Itu senja kemerahan dengan semburat bayangan jingga nan elok di kaki langit. Angin semilir dengan hembusan lembut menyapa ujung pori-poriku dan meninggalkan kesan sejuk yang nyaman. Aku menarik nafas lagi, mungkin sudah kesepuluh kalinya dalam satu jam ini. Aku masih menatap senja dengan warna jingga yang semakin memudar, mengabaikan bunyi detik jam dinding di kamarku yang terus mengingatkanku akan berlalunya waktu. Meski itu hanya sedetik, tetapi itu adalah waktu, dan itu berlalu. Satu detik yang seolah tak berarti dan diremehkan, tetapi detik demi detik itu membuatku kehilangan bertahun-tahun dengan percuma.
“Mau ke mana?” Aku menatap nanar sosok Adit yang berdiri mematung. Sorot mata yang terpancar dari mata sipitnya memancarkan aura kesedihan yang membuat kelopak mataku terasa panas. Aku pikir ini terlalu cepat. Terlalu cepat untuk sebuah jarak yang tak dapat kubayar dengan apapun. “Jogja.” Adit bersuara. Pelan dan pasrah. Kutahan keinginan hatiku untuk menitikan air mata, meski kelopak mataku terasa berair. “Kenapa?” Aku mengatur agar suaraku terdengar stabil, meski ada jutaan emosi menampar seantero ruang hatiku, memporak-porandakan ruang hatiku menjadi hancur tak berbentuk. “Kok mendadak?” Kutatap raut wajah Adit yang terus menatapku tak rela, seolah dia menyembunyikan seribu satu perasaan yang tak dapat dibahasakan.
Adit menghela nafas sebentar, lalu berusaha menyunggingkan sebuah senyuman. Aku berusaha membalas senyumannya, namun alih-alih tersenyum, aku malah hanya mengangkat ujung bibir dengan gerakan samar yang bahkan tak mirip sebuah senyuman. “Papa pindah kerjaan.” Jawab Adit seadanya dengan suara tenang yang dibuat-buat. Aku bertanya-tanya dalam hati, perasaan seperti apakah yang berkecambuk di dalam nuraninya tentang perpisahan yang mendadak ini, tetapi bibirku mungkin terlalu kelu untuk membahasakan pertanyaan itu, sehingga aku hanya memikirkan itu di dalam hatiku tanpa pernah ada kata yang terucap. Aku mungkin berharap dia merasa kehilangan untuk seorang sosok perempuan yang dia sebut pacarnya selama satu tahun ini, tetapi aku tidak mampu bertanya untuk itu. Mungkin, jika aku tahu jawaban hatinya, aku tak akan rela melepaskannya. Adit masih terdiam kelu di depan pintu rumahku. Dia masih menatapku dengan tatapan yang tak mampu aku baca dan aku maknai sehingga aku hanya dapat membalas tatapannya dengan tatapan ikhlas yang dibuat-buat, menyembunyikan ketidakrelaanku di dalam relung sanubari dan menampilkan ekspresi tegar yang nyatanya semakin meluluhlantahkan hatiku. Jakarta-Jogja memang bukan sebuah jarak yang tak mampu dipatahkan, bukan sebuah tempat yang membutuhkan jutaan tahun cahaya untuk sampai, tetapi perpisahan ini tetap membuatku merasa kehilangan. Malam ini terasa seolah menjadi malam terakhir aku melihat sosoknya. “Aku bakal pulang, Pat… Gak bakal lama, hanya beberapa bulan saja.” Adit kembali bersuara, kali ini dia menatap bola mataku dengan lekat, menggambarkan keteguhan perasaannya
padaku.
Aku
mengembangkan
senyuman.
Kali
ini
aku
benar
mengembangkan senyuman kebahagiaan. Perkataannya barusan seolah menjadi jawaban dari semua tanya yang hadir di dalam hatiku. Aku menahan agar air mataku
tidak tumpah, agar aku tetap tersenyum sampai dia kembali ke hadapanku beberapa bulan lagi sesuai perkataannya. “Jadi, tunggu aku, Patricia.” Adit mengatakan hal itu sambil tersenyum kecil. Aku mengangguk sambil menatap wajahnya lekat, memaksa memori di otakku untuk merekam siluet wajahnya dengan jelas sehingga aku dapat memutarnya lagi di dalam kepalaku jika aku merindukannya selama beberapa bulan ini. “Tentu. Aku akan menunggumu.” Aku berjanji kepadanya dan kepada diriku sendiri. Aku akan mengabaikan siapapun yang datang kepadaku dan menunggunya kembali. Ini akan menjadi sebuah kisah penantian yang panjang dan indah karena aku mengabaikan setiap detik berlalu dengan kembali memutar rekaman siluet sosoknya saat memintaku menunggunya. Tentu saja, menunggu itu tidak begitu buruk. Aku hanya perlu mengalahkan detik, dan aku akan mengalahkan banyak waktu.
Aku tidak hanya mengalahkan satu detik,tetapi aku bahkan mengalahkan milyaran detik yang berlalu tanpa kompromi. Aku masih berdiri dengan kaki yang sama seperti saat kau meninggalkanku, meski lelah tetapi aku tidak bergeser satu langkahpun. Aku masih menunggumu dengan menatap senja-senja yang berlalu dengan indah, dengan melalui malam-malam yang sepi dan kelam. Masih menunggumu dan mengabaikan milyaran detik yang terus berlalu sambil mengejekku sinis. “Kau masih menunggunya, huh?” Aku bernyanyi beberapa lagu dan tersenyum menatap bayanganku sendiri di kaca. Aku mengabaikan jerawat yang tumbuh di pipiku, lalu beberapa waktu kemudian, aku berusaha menutupi jerawatku dengan krim wajah yang aku ambil di laci make up mamaku. Aku belajar memakai memakai bedak hingga belajar membubuhkan eyeliner di mataku. Lalu aku menatap senja lagi, yang masih sama dari jendela kamarku. Masih jingga. Masih indah. Masih khas. Dan masih sama, tanpamu.
Aku bertemu beberapa orang dan mengabaikan mereka. Aku berkata bahwa aku memiliki seseorang di hatiku, dengan nama Adit dan tersenyum bangga. Aku melalui ujian akhir dan masuk ke sekolah yang lebih tinggi, bertemu teman baru dan banyak pengalaman baru. Adik perempuanku mengenalkan sosok pacarnya kepada mamaku, dan kulihat dia bahagia. Di senja itu, adik perempuanku dan pacarnya menghabiskan senja dengan mengobrol di teras belakang rumahku. Aku mengintip dari jendela kamarku, dengan senja yang masih jingga, masih indah, masih khas, dan masih sama. Masih tanpamu. Aku menonton ribuan senja dengan semburat jingga berlalu, bersorak ketika tinggi badanku bertambah, dan mengabaikan detik yang seolah menyanyikan lagu ejekan untukku. “Kau masih menunggunya, huh?” Tentu saja aku masih menunggunya! Tentu saja! Dia akan kembali, bukankah begitu? Dia mengatakan dia akan kembali, dan dia memintaku untuk menunggunya. Itu tidak susah kan? Hanya berdiri di tempat yang sama dan mengabaikan ejekan waktu, melewati senja-senja hampa dengan tabah, lalu dia kembali. Itu tidak susah karena aku hanya perlu diam dan menunggu.
Entah itu adalah senja keberapa yang aku lewati, saat tiba-tiba sebuah panggilan dengan nomor yang tidak kukenal mampir ke handphone nokia 1100 milikku. Aku menekan tombol answer dan menjawab panggilan dari nomor yang entah siapa itu. “Halo.” Aku memulai dengan nada datar. Tidak ada jawaban. “Halo.” Aku mengulang dan masih tidak ada jawaban. “Halo.” Aku mencoba lagi, dan suara yang tidak asing itu menggetarkan membrane timpaniku.
“Patricia.” Suara seseorang yang begitu lama kurindukan tiba-tiba terdengar, menyejukan membrane timpaniku yang kering saat tak pernah mendengar suara itu. “Ini Adit.” “Adit!!!” Aku berusaha menyembunyikan bahagia yang begitu mendominasi ruang hatiku, tetapi kebahagiaan itu pecah. Aku bersorak bahagia saat memanggil namanya, mengabaikan senja yang perlahan mulai pudar dan siap digantikan oleh malam. “Iya, ini aku Pat. Apa kabar?” Suara khas Adit menyapaku dengan riang dari seberang. “Baik. Kamu apa kabar? Udah tiga tahun gak ketemu.” Aku menjawabnya dengan jawaban yang mengalir bagai air, penuh dengan buncahan kebahagiaan yang meluap, seolah sesuatu telah mengisi seonggok rongga kosong dan hampa di labirin hatiku yang rumit. “Iya udah tiga tahun ga ketemu. Gimana kamu sekarang?” “Aku? Baik. Sekolah aja. Ketemu temen baru.” Jawabku seadanya, berusaha menyembunyikan kelelahan hati yang terus menunggu, dan berusaha menahan diriku untuk tidak mengintrogasinya dengan jutaan pertanyaan seperti “Kamu kemana aja selama ini” atau “kenapa kamu ga hubungin aku”. “Aku juga baik di sini. Kangen Jakarta juga. Kangen kamu.” Adit berkata dengan suara yang ringan, dan aku tak menyesal menunggunya selama tiga tahun jika dia datang dan berkata seperti ini. Hal ini sudah menebus penantian tiga tahunku yang hampa dan kering, dengan senja yang sama dan bunyi detik yang sama. Aku berusaha mencari bahan pembicaraan yang menarik, tetapi tak menemukan apapun yang bisa aku bahas dengannya. “Kamu gimana?” Akhirnya aku menanyakan pertanyaan yang sama dengannya.
“Baik. Aku punya teman yang menyenangkan di sini. Dan tentu saja seorang pacar yang cantik.” Adit menjawab dengan lugas dan aku tersenyum. Aku cantik? Baru saja dia memuji aku cantik. Aku berterima kasih karena menunggunya selama tiga tahun ini. “Maksudnya?” Aku bertanya, pura-pura tak paham. Tentu saja, ini adalah tentang bagaimana cewek-cewek berpikir dan berbuat. Meskipun tahu tetapi pura-pura tidak tahu hanya untuk menegaskan dan melipatgandakan kebahagiaan. Aku menyukai cara seperti ini karena ini menyenangkan. “Pacarku. Namanya…” Patricia. “Cecilia.” Patricia… Tidak, dia tidak mengatakan Patricia. Itu terdengar seperti Cecilia. “Sory…” Aku mencoba mengklarifikasi. “Cecilia, Pat. Kamu pacaran sama siapa sekarang?” Adit masih bertanya dengan suara riang. Sepertinya dia tidak bercanda. Sepertinya ini benar. Sepertinya dia benar memiliki pacar bernama Cecilia dan bukan Patricia. Maksudku mungkin dulu dia memiliki pacar yang bernama Patricia tetapi sekarang pacar Adit adalah Cecilia. “Aku… Gak… Ada…” Aku menjawab terbata-bata, dengan nafas yang kutahan agar isak tangisku yang mulai keluar tidak sampai ke telinganya. Aku bertahan dan memohon agar otakku bekerja sama dengan kelenjar air mataku sehingga cairan asin itu tidak perlu keluar dari ujung mataku. Meski Adit tak melihatnya, aku juga tak ingin bahkan seonggok udara hampa di kamarku melihat aku terpuruk seperti ini. Aku malu pada hentakan detik jam dinding di kamarku yang terasa berdetak dengan riang
sembari mengejekku. “inikah yang kau tunggu? Inikah yang kau harapkan? Kau mengabaikan ribuan detik hanya untuk ini? Apa itu? Cecilia?” Aku menunggumu, bahkan mengabaikan ribuan senja yang datang dan pergi. Mengalahkan jutaan detik dan mematahkan masa. Dan ini hadiah dari 1095 hari aku menunggumu? Ketika kau bahkan tidak ingat siapa kau dan siapa aku? Adakah bahasa yang tepat untuk menggambarkan betapa tak beraturannya hatiku? Hancur, dengan puluhan puing yang berserakan di hatiku, berterbaran dan berdarah, terluka dan terasa sakit. Aku menunggumu selama itu, dan kau bahkan tak kembali hanya sekadar untuk mengatakan padaku agar berhenti menunggumu? Kau bahkan punya tiga tahun untuk memintaku berhenti menunggumu, tetapi kau tak melakukan itu. Kau membuangku dalam diammu, dalam perbincangan yang semakin menyakitkan nuraniku. Kau membuatku berteman dengan hampa dan sepi, membuatku menjadi seorang yang selalu menunggu dan menenggelamkanku dalam lautan kekecewakan yang bahkan membuatku tak sanggup menanggungnya. “Halo… Patricia…” Adit masih memanggil dengan suara yang sama, dan aku mengusap air mataku yang membanjir dan menganak sungai. Aku berusaha menguatkan hatiku dan membalas. “Selamat yah.” Aku berkata pelan. Aku yang dibuang seperti sampah ini bahkan masih mau menyelamati hubungan sosok lelaki yang sangat aku sayang dan aku tunggu dengan perempuan bernama Cecilia yang bahkan tak pernah aku tahu batang hidungnya. Aku mengabaikan sakitnya hatiku yang begitu menyayat, dan dengan tegar tersenyum untuk berita ini. Untuk kedatangan Adit yang secara tiba-tiba, dan untuk hubungan yang sangat ingin aku kutuk itu. Tentu saja, aku pikir aku pantas mendapat nobel kedamaian untuk kekuatan hatiku yang bahkan mengalahkan kekuatan Sailormoon itu.
“Kenapa kamu Pat? Kok respon kamu jadi gitu?” Adit masih bertanya. Aku kutuki kebodohan organ lembut yang bersarang di dalam tengkoraknya yang disebut otak itu. Entah ada apa dengan otaknya hingga dia punya masalah ingatan seperti itu. “Lo lupa yah Dit?” Aku tidak ingin ber-aku-kamu lagi dengan Adit, karena bahkan percuma bermanis-manis di depan sosok seperti ini. “Lupa?” Adit mengulang. Aku menarik nafas, mengabaikan air mata yang terus jatuh dan mulai berkata. “Kita belum putus. Lo nyuruh gue nungguin lo.” Diam… Entah apa yang sedang berputar dalam kepala Adit, aku tak tahu. Hening beberapa lama di telepon dan aku terus menerus menghapus air mata yang semakin sering jatuh di pipiku. Aku berkali-kali meminta hatiku jangan sakit, dan agar air mataku berhenti, tetapi perasaan ini tak dapat dibendung. Ini sakit… Sakit… Sangat… “Aku lupa, Pat.” Akhirnya Adit berkata. Dia lupa. Dia lupa bahwa dia pernah jadi pacarku. Dia lupa bahwa aku pernah jadi pacarnya. Dia lupa. Dia bahkan tidak membahasakan sebuah penyesalan dalam hancurnya hatiku yang sudah tak berbentuk lagi. Dia tidak mengirimkan permintaan maaf untuk air mata yang terus mengalir dan luka hati yang menganga. Dia tidak merasa menyesal untuk menyayat perasaanku, mengupas habis semua sel kebahagiaan di dalam hatiku, dan membuangku ke dalam jurang kekecewaan dan kemarahan yang bahkan aku sendiripun tak dapat menanggungnya. Hey. Aku menunggumu untuk banyak masa dan waktu. Aku melewati banyak purnama dengan menunggumu kembali, merangkai jutaan sajak dalam mengisi setiap detik-detik hampa yang berdetak malas di sekitarku. Aku melukis senja dan bernyanyi untuk pagi. Aku menunggumu dengan jutaan asa yang menari mengelilingi setiap jam di dalam
hariku. Aku bertahan dan menunggumu meski banyak orang meminta aku berhenti. Aku menunggumu dan mengabaikan semua cinta yang datang untuk hatiku. Tetapi kau membuangku dengan senyum dan tawa yang semakin mencabik rasaku. Dan kau hanya mengatakan bahwa kau lupa. Semudah itukah? Lalu kenapa kau memintaku untuk menunggumu jika kau bahkan tak yakin dapat kembali? Kenapa kau berharap aku terus di sini tetapi kau bahkan tak tahu jalan untuk kembali ke sini, ke jalan di mana kau memintaku berhenti? Kau seharusnya pergi dan menghilang daru kehidupanku tanpa perlu mengatakan selamat tinggal padaku. Kau seharusnya menghilang seperti angin, dan tak perlu meninggalkan sebuah kata untukku. Menunggu. Aku benci kata itu. Aku mengutuki setiap detikku saat aku menghabiskan waktu sambil membayangkan siluet bayangmu. Aku membenci diriku yang menunggumu meski kau tak kembali. Aku membenci diriku yang menunggumu tetapi ternyata kau bahkan lupa akan aku. Aku benci diriku yang bodoh. Dan dirimu yang egois. * * * “Hai Pat.” Adit memulai pembicaraan di telepon empat tahun setelah itu. Senja masih kelam, dan udara dingin mulai menyeruak, menggerogoti tiap ruas tulang belakangku. Sisa-sisa sakit hatiku bahkan sudah pudar. Aku lupa kapan terakhir kali aku menangis dengan sangat banyak karena Adit. Itu sudah lama sekali, dan aku mulai melupakannya. “iya.” Jawabku seadanya sambil membolak-balik buku onkologi setebal 300 halaman yang sangat menyita konsentrasiku. “Dia meninggalkanku.” Adit mulai bersuara.
“Siapa?” Aku merespon singkat sambil terus menatap ke arah halaman tentang manifestasi kanker mamae di buku tersebut. “Cecilia.” “Oh.” Aku tidak tertarik untuk mengomentari hal ini. Aku tidak mensyukuri, tidak juga kasihan. Aku tidak merasakan apa-apa, atau bahkan tidak ingin merasakan apa-apa untuk Adit. Tentu saja, sekalipun rasa kasihan. Itu melelahkan untuk merasa untuknya, dan aku tidak tertarik untuk itu. “Aku ingin kembali.” “Ke mana?” “Hatimu.” Adit berkata pelan dengan suara penuh harap dari seberang telepon. Aku akhirnya mengabaikan buku onkologi itu sejenak, dan mulai menarik nafas panjang. “Meskipun kau ingin kembali, kau tidak dapat melakukannya. Kau tidak akan pernah menemukan hatiku lagi.” “Mengapa?” “Karena kau pasti lupa dimana kau meninggalkan aku dulu. Dan lagi, aku sudah pergi jauh dari tempat di mana kamu menyuruhku menunggumu.” “Aku akan mencarinya.” “Kau tidak akan pernah menemukannya. Hatiku sudah kuberikan kepada orang lain.”