BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dalam bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 5.1.1
Analisis keselarasan definisi/istilah yang dianut dalam penilaian.
1. Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2013 mengadopsi standar penllaian yang diterbitkan IVSC 2011, tetapi belum sepenuhnya diadopsi, Karena
ada
beberapa standar penilaian, penerapan, dan teknis yang masih menggunakan SPI 2007 yang masih mengacu pada standar yang diterbitkan IVSC tahun 2005. Adanya standar yang belum sepenuhnya dirubah menyesuaikan IVS tahun 2011 akan mengakibatkan belum siapnya Penilai Indonesia untuk menilai dalam tujuan Pelaporan Keuangan yang berpedoman PSAK yang berbasis IFRS. 2. Definisi Pendapatan Bersih. Pendapatan dikurangi pengeluaran, termasuk pajak dinilai kurang tepat, istilah Income lebih tepat digunakan Penghasilan bukan Pendapatan. 3. Penggunaan kata Kepemilikan Mayoritas (Majority Interest) kurang tepat, karena sesuai PSAK 1 revisi 2009 digunakan Pihak Pengendali. Hal ini disesuaikan dengan istilah pengendali (control). Entitas menyusun laporan keuangan jika memiliki kendali atau kontrol terhadap entitas lain (anak perusahaan), sehingga yang tidak memimiliki kontrol disebut kepentingan non pengendali. Pengendalian tidak identik dengan mayoritas, walaupun 180
181
biasanya pihak yang memiliki saham mayoritas menjadi pengendali. Dalam kondisi tertentu jika pihak mayoritas dibatasi haknya untuk melakukan kebijakan keuangan dan operasi maka entitas tersebut belum tentu menjadi pengendali. Sehingga istilah minoritas sebagai lawan mayoritas dirasakan kurang tepat. 4. HBU menggunakan istilah possible dalam definisinya sesuai IVS 2011, dan diterjemahkan dalam SPI 2013 dengan kata “paling mungkin”., sebaiknya diterjemahkan dengan kata “mungkin/mentak”, Kata paling mungkin berarti ada yang diperbandingkan, padahal tidak ada yang dibandingkan. 5.1.2 1.
Analisis keselarasan definisi/istilah yang dianut dalam akuntansi.
Penggunaan kata “Biaya” untuk menerjemahkan cost dinilai kurang tepat, akan lebih tepat digunakan kata “Kos” (Suwardjono, 1991) dengan alasan sebagai berikut. a.
Cost merupakan pengukur dalam unit moneter suatu sumber ekonomik yang digunakan atau dikorbankan untuk tujuan tertentu. Walaupun cost sering disebut sebagai pengorbanan, yang dikorbankan sebenarnya adalah sumber ekonomik baik fisik maupun non fisik dan cost hanyalah sebagai pengukur secara kwantitatif dalam satuan unit moneter.
b.
Cost dinyatakan dalam unit moneter khususnya dalam kerangka akuntansi sebagai penyedia informasi kwantitatif. Cost mengukur seberapa banyak atau besar penggunaan sumber ekonomik dalam unit moneter untuk tujuan tertentu. Cost dapat dikatakan sebagai pengukur dalam unit moneter.
c. Pengukuran cost selalu dihubungkan dengan suatu fokus atau objek atau
182
dengan tujuan atau dengan perhatian. Fokus atau objek ini dikenal secara teknis sebagai cost object atau cost objective. Dari segi akuntansi, sebenarnya bukan cost itu sendiri yang mempunyai arti penting akan tetapi justru jasa yang ada di balik angka cost yang termuat dalam akun yang mempunyai arti penting. d.
Secara fisik, kesatuan usaha menguasai dan mengelola sumber ekonomik yang disebut aset. Secara akuntansi, sumber ekonomik dan perubahannya direpresentasikan dalam bentuk unit moneter. Unit moneter di sini adalah hasil pengukuran yang ditentukan pada saat transaksi pemerolehan sumber ekonomik tersebut dan didasarkan pada harga pertukaran. Kesepakatan harga pertukaran akan menciptakan data yang akan dicatat dalam sistem akuntansi. Data hasil pengukuran yang telah dicatat tersebut disebut dengan cost dan merupakan pengukur sumber ekonomik pada saat terjadinya atau diperolehnya.
e. Sebagai dasar pengukuran, cost tidak mempunyai konotasi sebagai sesuatu hal yang negatif (mengurangi) atau merugikan atau sesuatu yang jelek. Kesan seperti ini akan menghalangi atau mengacaukan pemahaman makna cost. 2.
Definisi Nilai Wajar dalam PSAK ternyata tidak konsisten, tidak seperti IAS dan IFRS. Kekurang tepatan dalam menerjemahkan definisi dalam PSAK terdapat dalam definisi sebagai berikut. a.
“Arm’s length transaction” menurut IAS 40 “arm’s length transaction” lebih tepat diterjemahkan dalam PSAK sebagai transaksi dengan pihak tidak terafiliasi. Jika diterjemahkan sebagai transaksi wajar maka terdapat
183
2 (dua) variabel yang saling berhubungan. Dalam satu sisi nilai wajar didefinisikan, tetapi di sisi lain mengacu transaksi wajar, sehingga ada kata wajar yang belum dijelaskan dalam definisi tersebut. b.
Kata knowledgeable parties diterjemahkan sebagai pihak yang mengerti. Terjemahan ini akan lebih tepat jika digunakan kata memiliki pengetahuan
memadai
daripada
kata
mengerti.
Kata
could
be
diterjemahkan mungkin, could be lebih tepat diterjemahkan sebagai dapat daripada mungkin. c.
Kata exchanged diterjemahkan sebagai ditukar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ditukar berarti diganti, sedangkan kata dipertukarkan berarti memberikan sesuatu supaya diganti dengan yang lain.
d.
The amount diterjemahkan nilai, sementara dalam PSAK yang lainnya diterjemahkan sebagai suatu jumlah atau jumlah. Merujuk ke kamus bahasa Inggris mengartikan amount sebagai sejumlah uang bukan nilai, karena nilai adalah terjemahan dari value.
e.
Dalam PSAK No 22 (revisi 2010) tentang Kombinasi Bisnis tidak mencantumkan kewajiban diselesaikan, padahal dalam definisinya IFRS 3 dengan jelas menyatakan liability settled.
5.1.3
Analisis konsep dasar penilaian antara IFRS, IVS dan SPI Definisi Nilai Wajar sesuai PSAK dan IFRS tidak setara dengan definisi
Nilai Wajar dalam SPI 2013 dan IVS 2011. Nilai pasar dalam IVS setara dengan nilai wajar dalam IFRS 13; sehingga dalam aplikasinya IVS memilih lebih menggunakan cara penilaian yang dianut dalam IFRS 13. Nilai Pasar dalam SPI
184
2013/IVS dapat dikatakan setara dengan Nilai Wajar dalam PSAK/IFRS. 5.1.4
Analisis perbedaan pengukuran nilai wajar antara penilaian dan akuntansi Definisi yang masih belum konsisten yang dianut dalam PSAK
menyebabkan pengukuran nilai wajar menurut PSAK juga tidak konsisten dengan definisinya. SPI 2013 masih belum sepenuhnya mengadopsi IVS 2011, standar pelaksanaan dan teknisnya masih ada yang mengacu pada SPI 2007. Akibatnya, pengukuran nilai wajar masih belum selaras dengan standar umum SPI 2013. Definisi yang masih keliru dalam PSAK perlu direvisi sehingga dalam implementasi ke SPI 2013 dapat dilakukan dengan baik. Dari
sudut
probabilitas,
probable
yang
dianut
IAS
16
dalam
mendefinisikan cost of an item of property mempunyai rerata probabilitas minimal sebesar 74 persen lebih besar daripada possible yang dianut dalam IVS 2011/SPI 2013 yang rerata probabilitasnya minimal sebesar 54 persen (Teixeira dan Silvia, 2009: 66). Adanya perbedaan ini mengakibatkan nilai HBU yang dihasilkan berdasarkan SPI 2013/IVS 2011 pada saat berada pada range probabilitas sama dengan atau di atas 54 persen sampai dengan 73,99 persen, akan ditolak jika nilai HBU tersebut diterapkan pada PSAK atau IAS yang menganut probable, karena probabilitas minimal yang ditolelir sebesar 74 persen. 5.1.5
Analisis konsep dasar penilaian agar selaras dengan SAK
untuk
penyajian nilai wajar dalam laporan keuangan 1. SPI 2013 yang baru merevisi standar umum menyebabkan belum sepenuhnya konsep dasar penilaian dapat digunakan dalam penyajian nilai wajar dalam laporan keuangan, beberapa standar pelaksanaan dan teknis
masih
185
menggunakan SPI 2007 padahal secara konseptual SPI 2013 sangat berbeda dengan SPI 2007. Standar umum dalam SPI 2013 masih belum diikuti standar pelaksanaan dan teknis. 2. Belum adanya Kerangka Kerja Konsep dan Prinsip Penilaian Indonesia yang berlandaskan ideologi Pancasila dan UUD 45; standar SPI, panduan IVSC dan peraturan lainnya yang dapat menjadi acuan dalam landasan praktik Penilai di Indonesia, berakibat penyusunan standar penilaian di Indonesia belum terarah dengan baik.
5.2 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap SPI 2013 dan standar pelaksanaan dan teknis yang masih menggunakan SPI 2007. Sampai dengan akhir penelitian ini, standar pelaksanaan dan teknis SPI 2013 untuk beberapa materi belum diterbitkan MAPPI. Akibatnya, analisis yang dilakukan terbatas pada SPI 2013 dan standar dalam SPI 2007 yang masih berlaku dan beberapa standar pelaksanaan dan teknis yang mengacu penuh pada SPI 2013 belum diterbitkan MAPPI. SPI 2013 yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang masih dalam desiminasi oleh MAPPI. PSAK-PSAK yang digunakan sebagai bahan penelitian ini merupakan PSAK-PSAK yang diterbitkan per 1 Juni 2012, Exposure Draft PSAK
68
Pengukuran Nilai Wajar sampai dengan akhir penelitian ini masih berupa draft, sehingga dalam penelitian ini tidak dimasukkan sebagai bahan penelitian, hanya digunakan sebagai pembanding dengan IFRS 13. Materi yang dibahas dalam penelitian ini adalah materi yang digunakan dalam SPI dan PSAK dalam kaitannya dengan konsep dasar penilaian bisnis.
186
5.3 Saran-Saran Saran-saran yang dapat disampaikan kepada MAPPI dan IAI sebagai berikut. 5.3.1
Analisis keselarasan definisi/istilah yang dianut dalam penilaian.
1. Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2013 mengadopsi standar penllaian yang dikeluarkan IVSC 2011, supaya dapat mengacu penuh terhadap IVS 2011 maka beberapa standar penilaian – penerapan dan teknis yang masih menggunakan SPI 2007 yang masih mengacu pada standar yang dikeluarkan IVSC tahun 2005 perlu direvisi segera Sebaiknya pada saat dikeluarkan standar umum yang baru, standar pelaksanaan dan teknis yang sesuai dengan standar umum tersebut perlu direvisi dan jika diperlukan standar baru, maka standar baru tersebut diterbitkan bersamaan dengan standar umumnya. 2. Definisi Pendapatan Bersih. Pendapatan dikurangi pengeluaran, termasuk pajak dinilai kurang tepat perlu direvisi, istilah Income lebih tepat digunakan Penghasilan bukan Pendapatan. 3. Penggunaan kata Kepemilikan Mayoritas (Majority Interest) yang kurang tepat, karena sesuai PSAK 1 revisi 2009 digunakan Pihak Pengendali perlu dilakukan revisi. 4. HBU menggunakan istilah possible dalam definisinya sesuai IVS 2011, dan diterjemahkan dalam SPI 2013 dengan kata “paling mungkin”., sebaiknya diterjemahkan dengan kata “mungkin/mentak”, Kata paling mungkin berarti ada yang diperbandingkan, padahal tidak ada yang dibandingkan.
187
5.3.2 1.
Analisis keselarasan definisi/istilah yang dianut dalam akuntansi
Penggunaan kata “Biaya” untuk menerjemahkan cost dinilai kurang tepat, akan lebih tepat digunakan kata “Kos” (Suwardjono, 1991).
2.
Definisi Nilai Wajar dalam PSAK ternyata tidak konsisten, tidak seperti IAS dan IFRS. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk mengharmonisasikan definisi nilai wajar dalam PSAK sehingga terbebas dari salah penerjemahan dan salah interpretasi yang pada akhirnya diharapkan agar sesuai dengan definisi IAS/IFRS yang menjadi acuan PSAK.
5.3.3 Analisis konsep dasar penilaian antara IFRS, IVS dan SPI Definisi Nilai Wajar sesuai PSAK dan IFRS tidak setara dengan definisi Nilai Wajar dalam SPI 2013 dan IVS 2011. Nilai pasar dalam IVS setara dengan nilai wajar dalam IFRS 13; sehingga dalam aplikasinya IVS memilih lebih menggunakan cara penilaian yang dianut dalam IFRS 13. Nilai Pasar dalam SPI 2013/IVS dapat dikatakan setara dengan Nilai Wajar dalam PSAK/IFRS. Pendefinisian nilai wajar dalam PSAK yang tidak konsisten tersebut perlu dilakukan. 1. Harmonisasi definisi nilai wajar agar selaras dan konsisten antar PSAK 2. Sejalan dengan IFRS 13, maka MAPPI dan IAI sebagai badan penyusun standar penilaian dan akuntansi perlu melakukan suatu standarisasi bersama untuk nilai wajar dan pengukurannya khusus untuk pelaporan keuangan, untuk mendapatkan persepsi yang sama tentang nilai wajar. 5.3.4
Analisis perbedaan pengukuran nilai wajar antara penilaian dan akuntansi Definisi yang masih belum konsisten yang dianut dalam PSAK
188
menyebabkan pengukuran nilai wajar menurut PSAK juga tidak konsisten dengan definisinya. SPI 2013 masih belum sepenuhnya mengadopsi IVS 2011, standar pelaksanaan dan teknisnya masih ada yang mengacu pada SPI 2007. Akibatnya, pengukuran nilai wajar masih belum selaras dengan standar umum SPI 2013. Definisi yang masih keliru dalam PSAK perlu direvisi/diharmonisasi sehingga dalam implementasi ke SPI 2013 dapat dilakukan dengan baik. Istilah probable dianut dalam IAS 16, sedangkan possible digunakan dalam SPI 2013/IVS 2011. Perbedaan istilah ini mengakibatkan nilai HBU yang dihasilkan berdasarkan SPI 2013/IVS 2011 pada saat berada pada range probabilitas sama dengan atau di atas 54 persen sampai dengan 73,99 persen, akan ditolak jika nilai HBU tersebut diterapkan pada PSAK atau IAS. Perbedaan istilah ini perlu diharmonisasi untuk tujuan pelaporan keuangan, sehingga terdapat kesamaan nilai probabilitas pada saat mengacu pada PSAK/IAS dan SPI/IVS. 5.3.5
Analisis konsep dasar penilaian agar selaras dengan SAK
untuk
penyajian nilai wajar dalam laporan keuangan 1. SPI 2013 sebaiknya pada saat direvisi standar umumnya, juga dilakukan revisi seluruh standar baik standar pelaksanaan maupun teknis sehingga sesuai dengan acuan standar dalam IVS 2011; 2. Perlu dikembangkan Kerangka Kerja Konsep dan Prinsip Penilaian Indonesia yang berlandaskan ideologi Pancasila dan UUD 45; standar SPI, panduan IVSC dan peraturan
lainnya yang dapat menjadi acuan dalam landasan
praktik penilai di Indonesia, sehingga penyusunan standar penilaian di Indonesia terarah dan dapat dikembangkan dengan baik.