ISSN 2252 - 4487 Volume.4 | No.3 | September – Nopember 2015
1.
Pengaruh Pemberian Fisioterapi Dada Terhadap Pemenuhan Oksigen PPOK Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Herri Novita Tarigan ............................................................................................................................................. 1-10
2. Pengaruh Posisi Ortopena Terhadap Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Dewi Frintina Silaban ............................................................................................................................................ 11-18 3. Pengaruh Latihan Mobilisasi Aktif Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahan Adrianus Manalu ....................................................................................................................................... 19-28 4. Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Distraksi dan Tehnik Relaksasi pada Pasien Pasca Operasi Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Rahmad Gurusinga ................................................................................................................................................ 29-37 5. Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Kepada Pasien Post Operasi Fraktur Tibia Di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Tati Murni Karokaro ............................................................................................................................................. 38-46 6. Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Perawatan Luka Terbuka dan Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Juni Mariati Simarmata ........................................................................................................................................ 47-55 7. Hubungan Teknik Pemasangan Infus dan Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus dengan Kejadian Phlebitis Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Grace Erlyn Damayanti ......................................................................................................................................... 56-69 8. Perbedaan Perawatan Luka Diabetes Melitus dengan Mnggunakan NaCl 0.9 % dan Povidone Iodone 10 % Terhadap Proses Pertumbuhan Jaringan Baru Pada Rawat Inap Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Kardina Hayati .................................................................................................................................................... 70-80 9. Perbedaan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Baik Efektif pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Elfrida Simanjuntak ............................................................................................................................................ 81-90 10.Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Post OPerasi Fraktur Di Rumah Sakit Patar Asih Lubuk Pakam Iskandar Markus Sembiring .............................................................................................................................. 91-104
PENGARUH PEMBERIAN FISIOTERAPI DADA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGEN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA LUBUK PAKAM HERRI NOVITA TARIGAN, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Application of cest fisioterapyin the compliance needs of oxygenin patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (PPOK) in Grand Medistra Lubuk Pakam Hospita lnot been performing well. This is apparently based on preliminary results of a survey conducted by investigators in which patients Chronic Obstructive Pulmonary Disease (PPOK) still experience: nail and fingercyanosis, shortness of breath, breathing with nasalflaring, cyanosisof mucous membranes, and breathing with pursed mouth. This study aimstoanalyze the influence of chest fisioterapy In Meeting the Needs Of Oxygen In Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients In Grand Medistra Lubuk Pakam Hospital Year 2014. kind of quasiexperimental research design with time series design. The population was all patients Chronic Obstructive Pulmonary Disease (PPOK) who are hospitalized in hospitals Grand Medistra Lubuk Pakam numbered10 people. The research sample consists of 10 people, drawn by using aksidental sampling technique. Collecting data in this study using observation. Analysis of data using a simple pairet t-test at 95% confidencelevel. Based on the analysis of known significant relationship between variables in the breathing exercise (p =0.001)<0.05. There is the influence of breathing exercises in the compliance needs oxygen to the patient Chronic Obstructive Pulmonary Disease (PPOK). Based on there search results suggested to the Management and Head of Non-Grand Medistra to improve health care, especially in providing training interventi on stomeet the needs of breath inoxygen in patients with impaired respiratory systems.
berkaitan dengan variasi kombinasi dari kelainan saluran napas dan parenkim.Adanya gejala sesak napas, berkurangnya kapasitas kerja dan kekambuhan yang sering berulang menyebabkan menurunnya kualitas hidup penderita (Ikawati, 2009). Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta. 726.000
Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal pada jaringan paru terhadap paparan partikel atau gas berbahaya. Hal ini 1
memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakti serebro vascular. Dimana angka kesakitannya meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih besar terjadi pada pria daripada wanita, kematian akibat PPOK sangat rendah pada pasien dibawah usia 45 tahun dan meningkat dengan bertambahnya usia (Ikawati, 2009) Penderita penyakit ini semakin banyak dan menjadi salah satu penyebab utama kematian Kejadian kesakitan dan kematian yang disebabkan PPOK berbeda pada setiap kelompok atau negara, hal ini tergantung banyaknya jumlah perokok, polusi dari industri dan asap kenderaan yang menjadi faktor resiko dari PPOK. WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering. Di seluruh dunia terdapat 3 juta kematian akibat PPOK setiap tahunnya (Ikawati, 2011). Data The Asia Pacific COPD Roundtable Group pada 2006 menunjukkan jumlah penderita PPOK mencapai 56,6 juta dengan prevalensi 6 persen. Indonesia berada diurutan ketiga penderita PPOK terbesar di dunia dengan 4,8 persen penderita, setelah Cina (38 juta) dan Jepang (5 juta). Jumlahnya diperkirakan meningkat akibat banyaknya jumlah perokok.Sebab, 90 persen penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok.PPOK adalah salah satu penyakit yang makin meningkat dari tahun ke
tahun, serta tengah bersaing dengan hipertensi, jantung, stroke, diabetes melitus, asma, penyakit sendi, dan kanker (lippokarawaci, 2011). Di Indonesia berdasarkan pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, PPOK menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Di Indonesia tidak ditemukan data akurat tentang kekerapan PPOK. Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat inap di Rumah Sakit Persahabatan sebanyak 124 orang, sedangkan rawat jalan 1.837 orang. Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 orang dan rawat jalan 2.368 orang, dan data yang di dapat di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2006 berjumlah 284 orang, tahun 2007 berjumlah 287 orang 2008 berjumlah 289 orang dengan adanya peningkatan setiap tahunnya (Darsana, 2010). Di Sumatera Utara khususnya Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam di dapatkan data berdasarkan hasil rekam medik di dapat penderita PPOK. Pada tahun 2009 terdapat penderita PPOK sebanyak 56 orang, 5 diantaranya meninggal dunia, sedangkan pada tahun 2010 terdapat 43 orang, 6 di antaranya meninggal dunia, dan pada tahun 2011 ditemukan 49 oramg, 3 diantaranya meninggal dunia. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 29 maret 2014 di ruangan yang terdapat pasien PPOK yang mengalami gangguan 2
pemenukan kebutuhan oksigen antara lain: ruang Siddiq, ruang Salamun Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam, belum terpenuhi kebutuhan oksigen, hal ini dapat diamati/diobservasi berdasarkan keadaan pasien yang masih mengalami: Kuku dan jari sianosis, sesak nafas, pernafasan dengan cuping hidung, membran mukosa sianosis, bernafas dengan mengerutkan mulut. Serta belum terlaksananya secara efektif tindakan keperawatan yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen pada pasien berupa pemberian fisioterapi dada.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah Quasieksperimen yang merupakan rancangan penelitian eksperimen. Rancangan penelitian ini adalah Time Series Design yang dilakukan dengan cara melakukan observasi (pengukuran yang berulang-ulang), sebelum dan sesudah perlakuan. Bentuk rancangan ini adalah sebagai berikut. 1. Populasi Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008).Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien laki-laki Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yang dirawat inap di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam tahun 2014. 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2010). Adapun yang menjadi sampel penelitian ini adalah pasien PPOK rawat inap di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.
TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui pengaruh pemberian fisioterapi dada terhadap pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien penyakit paru obstruksi kronik di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. a) Untuk mengetahui nilai kebutuhan oksigen pada pasien PPOK sebelum dilakukan perkusi. b) Untuk mengetahui nilai kebutuhan oksigen pada pasien PPOK sebelum dilakukanvibrasi. c) Untuk mengetahui nilai kebutuhan oksigen pada pasien PPOK sebelum dilakukan postural drainase d) Untuk mengetahui nilai kebutuhan oksigen pada pasien PPOK setelah dilakukan perkusi. e) Untuk mengetahui nilai kebutuhan oksigen pada pasien PPOK setelah dilakukanvibrasi. f) Untuk mengetahui nilai kebutuhan oksigen pada pasien PPOK setelah dilakukan posturaldrainase
HASIL PENELITIAN Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.
3
Karakteristik Responden
Umur
(f)
berjumlah 10 orang (100 %) dan yang tidak dapat dilakukan 0 (0%).
(%)
1. 1- 10 Tahun
0
0
2. 11-20 Tahun
0
0
3. 21-30 Tahun
0
0
4. 31-40 Tahun
2
20
5. 41-50 Tahun
5
50
6. 51-60 Tahun
3
30
10
100
Distribusi Pemberian Fisioterapi DadaTerhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Berdasarkan Pemberian Vibrasi Pada Responden di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 No Vibrasi 1 Dapat dilakukan 2 Tidak dilakukan Total
Berdasarkan dari tabel di atas dapat dilihat bahwa responden mayoritas yang berumur 41-50 tahun sebanyak 5 responden (50%), responden yang berumur 51-60 tahun sebanyak 3 responden (30%), responden yang berumur 31-40 tahun sebanyak 2 responden (20%), responden yang berumur 1-10 tahun sebanyak 0 responden (0%), responden yang berumur 11-20 tahun sebanyak 0 responden (0%), dan responden yang berumur 21-30 tahun sebanyak 0 responden (0%) responden
2
Perkusi Dapat dilakukan Tidak dilakukan Total
(f) 10
0
10
100
0
0
10
100
Distribusi Pemberian Fisioterapi Dada Terhadap PemenuhanKebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Berdasarkan Pemberian Postural drainase Pada Responden di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014. No Postural drainase 1 Dapat dilakukan 2 Tidak dilakukan Total
(%) 100
0
(%) 100
Berdasarkan dari tabel Responden yang dapat dilakukan vibrasi berjumlah 10 orang (100 %) dan yang tidak dapat dilakukan 0 (0%).
Distribusi pemberian fisoterapi dada terhadap pemenuhan kebuuhan oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik(PPOK) Berdasarkan PemberianPerkusi Pada Responden Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014. No 1
(f) 10
(f)
(%)
10
100
0
0
10
100
Berdasarkan dari tabel Responden yang dapat dilakukan postural drainase berjumlah 10 orang (100 %) dan yang tidak dapat dilakukan 0 (0%).
Berdasarkan dari tabel Responden yang dapat dilakukan perkusi 4
Distribusi Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Sebelum Dilakukan Fisioterapi Dada Pada Responden di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014. No 1 2
Pemenuhan oksigen Terpenuhi Tidak terpenuhi Total
(f)
(%)
3 7
30 70
10
100
Distribusi Setelah Dilakukan PerkusiTerhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Vibra si
Dilak ukan Tida k dilak ukan Total
Berdasarkan dari tabel Responden yang belum terpenuhi kebutuhan oksigen berjumlah 7 orang (70 %) dan yang terpenuhi3 orang (30%).
(f)
(%)
10 0
100 0
10
100
1 10 0 0
0 0 10
P (value)
0.001
10 0
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Berdasarkan Nilai Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 .
Distribusi Frekwensi dan Persentase Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Sesudah Dilakukan Fisioterapi Dada Pada Responden di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014. No Pemenuhan oksigen 1 Terpenuhi 2 Tidak terpenuhi Total
Pemenuahan Total oksigen Terpe Tid nuhi ak terp enu hi f % F % F % 1 10 0 0 10 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Perku si
Pemenuah an oksigen
Total
Ter pen uhi
f
Berdasarkan dari tabel Responden yang terpenuhi kebutuhan oksigen berjumlah 10 orang (100 %) dan yang terpenuhi0 (0%).
tida k terp enu hi % f % f
p (value)
0.001
%
Dilak ukan
6 6 4 4 10 0 0
10 0
Tidak dilak ukan
0 0 0 0
0
0
Total
6 6 4 4 10 0 0
10 0
Berdasarkan Tabel dengan menggunakan uji pairet t-test yang digunakan, didapat hasil signifikan atauprobabilitas 0,001 atau < 0,05. hal ini berarti bahwa Ha diterima atau ada pengaruh perkusi terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen. Di mana dari 10 pasien yang dilakukan perkusi 6 pasien diantaranya 5
terpenuhi kebutuhan oksigen dan 4 orang yang tidak terpenuhi.
Berdasarkan Tabel dengan menggunakan uji pairet t-test yang digunakan, didapat hasil signifikan atauprobabilitas 0,002 atau < 0,05. hal ini berarti bahwa Ha diterima atau ada pengaruh postural drainase terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen.Di mana dari 10 pasien yang dilakukan perkusi 10 pasien diantaranya terpenuhi kebutuhan oksigen dan 0 orang yang tidak terpenuhi. Distribusi Setelah Dilakukan Fisioterapi Dada Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Berdasarkan Nilai Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014
Distribusi Setelah Dilakukan Vibrasi Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit ParuObstruksi Kronik (PPOK) Berdasarkan Nilai PemenuhanKebutuhan Oksigen di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014. Berdasarkan Tabel dengan menggunakan uji pairet t-test yang digunakan, didapat hasil signifikan atauprobabilitas 0,001 atau < 0,05. hal ini berarti bahwa Ha diterima atau ada pengaruh vibrasi terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen. Di mana dari 10 pasien yang dilakukan perkusi 10 pasien diantaranya terpenuhi kebutuhan oksigen dan 0 orang yang tidak terpenuhi.
Postu ral drain ase
Distribusi Setelah Dilakukan Postural DrainaseTerhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Berdasarkan Nilai Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 Postu ral drain ase
Dilak ukan Tidak dilak ukan Total
Pemenuahan Total oksigen Terpen Tid uhi ak terp enu hi F % f % F % 10 0
10
10 0 0
0 0 1 10 0 0 0 0 0 0
10 0
0 0 1 10 0 0
Dilak ukan Tida k dilak ukan Total
p (value)
Pemenuahan oksigen Terpen Tid uhi ak terp enu hi f % f % 10 10 0 0 0 0 0 0 0
10
10 0
0
Total
p (value)
0.001
F % 1 10 0 0 0 0
0 1 10 0 0
Berdasarkan Tabel dengan menggunakan uji pairet t-test yang digunakan, didapat hasil signifikan atauprobabilitas 0,01 atau < 0,05. hal ini berarti bahwa Ha diterima atau ada pengaruh postural drainase terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen.Di mana dari 10 pasien yang dilakukan perkusi 10 pasien diantaranya terpenuhi kebutuhan oksigen dan 0 orang yang tidak terpenuhi.
0.002
6
PEMBAHASAN
c. Postural Drainase Karakteristik berdasarkan pemberian fisioterapi dada (Postural Drainase) yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 sebanyak 10 responden dalam penerapan fisioterapi dada. Responden yang dapat dilakukan sebanyak 10 orang (100%), yang tidak dilakukan 0 orang (0%).
Karakteristik Responden a. Umur Hasil penelitian yang dilakukan dilakukan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam diketahui bahwa kelompok umur tertinggi adalah 41-50 tahun sebanyak 5 orang (50%), kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 3 orang (30%), dan kelompok umur terendah 31-40 tahun sebanyak 2 orang (20%). Berdasarkan hasil peneliitian dapat dilihat bahwa yang mendominasi pasien PPOK yang di rawat di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam adalah pasien yang berusia 41-50 tahun (50%). Hal ini dikarenakan adanya gangguan di fungsi paru yang menurun sehingga terdapat angka kesekitan
Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) a. Perkusi Karakteristik berdasarkan pemberian fisioterapi dada (Perkusi) yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 sebanyak 10 responden pemenuhan kebutuhan oksigen. Responden yang terpenuhi sebanyak 6 orang (60%), yang tidak terpenuhi 4 orang (40%).
Fisioterapi Dada a. Perkusi Karakteristik berdasarkan pemberian fisioterapi dada (Perkusi) yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 sebanyak 10 responden dalam penerapan fisioterapi dada. Responden yang dapat dilakukan sebanyak 10 orang (100%), yang tidak dilakukan 0 orang (0%).
b. Vibrasi Karakteristik berdasarkan pemberian fisioterapi dada (Vibrasi) yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di RUMAH Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 sebanyak 10 responden pemenuhan kebutuhan oksigen. Responden yang terpenuhi sebanyak 10 orang (100%), yang tidak terpenuhi 0 orang (0%).
b. Vibrasi Karakteristik berdasarkan pemberian fisioterapi dada (Vibrasi) yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 sebanyak 10 responden dalam penerapan fisioterapi dada. Responden yang dapat dilakukan sebanyak 10 orang (100%), yang tidak dilakukan 0 orang (0%).
c. Postural Drainase Karakteristik berdasarkan pemberian fisioterapi dada (Postural Drainase) yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 sebanyak 10 responden pemenuhan kebutuhan 7
oksigen. Responden yang terpenuhi sebanyak 10 orang (100%), yang tidak terpenuhi 0 orang (0%). Pengaruh Pemberian Fisioterapi Dada Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
2.
Berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan sampel pairet t-test yang dilakukan, diperoleh nilai signifikan atau probabilitas fisioterapi dada 0.001 hal ini bararti bahwa probabilitas atau sinifikan < 0,05. sehingga Ha diterima atau ada pengaruh pemberian fisioterapi dada terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien PPOK di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam
3.
Berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan sampel pairet t-test yang dilakukan, diperoleh nilai signifikan atau probabilitas fisioterapi dada (Perkusi 0,001 , Vibrasi 0,001, Postural drainase 0,002). hal ini bararti bahwa probabilitas atau sinifikan < 0,05. sehingga Ha diterima atau ada pengaruh pemberian fisioterapi dada terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien PPOK di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.
4.
5.
Kesimpulan Hasil penelitian mengenai Pengaruh Pemberian Fisioterapi Dada Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan data distribusi frekuensi penerapan fisioterapi dada ( Perkusi, Vibrasi dan 8
Postural drainase) yang dilaksanakan pada responden penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam dapat dilaksanakan dengan baik kepada 10 orang responden (100%). Berdasarkan hasil distribusi frekuensi kebutuhan oksigen pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) setelah dilakukan fisioterapi dada (Perkusi) terpenuhi kebutuhan oksigen 6 responden (60%) dan yang tidak terpenuhi 4 responden (40%). Berdasarkan hasil distribusi frekuensi kebutuhan oksigen pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) setelah dilakukan fisioterapi dada (Vibrasi) terpenuhi kebutuhan oksigen 10 responden (100%) dan yang tidak terpenuhi 0 (0%). Berdasarkan hasil distribusi frekuensi kebutuhan oksigen pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) setelah dilakukan fisioterapi dada (Postural drainase) terpenuhi kebutuhan oksigen (100%) dan yang tidak terpenuhi 0 (0%). Ada pengaruh antara penerapan fisioterapi dada terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji pairet ttest dengan nilai signifikan atau probability perkusi 0,001. hal ini berarti bahwa probability atau signifikan < 0,05. sehingga Ha ditreima atau ada pengaruh pemberian fisioterapi dada terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien PPOK di
6.
7. a.
b.
Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. Ada pengaruh antara penerapan fisioterapi dada(Perkusi, Vibrasi dan Postural drainase) terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji pairet ttest dengan nilai signifikan atau probability perkusi 0,001, vibrasi 0,001 dan postural drainase 0,002. hal ini berarti bahwa probability atau signifikan < 0,05. sehingga Ha ditreima atau ada pengaruh pemberian fisioterapi dada terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien PPOK di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. Keterbatasan Dalam Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi populasi hanya pasien laki-laki yang rawat inap yang ada di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini hanya lembar observasI
Sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya yang sejenis dan selanjutnya agar dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai perbandingan ataupun meningkatkan penelitian ini dengan desain yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2010.Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta Asmadi, 2008.Konsep Dasar Keperawatan. EGC, Jakarta Djojodibroto, D, 2009. Respiratologi. EGC Pustaka Adipura, Jakarta: Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.Jakarta : Salemba Medika. Hidayati, A, 2009.askep fisioterapi dada diakses dari http://Afiyahhidayati.Wordpress.Co m/2009/02/14/Askep-FisioterapiDada 04 april 2014 pada jam 11.42 WIB. Ikawati, Z, 2009. Farmako Terapi Penyakit Sistem Pernafasan. Pustaka Adipura, Yogyakarta. , Z, 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Bursa Ilmu, Yogyakarta. Mubarak,.Chayatin, N. 2008.Kebutuhan Dasar Manusia.EGC. Jakarta. Muttaqin, A, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan.Salemba Medika, Jakarta.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan kepada: Diharapkan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan terutama dalam memberikan intervesi pemberian fisioterapi dada terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam penelitian dan hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan ilmu pengetahuan yang berguna untuk melakukan penelitian selanjutnya.
Notoatmodjo, S, 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan: PT Rineka Cipta. Jakarta. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian 9
Ilmu keperawatan. Salemba Medika, Jakarta. Perry ,P, 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. EGC, Jakarta. Rab, T, 2010. Ilmu PenyakitParu: CV. Trans Info Media, Jakarta Santoso, Y, 2010. Keajaiban Oksigen Untuk Kesehatan. Palmall. Yogyakarta Sastroasmoro, S, 2010. Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis. Sagung Seto, Jakarta. Setiadi, 2007.Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu, Yogyakarta Tarwoto, Wartonah, 2010. Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta Upik, 2014.Fisioterapipadaanak diakses dari http :// Heldaupik. Blogspot.com/fisioterapi dada – pada – pada – anak. html maret 2014 pada jam 19.01 WIB
10
PENGARUH POSISI ORTOPNEA TERHADAP PENURUNAN SESAK NAPAS PADA PASIEN ASMA DI RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM DEWI FRINTINA SILABAN, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRAK Asma adalah suatu keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena Hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu. Salah satu gejala dari asma adalah sesak napas, sesak napas adalah perasaan sulit bernapas. Desain penelitian ini adalah One Group pre-test and post-test. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2014. Data diambil dengan melakukan observasi, yaitu dengan pemberian posisi ortopnea pada pasien asma yang mengalami sesak napas. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien asma yang sesak napas yang di rawat di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Pengambilan sampel dalam penelitian Ini di lakukan dengan cara purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan penelitian. Adapun sampel yang yang diberi tindakan posisi ortopnea adalah sebanyak 10 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberi posisi ortopnea maka diperoleh yang masuk kategori 10 orang (100%) kategori gagal napas 9 orang (90%) kategori Sesak 1 orang (10%) dan tidak sesak 0 orang (0%). Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil P(value)=0,000 dimana P (value) <0,05. Hal ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara posisi ortopnea terhadap penurunan sesak . berulang berupa mengi (napas berbunyi ngik-ngik),sesak nafas,dada terasa berat ,dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari.gejala ini terjadi berhubungan dengan napas yang luas, berfariasi dan sering kali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan (Hetti,2009) Akan terbebas dari ancamanancaman serangan asma berikutnya apalagi bila tempat anda bekerja berada di lingkungan mengandung banyak asap yang tidak sehat.Akhirnya penderita harus selalu berhadapan dengan factor Allergen yang menjadi penyebab serangan asma (Prasetyo.2010)
Latar Belakang Angka penyakit alergi akhir-akhir ini mengingkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, atau populasi baik dari lingkungan maupun zat-zat yang terdapat pada makanan.salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah asma (Prasetyo 2010) Asma adalah suatu keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara. Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas menimbulkan gejala episodik
11
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyaiCiri bronkospasme periodic (kontraksi spasme pernapasan) terutama pada percabangan trakeobronkial yang dapat diakibatkan oleh bernagai stimulus seperti oleh factor biokemikal, endokrin, infeksi ,otonomik dan psikologi (Somantri,2009) Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO),jumlah penderita asma didunia diperkirakan mencapai 300 juta orang. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 400 juta orang pada 2025.Di dunia Penyakit asma termasuk 5 besar penyebab kematian,di perkirakan 250.000Orang kematian setiap tahunnya karena asma (Samsudrajat,2011) Angka kejadian asma bervariasi berbagai negara,tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlah nya,meskipun belakangan ini obatobatan asma banyak dikembangkan.dinegara maju angka kematian dan kesakitan karna asma juga terlihat meningkat.Penelitian di Amerika serikat mendapatkan prevalensi asma sekitar 3%,sementara diInggris angkanya adalah sekitar 5%. Penelitian pada guru-guru india Menghasilkan prevalensi asma sebesar 4,1% sementara laporan dari taiwan menunjukkan angka 6,2% di negara tetangga seperti malaysia Thailand Brunei darussalam dan singapura,bronchitis,emfisema,dan asma merupakan penyebab kematian kedelapan (Arief,2009) Secara geografis prevalensi asma bronkial,rendah pada bangsa
Eskimo,Indian di Amerika utara dan papua New Guinea,walaupun ada Sarjana yang berpendapat bahwa keadaan ini bukan semata-mata karena Pengaruh lingkungan,tetapi lebih mengarah pada pengaruh genetik,Prevalensi asma pada anakanak di skandianiva berkisar antara 0,5-2,0% Inggris dan Amerika mencapai 5,4 hingga 7,4% (Alsagaff dan mukty,2010) Menurut perkiraan sejumlah pakar kesehatan,jumlah penderita asma di Indonesia. Saat ini berada di kisaran 12 juta lebih atau 6%,dari jumlah Penduduk Indonesia,setiap tahun angka itu kecenderungan mengalami Peningkatan (Mangunnegoro,2011) Menurut penelitian para ahli alergi dan imunologi di Indonesia menyimpulkan pada kenaikan jumlah penderita asma pada anakanak sekolah Ini tidak,bisa di lepaskan dari kemajuan ilmu dan teknologi serta gaya hidup modern.Beberapa tahun lalu,sekitar 4,2% dari 10.000 siswa terkena asma Tahun 2010 naik menjadi 5,4% per 10.000 siswa yang di teliti .begitu pula Dengan hasil penelitian FKUI.satu dari enam anak SD di jakarta menderita Asma. Satu dari 16 siswa SLTP/SLTA menderita asma,kedua hasil penelitian Itu menunjukkan trend penderita asma terus meningkat (Mangunnegoro,2011) Studi pada anak usia SLTP di semarang dengan menggunakan kuesioner Internasional study of asthma and allergels inchildhoad (ISAAC) Di dapatkan prevalensi (gejala assma 12 bulan terakhir recent asthma6,2% yang 64% diantaranya mempunyai gejala klasik (Prasetyo,2010).
12
Pada penelitian tentang profil di indonesia oleh Depkes Ri (2009) di laporkan terdapat 1,24% pendrita asma di sumatera utara peningkatkan prevalensi kejadian dan mortalitas asma dalam beberapa tahun ini Sangat mengkawatirkan.untuk menggulangi nya maka diperlukan data Epidemologi tentang karakteristik penderita asma membantu dalam hal Pertimbangan pengobatan,prognosis,data rehabilitas pasien asma akan tetapi data epidemologi yang tersedia tentang penyakit asma di sumatera, khususnya medan masih kurang ,belum terdapat data epidemologi yang pasti (Sastrawan dkk,2008) Prevalensi nasional penyakit asma adalah 4,2%(berdasarkan Diagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Sebanyak 9 provinsi mempunyai Prevalensi penyakit asma diatas prevalensi nasional,yaitu Nanggoro aceh Darussalam, jawa barat, Nusa Tenggara barat, nusa tenggara timur, Kalimantan selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, gorontalo, dan Papua barat, secara nasional, 10 kabupaten /kota dengan prevalensi penyakit Asma tertinggi adalah Aceh barat (13,6%), Buol (13,5%),pohuwato (13,0%) Sumbawa barat (11,5%), boalemo (11,0%), sorong selatan (10,6%), Kaimana (10,5%), Tana toraja (9,5%), banjar (9,2%), dan manggarai (9,2%), sedangkan 10 kabupaten/kota dengan prevalensi penyakit asma Terendah adalah Yukuhimo (0,2%), Langkat (0,5%), lampung tengah (o,5%), Tapanuli selatan (0,6%), lampung utara (0,6%), kediri (0,6%), soppeng (0,6%), karo (0,7%), Serdang
bedagai (0,7%), dan binjai (0,7%) (Riskasde 2007). Berdasarkan hasil survey pendahulu yang di lakukan di RSUD Deli Serdang didapat bahwa penderita asma sebanyak 97 orang yang dirawat inap Selama tahun 2012.selama 3 bulan terakhir sebanyak 17 orang yang mengalami asma,awal bulan maret jumlah pasien penderita asma dirawat inap sebanyak 6 orang ( rekam medik RSUD) deli serdang lubuk Pakam,2014) Penyebab asma sampai saat ini belum diketahui secara pasti meski Telah banyak penelitian oleh para ahli.Teori atau hypotesis mengenai penyebab seseorang mengidap penyakit asma belum disepakati oleh para ahli didunia kesehatan.Namun demikian yang dapat disimpulkan adalah bahwa Ppenderita asma saluran pernapasannya memiliki sifia khas yaitu sangat peka Terhadap berbagai rangsangan seperti polusi udara, asap, debu, zat kimia, Serbuk sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa, bau menyengat, dan olahraga (Prasetyo, 2010) Maka pemberian posisi ortopnea sangat penting untuk membantu mengatasi masalah kesulitan pernapasan dengan memberikan ekspansi dada maksimum. Posisi ortopnea merupakan adaptasi dari posisi fowler tinggi, klien duduk ditempat tidur atau di tepi tempat tidur dengan meja yang menyilang diatas tempat tidur (Nora,2011) berdasarkan dari data dan latar belakang diatas,maka penelitian tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh posisi ortpnea terhadap penurunan sesak napas pada
13
pasien asma di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2014
terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma di Rumah sakit Umum Daerah Deli Serdang Tahun 2014
Tujuan penelitian Untuk mengetahui pengaruh posisi ortopnea penurunan sesak napas pada pasien asma di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2014 Mengetahui frekuensi napas pasien asma sebelum dilakukan posisi ortopnea pasien asma di Rumah Sakit Umum Daerah Lubuk Pakam Tahun 2014 Mengetahui frekuensi napas sesudah dilakukan posisi ortopnea pada pasien asma di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang lubuk pakam tahun 2014
METELOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah quasy eksperimental,desain penelitianone group pre-test and post-test,yaitu sebelum dilaksanakannya perlakuan maka dilakukan observasi pada sample dan sesudah perlakuan juga dilakukan Beberapa kali observasi (Sugiyono.2008) Dalam peneliti memilih pasien asma yang menjadi Sample penelitian,selanjutnya dilakukan pengukuran tentang sesak napas (observasi pre-test), setelah itu diberikan posisi ortopnea yang kemudian akan Diukur kembali sesak napasnya (observasi post-test)
Manfaat penelitian Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberi pengetahuan kepada pasien khususnya tentang menangai sesak napas, penyebab sesak, dan upaya menangani sesak napas tersebut. Sebagai masukan dalam menerapkan asuhan keperawatan dan sebagai bahan peningkatan pelayanan pasien dalam kasus kekambuhan asma ini adalah pengaruh posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma di Rumah Sakit Umum Daerah Deli serdang Lubuk Pakam Tahun 2014? Sebagai dokumentasi pendukung pelayanan rumah sakit mengenai posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien dengan keluhan asma. Untuk menerapkan ilmu yang di peroleh peneliti selama Perkuliahan khususnya pengaruh posisi ortopnue
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian akan dilakukan di Rumah Sakit daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Adapun alasan penelitian memilih melakukan Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam adalah: a. Belum pernah dilakukan penelitian sejenis tentang pengaruh posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma b. Karena di Rumah Sakit Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam banyak pasien mengalami asma c. Lokasi penelitian dekat dengan tempat tinggal peneliti, sehingga penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April
14
- Juli 2014. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabulasi Karakteristik Responden Berdasarkan diatas menunjukkan bahwa dari 10 responden Mayoritas berusia 20-30 tahun sebanyak 1 orang 1 (10%), 31-40 tahun sebanyak 2 orang (20%), 41-50 tahun sebanyak 4 orang (40%), berusia 51-60 tahun sebanyak 2 orang (20%), sedangkan yang berusia 61-70 tahun 1 orang (10%), dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 3 orang (30%)
Populasi dan Sample Penelitian Pada bulan Januari sampai dengan bulan Oktober tahun 2014 populasi pasien asma yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam sebanyak 16 orang populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien asma yang dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2014. Penelitian akan melakukan penelitian. Untuk membatasi karakteristik dari sampel,dilakukan kritea pemilihan yaitu kriteria inklusi dan eksklusi :
Pengaruh posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma dapat dilihat pada saat observasi langsung kepada klien yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Tabel Tabulasi Responden Kategori Penilaian posisi ortopnea
Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dengan menggunakan questioner, melalui wawancara dan observasi yanglakukan terhadap responden . Data yang diperoleh dari pihak lain badan atau institusi yang secara rutin Mengumpulkan data, misalnya Rumah Sakit dan dinas kesehatan instrument atau alat pengumpulan data pada variabel dependenAdalah lembar observasi dalam bentuk 10 petnyataan dan padavariabel Independen peneliti menggunakan satuan acara pelaksanaan yaitu berbentuk perlakuan atau prosedur pelaksanaan pemberian posisi ortopnea yang di berikan pada pasien pasien asma.
No
1
Kategori penilaian posisi ortopnea Tidak sesak Sesak Gagal Napas Jumlah
Frekuensi
Presentase
0
0%
1 9
10% 90%
10
100%
Dari tabel diketahui bahwa dari 10 responden, 9 responden (90%) Mengalami gagal napas, 1 responden (10%) mengalami sesak dan 0 responden (0%) tidak sesak .Tabel Tabulasi Frekuensi Kategori Penilaian sesak napas Sebelum Dilakukan Posisi Ortopne N o
HASIL PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan disemua ruangan rawat inap di Rumah SakitUmum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam.
1 2 3
15
Kejadianses ak Napas TidakSesak Sesak GagalNapas Jumlah
Frekuen si
Presentas e
0 1 9 10
0% 10% 90% 100%
Dari tabel dapat dilihat pengaruh posisi ortopnea terhadap penurunan Sesak napas pada pasien asma sebelum dan sesudah diberi posisi ortopnea dapat Dilihat dari hasil uji paried t-test yaitu variabel posisi ortopnea menunjukkan ada Pengaruh (r=0,671) terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma dan Menunjukkan hubungan yang signifikan karena memiliki nilai p=0,000 (p=0,005 Tabel Hasil Analisis Paried Sampel Ttest
Dari menunjukkan bahwa dari 10 responden, 9 responden (90%) mengalami gagal napas sebelum tindakan posisi ortopnea, 1 responden (10%) mengalami sesak sebelum tindakan posisi ortopnea dan 0 responden (0%) tidak sesak sebelum tindakan posisi ortopnea. Tabel tabulasi Frekuensi Kategori Penilaian sesak napas sesudah Dilakukan Tindakan post ortopnea No
1 2 3
Kejadian Sesak Napas Tidak Sesak Sesak Gagal Napas Jumlah
Frekuensi
Presentase
8
80%
2 0
20% 0%
10
100%
Dari tabel menunjukkan bahwa dari 10 responden , 8 responden (8%) tidak sesak napas setelah dilakukan tindakan posisi ortopnea, 2 responden(2%) mengalami sesak setelah dilakukan tindakan posisi ortopnea, dan 0 Responden (0%) mengalami gagal napas. Hasil ini menunjukkan ada pengaruh terhadap sesak napas yang dialami Klien asma setelah dilakukan posisi ortopnea dengan sebelum dilakukan tindakan Posisi ortopnea.
Variabel Sebelum posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma dan
N 10
cerrelation .671
N
Variabel
mean
1
10
Total posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma
6.000
Uji statistik T –test sig (2tailed) 12,320 0,000
Dari uji statistik dengan menggunakan paired samples t-test Memperlihatkan bahwa adanya pengaruh posisi ortopnea sebelum dan sesudah Dilakukan posisi ortopnea. Berdasarkan uji statistik menunjukkan signifikasi P= 0,000 dimana t-hitung =12,728 dan taraf signifikan 95% sehingga 0,000 <0,05 ini menunjukkan ada pengaruh dilakukan posisi ortopnea terhadap Penurunan sesak napas pada pasien asma.
Tabulasi Hasil Bivariat Tabel Paired Sampel Cerrelation No 1
No
Sig O,00
PEMBAHASAN Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan paried sampel T test Menunjukkan bahwa Pengaruh Posisi Ortopnea terhadap penurunan Sesak Napas Pada pasien Asma Di Rumah Sakit daerah Deli serdang Lubuk Pakam Tahun 2014.
16
Posisi ortopnea, dari 10 responden terdapat 8 orang (80%) dalam kategori Tidak sesak , 2 orang (20%) dalam kategori sesak , dan 0 orang ()%) dalamKategori gagal napas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penurunan sesak napas Pada pasien sesudah dilakukan posisi ortopnea adalah terjadi penurunan Sesak napas sebanyak 80%. Penelitian ini sejalan dengan teori yang ditulis Oleh ( Hetti, 2009) Yang menyatakan bahwa asma adalah suatu keadaan Saluran napas yang mengalami penyempitan karna hiperaktivitas terhadap Ransangan tertentu. Karena itu posisi ortopnea sangat penting. Posisi Ortopnea merupakan adaptasi dari posisi fowler tinggi,klien duduk ditempat Tidur atau ditepi tempat tidur dengan meja menyilang di atas tempat Tidur. Posisi ortopnea dapat membatu mengatasi masalah kesulitan Pernapasan dan masalah ekhalasi pernapasan dengan memberikan ekspansi Dada maksimum ( Nora, 2011). Pengaruh Posisi Ortopnea Terhadap Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian bahwa rata-rata penurunan sesak napas Pada pasien asma sebelum dilakukan posisi ortopnea adalah 8,40 dan Penurunan sesak napas pada pasien asma sesudah dilakukan posisi ortopnea Adalah 2,40. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan signifikan p = 0,000 Dimana t- hitung =12,728 dan taraf signifikan 95 % p=0,000<
Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Asma sebelum Dilakukan Posisi Ortopnea di Rumah Sakit Umum Daerah Lubuk Pakam Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian didapat sebelum diberikan posisi Ortopnea terdapat 9 responden (90%) dalam kategori gagal napas, 1 responden (10%) dalam kategori sesak dan 0 responden (0%) dalam kategori tidak Sesak, Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa asma dengan kategori Terjadi sesak napas lebih tinggi disebabkan oleh factor alerrgen karena Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun Non –imunologi. Asma dipengaruhi oleh usia karena pasien asma berusia 4151Tahun rentan terhadap alergen dan dilihat dari karakteristik yang berisiko Terjadi sesak napas pada pasien asma berusia 41-50 tahun sebanyak 4 orang (40%),61-70 tahun sebanyak 2 orang (20%), 3140 tahun sebanyak 2 orang (20%),51-60 tahun sebanyak 1 orang (10%), 21-30 tahun sebanyak 1 orang (10%) Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang ditulis oleh Depkes RI (2009) bahwa peningkatan prevalensi kejadian dan mortalitas asma sangat mengawatirkan, dan menurut WHO asma termasuk 5 besar penyakit yang Penyebabkan kematian di dunia. Penurunan Sesak Napas pada Pasien Asma sesudah Dilakukan Posisi Ortopnea di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sesudah dilakukan
17
Dimana t- hitung =12,728 dan taraf signifikan 95 % p=0,000<
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uji statistik diatas dan pembahasan tersebut diatas dapat Disimpulkan bahwa pengaruh posisi ortopnea terhadap penurunan sesak napas pada pasien asma di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam pada tahun 2014. 1.Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sesudah dilakukan Posisi ortopnea, dari 10 responden terdapat 8 orang (80%) dalam kategori Tidak sesak , 2 orang (20%) dalam kategori sesak , dan 0 orang ()%) dalam Kategori gagal napas 2.Berdasarkan hasil penelitian bahwa rata-rata penurunan sesak napas Pada pasien asma sebelum dilakukan posisi ortopnea adalah 8,40 dan Penurunan sesak napas pada pasien asma sesudah dilakukan posisi ortopnea Adalah 2,40. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan signifikan p = 0,000
Saran 1. Diharapkan untuk perawat yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Daerah Serdang Lubuk Pakam agar memberikan posisi ortopnea kepada pasien asma,karena posisi ortopnea dapat menurunkan sesak napas pada pasien asma 2. Diharapkan bagi peneliti sebagai pengaplikasikan ilmu yang didapat selama perkulihan diSTIKes MEDISTRA Lubuk pakam Program Studi Ilmu Keperawatan, dan menambah wawasan tentang posisi ortopnea
18
PENGARUH LATIHAN MOBILISASI AKTIF TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA PASIEN LOW BACK PAIN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG LUBUK PAKAM TAHAN ADRIANUS MANALU, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.MB Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Low Back Pain (LBP) or often referred to as low back pain (LBP) was a common complaint. The absence of pain sufferers are often afraid to make a move that disrupts daily activities and could reduce productivity. Pain management could be done with the active mobilization exercises. This research was conducted at the General Hospital of Deli SerdangLubukPakam in March 2015 to July 2015. The study design was a pre experiment (One group pre and post test design). The study population was all patients with low back pain at the General Hospital of Deli SerdangLubukPakam. The sampling technique used purposive sampling technique sampling sample based on criteria specified by the researchers themselves. In this case the samples found as many as 20 people. The assay used in this study were paired sample t test. The results showed that there was influence of active mobilization exercises to decrease pain scale in patients with low back pain at the General Hospital of Deli SerdangLubukPakam where p value (= 0.027) ≤ α (= 0.05). Active mobilization exercise therapy could be used as an alternative treatment for patients after pharmacological treatment for bone health and reduce pain for low back pain. bawah (NPB) merupakan keluhan yang sering dijumpai. LBP untuk selanjutnya adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikular atau keduanya (Mahadewa, 2011). Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbal-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki.Menurut Sigamani (2011) nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang dapat disertai dengan kerusakan jaringan akut atau potensial. Angka kejadian nyeri pinggang bawah atau dalam bahasa Inggris disebut Low Back Pain (LBP) pada
Latar Belakang Setiap individu tidak terlepas dari aktivitas atau pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian aktivitas dan pekerjaan tersebut membutuhkan energi dan kekuatan otot yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan berbagai macam keluhan, salah satunya adalah nyeri pinggang bawah. Hampir semua orang pernah mengalami nyeri pinggang. Sekitar 80% setiap orang dalam hidupnya pernah mengalami nyeri pada daerah pinggang bawah karena kesalahan postural tanpa mengenal jenis kelamin, tingkat sosial dan pekerjaan (Cailiet, 1981 dalam Ismiyati, 2012). Low Back Pain (LBP) atau yang sering disebut dengan nyeri punggung
19
lanjut usia, hampir sama pada semua populasi masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang (Elder LAM & Burdoff, 2003 dalam Shocker, 2010). Low Back Pain (LBP) sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, terutama di negara-negara industri. Diperkirakan 70-85% dari seluruh penduduk di negara-negara maju pernah mengalami penyakit ini selama hidupnya. Prevalensi tahunannya bervariasi dari 15-45%, dengan point prevalence rata-rata 30%. Sekitar 80-90% pasien lansia yang mengalami LBP menyatakan bahwa mereka tidak melakukan usaha apapun untuk mengobati penyakitnya. Di Amerika Serikat keluhan Low Back Pain (LBP) ini menempati urutan kedua keluhan tersering setelah nyeri kepala (Setyohadi, 2011). Data epidemiologi mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40% penduduk pulau Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah menderita nyeri pinggang, prevalensi pada laki-laki 18,2% danpada wanita 13,6%. Insiden berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3-17% (Sadeli, 2011). Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah (Ismiyati, 2012).Nyeri pinggang bawah bukanlah suatu penyakit tapi merupakan gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam (Hakim, 2011). Menurut Rice (2002) dalam Shocker (2010) menyebutkan penyebab yang paling sering ditemukan yang dapat mengakibatkan LBP adalah kekakuan dan spasme otot punggung oleh
karena aktivitas tubuh yang kurang baik serta tegangnya postur tubuh. Selain itu berbagai penyakit juga dapat menyebabkan LBP seperti osteoarthritis, osteoporosis, fibromyalgia, scoliosis, dan rematik. Ismiyati (2012) menyatakan adanya kesalahan postural atau gerakan tubuh yang tidak proporsional dalam waktu lama dan terus menerus pada otot dan fascia akan menimbulkan nyeri kemudian terjadi spasme otot pinggang dan otot akan mengalami iskhemik. Adanya nyeri membuat penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktifitas sehari-harinya dan dapat menurunkan produktifitasnya. Di samping itu, dengan mengalami nyeri, sudah cukup membuat pasien frustasi dalam menjalani hidupnya sehari-hari sehingga dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Karenanya, terapi utama diarahkan untuk menangani nyeri ini (Potter & Perry, 2010). Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. Terapi farmakologi dengan menggunakan siklooksigenase inhibitor (COX inhibitor) sering menimbulkan efek samping yaitu gangguan gastrointestinal. Selain itu, penggunaan jangka panjangnya dapat mengakibatkan perdarahan pada saluran cerna, tukak peptik, perforasi dan gangguan ginjal (Kozier, 2010). Intervensi keperawatan untuk meningkatkan pengembalian fungsi tubuh dan mengurangi nyeri, pasien dianjurkan melakukan mobilisasi, yaitu latihan gerak sendi, gaya berjalan, toleransi aktivitas sesuai kemampuan dan kesejajaran tubuh. mobilisasi pada pasien low back pain
20
dapat dilakukan dengan memberikan tindakan rentang gerak secara aktif. Mobilisasi aktif yang bisa dilakukan adalah menggerakkan tubuh dilakukan secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain (Kasdu, 2012). Latihan mobilisasi aktif dapat meningkatkansirkulasi darah yang akan memicu penurunan nyeri dan penyembuhan luka lebih cepat. Terapi latihan dan mobilisasi merupakan modalitas yang tepat untuk memulihkan fungsi tubuh bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapijuga pada keseluruhan anggota tubuh. Terapi latihan dapat berupa passive dan active exercise, terapi latihan juga dapat berupa transfer, posisioning dan ambulasi untuk meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri (Smeltzer & Bare, 2010). Menurut Potter & Perry (2010) mobilisasi sangat penting sebagai tindakan pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya. Dampak mobilisasi yang tidak dilakukan dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh, aliran darah tersumbat dan peningkatan intensitas nyeri. Mobilisasi mempunyai peranan penting dalam mengurangi rasa nyeri dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri, mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses peradangan yang meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut, mobilisasi efektif dalam menurunkan intensitas nyeri (Nugroho, 2012). Berdasarkan survey pendahuluan yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam pada bulan Februari 2015
diperoleh jumlah penderita low back pain selama 3 bulan terakhir sebanyak 98 orang. Rata-rata pasien low back paindalam sebulan sebanyak 33 orang.Melalui wawancara peneliti pada 10 orang penderita low back pain, 6 orang mengatakan nyeri yang berat akibat low back pain sedangkan 4 orang lagi merasa nyeri sedang dan mereka masih dapat ditahan rasa nyerinya. Mereka mengatakan jarang melakukan latihan mobilisasi aktif untuk mengurangi nyeri. Biasanya mereka hanya menggunakan obat penghilang nyeri saja. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 ? Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh latihan mobilisasi aktifterhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Untuk mengetahui skala nyeri pada pasien low back pain sebelum dilakukan latihan mobilisasi aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam.
21
Untuk mengetahui skala nyeri pada pasien low back pain sesudah dilakukan latihan mobilisasi aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Untuk mengetahui perbedaan skala nyeri pada pasien low back pain sebelum dan sesudah dilakukan latihan mobilisasi aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam.
HASIL PENELITIAN Tabulasi Berdasarkan Karakteristik Responden Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 20 penderita low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 mengenai pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain maka didapatkan hasil sebagai berikut :
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuantitatif. Desain penelitian adalah pra eksperimen (One group pre and post test design) yaitu penelitian yang menggunakan satu kelompok subyek, pengukuran dilakukan sebelum dan setelah perlakuan (Saryono, 2010), yaitu menganalisa pengaruh latihan mobilisasi aktifterhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Berikut ini adalah pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam
Distribusi Responden Menurut Karakteristik Umum (Umur dan Jenis Kelamin) di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
Karakteristik
Frekuensi
Persent ase (%)
Umur 42
- 49 tahun
9
45
50
- 57 tahun
6
30
58
– 65 tahun
5
25
Jumlah
20
100
Laki-Laki
14
70
Perempuan
6
30
20
100
Jenis Kelamin
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Waktu penelitian telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Juli 2015.
Jumlah
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa mayoritas kelompok umur responden adalah kelompok umur 42 – 49 tahun sebanyak 9 orang (45%), kelompok umur 50 – 57 tahun sebanyak 6 orang (30%) dan minoritas adalah kelompok umur 58 – 65 tahun sebanyak 5 orang (30%). Berdasarkan jenis kelamin mayoritas responden adalah laki-laki sebanyak 14 orang (70%), dan minoritas responden
Populasi dan Sampel Populasi dalam hal ini adalah seluruh penderitalow back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakamdalam hal ini diketahui jumlah populasi dalam 3 bulan terakhir adalah sebanyak 98 orang.
22
adalah perempuan sebanyak 6 orang (30%).
Distribusi Frekuensi Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Sesudah Dilakukan Latihan Mobilisasi Aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
Distribusi Frekuensi Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Sebelum Dilakukan Latihan Mobilisasi Aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Persentase (%)
Skala nyeri
Frekuensi
Nyeri sedang Nyeri berat terkontrol
8
40
12
60
20
100
Jumlah
Skala nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat terkontrol
Mean
SD
LBP
Skala Nyeri Pada Pasien LBP
Minim al maksi mal
Sebelum intervensi 6,6500 0,87509 4
17
85
1
5
20
100
Distribusi Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Sesudah Dilakukan Latihan Mobilisasi Aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
Distribusi Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Sebelum Dilakukan Latihan Mobilisasi Aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Skala Nyeri Pada Pasien
Frekuensi 2
Jum lah
Tabel menunjukan bahwa mayoritas skala nyeri pada responden adalah nyeri berat terkontrol sebanyak 12 orang (60%), dan minoritas skala nyeri adalah nyeri sedang sebanyak 8 orang (40%).
Persen tase (%) 10
Mean
95% CI intervensi 5,200 Sesudah
8
Hasil penelitian pada tabel menunjukkan bahwa dari 20 responden rerata pengukuran skala nyeri pada responden sebelum intervensi adalah 6,6500 (95% CI : 6,2 – 7,1), dengan standar deviasi (SD) 0,87509. Pengukuran nyeri terendah 4 dan tertinggi 8. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% CI diyakini rerata pengukuran sebelum intervensi adalah 6,2 sampai dengan 7,1.
23
SD
95 Minimal - % maksimal CI
1,05 631
4,7 – 5,7
3
Berdasarkan tabel menunjukkan 6,2 – 7,1 bahwa dari 20 responden rerata pengukuran skala nyeri pada responden sesudah intervensi adalah 5,2000 (95% CI : 4,7 – 5,7), dengan standar deviasi (SD) 1,05631. Pengukuran nyeri terendah 3 dan tertinggi 7. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% CI diyakini rerata pengukuran sesudah intervensi adalah 4,7 sampai dengan 5,7.
7
responden sebelum intervensi adalah 6,6500 (95% CI : 6,2 – 7,1), dengan standar deviasi (SD) 0,87509. Pengukuran nyeri terendah 4 dan tertinggi 8. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% CI diyakini rerata pengukuran sebelum intervensi adalah 6,2 sampai dengan 7,1. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Peul W (2008) yang berjudul Influence of gender and other prognostics factor on outcome of low back pain. Dalam penelitian tersebut diperoleh data terbanyak skala nyeri responden yang mengalami low back pain berada pada skala 5 dengan skala numerik 010. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dimana nyeri pasien low back pain dirasakan paling banyak pada skala nyeri sedang. Low back pain ini sendiri merupakan manifestasi nyeri punggung belakang yang memungkinkan nyeri terasa lebih hebat pada punggung belakang dibandingkan pada tungkai kaki. Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial. Nyeri menjadi alas an utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostic atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang disbanding suatu penyakit manapun (Brunner dan Suddarth, 2009). Dari hasil pengamatan yang dilakukan, didapatkan skala nyeri responden sebelum diberikan latihan mobilisasi aktif berkisar antara 4-8.
Perbedaan Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Sebelum dan Sesudah Dilakukan Latihan Mobilisasi Aktif Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Hasil analisis rata - rata skala nyeri pada pasien pasien low back pain sebelum dilakukan latihan mobilisasi aktif sebesar 6,65000. Rata - rata skala nyeri pada pasien pasien low back pain sesudah dilakukan latihan mobilisasi aktif sebesar 5,2000. Berdasarkan hitungan matematis selisih penurunan rata – rata skala nyeri pada pasien low back pain sebelum dan sesudah intervensi adalah 1,45000. Dengan menggunakan uji statistic Paires Samples T Test diperoleh nilai p = 0,027 ≤ α = 0,05. Dengan demikian penelitian ini menemukan bahwa ada pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadappenurunan skala nyeri pada pasien low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. PEMBAHASAN Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Sebelum Dilakukan Latihan Mobilisasi Aktif Hasil penelitian menunjukan bahwa skala nyeri pada responden yang terbanyak adalah nyeri berat terkontrol sebanyak 12 orang (60%), dan skala nyeri yang paling sedikit adalah nyeri sedang sebanyak 8 orang (40%). Dari 20 responden rerata pengukuran skala nyeri pada
24
Sebagian besar responden mengeluh nyeri berat dengan rata-rata skala 7. Kekakuan sendi tulang belakang apabila tidak segera ditangani maka dapat mengganggu mobilitas fisik. Otot sendi tulang belakang apabila digunakan untuk bergerak maka cairan synovial akan bertambah dan meningkat sehingga, lansia melakukan aktivitas dengan baik. Apabila otot sendi tulang belakang tidak digunakan untuk melakukan aktivitas maka, cairan synovial ini akan tetap sehingga, tidak mengalami peningkatan (Sudoyo, 2012). Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Sesudah Dilakukan Latihan Mobilisasi Aktif Hasil penelitian menunjukan skala nyeri pada responden setelah dilakukan intervensi yang terbanyak adalah nyeri sedang sebanyak 17 orang (85%), nyeri ringan sebanyak 2 orang (10%) dan skala nyeri yang paling sedikit adalah nyeri berat terkontrol sebanyak 1 orang (5%). Dari 20 responden rerata pengukuran skala nyeri pada responden sesudah intervensi adalah 5,2000 (95% CI : 4,7 – 5,7), dengan standar deviasi (SD) 1,05631. Pengukuran nyeri terendah 3 dan tertinggi 7. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% CI diyakini rerata pengukuran sesudah intervensi adalah 4,7 sampai dengan 5,7. Latihan mobilisasi aktif dapat melatih kemampuan otot sendi dan otot tulang belakang. Kemampuan otot apabila semakin sering dilatih maka cairan synovial akan meningkat atau bertambah. Artinya, penambahan cairan synovial pada sendi dapat mengurangi resiko cidera pada lansia dan mencegah timbulnya nyeri low back pain (Taslim, 2011).
Penurunan skala nyeri setelah diberikan latihan mobilisasi aktif rata-rata mengalami penurunan 2 skor. Berdasarkan hal tersebut terdapat kesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa latihan fisik dapat mempertahankan fleksibilitas sendi – sendi, memperbaiki atau meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki daya tahan otot (muscle endurance) serta memperbaiki “Cardio Pulmonary Endurance” dan latihan fisik yang berupa stretching atau latihan mobilisasi aktif dapat meningkatkan kelenturan otot, memperlancar vaskularisasi serta mengurangi spasme. Latihan mobilisasi aktif itu sendiri dapat mengurangi spasme yang bias menyebabkan nyeri sehingga terjadi penurunan nyeri yang dirasakan oleh pasien (Depkes, 2012). Pengaruh Latihan Mobilisasi Aktif Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Berdasarkan analisa data dapat diketahui bahwa rata - rata skala nyeri pada pasien pasien low back pain sebelum dilakukan latihan mobilisasi aktif sebesar 6,65000. Rata - rata skala nyeri pada pasien pasien low back pain sesudah dilakukan latihan mobilisasi aktif sebesar 5,2000. Berdasarkan hitungan matematis selisih penurunan rata–rata skala nyeri pada pasien low back pain sebelum dan sesudah intervensi adalah 1,45000. Dengan menggunakan uji statistic Paires Samples T Test diperoleh nilai p = 0,027 (α
25
<0,05). Dengan demikian penelitian ini menemukan bahwa ada pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Gangguan pada system musculoskeletal dapat memberikan dampak immobilitas fisik pada pasien. Untuk mencegah immobilitas fisik, dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik seperti latihan mobilisasi aktif, berjalan dan lainlain. Aktivitas fisik dapat memberikan pengaruh yang baik bagi kesehatan tubuh pada lansia salah satunya adalah melatih kemampuan otot sendi pada lansia agar tidak terjadi kekakuan sendi (Martono, 2011). Dari hasil analisis data dengan hasil p = 0,027< α = 0,05 maka analisis penelitian ini terdapat pengaruh pemberian latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suprianto (2013) yang berjudul Pengaruh Latihan Gerak Pinggul (Stretching) Terhadap Tingkat Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia (Suatu Studi di Sanggar Senam Bagas Desa Mangunrejo Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang) dengan hasil pengolahan data yang dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan tingkat nyeri setelah melakukan latihan gerak pinggul (Stretching) di mana Ho ditolak, dan Ha diterima dan didapatkan ada pengaruh yang signifikan latihan gerak pinggul (Stretching) terhadap tingkat nyeri punggung bawah di Sanggar Senam Bagas Desa Mangunrejo.
Hal yang mendukung juga dinyatakan oleh jurnal lain yang diterbitkan oleh New England Journal of Medicine pada tahun 2010 menyatakan bahwa sangat baik jika penderita pasien low back pain diberikan exercise dan latihan mobilisasi aktif agar bias melakukan aktivitas normal kembali. Berdasarkan data yang diperoleh diatas, maka terdapat kesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa secara umum penanganan nyeri terbagi kedalam dua kategori yaitu pendekatan farmakologi dan pendekatan non farmakologi. Perawat sebagai role model dimasyarakat berperan besar dalam penanggulangan nyeri melalui pendekatan non farmakologi. Intervensi yang termasuk dalam pendekatan non farmakologi misalnya dengan member latihan atau exercise yang tepat (spesifik), latihan dapat membantu menurunkan kelemahan, menghilangkan stress, meningkatkan kekuatan otot, dan mencegah deformitas (Misriani, 2010). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Skala nyeri pada pasien low back pain sebelum diberi latihan mobilisasi aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam adalah 6,6500 (95% CI : 6,2 – 7,1), dengan standar deviasi (SD) 0,87509. 2. Skala nyeri pada pasien low back pain sesudah diberi latihan mobilisasi aktif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang
26
Lubuk Pakam adalah 5,2000 (95% CI : 4,7 – 5,7), dengan standar deviasi (SD) 1,05631.
Arikunto, 2012. Manajemen Penelitian. Edisi revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta
3. Ada pengaruh latihan mobilisasi aktif terhadap penurunan skala nyeri pada pasien low back pain di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 dimana p value (= 0,027) ≤ α (= 0,05).
Bima, 2011. Hubungan antara pengetahuan dan sikap keluarga dengan keterlibatan dalam mobilisasi dini pasien stroke di RSU Islam Kustati Surakarta. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dari http://Repository.ums.ac.id. Diakses tanggal 11 April 2015
Saran Terapi latihan mobilisasi aktif dapat dijadikan sebagai alternative pengobatan bagi pasien setelah pengobatan farmakologi untuk kesehatan tulang dan mengurangi rasa nyeri karena low back pain. Disarankan melalui hasil penelitian ini rumah sakit dapat menggunakan latihan mobilisasi aktif sebagai intervensi kepada pasien low back pain untuk peningkatan mutu pelayanan atau peningkatan derajat kesehatan pasien yang optimal. Hendaknya institusi pendidikan menambah referensi tentang latihan mobilisasi aktif dan low back pain dengan literatur – literature yang baru. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang efektifitas terapi latihan mobilisasi aktif pada pasien lain yang mengalami nyeri dengan lokasi penelitian yang berbeda dan populasi yang lebih besar pula. DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, 2010. Keperawatan medical medah. Jakarta: Penerbit EGC Hakim, 2011. Farmakologi Obatobat Anti-inflamasi Non Steroid. Makalah disajikan pada Seminar Sehari di Aula FKUI. Jakarta Harsono, 2010. Gangguan Muskuloskeletal pada Usia Lanjut. Diakses pada tanggal 01 April 2015.http://www.tempo.co.id Hidayat, 2011. Metode penelitian dan teknik analisis data. Jakarta: Salemba Medika Ismiyati, 2012. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah dalam Towards Mekanism-Based pain Treatment tht Recent Trends and Current Evidens, Pokdi Nyeri Perdossi
AHCPR, 2010. Panduan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta. Pusdiknakes. www.pusdiknakes.go.id. Diakses pada tanggal 01 April 2015
27
Kozier, 2010. Your Health Guide Pijat Refleksi. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Popular
Sadeli, 2011. Pengobatan Alternatif. Jakarta : PT Sunda Kelapa Pustaka
Kumalasari. 2010. Dasar-dasar terapi dan rehabilitasi fisik. Jakarta: EGC
Sammy. 2011. Pengaruh empat minggu terapi latihan pada kemampuan motorik penderita ischialgia di RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Dari http://Repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 11 April 2015
Mahadewa, 2011. Mengatasi Sendiri Nyeri Anda. Yogyakarta : PT Citra Aji Parama Markam, 2011. Buku Ajar BoedhiDarmojo Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Saryono, 2010. Statistika Bidang Kesehatan, Ke Kedokteran. Yogyakarta : Penerbit Fitramaya Setiadi, 2012. Konsep – Konsep Penulisan Riset Keperawatan. Jakarta :Graha Ilmu
Muttaqin, 2010. Patofisiologi Low Back Pain. http://www.unpvj.ac.id. Diakses pada tanggal 26 April 2015
Setyohadi, 2011. Nyeri sendi. Http://www.unimus.ac.id. Diunduh tanggal 02 April 2015
Notoatmodjo, 2010.Metodologi Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta
Sigamani, 2011. Dahsyatnya Pijatan Untuk Kesehatan. Jakarta : Agro Media Pustaka
Nugroho, 2011. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC
Shocker, 2010. Low Back Pain Syndrome; Second Edition. Philadelphia: F. A Davis Company
Nursalam, 2012. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, S.C bare B.G, 2010. Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : EGC Soelaiman, 2010. Petunjuk perawatan pasien low back pain. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI
Potter & Perry, 2010. Buku ajar fundamental keperawatan. Jakarta : EGC
28
29
P a i r e d S a m p l e s T e s t Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean
1.4500 Pair Skala nyeri pada pasien 0 1 low back pain sebelum dilakukan latihan mobilisasi aktif – skala nyeri pada pasien low back pain sesudah dilakukan latihan mobilisasi aktif
Std. Deviation
.51042
30
Sig. (2-
Mean
Lower Upper
T
df tailed)
.11413
1.2111 1.6888 2 8 12.704 19 .027
PERBEDAAN INTENSITAS NYERI SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN TEKNIK DISTRAKSI DAN TEKNIK RELAKSASI PADA PASIEN PASCA OPERASISECTIO CAESAREA DI RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA LUBUK PAKAM RAHMAD GURUSINGA, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Sectio Caesarea Caesarean deliveries are performed by delivery of the fet us by maked an in cision in the wall of the uterus through the front wall of the abdomen or vagina or section is a hysterectomy Caesaria to give birth to the fet us from the womb. This operation I sperformed when the normal birth process through the birth canalis not possibledue to medical complications. In Indonesia alone, the presentation of caesarean section around 5%. In addition,other sourcessay that Sectio Caesarea associated with increased 2 - foldrisk of maternal mortality compared with vaginal delivery. Maternal deathsdue to caesarean section it self shows the 1 per1000 deliveries. This studyaims to determine the relationship of breath relaxation techniquesin the intensity of postoperative painin patients Sectio Caesarea in the Rumah Sakit Grand Medistra in 2015. The population in this study were postoperative patients section Caesarea at the Rumah Sakit Grand Medistra many as 11 people, with a sample of 11 people. This type of research is preexperiment (pre-experiment) with amodel of one-group pretestpostest design, data taken using anobservation sheetfur the ranalyzed and discussedaccorded t oa review of existedliterature. Based on there sults of statistical tests using the test samplet-test/paireddependentt testindicated that p Value is 0002 which means p value
Latar Belakang Berdasarkan tujuan pembangunan kesehatan nasional tersebut maka pemerataan dan pelayanan kesehatan perlu terus-menerus diupayakan dalam rangka mempertahankan status kesehatan masyarakat melalui pencegahan dan pengurangan morbilitas, mortalitas dan kecacatan dalam masyarakat terutama bayi, anak 29
Persalinan merupakan kejadian fisiologi yang normal dialami oleh seorang ibu berupa pengeluaran hasil konsepsi yang hidup di dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Jadi beberapa kasus seperti placenta previa, preeklamsia, gawat janin, kelainan letak janin dan besar, persalinan melalui vagina dapat meningkatkan resiko kematian pada ibu dan bayi sehingga diperlukan satu cara alternative lain dengan mengeluarkan hasil konsepsi melalui pembuatan sayatan pada dinding uterus melalui dinding perut yang disebut Sectio Caesarea (Muchtar, 2008). Operasi Caesar atau Sectio Caesarea adalah proses persalinan yang dilakukan dengan cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau seksio caesaria adalah suatu histerektomi untuk melahirkan janin dari dalam mulut rahim. Operasi ini dilakukan ketika proses persalinan normal melalui jalan lahir tidak memungkinkan dikarenakan komplikasi medis (Depkes RI, 2007). Menurut WHO (World Health Organization), standar rata-rata section Caesarea di sebuah negara adalah sekitar 5–15%. Pada tahun 2006 jumlah kasus persalinan dengan sectio Caesarea di Amerika mencapai 25%. Pada 2005, di Amerika Serikat, cesarean section rates adalah 5,5% dan meningkat drastis menjadi 24,4% di tahun 2007. Dengan berbagai upaya telah dilakukan sehingga pada 2008 angka tersebut dapat bertahan sekitar 22,8% dan terus diusahakan untuk ditekan, sehingga akhir- akhir ini stabil pada angka 15-18%. Tahun 2007, jumlah kasus sectio caesarea di
Inggris adalah sekitar 20% dan 29,1%. Selama 2005-2009, jumlah kasus sectio caesarea di Kanada adalah 22,5% (Yusmiati, 2010). Di Indonesia sendiri, presentasi operasi caesar sekitar 5 %. Di samping itu sumber lain mengatakan bahwa sectio caesarea berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat resiko mortalitas ibu dibandingkan pada persalinan Vaginal. Kematian ibu akibat operasi caesar itu sendiri menunjukkan angka 1 per 1.000 persalinan. (Ambarawaty, 2009). Angka sectio caesarea di rumah sakit Pemerintah di Indonesia sekitar 2025% sedangkan di rumah sakit swasta sekitar 30-80% dari total persalinan. Survei sederhana juga pernah dilakukan oleh Gulardi dan Basalamah, terhadap 64 rumah sakit di Jakarta pada tahun 2008. Hasilnya tercatat dari 17.665 kelahiran, 35.7 – 55.3 % ibu-ibu melahirkan dengan sectio caesarea. Sementara data lain dari RSUP Cipto Mangunkusumo, dari 404 persalinan perbulan, 30 % ditolong dengan tindakan sectio caesarea, yang mana 13,7 % disebabkan oleh gawat janin (Kasdu, 2009). Dari hasil penelitian Bensons dan Pernolls, yang dikutip oleh Safitri (2008), menjelaskan dimana angka kesakitan dan kematian ibu pada tindakan operasi seksio caesaria labih tinggi dibandingkan persalinan normal, dimana angka kematian pada operasi sectio caesarea adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup, angka ini menunjukkan risiko 25 kali lebih besar dibandingkan persalinan normal (Safitri, 2008) Nyeri yang dirasakan ibu pasca sectio caesarea berasal dari luka yang terdapat dari perut. Nyeri adalah
30
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif terganggu pada fisiologis dan psikologis individu dan toleransi yang ditimbulkan nyeri. Rasa nyeri berbeda pada setiap individu. Melalui pengalaman nyeri, manusia mengembangkan beraneka mekanisme untuk mengatasi nyeri. Kemungkinan nyeri dapat menginduksi ketakutan, sehingga timbul kecemasan yang berakhir dengan kepanikan, maupun keletihan dan kurang tidur dapat memperberat nyeri selama persalinan (Kasdu, 2009). Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin (Antman, 2007). Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri, sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat
menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obatobatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Alimul, 2008). Intervensi untuk mengurangi ketidaknyamanan atau nyeri yaitu intervensi farmakologis nyeri non farmakologis, perawat berperan besar dalam penanggulangan nyeri non farmakologis, yang salah satunya dengan menggunakan teknik relaksasi nafas dalam, bernafas sesuai dengan teori Dick-Read dan Lamage bahwa nyeri disebabkan oleh takut dan tegang dapat dikurangi/diredakan dengan berbagai metode yaitu menaikkan pengetahuan klien tentang hal-hal yang akan terjadi pada suatu persalinan, menaikkan kepercayaan diri dan relaksasi pernafasan (Purnama, 2007). Pemberian analgesik dan pemberian narkotik untuk menghilangkan nyeri tidak terlalu dianjurkan karena dapat mengaburkan diagnosa. Perawat berperan dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pasien dan membantu serta menolong pasien dalam memenuhi kebutuhan tersebut termasuk dalam manejemen nyeri. Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi. Manajemen nyeri dengan melakukan teknik relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan
31
pernafasan diafragma, teknik relaksasi progresif, guided imagery, dan meditasi, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Alimul, 2008). Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan dibidang kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Pemberian analgesik biasanya dilakukan untuk mengurangi nyeri. Teknik relaksasi merupakan salah satu metode manajemen nyeri non farmakologi dalam strategi penanggulangan nyeri, disamping metode TENS (Transcutaneons Electric Nerve Stimulation), biofeedack, plasebo dan distraksi. Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri (Potter & Perry, 2007). Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas. Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya struktur atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment, yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal. (Sudoyo, 2006). Teknik relaksasi nafas dalam merupakan teknik pereda nyeri yang banyak memberikan masukkan terbesar karena teknik relaksasi dapat mencegah kesalahan yang berlebihan pasca operasi. Adapaun relaksasi
dapat mempertahankan komponen sistem saraf otonom (SSO) dalam keadaan homeostasis sehingga tidak terjadi peningkatan suplai darah, mengurangi kecemasan dan ketakutan dan dapat beradaptasi dengan nyeri selama proses perawatan (Rosemary, 2006). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ratnawati (2009) mengenai perbedaan perubahan intensitas nyeri pada pasien sectio caesarea yang menggunakan tehnik relaksasi nafas dalam yaitu didapatkan 73% mangalami nyeri ringan dan 27% nyeri sedang dengan kriteria penurunannya 60% sedikit berkurang, 27% berkurang moderat dan 13% berkurang lebih moderat. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Mann Whitney Test Program Mini Tab, didapatkan the test significan 0.0014 yang berarti terdapat perbedaan perubahan intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam (Ratnawati, 2009). Menurut data dari Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam menunjukkan jumlah pasien pasca sectio caesarea selama 4 bulan terakhir yaitu pada bulan JuliOktober 2011 sebanyak 32 orang dan ternyata seluruh pasien merasakan nyeri pada daerah bekas operasi, semakin meningkat jumlah pasien maka tanggung jawab tenaga kesehatan di tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin berat, khususnya bagaimana melaksanakan metode yang dapat membantu merasakan nyeri yang berarti. Namun fakta yang terjadi saat ini tempat-tempat pelayanan kesehatan dalam hal ini Rumah Sakit belum secara efektif melaksanakan intervensi keperawatan
32
mengenai teknik relaksasi bernafas dalam penanganan nyeri pada pasien sectio caesarea, sehingga tidak diketahui secara pasti apakah memang benar ada pengaruh teknik relaksasi terhadap intensitas nyeri pada pasien sectio caesarea.
Selanjutnya dilakukan pengukuran tentang nyeri (observasi pre-test). Setelah itu pasien post operasi sectio caesarea diberikan tindakan teknik relaksasi nafas dalam yang kemudian akan diukur kembali nyeri (observasi post-test).
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 Untuk mengetahui nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea sebelum dilakukan teknik relaksasi di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam. Untuk mengetahui nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea sesudah dilakukan teknik relaksasi di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam. Untuk mengetahui nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitan di laksanakan di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam. Waktu penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Juli - September 2015. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah pasien post operasi sectio caesarea di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam sebanyak 11 orang. Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien post operasi sectio caesarea di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam sebanyak 11 orang. Variabel dan Defenisi Operasional Variabel independent (variabel bebas) pada penelitian ini adalah teknik relaksasi nafas dalam. Variabel dependent (Variabel terikat) yaitu intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah pre eksperimen (pra experiment) dengan model rancangan one group pretest postest. Yaitu rancangan yang tidak menggunakan kelompok kontrol pembanding tetapi sebelum dilaksanakannya perlakuan maka dilakukan observasi pada sample dan sesudah perlakuan juga (Setiadi, 2007).
HASIL PENELITIAN Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015
Dalam penelitian ini, peneliti memilih pasien post operasi sectio caesarea yang menjadi sampel penelitian.
33
Dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah responden berdasarkan umur maka responden yang berumur 20-30 tahun sebanyak 5 orang (45,4%), yang berumur 31-40 tahun sebanyak 2 orang (36,5%) dan yang berumur 4150 tahun sebanyak 4 orang (18,2%).
Distribusi Frekuensi Kategori Intensitas Nyeri Sebelum Teknik Relaksasi Nafas Dalam di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 Kategori
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 Pendidikan
N
%
SD SMP SMA
1 1 9
9,1 9,1 81,8
Total
11
100
N
%
Tidak Nyeri
-
-
Nyeri Ringan
3
27,3
Nyeri Sedang
8
72,7
Nyeri Berat Terkontrol
-
-
Nyeri Berat tak Terkontrol
-
-
Total
11
100,0
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam yaitu responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 3 orang (27,3%) dan responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 8 orang (72,7%).
Dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah responden berdasarkan pendidikan maka responden yang berpendidikan SD sebanyak 1 orang (9,1%), responden yang berpendidikan SMP sebanyak 1 orang (9,1%), responden yang berpendidikan SMA sebanyak 9 orang (81,1%).
Distribusi Frekuensi Kategori Intensitas Nyeri Sesudah Teknik Relaksasi Nafas Dalam di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015
Kategori
N
%
Tidak Nyeri
4
36,3
Nyeri Ringan
7
63,7
Pekerjaan
N
%
IRT WIRASWASTA
6 5
54,5 45,5
Nyeri Sedang
-
-
Total
11
100
Nyeri Berat
-
-
Nyeri Berat tak Terkontrol Total
-
-
1 1
100,0
Dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah responden berdasarkan pekerjaan maka responden yang memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 6 orang (54,5%), responden yang memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 5 orang (45,5%).
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa intensitas nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam yaitu responden yang mengalami tidak ada nyeri sebanyak 4 orang (36,3%) dan responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 7 orang (63,7%).
34
Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Teknik Distraksi Dan Teknik Relaksasi Pada Pasien Pasca Operasi Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015.
disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam.
Tabel Distribusi Rerata Intensitas Nyeri Antara Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Berdasarkan hasil uji statistic dan pembahasan tersebut diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa hubungan teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea di Rumah Sakit Umum Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015:
Intensit as Nyeri
Rata -rata
Stand ar Devia si
Stand ar Eror
p Valu e
N
Pre test
5,47
1,129
0,413
0,00 2
1 1
Post test
3,28
0,672
0,296
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Dari 11 responden sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam, responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 3 orang (27,3%) dan responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 8 orang (72,7%). 2. Dari 11 responden sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam responden yang tidak mengalami nyeri sebanyak 4 orang (36,3%) dan responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 7 orang (63,7%). 3. Ada hubungan teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependen sample t-test/paired t test menunjukan bahwa pValue yaitu 0.002 yang berarti p Value ≤ dari 0.05.
Tabel Rata-rata, Standar Deviasi, Lower, Upper, p Value Intens itas Nyeri
Pre test
Paired Test Rat arata
2,1 90
Stan dar Devi asi
0,70 1
95% Confidenc e Interval Up per
Lo wer
1,6 20
2,56 2
p Val ue
0,0 02
Postte st
Rata-rata intensitas nyeri pertama 5,47 dengan standar deviasi (SD) 1,129 pada pengukuran kedua didapatkan rata-rata intensitas nyeri 3,28 dengan standar deviasi (SD) 0,672, terlihat nilai mean antara pengukuran pertama dan kedua 2,190 dengan standar deviasi (SD) 0,701. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,002 (α=0,05) maka dapat
Saran Agar dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memberikan asuhan keperawatan
35
terutama dalam mengatasi masalah nyeri pada pasien. Diharapkan agar dapat menerapkan teknik relaksasi apabila terjadi nyeri sehingga dapat menjadikan pasien mandiri. Agar dapat menerapkan pelaksanaan teknik relaksasi terutana yang mengalami masalah nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea.. Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya dapat lebih mengembangkan bahan masalah peneliti tentang faktor mengatasi nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea.
Diakses pada tanggal November 2011
21
Endah, Yuni. 2010. Ibu Hamil. Fitramaya, Yogyakarta. Greenbreeg. 2009. Perawatan Preoperatif. Mitra Pelajar, Surabaya. Jitowiyono, Sugeng, 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Nuha Medika, Yogyakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta
Agung. 2009. Keperawatan Dasar. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba, Jakarta.
Arikunto,Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian . PT Rineka Cipta, Jakarta.
Manuaba. 2006. Patologi Obstetri. EGC, Jakarta.
Asmadi, 2008. Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Salemba Medika, Jakarta.
Muwarni, Arita, 2009. Ketrampilan Dasar Praktek Klinik Keperawatan. Fitrimaya, Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Alimul, Hidayat. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Salemba Medika, Jakarta.
Mutataqin, Arif, 2009. Asuhan Keperawatan Preoperatif. Saalemba Medika, Jakarta.
Corwin.2006. Hubungan Relaksasi dan Nyeri. http://dinkesbanggai.wordpress. com. Diakses pada tanggal 22 November 2011
Oman, Kathen, 2008. Keperawatan Emergensi. EGC, Jakarta.
Depkes, 2009. Indonesia Sehat 2010. http//www. Depkes.go.id. Diakses tanggal 21 November 2011
Potteer & Perry, 2007. Fundamental Keperawatan.EGC, Jakarta
Piere, Grace, 2007. Ilmu Bedah. Erlangga, Jakarta.
Ratnawaty. 2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Perawatan luka. http://www.kalbe.co.id.
Dewanto. 2006. Sectio Caesarea. http://els.fk.umy.ac.id.
36
Diakses pada tanggal November 2011
18
Rosmerry, M. 2006. Post Operasi Sectio Caesaria. http://etd.eprints.ums.ac.id/44 62/1/J210050012.pdf. Diakses tanggal 13 November 2011. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan Edisi 1. Graha Ilmu, Yogyakarta. Sibuea, Herdin, 2008. Ilmu Penyakit Dalam. Rineka Cipta, Jakarta. Sowden. 2008. Manajemen Nyeri. http://www.wapedia.mobi.id. Diakses tanggal 06 November 2010. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta, Bandung. Wiramiharja. 2006. Penanganan Nyeri. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.
37
PENGARUH LATIHAN RANGE OF MOTION (ROM) AKTIF TERHADAP KEKUATAN OTOT PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR TIBIA DI RUMAH SAKIT UMUM SULTAN SULAIMAN TATI MURNI KAROKARO, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRAK Fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Pasien post operasi fraktur tibia sering mengalami keterlambatan dalam melakukan pergerakan sehingga terjadi kelemahan otot. Latihan Range Of Motion (ROM) merupakan latihan gerak untuk meningkatkan kekuatan otot post operasi fraktur tibia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan Range Of Motion (ROM) aktif terhadap kekuatan otot pada pasien post operasi fraktur tibia di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman. Jenis penelitian ini menggunakan desain Pre Eksperimen dengan rancangan One Group Pre Test- Post Test. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling dengan jumlah sampel 15 orang. Penelitian ini menggunakan analisa univariate dan bivariate. Pada analisa bivariate menggunakan uji Paired Sample t-test. Berdasarkan hasil analisa bivariate dengan uji Paired Sample t-test menunjukkan angka signifikan (p) 0,000. Diharapkan kepada perawat agar dapat menerapkan latihan Range Of Motion pada pasien yang mengalami fraktur.
motor unit atau perubahan-perubahan dalam eksitabilitas serabut-serabut. Kejang otot dalam pengertian neurofisiologi, yaitu kejaang otot akibat gangguan neuromuskuler (sistem persarafan), salah satu penyebab kejang otot terjadi karena cedera fisik, seperti patah tulang atau keseleo. Untuk mencegah kejang otot maka diperlukan latihan-latihan, pemanasan, peregangan, pendinginan, ataupun dengan Range Of Motion (Anurogo dan usman, 2014)
Latar Belakang Aktivitas sehari-hari membutuhkan kerja otot dan membantu mempertahankan tonus/kekuatan otot. Pada kondisi sakit dimana seseorang tidak mampu melakukan aktivitas karena keterbatasan gerak, maka kekuatan otot dapat dipertahankan melalui penggunaan otot yang terus-menerus, salah satunya melalui mobilisasi persendian dengan latihan rentang gerak sendi atau Range Of Motion (Potter & Perry, 2005). Kejang otot merupakan (sekumpulan) otot berkesinambungan (hitungan menit hingga hari) yang involunter, tak cocok, reversible, berkaitan dengan aktivitas yang berlebihan dari motor-
Fraktur merupakan salah satu masalah kesehatan yang menyebabkan kecacatan pada anggota gerak tubuh yang mengalami fraktur. Pasien post operasi fraktur di Rumah Sakit, sering mengalami 38
keterlambatan dalam melakukan pergerakan yaitu terjadi kelemahan otot. Latihan rentang gerak yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot post operasi fraktur di Rumah Sakit adalah dengan terapi Range of Motion (Purwanti, 2013). Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011 -2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas di Indonesia dinilai menjadi pembunuh ketiga setelah penyakit jantung koroner dan tuberculosis. Menurut data pada tahun 2012, terjadi 109.038 kasus kecelakaan lalu lintas di seluruh Indonesia. Dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 9702 orang mengalami fraktur pada tulang tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula (Depkes RI, 2012). Latihan gerak aktif diberikan kepada bagian yang mudah kontraksi dan relaksasi pada bagian otot-otot yang mengontrol latihan otot dan pengaturan kontraksi tanpa mengubah panjang otot atau bergerak bagian tubuh yang terkait, latihan ini juga dapat disebut juga latihan statis (Medical Dictionary).
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari penggunaan kapasitas fisik maupun kemampuan fungsionalnya yang merupakan suatu integrasi penuh dari sistem tubuh. Munculnya beberapa keluhan juga sering menyertai dalam aktivitas gerak tubuh manusia akibat kesenjangan dari fungsi tubuh ketika bergerak. Penderita dengan keluhan pada sendi bahu diketahui mengalami gangguan saat melakukan aktivitas seperti tidak bisa mengangkat tangan ke atas pada saat menyisir rambut, menggosok punggung sewaktu mandi atau mengambil sesuatu dari belakang celana. Keluhan-keluhan yang sering terjadi pada gerak dan fungsi pada sendi kaki pada dasarnya adalah nyeri dan kekakuan yang mengakibatkan keterbatasan gerak pada sendi bahu (Morgan & Potthoff, 2012) Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif. Tujuan dari terapi latihan adalah rehabilitasi untuk mengatasi gangguan fungsi dan gerak, mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi nyeri dan oedem serta melatih aktivitas fungsional akibat operasi. Perawatan rehabilitasi pada pasien fraktur mencakup terapi fisik, yang terdiri dari berbagai macam tipe latihan ; latihan isometrik otot dan latihan ROM (Range Of Motion) aktif dan pasif (Hendrik, 2012). Fraktur dapat menyebabkan kecacatan pada anggota gerak yang mengalami fraktur, untuk itu diharuskan segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien 39
dari kecacatan fisik. Sedangkan kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui latihan rentang gerak yaitu dengan latihan Range of Motion yang dievaluasi secara aktif, yang merupakan kegiatan penting pada periode post operasi guna mengembalikan kekuatan otot pasien (Lukman dan Ningsih, 2009). Perawat harus memperhatikan pemeliharaan kesehatan pasien dan tentu saja mempertahankan fungsi otot dan tulang yang mengalami cedera. Dengan melakukan latihan fisik diantaranya latihan isometrik otot dan ROM (Range of Motion) aktif dapat membantu dan mempertahankan kekuatan otot dan fungsi tulang (Hendrik, 2012). Sesuai pendapat Smeltzer (2001) tingginya angka kecelakaan menyebabkan angka kejadian atau insiden fraktur tinggi. Fraktur atau patah tulang dapat menimbulkan berbagai gangguan fungsi tubuh diantaranya fungsi motorik atau anggota gerak tubuh yang mengalami fraktur dan mobilisasi merupakan kegiatan yang penting dalam pemulihan post operasi untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Selama 24 sampai 48 jam pertama, perhatian ditujukan pada pemberian peredaan nyeri dan pencegahan komplikasi pasca operasi fraktur. Kemauan pasien dalam melaksanakan mobilisasi khususnya latihan rentang gerak sendi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain seperti usia, status perkembangan, pengalaman yang lalu atau riwayat pembedahan sebelumnya, gaya hidup, proses penyakit / injury, tingkat pendidikan dan pemberian informasi oleh
petugas kesehatan (Kozier, 1995 dalam Ningsih, 2011). Peneliti telah melakukan studi pendahuluan bahwa pada tahun 2015 pasien fraktur di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman sebanyak 497 orang. Sedangkan pada bulan Januari sampai April data pasien fraktur di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman adalah sebanyak 96 orang. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pasien fraktur di Rumah Sakit Grand Medistra tidak semua dilakukan terapi ROM oleh perawat di ruangan rawat inap, kemudian angka kejadian pasien fraktur dari bulan Januari sampai bulan April pada tahun 2015 semakin meningkat dibanding tahun 2015 lalu . Maka sesuai penjelasan di atas peneliti tertarik untuk melihat apakah ada pengaruh latihan Range Of Motion aktif terhadap kekuatan otot pada pasien post operasi fraktur tibia di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman tahun 2015. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Pengaruh Latihan Range Of Motion Aktif Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Tibia Di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Pada Tahun 2015. Tujuan khusus Untuk mengetahui rerata kekuatan otot sebelum dilakukan terapi Range Of Motion Aktif Pada Pasien Post Operasi Fraktur Tibia Di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Tahun 2015. Untuk mengetahui rerata kekuatan otot sesudah dilakukan latihan Range Of Motion Aktif Pada Pasien 40
Post Operasi Fraktur Tibia di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman tahun 2015.
Kekuatan Otot Tidak ada kontraktifitas Kontraktivitas ringan, tidak ada gerakan Rentang gerak penuh, tanpa gravitasi Rentang gerak penuh, dengan gravitasi Rentang gerak penuh , melawan gravitasi, terdapat sedikit tahanan Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, tahanan penuh Total
Untuk mengetahui rerata perbedaan peningkatan kekuatan otot sebelum dan sesudah dilakukan latihan Range Of Motion Pada Pasien Post Operasi Fraktur Tibia di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman tahun 2015. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuantitatif` bersifat eksperimen yaitu preeksperimen. Rancangan penelitian menggunakan one group pre-post test tanpa menggunakan kelompok pembanding (kontrol), tetapi pada pengujian pertama (pre test) yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan – perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (Sastroasmoro, 2014). Penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui perbedaan kekuatan otot sebelum dan sesudah diberikan latihan Range Of Motion aktif pada pasien post operasi fraktur tibia di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman tahun 2015.
Skala 0 1
Frekuensi 12 2
(%) 80,0 13,3
2
1
6,7
3
0
0
4
0
0
5
0
0
15
100
Tabel menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif maka dapat dilihat pasien post operasi fraktur tibia dengan skala kekuatan otot 0 sebanyak 12 orang ( 80,0%), skala kekuatan otot 1 sebanyak 2 orang (13,3%) dan skala kekuatan otot 2 sebanyak 1 orang ( 6,7 %). Tabel Distribusi Frekuensi Berdasarkan Skala Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Tibia Sesudah .Dilakukan Range Of Motion (ROM) Aktif di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Tahun 2015 Kekuatan Otot Tidak ada kontraktifitas Kontraktivitas ringan, tidak ada gerakan Rentang gerak penuh, tanpa gravitasi Rentang gerak penuh, dengan gravitasi Rentang gerak penuh , melawan gravitasi, terdapat sedikit tahanan Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, tahanan penuh Total
HASIL PENELITIAN Analisa Univariate Responden dalam penelitian ini adalah pasien post operasi fraktur tibia, jumlah responden adalah sebanyak 15 orang. Tabel Distribusi Frekuensi Berdasarkan Skala Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Tibia Sebelum Dilakukan Range Of Motion (ROM) Aktif di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Tahun 2015
Skala 0
Frekuensi 0
(%) 0
1
0
0
2
5
33,3
3
6
40,0
4
4
26,7
5
0
0
15
100
Tabel menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian sesudah dilakukan latihan Range Of Motion 41
(ROM) maka dapat dilihat pasien post operasi fraktur tibia dengan skala kekuatan 2 sebanyak 5 orang ( 33,3 %), skala kekuatan otot 3 sebanyak 6 orang ( 40,0 %) dan skala kekuatan otot 4 sebanyak 4 orang (26,7%) .
pasien post operasi fraktur tibia di ruangan rawat inap Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman 2015. Kekuatan otot sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif pada pasien post operasi fraktur tibia.
Tabel Perbandingan Skala Kekuatan Otot Sebelum dan Sesudah Dilakukan Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Tahun 2015 Perlakuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penelitian sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif pasien post operasi fraktur tibia dengan skala kekuatan otot 0 sebanyak 12 orang ( 80,0%), skala kekuatan otot 1 sebanyak 2 orang (13,3%) dan skala kekuatan otot 2 sebanyak 1 orang ( 6,7 %). Dari 15 responden rerata pengukuran kuantitas kekuatan otot sebelum intervensi adalah 0,20 dengan Standart Debiasi (SD) 0,561. Pengukuran skala kekuatan otot terendah 0 dan tertinggi adalah 2. Dari hasil estimitas interval dapat disimpulkan bahwa 95% CI diyakini rerata pengukuran sebelum intervensi 86,7 sampai dengan 6,7.
Skala Kekuatan Otot 0-5 0
1
2
3
4
5
Sebelum
12
2
1
0
0
0
Setelah
0
0
5
6
4
0
Berdasarkan tabel menunjukan adanya penurunan skala kekuatan otot 0-5 , sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif 12 responden tidak ada gerakan, 2 responden kontraktifitas ringan tidak ada gerakan dan 1 responden rentang gerak penuh tanpa gravitasi. Setelah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif 5 responden rentang gerak penuh tanpa gravitasi, 6 responden rentang gerak penuh dengan gravitasi dan 4 responden rentang gerak penuh melawan gravitasi terdapat sedikit tahanan.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwanti dan Purwaningsih (2013) yang menyatakan bahwa ada perubahan pada kekuatan otot dengan memberikan latihan Range Of Motion (ROM) pada pasien post operasi fraktur humerus 93 % latihan dapat dilakukan di rumah sakit atau pun dibantu oleh keluarga agar hasilnya lebih maksimum dan mempercepat penyembuhan pada pasien.
PEMBAHASAN Melalui pembahasan ini peneliti mencoba menjawab pertanyaan awal yang mendasar masalah penelitian yaitu mengetahui adakah pengaruh latihan Range Of Motion (ROM) Aktif terhadap kekuatan otot pada
Kekuatan otot sesudah dilakukan latihan range of motion (ROM) Aktif Pada pasien post operasi fraktur tibia. 42
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) Aktif pada pasien post operasi fraktur tibia dengan rentang gerak penuh tanpa gravitasi adalah 5 (33,3%), kategori rentang gerak penuh dengan gravitasi adalah 6 (40,0%) dan kategori rentang gerak penuh melawan gravitasi terdapat sedikit tahanan adalah 4 (26,7%).
Umum Sultan Sulaiman Tahun 2015. Hasil analisa p value = 0,00 (α < 0,05) maka Ho ditolak artinya ada pengaruh terhadap kekuatan otot ektremitas atas sebelum dan sesudah dilakukan latihan range of motion (ROM) aktif pada pasien post operasi fraktur tibia. Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas.semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal maupun beban internal. Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifkan otot untuk melakukan kontraksi (irfan,2010)
Dari 15 responden rerata pengukuran kekuatan otot sesudah intervensi adalah 0,206 (95% CI : -3.176- (-2.291), dengan standart deviasi (SD) adalah 0,799. Pengukuran kategori terendah adalah 1 dan kategori tertinggi adalah 4. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% CI diyakini rerata pengukuran sesudah interval adalah -3,176 sampai dengan -2,291. Menurut Potter dan Perry (2009) Menyatakan bahwa kekuatan otot dapat meningkat jika dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) dan adapun kategori kekuatan otot terdiri dari 6 kategori dengan interval nilai 0-5.
Latihan ROM aktif merupakan latihan isotonik dengan klien secara mandiri menggerakkan setiap sendi di tubuhnya.Latihan ini dimaksudkan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan serta membantu mempertahankan fungsi kardiorespiratori pada klien yang imobilitas.Latihan ini juga mencegah memburuknya kapsul sendi,ankiolosis, dan kontraktur sendi (Kozier, 2009).
Menurut Lukman (2011) menyatakan bahwa kekuatan otot dapat menghasilkan tenaga baik secara statis atau dinamis apabila dilakukan latihan beban atau latihan Range of motion (ROM) dengan program latihan tertentu dan dilakukan secara teratur dan benar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kekuatan Otot Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif pada pasien post operasi fraktur tibia di ruang rawat inap Rumah Sakit
Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
43
Kesimpulan
Saran
a) Kekuatan otot sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif pada pasien post operasi fraktur tibia di ruang rawat inap rumah sakit Umum Sultan Sulaiman pada 15 responden, mendapati bahwa pada kategori sebelum dilakukan ROM,tidak ada kontraktivitas 12 responden (80,0%), kontraktivitas ringan tidak ada gerakan sebanyak 2 responden ( 13,3 %), dan rentang gerak penuh tanpa gravitasi 1 responden (6,7%) b) Kekuatan otot sesudah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif pada pasien post operasi fraktur tibia di ruang rawat inap rumah sakit Umum Sultan Sulaiman pada 15 responden, mendapati bahwa kategori rentang gerak penuh melawan gravitasi terdapat sedikit tahanan 4 responden (26,7%), kategori rentang gerak penuh dengan gravitasi 6 responden (40,0%) dan kategori rentang gerak penuh tanpa gravitasi adalah 5 responden (33,3 %) c) Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakkan uji statistic Paired sample t-test diperoleh nilai p = 0,00 (α<0,05), Hal ini berarti bahwa Ho ditolak atau dengan kata lain disimpulkan bahwa ada pengaruh latihan Range Of Motion (ROM) Aktif terhadap kekuatan otot pada pasien post operasi fraktur tibia di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Tahun 2015.
Diharapkan untuk melakukan latihan Range Of Motion (ROM) aktif dengan bantuan tenaga kesehatan atau keluarga agar kekuatan otot meningkat. Diharapkan kepada pihak rumah sakit agar penelitian ini bermanfaat sebagai masukkan bahwa dengan dilakukannya latihan Range Of Motion ((ROM) Aktif dapat mencegah terjadinya kelumpuhan ataupun kecacatan pada pasien post operasi fraktur tibia. Hendaknya dapat dijadikan bahan bacaan bagi mahasiswa/i AKBID, AKPER, dan STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam. Diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan tambahan untuk menambah wawasan dan sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Bandy, W., Irion, J. and Bringgler, M..1997. The Effect of Time and Frequency of Static Stretching on Flexibility of the Hamstring Muscles. Journal of athletic training, 36 : 44-49. Data
Kesehatan. 2013. Kasus Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Havid Maimurahman dan Fitria, Cemy Nur. 2012. Keefeektifan Range Of 44
Motion (Rom) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke. Surakarta : Jurnal Akper PKU Muhammadiyah Surakarta.
Lukman dan Ningsih N. 2011. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Muskuloskeletal. Cetakan Kedua Jakarta : Salemba Medika
Helmi, Noor. 2014. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika
Medical Dictionary. diakses pada tanggal 6 Juni 2015 Melva T . 2013. Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pada Pasien Stroke Iskemik di Ruang Rawat Inap RS Haji Medan. Lubuk Pakam : SKRIPSI STIKes Medistra Lubuk Pakam
Hendrik, H. Damping. 2012. Juiperdo, Vol 1 No. 1. 2012 Pengaruh Penatalaksanaan Terapi Latihan Terhadap Kepuasan Pasien Fraktur Di Irina A Blu Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Manado : Keperawatan Poltekkes Kemenkes Manado
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Irfan, Muhammad, 2010. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta : Graha Ilmu
Ningsih, A.R. (2011). Faktor-faktor yang mempengarhi perawat dalam pelaksanaan pennyuluhan mobilisasi dini pada pasien pre operasi di Irna Bedah RSUP Dr. M Djamil Padang. Padang : UNSRI
Kozier & Erb. 2010. Buku Ajar Praktik Keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran ECG. Kozier. (1995). Fundamental Of Nursing Concept, Process And Practice. Jakarta : EGC. Luklukaningsih, Zuyina. 2009.Sinopsis Fisioterapi Untuk Terapi Latihan. Yogyakarta : Mitra Cendikia Offset
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik (Edisi 4). Jakarta : EGC.
Lukman dan Ningsih N. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Muskuloskeletal.Cetakan Pertama Jakarta : Salemba Medika
. 2006. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. . 2012. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. 45
Gangguan Muskuloskletal. EGC
Purwanti, Ririn . Purwaningsih, Wahyu. Vol. 10 No. 2, 2013. Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Humerus Di Rsud Dr. Moewardi. Surakarta: Jurnal STIKes Aisyiya Surakarta. Ratna,
Sistem Jakarta :
Smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC Smeltzer, S &Brenda G. Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth (Edisi 8). Jakarta : EGC.
Juliana Sihite. 2013.Perbedaan Kekuatan Otot Sebelum Dan Sesudah Latihan Range Of Motion Ekstremitas Atas Pada Pasien Pasca Stroke Akut Di Poliklinik Neurologi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Lubuk Pakam : SKRIPSI STIKes Medistra Lubuk Pakam
Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Pnelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mulia Medika. Setiadi. 2013, Konsep dan Praktik penulisan riset keperawatan Edisi 2. Yogyakarta : Graha Ilmu. Sarah Ulliya, Bambang Soempeno, Dan Bm. Wara Kushartanti. Volume 1, Nomor 2 Hlm 49. 2007, Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Terhadap Fleksibilitas Sendi Lutut Pada Lansia Di Panti Wreda Wening Wardoyo Ungaran. Yogyakarta : Media Ners. Suratun, Haryati, Santa Manurung, Een Raenah. 2008. Klien 46
PERBEDAAN PROSESPENYEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PERAWATAN LUKA TERBUKA DAN TERTUTUP DI RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA LUBUK PAKAM JUNI MARIATI SIMARMATA, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Efforts should be made to prevent pressure sores due to long bedrest was to provide good care of them by changed the position of the right and left lateral oblique every 2 hours. Regulatory action or replacement beneficial position to avoid pressure sores (decubitus) and prevent shortened of muscles and ligaments. In a preliminary study conducted by researchers observation in Grand Medistra Hospital Lubuk Pakam of service quality indicator reports Hospital period January to December 2013 that of the 78 patients treated with bed rest are patients with decubitus wounds 17.65% around 14 people. In June 2015 there were 26 patients with stroke. This study aimed to determine the effect of a tilted position of the right and left lateral decubitus sores prevention in stroke patients at the Grand Medistra (Hospital) Deli Serdang Lubukpakam 2015. This research was pre experiment (pre-experiment) with one group pretest design model posttest. The population in this research was the entire stroke patients treated were exposed to pressure sores and a sample of 10 people, the sample was purposive sampled techniques, methods of collected data by interviewing indirectly by used the observation sheet. The results of the statistical test used the test dependent sample t-test / paired t test showed that the p value is 0.001 (p Value
dan perdarahan biasanya terkontrol, sebab pada luka ini dilakukan secara steril dalam kondisi yang asepsis dan resiko terjadinya infeksi rendah. Sedangkan unintentional wound terjadi karena trauma misalnya karena kecelakaan, luka tembak dan luka bakar. Luka yang terjadi biasanya tidak steril, terkontaminasi, perdarahan tidak terkontrol serta resiko infeksi tinggi (Nugroho,2013). Luka bakar bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbulkan efek sistemik yang
Pada era globalisasi saat ini dimana terjadi kemajuan ilmu dan teknologi membawa perubahan dunia kedalam kehidupan yang lebih maju seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, banyak sekali hal-hal yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan luka.Luka dibagi dalam dua kategori antara lain intentional wound (disengaja) dan unintentional wound (tidak disengaja). Luka intentional wound merupakan luka yang bersih 47
sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi prognosis (Sjamsuhidajat,2011). Badan kesehatan dunia (Wold Health Organization / WHO) melaporkan bahwa angka kejadian luka bakar diseluruh dunia diperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami luka bakar, hal ini banyak dikarenakan dari bahan kimia.Kasus luka bakar di Amerika Serikat merupakan penyebab ketiga kematian akibat kecelakaan setelah kecelakaan kendaraan bermotor dan senjata api. Setiap tahun kira-kira 1,25 juta orang dengan luka bakar datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sebagian besar menderita luka bakar yang luas sehingga perlu mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Survey statistic dan pendataan penduduk di negara Eropa tersebut melaporkan bahwa pada tahun 2007 sebanyk 460 orang mengalami akibat luka bakar, sementara diwaktu lain pada tahun yang sama di Inggris sebanyak 572 orang meniggal akibat kebakaran besar. Angka pasti korban luka bakar dan membutuhkan perawatan di rumah sakit belum diketahui. Sampai saat ini belum ada data statistik yang menggambarkan angka kejadian tersebut, namun sebagai gambaran, data terakhir yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Sosial dan Keamanan tahun 2005, berdasarkan 10% sample kejadian dan kematian dari Pusat
Pelayanan Kesehatan dan rumah sakit yang ada di Inggris. Terdapat data sejumlah 10.960 korban luka bakar yang mendapat perawatan di rumah sakit, terdiri dari 5.510 anak usia 0-14 tahun, dan 5.450 dewasa (Murtikasari, 2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2012 diperoleh hasil bahwa di Indonesia setiap tahunnya, dari kelompok ini, 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dari 100.000 pasien dirawat dirumah sakit. Bila di rumah sakit Pertamina sebagai salah satu rumah sakit yang memiliki fasilitas perawatan khusus Unit Luka Bakar, menerima antara 33 sampai dengan 53 penderita (ratarata 60 penderita / tahun). Dari jumlah tersebut yang termasuk dalam kategori Luka Bakar Berat berkisar 21% (Rivai, 2010). Pada umumnya pasien luka bakar datang akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breating (mekanisme bernafas), dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran nafas akibat cedera inhalasi dalam 48 jam – 72 jam pascatrauma (Sjamsuhidajat,2011). Pada fase ini dapat terjadi pula gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Pada luka bakar berat atau mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular ke jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya
48
hipovolemik intravaskular dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan organ (syok). Syok yang timbul harus segera diatasi dengan memerlukan resusitasi cairan. Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih berkaitan dengan instabilitas sirkulasi (Ivan dkk, 2011).
dikembangkan dalam perawatan klien luka bakar difokuskan pada klien secara individu, kelompok, keluarga maupun komunitas. Pemberian jenis-jenis terapi harus sesuaai dengan tahap penanganan klien luka bakar yaitu tahap penanganan krisis, tahap penanganan fase akut, tahap penanganan fase pemeliharaan dan tahap peningkatan kesehatan(Honey,2011). Penggunaan terapi pengobatan luka bakar derajat satu dan dua yang menyisakan elemen epitel berupakelenjar sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut sendiri, asal dijaga supaya elemen epital tersebut tidak hancur dan rusak karena infeksi. Pada luka lebih dalam perlu perlu diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang mati dan memberikan obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai mencapai dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan secara tertutup dan perawatan terbuka (Nugroho,2013). Perawatan luka tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi.Tetapi tutupnya sedemikian rupa sehingga luka masi cukup longgar untuk berlangsungnya penguapan. Keuntungan perawatan luka tertutup adalah luka tampak rapi, terlindung, dan nyaman bagi penderita. Hanya diperlukan tenaga dan dana lebih banyak karena dpakainya banyak pembalut dan antiseptik. Kadang suasana luka yang lembab dan hangat memungkinkan kuman untuk berkembang biak. Oleh karena itu, bila pembalut melekat pada luka sebaiknya jangan dilepaskan, tunggu sampai melepas
Proses perawatan sangat mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar. Proses perawatan yang kurang baik akan mengakibatkan gangguan didalam penyembuhan luka bakar dan menyebabkan penderita mengalami luka untuk waktu yang panjang. Hal ini dapat menyebabkan stres fisik dan emosi yang berat. Disamping itu ada beban pembiyaan yang cukup besar yang harus ditanggung penderita, keluarga dan sistem pelayanan kesehatan secara umum. Dampak dari sisi sosial akibat penyembuhan luka yang lambat adalah terjadi perubahan tingkah laku yang diperkirakan 10 juta jam kerja terbuang tiap tahunnya karena proses penyembuhan yang lamban (Nurhidayah, 2009). Dalam memberi pelayanan kesehatan kepada klien dengan luka bakar seorang perawat dituntut keterampilan dan kiat-kiat sesuai perkembangan ilmu dan teknologi. Proses keperawatan merupakan metode ilmiah yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan klien pada semua tatanan pelayanan kesehatan. Berbagai terapi keperawatan yang
49
sendiri, tetapi jangan sampai berbau. Sedapaat mungkin luka ditutup kasa penyerap setelah dibubuhi dan dikompres dengan antiseptik (Nugroho, 2013). Sedangkan perawatan terbuka adalah permukaan luka yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kumn sulit berkembang. Keuntungan perawatan luka terbuka adalah mudah dan murah, dan kerugiannya, bila digunakan obat tertentu, misalnya nitras-argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan keluarga pun merasa kurang enak karena melihat luka yang tampak kotor. Sedapat mungkin luka dibiarkan terbuka setelah diolesi obat (Sjamsuhidajat, 2010). Setelah dilakukan survei awal di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam pada tahun 2015 terdapat pasien luka bakar sebanyak 346 orang. Pada bulan Januari s/d April 2015 terdapat pasien luka bakar sebanyak 111 orang. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Perbedaan Proses Penyembuhan luka Bakar Dengan Tindakan Perawatan Luka Terbuka Dan Perawatan Luka Tertutup di Rumah Sakit Grand Medistra.
Untuk mengetahui proses penyembuhan luka bakar dengan tindakan perawatan luka tertutup. Untuk mengetahui derajat luka sebelum dan sesudah di lakukan perawatan luka terbuka dan tertutup. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiono, 2010). Pada bab ini akan dibahas tentang penelitian yang akan digunakan. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Grand Medistra. Waktu penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari – Mei tahun 2015 di Rumah Sakit Grand Medistra. Populasi dalam hal ini adalah seluruh pasien luka Bakar di Rumah Sakit Grand Medistra dalam hal ini diketahui jumlah populasi pada bulan Januari-April 2015 adalah 111 orang. Populasi dapat dibagi menjadi 2 yakni: a.
b.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Tindakan Perawatan Luka Terbuka Dan Perawatan Luka Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Tahun 2015. Untuk mengetahui proses penyembuhan luka bakar dengan tindakan perawatan luka terbuka.
Populasi Target (Target Population) ditandai oleh karekteristik klinis dan demografis. Populasi Terjangkau (accessible Population, source Population) yakni bagian dari populasi target yang dibatasi oleh tempat dan waktu.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengalami luka Bakar yang dirawat di Rumah Sakit Grand Medistra. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Luka Bakar yang di rawat inap yang sesuai dengan 50
kriteria yang ada di Rumah Sakit Grand Medistra Tahun 2015. Karena jumlah populasi dalam penelitian ini belum diketahui, maka jumlah sampel dalam penelitian ini juga belum diketahui karena belum diketahui jumlah pasien pulang dan pasien baru masuk pada saat dilakukan penelitian.
10-20
4
Persentase (%) 16,7 %
21-30
13
54,2 %
31-40
5
20,8%
>40
2
8,3%
Jumla h
24
100%
Usia
Frekuensi
Dari tabel diatas diperoleh data bahwa responden yang berusia di antara 10 – 20 tahun adalah 4 orang responden (16,7%), responden yang berusia 21-30 tahun adalah 13 orang responden (54,2 %), responden yang berusia 31 - 40 sebanyak 5 responden (20,8%) dan responden yang berusia >40 tahun adalah sebanyak 2 responden ( 8,3 %).
Metode Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya akan dianalisa dengan menggunakan a. Univariat Tujuan dari analisis univariat adalah untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti secara sederhana yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. b. Bivariat Analisis ini diperlukan untuk menjelaskan atau mengetahui apakah ada pengaruh atau perbedaan yang signifikan antara variabelindependent dengan variabel dependent. Berdasarkan penelitian untuk mengetahui perbedaan proses penyembuhan luka bakar dengan tindakan perawatan luka terbuka dan tindakan perawatan luka tertutup peneliti menggunakan uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sampel T Test.
Tabel Distribusi Frekuensi dan Persentasi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
1
Jenis Kelamin Laki-Laki
Frek uensi 12
2
Perempuan
12
50 %
Jumlah
24
100%
No
Persentas e (%) 50 %
Dari tabel di atas di dapatkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 12 responden (50%) dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 responden (50%). Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Laju Pertumbuhan Luka Pasien Laju Pertumbu han Jaringan
HASIL PENELITIAN Tabel. Distribusi Frekuensi Dan Persentase Berdasarkan Usia Responden
51
Jenis Perawatan Luka Bakar Terbuka
Total
Tertutup
Cepat
10
2
12
Lambat
2
10
12
Total
12
12
24
Dari tabel di atas di dapatkan bahwa dari 12 responden yang mendapatkan perawatan luka terbuka 10 responden pertumbuhan jaringanya cepat dan 2 responden pertumbuhan jaringanya lambat dan dari 2 responden yang di beri perawatan luka tertutup di dapat 2 responden pertumbuhan jaringanya cepat dan 10 responden pertumbuhan jaringanya lambat.
ialah 0,723 dan rata-rata pada 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka terbuka ialah 0,940 dan di dapatkan nilai P = 0,005 ≠ α 0,005 maka dapat di simpulkan bahwa ada Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Perawatan Luka Terbuka Dan Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Tahun 2015.
PEMBAHASAN
Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Tindakan Perawatan Luka Terbuka Dan Perawatan Luka Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Tahun 2015 .
Laju Pert umb uhan Jari ngan
Jenis Pera wata n Luk a Terb uka Tertu tup
N
M ea n
Std. Devi ation
1 2
6,5 8
2,50 3
0,723
1 2
10, 33
3,25 7
0,940
Karakteristik Responden di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam 1. Usia Usia adalah masa hidup responden yang dinyatakan dalam hitungan tahun dan sesuai dengan pernyataan responden. Dalam penelitian ini usia di kelompokan menjadi 4 kategori yaitu : responden yang berusia di antara 10 – 20 tahun adalah 4 orang responden (16,7%), responden yang berusia 21-30 tahun adalah 13 orang responden (54,2 %), responden yang berusia 31 - 40 sebanyak 5 responden (20,8%) dan responden yang berusia >40 tahun adalah sebanyak 2 responden ( 8,3 %).
Std.Error Mean
Berdasarkan Hasil Uji statistik dengan menggunakan uji sampel independent T-test di dapatkan bahwa rata rata pertumbuhan jaringan luka pada 12 responden (50%) yang di lakukan perawatan luka tertutup ialah 0,723 dan ratarata pada 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka terbuka ialah 0,940
2. Jenis Kelamin Mayoritas pasien cedera kepala yang menjadi responden pada penelitian ini adalah laki – laki yaitu sebanyak 12 orang responden (50%) dan responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 orang responden (50%).
Berdasarkan data yang di dapatkan dari pengolahan data menggunakan SPSS versi 16 di dapatkan bahwa rata rata pertumbuhan jaringan luka pada 12 responden (50%) yang di lakukan perawatan luka tertutup 52
Berdasarkan hasil Uji statistik dengan menggunakan uji sampel independent T-test di dapatkan bahwa rata rata pertumbuhan jaringan luka pada 12 responden (50%) yang di lakukan perawatan luka tertutup ialah 0,723 dan ratarata pada 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka terbuka ialah 0,940. di dapatkan nilai P = 0,005 ≠ α 0,005 maka dapat di simpulkan bahwa ada Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Perawatan Luka Terbuka Dan Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Tahun 2015 Hasil ini sejalan dengan penelitian mulyanti bahwa ada perbedaan laju pertumbuhan luka pada pasien luka bakar derajat 3 yang di berikan perawatan luka terbuka dengan yang diberikan perawatan luka tertutup (mulyanti, 2013).
Distribusi Frekuensi responden berdasarkan jenis Perawatan Luka yang di dapatkan. Dari hasil pengumpulan data yang di lakukan peneliti di rumah sakit umum daerah deli serdang lubuk pakam tahun 2015 di dapatkan dari 24 orang responden terdapat sebanyak 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka tertutup dan 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka terbuka. Data di dapat sesuai hasil lembar observasi yang di isi oleh peneliti di hari pertama penelitian. Ini sejalan dengan penelitian Evan Dkk yang berjudul pengaruh perawatan Luka Terbuka terhadap tingkat penyembuhan luka pada pasien luka bakar di rumah sakit umu dr.Sardjito, penelitian dengan desain penelitian pretest – postest dengan sampel 12 orang mendapatkan nilai P = 0,003..
Pada penelitian ini perawatan luka terbuka lebih cepat pertumbuhan jaringanya di bandingkan perawatan luka yang tertutup, itu di karenakan pada luka bakar dengan perawatan luka terbuka oksigen lebih banyak mengenai jaringanya maka dengan adanya oksigen dan lingkungan terbuka ini menyebabkan mikroorganisme dan bakteri dan jamur tidak mudah berkembang sehingga pertumbuhan jaringan dan tingkat penyembuhan pun akan lebih cepat.
Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Tindakan Perawatan Luka Terbuka Dan Perawatan Luka Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Tahun 2015 Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 16 di dapat hasil bahwa ada Perbedaan yang bermakna antara perawatan luka tertutup dan perawatan luka terbuka terhadap pertumbuhan jaringan pada pasien luka bakar di rumah sakit umum daerah deli serdang lubuk pakam tahun 2015.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dibahas pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian yang telah dilakukan terhadap 24
53
orang responden di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam tahun 2015. A. Setelah dilakukan observasi kepada 24 orang responden Luka Bakar, dapat dilihat bahwa responden yang berjenis kelamin laki – laki sebanyak 12 orang responden (50 %) dan responden yang berjenis perempuan sebanyak 12 orang responden (50 %), sedangkan umur lebih tinggi penderita pada umur 21-30 sebanyak 13 orang (54,2%), umur 31-40 sebanyak 5 orang (20,8%) pada umur 10 – 20 sebanyak 4 orang (16,7%) dan umur > 40 sebanyak 2 orang (8,3%). B. dari 24 orang responden terdapat sebanyak 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka tertutup dan 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka terbuka. C. Berdasarkan hasil Uji statistik dengan menggunakan uji sampel independent T-test di dapatkan bahwa rata rata pertumbuhan jaringan luka pada 12 responden (50%) yang di lakukan perawatan luka tertutup ialah 0,723 dan rata-rata pada 12 responden (50%) yang mendapatkan perawatan luka terbuka ialah 0,940. di dapatkan nilai P = 0,005 ≠ α 0,005 maka dapat di simpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara perawatan luka tertutup dengan perawatan luka terbuka terhadap pertumbuhan jaringan luka pada pasien luka bakar di rumah sakit umum daerah deli
serdang lubuk pakam tahun 2015. Saran Diharapkan agar dapat membantu pasien Luka Bakar dalam mempercepat penyembuhan Luka pada pada pasien. Diharapkan hasil penelitian yang di peroleh di dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan strategi bagi perawat dalam memberikan askep yang lebih baik pada pasien dengan Luka Bakar. Diharapkan hasil ini dapat digunakan sebagai bacaan di perpustakaan dan sebagai bahan referensi bagi mahasiswa. Diharapkan Dalam Penelitian Ini Berguna Untuk Menambah Wawasan Dan Penglaman Nyata Dalam Penelitian Khususnya Terhadap Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Perawatan Luka Terbuka Dan Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Tahun 2015
DAFTAR PUSTAKA Arali.
2013. Angka Kesakitan, Kematian dan Penyembuhan Tb Paru. Http://wordpress.com.//2013/0 5/25/ dari-angka-kesakitankematian-dan-penyembuhanPPOK. Headline pada tanggal 17 November 2013. Arikunto, S. 2011. Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta. Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien, Salemba Medika, Jakarta.
54
A, Sulistyo, 2012. Kebutuhan Dasar Manusia, Graha Ilmu, Yogyakarta. Chang, Ester, dkk. 2009. Patofisiologi: Aplikasi pada praktik Keperawatan. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta. Darma, K, Kelana, 2011. Metode Penelitian Keperawatan, Trans Info, Jakarta. Dedy Asep, 2011. Oksigenasi, Http://nursing begin.com/oksigenasi. Headline pada tanggal 22 November 2013. Djojodibroto, D, 2010. Respiratologi, EGC Pustaka Adipura, Jakarta. Fusvita Adha, 2010. Latihan Batuk Efektif. Http://www.scirbd.com/doc/Fu svita Adha-Latihan-BatukEfektif. Headline pada tanggal 10 November 2011. Hidayat, A, Aziz, 2011.Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data, Salemba Medika, Jakarta. Ikawati, Z, 2010. Farmako Terapi Penyakit Sistem Pernafasan, Pustaka Adipura, Yogyakarta. Indra Widyastuti, 2011. Prevalensi PPOK. Http://www. Wikipedia.co.id. Headline pada tanggal 15 November 2011. Manurung, Santa, dkk. 2008. Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi, Trans Info Media, Jakarta. Mubarak, Chayatin, N, 2010. Kebutuhan Dasar Manusia, EGC, Jakarta. Munif, Amrul, dkk. 2010. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Sagung Seto, Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta. Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Sastroasmoro, S, 2011. Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis, Sagung Seto, Jakarta. Somantri, Irman, 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Edisi 2, Salemba Medika, Jakarta. Tartowo dan Wartonah.2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
55
HUBUNGAN TEHNIK PEMASANGAN INFUS DAN SIKAP PERAWAT DALAM PERAWATAN INFUS DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG LUBUK PAKAM GRACE ERLYN DAMAYANTI, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Nurses have a professional duty to recognize and prevent things related to the occurrence of complications in patients with IV therap . Nurses are responsible for the installation and handling of IV therapy. Therefore, to minimize the risk of infection, nurses need to be aware of and recognize further what were the factors that contribute to the incidence of phlebitis dominant. This type of research was an analytic survey with the aim to determine the relationship infusion techniques and attitudes of nurses in the care of the incidence of infusion phlebitis held at General Hospital Deli SerdangLubukPakamin October 2013 and February 2015 all nurses on duty in the ER and Inpatient room and all patients treated in inpatient areas amounted to 30 persons each with accidental sampling technique was a sampling technique which happened to be available in the room or inpatient areas during the study lasted for 7 days study and test used was Chi – Square. The results showed that there was a correlation with the incidence of infusion techniques phlebitis where p value = 0.016 ( p> 0.05 ) and no relationship attitudes of nurses in the care of the incidence of infusion phlebitis in General Hospital Deli SerdangLubukPakamwhere p value = 0.039 ( p > 0 , 05 ). Nurses should obtain information about intravenous therapy is appropriate standard operating procedures (SOP) so that nurses have a comprehensive understanding of intravenous therapy and the presence of SOP from the hospital on site selection, care and use of standards and the use of plaster or gauze phlebitis scale .
resiko terjadinyainfeksi yang akan menambah tingginya biaya perawatan dan waktu perawatan.Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannyaselalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan, sehingga kejadian infeksiatau berbagai permasalahan akibat pemasangan infus dapat dikurangi, bahkantidak terjadi (Priharjo, 2008). Pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderitadisemua lingkungan
Latar Belakang Pemberian cairan melalui infus merupakan tindakan memasukkan cairan melalui intravena yang dilakukan pada pasien dengan bantuan perangkat infus.Tindakan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit serta sebagai tindakan pengobatan dan pemberian makanan (Uliyah, 2009).Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yangsering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini tinggi
56
perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapiutama. Sebanyak 600 pasien(60%) dari 1000 pasien yang dilakukan rawat inap mendapatkan terapicairan infus. Sistem terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebihcepat, lebih efektif, dapat dilakukan secara kontinue dan penderita pun merasalebih nyaman jika dibandingkan dengan cara lainnya. Tetapi karena terapi inidiberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunyaakan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasanganinfus, salah satunya adalah phlebitis (Hinlay, 2009). Phlebitis merupakan masalah yang serius tetapi tidak menyebabkan kematian karena dapat merugikan pasien dengan menambah kesakitan pada pasien dan semakin tingginya biaya karena lamanya perawatan di rumah sakit.Phlebitis dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya menjadi trombophlebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk kejantung maka dapat menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara mendadak dan menimbulkan kematian (Sylvia, 2009). Penelitian di Brigman Young University tahun 2008 menunjukan tingkat kejadian phlebitis 5,79% dari 432 pasien. Sekitar 20 juta dari 40 juta pasien dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat telah dilaporkan menerima pengobatan IV. Angka phlebitis karena kateterisasi IV dilaporkan sebanyak 8.360.000 orang(41,8%) oleh Maki dan Ringer
(2005),12.940.000 orang (64,7%) oleh Kocaman dan Sucuoglu (2006),12.400.000 orang (62%) oleh Lundgren, Jorfeldt, dan Ek (2007); 13.440.000 orang (67,2%) oleh Karadeniz, Kutlu, Tatlisumak, dan Ozbakkaloglu (2008), dan 13.760.000 orang (68,8%) oleh Selimen, Kilic, dan Toker (2009) (Zarate, 2009).. Penelitian yang dilakukan di Singapura oleh Zavareh dan Ghorbani Tahun 2007 didapatkan dari hasil penelitian kejadian phlebitis yang terpasang pada ekstremitas atas yaitu 76,9% dan di ekstremitas bawah yaitu 23,7%. Untuk hubungannya dengan pemasangan infus dari 60 responden, pada vena metacarpal 41,7% dan 8,3% didapatkan kejadian phlebitis pada lokasi pemasangan infus di vena sefalika. Jumlah kejadian phlebitis menurut Distribusi Penyakit Sistem Sirkulasi Darah Pasien Rawat Inap, Indonesia Tahun 2008 berjumlah 744 orang (17,11%), (Depkes, RI, 2008). Kejadian phlebitis di ruang rawat penyakit dalam di RSCM Jakarta.Sebanyak 109 pasien yang mendapat cairan intravena. Ditemukan 11 kasus phlebitis, dengan rata-rata kejadian 2 hari setelah pemasangan, area pemasangan di vena metacarpal, dan jenis cairan yang digunakan adalah kombinasi antara Ringer Laktat dan Dekstrosa 5% (Pujasari, 2009). Angka kejadian phlebitis di RSU Mokopido Tolitoli pada tahun 2008 mencapai 784 orang (42,4%) dari 1850 pasien. Penelitian lain yang dilakukan di RS DR. Sarjito Yogyakarta ditemukan 774 orang (27,19%) kasus phlebitis pasca pemasangan infus dari 2850 pasien yang terpasang infus (Baticola, 2009).
57
Penelitian Widianto (2009) menemukan kasus phlebitis sebanyak 861 orang (18,8%) dari 4580 pasien di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2008 dan tahun 2009 ditemukan kejadian phlebitis sebanyak 1537 orang (26,5%) dari 5800 pasien (Saryati, 2010). Phlebitis dapat diklasifikasikan dalam 3 tipe : bakterial, kimiawi, dan mekanikal (Campbell, 2009). Adapun faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian phlebitis ini termasuk : tipe bahan kateter, lamanya pemasangan, tempat insersi, jenis penutup (dressing), cairan intravena yang digunakan, kondisi pasien, teknik insersi kateter, dan ukuran kateter (Oishi, 2010). Nichols, Barstow & Cooper (1983) juga mengidentifikasi peran penting perawat dalamperkembangan phlebitis.Mereka menggarisbawahi pengetahuan dan kualitas pengkajian keperawatan merupakan faktor yang penting dalam pencegahan dan deteksi dini phlebitis (Asrin, 2011). Perawat mempunyai tugas profesional untuk mengenali dan mencegah halhal yang berhubungan dengan terjadinya komplikasi pada pasien yang dilakukan terapi IV.Tindakan yang dilakukan adalah untuk mencegah dan meningkatkan kesehatan individu pasien dan klien.Perawat bertanggung jawab dalam pemasangan dan penanganan terapi IV. Oleh karenaitu untuk meminimalkan resiko infeksi,perawat perlu menyadari dan mengenali lebih jauh faktor-faktor apa saja yang dominan berkontribusi terhadap kejadian phlebitis (Hindley, 2009). Hasil penelitian Pasaribu (2010), di Rumah Sakit Haji Medan menyimpulkan bahwa yang paling
dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah sikap perawat yang kurang baik pada saat melaksanakan pemasangan infus (OR=2.771). Pemberian obat melalui wadah cairan intravena merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau memasukan obat ke dalam wadah cairan intravena yang bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah. Sikap merupakan penentu dari perilaku karena keduanya berhubungandengan persepsi, kepribadiaan, perasaan, dan motivasi. Sikap merupakankeadaan mental yang dipelajari dan diorganisasikan melalui pengalaman,menghasilkan pengaruh spesifik pada respon seseorang terhadap orang lain,objek, situasi yang berhubungan. Sikap menentukan pandangan awal seseorang terhadap pekerjaan dan tingkat kesesuaian antara individu dan organisasi (Ivancevich, 2008). Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus.Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat.Semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang sesuai standar operasional prosedur (SOP).Berdasarkan hasil penelitian Andares (2009), menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan kesterilan luka pada pemasangan infus.Perawat biasanya langsung memasang infus tanpa memperhatikan tersedianya bahanbahan yang diperlukan dalam
58
prosedur tindakan tersebut, tidak tersediahandscoen, kain kasa steril, alkohol, pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril. Teknik sterilisasi di Rumah sakit sangat berpengaruh dengan tingkat kejadian phlebitis misalnya kurang sterilnya pada saat melakukan tindakan keperawatan pada pasien yang sedang dirawat, misalnya pada saat pemasangan infus. Apabila ada saat melakukan pemasangan infus alat-alat yang akan digunakan tidak menggunakan teknik sterilisasi akan mengakibatkan phlebitis seperti pembengkakan, kemerahan, nyeri disepanjang vena. Hal ini sangat merugikan bagi pasien karena infus yang seharusnya dilepas setelah 72 jam kini harus dilepas sebelum waktunya karena disebabkan oleh alat-alat bantu yang digunakan untuk memasang infus tidak menggunakan teknik sterilisasi (Klikharry, 2009). Dalam penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah merupakan jalan masuk kuman yang potensial kedalam tubuh, pH dan osmololaritas cairan infus yang ekstrim selalu diikuti resiko phlebitis tinggi, (Darmawan, 2008).Infeksi phlebitis dapat terjadi melalui cairan intravena dan jarum suntik yang digunakan atau di pakai berulang-ulang dan banyaknya suntikan yang tidak penting misalnya penyuntikan antibiotika (Simonsen, 2009). Menurut Binvko (2009) semakin jauh jarak pemasangan terapi intravena maka risiko untuk terjadi phlebitisakan semakin meningkat. Faktor lain yang akan meningkatkan risiko terjadinya phlebitis adalah cairan dengan osmolalitas tinggi dan pemakaian balutan konvensional.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam pada bulan Oktober 2013 diperoleh jumlah data bahwa pasien yang memakai infus dari bulan Juli – September 2013 sebanyak 3986 orang. Dari 3986 pasien yang memakai infus terdapat 195 orang (5%) yang mengalami phlebitis.Dari hasil observasi phlebitis terjadi karena banyak faktor, tetapi faktor yang paling banyak menyebabkan phlebitis adalah teknik aseptik pemasangan infus dan sikap perawat dalam pemasangan infus tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan tehnik pemasangan infus dan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan tehnik pemasangan infus dan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Tujuan Khusus Untuk mengetahui teknik aseptik pemasangan infus sesuai SOP di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Untuk mengetahui sikap perawat dalam perawatan infus di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Untuk mengetahui angka kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Untuk mengetahui hubungan teknik pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.
59
Untuk mengetahui hubungan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Deli SerdangLubuk Pakam.
4) Perawat yang sedang memasang infus. b. Pasien Pengambilan sampel dilakukan dengan kriteria pasien sebagai berikut : a. Pasien yang bersedia menjadi responden b. Pasien yang baru masuk saat penelitian berlangsung c. Pasien yang akan dilakukan pemasangan infus.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.Alasan peneliti memilih lokasi adalah Waktu penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2015.
Metode Pengukuran Pengukuran teknik pemasangan infus dengan menggunakan 29 buah butir – butir pernyataan dalam bentuk observasi sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) pemasangan infus dengan ketentuan jawabanya diberi nilai 1 dan tidak diberi nilai 0. Maka nilai maksimal adalah 29 dan nilai minimal adalah 0, maka digunakan rumus yaitu ;
Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : a. Seluruh perawat yang bertugas di IGD dan Ruang Rawat Inap di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam tahun 2015 yang berjumlah 250 orang. b. Seluruh pasien yang dirawat yang menggunakan infus selama terpasang di Ruang Rawat Inap RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam saat penelitian berlangsung.
𝑃=
nilai tertinggi − nilai terendah 2
29 − 0 2 p = 14,5 dibulatkan menjadi 15 Kemudianselanjutnya hasil observasi dikategorikan menjadi : a. Tepat bila perawat melakukan pemasangan infus sesuai SOP dengan skor 29. b. Tidak tepat bila perawat tidak melakukan salah satu pemasangan infus sesuai SOP dengan skor < 29. Pengukuran sikap dengan menggunakan butir – butir pertanyaan dalam bentuk kuesioner dengan 10 pertanyaan dengan menggunakan skala likert dengan ketentuan jawaban jika 𝑃=
Besar sampel pada penelitian sebanyak 30 orang perawat dan 30 orang pasien. Rincian sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : a. Perawat Pengambilan sampel dilakukan dengan kriteria perawat sebagai berikut : 1) Perawat yang bertugas di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam saat penelitian berlangsung 2) Bersedia menjadi responden 3) Perawat yang bertugas di IGD dan di ruangan rawat inap.
60
menjawabsangat setuju diberi nilai 4, setuju diberi 3, tidak setuju diberi nilai 2 dan sangat tidak setuju diberi nilai 1. Maka total skor adalah 40. Maka nilai maksimal adalah 40 dan nilai minimal adalah 10, maka digunakan rumus yaitu ; 𝑃=
2 orang dari Ruang Tulip, 2 orang dari ruang Teratai, 2 orang dari ruang Anyelir, 2 orang dari Ruang Kenanga, 2 orang dari Ruang Melati, 2 orang Dari Ruang Flamboyan, 2 orang dari Ruang ICU dan 1 orang dari Ruang NICU, dan 30 pasien di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 mengenai hubungan tehnik pemasangan infus dan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitismaka didapatkan hasil sebagai berikut :
nilai tertinggi − nilai terendah 2
40 − 10 2 p = 15 Kemudian selanjutnya sikap dikategorikan menjadi : a. Baik bila skor 26 - 40. b. Tidak baik bila skor 10 - 25. 𝑃=
Distribusi Frekuensi dan Persentase Teknik Aseptik Pemasangan Infus Tepat dan Tidak Tepat Pada Perawat di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
Pengukuran kejadian phlebitis dilakukan dengan cara observasi pada pasien setelah dipasang infus dan diberi obat melalui selang infus selama 2 hari apakah terjadi phlebitis atau tidak dengan menggunakan Visual Infusion Phlebitis score. Kemudianselanjutnya hasil observasi dikategorikan menjadi : a. Ada kejadian apabila dijumpai salah satu dari tanda dan gejala phlebitis dengan skor 1 - 15. b. Tidak ada kejadian apabila tidak dijumpai tanda-tanda phlebitis.
No
1. 2.
Teknik pemasangan infus Tepat Tidak tepat Jumlah
Frekuensi
Persentase (%)
22 8
73,3 26,7
30
100,0
Tabel menunjukan bahwa mayoritas teknik aseptik pemasangan infus sesuai SOP adalah tepat sebanyak 22 orang (73,3%) dan minoritas teknik aseptik pemasangan infus sesuai SOP adalah tidak tepat sebanyak 8 orang (26,7%). Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 30 perawat dengan rincian 3 orang dari Ruang IGD, 2 orang dari Ruang Melur, 2 orang dari Ruang Seroja, 2 orang dari Ruang Mawar, 2 orang dari Ruang Akasia, 2 orang dari Ruang Anggrek,
No
Sikap perawat 1. Baik 2. Tidak baik Jumlah
Frekuensi 21 9
Persentase (%) 70,0 30,0
30
100,0
Tabel menunjukan bahwa mayoritas sikap perawat dalam perawatan infus 61
adalah baik sebanyak 21 orang (70%), dan minoritas sikap perawat dalam perawatan infus adalah tidak baik sebanyak 9 orang (30%).
dalam perawatan infus yang baik diketahui 1 orang (4,8%) pasien yang mengalami phlebitis, dan 20 orang (95,2%) pasien yang tidak mengalami phlebitis. Dari 9 orang perawat dengan sikap perawat dalam perawatan infus yang tidak baik diketahui 7 orang (77,8%) pasien yang mengalami phlebitis, dan 2 orang (22,2%) pasien yang tidak mengalami phlebitis. Karena p value = 0,039 (p < α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa hipotesa dalam penelitian ini diterima yaitu ada hubungan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.
Distribusi Frekuensi dan Persentase Angka Kejadian Phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 No
Angka kejadian phlebitis 1. Ada 2. kejadian Tidak ada kejadian Jumlah
Frekuensi
Persentase (%)
8 22
26,7 73,3
30
100,0
Tabel menunjukan bahwa mayoritas pada responden adalah tidak ada kejadian sebanyak 22 orang (73,3%), dan minoritas adalah ada kejadian sebanyak 8 orang (26,7%). Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan tehnik pemasangan infus dan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Tabulasi Silang Hubungan Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus Dengan Kejadian Phlebitisdi Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus Baik Tidak baik Total
Kejadian Phlebitis Ada Tidak kejadian ada kejadian F % F % 1 4,8 20 95 ,2 7 77,8 2 22 ,2 8 26,7 22 73 ,3
Pembahasan Hasil penelitian menunjukan mayoritas teknik aseptik pemasangan infus sesuai SOP adalah tepat sebanyak 22 orang (73,3%) dan minoritas teknik aseptik pemasangan infus sesuai SOP adalah tidak tepat sebanyak 8 orang (26,7%). Dari hasil kuesioner tentang teknik pemasangan infus diperoleh 6 orang perawat (20%) yang tidak melakukan pada pelaksanaan di poin “j” yaitu bersamaan dengan jarum menusuk kulit rendahkan sedikit sampai hampir sejajar dengan kulit, 8 orang perawat (26,7%) tidak melakukan pada pelaksanaan di poin ”n” yaitu Pperhatikan bahwa cairan masuk ke valu vena dengan baik, tidak ada e kebocoran yang terlihat sebagai edema subkutan di daerah insersidan 6 orang perawat (20%) tidak 0,03 9melakukan pada pelaksanaan di poin “p” yaitu atur kecepatan tetesan dengan menggerakkan grid pengatur tetesan pada selang infus.
Total
F 21 9 30
% 100, 0 100, 0 100, 0
Berdasarkan tabel diketahui dari 21 orang perawat dengan sikap perawat 62
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam ruangan yang berdekatan atau antara satu tempat tidur dengan tempat tidur lainnya.Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh, dimana 60% pasien yang di rawat di Rumah Sakit menggunakan infus.Penggunaan infus terjadi disemua lingkungan keperawatan kesehatan seperti perawatan akut, perawatan emergensi, perawatan ambulatory dan perawatan kesehatan dirumah (Schiffer, At.All, 2009). Menurut Priharjo (2008) Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yangsering dilakukan di rumah sakit. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannyaselalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan, sehingga kejadian infeksiatau berbagai permasalahan akibat pemasangan infus dapat dikurangi, bahkantidak terjadi. Hasil penelitian yang sejalan dengan penelitian tersebut adalah yang dilakukan oleh Nurjanah (2011) tentang hubungan lokasi penusukan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap Desa RSU Tugurejo Semarang menunjukan hasil ketepatan lokasi penusukan infus yang dilakukan perawat sebesar 60%. Hal ini berarti ditemukan perawat sebanyak 60% yang tepat dalam melakukan pemasangan infus pada pasien.
perawat dalam perawatan infus adalah tidak baik sebanyak 9 orang (30%). Dari data diatas dapat dilihat bahwa perawat yang sikapnya baik lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak baik.Ini terbukti dari hasil jawaban pernyataan dalam kuesioner yang dijawab sehingga berdampak pada sikap responden itu sendiri. Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh bahwa lebih dari 50% responden sangat setuju dengan beberapa poin seperti prinsip aseptik sangat diperlukan ketika melakukan tindakan yang berhubungan dengan infus untuk menghindari terjadinya plebitis, mengganti kasa steril penutup luka setiap 24 – 48 jam merupakan tindakan yang sangat penting untuk diperhatikan, perawat perlu terus menerus mengecek infus dalam selang waktu yan teratur, perawat perlu memelihara laju infus karena berkaitan dengan keseimbangan cairan tubuh pasien, daerah tusukan infus harus dipantau untuk memastikan tidak adanya tanda-tanda infeksi dan kanula harus tetap berada pada tempatnya dan tidak tersumbat, jika selang infus terjadi penyumbatan atau kerusakan maka harus segera diganti dan perawat harus sering memperhatikan pasien selama perasat dijalankan. Hal ini mengakibatkan sikap responden menunjukan sikap yang baik terhadap perawatan infus untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Menurut Azwar (2009), adanya informasi baru mengenai suatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu
Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus Hasil penelitian menunjukkan mayoritas sikap perawat dalam perawatan infus adalah baik sebanyak 21 orang (70%), dan minoritas sikap
63
hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Untuk dapat memperoleh sikap yang baik, dipengaruhi oleh pengalaman pribadi (baik langsung maupun tidak langsung), kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan, serta faktor emosi dalam diri individu itu sendiri yang kemudian akan memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat dan diketahui, sehingga menimbulkan kecenderungan bersikap dan bertindak. Berdasarkan tabel juga terlihat bahwa setengah dari responden (70%) memiliki sikap yang baikdalam perawatan infus.Ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi prilaku bagaimana orang berprilaku dalam situasi tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap seseorang akan dicerminkan dalam bentuk tendensi prilaku terhadap objek(Cahyonoputro, 2009). Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perawat yang mempunyai sikap tidak baik sebanyak 9 orang (30%).Hal ini disebabkan kelalaian dari perawat dalam perawatan infus pasien, misalnya ketika melakukan penyuntikan, masih ada udara pada spuit yang tertinggal, hal ini tentu dapat menyebabkan phlebitis pada pasien. Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas pada responden adalah tidak ada kejadian sebanyak 22 orang (73,3%), dan minoritas adalah ada kejadian sebanyak 8 orang (26,7%). Phlebitis dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah teknik
pemasangan infus yang tepat atau tidak tepat. Hasil penelitian yang menunjukan bahwa sebagian besar (73,3%) responden tidak ditemukan kejadian phlebitis. Hal ini dikarenakan teknik pemasangan infus yang tepat dan sikap perawat yang baik dalam perawatan infus. Dari penelitian tersebut ditemukan adanya pasien yang mengalami phlebitis sebanyak 26,7%.Hal ini disebabkan karena adanya perawat yang tidak tepat dalam melakukan teknik pemasangan infus dan masih ada perawat yang mempunyai sikap yang tidak baik dalam perawatan infus. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2011) tentang hubungan lokasi penusukan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap Desa RSU Tugurejo Semarang. Hasil penelitian menunjukan responden tidak mengalami kejadian phlebitis sebesar 58,7%. Hubungan Teknik Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Hasil analisis dengan menggunakan uji uji statistikchi-square diperoleh nilai p = 0,016 (p < α = 0,05, dimana dari bab terdahulu disebutkan bahwa suatu variabel dikatakan berhubungan ketika nilai p ≤ α (0,05). Nilai probability ditemukan bahwa p = 0,016, ini menunjukan bahwa adanya hubungan yang sangat erat antra teknik pemasangan infus dengan kejadian plebitis. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan teknik pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015.
64
Infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terapi intra vena (I.V) terletak pada system infus atau tempat menusukkan vena (Darmawan, 2008).Teknik sterilisasi di Rumah sakit sangat berpengaruh dengan tingkat kejadian phlebitis misalnya kurang sterilnya pada saat melakukan tindakan keperawatan pada pasien yang sedang dirawat, misalnya pada teknik pemasangan infus. Apabila ada saat melakukan pemasangan infus alat-alat yang akan digunakan tidak menggunakan teknik sterilisasi akan mengakibatkan phlebitis seperti pembengkakan, kemerahan, nyeri disepanjang vena. Hal ini sangat merugikan bagi pasien karena infus yang seharusnya dilepas setelah 72 jam kini harus dilepas sebelum waktunya karena disebabkan oleh alat-alat bantu yang digunakan untuk memasang infus tidak menggunakan teknik sterilisasi (Harry, 2009). Philips (2009) menyatakan bahwa kejadian phlebitis dapat meningkat karena teknik pemasangan dengan teknik aseptik yang buruk sehingga bakteri dapat masuk dan menyebabkan terjadinya inflamasi. Pada pemasangan yang tidak memperhatikan prinsip sterilitas, organisme pathogen akan mudah masuk dan organisme pathogen yang masuk akan menginvasi area pembuluh darah. Jika antigen terdeteksi, maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa mereka dan memberikan respon.Selsel ini memicu limfosit B untuk memproduksi antibodi, suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen spesifik yang membantu menghancurkan bakteri, virus, ataupun sel yang terinfeksi.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yunus (2012) tentang hubungan lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian plebitis pada pasien dewasa Di Ruang Rawat Inap Bangsal Menur Dan Bakung RSUD Wonosaridengan menggunakan analisa statistic chi square, dengan derajat kemaknaan (α) 0,05, dan tingkat signifikan 95% diperoleh nilai p value 0,02, artinya ada hubungan lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian plebitis pada pasien dewasa. Hubungan Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus Dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Hasil penelitian menunjukkan dari 21 orang perawat dengan sikap perawat dalam perawatan infus yang baik diketahui 1 orang (4,8%) pasien yang mengalami phlebitis, dan 20 orang (86,4%) pasien yang tidak mengalami phlebitis. Dari 9 orang perawat dengan sikap perawat dalam perawatan infus yang tidak baik diketahui 7 orang (77,8%) pasien yang mengalami phlebitis, dan 2 orang (22,2%) pasien yang tidak mengalami phlebitis. Karena p value = 0,039 (p < α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa hipotesa dalam penelitian ini diterima yaitu ada hubungan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Sikap merupakan suatu pandangan, tetapi dalam hal ini masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki oleh orang. Pengetahuan mengenai suatu obyek tidak sama dengan sikap terhadap suatu objek. Sikap mempunyai segi motivasi
65
berarti segi dinamis menuju suatu tujuan berusaha mencapai suatu tujuan. Sikap dapat merupakan suatu pengetahuan, tetapi pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Purwanto, 2009). Hasil analisis statistik dengan uji ChiSquare yang dilakukan terhadap penelitian yang dilakukan di di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam menghasilkan nilai probabilitas = 0,039 (p < 0,05). Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis, dimana dalam penelitian yang dilakukan di di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dari 21 orang perawat dengan sikap perawat dalam perawatan infus yang baik diketahui 1 orang (4,8%) pasien yang mengalami phlebitis, dan 20 orang (86,4%) pasien yang tidak mengalami phlebitis. Menurut teori WHO (Notoatmojo, 2010) menyatakan bahwa sikap positif seseorang tidak otomatis terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. Sikap juga akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang. Sikap juga di
pengaruhi oleh nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam bermasyarakat. Hasil analisis tentang komponenkomponen sikap pada instrumen penelitianyang meliputi aspek kognitif, afektif, dan konatif menunjukkan bahwa dari ketiga aspektersebut, responden kurang dalam aspek kognitif sikap.Hal ini menunjukkan bahwauntuk aspek afektif dan konatifnya sendiri sudah cukup baik sehingga yang harusdiperbaiki adalah dari aspek kognitif sikapnya. Untuk memperbaiki aspek kognitifsikapnya, maka hal ini berkaitan dengan aspek pengetahuan, dimana pengetahuanresponden akan mempengaruh sikap yang ia tentukan. Karena itu, pemberian informasiyang mendukung akan sangat membantu untuk kurangnya aspek kognitif ini. Apabilaperilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran serta sikap yang positif maka perilakutersebut akan bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2010). Begitu pula dalam menerapkanstandar pencegahan infeksi nosokomial phlebitis, dengan didasari sikap yang positif makaperawat cenderung untuk mengikuti seluruh aturan dan anjuran dalam menerapkanstandar tersebut di rumah sakit.Untuk itu, agar program pencegahan infeksinosokomial, khususnya phlebitis, bisa berjalan dengan baik maka sikap perawat yang sedang bekerja di rumah sakit harus ditingkatkan dengancara meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pencegahan infeksinosokomial phlebitis. KESIMPULAN DAN SARAN
66
Diperlukan adanya evaluasi secara rutin dengan standar operasional prosedur (SOP) serta adanya umpan balik sehingga perawat tahu keberhasilan dan kekurangan dalam tindakan keperawatan secara langsung pada pasien dalam teknik pemasangan infus. Diharapkan hasil penelitian ini menambah bahan informasi atau datadata bagi mahasiswa/i dalam penelitian berupa buku, jurnal keperawatan dan akses internet di perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan MEDISTRA Lubuk Pakam. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian lebih lanjutmengenai pelaksanaan dan evaluasi terhadap pencegahan infeksi nosokomial flebitis di rumah sakit dengan populasi yang lebih besar dan lokasi penelitian yang berbeda pula.
Kesimpulan Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis data maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Teknik aseptik pemasangan infus sesuai standar operasional prosedur (SOP) di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam adalah tepat sebanyak 22 orang (73,3%). 2. Sikap perawat dalam perawatan infus di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam adalah baik sebanyak 21 orang (70%). 3. Angka kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam adalah tidak ada kejadian phlebitis pada pasien sebanyak 22 orang (73,3%). 4. Ada hubungan teknik pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dimana p value = 0,016 (p > 0,05). 5. Ada hubungan sikap perawat dalam perawatan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dimana p value = 0,039 (p > 0,05).
DAFTAR PUSTAKA Asrin, 2011.Gambaran Proses Pemasangan Infus di Ruang Bedah Umum Wanita, Gedung Jamkesmas RSUP Hasan Sadikin Bandung
Saran Hendaknya perawat mendapatkan informasi tentang terapi intravena yang sesuai standar operasional prosedur (SOP) supaya perawat mempunyai pemahaman secara lengkap tentang terapi intravena dan adanya protap dari rumah sakit tentang pemilihan lokasi, perawatan dan standar pemakaian plester atau kasa dan penggunaan skala phlebitis. Hendaknya pasien dapat membantu perawat dengan merawat infus dengan baik untuk mencegah terjadinya phlebitis sehingga perpanjangan lama rawat dan biaya tambahan perawatan pasien dapat dikurangi.
Azwar, 2009.Sikap Manusia dan Pengukurannya.Edisi ke3.Yogyakarta :Pustaka Pelajar Brunner dan Sudarth, 2009.Keperawatan medical medah.Jakarta : Penerbit EGC Darmawan, 2008.Penyebab dan Cara Mengatasi Plebitis.http://www.worldhealth.co.id.Diakses pada tanggal 20 November 2013
67
Depkes, RI, 2008. Profil kesehatan Indonesia 2008.Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Notoatmodjo, 2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Doenges dkk, 2009.Rencana asuhan keperawatan.Jakarta : EGC
__________, 2010, Ilmu Perilaku.Jakarta : Rineka Cipta
Hanskins, 2008.Pheriperal intravenous therapy management.Nursing standard. January 4. 2011. Nursing and allied source
Potter, 2009.Buku ajar fundamental keperawatan.Jakarta : EGC Priharjo, 2008.Perawatan nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat pasien.Jakarta : EGC
Hidayat, 2011.Metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data.Jakarta : Salemba Medika
PT Otsuka Indonesia, 2009.Ringer Lactase.Http://www.Pt-otsuka.co.id. Diakses tanggal 03 Desember 2013
Hinlay, 2009.Hand Book Of Modern Office Management andAdministration Service. Mc Graw Hill Inc. New Jersey
Pujasari, 2009.Angka kejadian phlebitis dan tingkat keparahannya di Ruang Penyakit Dalam Sebuah Rumah Sakit Di Jakarta. Jurnal Keperawatan Indonesia
INS, 2008.Nursing care of the sick : A guide for nurses working in small rural hospitals
Rahmanto, 2010.Efektifitas Pemberian Kompres Panas Terhadap Penurunan Nyeri Plebitis Akibat Pemasangan Intravena Line Di RSU Aisyiyah Dr. Sutomo, Ponorgo. http://www.unimus.unpvj.ac.id. Di akses tanggal 02 April 2013
Ivancevich, 2008.Fundamentals OF Nursing Second Edition. Addison Wesley Publising Company. California-USA Klikharry, 2009.InfeksiNosokomial.Diakses dari http://www.infokes.go.id. Diakses pada tanggal 15 desember 2013 Kusnanto, 2010.Manajemen keperawatan: manajemen keperawatan di Ruang Rawat. Jakarta : Sagung Seto
Saryati, 2010.Hubungan Tehnik Pemasangan Infus Dan Cara Pemberian Obat Dengan Kejadian Phlebitis di RSUD M.Yunus Bengkulu. Http://www.respository.unand.ac.id. Diakses tanggal 01 April 2013
Muwarni, 2009.Keterampilan dasar praktek klinik keperawatan.Yogyakarta : Fitramaya
Setiadi, 2009.Konsep – Konsep Penulisan Riset Keperawatan. Jakarta : Graha Ilmu
68
Sue Jordan, 2008. Farmakologi keperawatan.Jakarta : FKUI Sylvia, 2009.Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika Uliyah, 2009.air panas atau dingin?.http://www.kompas.co.id. diakses tanggal 06 April 2013 Yunus, 2012. Hubungan Lama Pemasangan Kateter Intravena Dengan Kejadian Plebitis Pada Pasien Dewasa Diruang Rawat Inap Bangsal Menur Dan Bakung RSUD, Wonosari.Diakses dari http://www.repository.unand.ac.id. Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 Zarate, 2009.Cleaning wounds with saline or tap water. Emergency Nurse. January 11 2011. Nursing and allied source
69
PERBEDAAN PERAWATAN LUKA DIABETES MELITUS DENGAN MENGGUNAKAN NACL 0,9 % DAN POVIDONE IODONE 10% TERHADAP PROSES PERTUMBUHAN JARINGAN BARU PADA PASIEN RAWAT INAP DI RS.GRAND MEDISTRA LUBUK PAKAM
KARDINA HAYATI, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACK Intensive wound care would accelerate wound healing when compared with pharmacological therapy. Effective Wound care according to The Journal of Family Practice (2005) was a way to condition the wound to keep it moist so it can reduce pain and improve circulation. This was done with a cast containing NaCl (Sodium Cloride) 0,9% and 10% Povidone iodine. This research used quantitative research methods because this method as the scientific method / scientific because it has met the rules of objective, measurable, rationally and systematically. That the treatment of wounds using NaCl and poviodin iodone using independent test sample T-Test was no difference in growth of new tissue after wound treatment with NaCl and Proviodin iodone with a value (P Value = 002) so ha was received, it means that there are differences in wound care with diabetes melitus using NaCl and povidone iodone to the process of growth of new tissue. To determine the growth of new tissue before and after the therapy given 0,9% NaCl with a value based on the stage of the wound the setadium 1 by 2 people (20%), stage 2 for 3 people (30%), stage 3 of 4 people (40%), and stage 4 by 1 person (10%). And knowing the growth of new tissue before and after wound care given by Povidone iodone with a value based on the stage of the wound the stadium 1 by 2 people (20%), stage 2 by 4 people (40%), stage 3 by 2 people (20%), and stage 4 by 2 people (20%). From the results of this study are expected to nurses who were in the hospital can be used as one of the nonpharmacological interventions nursing in wound management of diabetes mellitus. yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis (Agustina, 2010). Luka sering sekali terjadi dalam aktivitas sehari-hari. Biasanya luka yang terjadi bervariasi bentuk dan dalamnya sesuai dengan benda yang mengenainya. Jika tidak diobati, luka dapat menyebabkan infeksi. Untuk mengobati luka, sebagian besar masyarakat menggunakan Povidone Iodine 10% sebagai antiseptik. Pasien-pasien akibat cedera dari luka ringan sampai berat, kecil sampai luas
Latar Belakang Pada saat ini proses penyembuhan luka telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat menunjang praktek perawatan luka. Dengan demikian perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil
70
atau dari yang tampak bersih sampai yang kotor sekali. Luka-luka tersebut bisa disebabkan karena cedera akibat terjatuh, kecelakaan atau pun luka yang memang sengaja dibuat misalnya luka operasi. Jenis luka biasanya diberi nama sesuai bentuknya misalnya luka iris (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tembak (vulnus sklopectarum), luka diabetes mellitus (ulkus diabetik) dan lain sebagainya. Selain pembagian tersebut jenis luka juga dibagi menjadi 4 jenis yaitu luka bersih, luka bersih terkon taminasi, luka terkontaminasi dan luka kotor/infeksi. Sebuah penelitian terbaru di Amerika Serikat mengatakan prevalensi pasien dengan luka adalah 3.50 per 100 populasi penduduk. Mayoritas luka pada penduduk dunia adalah karena pembedahan (48%), ulkus kaki (28%), luka dekubitus (21%). Pada tahun 2012, MedMarket Diligence, sebuah assosiasi luka di Amerika melakukan penelitian tentang insiden luka di dunia berdasarkan etiologi penyakit. Diperoleh data untuk luka bedah ada 110,3 juta kasus, ulkus dekubitus 8,5 juta kasus, ulkus vena 12,5 juta kasus, ulkus diabetic 13,5 juta kasus, amputasi 0,2 juta pertahun, karsinoma 0,6 juta pertahun, melanoma, 0,1 juta pertahun, komplikasi kanker kulit ada sebanyak 0,1 juta pertahun (Diligence, 2011). Laporan statistik dari International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan, bahwa sekarang sudah ada sekitar 230 juta penederita diabetes. Angka ini terus bertambah hingga 3% atau sekitar 7 juta orang setiap tahunya, dengan demikian jumlah penderita diabetes diperkirakan akan mencapai 450 juta
pada tahun 2015 dan setengah dari angka tersebut berada diAsia, terutama Cina, India Pakistan dan Indonesia. Diabetes merupakan penyebab kematian terbesar keempat di Dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabakan langsung oleh diabetes. Itu berarti ada 1 orang per 10 detik atau 60 orang permenit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Di Amerika yang sudah maju sekalipun, angka kematian akibat diabetes bisa mencapai 200.000 orang pertahun (Tandra, 2011). Diabetes mellitus masuk dalam penyakit terbanyak di Asia, tahun 2003 diperkirakan 89 juta penduduk Asia menderita Diabetes. Dikawasan Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), jumlah penderita diabetes melitus mengalami peningkatan, pada tahun 2010 sebesar 12,3 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 19,4 juta pada tahun selanjutnya. Menurut data World Health Organization (WHO), Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes mellitus di Dunia. Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006 jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat menjadi 14 Juta orang, dimana baru 50 persen yang sadar mengidap diabetes dan diantara mereka baru sekitar 30 persen yang berobat teratur (Maulana, 2010). Hasil survey Departemen Kesehatan angka kejadian dan komplikasi DM cukup tersebar sehingga dikatakan sebagai masalah nasional yang harus mendapat perhatian karena komplikasinya sangat mengganggu
71
kualitas penderita. Angka kematian ulkus pada penyandang diabetes mellitus berkisar antara 17-32%, sedangkan laju amputasi berkisar antara 15-30%. Para ahli diabetes memperkirakan ½ sampai ¾ kejadian amputasi dapat dihindarkan dengan perawatan luka yang baik, lebih dari satu juta amputasi dilakukan pada penyandang luka diabetes khususnya diakibatkan oleh ulkus gangren diseluruih dunia (Depkes, 2010). Menurut Saldi (2012). Perawatan luka yang intensif akan mempercepat kesembuhan luka bila dibandingkan dengan terapi farmakologis. Perawatan luka yang efektif menurut The Journal of Family Practise (2005) adalah dengan cara mengkondisikan luka agar tetap lembab sehingga dapat mengurangi nyeri serta meningkatkan sirkulasi. Hal ini dilakukan dengan balutan yang mengandung NaCl (Natrium Clorida) 0.9 % dan Povidone iodine 10%. NaCl 0,9% mempunyai komposisi natrium klorida 9.0 gram dengan osmolaritas 308 mOsm/l setara dengan ion-ion Na+ 154 mEq/l dan Cl 154 mEq/l. Merupakan larutan isotonis aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses penyembuhan. Perawat menggunakan cairan NaCl 0.9% untuk mempertahankan permukaan luka agar tetap lembab sehingga dapat meningkatkan perkembangan dan migrasi jaringan epitel. Membersihkan luka secara hati-hati dengan memasang balutan yang dibasahi NaCl 0.9% (basah-basah, lembab-basah) merupakan cara yang
sering digunakan untuk menyembuhkan luka dan melakukan debridement luka basah-kering (Perry & Potter, 2006). Povidone iodine 10% merupakan kelompok obat antiseptik yang dikenal dengan iodophore, biasanya orang mengenalnya sebagai betadine. Zat kimia ini bekerja secara perlahan mengeluarkan iodine, antiseptik yang dapat berperan dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan kuman seperti bakteri, jamur, virus, protozoa, atau spora bakteri. Terdapat berbagai bentuk sediaan betadine. Misalnya betadine yang dicampur dengan solusi alkohol, biasanya digunakan untuk pembersih kulit sebelum tindakan operasi. Sedangakan pada kondisi terdapat darah atau nanah, dan jaringan yang mati, betadine masih memiliki efek jika warnanya masih tampak merah kecoklatan. Sehingga jika luka diberikan betadine, dan masih muncul nanah, artinya pembersihan luka menggunakan betadine harus diulang kembali. Betadine tidak boleh digunakan jika terbukti alergi terhadap yodium. Tanda alergi di antaranya kulit menjadi merah, bengkak, atau terasa gatal. Antiseptik jenis ini memiliki keunggulan dengan antiseptik jenis lain, karena jenis kuman yang dapat diatasi variasiny lebih banyak. Proses penyembuhan luka melibatkan integrasi proses fisiologis, sifat penyembuhan pada semua luka sama, dengan variasinya tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi, keparahan dan luasnya cedera (Arif, Junadi, Soesmasto, 2000). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontuinitas lapisan kulit atau jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk
72
adalah “Apakah ada perbedaan perawatan luka diabetes militus dengan menggunakan NaCl 0,9 % dan Povidone Iodine 10 % terhadap proses pertumbuhan jaringan baru pada pasien rawat inap di RS. Grand Medistra Lubuk Pakam Kab. Deli Serdang tahun 2015.
melakukan aktifitas normal (Westlake,1991). Dari hasil pengamatan peneliti di RS. Grand Medistra Lubuk Pakam, menunjukkan angka pasien rawat inap dengan perawatan luka diabetes mellitus yang masih kurang memadai dan proses penyembuhan luka yang cukup lama, bahkan ada sebagian yang mengalami nekrotik pada jaringan luka yang telah dirawat. Padahal hal ini dapat dikurangi dengan melakukan tindakan perawatan luka yang tepat. Apabila jaringan yang mengalami kerusakan dapat dirawat dengan cara yang tepat maka, tingkat kesembuhan pasien akan meningkat. Data kunjungan perawatan luka yang dapat diperoleh peneliti dari rekam medik di RS. Grand Medistra Lubuk Pakam Kab. Deli Serdang dari bulan februari 2014 sampai bulan september 2014 sebanyak 285 pasien dengan rata-rata pasien yang melakukan perawatan luka setiap bulannya adalah 35 orang dengan lamanya penyembuhan mencapai 4 minggu bergantung pada jenis dan lokasi luka. Dan data perawatan luka diabetes mellitus pada bulan januari 2015 sampai bulan mei 2015 sebanyak 153 pasien. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang “Perbedaan perawatan luka diabetes mellitus menggunakan NaCl 0,9% dan povidone Iodine 10% terhadap proses pertumbuhan jaringan baru pada pasien rawat inap di RS. Grand Medistra Lubuk Pakam Kab. Deli Serdang Tahun 2015”.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan perawatan luka diabetes miletus dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Povidone Iodine 10 % terhadap proses pertumbuhan jaringan baru pada pasien rawat inap di RS. Grand Medistra Lubuk Pakam Kab. Deli Serdang Tahun 2015. Untuk mengetahui pertumbuhan jaringan baru sebelum diberikan NaCl 0,9% dan Povidone Iodine 10%. Untuk mengetahui pertumbuhan jaringan baru sesudah diberikan NaCl 0,9% dan Povidone Iodine 10%. Untuk mengetahui perbedaan perawatan luka diabetes militus terhadap proses pertumbuhan jaringan baru sebelum diberikan NaCl 0,9% dan povidone iodine 10%. Untuk mengetahui perbedaan perawatan luka diabetes militus terhadap proses pertumbuhan jaringan baru sesudah pemberian NaCl 0,9% dan Povidone iodine 10%. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah pre eksperiment dengan model rancangan prestest dan posttest. Yaitu sebelum dilaksanakan perlakuan maka dilakukan obeservasi (pretest) pada sampel dan sesudah perlakuan juga dilakukan beberapa kali observasi (post test). Setelah didapatkan hasil pre dan post dibandingkan (Nursalam, 2008).
Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini
73
Dalam penelitian ini, peneliti memilih pasien DM yang menjadi sampel penelitian. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap luka DM (observasi pretest). Setelah itu pasien diberikan tindakan perawatan luka dengan menggunakan Povidone Iodine 10 % dan NaCl 0,9% yang kemudian akan dilakukan pengukuran kembali (observasi pot test)
secara langsung mengambil data sendiri tetapi meneliti dan memanfaatkan data atau dokumen yang dihasilkan oleh pihak-pihak lain. Data sekunder diperoleh dari rekam medis RS Grand Medistra Lubuk pakam berupa jumlah pasien luka DM. Metode Analisa Data Pada penelitian ini analisis data dilakukan secara bertahap yaitu : a. Univariat Pada penelitian ini analisis univariat dilakukan kepada karakteristik responden (Umur, pendidikan, pekerjaan).
Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RS Grand medistra Lubuk Pakam. Alasan peneliti memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian karena data yang diperoleh dari ruangan rawat inap RS Grand Medistra Lubuk Pakam perawatan belum pernah dilakukan penelitian tentang efektifitas Nacl 0,9% dan Povidone Iodine 10 % untuk perawatan luka DM. Dilakukan pada bulan Juli September 2015.
b. Bivariat Analisis ini diperlukan untuk menjelaskan atau mengetahui apakah ada pengaruh atau perbedaaan yang signifikan antara variabel independent dengan variabel dependent. Analisis bivariat dilakukan setelah karakteristik masing-masing variabel diketahui. Data dianalisis untuk perhitungan bivariat pada penelitian ini menggunakan uji i indenpendent test dengan tingkat kepercayaan 95% (α 0.05). bila nilai t ≤ 0.05 maka Ha: diterima artinya ada perbedaan perawatan luka diabetes mellitus dengan menggunakan Nacl 0.9% dan poviodin iodin 10% terhadap proses pertumbuhan jaringan baru pada pasien rawat inap di RS Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 (Notoadmojo, 2010).
Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap dengan luka DM pada bulan Februari 2014 hingga juni 2015 di RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Sampel dalam penelitian ini adalah pasiaen yang mengalami luka DM di RS Grand Medistra Lubuk Pakam tahun 2015. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang.
Metode Pengumpulan Data Data Primer pada penelitian ini adalah pengaruh perawatan luka DM dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Povidone Iodine 10% yang didapat dari responden mencakup variabel dependen dan independen. Data sekunder sering disebut juga metode penggunaan bahan dokumen, karena dalam hal ini peneliti tidak
74
menggunakan povidone iodone maka responden yang berusian 31-40 tahun sebanyak 4 orang ( 40% ), yang berusia 41-50 tahun sebanyak 2 orang(20%), yang berusia 51-60 tahun sebanyak 4 orang(40%).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Gambaran karakteristik responden terdiri dari umur, jenis kelamin adalah sebagai berikut:
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin dengan NaCl 0.9% di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Usia dengan menggunakan NaCl 0.9% di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 Karakteristik
Frekuensi (orang)
Karakteristik
Persentase (%)
Laki-laki
4
Perempuan
41-50 Tahun
4
40,0
51-60 Tahun
6
60,0
Total
10
100,0
Total
40,0
6
60,0
10
100,0
Dari tabel Diatas dapat dilihat bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan jenis kelamin dengan menggunakan NaCl maka responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 4 orang ( 40% ), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (60%).
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan usia dengan menggunakan Nacl maka responden yang berusian 41-50 tahun sebanyak 4 orang ( 40% ), yang berusia 51-60 tahun sebanyak 6 orang (60%).
Hasil Penelitian
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Usia dengan menggunakan povidone iodone 10% di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Jenis Kelamin
Usia
Karakteristik
Frekuensi (orang)
Distribusi Responden Berdasarkan stadium luka sebelum dilakukan perawatan luka dengan NaCl di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015
Persenta se (%)
Stadium luka
Usia
Sebelum
31-40 Tahun
4
40,0
Dilakukan
41-50 Tahun
2
20,0
tindakan Nacl
51-60 Tahun
4
40,0
Total
10
100,0
Dari table Diatas dapat dilihat bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan usia dengan
75
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Stadium 1
2
20,0
Stadium 2
3
30,0
Stadium 3
4
40.0
Stadium 4
1
10.0
Total
10
100,0
Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015
Dari tabel Diatas dapat dilihat bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan stadium luka sebelum dilakukan perawatan luka menggunakan NaCl maka setadium 1 sebanyak 2 orang (20%), stadium 2 sebanyak 3 orang (30%), stadium 3 sebanyak 4 orang (40%), dan stadium 4 sebanyak 1 orang (10%).
Stadium luka Sesudah
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Dilakukan tindakan Nacl
Distribusi Responden Berdasarkan stadium luka sebelum dilakukan perawatan luka dengan Poviodin iodone di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015
Stadium 1
6
60,0
Stadium 2
4
40,0
Stadium 3
-
-
Stadium 4
-
-
Total
10
100,0
Dari tabel Diatas dapat dilihat bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan stadium luka sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan NaCl maka setadium 1 sebanyak 6 orang ( 60% ), stadium 2 sebanyak 4 orang(40%).
Stadium luka sebelum Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Stadium 1
2
20,0
Stadium 2
4
40,0
Stadium 3
2
20.0
Stadium 4
2
20.0
Total
10
100,0
dilakukan
Dari tabel diatas bahwa perawatan luka menggunakan nacl dan poviodin iodone dengan menggunakan uji Independen Sampel T-Test ada perbedaan pertumbuhan jaringan baru setelah perawatan luka dengan Nacl dan Proviodin iodone dengan nilai (P Value= 002) sehingga Ha di terima, berarti ada perbedaan perawatan luka diabetes melitus dengan menggunakan Nacl dan povidone iodone terhadap oroses pertumbuhan jaringan baru.
tindakan Poviodin iodone
Dari tabel Diatas dapat dilihat bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan stadium luka sebelum dilakukan perawatan luka menggunakan poviodin iodone maka setadium 1 sebanyak 2 orang (20%), stadium 2 sebanyak 4 orang (40%), stadium 3 sebanyak 2 orang (20%), dan stadium 4 sebanyak 2 orang (20%).
PEMBAHASAN Pembahasan mengenai bahwa perbedaan perawatan luka diabetes militus dengan mengunakan penggunaan Nacl 0,9 % dan povidone iodine 10 % terhadap pertumbuhan jaringan baru pada pasien rawat inap di RS Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015.
Distribusi Responden Berdasarkan stadium luka sesudah dilakukan perawatan luka dengan NaCl di
76
Poviden iodone terhadap penyembuhan luka diabetes melitus di rumah sakit labuang baji makasar, menunjukan secara keseluruhan ada perbedaan yang bermakna antara pemberian Nacl dan povidone iodone terhadap proses pertumbuhan jaringan baru dengan p- value 0.500. pada data Pre dan Post Didapat perbedaan terhadap proses pertumbuhan jaringan baru pada luka diabetes melitus.
Penyembuhaan luka diabetes melitus sebelum dilakukan perawatan luka menggunakan Nacl Berdasarkan hasil penelitian sebelum dilakukan perawatan luka dengan menggunakan Nacl diketahui bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan stadium luka yaitu setadium 1 sebanyak 2 orang (20%), stadium 2 sebanyak 3 orang (30%), stadium 3 sebanyak 4 orang (40%), dan stadium 4 sebanyak 1 orang (10%). Secara definisi suatu luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena Adanya cedera atau pembedahan. Luka ini bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan dan lama penyembuhan. Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang (Erfandi, 2013).
Penyembuhaan luka diabetes melitus sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan Nacl Berdasarkan hasil penelitian sesudah dilakukan perawatan luka dengan menggunakan nacl diketahui bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan stadium luka sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan NaCl maka setadium 1 sebanyak 6 orang (60%), stadium 2 sebanyak 4 orang (40%) Natrium Klorida 0,9 % adalah larutan Fisiologis yang ada di seluruh tubuh, karena alasan ini, tidak ada reaksi hipersensitifitas dari Natrium Klorida. Normal Saline aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley dan Aucker, 1999).
Penyembuhaan luka diabetes melitus sebelum dilakukan perawatan luka menggunakan povidone iodone. Berdasarkan hasil penelitian sebelum dilakukan perawatan luka dengan menggunakan povidone iodone diketahui bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan stadium luka sebelum dilakukan perawatan luka menggunakan poviodin iodone maka setadium 1 sebanyak 2 orang ( 20% ), stadium 2 sebanyak 4 orang(40%), stadium 3 sebanyak 2 orang ( 20%), dan stadium 4 sebanyak 2 orang (20%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Afia Magfirah di STIKes Nani Hasanuddin Makassar tahun 2014 tentang perbedaan perawatan luka dengan menggunakan NaCl dan
Penyembuhaan luka diabetes melitus sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan povidone iodone Berdasarkan hasil penelitian sesudah dilakukan perawatan luka dengan menggunakan povidone iodone diketahui bahwah jumlah responden kelompok berdasarkan stadium luka sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan povidone iodone maka setadium 1 sebanyak 5 orang (50%), stadium 2 sebanyak 5 orang (50%).
77
Povidone-Iodine merupakan agens antimikroba yang efektif dalam desinfeksi dan pembersihan kulit baik praoperasi dan pasca operasi. Dalam penatalaksanaan luka traumatik yang kotor pada pada pasien rawat jalan (Morison, 2010 dikutip dari Helm, 1978)
luka dengan Nacl dan Povidone iodone dengan nilai berdasarkan stadium luka maka setadium 1 sebanyak 2 orang ( 20% ), stadium 2 sebanyak 4 orang(40%), stadium 3 sebanyak 2 orang ( 20%), dan stadium 4 sebanyak 2 orang (20%). Saran Melalui penelitian ini diharapkan pasien dapat menerapkan perawatan luka diabetes melitus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu intervensi keperawatan non farmakologi dalam penanganan luka diabetes melitus. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian terhadap luka diabetes melitus setelah dilakukan perawatan luka diabetes melitus dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Povidone Iodone 10% terhadap proses pertumbuhan jaringan baru dengan jumlah responden yang lebih banyak lagi. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan diperpustakaan Medistra Lubuk Pakam.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan perawatan luka diabetes militus dengan mengunakan penggunaan Nacl 0,9 % dan povidone iodine 10 % terhadap pertumbuhan jaringan baru pada pasien rawat inap di RS Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015. 1. Untuk mengetahui pertumbuhan jaringan baru sebelum di berikan Nacl 0.9 % dan Povidone iodone 10% 2. Untuk mengetahui pertumbuhan jaringan baru sebelum diberikan NaCl 0,9% dan Povidone Iodine 10%. 3. Untuk mengetahui pertumbuhan jaringan baru sesudah di berikan perawatan luka dengan Nacl 0.9 % dan Povidone iodone dengan nilai berdasarkan stadium luka maka setadium 1 sebanyak 2 orang ( 20% ), stadium 2 sebanyak 3 orang(30%), stadium 3 sebanyak 4 orang ( 40%), dan stadium 4 sebanyak 1 orang (10%). 4. Untuk mengetahui pertumbuhan jaringan baru sesudah di berikan perawatn
DAFTAR PUSTAKA Agustina,2010. Penelitian Luka. Diakses Pada 16 Februari 2015 Available on: http://www.Yahoo.com Arikunto,S.2010. Prosedur Penelitian, PT Rineka Cipta Jakarta, Edisi 5
78
Carol,2010. Pencegahan Diabetes Millitus. Diakses 16 Februari 2015 Available on: http://www.Yahoo.com Depkes, 2010. RI. Diabetes Millitus Merupakan Masalah Keshatan Yang Serius. Diakses 16 Februari 2015 Available : http://www.Yahoo.com Erfendi,2010. Manajemen Luka. Trans Info Media. Jakarta Ganong, 2010. Lapisan Kulit Pada manusia. Diakses 20 Februari 2015 Available on: http://www.Yahoo.com Hidayat, 2010. Metodologi Penelitian dan Tehnik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika Kilvert, 2010. Diabetes Millitus Kencing Manis Sakit Gula. FK UI, Jakarta. Lilley&Aucker, 2011.Larutan Natrium Klorida.Diakses 20 Maret 2015 Available on: http://www.Yahoo.com Manaf, 2010. Bersahabat Dengan Diabetes Millitus. Penerbit Plus, Jakarta Marison,2010. Larutan Povidone Iodine 10%. Diakses 20 Maret 2015 Available on: http://www.Yahoo.com Nathan, 2010. Meneklukan Diabetes : PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta
79
Nursalam., 2011. Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktek Keperawatan Propesional. Edisi 3 Jakarta Selemba Medika Setiadi, 2010. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan, Graha Ilmu, Surabaya. Smeltzer & Bare, 2010. Keperawatan Medikal Medah, Jakarta. EGC Sudoyo, 2010. Manajemen luka Edisi 2.Jakarta : EGC
Sugondo S, 2011. Penatalaksanaan Diabetes Millitus. Penerbit FK UI, Jakarta Suriadi, 2010. Perawatan Luka. Edisi Pertama : CV. Sangung Seto, Jakarta Tandra, 2011. Segala Sesuatu Yang Anda Ketahui Tentang Diabetes, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
80
PERBEDAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGEN SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN TEKNIK BATUK EFEKTIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DI RUMAHSAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG LUBUK PAKAM ELFRIDA SIMANJUNTAK, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRAK Pemakaian Batuk Efektif dalam pemenuhan kebtuhan pada pasien penyakit paruobstruksi kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang belum terlaksana dengan baik. Hal ini diduga berdasarkan hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti dimana pasien penyakit paru obstruksi kronik masih mengalami kekurangan oksigen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perbedaan pemenuhan kebutuhan oksigen sebelum dan sesudah dilakukan teknik batuk efektif pada pasien penyakit paru obstruksi kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Jenis penelitian ini Quasi Eksperimen dengan rancangan time series design. Populasinya adalah pasien yang mengalami penyakit paru obstruksi kronik. Sampelnya berjumlah 6 orang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan datanya menggunakan lembar observasi. Analisa data t-test pada taraf kepercayaan 95%. Dapat dibuktikan berdasarkan hasil uji statistik paired simple t-test yang menunjukkan perbedaan yaitu p=0,001 (p<0,005). Disarankan kepada Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dalam memberikan intervensi dilakukan teknik batuk efektif terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien dengan gangguan pernafasan. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk, dan produksi sputum (Widyastuti, 2010) . Di level global, Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan dan menduduki peringkat keempat sebagai penyakit dan kematian di dunia, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga penyebab kematian (papadopoulus, 2011).
Latar Belakang Oksigen memegang peranan penting dalam semua proses tubuh secara fungsional. Tidak adanya oksigen akan menyebabkan tubuh secara fungsional mengalami kemunduran atau bahkan dapat menimbulkan kematian oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh (Dedy Asep, 2011) . Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang bisa disebut sebagai PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.
81
Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan masalah kesehatan global, dan merupakan penyebab utama morbiditas kronis dan kematian di seluruh dunia. Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu penyebab yang bersaing dengan HIV/AIDS untuk menempati tempat keempat setelah penyakit jantung koroner, penyakit cerebrovaskuler, dan infeksi saluran akut. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, Penyakit Paru Obstruksi Kronik saat ini merupakan penyebab utama kematian keempat di dunia, dan kenaikan lebih lanjut dalam prevalensi dan mortalitas penyakit ini diperkirakan untuk beberapa dekede mendatang ( Tamsuri, 2010) .Menurut World Health Organitation (WHO), total jumlah kematian di dunia dari PPOK diproyeksikan meningkat > 30% dalam 10 tahun ke depan ; pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab utama keempat kematian di seluruh dunia. Di antara semua penyakit kronis utama, Chronic Obstruksi Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit satunya yang menunjukkan angka kematian meningkat. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang menyebabkan 26.000 kematian/tahun di Inggris. Prevalensinya adalah ≥ 600.000. Angka ini lebih tinggi di negara maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah, dan pada manula (Davey, 2010) . World Health Organitation (WHO) memperkirakan, 600 juta orang menderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik di seluruh dunia, dan ini diperkirakan akan terus meningkat,
jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik di Amerika Serikat sekitar 12,1 juta orang. The Asia Pacific Chronic Obstruksi Pulmonary Disease (CPOD) Roundtable Group memperkirakan jumlah penderita PPOK sedang berat di negara – negara Asia Pasific mencapai 56,6 juta penderita dengan angka prevalensi 6,3% . Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia, pada tahun 2011 menyatakan jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi ke empat setelah India dan Cina (World Health Organitation Global Penyakit Paru Obstruksi Kronik Control, 2011) . Umumnya gejala utama yang dirasakan oleh penderita adalah sesak napas yang bertambah berat. Namun oleh karena sesak napas merupakan suatu perasaan subjektif penderita (Depkes RI, 2011) . Sumatera Utara menduduki peringkat kelima dalam Case Detection Rate (CDR) Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut provinsi tahun 2012 (63,7%) setelah Sulawesi Utara, DKI Jakrta, Banten, dan Jawa Barat (Depkes RI, 2012) . Dan berdasarkan data kesehatan Depkes RI tahun 2012, di kota Medan terdapat 9,411 kasus per 100.000 penduduk dan data ini mewakili penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang mendatangi 14 puskesmas dan Rumah Sakit di kota Medan (Depkes,RI, 2012) . Berdasarkan hasil pendataan Dinas Kesehatan di Kabupaten Deli Serdang tahun 2011, tercatat 73,8% penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik atau sebesar 15.614 orang. Maka berdasarkan data tersebut kota
82
Medan merupakan yang terbesar penderitanya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk tiap kota / kabupaten. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Oktober 2015 yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam, angka prevalensi pasien PPOK bulan September sampai November tahun 2015 adalah sebanyak 55 orang dan menjalani rawat inap dan rawat jalan. Pasien yang selama masih dirawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang mengalami gangguan bersihan jalan nafas sehingga pemenuhan kebutuhan oksigen kurang terpenuhi diakibatkan salah satunya adalah ketidakmampuan pasien dalam mengeluarkan sputum. Selama pasien dirawat inap dan dirawat jalan, ada beberapa pasien dalam memenuhi bersihan jalan nafas dibantu dengan tindakan suctioning, fisioterapi dada, pemberian oksigen, latihan nafas dalam dan teknik batuk efektif. Tujuan dari tindakan tersebut merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi masalah kebutuhan oksigen. Dalam hal ini, tindakan latihan nafas dalam dan teknik batuk efektif, pasien belum mengerti cara bagaimana melakukan tindakan tersebut. Terkadang pada saat batuk yang dilakukan oleh pasien yang dikeluarkan bukan sputum melainkan ludah sehingga disaat perawat atau analis kesehatan membutuhkan spesimen sputum untuk pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) sulit didapat dan pendiagnosaan untuk Tuberculosis Paru tidak jelas apakah
pasien terkena Tuberculosis paru atau tidak. Selain itu sputum masih tertinggal atau bertumpuk dijalan nafas yang menyebabkan pasien sulit untuk bernafas dan pemenuhan kebutuhan oksigen terhambat.Salah satu intervensi dari bersihan jalan nafas merupakan teknik batuk efektif dalam membantu pengeluaran sputum dari saluran pernafasan, sehingga obstruksi jalan nafas tidak terjadi dan pasien mampu memenuhi pemenuhan kebutuhan oksigen. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti “Perbedaan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Batuk Efektif pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015”. Tujuan Penelitian Mengetahui perbedaan pemenuha kebutuhan oksigen sebelum dan sesudah dilakukan teknik batuk efektif pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang. Untuk mengetahui karakteristik responden Penyakit Paru Obstruksi Kronik di Rumah Sakit Daerah Deli Serdang. Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan oksigen sebelum dilakukan teknik batuk efektif . Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan oksigen sesudah dilakukan teknik batuk efektif. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah Quasi eksperimen yang
83
merupakan rancangan penelitian eksperimen . Rancangan penelitian ini adalah Time SeriesDesign yang dilakukan dengan cara melakukan observasi (pengukuran yang berulang-ulang), sebelum dan sesudah perlakuan ( Amrul Munif, 2010 ) .
Metode Pengumpulan Data Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil pengamatan atau observasi. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari laporan yang tercatat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang tahun 2015.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang. Adapun alasan penelitian memilih lokasi tersebut sebagai lahan penelitian adalah berdasarkan hasil studi pendahuluan bahwa belum terpenuhi kebutuhan oksigen pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik serta belum terlaksananya secara efektif pemberian teknik batuk efektif yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang mengalami hipoksia .
Metode Analisa Data Analisa bivariat dilakukan setelah karakteristik masing-masing variabel diketahui. Data dianalisis untuk perhitungan bivariat pada penelitian ini menggunakan uji paired simple ttest dengan taraf signifikan tingkat kepercayaan 95% (α 0,05) dan dibantu dengan menggunakan program komputerisasi. Jika nilai P ≤ 0,05 (α) maka H0 ditolak dan Ha diterima. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Hasil Penelitian Tabel Distribusi frekuensi Berdasarkan Karakteristik Responden
Waktu Penelitian Waktu penelitian ini direncanakan mulai pada bulan Juli - September 2015.
N o
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang dirawat jalan dan dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang . Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 .
Karakteristik Responden
Freku
Persen
ensi
tase
(orang
(%)
) 1
2
84
Umur 1.
Jenis
4045 Tahu n 2. 4550 Tahu n Total
4
66,7
2
33,3
6
100,0
1.
4
66,7
Laki –
Kela 2. min
3
laki Pere mpua n Total
Buru h 2. Petan i 3. Wira swast a Total
2
33,3
6
100,0
Pekerj 1.
3
50,0
aan
2
33,3
1
16,7
6
100,0
2.
2
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa karakteristik responden terdiri dari umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. Data yang diperoleh berdasarkan umur adalah 40 – 45 tahun sebanyak 4 orang (66,7 %), umur 45 – 50 tahun sebanyak 2 orang (33,3 %). Berdasarkan jenis kelamin adalah laki – laki sebanyak 4 orang (66,7 %), perempuan sebanyak 2 orang (33,3 %). Berdasarkan pekerjaan adalah Buruh sebanyak 3 orang (50,0 %), petani sebanyak 2 orang (33,3 %), dan wiraswasta sebanyak 1 orang (16,7 %).
1
Pemenu han Kebutuh an Oksigen Pretest
1.
Ti da k ter pe nu
Frek uens i (ora ng) 6
Total 1. Ti da k Te rp en uh i 2. Te rp en uh i Total
0
0,0
6 2
100,0 33,3
4 66,7
6 100,0
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari hasil pengamatan dengan menggunakan lembar observasi sebelum dilakukan teknik batuk efektif, responden yang tampak Pemenuhan Kebutuhan Oksigen yang dirasakan dengan kategori tidak terpenuhi sebanyak 6 orang (100%), Sedangkanresponden dengan kategori terpenuhi tidak ada. Pengamatan dengan hasil yang menggunakan lembar observasi sesudah dilakukan teknik batuk efektif, responden yang tampak Pemenuhan Kebutuhan Oksigen yang dirasakan dengan kategori tidak terpenuhi sebanyak 2 orang (33,3%), sedangkan responden dengan kategori terpenuhi sebanyak 4 orang (66,7%).
Tabel Distribusi Frekuensi Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Batuk Efektif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. N o
Posttest
hi Te rp en uh i
Tabulasi Hasil Bivarat Untuk menjelaskan perbedaan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) sebelum dan sesudah dilakukan Teknik Batuk Efektif digunakan uji statistik paired simples test dengan hasil sebagai berikut :
Persen tase (%) 100,0
85
1. Variabel Teknik Batuk Efektif (p=0,001) yang menunjukkan perbedaan secara signifikan dengan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) sebelum dan sesudah dilakukan Teknik Batuk Efektif yang memiliki nilai p=0,001 (p<0,05). 2. Melalui hasil uji statistik dari paired simples test dapat dilihat perbedaan dari variabel independen terhadap variabel dependen secara kuantitatif yaitu variabel dilakukan Teknik Batuk Efektif dengan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen menunjukkan perbedaan dengan nilai (0,001) dan berpola positif, artinya semakin sering responden Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dilakukan Teknik Batuk Efektif maka akan semakin bagus pula kebutuhan oksigen pasien. Tabel Rata – rata, Standard Deviasi, Lower, Upper, P value Pemen uhan Kebutu han Oksige n Pretest Posttest
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rata – rata pemenuhan kebutuhan oksigen sebelum dilakukan Teknik batuk efektif di dapatkan nilai 6,83 dengan standard deviasi (SD) 1,602, dan pada pengukuran rata – rata pemenuhan kebutuhan oksigen sesudah dilakukan teknik batuk efektif di dapatkan nilai 0,33 dengan standard deviasi (SD) 0,516, terlihat nilai mean perbedaan antara pengukuran sebelum dan sesudah 6,500 dengan standar deviasi (SD) 2,074. Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,001 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan Pemenuhan kebutuhan oksigen yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan teknik batuk efektif dalam pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). PEMBAHASAN Pada laporan akan disajikan mengenai hasil penelitian yang meliputi, pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), perbedaan pemenuhan kebutuhan oksigen sebelum dan sesudah dilakukan Teknik Batuk Efektif di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang. Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Sebelumdilakukan Teknik Batuk Efektif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 6 responden Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dapat diketahui bahwa dari ke-6 responden tersebut yang tampak pemenuhan kebutuhan oksigen yang tidak terpenuhi sebanyak 6 orang (100%) sedangkan responden yang terpenuhi kebutuhan oksigennya
Paired Test Rat a – rata
Stand ard devia si
6,5 00
2,074
95% Confidenc e Interval Lo Up wer per
P val ue
4,32 4
0,0 01
8,6 76
Tabel Distribusi Rerata antara sebelum dan sesudah dilakukan TeknikBatuk Efektif. Pemenu han Kebutu han Oksigen Pretest Posttest
Ra ta – rat a 6,8 3 0,3 3
Stand ard Devia si
Stand ard error
1,602 0,516
0,654 0,211
P val ue
N
0,0 19
6
86
tidak ada. Hal ini dapat di lihat masih adanya tanda-tanda kekurangan oksigen pada responden Penyakit Paru Obstruksi Kronik sebelum dilakukan Teknik Batuk Efektif. Menurut Asmadi (2010), kekurangan O2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien dalam situasi demikian mengharapkan kompetensi perawat dalam mengenal keadaan hipoksemia dengan segera untuk mengatasi masalah. Hipoksemia merupakan penurunan nilai PaO2< 55 mmHg, dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya penderita akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis. Banyak kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan dalam mengalami pemenuhan kebutuhan oksigen, seperti adanya sumbatan pada saluran pernafasan. Pada kondisi ini, individu merasakan pentingnya oksigen dan tidak adanya oksigen akan menyebabkan tubuh secara fungsional mengalami kemunduran atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh.
obstruksi kronik (PPOK). Hal ini dapat dilihat dari responden yang tampak pemenuhan kebutuhan oksigen yang tidak terpenuhi sebanyak 2 orang (33,3%), dan yang terpenuhi sebesar 4 orang (66,7%), setelah dilakukan Teknik Batuk Efektif. Hal ini dapat dilihat dari ke6 responden hanya 2 yang terlihat tanda-tanda kekurangan oksigen, sedangkan 4 responden tidak terlihat lagi tanda-tanda kekurangan oksigen. Jadi pemakaian teknik batuk efektif mempunyai pengaruh yang positif dalam pemenuhan kebutuhan oksigen jika dilakukan teknik batuk efektif. Jika sering dilakukan maka pemenuhan kebutuhan oksigen dapat meningkat. Hal ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh Mubarak yang menyimpulkan bahwa oksigenisasi merupakan proses penambahan oksigen kedalam paruparu melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat bantu. Pemberian oksigen ini dapat dilakukan dengan cara melalui kanul, nasal, masker dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia. Pemenuhan kebutuhan oksigen ini juga tidak terlepas dari kondisi sistem pernafasan secara fungsional. Bila ada gangguan pada salah satu organ sistem respirasi, maka kebutuhan oksigen akan mengalami gangguan. Sering kali individu tidak menyadari terhadap pentingnya oksigen. Proses pernafasan dianggap sebagai suatu yang biasa-biasa saja. Perbedaan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Sebelum dan sesudah Dilakukan Teknik Batuk Efektif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli
Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Sesudah dilakukan Teknik Batuk Efektif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pemakaian Teknik Batuk Efektif dapat memenuhi kebutuhan oksigen pada responden dengan penyakit paru
87
secara fungsional mengalami kemunduran atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh.
Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Hasil uji paired simple t test menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah dilakukan teknik batuk efektif mempunyai perbedaan yang bermakna terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) (p=0,001 < 0,05). Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan perbedaan yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan teknik batuk efektif. Sebelum dilakukan teknik batuk efektif dari 6 responden terlihat jelas bahwa ke 6 responden tersebut tidak terpenuhi kebutuhan oksigennya, sedangkan setelah dilakukan teknik batuk efektif terlihat kemajuan dalam pemenuhan oksigen, yaitu dari 6 responden ada 4 responden yang menunjukkan pemenuhan kebutuhan oksigennya terpenuhi, sedangkan 2 responden lagi terlihat tidak terpenuhi. Penelitian ini juga sejalan dengan peneliti Asmadi (2010), Pemenuhan kebutuhan oksigen ini tidak terlepas dari kondisi sistem pernafasan secara fungsional. Bila ada gangguan pada salah satu organ sistem respirasi, maka kebutuhan oksigen akan mengalami gangguan. Sering kali individu tidak menyadari terhadap pentingnya oksigen. Proses pernafasan dianggap sebagai suatu yang biasa-biasa saja. Banyak kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan dalam mengalami pemenuhan oksigen, seperti adanya sumbatan pada saluran pernafasan. Pada kondisi ini, individu merasakan pentingnya oksigen dan tidak adanya oksigen akan menyebabkan tubuh
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uji statistik dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap 6 responden pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Berdasarkan hasil penelitian dari 6 responden bahwa karakteristik responden berdasarkan umur : Umur 40-45 tahun sebanyak 4 orang (66,7%), umur 45-50 tahun berjumlah 2 orang (33,3%), berdasarkan jenis kelamin : laki-laki sebanyak 4 orang (66,7%), perempuan sebanyak 2 orang (33,3%). Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan : bekerja sebagai buruh 3 orang (50%), dan responden yang bekerja sebagai petani 2 orang (33,3%) dan wiraswasta 1 orang (16,7%). 2. Berdasarkan hasil penelitian dari 6 responden menunjukkan bahwa, responden yang kebutuhan oksigennya tidak terpenuhi sebanyak 6 orang (100%), sebelum dilakukan teknik batuk efektif. 3. Berdasarkan hasil penelitian dari 6 responden menunjukkan bahwa, responden yang tampak pemenuhan kebutuhan oksigen yang dilakukan dengan kategori
88
4.
tidak terpenuhi sebesar 2 orang (33,3%), untuk kategori terpenuhi sebesar 4 orang (66,7%), setelah dilakukan teknik batuk efektif. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan didapatkan perbedaan yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan teknik batuk efektif. Sebelum dilakukan teknik batuk efektif, dari 6 responden terlihat jelas bahwa ke 6 responden tersebut tidak terpenuhi kebutuhan oksigennya, sedangkan sesudah dilakukan teknik batuk efektif, terlihat kemajuan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen, dari 6 responden ada 4 responden yang menunjukkan pemenuhan kebutuhan oksigennya terpenuhi, sedangkan 2 responden lagi terlihat tidak terpenuhi kebutuhan oksigennya.
Disarankan agar lebih memperhatikan pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien dan menerapkan asuhan keperawatan terutama pada pasien dengan gangguan istem pernafasan. Disarankan agar dapat menambah referensinya tentang teknik batuk efektif yang dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan oksigen dan sebagai bahan acuan dalam penelitian selanjutnya yang sejenis sehingga penelitiannya semakin bagus. Disarankan kepada peneliti untuk menambah wawasan tentang teknik batuk efektif yang dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan oksigen dan dapat mengaplikasikannya. DAFTAR PUSTAKA Arali.
2015. Angka Kesakitan, Kematian dan Penyembuhan Tb Paru. Http://wordpress.com.//2015/0 5/25/ dari-angka-kesakitankematian-dan-penyembuhanPPOK. Headline pada tanggal 17 November 2015. Arikunto, S. 2011. Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta. Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien, Salemba Medika, Jakarta. A, Sulistyo, 2012. Kebutuhan Dasar Manusia, Graha Ilmu, Yogyakarta. Chang, Ester, dkk. 2009. Patofisiologi: Aplikasi pada praktik Keperawatan. Edisi
Saran Disarankan kepada pasien agar dapat mengetahui tanda-tanda kekurangan oksigen segera mencari bantuan tenaga medis terdekat, dan dapat menerapkan pemakaian teknik batuk efektif dalam pemenuhan kebutuhan oksigen. Disarankan bagi menejemen dan kepala ruangan rumah sakit agar dapat memperhatikan dan menyediakan peralatan yang memadai terutama dalam meningkatkan pelayanan kesehatan terutama dalam memberikan intervensi teknik batuk efektif terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan.
89
Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta. Darma, K, Kelana, 2011. Metode Penelitian Keperawatan, Trans Info, Jakarta. Dedy Asep, 2011. Oksigenasi, Http://nursing begin.com/oksigenasi. Headline pada tanggal 22 November 2015. Djojodibroto, D, 2010. Respiratologi, EGC Pustaka Adipura, Jakarta. Fusvita Adha, 2010. Latihan Batuk Efektif. Http://www.scirbd.com/doc/Fu svita Adha-Latihan-BatukEfektif. Headline pada tanggal 10 November 2011. Hidayat, A, Aziz, 2011.Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data, Salemba Medika, Jakarta. Ikawati, Z, 2010. Farmako Terapi Penyakit Sistem Pernafasan, Pustaka Adipura, Yogyakarta. Indra Widyastuti, 2011. Prevalensi PPOK. Http://www. Wikipedia.co.id. Headline pada tanggal 15 November 2011. Manurung, Santa, dkk. 2008. Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi, Trans Info Media, Jakarta.
Mubarak, Chayatin, N, 2010. Kebutuhan Dasar Manusia, EGC, Jakarta. Munif, Amrul, dkk. 2010. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Sagung Seto, Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta. Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Sastroasmoro, S, 2011. Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis, Sagung Seto, Jakarta. Somantri, Irman, 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Edisi 2, Salemba Medika, Jakarta. Tartowo dan Wartonah.2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
90
PENGARUH PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR DI RUMAH SAKIT PATAR ASIH UBUK PAKAM ISKANDAR MARKUS SEMBIRING, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Most fractures caused by trauma where there is excessive pressure on the bone. Post-sugical pain is pain felt after surgery clients and arose after the effects of anesthesia given during surgery lost. According to data from the medical record health care institutions public hospitals were deli serdang prevalence of postoperative fractures in patients treated in 2015 as many as 70 patients. A fractures is a term of loss of continuity of bone, cartilage, either totally or partially. Type classical music, Mozart (music without vocals) used in the treatment of classical music. Music heard of at least 10-30 minutes in order to give effect teraupetic listening to music can give results that are very effective in reducing postoperative pain. This study aimed to determine the effect of classical music therapy to decrease pain intensity in patients with postoperative fracture in local general hospitals (RSUD) deli serdang 2015. This type of research is pre experiment (pre-experiment) with a model of one group pretest posttest design. Population in this study were all patients postoperative fracture and a sample of 10 people. Engineering samples by Quota sampling, methods of data collection by interviewing directly using observation sheet and a numerical rating scale (NRS), data analysis using paired samples t-test with a level of 95%. Based on the results of the analysis showed that pValue (0,000) <α (=0,05). The results were obtained before therapy is given to classical music after therapy is given 7,50 and 2,90 of classical music, which means that the hypothesis is accepted that there is the influence of classical music therapy to decrease pain intensity in patients with postoperative fracture. It is expected to nurses in order to apply the classical music therapy, especially in patients who experience pain meningkatkan keadaan fisik secara umum (Mustofa, 2012). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.Sebagai besar fraktur dapat disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan (Smeltzer, 2001).World Health Organization (WHO) mencatat 1 juta orang diseluruh
Latar Belakang Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.Fraktur lebih sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan dan juga luka yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.Prinsip penanganan fraktur yaitu rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi.Upaya untuk pemulihan operasi fraktur salah satunya dengan latihan gerak atau mobilisasi, karena penanganan tersebut untuk 91
dunia meninggal setiap tahunnya di jalan raya akibat kecelakaan, dimana 40% diantaranya berusia 25 tahun. Sementara itu jutaan orang lainnya mengalami fraktur, luka parah, dan cacat fisik akibat kecelakaan World Health Organization(WHO, 2009). Menurut Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) 50% patah tulang paha atas akan menimbulkan kecacatan seumur hidup, dan 30% bisa menyebabkan kematian (Noviardi, 2012). World Health Organization(WHO) menyatakan di dunia terdapat lebih dari 1,24 juta orang meninggal dan terdapat 20 sampai 50 juta orang luka yang dapat menyebabkan kecacatan karena kecelakaan lalu lintas. Terdapat peningkatan kecelakaan yang sangat signifikan yaitu 15% pada pengguna kendaraan bermotor.Menurut laporan Global Status Report on Road Safety tahun 2013 dari World Health Organization(WHO), prevalensi kecelakaan lalu lintas terbesar terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan sedang. Sebanyak 62% kematian akibat kecelakaan lalu lintas dilaporkan terjadi di negara berkembang. (WHO, 2013). Di Amerika Serikat, 5,6 juta kejadian patah tulang terjadi setiap tahunnya dan merupakan 2% dari kejadian trauma. Patah tulang pada tibia merupakan kejadian tersering dari seluruh patah tulang panjang. Insiden per tahun dari patah tulang terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per 100.000 penduduk dengan 40% terjadi di ekstremitas bagian bawah. Patah tulang ekstremitas yang terisolasi menyebabkan angka morbiditas yang tinggi seperti penderitaan fisik, kehilangan waktu
produktif dan tekanan mental. Patah tulang ekstremitas dengan energi tinggi juga menyebabkan angka mortalitas tinggi apabila terjadi multi trauma dan pendarahan hebat. Kematian paling sering terjadi pada 1 – 4 jam pertama setelah trauma apabila tidak tertangani dengan baik. Kejadian fraktur di indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah penduduk 238 juta, merupakan terbesar di Asia Tengara (Wrongdignosis, 2011). Di Indonesia angka kejadian patah tulang atau insiden fraktur cukup tinggi, berdasarkan data dari DepKes RI tahun 2013 didapatkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda. Hasil survey tim DepKes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian, 45% mengalami catat fisik, 15% mengalami stress psikologis seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik (Depkes RI 2013). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh badan penelitian dan pengembangan Depkes RI tahun 2013 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan trauma benda tajam atau tumpul. Dari 84.774 orang yang mengalami cedera. Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh 34.673 orang dan kecelakaan lalu lintas sepeda motor sebanyak 34.418 orang. Selanjutnya penyebab cedera karena benda tajam tumpul 6.188 orang, transportasi darat lainnya 6.018 orang, dan kejatuhan 2.119 orang. Sedangkan untuk penyebab yang belum
92
disebutkan proporsinya sangat kecil yang mengalami fraktur sebanyak 4.917 orang seindonesia. Banyak hal yang menyebabkan seseorang dapat merasakan nyeri, salah satunya ialah dengan dilakukannya suatu tindakan operasi, sehingga menimbulkan adanya luka yang disengaja untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita oleh individu. Luka inilah yang nantinya akan menyebabkan individu dapat merasakan nyeri (Tamsuri, 2012). Nyeri paska bedah ortopedi saat berada diruang perawatan adalah 4,5 dengan menggunakan skala nyeri 0 sampai 10, dan nyeri berkontribusi terhadap aktifitas paska operasi (Morris et al, 2010). Fraktur pada femur paska bedah menimbulkan masalah berupa nyeri pada luka operasi, nyeri pada sendi lutut dan panggul yang bertambah apabila digerakan disertai kekakuan sehingga rentang gerak sendi terbatas atau menurun dari normal. Paska bedah fraktur tibia dan fibula menimbulkan permasalahan selain nyeri luka operasi juga pada sendi lutut disertai kekakuan sehinga terjadi keterbatasan serta penurunan rentang gerak sendi walaupun derajatnya lebih rendah dari fraktur femur. Paska bedah merupakan fase rehabilitasi, dimana pada fraktur ekstremitas bawah perkiraan waktu rehabilitas untuk fraktur femur 16 sampai 30 minggu, fraktur tibia dan fibula 16 sampai 24 minggu, fraktur patella 12 sampai 15 minggu (Hoppenfeld & Murthy, 2011). Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan (farmakologi) dan
tindakan non farmakologi (tanpa pengobatan). Nyeri berdasarkan stimulasi yang diberikan dapat dikelompokkan dalam stimulasi tingkat tinggi (pada otak) dan stimulasi tingkat rendah (pada spinotalamikus). Stimulasi pada otak adalah tindakan yang memungkinkan otak berkerja untuk mengurangi nyeri, sedangkan stimulasi tingkat spinotalamikus adalah pemberian sejumlah rangsangan pada tubuh untuk mempengaruhi sensai nyeri sebelum sampai di otak. Tindakan rangsangan pada tingkat spinotalamikus sesuai dengan teori gerbang kendali nyeri (Tamsuri, 2012). Metode pereda nyeri non farmakologi biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah, karena tidak adanya efek samping seperti pada pemberian obat. Berbagai macam teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri diantaranya masase, pijat refleks, range of motion, distraksi, relaksasi, umpan balik tubuh (biofeed back) sentuhan teraupeutik dan relaksasi genggam jari (Wirya dan Sari, 2013:92). Salah satu upaya non farmakologi untuk mengatasi nyeri adalah teknik relaksasi. Teknik relaksasi terbagi atas 4 macam yaitu relaksasi otot (progressive muscle relaxation), pernafasan (diaphragmatic breathing), meditasi (attentionfocusing exercise) dan relaksasi prilaku (behavioral relaxation) (miltenbarger, 2004). Kelebihan latihan teknih relaksasi dibandingkan dengan teknik lain adalah teknik relaksasi lebih mudah dilakukan bahkan dalam kondisi apapun (Daelon, 1999, dalam Novitasari dan Aryana, 2013).
93
Musik sebagai terapi telah dikenal sejak 550 tahun sebelum Masehi, dan ini dikembangkan oleh Pythagoras dari Yunani.Menurut Greer (2003) terapi musik adalah menggunakan musik untuk relaksasi, mempercepat penyembuhan, meningkatkan fungsi mental dan mempengaruhi fungsi fisiologi, musik juga dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian seseorang dari kecemasan (Djohan, 2015). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa musik bisa meredakan stres dan bahkan rasa nyeri. Penelitian yang dilakukan di Bars and The London, London yang melibatkan kurang dari 120 pasien yang mengalami tindakan pembedahan diperdengarkan jenis musik yang mereka sukai. Para peneliti membandingkan dengan kelompok yang tidak diperdengarkan musik.Hasilnya terdapat perbedaan rasa nyeri yang dialami pasien.Sebuah penelitian di Cleveland Clinic telah membuktikan bahwa mendengar musik selama 1 jam/hari bisa meredakan nyeri hingga 20 persen pada pasien nyeri punggung (Pramudiarja, 2010). Menurut penelitian yang telah dilakukan Ucaner (2013), yang berjudul Therapy-Related Views Of Patiens With Headache Undergoing Therapy With Turkish Music. Musik turkishmemiliki efek positif terhadap nyeri, membantu berpikir positif, merilekskan dan membuat hati lebih tenang. Thaut dkk (1994) menegaskan bahwa hasil penelitian pada klien Parkinson membuktikan bahwa musik ternyata memberikan pengaruh terhadap rehabilitas neurologis karena saraf tertentu menunjukkan bahwa elemen musik
memiliki pengaruh khusus terhadap fungsi sistem motor. Setelah diterapi tiga minggu, klien Parkinson dapat menunjukan gerak langkah yang lebih panjang dan mengembangkan kekuatan gaya berjalan sampai ratarata 25 persen. Data ini secara valid menunjukkan bahwa ritme auditori dapat meningkatkan gerak melalui serangkaian irama dari sistem auditori dan sistem motor (Djohan, 2015). Musik klasik Mozart muncul 250 tahun yang lalu, diciptakan oleh Wolgang Amadeus Mozart.Musik klasik Mozart memberikan ketenangan, memperbaiki persepsi spasial dan memungkinkan pasien untuk berkomunikasi baik dengan hati maupun pikiran.Musik klasik Mozart juga memiliki irama, melodi, dan frekuensi tinggi yang dapat merangsang dan menguatkan wilayah kreatif dan motivasi di otak. Musik klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki komposer lain. Musik klasik Mozart memiliki kekuatan yang membebaskan, mengobati dan menyembuhkan (Musbikin, 2009). Menurut penelitian yang telah dilakukan Wantonoro (2015), yang berjudul Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.Penelitian ini dilakukan dengan 20 responden yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.Terapi musik klsik diberikan selama 10 menit. Hasil penelitian ini menunjukan ada pengaruh siknifikan terapi musik klasik terhadap perubahan skala
94
nyeri pada pasien post operasi fraktur tersebut dengan nilai P value 0,000 < α (0,05), maka hipotesis nol ditolak sehinga dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi musik klasik efektif terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi fraktur. Berdasarkan survei pendahuluan peneliti pada tanggal 26 Februari 2015 memperoleh data rekam medik jumlah pasien denga post operasi fraktur di Rumah Sakit Patar Asih Pada Tahun 2015 sebanyak 70 orang pasien. Dari hasil wawancara dengan perawat ruangan di Rumah Sakit Patar Asih Lubuk Pakam bahwa selama ini pasien post operasifraktur yang mengalami nyeri diberikan terapi farmakologi dan di lakukan dengan terapi non farmakologi. Berdasarkan uraian hasil survei pendahuluan diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh teknik musik klasik pada pasien post operasi fraktur di Rumah Sakit Patar Asih Tahun 2015.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah eksperimental, desain penelitian pra eksperimen (pre experimentaldesigns) dengan model rancangan One Group Pretest Posttest, yaitu rancangan yang tidak ada kelompok pembanding (kontrol), tetapi paling tidak sudah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini, peneliti memilih pasien post operasi fraktur yang menjadi sampel penelitian. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap intensitas nyeri (observasi pre-test). Setelah itu pasien diberikan tindakan teknik terapi musik klasikyang kemudian akan diukur kembali intensitas nyeri (observasi post-test). Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Dilaksanakan di Rumah Sakit Patar Asih. Adapun alasan peneliti memilih melakukan penelitian di tempat tersebut adalah:
Tujuan Penelitian Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi musik klasikterhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur di Rumah Sakit Patar Asih Tahun 2015. Tujuan Khusus Untuk mengetahui intensistas nyeri pada pasien fraktur sebelum dilakukan terapi musik klasik di Rumah Sakit Patar Asih Lubuk Pakam. Untuk mengetahui intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur sesudah dilakukan terapi musik klasik di Rumah Sakit Patar Asih Lubuk Pakam.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Patar Asih Lubuk Pakam bahwa sudah pernah dilakukan penanganan nyeri dengan teknik terapi musik klasik tetapi belum dilakukan secara efektif. Lokasi penelitian dekat dengan tempat tinggal peneliti, sehingga peneliti akan lebih mudah melakukan penelitian
95
Populasi, Sampel Sampling
dan
Jumlah Pekerjaan: PNS SWASTA TIDAK BEKERJA Jumlah
Teknik
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien post operasiFraktur yaitu berjumlah 10 orang. Yang dirawat di Rumah Sakit Patar Asih lubuk pakam Tahun 2015. Sampel pada penelitian ini adalah pasien post operasi Fraktur rawat inap di Rumah Sakit Patar Asih Lubuk Pakam Tahun 2015.Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 10 orang.
Berdasarkan Distribusi Frekuensi responden karakteristik responden dapat dilihat dibawah ini. Tabel Distribusi Frekuensi responden berdasarkan karakteristikresponden di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
Tingkat Pendidikan: DIPLOMA SARJANA SD SMP SMA
Jumlah (N)
Persentase (%)
4 6 10
40,0 60,0 100,0
1 2 2 2 2 1 10
10,0 20,0 20,0 20,0 20,0 10,0 100,0
1 2 1 2 4
100,0
1 4 5
10,0 40,0 50,0
10
100,0
4 4 2
40,0 40,0 20,0
10
100,0
Dari tabel dapat dilihat bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 4 oarang (40,0%) dan perempuan sebanyak 6 orang (60,0%). Berdasarkan umur responden yang berumur 15 tahun sebanyak 1 orang (10,0%), responden yang berumur 16 tahun sebanyak 2 orang (20,0%), responden yang berumur 19 tahun sebanyak 2 orang (20,0%), responden yang berumur 20 tahun sebanyak 2 orang (20,0%), responden yang berumur 25 tahun sebanyak 2 orang (20,0%), responden yang berumur 27 tahun sebanyak 1 orang (10,0%). Berdasarkan tingkat pendidikan responden yang memiliki pendidikan DIPLOMA sebanyak 1 orang (10,0%), responden yang memiliki pendidikan SARJANA sebanyak 2 orang (20,0%), responden yang memiliki pendidikan SD sebanyak 1 orang (10,0%), responden yang memiliki pendidikan SMP sebanyak 2 orang (20,0%), dan responden yang memiliki pendidikan SMA sebanyak 4 orang (40,0%). Berdasarkan pekerjaan responden PNS sebanyak 1 orang (10,0%), responden yang bekerja Swasta sebanyak 4 orang (40,0%), dan responden yang Tidak
Tabulasi Berdasarkan Karakteristik Responden
Karakteristik Responden Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan Jumlah Umur: 15 Tahun 16 Tahun 19 Tahun 20 Tahun 25 Tahun 27 Tahun Jumlah
10
10,0 20,0 10,0 20,0 40,0
96
Bekerja sebanyak 5 orang (50,0%). Berdasarkan suku responden yang memiliki suku batak sebanyak 4 orang (40,0%), responden yang memiliki suku jawa sebanyak 4orang (40,0%), dan responden yang memiliki suku melayu sebanyak 2 orang (20,0%).
Dari tabel dapat dilihat bahwa intensitas nyeri sesudah diberikan terapi musik klasik adalah 2,90 dengan standar deviasi 0,738, dan standart error mean 0,233.
Distribusi Frekuensi Intensitas Nyeri Sebelum TerapiMusik Klasik di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
Tabel Rata-rata, Standar Deviasi, Upper, p Value
Tabulasi Hasil Bivariat
Intens itas Nyeri
Distribusi Frekuensi intensitas nyeri sebelum terapimusik klasik di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Peng ukur an Nyeri Prete st
N
Mean
10
7,50
Std. Dev iati on 1,08 0
Pretes t Postte st
Std. Error Mean
Paired Differences M Std. Std. 95% ea Devi Erro Confidence n atio r Interval of the n Mea Difference n Lower
4, 60 0
0,84 3
0,26 7
3,997
0,342
Pada tabel diatas nilai mean perbedaan antara pengukuran sebelum dan sesudah diberikan terapi musik klasik adalah 4,600 dengan standar deviasi 0,843. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan uji T atau paired sample ttestmenunjukan bahwa pValue adalah 0,000 < a 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan terapi musik kalsik pada pasien post operasi fraktur
Dari tabel diatas menunjukan bahwa rata-rata intensitas nyeri sebelum diberikan terapi musik klasik adalah 7,50 dengan standar deviasi 1,080, dan standart error mean 0,342. Distribusi FrekuensiIntensitas Nyeri Sesudah diberikan Terapi Musik Klasik di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Distribusi Frekuensi intensitas nyeri sesudah diberikan terapimusik klasik di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Pengukura n Nyeri
N
Mea n
Std. Deviatio n
Posttest
1 0
2,90
0,738
Std. Erro r Mea n 0,233
97
pValue
U p p e r 5 , 2 0 3
0,000
.PEMBAHASAN
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Setiap orang mempunyai rangsangan nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, mengalami nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien.
Karakteristik Responden Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Sebelum Dilakukan Terapi Musik Klasik Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Kenyamanan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh setiap orang dalam segala kondisi, begitu juga dengan pasien pasca operasi. Semua pasien pasca operasi akan mengalami nyeri setelah efek anastesi hilang. Nyeri packa operasi akan berdampak pada aktifitas sehari-hari baik dalam kondisi istirahat tidur, sehingga pasien tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologis dan manajemen non farmakologis. Dari hasil penelitian yang dapat dilihat bahwa intensitas nyeri sebelum dilakukan terapi musik klasik yaitu responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 2 orang (20,0%), dan responden yang mengalami nyeri berat terkontrol sebanyak 8 orang (80,0%).
Menurut Potter & Perry (2007) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antaran kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat. Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidak hadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orang tua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri. Kemudiaan
Respon nyeri yang dialami oleh responden pada pasien post operasi fraktur yang diteliti terdiri dari nyeri berat terkontrol dan nyeri sedang, responden memiliki karakteristik umur yang masih muda, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan suku yang berbeda, peneliti melakukan penelitian ini sesuai dengan lembar observasi.
98
pekerjaan juga memiliki peran penting dalam tingkat kesehatan seseorang. Beban berat yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan pekerjaannya dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit maupun kelainan-kelainan (Patasik, Tangka, dan Rottie, 2013).
tidak menyenangkan yang bersifat subjektif, karena perasaan nyeri berbeda setiap individu dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Rasa nyeri merupakan stresor yang dapat menimbulkan stres dan ketegangan dimana individu dapat berespon secara biologis dan perilaku yang menimbulkan respon fisik dan spikis. Respon fisik meliputi perubahan keadaan umum, wajah denyut nadi, pernafasan, suhu badan, sikap badan, dan apabila nafas makin berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok, sedangkan respon spikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat mengurangi sistem imun dalam peradangan, serta menghambat penyembuhan respon yang lebih parah akan mengarah pada ancaman merusak diri sendiri (Corwin, 2006).
Tingkat pendidikan juga mempengaruhi perilaku dan menghasilkan banyak perubahan, khususnya pengetahuan dibidang kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Tingkat pendidikan seseorang dalam menerima informasi dan mengolahnya sebelum menjadi perilaku yang baik maupun buruk sehingga berdampak terhadap status kesehatannya (Notoadmodjo, 2010). Distribusi Frekuensi Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Sesudah Dilakukan Terapi Musik Klasik Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015
Musik bisa menyentuh individu baik secara fisik, psikologis, emosional, dan spiritual. Mekanisme musik adalah dengan menyesuaikan pola getar dasar tubuh manusia. Vibrasi musik yang terkait erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola getar dasar dapat memiliki efek penyembuhan yang sangat hebat bagi tubuh, pikiran, dan jiwa manusia. Getaran ini juga menimbulkan perubahan emosi, organ, hormon, enzim, sel-sel, dan atom di tubuh. Musik bersifat nonverbal sehingga lebih condong bekerja pada hemisfer kanan. Musik tidak membutuhkan analisis yang membuat hemisfer kiri bekerja, tetapi dengan musik membantu otak kiri mendominasi
Dari hasil distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa intensitas nyeri sesudah dilakukan terapi musik yaitu responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 8 orang (80,0%), dan responden yang mengalami nyeri sedang 2 orang (20,0%). Dari hasil penelitian dapat diasumsikan bahwa terapi musik klasik dilakukan untuk mengalihkan perhatian pasien sehingga tidak berfokus pada nyeri yang dialami. Menurut Hidayat (2011), nyeri merupakan kondisi berupa perasaan
99
untuk meningkatkan proses belajar (Yudha, 2010).
terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi fraktur. Pada dasarnya manusia itu musikal. Setiap manusia dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Musik menjadi media dalam proses penyembuhan. Proses yang dilakukan harus melibatkan semua pihak; musik; terapis dan klien/ pasien. Dalam proses terapi ada unsur kepercayaan antara terapis dengan pasien. Terapis member energi positif untuk membangkitkan komunikasi dan semangat dalam diri pasien. Hal ini juga secara langsung meningkatkan sistem imunitas dalam tubuh manusia. Klien juga memberi respon positif sehingga terjadi hubungan timbal balik dalam proses penyembuhan (Dian Natalina, M.Mus. The 2013).
Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lubuk Pakam Tahun 2015. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependen sample ttest/paired menunjukan bahwa pValue yaitu 0,000 yang berarti p Value ≤ dari 0,05. Maka hipotesa dalam penelitian ini diterima yang berarti ada pengaruh yang signifikan terhadap intensitas nyeri pada post operasi fraktur sebelum dan sesudah diberikan terapi musik klasik. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependen sample t-test/paired menunjukan bahwa rerata intensitas nyeri sebelum dilakukan terapi musik klasik yaitu 7,50 , rerata intensitas nyeri sesudah dilakukan terapi musik klasik yaitu 2,90, dan rerata sebelum dan sesudah terapi musik klasik yaitu 4,600. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara sebelum dan sesudah terapi musik klasik.
Musik yang memiliki tempo lambat dan menenangkan adalah musik klasik bisa menjadi terapi yang dapat diartikan sebagai pengobatan. Musik klasik memiliki aspek terapeutik, sehingga musik klasik banyak digunakan menenangkan, dan memperbaiki kondisi fisik dan fisiologis. Hal ini dikarenakan, musik memiliki kelebihan, seperti musik bersifat universal, nyaman dan menyenangkan, berstruktur. Terapi musik sejauh ini didefenisikan sebagai sebuah aktivitas teraupetik yang menggunakan musik sebagai media untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi. Di samping kemampuan nonverbal, kreativitas dan rasa yang alamiah dari musik, juga sebagai fasilitator untuk menjalin hubungan, ekspresi diri, komunikasi dan pertumbuhan pada penggunanya. Pada tahap
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Wantonoro (2015), yang berjudul Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Menunjukan bahwa ada pengaruh signifikan terapi musik klasik terhadap perubahan skala nyeri pada pasien post operasi fraktur pada pemberian terapi musik klasik efektif
100
selanjutnya, terapi musik difungsikan untuk memperbaiki kesehatan fisik, interaksi sosial, hubungan interpersonal, ekspresi emosi, dan meningkatkan kesadaran diri (Djohan, 2015).
siap menerima proses secara keseluruhan. Para peneliti dari The Neuro, melalui MRI scan membuktikan bahwa otak melepas zat dopamin (hormone yang terkait dengan sistem otak, memberikan perasaan kenikmatan dan penguatan untuk memotivasi seseorang secara proaktif melakukan kegiatan tertentu) saat melakukan terapi musik dalam kapasitas yang tidak berlebihan (Dian Natalina, M.Mus.The, 2013)
Terapi musik merupakan sebuah aplikasi yang unik dalam membantu meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam perilakunya (Staum, 1997). Sering kali terapi jenis ini digunakan sebagai alternative terakhir dari gangguan yang sudah tidak dapat direspons oleh spikolog atau dokter, pengobatan dengan latihan tertentu, atau terapi medis lainnya (Djohan, 2015).
Menurut asumsi peneliti yang sudah dilakukan diketahui bahwa terapi musik klasik dapat menurunkan intensitas nyeri pada pasien post opersi fraktur yang mengalami nyeri berdasarkan tingkat nyeri yang berbeda sesuai dengan faktor umur, pendidikan, pekerjaan dan suku. Musik yang dugunakan adalah musik Mozart dengan memperdengarkan musik klasik kepada responden dengan menggunakan headset selama 5-20 menit. Setelah responden selesai mendengarkan musik, maka peneliti memberikan lembar skala pengukuran nyeri NRS (Numerical Rating Scale) kepada responden dengan cara menunjukkan di angka berapa tingkat nyeri sesudah diberikan terapi musik klasik. Maka peneliti dapat mngetahui tingkat nyeri responden sebelum dan sesudah diberikan terapi musik klasik dengan menggunakan lembar skala pengukuran nyeri NRS (Numerical Rating Scale).
Musik pada hakikatnya dapat menerobos kondisi kesadaran seseorang dan mengantar ke tempattempat yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Proses yang melebihi materi keduniawian ini menimbulkan respons psikofisiologis saat kondisi seseorang berubah. Bila seseorang menggunakan musik untuk relaksasi, pikiran abstraknya akan bergeser ke kondisi normal. Ketika proses ini berlanjut, musik akan mengikuti sisa kondisi kesadaran, meningkatkan fase sensori, mimpi, trance, kondisi meditative, dan terpesona (Djohan, 2015). Terapi musik merupakan pengobatan secara holistik yang langsung menuju pada symptom penyakit. Terapi ini akan berhasil jika ada kerjasama antara klien dengan terapis. Proses penyembuhan sepenuhnya tergantung pada kondisi klien, apakah seseorang benar-benar
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan maka dapat disimpulkan
101
bahwa perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan teknik terapi musik klasikpada pasien post operasi fraktur di Rumah Sakit Patar Asih Tahun 2015 adalah sebagai berikut: 1.
2.
3.
mudah dan dapat dipilih untuk diterapkan pada tindakan keperawatan bagi klien dengan permasalahan gangguan kenyamanan, yaitu nyeri. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dalam mengatasi nyeri sehingga dapat diterapkan dalam asuhan keperawatan terutama pada masalah keperawatan medical bedah khususnya pasien post operasi fraktur.
Intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur sebelum terapi musik klasik mayoritas responden mengalami nyeri berat terkontrol 8 orang (80,0%) sedangkan nyeri sedang sebanyak 2 orang (20,0%) Intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur sesudah terapi musik klasik mayoritas responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 8 orang (80,0%) sedangkan nyeri sedang 2 orang (20,0%) Ada Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur. Berdasarkan uji statistic diperoleh nilai p ≤ dari 0,05 yaitu p=0,000.
Pasien post operasi fraktur diharapkan dapat menerima terapi musik klasik secara ilmiah dan dapat menerapkan terapi musik sebagai terapi non-farmakologis yang aman, efektif dan mudah untuk menurunkan skala nyeri. Membantu keluarga untuk dapat meningkatkan kesehatan keluarganya dalam melakukan tindakan mandiri tanpa adanya efek berbahaya. Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya dapat lebih mengembangkan bahan masalah peneliti tentang faktor mengatasi nyeri.
Saran DAFTAR PUSTAKA Diharapkan menjadi bahan masukan dalam pengembangan keilmuan khusunya ilmu keperawatan medical bedah, agar mahasiswa/I PSIK Medistra Lubuk Pakam dapat mengetahui perannya sebagai seorang perawat yaitu menerapkan manajemen nyeri yaitu terapi musik klasik.
Black & Hawks. (2009). Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive Outcomes. Elseveir Saunders. Corwi, 2000. Hubungan Relaksasi dan Nyeri. http://dinkesbanggai. Wordpress.com.diakses pada tanggal 10 Mei 2015
Terapi musik merupakan salah satu terapi modalitas keperawatan yang
Djohan, (2015). Psikologi Musik. Yogyakarta: Best Publisher 102
Dian Natalina, M.Mus. The, (2013). Terapi Musik Bidang Keperawatan. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media
Kesehatan. Cipta.
Jakarta:
Rineka
Noor Helmi, Zairin. (2014). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat Aziz Alimul. (2010). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika
Noviardi, (2012). Insiden kecelakaan menurut WHODalam http//www.fraktur.co.id Diakses pada Tanggal 2 Mei 2014.
Judha, Mohamad. (2012). Teori Pengukuran Nyeri. Yogyakarta : Nuha Medika
Prasetyo & Sigit, (2010). Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri. Graha Ilmu Yogyakarta.
Kozier & Erb. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran ECG Musbikin, (2009). Tiga Manfaat Musik Untuk Kesehatan.http/scribd.com.tehni kdistraksi, Diakses tanggal 20/03/2015
Pramudiarji, U. (2010). Terapi Musik Untuk Menghilangkan Nyeri.http//.terapimusik.com.dia kses tanggal 15/03/2015
Patasik, C. K., Tangka, J., & Rottie, J. (2013). Efektifitas teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea di IRINA D BLU RSUP prof. R. D. Kandau Manado. Ejurnal keperawatan (e-kep) vol 1 no 1. Diunduh tanggal 08 juni 2015 dari http://ejournal.unsrat.ac.id
Maryunani, Anik. (2010). Nyeri Dalam Persalinan. Jakarta: CV. Trans Info Media. , (2011). Senam Hamil Senam Nifas dan Terapi Musik. Jakarta: Trans Info Media Mustofa, (2012). Frakturhttp//user/AKIFNE~1/A ppData/Local/Temp/500012048 1-5000181786-1-PB, pdf. Diunduh pada tanggal 25 maret 2015.
Potter,
& Perry. (2007). Fundamental Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Rahmat, Aris Nur, (2010). Musik Nyeri Sectio. http//fuadbahsin.wordpress.com/ 2008/10/17/musik-nyeri-sectiocaesaria/html diakses tanggal 26/03/2015
Melzack dan Wall. 1965. Teori Gate Kontrol. Diakses dari Http://currentnursing.com/nursi ngtheory/Gate control theory. html pada tanggal 9Mei 2015
Riskesdas. (2013). Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpulan Data. Jakarta:
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian
103
Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013. Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. D. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Setiadi. (2013).Konsep dan Praktik penulisan riset keperawatan Edisi 2. Yogyakarta : Graha Ilmu. Sastroasmoro Sudigdo. (2014). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi 5. Jakarta: Sagung Seto. Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. D. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Smeltzer, (2001). Pengertian fraktur. http//user/AKIFNE1/AppData/Local/Temp/50001 20481-5000181786-1-PB,pdf. Diunduh pada tanggal 25 maret 2015. Tamsuri Anas, (2012). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. EGC, Jakarta. Ucaner. (2013). Therapy-Related Views Of Patiens With Headache Undergoing Therapy With Turkish Music. http//user/AKIFNE~1/AppDat a/Local/Temp/50001204815000181786-1-PB, pdf. Diunduh pada tanggal 25 maret 2015. Yuda, (2010). Tiga Manfaat Musik Untuk Kesehatan. http;//scribd.com.teknikdistraks i, diakses tanggal 25/03/2015. 104
ISSN : 2252 - 4487
NERSTRA-NEWS JURNAL ILMIAH PROGRAM STUDI KEPERAWATAN D.III AKPER MEDISTRA LUBUK PAKAM September – Nopember 2015
Volume : 4, No : 3
DAFTAR ISI 1. Pengaruh Pemberian Fisioterapi Dada Terhadap Pemenuhan Oksigen PPOK Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Herri Novita Tarigan ........................................................................................................................
1-10
2. Pengaruh Posisi Ortopena Terhadap Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Asma Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Dewi Frintina Silaban.......................................................................................................................
11-18
3. Pengaruh Latihan Mobilisasi Aktif Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Low Back Pain Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahan Adrianus Manalu ..................................................................................................................
19-28
4. Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Distraksi dan Tehnik Relaksasi pada Pasien Pasca Operasi Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Rahmad Gurusinga ..........................................................................................................................
29-37
5. Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Kepada Pasien Post Operasi Fraktur Tibia Di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Tati Murni Karokaro .......................................................................................................................
38-46
6. Perbedaan Proses Penyembuhan Luka Bakar Dengan Perawatan Luka Terbuka dan Tertutup Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Juni Mariati Simarmata ..................................................................................................................
47-55
7. Hubungan Teknik Pemasangan Infus dan Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus dengan Kejadian Phlebitis Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Grace Erlyn Damayanti ...................................................................................................................
56-69
8. Perbedaan Perawatan Luka Diabetes Melitus dengan Mnggunakan NaCl 0.9 % dan Povidone Iodone 10 % Terhadap Proses Pertumbuhan Jaringan Baru Pada Rawat Inap Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Kardina Hayati ................................................................................................................................. 70-80
9. Perbedaan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Baik Efektif pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Elfrida Simanjuntak ......................................................................................................................... 81-90
10.Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Post OPerasi Fraktur Di Rumah Sakit Patar Asih Lubuk Pakam Iskandar Markus Sembiring ............................................................................................................ 91-104
PENGANTAR REDAKSI Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan ridhoNya telah terbit Jurnal Ilmiah Program Studi Keperawatan D.III Akper MEDISTRA Lubuk Pakam dengan nama NERSTRA-NEWS yang merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan berkala setiap Tiga bulanan, yaitu periode Januari– Juni dan Juli – Desember. Kami mengharapkan untuk terbitan periode berikutnya para Peneliti / Dosen dapat meningkatkan kualitas maupun mutu dari tulisan ini, sehingga memungkinkan sebagai bahan rujukan dalam melakukan kegiatan penelitian. Dalam kesempatan ini Redaksi mengucapkan terimakasih kepada para Peneliti / Dosen dan semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan jurnal ilmiah ini. Semoga Program Studi Keperawatan D.III Akper MEDISTRA Lubuk Pakam, sukses dan maju.
Salam,
Redaksi
PENGURUS Pelindung
: 1. Drs. Johannes Sembiring, M.Pd Ketua Yayasan MEDISTRA Lubuk Pakam 2. Drs. David Ginting, M.Pd, M.Kes Ketua STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam
Penanggungjawab
: Rosita Ginting, SH BAA Akper MEDISTRA Lubuk Pakam
Pimpinan Redaksi
: Kuat Sitepu, S.Kep, Ns, M.Kes
Sekretaris Redaksi
: Desideria Yosepha Ginting, S.Si.T, M.Kes
Redaktur Ahli
: 1. 2. 3. 4. 5.
Tahan Adrianus Manalu, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.MB Jul Asdar Putra Samura, SST, M.Kes Efendi Selamat Nainggolan, SKM, M.Kes Christine Vita Gloria Purba, SKM, M.Kes Grace Erlyn Damayanti Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep
Koordinator Editor
: 1. 2. 3. 4. 5.
Basyariah Lubis, SST, M.Kes Dameria, SKM, M.Kes Rahmad Gurusinga, S.Kep, Ns,M.Kep Fadlilah Widyaningsih, SKM Luci Riani Br. Ginting, SKM, M.Kes
Sekretariat
: 1. Tati Murni Karo-Karo, S.Kep, Ns, M.Kep 2. Sri Wulan, SKM 3. Raisha Octavariny, SKM, M.Kes
Distributor
: 1. Layari Tarigan, SKM 2. Arfah May Syara, S.Kep, Ns
Penerbit
: STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam Jl. Sudirman No. 38 Lubuk Pakam, K0de Pos : 20512 Telp. (061) 7952262, Fax (061) 7952234 e-mail :
[email protected] Website: medistra.ac.id
Diterbitkan 2 (Dua) kali setahun, Bulan Januari - Juni dan Juli – Desember.