Bab IV
Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian
Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral dalam interpretasi paleogeografi di daerah penelitian dilakukan setelah melakukan serangkaian tahapan yang sangat penting seperti pengikatan data sumur terhadap data seismik untuk mengetahui apakah suatu reservoir batupasir target dapat diresolusikan dengan baik pada data seismik vertikal, interpretasi data seismik 3-dimensi, kemudian tahap pemrosesan data menggunakan ekstraksi atribut seismik dan dekomposisi spektral hingga analisis terhadap hasil akhir dari pemrosesan ini. IV.1. Interpretasi Data Log Sumur Pemboran
Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya terhadap contoh inti batuan (core) pada interval kedalaman tertentu di beberapa sumur seperti SN-1, KK-1, CI-1 dan GO-1 dapat diinterpretasikan jenis litologi dan fasies pengendapan yang berkembang di daerah Sub-cekungan Aman Utara ini yaitu: 1. Sumur SN-1 (interval 4120-4134 kaki), litologi dominannya adalah batupasir argillaceous masif, berbutir sangat halus, tersortasi cukup baik, dan ditemukan juga sebaran mottled berwarna merah dan abu-abu. Pada interval kedalaman ini (interval upper red beds), batupasir argillaceous berbutir halus tersebut mengindikasikan suatu hasil pengendapan suspensi pada lingkungan alluvial plain. Sementara sebaran mottled, mengindikasi suatu
paleoweathering
dan
diinterpretasikan
terjadinya
eksposure
subaerial.
2. Sumur KK-1, yang dibor hingga kedalaman akhir pada Formasi Brownshale (gambar IV.1.a), litologi dominannya batuserpih dan gross
batupasirnya sekitar 7%. Batuserpih yang dijumpai berwarna kehitaman yang terdiri dari gastropod bioclasts yang mengindikasinya sebagai hasil rombakan intrabasinal. Pada interval kedalaman 6200-5970 kaki, dijumpai litologi silty-shale yang sangat karbonatan, sementara pada
32
lapisan di Upper Red Beds di atasnya terdiri dari tumpukan unit-unit batupasir berukuran pebble (Dawson et al., 1997 op cit Dawson, 1998). 3. Sumur CI-1 (interval 3682-3692 kaki), litologi dominannya lumpur berlapis berwarna coklat kekuningan hingga coklat. Terdapat fitur-fitur slump pada dasar sekuen. Lapisan-lapisan tipis yang tampak pada sampel
memiliki ketebalan sekitar 2-9 cm dan memiliki bentuk yang relatif tidak paralel satu sama lain. Secara umum pada interval ini tidak ada perubahan besar butiran pada contoh batuan. Interval kedalaman ini (interval brownshale) diinterpretasikan sebagai hasil pengendapan open lacustrine
yang memiliki ciri adanya pengendapan berenergi rendah (suspensi). 4. Sumur GO-1, yang dibor dengan kedalaman akhir pada Formasi Brownshale (gambar IV.1.b.), berada pada interval Brownshale dengan
litologi dominannya serpih dan gross batupasirnya sekitar 4%. Terdiri dari endapan-endapan lapisan yang diinterpretasikan sebagai batulempung berwana kemerahan hingga abu-abu dan batupasir berukuran pebble berbutir kasar. Batas antara Brownshale dan Upper Red Beds ditandai oleh adanya 2 interval batupasir yang meng-kasar ke atas. Pada contoh inti batuan interval 6440-6470 kaki, terdiri dari silty-shale berwarna abu-abu gelap hingga hitam dan sangat brittle. Litologi yang dijumpai ini diinterpretasikan sebagai hasil pengendapan sistem braided-fluvial berenergi tinggi yang terdiri dari tumpukan sandy bars dan fasies pengisi channel (Dawson et al., 1997 op cit Dawson, 1998).
Secara umum, pada bagian paling atas dari Formasi Brownshale di sumur KK-1 dan GO-1 terdapat fitur parasekuen yang meng-kasar ke atas (coarsening upward) yang diinterpretasikan sebagai endapan progradasi delta batas (marginal deltaic progradation) yang diendapkan pada fase akhir pengendapan Brownshale.
Sementara pada bagian Upper Red Beds, dijumpai pola penumpukan (stacking patterns) yang diinterpretasikan sebagai parasekuen fluvial. Parasekuen ini
dikenal sebagai interval batupasir 4930’ (Dawson et al, 1997 op cit Dawson, 1998).
33
Berdasarkan data log sumur pemboran yang diambil pada beberapa sumur yang tersebar di Sub-cekungan Aman Utara ini, dilakukanlah korelasi sumur untuk mengetahui distribusi dari fasies pengendapan yang berkembang dengan mengacu pada hasil evaluasi contoh inti batuan dari beberapa sumur tersebut. Sumur-sumur yang digunakan dalam korelasi, tidak dibor menembus hingga Formasi Lower Red Beds dan Basement. Sehingga cukup sulit di interpretasikan penyebaran litologi
batupasir dan tipe fasies pengendapan yang berkembang di sub-cekungan ini khususnya pada bagian di bawah endapan Formasi Brownshale.
Gambar IV.1. (a) Fitur sekuen coursening upwards pada sumur KK-1 yang dapat diidentifikasi pada interval Brownshale, (b) posisi pengambilan contoh batuan inti pada sumur GO-1 di interval Upper Red Beds.
Gambar IV.2. Penampang seismik ILN 281 yang melalui sumur TN-1 dan CI-2 dalam bentuk terproses Instantenous Phase (Fase Sesaat).
34
Gambar IV.3. Korelasi sumur untuk mengetahui penyebaran litologi batupasir dan interpretasi tipe fasies yang berkembang di Sub-Cekungan Aman Utara. Didatarkan pada Top Pematang (SB 25,5 ma).
Dengan mengombinasikan hasil korelasi sumur (gambar IV.3) dan penampang seismik fase sesaat (gambar IV.2), dapat diidentifikasi even-even atau pola-pola pengendapan batuan dengan ciri khas tersendiri. Pada sumur SN-1 yang letaknya dekat dengan sesar batas (border fault) terdapat pola-pola agradasi yang menghalus ke atas (fining upward), hal ini mencirikan endapan delta, seperti misalnya endapan delta kipas dengan arah sumber pengendapan dari sesar batas. Sementara dari sumur TN-1 terdapat pola-pola penumpukan batupasir (blocky) yang mencirikan endapan sungai teranyam (braided-fluvial). Sementara sumur CI2 yang berada relatif di hinge margin sebelah timur rift, dapat diindentifikasi pola-
35
pola progradasi (coarsening upwards) yang dapat diinterpretasikan sebagai hasil pengendapan delta lakustrin. IV.2. Pengikatan Data Sumur Terhadap Data Seismik(Well-Seismic Tie)
Proses pengikatan data sumur terhadap data seismik, dilakukan pada beberapa sumur acuan yang memiliki data sonic (Vp) maupun checkshot surveys. Proses ini dilakukan dengan mengacu pada penelitian sebelumnya yang menggunakan data yang sama (Asnidar, 2005), dengan asumsi bahwa hasil proses pengikatan ini cukup akurat dan menerapkan kontrol serta proses training yang tepat pada sumur-sumur acuan. Sumur-sumur tersebut antara lain sumur KK-1, TN-1, CI-1, CI-2 dan GO-1. Data keluaran berupa seismogram sintetik akan digunakan untuk mengetahui apakah bidang-bidang perlapisan yang memiliki karakter litologi dan fasies pengendapannya yang berbeda dapat teresolusikan atau tergambarkan dengan cukup baik pada data seismik, seperti halnya pada data log sumur pemboran.
Seismogram sintetik tidak hanya membantu untuk mengenali refleksi-refleksi tunggal, tapi dapat juga digunakan sebagai acuan untuk mengenali karakter refleksi. Korelasi terbaik yang dilakukan adalah mengekstrak wavelet pada interval target dari data seismik (SB_BSH – SB25.5) pada 500 – 1500 ms. Dan dengan proses stretch-squeeze dilakukan penyesuaian untuk memperoleh hasil dengan koefisien korelasi yang paling optimal (Asnidar, 2005).
Sebagai hasil dari pengikatan data sumur-data seismik ini, diperoleh koefisien korelasi yang bervariasi (gambar IV.4.). Berturut-turut koefisien korelasi dari kelima sumur yang digunakan adalah KK-1 = 67,11%, TN-1 = 66,54%, CI-1 = 71,20%, CI-2 = 79% dan GO-1 = 74% (Asnidar, 2005).
Dari koefisien korelasi di atas dapat diketahui bahwa korelasi data sumur terhadap data seismik semakin baik ke arah hinge margin. Hal ini disebabkan karena bidang-bidang reflektor cukup bagus dalam meresolusikan secara vertikal perubahan-perubahan litologi yang terekam pada data sumur pemboran. Namun pada arah relatif ke sesar batas, koefisien korelasi cenderung menurun
36
dikarenakan bidang-bidang reflektor tidak cukup baik meresolusikan perubahanperubahan litologi dan fasies yang relatif tipis dan variatif. Bidang-bidang reflektor tersebut hanya mampu meresolusikan even-even dominan pada suatu sekuen pengendapan saja.
a)
b)
c)
d)
f) e) Gambar IV.4. Hasil dari proses pengikatan 5 data sumur terhadap data seismik. (a) Koefisien Korelasi sumur KK-1=67,11%, (b) sumur TN1=66,54%, (c) sumur CI-1=71,20%, (d) sumur CI-2=79,%, (e) sumur GO-1=74%, dan (d) peta index. (Asnidar, 2005).
Seismogram sintetik yang telah dibuat tersebut kemudian dijadikan acuan dalam penarikan batas-batas sekuen dan juga horison (gambar IV.5) yang nantinya akan menjadi data masukan dalam pemrosesan lebih lanjut.
37
TN-1
Top Menggala
Top Pematang
Top 4930’ SD
470 m
Top Brownshale
Gambar IV.5. Penampang vertikal seismik 3D pada ILN-281 berarah barat-timur yang telah diikatkan dengan menggunakan data seismogram sintetik pada sumur TN-1.
IV.3. Interpretasi Data Seismik 3-Dimensi
Interpretasi atau interpretasi terhadap data seismik 3-dimensi dilakukan dengan melakukan picking horison atau penentuan batas-batas horisontal dari suatu tahap pengendapan yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Proses ini utamanya dilakukan dengan dasar interpretasi struktur dengan melihat tanggap seismik yang merupakan refleksi dari bidang-bidang batas horisontal bawah permukaan. Mengacu pada Prosser (1993) yang membagi tahap pembentukan rift menjadi beberapa sistem trak, dalam penelitian ini dilakukan interpretasi terhadap 6 batas horisontal yang secara kronologis mewakili sistem trak tersebut yaitu Top Basement yang berasosiasi dengan sistem trak pre-rift, Top Lower Red Beds yang
diasosiasikan dengan sistem trak rift-initiation, Top Brownshale dan Top 4930 Sand (Upper Red Beds Sand) yang diasosiasikan dengan sistem trak rift-climax
serta Top Pematang dan Top Menggala yang diasosiasikan dengan sistem trak post-rift.
38
Sebagai hasil dari interpretasi struktur terhadap data seismik 3-dimensi yang digunakan (Lampiran gambar L.A.1 dan L.A.2.), diperoleh enam peta kontur struktur waktu untuk keenam batas horisontal di atas. Dari keenam peta struktur tersebut dapat diketahui arah tren dominan dari sistem sesar (fault system) yang mengontrol perkembangan fasies pengendapan pada sistem rift Sub-cekungan Aman Utara ini. Sesar utama yang mengontrol pembentukan rift memanjang dari arah relatif utara hingga selatan, sesar ini direpresentasikan oleh keberadaan sesar batas yang cukup besar di sebelah barat rift-nya. Sesar-sesar kecil (minor) yang tersebar dan meliputi bagian timur dari sesar batas hingga hinge margin dari rift, memiliki tren relatif arah timurlaut-baratdaya. Sesar-sesar ini sedemikian intensif mengontrol perkembangan fasies pengendapannya. Pada bagian tengah peta dapat dilihat adanya tinggian (arch) yang berarah relatif baratlaut-tenggara yang memisahkan dua relief dalam Sub-cekungan Aman Utara di bagian utara dan selatannya. Tinggian ini diinterpretasikan merupakan bagian dari tinggian GapuraMutiara yang terbentuk sejalan dengan pembentukan rift sub-cekungan Aman Utara.
SN-1
SN-1 CI-1
RO-1 KK-1 TN-1
CI-1
RO-1 KK-1 TN-1
TG-1
TG-1 AA-1
AA-1
GA-1
GA-1
Gambar IV.6. Peta kontur struktur waktu (a) Top Basement dan (b) Top Lower Red Beds. Warna Merah zona tinggi dan warna ungu zona dalam.
39
SN-1
SN-1 CI-1
RO-1 KK-1 TN-1
CI-1
RO-1 KK-1 TN-1
TG-1
TG-1
AA-1
AA-1
GA-1
GA-1
Gambar IV.7. Peta kontur struktur waktu (a) Top Brownshale dan (b) Top 4930 Sand. Warna Merah zona tinggi dan warna ungu zona dalam.
SN-1
SN-1 CI-1
RO-1 KK-1
CI-1
RO-1 KK-1
TN-1
TN-1 TG-1
TG-1 AA-1
AA-1
GA-1
GA-1
Gambar IV.8. Peta kontur struktur waktu Top Pematang dan Top Menggala. Warna Merah zona tinggi dan warna ungu zona dalam.
40
IV.4. Pemrosesan dan Interpretasi Data Menggunakan Ekstraksi Atribut Seismik dan Dekomposisi Spektral IV.4.1. Ekstraksi atribut seismik
Atribut seismik yang digunakan dalam pemrosesan dan analisis merupakan atribut amplitudo dan statistik spektral frekuensi seismik (Lampiran B) yang diinterpretasikan secara lateral dalam bentuk peta atribut (Attribute Maps). Atribut-atribut tersebut yaitu: -
Root Mean Square (RMS) Amplitude
-
Maximum Absolute Amplitude
-
Maximum Peak Amplitude
-
Maximum Trough Amplitude
-
Total Amplitude
-
Total Absolute Amplitude
-
Dominant Frequency
-
Peak Spectral Frequency
Ekstraksi atribut amplitudo seismik, secara teoretis banyak digunakan untuk identifikasi akumulasi gas dan fluida, identifikasi penyebaran litologi, porositas, batupasir
channel
dan
delta,
tipe-tipe
tertentu
dari
terumbu
(reefs),
ketidakselarasan, efek tuning, dan identifikasi perubahan stratigrafi sekuen. Sementara ekstraksi statistik spektral frekuensi seismik, secara teoretis dapat digunakan untuk identifikasi zona-zona rekahan (fracturing), zona-zona absorbsi gas, dan efek tuning (Landmark, 2003).
Ekstraksi atribut seismik dalam penelitian ini mengacu pada horizon tunggal yang sudah diinterpretasi sebelumnya dan menggunakan jendela analisis 100 ms, yaitu 50 ms di atas horizon acuan dan 50 ms di bawah horizon acuan (Lampiran C).
IV.4.2. Pemrosesan dekomposisi spektral
Seperti yang tercantum pada Bab III mengenai metodologi penelitian, metode dekomposisi spektral secara umum terdiri dari beberapa tahapan pemrosesan yaitu
41