frekuensi dominan (gambar IV.12.b), dapat diidentifikasi adanya tren (trend) relatif baratlaut-tenggara yang cukup menarik pada kisaran frekuensi 15-25 hz. Tren ini diinterpretasikan berkorelasi dengan zone tinggian (arch) Gapura-Mutiara yang membentang dari arah baratlaut (zona Mutiara) hingga tenggara (zona Gapura). Tinggian ini secara struktur tersesarkan dengan cukup intensif oleh sesar-sesar dominan normal (en echelon) berarah timurlautbaratdaya. Secara aktual, kombinasi tinggian dan sistem sesar yang mengontrol ini menjadikannya zone yang sangat potensial sebagai tempat akumulasi hidrokarbon
46
(Lampiran L.A.3). Even-even geologi lainnya berupa fasies pengendapan, masih cukup sulit diidentifikasi menggunakan ekstraksi atribut ini. (a) Total Absolute Amplitude
(b) Peak Spectral Frequency
Tren Gapura-Mutiara Arch
Gambar IV.12. Penampang horisontal hasil ekstraksi atribut (a) amplitudo absolut total dan (b) peak spectral frequency dengan acuan Top Lower Red Beds.
Pemrosesan data menggunakan metode dekomposisi spektral dengan acuan 2 horison tunggal (gambar IV.13.a.) memberikan hasil yang tidak cukup baik dalam menggambarkan kondisi geologi bawah permukaan. Hasil proses DFT pada interval yang dibatasi oleh Top Lower Red Beds dan Top Basement terlihat cukup banyak gangguan (noise). Even-even reflektornya tidak cukup kontinu serta frekuensi tinggi dan rendah relatif lebih bercampur. Tampak pada irisan tuning cube pada frekuensi 21 hz. Sebaliknya, pemrosesan dekomposisi spektral
menggunakan acuan horizon tunggal (Lower Red Beds), cukup bagus dalam menggambarkan kondisi geologi bawah permukaan, misalnya fitur-fitur sesar dapat teridentifikasi cukup jelas (gambar IV.13.b). Sementara pada frekuensi yang relatif rendah 1-12 hz (warna terang), terlihat suatu zone yang cukup menarik. Zona menarik ini diinterpretasikan sebagai suatu endapan sedimen yang berasal dari sesar batas, berupa misalnya kipas aluvial ataupun endapan lain yang berkembang sebagai alluvial plain cukup luas yang terhampar dari arah relatif
47
baratlaut hingga tenggara. Pada bagian relatif ke tenggara, terdapat fitur-fitur geologi seperti fluvial meandering yang berasal dari timur menuju selatan meskipun masih tidak terlalu jelas tergambarkan.
a)
b)
c)
Frekuensi Dominan ~21 hz
Gambar IV.13. Tuning Cube dengan acuan (a) dua horison Top Basement-Top Lower Red Beds dan (b) horizon tunggal Top Lower Red Beds. diiris pada frekuensi 21 hz sebagai frekuensi dominan, (c) histogram sebaran data frekuensi.
Pada sistem trak rift-initiation, dekomposisi spektral terbukti cukup membantu dalam interpretasi paleogeografi bawah permukaan, dengan meningkatkan gambaran kondisi geologi bawah permukaan, baik yang terkait dengan sistem sesar maupun dengan fasies-fasies pengendapan yang berkembang.
48
IV.5.3. Sistem Trak (tahap) Rift-climax
Pada sistem trak (tahap) ini ini terjadi pergeseran sesar utama paling cepat dalam pembentukan rift dan suplai sedimen yang relatif lebih kecil dari pergeseran sesarnya. Di tahap awal dan tengah sistem trak rift climax ini, endapan sedimen yang diinterpretasikan sebagai endapan brownshale terbentuk ketika cekungan ini terisi oleh air danau (lacustrine atau lakustrin), sehingga endapan suspensi lebih dominan, seperti endapan serpih, lumpur dan batupasir berbutir sangat halus. Pada tahap ini pulalah, sedimen yang menjadi batuan induk potensial bagi cekungan ini diendapkan.
Tipis
Tebal
Gambar IV.14. Peta isokron Top Lower Red Beds dan Top Brownshale (interval kontur 25 ms). Memperlihatkan arah pengendapan sedimen dari arah hinge margin dan sesar batas menuju pusat cekungan (depocenter).
49