IV. PENDEKATAN KAJIAN DESA
Bab lV ini rnenjelaskan tentang proses modemisasi yang berlangsung di desa Joho, mencakup: integrasi teritorial desa Joho, posisi desa Joho dalam perkembangan perekonomian wilayah dan perubahan struktur sosial rnasyarakat desa.
4.1. lntegrasi Teritorial Desa Joho : Dari Kebekelan Kasunanan Surakarta Menjadi Desa Di Wilayah Kabupaten Sukoharjo Perubahan struktur pemerintahan di tingkat atas (kota Surakarta). yang berlangsung selama 2 periode: jaman penjajahan, dan jaman kemerdekaan, telah membawa perubahan hubungan antara pernerintahan di tingkat bawah (desa) dengan tingkat atas (kota). Pewbahan hubungan tersebut membawa konsekwensi bagi kegiatan perekonomian di desa Joho. Pada jarnan penjajahan, Joho masih merupakan sebuah kebekelan di dalam wilayah kasunanan Surakarta. Pada tahun 1914 dikenal adanya 'Kabupaten polisid di wilayah kasunanan Surakarta. Kabupaten Polisi 'salebeting nagari' (di dalam Idekat pusat pernerintahan keraton) mencakup: distrik kota Surakarta, dishik Kartasura, distrik Grogol dan distrik Sawahan. Distrik Grogol rneliputi wilayah mantri Ngronggah, mantri Mojolaban, mantri Baki dan mantri Palur. Dukuh Joho termasuk dalam wilayah mantri Mojolaban. Sedangkan Kabupaten Polisi 'sajawining nagari' (di luarl jauh dari pusat pemerintahan keraton) mencakup: kabupaten Klaten, kabupaten Boyolali, kabupaten Sragen dan kabupaten Sukohajo. Pengangkatan bekel hams mendapat persetujuan bupati polisi, karena bupati polisi bertanggung jawab terhadap kearnanan wilayah. ~ekel' bukan " Selo Soernatdjan,
Penibahan Sosial di Yogyakarfa (Gadjah Mada University Press, 1986). , Ha1.30. Nama itu menunjukkan bahwa tugas Mama bupati adalah bertindak m a i polii, melaksanakan hukurn sefla ketertiban. Bupati tidak punya wakil di daerahnya oleh karena ilu hams bersandar kepada kejasarna sukarela para bekel untuk melaksanakan pekejaannya. "Tugas bekel: pengurnpul pajak dari petani desa, mengawasi kemanan desa, menyediakan tanah dan tenaga kerja.
merupakan wakil bupati, tetapi merupakan orang yang diangkat patuh (sentana dan narapraja) untuk menggarap apanage4' dan memungut pajak berupa hasil bumi dari petani. Menurut Suhartono (1991), ada dua golongan sosial besar pada masyarakat Surakarta, yaitu priyayi dan wong cilik. Golongan priyayi terdiri dari sentana dan narapraja (sebagian kecii' penduduk terdiri atas golongan penguasa) dan golongan besar terdiri dari sikep dan kuli lain yang disebut wong cilik. Priyayi mengawasi sikep karena memberi tanah garapan pada mereka, sedang sikep merupakan pendukung kehidupan ekonomi di atas desa karena menyediakan tenaga keja. Perekonornian desa sangat tergantung pada kasunanan Surakarta, karena sumberdaya alam yang ada adalah milik Ratu Surakarta ('bumine ratu'). Hal ini berarti rakyat tidak mempunyai kekuasaan apapun atas tanah yang digarapnya, tetapi setiap orang boleh ikut rnenggarapnya. Areal persawahan milik kasunanan Surakarta tersebut digarap oleh rakyat dan rakyat mendapatkan imbalan berupa hak 'maro atau bawon' (bagian setengah dari hasil panen). Beke14 bertugas menyerahkan setiap hasil panen kepada kasunanan Surakarta. Pada jaman penjajahan pula, Joho berkembang menjadi sebuah desa dan haws mematuhi peraturan pemerintahan atas desa. Semenjak tahun 1918 'Kabupaten Polisi' berubah menjadi 'Kabupaten Pangreh Praja' di wilayah kasunanan Surakarta. Kabupaten pangreh praja 'salebeting nagan mencakup: distrik kota Surakarta, distrik Kartasura, distrik Bekonang, disttik Sukohajo, distrik Tawangsari. Di wilayah distrik Bekonang terdapat manbi order distrik yang meliputi: Mojolaban (13 kalurahan), Triyagan (10 kalurahan) dan Polokarto (12 kalurahan). Sedangkan kabupaten pangreh praja 'sajawining nagari' mencakup: kabupaten Klaten, kabupaten Sragen dan kabupaten Boyolali. Kebekelan Joho berkembang
" Tanah apanage mempakan tanah gadhuhan yang diberikan pada
sentana dan narapraja sebagai gaji, berupa bumi palungguhan. 48 Seseorang dapat diangkat menjadi bekel (pemimpin), bila dapat mengumpulkan anggota sebanyak 15 orang untuk membuka dan menggarap lahan milik ratu.
menjadi desa dan mengalami penggabungan dengan desa Gondang menjadi desa Joho. Perkembangan bimkrasi kolonial dan agro-industri pada pertengahan abad XIX, menunrt Suhartono (1991), telah memunculkan golongan priyayi cilik sebagai pelaksana administrasi, seperti juru tulis, penarik pajak dan kasir (bergelar mantri). Golongan wong cilik terbagi dalam pelapisan sosial berdasar tinggi rendahnya pembayaran pajak, yaitu: (1) sikep: menguasai tanah, pembayar pajak tanah dan keja wajib pada patuh (bekel termasuk lapisan ini); (2) kuli kendho: sedang menunggu giliran tanah garapan; (3) kuli indung dan Uosor: tidak kena pajak, tetapi tenaga kejanya dimanfaatkan kuli kenceng yang menanggung makan dan tempat tinggal mereka. Perekonomian desa semakin tergantung pada pemerintahan atas desa dan kasunanan Surakarta, dimana petani harus membayar pajak dan melakukan keja bakti untuk mendapatkan hak menggarap sawah. Pada masa itu kegiatan perekonomian rakyat terasa berat, karena selain mengejakan pekejaan di sawah, rakyat masih h a ~ smelaksanakan pekejaan umum yang dibebankan oleh penguasa pada waktu itu. Selain dikenakan pajak atas tanah yang digarapnya, petani masih h a ~ sbekerja ronda patrol 2 kali sebulan untuk mengerjakan pembuatan jalan baik jalan besar (kabupaten) maupun jalan desa ('nguruk'). Pekerjaan lainnya adalah membangun balai desa, bekej a bakti ('ngluruk') di tingkat kecamatan dan kawedanan setiap bulan, serta membuat pengairan ('ledengan') di dukuh. Kurang lebih sekitar 7 kali per bulan rakyat haws bekeja untuk pemerintah (penguasa) pada masa itu, dan sebagai imbalannya rakyat diberi hak untuk menggarap sawah beserta tanah pekarangan ('pomahanlbumi'). Setiap petani mendapat hak menggarap sawah seluas satu sanggam (3 bagianl patok tanah) atau seluas kurang lebih 7600 m2. Kalau petani tidak bisa membayar pajak dan bekeja bakti pada pemerintahan atas desa maka hak garapan tersebut dicabut kembali. Hal ini menunjukkan bahwa menjalin hubungan baik (kedekatan) dengan
pemerintah, yang ditunjukkan melalui ketaatan mernbayar pajak dan bekeja bakti akan membawa atau menjamin kesejahteraan. Dalam ha1 kegiatan agro industri, dimulai penanaman tanaman tebu di areal persawahan di desa Joho dan hasilnya dikirim ke
PG Tasikmadu yang diusahakan.
oleh Belanda. Pembagian areal sawah yang digarap oleh rakyat adalah sebagai berikut: untuk setiap 3 patok tanah sawah yang digarap, maka 1 patok harus diinami
dengan tebu dan 2 patok lainnya boleh ditanami padi, jagung dan
kacang. Belanda tidak menyewa lahan garapan petani tersebut, tetapi petani mendapat bagian hasil dari panen tebu dan apabila ada keterlambatan waktu penebangan maka petanijuga mendapat uang tambahan ('kasepan'). Setelah proklamasi kemerdekaan RI, wong Solo juga bangkit melakukan perlawanan terhadap sisa serdadu Jepang di Surakarta tanggal 1 Oktober 1945. Kemudian pada tanggal 19 Oktober 1945, dibentuk pemerintahan Direktorium di ~urakarta." Namun ha1 ini ditentang habis-habisan oleh pemuda Surakarta. Mereka menentang swapraja dan mendesak KNI Daerah agar kedaulatan Kasunanan dan Mangkunegaran sebagai daerah istimewa dihapus, dan hanya memerintah dalam lingkup tembok keraton saja. Akhirnya pada tanggal 27 Mei 1946 Sri Susuhunan Paku Buwana XI1 menerbitkan maklumat yang isinya penyerahan wilayah kekuasaan Kasunanan kepada Pemerintah Agung (negara RI). Dengan demikian wilayah Surakarta dan Mangkunegaran yang sernula metupakan Daerah lstimewa menjadi terhapus. Beberapa kabupaten memisahkan din, dan yang masih tersisa adalah kabupaten kota Surakarta yang wilayahnya terdiri dari 3 kawedanan yaitu kawedanan Kartasura, Sukohajo, dan Bekonang. Kotamadya Surakarta dinyatakan berdiri pada tanggal 16 Juni 1948. Selanjutnya berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor: 16lSD tanggal 15 Juli 1946 tentang penghapusan kabupaten Surakarta, maka ditetapkantah kabupaten Sukohajo yang wilayahnya meliputi kawedanan Sukohajo, kawedanan Kartasura dan kawedanan
*
Korn~sansBnggi daerah istimewa Yogyakarta dan Surakacta R . Pandji Soenxo menyetujui usul Badan Pekerp KNI Caerah mernbentuk Pernenntahan Direkbrium (PemDa Dati II Sukoharp. 1996).
Bekonang. Semenjak saat itu desa Joho yang termasuk wilayah kawedanan Bekonang menjadi bagian dari kabupaten Sukoharjo.
4.2. Perkembangan Faktor Penentu Modernisasi Pertanian Di Sukoharjo
Salah satu faktor penentu modemisasi adalah pembangunan jalan-jalan penghubung dan adanya alat transportasi yang lancar sampai ke pelosok desa. Dari ibukota propinsi Jawa Tengah, Semarang, pejalanan dengan bis menuju kabupaten Sukohajo dapat ditempuh, selama hampir 3.5 sarnpai 4 jam, melalui 2 route. Route pertama, turun di terminal Kartosuro (sebuah kota kecamatan yang merupakan transit pejalanan menuju Yogyakarta dan Surakarta), dan pindah naik bis-bis kecil menuju hampir di setiap kecamatan yang ada di Sukohajo. Atau route kedua, turun di terminal besar Surakarta dan pindah naik bis jutusan kabupaten Wonogiri yang selalu melewati kota kabupaten Sukohajo. Kabupaten Sukohajo secara administratif di sebelah utara berbatasan dengan kodya II Surakarta dan kabupaten Karanganyar, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Wonogiri dan propinsi Dl Yogyakarta, dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Klaten dan Boyolali. Luas wilayah kabupaten Sukohajo adalah 466,436 km2, terdiri dari 3 wilayah pembantu bupati dan 12 wilayah
kecamatan.
Berdasarkan topografinya.
kelerengan besar (lebih dari 40%) terletak di bagian selatan. yalu kecamatan Bulu, dan sebagian besar wilayah Sukohajo berada pada kelerengan 0-2%. Kabupaten Sukohajo dialiri sungai Bengawan Solo, Ranjing, Samin dan Dengkeng, Jlatah dan Brambang (anonim, 1993). Berdasarkan kebijaksanaan perwilayahan pembangunan di kabupaten Sukohajo, terdapat 6 sub wilayah pembangunan (tihat peta), dimana kecamatan Mojolaban (catatan : desa Joho termasuk dalam wilayahnya) merupakan sub wilayah pengembangan Ill dengan pusat pengembangan di kota Mojolaban. Kota Mojolaban mempunyai hubungan menuju 4 kota, yaitu : Surakarta, Sukohajo,
Polokarto, dan wilayah kabupaten Karanganyar. Dalarn ha1 kota Mojolaban, kecenderungan kearah kekotaan sangat besar, tetapi pertanian juga sangat potensial, wilayah pengamhnya potensial untuk kegiatan pertanian, industri dan pariwisata. Jarak dari ibukota kecarnatan Mojolaban ke ibukota kabupaten Sukoharjo adalah 17 krn, dengan luas 35.54 km2 dan ketinggian 104m diatas perrnukaan laut. Proses rnodernisasi di wilayah Sukohajo diientukan oleh perkembangan kependudukan, perubahan pola penggunaan lahan dan pertumbuhan ekonorni.
4.2.1. Perkembangan Kependudukan
Jurnlah penduduk kabupaten Sukohajo pada tahun 1994 mencapai 724.794 jiwa, terdiri dari lakilaki 356.481 jiwa dan perernpuan 368.313 jiwa. Tabel 4.1. Pertumbuhan Penduduk Absolut di Kabupaten Sukohajo dan Kecamatan Mojolaban, Tahun 1968 - 1994
Sumber: Sukohaj o dalarn Angka, Kantor Statistik Kab. Sukohaj o
Tingkat perturnbuhan penduduk di kabupaten Sukohatjo pada tahun 1994 sebesar 1.29%. Mernbanding dengan kecarnatan Mojolaban, jumlah penduduk pada tahun 1994 mencapai 62.485 jiwa yang terdiri dari laki-laki 30.418 jiwa dan perernpuan 32.067 jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk di kecarnatan Mojolaban pada tahun 1994 sebesar 3.19%. lebih tinggi dari pertumbuhan di tingkat kabupaten. Berdasarkan kepadatannya, dapat dilihat berdasarkan luas wilayahnya (kepadatan penduduk geografis) dan berdasarkan luas tanah terbangun (tanah pekarangan) sebagai berikut : Tabel 4.2.Kepadatan Penduduk Menurut Luas Wilayah dan Pekarangan di Kabupaten Sukohatjo dan Kecamatan Mojolaban, Tahun 1984 - 1993 Tahun L.Wil
Kabupaten Sukohajo 1 L.Pek I KPW I KPP
I I
L.Wil
Kecarnatan Mojolaban I L.Pek 1 KPW I KPP
1984
46.666
12.774
14
51
3.554
852
15
64
1989
46.666
13.182
15
52
3.554
935
16
62
1993
46.666
13.400
15
53
3.554
956
17
63
Surnber: Sukoharjo dalam Angka Kepadatan penduduk per luas wilayah di kabupaten Sukoharjo relatif tetap dari tahun 1984 - 1993 yaitu t5 jiwa per hektar, sedangkan di kecarnatan Mojolaban terus meningkat dari 15 menjadi 17
jiwa
per hektar. Sedangkan
berdasarkan luas lahan pekarangannya, maka kepadatan penduduk di kabupaten Sukoharjo terns meningkat dalam kurun waktu yang sama yaitu dari 51 menjadi 53 jiwa per hektar. Dalarn ha1 kepadatan penduduk per luas pekarangan di kecarnatan Mojolaban berubah dari 64 jiwa per hektar tahun 1984 menjadi 63 jiwa per hektar tahun 1993, tetapi relalif lebih padat bila dibandingkan dengan kabupaten Sukoharjo. Struktur penduduk di kabupaten Sukohajo menurut mata pencahariannya rnenunjukkan bahwa mayoritas penduduk masih bekerja di sektor pertanian. Perkernbangan struktur penduduk menurut mata pencaharian dari tahun 1984' sarnpai dengan 1993 rnenunjukkan pergeseran kesernpatan keja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
Di kabupaten Sukohajo jumlah petani terus menurun dari tahun 1984 sebesar 18.13% menjadi 14.15% pada tahun 1993. Sebaliknya jumlah buruh tani meningkat dari 24.73% pada tahun 1984 menjadi 28.40% pada tahun 1993. Tabel 4.3.
Penduduk Menurut
Mata
Pencaharian
Sukoharjo. 1984-1993
Sumbec Sukohajo dalam Angka dan Data Monografi Kecamatan
Di
Kabupaten
Hal ini berfangsung sejalan dengan semakin berkurangnya lahan pertanian dan beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Pergeseran dari sektor pertanian ke sektor non pertanian ditandai dengan makin banyaknya jumlah pengusaha (sektor industri) dan jumlah pegawai negeri (sektor jasa). Demikian pula di kecarnatan Mojolaban, dalarn kumn waktu yang sama jurnlah petani terus rnenurun dan sebatiknya jumlah b u ~ tani h terus meningkat (pada tahun 1993 sebesar 37.79% dari total penduduk berusia kerja). Pergeseran dari sektor pertanian lebih banyak terjadi ke sektor jasa (pegawai negeri). Tetapi secara keseluruhan sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja terbanyak (sebagai petani dan buruh tani) dari total penduduk berusia kerja.
4.2.2. Perubahan Penggunaan Lahan Berdasarkan data th 1994, penggunaan lahan kabupaten Sukoharjo seluas 46.666 Ha sebagian berupa tanah sawah 21.382 Ha (45.82%), dan tanah kering 25.284 Ha (54.18%). Penggunaan tanah kering tersebut mencakup : pekarangan, tegalan, waduk, hutan, perkebunan dan lain-lain. Penggunaan iahan untuk pertanian yang rnencapai 61.62% (sawah dan tegalan) menunjukkan bahwa sektor pertanian masih dorninan di kabupaten Sukoharjo. Tabel 4.4.
1
1
Perubahan Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukoharjo
1
93 21.658 46.41 25.008 Sumber Sukohajo dalarn Angka.
1
53.59
1
2.376
1
66.85
1
1.178
1
33.15
Membanding dengan kota kecamatan Mojolaban, luas daerah sebesar 3.554 Ha a sawah 2.334 Ha (65.67%). dan tanah kering 1.220 sebagian besar b e ~ p tanah Ha (34.33%). Penggunaan lahan untuk pertanian yang mencapai 2.630 Ha (74.21%) menunjukkan bahwa sektor pertanian masih sangat dorninan di kecamatan Mojolaban. Dari data tabel 4.4. terlihat bahwa lahan sawah di kabupaten Sukoharjo pada kurun waktu lima tahun (1989-1993) mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.157% per tahun. Sedangkan lahan sawah di kecamatan Mojolaban dalarn kurun waktu yang sama mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.21% per tahun. Berkurangnya luas iahan sawah tersebut karena terjadi perubahan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian, seperti terlihat pada tabel 4.5. Tabel 4.5. Perubahan Fungsi Lahan Pertanian Di Sukoharjo Tahun 1993 Kabupaten Sukoharjo Uraian Dari : sawah tegatan Ke : pe~mahan indusiri jasa Luas :
-
Kecamatan Mojolaban
Jml Bidang
Luas (Ha)
Jml Bidang
Luas (Ha)
198
29,057
17
4,029
29
6,404
207 14
29,120 3,748 2,594
13
2.929
4
1,100
6
I
46 dr Total Sumbec Sukoharjo dalarn Angka
0.12
0.17
Dari data tabel 4.5. terlihat bahwa perubahan fungsi penggunaan lahan dari pertanian (sawah dan tegalan) ke non pertanian (perumahan, industri dan jasa) sebesar 35,461 Ha (0.12%) di tingkat kabupaten Sukoharjo dan 4,029 Ha (0.17%) di tingkat kecamatan Mojolaban pada tahun 1993. Sebagian besar beralih fungsi menjadi lahan pemukiman penduduk.
..
I
4.2.3. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi di
kabupaten Sukoharjo
dapat dilihat
dari
perkembangan Produk Domestik Regional B ~ t (PDRB) o pada tabel 4.6. Perkernbangan ekonomi di kabupaten Sukoharjo dari tahun 1984 sampai tahun 1993 menunjukkan perubahan struktural dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Pertumbuhan perekonomian di kabupaten Sukohajo masih bertumpu pada sektor pertanian khususnya tanarnan pangan, tetapi peranannya selama 10 tahun (1984-1993) relatif semakin menurun. Sektor non pertanian yang sumbangannya semakin besar dalam
kurun waktu
yang sama
adalah
perdagangan, industri, pernerintahan dan bangunan. Jika dibagi menurut kelompok sektor, temyata kontribusi kelompok tersier (perdagangan, pengangkutan, bank. jasa) yang paling dominan, disusul kelornpok primer (pertanian, penggalian) dan kelompok sekunder (industri, listrik, bangunan). Tabel 4.6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sukoharjo Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 1984-1993 (Rp000.000,-)
Lainnya
Jumlah
1
24581,2 192108,O
1
12.83
100
1
51751.2 428213,s
1
12,02 100
1
74084,9
1
922
726463,l
100
Sumber: Pendapatan Regional Kabupaten Sukohajo. Kantor Statistik Sukohajo
Sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan (padi, palawija, sayuran dan
buah-buahan)
masih
rnemberikan
kontribusi terbesar
bagi
I
perekonomian di kabupaten Sukohajo. Dalam kurun waktu 5 tahun (19091993) kenaikan rata-rata luas panen padi sawah sebesar 0,7% per tahun, sedangkan rata-rata pertumbuhan produksinya sebesar 2.33%
per tahun. Dari seluruh
kecamatan di kabupaten Sukoharjo, kecamatan Mojolaban menempati posisi kedua setelah kecarnatan Sukohaj o dalarn ha1 luas panen dan produksi padi sawah, yaitu sebesar 5.960 Ha dan 39.098 ton pada tahun 1993.Bila dikaitkan dengan tingkat swasembada beras, yaitu tercukupinya konsumsi beras dari produksi di wilayah sendiri dengan standar nasional 130 kglkapita/tahun, rnaka pada tahun 1993 kabupaten Sukoharjo telah rnampu mencapai swasembada beras, bahkan tejadi surplus sebesar 87.357.4ton (PemDa IISukoharjo, 1995). Disamping rnenitikberatkan sektor pertanian, sektor industri juga merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi di kabupaten Sukoharjo. Perindustrian di kabupaten Sukohajo didorninasi industri tekstil, sedangkan kegiatan lainnya merupakan industri rumahtangga. Tabel 4.7.Jumlah lndustri di Kabupaten Sukohajo dan Mojolaban tahun
1993
Sumber. Dinas Perindustrian Kabupaten Sukohaj o , 1995 lndustri besar di kabupaten Sukoharjo didominasi oleh indusbi tekstil. disusul industri makanan dan industri kayu, alat rumahtangga dari kayu. Di Mojolaban indusbi kecil didominasi oleh industri makanan, disusul industri kayu dan tekstil.
4.3. Posisi Desa Joho Dalam PerekonomianWilayah Menuju kota kecamatan Mojolaban dapat dijangkau melalui kota Surakarta maupun kota Sukoharjo yang dihubungkan dengan jalan kabupaten. Fasilitas transportasi umum dalam kota kecamatan terlayani oleh kendaraan angkutan umum lokal seperti becak, dokar dan 'colt station', disamping kendaraan pribadi (roda 4 maupun roda 2). Sedangkan angkutan antar kota dilayani oleh bus/micro bus dan 'station wagon'. Angkutan umum jalur Mojolaban
-
Palur selalu rnelalui
desa Joho, meskipun kendaraan hanya berhenti di gapura desa Joho, sedangkan untuk keluar masuk desa Joho hams menggunakan kendaraan pribadi (sepeda. sepeda motor, mobil) atau bejalan kaki. Kota kecamatan Mojolaban dalam kedudukannya sebagai kota Sub Wilayah Pembangunan Ill menurut RTRW kabupaten Sukoharjo, memiliki fungsi atau pola pemanfaatan ruang sebagai berikut : pusat pemerintah pembantu bupati, pusat sub wilayah pengembangan Ill, pusat pemerintah Cngkat kecamatan, pengembangan pelayanan sosial
ekonomi dan jasa
Cngkat
kecamatan,
pengembangan
perdagangan, pengembangan home industri (genteng). Kota kecamatan Mojolaban merupakan salah satu bagian wilayah kabupaten Sukohajo yang berbatasan langsung dengan Kodya Dati II Surakarta, sebagai pintu gerbang dari arah timur (Surabaya). Letaknya yang strategis tersebut telah menumbuhkan kegiatan perekonomianyang sangat pesat di bidang perdagangan, jasa dan industri. Namun sampai saat ini kecamatan Mojolaban masih merupakan daerah penyangga utama pertanian di kabupaten Sukohajo. Potensi utama yang dikembangkan di kecamatan Mojolaban adalah : pertanian (sawah teknis), industri kerajinan (genteng, bata, garnelan, alkohol, batik), industri kecil dan perdagangan. Sedangkan sasaran pembangunan yang diprioritaskan adalah : bidang pemerintahan, bidang pertanian (dalam arti luas), jalur-jalur transportasi, pengembang lingkungan, pengembang fasilitas dan prasarana (sosial, ekonomi, budaya), sumberdaya manusia (Pemda Skh, 1990).
lbukota kecamatan Mojolaban terletak di sebelah timur laut kabupaten Sukohajo, dengan jarak 10 km dari kota Sukoharjo atau 10 km dari kota Surakarta. Berdasarkan fungsinya sebagai serambi kota Sukohajo serta melihat potensi yang dapat dikembangkan maka dalam RUTRK (1990) disebutkan bahwa wilayah kecamatan Mojolaban yang terdiri dari 15 desa dibagi menjadi 2 wilayah. yaitu wilayah kota Mojdaban dan wilayah desa di luar kota Mojolaban. Secara administratif desa yang masuk ke dalam wilayah kota Mojolaban meliputi 6 desa, yaitu: Bekonang. Cangkol, Klumprit, Demakan, Wirun dan Dukuh, yang berbatasan (1)sebelah utara, desa Palur dan desa Joho. (2)sebelah timur, desa Kragilan dan wilayah kecarnatan Polokarto; (3)sebelah selatan, wilayah kecamatan Polokarto; (4)sebelah barat, desa Plumbon dan Laban. Desa di luar kota Mojolaban: Sapen, Tegalmade, Kragilan, Laban, Plumbon, Gadingan, Palur. Joho, dan Triyagan. Desa Joho terdiri dari lima kedusunan. Dusun I merupakan gabungan dukuh Jatimalang dan Jatirejo (2RW, 9 RT), dusun II rne~pakangabungan dukuh Joho dan Dungunut (ZRW, 9 RT), dusun Ill merupakan gabungan dukuh Kriyan, Durenan, Sanggrahan. Kedusan (2RW, 4 RT), dusun IV merupakan gabungan dukuh Ngablak, Kadrengan, Tempel, Ngunut. Margorejo (2RW, 9RT). Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Joho dapat digambarkan sebagai berikut Dusun Ill me~pakandusun paling terbelakang ('asor') dan sebagian besar penduduknya miskin (buruh tani, tukang). Dusun ini relatif terpencil karena letak tanahnya miring, d e b t sungai, banyak pohon bambu dan jauh dari keramaian. Dusun lainnya relatif lebih baik dan banyak pegawai negeri. Dusun It merupakan dusun yang 90% penduduknya mernbuat batu bata merah. Mereka umumnya bekeja sebagai petani kecil (memiliki 2-3 patok), tetapi pekerjaan utamanya membuat bata ("berani menjual sapi untuk rnembeli tanah sebagai bahan pembuat bata") sedangkan bekej a di sawah untuk sambilan.
4.3.1. Ketersediaan Lahan Proses modemisasi di kecarnatan Mojolaban ditandai oleh pertumbuhan kegiatan perekonomian di bidang perdagangan, jasa dan industri. Hal ini membutuhkan lahan kering untuk pembangunan pasar, kantor, tempat usaha dan perurnahan.
Bedasarkan data pada tabel 4.8 nampak bahwa telah terjadi perubahan alih fungsi lahan dari tanah sawah ke tanah kering, Dari total luas wilayah kecamatan Mojolaban, maka wilayah kota (terdiri dari 6 desa) menempati sekitar 40%. sedangkan wilayah desa (terdiri dari 9 desa) menernpati 60%nya. Perubahan alih fungsi lahan dari tanah sawah ke tanah kering lebih nampak di wilayah desa. Secara keseluruhan, luas tanah sawah mengalami penurunan pada tahun 1989 dan bertambah lagi pada tahun 1993. Desa Joho dengan luas wilayah 343.3800 Ha, sekitar 253.8466 Ha digunakan untuk areal persawahan beririgasi teknis dari dam Colo. Dengan hasil padi yang dapat dipanen 3 kali setahun, desa Joho merupakan salah satu lumbung padi bagi kabupaten Sukohajo. Pada musim kemarau, beberapa petani juga menanam tanaman sayuran seperti melon dan cabe, tetapi kebanyakan dimodali oleh orang luar sebagai penyewa tanah, sementara mereka hanya sebagai penggarap atau buruh taninya. Tanarnan tebu sama sekali tidak ditanam lagi karena petani merasa rugi.
4.3.2. Peningkatan Kesempatan Kerja
Perkembangan penduduk menurut mata penmhariannya di wilayah kecamatan Mojolaban, juga menujukkan masih dominannya sektor pertanian sebagai penyerap tenaga keja. Meskipun demikian telah teqadi pergeseran kesempatan keja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Data pada tabel 4.9 menunjukkan bahwa telah tejadi pembahan mata pencaharian penduduk dalam kurun waktu 10 tahun (1984-1993) baik di wilayah kota maupun wilayah desa kecamatan Mojolaban. Di sektor pertanian, jumlah petani semakin berkurang dan sebaliknya jumlah buruh tani semakin bertambah. Hal ini terutama tejadi di wilayah desa dibandingkan di wilayah kota. Di wilayah desa, selain sektor pertanian maka sektor non pertanian (buruh industri, buruh bangunan, pedagang dan pegawai negeri) semakin menguat peranannya dalam menyerap tenaga kerja. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah buruh industri,
buruh bangunan dan pedagang relatif lebih banyak di wilayah kota dibandingkan di wilayah desa. Sebaliknya jumlah pegawai negeri relatif lebih banyak di wilayah desa dibandingkan dengan wilayah kota di kecamatan Mojolaban. Tabel 4.9. Penduduk Menurut Mata PencaharianTahun 1984-1993
Sumber: Rekap. Monografi Data StatislDinamis Kec. Mojolaban Berdasarkan kepemilikan lahan, petani desa Joho rata-rata hanya memiliki
1-2 patok sawah (1 patok seluas 2850m2), meski ada juga petani yang memiliki 10 patok. Untuk menwkupi kebutuhan hidupnya, petani memiliki beragam natkah ganda. Meskipun seluruh anggota keluarga terlibat, membuat bata merah terutama dilakukan oleh ibu-ibu. Pekejaan nafkah lainnya yang dilakukan bapak adalah memelihara sapi (untuk tabungan), kaum ibu bejualan (tahu, ayam, jamu, sayuran) dan melakukan usaha pembuatan emping, tempe, tauge, dan anyaman tikar. Peluang kerja bagi remaja (pria dan wanita) adalah menjadi buruh pabrik yang banyak tumbuh disepanjang jalan Palur-Karanganyar.
4.4. Pelapisan Masyarakat Desa Berdasar Kesejahteraan
Karakteristik kesejahteraan yang dikaji mencakup: drajadi kedudukan (kurnulatif dari politik, sosial dan ekonomi), pernilikan harta benda dan pendidikan.
Dari ketiga
indikator besar tenebut
kemudian dilakukan
penggolongan kesejahteraan keluarga Jawa secara rnateri menjadi 3 golongan: rnulyo (sernbodo), cukupan (biasa), dan kesrakat (rnenderita).
4.4.1. Drajad (kedudukan) Kepala Keluarga di Masyarakat
Golongan priyayi adalah rnereka yang berkedudukan sebagai pejabat desa. Jurnlah kepala keluarga yang rnenduduki elite politik atau menjadi pejabat dalarn struktur otoritas desa relatif sedikii. Sebagian besar kepala keluarga lainnya adalah rakyat desa atau wong cilik (Tabel 4.10). Golongan elite politik desa rnencakup: anggota inti dan bukan inti parnong desa, anggota lembaga pendukung (seperti LKMD, P3A), dan bekas anggota inti parnong desa. Di dusun Ngablak dan Jatirnalang relatif lebih banyak kepala keluarga yang berkedudukan sebagai anggota lernbaga pendukung pernerintahan desa, sedangkan anggota inti pamong desa relatif lebih banyak berdomisili di dusun Canden sebagai pusat pemerintahan desa.
Tabel 4.1 0. Frekuensi dan Persentase Kepala Keluarga Menurut Drajad
Bawah Total
116 142
38 100
122 148
45 128 100 160
46 117 100 142
40 122 100 146
48 1105 100 1238
44 100
Sebagian besar keluarga di desa Joho adalah keluarga lapisan sosial bawah atau merupakan penduduk biasa (Tabel 4.10)
Diantara ke lirna
kedusunan di Joho maka keluarga pada lapisan sosial atas relatif lebih banyak terdapat di dusun Jatimalang. Kriyan dan Ngablak. Sedangkan keluarga lapisan sosial bawah lebih banyak terdapat di dusun Canden dan Joho. Berdasarkan pelapisan sosial tersebut, kepala keluarga lapisan sosial atas di masyarakat berkedudukan sebagai tokoh termuka seperti: tokoh agama, tokoh adat. tokoh pendidikan. Secara keseluruhan sebagian besar keluarga desa Joho masih berada pada lapisan ekonorni bawah, dan sekiir 14% yang berada di lapisan ekonomi atas (Tabel 4.10). Bila membanding antar kedusunan, nampak bahwa keluarga lapisan ekonomi bawah lebih banyak terdapat di dusun Kriyan, Canden dan Joho, sedangkan keluarga lapisan ekonomi atas lebih banyak terdapat di dusun Jatimalang. Bila dilihat berdasarkan jenis pekejaannya, kepata keluarga yang tergolong pada lapisan ekonomi atas rnemiliki pekejaan sebagai: petani menengah dan besar (210.5 Ha), sedangkan kepala keluarga lapisan ekonomi menengah rnemiliki pekejaan sebagai: pegawai negeri, petani kecil dan gurem
(4.5 Ha), pengusaha dan pedagang, karyawan swasta. Kepala keluarga lapisan ekonomi bawah umurnnya bekej a sebagai: tunakisma buruh tani, buruh industfi dan buruh bangunanltukang dan pedagang kecil (bakul). Berdasarkan penggabungan (kurnulatif) dari ketiga pelapisan tersebut (ekonomi, sosial dan politik) maka penggambaran dari drajad (kedudukan) kepala keluarga di masyarakat desa Joho dapat dikemukakan pada tabel 4.11. Sebagian (57%) kepala keluarga di desa Joho memiliki drajad (kedudukan) pada lapisan bawah dalam rnasyarakatnya, disusul lapisan menengah. dan baru sekiar 16% yang sudah rnarnpu rnenduduki lapisan atas dalam masyarakatnya. Dari lima kedusunan di desa Joho maka kepala keluarga yang berkedudukan pada lapisan atas relatif lebih banyak terdapat di dusun
Jatimalang, lapisan menengah di dusun Ngablak dan Joho, sedangkan lapisan bawah lebih banyak terdapat di dusun Canden dan Kriyan.
Tabel 4.11. Frekuensi dan Persentase Kepala Keluarga Menurut Drajad (Kedudukan) Kumulatif dan Wiiayah Dusun I Jatimalana I Joho I Krivan I Canden 1 Naablak I Total I Frek %" Frek % ~ r i k % Frek % ~ k k96 Frek % 37 16 6 14 10 24 6 12 6 10 9 20 Atas 65 27 14 30 10 17 14 29 28 24 Menengat) 10 24 136 57 37 62 28 59 26 62 23 50 Bawah 22 52 Total 42 100 48 100 60 100 42 100 46 100 238 100
/ Draiad -
Berdasarkan drajad (kedudukan) di dalam masyarakat, maka kepala keluarga yang berada pada lapisan atas menduduki posisi pent~ngdi ketiga atau dua bidang kehidupan yaitu polrtik, sosial dan ekonomi. Mereka inilah yang termasuk dalam golongan priyayi maju dan wong cilik (petani) maju. Misalnya, seorang kepala keluarga yang bekeja sebagai pegawai negeri, menjadi tokoh pendidikan dan menjadi ketua LKMD akan sangat dihormati di masyarakatnya. Kepala keluarga yang berada pada lapisan menengah menduduki salah satu posisi penting di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Mereka inilah yang terrnasuk dalam golongan priyayi rnumi dan wong cilik (petani) mumi. Sedangkan kepala keluarga yang berada pada lapisan bawah tidak memiliki satupun posisi penting di ketiga bidang tersebut. Mereka inilah yang termasuk dalarn golongan wong cilik (petani) semu. Misalnya, seorang kepala keluarga yang berkeja sebagai buruh, penduduk biasa (bukan tokoh) dan rakyat desa (bukan elite poliik). Secara keseluruhan ha1 ini dapat diartikan bahwa pada masyarakat Jawa seseorang haws memiliki kedudukan (atribut) supaya menjadi orang yang berguna dan dihormati di masyarakat. Meskipun seseorang berada pada lapisan bawah, tetapi masih merniliki pekejaan (kedudukan ekonomi), sebagai buruh rnisalnya, akan lebih berguna dan dihormati daripada seorang pengangguran. Dengan kata lain status bekeja memiliki makna penting sebagai simbol dasar drajd (kedudukan) seseorang dalam masyarakat Jawa.
4.4.2. Pemilikan Harta Benda dalam Keluarga
Dalam rnasyarakat Jawa sirnbol dari kesejahteraan rnateri yang berwujud pernilikan harta benda adalah: pernilikan tanah, bentuk rumah dan pemilikan alat transportasi, serta pemilikan alat hiburan.
50
Tabel 4.12. Frekuensi dan Persentase Keluarga Menurut Pemilikan
Rata-rata pernilikan tanah pekarangan (termasuk didalamnya bangunan rumah) sebuah keluarga di desa Joho adalah seluas 541 m2 (tabel 4.12).
Dibandingkan dulu saat p e ~ b a h a nstatus hak garap tanah sawah milik kraton rnenjadi hak rnilik petani, dimana setiap petani juga rnendapatkan tanah pekarangan untuk didiarni seluas 2800 rn2, maka rata-rata luas pemilikan tanah 50
Wawmcaa dempn Pak Sltardi.takoh adst. i9 Nopenber 4 8 9 6 . Ki*eria W u h a n WsW?eammg t a w Jawa dalam membentuk ke*larga :Idsmo wismo (Mlah),tuongeo (& bansportasi) I dan laldb (alat
hiburan).
w).
pekarangan saat ini sudah sangat mengecil. Hal ini terjadi karena sistem pewarisan tanah yang masih terus berlangsung. Selain tanah sawah maka tanah pekaranganpun juga dibagikan merata kepada anak-anaknya. Pemilikan tanah pekarangan rnerupakan salah satu syarat bagi berdirinya sebuah rumah, dan menandai pengakuan terbentuknya sebuah keluarga baru. 51 Berdasar rata-rata total luas tanah pekarangan di desa Joho, maka relatif sebagian besar keluarga memiliki tanah pekarangan seluas di bawah rata-rata tersebut. Keluarga yang paling banyak memiliki tanah pekarangan seluas di atas rata-rata total adalah mereka yang berdornisili di dusun Ngablak. Sedangkan keluarga yang paling banyak memiliki tanah pekarangan seluas di bawah rata-rata total adalah mereka yang berdornisili di dusun Jatimalang. Dusun Jatimalang yang terletak didekat jalan raya merupakan wilayah yang relatif lebihcepat berkembang dibanding dusun-dusun lainnya. Banyak pegawai negeri tinggal di dusun tersebut dan membangun rumah loji (tembok) model perurnahan tipe 36. Tidak semua keluarga di desa Joho menempati ~ m a milik h sendiri. Ada sekitar 4% yang masih menempati rumah milik orangtuanya (tinggal bersarna orangtuanya) atau menempati rumah kerabatnya yang kosong. Berdasarkan luas lantai (bangunan) rumah, rata-rata luas lantai rumah sebuah keluarga di desa Joho adalah 244 rn2. Jika rata-rata anggota rumahtangga sebesar 5jiwa, maka rata-rata luas lantai rumah per jiwa adalah 49 m2. Jauh lebih besar dari persyaratan sebuah keluarga yang termasuk dalam KS I, yaitu seluas 9 m2 per jiwa (menurut BKKBN). Dernikian pula, ternyata tidak sernua keluarga yang memiliki rurnah sendiri telah membangun rumahnya di atas tanah pekarangan milik sendiri. Ada sekitar 12% keluarga yang rnembangun rumahnya di atas tanah milik kerabatnya (menumpang). Selain luas pemilikan tanah pekarangan maka bentuk bangunan rurnah merupakan salah satu ciri penentu kesejahteraan materi yang benrmjud harta Di desa Joho. setelah maknya meribh, m&a aangtua akan berusaha membangunkan sebuah nm!ah bagi analmya. JW Wak bisa, paling lid& sudah -n sebkhg pekarangan d m mnli analmya yang
.
benda ('bondo') bagi keluarga Jawa. Bentuk-bentuk rumah yang ada di desa Joho adalah: joglo, limasan dan loji. Bentuk rumah joglo merupakan bentuk rumah yang paling kuno, bagian-bagian bangunannya berorientasi pada bentuk kraton. Ciri khas utama adalah memiliki pendopo di bagian depan rumah dan didominasi bahan dari kayu. Bentuk limasan merupakan bentuk rumah yang lebih sederhana, masih mengacu pada bentuk joglo tetapi tanpa pendopo. Bahan bangunan limasan merupakan campuran kayu dan tembok. Sedangkan bentuk loji merupakan bentuk rumah model baru, sepetti bangunan perumahan di perumnas, bahan bangunan utama dari batu bata (tembok). Ciri khasnya adalah adanya pembagian yang tegas antar ruangan dan fungsinya: ruang tidur, mang makan, ruang tamu. Sebagian besar bentuk ~ m a keluarga h di desa Joho adalah lirnasan. Bentuk rumah tersebut juga mencerminkan status dari sebuah keluarga. Artinya sebagian besar keluarga di desa Joho adalah lapisan menengah ke bawah. Ada sekitar 9% keluarga yang rnasih memiliki rumah berbentuk joglo. Mereka ini biasanya disebut ketu~nankeluarga kaya kuno (lapisan atas). Sedangkan bentuk tumah loji, terdapat sekitar 32 % keluarga, merupakan cerminan dari keluarga kaya baru, yang berasal dari lapisan menengah ke atas. Pada bentuk rumah loji maka ukuran kekayaan seseorang teriihat dari ukuran besamya bangunan wmah dan kualitas bahan-bahannya. Di desa Joho masih ada sekitar 1% keluarga yang memiliki rumah gubuk (tabel 4.12) Bahan pembentuk bangunan rumah. seperti: jenis dinding. jenis atap, jenis lantai serta fasilitas petumahan seperti: surnber penerangan, fasilitas dan sumber air minum, fasilitas ternpat buang air besar relatif hampir sama diantara keluarga di desa Joho. Sebagian besar (95%) rumah mereka sudah berdinding (dominan) tembok dan beratap genteng. Dalam ha1jenis lantai, sebagian besar (62%) beriantai ubinl tegel, 21% berlantai semen1 bata merah dan 11% berlantai marrnerfkeramik. Sisanya (6%) adalah keluarga yang rumahnya masih berlantai tanah. Tetapi tidak selalu bahwa lantai tanah mencerrninkan keluarga miskin, attinya selain berumah
gubuk (berdinding bambu) juga berlantai tanah. Oi desa Joho juga dijumpai keluarga yang memiliki bentuk rumah loji atau lirnasan (relatif keluarga lapisan menengah) masih berlantai tanah. Alasannya adalah bahwa membangun lantai (di semen atau di ubin) merupakan tahap terakhir pembangunan sebuah rumah. Pemilikan alat transportasi dan alat hiburan 'merupakan ciri penentu terakhir dari kesqahteraan materi berwujud hafta benda ('bondo')
dalam
keluarga Jawa. Pemilikan alat transpottasi sepeda dan sepeda motor bagi sebuah keluarga di desa Joho sudah mekpakan ha1 yang biasa (umum). Alat transportasi tersebut sudah menjadi kebutuhan pokok untuk mendukung anggota keluarga mencari nafkah. Untuk ke sawah mereka memilih menggunakan sepeda, sedangkan anak muda bekeja di pabrik akan lebih bergengsi menggunakan sepeda motor ketimbang sepeda saja. ~ e & r a keseluruhan sebagian besar keluarga di desa Joho sudah memiliki alat transportasi sepeda dan sepeda motor (tabel 4.12). Selain itu ada sebagian kecil keluarga yang memiliki sepeda dan mobil (5%) serta sepeda, sepeda motor dan mobil (9%). Mereka yang memilki mobil lebih banyak digunakaq untuk sarana usaha (mengangkut batu bata, hasil panen padi) atau untuk disewakan daripada untuk kepentingan pribadi. Pemilikan alat hiburan seperti radio, tape dan televisi sudah merupakan kebutuhan pokok bagi keluarga di'desaJoho. Sebagian besar (81%) keluarga di desa Joho sudah memilikinya. Selain sebagai hiburan juga merupakan sarana untuk mendapatkan informasi dan menambah pengetahuan. Berdasarkan wujud pemilikan harta bendanya ('bondo') maka secara kumulatif dari ciri luas pemilikan tanah pekarangan, bentuk rumah, pemilikan alat transportasi dan alat hiburan, keluarga dapat digolongkan ke dalam: kaya, sedan@wkupan dan melaratl miskin (tabel 4.13). Sebagian besar (76%) keluarga di desa Joho temyata berada pada golongan sedanglwkupan. Artinya, kesejahteraan materi dalam wujud pemilikan harta benda dicirikan oleh: luas pemilikan tanah pekarangan di bawah rata-rata umumnya keluarga (sekitar 541 m2). memiliki bentuk rumah lirnasan
atau loji, memiliki alat transportasi sepeda dan sepeda motor, dan memili alat hiburan berupa radio, tape dan televisi.
Tabel 4.13. Frekuensi dan Persentase Keluarga Menurut Pemilikan
Ada sekitar yak
9 % keluarga di Joho yang berada pada golongan kaya,
keluarga yang bercirikan: luas pemilikan tanah pekarangan di atas rata-
rata, memiliki rumah berbentuk joglo atau loji (berukuran besar). alat b-ansportasi berupa sepeda, sepeda motor dan mobil, serta memiliki alat hiburan radio, tape dan televisi. Selain itu masih ada pula sekitar 15% keluarga di desa Joho yang merupakan golongan melarat Mereka adalah keluarga yang bercirikan: luas pemilikan tanah pekarangan di bawah rata-rata, memiliki ~ m a h berbentuk limasan atau gubuk, alat b-ansportasi berupa sepeda saja dan alat hiburan berupa radio saja.
4.4.3. Pendidikan Kepala Keluarga Selain ditentukan oleh drajad (kedudukan) kepala keluarga dan pemilikan harta benda ('bondo') keluarga, maka kesejahteraan materi keluarga di Joho juga ditentukan oleh tingkat pendidikan kepala keluarga (tabel 4.14). Tabel 4.14. Frekuensi dan Persentase Keluarga Menurut Pendidikan dan
Kepala keluarga di desa Joho rata-rata menempuh pendidikan formal selama 6.4 tahun atau setara dengan tarnat SD. Sebagian besar (69%) kepala keluarga hanya menempuh pendidikan formal di bawah rata-rata tersebut. Artinya, mereka tidak pemah menamatkan pendidikan Sekolah Dasamya (6 tahun). Meskipun demikian pernah diadakan kursus pemberantasan buta huruf dan diadakan ujian kesetaraan setingkat SD'~. Bila membanding antar kedusunan maka rata-rata lama pendidikan formal kepala keluarga tertinggi di dusun Jatimalang (6.9 tahun) dan Ngablak (6.7 tahun). Meskipun secara keseluruhan sebagian besar keluarga di setiap dusun relatif hanya menempuh pendidikan formal di bawah rata-rata, tetapi di dusun Jatimalang ada sekitar 7% dan di dusun Ngablak 9% kepala keluarga yang menempuh pendidikan formal selarna lebih dari 12 tahun. Artinya, mereka sudah menarnatkan pendidikan SMA dan menempuh pendidikan tingkat sajana atau lulus sajana.
4.4.4. Tingkat Kesejahteraan Keluarga dan Faktor Yang Menentukan
Berdasarkan tingkat kesejahteraannya, ada sekitar 15% keluarga yang sudah tergolong mulyo ('sembodo'). Keluarga itu bercirikan: berkedudukan (drajad) tinggi, kaya ('sugih') harta benda dan berpendidikan tinggi. Misalnya: seorang pegawai negeri sekaligus tokoh agarna dan pejabat desa, memiliki tanah pekarangan luasnya 2500 m2 dan rumah berbentuk joglo,
pernah
mengenyam pendidikan universitas.
Tabel 4.15. Frekuensi dan Persentase Keluarga Menurut Tingkat
52
Wamancara dengan Mbsh Atmo S ~ QPensknan , Guu, 2 . 3 Maet 1997
Sebagian besar keluarga
temyata berada pada golongan wkupan
(biasa). Selain itu 11% keluarga rnasih termasuk dalam golongan kesrakat (menderita), yang bercirikan: berkedudukan (drajad) bawah, melarat Ckere') harta benda dan berpendidikan rendah. Misalnya: buruh tani, penduduk biasa, rnemiliki tanah pekarangan seluas 200 m2 dan rurnah berbentuk lirnasan, berpendidikan tidak tamat SD. Jika membanding kedusunan, keluarga golongan mulyo banyak terdapat di dusun Ngablak, disusul Jatimalang dan
relatif lebih Canden.
Sedangkan keluarga yang tergolong kesrakat relatif lebih banyak terdapat di dusun Kriyan dan Joho. Perkernbangan di kedua dusun tersebut rnernang relatif lebih lambat ketimbang ketiga dusun lainnya. Faktor yang rnenentukan pembentukan tingkat kesejahteraan keluarga jika dikaji menurut perkernbangan keluarga itu sendiri mencakup: umur kepala keluarga, jumlah anak yang lahir hidup, dan kompleksitas pola hubungan. Selain itu sumberdaya ekonorni (modal) juga dikaji mencakup: luas total milik sawah dan luas total garapan sawah. Berdasarkan urnur kepala keluarganya, maka keluarga di Joho dapat digolongkan kedalam: keluarga lansia (urnur kepala keluarga lebih atau sama dengan 60 tahun), keluarga dewasa (umur kepala keluarga antara 36
- 59
tahun) dan keluarga muda (umur kepala keluarga kurang atau sarna dengan 35 tahun). Jika membanding antar keluarga tersebut, maka golongan keluarga dewasalah yang relatif lebih banyak (20%)
sudah mencapai tingkat
kesejahteraan tertinggi (mulyo). Hal ini disebabkan pada keluarga dewasa. baik kepala keluarga maupun anggota keluarga lain (anak-anaknyaf berada pada umur yang paling produktif dan umumnya sudah memasuki angkatan keja. Urutan kedua adalah pada golongan keluarga muda, meskipun kepala keluarga rnerupakan tenaga kerja produktif tetapi anak-anaknya rnasih berada pada usia sekolah sehingga tidak sepenuhnya dapat menyurnbangkan tenaganya untuk kegiatan mencari nafkah. Selain itu kepala keluarganya belurn banyak
menempati posisi penting dalam rnasyarakat (kegiatan sosial maupun politik). Dalam ha1 keluarga lansia, relatif lebih banyak (13%) rnenernpati posisi golongan bawah (kesrakat) dibanding kedua golongan keluarga lainnya. Hal ini d~sebabkananggota keluarga lansia urnurnnya kembali berdua (suarni-istri), sehingga secara ekonomi mereka akan mengalami penurunan, meskipun secara sosial masih dapat menempati posisi penting dalam masyarakat.
Tabel 4.16. Hubungan antara Perkembangan Keluarga dengan Tingkat
Berdasarkan ukuran jurnlah anak yang lahir hidup dapat digolongkan ke dalam: keluarga kecil-(2 anak), keluarga sedang (3-5 anak) dan keluarga besar (lebih dari 5 anak). Jika membanding antar golongan keluarga tersebut, maka relatif lebih banyak keluarga kecil (14%) dan keluarga sedang (17%) yang sudah dapat rnencapai tingkat kesejahteraan tertinggi (mulyo) dibandingkan pada golongan keluarga besar. Hal ini rnenunjukkan kecenderungan bahwa jurnlah anak menentukan perkembangan kesejahteraan rnateri sebuah keluarga. Datam ha1 keluarga besar, nampak kecenderungan bahwa mereka relatif lebih banyak (16%) masih berada pada posisi lapisan bawah (golongan kesrakat) dibandingkan keluarga kecil dan sedang (tabel 4.16).
Berdasarkan kornpleksitas pola hubungan keluarga, maka keluarga di desa Joho dapat digolongkan ke dalarn bentuk keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti adalah keluarga dimana interaksi sosial yang berlangsung lebih intensif tejadi diantara anggota keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah). Terrnasuk didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan keluarga lebih banyak dilakukan oleh anggota keluarga inti tersebut Pada urnumnya jika sebuah rurnahtangga hanya terdiri dari ikatan kekerabatan: ayah, ibu dan anakanak yang belum rnenikah (diluar non kerabat yang menurnpang), maka keluarga tersebut disebut sebuah keluarga inti. Sedangkan bila dalarn sebuah rurnahtangga selain terdapat keluarga inti juga terdapat kerabat lain seperti : nenek-kakek, war, keponakan, adik maka keluarga tersebut disebut sebagai keluarga luas. Dalam keluarga luas rnaka interaksi sosial dan pernenuhan kebutuhan keluarga lebih banyak terjadi diantara anggota keluarga luas tersebut Jika mernbanding antara kedua bentuk keluarga tersebut, maka di desa Joho relatif lebih banyak (18%) keluarga luas yang sudah mencapai tingkat kesejahteraan tertinggi (rnulyo) dibandingkan keluarga inti. Hal ini menunjukkan kecenderungan bentuk keluarga luas masih lebih marnpu rnendukung sebuah keluarga untuk rnencapai kesejahteraan dibanding keluarga inti. Keluarga inti di desa Joho relatif masih lebih banyak (87%) berada pada golongan kesrakat. Pemilikan dan penguasaan lahan sawah rnerupakan surnberdaya ekonomi (modal) bagi keluarga di daerah pertanian. Di desa Joho pemilikan lahan sawah tersebut sebagian besar masih diperoleh rnelalui sistem pewarisan.
Hubungan antara
pemilikan lahan
sawah dengan tingkat
kesejahteraan keluarga dapat dilihat pada tabel 4.17. Tabel 4.17. Hubungan antara Pemilikan Lahan Sawah dan Tingkat
Berdasarkan pemilikan lahan sawah sebagai surnberdaya ekonorni (modal), narnpak kecenderungan bahwa semakin luas lahan sawah yang dimiliki semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan sebuah keluarga. Keluarga yang rnemiliki lahan seluas lebih dari 1 Ha relatif paling banyak (28'30) berada pada golongan mulyo, disusul keluarga bedahan seluas 0.50.99 Ha dan keluarga berlahan seluas 0.250.49 Ha, sebaliknya golongan kesrakat relatif lebih banyak
(25%) terdapat pada keluarga yang hanya memiliki lahan sawah seluas 0.010.24 Ha. Fenomena yang menarik adalah bahwa pada keluarga yang tidak merniliki lahan sawah temyata juga ada (14%) yang mencapai tingkat kesejahteraan tertinggi (rnulyo). Hal ini menunjukkan bahwa di desa Joho, tingkat kesejahteraantidak hanya ditentukanoleh modal bempa pernilikan lahan sawah tetapi juga modal kerja (uang) untuk berusaha di luar pertanian.
4.5. Ringkasan: Proses Modernisasi dan Pelapisan Kesejahteraan Masyarakat Desa Ciri fisik rnodemisasi di desa Joho d i i k i l i oleh: pembangunan jalanjalan penghubung dan adanya alat b-ansportasi yang lancar sampai ke pelosok desa, pembangunan saluran irigasi dan kehadiran teknologi pertanian yang baru terrnasuk peralatan pertanian serba mesin. Perkernbangan perekonornian yang mengikuti proses modernisasi ditunjukkan melalui perubahan penggunaan lahan untuk industri dan pendirian pabrik, pergeseran kesernpatan kerja dari sektor pertanian ke non pertanian, dan sumbangan sektor non pertanian yang semakin besar pada pertumbuhan e k o m i . Seiring
dengan
berlangsungnya
proses
rnodernisasi, pelapisan
kesejahteraan masyarakat desa menunjukkan semakin menguatnya ukuran kesejahteraan berdasar kondisi obyektif seseorang. Tingkat kesejahteraan keluarga tidak lagi dilihat hanya berdasar status sosialbudayanya (priyayi atau wong cilik) tetapi perlu didukung oleh penguasaan harta benda (pembendaan) dan pendidikan sebagai jalan untuk menguasai alam kebendaan.