IV. DESKRIPSI PENELITIAN DAN SKEMA KREDIT
4.1. Deskripsi Wilayah Deskripsi
mengenai
karakteristik
wilayah
Kabupaten
Bogor
dikelompokkan dalam beberapa aspek yaitu: (1) keadaan geografi dan kependudukan, (2) pertanian, dan (3) deskripsi desa contoh.
4.1.1. Keadaan Geografi dan Kependudukan Kabupaten Bogor yang ibukotanya terletak di Cibinong secara geografis memiliki 40 kecamatan dengan luas area sekitar 2 301.95 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan beberapa wilayah yaitu: (1) Kota Depok di bagian utara, (2) Kabupaten Lebak di bagian barat, (3) Kabupaten Tangerang di bagian barat daya, (4) Kabupaten Purwakarta di bagian timur, (5) Kabupaten Bekasi di bagian timur laut, (6) Kabupaten Sukabumi di bagian selatan, dan (7) Kabupaten Cianjur di bagian tenggara. Penelitian difokuskan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pamijahan sebagai penerima kredit domba dengan jumlah terbesar dan Kecamatan Cisarua sebagai penerima kredit dengan jumlah terkecil. Kecamatan Pamijahan terletak pada ketinggian 500-700 dpl dengan curah hujan rata-rata 310 mm. Luas Kecamatan Pamijahan pada tahun 2007 mencapai 8 088.29 ha mencakup 15 desa, sementara itu luas wilayah Kecamatan Cisarua hanya mencapai 6 373.62 ha yang mencakup 10 desa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2008a). Jumlah penduduk dan besarnya angkatan kerja merupakan salah satu aset pembangunan paling dominan yang dimiliki banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2008a) tercatat bahwa penduduk Kabupaten Bogor
45
berjumlah 4 215 838 jiwa terdiri atas 2 185 809 jiwa laki-laki dan 2 066 029 jiwa perempuan. Jumlah ini relatif besar diantara kabupaten/kota di Jawa Barat. Jumlah penduduk di Kecamatan Pamijahan sendiri pada tahun 2007 mencapai 136 730 jiwa dan jumlah penduduk di Kecamatan Cisarua mencapai 109 800 jiwa. Tingkat pendidikan sebagian besar penduduk di Kecamatan Pamijahan adalah: (1) 16 284 orang belum sekolah, (2) 15 917 orang tidak tamat SD/sederajat, (3) 28 889 orang tamat SD, (4) 15 397 orang tamat SLTP, (5) 9 492 orang tamat SLTA, (6) 688 orang tamat akademi, dan (7) 300 orang tamat universitas. Sementara itu, di Kecamatan Cisarua 41.30 persen jumlah penduduknya belum sekolah dan 27.40 persen tidak tamat SD (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2008b).
4.1.2. Keadaan Pertanian Mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor berada di sektor: (1) perdagangan 367 932 orang, (2) industri 292 259 orang, (3) pertanian 268 062 orang, dan (4) sektor lain 464 657 orang. Penduduk di Kecamatan Pamijahan sebagian besar (23 560 orang) bermata pencaharian di sektor pertanian (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2008b). Sementara itu penduduk Kecamatan Cisarua sebagian besar di sektor jasa (57 305 orang) dan sektor pertanian (20 833 orang) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2004). Sektor pertanian sendiri mencakup beberapa sub sektor yaitu tanaman pangan, perikanan, perkebunan, peternakan dan kehutanan. Pada sub sektor tanaman pangan produksi tertinggi dicapai pada komoditas padi sawah dan tanaman ubi kayu masing-masing sebesar 479 754.89 dan 179 223.98 ton.
46
Produksi padi sawah tertinggi berada di Kecamatan Pamijahan yaitu 44 139 ton (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2007). Sumber lain peningkatan gizi masyarakat diperoleh juga dari sub sektor peternakan. Jenis ternak yang dipelihara terdiri dari ternak besar, keci1 dan unggas yang menghasilkan produksi dalam bentuk daging, susu dan telur. Produksi daging total (daging sapi, kerbau, kambing, domba, ayam, dan itik) tahun 2008 mencapai 81 137 407 kg, dengan kontribusi daging domba hanya 2.9 persen setelah daging ayam ras dan sapi. Sementara itu produksi susu dan telur (ayam dan itik) masing-masing sebesar 10 422 075 liter dan 37 593 719 kg (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2008b). Populasi ternak (tidak termasuk unggas) terbesar di Kabupaten Bogor adalah ternak domba yaitu pada tahun 2008 mencapai 221 149 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2008b). Populasi beberapa ternak di Kabupaten Bogor, Kecamatan Pamijahan dan Cisarua dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Populasi Beberapa Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2008 (ekor) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Ternak Sapi potong Sapi perah Kerbau Kambing Domba Ayam ras pedaging Ayam buras Itik
Kabupaten Bogor 18 196 5 907 17 710 106 787 221 149 13 775 475 986 348 128 197
Populasi Tahun 2008 Kecamatan Kecamatan Pamijahan Cisarua 51 1 027 1 152 583 158 3 507 4 080 10 655 6 241 1 350 500 65 000 23 286 70 201 7 350 2 510
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2008b Peningkatan populasi domba yang terjadi di Kecamatan Pamijahan terkait dengan peningkatan jumlah rumahtangga petani yang mengelola usaha ternak
47
domba yaitu dari 1 906 menjadi 1 997 rumahtangga pada tahun 2008. Akibat peningkatan populasi domba ini, terjadi juga peningkatan luas lahan untuk mengusahakan ternak domba yaitu dari 0.64 ha pada tahun 2007 menjadi 0.75 ha pada tahun 2008 (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2008b).
4.1.3. Deskripsi Desa Contoh Desa yang ada di Kecamatan Pamijahan seluruhnya berjumlah 15 desa, namun hanya 4 desa yang dipilih dalam penelitian yaitu: (1) Cibitung Kulon, (2) Gunungsari, (3) Gunung Bunder II, dan (4) Cimayang. Hal ini mengingat di desa tersebut masih terdapat kegiatan perguliran kredit domba. Keempat desa yang berada di areal kaki gunung salak tersebut memiliki penduduk dengan kualitas sumberdaya manusia yang tergolong cukup rendah. Tingkat pendidikan sebagian besar penduduk adalah tamat Sekolah Dasar seperti ditunjukkan Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Beberapa Desa di Kecamatan Pamijahan Tahun 2007 (orang) Desa No Jenjang Pendidikan Gunungsari Gunung Cibitung Cimayang Bunder II Kulon 1 640 1 Belum sekolah 1 050 857 806 2 401 2 Tidak tamat SD/sederajat 200 867 2 337 3 274 3 Tamat SD 1 020 1 645 2 529 2 729 4 Tamat SLTP 500 1 148 667 2 183 5 Tamat SLTA 95 0 71 196 6 Tamat Akademi 0 96 24 133 7 Tamat Universitas 7 0 0 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2008b Mata pencaharian sebagian besar rumahtangga penduduk tahun 2007 berada di sektor pertanian terutama di subsektor tanaman pangan, peternakan dan perikanan baik sebagai petani maupun buruh tani. Komoditas subsektor tanaman
48
pangan yang dihasilkan sebagian besar adalah tanaman padi sawah diikuti palawija dan beberapa sayur mayur (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2008b). Pada subsektor peternakan, ternak domba memiliki populasi terbesar diantara ternak lain (tidak termasuk unggas). Secara rinci populasi ternak dan jumlah rumahtangga yang mengusahakannya di empat desa contoh di Kecamatan Pamijahan dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9.
Tabel 8. Populasi Ternak Beberapa Desa di Kecamatan Pamijahan Tahun 2008 (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Ternak
Gunungsari
Domba Kambing Kerbau Anjing Kelinci Ayam buras Itik Ayam ras pedaging
849 193 50 10 382 1 279 200 126 000
Desa Gunung Cibitung Bunder II Kulon 628 830 160 222 41 37 7 8 133 48 1 929 1 662 0 783 63 000 91 000
Cimayang 597 183 39 8 62 1 247 0 39 000
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2008b Tabel 9. Jumlah Rumahtangga yang Mengusahakan Ternak di Beberapa Desa di Kecamatan Pamijahan Tahun 2008 (RT) Desa No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Komoditas Ternak Gunungsari Domba Kambing Kerbau Anjing Kelinci Ayam buras Itik Ayam ras pedaging
168 36 26 6 17 207 1 14
Gunung Bunder II 125 25 30 4 16 217 0 7
Cibitung Kulon 139 35 21 5 6 184 31 10
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2008b
Cimayang 102 30 21 5 5 138 0 2
49
Desa Citeko merupakan salah satu desa di Kecamatan Cisarua dengan luas wilayah 461 ha. Batas-batas wilayah desa adalah: (1) di sebelah timur berbatasan dengan Desa Cibeureum, (2) di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Megamendung, (3) di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisarua, dan (4) di sebelah selatan berbatasan dengan Gunung Pangrango. Berdasarkan Data Monografi Desa Citeko (2006), jumlah penduduk Desa Citeko sebanyak 8 887 orang terdiri atas 4 396 jiwa perempuan dan 4 491 laki-laki. Usia sebagian besar penduduk antara 15 sampai 19 tahun seperti yang ditunjukkan Tabel 10.
Tabel 10. Data Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja di Desa Citeko, Kecamatan Cisarua Tahun 2006 (Orang) Kelompok Umur 10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 ≥ 57
Laki-laki 140 171 122 214 142 129
Perempuan 135 152 263 133 130 125
Jumlah 1 654 2 090 920 570 370 350
Sumber: Monografi Desa Citeko, 2006 Berdasarkan Data Monografi Desa Citeko (2006), kualitas sumberdaya manusia Desa Citeko masih cukup rendah. Hal ini terlihat dari rata-rata tingkat pendidikan sebagian besar penduduknya hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Namun demikian, sarana pendidikan yang tersedia di desa ini sudah cukup memadai yaitu tersedia sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Pondok Pesantren, dan Madrasah. Lahan desa Citeko sebagian besar digunakan sebagai lahan pertanian, dimana lahan tersebut terbagi menjadi lahan sawah seluas 47 ha dan lahan bukan sawah seluas 139.47 ha. Mayoritas penduduk Desa Citeko adalah petani kebun
50
sayuran, dengan produksi sayuran seperti wortel, kubis, kembang kol, sawi putih, tomat, selada dan lainnya. Dengan demikian Desa Citeko merupakan salah satu kawasan sentra produksi sayuran di Kabupaten Bogor dan juga menjadi pemasok sayuran di luar Bogor. Selain sayuran, komoditas tanaman pangan lain yang diusahakan adalah tanaman padi dan jagung. Pada subsektor peternakan, populasi ternak terbesar (tidak termasuk unggas) pada tahun 2007 adalah ternak domba yang mencapai 1 053 ekor. Jumlah ini mengalami penurunan 4.45 persen dari tahun 2006. Sementara itu luas lahan yang digunakan untuk mengusahakan ternak domba dan jumlah rumah tangga yang beternak domba tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya seperti ditunjukkan Tabel 11. Hal ini kemungkinan karena sebagian petani menjual ternaknya ataupun karena kematian ternak.
Tabel 11. Jenis Ternak, Luas Penggunaan Lahan dan Jumlah Rumahtangga yang Mengusahakan Ternak di Desa Citeko Tahun 2006-2007 Tahun 2006 Tahun 2007 Jumlah Luas lahan RTP Jumlah Luas RTP Jenis Ternak (ekor) (ha) (orang) (ekor) lahan (ha) (orang) Kerbau 31 1.50 8 28 0.88 6 Kambing 755 1.40 130 1 004 1.40 130 Domba 1 102 1.66 135 1 053 1.66 135 Ayam buras 11 764 4.22 1 455 7 356 4.22 1 455 Ayam ras pedaging 10 000 0.50 1 10 000 0.50 1 Itik 1 661 2.01 270 439 0.22 63 Kelinci 80 15 155 0.22 15 Sumber: UPTD Penyuluhan dan Poskeswan Wilayah Ciawi, 2007
4.2. Deskripsi Responden Karakteristik responden yang diamati adalah karakteristik 133 responden di wilayah Kecamatan Pamijahan dan Cisarua. Responden terdiri dari 75 petani yang sudah pernah menerima kredit domba dan 58 petani yang belum pernah
51
menerima kredit domba. Dalam hal ini akan dikaji beberapa hal yaitu: (1) karakteristik umum responden, (2) penguasaan sumberdaya pertanian, (3) produksi, (4) curahan waktu kerja keluarga, (5) pendapatan, dan (6) pengeluaran.
4.2.1. Karakteristik Umum Responden Karakteristik umum responden meliputi umur, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah anak yang bersekolah dan jumlah angkatan kerja keluarga. Secara umum rata-rata umur responden baik suami maupun istri berada dalam usia produktif yang berkisar antara 38 sampai 39 tahun untuk istri dan 45 sampai 47 tahun untuk suami seperti ditunjukkan pada Tabel 12. Rata-rata pendidikan suami dan istri yang diukur berdasarkan lama tahun pendidikan yang dijalani relatif hampir sama masing-masing 4.97 dan 4.32 tahun bagi petani penerima kredit serta 4.50 dan 4.40 tahun bagi petani non kredit. Hal ini menunjukkan bahwa hampir di semua kabupaten, baik suami maupun istrinya berpendidikan setara dengan SD walaupun tidak sampai tamat. Namun hal ini tidak menghasilkan perbedaan yang berarti karena tidak ada yang mengharuskan adanya perbedaan pendidikan antara suami dan istri.
Tabel 12. Karakteristik Rumahtangga Petani Berdasarkan Kelompok Petani Uraian Petani Kredit Petani Non Kredit Jumlah responden (orang) 75 58 Umur suami (tahun) 46.91 45.14 Umur istri (tahun) 39.36 38.05 Pendidikan suami (tahun) 4.97 4.60 Pendidikan istri (tahun) 4.32 4.40 Jumlah anggota keluarga (orang) 3.80 3.57 Angkatan kerja keluarga (orang) 3.72 3.60 Jumlah anak sekolah (orang) 1.45 1.48
52
Tabel 12 juga menyajikan jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan, jumlah angkatan kerja keluarga dan jumlah anak yang masih bersekolah. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan adalah 3.80 dan 3.57 orang masing-masing untuk petani penerima kredit dan non kredit. Jumlah anggota keluarga yang masih sekolah relatif kecil yakni rata-rata 1.47 dengan variasi antara 1.45 bagi petani kredit dan 1.48 orang bagi petani non kredit. Sementara itu, rata-rata jumlah angkatan kerja dalam keluarga masingmasing 3.72 dan 3.60 orang. Angkatan kerja keluarga diukur dengan jumlah anggota keluarga yang berumur sama dengan atau lebih dari 15 tahun. Walaupun kenyataannya di wilayah tersebut rata-rata anak berumur 10 tahun sudah bekerja. Priyanti (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah anggota keluarga cenderung memiliki jumlah angkatan kerja yang semakin besar pula. Pada penelitian diperoleh juga bahwa jumlah anggota keluarga petani yang mendapatkan kredit lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mendapatkan kredit, sehingga jumlah angkatan kerja pun lebih tinggi. Secara umum dapat dinyatakan bahwa karakteristik rumahtangga petani penerima kredit tidak jauh berbeda dibandingkan dengan petani non kredit. Karakteristik ini diduga akan memberi pengaruh terhadap aspek lainnya seperti produksi, penggunaan tenaga kerja keluarga, pendapatan dan alokasi pengeluaran.
4.2.2. Penguasaan Sumberdaya Pertanian Mata pencaharian sebagian besar responden yang diamati adalah sebagai petani dan buruh tani. Petani yang memiliki lahan pertanian sendiri pun kadangkala juga bekerja sebagai buruh tani. Hal ini akibat keterbatasan kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai oleh petani. Disisi lain petani pun
53
dapat menggarap lahan milik orang lain dengan cara sewa lahan per tahun ataupun memanfaatkannya dengan cuma-cuma. Penguasaan sumberdaya lahan yang dimiliki oleh petani diukur dengan variabel luas areal tanam komoditas yang diusahakan petani dalam satuan meter persegi. Penguasaan lahan pertanian baik berstatus milik sendiri maupun sewa atau garapan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Rata-Rata Penguasaan Rumahtangga Petani
Lahan
Pertanian
dan
Peternakan
per (m2)
Penguasaan Lahan Milik sendiri 1. Sawah 2. Kebun 3. Kolam 4. Kandang 5. Lainnya Sewa/Garapan 1. Sawah 2. Kebun
Petani Kredit
Petani Non Kredit
2 144 485 26 18 13
562 100 1 7 0
891 241
293 452
Berdasarkan Tabel 13 diperoleh bahwa pemilikan lahan sawah, kebun, kolam dan lainnya bagi petani yang menerima kredit domba lebih tinggi dibandingkan dengan petani non kredit. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung program kredit domba ditujukan untuk petani yang memiliki aset berupa lahan pertanian, walaupun secara formal tidak ada disebutkan adanya jaminan untuk kredit yang diberikan. Demikian juga halnya dengan kepemilikan lahan kandang, petani penerima kredit domba memiliki lahan kandang yang lebih luas dibandingkan dengan petani yang tidak menerima kredit yaitu masing-masing 18.23 dan 7.16 m2. Hal ini secara tidak langsung terkait dengan jumlah ternak domba yang dapat mereka pelihara. Petani yang mengajukan kredit domba
54
berasumsi mereka masih mampu memelihara domba melebihi yang mereka miliki saat ini dengan cara menambah jumlah domba dari kredit. Hal ini menunjukkan bahwa program pemerintah sesuai dengan tujuannya yaitu memberi nilai tambah sehingga pendapatan petani pun meningkat. Kandang domba pada umumnya berbentuk kandang panggung, dimana kotoran akan langsung jatuh ke tanah. Kebanyakan kandang berbentuk kandang kelompok atau tidak disekat per satu ekor domba. Biasanya disekat berdasarkan jenis kelamin yaitu betina dikumpulkan jadi satu dan terpisah dengan jantan. Disamping penguasaan terhadap sumberdaya lahan, petani di Kabupaten Bogor juga memiliki sumberdaya lain yaitu ternak domba itu sendiri. Rata-rata kepemilikan ternak domba rumahtangga petani kredit maupun petani non kredit relatif sama yaitu 2.2 ekor domba. Rata-rata kepemilikan ini tidak jauh berbeda dengan rata-rata kepemilikan ternak domba di Majalengka seperti yang dilaporkan Mahendri et al. (2005) dan Diwyanto et al. (2005). Dengan melihat kepemilikan lahan kandang yang cukup besar bagi petani penerima kredit dan jumlah ternak yang dimiliki lebih sedikit dibandingkan petani non kredit memberi peluang bagi petani kredit untuk memperoleh tambahan berupa kredit domba dari pemerintah. Penguasaan sumberdaya lainnya adalah keterampilan petani dalam usaha pertanian. Keterampilan petani diukur dengan variabel pengalaman petani dalam mengusahakan ternak domba sehari-hari. Secara umum dalam penelitian ini, diperoleh bahwa pengalaman usaha domba petani kredit lebih lama dibandingkan dengan petani non kredit yaitu 19.71 dan 15.02 tahun. Dapat dinyatakan bahwa hampir separuh hidupnya petani sudah mengelola usaha ternak domba. Keadaan
55
ini terjadi karena usaha pertanian di masyarakat Indonesia memang tidak terlepas dari usaha ternak sebagai tabungan atau usaha sampingan.
4.2.3. Produksi Usaha domba yang dipelihara di Kabupaten Bogor sebagian besar ditujukan untuk usaha pembibitan. Dengan demikian produksi yang dimaksud disini adalah produksi ternak yang dihasilkan selama dua tahun terakhir dan kemudian dirata-ratakan dalam satu tahun. Produksi ternak dihitung selama dua tahun karena ternak domba tidak bisa berproduksi setiap hari tetapi umumnya tiga kali dalam waktu dua tahun (Johnston, 1983). Produksi, dan mutasi ternak domba selama satu tahun dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Rata-Rata Mutasi Ternak Domba Selama Satu Tahun Mutasi Ternak Jumlah ternak sendiri (ekor) Jumlah kredit ternak/gaduhan (ekor) Produksi (ekor) Seks rasio betina terhadap jantan Kematian ternak (persen) Ternak majir (persen) Penjualan ternak (ekor) Aset domba jantan (ekor) Aset domba betina (ekor) Persentase ternak betina (persen)
Petani Kredit 2.24 4.31 6.60 1.06 4.90 0.63 7.45 1.67 2.85 76.89
Petani Non Kredit 2.20 0.42 4.15 0.51 0.28 0.00 3.14 1.22 1.37 63.26
Produksi ternak domba yang dihasilkan per tahun oleh petani kredit relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani non kredit. Hal ini karena bakalan ternak yang dimiliki oleh petani kredit lebih banyak dengan adanya tambahan kredit domba dari pemerintah maupun tambahan gaduhan dari petani lain. Persentase ternak betina dari total ternak yang dimiliki masing-masing untuk penerima kredit
56
dan petani non penerima kredit adalah 76.89 dan 63.26 persen. Artinya bahwa jumlah ternak betina yang dimiliki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ternak jantan. Dengan demikian peluang untuk berproduksi akan lebih banyak pada petani penerima kredit domba. Namun, kondisi ini belum tentu memberikan tingkat penerimaan yang lebih besar pada petani penerima kredit karena nilai jual ternak jantan di pasaran cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ternak betina. Pada kondisi normal harga domba dara dapat mencapai 400 hingga 500 ribu rupiah per ekor, sedangkan domba jantan bisa mencapai 600 hingga 700 ribu rupiah per ekor. Tingkat kematian domba yang dimiliki petani penerima kredit lebih tinggi dibandingkan petani non kredit. Hal ini terutama dari ternak kredit akibat stres selama pengangkutan dari tempat membeli ke petani kredit. Walaupun tingkat kematiannya tinggi, namun jumlah penjualan ternak dan sisa ternak tidak terjual (aset ternak) yang dimiliki petani kredit masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan ternak milik petani non kredit. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada peluang untuk berproduksi sehingga keberlanjutan usaha ternak domba dapat dipertahankan. Selain dalam bentuk produksi anak, pemeliharaan ternak domba juga menghasilkan produk lain yaitu berupa kotoran. Kotoran domba baru diangkat dari kandang setiap tiga sampai empat bulan sekali bahkan ada petani yang baru membersihkan kotoran domba enam bulan sekali. Biasanya kotoran tersebut dibawa ke sawah untuk digunakan sendiri bagi petani yang memiliki lahan, tapi bagi yang tidak memiliki lahan, kotoran tersebut dijual. Jumlah ternak domba yang dipelihara dan produksinya akan memberi pengaruh terhadap produksi
57
kotoran ternak tersebut. Semakin banyak ternak yang dipelihara semakin banyak produksi kotorannya. Pada penelitian ini, rata-rata produksi kotoran ternak domba 1 650.57 kg/tahun pada petani kredit dan 950.60 kg/tahun pada petani non kredit.
4.2.4. Curahan Waktu Kerja Keluarga Penggunaan tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk usaha on farm, off farm, non farm, usaha ternak selain domba dan usaha perikanan. Usaha on farm dalam penelitian ini adalah usaha produksi tanaman pangan yang dihasilkan dari lahan sendiri maupun lahan garapan seperti tanaman padi, ubi-ubian, dan sayursayuran. Mengingat sebagian besar petani juga menjadi buruh tani maka diklasifikasikan sebagai usaha off farm. Usaha non farm sendiri meliputi usaha dagang, ojek maupun buruh bangunan yang memang sebagian besar menjadi usaha sambilan petani. Penggunaan tenaga kerja keluarga merupakan penggunaan seluruh tenaga anggota keluarga yang bekerja yaitu tenaga kerja laki-laki, perempuan dan anak-anak dengan perhitungan jumlah jam kerja dalam setahun. Tabel 15 menunjukkan bahwa rata-rata curahan waktu kerja keluarga untuk usaha domba bagi petani kredit relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani non kredit. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya program kredit domba dari pemerintah sehingga ada tambahan jam kerja keluarga yang dicurahkan. Sebaliknya, curahan tenaga kerja keluarga di luar usaha domba bagi petani penerima kredit lebih rendah dibandingkan petani non kredit. Berdasarkan Tabel 15 terlihat juga bahwa curahan waktu kerja keluarga petani kredit, 24.55 persennya dicurahkan untuk usaha ternak domba. Sementara itu bagi petani non kredit, curahan waktu kerja untuk usaha domba hanya mencapai 22.59 persen. Hal ini terkait dengan jumlah domba yang dipelihara.
58
Untuk usaha di luar usaha domba, curahan waktu kerja terbesar dicurahkan untuk usaha off farm, kemudian non farm dan on farm bagi petani kredit maupun petani non kredit.
Tabel 15. Rata-rata Curahan Waktu Kerja Keluarga Petani Penerima dan Non Penerima Kredit Domba (jam/tahun) Petani Kredit Petani Non Kredit Curahan TK Keluarga 1. Usaha ternak domba 1 356.23 (24.55%) 1 222.02 (22.59%) 2. Usaha ternak selain domba 77.58 (1.86%) 67.34 (1.61%) 3. Usaha on farm 614.29 (14.74%) 283.64 (6.78%) 4. Usaha off farm 2 500.87 (60.00%) 2 884.07 (68.89%) 5. Usaha non-farm 975.05 (23.40%) 951.36 (22.72%) 6. Total curahan waktu di luar usaha domba 4 167.80 (75.45) 4 186.41 (77.41) 7. Total curahan waktu kerja 5 524.03 (100%) 5 408.43 (100%)
Teori ekonomi menunjukkan bahwa jumlah jam kerja yang dicurahkan rumahtangga dipengaruhi oleh besarnya upah tenaga kerja yang diterima. Semakin tinggi upah tenaga kerja, akan mendorong rumahtangga untuk bekerja lebih lama, sehingga pendapatannya meningkat. Jumlah jam kerja yang dicurahkan seseorang pada suatu produksi juga dipengaruhi oleh produktivitasnya, sehingga semakin tinggi produktivitas seseorang semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu proses produksi (Priyanti, 2007). Berdasarkan
perhitungan
pendapatan
total
rumahtangga
petani,
maka
produktivitas total tenaga kerja keluarga dalam setahun memberikan nilai masingmasing sebesar Rp 3 254.54 dan Rp 2 389.24 per jam bagi petani kredit dan non kredit. Petani non kredit lebih produktif menggunakan waktunya untuk usaha domba dibandingkan dengan petani kredit. Hal ini terlihat dari nilai produktifitas
59
petani kredit yang lebih rendah dibandingkan dengan petani non kredit yaitu masing-masing Rp 1 017.92 dan Rp 1 023.09 per jam.
4.2.5. Pendapatan Pendapatan total rumahtangga petani diperoleh dari total pendapatan pada usaha on farm, off farm, non farm, usaha ternak domba dan selain domba serta pendapatan lain seperti dari kiriman anak. Pendapatan masing-masing usaha dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Penerima dan Non Penerima Kredit Domba (Rp/tahun) Pendapatan Keluarga 1. Usaha on farm 2. Usaha ternak lain 3. Usaha perikanan 4. Usaha off farm 5. Usaha non farm 6. Pendapatan lain 7. Total pendapatan di luar usaha domba 8. Usaha ternak domba Total pendapatan
Petani Kredit 5 632 490 (33.94%) 134 093 (0.81%) 430 667 (2.60%) 5 618 827 (33.86%) 4 215 453 (25.40%) 563 387 (3.39%) 16 594 917(92.32%)
Petani Non Kredit 1 662 994 (14.25%) 58 966 (0.50%) 413 793 (3.55%) 6 034 276 (51.70%) 2 941 603 (25.21%) 558 448 (4.79%) 11 670 080 (92.36%)
1 380 534 (7.68%) 17 975 451 (100%)
1 250 242 (9.68%) 12 920 322 (100%)
Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa rata-rata pendapatan total rumahtangga penerima kredit relatif lebih besar dibandingkan dengan petani non kredit yaitu masing-masing Rp 17 975 451 dan Rp 12 920 321 per tahun. Pada petani kredit, hanya 7.68 persen pendapatan diperoleh dari usaha domba, sedangkan pada petani non kredit kontribusi pendapatan usaha domba relatif lebih tinggi yaitu 9.68 persen. Kontribusi ini masih lebih rendah dari hasil pengamatan Karo-Karo et al. (1994) yang mencatat kontribusi domba persilangan di Sumatera
60
Utara mencapai 10.2 persen dari total pendapatan. Priyanti et al. (1990) mencatat kontribusi domba sebesar 10.68 persen dari total pendapatan. Pendapatan usaha lain pada petani penerima kredit dikontribusi terbesar dari usaha on farm, off farm, dan usaha non farm. Sebaliknya pada petani non kredit kontribusi terbesar dari usaha off farm, non farm dan on farm. Pendapatan dari usaha domba sendiri diperoleh dari selisih antara penerimaan dari usaha domba dengan biaya produksi usaha domba. Penerimaan dari usaha domba diperoleh dari penerimaan dari domba dan kotoran domba. Sementara itu, biaya produksi usaha ternak terdiri dari biaya input pakan, bibit, penyusutan kandang, biaya obat-obatan dan cicilan ternak. Rata-rata penerimaan dan biaya produksi usaha ternak domba disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Rata-Rata Penerimaan, Biaya Produksi dan Pendapatan Usaha Domba Petani Penerima dan Non Penerima Kredit Domba (Rp/tahun) Uraian 1. Penerimaan a. Ternak domba b. Kotoran domba 2. Total biaya produksi a. Bibit b. Biaya pakan c. Penyusutan kandang c. Biaya obat-obatan d. Cicilan 3. Pendapatan
Petani Kredit Petani Non Kredit 5 536 229 3 311 389 5 207 600 3 153 190 328 629 158 199 4 155 695 (100%) 2 061 147 (100%) 259 333 (6.24%) 711 207 (34.50%) 2 177 042 (52.39%) 1 164 724 (56.51%) 155 800 (3.75%) 158 707 (7.70%) 24 187 (0.58%) 26 509 (1.29%) 1 539 333 (37.04%) 1 380 534 1 250 242
Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa biaya produksi total petani penerima kredit relatif lebih besar yaitu Rp 4 155 695 per tahun dibandingkan dengan petani non kredit yang hanya mencapai Rp 2 061 147 per tahun. Hal ini seiring populasi ternak yang lebih besar dengan adanya tambahan jumlah ternak domba akibat
61
program kredit. Biaya produksi terbesar terletak pada komponen biaya pakan yaitu masing-masing 52.39 dan 56.51 persen bagi usaha ternak petani kredit dan non kredit domba. Kenyataan di lapangan bahwa pakan domba berupa rumput diperoleh dengan tidak membeli melainkan mencari di persawahan, gunung maupun di pinggir sungai. Namun demikian, seiring dengan peningkatan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian menyebabkan berkurangnya lahan untuk tanaman rumput sehingga pada akhirnya rumput akan menjadi barang ekonomis. Oleh karena itu dalam penelitian pakan rumput dinilai dengan uang dimana nilainya diperoleh dari rata-rata pengeluaran untuk membayar orang mencari rumput per kilogramnya.
4.2.6. Pengeluaran Struktur pengeluaran rumahtangga petani terdiri atas pengeluaran untuk konsumsi pangan dan non pangan. Pengeluaran non pangan sendiri meliputi pengeluaran kebutuhan sehari-hari di luar makan, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan pembayaran listrik. Rata-rata pengeluaran untuk pangan dan non pangan disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga Petani Penerima dan Non Penerima Kredit Domba (Rp/tahun) Petani Kredit Petani Non Kredit Uraian Konsumsi 1. Pangan 9 523 053 (73.52%) 8 007 617 (74.30%) 2. Non pangan 3 429 419 (26.48%) 2 769 975 (25.70%) Total konsumsi 12 952 472 (100%) 10 777 592 (100%)
62
Berdasarkan Tabel 18 diperoleh bahwa pengeluaran rutin terbesar yang harus dibayarkan rumahtangga petani adalah konsumsi untuk pangan yaitu masing-masing bagi petani kredit dan non kredit sebesar Rp 9 523 053 dan Rp 8 007 616 per tahun dari total pengeluaran. Sebagian besar pengeluaran untuk pangan dibeli dari pasar, hanya sebagian kecil disediakan dari usahataninya. Petani kredit membayarkan rata-rata pengeluaran untuk konsumsi pangan dalam setahun relatif lebih tinggi dibandingkan petani non kredit. Hal ini karena jumlah tanggungan keluarga petani kredit lebih tinggi walaupun jumlah ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan petani non kredit. Namun jika dilihat dari proporsi pengeluaran non pangan, petani kredit memiliki porsi pengeluaran untuk non pangan yang lebih tinggi yaitu 26.48 persen dari total pengeluarannya. Sebaliknya petani non kredit hanya 25.70 persen proporsi pengeluaran untuk non pangan. Kemungkinan hal ini karena jumlah pendapatan rumahtangga yang diterima petani penerima kredit lebih tinggi dibandingkan dengan petani non kredit (Tabel 16).
4.3. Deskripsi Skema Kredit Domba Selama ini subsektor peternakan banyak dibiayai kredit program yang disalurkan oleh bank pelaksana dalam bentuk uang. Namun demikian, seringkali kredit yang diterima tidak digunakan untuk tujuan semula atau hanya sebagian yang digunakan untuk usahanya dan sisanya digunakan untuk konsumsi rumahtangga. Hal ini mendorong Pemerintah untuk memberikan kredit dalam bentuk natura/ternak. Melalui Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), Pemerintah Kabupaten Bogor memberikan kredit domba kepada petani dengan tujuan mempercepat pengembangan dan pemerataan pemilikan ternak khususnya ternak
63
domba, serta secara khusus bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produksi hasil ternak domba. Selain itu juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani ternak. Kredit ternak domba di Kabupaten Bogor diberikan dengan sistem bergulir artinya petani menerima ternak domba dari pemerintah kemudian mengembalikannya juga dalam bentuk ternak domba untuk digulirkan kembali ke petani lainnya. Demikian seterusnya sehingga ternak pemerintah akan bergulir tiada henti untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bawah pengelolaan administrasi Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
4.3.1. Mekanisme Penyaluran Kredit Domba Mekanisme dan pola perguliran kredit domba didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No 146/Kpts/HK.050/2/1993 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Penyebaran Ternak Pemerintah dan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan No 50/HK.050/Kpts/1293 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyebaran dan Pengembangan Ternak Pemerintah. Dalam satu paket kredit ditentukan jenis ternak, jumlah, jenis kelamin, umur dan standar teknis lainnya meliputi tinggi, bobot hidup dan lainnya. Pemilihan komoditas, lokasi maupun pasar dari kredit didasarkan pada permohonan petani dan kemampuan pasar dalam pembinaan kelompok pada sistem agribisnis. Lokasi diseleksi berdasarkan tata ruang dan teknis peternakan. Sementara itu, calon penggaduh diseleksi pengetahuan dan kesiapan teknis lapangan, sikap mental dan tingkat kemajuan ekonomi. Paket kredit yang diberikan berjumlah tiga sampai lima ekor dengan perbandingan satu ekor jantan dan sisanya ternak betina. Spesifikasi ternak domba yang diberikan adalah jenis domba Garut yang sudah berumur 8-10 bulan (bobot hidup 25-28 kg) untuk ternak betina dan 10-12 bulan
64
(bobot hidup 30-32 kg) untuk ternak jantan. Selain itu juga terdapat substansi tambahan berupa bantuan kandang, bibit rumput ataupun pakan ternak domba. Berdasarkan ketentuan atau dasar hukum tersebut, maka Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor juga menetapkan pedoman khusus perguliran ternak pemerintah di Kabupaten Bogor melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor Nomor 524/SK/3043-PROD. Pedoman ini ditujukan untuk menyesuaikan ketentuan pusat tentang pengelolaan ternak dengan kondisi lapangan di daerah Kabupaten Bogor. Dalam pedoman ini beberapa hal yang diputuskan antara lain: (a) lokasi dan peternak penerima kredit ditetapkan dengan Surat Keputusan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, (2) calon penerima hasil perguliran sudah diseleksi dan ditetapkan sehingga calon ini dapat mengontrol penerima kredit ternak pokok sebelumnya, (3) setoran ternak secara administratif tetap dilakukan penerima kredit kepada pemberi kredit, walaupun secara teknis di lapangan setoran dapat langsung diberikan ke calon penerima hasil revolving yang telah ditetapkan pada poin dua. Sistem pengembalian kredit domba didasarkan pada ketentuan pemerintah yaitu petani wajib mengembalikan satu ekor domba jantan dan dua ekor domba betina turunannya untuk setiap satu ekor domba jantan dan betina yang diterima. Waktu pengembalian kredit ditentukan selama dua tahun sejak kredit domba diterima. Ukuran domba yang dikembalikan sebesar domba yang diterima semula untuk disalurkan kembali ke peternak lain (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2006). Tata cara perguliran kredit domba adalah sebagai berikut: (1) Kepala Desa diketahui Camat dan Kepala UPTD Penyuluhan dan Pos Kesehatan Hewan
65
setempat mengusulkan calon penerima kredit ternak kepada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, (2) usulan tersebut disampaikan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan kepada Kepala Unit Pelayanan dan Pengembangan (UPP) untuk dilakukan seleksi, (3) hasil seleksi disampaikan Kepala UPP kembali ke Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan untuk diterbitkan Keputusan tentang kelompok penerima kredit, (4) kredit diberikan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan kepada UPP untuk disalurkan ke penerima kredit (Gambar 9).
Permohonan tertulis Seleksi
Ditolak Diganti calon lain
Diterima Pelatihan/ penyuluhan
Redistribusi
Surat perjanjian + dropping ternak dari dinas melalui UPP Budidaya ternak induk/pejantan
Boleh mengajukan kembali Kejadian tidak disengaja/bencana alam
Dihapus
Setor keturunan
Kejadian disengaja/dijual /dipotong Mengganti Lunas
Gambar 9. Skema Program Kredit Domba di Kabupaten Bogor
66
Prosedur pemberian kredit dilakukan secara selektif untuk menghindari salah sasaran dan salah penggunaan kredit. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari resiko ketidakmampuan dalam pengembaliannya. Dalam proses seleksi, lembaga pembiayaan formal menerapkan beberapa indikator kelayakan agar peminjam mampu dan mau membayar pinjaman sesuai waktu yang telah disepakati. Tassel (1999) yang mempelajari kontrak pinjaman joint liability (tanggung jawab bersama) sebagai bagian dari mekanisme seleksi, menyatakan bahwa di bawah informasi tidak sempurna, pemberi pinjaman mampu menggunakan joint liability sebagai alat seleksi. Setelah penerima kredit domba ditetapkan, maka setiap anggota wajib mengikuti pelatihan/penyuluhan terutama mengenai usaha yang dijalankannya. Kegiatan ini juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran peternak akan kewajiban atas kredit yang diterimanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani yang menerima kredit tidak diseleksi dengan baik kesiapannya secara teknis di lapangan. Petani yang tidak sedang memelihara domba maupun petani yang tidak memiliki pengetahuan memelihara domba, tetap berkesempatan menerima kredit domba. Disamping itu, kelompok yang dibentuk pada awal pengajuan kredit dalam perjalanannya menjadi tidak utuh seperti semula. Hal ini karena ketika kredit domba sudah diterima, petani yang sudah menjadi anggota kelompok seringkali menolak kredit dan melimpahkannya kepada petani di luar kelompok atau petani sering membagi paket kreditnya dengan petani di luar kelompok. Selain persyaratan aplikasi, terdapat unsur insentif dan sangsi yang diterapkan kepada peternak yang akan mengakses kredit. Insentif merupakan sesuatu hal yang mengikat peminjam untuk bertanggung jawab membayar
67
kembali pinjaman tepat waktu. Bentuk insentif yang umum berlaku adalah: (1) peternak dapat meminjam kembali, (2) besar kredit dapat ditambah, (3) insentif pemotongan tingkat bunga kredit, dan (4) insentif berupa souvenir, hadiah dan lainnya. Menurut Braverman dan Guasch (1986), kegagalan kredit program atau kredit bersubsidi salah satunya karena kurangnya insentif diantara institusi. Insentif yang diberlakukan dalam penelitian ini adalah petani mendapat kesempatan memperoleh kembali kredit domba jika usahanya berjalan lancar. Sementara itu, sangsi adalah upaya yang dilakukan lembaga pembiayaan dalam rangka mengurangi potensi menunggak. Jenis sangsi yang diberlakukan lembaga pemberi pinjaman berupa: (1) peringatan, (2) penagihan secara terus menerus, (3) pencabutan kredit, dan (4) hilangnya hak untuk menerima kredit di masa mendatang. Jika kredit telah dicairkan, maka lembaga pemberi kredit sebaiknya melakukan pembinaan dan pengawasan (monitoring) secara tertib. Hal ini penting guna memberi masukan secara dini atas kemungkinan terjadinya kredit macet. Hal senada juga diungkapkan Ssenyonga (2004) bahwa kelemahan kredit program selama ini tidak semata-mata pada konsep dan landasannya, tetapi juga kekurangan perencanaan. Dengan demikian perlu perbaikan jasa penyuluhan dalam rancangan, penyaluran, pengawasan, penyebaran informasi serta cara dan ketepatan sistem penagihan. Dalam penelitian, sangsi yang diberlakukan pemerintah kepada petani yang menunggak kredit adalah hilangnya kesempatan untuk memperoleh kredit domba di masa mendatang. Pada pinjaman dalam bentuk kelompok (group lending), mekanisme monitoring lebih mudah dilaksanakan dengan memanfaatkan kelompok itu sendiri. Anggota kelompok saling memonitor pelaksanaan usaha satu sama lain
68
yang mendapatkan kredit dan jika kewajiban membayar kembali tidak dapat dilakukan maka kewajiban tersebut akan menjadi tanggung jawab kelompok (Stiglitz, 1990). Lebih lanjut Huppi dan Feder (1990) menyatakan bahwa skema pinjaman kelompok sangat berperan dalam keberhasilan pinjaman kredit yaitu: (1) meningkatkan informasi tentang peminjam, (2) tanggung jawab bersama dapat memperbaiki tingkat repayment, dan (3) mengurangi biaya transaksi kredit. Penundaan kredit untuk semua anggota kelompok adalah cara pemaksaan tanggung jawab kelompok yang paling efektif dan biaya murah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelompok yang dibentuk belum mampu melaksanakan perannya sebagai alat monitoring. Kelompok hanya sebagai formalitas untuk memperoleh kredit domba. Tujuan pengajuan kredit dalam bentuk kelompok adalah diharapkan pengelolaan domba pun secara berkelompok sehingga hasilnya akan lebih terlihat. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa domba dibawa pulang dan dipelihara oleh masing-masing kelompok, sehingga tanggung jawab pun tidak secara kelompok.
4.3.2. Peluang Mendapatkan Kredit Domba Pada tahun 1997 hingga 2004 jenis ternak yang telah digulirkan pemerintah meliputi ayam buras 1 100 ekor, sapi potong 97 ekor, sapi perah 4 ekor, kambing Peranakan Etawah (PE) 670 ekor, kelinci 1 100 ekor, itik 2 000 ekor, dan ternak domba 4 218 ekor. Jumlah total populasi tersebut sudah termasuk jantan dan betina baik ternak pokok dari pemerintah maupun ternak revolving (ternak hasil penarikan dari peternak yang mendapat kredit ternak pokok awal). Perguliran ternak tersebar di dua puluh tujuh kecamatan di Kabupaten Bogor seperti yang ditunjukkan pada Tabel 19.
69
Tabel 19. Kredit Beberapa Jenis Ternak dari Pemerintah di Kabupaten Bogor Selama Periode 1997-2004 (ekor) Jenis Ternak
Tahun Kecamatan
Ayam buras
1997 1999 2001 Total 1997 1999 2000 Total 2000 2005 Total 1997 2000 Total 2000
Sapi potong
Sapi perah
Kambing PE
Kelinci
Itik
Domba
2001 Total 2002 2003 2004 Total 1997 1998 1999 2000
2001 2002 2003 2004 Total
Jumlah Jantan Betina Total Gunungsindur 25 125 150 Leuwiliang 78 312 390 Cisarua, Leuwiliang 100 460 560 203 897 1 100 Jonggol 0 8 8 Rumpin, Cibinong, Cigudeg 67 0 67 Jasinga 22 0 22 89 8 97 Cisarua 0 2 2 Cisarua 0 2 2 0 4 4 Pamijahan, Ciampea, Rumpin 53 217 270 Bojonggede 80 320 400 133 537 670 Cijeruk, Megamendung, Cisarua, 120 480 600 Caringin, Ciawi Cisarua, Caringin 100 400 500 220 880 1 100 Cileungsi 100 900 1000 Cileungsi, Klapanunggal 75 675 750 Ciampea 25 225 250 200 1 800 2 000 Pamijahan, Cibungbulang, Rumpin, 116 445 561 Leuwiliang Pamijahan, Ciawi 81 155 236 Pamijahan, Cibungbulang, Cigudeg, 96 292 388 Jasinga Gunung Bunder 1, Cibungbulang, 142 506 648 Rumpin, Leuwiliang, Cigudeg, Cijeruk, Caringin Pamijahan, Jonggol, Cigudeg, Jasinga 403 389 792 Pamijahan, Leuwiliang, Jasinga, 60 217 277 Parungpanjang, Tenjo Cariu, Ciseeng, Jasinga, Caringin, 108 668 776 Cigudeg, Pamijahan Pamijahan, Cigudeg, Cisarua, Ciomas 80 460 540 1 086 3 132 4 218
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2004 Jumlah kredit ternak terbesar adalah jenis ternak domba dan sebagian besar digulirkan di wilayah Kecamatan Pamijahan. Hingga tahun 2005 jumlah
70
peternak yang mendapatkan kredit domba mencapai 1 019 orang dan secara rinci ditunjukkan pada Tabel 20.
Tabel 20. Populasi Peternak Yang Mendapatkan Kredit Domba di Kabupaten Bogor Tahun 1997-2005 (Orang) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kecamatan Panijahan Cigudeg Cibungbulang Jasinga Leuwiliang Rumpin Jonggol Caringin Tenjo Parungpanjang Ciseeng Cisarua Ciomas Cijeruk Ciawi Cariu Sukajaya Megamendung Total
Desa 10 7 4 4 5 2 2 2 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 48
Jumlah Kelompok 15 9 5 5 5 2 2 3 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 58
Jumlah Peternak 303 141 80 94 70 33 40 61 20 9 17 20 20 30 11 25 20 25 1019
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2004 Peluang peternak mendapatkan kredit domba kenyataannya di lapangan tidak didasarkan pada seleksi, namun lebih didasarkan pada kedekatan dengan ketua kelompok. Kelompok ternak dibentuk secara mendadak dimana anggota kelompok ditentukan sendiri oleh ketua kelompok. Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar petani tidak mengetahui dirinya masuk dalam kelompok tani, sehingga seringkali mereka juga tidak mengetahui adanya kegiatan kelompok. Selain itu, sebagian besar petani juga tidak mengetahui informasi
71
mengenai kredit domba, biasanya mereka baru mengetahuinya setelah ternak domba datang ke lokasi, dan kemudian baru berinisiatif mengajukan kredit. Kredit domba yang ditujukan bagi peternak domba sebagai tambahan modal usaha, ternyata tidak terlaksana karena sebagian besar kredit diberikan kepada petani yang tidak memiliki usaha domba. Sementara itu petani yang telah memelihara ternak domba sebagian besar tidak terlalu menginginkan kredit domba tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya jumlah tenaga kerja untuk mencari pakan ternak/rumput. Mereka sudah merasa nyaman dengan jumlah ternak yang dimiliki saat ini. Disamping itu, mereka berpendapat bahwa jumlah dan waktu pengembalian kredit relatif menyulitkan ditambah dengan input domba yang relatif kurang bagus baik dari segi umur maupun jenisnya. Tingkat pengembalian kredit turut menjadi faktor penentu peluang petani mendapatkan kredit. Petani yang anggota kelompoknya memiliki tingkat pengembalian kredit yang rendah cenderung tidak dipercaya lagi untuk disalurkan kredit domba berikutnya, tidak hanya bagi petani yang tidak melunasi kredit tetapi juga berimbas pada seluruh anggota kelompok. Oleh karena itu, seringkali pengembangan usaha domba tidak berlanjut akibat tingkat pengembalian yang rendah sehingga petani di sekitar tidak berkesempatan menerima kredit perguliran.