ISSN : 2087-0795
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
91
ISSN : 2087-0795
PEMIKIRAN KAUM “MODERN” Apabila
Pemikiran
kaum
“modern” dalam terminologi seni tidak bisa dilepaskan dari prinsip modernisme
atau
paham
yang
mendasari perkembangan seni rupa modern dunia sampai pertengahan abad ke XX. Seni rupa modern dunia memiliki nilai-nilai yang bersifat universal. Penafsiran seorang pelukis Jerman yang pindah ke Amerika Serikat sesudah Perang Dunia ke II, Hans Hofmann menyatakan hanya seniman dan gerakan di Eropa dan Amerika
pemikir Jerman mengatakan bahwa pengertian
kontemporer
dekat
dengan paham post modern dalam arsitektur;
munculnya
era
baru
dalam ekspresi kesenian menjelang 1970. Paham baru ini menentang kerasionalan paham modern yang dingin dan berpihak pada simbolisme
instink
(Kultermann,
1971).
Douglas Davis menafsirkan pasca modern sebagai kembalinya upaya mencari
nilai-nilai
budaya
dan
kemasyarakatan, atau dalam istilah seni kembali ke konteks (Davis, 1977). “Seni
yang mampu melahirkan seni rupa
modern”
lahir
dari
modern, konsepsi poros Paris-New
dorongan untuk menjaga standard
York sebagai pusat perkembangan
nilai estetik yang kini sedang ter-
seni
(Rosenberf,
ancam oleh metode permasalahan
1966). Pengertian “kontemporer”
seni. Modernisme meyakini gagas-
dibandingkan dengan istilah mo-
an progress dan oleh karenanya
dern. Kontemporer sekedar seba-
selalu mementingkan norma ke-
gai munculnya perkembangan seni
baruan, keaslian dan kreativitas.
rupa sekitar tahun 70-an dengan
Prinsip tersebut melahirkan apa
menempatkan seniman - seniman
yang kita sebut dengan „Tradition of
Amerika seperti David Smith dan
the new‟ atau tradisi Avant-garde,
Jackson
tanda
pola lahirnya gaya seni yang baru
peralihan (Kramer, 1974). Pan-
dan pada awalnya ditolak, ke-
dangan ini bisa dikatakan sebagai
mudian diterima masyarakat se-
dasar sikap netral dalam penafsiran
bagai
pengertian
kontemporer.
Namun
Avant-Garde
pengertian
kontemporer
dalam
atas lahirnya berbagai conseptual
banyak pandangan lain, menurut
art dan eksperimen art, yang me-
teori
lahirkan seni multimedia; mixed
92
rupa
modern
Pollock
Udo
sebagai
Kultermann
seorang
inovasi
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
terbaru.
bertanggung
Tradisi jawab
ISSN : 2087-0795
media dan intermedia; happening
pada corak, gaya, dan prinsip
art, performance art, vedio art,
estetik tertentu. Nasionalisme se-
instalasi art, collaborasi art, sampai
bagai sikap dasar persepsi untuk
new media art.
menyusun sejarah perkembangan
Pada awalnya conseptual
kesenian
Indonesia
adalah
ke-
art merupakan gerakan dalam seni
nyataan yang tak bisa disangkal
rupa modern untuk menetapkan
dan nasionalisme sangat mewarnai
ide, gagasan atau konsep sebagai
pemikiran kesenian di hampir se-
masalah yang utama dalam seni,
mua negara berkembang. Batas
sedangkan bentuk, material dan
kenegaraan itulah yang mengacu
obyek seninya hanyalah merupa-
pada nasonalisme yang akhirnya
kan akibat samping dari konsep
diakui dalam seni rupa kontemporer
seniman. Bahkan dapat dikatakan:
yang
“karya itu sudah selesai sebelum
Sejak awal tak pernah ragu meng-
karya itu lahir”. Mereka mengguna-
gariskan perkembangan kesenian
kan
de-
Indonesia khas Indonesia (Jim Su-
material dan anti-form. Seni ini
pangkat, 1992). Sikap pengamatan
sangat kontroversial, menjungkir-
kaum modernistis di lingkungan
balikkan segala bentuk kemapanan
seni kita perlu dipermasalahkan.
seni (termasuk nilai, gaya), awalnya
Kendati seni modern percaya pada
sulit untuk dimengerti karena meng-
eksplorasi dan kebebasan, secara
gunakan keanekaragaman media
implisit akhirnya hanyalah memper-
atupun material seni sebagai aki-
tahankan prinsip-prinsip seni mo-
bat dari kompleksitas gagasan atau
dern barat (tradisi modern). Prinsip-
idea para senimannya.
prinsip modernisasi juga menetap-
terminologi-terminologi;
Walaupun kita sering meng-
percaya
pada
pluralisme.
kan tahap perkembangan yang
gunakan istilah seni modern, prin-
didasarkan
pada
perkembangan
sip modernisme tak pernah sung-
seni
guh - sungguh berakar. Polemik
Amerika. Di Indonesia prinsip-prin-
kebudayaan di tahun 30-an mem-
sip itu tidak seluruhnya teradaptasi,
pengaruhi pemikiran perkembang-
akan tetapi muncul secara ter-
an kesenian Indonesia. Persentuh-
potong-potong kadang-kadang da-
an kesenian Indonesia dengan seni
lam bentuk yang lebih ekstrim.
modern Eropa Barat dan
modern sebenarnya hanya terbatas Vol. 7, No. 2, Desember 2015
93
ISSN : 2087-0795
PEMIKIRAN POST-MODERN
batas yang tegas antara ilmu alam,
Konsepsi yang bertolak pa-
humaniora, ilmu sosial, seni dan
da penonjolan ide, kini merambah
sastra, antara budaya dan ke-
dalam berbagai multi; dari multi-
hidupan, fiksi dan teori, citra dan
media
multi-idea,
realitas. Mereka juga menolak gaya
bahkan multi kemungkinan dan
„discourse‟akademis yang konven-
multi tafsir. Kekuatan tersebut ber-
sional
(Pauline
gulir sebagai fenomena yang tidak
1992).
Reaksi
dapat kita bendung setelah muncul-
modern
terutama
nya tehnologi informasi komunikasi
bentuk abstraksi dalam seni dan
digital yang canggih. Post-Modern
internasional style dalam arsitektur
merupakan fenomena baru yang
kurang lebih dua dekade yang lalu.
berkembang di dunia belahan ba-
Tokoh faham ini; Charles Jencks,
rat. Sekelompok filosuf Perancis
Peter Fuller, Kenneth Frampton,
yang terlibat dalam upaya men-
Ihap Hassan, Paolo Protoghesi.
jelaskan hal-hal yang berkaitan
Kelompok ini dari awal telah me-
dengan kebenaran, makna dan
nyatakan diri dengan menggunakan
subyektivitas:
Derrida,
label „post-modernisme‟ dan secara
lyotard, Lacan dan Deleuze. Kaum
khusus menyatakan diri sebagai
Post-Strukturalis dan akhir-akhir ini
suatu proyek kultural yang meng-
sering disebut dengan pemikir post-
gantikan „modernisme‟. Mengapa?
modernis mengajukan gugatan dan
Karena, konsep modernisme yang
menentang pandangan dunia uni-
dianggap telah kokoh terbangun
versal yang menyeluruh, tunggal
selama satu abad lebih dan telah
dan mencakup; baik yang bercorak
mengukuhkan diri sebagai konvensi
politik, religius maupun sosial se-
yang telah melembaga.....dan kini
perti marxisme, kristianitas, ka-
modern telah beku (Yustiono 1994).
pitalisme, demokrasi liberal, hu-
Post strukturalism dan post modern
manisme,
sebagai
sampai
pada
Foucault,
islam,
fiminisme
dan
reaksi
Marie
Rosenau
terhadap pada
seni
bentuk-
terhadap
seni
sains modern. Mereka juga mem-
modernitas yang sudah dianggap
pertanyakan gagasan tentang ke-
telah
majuan (progress) serta keunggul-
yang beku terhadap perkembangan
an masa kini atas masa lampau.
jaman, perlu pencarian nafas baru
Mereka tidak mengakui adanya
yaitu seni kontemporer yang di-
94
menjadi
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
konvensi-konvensi
ISSN : 2087-0795
anggap mampu membingkai gerak
mereka rasakan bersama. Sehing-
dinamika dan sesuai dengan nafas
ga
jaman.
tidak
dengan nuansa kehidupan sosial
terikat oleh konvensi atau dogma
yang mengarah pada universalisasi
manapun, oleh karena itu ia anti
gagasan, karena mereka Nampak-
kemapanan (anti segala konvensi,
nya ingin melepaskan dirinya dari
gaya, corak bahkan estetik). Seni
kungkungan individu yang beku
yang konon integral dengan masya-
dan terhimpit oleh ruang dan waktu.
Seni
kontemporer
karya-karya
rakatnya, seni sesuai dengan nafas jamannya,
telah
porak-poranda
Lepas dalam
mereka
antara
mensikapi
penuh
pro-kontra
permasalahan
oleh gagasan progress kaum mo-
tersebut di atas, namun yang perlu
dern sendiri, yang mementingkan
digaris bawahi adalah kehadiran
ekspresi sebagai fenomena indi-
pemikiran mereka merupakan satu
vidualitas.
fenomena yang perlu dicermati.
Memasuki abad 21, kita
Apabila seniman modern mencoba
dihadapkan berbagai masalah so-
menceritakan dirinya lewat
sial, budaya, politik, ekonomi, dan
presi pribadinya, dengan mengung-
berbagai
kapkan
segi
kehidupan
yang
atau
eks-
mengekspresikan
berkaitan dengan moralitas. Maka
pengalaman estetiknya dalam sim-
muncullah beberapa kelompok se-
bol-simbol ekspresi yang penuh
niman muda mencoba menawarkan
realitas makna. Maka paradigma
berbagai wacana dalam berbagai
seni dalam fenomena kini (kontem-
bentuk “performance art, instalasi
porer) menawarkan berbagai ga-
art, dan collaborasi art”, sebagai
gasan yang ia racik dalam multi
pijakan berkarya. Mereka mencoba
media, multi-idea dan bahkan multi
mengangkat berbagai wacana po-
tafsir, menghasilkan
litik, sosial, ekonomi, moralitas da-
cana.
realitas wa-
lam fenomena yang ia racik dalam
Ketika seni modern
multi media dan multi-idea. Mereka
coba membatasi dan menyerder-
tidak lagi membatasi disiplin seni,
hanakan medium sebagai ungkap-
atau
yang
an ideanya, maka seni kontemporer
terkotak-kotak oleh seni modern,
justru menampilkan ragam; me-
tapi mereka berangkat dari ke-
dium, ragam media ataupun ragam
ragaman tafsir dari
idea,dan ragam tafsir. Itulah meng-
cabang-cabang
seni
realitas yang
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
men-
95
ISSN : 2087-0795
apa seni kontemporer mampu me-
gagap.
wadahi
multi
dengan berbagai simbol ekspresi
kemungkinan, multi alternatif untuk
pribadi sebagai sistem penandaan,
mengangkat idiom seni sebagai
maka seni yang dihasilkan me-
alternatif
rupakan teks yang
dan
menawarkan
tafsir.
Fenomen
yang
Kebekuan
seni
modern
menceritakan
mencoba membuktikan munculnya
atas dirinya, balada dirinya, roman-
kembali mode Instalasi art, per-
tika hidupnya. Tiba-tiba dihadapkan
formance art, collaborasi art di
dengan berbagai alternatif dari ber-
Indonesia yang semula merupakan
bagai persoalan kehidupan. Se-
satu obsesi pembaharuan, kemu-
niman mencona memotret fenome-
dian menggejala pada setiap sudut
na sebagai teks yang ia sodorkan
pameran seni, bahkan para se-
secara utuh digelar dan dihidang-
niman
kan untuk dicermati sebagai wa-
pertunjukan
ramai-ramai
mengadakan “collaborasi art”. Kar-
cana tekstual.
ya tersebut kini seolah merupakan
Tanda
yang
satu standar nilai dari sebuah
seniman
obsesi
bukan semata sebagai satu simbol
pembaharuan
seni.
Ke-
dalam
dilemparkan
dari
buah reaksi terhadap seni abstrak
wacana tekstual dari potret ke-
ekspresionisme (seperti yang ter-
hidupan
jadi di Amerika seputar 1960-an),
masalahan yang muncul adalah
tetapi lahir sebagai satu reaksi
bagaimana sebuah karya mampu
terhadap kondisi sosial masyarakat
memberikan wacana yang mampu
mehasilkan
mengundang berbagai tafsir secara
antara
pribadi,
seninya
hadiran karya mereka bukan se-
ketegangan
intuisi
karya
sosial.
melainkan
Kemudian
per-
modern dan modernisme kontem-
tekstual.
porer. Ketegangan ini akan menim-
nawarkan tanda dalam paradigma
bulkan kegagapan
makna tetapi seniman mencoba
dalam
men-
Seniman tidak lagi me-
sikapi karya-karya yang muncul
menyodorkan
dalam dekade terakhir ini, sulit
sebagai paradigma seni sebagai
dimengerti, apakah kegagapan itu
wacana tekstual. Kegagapan yang
muncul
pemikiran
terjadi sebenarnya merupakan ba-
sudah terlanjur beku,
gian dari wacana tekstual yang
atau justru dunia seni yang sedang
muncul kepermukaan. Konsepsi se-
berkembang kini memang masih
ni modern ia pelajari dalam per-
konvensi
96
karena
pola
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
berbagai
alternatif
ISSN : 2087-0795
jalanan olah karya seninya ia pa-
mampu merefleksikan realitas se-
tahkan sendiri. Ia mencoba untuk
cara bersih, tanpa ambiguitas dan
tidak terikat oleh konvensi atau
simetris. Faktanya, sebagaimana
dogma dalam seni modern
oleh
diuraikan justru mempermasalah-
karena itu ia anti kemapanan (anti
kan dan mengkritik “filsafat refleksi”
segala konvensi, gaya, corak bah-
semacam itu. Penggambaran di-
kan estetik).
lema upaya pelampauan atas metafisika adalah menghancurkan metafisika dengan terus mendekam
POST-MODERNISME DAN DEKONSTRUKSI Penyamarataan
dalam horison metafisika itu sendiri dan menggunakan konsep-konsep
pemikiran
metafisika untuk menghancurkan
post-modernisme dengan dekons-
metafisika dari dalam (by using
truksi cenderung hanya akan mem-
stones available in the house, that
berikan label nihilis, relativis dan
is, in language)1. Model pemikiran
anarkis
dekonstruksi.
yang demikian ini justru berresiko
Walaupun demikian dekonstruksi
mengkonfirmasi kembali metafisika
Derridean memberikan kontribusi
yang telah didestruksikan olehnya
luar biasa besar bagi filsafat post-
sendiri.
modern.
perlakuan terhadap
terhadap
Dekonstruksi
mempertanyakan
berupaya
apa-apa
Upaya
keras
terhadap pemutusan
saja
hubungan total dari metafisika by
yang memungkinkan (sekaligus ke-
brutally placing oneself outside dan
tidak mungkinan) dari pengetahuan
mengkritik
secara umum melalui analisa atas
tempat yang “diasumsikan” di luar
apa yang disebut sebagai infra-
metafisika. Model ini rentan untuk
struktur (terkait dengan problem
menciptakan suatu “tanah” (ground)
“refleksivitas” dalam filsafat). Pro-
baru yang pada akhirnya bersifat
blem refleksivitas adalah problem
metafisis pula Intermetafisis. Cara
yang purba dalam sejarah filsafat
ini ditempuh oleh para filsuf Pe-
Barat. Hal ini terkait dengan per-
rancis zaman itu dan, terutama,
metafisika
itu
dari
soalan seputar bagaimana manusia dapat memahami realitas as such. Derrida adalah filsuf yang mengupayakan
sebuah
filsafat
yang
1
Jacques Derrida, Freud and the Scene of Writing dalam Writing and Difference (Chicago: The University of Chicago Press), 1978, hlm. 135.
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
97
ISSN : 2087-0795
Levinas. Kedua pilihan tersebut
tentang subyektivitas yang sadar
seperti makan “buah simalakama”,
penuh
semacam impasse, “jalan buntu”(
(reflective) dan sekaligus sadar
Jacques Derrida 1978).
akan dirinya sendiri (self-reflective).
akan
kesejatian
realitas
re-
Kant dengan “filsafat transenden-
filsafat
tal”nya pun masih berada pada
Barat telah dimulai sejak Plato yang
jalur filsafat refleksi ini. Ia berupaya
berupaya memberikan pendasaran
mencari syarat-syarat transenden-
yang pasti bagi setiap pengetahuan
tal yang memungkinkan subyek
dengan
pada
untuk merefleksikan obyek persis
anamnesis dari realitas sejati di
seperti apa adanya. Ia mengupaya-
dunia Idea. Pada abad pertengah-
kan suatu “refleksi transendental”
an, model refleksivitas pengetahu-
untuk mencari dasar yang menjadi
an
otoritas
the condition of possibility dari
Tuhan yang diandaikan memberi-
setiap pengetahuan logis maupun
kan jaminan kepastian bagi setiap
empiris2. Filsafat refleksi semacam
pengetahuan. Memasuki era mo-
ini memuncak pada Hegel dengan
dern, konsep refleksivitas mencapai
terleburnya dikotomi subyek-obyek
titiknya yang paling radikal, yaitu
refleksi ke dalam satu kesatuan
dimulai dengan Descartes, dengan
yang logis dan rasional. Di awal
status “pondasi absolut dan tak
abad
tergoyahkan bagi setiap klaim atas
kembali pada Kant dengan mem-
kebenaran” (fundamentum absolut-
permasalahkan lagi conditio sine
um inconcussum veritatis). Reflek-
qua non dari pengetahuan. Ia pun
sivitas itu memuncak pada ego
mengupayakan syarat-syarat tran-
cogito yang sepenuhnya sadar-diri.
sendental yang memungkinkan rea-
Rasio, mahkota dari kesadaran-diri
litas menampak pada kesadaran
itu, diibaratkan seperti cermin yang
seturut dengan maknanya yang
sepenuhnya bersih sehingga mam-
sejati. Dengan kata lain, Husserl
pu, melalui deduksi logis, men-
berupaya menjernihkan cermin ke-
Penggodokan fleksivitas
ini
dalam
konsep
tradisi
mengasalkannya
diasalkan
pada
ke-20,
Husserl
mencoba
cerminkan realitas obyek sesuai dengan ada-nya. Melalui Descartes, tergelarlah seluruh sejarah metafisika modern sebagai metafisika 98
2
Rodolphe Gasché, The Tain of the Mirror: Derrida and the Philosophy of Reflection (Cambridge: Harvard University Press), 1986, hlm. 18.
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
ISSN : 2087-0795
sadaran tempat realitas subyek
Derrida berhasil membukakan jalan
maupun obyek dapat direpresen-
bagi “masa depan absolut” yang
tasikan
tanpa
menunda ekses nihilisme (yang
ambiguitas dan tanpa relativitas.
merupakan kulminasi dari meta-
Dalam
fisika).
secara
konteks
pasti,
problem
reflek-
sivitas yang masih meresapi perdebatan filosofis hingga abad ke-20 inilah Derrida muncul dan meng-
RUANG FLEKSIBILITAS
gugat kepastian penuh dalam pro-
Apabila dekonstruksi
ses “refleksi-diri”. Dengan meng-
upaya mempertanyakan apa-apa
gugat kepastian absolut dari rasio
saja yang memungkinkan (sekali-
yang merefleksikan cara kerja rasio
gus ketidakmungkinan), maka ru-
itu sendiri (dan hal ini berarti pula
ang fleksibilitas dalam pemikiran
mempertanyakan bahasa yang ia
dekontruksi dan posmodern me-
gunakan sendiri untuk memper-
rupakan salah satu penggodokan
tanyakan para filsuf sebelumnya),
konsep refleksivitas dalam tradisi
Derrida mengambil resiko (dan ia
filsafat Barat, merupakan imple-
sadar akan hal itu) untuk bermain
mentasi dari realitas sejati di dunia
pada “batas”, pada “aporia”, pada
Idea (dalam pemikiran modern).
“momen
Maka
suspensi”
tanpa
bisa
fleksibilitas
adalah”
ber-
inter-
sepenuhnya keluar dari “horison”
reflesitas” (yang flesibel dan tak
metafisika.
sebuah
fleksibel, yang terbebas dan tak
impasse alias dead-end? Sekali-
terbebas, yang mungkin dan tak
kali tidak. Dengan bermain pada
mungkin)
“batas”,
Apakah
dengan
ini
“memainkan
Pada
abad
pertengahan,
batas”, alias dengan apa yang ia
model refleksivitas pengetahuan ini
sebut
diasalkan pada otoritas Tuhan yang
(Vincent
sebagai
double
Descombes
gesture menyebut 3
Derrida sebagai double agent ),
diandaikan
memberikan
jaminan
kepastian bagi setiap pengetahuan. Setiap refleksi filosofis, entah atas hakikat realitas atau atas hakikat
3
Istilah “agen ganda” ini dipakai Descombes untuk menunjukkan cara Derrida menjalankan dekonstruksi-nya di tengah-tengah paradoks yang inheren dalam dekonstruksi itu sendiri. “To speak in order to say nothing… this dilemma is
Derrida‟s point of departure.” (Lih. Vincent Descombes, 1980, 138)
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
99
ISSN : 2087-0795
dari
refleksi
itu
sendiri,
selalu
dalam relasi dengan seluruh makna
mengandaikan semacam titik pijak
lain dalam mata rantai penandaan.
sebagai the condition of possibility
Di sisi lain, dengan diseminasi, tak
dari refleksi itu sendiri. Sementara
ada makna absolut yang mungkin
para filsuf berupaya mencari titik
muncul dan menjadi pusat acuan
pijak yang sepenuhnya transenden-
yang teguh. Setiap kata atau tanda,
tal dan utuh, Hasrat akan asal
karena selalu sudah terdiseminasi,
pijakan yang solid semacam itu
tak pernah memiliki referensi yang
sebagai kesia-siaan. Pandangan fil-
pasti seratus persen (Martin Surya-
safat refleksi adalah sesuatu yang
jaya 2007). Secara filsafat refleksi
berada di balik “cermin refleksi” itu
dalam post-modern “ruang fleksi-
adalah diseminasi. Diseminasi ialah
bilitas” adalah ruang refleksi ab-
semacam “permukaan kasar” yang
solut, tanpa batas. Ruang Flek-
berada di balik setiap “cermin re-
sibilitas dalam mediasi musikal da-
fleksi” yang memungkinkan setiap
lam komunitas seni modernitas
proses refleksi dan sekaligus mem-
yang sudah dianggap telah menjadi
batasi setiap refleksi dalam proses
konvensi-konvensi yang beku ter-
mencapai kepastian alias identitas
hadap perkembangan jaman, perlu
absolut. Di satu sisi, tanpa disemi-
pencarian nafas baru yaitu seni
nasi, alias ketersebaran makna
kontemporer yang dianggap mam-
dalam jaringan penanda, tak ada
pu membingkai gerak dinamika
secuil makna pun yang mungkin.
yang sesuai dengan nafas jaman.
Sebuah makna dari suatu realitas
Seni kontemporer tidak terikat oleh
tertentu (“hujan”, misalnya) hanya
konvensi atau dogma manapun,
dapat memiliki arti jika ia berbeda
oleh karena itu ia anti kemapanan
dari makna realitas yang lain. Maka
(anti segala konvensi, gaya, corak
fakta bahwa makna hanya muncul
bahkan estetik).
dari perbedaan dengan makna lain
Seni yang konon integral
menunjukkan bahwa setiap makna
dengan masyarakatnya, seni se-
selalu sudah ter-inskripsi-kan da-
suai dengan nafas jamannya, telah
lam mata rantai penandaan; tak
porak-poranda oleh gagasan prog-
ada makna yang hadir secara
ress kaum modern, dan hanya
absolut dan soliter. Makna hanya
mementingkan
mungkin sejauh telah terdiseminasi
fenomena
100
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
ekspresi
individualitas,
sebagai maka
ISSN : 2087-0795
perlu diporposikan kembali sesuai
“inter- refleksivitas” dalam filsafat.
dengan konteknya, bagaimana se-
Maka cenderung letur, fleksibel dan
ni kembali sesuai dengan nafas
cair
jamannya
karya-karya seni dengan masya-
yang
terbebas
oleh
terhadap
hubungan
antara
dogma. Ia mencoba untuk tidak
rakatnya,
terikat oleh konvensi atau dogma
terkungkung
dalam seni modern oleh karena itu
kekakuan
ia anti kemapanan (anti segala
vensi dalam prinsip tatanan mo-
konvensi,
dern. Ruang
gaya,
corak
bahkan
dan justru tidak dan
dibatasi
tembok
lagi oleh
konvensi-kon-
fleksibilitas dalam
estetik), cenderung terbebas dari
mediasi musikal dalam pandangan
aturan yang cenderung kaku dan
post-modern ini justru punya ke-
beku,
samaan pada masyarakat budaya
maka kita sebut sebagai
ruang “interfleksibilitas” dalam me-
tradisi, sistem dan
diasi kesenian yang lebih cair.
berdasarkan “kesatuan kosmos”.
cara berpikir
Menggarisbawahi pendapat
Mikrokosmos (batin manusia), ma-
Pauline Marie Rosenau, bahwa
krokosmos (alam semesta) dan
kaum modernitas yang menyatakan
metakosmos
diri sebagai kaum post-modern,
atau penyeimbang). Hubungan mi-
tidak lagi mengakui adanya batas
kro-makro-metakosmmos ini sesuai
yang
sistem
tegas
antara
ilmu
alam,
(alam
berpikir
penghubung
budaya
mistis
humaniora, ilmu sosial, seni dan
Indonesia, sejak masa prasejarah
sastra,
sampai
antara
budaya
dan
jaman
budaya
Hindu-
kehidupan, fiksi dan teori, citra dan
Budha-Islam. Gambaran hubungan
realitas. Mereka juga menolak gaya
mikrokosmos (batin manusia) me-
‘discourse‟ akademis yang konven-
gambarkan eksistensi lahiriah, jas-
sional,
gambaran
maniah, dan eksistensi batiniah.
bahwa mereka kembali ke alam
Pandangan tentang makrokosmos
lingkungannya,
situasi
mendudukan manusia hanya ba-
kemajuan tehnologi dan informasi
gian dari semesta. Manusia harus
yang berbeda.
menyadari tempat dan kedudukan-
ini
mengebiri
Ruang
walaupun
fleksibilitas
dalam
nya dalam jagad raya ini. Sesuai
mediasi kesenian pada masyarakat
pandangan masyarakatnya dalam
multikulture dalam pandangan post-
falsafahnya yang menggambarkan
modern justru merupakan ruang
sisi kehidupan dengan dua macam
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
101
ISSN : 2087-0795
jagad, yaitu jagad besar (makro-
activities dan (3) artifacts5. Ketiga
kosmos), dan jagad kecil (mikro-
wujud kebudayaan tersebut oleh
kosmos) hubungan (metakosmos)
Koentjaraningrat dinyatakan seba-
antara makrokosmos dan mikrokos-
gai sistem-sistem yang erat kait-
mos. Makrokosmos (jagad besar)
annya satu sama lainnya, dan
yang mencakup semua lingkungan
dalam hal ini sistem yang paling
alam semesta. Mikrokosmos me-
abstrak (ideas) seakan-akan ber-
rupakan jagad kecil adalah diri dan
ada di atas untuk mengatur ak-
batin manusia itu sendiri, me-
tivitas sistem sosial yang lebih
rupakan
di-
kongkrit, sedangkan aktivitas dalam
upayakan terus keselarasan hu-
sistem sosial menghasilkan ke-
bungan secara kosmis; untuk men-
budayaan
jaga keseimbangan antara kedua
Disini terjadi perbedaan yang ha-
jagad tersebut secara horisontal
kiki, apabila Kuncaraningrat me-
dan
mandang kebudayaan dari hasil
jagad
vertikal.
menjaga
yang
Secara
harus
horisontal
keseimbangan
materialnya
(artifact).
antara
karya manusia maka paham post-
dirinya dengan alam semesta dan
modern terletak pada sistem pro-
secara
sesnya,
vertikal menjaga keseim-
yang
saling
memberi
bangan terhadap ke-Esa-an (lihat:
energi. Sistem yang berada di
Hoop 1949:278, Khayam 1973:19-
bawah dan yang bersifat kongkrit
20).
memberi energi kepada yang di Konsepsi tersebut di atas
atas
(Ayat
Rohaedi,
1986:83).
mengingatkan pandangan Koentja-
Pendapat
tersebut
memberikan
raningrat (1980:193-195), memberi
gambaran
bahwa
kebudayaan
pernyataan
bahwa kebudayaan
merupakan interaksi timbal-balik di
merupakan keseluruhan sistem ga-
antara sistem-sistem dalam wujud
gasan, tindakan dan hasil karya
kebudayaan
manusia dalam kehidupan masya-
bungan antara idea, aktivitas dan
tersebut,
yaitu
hu-
4
rakat . Wujud dan Isi kebudayaan, menurut ahli antropologi sedikitnya 5
ada tiga wujud, yaitu (1) ideas, (2)
4
Dalam bukunya The World of Man, ahli anthropologi J.J. Honigmann menyatakan bahwa kebudayaan itu dapat berupa (1) Ideas, (2) activities dan (3) artifacts (1959:11-12) .
Koentjaraningrat, (1980), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru.
102
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
ISSN : 2087-0795
artifact, sebuah interaksi proses
dan meninggalkan kita ketika glo-
yang terjadi pada masyarakatnya,
balisasi menjadi tren kebudayan
maka disitu diletakkan sebuah batu
masa kini, dan atau justru sebalik-
nisan bernama “ identitas”.
nya Terkait dengan pernyataan ter-
Secara
minimal,
identitas
sebut bahwa musik pribumi pada
dapat didefinisikan sebagai rekon-
saat ini berada dalam periode
siliasi antara kedua kutub yang
berbalik arah --- pengaruh asing
berlawanan
kesatuan/
sedang mempengaruhinya -- yang
kesesuaian antara subyek yang
tidak hanya mengubah nilai-nilai
mengetahui dan obyek yang di-
budaya yang ada, tapi bagaikan
ketahui, antara aku dan yang-lain,
asam
antara makna subyektif dan realitas
tranfusi dari golongan darah yang
obyektif, singkatnya, kesatuan an-
berbeda, menyerang dan meng-
tara pasangan dikotomi metafisis).
hancurkan intinya yang paling da-
Identitas itu sendiri menjadi sebuah
lam (Pilang dalam Andar 2011).
(misalnya
isu tatkala segala sesuatu yang telah diaggap stabil sebagai wa-
perusak,
Ensambel jiang
6
bagaikan
suatu
talempong
jin-
(juga musik rakyat lain),
risan kultural masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh luar; akibat berlangsungnya proses globalisasi yang menciptakan homogenisasi budaya (Piliang. 2004: 279). Krisis identitas muncul ketika apa yang telah melekat di dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi dapat dipertahankan, oleh karena telah direnggut oleh nilai-nilai yang berasal
dari
luar
(modernitas).
Musik rakyat seperti talempong Jinjiang; sebagai ekspresi budaya masyarakat
Minangkabau
yang
berada wilayah Barat pulau Sumatra,
perlu dilestarikan dan di-
kembangkan agar ia tidak punah
6
Talempong jinjiang atau renjeang adalah istilah yang umum dipakai oleh masyarakat pedesaan Minangkabau untuk menyebut permainan instrument music talempong. Instumen musik atau alat musik yang dibuat dari bahan logam banyak ditemui di wilayah nusanatara. Ia termasuk ke dalam keluarga gong yang memakai pencu (knobbed gong) dengan ukuran dan bunyi yang berbeda-beda; dari segi bentuknya hampir semunya sama. Lebih jauh Mantle Hood (1958) memberikan gambaran bahwa ”…salah satu musik tradisional dari logam (metallophone), yang tersebar di kawasan Asia Tenggara; di antaranya disebutkan di wilayah kultur Minangkabau; masyarakatnya meyebutnya talempong” (Mantle Hood. 1958: 5). Soeharto (1978) menjelaskan bahwa talempong adalah alat musik dari Minangkabau sejenis bonang yang terbuat dari perunggu dan sejenisnya, bentuknya budar dengan pencu di tengah, ada yang dimaikan sambil berjalan; tangan kiri menenteng satu atau dua satuan, sedangkan tangan kanan memaikan dengan sebuah
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
103
ISSN : 2087-0795
masyarakat
bunganya, silek jo tari kegunjainya.7
Minangkabau, sebagai kebudayaan
Ungkapan adat itu memberikan
musikal, merupakan salah satu
pertanda
bagian dari kesatuan sistem bu-
talempong
daya
Minangkabau.
upacara adat dalam masyarakat
Hal demikian dapat dilihat dalam
Minangkabau. (Pilang dalam andar
upacara adat perhelatan penghulu
2011).
dalam
kebudayaan
masyarakat
(pimpinan suku).
kebudayaan
Minangkabau
menjadi
ensambel bagian
dari
Arti penting kePENUTUP
beradaan musik talempong dalam sistem
bahwa
masyarakat dalam
lahirkan seni multimedia; mixed
ungkapan falsafah adatnya; kalau
media dan intermedia; happening
alam
marawa
art, performance art, vedio art,
tampak takiba, batingkah aguang jo
instalasi art, collaborasi art, sampai
talempong,
new
alah
tercermin
Eksperimen art, yang me-
takambang,
tandonyo adaik badiri
media
art,
pernah
di nagari, pupuik jo saluang ka-
dimarjinalkan
bungonyo, silek jo tari kagunjainyo
modern, menyatakan diri sebagai
(kalau alam sudah terkembang,
pewaris post-modern. Disisi krisis
marawa (bendera kebesaran adat)
seni
tampak berkibar, bertingkah gong
poranda oleh kaum modernitas
jo talempong, tandanya adat berdiri
juga menyatakan sebagai pewaris,
di nagari, puput jo saluang ke-
bagaikan kesatria yang berkelana
tradisi
merindukan
oleh
yang
yang
masa
kaum
telah
lalu
post
porak
dengan
kemapanan identitasnya. Sebuah kerinduan yang kini pemukul. Talempong jenis ini disebut ”talempong pacik”. Dan ada pula yang diletakan di atas wadah kayu seperti bonang dalam gamelan; dimainkan dengan dua pemukul sambil duduk, jenis ini disebut ”talempong duduak” (M. Soeharto. 1978: 152). Istilah talempong pacik digunakan oleh kalangan akademisi --ASKI Padangpanjang-untuk membedakan dengan telempong rea. Penamaan talempong pacik didasarkan pada posisi talempong waktu dimainkan. Karena cara memainkan alat tersebut dengan cara dipegang (pacik) dengan tangan. Istilah talempong pacik yang sekarang berkembang luas pada masyarakat kota.
104
telah menjadi puing berserakan, apakah akan lahir kembali oleh ruang
feksibilitas
dalam
media
musikal terhadap pandangan fil-
7
Z. Diraja Dt. Bijo Dirajo. 2011. Wawancara. terhadap seorang tokoh adat dan tokoh masyarakat di Kab. Agam, Sumatera Barat; umur 83 tahun.(Andar 2011)
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
ISSN : 2087-0795
safat inter-refleksivitas. Bagaikan
DAFTAR PUSTAKA
tokoh kasatria dalam kelananya dalam memperjuangkan kerinduan lahirnya tradisi yang pernah mapan
Kulterman, Udo (1971), Art-Event and Happening, Manthews Miller Dunbar, London
dibumi nusantara ini. Kesatria itu kini sedang pergi meninggalkan segala kemapanan identitasnya sebagai seorang tuan tanah warisan leluhurnya, pergi dan terus menguji identitas dirinya sebagai ksatria-kelana yang tak pernah sepenuhnya ia rengkuh. Ia, bersama pengiringnya yang setia. Kesatria itu mengembara melawan para raksasa dan penyihir jahat modernitas. Dia terus-menerus percaya dan terusmenerus ragu akan apa yang ia lakukan dan apa yang ada di sekitarnya. Dia terus terombangambing antara identitas dan keterasingan. Terus ragu apakah segala realitas ini adalah gunaguna dari sang Penyihir; namun terus ragu apakah ia sungguh melawan para raksasa atau ia hanya bermimpi tentang para raksasa atau ia adalah mimpi itu sendiri. Namun toh ia tetap menjalani absurditas itu hingga akhir. Barangkali kini kita akan merindukan sosoknya, sang ksatriakelana, bersama pengiringnya, mengembara menuju tapal batas cakrawala, pada senja yang akan datang, yang akan terus datang, berkuda, kadang jalannya terseok, berkuda lagi, mencari kekasih pujaannya, yang ada dan tiada, dalam riang ada sedih, dalam sedih ada riang… ( Suryajaya 2007)
*Penulis adalah Guru Besar Bidang Ilmu Estetika Seni di Prodi. Seni Rupa Murni ISI Surakarta
Davis, Douglas (1977), Artculture, Essays on the post modern, Harper & Row, New York Hood, Mantle, 1958. Javanese Gamelan in The World of Music; Yogyakarta. Kedaulat an Rakyat. Daniel Bell (1973). The Comming of Post-Industrial Sosiety. Yustiono (1994), “Seni Rupa Kontemporer Indonesia dan Gelombang Post-Modernism” Makalah Diskusi, Bandung: Institut Teknologie Bandung Koentjaraningrat, (1980), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru. Kramer, Hilton (1974) The Age of Avant Garde, Secker & Warbung, London Rosenberf, Harolld (, 1966). The Anxious Obyect, Coliers Book Rodolphe Gasché, The Tain of the Mirror: Derrida and the Philosophy of Reflection (Cambridge: Harvard Lih. Vincent Descombes, 1980,Modern French Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press). Martin Suryajaya 2007, “Derrida dan Metafisika Kebenaran:Sekilas Pandang
Vol. 7, No. 2, Desember 2015
105
ISSN : 2087-0795
Proyek Umum Dekonstruksi” Jakarta Jacques Derrida, 1978, Freud and the Scene of Writing dalam Writing and Difference (Chicago: The University of Chicago Press), University Press), 1986. Wheeler, Fleming (1980.), Art Since Mid Century, The Vendeme Press, New York.
106
Vol. 7, No. 2, Desember 2015