IV. BERADU KUASA DI SELA PADANG NIPAH: DIMANA BATIS BEPIJAK DISITU PATOK BETAJAK 1 “Suatu ketika, diadakan perlombaan lari marathon dari Tenggarong ke Kota Samarinda. Pesertanya terdiri atas lima orang warga lokal yang berbeda etnis, si A beretnis Kutai, si B beretnis Dayak, si C Beretnis Bugis, si D beretnis Minang dan si E beretnis Jawa. Ketika perlombaan telah berlangsung hampir dua jam, panitia telah bersiap di garis finish, sementara penonton bersorak sorai karena seorang peserta telah nampak mendekati garis finis. Peserta yang sampai garis finish pertama ternyata adalah si B, menurut penonton hal itu wajar karena si B adalah seorang yang terbiasa lari jauh dalam setiap melakukan perburuan pelanduk/ babi rusa. Pelari kedua yang sampai digaris finish ternyata adalah si A, menurut penonton hal itu bisa dipahami karena si A sudah sangat mengenal kondisi geografis/ alam di daerah tersebut. Selanjutnya si E pun menyusul sebagai pelari ketiga yang sampai ke garis finish, menurut penonton itu karena si E tidak berani ambil resiko berlari sekencang-kencangnya karena kurang mengenal medan, „alon-alon asal kelakon‟ yang penting sampai garis finish. Setelahnya, panitia maupun penonton bingung dan resah, karena setelah ditunggu lebih dari lima jam si C dan D tidak kunjung sampai garis finish. Akhirnya panitia dan penonton memutuskan untuk mencari tahu, apa yang telah membuat kedua peserta tidak sampai garis finis, dengan „berjalan mundur‟ menelusuri rute lari marathon. Sungguh terkejut panitia dan penonton setelah berjalan 10 Km dari garis finish, menemukan si D sedang membangun warung makan ditempat strategis, tidak jauh dari simpang empat jalan rute lari marathon. Sedangkan si C baru ditemukan tidak jauh dari garis start. Dengan bersimbah peluh si C mematoki sebidang tanah kosong tak bertuan, karena menggarap tanah dianggapnya lebih menguntungkan dibandingkan melanjutkan lari marathon hingga ke garis finish. Demikianlah, penonton tidak mampu memahami perilaku kedua peserta, sementara panitia hanya bisa mendiskualifikasi mereka”. (Anekdot ini memberikan gambaran secara karikatif bahwa setiap etnis memiliki etika moral yang bersumber pada kultur masing-masing, memandu tindakan rasional pewarisnya, meskipun hal itu tidak pula terpisahkan dari konteks struktural yang melingkupinya)
4.1
Delta Mahakam: Tanah Timbul Kaya Sumberdaya Alam Secara administrasi kawasan Delta Mahakam berada dalam kewenangan
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, terletak pada posisi geografis 117015‟ – 117040‟ BT dan 0019‟ LS - 0055‟ LS.
Delta Mahakam didominasi oleh
ekosistem Mangrove yang terbentuk dari proses sedimentasi yang cukup lama dari Sungai Mahakam yang panjangnya 770 km dengan debit aliran air 1.500 m/ detik dan konsentrasi muatan padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l. Menurut Surachmat (1999), Delta Mahakam terbentuk oleh proses sedimentasi sejak 5.000 tahun yang lalu. Merupakan suatu kawasan yang berbentuk kipas, dengan pinggiran luarnya berbentuk hampir setengah lingkaran „fan-shaped lobate‟, berupa kawasan dataran berlumpur „delta plain‟, yang hampir keseluruhannya berawa-rawa 1
Judul bab diatas merupakan ungkapan khiasan yang diberikan oleh masyarakat asli Kalimantan (Kutai ataupun Banjar) terhadap perilaku orang Bugis yang cenderung sangat ekspansif dalam penguasaan sumberdaya milik bersama/ negara, seperti hutan mengrove.
92
dengan banyak alur sungai yang memotong bagian daratannya. Bagian dari delta yang berupa dataran berlumpur dan berawa-rawa tersebut, luasnya kurang lebih 1.500 km², yang merupakan daratan dan perairan, sedangkan luasan daratannya sekitar 1.000 km². Sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi hutan nipah (Nypa fruticans Sp.), sebagian kecil merupakan hutan Bakau (Rhizopora Sp.) dan Api-api (Avicenia Sp.). Kawasan hutan mangrove inilah yang kemudian dimanfaatkan dan dialihfungsikan oleh para migran Bugis menjadi area pertambakan tradisional. Kawasan ini juga merupakan habitat potensial bagi berkembangnya benih alam khususnya benur udang (paneus monodon), kawasan ini diperkirakan mampu menghasilkan sekitar 18-20 juta ekor benur udang per musim (Djamali dkk, 2000 dan Rachmawati Dkk, 2003). Di samping potensi hutan mangrove, kawasan Delta Mahakam juga memiliki sumberdaya non-hayati yaitu minyak dan gas alam (Migas). Kawasan ini menjadi begitu penting secara ekonomis sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897, ketika JH. Menten memulai dengan pengeboran percobaan di sekitar daerah tersebut dengan hasil yang luar biasa. Menjelang tahun 1902, Shell dengan konsesi yang di peroleh dari JH. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari ladang-ladang di delta sungai Mahakam (Lindblad, 1988 dalam MacKinnon, 2000). Ekspolorasi yang dilakukan Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM) pada 1909, juga berhasil menemukan ladang minyak Samboja. Potensi minyak di wilayah Delta Mahakam saat ini dikelola oleh Pertamina, sedangkan operasionalnya dikontrakan dengan sistem bagi hasil pada perusahaan migas internasional, diantaranya; Total FinaElf Indonesie, VICO, UNOCAL dan Exspan (habis masa kontraknya pada 2009). Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di sebagian besar wilayah delta dilakukan oleh Total FinaElf Indonesie, dengan tiga pusat produksi yaitu dibagian daratan, lepas pantai bagian tenggara dan lepas pantai bagian timur delta. Keberadaan dan pengelolaan sumberdaya migas di dalam kawasan Delta Mahakam telah menempatkan kawasan ini pada posisi strategis secara ekonomi, sosial, keamanan, maupun arti strategis dalam konteks pembangunan lokal, nasional serta regional dan internasional. Kawasan ini menjadi semakin strategis posisinya karena berada dalam kawasan selat Makassar, yang merupakan jalur pelayaran domestik dan internasional yang sangat ramai. Delta Mahakam diapit oleh 3 (tiga) kota besar di Kalimantan Timur, yakni; Samarinda (25 km ke arah barat), Balikpapan (115 km ke arah selatan) serta Bontang (+100 km ke arah utara).
93
#
k
Tg . P a n jilat a n k
Tg . P a ri
k k
KETERANGAN :
k
Jaringan Pipa
k k
Tg . B a ru ka n g
k
k
Fishing Ground
k
KOTA SAMARINDA
KETERANGAN : Jaringan Pipa
B arukang
P. C o o k
k
Yg . K a e li
Kawasan Pertambangan M
Kec. Muara Badak k
k
P. M a n g ko k
[ % k
Fishing Ground Yg. K aeli
k
Kawasan Pertambangan Migas
Rencana Penggunaan Lahan Hutan Mangrove
P. T u n u
k
k
Kilang M inyak Permukim an Nelayan
k
k
#
Kawasan Perlindungan S e Budidaya Perikanan/Tam b
Tg . S isi
k
#
P. T e ra n ta n g k
k
Kilang Minyak Permukiman Nelayan
k
#
k
k
k
nu
Kec. Sangasanga
k
k
A
Tg . Tim b an g lu n g u n
Kec. Anggana
#
S
Rencana Penggunaan Lahan Hutan Mangrove
R
k
k
k
P. K a y u m a ja ra n g
A
P. M angkok
k
Tg , Tim b an g p a s ir
Kawasan Perlindungan Setempat Budidaya Perikanan/Tambak
k k k
K
P. N u b i Tg . B u n ta l
k
k
Tg . B a yu r
k k
ang
A
. S isi
k
M
k k
#
k k
k
k
# Tg . S u ke y an k k
k
P. D a tu
k
k
T
Kec. Muara Jawa
k
P. R in d in g
k
L A
k
k
R
P. B a ru k
P. B u k u a n
k
A
k
k
P. M u a ra ulu
k
E
P. ja w a
Tg . P a m a ru n g
k
P. P e ra n g a ta n Tg . L a ya n g a n Tg . P a ra ng a t a n
S
k
S
k
k
m banglungun
Tg . B a ru ka n g
N
A
ng
Kec.# Samboja #
K
r
k
E S
M
A
Tg. B ayur
W
#
Gambar 4. Peta Pemanfaatan Lahan Kawasan Delta Mahakam Sumber: Bappeda Kutai Kartanegara, 2007
L A
T
y an
Kota Bontang sebagai penghasil LNG terbesar di dunia yang basis ekonominya
E
banyak digerakkan oleh industri pengolahan LNG (mulai berproduksi awal 1980-an),
S
berikut produk industri terkait lainnya, seperti; pupuk urea, amoniak, methanol, metilen, olefin, dst, sangat bergantung dari pasokan gas yang sebagian besar berasal dari kawasan Delta Mahakam. Begitu pula dengan Kota Balikpapan yang basis ekonominya
N
banyak digerakkan oleh industri pengolahan minyak mentah (mulai beroperasi sejak
W
E S
1950), berikut produk industri ikutannya, juga memiliki ketergantungan yang tidak kecil terhadap keberlangsungan eksploitasi minyak di kawasan Delta Mahakam. Sementara Kota Samarinda mendapatkan pasokan hasil perikanan yang sangat melimpah dari kawasan ini. Begitu pula Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai pemilik otoritas administratif mendapatkan banyak keuntungan dalam bentuk PAD maupun dana perimbangan. Sedangkan Pemerintah Pusat memperoleh pemasukan devisa yang fantastis atas keberadaan berbagai kegiatan industri (khususnya migas) di kawasan tersebut.
94
Seperti ditunjukkan Gambar 4. kegiatan ekonomi besar berbasis migas yang sekarang ini berlangsung di Kawasan Delta Mahakam terpusat terutama pada garis pantai timur Kalimantan, mulai dari selatan di Balikpapan, kemudian Handil (Muara Jawa) di ujung selatan Delta Mahakam, Sanga-Sanga dan Tambora di mulut Sungai Mahakam, dan Muara Badak di ujung utara Delta Mahakam. Satu jalur pipa terpasang sejajar dengan garis pantai timur Kalimantan di bagian daratan utama dari Lapangan Handil ke arah utara menuju kilang minyak Bontang. Selain itu jalur pipa yang lain terpasang di zona pipa tengah, sejak dari Lapangan Tunu berbelok melengkung ke utara Muara Badak terus menuju kilang minyak Bontang. Kawasan ini juga dilalui distributary Sungai Muara Jawa yang ramai digunakan untuk transportasi air di selatan, dan distributary Muara Berau – Muara Badak Utara. Pada kawasan ini berkembang pula kota Kecamatan Sanga-Sanga dan Sungai Meriam (ibukota Kecamatan Anggana) yang tepat berada di mulut Sungai Mahakam, dengan penduduk yang penghasilannya sangat bergantung pada ikutan industri migas dan kegiatan industri pertambakan, selain dari aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit Berbagai potensi yang dimiliki kawasan Delta Mahakam telah menempatkan kawasan ini tidak hanya sebagai kawasan yang sangat strategis secara sosio-ekonomi dan keamanan, namun juga memiliki potensi konflik laten yang sangat kompleks dan akut, akibat bertumpang-tindihnya berbagai kepentingan stakeholders. Akumulasi berbagai potensi, juga permasalahan, serta begitu banyaknya kepentingan itulah yang kemudian menjadikan kawasan ini memiliki stigma “sulit diatur”, jika tidak ingin disebut sengaja dibiarkan tidak tertib oleh otoritas yang berwenang (akan dijelaskan pada bagian berikutnya). Akibatnya “jalan pintas” yang terkesan illegal lah yang selanjutnya menjadi pilihan rasional dari para stakeholders yang merasa sulit bersaing secara legal dalam memperebutkan sumberdaya alam yang dimiliki Delta Mahakam. Begitu banyaknya kepentingan yang “bermain” di kawasan ini setidaknya terlihat dari begitu beragamnya sudut pandang dalam “menterjemahkan” kawasan Delta Mahakam, yang tentu saja akan mempengaruhi kebijakan ataupun konsepsi atas eksistensi kawasan ini. Untuk deliniasi kawasan saja, setidaknya terdapat beberapa sudut pandang. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara (2008), total keseluruhan kawasan Delta Mahakam adalah 108.251, 31 Ha, dengan luasan hutan mangrove mencapai 79 persen dari keseluruhan kawasan dan sekitar 60 persennya saat ini telah dibuka menjadi areal pertambakan. Sementara menurut catatan Dutrieux (2001), pada tahun 1992 luas lahan yang terbuka akibat kegiatan pengkonversian lahan mangrove untuk budidaya perikanan adalah sekitar 3.700 ha dan terus meluas menjadi 15.000 ha pada tahun 1996 dan pada tahun 1999 luasan tersebut telah mencapai 67.000 ha. Bahkan menurutnya pada tahun 2001 luas areal mangrove
95
yang telah dikonversi telah mencapai sekitar 85.000 ha dari luas Delta Mahakam yang mencapai 1500 km² atau sekitar 150.000 ha. Menurut Syahrani (2004), Delta Mahakam juga sering diasosiasikan dengan 46 buah pulau kecil di muara Sungai Mahakam. Sedangkan menurut Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Delta Mahakam yang disusun Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara (2006), kawasan ini setidaknya memiliki luasan total 324.883,95 Ha, dengan perincian luasan Zona I (kawasan dalam pulau-pulau di luar daratan Pulau Kalimantan) mencapai 107.974,13 Ha dan Zona II (kawasan daratan Pulau Kalimantan di sekeliling pulau-pulau di kawasan Delta Mahakam) mencapai 216.909,82 Ha. Sementara PKSPL-IPB (2002), menggunakan pendekatan administratif untuk mendeliniasi kawasan Delta Mahakam yang melingkupi tiga kecamatan dan tujuh desa, yaitu; desa Saliki di Kecamatan Muara Badak, desa Sepatin, Tani Baru dan Muara Pantuan di Kecamatan Anggana serta desa Muara Kembang, Muara Jawa Tengah dan Muara Jawa Ulu di Kecamatan Muara Jawa. Sedangkan LAPI-ITB (2003), mendeliniasi kawasan Delta Mahakam secara fungsional dan geografis sebagai wilayah perencanaan yang meliputi 20 desa/ Kelurahan dalam wilayah administratif Kecamatan Muara Badak, Anggana, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Delineasi kawasan dengan menggunakan pendekatan administratif juga digunakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) maupun Program PMD Mahakam yang diseponsori Depdagri dan UNDP, yang memanfaatkan RDTR kawasan Delta Mahakam yang disusun Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2006. Meskipun
dalam
prakteknya
dimodifikasi
sesuai
dengan
kebutuhan
institusi
bersangkutan, misalnya hanya mendeliniasi wilayah administratif Zona I dari RDTR Delta Mahakam sebagai “kawasan Delta Mahakam”. Namun demikian, seiring dengan banyaknya pemekaran wilayah yang terjadi di desa-desa dalam kawasan Delta Mahakam, deliniasi kawasan dengan menggunakan pendekatan administratif pun menghadapi konsekuensi labilitas perkembangan sebuah kawasan. Setidaknya hingga saat ini telah terjadi pemekaran pada beberapa kawasan administratif, seperti Muara Jawa pesisir yang telah dimekarkan dari Kelurahan Muara Jawa Pesisir dan Desa Gas Alam Badak Satu yang telah di mekarkan dari Desa Muara Badak Ulu.
4.2
Peradaban Kawasan Delta Mahakam Keberadaan permukiman di sekitar Kawasan Delta Mahakam, diduga telah ada
jauh sebelum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara, pasca Penandatanganan perjanjian 11 Oktober 1844. Hal tersebut dapat ditelusuri dari sejarah keberadaan Kerajaan Kutai Kartanegara yang pada awalnya berpusat di Muara Sungai Mahakam, tepatnya di Kampung Jahitan Layar.
96
Kerajaan Kutai Kartanegara diperkirakan didirikan pada 1300-an oleh Aji Bhatara Agung Dewa Sakti, karabat dekat Kerajaan Singosari (Raja Kartanegara) yang menjadi salah seorang pemimpin ekspedisi Pamalayu. Ia beserta sebagian armada laut yang dipimpinnya terpisah dengan armada besar Singosari lainnya, karena kerusakan layar kapal dalam perjalanan. Rombongan tersebut akhirnya singgah di Muara Sungai Mahakam untuk memperbaiki kerusakan layar kapal yang mereka tumpangi, namun dalam perjalannya sebagian di antara mereka ada yang memilih menetap bersama Aji Bhatara Agung Dewa Sakti di tempat yang kemudian diberi nama Jaitan Layar. Karenanya Enci Muhammad Tayib (sejarahwan setempat), menyebut Jaitan Layar sebagai kolonisasi orang-orang Jawa, berbeda dengan tiga perkampungan lainnya di sekitar Muara Sungai Mahakam (Hulu Dusun, Binalu dan Sambaran) yang didiami suku pribumi. Aji Bhatara Agung Dewa Sakti kemudian menikahi Putri Karang Melenu anak dari Kepala Kampung Hulu Dusun yang menurut cerita masyarakat Kutai lahir dari buih air Sungai Mahakam (Adham, 1979). Secara de jure pertumbuhan Kerajaan Kutai Kartanegara selalu berada di bawah kekuasaan kerajaan lain, untuk pertama kalinya kerajaan ini di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit sampai dengan mundurnya kekuasaan negara itu pada akhir abad15 (Amin, 1975). Kekuasaan Imperium Majapahit atas Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya berangsur berakhir seiring keberhasilan pemberontakan yang dilakukan kerajaan-kerajaan pesisir secara sporadis pasca masuknya Islam di Nusantara. Penguasaan atas Kerajaan Kutai Kartanegara kemudian jatuh pada Kerajaan Banjar di bawah Pangeran Samudra. Dengan bala bantuan tentara Kerajaan Demak yang telah mengislamkan Kerajaan Banjar, diduga Pangeran Samudra yang berganti nama menjadi Sultan Suriansyah (1595–1620) berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara (Adham, 1979). Namun menurut Amin (1975) penguasaan Kerajaan Banjar atas Kerajaan Kutai Kartanegara hanya secara de jure, karena Kerajaan Banjar tidak pernah menempatkan petugas-petugasnya yang secara langsung mengontrol Kerajaan Kutai Kartanegara seperti halnya Kerajaan Majapahit. Pengaruh Kerajaan Kutai Kartanegara baru mulai terasa lebih dinamis, ketika Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Maharaja Dharma Setia, raja terakhir Kerajaan Kutai Martapura pada tahun 1636. Dengan jatuhnya Kerajaan Hindu tertua di Indonesia ini, maka wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara bertambah luas, Kerajaan Pasir, Berau dan kerajaan kecil/ kelompok-kelompok suku dayak pedalaman yang tadinya tunduk pada Kerajaan Kutai Martapura secara tidak langsung telah menjadi wilayah kekuasaannya. Pasca penaklukkan atas Kerajaan Kutai Martapura, pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara sempat dipindahkan dari Jahitan Layar ke Tepian Batu (kini
97
berganti nama menjadi Desa Kutai Lama). Sebelum dipindahkan lagi oleh Aji Dipati Tua pada 1636-an ke Pemarangan (Jembayan) sebelah hulu Sungai Mahakam, untuk menghindari serangan bajak laut dari Philipina Selatan. Namun pada masa pemerintahan Aji Muhammad Muslihuddin, ibukota Kesultanan dipindahkan lagi ke “Tangga Arung” (Tenggarong), karena pusat pemerintahan sebelumnya dianggap sudah tidak “bertuah”, akibat pengkhianatan yang dilakukan Aji Muhammad Aliyeddin karena “merebut paksa” tahta kesultanan. Pasca pemindahan pusat Kerajaan Kutai Kartanegara dari Tepian Batu (Kutai Lama) ke Pemarangan (Jembayan), pemukimanpemukiman di sekitar Kawasan Delta Mahakam yang terletak di pesisir mainland Pulau Kalimantan di duga masih sedikit jumlahnya. Sedangkan kawasan pulau-pulau di Delta Mahakam yang terletak diluar mainland Pulau Kalimantan hanyalah menjadi tempat persinggahan sementara bagi kapal-kapal dagang/ bajak laut. Banyaknya kerajaan-kerajaan di pantai timur Kalimantan sampai pertengahan abad-19, menurut Magenda (1991) rentan terhadap kegiatan eksploitasi dan pembajakan yang umumnya terjadi di Selat Makassar selama periode itu. Kondisi ini dapat berlangsung lama, sebagai akibat watak kerajaan Mulawarman dan Kesultanan Kutai, yang lebih menyerupai sebagai organisasi ekonomi ketimbang organisasi politik, sehingga memungkinkan komunitas pembajak dan perampok bisa leluasa merajalela. Sampai pada pemisahan pendudukan antara Inggris dan Belanda di Kalimantan pada tahun 1892 dan kesepakatan antara Inggris dan Spanyol pada tahun 1878, berkenaan dengan pendudukan atas pulau-pulau di Sulu dan bagian utara Kalimantan. Jalur selat Makassar masih dipenuhi bajak-bajak laut, tausuk dari Jolo dan Sulu yang mendominasi jalur tersebut sampai Spanyol dapat memberantasnya. Menurut Magenda situasinya mirip dengan selat Malaka sebelum pendudukan Inggris di Singapura. Seorang pedagang Singapura bernama Dalton, mengisahkan saat dirinya pada 1827 berlayar dari Singapura ke Samarinda bersama satu armada Melayu Kutai dan perahu Bugis, bahwa “Bahaya besar muncul dari banyaknya perompak yang bermarkas di berbagai pulau di sekitar sini .... khususnya di Pulau Lingga .... yang menjadikan perahu Bugis dan Melayu sebagai sasaran kegemaran mereka” (Pelras, 2006). Sementara Zwager yang ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki Kesultanan Kutai dan pesisir timur Kalimantan pada 1853 juga mencatat bahwa “Perahu-perahu dagang hanya dapat sampai ke pedalaman (Sungai Mahakam) dengan agak aman, kalau dilengkapi dengan peralatan perang. Tanpa perlengkapan itu, mereka hanya akan menjadi mangsa perampokan dan perampasan yang tidak hanya dilakukan oleh suku-suku Dayak, tetapi juga oleh orang-orang Kutai yang secara sembunyisembunyi dihasut oleh tetua-tetuanya untuk melakukan kejahatan tersebut”. Zweger setidaknya mencatat, kekuatan bajak laut yang beroperasi di sekitar perairan Tanjung
98
Silat hingga Sungai Mahakam mencapai 40 – 50 perahu yang ditempatkan di beberapa tempat strategis. Kondisi demikian, menurut Zweger terus berlanjut, akibat “ketidakmampuan Kesultanan Kutai untuk menghentikan kekacauan dalam pemerintahan, mengamankan kepentingan umum dan menjalankan ketentuan-ketentuan politik kontrak dengan lebih baik; karena mereka tidak dapat mempergunakan kekuatan militer, alat perlindungan lainnya pun bahkan tidak mereka miliki”. Selain karena minimnya alat kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda yang ditempatkan di pantai timur Kalimantan. Menariknya, aktifitas perompakan dan penjarahan yang marak dilakukan di sepanjang pantai timur Kalimantan oleh bajak laut dari Jolo dan Sulu, ternyata juga dipraktekkan oleh orang Dayak dan Kutai di sepanjang Sungai Mahakam. Yang dalam sejarahnya, praktek tersebut ingin dihindari oleh Aji Dipati Tua, dengan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Kutai dari Kutai Lama ke Jembayan. Baru ketika, tausok dari Jolo dan Sulu secara berangsur-angsur menarik armadanya dari selat Makassar bagian selatan, orang-orang Bugis mulai mengisi kekosongan tersebut, terutama dipertengahan abad-19. Meskipun taosug dari Jolo dan Sulu tetap melanjutkan dominasinya dibagian utara jalur selat Makassar, orang-orang Bugis memperluas cakupan pengaruhnya di Selatan. Mereka mengontrol titik-titik masuk di Sungai Mahakam sampai tingkatan tertentu, hingga penandatanganan perjanjian
dengan
pemerintah
kolonial
Belanda,
dimana
perjanjian
tersebut
memperkenankan Kesultanan Kutai mendapatkan kembali kekuasaan sebagai penguasa syahbandar pelabuhan Samarinda dari kelompok ponggawa-ponggawa Bugis. Penguasa di Samarinda saat itu adalah Aru Panekki dari Wajo, yang setelah penetapan penggantinya Pua Adu sebagai Syahbandar Samarinda kembali ke Wajo untuk mengatur persekutuan dengan Goa dalam menghadapi Kerajaan Bone. Jika mengacu pada laporan diatas, maka diduga komunitas Bugis telah menetap dikawasan pulau-pulau di Delta Mahakam, menjelang pertengahan abad-19, sesaat sebelum pemerintah Hindia Belanda menaklukkan kerajaan Kutai Kartanegara pada 1844. Dugaan tersebut diperkuat dengan peristiwa penyerangan dua kapal milik petualang Inggris, James Erskine Murray yang kemudian tertembak mati, serta penghancuran sebuah kapal dagang Belgia yang terdampar di muara Sungai Mahakam oleh pasukan sepangan Kerajaan Kutai, dibantu oleh orang-orang Bugis dalam peristiwa “Perang Tembak Maris”. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menghancurkan Kerajaan Kutai Kartanegara dengan mengirimkan pasukan penaklukkan dibawah komando Letnan Laut D‟Hooft pada 1844, yang mengakibatkan Sultan Muhammad Salehuddin menandatangani surat perjanjian takluk pada kolonialis Belanda.
99
Dalam laporannya, Zweger bahkan menulis “Saudagar George Peacock King sudah mendirikan sebuah gudang barang di Muara Bayur (terletak di Muara Sungai Mahakam); dari gudang-gudang itu banyak kapal yang langsung mengambil muatan tanpa perlu memudiki sungai sampai Samarinda, sehingga aktivitas perdagangan dapat diperlancar dan dipercepat”. Artinya kawasan Delta Mahakam yang menjadi satusatunya pintu pelayaran dari Samarinda dan daerah-daerah pedalaman Kutai menuju ke daerah lain di Nusantara, sejak lama memiliki fungsi strategis dalam kegiatan perdagangan, sehingga mustahil tidak perpenghuni. Setidaknya kampung Pamangkaran yang banyak disebut dalam tradisi lisan masyarakat setempat sebagai kampung pertama yang berhasil dibangun migran Bugis, bisa menjadi salah satu rujukan untuk mendiskripsikan secara lebih mendasar berbagai laporan tersebut, karena menurut perkiraan kampung tua yang kini masuk ke dalam wilayah Desa Sepatin ini, telah berdiri pada kurun waktu tersebut. Sesuai dengan temuan Lenggono (2004), yang berhasil menelusuri keberadaan sebuah nisan bertahun 1939 di area pekuburan yang masih relatif baru di belakang masjid Al-Anshor Desa Muara Pantuan. Padahal di kawasan yang dulunya merupakan area perkebunan milik penduduk Pemangkaran tersebut, juga terdapat area pekuburan yang lebih tua di Tanjung Tengah yang belum teridentifikasi karena sudah tidak terurus. Peta rupa bumi terbitan tahun 1934 buatan Pemerintah Hindia Belanda-pun telah mencantumkan nama Pamangkaran dan Muara Pantuan sebagai salah satu area pemukiman yang ada di kawasan Delta Mahakam. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang sejarah pemukiman di Kawasan Delta Mahakam, berikut ini akan disajikan hasil temuan Bourgeois (2002) dan Lenggono (2004), beserta hasil studi empiris yang telah dilakukan.
100
Tabel 4. Sejarah Migrasi dan Penguasaan Kawasan Delta Mahakam Periode 1300-an – 1844
Kondisi Delta Mahakam Kawasan belum tersentuh
Konstelasi Kekuasaan Atas Hutan Mangrove (Sejarah Penguasaan Agraria)
1845 – 1900
Munculnya pemukiman pertama
1901 – 1945
Munculnya pemukimanpemukiman baru di sekitar kawasan Delta Mahakam
1946 – 1950
Kekacauan akibat perang dan revolusi fisik
1951 – 1965
Krisis ekonomi dan pemberontakan militer
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri disekitar kawasan Delta Mahakam (jahitan layar dan Tepian Batu/Kutai Lama) pada awal 1300-an Raja Kutai Kartanegara yang berkuasa dikawasan ini, tidak menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah (hutan mangrove) secara absolud, mengingat luasnya wilayah kerajaan ini dan sangat minimnya jumlah penduduk, sehingga tanah (hutan mangrove) bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan Di masa pemerintahan Pangeran Dipati Tua, pusat pemerintahan Karajaan Kutai Kartanegara dipindahkan ke Pemarangan (Jembayan) sebelah hulu Sungai Mahakam, hal ini dilakukan untuk menghindari serangan bajak laut dari Philipina Selatan. Namun pada masa pemerintahan Aji Muhammad Muslihuddin, ibukota Kesultanan dipindahkan lagi ke Tenggarong. Pada 11 Oktober 1844 pemerintahan kolonial Hindia Belanda menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara. Kawasan ini menjadi begitu penting secara ekonomis bagi pemerintah kolonial sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897, ketika JH. Menten memulai dengan pengeboran percobaan di sekitar Sanga-Sanga dengan hasil yang luar biasa Pemukiman tertua yang tercatat adalah pemukiman nelayan Bugis di Pamangkaran yang telah dihuni sejak akhir atau bahkan menjelang pertengahan abad-19. Pasca “Perjanjian Bongaja” pada 1667, sebagian orang Bugis Wajo pro Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk pada pendudukan Aru Palakka tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Banyak diantara mereka yang bermigrasi ke pantai timur Kalimantan (di sekitar Pulau laut, Kalsel dan Taleke, Pasir). Generasi kedua/ketiga migran Bugis dari Taleke inilah yang di duga menetap pertama kali di Pamangkaran, karena pendudukan Belanda atas Paser dan ingin meningkatkan status sosial di tempat baru Mereka selajutnya berinteraksi dengan pedagang Bugis dari Pangkajene dan suku Bajo yang sebelumnya telah menguasai titik-titik perdagangan di Selat Makassar. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar bersandar pada kegiatan perikanan tangkap dan hanya sebagian kecil kawasan mangrove yang dialih fungsikan untuk kegiatan perkebunan kelapa. Di duga kawasan ini memiliki sumber-sumber mata air (payau) yang bisa dikonsumsi, sehingga menjadi salah satu daya tarik bagi para migran yang dingin menetap. Menjelang tahun 1902, Shell dengan konsesi yang di peroleh dari JH. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari ladang-ladang di Delta Mahakam Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM) pada 1909 juga berhasil menemukan ladang minyak Samboja Muara Badak baru mulai terdapat pemukiman sekitar tahun 1917 Muara Pantuan dan Sungai Patin (Sepatin) mulai didiami sebelum Perang Dunia II, masyarakatnya mengolah ikan asin dan udang ebi untuk di jual ke Samarinda atau dibarter dengan beras, gula dan kebutuhan lainnya. Setelah tahun 1925, Salo Palai mulai didiami imigran dari Sulawesi, sedangkan Saliki mulai didiami imigran Banjar dan Bugis. Handil 1 dibuka oleh petani Bugis dan Banjar pada 1934 – 1935 setelah dibukanya Handil 1 dan 2, sedangkan Handil 4 sampai 7 dibuka setelah itu, sementara Handil 8 sepenuhnya dibuka oleh migran Banjar. Pemukiman kecil juga mulai muncul di Tanjung Adjoe pada 1940-an (wilayah desa Tani Baru) Sungai Tiram adalah perkampungan tua yang dihuni etnik Bugis di Kecamatan Muara Jawa, sedangkan etnik Banjar dan Jawa baru bermukim di kawasan ini setelah kemeredekaan. Di awal abad-20 Handil 2 yang pada awalnya bernama Teluk Ladang merupakan wilayah pemukiman nelayan Bajo dan Bugis. Setelah Perang Dunia II Muara Jawa, Muara Pantuan dan Muara Badak menjadi lautan api. Satu tahun setelah kemerdekaan masih sedikit populasi dan ponggawa masih belum beraktifitas di Delta Mahakam. Nelayan menjual hasil tangkapannya langsung ke Samarinda dengan akses yang sulit dan hanya dapat menggunakan perahu. Seperti orang-orang Bugis lainnya yang berpindah ke daerah lain pada periode yang sama, di Sumatra bagian selatan, di pinggiran kota Samarinda (disekitar Bukit Soeharto), serta di sekitar kota Bontang. Mereka yang bermigrasi ke kawasan Delta Mahakam memiliki alasan sama, yaitu menyelamatkan diri dari kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar serta mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman-teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya bisa diubah menjadi lahan pertanian/perkebunan yang menguntungkan. Masuknya migran baru dari Sulawesi (yang berlatar etnik dan daerah asal yang beragam) masih belum menimbulkan persaingan dalam penguasaan sumberdaya. Kedatangan para migran baru tersebut, bahkan dianggap sebagai berkah, karena diharapkan mampu “mendorong” peningkatan perekonomian kawasan. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar masih sebagai nelayan tangkap dan hanya sebagian kecil kawasan mangrove yang dialih fungsikan untuk kegiatan perkebunan kelapa dan pertanian. Sumber-sumber mata air (payau) masih bisa dikonsumsi.
101
1966 – 1970
Penyelundupan – pembalakan dan penangkapan ikan
1971 – 1975
1976 – 1980
Eksplorasi dan produksi minyak bumi Gelombang migrasi baru dari Sulawesi Dibukanya fasilitas cold storage pertama di Kaltim
Berkembangnya kelompokkelompok punggawa
1981 – 1990
Tahun-tahun maraknya kegiatan pertambakan
1991 – 2002
Eksploitasi yang semakin cepat dan tidak terkendali
Penguasaan hutan mangrove berada di tangan para petinggi (kepala kampung), yang memiliki otoritas dalam mendistribusikan pemanfaatan dan penguasaannya. Mengingat jauhnya letak kawasan ini dengan pusat kekuasaan dan luasnya kawasan hutan mangrove yang ada, serta minimnya jumlah penduduk, keberadaan hutan mangrove masih belum menjadi sesuatu yang berharga dan berarti. Sejak awal kemerdekaan Delta Mahakam menjadi pusat dari penyelundupan internasional. Sejak 1967 sebagian pemilik perahu Bugis, tidak hanya melakukan kegiatan disektor perikanan tangkap, namun juga menyelundupkan berbagai bahan makanan dari dan ke Malaysia Timur. Pada 1970-an mulai diimplementasikan sistem konsesi dalam kegiatan kehutanan di bagian atas dari Kawasan Delta Mahakam Meskipun pada 1970-an populasi di Kawasan Delta Mahakam masih sangat kecil, namun kondisi ini mulai berubah sejak mulai beroperasinya kegiatan eksplorasi dan produksi minyak bumi. Banyak kebutuhan tenaga kerja dan mulai terjadi gelombang migrasi dari Sulawesi, akumulasi kejadian tersebut menciptakan pasar baru untuk produk lokal, khususnya hasil perikanan dan makanan laut. Muncul kebijakan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan ditopang investasi modal asing melalui industrialisasi. Di sektor perikanan muncul industri ekspor udang beku multi nasional di kawasan Delta Mahakam, sebagai akibat besarnya permintaan produk perikanan di pasar global. Pada 1974, mulai dibuka fasilitas cold storage yang memiliki akses ke pasar internasional, disusul dengan pembukaan cold storage lainnya di tahun-tahun berikutnya. Kondisi ini memberikan dampak yang sangat mendasar bagi ekonomi lokal, sekaligus mulai memicu modernisasi dalam kegaitan perikanan di Delta Mahakam. Migran Bugis yang menguasai tehknik pertambakan, mulai mengembangkan milkfish pond pada 1974 – 1975 di Anggana dan Muara Jawa. Kehadiran cold storage ternyata mampu mendorong munculnya kelas entrepreneur yang kuat dalam sektor perikanan di Delta Mahakam yaitu, Ponggawa. Migran Bugis yang baru datang memulai terjadinya gelombang penggunaan trawl untuk menangkap ikan pada 1975, namun kegiatan ini dihentikan pemerintah dengan melarang penggunaan trawl dalam kegiatan perikanan pada 1982. Selanjutnya muncul kebijakan pertanahan yang ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan pembangunan, misalnya kompensasi pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pasca pelarangan trawl bagi para nelayan lokal di sekitar kawasan Delta Mahakam. Ponggawa kaya dengan pengikutnya (client) serta para migran baru dari Sulawesi sejak akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an menjadikan kawasan daratan Delta Mahakam sebagai areal pengembangan pertambakan. Sejak dilarangnya trawl dalam kegiatan penangkapan ikan dan semakin besarnya kebutuhan akan udang dari pasar internasional telah memicu dibukanya areal tambak secara massal. Mereka kemudian mencoba membudidayakan bibit udang yang diperoleh dari alam dan mulai berhasil di awal 1980-an, yang kemudian banyak diikuti oleh migran Bugis lainnya. Ponggawa bekerjasama dengan perusahaan cold storage kemudian banyak memberikan bantuan finansial di awal kegiatan pertambakan. Mulai muncul kelas borjuis yang memiliki kedekatan dengan penguasa lokal dan perusahaan eksportir. Para ponggawa tersebut dengan mudah mendapatkan konsensi atas sejumlah area hutan mangrove yang sangat luas dan mampu mengakses modal dari para pengusaha eksportir perikanan. Dengan menggunakan hegemoni budaya dan sumberdaya yang dimilikinya para ponggawa semakin memperkokoh posisinya sebagai patron yang mampu mengontrol hasil produksi tambak yang sangat luas Pendistribusian dan penguasaan hutan mangrove pada para ponggawa besar oleh Petinggi Kampung, menjadikan para ponggawa sebagai “pusat regulasi” pertanahan di aras lokal. Para ponggawa selanjutnya mendistribusikan tanah-tanah tersebut pada para petambak yang menjadi kliennya masing-masing dengan sejumlah persyaratan yang bervariasi. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar masih sebagai nelayan tangkap, namun sebagian mulai bergeser menjadi petambak tradisional. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai marak dilakukan Sumber-sumber mata air (payau) mulai tidak layak dikonsumsi Sejak 1990-an excavator mulai menggantikan tenaga manual dalam pembukaan tambak Kegiatan perkebunan kelapa dan penangkapan ikan yang semakin menurun produksinya, memicu pengembangan tambak-tambak baru Tambak pertama di Tani Baru mulai di buka pada 1992 – 1993, pada tahun 1995 para migran mulai membuka tambak tanpa kendali Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi regional pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya Terjadi proses aristokratisasi pertambakan yang menggerakkan kapitalisme lokal dalam bentuk diversifikasi usaha yang semakin meluas (munculnya cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ eksportir, dst) Ironisnya sebagian besar punggawa yang berhasil adalah para migran yang datang belakangan, kondisi ini secara tidak langsung menciptakan disparitas dan marjinalisasi pada petambak kecil
102
2003 – Skrang
”Tragedi Mangrove”: degradasi sumberdaya hingga konflik laten
Aktifitas ekonomi utama masyarakat bergeser sebagai petambak tradisional dan penjaga empang. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian juga dikonversi manjadi hamparan tambak Tambak-tambak yang ada kecendrungannya dibangun dengan hamparan yang sangat luas, dengan asumsi akan mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produksi Meskipun sebagian terbesar tambak di Delta Mahakam berstatus ilegal karena dibangun diatas area KBK, namun ironisnya pemerintah (Dephut) sebagai penguasa kawasan tidak mampu berbuat apaapa Ketidakpastian hukum ini, menyebabkan para petambak tidak memiliki legalitas penguasaan, hanya mereka yang memiliki modal (punggawa) yang kemudian mampu mensertfikasi tambak-tambaknya Degradasi ekosistem mangrove, sehingga vegetasi mangrove hanya dapat dijumpai disepanjang 1 – 10 meter dari bantaran sungai Produktifitas tambak cenderung menurun Munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang Bibit alam semakin sulit diperoleh Banyak tambak menjadi terlantar Abrasi pantai dan sedimentasi semakin meluas Pencemaran oleh perusahaan pertambangan, aktifitas masyarakat dan kegiatan pertambakan Terjadi krisis air bersih, akibat hilangnya sumber-sumber mata air payau Akumulasi keadaan diatas menyebabkan perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan hasil perikanan, sehingga terjadi pelumpuhan produksi yang memaksa mereka merelakan terjadinya take over atas perusahaan tersebut oleh punggawa yang sebelumnya mendapatkan modal usaha darinya Masyarakat lokal menjadi lebih apatis, individualis dan materialistik Kondisi diatas menguatkan motivasi/harapan oknum petambak/punggawa untuk mendapatkan ganti rugi lahan oleh perusahaan migas Penguasaan lahan semakin tidak jelas Konflik laten menjadi semakin terbuka
Sumber: Data Primer Diolah, 2011; Lenggono, 2004; dan Bourgeois et al, 2002
Mekipun kawasan di sekitar Delta Mahakam telah memiliki peradaban, jauh sebelum orang Bugis bermigrasi ke kawasan ini, namun orang Bugis-lah yang pertama kali mengekspansi kawasan ini hingga ke pulau-pulau di dalam kawasan delta. Kampung Pemangkaran menjadi bukti keberadaan peradaban bugis paling awal di kawasan Delta Mahakam. Pemukim awal tersebut adalah migran Bugis Wajo‟ generasi kedua atau ketiga yang sebelumnya menetap di sekitar Talake – Pasir (Kaltim). Pada permulaan abad-18, seorang pangeran Wajo‟ bernama La Ma‟dukelleng yang tidak mau tunduk pada pendudukan Arung Palakka yang disokong Belanda (pasca perjanjian Cappaya ri Bongaya, yang telah disepakati pada 18 November 1667), meninggalkan Sulawesi Selatan bersama sekitar 3000 orang pengikutnya menuju Talake – Paser (Kalimantan Timur). Sebuah tempat komunitas kecil pedagang Bugis Wajo‟ bemukim. Dalam kajian kontemporer, kepindahan orang Bugis Wajo ternyata juga disebabkan oleh penistaan dan penindasan yang dilakukan orang Bugis Bone atas mereka (yang membekas sebagai “dendam budaya”) dan ketidakmampuan mereka membayar ganti rugi peperangan sebesar 52.000 rijksdaalder (Andaya, 2004). Sambil berdagang, La Ma‟dukelleng tinggal di pantai timur Kalimantan hingga 1737 dan kembali ke Wajo‟ sebagai Arung Matoa yang baru terpilih untuk melanjutkan peperangan melawan Bone dan Belanda. Hebatnya, sebelum kembali ke tanah Wajo‟, La Ma‟dukelleng ternyata sempat membina hubungan politik dengan penguasa setempat melalui pernikahan salah seorang putranya dengan putri Sultan Paser, pasangan ini memiliki anak perempuan
103
yang kelak menikah dengan penguasa Kutai, Sultan Idris. Sementara putranya yang lain ia nikahkan dengan putri bungsu penguasa otonom wilayah Samarinda yang bergelar Pua‟ Ado. Ini berarti La Ma‟dukelleng tidak hanya meninggalkan pengaruhnya di tanah Kalimantan, namun juga meninggalkan sejumlah besar pengikutnya di Talake. Keturunan mereka inilah yang kemudian melakukan migrasi kearah utara menuju Pamangkaran di sekitar kawasan Delta Mahakam yang strategis. Migrasi keturunan Bugis Talake diperkirakan berlangsung secara bergelombang sejak terjadinya kemelut pemerintahan di Kerajaan Paser, pasca campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Muhammad Ali Alamsyah sebagai Sultan Paser pada 7 Juli 1885. Hingga menyulut terjadinya konflik antara Sultan terdahulu (Sultan Abdurachman Alamsyah) dengan Sultan Muhammad Ali Alamsyah yang didukung Belanda. Penguasaan Belanda atas kerajaan Paser, telah memaksa sebagian migran Bugis Wajo‟ yang tidak ingin tunduk pada penjajahan Belanda, selain tidak ingin mengkhianati komitmen para pendahulu mereka, untuk hijrah ke tempat lain. Gelombang migrasi tersebut mencapai puncaknya, ketika seorang saudagar kaya keturunan Bugis Wajo‟ bernama La Maraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Paser melakukan manuver politik, merencanakan “perebutan kekuasaan” dengan dukungan Belanda. Akhirnya pada 8 Juli 1900 ia berhasil menjadikan keponakannya Aji Meja bin Lataddaga sebagai Sultan Paser dengan gelar Sultan Ibrahim Khalihudin. Keadaan ini banyak memancing ketegangan di lingkungan kerajaan, banyak kaum bangsawan, kaum adat, serta ulama yang tidak menyetujui pengangkatan sultan, sehingga mempengaruhi rakyat untuk tidak membayar pajak, hingga terjadi pembangkangan yang digerakkan oleh para bangsawan. Pergolakan internal kerajaan tersebut mencapai titik nadir, ketika Kerajaan Paser di jual kepada Belanda seharga F. 327.267 melalui kontrak perjanjian pada 20 Juli 1906 (Pemprop Kaltim, 1992). Pada masa itulah terjadi gelombang migrasi besar-besaran keturunan Bugis yang telah menetap di Kerajaan Paser, karena merasa siri‟ dengan keadaan tersebut, mereka kemudian memutuskan hijrah ke tempat lain. Banyak diantara mereka yang memilih bermigrasi kearah utara pantai timur Kalimantan, salah satu tempat yang menjadi favorit mereka adalah kawasan disekitar Delta Mahakam, karena lokasinya sangat strategis, memiliki banyak lahan yang bisa digarap menjadi area pertanian/ perkebunan kelapa, serta memiliki potensi perikanan yang melimpah. Secara bertahap, akhirnya para migran Bugis tersebut berhasil membangun peradaban pertama di kawasan Delta Mahakam yang kemudian mereka namakan Pemangkaran. Gelombang migrasi tersebut, terjadi hampir bersamaan dengan berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda secara total atas seluruh wilayah Sulawesi Selatan pada 1906, yang memicu terjadinya migrasi orang Bugis secara besar-besaran ke seluruh Nusantara.
104
Sebagai daerah pertanian lahan kering, dulunya kawasan pesisir ini masih banyak dijumpai sumber-sumber air payau yang dapat digunakan untuk pengairan lahan pertanian bahkan dikonsumsi oleh komunitas setempat. Para migran Bugis pioner tersebut, mencoba mencari peruntungan dan bertahan hidup dengan cara berdagang, menjadi nelayan dan berkebun kelapa. Sebagian besar diantaranya membuka sebagian kecil hutan mangrove di pulau-pulau di sekitar Delta Mahakam yang relatif “terlindung” dan masih terjangkau dengan menggunakan perahu/ kapal kecil, menjadi area pertanian palawija/ perkebunan kelapa. Diduga, sebagian diantaranya ada pula yang berprofesi ganda, terlibat dalam kegiatan perompakan dan penyelundup, dengan memanfaatkan kawasan Delta Mahakam yang terlindung sebagai tempat penyergapan, sekaligus persembunyian strategis. Menurut catatan yang berhasil dihimpun, setidaknya hingga menjelang 1970-an aktivitas perompakan dan penyelundupan di kawasan ini masih sering terjadi. Kegiatan seperti itu menurut Acciaioli (1989) tampaknya sangat cocok dengan watak migran Bugis yang menggunakan kekuatan untuk membuka tanah yang secara khusus dilakukan untuk mendapatkan status yang lebih tinggi di wilayah lain. Sehingga tidak mengherankan bila saat itu banyak kaum ningrat Bugis yang membawa serta para pengikutnya, pergi dari tanah kelahirannya akibat keterbatasan lahan dan sumberdaya dengan mencari kemungkinan hidup yang lebih baik di daerah baru. Lanjut Acciaioli, sejak abad-16 orang-orang Bugis telah memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat serta keberanian untuk berperang di luar daerah. Bahkan jauh sebelum pemerintahan kolonial Belanda, orang-orang Bugis telah melakukan aktifitas mengarungi samudera dan bergabung dalam perdagangan dan kelompok-kelompok tani yang seringkali tidak permanen. Di dalam penelitiannya, Lenggono (2004) juga mengungkapkan, “banyaknya komunitas asli Desa Muara Pantuan (sebuah tempat pemukiman baru yang dibangun komunitas Bugis Pamangkaran) yang memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Talake di Kabupaten Pasir, namun mereka tidak lagi memiliki hubungan kekarabatan (missing link) dengan orang-orang di tanah leluhurnya Sulawesi Selatan”. Mereka kemudian membaur dengan suku Bajo yang selalu berpindah-pindah dan migran Bugis dari Pangkajene yang diduga bermigrasi hampir bersamaan dengan kedatangan mereka ke Muara Pantuan menjelang abad-20. Kelak keturunan mereka inilah yang mengklaim sebagai penduduk pribumi Delta Mahakam, untuk membedakan mereka dengan migran Bugis yang datang belakangan. Baru pada masa revolusi fisik pasca kemerdekaan (1950 – 1965), mulai muncul lagi gelombang besar migrasi langsung dari Sulawesi ke kawasan Delta Mahakam. Motivasi kedatangan mereka ke Delta Mahakam adalah ingin menyelamatkan diri dari
105
kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar serta mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya bisa diubah menjadi lahan pertanian/ perkebunan yang menguntungkan. Seorang Petambak yang juga narasumber bagi penelitian ini, mengakui bahwa orang tuanya dan beberapa orang koleganya yang saat ini menetap di Muara Pantuan adalah mantan anggota “gerombolan” Kahar Muzakkar, yang melarikan diri ke Kawasan hutan mangrove Delta Mahakam yang relatif terisolir untuk menyembunyikan diri, sekaligus mencari peruntungan akibat pembersihan “gerombolan pemberontak” di Selawesi Selatan oleh TNI. Alasan tersebut hampir sama dengan apa yang dikemukakan para migran Bugis yang berpindah ke Sumatera bagian selatan, seperti tersebut dalam Lineton (1975), juga di pinggiran kota Samarinda (disekitar Bukit Soeharto), seperti dijelaskan Vayda dan Sahur (1996) serta di sekitar kota Bontang. Kondisi ini menurut Matullada (1985; 1991), telah menyebabkan rendahnya angka pertambahan penduduk Sulawesi Selatan akibat besarnya jumlah penduduk yang berpindah ke daerah lain, baik pada masa-masa kekacauan (1950 – 1965) maupun oleh tabiat penduduk yang memiliki sifat suka merantua dan lain-lain. Meskipun sama-sama dari Sulawesi Selatan, namun para migran yang kemudian menetap di kawasan Delta Mahakam ternyata memiliki latar belakang etnik dan daerah asal yang beragam. Mereka menggunakan ikatan emosional etnik (sebagai sesama orang Bugis) dengan para migran Bugis yang telah menetap jauh sebelumnya, sehingga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sumberdaya yang ada. Para Petinggi Kampung (pemilik otoritas di aras lokal saat itu), dengan mudah memberikan izin bagi para migran baru tersebut untuk memanfaatkan kawasan hutan mangrove yang masih belum terjamah, dengan harapan mampu “mendorong” peningkatan aktifitas perekonomian kawasan yang masih sangat terisolir dan terbelakang. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka yang menetap di kawasan Delta Mahakam melakukannya tanpa sepengetahuan otoritas setempat, karena alasan keamanan/ mencari aman. Menurut sejumlah informasi, saat itu perebutan sumberdaya (konflik) masih belum banyak terjadi, mengingat luasnya hutan mangrove yang masih bisa dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan kelapa dan pertanian, serta masih melimpahnya stok sumberdaya perikanan di kawasan tersebut. Gelombang besar migrasi selanjutnya terjadi di awal tahun 1970-an hingga menjelang 1990, dilakukan tidak hanya oleh migran etnik Bugis dan Makassar yang berasal dari Sulawesi saja, namun juga melibatkan migran etnik Bugis dan Makassar yang telah menetap di Samarinda dan kota-kota lain di sekitar Delta Mahakam (pantai timur Kalimantan). Para migran tersebut berdatangan ke kawasan di sekitar Delta Mahakam, seiring perkembangan kawasan ini akibat aktifitas eksplorasi dan eksploitasi
106
kegiatan
migas,
serta
beroperasinya
beberapa
industri
perikanan
ekspor.
Perkembangan tersebut, ditunjang oleh program pembangunan hingga kepelosok daerah yang dicanangkan pemerintah Orde Baru, yang berusaha menyelesaikan berbagai hambatan pembangunan yang ada dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dilakukan di kawasan pantai timur Kalimantan (Delta Mahakam) adalah dengan memberikan kompensasi pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pasca penghapusan trawl bagi para nelayan lokal, serta pemberian sejumlah bantuan lunak untuk konversi dari kegiatan perikanan trawl ke dalam kegiatan perikanan non trawl seiring terbitnya Kepres No. 39/ 1980 dan Inpres No. 11/ 1982. Laju migrasi di kawasan Delta Mahakam mencapai puncaknya pasca terjadinya “booms udang”, yang memicu kenaikan harga udang secara fantastis pada 1987/ 1998 dan diikuti dengan terjadinya ledakan penduduk di dalam kawasan Delta Mahakam. Kondisi ini juga diperumit dengan adanya fenomena “migrasi instan” oleh penduduk dari Pulau Sulawesi, Pulau Jawa, Samarinda Seberang dan desa-desa lain disekitar delta Mahakam yang membuka/menjaga tambak-tambak baru dan berdomisili di dua tempat yang berbeda dengan memegang KTP ganda. Dari perbandingan data sekunder dan primer Lenggono (2004) berhasil menunjukkan terjadinya fenomena ”ledakan penduduk” di Desa Muara Pantuan, yang mengalami pertumbuhan sebesar 122 %. Dan yang lebih mengejutkan adalah hasil temuan lapang di salah satu RT yang mengalami pertumbuhan hingga 831 % hanya dalam 8 bulan, dari 39 KK berkembang-biak menjadi 363 KK. Dapat dibayangkan laju konversi hutan mangrove untuk area pertambakan dikawasan tersebut, bila semua Kepala Keluarga di RT tersebut adalah migran petambak yang setidaknya memiliki/ menjaga tambak seluas 2 – 10 Ha. Hanya dalam tempo delapan bulan disebuah RT terjadi konversi hutan mangrove menjadi area pertambakan seluas 648 – 3.240 ha. Para migran tersebut, tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan Makassar di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi, tapi juga etnik lain dari Sulawesi (Mandar dan Kaili), Timor, Flores, Madura serta Jawa (khususnya Lamongan) dan berbagai etnik lokal di pesisir pantai timur Kalimantan (Kutai, Tidung dan Banjar). Banyak diantara mereka
berorientasi
menjadi
petambak, namun
banyak
juga
yang berharap
mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga empang atau kuli tambak dan pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan pertambakan. Akibatnya bisa diduga, konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan semakin meluas dan tak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dikorbankan manjadi hamparan tambak-tambak baru.
107
4.3
Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria Berbicara tentang sejarah penguasaan dan pemilikan tanah di Kabupaten Kutai
Kartanegara, khususnya di kawasan Delta Mahakam, tidaklah mungkin memisahkannya dengan keberadaan Kerajaan Kutai Kartanegara, yang ketika berkuasa teritorinya hampir meliputi semua wilayah administratif Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Kota Bontang, Samarinda, Balikpapan dan sebagian wilayah Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pada masa lalu sebelum diberlakukannya UUD Panji Selaten, diduga hak kuasa kampung atas tanah diatur oleh Petinggi Kampung yang bertindak atas nama dirinya sendiri selaku tokoh persekutuan hidup untuk mengatur rumah tangga persekutuannya secara otonom termasuk dalam pengaturan peruntukan tanah. Namun sejak diberlakukannya UUD Panji Selaten, Petinggi Kampung bertindak atas nama kerajaan selaku tokoh masyarakat yang mendapatkan legitimasi kerajaan untuk mengatur peruntukan tanah di wilayah teritorinya. Artinya sejak saat itu pengertian hak kuasa kampung mengalami perubahan yang cukup drastis, karena hanya Sultan-lah yang memiliki tampuk kekuasaan mutlak atas tanah di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Meskipun hingga kini masih terjadi kontroversi, sejak kapan UUD Panji Salaten dan UU Beraja Nanti mulai diterapkan di wilayah Kesultanan Kutai, karena ada pendapat yang menyebut UUD tersebut mulai diterapkan sejak 1635 ketika Pangeran Sinum Panji Mendapa berkuasa (Amin, 1975; dan Adham, 1979). Sementara laporan Zwager pada 1853 yang diterjemahkan Prof. Taufik Abdullah (1985),
mencatat
“hundang-ngundang” yang disusun dalam bahasa Melayu, bercampur dengan kata-kata Kutai dan Dayak tersebut, baru diperkenalkan pada masa pemeintahan Sultan Anum Aji Muhammad Muslihuddin (1782-1816). Namun yang pasti, UUD Panji Salaten yang terdiri atas 39 pasal, serta UU Beraja Nanti yang mengatur pelaksanaannya (terdiri atas 164 pasal) menjadikan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura sebagai kerajaan yang berkonstitusi, jauh sebelum Belanda menaklukkan Kesultanan Kutai pada 1844. Di dalamnya diatur hak kuasa atas tanah diwilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, sekaligus menegaskan secara legal formal bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara sebagai penguasa tunggal atas “dusun, kampung, negeri dan teluk rantau”, dimana raja dikukuhkan sebagai penguasa di seluruh teritorial kerajaan. Hal ini sekaligus menjadi pembenar apa yang dikemukakan Tauchid (1952), bahwa sejak jaman raja-raja di Nusantara berkuasa, hampir semua hukum tanah berdasar sistem feodal, dimana segala isi negeri (terutama tanah) adalah milik mutlak sang raja. “Tanah dikuasai raja dan rakyat yang mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya”, akibatnya rakyat menjadi alat untuk kekuasaan dan kehormatan sang raja. “Perbudakan” model ini memposisikan raja sebagai wakil Tuhan
108
di dunia, yang memberikan perlindungan dan rakyat diharuskan mengabdi pada raja sebagai bentuk pengabdiannya pada Tuhan dengan menyerahkan “bakti”. Raja mempunyai hak monopoli atas seluruh wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, dalam hal ini termasuk monopoli atas semua gua sarang burung, penggalian emas dan intan, serta pengambilan hasil-hasil hutan (Amin, 1979). Setidaknya pada masa berlakunya UUD Panji Selaten dan UU Beraja Nanti, status tanah di Kerajaan Kutai Kartanegara dapat di bagi dalam lima kategori (Sosronegoro, 1945 dalam Rachim, 1995). 1) Tanah Pengempoean, yaitu tanah milik sultan yang dipusakai secara turun temurun. 2) Tanah Limpah Kemoerahan, yaitu; a). Tanah yang dihadiahkan dengan surat raja (cap kuning) pada suku bangsa tertentu sebagai balas budi atas jasa-jasa yang mereka berikan pada kerajaan. b). Tanah yang dihadiahkan pada seseorang secara pribadi karena jasanya, dimana tanah tersebut dapat diwariskan. 3) Tanah Tajaran, yaitu tanah untuk perkebunan atau ladang yang menjadi milik kerajaan, jika diatasnya tidak terdapat ‟tajar‟ bahwa tanah tersebut sudah digarap seseorang. 4) Tanah Hoema, yaitu tanah perladangan yang dikerjakan penduduk kampung, jika selama tiga musim tanaman padi di tanah tersebut tidak dikerjakan, maka ia menjadi milik kerajaan dan boleh diserahkan pada penduduk kampung lain yang meminta izin untuk mengerjakannya. 5) Tanah Diam, yaitu tanah tempat tinggal untuk mendirikan rumah/ pondok, tanah tersebut menjadi milik perorangan yang mendirikan. Namun demikian, raja-raja Kutai Kartanegara saat itu tidak menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah secara absolud, mengingat luasnya wilayah kerajaan dan minimnya jumlah penduduk. Sehingga tanah bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan. Mengingat Kesultanan Kutai termasuk kategori yang disebut Van Leur sebagai kerajaan maritim, yang secara struktural berbeda dari kerajaan agraris (Abdullah, 1985). Di wilayah Kerajaan Kutai, menurut catatan Zweger bahkan tidak ditemukan tanah desa atau ulayat yang setiap tahun dibagikan pada berbagai golongan penduduk yang berhak untuk dikerjakan; peraturan-peraturan yang mengikat kepentingan bersama kepada desanya dan hubungan yang mengutamakan kepentingan masyarakat umum, yang di Pulau Jawa sangat dikagumi. Meskipun demikian masyarakat setempat mengenal istilah “rodi”, untuk kerja wajib bagi setiap penduduk yang memiliki tanah; istilah itu menjadi penjelas hak “yang dipertuan” atas sebagian dari semua hasil tanah yang dikerjakan, sebagai ganti rugi atas “kedaulatan raja” atau pajak atas tanah. Yang berhasil ditemukan Zweger di daerah ini hanyalah penerapan zakat (sesuai hukum Islam) dan hak perorangan yang melekat pada setiap orang yang pertama kali membuka tanah hutan.
109
Umumnya sistem kepemilikan tanah di dalam wilayah kedaulatan Kerajaan Kutai Kartanegara pada masa lalu dilakukan dengan cara, meminta izin pada penguasa kerajaan (Sultan) melalui Petinggi Kampung dimana tanah tersebut berada, untuk mendapatkan hak membuka tanah, dengan jalan pewarisan dan memindah tangankan menurut hukum adat. Pada dasarnya setiap penduduk yang berdiam di dalam wilayah Kerajaan ini berhak untuk memiliki tanah perorangan. Tanah yang akan dimiliki tersebut syaratnya haruslah “tanah bebas”, artinya belum dimiliki oleh orang lain atau telah berpindah tangan karena dijual/ diberikan. Tanah kerajaan yang diberikan sebagai tanah hak milik perorangan, adalah tanah kosong atau telah ditinggalkan oleh penggarapnya sampai berpuluh-puluh tahun hingga sudah menjadi hutan rimba kembali. 4.3.1
Pra Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat Lokal dan Kolonial Pasca penaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara oleh Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda pada 11 Oktober 1844 M, kebijakan atas pertanahan yang muncul kemudian merupakan produk campur tangan pemerintahan kolonial. Satu tahun setelah penaklukkan, Sultan Sulaiman mengeluarkan maklumat yang berbunyi: ”Segala tanah dan isinya seperti hasil hutan, pedulangan atau segala hasil dalam tanah dan di atas tanah yang ada dalam watas Kerajaan Kutai atau barang-barang yang menjadi peninggalan orang dahulu, yang terdapat dalam tanah yang disebut khazanah, semuanya seperti yang tersebut menjadi milik Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura beserta rajanya”. Artinya tidak seorangpun yang boleh mengambilnya, jika tidak dengan perkenan atau titah sultan yang memerintah Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura (Amin, 1975). Kebijakan ini menjadi dasar pijakan bagi Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai yang dipertuan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara untuk melakukan hegemoni penguasaan pertanahan atas daerah jajahan. Hal tersebut dilakukan pemerintah kolonial untuk menjamin kelancaran investasi modal-modal partikelir, khususnya dari Belanda dan sekaligus untuk membenarkan tindakan mereka dalam menguasai seluruh tanah di wilayah jajahan. Kondisi ini diperkuat dengan ditanda-tanganinya Lange contract antara penguasa Kerajaan Kutai, Sultan Sulaiman dan Everard Christian Frederick Happe, residen Kalimantan yang mewakili Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1863. Sekaligus menandai dimulainya pemerintahan swapraja di daerah ini, yang kemudian dikenal dengan sebutan Landschap Kutai. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat suatu dasar hukum, yang terkenal dengan istilah ”domeinler” yang tercantum pada Pasal 1 Agrarisch Besluit (1870), sehingga terbukalah kesempatan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menguasai tanah-tanah, diluar yang sungguh-sungguh dipakai oleh rakyat.
110
Jelasnya, dengan dicantumkannya ”domeinler” di dalam Agrarisch Besluit itu pemerintah kolonial menjadikan dirinya sebagai pemilik mutlak atas tanah jajahan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pemberlakuan politik pintu terbuka, yang banyak memasukkan modal asing, termasuk modal dari Belanda di tanah jajahan. Namun demikian, Agrarische Wet belum diberlakukan di luar pulau Jawa dan Madura, sehingga sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara pada masa itu, harus meminta izin atau konsesi dari Sultan. Akibatnya di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, hukum tanah bersifat dualistis, yaitu; terdapat wilayah-wilayah yang status tanahnya dikuasai hukum Eropa dan hukum adat (kesultanan). Hak atas tanah bagi modal partikelir di daerah pemerintahan tidak langsung dinamakan concessie dan untuk daerah pemerintahan langsung disebut erfpacht. Hak concessie pernah diberikan Aji Sultan Muhammad Sulaiman pada 1882 untuk kegiatan penambangan batu bara yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda selama 75 tahun. Juga diberikan pada J.H. Menten pada 1889 untuk kegiatan eksploitasi minyak SangaSanga dan Mathilda Balikpapan. Pada tahun 1902, Sultan juga memberikan konsesi penambangan minyak kepada Koetei Exploratie Maatscappij (KEM). Pemberian konsesi penambangan minyak masih berlangsung terus hingga tahun 1922. Seiring dengan masuknya modal-modal partikelir yang membutuhkan hamparan tanah luas, pemerintah kerajaan mulai memungut pajak upeti pada rakyat serta daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Padahal sebelumnya pihak kerajaan hanya memungut pajak dan cukai “puluhan” dari pada pedagang, dengan memungut sepersepuluh
persen
dari
barang-barang
yang
dibawanya.
Namun
dalam
perkembangannya pajak yang dipungut kerajaan ternyata juga meliputi; uang kepala, sewa tanah, pajak perahu, serta pajak penghasilan (intan/ emas). Meskipun saat itu penghasilan yang diperoleh kerajaan sudah sangat besar, berupa; gaji dari landschap Kutai, cukai dari hasil tanah milik pribadi sultan yang sangat luas, hasil penjualan sarang burung milik sultan, ganti rugi penguasaan Mahakam Hulu dan Vierkante-Pall Samarinda oleh Pemerintah Hindia Belanda, juga cukai hasil hutan, pungutan barangbarang perdagangan, serta cukai tambang batu bara dan royalti minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij). Dari berbagai aktifitas pertambangan, kerajaan memperoleh keuntungan finansial yang luar biasa besarnya, sampai dengan tahun 1899 Sultan Kutai Kartanegara secara pribadi menerima penghasilan bagi hasil sebesar f. 2.000.000,-, belum termasuk hasil dari pungutan pajak (Magenda, 1994). Kondisi tersebut terjadi seiring ditemukannya minyak di Sanga-Sanga (kawasan Delta Mahakam) dan lapangan Mathilda Balikpapan oleh J.H. Menten yang mendapatkan konsesi pada 1889 dari
111
Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Sejak saat itu keberadaan kawasan Delta Mahakam mulai dirasakan nilai manfaatnya oleh elit penguasa lokal saat itu. Situasi sejahtera tersebut, menurut Megenda (1994) memungkinkan para aristokrat Kutai Kertanegara memiliki standar kehidupan yang lebih tinggi dari aristokrataristokrat manapun di Nusantara bahkan dari orang-orang Eropa sekalipun. Dengan cara demikian Kesultanan Kutai Kertanegara memperoleh legitimasi dimata kerajaankerajaan yang telah ada sebelumnya, serta aristokrat-aristokrat di Jawa dan daerah lainnya di Nusantara. Namun ironisnya penghasilan yang diperoleh kerajaan tersebut menurut Amin (1975), sepenuhnya hanya dipergunakan untuk kesejahteraan pribadi raja beserta keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan istana yang indah dan modern di Kota Tenggarong, diadakannya perayaan erau setiap tahun untuk menyanjung-nyanjung kemegahan keluarga raja, serta melakukan „pesta‟ bersama pejabat-pejabat Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kelak berbagai realita tersebut akan menjadi salah satu penyebab ”ketidaksenangan” rakyat yang mengkristal menjadi sebuah penolakan atas kembalinya model pemerintahan Swaparaja (feodal) di Kutai. Ironisnya pemerintahan yang berlangsung saat itu tidak disokong lapisan aparatus yang menyebar dan dapat menjangkau seluruh lapisan wilayah beserta unitunit sosialnya, akibat orientasi para penguasa Kutai Kartanegara yang lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan Sultan sulit mengontrol secara langsung pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya agraria dalam teritorinya, meskipun sultan telah mengangkat sejumlah Demang untuk mewakilinya. Seperti dilaporkan Levang (2002), sejumlah orang Banjar yang datang dan bermukim di Teluk Ladang (di sekitar kawasan Delta Mahakam) pada tahun 1930-an merasa perlu meminta izin dari Demang Sungai Tiram sebelum menetap di kawasan tersebut. Namun luasnya wilayah teritori kerajaan, menyebabkan banyak imigran, bahkan kegiatan usaha asing yang menetap/ beroperasi dikawasan yang tidak “tersentuh” aparatur pemerintahan tidak melaporkan keberadaan mereka. Seperti dialami sejumlah migran Bugis yang menetap di sekitar kawasan Delta Mahakam sejak akhir abad-19. Meskipun menjelang kemerdekaan, para petinggi kampung Muara Pantuan dilaporkan selalu menghadap Sultan Kutai Kartanegara setiap tahunnya dengan membawa sejumlah setoran pajak uang kepala/ belasting. Sebuah perusahaan Jepang dilaporkan juga membuka usaha penebangan kayu secara ilegal, karena merasa leluasa beroperasi tanpa meminta izin konsesi, sehingga terpaksa ditutup dan oleh pemerintah diberikan konsesi di Sangkulirang pada 1932. Sejak saat itu di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara setidaknya beroperasi dua perusahaan perkayuan milik Jepang, Nanyo Ringyo Kabushiki Kaisa di Sangkulirang dan Yamaka di dekat Delta Mahakam, selain keberadaan penggergajian uap pertama di Samarinda yang dibangun oleh Gray pada
112
1895 dan konsesi penebangan yang diberikan pada NV. Seliman Hout et Landbouw Maatschappij pada 1914 (Departemen Kehutanan, 1986). Pungutan pajak
“warga swapraja” di seluruh wilayah Kerajaan Kutai
Kartanegara secara efektif mulai dilakukan sejak Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899–1910) berkuasa. Ketika pemerintah kerajaan memberlakukan UU tahun 1904 yang mengatur kegiatan pengumpulan pajak, dimana pasal pertamanya berbunyi; ” Mulai dari tahun ini yaitu 1321 H, Kepala Negeri musti menerima uang kepala dari orang-orang yang kena bayaran itu menurut buku yang sudah ditetapkan oleh Sri Paduka tuan Sultan tersebut. Jikalau sudah menerima habis uang kepala itu maka Kepala Negeri atau suruhannya musti mengantar itu uang kepala ke Tenggarong. Buat kesusahan dari memungut uang kepala maka Kepala Negeri akan dapat pembayaran dari kerajaan”. Pada 16 September 1931, Sultan Aji Muhammad Parikesit juga memberlakukan Rondschrijven No: 1677/ 3-ZB, yang mengatur ketentuan hak-hak tanah untuk perkebunan tanaman keras. Selain peraturan mengenai tata cara penguasaan dan pemanfaatan tanah di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara yang dikeluarkan enam tahun sebelumnya (Rachim, 1985). 1. Barang siapa hendak membikin kebun tanaman yang bertahun, wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada Penjawat (Camat) dimana tempat tanah yang diminta. 2. Tanah yang diminta itu musti diterangkan satu persatu dengan sebenarnya dan disebutkan juga luas tanah tersebut. 3. Segala tanah yang diminta untuk dijadikan kebun harus diselidiki dengan seksama, apabila luasnya tidak sebanding dengan kesanggupan si pemohon atau dipandang tidak cukup mengerjakan dengan segera maka tanah yang diminta itu harus dikurangi dan ditentukan berapa luasnya tanah yang telah diusahakan. 4. Dari tanah-tanah yang diminta itu terlebih dahulu yang bermohon memeriksa bersama-sama ”Petinggi Kapung” supaya jangan sampai terambil hak orang lain, seperti tanah bekas huma (ladang) yang masih akan dikerjakan atau dibuat keperluan lainnya. 5. Tanah yang belum diperiksa oleh Kepala ”Penjawat” (Camat) tidak boleh dikejakan, sedangkan tanah yang telah diperiksa akan dibuktikan dengan sehelai surat keterangan. Manakala seseorang telah mendapatkan izin untuk menggarap sebidang tanah dan diatasnya terdapat kuburan, maka orang tersebut tidak boleh mencabut tanda-tanda yang ada, serta wajib menjaganya jangan sampai terbakar. Demikian pula jika di tempat tersebut terdapat pohon buah-buahan yang telah ditanam oleh orang yang terdahulu, dibawah pohon tersebut tidak boleh ditanam tanaman keras (tahunan). 6. Manakala seseorang telah mendapatkan izin untuk menggarap sebidang tanah, maka ia harus segera mengerjakannya. Bila tanah tersebut belum dikerjakan dalam jangka satu tahun maka izin tersebut dicabut kembali dan kerajaan boleh memberi izin pada orang lain untuk mengerjakannya, sedangkan biaya yang sudah dikeluarkan tidak akan diganti. 7. Tanah belukar bekas perladangan yang tidak dikerjakan semala lima tahun berturut-turut izinnya akan dicabut dan akan diberikan pada orang lain untuk mengerjakannya, terkecuali ada tanda-tanda bekas dikerjakan oleh orang yang terdahulu.
113
8. Si pemilik kebun rotan atau kebun buah tidak mempunyai hak atas perwatasan di luar areal kebun tersebut. 9. Seseorang tidak berhak lagi atas tanah pusaka dari nenek moyangnya walaupun telah ada landasan hukumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah kerajaan yang terdahulu, karena pemerintah Kerajaan Kutai telah mencabut kembali hak tersebut dari orang-orang yang pernah dikaruniai tanah (hak apanage). Ini berarti tanah jabatan telah ditiadakan dan kembali menjadi hak kerajaan. 10. Pengecualian dari hal tersebut di atas adalah mereka yang telah memperoleh hak erfacht di dalam tanag konsesi akan memperoleh hak milik atas tanah yang disyahkan oleh kerajaan. 11. Mereka yang belum memperoleh surat keterangan resmi dari Kepala Penjawat dilarang memasang tanda-tanda pemilikan atas tanah, sedangkan bagi mereka yang belum mengerjakan ladangnya lebih dari enam bulan setelah peraturan ini dikeluarkan, izin akan ditarik kembali oleh kerajaan. 12. Jika seseorang hendak menjual kebun, maka harus diperiksa lebih dahulu, supaya jangan terjual tanah kosong yang tidak ada tanamannya. 13. Mengenai tanah pekarangan rumah yang berada di ibu kota kecamatan dan yang diperoleh karena warisan atau pembelian, hak milik atas tanah tersebut diakui oleh pemerintah Kerajaan Kutai. Pada zaman pendudukan Jepang umumnya kebijakan pertanahan di Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara dan khususnya kawasan Delta Mahakam tidak mengalami perubahan yang berarti, yang ada adalah pemanfaatan tanah untuk peningkatan pangan bagi kepentingan ekonomi dan pasukan pendudukan Jepang. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah militer Jepang tetap mempertahankan status Swapraja Kerajaan Kutai, sultan tetap diperkenankan menduduki tahtahnya dan dinobatkan sebagai Koo. Artinya Sultan Kutai dianggap sebagai keluarga Raja Jepang yang diharapkan dapat mempergunakan pengaruhnya untuk mendukung ekspansi militer Jepang. Meskipun Swapraja Kutai tetap diakui dipimpin oleh seorang sultan, namun keberadaannya berada dibawah pemerintahan Militer Samarinda Ken dengan kontrol langsung dari Seibu Kutai Bunken. Untuk
kepentingan
ekspansi
militernya,
pemerintah
militer
Jepang
menganjurkan rakyat membuka tanah-tanah hutan untuk perladangan dan persawahan seluas mungkin sesuai dengan kemampuan tenaga kerja yang tersedia, namun pemerintah militer Jepang, tidak memperdulikan status hukum tanah yang digarap oleh rakyat. Namun kebijakan pemerintah pendudukan Jepang, tidak dapat berlaku efektif di kawasan Delta Mahakam, akibat taktik “bumi hangus” Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
yang
membakar
dan
menghancurkan
sarana-prasarana
produksi
pertambangan minyak dikawasan ini, dengan maksud tidak dapat digunakan musuh. Juga serangan Jepang ketika menduduki kota Balikpapan dan Samarinda, yang mengakibatkan kerusakan sejumlah rumah dan perahu-perahu penduduk di sekitar kawasan Delta Mahakam yang menjadi pintu masuk bagi penaklukan kedua kota
114
tersebut. Akibatnya suasana perkampungan menjadi sepi karena penghuninya memilih mengungsi ke daratan Kalimantan yang lebih aman. Setelah tentara pendudukan Jepang berkuasa sepenuhnya di Indonesia, ditetapkanlah UU No. 1 tentang “Menjalankan Pemerintahan Balatentara”. Di dalamnya diatur ketentuan, bahwa balatentara Jepang untuk sementara waktu menjalankan pemerintahan militer di daerah-daerah yang didudukinya, dimana wilayah Kalimantan Timur di kendalikan oleh Pemerintah Militer Angkatan Laut (Armada Selatan ke-2) yang berkedudukan di Makassar. Namun demikian, semua badan pemerintah dengan kekuasaannya, serta hukum dan perundang-undangan produk Pemerintah Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah, selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer Jepang. Pada prinsipnya Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan politik “mengabdi pada kepentingan perang”, termasuk di dalam melaksanakan kebijakan pertanahan di daerah pendudukan. 4.3.2
Pasca Kemerdekaan: Totalitas ”Hak Menguasai Negara” Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
daerah-daerah Swapraja warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, masih mendapatkan tempat di dalam UUD 1945. Di dalam Bab IV, Pasal 18 disebutkan bahwa; ”Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Berdasarkan ketentuan tersebut, semua daerah Swapraja yang belum/ tidak dihapuskan oleh pemerintah pendudukan Jepang, dianggap tetap berlangsung berikut peraturannya. Pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya untuk mengembalikan sistem penjajahannya di Indonesia, melakukan berbagai macam upaya, baik dengan aksi-aksi militer maupun politik memecah belah. Van Mook melalui konfrensi Malino (Juli 1946), Pangkal Pinang (Oktober 1946) dan Denpasar (Desember 1946), berhasil membentuk negara-negara boneka, termasuk Negara Federasi Kalimantan Timur (FKT) melalui wadah Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT). Dewan ini terdiri dari Swapraja Kutai, Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Neo Swapraja Pasir, dengan Aji Muhammad Parikesit (Sultan Kutai Kartanegara) sebagai ketua eksekutifnya. Sedangkan pelaksana pemerintahan harian dibentuk Bestuurcollege yang diketuai Aji Raden Afloes. Negara Federasi Kalimantan Timur ini kemudian diresmikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook pada September 1947. Sampai dengan pengakuaan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda, sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur yang berjiwa “Republiken”, tidak pernah
115
mendukung berdirinya Federasi Kalimantan Timur yang dianggap menghianati proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemerintahan Belanda di Kalimantan Timur sendiri mulai berakhir setelah Hollestelle (residen Kalimantan Timur terakhir) menyerahkan kekuasaannya pada Aji Raden Afloes sebagai wakil Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Meskipun demikian secara de facto Federasi Kalimantan Timur, masih tetap eksis menguasai pemerintahan Kalimantan Timur. Pada masa-masa transisi tersebut, Kerajaan Kutai Kartanegara kembali turut ambil bagian dalam usaha pembentukan Negara Kalimantan, sebagai usaha untuk memperpanjang usia keswaprajaan mereka (panitia pembentukannya diketuai A.P. Kartanegara, adik Sultan Kutai Kartanegara). Kondisi ini menyulut ”kemarahan” dari sejumlah organisasi kemasyarakatan Kalimantan Timur yang menuntut dihapusnya swapraja dan digabungkannya Federasi Kalimantan Timur menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Tuntutan tersebut berhasil memaksa Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT), untuk menyetujui penggabungan daerah Kalimantan Timur ke dalam NKRI, hingga dikeluarkannya Keppres RIS No. 127 tahun 1950 pada 24 Maret 1950 yang menandai penghapusan Federasi Kalimantan Timur. Meskipun demikian, penguasa tradisional di wilayah ini yang terdiri atas empat kesultanan masih tetap diakui, sesuai Surat Keputusan Mendagri No. 186/ OPB/ 92/ 14 tertanggal 29 Juni 1950, tentang pembentukan Daerah Istimewa/ Swapraja Kutai, Bulungan dan Berau (meliputi Kesultanan Sambaliung dan Gunung Tabur). Sejak saat itu, Sultan Kutai menjadi Kepala Daerah Istimewa Kutai (setingkat daerah kabupaten), semantara ibukotanya dipindahkan dari Tenggarong ke Samarinda, sebelum kembali dipindahkan ke Tenggarong melalui sebuah resolusi yang dikeluarkan DPRD Peralihan pada 1957. Di dalam status keswaprajaannya, pada 1 Oktober 1953 pemerintah Daerah Istimewa Kutai masih sempat mengeluarkan peraturan mengenai tata cara pinjam sewa tanah di dalam wilayah Swapraja Kutai. Pada periode ini, juga ditandai dengan maraknya kegiatan penyelundupan oleh kapal-kapal Bugis dari Tawau (Malaysia) ke kota-kota di pantai timur Kalimantan (khususnya ke Tarakan dan Samarinda) dengan menggunakan jalur perairan kawasan Delta Mahakam yang terlindung. Para penyelundup membawa peralatan rumah tangga, pecah-belah, pakaian, barang-barang elektronik, makanan kaleng hingga bawang putih. Sementara dari kawasan ini mereka mengangkut lada, karet, kelapa, produk hutan dan perikanan. Sejak masa perang revolusi, Delta Mahakam juga menjadi salah satu tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan (Levang 2002). Kawasan ini pun dilaporkan pernah menjadi basis perompakan kapal-kapal dagang yang keluar-masuk Sungai Mahakam. Praktis sejak 1950, kawasan Delta Mahakam yang termasuk dalam Daerah Istimewa Kutai seolah-olah kembali ke masa kesultanan, karena diperintah secara
116
tunggal. Sampai diundangkannya UU No. 27 Tahun 1959, ketika Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi tiga Daerah Swatantra Biasa, yaitu Daerah Tingkat II Kutai, Kotapraja Samarinda dan Balikpapan. UU ini sekaligus menghapus keberadaan tiga Daerah Istimewa/ Kesultanan yang ada di Kalimantan Timur, mengingat tidak disebutnya status Daerah Istimewa Kutai, Bulungan dan Berau di dalamnya. Realisasi penghapusan Daerah Swapraja/ Istimewa Kutai secara formal, dilakukan pada 20 Januari 1960, ketika Kepala Daerah Tingkat II Kutai pertama dilantik di Samarinda oleh Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Timur. Peristiwa tersebut menjadi penutup sejarah pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara yang telah berusia + 660 tahun. Sekaligus membawa konsekuensi beralihnya kewenangan memungut royalti kegiatan pertambangan dan pajak kegiatan ekonomi ke tangan Pemerintah Pusat. Sejak saat itu, hukum pertanahan di Kutai Kartanegara mengacu kembali pada rumusan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bahwa; ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Konsepsi inilah yang kemudian disebut sebagai Hak Menguasai Negara, yang menjadi dasar perumusan UUPA 1960. Di dalam kebijakan pertanahan, “Hak Menguasai Tanah” menjadi hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun, termasuk hak milik. UUPA memberi kewenangan yang kuat dan sangat luas pada Negara melalui ”Hak Menguasai Negara”, seperti dinyatakan UUPA. Meskipun telah menghapuskan asas domein, UUPA masih memberikan kekuasaan yang besar dan wewenang yang sangat luas bagi Negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agraria. Akibatnya eksistensi hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria dan kebijaksanaan alokasi sumberdaya alam menjadi sangat tergantung pada suasana politik-hukum dan kepentingan Negara (kekuasaan). Panasnya situasi politik pada dasawarsa 1960-an di Indonesia, ternyata juga mengimbas pada kehidupan politik dan pemerintahan di Kalimantan timur. Panglima Komando Daerah Militer IX/ Mulawarman, sebagai pemilik otoritas tertinggi pada masa darurat perang di Propinsi Kalimantan Timur, melakukan banyak intervensi terhadap kegiatan pemerintahan daerah. Pada masa itu banyak pejabat daerah yang berseberangan dengan kebijakan Penguasa Perang Daerah (Peperda) dijebloskan ke rumah tahanan, diantaranya adalah Bupati Kutai pertama, Aji Raden Padmo beserta keluarganya yang dituduh bekerjasama dengan subversif asing. Sikap Suhardjo sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX/ Mulawarman yang anti feodalisme tersebut, dimanfaatkan oleh Front Nasionalis yang berhasil mengorganisir massa untuk melakukan penghancuran terhadap Keraton Kutai di Tenggarong. Akibatnya sebagian besar patung-lambang kesultanan, gambar-gambar sultan beserta pakaian-pakaian kebesarannya dibakar, tiang bendera kerajaan yang tingginya 30 meter ikut dirobohkan
117
(Soetoen, 1975). Peristiwa pengganyangan terhadap feodalisme ini, berlangsung berbarengan dengan aksi konfrontasi dengan Malaysia. Masyarakat melalui penguasa-penguasa setempat seperti camat dan petinggi/ kepala
kampung
pun
diwajibkan
mengerahkan
funds
and
forces-nya,
untuk
mensukseskan jalannya revolusi. Seperti menyediakan alat-alat pengangkutan, tenaga, serta kesediaan untuk selalu menghadiri rapat-rapat raksasa/ akbar, ceramahceramah/indoktrinisasi dan seterusnya. Di bidang administrasi kedaerahan banyak ditunjuk pemimpin-pemimpin yang lebih banyak menonjolkan kekerasan dan kekuasaan daripada kebijakan yang berdasarkan hukum, kebijakan pertanahan pun mengalami couptasi. Menurut Soetoen (1975), “pada masa itu seorang bupati dapat diperintah oleh seorang sersan, demikian juga seorang camat yang tidak mampu melaksanakan tugas revolusi dapat diganti begitu saja”. Baru pada 1967 ketika rezim Orde Baru berkuasa, kondisi pemerintahan di Kabupaten Kutai mulai berjalan lebih kondusif. Pada masa tersebut muncul gagasan pemekaran wilayah, untuk mengantasipasi sulitnya pelaksanaan pembangunan, serta pengawasan dan pembinaan daerah, akibat luasnya wilayah Kebupaten Kutai. Berdasarkan resolusi DPRGR bernomor 5/ Res/ DPRGR/ KK/ 1967, Kabupaten Kutai pernah diwacanakan dibagi menjadi tiga, Kabupaten Kutai (induk) dengan ibukota Tenggarong, Kabupaten Ulu Mahakam dengan ibukota Barong Tongkok dan Kabupaten Pantai yang wilayahnya meliputi kawasan Delta Mahakam dengan ibukota Samboja. Meskipun gagasan tersebut dimentahkan Gubernur Kalimantan Timur yang waktu itu baru dijabat A. Wahab Syahranie, yang lebih memilih mengoptimalkan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, sehingga dapat melaksanakan otonomi seluasluasnya sesuai Tap MPRS No. XXI/ MPRS/ 1966. Namun ide tersebut hingga saat ini masih terus ”berkobar”, mewujud dalam tuntutan pemekaran Kabupaten Kutai Pantai yang wilayahnya juga meliputi sebagian besar kawasan Delta Mahakam. Atas dasar pengoptimalan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, dikeluarkanlah SK Gubernur Kalimantan Timur No. 55/ TH-Pem/ SK/ 1969, tentang Penyempurnaan dan Penegasan SK Gubernur Kalimantan Timur No. 18/ THPem/ SK/ 1969, mengenai penetapan batas dan luas daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan. Sejak saat itu wilayah Kabupaten Kutai seluas 2.947 Km², yang meliputi; Kecamatan Palaran, Kecamatan Sanga-Sanga dan sebagian Kecamatan Samboja, serta Kecamatan Muara Jawa yang wilayahnya melingkupi sebagian kawasan Delta Mahakam, diserahkan pada Pemerintah Kotamadya Samarinda. Artinya, kawasan Delta Mahakam secara administratif pernah berada di bawah dua otoritas pemerintahan, yaitu Kabupaten Kutai dan Kotamadya Samarinda, sebelum dikembalikan lagi ke Kabupaten Kutai pada 1987, sesuai PP No. 21 tahun 1987.
118
Sementara di level pusat, pemerintahan Orde Baru “dipusingkan” oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi dan hutang luar negeri yang amat besar. Keadaan ini sangat menghambat pelaksaanaan Tap MPRS No. XXIII/ MPRS/ 1966, yang mengamanatkan pembaharuan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, akibat keterbatasan dana, pengalaman dan penguasaan teknologi untuk menggali dan mengolah sumbersumber ekonomi potensial yang dimiliki negara. Salah satu tindakan pertama pemerintahan Orde Baru adalah membuka lebar-lebar semua pintu ke dunia Barat, tidak hanya ke negara-negara Eropa tetapi juga ke Amerika dan Jepang. Pemerintah menempuh cara pemanfaatan modal, teknologi dan pengalaman luar negeri, dengan menetapkan UU No. 1 tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. Untuk lebih menarik penanam modal asing undang-undang ini juga memuat ketentuan tentang pembebasan lahan, serta kelonggaran perpajakan dan fasilitas lainnya, yang diharapkan mampu mengundang secara besar-besaran penanaman modal besar, baik modal asing maupun dalam negeri. Selanjutnya melalui instrumen UU No. 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, penguasaan dan prosedur pengelolaan hutan pun diatur secara tegas oleh negara. Unifikasi hukum nasional ini memliki arti strategis dalam mengamankan kepentingan negara dan para pemodal besar, seperti diamanatkan UU No. 1 tahun 1967, karena akan menggantikan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, yang sebagian besar berasal dari zaman kolonialisme Belanda dan feodalisme lokal yang beranekaragam coraknya. Hasilnya seperti yang diharapkan pemerintah, sebuah konsorsium internasional (baca: IGGI) menyetujui penangguhan pembayaran hutang dan nilai rupiah dapat distabilkan dengan mengaitkannya dengan dollar AS. Sebagai gantinya, sebagian besar milik asing yang disita pada 1957 sedikit demi sedikit dikembalikan kepada pemiliknya dan konsesi-konsesi baru diberikan, khususnya konsesi minyak bumi dan kehutanan (Lombard, 2005). Yang datang mengalir tidak hanya modal, tetapi juga para ahli yang kini bersifat “internasional”. Sementara konfrontasi dengan Malaysia segera dihentikan dan Indonesia menjadi anggota ASEAN, pengelompokan negara-negara pro-Barat. Berbagai prakondisi „pembangunanisme‟ ekonomi politik Orde Baru tersebut menurut Damanhuri (2009), dilatarbelakangi oleh beberapa tesis berikut; pertama, memberikan prioritas utama untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, yang dalam penafsiran dan implementasinya diserahkan pada beberapa tim khusus ekonomi (Tim Widjojo, Tim CSIS, Tim Sumarlin dan Tim Habibie), yang secara teknokratis menempatkan aliran modal Barat dan Jepang dalam rangka industrialisasi subtitusi import (ISI) maupun promosi ekspor (IPE). Kedua, membangun setting politik yang menempatkan presiden, ABRI, birokrasi dan Golkar, sebagai pencipta stabilitas politik yang monolitik untuk mendukung at-all-cost suksesnya program-program ekonomi.
119
Ketiga, menempatkan target spesifik swasembada beras dengan memanfaatkan gelombang “revolusi hijau”, sebagai penyangga dasar terciptanya stabilitas ekonomi politik. Keempat, memberikan fasilitas dan perlindungan tarif maupun non tarif kepada kelompok
big-businnes
(konglomerasi)
yang
diasumsikan
sebagai
lokomotif
pertumbuhan ekonomi. Dan kelima, memilih langka represi politik dan militer dalam menghadapi setiap halangan, gangguan dan ancaman terhadap semua instrumen ekonomi dan politik yang tercipta. Di dalam prakteknya keberadaan UU No. 5 Tahun 1967, telah menyebabkan pemerintah daerah di Kalimantan Timur menikmati desentralisasi kewenangan pengelolaan hutan. Kala itu peraturan perundangan membolehkan Gubernur dan Bupati menerbitkan konsesi kayu dengan luas tidak melebihi 5.000 Ha. Sementara pemerintah pusat berwenang menerbitkan konsesi dengan luas 5.000 Ha s/d 10.000 Ha. Karena prosedur untuk mendapatkan konsesi hutan dari pemerintah pusat lebih sulit daripada yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati, dalam prakteknya kegiatan penebangan kayu lebih banyak yang menggunakan izin dari pemerintah daerah (Simarmata, 2008). Besarnya skala penebangan kayu melalui skema ini tidak lepas dari banyaknya penyimpangan dalam prakteknya. Konsesi lebih banyak diberikan kepada keluarga dekat para Gubernur dan Bupati. Namun demikian, sejumlah penduduk lokal yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, walau hanya mendapatkan izin dari Camat, sudah berani menebang kayu di hutan (Magenda 1991). Kebijakan Dirjen kehutanan yang didasarkan atas pertimbangan, “pengusaha besar maupun kecil harus diberikan kesempatan yang sama, sesuai dengan kekuatannya masing-masing”, setidaknya ikut memperparah terjadinya penyimpangan yang terjadi. Ketika luasan area hutan yang dieksploitasi di setiap propinsi, 70 – 80 persen diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi dan
20 – 30 persen
diberikan pada pengusaha kecil, dengan izin tebang dan persil tebangan (Dephut, 1986). Setidaknya menjelang tahun 1970 di Kabupaten Kutai telah beroperasi 272 unit perusahaan (kappersil) dengan luas area penguasahaan mencapai 368.650 Ha, belum termasuk izin pengusahaan hutan seluas 497.600 Ha yang dikeluarkan Gubernur Kalimantan Timur (Soetoen, 1975). Kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya fenomena penebangan kayu secara massal dan dapat dilakukan oleh siapapun dengan moda produksi tradisional, yang oleh masyarakat Kalimantan Timur dikenang sebagai masa banjirkap. Dimana penduduk menebangi kayu di dalam hutan, lalu menumpuknya di tepi sungai pada musim kemarau dan menghanyutkan kayu-kayu bundar tersebut ke log pond yang berada di sepanjang Sungai Mahakam ketika musim penghujan datang, sebelum dikapalkan ke Jawa/ luar negeri. Peristiwa pembabatan hutan secara kolosal tersebut,
120
terjadi menjelang tahun 1970 hingga awal 1980-an. Menariknya seluruh konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan baik semasa banjirkap maupun setelah pemberlakuan PP No. 21/ 1970, tidak satupun yang berlokasi di delta Mahakam (Simarmata, 2008). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya potensi tegakan kayu di kawasan Delta Mahakam yang dianggap ekonomis untuk diperdagangkan, selain faktor pemberian izin pemanfaatan hasil hutan yang dikuatirkan bertumpangtindih dengan kegiatan pertambangan yang dianggap lebih menguntungkan. Keberadaan konsesi pertambangan di kawasan Delta Mahakam juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan UU No.11 tahun 1967, tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini dimaksudkan untuk menjaring “para pemain asing” disektor pertambangan yang padat modal. Salah satu kawasan yang ditawarkan adalah pemberian konsesi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Blok Mahakam, yang pada 1970 dimenangkan oleh Total E&P Indonesie bersama Japex atau Inpex Coorporation. Setelah melakukan eksplorasi selama 2 tahun, pada tahun 1972, Total yang berkantor pusat di Paris dan mulai membuka kantornya di Jakarta pada 1968 ini, akhirnya menemukan ladang minyak Bekapai pada 1972 dan Handil pada 1974, di lepas pantai Delta Mahakam. Kedua lapangan minyak ini berproduksi pada 1974 dan 1975, puncak produksinya terjadi pada 1977 yang mencapai 230.000 barel minyak per hari. Setidaknya pada 1971, di pantai timur Kalimantan telah beroperasi 8 buah perusahaan internasional, diantaranya Total (Prancis), British Petroleum (Inggris), Shell (Inggris-Belanda), Roy Huffington (USA), Union Oil (USA), Kyusu (Jepang), Continental (USA) dan perusahaan minyak negara Pertamina (lihat Gambar 5.)
Gambar 5. Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut The Time 1971 Sumber: Lombard (2005)
121
Pada tahap selanjutnya Total E&P Indonesie yang pada 1999 berganti nama menjadi Total Finaelf Indonesie ini (hasil merger Compagnie Francaise de Petroles yang didirikan pada 1924 dengan PetroFina yang berdiri pada 1920), menemukan potensi Hidrokrabon yang sangat besar di lapangan gas alam Tambora, Tunu, Sisi, Nubi dan Peciko. Produksi hidrokarbon dari Blok Mahakam yang dikelola Total Finalelf Indonesie, puncak produksinya terjadi pada Maret 2004, mencapai 566.500 boepd termasuk 2.725 MMscfd gas. Sampai dengan tahun 2009, telah 1000 sumur yang di bor di blok Mahakam oleh Total FinaElf Indonesie, dengan total produksi 13 CTF gas dan lebih dari 1 juta barel minyak dengan investasi senilai US $ 13 Milyar. Setidaknya mempekerjakan 4.000 karyawan dan secara tidak langsung menghasilkan pekerjaan bagi 20.000 orang. Pada 2009, Total FinaElf Indonesie menargetkan produksinya sebesar 92.400 barel minyak dan 2.600 MMSCFD gas perhari (Kaltim Post, 2009). Setelah beroperasi selama 20 tahun, pada 1991 Total Finaelf Indonesie kembali mendapatkan perpanjangan kontrak keduanya sampai dengan 2017 dari pemerintah pusat.
Gambar 6. Peta Sebaran Konsesi Migas di Kawasan Delta Mahakam dan sekitarnya Sumber: PKSPL-IPB, 2002
122
Sementara itu besaran potensi perikanan di kawasan Delta Mahakam dan sekitarnya, ternyata juga menarik sejumlah PMA dan PMDN yang bergerak di sektor industri perikanan ekspor untuk menanamkan modalnya di wilayah ini. Di dalam prakteknya para pemodal asing biasanya mengajak pemodal nasional untuk “berbagi beban” dengan cara membentuk perusahaan joint venture. Setidaknya pada 1974 telah berdiri sebuah perusahaan industri perikanan ekspor (PMA) dari Jepang, Misaya Mitra di Sungai Meriam dan Samarinda Cendana Cold Storage (PMDN) yang mulai beroperasi empat tahun setelahnya. Perusahaan-perusahaan eksportir perikanan tersebut melakukan hubungan simbiosis mutualisme, bekerjasama dengan para nelayan lokal yang membutuhkan sokongan dana besar dalam kegiatan perikanan tangkap, mengeksploitasi hasil perikanan disekitar Kawasan Delta Mahakam dan Selat Makassar yang sangat melimpah. Upaya kerjasama dalam kegiatan pengusahaan perikanan ekspor dilakukan dalam bentuk yang khas. Perusahaan industri perikanan ekspor memberikan berbagai bantuan modal (sarana dan prasarana produksi) pada para nelayan setempat, sebagai imbalan pihak perusahaan akan menerima keseluruhan hasil produksi perikanan dari para nelayan tersebut, berikut pengembalian modal produksi secara bertahap hingga lunas. Meskipun para nelayan lokal mendapatkan berbagai kemudahan dan keuntungan dalam pola hubungan produksi seperti itu, namun keuntungan yang diperoleh melalui penanaman modal besar tersebut, tetaplah mengalir deras kepada para pemodal besar (perusahaan eksportir). Artinya para nelayan kecil atau buruh nelayan dan para buruh pabrik, selalu saja menjadi “alas struktur sosial” bagi kemakmuran lapisan sosial lainnya, yakni para pemodal besar (perusahaan eksportir). Akibatnya peningkatan produksi di sektor perikanan berjalan seiring dengan terjadinya ketimpangan kaya-miskin yang cenderung melebar, sementara keuntungan terdistribusi secara tidak adil, keluar dari kawasan Delta Mahakam.
123
Tabel 5. Kronologis Kebijakan Penghapusan Jaring Trawl Keputusan Pemerintah SK. Mentan No. 01/ Kpts/ UM/ 1/ 1975
Dasar Kebijakan Pembinaan kelestarian kekayaan laut yang terdapat dalam sumber perikanan Indonesia
SK. Mentan No. 02/ Kpts/ Um/ 1/ 1975
Pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat dalam sumber perikanan di perairan laut Irian Jaya
SK. Mentan No. 03/ Kpts/ Um/ 1/ 1975
Ketentuan lebar mata jaring purse seine untuk penengkapan ikan kembung, selar, lemuru dan ikan pelagis sejenisnya Pengendalian daerah penangkapan di Laut Jawa dan Selat Madura Jalur-jalur penangkapan ikan
SK Mentan No. 317/ Kpts/ Um/ 7/ 1975 SK Mentan No. 607/ Kpts/ Um/ 9/ 1976 SK. Mentan No. 608/ Kpts/ Um/ 9/ 1976 SK. Mentan No. 609/ Kpts/ Um/ 9/ 1976
Keppres No. 39 Tahun 1980 SK. Mentan. No. 503/ Kpts/ Um/ 7/ 1980 SKB Mentan, Mendagri dan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 596/ Kpts/ Um/ 8/ 1980, No. 183/ 1980 dan No. 345/ Kab/ VIII/ 1980 Tgl 28-08-1980 SK. Mentan No. 633/ Kpts/ Um/ 9/ 1980 SK. Mentan No. 694/ Kpts/ Um/ 9/ 1980 SK. Mentan No. 542/ Kpts/ Um/ 6/ 1981 Inpres No. 11 Tahun 1982 SK. Mentan No. 545/ Kpts/ Um/ 8/ 1982 Kepres No. 85. Tahun 1982
Penetapan jalur penangkapan bagi kapal-kapal milik perusahaan perikanan negara Daerah penangkapan kapal trawl dasar
Penghapusan Jaring Trawl Langkah-langkah pelaksanaan penghapusan jaring Trawl Petunjuk pelaksanaan pengalihan kapal perikanan bekas trawl
Petunjuk pelaksanaan Keppres No. 39/ 1980 Pembatasan daerah penangkapan ikan bagi usahausaha perikanan yang menggunakan jaring trawl Penetapan jumlah kapal trawl di Daerah Tingkat I di luar Jawa, Bali dan Sumatera Melarang penggunaan jaring trawl di seluruh wilayah perairan Indonseia Pelaksanaan Inpres No. 11 Tahun 1982 tentang penghapusan jaring trawl Pemberian izin penangkapan udang dengan pukat udang sebagai pengganti jaring trawl
Sumber: Disarikan dari Berbagai Sumber
Aspek Pengaturan Penutupan daerah/ musim penangkapan diperairan tertentu bagi salah satu, beberapa atau semua jenis kegiatan penangkapan, serta pengendalian kegiatan penangkapan yang meliputi penentuan jenis, ukuran dan jumlah kapal yang akan dioperasikan, penentuan lebar mata jaring dan jenis peralatan penangkapan lainnya dan penentuan kuota hasil penangkapan. Mengatur daerah perairan lajur pantai dihadapan daratan Irian Jaya dan disekitar pulau yang berada di lingkungan perairan Irian Jaya yang dibatasi oleh isobat 10 meter, dinyatakan tertutup bagi semua kegiatan penangkapan dengan jaring trawl; serta melarang penggunaan kapal jenis pair trawl dengan lebar mata jaring kurang dari tiga cm dibagian kantongnya bagi semua kegiatan penangkapan udang/ ikan diperiaran Irian Jaya. Melarang semua kegiatan penangkapan jenis ikan dimaksud dengan menggunakan purse seine bermata jaring kurang dari dua inci di bagian sayapnya dan kurang dari satu inci di bagian kantongnya. Mengatur operasi kapal motor berukuran 35 PK atau lebih hanya diizinkan beroperasi di luar jarak 10 Mil dari garis pantai. Membagi beberapa beberapa perairan pantai di Indonesia menjadi empat jalur penangkapan dan mengatur ukuran mata jaring yang boleh dipakai. Pentunjuk operasi di jalur penangkapan II yang termaksud dalam SK Mentan No. 607/ Kpts/ UM/ 9/ 1976. Membagi wilayah perikana demersal di lingkungan perairan wilayah Indonesia menjadi empat; Daerah penangkapan A, meliputi perairan samudra Hindia dari Sumatera hingga Timor Daerah penangkapan B, meliputi sebagian Samudera Hindia, Selat Malaka dan bagian selatan Laut Cina Selatan Daerah penangkapan C, meliputi Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Makassar Daerah penengkapan D, meliputi perairan wilayah timur Indonseia Penghapusan dilakukan secara bertahap, dimulai dari daerah perairan laut yang padat nelayan di Pulau Jawa dan Bali. -
-
Terhitung sejak 1 Januari 1983 (tahap kedua), dikawasan timur Indonesia tidak boleh ada lagi kapal trawl. Khusus untuk daerah Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya dan Arafura, dengan justifikasi perizinan diusahakan secara optimal oleh nelayan tradisional.
124
Meskipun demikian, kehadiran perusahaan-perusahaan cold storage yang memerlukan pasokan hasil perikanan dalam jumlah besar dan menawarkan harga yang lebih menarik tersebut, memiliki arti penting bagi perkembangan kegiatan perikanan tangkap di kawasan Delta Mahakam. Keberadaan industri perikanan skala ekspor tersebut, setidaknya mampu membangkitkan gairah usaha perikanan tangkap lokal, yang selalu di bawah bayang-banyak sektor pertambangan migas. Produksi perikanan di pantai timur Kalimantan melangalami peningkatan pesat. Sampai dengan tahun 1979, satu tahun sebelum diberlakukannya PP No. 39/1980, yang melarang penggunaan jaring trawl, produksi perikanan tangkap Kalimantan Timur telah mencapai 37.433 ton. Penghapusan jaring trawl tersebut, diberlakukan pemerintah menyusul terjadinya beragam konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring trawl yang beroperasi di Jalur Penangkapan I. Padahal sesuai SK Mentan No. 607/ KPTS/ UN/ 9/ 1976, tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan, pukat harimau/ jaring trawl dilarang digunakan pada Jalur Penangkapan I (seperti ditunjukkan Tabel 5.). Pada 1999, Jalur Penangkapan I direvisi menjadi enam mil dari pantai berdasarkan SK Mentan No. 392 tahun 1999. Penghapusan jaring trawl tersebut dilakukan secara bertahap, dimulai dari daerah perairan laut yang padat nelayan di Pulau Jawa dan Bali, selanjutnya diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Penghapusan jaring trawl di kawasan timur Indonesia, seperti; Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Timur, serta Irian Jaya yang pada tahap kedua masih terdapat sekitar 1000 unit kapal jaring trawl, baru secara efektif terlarang penggunaannya sejak 1 Januari 1983 (Soewito, 2011). Dalam penerapan peraturan tersebut, pemerintah sepertinya menghadapi berbagai kendala dilapangan akibat lemahnya low enforcement, serta minimnya fasilitas dan aparat yang mampu diterjunkan untuk melakukan penertiban atas berbagai pelanggaran di laut. Mengingat luasnya perairan laut nusantara dan semakin canggihnya modus operandi yang dipraktekkan nelayan Indonesia ataupun kapal asing dalam mensiasati penerapan Keppres No. 39/ 1980. Di kawasan Delta Mahakam misalnya, meskipun penggunaan trawl telah ditindak dengan sangat tegas, namun tetap saja ada nelayan yang menggunakan alat tangkap trawl secara “sembunyi-sembunyi” sehingga tidak terlacak aparat. Menariknya pasca reformasi, alat tangkap trawl tidak lagi digunakan secara sembunyi-sembunyi, para nelayan di kawasan Delta Mahakam secara terang-terangan menggunakan “peralatan terlarang” ini secara massal tanpa kuatir untuk ditindak aparat, karena bagi mereka trawl telah menjadi salah satu solusi untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik ditengah lesunya produksi perikanan tangkap.
125
4.3.3
Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing, hingga Pertambakan Ilegal Penghapusan jaring trawl secara total yang pelaksanaannya mulai dlterapkan
secara ketat menjelang tahun 1983, ternyata tidak berimbas pada penurunan produksi perikanan di pantai timur Kalimantan. Hal ini terlihat dari data statistik perikanan laut Propinsi Kalimantan Timur yang tetap menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun dan baru mengalami penurunan dan menunjukkan fluktuasi produksi menjelang tahun 1997 (lihat Gambar 7.). Data tersebut, sekaligus membantah kesimpulan berbagai penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa larangan penggunaan jaring trawl sejak 1983 telah memukul usaha penangkapan ikan di pantai timur Kalimantan. Yang ada, larangan penggunaan jaring trawl hanyalah memukul industri perikanan ekspor, yang sebagian besar produksinya ditopang oleh hasil tangkapan dari kapal-kapal pukat harimau bertonase besar milik mereka sendiri, maupun milik nelayan-nelayan modern yang menjadi klien mereka. Setidaknya sejak tahun 1980 hingga 1986, sebagian industri perikanan ekspor mengalami penurunan produksi dan baru mengalami peningkatan ketika perusahaan-perusahaan industri perikanan ekspor tersebut berhasil mendorong dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap milik nelayan lokal menjelang tahun 1986. Sementara jumlah RTP laut menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Jumlah RTP (KK)
Produksi (Ton)
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
19 80 19 81 19 83 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 08
0
Tahun
Gambar 7. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1979 – 2009 Keterangan:- Luas area perairan laut Kalimantan Timur mencapai 44.893 Km² - RTP adalah Rumah Tangga Perikanan
126
Hanya sebagian nelayan tradisional yang merasa terpukul dengan pelarangan penggunaan jaring trawl, karena banyak diantara mereka yang sebelumnya tidak menggunakan jaring trawl, bahkan sebagian besar masyarakat di sekitar Delta Mahakam, seperti Sepatin dan Muara Pantuan diketahui sebagai nelayan-nelayan yang anti terhadap kapal trawl. Pelarangan trawl hanyalah sebuah momentum bagi masyarakat
setempat
untuk
membangun
strategi
adaptasi
baru
dalam
“mempertahankan diri”, ketika peningkatan taraf kehidupan tidak berhasil mereka capai. Setidaknya terdapat beberapa pilihan strategi yang mereka kembangkan; pertama, bertahan sebagai nelayan non trawl atau tetap menjadi nelayan trawl yang beroperasi secara “sembunyi-sembunyi” untuk menghindari resiko penangkapan oleh aparat. Menariknya hingga saat ini, setelah 30 tahun PP No. 39/1980 diterapkan, penggunaan jaring trawl yang dapat dikategorikan “illegal fishing” tersebut, masih tetap ramai dipraktekkan nelayan setempat, tanpa mampu ditertibkan aparat penegak hukum. Pilihan kedua, keluar dari kegiatan usaha perikanan, dengan beralih profesi menjadi petani atau pekebun kelapa, menggeluti kegiatan pelayaran tradisional atau perdagangan antar pulau, bahkan ada yang mengaku menjalani profesi sebagai penyelundup di kawasan perbatasan. Ketiga, beralih profesi sebagai petambak, membuka hutan mangrove menjadi area pertambakan dengan bantuan kucuran dana kredit pengalihan kegiatan ekonomi non trawl, serta pembinaan dan penyuluhan intensif yang berhasil dilakukan pemerintah, selain terpengaruh informasi adanya beberapa orang penduduk setempat yang telah sukses menjadi petambak. Meskipun cukup menarik, beralih profesi sebagai petambak dianggap nelayan setempat membutuhkan modal besar dan rawan kegagalan, sementara harga udang masih belum menjanjikan. Karenanya pilihan strategi yang dianggap adaptif adalah beralih profesi menjadi petambak, namun tetap tidak meninggalkan profesi sebelumnya sebagai nelayan atau petani kelapa, seperti yang dilakukan Haji Alimuddin yang kini telah berhasil menjadi seorang ponggawa yang sukses. Menurut pengakuannya, “kebun kelapa yang selama ini menopang hidupnya tetap dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, baru setelah tambak-tambak yang dibangun mulai mendapatkan hasil panen memadai, kebun kelapa yang masih tersisa dibukanya menjadi area tambak baru”. Hal ini dilakukan mereka untuk bisa tetap survive sampai tambak-tambak tersebut berhasil panen dan mampu menjamin kehidupan keluarga mereka. Karenanya pada masa-masa awal tambak di bangun oleh masyarakat setempat, banyak diantara mereka yang berprofesi ganda sebagai petambak sekaligus nelayan. Pengembangan kegiatan pertambakan dengan mengkonversi hutan mengrove di kawasan Delta Mahakam, dalam prakteknya nyaris tidak mengalami hambatan hukum-birokrasi yang berarti, karena dilakukan dengan dukungan dari Pemerintah
127
Pusat hingga Pemerintah Daerah. Melalui berbagai kebijakan yang pada hakekatnya ditujukan untuk “mengamankan” Program Udang Nasional. Pemerintah bahkan, menyiapkan kucuran dana kredit untuk pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl (khususnya dalam kegiatan pertambakan), selain menyiapkan bantuan kredit Intam, serta RCP, yang diikuti dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan secara intensif. Pemerintah juga mulai mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, baik melalui anggaran nasional ataupun bantuan asing. Sementara besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki
nilai intrinsik, menjadikan “transaksi penguasaan” atas kawasan Delta
Mahakam semakin leluasa dilakukan. Meskipun area-area pertambakan tersebut dibangun diatas Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang mencapai lebih dari 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam. Pasca pelarangan jaring trawl secara total pada tanggal 1 Januari 1983, terjadilah “kontraksi kebijakan”, ketika pada 15 Januari 1983, Menteri Pertanian mengeluarkan sebuah keputusan bernomor 24/ Kpts /Um /1983. Surat ini menentukan pembagian wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluas 21.144.000 Ha, dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Status ini terus dipertahankan sampai tahun 1992, saat Departemen Kehutanan merampungkan peta TGHK kawasan hutan untuk Kalimantan Timur (Simarmata, 2008). Hal itu tidak terlepas dari pandangan penguasa yang menganggap kawasan hutan mangrove Delta Mahakam memiliki potensi sumberdaya alam yang menyimpan deposit migas, budidaya tambak, potensi kayu komersil dan perikanan pesisir. Karenanya kawasan hutan mangrove Delta Mahakam yang sebagian besar telah tereksploitasi, perlu dipertahankan kelestariannya sebagai kawasan hutan produksi terbatas, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang, selanjutnya penamaan dan klasifikasi status hutan ditetapkan menjadi tiga ketegori besar, yaitu; 1) Kawasan Lindung; 2) Kawasan Budidaya Kehutanan; dan 3) Kawasan Budidaya Non Kehutanan. Anehnya sekalipun secara faktual pada tahun 2001 hampir 85.000 Ha dari 150.000 Ha luasan hutan mangrove di delta Mahakam telah berubah fungsi menjadi tambak. Namun melalui SK Menhut No. 79/ Kpts-II/ 2001, Departemen Kehutanan justru menetapkan kawasan hutan dan perairan wilayah Provinsi Kaltim, dengan peta lampiran yang tetap mempertahankan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi. Artinya status kawasan hutan produksi (KBK) Delta Mahakam juga melingkupi area pemukiman dan area aktivitas ekonomi penduduk (perkebunan kelapa dan pertambakan tradisional), yang telah dikelola masyarakat secara turun-temurun. Di
128
dalam kebijakan tersebut nampak sekali peran pemerintah yang dominan dalam mendefinisikan suatu wilayah/ kawasan hutan. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara, secara mutlak telah mengakibatkan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ada. Meskipun sejak 1983 pemanfaatan di atas hutan mangrove Delta Mahakam harus melalui hak pengusahaan atau pemungutan hasil hutan, yang dimohonkan kepada Menteri Kehutanan secara perorangan, menggunakan badan hukum atau koperasi. Bahkan, SK Bersama Mentan dan Menhut Nomor KB. 550 /246 /Kpts /4 /1984, telah melarang kegiatan budidaya perikanan di kawasan hutan pantai (mangrove) yang terletak di pulau yang luasnya kurang dari 10 Km². Selain memuat ketentuan lain yang menyatakan bahwa budidaya perikanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun, pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan tetap saja belangsung tanpa ada penertiban dari otoritas yang berwenang. Bukan hanya melanggar peraturan formal, yang melarang budidaya perikanan di kawasan hutan mangrove, sebagian petambak juga tidak memiliki izin garap, izin pembukaan lahan atau izin usaha perikanan. Kebijakan tersebut tentu akan terasa janggal, jika dipandang secara sektoral hanya sebagai buah kepentingan Departemen Kehutanan semata, tanpa menyentuh aspek historis menyangkut esensi kemanfaatan (maksimasi keuntungan materil) dan utility bagi negara. Karenanya untuk mengurainya, kebijakan yang ada perlu ditelisik kebelakang,
ketika
Total
E&P
Indonesie
pada
1970,
mendapatkan
konsesi
pertambangan atas Blok Mahakam yang melingkupi sebagian besar kawasan Delta Mahakam oleh negara. Yang kemudian diikuti oleh kehadiran beberapa investor padat modal lainnya di kawasan Delta Mahakam yang kaya migas. Dari sini akan diperoleh kejelasan mengenai siapa sebenarnya subyek yang berhak mengeksploitasi kawasan Delta Mahakam menurut pandangan pemerintah. Sehingga dapat dipahami jika kemudian pemerintah melalui Departemen Kehutanan sebagai pemilik otoritas, menetapkan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi hingga saat ini, meskipun sebagian besar kawasan hutannya telah beralih fungsi menjadi area pertambakan. Hal itu jelas terkait dengan keberlanjutan konsesi yang telah ada, sekaligus pengamanan kepentingan investor migas bermodal besar yang telah memberikan pemasukan dana bagi hasil yang luar biasa besarnya bagi devisa negara. Tentunya jika dibandingkan dengan memberikan konsesi HPH pada perusahaan kehutanan atau memberikan hak legalitas atas penguasaan “tanah-tanah negara” yang telah dikelola masyarakat setempat secara turun-temurun. Penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi terbatas, merupakan bentuk “kamuflase kebijakan” oleh pemerintah untuk mengurangi efek sosio-
129
politis atas beroperasinya kegiatan pertambangan migas di kawasan Delta Mahakam. Sekalipun ditunjuk sebagai kawasan lindung pun, “kamuflase kebijakan” untuk mengamankan operasi pertambangan migas di negara ini akan tetap berjalan, karena pemerintah telah menyiapkan PP No 51/ 1993 sebagai antisipasinya. Kebijakan tersebut kembali menegaskan bahwa, “dalam hal terdapat deposit mineral/ kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat berharga bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung dapat diijinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”. Namun, karena penetapan status sebagai hutan produksi terbatas efeknya jauh “lebih aman” dibandingkan menetapkan kawasan hutan mangrove yang terletak di pulau-pulau dengan luasan kurang dari 10 Km² tersebut, sebagai kawasan konservasi atau kawasan budidaya non kehutanan. Maka kebijakan tersebut dirasakan belum perlu dijadikan tameng atas berlakunya konsesi Blok Mahakam. Selain karena menguatnya kampanye di aras lokal maupun internasional yang menolak aktivitas pertambangan, apalagi di dalam kawasan konservasi. Ironisnya, meskipun telah menetapkan kawasan Delta Mahakam sebagai KBK yang terlarang bagi kegiatan lain diluar sektor kehutanan, namun pemerintah tidak pernah berniat menertibkan kegiatan pertambakan yang dalam perspektif kehutanan dikategorikan
sebagai
ilegal.
Pembangunan
tambak-tambak
baru
yang
terus
berlangsung dan ketidak-pedulian masyarakat atas berlakunya hukum formal, semakin menguatkan indikasi absennya negara sebagai pemilik otoritas tertinggi atas tanahtanah negara, sehingga terjadinya praktek-praktek penguasaan sumberdaya agraria secara ilegal. Absennya negara atas permasalahan agraria yang terjadi di kawasan Delta Mahakam bisa disejajarkan dengan absennya negara dalam perbagai permasalahan konflik yang terjadi di seantero negeri dewasa ini. Hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sekedar sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat. Kondisi tersebut mengingatkan pernyataan Barber (1989) yang melihat hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan”, makanya kemudian tujuan utama dari kegiatan pemerintah dalam mengelola hutan adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman/ disekitar hutan dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan (Li, 2002). Alasan ini sangat relevan untuk menjelaskan keberadaan mega proyek industri migas yang perlu mendapatkan proteksi dan pengamanan optimal dari berbagai kepentingan yang ada disekitarnya, dengan menetapkan kawasan hutan Delta Mahakam yang telah kolaps sebagai kawasan hutan produksi. Ironisnya, konstruksi sosial tentang problem dan krisis lingkungan yang diwujudkan dalam produk kebijakan yang tidak mungkin dilepaskan dengan kepentingan dan kontrol aktor yang berkuasa dalam pemerintahan tersebut, tidak dibarengi dengan
130
kehadiran otoritas negara dalam pelaksanaannya, baik yang mewujud dalam kewenangan pemprov, maupun pemkab. Akibatnya bentuk pengaturan tenurial yang faktual menurut Simarmata (2008), menjadi ditentutan oleh otoritas yang lebih rendah, dalam hal ini camat dan kepala desa beserta perangkat-perangkatnya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, informasi, sarana pendukung serta balutan kepentingan, camat dan aparat desa mengembangkan tafsir yang karakternya membenarkan tindakan pembukaan tambak dan memberi kemudahan untuk mendapatkan legalitasnya. Bagi aparatur di aras lokal keberadaan kegiatan usaha pertambakan akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan asumsi pemberian izin garap oleh otoritas lokal bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum karena tidak memberikan hak kepemilikan pada penggarap. Selain alasan pragmatis, melanjutkan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks tersebut pernyataan Dharmawan (2005) menjadi sangat relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di kawasan Delta Mahakam sebagai “ketimpangan pertukaran energi, materi dan informasi dalam suatu ekosistem yang tidak berkeadilan”, akibat tidak memadainya semangat pemihakan pada lingkungan yang terkandung dalam setiap keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam yang dihasilkan dan dijalankan oleh otoritas kebijakan lokal. Sementara persepsi masyarakat setempat yang menganggap tanah-tanah yang mereka garap secara turun temurun sebagai tanah milik, akibat minimnya pengetahuan atas status lahan yang mereka kuasai dan manfaatkan, menjadikan pembukaan tambak-tambak baru di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin terus berlangsung. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan tersebut, mencapai puncaknya pasca terjadinya krisis ekonomi regional pada 19971998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “booms harga udang”. Berdasarkan data statistik perikanan Kalimantan Timur, peningkatan luasan tambak mencapai puncaknya pada 2001 seluas 36.634 Ha dan kembali mengalami peningkatan secara fantastik hingga mencapai 120.763 Ha pada 2006. Kondisi ini secara tidak langsung telah memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, membuka hutan mangrove yang tersisa dengan cara merintis lahan tanpa melapor atau dengan meminta izin garap dari otoritas lokal atas “lokasi” hutan mangrove yang bisa dirintis menjadi area pertambakan baru. Kisah sukses petambak yang mampu meraup keuntungan besar, sehingga sebagian diantaranya mampu menjadi ponggawa beromset milyaran rupiah perbulan, juga memberikan pengaruh yang tidak kalah pentingnya dalam memotivasi perkembangan usaha pertambakan.