Bayangan.. Entah mengapa pagi itu langit berwajah murung di bumi Minangkabau. Tak terlihat geliatnya yang kharismatik. Injakan dari kaki bunga-bunga malam menjadi alasan kenapa ia malas menatap sang mentari. Dalam hitungan detik, semua itu menjadi kacau. Racun, dengan mudah menyebar di sekitar saraf optik. Mata yang tegar, kini menjadi layu, memicingkan beban yang tak berwujud. Dalam keegoisan-keegoisan, banyak hal yang terlupakan untuk mengikat sebuah harapan. Namun, harapan hanya menjadi angan-angan. Tak pernah ia datang menemui kehidupan nyata. Langkah-langkah kaki, terhenti seketika kebuntuan menghadang. Manusia dibuat bingung dalam mencari arah. Kemana arus itu berawak? kemana mata itu akan melihat? hanya pertanyaanpertanyaan bodoh yang tergambar di kening mereka, para kader-kader penghuni bumi. Bukan karena pintar, tapi sebagai bentuk kekecewaan terhadap otak yang tak mampu berfikir. Hitam, pekat, kosong. Dunia ini memang tidak bisa ditebak, penuh dengan misteri. Hanya hiasan-hiasan garing yang menjamur disetiap penjuru. Hanya sebentuk harapan yang mampu diciptakan, keterbatasan dalam mengartikan kehidupan, itulah yang menjadi masalah. Sehingga banyak dari mereka yang berteriak mengancam bumi. Seakan-akan bumi itu salah, disaat kesengsaraan menampakkan senyuman. Tanpa sadar, Suara-suara itu hadir bersama lantunan bunyi saluang yang mendayu-dayu. Suaranya bersatu meminta bumi untuk setia menemani mereka-mereka yang manja akan keistimewaan.
Begitu bumi mengadiahkan mentari, canda tawa menggelegak disegala sudut Rumah Gadang, lelucon yang tidak masul akal. Dalam suasana riang itu, mereka menjadikan lantunan bunyi saluang sebagai wahana permainan. Hingga sekelompok bejuis nakal tersebut bermain bongkar pasang bola-bola kehidupan. Lagi-lagi kebingungan mengendap, permainan itu semakin rumit seiring berjalannya waktu. Bentuk, warna dan sifatnya selalu berubah-ubah. Seakan-akan permainan itu ingin mencabik-cabik tubuh manusia. Persis seperti serigala, taringnya yang panjang menguak diseluruh sisi kehidupan. Ganas, kehidupan itu memang ganas, menurut mereka. Apabila salah memainkan bola-bola kehidupan tersebut. Kejelian dan kreatifitas, sangat dibutuhkan pada saat kaki telah melangkah keperadabannya. Dalam kekangan waktu, kaki-kaki itu mulai berani menginjak leher bumi yang terkenal kejam. Melenggak-lenggok dihadapan merapi yang mengandung lahar, bukan lahar bumi, melainkan lahar kelakuan manusia. Penjelmaan yang sedikit picik…!! Antara ada dan tiada, itulah mekanismenya. Menyelamatkan tulang-tulang dari genggaman manusia, tak ubahnya bergelut dengan ancaman serigala. Tak terasa waktu semakin bergulir ke meja gundi. Perawakannya yang cantik, semakin hari semakin menunjukkan ketuaan. Entah apa yang membuat ia seperti itu!! Beban? Usia? Opsi-opsi itu mulai bermunculan. Mentari sebagai hadiah dari bumi, memperlihatkan sinar yang begitu menawan. Mentari…? entah siapa yang memberi nama itu, tapi popularitas telah menyertai rupanya. Panggilan istimewa tersebut telah membuat ia 2
sedikit marah, karena sering disebut-sebut oleh manusiamanusia beradat seperti mereka. Kicauan burung-burung pipit, ikut serta dalam pawai alam yang sedang berlangsung. Mengambil alih posisi trumpet yang sedang bersorak. Dengan ciri khas baru, mereka menyamakan irama, membentuk sebuah alur bunyi yang begitu indah. Di balik pelepah-pelepah kelapa yang berjajar di jalan Malaka, terdengar bisikan burung balam dengan bumi yang telah pikun, seakan-akan bumi paling hina. Terlepas dari suasana itu, hijaunya hamparan padi, memberikan sejuta harapan terhadap asap-asap dapur para petani yang bekerja tanpa mengenal lelah. Sepertinya asap-asap dari harapan itu akan singgah dalam keluarga kecil Mak Raman dan Etek Siam. Mereka tinggal di Nagari Guguak VIII Koto, sebuah desa kecil di Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Mak Raman adalah seorang panghulu di dalam pesukuan, Mak raman menjadi pemimpin bagi anak dan kemenakan. Setiap masalah dan perkara yang terjadi, Mak raman menjadi hakim dan berhak untuk memutuskan sangsi apapun. Setiap pesukuan di Minangkabau memiliki aturan masing-masing, kebijakan dari seorang panghulu sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat dalam suatu kaum. Dari zaman dahulu sampai sekarang, harta menjadi jawaban dan cerminan sebuah kekuasaan. Dimana kekuasan itu berada, harta hadir sebagai pagar bagi setiap manusia yang ingin menerobos harga dirinya. Harta juga menjadi penentu tahta derajat manusia, namun tidak semua manusia yang mendapatkan tahta dan derajat yang tinggi, karena mereka belum dikenal sebagai pemilik 3
harta. Berarti harga diri dan kekuasaan belum bisa dihargai tanpa memiliki harta. Itulah kesalahan yang terjadi didalam pesukuan Mak raman, setiap kekuasaan dinilai dengan harta. Setiap pria yang dipilih menjadi seorang Datuak adalah lelaki yang benar-benar memiliki kelebihan, seperti harta, kekayaan dan kecerdasan. **** Sebelum Mak Raman diangkat menjadi seorang pangulu, kaum pesukuan tersebut dipimpin oleh seorang Datuak yang bernama Datuak Bandaro. Beliau merupakan tokoh masyarakat yang cerdas, pintar dan bijaksana. Setiap kata-kata yang disampaikan terhadap kaum, menjadi batasan bagi seluruh masyarakat yang berada di kaum tersebut. “Hujan bunyinya.”
yang
deras,
tidak
akan
terdengar
“Letusan merapi terdengar samar ketika suara Datuak menderu.” Selogan yang diciptakan anggota kaum seketika Datuak Bandaro marah. Tidak ada satupun yang bisa melawan dan membentak kehendak dari sang Datuak. Seperti air terjun, jatuh dari atas tebing dan bergemuruh sampai dasar bebatuan. Saran dan amanat yang disampaikan, harus berjalan menurut kehendaknya. Tidak ada yang boleh melanggar dan menyanggah, sehingga dalam kaum, Datuak Bandaro memang menjadi tokoh panutan dan penguasa. Sebagai seorang Datuak beliau berhak untuk mengawasi gerak-gerik seluruh anak
4
kemenakan. Agar mereka tidak tersesat dalam perjalanan menuju kedewasaan. Datuak bandaro menyuruh setiap orang tua menjadi pengawal pertumbuhan mereka, anak kemenakan dalam kaum. Setiap malam, beliau membiasakan berkumpul di rumah gadang. Membahas dan meminta pendapat kepada seluruh anggota kaum, Datuak Bandaro juga rutin melantunkan dakwah singkat kehadapan kaum. Dalam ranji keturunan, Mak Raman adalah pewaris tunggal tahta Datuak, tidak ada lagi kemenakan laki-laki dari Datuak Bandaro. Ibu Mak Raman adalah adik satusatunya yang dimiliki oleh Datuak Bandaro. Otomatis anak dari adik Datuak Bandarolah yang menjadi pewaris gelar Datuak, menurut adat Minangkabau Mak Raman adalah pewaris yang sah. Dua puluh lima tahun, bukanlah waktu yang singkat bagi Datuak Bandaro menjadi pemimpin di dalam pesukuan, beliau menyelesaikan masalah dengan cara sendiri. Namun, sebuah kejadian fatal terjadi menimpa Datuak Bandaro. Pada suatu hari, Datuak Bandaro dihadapkan pada masalah rumit. Ketika beliau dipertanyakan oleh anak dan kemenakan tentang harta pusaka. Seluruh anggota dalam kaum berbondong-bondong menuju rumah gadang, rumah yang menjadi tempat tinggal mamak mereka, Datuak Bandaro. Lantutan bunyi saluang yang menderu, mengiringi pertemuan masyarakat dalam pesukuan tersebut. Gerembolan orang-orang, duduk baselo dan basimpuah, begitulah aturan di Minangkabau. Mak Raman pun disibukkan dengan ancang-ancang pertanyaan. Dalam hal ini, Mak Raman dan saudara-saudaranya tidak lagi mempertimbangkan status kekerabatan mereka. Karena 5
kejujuran menjadi landasan dan pegangan bagi mereka untuk mengungkap kebenaran tersebut. Sebelum Datuak Bandaro keluar dari kamar, para anggota dalam pesukuan, menunjuk salah seorang dari mereka untuk menjadi juru bicara. Semuanya berembuk, tanpa ragu-ragu anggota pun meminta Mak Raman yang mewakili mereka. Semua kriteria yang dicari berada pada diri Mak Raman, cekatan dalam berbicara, tau dengan sopan dan santun. Mak Raman dengan senang hati menerima kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat pesukuannya, dengan senyuman yang penuh percaya diri, Mak Raman mengeluarkan komentar, “Saya siap, tidak pantas rasanya kalau menolak sebuah amanah yang mulia ini. Karena seorang laki-laki, harus berani dalam bertindak dan mengungkap kebenaran.” Semua anggota kaum bertepuk tangan. Dukungan dari seluruh karib kerabat menyinari tubuhnya yang telah lesu oleh panasnya terik matahari, Etek Siam dan putrinya Rodiah turut hadir dalam pertemuan tersebut. Rodiah merupakan anak satu-satunya yang dimiliki oleh Mak Raman dan Etek Siam, selain itu Rodiah menjadi biduan bagi para lelaki di Nagari Guguak VIII Koto. Kampung kecil yang dihuni oleh berbagai macam suku di Minangkabau, Rodiah begitu mempesona, dan berparas indo. Dikarenakan Etek Siam yang berdarah Padang Belanda, Ibu yang berasal dari Belanda dan Ayah asli Padang. Menurut cerita yang didengar oleh Etek Siam, Ayah dan Ibunya bertemu pada saat Indonesia di jajah belanda. Belanda memasuki kawasan Padang Sumatera Barat, dengan boncengan NICA. 6
Pada saat itu Ayah Etek Siam menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), karena lamanya proses penjajahan yang dilakukan Belanda, para nyonya-nyonya, ratu dan tentara mulai menetap di Indonesia. Khususnya Nagari Guguak VIII Koto, Padang, Sumatera Barat. Dalam perjalanan Indonesia merebut tongkat pemerintahan dari Belanda, kisah cinta diantara Ayah dan Ibu Etek Siam pun terjadi. Sang Ibu melarikan diri dari penjagaan Belanda dan memutuskan untuk membantu rakyat Indonesia merebut kemerdekaan, karena Ibu Etek Siam tidak sanggup melihat rakyat Indonesia menderita berkepanjangan. Di sela-sela waktu itulah kisah cinta diantara Ibu dan Ayah Etek siam berawal, hingga berujung di jenjang pernikahan. Buah cinta mereka pun menghadirkan Etek Siam. Kabar-kabar yang samar itulah yang diketahui oleh Etek Siam dan masyarakat, tentang status wajahnya yang seperti bule. Untuk kepastian cerita tersebut, Etek Siam tidak mengetahui pasti, karena pada waktu Etek Siam berumur 2 Tahun, Ayah dan Ibunnya ditembak mati oleh belanda. Setelah kematian itu, Etek Siam diasuh oleh nenek dan kakeknya. Hidup dengan kesederhanaan di bawah status yatim piatu. Sampai akhirnya Etek siam dinikahi Mak Raman. Memang faktor keturunan menjadi bawaan kemiripan antara anak dan Ibu, seperti Etek Siam dan Rodiah. Namun, wajah Rodiah lebih cantik di bandingkan sang Ibu, begitulah fakta dari setiap penglihatan manusia. Sepertinya keberuntungan akan nikmatnya hidup sudah menjadi takdir bagi Rodiah. Setiap kali ia melangkahkan kaki keluar rumah, mata lelaki teracuni oleh kecantikan yang dimilikinya. Terkadang Rodiah tertawa-tawa sendiri melihat tingkah laku para remaja yang kaku, tidak sedikit 7
juga diantara mereka yang rela mati-matian mencuri perhatian Rodiah. Namun, Rodiah tidak tergoda dengan semua itu, ia menganggap perlakuan tersebut hanyalah hiburan semata. Mungkin belum waktunya bagi matamata buaya itu untuk mendapatkan hati rodiah. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, seakanakan kita dibutakan oleh kehadiran Rodiah dan Etek siam. Dari sudut kiri Rumah Gadang, terdengar hendatakan kaki yang telah lusuh oleh tanah, kering karena panas, dan mengelupas disaat hujan. Rupanya Datuak Bandaro sudah keluar dari kamar. Dengan pakaian rapi, ditambah dengan tongkat yang menjadi ciri khasnya. Suasana yang hiruk pikuk tersulap menjadi hening, tidak ada suara apapun yang terdengar. Seperti rumah yang tidak ada penghuni, kering seperti daun yang dimakan panasnya matahari. Entah apa yang dirasakan oleh para anggota kaum di dalam Rumah Gadang, kedatangan Datuak Bandaro, tidak ubahnya bencana sesaat di mata mereka. Segan…!! Masih melekat di dalam jiwa mereka, tapi pada saat itu, segan telah ternodai oleh kabar miring yang terarah kepada Datuak Bandaro. Tanpa membuangbuang waktu, semua anggota pesukuan berdiri dan memberi salam kepada sang Datuak. “Sambah tatuju kapado Mamak…” suara itu terpadu menjadi satu. “Sambah ditarimo dari anak kamanakan ambo…” dengan menundukkan kepala. Datuak Bandaro pun mempersilahkan semua anak kemenakannya untuk duduk. Untuk memenuhi amanah yang dipercayakan masyarakat kaum, Mak Raman 8
memulai pertemuan dengan pertanyaan yang telah dikonsep bersama-sama. “Sambah untuk Mamak dan dunsanak ambo…” dengan berdiri memasang muka ragu, Mak raman memberanikan diri untuk berbicara. “Mamak yang didahulukan salangkah dan ditinggikan sarantiang, bukan maksud kami untuk meragukan keputusan mamak, tapi entah kenapa bulan dan bintang menyampaikan kabar yang tidak menyenangkan di hati. Bulan berbisik, seperti kesalahan itu telah terjadi, bintang menjawab dengan penuh percaya diri. Bintang menyatu dengan pendapat yang disampaikan bulan, apakah harta warisan pesukuan kita sudah Mamak jual?” rona wajah Mak Raman berubah menjadi merah. “Hmmmmmm…!! sungguh aku tidak menyangka, apa maksud kalian bertanya kepadaku?” dengan ekspresi marah, Datuak Bandaro memukul tongkatnya kelantai. Tersinggung dengan pertanyaan tersebut. “Aku sebagai pemimpin, orang yang mengurus permasalahan yang terjadi di dalam pesukuan. Kalian pertanyakan akan harta, seakan-akan dibalik pertanyaan tersebut, tersirat makna kalau saya memakan harta pusaka. Perlu disadari, harta warisan bukan menjadi urusan anda sekalian, karena menurut adat semua itu adalah urusan saya sebagai pemimpin kalian…” Datuak Bandaro berjalan kearah jendela, ia berupaya untuk menahan emosi yang sedang melanda hati. Suasana di dalam Rumah gadang, tidak lagi diam seperti semula. Mak Raman yang menjadi ketua pembicara, berdiskusi dengan keluarga besar pesukuan. Jawaban dari Datuak Bandaro tidak seperti yang diharapkan, begitu jauh dari perkiraan semula. Tidak 9
disangka dengan pertanyaan yang begitu halus, Datuak Bandaro tersinggung olehnya. Ibarat kapal berlayar, terhenti karena badai, sehingga tidak mampu melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Itulah yang terjadi di dalam Rumah Gadang. “Mungkinkah pertanyaan masih bisa kita lontarkan?” dengan kalimat ragu, Mak Raman meminta pendapat saudara-saudaranya. Tidak ada satupun kalimat yang terdengar dari anggota kaum, Mak Raman menjadi bingung, apa yang harus ia lakukan. Datuak bandaro masih berdiri di dekat jendela Rumah Gadang, menarik dan menghembuskan nafas. Itulah yang dilakukan Datuak Bandaro untuk meredakan perasaannya. Detik-detik waktu terus berlalu, tanpa henti waktu mengejar keberadaan mereka. Memang waktu menjadi teman ketika kebingungan itu menyerang, tak ubahnya seperti perang. Anggota kaum dikejar-kejar peluru kebingungan, entah kemana kondisi itu akan dibawa. Mak Raman pun mengambil inisiatif untuk melanjutkan pertanyaan. Ia memberanikan diri untuk mengungkap kebenaran. “Mamak yang terhormat, kami tidak bermaksud mencurigai mamak, hal ini kami lakukan, sebagai obat hati yang luka karena peluru desas-desus tersebut. Oleh karena itu kami ingin untuk mendapatkan kebenaran akan kabar yang tersiar…” Mak Raman menghampiri Datuak Bandaro. Membisu, Datuak Bandaro tidak memberikan jawaban apapun. Menarik nafas, lalu menghembuskannya. Hal itu lagi yang dilakukan sang Datuak, tatapan mata yang mengarah ke tebing seberang menambah kecurigaan 10
tersebut. Sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi disana. Tebing itu memang dihuni oleh ladang-ladang Datuak. Semua orang mengetahui jika ladang itu adalah miliknya, tapi entah kenapa pada saat dipertanyakan, beliau terpaku dan membisu tanpa reaksi. Tidak lama setelah itu, Datuak Bandaro berjalan dan duduk kembali dengan memegang dadanya. “Aku memang pernah menjual sawah dan ladang dari warisan pesukuan tanpa sepengetahuan kalian...” semua anggota kaum terkejut, kekecewaan mereka benarbenar terang dari sebelumnya. “Namun semua itu saya lakukan atas keterpaksaan, karena pada saat itu kondisi kehidupan keluarga yang sedang kritis. Tidak adanya beras dan padi di lumbung, membuat saya melakukan hal itu…” suasana berubah, kekecewaan anggota kaum redup sejenak. Kebingungan dan kepastian akan kebenaran masih belum jelas. Oleh karena itu Mak Raman melontarkan pertanyaan kembali. “Apakah semua itu ada kaitannya dengan ladang yang berada di tebing desa sebelah?” Datuak Bandaro terkejut, jawaban sebelumnya yang diberikan, kelihatan bohong di mata Mak Raman. Rasa kasihan atas kondisi Datuak Bandaro yang sudah tua, tidak lagi menjadi alasan bagi Mak Raman untuk bertanya. Demi sebuah kepastian ia menutup rapatrapat pintu hati, supaya kebenaran itu bisa terungkap. Sebuah prinsip darurat yang diterapkan Mak Raman dalam menghadapi persoalan yang sangat rumit. Dihadapkan pada sebuah tantangan yang sangat berat, disisi lain ia harus menjaga sikap terhadap Datuak 11
Bandaro, agar tetap menghargainya sebagai seorang pemimpin. Namun, disamping itu, ia harus mempertanyakan kebenaran atas keberadaan warisan harta pusaka kaumnya. Dalam posisi ini, perkataanlah yang menjadi pelindung bagi semua tantangan. Melihat kondisi Datuak Bandaro yang memegang dada, penyakit jantung yang mulai kumat. Mak Raman tetap memaksakan diri untuk meminta jawaban. “Tolong beri kami penjelasan yang sebenarnya Datuak?” memandang lantai, sebagai pelampiasan rasa kasihan yang ia rasakan.
12