istilah yang digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang tidak boleh dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni Straf, baar dan feit. dari istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan
baar
diterjemahkan
dengan
dapat
dan
boleh.
Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara letterlijk kata “straf “ artinya pidana, “baar “ artinya dapat atau boleh dan “feit ” adalah perbuatan. Sedangkan dalam bahasa belanda “feit “ berarti sebagian dari suatu kenyataan dan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Di dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang dapat dikemukakan dalam beberapa buku hukum pidana dan beberapa perundang-undangan hukum pidana, yaitu : peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana. Dalam KUHP yang berlaku sekarang, kita tidak akan menemukan tindak pidana itu. Oleh karena itu dalam ilmu hukum pidana terdapat
14
beraneka ragam pengertian tindak pidana yang diciptakan oleh para sarjana hukum pidana. Menurut R.Abdoel Djamali (2005: 75), Menambahkan bahwa peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Wirjono Prodjodikoro (2003: 1), Istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentukan undang-undang ditanggapi sebagai hukum pidana. Istilah tindak pidana hanya menunjukkan kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana apabila dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan tindakannya itu yaitu dengan kesalahannya. Jadi tindak pidana dipisahkan demi pertanggungjawaban pidana. Lain halnya dengan Strafbaar feit yang mencakup pengertian perbuatan dan kesalahan. Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang tidak tertulis “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
15
Menurut Pompe ( P.A.F.Lamitang, 1997:182), perkataan tindak pidana itu dari 2 (dua) segi, yaitu : 1. Dari segi teoritis, tindak pidana dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib umum) yang dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah dilakukan
oleh
seseorang
pelaku,
dimana
penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib umum dan terjaminnya kepentingan umum. 2. Dari segi hukum positif, tindak pidana adalah tidak lain dari tindakan yang menurut rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dihukum. Selanjutnya, pompe menyatakan bahwa perbedaan antara segi teoritis dan segi hukum positif tersebut hanya bersifat sementara, oleh karena dari segi teoritis tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakan itu benar-benar bersifat melawan hukum dan telah dilakukan dengan kesalahan (shuld) baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja, sedangkan hukum positif kitapun tidak mengenal adanya kesalahan (shuld) tanpa adanya suatu perbuatan melawan hukum. Menurut J.E Jonkers ( Pipin Syarifin, 2000:51), memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
16
1. Definisi pendek, Strafbaar feit adalah suatu kejadian ( feit ) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang 2. Definisi panjang, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan melawan hukum yang dilakukan dengan sengajaatau karena alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Jalan pikiran menurut definisi pendek pada hakikatnya menyatakan bahwa setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menyalahiketetapan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Adapun definisi yang panjang menitikberatkan pada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsurunsur tersembunyi yang secara diam-diam dianggap ada. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana. Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku/perbuatan walaupun ada pengecualian seperti Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang
dicantumkan
mengenai
unsur
kemampuan
bertanggung jawab. Disamping itu, banyak mencantumkan unsurunsur baik sekitar/mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu. Menurut Adami Chazawi, (2002: 82) dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu :
17
1. Unsur tingkah laku 2. Unsur melawan hukum 3. Unsur kesalahan 4. Unsur akibat konstitutif 5. Unsur keadaan yang menyertai 6. Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana 7. Unsur tambahan untuk memperberat pidana 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana 9. Unsur objek hukum tindak pidana 10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana 11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur objektif, misalnya melawan hukum perbuatan mengambil pada pencurian (Pasal 362 KUHP) terletak dalam mengambil itu dari luar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum objektif). Atau pada Pasal 251 KUHP pada kalimat “tanpa izin memerintah” juga pada pasal 253 pada kalimat “menggunakan cap asli secara melawan hukum objektif”. Tetapi ada juga melawan hukum subjektif misalnya melawan hukum dalam penipuan (Pasal 378 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pengancaman (Pasal 369) dimana disebutkan untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan
18
memiliki dalam penggelapan (Pasal 372 KUHP) yang bersifat subjektif, artinya terdapat kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu merupakan celaan masyarakat. Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum objektif atau subjektif tergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua macam unsur, yakni : (1) unsur-unsur subjektif, dan (2) unsur-unsur objektif unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku, yang termasuk kedalamnya yaitu apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana yaitu : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan ( dolus dan culpa). 2. Maksud atau voomemen pada suatupercobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti, kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan pemalsuan. 4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP 5. Perasaan takut, seperti dalam rumusan tindak pidana Pasal 308 KUHP.
19
Sedangkan unsur-unsur
adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaankeadaan
mana
tindakan-tindakan
dari
sipelaku
itu
harus
dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana yaitu : 1. Sifat melanggar hukum, 2. Kualitas dari sipelaku, 3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Menurut Moeljatno (P.A.F.Lamintang, 1997:72) untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur yang meliputi : a. Adanya perbuatan. b. Yang dilarang (aturan hukum). c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar). Perbuatan manusia boleh saja dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan
orangnya.
Ancaman
(diancam)
dengan
pidana
menggambarkan tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang umumnya dijatuhi pidana karena melakukan tindakan yang bertentangan .dengan Undang-undang.
20
C. Pemidanaan. 1. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan. Sebelum menjatuhkan pidana atau memidana seorang pelaku kejahatan, maka hal yang paling pokok untuk diketahui adalah mengenai pemidanaan itu sendiri. Dalam beberapa literatur dikemukakan mengenai pengertian mengenai pemidanaan yang berbeda-beda. Van Hammel memberikan pendapat tentang pidana atau straf menurut hukum positif yaitu: Suatu penderitaan yang bersifat khusus oleh ketentuan kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab ketertiban lingkungan umum bagi seorang pelanggar, yaitu semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara (Lamintang; 1984:34). Pendapat lain dikemukakan oleh Simons, pemidanaan adalah penderitaan-penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan pelanggaran suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah (Lamintang; 1984:35). Sudarto mengemukakan pendapatnya tentang pemidanaan, dimana beliau menyamakan antara pemidanaan dengan kata penghukuman. Menurut beliau, penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan penetapan hukum adalah untuk
memutuskan
tentang
hukumannya
(Berchten).
Penghukuman dalam perkaran pidana yang kerap kali sinonim
21
dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Utrecht berpendapat disadur oleh Saleh Djindang pengertian formil hukum adalah suatu penderitaan istimewa (Bij Zonder Leed) agar tertib masyarakat tetap terpelihara, maka pemerintah (Overheid) kadang-kadang terpaksa menggunakan alat paksa yang lebih keras. Adakalanya pemerintah menjalankan suatu sanksi biasa (seperti yang ada dalam buku privat) misalnya dengan perantaraan hakim, menghukum pelanggar dengan memasukkannya kedalam penjara, yaitu merampas kemerdekaan pelanggar. Pelanggar diberi penderitaan istimewa (Yurhanuddin Kona, 2005: 12). Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pidana atau pemidanaan selalu mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa
atau
akibat-akibat
lain
yang
tidak
menyenangkan. 2.
Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (orang yang berwenang).
3. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang.
22
Berkaitan dengan tujuan yang pemidanaan yang garis besarnya telah dikemukakan di atas, maka muncullah teori-teori mengenai hal tersebut. Ada tiga golongan utama teori yang membenarkan penjatuhan pidana yaitu (Andi Hamzah, 1993: 26) 1. Teori absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien) 2. Teori relative atau tujuan (doeltheorien) 3. Teori gabungan (verenigings theorien) Teori
pembalasan
mengatakan
bahwa
pidana
tidaklah
bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itulah sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya
pidana.
Pidana
secara mutlak
ada,
karena
dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada pelaku. Oleh karena itu maka teori ini disebut teori absolute. Vos menunjukkan bahwa teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif ialah pemmbalasan terhadap kesalahan pelaku, sedangkan pembalasan obyektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Selanjutnya Vos menunjuk contoh pembalasan obyektif, dimana dua ornag pelaku yang
23
seorang menciptakanakibat yang lebih serius dari yang lain dan akan dipidana lebih berat (Andi Hamzah, 1993:27). Kant menunjukkan bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Jadi, menurut Vos, pendapat Kant hanya mengenai pembalasan subyektif. Sebaliknya hegel memandang perimbangan antara subyektif dan obyektif dalam suatu pidana, sedang herbart hanya menekankan pada pembalasan obyektif. Variasi-variasi teori pembalasan itu diperinci oleh Leo Polak menjadi (Andi Hamzah, 1993: 27): 1. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara (rechtnacht of gezagshandhaving); 2. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie); 3. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan (onrechtsfustrering en blaam); 4. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (tlioniserende handhaving van rechtsgelilkheid); 5. Teori untuk melawan kecenderungan, untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijke neigingsbervredining); 6. Teori mengobyektifkan (objectiverings theorie). Teori pertama menggambarkan pidana sebagai paksaan belaka. Akibat teori ini siapa yang secara suka rela menerima putusan hakim pidana, dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut tidak sebagai penderitaan. Penganut
teori kedua
adalah
Herbart
yang
mengikuti
Aristoteles dan Thomas Aquino yang menyatakan apabila
24
kejahatan tidak dibalas dengan pidana maka timbullah perasaan tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika. Menurut estetika, penjahat harus dipidana seimbang dengan penderitaan korban. Hazewinkel suringa menjelaskan bahwa perasaan hukum menjadi pangkal pendapat Herbart, tetapi ini berbahaya kata Hazewinkel suringa karena semata-mata sentimen belaka pada rakyat tidak boleh menjadi dasar pidana. Penganut teori ketiga pada hegel yang menyatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan berkunya suatu kehendak subyektif yang bertentangan dengan hukum. Sejajar dengan teori Hegel ini ialah teori Von Bart yang mengatakan makin besar kehendak menentang
hukum
maka
makin
besar
penghinaan
yang
dijatuhkan. Oleh sebab itu teori ini di sebut teori penghinaan atau reprobasi. Teori yang keempat menurut (Andi Hamzah, 1993:29) pertama kali dikemukakan oleh Heymans yang diikuti Kant, Rumelin, Nelson dan Kranenburg. Menurut teori ini asas hukumyang berlaku bagi semua anggota masyarakat menurut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat. Kranenburg
menunjukkan
pembagian
syarat-syarat
untuk
mendapat keuntungan dan kerugian, maka terhadap hukum tiaptiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sama dan sederajat. Mereka yang sanggup mengadakan syarat-syarat
25
istimewa akan mendapat keuntungan dan kerugian yang istimewa pula. Keberatan terhadap teori pembalasan ialah: 1. Teori ini tidak menerangkan mengapa negara harus menjatuhkan pidana; 2. Sering pidana itu tanpa kegunaan yang praktis. Teori
yang
kelima
dikemukakan
oleh
Heymans
yang
mengatakan bahwa keperluan untuk membalas tidak ditujukan kepada persoalan apakah orang lain mendapat bahagia atau penderitaan, tetapi keperluan untuk membalas itu ditujukan kepada
nilai
bertentangan
masing-masing dengan
orang.
kesusilaan
Nilai-nilai dapat
diberi
yang
tidak
kepuasan,
sebaliknya nilai-nilai yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh diberi kepuasan. Segala yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh didapatkan orang. Teori yang keenam diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika. Menurut etika Spinoza, tiada seorangpun boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukanya (ne malis expediat esse malos). Menurut Leo Polak dalam Andi Hamzah (1993:30) bahwa pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat: 1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif; 2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi;
26
3. Sudah tentu beratnya pidan harus seimbang dengan beratnya delik. Ini diperlukan supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. Teori tentang tujuan pidana yang kedua yaitu teori relatif. Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda yaitu menakuti, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus, dimana prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik. Kemudian Von Feurbach mengajukan teori baru yang disebut teori paksaan psikologi (psychologische zwang), dimana ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakuti orang lain untuk melakukan delik. Pelaksanaan pidana menurut teori ini hanya penting untuk menyatakan ancaman itu. Untuk memperbaiki teori Von Feurbach, maka muncullah teori Muller dalam tulisannya “De Straf in het Starfrecht”, Tijdschrift van Strafrecht, yang menyatakan bahwa akibat preventif pidana tidaklah terletak pada eksekusi pidana maupun dalam ancaman pidana, tetapi pada penentuan pidana oleh hakim secara kongkrit (de concrete straf pleging door de rechter). Dalam teori ini delik dipeertanggung jawabkan kepada golongan orang tertentu (Andi Hamzah, 1993:30).
27
Menurut Utrecht, teori Muller ini sesuai dengan masyarakat kolektif dan mungkin pada kemudian hari hukum pidana Indonesia (mengingat hukum adat) akan lebih kolektif. Prevensi khusus yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegat niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya
atau
mencegah
pelanggar
mengulangi
perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan perbuatan jahat yang direncanakannya. Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah: 1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya; 2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana; 3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin lagi diperbaiki; 4. Tujuan satu-satunya ialah mempertahankan hukum. Kemudian teori gabungan antara pembalasan dan prevensi bervariasi pula. Ada yang menitikberatkan pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Teori pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan yang dianut antara lain oleh Pompe. Pompe dalam Andi Hamzah (1993:31) mengatakan bahwa “orang tidak boleh menutup mata
28
pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi ada ciri-cirinya. Tetapi tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan sanksi-sanksi itu. Dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan hukum”. Menurut Van Bemmelen dalam Andi Hamzah (1993:32) juga menganut teori gabungan dengan mengatakan: “pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan
tindakan,
keduanya
bertujuan
mempersiapkan
untuk
mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat. Grotius dalam Andi Hamzah (1993:32) megembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar dari tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidan dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Menurut
Andi
Hamzah
(1993:33)
bahwa
teori
yang
dikemukakan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevebergen, yang menyatakan bahwa makna tiap-tiap pidana
29
adalah
pembalasan
tetapi
maksud
tiap-tiap
pidana
ialah
melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat pada hukum dan pemerintah. Teori gabungan yang kedua yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Teori
ini
sejajar
dengan
teori
Thomas
Aquino
yang
menyatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu pebuatan yang dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan
masyarakat.
Menurut
Vos,
pidana
berfungsi
sebagai prevensi umum bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara maka ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman. Teori gabungan yang ketiga yaitu yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Dalam rancangan KUHP yang baru, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu: a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
30
b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dengan demikian menjadikannya oarng yang baik dan dengan demikian memjadikan orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat; c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbagan dan mendatangkan damai dalam masyarakat; d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 2. Jenis-jenis Pidana. Berbicara mengenai jenis-jenis pidana, hal itu telah diatur secara tegas dalam bab II Buku I KUHP. Adapun jenis-jenis pidana yang dimaksud dalam Pasal 10 KUHP yaitu: a) Pidana Pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b) Pidana Tanbahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.
31
1. Pidana Mati Hukuman mati adalah hukum yang paling ekstrim yang ditetapkan oleh hukum. Apakah negara berhak mencabut kehidupan seseorang memang telah sering diperdebatkan sementara beberapa pihak mengutuk hukuman mati sebagai peninggalan zaman Barbar dimasna “hidup untuk hidup” merupakan bentuk umum dari balas dendam. Sedangkan beberapa pihak lain mendukung dengan dasar supaya tidak terjadi kejahatan yang serius, mencegah pelanggar melakukan kejahatan
lebih
lanjut,
dan
untuk
menyatakan
adanya
kebiadapan moral terhadap masyarakat. Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan dengan jalan menjerat tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana, kemudian algojo menjatuhkan papan
tempat
terpidana berdiri. Tetapi sejak Jepang menduduki Indonesia, kemudian
dengan
Staatblad
1945
Nomor
123
yang
dikeluarkan oleh Belanda, pidana mati dijalankan dengan jalan tembak mati. Hal ini kemudian diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38, ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undangundang Nomor 5 tahun 1969, yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana. Pidana mati ini dijalankan dengan dan dihadiri Jaksa (Kepala
32
Kejaksaan
Negeri)
sebagai
eksekutor
secara
teknis
dilaksanakan oleh polisi. 2. Pidana Penjara; Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara saja, tetapi juga berupa pengasingan (Andi Hamzah, 1993: 36). Pada zaman kolonial, di Indonesia dikenal juga sistem pengasingan yang didasarkan
pada
hak
istimewa
Gubernur
Jenderal
(exorbitante), miasalnya pengasingan Hatta dan Syahrir ke Boven Digoel kemudian ke Neira, pengasingan Soekarno ke Endeh kemudian ke Bengkulu. Jadi dapat dikatakan bahwa pidana penjara dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua puluh tahun). Jadi pada umumnya pidana penjara maksimumnya ialah 15 tahun. Pengecualian terdapat diluar KUHP, yaitu dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU Nomor 3 tahun 1971), maksimum ialah pidana penjara seumur hidup tanpa ada pidana mati.
33
Keberatan dihubungkan
terhadap dengan
pidana
tujuan
seumur
pemidanaan,
hidup yaitu
jika untuk
memperbaiki terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak lagi sesuai dan dapat diterima. Pidana seumur hidup harus dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dalam arti pembalasan terhadap terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari masyarakat supaya masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti yang dilakukan terpidana. 3. Pidana Kurungan Pada dasarnya pidana penjara dan pidana kurungan ini keduanya seseorang
sama-sama untuk
menghilangkan
sementara
waktu.
kemerdekaan
Namun
walaupun
demikian, antara pidana penjara dan pidana kurungan tetap memiliki beberapa perbedaan yang sangat prinsip, yakni: a. Lamanya hukuman penjara adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun (Pasal 12 Ayat {2} KUHP). Sedangkan lamanya hukuman kurungan menurut Pasal 18 Ayat (1) KUHP adalah sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun, dengan kemungkinan maksimum ini dinaikkan menjadi satu tahun empat bulan dengan aturan-aturan yang sama (Pasal 18 Ayat 2 KUHP);
34
b. Menurut Pasal 19 Ayat 2 KUHP, kepada seorang hukuman kurungan, diberi pekerjaan lebih ringan; c. Menurut Pasal 21 KUHP, hukuiman kurungan harus dijalani dalam daerah provinsitempat si terhukum berdiam; d. Menurut Pasal 23 KUHP, orang yang mendapatkan hukuman kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam undang-undang. Peraturan ini termuat dalam peraturan rumah-rumah penjara Pasal 93 yang antara lain memperbolehkan
orang
hukuman
kurungan
untuk
menerima makanan dan tempat tidur dari rumah. Melihat beberapa perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan diatas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembuat Undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih tegas lagi hal ini ditentukan oleh Pasal 69 Ayat 1 KUHP bahwa “berat ringannya pidana ditentukan oleh urut-urutannya dalam pasal 10 KUHP”, dimana ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga dibawah pidana mati dan pidana penjara. Memang pidana kurungan hanya diancamkan terhadap delikdelik culpa dan pelanggaran.
35
4. Pidana denda; Menurut Wirjono Projodikoro (2003: 185) bahwa pada zaman moderen ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delikdelik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan kepada terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara suka rela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
Oleh
karena
tidak
dipedulikan
siapa
yang
membayar dendanya, maka sifat hukuman yang ditujukan kepada terhukum menjadi kabur. Menurut Andi Hamzah (1993:53-54) bahwa pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip pada pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan
perbuatan
yang
merugikan
orang
lain.
Perbedaannya ialah denda dalam perkara pidana dibayarkan kepada negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata kepada orang pribadi atau badan hukum (Andi Hamzah, 1993:53-54). Lagi pula denda dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar. Selain itu denda tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumalah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap
36
dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban. Inilah yang banyak salah pengertian dari orang awam, terutama dalam pelanggaran lalu lintas. Seringkali kita pikir bahwa jika telah dibayar ganti rugi kepada korban, tuntutan pidana telah terhapus. Sedang sebenarnya tidak demikian halnya. Tuntutan pidana tetap dapat dilakukan oleh Jaksa, paling-paling hanya meringankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Dalam praktek dirasa banyak perkara demikian yang mengendap, artinya selesai ditempat, tanpa diteruskan ke kejaksaan, karena kedua pihak telah berdamai. 5. Pidana Tutupan. Pidana tutupan ini disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam paraktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. Tentang pidana tutupan, Soesilo menyatakan bahwa hukuman dijatuhkan sebagai pengganti hukuman penjara dalam hal mengadili orang yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuma penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, misalnya kejahatan politik.
37
Terhadap
pidana
ini
Hamzah
berpendapat
bahwa
pencantuman pidana tutupan di dalam Pasal 10 KUHP dibawah pdana denda tidaklah tepat, karena menurut Pasal 69 KUHP yang menyatakan bahwa beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan oleh urut-urutan dalam Pasal 10 KUHP. Jelas pidana tutupan sebagai salah satu pidana hilang kemerdekaan, lebih berat dari pada pidana denda (Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1993: 59). Jadi kalau kita menghendaki pencantuman pidana tutupan didalamPasal 10 KUHP sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1964, maka harus diletakkan diatas pidana denda (antara pidana kurungan dan pidana denda). 6. Pencabutan Hak-hak Tertentu Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan. Dahulu dikenal pidana terhadap kehormatan dan yang paling berat adalah pidana kematian perdata, yang dalam UUD 1950 dahulu tegas dilarang. Menurut Vos dan Andi Hamzah (1993:60) bahwa pencabutan hak-hak tertentu ialah suatu pidana dibidang kehormatan berbeda denga pidana kehilangan kehormatan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal:
38
1. Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim; 2. Tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut Undang-Undang dengan suatu putusan hakim Adapun hak-hak yang dapat dicabut dalam Pasal 35 KUHP yaitu: 1. Hak untuk memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; 2. Hak memasuki angkatan bersenjata; 3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atau orang yang bukan anak-anak sendiri; 5. Hak
menjalankan
kekuasaan
bapak,
menjalankan
perwalian atau pengampunan atas anak sendiri; 6. Hak menjalankan pencarian tertentu. Dalam ayat 2 pasal ini dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan pengusaha lain untuk pemecatan itu. Menurut Jonkers dalam Andi Hamzah (1993:61) bahwa hal ini berarti seseorang dapat dicabut haknya untuk menjabat
39
seluruh jabatan dalam arti jabatan publik. Pencabutan hak ini tidak berati mencabut jabatan itu sendiri, melainkan hak untuk memangku jabatan itu. 7. Pencabutan Barang-barang Tertentu. Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Pidana perampasan telah dikenal sejak sekian lama. Para kaisar Kerajaan Romawi menerapkan pidana perampasan ini sebagai politik hukum yang
bermaksud
untuk
mengeruk
kekayaan
sebanyak-
banyaknyauntuk mengisi kasnya. Barang-barang yang dapat dirampas itu bersifat fakultatif dan diatur dalam Pasal 39 KUHP yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: a) Barang-barang yang diperoleh dari kejahatan, misalnya uang yang diperoleh dari kejahatan pencurian. Barangbarang inilah yang selalu dirampas asalkan menjadi milik dari terpidana dan berasal dari kejahatan, baik kejahatan dolus maupun colpus. Dalam hal corpora dlicti ini diperoleh dengan pelanggaran, maka barang-barang itu hanya dapat dirampas dalam hal-hal yang ditentukan oleh undangundang; b) Barang-barang yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan misalnya senjata api, pistol, pisau tajam, belati, kunci palsu yang digunakan untuk mencuri,
40
bahan racun dan lain sebagainya. Barang-barang ini disebut dengan instrumenta delici, dan selalu dapat dirampas asalkan itu merupakan milik terpidana dan dipakai untuk melKUKn kejahatan dolus. Jika instrumenta delici atau pelanggaran, maka instrumenta delicti hanya dapat dirampas dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang; 8. Pengumuman Putusan Hakim. Sesuai dengan sifat kejahatan atau keadaan yang menjadi obyek
kejahatan,
terpidana
dapat
dikenai
tambahan
pengumuman putusan hakim. Pidana tambahan keputusan hakim di Indonesia jarang sekali dijalankan karena ketentuan bahwa keputusan hakim pengadilan dinyatakan dengan pintu terbuka untuk umum, dan diucapkan oleh hakim ketua di muka anggota-anggota
yang turut memeriksa dan memutuskan
perkara itu, serta penuntut umum pada pengadilan negeri dan penasihat hukum. Maksud diadakannya pengumuman keputusan hakim dalam pidana tambahan ini adalah publikasi ekstra, misalnya dalam surat kabar, dibuat plakat yang ditempelkan pada dinding gedung pemerintahan, pengumuman melalui siaran radio, melalui siaran televisi, dan lain sebagainya. Biaya untuk publikasi ekstra ini dibebankan kepada terpidana yang
41
ditentukan pembayarannya, dan apabila terpidana tidak membayar ongkos publikasi ekstra ini, tagihan ongkos-ongkos tersebut dapat dilakukan dengan cara menyita dan menjual barang dari milik terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim ini dapat ditetapkan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam Undang-Undang pidana, sehingga setiap putusan hakim dapat dipublikasi secara ekstra seperti dalam Pasal 43, Pasal 67, Pasal 128, Pasal 206, Pasal 361, Pasal 377, Pasal 395, dan Pasal 405 KUHP.. D. Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Narkotika. Peraturan mengenai Narkotika telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ini berarti bahwa untuk menjerat pelaku kejahatan Narkotika, maka yang paling tepat digunakan adalah undang-undang ini yang sifatnya lebih khusus dari peraturan-peraturan lainnya. Berikut penulis ingin mencoba melihat beberapa pasal dalam undang-undang ini yang mengatur mengenai ketentuan pidan bagi mereka yang melakukan kejahatan Narkotika. Pasal-pasal yang dimaksud adalah: Pasal 111 (1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuktanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapanratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
42
(2)Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 112 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikitRp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan palingbanyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanadenda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 113 (1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2)Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanapenjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga). Pasal 114 (1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
43
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2)Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 115 (1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2)Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 116 (1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2)Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
44
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 117 (1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2)Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 118 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 119 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
45
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 120 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 121 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 122 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
46
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 123 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Melihat beberapa pasal di atas yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, maka sangat jelas bahwa pidan yang diancamkan dalam undang-undang tersebut bersifat kumulatif. Artinya para pelaku tindak pidana narkotika yang melanggar ketentuan diatas akan dijatuhi 2 (dua) pidana pokok secara bersamaan, yakni pidana penjara dan pidana denda. Setelah memperhatikan pasal-pasal tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa pembuat undang-undang tersebut menginginkan agar pelaku tindak pidana narkotika ini dibersihkan mulai dari akarakarnya. Hal itu dapat kita lihat dengan ancaman pidana yang begitu berat, yang ditujukan kepada orang-orang yang terlibat langsung dalam memproduksi, menyuplai maupun mengedarkan narkotika itu.
47
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dimaksud adalah suatu tempat atau wilayah dimana penelitian tersebut akan dilaksanakan. Berdasarkan judul “Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika (Studi Kasus Putusan Nomor 76/Pid.B/2012/PN.MKS)”, maka penulis menetapkan lokasi penelitian di kota Makassar, tepatnya dipengadilan Negeri Makassar, sebagai instansi yang berwenang penuh dalam penanggulangan masalah yang diteliti oleh penulis. B. Jenis dan Sumber Data Adapun jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa : 1. Data primer, yakni data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti yang diperoleh dilapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait. 2. Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari data yang ada, bukan karena hanya karena dikumpulkan oleh pihak lain. Data ini berasal dari perundang-undangan, tulisan atau makalahmakalah, buku-buku, dan dokumen atau arsip serta bahan lain yang berhubungan dan menunjang dalam penulisan ini.
48
C. Teknik Pengumpulan Data Adapun
yang
penulis
lakukan
untuk
memperoleh
dan
mengumpulkan data adalah sebagai berikut: 1. Teknik penelitian kepustakaan yaitu : teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari literatur, baik buku artikel, maupun materi kuliah yang diperoleh. 2. Teknik interview yaitu : teknik pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dan obyek penelitian, serta meminta data-data kepada pihak yang terkait dengan penelitian ini, seperti hakim. D. Analisis Data Setelah semua data terkumpul, dalam penulisan data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder maka data tersebut diolah dan dianalisis secara deskriftif kualitatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus serta menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus menjawab permasalahan dalam penulisan atau penelitian ini.
49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika pada Perkara Nomor 76/Pid.B/2012/PN.MKS. Sebelum penulis menguraikan mengenai penerapan sanksi pidana pada perkara nomor 76/Pid.B/2012/PN.MKS, maka perlu diketahui terlebih dahulu kronologis atau posisi kasus. Adapun posisi kasus sebagai berikut: Posisi kasus Aditya Winata, pelaku pada hari Sabtu tanggal 23 Juli 2011 sekitar jam 14.00 wita betempat di kamar 5 Blok. C2 Rumah Tahanan klas 1 makassar, jalan Rutan No.8 Kota Makassar telah melakukan atau turut serta melakukan dengan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan 1 (satu) sachet kemasan plastik bening berisi serbuk kristal bening yang mengandung metamfetamina yang termasuk Narkotika Golongan 1 (No.urut 61 daftar Narkotika golongan 1, lampiran 1 Undang-Undang RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika) seberat 0,0164 gram. Pada awalnya pelaku ADITYA WINATA Bin JAMAK KADIR Als.ADI bersama-sama dengan HASRI Bin SAENAL ABIDIN Als OGEL sedang menunduk dibelakang lemari kamar Tahanan No.5 Blok C2 Rutan klas 1 Makassar selanjutkan saksi MUSTARI,S.Sos yang curiga gdengan gerak gerik perbuatan terdakwa ADITYA WINATA Bin JAMAK KADIR Als ADIbersama-sama dengan HASRI Bin SAENAL ABIDIN Als. OGEL
50
mendekati kamar terdakwa dan melihat terdakwa menggunakan shabu-shabu, dimana HASRI Bin SAENAL ABIDIN Als OGEL sedang memegang Bong yang merupakan alat hisap yang terbuat dari botol parfum dan melihat bungkusan plastik bening berisi serbuk Kristal lalu saksi MUSTARI,S.Sos mengamankan terdakwa beserta Bong dan bunkus berisi kristal bening dan melaporkan pada direktor polda Sulsel. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan Jaksa Pentut Umum terhadap kepada pelaku tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Aditya Winata Bin Jamal Kadir yang dibacakan dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar sebagai berikut: Dakwaan Kesatu: Perbuatan terdakwa melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 114 ayat (1) Undang-Undang RI.No.35 tahun 2009 tentang Narkotika jo.pasal 55 ayat (1) KUHP; Dakwaan Kedua: Perbuatan para terdakwa melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 112 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI.No.35 tahun 2009 tentang Narkotika jo.pasal 55 ayat (1) KUHP Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Tuntutan Pidana dari Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan dipersidangan tanggal 03 April 2012 yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut :
51
1. Menyatakan terdakwa Aditya Winata Bin Jamal Kadir bersalah melakukan tindak pidana dengan atau tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai narkotika golongan I bukan tananman sebagaimana diatur dan diancam pada Pasal 112 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Aditya Winata Bin Jamal Kadir dengan pidana selama 4 tahun dengan perintah terdakwa ditahan dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000. (delapan ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan penjara: 3. Menyatakan barang bukti berupa : • 1 (satu) sachet kemasan plastic kecil berisi serbuk kristal bening (shabu) dengan berat netto 0,0164 gram: • 1 (satu) buah bong, 1 (satu) buah penutup bong • 1 (satu) batang pipet plastic warna putih • 1 (satu) batang pipet kaca/pireks • 1 (satu) batang pipet plastic warna bening Dirampas untuk dimusnahkan : 4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000 (lima ribu rupiah) : Analisis penulis mengenai penerapan sanksi pidana. Berdasarkan posisi kasus diatas, penerapan sanksi pidana dengan Pasal 112 sudah benar. Analisis penulis terhadap penerapan sanski yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap Perkara Nomor 76/ Pid.B/ 2012/ PN. MKs atas nama Aditya Winat, sudah sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum dan putusan majelis hakim terhadap diri terdakwa yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan barang bukti sebanyak 0,0164 gram sabu-sabu, tuntutan Penuntut Umum dan putusan hakim sama yaitu 4 Tahun dan denda 800 juta rupiah subsidair 3 bulan penjara.
52
Menurut hemat penulis pencarian pidana itu mengandung unsur penderitaan sekaligus unsur penjara. Akan tetapi tujuan penghukuman atau pemidanaan di sini dimaksudkan bukan hanya sekedar pemberian penderitaan dan rasa jera kepada pelaku agar ia menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam terhadap konsekuensi perbuatanya, melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas, artinya penderitaan itu merupakan obat
penyembuh bagi pelaku kejahatan agar ia dapat
merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan datang. Dalam sistem peradilan hakim sangat penting peranannya dalam penegakan hukum di Indonesia, apalagi dihubungkan dengan penjatuhan hukuman pidana terhadap seseorang harus selalu didasarkan kepada keadilan yang berlandaskan atas hukum. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 23 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa “segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Selain itu di dalam Pasal 5 Undang-undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
53
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat”. Dari ketentuan kedua pasal diatas mengisyaratkan bahwa ternyata masalah penjatuhan pidana kepada seseorang bukanlah hal mudah. Hakim selain harus mendasarkan diri dari pada peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus memperhatikan perasaan, dan pendapat umum masyarakat. Dengan perkataan lain sedapat mungkin keputusan hakim pidana harus mencerminkan kehendak perundang-undangan dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Walaupun demikian bukan berarti kebebasan hakim dalam menentukan batas maksimum dan minimum tersebut bebas mutlak, melainkan juga harus melihat pada hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan
atau
faktor-faktor
apa
saja
yang
meliputi
perbuatannya tersebut. Salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan berat atau ringannya pidana yang diberikan kepada seseorang terdakwa harus selalu didasarkan kepada asas keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukum. Dalam putusan hakim harus disebutkan juag alasan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan yang meliputi perbuatan itu, keadaan pribadi terdakwa.
54
Selain hal-hal diatas tadi, ada juga hal-hal yang harus mendapat perhatian oleh hakim dalam menjatuhkan pidanannya, yaitu sedapat mungkin menghindari diri dan putusan yang timbul dari kehendak yang sifatnya subyektif. Walaupun hakim mempunyai kebebasan untuk itu, akan tetapi hakim tidak boleh bertindak sewenangwenangkarena adanya kontrol dari masyarakat yang menjadi kendali terhadap setiap putusan hakim apalagi apabila putusan pidana tersebut
tidak
menunjukkan
rasa
keadilan
masyarakat
atau
menjunjung perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya, baik dirasakan atau tidak tetapi sangat jelas bahwa banyak permasalahan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan berupa pengguna dan pengedaran narkotika yang tidak sesuai dengan aturan serta prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik
melalui
peraturan
perundang-undangan
demikian
penyalahgunaannyapun
serta
peraturan
pemerintah. Meskipun
masih
terus
dilakukan, bahkan terkesan adanya kecenderungan peningkatan sampai dengan saat ini. Kasus penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Kota Makassar yang oleh Pengadilan Negeri Makassar ditangani dari sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (tahun 2009-2011), akan diuraikan dalam bentuk tabel 1.
55
Tabel 1 Jumlah Kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2009 sampai dengan 2011 Tahun
Jumlah
Persentase (%)
2009
124
40,78
2
2010
93
30,59
3
2010
87
28,63
340
100,00
No. 1
Sumber Pengdilang Negeri Makassar Tabel 1 menunjukkan data dari tahu 2009-2011 terdiri dari 304 kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang ditangani oleh pengadilan Negeri Makassar meliputi: kasus narkotika yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Makassar pada tahun 2009 terdiri dari narkotika sebanyak 124 kasus dan atau 40,78% dari keseluruhan tindak pidana narkotika tahun 2008-2010. Tahun 2010 terdiri dari narkotika sebanyak 93 kasus atau 30,59% dari keseluruhan tindak pidana narkotika tahun 2009-2011. Untuk tahun 2011 terdiri dari 87 atau 28,63 dari keseluruhan pelanggaran narkotika tahun 2009-2011. Seperti
telah
diuraikan
sebelumnya
bahwa
hukumpidana
Indonesia juga mengenal pemberlakuan dua pidana/hukuman pokok secara bersamaan terhadap satu atau beberap pelaku pidana, yang walaupun didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas dilarang penerapan pidana pokok secara bersamaan
56
terhadap pelaku tindak pidana. Tetapi tentunya dalam hal ini, penerapan pidana pokok secara bersamaan yang penulis maksudkan adalah terhadap tindak pidana khusus atau tindak pidana narkotika yang memang mengenal penerapan pidana ganda, olehnya itu kalau kita hubungkan dengan ketentuan KUHP yang melarang penerapan pidana pokok secara kumulasi, tentunya pada dasarnya tidak berlaku pada tindak pidana narkotika karena tindak pidana narkotika merupakan ketentuan khusus terhadap KUHP. Hal tersebut diatas berhubungan dengan asas hukum yang dikenai dalam perkembangan ilmu hukum yang menyatakan lex spesialis
derogat
legi
generalis
atau
ketentuan
khusus
mengesampingkan ketentuan yang umum, artinya manakala ada persoalan
hukum
yang
termasuk
dalam
ketrentuan
tersebut
bertentangan dengan ketentuan khusus. Olehnya itu berdasarkan hal tersebut di atas yang tentunya penulis jadikan dasar pertimbangan dalam penerapan pidana pokok secara kumulasi. Kemudian mengenai penerapan pidana pokok secara kumulasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika secara yuridis formil memang hal tersebut diakui dala undang-undang narkotika seperti yang penulis uraikan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan hal ini dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 76/Pid.B/2012/PN.Mks dimana
57
hakim menjatuhkan pidana selain penjara 4 tahun juga denda 800 juta rupiah subsidair 3 bulan penjara. Kemudian khusus penerapan pidana pokok secara kumulasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam wilayah hukum pengadilan negeri makassar berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa memang hampir semua pelaku tindak pidana narkotika yang diadili dipengadilan dikenakan pidana secara kumulasiatau secara ganda seperti dalam Pengadilan Negeri Makassar Nomor 76/Pid.B/2012/PN.Mks, dan hal ini juga berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan salah satu hakim yang pernah menangani pelaku tindak pidana narkotika. Walaupun penerapan pidana kumulasi atau penjatuhan pidana pokok secara bersamaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, yaitu pidana penjara dan pidana denda tetapi terhadap pidana denda yang begitu besar dan hukuman pengganti dari pidana denda tersebut yang begitu ringan, maka para pelaku/terpidana tidak membayar denda dan hanya memilih untuk menjalani pidana pengganti yaitu pidana kurungan. Ketentuan diatas diperjelas berdasarkan hasil wawancara dengan Bontor Aroean, S.H.M.H Hakim Pengadilan Negeri Makassar (wawancara tanggal 7 september 2012), yang menyatakan bahwa memang banyak pelaku penyalahgunaan narkotika yang divonis
dengan
pidana
penjara
dan
denda
tetapi
dalam
pelaksanaannya terpidana tidak membayar denda hanya memilih
58
pidana pengganti dari pidana denda tersebut dengan pidana kurungan, dan hal tersebut memang tidak bisa dipaksakan kepada terpidana untuk membayar denda, karena undang-undang memang memberikan pilihan kepada terpidana untuk memilih apakah terpidana membayar denda atau menjalani hukuman pengganti dari denda yang disebutkan dengan pidana kurungan. Penerapan pidana kumulasi terhadap tindak pidana narkotika sebenarnya memiliki 2 implikasi sosiologis yang pertama, apakah penerapan pidana ganda mempengaruhi tingkat kejahatan narkotika, dan
yang
kedua
apakah
penerapan
pidana
kumulasi
tidak
mempengaruhi tingkat kejahatan pelaku narkotika. Berdasarkan hal tersebut sangat berkaitan dengan teori tujuan pemidanaan yaitu teori prevensi umum, yaitu dengan penjatuhan pidana akan membuat orang lain atau masyarakat merasa takut untuk melakukan tindak pidana, dan teori prevensi khusus, yaitu dengan penjatuhan pidana akan membuat pelaku merasa jera untuk melakukan tindak pidana. Dari kedua tolak ukur diatas, maka penerapan pidana kumulasi di Pengadilan Negeri Makassar ternyata tidak mempengruhi tingkat kejahatan penyalahgunaan narkotika , hal itu diperkuat dari hasil wawancara dengan Bontor Aroean, S.H.M.H Hakim Pengadilan Negeri Makassar (wawancara tanggal 7 september 2012), yang menyatakan bahwa penerapan pidana kumulasi sebenarnya tidak mempengaruhi tingkat kejahatan penyalahgunaan narkotika, karena menurut beliau
59
hal tersebut sangat tergantung pada pribadi masin-masing orang, yaitu apakah masyarakat atau pelaku narkotika dengan penerapan pidana kumulasi tersebut membuat mereka jera atau takut untuk menyalahgunakan narkotika, kalau hal tersebut atau penerapan pidana kumulasi membuat mereka jera, maka tujuan pemidanaan bisa terpenuhi, tetapi kalau penerapan pidana kumulasi tidak membuat mereka jera atau takut untuk menyalahgunakan narkotika, maka tentunya tujuan pemidanaan tidak terpenuhi. Tetapi sekali lagi hal tersebut sangat tergantung pada pribadi masing-masing orang. Menurut penulis bahwa pengaruh peningkatan penyalahgunaan narkotika sama sekali bukan pada penerapan pidana kumulasi hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Makassar, berarti hal tersebut menjadi tantangan baru bagi aparat penegak hukum untuk mencari cara untuk dapat menurunkan pelaku penyalahgunaan narkotika. Selanjutnya penulis beranggapan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika belum tepat/kurang sepakat. Seharusnya hakim lebih memberatkan sanksi pidananya, sehingga tujuan dari pemidanaan bisa tercapai. Karena dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
60
denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Dalam ketentuan diatas, dipidana penjara yang dapat diterapkan oleh hakim paling lama 12 tahun dan paling sedikit 4 tahun. Namun dalam putusannya hakim hanya menjatuhkan putusan penjara kepada terdakwa selama 4 (empat) tahun. Hal ini tentunya sangat tidak sesuai dengan rasa keadilan. Karena perbuatan terdakwa termasuk dalam kategori residivis sehingga seharusnya hakim menjatuhkan hukuman yang maksimal bukan minimal. Selain
menjatuhkan
sanksi
pidana
penjara,
hakim
juga
menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp. 800.000.000, (delapan ratus juta rupiah) sementara berdasarkan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa
hakim
dapat
menerapkan
denda
paling
banyak
Rp.
8.000.000.000.000,- dan paling sedikit Rp. 8.000.000.000. dalam perkara ini hakim hanya menerapkan sanksi denda yang paling sedikit. Sementara perbuatan terdakwa pada perkara ini dapat dikategorikan perbuatan pidana yang seharusnya dijatuhi sanksi maksimal, karena terdakwa masih dalam proses hukum, seharusnya hakim harus menjatuhkan pemidanaan dapat terpenuhi dengan baik. Selain itu denda sebesar Rp. 800.000.000, (delapan ratus juta rupiah) yang dijatuhkan oleh hakim dapat diganti dengan hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan, apabila ternyata terdakwa tidak sanggup membayar denda tersebut. Perbandingan sanksi yang
61
diberikan oleh hakim sangatlah tidak relevan. Tentunya jika kita memperhitungkan putusan hakim mengenai sanksi pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana diputus oleh hakim diatas, terdakwa akan memilih menjalani sanksi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dibanding harus membayar uang denda sebesar Rp. 800.000.000. (delapan ratus juta rupiah) Semestinya hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara pengganti denda yang lebih berat lagi. Agar terdakwa merasakan efek jerah terhadap perbuatan yang dilakukannya. Hal ini semestinya harus dilakukan oleh hakim sebagai wujud tercapainya tujuan pemidanaan yang baik. B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika pada Perkara Nomor 76/Pid.B/2012/PN.MKS. Kematangan pertimbangan hukum seseorang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan tidak terlepas dari peranan fakta-fakta serta alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan sesuai dengan perkara pidana Nomor 76/Pid.B/2012/PN.Mks,telah diperoleh faktafakta yang bersesuaian antara barang bukti kepemilikan atas 1sachet kristal bening jenis shabu-shabu seberat 0,0164 gram, 1 buah bong (alat penghisap shabu-shabu), 1 pipet warna putih, 1(satu) palstik warna bening, mengandung metamfetamina yang secara sah terbukti tanpa hak dan melawan hukum, menyimpan, memiliki dan menguasai
62
narkotika golongan I bukan tanaman. Hal ini di dukung dengan adanya pertimbangan yuridis bahwa terdakwa terbukti melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika serta dijerat hukuman pidana penjara 4 tahun dan denda sebesar 800 juta rupiah. Hal ini disesuaikan dengan rasa keadilan Majelis Hakim untuk menentukan berat atau ringannya suatu hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Dari hasil wawancara penulis dengan salh satu Hakim di Pengadilan Negeri Makassar yaitu Bapak Bontor Aroean, S.H.M.H.,beliau mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang dianggap memberatkan dan meringankan terdakwa yaitu: Hal yang memberatkan: 1. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan usaha pemerintah dalam pemberantasannya penyalahgunaan narkotika. 2. Terdakwa adalah residivis dalam perkara tindak pidana narkotika. Hal-hal yang meringannkan: 1. Terdakwa bersifat sopan dan mengaku terus terang sehingga mempermudah jalannya persidangan 2. Terdakwa mengaku bersalah dan menyesal dengan perbuatan yang telah di lakukan. Tindak pidana narkotika mengatur Straf Minimal dan Straf Maksimal berdasarkan fakta-fakta yang didapat di persidangan. Disesuaikan dengan berat maupun ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Selain itu faktor sosial serta dampak dari psikologis terdakwa dan pembatansan minimal menjadi dasar
63
dalam mempertimbangkan Majelis Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Penjatuhan pidana pokok secara bersamaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika yaitu pidana penjara dan pidana denda akan tetapi penjatuhan pidana denda yang di anggap besar serta hukuman pengganti yaitu pidana penjara yang lebih ringan, membuat terpidana lebih memilih untuk menjalani pidana pengganti yaitu pidana kurungan. Penulis berpendapat bahwa ketentuan dari Undang-Undang Narkotika hanya memberikan pilihan terhadap pelaku tindak pidana untuk memilih membayat denda atau menjalani kurungan tidak bisa dipaksakan karena kondisi dari pelaku yang masi memiliki tanggungan terhadap keluarganya. Implikasi sosiologi yang ditimbulkan akibat penerapan pidana pokok kumulasi apakah dinilai telah memberikan shock teraphy terhadap pelaku tindak pidana, sebab penerapan pidana pokok kumulasi yang diberikan terhadap pelaku ternyata mempengaruhi peningkatan kejahatan narkotika.
64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab sebelumnya, maka penulis dapat berkesimpulan bahwa : 1. Penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam perkara nomor 76/Pid.B/2012/PN.Mks, penulis telah sepakat dengan
apa
yang
diterapkan
oleh
majelis
hakim
yaitu
mengenakan sanksi pidana penjara dan denda sesuai dengan aturan sanksi yang diancamkan dalam Pasal 112 ayat (1) huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2. Dalam menjalankan putusan, menjadi pertimbangan hakim selain hal-hal yang meringankan maupun pemberatkan terdakwa, adalah fakta di persidangan yang terungkap tentang peristiwa yang terjadi dan di dasarkan pada tuntutan dari jaksa Penuntut Umum. Dalam perkara 76/Pid.B/2012/PN.Mks, hakim menjatuhkan putusan 4 (empat) tahun penjara dan denda Rp. 800 Juta sama seperti dengan tuntutan jaksa. Dalam hal ini, seorang hanya dapat memberi hukuman pidana yang hanya tertera / tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya berpatokan pada KUHP saja namun juga harus melihat pada unsur-unsur pidananya dalam UU Narkotika seperti yang di dakwakan Penuntut Umum dalam surat tututan.
65
B. Saran Sebagai
pelengkap
dalam
penulisan
ini,
maka
penulis
menyumbangkan beberapa pemikiran-pemikiran yang kemudian penulis tuangkan dalam bentuk saran yaitu : 1. Memang
penerapan
pidana
kumulasi
terhadap
pelaku
penyalahgunaan narkotika telah diterapkan dengan baik oleh Hakim Pengadilan Negeri Makassar, tetapi penerapan pidana denda yang begitu besar hanya diberikan pidana pengganti dari pidana denda tersebut tidaklah sebanding dengan jumlah denda yang dikenakan, sehingga banyak terpidana tidak membayar denda dan hanya menjalani pidana pengganti yang diberikan yaitu pidana kurungan yang hanya 1 atau 2 bulan kurungan, sehingga menurut penulis seharusnya kedepan hakim lebih memperhatikan pidana pengganti dari pidana denda tersebut. 2. Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika seharusnya tidak hanya satu atau dua tahun tetapi diberikan pidana penjara maksimal dari ketentuan yang disebutkan dalam Undangundang tindak pidana Narkotika, sehingga hal tersebut bisa membuat pelaku atau orang lain merasa jera atau takut melakukan tindak pidana narkotika.
66
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. __________________. 2008. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batasan Berlakunya Hukum Padana). Bagian 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelititan Hukum. Rajawali Pers: Mataram. Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Pradnya Paramita: Jakarta. ___________ dan Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Akademika Pressindo: Jakarta. Bahan Sosialisasi Undang-undang Psikotropika. 1998. Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Psikotropika. Pramuka Saka Bhayangkara: Jakarta. Bambang Poernomo. 1996. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Permasyarakatan. Liberti: Jogyakarta. Bambang sunggono. 2003. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Gatot Supramono. 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Djambatan: Jakarta. Hari Sasangka. 2003. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Mandar Maju: Bandung. Jeanne Mandagi dkk. 1996. Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Psikotropika. Kepolisian Republik Indonesia: Jakarta. Kamus Bahasa Inggris 1990. Jakarta: Balai Pustaka. M. Ridha Ma’roef. 1976. Narkotika Masalah dan Bahayanya. Marga Djaja: Jakarta. Njowito Hamdani. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
67
P.A.F. Lamintang. 1984. Hukum Penitensir Indonesia. Armico: Bandung. _______________. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. Pipin Syarifin. 2000. hukumPidana Indonesia. Pustaka Setia: Bandung. R.Abdoel Djamali. 2005Pengantar Hukum Indonesia. PT. Rja Grafindo Persada: Jakarta. R.
Soesilo. 1983. Kitab Undang-undang Penjelasannya. Politea: Bogor.
Hukum
Pidana
Serta
Roeslan Saleh. 1978. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana. Aksara: Jakarta. Simajuntak. B. 1981. Beberapa Aspek patologi Sosial. Alumni: Bandung. Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika, Dalam Kajian Sosialogi Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Sudarto. 1982. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni: Bandung. Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas Hukum Pidana Indonesia. Refika Aditama: Bandung. __________________.2003Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama: Bandung. Undang-undang : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (KUHP) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bacaan Lain : Harian “Fajar” Makassar Edisi 2 September 2001. Suara Bagi Pelaku Tindak Pidan Psikotropika. Harian “Suara Merdeka” Edisi 12 November 2003. Penegakan Hukum Setengah dalam Penanggulangan Obat-obat Terlarang. Kristanto. 17 Februari 2003. Jajak Pendapat Kompas. Hukum Mati Masih Ingin Dipertahankan. Kompas. Siswanto Sunarso. 2003. Mengkaji Kembali 5 tahun Berlakunya Hukum Psikotropika. Makalah. Jakarta.
68