ISSN 0854 - 7890
Jurnal
Nomor 37, Tahun 14, Mei 2006
³ Masalah Tanah Longsor dan Penanggulangannya pada Kawasan Tambang Batubara Airlaya dan Sekitarnya, PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan ³ Unjuk Kerja Pilot Plant UBC terhadap Batubara Pasir, Kalimantan Timur ³ Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor dari Abu Terbang PLTU Suralaya ³ Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang dan Abu Dasar serta Pengaruhnya terhadap Reproduksi Daphnia carinata King ³ Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak Menjadi Berbahan Bakar Batubara Menggunakan Pembakar Siklon
tek MIRA
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA
ISSN 0854 – 7890
Jurnal
Teknologi Mineral dan Batubara
Nomor 37, Tahun 14, Mei 2006
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................................................................. i
Sekapur Sirih .......................................................................................................................................... ii
Masalah Tanah Longsor dan Penanggulangannya pada Kawasan Tambang Batubara Airlaya dan Sekitarnya, PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan ...................... 1 - 9 Rachman Sobarna
Unjuk Kerja Pilot Plant UBC terhadap Batubara Pasir, Kalimantan Timur ................................. 10 - 17 Iwan Rijwan dan Bukin Daulay
Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor dari Abu Terbang PLTU Suralaya .............................................................................................................................. 18 - 28 Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang dan Abu Dasar serta Pengaruhnya terhadap Reproduksi Daphnia carinata King ......................................................... 29 - 36 Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak Menjadi Berbahan Bakar Batubara Menggunakan Pembakar Siklon ......................................................................... 37 - 45 Sumaryono, Stefano Munir, Yenny Sofaeti, Nana Hanafiah, Tatang Koswara, Edi Somadi, Lely Agustina, E. Kosasih dan Aat
Petunjuk Bagi Penulis .......................................................................................................................... 46
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara terbit pada bulan Januari, Mei, September dan memuat karya ilmiah yang berkaitan dengan litbang mineral dan batubara mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, lingkungan, kebijakan dan keekonomiannya. Redaksi menerima sumbangan naskah yang relevan dengan substansi terbitan ini. Biaya langganan : Rp 60.000,-/tahun diluar ongkos kirim, harga eceran Rp 20.000,-/eksemplar. EDITOR IN CHIEF
: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
PEMIMPIN REDAKSI
: Ka. Bid Afiliasi
REDAKTUR PELAKSANA
: Ka. Sub Bid Informasi dan Publikasi
EDITORIAL BOARD
: Binarko Santoso (Ketua) dan I Gusti Ngurah Ardha (Anggota)
EDITOR
: Tatang Wahyudi, Nining S. Ningrum, Sri Handayani, Maman Surachman, Retno Damayanti dan Tendi Rustendi
STAF REDAKSI
: Umar Antana, Yusi Nuriana dan Bachtiar Effendi
PENERBIT
: Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
ALAMAT REDAKSI
: Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telpon : (022) 6030483 - 5, Fax : (022) 6003373 e-mail :
[email protected]
Keterangan gambar sampul depan : Peralatan UBC pada seksi 400 i
Sekapur Sirih Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara menerbitkan hasil-hasil litbang mengenai potensi berbagai mineral termasuk batubara, serta teknologi pemanfaatan mineral dan batubara. Seperti diketahui, pada 2005 harga minyak bumi meningkat sangat tajam sampai mencapai US$ 70 per barel (September 2005). Keadaan ini mendorong peningkatan peran batubara sebagai pengganti BBM. Bagi institusi litbang, hal tersebut merupakan tantangan agar penelitian-penelitian di bidang perbatubaraan lebih intensif, hingga akhirnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Sejalan dengan pemikiran tersebut, makalah-makalah yang ditampilkan pada edisi kali ini berkaitan dengan pengembangan teknologi pemanfaatan batubara, seperti beberapa permasalahan yang ditemui dalam penambangan, teknologi pemanfaatan dan pemanfaatan limbah batubara serta solusi/pemecahannya yang didukung dengan penelitian lapangan serta penelitian dan analisis di laboratorium. Makalah utama menyajikan permasalahan tanah longsor yang ditemui di kawasan tambang batubara Airlaya, Tanjung Enim, Sumatera Selatan dan usaha penanggulangannya agar kelancaran produksi batubara tetap terjaga. Sementara itu, teknologi pemanfaatan batubara yang dikembangkan di Palimanan, Cirebon terus diujicobakan terhadap berbagai macam batubara. Hasil unjuk kerja pilot plant Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap batubara Pasir, Kalimantan Timur tersaji dalam makalah pada jurnal edisi kali ini. Tujuan ujicoba adalah meningkatkan nilai kalor batubara tersebut dengan cara mengurangi kandungan airnya. Limbah batubara berupa abu terbang (fly ash) ternyata mempunyai potensi untuk dimanfaatkan pada pembuatan refraktori cor – material yang digunakan sebagai penahan panas pada tanur-tanur suhu tinggi; walaupun demikian, toksisitas limbah tersebut perlu diuji seperti yang tersaji dalam salah satu makalah jurnal edisi kali ini. Pengujian dilakukan dengan menggunakan organisme uji Daphnia carinata King sehingga dapat diketahui sejauh mana limbah tersebut membahayakan lingkungan. Masih berkaitan dengan batubara, modifikasi boiler industri berbahan bakar minyak menjadi berbahan bakar batubara dengan menggunakan pembakar siklon merupakan suatu upaya agar penggunaan batubara oleh masyarakat industri jadi lebih efisien. Upaya ini memberi peluang dan prospek bagi pengusaha dalam rangka pemanfaatan boiler lama yang tidak digunakan lagi, karena tidak ekonomis bila menggunakan bahan bakar minyak. Paparan selengkapnya terdapat dalam salah satu makalah termuat. Editor
ii
MASALAH TANAH LONGSOR DAN PENANGGULANGANNYA PADA KAWASAN TAMBANG BATUBARA AIRLAYA DAN SEKITARNYA, PT. BUKIT ASAM, TANJUNG ENIM, SUMATERA SELATAN
RACHMAN SOBARNA Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jalan Diponegoro No. 57 Bandung SARI Pertambangan batubara di daerah Airlaya yang dikelola oleh PT. Bukit Asam hingga saat ini telah berjalan cukup lama. Sistem penambangan yang dilakukan merupakan penambangan terbuka dengan mengupas lereng untuk diambil batubaranya. Kegiatan penambangan batubara ini ternyata masih memiliki kendala akibat terjadinya longsoran di beberapa sektor di lokasi pertambangan. Bila keadaan ini masih terus berlanjut, maka dikhawatirkan akan mengganggu efektivitas penambangan, sehingga berpotensi menghambat kelancaran produksi batubara yang perlu direalisasikan. Adanya gangguan terhadap stabilitas lereng di lokasi penambangan ini merupakan kendala yang perlu diwaspadai, dan dari hasil pemantauan menunjukkan adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab turunnya tingkat stabilitas lereng, sehingga perbaikan dan penanggulangannya perlu segera diupayakan. Kata kunci : tambang batubara, longsor, kestabilan lereng, pemantauan ABSTRACT Coal mine in Airlaya area which handled by PT. Bukit Asam has been going on for long time. The mine method used here is open pit mining by cutting slope to obtain coal. There is an obstacle due to landslides that sometimes occur in some areas. If the accidents happen continuously, it will threat the effectiveness of mining and coal production. The problem of slope stability in coal mine area should be alerted. The monitoring results indicates there are some factors causing slope failures, so improvement and mitigation should be conducted. Keywords : coal mine, landslide, slope stability, monitoring
Masalah Tanah Longsor dan Penanggulangannya ... Rachman Sobarna
1
1.
LATAR BELAKANG
Daerah Airlaya terletak di Propinsi Sumatera Selatan yang memiliki kandungan batubara dengan nilai cadangan mencapai lebih dari 7 miliar ton. Penambangan batubara di daerah ini telah berjalan dengan baik, bahkan produksinya tercatat sebagai terbesar ke 4 di Indonesia. Salah satu kegiatan penambangan di daerah ini antara lain dilakukan oleh perusahaan tambang batubara PT. Bukit Asam. Penambangan batubara dilakukan dengan cara mengupas lapisan penutup (overburden) pada lereng perbukitan, kemudian tanah hasil kupasan ditimbun ke tempat yang lebih rendah Meskipun produksi tambang batubara ini tergolong lancar, tapi terdapat kendala yang mengganggu upaya penambangan di daerah ini, yaitu gangguan tanah longsor yang terjadi di beberpa tempat, baik pada lereng yang dikupas maupun pada daerah lokasi timbunan. Kondisi seperti ini telah memaksa petugas di lapangan mengalihkan sebagian waktunya untuk mengatasi kondisi darurat yang terjadi di lokasi tersebut. Sebagai langkah awal dalam menanggulangi kendala akibat gangguan tanah longsor, maka di lokasi tersebut dilakukan pemantauan terhadap perilaku penyebab terjadinya tanah longsor. Lokasi daerah pemeriksaan terletak di daerah Airlaya, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan (Gambar 1). 2.
KONDISI GEOLOGIS
Topografi di sekitar lokasi penambangan terdiri atas kawasan perbukitan dan daerah landai. Kawasan perbukitan Airlaya sebagian telah mengalami perubahan bentuk akibat kegiatan penambangan yang masih terus berjalan. Perubahan tersebut antara lain berupa perubahan sudut kemiringan lereng dan hilangnya sebagian masa batuan pada lereng tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan di lapangan serta kompilasi dari peta geologi lembar Bengkulu (Gafoer, 1992) dan peta geologi lembar Sorolangun (Suwarna, 1992), maka batuan di daerah ini diuraikan secara umum, terdiri atas tufa endapan Formasi Kasai, batulempung, lanau serta batupasir tufaan
2
bersisipan batubara Formasi Muara Enim dan batupasir gampingan serta batu napal dan lempung Formasi Air benakat. Lapisan batubara umumnya terdapat pada formasi Muara Enim yang sebagian besar tertutup lapisan penutup (overburden) yang tebal. Sebagai gambaran tentang kondisi stratigrafi formasi Muara Enim pada cekungan Sumatera Selatan secara umum dari Sheel Meijnbouw (Hardjono, 1989), dapat terlihat pada Tabel 1. Struktur geologi yang ada di daerah ini berupa sesar dan antiklin. Struktur sesar memiliki potensi untuk menurunkan kekuatan batuan di daerah tersebut, sehingga diperkirakan dapat menurunkan stabilitas lereng. Struktur antiklin umumnya menunjukkan arah kemiringan lapisan utara-selatan. 3.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Kegiatan penambangan di daerah ini terkait erat dengan pekerjaan yang meliputi pengupasan dan pengurugan (fill). Pengupasan umumnya berupa kegiatan pengambilan bahan tambang, sedangkan kegiatan lainnya antara lain pengembangan infrastruktur seperti pembuatan badan jalan, gudang maupun permukiman. Selanjutnya pengurugan merupakan kegiatan penempatan material hasil pengupasan lereng bukit. Situasi tambang di sekitar daerah ini terlihat pada Gambar 2. Terjadinya keruntuhan lereng di lokasi tambang ini merupakan suatu fenomena yang sering terjadi akibat turunnya tingkat stabilitas lereng di lokasi tersebut. Berdasarkan hasil pemantauan menunjukkan di lokasi ini sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2001 telah terjadi tanah longsor sebanyak 75 kali. Mengambil model Varnes (1978) yang telah mengelompokkan kejadian gerakan tanah menjadi beberapa jenis, antara lain mencakup gerakan sirkuler, bidang, baji maupun gerakan ke samping (lateral spreading), maka rincian kejadian gerakan tanah dari hasil pemantauan tersebut menunjukkan adanya gerakan tanah sirkuler sebanyak 33 lokasi, bidang 33 lokasi, baji 6 lokasi dan gerakan ke samping (lateral spreading) 3 lokasi. Gerakan sirkuler merupakan gerakan melingkar dari suatu blok masa lereng labil melalui sumbu putar akibat pengaruh
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 1 – 9
U PALEMBANG Sekayu
Prabumulih
Muara Enim Lokasi Pemantauan
Lahat
Baturaja
0
10
20
30 Km
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian
Tabel 1. Stratigrafi Formasi Muara Enim pada Cekungan Sumatera Selatan (Sheel Meijnbouw, 1978)
Anggota
Seam
Litologi
M4
Niru Lematang Kebon
Lempung tufaan hijau - biru dan lempung pasiran, kadang kala pasir halus - kasar abu-abu dan putih, glaukonitan, lapisan-lapisan batu apung di daerah Palembang Tengah.
M3
Beruang Burung
Perselingan batupasir dan batulanau, menindih batu lempung biru-hijau dan abu coklat. Horison batupasir tebal 3-6 m berada ± 40 m di atas seam Mangus mengandung lubang-lubang gas.
M2
Manggus 1 (A1) Manggus 2 (A2) Sudan (B) Petai (C)
Batulempung coklat abu-abu dan batulempung pasiran. Batupasir, halus - sedang, abu-abu,sedangkan batupasir halus hijau abu-abu, di bagian bawah. Sedimen interseam Mangus 1 dan Mangus 2 berupa batupasir tufaan mengandung biotit terpudarkan.
M1
Merapi (D)Kladi (E)
Batupasir, batulanau, batulempung coklat abu-abu dengan batupasir agak glaukonitan
Masalah Tanah Longsor dan Penanggulangannya ... Rachman Sobarna
3
S. En im
S . Lan gat
TAMBANG AIR LAYA
Gambar 2. Peta sketsa situasi tambang daerah Airlaya dan sekitarnya, Tanjung Enim Sumatera Selatan Skala 1 : 75000 KETERANGAN Kontur
Sungai
Jalan
Dumpingpit
Pemukiman
gaya momen. Sedangkan gerakan bidang umumnya sebagai gerakan pada bidang planar dan gerakan baji terjadi akibat perpotongan 2 bidang, sedangkan gerakan ke samping (lateral spreading) umumnya merupakan gerakan material timbunan di atas material plastis yang jenuh air. Beberapa jenis kejadian gerakan tersebut terlihat pada Gambar 3. 3.1
Stockpile
-
Faktor Penyebab
Berbagai hal secara umum yang menjadi penyebab terjadinya tanah longsor di lokasi ini antara lain disebabkan oleh faktor berikut ini.
-
3.1.1 Gerakan Sirkuler
-
-
Umumnya terjadi sebagai akibat : -
4
kondisi material dari tanah pelapukan yang bersifat rapuh, porous, serta lunak. Material
umumnya berasal dari material timbunan. penjenuhan material karena pengaruh air, antara lain pada timbunan material hasil galian, rembesan air dari gorong-gorong yang patah. terganggunya kaki lereng (toe), antara lain karena erosi atau penggalian. efek pembebanan, antara lain akibat beban struktur bangunan maupun kendaraan berat. lereng yang terlalu terjal, antara lain karena pengaruh pengupasan dan penimbunan. patahan, memberikan beban terhadap pembentukan bidang lemah. hilangnya penahan, antara lain karena erosi atau penggalian tebing lereng. getaran, umumnya berasal dari aktifitas penambangan, misalnya mesin, kendaraan berat atau kegiatan peledakan. penggalian lereng, terkait dengan kegiatan pengupasan/penambangan di lokasi.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 1 – 9
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Jenis gerakan tanah a. Gerakan sirkulasi b. Gerakan planar c. Gerakan baji d. Gerakan Lateral spreading
Masalah Tanah Longsor dan Penanggulangannya ... Rachman Sobarna
5
3.1.2 Gerakan Bidang
3.2.1 Pemantauan
Umumnya terjadi sebagai akibat :
Pemantauan stabilitas lereng umumnya dilakukan pada daerah yang dijadikan lokasi timbunan, untuk mengetahui kemungkinan adanya pergerakan tanah sekaligus perkembangannya di lokasi tersebut.
– – – – – – – –
Adanya kekar dengan dip; dip lereng lebih besar dari dip perlapisan, Genangan/rembesan air, baik yang berasal dari gorong-gorong yang patah maupun rembesan air permukaan langsung, Pertemuan 2 bidang kekar, yang membentuk zona lemah sehingga blok massa lapisan meluncur, Hilangnya gaya penahan, antara lain karena erosi atau faktor lain misalnya human error, Pembebanan, antara lain beban yang berasal dari kendaraan berat, Erosi, yang berpotensi terjadi pada lereng/kaki lereng, Struktur kekar/patahan memotong perlapisan atau lereng, Penggalian lereng, terkait dengan aktifitas penambangan di lokasi.
Metoda pemantauan yang digunakan di lokasi ini adalah dengan melakukan pengamatan berulang terhadap posisi patok yang telah dipasang di lokasi labil. Perubahan posisi yang terjadi secara otomatis menunjukan adanya pergeseran tanah di lokasi tersebut. Peralatan yang digunakan pada pemantauan ini antara lain adalah alat ukur To. Alat ukur ini dapat mencatat panjang pergeseran. Di samping itu digunakan pula alat ukur yang mencatat perubahan panjang pergeseran (extensiometer). Sejumlah kejadian dari hasil pemantauan menunjukan adanya beberapa lokasi timbunan yang rentan terhadap penurunan stabilitas lereng.
3.1.3 Gerakan Baji
3.2.2 Memberikan Perlakuan terhadap Lereng
Umumnya terjadi sebagai akibat :
Memberikan perlakuan terhadap lereng di daerah ini merupakan upaya penanggulangan tersendiri di samping pemantauan. Beberapa kejadian runtuhnya lereng serta upaya penanggulangan dengan melakukan rekayasa lereng tersebut terlihat pada Tabel 2.
-
Perpotongan antara struktur kekar dengan patahan atau antara struktur kekar dengan bidang perlapisan. Sudut lereng lebih besar daripada sudut bidang perlapisan atau bidang kekar maupun patahan. Genangan/rembesan air, baik yang berasal dari gorong-gorong yang patah maupun rembesan air permukaan langsung.
3.1.4 Gerakan ke Samping (Lateral Spreading) Umumnya sering terjadi sebagai akibat : 3.2
Penjenuhan material oleh air, mengakibatkan hilangnya gaya penahan. Penanggulangan
Berbagai upaya penanggulangan dimaksudkan untuk menjaga tingkat stabilitas lereng di lokasi tambang. Secara umum upaya penanggulangan tersebut telah berjalan baik. Beberapa upaya penanggulangan secara teknis yang telah berjalan antara lain adalah dengan malakukan :
6
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Hasil pemantauan menunjukan bahwa kegiatan pertambangan di lokasi ini memiliki potensi terhadap gangguan tanah longsor . Potensi tanah longsor yang terjadi sebagai akibat kondisi geologi, rusaknya beberapa struktur bangunan pendukung (gorong-gorong dan sebagainya) serta faktor kesalahan manusia. 4.2
Saran
Untuk melakukan penanggulangan secara lebih seksama, maka upaya pemantauan maupun pemberian perlakuan terhadap lereng perlu ditingkatkan.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 1 – 9
Masalah Tanah Longsor dan Penanggulangannya ... Rachman Sobarna
Tabel 2. Beberapa kejadian tanah longsor di sekitar kawasan tambang Airlaya
No
Sektor
Tanggal
Dimensi Jenjang
kejadian
Tinggi
Sudut
Jenis
Penyebab longsoran
Penanggulangan
Kejelasan
longsoran
1
Jl. Prod P.I
05-Jan-00
6 meter
SS 1:1
Bidang
* Lereng aktual lebih terjal dari dip * Rembesan air pada material topsoil yang berbatasan dengan lempung karbonan
* Perapihan lereng searah dip lapisan * Pengaturan pola aliran air
* Topsoil
2
Jl. Prod P.I
20-Jan-00
8 meter
SS1:2
Sirkuler
* Penjenuhan material timbunan * Daya dukung kurang
* Perkuatan kaki lereng dengan timbunan * Pengaturan pola aliran air
* Material timbunan
3
Sal. Air sisi Barat Disposal BB.P-3
03-Mei-00
12 meter
SS 1:1 2 bench
Sirkuler
* Penjenuhan air pada material pasir lempungan yang poros
* Pelandaian lereng 1 : 3 * Tinggi maks lereng 6 meter * Pengaturan pola aliran air
4
Utara-Timur Tambang BB.P-3
08-Mei-00
9 meter
SS1:1
Bidang
* Perpotongan kekar N54°E/40° dengan kekarN2°E/40° * Material brittle / mudah pecah
* Penggeseran arah penggalian untuk menghindari struktur kekar
09-Mar-01
35 meter
SS1:2
Sirkuler
* Dasar timbunan elevasi +70 berupa timbunan
* Pembuatan Counterweight pada elevasi bawah
lumpur tidak kuat menahan beban timbunan atas
* Pengaturan pola aliran air
Tahun2001 1
2
Disposal BB. P-3
7
Timur-Selatan Tambang BB. P-3
30-Mar-01
15 meter
SS1:3
Bidang
* Lereng gali ( 18 deg ) lebih terjal dari dip 14 deg
* Pelandaian lereng sesuai dip * Pengaturan pola aliran air
Pemantauan terhadap stabilitas lereng masih perlu dilengkapi dengan peralatan ukur yang lebih cermat. Alat ukur berupa Electronic Distance Meter (EDM) maupun Global Positioning System (GPS) dapat menjadi pilihan, mengingat alat ini memiliki kepekaan yang cukup tinggi terhadap pergerakan yang sangat kecil.
Potong
Potong
Gaya dorong berkurang
a. Pemotongan kepala
b. Pelandaian lereng Dipotong habis
Penanggulangan dengan memberikan perlakuan terhadap lereng bila perlu agar dikembangkan lebih terpadu. Upaya tersebut di antaranya meliputi :
Potong
4.2.1 Pemotongan Geometri Lereng Pemotongan dilakukan pada bagian tubuh lereng dengan tujuan mengurangi gaya dorong dari masa tanah yang labil, sehingga faktor keamanan lereng bertambah (Gambar 4).
Gaya dorong berkurang c. Terasiring
d. Pemotongan habis
Gambar 4. Pemotongan geometri lereng
Drain vertikal
4.2.2 Penataan Air Dilakukan untuk mengurangi kandungan air di daerah labil sehingga tanah menjadi lebih stabil, terdiri atas: 1. Penataan air permukaan, dapat berupa : - Pembuatan gorong-gorong - Menutup rekahan 2. Perbaikan permukaan lereng (regarding) supaya air permukan dapat mengalir lancar. 3. Penataan air bawah permukaan, dapat berupa - Saluran pemotong (interceptor) - Saluran horizontal (horizontal drain) - Saluran tegak (vertical drain) Sistim drainase bawah permukaan terlihat pada Gambar 5.
Pasir Rembesan Lempung Gravel Gambar 5. Sistem drainase bawah permukaan
4.2.3 Beban Kontra (Buttress) Memberi beban pada kaki lereng yang labil dengan material timbunan untuk menahan momen gaya mendorong atau melawan tegangan geser tanah (Gambar 6).
Material timbun (Buttress)
4.2.4 Membuat Bangunan Penahan Bangunan yang berfungsi untuk menahan masa tanah yang bergerak, biasanya tidak digunakan untuk gerakan bersifat mengalir (flow) atau pelumpuran. Bangunan penahan dapat berupa antara lain : bronjong tembok penahan (gaya berat/gravity atau beton) tiang (tiang pancang, tiang bor, sheet pile) pengangkeran batu
8
Gambar 6. Beban kontra atau buttress
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 1 – 9
(a)
(b)
Gambar 7. Bangunan penahan a) Bronjong penahan pada kaki lereng b) Tembok penahan tanah longsor
Alternatif penanggulangan terhadap kemungkinan longsoran lereng tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
DAFTAR PUSTAKA
UCAPAN TERIMA KASIH
Hardjono, 1989. Batubara Sungai Malam, Sumatera Selatan, Direktorat Sumber Daya Mineral, Bandung.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada petugas tambang batubara PT. Bukit Asam atas bantuan dan informasi yang diberikan selama di lapangan. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Surono atas saran-saran yang diberikan.
Gafoer, S., 1992. Peta Geologi Lembar Bengkulu, Puslitbang Geologi, Bandung.
Suwarna, N., 1992. Peta Geologi Lembar Sorolangun, Puslitbang Geologi, Bandung. Varnes, D.J, 1978. Slope Movement and Types and Processes. In Landslide Analysis and Control, Transportation Research Board. National Academy of Science, Washington, D.C., Special Report 176, Chapter 2.
Masalah Tanah Longsor dan Penanggulangannya ... Rachman Sobarna
9
UNJUK KERJA PILOT PLANT UBC TERHADAP BATUBARA PASIR, KALIMANTAN TIMUR
IWAN RIJWAN DAN BUKIN DAULAY Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373 SARI Berdasarkan hasil uji unjuk kerja peralatan pilot plant UBC, diketahui bahwa batubara Pasir, Kalimantan Timur dapat ditingkatkan nilai kalornya dengan cara mengurangi kandungan airnya. Hasil uji unjuk kerja masing-masing peralatan penggerusan, pengurangan air, pemisahan batubara – minyak, pengeringan batubara dan pembriketan menunjukkan kinerja sangat baik dan konstan. Sedangkan dari evaluasi produk dapat diketahui bahwa produk UBC merupakan bahan bakar padat dengan kandungan air rendah atau nilai kalor tinggi. Kandungan air total sebesar 33,8% pada batubara asal dapat diturunkan menjadi 1,0% dan konstan pada nilai 6,5% setelah 30 hari. Dengan demikian nilai kalor naik dari 5431 kkal/kg (ar) pada batubara asal menjadi 6443 kkal/kg (ar) pada produk UBC. Kata kunci : upgraded brown coal, nilai kalor, kandungan air, pilot plant ABSTRACT Based on the process performance tests at UBC pilot plant, it has been confirmed that the Pasir coal can be upgraded to high calorific value coal through reducing its inherent moisture content. Performances of each equipment of crushing, slurry dewatering, coal - oil separation, rotary steam tube dryer and briquetting were very good and stable. Considering the product evaluation, it was confirmed that the UBC product provided good solid fuel with low moisture content and high calorific value. Total moisture of raw coal initially 33.8% could be reduced to 1.0% and stable at 6.5% after 30 days. Therefore, calorific value increased from 5431 kcal/kg (adb) in raw coal up to 6443 kcal/kg (adb) in the UBC product. Keywords : upgraded brown coal, calorific value, moisture content, pilot plant
1.
PENDAHULUAN
Batubara peringkat rendah di Indonesia yang jumlahnya melebihi 60% dari total cadangan batubara nasional merupakan aset ekonomi dan energi yang sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan (Datin dan Daulay, 2002; DIM, 2003). Hal ini disebabkan karena sifat batubara peringkat rendah tidak menguntungkan terutama kandungan airnya yang hampir mencapai 40% sehingga nilai kalor menjadi rendah. Harapan untuk mengurangi kendala tersebut kini secara teknis dan ekonomis telah
10
dapat dipecahkan dengan ditemukannya teknologi baru dari Jepang yang disebut dengan Upgraded Brown Coal/UBC (Deguchi dkk., 1999; Shigehisa dkk., 2000). Proses ini dirancang khusus untuk menghasilkan produk batubara dengan nilai kalor hingga 6000-6500 kkal/kg (adb) dari batubara peringkat rendah yang semula nilai kalornya hanya 3500-4500 kkal/kg (adb), melalui teknik pengurangan kandungan air. Proses Upgraded Brown Coal (UBC) merupakan suatu teknologi peningkatan nilai kalor batubara peringkat
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 10 – 17
rendah menjadi produk yang relatif sama dengan batubara peringkat tinggi yang memiliki nilai kalor tinggi dan kandungan air rendah. Proses ini sangat sederhana, karena hanya berdasarkan pengurangan air, sehingga tidak ada reaksi kimia yang terjadi. Salah satu keuntungan dari teknologi UBC adalah proses berlangsung pada temperatur dan tekanan rendah, masing-masing 140 - 180°C dan 350 kPa. Produk akhir UBC berupa bubuk, slurry atau briket, adalah sangat stabil dan tidak akan menyerap air kembali. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral bekerjasama dengan Japan Coal Energy Centre (JCOAL), Kobe Steel, Ltd and Sojitz dari Jepang, dan BPPT telah berhasil mengembangan pilot plant UBC di Palimanan, Cirebon. Dalam proses UBC, diperlukan minyak residu untuk menjaga kestabilan kadar air bawaan batubara pasca proses. Sedangkan minyak tanah diperlukan sebagai media dalam proses. Setelah minyak tanah membasahi pori-pori batubara, minyak residu akan teradsorpsi secara selektif di dalam pori-pori tersebut sehingga partikel batubara terlapisi oleh minyak residu, mengakibatkan air yang keluar dari pori-pori tidak dapat kembali masuk ke dalam batubara. Upaya mengoptimalkan pemanfaatan batubara Pasir dari Kalimantan Timur yang diketahui semula memiliki kandungan air total sebesar 33,8% dan nilai
kalor 5431 kkal/kg (adb) atau peringkat subbituminus A (ASTM, 1993) telah dilakukan uji UBC terhadap batubara tersebut di pilot plant UBC Palimanan, Cirebon. Sekitar 30 ton batubara Pasir tersebut telah diuji pada pilot plant yang mempunyai kapasitas 5 ton per hari untuk menemukan kondisi operasional yang optimal. Dengan demikian maksud dari uji ini adalah untuk mengetahui unjuk kerja setiap unit peralatan yang ada pada pilot plant UBC dan mengevaluasi produk UBC agar diketahui karakteristiknya yang akan diuraikan secara rinci pada tulisan ini. 2.
METODOLOGI
2.1
Identifikasi Peralatan
Pada dasarnya peralatan proses UBC terdiri atas 5 seksi utama, yaitu seksi 100 (coal preparation), seksi 200 (slurry dewatering), seksi 300 (coal-oil separation), seksi 400 (oil recovery/rotary steam tube dryer) dan seksi 500 (briquetting), seperti terlihat pada Gambar 1. 2.1.1 Seksi 100 Seksi 100 sebagai tahap penyiapan bahan mempunyai fungsi penggerusan, penyimpanan dan penyediaan batubara pasir untuk dialirkan ke seksi 200. Sedangkan
Gambar 1. Diagram dari proses UBC
Unjuk Kerja Pilot Plant UBC terhadap Batubara Pasir ... Iwan Rijwan dan Bukin Daulay
11
peralatan yang tersedia terdiri atas belt conveyor (X101), hammer mill (M101), system pneumatic conveyor, kolektor debu (S101 dan S102), blower (B101 dan B102), rotary valve (X102), bunker batubara (Y101), conveyor (X103), rotary valve (X104) dan weight hopper (Y102). Gambar 2 memperlihatkan foto peralatan pada seksi 100. 2.1.2 Seksi 200 Seksi 200 sebagai tahap penghilangan air mempunyai fungsi untuk penghilangan kandungan air dalam batubara dan penyediaan slurry batubara yang hilang
2.1.3 Seksi 300 Seksi 300 sebagai tahapan proses yang mempunyai fungsi untuk memisahkan minyak dari slurry batubara dengan menggunakan alat screw decanter (Z301). Alat ini memproses minyak hasil pemisahan apabila diperlukan dan penyediaan cake batubara untuk dialirkan ke seksi 400. Dengan demikian Z301 merupakan peralatan utama pada seksi 300 yang menentukan agar operasi selanjutnya pada seksi 400 berjalan stabil. Gambar 4 memperlihatkan foto peralatan pada seksi 300.
Gambar 2. Peralatan UBC pada seksi 100
Gambar 4. Peralatan UBC pada seksi 300
Gambar 3. Peralatan UBC pada seksi 200
Gambar 5. Peralatan UBC pada seksi 400
sebagian airnya untuk dialirkan ke seksi 300. Peralatannya terdiri atas tangki penyuplai minyak (V301), tangki pembuat slurry (V202), tangki slurry dewatering (V203), evaporator (E201), tangki slurry dewatered (V204), kondensator (E202) dan tangki pemisah air dan minyak (205). Gambar 3 memperlihatkan foto peralatan pada seksi 200.
2.1.4 Seksi 400
12
Seksi 400 mempunyai fungsi untuk mendapatkan batubara halus yang telah meningkat kualitasnya melalui proses recovery minyak di dalam cake batubara yang disediakan dari seksi 300 dengan menggunakan alat rotary steam tube dryer (D401).
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 10 – 17
Sedangkan peralatannya terdiri atas feeding hopper (Y401), screw conveyor (X402, D401-1 dan X403), tangki pemisahan (S401), coal dryer (D401), bucket conveyor (X501), pemanas (E402), blower (B401) dan kondensor (E401). Foto peralatan pada seksi 400 terlihat pada Gambar 5.
distribusi yang baik akan digunakan sebagai kondisi operasi untuk seksi 100. Pengumpulan data untuk evaluasi unjuk kerja seksi 200, 300, 400 dan 500 dilakukan selama proses operasional pilot plant UBC. Data unjuk kerja seksi 200 diambil dari rekaman proses di dalam komputer di ruang kontrol pusat (CCR) yang digunakan untuk memantau proses operasional pilot plant UBC.
2.1.5 Seksi 500 Seksi 500 mempunyai fungsi untuk pembuatan briket dengan menggunakan double roll briquetting machine (Z501). Peralatannya terdiri atas hopper UBC (Y501), screw conveyor (X502), bucket conveyor (X503), feeder (Z501), mesin briket (Z501), spray nozzle, conveyor (X504), vibrasi screen (Z502), return conveyor (X506) dan filter bag (501). Gambar 6 memperlihatkan foto peralatan pada seksi 500. 2.2
Data unjuk kerja seksi 300 dan 400 diambil setiap 8 jam, dengan jalan mengambil contoh slurry, minyak, cake dan powder UBC selama proses operasional berjalan. Contoh slurry, minyak dan cake digunakan untuk mengevaluasi unjuk kerja seksi 300 dan contoh cake dan powder UBC untuk mengevaluasi seksi 400. Adapun data untuk mengevaluasi seksi 500 diambil pada saat proses pembriketan berlangsung, dengan jalan mengambil contoh briket dan dianalisa di laboratorium.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data untuk evaluasi unjuk kerja seksi 100 dilakukan pada saat persipan operasional pilot plant UBC, dan dilakukan uji penggerusan dengan menggunakan variasi kecepatan M101. Hasil uji pengerusan dengan kondisi berbeda dievaluasi di labotarium untuk mengetahui distribusi partikelnya. Kecepatan M101 yang menghasilkan partikel
3.
UNJUK KERJA PROSES UBC
3.1
Proses Penggerusan Batubara
Batubara curah sebagai raw material digerus dengan menggunakan hammer mill melalui belt conveyor. Batubara halus hasil penggerusan dengan ukuran <3 mm dipindahkan ke coal bunker (Y101) dengan menggunakan sistem pneumatik conveyor. Coal bunker berfungsi sebagai penyimpanan sementara dan siap untuk mensuplai batubara ke dalam seksi 200. Selanjutnya batubara halus dari coal bunker dipindahkan ke dalam seksi 200 (V202) dengan menggunakan sistem pneumatik conveyor melalui weight hopper (Y102) untuk diketahui beratnya terlebih dahulu. Tabel 1 memperlihatkan hasil distribusi partikel untuk uji unjuk kerja penggerusan batubara Pasir.
Gambar 6. Peralatan UBC pada seksi 500 Tabel 1. Distribusi partikel untuk batubara pasir
M101 Speed (33Hz)
M101 Speed (40Hz)
Coal Size (mm)
400 kg/h
500 kg/h
600 kg/h
400 kg/h
500 kg/h
600 kg/h
+2.0 +1.0 +0.5 +0.25 +0.15 +0.075 - 0.075
0.7 10.6 42.5 26 9.1 6.8 4.4
0.1 10.5 38.2 23.4 9.1 8.4 10.3
0.3 6.3 32.5 28 11.1 9.3 12.5
0.6 5.3 40.3 32.5 10.6 6.8 3.9
0 3 29.3 29.3 13.9 13.9 10.6
0.2 6.4 38.1 28.3 11.3 9.6 6.1
Unjuk Kerja Pilot Plant UBC terhadap Batubara Pasir ... Iwan Rijwan dan Bukin Daulay
13
Penggerusan batubara Pasir mempunyai unjuk kerja yang baik pada kecepatan hammer mill 40 Hz dengan kecepatan alir batubara pada belt conveyor 500 kg/h. Hal ini berarti, batubara Pasir mempunyai unjuk kerja yang baik untuk proses penggerusan batubara, karena dari hasil evaluasi distribusi partikel tidak terdapat ukuran batubara di atas +2,0 mm, sehingga pada saat digunakan sebagai umpan tidak akan menimbulkan masalah pada seksi 200. Ukuran partikel batubara di atas +2,0 mm akan mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada pipapipa dan control valve di seksi 200. 3.2
Gambar 7, 8 dan 9 memperlihatkan grafik proses slurry dewatering dengan kondisi yang berbeda. Dari Gambar 7, 8 dan 9 dapat disimpulkan bahwa batubara Pasir mempunyai hasil unjuk kerja yang terbaik untuk proses slurry dewatering pada kondisi temperatur 150oC, tekanan 200 kPa dan kecepatan umpan batubara 200 kg/jam karena menghasilkan persen penurunan kadar air tertinggi, yaitu 91,1% dan kecepatan alir pengeluaran air limbah paling besar, yaitu 58 l/jam. Persen penurunan kadar air berbanding lurus dengan kenaikan nilai kalor dari batubara, sehingga makin tinggi persen penurunan kadar air akan mengakibatkan makin besarnya kenaikan nilai kalor batubara. Proses Pemisahan Batubara dengan Minyak
Slurry yang telah hilang airnya dari V204 dipindahkan ke Z301 untuk dipisahkan minyak tanah dari slurry dengan metode sentrifugal. Slurry yang telah dipisahkan minyak tanahnya akan berbentuk cake dan dipindahkan ke seksi 400. Minyak tanah hasil
14
500 400 I/jam
300 V203 Slurry
200 100 0 0
5
10
15
20
25
Waktu proses, jam
Gambar 7.
Proses Slurry Dewatering
Batubara halus di dalam tangki pembuat slurry (V202) dicampur dengan campuran minyak tanah dan residu yang disuplai dari tangki penyuplai minyak (V301) untuk menghasilkan slurry batubara. Kemudian over flow slurry di dalam V202 dipindahkan ke dalam tangki slurry dewatering (V203) melalui evaporator (E201) untuk dihilangkan kandungan airnya. Selanjutnya over flow slurry yang telah dihilangkan airnya di dalam V203 dipindahkan ke dalam tangki slurry dewatered (V204). V204 berfungsi sebagai penyimpanan sementara dan siap untuk menyuplai ke dalam seksi 300. Air dan sebagian minyak tanah yang teruapkan dari V203 dan sebagian kecil dari V204 akan terkondensasikan dan ditampung di dalam tangki pemisahan air dan minyak (V205) untuk dipisahkan antara minyak tanah dan air berdasarkan perbedaan berat jenisnya.
3.3
600
Grafik proses slurry dewatering pada kecepatan umpan batubara 150 kg/h, temperatur 155oC dan tekanan 200 kPa
600 500 400 V202 Suplai minyak 300 V203 Slurry
200 100 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Waktu proses, jam
Gambar 8.
Grafik proses slurry dewatering pada kecepatan umpan batubara 200 kg/h, temperatur 150oC dan tekanan 200 kPa
600 500 400 P206 Air limbah V203 Slurry
I/jam 300 200 100 0 0
2
4
6
8
10
Waktu proses, jam
Gambar 9.
Grafik proses slurry dewatering pada kecepatan umpan batubara 200 kg/h, temperatur 145oC dan tekanan 200 kPa
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 10 – 17
6
Minyak dalam cake %
4
TM wt% Batubara dalam minyak %
2 0
0 1.5
Serbuk UBC yang disimpan di dalam Y501 dipindahkan ke dalam mesin briket (Z501) untuk dibriket melalui screw dan bucket conveyor. Briket yang dihasilkan dari Z501 diayak terlebih dahulu dengan menggunakan Z502. Briket yang berukuran kecil dikirim kembali ke dalam Z501 untuk dibuat briket melalui return screw dan bucket conveyor. Gambar 12 memperlihatkan hasil uji unjuk kerja proses pembriketan produk UBC. Dari grafik tersebut, briket UBC batubara Pasir mempunyai nilai ratarata compressive strength 40,9 dan apparent density 1,17 g/cm3. Hal ini berarti, produk briket UBC mempunyai unjuk kerja yang baik untuk proses pembriketan karena memiliki nilai rata-rata compressive strength yang cukup tinggi. Tingginya nilai compressive strength menunjukkan semakin baiknya kekuatan briket.
2.5
Gambar 10. Grafik unjuk kerja proses pemisahan batubara dan minyak
200 Konsumsi uap
180
X403 Discharge
160 140 100 80 60 40 20 0
0
10
20
30
40
50
60
70
Waktu proses, jam
Gambar 11. Grafik unjuk kerja proses pengeringan batubara
50
3.0
40
2.5 2.0
30
1.5 20
1.0
10
Comp.strength
0.5
App. Density (g/cm3) 0
3
Unjuk Kerja Proses Pembriketan
2
Kecepatan umpan slurry, m3 /jam
P e le p a san b a tub ara , k g/h & S C , I/h
Gambar 11 memperlihatkan hasil uji unjuk kerja proses pengeringan cake. Dari grafik tersebut, batubara Pasir mempunyai unjuk kerja yang baik untuk proses pengeringan cake dengan menghasilkan produk UBC halus pada kecepatan rata-rata 109,5 kg/h dan konsumsi steam 39,6 l/h dengan kandungan minyak di dalam produk UBC lebih kecil 1%.
0.5
B atu ba ra da la m m iny ak , w t %
8
Proses Pengeringan Batubara
Cake dari seksi 300 disimpan di dalam Y401, sebagai penyimpanan sementara. Prinsip kerja rotary steam tube dryer (D401) adalah batubara yang lewat dipanaskan dengan menggunakan steam yang dibantu dengan sirkulasi gas untuk membawa uap minyak yang dihasilkan. Cake dari Y401 dipindahkan ke D401 melalui screw conveyor untuk menghilangkan minyak tanah yang masih ada di dalam cake. Cake yang keluar dari D401 akan berubah menjadi serbuk UBC dan dipindahkan ke seksi 500 (Y501) melalui screw dan bucket conveyor.
3.5
10
1
C o m p . S t re n g h t
3.4
1
A p p . De n s ity , g /c m
Gambar 10 memperlihatkan grafik hasil uji unjuk kerja pemisahan batubara dengan minyak untuk batubara Pasir. Dari grafik tersebut, batubara Pasir mempunyai hasil uji unjuk kerja yang baik untuk proses pemisahan batubara dengan minyak pada kecepatan alir slurry 872 kg/jam dengan perolehan batubara 96,1% dan perolehan minyak 87,4%.
12 TM , w t % & M in yak dalam cake , w t %
dari proses pemisahan Z301 akan dipindahkan ke dalam V301 dan dapat digunakan kembali untuk menyuplai minyak ke V202.
0.0 0
10
20
30
40
50
Waktu proses, jam
Gambar 12. Grafik unjuk kerja proses pembriketan batubara pasir
Unjuk Kerja Pilot Plant UBC terhadap Batubara Pasir ... Iwan Rijwan dan Bukin Daulay
15
4.
EVALUASI PRODUK UBC
dari batubara tersebut meningkat dari 5431 kkal/kg (adb) menjadi 6443 kkal/kg (adb). Peningkatan nilai kalor produk UBC memperluas penggunaan batubara tersebut.
Karakteristik batubara asal dan produk UBC telah dievaluasi berdasarkan data proksimat, ultimat dan nilai kalor (Tabel 2). Data hasil analisis produk UBC dan batubara asal sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 2. Proses UBC dapat mengurangi kandungan air dan dengan sendirinya menaikkan nilai kalor dari batubara tersebut tanpa ada perubahan yang berarti pada kandungan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi reaksi kimia selama proses UBC berlangsung.
Untuk mengetahui kestabilan kandungan air dari produk UBC telah dilakukan penelitian dengan menyimpan produk tersebut di tempat terbuka. Analisis kandungan air dilakukan pada selang waktu setiap 6 hari. Kandungan air produk UBC batubara Pasir diketahui mencapai nilai maksimum 6,7% yang dicapai pada hari ke-12. Selanjutnya kandungan air ditemukan menjadi stabil pada nilai sekitar 6,5% setelah hari ke-30 seperti terlihat pada Gambar 13. Hasil ini relatif sama dengan pengukuran yang dilakukan di laboratorium dengan menggunakan standar ASTM.
Data kandungan air di dalam batubara asal dan produk UBC digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi derajat pengeringan. Derajat pengeringan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
5.
TM) Batubara Asal - (TM) Produk UBC Derajat Pengeringan =
KESIMPULAN
x 100% (TM) Batubara Asal
Batubara Pasir telah digunakan untuk melakukan uji unjuk kerja peralatan UBC di Palimanan. Dari hasilhasil percobaan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : a) Penggunaan proses UBC untuk batubara Pasir dapat menurunkan kandungan airnya dari 33,8% menjadi 1,0% dan stabil pada nilai 6,5% sesudah 30 hari, sehingga secara langsung dapat menaikkan nilai kalornya dari 5431 kkal/kg (adb) menjadi 6443 kkal/kg (adb).
TM adalah kandungan air total dalam batubara Kandungan air produk UBC berkurang secara signifikan dari 33,8% dalam batubara asal menjadi 1,0% pada produk UBC atau derajat pengeringannya sebesar 97,0%. Hal ini berarti kandungan air di dalam batubara asal dapat dihilangkan dengan proses UBC sebesar 97,0%. Dengan sendirinya nilai kalor
Tabel 2. Hasil analisis produk UBC dan batubara asal
Parameter Total moisture Equilibrium Moisture Inherent moisture Abu/Ash Volatile Matter Fixed Carbon Fuel Ratio Calorific value Gross as received Gross as dried Total Sulfur Karbon Hidrogen Nitrogen Oksigen (diff)
16
Batubara Asal
Produk UBC
%, ar %,adb % adb %,db %,db %,db
33,8 15,4 5,2 48,1 46,7 0,97
6,5 1,0 4,3 48,2 47,5 0,99
kcal/kg,adb kcal/kg %,daf %,daf %,daf %,daf %,daf
5431 6416 0,2 71,7 7,6 1,0 19,6
6443 6510 0,2 72,9 6,4 0,8 19,6
Unit
Metoda Analisa ASTM D,3302 ISO 331/ASTM D, 3173 ISO 1171/ASTM D, 3174 ISO 562/ASTM D, 3175 ASTM D, 3172 ASTM D, 3286 ASTM D, 4239 ISO 625/ASTM D, 3178 ISO 625/ASTM D, 3178 ISO 332/ASTM D, 3179 ASTM D, 3176
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 10 – 17
-
8 Kandungan air, % adb
7 6
5.7
6.7
6.4
6.5 6.3
5.7
5 4
DAFTAR PUSTAKA
3 2 1 1 0 0
6
12
18
24
30
36
Hari
Gambar 13. Stabilitas kandungan air pada produk UBC
b)
Pembriketan menghasilkan nilai rata-rata compressive strength 40,9 dan apparent density 1,17 g/cm3.
Batubara Pasir mempunyai unjuk kerja yang baik untuk proses-proses berikut: -
Penggerusan dengan kecepatan hummer mill 40 Hz dan kecepatan alir batubara umpan 500 kg/jam. Slurry dewatering pada kondisi temperatur 150oC, tekanan 200 kPa dan kecepatan umpan batubara 200 kg/jam. Pemisahan batubara dengan minyak pada kecepatan alir slurry 872 kg/jam. Pengeringan cake yang menghasilkan produk UBC halus terjadi pada kecepatan rata-rata 109,5 kg/jam dan konsumsi steam 39,6 l/ jam.
American Society For Testing and Material, 1993. Standard Classification of Coals by Rank D 388 – 92a. American Society for Testing and Material. Datin, F.U. dan Daulay, B., 2002. Peningkatan Kualitas Batubara Berau, Kalimantan Timur dengan Proses UBC, Prosiding Kolokium Pertambangan, Bandung. Deguchi, T., T. Shigehisa and K. Shimasaki, 1999. Study on Upgraded Brown Coal Process for Indonesian Low Rank Coals. Proc. International Conference on Clean and Efficient Coal Technology in Power Generation, Indonesia. Direktorat Inventarisasi Mineral dan Batubara, 2003. Indonesia Coal: Resources, Reserves and Calorific Value. Direktorat Inventarisasi Mineral dan Batubara, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Bandung. Shigehisa, T., T. Deguchi, K. Shimasaki and E. Makino, 2000. Development of UBC Process, Proc. International Conference on Fluid and Thermal Energy Conversion, Indonesia.
Unjuk Kerja Pilot Plant UBC terhadap Batubara Pasir ... Iwan Rijwan dan Bukin Daulay
17
PERCOBAAN PENDAHULUAN PEMBUATAN REFRAKTORI COR DARI ABU TERBANG PLTU SURALAYA
MUCHTAR AZIZ DAN NGURAH ARDHA Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373 SARI Abu terbang (fly ash) dari PLTU Suralaya merupakan material oksida anorganik berukuran butir halus berbentuk membulat (sphere), mengandung silika dan alumina aktif. Rekayasa campuran untuk membuat refraktori cor dari abu terbang telah dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan lain, seperti aluminium oksida, agregat stabil (grog), dan calcium aluminate sebagai perekat (binder). Hasil pengujian menunjukkan, campuran yang terbaik diperoleh pada komposisi abu terbang, aluminium oksida, grog, kalsium aluminat = 3 : 2 : 3 : 2 dengan nilai PCE (Pyrometric Cone Equivalent) = SK-16 yang setara dengan ketahanan suhu 1460°C. Nilai Al2O3/SiO2 pada komposisi tersebut adalah 1,7. Jika dibandingkan dengan refraktori cor yang diperdagangkan di pasaran yang memiliki spesifikasi tahan terhadap suhu 1750°C (nilai PCE = SK-34), nilai Al2O3/SiO2 = 1,8, maka nilai PCE pada rekayasa campuran masih di bawah refraktori cor komersial. Kata kunci : limbah, abu terbang, refraktori cor, PCE (Pyrometric Cone Equivalent) ABSTRACT Fly ash, which is produced as waste from Suralaya coal fired power station, is identified as sphere fine sizes aluminosilicates. Preliminary study on making castable refractory based on fly ash had been conducted in laboratory by making the fly ash with other materials of grog and binder. Stabilized aggregate was used as coarse grog, and aluminate was used as a binder. Aluminum oxide was also added into the mixed materials to control the specific grade of Al2O3/SiO2. The result shows that the best mixing composition of those materials by volume was at 3,2,3,2 of fly ash, aluminum oxide, grog and binder, respectively. The Pyrometric Cone Equivalent (PCE) value of burned mixed materials yielded characteristic of SK-16 which was equivalent to softening temperature of 1460°C with Al2O3/SiO2 specific grade of 1.7. According to PCE value of the commercial castable refractory of SK-34, which is equivalent to softening temperature of 1750°C with Al2O3/SiO2 specific grade of 1.8, the present result of PCE value was incomparable yet. Keywords : waste, fly ash, castable refractory, PCE (Pyrometric Cone Equivalent)
18
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 – 28
1.
PENDAHULUAN
Refraktori (refractory) merupakan bahan tahan api untuk penahan (isolator) panas pada tanur-tanur suhu tinggi yang banyak digunakan oleh industri peleburan logam, kaca, keramik, semen. Refraktori cor merupakan salah satu bahan tahan api berbentuk bubuk yang jika dicampur dengan sejumlah tertentu air dan dibiarkan beberapa menit akan mengeras (setting). Pemasangannya sebagai isolator panas dilakukan dengan cara pengecoran adukan (campuran bahan refraktori cor dengan air) pada dinding tanur yang akan diisolasi (yang telah dibentuk cetakan). Kebutuhan refraktori ataupun bahan bakunya untuk industri sampai saat ini masih dipenuhi melalui impor, dan mempunyai kecenderungan meningkat (PT. Indoporlen, 2001). Salah satu bahan baku refraktori, mullite, pada tahun 1996 diimpor sebanyak 250 ton dan pada tahun 2000 jumlah impornya meningkat menjadi 700 ton (Puslitbang tekMIRA, 2001). Bahan baku lainnya adalah chamotte, andalusite, kyanite, sillimanite, zircon, jumlah impornya sekitar 500 hingga 1000 ton per tahun. Selain bahan baku juga masih diimpor bahan pengikat (binder) seperti calcium aluminate dari India, Australia dan Cina. Refraktori cor mempunyai sifat-sifat khusus yaitu sifat fisik berukuran bubuk hingga partikel halus (10 µm– 5 mm), mengandung Al2O3 tinggi dan relatif tanpa CaO. Tipe refraktori cor tanpa CaO lebih disukai oleh industri pemakai karena lebih tahan terhadap suhu tinggi. Ada 3 (tiga) tipe refraktori cor berdasarkan kandungan CaO-nya (Kumar, dkk, 2003; Silvonen, 2001) yaitu: -
Low cement castables mengandung maksimum 2,5% CaO Ultra-low cement castables mengandung <1% CaO No cement castables mengandung <0,2% CaO
Menurut Sharadaa Ceramic Ltd (2000), refraktori cor yang bersifat asam mengandung Al2O3 65 – 95%, dan SiO2 5 – 32%, ketahanan suhu 1750 – 1860°C, dan bulk density sekitar 2,1 – 2,8 g/ml. Keunggulan dari refraktori cor dibandingkan dengan refraktori berbentuk bata adalah pemasangannya yang mudah dan cepat (J. Silvonen, 2001), yaitu dengan cara cor adonan ke dalam cetakan sesuai bentuk iso-
lator tanur yang diinginkan. Cara ini menghasilkan bentuk isolator panas yang mengisi tempat-tempat yang sulit dalam bentuk yang presisi. Dalam jangka waktu tertentu refraktori ini sudah mengering (setting) dan siap dipakai. Bahan tahan api hasil pengecoran ini mampu membentuk refraktori dengan struktur yang seragam (uniform), porositas rendah, tahan korosi dan abrasi, tahan suhu tinggi, umur pemakaian lebih lama. Selain itu untuk memasang refraktori di tempat yang tinggi dapat dilakukan dengan bantuan pompa sluri (pumpable castable refractory). Abu terbang (fly ash) sebagai salah satu limbah industri PLTU berbahan bakar batu bara mempunyai potensi sebagai salah satu bahan baku refraktori. Banyak studi pemanfaatan limbah abu PLTU ini yang telah dilakukan oleh berbagai instansi LITBANG dan perguruan tinggi di Indonesia seperti LIPI, BPPT, ITB, UI, Departemen Kimpraswil, yaitu mengenai pemanfaatan abu terbang untuk campuran bahan baku pembuatan semen portland, pembuatan agregat beton, bahan baku semen posolan, pembuatan zeolit (PT. PLN dan PT Kema Technology Indonesia, 1997). Namun demikian penelitian pemanfaatan abu terbang untuk bahan baku pembuatan refraktori cor belum ada yang melakukannya. Faktor-faktor yang menjadi alasan untuk dilakukannya penelitian ini adalah : a)
b) c) d)
bahan baku melimpah yang mempunyai komposisi kimia aluminosilika aktif (disebabkan telah kontak dengan suhu tinggi, sekitar 1200°C di dalam dapur pembakaran batubara PLTU); harga refraktori cor di pasaran yang cukup tinggi, sekitar Rp 15.000 per kg; mengurangi ketergantungan impor dalam memenuhi kebutuhan refraktori oleh industri; turut mengatasi limbah yang mencemari lingkungan. Penelitian dan aplikasi pemanfaatan abu terbang sebagai bahan refraktori sudah dilakukan di negara-negara maju, India dan Cina.
Sehubungan akan bertambahnya jumlah pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia, maka jumlah limbah abu terbang juga akan terus meningkat. Studi yang pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu menunjukkan bahwa pada tahun 2000 akan terdapat limbah abu dari PLTU sebanyak 1,66 juta ton. Jumlah ini akan terus meningkat, dan pada tahun 2006 diperkirakan akan terdapat limbah abu sekitar 2 juta ton. Khusus untuk
Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
19
limbah abu dari PLTU Suralaya, sejak tahun 2000 hingga tahun 2006 diperkirakan ada akumulasi jumlah abu sebanyak 219.000 ton/tahun. Jika limbah abu ini tidak dimanfaatkan akan menjadi masalah pencemaran lingkungan. 2.
METODOLOGI
2.1
Karakteristik Refraktori Cor Komersial
Refraktori cor (castable refractory) berbentuk bubuk yang dijual di pasaran digunakan sebagai bahan pembanding atau kontrol terhadap hasil-hasil uji coba dalam penelitian ini. Bahan pembanding tersebut adalah refraktori cor tipe CAJ-14 dan tipe CAJ-16 yang masing-masing tahan terhadap suhu 1400°C dan 1600 °C. Karakterisasi dilakukan terhadap refraktori cor komersial ini yang meliputi distribusi ukuran butir, komposisi mineral, tekstur, komposisi kimia, sifat fisika hasil cetak, dan kerefraktoriannya (PCE). Hasil karakterisasi akan digunakan sebagai pembanding terhadap hasil karakterisasi refraktori cor yang dibuat. 2.2
Abu Terbang dan Abu Dasar PLTU di Indonesia
Karakteristik abu PLTU Suralaya dapat dilihat pada Tabel 1 masing-masing mengandung Al2O3 30,8%
Tabel 1.
Komposisi kimia abu pada limbah PLTU Suralaya
Senyawa Al2O3 CaO Fe2O3 K2O MgO Na2O P2O5 SO3 SiO2 TiO2 Fe+Si+Al CaO bebas Kand. Silika LOI D50 D90
20
Abu dasar % 24,0 2,7 5,5 0,17 1,3 1,0 0,18 63,4 92,9 <0,06 0,68 -
Abu terbang % 30,8 4,0 4,6 0,18 1,9 1,3 0,23 54,0 89,4 <0,06 53,4 <0,5 15,5 (µm) 67,9 (µm)
dan 24% serta mengandung SiO2 sebanyak 54% dan 63,4%. Karena kandungan CaO sekitar 4% maka abu ini termasuk kualitas ASTM kelas “C” yang lebih cocok berfungsi sebagai bahan cementing castables refractory yang tahan suhu relatif rendah, padahal yang diinginkan adalah klasifikasi low/ultra-low cement castable refractory yang tahan suhu tinggi. Kandungan CaO maksimum 1% adalah kualitas ASTM kelas “F” (Hwang,1991). Oleh karena itu, diperlukan penambahan aluminium oksida ke dalam abu batubara untuk mengurangi kadar CaO, Fe2O3. Komposisi kimia limbah PLTU-Suralaya seperti terlihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Kadar Al2O3<SiO2 yaitu Al2O3 : SiO2 = 30,8% : 50% atau nilai Al2O3/SiO2=0,57. Bahan refraktori yang baik harus memiliki kadar Al2O3>SiO2 dengan perbandingan Al2O3 : SiO2 = 65% : 35% atau nilai Al2O3/SiO2=1,85. Oleh karena itu, limbah abu terbang dan abu dasar PLTU-Suralaya dapat digunakan sebagai bahan penambah pembuatan refraktori. 2.3
Pembuatan Refraktori Cor
Pada prinsipnya pembuatan refraktori cor sama dengan pembuatan refraktori bata, hanya saja produk refraktori cor dibuat berbentuk bubuk, sedangkan produk refraktori bata dibuat/dicetak berbentuk bata. Bahan baku refraktori cor pada umumnya dibuat dari mineral yang ada di alam, terdiri dari campuran aggregate dan binder dengan perbandingan tertentu. Ada berbagai jenis aggregate yang berfungsi sebagai grog antara lain kalsium silikat, tabular alumina. Grog adalah material granular yang dibuat dari bahan tahan api hancur (crushed brick) sebagai pengisi bodi berukuran kasar yang dapat berfungsi mengurangi shrinkage dan thermal expansion, serta meningkatkan stabilitas saat mengalami suhu tinggi. Ada berbagai jenis binder antara lain clay atau chamotte, kalsium aluminat. Aggregate dan binder dicampur menggunakan mesin homogenizer. Campuran aggregate + binder + abu terbang kemudian dibakar/disinter pada suhu tinggi (>1300°C) agar membentuk klinker. Klinker digerus untuk mendapatkan ukuran tertentu sesuai persyaratan perdagangan. Klinker halus ini adalah produk akhir yang disebut sebagai refraktori cor. Berdasarkan sifatnya abu terbang dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai aggregate sekaligus binder. Penelitian pembuatan refraktori cor dengan menggunakan abu terbang ini diharapkan dapat mengurangi pemakaian aggregate dan binder yang harganya mahal dalam pembuatan refraktori cor.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 – 28
Refraktori cor dibuat dari campuran agregat dan binder. Agregat terdiri atas abu terbang, grog (crushed brick), dan aluminium oksida. Sebagai binder adalah calcium aluminate. Abu terbang memiliki fungsi ganda selain sebagai agregat juga sebagai binder. Campuran agregat dan binder dibuat dalam beberapa komposisi dengan nilai Al 2O3/SiO2 sebesar 1,5 sampai 2,4. Setiap campuran diaduk dengan alat homogenizer untuk mendapatkan campuran yang homogen. Terhadap masing-masing campuran dilakukan pengujian distribusi ukuran butir, komposisi mineral, komposisi kimia, dan bulk density. Campuran ditambah 15% air dan diaduk sampai merata membentuk adonan. Adonan dicorkan ke dalam cetakan yang telah disiapkan dan dibiarkan sampai mengering. Hasil adonan ini disebut komposit mentah. Terhadap hasil cetak dilakukan pengujian porositas, densitas, komposisi mineral, dan tekstur. Terhadap campuran refraktori cor ini juga dilakukan pengujian kerefraktoriannya dengan teknik uji PCE, dan uji pembakaran (firing) terhadap benda uji hasil cetak. Sebagai pembanding (kontrol) adalah hasil uji salah satu refraktori cor komersial. Porositas diuji berdasarkan SNI 13-3604-1994, dan uji densitasnya berdasarkan SNI 13-3602-1994, tekstur diuji menggunakan SEM. Uji pembakaran untuk menentukan nilai PCE didasarkan pada SNI 15-4936-1998. Dapur untuk pembakaran digunakan muffle furnace. Pengambilan contoh menggunakan teknik basung prapat, uji distribusi ukuran menggunakan Fritsch Particle Sizer dan ayakan mesh Tyler. Uji mineralogi dengan X-RD, dan analisis kimia dengan AAS. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Karakteristik Refraktori Cor Komersial
Refraktori cor yang dijual di pasaran digunakan sebagai pembanding terhadap hasil pengujian pembuatan refraktori cor dari abu terbang ini. Refraktori cor komersial tersebut adalah tipe CAJ14 dan CAJ-16 yang masing-masing tahan terhadap suhu 1400°C dan 1600°C. Tabel 2 menunjukkan karakteristik refraktori cor komersial yang meliputi distribusi ukuran butir, komposisi mineral, tekstur, komposisi kimia, sifat fisika hasil cetak, dan PCE. Komposisi mineral : komposisi mineral untuk kedua tipe refraktori cor komersial tersebut adalah sama yaitu Corundum (Al2O3), Mullite (Al6Si2O13) dan Cristobalite (SiO2).
Ukuran butir : distribusi ukuran butir ditunjukkan pada Tabel 2 yang terlihat bahwa sekitar 44% butiran berukuran +30 mesh. Tekstur : Uji spot EDS menggunakan SEM terhadap butiran kasar (+30 mesh) dan butiran halus (-200 mesh) menunjukkan butiran kasar bertekstur seperti butiran gula pasir (sugary), dan partikel halus (fine) menunjukkan selain sugary juga tekstur jarum (needle) yang panjangnya sekitar 3 µm (Gambar 1). Menurut Supomo dkk, (1997) dan Soewanto,1997 kristal menjarum atau memanjang adalah karakteristik khas dari mineral mullite, sedangkan kristal sugary adalah khas corundum. Adapun kristal yang berbentuk sugary tetapi bersudut diperkirakan mineral cristobalite. Mineral-mineral tersebut (mullite, cristobalite dan corundum) adalah mineral-mineral yang tahan suhu tinggi. Komposisi kimia : Komponen/senyawa kimia yang terdeteksi dari analisis SEM untuk butiran kasar adalah Al 2 O 3 =72,7%, SiO 2 =16,6%, CaO=1,18%, ZrO2=9,4% juga terdapat sedikit FeO dan MoO3. Sedangkan untuk partikel halus terdiri atas senyawa Al 2 O 3 =72,2%, SiO 2 =8,9%, ZrO 2 =5,71%, Ta2O5=13,2% dan juga sedikit CaO, MgO, C (karbon). Keberadaan senyawa zirkonia dan tantalum menambah ketahanan refraktori terhadap suhu tinggi. Adanya komponen C (karbon) kemungkinan berasal dari bahan abu terbang atau waktu proses sinterisasi menggunakan bahan bakar batubara. Hasil analisis kimia terhadap contoh refraktori cor komersial menunjukkan komposisi kimia seperti tercantum pada Tabel 3. CAJ-14 memiliki nilai Al 2O 3/SiO 2 = 0,9 dan CAJ-16 memiliki nilai Al2O3/SiO2 = 1,6. Kandungan pengotor Fe2O3, TiO2 dan CaO nampak relatif tinggi. Data lain adalah pH pada 10% padatan= 10,0 dan Bulk density bubuk = 1,74 gr/ml. Dari hasil karakterisasi terlihat bahwa komposisi kimia utama bubuk refraktori cor tipe CAJ-16 adalah Al2O3, SiO2, Ta2O5 dan ZrO2 dengan nilai Al2O3/ SiO2 = 1,6 mengandung mineral-mineral mullite, cristobalite dan corundum. Tekstur dari partikelpartikelnya adalah sugary dan needle yang saling berikatan. Tipe CAJ-14 mempunyai nilai Al2O3/SiO2 = 0,9. Diketahui bahwa semakin tinggi nilai Al2O3/ SiO2, semakin tinggi sifat kerefraktoriannya.
Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
21
Tabel 2.
Distribusi ukuran butir refraktori cor komersial (CAJ-14 dan CAJ-16)
Mesh
+30
-30+60
-60+100
-100+140
-140+200
-200
Total
Berat, %
44,33
14,86
7,75
5,10
3,67
24,47
100
Tabel 3. Komposisi kimia refraktori cor komersial
Kode
%SiO2
%Al2O3
%Fe2O3
%TiO2
%CaO
%MgO
%K2O
%Na2O
%LOI
CAJ-14 CAJ-16
38,2 29,1
35,3 47,2
1,48 1,2
1,28 1,62
3,64 4,04
0,53 0,17
0,88 0,58
0,7 0,62
0,58 0,72
Komposisi mineral CAJ-14 dan CAJ-16 sama yaitu corundum, mullite dan cristobalite
Sample code: CAJ-16, Detected particle; Chunk Magnification 10,000%
Butiran kasar
Material : alumina silicate
Sample code: CAJ-16; Detected particle; fine grain
Butiran halus
Material : alumina silicate
Magnificatio: 10,000X
Gambar 1.
Gambar 2.
Mikrostruktur refraktori cor komersial (bentuk bubuk)
Bentuk partikel mikro abu terbang PLTU-Suralaya
3.2.1 Abu Terbang PLTU-Suralaya
0.31 - 40.99 µm, atau d50 = 6,22 µm. Ukuran partikel yang sangat halus ini cocok sebagai bahan pengisi (fine grog) dalam sistem refraktori cor.
Distribusi ukuran butiran : Dari hasil analisis distribusi ukuran menggunakan Fritch particle sizer, menunjukkan bahwa ukuran partikel-partikel abu terbang Suralaya berkisar antara 0.31 - 300.74 µm, dengan distribusi 80% berukuran
Bentuk partikelnya menunjukkan bentuk-bentuk membulat (spheres), berukuran kira-kira <15 ìm seperti terlihat pada Gambar 2. Partikel-partikel yang membulat tersebut satu sama lain terlepas (tidak berikatan). Bentuk membulat kemungkinan
3.2
22
Karakteristik Bahan Baku
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 – 28
di dalam tungku pembakaran batubara PLTU. Mullite (3Al2O3.2SiO2) adalah mineral alumina silikat yang tahan terhadap suhu tinggi hingga sekitar 1875°C, tetapi karena masih ada mineral kuarsa kemungkinan ketahanan terhadap suhu akan berkurang.
disebabkan karena pada saat aluminosilikat mengalami pembakaran suhu tinggi dalam boiler PLTU, alkali di permukaan partikel meleleh. Terlihat pada Gambar 2 bahwa permukaan partikel membulat tersebut tidak merata yang menunjukkan kemungkinan proses pelelehannya belum sempurna. Partikel-partikel yang permukaannya meleleh belum sempurna dan berukuran halus ini cenderung bergerak/berputar di dalam boiler akibat tekanan udara panas dan terbang melalui cerobong sehingga disebut abu terbang. Unsur-unsur yang terkandung dalam abu terbang adalah C-K, Al-K Si-K dan Fe-K dengan komponen C = 32,5%, Al2O3 = 3,98%, SiO2 = 4,5% dan FeO = 59%. Bentuk partikel halus yang membulat cocok untuk bahan tahan api cor, karena memiliki sifat lambat pengendapan dan self flowing yang lebih baik. Keunggulan dari sifat pengendapan yang lambat cenderung membentuk distribusi merata, sehingga produk refraktori cor akan mempunyai struktur fisik yang uniform dengan daya tahan abrasif yang lebih baik.
Komposisi kimia : Komposisi kimia disajikan pada Tabel 4 menunjukkan nilai Al2O3/SiO2 = 0,16 yang berarti kadar alumina sangat kecil dibandingkan dengan silikanya. Jika dibandingkan dengan data dalam Tabel 1 yang mengandung kadar alumina lebih tinggi, dengan nilai Al2O3/SiO2 = 0,6, maka kadar Al2O3 hasil uji saat ini sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan kualitas batubara yang digunakan saat ini berbeda dengan kualitas batubara yang digunakan pada tahun 1977. 3.2.2 Grog dan Bahan Pengisi Sebagai bahan grog kasar digunakan aluminosilikat yang telah mengalami perlakuan suhu tinggi dan telah dipecah (crushed brick). Crushed brick dibuat berukuran ± 30 mesh yang berfungsi untuk mengurangi terjadinya shrinkage dan thermal expansion. Komposisi mineral : Corundum, Mullite dan Cristobalite. Komposisi kimianya disajikan pada Tabel 5.
Mullite yang terdeteksi melalui XRD mungkin jumlahnya sangat kecil, karena tidak nampak adanya tekstur menjarum/memanjang (tekstur khas mulite) seperti pada tekstur refraktori cor komersial. Selain itu juga belum nampak adanya tekstur yang berikatan satu sama lain yaitu tekstur akibat perlakuan suhu tinggi/pelelehan. Oleh karena itu, abu terbang-PLTU Suralaya belum bersifat refraktori.
Bahan pengisi lainnya adalah aluminium oksida (Aloxi) yang berfungsi untuk menambah kandungan Al2O3 sehingga sifat kerefraktorian dari refraktori cor diharapkan menjadi meningkat. Bahan pengisi yang digunakan dominan mengandung mineral korundum, komposisi kimianya mengandung 98,5% Al2O3 (Tabel 5).
Komposisi mineral : Hasil uji terhadap contoh abu terbang PLTU-Suralaya menunjukkan bahwa mineral dominan adalah kuarsa dan sedikit mullite. Keberadaan mullite menunjukkan bahwa aluminosilikat pada abu terbang telah mengalami kontak dengan suhu tinggi
Tabel 4. Komposisi kimia abu terbang PLTU - Suralaya
%SiO2
%Al2O3
%Fe2O3
%TiO2
%CaO
%MgO
%K2O
%Na2O
%LOI
72,9
11,37
5,93
0,76
3,19
1,99
0,46
1,45
1,04
Tabel 5. Komposisi kimia crushed brick, aloxi dan calcium aluminate
%SiO2
%Al2O3
%Fe2O3
%TiO2
%CaO
%MgO
%K2O
%Na2O
%LOI
39,0
54,0
1,70
2,18
1,33
0,62
0,65
0,22
0,12
0,12
98,5
0,094
0,12
0,44
0,004
0,004
0,35
0,23
5,24
40,5
12,18
2,18
35,6
0,30
Tt
0,039
3,52
Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
23
3.2.3 Binder
Untuk contoh rekayasa campuran menggunakan bahan baku aluminium oksida, grog dan calcium aluminate tanpa abu terbang memberikan kadar Al2O3 yang tinggi (lihat Tabel 7, contoh B,C), tetapi dengan penambahan abu terbang yang semakin banyak (lihat Gambar 3) kadar Al2O3 cenderung menurun drastis. Selanjutnya Gambar 4 menunjukkan bahwa penambahan semen kalsium aluminate hanya meningkatkan kadar Al2O3 relatif kecil.
Sebagai binder atau perekat mentah digunakan calcium aluminate. Data XRD tidak menunjukkan nama kandungan mineralnya, namun disebutkan senyawanya adalah senyawa kalsium aluminium oksida. Komposisi kimianya ditunjukkan pada Tabel 5. 3.3
Campuran Bahan Baku dan Karakteristiknya
Campuran bahan baku (abu terbang, grog, alumunium oksida, calcium aluminate) berdasarkan volumenya dengan perbandingan Al 2O 3 /SiO 2 tertentu yang telah tercampur secara homogen membentuk suatu komposit mentah refraktori cor. Komposisi komposit mentah ini tersusun berdasarkan volume seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
Sebaliknya penambahan alumina oksida yang semakin banyak, jelas dapat menaikkan kadar Al2O3 secara signifikan (Gambar 5), namun yang menjadi pertanyaan apakah peningkatan kadar Al2O3 ini bisa meningkatkan kualitas refraktori cor. Hal ini dapat diketahui pada hasil pengujian PCE selanjutnya. 3.4
Kode contoh B,C,D s/d L yang tercantum pada Tabel 6, menunjukkan rekayasa campuran bahan baku yang membentuk komposit mentah refraktori cor. Kode contoh A pada Tabel 7 dan 8 adalah contoh CAJ16. Hasil analisis kimia dari komposit mentah refraktori cor ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 6.
Benda uji dibuat melalui cetakan berbentuk silinder berdiameter 4 cm dan tinggi 4,5 cm, dengan cara menuangkan adonan komposit mentah ke dalamnya. Sebelum penuangan, adonan dibuat terlebih dahulu dengan menambahkan 15-20% air pada komposit
Komposisi komposit mentah refraktori cor (abu terbang, grog, aluminium oksida, calcium aluminate)
Kode contoh
B
Abu terbang Calcium Aluminate 0,5 Grog 2 Alumunium oksida -
Tabel 7.
Uji Hasil Cetak Refraktori Cor
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
1 2 1
1 1 2 1
2 1 2 1
3 1 2 1
3 2 2 1
3 3 2 1
3 2 3 2
4 2 3 2
3 2 2 2
3 2 2 3
Komposisi kimia komposit mentah pembuatan refraktori cor
Kode Contoh
% SiO2
% Al2O3
% Fe2O3
% TiO2
% CaO
% MgO
% K2O
% Na2O
% LOI
Al2O3/ SiO2
A B C D E F G H I J K L
31,5 31,6 24,5 33,1 28,1 35,4 32,1 27,0 29,6 31,7 28,3 27,7
57,4 53,3 58,0 50,3 56,0 48,6 46,5 48,9 51,6 49,6 52,0 55,1
1,54 3,60 3,99 3,86 4,06 4,24 5,14 5,53 4,50 4,50 4,76 3,99
2,27 2,21 1,78 1,51 1,65 1,62 1,62 1,54 1,46 1,33 1,57 1,46
5,23 7,01 9,00 8,41 6,79 7,23 11,44 14,02 9,96 9,89 10,48 8,86
0,14 0,63 0,44 0,69 0,89 1,02 0,96 0,83 0,78 0,93 0,85 0,78
0,38 0,49 0,56 0,50 0,34 0,28 0,30 0,24 0,29 0,28 0,22 0,33
0,34 0,23 0,43 0,42 0,42 0,44 0,50 0,39 0,40 0,46 0,44 0,47
0,86 0,44 1,13 0,85 0,69 0,93 1,19 1,30 1,26 1,04 1,17 0,94
1,8 1,7 2,4 1,5 2,0 1,4 1,4 1,8 1,7 1,6 1,8 1,9
24
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 – 28
Terlihat pula dari data dalam Tabel 8 adanya kecenderungan penurunan ketahanan terhadap suhu dengan bertambahnya komponen abu terbang yang secara grafis diperlihatkan pada Gambar 6. Hal ini kemungkinan disebabkan karena abu terbang memiliki kandungan SiO2 yang tinggi, berarti dalam campuran terjadi peningkatan komposisi SiO2 yang secara teoritis menurut kurva titik leleh dan kerefraktorian akan menurunkan ketahanan suhunya (penurunan nilai PCE). Senyawa alkali yang terkandung dalam abu terbang seperti CaO, K2O dan Na2O turut mempengaruhi turunnya nilai PCE. Dalam klasifikasi refraktori, low/ultra-low cement castable refractory yang tahan suhu tinggi, kandungan CaO nya maksimum 1% (kualitas ASTM kelas “F”) (Hwang,1991).
Al2O3 (%)
y = 0.15x + 47.7 R2 = 0.0132
Gambar 4.
1 2 3 Volume semen aluminate
4
Pengaruh penambahan semen aluminate terhadap kadar Al2O3 pada campuran (abu, crushed brick, aloxi =3 : 2 : 1)
56 54 52 50
y = 4.3x + 42.467
48
R 2 = 0.9886
46 0
1
2
3
4
Volume aluminium oksida Gambar 5.
Pengaruh penambahan alumina oksida terhadap kadar Al2O3 pada campuran (abu, semen, crushed brick =3,2,2)
2000 Ketahanan suhu (°C)
60 58 Al2O3 (%)
49.5 49 48.5 48 47.5 47 46.5 46 0
Al2O3 (%)
mentah dan diaduk sampai rata, kemudian dituangkan ke dalam cetakan dan dibiarkan sampai mengeras (setting). Pengamatan secara visual menunjukkan, benda-benda uji mentah tersebut umumnya mempunyai setting time < 24 jam. Hasil uji densitas dan porositas benda-benda uji ditunjukkan pada Tabel 8. Uji pembakaran untuk menentukan nilai kerefraktoriannya dilakukan melalui teknik uji PCE, hasil ujinya juga dapat dilihat pada Tabel 8. Dari data uji menunjukkan bahwa semua benda uji memiliki setting time kurang dari 24 jam, Benda uji “A” yang dibuat dari contoh refraktori komersial memiliki densitas paling tinggi (2,6 g/ml), tetapi memiliki porositas paling rendah (23%). Hasil uji PCE terhadap benda uji “A” memberikan nilai paling tinggi yaitu SK-34 yang setara dengan ketahanan suhu maksimum 1750°C.
56 54 52
y = -2.25x + 56.6 R2 = 0.4188
50 48 0
1
2
3
4
1500 1000 500 0 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Volume abu terbang
Gambar 3.
Pengaruh penambahan abu terbang terhadap kadar Al2O3 pada campuran semen, crushed brick, aloxi =1 : 2 :1)
Volume abu terbang
Gambar 6.
Pengaruh penambahan abu terbang terhadap ketahanan suhu
Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
25
Tabel 8. Sifat fisik benda uji mentah refraktori cor dan nilai kerefraktoriannya
No
Kode benda uji
Setting time (jam)
Bulk density (g/ml)
Porositas (%)
PCE (SK.No)
Titik leleh (°C)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A B C D E F G H I J K L
<24 <24 <24 <24 <24 <24 <24 <24 <24 <24 <24 <24
2,58 2,43 2,28 2,10 2,04 1,83 1,97 1,82 1,80 1,85 2,06 1,88
23,04 27,14 31,66 36,74 36,37 39,58 37,36 41,11 42,79 41,32 29,74 40,49
SK.34 SK.16 SK.16 SK.12 SK.12 SK.9 SK.12 SK,16 SK.16 SK.10 SK.9 SK.10
1750 1460 1460 1350 1350 1280 1350 1460 1460 1300 1280 1300
Namun demikian dari data dalam Tabel 8 dapat juga dilihat adanya perlakuan lain yang cukup signifikan yaitu dengan penambahan abu terbang yang relatif banyak masih dapat mempunyai nilai PCE relatif tinggi yaitu SK-16 seperti pada kode contoh “H” dan “I” jika penambahan volume semen aluminat atau volume crushed brick juga relatif tinggi yaitu abu terbang : semen aluminate : crushed brick : alumina oksida = 3 : 2 : 3 : 2. Dengan demikian, komposisi campuran bahan baku yang terbaik dalam percobaan ini adalah abu terbang, calcium aluminate, grog, aluminium oksida dengan perbandingan volume masing-masing 3 : 2 : 3 : 2 (I) atau 3 : 3 : 2 : 1 (H) dengan nilai PCE = SK-16 yang setara dengan ketahanan suhu 1460°C. Perbandingan komposisi Al2O3/SiO2 = 1,7 dan 1,8 mendekati/ sama dengan komposisi refraktori cor komersial yaitu Al2O3/SiO2 = 1,8 (lihat Tabel 7 dan 8, kode benda uji “A”, “H”dan”I”) Menurut Hwang (1991) dan Hwang, dkk (1995) peningkatan kadar Al2O3 dapat meningkatkan ketahanan refraktori terhadap suhu. Namun demikian, dalam percobaan ini, upaya peningkatan kadar Al2O3 dalam campuran bahan baku dengan menambahkan alumina oksida (corundum) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan suhu, bahkan cenderung nilai ketahanan suhunya turun. Penambahan alumina oksida sebanyak 3(tiga) bagian memberikan nilai ketahanan suhu paling rendah yaitu 1280 ° C – 1300 °C. Perlakuan ini mungkin disebabkan karena corundum yang ditambahkan adalah bahan yang sudah stabil/ inert, sehingga waktu pembentukan bahan uji dengan
26
ditambahkan air serta waktu pembakaran bahan uji tidak terjadi reaksi kimia. Oleh karena itu, dalam penelitian selanjutnya perlu dicoba dengan menambahkan alumina yang bersifat reaktif yang mungkin dalam bentuk alumina hidroksida Al(OH)3 atau alumina reaktif lainnya. Bahan-bahan baku yang telah dicampur menjadi komposit mentah dan telah dicetak membentuk benda uji mentah dengan cara menambahkan air (15 –20%) bereaksi membentuk komposit baru yang mempunyai karakteristik berbeda dari bahan asalnya serta mempunyai sifat kerefraktorian yang lebih baik (Hwang, dkk 1995 dan Kumar et.al, 2003). Untuk membuktikan hal ini, telah dilakukan uji XRD dan SEM terhadap benda uji mentah tersebut. Hasil uji SEM terhadap contoh “A” dibandingkan dengan contoh “I” dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan adanya perbedaan tekstur yang mencolok antara refraktori komersial yang telah ditambah air (contoh benda uji mentah “A”) dengan refraktori rekayasa hasil campuran bahan-bahan baku (abu terbang + calcium aluminate + grog + aluminium oksida) yang juga telah ditambah air yang sama (contoh benda uji mentah “I”). Contoh “A” teksturnya didominasi bentuk serat memanjang tajam seperti ciri khas silika dan terlihat kompak (padat) saling berikatan. Porositasnya 23% dengan bulk density sekitar 2,6 g/ml. Berbeda dengan sewaktu masih berbentuk bubuk (belum ditambah air) seperti terlihat pada Gambar 1, yaitu teksturnya berbentuk seperti gula pasir (sugary) dan jarum (needle). Mineralmineralnya sama seperti contoh sebelum dicetak yaitu corundum, mullite dan cristobalite. Dari hasil uji
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 – 28
Contoh benda uji “A”
Contoh benda uji “I”
Gambar 7.
uji bakar menunjukkan kekerasan benda uji menjadi lebih tinggi. Pengujiannya saat tulisan ini dibuat masih berlangsung termasuk uji kuat tekannya. Penelitian pembuatan refraktori cor ini, uji yang telah dibuat dengan komposisi seperti pada contoh kode B s/d L (Tabel 8) masih akan dilanjutkan untuk menghasilkan refraktori cor dengan kualitas yang lebih baik. 4.
Dari serangkaian percobaan laboratorium pembuatan refraktori cor menggunakan abu terbang PLTU Suralaya sebagai salah satu komponennya, dapat disimpulkan sebagai berikut : -
Abu terbang PLTU-Suralaya berbutir halus (0.31 – 300.74 µm), dengan distribusi 80% berukuran 0.31 — 40.99 µm, atau d50 = 6,22 µm, bentuk butiran membulat dan tidak berikatan satu sama lain (terlepas), komposisi mineralnya adalah kuarsa dan sedikit mulite. Komposisi kimia utama SiO2 =72,9%, Al2O3 = 11,4% dengan kadar pengotor cukup tinggi seperti besi (6%), titan (0,8%), oksida natrium(1,5%) serta kapur(3,2%). Adanya kuarsa (bukan cristobalite atau tridimite), besi dan juga kapur yang cukup tinggi menunjukkan material ini belum cukup baik jika langsung digunakan sebagai bahan refraktori cor, tetapi masih dapat digunakan sebagai bahan imbuhnya.
-
Refraktori cor komersial berbutir dari sangat halus sampai 44% berukuran +30 mesh, struktur mikro partikel kasar bertekstur sugary dan partikel halus bertekstur needles/ memanjang, komposisi mineralnya adalah dominan corundum, diikuti oleh mullite dan cristobalite. Komposisi kimianya SiO2=29– 38%, Al2O3=47-35% dengan kadar pengotor Fe2O3 (1,2%), TiO2(1,6%) serta CaO sekitar 4%, sifat kerefraktoriannya tahan terhadap suhu 1750 O C (nilai PCE = SK-34) dengan perbandingan komposisi Al2O3/SiO2 = 1,8
-
Rekayasa campuran bahan baku refraktori cor terdiri atas abu terbang, alumina oksida, grog dan calcium aluminate ditambah air membentuk komposit mentah dengan setting time<24 jam, bulk density lebih kecil tapi porositas lebih besar dibandingkan dengan refraktori cor pembanding.
Bentuk mikrostruktur refraktori cor kontrol (benda uji “A”) dan campuran rekayasa campuran bahan baku (benda uji “I”)
dan pengamatan ini juga tampak bahwa bubuk refraktori cor komersial merupakan bahan refraktori yang sangat reaktif terhadap air dengan membentuk struktur baru, struktur yang tahan terhadap suhu maksimum 1750°C. Sebaliknya contoh “I” strukturnya didominasi oleh fragmen-fragmen yang membentuk aglomerat yang terdiri dari partikel-partikel menyudut dan partikelpartikel membulat (sphere) yang berasal dari abu batubara. Di antara fragmen-fragmen aglomerat tersebut membentuk rongga-rongga yang terlihat poros. Porositasnya 42,8% dengan bulk density 1,8 g/ml. Jika dibandingkan dengan contoh benda uji mentah “A” ternyata bubuk rekayasa refraktori cor belum menunjukkan reaktifitas yang tinggi terhadap air, namun hanya mampu membentuk aglomerat dengan porositas tinggi. Kandungan mineralmineralnya sama seperti contoh bahan rekayasa sebelum dicetak yaitu corundum, mullite dan cristobalite. Struktur ini hanya mampu tahan terhadap suhu maksimum 1460°C. 3.5
Pembakaran (Firing) terhadap Benda Uji
Benda uji bakar (firing) selama 1 jam pada suhu 1000°C. Secara visual dapat diketahui bahwa hasil
KESIMPULAN
Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
27
-
Semakin banyak penambahan abu terbang ke dalam rekayasa campuran bahan baku, semakin rendah nilai kerefraktoriannya.
nical Report, Michigan Technologycal University. http://www.ceramicbulletin.org, 28 Jan.2004.
-
Komposisi campuran bahan baku yang terbaik dalam percobaan ini adalah abu terbang, calcium aluminate, grog, aluminium oksida = 3 : 2 : 3 : 2 dengan nilai PCE = SK-16 yang setara dengan ketahanan suhu 1460°C yaitu nilai tertinggi dihasilkan dari percobaan ini, dengan perbandingan komposisi Al2O3/SiO2=1,7 yang mendekati refraktori cor komersial.
Hwang, J.Y dan Huang, X. 1995. Refractory Material Produced from Beneficiated Fly Ash, Proceedings 11th International Symposium on Use and Management of Coal-Combustion By-Products, Orlando, January, Vol.1, p.32-1-13.
-
Penambahan abu terbang yang relatif banyak masih dapat mempunyai nilai PCE relatif tinggi, jika penambahan jumlah calcium aluminate dan grog juga relatif banyak.
-
Pemakaian aluminium oksida (corundum) hanya dapat meningkatkan kadar Al2O3 tetapi tidak mampu meningkatkan nilai PCE.
Kumar, D.S. Kumar, M.P. and Sankar R., 2003. Effect of Syntetic Aggregate on Alumina Castables – Based on Fly Ash, Kyanite and Sillimanite, Bulletin of American Ceramic Society, Abstract on http://www.ceramicbulletin.org. 28 January.2004. PT.Indoporlen Refractories Indonesia, 2001. (Brosur).
·
Benda uji mentah dari bahan pembanding (setelah ditambah air 15%) mempunyai struktur kompak berbentuk serat memanjang. Sebaliknya benda uji mentah dari bahan rekayasa (setelah ditambah air 15%) mempunyai struktur fragment-fragment membentuk aglomerat dengan porositas relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisik hasil rekayasa refraktori cor menggunakan abu terbang belum mampu menyamai sifat-sifat refraktori cor komersial.
Untuk merekayasa refraktori cor dengan kualitas yang setara dengan refraktori cor komersial, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan melakukan: -
Mencari alternatif bahan lain sebagai penambah Al2O3 yaitu harus menggunakan senyawa aluminium reaktif
-
Perlu dilakukan uji coba sinterisasi terhadap campuran bahan baku
DAFTAR PUSTAKA Hwang, J.Y, 1991. Beneficial Use of Fly Ash, Tech-
28
PT. PLN (Persero) dan PT. Kema Technology Indonesia, 1997. Pengelolaan Abu Terbang dan Abu Dasar Pembangkit Listrik Dengan Bahan Bakar Batubara di Indonesia, Laporan Teknik. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2001. Buletin Statistik Komoditi Mineral Indonesia, No. 28. Sharadaa Ceramic Ltd, 2000. Product data of Castables Refractories, India, http:// www.castablerefractories.com. 4 Febr 2004. Silvonen, J. 2001. Porous Ceramic Castable Refractories, Presentation Outline, TUT, Institute of Materials Science, Ceramic Materials Laboratory. Soewanto, R. dan Sagala, M., 1997. Karakterisasi Kromit Sulawesi Tengah Sebagai Bahan Refraktori, Prosiding Kolokium Pengolahan Mineral Untuk Industri di Indonesia, Puslitbang Teknologi Mineral, hlm 165. Supomo, Sagala, M. dan Pranggono, P. 1997, Pembuatan Mulit dari Topaz, Prosiding Kolokium Pengolahan Mineral Untuk Industri di Indonesia, Puslitbang Teknologi Mineral, hlm 119.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 – 28
UJI TOKSISITAS AKUT LC50 BAHAN ABU TERBANG DAN ABU DASAR SERTA PENGARUHNYA TERHADAP REPRODUKSI DAPHNIA CARINATA KING
NIA ROSNIA HADIJAH, HERNI KHAERUNISA DAN SITI RAFIAH UNTUNG Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373 SARI Uji toksisitas akut dengan organisme uji Dahnia carinata King dilakukan terhadap contoh abu dasar dan abu terbang batubara. Abu batubara yang digunakan berasal dari PLTU Ombilin dan PLTU Asam-asam yang kemudian diekstraksi dan digunakan sebagai larutan uji. Metodologi yang digunakan adalah metode OECD (Organization for Economic Cooperation and Developments). Pengamatan dilakukan selama 21 hari, kemudian total neonate yang ditetaskan dihitung. Hasil penelitian menunjukkan, nilai LC50 - 48 jam adalah sebesar 10.000 hingga 100.000 ppm, menunjukkan larutan uji termasuk dalam kriteria hampir tidak toksik. Dilakukan analisis data varians terhadap tingkat reproduksi Daphnia carinata King pada tingkat kepercayaan 0.05. Dari hasil perhitungan Anava dinyatakan bahwa masing-masing larutan uji menurunkan tingkat reproduksi maupun pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata King. Kata kunci : uji toksisitas akut, abu dasar, abu terbang, Daphnia carinata King ABSTRACT Chronic toxicity tests using Daphnia carinata King were applied for examination of bottom ash and fly ash. Coal ash was sampled from PLTU Ombilin and PLTU Asam-asam, and used for the test after solid-phase extraction. The chronic test was carried out according to the Organization for Economic Cooperation and Developments (OECD) method. The duration was 21 days and the total number of live neonate produced per parent animal was counted. The results of the tests showed, The 48-h LC50 values were 10,000 to 100,000 ppm, indicate that the sample was almost non toxic. Collected data were analyzed using analysis of variance test at significant level of 0.05. The result indicated that each sample to reduced the reproduction and the growth (length) of Daphnia carinata King neonate. Keywords : chronic toxicity test, bottom ash, fly ash, Daphnia carinata
1.
PENDAHULUAN
Abu terbang dan abu dasar merupakan limbah padat utama dari hasil pembakaran batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Industri seperti semen dan tekstil. Limbah abu batubara ini tidak mudah larut dan memerlukan tempat pembuangan tersendiri agar tidak mengotori lingkungan. Limbah abu terbang biasanya ditempatkan pada lokasi pembuangan
tersendiri seperti dam, kolam pembuangan, atau penimbunan. Di atas timbunan itu kemudian ditanami rumput dan pepohonan. Masih banyak abu terbang yang teronggok di lokasi penimbunan, padahal produksi limbah abu terbang yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan ton per tahun itu memerlukan biaya yang besar untuk menanganinya. Salah satu penanganan lingkungan yang dapat
Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
29
diterapkan adalah memanfaatkan limbah tersebut untuk berbagai keperluan seperti dalam bidang konstruksi terutama sebagai campuran pembuatan semen dan beton serta pembenah lahan pertanian. Namun, pemanfaatan yang dilakukan masih tergolong rendah. Bahkan, peraturan yang berlaku saat ini di Indonesia menyebutkan abu terbang dan abu dasar sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti yang tercantum dalam Daftar Limbah B3 dari Sumber yang Spesifik pada PP No. 85 Tahun 1999. Hal ini karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan mencemari lingkungan, sehingga menyebabkan kendala dalam memasyarakatkan hasil pemanfaatan abu batubara tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka dilakukan penelitian terhadap abu batubara untuk mengetahui tingkat toksisitas abu batubara tersebut terhadap makhluk hidup dengan pengujian secara biologi. Salah satu bentuk dari pengujian biologi adalah uji toksisitas akut yang dinyatakan dalam konsentrasi letal (Lethal Concentration/LC) atau dosis letal (Lethal Dose/LD). LC dan LD merupakan salah satu cara untuk mengukur potensi racun suatu bahan dalam waktu pendek. Konsentrasi letal biasanya menyatakan konsentrasi kimia di udara tetapi dalam kajian lingkungan dapat juga menyatakan konsentrasi kimia dalam air. LC dan LD bisa dinyatakan dalam kisaran 0 – 100, namun yang umum dipakai adalah angka 50. Dengan demikian, LC50 menyatakan konsentrasi kimia di udara/air yang dapat menyebabkan kematian 50 % dari kelompok hewan uji dalam jangka waktu tertentu (biasanya 48 – 96 jam) (
). Organisme uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Daphnia (kutu air) dari spesies Daphnia carinata King. Daphnia sp. sangat peka terhadap zat pencemar. Kemampuan hidup dan reproduksi dari Daphnia sp. sangat dipengaruhi oleh komposisi dari
berbagai jenis bahan aditif yang terkandung dalam media hidupnya (Calow,1993). Selain itu Daphnia sp. telah memenuhi berbagai persyaratan sebagai hewan uji. (EPS,1992) Kriteria toksisitas (Toxicity rating) LC50 secara umum menurut Australian Petroleum Energi Association (APEA) 1994 dan Energy Research and Development Corporation (ERDC) 1994 disajikan pada Tabel 1. Untuk melihat pengaruh lebih jauh toksisitas suatu larutan uji terhadap hewan uji Daphnia carinata King, dilakukan uji reproduksi dengan mengamati tingkat reproduksi dan pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata dari masing-masing larutan uji dan sebagai pembanding disiapkan kontrol. 2.
BAHAN DAN PERCOBAAN
Penelitian berlangsung selama kurang lebih 3 bulan dan dilaksanakan pada tahun 2004. Percobaan dilakukan di dua tempat, yaitu di laboratorium lingkungan Puslitbang Tekmira dan laboratorium toksikologi PPSDAL – Lembaga Penelitian UNPAD, Bandung. 2.1
Bahan
Bahan percobaan terdiri atas contoh abu batubara dan bahan kimia. Contoh abu batubara yang dipakai dalam penelitian, adalah abu terbang dan abu dasar asal PLTU Ombilin (kode contoh FAO & BAO) serta abu terbang dan abu dasar asal PLTU Asam Asam (kode contoh FAA & BAA). Bahan kimia yang paling banyak dipakai adalah asam asetat dan natrium hidroksida. Bahan kimia tersebut digunakan untuk membuat larutan pengekstrak dalam percobaan TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure). Peralatan yang dipakai antara lain mesin pengocok, penyaring, dan peralatan gelas laboratorium.
Tabel 1. Kriteria tingkat toksisitas LC50
No 1 2 3 4 5 6
30
Kriteria Toksisitas Sangat toksik Toksik Daya Racun Sedang (Moderately Toxic) Daya Racun Rendah/Sedikit (Slightly Toxic) Hampir Tidak Toksik (Almost Non Toxic) Tidak Toksik (Non Toxic)
Nilai (ppm) < 1 ppm 1 – 100 ppm 100 – 1.000 ppm 1.000 – 10.000 ppm 10.000 – 100.000 ppm > 100.000 ppm
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 – 36
2.2
Percobaan
meter yang diamati adalah jumlah kematian organisme dengan pengamatan kondisi lingkungan yang berupa pH dan temperatur serta nilai kandungan oksigen terlarut (DO) yang dilakukan sebelum dan setelah pengujian. Pada akhir pengamatan dihitung jumlah total organisme yang mati untuk menentukan nilai LC50 dengan menggunakan perhitungan analisis probit.
Percobaan terdiri atas 4 (empat) tahapan, yaitu : -
Analisis kimia Pada analisis kimia contoh abu baturara dan saringan (filtrat) hasil TCLP, unsur-unsur yang diperiksa adalah unsur-unsur kelumit.
-
TCLP Percobaan TCLP dengan metode EPA 1311, dilakukan terhadap masing-masing contoh abu batubara. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dijadikan media uji toksisitas akut.
-
-
Uji toksisitas akut (LC50) Uji toksisitas akut terdiri atas uji pendahuluan (Critical Range Test/CRT) dan uji lanjutan (Real Test). Uji pendahuluan disebut juga uji ambang batas kritis karena uji ini untuk menentukan kisaran konsentrasi larutan pada uji lanjutan. Uji dilakukan selama 48 jam tanpa pengulangan dan sebagai pembanding disiapkan kontrol (konsentrasi 0 %). Wadah uji menggunakan beaker glass 250 ml dan volume larutan uji sebanyak 200 ml. Air pengencer yang digunakan harus sudah diaerasi minimal 2 jam. Setelah pembuatan larutan dilakukan, kemudian 10 ekor Daphnia yang berusia kurang dari 24 jam (neonate) didedahkan ke dalam setiap beaker glass. Total Daphnia carinata yang mati selama 48 jam menjadi dasar dalam penentuan konsentrasi untuk uji lanjutan (Real test). Uji lanjutan pengerjaannya hampir sama dengan uji pendahuluan. Namun, uji lanjutan dilakukan dengan 3 kali ulangan untuk setiap konsentrasi pada setiap bahan uji (EPS, 1990). Selama uji toksisitas, organisme tidak diberi pakan dan tidak diaerasi serta media tidak diganti. Para-
Uji reproduksi Daphnia Pada uji reproduksi, konsentrasi larutan uji adalah 50 % dari nilai konsentrasi LC50 dan pengujian berlangsung selama 21 hari dengan ulangan sebanyak 10 kali. Sebagai pembanding selalu disediakan kontrol dengan ulangan yang sama dan media kontrol yang dipakai adalah air pengencer media uji (air tawar). Wadah uji menggunakan beaker glass 250 ml dan volume larutan uji sebanyak 100 ml. Induk betina Daphnia carinata yang digunakan adalah yang berusia kurang dari 24 jam (neonate). Jumlah Daphnia yang didedahkan adalah satu ekor untuk setiap beaker glass. Parameter yang diamati dalam uji reproduksi adalah jumlah neonate yang ditetaskan dari setiap induk Daphnia carinata, waktu reproduksi, dan pertumbuhan panjang neonate (anakan) yang baru ditetaskan. Semua itu dibandingkan dengan kontrol (OECD, 1996). Lalu, data yang diperoleh diolah secara statistik.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Analisis Kimia Abu Batubara
Hasil analisis unsur kelumit batubara disajikan pada Tabel 2. Dari tabel diketahui bahwa kadar logam dalam abu terbang dari PLTU Asam-asam lebih tinggi daripada unsur dalam abu terbang yang berasal
Tabel 2. Hasil analisis kimia unsur-unsur kelumit abu batubara PLTU
No
Jenis Abu Batubara
1 2 3 4
Fly ash Asam-asam, FAA Bottom Ash Asam-asam, BAA Fly ash Ombilin, FAO Bottom ash Ombilin, BAO
Cu
Pb
Zn
298 62 87 44
19 tt 15 tt
391 138 153 37
Cd ppm 11 tt tt tt
Cr
As
Hg
224 288 120 160
10 tt 155 tt
tt tt tt tt
Ket : - contoh diperiksa dari bahan asal - tt = tidak terdeteksi
Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
31
dari PLTU Ombilin. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi geologi pengendapan yang berbeda.
suhu, pH dan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/ DO).
Unsur-unsur kelumit yang biasa ditentukan dalam TCLP adalah logam Cu, Pb, Zn, Cd, Cr, As, dan Hg. Pengujian unsur kelumit pada hasil saringan (filtrat) pelindian TCLP dari abu batubara tercantum pada Tabel 3. Kadar logam-logam yang diperoleh dari semua contoh filtrat yang dianalisis tidak ada yang melebihi standar limbah B3 di Indonesia untuk ijin pembuangan yang diperoleh berdasarkan uji pelindian (leaching) TCLP menurut Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah B3, bahkan sebagian besar nilainya kecil.
3.2.1 Temperatur
3.2
Uji Toksisitas Akut
Kehidupan kutu air (Daphnia) dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu. Untuk memastikan agar kondisi uji hayati memenuhi persyaratan pengujian maka diadakan pengukuran dan analisis beberapa parameter kualitas air, yaitu Tabel 3.
Hasil analisis kimia rata-rata larutan hasil pelindian (leaching) TCLP
Kode Pb (ppm) Zn (ppm) As (ppm) Cr (ppm) Cd (ppm) Cu (ppm)
FAA 3.1 4.3 tt tt 0.2 2.2
BAA tt 3.1 tt tt tt 0.2
FAO 2.3 3.2 tt tt tt 1.3
BAO tt 2.7 tt tt tt tt
Standar 5,0 50,0 5,0 5,0 1,0 10,0
Kisaran temperatur untuk setiap larutan uji dicantumkan dalam Tabel 4. Temperatur air dalam kultur Daphnia sebaiknya berkisar antara 24 hingga 26o C (EPS, 1992) karena pada kisaran temperatur tersebut merupakan temperatur yang paling baik untuk pertumbuhan, perkembangan serta tingkat reproduksi dari Daphnia. Hal ini sangat berkaitan erat dengan kerja enzim yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Enzim merupakan senyawa organik yang tersusun atas protein yang dalam peristiwa metabolisme bertindak sebagai katalisator, artinya zat yang mampu mempercepat reaksi kimia namun tidak ikut bereaksi. Kerja enzim sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah temperatur. Jika temperatur terlalu tinggi atau terlalu rendah maka aktivitas enzim akan terhambat, sehingga proses metabolisme akan terhambat yang berakibat pada proses pertumbuhan, perkembangan dan termasuk di dalamnya reproduksi Daphnia carinata akan pula terhambat. Daphnia sp. adalah hewan yang dapat dikembangbiakkan dalam kisaran temperatur yang luas, namun Daphnia sp. harus dilindungi dari perubahan temperatur yang terlalu mendadak karena dapat menyebabkan kematian (EPA, 1991). 3.2.2 Derajat Keasaman (pH) Dalam EPS (1990) dinyatakan bahwa derajat
Tabel 4. Kisaran temperatur untuk setiap larutan uji
No
Larutan Uji
Kisaran Temperatur (oC)
1 2 3 4
BAA BAO FAA FAO
23,5 – 24,7 23,4 – 24,7 23,8 – 24,1 24,4 – 24,9
Kisaran Normal (oC)
Kondisi
24,0 – 26,0
Normal Normal Normal Normal
Tabel 5. Kisaran pH untuk setiap larutan uji
No
Larutan Uji
1 2 3 4
BAA BAO FAA FAO
32
Kisaran pH Awal
Akhir
5,89 – 7,74 5,48 – 6,83 5,79 – 6,67 5,54 – 6,70
7,59 – 7,71 5,63 – 7,52 6,90 – 7,73 6,86 – 7,99
Kisaran pH Normal 6,00 – 8,50
Kondisi Normal Normal Asam Normal Normal Asam
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 – 36
keasaman yang paling cocok untuk media kehidupan Daphnia sp. adalah antara 6 hingga 8,5. Pada Tabel 5, nilai pH untuk setiap larutan uji masih berada pada kisaran yang normal walaupun pada larutan uji BAO (Bottom-ash PLTU Ombilin) dan FAO (Flyash PLTU Ombilin) nilai pH cenderung asam namun masih mendekati kisaran pH yang normal. Kondisi air yang terlalu asam akan menghambat pembentukan kulit baru, sedangkan air yang terlalu basa akan menyebabkan Daphnia menjadi lebih sensitif sehingga akan mengganggu kehidupan Daphnia (EPS.1990).
3.2.4 LC50 Hasil uji hayati toksisitas akut abu batubara dinyatakan melalui nilai LC50 (Letal Concentration) selama 48 jam terhadap hewan uji Daphnia carinata King. Besarnya nilai LC50 untuk setiap larutan uji disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan nilai LC50 masing-masing larutan uji tersebut ternyata memberikan nilai yang berbeda. Nilai LC50 yang terbesar adalah larutan uji Bottom-ash PLTU Ombilin (BAO), sedangkan nilai LC50 yang terkecil adalah larutan uji Fly-ash PLTU Ombilin (FAO). Keempat nilai LC50 tersebut dibandingkan dengan standar yang tercantum pada Tabel 1 memiliki kriteria hampir tidak toksik karena nilai LC50 berada di antara kisaran 10.000 hingga 100.000 ppm.
3.2.3 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut sangat penting bagi proses respirasi dan merupakan komponen utama proses metabolisme makhluk hidup. Daphnia masih dapat bertahan hidup pada kandungan oksigen terlarut 3 – 5 mg/l. Meskipun demikian disarankan agar kandungan oksigen terlarut di dalam media uji lebih besar dari 5 mg/l (EPA,1991). Untuk menghindari penurunan kandungan oksigen dalam suatu larutan uji maka sebelum digunakan, air pengencer tersebut harus diaerasi terlebih dahulu minimal selama 30 menit (EPS,1990).
3.3
Uji Reproduksi
3.3.1 Data Reproduksi Daphnia carinata King Menurut ASTM (1984), konsentrasi uji reproduksi yang aman digunakan dalam suatu larutan uji adalah yang tidak memberikan pengaruh buruk bagi kehidupan, perkembangan dan reproduksi Daphnia. Pada penelitian ini konsentrasi yang digunakan dalam uji reproduksi adalah 50 % dari konsentrasi LC50 yang diperoleh dari analisis probit karena pada konsentrasi tersebut masih merupakan konsentrasi yang aman bagi kehidupan Daphnia carinata.
Tabel 6 menunjukkan pengukuran DO untuk setiap larutan uji didapatkan kisaran DO antara 7,33 hingga 8,18 mg/l. Dari hasil pengukuran tersebut kandungan oksigen di dalam larutan uji masih mencukupi untuk kebutuhan hidup dari Daphnia carinata.
Tabel 6. Fluktuasi DO untuk setiap larutan uji
No
Larutan Uji
Kisaran Nilai DO (mg/L)
1 2 3 4
BAA BAO FAA FAO
7,57 – 8,11 7,34 – 8,18 7,68 – 8,00 7,33 – 7,77
Kisaran Normal (mg/l)
Kondisi Normal Normal Normal Normal
> 5,00
Tabel 7. Nilai LC50-48 jam abu batubara PLTU terhadap Daphnia
No
Larutan Uji
Nilai LC50 (%)
Nilai LC50 (ppm)
Kriteria Toksisitas
1 2 3 4
BAA BAO FAA FAO
7,729 8,935 7,000 6,498
77.729 89.350 70.000 64.980
Hampir tidak toksik Hampir tidak toksik Hampir tidak toksik Hampir tidak toksik
Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
33
3.3.2 Data Ukuran Panjang Neonate Daphnia carinata King
Uji reproduksi dilakukan selama 21 hari, setelah 21 hari pengujian kemudian dihitung total neonate Daphnia carinata yang ditetaskan dari masing-masing larutan uji. Setiap larutan uji dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali. Data pengamatan uji reproduksi dapat dilihat pada Tabel 8.
Selain tingkat reproduksi Daphnia carinata pengamatan juga dilakukan terhadap pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata yang baru ditetaskan dalam kurun waktu kurang dari 15 jam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing larutan uji terhadap pertumbuhan panjang dari neonate Daphnia carinata yang ditetaskan. Data ukuran panjang neonate Daphnia carinata ditampilkan dalam Tabel 10.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing larutan uji terhadap tingkat reproduksi Daphnia carinata maka data hasil pengamatan uji reproduksi tersebut dihitung secara stastistik dengan menggunakan Uji Anava (Analisis varian), dimana F hitung yang dihasilkan dibandingkan dengan F tabel dengan taraf kepercayaan 0,05 dan 0,01. Hasil perhitungan Anava disajikan pada Tabel 9.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing larutan uji terhadap tingkat pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata maka data hasil pengamatan pada Tabel 10 dihitung secara stastistik dengan menggunakan Uji Anava (Analisis varian), F hitung yang dihasilkan dibandingkan dengan F tabel dengan taraf kepercayaan 0,05 dan 0,01. Hasil perhitungan Anava disajikan pada Tabel 11.
Dari hasil perhitungan Anava, terdapat perbedaan yang sangat nyata terhadap tingkat reproduksi dari Daphnia carinata King dari masing-masing perlakuan. Untuk melihat sampai sejauh mana perbedaan tingkat reproduksi Daphnia carinata dari masingmasing larutan uji yang dibandingkan dengan kontrol, ditunjukkan pada Gambar 1. Dari gambar tersebut tampak adanya penurunan tingkat reproduksi dari masing-masing larutan yang diberi perlakuan jika dibandingkan dengan kontrol.
Dari hasil perhitungan Anava terdapat perbedaan yang sangat nyata terhadap tingkat pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata King. Untuk melihat sampai sejauh mana perbedaan tingkat
Tabel 8. Hasil pengamatan uji reproduksi Daphnia carinata king
No 1 2 3 4 5
Perlakuan Kode Kontrol BAA BAO FAA FAO
Total neonate dari ulangan ke- (ekor)
Kons. I 0 % 3,9 % 4,5 % 3,5 % 3,2 %
70 17 18 23 17
II
III IV V
VI
VII
VIII
IX
X
Jumlah Perlakuan (T)
83 23 20 30 15
87 20 18 25 48
83 20 25 19 10
79 20 11 12 6
77 13 26 21 24
82 18 16 31 23
65 16 13 12 5
785 188 187 248 159
84 18 9 17 5
75 23 31 58 6
Jumlah umum (G) Rataan umum
Rataan Perlakuan 78.5 18.8 18.7 24.8 15.9
1567 156.7
Tabel 9. Hasil penghitungan anava uji reproduksi Daphnia carinata king
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Percobaan Umum
Derajat Bebas(d.b)
Jumlah Kuadrat(J.K)
Kuadrat Tengah(K.T)
4 45 49
28222,22 4174,70 32397,22
7055,63 85,20
F Hitung 82,81**
F Tabel 0,05
0,01
2,58
3,77
Keterangan : ** Sangat berbeda nyata
34
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 – 36
Tingkat Reproduksi Daphnia carinata Jumlah neonate (ekor)
U k u ra n p a n ja n g n e o n a te (m ik ro n )
Pertumbuhan Panjang Neonate Daphnia carinata 1000
863.8
800
761.6
778.1
BAA 3,9%
BAO 4,5%
737
697.7
FAA 3,5%
FAO 3,2%
600 400 200 0
Kontrol
Rata-rata tingkat reproduksi
Rata-rata ukuran panjang neonate
Gambar 2. Diagram tingkat pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata king untuk setiap larutan uji yang dibandingkan dengan kontrol
Gambar 1. Diagram tingkat reproduksi Daphnia carinata king untuk setiap larutan uji yang dibandingkan dengan kontrol
Tabel 10. Data hasil pengamatan pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata
No 1 2 3 4 5
Rata-rata ukuran panjang neonate Daphnia ulangan ke- (mikron)
Kode
Kons.
I
II
III
IV
V
VI
VII VIII
IX
X
Jumlah perlakuan (T)
Kontrol BAA BAO FAA FAO
0 % 3,9 % 4,5 % 3,5 % 3,2 %
822 707 804 739 660
814 816 818 705 689
963 772 748 709 740
845 720 757 754 682
835 846 820 715 728
842 715 807 748 793
961 787 757 834 700
984 799 757 732 683
773 702 778 729 630
8638 7616 7781 7370 6977
Perlakuan
799 752 735 705 672
Jumlah umum (G) Rataan umum
Rataan perlakuan 863.8 761.6 778.1 737 697.7
38382 3838.2
Keterangan : 1 mm = 1000 mikron
Tabel 11. Hasil penghitungan anava pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata king
Sumber keragaman Perlakuan Galat Percobaan Umum
Derajat bebas(d.b)
Jumlah kuadrat (J.K)
Kuadrat tengah(K.T)
4 45 49
152230,5 116007,0 268237,5
38057,63 2367,49
F Hitung 16,08**
F Tabel 0,05
0,01
2,58
3,77
Keterangan : ** Sangat berbeda nyata
pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata dari masing-masing larutan uji yang dibandingkan dengan kontrol, ditunjukkan pada Gambar 2. Menurut APHA (1975), ukuran neonate pada fase instar muda awal memiliki panjang antara 0,8 hingga
1,0 mm (800 hingga 1000 mikron) dan dapat terlihat tanpa menggunakan alat optik. Gambar 2 menunjukkan adanya penurunan tingkat pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata pada larutan yang diberi perlakuan bila dibandingkan dengan kontrol. Meskipun mengalami penurunan, rata-rata ukuran
Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
35
panjang neonate Daphnia carinata dari masingmasing larutan uji masih berada dalam kisaran ukuran yang normal. 4. 1.
KESIMPULAN Seluruh contoh abu batubara mengandung beberapa logam berat, yaitu Cu, Pb, Zn, Cd, Cr, As dalam jumlah sekelumit, sedangkan Hg tidak terdeteksi. Kandungan logam-logam berat abu batubara asal PLTU Asam Asam sebagian besar lebih tinggi daripada abu batubara asal PLTU Ombilin.
M.Sc selaku Koordinator Lab. Toksikologi PPSDALLP UNPAD yang telah memberi ijin pemakaian fasilitas laboratoriumnya selama percobaan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dra. Retno Damayanti, Dipl.EST, Irna Haerani, S.Si, R. Dhea Riska Ardhini, S.Si, dan Abdul Hakim yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association,1975. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water. APHA. Washington DC.
2.
Uji TCLP dari semua contoh abu batubara menunjukkan hasil yang masih di bawah standar B3 ( 0,2 – 4,3 ppm) bahkan banyak logam-logam yang tidak terdeteksi.
American Standard Testing Materials (ASTM), 1984. Standard Guide for Conducting Renewal LifeCycle Toxicity Test with Daphnia magna, Annual Book of ASTM Standards.
3.
Dari hasil pengukuran selama pengujian berlangsung, parameter-parameter air yang diperiksa (T, pH, dan DO) masuk pada kisaran normal.
What is an LD50 & LC50? Canadian Center for Occupational Health & Safety (CCOHS),12 Februari 2004, .
4.
Uji hayati menunjukkan seluruh larutan uji masuk dalam kriteria toksisitas hampir tidak toksik (almost non toxic) bagi hewan uji Daphnia carinata King. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai LC50 – 48 jam berada di antara kisaran 10.000 hingga 100.000 ppm.
5.
Hasil uji reproduksi terhadap Daphnia carinata King, melalui Uji Anava menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dari masingmasing larutan uji terhadap tingkat reproduksi maupun pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata King. Tingkat reproduksi dan pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata untuk setiap larutan uji menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan kontrol.
Walaupun berdasarkan nilai LC50, seluruh larutan uji menunjukkan kriteria toksisitas yang hampir tidak beracun, akan tetapi disarankan untuk melakukan uji kronis, karena dengan uji ini akan didapatkan lebih banyak informasi misalnya konsentrasi yang paling aman bagi lingkungan. UCAPAN TERIMAKASIH Dengan selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Hilmi Salim,
36
Calow, P., 1993. Handbook of Ecotoxicology. Department of Animal and Plant Sciences. The University of Sheffield. Blackwell Scientific Publication. Oxford. Environmental Protection Agency (EPA), 1991. Methods for Measuring the Acute Toxicity of Effluents and Receiving Waters to Freshwater and Marine Organisms, 4th Edition, United States Environmental Protection Agency, Washington DC. Environmental Protection Agency (EPA), 1995. Toxicity Characteristics Leaching Procedure, SW 846, Method 1311. Environmental Protection Series (EPS), 1990. Biological Test Method, Acute Lethality Test Using Daphnia spp. Report EPS 1/ RM/11, Environment Canada. Environmental Protection Series (EPS), 1992. Biological Test Method. Test of Reproduction and Survival Using Cladoceran Ceriodaphnia dubia. Report EPS 1/RM/21. Environment Canada. Organization for Economic Cooperation and Developments (OECD), 1996. Guidelines for Testing of Chemicals; Daphnia magna Reproduction Test, Revised Draft Document.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 – 36
MODIFIKASI BOILER INDUSTRI BERBAHAN BAKAR MINYAK MENJADI BERBAHAN BAKAR BATUBARA MENGGUNAKAN PEMBAKAR SIKLON
SUMARYONO, STEFANO MUNIR, YENNY SOFAETY, NANA HANAFIAH, TATANG KOSWARA, EDI SOMADI, LELY AGUSTINA, E. KOSASIH DAN AAT Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373 SARI Dengan dikuranginya subsidi BBM secara drastis maka banyak industri beralih dari penggunaan BBM ke batubara sebab harga BBM naik lebih dari 300%. Banyak diantaranya yang membeli boiler baru dengan bahan bakar batubara, sementara boiler lama dengan BBM tidak digunakan karena tidak ekonomis lagi. Dalam kegiatan penelitian ini dicoba untuk memanfaatkan boiler BBM dengan memodifikasinya menjadi boiler batubara dengan cara mengganti pembakar BBMnya dengan pembakar batubara. Dalam percobaan ini boiler BBM yang dimodifikasi adalah jenis boiler vertikal berkapasitas 2 ton uap/jam. Pembakar batubara yang digunakan adalah pembakar yang karakteristiknya mirip dengan pembakar BBM, yaitu pembakar siklon. Pembakar siklon yang digunakan berkapasitas pembakaran 220 kg batubara ukuran partikel –30 mesh per jam dengan blower 4 in, 0,7 pk, 3000 rpm. Pembakar siklon dipasang di bagian atas boiler. Pengoperasian boiler yang telah dimodifikasi dengan sistem terbuka dicapai kapasitas boiler 585 kg uap basah/jam, konsumsi batubara 5537 kkal/kg adalah 75 kg/jam dan efisiensi energi rata-rata 86,7%. Masih rendahnya kapasitas yang dicapai disebabkan natural draft yang lemah sehingga kapasitas siklon juga rendah, sebab banyaknya hambatan (friction head) dalam boiler sistem vertikal ini. Untuk meningkatkan kapasitas perlu dorongan draft (forced draft), jadi perlu dimodifikasi sistem tertutup dengan tekanan positif dalam sistem. Untuk itu diperlukan blower siklon yang berdaya lebih tinggi seperti sistem BBM sebelumnya yang menggunakan blower 3 pk. Selain itu perlu pengumpan sistem tertutup yaitu pengumpan ulir. Namun demikian, dengan dicapainya efisiensi energi yang baik (86,7%) menunjukkan interaksi yang baik dari sistem pembakar siklon dengan boiler eks BBM tersebut. Proses perpindahan panas dari api pembakaran batubara ke dalam boiler berlangsung dengan efisien. Kata kunci : boiler batubara, pembakar batubara, pembakar siklon, efisiensi energi ABSTRACT Paralel with the drastic reduction of the subsidy of fuel oil, there are a number of industries changing their fuel from oil into coal since the fuel oil price increases more than 300%. Many of them install new coal based boilers, while the former fuel oil based boilers are not operated as they are now uneconomical. This experiment was aimed to beneficiate those fuel oil based boilers by modifying them into coal based boilers. Their oil burners were altered by coal combustors. In this experiment a vertical boiler of 2 ton/hour steam capacity was used. The coal combustor characteristic resembles to the oil burner. In this case a cyclone combustor of 220 kg/hour, -30 mesh coal capacity and 4 inch, 0.7 pk 3000 rpm air blower were used. This combustor was installed at the top of the boiler to alter the position of the oil burner. The operation under atmospheric system (open system) produced 585 kg/hour wet steam, consumed 75 kg/hour of 5537 kcal/kg coal, attained average energy efficiency of 86.7%. The steam product was still low since the opened system produced weak natural
Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
37
draft, therefore the cyclone capacity was low, due to the friction heads in this vertical boiler. A forced draft is required in this vertical boiler using closed system. A higher air blower capacity was required as in the former fuel oil system which used 3 pk blower. A closed system feeder such as screw feeder was also required. A fairly good energy efficiency attained, (86,7%) indicates that the interaction of the boiler with the cyclone combustor was good and the heat transfer to the boiler tube was fairly efficient. Keywords : coal based boiler, coal combuster, cyclone combustor, energy efficiency
1.
PENDAHULUAN
Dengan dicabutnya subsidi BBM untuk industri maka harga BBM naik sampai lebih dari 300%, khususnya BBM untuk boiler industri. Batubara berpeluang besar untuk menggantikan posisi BBM sebagai bahan bakar boiler industri. Kerugian pengoperasian boiler BBM berkapasitas 16 ton/jam adalah lebih dari Rp 30.000.000,- per hari jika dibandingkan pengoperasian dengan boiler batubara, sehingga mengakibatkan banyak industri yang beralih ke boiler batubara dan meninggalkan boiler BBM-nya. Boiler BBM dapat dimanfaatkan dengan dimodifikasi menjadi berbahan bakar batubara dengan cara mengganti pembakar BBM-nya dengan alat pembakar batubara. Pembakar batubara yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik pembakar BBM sebelumnya. Jenis-jenis pembakar batubara yang dapat digunakan antara lain pembakar siklon, underfeed stoker, unggun terfluidakan dan pembakar batubara halus (pulverized fuel combustor). Karakteristik pembakar siklon mendekati pembakar BBM, jadi dalam penelitian ini dipilih sebagai alat pembakar batubara yang akan digunakan untuk mengganti posisi pembakar BBM dalam boiler (H.M.S.O, 1963 dan Sumaryono, 1999). Keuntungan lain dari teknik pembakar siklon adalah batubara yang dibakar berupa bubuk –30 mesh. Di masa depan akan semakin sulit untuk mendapatkan batubara bongkahan di Indonesia karena sebagian besar batubara Indonesia berperingkat muda yang mudah hancur baik dalam proses penambangan, pengangkutan maupun penyimpanannya. Maksud kegiatan ini adalah mencoba penggunaan pembakar siklon untuk mengganti pembakar BBM dalam boiler BBM dengan meneliti parameter-parameter yang berpengaruh sehingga dicapai efisiensi yang baik dan meneliti efek negatif yang timbul serta cara mengatasinya. Saat ini proses modifikasi tersebut telah ditawarkan di kalangan industri. Modifikasi yang ditawarkan
38
menggunakan pembakar batubara sistem kisi berjalan dengan efisiensi energi turun menjadi sekitar 50%. Diharapkan modifikasi dengan pembakar batubara jenis siklon ini dapat mencapai efisiensi energi yang lebih baik, paling sedikit 70% (Reka Boiler Utama, 2002). 2.
TINJAUAN TEKNIS
Dalam boiler yang akan dimodifikasi, BBM dibakar dalam ruang pembakaran dalam silinder I (Gambar 1) dengan cara disemprotkan berupa kabut menggunakan tekanan atau tiupan bertekanan kemudian bercampur dengan udara dan terbakar dalam volume pembakaran tertentu. Karakteristik pembakaran BBM dalam silinder I ini harus dapat disamai atau didekati dengan karakteristik pembakaran batubara yang harus berlangsung dalam ruang pembakaran yang sama. Karena ruang pembakaran dalam silinder I dilengkapi oleh pipa air maka dalam suasana bertemperatur rendah ini sulit dilakukan proses pembakaran batubara yang efektif. Pembakaran batubara dapat dilakukan dalam tungku lain, kemudian api pembakarannya dikirim ke ruang pembakaran silinder I yang sebelumnya adalah ruang bakar BBM. Dalam percobaan ini pembakaran batubara dilakukan dalam tungku siklon. Pembakar siklon merupakan alat pembakar yang efektif karena batubara berukuran kecil (-3 mm) dibakar dalam silinder bertemperatur tinggi dalam suasana turbulensi yang tinggi. Dalam kondisi demikian dapat dicapai efisiensi pembakaran yang tinggi sehingga limbah yang dihasilkan sudah tidak banyak mengandung bahan dapat terbakar lagi (Elliot, 1981). Alat pembakar siklon standar membakar batubara berukuran sampai –5 mm, khususnya batubara dengan titik leleh abu rendah. Lelehan abu pada dinding bagian dalam siklon akan melekatkan partikel-partikel batubara yang kasar sehingga kecepatan relatif partikel batubara terhadap aliran
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 – 45
udara pembakar naik. Karena pembakaran akan dilakukan dengan batubara yang banyak terdapat di pasaran, yang biasanya bertitik leleh abu tinggi, maka tidak akan diperoleh lelehan abu pada dinding siklon. Oleh karena itu sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, untuk membakar batubara bertitik leleh abu tinggi, batubara harus dihaluskan sampai –25 mesh. 3.
METODOLOGI
3.1
Alat yang Digunakan
BBM disemprotkan dari bukaan di bagian atas silinder I ini. Api memanaskan permukaan dalam kumparan, gas pembakarannya ke bawah kemudian naik lagi melewati ruang antara silinder I dan silinder II (silinder tengah). Di sini permukaan kumparan luar terpanaskan. Sampai di atas, asap pembakaran masuk ke cerobong pembuangan. Udara pembakar ditiupkan oleh blower melalui ruang antara silinder II dan silinder III (silinder terluar). Di sini udara pembakar terpanaskan oleh dinding silinder II, sehingga pembakaran BBM menjadi lebih baik. Pompa air memasukkan air ke dalam pipa dan produk uap keluar dari bagian atas.
3.1.1 Boiler BBM
3.1.2 Pembakar Siklon
Gambar 1 adalah penampang boiler BBM yang akan dimodifikasi. Boiler ini adalah jenis boiler vertikal. Susunan intinya terdiri atas tiga silinder. Silinder pertama (I) paling dalam adalah susunan dari kumparan pipa air. Ruang dalam silinder I ini merupakan ruang pembakaran BBM.
Pembakar siklon berupa silinder yang dibuat dari susunan bata tahan api. Diameter f dalam = 75 cm, f luar = 100 cm, panjang = 200 cm. Bagian luar adalah pelat besi kemudian di bagian dalamnya dilapisi isolator silikat dan selanjutnya bata api serong yang disusun dengan perekat semen api.
P
katup pengaman
uap
BBM
T
nozel
cerobong
pipa air
I pompa air
Blower III
II
Gambar 1 . Penampang boiler BBM skala 1 : 25
Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
39
Batubara halus dari pengumpan disalurkan ke pipa batubara, ditiup ke dalam ruang siklon oleh blower secara tangensial. Di dalam siklon batubara menelusuri dinding bagian dalam siklon, maju sambil berputar dan terbakar dalam ruang silinder siklon. Api pembakaran sebagian besar di dalam siklon dan sebagian lainnya ke luar ruang siklon, dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri. 3.2 a.
b.
3.3
Bahan Baku Batubara Batubara yang digunakan adalah batubara sub bituminous. Tabel 1 adalah hasil analisis proksimat dan ultimatnya. Bahan kimia untuk analisis gas Pyrogalol KOH Cu2Cl2 H2SO4 Methyl Orange
d.
Persiapan boiler. Boiler yang akan dimodifikasi dipelajari kinerjanya dan bagian-bagian yang rusak diperbaiki. Pembuatan pembakar siklon dan uji operasionalnya. Pembakar siklon dibuat dengan kapasitas sesuai dengan kebutuhan boiler, diuji kinerjanya dan dipasang pada boiler. Pengoperasian boiler dengan pembakar siklon. Dipelajari interaksi antara pembakar siklon dengan batubara dan boiler. Evaluasi kinerja boiler termodifikasi
4.
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Persiapan Boiler
b.
c.
Hasil analisis proksimat dan ultimat dari batubara (a.d.b)
No
Unsur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Air lembab Abu Zat terbang Karbon tertambat Nilai Kalori C H O N S
Kadar 19,1% 2,16% 40,65% 38,08% 5537 kkal/kg 55,3% 4,2% 18,53% 0,6% 0,11%
atas boiler. Tersedia bukaan berdiameter 30 cm (Gambar 2). Api dari pembakar siklon masuk ke boiler melalui bukaan ini. Bukaan ini sulit diperlebar karena dibuat dari besi cor.
Tahap Pengerjaan
Pentahapan pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah : a.
Tabel 1.
-
Sistem Aliran Air Air masuk ke boiler dengan pemompaan berkapasitas lebih. Air yang berlebih diresirkulasi. Kebocoran pada pompa diperbaiki dengan mengganti seal-nya. Pipa aliran masuk dilengkapi dengan flow-meter.
-
Sistem Aliran Uap Uap yang dihasilkan boiler disalurkan ke pipa produksi uap dan pipa pengaman. Jika tekanan terlalu tinggi, akan terjadi pelepasan uap melalui pipa pengaman.
Sebelum dilakukan modifikasi perlu dipastikan bahwa kinerja setiap bagian masih baik. -
40
Sistem BBM Sistem aliran BBM dan proses pembakarannya dipelajari kemudian dilepas. Sistem spuyer pengkabut dan udara peniup dilepas dari bagian
Gambar 2. Bukaan ke ruang pembakar
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 – 45
-
4.2
Sistem Cerobong Asap dari pembakaran turun, sampai ke dasar boiler naik melalui ruang antara silinder I dan II (Gambar 1), kemudian berkumpul ke cerobong yang berdiameter 35 cm, berbelok ke atas sepanjang 7 m. Sistem cerobong ini mempunyai hambatan cukup besar, jika belum panas perlu dibantu dengan kipas pengisap.
di dalam siklon belum terlihat penuh. Lidah api berpusar menyusuri dinding siklon. Ruang tengah (inti) masih kosong. Dalam keadaan pembakaran bersih (bening), komposisi gas buang adalah : CO = 0,0% O2 = 13,5% CO2 = 5,2% N2 = 81,3% Berdasarkan hasil analisis ultimat dari batubara, setiap 100 kg batubara memerlukan udara pembakar stoikiometris sebanyak 21,28 kmol atau 615 kg.
Pembuatan Pembakar Siklon dan Uji Operasionalnya
4.2.1 Pembuatan Pembakar Siklon
Berdasarkan komposisi gas buang di atas, maka jumlah udara pembakar lebih (excess air) adalah 319%. Udara lebih sebanyak ini termasuk berlebihan. Walaupun hasil proses pembakarannya bersih/bening tetapi dapat mengakibatkan turunnya efisiensi. Temperatur di dalam siklon 1190 – 1230°C.
Pembakar siklon dibuat dengan dimensi seperti telah diuraikan di sub bab 3.1.2. sebelum bata api dipasang, permukaan pelat dilapisi isolator silikat (Gambar 3).
-
Berdasarkan komposisi gas buang tersebut, untuk 100 kg batubara dipasok 19,6 kmol udara atau 92% dari seharusnya. Akibatnya masih terbentuk gas CO.
Gambar 3. Pembuatan pembakar siklon
Bata api yang digunakan adalah bata api serong yang dilekat dengan semen tahan api. Pipa pengumpan batubara dipasang tepat menyinggung lingkaran diameter dalam siklon. Bagian-bagian dari besi dilapisi kastable. 4.2.2 Uji Operasional Siklon Pembakar siklon yang telah dibuat diuji untuk pembakaran batubara. Dalam uji ini diamati kecepatan pembakaran, komposisi gas buang dan parameter lainnya. Dari komposisi gas buang dapat dihitung jumlah udara pembakarannya. -
Pembakaran 90 kg/jam Pembakaran batubara ukuran partikel –30 mesh dengan kecepatan pengumpanan 90 kg/jam, api
Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
Pembakaran 130 kg/jam Dengan kecepatan ini, api berpusar menyusur dinding siklon, kadang-kadang terputus-putus. Udara pembakar dari blower dikurangi sampai api terlihat agak keruh (kuning dengan ujungujung lidah api kurang bening). Temperatur 1190 – 1240°C. Dalam suasana ini hasil analisis gas buangnya adalah : CO = 0,3% O2 = 5,2% CO2 = 21,0% N2 = 73,5%
-
Pembakaran 180 kg/jam Dengan kecepatan pembakaran 180 kg/jam, selain menyusuri dinding di bagian tengah siklon juga mulai terisi lidah api pembakaran batubara, walaupun tidak terus menerus. Dengan api oksidasi, hasil analisis gas buang adalah : CO = 0,0% O2 = 9,2% CO2 = 13,0% N2 = 77,8% Dengan hasil analisis tersebut, udara pembakar yang ditiupkan adalah 34,11 kmol. Jadi udara lebihnya = 60%. Dengan udara lebih sebesar ini dan api yang belum memenuhi ruang siklon menunjukkan bahwa kapasitas pembakaran siklon masih dapat ditingkatkan.
41
-
Pembakaran 218 kg/jam Pembakaran dengan kecepatan 218 kg/jam mula-mula dilakukan dengan udara lebih yang cukup besar. Api pembakaran memenuhi ruang siklon, bahkan lidah apinya keluar dari siklon sampai sejauh 1 meter. Temperatur di dalam siklon 1205 – 1250°C. Hasil analisis gas buang: CO = 0,0% O2 = 9,5% CO2 = 9,5% N2 = 81%
pembakarannya dipasang pada boiler menggantikan fungsi pembakar BBM (Gambar 4).
Hasil analisis ini menunjukkan adanya udara pembakar lebih sebanyak 128%. Pembakaran batubara dengan udara lebih sebanyak ini berlangsung dengan baik. Udara lebih ini perlu dikurangi sampai sekitar 15% dengan memperkecil bukaan blower. Dengan terus memperkecil bukaan blower, mula-mula timbul api agak keruh tetapi kemudian menjadi bening di ujung siklon. Hasil analisis gas buang dalam kondisi ini adalah : CO = 0,0% O2 = 5,5% CO2 = 17,2% N2 = 77,3%
Sebelum pengoperasian boiler, disediakan 4500 liter air yang sudah dihilangkan kesadahannya dengan resin penukar ion. Air tersebut disimpan dalam tangki. Selama beroperasi proses pengolahan air terus berjalan mengisi tangki yang juga terus digunakan untuk mengisi boiler.
Jika aliran udara pembakar diturunkan lagi, ternyata terjadi pengendapan batubara, khususnya fraksi berukuran lebih kasar. Jadi kondisi di atas sudah mendekati kapasitas maksimum dari pembakar siklon ini. Pada kondisi tersebut udara pembakar lebihnya adalah 20,2%. Kapasitas pembakaran siklon dapat dinaikkan lagi dengan memanaskan udara pembakar terlebih dahulu (preheated).
Api dari pembakaran batubara dalam pembakar siklon yang posisinya mendatar dialirkan ke boiler yang posisinya vertikal melalui bukaan ruang pembakaran boiler. Untuk itu pembakar siklon dihubungkan ke boiler dengan terowongan yang dibuat dari susunan bata tahan api yang direkat dengan semen api.
Setelah seluruh rangkaian pembakar siklon, boiler, sistem aliran air, produk uap dan sistem cerobong telah siap dilakukan uji operasionalnya menggunakan bahan bakar kayu. Setelah hasil uji operasional tersebut menunjukkan semua sistem termasuk indikator temperatur, tekanan dan kecepatan aliran air, katup pengaman bekerja dengan normal maka dapat dilangsungkan uji operasional dengan batubara.
Secara singkat hasil-hasil percobaan pembakaran ini dapat dilihat dalam Tabel 2. 4.3
Pengoperasian Boiler dengan Pembakar Siklon
4.3.1 Persiapan Pembakar siklon yang telah diuji kinerja
Gambar 4. Pembakar siklon dipasangkan ke boiler
Tabel 2. Hasil percobaan pembakaran batubara dalam siklon
No Kecepatan umpan kg/jam 1 2 3 4 5
42
90 130 180 218 218
Bukaan blower (cm)
CO2 %
CO %
O2 %
N2 %
Udara lebih %
5 1.5 4 6 4
5.2 21 13 9.5 17.2
0 0.3 0 0 0
13.5 5.2 9.2 9.5 5.5
81.3 73.5 77.8 81 77.3
319 -8 60 128 20.2
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 – 45
4.3.2
Uji Operasional dengan Batubara
4.3.2.1 Uji Coba Pendahuluan Setelah seluruh sistem bekerja dengan normal, uji operasional dengan batubara dimulai. Pertama kali pompa air dijalankan sehingga pipa air dalam boiler terisi penuh. Pembakaran batubara dimulai dengan penyalaan awal menggunakan kayu bakar.
-
Pemasukan batubara dimulai dengan kecepatan 30 kg/jam. Berangsur-angsur dengan semakin habisnya kayu, kecepatan batubara dinaikkan sampai 40 kg kemudian 50 kg/jam. Kecepatan pemasukan air ke dalam pipa boiler distabilkan sehingga air yang keluar sedikit mungkin. Mula-mula 10 liter/menit, terus dikurangi menjadi 9, 8 sampai 7 liter/menit. Proses pembakaran batubara stabil sekitar 50 kg/jam dengan api oksidasi. Tekanan produk uap 1 atmosfer atau lebih sedikit sedangkan temperatur uap sekitar 100°C atau lebih sedikit tergantung pada fluktuasi tekanan produk uap. Usaha meningkatkan konsumsi batubara terus dilakukan, dengan selalu menjaga proses pembakaran batubara berlangsung dengan baik. Ternyata kecepatan pembakaran 50 kg/jam sulit ditingkatkan lagi karena pada kecepatan 60 kg/jam mulai terbentuk asap dan terjadi kebocoran pada lorong penghubung dari siklon ke boiler. Sebagian udara juga keluar melalui penutup siklon. Pada kondisi ini jumlah air yang diuapkan adalah 6,6 liter/menit menghasilkan uap basah bertekanan 1 atmosfer, temperatur 100°C. Efisiensi energi : Temperatur air mula-mula = 27°C.
Σ=
6,6 x 60 x 613 x 100% 50 x 5537
= 87,6% Pembahasan : Efisiensi energi yang dicapai sebesar 87,6% relatif cukup tinggi, lebih tinggi dari sasaran semula yaitu paling sedikit 70%. Hal ini dapat dipahami karena dalam sistem termodifikasi tersebut banyak faktor penunjang yang positif antara lain : -
Pembakaran batubara dengan pembakar siklon dikenal sebagai alat pembakar yang efisien
Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
-
karena tingkat turbulensinya yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan emisi asap yang tipis berwarna putih dan tidak berbau hidrokarbon hasil proses pembakaran oksidasi. Proses perpindahan panas ke pipa boiler berlangsung efisien karena ½ bidang pipa menghadap bagian dalam silinder I (Gambar 1) terpanaskan oleh api yang turun dari siklon ke dalam boiler dan ½ bidang pipa lainnya di bidang luar silinder I terpanaskan oleh api yang naik di antara silinder I dan II menuju cerobong. Hal ini sangat berbeda dengan modifikasi yang dilakukan PT Reka Boiler Utama menggunakan kisi berjalan yang dimasukkan ke dalam ruang pembakaran boiler eks BBM – horisontal. Di sini pipa boiler yang terekspose api dari kisi berjalan secara efektif adalah pipa di atas kisi saja, sehingga luas permukaan untuk perpindahan panas jauh lebih kecil dan efisiensi yang dicapai 50%. Emisifitas api pembakaran batubara tinggi karena api dari batubara bersifat “luminous” sehingga perpindahan panas secara radiasi tinggi. Temperatur gas buang di cerobong sekitar 60 – 80°C adalah termasuk tidak tinggi menunjukkan penyerapan panas oleh sistem berlangsung dengan baik.
4.3.2.2 Usaha Peningkatan Produksi Uap Hasil percobaan pendahuluan, produksi uap basah hanya 6,6 kg/menit atau 396 kg/jam. Hal ini disebabkan kapasitas pembakaran batubara yang masih terlalu kecil, 50 kg/jam padahal pembakar siklon yang digunakan mampu membakar 220 kg batubara/jam. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kecepatan udara pembakar, yang disebabkan oleh : -
Draft yang tidak cukup kuat. Kipas pengisap (exhaust fan) kurang besar daya isapnya. Aliran ke cerobong terlalu banyak berbelok-belok. Mula-mula dari siklon berbelok 90° ke bawah (ke ruang pembakaran silinder I), kemudian berbalik ke atas 360° di antara silinder I dan II, kemudian berbelok 90° menuju cerobong. Setelah 2 m berbelok lagi 90° ke atas sejauh 7 m. Banyaknya belokan-belokan ini menyebabkan hambatan yang tinggi sehingga diperlukan kipas berdaya lebih besar.
Percobaan berikut dilakukan setelah kebocorankebocoran disambungan siklon dengan boiler maupun dinding penutup siklon diperbaiki.
43
Lorong penghubung siklon – boiler dibongkar, dipasang lebih banyak bata api serong dengan mengurangi penggunaan semen api. Penutup siklon diperkuat sehingga udara pembakar yang ditiupkan seluruhnya masuk ke boiler. Setelah kebocoran-kebocoran diperbaiki, uji coba dilakukan dengan batubara. Dengan kecepatan pembakaran 60 kg/jam, sulit untuk dinaikkan lagi. Kebocoran pada penutup siklon telah dapat diatasi, tetapi kebocoran pada lorong penghubung siklon – boiler terjadi kembali. Terdapat retakan-retakan yang mengakibatkan api menerobos dari celah-celah. Hal ini disebabkan adanya getaran pada boiler yang disebabkan oleh getaran dari pompa air yang menempel di badan boiler. Adanya getaran mengakibatkan sambungan-sambungan semen api kurang kuat lagi. Dengan kondisi ini kecepatan pembakaran batubara dapat dipertahankan pada 60 kg/jam. Pada keadaan ini aliran air ke boiler yang dapat diubah menjadi uap basah adalah 468 kg/jam. Efisiensi energi yang dicapai adalah : Σ=
Gambar 5. Pengoperasian boiler termodifikasi dengan batubara menggunakan pembakar siklon
Pada kondisi tersebut di atas dengan umpan batubara 75 kg/jam, produksi uap basah adalah 9,75 kg/menit atau 585 kg/jam. Efisiensi energi :
468 x 613 x 100%
Σ=
60 x 5537
= 86,3%
x 100% 75 x 5537
= 86,3%
Usaha berikutnya adalah menutup kebocoran pada lorong penghubung dari siklon – boiler. Untuk keperluan tersebut digunakan semen kastabel yaitu semen refraktori yang lebih tahan getaran. Pemasangan semen dilakukan dengan penguatan menggunakan anyaman kawat. Setelah lorong penghubung diperkuat dengan kastabel, dilakukan uji pembakaran dengan batubara (Gambar 5). Kecepatan pembakaran dari 60 kg/jam dapat terus dinaikkan sampai 75 kg/jam. Blower yang digunakan berukuran 4 inci 550 watt, 3000 rpm dibuka maksimum. Setelah pembakaran batubara stabil, kecepatan pembakaran batubara dicoba dinaikkan lagi. Ternyata 75 kg/jam sudah merupakan kecepatan maksimum. Penambahan kecepatan mengakibatkan keluarnya asap dan partikel batubara yang belum terbakar. Hal ini menunjukkan kurangnya udara pembakar. Blower yang digunakan perlu diganti dengan blower yang berdaya jauh lebih tinggi untuk mengatasi hambatan-hambatan (friction head) dalam sistem boiler ini.
44
585 x 613
Kapasitasnya yang masih rendah (585 kg/jam) maka perlu upaya yang lebih mendasar untuk dapat mencapai kapasitas sebelumnya dengan BBM yaitu 1 atau 2 ton/jam. Berbeda dengan boiler horisontal, boiler vertikal ini mempunyai hambatan aliran asap yang besar sehingga perlu adanya tekanan positif dalam ruang pembakaran yang cukup besar. Beberapa kelemahan dari modifikasi yang telah dilakukan adalah : a.
Sistemnya masih terbuka dengan tekanan atmosfer. Pengumpanan batubara mengandalkan gaya gravitasi.
b.
Blower yang digunakan berdaya kecil, sekitar 0,7 pk padahal blower asli sistem BBM menggunakan blower 3 pk.
c.
Mengandalkan natural draft dari cerobong yang kurang efektif. Penggunaan kipas pengisap biasa
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 – 45
bertekanan 1 atmosfer, mengandalkan natural draft dari cerobong yang tidak begitu kuat. b. Blower yang digunakan berdaya rendah (0,7 pk). Pada sistem BBM sebelumnya digunakan blower 3 pk, dalam sistem tertutup.
kurang dapat menolong. Perlu kipas pengisap yang lebih besar dayanya dan tahan panas. d.
5. 1.
Jika dimodifikasi dengan sistem tertutup, dengan tekanan positif di dalam, maka pengumpan batubara dapat dilakukan dengan pengumpan ulir (screw feeder) dan blower yang digunakan berdaya tinggi. KESIMPULAN Setelah boiler dimodifikasi, mengganti burner BBM dengan pembakar siklon batubara ternyata pembakar siklon dapat berinteraksi baik dengan boiler yang ditunjukkan oleh efisiensi energi yang cukup baik, rata-rata 86,7% dan produksi uap langsung normal dalam waktu kurang dari 30 menit setelah penyalaan.
4.
Untuk meningkatkan kapasitas boiler termodifikasi, sistemnya harus tertutup dengan tekanan positif. Untuk itu diperlukan blower berdaya lebih tinggi dan sistem pengumpan batubara dengan teknik pengumpan ulir.
DAFTAR PUSTAKA Elliot, M.A., 1981. Chemistry of Coal Utilization, New York. H.M.S.O, 1963. The Efficient Use of Fuel, London.
2.
3.
Efisiensi energi yang cukup baik menunjukkan proses perpindahan panas dari api pembakaran batubara berlangsung secara efisien. Biasanya efisiensi energi untuk sistem BBM adalah 85 – 95%. Kapasitas boiler termodifikasi masih rendah. Hal ini disebabkan : a. Hasil modifikasi adalah sistem terbuka
Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
Reka Boiler Utama, 2002. Clean Coal Technology – Boilers With Automatic Chain Grate Firing, Brosur, Bekasi. Sumaryono, 1999. Pembakaran Batubara Halus Dengan Pembakar Siklon, Prosiding Seminar Nasional III Kimia Dalam Pembangunan, JASAKIAI, Yogyakarta, 666 – 676.
45
Petunjuk Bagi Penulis 1.
Naskah dan berkas dalam disket dikirim ke Pemimpin Redaksi Jurnal tekMIRA, Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211. Naskah dalam disket akan sangat membantu dalam proses peredaksian.
2.
Naskah harus asli dan belum pernah diterbitkan dalam publikasi lain. Judul naskah harus bersifat deskriptif dan ringkas.
3.
Redaksi akan melakukan seleksi dan memberitahukan ke penulis, bila naskah sudah diterima atau bila naskah tidak sesuai untuk penerbitan ini.
4.
Naskah diketik dalam dua spasi menggunakan kertas ukuran A4 dengan lebar margin kanan dan atas 3 cm serta kiri dan bawah 2 cm.
5.
Gambar dan tabel harus diberi judul dengan jelas dan dalam kertas terpisah serta ditunjukkan mengenai penempatan gambar dan tabel tersebut dalam naskah tulisan. Foto harus jelas dan siap untuk dicetak (tidak dalam bentuk negatif film). Peta maksimum berukuran A4 dan harus memakai skala. Semua huruf dalam peta harus jelas dan bila ukuran peta harus diperkecil, tinggi huruf dalam peta tersebut tidak lebih kecil dari 1,5 mm.
6.
46
Jumlah halaman naskah tidak ditentukan. Naskah ditulis secara ringkas sesuai isinya.
7.
Nama penulis diketik pada halaman pertama di bawah judul naskah. Nama organisasi, alamat, nomor telpon dan faksimili, serta alamat e-mail (bila ada).
8.
Intisari naskah (abstract) memuat ringkasan yang jelas dari naskah tersebut dan kata kunci serta ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
9.
Hanya rumus matematika yang penting yang dimuat dalam naskah.
10. Daftar pustaka ditulis secara alfabet dengan huruf pertama (bila penulis lebih dari seorang). Urutan penulisan : nama penulis, judul referensi, penerbit, kota tempat buku diterbitkan dan tahun penerbitan. 11. Hanya artikel-artikel yang dipublikasikan yang dimasukkan sebagai referensi. Bilamana mengacu kepada artikel yang tidak dipublikasikan agar dijelaskan cara memperoleh bahan tersebut. 12. Catatan kaki supaya dihindarkan. 13. Izin untuk memproduksi hak cipta material adalah tanggung jawab penulis. Pengutipan seminimal mungkin. Bila pengutipan melebihi 250 kata penulis harus memperoleh izin tertulis dari penerbit dan penulis referensi yang bersangkutan.
Petunjuk Bagi Penulis