PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Abu Hasan Agus R.
Abstract: The anthropological approach to understanding religion can be interpreted as an effort to understand religion by seeing a form of religious practice that is growing and developing in society. Studies on religion and culture can be directed in different frameworks. The first can be applied in the search for local concepts of how religion and culture interact. Secondly, the assessment can be focused to map the local Muslim in an Islamic large map universal. Third, local discourse or local knowledge that grows from the struggle of religion and culture can be used as an additional new discourse of globalization. Local study of Islam can be used as an enrichment of human discourse. Key Words: Anthropology, Islamic Studies.
Pendahuluan Karakter perkembangan ilmu antropologi di pertengahan abad 19 lebih terilhami oleh kajian-kajian evolusionis, yang dikomparasikan dengan perkembangan pemikiran positivistik yang telah berkembang sebelumnya. Data-data yang didapat antropolog abad 19 pun rata-rata bersifat "tangan kedua", karena didapat dari laporan para misionaris, petualang, dan data kolonial. Tak mengherankan jika kemudian para antropolog di abad ini sering disebut sebagai "etnolog belakang meja".1 Hingga di awal abad 20, ranah antropologi mulai memperluas kajiannya dengan menjalankan spesialisasi disiplin, variasi metode sampai analisis kebahasaan. Dan yang terpenting, antropologi kemudian mulai menduduki tempat penting di universitas sebagai salah satu perangkat ilmu sosial. 2 Adapun karakter yang dikembangkan antropologi di abad 20 dalam menghadapi berbagai pendekatan universalis dan positivistik dilakukan melalui dua jalan, yakni melakukan fokus studi lapangan secara mendetail dan holistik (menyeluruh dari segala bidang, mulai dari aktivitas yang bersifat remeh, aktivitas ekonomi, organisasi sosial, kekerabatan dan perilaku seksual), demi menghasilkan studi mengenai manusia dan masyarakat secara serius yang pada akhirnya menghasilkan berbagai kritik dan revisi terhadap berbagai teori lama. 3 Jalan kedua adalah melakukan pendekatan dengan visi global, namun
Dosen Institut Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur. Email:
[email protected] 1Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta, LKIS 2002), h. 15. 2Brian Morris, Antropologi Agama, (Yogyakarta, AK Group 2003), h. 186. 3Ibid, h. 188.
1
bukan didasarkan pada orientasi evolusionis yang selama ini telah menjustifikasi bahwa kebudayaan primitif lebih rendah dibanding kebudayaan Barat. Reduksi justifikasi ini merupakan pendekatan yang menggambarkan masyarakat pada keadaaan yang benar-benar realistik, tanpa harus menghukum mereka sebagai "manusia setengah binatang" (liar, tak berperadaban, dan barbar), seperti yang dikembangkan kaum antropolog abad 19 pada kaum Timur dan suku-suku terbelakang. Pembahasan Antropologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang studi yang lebih elegan dan luas sehingga nilai-nilai dan pesan keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.4 Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.5 Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.6 Penelitian antropologi Grounded Research adalah penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mystical event. Dalam satu sisi, common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun
4Tim
Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2009), h. 80. Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Rajagrafindo Persada 2006), h. 11. 6Ibid, h. 12. 5
2
dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.7 Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini, usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama, sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia. Dengan demikian, memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Di Indonesia, usaha para antroplog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960-an menjadi karya yang popular sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkap tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mmpengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama khususnya Islam dan budaya di jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antar keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.8 Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religiokulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Antropologi yang melihat langsung secara detail hubungan antara agama dan masyarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterprestasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikan. Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat 7 Baal J.van, Sejarah & pertumbuhan teori Antropologi Budaya ( Hingga Dekade 1970), (Jakarta: Gramedia 1970), h. 165. 8 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya 1989), h. 296.
3
juga sangat penting jika dikaitkan dengan wancana posmodemisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah “Fenomena” atau sebuah kerangka “discontruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnya dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran. Budaya lokal dalam percaturan dunia global, bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh fukuyama dengan klaimnya The End of History and the last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang baik dipakai.9 Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkinkan manusia untuk melakukan dialog antar kebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. 10 Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikkan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai "international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada. Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek, yaitu manusia dan budaya. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu, analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning). 9Koentjaraningrat, 10Ibid,
Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), h. 61.
h. 63.
4
Dalam konteks kajian Islam, penulis pernah membaca sebuah penelitian menarik mengenai konflik Ambon yang berkepanjangan. Seorang antropolog muda dari UGM, Hatib Abdul Kadir dalam bukunya Bergaya di Kota Konflik: Membaca Konflik Ambon Melalui Gaya Hidup Anak Muda (2008), mencoba mengurai akarakar konflik Ambon melalui riset etnografis yang dilakukannya. Dalam buku ini menyatakan bagaimana sebuah konflik Ambon bermula, yakni dari pertengkaran anak muda yang pada awalnya sama sekali tidak berbau SARA. Namun karena yang bertengkar dan berkelahi itu adalah dua anak yang berbeda agama, maka pertengkaran ini kemudian membesar menjadi suatu konflik SARA. Anak muda Ambon yang suka bergaya (dan rata-rata berasal dari Kristiani) dilawankan dengan anak muda yang kurang gaya (yang umumnya diasosiasikan pada anak muslim). Dari situ kemudian konflik bermula hingga melahirkan pengkotak-kotakan wilayah, wilayah Kristen dan Islam, serta melahirkan semacam jalur gaza di kota itu. Kajian seperti ini amat menarik utamanya pada konteks antropologi dalam kehidupan umat beragama, sehingga titik pijak awal dari sebuah riset tidak dimulai dengan asumsi-asumsi keagamaan, tapi lebih pada kajian-kajian kebudayaan suatu etnik, suku dan wilayah sehingga kemudian bisa menjadi sebuah kajian komprehensif dalam bingkai antropologi agama. Dari sini penulis sebenarnya hendak ingin mengatakan bahwa Antropologi Agama, khususnya Antropologi Kajian Islam merupakan satu hal yang penting. Lalu bagaimana menemukannya? Asumsi-asumsi yang kita bangun mengenai banyak hal sebenarnya dikonstruksi dalam otak kita berdasarkan pengetahuan kita. Kita tidak menyadari bahwa kesadaran pengetahuan kita dikendalikan oleh pemikiran tokoh-tokoh tertentu. Salah satunya misalnya, kajian-kajian orientalisme mengenai Islam banyak kita dapatkan dari kajian yang dilakukan oleh para islamis semisal Edward Said, Isa J, Boulatta, Ignaz Goldziher, Montgomery Watt, Bernard Lewis ataupun HAAR Gibb. Secara tidak sadar, wacana yang kita serap dikuasai oleh wacana-wacana tokoh-tokoh itu sehingga kutipan kita pun tidak bisa dilepaskan dari orang-orang tersebut. Padahal mereka menggunakan horizon pengetahuan mereka untuk membaca kita. Sampai disinilah kemudian pertentangan antara self dan other mengemuka. Barat sebagai the other meneliti self (timur) yang menjadi fokus penelitian. Eksotisme timur telah membuat Lewis menulis berbagai buku yang dengan berkedok berdiri di atas objektivitas akademis yang menyudutkan Islam. Buku-buku semisal The Assassins; Islam and the West; What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East, yang dikarang Lewis semuanya berdiri atas nama objektivitas. Namun pada dasarnya ia sama sekali tidak objektif. Malahan, karena mendalami sejarah timur tengah, dialah yang berada di balik penyerangan Bush atas Irak.11
www.wikipedia.org/lewis
11
5
Demikian halnya dalam kajian-kajian yang sifatnya antropologis sebagaimana telah dijelaskan di muka, para peneliti Islam banyak yang menjadi peneliti di belakang meja dan tidak langsung terjun ke lapangan.12 Dari sini muncullah problem outsider-insider, meminjam istilah Richard C. Martin dalam pendekatan studi agama. Kita sebagai insider mempelajari Islam dari perspektif outsider, inilah yang banyak terjadi dan menjadi tren dalam dunia civitas akademika perguruan tinggi Islam. Tren ini sebenarnya tidak keliru jika kita mencoba melakukan cek silang atas berbagai pendapat outsider atas realitas keagamaan yang ada, serta meletakkan pendapat itu di meja kritis. Disinilah letak pentingnya Antropologi Kajian Islam, yakni berusaha keluar dari hegemoni dan bayang-bayang orientalisme dan mendudukkan self atau insider sebagai pelaku penelitian, dan meletakkan outsider di meja kritis. Menulis balik, itulah kerja yang perlu dilakukan oleh self tentang dirinya sendiri, bahkan menempatkan other sebagai objek kajian yang diteliti dan dikritisi. Setidaknya hal itulah yang digarap oleh Hassan Hanafi dengan Muqaddimah fi ‘Ilmi alIstigrab-nya. Hal seperti inilah yang sempat dilakukan oleh A. Baso dengan bukubukunya, seperti Civil Society dan Masyarakat Madani; NU Studies, dan Islam Pascakolonial. Meskipun cukup disayangkan karena tulisan-tulisan ini masih berbau Edward Said. Namun kerja-kerja yang digarap oleh antropolog kajian Islam ini jangan sampai kemudian terjebak pada islamisasi pengetahuan, meminjam istilah al-Faruqi yang kemudian serba berlabel Islam. Penutup Kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama, dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia. Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan, memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian, pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Disinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia yang merupakan realitas empiris agama, maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri. 12Ahmad
Akbar S, Kearah Antropologi Islam, (Jakarta: Media Da’wah, 2000), h. 21.
6
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia. Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006. Akbar, Ahmad S. Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah, 2000. Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKIS 2002. Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya 1989. Haviland, Williiam A. Antroplogi. Jilid I & II. Alih bahasa RG Soekarjo. Jakarta: Erlangga 1988. James, Danundjaya. Antropologi Psikologi, Jakarta: Rajawali Pers 1988. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980. Madjid, Nurcholis. Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina 2000. Murtada Mutahari. Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung: Mizan 1998. Sulaeman, Munandar. Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993. Van, Baal J. Sejarah & pertumbuhan teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jakarta: Gramedia 1970.
7