Kaerala
Kaki Langit antara
Bulan dan Matahari
Penerbit
Kaerala
Kaki Langit antara Bulan dan Matahari Oleh: Kaerala Copyright © 2014 by Kaerala
Penerbit Kaerala
Desain Sampul: Kaerala
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
-
CINTA ITU INDAH
-
Mata ini semakin berkunang-kunang, detak jantung bergerak bertambah cepat mengajak aliran darah berlari mengalir dalam tubuh. Katup jantung bekerja keras menahan laju darah yang hilir mudik tanpa kendali. Otak menjadi lambat menerima respon, seakan membeku dalam diam terhimpit aliran darah yang menguasai tubuh ini. Kulihat bumi berputar dengan cepat, aku oleng dengan gerak bumi yang tidak beraturan ini. Kucoba bangkit untuk meraih tembok sebagai penyeimbang tubuh dan gubraaaak. Pertemuan ini membuatku gelisah, aku tidak mempunyai alasan lagi untuk mengelak. Haruskah akan berakhir disini? Sekian lama rahasia ini berjalan dengan sempurna tanpa meninggalkan luka diantara mereka. Kini aku hanya bisa berharap tiada luka yang mengalir dalam diri mereka saat tabir ini harus tersingkap, aku mencintai dan menyayangi mereka 3
tak setetespun mengalir dalam darah niat untuk menyakiti mereka. Sayup-sayup
aku
mendengar
suara
perempuan yang berbicang dengan lelaki tak jauh dariku, bayangan siapa yang ada disisiku? Aku terus berusaha
menajamkan
indera
penglihatan
dan
pendengaranku. Lambat laun aku dapat melihat sosok perempuan
duduk
disampingku,
yang
sedang
berbincang dengan pelan. Mengapa tubuhku terasa hangat? Dan aroma ini meresap dalam penciumanku aku sangat mengenalnya, minyak kayu putih. “Alhamdulillah, engkau sudah siuman Ka,” Bulan berkata dengan lembut. “Apa yang terjadi denganku?” Tanyaku. Aku belum mampu mengingat apa yang telah terjadi pada diriku, yang aku ingat terakhir kali aku berusaha meraih tembok. “Kala tadi pingsan,” sahut Bulan lembut. Suara itu selalu membuat hati ini tenang dan nyaman, setiap
4
mendengarnya tubuh ini bagai tersiram hujan saat kemarau panjang. Aku mencoba bangkit untuk duduk dibantu Bulan, kulihat Pak Dhe di depanku. “Kau sudah siuman, aku tinggalkan kalian berdua,” Pak Dhe berkata sambil berlalu dari hadapanku. Kulihat jam menunjuk pukul 18.00, sudah 2 jam aku terbaring disofa ini. “Aku mendapat kabar dari Pak Dhe, katanya kamu pingsan makanya aku datang kemari,” ucap Bulan memecah keheninganku. Aku masih belum mampu merangkai kata-kata, hanya senyuman yang kuberikan sebagai jawaban. Bulan meninggalkanku menuju ke dapur, kulihat dia sibuk membuat minuman hangat untukku. Aku teringat, jam 19.00 berjanji mengajak Bulan untuk bertemu dengan Matahari. Kegalauan ini menyebabkan aku tersungkur di sofa. Bulan datang dengan secangkir cokelat, aku nikmati aroma coklat 5
mencoba meraih sisa roh yang masih bermain diluar untuk menyegarkan tubuh ini. Kutatap Bulan dengan seksama, mengapa tak ada kegelisahan dari sorot matanya? Bukankah aku yang mereka juluki manusia tegar terkapar tak berdaya? Ternyata aku masih rapuh, masih ada empati dalam diri ini dan aku bersyukur masih memilikinya. “Sebaiknya kau telpon Atha, kita tunda dulu pertemuannya. Kita tunggu kesehatanmu pulih,” kata Bulan. “Tidak,” sahutku ringan. Aku tidak ingin menunda lagi, semakin lama aku menunda semakin dalam kegelisahan diri ini. Dan mungkin berdampak lebih dari apa yang baru saja aku alami. Semakin lama tabir ini tertutup akan menimbulkan luka bagi mereka. Biarklah tabir terbuka agar tiada luka menyertai, aku hanya ingin goresan kecil di kulit dari pada hujaman pisau di hati.
6
“Aku mandi dulu Lan, aku sudah baikan terima kasih cokelatnya,” kataku. Aku berlalu meninggalkan Bulan menuju ke kamar mandi. Badanku belum segar sepenuhnya, aura dinginnya air terasa menusuk tulangku. Aku harus segera meninggalkan ruangan ini agar tidak beku. Kuhabiskan sisa cokelat untuk menghangatkan badan, mumpung masih hangat. Masuk ke kamar ganti baju dan kembali menuju ruang tengah menemui Bulan. “Ayo berangkat” sahutkku. Bulan tertawa memandangiku, aku bingung dan menjadi salah tingkah adakah yang salah dengan pakaianku? “Tumben rapi sekali, Ayo,” sahut Bulan sambil menarik lenganku. Dengan
menunggang
si
otong
motor
kesayanganku, berdua melaju di jalanan dengan gagah menembus
ramai lalu lintas malam Kota
Semarang. Perjalanan menuju lokasi pertemuan tidak berjalan lama, jarak antara rumah dengan lokasi kafe
7
hanya melalui lima lampu lalu lintas, 4 perempatan jalan dan 2 bundaran dengan total tempuh 3 km. Disudut
kanan
kafe
telah
menunggu
seorang
perempuan berkulit putih mengenakan baju biru bermotif kotak-kotak yang dipadu dengan celana jins hitam. Aku dan Bulan bergegas menghampirinya, “Sorry nunggu agak lama, padahal aku tuan rumah disini,” kataku. “Ah tidak mengapa kok Ka,” jawab Atha. Di sisi ini bangunan kafe berdinding kaca satu arah sehingga pengunjung dari dalam dapat melihat suasana di luar namun tidak sebaliknya. Atha memilih di sisi kanan agar dapat menikmati suasana malam di Jalan Pemuda. “Eh, ini Bulan,” kataku mengenalkan Bulan pada Atha.
Mereka
memperkenalkan
berjabat diri.
tangan
Atha
duduk
dan
saling
di
depan
sementara Bulan mengambil kursi di sampingku. Jantungku perlahan mulai bergerak lebih cepat, 8
menandakan aku sedang gelisah. Kucoba untuk tetap bersikap tenang, kuyakinkan diri tidak akan ada luka diantara mereka. Aku memandang Atha dan Bulan, tidak nampak kegelisahan diantara mereka. “Lho koq gak pesan minuman,” kata Bulan mencoba memecah kecanggungan pertemuan ini. “Oh ya, ayo pesan makanan dan minuman,” sambut Atha sambil memberi tanda waiter untuk datang. Tiga cokelat panas dan kentang goreng dua porsi, entah kebetulan atau tidak kami bertiga memiliki kesamaan minuman favorit. Waiters menulis pesanan kami. “Hanya ini,” tanya waiters. “Ya sementara itu dulu nanti kalau nambah kami undang,” jawab Atha. Aku berpamitan untuk ke belakang, sebuah siasat untuk memberi kesempatan supaya Bulan dan Atha saling mengenal. Selain itu, kesempatanku untuk mengatur aliran darah dan nafas yang mulai bergerak
9
cepat. Aku bergegas meninggalkan mereka dan berlalu ke arah toilet. Aku membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka tahu bahwa aku mencintai mereka berdua, namun belum mampu untuk memberikan keputusan siapa yang akan kucintai. Ku basuh wajah ini dengan air dan mengeringkannya dengan tisu yang tersedia di toilet. Segera aku kembali ke meja agar tidak terkesan sengaja meninggalkan mereka. Kulihat mereka bercanda santai layaknya seorang kawan lama yang sudah saling mengenal, padahal baru kali ini aku mempertemukan mereka. Tak nampak rasa canggung diantara mereka. Hal ini membuat aku sedikit lebih percaya diri untuk membuka tabir yang
lama aku tutup, untuk
memenangkan rasa ego yang tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka.
10