Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
PENDEKATAN FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM Oleh: Abd. Gafur.1 ABSTRAK Munculnya pembelaan kaum perempuan seperti yang dilakukan kaum feminis Islam untuk membebaskan diri dari persepsi yang menunjukkan posisi inferior perempuan atas laki-laki. Salah satu bentuk protesnya adalah kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik alQur’an maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Padahal agama hadir adalah untuk kesejahteraan pemeluknya Islam sebagai agama rahmatan lili alamin (agama yang menebar rahmat bagi alam semesta), salah satu bentuk dari rahmat tersebut adalah pengakuan terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki PENGANTAR Sebagai makhluk ciptaan tuhan yang maha Esa, dengan segala pesona, kelembutan dan keindahan yang tidak dimiliki oleh mahkluk selainnya telah memberikan nilai lebih pada seorang wanita. Meskipun di lain pihak seorang wanita sering dijadikan objek dalam segala hal. Bahkan wanita diangap sebagai “manusia kelas dua” dimana posisi pertama diduduki oleh manusia lain yang bernama laki-laki. Dalam tradisi Bibble, dinyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam untuk menjadi teman baginya. Oleh karena itu, perempuan adalah ciptaan kedua; dia hanya mahluk yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. 2 Selain itu perempuan juga mempunyai citra sebagai mahluk penggoda dan dekat dengan iblis, karena pada awal penciptaannya perempuan (hawa) telah merayu Adam untuk memakan buah khuldi yang
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (alumni IAIN SUKA Yogyayakarta.) 2 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan)(Bandung: MMU, 2005), hlm. 38 1
~ 153 ~
Abd. Gofur terlarang3 Pemahaman-pemahaman seperti ini telah menimbulkan berbagai macam pandangan yang lebih menonjolkan pada supremasi laki-laki, sehingga wanita dianggap sebagai mahluk yang rendah. Sayangnya pemahaman seperti itu telah diamini mayoritas umat beragama, termasuk umat Islam. Sehingga ruang gerak wanita menjadi terbatasi; wanita tidak boleh keluar rumah sendiri, dan hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga, tidak perlu sekolah yang tinggi, dan tidak perlu aktif di masyarakat. Sehingga dominasi laki-laki tidak terhindarkan dan perempuan seakan-akan hidup dalam tirani laki-laki. Dari fakta-fakta tersebut memunculkan gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak atas perempuan dalam masyarakat yang dikenal dengan gerakan feminisme, sebagai reaksi terhadap kondisi yang tidak adil dan menyedihkan yang harus ditanggung kaum perempuan sepanjang sejarah. 4 Dan yang sangat menyedihkan agamalah yang sering dituduh sebagai sumber masalah berbagai bentuk ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidak adilan antara relasi laki-laki dan perempuan yang merugikan kedudukan dan peranan perempuan.5 Padahal tujuan diciptakan agama oleh Tuhan adalah untuk mengatur kehidupan manusia dengan sebaik-baiknya. Bahkan Islam dengan tegas menjelaskan bahwa tujuan Islam diwahyukan adalah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk belenggu ketidakadilan. Pembebasan tersebut dibuktikan dengan menghapus segala bentuk system kehidupan yang tirani, despotic dan diskriminatif, termasuk menghilangkan diskriminasi dalam relasi laki-laki dan perempuan.6 Melihat realitas seperti ini, menimbulkan banyak pertanyaan kenapa ketimpangan tersebut bisa terjadi? Sebagai jawaban adalah karena kesalahpahaman dalam memahami agama yang bias Asghar ali engineer, the qur’an women and modern society [ter. Agus Nuryanto. Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hlm. 65 4 Ali Husain al-Hakim, islam and feminism; theory, modeling and application,[terj. Jemala Gebala, Membela Perempuan (menakar feminism dengan nalar agama)(Jakarta: al-huda, 2005)hlm, 59 5 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan)hlm. 36 6 Ibid, hlm 39 3
~ 154 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
gender. Sehingga memunculkan pembelaan kaum perempuan seperti yang dilakukan kaum feminis islam untuk membebaskan diri dari persepsi yang menunjukkan posisi inferior perempuan atas laki-laki. Bentuk protes tersebut dilakukan dengan melakukan kajian secara kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Yang dilakukan sebagai alternative pelurusan terhadap penafsiran klasik yang menyebabkan pemahaman agama bias gender. Oleh karena itu, pada artikel ini perlu dikaji lebih dalam mengenai pendekatan feminisme dalam kajian Islam, yaitu dengan mengkaji fenomena-fenomena agama yang seringkali dianggap mendiskrimaniasi perempuan. Dan meluruskan anggapan Islam adalah agama bias gender. PENGERTIAN FEMINISME Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingan laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan lakilaki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being).7 Yanti Muchtar dalam jurnal perempuan memberikan tiga pandangan yang cukup signifikan mengenai definisi feminisme. Pandangan pertama menyatakan bahwa feminisme adalah teoriteori yang mempertanyakan pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan. Pandangan kedua, berpendapat bahwa seseorang dapat dicap sebagai feminis sepanjang pikiran dan tindakannya dapat dimasukkan ke dalam aliran-aliran feminis yang dikenal selama ini, seperti feminisme liberal, radikal, marxis, dan sosialis. Pandangan ketiga, adalah pandangan yang berada antara pandangan pertama dan kedua, berpendapat bahwa feminisme adalah sebuah gerakan yang didasarkan pada adanya kesadaran tentang penindasan perempuan yang kemudian ditindaklanjuti Dadang, S. Anshari, ed. dkk. Membincangkan Feminis (refleksi muslimah atas peran social seorang wanita), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997). Hlm. 19 7
~ 155 ~
Abd. Gofur oleh adanya aksi untuk mengatasi penindasan tersebut. Jadi seseorang dapat dikatagorikan feminis selama ia memiliki kesadaran akan penindasan yang diakibatkan oleh beberapa hal dan melakukan aksi tertentu untuk mengatasi masalah penindasan tersebut, terlepas dari apakah ia melakukan analisis hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan atau tidak.8 FEMINISME DALAM LINTASAN SEJARAH Munculnya feminisme tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah perjuangan kaum perempuan barat menuntut kebebasannya. Karena perempuan tidak memiliki tempat di tengah masyarakat, mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun, dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah barat ini dianggap tidak memihak kaum perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di Eropa hingga abad ke-18), dominasi mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu sebagai sumber godaan dan kejahatan.9 Renaissance (pemberontakan dominasi gereja), yang diikuti dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang merupakan puncak pemberontakan dominasi kaum feodal yang cenderung korup dan menindas rakyat. Inilah awal proses liberalisasi dan demokratisasi kehidupan Barat, yang juga merupakan perubahan system feodal menjadi kapitalis secular. Dimana kaum kapitalis mendorong perempuan untuk bekerja di luar rumah. Kaum perempuan berurusan dengan pabrik-pabrik, industri dan kaum laki-laki yang dianggap bertentangan dengan kepentingannya. Akhirnya, terjadi persaingan dalam memperebutkan posisi kaum laki-laki untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala macam ikatan dan nilai-nilai tradisi. Disinilah, kaum perempuan mulai menuntut persamaan secara mutlak dengan kaum laki-laki termasuk juga dalam hal hubungan seksual sebelum menikah. Sehingga munculnya feminisme ini membawa pengaruh terhadap perubahan kaum perempuan dalam Husein Muhammad, Islam agama ramah perempuan (pembelaan kiai pesantren)(Yogyakarta:LKIS, 2004), hlm. 13 9 Alifa Binta S, Merebaknya feminism dan isu-isu gender dalm pandangan Islam, makalah. Tidak diterbitkan 8
~ 156 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
menyikapi posisi, peran dan fungsinya. Seiring berjalannya waktu, masalah-masalah tentang pembebasan serta penyetaraan hak-hak kaum perempuan terus berkembang. Bahkan mereka terus berusaha untuk mendapatkan tempat pada posisi yang sejajar dengan laki-laki dalam semua hak kemanusiaan.10 Patriarchi yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak telah menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. 11 Seperti anggapan kaum feminisme radikal bahwa ketertindasan perempuan adalah akibat dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik laki-laki atas perempuan dianggap sebagai dasar penindasan, dimana patriarchi merupakan penyebab universal dan mendahului segala bentuk penindasan.12 Feminisme sebagai suatu gerakan mempunyai tujuan sebagai berikut: 1) Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam hubungan sesama manusia 2) Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin 3) Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasanpembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin. 4) Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyuruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hokum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.13 Dari asal usulnya telah jelas bahwa paham ini lahir dari ideologi barat yang kapitalistik, liberal dan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Artinya, pemahaman dan Qosim Amin, A Document in the Early debate of Egyption feminist (kairo pers, egyp, 1995)(terj. Syaiful Alam, Sejarah Penindasan Perempuan (menggugat”islam laki-laki” menggugat “perempuan baru”)(Yogyakarta: ircsod, 2003), hlm. 43 11 Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk.rekonstruksi Metodologis wacana kesetaraan gender dalam Islam. (Yogyakarta: PSW IAIN SUNAN KALIJAGA, 2002) hlm. 09 12 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir kontempoer), (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005). Hlm. 40-41 13 Dadang S. Anshari, membincangkan feminism, hlm. 21 10
~ 157 ~
Abd. Gofur pemikiran seperti ini bertentangan dengan Islam yang pada dasarnya telah mengatur segala urusan dan permasalahan hidup manusia dalam al-Qur’an yang memberikan kemaslahatan kepada semua umat manusia. Tetapi, seperti yang dikatakan Muhtar tentang pengertian feminis di atas, maka paham ini dapat diterima oleh Islam selama tidak merusak atau masih berjalan dalam koridor agama Islam. Yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. GAGASAN FEMINISME DALAM ISLAM Sebelum mengkaji mengkaji tentang feminisme dalam Islam, maka kita tidak terlepas dari bahasan tentang kedudukan wanita (baik sebelum datang Islam maupun setelah kedatangan Islam) serta hak-hak wanita dalam Islam yang sering dipandang telah terpasung oleh agama yang bias gender. 1. Kedudukan Wanita a) Kedudukan wanita sebelum datang Islam (jahiliyah) Sebelum Islam datang (pada masa jahiliyah) wanita diibaratkan layaknya barang. Mereka bisa dijual belikan, bisa diwariskan dan diberlakukan sewenang-wenang. Perempuan merupakan aksesoris pria dalam eksistensi dan kehidupannya.14 Bahkan wanita pada masa itu, tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri; sang ayah memilikinya ketika belum menikah, dan sang suami mengambil alih setelah menikahinya. Suami berhak menjualnya kepada siapapun. Bila suami meninggal, hak atas perempuan digantikan oleh ahli waris suaminya, ia bisa dinikahinya, ataupun tidak dinikahi, bahkan dijual kepada orang lain. Perempuan dalam situasi ini tidak memiliki ataupun diwarisi apapun. 15 Tugas khusus untuk perempuan hanyalah untuk memperhatikan urusan-urusan rumah tangga dan memelihara anak-anaknya. 16 Sehingga wanita hanya menjadi mahluk domestic. Ali Husain hakim, Membela perempuan (menakar feminism dengan nalar agama)hlm. 53 15 Qasim Amin, Sejarah penindasan perempuan ()menggngat islam laki-laki“ mengurat “perempuan baru”, hlm. 29 16 Ali Husain Hakim, Membela perempuan (menakar feminism dengan nalar agama)hlm. 53 14
~ 158 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
Pada masa itu, sorang laki-laki mempunyai dominasi yang sangat kuat baik dalam lingkungan keluarga maupun social masyarakat. Seorang laki-laki dapat menikahi perempuan sebanyak yang ia mau; tidak ada pembatasan atas perceraian. Anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup, dan lain-lain. b) Kedudukan wanita setelah Islam Status perempuan dalam Islam dapat dipahami secara benar setelah diketahui status mereka pada masa jahiliyah. Alasannya, karena tidak ada revolusi, politik atau sosio keagamaan yang dapat menghapus semua jejak masa lalu. Seperti penjelasan sebelumnya perempuan pada masa jahiliyah tidak lebih dari barang dagangan, mereka diperbudak dan dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Kemudian dengan tegas Islam melarang praktek tersebut. Dengan menurunkan surat an-nisa’ ayat 19 yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Dalam riwayat lain diceritakan, pada waktu Abu Qois bin Aslat meninggal, anaknya ingin mengawini ibu tirinya. Cara perkawinan yang seperti ini sudah biasa pada tradisi masyarakat arab masa itu. Kemudian Allah menurunkan surat tersebut sebagai ketegasan tentang larangan mewarisi perempuan.17 Larangan tersebut juga terdapat pada ayat ke-22 surat annisa’ yang artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburukburuk jalan (yang ditempuh).” Dari berbagai literatur di atas telah menunjukkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah mengangkat derajad seorang wanita dengan mulianya. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan al- Hadis yang menjelaskan tentang kedudukan, kewajiban dan Nur jannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan (bias laki-laki dalam penafsiran)(Yogyakarta: LKIS, 2003) hlm. 23-24 17
~ 159 ~
Abd. Gofur hak-hak atas wanita. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat perduli dan menekankan martabat terhadap mahluk tuhan yang bernama wanita. Tidak ada perbedaan tinggi rendah laki-laki dan wanita keduannya mempunyai status yang sama. Sebagimana dalam surat al-Ahzab ayat: 35, yang Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, lakilaki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Dari ayat tersebut, terlihat bahwa status laki-laki dan perempuan adalah sama, tidak ada diskriminasi dalam segala hal. Termasuk dalam mencari nafkah, keduannya juga akan diberi pahala yang sama karena amal baiknya. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan laki-laki lebih tinggi derajatnya dari pada wanita. Dari kajian tentang kedudukan wanita dalam Islam menunjukkan bahwa agama Islam tidak mendiskriminasi laki-laki dan perempuan dalam bentuk apapun. 2.
Munculnya gagasan feminis dalam Islam Munculnya gagasan feminisme dalam Islam tidak terlepas dari munculnya feminis di barat yang masuk dikalangan umat Islam. Gagasan demokrasi dan emansipasi barat yang masuk ke dunia Islam memaksa umat Islam untuk menelaah kembali posisi perempuan yang telah termarginalkan selama berabad-abad. Konsep feminis yang marak di barat menjadi model bagi pembebasan perempuan di banyak Negara berpenduduk muslim. Bermula dari kaum intelektual mesir yang belajar di Eropa, yang kemudian dikembangkan dengan istilah “Tah-rir al- Mar’ah” (pembebasan perempuan). Salah satu persoalan yang mendapatkan prioritas dalam feminisme (dalam) Islam adalah soal “patriarchi” yang oleh para feminis Islam sering disebut sebagai asal-usul dari seluruh kecenderungan “missoginis” yang menjadi dasar penulisan bukubuku teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki.Secara
~ 160 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
umum feminism Islam menjadi gerakan atau alat analisis yang selalu bersifat historis dan kontekstua seiring dengan kesadaran yang terus berkembang dalam menjawab permasalahanpermasalahan yang dihadapi perempuan menyangkut ketidakadilan dan ketidaksetaraan. 18 Namun demikian, feminisme dalam Islam tidak menyetujui setiap konsep dari feminis barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai lawan perempuan. Disisi lain, Feminisme islam tetap berupaya untuk memperjuang hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki yang terabaikan dikalangan tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinal laki-laki.19 Feminisme Islam berupaya untuk memperjuangkan apa yang disebut Riffat Hasan “Islam pasca patriarkhi” dalam bahasanya tidak lain adalah Islam Qur’ani“ yang sangat memperhatikan pembebasan manusia, baik perempuan maupun laki-laki dari perbudakan tradisionalisme, otoritarisme (agama, politik, sekisme, perbudaan atau yang lain-lain) yang menghalangi manusia mengaktualisasikan visi Qur’an tentang tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan klasik: kepada Allahlah mereka akan kembali.20 Menurut Baidhawi, gerakan feminis Islam khususnya di Indonesia, berlangsung di negan beberapa cara yaitu: 1. Pemberdayaan terhadap kaum perempuan, yang dilakukan melalui pembenukan pusat studi wanita di perguruan tinggi, pelatihan-pelatihan dan trining gender, seminar maupun konsultasi-konsultasi. 2. Melalui buku-buku yang ditulis dalam beragam tema, ada yang melalui fiqh pemberdayaan sebagaimana dilakukan Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya hak-hak reproduksi perempuan dan lain-lain. 3. Melakukan kajian hisoris tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sejarah masyarakat yang berhasil Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir kontempoer), hlm.42-46 19 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir kontempoer), hlm. 46 20 Ibid, 46 18
~ 161 ~
Abd. Gofur menempatkan perempuan benar-benar sejajar dengan laki-laki dan membuat mereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai bidang, baik pelitik, pendidikan keagamaan dan lain-lain. 4. Melakukan kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini dilakukan penafsiran ulang dengan pendekatan hermeneutic dan melibatkan pisau analisis yang ada dalam ilmu-ilmu social untuk menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. 21 Yang dilakukan sebagai alternative pelurusan terhadap penafsiran klasik yang menyebabkan pemahaman agama bias gender sebagaimana yang dilakukan oleh Famimah Mernissi. Menurut Mulia, kesalahan pemahaman relasi laki-laki dan perempuan dalam segala seginya dipengaruhi oleh dua faktor. yaitu: 1) Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai agama yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan; Contohnya; pemahaman asal usul penciptaan manusia. Dimana Adam adalah mahluk ciptaan pertama yang berjenis kelamin laki-laki, baru kemudian Alah menciptakan makhluk kedua yaitu hawa sebagai istrinya, yang diciptakan dari tulang rusuk adam. Sehingga fungsi wanita adalah diciptakan untuk melengkapi kebutuhan laki-laki. Padahal dalam al-Qur’an tidak ada satupun penjelasan yang mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk adam. Meskipun disebutkan dalam hadis: “sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba untuk meluruskannya maka akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan keadaan yang tetap bengkok” hadis ini bukanlah menjelaskan tentang penciptaan Hawa. Menurut Quraish Shihab, Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam bentuk kiasan (majazi) dalam arti bahwa hadis 21
Ibid, 48
~ 162 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
tersebut memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu merubah sifat dan karakter seorang perempuan. Kalaupun mereka berusaha maka akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.22 Atas dasar tersebut, sudah jelas bahwa kurangnya pemahaman atas agama terutama masalah kedudukan dan peran wanita merupakan factor pemicu rasa ketidakadilan wanita dalam Islam. Sebagai dasar, surat an-nisa’ ayat 1 menjelaskan bahwa manusia berasal dari asal-usul yang sama, yaitu nafs wahidah, dari ayat tersebut jelas memberikan informasi bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dalam perkembangan selanjutnya. Jadi tidak ada alasan untuk memojokkan perempuan atau mengistimewakan salah satu jenis kelamin manusia. Belum lagi ketika wanita diibaratkan sebagai mahluk penggoda karena dialah yang merayu Adam untuk memakan buah terlarang karena dia lebih dekat dengan iblis. Padahal dalam al-Qur’an jelas disebutkan keduanya sama-sama tergoda. Pemahaman seperti ini perlu dikaji ulang karena tidak sesuai dengan tujuan utama agama Islam. 2) Banyaknya penafsir agama yang merugikan kedudukan dan peranan perempuan.23 Contohnya: a. Surat al-Baqarah 228. “kaum laki-laki satu derajat diatas lebih tinggi dari pada wanita” dari ayat tersebut sering sekali para ulama’ menafsirkan bahwa hal tersebut merupakan bukti supremasi laki-laki yang dijadikan sebagai dasar bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari wanita. Jika melihat realitas tersebut, saya yakin siapa saja yang mendengar akan bertanya ulang dimana letak keadilan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 271 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan)hlm37-42 22 23
~ 163 ~
Abd. Gofur agama? sehingga perbedaan jenis kelamin saja masih ada diskriminasi? Dalam sebuah buku karya Sachico Murata yang berjudul The Tao of Islam, dijelaskan bahwa ayat tersebut masih memerlukan kajian yang lebih dalam. Karena ayat tersebut merupakan bagian dari ayat yang relative panjang yang membicarakan masalah perceraian. Adapun ayat yang memuat kalimat itu adalah menetapkan masa iddah. Keseluruhan ayat tersebut adalah: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dari ayat tersebut laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi dari wanita secara khusus dalam konteks perkawinan yang ditetapkan dalam hukum syari’at. Karena mereka (laki-laki) mempunyai sesuatu sehingga mereka menjadi satu derajad lebih tinggi. 24 Dimana sesuatu tersebut adalah karena laki-laki yang telah memberikan mas kawin kepada seorang wanita. jadi perbedaan sek bukanlah yang menjadi alasan laki-laki lebih tinggi derajadnya dari pada wanita tetapi lebih kepada konteks perkawinan tersebut. Seandainya wanita yang member mas kawin maka, disini seorang wanita yang mempunyai satu derajad tersebut. b. Surat an-nisa’ ayat 34: Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sachico Murata, the tao of Islam (A sourcebook on gender relationship in islamic thought)(New York, State University of new york press, 1992) [trej. Rahmani Astuti, Nasrullah, (kitab rujuakan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam)(bandung: Mizan, 1996) hlm. 234 24
~ 164 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
Dari ayat diatas, sering para ulama’, kiyai, bahkan para mufassir klasik, seperti al-Razy, at-Thabary, al- Qurthubi, Ibnu katsir dan lain-lain mempunyai pandangan yang sama bahwa, laki-laki adalah mahluk superior dan perempuan inferior, karena fisik dan akal laki-laki lebih unggul dari perempuan. Mereka juga sepakat bahwa superioritas laki-laki adalah kodrat (ciptaan tuhan), fitrah, intrinsic, inheren (melekat) bahkan para mufassir kontemporer juga tidak membawa perubahan yang signifikan.25 Ayat tersebut mengisyaratkan adanya pengebirian hak-hak wanita, dan tidak memperlakukan kaum wanita dengan adil. Karena perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, dan yang harus menjadi pemimpin adalah laki-laki. Otoritas ayat tersebut juga didukung dengan hadis yang artinya”tidak akan pernah beruntung negara yang dipimpin oleh perempuan”. Dan hal tersebut sudah menjadi doktrin di masyarakat Islam. Padahal kalau dikaji lagi, Kata al-qawwam dalam terminology al-Qur’an maksudnya adalah segala sesuatu yang menyangkut kepemimpinan dan managerial. Yang mengacu pada kemampuan pemeliharaan dan managerial. Bukan merupakan indicator atau karakteristik orang yang sanggup menerima tanggung jawab ini. 26 Jadi lebih pada tanggung jawab kepemimpinan dalam rumah tangga (masalah ekonomi keluarga ) bukan pemimpin dalam arti yang luas. Karena laki-laki mempunyai tanggung jawab untuk memberi nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Berdasarkan konteks diturunkan ayat di atas, struktur social pada masa itu tidak mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Tetapi juga harus menggunakan pandangan sisio-teologis. Bahkan al-Qur’an pun terdiri dari ajaran normatif dan kontekstual. Tidak ada kitab suci yang efektif jika mengabaikan unsure kontekstual.
Husein Muhammad, Islam agama ramah perempuan, hlm. 81 M. Said Ramadhan al- Buthi al-mar’ah baina thughyani an-nizam al-gharbi wa lithaifi at-tasyri’(Damsyq: Darul Fikri,)[terj. Darsim Ermaya imam Fajarudin, Perempuan antra kedzaliman system Barat dan Keadilan islam.(karang asem: era intermedia, 2002), hlm.109-110 25 26
~ 165 ~
Abd. Gofur Dengan demikian, dari ayat ini jelas bahwa (keunggulan) yang diberikan Allah kepada laki-laki atas perempuan bukan keunggulan jenis kelamin. Melainkan karena fungsi-fungsi social pada waktu itu. Laki-laki mencari nafkah untuk perempuan, dari fakta ini keunggulan laki-laki adalah karena fungsional atas perempuan.27 Karena pada waktu itu kedudukan wanita sangat rendah, dan pekerjaan domestic dianggap sebagai kewajiban. Sedangkan laki-laki menganggap bahwa dirinya lebih ungul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi qawwam, kata ‘adalah qawwam” merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normative. Seandainya al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwam, maka akan menjadi pernyataan normative dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal itu. 28 Dengan demikian al-Qur’an tidak melarang perempuan sebagai pemimpin dan pemberi nafkah. Kesalahpahaman terhadap penafsiran ayat-ayat seperti ini, dikarenakan Agama hanya dimanifestasi dalam penafsiran terhadap teks saja, banyak orang menganggap teks itu sama dengan agama, yang memiliki sakralitas dan keabadian. Sehingga menyebabkan persepsi bahwa Islam adalah agama bias gender. Yang menunjukkan supremasi laki-laki dari pada perempuan. Padahal laki-laki dan perempuan sama-sama diberi kelebihan oleh Allah untuk saling melengkapi. Laki-laki diberi kelebihan ketegaran fisik dan perempuan diberi organ reproduksi yang keduanya diarahkan untuk menjalankan fungsi regenerasi. Karena secara biologis perempuan harus menjalani fungsi reproduksi, maka kebutuhan finansial dibebankan kepada laki-laki. Oleh karena itu, nafkah harus diarahkan sebagai upaya mendukung
Asghar Ali Engineer, The Right Of Women In Islam (London: C. Hurs, 1992)[terj. Lusi Margiyanti, ed. Hak-hak perempuan dalam Islam,(Yogyakarta: yayasan benteng Budaya, 1994) hlm.61 28 Asghar Ali Engineer, The Right Of Women In Islam,. Hlm. 62 27
~ 166 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
regenarasi dan bukan sebagai legitimasi superioritas laki-laki.29 Sebagaimana yang dijelaskan di atas, Islam sebagai agama rahmatan lili alamin (agama yang menebar rahmat bagi alam semesta), salah satu bentuk dari rahmat tersebut adalah pengakuan terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Yang menjadi ukuran kemulyaan seseorang disisi tuhannya adalah kadar ketaqwaannya tanpa membedakan, suku, ras, etnik dan jenis kelamin. Sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat: 13 Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Jadi, realitas maskulin atau feminine yang selama ini dianggap sebagai kedudukan yang hirarkis antara laki-laki dan perempuan tidak ada dalam Islam. PENDEKATAN FEMINISME DALAM KAJIAN ISLAM Yang dimaksud dengan pendekatan feminisme dalam kajian Islam adalah bagaimana mengkaji Islam melalui alat analisis /metodologi yaitu feminisme. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa inti dari feminisme adalah tuntutan terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh feminisme Islam untuk membebaskan perempuan dari posisi sub-ordinat laki-laki. Pendekatan ini banyak dilakukan oleh tokoh feminis untuk mengkaji ayat-ayat ataupun hadis yang terkesan ‘missogini’ yang sering ditafsirkan sebagai bukti supremasi laki-laki. Menurut Komarudin, hal tersebut disebabkan seringkali al-Qur’an dipahami secara teologis, sehingga penafsiran yang muncul cenderung dogmatis, membenarkan al-Qu’an sesuai teksnya. Sehingga muncullah penafsiran-penafsiran yang memposisikan perempuan dalam posisi inferior dibanding lakilaki.30 Sayangnya dokrin tersebut sudah mendarah daging pada Siti Ruhaini Z, dkk.Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,.hlm. 15 30 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996) hlm. 09 29
~ 167 ~
Abd. Gofur masyarakat Islam sehingga disinilah perlunya kaum feminis untuk melakukan pembelaan dengan melakukan berbagai penafsiran dengan pendekatan feminis terhadap ayat-ayat yang missoginis tersebut. Para mufassir feminis cenderung menggunakan analisis gender untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang biasa memakai hermeneutika, yang cenderung menjadikan interpretasi sebagai “latihan kecurigaan”. Dalam hal ini dilakukan demistifikasi atas symbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan persoalan gender, dicari penjelasan mengapa ayat-ayat yang bias gender bias masuk ke dalam kitab suci. Dalam analisis tersebut, visi yang berkaitan dengan feminisme yang ingin membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan gender dipakai untuk membaca, menerangi dan selanjutnya mencurigai ayat-ayat yang “bias” gender tersebut. Tetapi kemudian visi yang datang dari luar ini digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam ayat-ayat al-Qur’an termuat nilai-nilai kesetaraan tersebut, meskipun tentu saja secara imlisit. Visi kesetaraan itu sendiri baru terlihat setelah dilakukan pebongkaran terhadap ayat-ayat tersebut.31 Dalam upaya pembongkaran tersebut, pengaru hermeneutika postmodern sangat tampak. Bagi mufassir feminis yang menggunakan “latihan kecurigaan” ini, semua bentuk sentralisme dianggap sebagai suatu sikap yang totaliter. Membaca perempuan dari sudut pandang laki-laki adalah bertentangan dengan pesan dasar keagamaan yang meletakkan laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah. Pembongkaran semua bentuk sentralisme ini dilakukan dengan cara menolak argument apapun yang menyatakan ketidak setaraan gender demi menjunjung tinggi pandangan yang sebaliknya: kesederajatan laki-laki dan perempuan yang sesungguhnya. Seperti penafsiran-penafsiran ayat-ayat missoginis oleh kaum feminis berikut ini: Sebagai contoh, ayat dalam surat alBaqarah ayat 228 , yang artinya: “kaum laki-laki satu derajat diatas lebih tinggi dari pada wanita” Begitu juga dalam surat an-nisa’ ayat 34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” yang Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir kontempoer), hlm. 60 31
~ 168 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
menurut para mufassir diartikan dengan pemimpim, pelindung, penanggung jawab, pendidik dan lain-lain. Dan masih banyak lagi baik al-Qur’an maupun hadis yang sering ditafsirkan para ulama’ (kebanyakan laki-laki) yang cenderung menunjukkan supremasi laki-laki. Dalam menyikapi ayat ini, kalangan feminispun melakukan pembelaan dengan melakukan penafsiran ayat di atas melalui pendekatan feminis untuk menafsirkannya, dimana kata Qawwam adalah laki-laki berkewajiban menyediakan nafkah (fungsi produksi), sekaligus sebagai pendukung fungsi produksi perempuan dan perempuan sendiri berkewajiban sebagai pengemban fungsi produksi. Dalam hal ini feminis melihat seorang berhak menjadi pemimpin bukan dari fisiknya (jenis kelamin) melainkan kemampuan yang dimiliki sebagai pemimpin, jika wanita yang memiliki kemampuan menjadi pemimpin maka wanita juga boleh menjadi pemimpin. Lafad bima faddalla Allah adalah kelebihan laki-laki atas perempuan. Itu bukan berarti Allah lebih memuliakan laki-laki disbanding perempuan, sebagaimana yang diasumsikan selama ini. Menurut al-Razi dalam tafsir al-Kabir, kelebihan itu ada dua hal yaitu ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik. Sedangkan menurut zamah syari kelebihan laki-laki atas perempuan Karen akal, ketegasan, tekatnya yang kuat atau secara umum mempunyai kemampuan dan keberanian. Argumen ini menampakkan kalau wanita tidak mempunyai akses sama dengan laki-laki. Jadi, sebenarnya makna pemimpin disini adalah tugas lakilaki menjaga perempuan. Oleh karena itu, seandainya kita dapat memahami mkasud ayat tersebut, maka kita akan mengetahui maksud dari ayat yang memerintahkan kepada laki-laki untuk memenuhi seluruh kebutuhan perempuan. Dan makna kelebihan laki-laki adalah kepemimpinan yang telah Allah embankan kepadanya merupakan kelebihan. Sedangkan kaum wanita juga memiliki keterampilan yang tidak dapat dimiliki laki-laki. Allah menjadikan keterampilan tersebut sebagai keistimewaan dan
~ 169 ~
Abd. Gofur kelebihan tersendiri bagi keduanya. 32 Karena keduanya mempunyai kodrat (kemampuan) tertentu yang berbeda yang tidak dapat ditukar satu sama lain. Menurut Munir; 1999. Perbedaan tersebut menyangkut dua hal, yaitu perbedaan biologis dan fungsional dalam kehidupan social. 33 Dimana perbedaan biologis ini tidak dapat diingkari karena bersifat alamiah seperti halnya dalam dunia mahluk ada jantan ada betina. Adanya perbedaan fisik biologis, susunan saraf, otak, darah dan lain-lain membentuk watak yang berbeda pula, sehingga menimbuklan adanya watak keperempuanan (feminis) dan watak kelalki-lakian (maskulin). Akibat dari perbedaan tadi sehingga timbul perbedaan secara fungsional. Misalnya dalam kehidupan (suamiisteri), dalam kedudukan masing-masing pihak mempunyai perbedaan fungsional. Seperti kaitannya dengan reproduksi, fungsi laki-laki dan perempuan berbeda, tidak mungkin sama. Laki-laki adalah pemberi bibit dan perempuan yang menampung dan mengembangkan bibit itu dalam rahimnya. Hal itu merupakan fungsi alamiah yang merupakan cirri khas keperempuanan, yang tidak mungkin diganti laki-laki. Tetapi perempuan juga tidak mungkin melakukan fungsi kalau tidak ada laki-laki yang membuahi. Dari perbedaan fungsi di atas tidak harus menimbulkan perbedaan mengenai hakikat kemanusiaan. Karena dengan adanya perbedaan fungsi tadi maka muncul beberapa kewajiban yang berbeda. Misalnya ketika perempuan mengandung dan bersalain, maka imbangannya laki-laki berkewajiban menafkahi. Dengan demikian perbedaan bukan berarti untuk 34 mendiskriminasi melainkan untuk saling melengkapi. Dengan kata lain, perbedaa-perbedaan disini adalah untuk tujuan kemaslahatan sebagai jalan menuju keadilan sebagai inti dari agama yang harus kita syukuri, bukan dengan melakukan Syaih Mutawali As- Sya’rawi, fikih perempuan (muslimah) (Jakarta: Amzan. 2005) hlm. 34, Baca juga Nurjannah Ismail, Perempuan dalam pasungan, bias laki-laki dalam penafsiran (Yogyakarta: LKIS, 2003) hlm. 3 33 Lili Zakiyah Munir,. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam)(Bandung: Mizan, 1999). Hlm. 67 34 Lili Zakiyah Munir,. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam. Hlm. 69 32
~ 170 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
gerakan feminisme dan emansipasi yang menjurus pada pengingkaran kodrat, seperti yang dilakukan wanita-wanita barat yang hendak menyamakan perempuan dan laki-laki di semua sector kehidupan. Dalam proses dekonstruksi ini terdapat dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah memahami keseluruhan proses “representasi”, yakni segala hal yang berkaitan dengan ide, gambaran, narasi dan produk keilmuan atau penafsiran atas perempuan dalam Islam selama ini. Realitas ke-inferioritas-an perempuan dalam Islam adalah karena intertekstualitas dari kitabkitab tafsir dan fiqh yang berupaya menjelaskan “teks-teks” tertentu dalam al-Qur’an yang dipakai untuk menunjukkan tentang posisi perempuan dalam Islam. Artinya kalau saja “teks” yang dihadirkan adalah yang lain, tentu realitas perempuanpun akan lain. Untuk mewujudkan realitas perempuan ynag tidak inferior, para feminis memandang perlunya menghadirkan teks yang baru. Kritis terhadap representasi berarti kritis terhadap teks, dan kritis terhadap teks berarti curiga dan selanjutnya melakukan pembongkaran, sehingga teks menjadi “terbuka.” Tentu saja ini tidak berarti mengubah al-Qur’an, melainkan justru untuk mengedepankan semangat dasar al-Qur’an sesuai dengan prasangka zamannya. Kedua, memahami keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Setiap pengetahuan-teks, representasi, ide, gambaran, penafsiran-adalah kekuasaan, tidak ada pengetahuan yang terbebas dari kekuasaan, sebaliknya kekuasaan selalu berkaitan dengan pengetahuan yang selalu bermuatan kepentingan. Selama ini menurut kaum feminis, penafsiran ayat al-Qur’an yang terkait dengan perempuan cenderung membela kepentingan laki-laki. Bagi mereka kesetaraan yang mestinya dibela dalam sebuah penafsiran.35 Dengan memahami dua hal tersebut, para mufassir feminis kemudian berupaya memulai suatu penafsiran baru berdasarkan visi kesetaraan gender yang adil. Penafsiran baru ini dihadirkan, sekali lagi, bukan untuk mengubah al-Qur’an, melainkan justru untuk menghadirkan sudut pandang tentang perempuan sebagai subyek yang tidak inferior, melainkan yang sama-setara dengan laki-laki. 35
Ibid, 63
~ 171 ~
Abd. Gofur KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpukan sebagai berikut: 1. Feminisme adalah suatu faham yang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karena realitas perempuan yang diposisikan sebagai “manusi kelas dua” 2. Munculnya feminisme tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah perjuangan kaum perempuan barat menuntut kebebasannya. Karena perempuan tidak memiliki tempat di tengah masyarakat, mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun, dan tidak boleh mengurus apapun.. Bahkan dalam masyarakat feodal, mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu sebagai sumber godaan dan kejahatan. Sejarah barat inilah yang dianggap tidak memihak kaum perempuan. 3. Gagasan feminisme dalam Islam; berupaya untuk memperjuang hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki yang terabaikan dikalangan tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinal laki-laki. Tetapi tidak menempatkan laki-laki sebagai musuh seperti ideology feminis barat. 4. Pendekatan feminisme adalah suatu metodologi yang digunakan untuk mengkaji Islam, dengan konsep utama menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pendekatan ini dilakukan untuk mengkaji secara kritis teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dengan melakukan penafsiran ulang melalui pendekatan hermeneutic dan analisis ilmu-ilmu social untuk menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Dalam analisis tersebut, visi yang berkaitan dengan feminisme yang ingin membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan gender dipakai untuk membaca, menerangi dan selanjutnya mencurigai ayat-ayat yang “bias” gender tersebut. Tetapi kemudian visi yang datang dari luar ini digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam ayat-ayat al-
~ 172 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
Qur’an termuat nilai-nilai kesetaraan. Sehingga tidak ada alasan untuk menempatkan posisi laki-laki dan perempuan pada struktur yang hirarkis. DAFTAR PUSTAKA Al- Buthi, Ramadhan M. Said. Al-Mar’ah Baina Thughyani an-Nizam al-Gharbi wa Lithaifi at-Tasyri’(Damsyq: Darul Fikri,)[terj. Darsim Ermaya imam Fajarudin, Perempuan antra kedzaliman system Barat dan Keadilan islam.(karang asem: era intermedia, 2002) Al-Hakim Husain Ali, Islam and Feminism; Theory, Modeling and Application,[terj. Jemala Gebala, Membela Perempuan (menakar feminism dengan nalar agama)(Jakarta: al-huda, 2005). Anshari, Dadang, S. ed. dkk. 1997. Membincangkan Feminis (refleksi muslimah atas peran social seorang wanita), Bandung: Pustaka Hidayah. Amin, Qosim. A Document in the Early debate of Egyption feminist (kairo pers, egyp, 1995)(terj. Syaiful Alam, Sejarah Penindasan Perempuan (menggugat”islam laki-laki” menggugat “perempuan baru”)(Yogyakarta: ircsod, 2003). Binta S, Alifa, Merebaknya feminism dan isu-isu gender dalm pandangan Islam, makalah. Tidak diterbitkan. Baidhawi, Ahmad. 2005. Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam alQur’an dan tafsir kontempoer). Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. Dzuhayatin, Ruhaini Siti dkk. 2002. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSW IAIN SUNAN KALIJAGA. Engineer, ali Asghar ,The Qur’an Women and Modern Society [ter. Agus Nuryanto. Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2003). ____________The Right Of Women In Islam (London: C. Hurs, 1992)[terj. Lusi Margiyanti, ed. Hak-hak perempuan dalam Islam,(Yogyakarta: yayasan benteng Budaya, 1994) Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Yayasan Paramadina.
~ 173 ~
Abd. Gofur Ismail, Jannah Nur . 2003. Perempuan dalam Pasungan (bias laki-laki dalam penafsiran).Yogyakarta: LKIS Mulia, Siti Musdh, 2005. Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan). Bandung: MMU. Muhammad, Husein . 2004. Islam Agama Ramah Perempuan (pembelaan kiai pesantren). Yogyakarta:LKIS. Murata, Sachico . The Tao of Islam (A sourcebook on gender relationship in islamic thought)(New York, State University of new york press, 1992) [trej. Rahmani Astuti, Nasrullah, (kitab rujuakan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam)(bandung: Mizan, 1996) Munir, Lili Zakiyah, 1999. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam). Bandung: Mizan.
~ 174 ~