BAB II ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTI DUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA DALAM MENENTUKAN NILAI NORMAL (NORMAL VALUE) DALAM HAL TERJADINYA DUGAAN PRAKTEK DUMPING A. Konsepsi Dumping dan Antidumping 1. Definisi Dumping Istilah dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional adalah praktik dagang yang dilakukan oleh pengekspor dengan menjual komoditi di pasar internasional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut dinegerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 77 Menurut Black’s Laws Dictionary, pengertian dumping dinyatakan sebagai berikut, “The act of selling in quantity at very low price or practically regardless of the price; also selling good abroad at less than the market price at home”. 78 Dari pengertian diatas dapat didefinisikan bahwa dumping merupakan suatu tindakan menjual suatu barang ke pasar
77
A F. Erawati dan J.S Badudu. Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia (Jakarta: Proyek Elips, 1996) hal.37. 78 Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionary, Abridge 6th Ed (United States: West Group, 1998) hal.347 45
luar negeri dengan harga yang sangat murah dibandingkan dengan di pasar dalam negerinya. 79 Menurut pasal VI ayat (1) GATT 1947 (Article VI GATT: Antidumping and Countervailing Duties) diuraikan pengertian dumping, yaitu: “The contracting parties recognize that dumping, by which product of one country are introduced into the commerce of another country at less than normal value of the products, is to be condemned if it cause or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purpose of this article, a product is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less than its normal value, if the price of the product exported from one country to another” 1. Is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country or 2. In the absence of such domestic price, is less than either (i) the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary of trade or (ii) the cost of production of the product in the country of origin plus reasonable addition for selling cost and profit. 80 Kemudian Article VI GATT/WTO di sempurnakan pada tahun 1994 yang dituangkan dalam article 2 Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI dari GATT 1994 yaitu sebagai berikut: For the purpose of this agreement, a product is to be considered as being dumped, i.e.introduced into the commerce of another country at less than its normal value,if the export price of the product exported from one country to another is less than the
79
Diterjemahkan secara bebas dan dianalisis berdasarkan metode penerjemahan secara harfiah (Literal Meaning). Dimana menurut Drs. M. Rudolf Nababan, M.Ed dalam bukunya Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan (Jakarta, 1997) Hal. 22-23 ”Penerjemahan Harfiah (literal translation) terletak antara penerjemahan kata demi kata dan penerjemahan bebas. Penerjemahan harfiah mungkin mulamula dilakukan seperti penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemah kemudian menyesuaikan susunan kata dalam kalimat terjemahannya yang sesuai dengan susunan kata dalam kalimat bahasa sasaran.” 80 Agreement of implementation of article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade 1947 dalam Christophorus Barutu, Op.cit., hal. 40
comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country. Pasal VI ayat (1) GATT 1947 di atas memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil, baik terhadap industri yang sudah berdiri (to an established industry) maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik (the establishment of a domestic industry).
81
sedangkan definisi dumping menurut Article VI GATT/WTO di sempurnakan pada tahun 1994 yang dituangkan dalam Article 2 Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI dari GATT 1994 menjelaskan bahwa suatu barang dianggap dumping apabila harga barang yang diperdagangakan dari suatu negara ke wilayah negara lain lebih rendah di bandingkan nilai normal di negara tersebut, pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan untuk dikonsumsi di negara pengimpor. 82 Adapun beberapa pengertian dumping sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam Sukarmi adalah: 83 1. Dumping adalah sistem penjualan barang dipasaran dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian didalam negeri
81
Taryana Sukandar, Perkembangan Hukum Internasional dari GATT 1947 Sampai terbentuknya WTO (World Trade Organization), Penulisan karya Ilmiah, Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1995/1996, hal. 49). 82 Christophorus Barutu, Op.cit., hal. 46-47 83 Sukarmi. Op.cit., 24-25
tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali. 84 2. Secara umum, dumping adalah bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah dipasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. 85 3. Menurut Muhammad Ashri, dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga. 86 4. Menurut Folsom dikatakan : “Dumping involves selling abroad at a price that is less than the price used to sell the same goods at home (the normal or fair value). To be unlowfull, dumping must threaten or cause material injury to an industry in the market, the market where prices are lower. Dumping is recognized by most of the trading world as an unfair practice (again to price discrimination as an antitrust offense” 87
Dari definisi yang dikemukakan oleh Folsom dapat dikatakan bahwa “dumping ialah menjual suatu produk yang sejenis ke pasar luar negeri pada harga yang lebih murah dari harga yang biasanya dijual di dalam negeri negara pengimpor (harga normal atau nilai 84
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Sukarmi. Op.cit., hal. 24 Agus Brotosusilo dalam Sukarmi. Ibid., hal. 25 86 Muhammad Ashri dalam Sukarmi. Ibid., hal. 25 87 Ralph H Folsom and Michael W. Gordon dalam Sukarmi. Ibid.,hal. 25 85
wajar). Pada dasarnya dumping menyebabkan kerugian atau menyebabkan kerugian secara materiil pada industri dalam negeri pengimpor, praktik dumping ini dikenal sebagai praktik perdagangan tidak adil (terjadinya diskriminasi harga).” Menurut pendapat seorang ahli ekonomi asal Amerika mendefinisikan dumping : “….the supposed act of dumping involves foreign firms’ setting of prices in their export market either below their cost of production, or below the prices they charge in their own markets; it would be another instance of so-called predatory pricing. Similar to what was described above, the theory is that foreign firms would dump their products on the U.S. market at below-market prices, and therefore gain increased market share and drive their competitors out of business. These predatory firms would then raise their prices to recoup the losses they incurred and would gouge American consumers by forcing them to pay whatever price they asked.” 88 Dumping ialah tindakan yang dilakukan oleh produsen luar negeri dengan menjual suatu barang dengan harga di bawah harga produksi, atau menjual suatu produk lebih murah di bandingkan dengan di negaranya sendiri; atau dengan kata lain dumping ini dapat di definisikan sebagai menjual rugi. Hal ini sama dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, tindakan dumping ini ialah tindakan yang dilakukan oleh produsen luar negeri dengan menjual barang dengan harga di bawah biaya produksi atau dengan harga murah ke pasar industri Amerika, dengan tujuan untuk merebut pasar dan membuat para pesaingnya keluar dari arena persaingan kemudian setelah tidak ada kompetitor yang lain maka produsen luar negeri ini akan meningkatkan harga sesuai dengan kerugian yang mereka derita sebelumnya dengan melakukan tindakan menjual rugi tersebut. Berdasarkan beberapa definisi yang di kemukakan oleh para ahli diatas maka dapat 88
Kel Kelly. The Case for Legalizing Capitalsm (Auburn Alabama: Ludwig Von Misses Institute under the Craeative Commons Attribution License 3.0, 2010) hal.182
ditarik kesimpulan bahwa dumping merupakan tindakan yang dilakukan oleh produsen luar negeri dengan menjual suatu barang dengan harga di bawah harga produksi, atau menjual suatu produk lebih murah di bandingkan dengan di negaranya sendiri atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 2. Jenis Jenis Dumping Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, suatu barang yang diekspor ke negara lain di mana harga ekspornya lebih rendah dari nilai normalnya, atau harga domestik negara pengekspor, maka barang tesebut dianggap sebagai barang dumping. Tujuannya adalah agar pengusaha dapat merebut konsumen sebanyak banyaknya, maka pengusaha menempuh strategi persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lain. Praktik dumping dalam perdagangan internasional merupakan praktik dagang yang tidak fair yang dipandang sebagai persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Para ahli ekonomi pada umumnya mengklasifikasikan dumping dalam tiga kategori, yaitu masing masing: dumping yang bersifat sporadic (sporadic dumping), dumping yang menetap (persistent dumping) dumping yang bersifat merusak (predatory dumping) di samping itu, dalam perkembangannya, muncul istilah diversionary dumping dan downstream dumping. 89 Adapun klasifikasi dumping tersebut adalah sebagai berikut:
89
Sukarmi, Op.cit., hal. 40
a) Sporadic dumping Ada beberapa definisi menurut beberapa pendapat ahli mengenai definisi sporadic dumping salah satu diantaranya: Sporadic dumping adalah dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri (pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek dengan harga di bawah harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya produksi barang tersebut. biasanya produsen menjual barang untuk jangka waktu yang pendek dengan harga jual di bawah harga biasa, sering dimaksudkan untuk menghapuskan barang yang tidak diinginkan. 90 Seorang ahli ekonomi yang bernama Bertil Ohlin, memberikan pengertian mengenai definisi Sporadic dumping ……“there are various types of dumping, widely different in character and effects. Dumping may be resorted to sporadically when a firm or an industry suffers from temporary over-production or an unusually large surplus capacity. This may have resulted from unusually large surplus capacity. Or may recur periodically in periods of depressions.” 91 Dari definisi yang di kemukakan oleh Bertil Ohlin yang telah disebutkan diatas bahwa ada bermacam macam tipe dumping, yang dapat di kategorikan kedalam dampak dan jenisnya, sporadic dumping merupakan penjualan barang dengan harga yang lebih rendah di pasar luar negeri yang dilakukan oleh produsen yang memperoleh keuntungan karena terjadi over produksi dan untuk mencegah terjadinya penumpukan barang di pasar domestik, produsen
90
Sukarmi, Loc.cit., hal.40 Bertil Ohlin, Interregional and International Trade, (United States of America: Harvard Univesity Press, 1957) hal.287-288 91
menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negeri dengan harga yang telah direduksi, sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga di dalam negeri. Menurut Dennis R. Appleyard dan Alfred J. Field, JR. dalam teorinya mengemukakan . 92 “Sporadic dumping occurs when a foreign producer (or government) with a temporary surplus of a good export the excess for whatever price it will command. This type of dumping may have temporary adverse effect on competing home suppliers (as in agriculture) by adding to the risk of operating in the industry. These risk, as well as the welfare losses from possible temporary resource movement, can be avoided by the imposition of protection, although other welfare impact (also applicable in predatory dumping) should be brought into the analysis when considering trade restriction. However, sporadic dumping does not seem to justify protection when its is short-term” Dalam hal ini Sporadic dumping yang dikemukakan oleh Dennis R. Appleyard dan Alfred J. Field, JR. merupakan suatu tindakan dumping yang terjadi ketika seorang produsen (atau pemerintah) mencari keuntungan dari menjual barang yang kelebihan produksi dengan harga yang lebih rendah dalam tempo waktu yang sementara. Dumping jenis ini dapat merugikan industri dalam negeri negara pengimpor (seperti halnya produk produk pertanian) dimana dumping tersebut di praktekkan dengan tujuan untuk menghilangkan para pesaingnya, biasanya dumping jenis ini hanya bersifat sementara. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa sporadic dumping merupakan tindakan dumping yang dilakukan oleh produsen negara pengekspor dengan melakukan penjualan barang dengan harga yang lebih rendah di pasar luar negeri yang 92
Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR, International Economics: Trade Theory and PolicySecond edition, (United States of America: Irwin, 1995) hal. 283
dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan karena terjadi over produksi dan untuk mencegah terjadinya penumpukan barang di pasar domestik, produsen menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negri dengan harga yang telah direduksi, sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga di dalam negeri dan dumping jenis ini bersifat sementara dengan tujuan untuk menghilangkan para pesaingnya. b) Persistent dumping Adapun beberapa definisi menurut pendapat para ahli berkenaan dengan istilah Persistent dumping salah satu diantaranya: Persistent dumping atau disebut juga diskriminasi harga internasional adalah penjualan barang ke pasar luar negeri dengan harga dibawah harga domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan sebelumnya.
93
Pada dasarnya dumping jenis ini hanya
menguntungkan konsumen negara pengimpornya dan bersaing dengan produk impor lain. 94 Dennis R. Appleyard dan Alfred J. Field, JR. dalam teorinya mengemukakan : “in persistent dumping, the good is countinually sold at a lower price in the importing country than in the home country. This situation is one in which the good is simply another import sold under profit-maximizing conditions. Any trade barrier would result in higher prices for consumer in the importing country. (this behavior could not persist in the long run under the “selling below cost” definition because of producer losses, unless government provided a subsidy).” 95
93
Sukarmi, Op.cit., hal. 41 Muhammad Sood, Op. cit., hal 122 95 Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR, Op.cit., hal. 283 94
Menurut definisi yang di kemukakan diatas dapat di jelaskan bahwa dalam persistent dumping, suatu produk di jual secara terus menerus dengan harga murah di pasar luar negeri dari pada di pasar dalam negerinya. Situasi ini merupakan salah satu penjualan barang dengan tidak mengutamakan keuntungan. Banyaknya hambatan dalam perdagangan akan membuat produk yang dijual menjadi lebih mahal di pasar luar negeri (persistent dumping ini di lakukan oleh seorang produsen yang menjual suatu produk ke negeri lain diluar pasar domestiknya secara terus menerus dengan “harga dibawah biaya produksi” hal ini disebabkan karena produsen tersebut mendapatkan subsidi dari pemerintah di negaranya). 96 Berdasarkan definisi dari beberapa pendapat ahli tersebut dumping jenis ini dilakukan oleh produsen barang dengan melakukan dumping secara terus menerus dengan harga di bawah harga biaya produksi dengan tidak mengutamakan keuntungan. Hal ini disebabkan karena produsen tersebut mendapatkan subsidi dari pemerintah di negaranya sehingga produk yang di jual menjadi lebih murah. Pada dasarnya dumping jenis ini hanya menguntungkan konsumen negara pengimpornya dan bersaing dengan produk impor lain. c) Predatory dumping Ada beberapa definisi menurut beberapa pendapat ahli mengenai definisi Predatory dumping salah satu diantaranya adalah:
96
Diterjemahkan oleh Penulis secara bebas dan dianalisis berdasarkan metode penerjemahan secara harfiah (Literal Meaning).
Menurut Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR menyatakan bahwa “in predatory dumping, a foreign firm sells at a low price until home producers are driven out of the market; then the price is raised because a monopoly position has been established.” 97 Dari pernyataan diatas dapat di katakan bahwa istilah predatory dumping menurut Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR ialah perusahaan pengekspor menjual suatu produk ke pasar luar negeri pada harga yang lebih rendah sehingga industri dalam negeri negara pengimpor tidak dapat bertahan; kemudian harga di naikkan karena produsen telah memonopoli pasar. Predatory dumping terjadi apabila suatu perusahaan untuk sementara waktu membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli asing. Diskriminasi itu untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian menaikkan lagi harga barangnya setelah persaingan tidak ada lagi. 98 Predatory dumping sering di praktekkan hanya untuk tujuan merebut keuntungan monopoli dan membatasi perdangangan untuk jangka waktu yang lama, meskipun hal itu menyebabkan kerugian jangka pendek.
99
Predatory dumping terjadi apabila suatu perusahaan melakukan diskriminasi harga dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga di naikkan kembali. 100
97
Ibid., hal. 283 Sukarmi,Op.cit., hal.41 99 Sobri, Ekonomi internasional:Teori, Masalah dan Kebijaksanaannya, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi (BPFE) UII, 1986) hal.91 100 H.A.S Natabaya, Penelitian Hukum Tentang Aspek Hukum Antidumping dan Implikasinya Bagi Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI,1996) hal.9 98
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa predatory dumping ialah perusahaan pengekspor menjual suatu produk pada harga yang lebih rendah dengan cara membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli asing. Diskriminasi harga itu bertujuan untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya sebagai akibat dari dilakukannya predatory dumping tersebut industri dalam negeri pengimpor tidak dapat bertahan dan kemudian menaikkan lagi harga barangnya setelah persaingan tidak ada lagi dan perusahaan tersebut telah memonopoli pasar. d) Diversinary dumping Diversionary dumping adalah dumping yang dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar negara ketiga dengan harga dibawah yang adil dan barang tersebut nantinya di proses dan dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain. 101 e) Downstream dumping Downstreem dumping adalah dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya dengan harga di bawah normal kepada produsen yang lain di dalam pasar negerinya dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke pasar negara lain 102 Sedangkan menurut Robert Willig, mantan Kepala Ahli Ekonomi pada Divisi Antitrust Departemen Hukum Amerika Serikat, mengklasifikasikan dumping menjadi lima
101 102
Sukarmi, Op. cit., hal. 42 Ibid., hal. 42
berdasarkan tujuan pengekspor, kekuatan pasar dan struktur pasar impor. Kelima tipe dumping tersebut, adalah: 103 a) Market Expansion Dumping Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan harga yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. b) Cyclical Dumping Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait. c) State Trading Dumping Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi. d) Strategic Dumping Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing. e) Predatory Dumping Istilah Predatory Dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping kenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.
3. Unsur – Unsur Dumping Menurut Sukarmi unsur unsur dumping terdiri dari tiga unsur, dimana masing masing unsur dapat dilihat dari uraian berikut: 104 1. Suatu produk dijual di negara lain dibawah nilai normal. Yang dimaksud dengan nilai normal adalah sebagai berikut. a) Harga dari produk serupa (like product) di pasar dalam negeri negara pengekspor. Dalam hal ini perbandingan harus dilakukan berdasarkan
103
Robert Willig dalam Mohammad Sood, Op. cit., hal. 121
104
Sukarmi, Op.cit., hal 27
perhitungan Ex Factory (harga di luar pabrik) dari penjualan dalam negri dengan perhitungan Ex Factory Price dari penjualan ekspor. b) Bilamana tidak ada harga dalam negeri yang dapat di perbandingkan di negara pengekspor, maka harga normal adalah: Ex Factory Price yang berasal dari perhitungan harga produk serupa dari negara tersebut yang diekspor ke negara ketiga. c) Ongkos produksi dinegara asal ditambah biaya administrasi, biaya pemasaran, dan keuntungan normal adalah dengan menggunakan definisi nomor 1 a., namun bilamana penjualan dalam negeri dinegara pengekspor sangat kecil (jarang) atau harga dalam negeri tidak relevan, umpamanya produk tersebut dijual oleh perusahaan negara di negara yang menganut non market economy dapat menggunakan definisi nomor 1b, atau nomor 1c. 2. Apabila barang impor yang masuk dengan harga dumping tersebut menyebabkan injury (kerugian) bagi industri dalam negeri. 3. Ada Causal Link (hubungan) antara dumping yang dilakukan dengan akibat injury yang terjadi Ketiga unsur di atas ditegaskan juga di dalam Article 5.2 Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement on Tarifs and Trade 1994(AntiDumping Agreement/ADA) yang berisikan sebagai berikut: “An application under paragraph 1 shall include evidence of (a)dumping,(b) injure within the meaning of Article VI of GATT 1994 as interpreted by this agreement, and (c) a causal link between the dumped imports and the alleged injury.Simple assertion......” 105 Sejalan dengan pengertian diatas unsur-unsur dumping juga dapat di lihat melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 tahun 2011 Bab II Tindakan Antidumping Bagian Kedua Penyelidikan Pasal 4 (4) menyatakan bahwa Permohonan sebagaimana di maksud pada ayat (1) harus memuat bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya: 106
105
Agreement of Impelementation of Article VI of The General Agreement on Tariffs and Trade 1994, Article 5.2 Initiation and Subsequent Investigation, Hal. 10. 106 PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Bab 2 Pasal 4 (4)
a. Barang Dumping; b. Kerugian; dan c. Hubungan sebab akibat antara barang dumping dan kerugian yang dialami oleh pemohon. Unsur unsur dumping tersebut dapat juga di lihat dari kebijakan mengenai Antidumping di negara Filipina yang dapat dilihat melalui Administrative Order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 yang berisikan tentang unsur unsur dumping yaitu: Section 10 : Formal Investigation by the Commision (b) The commision shall conduct the formal Investigation to determine the following: 107 1. If the domestic product is identical or alike in all respect to the allegedly dumped product, or in absence of the former, another product which, although not alike in all respects, has characteristics closely resembling those of the allegedly dumped product. 2. If the alegedly dumped product is being imported into, or sold in the philipines at a price less than its normal value and the difference, if any, between the export price an the normal value; 3. The presence and extent of material injury or the threat thereof to the domestic industry, or the material retardation of the establishment of a domestic industry producing the like product; 4. The existence of a causal relationship between the allegedly dumped product and the material injury or threat of material injury to the affected domestic industry, or the material retardation of the establishment of a domestic industry producing the like product; Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa unsur unsur dumping menurut Administrative Order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of 107
Administrative Order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 Section 10 , Hal. 23
an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 The Commision dapat melakukan penyelidikan atas barang dumping berdasarkan: 1. Jika produk industri dalam negeri adalah produk sejenis atau sama dalam keseluruhan dengan produk yang di duga dumping, atau produk yang sama secara fisik dan karakteristik dengan produk yang diduga dumping. 2. Suatu produk yang di import ke negara ketiga atau di jual di negara Filipina dengan harga kurang dari harga normal dan perbandingan harga antara harga ekspor dan nilai normal. 3.Adanya kerugian materiel atau ancaman kerugian yang diderita oleh industri dalam negeri, atau yang dapat menghambat perkembangan industri dalam negeri untuk produk sejenis; 4. Adanya hubungan sebab akibat dari produk yang di duga dumping dengan kerugian materil yang diderita industri dalam negeri, atau yang menyebabkan hambatan industri dalam negeri dalam memproduksi produk sejenis. Berdasarkan ketentuan di atas bahwa untuk menentukan adanya dumping menurut ketentuan Administrative order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 terdapat 4 unsur dalam menentukan adanya dumping yaitu produk sejenis, adanya dumping yang dapat dilihat dari penjualan suatu produk dengan harga kurang dari harga normal, kerugian
materil, dan adanya hubungan sebab akibat antara produk yang di duga dumping dengan kerugian materil yang di derita oleh industri dalam negeri. Dari uraian penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya unsur unsur dumping itu dapat dilihat dari tiga unsur yaitu Pertama, dumping yang dilakukan oleh suatu negara dengan menjual suatu produk dengan harga dibawah nilai normal. Kedua, tindakan dumping yang dianggap dapat menyebabkan kerugian materiil “material injury” terhadap industri dalam negeri importir (domestic industry). Ketiga, hubungan sebab akibat antara dumping dengan kerugian materil yang di derita oleh suatu negara. 4. Definisi Antidumping Ada beberapa pendapat para ahli mengenai definisi Antidumping adalah sebagai berikut: Antidumping adalah suatu tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan dumping. 108 Pendapat lain menyebutkan bahwa Antidumping adalah jika suatu perusahaan di luar negeri menjual produk-produknya kenegara lain dengan harga dumping dan menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri negara pengimpor, maka negara pengimpor tersebut dibenarkan mengenakan bea masuk Antidumping sebesar margin dumpingnya. 109 Menurut Alan Oxley seorang ahli ekonomi asal Amerika menyatakan bahwa : “the lawyer’s favourite. This is the area of GATT law in which the professionals brings the full processes and expense of the law to bear. If after investigation an import is found to be selling below its domestic price and damaging industry in the importing country, the authorities may levy an antidumping duty. The greatest 108 109
Muhammad Sood, Op. cit., hal. 117 Christophorus Barutu, Op.cit., hal. 163
incident of Antidumping investigations and penalties is found in the United States, The European Community, Canada, and Australia.” 110 Pengertian yang telah disebutkan di atas dapat di defnisikan apabila setelah pemeriksaan telah dilakukan dan produk import tersebut terbukti dijual di bawah nilai normal dan menyebabkan industri dalam negeri di negara pengimpor mengalami kerugian, pihak yang berwenang dapat menerapkan bea masuk Antidumping sebesar kerugian yang diderita. Kasus Antidumping ini banyak di temukan di Amerika, Eropa, Canada dan Australia. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Antidumping adalah suatu tindakan yang di berikan oleh pemerintah suatu negara untuk memulihkan industri dalam negerinya dari praktek dumping yang dilakukan oleh suatu perusahaan luar negeri dengan menjual harga dumping dan menyebabkan kerugian di negara pengimpor. B. Pengaturan
Hukum
dan
Ketentuan
Antidumping
dalam
Perdagangan
Internasional Pengaturan masalah dumping yang berlaku dalam perdagangan internasional saat ini adalah peraturan menurut Antidumping Code (1994) yang secara resmi berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan peraturan Antidumping dari masing masing negara. 111 Ketentuan Antidumping diatur dalam pasal VI GATT. Ketentuan Article VI GATT mengharuskan para negara anggotanya untuk mengimplementasikan ketentuan
110
Alan Oxley, The Challenge of Free Trade, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1990) hal.231 Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia- Analisis dan Panduan Praktis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004)hal. 41 111
Antidumping GATT dalam hukum nasionalnya masing masing. Ketentuan dalam article VI ini sebenarnya hanya merupakan garis besar pengaturan mengenai Antidumping. 112 Pada dasarnya Pasal VI GATT 1994 hanya mengatur pokok pokok ketentuan dumping yang sangat umum. Persetujuan tentang implementasi pasal VI GATT 1994 berusaha memberikan pengaturan yang lebih rinci tentang masalah dumping. Persetujuan atas Implementasi Article VI GATT dikenal sebagai Antidumping Agreement (ADA) dimana ketentuan didalam peraturan ini menyediakan perluasan lebih lanjut mengenai prinsip prinsip dasar Article VI GATT itu sendiri. 113 Dengan demikian, kedudukan Antidumping Code (1994) tidak lagi merupakan perjanjian tambahan dari GATT, tetapi telah merupakan bagian integral dari Agreement Establishing WTO itu sendiri. Secara keseluruhan isi Antidumping Code (1994) adalah sebagai berikut: 114 1. Prinsip 2. Penentuan Dumping 3. Penentuan kerugian 4. Definisi Industri dalam negeri 5. Penyelidikan awal dan penyelidikan lanjutan 6. Bukti-bukti 7. Pengenaan biaya Antidumping 8. Penawaran harga penyesuaian 9. Penentuan dan pemungutan biaya Antidumping 10. Keberlakuan surut 11. Masa berlakunya dan peninjauan ulang bea Antidumping dan penawaran harga penyesuaian 12. Pengumuman kepada publik dan penjelasan penetapan 13. Peninjauan ulang 14. Tindakan Antidumping atas nama negara ketiga 112
Ibid., hal. 44 Christophorus Barutu, Op.cit., hal. 43 114 Yulianto Syahyu, Op.cit., hal.45 113
15. Anggota negara negara berkembang 16. Komite Antidumping 17. Konsultasi dan penyelesaian sengketa 18. Pengenaan biaya Antidumping tetap. Di samping mengatur secara keseluruhan mengenai Antidumping, Agreement Establishing WTO juga mengatur mengenai sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan kemudian merugikan kepentingan negara lain. 115 Selain negara yang paling dirugikan atas kebijakan tersebut, negara ketiga yang tertarik pada kasus tersebut dapat mengemukakan keinginannya untuk menjadi pihak ketiga dan mendapat hak – hak tertentu selama berlangsungnya proses penyelesaian sengketa. 116 Setiap negara anggota Committee on Antidumping Practices, dalam penyelesaian sengketa Antidumping dapat menempuh prosedur sebagai berikut: 117 1. Bila tindakan Antidumping tersebut dirasakan tidak beralasan oleh negara yang terkena, maka negara yang terkena tindakan Antidumping dapat membawa persoalan ini kedalam pembahasan Committee on Antidumping Practices untuk “Consultation” (permintaan konsultasi secara tertulis). Committee ini bersidang dua kali setahun 2. Berdasarkan ketentuan GATT artikel XXII, maka konsultasi ini dapat meminta pada Council untuk mengadakan konsultasi dengan negara yang mengenakan tindakan Antidumping (Konsultasi Bilateral) 3. Bila konsultasi bilateral ini tidak mencapai hasil yang memuaskan, maka negara yang terkena bisa mengajukan permintaan konsultasi menuju ke pembentukan panel 4. Kalau konsultasi ini juga tidak mencapai hasil yang memuaskan, maka council dapat diminta untuk membentuk panel
115
Freddy Jsoseph Pelawi, Penyelesaian Sengketa WTO dan Indonesia, Jakarta: Buletin Kementrian Perdagangan Edisi IX , 2009. hal. 2 116 Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge University , 2005. hal. 173 117 Yulianto Syahyu., Op.cit., hal. 42
5. Proses selanjutnya sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang umum melalui WTO. 6. Dalam sidang panel (Panel terdiri dari ahli yang dibentuk berdasarkan artikel XXIII) akan diputuskan apakah bea masuk Antidumping yang dikenakan oleh negara importir dilaksanakan dengan melanggar ketentuan-ketentuan GATT atau tidak. Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan negara negara anggota yang sedang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan masalahnya sebelum terbentuknya panel. Adapun tahapan tahapan yang dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa ialah sebagai berikut: 118 1. DSB dan Panel Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan. a. Banding Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti yang muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh Panel sebelumya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap Badan Banding (Appelate Body/AB) yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota AB memiliki masa kerja 4 (empat) tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun keputusan pada tingkat banding dapat menunda, mengubah ataupun memutarbalikan temuan-temuan dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari, dan batas maksimumnya 90 hari. DSB harus menerima ataupun menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus.
118
Freddy Joseph Pelawi, Op.cit., hal. 3-5
b. penyelesaian sengketa setelah rekomendasi atau keputusan Dispute Settlement Body (DSB) Jika suatu negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan yang tidak konsisten dengan WTO, maka negara tersebut harus segera mengoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi atau dikenai “retaliasi”. Biasanya kompensasi/retaliasi diterapkan dalam bentuk konsesi atau akses pasar. Walaupun suatu kasus sudah diputuskan, masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum sanksi perdagangan diterapkan. Dalam tahap ini yang penting adalah tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi atau keputusan DSB. Persetujuan WTO mengenai penyelesaian sengketa menetapkan bahwa “tindakan yang cepat dalam hal mematuhi rekomendasi atau putusan DSB sangat penting untuk menjamin bahwa putusan penyelesaian tersebut efektif dan menguntungkan seluruh anggota WTO. Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan dalam laporan Panel (panel report) atau laporan banding (appelate Body report). Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan bidang yang disengketakan. Jika sanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif, maka sanksi dapat diterapkan dalam sektor yang lain, dalam satu persetujuan yang sama. Selanjutnya, sekiranya masih juga belum dilaksanakan atau belum efektif, dan jika keadaannya cukup serius, tindakan dapat diambil di bawah persetujuan WTO lain. Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan merambatnya tindakan tersebut ke dalam bidang-bidang yang tidak ada hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus agar menjamin agar tindakan tersebut efektif. Dalam setiap kasus, DSB mengawasi pelaksanaan putusan yang telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB sampai berhasil diselesaikan.
C. Komparatif Yuridis Dalam Menentukan Nilai Normal Menurut Kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina Pada bagian ini akan di jelaskan mengenai cara penentuan nilai normal (normal value) menurut kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina. Dasar dan ketentuan yang mengatur mengenai Antidumping di Indonesia mengacu pada Undang Undang No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Undang Undang No. 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Namun pada umumnya didalam hal menentukan nilai normal (normal value) menurut kebijakan Antidumping di Indonesia hanya di atur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Berbeda dengan penentuan nilai normal (normal value) berdasarkan kebijakan Antidumping Filipina diatur dalam Republict of act No 8752 the Antidumping 1999 dan diatur lebih rinci dalam Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752. 1. Penentuan Nilai Normal berdasarkan Kebijakan Antidumping di Indonesia a. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No 7 Tahun 1994 Pada dasarnya, UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia merupakan persetujuan mengenai kesepakatan yang ada di World Trade Organization, dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara anggota WTO. Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang
lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang. Untuk itu konsekuensinya, antara lain, perlu ditindak lanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan peraturan perundang - undangan yang diperlukan. Tidak kurang pentingnya adalah penyiapan, penumbuhan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara, terhadap keseluruhan
persetujuan
serta
berbagai
hambatan
dan
tantangan
yang
melingkupinya. 119 Undang Undang No. 7 ini hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia dalam perjanjian Internasional khususnya perjanjian di bidang perdagangan jasa. Persetujuan yang disahkan dengan U ndang Undang ini adalah Persetujuan yang naskahnya ditandatangani Menteri Perdagangan (Prof. Dr S. B Joeno) atas nama Pemerintah Indonesia dalam sidang di Marrakesh, Marokko, tanggal 15 April 1994.
120
Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa UU
No 7 Tahun 1994 hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO. Dalam UU No. 7 ini tidak memuat dengan jelas ketentuan mengenai penentuan harga normal. Berbeda halnya dengan di Filipina, Filipina telah membuat UU khusus mengenai masalah Antidumping yang didalam pelaksanaannya dalam hal menentukan nilai normal di atur 119
Undang Undang No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) bab I. 120 Ibid., Pasal 1.
lebih lanjut dalam Administrative Order No. 1 Impelementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Antidumping Duty Under Republict of Act 8752 of 1999. b. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Suatu barang ekspor dinilai sebagai barang dumping apabila barang tersebut dipasarkan di negara tujuan ekspor pada tingkat harga ekspor yang lebih rendah daripada nilai normalnya. 121 Penentuan nilai normal
menjadi sangat penting karena penentuan ada
tidaknya dumping tergantung dari lebih rendahnya harga ekspor suatu barang dari nilai normalnya. Nilai normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujun konsumsi.”
122
Untuk menghitung nilai normal (normal value) berbagai negara
menganut bermacam macam cara. Namun penafsiran yang umum dalam ketentuan article VI GATT, menggunakan cara perhitungan harga normal, yaitu “biaya produksi (cost of production) ditambah keuntungan (profit) dan dibagi dengan jumlah produksi (total of Production) dengan rumus: { NV=
𝐶𝑃+𝑃𝑟 𝑇𝑃
}. 123
NV = Normal Value CP = Cost Production (biaya produksi) Pr = Profit (keuntungan) TP= Total of Production (jumlah produksi) 121
Sukarmi., Op.cit. hal 159 Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, lihat pula Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011 123 Muhammad Sood., Op.cit. hal 148-149 122
Dimana menghitung biaya produksi sekurang kurangnya terdiri dari: a) Biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku b) Biaya fabrikasi termasuk upah buruh dan, c) Segala biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan penjualan (General Sales Administration/GSA) Dalam hal tidak terdapat barang sejenis yang dijual dipasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai pembanding, nilai normal ditetapkan berdasarkan: 124 a. harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga;atau b. harga dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar (constructed value). Menurut Yulianto Syahyu metode untuk menentukan adanya dumping, khususnya pada tahap penyelidikan besarnya harga normal suatu produk ditempuh melalui tiga cara, yaitu: 125 1. Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan di pasar domestik negara produsen (pengeskpor)sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Butir 6 PP No. 34 tahun 2011 2. Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan kepasar negara ketiga. Metode ini dapat digunakan apabila pasar domestik negara produsen (pengekspor) tidak tersedia. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995. 3. Penentuan nilai normal berdasarkan constructed value (pembentukan harga) yaitu nilai ditentukan berdasarkan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan 124
Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, Op.cit Yulianto Syahyu, Op.cit., hal 71-73. Lihat pula Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, serta Pasal 1 angka 6 PP No. 34 Tahun 2011 125
laba yang wajar. Metode ini digunakan apabila cara yang pertama dan kedua tidak dapat digunakan. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995. Pernyataan diatas hanya memberikan perhitungan nilai normal secara umum. Pada pokoknya UU No.10 Tahun 1995 tidak membicarakan masalah masalah yang berkaitan dengan perhitungan nilai normal secara lebih terperinci melainkan lebih menekankan pada perhitungan harga normal secara umum serta penerapan bea masuk terhadap barang dumping yang menyebabkan industri dalam negeri mengalami kerugian. c. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Penentuan nilai normal menurut Undang Undang No 17 Tahun 2006 masih mengacu pada UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang terdapat pada Bab IV Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan Bagian Pertama Bea Masuk Antidumping penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. UU No.17 tahun 2006 tetap mempertahankan (tidak menghapus) pasal 18, pasal 19, pasal 21 dan pasal 22 Undang Undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, tetapi menghapus pasal 20 (tentang pengaturan persyaratan dan tatacara pengenaan Bea Masuk Antidumping dengan Peraturan Pemerintah) dan menghapus Pasal 23 (tentang pengaturan persyaratan Bea Masuk Imbalan
dengan Peraturan Pemerintah). Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan berbunyi: 126 “Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006 perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang berkaitan dengan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan diatur dalam Bab IV pasal 35 , yang berbunyi sebagai berikut: 127 35. Pasal 20 dihapus. Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi: “Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 23 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006, seperti terlihat dalam ketentuan perubahan nomor 36 yang berbunyi: 128 36. Pasal 23 dihapus. Namun, selanjutnya pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, digabungkan dengan pengaturan mengenai persyaratan 126
Christophorus Barutu, Op.cit., Hal. 130 Ibid., Hal. 132 128 Loc.cit., Hal.132 127
dan tata cara Bea Masuk Tindakan Pengamanan dan Bea Masuk Pembalasan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 23D Undang Undang No 17 Tahun 2006 yang berbunyi: 129 Bagian Kelima “Pengaturan dan penetapan” Pasal 23D (1) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2) Besar tariff Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pada pokoknya UU No.17 Tahun 2006 mempertahankan beberapa ketentuan pasal dan mengubah secara sebagian (parsial) ketentuan Pasal Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, mengubah dalam arti menambah atau menghapus beberpa pasal atau ayat didalamnya. tidak secara khusus menguraikan mengenai penentuan nilai normal. Adapun dalam hal menentukan nilai normal lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2011. d. Penentuan Nilai Normal menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 Secara teknis yuridis, definisi barang dumping adalah barang yang di impor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. 130 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa barang dumping itu merupakan barang yang dijual dengan harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normal. Pada prinsipnya dari pernyataan tersebut diatas ada dua komponen utama dalam hal menentukan apakah suatu barang dapat 129 130
Ibid., Hal. 133 PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Bab 1Pasal 1 (4)
dikatakan barang dumping yaitu harga ekspor dan harga normal. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai harga ekspor dan nilai normal. 1. Nilai Normal Pengertian nilai normal ialah harga yang sebenarnya dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. 131 Berdasarkan definisi diatas, ketentuan dalam PP No. 34 tahun 2011 hanya mendefenisikan nilai normal secara umum dengan menekankan pada harga yang sebenarnya dibayar atau yang akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Dalam PP No. 34 tahun 2011 tidak mengatur lebih rinci apabila tidak dijumpai nilai normal yang nanti akan dibandingkan dengan harga ekspor untuk menentukan margin dumping yang akan dikenakan pada barang yang dituduh dumping. Akan tetapi UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dalam penjelasan Pasal 18, justru secara tegas mengatur apabila terjadi ketiadaan harga domestik, maka nilai normal ditetapkan berdasarkan : 132 a) Harga tertinggi barang sejenis yang di ekspor ke negara ketiga: b) harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar (constructed value) Berbeda halnya dengan ketentuan di Filipina dalam hal menentukan nilai normal, PP No 34 tahun 2011 ini tidak mengatur lebih rinci mengenai penentuan nilai normal seperti yang 131 132
PP No. 34 Tahun 2011, Ibid., Bab 1Pasal 1 (6) Sukarmi., Op.cit., hal 163
terdapat dalam ketentuan di Filipina, Adapun hal hal yang tidak diatur lebih rinci di dalam PP No. 34 tahun 2011 ini adalah tidak diaturnya penentuan nilai normal didasarkan pada perbandingan harga tertinggi barang sejenis yang di ekspor ke negara ketiga dalam perdagangan pada umumnya atau ditentukan atas dasar biaya produksi barang sejenis dengan tambahan biaya penjualan dan laba secara wajar. 133 Penentuan nilai normal seperti indikator indikator lain yang dapat menyebabkan perbandingan harga seperti nilai tukar mata uang, situasi pasar yang menyebabkan perbandingan harga (adanya praktek monopsony dimana dalam hal ini situasi pasar tidak menentu), apakah perhitungan nilai normal tersebut telah sesuai dengan prinsip akuntansi serta perhitungan harga normal di negara yang menganut sistem ekonomi non pasar (non market economy) serta indikator indikator lain yang mungkin dapat dipertimbangkan dan menyebabkan perbandingan harga dalam hal menentukan harga normal. Pada prakteknya, solusi alternatif dalam hal menentukan nilai normal dan indikator indikator yang disebutkan diatas tadi Indonesia mengacu pada ketentuan yang diatur dalam WTO Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement on Tariffs and Trade 1994 article 2 determination of dumping. Adapun beberapa solusi dan alternative dalam hal hal menentukan nilai normal berdasarkan penjualan di pasar domestik, nilai normal berdasarkan penjualan ke pasar negara ketiga, dan penentuan nilai normal berdasarkan pembentukan harga (constructed value). Ketiga metode tersebut merupakan acuan yang digunakan Indonesia dalam menentukan adanya dumping,
133
Sukarmi., Op.cit., hal 160
khususnya pada penyelidikan besarnya harga normal suatu produk. Ketiga cara tersebut adalah sebagai berikut: 134 a) Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan di pasar domestik Model penentuan nilai normal ini berdasarkan nilai penjualan di pasar domestik negara produsen. Komite melakukan penyelidikan di negara pengekspor untuk mengakses pricing list yang berlaku di negara asal suatu produk yang dianggap barang dumping. Dalam hal survey pasar domestik, negara produsen harus memenuhi kriteria bahwa pasar tersebut merupakan pasar yang viable (viable domestic market), artinya pasar tersebut harus menunjukkan volume penjualan yang signifikan, baik dalam omset, kuantitas dan nilai. 135 Metode perhitungan harga normal berdasarkan nilai penjualan di pasar domestik di negara produsen dapat menekankan pada proses pembayaran dalam perhitungan nilai normal ini dilakukan 3 jenis pengujian yaitu sebagai berikut: 136 a) Perhitungan yang hanya menggunakan data harga penjualan barang sejenis (sales of like product) yaitu: b) Volume penjualan dalam negeri dari volume ekspor (sales permit proper comperation). c) Penjualan memenuhi persyaratan perdagangan pada umumnya (ordinary course of trade) (1) Harga jual yang menguntungkan (lebih besar dari cost of manufacturing dan sale general and administration) memenuhi persyaratan berikut ini a) Bila volume transaksi domestik yang menguntungkan lebih besar dari atau sama dengan 80%, maka seluruh transaksi penjualan domestic digunakan. b) Bila volume penjualan yang menguntungkan kurang dari 80% dan lebih besar atau sama dengan 20% dari seluruh volume penjualan domestic, maka penentuan normal value menggunakan transaksi domestik yang menguntungkan saja. 134
Syahyu., Ibid. hal. 71 Syahyu., Loc.cit. 136 Ibid., hal. 82-83 135
c) Bila penjualan yang menguntungkan kurang dari 20%, maka normal value menggunakan constructed value atau harga jual ke negara ketiga. (2) Penjualan pada pihak yang tidak berhubungan atau tidak adanya suatu perlakuan yang khusus (a compensatory arrangement) antara penjual dan pembeli b) Penentuan Nilai Normal berdasarkan penjualan ke pasar negara ketiga Metode ini adalah metode yang digunakan dalam perhitungan nilai normal melalui pendekatan observasi pasar negara ketiga sepanjang pasar negara ketiga merupakan pasar yang viable. 137 Metode perhitungan nilai normal berdasarkan perhitungan harga ekspor ke negara ketiga diperoleh dari harga yang seharusnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis yang dijual untuk ekspor ke negara lain selain negara yang menuduh dumping. 138 c) Penentuan Nilai Normal berdasarkan pembentukan harga (constructed value) Penentuan nilai normal berdasarkan constructed value (constructed normal value) adalah jumlah dari biaya produksi, biaya manufaktur (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik) ditambah biaya administrasi dan biaya penjualan, dan pengeluaran umum. 139 Metode ketiga ini dapat diaplikasikan apabila metode pertama dan kedua tidak efektif. Metode ini melakukan perhitungan nilai normal berdasarkan asumsi atas biaya produksi, biaya penjualan, dan biaya administrasi, serta keuntungan atas penjualan barang tersebut. 140
137
Ibid., hal. 73 Ibid., hal. 84 139 Ibid., hal. 83 140 Ibid., hal. 73 138
Pada umumnya, perhitungan nilai normal dapat dilihat melalui dua cara: 141 Pertama, menurut harga dasar (price-based), yang berarti bahwa telah terjadi dumping apabila suatu perusahaan menjual barang di pasar luar negeri dengan harga dibawah harga barang yang sama dipasaran dalam negeri. Kedua, didasarkan atas biaya dasar (cost production) dari barang tersebut. Menurut kesepakatan mengenai dumping yang tertuang dalam article VI ayat (1) bagian b butir I dan ii Bagian (b): in the absence of such domestic price, is less than either: (i) the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or (ii) the cost of production of the product in the country of origin plus reasonable addition for selling cost and profit
Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa tidak adanya harga domestik yang digunakan sebagai dasar dalam penentuan nilai normal. Dengan demikian penentuan nilai normal didasarkan pada harga perbandingan harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam perdagangan pada umumnya, atau ditentukan atas dasar biaya produksi barang sejenis dengan tambahan biaya penjualan dan laba secara wajar. 142 Penentuan nilai
normal seperti yang diatur pada ketentuan di atas didasarkan atas
pertimbangan berikut. 143
141
Beth. V. Yarbrough and Rob M. Yarbrough, The world Economy (trade and finance), Third Edition, (United States : Harcourct Bracc Coll Publishing, 1994), Hal. 232 142 Sukarmi., Op.cit.,hal.160. 143 Sukarmi., Loc. cit
1. Adanya produsen di suatu negara yang hanya memproduksi suatu barang untuk tujuan
ekspor atau tidak memproduksi barang sejenis untuk dikonsumsi di dalam negeri. 2. Adanya produsen di suatu negara yang selain memproduksi barang sejenis untuk tujuan ekspor, juga memproduksi barang sejenis untuk dipasarkan di pasar domestik, tetapi volume penjualan di pasar domestik di negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar penentuan nilai normal. Untuk menentukan apakah penghitungan nilai
normal produk yang bersangkutan
didasarkan pada harga jual sebenarnya atau biaya produksi. Dalam buku panduan berjudul Referensi Antidumping yang dikeluarkan oleh Komite Anti Dumping Indonesia Kementrian Perdagangan diuraikan perhitungan nilai normal ditentukan dengan dua cara yaitu: 1. Nilai normal (normal value) berdasarkan harga dalam negeri 2. Nilai normal (normal value) berdasarkan pembentukan harga di negara ketiga (constructed value) Adapun contoh mengenai perhitungan Nilai Normal berdasarkan harga dalam negeri dapat dilihat dari contoh: 144 Normal value berdasarkan harga dalam negeri Agar diperoleh perhitungan margin dumping yang benar, maka harga domestik harus pada tingkat perdagangan yang sama dengan harga ekspor biasanya dalam bentuk harga domestik eks-pabrik. Contoh Perhitungan : 144
hal. 10-11
Komite Antidumping Indonesia, Refrensi Antidumping, (Jakarta : Kementrian Perdagangan, 2010),
Harga Domestik (Pada Juni 1998) US$ 80 /MT Biaya Transportasi US$ 5/MT Biaya Handling US$ 2/MT _____________________________________________
Harga Domestik Eks-Pabrik
US$ 73/MT
Bukti harga domestik dapat berbentuk faktur, invoice, publikasi di media cetak (majalah, surat kabar, dll). Bukti – bukti tersebut harus dilampirkan agar perhitungan dilakukan secara wajar (fair), maka ditetapkan harga jual domestik secara rata rata selama periode investigasi Normal Value berdasarkan constructed value Apabila pemohon tidak memperoleh harga aktual dinegara eksportir, maka normal value dapat ditentukan berdasarkan pembentukan harga (constructed value). Constructed value dapat dihitung sebagai berikut: biaya produksi ditambah biaya – biaya pemasaran dan administrasi serta financing charges ditambah keuntungan (profit). 145 Contoh Perhitungan : NO.
Jenis Biaya
US$/MT
1
Biaya bahan mentah
45
2
Biaya pekerja Langsung
10
3
Biaya overhead pabrik
15
Total Biaya Produksi
70
4
Biaya pemasaran dan administrasi
8
5
Finacing Charges
2
Jumlah Biaya
80
Profit (5 %)
4
Normal Value
84
145
Komite Antidumping Indonesia, Loc.cit.
Didalam ketentuan UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan pada penjelasan pasal 18 ditentukan bahwa apabila terjadi ketiadaan harga domestik, maka nilai normal ditentukan berdasarkan: 146 1. Harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga. 2. Harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar (constructed value). Dari uraian mengenai perhitungan nilai normal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dalam hal perhitungan nilai normal dalam hal menentukan adanya dumping Indonesia menggunakan dua metode yaitu perhitungan nilai normal berdasarkan harga dalam negeri dan perhitungan nilai normal berdasarkan constructed value (pembentukan harga). 2. Harga Ekspor Adapun yang di maksud dengan harga ekspor ialah harga yang sebenarnya dibayar atau yang akan dibayar untuk barang yang diekspor ke daerah pabean Indonesia. 147 Definisi harga ekspor diatas menekankan pada adanya biaya biaya yang dibayar untuk barang yang masuk ke Indonesia. Pada umumnya harga ekspor dalam bentuk harga ekspor CIF yng tertera dalam eksport invoice nominal price. 148
146
Penjelasan Pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan PP No. 34 Tahun 2011, Ibid., Bab 1Pasal 1 (5) 148 Komite Antidumping., Op.cit. hal. 11 147
Pada prinsipnya, harga ekspor harus ditetapkan dalam tingkat perdagangan yang sama dengan harga domestik (normal value) yaitu dalam bentuk harga ekspor eks-pabrik. Untuk memperoleh harga ekspor eks-pabrik, maka harga ekspor harus dikurangkan dengan biayabiaya yang timbul mulai dari pintu pabrik ke pelabuhan tujuan ekspor. Biaya-biaya tersebut dapat meliputi: inland freight, warehousing, handling, sea freight dan lain-lainnya. Biaya biaya tersebut dapat diperoleh dengan adanya bukti berupa invoice, faktur, publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), atau media cetak lainnya. Bukti-bukti nyata atau estimasi harus dilampirkan. 149 Berikut ini diuraikan contoh perhitungan: Harga Sea
Ekspor CIF Berdasarkan BPS US$ 85/MT
Freight
Inland
Freight
US$ 20/MT US$ 2/MT
__________________________________________Harga Ekspor Eks-Pabrik
US$ 63/MT
3. Marjin Dumping Untuk menentukan besarnya margin dumping, harus dilakukan perbandingan yang wajar antara nilai normal dan harga ekspor. Perbandingan yang wajar ini adalah sebagai berikut: 150 1) Pada tingkat perdagangan yang sama (biasanya tingkat eks-pabrik) 2) Periode penjualannya terjadi pada waktu yang sedekat mungkin. 3) Penyesuaian terhadap adanya perbedaan-perbedaan allowance yang mempengaruhi harga 149 150
Loc.cit.hal. 11 Ibid., hal. 12
Perhitungan marjin dumping yaitu didasarkan atas perbedaan harga domestik eks.pabrik dengan harga ekspor eks.pabrik dibagi harga ekspor CIF. 151 Harga
Domestik Eks-Pabrik
US$ 73/MT
Harga
Ekspor Eks-Pabrik US$ 63/MT __________________________________________Marjin Dumping
= US$ 10/MT = 11.76%
Marjin Dumping (%) terhadap harga ekspor CIF adalah 10/85 x 100% = 11,76% Contoh diatas merupakan contoh secara umum yang terdapat pada Panduan dan Formulir Permohonan Pengenaan Tindakan Anti Dumping yang diterbitkan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) pada tahun 2010. Dalam hal menghitung margin dumping ada baiknya dengan menggunakan contoh konkrit laporan akhir (Final Disclosure) hasil penyelidikan peninjauan kembali (sunset riview) pengenaan bea masuk Antidumping atas impor pisang Cavendish pos tariff 0803.00.90.00 yang berasal dari Filipina yang di lakukan oleh Komite Antidumping Indonesia yaitu sebagai berikut: 152 Nilai Normal di tentukan dengan menggunakan metode konstruksi, yaitu harga jual pisang Cavendish di supermarket Filipina di kurangi marjin keuntungan supermarket dan distributor. Rincian perhitungan nilai normal sebagai berikut:
151
Komite Antidumping., Op.cit.hal.11 Laporan Akhir hasil Penyelidikan Komite Antidumping terhadap Kasus Impor Pisang Cavendish Pos Tariff 0803.00.90.00 yang berasal dari Filipina 152
Harga di supermarket Filipina
: USD 1.20/kg
Marjin keuntungan supermarket
: USD 0.36/kg
Marjin keuntungan distributor
: USD 0.08/kg ___________________USD 0.76/kg
Keterangan : a. Harga dalam negeri Filipina di ambil dari harga jual Pisang Cavendish di supermarket Filipina, yaitu Peso 53/kg (dengan kurs Rp. 44,00/Peso dan Rp. 9.000,00/USD). b.Marjin keuntungan supermarket diperkirakan sebesar 30% c. Marjin keuntungan distributor di perkirakan sebesar 10% dan sudah meliputi biaya transportasi di dalam negeri Filipina. Harga Ekspor Harga ekspor dihitung dengan menggunakan metode konstruksi, yaitu nilai rata rata CIF impor pisang Cavendish tahun 2010 dari Filipina dikurangi dengan asuransi, Ocean Freight dari Filipina ke Indonesia , Inland Frieght di Filipina, dan biaya Pelabuhan muat. 153 Nilai CIF Impor
: USD 0.70/kg
Asuransi
: USD 0.0007/kg
Ocean Freight
: USD 0.16/kg
153
Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Komite Antidumping Indonesia terhadap impor Pisang Cavendish Pos Tariff 0803.00.90.00 yang berasal dari Filipina.
Biaya Pelabuhan (muat)
: USD 0.02/kg
Harga Ekspor – eks Kebun
_______________: USD 0.51/kg
Keterangan: a. Nilai CIF impor diambil dari rata rata nilai CIF impor barang yang diselidiki tahun 2010 b. Biaya asuransi diperkirakan sebesar 0,10% dari nilai CIF c. Ocean Freight diperkirakan sebesar USD 3.250 per kontainer berukuran 40’ yang memuat 1.540 karton dengan berat masing masing 13 kg. d. Inland Freight diperkirakan sebesar USD200 per kontainer berukuran 40’ yang memuat 1.540 karton dengan berat masing masing 13 kg. e. Biaya Handling di pelabuhan muat dan bongkar diperkirakan sebesar USD467 per container berukuran 40’ yang memuat 1.540 karton dengan berat masing masing 13 kg. Margin dumping Nilai normal eks kebun
: USD 0.76/kg
Harga Ekspor eks Kebun Margin dumping
: USD 0.51/kg _____________: USD 0.25/kg
Nilai CIF impor (rata-rata 2010)
: USD 0.70/kg
% Marjin dumping (dari rata-rata nilai CIF impor 2010)
: 35.71%
Dibulatkan menjadi 35%.
2. Penentuan Nilai Normal berdasarkan Kebijakan Antidumping di Filipina a. Penentuan Nilai Normal Berdasarkan Republict of Act 8752 The Antidumping of Act 1999 Pada dasarnya dalam menentukan nilai normal menurut kebijakan Antidumping di Filipina di atur dalam Republict of Act No. 8752 the Antidumping of Act 1999 yang menjadi landasan hukum yang digunakan untuk menentukan adanya dumping. Namun, Republict of Act No. 8752 The Antidumping of Act 1999 ini hanya memberikan gambaran gambaran secara umum mengenai definisi nilai normal dalam hal adanya dugaan dumping untuk lebih jelasnya dalam hal penentuan nilai normal diatur dalam Administrative Order No. 1 Implementing Rules and Regulatians Governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752 section 11 determination of dumping. Adapun gambaran umum dalam hal penentuan nilai normal dalam Republict of Act No.8752 The Antidumping of Act 1999 adalah sebagai berikut:Section 3 Part 2 (s 03) Definition of Terms. - For purposes of this Act, the following definitions shall apply: “…….."(3) Normal value refers to a comparable price at the date of sale of the like product, commodity or article in the ordinary course of trade when destined for consumption in the country of export.” Definisi nilai normal diatas menekankan pada perbandingan harga pada penjualan produk sejenis, komoditi atau dalam kasus kasus tertentu dalam perdagangan yang di jual di negara pengeksport. Adapun yang dimaksud dengan produk sejenis (like Product) ialah like product refers to a product which is identical or alike in all respects to the product
under consideration, or in the absence of such a product, another product which, although not alike in all respects, has characteristics closely resembling those of the product under consideration. 154 produk sejenis mengacu pada produk yang secara keseluruhan sama dengan produk yang di duga dumping, atau secara karakteristik sama dengan produk yang di duga dumping. Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat di simpulkan bahwa definisi nilai normal menurut ketentuan Antidumping Republict of Act No. 8752 The Antidumping of Act 1999 hanya mendefinisikan nilai normal yang bersifat umum ketentuan mengenai penentuan nilai normal dalam hal terjadinya dugaan dumping lebih rinci di atur dalam Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an AntiDumping Duty Under Republict of Act 8752 b. Penentuan Nilai Normal Berdasarkan Administrative Order No.1 Republict of Act No. 8752 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 Penentuan nilai normal menurut kebijakan Antidumping di Filipina di atur dalam Republict of Act No. 8752 the Antidumping of Act 1999 yang menjadi landasan hukum yang digunakan untuk menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan Antidumping yang kemudian didalam pelaksanaannya di atur lebih lanjut dengan Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty
154
Republict of Act No. 8752 of Antidumping 1999., Op.cit, Section 3 Part 2 (s 06)
Under Republict of Act 8752 section 11 determination of dumping yang memuat 12 sub sub yang mengatur bagaimana menentukan adanya dumping. Dimana section 11 (a) berbunyi sebagai berikut: (a) The Secretary and the Commission shall determine the existence of dumping by making a fair comparison between the export price and the normal value of the allegedly dumped product, covering all transactions for the allegedly dumped product during the period of investigation (POI). In general, the POI for the determination of the margin of dumping or price difference shall cover import transactions made at least six (6) months prior to the date of filing of the petition: Provided, however, that in some cases, the POI may be adjusted to cover a shorter period in order to take into account other considerations that will ensure the appropriateness of the chosen POI, e.g., seasonality of products, availability of data, drastic increase in the importation of the dumped product, or facility in the verification of data. 155 Sekretaris dan Komisi menyelidiki adanya dugaan dumping dengan membuat perbandingan harga antara harga ekspor dan nilai normal dari barang yang di duga dumping, selama masa penyelidikan (Period of Investigation) diterapkan bea masuk Antidumping. Pada umumnya, selama masa penyelidikan dalam hal menentukan adanya margin dumping atau selisih harga harus mencakup seluruh transaksi import setidaknya 6 bulan terakhir sebelum tanggal permohonan penyelidikan; pada beberapa kasus, didalam masa penyelidikan dapat menggunakan periode waktu yang disesuaikan seperti produk produk yang bersifat musiman, keterangan data yang diperoleh oleh pihak berwenang, peningkatan import secara drastis atas produk yang diduga dumping, atau fasilitas dalam memferifikasi data.
155
Administrative Order No. 1 of Antidumping 1999., Op.cit, Section 11 (a)
Dari keterangan diatas jelas bahwa dalam menyelidiki adanya dugaan dumping adalah dengan membuat perbandingan antara harga ekspor dan nilai normal. Dari pernyataan tersebut diatas ada dua komponen utama dalam hal menentukan adanya dumping yaitu harga ekspor dan nilai normal. Berikut adalah rincian lebih lanjut mengenai harga ekspor dan harga normal. 1) Harga Ekspor Pada dasarnya yang di maksud dengan harga ekspor adalah Export Price refers to (1) the ex-Factory price at the point of sale for export; or (2) the F.O.B. Price at the point of shipment. In this cases where (1) or (2) cannot be used, then the export price may be constructed based on such reasonable basis as the Secretary or the Commission may determine.
156
Harga ekspor mengacu pada (1) harga penjualan ex-factory di negara
pengekspor; atau (2) harga ekspor pada tingkat F.O.B. pada point pengiriman barang melalui jalur laut. Dalam beberapa kasus, apabila harga ekspor tidak dapat dihitung berdasarkan (1) dan (2) Sekretaris dan Komisi dapat menghitung harga ekspor berdasarkan pembentukan harga di negara ketiga berdasarkan alasan yang masuk akal. Berdasarkan penjelasan diatas jelas bahwa dalam menentukan harga ekspor ada tiga cara yaitu: Pertama, harga penjualan ex-factory di negara pengekspor, dalam hal yang dimaksud dengan harga penjualan ex-factory adalah perhitungan harga di luar pabrik dari penjualan dalam negeri dengan perhitungan harga di luar pabrik dari penjualan ekspor. 157 Dalam hal 156 157
Administrative Order No.1., Op.cit., Section 1 (l) Sukarmi., Op.cit. hal.27
ini dapat dikatakan bahwa harga ex- factory tersebut adalah harga jual di luar pabrik untuk penjualan dalam negeri dan harga jual di luar pabrik untuk tujuan ekspor. Kedua, harga ekspor yang berdasarkan F.O.B (Free On Board) dapat mengacu pada rincian biaya yang harus di keluarkan eksportir dalam mengeksport barang ke pasar luar negri melalui angkutan laut. Semua biaya yang harus dikeluarkan pihak eksportir sampai barang selesai dimuat diatas kapal (ocean-steamer). Hal ini berarti termasuk ongkos pengepakan, pengangkutan ke pelabuhan, dan ongkos muat ke atas kapal di samping harga barangnya sendiri. 158 Adapun rincian biaya dengan menggunakan F.O.B (Free On Board) adalah sebagai berikut: 159 Cost item Calculation (Perkiraan rincian biaya) 1. Export base cost (biaya awal export) 2. Export overheads (biaya–biaya export) 3. Special packaging (biaya pengemasan) 4. Order preparation (biaya biaya untuk persiapan) 5. Advertising allowance (biaya biaya pemasaran) 6. Agent commission ex-factory (biaya komisi untuk distributor) 7. Royalty patent (biaya royalty/ hak paten) 8. Profit margin (margin keuntungan) Price ex factory in local currency (perhitungan harga di luar pabrik dengan menggunakan mata uang negara tujuan ekspor), 9. Transport (transportasi melewati laut, udara, atau darat) - to sea port, - to air port - to container 10. Export document (dokumen eksport) 158
Amir M.S., Seluk- Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, (Jakarta: Pustaka Binaman Presindo, 1988), Hal. 13 159 Agoes Moerjono., Melangkah Menuju Ekspor- Suatu Petunjuk Praktis. (Jakarta : Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Institute Bankir Indonesia, 1993), Hal.533- 535
11. Weight certificate surveyor (biaya sertifikat timbangan) 12. Certificate of analisis (biaya sertifikat analisis), 13. Inspection certificate (biaya pemeriksaan) 14. Certificate of origin (biaya sertifikat asal barang) 15. Certificate of fumigation (biaya fumigasi- membunuh kuman kuman) 16. Packing list (biaya pengepakan) 17. Halal certificate (sertifikat halal) 18. Clean report of findings or others documents (biaya dokumen lainnya) 19. Storage (Penimbunan di laut atau di udara) - at sea - at air port 20. Loading charges (biaya masuk) 21. Freight forwarders fee (biaya ongkos muat barang) 22. Export tax (pajak – pajak ekspor) 23. Custom duty (pajak lain) 24. Collecting fee (biaya penimbunan) 25. Discount charges exporters account (potongan harga) 26. Export credit ins premium (piutang eksport) 27. Factoring charges or discount charges (biaya lain atau potongan biaya) 28. Forward contract (pengalihan kontrak) Free on board Price F.O.B in local currency – converted to export currency Free on board Price in export currency – converted to export currency 29. Freight (biaya muat barang di udara atau laut) 1.air freight 2.sea freight 30. Collecting fee (biaya pengumpulan) 31. Discount charges exporters account (potongan harga) 32. Export Credit Ins. Premium 33. Factoring (charge or discount) 3. charge 4. discount 34. Forward Contract 5. Fee/ Premium 6. Sell Forward Berikut adalah contoh perhitungan harga ekspor F.O.B. : 160 1. FOB Value shall be calculated as follows: (a) FOB Value = Ex-Factory Price + Other Costs 160
Anexxes 3-2 of Export Price Guidelines of Philipines
(b) Other Costs in the calculation of the FOB value shall refer to the costs incurred in placing the goods in the ship for export, including but not limited to, domestic transport costs, storage and warehousing, port handling, brokerage fees, service charges, et cetera. Harga F.O.B dapat di hitung sebagai berikut: (a) Harga F.O. B. = harga di luar pabrik + biaya lain (b) Biaya lain dalam perhitngan harga F.O.B mengacu pada biaya biaya dalam mengirimkan barang melalui angkutan laut, termasuk didalamnya tapi tidak terbatas pada, biaya transport dalam negeri, penimbunan dan pengemasan, biaya biaya pelabuhan, biaya yang tidak terduga, biaya perbaikan, dan lain sebagainya. 2.
Formula for ex-factory price: (a) (b)
Ex-Factory Price = Production Cost + Profit Formula for production cost, (i) Production Cost = Cost of Raw Materials + Labour Cost + Overhead Cost (ii) Cost of Raw Materials shall consist of: (AA) Cost of raw materials (BB) Freight and insurance (iii) Labour Cost shall include: (AA) Wages (BB) Remuneration (CC) Other employee benefits associated with the manufacturing process (iv) Overhead Costs, (non-exhaustive list) shall include, but not limited to: (AA) real property items associated with the production process (insurance, factory rent and leasing, depreciation on buildings, repair and maintenance, taxes, interests on mortgage) (BB) leasing of and interest payments for plant and equipment
Adapun rincian perhitungan biaya di luar pabrik adalah sebagai berikut :
a) harga di luar pabrik = Biaya Produksi + keuntungan penjualan b) rincian biaya produksi meliputi, (i)
Biaya Produksi = Biaya bahan mentah + biaya upah pekerja + biaya tambahan
(ii)
Biaya bahan mentah terdiri dari : bahan mentah dan asuransi + biaya angkut ke pelabuhan
(iii)
Biaya upah tenaga kerja dapat termasuk: Gaji karyawan,tunjangan jabatan (bonus yang diberikan sesuai dengan jabatan), bonus bonus lain yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam hal penjualan
(iv)
biaya Pengeluaran,
termasuk,tapi tidak terbatas pada: biaya biaya
perusahaan dalam hal memproduksi (asuransi, biaya sewa gedung, leasing, biaya perbaikan alat alat produksi serta bangunan, pajak, biaya pegadaian), leasing dan biaya biaya yang dikeluarkan untuk peralatan
Ketiga, harga ekspor yang dihitung berdasarkan pembentukan harga dinegara ketiga maksudnya adalah rincian harga jual importir kepada pembeli independen dikurangi direct cost, indirect cost, dan profit margin. 161 Dari analisis diatas dapat dikatakan bahwa ketentuan kebijakan Antidumping di Filipina dalam hal menentukan nilai normal yang diatur dalam Republict of Act No.8752 The Antidumping od Act of 1999 section 11 (a) tersebut lebih rinci bila di bandingkan dengan 161
Syahyu., Op.cit., Hal.
ketentuan mengenai Antidumping di Indonesia dalam hal menentukan harga ekspor. Ketentuan dalam Administrative Order No 1 Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752 menekankan bahwa harga ekspor berdasarkan F.O.B. Hal ini tidak dapat di jumpai dalam Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2011 begitupun UU No. 17 tahun 2006 atas perubahan UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan akan tetapi pada prakteknya Indonesia menggunakan perhitungan harga ekspor dengan berdasarkan CIF. 162 CIF adalah segala biaya seperti dalam F.O.B. di tambah dengan ongkos angkutan laut dari pelabuhan muat sampai ke pelabuhan tujuan barang, ongkos pengepakan, ongkos dari gudang ke pelabuhan muat, ongkos ongkos laut, ongkos dokumen pengapalan ditambah dengan premi asuransi. 163 adapun rincian biaya dengan menggunakan C.I.F (Cost Insurance Freight Price) adalah sebagai berikut: 164 Cost and Freight Price in Export Currency 35. Insurance Cargo Premium 36. Collecting Fee 37. Discount Charges Exporters account 38. Export Credit 39. Factoring Charge Discount 40. Forward Contract 162
Wawancara dengan Duma Situmorang, Staff Penyelidikan Anti Dumping dan Subsidi pada KADI Jakarta: Tanggal 16 April 2013 163 Amir. M.S., Op.cit, Hal.13 164 Agoes Moerjono., Melangkah Menuju Ekspor- Suatu Petunjuk Praktis. (Jakarta : lembaga pengembangan perbankan Indonesia institute Bankir Indonesia, 1993), Hal.533- 535
Fee / Premium Sell forward Insurance Freight Price (in Export Curency- converted to importers currency) Cost Insurance Freight Price (in Importers Currency) 41. Letter of Credit Opening Fee 42. Discount Charges Buyers account (letter of Credit) 43. Interest (lost of interest on marginal) 44. Forward Contract Fee / premium Buy forward 45. Landing charges 46. Custom Duty 47. Turn over tax 48. Transport to Importers / buyers ware House
Adapun contoh perhitungan harga ekspor berdasarkan kasus perhitungan harga normal pada kasus Report on the Final Determination on the Application of the Philippine Mosquito Coil on The Application of The Philipine Mosquito Industry for The Imposition of Definitive Antidumping Measure Against The Importation of Mosquito Coil From Indonesia (AHTN Subheading Nos. 3808.50.12 and 3808.91.20) (Anti-Dumping Investigation No. 01-2010) 165 Export Price The calculated weighted average export price of mosquito coil (scented and unscented) in 2008 was US$8.18/case. Table 3 shows the calculated constructed export price used by the Commission for its final determination.
165
Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Tariff dan Comission atas Produk Import obat nyamuk dengan Pos Tariff No. 3808.50.12 and 3808.91.20 yang berasal dari Indonesia
Tabel 4. Constructed Export Price: January to December 2008 Unadjusted Resale Net Price to Unrelated Constructed POI Qty Purchaser Export Price (Jan – Dec. (Cases) (PHP/case) (PHP/case) 2008) Baygon Mosquito Coil (Scented and Unscented) 10s x 60 January 50,073 654 332 February 45,852 654 332 March 44,084 654 332 April 33,617 654 332 May 54,246 654 332 June 44,465 654 332 July 68,941 654 378 August 63,787 654 378 September 63,813 678 393 October 52,190 678 393 November 54,494 679 414 December 26,690 677 413
Net Constructed Export Price (US$/case) 8.12 8.17 8.06 7.95 7.75 7.51 8.41 8.43 8.42 8.19 8.41 8.58
Weighted Average Export Price = US$ 8.18/case Source: SC Johnson Philippines 2008.
Tabel 4. diatas mendeskripsikan perhitungan harga ekspor kasus tuduhan dumping yang diajukan oleh Negara Filipina terhadap produk Indonesia on the final determination on the application of the Philippine mosquito coil on the application of the philipine mosquito Industry for the imposition of definitive Antidumping measure against the importation of mosquito coil from Indonesia (AHTN Subheading Nos. 3808.50.12 and 3808.91.20) (AntiDumping Investigation No. 01-2010).
2) Nilai Normal Yang di maksud dengan nilai normal ialah (normal value) refers to a comparable price at the date of sale of the like product in the ordinary course of trade when destined for
consumption in the country of export or origin. 166 Nilai normal mengacu pada perbandingan harga penjualan produk sejenis dalam perdagangan pada umumnya dipasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Untuk menghitung nilai normal (normal value) berbagai negara menganut bermacam macam cara. Namun penafsiran yang umum dalam ketentuan article VI GATT, menggunakan cara perhitungan nilai normal, yaitu “biaya produksi (cost of production) ditambah keuntungan (profit) dan dibagi dengan jumlah produksi (total of Production) dengan rumus: { NV=
𝐶𝑃+𝑃𝑟 𝑇𝑃
}. 167
NV = Normal Value CP = Cost Production (biaya produksi) Pr = Profit (keuntungan) TP= Total of Production (jumlah produksi) Dimana menghitung biaya produksi sekurang kurangnya terdiri dari: a) Biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku b) Biaya fabrikasi termasuk upah buruh dan, c) Segala biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan penjualan (General Sales Administration/GSA)
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya mengenai dalam hal menyelidiki adanya dugaan dumping, Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping
Duty Under
Republict of Act 8752 section 11 (b)
memberikan gambaran bagaimana menentukan nilai normal secara lebih terperinci lagi yang mana berbunyi sebagai berikut: 168
166
Administrative Order No. 1., Op.cit., Section 2 (s) Muhammad Sood., Op.cit. hal 148-149 168 Ibid, Section 11 (b) 167
(b) The comparison shall be made at the same level of trade, normally at the ex-factory level, and in respect of sales made at the same time or as near as possible to the date of exportation. Due allowance shall be made in each case for differences which affect price comparability including differences in conditions and terms of sale, taxation, levels of trade, quantities, physical characteristics and any other differences which are also demonstrated to affect price comparability. Where the normal value and export price as established are not comparable, adjustments can be made on the basis of the following factors:
1.Physical characteristics, for which the amount of adjustment shall correspond to a reasonable estimate of the market value of the difference; 2. Import charges and indirect taxes, for which the adjustment shall be made to the normal value for an amount corresponding to any import charges or indirect taxes borne by the allegedly dumped product and by materials physically incorporated therein when intended for consumption in the country of export or origin and not collected or refunded in respect of the exported product; 3. Discounts, rebates, and quantities which are directly linked to the sales underconsideration; 4. Level of trade, for which the adjustment shall be based on the market value of the difference which has directly affected price comparability as demonstrated by consistent and distinct differences in functions and prices of the seller for the different levels of trade in the domestic market of the country of export or origin; 5. Transport, insurance, handling, local and ancillary costs directly incurred for conveying the allegedly dumped product from the premises of the foreign exporter to the independent buyer, where such costs are included in the prices charged; 6. Packing costs directly related to the product concerned; 7. Cost of credit directly granted for the sales under consideration; 8. After sales cost such as warranties, guaranties, technical assistance, and services as provided for by law and/ or in the sales contract; 9. Commissions paid in respect of the sales under consideration; and 10. Currency conversions as provided in letter (i) of this section.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Perbandingan harga untuk produk sejenis, perhitungan nilai normal biasanya di hitung berdasarkan harga eks-factory dan harga penjualan ekspor. Perhitungan nilai normal untuk beberapa kasus yang berbeda yang dapat menyebabkan perbandingan harga termasuk perbedaan kondisi dan penjualan, pajak pajak, barang sejenis, jumlah, karakter fisik dan perbandingan lain yang menyebabkan perbandingan harga. Apabila harga normal dan harga eksport tidak bisa di bandingkan, dalam perhitungan harga normal dapat dilakukan dengan mengunakan metode penyesuaian harga berdasarkan faktor faktor di bawah ini 1. Karakter fisik, yang jumlahnya disesuaikan dengan perhitungan yang masuk akal dari perbandingan harga di pasaran. 2. Biaya biaya import dan pajak pajak tidak langsung berdasarkan harga normal untuk setiap jumlah produk yang dihitung sesuai dengan biaya atau pajak tak langsung yang dibebankan untuk produk yang di duga dumping dan produk tersebut di konsumsi di negara asal 3. Diskon, potongan harga, dan jumlah barang yang dijual; 4. Penjualan produk sejenis, berdasarkan pada perbandingan harga di pasar yang secara langsung menyebabkan perbandingan harga, dan harga penjualan pada tingkat yang berbeda di pasar dalam negeri negara pengekspor atau negara asal;
5. Biaya transport, asuransi, biaya local dan biaya tambahan secara langsung yang di keluarkan oleh produsen luar negri untuk mengirimkan produk yang di duga dumping dari eksportir asing ke importir utama, dimana seluruh biaya juga termsuk harga yang di bebankan. 6. Biaya pengemasan produk yang di duga dumping. 7.
Biaya biaya piutang yang secara langsung menjadi jaminan untuk penjualan.
8. Biaya biaya setelah penjualan seperti jaminan, garansi, biaya bantuan teknis, dan jasa bantuan hukum dan/ atau kontrak penjualan. 9.
Pertukaran mata uang yang sesuai dengan section (i)
Ketentuan diatas menekankan pada perbandingan harga untuk produk sejenis yang di hitung berdasarkan harga eks pabrik dapat dihitung secara terperinci seperti harga di luar pabrik untuk pasar domestik negara pengekspor dengan harga penjualan dinegara pengekspor serta pajak pajak dan faktor faktor lain, apabila salah satu faktor saja tidak dihitung dapat menyebabkan perbandingan harga menjadi berbeda. Kemudian didalam ketentuan ini juga menyebutkan bahwa apabila perbandingan harga tidak dapat di tentukan maka dalam hal menghitung harga normal harus mempertimbangkan faktor faktor lain seperti yang dijelaskan pada Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752 section 11 (c) mengatur tentang bagaimana menentukan harga normal apabila perbandingan harga tidak dapat di perhitungkan sesuai dengan section 11 (b) diatas.
Adapun isi dari section 11 (c) adalah sebagai berikut: 169 (c)If the normal value of a product cannot be determined because of the following conditions in the domestic market of the country of export or origin : 1. absence of sales of the allegedly dumped product in the ordinary course of domestic trade; or 2. particular market situation makes domestic sales unsuitable for proper comparison (price does not reflect a fair price in normal market conditions e.g. consignment or monopsony); or 3. volume of domestic sales is less than 5% of export sales to the Philippines. A lower ratio of domestic sales to Philippine imports may be acceptable if it is of sufficient magnitude to provide for a proper comparison. The volume sold to the domestic and export markets will be assessed over a reasonable period e.g. one year in order to avoid distortions such as seasonal fluctuations Then, the secretary or commision, may determine that the normal value shall be either: a.the comparable price of the like product when exported to an appropriate third country provided that this price is representative;or b.the constructed value or the cost of production in the country of origin plus a reasonable amount for administrative, selling and general costs and for profits Jika harga normal dari suatu produk tidak dapat di tentukan di karenakan kondisi kondisi industri dalam negeri negara pengekspor atau negara asal seperti di bawah ini: 1. Tidak terdapat penjualan produk yang diduga dumping pada industri dalam negeri; atau 2. Situasi pasar tertentu yang membuat penjualan domestik tidak cocok untuk melakukan perbandingan harga (dalam hal ini harga tidak mencerminkan harga yang adil misalnya terjadi monopsony); atau
169
Ibid, Section 11 (c)
3. volume penjualan untuk kebutuhan domestic kurang dari 5% dari penjualan ekspor ke Filipina. Perbandingan volume penjualan dengan jumlah yang kecil mungkin dapat diterima jika harganya dinilai tepat. Jumlah produk yang dijual di negara asal lebih sedikit dan jumlah penjualan yang di jual di pasar ekspor yang dijual melebihi jumlah penjualan di negara asal atau negara exportir dengan alasan selama periode contohnya satu tahun untuk menghindari distorsi dan fluktuasi musiman. Sekretaris Komisi dapat menentukan nilai normal berupa: (i) pembentukan harga produk sejenis dengan melakukan perbandingan harga di negara ketiga dimana harga tersebut merupakan perwakilan harga (ii) pembentukan harga atau biaya produksi di dalam suatu negara asal ditambah jumlah yang wajar seperti biaya biaya, keuntungan penjualan dan biaya biaya umum. Section 11 (c) diatas menekankan pada apabila harga normal suatu barang tidak dapat ditentukan
dikarenakan beberapa sebab Sekretaris dan Komisi dapat menghitung nilai
normal dengan menggunakan metode pembentukan harga dalam hal perhitungan harga normal. Selanjutnya Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752 section 11 (d) menggambarkan lebih rinci dalam hal menentukan nilai normal. 170 (d) in determining whether a third country is appropriate for determining the normal value, the following criteria, among others may be considered: 170
Ibid, Section 11 (d)
1. Volume of trade from the country of export to the selected third country is similar to the volume of trade from the country of export to the philipines; and 2. nature of trade of the like product between the country of export and the selected third country is similar to the nature of trade between the country of export and the Philipines. dalam menentukan nilai normal di negara ketiga, maka kriteria berikut dapat dipertimbangkan: (1) volume penjualan di negara ketiga sama dengan jumlah volume penjualan yang di eksport ke Filipina. (II) produk sejenis antara negara asal dan produk yang dijual di negara ketiga sama dengan produk yang diekspor ke negara Filipina. Maka dalam hal ini jelas terlihat bahwa dalam menentukan nilai normal yang di jelaskan pada section 11 (d) merupakan perhitungan nilai normal berdasarkan negara ketiga sama dengan perhitungan nilai normal yang di jual di negara Filipina dan produk itu harus merupakan produk sejenis yang dijual di negara ketiga dan di negara Filipina. Selanjutnya pada Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752 Section 11 (e) menyebutkan bahwa: 171 (e) Sales of the allegedly dumped product in the domestic market of the country of export or origin, or sales to a third country, at prices below per unit (fixed and variable) costs of production plus administrative, selling and general costs may be treated as not being within the ordinary course of trade by reason of price and may be disregarded in determining normal value only if it is determined that such sales are made within one (1) year and in no case less than six (6) months in 171
Ibid, Section 11 (e)
substantial quantities and are at prices which do not provide for the recovery of all costs within a reasonable time period. If prices which are below per unit of costs at the time of sale are above weighted average per unit costs for the period of investigation, such prices shall be considered to provide for recovery of costs within a reasonable time period. Sales below per unit cost are made in substantial quantities when the weighted average selling price of the transaction under consideration for the determination of normal value is below the weighted average per unit costs, or that the volume of sales below per unit costs represent not less than 20 per cent (20%) of the volume sold in transactions under consideration. Examples of sales which may be considered as being outside the ordinary course of trade are sales or transactions involving off-quality merchandise or merchandise produced according to unusual product specifications, merchandise sold at irregular prices or with abnormally high profits, merchandise sold pursuant to unusual terms of sale, or merchandise sold to an affiliated party at a non-arms length transaction price.
Penjualan untuk produk dumping yang di ekspor oleh negara pengekspor ke Filipina atau negara asal, atau dinegara ketiga, dengan melakukan perhitungan harga normal berdasarkan biaya satuan (tetap dan variable) dari produksi ditambah biaya administratif, biaya penjualan dan biaya umum yang digunakan dalam memproduksi suatu produk, dalam menentukan nilai normal dapat dihitung berdasarkan penjualan dalam satu tahun dan apabila dalam hal terdapat kasus kasus yang tidak biasa kurang dari 6 bulan dalam jumlah substansial dan biaya biaya yang dihitung selama periode waktu tersebut. Satuan harga yang menjadi patokan dasar adalah rata rata pembobotan persatuan produk yang cukup beralasan. Pada section 11 (e) ini lebih menekankan pada perhitungan harga normal berdasarkan harga penjualan satu tahun terakhir dan ada beberapa kasus tertentu perhitungan harga normal dihitung berdasarkan penjualan 6 bulan terakhir.
Selanjutnya section 11 (f) Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The AntiDumping Act of 1999 menjelaskan mengenai perhitungan harga normal. 172 (f) If the normal value is based on the cost of production in the country of origin,
costs shall be calculated based on records kept by the foreign exporter or producer provided that these are in accordance with the generally accepted accounting principles of the country of export or origin and reasonably reflect the costs associated with the production and sale of the allegedly dumped product. The amounts for administrative, selling and general costs and for profits shall be based on actual data pertaining to production and sales in the ordinary course of trade of the allegedly dumped product by the foreign exporter or producer. When such amounts cannot be determined on this basis, it shall be based on the actual amounts realized by the foreign exporter or producer or the weighted average of the actual amounts incurred and realized through other foreign exporters or producers or by any other reasonable method.
Perhitungan harga normal berdasarkan biaya produksi di negara asal, biaya harus dihitung atau di kalkulasikan berdasarkan pada catatan yang di buat oleh eksportir atau produsen luar negeri bahwa perhitungan ini berdasarkan prinsip akutansi yang dapat diterima secara umum dari negara eksport atau negara asal dan rincian biaya yang berkaitan dengan produksi dan penjualan produk yang di duga dumping. Perhitungan itu meliputi jumlah biaya administratif, biaya penjualan dan biaya umum serta keuntungan penjualan harus berdasarkan pada data aktual yang berkaitan dengan produksi penjualan produk yang di duga dumping tersebut oleh pihak eksportir atau produsen luar negeri. Apabila perhitungan tersebut tidak berdasarkan pada ketentuan yang di sebut di atas maka harus berdasarkan 172
Ibid, Section 11 (f)
pada perhitungan rata rata berat dari jumlah produk dumping tersebut atau berdasarkan metode lain yang dapat diterima. Section 11 (f) ini menekankan pada perhitungan harga normal tersebut sesuai dengan prinsip akutansi. Dimana dalam hal ini perhitungan rincian biaya tersebut sudah termasuk biaya biaya yang berkaitan dengan proses penjualan. Selanjutnya section 11 (g) Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The AntiDumping Act of 1999 menjelaskan mengenai perhitungan harga normal. (g) If the normal value is based on the best information available, including the information supplied in the application, such information shall be checked, where practicable and with due regard to the time limits of the investigation, by referring to information from other independent sources which may be available, such as published price lists, official import statistics and customs returns or information obtained from other interested parties during the investigation. 173 Perhitungan nilai normal berdasarkan pada informasi yang tersedia, termasuk informasi yang di berikan pada pemohon. Informasi tersebut harus di periksa, pada prakteknya perhitungan nilai normal tersebut berdasarkan batas waktu yang telah ditentukan dalam hal penyelidikan, dengan mengacu pada informasi dari beberapa sumber, seperti daftar harga, neraca perdagangan dan juga informasi dari perpajakan atau informasi yang diperoleh para pihak selama masa penyelidikan. Section 11 (g) ini menekankan pada perhitungan nilai normal harus berdasarkan informasi yang akurat dan berasal dari sumber yang terpercaya. 173
Ibid, Section 11 (g)
Selanjutnya section 11 (h) Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The AntiDumping Act of 1999 menjelaskan mengenai perhitungan harga normal. 174 (h) In the case of products imported from non-market economy countries, normal value shall be determined on the basis of the price or constructed value in a market economy third country, or the export price from such a third country to other countries or where those are not possible, on any other reasonable basis, including the price actually paid or payable in the Philippines for the like product, duly adjusted if necessary to include a reasonable profit margin. An appropriate market economy third country shall be selected taking due account of any reliable information available at the time of selection. The applicant may nominate a comparable market economy for consideration by the Secretary or the Commission. When selecting a third country, it should have a similar costing structure, and if possible, be at a similar stage of economic development to the country of export or origin, particularly in regard to the industry under investigation. In making a comparison, factors such as gross national product, infrastructure development, manufacturing process, technical standards and production scales may be taken into account. Dalam kasus produk yang diimpor dari negara asal yang mana negara tersebut menganut sistem ekonomi non market (non pasar), perhitungan nilai normal harus di tentukan atas dasar harga atau pembentukan harga di dalam ekonomi pasar negara ketiga, atau harga eksport dari negara ketiga ke negara lain, atas dasar perhitungan yang masuk akal, termasuk harga yang dibayar atau dapat dibayarkan di Filipina untuk produk sejenis, yang disesuaikan bila perlu melibatkan margin keuntungan. Keadaan ekonomi pasar di negara ketiga harus dipilih dengan memperhitungkan informasi yang tersedia. Pemohon dapat menunjuk negara ketiga yang akan digunakan sebagai 174
Ibid., Section 11 (h)
perbandingan dalam perhitungan harga normal yang selanjutnya akan dipertimbangkan oleh Sekretaris dan Komisi. Dalam hal menunjuk negara ketiga diatas, negara ketiga di harapkan harus memiliki struktur biaya yang sama, dan sedapat mungkin, sistem ekonomi yang sama dengan negara eksportir atau negara asal, terutama menyangkut industri yang sedang diteliti. Dalam hal melakukan perbandingan harga, faktor faktor seperti produk produk nasional, perkembangan infrastruktur, proses manufakturing, standar teknis dan skala produksi dapat menjadi bahan pertimbangan. Selanjutnya section 11 (i) Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The AntiDumping Act of 1999 menjelaskan mengenai perhitungan harga normal. 175 (i) When
the comparison between normal value and export price requires a conversion of currencies, such conversion shall be made using the rate of exchange on the date of sale as stated in the contract, purchase order, order confirmation or invoice, whichever establishes the material terms of sale, provided that when a sale of foreign currency on forward markets is directly linked to the export sale involved, the rate of exchange in the forward sale shall be used. Fluctuations in exchange rates shall be ignored and foreign exporters shall be allowed at least sixty (60) days to adjust their export prices to reflect sustained movements in exchange rates during the period of investigation.
Perbandingan harga antara nilai normal dan harga eksport membutuhkan konversi nilai mata uang, seperti konversi yang dibuat dengan menggunakan nilai tukar pada saat penjualan sebagaimana dinyatakan dalam kontrak, pemesanan pembelian, konfirmasi pembelian atau faktur faktur, yang digunakan dalam penjualan barang, nilai mata uang asing pada saat 175
Ibid, Section 11 (i)
penjualan yang secara langsung berhubungan dengan penjualan eksport. Fluktuasi dalam nilai tukar mata uang asing dapat di abaikan dan pihak eksportir asing diperkenankan setidaknya dalam waktu 60 hari harus menyesuaikan harga eksport yang menggambarkan pergeseran dalam nilai tukar mata uang selama proses penyelidikan. Selanjutnya section 11 (j) Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The AntiDumping Act of 1999menjelaskan mengenai perhitungan harga normal. 176 (j) In the case where products are not imported directly from the country of origin but are exported from an intermediate country, the price at which the products are sold from the country of export to the Philippines shall be compared with the comparable price in the country of export. However, comparison may be made with the price in the country of origin, if the products are merely transshipped through the country of export or such products are not produced in the country of export or there is no comparable price for them in the country of export. Dalam hal dimana produk tidak diimpor secara langsung dari negara asal tetapi dieksport dari negara ketiga, dimana harga produk yang dijual dari negara pengeksport ke negara Filipina dapat di bandingkan dengan perbandingan harga di negara pengekspor. Jika suatu produk di kirimkan melalui kapal sampai ke negara pengekspor atau produk yang tidak di produksi di negara pengekspor atau tidak adanya perbandingan harga di negara pengekspor. Selanjutnya section 11 (k) Administrative Order No. 1 menjelaskan mengenai perhitungan harga normal. 177
176 177
Ibid, Section 11 (j) Ibid, Section 11 (k)
(k) In cases where there is no export price or where it appears that the export price is unreliable because of a relationship or a compensatory arrangement between the foreign exporter and the importer or a third party, the export price may be constructed on the basis of the price at which the allegedly dumped product is first resold to an independent buyer, or if such product is not resold to an independent buyer, or not resold in the condition as imported, on such reasonable basis as the Secretary or Commission may determine. In this case, allowances for costs, including duties and taxes incurred between importation and resale, and for profits, should also be made. If in these cases, price comparability has been affected, the normal value shall be established at a level of trade equivalent to the level of trade of the constructed export price taking into consideration due allowances which affect price comparability. The necessary information to ensure a fair comparison shall be required from the interested parties without imposing a reasonable burden of proof on them.
Dalam kasus dimana tidak ada harga eksport atau adanya harga eksport yang tidak masuk akal disebabkan karena hubungan atau perjanjian kompensasi antara eksportir dan importir atau pihak ketiga, Sekretaris dan Komisi dapat memperkirakan harga eksport berdasarkan harga dimana produk dumping itu pertama kali dijual ke pembeli independen, atau produk tidak dijual kembali kepada pembeli independen, atau produk tersebut tidak dijual lagi sebagai
barang
import.
Dalam
hal
ini,
harga
eksport
di
perkirakan
dengan
mempertimbangkan biaya biaya yang dapat mempengaruhi perbandingan harga. Dalam hal ini membutuhkan informasi yang diperlukan untuk memastikan adanya perbandingan yang wajar yang mana informasi tersebut harus berasal dari para pihak yang berkepentingan tanpa pembuktian.
Selanjutnya section 11 (l) Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The AntiDumping Act of 1999 menjelaskan mengenai perhitungan harga normal. 178 (l) In accordance with the provisions governing fair comparison, the existence of a
dumping margin during the period of investigation shall be established by the comparison of: 1. a weighted average normal value with a weighted average of all comparable export transactions; or 2. corresponding normal value and individual export prices on a transaction by transaction basis; or 3.The weighted average normal value with the individual export transactions, in cases where the pattern of export prices differs significantly among different purchasers, regions or time periods and such differences as explained in writing cannot be taken into account appropriately by using methods 1 and 2.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang perbandingan harga yang wajar, adanya margin dumping selama masa penyelidikan harus ditetapkan dengan menggunakan perbandingan sebagai berikut: 1.nilai normal rata rata yang di bobotkan dengan rata pembobotan semua transaksi eksport yang dapat di bandingkan 2. hubungan antara nilai normal dan harga ekspor pada transaksi awal. 3.Rata rata nilai normal yang di bobotkan dengan transaksi eksport individu, dalam kasus dimana pola harga eksport berbeda secara signifikan antara pembeli yang berbeda, jangka waktu dan beberapa perbedaan sebagaimana dijelaskandalam bentuk tulisan tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan metode 1 dan 2 178
Administrative Order No. 1 of Antidumping 1999., Op.cit, Section 11 (l)
Dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya dalam hal penentuan nilai normal ketentuan dalam Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752 lebih lengkap dan terperinci mengatur dalam hal menentukan nilai normal bila di bandingkan dengan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011. Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2011 tidak menjelaskan secara lebih terperinci dalam hal menentukan nilai normal. Hal hal yang terperinci tersebut adalah perhitungan harga eksport yang gunakan seperti yang tertera dalam Administrative Order No.1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752 serta faktor faktor lain yang menyebabkan perbandingan harga seperti konversi nilai mata uang seperti yang tertera dalam ketentuan di Filipina. Adapun contoh perhitungan harga normal berdasarkan kasus perhitungan harga normal pada kasus report on the final determination on the application of the Philippine mosquito coil on the application of the philipine mosquito Industry for the imposition of definitive Antidumping measure against the importation of mosquito coil from Indonesia (AHTN Subheading Nos. 3808.50.12 and 3808.91.20) (Anti-Dumping Investigation No. 01-2010) Adjusted to ex-factory level, the calculated weighted average normal value of mosquito coil (scented and unscented) in 2008 was US$8.23/case. Table 8 shows the normal value used by the Commission for its final determination. 179 179
Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Tariff dan Comission atas Produk Import obat nyamuk dengan Pos Tariff No. 3808.50.12 and 3808.91.20 yang berasal dari Indonesia
Tabel 5. Adjusted Normal Value: January to December 2008 POI Qty Gross Price Net Price Net Price (Jan. – Dec. 2008) (Cases) (IDR/case) (IDR/case) (US$/case) Baygon Mosquito Coils - Unscented (Green Standard EF 0.2) 60 x 5DC January 225,963 95,504 75,802 8.05 February 167,349 98,281 78,024 8.49 March 158,359 98,400 78,119 8.55 April 111,430 98,400 78,119 8.49 May 131,633 98,400 78,119 8.42 June 199,760 98,400 78,119 8.39 July 162,837 98,400 73,009 7.97 August 202,122 98,400 73,009 7.94 September 171,301 98,604 73,172 7.81 October 90,824 110,149 82,408 8.36 November 120,257 110,280 82,513 7.09 December 160,382 110,280 82,513 7.22 Baygon Mosquito Coils - Scented (Lavender Standard) 60 x 5DC January 33,863 106,432 86,980 9.23 February 26,453 109,670 89,667 9.75 March 17,530 109,800 89,775 9.82 April 8,883 109,800 89,775 9.75 May 21,530 109,800 89,775 9.67 June 35,216 109,800 89,775 9.64 July 17,926 117,167 86,548 9.44 August 30,116 121,200 89,895 9.77 September 27,365 121,234 89,923 9.60 October 9,979 127,260 94,925 9.63 November 9,036 127,260 94,925 8.16 December 14,593 127,260 94,925 8.30 Weighted Average Normal Value = US$ 8.23/case Source JHHP (JHHP uses different active ingredient in the production of mosquito coils sold in Indonesia and exported to the Philippines. The active ingredient used for coils sold in the Indonesian market is transfluthrin while d-allethrin is used for those sold in the Philippines.)
Tabel 5 merupakan perhitungan harga normal berdasarkan contoh kasus report on the final determination on the application of the Philippine mosquito coil on the application of the philipine mosquito Industry for the imposition of definitive Antidumping measure against the
importation of mosquito coil from Indonesia (AHTN Subheading Nos. 3808.50.12 and 3808.91.20) (Anti-Dumping Investigation No. 01-2010) Adjusted to ex-factory level, the calculated weighted average normal value of mosquito coil (scented and unscented) in 2008 was US$8.23/case. 180 3). Margin Dumping Report on the final determination on the application of the Philippine mosquito coil on the application of the philipine mosquito Industry for the imposition of definitive Antidumping measure against the importation of mosquito coil from Indonesia (AHTN Subheading Nos. 3808.50.12 and 3808.91.20) (Anti-Dumping Investigation No. 01-2010. 181 The dumping margin computed for JHHP, the only identified exporter of mosquito coils from Indonesia during the POI. Table 6. Calculation of Dumping Margin Weighted Ave. Weighted Ave. Identified Normal Value Export Price Exporter (US$/case) (US$/case) (a) (b) (c) JHHP
8.23
8.18
Dumping Margin Absolute Terms Percentage Terms (US$/case) of Export Price (%) (d) = (b) - (c) (e) = (d) / (c) 0.05
0.61
The calculated dumping margin is US$ 0.05/case or 0.61% of export price, which is below the de minimis threshold of less than 2% of export price
Tabel 6 merupakan tabel perhitungan margin dumping pada kasus report on the final determination on the application of the Philippine mosquito coil on the application of the philipine mosquito Industry for the imposition of definitive Antidumping measure against the importation of mosquito coil from Indonesia (AHTN Subheading Nos. 3808.50.12 and 3808.91.20) (Anti-Dumping Investigation No. 01-2010) 180
Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Tariff dan Comission atas Produk Import obat nyamuk dengan Pos Tariff No. 3808.50.12 and 3808.91.20 yang berasal dari Indonesia 181 Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Tariff dan Comission atas Produk Import obat nyamuk dengan Pos Tariff No. 3808.50.12 and 3808.91.20 yang berasal dari Indonesia
Pada dasarnya dalam hal menentukan margin dumping di setiap negara adalah sama dikarenakan Filipina merupakan salah satu negara anggota WTO yang terikat didalamnya pada ketentuan yang diatur dalam WTO. Dalam hal menentukan adanya margin dumping diatur dalam Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 section 11 (a). 3. Komparatif Yuridis Kebijakan Antidumping Antara Indonesia dan Filipina Dalam Menentukan Harga Normal (Normal Value) dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping Pada dasarnya, terdapat persamaan dan perbedaan mengenai kebijakan Antidumping di Indonesia dan di Filipin dalam menentukan harga normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping. Adapun persamaan mengenai dasar hukum Antidumping dalam menentukan harga normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping, Indonesia dan Filipina sama sama masih mengacu kepada Antidumping code (Antidumping Agreement 1994) yang diatur dalam GATT/WTO. Hal ini di karenakan Indonesia dan Filipina merupakan negara anggota GATT/WTO yang di dalam keikutsertaanya Indonesia dan Filipina mempunyai keharusan dalam mengharmonisasikan peraturan yang diatur oleh GATT/WTO kedalam peraturan perundang undangan nasionalnya masing masing. Adapun perbedaan yang dapat dilihat dari kebijakan Antidumping di Indonesia dan di Filipina dalam menentukan harga normal (normal value)
dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya ialah bahwasanya di dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang dimaksud dengan barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. 182 Dalam hal ini, ada dua komponen utama harga ekspor dan harga normal, yang dimaksud dengan harga ekspor adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang yang diekspor ke daerah pabean Indonesia. 183 dan yang dimaksud dengan nilai normal ialah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. 184 Sedangkan definisi barang dumping menurut Peraturan Perundang-undangan di Filipina ialah “Dumped Import/ Product refers to any product which is imported into the Philipines at an export price less than its normal value in the ordinary course pf trade for the like roduk destined for consumption in the country of export or origin, and wich is causing or is threatening to cause material injury to a domestic industry, or materially retarding the establishment of a domestic industry producing the like product. 185 Barang dumping mengacu pada produk yang di import ke Filipina pada tingkat harga ekspor yang lebih rendah harga normalnya dalam suatu kegiatan perdagangan untuk barang barang sejenis yang dikonsumsi di negara eksportir atau negara asal, dan yang menyebabkan industri dalam negeri mengalami kerugian secara materil, atau secara materil mempengaruhi
182
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011 Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 butir 4 Ibid., Pasal 1 butir 5 184 Ibid., Pasal 1 butir 6 185 Administrative Order No. 1 Implementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Anti-dumping Duty Under Republict of Act 8752 Section 2 (j) 183
produksi industri dalam negeri. Dalam hal ini, ada dua komponen yang dapat dilihat menurut peraturan Perundang-undangan di Filipina yaitu harga ekspor dan nilai normal. yang dimaksud dengan harga eksport adalah Export price refers to (1) the exfactory price at the point of sale for export; or (2) the F.O.B. price at the point of shipment. In this cases where (1) or (2) cannot be used, then the eksport price may be constructed based on such reasonable basis as the Secretary or the Commision may determine. 186
Harga ekspor
mengacu pada (1) harga penjualan eks faktori di negara pengekspor; atau (2) harga ekspor pada tingkat F.O.B. apabila harga ekspor tidak dapat dihitung berdasarkan (1) dan (2) harga ekspor mungkin di hitung berdasarkan pembentukan harga di negara ketiga berdasarkan alasan yang masuk akal. Dan yang dimaksud dengan normal value refers to a comparable price at the date of sale of the the like product in the ordinary course of trade when destined for consumption in the country of export or origin. 187 Nilai Normal mengacu kepada perbandingan harga pada saat penjualan produk dari barang sejenis dalam kegiatan perdagangan yang dikonsumsi negara pengekspor atau negara asal. Dari penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya kebijakan mengenai Antidumping di Filipina lebih jelas dan terperinci daripada kebijakan Antidumping di Indonesia. adapun hal hal yang diatur dalam kebijakan di Filipina yang tidak diatur dalam kebijakan Antidumping di Indonesia ialah : Pertama, Kebijakan Antidumping di Indonesia tidak menyantumkan harga ekspor 186 187
Ibid., Section 2 (l) Ibid.,Section 2 (s)
berdasarkan F.O.B. atau C.I.F berbeda halnya dengan kebijakan Antidumping di Filipina yang telah membatasi perhitungan harga ekspor berdasarkan F.O.B namun pada prakteknya Indonesia menggunakan C.I.F. hal ini tidak dapat di temui baik dari Undang – Undang maupun Peraturan Pemerintah dan kebijakan Antidumping di Indonesia. Kebijakan Antidumping di Indonesia juga tidak mengatur lebih rinci mengenai bagaimana kalau harga ekspor tidak dapat di hitung berdasarkan harga eks-faktori dan F.O.B seperti yang diatur dalam kebijakan Antidumping di Filipina. Kedua, kebijakan Antidumping di Filipina lebih jelas dan terperinci dalam hal menentukan nilai normal bila dibandingkan dengan kebijakan Antidumping di Indonesia. adapun hal yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang undangan di Indonesia ialah peraturan Perundang Undangan di Filipina mengatur faktor faktor lain yang menyebabkan perbandingan harga seperti konversi nilai mata uang. Kedua hal yang tidak diatur dalam peraturan perundang undangan di Indonesia yang telah disebutkan pada paragraph sebelumnya sangat perlu di atur lebih terperinci di dalam peraturan perundang undangan di Indonesia. hal ini dapat memudahkan Komite Antidumping Indonesia dalam hal menentukan nilai normal khususnya dalam hal perhitungan harga ekspornya dengan menggunakan batasan harga ekspor di tingkat F.O.B atau C.I.F. dan bagaimana kalau harga ekspor tidak dapat dihitung berdasarkan harga F.O.B atau C.I.F. Adapun hal lain yang penting juga diatur didalam peraturan perundang undangan di Indonesia dalam hal perhitungan harga normal ialah mengatur faktor faktor lain yang menyebabkan
perbandingan harga seperti konversi nilai mata uang, hal ini juga dirasa sangat penting di atur dalam peraturan perundang undangan di Indonesia dikarenakan setiap hari nilai mata uang suatu negara dapat berubah ubah sesuai dengan kondisi perekonomian dunia dan permasalahan lain dalam mengkonversi mata uang adalah membandingkan antara suatu nilai mata uang lokal dengan nilai mata uang asing dan di konversi ke suatu mata uang yang umum diterima atau nilai mata uang yang dapat diterima – biasanya dengan menggunakan kurs. 188 Hal ini dirasa penting diatur karena nilai relatif kedua mata uang itu secara akurat mencerminkan tenaga beli konsumen, yang harus dalam di pertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal perhitungan nilai adanya ketentuan yang mengatur lebih rinci mengenai konversi nilai mata uang ini dapat mempermudah Pemerintah Indonesia khususnya Komite Antidumping Indonesia dalam hal perhitungan
nilai normal dalam hal adanya dugaan
dumping.
188
Ball, A Donald & dkk, Internasional Business – Bisnis Internasional tantangan Persaingan Global, ( Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2005) hal. 172