PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 171-176
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010201
Isolasi RNA total dari mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera) Total RNA isolation from the mesocarp of oil palm (Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera) fruits ULIMA DARMANIA AMANDA1,2,♥, IMAM CIVI CARTEALY3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, Jl. Raya Ciptayasa KM. 01 Ciruas, Serang42182 -Banten, Indonesia.Tel. +62-254-281055, ♥email:
[email protected] 2 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok 16424, Jawa Barat, Indonesia. 3 BP Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Gedung 630 Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15314, Banten, Indonesia. 1
Manuskrip diterima: 8 Desember 2014. Revisi disetujui: 29 Januari 2015.
Abstrak. Amanda UD, Cartealt IC. 2015. Isolasi RNA total dari mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 171-176. Telah dilakukan studi awal isolasi RNA total dari jaringan daging buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera). Isolat RNA total yang baik merupakan syarat untuk penelitian yang berkaitan dengan ekspresi gen. Penelitian bertujuan untuk memperoleh metode ekstraksi RNA total dengan kualitas dan kuantitas yang optimal. Sampel jaringan yang digunakan adalah daging buah muda dari kelapa sawit varietas Tenera dengan perlakuan penyimpanan beku (frozen) dan jaringan segar (fresh). Buffer denaturan yang digunakan dalam penelitian berasal dari kit ekstraksi RNA, yaitu buffer RLT (mengandung guanidin tiosianat/GITC) dan RLC (mengandung guanidin hidroklorida/GuHCL). Secara kualitatif, hasil ekstraksi RNA dianalisis melalui elektroforesis gel agarosa 1%. Isolat RNA total yang diperoleh dalam penelitian mempunyai kualitas yang optimal, ditunjukkan melalui fluoresensi pita 18S rRNA dan 28S rRNA dengan ketebalan (intensitas) dan ketajaman yang baik. Kuantifikasi isolat RNA total dilakukan dengan bantuan alat spektrofotometer melalui pengukuran absorbansi UV pada panjang gelombang 260 nm (A260). Konsentrasi RNA total tertinggi diperoleh pada sampel beku yang diekstraksi menggunakan buffer RLC (sampel D), yaitu sebesar 641,52 ng/µL. Keberadaan kontaminan juga diketahui melalui spektrofotometer, dengan mengukur besar perbandingan (rasio) A260 terhadap A280 dan rasio A260 terhadap A230. Sampel D mempunyai kemurnian yang paling baik diantara semua sampel dengan nilai A260/A280 dan A260/A230 paling mendekati 2,0 ± 0,1. Kata kunci: guanidin thiocyanat, guanidin hidroklorida, mesocarp tissue, palm oil, total RNA isolation Singkatan: GITC, guanidin thiocyanat; GuHCl, guanidin hidroklorida; DEPC, dietilpirokarbonat; RT-PCR, reverse transcription polymerase chain reaction
Abstrak. Amanda UD, Cartealt IC. 2015. Isolasi RNA total dari mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 171-176. Telah dilakukan studi awal isolasi RNA total dari jaringan daging buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera). Isolat RNA total yang baik merupakan syarat untuk penelitian yang berkaitan dengan ekspresi gen. Penelitian bertujuan untuk memperoleh metode ekstraksi RNA total dengan kualitas dan kuantitas yang optimal. Sampel jaringan yang digunakan adalah daging buah muda dari kelapa sawit varietas Tenera dengan perlakuan penyimpanan beku (frozen) dan jaringan segar (fresh). Buffer denaturan yang digunakan dalam penelitian berasal dari kit ekstraksi RNA, yaitu buffer RLT (mengandung guanidin tiosianat/GITC) dan RLC (mengandung guanidin hidroklorida/GuHCL). Secara kualitatif, hasil ekstraksi RNA dianalisis melalui elektroforesis gel agarosa 1%. Isolat RNA total yang diperoleh dalam penelitian mempunyai kualitas yang optimal, ditunjukkan melalui fluoresensi pita 18S rRNA dan 28S rRNA dengan ketebalan (intensitas) dan ketajaman yang baik. Kuantifikasi isolat RNA total dilakukan dengan bantuan alat spektrofotometer melalui pengukuran absorbansi UV pada panjang gelombang 260 nm (A260). Konsentrasi RNA total tertinggi diperoleh pada sampel beku yang diekstraksi menggunakan buffer RLC (sampel D), yaitu sebesar 641.52 ng/μL. Keberadaan kontaminan juga diketahui melalui spektrofotometer, dengan mengukur besar perbandingan (rasio) A260 terhadap A280 dan rasio A260 terhadap A230. Sampel D mempunyai kemurnian yang paling baik diantara semua sampel dengan nilai A260/A280 dan A260/A230 paling mendekati 2.0 ± 0.1. Keywords: Thiocyanic guanidine, guanidine hydrochloride, mesocarp tissue, palm oil, total RNA isolation
PENDAHULUAN Perkebunan dan industri kelapa sawit (Elaies guineensis Jacq.) merupakan sektor unggulan Indonesia dengan andil yang cukup besar pada ekspor non-migas nasional (Tryfino
2006). Kelapa sawit menghasilkan minyak nabati dengan kuantitas per-unit lahan terbesar (3.622 kg/ha) di antara tanaman penghasil minyak nabati lain, seperti bunga matahari (550 kg/ha), kelapa (395 kg/ha), kedelai (332 kg/ha), dan kapas (173 kg/ha) (Fairhurst dan Mutert 1999).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 171-176, April 2015
172
Minyak yang diperoleh dari mesokarp disebut minyak sawit/ MS, sedangkan minyak yang diperoleh dari biji disebut minyak inti sawit/ MIS (Pasaribu 2004). Tingginya kandungan polisakarida, pigmen, dan senyawa-senyawa lain dalam jaringan tanaman dapat menyulitkan dalam memperoleh isolat RNA yang utuh (Wang et al. 2004). Mesokarp kelapa sawit mempunyai kandungan polisakarida, polifenol, dan minyak yang cukup tinggi, sehingga tidak mudah untuk memperoleh RNA total yang berkualitas baik. Isolasi RNA total merupakan langkah penting pertama dalam studi molekuler, termasuk konstruksi pustaka cDNA dan ekspresi gen. Aktivitas gen yang tinggi pada jaringan atau sel disebabkan oleh banyaknya jumlah salinan sekuen gen berupa messenger RNA (mRNA). Messenger RNA dalam isolat RNA total dijadikan sebagai template reverse transcription untuk mengubah mRNA menjadi complementary DNA (cDNA). Sintesis cDNA melibatkan reaksi enzimatik yang kompleks, sehingga seringkali mempunyai efisiensi hasil rendah dan klona cDNA yang dihasilkan tidak lengkap, misalkan tidak mengandung ujung 5' (Yuwono 2006). Menurut Reece (2004), gen lengkap (full-length gene) mengandung ujung 5’ yang mewakili awal sekuen gen (downstream) dan ujung 3’ mewakili akhir sekuen gen (upstream). Daerah ujung 5’ gen mengandung sekuen promoter, sedangkan daerah ujung 3’ gen mengandung sekuen terminator dan poli(A). Jika gen lengkap dapat diperoleh, maka dapat dilakukan manipulasi terhadap gen tersebut (Mandal et al. 2000). Yang et al. (2006) mencoba beberapa metode untuk isolasi RNA pada tanaman Phaseolus radiatus, yaitu cetyltrimetylammonium bromide-borax (CTAB-borax), guanidine thiocyanate (GITC), sodium dodesil sulfat (SDS), dan trizol (campuran GITC dan fenol). Metode CTAB, SDS, dan trizol menghasilkan isolat RNA yang terdegradasi. Xiao et al. (2012) mengembangkan protokol isolasi RNA dari 16 spesies tanaman Palmaceae, yaitu
A
MRIP (Methods for RNA Isolation from Palms) dan membandingkannya dengan protokol isolasi RNA konvensional, seperti CTAB, Tiangen RNAplant, Invitrogen TRIZOL. Metode MRIP yang menggunakan kombinasi reagen ammonium thiocyanate, GITC, dan acidic phenol menghasilkan RNA dengan integritas yang baik dan dapat digunakan untuk aplikasi Illumina RNA sequencing dan quantitative real-time RT-PCR. Omidvar et al. (2013) menggunakan total RNA dari buah, daun, dan akar kelapa sawit (Elaeis guineensis) yang diekstraksi menggunakan RNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Venlo, Netherlands) untuk aplikasi RT-PCR. Penelitian bertujuan untuk mencoba metode isolasi RNA total dengan menggunakan RNeasy Plant Mini Kit (Qiagen) agar diperoleh isolat RNA total dengan kualitas dan kuantitas yang baik untuk digunakan dalam penelitian ekspresi gen. BAHAN DAN METODE Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Genetika, Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT), Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Periode penelitian berlangsung selama ± 1 bulan. Sampel Sampel diambil dari tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq. var. Tenera) yang ditanam di area BPPTPuspiptek, Serpong (Gambar 1A-B). Kelapa sawit tersebut masih produktif menghasilkan buah dan diduga berumur 615 tahun. Sampel adalah buah muda dengan perkiraan umur 6-12 MSA (minggu setelah anthesis) dan memiliki kriteria warna kulit buah hitam dan mesokarp putih kehijauan (Gambar 1C).
B
C
∼1,24 m
Gambar 1. Kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian. A. Tanaman kelapa sawit, B. Bagian pelepah daun dan tandan buah, C. Buah kelapa sawit
AMANDA & CARTEALY – Isolasi RNA dari mesokarp buah Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera
Cara kerja Pengambilan sampel Buah kelapa sawit dipisahkan dari tanaman induk dengan gunting, dimasukkan ke dalam plastik ziplock, dan disimpan dalam es. Setibanya di laboratorium, buah dibersihkan dengan disemprot DEPC-treated water dan alkohol 96%. Buah dipotong (2 cm × 3 cm) dan jaringan segera disiram nitrogen cair. Isolasi RNA total Ribonucleicacid diisolasi dari mesokarp (daging buah) dengan mengikuti protokol purifikasi RNA total dari RNeasy Plant Mini Kit (Qiagen 2006). Suhu ruangan dan mesin sentrifugasi diatur 20-25°C. Sebanyak 50-100 mg (± 2 cm x 3 cm) mesokarp dipotong-potong kecil dan segera dipindahkan ke mortar yang sudah disiram dengan nitrogen cair. Potongan jaringan digerus dengan sekali-kali disiram nitrogen cair sampai menjadi bubuk halus. Sebanyak 450 µL buffer lisis (RLT, RLC) dan 5 µL β-merkaptoetanol ditambahkan ke dalam tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL bebas-RNase yang telah didinginkan dengan nitrogen cair. Bubuk sampel dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan divorteks dengan kuat. Lisat dipindahkan ke dalam spincolumn QIAshredder (warna ungu) yang sudah dipasang pada tabung koleksi 2 mL dan disentrifugasi (13.000 rpm; 25°C) selama 2 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifugasi 1,5 mL yang baru. Sebanyak 250 µL EtOH absolut ditambahkan. Campuran dihomogenkan dengan pipetting (up-down). Tabung diinkubasi selama 1-2 menit pada 37°C. Campuran dipindahkan ke dalam spin-column RNeasy (warna merah muda) yang sudah dipasang pada tabung koleksi 1,5 mL dan disentrifugasi (13.000 rpm; 25°C) selama 1 menit. Cairan yang berada di tabung koleksi dibuang. Spin-column dipasang kembali pada tabung koleksi. Sebanyak 700 µL buffer RW1 ditambahkan ke dalam spin-column RNeasy dan campuran disentrifugasi (13.000 rpm; 25°C) selama 1 menit. Cairan yang berada di tabung koleksi dibuang dan spin-column dipasang kembali pada tabung koleksi. Sebanyak 500 µL buffer RPE ditambahkan ke dalam membran spin-column RNeasy dan disentrifugasi (13.000 rpm; 25°C) selama 1 menit. Cairan yang berada di tabung koleksi dibuang dan spincolumn dipasang kembali pada tabung koleksi. Sebanyak 500 µL buffer RPE ditambahkan ke dalam spin-column RNeasy dan campuran disentrifugasi (13.000 rpm; 25°C) selama 2 menit. Cairan yang berada di tabung koleksi dibuang dan spin-column dipasang ke dalam tabung koleksi 2 mL yang baru. Sebanyak 30-50 µL air bebas RNase atau air yang sudah diberi DEPC ditambahkan ke filter membran spin-column dan disentrifugasi (13.000 rpm; 25°C) selama 1 menit. Spin-column RNeasy dibuang dan tabung koleksi disimpan pada suhu -80°C. Kualitas dan kuantitas hasil isolasi RNA diperkirakan melalui elektroforesis gel agarosa 1% dan pengukuran absorbansi. Elektroforesis gel agarosa Elektroforesis gel agarosa disiapkan berdasarkan modifikasi Sambrook dan Russell (2001). Konsentrasi 1%
173
digunakan untuk memeriksa hasil isolasi RNA. Setelah larutan agarosa memadat menjadi gel, sisir dilepaskan dari cetakan dan dipasang pada bak elektroforesis. Buffer TAE 1× digunakan untuk merendam gel dalam bak elektroforesis. Loading mixture disiapkan dengan mencampurkan loading dye 6× dengan 4 µL isolat RNA di atas kertas parafilm. Loading mixture dimasukkan ke dalam masing-masing petak sumur. Sebanyak 3 µL marker DNA ladder (1 kb) juga dimasukkan ke dalam petak sumur. Bak elektroforesis ditutup dengan mengatur bagian kutub negatif pada kepala sumur. Mesin elektroforesis dinyalakan. Besar tegangan dan waktu operasi yang digunakan pada penelitian bervariasi antara 80-100 V selama 30-50 menit. Setelah selesai, mesin dimatikan dan gel dikeluarkan. Gel diamati di UV transilluminator dalam ruang gelap. Dokumentasi dilakukan dengan kamera yang dihubungkan dengan perangkat komputer. Sinar UV memendarkan pita DNA sehingga dapat ditangkap kamera dan dilihat melalui monitor komputer. Foto visualisasi gel disimpan dalam hard-disk komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolat RNA total diperoleh dari mesokarp kelapa sawit varietas Tenera-Nigrescens. Varietas tersebut digunakan sebagai sampel karena diketahui sebagai varietas yang menghasilkan minyak dengan kandungan asam palmitat (asam lemak jenuh) yang tinggi, yaitu 44% dari total asam lemak (Shah et al. 2004). Jaringan daging buah muda digunakan karena belum banyak mengandung minyak. Kandungan minyak pada buah dihindari karena dapat menyulitkan proses isolasi RNA. Buah yang masih muda sedang aktif dalam tahap pembelahan sel yang melibatkan sintesis RNA yang intensif, sehingga diharapkan dapat diperoleh isolat RNA total dalam jumlah banyak. Menurut Farrell (2005), jumlah RNA total dalam sel berkisar 1-5 × 10−5 μg. Sebanyak 80-85% RNA total terdapat dalam bentuk rRNA, 10-15% dalam bentuk tRNA, dan 1-4% dalam bentuk mRNA. Penggunaan isolat RNA total sebagai materi awal mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan menggunakan mRNA, yaitu RNA total mempunyai jumlah per-sel lebih banyak dibandingkan mRNA. Proporsi rRNA yang besar (dalam RNA total) dapat berperan sebagai target RNAse sehingga memperlambat digesti nonspesifik spesies mRNA (Invitrogen 2004). Visualisasi hasil isolasi RNA total melalui elektroforesis gel agarosa menunjukkan dua buah pita (Gambar 3). Menurut Rapley dan Heptinstall (1998), dua pita tersebut kemungkinan menunjukkan RNA ribosomal (rRNA) jenis 18S rRNA dan 28S rRNA yang merupakan komponen terbanyak dalam RNA total. Ketebalan (intensitas) dan ketajaman fluoresensi pita tersebut dapat menunjukkan kualitas isolat RNA total yang baik. Isolat RNA total yang diperoleh dalam penelitian mempunyai kualitas yang cukup baik karena memperlihatkan fluoresensi pita 18S rRNA dan 28S rRNA yang jelas.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 171-176, April 2015
174
Gambar 3. Isolat RNA total dari jaringan mesokarp buah kelapa sawit.
Tabel 1. Hasil pengukuran spektrofotometer isolat RNA total. Kode sampel A B C D E F G
Konsentrasi (ng/µL) 211,48 655,27 240,51 641,52 155,59 190,78 122,04
A260/A280
A260/A230
2,12 2,21 2,12 2,13 2.07 2,10 2,17
0,79 1,25 1,61 2,12 1,09 1,51 1,34
Hasil elektroforesis menunjukkan perbedaan intensitas fluoresensi dari setiap lajur isolat RNA total yang diperoleh, seperti pada isolat lajur B terhadap lajur E pada Gambar 3. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah RNA total yang dimasukkan ke dalam gel. Konsentrasi isolat RNA total lajur B dan E masing-masing adalah 155 dan 655 ng/µL. Sebanyak 4 µL dari masingmasing isolat RNA dimasukkan dalam gel. Dengan demikian, jumlah RNA total dalam gel masing-masing sampel adalah 620 dan 2.620 ng. Menurut Farrell (2005), jumlah RNA total yang dapat dimasukkan ke dalam gel adalah 15.000-20.000 ng. Akan tetapi, jumlah RNA total sebanyak 620-2.620 ng yang diperoleh dalam penelitian telah dapat memberikan visualisasi hasil yang jelas. Kontaminasi protein pada isolat RNA dapat diketahui dari fluoresensi pada bagian awal gel yang dekat dengan sumur (Bryant dan Manning 1998). Hal tersebut tidak dijumpai pada isolat RNA dalam penelitian, karena isolasi RNA menggunakan buffer guanidin yang mempunyai kemampuan denaturasi protein. Menurut Farrell (2005), kemampuan denaturasi protein dapat merubah struktur tersier molekul RNase sehingga menghambat daya rusaknya terhadap RNA. Ada 2 macam buffer guanidin dalam RNEasy Plant Mini Kit, yaitu buffer RLT (mengandung guanidine tiosianat/GITC) dan buffer RLC (mengandung guanidine hidroklorida/GuHCL). Elektroforesis hasil isolasi RNA menggunakan buffer RLT (Gambar 3; lajur B, C, E, F dan G) tidak berbeda dengan hasil isolasi dengan buffer RLC (Gambar 3; lajur A dan D).
Menurut Qiagen (2006), perbedaan kedua jenis buffer tersebut terletak pada kemampuan denaturasi, yaitu buffer RLT mempunyai daya denaturasi dan homogenisasi sel yang tinggi dibandingkan buffer RLC. Guanidin tiosianat/GITC dapat menonaktifkan enzim RNase, sehingga menghasilkan isolat RNA yang utuh (tidak terdegradasi). Selain itu, GITC juga dapat menghancurkan dan melarutkan sel dengan cepat. Guanidin tiosianat bekerja dengan melisiskan membran sel dan membuat RNA larut. Penambahan larutan fenol/kloroform pada larutan guanidin tiosianat dapat membuat pH larutan menjadi asam (pH 4). Pada kondisi asam, protein dan fragmen DNA (50 pb-10.000 pb) akan berada pada fase organik. Fragmen DNA yang lebih besar dan beberapa protein akan tetap berada pada fase interfase, sedangkan RNA berada pada fase cair (Ausubel et al. 2003). Molekul RNA yang terdapat pada fase cair akan terikat pada membran gel-silika yang terdapat pada spincolumn untuk dilakukan pencucian dan elusi RNA. Prosedur RNeasy Plant Mini dapat mengisolasi semua molekul RNA yang berukuran lebih dari 200 nukleotida, dengan demikian secara langsung dapat meningkatkan diperolehnya isolat mRNA karena molekul RNA yang berukuran kurang dari 200 nukleotida secara selektif akan dibuang. Smear tipis tampak pada isolat RNA total yang diperoleh dalam penelitian. Menurut Farrell (2005), smear dapat menunjukkan komponen RNA seperti mRNA dan tRNA. Komponen mRNA tampak sebagai smear karena sedikitnya jumlah mRNA (1-4% dari RNA total) dan heterogenitas ukuran mRNA yang tinggi. Komponen tRNA dan rRNA termasuk RNA dengan berat molekul yang rendah sehingga terlihat sebagai smear tipis di bawah pita 18S rRNA hingga mendekati bagian akhir gel. Smear di sepanjang jalur migrasi RNA juga dapat menunjukkan degradasi sampel akibat kontaminasi RNase selama proses isolasi (Bryant dan Manning 1998). Selain pemeriksaan integritas (keutuhan) isolat RNA melalui elektroforesis gel agarosa, dilakukan juga pemeriksaan kuantitas dengan spektrofotometri. Konsentrasi RNA dapat diketahui dengan mengukur jumlah serapan cahaya (absorbansi) ultraviolet (UV)
AMANDA & CARTEALY – Isolasi RNA dari mesokarp buah Elaeis guineenssis Jacq. var. Tenera
sampel pada panjang gelombang (λ) 260 nm (A260). Nilai A260 isolat RNA total berkisar 3,05-16,39. Nilai 1 pada A260 dari RNA untai-tunggal (ss-RNA) mewakili 40 µg/mL RNA. Dengan demikian, konsentrasi isolat RNA total berkisar 122-655 ng/µL (Tabel 1). Keberadaan kontaminan juga dapat diketahui melalui spektrofotometer. Menurut Rapley dan Heptinstall (1998), polisakarida menyerap cahaya UV terbanyak pada λ230 nm dan protein pada λ280 nm. Tingkat kemurnian RNA dapat diketahui dengan mengukur jumlah absorbansi sampel pada λ230 nm, λ260 nm, dan λ280 nm, kemudian mengukur besar perbandingan (rasio) A260 terhadap A280 dan rasio A260 terhadap A230. Menurut Farrell (2005), isolat RNA murni mempunyai rasio A260/A280 sebesar 2,0 ± 0,1. Rasio A260/A280 yang rendah menunjukkan kontaminasi protein. Rasio A260/A280 dari isolat RNA total pada penelitian berkisar 2,07-2,21 (Tabel 1). Isolat tersebut mempunyai kemurnian terhadap protein yang cukup baik. Rasio A260/A230 dari isolat RNA total yang diperoleh berkisar 0,79-2,12 (Tabel 1). Menurut Farrell (2005), isolat RNA murni mempunyai rasio A260/A230 sebesar 2,0-2,4. Nilai rasio A260/A230 di bawah atau melebihi kisaran 2,0-2,4 dapat disebabkan oleh sisa buffer guanidin atau βmerkaptoetanol yang terbawa selama proses isolasi RNA. Rasio A260/A230 yang rendah juga dapat menunjukkan kontaminasi polisakarida (Rapley dan Heptinstall 1998). Sampel D mempunyai nilai A260/A230 yang berada dalam kisaran isolat RNA murni, yaitu 2,12 (Tabel 1). Isolat RNA total yang lain mempunyai nilai A260/A230 di bawah kisaran isolat RNA murni, yaitu sampel A, B, C, E, F, dan G (Tabel 1). Menurut Wang dan Young (2003), kemurnian template RNA (bebas dari kontaminasi protein, polisakarida maupun DNA) dan integritas RNA (degradasi minimal) merupakan faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan sintesis cDNA full-length. Selain isolasi RNA total dari sampel buah segar (fresh), dalam penelitian dilakukan pula isolasi dari buah yang dibekukan (frozen). Perbandingan hasil elektroforesis isolat RNA total dari sampel fresh (Gambar 3 lajur D dan E) dan sampel yang disimpan beku selama 3 bulan (Gambar 3 lajur A, B dan C) tidak memperlihatkan perbedaan pita yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel frozen tidak mengalami perubahan selama proses penyimpanan. Sampel frozen dibekukan dalam nitrogen cair dan disimpan dalam freezer −80° C. Menurut Corley dan Tinker (2003), suhu nitrogen cair yang rendah (hingga −196° C) dapat menghentikan proses biokimia, seperti degradasi materi genetik oleh aktivitas enzim-enzim yang terdapat dalam sel. Oleh karena itu, materi genetik yang diinginkan (RNA) dapat diperoleh setelah masa penyimpanan. Degradasi RNA oleh RNase merupakan salah satu masalah utama dalam isolasi RNA. Enzim RNase bersifat stabil karena tidak membutuhkan kofaktor untuk aktivitasnya. Aktivitas RNAse yang tinggi dijumpai pada beberapa tipe jaringan dan sel. Enzim tersebut juga dapat berasal dari kontaminasi selama isolasi RNA. Kulit manusia merupakan sumber kontaminasi RNAse, sehingga sarung tangan perlu dikenakan setiap menangani peralatan dan bahan yang digunakan. Ruang kerja juga perlu dijaga
175
sebersih mungkin. Tindakan pencegahan degradasi RNA oleh RNAse diperlukan agar diperoleh RNA dengan hasil dan konsentrasi yang baik. Tindakan pencegahan tersebut diantaranya memanaskan peralatan gelas yang akan digunakan pada 250° C selama 4 jam. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan merendam peralatan gelas dalam larutan dietilpirokarbonat (DEPC) 0,1% selama 12 jam pada 37° C, kemudian diautoklaf untuk menghilangkan DEPC. Selain DEPC, larutan lain yang dapat digunakan adalah hidrogen peroksida (H2O2) 3% dan campuran NaOH 0,5 N dan SDS 0,5% (Farrell 2005). Pergerakan udara yang dapat mengantarkan debu pada sampel, peralatan, dan bahan kerja perlu dikurangi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Wahyu Purbowasito dan Retno Lestari atas perhatian, ilmu, dan bimbingan selama ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh staf Laboratorium Teknologi, staf Laboratorium Recovery, staf Mercian, atas waktu, diskusi, bantuan dan perhatian yang diberikan selama penulis melakukan penelitian. Penelitian ini bisa terselenggara karena proyek riset bersama (Palm Oil Project) antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Bakrie and Brothers, Co. dan Mitsubishi Chemical, Co. DAFTAR PUSTAKA Ausubel FM, Brent R, Kingston RE, Moore DD, Seidman JG, Smith JA, Struhl K. 2003. Current Protocols in Molecular Biology. Volume I. John Wiley & Sons, Inc., New York. Bryant S, Manning DL. 1998. Isolation of messenger RNA. Methods Mol Biol 86: 61-64. Fairhurst TH, Mutert E. 1999. Introduction to oil palm production. Better Crops Intl 13 (1): 3-6. Farrell RE. 2005. RNA methodologies: A laboratory guide for isolation and characterization. 3rd ed. Elsevier Academic Press, Burlington. Invitrogen. 2004. Instruction manual: 5´ RACE system for rapid amplification of cDNA ends. Version 2.0. Catalog no. 18374-058. Version E 50327. Invitrogen Corporation, Carlsbad. Mandal MNA, Santha IM, Lodha ML, Mehta SL. 2000. Cloning of acylacyl carrier protein (ACP) thioesterase gene from Brassica juncea. Biochemical Society Transactions 28 (6): 967-969. Omidvar V, Abdullah SNA, Chai LH, Mahmood M. 2013. Isolation and characterization of an ethylene-responsive element binding protein (EgEREBP) from oil palm (Elaeis guineensis). Aust J Crop Sci AJCS 7 (2): 219-226. Pasaribu N. 2004. Minyak Buah Kelapa Sawit. Universitas Sumatera Utara, Medan. Qiagen. 2006. RNeasy® mini handbook. 4th ed. Qiagen, Texas. Rapley R, Heptinstall J. 1998. UV spectrophotometric analysis of ribonucleic acids. In: Rapley R, Manning DL (eds.). 1998. Methods in molecular biology. Vol. 86. RNA: Isolation and characterization protocols. Humana Press Inc., Totowa. Reece RJ. 2004. Nucleic Acid Blotting. In: Analysis of Genes and Genomes. John Wiley and Sons Ltd., England. Sambrook J, Russell DW. 2001. Molecular cloning: A laboratory manual. Vol. 2. 3rd ed. Cold Spring Harbour Laboratory Press, New York. Shah FH, Bhore SJ, Cha TS, Tan CL. 2004. Current status in genetic alteration of fatty acid composition in oil palm. Proceedings of 16th International Plant Lipid Symposiums, 1-4 June 2004, Budapest, Hungary: 84-87. Sukariawan A, Purwantoro A, Utomo C. 2006. Isolasi gen palmitoyl-ACP thioesterase pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Agrosains 19 (2): 97-108.
176
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 171-176, April 2015
Tryfino. 2006. Potensi dan prospek industri kelapa sawit. Econ Rev 206: 1-7. Wahid MB, Abdullah SNA, Henson IE. 2005. Oil palm: Achievement and potential. Oil Palm Bull 50: 1-13. Wang D, Wang B, Li B, Duan C, Zhang J. 2004. Extraction of total RNA from Chrysanthemum containing high levels of phenolic and carbohydrates. Colloids Surf. B. Biointerfaces 36:111-114. Wang X, Young III WS. 2003. Rapid amplification of cDNA ends. In: Bartlett, JMS, Stirling D. 2003. Methods in molecular biology. Vol. 226. PCR Protocols. 2nd ed. Humana Press Inc., Totowa.
Xiao Y, Yang Y, Cao H, Fan H, Ma Z, Lei X, Mason AS, Xia Z, Huang X. 2012. Efficient isolation of high quality RNA from tropical palms for RNA-seq analysis. Plant Omics J 5 (6): 584-589. Yang J, Zhang C, Wang Z. 2006. Comparison and improvement of different methods of RNA isolation from Phaseolus radiatus L. Mol Pl Breed 5: 731-734. Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Andi Offset, Yogyakarta.
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 184-188
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010203
Seleksi bakteri asam laktat sebagai penghasil enzim protease Selection of lactic acid bacteria as a protease enzyme producer RUTH MELLIAWATI♥, APRIDAH CAMELIAWATI DJOHAN, YOPI Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Raya Bogor km. 46, Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Tel./Fax. +6221-8754587/8754588, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 1 Desember 2014. Revisi disetujui: 15 Januari 2015.
Abstrak. Melliawati R, Djohan AC, Yopi. 2015. Seleksi bakteri asam laktat sebagai penghasil enzim protease. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 184-188. Telah diseleksi bakteri asam laktat koleksi BTCC yang berasal dari dadih dan danke sebagai penghasil protease. Medium seleksi menggunakan MRSA + CaCO3 0.5%, medium skim milk agar (SMA) dan susu pasteurisasi. Hasil seleksi menunjukkan bahwa dari 42 isolat BTCC yang diuji, 36 isolat mampu menghasilkan asam laktat dan 20 isolat diantaranya memberikan indeks zona bening ≥ 2. Sementara itu, uji proteolitik dihasilkan 18 isolat mampu menghidrolisis protein dan 8 isolat diantaranya memberikan indeks zona bening di atas 1,6. Diantara bakteri yang diuji, isolat kode DR 1-3-2 (Lactobacillus plantarum strain LAB12) menghasilkan aktivitas enzim protease paling tinggi yaitu sebesar 0,598 unit/mL selama proses fermentasi 72 jam. Optimasi media dan faktor lingkungan perlu dilakukan untuk meningkatkan aktivitas enzim secara maksimal. Kata kunci: Bakteri asam laktat, asam laktat, enzim protease, aktivitas enzim protease
Abstract. Melliawati R, Djohan AC, Yopi. 2015. Selection of lactic acid bacteria as a protease enzyme producer. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 184-188. Selection of lactic acid bacteria producing protease enzyme from the BTCC collection was conducted from buttermilk and danke. Selection medium used MRSA + CaCO3 0.5%, skim milk agar (SMA) medium and pasteurized milk. The result showed that of 42 isolates tested, 36 isolates produced lactic acid, and 20 isolates of the lactic acid producing isolates showed clear zone index ≥ 2. Meanwhile, the proteolytic test resulted in 18 isolates that were able to hydrolyze protein, and 8 isolates of the hydrolyzing protein isolates showed clear zone index above 1.6. Among the tested bacteria, isolate DR 1-3-2 (Lactobacillus plantaruum LAB12 strain) exhibited the highest activity of protease enzyme, up to 0,598 units/mL during 72-hour fermentation. Media optimization and environmental factors need to be controlled to maximize the enzyme activity. Keywords: Lactic acid bacteria, lactic acid, enzyme protease, the enzyme protease activity
PENDAHULUAN Bakteri asam laktat (BAL) adalah bakteri gram negatif berbentuk kokus atau batang. Di dalam proses fermentasi, BAL mengubah senyawa molekul organik komplek seperti protein, karbohidrat dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana, mudah larut dan kecernaan tinggi. BAL disebut juga sebagai biopreservatif karena mempunyai peran dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mampu memberikan dampak positif bagi kesehatan manusia (Hugas 2008). Koleksi BAL di Pusat Penelitian Bioteknologi sebagian sudah dimanfaatkan untuk membuat silase ( Ridwan et al. 2005; Ratnakomala 2006). Penggalian potensi bakteri asam laktat perlu terus dilakukan, mengingat penggunaan bakteri (mikroorganisme) dalam industri sangat diperlukan. Beberapa keuntungan bila menggunakan mikroorganisme adalah dapat diproduksi dalam skala besar, waktu yang diperlukan untuk produksi relatif efisien dan dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan biaya relatif rendah.
Enzim sangat berperan dalam industri diantaranya adalah protease, terutama dalam aplikasi bioteknologi (Mohen et al. 2005) Aplikasi protease sangat luas di berbagai industri, misalnya industri pangan (Pastor et al. 2001), industri farmasi (Anwar and Saleemuddin 1998; Gupta et al. 2002), sintesa peptida (Kumar and Hiroshi 1999), prosesing kulit (George et al. 1995), dalam proses penenunan (Helmann 1995) dan proses pengempukan daging (Takagi et al. 1992; Wilson et al. 1992). Protease disebut juga peptidase atau proteinase, merupakan enzim golongan hidrolase yang akan memecah protein menjadi molekul yang lebih sederhana, seperti menjadi oligopeptida pendek atau asam amino (Watanabe and Hayano 1994), dengan reaksi hidrolisis pada ikatan peptida (Poliana and MacCabe 2007). Enzim protease diperlukan oleh semua makhluk hidup karena bersifat esensial dalam metabolisme protein (Poliana and MacCabe 2007). Peranannya dalam tubuh antara lain membantu pencernaan protein dalam makanan, menggunakan kembali protein-protein intraseluler, koagulasi sel darah, dan aktivasi berbagai jenis protein, enzim, hormon, serta neurotransmiter.
MELLIAWATI et al. – Bakteri asam laktat sebagai penghasil enzim protease
Dengan mengetahui betapa diperlukannya enzim dalam berbagai bidang industri dan kesehatan dan sementara itu untuk memenuhi kebutuhan enzim masih tergantung dari produk import, maka tujuan penelitian ini adalah menyeleksi bakteri asam laktat (koleksi Pusat penelitian Bioteknologi) sebagai penghasil enzim protease dan mengetahui kemampuan aktivitas enzim proteasenya dari isolat BAL yang terseleksi. BAHAN DAN METODE Bakteri asam laktat Empat puluh dua isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) koleksi BTCC yang berasal dari dadih (makanan fermentasi susu dari Sumatera Barat) dan danke (makanan dari susu yang dikoagulasi menggunaan getah buah papaya) digunakan sebagai material penelitian. Medium Medium untuk perbanyakan sel bakteri dan produksi enzim protease digunakan medium GYS yaitu 0,3% glukosa, 1% Yeast extract, 2% Skim Milk (Nurhasanah 2010). Seleksi potensi asam terhadap BAL Untuk menyeleksi BAL yang memiliki potensi dalam menghasilkan asam, maka dilakukan seleksi dengan menggunakan medium MRSA + CaCO3 0.5% (Khunajakr et al. 2008). Inkubasi dilakukan selama 68 jam pada suhu ruang (26°C). Adanya zona bening disekitar koloni bakteri menunjukkan bakteri tersebut menghasilkan asam. Pengukuran besarnya zona bening dilakukan untuk mengetahui besarnya kemampuan bakteri dalam menghasilkan asam yaitu dengan rumus indeks zona bening pada persamaan: Indeks zona bening asam =
Seleksi potensi protease terhadap BAL Seleksi dilakukan dengan menggunakan medium SMA (skim milk agar) dan susu pasteurisasi. Inkubasi dilakukan selama 68 jam pada suhu ruang (26°C). Bakteri yang menghasilkan zona bening disekitar koloni bakteri, berarti positif menghasilkan enzim protease (Taheri et al. 2009). Besarnya diameter zona bening dihitung dengan rumus indeks zona bening pada persamaan: Indeks zona bening protease =
Uji aktivitas enzim dan kadar protein Uji aktivitas enzim protease dilakukan menggunakan metode dari Meloan and Pomeranz (1973) yang telah dimodifikasi. Kadar protein diukur menggunakan
185
spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm dengan asumsi bahwa 1% larutan enzim adalah 10. Proses fermentasi pembuatan enzim protease Enam BAL terpilih (DP 1-1-2, DP 1-4-1, DR 1-3-2, DR 1-7-3, DSB 4-2, L. Acidophillus ) diinokulasikan sebanyak satu ose ke medium 10 mL dalam Erlenmeyer 100 mL, kemudian inkubasi selama 24 jam pada suhu kamar. Sebanyak 5% dari kultur bakteri tersebut di inokulasikan ke dalam Erlenmeyer 500 mL yang berisi 100 mL medium yang sama, selanjutnya di inkubasikan selama 24 -72 jam pada suhu kamar. Substrat hasil fermentasi di sentrifugasi pada 10.000 rpm selama 10 menit. Filtrat berupa enzim kasar selanjutnya dianalisis. Tiga isolat BAL yang memberikan hasil aktivitas tertinggi, difermentasi kembali pada medium yang sama (GYS) selama 24-72 jam untuk mencari aktivitas enzim tertinggi dan untuk mengetahui lama fermentasi yang diperlukan untuk mencapai hasil tertinggi. Pembuatan enzim protease dilakukan dengan menggunakan BAL terseleksi dengan kondisi fermentasi terbaik. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian terhadap 42 isolat BAL dalam medium padat MRSA yang mengandung 0,5% CaCO3, menunjukkan bahwa 36 isolat mampu menghasilkan asam dengan memperlihatkan zona bening disekitar koloni (Tabel 1). Terbentuknya zona bening menunjukkan bahwa bakteri tersebut menghasilkan metabolit sekunder (asam laktat) yang berlebih sehingga kelebihan asam laktat diperlihatkan dengan adanya zona bening disekitar koloni bakteri. Tiap bakteri mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengatasi kondisi lingkungannya, baik terhadap pertumbuhan koloninya maupun dalam menghasilkan metabolit sekundernya, seperti isolat bakteri DP 1-3-1, DP 1-3-2 dan DSK -1 baru terlihat zona bening setelah lebih 3 hari inkubasi, sedang 3 bakteri lagi tidak tumbuh dalam medium MRSA. Hasil pengamatan, 20 isolat bakteri memberikan indek zona bening lebih besar atau sama dengan 2 (≥2), sedang 16 isolat bakteri memberikan indeks zona bening kurang dari 2 tetapi lebih dari atau sama dengan 1 (≥1<2). Luas zona bening yang terbentuk oleh bakteri tersebut menunjukkan kemampuan bakteri dalam mengsekresikan asam ke dalam medium yang mengandung CaCO3. Hasil pengamatan terhadap 42 isolat BAL yang diuji dalam medium Skim Milk, 18 isolat bakteri mampu menghidrolisis protein dengan menunjukkan zona bening disekitar koloni. Delapan (8) isolat bakteri di antaranya memberikan indeks zona bening di atas 1,6 cm dan 10 isolat mempunyai indek zona bening di atas 1,33 tetapi di bawah indek 1,6 (>1,33 < 1,6). Sementara itu hasil penelitian Utami et al. (2012), melaporkan bahwa salah satu isolat BAL yang diisolasi dari kakao (G6) memiliki zona bening terbesar yaitu 15 mm sedang isolat dari whey tahu (LnA4) menghasilkan zona bening 10 mm (Wardani dan Lia 2012). Bila dilihat dari zona bening yang dihasilkan oleh isolat BAL yang berasal dari dadih,
186
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 184-188, April 2015
menghasilkan zona bening lebih luas dari pada isolat BAL dari Kakao dan whey tahu. Hal tersebut karena dadih dan danke merupakan produk hasil fermentasi susu dan susu adalah salah satu media pertumbuhan yang baik untuk bakteri (BAL), maka kemungkinan BAL yang ada di dalamnya sangat mempunyai potensi dalam menghasilkan enzim protease sehingga dari hasil seleksi ini, diperolehnya BAL dengan zona bening yang lebih luas.
Hasil uji terhadap kemampuan mengkoagulasi susu menunjukkan bahwa semua isolat BAL yang diuji, dapat mengkoagulasi susu pada hari 1 dan 2. Koagulasi terjadi karena bakteri dalam susu memfermentasi laktosa, menghasilkan asam laktat. Derajat keasaman susu menurun menyebabkan protein susu, yaitu kasein mengkoagulasi. Pada Tabel 2, tercatat bahwa isolat bakteri DP 1-4-1, DR 1-3-2, DR 1-7-3, DSB 4-2 menunjukkan indeks
Tabel 1. Hasil uji dalam medium MRSA + CaCO3 terhadap bakteri BTTC
Tabel 2. Hasil uji dalam medium Skim Milk Agar terhadap 42 isolat bakteri BTCC
Diameter DiamIndeks Zona zona eter asam bening Kode bening koloni Sumber laktat asam isolat asam H3 H3 H3 H3 (cm) (cm) DP 1-1-1 Dadih Palembang + 1.10 0.50 2.20# DP 1-1-2 Dadih Palembang + 1.00 0.50 2.00# DP 1-2 Dadih Palembang + 1.10 0.50 2.20# DP 1-3-1 Dadih Palembang +* 0.60 DP 1-3-2 Dadih Palembang +* 0.80 DP 1-4-1 Dadih Palembang + 0.90 0.50 1.80 DP 2-1-2 Dadih Palembang + 1.00 0.50 2.00# DR 1-1-1 Dadih Riau + 0.70 0.40 1.75 DR 1-1-2 Dadih Riau + 0.70 0.30 2.33# DR 1-2-1 Dadih Riau + 1.20 0.80 1.50 DR 1-2-2 Dadih Riau + 0.90 0.40 2.25# DR 1-3-1 Dadih Riau + 1.30 0.80 1.63 DR 1-3-2 Dadih Riau + 1.20 0.60 2.00# DR 1-6 Dadih Riau + 0.50 0.30 1.67 DR 1-6-2 Dadih Riau DR 1-7-1 Dadih Riau + 1.30 0.40 3.25# DR 1-7-2 Dadih Riau + 1.30 0.50 2.60# DR 1-7-3 Dadih Riau + 0.90 0.40 2.25# DR 1-7-4 Dadih Riau + 0.90 0.40 2.25# DR 1-8-3 Dadih Riau + 1.10 0.60 1.83 DR 2-1-1 Dadih Riau DR 2-1-2 Dadih Riau + 1.20 0.70 1.71 DR 2-2-3 Dadih Riau + 0.90 0.30 3.00# DR 2-3-1 Dadih Riau + 0.70 0.30 2.33# DR 2-3-2 Dadih Riau + 0.70 0.40 1.75 DR 2-4-1 Dadih Riau + 0.70 0.40 1.75 DR 2-4-2 Dadih Riau + 0.50 0.30 1.67 DR 3-1-2 Dadih Riau + 0.60 0.40 1.50 DR 3-1-3 Dadih Riau + 1.00 0.40 2.50# DR 3-2-1 Dadih Riau + 0.60 0.30 2.00# DR 3-3-1 Dadih Riau DR 3-3-2 Dadih Riau + 1.00 0.40 2.50# DR 4-1 Dadih Riau + 0.50 0.30 1.67 DR 4-2 Dadih Riau + 0.50 0.50 1.00 DSB 1-1 Dadih Sumatera Barat + 0.40 0.30 1.33 DSB 4-2 Dadih Sumatera Barat + 0.70 0.40 1.75 DSB 6-3 Dadih Sumatera Barat + 0.90 0.40 2.25# DSB 6-5 Dadih Sumatera Barat + 1.10 0.40 2.75# DSB-1 Dadih Sumatera Barat + 1.20 0.70 1.71 DSK-1 +* 0.30 DSS 2-2 Danke Sulawesi Selatan + 1.00 0.40 2.50# DSS 2.1 Danke Sulawesi Selatan + 1.00 0.40 2.50# Keterangan: * = zona bening asam laktat muncul setelah lebih dari 3 hari; - = tidak ada pertumbuhan/zona bening/data; + = ada pertumbuhan/zona bening; # = indeks asam laktat di atas 2
DiamDiameter eter Indeks KoaguKode zona koloni protease lum Sumber isolat bening H5 H5 H1/H2 protease (cm) H5 (cm) DP 1-1-1 Dadih Palembang 0.3 0.2 1.50 -/+ DP 1-1-2 Dadih Palembang 0.8 0.4 2.00# -/+ DP 1-2 Dadih Palembang -/+ DP 1-3-1 Dadih Palembang 1.3 0.7 1.86# -/+ DP 1-3-2 Dadih Palembang 1.4 0.9 1.56 -/+ DP 1-4-1 Dadih Palembang 0.5 0.2 2.50# (-/+) DP 2-1-2 Dadih Palembang -/+ DR 1-1-1 Dadih Riau -/+ DR 1-1-2 Dadih Riau -/+ DR 1-2-1 Dadih Riau 0.4 0.3 1.33 -/+ DR 1-2-2 Dadih Riau 1.2 0.8 1.50 -/+ DR 1-3-1 Dadih Riau -/+ DR 1-3-2 Dadih Riau 0.9 0.3 3.00# (-/+) DR 1-6 Dadih Riau -/+ DR 1-6-2 Dadih Riau -/+ DR 1-7-1 Dadih Riau 0.5 0.3 1.67# (-/+) DR 1-7-2 Dadih Riau 1.3 1.0 1.30 -/+ DR 1-7-3 Dadih Riau 0.8 0.3 2.67# (-/+) DR 1-7-4 Dadih Riau -/+ DR 1-8-3 Dadih Riau -/+ DR 2-1-1 Dadih Riau -/+ DR 2-1-2 Dadih Riau -/+ DR 2-2-3 Dadih Riau +/+ DR 2-3-1 Dadih Riau -/+ DR 2-3-2 Dadih Riau -/+ DR 2-4-1 Dadih Riau -/+ DR 2-4-2 Dadih Riau -/+ DR 3-1-2 Dadih Riau 1.7 1.5 1.13 -/+ DR 3-1-3 Dadih Riau 1.7 1.5 1.13 -/+ DR 3-2-1 Dadih Riau 0.5 0.3 1.67# -/+ DR 3-3-1 Dadih Riau -/+ DR 3-3-2 Dadih Riau -/+ DR 4-1 Dadih Riau 0.4 0.3 1.33 -/+ DR 4-2 Dadih Riau -/+ DSB 1-1 Dadih Sumatera Barat 0.4 0.3 1.33 -/+ DSB 4-2 Dadih Sumatera Barat 6.5 1.7 3.82# (+/+) DSB 6-3 Dadih Sumatera Barat -/+ DSB 6-5 Dadih Sumatera Barat -/+ DSB-1 Dadih Sumatera Barat 1.4 0.9 1.56 -/+ DSK-1 -/+ DSS 2-2 Danke Sulawesi Selatan -/+ DSS 2.1 Danke Sulawesi Selatan -/+ Keterangan: - = tidak ada zona bening/data/koagulum; + = ada zona bening/koagulum; # = indeks protease di atas 1.6; ( ) = memiliki potensi tinggi
MELLIAWATI et al. – Bakteri asam laktat sebagai penghasil enzim protease
187
Bakteri
Zona bening Gambar 1. Zona bening isolat DR 1-7-1 (kiri) dan isolat DSB 4-2 (kanan)
Tabel 3. Hasil rendemen (%) oleh 3 isolat Bakteri Asam Laktat pada medium susu pasteurisasi % Inokulum (dalam 40 mL susu) 6% 6% 6%
Rendemen (%) 26,56 19,51 25,39
Kandungan Protein (mg/ml)
Isolat bakteri /kode B-628 B-804 B-633
Protein 17.2 17 16.8 16.6 16.4 16.2 16 15.8 15.6 15.4 15.2 15 1
2
3 4 Kode bakteri
6
Prot ein
100
Gambar 3. Kandungan protein dari 6 isolat bakteri BTCC setelah melalui proses fermentasi selama 24 jam pada suhu kamar.
80 60 40 20
0.7
0 1
2
3
4
5
6
Bakteri Aktiv. Protease
Gambar 2. Hasil aktivitas protease dari 6 isolat bakteri BTCC dalam medium GYS yang difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Keterangan: Kode bakteri: 1. DP 1-1-2, 2. DP 1-4-1, 3. DR 1-3-2, 4. DR 1-7-3, 5. DSB 4-2, 6. Lactobacillus acidophillus ( B-628)
A ktiv. Pro tease (U n it/m l)
A ktiv. Pro tease (% relatif)
120
5
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 24 jam
48 jam
L.a
protease di atas 2,50. Hal ini dapat diartikan bahwa BAL tersebut mempunyai potensi untuk menghasilkan enzim protease. Terbentuknya zona bening disekitar koloni bakteri, menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu memproduksi senyawa (asam, enzim dsb) yang diekspresikan keluar secara berlebihan. Dapat disampaikan bahwa bakteri yang menghasilkan zona bening yang luas mempunyai potensi yang besar menghasilkan produk metabolit sekunder, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1 A. Isolat DR 1-7-1 yang mengeluarkan asam laktat dan Gambar 1B. Isolat DSB 4-2 yang mengeluarkan enzim protease.
72 jam
Waktu Fermentasi DR 1-3-2
DR 1-7-3
Gambar 4. Hasil aktivitas protease dari 3isolat bakteri selama proses fermentasi 24-72 jam
Pengujian 3 isolat BAL terhadap besarnya rendemen pada medium susu yang dipasteurisasi diperlihatkan pada Tabel 3. Hasilnya menunjukkan bahwa 2 isolat BAL ( B628 dan B-633) menghasilkan rendemen yang tidak berbeda nyata. Rendemen tertinggi dihasilkan oleh isolat BAL B-628 sebesar 26,56%.
188
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 184-188, April 2015
Untuk selanjutnya pengujian secara kuantitatif dilakukan terhadap 6 isolat BAL yaitu DP 1-1-2, DP 1-4-1, DR 1-3-2, DSB 4-2, DR 1-7-3 dan isolat B-628 (Lactobacillus acidophillus). Hasil aktivitas enzim protease dari 6 isolat bakteri tersebut diperlihatkan pada Gambar 2. Aktivitas enzim (% relatif) tertinggi didapat oleh B-628 kemudian kedua oleh isolat bakteri DR 1-3-2 (77,61%) dan ketiga oleh isolat DR 1-7-3 (75,67%). Sementara itu hasil analisis kadar protein menunjukkan bahwa isolat DP 1-4-1 memperoleh protein tertinggi yaitu 16,95 mg/mL yang diikuti oleh isolat DSB 4-2 dan B-628 masing masing 16,4 mg/mL (Gambar 3). Hasil uji secara kuantitatif terhadap 6 isolat tersebut diatas, 3 isolat diantaranya dipilih untuk diuji ketahap berikutnya untuk mengetahui waktu fermentasi yang diperlukan dalam menghasilkan aktivitas enzim terbaik. Isolat yang diuji adalah isolat DR 1-7-3, DSB 4-2 dan B-628. Pada Gambar 4. diperlihatkan hasil aktivitas enzim protease pada ketiga isolat bakteri uji. Terlihat bahwa untuk isolat bakteri DR 1-7-3 pada lama fermentasi 24 jam dapat menghasilkan aktivitas protease sebesar 0,41 unit/mL, sementara itu untuk isolat bakteri DR 1-3-2 aktivitas protease tertinggi dicapai pada waktu fermentasi 72 jam diperoleh sebesar 0,598 unit/mL. Penelitian Naiola dan Nunuk (2007), melaporkan bahwa aktivitas enzim spesifik dari Bacillus sp. menggunakan media dedak dan limbah cair tahu diperoleh sebesar 5,71 U/mg sedang Wardani dan Lia (2012) dalam penelitiannya yang menggunakan isolat LnA4 (isolat dari whey tahu) menghasilkan aktivitas enzim spesifik sebesar 0,123 U/mg. Sementara itu, aktivitas enzim yang diperoleh dari hasil penelitian ini masih belum optimal, oleh karena itu untuk meningkatkan aktivitas enzim yang dihasilkan oleh isolat bakteri DR 1-3-2 akan dilakukan optimasi terhadap medium atau mencari media yang lebih tepat dengan melibatkan faktor lingkungan (pH dan suhu). Tiga puluh enam (36) isolat bakteri mampu menghasilkan asam laktat dan 20 isolat diantaranya memberikan indek zona bening ≥ 2. Uji proteolitik dihasilkan 18 isolat bakteri mampu menghidrolisis protein dan 8 isolat diantaranya memberikan indek zona bening di atas 1,6. Isolat bakteri DR 1-3-2 (Lactobacillus plantarum strain LAB12) menghasilkan aktivitas enzim tertinggi (0,598 unit/mL) selama proses fermentasi 72 jam. Untuk meningkatkan aktivitas enzim secara optimal perlu dilakukan optimasi medium dan faktor lingkungan. UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan proyek PN Meat Pro yang telah memberikan dana untuk melakukan penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Kepala Bidang Bioproses yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Yantiati Widyastuti yang telah memberikan koleksi BTTC untuk digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Anwar A, Saleemuddin M. 1998. Alkaline proteases. A Review. Bioresour Technol 6 (3): 175-183. Barnes DL, Harper SJ, Bodyfelt WF, McDaniel MR. 1991. Prediction of consumer acceptability of yoghurt by sensory and analytical measures of sweetness and sourness. Dairy Sci 74: 3746-3754. Barret AJ, Rawlings ND, Woessner JF. 2004. Handbook of Proteolytic Enzymes. Elsevier, London. Geoge S, Raju V, Krishan MRV, Subramanian TV, Jayaraman K. 1995. Production of protease by Bacillus amyloliquefaciens in solidstate fermentation and its application in the unlairing of hides and skins. Proces Biochem 30: 457-462. Gupta R, Beg QK, Lorenz P. 2002. Bacterial alkaline proteases: Molecular approaches and industrial application. Appl Microbiol Biotechnol 59: 15-32. Helmann JD. 1995.Compilation and analylis of Bacillus substilis SAdependent promotes sequences: evidence for extended contact between RNA polymerase and upstream promotes DNA. Nucl Acids Res 23: 2351-2360 Hugas M. 1998. Bacteriocinogenic lactic acid bacteria for the biopreservation of meat and meat products. Meat Sci 49 (1): S139S150. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0309174098900444 Kunajakr A, Aporn W, Duangtip M, Sukon T. 2008. Sreening and Identification of Lactic Acid Bacteria Producing Antimicrobial compounds from Pig Gastrointestinal Traccts. KMITL Sci. Tech J 8 (1): 8-11. Kumar A, Sachdev A, Balasubramanyam SD, Saxena AK, Lata A. 2002. Optimization of condition for production of neutral and alkaline protease from species of Bacillus and Pseudomonas. Ind J Microbiol 42: 233-236. Kumar CG, Hiroshi T. 1999. Microbial alkaline protease from a bioindustrial vino point. Biotechnol Adv 17: 561-594. Mohen FN, Dileep D, Deepthi D. 2005. Potential application of protease isolated from Psudomonas auriginosa PD100. Biotechnol Ind 8: 197203. Naiola E. dan Nunuk W. 2007. Semi purifikasi dan karakterisasi enzim protease Bacillus sp. Berkala Penel Hayati 13: 51-56 Nurhasanah A. 2010. Produksi enzim protease dari bakter Lactobacilli untuk sediaan bahan baku suplemen kesehatan.. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/20381/ Pastor MD, Lorda GS, Baltti A. 2001. Protease obtention using Bacillus substills 3411 and amaranth seed meal medium at different aeration ratio. Braz J Microbiol 32: 1-8. Poliana J, MacCabe AP. 2007. Industrial Enzymes; Structure, Function, and Applications. Springer, Dordrecht. Ridwan R, Ratnakomala S, Kartina G, Widyastuti Y. 2005. Pengaruh penambahan dedak padi dan Lactobacillus plantarum 1BL-2 dalam pembuatan silase rumput gajah (Pennisetum purpureum). Media Peternakan 28 (3): 117-123 Ratnakomala S, Ridwan R, Kartina G, Widyastuti Y. 2006. Pengaruh inokulum Lactobaccilus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap kualitas silase rumput gajah (Pennisetum purpureum). Biodiversitas 7 (2): 131-134 Takagi H, Kondou M, Hisatsuka T, Nakamuris K, Tsai YC, Yamsaki M. 1992. Effect of an alkaline elastase from an alkalophillic Bacillus stain on the tenderization of beef meat. J Agric Food Chem 46: 23642368. Utami LS, Sumaryati S, Jamsari. 2012. Isolasi bakteri probiotik penghasil protease dan laktase dari fermentasi kako varietas hijau.. Chem Prog 5 (2): 109-114. Wardani AK, Lia ON. 2012. Purifikasi dan karakterisasi protease dari bakteri hasil isolasi dari whey tahu. Jurnal Teknologi Pertanian 13 (3): 149-156. Watanabe K, Hayano K. 1994. Estimate of the source of soil protease in upland fields. Biol Fertil Soils 18: 341-346. Wilson SA, Young OA, Coolbear T, Daniel RM. 1992. The use of protease from extreme thermophilic for meat tenderization. Meat Sci 32: 93-103.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 189-193
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010204
Inventarisasi padi lokal di Kawasan Ciater, Subang, Provinsi Jawa Barat Inventory of local varieties of rice in Ciater, Subang District, West Java WAGE RATNA ROHAENI1,♥, TRI HASTINI2,♥♥ 1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,Jl. 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia. Kode Pos 41256. Tel./Fax. +62 260 529751/ +62 260 529753, ♥ email:
[email protected]. 2 Balai Pengkajian Teknologi Petanian, Jl. Kayu Ambon No 80. Lembang-Bandung Barat. ♥♥email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 15 Desember 2014. Revisi disetujui: 29 Januari 2015.
Abstrak. Rohaeni WR, Hastini T. 2015. Inventarisasi padi lokal di Kawasan Ciater, Subang, Provinsi Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 189-193. Padi lokal merupakan sumberdaya genetik yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya untuk bahan dasar kegiatan pemuliaan padi. Ciater merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Subang dimana petaninya masih menanam jenisjenis padi lokal, namun belum terinventarisasi keberadaannya. Inventarisasi plasma nutfah adalah bagian dari kegiatan eksplorasi yang berfungsi untuk mendata keberadaan plasma nutfah. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengoleksi gabah padi lokal di kecamatan Ciater. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2014. Kegiatan eksplorasi berhasil menginventarisasi plasma nutfah padi lokal di Kecamatan Ciater sebanyak 12 akses padi lokal yang terdiri dari 5 jenis ketan dan 7 jenis beras dan sebagian besar ditemukan didesa Cibeusi. Umur padi lokal tergolong dalam dengan rata-rata umur tanaman 6 bulan, memiliki anakan yang sedikit dan tinggi tanaman sebagian besar tergolong tinggi, dan gabah berekor panjang. Sistem budidaya sudah mengikuti teknologi PTT namun masih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Kata kunci: Ciater, inventarisasi, padi lokal
Abstract. Rohaeni WR, Hastini T. 2015. Inventory of local rice varieties in Ciater, Subang District, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 189-193. Local varieties are important genetic resources that must be conserved to support rice breeding program. Ciater is situated in Subang District, West Java where local rice varieties are still cultivated by farmers. However, information about the rice varieties is very limited. This inventory is aimed to obtain information and to collect germplasm of the rice varieties in Ciater area, Subang District-West Java. The research was done from March to Juni 2014. A total of 12 accessions consisting of 5 sticky rice varieties and 7 local varieties was collected and mostly found in Cibeusi village. The rice varieties have harvesting period in an average of about 6 months. They are characterized by a low number of tiller, relatively high stem, and tailed grain. The cultivation system was done by using integrated crop management technology with local customs. Keywords: Ciater, inventory, local rice varieties
PENDAHULUAN Sumberdaya genetik merupakan sumber sifat keturunan yang bermanfaat untuk merakit suatu varietas unggul baru dengan sifat tertentu. Sumberdaya genetik padi sangat penting bagi Indonesia karena sangat merupakan sumber sifat keturunan untuk perakitan padi unggul yang merupakan komoditas sangat strategis di Indonesia. Padi lokal merupakan salah satu sumber keragaman genetik yang memiliki sifat unik seperti ketahanan terhadap penyakit dan aroma serta kepulenan yang sangat disukai oleh masyarakat Indonesia umumnya. Bahkan berdasarkan hasil penelitian Brar and Krush (2002), apabila padi lokal tersebut tergolong padi liar kemungkinan besar memiliki sifat potensial yang berguna bagi pemuliaan seperti sifat ketahanan terutama untuk cekaman biotik dan abiotik.
Lokasi atau daerah dimana masih terdapat padi-padi lokal yang masih terjaga keasriannya biasanya daerah yang masyarakatnya masih memiliki adat istiadat atau kepercayaan untuk menjaga keberadaan padi lokal yang dipercayai sebagai warisan leluhur mereka. Salah satunya adalah kecamatan Ciater Kabupaten Subang. Lokasi ini menjadi pemasok beras lokal bagi kota wisata seperti Lembang. BPTP Jawa Barat menyebutkan bahwa terdapat lebih 5 jenis padi lokal yang berada di desa Cibeusi kecamatan Ciater-Subang. Berdasarkan data gene bank BB Biogen (2010), terdapat 113 aksesi yang berada di Kabupaten Subang tapi tidak diperoleh data koleksi plasma nutfah padi dari desadesa yang berada di kecamatan Ciater. Isu erosi genetik sebagai akibat dari penyebaran VUB yang belum bijaksana, semakin menurunnya preferensi petani untuk menanam padi lokal, alih fungsi lahan, dan lain sebagainya membuat
190
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 189-193, April 2015
beberapa pihak terutama para peneliti khawatir akan punahnya padi lokal. Dalam rangka mengurangi resiko kehilangan sumberdaya genetik padi lokal, maka perlu dilakukan inventarisasi terhadap padi lokal di lokasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi padi lokal di kawasan kecamatan Ciater – Subang dan mengoleksi gabah untuk kegiatan konservasi secara ex situ. BAHAN DAN METODE Area kajian Kegiatan dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2013. Target materi genetik yang akan dieksplorasi adalah padi lokal. Lokasi dimana dilaksanakan kegiatan eksplorasi adalah desa-desa di Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat yang merupakan tempat paling potensial ditemukannya jenis-jenis padi lokal yang ada di Subang (Gambar 1). Cara kerja Metode yang digunakan adalah metode koordinasi, eksplorasi langsung ke lokasi berdasarkan sumber data yang diperoleh, wawancara dengan petani (sebagai data penunjang), karakterisasi di lapang, dan koleksi gabah padi
lokal. Koordinasi pertama dilakukan dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik untuk mengetahui daftar plasma nutfah padi. Koordinasi selanjutnya adalah dengan penyuluh-penyuluh se BP4K Kab. Subang khusunya dengan penyuluh Kecamatan Ciater. Karakteriasi di lapang dilakukan terhadap beberapa karakter agronomis bertujuan untuk mendapat data awal untuk dijadikan patokan pada saat karakterisasi secara ex situ (pada saat konservasi ex situ). Pengamatan dilakukan terhadap karakter tinggi tanaman, jumlah anakan,umur panen (hasil wawancara petani pemilik padi), jenis padi, dan warna beras. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data penunjang dari keterangan jenis padi lokal. Pertanyaan meliputi sistem budidaya yang dikerjakan oleh petani setempat. Analisis data Data hasil pengamatan di lapang di analisis secara sederhana dengan analisa rata-rata menggunakan software Ms. Excel. Analisa deskriptif dilakukan terhadap data kualitatif seperti warna beras dan jenis beras serta dilakukan dokumentasi dengan pengambilan foto untuk membandingkan antar jenis padi.
Gunung Tangkuban Perahu
Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat
ROHAENI et al. – Inventarisasi padi lokal di kawasan Ciater, Subang
191
Gambar 2. Luas areal sawah dan tegalan berdasarkan desa di Kecamatan Ciater (hasil olah data BPS Subang 2009).
Tabel 1. Karakteristik lahan berdasarkan ketinggan tempat, kemiringan lahan, kedalaman lapisan atas tanah, dan pH tanah (BPS Kabupaten Subang 2009.) Desa Ciater Nagrak Cibeusi Cibitung Sanca Palasari Cisaat
Ketinggian tempat (m dpl.) 1,000 900 900 750 550 850 700
Kemiringan lahan (%) 45 45 45 45 40 40 40
Kedalaman lapisan atas tanah (cm) 30-50 20-50 20-50 20-50 20-50 30-50 30-50
pH tanah 3.9-5.5 3.9-5.9 4.2-5.9 3.9-6.0 4.2-6.0 3.9-5.8 4.5-6.0
Tabel 2. Daftar aksesi padi lokal di kawasan kecamatan Ciater, Subang Nama aksesi
Lokasi
Jenis
Umur*)
Tinggi tanaman (cm)**)
Ketan bereum Cibeusi, Nagrak Ketan merah 6 bulan Ketan Hideung Nagrak Ketan hitam 6 bulan 177cm Ketan Galamay Cibeusi Ketan putih 6 bulan Ketan bodas Cibeusi Ketan putih 6 bulan 135cm Si menyan ekor hitam Cibeusi Beras putih 5-6 bulan 145cm Si menyan ekor putih Palasari Beras putih Angkok Cibeusi, Cibitung Beras putih 4 bulan Marahmay Cibeusi Beras merah 6 bulan 145cm Kopo Cibeusi Beras putih 6 bulan 161cm Beras Hitam Cibeusi Cibeusi Beras hitam 6 bulan 126cm Jebrod Cibeusi Beras putih 5-6 bulan Ketan hideung Cibeusi Ketan hitam 6 bulan 153 Keterangan : *) = berdasarkan keterangan petani, **) = berdasarkan pengamatan langsung dilokasi.
Jumlah anakan**) 7-8 7-12 8 10 4-6 5-13 14
Ekor Berekor Berekor Berekor Berekor Berekor Berekor Tidak Berekor Berekor Tidak berekor Berekor Berekor Berekor
192
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 189-193, April 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lahan di kawasan Kecamatan Ciater Total luas lahan padi di kecamatan Ciater adalah 1.111 ha areal berupa sawah dan 705 ha berupa tegalan. Desa yang memiliki luas areal sawah paling luas adalah desa Sanca dan untuk areal tegalan adalah desa Cisaat. Khusus desa Ciater, sebagian besar kawasannya merupakan kawasan pariwisata pemandian air panas dan tidak ada data luas lahan sawahnya. Sebaran areal sawah dan tegalan disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 2. Sebagian besar ketinggian tempat desa-desa di Ciater tergolong dataran tinggi. Desa Palasari, Cibeusi, Nagrak dan Ciater tergolong pada dataran tinggi. Kemiringan lahan di kecamatan Ciater berkisar 40-45 cm. Kedalaman lapisan atas tanah yang cukup baik untuk budidaya pertanian berkisar 20 -50 cm. pH sawah di kawasan ini tergolong masam sampai dengan netral. pH paling rendah mencapai 3.9. Menurut Las et al. (1991), keberagaman agroekologi dicerminkan dengan beragamnya sifat fisik wilayah maupun ketinggian tempat dari permukaan laut. Berdasarkan hal tersebut, keberagaman desa-desa di Kecamatan Ciater terdapat pada ketinggian tempat. Rentang ketinggian 550 m.dpl (desa Sanca) sampai dengan 1000 m.dpl (desa Ciater). Hasil inventarisasi padi lokal Berdasarkan hasil eksplorasi, diperoleh padi lokal sebanyak 12 yang terdiri dari 5 jenis ketan dan 7 jenis beras. Berdasaran hal tersebut, hampir semua jenis padi diperoleh dari kegiatan ini. untuk jenis ketan diperoleh ketan merah, ketan hitam dan ketan putih sedangkan untuk beras diperoleh beras putih dan beras hitam (Tabel 2). Sebagian besar padi lokal diperoleh dari desa Cibeusi. Desa lainnya adalah Nagrak, Palasari, dan Cibitung. Sedangkan di desa lainnya sudah dipanen dan sudah dalam bentuk malai. Sehingga kebanyakan karakterisasi dilakukan di areal lahan sawah di Cibeusi. Data umur tanaman diperoleh dari hasil wawancara dengan petani pemilik. Data ini penting untuk diketahui sebagai informasi awal untuk pelaksanaan dan penjadwalan karakterisasi selanjutnya pada kegiatan konservasi secara ex situ. Berdasarkan data, padi-padi lokal yang di inverarisasi tergolong padi berumur dalam. Umur padi berkisar 4-6 bulan dan mayoritas berumur 6 bulan. Berdasarkan hasil karakterisasi lapang, terdapat perbedaan morfologi antar aksesi yang ditemukan. Salah satu perbedaan morfologi yang dapat dilihat secara kasat mata adalah warna kulit ari beras. Ketan bereum memiliki kulit ari berwarna merah, ketan hideung memiliki kulit ari berwarna hitam, dan ketan Galamay serta ketan bodas memiliki kulit ari berwarna putih. Sebagian besar warna kulit ari dari padi jenis beras nasi adalah berwarna putih, sepeti padi si menyan ekor putih, si menyan ekor hitam, angkok, kopo dan jebrod. Di lain pihak, untuk membandingkan jenis ketan atau jenis beras nasi dapat dilakukan dengan mematahkan beras. Padi jenis ketan ditandai dengan warna putih seperti tepung pada bagian endospermae dan embro sedangkan jenis beras nasi ditandai dengan warna yang transparan. Aksesi Si
menyan ekor putih, Si menyan ekor hitam, Angkok, Marahmay, Kopo, Beras hitam Cibeusi, dan Jebrod memiliki warna bulir beras yang transparan. Menurut Haryadi (2006), sifat fisikokimiawi beras ditentukan oleh sifat-sifat patinya, karena pati merupakan penyusun utama beras. Pati tersusun dari dua jenis karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin. Juliano (1993) menggolongkan jenis beras berdasarkan kandungan amilosanya, yaitu: beras ketan (kadar amilosa < 10%), beras beramilosa rendah (kadar amilosa 10-20%), beras beramilosa sedang (kadar amilosa 20-25%), dan beras beramilosa tinggi (kadar amilosa > 25%). Berdasarkan hasil penelitian Zhang et al. (2007), kandungan amilosa jenis padi indica tidak selalu lebih tinggi dari jenis japonica namun sebagian besar jenis indica memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi daripada japonica. Padi lokal di kawasan kecamatan Ciater memiliki keragaan yang tinggi. Rata-rata tinggi tanaman berkisar 126 – 177 cm. tinggi tanaman paling tinggi dimiliki ketan hideung yang ditemukan di desa Nagrak. Jumlah anakan produktif dari padi lokal tergolong sangat rendah. Jumlah anakan paling banyak dimiliki ketan hieung Cibeusi dimana dapat mencapai 14 anakan. Berdasarkan data karakterisasi awal di lapang, terlihat bahwa kelemahan padi lokal terletak pada umur panen yang dalam, tinggi tanaman yang tinggi sehingga berpotensi mudah rebah, dan jumlah anakan yang sangat sedikit. Perbedaan yang paling mudah dilihat adalah terdapatnya ekor pada gabah seperti yang dimiliki oleh semua jenis ketan-ketanan beberapa jenis beras-berasan. Beberapa padi jenis beras terdapat aksesi yang tidak memiliki ekor pada ujung gabah, yaitu padi Angkok dan Kopo. Menurut Irawan dan Purbayanti (2008), perbedaan karakteristik padi indica dan javanica terletak pada ada atau tidaknya ekor pada ujung gabah. Padi indica dicirikan dengan tidak adanya ekor sedangkan javanica memiliki ekor. Hasil penelitian mereka di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat, ditemukan padi jenis javanica seperti Sri kuning serta Hawara-hawaraan dan juga jenis indica seperti cere-cerean. Berdasarkan hal tersebut maka sebagian besar padi lokal di kawasan Ciater tergolong padi javanica. Suhartini (2010) menyatakan bahwa umumnya padi liar memiliki bulu dan hanya sedikit yang tidak berbulu. Dardjat et al (2009) melaporkan bahwa pemanfaatan plasma nutfah padi lokal sudah dilakukan oleh BB Biogen dan BB Padi. Silitonga (2004) telah mengevaluasi plasma nutfah padi lokal maupun liar terhadap cekaman abiotik seperti cekamanan kekeringan, Al, dan Fe. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan dari 17 padi lokal yang diinventarisasi dari kawasan kecamatan Ciater diperoleh varietas-varietas padi lokal yang memiliki sifat-sifat ketahanan baik terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Berdasarkan data Plasma nutfah BB Biogen (2010), diantara plasma nutfah padi lokal dari Subang sudah di karakterisasi dan diidentifikasi sifat-sifat potensial yang berguna bagi pemuliaan tanaman, salah satunya adalah padi beras hitam Cibeusi asal Subang. Hasil penelitian Sitaresmi et al (2013) menunjukkan bahwa plasma nutfah varietas lokal Indonesia telah teridentifikasi varietas lokal yang memiliki ketahanan terhadap hama ganjur, bakteri hawar daun, hawar daun
ROHAENI et al. – Inventarisasi padi lokal di kawasan Ciater, Subang
jingga, blas daun, blas leher, daun bergaris putih, wereng batang coklat, tungro, kekeringan, keracunan Al, keracunan Fe, salinitas, suhu rendah, dan naungan. Sistem budidaya Sistem budidaya padi lokal di Kecamatan Ciater sudah mengikuti sistem budidaya berdasarkan PTT (pengelolaan tanaman terpadu). Sistem budidaya sudah menggunakan sistem olah tanah sempurna. Pemupukan mengikuti rekomendasi penyuluh atau rekomendasi dari jenis pupuk yang terpampang pada label pupuk (contohnya phonska 15:15:15 dengan dosis 300 kg/ha). Sistem jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm. Benih yang digunakan adalah benih hasil panen sebelumnya dalam bentuk malai dan hasil seleksi benih oleh petani. Areal lahan sawah berterasering dan ukuran petak tergolong kecil, maka pengolahan masih menggunakan tenaga cangkul. Olah tanah dengan menggunakan traktor masih sangat terbatas. Sistem usahatani di Kecamatan Ciater terutama di desa Cibeusi masih dipengaruhi oleh adat istiadat atau kebiasaan petani lokal. Adat istiadat tersebut diantaranya: tidak boleh bertransaksi jual beli gabah atau beras pada hari senin, dan gabah padi boleh keluar desa hanya seijin kepala suku/adat. Sistem usaha tani di lokasi ini sudah tergolong semi modern karena sistem budidaya sudah mengikuti anjuran teknologi yang disampaikan oleh penyuluh setempat. Hampir setiap pengelolaan padi lokal terikat oleh tradisi atau adat istiadat. Seperti halnya yang dilaporkan oleh Rais (2004), terdapat adat kebiasaan masyarakat di Kalimantan Barat dalam mengelola usahatani padi, diantaranya: pantang menjual padi dan beras, pantang menanam padi dua kali, dan pantang menggunakan sabit dalam memanen. Hasil penelitian Senoaji (2011), sistem budidaya padi di Baduy sangat terikat oleh adat istiadat dimana terdapat dua larangan adat yang berhubungan dengan sistem budiaya padi, yaitu larangan merubah jalannya air seperti membuat aliran irigasi, oleh karena itu sistem budidaya padi secara berladang serta larangan untuk tidak merubah bentuk tanah oleh sebab itu tanam dilakukan dengan tugal dan sistem budidaya sawah dilarang. Zainudin (2012) melaporkan bahwa manugal merupakan sistem budidaya padi oleh warga Dayak Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan yaitu untuk bertani di lahan kering atau gunung. Sebelum menanam, dilakukan ritual, yaitu membakar dupa yang dibawa mengelilingi lahan yang akan ditanami sebanyak tiga kali sambil membaca mantra yang isinya adalah doa dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar hasil padi melimpah dan dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Varietas padi di komunitas petani Dayak Meratus sangat tinggi, tercatat minimal 28 varietas padi lokal, baik padi biasa maupun padi pulut (lakatan). Semua beras lokal yang telah terjaga kelestariannya di kawasan Ciater diharapkan menjadi varietas lokal andalan Kabupaten Subang seperti halnya varietas lokal yang sudah berkembang didaerah lain. Contohnya Cempo (beras merah) asal Yogyakarta yang berdasarkan hasil penelitian Kristamtini dan Purwaningsih (2009) memiliki nilai analisis usaha tani yang menunjukkan layak untuk dikembangkan dan disukai konsumen dan variteas lokal ini
193
terjaga dengan sistem budidaya yang mengacu pada kearipan lokal setempat. Diperoleh 12 akses padi lokal yang terdiri dari lima jenis ketan dan tujuh jenis beras dan sebagian besar ditemukan didesa Cibeusi. Umur padi lokal tergolong dalam dengan rata-rata umur tanaman 6 bulan, emiliki anakan yang sedikit dan tinggi tanaman sebagian besar tergolong tinggi, serta gabah berekor. Sistem budidaya sudah mengikuti teknologi PTT namun masih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Penanggung kegiatan eksplorasi padi lokal Jawa Barat (Hendi Supriyadi) beserta Tim dari BPTP Jawa Barat atas terlaksananya kegiatan eksplorasi di Subang. Kegiatan ini didanai oleh DIPA 2013 dan ucapan terimakasih disampaikan pula kepada pendamping kegiatan dari BB Biogen, seluruh penyuluh tingkat kabupaten di BP4K, serta petani pemilik padi lokasi pada tiap daerah yang telah membantu terhadap keberhasilan kegiatan eksplorasi padi lokal. DAFTAR PUSTAKA BB Biogen. 2010. Data Base Hasil Eksplorasi Plasma Nutfah Jawa Barat. BB Biogen, Bogor. BPS Subang. 2009. Subang dalam Angka. BPS Kabupaten Subang, Subang Brar DS, Khush GS. 2002. Transferring genes from wild species into rice. In Quantitative Genentics, Genomics and Plants Breeding. M.S. Kang (Ed). CAB International, New York. Dardjat AA, Silitonga S, Nafisah. 2009. Ketersediaan plasma nutfah padi untuk perbaikan varietas padi. Dalam: Buku Padi 1. Balitbangtan Kementerian Pertanian. 1-27. Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. UGM Press, Yogyakarta Irawan B, Purbayanti K. 2008. Karakterisasi dan kekerabatan kultivar padi lokal di Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, KabupatenS. Prosiding Seminar Nasional PTTI, 21-23 Oktober 2008. Juliano BO. 1993. Rice in human nutrition. Collaboration IRRI and FAO. Rome. Kristamtini, Purwaningsih H. 2009. Potensi pengembangan beras merah sebagai plasma nutfah Yogyakarta. Jurnal Litbang Pertanian 28 (3): 88-95. Las I, Makarim AK, Hidayat A, Karama AS, Manwan I. 1991 Peta agroekologi utama tanaman pangan di Indonesia. Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang Pertanian-Departemen Pertanian, Jakarta. Rais SA. 2004. Eksplorasi plasma nutfah tanaman pangan di Provinsi Kalimantan Barat. Buletin Plasma Nutfah 10 (1): 23-27. Senoaji G. 2011. Perilaku masyarakat Baduy dalam mengelola hutan, lahan, dan lingkungan di Banten Selatan. Humaniora 23: 14-15. Silitonga TS. 2004. Pengelolaan dan pemanfaatan plasma nutfah di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah, Vol. 10(2): 56-71. Sitaresmi T, Wening RH, Rakhmi AT, Yunani N, Susanto U. 2013. Pemanfaatan plasma nutfah padi varietas lokal dalam perakitan varietas unggul. Iptek Tanaman Pangan 8 (1): 22-30. Suhartini T. 2010. Keragaman karakter morfologi plasma nutfah spesies padi liar (Oryza spp). Buletin Plasma Nutfah 1: 17-28. Zaini H. 2012. Manugal: Cara tani Dayak di Pedalaman Kalimantan. https://hasanzainuddin.wordpress.com/2012/11/12/4163/. Zhang YL, Xu MH, Zeng YW, Yao CX, Chen SN. 2007. Relationship between the first base of the donor splice site of waxy gene intron 1 and amylose content in Yunnan Indigenous Rice Varieties. Chinese J Rice Sci 21 (1): 20–24.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 194-200
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010205
Identifikasi jenis-jenis rotan pada hutan rakyat di Katingan, Kalimantan Tengah dan upaya pengembangan Identification and development of rattan species in communal forest of Katingan, Central Kalimantan TITI KALIMA♥, SUMARHANI♥♥ Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Jl. Gunung Batu No. 5 PO Box 165, Bogor 16610, Jawa Barat, Indonesia. Tel. +62-251 8633234, 7520067. Fax. +62-251 8638111. ♥email:
[email protected].; ♥♥
[email protected]. Manuskrip diterima: 3 Desember 2014. Revisi disetujui: 1 Februari 2015.
Abstrak. Kalima T, Sumarhani. 2015. Identifikasi jenis-jenis rotan pada hutan rakyat di Katingan, Kalimantan Tengah dan upaya pengembangan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 194-200. Katingan merupakan wilayah yang potensial dalam pengembangan hutan rakyat sebagai salah satu alternatif pemasok bahan baku hasil hutan bukan kayu (HHBK) diluar hutan negara. Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat Katingan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan industri rotan yang produksinya terus menurun dari hutan alam. Hutan rakyat sudah sejak dahulu dikembangkan oleh masyarakat dengan berbagai jenis tanaman kayu-kayuan dikombinasikan dengan tanaman hasil hutan bukan kayu atau dengan tanaman semusim lainnya. Dalam hutan rakyat Katingan dikembangkan jenis rotan andalan setempat seperti rotan sega (Calamus caesius Blume), rotan irit (C. trachycoleus Beccari), rotan cacing (C. javensis Blume), rotan manau (Calamus manan Miquel), dan rotan tatuwu (C. scipionum Lour.). Untuk menunjang keberlanjutan produktivitas unggulan rotan setempat, maka telah di kembangkan lima jenis rotan tersebut melalui pengembangan budidaya. Tujuan penelitian untuk mengetahui potensi dan perkembangan kelima jenis bibit rotan unggulan setempat melalui program budidaya. Penelitian dilakukan di Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rotan jenis Calamus caesius memiliki vigor yang lebih baik dibanding jenis Calamus yang lain. Pengembangan ke lima jenis rotan di lapangan secara visual memperlihatkan pertumbuhan yang cukup baik dengan persen hidup (80%). Kata kunci: Rotan andalan setempat, hutan rakyat dan pengembangan
Abstract. Kalima T, Sumarhani. 2015. Identification and development of rattan species in communal forest of Katingan, Central Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 194-200. Katingan is a region of which communal forest can potentially be developed to supply the demand of nontimber forest product (NTFP). Development of communal forests in Katingan is one of the government’s programs to meet the demand of raw materials for rattan industry whose production from natural forests is continuously declining. Community forestry in Katingan has been developed long time ago by the locals by growing the various type of woody plants, combined with NTFP-plants or crops. To support the sustainability of rattan production, several species of rattan, such us rattan sega (Calamus caesius Blume), rattan irit (C. trachycoleus Beccari), rattan cacing (C. javensis Blume), rattan manau (Calamus manan Miquel), and rattan tatuwu (C. scipionum Lour.) have been cultivated through silviculture system. The purpose of this study is to determine the potential and development of the five species of rattan through silviculture programs in Kantingan. The study was conducted in the village Tumbang Liting, Sub District Katingan Hilir, District Katingan, Province Central Kalimantan. The results showed that species Calamus caesius exhibits better vigor than the other species. Five species of rattan grew in the field with 80% of survival. Keywords: Rattan local mainstay, private forest and development
PENDAHULUAN Rotan merupakan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Dengan nilai ekonomi rotan yang sangat tinggi dan permintaan bahan baku rotan yang terus meningkat, maka volume perdagangan rotan makin meningkat, sehingga keberadaan tumbuhan rotan juga makin terancam akibat banyak yang dipanen. Saat ini kebutuhan bahan baku rotan diperoleh dari hutan alam dan budidaya rotan masyarakat.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan rotan dimasa akan datang yang terus meningkat diperkirakan dua sumber rotan tersebut tidak mampu menyediakan dalam jumlah cukup dan lestari. Kondisi ini tak akan dapat diatasi, kecuali dengan melakukan pengembangan rotan secara besar-besaran melalui perbanyakan rotan, khususnya dilahan milik masyarakat yaitu wilayah hutan rakyat di desa Tumbang Liting, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
KALIMA & SUMARHANI. – Jenis-jenis rotan di Katingan, Kalimantan Tengah
Kabupaten Katingan dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 2002 memiliki wilayah yang potensial dalam pengembangan hutan rakyat sebagai salah satu alternatif pemasok bahan baku bukan kayu (HHBK). Jenis-jenis tumbuhan rotan yang terdapat di hutan rakyat sekitar 23 jenis rotan yang bernilai ekonomi diantaranya jenis Calamus caesius, Calamus trachycoleus, Calamus javnesis, Calamus manan Miquel dan Calamus scipionum yang termasuk komersial dan merupakan jenis andalan setempat Kabupaten Katingan (Jasni et al. 2012). Pemilihan jenis andalan setempat rotan ini antara lain memiliki nilai ekonomi tinggi, menghasilkan batang berkualitas, dan banyak dimanfaatkan (Perkumpulan Petani Rotan Katingan 2006). Selain itu, tanaman rotan yang sudah ada perlu diremajakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas rotan yang dihasilkan. Dengan upaya ini, maka produksi rotan Katingan akan tetap melimpah dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan dan keragaman sumberdaya alam di sekitarnya. Pengembangan penanaman rotan di hutan rakyat ini perlu mendapat perhatian yang serius. Salah satu upaya pengembangan penanaman rotan dilakukan melalui kegiatan peremajaan lima jenis rotan unggulan tersebut. Kegiatan pengembangan ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat Dusun Betung, Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian untuk mengetahui potensi dan perkembangan kelima bibit rotan unggulan setempat. Selain itu kajian ini diharapkan disamping meningkatkan produktivitas dan kualitas rotan, terutama dalam rangka
195
pemenuhan bahan baku industri kerajinan dan mebel, juga dapat membantu pengamanan keragaman hayati dan kelestarian hutan, mengingat masyarakatnya sudah dapat memperoleh penghasilan dari usaha pengembangan rotan secara ekonomi. BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian jiKegiatan pengembangan dan peremajaan jenis tumbuhan rotan ini dilakukan di hutan rakyat desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (Gambar 1). Kabupaten Katingan memiliki wilayah seluas 1.750.000 Ha yang terletak pada 112’ 00’ BT – 113’ 45’ BT dan 00’ 20’ LS – 03’ 30’ LS. Secara administratif wilayah Kabupaten Katingan terdiri atas 13 kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 145 desa dan 7 kelurahan dengan penduduk sebanyak 131.049 jiwa (32.997 KK) serta kepadatan penduduk rata-rata 8 jiwa/km (BPS Katingan 2007). Topografi areal penelitian datar dengan jenis tanah podsolik merah kuning dengan vegetasi pohon rapat. Material yang digunakan adalah lima jenis tanaman rotan berdiameter kecil (< 18 mm) yaitu rotan sega (Calamus caesius Blume), rotan irit (C. trachycoleus Beccari), rotan cacing (C. javensis Blume), dan jenis berdiameter besar (> 18 mm) yaitu rotan manau (Calamus manan Miquel), dan rotan tatuwu (C. scipionum Lour.) yang merupakan hasil perbanyakan. Kegiatan ini dilakukan dengan penanaman bibit rotan yang berasal dari benih, tetapi juga didukung dengan pengembangan teknik produksi melalui pengembangan budidaya.
Keterangan: : Kabupaten Katingan : Lokasi penelitian
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian pengembangan jenis rotan di Desa Tumbang Liting, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah
196
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 194-200, April 2015
Cara Kerja Explorasi Penelitian dilakukan dengan metode random sampling sepanjang jalur eksplorasi dalam wilayah Hutan Rakyat di Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah pada bulan Mei 2013. Untuk jenis rotan yang belum diketahui nama jenisnya dibuat koleksi herbarium untuk keperluan identifikasi. Beberapa jenis yang materialnya lengkap, dibuat koleksi di Herbarium Botani dan Ekologi Tumbuhan, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Beberapa material yang menghasilkan buah yang masak, diambil untuk diperbanyak di sekitar hutan rakyat Tumbang Liting. Pelaksanaan pengambilan koleksi, pencatatan karakter morfologi, dan pelabelan dilakukan di lapangan. Pengepresan dan pemberian spiritus dilakukan di basecamp, yaitu: Camp kerja Tumbang Liting. Selain pencatatan terhadap jenis-jenis rotan dilakukan juga identifikasi jenis-jenis pohon panjatan rotan. Identifikasi Semua jenis rotan yang di jumpai di lokasi penelitian dicatat. Material herbarium jenis-jenis rotan yang ditemukan di areal hutan rakyat Tumbang Liting diproses di laboratorium meliputi penggantian kertas koran, pengepresan, pengeringan, dan di analisis untuk ketepatan nama ilmiah atau identifikasi di Herbarium Botani dan Ekologi Tumbuhan, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi di Bogor (Dransfield, J.1984.). Material yang berbunga dan berbuah disimpan sebagai koleksi acuan. Identifikasi dilakukan dengan cara membandingkan antara material herbarium yang dikumpulkan dengan herbarium yang sudah ada. Untuk validasi nama dilakukan pengecekan melalui publikasi Flora dan revisi taxon terkait. Untuk mendapatkan nama terkini diakses melalui daftar jenis tumbuhan dunia (Plant List). Selanjutnya diskripsi jenis-jenis rotan unggulan mengikuti aturan baku taxonomi. Penyiapan bibit Material tumbuhan selain untuk koleksi, juga dilakukan pengumpulan buah yang masak untuk perbanyakan dalam rangka peremajaan rotan di hutan rakyat. Untuk pengembangan produksi rotan dilakukan peremajaan dengan penanaman bibit rotan berasal dari benih rotan di habitat aslinya yaitu hutan rakyat, tetapi juga perlu didukung dengan pengembangan teknik produksi melalui pengembangan budidaya. Bibit yang digunakan untuk peremajaan diperoleh dari habitat alaminya (hutan rakyat Tumbang Liting) (Anon. 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan umum jenis rotan Berdasarkan eksplorasi atau penjelajahan yang dilakukan di Hutan Rakyat Tumbang Liting, terdapat 23
jenis rotan komersial, yang termasuk dalam 3 marga (Tabel 1). Dari jumlah jenis tersebut, 15 jenis rotan berdiameter kecil (< 18 mm), 8 jenis rotan berdiameter besar (>18 mm). Pengelompokan kelas diameter batang rotan tanpa pelepah daun menjadi 2 golongan (Januminro 2000). Komposisi jenis rotan di lokasi penelitian didominasi oleh jenis-jenis rotan berdiameter kecil dan diantaranya lima jenis rotan andalan setempat di Katingan yaitu rotan sega (Calamus caesius Blume), rotan irit ( C. trachycoleus Beccari), rotan cacing (C. javnesis Blume), rotan manau (Calamus manan Miquel), dan rotan tatuwu (C. scipionum Lour.). Deskripsi kelima jenis rotan andalan setempat tersebut sebagai berikut: Rotan Irit (Calamus trachycoleus Beccari ) Persebaran rotan irit di Kalimantan (endemik). Perawakan berumpun, memanjat, tinggi mencapai 25 m. Diameter batang pelepah daun 20 -40 mm (tanpa pelepah daun 4-15 mm), panjang ruas 15-30 cm; pelepah daun hijau muda, ditumbuhi 2 tipe duri yaitu duri besar yang tersebar, coklat ujungnya dan hijau pangkalnya, panjang 10 mm, dengan duri – duri pendek banyak sekali (rapat), panjang 2 mm, tersebar di antara duri-duri besar. Lutut jelas, warna hijau, berduri pendek rapat; Okrea jelas, tidak berduri; Daun bersulur, panjang daun 150 cm, panjang sulur 153 cm, ditumbuhi duri. Tangkai daun 2 cm panjangnya. Helaian anak daun berbentuk lanset atau melanset, berukuran 21 – 32 cm x 1,5 – 3,8 cm, helaian anak daun warna hijau, jumlah anak daun 31 terletak di kanan kiri rakis, anak daun tersusun menyirip tidak teratur dan bagian pagkalnya memeluk batang. Perbungaan panjang hingga 170 cm etrdiri dari 11-14 bagian perbungaan. Buah bulat telur diameter buah 1 cm, warna hijau muda. Biji sekitar 5 mm diameternya, beralur dangkal (Mogea 1993; Kalima 2005). Penelitian Witono et al. (2013) menyatakan bahwa jenis tersebut juga ditemukan di kawasan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Rotan Sega (Calamus caesius Blume) Persebaran rotan sega di Sumatera dan Kalimantan. Perawakan berumpun, memanjat, tinggi mencapai 100 m, diameter dengan pelepah 25 mm (tanpa pelepah 7-12 mm), panjang ruas 15-50 cm. Pelepah daun berwarna hijau tua, terdapat indumentum yang berwarna keputihan, ditumbuhi duri berbentuk segitiga, pipih, panjang duri 0,2-0,5 cm, warna duri coklat kehitaman. Lutut warna hijau, tidak berduri. Panjang daun 75 cm, panjang sulur 75 cm, panjang tangkai 1 cm, menjadi dewasa, daun hampir tidak bertangkai. Okrea tidak jelas. Permukaan atas anak daun warna hijau mengkilap, bagian bawah anak daun berwarna putih kapur, anak daun bagian pangkal memeluk batang. Buah berbentuk bulat telur, berukuran 15 x 10 mm, ditutupi sisik vertikal berjumlah 15 -21. Buah masak berwarna coklat kekuning-kuningan. Hasil penelitian sifat dasar dan pemanfaatan rotan jenis Calamus caesius ditemukan di Kalimantan Selatan, Barat, dan Tengah (Kalima 2005; Kalima dan Jasni 2008; Jasni et al. 2010).
KALIMA & SUMARHANI. – Jenis-jenis rotan di Katingan, Kalimantan Tengah
197
Tabel 1. Hasil Identifikasi jenis rotan di hutan rakyat Tumbang Liting, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah Nama daerah
Spesies
Persebaran
Tempat tumbuh
Uwei kijang Calamus blumei Beccari Sm, Kl Dataran rendah Sega, taman C. caesius BIume Sm, Kl Dataran rendah, rawa gambut Lambang C. diepenhorstii Miquel Sum, Kl Dataran rendah-tinggi Wi buluh C. erioacanthus Beccari Kl Dataran rendah Pulut putih C. flabellatus Baeccari Sm,Kl,Sl Dataran rendah Hoe lilin, cacing C. javensis Biume Jw, Sm, Kl Dataran rendah-tinggi Kulus C. laevigatus Beccari Sm, Kl Dataran rendah-tinggi Manau C. manau Miquel Sm, Kl Dataran rendah-tinggi Rotan taman, batu C. optimus Beccari Sm,Kl,Sl Dataran rendah Seuti, kesur,buku dalam C. ornatus Blume Jw, Sm, Kl Dataran rendah-tinggi Samuli, rotan tut C. pogonacanthus Beccari Kl Dataran rendah Rotan gelang, uwi lelah, C. polystachys Beccari Jw, Kl, Sl Dataran rendah rotan semambu C. scipionum Loureiro Jw,Sm, Kl Dataran rendah-tinggi wae koko C. sordidus J.Dransf. Kl Dataran rendah Irit, jahab C. trachycoleus Beccari Kl Dataran rendah Manau tikus C. tumidus Furtado Sm, Kl Dataran rendah Rotan getah, rotan minyak Daemonorops angustifolia (Griff.) Martius Kl, Sl. Dataran rendah-tinggi Rotan lacak, D. crinita Blume Sm, Kl Dataran rendah-tinggi Rotan jernang D. didymophylla Beccari Sm, Kl Dataran rendah-tinggi Rotan bajungan D. fissa Blume Kl Dataran rendah Dahanan Korthalsia flagellaris Miquel Kl Rawa gambut Dahan, Meladang K. rigida Blume Sm, Kl Rawa gambut Getah, Loro K. rostrata Blume Kl Dataran rendah Keterangan: Jw= Jawa, Sm =Sumatera, Kl=Kalimantan, t.p = diamter batang tanpa pelepah
Rotan cacing (Calamus javensis Blume) Persebaran rotan cacing di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Perawakan berumpun, memnajat, tinggi sampai 15 m, diameter batang dengan pelepah sampai 5 mm (tanpa pelepah sampai 3 mm). Panjang ruas sampai 25 cm. Panjang daun sampai 50 cm; pelepah daun hijau muda, ketika muda berwarna hijau kemerahan, berduri segitiga pipih, duri hijau kekuningan, panjang duri 0,3-0,5 cm. Tidak bertangkai daun atau sangat pendek, terdiri atas 5 helaian daun di tiap sisi rakis daun, berbentuk bulat memanjang, tipis, agak keriput, helaian daun paling pangkal biasanya memeluk batang. Panjang flagellum/cemeti sampai 75 cm. Perbungaan panjang hingga 1 m terdiri dari 2-5 bagian perbungaan dengan panjang mencapai 20 cm. Buah bulat telur sampai bulat,sisik berwarna putih kehijauan pucat. Biji bulat telur sampai bulat, berukuran 12 x 8 mm. Jenis ini juga ditemukan di hutan Berau, Kalimantan Timur (Kalima dan Setyawati 2003). Rotan manau (Calamus manan Miquel) Persebaran rotan manau di Sumatera dan Kalimantan. Perawakan tunggal, memanjat, tinggi sampai 100 m. Diameter batang d e n g a n p e l e p a h sampai 6 6 - 8 0 m m (tanpa pelepah sampai 3 0-80 mm), panjang ruas 1835 cm. Pelepah daun hijau tua, berduri bentuk segitiga, tersusun sangat rapat dalam kelompok-kelompok yang tersebar acak,di antara duri terdapat lapisan lilin tipis yang berlimpah. Lutut sangat jelas, berduri tunggal tersusun tersebar. Okrea tidak jelas. Daun bersulur sampai sekitar 8,5 m panjangnya (termasuk tangkai 12 cm dan sulur 3 m
Diameter t.p (mm)
<18 <18 >18 <18 <18 <18 <18 >18 <18 >18 <18 <18 >18 <18 <18 <18 >18 <18 <18 >18 >18 >18 <18
panjangnya). Helaian anak daun 47 di tiap sisi rakis daun, tersusun menyirip teratur, bentuk anak daun lanset, ukuran anak daun 43-53 x 7,5 cm. Perbungaan panjang hingga 2,5 m, Buah masak bentuk bulat telur, berukuran 28x20 mm, sisik buah warna kekuningan. Biji bulat telur,berukuran 18 x 12 mm. Jenis Calamus manan ini juga ditemukan di Jambi, Riau dan Bengkulu (Jasni et al. 2007). Rotan tatuwu (C. scipionum Lour.) Persebaran rotan tatuwu di Sumatera dan Kalimantan. Perawakan berumpun, memanjat, tinggi sampai 30 m. Diameter batang dengan pelepah 35-50 m m (tanpa pelepah 25-30 mm). Ruas panjang, biasanya sampai 50 cm. Pelepah daun hijau tua, berduri bentuk segitiga, tersusun jarang, berwarna hijau kekuningan, bagian pangkal berwarna hitam, panjang sampai 5 cm. Lutut terlihat jelas, selaput bumbung biasanya pendek. Panjang flagellum sampai 7 m, berduri hitam. Panjang daun sampai 2 m, panjang tangkai sampai 30 cm, helaian anak daun 25 di tiap sisi rakis daun, tersusun menyirip teratur, bentuk linier sampai bulat memanjang, bagian ujung anak daun berambut hitam. Buah masak berbentuk bulat telur, berukuran 14x9 mm dengan sisik warna hijau. Biji bulat telur (Kalima 2005). Asosiasi rotan dengan jenis pohon pemanjat Untuk pengembangan dan peremajaan jenis rotan, ke lima jenis rotan yang berasal dari perbanyakan yaitu rotan sega (C. caesius), rotan irit (C. trachycoleus), rotan cacing (C. javnesis), dan rotan tatuwu (C. scipionum), merupakan tanaman yang pernah mendominasi wilayah hutan rakyat yang masih belum banyak terkena aktivitas masyarakat,
198
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 194-200, April 2015
Gambar 2. Rotan irit (Calamus trachycoleus Beccari ) (Foto T. Kalima)
Gambar 3. Rotan sega (Calamus caesius Blume) (Foto T. Kalima)
Gambar 4. Rotan cacing (Calamus javensis Blume) (Foto T. Kalima)
Gambar 5. Rotan manau (Calamus manan Miquel) (Foto T. Kalima)
KALIMA & SUMARHANI. – Jenis-jenis rotan di Katingan, Kalimantan Tengah
199
Gambar 6. Rotan tatuwu (C. scipionum Lour.) (Foto T. Kaima).
Tabel 2. Jumlah Bibit yang ditanam secara pengayaan di hutan rakyat Tumbang Liting Nama daerah Rotan sega Rotan irit Rotan tatuwu Rotan cacing Rotan manau
Spesies Calamus caesius Blume Calamus trachycoleus Beccari Calamus scipionum Lour. Calamus javensis Blume Calamus manan Miquel
Jumlah bibit 3400 3500 1400 1000 350
sedangkan rotan manau (C.manan) sangat jarang dijumpai di kawasan tersebut. C. manan selama ini memang lebih banyak ditemui di hutan dipterokarpa dataran rendah terutama dekat lereng yang curam dengan kisaran ketinggian antara 500-1000 m dpl. Hasil identifikasi jenis pohon yang berasosiasi dengan rotan tercatat sebanyak lima jenis rotan antara lain adalah medang (Cryptocarya zollingeriana Miq.), kayu hitam (Diospyros bantamensis K.et V.), bintangur (Calophyllum nodusum Vesque), dan tapos (Elateriospermum tapos Blume). Perbanyakan bibit dan penanaman di lapangan Perbanyakan bibit dilakukan secara konvensional melalui biji dengan melalui tahapan, a) seleksi pohon induk untuk dipanen bijinya, b) seleksi biji hasil panen dari buah yang telah masak, kemudian dimasukan dalam karung goni basah dan disimpan selama 24 jam. Biji rotan disemai di penyemaian dengan media pasir, setelah empat minggu biji mulai berkecambah dan dipindahkan ke polybag (Alrasjid 1998). Persen tumbuh bibit rotan di persemaian mencapai 80%. Selanjutnya kelima jenis bibit rotan tersebut dikembangkan di areal hutan rakyat dengan sistem pengayaan. Kegiatan penanaman dilakukan di wilayah hutan rakyat Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan. Penanaman dan peremajaan rotan andalan setempat Tumbang Liting di hutan rakyat dilakukan oleh Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dibantu oleh kelompok masyarakat sekitar hutan pada bulan Januari – Mei 2014. Bibit–bibit Calamus caesius Blume, C. trachycoleus Beccari,C. javnesis Blume,
C. manan Miquel, dan C. scipionum Lour. dikembangkan di hutan rakyat sejumlah bibit pada Tabel 2. Peremajaan dilakukan di bawah tegakan pohon pemanjat dan ditanam secara acak. Monitoring pertumbuhan bibit Pengembangan hutan rakyat rotan tidak hanya untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas rotan bernilai ekonomi yang sangat tinggi, melainkan juga untuk memberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karenanya, selain meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan budidaya rotan, monitoring dan evaluasi juga perlu dilakukan, hal ini untuk memelihara dan memantau kondisi kelima jenis rotan yang telah ditanam. Perkembangan keberhasilan penanaman rotan di hutan rakyat ini selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga untuk keberlanjutan produksi rotan secara lestari. Disisi lain, kelestarian produksi rotan dapat menjaga kelestarian lingkungan. Pelatihan budidaya rotan Untuk peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat dalam budidaya rotan, petani rotan di hutan rakayat dilakukan pelatihan, kursus dan praktek budidaya rotan yang intensif. Pelatihan-pelatihan budidaya rotan yang telah diberikan diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya budidaya, khususnya sumber daya hayati dan sekaligus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan aktif dalam usaha perbanyakan rotan. Peran masyarakat ditunjukkan melalui peran aktif masyarakat dalam seluruh rangkaian kegiatan budidaya tanaman. Masyarakat sekitar lokasi, seperti pemuda, tokoh masyarakat, ketua adat, dan pihak yang berkepentingan dilibatkan dalam kegiatan persiapan bibit, persiapan lahan di lapangan, penentuan lokasi tanam, pembuatan lubang tanam, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama penyakit, pemanenan, monitoring dan pengelolaan pasca pannen. Melalui serangkaian kegiatan pelatihan pengelolaan rotan diharapkan masyarakat mulai memahami dan turut aktif dalam pengembangan rotan.
200
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 194-200, April 2015
Hasil eksplorasi yang dilakukan di areal Hutan Rakyat Tumbang Liting, terdapat 23 jenis rotan dalam 3 marga (berdiameter kecil 16 jenis dan 9 jenis rotan berdiameter besar ). Hutan rakyat Tumbang Liting memiliki lima jenis rotan andalan setempat Katingan adalah C, caesius Blume, C. trachycoleus Beccari, C. javensis Blume, C. manan Miquel, dan C. scipionum Lour. Kegiatan ini juga diharapkan mampu menyelamatkan ke lima jenis rotan yang penggunaan tanaman tersebut dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pengembangan hutan rakyat rotan perlu dilaksanakan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat di wilayah sekitar hutan. Masyarakat perlu diberikan pemahaman arti penting tindakan budidaya rotan dan pengembangannya baik secara individu maupun melalui kelompok sehingga mereka merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada tim eksplorasi di wilayah hutan rakyat di Dusun Betung, Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah yaitu petani rotan sekitar hutan, Sitmar Heinly selaku Project Officer PUPUK Kalteng yang telah membantu dalam pelaksanan di lapangan, juga diucapkan terima kasih kepada bapak Listoman Tanjung selaku Project Director PROSPECT Indonesia yang telah mengundang staf peneliti Badan Litbang Kehutanan sebagai tenaga ahli guna mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan program PROSPECT yang di prakarsai oleh PUPUK.
DAFTAR PUSTAKA Alrasjid H. 1998. Teknik Penanaman Rotan. Info Hutan No. 102. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor. Anonim. 2009. Budidaya Rotan. http://hutanku.blogspot.com/2009/07/budidaya- rotan.html. 13 juli 2009. [15 November 2014]. BPS Katingan. 2007. Katingan dalam Angka Tahun 2007. BPS Kabupaten Katingan, Katingan. Dransfield, J.1984. Tha Rattans Of Sabah. Sabah Forest Record No 13. Forest Department, Sabah. Januminro. 2000. Rotan Indonesia: Potensi, Budi Daya, Pemungutan, Pengolahan, Standar Mutu, dan Prospek Pengusahaan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Jasni, Damayanti R, Kalima T, Malik J, Abdulracman. 2010. Atlas Rotan Indonesia Jilid 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Jasni, Damayanti R, Kalima T. 2007. Atlas Rotan Indonesia Jilid 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Jasni, Kridianto, Kalima T, Abdulracman. 2012. Atlas Rotan Indonesia Jilid 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Kalima T, Jasni. 2008. Keragaman spesies rotan yang belum dimanfaatkan di hutan Tumbang Hiran, Katingan, Kalimantan Tengah. Jurnal Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Kalima T, Setyawati T. 2003. Analisa potensi jenis rotan kurang dikenal di hutan Berau, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan 638: 5972. Kalima T. 2005. Identifikasi Tanaman Rotan di Hutan Penelitian Haurbentes, Jawa Barat. Info Hutan Voume II Nomor 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Mogea JP. 1993. Calamus trachycoleus Becc. In: Dransfield J, Manokaran N (eds). Plant Resources of South-East Asia No. 6: Rattans. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Perkumpulan Petani Rotan Katingan. 2006. Pengembangan Usaha Komunitas melalui Usaha Pengolahan Rotan. Seminar dan Workshop pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat Yogyakarta. Witono JR, Rustiami H, Hadiah JT, Purnomo DW. 2013. Panduan Lapangan Pengenalan Jenis Rotan Katingan. WWF-Indonesia Program Kalimantan Tengah, Palangkaraya.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 201-206
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010206
Eksplorasi dan karakterisasi tumbuhan mekai sebagai penyedap rasa di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara Exploration and characterization of mekai plant as flavoring ingredient in Bulungan District, Province of North Kalimantan NURBANI, SUMARMIYATI♥ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 19 Januari 2015.
Abstrak. Nurbani, Sumarmiyati. 2015. Eksplorasi dan karakterisasi tumbuhan mekai sebagai penyedap rasa di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 201-206. Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara dengan luas wilayah 13.181.92 km2 banyak menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity), antara lain adalah tumbuhan mekai. Mekai (Albertisia papuana Becc.) banyak tersebar di daerah-daerah pedalaman dan kawasan hutan Kalimantan Utara yang merupakan habitat alami tumbuhan tersebut. Adanya eksploitasi hutan dan industri perkayuan yang semakin meningkat, kebakaran hutan, alih fungsi lahan, pembukaan hutan untuk perkebunan, tambang dan pemukiman, maka spesies-spesies tumbuhan asli dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Sebagian masyarakat Suku Dayak setempat sudah mengusahakan dan memanfaatakan tumbuhan mekai sebagai bahan penyedap rasa alami tetapi belum terinventarisasi dan dibudidayakan dengan baik. Oleh karena itu perlu adanya upaya perlindungan dan inventarisasi tumbuhan rempah mekai sebagai pengetahuan tradisional dalam rangka pengembangan lebih lanjut. Kegiatan penelitian lapangan dilakukan di Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, meliputi: (i) eksplorasi, (ii) karakterisasi, dan (iii) data direkap dalam data paspor diikuti dengan dokumentasi data. Kata kunci: Eksplorasi, karakterisasi, mekai, Kabupaten Bulungan
Abstract. Nurbani, Sumarmiyati. 2015. Exploration and characterization of mekai plant as flavoring ingredient in Bulungan District, Province of North Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 201-206. Bulungan District, North Kalimantan Province with an area of 13.181.92 km2 has many biodiversities, such as mekai plant. Mekai plant (Albertisia papuana Becc.) widely spread in the hinterland and North Borneo forest area where it is the natural habitat of these plants. It is worried about the native plant species will be extinct because of forest exploitation, increasing timber industry, forest burning, land conversion, forest clearing for plantations, mines, and settlements. Most of the local Dayak community has been made a serious effort and utilized this plant as natural flavoring ingredient but it has not been inventoried and cultivated well. Therefore, it is necessary to conserving and inventorying Mekai spice plant as traditional knowledge in order to further development. Field research carried out in Tanjung Selor Sub-district, Bulungan District, included: (i) exploration, (ii) characterization, and (iii) recapitulated data in passport data form followed by documentation of data. Keywords: Exploration, characterization, mekai, Bulungan
PENDAHULUAN Kabupaten Bulungan merupakan salah satu kabupaten terbesar di Kalimantan Utara yang terkenal dengan berbagai jenis tumbuhan yang dapat bermanfaat sebagai obat dan tanaman aromatik. Kabupaten Bulungan banyak menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversitas), antara lain tumbuhan obat dan rempah aromatik. Tumbuhan tersebut banyak tersebar di daerah-daerah pedalaman dan kawasan hutan yang merupakan habitat alaminya. Menurut Kusumawati et al. (2003) hutan merupakan sumber alam yang sangat penting di Indonesia. Hutan-hutan tersebut mempunyai berbagai fungsi seperti penghasil produkproduk kayu maupun non kayu termasuk tanaman obat, hutan lindung yang melindungi persediaan air dan
mencegah erosi tanah, sebagai cadangan alami, dan sebagai tempat rekreasi yang menyimpan keanekaragaman flora dan fauna. Adanya eksploitasi hutan dan industri perkayuan yang semakin meningkat, kebakaran hutan serta pembukaan hutan untuk perkebunan, tambang dan pemukiman transmigrasi, maka dikhawatirkan jenis-jenis tumbuhan rempah aromatik tersebut akan punah. Sejalan dengan penyusutan luas hutan, tidak telepas juga mengenai masalah kondisi flora dan fauna yang terdapat di hutan. Keanekaragaman hayati secara langsung akan terganggu, dampaknya dapat mengakibatkan kepunahan pada jenisjenis spesies tertentu (Subiandono dan Heriyanto 2009). Suku Dayak di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara secara turun temurun telah menggunakan
202
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 201-206, April 2015
penyedap rasa alami dari tumbuhan sebagai bumbu dapur. Daun penyedap rasa yang biasa disebut orang Kabupaten Bulungan adalah daun apa atau mekai (Albertisia papuana Becc.) biasanya diambil dari hutan. Tumbuhan ini hidup menjalar pada tumbuhan lain dan tidak merugikan tumbuhan yang ditumpanginya. Kemajuan teknologi bagi sebagian masyarakat Dayak pedalaman tidak berarti menghilangkan arti kemanfaatan tumbuhan di sekitarnya sebagai bahan baku obat dan makanan. Saat ini pengetahuan masyarakat tentang bahaya penggunaan bahan-bahan kimia sintetik sudah semakin meningkat. Penggunaan penyedap rasa buatan yang berlebihan disinyalir dapat membahayakan kesehatan antara lain dapat memicu tekanan darah tinggi, asma, kaker, diabetes, kelumpuhan serta penurunan kecerdasan. Menurut Widyasari (2012), ekstrak akar mekai bersifat anti kanker terhadap kanker payudara. Kearifan lokal dan tradisional masyarakat Dayak pedalaman di Kabupaten Bulungan dapat dijadikan komponen penting untuk melaksanakan upaya penyelamatan sumberdaya genetik tumbuhan hutan. Dengan kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat lokal akan mampu melahirkan kearifan lingkungan, yang berjalan seiring dan sejalan dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dan genetik. Selain itu, kearifan tradisional merupakan salah satu ciri kebudayaan nasional sehingga patut digali dan dikembangkan lebih lanjut di masa yang akan datang. Untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil, maka perlu dilakukan inventarisasi, koleksi, karakterisasi dan evaluasi tumbuhan yang sudah ada untuk mencegah adanya erosi genetik yang berakibat pada hilangnya sumber genetik (Suryani dan Nurmansyah 2009). Eksplorasi merupakan kegiatan mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumberdaya genetik (SDG) tertentu untuk mengamankannya dari kepunahan. Plasma nutfah yang ditemukan perlu diamati sifat dan asalnya kemudian dilakukan upaya-upaya pelestarian. Eksplorasi plasma nutfah dilakukan secara purposive pada daerah-daerah sentra produksi, daerah produksi tradisional, daerah terisolir, daerah pertanian lereng-lereng gunung, pulau terpencil, daerah suku asli, daerah dengan sistem pertanian tradisional belum maju, dan daerah yang masyarakatnya menggunakan komoditas yang bersangkutan sebagai bahan makanan pokok utama. Menurut Bermawie et al. (2002) karakterisasi merupakan salah satu tahapan penting dalam suatu rangkaian kegiatan pemuliaan tanaman. Karakterisasi dilakukan terhadap karakter-karakter yang lebih mudah diwariskan, mudah diamati dan sangat sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Ekspresi karakter-karakter yang bersifat kuantitatif tersebut tidak mudah kelihatan dan terekam oleh karena itu karakterisasi terhadap karakterkarakter yang bersifat kualitatif seperti karakterisasi morfologi juga sangat penting dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai deskripsi dan karakterisasi tumbuhan mekai dan potensinya sebagai bahan penyedap rasa alami yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilakukan di Desa Jelarai, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Gambar 1.) pada bulan Oktober 2014 dengan metode survei (eksplorasi) di lokasi hutan yang merupakan habitat tumbuhan mekai. Perjalanan ke Desa Jelarai dapat ditempuh melalui jalan darat sekitar dua jam dari Tanjung Selor. Ketinggian lokasi sekitar 29-35 m dpl. Hutan alami habitat mekai ini termasuk daerah perbukitan. Kawasan hutan termasuk daerah dengan tektur tanah lempung (inceptisols). Kawasan tumbuh mekai memiliki kelembaban tinggi karena merupakan hutan dengan vegetasi pohon-pohon yang tinggi. Eksplorasi dan karakterisasi Eksplorasi adalah kegiatan mencari, mengumpulkan dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu untuk mengamankan dari kepunahan. Plasma nutfah yang ditemukan perlu diamati sifat dan asalnya. Tumbuhan mekai yang diamati merupakan tumbuhan asli yang tumbuh di kawasan hutan di daerah Kecamatan Tanjung Selor. Tumbuhan diamati ciri morfologi dan fisiologinya serta dicatat dalam data paspor tumbuhan. Penelusuran data primer maupun data sekunder dari pemberi informasi, baik secara langsung melalui wawancara maupun data pustaka. Wawancara langsung menggunakan petani pemilik pohon mekai. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan karakterisasi terhadap mekai. Pengamatan dilakukan terhadap karakteristik morfologi meliputi tinggi tumbuhan, diameter batang, warna daun, ukuran daun, bentuk daun, dan ukuran panjang daun. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bagian morfologi tumbuhan mekai (batang, daun, bunga), data paspor tumbuhan, GPS, dan alat tulis. Dokumentasi Dokumentasi sangat penting dilakukan untuk menyimpan data-data terkait karakteristik suatu tumbuhan agar dapat dikenali perbedaannya dengan jenis tumbuhan lain yang mungkin memiliki kemiripan karakter. Data yang dihasilkan dari identifikasi dan karakterisasi didokumentasikan di dalam file khusus, katalog, data paspor tumbuhan dan komputer untuk memudahkan pengamanan dan pengaksesan kembali data yang disimpan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik wilayah tumbuh tumbuhan mekai Kabupaten Bulungan sebagai salah satu kabupaten di Kalimantan Utara mempunyai luas 18.010,50 km2 terletak antara 2009’19” sampai 3034’49” Lintang Utara dan 116004’41” sampai 117057’56” Bujur Timur. Secara umum Kabupaten Bulungan di dominasi oleh bentuk lahan datar hingga berbukit-bukit yang ditandai dengan banyaknya gunung, tebing yang terjal dengan kemiringan lahan yang tajam. Ketinggian wilayah semakin ke arah barat daya
NURBANI & SUMARMIYATI – Mekai sebagai penyedap rasa di Bulungan
203
Gambar 1. Peta Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara; dan lokasi asal tumbuhan mekai dalam penelitian ini di Desa Jelarai, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan (kotak). .
semakin meningkat, sehingga mencapai diatas 300 m dpl. dengan kemiringan bervariasi 16-25%, 26-40% dan 4160%. Sebaliknya semakin ke timur ketinggian wilayah semakin rendah hingga kurang dari 2 m di atas permukaan laut dengan kemiringan lahan sampai kurang dari 2%. Jenis Tanah di Kabupaten Bulungan didominasi oleh jenis tanah alluvial, podzolik merah kuning dan latosol (BPS Kalimantan Timur 2013). Secara umum Kabupaten Bulungan merupakan daerah beriklim sedang, dengan rata-rata suhu udara sepanjang tahun 2012 berkisar antara 27,3oC, sedangkan curah hujan selama tahun 2012 di Kabupaten Bulungan berkisar antara 228,2 mm. Kelembaban udara tercatat relatif lebih tinggi yaitu berkisar 85% (Dinas Pertanian Kalimantan Timur 2012). Berdasarkan peta Zona Agroekologi (Badan Litbang Pertanian 2013) Kabupaten Bulungan merupakan daerah yang berpotensi untuk pengembangan tumbuhan perkebunan, pangan, hortikultura, dan tumbuhan vegetasi alami. Hutan dengan vegetasi alaminya merupakan habitat asli mekai. Habitat dan lingkungan tumbuh mekai Kontribusi sektor kehutanan menurut Mayrowani dan Ashari (2011) dalam penyediaan pangan secara tradisional telah berkembang di Indonesia. Berbagai produk dari hutan mempunyai manfaat yang besar bagi penyediaan pangan
dan kesehatan masyarakat. Tumbuhan mekai yang ditemukan di daerah Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara sudah banyak dimanfaatkan oleh orang-orang dayak pedalaman yang tinggal di sekitar hutan. Pengetahuan mengenai penggunaan mekai sebagai bumbu atau obat bagi masyarakat di pedalaman Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara telah lama diketahui. Mekai biasa ditemui di dataran rendah dan perbukitan. Hasil pengamatan menunjukan mekai tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian 29 m dpl, topografi bergunung dengan tekstur tanah lempung (Inceptisol). Pohon mekai tumbuh liar di hutan, perkebunan dan belum banyak dibudidayakan. Tumbuh dengan vegetasi heterogen. Mekai biasa tumbuh diantara tumbuhan lain seperti rambutan, petai, nangka, jeruk nipis, cempedak dan pisang. Widiarti (2004) mengemukakan bahwa dengan pola tanam campuran maka produktivitas lahan hutan rakyat dapat ditingkatkan secara optimal dan lestari. Mekai dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah yang kering dan membutuhkan sinar matahari yang cukup, toleran dengan tanah asam dan tanah yang subur. Tumbuhan biasanya tumbuh merambat dipohon-pohon besar yang tumbuh disekitarnya. Kondisi tanah dengan banyak humus dari daun-daun yang mengering merupakan sumber pupuk alami bagi pertumbuhan mekai di hutan. Curah hujan yang cukup dengan intensitas sepanjang tahun, merupakan salah
204
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 201-206, April 2015
satu faktor yang mendukung pertumbuhan mekai di Kabupaten Bulungan.
salah satu bentuk bumbu penyedap rasa yang paling disukai oleh masyarakat pada umumnya.
Deskripsi dan karakteristik morfologi mekai Pengamatan terhadap karakter morfologi tumbuhan mekai dilakukan dengan mengamati bagian tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga (Gambar 2-3). Hasil pengamatan terhadap karakter morfologi sesuai Tabel 1., pohon mekai yang ditemukan di Kecamatan Tanjung Selor mempunyai tinggi 8 meter, lingkar batang pada ketinggian 1 m adalah 14 cm, diameter batang 4,5 cm, bentuk tajuk merambat, bentuk batang bulat, percabangan batang melengkung keatas, tekstur kulit batang halus, dan warna kulit batang hijau dengan bercak putih. Mekai yang diamati berumur kurang lebih 7 tahun dan sudah tumbuh dengan daun lebat. Saat ini petani sudah memulai membudidayakan dan mengembangkan mekai seiring dengan perkembangan permintaan konsumen yang semakin tinggi. Hasil karakterisasi morfologi bagian daun sesuai Tabel 1, menunjukan daun mekai merupakan tumbuhan berdaun majemuk, warna daun bagian atas (munsel) hijau tua mengkilat, arah daun menghadap ke atas warna daun bagian bawah (munsel) hijau, serta permukaan daun bagian atas/bawah mengkilap, ujung daun meruncing, ukuran daun tua panjang ± 30 cm dan lebar ± 9 cm, tangkai daun berwarna hijau dengan panjang 5 cm. Bentuk daun memanjang dan eliptikal, tepi daun rata, tata letak daun alternate, dengan jarak antar daun 2 cm. Tumbuhan mekai yang sudah dewasa menghasilkan daun-daun yang lebih lebat dengan ukuran dan kualitas daun yang lebih baik. Ukuran daun mekai sangat bervariatif tergantung dari pertumbuhan dan kesuburan tumbuhan. Tumbuhan yang subur menghasilkan daun dengan jumlah yang lebih banyak dan lebat. Daun yang paling banyak digunakan untuk bahan penyedap rasa oleh masyarakat setempat adalah daun yang tua. Daun biasanya dipanen setiap waktu tergantung dari kebutuhan petani, baik untuk dijual maupun untuk konsumsi sehari-hari. Daun-daun yang dipanen biasanya dikeringkan di bawah terik matahari sebelum dilakukan proses penghancuran menjadi bubuk (serbuk). Bentuk serbuk selain mudah digunakan juga memiliki daya simpan yang lebih lama. Hasil karakterisasi terhadap morfologi bunga mekai sesuai Tabel 1 menunjukan bunga mekai berwarna krem, termasuk bunga majemuk, kedudukan bunga terletak di percabangan,warna kelopak bunga hijau kekuningan. Perbanyakan mekai dilakukan secara vegetatif dengan cara setek dan secara generatif dengan menggunakan biji. Pemanfaatan daun mekai tanpa diimbangi dengan peremajaan tanaman mengakibatkan punahnya sumbersumber pangan lokal. Masyarakat disekitar hutan banyak mengambil daun mekai ini untuk dijual dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering. Agar daun awet dan tahan lama dalam penyimpanan diproses dengan cara dikeringkan kemudian setelah kering ditumbuk menjadi bentuk serbuk halus. Masyarakat saat ini membutuhkan produk pangan dengan mempertimbangkan unsur pemenuhan gizi, tahan lama dan tidak memerlukan tempat penyimpanan yang banyak. Bumbu penyedap rasa dalam bentuk bubuk adalah
Peluang pengembangan mekai Pengembangan tumbuhan mekai di Kabupaten Bulungan memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan karena tumbuhan ini banyak disukai oleh masyarakat karena memiliki manfaat sebagai bahan penyedap rasa alami dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehata tubuh manusia. Saat ini petani banyak menjual tumbuhan mekai dalam bentuk segar. Jika diolah dalam bentuk lain misalnya simplisia atau dalam bentuk serbuk tentunya akan menaikan nilai tambah sehingga harga juanya juga lebih tinggi. Oleh karena itu perlu untuk dikembangkan usaha-usaha pengolahan mekai dalam rangka mendorong agroindustri perdesaan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan terutama yang berasal dari sumber bahan pangan lokal. Tabel 1. Deskripsi batang, daun, bunga dari tumbuhan mekai Uraian
Hasil karakterisasi/ desripsi
Batang Tinggi tanam Lingkar batang pada ketinggian 1 m Diameter batang Bentuk tajuk Bentuk batang Percabangan Tekstur kulit batang Warna kulit batang
8 meter 14 cm 4,5 cm merambat bulat melengkung keatas halus hijau dengan bercak putih
Daun Bentuk daun Bentuk daun (lingkaran yang sesuai) Tipe daun Tepi daun Tata letak daun Warna daun bagian atas (munsel) Warna daun bagian bawah Ujung daun Pangkal daun Permukaan daun bagian atas/bawah Tipe daun Arah daun menghadap Ukuran daun tua Tangkai daun Jarak antar daun Jumlah daun baru/tangkai/siklus Bunga Warna bunga Jumlah bunga Kedudukan bunga/tempat tumbuh bunga Warna kelopak bunga
memanjang jorong daun majemuk rata berseling hijau tua mengkilat hijau meruncing tumpul mengkilap datar ke atas panjang: 30 cm, lebar: 9 cm warna: hijau, panjang: 5 cm 2 cm 15 helai krem majemuk dipercabangan hijau kekuningan
NU URBANI & SUM MARMIYATI – Mekai sebaga ai penyedap rassa di Bulungan
2005
G Gambar 2. Habbitat tumbuh daan penampakan batang tumbuhhan mekai
B
A
C
G Gambar 3. Dauun tumbuhan mekai: m A. Basah, B. Kering, C.S Serbuk daun meekai
Produk baahan pangan terutama t penyyedap rasa deengan bbahan baku tuumbuhan lokaal spesifik lokkasi dapat meenjadi s salah satu produk unggulann yang dapat meningkatkan m n nilai t tambah dan niilai jual sehinggga meningkaatkan kesejahtteraan p petani. Mekai yang berasal dari hutan daapat dibudidayyakan d tingkat peetani sehinggga menjadi salah di s satu suumber p pasokan bahann penyedap rasa r alami. Bahan baku prroduk p penyedap rassa ini ini daapat ditingkaatkan produkksinya m melalui perbaiikan budidayaa, penanganann pasca panenn dan p pengolahanny a menjadi prroduk yang bernilai b jual tinggi t s sehingga meniingkatkan kessejahteraan pettani. Sebagian besar b masyaraakat belum mengetahui m maanfaat m mekai dan beelum terbiasa mengkonsum msi tumbuhann ini. H ini dapat diatasi Hal d melaluui sosialisasi teerkait pemanffaatan m mekai dan produk p olahaannya sehinggga meningkkatkan k kesadaran maasyarakat unttuk menggunnakan bahan baku a alami sebagai penyedap rasa. Mekai tum mbuh di hutann dan t tidak membuutuhkan bahhan-bahan kiimia baik untuk u
pemu upukan mauupun untuk mengendalikaan hama daan peny yakit sehinggga sangat memungk kinkan untuuk dikem mbangkan deengan input biaya yang rendah. r Selaiin dikem mbangkan di habitat alam minya sangat memungkinka m an untuk dikembanggkan dan dibbudidayakan di d habitat laiin untuk menjaga keelestariannya. Upaya meniingkatkan nilaai jual mekai perlu dilakukan d penggolahan menjaadi bahan yanng mem mpunyai nilai jual j lebih tingggi sehingga banyak b diminaati oleh masyarakat. Hasil H eksploraasi dan karaktterisasi, mekaii di Kabupateen Bulu ungan mempuunyai peluangg untuk dibudidayakan daan dikem mbangkan paada habitat alami menging gat sumberdayya alam m di daerah inii tersedia cukuup luas, kondiisi iklim sesuaai, tekno ologi budidayya tanaman cuukup tersediaa, sumber dayya manu usia cukup terrampil, terseddianya pasar yang cukup luaas baik dalam dann luar daeraah sehingga perlu untuuk dikem mbangkan usaha-usaha u bbudidaya daan pengolahaan meka ai dalam rangkka mendorongg pelestarian tumbuhan t lokaal
206
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 201-206, April 2015
spesifik lokasi dan menumbuhkembangkan agroindustri tanaman pangan berbasis sumberdaya lokal Kalimantan Utara. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2013. Peta Zona Agroekologi Kabupaten Bulungan. Badan Litbang Pertanian, Tanjung Selor. Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur. 2013. Kalimantan Timur Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Kaltim, Samarinda. Bermawie N, Ajijah N, Rostiana O. 2002. Karakterisasi morfologi dan mutu adas (Foenim vulgare Mill). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 13 (2): 26. Dinas Pertanian Kalimantan Timur. 2012. Laporan Akhir Tahun 2012. Dinas Pertanian Kalimantan Timur, Samarinda. Krismawati A, Sabran M. 2004. Pengelola sumber daya genetik tanaman obat spesifik Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah 12:1 Kusumawati I, Djatmiko W, Abdul Rahman, Studiawan H, Ekasari W. 2003. Eksplorasi keanekaragaman dan kandungan kimia tumbuhan
obat di hutan tropis Gunung Arjuno. Jurnal Bahan Alam Indonesia 2 (3): 100. Mayrowani H, Ashari. 2011. Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan dan pemberdayaan petani sekitar hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 29 (1): 88-89. Subiandono, Endro, Heriyanto NM. 2009. Kajian tumbuhan obat akar kuning di kelompok hutan Gelawan, Kabupaten Kampar, Riau. Buletin Plasma Nutfah 15 (1): 43. Suryani, Erma, Nurmansyah. 2009. Inventarisasi dan karakterisasi tanaman kayumanis seilon (Cinnamomum zeylanicum Blume) di Kebun Percobaan Laing Solok. Buletin Penelitian Rempah dan Obat. 20 (2): 100. Widiarti A. 2004. Gerhan: Hutan Rakyat Lebih Menjanjikan Penyediaan Kayu, Pangan dan Pelestarian Lingkungan. Dalam: Prosiding Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Widyasari. 2012. Efek Sitotoksik, Proliferasi dan Apoptosis Fraksi Aktif Akar Tumbuhan Mekai (Albertisia papuana Becc.) terhadap Sel Kanker Payudara (t47d). [Tesis]. Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 207-212
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010207
Domestikasi ayam hutan merah: Studi kasus penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat di Bengkulu Utara Domestication of red jungle fowl: A case study of red jungle fowl poaching by communities in North Bengkulu JOHAN SETIANTO1,2,♥, HARDI PRAKOSO1, SUTRIYONO1 1
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-21290, ♥email:
[email protected], 2 Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-21290. Manuskrip diterima: 17 November 2014. Revisi disetujui: 18 Januari 2015.
Abstrak. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2015. Domestikasi ayam hutan merah: Studi kasus penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat di Bengkulu Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 207-212. Ayam hutan merah merupakan plasma nutfah yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat. Penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat terus meningkat. Ayam hutan merah dipelihara sebagai kesenangan ataupun dijadikan bibit untuk menghasilkan ayam persilangan. Penangkapan yang tidak terkendali dapat menyebabkan kepunahan ayam hutan merah. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai teknik penangkapan ayam hutan merah berbasis masyarakat di Bengkulu Utara. Pemilihan responden dilakukan dengan metode snow ball sampling. Metode ini dilakukan karena keberadaan peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah belum diketahui secara jelas. Data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari peternak yang dipilih sebagai responden dengan menggunakan kombinasi dari wawancara mendalam dan daftar pertanyaan. Hasil penelitian menunjukkan 65,22% responden melakukan penangkapan, 34,78% tidak melakukan penangkapan. Teknik penangkapan menggunakan ayam pemikat dan jaring 56,67%, ayam pemikat dan racik 26,67%, ayam pemikat dan jaring/racik 13,33% dan lainnya 3,33%. Hasil tangkapan dengan menggunakan ayam pemikat dan jaring 1,44 ekor/memikat/orang, menggunakan ayam pemikat dan racik 1,25 ekor/memikat/orang. Hasil tangkapan dipelihara 26,67% dan tidak dipelihara 73,33%. Penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi perkebunan dan blending zone dengan menggunakan alat ayam pemikat dan jaring, ayam pemikat dan racik, serta tungkup. Hasil tangkapan dipelihara, dikembangkan, dijual, dipotong dan diberikan pada orang lain. Kata kunci: Ayam hutan merah, domestikasi, teknik penangkapan.
Abstract. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2015. Domestication of red jungle fowl: A case study of red junglefowl poaching by communities in North Bengkulu. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 207-212. The red jungle fowl is an economically important species, that growing frequency of its poaching could lead to extinction. This study aims to gather information about capturing techniques used by the local communities in North Bengkulu. The data was obtained from in-depth interviews and questionnaires to selected respondents. Respondents were chosen by using snowball sampling method because little is known about the domestication of birds. The results showed that 65.22% of respondents captured the wild birds from the forests, while the other 34.78% did not. Several techniques were used to capture the birds. These techniques include the use of decoys with net traps (56.67%), decoys with line traps (26.67%), decoys with a combination of net and line traps (13.33%) and compartment traps (3.33%). The average number of wild fowls captured using a decoy and a trap was 1.44 individual per poacher and 1.25 individual per hunter using a decoy and a line trap. About 26.67% of captured wild fowls were domesticated and about 73.33% were for other purposes, including for food or being sold. In summary, the local communities living in plantation areas and forest buffer zones in North Bengkulu used a decoy and traps (net, line, and compartment) to capture red junglefowl. The captured fowls were then domesticated, bred, traded or eaten. Keywords: red jungle fowl, domestication, capturing techniques
PENDAHULUAN Ayam hutan merah merupakan aset yang terkandung di dalam hutan tropis, khususnya Bengkulu. Sebagai plasma nutfah, ayam hutan merah mempunyai peran fungsi yang sangat penting baik fungsi ekonomis maupun ekologis. Fungsi ekonomis ayam hutan merah adalah sebagai hewan
buru bagi masyarakat yang mendatangkan nilai ekonomi dan sebagai sumber genetik untuk mendapatkan spesies unggas baru seperti ayam burgo (Setianto et al. 2013) dan fungsi ekologis ayam hutan merah merupakan mangsa bagi karnivora untuk kelangsungan hidup. Ayam hutan merah merupakan tetua ayam burgo (Setianto 2009a). Ayam burgo relatif banyak dipelihara
208
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 207-212, April 2015
masyarakat Bengkulu (Setianto et al. 2009). Hal tersebut menjadikan ayam hutan merah menjadi aset yang vital untuk mendapatkan spesies baru, oleh karena itu penangkapan ayam hutan merah terus dilakukan. Penangkapan yang tak terkendali yang dilakukan terus menerus dapat menyebabkan kepunahan. Untuk itu upaya pelestarian perlu dilakukan. Penelitian tentang ayam hutan merah yang dilakukan sampai saat ini lebih banyak pada hubungan kekerabatan ayam hutan merah sebagai nenek moyang (ancestor) dari ayam-ayam yang dipelihara saat ini dan karakteristik genetik (Azmi et al. 2000; Moiseyeva et al. 2003; Sulandari et al. 2008; Sulandari dan Zein 2009; Zein dan Sulandari 2009; Dorji et al. 2012), populasi, tingkah laku dan habitat (Javed and Rahmani 2000; Arshad and Zakaria 2009; Subhani et al. 2010). Informasi dasar tentang ayam hutan merah sangat jarang, terutama informasi bagaimana cara masyarakat mendapatkan ayam hutan merah peliharaannya. Padahal masyarakat telah melakukan penangkapan ayam hutan merah untuk dipelihara sebagai kesenangan ataupun dijadikan bibit untuk menghasilkan spesies baru sebagai
ayam silangan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian guna mempelajari penangkapan ayam hutan merah yang selama ini dilakukan masyarakat. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai penangkapan dan penanganan hasil tangkapan ayam hutan merah berbasis masyarakat di Bengkulu Utara. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama 7 bulan, di Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bengkulu Utara merupakan salah satu habitat terbesar ayam hutan merah. Ayam hutan merah terkonsentrasi pada daerah-daerah perkebunan, sehingga wilayah tersebut menjadi tempat perburuan ayam hutan merah bagi masyarakat. Luas wilayah Kabupaten Bengkulu Utara adalah 4.424,60 km2. Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian.
Gambar 1. Peta Kabupaten Bengkulu Utara. Tanda anak panah menunjukkan lokasi penelitian.
SETIANTO et al. – Domestikasi ayam hutan merah
Responden yang dijadikan sampel adalah peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah. Pemilihan responden dilakukan dengan metode Snow ball sampling (sampel bola salju). Metode ini dilakukan karena keberadaan peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah belum diketahui secara jelas. Tahap pertama pengambilan responden adalah mencari seorang peternak yang mendomestikasikan ayam hutan merah, kemudian dilakukan wawancara untuk mendapatkan informasi responden lainnya. Tahap berikutnya dilakukan pendataan responden untuk kemudian dilakukan koordinasi dan kesepakatan waktunya untuk dijadikan responden berikutnya. Data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari responden yang dipilih sebagai sampel dengan menggunakan kombinasi dari wawancara mendalam (depth interview) dan mengajukan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (kuisioner). Disamping itu data juga diperoleh melalui pengamatan di lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi penangkapan ayam hutan merah, teknik penangkapan, hasil dan penanganan tangkapan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program yang telah tersedia dan dibahas secara deskritif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penangkapan ayam hutan merah Pada Tabel 1 dapat dilihat seberapa besar jumlah responden yang melakukan penangkapan (berburu) ayam hutan merah di alam. Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa dari 46 responden sebagian besar responden melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam (65,22%), sedangkan sisanya sebanyak 34,78% responden tidak melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam. Responden yang tidak melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam, beberapa mengakui bahwa mereka tidak mempunyai ketrampilan maupun keahlian untuk melakukan penangkapan ayam hutan merah. Teknik penangkapan ayam hutan merah dari alam Dari uraian di atas, diketahui ada 65,22% responden yang melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam. Penangkapan ayam hutan merah di alam dikenal masyarakat dengan istilah memikat. Dalam melakukan penangkapan ayam hutan merah, responden menggunakan alat yang bervariasi. Untuk menangkap ayam hutan merah di alam digunakan keturunan ayam hutan merah (F1, F2) sebagai ayam pemikat, dilengkapi alat tambahan berupa jaring atau racik ataupun dengan menggunakan peralatan lainnya. Pada Gambar 2 ini dapat dilihat gambar ayam pemikat dan peralatan lain yang di pakai dalam menangkap ayam hutan merah. Gambar 2 memperlihatkan variasi dari alat yang digunakan responden untuk menangkap ayam hutan merah. Peralatan tersebut dipakai dengan mengkombinasikan ayam pemikat dengan peralatan yang lain. Kombinasi ayam pemikat dan peralatannya yang digunakan responden untuk menangkap ayam hutan merah, disajikan pada Tabel 2.
209
Pada Tabel 2 dapat dilihat dari 30 orang responden yang melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam, sebanyak 56,67% menggunakan ayam pemikat dan jaring, sebanyak 26,67% menggunakan ayam pemikat dan racik, sebanyak 13,33% menggunakan keduanya (ayam pemikat dengan jaring dan racik) dan sisanya 3,33% menggunakan peralatan lainnya (tungkup). Penangkapan dilakukan pada daerah-daerah perkebunan kelapa sawit dan karet serta daerah-daerah blending zone (peralihan antara hutan dengan lahan yang diolah masyarakat untuk pertanian dan perkebunan). Hasil tangkapan dan penanganan hasil tangkapan Teknik penangkapan akan menentukan hasil tangkapan ayam hutan merah di alam. Keberhasilan memperoleh hasil tangkapan bervariasi antara satu responden dengan responden yang lain. Pada Tabel 3 dapat dilihat hasil tangkapan ayam hutan merah oleh responden. Rata-rata hasil tangkapan relatif lebih banyak diperoleh dengan menggunakan ayam pemikat dan jaring yaitu sebesar 1,44 ekor/orang/memikat atau 5,76 ekor/orang/bulan. Sedangkan penangkapan dengan menggunakan ayam pemikat dan racik diperoleh hasil 1,25 ekor/orang/mikat atau 5 ekor/orang/bulan. Ini diduga karena pada penggunaan jaring bisa menangkap lebih banyak ayam hutan merah yang terperangkap dalam jaring. Sedangkan pada penggunaan racik, hanya ayam hutan merah jantan yang bertarung dengan ayam pemikat yang bisa terperangkap dalam racik. Belum ada referensi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan. Namun demikian beberapa faktor yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan dalam menangkap ayam hutan merah sangat ditentukan oleh ayam pemikat, faktor lingkungan, keahlian peternak (pemikat), sarana yang dimiliki, waktu dan lokasi memikat. Hasil tangkapan ayam hutan merah dibawa dari hutan ke lokasi karantina atau kandang responden dengan menggunakan tas khusus, sehingga ayam hutan merah tersebut terlindungi dengan baik. Selain tas khusus untuk ayam hutan merah hasil tangkapan, untuk membawa ayam pemikat juga dipakai tas pemikat. Perbedaan keduanya adalah pada tas ayam pemikat hanya kaki yang keluar, sementara tas untuk ayam hutan merah kepala dan kaki keluar. Gambar 3 memberikan ilustrasi tas yang digunakan untuk membawa ayam pemikat dan ayam hutan merah hasil tangkapan. Hasil tangkapan ayam hutan merah tidak seluruhnya dipelihara, tetapi dijual atau dipotong. Pada Tabel 4 dapat dilihat penanganan hasil tangkapan ayam hutan merah. Menarik kita perhatikan pada Tabel 4, ternyata hanya 26,67% responden yang menangkap ayam hutan merah memelihara hasil tangkapannya. Sebagian besar (73,33%) tidak memelihara hasil tangkapannya tetapi menjual, memotong atau memberikan pada orang lain. Sedikitnya responden yang memelihara ayam hutan merah tangkapannya disebabkan tidak mudah untuk memelihara ayam hutan merah yang baru ditangkap dari alam. Ayam hutan merah yang baru ditangkap dari alam sangat liar dan sangat sulit untuk dijinakkan. Menjinakkan ayam hutan
210
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 207-212, April 2015
merah liar dari alam membutuhkan perhatian ekstra, ketekunan, kesabaran dan waktu yang relatif lama. Tidak jarang ayam hutan merah yang baru ditangkap yang dipelihara dalam kandang akan berusaha keluar dengan menabrak dinding kandang. Akibatnya banyak ayam hutan
merah yang baru ditangkap mati karena kepalanya membentur dinding kandang. Ayam hutan merah yang baru ditangkap juga mudah mengalami stres, yang berujung pada menurunnya nafsu makan. Ini mengakibatkan ayam hutan merah mudah terserang penyakit.
Gambar 2. Ayam pemikat, jaring, racik dan tungkup (gambar kiri) dan suling untuk menirukan suara ayam betina (gambar kanan).
Gambar 3. Tas untuk membawa ayam pemikat (kiri) dan tas untuk membawa ayam hutan merah tangkapan (kanan)
Tabel 1. Jumlah responden yang melakukan penangkapan ayam hutan merah di alam. Kegiatan penangkapan ayam hutan merah di alam Melakukan penangkapan Tidak melakukan penangkapan Jumlah
Responden (orang) 30 16 46
Persentase (%) 65,22 34,78 100
Keterangan Dilakukan di perkebunan dan blending zone Hanya memelihara
Tabel 2. Teknik penangkapan ayam hutan merah Teknik menangkap ayam hutan merah Ayam pemikat dan jaring Ayam pemikat dan racik Ayam pemikat, jaring dan racik Lainnya Jumlah
Responden (orang) 17 8 4 1 30
Persentase (%) 56,67 26,67 13,33 3,33 100
Keterangan Dilakukan di perkebunan dan blending zone Dilakukan di perkebunan dan blending zone Dilakukan di perkebunan dan blending zone Di daerah perkebunan
SETIANTO et al. – Domestikasi ayam hutan merah
211
Tabel 3. Rata-rata hasil tangkapan ayam hutan merah Cara penangkapan Ayam pemikat dan jaring Ayam pemikat dan racik Rata-rata Keterangan: 1) = observasi, 2) = perhitungan
Rata-rata tangkapan (ekor/memikat/orang) 1) 1,44 1,25 1,35
Rata-rata tangkapan (ekor/orang/bulan) 2) 5,76 5,00 5,38
Tabel 4. Penanganan ayam hutan merah hasil tangkapan Penangananan ayam hutan merah hasil tangkapan Dipelihara Tidak dipelihara Jumlah
Responden (orang) 8 22 30
Persentase (%) 26,67 73,33 100
Pembahasan Tidak banyak informasi ilmiah mengenai penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan 65,22% dari 46 responden melakukan penangkapan (perburuan). Tidak berbeda jauh apa yang dilaporkan Liang et al. (2013) yang melakukan penelitian perburuan terhadap jenis burung, termasuk ayam hutan merah. Dari 86 rumah tangga, 90,6% nya terlihat mempunyai hasil buruan atau memiliki setidak-tidaknya satu alat berburu. Sedangkan yang melakukan perburuan sebanyak 43%. Perburuan yang dilakukan dapat mengancam keberadaan ayam hutan merah. Akrim et al. ( 2015) mengemukakan bahwa ancaman utama terhadap ayam hutan merah adalah pengambilan telur dan perburuan. Pada penelitian ini, diketahui bahwa lokasi penangkapan oleh masyarakat dilakukan di daerah perkebunan dan blending zone. Daerah tersebut, merupakan daerah dimana terdapat banyak ayam hutan merah. Ini tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan Subhani et al. (2010) bahwa habitat ayam hutan merah terdapat di hutan dan semak belukar. Lebih lanjut Javed and Rahmani (2000) mengemukakan bahwa ayam hutan merah lebih banyak didapatkan pada hutan campuran. Arshad and Zakaria (2009) mengemukakan bahwa ayam hutan merah senang bertengger pada cabang-cabang pohon. Pada malam hari mereka naik ke cabang pohon untuk bertengger. Penangkapan ayam hutan merah oleh masyarakat menggunakan ayam pemikat dengan kombinasi jaring, racik ataupun tungkup. Penggunaan alat tersebut menjadi kebiasaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Ini berbeda dengan penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat lain. Aiyadurai (2012) mengemukakan perburuan dilakukan dengan perangkap (perangkap bilah bambu, perangkap kanopi, perangkap batu, perangkap segi tiga), ketapel dan senapan. Hal sama dikemukakan Liang et al. (2013) yang mengatakan perburuan menggunakan senapan, senapan angin dan perangkap. Cara yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian menghasilkan ayam hutan merah yang masih hidup, sehingga ada peluang untuk dikembangkan dan dilakukan konservasi.
Keterangan Untuk dikawinsilangkan Dijual, dipotong, diberikan pada orang lain
Jumlah ayam hutan merah yang ditangkap bervariasi. Tidak banyak informasi hasil penelitian tentang jumlah tangkapan ayam hutan merah. Liang et al. (2013) dalam penelitian tentang perburuan menemukan 11 ayam hutan merah hasil perburuan. Ayam hutan merah yang baru ditangkap sangat liar. Oleh karena itu tidak banyak yang memelihara hasil tangkapannya. Sifat liar ayam hutan merah ini juga ditemukan pada keturunan ayam hutan merah, walaupun telah dipelihara dengan baik sejak ditetaskan (Brisbin and Peterson 2007). Ayam hutan merah yang dipelihara oleh masyarakat untuk dikawinsilangkan guna memperoleh keturunan baru yang relatif tidak liar dan bisa dimanfaatkan secara ekonomi (Setianto 2013). Keturunan ayam hutan merah di Bengkulu disebut ayam burgo (Setianto 2010). Keturunan ayam hutan merah yang jantan (ayam burgo jantan) dikembangkan menjadi ayam hias (Setianto 2012) dan ayam pemikat (Setianto et al. 2014). Sedangkan ayam burgo betina sebagai ayam petelur (Setianto dan Warnoto 2010). Ini mengingat jumlah produksi telurnya yang relatif banyak dibanding ayam kampung (Setianto 2009b; Warnoto dan Setianto 2009). Hasil perburuan ayam hutan merah dipelihara, dikembangkan, dijual, dipotong dan diberikan pada orang lain. Sementara itu Liang et al. (2013) mengatakan hasil perburuan dijual dan dikembangkan. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penangkapan ayam hutan merah yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi perkebunan dan blending zone dengan menggunakan alat ayam pemikat dan jaring, ayam pemikat dan racik, serta tungkup. Hasil tangkapan dipelihara, dikembangkan, dijual, dipotong dan diberikan pada orang lain. UCAPAN TERIMA KASIH Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang didanai melalui skema Hibah Unggulan Universitas Bengkulu. Untuk itu tim peneliti mengucapkan terimakasih kepada Universitas Bengkulu.
212
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 207-212, April 2015
DAFTAR PUSTAKA Aiyadurai A. 2012. Bird hunting in Mishmi Hills of Arunachal Pradesh, north-eastern India. Indian BIRDS. 7 (5) : 134-137. Akrim F, Awan MS, Mahmood T, Anjum M Z, Qasim S, Khalid J, Shahwar D, Andleeb S. 2015. Threats to Red Junglefowl (Gallus gallus murghi) in Deva Vatala National Park, District Bhimber, Azad Jammu and Kashmir, Pakistan. Ann Res Rev Biol 6 (1): 59-65 Arshad MI, Zakaria M. 2009. Roosting habits of Red Junglefowl in Orchard Area. Pak J Life Soc Sci 7 (1):86-89. Azmi M, Ali AS, Kheng WK. 2000. DNA fingerprinting of red jungle fowl, village chicken and broilers. Asian-Aus J Anim Sci 13 (8):10401043. Brisbin IL, Peterson AT. 2007. Playing chicken with red junglefowl: identifying phenotypic markers of genetic purity in Gallus gallus. Anim Conserv 10 (4): 429-435. Dorji N, M Duangjinda, Y Phasuk. 2012.Genetic characterization of Bhutanese native chickens based on an analysis of Red Junglefowl (Gallus gallus gallus and Gallus gallus spadecieus), domestic Southeast Asian and commercial chicken lines (Gallus gallus domesticus). Genetics and Molecular Biology 35 (3) 603-609. Javed S, A R Rahmani. 2000. Flocking and habitat use pattern of the Red Junglefowl Gallus gallus in Dudwa National Park, India. Tropical Ecology 41 (1): 11-16 Liang W, Y Cai, CC Yang. 2013. Extreme levels of hunting of birds in a remote village of Hainan Island, China. Bird Conserv Intl. 23: 45-52 Moiseyeva IG, M N Romanov, AA Nikiforov, AA Sevastyanova, SK Semyenova. 2003. Evolutionary relationships of Red Jungle Fowl and chicken breeds. Genet Sel Evol 35: 403–423. Setianto J, 2009a. Ayam Burgo : Ayam Buras Bengkulu. PT Penerbit IPB Press, Bogor. Setianto J, 2009b. Increasing the egg weight of burgo chicken offspring through cross-mating between burgo chicken with native chicken. Proceeding The 1st International Seminar on Animal Industri 2009 ”Sustainable Animal Production for Food Security and Safety. IPB Bogor. I : 262 -264. Setianto J. 2010. Sumber Daya Hayati Ayam Burgo Bengkulu : Karakteristik Fenotipe, Populasi, Performa Reproduksi, Performa Produksi dan Potensi Pengembangannya. Makalah Kenaikan Jabatan ke Guru Besar di Rapat Senat Universitas Bengkulu.
Setianto J. 2012. Peran Ayam Lokal dan Potensi Ayam Burgo Dalam Menyediakan Bahan Pangan Protein Hewani. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Bengkulu. Setianto J. 2013. Potensi dan Strategi Pengembangan Ayam Burgo. Prosiding Seminar Nasional Peternakan : Potensi Sumber Daya Ternak Lokal Untuk Membangun Kemandirian Pangann Hewani dan Kesejahteraan Masyarakat. Padang. I : 15 – 20. Setianto J, Warnoto. 2010. Performa Reproduksi dan Produksi Ayam Burgo Betina. Penerbit UNIB PRESS, Bengkulu. Setianto J, Warnoto, Nurmeiliasari. 2009. The phenotype characteristic, population and the environment of Bengkulu’s burgo chicken. Proceeding International Seminar ”The Role and Application of Biotechnology on Livestock Reproduction and Products” Bukittinggi, West Sumatra, I : 16 – 23. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2013. Dinamika Populasi Ayam Burgo dan Strategi Pengembangannya di Bengkulu. [Laporan Penelitian]. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Setianto J, Prakoso H, Sutriyono. 2014. Kajian Domestikasi Ayam Hutan Merah Berbasis Masyarakat Serta Strategi Pengembangannya di Bengkulu. [Laporan Penelitian]. Universitas Bengkulu, Bengkulu. Subhani A, Awan MS, Anwar M, Ali U, Dar NI. 2010 Population status and distribution pattern of red jungle fowl (Gallus gallus murghi) in Deva Vatala National Park, Azad Jammu & Kashmir, Pakistan: A pioneer study. Pakistan J Zool 42 (6): 701-706. Sulandari S, MSA Zein. 2009. Analisis D-loop DNA mitokondria untuk memposisikan ayam hutan merah dalam domestikasi ayam di Indonesia. Media Peternakan 32 (1): 31-39. Sulandari S, Zein MSA, Sartika T. 2008. Molecular characterization of Indonesian indigenous chickens based on mitochondrial DNA displacement (D)-loop sequences. HAYATI J Biosci 15 (4):145-154. Warnoto, Setianto J. 2009. The characteristic of egg production and reproduction of crossmating offspring between burgo chicken with native chicken. Proceeding International Seminar “ The Role and Aplication of Biotechnology on Livestock Reproduction and Products”, Bukittinggi, West Sumatra. I:24-30. Zein MSA, Sulandari S. 2009. Investigasi asal usul ayam Indonesia menggunakan sekuens hypervariable-1 D-loop DNA mitokondria. Jurnal Veteriner 10 (1):41-49.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 213-221
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010208
Sebaran kepiting (Brachyura) di Pulau Tikus, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu Brachyuran crab distribution in Tikus Island, Pari Island Group, Seribu Islands
1
PIPIT ANGGRAENI1,♥, DEWI ELFIDASARI1, RIANTA PRATIWI2 Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru, Jakarta. Tel.: +62-21-72792753, Fax.: +62-21-7244767,♥email:
[email protected] 2 Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jl. Pasir Putih Ancol Timur, Jakarta Utara (Kota), Jakarta Manuskrip diterima: 8 Desember 2014. Revisi disetujui: 1 Februari 2015.
Abstrak. Anggraeni P, Elfidasari D, Pratiwi R. 2015. Sebaran kepiting (Brachyura) di Pulau Tikus, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu.Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 213-221. Kepiting (Brachyura) merupakan salah satu spesies kunci (keystone species) yang memegang peranan penting di alam. Terdapat ± 150.000 Crustacea yang belum diidentifikasi termasuk kepiting (Brachyura). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sebaran kepiting (Brachyura) di Pulau Tikus Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu dengan menggunakan metode transek kuadrat. Transek kuadrat mewakili bagian barat, utara, timur dan selatan Pulau Tikus. Hasil penelitan menunjukkan terdapat 34 jenis dengan total 11 famili kepiting (Brachyura) dari Pulau Tikus yaitu Portunidae, Majidae, Galenidae, Dromiidae, Calappidae, Ocypodidae, Grapsidae, Porcellanidae, Macrophthalmidae, Xanthidae dan Pilumnidae. Keseluruhan jenis kepiting memiliki sebaran pada berbagai habitat dengan substrat yang berbeda sesuai dengan jenis kepiting dan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Sebaran kepiting bergantung dari keberadaan substrat dan ekosistem sekitar perairan yang mendukung perolehan makanan kepiting. Kata kunci: Kepiting, Brachyura, sebaran, transek kuadrat, Pulau Tikus
Abstrak. Anggraeni P, Elfidasari D, Pratiwi R. 2015. Brachyuran crab distribution in Tikus Island, Pari Island Group, Seribu Island.Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 213-221. Brachyuran crab is one of keystone species that plays important role in nature. There are ± 150.000 unidentified Crustacean, including Brachyuran crabs. This study was conducted to analyze Brachyuran crab distribution in Tikus Island, Pari Island Group, Seribu Islands with square transect method. Square transects were set on the west, north, east and south side of the island. The results show 34 identified species which belong to 11 families, namely Portunidae, Majidae, Galenidae, Dromiidae, Calappidae, Ocypodidae, Grapsidae, Porcellanidae, Macrophthalmidae, Xanthidae and Pilumnidae. All crabs which were found were distributed in a variety of habitats differing in substrate types, indicating species ability to adapt to the environment. The crab distribution depends on the substrate presence and aquatic ecosystems that support the food availability for the crabs. Keyword: Brachyuran crab, the distribution, square transect, Tikus Island
PENDAHULUAN Pulau Tikus adalah pulau yang tidak berpenghuni dan merupakan bagian dari Gugusan Pulau Pari (Mulia 2004). Gugusan Pulau Pari terdiri dari Pulau Kongsi, Pulau Tengah, Pulau Burung dan Pulau Tikus. Pulau yang berada pada Gugusan Pulau Pari adalah daerah tujuan wisatawan yang memiliki ciri khas sebagai kawasan wisata bahari berwawasan ilmu pengetahuan. Maraknya wisatawan dan adanya dermaga menyebabkan terganggunya habitat biota laut yang berada di pesisir maupun perairan pasang surut. Salah satu biota laut di kawasan perairan tersebut adalah kepiting (Brachyura). Kepiting merupakan bentos yang memiliki peranan penting sebagai indikator perairan karena habitat hidupnya yang relatif tetap. Keanekaragaman bentos dapat menunjukkan kondisi lingkungan perairan yang tercemar
karena adanya aktivitas manusia. Perubahan kualitas ekosistem perairan dan substrat akan mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman kepiting serta biota lainnya (Sembiring 2008; Purnami et al. 2010; Worm et al. 2012). Selain sebagai bentos, kepiting juga merupakan biota yang berperan sebagai spesies kunci (keystone species) di alam. Spesies kunci adalah spesies yang keberadaannya memberikan dampak pada keanekaragaman biota lain dan kepunahannya akan menyebabkan kepunahan biota lain (Menge dan Freidenburg 2001). Salah satu peranan kepiting sebagai spesies kunci adalah aktivitas makannya yang melibatkan biota lain. Seperti kepiting Grapsidae dan Portunidae (Scylla serrata) yang berperan sebagai pengurai serasah mangrove untuk sebagian dimakan dan dicabikcabik.
214
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 213-221, April 2015
Hasil dari aktivitas makan kepiting mangrove akan dikeluarkan kembali sebagai feses yang kaya akan nutrisi. Feses tersebut berguna untuk bahan pakan biota kecil lainnya, sedangkan sebagian serasah mangrove yang tidak dimakan dan hanya dicabik saja akan menjadi pakan kembali bagi biota lainnya. Biota kecil tersebut dapat berupa Crustacea mikroskopis ataupun plankton yang akan menjadi pakan alami kembali bagi fase juvenil ikan yang berada didaerah pesisir. Selain itu feses kepiting yang tidak hidup pada daerah mangrove seperti kepiting famili Galenidae (Parapanope euagora) juga memiliki peranan penting terhadap ekosistem. Oleh karena itu aktivitas kepiting berperan dalam keberlangsungan rantai makanan, sehingga kepiting dikatakan sebagai keystone species (Viswanathan et al. 2013). Menurut Castro dan Huber (2008) terdapat ± 68.000 spesies Crustacea yang telah teridentifikasi dan terdapat sebanyak ± 150.000 yang belum diidentifikasi. Jumlah tersebut adalah Crustacea semua jenis termasuk kepiting (Brachyura). Hasil wawancara dengan peneliti P2O-LIPI, data mengenai jenis kepiting di Pulau Tikus sudah tidak ada lagi sejak tahun 1995 hingga tahun 2012 dilakukan penelitian pola sebaran kepiting (Brachyura) oleh Pratiwi (2012). Oleh karena itu, diperlukan penelitian kembali yang dapat menganalisa dan memberikan sumber informasi terbaru mengenai sebaran kepiting di Pulau Tikus. Penelitian ini juga berguna untuk update data terbaru dengan melihat keberadaan jenis kepiting yang telah hilang ataupun jenis kepiting baru yang sudah lama tidak ditemukan dan ditemukan kembali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sebaran kepiting (Brachyura) di Pulau Tikus Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Penelitian diharapkan dapat menambah database terbaru bagi P2OLIPI mengenai jenis kepiting (Brachyura) yang berada di Pulau Tikus Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2014. Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan sampel yang dilakukan di Pulau Tikus di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu (Gambar 1) dan lokasi identifikasi sampel di Laboratorium Sumber Daya Laut (SDL) Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Ancol. Pengambilan sampel dilakukan pada awal bulan Maret dan identifikasi, deskripsi serta analisis data lainnya dilakukan bulan April 2014 hingga Juni 2014. Metode penelitian Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah metode transek kuadrat. Metode transek kuadrat yaitu metode yang dilakukan dengan menarik garis (transek) dari pantai ke arah tubir, kemudian tiap 5 meter diletakkan kuadrat (1x1 meter). Preparasi alat dan persiapan pengambilan sampel kepiting Alat-alat yang digunakan adalah GPS, termometer, refraktometer, palu, saringan, sikat halus, sekop, pinset, sarung tangan, kantong plastik, baki plastik, kamera, botol sampel, roll meter, frame (kuadrat) dan mikroskop. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70% dan 96%. Pengambilan sampel kepiting dilakukan pukul 09.30 hingga 15.30. Roll meter ditarik dari garis pantai menuju ke tubir, kemudian dilakukan pengukuran salinitas, suhu, kedalaman dan pencatatan posisi menggunakan GPS. Kuadrat 1x1 meter diletakkan tiap 5 meter di dekat garis (transek). Sampel kepiting diambil dengan cara mengambil substrat dasar menggunakan sekop, kemudian substrat disaring dengan menggunakan saringan. Sampel kepiting yang diperoleh kemudian dimasukkan kedalam plastik yang sudah diberi label.
Kepulauan Seribu
Gambar 1. Peta lokasi penelitian: Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Ramadhan 2008).
ANGGRAENI et al. – Sebaran Brachyura di Pulau Tikus, Kepulauan Seribu
215
Gambar 2. Metode transek kuadrat di Pulau Tikus, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Identifikasi dan deskripsi Sampel kepiting yang telah dikumpulkan dari lapangan kemudian diidentifikasi dan dideskripsikan di Laboratorium Sumber Daya Laut (SDL) Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Ancol, Jakarta Utara. Sebelum diidentifikasi, sampel kepiting dicuci bersih dengan air dan disikat dengan menggunakan sikat halus, hal ini berfungsi agar corak dan duri kepiting terlihat jelas. Identifikasi dilakukan dengan diawali pemotretan spesimen di laboratorium. Teknik identifikasi kepiting dilakukan dengan melihat ciri atau karakter morfologi kepiting menggunakan mikrospkop dengan melihat karakter spesimen yang sulit terlihat dengan kasat mata, misalnya granula pada karapas dan jumlah duri disekitar karapas. Identifikasi dan deskripsi mengacu pada kunci identifikasi dari berbagai buku identifikasi kepiting (Brachyura) (Sakai 1976a, 1976b; Carpenter 2002; Ng et al. 2008; Zongguo dan Mao 2012; Pratiwi dan Widyastuti 2013). HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi habitat di perairanpulautikus Laut yang mengelilingi Pulau Tikus merupakan laut dangkal dengan substrat bervariasi, diantaranya adalah substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir halus dan pasir kasar dengan pecahan batu karang atau pecahan cangkang moluska (Irawan 2008). Ekosistem yang terdapat di Pulau Tikus adalah lamun dan terumbu karang, sedangkan mangrove tidak banyak dijumpai. Lamun yang tumbuh di Pulau Tikus tidak begitu lebat dan beberapa bagian perairan didominasi oleh banyaknya pecahan batu karang. Berdasarkan pengamatan lapangan, sisi barat Pulau Tikus berhadapan dengan goba (cekungan dasar laut) besar yang memiliki substrat dasar pasir, batu karang dan lumpur. Selain itu, terdapat mangrove dengan substrat lumpur dan pasir halus yang hanya ditemukan sedikit pada sisi barat. Menurut Pratiwi (2012) lamun yang tumbuh pada sisi barat kurang lebat dan didominasi oleh jenis lamun Halodule uninervis dan Cymodocea serullata. Sisi utara Pulau Tikus berhadapan dengan goba yang besar dan dibatasi oleh karang. Substrat yang terdapat pada
bagian utara merupakan substrat pasir serta batu-batu karang mati, selain itu terdapat lamun yang tumbuh lebat. Lamun yang berada pada sisi utara merupakan jenis lamun Thalasia hemprichii (Pratiwi 2012). Sisi timur Pulau Tikus hanya terdapat lamun yang tumbuh lebih lebat dibandingkan dengan sisi barat. Lamun yang terdapat pada sisi timur merupakan lamun jenis Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium dan T. hemprichii (Pratiwi 2012). Pada saat pengambilan sampel kondisi lingkungan sisi timur cerah berangin dengan arus gelombang yang cukup kencang. Sisi selatan Pulau Tikus berbatasan dengan tubir yang luas dan terdapat substrat pasir serta pecahan batu karang. Lamun yang tumbuh pada sisi selatan Pulau Tikus hanya berupa spot lamun dan terdapat juga algae. Lamun tersebut didominasi oleh jenis C. rotundata, Enhalus acoroides, H. uninervis dan T. hemprichii (Pratiwi 2012). Secara keseluruhan parameter lingkungan seperti pH, salinitas dan suhu antara bagian barat hingga bagian selatan memiliki kisaran yang sesuai dengan batas toleransi keberadaan kepiting. Berdasarkan pengamatan parameter lingkungan perairan Pulau Tikus pada sisi barat memiliki nilai rerata pH 8 dengan salinitas 28 ppt dan suhu 27oC (Tabel1). Sisi perairan utara memiliki nilai pH 8 dengan salinitas 28 ppt dan suhu 27oC. Sisi perairan timur memiliki nilai pH 8 dengan salinitas 26 ppt dan suhu 29oC. Sama halnya dengan parameter lingkungan bagian barat, utara dan timur nilai rerata pH, salinitas dan suhu pada perairan selatan Pulau Tikus masih berada pada toleransi lingkungan yang sesuai bagi keberadaan kepiting (Brachyura) di alam (Tabel1) (Sari 2004; Pratiwi 2012; Ravi dan Manisseri 2012; Ramarn et al. 2012). Tabel 1. Parameter lingkunganPerairanPulauTikus Lokasi Barat (ST I dan ST II) Utara (ST III dan ST IV) Timur (ST V dan ST VI) Selatan (ST VII dan ST VIII)
pH
Salinitas
Suhu
8 8 8 8
28 ppt 28 ppt 26 ppt 27 ppt
27oC 27oC 29oC 31oC
216
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 213-221, April 2015
Kelimpahan kepiting didukung oleh kondisi lingkungan dan ekosistem sekitar perairan. Menurut Pratiwi (2012) setiap kepiting memiliki kemampuan toleransi pada kondisi lingkungan tertentu. Keberadaan mangrove, lamun dan terumbu karang juga akan mempengaruhi keberadaan kepiting (Brachyura) (Pratiwi 2002; Septiyadi 2011). Faktor lingkungan yang melebihi batas toleransi akan menyebabkan keberadaan suatu spesies tersebut tersingkir. Seperti kepiting Uca sp., kepiting tersebut hidup pada ekosistem mangrove dengan substrat dasar pasir. Kepiting Uca sp. dapat bertahan hidup hingga suhu 44oC dan akan mati pada suhu 1-3oC. Kadar salinitas yang tinggi juga dapat berpengaruh terhadap keberadaan kepiting jenis Metaplax elegans yang tidak dapat hidup pada salinitas di bawah 10 ppt, sedangkan kepiting jenis Uca sp. dapat beradaptasi pada salinitas 5 ppt (Pratiwi 2002). Sebaran kepiting (Brachyura) di Pulau Tikus Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 11 famili kepiting yaitu Portunidae, Majidae, Galenidae, Dromiidae, Calappidae, Ocypodidae, Grapsidae, Porcellanidae, Macrophthalmidae, Xanthidae dan Pilumnidae. Komposisi kepiting terbanyak dari semua stasiun yang mewakili barat, utara, timur dan selatan adalah kepiting famili Portunidae, Xanthidae dan Pilumnidae. Jumlah individu kepiting yang ditemukan di Pulau Tikus pada penelitian ini sebanyak 186 individu dan 34 jenis kepiting (Gambar 3). Jenis kepiting yang diperoleh pada bagian barat (ST I dan II) adalah 18 jenis, bagian utara (ST III dan IV) 16 jenis, bagian timur (ST V dan VI) 19 jenis dan bagian selatan (ST VII dan VIII) 15 jenis (Tabel2). Substrat yang berada di perairan Pulau Tikus terdiri dari substrat dasar pasir kasar/halus, substrat dengan pecahan batu karang dan substrat pasir berlamun. Semua jenis kepiting tersebar pada habitat tersebut sesuai dengan adaptasi terhadap lingkungannya. Kepiting famili Portunidae yang diperoleh terdiri dari Thalamita crenata, Thalamita integra, Thalamita admete, Thalamita cooperi, Portunus granulatus dan Portunus sp. Kepiting Portunidae dijumpai pada habitat dengan substrat dasar pasir halus/kasar dan pasir berlamun (Tabel 3). Menurut Pratiwi (2012) kepiting Portunidae sering dijumpai pada substrat dasar pasir kasar/halus dan pasir berlamun. Hal ini sesuai dengan habitat yang berada di Pulau Tikus yang didominasi oleh substratpasir dengan spot lamun. Lamun yang terdapat pada bagian selatan hanya berupa spot-spot saja, akan tetapi kepiting famili Portunidae masih dapat ditemukan. Kepiting Portunidae memiliki ciri-ciri sepasang kaki renang. Jenis Thalamita sp. umumnya memiliki 4-5 duri tepi anterior, sedangkan unjuk jenis Portunus sp. memiliki duri anterior yang berjumlah 89 (Pratiwi dan Widyastuti 2013). Kepiting Famili Majidae ditemukan pada substrat dasar pasir kasar dan halus dengan pecahan karang dan pecahan cangkang moluska. Kepiting Majidae disebut juga sebagai “spider crabs” karena memiliki pasangan kaki yang panjang dan ramping seperti laba-laba.Jenis kepiting yang diperoleh adalah Tiarinia angusta, Menaethius monoceros dan Micippa sp. Menurut Toro dan Moosa (1984) kepiting Majidae menyenangi substrat dasar pasir kasar dengan
pecahan karang. Kepiting majidae juga sering dijumpai merayap diantara algae. Kepiting tersebut memiliki kemampuan untuk berkamuflase dengan cara membiarkan tubuhnya ditumbuhi oleh algae (Pratiwi 2012). Habitat kepiting majidae adalah dibalik pecahan batu karang (Sakai 1976b). Kepiting famili Galenidae terdiri dari satu jenis, yaitu Halimede fragifer. Kepiting tersebut diperoleh dari plot substrat pasir kasar. Menurut Viswanathan et al. (2013) kepiting Galenidae adalah kepiting yang hidup pada daerah pasang surut pantai dan terdapat pada habitat dengan pecahan batu karang dan sering meliang dalam substrat pasir. Kepiting tersebut banyak ditemukan di daerah “Indo Pacific”. Kepiting famili Dromiidae hanya ditemukan satu jenis saja yaitu Dromidia sp. Tipe habitat bagian timur adalah habitat dengan substrat pasir belamun, sedikit batu karang yang masih hidup dan pecahan batu karang mati. Kepiting Dromiidae ditemukanpada plot bersubstrat pasir kasar berlamun. Menurut Wijaya dan Pratiwi (2011) kepiting Dromiidae seringkali berada pada substrat pecahan batu karang dan pasir berlumpur. Kepiting merupakan fauna omnivora yang memakan tumbuhan maupun fauna lain di perairan yang berukuran lebih kecil darinya. Oleh karena itu kemungkinan ditemukannya famili Dromiidae pada substrat pasir kasar berlamun disebabkan karena kepiting tersebut sedang melakukan aktivitas mencari makan. Kepiting famili Calappidae ditemukan pada substrat dasar pasir kasar berlamun, sama halnya dengan Dromiidae, kepiting Calappidae hanya ditemukan satu jenis, yaitu Calappa bicornis. Kelompok kepiting Calappidae dikenal dengan sebutan “Box Crabs” karena kakinya disembunyikan dibawah tubuhnya, sehingga tubuhnya berbentuk seperti box. Kepiting Calappidae umumnya ditemukan hidup pada substrat dasar pasir, pecahan karang dan lamun. Kepiting tersebut biasa ditemukan di daerah pasang surut (intertidal zone) hingga kedalaman 100 meter dan memiliki penyebaran yang luas, yaitu sepanjang “Indo Pasifik Barat” (Widyastuti 2005). Ocypodidae, Macrophthalmidae dan Grapsidae merupakan famili yang biasa dijumpai pada daerah mangrove (Diesel et al. 2000; Pratiwi 2010). Famili Ocypodidae yang diperoleh terdiri dari jenis Ocypode stimpsoni, Famili Macrophthamidae terdiri dari Macrophthalmus boscii, sedangkan famili Grapsidae terdiri dari Pachygrapsus plicatus. Kepiting tersebut merupakan kepiting pemakan serasah dan hewan-hewan laut yang telah mati. Pada penelitian ini, kepiting Ocypodidae, Macrophthalmidae dan Grapsidae ditemukan berada di substrat dasar pasir kasar dan pasir halus yaitu pada plot pesisir dibagian utara dan selatan Pulau Tikus. Pada saat pengambilan sampel, untuk famili kepiting Ocypodidae tidak berada pada lubang pasir akan tetapi diambil ketika sedang berlari. Menurut Fetemeh et al. (2011) kepiting yang terdapat di darat adalah kepiting yang melakukan aktivitas bermain dan mencari makan. Sedangkan kepiting Macrophthalmidae dan Grapsidae berada pada substrat pasir di perairan.
AN NGGRAENI et al. a – Sebaran Brachyura B di Pu ulau Tikus, Keppulauan Seribu
2117
Faamili Portunid dae
Thhalamita admette
T Thalamita crena ata
Thalamita coop peri
Thhalamita integraa
Poortunus granula atus
Portunus sp.
F Famili Majida ae
Tiaarinia Angusta
Mennaethius monocceros
Micippa sp p.
Fam mili Galenidaee
F Famili Dromiid dae
Famili Calapp pidae
Haalimede fragiferr
Dromiidia sp
Calappa bicorrnis
Fam mili Ocypodidaae
F Famili Grapsid dae
Fam mili Macrophth halmidae
Ocyypode stimpsonni
Pacchygrapsus pliccatus
M Macrophthalmuss boscii
PROS SEM M NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 213-221, April 2015
2218
Fam mili Porcellaniidae
P Petrolisthes asiaaticus
Psiidia serratifronns
F Famili Xanthid dae
Actaeeodes tomentossus
A Atergatis floridu us
Banareia sp p.
Chllorodiella nigraa
Chlorodiella sp p.
Etisus sp
Euxaanthus exsculptuus
Leeptodius exarattus
P Platypodia gran nulosa
Piloodius areolatuss
X Xanthias lamarccki
Xanthias sp p.
AN NGGRAENI et al. a – Sebaran Brachyura B di Pu ulau Tikus, Keppulauan Seribu
2119
Faamili Pilumnid dae
Actumnus squamosuus
Actumnus sp
Piloodius granulatuus
Pilumnus vesperttilio
Heeteropilumnus ciliates c
G Gambar 3. Jeniis-jenis kepitingg (Brachyura) di d Pulau Tikus, Gugusan Pulau u Pari, Kepulauan Seribu, Jakaarta.
Kepiting famili Porccellanidae teerdiri dari jenis Petrolisthes asiaticus P a dann Psidia serrratifrons. Keppiting t tersebut dipeeroleh pada substrat daasar pasir kasar b berkarang. Meenurut Trivedii dan Vachrajaani (2013) keppiting f famili Porcellaanidae pada umumnya u dappat ditemukan pada s substrat dasar pasir dengann pecahan batuu karang. Keppiting P Porcellanidae tersebar didaeerah “Indo West We Pacific” seeperti I Indonesia, Jeppang, Thailandd dan Australia. Famili Xannthidae adalahh kepiting yanng sering dijuumpai p pada habitat substrat dasaar pasir denggan pecahan batu k karang. Familii Xanthidae memiliki m jumlaah jenis yang lebih b banyak dibanddingkan denggan famili laiinnya. Jenis famili f X Xanthidae terdiri dari 12 jenis, yaiitu Xanthias sp., E Euxanthus e exculptus, X Xanthias lam marcki, Pillodius a areolatus, Chllorodiella nigrra, Ethisus spp., Chlorodiellla sp., P Platypodia g granulosa, L Leptodius exxaratus, Aterrgatis f floridus, Banaareia sp.,dan Actaeodes A tom mentosus. Kepiting Xanthidae X diseebut juga sebaagai kepiting batu, k kepiting tersebbut ditemukann bersembunyyi pada batu karang d dengan cara melekat kuatt dibagian daalam batu kaarang. K Keseluruhan famili yangg ditemukan di Pulau Tikus T m merupakan jeenis kepiting yang biasa hidup di daerah d p pasang surut. Substrat dasarr pasir dan peecahan batu kaarang m merupakan suubstrat yang disenangi d oleeh beberapa famili f k kepiting, sepeerti kepiting Xanthidae. X H tersebut sesuai Hal s d dengan substrat yang beradda di perairan Pulau Tikus yaitu s substrat dasar pasir, batu kaarang dan lamuun (Pratiwi 20012). Selain faamili Xanthiidae dan Portunidae, P f famili P Pilumnidae meerupakan fam mili yang seringg diperoleh. Famili F P Pilumnidae yang ditemuukan terdirii dari Piluumnus v vespertilio, Piilodius granuulatus, Heteroopilumnus cilliatus,
Actu umnus squamosus dan Acctumnus sp. Jenis kepitinng terseebut berada pada daerah paasang surut dengan d substraat dasar pecahan batu b karang yang telah mati. m Menuruut Spiv vak dan Rodrriguez (2002) kepiting Pilu umnidae dapaat ditem mukan di daerrah pasang suurut mencapaii kedalaman 75 7 m paada beberapa sppesies tertentu ddengan habitat yangberagam.. Pada P penelitiann ini tidak dijuumpai kepitin ng yang bernilaai ekon nomis tinggi, seperti Scyllaa serrata. Jum mlah mangrovve yang g sedikit yaituu berupa spot yang sudah mati m dan rubuuh berdampak pada keanekaragam k man kepiting. Hasil H penelitiaan Pratiiwi (2012) meenjelaskan bahhwa terdapat 45 spesies daan 10 faamili Crustaceea. Famili Cruustacea tersebu ut terdiri dari 9 famiili kepiting dan 1 famiili udang yang y mewakiili keseluruhan perairran Pulau Tiku kus Pada P penelitiann Pratiwi (20112) kepiting yang y ditemukaan mem miliki jenis yang berbeeda dibandin ngkan dengaan peneelitian ini. Terdapat keepiting yang g sebelumnyya diperroleh di peraairan Pulau T Tikus, namun saat ini tidaak diperroleh lagi jenis tersebutt. Beberapa contoh yanng kepitting yang dipeeroleh dari haasil penelitian Pratiwi (20122) dianttaranya adalahh famili Ocyppodidae yaitu jenis Ocypodde ceratophthalamuss dan Ocypodee cordimanus. Jenis tersebuut tidak k diperoleh pada penelitiian kali ini. Hal tersebuut kemu ungkinan dikkarenakan suudah hilangn nya ekosistem m mang grove di peraairan Pulau T Tikus. Menuru ut pengamataan lapan ngan, mangroove di perairaan Pulau Tiku us sudah rubuuh dan tidak berdiri tegak, sehinggga mangrovee tersebut tidaak meng galami pertum mbuhan dan m mati. Hal terseebut berdampaak padaa keragaman kepiting yanng berasosiasi baik dengaan mang grove, dan sallah satunya addalah kepiting g Ocypodidae.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 213-221, April 2015
220
Tabel 2.Kompisijeniskepiting (Brachyura) padatiaplokasi
Tabel 3. Sebaran kepiting (Brachyura) berdasarkan mikrohabitat perairan Pulau Tikus
Total jenis
Galenidae Dromiidae Calappidae Ocypodidae Grapsidae Porcellanidae Macrophthalmidae Xanthidae
Pilumnidae
JumlahIndividu JumlahJenis
6 5 4 1 0 0 1 3 1 0 1 0 0 0 1 9 0 0 0 0 7 1 1 2 1 0 3 1 0 0 5 4 0 0 57 19
6 1 4 2 0 0 0 1 0 0 0 1 5 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 28 15
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Pratiwi (2012) yang didominasi oleh jenis kepiting Xanthidae. Kepiting Xanthidae ditemukan pada stasiun barat hingga selatan. Menurut Pratiwi (2012) kepiting Xanthidae menyenangi substrat dasar pasir yang bercampur dengan pecahan batu karang. Ekosistem terumbu karang dan pecahan batu karang mati adalah ekosistem yang kaya sumber bahan makanan, sehingga disenangi oleh kepiting, terutama kepiting Xanthidae (Pratiwi 1988; Pratiwi 2012).
Portunidae
Thalamita crenata ++ + Thalamita integra ++ + Thalamita admete ++ + Thalamita cooperi + Portunus granulatus Portunus sp. Majidae Tiarinia angusta ++ Menaethius monoceros + + Micippa sp. ++ Galenidae Halimede fragifer + Dromiidae Dromidia sp. Calappidae Calappa bicornis Ocypodidae Ocypode stimpsoni ++ Grapsidae Pachygrapsus plicatus + Porcellanidae Petrolisthes asiaticus + Psidia serratifrons + ++ Macrophthalmidae Macrophthalmus boscii + Xanthidae Xanthias sp. + Euxanthus exsculptus + Xanthias lamarcki + Pilodius areolatus + ++ Chlorodiella nigra + Etisus sp. + + Chlorodiella sp. + Platypodia granulosa + Leptodius exaratus Actaeodes tomentosus Atergatis floridus + Banareia sp. + + Pilumnidae Pilumnus vespertilio ++ ++ Pilodius granulatus ++ ++ Heteropilumnus ciliatus + ++ Actumnus squamosus ++ Actumnus sp. + Keterangan : ++ = Sering dijumpai, + = Sedikit dijumpai, Tidak dijumpai
Pasir berlamun
5 3 0 0 1 3 0 3 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 4 1 0 0 0 0 0 1 0 4 0 0 1 0 32 16
Nama jenis
Pasir berkarang
14 9 5 0 2 0 0 4 3 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 4 2 2 2 0 0 0 0 4 10 2 0 2 0 69 18
Famili
Pasir kasar/halus
Selatan
Majidae
Thalamitacrenata Thalamitaintegra Thalamitaadmete Thalamitacooperi Portunusgranulatus Portunussp. Tiariniaangusta Menaethiusmonoceros Micippasp. Halimedefragifer Dromidiasp. Calappabicornis Ocypodestimpsoni Pachygrapsusplicatus Petrolisthesasiaticus Psidiaserratifrons Macrophthalmusboscii Xanthiassp. Euxanthusexsculptus Xanthiaslamarcki Pilodiusareolatus Chlorodiellanigra Etisussp. Chlorodiellasp. Platypodia granulosa Leptodiusexaratus Actaeodestomentosus Atergatisfloridus Banareiasp. Pilumnusvespertilio Pilodiusgranulatus Heteropilumnusciliatus Actumnussquamosus Actumnussp.
Timur
Portunidae
Nama jenis
Utara
Famili
Barat
Tipe habitat
++ ++ ++ + + + + + + + ++ ++ + + + - =
Banyaknya jenis dari famili Xanthidae yang ditemukan baik pada penelitian kali ini maupun penelitian sebelumnya disebabkan juga karena beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah kepiting Xanthidae memiliki perilaku “malas bergerak” sehingga daerah jelajahnya terbatas (Wahyudi 2013). Faktor kedua, kepiting Xanthidae merupakan kelompok dominan penghuni ekosistem terumbu karang dan pecahan batu karang (Pratiwi 2012). Faktor ketiga adalah kemungkinan pengaruh metode yang digunakan pada saat pengambilan sampel. Metode transek digunakan dengan cara mengambil sedimen, sehingga kepiting yang memiliki perilaku malas bergerak seperti Xanthidae akan lebih banyak didapatkan dibandingkan dengan kepiting yang aktif bergerak seperti jenis Thalamita sp.
ANGGRAENI et al. – Sebaran Brachyura di Pulau Tikus, Kepulauan Seribu
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada bapak Mumu selaku teknisi lapangan di Pulau Pari yang telah membantu selama proses sampling di Pulau Tikus berlangsung dan kepada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI, Ancol, Jakarta yang telah menyediakan tempat selama proses indentifikasi serta pengolahan data DAFTAR PUSTAKA Carpenter KE. 2002. The living marine resources of the Western Atlantic introduction, Molluscs, Crustaceans, Hagfishes, Shraks, Batoid Fishes and Chimaeras. J Food Agric Orgof the Utd Stat 1: 328-330 Castro P, Huber ME. 2008. Marine Biology ,7th ed. McGraw-Hill, New York. Diesel R, Schubart CD, Schuh M. 2000. A reconstruction of the invasion of land by Jamaican Crabs (Grapsidae: Sesarminae). J Zool Lond 250: 141-160. Fetemeh L, Ehsan K, Mirmasoud S. 2011. Distribution, population and reproductive biology of the Fiddler Crab Ucasindensis (Crustacea: Ocypodidae) in a subtropical mangrove of Pohl Area. J Per Gulf 2(5): 9-14. Irawan I. 2008. Struktur komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) serta distribusinya di Pulau Burung dan Pulau Tikus, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Menge BA, Freidenburg TL. 2001. Keystone Species. J Encof Bio 3:613629. Mulia D. 2004. Alternatif pengembangan Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu sebagai obyek ekowisata bahari di DKI Jakarta [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ng P, Guinot D, Davie JP. 2008. Systema Bracyurorum: part 1 an annotated checklist of extant Brachyurant Crabs of The World. The Raffles Bulletiin of Zoology. National University of Singapore, Singapore. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.E Saunders: Philadelphia. Pratiwi R, Widyastuti E. 2013. Kepiting suku Portunidae (Decapoda: Brachyura) dari perairan Indonesia. Puslit Oseanografi LIPI, Jakarta. Pratiwi R. 1988. Beberapa catatan mengenai marga Trapezia (Crustacea, Decapoda, Xanthidae) di Kepulauan Seribu. J Oseana 13 (3): 85-96. Pratiwi R. 2002. Adaptasi fisiologis, reproduksi dan ekologi Krustasea (Decapoda) di Mangrove. J Oseana 27 (2): 1-9. Pratiwi R. 2010. Asosiasi Krustasea di ekosistem padang lamun perairan Teluk Lampung. Jurnal Ilmu Kelautan 15 (2): 66-76. Pratiwi R. 2012. Jenis dan pola sebaran fauna Krustasea di padanglamun Pulau Tikus, Kepulauan Seribu. J OLDI 38 (1):43-55.
221
Purnami AT, Sunarto, Setyono P. 2010. Study of bentos community based on diversity and simlarity index in Cengklik Dam Boyolali. J Ekosains 2 (2): 50-56. Ramadhan MF. 2008. Sebaran lokal Asteroidea (Echinodermata) di Pulau Tikus, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ramarn T, Chong VC, Hanamura Y. 2012. Population structure and reproduction of the mysid shrimp Acanthomysis thailandica (Crustacea: Mysidae) in a Tropical Mangrove Estuary, Malaysia. J Zool Stu 51 (6): 768-782. Ravi R, Manisseri MK. 2012. Survival rate and development period of the larvae of Portunus pelagicus (Decapoda, Brachyura, Portunidae) in relation to temperature and salinity. J Fish Aquat FAJ-49. Sakai T. 1976. Crabs of Japan and the Adjacent Seas Figures. Kodansha Ltd., Japan. Sari S. 2004. Struktur komunitas kepiting (Brachyura) di habitat mangrove Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, NAD [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sembiring H. 2008. Keanekaragaman dan distribusi udang serta kaitannya dengan faktor fisik kimia di Perairan Pantai Lanu Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara, Medan. Septiyadi A. 2011. Pengaruh material lamun buatan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan Crustacea di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan. Spivak DE, Rodriguez A. 2002. Pilumnus reticulatus Stimpson, 1860 (Decapoda: Brachyura: Pilumnidae) a reappraisal of larval characters from laboratory reared material. J Scie Mar 66 (1): 5-19. Toro AV, Moosa MK. 1984. Pengamatan Fauna Krustasea di Perairan Selat Malaka. LIPI, Jakarta. Trivedi JN, Vachhrajani KD. 2013. First record of two Porcellanid crabs from Gujarat state, India (Crustacea: Decapoda: Porcellanidae). J Mar Biol 55 (1): 55-58. Vimono IB. 2011. Echinodermata di terumbu karang Kepulauan Leti. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Viswanathan C, Suresh VT, Elumalai V, Pravinkumar M, Raffi MS. 2013. Recurrence of a Marine Brachyuran Crab, Parapenope euagora (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Galenidae) from East Coast of India. J Arthropods 2 (2): 75-79. Wahyudi AJ. 2013. Kepiting beracun. Majalah Seribu Guru 29: 11-13. Widyastuti E. 2005. Beberapa aspek biologi Calappa hepatica (Linnaeus, 1758) (Crustasea; Decapoda; Brachyura; Calappidae). J Oseana 30 (4): 11-17. Wijaya NI, Pratiwi R. 2011. Distribusi spasial Krustasea di perairan Kepulauan Matasiri, Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan 16 (3): 125-134. Worm B, Bodreau SA. 2012. Ecological role of large benthic Decapods in marine ecosystems: A review. Mar Ecol Prog Ser 469: 195-213. Zongguo H, Mao L. 2012. The Living Species and their Ilustrations in China’s seas (part III). Ocean Press, China.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 222-226
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010209
Keanekaragaman teripang pada ekosistem lamun dan terumbu karang di Pulau Bira Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta Diversity of sea cucumbers in seagrass and coral reefs ecosystem of Bira Besar Island, Kepulauan Seribu, Jakarta RATNA KOMALA Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda 10 Rawamangun Jakarta Timur, Indonesia. 13220. Tel./Fax. +62-21-4894909, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 1 Februari 2014.
Abstrak. Komala R. 2015. Keanekaragaman teripang pada ekosistem lamun dan terumbu karang di Pulau Bira Besar Kepulauan Seribu, Jakarta. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 222-226. Teripang memiliki peranan penting secara ekonomis karena kandungan nutrisinya yang tinggi, dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan karena mengandung asam lemak tak jenuh juga senyawa anti bakteri yang penting bagi kesehatan manusia. Sedangkan secara ekologis berperan sebagai deposit feeder, penyedia bahan makanan untuk biota laut. Pulau Bira Besar merupakan salah satu daerah persebaran teripang di Indonesia. Metode penelitian adalah deskriptif dengan Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman jenis teripang dan mengetahui pengaruh beberapa parameter lingkungan terhadap keanekaragamannya pada ekosistem lamun dan terumbu karang. Penelitian dilakukan pada bulan November sampai Desember 2012 di perairan di Pulau Bira Besar Kepulauan Seribu, dengan desain survey dan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Analisis data dilakukan secara deskriptif sedangkan hubungan antara beberapa parameter lingkungan dengan keanekaragaman makrozoobenthos digunakan Principal Component Analysis ( PCA). Hasil penelitian diperoleh sebanyak 4 jenis teripang dari 2 famili, komposisi jenis teritinggi yaitu jenis Holothuria atra (55%), dan terendah yaitu Holothuria leucospilota (7%). Keanekaragaman teripang pada ekosistem lamun tergolong rendah sedangkan pada ekosistem terumbu karang tergolong sedang. Beberapa parameter lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman jenis teripang adalah kekeruhan, orthofosfat, oksigen terlarut, suhu dan BOD Kata kunci: Teripang, keanekaragaman, Pulau Bira Besar
Abstract. Komala R. 2015. Diversity of sea cucumbers in seagrass and coral reefs ecosystem of the Bira Besar Island, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 222-226. Sea cucumbers are economically important because of its medicinal benefits and high nutritional content. It is rich in unsaturated fatty acids and anti-bacterial compounds which are beneficial for human health. Sea cucumbers also ecologically important, as they serve as deposit feeders. They can be found in Bira Besar Island. This research was aimed to determine the abundance and diversity of sea cucumbers and the effect of several environmental parameters on diversity in seagrass and coral reef ecosystems. The study was conducted from November to December 2012 in Bira Besar Island, Kepulauan Seribu, Data was collected based on purposive sampling design and analyzed descriptively. The relationship between environmental parameters and macrozoobenthos diversity was examined using Principal Component Analysis (PCA). Four species of sea cucumbers from two families were identified. Holothuria atra contributed the most in species composition (55%), while Holothuria leucospilota shared the lowest in the species composition (7%). Species diversity of sea cucumbers is relatively low in seagrass ecosystem and moderate in the coral reef ecosystem. Environmental parameters affecting the diversity of sea cucumber species are turbidity, orthophosphate, dissolved oxygen, temperature, and BOD. Keywords: Sea cucumber, diversity, Bira Besar Island
PENDAHULUAN Teripang merupakan salah satu hewan dari filum Echinodermata yang memiliki peranan secara ekologis maupun ekonomis, secara ekologis teripang berperan yaitu sebagai deposit feeder, sehingga dapat mengolah substrat yang ditempatinya dan sebagai penyedia pangan dalam bentuk telur-telur, larva dan juwana teripang, bagi biota laut pemangsa di sekitarnya (Darsono 2007). Sedangkan
secara ekonomis teripang peran ekonomis bahan makanan yang memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi. Dalam kondisi kering, teripang mengandung protein sebanyak 82%, lemak 1,7%, kadar air 8,9%, kadar abu 8,6%, dan karbohidrat 4.8% (Martoyo et al. 2006). Teripang hidup tersebar di beberapa perairan laut, termasuk di Indonesia. Habitat teripang berupa ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang, mulai dari zona intertidal sampai kedalaman 20 meter. Secara umum
KOMALA – Teripang di Pulau Bira Besar
teripang memerlukan lingkungan yang tidak tercemar. Beberapa parameter lingkungan yang mempengaruhi keberadaan teripang adalah suhu, pH, kekeruhan air, oksigen terlarut, arus laut, penetrasi cahaya, salinitas air, substrat, nitrat, nitrit, ortofosfat, kebutuhan oksigen biologis, dan zat padat tersuspensi (Aziz 1997). Perairan Pulau Bira Besar, Kepulauan Seribu Utara Jakarta merupakan salah satu kawasan yang memiliki ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang sebagai tempat hidup teripang. Kedua ekosistem tersebut diduga terdapat substrat, kandungan organik ataupun kandungan nonorganik dan faktor fisik atau kimia lainnya yang berbeda pula sehingga akan mempengaruhi keberadaan teripang pada dua ekosistem tersebut walaupun kedua ekosistem tersebut memiliki kemampuan untuk menaungi teripang dari cahaya matahari. Menurut Yusron (2001) teripang bersifat fototaksis negative terhadap cahaya. Beberapa Aktifitas manusia di Pulau Bira Besar seperti pembangunan beberapa fasilitas tempat wisata seperti pembangunan dermaga dengan menggunakan material yang berasal dari terumbu karang dan penggunaan kapal yang menyebabkan terjadinya tumpahnya minyak yang terjadi di perairan Pulau ini (Antara 2006). Hal ini diduga akan mengganggu keberadaan teripang, sehingga tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman jenis teripang dan mengetahui pengaruh
223
beberapa parameter lingkungan terhadap keanekaragamannya pada ekosistem lamun dan terumbu karang.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di dua stasiun yaitu, stasiun yaitu ekosistem lamun dan stasiun II yaitu ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Bira Besar, Kepulauan Seribu Utara, Jakarta pada bulan November sampai Desember 2012 (Gambar 1). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan desain survei dan teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Pengambilan sampel teripang dengan membuat transek garis yang menyerong dari garis pantai ke arah laut. Jumlah transek pada setiap stasiun adalah 5 transek. Masingmasing transek memiliki panjang 50 meter dengan kuadrat 1 x 1 m2 dan jarak antar transek adalah 5 meter meter. Parameter lingkungan diukur bersamaan dengan pengambilan sampel teripang meliputi pengukuran jenis substrat, suhu air, salinitas, penetrasi cahaya, kecepatan arus, kecepatan angin, kekeruhan, kedalaman, pH, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologis (BOD), nitrat (NO3), nitrit (NO2), ortofosfat (PO4) dan zat padat tersuspensi (TSS).
Gambar 1. Lokasi penelitian di Pulau Bira Besar, Kepulauan Seribu Utara, Jakarta (Bakosurtanal 2012). Keterangan: lamun, : Ekosistem terumbu karang
: Ekosistem
224
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 222-226, April 2015
Analisis data dilakukan berdasarkan hasil perhitungan: Indeks Kelimpahan (Odum 1971) B= TxP AxS keterangan: B = kelimpahan individu/ m2 T = luas 1 m2 (10000 cm2) A = luas transek pengambilan (m2) P = jumlah individu spesies ke-i S = jumlah transek Indeks Keanekaragamaan Shannon-Weiner (Odum 1971) H’ =-∑pi ln pi Keterangan: H’ = Indeks Keanekaragaman pi = ni/N (proporsi spesies ke-i) N = Jumlah total individu Ni = Jumlah individu spesies ke-i Kriteria indeks keanekaragaman adalah sebagai berikut: H’< 1 = keanekaragaman rendah 1< H’< 3 = keanekaragaman sedang H’> 3 = keanekaragaman tinggi
Semakin kecil jarak Euclidean antar dua waktu pengamatan, maka semakin mirip karakteristik lingkungan perairan antar waktu pengamatan tersebut, demikian pula sebaliknya, semakin besar jarak Euclidean antar dua waktu pengamatan maka semakin berbeda karakteristik waktu kedua pengamatan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi jenis teripang Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi secara keseluruhan didapat sebanyak 4 jenis teripang di ekosistem lamun dan di ekosistem terumbu karang yaitu Holothuria atra. H. leucospilota, H. fuscocinerea dan Synapta maculata, yang termasuk kedalam dua famili yaitu famili Holothuriidae dan Synaptidae. Komposisi jenis teripang yang diperoleh dari komposisi tertinggi sampe terendah (Gambar 2). Kelimpahan jenis teripang Kelimpahan jenis teripang pada ekosistem lamun lebih tinggi yaitu berkisar sebesar 0,65-0,96 ind/m2, dibandingkan pada ekosistem terumbu karang berkisar 0.52-0.59 ind/m2, dengan kelimpahan tertinggi pada ekosistem lamun diwakili oleh jenis Holothuria atra. sedangkan pada ekosistem terumbu karang diwakili oleh jenis Synapta maculata (Tabel 1)
Indeks dominansi Simpson (Odum 1971) Id = ∑Pi2 keterangan: Id = Indeks dominansi Σ Pi2 = kuadrat proporsi spesies ke-i Keriteria indeks dominansi adalah sebagai berikut: Id > 0,5 = ada dominansi Id < 0,5 = tidak ada dominansi
Keanekaragaman jenis teripang Keanekaragaman jenis teripang pada ekosistem terumbu karang lebih tinggi dibandingkan keanekaragaman teripang pada ekosistem lamun, dengan kisaran nilai keanekaragaman jenis 1,25-1,29, dengan rata-rata dari ketiga pengambilan data yaitu 1,28. Sedangkan dominansi jenis teripang hanya terdapat pada ekosistem lamun kisaran 0,52-0,67 (Tabel 2).
Hubungan parameter lingkungan dengan keanekaragaman jenis Variasi karakteristik lingkungan perairan antar waktu pengamatan yang dikaitkan dengan kepadatan teripang pada setiap stasiun sebagai variabel suplemen, digunakan analisis statistic multivariable yang didasarkan pada analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA). Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euiclidean yang didasarkan dengan rumus: P d2 (i.i”) = ∑(xij-xi’j)2 J=i keterangan: i.i” = dua waktu pengamatan (baris) J = variabel lingkungan
Gambar 2. Komposisi jenis teripang pada ekosistem lamun dan Terumbu karang
KOMALA – Teripang di Pulau Bira Besar Tabel 1. Kelimpahan jenis teripang (ind/m2) pada ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang
Famili/Jenis Holothuriidae H. atra H. leucospilota H. fuscocinerea Synaptidae Synapta maculata Total
Ekosistem lamun 1 2 3
Ekosistem Terumbu karang Total 1 2 3
0.43 0.72 0.67 0.14 0.15 0.04 0.02 0.01 0.08 0.07 0 0 0 0.28 0.21
0.17 0.07 0.21
2.28 0.29 0.7
0.18 0.22 0.17 0.09 0.09
0.09
0.84
0.65 0.96 0.85 0.59 0.52
0.54
4.11
Tabel 2. Keanekaragaman jenis (H’) dan dominansi (Id) teripang di ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang
Stasiun Lamun Terumbu karang
Sub H' Stasiun
Id
1 2 3 1 2 3
0.52 0.61 0.67 0.32 0.3 0.3
0.8 0.65 0.55 1.25 1.29 1.29
RataRatarata rata H' Id 0.67 0.6 1.28
0.31
Gambar 3. Hubungan beberapa parameter lingkungan dengan kepadatan teripang
Parameter lingkungan Secara umum parameter fisik kualitas perairan Pulau Bira Besar berada dalam kondisi normal kecuali kecepatan arus air. Parameter kimia dalam keadaan normal kecuali nitrat yang melebihi baku mutu Kepmen-LH 51 Tahun 2004. Hasil analisis data berdasarkan analisisi PCA, keanekaragaman jenis teripang di Pulau Bira Besar lebih
225
dipengaruhi oleh kekeruhan, ortofosfat, oksigen terlarut, suhu dan kebutuhan oksigen biologis. Faktor lingkungan yang tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman jenis teripang adalah kecepatan angin dan kedalaman perairan (Gambar 3). Pembahasan Dari hasil pengamatan dan identifikasi jenis teripang yang paling banyak ditemukan baik di ekosistem lamun maupun terumbu karang adalah genus Holothuria. Teripang ini seperti H. atra dan H. leucospilota merupakan jenis teripang yang termasuk kedalam kelompok fissiparous, yaitu kelompok yang memiliki potensi bereproduksi dengan cara membelah diri (Purwati dan Syahailatua 2008). Teripang yang ditemukan di ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang sebagian besar termasuk kedalam ordo Aspidochirotida. Menurut Yusron dan Pitra (2004) teripang dari ordo ini merupakan teripang yang umum ditemukan pada perairan tropis. Teripang dari ordo Aspidochirotida adalah pemakan endapan (deposit feeder), kelompok biota ini seringkali dijumpai berada di perairan tenang, terlindung, dan kaya akan akumulasi zat organik (Aziz 1995) Dengan ditemukannya teripang dari Ordo ini diduga lokasi ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang merupakan habitat yang cocok untuk perkembangan teripang dari ordo tersebut. Hal ini sesuai pendapat Nontji (1987) bahwa Perairan tropis memiliki berbagai macam ekosistem yang dapat memecah arus seperti ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang sehingga beberapa biota laut seperti teripang yang ada di dalam ekosistem tersebut akan terlindungi dari arus yang kuat dan biota laut tersebut akan mendapatkan akumulasi zat organik dari pergerakan arus laut. Kelimpahan tertinggi pada ekosistem lamun yaitu pada jenis H. atra, hal ini diduga karena substrat yang ada di lokasi penelitian didominasi oleh pasir, H. atra yang memiliki kebiasaan melindungi diri dari sinar matahari dengan melumuri dirinya dengan pasir dapat dilakukan dengan mudah. Banyaknya pasir yang melumuri tuhuh teripang di wilayah ini menyebabkan tubuh teripang tidak terlalu panas drai pantulan cahaya matahari. Tingginya kelimpahan H. atra diduga terkait dengan cara reproduksinya, dan sifatnya yang termasuk kelompok fissiparous. Selain itu H. atra juga berpotensi untuk bereproduksi dengan membelah diri sehingga memungkinkan H.atra dapat bereproduksi dengan tidak terpacu dalam bulan-bulan tertentu (Purwati dan Syahailatua 2008). Holothuria fuscocinerea memiliki kelimpahan tertinggi pada ekosistem terumbu karang, karena kemampuan dari teripang jenis ini yang biasa ditemukan hidup berkelompok di sekitar terumbu karang. Kemudian kemampuan teripang ini yang mampu berbagi habitat dengan teripang dari jenis yang lain. Menurut Morton (1992) jenis ini jarang ditemukan di daerah pasir yang terbuka, bahkan jenis ini ditemukan hingga kedalaman 15 meter dibawah permukaan laut berlindung di hamparan terumbu karang untuk menghindari sinar matahari.
226
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 222-226, April 2015
Keanekaragaman jenis pada ekosistem lamun termasuk ke dalam kategori rendah. Hal ini diduga substrat yang terdiri dari pasir dan naungan yang sedikit menyebabkan tidak terlalu banyak teripang yang dapat bertahan hidup pada kondisi tersebut, tetapi ditemukan adanya dominansi oleh jenis tertentu. Hal ini dapat terjadi karena substrat yang ada pada ekosistem lamun terdiri dari pasir dan naungannya masih dapat ditembus oleh cahaya matahari. Teripang pada dasarnya adalah binatang yang aktif pada malam hari, tidak menyenangi cahaya matahari, dan secara umum menyukai daerah yang memiliki tutupan, yang dapat melindungi teripang dari cahaya matahari (Soltani et al. 2010). keanekaragaman jenis teripang di ekosistem terumbu karang termasuk kedalam kategori sedang karena berada pada kisaran 1-2. Keanekaragaman jenis yang terdapat di ekosistem ini lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem lamun. hal ini dikarenakan sifat dasar teripang yang cenderung menghindari matahari sehingga akan menempati ekosistem yang lebih banyak terdapat daerah tutupan karang (Yusron 2001). Substrat dominan pasir merupakan substrat yang mendominasi pada kawasan perairan Pulau Bira Besar. Substrat pasir mendukung bagi kehidupan teripang karena substrat pasir merupakan substrat yang kaya akan bahan organik (Agusta et al. 2012). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan PCA, keanekaragaman teripang dipengaruhi oleh kekeruhan, ortofosfat, oksigen terlarut, suhu dan kebutuhan oksigen biologis. Secara umum kondisi parameter lingkungan di Pulau Bira Besar masih dalam kondisi normal. Letak yang berada di gugusan Kepulauan Seribu bagian utara dan jauh dari Pulau Jawa dan tidak adanya sungai-sungani besar yang mengalir menjadi pendukung kekeruhan di Pulau Bira Besar masih normal. Menurut Tuti et al. (2010) kekeruhan disebabkan.oleh sedimen yang berasal dari sungai yang berada di daratan. Kekeruhan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis teripang, karena teripang menyukai lingkungan perairan yang jernih (Aziz 1997), selain itu akan mempengaruhi sistem penyaringan makanannya serta dapatmenurunkan oksigen terlarut. Ortofosfat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keanekaragaman teripang hal ini diduga karena fosfor yang di dalam air tersedia dalam bentuk larutan yaitu ortofosfat akan berguna dalam daur siklus fosfor. Di dalam siklus fosfor, hewan laut akan melepaskan sebagian besar fosfor dalam bentuk kotoran yang kemudian akan terlarut dan tersedia bagi tumbuhan. Fosfor yang dilepaskan bersamaan kotoran hewan sebagian akan mengendap di substrat yang berguna bagi makanan bakteri dan plankton (Romimohtarto dan Juwana 2007). Sisa-sisa bahan organik, bakteri dan mikroalga merupakan salah satu sumber pangan bagi teripang yang dikonsumsi tidak akan menumpuk pada suatu tempat (Purwati dan Syahailatua 2008). Oksigen terlarut dan suhu mempengaruhi keanekaragaman jenis teripang, hal ini diduga karena besarnya oksigen terlarut dan suhu akan mempengaruhi aktifitas dari teripang, salah satunya adalah
perkembangan dari larva dan aktifitas fisiologi teripang (Yusron dan Pitra 2004). Kebutuhan oksigen biologis (BOD) merupakan salah satu faktor lingkungan perairan yang mempengaruhi keanekaragaman jenis teripang. kadar BOD yang masih normal di perairan Pulau Bira Besar membuat teripang dan biota laut lainnya dapat hidup. yang semakin tinggi akan membuat kadar oksigen terlarut semakin rendah dan ini tidak terjadi di Pulau Bira Besar. Berdasarkan hasil penelitian secara umum dapat disimpulkan bahwa teridentifikasi 4 jenis teripang pda ekosistem lamun dan terumbu karang, dengan komposisi terbesar sampe terendah yaitu Holothuria atra (55%), Synapta maculata (21%), H. leucospilota (17%) dan H. fuscocinerea (7%). Kelimpahan jenis teripang pada ekosistem lamun lebih tinggi dibandingkan pada ekosistem terumbu karang, dengan kelimpahan tertinggi di lamun diwakili yaitu H. atra sedangkan di ekosistem terumbu karang diwakili H. fuscocinerea. Keanekaragaman jenis teripang pada ekosistem lamun tergolong rendah sedangkan di ekosistem terumbu karang tergolong sedang, dominansi jenis terdapat pada ekosistem lamun, dan Kekeruhan, ortofosfat, oksigen terlarut, suhu dan kebutuhan oksigen biologis sebagai parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis teripang.
DAFTAR PUSTAKA Agusta OR, Sulardiono B, Rudiyanti S.. 2012. Kebiasaan makan teripang (Echinodermata: HolothuriidaeI di perairan pantai pulau pramuka, kepulauan seribu. J Manag Aquat Resour 1 (1): 1-8. Antara. 2006. http://www.antaranews.com/be rita/1166409571/13-pulaudi-kepulauan-seribu-tercemar-tumpahan-minyak. diunduh pada tanggal 29 Desember Pukul 19.30 WIB. Aziz A. 1995. Beberapa catatan tentang teripang Bangsa Aspidochirotida. Oseana 20 (4): 11-23. Aziz A. 1997. Status Penelitian Teripang Komersial di Indonesia. Oseana 22 (1): 9-19. Darsono P. 2007. Teripang (Holothuroidea): Kekayaan alam dalam keragaman biota laut. Oseana 32 (2): 1-10. Martoyo J, Aji N, Winanto T. 2006. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya, Jakarta. Morton B (ed.). 1992. The Marine Flora and Fauna Of Hongkong and Southern China III, Vol. 1. Hongkong University Press, Hongkong. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan: Jakarta. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd ed. W.B. Saundes Company. Tokyo, Japan. 574 hal. Purwati P, Syahailatua A (eds). 2008. Timun Laut Lombok Barat. ISOI, Jakarta. Romimohtarto K, Juwana S. 2007. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. Soltani M, Radkhah K, Mortazavi MS, Gharibniya M. 2010. Early Development of the Sea Cucumber Holothuria leucospilota. Res J Anim Sci 4 (2): 72-76. Tuti Y, Suharsono, Giyanto, Rikoh M. 2010. Pengaruh kekeruhan terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Laporan akhir program insentif peneliti dan rekayasa LIPI tahun 2010. LIPI, Jakarta. Yusron E. 2001. Sumber Daya Teripang (Holothuroidea) Di Perairan Teluk Kotania, Seram Barat, Maluku Tengah. LIPI: Jakarta. Yusron E, Pitra. 2004. Struktur komunitas teripang (Holothuroidea) di beberapa perairan pantai Kai Besar, Maluku Tenggara. Makara Seri Sains 8 (1): 15-20.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 227-235
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010210
Keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di perairan lotik dan lentik Kawasan Kampus Institut Teknologi Bandung, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat Diversity and distribution of macrozoobenthos in the lotic and lentic water in the area of Bandung Institute of Technology, Jatinangor, Sumedang, West Java ANDRIA OKTARINA♥, TATI SURYATI SYAMSUDIN Jurusan Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-253 4107, ♥email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 29 Januari 2015.
Abstrak. Oktarina A, Syamsudin TS. 2015. Keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di perairan lotik dan lentik Kawasan Kampus Institut Teknologi Bandung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 227-235. Aliran sungai memiliki rangkaian aliran dari bagian hulu sampai ke bagian hilir. Dengan dibangunnya danau buatan (cekdam) pada aliran tersebut, maka akan berpengaruh pada aliran sungai dan sebagian perairan lotik menjadi ekosistem lentik. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di ekosistem sungai dan bagian sungai yang telah menjadi danau buatan di kawasan kampus ITB Jatinagor, Sumedang, Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari Oktober 2013 sampai Maret 2014. Pada ekosistem lotik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan jala Surber untuk habitat sungai, berbatu dan untuk habitat danau yang berlumpur menggunakan pengeruk Ekman. Hasil penelitian di perairan lotik diperoleh 71 genus dengan kepadatan total makrozoobentos berkisar antara 403,96-4452,87 individu/m2 dan dari perairan lentik 47 genus dengan 145,44-748,07 individu/m2. Kondisi habitat sebagian besar komunitas makrozoobentos pada perairan lotik memiliki kisaran kecepatan arus 18,50±9,659 cm/det dan kandungan organik tanah 6,18±5,458 % yang tinggi. Sedangkan, di perairan lentik komunitas makrozoobentos memilih habitat dengan kisaran pH 6,37±0,055, suhu air 28,29±1,0880C, oksigen terlarut 7,34±0,393 ppm dan TSS 315,00±53,161 mg/L. Kata kunci: Komunitas makrozoobentos, lotik, lentik.
Abstract. Oktarina A, Syamsudin TS. 2015. Diversity and distribution of macrozoobenthos in lotic and lentic ecosystem in the Area of Institut Teknologi Bandung Campus, Jatinangor, Sumedang, West Java.Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 227-235. The river flow, which goes from upstream to downstream. The construction of artificial lake will affect the flow of the stream and part of the lotic become lentic ecosystem. This research aims to study the diversity and distribution of macrozoobenthos in river ecosystem and lentic system in the area of ITB University campus in Jatinangor, Sumedang, West Java. Research conducted from October 2013 to March 2014. In lotic system, macrozoobenthos collections were conducted by Surber net and by Ekman dredge (in lakes, mud areas). The results found 71 taxa of macrozoobenthos in lotic area and the density index was ranged from 403.96 to 4452.87 ind/m2. In lentic habitat found 47 genera of macrozoobenthos and the density was ranged from 145.55 to 748.07 ind/m2. Habitat condition for macrozoobenthos community in lotic habitat was 18.50±9.659 cm/sec for the river current with the highest dissolved organic (6.18±5.458%). In lentic habitat the pH was 6.37±0.055, water temperature 28.29±1.08oC, dissolved oxygen 7.34±0.393 ppm and TSS was315.00±53.161 mg/L. Key word: Macrozoobenthos community, lentic, lotic.
PENDAHULUAN Danau buatan (cekdam) merupakan ekosistem danau yang tidak berdiri sendiri, selalu mendapatkan inlet atau aliran sungai dibagian atasnya. Aliran ini terus mendapatkan material organik yang dapat merubah komposisi hara dan mineral serta dapat menentukan substrat dasar perairan danau, sehingga bila ada perubahan yang terjadi di ekosistem sungai maka akan mempengaruhi ekosistem danau tersebut (Tjahjo dan Purnamaningtyas 2010). Dalam ekosistem perairan, komunitas bentos sangat penting terutama di danau dan sungai (Sharma et al. 2013).
Makrozoobentos sering digunakan dalam menilai kualitas lingkungan perairan (Vyas et al. 2012). Makrozoobentos adalah organisme yang sering digunakan sebagai indikator pencemaran (Minggawati 2013) dan berperan juga dalam biomonitoring dari suatu perairan (Roy dan Gupta 2010; Sharma et al. 2013). Karena hidupnya yang cenderung menetap (Trisnawaty et al. 2013) pada sedimen dasar perairan (Purnami et al. 2010) baik substrat lunak maupun substrat keras (Lumingas et al. 2011), memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah (Sharma et al. 2013),
228
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 227-235, April 2015
mudah di tangkap dan memiliki kelangsungan hidup yang panjang (Purnami et al. 2010). Makrozoobentos berkontribusi sangat besar terhadap fungsi ekosistem perairan (Vyas dan Bhawsar 2013) dan memegang peranan penting seperti proses mineralisasi dalam sedimen dan siklus material organik (Vyas et al. 2012), serta berperan dalam transfer energi melalui bentuk rantai makanan (Roy dan Gupta 2010; Sharma et al. 2013), sehingga hewan ini berfungsi sebagai penyeimbang nutrisi dalam lingkungan perairan (Minggawati 2013). Komposisi makrozoobentos dapat merespon perubahan variasi karakteristik fisika kimia air diatasnya (Stamenkovic et al. 2010). Demikian pentingnya peranan makrozoobentos dalam ekosistem perairan sehingga jika komunitas makrozoobentos terganggu, pasti akan menyebabkan terganggunya ekosistem (Irmawan et al. 2010; Purnami et al. 2010; Ganie et al. 2014). Akibat terjadinya perubahan habitat dan dinamika ekosistem perairan yang sangat ditentukan oleh kondisi awal (substrat). Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di perairan kawasan Kampus ITB Jatinangor dan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di perairan kawasan Kampus ITB Jatinangor. BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilakukan pada bagian hulu dan hilir dari danau buatan di kawasan kampus ITB Jatinangor. Secara geografis, kawasan ini terletak pada 107045’58,0”107046’10,3” BT dan 06055’35,7”-06056’01,0” LS. Lokasi penelitian dapat dilihat pada (Gambar 1). Untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di sepanjang kawasan perairan lotik (sungai) dan lentik (danau) dan berdasarkan penggunaan lahan di sekitar perairan yang mengalir ke danau buatan dipilih 12 lokasi pengambilan sampel dari hulu, masuk area danau buatan dan bagian hilir danau. Penggunaan lahan sekitar Stasiun 1 didominasi aktivitas pertanian, aliran yang mengalir di Stasiun 1 menjadi salah satu inlet danau buatan. Stasiun 2 terletak di sekitar salah satu outlet danau yang berfungsi sebagai pengeluaran air ketika volume air danau melebihi batas 550 cm.
12 9
10
11
8
5 3 1
4
6
7
2
Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan Kampus ITB Jatinagor, Sumedang (insert), Jawa Barat.
= Stasiun pengambilan sampel
OKTARINA & SYAMSUDIN – Makrozoobentos di perairan Kampus ITB Jatinangor
Stasiun 3 merupakan area yang diduga merupakan pengendapan bahan dan material organik dari bekas lahan pertanian pada bagian hulu. Stasiun 4 berada disekitar saluran pembuangan air hujan yang aliran airnya akan menuju danau. Stasiun 5 merupakan outlet danau buatan yang terus mengalir. Pada Stasiun 6 (ada 2, diberi nama 6a dan 6b) dan Stasiun 7 perairan menerima material bahan organik dan irigasi pertanian. Stasiun 8 dan 9 merupakan aliran dan genangan air yang masuk ke dalam aliran sungai dan melewati terowongan saluran air yang berada di tengah jalan utama. Stasiun 10 dan 11, aliran air dimanfaatkan sebagai sumber air untuk aktivitas pertanian (irigasi) dan Stasiun 12 dipengaruhi oleh aktivitas pertanian dan juga dimanfaatkan sebagai irigasi. Sehingga totalnya ada 13 stasiun. Cara kerja Pengambilan sampel Sampel dikoleksi dari 13 stasiun yang berbeda dengan 8 stasiun dari perairan lotik dan 5 stasiun dari lentik. Kegiatan dilakukan dari Oktober 2013 hingga Maret 2014 setiap dua minggu sekali. Selain adanya hujan, selama periode pengambilan sampel tercatat adanya aktivitas pembukaan lahan dan pembangunan gedung pada akhir periode penelitian. Kondisi lingkungan yang diukur adalah suhu air menggunakan SCT-meter, Oksigen terlarut (DO) ditentukan dengan menggunakan metoda titrasi Winkler (Michael, 1984). pH diukur dengan pH meter (tipe Eco Tester) dan kecepatan arus diukur dengan menggunakan meteran dan stopwatch untuk habitat sungai. Pada perairan mengalir (lotik) dan berbatu, pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan jala Surber (40cm x 25cm, ukuran jala/ mesh 0,2mm) dengan cara diletakkan di dasar perairan dan posisi menentang arus. Semua batu dan material lain yang terdapat dalam bingkai Surber dipindahkan ke dalam baskom, lalu dibersihkan dengan sikat. Di setiap stasiun dilakukan 3 kali pengulangan. Seluruh hewan bentos disaring dengan saringan (ukuran mesh 0,500 mm) dan diawetkan dalam larutan alkohol 70%. Pengambilan makrozoobentos dari perairan lentik (danau buatan) dengan habitat yang berlumpur dilakukan dengan menggunakan pengeruk Ekman (15cm x 15cm x 35cm). Pengeruk diturunkan dengan posisi terbuka, diturunkan ke perairan secara hati-hati. Tali beserta logam pemacunya dipegang, pengeruk diturunkan ke dalam secara vertikal sampai menyentuh dasar perairan secara perlahanlahan. Logam pemacu dilepas meluncur sepanjang tali yang terentang lurus, menyebabkan kedua belahan pengeruk menutup dan substrat perairan berikut semua hewan bentos yang terdapat didalamnya akan terperangkap dalam pengeruk. Isi kerukan ditumpahkan ke dalam baskom atau kantong plastik. Dengan menggunakan saringan, isi kerukan disaring dan di bilas dengan air. Lalu sampel diawetkan dalam larutan alkohol 70%. Semua sampel makrozoobentos diidentifikasi sampai tahap morfospesies berdasarkan acuan dari buku Ward dan Keith (1959), Mellanby (1963), Dudgeon (1999) dan Bouchard (2009). Analisis laboratorium
229
Zat padat tersuspensi (TSS) diukur dengan cara gravimetri menggunakan kertas saring Whatman No.1, sedangkan kandungan organik tanah (KOT) dengan cara pengabuan menggunakan Furnance. Kandungan amonium diukur dengan metode Nessler-Spektrofotometri dan pengukuran nitrat dilakukan dengan metode UVSpektofotometri berdasarkan SNI 01-3554-20061. Analisis data Untuk mengetahui keragaman digunakan indeks keanekaragaman Shanon-Weiner (H’): H' =-Σ pi ln pi (Odum 1998) selain itu dihitung kepadatan (K), kepadatan relatif (KR). Indeks keseragaman dihitung dengan (E): E = H / ln s. Untuk mengetahui kesamaan komunitas digunakan indeks kesamaan Bray-Curtis (C): C = (2W/ A+B) x 100%. Indeks dominansi dihitung (d): d = Σ (ni / N)2. Dimana: pi = ni / N; ni = jumlah taxa jenis ke i; N = jumlah seluruh taxa; s = jumlah genera. Untuk melihat hubungan antara komposisi makrozoobentos dengan variabel lingkungan perairan dilakukan analisis CCA (Canonical corespondence analysis) dengan menggunakan program CANOCO 4,5 for Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan perairan Kondisi lingkungan perairan di area penelitian pada habitat lotik, suhu perairan berkisar antara 26,78-28,530C dengan kadar oksigen pada semua habitat lotik berkisar antara 6,75-7,95. pH berkisar 6,36-6,41. Kecepatan arus sangat lambat sampai sedang yaitu berkisar 7,32-33,01 cm/det. TSS berkisar 191,67-291,67 mg/L, Kandungan Organik Tanah berkisar 5,52-11,70 %, amonium 0,07-0,15 ppm dan nitrat 0,15-0,50 ppm (Tabel 1). Sedangkan, kondisi perairan pada habitat lentik, suhu perairan berkisar antara 26,64-29,300C, suhu perairan masih dapat ditolerir oleh komunitas makrozoobentos karena tidak melebihi suhu 300C. Menurut Purnami et al. (2010), jika suhu berada diatas 300C akan terjadi penurunan keanekaragaman makrozoobentos. Kadar oksigen berkisar antara 6,87-7,84 ppm, secara umum masih cukup untuk mendukung kehidupan biota air (>5ppm). pH masih dapat ditolerir oleh makrozoobentos (6,31-6,43) dengan TSS 275,00-408,33 mg/L. Kandungan Organik Tanah berkisar 10,56-13,40%, amonium 0,10-0,20 ppm dan nitrat 0,180,23 ppm (Tabel 1). Keanekaragaman makrozoobentos Selama perioda pengambilan sampel (enam bulan) pada habitat lotik dan lentik, di dapatkan 72 taxa makrozoobentos yang berasal dari tujuh kelas yaitu Entognatha, Malacostraca, Gastropoda, Hirudinea, Insekta, Pelecypoda dan Oligochaeta (Tabel 2). Hampir semua kelas makrozoobentos selalu hadir pada habitat lotik seperti Kelas Gastropoda, Insekta, Pelecypoda dan Oligochaeta yang memiliki tingkat kehadiran yang tinggi dibandingkan kelas makrozoobentos lain.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 227-235
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010210
Tabel 1. Rata-rata (± standar deviasi) nilai dan kisaran parameter fisika kimia perairan pada ke-tigabelas stasiun pengamatan. Nilai rata-rata diperoleh dari data 12 kali pengambilan di lapangan (Oktober 2013-Maret 2014). Stasiun Variabel Suhu (°C) DO (ppm) pH Kecepatan arus (cm/det) TSS (mg/L) Kandungan organik tanah (%) Amonium (ppm) Nitrat (ppm)
2 23,30-33,40 5,20-10,80 6,20-6,49 0
3 24,00-28,80 4,60-9,60 6,28-6,37 0
Lentik 4 24,20-32,90 5,30-8,80 6,10-6,42 0
Lotik
100-800 9,80-15,40
100-500 10,60-18,00
100-800 8,40-13,60
100-800 8,00-13,20
100-1.600 9,60-14,60
100-700 0-11,40
100-600 0
100-800 0
100-700 9,00-17,80
100-700 9,00-11,80
100-700 8,20-13,20
100-400 9,20-13,20
100-500 0
0,026-0,562 0,012-0,552
0,010-0,614 0,010-0,561
0,045-0,706 0,003-0,590
0,019-0,331 0,036-0,485
0,003-0,366 0,020-0,589
0,004-0,322 0,107-1,567
0,004-0,322 0,010-0,528
0,016-0,398 0,036-0,485
0,014-0,183 0,005-0,577
0,028-0,264 0,027-0,572
0,038-0,203 0,010-0,559
0,014-0,260 0,016-0,529
0,026-0,165 0,002-0,506
6b 25,80-33,00 5,60-9,20 6,32-6,56 0
7 25,90-34,90 5,60-10,00 6,20-6,56 0
1 25,10-31,40 5,60-9,10 6,20-6,50 0-31,55
5 24,60-33,30 5,60-9,70 6,28-6,50 19,84-39,22
6a 25,20-29,90 6,40-9,10 6,33-6,46 0-45,66
8 24,70-31,10 5,20-8,40 6,33-6,50 0-36,63
9 25,20-32,60 4,80-8,50 6,20-6,58 0-22,42
10 25,40-32,30 5,06-8,80 6,30-6,60 5,61-33,56
11 26,30-30,90 5,46-9,30 6,20-6,49 0-22,83
12 24,50-31,50 6,00-8,50 6,10-6,54 13,09-42,74
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON & SYAMSUDIN – Makrozoobentos di perairan Kampus ITB Jatinangor OKTARINA 321 Volume 1, Nomor 2, April 2015 ISSN: 2407-8050 Halaman: 227-235 DOI: 10.13057/psnmbi/m010210
Sedangkan, di habitat lentik Malacostraca, Gastropoda, Insekta dan Oligochaeta selalu hadir di setiap stasiun pengambilan sampel dan tidak di temukan Hirudinea (Tabel 3). Komposisi kelas makrozoobentos di habitat lotik terdiri dari Gatropoda (57,08%), Insekta (24,47%), Pelecypoda (11,16%) dan Oligochaeta (5,59%). Kelas Entognatha dan Malacostraca persentasinya rendah yaitu 0,53% dan 1,09%. Sedangkan, Kelas Hirudinea hanya 0,08% (Gambar 2A). Kelas Gastropoda merupakan organisme yang menyukai substrat mulai yang berlumpur sampai berpasir (Zulkifli dan Setiawan 2011) dan suka menempel di substrat berbatu seperti perairan lotik, sehingga kelas ini mempunyai persentase terbesar (57,08%) dibandingkan dengan kelas lainnya. Pada habitat lotik terdapat 71 taxa makrozoobentos yaitu Isotomurus, Mysis, Parathelphusa, Physa, Pomacea, Anentome, Emmericiopsis, Goniobasis, Gyraulus, Thiaridae, Melanoides, Pleurocera, Thiara, Pachychilidae, Camaenidae, Helobdella, Agabus, Eubrianax, Heterlimnius, Hydrophilus, Hydroporus, Promeresia, Stenelmis, Zeitzevia, Antocha, Atrichopogon, Bezzia, Chironomus, Cladotanytarsus, Cricotopus, Cryptochironomus, Culicoides, Demicryptochironomus, Dicrotendipes, Eukiefferiella, Kiefferullus, Micropsectra, Microtendipes, Nanocladius, Nilotanypus, Orthocladius, Pentaneura, Polypedilum, Rheotanytarsus, Simulium, Tanytarsus, Baetis, Caenis, Choroterpes, Ecdyonorus, Leptophlebia, Pseudocloeon, Rhithrogena, Belostoma, Corixa, Merragata, Microvelia, Rhagovelia, Eoophyla, Erythromma, Gompus, Ischnura, Ophiogomphus, Ecnomus, Glossosoma, Hydropsyche, Melanotrichia, Orthotrichia, Psychomia, Corbicula dan Tubifex. Pada habitat lentik terdapat 47 taxa makrozoobentos yaitu Isotomurus, Mysis, Parathelphusa, Physa, Pomacea, Anentome, Goniobasis, Gyraulus, Melanoides, Pleurocera, Thiara, Pachychilidae, Camaenidae, Agabus, Heterlimnius, Promeresia, Stenelmis, Antocha, Bezzia, Chironomus, Cladotanytarsus, Cricotopus, Cryptochironomus, Dicrotensipes, Eukiefferiella, Kiefferullus, Microchironomus, Micropsectra, Nilotanypus, Orthocladius, Pentaneura, Polypedilum, Rheotanytarsus, Simulium, Tanytarsus, Baetis, Caenis, Pseudocoleon, Corixa, Rhagovelia, Eoophyla, Ophiogomphus, Ecnomus, Hydropsyche, Melanotrichia, Corbicula dan Tubifex. Pada habitat lentik, didominasi Insekta (52,66%), Oligochaeta (21,01%) dan Gastropoda (19,20%). Kelas Pelecypoda, Malacostraca dan Entognatha presentasinya rendah yaitu 3,38%, 3,31% dan 0,42% serta tak dijumpai Hirudinea (0%) (Gambar 2B). Kelas Insekta memiliki sebaran yang luas dan tersebar di berbagai jenis habitat perairan (Ahmad et al. 2013), seperti perairan mengalir dan perairan tergenang. Karena sebarannya yang luas, menyebabkan kelas ini mempunyai komposisi terbesar pada habitat lentik sebesar 52,66% dibandingkan dengan kelas lainnya.
Secara umum, Insekta sangat penting dalam ekosistem perairan tawar apalagi dalam komunitas dasar perairan karena merupakan salah satu sumber makanan ikan dan invertebrata lainnya. Hilangnya komunitas dasar perairan seperti Insekta, dapat mempengaruhi seluruh populasi yang ada dalam sistem ekologi perairan karena hewan ini merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata air (Rasdi et al. 2012). Indeks keanekaragaman Indeks keanekaragaman makrozoobentos dihabitat lotik dan lentik termasuk dalam kategori sedang dengan nilai H’= 0-3. Di habitat lotik keanekaragaman berkisar antara 1,63-2,61, sedangkan habitat lentik indeks keanekaragaman berkisar antara 1,17-1,62 (Tabel 6). Menurut Rahmawaty (2011) keanekaragaman suatu area juga dipengaruhi oleh faktor substrat yang tercemar, kelimpahan sumber makanan, kompetisi antar dan intra taxa, gangguan dan kondisi dari lingkungan sekitarnya sehingga taxa yang mempunyai daya toleransi yang tinggi akan semakin bertambah sedangkan yang memiliki daya toleransi yang rendah akan semakin menurun. Indeks keseragaman Indeks keseragaman makrozoobentos di habitat lotik dan lentik termasuk relatif merata atau jumlah individu masing-masing taxa relatif seragam. Indeks keseragaman habitat lotik berkisar antara 0,62-0,86, sedangkan indeks keseragaman habitat lentik berkisar antara 0,72-0,90 (Tabel 6). Jika indeks keseragaman mendekati nilai 1,00 berarti bahwa semua sampel makrozoobentos yang ada pada stasiun tersebut memiliki jumlah jenis organisme yang sama. Dapat disimpulkan bahwa, populasi makrozoobentos di perairan yang diteliti hampir semua stasiun merata dengan nilai keseragaman pada masing-masing stasiun melebihi nilai 0,50. Indeks dominansi Indeks dominansi menunjukkan sejauh mana suatu kelompok biota mendominasi kelompok lain. Nilai indeks dominansi di habitat lotik berkisar antara 0,12-0,28 (Tabel 6) dan taxa yang memiliki nilai indeks dominansi tertinggi adalah Anentome, Thiara, Pachychilidae (O: Mesogastropoda) dan Corbicula (O: Verenoidea). Sedangkan, di habitat lentik berkisar antara 0,12-0,15 (Tabel 6) dan taxa yang memiliki nilai indeks dominansi tertinggi yaitu Kiefferullus dan Polypedilum (O: Diptera), Tubifex (O: Tubificidae). Nilai indeks dominansi pada kedua habitat mendekati 0, hal ini berarti habitat lotik dan lentik memiliki kekayaan taxa yang tinggi dengan sebaran yang merata. Adanya indeks dominansi menunjukkan bahwa tidak semua taxa makrozoobentos memiliki daya adaptasi dan kemampuan untuk bertahan hidup yang sama di suatu tempat. Hal ini juga berarti makrozoobentos di lokasi pengamatan memanfaatkan secara maksimal sumberdaya yang ada pada setiap lokasi pengamatan.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 227-235, April 2015
232
Tabel 2. Keanekaragaman komunitas makrozoobentos di Perairan Kawasan Kampus Institut Teknologi Bandung Jatinangor Sumedang-Jawa Barat. Taksa
Stasiun Lentik Lotik 2 3 4 6b 7 1 5 6a 8 9 10 11 12
ENTOGNATHA Isotomurus
+ + + -
MALACOSTRACA Mysis Parathelphura
+ - + - + - + + - - - - + + + + + + + + + + - + + +
GASTROPODA Physa Pomacea Anentome Emericiopsis Goniobasis Gyraulus Thiaridae Melanoides Pleurocera Thiara Pachychilidae Camaenidae
+ + + + + + -
+ + + + + -
+ + + + + + + +
+ + + + + + + + -
HIRUDINEA Helobdella
- - -
-
- + + + + - - - +
INSEKTA Agabus Eubrianax Heterlimnius Hydrophilus Hydroporus Promeresia Stenelmis Zeitzevia Antocha Atrichopogon Bezzia Chironomus Cladotanytarsus Cricotopus Cryptochironomus Culicoides Demicryptochironomus Dicrotendipes Euikiefferiella Kiefferullus Microchironomus Micropsectra Microtendipes Nanocladius Nilotanypus Orthocladius Pentaneura Polypedilum Rheotanytarsus
+ + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + +
+ + + -
+ + + + + + + + -
+ + + + + + + + +
- + + + + + - + +
+ + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + -
+ + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + -
+ + + + + + +
+ + + + + + + + + + -
+ + + + +
+ + + + + + + + + + + -
+ + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + +
Simulium Tanytarsus Baetis Caenis Chroroterpes Ecdyonorus Lepthophlebia Pseudocoleon Rhytrogena Belostoma Corixa Merragata Microvelia Rhagovelia Eoophyla Erythromma Gompus Ischnura Ophiogompus Ecnomus Glossosoma Hydropsyche Melanotrichia Orthotrichia Psychomia
+ + + + + + -
+ + + -
+ + + + + + -
+ + + + + -
+ + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + -
+ + + + -
+ + + -
+ + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
PELECYPODA Corbicula
+ - - + + + + + + + + + +
OLIGOCHAETA Tubifex
+ + + + + + + + + + + + +
Jumlah
24 17 24 31 33 48 52 40 30 23 21 29 54
Tabel 3. Penyebaran kelas makrozoobentos yang ditemukan di perairan kawasan kampus ITB Jatinangor. Stasiun Kelas 2 Entognatha + Malacostraca + Gastropoda + Hirudinea Insekta + Pelecypoda + Oligochaeta +
3 + + + + +
Lentik 4 6b + + + + + + + + + +
7 + + + + +
1 + + + + + + +
5 + + + + + + +
6a + + + + + + +
8 + + + + + + +
Lotik 9 10 + + + + + + + + + +
11 + + + + + +
12 + + + + + + +
Catatan: + = ada,-= tidak ada
Tabel 4. Hasil perhitungan indeks kesamaan antar stasiun penelitian pada habitat lentik. Stasiun 2 3 4 6b 7
2
3
4
6b
7
22,29
51,56 21,85
31,20 11,71 16,02
39,18 22,98 25,77 59,58
OKTARINA & SYAMSUDIN – Makrozoobentos di perairan Kampus ITB Jatinangor Tabel 5. Hasil perhitungan indeks kesamaan antar stasiun penelitian pada habitat lotik. Stasiun 1
5
6a
8
9
1 5 6a 8 9 10 11 12
25,00 35,72 16,04 20,24 46,53 3,02 4,26 5,03 6,59 67,54
10
11
12
57,36 13,27 20,49 31,19 39,58
35,24 8,95 27,20 24,92 31,73 36,37
35,17 23,31 19,24 14,01 17,07 31,07 20,89
Indeks kesamaan Bray-Curtis Pada habitat lotik, beberapa stasiun pengambilan sampel menunjukan komunitas yang serupa, hal tersebut ditunjukan oleh nilai indeks kesamaan yang melebihi 50% seperti Stasiun 1 dan 10 yaitu 57,36% dan Stasiun 8 dan 9 yaitu 67,54% (Tabel 4). Pada habitat lentik adalah Stasiun 2 dan 4 yaitu 51,56 % dan Stasiun 6b dan 7 yaitu 59,58 % (Tabel 5). Kesamaan ini diduga disebabkan oleh kondisi substrat yang serupa dan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi komposisi komunitas makrozoobentos. Substrat pada Stasiun 1 dan 10, memiliki komponen yang
233
hampir sama yaitu batu, kerikil dan dominan pasir walaupun proporsinya berbeda. Substrat pada Stasiun 8 dan 9, memiliki komponen sama yaitu dominan pasir dan sedikit lumpur walaupun proporsinya berbeda. Substrat pada Stasiun 2 dan 4 (masih dalam area cekdam) memiliki komponen yang sama yaitu dominan liat walaupun proporsinya berbeda. Sedangkan substrat pada Stasiun 6b dan 7 memiliki komponen substrat pasir dan dominan lumpur, serta kedua stasiun ini masih dalam satu area kolam (Stasiun 6b merupakan inlet dan Stasiun 7 merupakan outlet kolam) memiliki nilai indeks kesamaan tertinggi (59,58%). Hubungan komunitas makrozoobentos dengan variabel lingkungan Sebagian besar komunitas makrozoobentos pada habitat lotik dijumpai pada kondisi lingkungan dengan kecepatan arus dan kandungan organik tanah yang tinggi. Sebagian kecil dijumpai pada tempat dengan pH, suhu air, oksigen terlarut, TSS, nitrat dan amonium yang tinggi (Gambar 3A). Sebagian besar komunitas makrozoobentos pada habitat lentik dijumpai pada kondisi lingkungan dengan pH, suhu air, oksigen terlarut dan TSS yang tinggi. Sebagian kecil dijumpai pada tempat dengan kandungan organik tanah, nitrat dan amonium yang tinggi (Gambar 3B).
Tabel 6. Karakteristik komunitas makrozoobentos di perairan kawasan kampus ITB Jatinangor. Stasiun Variabel Komunitas Jumlah individu (n) Kepadatan (ind/m²) Jumlah genus (s) Indeks keanekaragaman Indeks keseragaman Indeks dominansi
Lentik 2 3 4 6,56 3,32 4,56 290,87 145,44 201,21 24 17 24 1,17 1,25 ,25 0,72 0,90 0,77 0,13 0,15 0,12
A
6b 16,85 748,07 31 1,62 0,81 0,14
7 10,51 466,61 33 1,41 0,74 0,12
1 54,76 1148,87 48 1,90 0,72 0,17
5 309,32 3103,05 52 2,12 0,66 0,14
6a 208,45 4452,87 40 1,73 0,62 0,25
Lotik 8 9 9,32 10,44 403,96 461,67 30 23 1,71 1,70 0,86 0,84 0,12 0,13
10 25,84 1148,20 21 1,63 0,73 0,24
11 37,94 1683,77 29 1,67 0,73 0,28
B
Gambar 2. Komposisi makrozoobentos di perairan kawasan kampus ITB Jatinangor habitat danau (A) dan habitat sungai (B).
12 73,42 733,87 54 2,61 0,82 0,07
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 227-235, April 2015
4
3.0
234
57 26 1854 51
14
46
67 3
56
61
8
64
59
63
St 2
38
13 4 48 60 22 35 49 157127 11 72 St 3 pH38St 6b Suhu 17 25 KOT DO47 Amonium 37 12 30 Nitrat 45 TSS 6 5 28 44 43 St 7 41
62
53
42 36
7 1
9
21
28 St 11 14 531 St 8
72 St 9 17 1315 11 Suhu44 25 3 24 20 8 KOT 46 39St 1 40 16 30 52 St 10 pH Nitrat2 36 10 Kec. Arus St 6a 69 Amonium 6 12 6723 60 56 48 DO 35 4927St 71 5 TSS 45 43 41 34 22 19 2966 33 32 65
St 4
2
19 9 3464 53 31 23 65 68
-2
-3.0
4 55
58 68 St 12 47 70 42
1
29
50
-1.5
2.5 A
-3
B
2
Gambar 3. Ordinasi CCA dengan makrozoobentos pada habitat lentik (A) dan habitat lotik (B).
Keanekaragaman komunitas makrozoobentos di perairan lotik dan lentik termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang dengan komposisi komunitas relatif merata. Sejak tahun 2011 di lokasi penelitian, sebagian habitat sungai telah mengalami perubahan menjadi danau buatan serta adanya perubahan substrat dasar yang menyebabkan berubahnya fungsi ekosistem ditandai dengan berubahnya komunitas makrozoobentos, namun perubahan habitat sampai saat penelitian dilakukan masih dapat ditolerir oleh komunitas makrozoobentos. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai sebagian dari bantuan tugas akhir BOPTN tahun 2013 dan 2014, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Ilmu Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). DAFTAR PUSTAKA Ahmad AK, ABD Aziz Z, Fun HY, Ling TM, Suhaimi OM. 2013. Makroinvertebrat bentik sebagai penunjuk biologi di Sungai Kongkoi, Negeri Sembilan, Malaysia. Sains Malaysiana 42 (5): 605-614. Bouchard RW. 2009. Guide to aquatic invertebrate families of Mongolia identification manual for student, citizen monitors and aquatic resource professionals. University Minnesota. http://midge.cfans.umn .edu/
Ganie MA, Pal AK, Pandit AK. 2014. Water quality assessment of Lar Stream, Kashmir using macroinvertebrates as variable tolerants to diverse level of pollution. Pakistan Entomol 36 (1): 73-78. Irmawan RN, Zulkifli H, Hendri M. 2010. Struktur komunitas makrozoobentos di Estuari Kuala Sugihan, Provinsi Sumatera Selatan. Maspari J 1: 53-58. Lumingas LJL, Moningkey RD, Alex DK. 2011. Efek stres anthropogenik terhadap struktur komunitas makrozoobentik substrat lunak Perairan Laut Dangkal di Teluk Buyat, Teluk Totok dan Selat Likupang (Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara). Jurnal Matematika dan Sains 16 (2): 95-105. Michael P. 1984. Ecological methods for field and laboratory investigations. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. Minggawati I. 2013. Struktur komunitas makrozoobentos di Perairan Rawa Banjiran Sungai Rungan, Kota Palangka Raya. Ilmu Hewani Tropika 2 (2): 64-67. Purnami AT, Sunarto, Setyono P. 2010. Study of bentos community based on diversity and similarity index in Cengklik DAM Boyolali. Ekosains 2 (2): 50-65. Rahmawaty. 2011. Indeks keanekaragaman makrzoobentos sebagai bioindikator tingkat pencemaran di Muara Sungai Jeneberang. Bionature 12 (2): 103-109. Rasdi MZ, Fauziah I, Ismail R, Mohd Hafezan S, Fairuz KAD, Che Salmah MR. 2012. Diversity of aquatic insects in Keniam River, National Park, Pahang, Malaysia. Asian J Agric Rural Dev 2 (3): 312328. Roy S, Gupta A. 2010. Molluscan diversity in River Barak and its Tributaries, Assam, India. Biol Environ Sci 5 (1): 109-113. Sharma R. Kumar A, Vyas V. 2013. Diversity of macrozoobenthos in Morand River-A Tributary of Ganjal River in Narmada Basin. Intl J Adv Fish Aquat Sci 1 (1): 57-65. Stamenkovic VS, Smiljkov S, Prelic D, Paunovic M, Atanackovic A, Rimcheska B. 2010. Structural characteristic of benthic macroinvertebrate in The Mantovo Reservoir (South-East Part of the
OKTARINA & SYAMSUDIN – Makrozoobentos di perairan Kampus ITB Jatinangor R. Macedonia). Balwois 2010-Ohrid, Republic of Macedonia-25,29 May 2010. Tjahjo DWH, Purnamaningtyas SE. 2010. Bio-limnologi Waduk Kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat. Limnotek 17 (2): 147-157. Trisnawaty FN, Emiyarti, Afu LOA. 2013. Hubungannya kadar logam berat merkuri (Hg) pada sedimen dengan struktur komunitas makrozoobenthos di Perairan Sungai Tahi Ite, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana. Mina Laut Indonesia 3 (12): 68-80. Vyas V, Bharose S, Yousuf S, Kumar A. 2012. Distribution of makrozoobenthos in River Narmada near water intake point. Nat Sci Res 2 (3): 18-25.
235
Vyas V, Bhawsar A. 2013. Benthic community structure in Barna Stream network of Narmada River Basin. Intl J Environ Biol 3 (2): 57-63. Ward HB, Keith GM. 1959. Freshwater Biology Second Edition. John Wiley & Sons Inc., New York. Mellanby H. 1963. Animal Life in Freshwater: A Guide to Fresh-Water Invertebrates. Chapman and Hall LTD. London. Dudgeon D. 1999. Tropical Asian Streams. Hongkong University Press. Hongkong. Zulkifli H, Setiawan D. 2011. Struktur komunitas makrozoobentos di Perairan Sungai Musi Kawasan Pulokerto sebagai instrumen biomonitoring. Natur Indonesia 14 (1): 95-99.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 236-241
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010211
Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) dan mangsa potensialnya di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Javan leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) and its potential preys in Bodogol, Mt. Gede Pangrango National Park
1
AYI RUSTIADI1,♥, WAHYU PRIHATINI2,♥♥
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jl. Raya Cibodas PO. BOX 3 Sdl. Cianjur, Jawa Barat, Indonesia Tel./Fax. +62-262-512776, ♥email:
[email protected]. 2 Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Pakuan, Jl. Pakuan No.1. Bogor, Jawa Barat, Indonesia. ♥♥email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 28 Januari 2015.
Abstrak. Rustiadi A, Prihatini W. 2015. Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) dan mangsa potensialnya di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 236-241. Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah habitat potensial macan tutul Jawa (Panthera pardus melas), satwa endemik Jawa. Sampai saat ini informasi pasti tentang populasi P.p. melas di TNGGP tidak tersedia, karena minimnya penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk memantau keberadaan, frekuensi perjumpaan, pola penggunaan waktu, dan sebaran macan tutul Jawa, serta mangsa potensialnya di kawasan Bodogol TNGGP. Pengumpulan data menggunakan metode camera trap. Analisis data dilakukan untuk mengidentifikasi individu macan tutul Jawa dan mangsa potensialnya, tingkat perjumpaan, dan dugaan sebarannya. Hasil penelitian menjumpai dua individu macan tutul Jawa, dengan tingkat perjumpaan (Encountered Rate/ER) 1,61 foto/100 hari. Mangsa potensial yang dijumpai di lokasi, yaitu Sus scrofa, Paradoxurus hermaphroditus, Gallus gallus, Tragulus javanicus, dan Tupaia montana. Pola waktu macan tutul Jawa tidak dapat dianalisis, karena perolehan foto tidak memadai. Perjumpaan macan tutul Jawa di blok Afrika dan Sigareng, diduga terkait dengan kelimpahan satwa mangsa, dan sumber air. Sebaran macan tutul Jawa di Bodogol lebih terkonsentrasi pada daerah punggung gunung, karena mudah bergerak, dan banyak dijumpai mangsa potensial. Pembinaan habitat macan tutul Jawa di Bodogol disarankan berupa pengelolaan mangsa, sumber air, dan tutupan habitat; melalui penanaman pohon pakan bagi mangsa, pengawasan perburuan liar, dan patroli hutan. Kata kunci: Bodogol, camera trap, Panthera pardus melas, perjumpaan
Abstract. Rustiadi A, Prihatini W. 2015. Javan leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) and its potential preys in Bodogol, Mt. Gede Pangrango National Park. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 236-241. Mt. Gede Pangrango National Park (GPNP) is a potential habitat for Javan leopard (Panthera pardus melas), an endemic species in Java. Information about P. p. melas population in Mt. Gede Pangrango National Park is very limited due to lack of related studies. This research was conducted in March to May 2014 in Bodogol area of Mt. Gede Pangrango National Park, to monitor the presence, frequency of encounter, time pattern, distribution and potential preys of the Javan leopard. Camera trap method was used for data collection at five locations in Bodogol (Afrika, Pasir Buntung, Gombong Koneng, Katel, and Sigareng) based on previous signs of the leopard’s presence. Data were analyzed to identify the leopard individuals of and its potential preys, frequency of encounter and its distribution in Bodogol. The camera traps were located in the lower part of mountain secondary forest with high varieties of vegetation. This research resulted in 184 images in 124 day trap nights. Two individuals were camera-trapped in Bodogol (ER= 1.61 photographs/100 days). Potential preys encountered were Sus scrofa, Paradoxurus hermaphroditus, Gallus gallus, Tragulus javanicus, and Tupaia montana. Time pattern of the leopard could not be analyzed, because of inadequate images. Time pattern of potential preys was 58% diurnal and 42% nocturnal. The leopard individuals encountered at Afrika and Sigareng location, were assumed to be associated with abundant preys and water sources. Dense forest with open transition areas was preferred by P. p. melas to stalk their preys. Distribution of Javan leopard in Bodogol was concentrated on the mountain ridge, since it allows easier movements and has abundant potential preys. To preserve the leopard’s habitat, the author recommends that management of preys, water source, and habitat cover should be implemented through improvement of plants eaten by the leopard’s preys, poaching control, and forest patrol. Keyword: Bodogol, camera trap, encountered, Panthera pardus melas
PENDAHULUAN Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) merupakan jenis kucing besar endemik di Jawa (Ario 2010). Pada ekosistem Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP), macan tutul menempati puncak rantai makanan. Status P.p. melas termasuk critically endangered (kritis) oleh IUCN tahun 2007, dan tercantum dalam Appendix 1 CITES tahun 2001. Satwa ini dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No. 7/1999, Undang-Undang No. 5/1990, dan
RUSTIADI & PRIHATINI – Panthera pardus melas di Bodogol, TN Gunung Gede Pangrango
SK Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970 (Ario 2010). Hingga saat ini pendugaan populasi P.p. melas di pulau Jawa hanya didasarkan pada asumsi kepadatan jenis di wilayah tertentu, belum berupa data akurat. Berdasarkan perkiraan sisa luas hutan alam di Jawa 327.733,03 ha, populasi P.p. melas pada tahun 2010 berkisar 491,3-546,2 individu, tersebar di kawasan taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, dan taman hutan raya (Ario 2010). Hasil survei Conservation International tahun 2009 dengan metode camera trap, kepadatan macan tutul Jawa di TNGGP diduga 1 individu per 7,7 km2 (Ario 2009). Faktor yang mengancam populasi satwa ini antara lain penurunan luas habitat alami, dan populasi mangsanya, serta maraknya perburuan liar. Minimnya penelitian menyebabkan tidak ada data pasti populasi P.p. melas di TNGGP. Hal ini sangat disayangkan mengingat satwa ini endemik di Jawa, dan menempati puncak piramida makanan yang memengaruhi keseimbangan ekosistem. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan monitoring untuk mengetahui keberadaan, dan perjumpaan P.p. melas maupun jenis-jenis satwa mangsa potensial di kawasan TNGGP.
B
A
237
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2014 dengan metode camera trap, berlokasi di kawasan Bodogol TNGGP (Gambar 1). Lokasi penempatan kamera didasarkan pada hasil survei sebelumnya, dan tanda-tanda keberadaan P.p. melas, antara lain feses, tapak kaki, dan bekas cakaran di pohon (Gambar 2). Cara kerja Penelitian menggunakan 5 kamera, yang ditempatkan di blok Afrika, Pasir Buntung, Gombong Koneng, Sigareng, dan Katel. Obyek penelitian yaitu P.p. melas, dan berbagai jenis satwa yang berpotensi sebagai mangsanya, yang tertangkap kamera selama waktu pengamatan. Kamera dipasang pada batang pohon yang relatif lurus, pada ketinggian 40-45 cm dari permukaan tanah. Muka kamera diarahkan ke jalur lintasan satwa dengan jarak dua meter, agar diperoleh gambar tampak samping secara utuh. Diatur tanggal, waktu, mode perekaman (foto/video), resolusi foto/video, lama waktu, dan interval perekaman pada tiap kamera. Kamera diletakkan dalam bingkai besi, dengan tali pengikat dan rantai pengaman (Karanth et al. 2011).
D EC
Gambar 1. Lokasi penelitian monitoring macan tutul Jawa di kawasan Bodogol, TNGGP. A. Afrika, B. Pasir Buntung, C. Katel, D. Bojong Koneng, E. Sigareng.
238
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 236-241, April 2015
Pengumpulan data berlangsung 100 hari, dan kamera menyala aktif 24 jam terus menerus. Pengecekan kamera dilakukan setiap 30 hari, untuk mengganti baterai dan kartu memori. Analisis data Identifikasi individu macan tutul Individu macan tutul diidentifikasi berdasarkan pola corak tutul, jenis kelamin, ciri morfologi, dimensi tubuh, dan tanda-tanda spesifik individu (Ario 2009). Tingkat perjumpaan macan tutul Jawa dan mangsa potensialnya Tingkat perjumpaan (encounter rate, ER) P.p. melas dan mangsanya dihitung dari total jumlah foto, dibagi total hari kamera aktif, dikali 100 (jumlah foto per 100 hari). Angka 100 hari pada nilai ER adalah untuk menyamakan waktu satuan usaha (O’Brien et al. 2003). Rumus penghitungan ER, yaitu:
ER : Tingkat perjumpaan Σf : Jumlah total foto yang diperoleh Σd : Jumlah total hari operasi kamera HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi habitat di kawasan Bodogol Lokasi penempatan kamera adalah hutan sekunder pegunungan bawah, dengan struktur dan komposisi vegetasi relatif sama. Di sekitar kamera terdapat banyak tanda keberadaan macan tutul Jawa dan mangsanya, seperti jejak, feses, dan bekas cakaran di pohon. Pepohonan yang mendominasi di lokasi kamera yaitu rasamala (Altingia excellsa), puspa (Schima wallichii), dan pohon afrika (Maesopsis eminii), dengan sebaran hampir merata. Daun dan buah pepohonan tersebut banyak dikonsumsi oleh lutung, monyet ekor panjang, surili, dan owa Jawa (Wawandono dan Rismayani 2011). Pohon afrika adalah tumbuhan eksotik invasif yang berbuah sepanjang tahun, dengan tajuk relatif sedang. Persebarannya cepat, karena bijinya terbawa bersama feses primata. Pohon afrika adalah komoditas kayu yang sengaja diintroduksi ke Bodogol oleh Perum Perhutani, untuk tujuan produksi. Tumbuhan bawah pohon afrika didominasi oleh tepus (Amomum coccineum). Bagian batang bawah dan rimpang tepus disukai oleh babi hutan (Wawandono dan Rismayani 2011). Perolehan foto camera trap Jumlah total foto yang didapat yaitu 184 foto, dari total trap night 124 hari. Jumlah foto terbanyak didapat dari blok Pasir Buntung (84 foto), kemudian blok Afrika (66 foto), Sigareng (16 foto), Katel (13 foto), dan Gombog
Koneng (5 foto). Foto macan tutul Jawa hanya diperoleh dari blok Afrika dan Sigareng (Gambar 3). Perjumpaan P.p. melas di blok ini diduga terkait erat dengan kesesuaian habitat, yaitu keragaman mangsa potensial, dekat dengan sumber air, dan vegetasi yang relatif rapat. Di dekat lokasi terdapat sungai Cisuren, Cikaweni, dan Cipadaranten yang berjarak 250-500 meter, dan mengalir sepanjang tahun. P.p. melas dan satwa mangsa potensial diduga sering memanfaatkan sungai ini untuk minum, berendam, dan berkubang. Pepohonan di blok Afrika dan Sigareng tidak terlalu rapat, namun tumbuhan bawahnya cukup rapat. Tumbuhan semak di blok ini didominasi palem-paleman, dan secara keseluruhan struktur vegetasi ini disukai P.p. melas karena memudahkan mengintai mangsa (Ario 2009). Macan tutul lebih menyukai berburu di habitat yang mudah menangkap mangsa, dibandingkan habitat dengan mangsa berlimpah. Ketertangkapan (catchability) mangsa tidak selalu sejalan dengan kerapatan tutupan (cover) habitat. Peluang keberhasilan pemangsaan lebih besar di area dengan cover sedang, dan tipe habitat ini lebih disukai untuk berburu. Rendahnya keterdeteksian mangsa di area vegetasi rapat, merupakan faktor utama penghambat pemangsaan oleh macan tutul (Balme et al. 2007). Penelitian ini mendapatkan 2 foto P.p. melas, 86 foto babi hutan (Sus scrofa), 5 foto kancil (Tragulus javanicus), 14 foto musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), 8 foto ayam hutan (Gallus gallus), 1 foto tupai gunung (Tupaia montana), 10 foto kucing hutan (Prionailurus bengalensis), 19 foto aktivitas manusia, dan 39 foto nondetection (Gambar 4). Individu macan tutul Jawa yang tertangkap kamera adalah macan tutul melanisme (dikenal sebagai macan kumbang) (Gambar 5). Babi hutan dan musang luwak menunjukkan frekuensi perjumpaan tertinggi, sehingga berpotensi sebagai mangsa utama P.p. melas di Bodogol. Beberapa jenis satwa yang disukai P.p. melas, yaitu surili (Presbytis comata), lutung (Trachypithecus auratus), babi hutan (Sus scrofa), mencek (Muntiacus muntjak), trenggiling (Manis javanica), dan landak Jawa (Histrix brachyura) (Harahap dan Sakaguchi 2003). Babi hutan sangat potensial sebagai mangsa utama P.p. melas di Bodogol, sementara musang luwak dan ayam hutan sebagai mangsa alternatif. Pemangsa dapat memiliki preferensi pada satu jenis mangsa, namun jika populasi mangsa tersebut rendah, dan ada populasi satwa lain yang lebih besar, pemangsa dapat beralih ke mangsa alternatif (Linkie et al. 2008). Tingkat perjumpaan P.p. melas dan mangsanya Tingkat perjumpaan P.p. melas di Bodogol memiliki nilai ER 1,6 foto/100 hari. Nilai ER mangsa potensial, yaitu babi hutan 69,35 foto/100 hari, musang luwak 11,29 foto/100 hari, ayam hutan 6,45 foto/100 hari, kancil 4,03 foto/100 hari, dan tupai gunung 0,4 foto/100 hari. Meskipun frekuensi perjumpaan babi hutan tinggi, namun tidak terkait dengan frekuensi P.p. melas. Kemunculan mangsa tidak selalu sejalan dengan kemunculan P.p. melas, karena mereka tidak makan setiap waktu, dan jarang muncul untuk berburu. Interval rata-rata
RUSTIADI & PRIHATINI – Panthera pardus melas di Bodogol, TN Gunung Gede Pangrango
A
B
Gambar 2. Tanda keberadaan macan tutul Jawa: A. kotoran; B. Cakaran.
84
8
4 66
6
6
13
16
1
3
239
5
5
Gambar 3. Perolehan foto pada lima lokasi camera trap di Bodogol
Gambar 4. Komposisi jumlah foto satwa tertangkap camera trap di Bodogol
6
1
240
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 236-241, April 2015
A
B
Gambar 5. Macan tutul Jawa tertangkap kamera di Bodogol: A. Blok Afrika; B. Blok Sigareng (Dokumentasi pribadi 2014).
pemangsaan oleh macan tutul berkisar 7-13 hari (Gunawan dan Alikodra 2013). Nilai ER tinggi babi hutan disebabkan oleh hasil foto berurutan dari satu individu, pada satu ulangan, dalam waktu kurang dari 1 jam. Foto didapat dari pergerakan berurutan babi hutan yang tertangkap kamera. Pola waktu aktivitas harian P.p. melas dan mangsanya Pola waktu harian dianalisis berdasarkan waktu foto (metadata) yang dikelompokkan dalam dua pola waktu, diurnal (06.00-18.00 WIB), dan nokturnal (18.00-06.00 WIB). Analisis pola waktu dari hasil camera trap mensyaratkan minimal tersedia 5 foto (Laidlaw dan Noordin 1998), sehingga pola waktu P.p. melas pada penelitian ini tidak dapat dianalisis, karena hanya mendapat dua foto. Analisis pola waktu harian satwa mangsa menunjukkan aktivitas pola lebih banyak diurnal (58%). Pemanfaatan habitat oleh P.p. melas dan mangsanya Tanda-tanda keberadaan P.p. melas di Bodogol umumnya dijumpai di area punggung gunung, seperti blok Gombong Koneng, Sigareng, Katel, Afrika, Cikaweni dan Pasir Buntung. Hasil penelitian ini memperkuat informasi tersebut, yaitu sebarannya lebih terkonsentrasi di daerah punggung gunung. Di Jawa Tengah, P.p. melas lebih banyak ditemukan di kawasan hutan pinus dibandingkan hutan jati, atau tipe hutan lain. Umumnya habitat P.p. melas di hutan pinus terletak pada ketinggian lebih dari 500 m dpl. dan topografinya curam sampai sangat curam. Pada lokasi dijumpainya P.p. melas umumnya terdapat satwa mangsa berupa primata, dan ungulata, serta tersedia air sepanjang tahun (Gunawan et al. 2012). Kondisi di Jawa Tengah tersebut mirip dengan kondisi punggung gunung di Bodogol, khususnya blok Afrika dan Sigareng, tempat diperolehnya foto P.p. melas hasil camera trap. Pada tiga blok lainnya tidak terjadi perjumpaan P.p. melas. Hal ini diduga dipengaruhi oleh lokasi yang dekat dengan area Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB). Aktivitas di PPKAB memengaruhi perjumpaan P.p. melas, karena mereka sensitif terhadap manusia.
Beberapa foto menunjukkan aktivitas perburuan babi hutan di sekitar lokasi kamera, yang dapat mengancam populasi mangsa potensial P.p. melas ini di Bodogol. Jika tidak serius ditangani, satwa endemik ini dapat punah, menyusul kepunahan harimau Jawa (P.p.sondaica) sejak tahun 1972 (Gunawan dan Alikodra 2013). Karnivora dapat merubah struktur trofik dan keragaman hayati melalui fenomena top-down control (Elmhagen dan Rushton 2007). Karnivora besar dimanfaatkan sebagai “spesies payung” ketika mempersiapkan suatu kawasan konservasi. Karnivora besar membutuhkan ruang luas; dengan melindungi mereka otomatis akan melindungi habitat berbagai spesies lain (Balme et al. 2009). Hilangnya habitat dan berkurangnya satwa mangsa akibat aktivitas manusia, menjadi faktor penting yang mengancam populasi macan tutul. Peningkatan populasi manusia diikuti peningkatan kebutuhan akan sumber daya, antara lain wilayah luas, dapat mengarah pada konflik manusia dan karnivora. Penurunan populasi karnivora besar dalam kawasan lindung, umumnya akibat kematian saat karnivora melewati perbatasan kawasan lindung. Area perbatasan kawasan lindung bertindak sebagai population sink yang menyebabkan penurunan populasi karnivora, ketika imigrasi dan reproduksi karnivora di wilayah perbatasan tidak dapat menyeimbangkan angka kematian (Loveridge et al. 2007). Luas daerah jelajah macan tutul jantan yaitu 6-63 km2, sedangkan macan tutul betina 6-13 km2 (Gunawan dan Alikodra 2013). Mengacu pada informasi ini, lokasi ditemukannya P.p. melas di Bodogol memiliki luas memadai untuk daerah jelajahnya. Guna mempertahankan kondisi ini, pengelola TNGGP perlu melakukan manajemen habitat secara baik dan berkelanjutan, mencakup pengelolaan mangsa, sumber air, dan cover habitat. Disarankan penanaman jenis pohon pakan yang disukai satwa mangsa P.p. melas, pengendalian perburuan liar, pembatasan aktivitas di PPKAB, dan patroli hutan yang lebih intensif.
RUSTIADI & PRIHATINI – Panthera pardus melas di Bodogol, TN Gunung Gede Pangrango
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada pimpinan dan staf Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat untuk fasilitas selama pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Ario A. 2009. Protection and monitoring of the endangered species of Javan leopard (Panthera pardus melas) in Mt. Gede Pangrango National Park, West Java, Indonesia. Conservation International Indonesia, Jakarta. Ario A. 2010. Panduan lapangan kucing-kucing liar Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Balme GA, Hunter LTB, Slotow R. 2007. Feeding habitat selection by hunting leopards Panthera pardus in a woodland savanna: prey catchability versus abundance. Animal Behaviour 74: 589-598. Balme GA, Hunter LTB, Slotow R. 2009. Evaluating methods for counting cryptic carnivores. J Wildlife Manag. 73:433-441. Elmhagen B, Rushton SP. 2007. Trophic control of mesopredators in terrestrial ecosystems: top-down or bottom-up? Ecol Lett 10: 197206. Gunawan H, Alikodra HS. 2013. Bio-ekologi dan konservasi karnivora spesies kunci yang terancam punah. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Balitbanghut Kementerian Kehutanan. Bogor. 96-135.
241
Gunawan H, Prasetyo LB, Mardiastuti A, Kartono AP. 2012. Habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) di lansekap hutan tanaman pinus. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (1): 49-67. Harahap SA, Sakaguchi N. 2003. Monitoring Research on the Javan Leopard (Panthera pardus melas) in a Tropical Forest, Gunung Halimun National Park, West Java in Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia. Volume XI. Biodiversity Conservation Project. Bogor. 26. Karanth KU, O’Connell AF, Nichols JD. 2011. Camera trap in animal ecology: methods and analysis. Springer Tokyo Dordrecht Heidelberg London New York. Laidlaw R, Noordin WAW. 1998. Activity patterns of the Indochinese tiger (Panthera tigris corbetti) and prey species in Peninsular Malaysia. Wildlife and Park 16:85-96 Linkie M, Haidir IA, Nugraha A, Dinata Y. 2008. Conserving tigers Panthera tigris in selectively logged Sumatran forests. Biol Conserv 141: 2410-2415. Loveridge A, Searle A, Murindagomo F, MacDonald D. 2007.The impact of sport-hunting on the population dynamics of an African lion population in a protected area. Biol Conserv 134:548-558. O’Brien TG, Kinnaird MF, WibisonoHT. 2003. Crouching tigers, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Anim Conserv 6:131-139. Wawandono NB, Rismayani R. 2011. Pembinaan habitat owa Jawa Hylobates moloch (Audebert, 1798) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dalam: Anton A (Penyunting) Kumpulan hasil penelitian owa Jawa di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango periode 2000-2010. Conservation International Indonesia, Jakarta. 6869.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 242-246
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010212
Biodiversitas berbasiskan agroforestry Biodiversity based on agroforestry NURHENI WIJAYANTO♥, ADISTI PERMATASARI PUTRI HARTOYO Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor16680, Jawa Barat. Tel./Fax.: +62-251-8626806/+62-251-8626886. ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 29 Januari 2015.
Abstrak. Wijayanto N, Hartoyo APP. 2015. Biodiversitas berbasiskan agroforestry. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 242-246. Agroforestry telah banyak dipraktekkan oleh masyarakat kita dan memiliki banyak nama lokal. Keunggulannya meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Biodversitas di dalam agroforestry tersebut penting untuk dikaji komponen jenis tanaman maupun manfaatnya. Repong damar di Krui Lampung dan kebun campuran di Jawa Barat, merupakan dua bentuk agroforestry yang menarik untuk dikaji, khususnya komponen jenis tanaman di dalamnya dan manfaatnya bagi kehidupan. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan petani, pembuatan petak ukur, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman di Repong Damar didominasi oleh pohon damar mata kucing (Shorea javanica), sedangkan kebun campuran di Jawa Barat didominasi oleh pohon buahbuahan manggis (Garcinia mangostana). Pohon damar mata kucing dengan produk utamanya getah damar mata kucing, sedangkan pohon manggis dengan produk utamanya buah manggis. Kedua produk yang dihasilkan dari agroforestry ini merupakan komoditas ekspor yang penting. Penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat petani agroforestry kita telah menerapkan biodiversitas dalam sistem penggunaan lahan mereka, dan juga menghasilkan produk-produk unggulan bernilai ekspor. Produk-produk tersebut berpotensi memiliki nilai tambah yang lebih tinggi jika diolah lebih lanjut di dalam negeri sebelum diekspor. Kata kunci: Agroforestri, biodiversitas, kebun campuran, manggis, repong damar
Abstract. Wijayanto N, Hartoyo APP. 2015. Biodiversity based on agroforestry. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 242-246. Agroforestry has been widely practiced by our society and has many local names. The advantages of agroforestry include aspects in ecology, economic, social and culture. Biodiversity in agroforestry is important to be studied regarding the components and benefits of the species. Repong damar in Krui, Lampung and mixed farms (kebun campuran) in West Java, are two forms of agroforestry, which are interesting to study, in particular, the components of plant species and its benefits for life. Data were collected from interviews with farmers, the observation plots, and literature study. The results showed that repong damar in Lampung is dominated by damar trees (Shorea javanica), while mixed farms in West Java is dominated by mangosteen trees (Garcinia mangostana). The damar trees primarily yield a valuable product of resin, known as damar mata kucing, while mangosteen trees are mainly harvested for their fruits. Both products produced from the agroforestry are important export commodities. This study concludes that agroforestry farming communities have implemented a system of biodiversity in their land use, and have also produced superior products for export. These products could potentially have higher added value if processed further in the country before being exported. Keywords: Agroforestry, biodiversity, mixed farms, mangosteen, repong damar
PENDAHULUAN Agroforestry telah dipraktekan selama bertahun-tahun oleh para petani Indonesia. Salah satu bentuk agroforestry dikenal dengan nama “agroforest”. Agroforest adalah suatu istilah yang dipakai untuk menekankan interaksi yang erat antara komponen-komponen pertanian dengan kehutanan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam. Contoh sistem ini antara lain sebagai repong damar di Krui Lampung Barat dan kebun campuran di Jawa Barat. Repong damar (RD) dan kebun campuran (KC) dapat menjadi contoh strategi pembangunan hutan yang menerapkan sistem suksesi yang dikelola dan memfasilitasi terwujudnya keragaman hayati (biodiversitas) dalam bentang alam pertanian. Kedua sistem ini menghasilkan
produk yang beragam. Produk-produk yang dihasilkannya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, pasar dalam negeri, maupun diekspor. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji komponen jenis tanaman di dalam repong damar dan kebun campuran, serta manfaatnya bagi kehidupan. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian ini adalah repong damar dan kebun campuran. Lokasi penelitian di kawasan pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung dan Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1).
WIJAYANTO & HARTOYO – Biodiversitas berbasiskan agroforestry
243
A B
A
B
Gambar 1. Lokasi penelitian: A. Kawasan pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, B. Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat.
Cara kerja Pengumpulan data repong damar dan kebun campuran dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan/atau alat kuesioner terhadap responden. Responden ditentukan dengan cara mengambil contoh dari rumah tangga yang melaksanakan usaha repong damar dan usaha kebun campuran. Jumlah responden pengelola repong damar sebanyak 30 (tiga puluh) yang tersebar di empat desa: Desa Pahmungan (Kecamatan Pesisir Tengah), Desa Panengahan (Kecamatan Karya Penggawa), Desa Malaya (Kecamatan Lemong), dan Desa Negri Ratu Ngaras (Kecamatan Bengkunat) semuanya terletak di kawasan pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Sedangkan jumlah responden untuk pengelola kebun campuran sebanyak 35 (tiga puluh lima), berasal dari Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Data yang dikumpulkan meliputi aspek ekologi, ekonomi-bisnis, dan sosial-budaya. Stratifikasi kepemilikan lahan masyarakat desa yang
dijadikan di KC contoh terbagi menjadi 3 strata yaitu: (i) Strata I: rumah tangga dengan penguasaan lahan lebih dari 1 hektar. (ii) Strata II: rumah tangga dengan penguasaan lahan lebih dari 0,5 hektar. (iii) Strata III: rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,25-0,5 hektar. (iv) Strata IV: rumah tangga dengan penguasaan lahan kurang dari 0,25 hektar. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (i) Teknik observasi, yaitu melihat secara langsung kehidupan rumah tangga masyarakat pada umumnya dan responden pada khususnya, mengamati keberadaan lahan kebun campuran dan kegiatan sehari-hari petani dalam mengelola lahannya. (ii) Teknik wawancara, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dengan mengadakan tanya jawab secara langsung kepada responden. Dalam proses wawancara ini peneliti dibantu dengan kuesioner. (iii) Studi pustaka, yaitu mengumpulkan data dengan cara mempelajari literatur, laporan, skripsi penelitian dan prosiding yang berhubungan
244
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 242-246, April 2015
dengan pengelolaan kebun campuran. Jenis data yang dikumpulkan adalah: Data primer responden meliputi: (i) Data umum rumah tangga, yakni nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan dan mata pencaharian. (ii) Data potensi ekonomi rumah tangga, yakni pemilikan lahan, luas lahan milik, penguasaan lahan dan ternak. (iii) Usaha tani , yakni jenis-jenis tanaman dan pola tanam. (iv) Pengelolaan kebun campuran dan agroforest, terdiri atas input-input produksi, pemilihan jenis, tenaga kerja, pengolahan tanah, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit dan pemanenan. Data sekunder meliputi: (i) Letak dan luas, keadaan geografis dan sosial ekonomi desa pada lahan KCP dan ARD. (ii) Keadaan masyarakat: jumlah masyarakat, mata pencaharian secara umum, tata guna lahan, potensi pertanian dan data lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Analisis data Mencari hubungan variabel-variabel yang terkait dengan sistem pengelolaan sistem Agroforestri kebun campuran dan repong damar, jenis-jenis tanaman yang ditanam dan produk utamanya yang kemudian dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan repong damar , Krui Lampung Dari aspek teknis budidaya, tahap-tahap penanaman tanaman produktif (mulai dari tanaman subsisten sampai tanaman tua) berikut perawatannya, disengaja atau tidak disengaja oleh petani, ternyata berlangsung dalam kondisi ekologis yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain (Lensari 2011). Menurut Michon et al. (1998) menjelaskan bahwa secara ekologis fase perkembangan repong damar menyerupai tahapan suksesi hutan alam dengan segala keuntungan ekologisnya, seperti perlindungan tanah, evolusi iklim mikro, dan lain sebagainya. Dari segi teknis budidaya, tahap-tahap penanaman tanaman produktif, mulai dari tanaman subsisten sampai tanaman tua yang mana perawatannya disengaja atau tidak oleh petani yang berlangsung dalam kondisi ekologis yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga proses-proses produksi yang terkait dalam seluruh tahapan pengembangan repong damar bisa membuahkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Menurut Lubis (1997) menyatakan bahwa tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Krui secara garis besar dapat dibedakan atas tiga fase produktif yang ketiganya berlangsung di ruang fisik yang sama, namun berada pada ruang yang berbeda dalam perspektif kognitif masyarakat Krui. Ketiga fase tersebut adalah: (i) Fase Dakhak (ladang) adalah fase ketika lahan siap tanam mulai ditanami dengan tanaman-tanaman subsistensi, seperti padi dan palawija. (ii) Fase Kebun adalah fase bagi tanaman muda (annual crop) yang mana berkebun merupakan alasan utama dalam pengambilan keputusan untuk membuka lahan hutan. (iii) Fase Repong
dimana masyarakat Krui mulai menanamkan lahan pertaniannya dengan repong apabila keragaman jenis tanaman yang tumbuh di dalamnya sudah terpenuhi, yang pada umumnya mulai didominasi oleh tanaman keras. Pengelolaan kebun campuran Jawa Barat Kebun campuran yang terdapat di Purwakarta merupakan kebun campuran tradisional yang dikelola secara turun temurun dengan kegiatan pengelolaan yang masih sederhana. Kegiatan yang dilakukan petani dalam mengelola kebun campuran meliputi pengolahan tanah dan pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit, pemanenan dan pemasaran hasil. Pengolahan tanah dan pengadaan bibit Pengolahan tanah dilakukan secara tradisional baik oerorangan maupun kelompok. Kegiatan pengolahan tanah yang dilakukan yaitu penyiangan dan pendangiran. Penyiangan dilakukan dengan cara membersihkan rumputrumput pengganggu yang menutup permukaan tanah, kemudian dilakukan pendangiran yaitu mencangkul tanah (membolak-balik tanah) agar sirkulasi udara dalam tanah berlangsung dengan baik sehingga tanah diharapkan mejadi gembur. Pengolahan tanah pada lahan kebun campuran yang telah rapat dengan pepohonan tidak dilakukan karena ruang diantara pepohonan telah rindang sehingga tidak dapat ditanami jenis tanaman budidaya lainnya. Pengadaan bibit yang dibutuhkan saat ini sebagian besar berasal dari kebun campuran yang ada di desa tersebut. Bibit yang diperoleh oleh pemilik kebun yang akan ditanam di kebunnya. Pemerintah turut membantu para petani dalam hal pengadaan bibit, terbukti dari adanya pembagian bibit-bibit tanaman yaitu pada tahun 1950an pemerintah memberikan bantuan bibit Sengon. Penanaman Secara umum tanaman kebun campuran di Desa Babakan ditanam secara tidak beraturan. Informasi mengenai kegiatan penanaman pertama saat kebun campuran tersebut dibangun tidak dapat diketahui dengan jelas. Informasi yang diperoleh sebagian besar hanya berkaitan dengan kegiatan penanaman yang dilakukan oleh pewaris kebun. Penanaman tanaman pertanian seperti teh dan kapolaga dilakukan pada lahan kebun campuran yang masih terbuka. Penanaman pisang dan singkong dilakukan di sela-sela pepohonan yang tajuknya belum rindang. Penanaman tanaman buah-buahan seperti manggis, duku, rambutan, duren, alpukat dan nangka dan tanaman pertanian seperti pisang, cabe rawit, talas dan ubi jalar ditanam pada lahan yang kosong secara tidak beraturan. Tanaman yang digunakan sebagai tanaman pagar biasanya adalah kelapa, hanjuang dan kopi, selain buahnya juga diambil untuk dijual. Pemeliharaan Tanaman yang biasanya diberi pupuk adalah teh, cengkeh, pisang, kapol, kelapa, melinjo, manggis dan pala. Pupuk yang diberikan adalah pupuk kandang atau pupuk urea. Kegiatan pemupukan tidak dilakukan oleh semua responden hanya 45,71% karena sebagian petani
WIJAYANTO & HARTOYO – Biodiversitas berbasiskan agroforestry
beranggapan bahwa kebun mereka memiliki kondisi tanah yang subur dan pembusukan serasah-serasah daun yang berjatuhan sudah cukup untuk memberikan tambahan hara. Pengendalian hama dan penyakit Hama yang menyerang tanaman teh adalah ulat daun. Ulat penghisap menyebabkan daun teh kering dan menggulung. Tanaman pisang diserang oleh ulat gulung yang menyebabkan daunnya sobek-sobek. Penanggulangan ulat tersebut adalah dengan cara menyemprot tanaman dengan insektisida. Ulat buah biasanya menyerang tanaman petai, jengkol dan alpukat. Hama yang menyerang tanaman cengkeh, duren, jengkol dan sengon adalah penggerek batang yaitu uter-uter. Hama tersebut menyerang kulit batang pohon. Petani Desa Babakan memberantas hama ini dengan cara menguliti kulit batang pohon yang terkena hama kemudian mengolesinya dengan tembakau atau disemprot dengan insektisida. Cara tradisional lain yang biasanya dilakukan petani adalah dengan cara melubangi bagian tanaman yang terkena hama, kemudian dipasak dengan kayu sampai sedalam mungkin agar hama tersebut mati. Pemanenan Pemanenan dilkaukan engan sistem tebang pilih dilakukan berdasarkan kepentingan ekonomi yang mendesak. Tebang habis dilakukan bila tanaman ditanam secara teratur pada suatu areal lahan. Tanaman yang biasanya digunakan sebagai bumbu dapur seperti lada, lengkuas dan sereh pemanenannya ditanam dalam jumlah kecil karena disesuaikan dengan kebutuhan. Tanaman buah-buahan yang waktu panennya setiap tahun yaitu nangka (Artocarpus heterophyllus), jambu air (Syzygium aqueum), kopi (Coffea robusta ), jengkol (Archidendron pauciflorum) dan petai (Parkia speiosa). Tanaman cabai dan teh dapat dipetik hasilnya dua kali dalam satu bulan. Pemasaran hasil Bentuk transaksi yang paling sering dijumpai adalah penjualan langsung ke tangan tengkulak. Penjualan langsung ke warung-warung dan tetangga dekat dilakukan untuk hasil-hasil yang dijual dalam jumlah kecil dengan tingkat harga yang disesuaikan dengan harga yang secara umum berlaku di lingkungannya. Para tengkulak biasanya datang langsung ke petani dan mencari hasil kebun campuran untuk dibeli. Petani menjual hasil kebunnya ke para tengkulak dengan sistem tebasan, kontrak atau gadean (Retnoningsih 2007). Jenis-jenis tanaman dan produk utamanya Repong damar Repong damar terdiri dari multistrata, hal ini disebabkan oleh adanya jenis tanaman yang beragam di dalamnya dan juga waktu penanaman yang secara teratur dilakukan oleh petani. Vegetasi RD terdiri atas: (i) Tajuk utama, umumnya didominasi oleh pohon damar yang produktif dan jenis-jenis pohon buah-buahan (durian, petai, dan mangga hutan) atau jenis kayu-kayuan (bayur, kelawi, medang, dll) yang tingginya mencapai 40 m. (ii) Tajuk bagian bawah, dengan beberapa jenis pohon buah-buahan (manggis, asam kandis, duku, rambutan, jambu air, pohon
245
asam, dan lain-lain) (Wijayanto 2001). Berdasarkan penelitian Lensari (2011) diketahui bahwa jenis damar (S. javanica) merupakan tanaman yang memiliki nilai Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi dibandingkan dengan jenis tanaman yang lainnya yaitu masing-masing sebesar 27,78%, 36,96% dan 85,58%. Pada penelitian Duryat (2006) yang dilaksanakan di wilayah Pesisir Krui (Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Tengah, dan Pesisir Selatan) menghasilkan INP tertinggi tingkat pohon juga pada jenis Damar yaitu mencapai 165,051%. Hal ini menunjukkan bahwa Damar merupakan jenis yang mendominasi dibandingkan dengan tanaman yang lainnya. Jenis tumbuhan lain yang memperkaya keanekaragaman tumbuhan adalah jenis-jenis tanaman buah-buahan tanaman seperti duku, durian, petai, jengkol, jambu bol, dan lain sebagainya. Produk damar yang utama adalah getah damar mata kucing. Damar mata kucing yakni damar yang warnanya jernih, mengkilap, dan bening seperti kaca. Karenanya damar jenis ini juga disebut damar kaca. Sebagai komoditas, damar telah memiliki nilai ekonomis yang tinggi jauh sebelum zaman penjajahan Belanda berlangsung di Indonesia, mengingat manfaatnya yang begitu besar. Damar banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan vernish, lak, tinta, cat, korek api, plastik, campuran karet, kotak radio, lilin, bahan isolator, obat-obatan, dan bahan peledak (de Foresta et al. 2000). Kebun campuran Hasil risalah pada 35 sampel kebun campuran tradisional ditemukan sebanyak 29 jenis tanaman buahbuahan, 24 jenis tanaman pertanian serta tidak kurang dari 24 jenis tanaman kehutanan yang pemanfaatan utamanya berupa kayu (Tabel 1). Tanaman kehutanan yang paling banyak ditanam oleh petani antara lain sengon, puspa dan suren, sedangkan tanaman buah-buahan yang banyak ditanam petani antara lain manggis, pala dan duren. Tanaman pertanian yang banyak ditanam oleh petani antara lain teh, pisang dan cengkeh. Petani dalam hal memilih jenis tanaman yang akan ditanam biasanya mempertimbangkan beberapa aspek antara lain aspek teknis pembudidayaan dan aspek ekonomis. Aspek teknis pembudidayaan seperti, tanaman tersebut mudah ditanam, mudah dipelihara dan tahan terhadap hama dan penyakit. Aspek ekonomis yaitu, tanaman tersebut dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan pemiliknya, usia produktif yang relatif pendek (3-6 tahun) serta periode panen yang juga pendek, sehingga dalam satu tahun dapat dilakukan pemanenan 3 sampai dengan 4 kali. Repong damar dan kebun campuran di atas terbukti menyediakan biodiversitas yang tinggi, berperan penting menggerakkan ekonomi-bisnis, dan menunjang terwujudnya stabilitas sosial budaya di pedesaan. Repong damar dan kebun campuran telah berkontribusi besar terhadap pendapatan total rumah tangga petani (>60%). Namun demikian, harus ada upaya lebih keras untuk meningkatkan perannya. Pembangunan industri pengolahan produk-produk agroforestry yang dihasilkannya diyakini mampu meningkatkan nilai tambah.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 242-246, April 2015
246
Tabel 1. Rata-rata jumlah jenis tanaman yang ditanam petani No. 1 2 3 4
Stratum I II III IV
Rata-rata Jenis Tanaman BuahKehutanan Pertanian buahan 6 7 7 5 10 9 7 6 6 5 6 6
Masyarakat petani agroforestry kita telah menerapkan biodiversitas dalam sistem penggunaan lahan mereka, dan juga menghasilkan produk-produk unggulan bernilai ekspor. Produk-produk tersebut berpotensi memiliki nilai tambah yang lebih tinggi jika diolah lebih lanjut di dalam negeri sebelum diekspor. Repong damar dan kebun campuran telah dikelola dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi-bisnis, dan sosial budaya. Kedua sistem agroforestry ini perannya perlu terus ditingkatkan, agar manfaat yang lebih besar dapat melekat. Teknologi tepat guna untuk mengolah produk-produk yang dihasilkannya harus terus dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA Duryat. 2006. Dimensi tegakan dan pengaruh peubah tempat tumbuh terhadap produksi damar mata kucing (Shorea javanica K&V) di Krui Lampung Barat. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lensari D. 2011. Kinerja pengelolaan Repong Damar ditinjau dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lubis Z. 1997. Repong Damar: Kajian tentang pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat. Working Paper No. 20. http://cgiar.org/cifor. [12 Januari 2011] Michon G, de Foresta H, Kusworo A, Levang P. 1998. The damar agroforest of Krui, Indonesia: Justice for Forest Farmers. In: Zerner C (ed). People, Plants and Justice. Columbia University Press, Columbia, USA. Retnoningsih I. 2007. Sistem pengelolaan kebun campuran kebun campuran dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wijayanto N. 2001. Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan (Studi kasus: Di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung). [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 247-253
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010213
Keanekaragaman Coccinelidae predator dan kutu daun (Aphididae spp.) pada ekosistem pertanaman cabai Diversity of Coccinelidae predators and aphids (Aphididae spp.) on chilli crop ecosystems NOVRI NELLY♥, YAHERWANDI, MUHAMAD SISKO EFFENDI Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Kampus Unand Limau Manis, Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-0751-727001, ♥email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 16 Desember 2014. Revisi disetujui: 12 Januari 2015.
Abstrak. Nelly N, Yaherwandi, Effendi MS. 2015. Keanekaragaman Coccinelidae predator dan kutu daun (Aphididae spp.) pada ekosistem pertanaman cabai. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 247-253. Pemanfaatan Coccinellidae predator sebagai agens pengendali hayati dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya tingkat keanekaragaman dan keberadaan mangsa. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari keanekaragaman Coccinellidae predator dan kutu daun (Aphididae spp.) sebagai mangsa pada ekosistem pertanaman cabai. Data keanekaragaman spesies dianalisis menggunakan indeks Shannon-Wiener dan kemerataan spesies dianalisis dengan indeks Simpson. Perbedaan tingkat keanekaragaman pada masing-masing lokasi penelitian ditentukan dengan program Primer versi 5 for Window. Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 10 spesies Coccinellidae predator dan enam spesies kutudaun. Spesies Coccinellidae predator yang paling melimpah adalah Menochilus sexmaculatus (Fabricius) (Coleoptera: Coccinellidae) sedangkan Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae) menjadi spesies kutu daun yang paling melimpah diantara enam spesies lainnya. Kata kunci: Aphididae, Coccinellidae, predator, keanekaragaman
Abstract. Nelly N, Yaherwandi, Effendi MS. 2015. Diversity of Coccinelidae predators and aphids (Aphididae spp.) on chilli crop ecosystems. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 247-253. Utilization of Coccinellidae predators as biological control was affected by many factors, including the level of diversity and the presence of prey. The purpose of this research was to know the diversity of Coccinellid predators and aphids as prey on chili crop agroecosystem. The data of species diversity were analyzed using ShannonWiener index and evenness of species were analyzed by Simpson index. The diversity level in differences location was studied with Primer program ver. 5.0 for Window. The results of this research were found 10 species Coccinellidae predators dan six species of aphids. The abundance of Coccinellid species predators was dominated by Menochilus sexmaculatus (Fabricius) (Coleoptera: Coccinellidae) while Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae) become the most abundant among six species of aphids. Keywords: Aphididae, Coccinellidae predator, biodiversity
PENDAHULUAN Keanekaragaman spesies merupakan salah satu tema utama dalam penelitian ekologi. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mempelajari bagaimana pengaruh perubahan kondisi lingkungan terhadap keanekaragaman spesies dan bagaimana keanekaragaman spesies mempengaruhi stabilitas komunitas alami. Pada saat ini sudah 1,5 juta spesies makhluk hidup yang dideskripsikan atau dikenali oleh ilmu pengetahuan, sedikitnya terdapat 751.000 spesies berasal dari kelompok serangga (Primack 1998). Coleoptera merupakan salah satu dari empat ordo serangga yang terbesar, tiga lainnya adalah Hymenoptera, Diptera dan Lepidoptera (Yaherwandi 2005). Menurut Borror et al. (1992) ordo Coleoptera adalah ordo yang terbesar dari serangga-serangga dan mengandung kira-kira 40% dari jenis yang terkenal dalam heksapoda. Lebih dari seperempat jenis kumbang sudah diuraikan dan kira-kira 30.000 kumbang-kumbang ini ada
di Amerika Serikat dan Kanada. Ada perbedaan pendapat diantara ahli entomologi mengenai sistem klasifikasi Coleoptera. Diuraikan oleh Arnett (1967) bahwa ordo Coleoptera terdiri dari 4 subordo, 14 superfamili dan 26 famili. Banyak jenis yang mempunyai kepentingan ekonomi yang besar salah satunya sebagai agens pengendali hayati hama tanaman pertanian karena sifatnya sebagai predator. Famili dari ordo Coleoptera yang berperan sebagai predator antara lain Coccinellidae, Shilphidae, Staphylinidae, Histeridae, Lampyridae, Cleridae, Cantharidae, Meloidae, Cincindelidae, Carabidae, Dysticidae, Hydrophilidae dan Gyrinidae (New 1991). Coccinellidae dan Carabidae dipandang sebagai agensia pengendali hayati penting serangga hama tanaman. Hal ini cukup beralasan jika dilihat dari sejarah pemanfaatannya sebagai agens pengendali hayati. Pada tahun 1980 Indonesia pernah mendatangkan sejenis kumbang lembing Curinus caeruleus (Mulsant) (Coleoptera: Coccinellidae) dari Amerika Selatan untuk mengendalikan hama kutu
248
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 247-253, April 2015
loncat Heteropsyla cubana (Sulc) (Hemiptera: Psyllidae) yang menjadi hama lamtorogung (Funasaki et al. 1990). Dari berbagai laporan diketahui bahwa Coccinellidae yang bersifat sebagai predator berjumlah 6000 spesies dan tersebar di seluruh belahan dunia pada berbagai habitat (Vandenberg 2009). Menurut Yaherwandi (2005) penyebab tingginya tingkat keanekaragaman Coccinellidae predator pada suatu habitat ditentukan oleh berbagai faktor seperti bioekologi, kondisi lingkungan dan pengelolaan ekosistem. Ditambahkan oleh Hamid (2009) bahwa keanekaragaman dan kelimpahan serangga secara umum pada suatu habitat tidak hanya ditentukan oleh kemampuan serangga tersebut untuk dapat hidup tetapi juga ditentukan oleh sumber daya yang tersedia, salah satunya adalah mangsa atau inang. Sebagian besar spesies Coccinellidae predator, baik stadium larva maupun dewasa memangsa seranggaserangga kecil yang berbadan lunak misalnya kutu daun (Aphididae spp.), kutu sisik (scale insect) dan telur serangga. Banyak peneliti melaporkan bahwa populasi predator terkait dengan populasi mangsa. Di lapangan keberadaan predator ini sangat dipengaruhi keberadaan mangsa (Nelly 2012, Nelly et al. 2012). Seperti juga yang diungkapkan oleh Dixon (2000) bahwa kelimpahan mangsa akan menarik minat predator untuk datang dan tinggal di tempat tersebut, kemudian diikuti dengan meningkatnya kemampuan predator dalam memangsa (Hildrew dan Townsend 1982). Ekosistem dan mangsa yang berbeda kemungkinan akan menyebabkan terdapatnya spesies Coccinellidae predator yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keanekaragaman Coccinellidae predator dan kutu daun (Aphididae spp.) sebagai mangsanya. Hal ini akan membantu dalam memahami interaksi yang terjadi dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi keanekaragaman Coccinellidae predator pada ekosistem pertanaman cabai. BAHAN DAN METODE Pengamatan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan spesies Coccinellidae predator dan kutu daun dilakukan untuk menggambarkan jumlah spesies dan kelimpahan serangga tersebut di ekosistem pertanaman cabai. Penelitian ini berbentuk survei yaitu melakukan pengamatan secara langsung dan koleksi dengan menggunakan alat penangkap seperti jaring ayun (sweep net) (Radiyanto et al. 2010). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Random Sampling. Pada masing-masing lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kota Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat (Gambar 1). Dipilih lima petak pertanaman cabai. Pada tiap petak pertanaman ditentukan petak sampel yang berukuran 1x1 m2 secara sistematis pada garis diagonal, sehingga didapatkan 5 petak sampel (Meidiwarman 2010). Pada satu petak sampel (1x1 m2) hanya ditentukan empat tanaman cabai sebagai objek pengamatan. Pengambilan sampel Coccinellidae predator dan kutu daun di lapangan dilakukan sebanyak tiga kali
pada lima petak pertanaman yang berbeda. Interval pengambilan sampel seminggu sekali, sehingga total petak pertanaman cabai sebagai tempat pengambilan sampel pada masing-masing lokasi adalah 15 petak. Sebagai data penunjang juga diamati umur tanaman cabai, jenis pestisida yang digunakan petani dan kondisi pertanaman lain di sekitar petak pengamatan. Pengambilan sampel Coccinellidae predator dan kutu daun Pada petak sampel yang sudah ditentukan dilakukan pengambilan sampel Coccinellidae predator dan kutu daun. Pengambilan sampel Coccinellidae predator dilakukan dengan dua metode. Pertama koleksi secara langsung (hand picking) yaitu menangkap dengan tangan setiap Coccinellidae predator yang ditemukan pada petak sampel (Zahoor et al. 2003). Metode yang kedua menggunakan jaring ayun (Sweep Sampling Method) yaitu mengoleksi Coccinellidae predator yang berada pada tajuk tanaman (Gadagkar et al. 1990). Jaring ayun berbentuk kerucut, mulut jaring terbentuk dari kawat berbentuk melingkar dengan diameter 30 cm, jaring tersebut terbuat dari kain kasa dan tangkai jaring dari kayu sepanjang 60 cm. Pengambilan sampel Coccinellidae predator dilakukan di setiap petak pertanaman dengan mengayunkan jaring ke kiri dan ke kanan secara bolak-balik sebanyak 20 kali sambil berjalan (Hendrival et al. 2011). Pengamatan keanekaragaman dan kelimpahan kutu daun dilakukan pada daun cabai muda sekitar 10 cm dari pucuk tanaman (Riyanto 2010). Pengamatan ini dilakukan karena kutu daun menyerang daun-daun yang masih muda dan kaya nitrogen (Bagwell dan Baldwin 2009; Chau et al. 2005). Pengambilan nimfa atau imago kutu daun hanya dilakukan dengan satu metode yakni koleksi langsung menangkap dengan tangan setiap kutu daun yang ditemukan pada petak sampel dengan mengikuti metode Slosser et al. (2002) dan Miao et al. (2007) karena kutu daun mobilitasnya sangat rendah. Coccinellidae predator dan kutu daun yang tertangkap disimpan dalam botol koleksi yang telah diisi dengan larutan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Bioekologi Serangga Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Identifikasi Coccinellidae predator dan kutu daun Identifikasi dilakukan dengan mengamati spesimen serangga. Identifikasi spesimen menggunakan ciri-ciri morfologi sayap, antena dan toraks. Spesimen Coccinellidae predator yang diperoleh di lapangan diidentifikasi sampai tingkat spesies menggunakan kunci identifikasi Khan (2006), Stephens dan Losey (2004) dan Kapur (1965). Kutu daun diidentifikasi sampai tingkat spesies berpedoman pada kunci identifikasi Miyaki (2009), Rice dan O’Neal (2008) serta Dreistadt (2007). Selain melakukan identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi, identifikasi juga dilakukan dengan mencocokkan spesimen dengan gambar dan keterangan dari Amir (2002). Coccinellidae predator dan kutu daun yang tidak teridentifikasi selanjutnya dikelompokkan ke dalam morfospesies (dianggap sebagai spesies) dan diberi kode.
NELLY et al. – Keanekaragaman Coccinelid predator dan kutu daun
249
A
B
C
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di yaitu (A) Kabupaten Limapuluh Kota, (B) Kabupaten Agam dan (C) Kota Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat
250
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 247-253, April 2015
Analisis data Data komposisi spesies dan jumlah individu Coccinellidae predator serta kutu daun digunakan untuk menganalisis keanekaragaman dan kemerataan. Ukuran keanekaragaman yang dipergunakan ialah nilai indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wienner dan indeks kemerataan Simpson menggunakan buku Magurran (1988). Semua hasil analisis tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan Coccinellidae predator Total jumlah Coccinellidae predator yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah 223 individu yang terdiri dari 10 spesies. Jumlah Coccinellidae predator yang dikumpulkan dari lokasi sampel Kabupaten Limapuluh Kota yaitu 49 individu yang terdiri dari 6 spesies, di Kabupaten Agam 88 individu yang terdiri dari 5 spesies dan di Kota Padang Panjang 87 individu yang terdiri dari 7 spesies (Tabel 1). Kelimpahan kutu daun (Aphididae spp.) Berdasarkan pengambilan sampel yang dilakukan pada tiga sentra produksi cabai di Sumatera Barat ditemukan sebanyak 3063 individu kutu daun yang terdiri dari 6 spesies. Spesies-spesies yang sudah diidentifiksi adalah Aphis craccivora (Koch) (Homoptera: Aphididae), Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae), Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) dan Myzus persicae (Sulz) (Homoptera: Aphididae) serta dua spesies yang belum teridentifikasi yang diberi kode Sp 1 dan Sp 2. Di Kota Padang Panjang dikoleksi sebanyak 1234 individu yang terdiri 6 spesies, di Kabupaten Agam 1118 individu yang terdiri dari 4 spesies dan di Kabupaten Limapuluh Kota 711 individu yang terdiri dari 4 spesies (Tabel 2). Jumlah spesies yang dikumpulkan ini lebih banyak jika dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan Rinaldi (2012) dimana pada pertanaman cabai dan kacang panjang di kota Padang hanya ditemukan sebanyak 2338 individu yang termasuk dalam 3 spesies. Indeks keanekaragaman indeks kemerataan dan kekayaan Coccinellidae predator Pada penelitian ini, nilai indeks keanekaragaman Coccinellidae predator tertinggi didapatkan pada ekosistem pertanaman cabai di Kota Padang Panjang (nilai indeks 1,45) dan yang paling rendah terdapat di Kabupaten Agam (nilai indeks 0,50) (Tabel 3). Indeks keanekaragaman, indeks kemerataan dan kekayaan spesies digunakan untuk menggambarkan pengaruh struktur ekosistem terhadap keanekaragaman Coccinellidae predator yang menghuni ekosistem pertanaman cabai. Nilai indeks keanekaragaman spesies adalah penggabungan hasil dari nilai kekayaan dan kemerataan spesies.
Berdasarkan hasil riview beberapa artikel untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman Coccinellidae predator dapat disimpulkan bahwa menurut Krebs (1989) ada beberapa faktor yang saling berkaitan untuk menentukan turun naiknya derajat keanekaragaman yaitu: (i) Waktu, keanekaragaman komunitas bertambah sejalan waktu (ii) Heterogenitas ruang, semakin heterogen keadaan suatu lingkungan fisik maka semakin tinggi keragamannya (iii) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme membutuhkan sumber yang sama yang ketersediaanya terbatas (iv) Pemangsaan, yang mempertahankan komunitas populasi dari jenis bersaing yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemungkinan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman, apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman (v) Kestabilan iklim, makin stabil iklim akan lebih mendukung bagi keberlangsungan evolusi dan (vi) Produktivitas, merupakan syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi. Di sisi lain menurut Herlinda et al. (2008) bahwa aplikasi insektisida menjadi penyebab utama rendahnya keanekaragaman serangga predator pada suatu habitat terutama serangga predator dari kelompok kumbang Carabidae, Stanphilinidae dan Coccinellidae. Faktor lain yang selama ini terlupakan menurut Hamid (2009) adalah arsitektur tanaman yang ternyata juga dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman serangga. Perbedaan faktor ini merupakan gabungan kompleksitas yang sulit untuk dijabarkan. Indeks keanekaragaman indeks kemerataan dan kekayaan kutu daun (Aphididae spp.) Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman, indeks kemerataan dan kekayaan spesies kutu daun lebih tinggi di Kota Padang Panjang (nilai indeks 1,27). Terungkap hal yang cukup menarik pada penelitian ini, dimana Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Agam memiliki kekayaan spesies yang sama (4 spesies) akan tetapi terdapat perbedaan pada nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan. Nilai indeks keanekaragaman di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Agam masing-masing adalah 1,10 dan 0,91 sedangkan nilai indeks kemerataan masing-masing adalah 0,63 dan 0,54 (Tabel 4). Secara keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi indeks keanekaragaman berlaku umum untuk kelompok serangga, termasuk kutu daun, namun ditambahkan oleh Yaherwandi (2009) bahwa tingginya nilai keanekaragaman serangga pada suatu ekosistem ditentukan oleh distribusi jumlah individu pada tiap-tiap ekosistem, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingginya indeks keanekaragaman kutu daun di Kota Padang Panjang disebabkan oleh jumlah spesies yang relatif merata jika dibandingkan dengan ekosistem pertanaman cabai di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Agam.
NELLY et al. – Keanekaragaman Coccinelid predator dan kutu daun
251
Tabel 1. Jumlah spesies dan individu Coccinellidae predator pada ekosistem pertanaman cabai di Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kota Padang Panjang, Sumatera Barat Spesies
Jumlah individu Kabupaten Limapuluh Kota
Kabupaten Agam
Kota Padang Panjang
Chilocorus melanophthalmus
0
1
0
Coccinella transversalis
1
0
5
Coelophora 9 maculata
0
3
13
Coelophora inaequalis
0
3
10
Coelophora reniplagiata
1
0
4
Coleophora bisellata
1
0
0
Menochilus sexmaculatus
36
78
44
Ropaloneda decussata
0
3
10
Verania discolor
6
0
0
Verania lineata
4
0
1
Tabel 2. Jumlah spesies dan individu kutu daun pada ekosistem pertanaman cabai di Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kota Padang Panjang, Sumatera Barat Spesies Aphis craccivora Aphis gossypii
Jumlah individu Kabupaten Limapuluh Kota 256
Kabupaten Agam 0
Kota Padang Panjang 340
330
632
596
Bemisia tabaci
16
26
45
Myzus Persicae
109
412
209
Sp. 1
0
48
32
Sp. 2
0
0
12
Tabel 3. Indeks keanekaragaman, indeks kemerataan spesies dan kekayaan Coccinellidae predator pada ekosistem pertanaman cabai di Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam dan Kota Padang Panjang, Sumatera Barat
Lokasi penelitian
Nilai indeks
Kekayaan
Keanekaragaman
Kemerataan
Kabupaten Limapuluh Kota
0,93
0,45
6
Kabupaten Agam
0,50
0,21
5
Kota Padang Panjang
1,45
0,69
7
Tabel 4. Indeks keanekaragaman, indeks kemerataan dan kekayaan spesies kutu daun pada ekosistem pertanaman cabai di Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kota Padang Panjang, Sumatera Barat Lokasi penelitian
Nilai indeks
Kekayaan
Keanekaragaman 1,10
Kemerataan 0,63
Kabupaten Agam
0,91
0,54
4
Kota Padang Panjang
1,27
0,66
6
Kabupaten Limapuluh Kota
4
252
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 247-253, April 2015
Dari pengamatan keanekaragaman predator dan kutu daun ditemukan jumlah Coccinellidae predator yang telah dikoleksi adalah 223 yang terdiri dari 10 spesies. M. sexmaculatus adalah spesies yang paling dominan pada ekosistem pertanaman cabai dan ditemukan pada semua lokasi penelitian. Kutu daun sebagai mangsa Coccinellidae predator memiliki kelimpahan yang cukup tinggi pada ekosistem pertanaman cabai karena selama penelitian dikoleksi sebanyak 3063 yang terdiri dari 6 spesies. Demikian juga analisis data memperlihatkan bahwa nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan Coccinellidae predator lebih tinggi di Kota Padang Panjang dengan nilai indeks 1,45 dan 0,69, sedangkan nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan kutu daun yakni 1,27 dan 0,66.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini adalah bagian dari penelitian yang dibiayai dari dana penelitian Hibah strategis Nasional atas nama Novri Nelly, dengan nomor kontrak: 006/SP2H/PL/Dit.Litabmas/III/2012. Untuk itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Dirjen Dikti melalui DP2M.
DAFTAR PUSTAKA Amir M. 2002. Kumbang lembing pemangsa Coccinellidae (Coccinellinae) di Indonesia. Puslit Biologi-LIPI, Bogor. Arnett RH. 1967. Present and future systematics of the Coleoptera in North America. Ann Entomol Soc Amer 60:162-170. Bagwell RD, Baldwin JL. 2009. Aphids on Cotton. Louisiana State University (LSU) Agricultural Center, Center Research and Extension. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan pelajaran serangga. Edisi keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Chau A, Heinz KM, Davies FT. 2005. Influences of fertilization on Aphis gossypii and insecticide usage. Blackwell Verlag, New York. Dixon AFG. 2000. Insect prey predator dynamics Ladybird beetles and biological bontol. Cambridge University Press, New York. Dreistadt SH. 2007. Aphids integrated pest management for floriculture and furseries. University of California, Division of Agriculture and Natural Resources Publication, San Fransisco. Effendi MS. 2010. Keanekaragaman Coccinellidae predator pada ekosistem pertanian organik dan konvensional di Sumatera Barat. [Skripsi]. Universitas Andalas, Padang. Fernita D. 1997. Monitoring kutu daun dan predatornya pada tanaman cabai (Capsicum annum L.). [Skripsi]. Universitas Andalas, Padang. Funasaki GY, Loi PY, Nakahara ML. 1990. Status of natural enemies for biological control of Leucena psyllids in Thailand. Proceeding of an Internasional Workshop held January 16-21, 1989 in Bogor, Indonesia. Gadagkar R, Chandrashaekara K, Nair P . 1990. Insect species diversity in the tropics: Sampling method and case study. J Bombay Nat Hist Soc 87: 328-353. Hamid H. 2009. Komunitas serangga herbivor penggerek polong legum dan parasitoidnya: Studi kasus di Daerah Palu dan Toro, Sulawesi Tengah. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hendrival, Purnama H, Ali N. 2011. Keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada pertanaman cabai merah di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. J Entomol Indon 8 (2): 96109. Herlinda S, Waluyo, Estuningsi SP, Chandra I. 2008. Perbandingan keanekaragaman spesies dan kelimpahan arthropoda predator penghuni tanah di sawah lebak yang diaplikasi dan tanpa aplikasi insektisida. J Entomol Indon 5 (2): 96-107. Herlinda S, Toton I, Triani A, Chandra I. 2009. Perkembangan populasi Aphis gossypii Glover (Homoptera: Aphididae) dan kumbang lembing pada tanaman cabai merah dan rawit di Inderalaya. Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. Bogor 5-6 Agustus 2009. Hildrew AG, Townswend CR. 1982. Predators and prey patchy environment a freshwater study. J.Animal Ecol 51: 797-815. Irsan C. 2006. Keanekaragaman spesies kutu daun (Homoptera: Aphididae) dan musuh alaminya di lahan lebak di Sumatera Selatan. [Laporan Penelitian]. Universitas Sriwijaya, Inderalaya. Kapur AP. 1965. The Coccinellidae (Coeloptera) of the Andaman. Rec. Ind. Mus 32: 1-189. Krebs CJ. 1989. Ecological Metodology. 2nd ed. An Imprint of Addition Wesley Longman, New York. Khan I, Din S, Khalil SK, Rafi MA. 2006. Survey of predatory Coccinellids (Coleoptera: Coccinellidae) in the Chitral District, Pakistan. J Insect Sci 7: 1-6. Magguran AE. 1988. Ecological diversity and its measurement. Princeton University Press, New Jersey. Meidiwarman. 2010. Studi Artropoda predator pada ekosistem tanaman tembakau virginia di Lombok Tengah. [Skripsi]. Universitas Mataram, Mataram. Miao J, Wu K, Hopper KR, Li G. 2007. Population dynamics of Aphis glycines (Homoptera: Aphididae) and impact of natural enemies in Northern China. Environ Entomol 36 (4): 840-848. Miyaki M. 2009. Important aphid vectors of fruit tree virus diseases in tropical Asia. Plant Protection 1: 1- 4. New TR. 1991. Insects as Predators. University Press Kensington, New South Wales. Nelly N. 2012. Kelimpahan populasi, preferensi dan karakter kebugaran M. sexmaculatus (Col: Coccinelidae) predator kutu daun pada tanaman cabai. Jurnal HPTT 12 (1): 46-55. Nelly NQ, Suhada, Trizelia. 2012. Tanggap fungsional M. sexmaculatus F (Col:Coccinelidae) terhadap Aphis gossyii G (Homoptera: Aphididae) pada umur tanaman cabai yang berbeda. J Entomol Indon 9 (1): 2331. Primack RS. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Radiyanto I, Mochammad S, Noeng MN. 2010. Keanekaragaman serangga hama dan musuh alami pada lahan pertanaman kedelai di kecamatan Balong Ponorogo. J Entomol Indon 7 (2): 116-121. Rice ME, O’Neal M. 2008. Soybean Aphid management field guide. Iowa State University of Science and Technology, Hawaii. Rinaldi B. 2012. Keanekaragaman kutu daun (Homoptera: Aphididae) pada pertanaman sayuran di kota Padang. [Skripsi]. Universitas Andalas, Padang. Riyanto. 2010. Kelimpahan serangga predator kutu daun (Aphis gossypii) sebagai sumbangan materi kontekstual pada mata kuliah entomologi di program studi pendidikan biologi. [Laporan Penelitian]. Universitas Sriwijaya, Inderalaya. Slosser JE, Parajulee MN, Hendrix DL, Henneberry TJ, Rummel DR. 2002. Relationship between Aphis gossypii (Homoptera: Aphididae) and sticky lint in cotton. J Econ Entomol 95 (2): 299-306. Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insect. University of California, California. Stephens EJ, Losey JE. 2004. Comparison of sticky cards, visual and sweep sampling of Coccinellid populations in alfalfa. Environ Entomol 33 (3): 535-539. Vandenberg NJ. 2009. The new world Genus Cycloneda (Coleoptera: Coccinellidae: Coccinellini): Historical review, new diagnosis, new generic and specific synonyms, and an improved key to North American species. Entomol Soc Washington 104 (1): 221-236. Yaherwandi. 2005. Keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada beberapa tipe lanskap pertanian di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur kabupaten Cianjur Jawa Barat. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
NELLY et al. – Keanekaragaman Coccinelid predator dan kutu daun Yaherwandi. 2009. Struktur komunitas hymenoptera parasitoid pada berbagai lanskap pertanian di Sumatra Barat. J Entomol Indon 6 (1): 1-14.
253
Zahoor KM, Suhail A, Iqbal J, Zulfaqar Z, Anwar M. 2003. Biodiversity of predaceous Coccinellids and their role as bioindicators in an Agroecosystem. Intl J Agric Biol 5 (4): 555–559.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 254-258
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010214
Biodiversitas hutan Nantu sebagai sumber obat tradisional Masyarakat Polahi di Kabupaten Gorontalo Biodiversity of Nantu forests as a source of traditional medicine for Polahi community in the District of Gorontalo SUKIRMAN RAHIM Jurusan PGSD, Fakultas Imu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo. Jl. Jendral Sudirman No. 06, Kota Gorontalo 21752, Provinsi Gorontalo, Indonesia. Tel./Fax. +0435-821752,♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 4 Desember 2014. Revisi disetujui: 1 Februari 2015.
Abstrak. Rahim S. 2015. Biodiversitas hutan Nantu sebagai sumber obat tradisional Masyarakat Polahi di Kabupaten Gorontalo. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 254-258. Hutan Nantu-Boliyohuto berada pada ketinggian antara 200 – 2065 mdpl dengan luas 63.523 Ha, merupakan kawasan yang terdiri atas Suaka Margasatwa (SM) Nantu seluas 33.891 Ha. Hutan Nantu memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang bersumber dari keanekaragaman tumbuhan yang terdapat pada kawasan ini antara lain Caryota mitis, Cycas rumphii, dan Livistonia rotundifolia atau daun woka (termasuk dalam appendix II CITES), Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, (endemik Sulawesi), rao (Dracontomelon dao) dan nantu (Palaquium obovatum), serta Anggrek Raksasa atau Grammatophyllum speciosum.Tumbuhan yang terdapat dikawasan ini sering dimanfaatkan oleh Masyarakat Polahi salah satunya dimanfaatkan sebagai sumber obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti mengobati luka, sakit panas, dan bahkan racikan dari tumbuhan yang bersumber dari kawasan hutan ini digunakan dalam persalinan Masyarakat Polahi. Metode yang akan digunakan yakni metode surveydengan pendekatan kualitatif. Data yang akan digunakan berupa data sekunder dan primer yang dapat diperoleh di lapangan dan studi literatur hasil penelitian sebelumnnya. Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan penyusun utama vegetasi kepada masyarakat sekitar untuk kemudian dapat memanfaatkannya sebagai sumber obat tradisional tanpa meninggalkan pelestariannya. Kata kunci: Biodiversitas, hutan Nantu, obat tradisional
Abstract. Rahim S. 2015. Biodiversity of Nantu forests as a source of traditional medicine for Polahi community in the District of Gorontalo. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 254-258. Nantu-Boliyohuto forest is located at altitude 200 – 2065 masl, covering a total area of 63.523 Ha, in which the Nantu wildlife reserve occupies about 33.891 Ha. Biodiversity in Nantu forest is extremely high, especially flora diversity, including Cycas rumphii, Mythic Caryota, Livistonia rotundifolia -locally known as woka (included in appendix II of CITES), Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa (endemic in Sulawesi), Dracontomelon dao (locally known as rao), Palaquium obovatum (locally known as nantu), as well as the giant orchid Grammatophyllum speciosum. Plants in this area are often utilized by the local community as a source of traditional medicine, for example in treatment for fever, healing wounds, and treatment in laboring. Primary and secondary data is obtained from literature and field survey with a qualitative approach. This study provides information on plant species forming the vegetation so that the community can conserve and utilize it as traditional medicine. Keywords: Biodiversity, Nantu forest, traditional medicine
PENDAHULUAN Provinsi Gorontalo banyak memiliki kawasan hutan yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan Hutan Nantu, merupakan salah satu kawasan hutan di Gorontalo yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang endemik. Seperti hewan babi rusa, pohon rao besar raksasa tumbuh dan saling berdekatan satu sama lain, disamping pohon rao ini tumbuh tanaman rimba lainnya, tidak menyisakan ruang bagi sinar matahari jatuh ke tanah. Terdapat burung dan serangga khas Sulawesi
seperti Burung Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix). Hutan hujan tropis yang masih dikatakan perawan (alami) di Gorontalo berada di Kawasan Hutan Nantu.Hutan ini merupakan kekayaan dunia yang sangat penting, karena nantu merupakan salah satu dari sedikit hutan di Sulawesi yang masih utuh. Berbagai jenis pohon lainnya yang banyak dijumpai di kawasan hutan Nantu selain pohon raksasa Rao (Dracontomelum dao), Nantu (Nyatoh), pohon Inggris (Eucalyptus deglupta) juga tumbuh batang rotan yang menjadi kebutuhan masyarakat sekitar.
RAHIM – Biodiversitas hutan Nantu sebagai sumber obat tradisional
Dunggio (2005), mencatat bahwa komposisi keanekaragaman jenis pada kawasan SM Nantu adalah 76 jenis, dengan penyusun utama vegetasi adalah Rao (Dracontomelon dao), Nantu (Palaquium obovatum), Pangi (Pangium edule), Kenanga (Cananga odorata), dan Kayu Bugis (Koordesiodendron pinnatum).Selanjutnya Hamidun & Baderan (2013), tercatat beberapa jenis penyusun utama vegetasi pohon pada kawasan Hutan Nantu-Boliyohuto, yaitu: Nantu (Palaquium obovatum), Beringin (Ficus nervosa Heyne), Rao (Dracontomelon dao), Matoa (Pometia pinnata),Molilipota/sengon(Albizzia lebbeck Benth), Tohupo/bendo (Artocarpus elasticus), Kayu bunga (Madhuca phillipinensis Merr), dan Cempaka (Elmerrillia ovalis Dandy). Kawasan Nantu yang berada di Kabupaten Gorontalo tepatnya di bagian Pegunungan Boliyohuto, Kecamatan Asparaga, dimana Desa Mohiolo dan Bihe merupakan desa yang berada di sekitar kawasan hutan Nantu. Khusus Desa Bihe merupakan desa paling ujung di Kabupeten Gorontalo. Hal yang paling menarik di kawasan Hutan Nantu adalah kehidupan masyarakat tradisional yang disebut dengan Polahi. Komunitas Polahi adalah sebagian masyarakat Gorontalo yang masih hidup sebagai masyarakat primitif, belum mengenal dunia luar dengan baik atau jauh dari peradaban modernisasi. Sebagai masyarakat primitif, mereka mencari makanan dengan cara melakukan perburuan atau juga mencari buah-buahan di hutan. Disamping itu, mereka bercocok tanam (shifting cultivators) secara berpindah-pindah atau menetap dalam beberapa waktu sampai tanaman mereka sudah bisa dipanen untuk dinikmati. Polahi bertempat tinggal di hutan pegunungan dan membuat rumah gubuk sebagai tempat untuk memproteksi diri. Pengetahuan yang mereka miliki merupakan keterampilan yang diperoleh secara turun temurun dan masih bersifat tradisional. Masyarakat Polahi memiliki pola kehidupan yang masih banyak didasarkan pada cara-cara atau kebiasaankebiasaan lama yang diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosial-budayanya. Kebudayaan masyarakat Polahi merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh dari luar. Biodiversitas di kawasan Nantu, bagi masyarakat Polahi tidak hanya diguankan untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari, tetapi juga merupakan sumber obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sari dan Lusia (2006) menjelaskan bahwa penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dibandingkan dengan penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern. Tumbuhan obat tradisional yang bersumber dari hutan Nantu perlu diinventarisasi dan diidentifikasi untuk menambah informasi pemanfaatan tumbuhan obat tradisional, pengetahuan tentang kearifan dalam pemanfaatan biodiversitas, jenis jenis tumbuhan obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Polahi agar tidak hilang ditelan arus modernisasi.
255
BAHAN DAN METODE Area kajian Area kajian adalah di Desa Bihe, Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo (Gambar 1). Desa Bihe memiliki luas kurang lebih 2011 Ha dengan jumlah penduduk 230 kepala keluarga. Desa ini merupakan desa yang berada di sekitar kawasan hutan Nantu. Komunitas masyarakatnya terbagi atas 2 kelompok, yaitu masyarakat yang menetap di luar kawasan Hutan Nantu dan masyarakat yang hidup di dalam kawasan hutan Nantu tetapi masih dalam wilayah adminstrasi Desa Bihe. Komunitas yang berada dalam kawasan hutan ini yang disebut Komunitas Polahi. Cara kerja Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode survey, yaitu metode yang dilakukan untuk mengadakan pemeriksaan yang berlangsung di lapangan atau lokasi penelitian. Tahapan penelitian mencakup: Tahap pengambilan spesimen: (i) Pengambilan sampel dilakukan melalui wawancara dengan battra. Pengambilan sampel dilakukan dengan meminta responden atau battra untuk menunjukkan secara langsung secara langsung tumbuhan obat yang dimaksud. (ii) Mencatat seluruh informasi yang didapat. (iii) Pengambilan dokumentasi dari perawakan tumbuhan, batang, cabang atau ranting difoto secara vertikal. (iv) Setiap pengambilan sampel harus disertakan etiket gantung yang telah diisi dengan format yang telah ditentukan. (v) Pengambilan sampel yang representatif. (vi) Sampel dibungkus kertas merang dan diatur sedemikian rupa. (vii) Mencatat tentang kegunaan obat. Tahap identifikasi: Identifikasi adalah pemberian nama suatu organisme dengan menggunakan pustaka (kunci identifikasi); dan Tahap pembuatan herbarium. Analisis data Data yang digunakan dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif yakni dengan mendeskripsikan ciri-ciri morfologi dari jenis tumbuhan yang diperoleh di Hutan Nantu Desa Bihe. Setiap jenis tumbuhan obat yang ditemukan diuraikan hirarki taksonominya menggunakan buku-buku tumbuhan seperti Yuzammi (2010) dan Widyaningrum et al. (2011). Selain itu pula mendeskripsikan tentang kegunaan tumbuhan obat yang didapat yakni: bagian-bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat, dimanfaatkan sebagai obat apa, cara penggunaan tumbuhan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh sembilan jenis tumbuhan obat tradisional di kawasan hutan Nantu yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Polahi dan masyarakat Desa Bihe, Kabupaten Gorontalo yakni Ficus minahasae Miq, Polyathia, Eugenia, Ortomeles sumtrana Riq, Callophyillum, Maniltoa, Drypetes globosa
PROS SEM M NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 254-258, April 2015
2 256
A
B
C
G Gambar 1. Lokkasi penelitian di d Desa Bihe (kkotak), Kecamattan Asparaga (C C), Kabupaten Gorontalo G (B), Provinsi Goron ntalo (A).
T Tabel 1. Jenis dan pemanfaataan tumbuhan obbat tradisional yang y digunakan n Masyarakat Poolahi berdasarkkan wawancara dengan Batra 1
T Tuluponu
Ficus minahaasae Miq
Bagian yang d dimanfaatkan Daun
L Laluta
Polyalthia spp.
Daun
K Kayu jambu
Eugenia spp.
Daun
B Biluango
Ortomeles suumtrana Riq
Daun
B Bita/Bitauta
Callophyllum m spp.
Daun
Nama lokal
Nama illmiah
Cara a pengolahannyya Daun diambil dengan D d membaccakan s shalawat nabi dan d paling baik diambil p pada hari Jumatt D Daun diambil dengan d membaccakan s shalawat nabi dan d paling baik diambil p pada hari Jumatt D Daun diambil dengan d membaccakan s shalawat nabi dan d paling baik diambil p pada hari Jumatt D Daun diambil dengan d membaccakan s shalawat nabi dan d paling baik diambil p pada hari Jumatt D Daun diambil dengan d membaccakan s shalawat nabi dan d paling baik diambil p pada hari Jumatt
anfaat Ma Obat perut kem mbung dan ibu yang baru melahirkan Obat panas dem mam
Obat mencret, sakit perut
ut Obat sakit peru
Obat asam uraat
RAHIM – Biodiversitas hutan Nantu sebagai sumber obat tradisional
257
Tabel 2. Jenis dan pemanfaatan tumbuhan obat tradisional yang digunakan Masyarakat Polahi berdasarkan wawancara dengan Batra 2
Nama lokal
Nama ilmiah
Bagian yang dimanfaatkan Daun
Lamuta
Maniltoa grandiflora (A.Gray) Scheff.
Tolotio
Drypetes globosa Pax et Hoffm
Daun
Upolodihe
Elmerillia celebica Dandy
Daun
Allawahu
Curcuma domestica Val.
Daun
Cara pengolahannya Daun diambil dengan membacakan shalawat nabi dan paling baik diambil pada hari Jumat Daun diambil dengan membacakan shalawat nabi dan paling baik diambil pada hari Jumat Daun diambil dengan membacakan shalawat nabi dan paling baik diambil pada hari Jumat Daun diambil dengan membacakan shalawat nabi dan paling baik diambil pada hari Jumat
Pax at Hoffm, Elmerillia celebica Dandy, dan Curcuma domestica. Jenis dan pemanfaatan tumbuhan obat tradisional yang digunakan Masyarakat Polahi berdasarkan wawancara dengan Batra I disajikan pada Tabel 1. Pembahasan Komunitas Polahi sering disebut masyarakat terasing atau primitif karena kurang memiliki akses informasi dan komunikasi. Pengetahuan masyarakat diperoleh karena memanfaatkan kawasan hutan sebagai tempat tinggal dan hidup. Masyarakat Polahi mengatakan hutan Nantu adalah hutanku, rumahku sebagai affirmasi bahwa mereka sangat mengantungkan hidup dari hutan, misalnya mendapatkan bahan makanan dari buah-buahan, termasuk makan rotan muda. Masyarakat ini tidak memahami secara lahiriah akan fungsi dan manfaat kawasan hutan. Namun jika dilihat dari aktivitas mereka di dalam kawasan, maka komunitas ini sangat eksis dalam menjaga dan memanfaatkan kawasan hutan, sehingga tumbuhan yang berada di dalam kawasan hutan Nantu tanpa mereka sadari telah mereka gunakan sebagai obat tradisional dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hutan Nantu telah dijadikan oleh masyarakat Polahi sebagai rumah sakit, karena jika sakit, mereka menggunakan berbagai macam tumbuhan berkhasiat dengan kearifan yang mereka miliki untuk diracik dan dijadikan sebagai obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Berdasarkan Tabel 1 dan 2, bagian tumbuhan yang paling umum digunakan adalah daun. Sebagian tumbuhan yang digunakan sebagai tanaman obat berperawakan pohon, dan satu jenis berperawakan semak. Jenis Ficus minahasae Miq. berperawakan pohon dengan ketinggian 10-14 m. Daunnya berukuran kecil berbentuk bulat telur dengan ujun lancip. Permukaan kulit batangnya halus dan kulit tersebut mudah mengelupas yang bila akarnya kering. Di kawasan hutan Nantu jenis ini banyak dijumpai pada ketinggian 700 m dpl. Manfaat obat tumbuhan ini belum banyak dikenal, namun Sastrapradja dan Rifai (1970) serta
Manfaat Obat saki perut dan rematik
Obat luka akibat gigitan serangga Obat Kolera sebagai penawar sakit Obat sakit perut, sakit gigi dan gatal-gatal
Kurniawan dan Pratama (2010) menyebutkan bahwa daunnya dapat digunakan sebagai ramuan obat. Polyalthia sp. merupakan salah satu genus dari famili Annonaceae, berperawakan pohon dengan tinggi kurang dari 1 m. Batang semu, tegak, lunak, dan warna putih kehijauan, terletak pada ketinggian kurang dari 1200 m dpl. Menurut Yuan et al. (2011) beberapa spesies dari Polyalthia telah diuji aktivitasnya terhadap sel kanker. Ekstrak akar Polyalthia laui dan P. rumphii menunjukkan efek sitotoksik terhadap sel kanker paru (SPC-A-1), sel karsinoma hepatoseluler (BEL-7402), sel kanker getah lambung (SGC-7901), dan sel kanker leukemia (K562). Jenis Eugenia spp. merupakan famili Myrtaceae dengan perawakan pohon, memiliki daun tunggal terletak berhadapan, bertangkai 0,5-1,5 cm. pohon berukuran sedang dengan tinggi 2-5 m. Jenis Ortomeles sumtrana Riq merupakan famili Datiscaceae dengan perawakan pohon; manfaat obatnya belum banyak diteliti. Genus Callophyllum berperawakan pohon. Pohon dari genus ini tinggi lebih dari 5 m, besar, agak ramping. Tajuk monopodial yang segera berubah menjadi sompodial, padat, serupa kabah. Daun-daunnya umumnya jelas bertangkai, tanpa daun penumpu, helaian daun sering memanjat, dengan pertulangan sekunder yang jumlahnya banyak, ramping, tersusun rapat, lurus dan sejajar.Jenis Maniltoa grandiflora mempunyai perawakan pohon, termasuk kedalam famili Fabaceae. Tumbuhan ini memiliki ketinggian 5-15 m. Batang tegak, bulat, percabangan simpodial dan berwarna coklat. Daun majemuk, daun menyirip, lonjong, tepi rata, ujung dan pangkal daun runcing. Tumbuhan ini memiliki manfaat untuk obat gangguan pencernaan. Daun, buah, dan kulit batangnya mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Depkes RI 1997). Jenis Curcuma domestica mempunyai perawakan semak. Tumbuhan ini masuk dalam kelompok jahe-jahean. Masuk dalam famili Zingiberaceae. Tanaman kunyit tumbuh bercabang dengan tinggi 40-100 cm. Batang
258
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 254-258, April 2015
merupakan batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang dengan warna hijau kekuningan dan tersusun dari pelepah daun (agak lunak). Daun tunggal, bentuk bulat telur, memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip dengan warna hijau pucat. Kunyit merupakan jenis empon-empon yang banyak digunakan dalam pengobatan suku-suku asli di Indonesia, terutama karena mengandung kurkumin dan minyak atsiri (Heyne 1987). Biodiversitas hutan Nantu perlu terus dilestarikan dengan usaha dari masyarakat dan pemerintah untuk membudiyakan berbagai jenis tumbuhan obat yang dimiliki kawasan ini.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan Terima Kasih kepada Rusdin Monoarfa, Kepala Desa Bihe, Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo yang banyak membantu peneliti selama di lokasi.
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. 1997. Inventaris Tanaman Obat Indonesia IV (Jilid 4). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Dunggio I. 2005. Zonasi Pengembangan Wisata di SM Nantu Propinsi Gorontalo. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hamidun MS, Baderan DWK. 2013. Struktur, Komposisi, dan Pola Distribusi Vegetasi Pasa Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas. [Laporan Akhir Hibah Fundamental]. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta. Kurniawan MB, Pratama B. 2010. Mengenal Hewan dan Tumbuhan Asli Indonesia. Cikal Aksara, Jakarta. Sari K, Lusia RO. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vo. III, No. 1, April 2006, 01-07. Sastrapradja S, Rifai MA. 1970. Mengenal Nusantara melalui Kekayaan Floranya. LBN LIPI, Bogor. Widyaningrum H. dan Tim Solusi Alternatif. 2011. Kitab Tanaman Obat Nusantara. Media Pressindo, Yogyakarta. Yuan Y, Huang GJ, Wang TS, Chen GY, 2011. In vitro screening of five Hainan plants of Polyalthia (Annonaceae) against human cancer cell lines with MTT assay. J Med Pl Res 5: 837-841. Yuzammi. 2010. Ensiklopedia Flora. jilid 5. PT. Kharisma Ilmu, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 259-264
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010215
Review: Borneol - potensi minyak atsiri masa depan Borneol - future potential of essential oils GUSMAILINA Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor 16164, Jawa Barat. Tel./Fax.: +62-251-8633378; 8633413. ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 2 Desember 2014. Revisi disetujui: 27 Januari 2015.
Abstrak. Gusmailina. 2015. Borneol - potensi minyak atsiri masa depan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 259-264. Borneol adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang banyak tersebar di alam sebagai komponen minyak atsiri. Di bidang industri borneol digunakan sebagai bahan baku penyusun parfum, bahan pengester dan bahan farmakop sebagai antiseptic, antispasmodic, carminative, cardiac stimulant, respiratory aid, dan anthelmintic. Di China Borneol juga dikenal dengan nama Bing Pian, banyak digunakan sebagai bahan pencampur pada pembalut wanita karena berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan tekanan pada saat haid, mengurangi rasa sakit pada otot dan sendi, membantu membersihkan darah beku, mencegah pemkembang biakan kuman serta masih banyak kegunaan lainnya. Borneol dalam bentuk kristal merupakan komponen yang dihasilkan dari getah pohon yang sangat dibutuhkan oleh pasar internasional. Di pasaran borneol kristal umumnya diciptakan secara sintetis dari minyak terpentin atau kamper. Tulisan ini menyajikan informasi tentang borneol serta prospeknya sebagai komoditi atsiri Indonesia. Borneol asal Dryobalanops aromatica banyak dicari sebagai bahan pengobatan alternatif, dan aromaterapi. Penggunaan borneol secara tepat, dapat mengatasi masalah pembekuan darah pada otak atau jantung. Akan tetapi pengelolaannya harus mengikuti kaidah cara pemungutan yang berkelanjutan dan sustainability, serta harus dibawah pengawasan yang ketat dari pihak yang terkait. Saat ini untuk mendapatkan borneol, tidak harus menebang pohon, melainkan hanya di sadap minyaknya, kemudian ditransformasi menjadi kristal. Harga kristal borneol jauh lebih mahal daripada minyak. Oleh sebab itu harus ada standar dan pengawasan yang ketat agar penjualan komoditi ini harus dalam bentuk kristal. Kata kunci: Borneol, Dryobalanops aromatica, atsiri, potensi, manfaat, prospek
Abstrak. Gusmailina. 2015. Borneol - future potential of essential oils. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 259-264. Borneol is a non-timber forest product which is widely distributed in nature as essential oils. Borneol is used as a raw material in the perfume industry and as esterifying agents for antiseptic, antispasmodic, carminative, stimulant cardiac, respiratory aid, and anthelmintic in pharmacopeia. It is also known as Bing Pian in China, widely used in sanitary napkins because it relieves pain and stress during menstruation, relaxes muscles and joints, cleanses blood clot, acts as anti-microbial, and many other uses. For commercial uses, borneol is generally synthesized in crystal form from turpentine oil or camphor. This paper presents information about borneol and its prospects as a commodity of essential oils in Indonesia. Borneol originated from Dryobalanops aromatica is sought as an alternative traditional medicine and aromatherapy. Appropriate uses of borneol could overcome problems of blood clots in brain or heart. Sustainable harvesting and management should be implemented and under strict controls of the stakeholders. Instead of cutting down, trees should only be tapped to harvest the borneol and then it can be transformed into crystal form. Borneol crystal is much more expensive than the oil one. There must be strict standards to control this commodity so that the borneol should only be sold in crystal form. Keywords: Borneol, essential, potential, benefits, prospects
PENDAHULUAN Borneol adalah terpena alkohol menyerupai powder atau kristal yang berwarna putih (CHOH), menyerupai kamper, yang diperoleh dari batang pohon yang terdapat di Asia Tenggara, yang banyak digunakan dalam pembuatan wewangian, sebagai antiseptik dan lain-lain (Huo 1995). Di China dikenal dengan nama Bing pian's yang berfungsi sebagai anti-inflammasi dan analgesik. Borneol alami hampir tidak pernah ditemukan di Eropah atau Amerika. Permintaan besar akan komoditi ini selalu datang dari China, karena China lebih awal memanfaatkan borneol ini
dalam pengobatan dan kosmetika. Akan tetapi borneol yang umum digunakan di China adalah borneol yang berasal dari Cinnamommum. China menyebutnya juga sebagai Kalimantan kamper atau kapur barus Melayu atau camphol. Di Indonesia borneol berasal dari pohon Dryobalanops, termasuk ke dalam familia Dipterocarpaceae. Jenis ini banyak tersebar di Kalimantan dan Sumatera serta beberapa pulau di kepulauan Riau. Namun belakangan ini jenis ini sudah jarang sekali ditemukan di Kalimantan, terutama species Dryobalanops aromatica.
260
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 259-264, April 2015
Dryobalanops aromatica adalah salah satu jenis pohon yang diketahui pasti mengandung borneol. Unsur yang dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur. Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon (Gambar 1). Kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada pohon yang berusia ratusan tahun atau pada pohon yang masih terlalu muda (Sutrisna 2008). Dahulu proses pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok. Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan barang yang dicari. Penebangan pun dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan sebatang pohon yang berisikan cukup kapur barus. Bila kemudian ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah dilakukan proses pengumpulan/ pengambilannya. Ada dua cara yang dilakukan yaitu: potongan balok kayu dibelah. Dari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik setiap potongan balok. Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5-2,5 kg kristal kapur dengan kualitas yang berbeda. Cara lain pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya (Gambar 2). Cara ke dua lebih baik dari cara pertama, karena untuk mendapatkan barus tidak harus menebang pohon, cukup menyadap dari batang pohon. Borneol (C10H18O) banyak tersebar di alam sebagai komponen minyak atsiri (Gambar 3). Di bidang industri borneol murni bersama dengan isoborneol digunakan
sebagai bahan baku penyusun parfum dan bahan pengester. Borneol murni bersifat racun yang dapat mengakibatkan kekacauan mental. Borneol di China dikenal juga dengan nama Bing Pian. Salah satu penggunaannnya adalah sebagai bahan tambahan pada pembalut wanita (bio-panty) yang bermanfaat untuk mengurangi kesakitan dan tekanan ketika haid (Gambar 4), mengurangi kesakitan otot dan sendi, membantu membersihkan darah beku, dan mencegah perkembang biakan kuman (Choi 2003; Duke 2005).
DRYOBALANOPS PENGHASIL BORNEOL Menurut Shaoquan dan Gouda (1990), Dryobalanops memiliki 16 spesies, subspecies, varieties, forms, and cultivars dalam genus antara lain: D. abnormis, D. aromatica (Sumatran camphor), D. beccarii, D. camphora, D. fusca, D. kayanensis, D. keithii, D. lanceolata, D. neglectus, D. oblongifolia, D. oblongifolia var. oblongifolia, D. oiocarpa, D. oocarpa, D. rappa, D. schefferi, dan D. sumatrensis. Beberapa ahli taksonomi dan botani menjelaskan bahwa Dryobalanops terdiri dari 7 spesies yang kesemuanya terdapat di pulau Kalimantan dan Sumatera. Tetapi, pada saat ini keberadaan Dryobalanops sudah sangat jarang ditemukan di tegakan hutan alam baik di Sumatera maupun Kalimantan. Di beberapa tegakan hutan tanaman dan penelitian telah ditanam beberapa spesies Dryobalanops seperti D. lanceolata dan D. oblongifolia. Berdasarkan Ashton (2004), deskripsi ketujuh jenis Dryobalanops tersebut sebagai berikut:
Gambar 3. Struktur kimia borneol
Gambar 1. Kristal D. Keithii pada sel-sel parenkim aksial (Yamada dan Suzuki 2004).
Gambar 2. Pohon Dryobalanops dan Kristal yang keluar dan diambil secara alami (foto dok. Gusmailina)
Gambar 4. Salah satu produk kewanitaan yang mengandung borneol yang bermanfaat untuk: mengurangi rasa nyeri saat haid, dan membuat tubuh fresh dan nyaman.
GUSMAILINA – Borneol potensi minyak atsiri masa depan
Dryobalanops aromatica, umumnya dikenal sebagai borneo kamper, kamper pohon, melayu kamper, atau sumatera kamper. Spesies ini salah satu sumber utama dari kapur barus yang mempunyai nilai lebih dari emas yang digunakan untuk dupa dan parfum, sehingga pada awalnya pedagang Arab datang untuk mencarinya sebagai komoditi perdagangan. Spesies ini ditemukan di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Pohon besar mencapai 65 m atau bahkan 75 m, dahulu banyak ditemukan di hutan Dipterocarpaceae campuran pada kedalaman tanah berpasir di hutan lindung (Gambar 6). Dryobalanops rappa. Nama spesies ini berasal dari suku Iban (rawa kerapa = dangkal) dan mengacu pada habitat spesies. Spesies ini endemik Kalimantan, ditemukan pada kawasan yang dilindungi (Gunung Mulu National Park). Pohon ini dapat mencapai tinggi sampai 55 m, sering ditemukan di hutan rawa gambut pantai campuran dan hutan pegunungan rendah kerangas. Ini adalah kayu berat yang dijual dengan nama dagang kapur. Dryobalanops keithii. Spesies ini dinamai HG Keith (1899-1982) seorang konservator hutan di Borneo Utara. Spesies ini endemik Kalimantan, di mana ia terancam karena kehilangan habitat. Pohon dengan kanopi utama mencapai tinggi 40 m ditemukan di hutan Dipterocarpaceae campuran baik di lahan kering, liat dan lembab. Kayunya berat, dijual dengan nama kapur. Dryobalanops lanceolata Nama spesies ini berasal dari bahasa Latin (lanceolatus = berbentuk seperti kepala tombak) dan mengacu pada bentuk daun. Spesies ini endemik Kalimantan, pada lima kawasan hutan lindung, namun terancam punah karena kehilangan habitat. Pohon besar mencapai 80 m, ditemukan di hutan campuran Dipterocarpaceae pada tanah liat yang subur. Kayu berat, dijual dengan nama dagang kapur. Spesies ini telah ditanam pada hutan penelitian seperti hutan penelitian haurbenthes, Bogor (Gambar 7). Dryobalanops oblongifolia. Nama spesies ini berasal dari bahasa Latin (oblongus = agak panjang dan folium = daun) dan mengacu pada bentuk daun. Ada dua subspesies, pertama: Dryobalanops oblongifolia Dyer subsp. oblongifolia Dyer (sinonim = Baillonodendron malayanum dan Dryobalanops abnormis) adalah endemik di Kalimantan. Subspesies ini ditemukan dalam satu kawasan lindung, namun di tempat lain terancam punah karena hilangnya habitat. Pohon mencapai ketinggian hingga 60 m, ditemukan di hutan Dipterocarpaceae campuran pada tanah liat berpasir; kedua: subspesies Dryobalanops oblongifolia Dyer subsp. occidentalis P.S. Ashton (sinonim = Dryobalanops beccariana dan Dryobalanops ovalifolia) ditemukan di Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Keduanya memiliki kayu berat, dijual dengan nama kapur. Dryobalanops keithii. Spesies ini dinamai HG Keith (1899-1982) seorang Konservator Hutan di Borneo Utara. Spesies ini endemik Kalimantan, dimana terancam punah karena kehilangan habitat. Spesies ini adalah pohon yang mempunyai kanopi utama hingga 40 m, ditemukan di hutan
261
Dipterocarpaceae campuran pada tanah liat lembab. Kayu berat, dijual dengan nama dagang kapur. Dryobalanops fusca. Spesies ini namanya berasal dari bahasa Latin (fuscus = berwarna gelap) dan mengacu pada bulu burung berwarna gelap. Spesies ini endemik Kalimantan, di mana terancam punah karena kehilangan habitat. Pohon besar mencapai tinggi hingga 60 m, ditemukan di kerangas pantai. Kayu berat, dijual dengan nama dagang kapur. Gambar 5 adalah beberapa jenis Dryobalanops yang diperoleh dari beberapa pustaka (a.l. Ashton 2004; Anonim 2007).
POTENSI DAN ANCAMAN KELESTARIAN Punahnya potensi Dryobalanops di Sumatera Utara Di Sumatera Utara pohon kapur (Dryobalanops aromatica C.F. Gaertn) semakin sulit ditemukan di habitatnya. Pohon ini termasuk salah satu tanaman langka di Indonesia. Bahkan IUCN Redlist memasukkannya dalam status konservasi Critically Endangered atau kritis (IUCN 2007). Status ini merupakan status keterancaman dengan tingkatan paling tinggi sebelum status punah. Tumbuhan ini kebanyakan tumbuh di hutan Dipterocarp campuran hingga ketinggian 300 m. Persebaran tumbuhan langka ini adalah Indonesia (pulau Sumatera dan Kalimantan) dan Malaysia (Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Serawak). Di Sumatera potensi Dryobalanops tersebar di Sumatera Utara, Aceh, Riau dan Sumatera Barat. Di Sumatera selain disebut kapur atau barus, tanaman ini dinamai haburuan atau kaberun. Sedangkan di Kalimantan disebut juga sebagai ampadu, amplang, kapur, kayatan, keladan, melampit, mengkayat, mohoi, muri, dan sintok. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini disebut sebagai borneo camphor, camphor tree, malay camphor atau indonesian kapur. Sedangkan dalam bahasa latin (ilmiah) nama resminya adalah Dryobalanops aromatica yang bersinonim dengan Dryobalanops sumatrensis (JF Gmel.) Kosterm., Laurus sumatrensis JF Gmel., Arbor camphorifera Rumph., Dipterocarpus dryobalanops Steud., Dipterocarpus teres Steud, Dryobalanops camphora Colebr., Dryobalanops junghuhnii Becc., Dryobalanops vriesii Becc. Correa., Pterigium teres, dan Shorea camphorifera Roxb (Heyne 1987). Di Sumatera Utara, pohon ini dahulu sangat terkenal sebagai penghasil kapur barus, sehingga ada satu daerah dinamai kota Barus. Kapur barus dari pohon kapur ini telah menjadi komoditi perdagangan internasional sejak abad ke7 M. Namun sekarang tumbuhan ini tidak ditemukan lagi di kawasan tersebut. Kelangkaan dan terancam punahnya spesies tanaman ini diakibatkan oleh penebangan yang membabi buta untuk mendapatkan kristal kapur barus di dalamnya. Padahal kandungan kampur dalam setiap pohon tidak sama, bahkan terkadang sangat kurang. Ancaman lainnya diakibatkan oleh kerusakan hutan dan kebakaran hutan serta konversi lahan menjadi kebun kelapa sawit.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 259-264, April 2015
262
A
D
B
E
C
F
G
Gambar 5. Jenis-jenis Dryobalanops: A. D. aromatica , B. D. oblongifolia, C. D. beccarii, D. D. lanceolata , E. D. fusca , F. D. keithii dan G. Canopy D. rappa yang tumbuh diperbatasan Sabah, Sarawak dan Kalimantan
Gambar 6. Dryobalanops aromatica di hutan perbatasan Kalimantan dan Sarawak
Gambar 7. Dryobalanops lanceolata di hutan penelitian B2PD Samarinda, Kalimantan Timur.
GUSMAILINA – Borneol potensi minyak atsiri masa depan
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada bulan Agustus 2011, pada tahun 1980-1990an potensi Dryobalanops masih cukup banyak dan diusahakan oleh masyarakat di sekitar hutan, tetapi sejak 10 tahun terakhir sudah tidak ada lagi tanamannya, karena tidak ada peremajaan dan lahannya telah diganti dengan tanaman kelapa sawit, sehingga tanaman tersebut menjadi punah. Hasil informasi yang diperoleh dari seorang mantan pengumpul getah Dryobalanops di kecamatan Barus, menunjukkan bahwa daerah Barus, Sorkam serta Singkil (Aceh Barat) sekitar 3,5 jam dari Barus, merupakan daerah yang cukup potensial pada jaman Belanda. Barus merupakan sentra penghasil getah/kapur barus dan minyak, yang harga getahnya dijual bervariasi antara 50 - 100 ribu per kg getahnya, sedangkan minyaknya digunakan sebagai obat gosok untuk menghangatkan badan. Namun sekarang semua itu tinggal cerita belaka, karena Dryobalanops sudah tidak ditemukan lagi di Barus, Sumatera Utara. Potensi Dryobalanops di Kalimantan Timur Sama halnya di Sumatera Utara, di Kalimantan Timur jenis pohon ini sudah hampir tidak ditemukan lagi di hutan alam. Hal ini dikemukakan oleh Dr. Kade Sidyase seorang peneliti senior bidang botani di BTP Semboja (komunikasi pribadi 2011). Disebutkan juga beberapa jenis Dryobalanops yang tersebar di pulau Kalimantan yang kemungkinannya masih tersisa, yaitu: Dryobalanops rappa Becc. dan Dryobalanops fusca Slooten; yaitu di Kalimantan Barat sekitar Kapuas hilir dan Ketapang, Dryobalanops keithii Symington kemungkinan ada di Sandakan, Nunukan, dan Malinoks. Sedangkan Dryobalanops yang terdapat di hutan penelitian di Samarinda dan Semboja adalah Dryobalanops lanceolata, dan sebagian besar masih memiliki diameter batang dibawah 30 cm, sehingga belum dapat ditakik/disadap getahnya. Di wilayah Arboretum dan KHDTK Semboja hanya ditemukan satu jenis Dryobalanops dengan spesies lanceolata, demikian juga di Arboretum Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD) Samarinda ditemukan beberapa pohon Dryobalanops lanceolata, namun masih berumur dibawah 10 tahun. Di Kalimantan Timur hanya ditemukan satu jenis Dryobalanops yaitu: Dryobalanops lanceolata. Sementara itu jenis Dryobalanops aromatica dijumpai di hutan perbatasan Kalimantan dengan Serawak, Malaysia. Ciri khas D. lanceolata adalah pucuk daun termuda berwarna kemerahan. Pohon berumur antara 15-20 tahun memiliki diameter batang sekitar 40 cm. Di wilayah Kalimantan keberadaan Dryobalanops perlu dieksplorasi lagi untuk wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, sedangkan di wilayah Sumatera, keberadaannya perlu dieksplorasi lagi untuk wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Jambi. Hal ini berdasarkan informasi dari beberapa peneliti di Perguruan Tinggi yang berada di Jambi, Sumatera Barat dan Aceh, bahwa ditemukan beberapa jenis Dryobalanops di masing-masing wilayah tersebut, namun belum diketahui spesiesnya. Hasil survey di Sumatera Utara dan Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa Dryobalanops sudah sangat jarang
263
ditemukan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya konservasi mengingat potensi manfaatnya bagi kesehatan umat manusia, sekarang maupun di masa mendatang.
POTENSI BORNEOL Borneol banyak terdapat pada tanaman lain selain pada getah/damar/minyak Dryobalanops spp., antara lain sembung, kencur, jahe, sage, thyme, dan lain-lain, bahkan pada minyak nilam juga terdapat kandungan borneol, tetapi dalam jumlah dan konsentrasi yang relatif kecil (Chung et al. 1993). Akhir-akhir ini borneol asal Dryobalanops banyak dicari oleh periset, herbalis maupun pedagang. Penggunaan borneol dalam jumlah yang relatif sedikit saja sangat efektif untuk mencairkan darah beku pada kasus pembekuan darah/penyumbatan pembuluh darah pada jantung maupun otak manusia (Dharmananda 2003). Informasi tentang produktivitas, kuantitas dan kualitas Dryobalanops spp. sebagai penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) belum banyak diketahui, bahkan hampir tidak ditemukan. Beberapa institusi yang telah melakukan penelitian tentang borneol, kebanyakan berasal dari tumbuhan sembung dan temu-temuan. Padahal borneol asal Dryobalanops ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sangat dibutuhkan dalam pengembangan produk kosmetika dan obat. Diperkirakan borneol asal Dryobalanops mempunyai kualitas yang lebih baik dari borneol asal tumbuhan lainnya. Namun hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. Pustekolah (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Bogor telah meneliti borneol asal pohon Dryobalanops, terutama Dryobalanops aromatica. Penelitian meliputi teknik pengambilan minyak dan analisis serta transformasi minyak menjadi kristal borneol, dengan kadar mencapai 96%. Kristal borneol, merupakan antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme jenis bakteri seperti S. aureus dan B. cereus. Hanya saja terkendala karena ketujuh spesies Dryobalanops yang ada di Indonesia saat ini sulit ditemukan karena sudah langka. Saat ini lokasi tempat tumbuh Dryobalanops aromatica yang dilindungi ada di Kota Subulussalam, Aceh yaitu di hutan lindung bukit kapur. Selain itu ada juga di hutan lindung Gunung Daik, Pulau Lingga, Kepulauan Riau.
POTENSI MASA DEPAN BORNEOL INDONESIA Masa depan borneol Indonesia sangat terbuka luas, mengingat potensi Dryobalanops aromatica yang ada saat ini sangat memungkinkan, dengan catatan harus memenuhi kaidah dan cara pemungutan hasil yang berkelanjutan, serta harus ada pengawasan yang ketat dari pihak yang terkait. Karena untuk mendapat borneol saat ini, tidak harus menebang pohon, melainkan hanya di sadap minyaknya (Gambar 8), kemudian dengan sedikit teknologi selanjutnya ditransformasi menjadi kristal (Gambar 9 dan 10). Harga kristal borneol jauh lebih mahal dari pada minyak.
264
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 259-264, April 2015
Gambar 9. Kristal borneol dan minyak Dryobalanops aromatica.
profesional baik di dalam maupun ke luar negeri, akan menghasilkan pendapatan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 9. Mengambil minyak Dryobalanops tanpa penebangan
Oleh sebab itu harus ada standar dan pengawasan yang ketat agar penjualan komoditi ini harus dalam bentuk kristal. Di samping itu, perlu adanya standar untuk tujuan pasar sehingga kualitas komoditas ini dapat dijaga. Manfaat borneol ini, merupakan temuan yang menggembirakan untuk dunia medis, terutama untuk menggantikan bahan obat-obatan yang selama ini diimpor dan membutuhkan devisa negara yang tidak sedikit. Pemanfaatan borneol sebagai bahan obat-obatan dapat mengurangi borneol impor yang dibutuhkan. Penggunaan senyawa kimia borneol untuk obat, menjadi aset bangsa yang berharga, dan apabila dikembangkan untuk diperdagangkan secara
Ashton PS. 2004. Dipterocarpaceae. In: Soepadmo E, Saw LG, Chung RCK (eds.) Flora of Sabah and Sarawak, Volume 5. Government of Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia. Choi HS. 2003. Character impact odorants of citrus hallabong [(C. unshiu Marcov x C. sinensis Osbeck) x C. reticulata Blanco] cold-pressed peel oil. J Agric Food Chem 51:2687-2692. Chung TY, Eiserich JP, Shibamoto T. 1993. Volatile compounds isolated from edible Korean chamchwi (Aster scaber Thunb). J Agric Food Chem 41:1693-1697. Dharmananda S. 2003. Dryobalanops for medicine. Director, Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Duke S. 2005. Plants containing Borneol. Phytochemical and Ethnobotanical Databases. Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Huo GZ. 1995. Bing pian's anti-inflammation and analgesia effects on laser burn wounds. China J Pharm 30 (9): 532-534. IUCN. 2007. Dryobalanops keithii. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2007. International Union for Conservation of Nature. 1998. Retrieved 11 November 2007. Listed as Critically Endangered Shaoquan T, Gouda T. 1990. Dipterocarpaceae. In: Li HW (ed.) Fl. Reipubl. Popularis Sin 50 (2): 113-131. Sutrisna D. 2008. Kapur barus: pohon dan sumber tertulis asing. Balai Arkeologi. Medan Yamada T, E.Suzuki. 2004. Ecological role of vegetative sprouting in the regeneration of Dryobalanops rappa, an emergent species in a Bornean tropical wetland forest. J Trop Ecol 20: 377-384.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 265-269
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010216
Aktivitas Ochrobactrum sp. S79 L7T03, sebagai isolat yang bermanfaat untuk remediasi lingkungan tercemar dan agen pendukung pupuk organik hayati Assessing the potential of Ochrobactrum sp.S79 L7T03 isolate for environmental remediation and as supporting agents of organic biofertilizer HARTATI IMAMUDDIN♥, T. KUMALA DEWI, D. AGUSTYANI, SARJIYA ANTONIUS Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI. CSC, Jl Raya Jakarta-Bogor Km 46 Cibinong Bogor 16911, Jawa Barat. Tel.: +62-21-87907636, 87907604 Fax. 87907612, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Imamuddin I, Kumala Dewi T, Agustyani D, Antonius S. 2015. Aktivitas Ochrobactrum sp. S79 L7T03, sebagai isolat yang bermanfaat untuk remediasi lingkungan tercemar dan agen pendukung pupuk organik hayati. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 265-269. Krisis masalah lingkungan pertanian di Indonesia sangat mengakhawatirkan, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya pendekatan yang lebih terintegrasi dengan memanfaatkan mikroba yang memeliliki kemampuan multi guna. Penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi bakteri dan karakterisasi isolat L7T03 dalam menunjang remediasi lingkungan tercemar dan agen pendukung pupuk organik hayati. Isolasi resisten L7T03 dilakukan dengan metoda plate count dengan penambahan logam berat dan uji resistensi secara kualitatif dengan metoda disk blank. Identifikasi isolat L7T03 dilakukan dengan 16S rDNA. Metoda untuk pengukuran IAA dilakukan dengan dua cara yaitu dengan kolorimetri dan HPLC. Hasilnya menunjukkan bahwa isolat L7T03 dengan 16S rDNA partial adalah Ochrobactrum sp.S79 L7T03 dengan kecocokan 99%. Ochrobactrum sp.S79 L7T03 adalah bakteri yang cukup potensial agen remediasi karena mempunyai banyak kemampuan diantaranya resisten terhadap berbagai logam berat diantaranya merkuri (HgCl2) sampai konsentrasi 70 ppm, Tembaga (Pb) 1000 ppm, Zink (Zn) 2000 ppm, Cobalt (Co), Cr (Chrom) 2000 ppm, Cu (Cuprum) 2000 ppm disamping itu bakteri tersebut juga dapat tumbuh pada pestisida (carbaryl) sampai konsentrasi 50-100 ppm Kemampuan penting lainnya adalah kemampuannya dapat menghasilkan hormon tumbuh IAA (Indol Acetic Acid) sebesar 19,335 ppm dengan tryptophan dan tanpa tryptophan hanya 3,22 ppm. Ochrobactrum sp. juga mampu menghasilkan Zeatin Riboside (Sitokinin) yang sangat penting bagi pembelahan sel untuk inisiasi pertumbuhan tanaman. Dari hasil yang diperoleh membuktikan bahwa bakteri tersebut sangat penting perannya sebagai pendukung pembuatan pupuk organik hayati Beyonic-LIPI seri StarTmik. Kata kunci: Merkuri, Ochrobactrum, pupuk, IAA
Abstract. Imamuddin I, Kumala Dewi T, Agustyani D, Antonius S. 2015. Assessing the potential of Ochrobactrum sp. S79 L7T03 isolate for environmental remediation and as supporting agents of organic biofertilizer. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 265269. Environmental crisis in Indonesia is getting worse, that alternative effort, for example, the use of microbes, are needed to solve the problems. This study aimed to examine the potential of isolated L7T03 for remediation of the organic fertilizer-polluted environment. Isolation of L7T03 resistant was done using plate count method with the addition of heavy metals, while the resistance was qualitatively examined using the blank disk method. Identification of isolate L7T03 was based on 16S rDNA marker. The IAA measurement was based on colorimetry and HPLC. The identification test showed that the isolate L7T03 was identified as Ochrobactrum spS79, with 99% conformity on the 16S rDNA marker. The Ochrobactrum spS79 isolate L7T03 is a potential agent for remediation because it shows resistance to various heavy metals including mercury (HgCl2) until 70 ppm, Copper (Pb) 1000 ppm, Zinc (Zn) 2000 ppm, Cobalt (Co), Cr (chrom) 2000 ppm, Cu (Cuprum) 2000 ppm. In addition, the isolate can also grow on medium contaminated with 50-100 ppm of pesticides (carbaryl). The isolate also produces IAA (Indole Acetic Acid) up to 19.335 ppm and 3.22 ppm, with tryptophan and without tryptophan, respectively. The results suggest that the bacteria is beneficial for environmental remediation and to support the organic fertilizer Beyonic-LIPI StarTmik series. Keywords: Mercury, Ochrobactrum, fertilizer, IAA
PENDAHULUAN Tanah mengandung berbagai jenis mikroorganisma yang dapat ditemukan di semua ekosistem. Mikroorganisma memegang peran penting dalam rantai makanan dan keseimbangan biologi dalam kehidupan.
Bacteria sangat penting dalam siklus geokimia sebagai contoh: siklus karbon, nitrogen, sulfur dan fosfat, tanpa kehadiran bakteri tanah tidak akan fertile dan material organik misalnya jerami, daun tidak dapat terakumulasi secara cepat (Kummerer 2004).
266
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 265-269, April 2015
Secara normal tanah mempunyai kandungan logam berat yang kecil. Tetapi di lokasi pertanian, industri dan limbah rumah tangga dan pupuk konsentrasinya akan meningkat dan sangat berbahaya bagi organisma yang hidup di lingkungan tersebut.Walaupun organisma mempunyai kemampuan untuk detoksifikasi suatu polutan dengan mineralisasi, transformasi dan immobilisasasi, tetapi (khususnya bakteri) berlaku hanya disaat krusial/tertentu pada siklus biogeokimia dan perkembanngan yang berkelanjutan di bumi (Diaz 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pengaruh logam berat dapat mempengaruhi pertumbuhan, morfologi dan aktivitas biokimianya yang akan berakibat turunnya biomasa dan keragaman komunitas mikroba (Baath 1989; Reber 1992; Malik and Ahmed 2000). Di Cikotok penambangan liar (PETI) masih juga ada dan menggunakan merkuri sebagai pemisah emas dan batuan sehingga sangat membahayakan lingkungan. Interaksi antara tanaman dan mikroba telah banyak diketahui keuntungannya diantaranya bakteri yang diisolasi dari tanah pertanian diketahui dapat membantu fiksasi dari N udara, pelarut fosfat dan dapat mensintesa hormon tanaman yang dikenal sebagai IAA (Indole acetic acid) (Dhara et al. 2009). Penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi bakteri dan karakterisasi isolat L7T03 dalam menunjang remediasi lingkungan tercemar dan agen pendukung pupuk organik hayati. BAHAN DAN METODE Isolasi awal bakteri resisten Isolasi dilakukan dari sampel tanah dan air yang berasal dari Pertambangan Emas Cikotok dan Pongkor. Isolasi dilakukan dengan pengenceran berseri dengan metode plate count media yang digunakan untuk isolasi ditambahkan 5 ppm HgCl2 (Pongkor) dan 10 ppm HgCl2 (Cikotok). Identifikasi bakteri Identifikasi bakteri dilakukan dengan 16S rDNA partial menunjukan isolat Ochrobactrum SP. S79 L7T03 mempunyai nama Ochrobactrum sp. S79 L7T03 (99%) Pengujian resistensi Ochrobactrum sp. S79 L7T03 terhadap berbagai logam berat Bakteri yang digunakan adalah Ochrobactrum sp. S79 L7T03 (Cikotok). Uji resistensi secara kualitatif logam berat menggunakan metoda disk blank (Dukta 1989). Logam berat yang digunakan adalah: Cu-CuSO4 (500, 1000, 1500, 2000 ppm); Zn-ZnSO4 (500, 1000, 1500, 2000 ppm); Pb-Pb acetate (250, 500, 750, 1000 ppm); Cr (400, 600, 1000, 1500 ppm); Co-Co(NO3)2. (500, 1000, 1500, 2000) dan Hg- HgCl2 (30, 40, 50, 100 ppm). Pengujian pertumbuhan pada HgCl2 dan carbaryl Pengujian pertumbuhan isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada HgCl2 Pembuatan suspensi isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 dilakukan dengan cara menumbuhkan 1 ose ke
dalam 25 mL media Luria Bertani setelah tumbuh, dipipet 3 mL dimasukkan ke dalam 147 mL media cair Luria Bertani. Konsentrasi HgCl2 yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,10,20,30,40,50,60,60,70,80,90 dan 125 ppm. Untuk mengukur pertumbuhan diambil 2 mL suspensi bakteri kemudian diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 436 nm. Pertumbuhan isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada carbaryl Konsentrasi carbaryl yang diujikan adalah 50, 100 dan 200 ppm. Isolat terpilih diremajakan pada media NB + carbaryl 50 ppm setelah inkubasi diatas shaker selama 24 jam, 3 mL suspensi bakteri tersebut dipipet dan diinokulasikan kedalam 100 mL media MM + 50, 100 dan 200 ppm carbaryl. Untuk mengukur pertumbuhan diambil 2 mL suspensi bakteri kemudian diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 436 nm. Produksi IAA Pengukuran Produksi IAA metoda kolorimetri Metoda kolorimetri yang digunakan menurut Metode Gravel et al. (2007). Pengukuran IAA dengan HPLC Sampel yang digunakan disentrifuse selama 10 menit, 5000 rpm. Supernatan dipisahkan setelah itu dilakukan ekstraksi dengan cara mepipet 5 mL sampel dimasukkan kedalam corong pisah ditambahkan 5 mL ethyl asetat dikocok pekerjaan ini diulang-ulang sampai larutan terpisah, larutan bagian atas dipisahkan kedalam botol kecil untuk dilakukan evaporasi. Hasil evaporasi ditambah ethanol langsung diukur dengan HPLC. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi bakteri Hasil isolasi didapatkan 19 isolat bakteri resisten dari daerah penambangan emas Cikotok dan isolat bakteri resisten merkuri dari daerah Pongkor. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa sampel yang diambil dari daerah Cikotok mempunyai bakteri resisten lebih tinggi dibandingkan daerah Pongkor. ini biasa terjadi karena pengambilan sampel Pongkor dari sungai yang jauh dari. daerah tercemar merkuri hasil ini sesuai dengan pernyataan Misra (1992) dan Shazia et al. (2002) bahwa bakteri yang tahan terhadap logam berat adalah bakteri yang telah lama beradaptasi terhadap lingkungan yang tercemar logam berat (Tabel 1). Dari 19 isolat yang diuji resistensinya secara kualitatif didapatkan 2 isolat yang mempunyai resistensi tertinggi (50 ppm dan 90 ppm) 2 isolat tersebut adalah: Ochrobactrum sp. S79 L7T03 dan isolat L6T2-2 resisten pada 50 ppm sampai 90 ppm HgCl2 dan isolat-isolat yang lain hanya tahan ≤ 40 ppm dan adapula yang tidak resisten yakni isolat L7T5-5 dan V2.
IMAMUDDIN et al. – Ochrobactrum sebagai agen pupuk organic hayati
Isolat
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
6 12 18 24 44 49 68 72 103 130 202 226 250
Waktu (Jam) Gambar 1. Pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada media cair LB + HgCl2
1 .4 K o n tr o l 1 .2
C B 100ppm
C B 50 ppm
C B 200ppm
1 .0
0 .8
OD 540 nm
L6T3-L6T3-2 Cikotok L7T2-L7T2-3 Cikotok L6T2-L6T2-2 Cikotok L6T3-L6T3-1 Cikotok L6T5 L6T5 Cikotok L7T5-L7T5-5 Cikotok L7T0-L7T0-3 Cikotok L7T1-L7T1-2 Cikotok II II-4 Pongkor IV-1 IV-1 Pongkor V-2 Ci IV-2 Pongkor IV V-3 V-2 Pongkor V-2 V V-3 Pongkor V-3 VII Pongkor IX-X Pongkor I P XI-1 Pongkor XI-1 XI-2 Pongkor XI-2 XIII Pongkor XVI XVI Pongkor
Konsentrasi Hg Cl2 0 5 10 15 20 30 50 90 + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
OD 436 nm
Tabel 1. Hasil uji resitensi secara kualitatif terhadap HgCl2
267
0 .6
0 .4
Tabel 2 . Data resistensi isolat teruji terhadap logam berat.
0 .2
0 .0
Isolat uji Ochrobactrum sp. S79
HgCl2 50 ppm +
Pb 1000 ppm +
Cu 2000 ppm +
Cr 2000 ppm +
Co 2000 ppm +
Zn 1500 ppm +
L7T03
- 0 .2 0
20
40
60
80
W a k tu ( J a m )
Gambar 2. Pertumbuhan isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 L7TO3 pada media MM + carbaryl
A
B
Gambar 3. A, B. Produksi IAA oleh isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03
Pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada HgCl2 Pengujian toksisitas dengan konsentrasi 60 ppm HgCl2 isolat tersebut masih tumbuh baik hingga mencapai OD= 17,900, dengan konsentrasi 70 ppm HgCl2 juga masih menunjukkan pertumbuhan relatif baik dengan OD > 5, sedangkan pada konsentrasi 20 ppm pertumbuhannya kurang bagus kemungkinan terkontaminasi oleh bakteri
lain karena warna media berubah menjadi kehijauan. Dengan penambahan konsentrasi HgCl2 menjadi 80 ppm, 90 ppm dan 125 ppm pertumbuhan isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 mulai terhambat ini ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan nilai OD dari awal inkubasi sampai inkubasi ke 103 jam OD yang dicapai hanya mencapai 0,3 gambar tidak ditampilkan). Jadi dapat disimpulkan bahwa
268
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 265-269, April 2015
toksisitas isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 hanya sampai konsentrasi HgCl2 70 ppm. (Gambar 1). Resistensi Ochrobactrum sp. S79 L7T03 terhadap beberapa logam berat Dari Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa isolat Ochrobatrum sp. S79 L7T03 tahan merkuri sampai 50 ppm dan terhambat pada konsentrasi 100 ppm dan logam berat yang lain mencapai 1000-2000 ppm. Hasil ini mengindikasikan bahwa. isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 mempunyai ketahanan terhadap beberapa logam berat dengan konsentrasi yang cukup tinggi, kecuali terhadap logam berat merkuri. Resistensi Ochrobatrum sp. S79 L7T03 terhadap berbagai logam berat mengindikasikan bahwa bakteri ini potensial untuk meningkatkan efisiensi tanah terhadap kontaminasi logam berat (Ozdemir 2003; Pandey 2010; Waranusantigul et al. 2011). Pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada pestisida carbaryl Ochrobactrum sp. S79 L7T03 juga mempunyai kemampuan tumbuh pada media yang mengandung pestisida carbaryl sampai konsentrasi 200 ppm. Pada gambar 1 dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada kontrol dimulai setelah 24 jam inkubasi. Penambahan 50 ppm carbaryl,100 ppm carbaryl dan 200 ppm carbaryl pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 lebih rendah dari kontrol kecuali pada penambahan + 200 ppm carbaryl pertumbuhannya hampir menyamai pertumbuhan kontrol , tetapi kontrol terus tumbuh sedangkan pertumbuhan Ochrobactrum sp. + 200 ppm carbaryl mulai menurun sampai 72 jam inkubasi. Pertumbuhan pada penambahan carbaryl 50 ppm menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat diikuti dengan pertumbuhan dengan penambahan carbaryl 100 ppm. Pada 72 jam inkubasi 3 perlakuan menunjukkan pertumbuhan yang sama pada OD < 0,8, sedangkan kontrol pertumbuhan masih berlanjut sampai mencapai OD >1 dan sedikit menurun setelah 72 jam inkubasi. Produksi IAA dengan metoda kolorimetri dari isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 Dari gambar 3 dapat dinyatakan bahwa produksi IAA dari 14 isolat uji menunjukkan bahwa isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 mencapai produksi tertinggi sebesar (9 .65 ppm) pada 72 jam inkubasi (gambar 3a). Ternyata setelah disimpan kemudian diuji ulang ada peningkatan kandungan IAA nya isolat sebesar 27.37 ppm pada inkubasi 48 jam, pada inkubasi 72 jam konsentrasi menurun sampai 26.159 (gambar 3b). Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa konsentrasi IAA bisa berubah dari waktu ke waktu. Produksi IAA dengan metoda HPLC dari isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 Produksi IAA dengan metoda HPLC ternyata lebih besar dari metoda kolorimetri walaupun perbedaan itu tidak signifikan, HPLC sebesar 19,335 ppm dengan tryptophan dan tanpa tryptophan hanya 3,22 ppm dan kolorimetri 9.65 ppm.
Pembahasan Isolat-isolat yang didapatkan dari daerah Cikotok mempunyai resistensi lebih tinggi dibandingkan dengan isolat dari sampel Pongkor. Ini biasa terjadi karena pengambilan sampel Pongkor dari sungai yang jauh dari. daerah tercemar merkuri hasil ini sesuai dengan pernyataan Misra (1992) dan Shazie et al. (2002) bahwa bakteri yang tahan terhadap logam berat adalah bakteri yang telah lama beradaptasi terhadap lingkungan yang tercemar logam berat (Tabel 1). Pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada HgCl2 Isolat Ochrobactrum sp. S79 L7T03 dapat tumbuh pada konsentrasi HgCl2 sampai 70 ppm, hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Horn et al. 1994 . Dalam laporannya Pseudomonas putida yang diuji mempunyai resistensi 10 sampai 70 ppm. Lebih lanjut dilaporkan bahwa konsentrasi dari merkuri tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri resisten. Bakteri resisten merkuri dapat melepaskan merkuri dan tumbuh pada media yang mengandung merkuri dengan aktivitas ezimatik merkuri reduktase, sedangkan bakteri yang sensitive merkuri tidak punya mekanisme untuk detoksifikasi. Kurva pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 mempunyai pola pertumbuhan dengan lagphase yang panjang terutama pada konsentrasi HgCl2 yang tinggi (Gambar 1) (Hansen et al. 1984). Pada Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa Ochrobactrum sp. S79 L7T03 ini resisten terhadap beberapa logam berat (Hg, Pb, Cu,Cr,Co dan Zn). Bila dibanding dengan penelitian Gunaseelan dan Ruban (2011) hasilnya agak berbeda, pada penelitinnya didapatkan isolat resisten merkuri sampai 350 ppm , Cd 250 ppm, Cr 700 ppm dan Zn 250 ppm.Resistensi Ochrobatrum sp. S79 L7T03 terhadap berbagai logam berat mengindikasikan bahwa bakteri ini potensial untuk meningkatkan efisiensi tanah terhadap kontaminasi logam berat (Ozdemir 2003; Pandey 2010; Waranusantigul et al. 2011). Pertumbuhan Ochrobactrum sp. S79 L7T03 pada pestisida carbaryl Dari Gambar 2 dapat diasumsikan bahwa Ochrobactrum sp. S79 L7T03 dapat memanfaatkan carbaryl sebagai sumber n dan c terbukti bakteri tersebut dapat hidup pada media yang mengandung carbaryl tanpa sumber n dan c (Doddamani et al. 2001). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Zhao et al. (2011) yang menyatakan bahwa beberapa bakteri rhizobacteria pegang peran dalam mendegradasi pestisida. secara rinci dilaporkan pestisida yang didegradasi adalah 80% chlorofiros, 85% β cypermenthrin dan 58% imidacaeporod dalam media cair selama 60 jam, karena potensi tersebut bakteri tersebut potensial untuk biofertilizer dan biopesisida. Produksi IAA Tryptophan meningkat kan produksi IAA pada Ochrobatrum sp. S79 L7T03 ini mengindikasikan bahwa untuk biosintesa nya memerlukan prekusor tryptophan (Dhara et al. 2009). Hasil ini agak berbeda dengan Ashraf et al. (2011), yang melaporkan bahwa dari 12 isolat yang
IMAMUDDIN et al. – Ochrobactrum sebagai agen pupuk organic hayati
diamati tanpa tryptophan sebagai prekusor maka produksi IAA tidak terdeteksi. Dapat disimpulkan bahwa Ochrobatrum sp. S79 L7T03 dapat menghasilkan IAA, diharapkan dapat memacu pertumbuhan tanaman, pendapat ini dikuatkan oleh hasil penelitian Principe (2007) yang menyatakan bahwa bakteri Ochrobatrum sp. S79 L7T03 dapat meningkatkan pertumbuhan jagung pada salinitas tinggi dan normal. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Nani Mulyani dan Arie Rosmalina yang membantu dalam penelian ini DAFTAR PUSTAKA Ashraf MA, Rasol M, Mirza MS. 2011. Nitrogen fixation and Indole Acetit Acid production potensial of bacteria isolated from rhizophere of sugarcane (Saccharum officinarum L.). Adv Biol Res 5 (6): 348355. Baath E. 1989. Effects of heavy metal in soil on microbial process and population. Water Air Soil Pop 47: 335-346. Dara PS, Hemangi GC, Vijay MK, Dilip DD, Balu AC. 2009. Isolation and characterization of Indole Acetit Acid (IAA) producing Klebsiella pneumoniae strains from rhizosphere of wheat (Triticum aestivum) and their effect on plant growth. Indian J Exp Biol 47: 993-1000. Diaz E. 2004. Bacterial degradation of aromatic pollutants: paradigm of metabolic versatility. Intl Microbiol 7: 173-180. Doddamani HP, Ninnekar HZ. 2001. Biodegradation of carbaryl by a Micrococcus species. Curr Microbiol 43 (1): 69-73 Dutka B.J, Bitton G. 1989. Toxicity Testing Using Microorganisms. Vol II. CRC. Press.,Inc. Boca Raton. Florida. Gravel V, Antoun AH., Tweddell RJ. 2007. Effect of indole-acetic acid (IAA) on the development of symptoms caused by Pythium ultimum on tomato plants. Eur J Plant Pathol 119, 457–462.
269
Gunaseelan C, Ruben P. 2011. Heavy metal resistance Bacterium isolated from Krishna-Godavari basin, Bay of Bengal. Intl J Environ Sci 1 (7): 1856-1864. Hansen CL, Zwolinski MG, Martin D, Williams JW. 1984. Bacterial removal of mercury from sewage. Biotechnol Bioeng 26: 1330-1333 Horn JM, Brunke M, Deckwer WD, Timmis KN, 1994. Pseudomonas putida strains which constitutively overexpress mercury resistance for bioremediation of organomercurials pollutants. Appl Environ Microbiol 60: 357-362 Kummerer K. 2004. Resistence in the environment. J Antimicrob Chemoth 45: 311-330 Malik A, Jaiswal R. 2000. Metal resistance in Pseudomonas strains isolated from soil treated with industrial waste water. World J Microbiol Biotechnol 16: 177-182. Osdemir G, Tanzel O, Gyhun W, Isler R, Cosar T. 2003. Heavy metals biosorpstion by biomass of Achrobactrum anthropi producing exopolysaccharide in activated sludge. Bioresour Technol 90 (1): 7174 Pandey S, Saha P, Barai PK, Maiti TK. 2010. Characterization of a Cd(2+) resistent strain of Ochrobactrum so isolated from slug disposal site of iron and steel factory. Curr Microbiol 6 (2): 106-111 Principe A, Castro MG, Zaelin L, Fischer SE, Mori GB, Jofre E. 2007. Biocontrol and PGPR features in native strains isolated from saline soils of Argentina. Curr Microbiol 55 (4): 314-322 Reber HH. 1992. Simultaneous estimates of the diversity and degradative capability of heavy metal affected soil bacterial communities. Bioferti Soil 13: 181-186. Shazia A, Yasmin A, Hasnanain S. 2002. Characterization of Some Indigenous Resistant Bacteria from Polluted Enviroment. Pakistan J Biol Sci 5 (7): 792-797. Misra TP. 1992. Heavy Metals, Bacterial Resistances. Encyclopedia of Microbiology. Vol II. Academic Press. Inc.V. Thiel. Teresa. Waranusantigul P, Lee H, Kruatrachue M, Pokethitiyook P, Auesukaree C. 2011. Isolation and characterization of lead-tolerant Ochrobactrum intermedium and its role in enchancing lead accumulation by Eucalyptus camaldulensis. Chemosphere 85 (4): 584-590 Zhao L, Songshan T, Yanping L. 2011. Characterization of a versatile rhizophere organism from cucumber identified as Ochrobactrum haematophylum. J Basic Microbiol. Article first publised online: 21 Juli 2011. DOI: 10.1002/Joban.201000491
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor2, April 2015 Halaman: 270-277
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010217
Uji aktivitas antibakteri Lactobacillus plantarumterseleksi dari buah markisa (Passiflora edulis) dan kaitannya dengan genplantarisin A (plnA) Antibacterial activity test of Lactobacillus plantarum isolated from passion fruits (Passiflora edulis) and its relation to plantarisin gene (plnA) TITIN YULINERY♥, NOVIK NURHIDAYAT Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl Raya Jakarta-Bogor Km 46 Cibinong Bogor 16911, Jawa Barat. Tel.: +62-218765066, Fax. +62-21-8765062, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Yulinery T, Nurhidayat N. 2015. Uji aktivitas antibakteriLactobacillus plantarum terseleksi dari buah markisa (Passiflora edulis) dan kaitannya dengan gen plantarisin A (plnA). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 270-277. Lactobacillus plantarum memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri patogen karena bakteri ini menghasilkan bakteriosin yang disebut dengan plantaricin. Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas antibakteri dan mendeteksi gen plnA pada L. plantarum terseleksi dari buah markisa. Sepuluh isolat L. plantarum dari buah markisa diuji aktivitasnya dengan bakteri uji Bacillus cereus dan Escherichia coli menggunakan metode difusi. Selanjutnya dilakukan isolasi DNA dari isolat terseleksi, kemudian Gen plnA dideteksi dengan metode PCR menggunakan primer spesifik untuk gen plnA.Analisis gen plnA dilakukan dengan membandingkan tingkat homologinya yang terdapat di sumber data Genebank. Hasil dari uji aktivitas antibakteri diperoleh 4 isolat L. plantarum MarB4, Mar8, MarA7, dan MarA5 dengan zona hambat pertumbuhan relatif lebih besar dari pada isolat uji yang lain. Hasil pengujian dengan PCR memberikan hasil yang positif untuk gen plnA dengan ukuran produk sekitar 400-500 bp. Hasil sekuensing memiliki homologi 100% dengan isolat L. plantarum, hal ini menunjukkan bahwa gen plnA dapat dideteksi dari isolat L. Plantarumterseleksi dari buah markisa yang mempunyai aktivitas antimikroba. Kata kunci: Antibakteri, gen plnA, buah markisa, Lactobacillus plantarum Abstract. Yulinery T, Nurhidayat N. 2015. Antibacterial activity test of Lactobacillus plantarum isolated from passion fruits (Passiflora edulis) and its relation to plantarisin gene (plnA).Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 270-277. Lactobacillus plantarum is able to inhibit the growth of pathogenic bacteria because it produces bacteriocin, known as plantaricin. This study is aimed to test the antibacterial activity and detect the plnA gene of L. plantarum isolated from passion fruits (Passiflora edulis Sims). Ten isolates of L. plantarum were tested for the level of inhibitory activity to bacterial pathogen Escherichia coli and Bacillus cereus using diffusion method. DNA was extracted from selected isolates and the plnA gene was PCR-amplified with its specific primers for plnA. Analysis of plnA gene was done by comparing the level of homology in the Genebank’s data sources. The results showed that L. plantarum isolates MarB4, Mar8, MarA7 and MarA5 exhibited larger inhibition zone than the other isolates. The PCR amplification showed a positive indication of gene plnA with product size about 400-500 bp. Sequencing analysis showed 100% homology with L. plantarum isolates, suggesting that the gene can be identified as plnA gene responsible for the antimicrobial activity. Keywords: Antibacterial, plnA genes, passion fruit, Lactobacillus plantarum
PENDAHULUAN Bakteri asam laktat (BAL) sering digunakan untuk makanan dan pengawetan makanan misalnya untuk produksi produk fermentasi susu, keju, roti dan beberapa spesies juga digunakan sebagai protektif dalam industri daging (Vermeiren et al. 2004). Salah satu genus yang sering digunakan dari LAB adalah Lactobacillus. Keberadaan Lactobacillus di alam cukup beragam, dapat ditemukan pada tanaman, tanah, air, hewan, makanan dan saluran usus manusia.Bakteri Lactobacillus plantarum berbentuk batang dan tidak bergerak (non motil), bakteri ini
memiliki sifat katalase negatif, aerob atau fakultatif anaerob, mampu mencairkan gelatin, cepat mencerna protein, tidak mereduksi nitrat, toleran terhadap asam, dan mampu memproduksi asam laktat. Koloni L. plantarum dalam media agar berukuran 2-3 mm, berwarna putih. L. plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroba patogen pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan bakteri asamlaktat lainnya (Fraizer dan Dennis, 1998). Aktivitas antimikroba dari Lactobacillus terutama disebabkan oleh produksi asam laktat, asetat, format, kaproat, propionat, butirat dan asam valerat (Corsetti et al.
YULINERY & NURHIDAYAT – Uji antibakteri Lactobacillus plantarum
1998). Lactobacillus juga menghasilkan zat penghambat lainnya seperti H2O2 (Ito et al. 2003) serta bakteriosin yakni senyawa protein yang dihasilkan oleh bakteri yang memiliki aktivitas bakterisidal dan bakteriostatik (Ogunbanwo et al. 2003) selanjutnya Ammor et al. (2006) menambahkan bahwa bakteriosin merupakan senyawa termostabil dengan berat molekul rendah dan mempunyai kemampuan dalam menghambat bakteri Gram positif atau Gram negatif serta mempunyai efek terapeutik. Bakteri Gram positif lainnya yang merupakan mikroba penyebab pembusukan dan patogen pada makanan yaitu Staphylococcus aureus, Salmonella danbeberapa spesies Bacillus.Bacillus cereus bersifat aerob atau aerob fakultatif, motil, membentuk spora. Bakteri ini sering dikaitkan terutama dengan keracunan makanan, beberapa dilaporkan sebagai penyebab infeksi non gastrointestinal yang serius dan berpotensi fatal (Bottone 2010).Sel Bacillus cereus mempunyai ujung yang berbentuk empat persegi dan tersusun dalam rantai panjang. Spora biasanya terletak di tengah basil yang tidak bergerak dan resisten terhadap perubahan lingkungan seperti panas kering dan disinfektan kimia tertentu selama waktu yang cukup lama dan dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam tanah kering dengan menggunakan sumber nitrogen dan karbon sederhana untuk energi dan pertumbuhannya (Johnson dan Arthur 1994), sedangkan Escherichia, adalah bakteri Gram negatif yang sebagian spesiesnya penyebab penyakit saluran pencernaan.E. coli ditemukan di danau, sungai dan laut, berasal dari tinja manusia dan hewan berdarah panas serta perairan yang terkontaminasi oleh limbah bersifat organik dan dalam usus manusia dan hewan.Beberapa galur merupakan patogen tehadap manusia dan hewan yang terlibat dalam penyakit menular melalui makanan (Ray 2004). Sasaran bakteriosin umumnya mengganggu dinding sel atau membran dengan menghambat biosintesis dinding sel atau menyebabkan pembentukan pori sehingga dapat menyebabkan kematian sel (Sullivan et al. 2002).Bakteriosin yang ditemukan pada bakteri probiotik L. plantarum adalah plantarisin. Berbagai jenis plantarisin yang diproduksi oleh L. plantarum diantaranya plantarisin (pln) A,plnAmerupakan gen untuk regulasi produksi bakteriosin sedangkan gen plantarisin G, H, S, T, U,V merupakan gen yang terlibat dalam transportasi bakteriosin (Sturme et al. 2007; RojoBezares et al. 2008; Diep et al. 2009;Sáenz et al. 2009). Plantarisin A merupakan salah satu jenis bakteriosin kelas II yang tahan terhadap panas. Gen plnA berfungsi sebagai penginduksisinyal yang bertanggung jawab untuk produksi plantarisin A serta transkripsi plnBCD yang merupakan satu operon dalam satu gen struktural. Plantarisin A mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai faktor induksi dalam pengaturan gen dan sebagai peptida antimikroba (Diep et al. 2009). Struktur α heliks gen plnA meliputi asam amino 12 sampai 21 (diduga termasuk juga asam amino 22 dan 23), merupakan pengenal heliks yang dapat membuat kontak sehingga sekuen DNA dapat dibaca (Per et al. 2005). Mengingat fungsinya yang penting, gen plnA telah dideteksi dari beberapa L. plantarum antara lain dari L. plantarum ST-III pada sayur kimchi (Wang et al. 2010) dan L. plantarum WCFS1 dari saliva manusia (Kleerebezem et al. 2003).
271
Beberapa isolat L. plantarum dari buah markisa indigenus Indonesia memiliki fungsi probiotik dapat berperan menurunkan kolesterol telah diisolasi dan dienkapsulasi (Nurhidayat et al. 2006). Gen plnA pada L. plantarum dari buah markisa belum pernah dideteksi selama ini. Penelitian ini akan mendeteksi gen plnA pada isolat L. plantarum terseleksi dari buah markisa (Passiflora edulis Sims) yang memiliki aktivitas hambat tertinggi terhadap bakteri uji B. cereus dan E. coli. Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas antibakteri dan mendeteksi gen plnA pada L. plantarum terseleksi dari buah markisa (Passiflora edulis Sims). BAHAN DAN METODE Isolasi dan karakterisasi bakteri Lactobacillus Isolasi Lactobacillus menggunakan media GYP (Glucose Yeast Peptone) dengan komposisi dalam 1 liter sebagai berikut : glukosa 10 g, yeast ekstrak 10 g,pepton 5 g, beef ekstrak 2 g, Na-acetat.H2O 1,4 g,salt solution 5 ml (salt solution: MgSO4.7H2O 0,1 g; MnSO4.4H2O 0,1 g; FeSO4.7H2O 0,1 g; NaCl 0,1 g; dH2O 50 mL) Tween 80 0,5 g, agar 20 g CaCO3 0,075 g/mL medium, dH2O 1 L.Media pemeliharaan isolat Lactobacillus adalah media MRS (de Man Rogosa Sharpe) agar (Oxoid), Sampel buah diambil sebanyak 1 g lalu dilakukan pengenceran sampai 10-8 dengan larutan saline (0,85% NaCl) secara duplo, kemudian diinokulasikan pada media GYP dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 48 jam. Pertumbuhannya diamati, apabila pada media GYP terlihat zona jernih diduga bakteri asam laktat. Selanjutnya dilakukan pewarnaaan Gram dan uji katalase untuk mendapatkan bakteri Lactobacillus. Pewarnaan Gram dilakukan menurut metode Harisha (2006) dan uji aktivitas katalase dengan menggunakan H2O2 3%. Apabila diteteskan pada sel bakteri, reaksi katalase negatif apabila tidak adanya busa atau buih yang terjadi setelah penambahan larutan tersebut selama 1 menit. PrecultureBacillus cereus dan Eschericia coli Bakteri uji yang digunakan adalah Bacillus cereus dan Eschericia coli merupakan koleksi Lab. Genetika Mikrobiologi LIPI. Preculture bakteri uji Bacillus cereus dan Eschericia colimenggunakan media LB (Luria Bertani) dengan komposisi Tripton (10,0 g), Ekstrak Yeast (5,0 g), NaCl (10 g), Agar (15 g) dalam 1 liter Akuades dan media EMB untuk E.coli(Pepton 10 g, laktosa 5 g, (sukrosa 5 g), dikalium, PO4 2 g, agar 13,5 g, eosin y 0,4 g, methylene blue 0,065 g, dalam 1 liter Akuades, pH : 7,2). Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam Uji aktivitas antibakteri L. plantarum Metode yang digunakan adalah metode Agar Well Diffusion Assay (AWDA) (Gong 2010) yang dimodifikasi.Sepuluh isolat Lactobacillus yang telah diisolasi dari buah markisa yaitu isolat Mar A2, Mar A3, Mar A5, Mar A7, Mar B1, Mar B3, Mar B4, K Mar C7, Mar D2, dan Mar 8 ditumbuhkan pada media cair GYP selama 48 jam diinkubasi pada suhu 37°C. Kemudian
272
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 270-277, April 2015
disentrifugasi 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatannya ini berasal dari suspensi isolat Lactobacillus dengan jumlah 108 sel/mL. Supernatan disaring dengan menggunakan membran filter 0,2 mmsehingga menjadi supernatan yang bebas sel. Sebanyak 100 μL masing-masing kultur bakteri ujiE. coli dan B. cereus yang kekeruhannya setara dengan 106 sel/ml disebar pada media GYP, lalu diratakan hingga terdispersi keseluruh permukaan. Disc blank steril direndam selama 5 menit di dalam supernatan Lactobacillus laludiletakkan pada cawan yang telah berisi medium dan bakteri uji. Sebagai kontrol negatif digunakan akuades, sedangkan sebagai kontrol positif digunakan kloramfenikol lalu diinkubasi selama 48 jam suhu 37ºC.Aktivitas hambatan supernatan terhadap pertumbuhan bakteri uji terbentuk zona bening disekitar paper disc. Diameter zona penghambatan yang tertinggi akan digunakan untuk mendeteksi gen plnA. Semakin luas zona inhibisi maka akan semakin besar aktivitas antibakterinya. Kemudian hasilnya dikoreksi dengan kontrol, yaitu ukuran kertas uji sebesar 0.6 cm. Diameter daerah hambat relative = hasil ddh (cm)-0,6 cm 0,6 cm Ekstraksi DNALactobacillus Isolat Lactobacillus ditumbuhkan pada media GYP cair sampai mencapai fase log pertumbuhan lalu diambil sebanyak 1 mL dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 Rpm selama 2 menit. Pelet sel diambil dan ditambahkan 500 μl EDTA 50 mM, pH 8,0 dan 100 μL Lysozim 30 mg/ml, dihomogenkan dandiinkubasi pada suhu 37°C selama 30-60 menit. Selanjutnya mengikuti prosedur dari Kit dengan merk dagang Promega. Pelet DNA kemudian dikeringkan dan dilarutkan bufer TE 100 μL (Van Hijum et al. 2002). Uji kuantitasi DNA hasil lisis dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang A260 dan A280 nm untuk mengetahui kemurnian DNA dan juga pengukuran konsentrasi DNA (Watson et al. 1987). Kemurnian DNA ditentukan dengan indeks kemurnian berkisar antara 1.8-2.0 (Sambrook dan Russell 2001). Pengukuran serapan DNA dilakukan pada panjang gelombang 260 nm (A 260). Pada A260 = 1, konsentrasi DNA adalah 50 mg/mL, pengenceran adalah 10 ×. Penghitungan konsentrasi DNA sebagai berikut: Konsentrasi DNA (mg/mL) ×= A260 × 50 mg/mL × Pengenceran Analisis hasil isolasi DNA genom Hasil isolasi DNA genom dianalisis dengan elektroforesis gel agarose1% (b/v) Elektroforesis dilakukan selama 45 menit pada tegangan 100 Volt dengan TAE 1x sebagai running buffer. Hasil elektroforesis dilihat dengan transiluminator UV pada panjang gelombang 312 nm dan dicetak menggunakan printgraph (Van Hijum, 2002). Amplifikasi gen plantarisin Amplifikasi gen Plantarisin dibuat mastermix dalam volume total 50 μL, masing-masing berisi 2 μL DNA template, takara ex Taq (5 U/μL) 0, 15 μL,10 x ex taq
buffer 5 μL, 2,5 mM dNTP's 4 μL, Primer yang digunakan adalah Forward (5’- GTA CAG TAC TAA TGG GAG -3’) 2,5 μL primer forward 1 mM dan primer Reverse (5’- CTT ACG CCA TCT ATA CG- 3’) 2,5 μLprimer reverse 1 mM dan 33,85 μL ddH2O (Navarro et al. 1999). Amplifikasi gen dilakukan dengandenaturasi awal pada suhu 94°C selama 3 menit , diikuti dengan 30 siklus94°C selama 30 detik, annealing 53°C selama 1 menit, dan suhu ekstensi 72°C selama 1 menit, diikuti dengan langkah ekstensi akhir pada suhu 72°C selama 6 menit (Poirel dan Nordmann 2006). Deteksi hasil produk PCR Hasil PCR dianalisis dengan elektroforesis pada gel agarosa 1,2% (b/v) yang dibuat Pemisahan DNA pada alat elektroforesis dilakukan dengan mencampursebanyak 5 μL produkhasil PCR dengan 1,00 μL loading dye. Campuran dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam sumur gel agarosa 1,2% (b/v) (Yuwono 2006). Analisis ukuran DNA digunakan penanda DNA Geneaid 100 bp DNA Ladder yang mengandung 12 penanda ukuran pasang basa DNA dari 100 bp sampai dengan 3000 bp. Sekuensing (penentuan urutan DNA) Penentuan urutan DNA (sekuensing) produk PCR dilakukan menggunakan metoda dideoxy Sanger dengan Dye terminator. Salah satu isolat positif dari hasil PCR digunakan sebagai sampel untuk sekuensing DNA. Sekuensing dilakukan oleh 1st BASE Pte Ltd, 41 Science Park Road, The Gemini Singapore Science Park II, Singapura. Analisis gen plnA Analisis gen plnA dilakukan dengan menggunakan program Blastn Suite, Sekuen yang dihasilkan kemudian dianalisis homologinya dengan gen yang sama dari L. plantarum yang lain. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan karakterisasi bakteri Lactobacillus Dari hasil isolasi dan karakterisasi isolat dari buah markisa, koloni bakteri asam laktat ditandai dengan adanya zona bening di sekeliling koloninya. Hal ini terjadi akibat produksi asam yang terdapat pada media selama pertumbuhan bakteri asam laktat yang dinetralkan oleh CaCO3. Diperoleh 10 isolat berbentuk batang (Rod) dan termasuk ke dalam bakteri Gram + (positif), reaksi katalase negatif tidak mengeluarkan buih setelah diberi H2O2.Semua bakteri asam laktat (Tabel 1) merupakan biak Lactobacillus. Uji aktivitas antibakteri L. plantarum Untuk mengetahui aktivitas antibakteri isolat L. plantarum yang telah diisolasi dari buah markisa terhadap bakteri uji B. cereus dari golongan bakteri Gram positif dan E. coli dari golongan bakteri Gram negatif terhadap sepuluh isolat L. plantarum ditunjukkan pada Tabel 2.
YULINERY & NURHIDAYAT – Uji antibakteri Lactobacillus plantarum Tabel 1. Morpologi dan fisiologibakteriLactobacillus Kode biak Mar B4 Mar A7 Mar 8 Mar A5 Mar A2 Mar B3 KMar A7 Mar A3 Mar D2 Mar B1
Asal
Gram
Markisa Markisa Markisa Markisa Markisa Markisa Markisa Markisa Markisa Markisa
+ + + + + + + + + +
Bentuk sel Rod Rod Rod Rod Rod Rod Rod Rod Rod Rod
Reaksi katalase -
Tabel 2. Zona hambat L. plantarum terhadap bakteri uji B. cereus dan E. coli. Diameter zona hambat Nama isolat terhadap bakteri uji (cm) B. cereus E. coli L. plantarum Mar B4 0,3 0,2 L. plantarum Mar A7 0,15 0,3 L. plantarum Mar 8 0,15 0,2 L. plantarum Mar A5 0,15 0,2 L. plantarum Mar A2 0,1 0,2 L. plantarum Mar B3 0,1 0,2 L. plantarum KMar C7 0 0 L. plantarum Mar A3 0 0 L. plantarum Mar D2 0 0 L. plantarum Mar B1 0 0 Kontrol + 2,7 0,7
Tabel 3. Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA hasil ekstraksi isolat L. plantarum. Rasio absorbansi Konsentrasi Isolat λ260 λ280nm (λ 260 nm/ λ 280 DNA bakteri nm nm) (μg/μL) Mar 8 0,061 0,047 1,280 30,5 Mar A7 0,044 0,033 1,358 22,0 Mar A5 0,075 0,050 1,495 37,5 Mar B4 0,037 0,028 1,314 18,5
273
Hasil pengukuran zona hambat terhadap B cereus (Tabel 2.) terdapat 6 isolat L. plantarum yang memiliki daya hambat yaitu isolat Mar 8, Mar A7, Mar A5, Mar B4, Mar B3, dan Mar A2. Isolat yang tidak memiliki zona hambat yaitu Lactobacillus Mar A3, Mar D2, K mar C7, dan Mar B1 terhadap kedua bakteri uji. Isolat L. plantarum Mar B4 memiliki zona hambat yang terbesar, sedangkan isolat L. plantarum B3 dan A2 memiliki zona hambat yang terendah. Daya hambat terhadap E.coli yang tertinggi adalah isolat MarA7. Isolat yang kurva pertumbuhannya lebih baik dan memiliki zona hambat yang lebih baik dibandingkan dengan isolat yang lain karena peluang mendapatkan gen plnAakan lebih tinggi dibandingkan dengan deteksi dari isolat yang tidak mempunyai zona hambat terhadap bakteri uji. Isolasi DNA genom isolat Lactobacillusterseleksi Kurva pertumbuhan L. plantarum Mar 8 dan Mar A7 berbeda dengan 4 isolat lainnya. Isolat Mar 8 dan Mar A7 pada inkubasi 24 jam sudah memiliki kekeruhan sel yang cukup untuk dilakukan isolasi DNA genom. Isolat Mar A5 dan Mar B4 membutuhkan waktu pertumbuhan selama 48 jam untuk mendapatkan kekeruhan sel yang cukup. Perbedaan waktu pertumbuhan menyebabkan isolasi DNA isolat Mar 8 dan Mar A7 dilakukan pada waktu yang berbeda dengan isolasi DNA isolat Mar A5 dan Mar B4. Perbedaan ketebalan fragmen DNA pada kolom A dan B dengan kolom C dan D terjadi karena pengambilan sampel DNA yang kurang homogen menyebabkan DNA genom tidak tercampur secara merata pada larutan penyangga sehingga hasil elektroforesis terlihat pita tipis seperti jumlah DNA yang kurang/sedikit, padahal nilai konsentrasi DNA isolat L. plantarum Mar 8 dan Mar A7 (Tabel 3.) tidak berbeda jauh dengan isolat L. plantarum Mar A5 dan Mar B4. Nilai kemurnian dan konsentrasi DNA empat isolat L. plantarum ditunjukkan pada Tabel 3. Amplifikasi gen plnA Hasil PCR gen plnA ditunjukkan pada Gambar 2.
M
1
2
3
4
5
6
7
8
3000
A B
C D 1500 1000 500 400
Gambar 1. Hasil running Elektroforesis DNA genom isolat L. plantarum terseleksi: A. DNA genom isolat Mar 8, B. Mar A7, C. Mar A5, D. Mar B4. Keempat isolat mempunyai DNA genom dengan ukuran yang sama ditunjukkan dengan posisi pita DNA keempatnya berada pada baris yang sejajar
Gambar 2. Gen plnA isolat L. plantarum terseleksi 1.Marker Ladder 100 bp 2, 4, 6 dan 8. Isolat Mar 8, Mar A7, MarA5, dan Mar B4
274
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 270-277, April 2015
Tabel 4. Hasil sekuensing produk PCR isolat L. plantarum Mar 8 5’CCTTTTTTTT GTTCAAAGTA ATATTGATTG AAAAAAATGT TATCCTAAAA GCAACTTAGT CGTATTCTTT TTTAAAAAAT TATATTTCGT
TGCGCTCCCT ATCAAGATCT ATAGCATAGT ACGTTAATAG GCGAGGTGAT AATAAGGAAA GCAGATGGGG GGGGATGGTA ATAGATGGCG
TAAGTTAATG ATTCAAAATA TGGAATTTCA AAATAATTCC TATTATGAAA TGCAAAAAAT GCAACTGCAA ATTGATTTAT TAAGACA3’
TTATTTTATC GTGACTTTGA TGGTGATTCA TCCGTACTTC ATTCAAATTA AGTAGGTGGA TTAAACAGGT TGAATAACTG
CTCTAAGTAT CATTCATCAA CGTTTAAATT AAAAACACAT AAGGTATGAA AAGAGTAGTG AAAGAAACTG TTTTTTAAGT
50 100 150 200 250 300 350 400 427
Tabel 5. Penjajaran beberapa gen yang paling homolog dengan hasil sekuensing produk PCR isolat L. plantarum Mar 8 di Genebank pada program distribusi Blastn Suite. Deskripsi L. plantarum plnA gene for plantaricin A, partial cds L. plantarum plnA, B, C, D genes L. plantarum strain BFE5092 plantaricingene locus partial L. plantarum strain V90 pln gene locus, partial sequence L. plantarum WCFS1 complete genome L. plantarum subsp. Plantarum ST-III, complete genome L. plantarum pln locus, strain C11 L. plantarum strain 8P-A3 plantaricin A precursor peptide L. plantarum strain J51 pln locus, partial sequence
Max ident 100% 99% 99% 99% 98% 98% 98% 96% 95%
Analisis gen plnA Analisis gen plnAbertujuan untuk mengkonfirmasi produk PCR tersebut sesuai dengan lokus gen plnA kemudian disejajarkan homologinya dengan gen yang sama dari L. plantarum yang lain menggunakan program Blastn Suite. Produk PCR yang disekuensing adalah salah satu yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu isolat L. plantarum Mar 8 menggunakan primer untuk gen pln A. Hasil elektroforesis menunjukkan kesejajaran pita antara produk PCR Mar 8 denganisolat Mar A7, Mar A5, dan Mar B4. Jumlah basa DNA hasil sekuensing produk PCR isolat L. plantarum Mar 8 adalah 427 bp, hasil elektroforesis menunjukkan pita sejajar sekitar 400- 500 bp. untuk menentukan keberhasilan deteksi gen plnA maka dilakukan penjajaran dari distribusi program Blastn Suite dari pusat data Genebank. Tabel 5. menunjukkan sembilan hasil tertinggi dari distribusi program Blastn Suite. Pembahasan Uji aktivitas antibakteri L. plantarum Empat isolat yang memiliki zona hambat terbesar yaitu isolat L. plantarum Mar B4, Mar A7, Mar 8 dan Mar A5. Diameter zona hambat yang terbentuk dapat berupa diameter zona bening di sekeliling sumur yang
menunjukkan sifat bakterisidal (membunuh bakteri) maupun diameter zona semu yang menunjukkan sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba).Hal ini membuktikan bahwa L. plantarum mampu menghambat pertumbuhan bakteri dari golongan Gram negatif yang sesuai dengan pernyataan Ogunbanwo et al. (2003) bahwa bakteriosin tidak saja menghambat spesies yang secara filogenik dekat tetapi juga mampu menghambat bakteri Gram negatif dan tergantung pada perbedaan jenis dinding sel bakteri yang dihambat, yang berpengaruh pada ketahanan suatu bakteri terhadap zat antimikroba, karena perbedaan struktur dinding selnya di samping itu jumlah biomassa Lactobacillus yang terlalu banyak akan menghasilkan akumulasi jumlah asam laktat yang berlebihan dan akan menurunkan nilai pH. Penurunan pH dapat mengganggu mikroba dalam biosintesis bakteriosin. Aktivitas bakteriosin dari golongan bakteri yang sama lebih baik dibandingkan dengan golongan yang berbeda. Sedangkan terhadap B. cereus yang termasuk Gram positif sangat sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat non polar. Plantarisin A merupakan senyawa yang bersifat non polar. Kesensitifan inikarena komponen dasar penyusun dinding sel bakteri Gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino D-alanin yang bersifat hidrofobik. Senyawa antibakteri yang bersifat non polar dapat bereaksi dengan
YULINERY & NURHIDAYAT – Uji antibakteri Lactobacillus plantarum
fosfolipid dari membran sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis sel (Branen dan Davidson 1993). Isolasi DNA genom isolat L. plantarum terseleksi Keberhasilan isolasi DNA genom L. plantarum merupakan tahap penting dari penelitian ini sebagai cetakan untuk proses PCR, karena L. plantarum adalah bakteri Gram positif yang mempunyai dinding sel tebal sehingga sukar untuk dilisis. Kualitas DNA dapat dilihat dari nilai kemurnian dan konsentrasi DNA.Kemurnian DNA diukur berdasarkan perbandingan nilai rasio absorbansi (260 nm/280 nm) Nilai kemurnian DNA berkisar antara1.8-2.0 (Sambrook dan Russell 2001), yang berada di atas kisaran DNA murni menunjukkan terkontaminasi RNA, sedangkan rasio di bawah 1,8 menunjukkan masih terkontaminasi protein. Konsentrasi DNA diperlukan untuk mengetahui massa sel dalamμg/mL pada λ260 nm. Hasil pengukuran rasio absorbansi panjang gelombang (260 nm/280 nm) isolat L. plantarum Mar 8, Mar B4, Mar A7 dan Mar A5 terkontaminasi protein karena memiliki rasio dibawah 1,8. sehingga secara kualitas hasil isolasi DNA genom memiliki tingkat kemurnian yang kurang baik.Sambrook dan Russell (2001) menerangkan bahwa kualitas DNA cetakan yang baik bukan syarat mutlak dalam proses PCR, sehingga hasil isolasi DNA genom ini dapat digunakan untuk PCR. Konsentrasi DNA dari seluruh sampel yang dihitung memiliki konsentrasi yang cukup banyak. Amplifikasi gen plnA Pada Gambar 2. menunjukkan proses PCR berjalan dengan sempurna dimana pita fragmen DNA yang dihasilkan tebal. Reaksi PCR pada kolom 2,4,6 dan 8 adalah keempat isolat yang menggunakan primer pln A dengan suhu annealing yang telah digradien sebelumnya oleh Navarro et al. (2000) pada suhu 53°C, sehingga pada hasil running gel elektroforesis menunjukkan pita tebal pada ukuran sekitar 400- 500 bp. Sambrook dan Russell (2001) menyatakan bahwa suhu denaturasi awal, annealing, polimerasi awal, dan polimerase akhir yang tepat dapat meminimalkan perlekatan primer pada sekuen non spesifik dan meningkatkan jumlah produk PCR sfesifik, walaupun demikian proses PCR telahberhasil dilakukan dengan primer yang digunakan, karena proses PCR mengamplifikasi daerah yang sama pada semua sampel dan menghasilkan pita yang tunggal. Wilson (1994) menyatakan bahwa suatu sampel DNA dikatakan spesifik dan berhasil diamplifikasi apabila hasil analisis elektroforesis menunjukkan terdapatnya pita tunggal DNA dengan ukuran yang sesuai berdasarkan penanda yang telah diketahui sebelumnya. Elektroforesis gel menunjukkan bahwa produk PCR untuk amplifikasi gen plnA ini mencakup lokus gen plnA, plnB, plnC dan plnD. Analisis gen plnA Hasil alignment didapatkan sembilan sekuen yang signifikan berdasarkan nilai max ident untuk menentukan homologi. Hasil alignment yang dilakukan penjajaran dengan hasil sekuensing produk PCR isolat L. plantarum
275
Mar 8 yang dapat digunakan untuk membuktikan berhasil atau tidaknya deteksi gen plnA L. plantarum dari buah markisa. Pertama adalah gen plnA L. plantarum untuk plantaricinA, partial cds yang dijajarkan dengan hasil sekuensing menunjukkan homologi dengan gen plnA yaitu dengan kesamaan (max ident) 100%.Kesamaan tersebut ditunjukkan dari basa nitrogen pada pasang basa nomor 245 sampai dengan pasang basa nomor 372 hasil sekuensing dengan gen plnA dari L. plantarum pada pasang basa pertama sampai pasang basa 147 (Tabel 6). Kesamaan sebesar 100% menunjukkan sekuen dari produk PCR isolat L. plantarum Mar 8 memiliki lokus gen plnA. Suatu sekuen DNA dinilai memiliki homologi tinggi dengan sekuen DNA lain apabila memiliki nilai kesamaan yang tinggi (Claverie dan Notredame 2003). Penjajaran kedua adalah antara hasil sekuensing dengan L. plantarum pln A, B, C, dan D genes. Tabel 7. menunjukkan bahwa hasil sekuensing produk PCR isolat L. plantarum Mar 8 memiliki kesamaan sebesar 99% dengan lokus gen plnA, plnB, plnC dan plnD. Kesamaan ditunjukkan pada pasang basa nomor 8 sampai dengan pasang basa nomor 424 hasil sekuensing dengan pasang basa pada nomor 333 sampai dengan pasang basa nomor 750 pada lokus gen plnA, plnB, plnC dan plnD. Penjajaran dari dua hasil program distribusi Blastn Suite dengan hasil sekuensing ini menunjukkan bahwa deteksi gen plnA L. plantarum terseleksi dari buah markisa berhasil dilakukan dalam penelitian ini. Nilai kesamaan diantara95%- 100% dengan Sembilan isolat L. plantarum yang ada di Genebank juga membuktikan bahwa empat isolat yang diuji benar-benar merupakan isolat L. plantarum yaitu isolat Mar B4, Mar A7, Mar 8 dan Mar A5. Keberadaan gen plnA pada L. plantarum membuktikan bahwa L. plantarum terseleksi dari buah markisa mempunyai kemampuan menghasilkan plantarisin A sebagai mekanisme pertahanan terhadap bakteri lain berdasarkan pita tunggal dengan ukuran sekitar 400-500 bp. Hasil sekuensing dan penjajaran gen plnA L. plantarum Mar 8 dari buah markisa (Passiflora edulis Sims) menunjukkan kesamaan 99% dengan gen plnA dari Genebank. Bakteriosin plantarisin A umumnya diproduksi pada awal fase log. Hal ini tentu saja membutuhkan faktor nutrisi yang cukup dalam medium yang diperoleh dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam buah markisa. Buah markisa yang mengandung bakteri L. plantarum secara tidak langsung dapat dijadikan alternatif pemanfaatan buah markisa untuk kesehatan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai oleh kegiatan KompetitifPusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Puslit Biologi LIPI.Tak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Ernawati Kasim, Christian Parlindungan, Ratih dan Acun yang turut serta dalam penelitian ini.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 270-277, April 2015
276
Tabel 6. Penjajaran hasil sekuensingdengan Lactobacillus plantarum plnA gene for plantaricinA, partial cds Lactobacillus plantarum plnA gene for plantaricin A, partial cds Score = 267 bits, Expect = 2e-71 Identities = 147/147 (100%), Gaps = 0/147 (0%) Strand=Plus/Plus Query 225 ATGAAAATTCAAATTAAAGGTATGAAGCAACTTAGTAATAAGGAAATGCAAAAAATAGTA |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 1 ATGAAAATTCAAATTAAAGGTATGAAGCAACTTAGTAATAAGGAAATGCAAAAAATAGTA Query 285 GGTGGAAAGAGTAGTGCGTATTCTTTGCAGATGGGGGCAACTGCAATTAAACAGGTAAAG |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 61 GGTGGAAAGAGTAGTGCGTATTCTTTGCAGATGGGGGCAACTGCAATTAAACAGGTAAAG Query 345 AAACTGTTTAAAAAATGGGGATGGTAA 372 ||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 121 AAACTGTTTAAAAAATGGGGATGGTAA 147
284 60 344 120
Tabel 7. Penjajaran hasil sekuensing dengan Lactobacillus plantarum pln A, B,C,dan D genes.
L. plantarum pln A, B, C and D genes Score = 743 bits (402), Expect = 0.0 Identities = 413/418 (99%), Gaps = 1/418 (0%) Strand=Plus/Plus Query 8 ttttGCGCT-CCCTTAAGTTAATGTTATTTTATCCTCTAAGTATGTTCAAAGTAATCAAG ||| ||||| | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 333 TTTAGCGCTACACTTAAGTTAATGTTATTTTATCCTCTAAGTATGTTCAAAGTAATCAAG Query 67 ATCTATTCAAAATAGTGACTTTGACATTCATCAAATATTGATTGATAGCATAGTTGGAAT |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 393 ATCTATTCAAAATAGTGACTTTGACATTCATCAAATATTGATTGATAGCATAGTTGGAAT Query 127 TTCATGGTGATTCACGTTTAAATTaaaaaaaTGTACGTTAATAGAAATAATTCCTCCGTA |||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 453 TTCATGGTGATTCACGTTTAAATTTAAAAAATGTACGTTAATAGAAATAATTCCTCCGTA Query 187 CTTCAAAAACACATTATCCTAAAAGCGAGGTGATTATTATGAAAATTCAAATTAAAGGTA |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 513 CTTCAAAAACACATTATCCTAAAAGCGAGGTGATTATTATGAAAATTCAAATTAAAGGTA Query 247 TGAAGCAACTTAGTAATAAGGAAATGCAAAAAATAGTAGGTGGAAAGAGTAGTGCGTATT |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 573 TGAAGCAACTTAGTAATAAGGAAATGCAAAAAATAGTAGGTGGAAAGAGTAGTGCGTATT Query 307 CTTTGCAGATGGGGGCAACTGCAATTAAACAGGTAAAGAAACTGTTTAAAAAATGGGGAT |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 633 CTTTGCAGATGGGGGCAACTGCAATTAAACAGGTAAAGAAACTGTTTAAAAAATGGGGAT Query 367 GGTAATTGATTTATTGAATAACTGTTTTTTAAGTTATATTTCGTATAGATGGCGTAAG ||||||||||||||||||||||||||||| |||||||||||||||||||||||||||| Sbjct 693 GGTAATTGATTTATTGAATAACTGTTTTTCAAGTTATATTTCGTATAGATGGCGTAAG
DAFTAR PUSTAKA Ammor S, Tauveron G, Dufour E, Chevallier I. 2006. Antibacterial activity of lactic acid bacteria against spoilage and pathogenic bacteria isolated from the same meat small-scale facility 1-screening and characterization of the antibacterial compounds. Food Control 17: 454-461] Bottone EJ. 2010. Bacillus cereus, a Volatile Human Pathogen. Clin Microbiol Rev 23 (2): 382-398. Branen AL. 1993. Introduction to use of antimicrobials. In: Davidson, P.M, Branen AL (eds). Antimicrobials in Food. 2nd ed, Revisid and Expanded. Marcell Dekker, New York. Corsetti A, Gobetti M, Rossi J, Daminiani P. 1998. Antimould activity of sourdough lactic acid bacteria: identification of mix- ture of organic acids by Lactobacillus sanfrancisco CB1. Appl Microbiol Biotechnol 50: 253-256 Diep DB, Straume D, Kjos M, Torres C, Nes IF. 2009. An overview of the mosaic bacteriocin pln loci from Lactobacillus plantarum. Peptides 30:1562-1574
66 392 126 452 186 512 246 572 306 632 366 692 424 750
Frazier WB,Dennis W. 1998. Food Microbiology. 3rd ed. McGraw-Hill, Inc., New York. Gong HS, Meng XC, Wang H. 2010. Plantaricin MG active against Gramnegative bacteria produced by Lactobacillus plantarum KLDS1.0391 isolated from ‘‘Jiaoke”, a traditional fermented cream from China. Food Control 21: 89-96. Harisha S. 2006. An Indtroduction to Practical Biotechnology. Laxmi Publications. New Delhi. Ito A, Sato Y, Kudo S, Sato S, Nakajima H, Toba T. 2003. The screening of hydrogen peroxide-producing lactic acid bacteria and their application to inactivating psychrotrophic food-borne pathogens. Curr Microbiol 47: 231-236 Johnson AG. 1994. Mikrobiologi dan Imunologi, 9899, Binarupa Aksara, Jakarta Kleerebezem MJ, Richard K, Douwe M, Oscar PK. 2003. Complete genome sequence of Lactobacillus plantarum WCFS1. North California State University, Raleigh, NC Nurhidayat N, Heni RS, Betty LJ, Caecilia N. 2006.Ketahanan dan Viabilitas Lactobacillus plantarum yang Dienkapsulasi dengan Susu Skim dan Gum Arab Setelah Pengeringan dan Penyimpanan. LIPI. Bogor.
YULINERY & NURHIDAYAT – Uji antibakteri Lactobacillus plantarum Ogunbanwo S, Sanni A, Onilude A. 2003. Influence of cultural conditions on the production of bacteriocins by Lactobacillusbrevis OG1. Afr J Biotechnol 2 (7): 179-184. Per EK, Gunnar F, Dimitris M, Meyer JN. 2005.Structure and Mode of Action of the Membrane- Permeabilizing Antimicrobial Peptide Pheromone Plantaricin A. Department of Molecular Biosciences, University of Oslo, Norway. Poirel LNT, Nordmann F. 2006. Pyrosequencing as a rapid tool for identification of GES-type extended-spectrum lactamases. J Clin Microbiol 44 (8): 3008-11 Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. 3rd ed. CRC Press, New York. Rojo-Bezares B, Sáenz Y, Navarro L, Jiménez-Días R, Zarazaga M, RuizLarrea F,Torres C, 2008. Characterization of a new organization of the plantaricin locus in the inducible bacteriocin-producing Lactobacillus plantarum J23 of grape origin.Arch Microbiol 189: 491-499 Sáenz Y, Rojo-Bezares B, Navarro L, Díez L, Somalo S, Zarazaga M, Ruiz-Larrea F,Torres C. 2009. Genetic diversity of the pln locus among oenological Lactobacillus plantarum strains. Intl J Microbiol134: 176-183. Sambrook J, Russell DW. 2001. Molecular Clonning: A Laboratory Manual. 3rd ed. Cold-Spring Harbor Laboratory Press. New York.
277
Sturme MHJ. Francke C, Sizen RJ, de Vos W, Kleerebezem M. 2007. Making sense of quorum sensing in lactobacilli: a special focus on Lactobacillus plantarum WCFS1. Microbiology 153: 3939-3947 Sullivan LO, Ross RP, Hill C. 2002.Potential of bacteriocin-producing lactic acid bacteria for improvements in food safety and quality. Biochemie 84 (5-6): 593-604 Van Hijum SAFT, van GS, Rahaoui H, Van DM, Dijkhuizen L.2002. Characterization of a novel fructosiltransferase from Lactobacillus reuteri that synthesizes high-molecular-weight inulin and inulin oligosaccharides, Appl Environ Microbiol 68 (9): 4390-4398. Vermeiren L, Devlieghere F, Debevere J.2004. Evaluation of meat born lactic acid bacteria as protective cultures for the bio- preservation of cooked meat products. Int J Food Microbiol 96: 149-164 Wang Y, Chen. C, Ai. L,Zhou. F. 2010. Complete genome sequence of the probiotic Lactobacillus plantarum ST-III. State Key Laboratory of Dairy Biotechnology, Technology Center of Bright Dairy & Food Co, Ltd, 228 Jiangchangsan Road, Shanghai 200436, China. Watson JD, Tooze J, Kurtz DT. 1988. DNA Rekombinan. Penerbit Erlangga, Jakarta. Wilson K. 1994. Preparation of genomic DNA from bacteria. In: Ausubel PM, Brent R, Kingston RE, Moore DO, Seidman JG, Smith JA, Struhl K (eds). Current Protocol in Molecular Biology. Vol. I. John Wiley & Sons, New York. Yuwono T. 2005. Biologi Molekular. Penerbit Erlangga, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor2, April 2015 Halaman: 278-282
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010218
Uji stabilitas probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 terenkapsulasi dalam sediaan oralit dengan analisis viabilitas Stability test of probiotic Lactobacillus plantarum Mar8 encapsulated in oralit using viability analyses EVI TRIANA♥, TITIN YULINERY Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl Raya Jakarta-Bogor Km 46 Cibinong Bogor 16911, Jawa Barat. Tel.: +62-218765066, Fax. +62-21-8765062, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 4 Desember 2014. Revisi disetujui: 2 Februari 2015.
Abstrak. Triana E, Yulinery T. 2015. Uji stabilitas probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 terenkapsulasi dalam sediaan oralit dengan analisis viabilitas. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 278-282. Bila tidak ditangani dengan cepat, baik, dan tepat, diare dapat mengakibatkan dehidrasi. Dehidrasi sangat berbahaya karena penderita diare dapat mengalami shock hipovolemik, bahkan kematian. Jika terjadi dehidrasi, tindakan yang harus segera diambil adalah menggantikan cairan dan garam-garam yang hilang dari tubuh dengan cairan yang mengandung elektrolit, misalnya oralit. Selain itu, mengkonsumsi probiotik sangat penting karena probiotik berdaya memperbaiki dan mempercepat pemulihan keseimbangan keseimbangan jumlah bakteri baik dan bakteri patogen dalam usus yang terganggu akibat diare. Namun kendala yang dihadapi saat ini adalah belum ada produk oralit yang sekaligus mengandung probiotik dalam satu kemasan. Kedua suplemen tersebut umumnya tersedia secara terpisah. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk oralit yang memiliki nilai lebih, dengan menambahkan probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 ke dalam sediaan oralit. Selain itu dilakukan uji kestabilan probiotik tersebut pada berbagai suhu penyimpanan untuk menjamin efektivitasnya, menggunakan analisis viabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa L. plantarum Mar8 dalam sediaan oralit tetap dapat memenuhi standar jumlah minimal probiotik dengan durasi waktu simpan berbeda-beda pada berbagai suhu penyimpanan. Pada suhu 4oC, viabilitasnya sebesar 4,8 x 106 CFU/g dengan waktu simpan 17,77 hari, pada suhu 25oC, sebesar 1,25 x 106 CFU/g dengan waktu simpan 14,42 hari, pada suhu 37oC, sebesar 8,5 x 106 CFU/g dengan waktu simpan 9,85 hari, sedangkan pada suhu 42oC, sebesar 2,5 x 107 CFU/g dengan waktu simpan 12,14 hari. Berdasarkan data-data tersebut, disimpulkan bahwa probiotik L. plantarum Mar8 dalam sediaan oralit paling stabil bila disimpan pada suhu 4oC dengan waktu simpan paling lama yaitu 17,77 hari. Kata kunci: Diare, dehidrasi, Lactobacillus plantarum Mar8, oralit, probiotik, viabilitas
Abstract. Triana E, Yulinery T. 2015. Stability test of probiotic Lactobacillus plantarum Mar8 encapsulated in oralit using viability analyses. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 278-282. Diarrhea should be quickly and appropriately treated. Otherwise, excessive loss of fluids and minerals from the body can cause dehydration. Dehydration is a very critical condition, because it may lead to hypovolemic shock, even death. When dehydrated, the loss of fluids and electrolytes should be replaced immediately by oral rehydration solution (ORS) that contains electrolytes, such as oralit. In addition, probiotics consumption is very important because probiotics could recover the balance of ‘good’ microbes and ‘bad’ microbes in the digestive system that is once disturbed by diarrhea. However, nowadays, oralit products which contain probiotics in one package are commercially unavailable. Both supplements are usually available separately. Therefore, this research was aimed to develop an oralit product which contains probiotic Lactobacillus plantarum Mar8 as its added value. Stability test of this probiotics in various temperature was done using viability analyses. The results showed that L. plantarum Mar8 in oralit could meet the standard of minimum probiotic amounts, in various storage temperature after various time periods. Its viability was 4.8 x 106 CFU/g in 4oC, 1.25 x 106 CFU/g in 25oC, 8.5 x 106 CFU/g in 37oC, and 2.5 x 107 CFU/g in 42oC. Lactobacillus plantarum Mar8 survived in various time duration and in various storage temperature. It may last for up to 17.77 days, 14.42 days, 9.85 days, and 12.14 days in 4oC, 25oC, 37oC and 42oC, respectively. Based on these data, the most stable of probiotic L. plantarum Mar8 in oralit would be in 4oC-storage, lasting for 17.77 days. Keywords: Diarrhea, dehydration, Lactobacillus plantarum Mar8, oralit, probiotic, viability
PENDAHULUAN Dewasa ini dengan tingkat mobilitas dan teknologi yang tinggi, pola hidup yang dijalani oleh masyarakat menjadi tidak sehat. Hal ini terlihat dari pola makan yang tidak teratur, ditambah dengan sering mengkonsumsi makanan
cepat saji yang kurang menyehatkan, mengakibatkan kondisi kesehatan seseorang menurun dan menimbulkan berbagai penyakit serta menurunnya kekebalan tubuh atau imunitas. Usus merupakan organ imun terbesar dalam tubuh dan sangat penting bagi ketahanan tubuh. Untuk itu keseimbangan mikroflora usus memegang peranan penting.
TRIANA & YULINERY – Uji stabilitas Lactobacillus plantarum Mar8 dalam oralit
Flora usus yang hidup terutama pada mucus usus dapat digolongkan dalam mikroba ‘baik’ yang tidak merugikan tuan rumah dan mikroba ‘buruk’ yang potensial bersifat patogen yang saling berkompetisi. Salah satu mikroba baik adalah Lactobacillus. Bakteri ini berperan mempertahankan pH asam yang menjadi pembatas bagi sebagian besar bakteri patogen. Selain itu, Lactobacillus menghasilkan hidrogen peroksida dan bakteriosin yang bersifat antibakteri, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran pencernaan (James et al 1992; Patterson 2008; Soccol et al 2010). Pada tubuh yang sehat, terdapat keseimbangan antara kedua kelompok mikroba ini. Bila mikroba ‘baik’ tersingkir maka kuman atau fungsi patogen menjadi dominan, yang dapat menimbulkan penyakit, misalnya diare. Diare umumnya bersifat self limitting. Namun jika tidak ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan komplikasi. Pada diare hebat yang disertai muntah-muntah, tubuh akan kehilangan banyak air berserta garam-garamnya, terutama natrium dan kalium, sehingga menyebabkan dehidrasi. Jika berlanjut, dapat menyebabkan hipokalemia, renjatan (shock) hipo-volemik, asidosis metabolik, bahkan kematian. Bahaya ini sangat besar khususnya untuk bayi dan anakanak, karena memiliki cadangan cairan intra sel yang kecil dan cairan ekstra selnya lebih mudah dilepas dibandingkan orang dewasa. Gejala pertama dari dehidrasi adalah perasaan haus, mulut dan bibir kering, kulit menjadi keriput, berkurangnya air seni, dan menurunnya berat badan serta keadaan gelisah (Zein et al 2004; Tjay dan Rahardja 2002). Jika mengalami dehidrasi, tindakan yang harus diambil sebagai pertolongan pertama adalah mengganti cairan dan garam-garam elektrolit yang hilang dari tubuh, misalnya dengan pemberian oralit. Kombinasi garam dan gula dalam oralit dapat diserap baik oleh usus penderita diare. Garam mampu meningkatkan pengangkutan dan absorbsi gula melalui membran sel. Sebaliknya, glukosa menstimulasi transport aktif Na dan air melalui dinding usus. Dengan demikian resorpsi air dalam usus halus meningkat 25 kali (Tjay dan Rahardja 2002). Selain oralit, penderita diare disarankan mengkonsumsi probiotik untuk memperbaiki dan memulihkan keseimbangan mikroflora normal yang terganggu akibat diare. Cara ini lebih baik daripada menggunakan obatobatan kimia, karena merupakan pendekatan alami dan aman yang memiliki kelebihan, yaitu tidak mengganggu mikroflora normal/baik lainnya. Probiotik didefinisikan sebagai suplemen mikroba hidup yang memberikan efek positif manusia dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora usus. Mekanismenya adalah kompetisi dan inhibisi mikroba patogen (Zein et al 2004; Patterson 2008; Reksohadiwinoto, 2014). Oleh karena itu, kondisi mikroflora saluran cerna yang didominasi oleh mikroba patogen penyebab diare dapat dipulihkan keseimbangannya. Kendala yang dihadapi saat ini adalah belum ada produk oralit yang sekaligus mengandung probiotik dalam satu kemasan. Kedua suplemen tersebut umumnya tersedia secara terpisah. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk oralit yang memiliki nilai lebih, dengan cara menambahkan probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 terenkapsulasi ke dalam sediaan oralit.
279
Untuk menjamin efektivitas probiotik tersebut, dilakukan uji stabilitas pada berbagai kondisi penyimpanan dengan analisis viabilitas. BAHAN DAN METODE Material isolat Isolat Lactobacillus plantarum Mar8 diperoleh dari koleksi Bidang Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong Bogor. Preparasi sampel dan enkapsulasi Lactobacillus plantarum Mar8 Sebanyak 3000 mL media GYP broth diinokulasi dengan 600 mL L. plantarum Mar8 dari kultur induk, kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi, kultur disentrifugasi 10.000 rpm selama 5 menit. Pelet yang terbentuk ditambahkan ke dalam 1500 mL dekstrin steril dengan konsentrasi 10%. Sebanyak 1 mL sampel disimpan dalam eppendorf untuk uji viabilitas Tahap 1. Sisa sampel dimasukkan ke dalam spray dryer pada suhu 125oC sampai diperoleh massa berbentuk serbuk. Serbuk hasil spray drying tersebut digunakan untuk uji viabilitas Tahap 2 dan 3. Identifikasi L. plantarum Mar8 berdasarkan Zona Bening Media GYP agar yang disuplementasi CaCO3 0,5% disterilisasi dengan otoklaf selama 20 menit. Setelah steril, media dituang ke dalam cawan petri steril lalu diamkan hingga padat. Lactobacillus plantarum Mar8 sebanyak 100 µL sebelum enkapsulasi dan 0,1 gram L. plantarum Mar8 setelah dienkapsulasi, dimasukkan ke dalam wadah berbeda lalu diencerkan dengan NaCl fisiologis (0,85%) dan dihomogenkan untuk memperoleh pengenceran pertama. Pengenceran berseri dilakukan hingga pengenceran ke-9. Sebanyak 100 µL dari setiap pengenceran ke-5 sampai ke-9 ditanam ke dalam media GYP padat dengan cara pour plate. Kultur diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Lactobacillus plantarum Mar8 akan membentuk zona bening di sekitar koloni. Uji viabilitas L. plantarum Mar8 Uji viabilitas dilakukan dalam beberapa tahap: (i) Tahap 1 dilakukan sebelum spray drying, (ii) Tahap 2 dilakukan segera setelah spray drying; Sediaan uji: 0,36 g sampel ditambah 5,64 g oralit, Kontrol: 0,36 g sampel tanpa oralit. (iii) Tahap 3 dilakukan setelah spray drying. Pengujian sampel dan pengamatan dilakukan setiap minggu. Sediaan uji dan kontrol ditempatkan pada empat wadah yang berbeda untuk disimpan pada suhu 4oC, 25oC, 37oC dan 42oC. Sebanyak 100 µL sampel uji viabilitas Tahap 1 dan 0,1 g dari masing-masing sediaan uji dan kontrol utk uji viabilitas Tahap 2 dan 3 diencerkan dengan 900 µL NaCl fisiologis (0,85%) untuk memperoleh pengenceran pertama (10-1). Selanjutnya dilakukan pengenceran berseri hingga pengenceran ke-7. Sebanyak 100 µL dari hasil pengenceran
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 278-282, April 2015
280
ke-5 sampai ke-7 ditanam dengan cara pour plate pada media GYP padat + CaCO3. Kultur diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Koloni yang terbentuk dihitung, kemudian dilakukan penghitungan viabilitasnya. Analisis data Viabilitas L. plantarum Mar8 dalam sediaan oralit (Colony Forming Unit) per gram (mL) dihitung menggunakan rumus berikut: Σ koloni x
__ 1 x 1 . Faktor pengenceran volume penanaman
Analisis viabilitas pada sediaan oralit yang mengandung L. plantarum Mar8 menunjukkan data yang bervariasi pada tiap kelompok perlakuan (Tabel 2). Uji Stabilitas L. plantarum Mar8 dalam sediaan oralit pada berbagai suhu penyimpanan Hasil perhitungan log rata-rata viabilitas L. plantarum Mar8 selama masa penyimpanan disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan waktu penyimpanan menunjukkan bahwa L. plantarum Mar8 menunjukkan stabilitas yang berbeda-beda pada tiap perlakuan (Tabel 4).
keterangan : Σ bakteri (CFU)/gram = jumlah bakteri dalam 1 gram Σ koloni = koloni yang terbentuk pada proses penanaman Faktor pengenceran = banyaknya pengenceran yang dipakai pada saat penanaman Volume penanaman = jumlah volume sampel yang dipipet pada saat penanaman Nilai log rata-rata viabilitas L. plantarum Mar8 dalam sediaan uji dan kontrol digunakan untuk menghitung waktu simpan (stabilitas), dengan rumus: Log co – Log c = kt/2,303 keterangan: co = konsentrasi awal c = konsentrasi sisa pada waktu tertentu t = waktu (jam) k = konstanta Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Statistical Package for The Social Science (SPSS) for Window untuk mengetahui adanya perbedaan dari tiap perlakuan penyimpanan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Sel Lactobacillus plantarum Mar 8 Tabel 1. Jumlah koloni L. plantarum Mar8 (CFU/g) sebelum dan sesudah enkapsulasi Perlakuan Kontrol Sediaan uji
Rata-rata sebelum enkapsulasi 1,765 x 1012 1,765 x 1012
Rata-rata setelah enkapsulasi 1,456 x 109 1,205 x 109
Tabel 4. Waktu simpan L. plantarum Mar8
Analisis viabilitas L. plantarum Mar8 Hasil penghitungan koloni L. plantarum Mar8 pada sediaan uji maupun kontrol setelah enkapsulasi (spray drying) menunjukkan adanya penurunan dibandingkan sebelum enkapsulasi (Tabel 1).
Perlakuan (oC) Suhu 4 Suhu 25 Suhu 37 Suhu 42
Sediaan uji (Hari) 17,77 14,42 9,85 12,14
Kontrol (Hari) 18,67 14,01 14,03 9,13
Tabel 2. Jumlah koloni L. plantarum Mar8 (CFU/g) pada berbagai suhu penyimpanan Perlakuan Suhu 4oC Suhu 25oC Suhu 37oC Suhu 42oC
Minggu 1 Uji 7,5 x 107 3,5 x 106 8,5 x 106 2,5 x 107
Kontrol 9,55 x 107 1 x 106 12 x 106 6,5 x 106
Minggu 2 Uji Kontrol 4,8 x 106 6,3 106 6 1,25 x 10 1 x 106 7 x 105 10,25 x 105 6,7 x 103 2 x 102
Minggu 3 Uji Kontrol 4,4 x 105 5,8 x 105 5 x 101 1 x 102 0 0 0 0
Tabel 3. Log rata-rata viabilitas L. plantarum Mar8 selama penyimpanan Perlakuan Suhu 4oC Suhu 25oC Suhu 37oC Suhu 42oC
Minggu 0 Uji Kontrol 9,074 9,163 9,074 9,163 9,074 9,163 9,074 9,163
Waktu penyimpanan Minggu 1 Minggu 2 Uji Kontrol Uji Kontrol 7,861 7,974 6,65 6,792 6,499 6 6,088 6 6,888 7,065 5,826 6,007 7,301 6,738 3,811 2,238
Minggu 3 Uji Kontrol 5,641 5,758 1 2 0 0 0 0
TRIANA & YULINERY – Uji stabilitas Lactobacillus plantarum Mar8 dalam oralit
Pembahasan Lactobacillus plantarum Mar8 merupakan bakteri unggulan yang diperoleh dari hasil penelitian pada Kelompok Penelitian Genetika Mikroba, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Bakteri ini memiliki kriteria dan potensi sebagai probiotik saluran pencernaan, antara lain: kemampuan hidup pada pH rendah, toleransi terhadap garam empedu, menghasilkan antibiotik, dan asam-asam organik (Napitupulu et al 2003). Kriteria ini memenuhi syarat-syarat mikroba sebagai probiotik (Hood dan Zottola 1998). Selain itu, L. plantarum Mar8 juga memiliki viabilitas yang tinggi dalam kondisi terenkapsulasi (Triana 2006). Syarat probiotik lain yang akan dikembangkan dalam industri adalah mempunyai kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan dapat bertahan pada penyimpanannnya (Shortt 1999; Lisal 2005). Enkapsulasi L. plantarum Mar8 Pengeringan merupakan salah satu alternatif untuk melindungi zat inti, termasuk mikroba. Dengan pengeringan, umur simpan kultur menjadi lebih panjang. Enkapsulasi merupakan salah satu metode pengeringan sekaligus penyalutan bahan atau mikroba, antara lain dengan cara spray-drying (kering semprot). Spray drying sering digunakan untuk bahan cair dengan viskositas rendah dan sensitif terhadap panas. Enkapsulasi memberikan sarana untuk mengubah komponen dalam bentuk cairan atau gas menjadi partikel padat dan melindungi materi dari pengaruh lingkungan yang merugikan dan mempertahankan keunggulannya (Tamime dan Robinson 1989; Risch 1995). Konfirmasi L. plantarum Mar8 pada media GYP yang disuplementasi CaCO3 sebelum dan setelah enkapsulasi ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar koloni. Hal tersebut disebabkan L. plantarum Mar8 menghasilkan asam yang dapat melarutkan CaCO3. Selain itu, hasil konfirmasi ini menunjukkan tidak terjadi kontaminasi sebelum dan selama proses enkapsulasi berlangsung. Lactobacillus plantarum Mar8 terenkapsulasi akan bertahan (survive) lebih lama dalam penyimpanan karena terlindungi oleh bahan penyalut. Ketika L. plantarum Mar8 yang telah dienkapsulasi ditambahkan ke dalam sediaan oralit, diharapkan L. plantarum Mar8 tersebut juga akan tetap stabil selama penyimpanan. Untuk sediaan uji, sebanyak 0,36 g serbuk enkapsulasi L. plantarum Mar8 dicampurkan ke dalam sediaan oralit 5,64 g, sehingga konsentrasi L. plantarum Mar8 dalam oralit adalah 6%. Tujuannya agar konsentrasi probiotik cukup banyak, sehingga setelah melewati proses enkapsulasi masih tetap dapat memenuhi syarat minimum probiotik, yaitu 10-6 CFU/g (Svensson 1999). Pada Tabel 1, terlihat bahwa jumlah koloni L. plantarum Mar8 setelah enkapsulasi mengalami penurunan, dari 1,765 x 1012 sebelum enkapsulasi menjadi 1,465 x 109 setelah enkapsulasi. Penurunan jumlah probiotik ini disebabkan proses enkapsulasi menggunakan suhu 125oC menyebabkan sebagian bakteri L. plantarum Mar8 mati karena L. plantarum Mar8 termasuk mesofil, yang dapat bertahan hidup sampai suhu 45oC. Sebagian L. plantarum
281
Mar8 dapat hidup karena adanya dekstrin sebagai penyalut sehingga melindungi L. plantarum Mar8 dari suhu tinggi selama proses enkapsulasi. Lactobacillus plantarum Mar8 terenkapsulasi pada sediaan uji dan kontrol memiliki jumlah tidak jauh berbeda, dan masih memenuhi syarat minimum probiotik, yaitu 10-6 CFU/g, sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan L. plantarum Mar8 ke dalam oralit dapat dilakukan tanpa mengurangi efektivitasnya sebagai probiotik. Analisis viabilitas L. plantarum Mar8 Analisis viabilitas dilakukan untuk mengetahui jumlah sel yang dapat bertahan hidup (survive) pada kondisi tertentu, biasanya diperkirakan sebagai ukuran konsentrasi sel (Brooks 2001). Ketahanan hidup bakteri antara lain dipengaruhi oleh: air, mineral, sumber nitrogen, dan temperatur/suhu. Tiap bakteri mempunyai suhu optimum, dimana bakteri tersebut tumbuh sebaik-baiknya. Suhu optimum biasanya merupakan refleksi dari lingkungan normal organisme tersebut. Oleh karena itu, Suhu penyimpanan dapat mempengaruhi ketahanan hidup bakteri terenkapsulasi. Hasil uji viabilitas L.plantarum Mar8 terenkapsulasi pada berbagai suhu penyimpanan (Tabel 2), menunjukkan bahwa probiotik yang disimpan pada suhu 4oC mempunyai viabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi. Pada suhu 4oC sediaan uji masih memenuhi standar jumlah minimum probiotik (106 CFU/g) dengan waktu simpan hingga minggu ke-2 yaitu 4,8 x 106 CFU/g, sedangkan kontrol 6,3 x 106 CFU/g. Pada suhu 25oC probiotik pada sediaan uji bertahan hingga minggu ke-2 dengan jumlah 1,25 x 106 CFU/g, dan pada kontrol 106 CFU/g. Hal ini mendukung hasil penelitian Zamora et al (2006) bahwa kultur kering bakteri asam laktat yang disimpan pada suhu dingin (4oC) mempunyai viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan yang disimpan pada suhu kamar. Pada suhu 37oC probiotik pada sediaan uji hanya dapat bertahan sampai satu minggu dengan jumlah 8,5 x 106 CFU/g, dan pada kontrol sebanyak 12 x 106 CFU/g. Begitu pula pada suhu 42oC probiotik pada sediaan uji hanya bertahan sampai satu minggu dengan jumlah 2,5 x 107 CFU/g, dan pada kontrol 6,5 x 106 CFU/g. Probiotik L. plantarum tetap dapat bertahan pada suhu 37oC maupun 42oC karena L. plantarum Mar8 termasuk ke dalam bakteri mesofil, yaitu bakteri yang dapat hidup sampai suhu 45oC. Untuk mengetahui perbedaan nilai viabilitas tiap perlakuan, maka dilakukan analisis statistik SPSS dengan taraf kepercayaan (α) = 0,05. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (i) Pada suhu 4oC sediaan uji (L. plantarum Mar8 + dekstrin 10% + oralit) memberikan hasil analisis yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol (L. plantarum Mar8 + dekstrin 10%). (ii) Pada suhu 25oC sediaan uji memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol. (iii) Pada suhu 37oC sediaan uji memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. (iv) Pada suhu 42oC sediaan uji memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol. Data tersebut menunjukkan bahwa efektivitas probotik di dalam oralit tidak berbeda nyata dengan probotik tanpa oralit.
282
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 278-282, April 2015
Uji stabilitas L. plantarum Mar8 dalam sediaan oralit pada berbagai suhu penyimpanan Uji stabilitas dimaksudkan untuk menjamin kualitas produk yang telah lulus uji dan beredar di pasaran. Dengan uji stabilitas dapat diketahui pengaruh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban terhadap parameter-parameter stabilitas produk seperti kadar zat aktif, pH, berat jenis, dan volume sehingga dapat ditetapkan tanggal kadaluarsa yang sebenarnya (Sarmoko 2009). Lactobacillus plantarum Mar8 merupakan produk biologi yang memiliki karakter dan kepekaan yang khas terhadap faktor lingkungan seperti suhu, oksidasi, cahaya, muatan ion, dan sebagainya. Sebagai suatu produk biologi yang akan disimpan dalam jangka waktu tertentu, akan terjadi perubahan konsentrasi karena ketidakstabilan komponen yang terkandung di dalamnya. Karena itu diperlukan uji stabilitas, untuk mengetahui batas waktu maksimum penyimpanan, dan kondisi penyimpanan yang optimal, yang akan menentukan waktu penyimpanan maksimum sehingga produk masih memberikan efek yang diharapkan. Stabilitas dapat ditentukan berdasarkan log rata-rata viabilitas sediaan uji dan kontrol yang mengandung probiotik L. plantarum Mar8 sebagaimana yg tercantum pada Tabel 3. Hasil perhitungan waktu simpannya dapat dilihat pada Tabel 4. Probiotik L. plantarum Mar8 dalam sediaan uji pada suhu 4oC masih memenuhi standar minimum dengan waktu simpan paling lama yaitu 17,77 hari. Begitu pula pada kontrol selama 18,67 hari. Hal ini disebabkan suhu 4oC merupakan suhu terbaik untuk penyimpanan dalam bentuk kering. Penyimpanan pada suhu 4oC menyebabkan pertumbuhan L. plantarum Mar8 lebih lambat sehingga nutrisi tersedia untuk pertumbuhan dalam waktu yang lebih panjang. Karena itu L. plantarum Mar8 dapat bertahan hidup lebih lama. Pada suhu 37oC sediaan uji memiliki waktu simpan paling rendah, yaitu selama 9,85 hari. Hal ini terjadi karena suhu 37oC merupakan suhu optimum pertumbuhan L. plantarum Mar8, sehingga pertumbuhan L. plantarum Mar8 pada suhu tersebut lebih cepat dibandingkan pada suhu penyimpanan lain. Pertumbuhan yang lebih cepat menyebabkan nutrisi yang tersedia menjadi lebih cepat habis dan dekstrin yang digunakan sebagai penyalut tidak cukup melindungi L. plantarum Mar8, sehingga banyak L. plantarum Mar8 yang mati. Jika sediaan uji disimpan melebihi batas waktu penyimpanannya, maka L. plantarum Mar8 dalam sediaan uji tersebut tidak akan memberikan efek probiotik karena viabilitasnya rendah. Jumlah probiotik dalam sediaan tersebut jauh menurun, sehingga kurang dari jumlah minimum (standar) bakteri probiotik yang dikonsumsi. Karena itu, tidak memiliki efek yang diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian di atas, disimpulkan bahwa Lactobacillus plantarum Mar8 dalam sediaan oralit,
menunjukkan kestabilan dengan tetap memenuhi standar jumlah minimal probiotik (106 CFU/g), pada durasi waktu penyimpanan yang berbeda-beda pada berbagai suhu penyimpanan. Pada suhu 4oC, viabilitasnya sebesar 4,8 x 106 CFU/g dengan waktu penyimpanan 17,77 hari. Pada suhu 25oC, viabilitasnya sebesar 1,25 x 106 CFU/g dengan waktu penyimpanan 14,42 hari. Pada suhu 37oC, viabilitasnya sebesar 8,5 x 106 CFU/g dengan waktu penyimpanan 9,85 hari. Sedangkan pada suhu 42oC, viabilitasnya 2,5 x 107 CFU/g dengan waktu penyimpanan 12,14 hari. Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 dalam sediaan oralit paling stabil bila disimpan pada suhu 4oC dengan waktu simpan paling lama yaitu 17,77 hari. DAFTAR PUSTAKA Brooks GF, Buteel JF, Morsedan AS. 2001. Mikrobiologi Kedoketeran Edisi Pertama (Terj). Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Eds). Salemba Media, Jakarta. Hood SK, Zottola EA. 1998. Effect of low pH on the ability of Lactobacillus acidophilus to survey and adherence to human intestinal cells. J Food Sci 53: 1514-1516. James R, Lazdunski C, Pattus F. 1992. Bacteriocins, Microcins, and Lantibiotics. Springer-Verlag: Berlin, Heidelberg. Lisal JS. 2005. Konsep probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota usus besar. J Med Nus 26(4): 259-262. Napitupulu RNR, Yulinery T, Hardiningsih R, Kasim E, Nurhidayat N. 2003. Daya ikat kolesterol dan produksi asam organik isolat Lactobacillus terseleksi untuk penurun kolesterol. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Bandung, 29-30 Agustus 2003. Patterson CA. 2008. Benefits beyond basic nutrition probiotics. Agriculture and Agrifood. Ottawa. Reksohadiwinoto. 2014. Performance know antibiotics: products, applications, and working mechanism. BPPT Biotech Center. http://biotek.bppt.go.id/index.php/artikel-sains/134-mengenal-kinerjaprobiotik-produk-aplikasi-mekanisme-kerja Diakses 15/12/14. Risch SJ. 1995. Encapsulation: Overview of uses and technique. In: Risch SJ, Reineccius GA (eds) Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. American Chemical Society, Washington DC. Sarmoko. 2009. http://moko31.woedpress.com/2009/11/22/uji-stabilitas/ Shortt C. 1999. The probiotic century: historical and current perspectives. Rev Trend Food Sci and Technol 10: 411-417. Soccol CR, de Sousa Vandenberghe LP, Spier MR, Medeiros APB, Yamaguishi CT, De Dea Lindner L, Pandey A, Thomaz-Soccol V. 2010. The potential of probiotics: a review. Food Technol Biotechnol 48(4): 413-434. Svensson U. 1999. Industrial Prespective. In: GW. Tannock (Ed). Probiotics, a Critical Review. Horizon Scientific Publisher, England. Tamime AY, Robinson NK. 1989. Yoghurt Science and Technology. Pergamon Press, Oxford. Tjay TH, Rahardja K. 2002. Obat-obat Penting. Edisi kelima. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Triana E, Yulianto E, Nurhidayat N. 2006. Uji viabilitas Lactobacillus sp. Mar8 terenkapsulasi. Biodiversitas 7(2): 114-117. Zamora LM, Carretero C, Pares D. 2006. Comparative survival rates of lactic acid bacteria isolated from blood, following spray drying and freeze drying. Food Sci Technol Int 12(1), 77-84. Zein U, Sagala KH, Ginting J. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri. EUSU Repository. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 283-288
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010219
Uji toksisitas citrinin yang dihasilkan oleh angkak hasil fermentasi berbagai isolat Monascus purpureus terhadap larva Artemia salina Leach Toxicity test of citrinin from angkak fermented by Monascus purpureus isolates against Artemia salina Leach EVI TRIANA♥, TITIN YULINERY Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl Raya Jakarta-Bogor Km 46 Cibinong Bogor 16911, Jawa Barat. Tel.: +62-218765066, Fax. +62-21-8765062, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 4 Desember 2014. Revisi disetujui: 1 Februari 2015.
Abstrak. Triana E, Yulinery T. 2015. Uji toksisitas citrinin yang dihasilkan oleh angkak hasil fermentasi berbagai isolat Monascus purpureus terhadap larva Artemia salina Leach. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 283-288. Angkak merupakan hasil fermentasi beras oleh kapang Monascus purpureus. Angkak telah dimanfaatkan dan dikonsumsi sejak dahulu karena memiliki berbagai macam manfaat dan khasiat, antara lain sebagai zat pewarna makanan dan minuman, antibakteria, anti kolesterol, anti trombositopenia, dan sebagainya. Secara alami Monascus menghasilkan Monascidin A, yang bersifat antibiotik. Namun dalam perkembangannya diketahui bahwa zat tersebut bersifat toksik terutama terhadap ginjal dan hati. Zat tersebut kini lebih dikenal sebagai citrinin. Karena sifat toksiknya, pemanfaatan angkak, baik sebagai food additive maupun untuk pengobatan alternatif/tradisional, harus dilakukan secara bijak. Oleh karena itu, perlu diketahui informasi tentang toksisitas dan kadar citrinin yang terkandung di dalam sedian angkak terutama yang tersedia secara komersial. Untuk menjawab permasalahan tersebut, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar citrinin dan toksisitasnya pada angkak hasil fermentasi beras IR 42 dengan beberapa isolat Monascus purpureus yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia. Pada penelitian ini, kadar citrinin dalam berbagai sampel angkak dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Kemudian dilakukan preliminary test terhadap toksisitas citrinin menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan hewan uji Artemia salina Leach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan citrinin pada angkak hasil fermentasi oleh Monascus purpureus AS, TST, dan JMBA berturut-turut adalah 41,235 µg/g, 59,946 µg/g, dan 62,636 µg/g. Sedangkan uji toksisitas citrinin menunjukkan bahwa toksisitas (LC50) angkak pada A. salina dari terendah hingga tertinggi, berturutturut adalah AS, TST, JMBA sebesar 138,4841 ppm; 190,546 ppm; 295,869 ppm. Data tersebut mengindikasikan bahwa ketiga sampel angkak memiliki efek sitotoksik yang tinggi. Oleh karena itu pemanfaatannya harus disertai dengan kehati-hatian. Kata kunci: Angkak, Artemia salina, citrinin, Monascus purpureus, toksisitas
Abstract. Triana E, Yulinery T. 2015. Toxicity test of citrinin from angkak produced by rice fermented by three Monascus purpureus isolates against Artemia salina Leach. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 283-288. Angkak is produced from rice fermentation by Monascus purpureus. Angkak has been widely used and consumed since long time ago because of its beneficial properties, such as food and beverage coloring, antibacteria, anticholesterol and antithrombocytopenia. Naturally, Monascus produced Monascidin A that has antibiotics property. However, angkak contains a toxic substance to kidney and liver, known as citrinin. Due to its toxicity, utilization of angkak, either for a food additive or traditional medicine should be with caution. Therefore, information about the level of citrinin content and its toxicity in angkak, especially commercially available ones, is necessary. This research has been conducted to examine the level and toxicity of angkak produced from IR42-rice fermentation by three isolates of M. purpureus. The level of citrinin was analyzed using High-Performance Liquid Chromatography (HPLC), and its toxicity was analyzed using Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) to Artemia salina Leach as a preliminary test. The results showed that citrinin level of angkak produced by M. purpureus isolate AS, TST, and JMBA were 41.235 µg/g, 59.946 µg/g, dan 62.636 µg/g, respectively. Toxicity test (LC50) of citrinin to A. salina showed that the LC50 of angkak from isolate AS, TST, and JMBA, was measured at 138.4841 ppm; 190.546 ppm; 295.869 ppm, respectively. These data indicated that the angkak samples have high toxicity effect. Therefore its utilization should be with precaution. Keywords: Angkak, Artemia salina, citrinin, Monascus purpureus, toxicity
PENDAHULUAN Pola hidup sehat dengan jargon kembali ke alam (back to nature), meningkatkan kesadaran akan penggunaan bahan-bahan alami, baik sebagai makanan, obat, maupun tujuan lain. Agar tujuan tersebut tercapai, bahan-bahan
alami harus digunakan secara bijak. Karena itu diperlukan informasi yang memadai tentang keuntungan, kerugian dan kemungkinan penyalahgunaan obat tradisional, tanaman obat, maupun bahan-bahan yang bersifat farmakoterapi (Dorly 2005).
284
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 283-288, April 2015
Pemanfaatan bahan alam sebagai obat tradisional oleh masyarakat dijamin keamanannya oleh Pemerintah, yang tertuang dalam Permenkes No.760/Menkes/Per/IX/1992 tentang obat tradisional dan fitofarmaka. Namun untuk menjamin keamanan masyarakat dalam mengkonsumsinya, setiap bahan alam harus melewati beberapa tahapan meliputi uji farmakologi eksperimental, uji toksisitas, uji klinis, uji kualitas dan pengujian lain sesuai persyaratan yang ditentukan. Salah satu bahan alam berpotensi yang telah lama dikenal dan dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah angkak. Angkak akhir-akhir ini banyak diperbincangkan karena memiliki beberapa zat aktif yang dapat mengobati berbagai macam penyakit seperti hipertensi, kolesterol, dan trombositopenia. Dalam kitab pengobatan Cina kuno disebutkan bahwa sejak jaman dahulu, angkak dapat digunakan untuk pengobatan yang terkait dengan pencernaan, sirkulasi darah, limfa dan kesehatan perut (Heber et al. 1999; Erdogrul dan Azirak 2004; Pattanagul 2007). Angkak merupakan produk fermentasi beras oleh kapang Monascus purpureus. Proses metabolisme selama fermentasi, menghasilkan metabolit sekunder, misalnya pigmen dan zat anti-hiperkolesterolemia. Karena kandungan pigmennya, angkak banyak digunakan sebagai pewarna alami untuk minuman dan makanan, antara lain anggur merah, ikan, keju, dan olahan daging (Chen dan Johns 1993; Ma et al. 2000; Pattanagul et al. 2007). Zat anti-hiperkolesterolemia yang diisolasi dari M. purpureus, adalah Monakolin K, yang dikenal sebagai lovastatin. Hasil penelitian Heber et al. (1999) menunjukkan bahwa lovastatin dapat menurunkan kadar kolesterol darah sebesar 11-32% dan trigliserida sebesar 12-19%. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Kasim et al. (2006) yang menyatakan bahwa angkak dapat menekan kenaikan kadar kolesterol total darah pada tikus sebesar 49,28%. Senyawa lain yang berhasil diisolasi dari M. purpureus adalah monascidin, yang memiliki berbagai aktivitas biologis, seperti antimikroba, antibiotik, fitotoksin, sitotoksik, hipokolesterolesmik, dan inhibitor enzim (Wang et al. 2004; Pattanagul et al. 2008). Dalam perkembangannya, diketahui bahwa monascidin adalah citrinin, suatu mikotoksin yang bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik, karena menyebabkan kerusakan fungsi dan struktur ginjal serta fungsi dan perubahan metabolisme di hati (Blanc et al. 1995; Wang et al. 2004). Namun tidak ada aturan spesifik tentang kadar citrinin maksimal pada produk komersial, karena sulit untuk menetapkan batasan yang dapat diterima secara luas. Alasan utamanya adalah tidak ada metode analisis rutin yang cocok dan sifat citrinin yang tidak stabil (Xu et al. 2006). Umumnya, pada produk komersial angkak, konsentrasi citrinin berkisar 0,2-1,71 ug/g. Di Jepang, konsentrasi maksimum yang diijinkan adalah 200 ng/g, sedangkan di Cina dan Eropa masih diperdebatkan. Konsentrasi serendah ini diyakini tidak menyebabkan gangguan kesehatan (Pattanagul et al. 2008). Karena sifat toksiknya, agar angkak dapat digunakan secara bijak, baik sebagai food additive maupun untuk terapi/pengobatan tradisional, diperlukan informasi tentang
toksisitas dan kadar citrinin yang terkandung dalam sediaan angkak terutama yang tersedia secara komersial. Untuk menjawab permasalahan tersebut, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar citrinin dan toksisitasnya pada angkak hasil fermentasi beras IR 42 oleh beberapa isolat Monascus purpureus yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia. Kadar citrinin pada sampel angkak dianalisis menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Kemudian dilakukan uji toksisitas angkak terhadap Artemia salina menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Suatu ekstrak dinyatakan toksik berdasarkan metode BSLT jika LC50 < 1000 μg/ ml (Meyer 1982). LC50 didefinisikan sebagai konsentrasi tunggal suatu senyawa yang secara statistik diharapkan akan membunuh 50% populasi uji selama durasi waktu tertentu (Boyd 2005). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kandungan dan potensi toksisitas citrinin pada angkak sebagai salah satu bahan obat tradisional yang telah dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat. Dengan demikian, penggunaan angkak sebagai alternatif terapi/pengobatan menjadi lebih optimal dan lebih aman. BAHAN DAN METODE Material isolat Isolat-isolat untuk pembuatan angkak, Monascus purpureus AS, TST dan JMBA, diperoleh dari koleksi Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor. Pembuatan media kultur Monascus purpureus M. purpureus dikultur pada media Malt Extrack Agar (MEA), dengan komposisi 3,36 g/100 mL akuades. Campuran dikocok hingga homogen, dipanaskan hingga larut sempurna, kemudian disterilkan dengan otoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC. Setelah steril, media dituang ke dalam cawan petri steril, selanjutnya didiamkan hingga memadat. Pembuatan inokulum Isolat M. purpureus yang digunakan adalah JMBA, TST, AS koleksi Bidang Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang diisolasi dari berbagai tempat di Indonesia. Isolat diinokulasi ke dalam media MEA sebanyak 1 ose, kemudian diinkubasi pada suhu 30oC selama 14 hari. Selesai masa inkubasi, permukaan kultur dikikis menggunakan sendok steril. Sebanyak 1 ose kapang ditumbuk dengan mortar dan ditambahkan 10 ml akuades steril, sehingga diperoleh suspensi kapang. Sebanyak 200 g beras dicuci bersih dan direndam selama 24 jam. Beras dibilas, ditiriskan, kemudian disterilkan dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin, beras dicampur dengan suspensi kapang, kemudian difermentasi selama 14 hari pada suhu 30oC. Beras yang telah difermentasi, dikeringkan kemudian
TRIANA & YULINERY – Uji toksisitas citrinin terhadap Artemia salina
dihaluskan hingga menjadi serbuk, yang akan digunakan sebagai inokulum. Pembuatan angkak Angkak dibuat dengan cara hampir sama dengan pembuatan inokulum. Sebanyak 200 g beras dicuci bersih dan direndam selama 24 jam, kemudian dibilas, ditiriskan, disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit, kemudian didinginkan. Sebanyak masing-masing 1% inokulum dari ketiga inokulum dan 20% akuades steril dari berat beras, dicampur hingga merata. Campuran difermentasi selama 14 hari pada suhu 30oC. Angkak hasil fermentasi dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 60oC. Setelah kering angkak dihaluskan hingga menjadi serbuk halus. Ekstraksi citrinin Sebanyak 0,125 g serbuk angkak (JMBA, TST dan AS) dicampur dengan 5 mL etanol 70% (pH 8) di dalam gelas beaker, diaduk selama 3 jam menggunakan magnetik stearer. Kemudian 1 mL dari setiap sampel angkak disaring dengan filter Whatman 0,2 µm. Analisis citrinin Larutan angkak dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan fase gerak campuran asetonitril : akuabides : trifluoroacetic (1000/1000/1). Kecepatan alir 1,0 mL/menit. Sebagai larutan standar adalah citrinin murni dengan konsentrasi 0,5 ppm, 1 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, dan 50 ppm. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Penetasan telur Artemia salina Leach Pemilihan telur A. salina yang baik dilakukan dengan merendam telur dalam akuades selama 1 jam. Telur yang mengendap disisihkan untuk digunakan dalam penelitian. Larutan dengan salinitas air laut (selanjutnya disebut air laut) dibuat dengan menambahkan NaCl hingga mencapai kadar 25 b/v. Telur dimasukkan ke dalam larutan tersebut, kemudian diberi sirkulasi oksigen dan cahaya lampu. Setelah 24 jam, telur akan menetas. Larva dibiarkan hingga berumur 48 jam. Kelompok perlakuan Perlakuan terdiri dari 10 kelompok, masing-masing terdiri dari 20 larva A. salina dengan 6 ulangan: (i) Perlakuan 1: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 100 ppm. (ii) Perlakuan 2: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 90 ppm. (iii) Perlakuan 3: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 80 ppm. (iv) Perlakuan 4: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 70 ppm. (v) Perlakuan 5: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 60 ppm. (vi) Perlakuan 6: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 50 ppm. (vii) Perlakuan 7: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 40 ppm. (viii) Perlakuan 8: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 30 ppm. (ix) Perlakuan 9: 10 mL air laut ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 20 ppm. (x) Perlakuan 10: 10 mL air laut
285
ditambah angkak dengan konsentrasi akhir 10 ppm. (xi) Kontrol positif: 10 mL air laut ditambah citrinin murni dengan konsentrasi akhir 1 ppm. (xii) Kontrol negatif: 10 mL air laut tanpa penambahan angkak atau citrinin murni. Uji toksisitas Semua tabung uji pada kelompok perlakuan dan kontrol diletakkan di bawah penerangan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva udang yang mati. Tingkat kematian (% mortalitas) dihitung dengan cara membandingkan jumlah larva yang mati dengan jumlah larva total, sesuai dengan rumus: % Kematian = × 100 % Selanjutnya, LC50 dihitung menggunakan kurva yang menyatakan log konsentrasi ekstrak uji sebagai sumbu x, dan % mortalitas larva A. salina sebagai sumbu y dan memplotnya dalam persamaan regresi linier y = a + bx. Dengan menggunakan data-data yang diperoleh, nilai LC50 dari citrinin pada sampel angkak dihitung dengan analisis probit. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kadar citrinin Kadar citrinin dianalisis menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan panjang gelombang 254 nm (Gambar 1). Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Nilai mortalitas citrinin pada sampel angkak Nilai mortalitas sampel angkak berbeda-beda menurut konsentrasi citrinin di dalamnya. Semakin besar konsentrasi citrinin, semakin semakin tinggi mortalitasnya (Tabel 1). Nilai mortalitas pada kontrol positif dan negatif dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai LC50 dari sampel angkak Nilai LC50 dari citrinin pada angkak AS, TST, dan JMBA dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 1. Konsentrasi citrinin dalam sediaan angkak
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 283-288, April 2015
286
Tabel 1. Nilai persen (%) Mortalitas untuk angkak AS, TST, JMBA Sample AS
TST
JMBA
Konsentrasi (ppm)
% Mortalitas
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
50 50,83 39,16 41,66 36,66 36,66 36,66 36,66 31,66 24,16 46,66 40,83 36,66 34,16 30,83 38,33 37,5 38,33 36,66 27,5 40,83 35 28,33 29,16 22,5 27,5 18,33 14,16 15 12,5
Gambar 2. Persentase kematian pada kontrol positif dan kontrol negatif
Gambar 3. Nilai LC50 dari citrinin pada angkak AS, TST, JMBA
Pembahasan Monascus purpureus mampu tumbuh baik pada bahan yang mengandung pati, protein atau lipid misalnya kentang, singkong, jagung, gandum, barley, oat, dan beras. Hal tersebut disebabkan kapang ini memproduksi enzimenzim α-amilase, β-amilase, glukoamilase, protease, lipase, glukosidase, dan ribonuklease (Tanaka et al. 2007). Oleh karena itu, beras merupakan substrat yang baik bagi M. purpureus untuk pembuatan angkak. Beras yang digunakan pada penelitian ini adalah IR 42 yang memiliki kadar amilosa sekitar 27% (Gusnimar 2003). Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (1985) bahwa beras yang cocok digunakan sebagai substrat adalah beras pera yang memiliki kadar amilosa tinggi yaitu 2530% dan amilopektin rendah. Kandungan amilosa tinggi, menyebabkan beras tidak lengket setelah dimasak. Kondisi ini menyebabkan tersedia ruang yang cukup di antara butiran beras untuk aliran oksigen sehingga pertumbuhan kapang menjadi optimal karena Monascus bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Selain itu, adanya ruang di antara butiran beras menyebabkan tiap butir beras dapat tertutup miselium secara sempurna. Beras merupakan substrat terbaik untuk produksi pigmen karena struktur mikroskopisnya yang baik untuk penetrasi hifa atau difusi pigmen (Timotius 2004). Ketiga angkak hasil fermentasi beras oleh isolat M. purpureus AS, TST dan JMBA menunjukkan warna yang relatif sama yaitu warna merah kecoklatan, bentuk bulat agak lonjong seperti beras pada umumnya namun agak rapuh. Analisis kadar citrinin Pada Gambar 1. terlihat bahwa angkak JMBA memiliki kadar citrinin lebih tinggi (62,636 µg/g) daripada AS (41,235 µg/g) dan TST (59,946 µg/g). Adanya perbedaan disebabkan sintesis citrinin dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: strain Monascus, sumber karbon dan nitrogen, nutrisi, serta lingkungan (oksigen, temperatur, pH). Pada beberapa penelitian, terbukti bahwa ekstrak khamir (yeast extract) dapat meningkatkan sintesis citrinin sedangkan monosodium glutamat dan etanol dapat menghambat sintesis citrinin. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah menghambat sintesis citrinin dan sintesis pigmen merah. Sintesis citrinin juga sangat bergantung pada pH medium. Meningkatkan pH medium ke arah basa dapat mengurangi konsentrasi citrinin yang terbentuk (Blanc et al. 1995; Xu et al. 2006). Oleh karena faktor yang mempengaruhi pembentukan citrinin sangat bervariasi, dapat dipahami mengapa kandungan citrinin pada ketiga sampel angkak berbeda-beda. Kandungan citrinin yang diperbolehkan untuk dikonsumsi maksimal sebesar 200 mg/g (Juzlova et al. 2006). Sedangkan kadar citrinin pada angkak JMBA, AS dan TST berada jauh di bawah level maksimal. Berarti angkak JMBA, AS, dan TST relatif aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat, sebagaimana tercantum dalam Pattanagul et al. (2008) bahwa konsentrasi serendah ini diyakini tidak menyebabkan gangguan kesehatan. Level citrinin yang tinggi berpengaruh buruk terhadap hati dan ginjal. Pada ternak, simptom/gejala umum dari keracunan
TRIANA & YULINERY – Uji toksisitas citrinin terhadap Artemia salina
citrinin antara lain meningkatnya konsumsi air dan diare. Simptom ini muncul saat konsumsi citrinin sebesar 130260 ppm (EFSA 2012). Nilai mortalitas citrinin pada angkak Pada penelitian ini digunakan metode BSLT untuk mempelajari toksisitas sampel citrinin terhadap hewan uji Artemia salina Leach. Metode ini dipilih karena telah diterima secara luas untuk pengujian pendahuluan toksisitas metabolit sekunder, termasuk mikotoksin. Penggunaan A. salina adalah dengan pertimbangan: mudah didapat karena tersedia secara komersial; metode cepat karena larva aktif dapat diperoleh dalam 1-2 hari, membutuhkan peralatan sedikit, tidak memerlukan pemeliharaan kultur/organisme hidup, dan tidak memerlukan laboratorium khusus. Metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu 24 jam setelah pemberian dosis uji. Agar diperoleh hasil uji toksisitas yang optimal, dilakukan uji terhadap kelompok non perlakuan sebagai kontrol, yaitu kontrol positif untuk menguji efek toksisitas dari bentuk murni senyawa, dan kontrol negatif untuk mengetahui tingkat kematian alami A. salina. Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 1, terlihat ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi citrinin, semakin tinggi tingkat kematian larva A. salina. Nilai mortalitas tertinggi dari ekstrak citrinin dengan konsentrasi 100 ppm adalah angkak AS sebesar 50,83%, TST sebesar 46,66%, dan JMBA sebesar 40,83%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa larva A. salina paling rentan terhadap toksisitas citrinin yang diekstrak dari angkak AS, diikuti oleh angkak TST dan paling tahan terhadap angkak JMBA. Gambar 2. menunjukkan bahwa nilai mortalitas pada kontrol positif yang menggunakan citrinin murni 1 ppm adalah 43,33%. Bila dibandingkan dengan nilai mortalitas pada kelompok perlakuan, terlihat bahwa nilai mortalitas yang hampir sama (41,66-50,83%) dicapai oleh angkak AS dengan kadar citrinin berkisar 70-100 ppm, angkak TST berkisar 90-100 ppm, sedangkan angkak JMBA > 100 ppm. Berdasarkan data tersebut dapat diasumsikan bahwa toksisitas citrinin pada angkak hasil fermentasi M. purpureus AS, TST dan JMBA tidak setinggi toksisitas citrinin murni 1 ppm. Pada kontrol negatif, terjadi kematian Artemia salina Leach sebesar 1,6667%. Kematian pada kontrol negatif disebabkan faktor alami, misalnya: nutrisi, oksigen, temperatur, dan lain-lain (Blanc et al. 1995). Mekanisme toksisitas citrinin masih kontroversial dan belum dipahami secara mendalam. Umumnya data diperoleh secara in vitro dan sangat bervariasi. Diduga renjatan oksidatif (oxydative stress) dengan peningkatan spesies oksigen reaktif menstimulasi pembentukan superoksida (Ribeiro et al. 1997; EFSA 2012). Kemungkinan lain adalah mengubah fungsi mitokondria sehingga mitokondria membengkak dan pecah, dengan cara menurunkan akumulasi ion kalsium pada matriks dengan menghambat influx dan meningkatkan efflux (Chagas et al. 1994; Chagas et al. 1995).
287
Nilai LC50 dari sampel angkak Untuk menghitung nilai LC50 digunakan kurva yang menyatakan log konsentrasi ekstrak uji yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva A. salina sebagai sumbu x, dan tingkat kematian (mortalitas) larva A. salina 50% setelah masa inkubasi 24 jam sebagai sumbu y, yang diplot dalam persamaan regresi linier y = a + bx. Dengan menggunakan rumus tersebut, diperoleh nilai a dan b berdasarkan data dari 10 titik konsentrasi yang digunakan. Nilai LC50 ditentukan melalui analisis probit terhadap datadata yang diperoleh. Semakin kecil nilai LC50 maka semakin besar aktivitas/efek toksiknya. Data LC50 dari ketiga sampel angkak disajikan sebagai grafik pada Gambar 3. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa hasil uji toksisitas serbuk angkak yang memiliki nilai LC50 tertinggi hingga terendah berturut-turut ditunjukkan oleh angkak JMBA (295,869 ppm), TST (190,546 ppm), dan AS (138,4841 ppm). Data tersebut menunjukkan ketiga sampel angkak memiliki potensi toksisitas yang tinggi, karena suatu ekstrak dikatakan toksik berdasarkan metode BSLT jika LC50 < 1000 μg/ml (Meyer 1982). Hasil yang diperoleh sejalan dengan hasil penelitian terdahulu, bahwa nilai toksisitas angkak terhadap A. salina adalah 100 μg/ml (Harwig dan Scott 1971). Citrinin termasuk ekotoksik, yaitu senyawa yang berbahaya terhadap lingkungan. Karena itu sangat toksik untuk organisme perairan. Walaupun berdasarkan metode BSLT ketiga sampel angkak yang diuji menunjukkan potensi toksisitas yang tinggi, namun demikian tidak bisa dilakukan ekstrapolasi terhadap manusia. Karena sebagaimana telah disebutkan di atas, kandungan citrinin pada angkak AS, TST, dan JMBA masih dibawah level maksimal yang diijinkan untuk dikonsumsi. Toksisitas citrinin terhadap manusia masih menjadi perdebatan, karena belum ada kajian yang tepat/layak tentang hal tersebut disebabkan ketidakstabilan citrinin membuatnya sulit diisolasi dan minat yang rendah karena minim aplikasi industri. Di beberapa negara, level maksimal citrinin yang diijinkan dikonsumsi masih bervariasi karena sulit untuk menetapkan batasan yang dapat diterima secara luas. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh EFSA (European Food Safety Authority) pada berbagai penelitian yang dilakukan pada hewan uji dan manusia, disimpulkan bahwa dosis yang tidak akan menyebabkan gangguan pada ginjal bagi manusia adalah 0,2 µg/kg berat badan per hari (EFSA 2012). Selain itu, untuk meminimalkan asupan citrinin, detoksifikasi citrinin sangat penting untuk dilakukan. Penelitian tentang dekomposisi dan detoksifikasi termal menunjukkan bahwa pemanasan kering pada 175oC akan menguraikan citrinin. Sedangkan pemanasan citrinin pada 130oC dengan sedikit air menyebabkan penurunan yang berarti dalam toksisitasnya terhadap sel Hela. Setelah dididihkan dalam air, konsentrasi citrinin pada Monascus berkurang secara drastis. Pemanasan 20 menit dapat menurunkan konsentrasi citrinin hingga 50%. Hal ini membuktikan bahwa citrinin labil dalam larutan dan temperatur tinggi (Xu et al. 2006). Oleh karena itu, sebelum dikonsumsi sebaiknya angkak dipanaskan terlebih
288
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 283-288, April 2015
dahulu untuk detoksifikasi citrinin yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan data-data dan informasi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa walaupun kandungan citrinin pada ketiga sampel angkak masih dalam batas aman, namun citrinin memiliki potensi sitotoksik yang tinggi berdasarkan LC50. Oleh karena itu, untuk memperoleh manfaat angkak yang lebih optimal dan aman, penggunaannya harus disertai kehati-hatian dengan memperhatikan kandungan citrinin dalam angkak, dosis yang tepat, maupun cara pengolahan angkak sebelum digunakan untuk meminimalisir asupan citrinin. DAFTAR PUSTAKA Blanc PJ, Laussac JP, Le Bars J, Le Bars P, Loret MO, Pareileux A, Prome D, Prome JC, Santerre AL, Goma G. 1995. Characterization of monascidin A from Monascus as citrinin. Int J Food Microbiol 27: 201-213. Boyd CE. 2005. LC50 calculations, help protect toxicity. Global Aquaculture Advocate Feb: 84-87. Chagas GM, Wambier Kluppel ML, Campello AP, Buchi DF, Oliveira MBM. 1994. Alterations induced by citrinin in cultured kidney cells. Cell Struct Funct 19: 103-108. Chen M, Johns MR. 1993. Effects of pH and nitrogen source on pigmen production by Monascus purpureus. Appl. Microbiol. Biotechnol 40: 132-138. Ghagas GM., Oliveira MBM, Campelllo AP, Kluppel MLW. 1995. Mechanism of citrinin-induced dysfunction of mitochondria, IV. effect on Ca2+ transport. Cell Biochem Funct 13: 53-59. Dorly. 2005. Potensi Tumbuhan Obat Indonesia dalam Perkembangan Industri. Agromedisin. Bogor. European Food Safety Authority (EFSA). 2012. Scientific opinion on the risk for public and animal health related to the presence of citrinin in food and food. EFSA Journal 10(3): 2605, 1-84.
Erdogrul O, Azirak S. 2004. Review of the studies on the red yeast rice (Monascus purpureus). Turkish Elect J Biotechnol 2: 37-39. Gusnimar. 2003. Teknik analisis kadar amilosa dalam beras. Buletin Teknik Pertanian 8(2): 41. Harwig J, Scott PM. 1971. Brine shrimp (Artemia salina L.) larvae as a screening system for fungal toxins. Appl Microbiol 21(6): 1011-1016. Heber D, Yip I, Ashley JM. 1999. Cholesterol-lowering effects of a proprietary chinese red-yeast-rice dietary supplement. Am J Clin Nutr 69: 231-236. Juslova P, Martinkova L, Kren V. 2006. Secondary metabolites of the fungus Monascus: a review. J Ind Microbiol 16:164-170. Kasim E, Kurniawati Y, Nurhidayat N. 2006. Pemanfaatan isolat lokal Monascus purpureus untuk menurunkan kolesterol darah pada tikus putih galur Sprangue Dawley. Biodiversitas 7(2): 122-124. Ma J, Li Y, Ye Q, Li J, Hua Y,Ju D, Zhang D, Cooper R, Chang RM. 2000. Constituents of red yeast rice, a traditional chinese food and medicine. J Agric Food Chem 48: 5220-5225. Meyer HN. 1982. Brine shrimp lethality test. Med Plant Research 45(3): 1-34. Pattanagul P, Pinthong R, Phianmongkhol, Leksawasdi N. 2007. Review of angkak production (Monascus purpureus). Chiang Mai J Sci 34(3): 319-328. Pattanagul P, Pinthong R, Phianmongkhol A, Tharatha A. 2008. Mevinolin, citrinin and pigments of adlay angkak fermented by Monascus sp. Int J Food Microbiol 126: 20-23. Ribeiro SMR, Chagas GM, Campello AP, Kluppel LW. 1997. Mechanism of citrinin-indiced dysfunction of mitochondria, effect on the homeostatis of the reactive oxygen species. Cell Biochem Funct 15: 203-209. Santoso, GSB. 1985. Produksi pewarna alami angkak dengan media fermentasi beras sosoh. Media Teknologi dan Pangan 11(2): 34-38 Tanaka K, Sago Y, Zheng Y, Nakagawa H, Kushiro M. 2007. Mycotoxins in rice. Int J Food Microbiol. 119: 59-66. Timotius KH. 2004. Produksi pigmen angkak oleh Monascus. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 15(1): 79-86. Wang JJ, Lee CL, Pan TM. 2004 Modified mutation method for screening low citrinin-producing strains of Monascus purpureus on rice culture. J Agric Food Chem 52(23): 6977-6982. Xu B, Jia X, Gu L, Sung C. 2006. Review on the qualitative and quantitative analysis of mycotoxin citrinin. Food Control 17: 271285.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 289-295
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010220
Karakterisasi mikroba perakaran (PGPR) agen penting pendukung pupuk organik hayati Characterization of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) supporting organic biofertilizer TIRTA KUMALA DEWI1,♥, ELA SEKAR ARUM2, HARTATI IMAMUDDIN1, SARJIYA ANTONIUS1 1
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI,Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46 Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Tel.: +62-2187907636, Fax.: +62-21-87907612, ♥e-mail:
[email protected] 2 Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat. Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 13 Januari 2015.
Abstrak. Gunawan M, Kaiin EM, Said S. 2015. Aplikasi inseminasi buatan dengan sperma sexing dalam meningkatkan produktivitas sapi di peternakan rakyat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 289-295. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) merupakan mikroba tanah yang terdapat pada akar tanaman yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan perlindungan terhadap patogen tertentu. PGPR mampu menghasilkan hormon tumbuhan auxin, giberellin dan sitokinin, sebagai pelarut fosfat dan fiksasi nitrogen yang berperan sebagai pendukung Pupuk Organik Hayati Beyonic StarTmik. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi mikroba perakaran agen penting pendukung Pupuk Organik Hayati Beyonic seri StarTmik. Sampel tanah yang di gunakan berasal dari Lampung dan Ngawi. Mikroba hasil isolasi di tumbuhkan pada media Pikovskaya, skim milk agar (protease) dan TSB (Triptic Soy Broth). Bakteri yang mampu menghasilkan IAA (Indole-3-Acetic-Acid) secara kualitatif akan berwarna merah muda ketika ditumbuhkan pada media TSB dengan precursor L-Tryptophan dan ditetesi dengan reagen Salkowski dan di inkubasi dalam ruang gelap selama 1 jam. Analisis IAA secara kuantitatif dilakukan dengan dua metode yaitu spektrofotometri dan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Hasil isolasi menunjukkan bahwa beberapa isolat mampu menghasilkan enzim protease dan sebagai pelarut fosfat serta satu isolat yaitu isolat IC mampu menghasilkan IAA tertinggi dengan konsentrasi 158,651 ppm dengan konsentasi L-tryptophan 200 ppm. Kata kunci: PGPR, Plant Growth Promoting Rhizobacteria, pupuk organik hayati, Indole-3-acetic acid
Abstract. Gunawan M, Kaiin EM, Said S. 2015. Characterization of plant growth promoting rhizobacteria supporting agents of organic biofertilizer. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 289-295. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) is a group of bacteria that is actively colonizing plant roots, increasing plant growth and providing protection against certain pathogens. PGPR produces plant hormones (auxin, gibberellin, and cytokinin), promotes phosphate solubilization and performs nitrogen fixation which is very important for Beyonic StarTmik organic biofertilizer. The aims of this research are to characterize PGPR potentially producing IAA (Indole-3Acetic Acid), protease enzyme and phosphate solubilising agents that support Beyonic StarTmik organic biofertilizer. Isolated bacteria were cultured in Pikovskaya, skim milk agar (protease) and TSB (Tryptic Soy Broth) medium. The Indole 3 -Acetic Acid production was analyzed by Spectrophotometry and High-Performance Liquid Chromatography (HPLC). Seven isolates were able to produce protease enzyme, and one isolate was able to produce high amount of IAA (158.651 ppm) with 200 pp L-Tryptophan. Keywords: PGPR, Plant Growth Promoting Rhizobacteria, organic biofertilizer, indole-3-acetic acid
PENDAHULUAN Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) merupakan miroba tanah yang terdapat pada akar tanaman yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan perlindungan terhadap patogen tertentu (Van Loon 2007). PGPR mampu menghasilkan hormon tumbuhan seperti auxin, giberellin dan sitokinin, sebagai pelarut fosfat dan fiksasi nitrogen (Spaepen et al. 2009; Vessey 2003). Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa yang sangat vital guna mengawali, menginisiasi terjadinya pertumbuhan tanaman, berperan penting dari pertumbuhan perakaran sampai pembentukan buah. Menariknya bahwa ZPT juga
bisa dihasilkan oleh mikroba perkaran (Plant Growth Promoting Rhizobacteria/PGPR) yang jauh lebih baik manfaatnya dibanding ZPT yang disinthesis melalui reaksi kimia biasa. Untuk itu PGPR penghasil hormon tumbuh berperan vital dalam pembuatan pupuk oganik hayati (POH) seri StarTmik, Beyonic-LIPI. Pupuk hayati majemuk mengandung lebih dari satu jenis/strain mikroba, diantaranya adalah bakteri penambat N dan bakteri pelarut P yang juga mampu menghasilkan hormon pertumbuhan serta bakteri yang berperan sebagai agen biokontrol (Kloepper 1993). Protease merupakan salah satu kelompok enzim yang di manfaatkan dalam bidang industri. Protease mengkatalisis
290
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 289-295, April 2015
reaksi hidrolisis dengan memotong ikatan peptida dalam protein (Akhtaruzzaman et al. 2012). Protease yang berasal dari mikroba lebih banyak di gunakan di bandingkan enzim yang berasal dari tanaman maupun hewan(Mukesh Kumar et al. 2012). Beberapa contoh mikroba yang menghasilkan protease antara lain Aspergillus, Mucor, Rhizopus, Clostridium, Bacillus dan Pseudomonas (Kumar et al. 2005). Protease yang berasal dari mikroorganisme memiliki beberapa peran penting dalam bidang industri (misalnya detergen, makanan, kulit, dan tekstil) dan bioremediasi lingkungan. Protease memiliki kemampuan untuk mengurai atau menghilangkan protein kompleks pada lingkungan yang tercemar (Gitishree and Prasad 2010; Vishwanatha et al. 2010) IAA (Indole-3-Acetic-Acid) merupakan hormon tumbuh yang memegang peranan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mikroba yang mampu menghasilkan IAA dapat meningkatkan pertumbuhan dan perpanjangan akar sehingga permukaan akar menjadi lebih luas dan akhirnya tanaman mampu menyerap nutrisi dari dalam tanah lebih banyak (Bolero et al. 2007). LTryptophan merupakan asam amino yang berfungsi sebagai precursor dalam biosintesis auxin (IAA) pada tanaman dan mikroba (Patil et al. 2011). Fosfor (P) merupakan makronutrien yang berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Beberapa mikroba mampu mengubah P yang tidak terlarut dalam tanah menjadi bentuk yang terlarut sehingga dapat di gunakan secara langsung oleh tanaman (Pradhan dan Sukla 2005). Penggunaan mikroba pelarut fosfat sebagai inokulan dapat meningkatkan penyerapan P oleh tanaman (Saharan dan Nehra 2011). Mikroba pelarut fosfat banyak digunakan sebagai biofertilizer (Kudashev 1956; Krasilinikov 1957). Aktivitas pelarutan P oleh mikroba ditentukan berdasarkan kemampuan mikroba untuk melepaskan metabolit seperti asam organik yang memiliki gugus karboksil dan hidroksil sebagai agen pengkhelat kation yang berikatan menjadi fosfat dan kemudian diubah menjadi bentuk yang terlarut (Sagoe et al. 1998).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi mikroba yang mempunyai kemampuan menghasilkan hormon tumbuh IAA (Indole-3-Acetic-Acid), pelarut fosfat, pengurai protein (protease) sebagai pendukung pupuk organik hayati Beyonic-LIPI seri StarTmik. BAHAN DAN METODE Sampel tanah Sampel tanah yang di gunakan berasal dari tanah area perkebunan nanas PT Great Giant Pineapple, Lampung dan tanah persawahan dari kabupaten Ngawi. Tanah di simpan dalam poly bag dan selanjutnya di lakukan isolasi. Isolasi bakteri pengurai protein, penghasil IAA, dan pelarut fosfat. Isolasi bakteri penghasil IAA, pengurai protein dan pelarut fosfat di lakukan terhadap tanah yang berasal dari Lampung dan Kabupaten Ngawi. Isolasi dilakukan dengan pengenceran berseri menggunakan metode plate count . Pengamatan di lakukan terhadap isolat yang mampu membentuk zona bening pada media Pikosvkaya dan Protease. Pada media TSB pengamatan dilakukan terhadap isolat yang mampu tumbuh dan menghasilkan warna merah muda setelah ditetesi reagen Salkowski. Analisis IAA secara kualitatif Bakteri yang mampu menghasilkan IAA di uji secara kualitatif dengan metode kolorimetri menggunakan reagen Salkowski (Gordon dan Weber 1951). Pembuatan reagen Salkowski menurut Gordon dan Weber 1951 yaitu dengan mengambil 1 mL 0.5 M FeCl3 di tambah 50 mL HClO4 50% [v/v], selanjutnya disimpan dalam botol yang tidak tembus cahaya atau ditutup dengan alumunium foil. (FeCl3 0.5M = 1.35 g / 10 mL) (HCl04 50% = 25 mL HClO4 + 25 mL aquades).
A Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel tanah (A) Lampung dan (B) Ngawi
B
DEWI et al. – Karakterisasi mikroba perakaran pupuk organik hayati
Analisis IAA secara kuantitatif Analisis dengan metode spektrofotometri menurut Gravel et al. (2007) menggunakan 100 mL media Triptic Soy Broth (TSB) 50 % (half-strength). Media yang telah steril tersebut ditambahkan precursor L-Tryptophan 200 ppm. Satu mL supernatan dari sampel hasil dari sentrifuge selama 10 menit pada 8.000 rpm, kemudian ditambahkan 2 mL larutan reagen Salkowski, diinkubasi dalam ruang gelap selama 30 menit dan selanjutnya absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. Konsentrasi IAA dari sampel di hitung berdasarkan kurva standar dengan standar IAA murni (Gravel et al. 2007). Analisis IAA dengan metode HPLC dilakukan dengan cara mengambil 5 mL sampel di sentrifuge pada 10.000 rpm selama 15 menit. Supernatan di ambil kemudian di atur pH nya menjadi 2,8. Selanjutnya di lakukan ekstraksi menggunakan etil asetat dengan perbandingan volume 1: 1 sebanyak 3 kali. Hasil ekstraksi yang di diperoleh kemudian dievaporasi dan di analisis dengan HPLC (Mehnaz dan Lazarovits 2006). Fase gerak yang di gunakan adalah metanol: asam asetat: akuabides (30:1:70 v/v/v). Standar yang di gunakan adalah larutan IAA murni yang di ukur pada keadaan dan kondisi yang sama.
291
umum digunakan dalam uji penapisan aktivitas protease (Deepthi et al. 2012). Tabel 1. Diameter zona bening yang dihasilkan oleh masingmasing isolat Isolat IC IF IG IH 4.4 5.5 6.3
1,1 1,7 1,0 1,8 1,3 1,2 0,9
Diameter zona bening (cm) Hari ke 2 Hari ke 5 2,4 3,5 3,0 3,5 2,2 3,1 1,1
Isolate-isolat hasil dari isolasi juga memiliki kemampuan sebagai pelarut fosfat. Hal ini dapat di lihat dari adanya zona bening yang terbentuk pada media Pikovskaya. Pengamatan terhadap isolat yang mampu menghasilkan IAA, di lakukan dengan menumbuhkan isolat-isolat tersebut dalam media TSB dan selanjutnya di lakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Gambar 4 menunjukkan hasil pengukuran pertumbuhan masingmasing isolat pada media TSB yang berasal dari tanah Lampung dan Ngawi selama 72 jam. Nilai OD paling tinggi di tunjukkan oleh isolat IC dari Lampung dan isolate 5.5 dari Ngawi. Bakteri yang mampu menghasilkan IAA akan menghasilkan warna merah muda ketika di tetesi dengan reagen Salkowski. Analisis IAA secara kuantitif dengan HPLC menunjukkan bahwa isolat yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan IAA memiliki puncak kromatogram yang sama dengan puncak kromatogram pada standar IAA.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil isolasi yang di lakukan terdapat 8 isolat dari Lampung yaitu IA, IB, IC, ID, IE, IF , IG, IH. Dari isolatisolat tersebut terdapat 4 isolat yang mampu membentuk zona bening pada media skim milk agar yaitu isolat IC, IF, IG dan IH yang berasal dari tanah perkebunan Lampung serta 3 isolat yaitu 4.4, 5.5, 6.3 yang berasal dari tanah persawahan Ngawi. Uji aktivitas enzim protease dilakukan dengan menggunakan mediua skim milk agar. Media tersebut
1,5
Log 10 absorbansi (OD 436 nm)
IA
1
IB IC
0,5
ID IE
0 0
20
40
‐0,5
60
80
IF IG IH
‐1
4.4 5.5
‐1,5
6.3
‐2
Waktu ( jam )
Gambar 4. Kurva pertumbuhan beberapa isolat pada media TSB
292
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 289-295, April 2015
Gambar 2. Zona bening yang di hasilkan oleh beberapa isolate pada media skim milk agar.
Gambar 3. Zona bening yang di hasilkan oleh beberapa isolat pada media Pikovskaya.
A
B
Gambar 5. Bakteri yang mampu menghasilkan IAA berwarna merah muda setelah di tetesi Salkowski (A) sebelum di tetesi Salkowski , (B) setelah di tetesi Salkowski
DEWI et al. – Karakterisasi mikroba perakaran pupuk organik hayati
293
A
B
Gambar 6. Sampel untuk analisis dengan spektrofotometer (A) sebelum ditetesi reagen Salkowski (B) sesudah ditetesi reagen Salkowski
mAU
mAU
75
7.185
7.185
100 75
IAA
IAA
0.0
2.5
7.5
min
0.0
1.0
2.0
4.0
5.0
6.0
8.134
6.150 6 .3 72
5.142
2 .2 39 2.504 2.673 3.096 3.0
4.191 4.428
0
5.0
0.821
25
2 .6 2 3
0
0.828 0.973 1 .2 6 1 1.659
25
1.097 0.966 1.324 1.738
50
50
7.0
8.0
9.0
min
Gambar 7. Standar IAA
Gambar 8. Isolat yang mampu menghasilkan IAA
Tabel 2. Hasil analisis IAA pada beberapa isolate
Isolat yang di hasilkan juga mempunyai kemampuan sebagai pelarut fosfat (Gambar 3). Aktivitas pelarutan fosfat oleh bakteri melalui beberapa mekanisme antara lain produksi (i) asam organik seperti glukanat, oksalat, suksinat, dll, (Vazquez et al. 2000), (ii) polisakarida (Goenadi et al. 2000), dan (iii) enzim fosfatase (Rodriguez et al. 2000). Bakteri pelarut fosfat juga mampu manghasilkan matabolit sekunder yang lain yaitu hormone tumbuh IAA dan siderofor. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa bakteri pelarut fosfat mampu menghasilkan IAA (Patten dan Glick 2002; Shahab et al. 2009) dan siderofor (Koo dan Cho 2009) membuat bakteri pelarut fosfat cocok untuk pupuk organik (Gupta 2012). Beberapa jenis bakteri memiliki kemampuan sebagai pelarut fosfat baik organik maupun anorganik sehingga menjadi bentuk yang bisa di manfaatkan oleh tanaman. Hasil analisis IAA pada beberapa isolat menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut mampu menghasilkan hormon tumbuh IAA yang sangat penting untuk tanaman. Analisis dilakukan pada waktu inkubasi 24, 48 dan 72 jam. Hormon tumbuh IAA merupakan salah satu produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri. Kadar hormon IAA yang dihasilkan oleh bakteri melimpah pada saat fase stasioner. Hal ini dapat di lihat pada isolat IC dan 5.5 yang mampu menghasilkan IAA tertinggi pada fase stasioner.
Sampel IA IB IC ID IE IF IG IH 4.4 5.5 6.3
0 jam 0,359 0,258 0,275 0,217 0,180 0,532 0,244 0,258 0,220 0,217 0,176
24 jam 0,288 1,376 29,919 4,597 0,627 0,963 0,176 2,281 8,708 42,685 2,176
48 jam 0,583 5,339 56,956 4,356 3,705 16,529 1,156 3,329 8,163 48,137 6,376
72 jam 1,454 7,485 158,651 5,437 5,081 11,610 3,780 4,858 8,386 27,434 9,322
Pembahasan Hasil isolasi menunjukkan beberapa isolat mampu menghasilkan enzim protease. Hal ini di tunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar koloni pada media skim milk agar (Gambar 2). Media tersebut mengandung protein berupa kasein. Zona bening yang terbentuk menunjukkan bahwa koloni bakteri mampu menghidrolisis kasein (Ramalaksmi et al. 2012).
294
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 289-295, April 2015
Produksi IAA akan meningkat pada saat kondisi pertumbuhan menurun, ketersediaan karbon yang terbatas dan dalam kondisi lingkungan pH asam. Kondisi tersebut terjadi pada saat bakteri memasuki fase stasioner. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh Patil et al. (2011) yang menyatakan bahwa bakteri mulai menghasilkan IAA pada fase awal pertumbuhan dan mencapai hasil maksimum pada awal fase stasioner. Isolat IC mampu menghasilkan IAA sebesar 158, 651 ppm pada jam ke-72 dan isolate 5.5 menghasilkan IAA sebesar 48,137 ppm pada jam ke-48 (Gambar 4). Hormon tumbuh IAA yang dihasilkan oleh PGPR berfungsi sebagai sinyal molekul yang penting dalam regulasi perkembangan tanaman, memacu perkembangan perakaran tanaman inang,meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen dan memacu pertumbuhan tanaman (Shaharoona et al. 2006; Ashrafuzzaman et al. 2009; Joshi dan Bath 2011). Analisis IAA dalam penelitian ini menggunakan asam amino L-Tryptophan sebesar 200 ppm yang merupakan prekursor utama yang beperan penting dalam biosintesis IAA. Secara kualitatif bakteri ditumbuhkan pada TSB dengan precursor L-Tryptophan kemudian ditetesi dengan reagen Salkowski dan di inkubasi dalam ruang gelap selama 30 menit. Bakteri yang mampu meghasilkan IAA akan berwarna merah muda (Gambar 5). Bakteri yang mampu menghasilkan IAA secara kualitatif akan berwarna merah muda karena adanya interaksi antara IAA dengan Fe membentuk senyawa kompleks [Fe2(OH)2(IA)4], IA merupakan indole-3-acetate. Interaksi tersebut terjadi pada suasana asam (Kovacs 2009). Menurut Kovacs (2009) reaksi yang terbentuk ada dua macam yaitu reaksi kompleks dan reaksi redoks. Warna merah muda yang semakin pekat menunjukkan kandungan IAA yang di hasilkan oleh bakteri semakin tinggi. Analisis IAA secara kuantitatif menggunakan metode spektrofotometri. Konsentasi IAA pada analisis dengan metode spektrofotometri berdasarkan nilai absorbansi yang di serap oleh spektofotometer UV-Visible. Berdasarkan hukum Lambert-Beer nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi sampel. Panjang gelombang yang di gunakan adalah 530 nm berada pada daerah tampak. Panjang gelombang ini dipilih berdasarkan warna yang dihasilkan oleh interaksi antara reagen Salkowski dan IAA (Glickmann dan Dessaux 1995) yang menghasilkan warna merah muda (Gambar 6). Analisis IAA menggunakan HPLC menunjukkan bahwa terdapat puncak kromatogram dengan waktu retensi 7,185 menit, puncak kromatogram tersebut merupakan puncak kromatogram dari IAA. Waktu retensi puncak kromatogram tersebut di bandingkan dengan waktu retensi IAA standar. Konsentrasi IAA yang di hasilkan pada penelitian ini lebih tinggi di bandingkan penelitian yang di lakukan oleh Patil et al. (2011). Pada penelitian ini di hasilkan IAA sebesar 158,651 ppm dengan konsentrasi LTryptophan 200 ppm sedangkan penelitian Patil et al. (2011) menghasilkan IAA 26,28 ppm dengan konsentrasi L-Tryptophan 1200 ppm. Hasil penelitian yang di lakukan menunjukkan bahwa isolat-isolat yang di peroleh dari hasil isolasi tanah Lampung dan Ngawi menunjukkan aktivitas sebagai
pengurai pengurai protein (protease), pelarut fosfat dan penghasil hormon tumbuh IAA. Aktivitas tersebut memegang peranan penting sebagai pendukung Pupuk Organik Hayati Beyonic starTmik. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada team laboran dan teknisi (Astri Anggraeni, Ari Rosmalina, Entis Sutisna, Nani Mulyani) laboratorium pupuk organik hayati-LIPI. Penelitian ini dapat terlaksana berkat pendanaan dari Program Prioritas Nasional Pengembangan Pupuk Organik Hayati Mikroba Indonesia Tahun 2009-2014. DAFTAR PUSTAKA Akhtaruzzaman M, Mozumder NHM, Jamal R, Rahman A, Rahman T. 2012. Isolation and characterization protease enzyme from leguminous seeds. Agric Sci Res J 2 (8): 434-440 Ashrafuzzaman M, Hossen FA, Ismail MR, Hoque MA, Islam MZ, Shahidullah SM, Meon S. 2009. Efficiency of plant growthpromoting rhizobacteria (PGPR) for the enhancement of rice growth. Afr J Biotechnol 8(7): 1247--1252. Bolero L, Perrig D, Masciarelli O, Penna C, Cassan F, Luna V. 2007. Phytohormone production by three strains of Bradyrhizobium japonicum and possible physiological and technological implications. Appl Microbiol Biotechnol 74: 874-880 Deepthi MK, MS Sudhakar MN, Devamma. 2012. Isolation and screening of Streptomyces sp. from Coringa mangrove soils for Enzyme Production and Antimicrobial Activity. Int J Pharm Chem Biol Sci 2(1): 110--116. Gitishree D, Prasad MP. 2010. Isolation, purification and mass production of protease enzyme from Bacillus substilis. Int Res J Microbiol 1 (2): 026-031. Glickmann E, Dessaux Y. 1995. A critical examination of the specificity of the salkowski reagent for indolic compounds roduced by phytopathogenic bacteria. Appl Environ Microbiol 61 (2): 793 Goenadi DH, Sisweto I, Sugiarto Y. 2000. Bioactivation of poorly soluble phosphate rocks with a phosphorus-solubilizing fungus. Soil Sci Soc Am J 64: 927-932 Gordon SA, Weber RP,1951. Colorimetric estimation of indoleacetic acid. Plant Physiol 26:192-195 Gravel V, Antoun H, Tweddel RJ. 2007. Effect of indole-acetic acid (IAA) on the development of symptoms caused by Pytium ultimum on tomato plants. Eur J Plant Pathol 119: 457-462 Gupta M, Kiran S, Gulati A, Singh B, Tewari R. 2012. Isolation and identification of phosphate solubilizing bacteria able to enhance the growth and aloin-a biosynthesis of aloe barbadensis miller. Microbiol Res 167: 358-363 Joshi P, Bath AB. 2011. Diversity and function of plant growth-promoting rhizobacteria associated with wheat rhizosphere in North Himalaya Region. Int J Environ Sci 1(6): 1135-1143. Koo SY, Cho KS. 2009. Isolation and characterization of a plant growth rhizobacterium serratia sp. SY5. J Microbiol Biotechnol 19: 14311438. Kovacs K. 2009. Applications of Mosssbauer Spectroscopy in Plant Physiology [Ph.D. Dissertation]. ELTE Chemistry Doctoral School, ELTE Institute of Chemistry, Budapest. Kumar S, Sharma NS, Saharan MR, Singh R. 2005. Extracellular acid protease from Rhizopus oryzae: Purification and characterization. Process Biochem. 40:1701-1705 Mehnaz S, Lazarovits G. 2007. Inoculation effects of Pseudomonas putida, Gluconacetobacter azotocaptans, and Azospirillum lipoferum on corn plant growth under greenhouse conditions. Microb Ecol 51: 326-335 Mukesh Kumar DJ, Pramavathi V, Govindarajan N, Balakumaran MD, Kalaichelvan PT. 2012. Production and purification of alkaline protease from Bacillus sp. MPTK 712 isolated from dairy sludge. Global Veterinaria 8 (5): 433-439
DEWI et al. – Karakterisasi mikroba perakaran pupuk organik hayati Patil NB, Gajbhiye M, Ahiwale SS, Gunjal AB, Kapadnis BP. 2011. Optimization of indole 3-acetic acid (IAA) production by Acetobacter diazotrophicus L1 isolated from sugarcane. J Environ Sci 2 (1): 307314. Ramalaksmi N, Narendra D, Ramalaksmi M, Roja S, Archana BKN, Maanasa G. 2012. Isolation and characterization of protease producing bacterial from soil and estimation of protease by spectrophotometer. The Experimen 1 (1): 1-7 Rodriguez H, Rossolini GM, Gonzalez T, Li J, Glick BR. 2000. Isolation of a gene from Burkholderia cepacia IS-16 encoding a protein that facilitates phosphatase activity. Curr Microbiol 40: 362-366 Sagoe CI, Ando T, Kouno K, Nagaoka T. 1998. Relative importance of protons and solution calcium concentration on phosphate rock disssolution by organic acids. Soil Sci Plant Nutr 44: 617-625 Shaharoona B, Arshad M, Zahir ZA, Khalid A. 2006. Performance of Pseudomanas spp. containing ACC-diaminase for improving growth
295
and yield of maize (Zea mays L.) in the presence of nitrogenous fertilizer. Soil Biol Biochem 38: 2971--2975. Spaepen S, Vanderleyden J, Okon Y. 2009. Plant growth-promoting actions of rhizobacteria. Adv Botl Res 51: 283-320 Van Loon LC. 2007. Plant responses to plant growth-promotingrhizobacteria. Eur J Plant Pathol 119:243-254 Vazquez P, Holguin G, Puente M, Elopez Cortes A, Bashan Y.. 2000. Phosphate solubilizing microorganisms associated with the rhizosphere of mangroves in a semi arid coastal lagoon. Biol Fert Soils 30: 460-468 Vessey JK. 2003. Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizers. Plant Soil 255: 571-586 Vishwanatha T, Spoorthi NJain, Reena V, Divyashree BC, Siddalingeshwara KG, Karthic J, Sudipta KM. 2010. Screening of subatrates for protease production from Bacillus licheniformis. Int J Eng Sci Technol 2 (11): 6550-6554.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 296-299
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010221
Pertumbuhan Tetraselmis dan Nannochloropsis pada skala laboratorium Growth of Tetraselmis and Nannochloropsis on a laboratory scale
1
RU’YATIN1,♥, IMMY SUCI ROHYANI1, LA ALI2 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram. Jl. Majapahit No. 62, Mataram 83125, Nusa Tenggara Barat. Tel.: +62-370-646506, Fax.: +62-370-646506, ♥email:
[email protected] 2 UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Timur Manuskrip diterima: 16 Desember 2014. Revisi disetujui: 28 Januari 2015.
Abstrak. Ru’yatin, Rohyani IS, Ali L. 2015. Pertumbuhan Tetraselmis dan Nannochloropsis pada skala laboratorium. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 296-299. Pakan alami memiliki kandungan nutrisi lebih banyak dibandingkan pakan buatan dan menjadi sumber nutrisi penting pada stadium awal perkembangan organisme. Tetraselmis sp. dan Nannochloropsis sp. merupakan Fitoplankton yang umum dikembangkan sebagai pakan alami. Ketersediaan pakan alami harus dalam jumlah yang cukup, berkesinambungan dan tepat waktu. Agar target produksi pada budidaya terpenuhi maka dilakukan kultur fitoplankton. Percobaan ini bertujuan mengetahui pertumbuhan fitoplankton jenis Tetraselmis sp. dan Nannochloropsis sp. Percobaan ini menggunkan metode observasi mulai dari persiapan peralatan, pembuatan media, kultur hingga pengamatan baik secara visual maupun di bawah mikroskop. Pengamatan pertumbuhan fitoplankton jenis Tetraselmis sp. dilakukan selama 18 hari dan Nannochloropsis sp. selama 17 hari dengan menggunakan KW 21 sebagai media pertumbuhan dalam air laut steril yang disesuaikan dengan salinitasnya. Pengamatan ini berdasarkan perubahan warna kultur dan perhitungan kepadatan fitoplankton di bawah mikroskop. Analisis data menggunakan metode deskriptif. Didapatkan hasil bahwa Tetraselmis sp. dan Nannochloropsis sp. memiliki pertumbuhan yang berbeda yakni fase stasioner Tetraselmis sp. lebih panjang daripada Nannochloropsis sp.. Fase drop atau kematian Nannochloropsis sp. jauh lebih cepat dibandingkan Tetraselmis sp.. Kepadatan yang dimiliki kedua jenis fitoplankton ini juga berbeda. Pada fase eksponensial fitoplankton jenis Nannochloropsis sp. memiliki kepadatan jauh lebih tinggi yakni mencapai 3.100.000sel/mL dibanding Tetraselmis sp. yang hanya mencapai 1.600.000sel/mL. Kata kunci: Nannochloropsis, Tetraselmis, kultur fitoplankton, pakan alami
Abstract. Ru’yatin, Rohyani IS, Ali L. 2015. Growth of Tetraselmis and Nannochloropsis on a laboratory scale. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 296-299. Natural feed has more nutrients than artificial feed and can be a source of essential nutrients on the early stage of organism development. Tetraselmis sp. and Nannochloropsissp. are members of Phytoplankton that are commonly developed as natural feed. As the market demand is growing, supply of natural feed must be available in a large amount, sustainable and in time. It is, therefore, phytoplankton culture is needed to meet the demand. The purpose of this experiment is to examine the growth of Tetraselmis sp. and Nannochloropsissp. at a laboratory scale using KW 21 as growing media in sterilized and salinity adjusted seawater. The observation was done for 18 days for Tetraselmis sp. and 17 days for Nannochloropsissp., based on the change of culture color and phytoplankton’s density. The result showed that Tetraselmis sp. and Nannochloropsissp. have different growth pattern. In stationary phase, Tetraselmis sp. has longer phase than Nannochloropsissp. While the death phase of Nannochloropsissp. is faster than Tetraselmis sp. The density of this phytoplankton is also different. In exponential phase, Nannochloropsissp. grew up to 3,100,000 cells/mL, while Tetraselmis sp. only reached 1,600,000 cells/mLs.. Keywords: Nannochloropsis, Tetraselmis, phytoplankton culture, natural feed
PENDAHULUAN Keberhasilan suatu usaha budidaya ditengarai oleh empat manajemen yaitu menajemen kualitas air, benih, indukan dan pakan. Salah satu yang perlu diperhatikan yakni manajemen pakan. Pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi organisme yang dibudidayakan (Sari 2012). Pakan yang baik akan memberikan asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh biota budidaya untuk tumbuh dan berkembang. Pakan alami merupakan pakan yang baik
untuk budidaya karena diketahui memiliki kandungan nutrisi jauh lebih banyak dibandingkan dengan pakan buatan dan menjadi sumber nutrisi penting pada stadium awal perkembangan organisme. Pakan alami dapat berupa fitoplankton yang umum dikembangkan baik sebagai pakan ikan, kerang, teripang maupun budidaya laut lainnya. Adanya Klorofil membuat fitoplankton mampu melakukan fotosintesis sehingga menjadi sumber protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral bagi organisme air (Utami 2012).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 296-299, April 2015
Ketersediaan pakan alami harus dalam jumlah yang cukup, berkesinambungan dan tepat waktu (Sari 2012), karena itu untuk dapat memenuhi target produksi pada budidaya akan lebih mudah tercapai dengan melakukan kultur fitoplankton. Pertumbuhan fitoplankton sangat mempengaruhi usia panen fitoplankton, dimana pertumbuhan tersebut dapat ditandai dengan perubahan warna kultur, bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Kepadatan sel digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan fitoplankton tersebut. Jenis yang umum dikembangkan pada usaha budidaya yakni Tetraselmis sp. dan Nannochloropsis sp.. kedua jenis ini banyak ditemukan di daerah tropis serta memenuhi standar sebagai pakan alami (La ali, peres.com). Optimalisasi kualitas panen dari kedua jenis fitoplankton ini perlu dilakukan, untuk itu perlu dilakukan pengamatan pertumbuhan Tetraselmis sp dan Nannochloropsis sp. pada skala laboratorium. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan fitoplankton jenis Tetraselmis sp. dan Nannochloropsis sp. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus sampai dengan 5 September 2014 di Laboratorium Pakan Alami, UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Timur. Alat-alat yang digunakan meliputi wadah kaca ukuran 2 Liter, wadah plastik ukuran 20 liter, pipet tetes, bunsen, gelas ukur, mikroskop binokuler, coverglass, haemocytometer, kaca preparat cekung, handcounter, refraktometer, kamera digital, alat tulis, spatula, botol film, termometer batang, filter cartridge (10 mikron, 5 mikron, dan 1 mikron), filter pore 20 mµ, Selang air besar, ember berwarna hitam, panci, kompor, lampu TL 4000-10000 lux, selang kecil, konektor, rak kultur, AC (Air Conditioner). Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bibit Tetraselmis sp., bibit Nannochloropsis sp., media kw 21, air laut, korek api, spiritus, air steril, tisu, formalin 5%, alkohol 70%, teepol (cairan pembersih wadah), kapas, sunlight. Penelitian ini menggunakan metode observasi, mulai dari persiapan peralatan, pembuatan media, kultur hingga pengamatan baik secara visual maupun dibawah mikroskop. Kultur fitoplankton yang dilakukan menggunakan media pertumbuhan yakni air laut sebagai media dasar. Air laut ini merupakan hasil filtrasi yang disterilkan dengan salinitas 34‰ dan ditambah media siap pakai KW 21. Volume bibit awal kultur sebesar 120 mL dengan kepadatan bibit yang diinginkan 300.000sel /mL dan kerapatan bibit awal untuk 3.725.000 sel/mL sedangkan volume yang diinginkan sebesar 1500 mL. Parameter lingkungan yang diukur yaitu salinitas menggunakan Refraktometer. Pengukuran ini dilakukan seiring dengan pengamatan kepadatan fitoplankton. Pengamatan dan perhitungan fitoplankton digunakan Haemocytometer Sampel diambil menggunakan pipet tetes yang telah disterilkan dengan cara dibakar. Sampel
297
ditampung dalam botol film. Kemudian diteteskan kegelas kaca kamar hitung neuber lalu ditutup dengan kaca penutup. Untuk perhitungan Tetraselmis sp. digunakan formalin 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan pertumbuhan fitoplankton jenis Tetraselmis sp. selama 18 hari dan Nannochloropsis sp. selama 17 hari digambarkan dalam Gambar 1. Berdasarkan grafik pertumbuhan tersebut terlihat bahwa kedua jenis fitoplankton Tetraselmis sp. dan Nannochloropsis sp. memiliki pola pertumbuhan yang berbeda. Hal ini diduga karena perbedaan jenis, ukuran tubuh, dan faktor lingkungannya. Pertumbuhan fitoplankton secara normal meliputi fase lag atau fase adaptasi, fase eksponensial, fase penurunan kecepatan pertumbuhan, fase stasioner dan fase drop atau kematian. Fitoplankton dikultur pada kepadatan bibit awal 300.000sel/mL mengalami adaptasi terhadap media pertumbuhannya. Hari ke 1 sampai ke 3 kedua jenis fitoplankton mengalami fase lag atau fase adaptasi. Penelitian Pujiono (2012) memperlihatkan bahwa jenis Tetraselmis juga mengalami fase adaptasi berkisar 1-3 hari. Beberapa parameter yang mempengaruhi waktu fase adaptasi adalah jenis dan umur sel mikroorganisme, ukuran inokulum dan kondisi media tumbuh. Apabila sel tumbuh dalam medium yang kekurangan nutrisi, maka waktu fase adaptasi lebih lama, karena sel harus menghasilkan enzim yang sesuai dengan jenis nutrisi yang ada (Pujiono 2012). Fase eksponensial keduanya terjadi pada hari ke 4 sampai hari ke 8 dengan kepadatan Tetraselmis sp. mencapai 1.600.000sel/mL dan Nannochloropsis sp. mencapai 3.100.000sel/mL. Hasil pada penelitian Pujiono (2012, Fachrullah (2011) dan Sari (2012) juga memperlihatkan fase eksponensial pada kedua jenis ini berkisar antara hari ke 6 sampai hari ke 8. Fase ini ditandai dengan naiknya laju pertumbuhan hingga kepadatan populasi meningkat beberapa kali lipat. Pada fase ini juga sel alga sedang aktif berkembang biak melalui pembelahan (Utomo 2005). Berdasarkan pengamatan terlihat perbedaan kepadatan yang dimiliki oleh Nannochloropsis sp. dan Tetraselmis sp.. Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh alat gerak yang dimiliki oleh kedua jenis fitoplankton ini. Nannochloropsis sp. yang cenderung diam memiliki kepadatan yang lebih tinggi dibanding Tetraselmis sp. yang memiliki empat buah flagel sehingga pergerakannya cepat. Semakin cepat pergerakan suatu organisme akan mempengaruhi jumlah energi yang digunakan sehingga energi akan lebih cepat habis. Keadaan semacam ini akan menguras energi selular yang akan memperlambat laju pertumbuhan sel (Yuwono 2005). Meningkatnya kepadatan fitoplankton, diikuti pula dengan meningkatnya salinitas dalam media kultur. Salinitas media kultur Tetraselmis sp. meningkat dari 36‰ hingga 39 ‰. Nannochloropsis sp. salinitas meningkat dari 35‰ hingga 38‰. Salinitas sendiri berpengaruh terhadap organisme dalam mempertahankan tekanan osmotik dengan lingkungannya.
RU’YA ATIN et al – Peertumbuhan Tettraselmis dan Nannochloropsi N is di laboratoriuum
2 298
Gambar 1. Peertumbuhan Tettraselmis sp. dan G d Nannochloropsis s pada skala laaboratorium sp.
A
B
C
D
Gambar 2. A. Nannochloroppsis sp. (100x)), B. Tetraselm G mis sp. ( (100x), C. Kultuur Nannochloroopsis sp., D. Kuultur Tetraselmiis sp.
Kedua kulltur tersebut mengalami pertumbuhan p terus menerus, namu m mun Peningkataan jumlah sel akan terhenti pada s satu titik punncak populasi,, pada titik tersebut t kebuttuhan n nutrisi menjaddi semakin besar, seiring dengan kecepatan sel. Penurunnan p pertumbuhan kecepaatan pertumbbuhan T Tetraselmis spp. terjadi padda hari ke 9 sampai dengaan 10 s sedangkan Na Nannochlorops sis sp. yaitu pada hari ke k 9. dapat T Terjadinya peenurunan keppadatan sel fitoplankton f d disebabkan olleh penguranggan nutrisi seehingga tidakk lagi m mampu tumbuuh dan terbataasnya sumberr cahaya sehinngga, t terjadi kereduupan karena pertumbuhaan dan kepaadatan f fitoplankton yang terus menningkat (Utam mi 2012). mis sp. terjaddi pada hari ke k 11 Fase stasiooner Tetraselm s sampai 18. Nannochlorops N sis sp. dihari ke 10 sampaai 14. F Fase ini statiis, yakni perrtambahan kepadatan poppulasi s seimbang denngan laju keematian sehinngga pertumbbuhan
popu ulasi yang terrjadi kecil. JJumlah sel ceenderung tetaap diakiibatkan sel telah mencapai titik jenuhh. Nann nochloropsis sp. mengalam mi kontaminassi pada fase inni. Konttaminasi diseebabkan olehh banyak fak ktor. Namuun dalam m hal ini diduuga akibat kessalahan pada manusia m seperrti mati lampu dan pembersihan p AC yang dillakukan secarra tidak k baik sehinngga udara yyang masuk adalah udarra organisme lain tumbuh di terceemar yang mengakibatkan m d mediia kultur. Fase F drop diallami oleh Nannochloropsiss sp. pada haari ke-15 sampai 17 namun, n pada ppenelitian Facchrullah (20111) Nann nochloropsis sp. mengalam mi fase drop pada p hari ke 14 1 samp pai hari ke 155. Berdasarkann monitoring sampai hari ke k 18 Tetraselmis T sp. tidak mengaalami fase drop p tetapi terlihaat mem miliki fase stasioner yanng lebih pan njang daripadda Nann nochloropsis sp.. Perbedaaan pola pertum mbuhan antarra Tetra aselmis sp. dengan Nannnochloropsiss sp. dapaat diseb babkan kaarena ukurrannya yan ng berbeda. Nann nochloropsis sp. memilikki ukuran yang g sangat keciil. Jauh h lebih kecill dari ukuraan Tetraselmis sp. karenna ukurrannya yang kecil k luas perrmukaan sel semakin besaar yang g menyebabkkan penyerappan nutrisi semakin besaar. Men nurut Risky et al. (20013) luas permukaan p seel mem mpengaruhi peenyerapan nuutrisi dimana semakin luaas perm mukaan sel maka m proses m masuknya nuttrien ke dalam m jarin ngan sel lebih cepat terjadii. Nannochlorropsis sp. lebiih cepaat mengalamii fase kemaatian karena nutrisi untuuk pertu umbuhannya sudah s sangat ssedikit ditamb bah lagi dengaan kepaadatanya yangg tinggi mem mungkinkan teerjadinya suattu komp mpetisi. hal ini juga diungkaapkan oleh Uttomo (2005) di d dalam m media kultur k fitoplaankton terjad di persaingaan mem mperebutkan tempat hidupp karena sem makin banyaak jumllahnya sel dalaam volume yaang tetap. Kan ndungan nutrisi dalam m media sem makin menurunn karena tidak k dilakukannyya penaambahan nutriisi. Pola pertum Berdasarkan B mbuhan fitoplankton dapaat dikettahui usia yanng baik untukk panen. Panen n ini dilakukaan untuk dijadikan biibit dan pakann. Bibit dan paakan umumnyya dilak kukan pada hari ke 5- 7. Menuru ut Sari (20122) pemaanenan haruss dilakukan ssaat fitoplank kton mencapaai punccak populasi atau fase akkhir eksponeensial. Hal inni sesuaai dengan pertumbuhan fitoplankton yang didapaat. Berd dasarkan peneelitian yang ddilakukan dapat disimpulkaan bahw wa Tetraselmiis sp. dan Naannochloropsiis sp. memilikki pertu umbuhan yangg berbeda yakkni fase stasion ner Tetraselmis sp. lebih l panjangg daripada Naannochloropsiis sp. sehinggga fase drop atau keematian Nannnochloropsis sp. jauh lebiih cepaat dibanding Tetraselmis T spp.. Kepadatan n yang dimilikki oleh kedua jenis fitoplankton ini juga berbeda. Pada fasse eksp ponensial fitooplankton jeenis Nannocchloropsis spp. mem miliki kepadattan jauh lebbih tinggi yaakni mencapaai 3.100.000sel/mL dibanding T Tetraselmis sp p. yang hanyya menccapai 1.600.0000sel/mL. UC CAPAN TERIIMA KASIH H Penulis P menggucapkan terrima kasih yang sebesaarbesarnya kepada pihak-pihak p yyang telah meembantu dalam m peneelitian ini, khhususnya UPT T Loka Pengembangan Biio
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 296-299, April 2015
Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat dimana penelitian ini dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Fachrullah MR. 2011. Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka.[Skripsi] Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pujiono AE. 2013. Pertumbuhan Tetraselmis chuii pada Medium Air Laut dengan Intensitas Cahaya, Lama Penyinaran dan Jumlah Inokulan
299
yang Berbeda pada Skala Laboratorium. [Skripsi]. Universitas Jember. Jember. Risky YA, Jaya S, Agusti D, Ilham. 2013. Pengaruh penambahan logam Fe (II) terhadap laju pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris dan Porphyidium cruentum. Universitas Hasanudin. Makasar. Sari IP, Abdul M. 2012. Pola pertumbuhan Nannochloropsis oculata pada skala laboratorium, intermediet dan masal. Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 4(2) : 123-127. Utami NF, Yuniarti MS, Kiki H. 2012. Pertumbuhan Chlorella sp. yang dikultur pada perioditas cahaya yang berbeda. Perikanan dan Kelautan. 3 (3):237-244. Utomo NBP, Winarti, A Erlina. 2005. Pertumbuhan Spirulina plantensis yang dikultur dengan pupuk inorganik (Urea TSP dan ZA) dan kotoran Ayam. Akuakultur Indonesia. 4(1) : 41-48. Yuwono T. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta: Erlangga.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 300-305
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010222
Pengolahan limbah kulit buah buahan menjadi selulosa oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2 The treatment of fruit-rind waste into cellulose by Acetobacter sp. RMG-2 bacteria
1
RUTH MELLIAWATI1,♥, NURYATI1, LULUK MAGFIROH2 Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Raya Bogor km. 46, Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-21-8754587/8754588, ♥email:
[email protected] 2 Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Manuskrip diterima: 1 Desember 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Melliawati R, Nuryati, Magfiroh L. 2015. Pengolahan limbah kulit buah buahan menjadi selulosa oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 300-305. Limbah kulit buah buahan merupakan media yang cukup baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Tujuan penelitian ini adalah mencari bahan baku alternatif untuk membuat selulosa (nata) melalui seleksi terhadap 5 macam ekstrak kulit buah buahan. Ekstrak kulit buah sawo (Acrhras zapota L.), apel (Malus sylvestris L.), srikaya (Annona squamosa L.), manggis (Garcinia mangostana L.), dan pir (Pyrus bretschneiden) digunakan sebagai medium fermentasi. Acetobacter sp. RMG-2 digunakan sebagai inokulum untuk menghasilkan selulosa. Beberapa komposisi ekstrak kulit buah dan air kelapa dikombinasikan untuk mendapatkan selulosa terbaik. Pada media ekstrak kulit buah sawo 100% (GAA-SW1) menghasilkan selulosa sebesar 24,1 g berat basah (1,6 g berat kering) dengan tebal selulosa rata rata 1,2 cm. Sementara menggunakan ekstrak kulit buah Pir (100%) dapat menghasilkan selulosa dengan tebal 1,3 cm dan berat basah 42,4 g ( 1,95 g berat kering), sedang menggunakan ekstrak kulit buah apel (100%) selulosa yang terbentuk relatif tipis (0,2 cm), 2,5 g berat basah (0,2 g berat kering), Komposisi ekstrak kulit buah apel: air kelapa (25%: 75%) memberikan hasil lebih baik dengan tebal selulosa 1,7 cm, Ekstrak kulit buah srikaya dan manggis tidak dapat digunakan sebagai media fermentasi oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2 dalam menghasilkan selulosa. Kedua kulit buah ini kemungkinan mengandung senyawa antibakteri yang tinggi, sehingga bakteri tidak mampu tumbuh dan menghasilkan selulosa. Ekstrak kulit buah Pir dan Sawo dapat dipakai sebagai bahan baku alternatif untuk membuat selulosa. Kata kunci: Ekstrak kulit buah buahan, Acetobacter sp. RMG-2, selulosa Abstract. Melliawati R, Nuryati, Magfiroh L. 2015. The treatment of fruit-rind waste into cellulose by Acetobacter sp. RMG-2 bacteria. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 300-305. Waste of fruit rind is a good media for growth of microorganisms. The purpose of this research is to obtain alternative raw materials for cellulose (nata) production by examining the rind of five different fruits, namely sapota (Acrhras zapota L.), apples (Malus sylvestris L.), sugar-apple (Annona squamosa L.), mangosteen (Garcinia mangostana L.), and pear (Pyrus bretschneiden) as the production media. Acetobacter sp. RMG-2 was used the inoculum for the cellulose production. Extracts of fruit rinds were combined with coconut milk in various composition to get the best cellulose production. Media composed by 100% fruit rind extract (GAA-SW1) produced cellulose up to 24.1 g wet weight (1.6 g dry weight) with cellulose thickness averaged at 1.2 cm. While 100%-extract of pear rind produced up to 1.3 cm thickness of cellulose and wet weight of 42.4 g (1.95 g dry weight). Apple rind extract (100%) produced a relatively thin (0.2 cm) cellulose with wet weight 2.5 g (0.2 g dry weight). The combination of apple rinds and coconut water (25%: 75%) gave better results with cellulose thickness at 1.7 cm. Sugar-apple and mangosteen rind extract can not be used as a fermentation media for bacteria Acetobacter sp. RMG-2. Rinds of those two fruits is likely to contain high antibacterial compounds so that bacteria are not able to grow and to produce cellulose. Extracts of pear and sapota rinds (100%) can be used as an alternative raw material for making cellulose. Keywords: Fruit rind extract, Acetobacter sp. RMG-2, cellulose
PENDAHULUAN Indonesia memiliki keanakeragaman hayati termasuk juga keragaman faunanya. Berbagai jenis hewan, baik makro ataupun mikroorganisme ditemukan dan dimanfaatkan biokonversinya. Acetobacter adalah salah satu mikroorganisme yang sudah dimanfaatkan, bakteri ini bila ditumbuhkan dalam media yang sesuai akan menghasilkan selulosa dan lebih dikenal sebagai nata de coco atau sari kelapa.
Media yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri ini adalah media yang mengandung gula dan nutrisi yang baik. Biasanya untuk membuat nata, media yang digunakan adalah air kelapa. Air kelapa memiliki kandungan gula yang tinggi dan nutrisi yang cocok untuk pertumbuhan bakteri, khususnya Acetobacter. Selain air kelapa, buahbuahan juga dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan bakteri Acetobacter karena kandungan glukosa dan nutrisi yang terkandung di dalamnya cukup baik. Ketersediaan nutrisi dan kondisi pH yang tepat pada
MELLIAWATI et al. – Biodiversitas berbasiskan agroforestry medium menyebabkan bakteri mampu melakukan metabolisme dan reproduksi yang tinggi. Nutrisi utama yang berperan dalam proses fermentasi adalah karbohidrat. Karbohidrat seperti glukosa, fruktosa dan gliserol digunakan sebagai sumber energi untuk memproduksi selulosa (Masaoka 1993). Karbohidrat pada medium dipecah menjadi glukosa yang kemudian berikatan dengan asam lemak (Guanosin trifosfat) membentuk prekusor penciri selulosa oleh enzim selulosa sintetase, kemudian disekresikan membentuk jalinan selulosa pada permukaan medium. Selama proses metabolisme karbohidrat, terjadi proses glikolisis yang dimulai dengan perubahan glukosa menjadi glukosa 6-pospat yang kemudian hasil akhirnya terbentuk asam piruvat. Glukosa 6-P yang terbentuk dalam proses glikolisis ini yang digunakan oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2 untuk menghasilkan selulosa. Acetobacter sp. RMG-2 merupakan salah satu bakteri koleksi Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang merupakan golongan bakteri gram negatif. Acetobacter sp. RMG-2 mampu mengubah gula dan nutrisi menjadi selulosa melalui proses fermentasi. Selulosa yang dihasilkan dalam proses fermentasi merupakan monomer selulosa, yang kemudian saling bersatu membentuk biopolimer selulosa. Bakteri akan terperangkap diantara serat-serat biopolimer selulosa. Indonesia memiliki keragaman hayati yang sangat tinggi, aneka tanaman, buah-buahan, sayur-sayuran dapat tumbuh dengan subur. Pemanfaatan buah-buahan sampai saat ini masih dalam tahap konsumsi secara langsung dan pengawetan dengan teknologi sederhana. Diperlukan pengembangan teknologi di bidang pangan sehingga buahbuahan dapat menjadi produk yang berkualitas dan bernilai tinggi. Menurut data dari Biro Pusat Statistik (2012), produksi Sawo tercatat 135.332 ton, Melon 125.474 ton, Semangka 515.536 ton, Pisang 6.189.052 ton dan Pepaya 906.312 ton per tahun. Hasil produksi setiap tahunnya berubah tergantung lahan dan kondisi yang ada. Sementara itu Limbah kulit buah buahan belum dimanfaatkan secara optimal. Beberapa penelitian telah dilakukan baik terhadap buah-buahan maupun limbah kulit buah buahan untuk diolah menjadi nata, diantaranya nata dari buah nanas dan tomat (Melliawati, dkk.1999), nata dari buah tomat (Natalia dan Parjuningtyas, 2009), nata dari buah jeruk asam (Ratnawati, 2007), dan limbah kulit buah buahan seperti kulit buah naga, kulit dari beberapa macam pisang, melon, semangka, papaya, mata dan hati nanas (Melliawati dan Nuryati, 2012) Limbah kulit buah yang selama ini dibuang, ternyata memiliki nutrisi yang cukup baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang kulit buah buahan yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri Acetobacter sp. RMG2 untuk menghasilkan selulosa. Penelitian ini dilakukan terhadap limbah kulit buah sawo, apel, srikaya, manggis dan kulit buah pir. Informasi yang diperoleh dapat di aplikasikan kepada masyarakat untuk mengurangi sampah organik dan juga memberikan peluang usaha bagi masyarakat.
301
BAHAN DAN METODE Mikroorganisme Bakteri yang digunakan adalah Acetobacter sp. RMG-2, yang diperoleh dari koleksi Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Bakteri ini merupakan bakteri lokal yang mempunyai potensi untuk memproduksi selulosa. Persiapan ekstrak kulit buah buahan Media yang digunakan adalah ekstrak kulit buah sawo (Acrhras zapota L.), apel (Malus sylvestris L.), srikaya (Annona squamosa L.), manggis (Garcinia mangostana L.) dan pir (Pyrus bretschneiden) yang dikombinasi dengan air kelapa. Untuk mempersiapkan ekstrak kulit buah dilakukan dengan cara kulit buah di haluskan (blender) dengan penambahan aquadest. Berat kulit buah buahan dan penambahan aquadest diperlihatkan pada Tabel 1. Dalam penelitian ini, media produksi dipersiapkan masing masing dalam botol jam sebanyak 100 mL dengan perbandingan ekstrak kulit buah dan air kelapa seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Fermentasi Media produksi yang sudah disiapkan dengan perbandingan seperti pada Tabel 2. dan sudah disterilisasi, kemudian diinokulasi dengan suspensi biakan Acetobacter sp. RMG-2 sebanyak 3 % ( kondisi media dingin), selanjutnya botol ditutup kembali menggunakan kertas, diinkubasi pada suhu 28 – 30 0C. Proses fermentasi berlangsung selama 10 hari dan pengamatan dilakukan tiap 24 jam. Parameter yang diukur Parameter yang diukur, ketebalan selulosa, berat basah, berat kering selulosa, pH awal dan akhir serta sisa media (cairan fermentasi)
Tabel 1. Ekstrak kulit buah buahan Buah Sawo Apel Srikaya Manggis Pir
Berat kulit buah (g) 200 300 500 350 250
Aquadest (mL) 400 600 1000 700 500
Ekstrak kulit buah (mL) 500 720 1000 610 700
Tabel 2. Perbandingan komposisi air kelapa dan ekstrak kulit buah sebagai media produksi selulosa. Media GAA – 1 GAA – 2 GAA – 3 GAA – 4 GAA – 5
Air Kelapa (mL) 0 25 50 75 100
Ekstrak Kulit Buah (mL) 100 75 50 25 0
302
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 300-305, April 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan selulosa sudah nampak pada inkubasi ke 24 jam, dimana sudah terlihat lapisan tipis di permukaan media fermentasi. Bertambahnya waktu fermentasi, area bawah media yang awalnya keruh menjadi bening. Hal ini dikarenakan nutrisi yang terdapat pada media sudah digunakan oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2. Selulosa yang dihasilkan bertambah tebal seiring dengan lamanya waktu fermentasi. Selulosa terletak di permukaan media (mengambang) karena adanya gas CO2 yang mendorong selulosa sehingga berada di permukaan. Gas CO2 ini merupakan metabolit primer yang dihasilkan oleh bakteri selama proses fermentasi. Setiap sel bakteri mengeluarkan benang – benang selulosa yang saling berikatan satu dengan yang lain yang akan membentuk suatu jalinan yang kuat. Dalam hal tersebut diperlukan kondisi yang tenang agar jalinan benang – benang tersebut bersatu dengan kokoh (kompak). Dalam proses terbentuknya selulosa, Acetobacter sp. RMG-2 juga membentuk metabolit primer. Metabolit primer yang dihasilkan berupa asam asetat, air dan energi yang digunakan kembali dalam siklus metabolismenya. Asam asetat dimanfaatkan oleh Acetobacter sp. RMG-2 untuk menciptakan kondisi pertumbuhan yang optimum. Selain itu, asam asetat dapat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O apabila nutrisi dalam media sudah habis. Asam yang terbentuk akan mempengaruhi pH sehingga pH cenderung menurun. Ekstrak kulit buah sawo (SW) Ekstrak kulit buah sawo memilki nutrisi yang cukup baik, berdasarkan informasi, bahwa buah Sawo mengandung gula, protein, vitamin C, phenolics, carotenoid dan mineral ( Fe, Co, Zn, Ca, dan potassium) ( Fayek et.al. 2012), sehingga pada kulit buah Sawo masih mengandung unsur unsur tersebut walaupun hanya sedikit, sehinggga bakteri Acetobacter sp. RMG-2 dapat berkembang biak. Hal tersebut terbukti bahwa ekstrak kulit buah sawo 100% dapat menghasilkan selulosa sebesar 24,1 g berat basah/100 mL medium dengan tebal selulosa 1,2 cm selama 10 hari inkubasi (gambar 1 A dan 1 B). Bila dibandingkan dengan kontrol (air kelapa 100%), memang hasilnya masih lebih baik kontrol yaitu tebal selulosa 1,8 cm dengan berat basah selulosa hampir 2 kali lipat. Namun penambahan air kelapa 25% pada ekstrak kulit buah sawo dapat menaikan berat selulosa 29,8%. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah sawo mengandung nutrisi untuk mendukung pertumbuhan Acetobacter sp. RMG-2 sehingga dapat menaikkan berat selulosa. Selulosa yang dihasilkan paling berat selain kontrol adalah pada media GAA-SW4 (ekstrak kulit buah sawo 25 % dan air kelapa 75%) yaitu berat basah 35,1 gr (1,4 gr berat kering) dan tebal selulosa 1,5 cm. Kadar air pada media tersebut sebesar 96%. Berat kering selulosa pada media GAA-SW4 lebih kecil jika dibandingkan dengan berat kering selulosa pada media GAA-SW2 (ekstrak kulit buah sawo 75% dan air kelapa 25%) yaitu 1,7 g. Serat kering yang dihasilkan pada media GAA-SW4 tidak jauh berbeda dengan kontrol (media air kelapa), hal ini
memberikan informasi bahwa ekstrak kulit buah sawo dapat dipertimbangkan untuk dipakai sebagai media alternatif untuk pembuatan selulosa dengan kadar serat yang tinggi. Hasil tersebut masih lebih kecil bila menggunakan ekstrak kulit buah pisang raja dengan komposisi yang sama seperti yang dilaporkan oleh Melliawati dan Nuryati (2011). Derajat keasaman (pH) dari kelima perlakuan tidak menunjukkan perubahan/perbedaan yang nyata pada akhir fermentasi hanya ada penurunan dari pH awal.. Hal ini dikarenakan Acetobacter sp. RMG-2 menghasilkan asam asetat dari glukosa (Melliawati, 2007), sehingga berpengaruh terhadap kondisi derajat keasaman (pH). Ekstrak kulit buah apel (AP) Apel banyak memiliki kandungan vitamin (vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B9, vitamin C.) dan mineral (kalsium,magnesium, protasium, zat besi, dan zinc ) serta unsur lain seperti fitokimian, serat, tanin, baron, flavoid, asam D-glucaric, quercetin, asam tartar (Irsyadul Ibad et al. 2011) Oleh karena itu ekstrak kulit buah apel memiliki nutrisi yang cukup baik untuk dimanfaatkan sebagai media fermentasi oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2 dalam menghasilkan selulosa. Media ini dapat menghasilkan selulosa yang tebal jika ada tambahan nutrisi dari air kelapa. Media ekstrak kulit buah apel dengan komposisi 100% dapat membentuk selulosa, tapi sangat tipis (0,2 cm). Penambahan air kelapa ke dalam ekstrak kulit buah Apel dengan perbandingan 1:1, dapat membentuk selulosa dengan tebal 1,4 cm selama 10 hari masa inkubasi. Penambahan air kelapa sebesar 50% ke dalam ekstrak, dapat meningkatkan tebal selulosa sebesar 7 kali lipat. Hasil selulosa basah terberat diperoleh pada media GAA-AP4 dengan komposisi ekstrak kulit buah apel 25% dan air kelapa 75%. Berat basah selulosa tersebut hampir mendekati berat pada media kontrol GAA-AP5 (media air kelapa 100%). Selulosa yang masih basah memiliki kadar air yang tinggi. Kadar air rata-rata dari selulosa yang dihasilkan adalah sebesar 95%. Selulosa yang memiliki berat kering terbesar adalah pada media GAA-AP4 dengan berat kering sebesar 1,8 g. Sama dengan berat kering pada media kontrol (GAA-AP5). Hasil tersebut hampir sama bila menggunakan media ekstrak kulit pisang oli dengan komposisi yang sama (Melliawati dan Nuryati, 2011). Selulosa paling tebal dihasilkan pada media GAA-AP4 sebesar 1,7 cm (Gambar 2 A). Sisa air dari media ini lebih sedikit dibandingkan 3 komposisi lainnya karena sebagian besar air terperangkap dalam selulosa yang terbentuk, tercatat kadar air selulosa tersebut sebesar 96.1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan ekstrak kulit buah Apel mempunyai nutrisi yang cukup baik untuk pertumbuhan Acetobacter sp. RMG-2. Derajat keasaman (pH) akhir pada proses fermentasi ekstrak kulit buah apel sama seperti pada ekstrak kulit buah sawo cenderung menurun, karena terbentuknya asam-asam yang dapat menurunkan pH (Gambar 2 B).
MELLIAWATI et al. – Biodiversitas berbasiskan agroforestry
120
303
4.5
100
4
80
3.5 3
60
2.5
40
2
20
1.5 1
0 SW 1
SW 2
SW 3
SW 4
SW 5
0.5 0 SW 1
M ed ia GA A + Ekst rak Kulit B uah Sawo ( ml)
SW 2
SW 3
SW 4
SW 5
M ed ia GA A + Ekst rak Kulit B uah Sawo ( ml)
Berat Basah Selulosa (gr) Kadar Air (%)
Berat Kering Selulosa (gr) Sisa M edia (ml)
pH awal
A
pH akhir
Tebal selulosa (ml)
B
120 100 80 60 40 20 0 AP 1
AP 2
AP 3
AP 4
AP 5
D era jat K e asa m a n (p H ), T eb a l S e lu lo s a (c m )
Gambar 1. Berat basah dan berat kering selulosa, kadar air selulosa, sisa media (A), pH awal dan akhir, tebal selulosa (B) pada proses fermentasi berbagai komposisi media fermentasi ekstrak kulit buah sawo.
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 AP 1
M ed ia GA A + Ekst rak Kulit B uah A p el ( ml) Berat Basah Selulosa (gr) Kadar Air (%)
AP 2
AP 3
AP 4
AP 5
Madia GAA + Ekstrak Kulit Buah Apel (ml)
Berat Kering Selulosa (gr) Sisa M edia (ml)
pH awal
A
pH akhir
Tebal Selulosa (cm)
B
Gambar 2. Berat basah dan berat kering selulosa, kadar air selulosa, sisa media (A), pH awal dan akhir, tebal selulosa (B) pada proses fermentasi berbagai komposisi media fermentasi ekstrak kulit buah apel
4.5
120
4
100
3.5 3
80
2.5
60
2 1.5
40
1
20
0.5 0
0
PR 1
PR 1
PR 2
PR 3
PR 4
M ed ia GA A + Ekst rak Kulit B uah Pir ( ml)
Berat Basah (gr)
Berat Kering (gr)
A
Kadar Air (%)
PR 2
PR 3
PR 4
PR 5
PR 5
Sisa Media (ml)
M e di um GA A + Ek st r a k K ul i t B ua h P i r ( ml )
pH awal
pH akhir
Tebal Selul osa (cm)
B
Gambar 3. Berat basah dan berat kering selulosa, kadar air selulosa, sisa media (A), pH awal dan akhir, tebal selulosa (B) pada proses fermentasi berbagai komposisi media fermentasi ekstrak kulit buah pir
304
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 300-305, April 2015
Ekstrak kulit buah pir (PR) Buah pir mempunyai kandungan gizi yang baik, diantaranya kalium, serat pangan (dietary fiber), vitamin C, vitamin E, Provitamin A/karotenoid, niasin, fosfor, kalsium dan tembaga ( Anonymous, 2006, Rahardjo, 2005 ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah Pir mempunyai nutrisi yang cocok untuk pertumbuhan Acetobacter sp. RMG-2. Selulosa yang terbentuk dari 100% ekstrak kulit buah pir tidak berbeda nyata dengan dari air kelapa yaitu masing masing dengan ketebalan 1,3 dan 1,5 cm (Gambar 3 A), demikian juga berat kering masing masing 1,95 g dan 2,2 g (Gambar 3 B). Penambahan air kelapa 25% pada ekstrak kulit buah Pir dapat meningkatkan tebal selulosa menjadi 1,65 cm. Perlakuan ekstrak kulit buah Pir 25% dan air kelapa 75%, menghasilkan selulosa lebih tebal (1,85 cm) dibandingkan bila hanya menggunakan air kelapa saja (1,5 cm). Jadi ekstrak kulit buah Pir dapat meningkatkan hasil berat basah dan tebal selulosa demikian juga berat keringnya. Seperti pada ekstrak kulit buah sawo dan Apel, derajat keasaman (pH) pada ekstrak kulit buah Pir di akhir fermentasi menurun dan tercatat antara 3,26-3,96 karena adanya asam yang terbentuk dari hasil fermentasi tersebut. Ekstrak kulit buah Pir dapat dijadikan sebagai bahan alternatif pengganti air kelapa atau sebagai tambahan nutrisi bagi Acetobacter sp. RMG-2. Ekstrak kulit buah srikaya (SR) Dilaporkan bahwa buah Srikaya kaya dengan sumber energi, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Sunarjono 2005), akan tetapi karena ekstrak kulit srikaya mengandung senyawa fenol dan alkaloid yang bersifat antibakteri maka senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Rahayu et al. 1993) Sementara itu diketahui pula bahwa, bakteri Acetobacter termasuk bakteri gram negatif yang memiliki dinding sel yang lebih tipis sehingga rentan dengan senyawa – senyawa yang bersifat antibiotik (Adams 1995). Pernyataan ini terbukti dari hasil fermentasi pada media ekstrak kulit buah srikaya, terlihat pertumbuhan Acetobacter sp. RMG-2 terhambat dengan memperlihatkan selulosa yang terbentuk sangat tipis pada setiap perlakukan (media GAA-SR 1, GAA-SR 2, GAASR 3 dan GAA-SR 4) dan pada akhirnya selulosa tenggelam. Derajat keasaman (pH) pada akhir fermentasi tidak terjadi penurunan, karena bakteri Acetobacter sp. RMG-2 terlihat tidak berkembang dan tidak produktif dalam proses fermentasi yang menyebabkan tidak dihasilkan asam yang dapat menurunkan pH. Pada ekstrak kulit buah manggis (MG) Beberapa tahun terakhir ini, ekstrak kulit buah manggis menjadi buah bibir karena dikenal dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Hasil penelitian ilmiah melaporkan bahwa kulit buah Manggis sangat kaya akan anti-oksidan, terutama xanthone, tanin, asam fenolat maupun antosianin. Di dalam kulit buah manggis terkandung nutrisi, seperti karbohidrat (82,50%), protein (3,02%), dan lemak (6,45%). Selain itu dilaporkan oleh Asep (2010), kulit buah manggis juga mengandung senyawa yang berperan sebagai
antioksidan seperti antosianin (5,7-6,2 mg/g), xanton dan turunannya (0,7-34,9 mg/g). Hasil penelitian mencatat bahwa ekstrak kulit buah manggis, pada media GAA-MG1 dan GAA-MG2 tidak dapat menghasilkan selulosa. Pada media GAA-MG3 (perbandingan ekstrak kulit buah manggis: air kelapa = 1:1) selulosa yang terbentuk sangat tipis (inkubasi 96 jam) dan kemudian tenggelam. Demikian juga halnya pada media GAA-MG4 (perbandingan ekstrak kulit manggis: air kelapa = 1: 3), selulosa yang terbentuk sangat tipis dan akhirnya tenggelam. Ngamsaeng dan Wanapat (2004), melaporkan bahwa ekstrak kulit manggis mengandung tanin yang cukup tinggi yaitu tanin yang terkondensasi sebanyak 16,8%. Kemungkinan hal tersebut yang mempengaruhi proses fermentasi, sehingga adanya tannin dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri Acetobacter sp. RMG-2. Kajian tentang pemanfaatan limbah kulit buah-buahan menjadi produk selulosa telah dilakukan pada 10 jenis kulit buah-buahan (Melliawati dan Nuryati, 2011). Dilaporkan bahwa ekstrak murni kulit pisang raja dapat menghasilkan selulosa dengan tebal tertinggi yaitu 1,4 cm. Sementara itu dari hasil penelitian ini bila menggunakan ekstrak murni kulit buah sawo, hasilnya berbeda tipis yaitu tebal 1,2 cm. Jika ekstrak kulit buah sawo ditambah air kelapa dengan perbandingan 25: 75 maka hasilnya sama dengan bila menggunakan ekstrak kulit pisang kepok yang ditambah air kelapa dengan perbandingan yang sama yaitu diperoleh selulosa dengan tebal 1,5 cm (Melliawati dan Nuryati, 2011). Perbandingan yang sama tetapi menggunakan kulit buah apel diperoleh hasil yang lebih tebal yaitu 1,7 cm. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa kulit buah buahan masih dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan bakteri yang menghasilkan produk selulosa. Proses lanjut dari selulosa dapat dijadikan produk selulosa kering yang berupa lembaran selulosa, yang dapat digunakan sebagai bahan dasar kertas dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian dari ke lima jenis ekstrak kulit buah buahan (Sawo, Apel, Pir, Srikaya dan Manggis), media yang memiliki nutrisi cukup baik untuk digunakan oleh Acetobacter sp. RMG-2 adalah media ekstrak kulit buah sawo, buah apel dan buah Pir. Ekstrak kulit buah sawo dan ekstrak kulit buah Pir memiliki nutrisi yang cukup tinggi, sehingga tanpa tambahan nutrisi dari air kelapa, ekstrak buah tersebut dapat digunakan sebagai media untuk membentuk selulosa. Sementara itu ekstrak kulit buah apel dapat digunakan sebagai tambahan nutrisi dalam medium air kelapa untuk menghasilkan selulosa. Media ekstrak kulit buah sawo, Pir dan apel merupakan media yang memiliki nutrisi cukup untuk pertumbuhan Acetobacter sp. RMG-2 sehingga dapat menghasilkan selulosa. Ekstrak kulit buah Sawo dan Pir dapat menjadi bahan baku alternatif pengganti air kelapa dalam pembuatan selulosa (nata de coco). Sementara itu ekstrak buah apel dapat dijadikan sebagai tambahan nutrisi pada pembuatan nata de coco dari air kelapa. Selulosa yang dihasilkan dari 100% ekstrak kulit buah pir memberikan ketebalan selulosa sebesar 1,3 cm, sedang dari ekstrak kulit buah Sawo 1,2 cm. Media ekstrak kulit buah srikaya dan manggis tidak dapat digunakan sebagai media fermentasi
MELLIAWATI et al. – Biodiversitas berbasiskan agroforestry oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2 dalam membentuk selulosa. Kedua kulit buah ini kemungkinan mengandung senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan dapat mematikan bakteri Acetobacter sp. RMG-2. DAFTAR PUSTAKA Adams MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry, Cambridge. Anon. 2006. Sumber Makanan Bergizi dan Manfaatnya Bagi Tubuh. http://www.vegeta.co.id/id/info/infosehat.htm Asep WP. 2010. Kulit buah manggis dapat menjadi minuman instan kaya antioksidan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32 (2): 57. BPS [Biro Pusat Statistik]. 2012. Statistik Indonesia- Statistical Year Book of Indonesia, Jakarta. Fayek NM, Monem AR, Mossa MY, Meselhy MR, Shazly AH. 2012. Chemical and biological study of Manilkara zapota (L.) Van Royen leaves (Sapotaceae) cultivated in Egypt. Pharmacognosy Res 4 (2):85-91. Irsyadul Ibad M, Sirojudin M, Nurul Y, Durrotun N. 2011. Laporan hasil penelitian apel ekstra kir MTSN Rejoso. Pencegahan timbulnya warna kecoklatan pada buah apel yang sudah dikupas. Madrasah Tsanawiyah Negeri Rejoso, Pasuruan Masaoka ST. Ohe, N. Sakota. 1993. Production of Cellulose from Glucose by Acetobacter xylinum. J Ferment Bioeng 75 (1): 18-22. Melliawati R, Nita RP, Ardiansyah, Rohmatussolihat, Sufiantini K. 1999. Pengaruh campuran ekstrak buah buahan dan air kelapa terhadap biomasa sel Acetobacter sp. EMN-1 dan produk selulosa. Prosiding
305
Ekspose Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta, 31 Agustus-1 September 1999. Melliawati R, Nuryati. 2011. Pemanfaatan Limbah Kulit Buah – Buahan menjadi Produk Berserat oleh Acetobacter sp. RMG-2. Prosiding Seminar Nasional Proses Biologi dan Kimia Dalam Industri Yang Berwawasan Lingkungan Bogor, 8 Desember 2011. Melliawati R. 2007. Fermentasi air kelapa dan ekstrak buah nanas oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2 sebagai penghasil asam asetat dan bioselulosa. SIGMA Jurnal Sains dan Teknologi 10 (1): 55-60. Natalia RD, Sulvia P. 2009. Pemanfaatan Buah Tomat sebagai Bahan Baku Pembuatan Nata de Tomato. [Seminar Tugas Akhir] Jurusan Teknik Kimia UNDIP, Semarang. Ngamsaeng A, Wanapat M. 2004. Effects of mangosteen peel (Garcinia mangostana) supplementation on rumen ecology, microbial protein synthesis, digestibility and voluntary feed intake in beef steer. Tropical Feed Resources Research and Development Center, Department of Animal Science, Thailand. Rahardjo M. 2005Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Penebar Swadaya, Jakarta. Rahayu R, Chairul, Mindarti H. 1993. Penelitian Fitokimia dan Efek Anti Mikrobial Ektrak Srikaya terhadap Pertumbuhan Eschericia coli. Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH. Balitbang Mikrobilogi, Puslitbang Biologi – LIPI, Cibinong, 14 Juni. Ratnawati D. 2007. Kajian variasi kadar glukosa dan derajat keasaman (pH) pada pembuatan nata de citrus dari jeruk asam (Citrus limon L.). Jurnal Gradien 3 (2): 257-261 Sunarjono H. 2005. Sirsak dan Srikaya, Budidaya untuk Menghasilkan Buah Prima. Penebar Swadaya, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 306-313
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010223
Kajian penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi dan keragaan usaha tani padi sawah di Kalimantan Timur Assessment on the implementation of integrated rice crop management and profile of rice farming in East Kalimantan DHYANI NASTITI PURWANTININGDYAH♥, MUHAMAD HIDAYANTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 3 Februari 2015.
Abstrak. Purwantiningdyah DM, Hidayanto M. 2015. Kajian penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi dan keragaan usaha tani padi sawah di Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 306-313. Semakin besarnya tuntutan terhadap Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) terkait dengan rekomendasi teknologi spesifik lokasi dengan proses diseminasinya, memerlukan penelaahan yang cermat bagaimana seharusnya kegiatan diseminasi dilakukan, sehingga diharapkan dapat membantu perumusan upaya yang inovatif dalam pelaksanaan program pendampingan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur sehingga tujuan mendukung program swasembada pangan dapat tercapai. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data penerapan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi. Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan Januari-Desember 2013 dengan lokasi Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara di provinsi Kalimantan Timur. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah lokasi tersebut menyelenggarakan kegiatan PTT sejak tahun 2010 dan sentra produksi padi di Kalimantan Timur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Kesimpulan yang diperoleh adalah: (i) Penerapan PTT padi mampu meningkatkan produktivitas yang berpeluang untuk mendukung swasembada pangan dan (ii) Pengenalan VUB padi dan pola tanam telah mulai diadopsi petani. Kata kunci: Penerapan, pengelolaan tanaman terpadu, PTT, padi sawah
Abstract. Purwantiningdyah DM, Hidayanto M. 2015. Assessment on the implementation of integrated rice crop management and profile of rice farming in East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 306-313. The growing public expectation to BPTP regarding recommended location-specific technology demands careful examination on how dissemination should be done. It is expected that it could help formulating innovative efforts in implementing assistance program Agency for Agricultural Technology AssesmentEast Kalimantan, thus the target of food self-sufficiency can be achieved. The objective of this study was to obtain data on the implementation of integrated rice crop management. The study was conducted from January-December 2013 in Kutai Kartanegara and Penajam Paser Utara, where integrated crop management was implemented from 2010 and was a central rice production in East Kalimantan. Data collection was done by purposive sampling methods. The result shows that (i) integrated rice crop management could increase productivity which supports food self-sufficiency, (ii) VUB rice was introduced and planting pattern has been begun by farmers. Keywords: Implementation, Integrated Plant Management, IPM, paddy
PENDAHULUAN Kementerian Pertanian mempunyai empat target sukses yaitu (i) Swasembada dan swasembada berkelanjutan, (ii) Diversifikasi pangan, (iii) Peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (iv) Peningkatan kesejahteraan petani. Untuk mencapai target pertama banyak kebijakan yang dilakukan pemerintah, diantaranya adalah program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi sehingga tujuan peningkatan produksi agar swasembada padi dapat tercapai. Diseminasi inovasi adalah salah satu mandat utama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), dan berkembang sejalan dengan dinamika yang menyertai kehadiran BPTP di daerah.
Kondisi ini juga tidak terlepas dari berbagai upaya atau kegiatan yang dikembangkan Kementerian Pertanian dalam mempercepat penyampaian hasil penelitian ke pengguna. Kegiatan diseminasi pada saat ini yaitu dalam bentuk pendampingan teknis pada implementasi program strategis dilakukan pada program SL-PTT. Kontribusi propinsi Kalimantan Timur dalam mencukupi kebutuhan pangan (beras) secara nasional masih rendah, walaupun memiliki potensi lahan sawah yang luas. Hal ini disebabkan tingkat kesuburan tanah yang relatif rendah sehingga menyebabkan produktivitas padi sawah di Kalimantan Timur rendah yaitu 2,5-3,5 ton/ha. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas padi sawah di Kalimantan Timur adalah melalui PTT. PTT
PURWANTININGDYAH & HIDAYANTO – Pengelolaan tanaman terpadu padi di Kalimantan Timur
adalah pendekatan dalam budidaya yang mengutamakan pengelolaan tanaman, lahan, air, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu dan bersifat spesifik lokasi. Dalam penerapannya, PTT bersifat (i) partisifatif, (ii) dinamis, (iii) spesifik lokasi, (iv) terpadu, dan (v) sinergis antar komponen teknologi yang diterapkan (Badan Litbang Pertanian 2009). Belajar dari pengalaman, salah satu faktor kunci keberhasilan program yang sudah diidentifikasi adalah melakukan pembinaan, pendampingan dan penyeliaan yang sistematis dan intensif. Apabila tidak dilakukan pendampingan, pelaksanaan kegiatan pada umumnya tidak fokus, tidak ada rasa memiliki, dilaksanakan apa adanya, dan rawan penyimpangan (Badan Litbang Pertanian 2007). Salah satu program kementerian pertanian adalah SL-PTT Padi, SL-PTT merupakan sekolah lapang bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien dan spesifik lokasi, sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Tujuan SL-PTT adalah untuk mempercepat proses transfer teknologi kepada pengguna (penyuluh dan petani). Namun disadari bahwa proses percepatan transfer teknologi kepada pengguna membutuhkan waktu dan upaya khusus. Penyebab transfer teknologi dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya yaitu ; aspek teknologinya membutuhkan tambahan biaya, penerapannya sulit, dan tingkat keuntungan yang dapat dicapai. Menurut Soekartawi (1998), transfer teknologi berjalan cepat apabila teknologi yang dianjurkan merupakan perbaikan dan kelanjutan dari teknologi petani. Tujuan penelitian adalah memperoleh data penerapan PTT padi dan pengaruhnya terhadap produktivitas dan pendapatan di Kalimantan Timur dalam rangka mendukung swasembada pangan berkelanjutan.
307
BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan JanuariDesember 2013 di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 1-3). Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah di lokasi tersebut diselenggarakan kegiatan SL-PTT sejak tahun 2010 dan merupakan sentra padi sawah di Kalimantan Timur. Data dikumpulkan dengan metode survei dengan menggunakan kuesioner. Data primer diperoleh dari petani responden yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu kooperator dan non kooperator sebagai pembanding. Petani kooperator adalah petani yang telah dibina /didampingi pada saat kegiatan, sedangkan petani non kooperator adalah petani yang tidak dibina dan diluar wilayah pengkajian. Jumlah responden masing-masing adalah 30 petani kooperator dan 30 petani non kooperator. Petani responden sebagai unit observasi diambil secara acak sederhana sehingga diperoleh 30 petani sampel dari masing-masing kabupaten. Metode yang digunakan untuk mengukur tingkat penerapan PTT adalah dengan skoring, penentuan skor penerapan teknologi menggunakan standar 4, yaitu: 4 untuk teknologi penuh, 3 untuk teknologi cukup, 2 untuk teknologi kurang dan 1 tanpa teknologi. Untuk mengetahui kelayakan ekonomi dari tingkat adopsi teknologi dilakukan analisis kelayakan perubahan teknologi (Swastika 2004), yaitu: R/C =
Total penerimaan Total pengeluaran
dan, Marginal B/C = Total gains Total losses
Gambar 1. Provinsi Kalimantan Timur (setelah Kalimantan Utara menjadi daerah otonom tersendiri).
308
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 306-313, April 2015
Gambar 2. Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
PURWANTININGDYAH & HIDAYANTO – Pengelolaan tanaman terpadu padi di Kalimantan Timur
Gambar 2. Kabupaten Kutai Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
309
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 306-313, April 2015
310
HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja produksi padi Perkembangan luas panen padi di Kalimantan Timur periode 2003-2013 cenderung sedikit meningkat setiap tahunnya yaitu 0,44%, demikian pula untuk produksi dan produktivitas meningkat yaitu masing-masing per tahun sebesar 3,06% dan 2,58% (Tabel 1). Produktivitas padi di Kalimantan Timur baru mencapai 4,08 ton/ha, masih dibawah produktivitas nasional. Pengetahuan responden terhadap PTT padi Dari hasil wawancara pada responden, diperoleh informasi tentang pengetahuan petani terhadap PTT padi, teknologi dan tingkat adopsinya. Tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang mengetahui keberadaan komponen PTT padi adalah 47%. Faktor yang mempengaruhi ketidaktahuan petani tersebut antara lain adalah proses transfer informasi yang kurang berjalan dengan baik. Pertemuan petani yang merupakan media transfer informasi kurang banyak dilaksanakan karena tergantung pada masing-masing kreatifitas kelonpok tani dan intensitas penyuluhan baik dari penyuluh setempat maupun dari BPTP Kalimantan Timur.
Dalam prakteknya tidak semua komponen teknologi dalam PTT dipahami dengan baik. Komponen teknologi dalam PTT hanya diartikan penggunaan varietas unggul baru. Dengan demikian sebaiknya kegiatan sosialisasi dan diseminasi PTT kepada petani sebagai pengguna teknologi perlu lebih diintensifkan. Padahal menurut Toha (2005), komponen teknologi PTT harus saling melengkapi, bila perlu dilihat kemungkinan adanya efek sinergisme antar komponen. Teknologi yang diterapkan tidak saling bertentangan atau antagonis satu dengan yang lainnya. Paket teknologi disusun untuk memecahkan masalah (bila ada) serta sesuai dengan karakterisasi lokasi setempat dan kondisi sosial ekonomi petani. Secara utuh komponen teknologi disusun untuk mengoptimalkan sumberdaya setempat, dapat menjaga kelestarian lingkungan dan dapat menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tabel 2. Pengetahuan responden terhadap komponen PTT padi Proporsi responden (%) Mengetahui Tidak mengetahui 47,0 53,0
Uraian PTT Padi
Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas padi di Kalimantan Timur tahun 2002-2013 (BPS Kalimantan Timur 2003-2013). Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013*) Rata-rata
Ha 135.809 141.348 140.996 150.549 155.484 157.341 146.177 150.031 140.215 142.573 140.587
Luas panen Perkembangan (%) 4,08 -0,25 6,78 3,28 1,19 -7,10 2,64 -6,54 1,68 -1,39 0,44
Ton/Ha 430.285 486.166 499.557 541.172 567.502 586.030 555.561 588.877 552.616 561.959 573.381
Produksi Perkembangan (%) 12,99 2,75 8,33 4,87 3,26 -5,20 6,00 -6,16 1,69 2,03 3,06
Ton/Ha 3,19 3,44 3,54 3,59 3,65 3,72 3,80 3,92 3,94 3,94 4,08
Produktivitas Perkembangan (%) 8,56 3,01 1,46 1,54 2,05 2,04 3,27 0,41 0,01 3,47 2,58
Keterangan: *) Angka Ramalan II (ARAM II terdiri dari realisasi produksi Januari-Agustus dan angka ramalan September Desember berdasarkan keadaan luas tanaman akhir bulan Agustus).
Tabel 3. Sumber pengetahuan teknologi responden. Sumber teknologi
Persentase
1. Peneliti/Penyuluh BPTP 2. PPL 3. Ketua Kelompok Tani 4. Sesama Petani 5. Lainnya 6. Tidak tahu
22,0 18,0 15,0 25,0 8,0 7,0
Tabel 4. Tahapan adopsi responden. Persepsi pengguna 1. Menerapkan 2. Mencoba 3. Menilai 4. Berminat 5. Mengetahui 6. Belum Mengetahui Keterangan: n = 60
SL-PTT padi 40,0 20,0 0,0 15,0 5,0 20,0
PURWANTININGDYAH & HIDAYANTO – Pengelolaan tanaman terpadu padi di Kalimantan Timur Tabel 5. Tingkat adopsi komponen teknologi rekomendasi PTT padi Unsur teknologi Varietas unggul Benih bermutu dan berlabel Pemberian bahan organik Pola tanam jarwo Pemupukan Pengendalian OPT Penggunaan bibit Pengairan Penyiangan Panen dan pasca panen Jumlah
Kooperator 2,8 2,7 1,2 2,1 5,4 2,8 4,5 2,1 1,8 4,5 29,9
Nilai Non kooperator 2,0 2,1 1,1 1,2 4,5 2,2 3,9 1,9 1,3 4,3 24,5
Keberadaan BPTP sebagai sumber penyedia teknologi belum sepenuhnya diketahui responden. Hasil wawancara mengungkapkan bahwa adanya sumber teknologi lain diluar BPTP yang banyak dikenal pengguna adalah PPL, Ketua Kelompok Tani, dan sesama petani (Tabel 3). BPTP dalam hal ini adalah sebagai pengawal atau pendamping pelaksanaan SL-PTT di lapang. Penyuluh di BPTP Kaltim terbatas jumlahnya, padahal mempunyai peranan cukup penting dalam mendorong petani di areal SL-PTT untuk mengadopsi inovasi yang dikembangkan. Tahapan dan tingkat adopsi Adopsi inovasi membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Menurut Mundy (2000), proses adopsi suatu teknologi umumnya melalui beberapa tahapan di antaranya kesadaran, perhatian, penaksiran, percobaan, adopsi dan konfirmasi. Tabel 4 menunjukkan sebagian besar responden yaitu sebesar 40% menerapkan rekomendasi teknologi dalam PTT padi yang diperkenalkan BPTP Kalimantan Timur, 20% pernah mencoba, 15% responden berminat, sedangkan 5% responden hanya mengetahui tapi tidak berminat melaksanakan, dan 20% sisanya mengaku tidak tahu adanya rekomendasi teknologi tersebut, ini terutama untuk responden yang tidak berada di luar kelompok lokasi pendampingan. Sementara untuk rekomendasi teknologi dalam pendampingan yang menerapkan ada 40%, 20% pernah mencoba, 15% responden berminat, sedangkan 5% responden hanya mengetahui tapi tidak berminat dan 20% sisanya mengaku tidak tahu adanya rekomendasi teknologi tersebut, terutama untuk responden yang tidak berada di luar kelompok lokasi pendampingan. Kecepatan suatu adopsi ditentukan oleh karakteristik atau golongan petani. Menurut Simamora (2003), petani umumnya digolongkan menjadi lima golongan yaitu, penemu cara baru, adaptasi awal mayoritas awal, mayoritas akhir dan terlambat. Menurut penelitian Sudana dan Subagyono (2012), umur dan tingkat pendidikan petani berpengaruh nyata terhadap peluang adopsi inovasi PTT. Untuk unsur-unsur atau komponen teknologi dalam PTT padi, Tabel 5 menunjukkan bahwa teknologi yang
311
tidak banyak diterapkan baik pada petani kooperator maupun non kooperator adalah pemberian bahan organik. Dalam penggunaan bahan organik, petani belum terbiasa memanfaatkan kotoran ternak ataupun mengembalikan jerami ke lahan sawah, menyebabkan kegiatan penggunaan kotoran untuk pupuk organik di sawah tidak dilaksanakan petani. Unsur teknologi yang paling banyak teradopsi baik pada petani kooperator adalah penggunaan varietas unggul. Namun demikian varietas yang banyak disukai adalah varietas unggul lama seperti Ciherang, Mekongga, Cigeulis, Cisanggarung dan Cibogo, sementara untuk jenis Inpari masih sedikit yang menggunakannya. Alasan utama yang terkait varietas karena dapat diamati langsung dampaknya serta mudah diaplikasikan. Selain itu komponen teknologi ini dianggap menguntungkan karena dapat meningkatkan produksi/produktivitas dan dalam aplikasinya tidak diperlukan pendampingan intensif. Penelitian ini sama dengan hasil penelitian Ulina et al. 2012) yang menyatakan bahwa varietas unggul merupakan salah satu komponen pendekatan PTT yang diadopsi oleh petani. Varietas unggul merupakan salah salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanamn maupun toleransi dan/atau ketahanannya terhadap cekaman biotic dan abiotik (Sembiring 2008). Varietas padi juga merupakan teknologi yang paling mudah diadopsi karena teknologinya murah dan penggunaannya sangat praktis (Badan Litbang Pertanian 2007). Namun demikian untuk benih bersertifikat masih sulit ditemukan di pasaran, sehingga benih unggul yang dipakai biasanya adalah hasil panen sebelumnya atau tukar menukar dengan petani lain. Penggunaan benih bersertifikat dilakukan bila benih yang digunakan adalah benih bantuan. Selain itu komponen teknologi yang banyak diadopsi adalah penggunaan pupuk berdasarkan kebutuhan dan pengendalian OPT. Terkait dengan pengaturan populasi tanaman dan penggunaan bibit muda, terkendala oleh kebiasaan buruh tani yang ada di lokasi pengkajian. Buruh tani tidak terbiasa dengan sistem tanam legowo sehingga merasa rumit dan memakan waktu lebih lama dan untuk penggunaan benih muda sulit dilaksanakan karena adanya hama keong mas. Penggunaan landak belum biasa dilakukan petani, karena petani lebih menyukai menggunakan herbisida. Berkaitan dengan sistem tanam pindah yang memerlukan banyak tenaga kerja dan biaya yang lebih besar, hal tersebut menjadi alasan petani untuk tidak menerapkan komponen teknologi tersebut (kasus: Kabupaten Penajam Paser Utara). Dengan kondisi tersebut sebenarnya dapat diintroduksikan atabela (alat tanam benih langsung), namun alat yang ada harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lahan yang ada di Kalimantan Timur. Hasil penelitian Puslitbangtan Tahun 1993-1995 menunjukkan bahwa sistem tanam padi sebar langsung dapat menghemat tenaga kerja 40%, mempercepat waktu panen sampai 2 minggu dan bisa meningkatkan hasil sampai 25% dibandingkan dengan sistem tanam pindah (Supriadi 1996).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 306-313, April 2015
312
Tabel 6. Analisis parsial usahatani komoditas padi di Kalimantan Timur. No
Uraian
I
Biaya produksi
A
1.Pengelolaan tanah (penggunakan traktor) 2. Tenaga kerja Sub total (A) Sarana produksi 1. Benih 2. Pupuk -Urea -SP-36 -KCL -Bahan organik 3. Pestisida/herbisida Sub Total (B) Total Pengeluaran (A+B)
B
Volume 1
ha
70
HOK
45
kg
150 100
kg kg kg kg
Non PTT Harga(Rp) 1.000.000
Jumlah(Rp)
Volume
PTT Harga(Rp)
Jumlah(Rp)
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1
ha
3.500.000 4.500.000
90
HOK
4.000
180.000
25
kg
25.000
625.000
1.900 2.700
285.000 270.000 0 0 692.000 1.427.000
150 100 75 500
kg kg kg kg
1.900 2.700 3.000 500
285.000 270.000 225.000 250.000 692.000 2.347.000
4.500.000 5.500.000
5.927.000 II
Hasil usahatani 1. Penerimaan 2. Pendapatan 3. R/C 4.B/C
4.700
kg
3.500
Tabel 7. Analisis Parsial Perubahan Teknologi Usahatani Padi di Kalimantan Timur Losses Tambahan benih Tambahan pupuk Tambahan tenaga kerja Total Losses Tambahan Keuntungan Marginal B/C
Jumlah (Rp) 445.000 475.000 1.000.000 1.920.000
Gains Tambahan penerimaan untuk kenaikan produksi Total Gains
Jumlah (Rp) 6.790.000
6.790.000 4.870.000 3,54
Tabel 8. Analisis statistik uji t SL-PTT padi Uraian Korelasi Produktivitas 0,3565 Pendapatan 0,9736 Keterangan: (α = 0,05), n = 60
Keterangan ada perbedaaan ada perbedaaan
Analisis ekonomi Tabel 6 menunjukkan dengan menggunakan teknologi rekomendasi yaitu dengan pendekatan PTT, petani mendapat tambahan keuntungan Rp 6.790.000/ha/musim atau meningkat 41,28%. Sementara peningkatan produksi adalah 1.960 kg atau meningkat 41,27%, lebih tinggi dari hasil penelitian Sudana dan Subagyono (2012) melalui metode SL-PTT produktivitas petani dapat ditingkatkan 17%. Hasil analisis pada Tabel 6 menunjukkan bahwa perubahan teknologi menghasilkan tambahan penerimaan bagi petani sebesar Rp 4.870.000/ha/musim. Angka
16.450.000 10.523.000 2,78 1,78
7.847.000 6.640
kg
3.500
23.240.000 15.393.000 2,96 1,96
marginal B/C dari perubahan teknologi tersebut adalah sebesar 3,54, yang menunjukkan bahwa tiap Rp 1,00 tambahan biaya yang disebabkan perubahan teknologi menyebabkan diperolehnya tambahan penerimaan sebesar Rp 3,54 (tiga setengah kali lipat). Menurut Bunch (2001), adopsi suatu teknologi bias berjalan cepat apabila teknologi tersebut mampu meningkatkan pendapatan petani minimal 50-150%. Hasil uji t Hasil uji statistik Tabel 8 menunjukkan adanya perbedaan baik produksi maupun pendapatan antara petani kooperator dan non kooperator dalam secara nyata dalam penerapan PTT padi. KESIMPULAN DAN SARAN Penerapan PTT padi mampu meningkatkan produktivitas yang berpeluang untuk mendukung swasembada pangan di Kalimantan Timur. Penggunaan VUB padi dan pola tanam telah diterapkan petani. Berdasarkan uji t terdapat perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata produktifitas dan pendapatan antara petani kooperator dan non kooperator. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2003-2013. Kalimantan Timur dalam Angka, Samarinda. Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah. Petunjuk Teknis Lapang. Badan Litbang Pertanian, Kementan, Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Litbang Pertanian, Kementan, Jakarta.
PURWANTININGDYAH & HIDAYANTO – Pengelolaan tanaman terpadu padi di Kalimantan Timur Bunch R. 2001. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Edisi Kedua, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Ulina ES, Agriawati DP, Akmal, Parhusip D. 2012. Peranan diseminasi pendekatan teknologi PTT Padi terhadap perkembangan sebaran varietas unggul padi lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Bogor 19-20 November 2011. Mundy P. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP3. Bogor. Sembiring, H. 2008. Kebijakan penelitian dan rangkuman hasil penelitian BB Padi dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi, Subang. Simamora, Bilson. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. PT. Gramedia. Jakarta.
313
Supriadi, H. 1996. Prospek Padi Sawah Tanam Langsun di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Nasional Prospek Tabela Padi Sawah di Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Soekartawi. 1998. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta. Swastika DKS. 2004. Beberapa teknik analisis dalam penelitian dan pengkajian teknologi pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7 (1): 90-103. Toha HM. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi, Subang. Sudana W, Subagyono K. 2012. Kajian faktor-faktor penentu adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 15 (2): 94-106.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 314-318
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010224
Kajian teknologi pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman durian berumur 10 tahun dengan introduksi lima varietas unggul lokal durian di Kalimantan Timur Assessment of fertilization technology on vegetative growth of five 10-year-old durian plant and five premium local durian varieties in East Kalimantan MUHAMAD RIZAL♥, SRI SUDARWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 28 November 2014. Revisi disetujui: 29 Januari 2015.
Abstrak. Rizal M, Sudarwati S. 2015. Kajian teknologi pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman durian berumur 10 tahun dengan introduksi lima varietas unggul lokal durian di Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 314-318. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi kajian teknologi pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman durian berumur 10 tahun dengan introduksi 5 varietas unggul lokal spesifik lokasi dan adaptif. Penelitian dilaksanakan di Desa Rapak Lembur, Kecamatan Tenggarong Sebrang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur pada 3 petani Kooperator. Pelaksanaan kegiatan dimulai dengan pembuatan lubang tanam untuk 5 varietas durian unggul lokal dengan ukuran 50 x 50 x 50 cm, di biarkan selama 2 minggu kemudian diberikan pupuk kandang sebanyak 20 kg/lubang tanam. Sedangkan pada tanaman durian yang berumur 10 tahun diberi pupuk kandang sebanyak 100 kg/pohon dan pupuk phonska sebanyak 50 kg/pohon, dengan perlakuan pemberian EM4 dan tanpa EM4. Data dianalisis dengan analisis statistik, yaitu analisis sidik ragam (analysis of variance) dan bila F hitung nyata, diteruskan dengan uji Duncan 5% (beda nyata terkecil). Hasil Penelitian bahwa introduksi 5 verietas baru durian menunjukkan pertumbuhan yang baik setelah 1 bulan penanaman. Durian varietas Aji Kuning memiliki tinggi tanaman yang paling besar yaitu 67,9 cm, diikuti varietas Lainnya. Untuk diameter batang menunjukkan varietas Mawar memiliki diameter yang paling besar yaitu 0,89 cm. Sedangkan tanaman durian yang di miliki petani yang telah berumur 10 tahun dari 3 petani kooperator memiliki karakteristik yang berbeda. Durian yang diberikan perlakuan pemupukan dan pemberian EM-4 menunjukkan tinggi tanaman antara 8,1-13,7 m, lingkar batang antara 83-116 cm. Untuk jumlah bunga yang dihasilkan dari pohon durian menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu rata-rata 3.032 bunga per pohon dengan EM-4 dan rata-rata 2.468 bunga per pohon tanpa pemberian EM-4. Dengan teknologi pemupukan pada tanaman durian berumur 10 tahun yang di introduksikan dengan 5 varietas unggul lokal durian mampu memberikan produktivitas yang tinggi dalam mendukung pengembangan kawasan hortikulturah buah durian dan ketahanan pangan di Provinsi Kalimantan Timur. Kata kunci: Durian, teknologi pemupukan, Kalimantan Timur.
Abstract. Rizal M, Sudarwati S. 2015. Assessment of fertilization technology on vegetative growth of 10-year-old durian plant and five premium local durian varieties in East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 314-318. The purpose of this research is to give assess fertilization technology on vegetative growth of 10-year-old durian plant and five premium local durian varieties in East Kalimantan. The research was conducted with 3 cooperator farmers in Rapak Lembur Village, Tenggarong Sebrang District, Kutai Kartanegara, East Kalimantan. The experiment was started by setting 50x50x50cm-planting holes for five local varieties of durian and leaving the holes for 2 weeks. Then, 20kg of animal manure was added into each planting hole. Meanwhile, 10-year-old durian plants were fertilized using manure 100 kg/tree and Phonska 50 kg/tree and grouped based on treatment with EM4 and without EM4. Data was analyzed using Analysis of Variance, followed by Duncan analysis when F-value is significant. The result showed that the 5 durian varieties grew well 1 month after planting. Durian var. Aji kuning had the highest height (67.9 cm), followed by other varieties. Regarding stem diameter, Durian var. Mawar showed the biggest diameter (0.89 cm). While the 10-year-old plants from the farmers showed different characteristics. Fertilized plant in the EM-4 group showed height ranging 8.1-13.7 m, stem diameter 83-116 cm. A number of flowers was significantly different among the treatment group, 3,032 of flowers/tree in the with-EM-4 group and 2,468 of flowers/tree in the without-EM-4 group. Using fertilizer for 10-year-old durian and 5 premium local durian varieties can improve durian productivity in East Kalimantan.
Keywords: Durio, fertilizing technology, East Kalimantan
RIZAL & SUDARWATI – Pemupukan pada durian lokal Kalimantan timur
PENDAHULUAN Tanaman durian termasuk dalam famili Bombaceae yang diduga berasal dari hutan tropis Indonesia. Durian dengan kerabatnya banyak dijumpai di hutan tropis Kalimantan (Sobir dan Rodame M. Napitupulu, 2010). Produksi durian yang tertinggi di dunia adalah Thailand, Malaysia dan Indonesia. Buah durian bervariasi ada yang rasanya manis, harum dengan warna daging buah yang berwarna putih, kuning, oranye serta kaya akan kalori, vitamin, lemak dan protein, batangnya juga bisa digunakan sebagai bahan bangunan (Purnomosidhi, P., dkk., 2007). Durian merupakan pohon hutan yang berukuran sedang hingga besar dengan tinggi dapat mencapai 50 m serta umurnya dapat mencapai puluhan bahkan ratusan tahun. Kulit batang durian berwarna merah coklat gelap, kasar dan kadang terkelupas dengan bentuk pohon (tajuk) mirip segitiga. Bunga durian tumbuh pada karangan bunga berbentuk malai. Malai tersebut tumbuh pada pangkal cabang sampai tengah cabang, dan jarang tumbuh pada ujung cabang. Bunga durian tergolong bunga sempurna, memiliki alat kelamin jantan dan betina dalam satu bunga serta berbau menyengat dan biasanya mekar pada senja hari. Buahnya berduri dan bila dibelah di dalam buahnya terdapat ruang-ruang yang biasanya berjumlah lima. Setiap ruangnya berisi biji (pongge) yang dilapisi daging buah yang lembut, manis dan berbau merangsang, yang jumlahnya juga beragam tetapi rata-rata 2-5 buah. Warna buahnya bervariasi dari putih, krem, kuning sampai kemerahan (Widyastuti et al. 1993). Tanaman durian dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah sampai ketinggian maksimal 800 m diatas permukaan laut (DPL) dengan curah hujan antara 15002500 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. Diperlukan musim kering (kemarau) untuk merangsang pembungaan, dan hujan yang lebat terus-menerus pada waktu pembungaan dapat menggagalkan pembuahan. Menurut Soedarya (2009) pohon durian tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-800 meter diatas permukaan laut (dpl) dan dapat tumbuh optimal pada ketinggian 50-600 meter diatas permukaan laut. Pemerintah telah menetapkan 10 prioritas komoditas hortikultura nasional yaitu mangga, manggis, pisang, durian, jeruk, bawang merah, cabe merah, kentang, rimpang, dan anggrek. Akan tetapi pada daerah tertentu juga menetapkan komoditas unggulan daerah sesuai potensi dan kekhasan di wilayahnya, seperti halnya provinsi Kalimantan Timur telah menetapkan komoditas pisang, jeruk Keprok Borneo Prima, Jeruk Nipis Kutai Barat, Jeruk Pamelo Nunukan, Lai Mahakam, Lai Batuah, Durian Salisun, Durian Aji Kuning, Durian Mawar, Durian Kani, Durian Matahari dan Pepaya Mini Balikpapan sebagai komoditas unggulan daerah (Dinas Pertanian 2013). Saat ini Kalimantan Timur telah mengembangkan tanaman hortikultura seperti jeruk, pisang dan durian disetiap kabupaten dan kota. Untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pengetahuan
315
masyarakat akan kesehatan, maka pengembangan komoditas hortikultura khususnya buah-buahan dan sayuran terus ditingkatkan. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir produksi komoditas hortikultura di Kalimantan Timur terus meningkat, dimana pada tahun 2012 mencapai 265,284 ton. Khusunya untuk buah durian pada tahun 2012 produksinya 17,359 ton (BPS 2013), pada sentra produksi durian di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat. Perkembangan komoditas Hortikultura di masa depan sangat cerah apabila ditinjau dari segi keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki dalam pemulihan perekonomian Indonesia waktu mendatang. Oleh karena itu perlu sekali untuk dikembangkan. Pengembangan hortikultura di Indonesia pada umumnya masih dalam skala perkebunan rakyat yang tumbuh dan dipelihara secara alami dan tradisional, dimana jenis komoditas hortikultura yang diusahakan masih terbatas. Permasalahan yang menonjol dalam upaya pengembangan hortikultura diantaranya adalah produktivitas yang masih tergolong rendah. Hal ini merupakan refleksi dari rangkaian berbagai faktor yang ada, antara lain pola usahatani yang kecil, mutu bibit atau benih yang rendah yang ditunjang oleh keragaman jenis/varietas, serta rendahnya penerapan teknologi budidaya. Pola budidaya untuk komoditas hortikultura di Kalimantan timur khususnya durian masih belum sesuai dengan standar budidaya yang baik. Hal ini disebabkan oleh metode perbanyakan bibit/anakan yang tidak tepat, sanitasi kebun dan gulma yang tidak terjaga sehingga rentan terhadap serangan hama dan penyakit, serta penerapan teknologi budidaya dapat dikatakan belum optimal, baru sebagian kecil petani yang memupuk tanaman secara tepat dan sesuai anjuran (Dinas Pertanian 2013). Produktivitas durian yang dikembangkan masyarakat/petani di Kalimantan Timur masih sangat rendah, sehingga terjadi kesenjangan produktivitas terutama disebabkan teknik budidaya tidak tepat dan tingginya gangguan hama dan penyakit. Oleh karena itu untuk mencapai keberhasilan usaha tani durian, selain penerapan teknologi, penggunaan varietas unggul juga harus didukung dengan tehnik budidaya yang tepat. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, daya saing dan nilai tambah tanaman durian melalui teknologi budidaya pemupukan dan introduksi varietas unggul lokal di Provinsi Kalimantan Timur. BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Rapak Lembur, Kecamatan Tenggarong Sebrang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, pada tahun 2012 pada tiga petani kooperator. Penentuan lokasi berdasarkan beberapa kriteria antara lain daerah tersebut wilayah sentra produksi komoditas hortikultura durian, teknologi diperlukan petani dan domisili petani di daerah tersebut.
3 316
PROS SEM M NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 314-318, April 2015
a Bahan yanng digunakann untuk pennelitian ini adalah ssarana produkksi untuk penanaman p d durian diantarranya p pupuk organikk (pupuk kom mpos dan pupuuk kandang) dan d an o organik serta bibit durian (Varietas Aji Kuning, Mawar, M Matahari, Saalisun dan Kani). K Sedanngkan alat yang d digunakan a adalah peralaatan untuk penanaman dan p pengukuran taanaman duriann. Teknik penngambilan saampel dan daata dilakukan pada s semua perlakkuan melipuuti data pertumbuhan (ttinggi t tanaman dan diameter battang). Sedanggkan analisis yang d dilakukan baiik pada teknoologi petani maupun teknnologi y yang di introdduksikan adallah analisis statistic, s yaituu data h hasil pengamaatan ditabulassi dan dianalissis dengan annalisis s sidik ragam (aanalysis of variance) dan bila b F hitung nyata, n d diteruskan denngan uji Dunncan 5% (bedda nyata terkkecil), G Gomez and Goomez (1993). Pemupukaan di lakukann pada tanam man durian yang b berumur sekittar 10 tahun dan pada tannaman durian baru v varietas ungguul lokal (Aji Kuning, K Mawarr, Matahari, Saalisun d Kani). Puupuk yang diigunakan adallah pupuk orgganik dan d pupuk an organik (Ureea, Sp36 dan KCL). dan K Pemuppukan d dilakukan dengan menugal dikeliling tanaaman durian. Adapun prosedur p Pelaksanaan penanaman durian d a adalah sebagaai berikut: (ii) Pemupukann tanaman durian d d dewasa (berum mur sekitar 100 tahun). Pupuuk yang digunnakan a adalah pupuk kandang dann pupuk phonnska dengan dosis p pupuk kandanng 100 kg/ppohon dan pupuk p phonska 5 k kg/pohon. Puppuk diberikann dengan caraa membuat luubang d dikeliling tannaman dibaw wah tajuk. Pupuk kanndang d dimasukkan k dalam lubaang dan ditutuup kembali deengan ke
h, demikian juga pupuk phonska. (iii) Penanamaan tanah tanam man durian baru varietass unggul lok kal Kalimantaan Timu ur: Bibit duriaan yang ditanaam sebanyak 5 varietas yaittu varieetas Aji Kuniing, Mawar, M Matahari, Saliisun dan Kanni. Bibitt durian di tannam di sela tannaman durian n. dewasa untuuk meng gganti tanamaan yang mati atau hidupnyaa tidak normaal. Caraa penanaman, membuat lubbang dengan ukuran u 50 x 50 5 x 50 0 cm, di biaarkan selamaa 2 minggu u kemudian di d masu ukkan pupuk kandang sebaanyak 20 kg/llubang. Setelaah 2 miinggu bibit duurian siap di taanam. Pemelih haraan tanamaan yang g dilakukan addalah pemberssihan rumput atau a gulma daan pemaangkasan cabbang/ranting kkering. HAS SIL DAN PE EMBAHASAN N Gam mbaran umum m wilayah Kabupaten K Kuutai Kartanegaara mempunyaai luas wilayaah 27.263,10 km2 atau a 12,89 % dari wilayaah Kalimantaan Timu ur (Gambar 1). Kabup upaten Kutaii Kartanegarra meru upakan wilayaah yang berpootensi untuk pengembanga p an tanam man buah-bbuahan. Adaapun buah-b buahan yanng dipro oduksi diantarranya adalah pisang, duriaan, papaya daan nenaas. Rata-rata produksi p tertiinggi selama 5 (lima) tahuun ditem mpati oleh taanaman pisanng dengan jumlah produkksi 42.997,20 ton, disusul nenaas 16.344,40 0 ton, duriaan 12.558,80 ton daan papaya 8.228,60 ton. Perkembangaan tanam man pangan lainnya l adalahh tanaman (D Dinas Pertaniaan dan Peternakan P Kaabupaten Kutaai Kartanegara, 2013).
G Gambar 1. Lokkasi penelitian di d Kabupaten Kutai K Kartanegaara, Provinsi Kaalimantan Timuur
RIZAL & SUDARWATI – Pemupukan pada durian lokal Kalimantan timur
317
Tabel 1. Hasil pengamatan tinggi tamanan dan diameter batang tanaman durian dari vaerietas mawar, matahari, kani, ajin kuning dan salisun. No
Mawar
Matahari DB DB TT (cm) TT (cm) (cm) (cm) 1 61 1.5 65 0.6 2 57 1.5 61 0.6 3 71 1 66 0.5 4 61 0.6 65 1 5 53 0.6 57 0.9 6 51 0.5 66 0.7 7 59 1 65 0.8 8 52 0.9 59 1 9 50 0.6 65 0.8 10 56 0.7 67 0.9 Rerata 57.1 0.89 63.6 0.78 SD 5.99 0.35 3.20 0.17 Keterangan: TT: tinggi tanaman; DB: diameter batang
Varietas Kani DB TT (cm) (cm) 74 1 67 1 69 1.2 42 0.5 45 0.5 65 1 65 0.8 63 0.8 63 1 70 1 62.3 0.88 9.95 0.22
Aji kuning TT (cm) 77 58 67 64 68 66 73 68 70 68 67.9 4.81
DB (cm) 0.6 0.8 0.5 1 0.6 0.8 1 1.2 0.8 1 0.83 0.21
Salisun TT (cm) 49 45 35 48 48 41 45 50 41 53 45.5 5.02
DB (cm) 0.5 0.7 0.6 0.8 0.8 0.5 0.7 1 1 0.9 0.75 0.17
Tabel 2. Hasil pengamatan tinggi tinggi batang, tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah tajuk, jumlah bunga dan jumlah buah per tajuk tanaman durian milik petani. Petani
1 2 3 Rerata SD Petani 1 2 3 Rerata SD
Tinggi batang s/d tajuk pertama (cm) EM4 Tanpa EM4 52.0 80.2 103.2 89.6 81.0 71.6 78.7 80.5 21.0 7.4 Jumlah tajuk EM4 Tanpa EM4 37.0 30.4 29.2 19.8 17.0 21.6 27.7 23.9 8.2 4.6
Tinggi tanaman (m) EM4 13.7 9.7 8.1 10.5 2.4 Jumlah bunga EM4 4204.8 2947.6 1945.0 3032.5 924.5
Pemupukan dan pengamatan tanaman durian Tanaman durian berumur sekitar 10 tahun dan penanaman tanaman durian baru varietas unggul lokal Kalimantan Timur sebanyak lima varietas yaitu Aji Kuning, Kani, Salisun, Matahari dan Mawar. Introduksi verietas baru durian menunjukkan pertumbuhan yang baik setelah 1 bulan penanaman. Adapun hasil pengamatan tinggi tamanan dan diameter batang tanaman durian dari varietas Mawar, Matahari, Kani, Ajin Kuning dan Salisun, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1, terlihat variasi tinggi tanaman dan diameter batang dari berbagai varietas durian yang dintroduksikan. Durian varietas Aji Kuning memiliki tinggi tanam yang paling besar yaitu 67,9 cm, diikuti varietas Matahari, Kani, Mawar dan Salisun. Di habitat aslinya, tanaman durian dapat berumur sampai kurang lebih 200 tahun. Tinggi pohon durian berkisar antara 20-40 meter, bahkan dapat mencapai 50 meter (Wiryanta 2001). Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya (Yuniarti 2011) tinggi tanaman durian tertinggi pada saat
Lingkar batang (cm) Tanpa EM4 12.0 7.6 9.1 9.6 1.8 Tanpa EM4 3083.2 2067.4 2255.2 2468.6 441.3
EM4 Tanpa EM4 116.4 114.8 90.4 104.8 83.6 97.4 96.8 105.7 14.1 7.1 Jumlah buah/tajuk EM4 Tanpa EM4 12.3 20.0 4.3 4.5 1.6 14.3 6.1 12.9 4.5 6.4
pengamatan yaitu 52,36 m dan yang terendah yaitu 5,94 m. Menurut kondisinya batang durian akan terus tumbuh sampai pada batas kehidupannya. Sedangkan untuk diameter batang menunjukkan varietas mawar memiliki diameter yang paling besar yaitu 0,89 cm di ikuti durian varietas Kani, Aji Kuning, Matahari dan Salisun. Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah di lakukan sebelumnya lingkaran batang yang terbesar yaitu 827 cm dan yang terkecil yaitu 82 cm. Menurut Saputra (2010) diameter batang akan meningkat ukurannya bila bahan makanan yang dibutuhkan tanaman berada dalam jumlah yang memadai. Pemupukan tanaman durian yang sudah berumur 10 tahun dengan pupuk kandang dengan dosis 100 kg per pohon sebanyak 50 pohon dengan 3 petani kooperator, menunjukkan perubahan dengan keluarnya bunga dan buah. Pembungaan dan pembuahan yang terjadi setelah dilakukan pemupukan mencapai 75%. Adapun Hasil pengamatan tinggi batang, tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah tajuk, jumlah bunga dan jumlah buah per tajuk
318
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 314-318, April 2015
tanaman durian milik petani dengan perlakuan pemupukan dan pemberian EM4 dan tanpa EM4 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2, terlihat bawah tanaman durian yang di miliki petani yang telah berumur 10 tahun dari 3 (tiga) petani kooperator memiliki karakteristik yang berbeda. Tanaman durian yang diberikan perlakuan pemupukan dan pemberian EM-4 menunjukkan tinggi tanaman antara 8,113,7 m, lingkar batang antara 83-116 cm, jumlah tajuk 1737 buah, tinggi batang dari tanah sampai tajuk pertama antara 52-103 cm dan jumlah jumlah buah per tajuk antara 4-20 buah. Pemberian pupuk kandang dan EM-4 pada tanaman durian menunjukkan perbedaan yang signifikan dari jumlah bunga yang dihasilkan dari pohon durian yaitu rata-rata 3.032 bunga per pohon sedangkan tanpa pemberian EM-4 rata-rata 2.468 bunga per pohon walaupun buah yang jadi lebih kecil dari pada tanpa pemberian EM-4. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman durian yang sudah berumur 10 tahun dapat memberikan pertumbuhan yang baik serta produktivitas dan kualitas produksi tanaman meningkat secara berkelanjutan dengan perlakuan pemupukan dan pemberian EM4. Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah di lakukan sebelumnya, EM-4 menghasilkan panjang tunas yang tertinggi pada konsentrasi 8,92 mL/L air, menghasilkan diameter tunas terbesar dengan konsentrasi 10,57 mL/L air serta luas daun terbesar pada konsentrasi 11,52 mL/L air (Muliyati 2012). Menurut Wididana (1994), senyawa-senyawa organik dihasilkan dari fermentasi oleh mikroorganisme yang terdapat dalam effektif migroorganisms-4 berupa glukosa, alkohol, asam amino, asam laktat dan senyawa-senyawa lainnya dapat diserap langsung oleh akar tanaman. Pemberian effektif migroorganisms-4 berpengaruh nyata terhadap panjamg tunas dan diameter tunas. Introduksi tanaman durian varietas unggul lokal (Mawar, Matahari, Kani, Ajin Kuning dan Salisun ) pada tanaman durian yang sudah berumur 10 tahun dapat memberikan pertumbuhan yang baik, dimana varietas Aji Kuning memiliki tinggi tanam yang paling besar yaitu 67,9 cm, dan varietas mawar memiliki diameter yang paling besar yaitu 0,89 cm, sehingga diharapkan akan menghasilkan durian yang memiliki kualitas dan
produktivitas yang tinggi. Melalui teknologi pemupukan dan pemberian EM4, tanaman durian yang sudah berumur 10 tahun dapat memberikan pertumbuhan yang baik serta meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2013. Kalimantan Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara, 2013. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2013. Tenggarong. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2013. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Kalimantan Timur Gomez AA, Gomez KA. 1993. Statistical procedures for agricultural research (2nd edition). An international rice research institute book. A wilay intersience publication. John Wiley and Sons, New York. Hutabarat LS. 1994. Mutu buah durian (Durio zibethinus) varietas Otong dan Sitokong berdasarkan waktu panen dan lama penyimpanan. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Muliyati S. 2012. Pengaruh Pemberian Effectif Mikroorganisms-4 dan Pupuk Green Giant NPK Terhadap Pertumbuhan Bibit Okulasi Durian. USU, Medan. Purnomosidhi, P., Suparman, J. M. Roshetko, dan Mulawarman, 2007. Perbanyakan dan Budidaya Buah-Buahan: durian, mangga, jeruk, melinjo, dan sawo. Pedoman Lapangan, Edisi Kedua. World Agroforestry Center & Winrock Internasional, Bogor. Saputra I. 2010. Eksplorasi dan Identifikasi Morfologis Tanaman Sagu (Metroxylon sp.) di Kabupaten Pasaman Barat. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang. Setiadi. 1985. Bertanam Durian. Penebar Swadaya, Jakarta. Sobir dan Rodame M. Napitupulu. 2010. Bertanam Durian Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta. Soedarya AP. 2009. Budidaya Usaha Pengolahan Agribisnis Durian. Putaka Grafika, Bandung. Wididana GN. 1994. Mengenal effective mikroorganisms-4 (EM-4) Dalam Penerapan Teknologi EM-4 pada Tanaman Anggur. Trubus Edisi Januari. Jakarta. Widyastuti, Yustina E, Paimin FB. 1993. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Penebar Swadaya, Jakarta. Wiryanta BTW. 2001. Bertanam Durian. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Weenen H, Koolhaas WE, Apriyantono A. 1996. Sulfur containing volatiles of durian (Durio zibethinus Murr.) fruit. J Agric Food Chem 44: 3291-3293. Yuniarti. 2011. Inventarisasi dan karakterisasi morfologi tanaman durian (Durio zibethinus Murr.) di Kabupaten Tanah Datar. Jurnal Plasma Nutfah: 1-6.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 319-323
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010225
Kajian teknologi pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jeruk keprok Borneo Prima di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara Assessment of fertilizing technology for vegetative growth of Borneo Prima oranges in Bulungan District, North Kalimantan YOSSITA FIANA, DHYANI NASTITI PURWANTININGDYAH, MUHAMAD RIZAL♥ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 28 November 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Fiana Y, Purwantiningdyah DN, Rizal M. 2015. Kajian teknologi pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jeruk keprok Borneo Prima di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 319-323. Tujuan penelitian ini adalah memberikan informasi kajian teknologi budidaya melalui pemupukan tanaman jeruk keprok Borneo Prima yang merupakan varietas unggul spesifik lokasi. Penelitian dilaksanakan selama dua tahun sejak tahun 2012, di Desa Tanjung Buyu, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara (sebelumnya Provinsi Kalimantan Timur). Tahap pelaksanaan kegiatan dimulai dengan jeruk keprok Borneo Prima ditanam pada lubang tanam ukuran 40 x 40 x 40 cm3 dengan jarak tanam 5 x 5 m2. Pemupukan pada tanaman jeruk keprok Borneo Prima yang belum menghasilkan, menggunakan pupuk kandang dengan dosis 20-40 kg per pohon dan pupuk an organik (Urea, TSP dan ZK), dengan dosis masing-masing sesuai dengan umur tanam. Data hasil pengamatan di tabulasi dan di analisis dengan analisis sidik ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan tinggi tanaman jeruk keprok Borneo Prima pada umur 1 (satu) tahun berkisar antara 45-61 cm setelah dilakukan pemupukan sedangkan tanpa dipupuk menunjukkan kenaikan hanya 38 cm. Perubahan pada diameter batang kenaikan berkisar antara 7,2-7,5 cm dilakukan pemupukan dan kenaikan 5,9 cm tanpa dipupuk serta tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman dan diameter batang tanaman jeruk keprok Borneo Prima baik pada umur tanaman 1 tahun maupun 2 tahun. Teknologi pemupukan jeruk keprok Borneo Prima yang tepat, dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing jeruk keprok Borneo Prima dalam mendukung komoditas hortikultura buah jeruk di Provinsi Kalimantan Timur. Kata kunci: Jeruk keprok Borneo Prima, teknologi pemupukan, Kalimantan Timur
Abstract. Fiana Y, Purwantiningdyah DN, Rizal M. 2015. Assessment of fertilizing technology for vegetative growth of Borneo Prima oranges in Bulungan District, North Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 319-323. The purpose of this study was to assess cultivation technology, especially fertilization, of Borneo Prima oranges, a superior local orange variety in Bulungan, Kalimantan. The study was conducted for two years since 2012 in Tanjung Buyu village, Tanjung Palas Subdistrict, Bulungan District of North Kalimantan Province (formerly East Kalimantan Province). The experiment was started by planting the orange plants in 40x40x40cm3 planting holes at 5x5 m2 individual distance. Fertilization was done during the vegetative stage of the plants using, (i) 2040kg of bio-organic fertilizer per tree, and (ii) anorganic fertilizers (Urea, TSP, and ZA) with appropriate dosages to the plant age. Data was tabulated and analyzed using Analysis of Variance. The result showed stem height and diameter growth of fertilized plants ranged 45-61 cm and 7.2-7.5 cm respectively, at 1 year old, while non-fertilized plants showed only 38 cm of height growth and 5.9 cm of diameter growth, at both 1 and 2-year-old. Appropriate fertilization on Borneo Prima oranges can enhance the plant’s productivity, added value, and competitiveness, supporting orange horticulture in East Kalimantan Province. Keywords: Borneo Prima oranges, fertilizing technology, East Kalimantan
PENDAHULUAN Perkembangan komoditas hortikultura di masa depan sangat cerah apabila ditinjau dari segi keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki dalam pemulihan perekonomian Indonesia waktu mendatang. Oleh karena itu perlu sekali untuk dikembangkan. Pengembangan hortikultura di Indonesia pada umumnya masih dalam skala perkebunan rakyat yang tumbuh dan dipelihara secara
alami dan tradisional, dimana jenis komoditas hortikultura yang diusahakan masih terbatas. Permasalahan yang menonjol dalam upaya pengembangan hortikultura diantaranya adalah produktivitas yang masih tergolong rendah. Hal ini merupakan refleksi dari rangkaian berbagai faktor yang ada, antara lain pola usahatani yang kecil, mutu bibit atau benih yang rendah yang ditunjang oleh keragaman jenis/varietas, serta rendahnya penerapan teknologi budidaya (Suyamto et al. 2005).
320
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 319-323, April 2015
Tanaman jeruk merupakan komoditas buah-buahan yang termasuk kedalam jenis tanaman hortikultura yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk pemenuhan gizi yang seimbang sebagai sumber vitamin, mineral dan protein yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Sedangkan peranan tanaman hortikultura adalah untuk memperbaiki gizi masyarakat, memperbesar devisa negara, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan petani, dan menjaga kelestarian lingkungan. Prospek agribisnis jeruk di Indonesia cukup bagus karena potensi lahan produksi yang luas. Melalui program peningkatan kualitas sumberdaya petani jeruk serta didukung dengan hasil inovasi teknologi pemangkasan, penjarangan dan pemupukan, pengelolaan hama dan penyakit terpadu serta sistem budidaya lainnya yang semuanya didasarkan pada semangat ramah lingkungan akan meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi jeruk dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (Davtyan, et al. 2003). Tanaman jeruk juga merupakan tanaman tahunan dan sudah sekitar 70-80% dikembangkan di Indonesia dan setiap tahunnya mengalami perkembangan dalam pembudidayaan baik itu mencakup luasan lahan, jumlah produksi bahkan permintaan pasar. Oleh karena itu untuk mendukung peningkatan produktivitas tersebut, maka diperlukannya teknik budidaya yang disertai dengan pengendalian hama dan penyakit secara efektif dan berkesinambungan serta pemeliharaan kebun yang optimal diantaranya dilakukannya dengan teknologi budidaya melalui pemupukan, pemangkasan dan penjarangan buah pada tanaman jeruk. Penggunaan pupuk yang tepat yang disertai pemangkasan menyebabkan tanaman tumbuh lebih sehat dan seimbang antara pertumbuhan vegetative dan generatif sehingga dapat berbuah. Menurut Didiek et al. (2004), penerapan teknologi budidaya secara baik (pemupukan, pemangkasan, pengendalian hama/penyakit, drainase) menyebabkan tanaman jeruk tumbuh lebih sehat. Melihat prospek yang lebih cerah kearah agribisnis jeruk, Provinsi Kalimantan Timur (dan Kalimantan Utara) yang memiliki 14 kabupaten/kota sebagian besar sudah mencanangkan program pengembangan pertanian dengan prioritas pengembangan adalah komoditas hortikultura unggulan yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit, adaftis serta kualitas dan cita rasa buah yang baik, salah satunya adalah jeruk keprok Borneo Prima. Kalimantan Timur (dan Kalimantan Utara) memiliki kekayaan akan plasma nutfah yang sangat berlimpah di antaranya adalah plasma nutfah buah-buahan. Sampai saat ini banyak buah buahan lokal Kalimantan Timur yang sudah di rilis menjadi varietas unggul nasional yang sekarang sedang di kembangkan dalam bentuk kawasan sentra hortikultura di delapan kabupaten/kota diantaranya adalah komoditas jeruk keprok Borneo Prima sebagai komoditas unggulan daerah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur 2012). Untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pengetahuan masyarakat akan kesehatan, maka pengembangan komoditas hortikultura khususnya buahbuahan dan sayuran terus ditingkatkan kurun waktu lima
tahun terakhir ini produksi komoditas hortikultura di Kalimantan Timur terus meningkat, dimana pada tahun 2012 mencapai 267,906 ton, khusunya untuk buah jeruk mencapai 10,557 ton (Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur 2012). Dimana Kabupaten Bulungan merupakan salah satu sentra produksi jeruk di provinsi Kalimantan Utara. Pola budidaya untuk komoditas jeruk di Kalimantan Timur masih belum sesuai dengan standar budidaya yang baik. Hal ini terlihat dari cara pengelolaan kebun sebagai berikut: (i) Metode perbanyakan benih dan jarak tanam yang tidak tepat dan teratur. (ii) Sanitasi kebun dan gulma di bawah kanopi tanaman belum diperhatikan. (iii) Pembumbunan belum diterapkan dengan baik dan benar (bagian atas batang bawah masih terlihat di atas tanah), pada penanaman lahan pasang surut. (iv) Penerapan teknologi budidaya dapat dikatakan belum optimal. Baru sebagian kecil petani yang melakukan pemupukan pada tanamannya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur 2009). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah banyak mengasilkan teknologi untuk pengembangan komoditas hortikultura jeruk mulai dari ketersediaan varietas unggul baru nasional maupun lokal, teknologi olah tanah, teknologi pemupukan, teknologi budidaya, hingga teknologi pengolahan hasil. Respon dan minat petani untuk dapat mengadopsi teknologi tersebut juga bervariasi ada yang suka dan mengadopsi tetapi ada yang menganggap teknologi tersebut rumit dan mahal sehingga tidak dapat diadopsi petani. Teknologi yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tersebut perlu di introduksikan di Kalimantan Timur untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas komoditas hortikultura khususnya jeruk (Departemen Pertanian RI 2009). Dengan dilakukan penerapan teknologi budidaya melalui pemupukan tanaman jeruk di harapkan petani dapat mengadopsi teknologi tersebut sehingga diperoleh komoditas hortikultura jeruk yang berkualitas, bersifat unggul dan adaptis dan memberikan produktivitas yang tinggi. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah komoditas hortikultura buah jeruk keprok Borneo Prima di Provinsi Kalimantan Utara (sebelumnya Kalimantan Timur), melalui teknologi pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jeruk keprok Borneo Prima. BAHAN DAN METODE Penelitian ini di laksanakan di Desa Tanjung Buyu, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara (sebelumnya Provinsi Kalimantan Timur), pada tahun 2012-2014 (Gambar 1). Penentuan lokasi berdasarkan beberapa kriteria antara lain daerah tersebut wilayah sentra produksi komoditas hortikultura jeruk keprok Borneo Prima, teknologi diperlukan petani, dan domisili petani di daerah tersebut. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarana produksi untuk penanaman jeruk keprok Borneo Prima dan pupuk (organik dan an organik).
FIANA et al. – Jeruk keprok Borneo Prima di Bulungan
321
Gambar 1. Lokasi penelitian di Desa Tanjung Buyu, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara.
Teknik pengambilan sampel dan data di lakukan pada semua perlakuan meliputi data pertumbuhan (tinggi tanaman dan diameter batang tanaman). Sedangkan analisis yang di lakukan adalah analisis statistik, yaitu data hasil pengamatan ditabulasi dan dianalisis dengan analisis sidik ragam (analysis of variance) dan bila F hitung nyata, diteruskan dengan uji Duncan 5% (beda nyata terkecil) (Gomez and Gomez 1993; Sastrosupadi 2005). Pemupukan di lakukan pada tanaman jeruk keprok Borneo Prima yang belum menghasilkan (umur kurang lebih 1-2 tahun). Pupuk yang di gunakan adalah pupuk organik (pupuk kandang) dan pupuk an organik (Urea, TSP dan ZK). Pemupukan dilakukan dengan menugal di keliling tanaman jeruk keprok Borneo Prima di bawah tajuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Bulungan sebagai salah satu kabupaten utara Propinsi Kalimantan Utara (dulunya Provinsi Kalimantan Timur) mempunyai luas 18.010,50 km2 terletak antara 2o09’19” sampai 3o34’49” LU dan 116o04’41” sampai 117o57’56” BT. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung, maka luas Kabupaten Bulungan berkurang menjadi tinggal 13.181,92 km2 karena diubah
menjadi daerah otonom baru tersebut. Kabupaten Bulungan terdiri dari 10 kecamatan, yaitu Peso, Peso Hilir, Tanjung Palas, Tanjung Palas Barat, Tanjung Palas Utara, Tanjung Palas Timur, Tanjung Selor, Tanjung Palas Tengah, Sekatak dan Bunyu. Batas administrasi Kabupaten Bulungan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tana Tidung dan Kabupaten Nunukan, disebelah Timur berbatasan dengan laut Sulawesi dan Kota Tarakan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Berau dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Malinau (Dinas Pertanian Kabupaten Bulungan 2011). Pemupukan dan pengamatan tanaman jeruk Pemupukan adalah setiap usaha yang bertujuan untuk menambah persediaan unsur-unsur hara yang di butuhkan oleh tanaman, meningkatkan produksi dan mutu tanaman. Menurut Subhan (1990), apabila pemberian pupuk kurang tepat maka akan mengakibatkan tanaman terganggu pertumbuhannya. Selanjutnya menurut Asandi dan Koestoni (1990), dosis pupuk yang tinggi tidak selamanya memberikan manfaat terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi pemupukan, diantaranya kondisi tanah dan iklim, jenis dan umur tanaman, produktivitas tanaman dan sifat pupuk itu sendiri (Santoso 2004). Pemberian pupuk yang kurang tepat, baik jenis, dosis, dan waktu maupun cara aplikasi, akan mengakibatkan tanaman
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 319-323, April 2015
322
Tabel 1. Dosis pupuk pada tanaman jeruk keprok Borneo Prima. Umur (tahun) 0-1 1-2
Urea 40 65
Gram per pohon TSP 25 50
ZK 20 35
Pupuk kandang (kg/pohon) 20 40
Selang waktu aplikasi Setiap 2 bulan Setiap 2 bulan
Tabel 2. Pengamatan tinggi tanaman dan diameter batang tanaman jeruk keprok Borneo Prima pada umur 1 dan 2 tahun. Umur tanaman (tahun) 1 2
TPP 68.95a 107.40a
Tinggi tanaman (cm) PP1 74.55a 120.50a
PP2 70.75a 132.50a
TPP 2.22a 8.20a
Diameter batang (cm) PP1 2.28a 9.50a
PP2 2.16a 9.70a
Tabel 3. Pengamatan kenaikan tinggi tanaman dan diameter batang tanaman jeruk keprok Borneo Prima pada umur 1 dan 2 tahun. Umur tanaman (tahun) 1 2 Kenaikan
TPP 68.95 a 107.40 a 38.45
Tinggi tanaman (cm) PP1 74.55 a 120.50 a 45.95
PP2 70.75 a 132.50 a 61.75
TPP 2.22 a 8.20 a 5.98
Diameter batang (cm) PP1 2.28 a 9.50 a 7.22
PP2 2.16 a 9.70 a 7.54
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada jalur yang sama tidak berbeda nyata (α = 0,05); TPP: Tanpa Pempupukan, PP1: Pemupukan 1, PP2: Pemupukan 2.
tidak menghasilkan seperti yang diharapkan (Rukmana 1994). Adapun dosis pemupukan yang diberikan pada tanaman jeruk keprok Borneo Prima dapat dilihat pada Tabel 1. Unsur hara N, P, dan K merupakan nutrisi utama yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, produksi dan mutu (Embleton et al. 1973). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, setiap panen 100 kg buah jeruk pamelo terangkut unsur hara dari kebun sebanyak 0,52 kg N, 0,27 kg P2O5 dan 1,06 kg K2O, sedangkan untuk jeruk manis 1,773 kg N, 506 g P2O5 dan 2,465 g K2O (Sutopo et al. 2006). Dari Tabel 3, terlihat bawah pengaruh pemupukan tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman dan diameter batang tanaman jeruk keprok Borneo Prima baik pada umur tanaman 1 (satu) tahun maupun saat umur 2 (dua) tahun. Tanaman jeruk keprok Borneo Prima yang di pupuk memiliki tinggi tanaman dan diameter batang yang lebih besar dari pada tanpa dipupuk. Perubahan tinggi tanaman jeruk keprok Borneo Prima berkisar antara 45-61 cm setelah dilakukan pemupukan sedangkan tanpa dipupuk menunjukkan kenaikan hanya 38 cm, demikian pula diameter tanaman jeruk keprok Borneo Prima yang dipupuk menunjukkan kenaikan antara 7,22-7,54 cm sedangkan tanaman jeruk keprok Borneo Prima yang tidak dipupuk hanya naik 5,98 cm. Setiap tanaman berbeda responnya terhadap pemupukan, yang langsung dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor iklim maupun faktor tanah dan tanaman itu sendiri (Jumin 2002). Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah di lakukan sebelumnya, secara umum terdapat kecenderungan peningkatan tinggi tanaman akibat peningkatan pemberian Zn maupun pemberian N dan P, demikian juga diameter
batang cenderung mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan pemberian Zn dan P (Juliati 2008). Soepardi et al. (1985) mengemukakan bahwa pemberian hara mikro seperti Zn tidak selalu memberikan hasil yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman, meskipun tanah tersebut berkadar hara Zn rendah. Pemberian dosis pupuk N, P dan K berdasarkan produksi buah lebih tepat dibandingkan dengan dosis pupuk umur tanaman jeruk (anjuran sementara) dan menurut cara pemupukan petani (Nainggolan 2007). Teknologi anjuran dengan pemberian kapur dolomit 1 kg/pohon dan pupuk urea 400 g/pohon, SP-36 200 g/pohon dan KCL 150 g/pohon, mampu meningkatkan produktivitas jeruk 1,60 t/ha/tahun dibandingkan dengan teknologi petani (Nurbani et al. 2009). Perubahan tinggi tanaman dan diameter batang jeruk keprok Borneo Prima yang di introduksikan pada umur satu tahun dan umur dua tahun, dapat di lihat pada Gambar 2. Hasil pengamatan dilokasi penelitian pada tanaman jeruk yang berumur satu tahun dan dua tahun yang di pupuk menunjukkan kenaikkan pertumbuhan yang lebih cepat di bandingkan dengan tanpa perlakuan pemupukan, yaitu kenaikan antara 45-61 cm dan tanpa di pupuk kenaikan hanya 38 cm. Demikian pula halnya dengan diameter batang tanaman, dengan pemupukan menunjukkan kenaikan antara 7, 22-7,54 cm dan tanpa di pupuk kenaikan hanya 5,98 cm. Melalui teknologi pemupukan yang diberikan secara tepat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan baik dan menghasilkan kualitas produksi dan produktivitas yang tinggi dalam mendukung ketahanan pangan dan komoditas jeruk keprok Borneo Prima di Provinsi Kalimantan Utara.
FIANA et al. – Jeruk keprok Borneo Prima di Bulungan
A
323
B
Gambar 2. Perubahan pada tinggi tanaman (A) dan diameter batang (B) tanaman jeruk keprok Borneo Prima.
DAFTAR PUSTAKA Asandi AA, Koestoni T. 1990. Efisiensi pemupukan pada pertanaman bawang merah: Tumpang gilir bawang merah dan cabai merah. Bul Penel Hortikultura 19: 1-6. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Kalimantan Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Davtyan, A., Xuecheng, D., Sembiring, H., Mengistu, F. and Bashir, YGA. 2003. Toward A Competitive Citrus Production. Enhanching Production and Institutional Factor For Quality Citrus Production In The North Sumatera highlands, Indonesia. ICRA- BPTP Sumut. Departemen Pertanian RI. 2009. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk Tahun 2004. http://www. deptan. go.id. Didiek, AB., Bora, CY., Bambang, M., Silva, HD. dan Ngongo, Y. 2004. Pengkajian dan Pengembangan Usaha Agribisnis Jeruk Keprok SoE. Prosiding Seminar. Jeruk Siam Nasional, 15-16 Juni 2004 di Surabaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Dinas Pertanian Kabupaten Bulungan. 2011. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bulungan Tahun 2010. Pemerintah Kabupaten Bulungan, Tanjung Selor. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur. 2009. Road Map dan Rancang Bangun Pengembangan Kawasan Hortikultura Kabupaten Bulungan. Tahun 2009-2013. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Profil of The Fruits Estate in East Kalimantan Timur (Borneo) Province Indonesia. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Embleton, T.W., W.W. Jones, C.K. Lebanauskas, and Reuther W. 1973. Leaf Analysis as a Diagnostic Tool and Guide to Fertilization. In W.
Reather (Ed.). The Citrus Industry. Rev. Ed. Univ. Calif .Agr. Sci. Barkely. 3:183- 210. Gomez AA, Gomez KA. 1993. Statistical Procedures For Agricultural Research (2nd edition). John Wiley and Sons, New York. Juliati S. 2008. Pengaruh pemberian Zn dan P terhadap pertumbuhan bibit jeruk varietas Japanese Citroen pada tanah inseptisol. J Hort 18 (4):409-419. Jumin HB. 2002. Agronomi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nainggolan P. 2007. Pengkajian Pemupukan NPK Berdasarkan Panen Buah Tanaman Jeruk Siam Madu di Kabupaten Karo. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Jeruk di Yogyakarta, 13-14 Juni 2007. Nurbani, Mastur, Rahayu SR, Handayani F. 2009. Pengaruh Pengapuran dan Pemupukan Terhadap Produktivitas dan Kualitas Jeruk di TanjungBuyu Kabupaten Bulungan. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi Perdesaan di Bogor, BBP2TP. Bogor. Rukmana R. 1994. Bertanam Petsai dan Sawi. Kanisius. Yogyakarta. Soepardi G, Ismunadji M, Partihardjono S. 1985. Menuju Pemupukan Berimbang Guna Meningkatkan Jumlah dan Mutu Hasil Pertanian. Direktorat Penyuluhan Tanaman Pangan. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan, Deptan, Jakarta. Subhan. 1990. Pengaruh Pupuk Nitrogen dan Kalium Terhadap Pertumbuhan Petsai (Brassica pekinensis) Kultivar Naga Oka. Bul. Penel. Hort. Vol. IX (2) : 1-11. Sutopo, Supriyanto A, Suharyono. 2006. Penentuan Dosis Pupuk N, P dan K Berdasarkan Hasil Panen Pada Tanaman Jeruk Pamelo. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Jeruk Tropika di Batu, 28-29 Juli 2005. Suyamto, Supriyanto A, Agustian A, Triwiratno A, Winarno M. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Badan Penelitian dan Pengembanga Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 324-329
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010226
Teknologi budidaya tanaman sayuran dan TOGA di perkotaan dan perdesaan pada kawasan rumah pangan lestari dalam mendukung ketahanan pangan di Kalimantan Timur Cultivation technology of vegetable and medicinal plants in urban and rural area of Sustainable Home Food Region Program to support food security in East Kalimantan MUHAMAD RIZAL♥, YOSSITA FIANA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Rizal M, Fiana Y. 2015. Teknologi budidaya tanaman sayuran dan toga di perkotaan dan pedesaan pada kawasan rumah pangan lestari dalam mendukung ketahanan pangan di Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 324-329. Model ketahanan pangan dan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan berbasis rumah tangga dikenal dengan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Program ini sebagai upaya memaksimalkan lahan pekarangan sebagai sumber gizi dan nutrisi, terutama produk-produk untuk ternak unggas, akuakultur, hortikultura, pangan alternatif dan tanaman obat keluarga (TOGA). Penelitian dilaksanakan di Kawasan Rumah Pangan Lestari, pada kawasan perkotaan di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan kawasan perdesaan di Desa Lamaru, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2012. Tahapan kegiatan dilaksanakan dengan menerapkan teknologi budidaya tanaman sayuran dan TOGA pada kawasan Kota-Desa melalui pola tanam polikultur yakni secara intercropping dan relay cropping. Program ini di ikuti oleh 30 rumah tangga dengan strata pekarangan yang bervariasi (strata I–III) dan di dominasi oleh strata I dan II. Hasil penelitian masing-masing keluarga pelaksana program kawasan rumah pangan lestari baik pada kawasan Kota maupun Desa, dapat memperoleh penghematan pengeluaran sebesar Rp. 100.000, – Rp. 200.000. Manfaat lain yang diperoleh adalah meningkatnya konsumsi sayuran dalam keluarga sehingga dapat terpenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta terciptanya lingkungan hijau yang bersih dan sehat. Kata kunci: Kawasan Rumah Pangan Lestari, teknologi budidaya, Kalimantan Timur
Abstract. Rizal M, Fiana Y. 2015. Cultivation technology of vegetable and medicinal plants in urban and rural areas of Sustainable Home Food Region program to support food security in East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 324-329. The Sustainable Home Food Region program (KRPL) is a home-based model of yard optimization to support food security. This program is designed to maximize house yard as an area for home-based aquaculture, poultry farms, horticulture, alternative food crops and medicinal plants (know as TOGA). This research was conducted in a region of KRPL, in the urban area of Sepinggan Baru, specifically military barrack Wirayudha IV, and in a rural are of Lamaru village, Balikpapan city, East Kalimantan, since 2012. The experiment was done by implementing cultivation technology of vegetable and medicinal plants in the poly-culture system, namely intercropping and relay cropping. This program was participated by 30 households with various levels of home garden (I-III) and it was dominated by level I and II. The result showed that each participating family was able to save expenses ranging from Rp. 100,000,- to Rp. 200,000,-. Additionally, the families also obtain another benefit which is an increase in vegetable consumption, improving family health and green environment. Keywords: Sustainable food houses region, cultivation technology, East Kalimantan
PENDAHULUAN Dalam rangka mendukung empat kunci sukses pembangunan pertanian di indonesia, kementrian pertanian telah meluncurkan berbagai program yang didukung dengan upaya percepatan penyebarluasan secara masif. Program yang mendukung upaya diversifikasi pangan dan peningkatan ketahanan pangan nasional misalnya, yaitu pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), yang diluncurkan pada awal tahun 2011 terus diupayakan
untuk direplikasi ke suluruh kabupaten/kota (Mardiharini et al. 2011). Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan kawasan setingkat desa/kelurahan/RW/RT yang dibangun berkelompok dari beberapa rumah-rumah pangan lestari yang menerapkan prinsip-prinsip pemanfaatan pekarangan dan/atau sumberdaya ruang dengan baik, berbasisi sumberdaya lokal dan ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta meningkatkan pendapatan keluarga baik melalui efisiensi penurunan biaya
RIZAL & FIANA – Kawasan rumah pangan lestari di Kalimantan Timur
belanja keluarga maupun penjualan pelimpahan produk yang dihasilkannya dalam mencapai ketahanan pangan dan kesejahteraan keluarga atas dasar partisipasi aktif yang saling berintegrasi antar rumah tangga di dalam masyarakat (Saliem 2011). Prinsip utama pengembangan KRPL adalah mendukung upaya: (i) ketahanan dan kemandirian pangan keluarga, (ii) diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (iii) konservasi tanaman pangan untuk masa depan, (iv) peningkatan kesejahteraan keluarga. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari ini di implementasikan melalui pemanfaatan lahan pekarangan, dan/atau sumber daya ruang yang dapat untuk memelihara tanaman, ternak maupun ikan baik di perkotaan, perdesaan maupun peri urban (Kementrian Pertanian 2011). Lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari pada tahun 2012 sebanyak 423 unit kawasan yang tersebar di seluruh provinsi. Provinsi Kalimantan Timur dalam hal ini BPTP Kalimantan Timur diberi mandat untuk membangun Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) dengan harapan dapat menjadi contoh bagi optimalisasi pemanfaatan berbagai inovasi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian lainnya. Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari oleh BPTP Kalimantan Timur sudah dilaksanakan di 14 kabupaten/kota, salah satunya adalah di Kota Balikpapan yang lokasi pengembangannya terdapat pada kawasan kota dan desa (Fiana 2013). Kota Balikpapan memiliki potensi lahan pekarangan yang luas tetapi belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai salah satu areal pertanaman aneka komoditas pertanian, khususnya sumber penyedia bahan pangan. Potensi yang besar ini perlu diupayakan untuk mencapai kesejahteraan keluarga, baik di daerah perdesaan maupun di perkotaan melalui pengembangan konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari sehingga sasaran yang hendak dicapai dalam pengembangannya yaitu berkembangnya kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial yang bermartabat dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari menuju keluarga dan masyarakat yang mandiri dan sejahtera serta berkelanjutan (Fiana 2013). Sehingga penelitan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai teknologi budidaya tanaman sayuran dan tanaman obat keluarga (TOGA) pada kawasan perkotaan dan perdesaan dalam mendukung ketahanan pangan berkelanjutan di Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. BAHAN DAN METODE Kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kota Balikpapan pada kawasan perkotaan di laksanakan di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru sedangkan pada kawasan perdesaan di laksanakan di Desa Lamaru, yang dimulai sejak tahun 2012 sampai sekarang (tahun 2014). Penentuan lokasi dikoordinasikan dengan Dinas dan Instansi terkait di Kota Balikpapan, serta disesuaikan dengan pedoman umum program Kawasan Rumah Pangan Lestari. Bahan yang digunakan adalah: benih tanaman sayuran, bibit tanaman obat keluarga (TOGA), pupuk cair, obat-
325
obatan penyakit tanaman, tanah lapisan atas, pupuk kandang, kompos, polybag, kayu dan paralon. Pola budidaya tanaman sayuran dan TOGA yang diterapkan dilokasi kegiatan di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru adalah pola tanam tumpang sari (intercropping), yaitu penanaman sayuran dan TOGA lebih dari satu tanaman baik yang memiliki umur tanaman yang sama ataupun berbeda selama periode tanam serta pola tanam bersisipan (relay cropping). Sedangkan teknologi budidaya yang diterapkan, dilaksanakan dalam beberapa tahapan pelaksanaan kegiatan, antara lain: (i) Persiapan : Informasi tentang potensi sumberdaya, lahan pekarangan, teknologi budidaya dan kelompok sasaran di Kota Balikpapan. (ii) Sosialisasi melalui pertemuan, menyampaikan informasi mengenai pola budidaya pada kawasan perkotaan maupun perdesaan dalam hal pemanfaatan lahan pekarangan dengan menanam berbagai komodias tanaman sayuran dan tanaman obat keluarga (TOGA) serta pengelolaan limbah rumah tangga. (iii) Pelaksanaan : Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD), Persiapan penanaman, berupa persiapan media tanam (tanah dan pupuk kandang serta rak vertikultur), penyemaian benih tanaman yang perlu disemai dan pengadaan bibit tanaman. Penanaman dan pengaturan tata letak berbagai media di dalam pekarangan rumah. Pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengawalan teknologi oleh peneliti dan pendampingan antara lain oleh Penyuluh, Kelompok, kader PKK dan Kelompok Wanita Tani (KWT). (BPTP Kalimantan Timur 2012). Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian penjelasan (explanatory reseach), yaitu jenis penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel penelitian, menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya serta uraian yang mengandung deskripsi (Singarimbun dan Effendi 1989). Sedangkan metode yang digunakan adalah survey, yaitu melakukan pengamatan dan pengumpulan informasi dari sebagian anggota populasi untuk mewakili seluruh populasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan rumah pangan lestari Pekarangan rumah tangga memiliki fungsi multiguna, karena dengan lahan yang tidak begitu luas bisa menghasilkan bahan pangan seperti umbi-umbian, sayuran, buah-buahan dan tanaman rempah serta obat-obatan. Pemanfaatan pekarangan dengan menanam berbagai jenis tanaman pangan membuat akses rumah tangga terhadap kebutuhan pangannya menjadi lebih dekat (Astuti et al. 2013). Pekarangan bisa di optimalkan dengan melakukan tumpang sari dari berbagai jenis tanaman yang dibutuhkan oleh keluarga karena di Indonesia secara umum iklim sangat mendukung untuk berbagai jenis tanaman namun kemampuan rumah tangga, petani ataupun individu untuk melakukan suatu usaha tani belum begitu baik karena dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain sempitnya lahan usaha, teknik budidaya, modal dan keterampilan petani (Polnaya dan Patty 2012).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 324-329, April 2015
326
Kawasan rumah pangan lestari Kota Balikpapan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan ( Tabel 1), kawasan perkotaan biasanya dengan tipe pekarangan sempit sedangkan kawasan perdesaan dengan luas lahan yang relatif luas. Tabel 1. Luas pekarangan menurut strata pada kegiatan M-KRPL (Badan Litbang Pertanian 2011) Klasifikasi Strata
Strata I Strata II Strata III Strata IV
Luas pekarangan di kawasan perkotaan (m2) Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru 36 72 90 120
Luas pekarangan di kawasan perdesaan (m2) Desa Lamaru, Kota Balikpapan Tanpa pekarangan < 120 120-400 > 400
Kawasan perkotaan Pada strata sempit daerah perkotaan model budidaya yang dikembangkan adalah menggunakan vertikultur (model rak, gantung, tempel, tegak), pot/polybag, tanam langsung dan kolam mini (Ashari et al. 2012). Adapun pemanfaatan lahan pekarangan kawasan perkotaan yang dilaksanakan di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru, Kota Balikpapan dilihat pada Tabel 2. Kawasan perdesaan Pada strata luas di perdesaan model budidaya yang dikembangkan adalah dengan bedengan, pot/polybag, kandang, kolam, intensifikasi pagar dengan tanaman buah atau hijauan makanan ternak (Ashari et al. 2012). Adapun pemanfaatan lahan pekarangan kawasan perdesaan yang dilaksanakan di Desa Lamaru, Kota Balikpapan, dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pemanfaatan lahan pekarangan di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru, Kota Balikpapan. Kelompok lahan
Model budidaya
Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru Strata I Vertikultur, gantung, tempel, tegak, rak, luas tanah 36m2 pot/polybag, benih/bibit. Strata II Luas tanah 72m2
Vertikultur, gantung, tempel, tegak, rak, pot/polybag, tanam langsung benih/bibit.
Starata III Luas tanah 90m2
Vertikultur, gantung, tempel, tegak, rak, pot/polybag, benih/bibit, kolam mini.
Desa Lamaru, Kota Balikpapan Pekarangan sangat Vertikultur, gantung, pot/ polibag, benih/bibit. sempit (tanpa halaman) Vertikultur, gantung, tempel, tegak, rak, pot/ Pekarangan sempit polibag, tanam langsung, benih/bibit, kandang, (<120 m2) kolam terpal. Pekarangan sedang (120-400 m2)
Pot/polibag, tanam langsung, kandang, kolam, bedengan surjan, multi strata mini.
Pekarangan luas (>400 m2)
Bedengan, pot/polibag, kandang, kolam, bedengan, surjan, multi strata, benih dan bibit.
Komoditas yang di budidayakan
Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, terong, tomat, bawang prei, cabai dan buncis. TOGA: jahe, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci,dan lengkuas. Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, terung, tomat, kacang panjang, bawang prei, cabai dan kemangi. TOGA: jahe, jahe merah, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, terung, tomat, kacang panjang, gambas, bawang prei, cabai, daun katuk, beluntas, kemangi dan kumis kucing. TOGA: jahe, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam dan binahong. Sayuran: seledri, sawi dan bawang prei. TOGA: jahe dan kencur. Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, terung, tomat, bawang prei, cabai, timun, kenikir, kangkung, gambas dan buncis. TOGA: jahe, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci,dan lengkuas. Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, terung, tomat, kacang panjang, bawang prei, cabai, kailan dan kemangi. TOGA: jahe, jahe merah, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam dan sirih. Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, terung, tomat, kacang panjang, gambas, bawang prei, cabai, daun katuk, beluntas, kemangi, timun dan kumis kucing. TOGA: jahe, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam dan binahong.
RIZAL & FIANA – Kawasan rumah pangan lestari di Kalimantan Timur
327
Tabel 3. Pola budidaya tanaman sayuran dan TOGA di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru, Kota Balikpapan Kelompok lahan
Tumpang sari (Intercropping)
Pola budidaya polikultur Tanaman bersisipan (Relay cropping)
Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru Sayuran: selada, sawi, bayam, terung, tomat, cabai, Strata I dan buncis. luas tanah 36m2 TOGA: kencur, temu giring dan temu kunci. Strata II Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, Luas tanah 72m2 terung, tomat, kacang panjang, bawang prei, cabai dan kemangi. TOGA: jahe merah, kencur, kunyit, temu kunci dan temu hitam. Sayuran: seledri, selada, sawi, terung, tomat, kacang Starata III panjang, bawang prei, cabai, buncis dan bunga kol. Luas tanah 90m2 TOGA: jahe, kencur, , temu giring, temu kunci dan temu hitam.
Desa Lamaru, Kota Balikpapan Pekarangan sangat Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, bawang prei, cabai, timun, kangkung dan buncis. sempit (tanpa halaman) TOGA: jahe, kencur, kunyit, temu giring dan temu kunci Pekarangan sempit Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, (<120 m2) terung, tomat, kacang panjang, bawang prei, cabai, kailan dan kemangi. TOGA: jahe, jahe merah, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam dan sirih merah. Pekarangan sedang Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, (120-400 m2) terung, tomat, kacang panjang, gambas, bawang prei, cabai, daun katuk, beluntas, kemangi, timun dan kumis kucing. TOGA: jahe, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas dan temu hitam. Sayuran: seledri, selada bokor, sawi, bayam, kucai, Pekarangan luas kangkung, terung, tomat, kacang panjang, gambas, (>400 m2) bawang prei, cabai, daun katuk, beluntas, kemangi, timun, labu, caisim, kenikir dan kumis kucing. TOGA: jahe, kencur, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas dan temu hitam.
Pola budidaya tanaman sayuran dan TOGA Secara umum Kota Balikpapan memiliki potensi lahan yang optimal untuk pertumbuhan tanaman sayuran dan Tanaman obat keluarga (TOGA), namun demikian produksi tanaman sayuran dan pangan di Kota Balikpapan belum mampu menyuplai kebutuhan sumber pangan dalam satu wilayah, sehingga Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) menjadi solusi untuk mengatasi hal tersebut. Keterbatasan lahan pekarangan yang sempit dapat disiasati dengan cara budidaya tanaman sayuran menggunakan bahan untuk bertanam seperti paralon secara vertikultur dan bahan dari kantong plastik (polybag), serta pola budidaya yang tepat. Adapun pola budidaya tanaman sayuran dan tanaman obat keluarga (TOGA) yang diterapkan pada lokasi KRPL di Kompleks TNI Wirayudha
Sayuran: seledri dan bawang prei TOGA: jahe, kunyit, lengkuas dan kunyit mangga. Sayuran: bayam, kangkung dan kacang panjang. TOGA: jahe, kunyit mangga, bengle, temu giring, sereh dan lengkuas Sayuran:bayam, kangkung, kacang panjang daun katuk, beluntas, kemangi, kumis kucing dan gambas. TOGA: kunyit, kunyit mangga, bengle sereh, lengkuas dan binahong.
Sayuran: terung dan tomat
Sayuran: bayam, kangkung, terung, kacang panjang, bawang prei, cabai, kailan dan kemangi. TOGA: jahe, kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam dan sirih merah. Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, terung, tomat, kacang panjang, bawang prei, cabai, beluntas dan timun. TOGA: kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam dan binahong. Sayuran: seledri, selada, sawi, bayam, kangkung, terung, tomat, kacang panjang, gambas, bawang prei, cabai, daun katuk, beluntas, kemangi, timun dan kumis kucing. TOGA: kunyit, kunyit mangga, bengle, temu giring, temu kunci, sereh, lengkuas, temu hitam dan binahong.
IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru, dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Kementerian Pertanian (2011), penataan pekarangan ditujukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya melalui pengelolaan lahan pekarangan secara intensif dengan tata letak sesuai dengan pemilihan komoditas. Pemilihan komoditas ditentukan dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, serta kemungkinan pengembangannya secara komersial berbasis kawasan. Komoditas yang dapat dikembangkan antara lain: sayuran, tanaman rempah dan obat, buah yang disesuaikan dengan lokasi setempat serta berbagai sumber pangan lokal (ubi jalar, ubi kayu, ganyong, talas).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 324-329, April 2015
328
Pelaksanaan penanaman dimulai dengan penyemaian yang dilaksanakan bersama-sama seluruh anggota kelompok sekaligus pelatihan non formal kepada anggota kelompok mengenai cara-cara menyemai. Tanaman yang disemai adalah cabe keriting, cabe rawit, tomat dan terung, serta tanaman sayur berdaun (selada, pakcoi dan sawi) dan tanaman obat keluarga. Saat yang bersamaan dilakukan persiapan bahan berupa rak polybag, paralon gantung, bambu gantung dan pengisian tanah di polybag. Pengerjaannya dilakukan bersama-sama dengan anggota kelompok dan dibantu beberapa tenaga harian.Bibit tanaman yang sudah cukup umur ini dipindahkan ke media yang terbuat dari daun pisang. Kelebihan media iniadalah saat memindah bibit ke polybag, bibit tanaman yang ada di media semai tidak perlu dibongkar, tetapi bisa langsung dibenam ke dalam tanah. Setelah media tanam siap dan bibit cukup umur, maka dilakukan pendistribusian bibitbibit tanaman ke anggota kelompok. Sebagai kelompok pelaksana MKRPL baik pada kawasan Kota maupun Desa mendapatkan bantuan berupa Rumah Pembibitan/Kebun Bibit Kelurahan, dan sarana produksi berupa benih, bibit tanaman, pupuk, tanah dan obat-obatan, serta mendapatkan pendampingan teknologi budidaya sayuran serta teknologi penunjang kegiatan MKRPL seperti pengolahan pascapanen sayuran dan pembuatan pestisida nabati. Kegiatan yang telah dilaksanakan berupa budidaya sayuran. Tanaman yang sudah ditanam adalah cabe rawit, cabe merah, tomat, terung, kangkung, bayam, sawi, pakchoy, selada, pare, gambas, daun seledri, daun bawang, dan tanaman obat keluarga (kunyit, kencur,jahe, jahe merah, sereh, serehwangi, bangle, lempuyang). Selain itu ditanam buahbuahan di Kebun Bibit Kelurahan yaitu buah naga, pepaya dan buah nenas. Tanaman hias berupa anggrek pun turut ditanam untuk mempercantik pekarangan rumah. Budidaya tanaman sayuran dan TOGA di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru, dilakukan antara 2 sampai 3 kali tanam dalam setahun. Adapun pergiliran pola tanam yang di terapkan dapat di lihat pada Tabel 4. Hasil penelitian yang dilaksanakan di akhir tahun kegiatan, respon anggota kelompok sangat baik terhadap kegiatan MKRPL ini, Menurut mereka, kegiatan ini sangat bermanfaat, diantaranya adalah dapat menikmati hasil
panen tanaman sendiri tanpa membeli, dapat menambah keindahan pekarangan, dapat menambah sumber menu keluarga, dapat mengurangi pengeluaran keluarga serta dapat menambah pengetahuan (misalnya budidaya tanaman yang benar, mengatasi hama dan penyakit, pengolahan sayuran dengan keripik). Dengan penggunaan pola budidaya secara polikultur di lahan pekarangan mereka, warga dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarganya melalui pemanfaatan pekarangan. Hal ini terlihat dari hasil panen tanaman sayuran kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari mereka baik yang di kawasan kota maupun di kawasan desa. Selain itu, warga dapat menghemat pengeluaran dari komoditaskomoditas yang di budidayakan. Dari hasil survey dengan ibu rumah tangga kooperator, dapat diperoleh penghematan sebesar Rp. 81.860,-. Sedangkan tiap bulannya mereka dapat mengurangi pengeluaran sebesar Rp.150.000 Rp.200.000 bervariasi tiap rumah tangga. Perbedaan ini karena tanaman bayam, kangkung serta tanaman toga tidak dapat dihitung jumlah panenannya. Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah di lakukan sebelumnya, menghasilkan data penghematan pengeluaran untuk komoditas-komoditas tanaman sayuran pada kawasan rumah pangan lestari adalah Rp. 73.360,-. Sedangkan dari hasil wawancara dengan ibu rumah tangga kooperator Kelurahan Paal V Kota Jambi, setiap bulannya mereka dapat mengurangi pengeluaran sebesar Rp.100.000 - Rp.150.000 bervariasi tiap KK (Murni et al. 2013) Tabel 5. Hasil panen tanaman sayuran per rumah per musim tanam Tanaman Tomat Cabai rawit Cabai keriting Terung Sawi Pakchoy Selada Kailan Total
Hasil (kg) 0,90 0,55 0,15 1,60 1,25 1,10 0,90 0,85
Harga satuan (Rp) 14.000,25.000,40.000,10.000,7.000,12.000,12.000,12.000,-
Biaya (Rp) 13.160,13.750,6.000,6.000,8.750,13.200,10.800,10.200,81.860,-
Tabel 4. Pergiliran pola tanam di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru, Kota Balikpapan Lokasi/Kawasan Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru Desa Lamaru, Kota Balikpapan
Jan Feb Semai (bedengan /polybag) Semai (bedengan /polybag)
Bulan Jul Agt Semai (bedengan /polybag) Panen Sayuran Semai (bedengan /polybag) Tanam TOGA Panen sayuran
Mar Apr Mei Jun Tanam sayuran dan TOGA Panen Sayuran
Tanam sayuran dan TOGA Panen Sayuran
Sep Okt Nov Des Tanam sayuran Panen Panen sayuran dan TOGA TOGA Tanam sayuran Panen sayuran Panen TOGA
RIZAL & FIANA – Kawasan rumah pangan lestari di Kalimantan Timur
Hasil penelitian juga menghasilkan informasi bahwa hambatan yang dirasakan para anggota selama melaksanakan kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari adalah kurangnya sarana produksi dan kekurangan air akibat musim kemarau yang panjang. Hal ini karena keterbatasan biaya untuk menerapkan konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari di 30 rumah tangga. Beberapa anggota kelompok menambah sendiri sarana produksi seperti pupuk organik, polybag, dan media tanam lainnya seperti kaleng cat, kaleng biskuit, botol plastik dan kantong isi ulang minyak sayur. Hal ini sangat baik karena dapat memanfaatkan limbah rumah tangga serta mengurangi biaya pembelian sarana produksi (polybag). Teknologi budidaya tanaman sayuran dan tanaman obat keluarga pada kawasan rumah pangan lestari Adapun teknologi budidaya tanaman sayuran yang diterapkan di lokasi KRPL di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru, Kota Balikpapan adalah sebagai berikut: (i) Persemain: Tempat persemaian dari bahan yang steril yang diberi lubang, terlindung dari sinar matahari langsung dan hujan serta dekat dengan sumber air. Tanah persemaian, campuran tanah olah halus dan pupuk kandang/kompos dengan perbandingan 1:1. Dilakukan perendaman terlebih dahulu dengan air hangat (±500˚C), selama 1 jam pada biji tanaman sayuran sebelum disemai Benih tanaman dipindahkan/ditanam di polybag saat sudah mempunyai helai daun antara 4-5 helai. (ii) Persiapan dan penanaman: Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah subsoil (20 cm ke bawah), yang telah di bersihkan dari bahan yang belum lapuk sebelum digunakan. Media dimasukkan dalam media talang/polybag kemudian bibit tanaman di pindahkan pada media tersebut. Penanaman dilakukan pada sore atau pagi hari dengan memasukkan tanaman sampai batas leher akar. (iii) Pemeliharaan: Penyiraman 2 (dua) kali sehari yaitu pagi dan sore serta melakukan penyiangan 1-2 minggu sekali. Pupuk cair sebanyak 1 gram yang dicairkan dalam 1 liter air, lalu diberikan pada tanaman sebanyak 100-250 cc pertanaman dengan interval 1-2 minggu sekali. (iv) Pengendalian hama dan penyakit: Pengendalian secara konvensional/mekanik, jika terpaksa menggunakan pestisida yang selektif, bijaksana dan pemakaian dihentikan 2 minggu menjelang panen. Penggunaan insektisida sesuai dengan dosis yang dianjurkan. (v) Panen: Tanaman sayuran dipanen sesuai umur panen jenis sayuran yang ditanam seperti bayam, kangkung, dan sawi di panen pada umur antara 40-50 hari. Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut seluruh tanaman, memotong pangkal batang dan dengan cara memetik daun tanaman satu persatu. Sedangkan teknologi budidaya tanaman obat keluiarga (TOGA), yang diterapkan dilokasi KRPL di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru Kota Balikpapan adalah sebagai berikut: (i) Persiapan dan penanaman: Tanah yang dipakai sebagai media tanam diberi pupuk kandang sebanyak 1-2 kg. Tanah dimasukkan dalam media polybag yang besar (8-10 kg atau 50x50 cm), tergantung jenis TOGA yang akan ditanam. Benih tanaman
329
TOGA berupa rimpang yang telah disiapkan ditanam kedalam polybag dengan lubang berukuran 5-10 cm kedalaman 20 cm. (ii) Pemeliharaan tanaman: Penyiangan secara rutin setiap 2-3 minggu sekali. Pemupukan dengan pupuk cair atau pupuk urea, 1 sendok makan dilarutkan dalam 5 liter air. SP36 dan KCL diberikan sekali sebagai pupuk dasar. Pemupukan lanjutan setelah tanaman berumur 3-4 bulan dengan pupuk kandang sebanyak 1-2 kg. (iii) Panen: Pemanenan dilakukan dengan cara membongkar rimpang, lalu dipisahkan dari tanah yang melekat. Rimpang yang akan ditanam kembali jangan dibersihkan dengan air karena akan mempercepat proses pembusukan. Teknologi budidaya tanaman sayuran dan tanaman obat keluarga (TOGA), melalui optimalisasi lahan pekarangan yang dikembangkan pada kawasan rumah pangan lestari (KRPL), di Kompleks TNI Wirayudha IV Sepinggan Baru dan di Desa Lamaru, Kota Balikpapan mem berikan manfaat dan peran dari aspek sosial ekonomi rumah tangga masyarakat, sehingga dapat memperkuat ketahanan pangan di Provinsi Kalimantan Timur. Aspek sosial budaya, kelembagaan dan ketersediaan teknologi merupakan dukungan utama dalam pengembangan optimalisasi lahan pekarangan di Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, oleh karena itu perlu terus dikembangkan dengan pendekatan yang melibatkan partisipatif aktif masyarakat dan dukungan pemerintah daerah yang kuat, sehingga program dapat berkelanjutan dan lestari. DAFTAR PUSTAKA Ashari, Saptana, Bastuti PT. 2012. Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Astuti HB, Yanti A, Wahyuni T. 2013. Analisis Komoditas Pilihan Dalam Pemanfaatan Pekarangan Rumah Tangga di Kota Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional. Halaman 309-3013. Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. BPTP Kalimantan Timur. 2012. Petunjuk Teknis Pengembangan Modal Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL). Kalimantan Timur, Samarinda. Fiana Y. 2013. Laporan Kegiatan M-KRPL BPTP Kalimantan Timur, Tahun 2013. BPTP Kalimantan Timur, Samarinda. Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL). Kementerian Pertanian, Jakarta. Mardiharini M, Kariyasa K, Zakiah, Dalmadi, Susakti A. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. BBP2TP. Bogor. Murni WS, Purnamayani R. 2013. Program Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kelurahan Paal V Kota Jambi Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan di Bengkulu. Bengkulu. Polnaya F, Patty JE. 2012. Kajian pertumbuhan dan produksi varietas jagung lokal dan kacang hijau dalam Sistem Tumpang Sari. Jurnal Ilmu Budidaya Tanaman 1 (1): 42-50. Saliem HP. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS), Jakarta, 8-10 Novembar 2011. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 330-336
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010227
Potensi pengembangan tanaman obat lokal skala rumah tangga untuk mendukung kemandirian pangan dan obat di Samarinda, Kalimantan Timur Development potential of local traditional medicinal plants at a scale of home-based industry to support medicine and food self-sufficiency in Samarinda, East Kalimantan SUMARMIYATI♥, SRI WULAN PAMUJI RAHAYU Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Sumarmiyati, Rahayu SP. 2015. Potensi pengembangan tanaman obat lokal skala rumah tangga untuk mendukung kemandirian pangan dan obat di Samarinda, Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 330-336. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak mampu begitu saja menghilangkan keberadaan pengobatan tradisional. Saat ini pengobatan dengan cara-cara tradisional semakin popular baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penggunaan tumbuhan obat secara tradisional semakin disukai karena pada umumnya tidak menimbulkan efek sampingan seperti halnya obat-obatan dari bahan kimia. Ketahanan pangan merupakan masalah pokok yang menjadi perhatian serius di Kota Samarinda seiring dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, konversi lahan pertanian, serta dinamika perubahan iklim global yang berpengaruh terhadap dunia pertanian. Upaya membangun ketahanan dan kemandirian pangan terutama obat pada skala rumah tangga dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia diantaranya melalui pemanfaatan pekarangan. Tulisan ini bertujuan mengulas potensi dan kendala pemanfaatan pekarangan khususnya dalam berbudidaya tanaman obat skala rumah tangga di Kota Samarinda untuk mendukung ketahanan pangan dan obat pada skala rumah tangga. Kendala terkait masalah sosial budaya, ekonomi, belum membudayanya budidaya tanaman obat di lahan pekarangan, kurangnya teknologi budidaya pekarangan dan pengolahan hasil pertanian serta belum berorientasi pasar merupakan masalah yang harus segera diatasi untuk mewujudkan kemandirian pangan. Kata kunci: tanaman obat, skala rumah tangga, ketahanan pangan
Abstract. Sumarmiyati, Rahayu SP. 2015. Development potential of local traditional medicinal plants at a scale of home-based industry to support medicine and food self-sufficiency in Samarinda, East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 330-336. The advancement of science and technology has not eliminated the existence of traditional medicine. Traditional medicine has been getting both nationally and internationally more popular. The use of traditional medicine plants is preferable to the artificial ones because of its minimal or no side effect. With the increasing population, land conversion, and climate change that potentially have a negative impact on agriculture, food security is one of the main concerns in Samarinda. To improve food security and self-sufficiency, home-based medicine can be developed using available resources, for example, house yards. The aim of the study is to review the potential and constraints of backyard utilization for medicinal plant cultivation in Samarinda. Problems related to social and cultural aspects, economic situation, lack of knowledge about traditional medicine, lack of cultivation technology and market orientation must be resolved to achieve the food self-sufficiency. Keywords: medicinal plants, household, food self sufficiency
PENDAHULUAN Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya Ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa melaksanakan kebijakan ketahanan pangan dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan
memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah pusat (Mayrowani dan Ashari 2011) Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan memiliki peran yang penting dalam pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia. Oleh karena itu, ketersediaan pangan menjadi hal yang cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia tersebut. Sedangkan menurut FAO (1996), ketahanan pangan merupakan sebuah keadaan dimana semua orang, pada setiap waktu memiliki akses
SUMARMIYATI & RAHAYU – Pengembangan tanaman obat lokal skala rumah tangga
fisik dan ekonomi yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan sesuai dengan preferensinya sehingga memiliki kualitas hidup yang sehat dan produktif. Kualitas hidup sehat dan produktif ini tentunya sangat penting untuk diperhatikan bukan hanya ketersediaan pangan saja. Menurut Saliem (2002) kualitas pangan yang memadai dan tingkat harga yang terjangkau oleh penduduk merupakan beberapa sasaran dan target yang ingin dicapai dalam penyusunan dan perumusan kebijaksanaan pangan nasional. Sejalan dengan budaya untuk kembali ke alam (back to nature) menyebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya bahan-bahan kimia yang terkandung dalam obat-obatan sintetis. Saat ini pola hidup sehat yang akrab lingkungan telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami. Pola hidup sehat saat ini telah melembaga secara internasional yang mengisyaratkan akan jaminan produk makanan dan obat aman di konsumsi, kandungan nutrisi tinggi dan ramah lingkungan ( Mayrowani 2012) Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional. Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan, dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkab efek samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh. Beberapa industri obat-obatan herbal khas Kalimantan Timur sudah banyak berkembang saat ini. Bagian dari obat tradisional yang bisa dimanfaatkan adalah akar, rimpang, batang, buah, daun dan bunga. Bentuk obat tradisional yang banyak dijual dipasar dalam bentuk kapsul, serbuk, cair, simplisia dan tablet. Tulisan ini merupakan ulasan dengan menggabungkan hasil penelitian yang sudah ada dengan data yang didapatkan dari pengamatan langsung di lokasi pengambilan sampel. Pengumpulan data primer dan sekunder di laksanakan pada bulan Oktober 2014. Keanekaragaman tanaman obat yang dibudidayakan oleh warga masyarakat dicatat jenis dan kegunaannya, serta penggunaan lahan berdasarkan strata luas pekarangan yang diusahakan. Tulisan ini dibuat dengan untuk memberikan gambaran potensi, peluang, kendala, pengembangan tanaman obat skala rumah tangga dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang tersedia untuk mendukung kemandirian tanaman pangan dan obat di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014 di Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Lokasi yang dipilih merupakan daerah yang dijadikan Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan dengan jumlah rumah tangga yang berusahatani paling banyak. Keadaan pertanaman jenis
331
tanaman obat yang diusahakan beranekaragam dengan berbagai pola tanam. Penentuan petani sampel dengan metode acak sederhana dengan 30 sampel petani. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari petani tanaman obat dengan cara wawancara dan pengamatan langsung di pekarangan petani. Data sekunder diperoleh dari Dinas atau instansi terkait serta karya ilmiah publikasi terkait dengan permasalahan tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum wilayah Kota Samarinda Pembentukan Pemerintah Kota Samarinda didasarkan pada UU Nomor 27 tahun 1959. Berdasarkan PP 21 tahun 1987 kota Samarinda terbagi menjadi 4 (empat) kecamatan dan tahun 1997 dimekarkan menjadi 6 kecamatan dan 42 kelurahan. Berdasarkan Perda kota Samarinda nomor 01 tahun 2006 tentang pembentukan kelurahan dalam wilayah kota Samarinda dan berdasarkan peraturan walikota Samarinda Nomor 10 tahun 2006 tentang penetapan 11 kelurahan baru hasil dari pemecahan/pemekaran dalam wilayah kota Samarinda, dengan demikian berdasarkan pasal 3 peraturan walikota nomor : 10 tahun 2006 jumlah kelurahan dalam wilayah kota Samarinda setelah pemekaran menjadi 53 kelurahan. Kota Samarinda memiliki luas wilayah 71.800 Ha atau 718 Km². Ketinggian Kota Samarinda berada di antara 0200 mdpl (di atas permukaan laut). Sebesar 294.86 km² wilayah Kota Samarinda berada pada ketinggian 7-25 m dpl dengan persentase sebesar 41.07 % dari seluruh wilayah Kota Samarinda. Hampir 32.45 % berada pada ketinggian 25-100 mdpl, dan sebesar 24.15 % pada ketinggian 0-7 m dpl. Kota Samarinda terletak diantara 117°03'00"- 117°18'14" LS dan 00°19'02"- 00°42'34"BT (BPS Kalimantan Timur 2013) Pada dasarnya jenis-jenis tanah di Kota Samarinda (menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor dan Pandananya menurut Soil Taxonomy) terdiri dari: Podsolik (Ultisol), Alluvial (Entisol), Gambut, dan Asosiasi Podsolik. Persentasi jenis tanah di wilayah Kota Samarinda dapat disajikan pada Tabel 1. Suhu minimum di Kota Samarinda berkisar antara 23,9 C dan suhu maksimum berkisar 32,9 C. Kelembaban udara terendah rata-rata 77% dan kelembaban tertinggi sekitar 86%. Kota Samarinda yang beriklim tropis dengan hujan sepanjang tahun dengan rata-rata curah hujan 201,7 mm/tahun (BPS Kalimantan Timur 2013)
Tabel 1. Persentase jenis tanah Kota Samarinda Jenis tanah
Presentase %
Podsolik Gambut Asosiasi Podsolik Aluvial (Entisol)
57,57 % 24,68 % 12,58 % 5,28 %
332
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 330-336, April 2015
Pertanian lahan pekarangan Kota Samarinda Pekarangan sering disebut sebagai lumbung hidup, warung hidup atau apotik hidup karena sebagai penyedia bahan pangan ( beras, jagung, umbi-umbian), sayuran yang bermanfaat memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, serta tanaman obat-obatan yang sangat bermanfaat dalam menyembuhkan penyakit secara tradisional. Menurut Arifin et al. (2008) pekarangan sebagai lahan yang berada di sekitar rumah dengan batas dan pemilikan yang jelas merupakan lahan yang potensial sebagai salah satu lahan untuk produksi pertanian, sumber plasma nutfah dan sebagai ruang terbuka hijau yang dapat menyerap karbon secara efektif. Pemberdayaan pekarangan yang didasari oleh kearifan lokal diperkirakan dapat diandalkan sebagai lahan produktif baik untuk subsisten maupun berskala ekonomis. Karena itu pekarangan berperan dalam ketahanan pangan masyarakat selain untuk konservasi keragaman jenis biologi. Pola penggunaan tanah di Kota Samarinda mengikuti pola penyebaran penduduk yang ada. Akumulasi penduduk sebagai besar terdapat pada lokasi-lokasi yang dikembangkan oleh pemerintah seperti: pusat perdagangan, pusat industri dan lokasi transmigrasi dimana daerahdaerah tersebut sudah mempunyai transportasi yang memadai. Penggunaan tanah di Kota Samarinda yang paling luas adalah lahan bukan sawah sebesar 39.338 ha atau 54.79% dari luas Kota Samarinda, diikuti rumah bangunan dan halaman sekitar sebesar 22.896 ha atau 31.89% (Bappeda Samarinda 2013). Pemanfaatan lahan pekarangan di Kota Samarinda sudah mengalami peningkatan dengan adanya kegiatan yang mendorong ke arah pemanfaatan pekarangan. Salah satu program Kementerian Pertanian antara lain Model Kawasan Rumah Pangan Lestari, P2KP, Clean Green Health (CGH) yang mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan lahan pekarangan secara optimal dengan budidaya tanaman obat, pangan dan sayuran. Masyarakat perdesaan di kota Samarinda sudah mengenal dan memanfaatkan lahan pekarangan sejak jaman dahulu. Secara turun temurun masyarakat khususnya yang mempunyai pekarangan baik sempit maupun luas memanfaatkan pekarangannya untuk ditanami berbagai macam tanaman yang dapat dikonsumsi maupun digunakan sebagai sumber tanaman obat keluarga. Budaya ini tentunya merupakan salah satu modal untuk pengembangan tanaman obat sebagai sumber pangan sekaligus sumber obat bagi kebutuhan keluarga sehari-hari. Keadaan masyarakat dan karakteristik petani di Kota Samarinda Usaha tani lahan pekarangan di Kota Samarinda banyak dilakukan oleh kaum perempuan atau ibu rumah tangga. Kaum laki-laki biasanya bekerja di sektor swasta, sedangkan petani banyak mengusahakan tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan hortikultura. Dari hasil pengamatan di lokasi sampel di daerah pedesaan dan perkotaan Kecamatan Samarinda Utara diketahui bahwa wanita yang terlibat untuk usaha tani lahan pekarangan di Kota Samarinda mulai dari umur 20 hingga 60 tahun dengan tingkat pendidikan mulai dari tidak bersekolah
hingga sarjana. Di wilayah berpenduduk cukup padat daerah perkotaan, kaum perempuan yang melaksanakan usahatani pekarangan kebanyakan memiliki latar belakang pekerjaan sebagai PNS, pegawai swasta, buruh dan ibu rumah tangga. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk agak jarang termasuk pedesaan, pekerjaan kaum perempuan pelaksana usaha tani lahan pekarangan umumnya petani yang mengusahakan budidaya sayuran di sawah dan kebun. Menurut Sukiyono et al. (2008) peranan anggota rumah tangga, termasuk wanita/istri dalam mempertahankan pangan bagi rumah tangga tidak terlepas dari atribut yang melekat pada anggota rumah tangga seperti faktor umur, pendidikan, pengalaman, perilaku, dan faktor-faktor ini juga terkait dengan jumlah tanggungan rumah tangga, luas lahan garapan, serta orientasi produksi. Tidak kalah pentingnya adalah status wanita itu sendiri baik dalam masyarakat maupun rumah tangga. Peranan kaum wanita khususnya di rumah tangga maupun di lingkungan sosialnya merupakan salah satu modal dalam upaya pengembangan tanaman obat skala rumah tangga. Curahan waktu yang dimliki kaum wanita/istri dalam mengelola budidaya tanaman obat di pekarangan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil dari produk tanaman obat. Kondisi ini juga sangat dipengaruhi oleh keadaan jumlah anggota keluarga dan kepemilikan anak yang masih kecil akan sangat berpengaruh terhadap minat dan kontinuitas dalam memanfaatkan pekarangan untuk budidaya tanaman. Tingkat pengetahuan dan pendidikan juga merupakan faktor penentu keberhasilan dalam pengembangan tanaman obat skala rumah tangga. Sikap terbuka dan mau belajar memiliki peranan pentig dalam pengembangan dan pemasyarakatan pentingnya penggunaan tanaman obat sebagai salah satu bentuk kemandirian pangan. Peran wanita/istri ini dapat maksimal dengan adanya kelompok yang menaungi mereka diantaranya adalah kelompok wanita tani (KWT), kelompok dasa wisma, kelompok posyandu, kelompok arisan tiap rukun tetangga(RT) dan kelompok ibu-ibu pengajian. Organisasi dan kelompokkelompok tersebut menjadi sarana dalam pembelajaran dan saling bertukar informasi terkait dengan teknis budidaya, penanganan pasca panen, isu-isu tentang dunia kesehatan dan pemanfaatan tanaman obat herbal sebagai bahan obat alami yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Demikian juga diseminasi teknologi pertanian kepada petani menurut Nuryanti dan Swastika (2011) akan lebih efisien jika dilakukan pada kelompok tani, karena dapat menjangkau petani yang lebih banyak dalam satuan waktu tertentu. Kelompok Tani dianggap sebagai organisasi yang efektif untuk memberdayakan petani, meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani dengan bantuan fasilitas pemerintah melalui program dari berbagai kebijakan pembangunan pertanian. Adanya pembelajaran yang terus menerus dan berkelanjutan di berbagai kelompok masyarakat petani akan meningkatkan pengetahuan sehingga dapat mengubah pola pikir warga masyarakat di Kota Samarinda untuk mencintai lingkungan dan memanfaatkan pekarangan sebagai sumber pangan dan obat bagi setiap keluarga.
SUMARMIYATI & RAHAYU – Pengembangan tanaman obat lokal skala rumah tangga
Model budidaya eksisting tanaman obat skala rumah tangga Budidaya tanaman obat skala rumah tangga dilakukan dengan memanfaatkan kondisi pekarangan yang masih tersisa. Lahan pekarangan banyak dimanfaatkan oleh petani untuk ditanami berbagai macam tanaman selain tanaman obat keluarga, sayuran, buah dan tanaman pangan sejenis umbi-umbian. Budidaya tanaman obat skala rumah tangga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama sebagai obat, jamu, dan minuman herbal. Pola budidaya tanaman obat yang dilakukan oleh masyarakat petani di Kota Samarinda umumnya mengacu pada kondisi luas lahan yang tersedia. Petani dengan pekarangan luas menanam tanaman obat dengan ditanam langsung dalam bedengan maupun guludan. Pada kondisi lahan yang sempit tanpa pekarangan model budidaya yang diterapkan adalah dengan memanfaatkan pot atau polibag untuk menanam berbagai jenis tanaman obat. Teknik budidaya tanaman obat skala rumah tangga yang dilakukan oleh warga masyarakat Kota Samarinda dilakukan dengan cara-cara sederhana. Warga masyarakat atau petani memanfaatkan benih atau bibit yang ada disekitar rumah untuk dikembangkan di kebun atau pekarangan masing-masing. Model budidaya yang dilakukan petani dengan lahan cukup luas disekitar pekarangan dilakukan dengan menanam langsung jenisjenis tanaman obat dalam bedengan-bedengan ataupun ditanam di tanah tanpa dibuat bedengan. Sunanto et al. (2007) berpendapat bahwa pola tanam yang tepat akan memberikan pendapatan maksimal. Pada umumnya petani telah mempunyai pola tanam tertentu sesuai dengan keadaan lingkungan fisik, sosial, dan ekonominya. Usaha budidaya tanaman pada umumnya dimulai dengan persiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Berikut adalah teknik budidaya existing tanaman obat skala rumah tangga: Budidaya pada lahan pekarangan luas Persiapan dan pengolahan lahan. Pengolahan tanah tahap pertama dilakukan dengan membabat rumpu-rumput atau gulma. Tahap berikutnya adalah dengan membongkar tanah-tanah dengan cangkul menjadi bongkahan dengan pertikel-partikel kecil. Struktur tanah yang gembur dan remah akan mempermudah akar tanaman mendapatkan zat hara yang dibutuhkan. Tempat penanaman obat dilakukan dibedengan-bedengan. Bedengan disesuaikan dengan luas pekarangan rumah yang tersedia. Bedengan yang baik dibuat memanjang dengan arah timur-barat. Setelah bedengan selesai dibuat, kemudian dibuat lubang-lubang tanam atau alur-alur tanam. Jarak tanam disesuaikan dengan kebutuhan dari tanaman yang akan ditanam atau disesuaikan dengan jarak tanam, tingkat kesuburan tanah dan jenis tanaman obat yang akan ditanam. Persiapan bibit. Perbanyakan tanaman obat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara vegetatif dan generatif. Perbanyakan secara generatif dengan menggunakan biji dan secara vegetatif dengan cara sambung, okulasi, setek, rimpang dan tunas. Tempat persemaian
333
Penanaman. Bibit yang ditanam di lapangan merupakan bibit yang sehat dan seragam pertumbuhannya. Sebelum ditanam sebaiknya bibit atau rimpang dicelupkan kedalam larutan air kelapa untuk perlakuan benih dengan tujuan menekan patogen penyebab penyakit yang mungkin terbawa bibit dan akan berkembang di lapangan. Bibit tanaman ditanam pada lubang tanam yang telah disiapkan dan ditutup dengan tanah halus. Tanah disekitar pangkal batang dipadatkan dengan cara ditekan-tekan agar media semai dan media baru menyatu. Pemupukan. Pupuk yang diberikan pada tanaman obat dapat berupa pupuk organik dan pupuk anorganik. Pemupukan pada tanaman obat secara umum dilakukan dalam tiga tahap. Petama pada saat pengolahan tanah atau sebagai pupuk dasar, kedua pada saat benih ditanam aau sebelum benih/bibit ditanam. Ketiga, pupuk yang diberikan merupakan pupuk susulan. Pemberian pupuk yang biasa dilakukan petani adalah pada pagi hari atau sore hari sampai matahari mulai terbenam. Penyiangan. Penyiangan dilakukan untuk mengendalikan gulma dan tanaman pengganggu. Pengendalian gulma dilakukan pada masa sepertiga sampai setengah dari umur tanaman. Pengendalian gulma dilakukan secara kultur teknis dengan pengaturan jarak tanam. Secara mekanis dengan pembabatan, dan secara kimia menggunakan herbisida. Pembumbunan. Pembubunan dilakukan untuk memperkokoh tanaman agar tidak mudah rebah, menutupi bagian tanaman di dalam tanah. Tanah yang digunakan untuk pembubunan dapat diambil dari sekitar tanaman. Pembubunan juga dilakukan untuk mendekatkan unsur hara dari tanah di sekitar tanaman. Pembubunan biasanya dilakukan sesuai dengan tingkat erosi tanah di bawah tanaman. Penyiraman atau pengairan. Penyiraman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman obat dilakukan penyiraman dengan gembor, selang atau alat lain untuk lahan pada skala yang luas. Penyiraman dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan air bagi tanaman. Pemberian air pada tanaman yang berlebihan dapat mengakibatkan kebusukan pada akar tanaman. Pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan baik pestisida kimiawi maupun nabati, dengan memperhatikan kondisi dan tingkat serangan hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Panen dan pasca panen. Panen tanaman obat tidak seluruhnya bergantung pada umur tanaman, tetap didasarkan pada pemanfaatannya, karena hampir semua bagian tanaman obat dapat dimanfaatkan maka waktu panen juga beragam, tergantung jenis tanamannya ada yang dipanen pada masa vegetatif dan ada yang dipanen pada periode generatif (biji, bunga, dan buah). Budidaya tanaman obat pada lahan dengan pekarangan sempit Budidaya tanaman obat pada lahan sempit dilakukan dengan cara menggunakan media pot maupun polibag. Teknik budidaya yang biasa diterapkan oleh masyarakat sangat sederhana yaitu menggunakan media tanah dengan
334
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 330-336, April 2015
campuran bahan-bahan organik seperti pupuk kompos, kotoran ternak, bokashi, serbuk gergaji dan lain-lain. Persiapan media tanam. Media tanam yang digunakan adalah tanah yang subur, tanah yang baik dan subur dapat terlihat dari tekstur tanah yang gembur dan komposisinya seimbang antara tanah liat, pasir, remah, serta banyak memiliki kandungan unsur hara. Apabila media tanah subur, sebenarnya sudah tidak begitu di perlukan lagi penambahan media lain. Akan tetapi untuk lebih memastikan kesuburan dan kegemburan tanah, maka diperlukan penambahan media lain misalnya media pasir dan pupuk. Struktur tanah di Kota Samarinda relatif kurang subur sehingga perbandingan pupuk kandang/kompos dengan tanah yang biasa digunakan adalah 2:1, dua bagian pupuk/kompos dan satu bagian lagi tanah. Tanah kemudian dimasukan dalam pot-pot atau polibag. Penanaman. Bibit tanaman obat yang sudah tumbuh dengan tinggi sekitar 10 cm dimasukan dalam polibag, pot, maupun karung bekas yang sudah terisi tanah dengan campuran pupuk kandang/kompos. Benih atau bibit tanaman obat dimasukan dalam polibag pada lubang tanam, lalu ditutup menggunakan media tanah yang ada disekitarnya serta sedikit dipadatkan. Setelah proses penanaman selesai, media tanah disiram menggunakan air agar media tanam dapat menyerap air sehingga bibit bisa lebih cepat tumbuh karena mendapatkan air yang cukup. Setelah ditanam, sebaiknya tanaman obat diletakan pada tempat naungan sampai tanaman dapat beradaptasi dengan lingkungan. Pemeliharaan. Tanaman obat yang sudah ditanam dalam pot, polibag, maupun karung bekas dipelihara dan dijaga ketersediaan airnya dengan penyiraman yang teratur agar dapat tumbuh dengan baik. Untuk mempertahankan unsur hara dalam media tanam, maka dilakukan pemupukan secara teratur selama 3-4 kali sampai panen. Penyiangan untuk mengendalikan gulma dilakukan dengan cara mekanis dengan mencabut gulma yang tumbuh disekitar tanaman. Pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika terjadi serangan. Pada tanaman obat biasanya jarang dijumpai serangan hama dan penyakit. Jika terjadi serangan hama dan penyakit maka dapat dikendalikan baik secara mekanis, pestisida nabati dan secara kimiawi dengan menggunakan pestisida kimiawi. Selain hal tersebut menjaga kelembaban tanah dan perakaran dijaga agara tidak terlalu lembab karena dapat menyebabkan tumbuhnya jamur dan bakteri yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman. Pemanenan dan pasca panen. Panen tanaman obat dilakukan berdasarkan pada pemanfaatannya, karena hampir semua bagian tanaman obat dapat dimanfaatkan maka waktu panen juga beragam, tergantung jenis tanamannya ada yang dipanen pada masa vegetatif dan ada yang dipanen pada periode generatif (biji, bunga, dan buah). Panen dilakukan dengan mengambil langsung bagian tanaman yang akan dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan obat. Bagia tanaman yang dipanen kemudian dijemur dan dikemas sesuai dengan kebutuhannya apakah digunakan sebagai sumber bibit lagi, atau diolah menjadi simplisia, minuman herbal, dan lain-lain.
Jenis komoditas tanaman obat di lahan pekarangan dan pemanfaatannya Jenis tanaman obat yang banyak dikembangkan di lahan pekarangan warga masyarakat di Kota Samarinda adalah jenis-jenis tanaman obat yang mempunyai khasiat sebagai obat dan biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti jenis tanaman obat yang bisa digunakan sebagai bumbu dapur banyak diminati oleh para kaum wanita/istri. Dari hasil pengamatan (Tabel 2) yang dilakukan di pekarangan warga di lokasi sampel ditemukan 60 jenis tanaman obat yang memiliki fungsi berbeda-beda. Ada jenis tanaman yang merupakan tanaman yang jarang dibudidayakan namun tumbuh di lahan pekarangan antara lain seperti akar wangi, tunjuk langit, akar kuning, dan tahongai. Jenis tanaman yang di budidayakan masingmassing rumah sangat bervariasi tergantung dari kebutuhan dan tingkat kesukaan terhadap jenis tanaman obat untuk dibudidayakan. Peluang pengembangan tanaman obat Industri berbasis pertanian sangat berperan menggerakkan ekonomi rakyat. Kegiatan agro industri tidak hanya menghasilkan barang jadi, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pemasok bahan baku (input) bagi perusahaan menengah dan besar. Gerakan roda ekonomi agro-industri dengan skala usaha mikro dan kecil dapat mendorong berkembangnya usaha besar yang diharapkan dapat membuka peluang kesempatan kerja (Pasaribu 2011) Pengembangan agroindustri tanaman obat (biofarmaka) di kota Samarinda memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan karena di daerah ini jenis tanaman obat banyak ditemukan dan memiliki jenis dan manfaat yang sangat bervariasi. Saat ini petani banyak menjual tanaman obat dalam bentuk segar. Jika diolah dalam bentuk lain misalnya simplisia atau dalam bentuk serbuk tentunya akan menaikan nilai tambah (value added) sehingga harga juanya juga lebih tinggi. Oleh karena itu perlu untuk dikembangkan usaha-usaha pengolahan tanaman obat dalam rangka mendorong agroindustri perdesaan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan terutama obat-obatan. Unit pengolahan hasil produk hortikultura terutama obat-obatan di Kota Samarinda yang menerapkan Good Manufacturing Practise dan keamanan pangan masih sangat sedikit, sehingga perlu adanya dukungan dan bimbingan dari pemerintah terkait dengan pengembangan produk obat-obatan. Produk obat-obatan (biofarmaka) dengan bahan baku tanaman obat lokal spesifik lokasi Kalimantan Timur dapat menjadi salah satu produk unggulan yang dapat meningkatkan nilai tambah dan nilai jual sehingga meningkatkan kesejahteraan petani. Tumbuhan tanaman obat yang berasal dari hutan dapat dibudidayakan di tingkat petani sehingga menjadi salah satu sumber pasokan obat. Bahan baku produk obat-obatan ini dapat ditingkatkan produksinya melalui pemanfaatan dan optimalisasi lahan pekarangan untuk budidaya tanaman obat.
SUMARMIYATI & RAHAYU – Pengembangan tanaman obat lokal skala rumah tangga Tabel 2. Jenis komoditas tanaman obat potensial yang ditanam di pekarangan rumah Nama ilmiah Ageratum conyzoides Aloe vera Alpinia galanga L. Ananas comosus Andrographis paniculata Anredera cordifolia Apium graveolens Averrhoa bilimbi Averrhoa carambola Azadirachta indica Carica papaya Catharanthus roseus L. Centella asiatica Cinnamomum burmanni Citrus aurantifolia Citrus sinensis Curcuma aeruginosa Curcuma heyneana Curcuma longa L. Curcuma xanthorrhiza Curcuma zedoaria Cymbopogon nardus Eleutherine americana Merr Euphorbia hirta Fibraurea chloroleuca Gomphrena globosa L Gynura procumbens Gynura pseudochina Helianthus annus Hibiscus rosasinensis Impatiens balsamina Jasminum sambac Kaempferia galanga L. Kaempferia pandurata Kleinhovia hospita Mimosa pudica Mirabilis jalapa Morinda citrifolia Nothopanax scutellarium Orthosiphon stamineus Persea gratissima Phaleria macrocarpa Physalis angulata Physalis peruviana L. Piper betle L Piper crocatum Piper nigrum Platigo mayor L Pluchea indica Pluchea indica Portulaca oleraceae Psidium quajava Rosa sinensis Sauropus androgynus Strobilanthes crispus Syzygium polyanthum Talinum paniculatum Tinospora crispa L. Vetiveria zizanioide Zingiber officinale Var. rubrum rhizoma
Nama lokal Bandotan Lidah buaya Lengkuas Nanas Sambiloto Binahong Seledri Belimbing wuluh Belimbing manis Mimba Pepaya Tapak dara Pegagan Kayu manis Jeruk nipis Jeruk limau Temu hitam Temu giring Kunyit Temulawak Kunyit putih Sereh wangi Bawang Tiwai Patikan Kebo Akar kuning Bunga kenop Sambung Nyawa Daun dewa Bunga matahari Kembang sepatu Pacar air Bunga melati Kencur Temu kunci Tahongai Putri malu Bunga pukul empat Mengkudu Mangkokan Kumis kucing Avokad Mahkota Dewa Ciplukan Ciplukan Sirih Sirih merah Lada Daun sendok Beluntas Delima Krokot Jambu biji Bunga mawar Katuk Keji beling Salam Gingseng Brotowali Akar wangi Jahe Merah
Kegunaan Tumor rahim, sakit tenggorokan Penyubur rambut, bisul, sembelit Reumatik, bronkitis Sembelit, cacingan, ketombe Diabetes, paru, demam Radang ginjal, sesak nafas Migrain, diare Hipertensi, Diabetes Sariawan, hipertensi, Diabetes, antifungi, hipertensi Imunitas, sembelit, luka Hipertensi Asma, diuretik, hipotensi Anti infeksi, kolesterol, rematik Amandel, malaria, demam Jerawat, diabetes, demam Menambah nafsu makan Cacingan, lulur, bau badan Haid tidak lancar, amandel Menambah nafsu makan Anti radang, tumor, kanker Bahan sabun, minyak urut Diabetes, kolesterol Bronkitis, asma, radang usus Kuning, malaria Asma, diuretik, luka korengan Hipertensi, jantung, diabetes Anti kanker, hipertensi Disentri, sakit kepala, sembelit Sariawan, demam Peluruh haid, bisul, anti radang Sesak nafas, demam, sakit mata Batuk, radang lambung Panas dalam, masuk angin Kanker, diabetes Batu saluran kencing, batuk Amandel, batuk berdarah, bisul Demam, hipertensi, hepatitis Menyuburkan rambut, luka, radang Batu ginjal, radang kandung kemih Hipertensi, kulit kering Asam urat, jantung, kanker Diabetes, ayan, borok Diabetes, paru-paru, ayan Keputihan, sifilis, diare Kanker, jantung, sakit gigi Impotensi, rematik, malaria Hepatitis, luka berdarah, bisul Bau badan, keputihan, demam Sariawan, radang gusi, luka Jantung, stroke Diare, maag, masuk angin Jerawat, perwatan kulit Pelancar asi, Kencing batu, batu ginjal Kencing manis, kolesterol,diare Stamina, penambah air susu Demam, luka, reumatik Tonik, nyeri otot, anti radang Pegal-pegal, encok, masuk angin
335
336
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 330-336, April 2015
Keberhasilan pengembangan agroindustri holtikultura tanaman obat-obatan di Kalimantan Timur dapat terukur melalui beberapa indikator. Mulai dari terserapnya tenaga kerja, terbukanya peluang pengolahan hasil hingga meningkatnya daya saing serta nilai tambah produk berbasis Good Manufacturing Product. Selain itu, mampu memenuhi bahan baku industri pengolahan dan terpenuhinya pasar domestik, ekspor. Untuk memenuhi target tersebut diupayakan salah satunya melalui pemanfaatan lahan pekarangan berbasis komoditas tanaman obat-obatan lokal yang diharapkan dapat mempunyai nilai jual yang tinggi yang dapat mengangkat kesejahteraan petani. Menurut Syukur (2005) beberapa peluang dan tantangan pengembangan agroindustri tanaman obat antara lain yaitu: (i) Sebagian masyarakat belum terbiasa mengkonsumsi tanaman obat secara langsung. Hal ini dapat diatasi melalui industri farmasi, makanan dan minuman yang mengandung herbal menyehatkan tubuh, dengan produk seperti minuman jus, cairan di botol, tablet, oles, balsam, sabun, pasta dan lain-lain. (ii) Ekspor bahan obatobatan ke luar negeri juga menjanjikan mengingat pasar luar negeri untuk bahan baku obat sangat besar, sementara Indonesia kaya akan bahan baku tersebut. Dengan demikian sangat memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri. (iii) Berbisnis tanaman obat tidak serumit tanaman sayuran, buah atau lainnya. Tanaman obat tidak membutuhkan bahan-bahan kimia baik untuk pemupukan maupun untuk mengendalikan hama dan penyakit. (iv) Ekpor bahan baku yang berasal dari tanaman obat atau produk siap pakai yang dikemas sudah banyak dilakukan oleh para pebisnis obat yang berasal dari bahan alami. Ke depan bisnis obat dari bahan alami akan menjadi kebutuhan utama dalam dunia pengobatan, baik dalam maupun luar negeri. Kendala pengembangan tanaman obat lokal skala rumah tangga Pengembangan budidaya tanaman obat lokal di lahan pekarangan Kota Samarinda, Kalimantan Timur banyak menemui kendala diantaranya adalah (i) kondisi sosial budaya warga masyarakat kelompok warga masyarakat yang heterogen dengan latar belakang suku-suku yang beragam, dan belum membudayanya kegiatan budidaya tanaman obat di pekarangan secara optimal dan intensif, (ii) kondisi sumber daya alam yang tidak mendukung seperti kepemilikan lahan yang tidak jelas, (iii) budaya lebih mengutamakan lahan non pekarangan untuk mendapatkan uang, sebagian besar petani memandang lahan pekarangan kurang memberikan manfaat dibanding lahan sawah dan kebun (iv) kebutuhan bibit yang terbatas, (v) kurang tersedianya teknologi budidaya tanaman obat yang spesifik di lokasi lahan pekarangan warga, (vi) kurang tersedianya bibit tanaman obat, (vii) kurang tersedianya
teknologi pengolahan hasil, pasca panen dan pemasarannya, (viii) pendampingan kelompok tani termasuk KWT, Ibu-ibu PKK, kelompok Dasa Wisma, RT dan lain-lain, belum berjalan maksimal sehingga berbengaruh rendahnya pengetahuan dan transfer teknologi di tingkat bawah, (ix) kondisi iklim, karakteristik lahan pekarangan yang termasuk lahan kering dengan intensitas hujan rendah, kekurangan air dibeberapa daerah juga berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha tani budidaya tanaman obat di lahan pekarangan di Kota Samarinda. KESIMPULAN Agroindustri tanaman obat di Provinsi Kalimantan Timur mempunyai peluang untuk dikembangkan pada lahan pekarangan mengingat sumberdaya yang tersedia cukup luas, kondisi iklim cukup sesuai, teknologi budidaya tanaman obat cukup tersedia, sumber daya manusia cukup terampil, tersedianya pasar yang cukup luas baik dalam dan luar negeri. Pengembangan agroindustri tanaman obat di Provinsi Kalimantan Timur harus mengedepankan nilai tambah produk tanaman obat dengan penerapan Good Manufacturing Practise dan keamanan pangan. Peningkatan nilai jual suatu produk tanaman obat dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan kemandirian pangan terutama obat dapat terpenuhi. DAFTAR PUSTAKA Arifin HS, Munandar A, Mugnisyah WQ, Arifin NHS, Budiarti T, Pramukanto Q. 2008. Revitalisasi pekarangan sebagai agroekosistem dalam mendukung ketahanan pangan di wilayah perdesaan. Prosiding Semiloka Nasional, IPB, 22-23 Desember. Bogor. Bappeda Samarinda. 2013. Profil Daerah Samarinda 2013. Bappeda Kota Samarinda, Samarinda. bappeda.samarinda kota.go.id. [10 Desember 2014] BPS Kalimantan Timur. 2013. Kalimantan Timur Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Mayrowani H, Ashari. 2011. Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan dan pemberdayaan petani sekitar hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 29 (2): 86. Mayrowani H. 2012. Pengembangan pertanian organik di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 30 (2): 92-93. Nuryanti S, Swastika DKS. 2011. Peran kelompok tani dalam penerapan teknologi pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi 29 (2): 116-117. Pasaribu SM. 2011. Pengembangan agro-industri perdesaan dengan pendekatan One Village One Product (OVOP). Forum Penelitian Agro Ekonomi 29 (1): 6. Saliem HPS. 2002. Analisis permintaan pangan di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 20 (2): 65. Sukiyono K, Cahyadinata I, Sriyoto. 2008. Status wanita dan ketahanan pangan rumah tangga nelayan dan petani padi di Kabupaten MukoMuko Provinsi Bengkulu. Jurnal Agro Ekonomi 26: 2. Sunanto, Yusmasari, Sahardi. 2007. Analisis efisiensi usaha tani sayuran dan jaringan tataniaganya di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 10 (3): 182. Syukur. 2005. Pembibitan Tanaman Obat. Penebar Swadaya. Jakarta
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 337-342
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010228
Teknologi pengolahan hasil jamur tiram serta analisis usaha taninya di Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur Processing technology and farming system analysis of oyster mushrooms in Balikpapan City, East Kalimantan RETNO WIDOWATI♥, MUHAMAD RIZAL, DHYANI NASTITI PURWANTININGDYAH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 28 November 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Widowati R, Rizal M, Purwantiningdyah DN. 2015. Teknologi pengolahan hasil jamur tiram serta analisis usaha taninya di Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 337-342. Produksi jamur tiram di Kalimantan Timur setiap tahunnya terus mengalami peningkatan yang di tunjukkan dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengembangkan usaha tani jamur tiram. Tetapi yang menjadi kendala adalah terbatasnya teknologi pengolahan jamur tiram dan pemasaran hasil pertanian. sehingga demikian perlu di ikuti teknologi pengolahan hasil guna meningkatkan kualitas jamur, mengantisipasi kelebihan produksi, diversifikasi produk dan meningkatkan nilai tambah. Tujuan dari makalah ini adalah memberikan informasi mengenai teknologi pengolahan jamur tiram serta analisis usahataninya. Pengolahan nugget jamur tiram dan keripik jamur tiram dengan berbagai tingkat kesukaan (warna, tekstur, rasa dan aroma). Penelitian ini di lakukan pada salah satu wilayah sentra Jamur Tiram di Kota Balikpapan. Tingkat kesukaan terhadap produk yang dihasilkan dilakukan analisis uji organoleptik serta analisis usahatani. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap pengolahan hasil jamur tiram berupa nugget jamur tiram lebih menyukai jamur yang dihasilkan dengan perlakuan direbus dibandingkan dengan tanpa direbus. Sedangkan keripik jamur tiram panelis lebih menyukai pengolahan jamur tiram yang dihasilkan dengan perlakuan pemberian tepung beras dan tepung tapioka, hal ini ditunjukkan oleh nilai dari uji organoleptik tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan berkisar antara 4 dan 5 (Sangat Suka dan Sangat Amat Suka). Sedangkan peningkatan pendapatan petani melalui pengolahan hasil yang di tunjukkan dengan nilai R/C ratio yang lebih besar dari 1 untuk setiap komoditas yang di olah yaitu komoditas jamur tiram. Nilai R/C rasio pengolahan nugget jamur tiram 1,53 dan keripik jamur tiram 1,98. Peningkatan diversifikasi pangan melalui pengolahan hasil komoditas jamur tiram menjadi nugget jamur tiram dan keripik jamur tiram mampu memberikan nilai tambah dan daya saing produk dalam mendukung ketahanan pangan di Provinsi Kalimantan Timur. Kata kunci: Jamur tiram, pengolahan hasil, Kalimantan Timur
Abstrak. Widowati R, Rizal M, Purwantiningdyah DN. 2015. Processing technology and farming system analysis of oyster mushrooms in Balikpapan City, East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 337-342. Oyster mushroom production in East Kalimantan generally increases annually, indicated by the growing number oyster mushroom farmers. However, lacking processing technology and limited market share may hamper the mushroom business. Anticipating the mushroom oversupply, development of processing technology is expected to diversify post-harvest product and to improve the quality and added value of the mushroom. The purpose of this study was to provide information about post-harvest processing technology and farming system analysis of the oyster mushroom. The mushroom was processed into based nugget and chips with a variety of color, texture, taste and flavor. The study was conducted in a production center of oyster mushrooms in Balikpapan City. Preference level was examined based on the organoleptic test. Regarding the mushroom nugget, the result showed that the panelists were preferred to the boiled mushroom nugget rather than the not boiled ones. Whereas for the mushroom chip, the panelists were preferred to the chips which used rice and cassava flour in the ingredients. By processing the mushrooms into either nugget or chips, the farmer’s revenue increased which was indicated shows by R/C value higher than 1. R/C value of oyster mushroom nugget was 1.53 and chip was 1.98. Food diversification through processing oyster mushrooms into nugget and chip is expected to give added value and competitiveness, supporting food security in East Kalimantan. Keywords: Oyster mushroom, product processing, East Kalimantan
PENDAHULUAN Jamur tiram adalah termasuk tumbuhan pertanian organik dan tidak mengandung kolesterol. Setiap per
seratus gram (100 g) jamur tiram memiliki 19 sampai 35% protein dengan 9 macam asam amino didalam kandungannya. Jamur tiram adalah jamur pangan dengan tudung berbentuk setengah lingkaran mirip cangkang tiram
338
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 337-342, April 2015
dengan bagian tengah agak cekung dan berwarna putih hingga krem. Tubuh buah memiliki batang yang berada dipinggir (bahasa Latin: pleurotus) dan bentuknya seperti tiram (ostreatus), sehingga jamur tiram mempunyai nama binomial Pleurotus ostreatus. Jamur tiram masih satu kerabat dengan Pleurotus eryngii atau King Oyster Mushroom (Suriawiria 2001). Tubuh buah mempunyai tudung yang berubah dari hitam, abu-abu, coklat, hingga putih dengan permukaan yang hampir licin dengan diameter 5-20 cm. Tepi tudung mulus sedikit berlekuk. Spora berbentuk batang berukuran (8-11) × (3-4) µm. Miselium berwarna putih dan bisa tumbuh dengan cepat. Di alam bebas, jamur tiram bisa dijumpai hampir sepanjang tahun di hutan pegunungan daerah yang sejuk. Tubuh buah terlihat saling bertumpuk di permukaan batang pohon yang sudah melapuk atau pokok batang pohon yang sudah ditebang (Tjokrosoedarmo et al. 1991). Budidaya jamur tiram biasanya dilakukan dengan media tanam serbuk gergaji. Selain campuran pada berbagai jenis masakan, bahan baku obat statin juga bermanfaat bagi kesehatan manusia karena mengandung gizi yang cukup besar dan rasanya lezat. Dari hasil penelitian kedokteran secara klinis, para ilmuwan mengemukakan bahwa kandungan senyawa kimia khas jamur tiram berkhasiat mengobati berbagai penyakit manusia seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kelebihan kolesterol, anemia, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan polio dan influenza serta kekurangan gizi. Dari aspek kesehatan, jamur tiram merupakan bahan pangan bergizi berkhasiat obat yang lebih murah dibandingkan obat modern. Secara ekonomis merupakan komoditas yang tinggi harganya dan dapat meningkatkan pendapatan petani serta dapat dijadikan makanan untuk konsumsi dalam upaya peningkatan gizi masyarakat (Cahyana et al. 1997). Pengolahan hasil pertanian khususnya komoditas jamur tiram menjadi salah satu alternatif untuk mengantisipasi hasil produksi berlimpah yang tidak dapat dipasarkan karena mutunya rendah. Hasil-hasil pertanian yang ukuran dan bentuknya tidak memenuhi standar mutu dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam hasil olahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Teknologi pengolahan yang digunakan sederhana dan dapat diterapkan ditempat petani sentra produksi. Dengan teknologi penanganan pasca panen yaitu pengolahan hasil dapat meningkatkan kelancaran pemasaran. Penyebab kurang stabilnya harga komoditas jamur tiram berkaitan dengan tidak dilakukannya pengolahan hasil oleh petani guna memperoleh nilai. Selain mendapatkan nilai tambah, kegiatan pengolahan hasil juga membuka peluang bagi pengembangan agroindustri di pedesaan (Syarief et al. 1993). Dengan demikian perlu dilakukan penanganan lebih lanjut agar produk tidak sampai dibuang percuma. Pengolahan hasil komoditas menjadi berbagai macam produk menjadikan daya simpan lebih lama dan jangkauan pemasarannya lebih luas. Dengan dilakukan penerapan teknologi pengolahan yang tepat diharapkan petani dapat mengadopsi teknologi tersebut sehingga diperoleh produk
olahan komoditas jamur tiram yang berkualitas, mendapatkan hasil yang lebih tinggi dan terbentuk home industri. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah dalam mendukung pengembangan komoditas jamur tiram melalui kajian teknologi pengolahan hasil jamur tiram di Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. BAHAN DAN METODE Kegiatan di laksanakan di Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur pada bulan Desember 2012 yang dihadiri oleh 25 orang yang terdiri dari ibu-ibu anggota kelompok tani dan kelompok wanita tani. Lokasi tersebut merupakan salah satu wilayah sentra produksi jamur tiram di Kota Balikpapan. Bahan yang digunakan adalah bahan-bahan untuk pengolahan keripik jamur tiram dan nugget jamur tiram. Sedangkan alat yang digunakan adalah peralatan untuk untuk pengolahan hasil jamur tiram dan peralatan untuk uji organoleptik hasil olahan jamur tiram. Selanjutnya dilakukan analisis uji organoleptik pada keripik jamur tiram dan nugget jamur tiram untuk mengetahui tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap produk yang dihasilkan yang meliputi warna, tekstur, rasa dan aroma. Uji ini dilaksanakan di lokasi penelitian dengan menggunakan metode uji hedonik dengan responden 25 orang panelis semi terlatih (Kartika et al. 1990). Responden bukan merupakan hasil seleksi tetapi umumnya terdiri dari individu-individu yang secara spontan mau bertindak sebagai penguji. Uji kesukaan ini bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan responden keripik dan nugget jamur tiram yang dihasilkan. Pengujian organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan skala hedonik yakni skala 1= Sangat Tidak Suka (STS), 2= Tidak Suka (TS), 3= Suka (S), 4= Sangat Suka (SS), 5= Amat Sangat Suka (SAS). Selanjutnya analisis biaya dan pendapatan dilakukan dengan analisis input output. R/C digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan inovasi, jika R/C 1 layak untuk diterapkan, jika R/C < 1 inovasi tersebut tidak layak untuk diterapkan (Soekartawi 2002). Adapun tahapan pelaksanaan pengolahan keripik jamur tiram dan nugget jamur tiram adalah sebagai berikut: Pengolahan keripik jamur tiram: (i) Jamur tiram putih segar 2,5 kg dicuci bersih, dipotong-potong kemudian dikukus selama 10 menit dan peras airnya. (ii) Jamur dicampur dengan bumbu yang sudah dihaluskan (bawang putih goring, lada dan garam). (iii) Tepung beras, tepung terigu dan tepung tapioka dicampur hingga rata. Pada pelakuan dilakukan penggunaan tepung terigu + beras dan tepung terigu + tapioka. (iv) Jamur dimasukkan dalam adonan tepung kemudian diayak agar terpisah dengan tepungnya. (v) Jamur yang terpisah dari tepung lalu digoreng hingga keringkan, kemudian tiriskan minyaknya kemudian siap dikemas. Pengolahan nugget jamur tiram: (i) Jamur tiram segar sebanyak 1 kg dicuci dengan air mengalir kemudian digiling kasar. Jamur yang digunakan ada yang dikukus dan ada yang mentah. (ii) jamur tiram
WIDOWATI et al. – Pengolahan jamur tiran di Balikpapan
halus dicampur dengan telur 6 butir, bawang Bombay 2 bah, bawang putih halus 5 siung, merica bubuk dan garam. (ii) Adonan nugget dituangkan ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega kemudian dikukus selama 10-15 menit. (iii) Diangkat dan dinginkan, kemudian potong-potong sesuai selera kemudian simpan nugget di dalam lemari pendingin selama satu malam. (iv) Nugget dikeluarkan dan diamkan beberapa saat. Selanjutnya potongan nugget dimasukkan ke dalam kocokan telur, ditaburi tepung panir hingga tertutup rata, lalu nugget digoreng hingga kecoklatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum lokasi Kota Balikpapan memiliki potensi yang menguntungkan dengan tersedianya kekayaan alam, baik di darat maupun di laut yang belum sepenuhnya dimanfaatkan dan dikembangkan. Oleh karena itu upaya pembangunan di Kota Balikpapan terus ditingkatkan terutama pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Salah satu wilayahnya yang memiliki potensi dalam pengembangan komoditas jamur tiram adalah Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara. Kelurahan ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 16.651 orang dari 4.786 KK; memiliki wilayah pertanian yang luas difungsikan untuk usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura (Kelurahan Kelurahan Karang Joang 2013). Luas lahan potensial untuk usahatani WKPP Kelurahan Karang Joang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Kegiatan pertanian tanaman pangan di arahkan pada wilayah interland dan untuk pengembangan pertaniannya di sesuaikan dengan keadaan lokasi sehingga tanaman yang dapat di kembangkan berupa padi sawah, sayuran dan buah-buahan (pisang, jeruk, durian, jamur tiram dan sebagainnya). Pengolahan hasil dan uji organoleptik jamur tiram Adapun hasil uji organoleptik keripik jamur tiram yang meliputi warna, tekstur, rasa dan aroma dapat di lihat pada Tabel 2. Adapun hasil uji organoleptik nugget jamur tiram yang meliputi warna, tekstur, rasa dan aroma dapat di lihat pada Tabel 3. Dari Tabel 2-3, terlihat bawah para panelis sangat menyukai keripik jamur dan nugget jamur yang di hasilkan. Keripik jamur tiram yang di hasilkan dengan perlakuan pemberikan tepung beras + tepung tapioka menghasilkan keripik jamur yang sangat renyah sehingga secara tekstur panelis sangat menyukai, demikian pula terhadap atribut warna, aroma dan rasa keseluruhan panelis berada pada tingkat kesukaan Sangat Suka dan Sangat Amat Suka (4-5). Kekerasan suatu produk pangan sangat mempengaruhi daya terima pada produk tersebut, semakin renyah suatu
339
bahan pangan segar, semakin bagus kualitasnya. Untuk nagget jamur tiram, panelis sangat menyukai rasa nugget yang di olah dengan direbus, karena layu dan bau jamur telah berkurang. Demikian pula untuk tekstur dan atribut lainnya (warna, rasa dan aroma), panelis secara keseluruhan lebih menyukai nugget yang diolah dengan direbus terlebih dahulu dengan tingkat kesukaan berkisar antara 4 dan 5 yaitu Sangat Suka dan Sangat Amat Suka. Persentase dari hasil uji organoleptik keripik jamur tiram dan nugget jamur tiram yang meliputi warna, tekstur, rasa dan aroma, dengan tingkat kesukaan antara Sangat Suka (SS) dan Sangat Amat Suka (SAS) oleh panelis dapat di lihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa persentase tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan menyukai keripik jamur tiram dengan perlakuan tepung beras + tepung tapioka, begitu juga halnya dengan nugget jamur tiram, secara keseluruhan panelis lebih menyukai dengan perlakuan direbus hal ini di tunjukkan dengan tingkat kesukaan sangat amat suka (40-80%), baik dari aspek warna, tekstur, rasa maupun aroma. Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, hasil uji organoleptiok pada keripik jamur tiram dengan perlakuan 25% tepung tapioka + 25% tepung roti + pengukusan 1 menit + 5% bumbu, merupakan perlakuan terbaik. Keripik yang dihasilkan memiliki karakteristik yaitu kadar protein 11,16%, kadar lemak 24,02%, karbohidrat 51,59%, kadar air 8,62%, kadar abu 4,61% (Hakim 2014). Sedangkan pada nugget jamur tiram hasil uji norganoleptik analisis daya terima untuk parameter warna menunjukkan bahwa nugget jamur mempunyai rerata nilai kesukaan antar 4,40-4,70%, lebih rendah dibandingkan dengan nugget kontrol yaitu 4,90%, untuk parameter aroma berkisar antara 4,50-4,60%, parameter tekstur yaitu 3,75-4,45%, serta parameter rasa 3,45-3,95%, tidak berbeda jauh dengan parameter kontrol sekitar 4,05% (Nurmalia 2011). Analisis usahatani pengolahan jamur tiram Hasil analisis usaha tani pengolahan Kripik Jamur Tiram di Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan, menunjukkan nilai R/C ratio 1,98 sedangkan nilai R/C ratio pengolahan Nugget Jamur Tiram mencapai 1,53. Benefit cost ratio (B/C R) merupakan suatu analisa pemilihan proyek yang biasa dilakukan karena mudah, yaitu perbandingan antara benefit dengan cost. Apabila nilainya R/C ratio < 1 maka proyek itu tidak ekonomis, kalau > 1 berarti proyek itu feasible, dan kalau = 1 dikatakan proyek itu marginal (tidak rugi dan tidak untung). Hasil analisis usahatani pengolahan keripik jamur tiram dan nugget jamur tiram dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 1. Data Luas lahan Potensial untuk usahatani WKPP Kelurahan Karang Joang (Kelurahan Karang Joang 2013). Kelurahan Karang Joang Jumlah
Pekarangan 165,5 165,5
Luas lahan (ha) Kering Sawah 260,75 50,5 260,75 50,5
Kolam 13,557 13,557
Jumlah 489,807 489,807
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 337-342, April 2015
340
Tabel 2. Hasil uji organoleptik pada warna, tekstur, rasa dan aroma keripik jamur tiram Perlakuan
Keripik jamur tiram Warna Tekstur Rasa Aroma TS S SS SAS STS TS S SS SAS STS TS S SS SAS STS TS S SS SAS 0 0 12 13 0 0 0 6 19 0 0 0 8 17 0 0 0 11 14 0 0 0 2 23 0 0 0 7 18 0 0 6 19 0 0 0 3 22
STS Tepung terigu + beras 0 Tepung beras + tepung 0 tapioka Keterangan: 1 Sangat Tidak Suka (STS), 2 Tidak Suka (TS), 3 Suka (S), 4 Sangat Suka (SS), 5 Sangat Amat Suka (SAS). Tabel 3. Hasil uji organoleptik pada warna, tekstur, rasa dan aroma nugget jamur tiram
Nugget jamur tiram Warna Tekstur Rasa Aroma STS TS S SS SAS STS TS S SS SAS STS TS S SS SAS STS TS S SS SAS Jamur direbus 0 0 0 10 15 0 0 0 8 17 0 0 0 5 20 0 0 0 15 10 Jamur tidak direbus 0 0 0 16 9 0 0 0 19 6 0 0 0 14 11 0 0 0 22 3 Keterangan: 1 Sangat Tidak Suka (STS), 2 Tidak Suka (TS), 3 Suka (S), 4 Sangat Suka (SS), 5 Sangat Amat Suka (SAS). Perlakuan
Tabel 4. Persentase hasil pengamatan uji organoleptik produk keripik jamur tiram dan nagget jamur tiram. Warna Perlakuan (%) SS SAS Tepung terigu + beras 48 52 Tepung beras + tepung tapioka 24 76 Jamur direbus 40 60 Jamur tidak direbus 64 36 Keterangan: 4 Sangat Suka (SS) dan 5 Sangat Amat Suka (SAS).
SS 24 8 32 76
Keripik jamur tiram Tekstur Rasa (%) (%) SAS SS SAS 76 32 68 92 12 88 68 20 80 24 56 44
SS 44 28 60 88
Aroma (%) SAS 56 72 40 12
Tabel 5. Analisis usahatani pengolahan keripik jamur tiram A. Alat yang digunakan: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis alat Wajan Serok Dandang Baskom Pisau Toples besar Sotil Siler Kompor
Jumlah 1 1 1 3 2 2 1 1 1
Jumlah nilai alat (Rp) 100.000 20.000 20.000 40.000 12.000 45.000 15.000 15.000 500.000
Umur pakai alat (bulan) 5 5 10 5 9 8 7 12 12
٭Nilai penyusutan (Rp)
20.000 4.000 2.000 8.000 1.333 5.625 2.143 1.250 41.667 86.018
٭Nilai penyusutan: Jumlah nilai alat (RP)/Umur pakai alat (bulan)
B. Bahan yang digunakan: No 1
2
Jenis bahan Bahan Utama Jamur Tiram Minyak goreng Bumbu Garam Lada Penyedap rasa Bahan penunjang Gas Plastik bungkus
Jumlah
Volume
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
650 320 17 30 16 32
kg liter bks bks kg bks
30.000 12.000 10.000 2.500 20.000 500
19.500.00 3.840.000 170.000 75.000 320.000 16.000
8 2
tabung gulung
15.000 50.000
120.000 100.000 24.141.000
WIDOWATI et al. – Pengolahan jamur tiran di Balikpapan
341
C. Lain-lain: No 1 2 3 4
Jenis bahan Upah tenaga Transportasi Sewa tempat Listrik
Jumlah biaya produksi Pemasukan Keuntungan R/C Ratio
Jumlah 30 30 1 30
Volume Ongkos harisn hari bln hari
Harga satuan (Rp) 50.000 5.000 300.000 4.000
Jumlah (Rp) 1.500.000 150.000 300.000 120.000 2.070.000
= Rp. 26.297.018 = 3.500 bks x Rp. 15.000 = Rp. 52.000.000 = Rp. 52.000.000-Rp. 26.297.018 = Rp. 26.202.982 = Rp. 52.000.000 / Rp. 26.297.018 = 1,98
Tabel 6. Analisis usahatani pengolahan nugget jamur tiram A. Alat yang digunakan: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis alat Wajan Serok Dandang Baskom Pisau Blender Sotil Sendok Kompor Fizer
Jumlah 1 1 1 4 2 1 2 5 1 1
Jumlah nilai alat (Rp) 100.000 25.000 50.000 45.000 10.000 350.000 15.000 5.000 500.000 2.500.000
Umur pakai alat (bulan) 12 6 12 5 6 12 6 6 12 60
٭Nilai penyusutan (Rp) 8.333 4.167 4.167 9.000 1.667 29.167 2.500 833 41.667 41.667 143.168
٭Nilai penyusutan: Jumlah nilai alat (RP)/Umur pakai alat (bulan)
B. Bahan yang digunakan: No 1
2
Jenis bahan Bahan Utama a. Jamur Tiram b. Telur Tepung roti Bawang bombai bumbu Bahan penunjang Gas Plastik mika
Jumlah
Volume
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
350 150 150 350 32
kg butir kg buah paket
30.000 1.200 17.000 5.000 20.000
10.500.000 180.000 2.550.000 1.750.000 600.000
10 2.000
tabung buah
15.000 300
150.000 600.000 16.330.000
Volume OH hari bln hari
Harga satuan (Rp) 50.000 5.000 300.000 5.000
C. Lain-lain: No 1 2 3 4
Jenis bahan Upah tenaga Transportasi Sewa tempat Listrik
Jumlah biaya produksi Pemasukan Keuntungan R/C Ratio
Jumlah 30 30 1 30
= Rp. 18.573.168 = 1900 bks x Rp. 15.000 = Rp. 28.500.000 = Rp. 28.500.000-Rp. 18.573.168= Rp. 9.926.832 = Rp. 28.500.000/ Rp. 18.573.168= 1,53
Jumlah (Rp) 1.500.000 150.000 300.000 150.000 2.100.000
342
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 337-342, April 2015
Biaya produksi adalah nilai dari semua faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan usaha budidaya jamur tiram. Biaya produksi untuk usaha budidaya jamur tiram terdiri atas dua jenis, yaitu: biaya variabel yang dikeluarkan oleh responden meliputi biaya sarana produksi (bibit, serbuk kayu, dedak, kapur, gypsum, tepung tapioka, menir, kalsium, pupuk, kapas, kapuk, plastik, kayu ring, karet gelang, alkohol, spritius, minyak tanah, kayu bakar, gas dan lain-lain), dan biaya tetap meliputi: biaya penyusutan alat yang dikeluarkan dan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan. Tabel 1-4, menunjukkan bahwa hasil analisa usahatani pengolahan keripik jamur tiram dengan nilai R/C 1,98 dan nugget jamur tiram R/C 1,53, yang berarti bahwa setiap pengeluaran sebesar Rp. 1 menghasilkan Rp. 1,98 dan Rp. 1,53, hal tersebut memberi arti bahwa produksi keripik dan nugget jamur tiram telah memenuhi standar efisiensi usaha yang menguntungkan dan dapat dikatakan layak. R/C diperkirakan akan meningkat jika terjadi penghematan pada sewa tempat dan tenaga kerja. Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah di lakukan sebelumnya, penerimaan usaha budidaya jamur tiram di Kota Samarinda diperoleh dari hasil kali antara produksi jamur tiram dengan harga jual yang berlaku di tingkat konsumen rata-rata sebesar 363,40 kg, dengan keuntungan rata-rata sebesar Rp 9.039.705, Break Even Point (BEP) produksi jamur tiram sebesar 51,34 kg serta Break Even Point harga sebesar Rp 8.662,06 kg (Balkis 2010). Teknologi pengolahan keripik jamur tiram dan nugget jamur tiram yang di hasilkan baik dari atribut warna, tekstur, rasa maupun aroma secara keseluruhan tingkat kesukaan panelis adalah Sangat Suka (SS) dan Sangat
Amat Suka (SAS), hal ini di tunjukkan oleh nilai dari hasil uji organoleptik berkisar antara 4 dan 5. Terjadi peningkatan pendapatan petani melalui pengolahan hasil keripik jamur tiram dan nugget jamur tiram yang ditunjukkan dengan nilai R/C ratio yang lebih besar dari 1 untuk setiap komoditi yang diolah yaitu jamur tiram, nilai R/C rasio pengolahan keripik jamur tiram 1,98 dan nugget jamur tiram 1,53. DAFTAR PUSTAKA Balkis S. 2010. Analisis finansial pengusahaan jamur tiram (Pleurotus sp) di Kota Samarinda. Media Sains: 117-124. Cahyana, Muchroji, Bakrun M. 1997. Jamur Tiram. Penebar Swadaya. Jakarta Kelurahan Karang Joang. 2013. Monografi Kelurahan Karang Joang. Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan. Hakim L. 2014. Studi Pengaruh Lama Pengukusan dan Kadar Bumbu terhadap Kualitas Keripik Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dengan Metode Penggorengan Vacum. [Skripsi]. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Kartika B, Guritno AD, Ismoyowati D. 1990. Petunjuk Evaluasi Produk. Industri Hasil Pertanian. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta. Nurmalia. 2011. Nugget Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) sebagai Alternatif Makanan Siap Saji Rendah Lemak dan Protein Serta Tinggi Serat. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro, Semarang. Soekartawi. 2002. Analisis usahatani. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Suriawiria UH. 2001. Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu: Shiitake, Kuping dan Tiram. Penebar Swadaya. Bogor. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta. Tjokrosoedarmo AH, Priyatmojo A. 1991. Morfologi dan Anatomi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). [Laporan Penelitian]. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 343-346
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010229
Pengembangan potensi biji karet (Hevea brasiliensis) sebagai bahan pangan alternatif di Bengkulu Utara Potential development of rubber seed (Hevea brasiliensis) as an alternative food in North Bengkulu REZA RAMDAN RIVAI1,♥, FRISCA DAMAYANTI1, MARLIA HANDAYANI2 1
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-251-8322187, εemail:
[email protected]. 2 Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu Jl. W. R. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu, Indonesia 38371. Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 31 Januari 2015.
Abstrak. Rivai RR, Damayanti F, Handayani M. 2015. Pengembangan potensi biji karet (Hevea brasiliensis) sebagai bahan pangan alternatif di Bengkulu Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 343-346. Sumatera merupakan salah satu wilayah sentra karet di Indonesia, termasuk Provinsi Bengkulu. Biji karet sebagai bahan pangan belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat, padahal setiap tanaman karet mampu menghasilkan biji sekitar 0,8-1,2 ton/ ha/ tahun (untuk tanaman dengan usia lebih dari 4 tahun). Biji karet memiliki proporsi bagian yang dapat dikonsumsi sekitar 57%. Selain itu, biji karet memiliki kandungan gizi khususnya protein yang tinggi. Kandungan asam sianida (HCN) yang terdapat dalam biji karet menjadi salah satu kendala masyarakat untuk mengolah panganan yang berasal dari biji karet. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait proses pengolahan biji karet yang aman untuk dikonsumsi. Kegiatan dilaksanakan di Kecamatan Giri Mulya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Perendaman dan perebusan terbukti dapat mereduksi kandungan asam sianida yang terdapat dalam biji karet. Biji karet yang telah aman dikonsumsi dapat dijadikan berbagai panganan seperti keripik, tempeyek, dan isi dadar gulung. Kata kunci: Bengkulu, biji karet, pangan Abstract. Rivai RR, Damayanti F, Handayani M. 2015. Potential development of rubber seed (Hevea brasiliensis) as an alternative food in North Bengkulu. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 343-346. Sumatra is a regional center for rubber production in Indonesia, including Bengkulu Province. Seeds of rubber trees have not been utilized yet as an alternative food source. Whereas, each rubber tree (4-year old) can produce 0.8-1.2 ton seeds/ha/year. Approximately 57% of the seed’s proportion can be consumed. In addition, the seed also has high nutrition content, especially protein. However, the seeds also contain hydrogen cyanide (HCN) compound which is a toxin for the human. Consequently, the objective of this research was to provide information about the seed processing which would be safe for human consumption. The research was conducted at Giri Mulya Subdistrict, North Bengkulu District, Bengkulu Province. Soaking and boiling were proven to decrease the concentration of HCN within the rubber seed. The safelyprocessed rubber seeds could become various snack food, such as crispy chips, “tempeyek” and “dadar gulung” filler. Key words: Bengkulu, food, rubber seed
PENDAHULUAN Perkebunan karet hampir menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah dengan luas lahan dan produksi karet tertinggi di Indonesia, termasuk Provinsi Bengkulu. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2014), luas lahan perkebunan karet di Bengkulu pada tahun 2013 adalah 114.538 ha dengan potensi produksi 87.461 ton getah karet. Kabupaten Begkulu Utara merupakan tiga dari sepuluh kabupaten yang memiliki perkebunan karet terluas di Provinsi Bengkulu. Total luas lahan perkebunan karet di Kabupaten Bengkulu Utara adalah 10.349 ha yang terdiri atas 2.923 ha tanaman belum menghasilkan (TBM), 6.825 ha tanaman menghasilkan (TM) dan 601 ha tanaman tidak menghasilkan (TTM). Potensi produksi getah karet di
Kabupaten Bengkulu Utara adalah 9.335 ton. Selain menghasilkan getah, tanaman karet menghasilkan biji. Hanya sekitar 20% biji karet yang digunakan sebagai benih. Biji karet memiliki kandungan gizi terutama protein yang berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan (Eka et al. 2010). Pemanfaatan biji karet sebagai bahan pangan belum optimal digunakan. Melimpahnya biji karet di Kabupaten Bengkulu Utara merupakan salah satu modal untuk meningkatkan industri pangan kreatif di kabupaten tersebut. Salah satu kendala kurang optimalnya pemanfaatan biji karet sebagai bahan pangan adalah adanya asam sianida (HCN) yang terkandung dalam biji karet. Penelitian terkait teknik reduksi HCN telah dilakukan sebelumnya (Ukpebor et al. 2007; Eka et al. 2010; Salimon et al. 2012; Rivai dan Herwitarahman 2014). Sehingga
344
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 343-346, April 2015
penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait proses pengolahan biji karet yang aman dikonsumsi serta mendapatkan produk akhir panganan yang berbahan baku biji karet. BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Kecamatan Giri Mulya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2012. Bahan dan alat Bahan utama yang digunakan adalah biji karet sapuan yang didapat dari perkebunan rakyat Desa Giri Mulya, Kecamatan Giri Mulya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Cara kerja Studi Pustaka Informasi mengenai teknik reduksi asam sianida (HCN) yang terkandung dalam biji karet beserta rincian kandungan nilai gizinya didapatkan dari studi pustaka. Informasi tersebut digunakan sebagai referensi dalam proses pengolahan biji karet agar aman untuk dikonsumsi. Seleksi dan ekstraksi biji karet Penyortiran dilakukan untuk mendapatkan biji karet yang layak untuk diolah lebih lanjut sebagai bahan dasar panganan. Biji karet yang berkualitas tinggi ditandai dengan memantulnya biji karet ketika dijatuhkan. Ekstraksi biji karet dilakukan dengan tujuan memisahkan kulit biji yang keras dengan daging bijinya. Proses ekstraksi menggunakan alat bantu palu atau batu. Proses reduksi HCN Proses reduksi HCN dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya serta informasi dari pustaka yang diperoleh. Perebusan biji karet selama 15 menit dilanjutkan dengan perendaman dalam air selama 24 jam dan penggantian air rendaman setiap 6 jam digunakan sebagai metode reduksi HCN pada penelitian ini. Pengolahan biji karet sebagai panganan alternatif Biji karet yang telah melewati proses reduksi HCN, diolah lebih lanjut sebagai panganan alternatif seperti keripik biji karet, tempeyek biji karet dan dadar gulung isi biji karet. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Bengkulu Utara terletak di 2015-40 LS dan 1020 32-1020 8 BT. Luas perkebunan karet di Bengkulu
Utara adalah 6.825 ha tanaman menghasilkan (TM). Menurut Eka et al. (2010) tanaman karet yang produktif dapat menghasilkan 0,8-1,2 ton/ha/tahun. Biji karet memiliki proporsi bagian yang dapat dikonsumsi sekitar 57%. Sehingga Kabupaten Bengkulu Utara memiliki potensi biji karet yang dapat dikonsumsi sekitar 3.1124.668 ton/ tahun. Kandungan gizi yang terdapat dalam biji karet telah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Tabel 1. menunjukkan hasil uji proksimat biji karet yang telah dilakukan Eka et al. (2010). Selain itu, biji karet memiliki kandungan asam sianida (HCN) yang dalam kadar tinggi dapat membahayakan kesehatan manusia. Sehingga perlu dilakukan proses reduksi HCN pada biji karet sebelum diolah menjadi bahan baku pangan. Tabel 1. Hasil uji proksimat biji karet (Sumber: Eka et al. 2010) Kandungan gizi Protein Karbohidrat Abu Lemak
Kadar (g/100g) 17,41 ± 0,01 6,99 ± 0,01 3,08 ± 0,01 68,53 ± 0,04
Teknik reduksi asam sianida (HCN) Teknik reduksi asam sianida pada biji karet merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rivai dan Herwitarahman (2014). Biji karet yang telah dikumpulkan dari perkebunan rakyat, diseleksi terlebih dahulu. Proses penyeleksian dengan cara menjatuhkan biji karet ke lantai, biji karet yang memantul dipilih untuk proses selanjutnya. Ektraksi biji karet menggunakan alat bantu berupa palu atau batu. Biji karet yang telah terpisah dengan kulitnya, dibagi dua secara vertikal. Biji karet direbus dalam air mendidih (± 1000C) selama 15 menit dilanjutkan dengan perendaman dalam air selama 24 jam dan penggantian air rendaman setiap 6 jam (Gambar 1.). Teknik ini dapat mereduksi kadar HCN sehingga aman untuk dikonsumsi manusia (HCN < 3 mg/kg). Teknik reduksi HCN pada biji karet dapat juga melalui beberapa metode. Pemanasan merupakan salah satu cara untuk menurunkan kadar HCN pada biji karet (Salimon et al. 2012). Ukpebor et al. (2007) melaporkan bahwa dengan adanya tambahan miselium cendawan Pleurotus tubberagium pada bubur biji karet, terbukti dapat menurunkan kadar HCN pada makanan tersebut. Selain pada biji karet, Nebiyu dan Getachew (2011) melakukan penelitian terkait teknik reduksi HCN pada ketela pohon (Mannihot esculenta). Perendaman umbi ketela pohon selama 24 jam terbukti dapat menurunkan kadar HCN pada umbi tersebut. Berbeda halnya denga Ugwu dan Oranye (2006) yang membuktikan bahwa kadar HCN menurun pada Treculia Africana dengan perlakuan perendaman dalam air selama 2 jam. Biji karet yang telah direduksi kadar HCNnya dan aman dikonsumsi, selanjutnya dapat diolah menjadi beberapa panganan alternatif seperti keripik biji karet, tempeyek biji karet dan dadar gulung isi biji karet.
RIVAI et al.-Biji karet sebagai bahan pangan
A
B
D
345
C
E
Gambar 1. Proses reduksi asam sianida (HCN) pada biji karet. A. Biji karet utuh; B. Biji karet tanpa kulit keras; C. Biji karet dibagi dua secara vertikal; D. Perebusan selama 15 menit; E. Perendaman air selama 24 jam (air diganti setiap 6 jam).
Produk-produk pangan dari biji karet Kerpik Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan keripik biji karet adalah 250 g biji karet yang telah direduksi kadar HCNnya, ½ l minyak goreng, garam sebanyak 1 sendok teh dan 1 bungkus (10 g) perisa makanan. Daging biji karet yang telah dibagi dua secara vertikal, ditata dan dijemur di bawah matahari langsung selama satu hari sampai kadar airnya berkurang (Gambar 2a). Biji karet tersebut digoreng dalam minyak panas. Setelah matang, biji karet ditiriskan dan ditaburi campuran garam dan perisa makanan. Keripik biji karet yang telah dingin, dibungkus dalam kemasan dan diberi label. Tempeyek Tempeyek biji karet berbahan baku campuran antara biji karet dan tepung terigu. Bahan-bahan yang diperlukan antara lain 250 g biji karet yang telah direduksi HCNnya, 125 g tepung terigu, ½ l minyak goreng, 150 g cabai merah, 4 siung bawang merah, 2 siung bawang putih, 150 ml air, garam sebanyak ½ sendok teh dan 5 g perisa makanan. Daging biji karet ditumbuk menggunakan ulekan dan disimpan di atas piring. Sambal sebagai bumbu tempeyek yang terdiri atas bawang merah, bawang putih, cabai, garam dan perisa makanan ditumbuk halus menggunakan ulekan serta disimpan sepiring dengan biji karet (Gambar 2b). Sambal dan biji karet diaduk dan dicampur dengan tepung terigu serta air. Adonan digoreng setiap satu sendok sayur dalam minyak goreng yang telah
dipanaskan. Tempeyek biji karet yang telah matang ditiriskan. Setelah dingin, tempeyek biji karet dibungkus dalam kemasan dan diberi label (Gambar 2c). Dadar gulung Pembuatan dadar gulung isi biji karet terbagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama yaitu pembuatan isi dadar gulung, bahan-bahannya terdiri atas 250 g biji karet yang telah ditumbuk halus, 50 g gula merah diiris halus, garam sebanyak ¼ sendok teh , 75 ml air dan 1 helai daun pandan. Air dididihkan, biji karet, gula merah, garam dan daun pandan dicampurkan dalam air yang sedang mendidih. Adonan isi dadar gulung diaduk selama 10 menit, setelah matang ditiriskan dan disimpan di atas piring (Gambar 2d). Tahap kedua yaitu pembuatan kulit dadar gulung, bahanbahannya terdiri atas 75 g tepung terigu, 1 butir telur ayam, 175 ml air santan dari ¼ buah kelapa, 25 ml air ekstrak daun suji dan garam sebanyak ¼ sendok teh. Semua bahan diaduk dan dikocok rata. Wajan dipanaskan adonan kulit dadar gulung dimasukkan setiap satu sendok sayur ke dalam wajan yang telah dipanaskan. Kulit dadar gulung ditiriskan dan disimpan di atas piring (Gambar 2e). Tahap ketiga yaitu penggabungan isi dan kulit dadar gulung. Isi dadar gulung sebanyak satu sendok makan dimasukkan dan dibungkus ke dalam setiap kulit dadar gulung. Setelah semua isi dan kulit dadar gulung digabungkan, dadar gulung isi biji karet dibungkus dalam kemasan dan diberi label (Gambar 2f).
346
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 343-346, April 2015
A
B
C
D
E
F
Gambar 2. Panganan berbahan dasar biji karet. A. Proses pengeringan biji karet untuk keripik; B. Adonan tempeyek biji karet; C. Tempeyek biji karet; D. Isi dadar gulung; E. Kulit dadar gulung; F. Dadar gulung isi biji karet.
Pemanfaatan biji karet sebagai bahan pangan telah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Obewele et al. (2010) memanfaatkan biji karet sebagai minyak sayur. Setapar et al. (2013) menambahkan bahwa terdapat kandungan omega-3 pada minyak biji karet. Kusnanto et al. (2013) memanfaatkan biji karet sebagai bahan baku tempe. Muthusamy et al. (2014) selain memanfaatkan daging biji karet sebagai bahan pangan, kulit keras biji karet yang biasanya dibuang dapat dimanfaatkan sebagai tambahan bahan bangunan. Perebusan biji karet selama 15 menit dan merendamnya dalam air selama 24 jam (penggantian air rendaman setiap 6 jam) terbukti dapat menurunkan kadar asam sianida (HCN) pada biji karet. Biji karet yang telah aman dikonsumsi dapat dijadikan bahan baku pembuatan keripik biji karet, tempeyek biji karet dan dadar gulung isi biji karet. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada LPPM IPB yang telah mendanai perjalanan penulis ke Bengkulu dalam rangka mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Bersama kolaborasi antara IPB Bogor dan Universitas Bengkulu. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan kelompok KKN yang telah membantu dalam proses penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Indonesia. 2014. Potensi karet di Provinsi Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara. http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ia =17&ic=4. Ebewele RO, Iyayi AF, Hymore FK. 2010. Deacidification of high acidic rubber seed oil by reesterification with glycerol. Int J Physic Sci 5 (6): 841-846. Eka HD, Aris T, Nadiah WA. 2010. Potential use of Malaysian rubber (Hevea brasiliensis) seed as food, feed and biofuel. Int Food Res J 17 (1): 527-534. Kusnanto F, Sutanto A, Mulyani HRA. 2013. Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar protein dan daya terima tempe dari biji karet (Hevea brasiliensis) sebagai sumber belajar biologi sma pada materi bioteknologi pangan. Bioedukasi 4 (1): 21-27. Muthusamy K, Nordin N, Vesupateran G, Ali M, Annual NAM, Harun H, Ulap H. 2014. Exploratory study of rubber seed shell as partial coarse aggregate replacement in concrete. Res J Appl Sci Eng Technol 7 (6): 1199-1202. Nebiyu A, Getachew E. 2011. Soaking and drying of cassava roots reduced cyanogenic potential of three cassava varieties at jimma southwest Ethiopia. African J Biotechnol 6 (2): 13465-13469. Rivai RR, Herwitarahman A. 2014. Reduction technique of hydrogen cyanide (HCN) within rubber (Hevea brasiliensis) seed to increase diversivication of plant-based protein sources. J Halal Sci. Salimon J, Abdullah BM, Salih N. 2012. Rubber (Hevea brasiliensis) seed oil toxicity effect and linamarin compound analysis. Lipids Health Dis 11 (1): 74-82. Setapar SHM, Yian LN, Kamarudin WNW, Idham Z, Norfahana AT. 2013. Omega-3 emulsion of rubber (Hevea brasiliensis) seed oil. Agri Sci 4 (5B): 84-89. Ugwu FM, Oranye NA. 2006. Effects of some processing methods on the toxic components of African breadfruit (Treculia africana). African J Biotechnol 5 (2): 2329-2333. Ukpebor JE, Ekpaja EO, Ukpebor EE, Egharevba O, Evedue E. 2007. Effect of the edible mushroom, Pleurotus tubberegium on the cyanide level and nutritional contents of rubber seed cake. Pakistan J Nutri 6 (6): 534-537.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 347-351
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010230
Diversifikasi produk olahan buah mangrove sebagai sumber pangan alternatif masyarakat pesisir Toroseaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Diversification of mangrove fruit-based products as an alternative food source in Toroseaje coastal communities, Pohuwato District, Gorontalo DEWI WAHYUNI K. BADERAN1,♥, MARINI SUSANTI HAMIDUN1,♥♥, CHAIRUNNISAH LAMANGANDJO2, ♥♥♥, YULIANA RETNOWATI2,♥♥♥ 1
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo. Jl. Jendral Sudirman 06 Kota Gorontalo, Gorontalo,Indonesia. Tel./Fax. +62-435-821752,εemail:
[email protected], εε
[email protected] 2 Pusat Kajian Ekologi Pesisir Berbasis Kearifan Lokal, Jurusan Biologi, Universitas Negeri Gorontalo, Gedung N.1.10, Gorontalo,Indonesia. ♥♥♥email:
[email protected]; ♥♥♥♥
[email protected] Manuskrip diterima: 6 November 2014. Revisi disetujui: 15 Januari 2015.
Abstrak. Baderan DWK, Hamidun MS, Lamangandjo C, Retnowati Y. 2015. Diversifikasi produk olahan buah mangrove sebagai sumber pangan alternatif masyarakat pesisir Toroseaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 347-351. Hutan mangrove di wilayah pesisir Toroseaje yang berfungsi sebagai daerah penyangga Teluk Tomini, saat ini terus mengalami tekanan akibat aktivitas manusia yang melampaui daya dukungnya. Hutan mangrove sangat penting karena secara ekologis berfungsi sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Selain itu, hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomi karena buah mangrove dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif pengganti beras. Beras merupakan komoditas utama bangsa Indonesia. Dipakainya beras sebagai indikator pangan utama telah mematikan posisi pangan lokal yang menghasilkan berbagai masakan Nusantara. Masyarakat pesisir Toroseaje belum mengetahui bahwa buah mangrove yang terbuang percuma ke lingkungan dapat diolah menjadi berbagai makanan pengganti beras. Dengan memanfaatkan buah mangrove tujuan yang ingin dicapai yakni merubah paradigma masyarakat pesisir Toroseaje yang menyatakan bahwa beras adalah satu-satunya makanan pokok. Metode yang digunakan yakni metode survey dengan pendekatan kualitatif. Data yang digunakan berupa data sekunder dan primer yang dapat diperoleh di lapangan dan studi literatur. Hasil penelitian ini menghasilkan enam produk unggulan, yakni pia apapi, dodol munto, stik manis munto, stik asin munto, kerupuk soneratia, tepung munto, dan tiga produk tambahan, yakni cake munto, kue agar-agar munto, dan kacang keong munto. Sembilan produk pangan bersumber dari tiga spesies mangrove, yakni spesies Avicennia alba (apapi), Bruguiera gymnorrhiza (munto), dan Sonneratia alba. Kata kunci: Diversifikasi, mangrove, pangan alternatif
Abstract. Baderan DWK, Hamidun MS, Lamangandjo C, Retnowati Y. 2015. Diversification of mangrove fruit-based products as an alternative food source in Toroseaje coastal communities, Pohuwato District, Gorontalo. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 347351. Mangrove forests in the Toroseaje coastal area serving as a buffer zone of Tomini Bay is continuously pressured by anthropogenic activities beyond its carrying capacity. Mangrove forest is ecologically important, as it serves as foraging/feeding ground, spawning ground, and breeding/nursery grounds of fishes, shrimps and other marine organisms which many of them are economically important species. Human may also benefits from mangrove forests as it produces fruits that can be utilized as alternative food sources replacing rice. The nationally popular consumption rice has been overrunning potential use of local food resources, such mangrove fruits. Coastal communities in Toroseaje have not been aware that mangrove fruits can be processed into a variety of food. The development of mangrove fruit-based food is aimed to diversify food sources of Toroseaje communities, relieving the community from the heavy dependence of rice. Field and literature survey with a qualitative approach was conducted to collect primary and secondary data. The study highlights six superior mangrove fruits-based products, namely pia apapi, dodol munto, sweet munto stick, salty munto stick, soneratia crackers and munto flour. There are also three additional products made from mangrove fuits, namely munto cake, munto jelly, and kacang keong munto. Those nine products were made from three mangrove species Avicennia alba (apapi), Bruguiera gymnorrhiza (Munto), and Sonneratia alba. Keywords : Diversification, mangrove, alternative food
348
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 347-351, April 2015
PENDAHULUAN Wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh iklim, arus, masa air laut, dan keanekaragaman ekosistem yang terdapat didalammya. Keanekaragaman hayati pesisir dan lautan Indonesia hadir dalam berbagai bentuk ekosistem diantaranya adalah ekosistem mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Tingginya keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan lautan Indonesia dalam bentuk keanekaragaman genetik, spesies, maupun ekosistem, merupakan aset yang paling berharga untuk menunjang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Secara fisik, hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai dari proses abrasi, meredam dan menahan hempasan badai tsunami, sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat. Fungsi kimia, sebagai proses daur ulang yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida, sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan. Fungsi biologi, merupakan penghasil bahan pelapukan (decomposer), sebagai kawasan pemijah (spawning ground) atau asuhan (nursery ground) bagi udang, kepiting, kerang, dan sebagainya, sebagai kawasan berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain, sebagai sumber plasma nutfah, sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut lainnya. Fungsi sosial ekonomi, penghasil bahan bakar, bahan baku industri, obat-obatan, perabot rumah tangga, kosmetik, makanan, tekstil, lem, penyamak kulit, penghasil bibit/benih ikan, udang, kerang, kepiting, dan sebagai kawasan wisata, konservasi, pendidikan dan penelitian (Saparinto 2007). Provinsi Gorontalo mempunyai kawasan mangrove yang luas salah satu kawasan mangrove tersebut berada di wilayah pesisir Toroseaje, Kabupaten Pohuwato. Hutan mangrove di pesisir Toroseaje memiliki fungsi utama sebagai penyangga pesisir Teluk Tomini. Luas hutan mangrove di kawasan pesisir ini makin menurun akibat tekanan ekonomi masyarakat dan aktivitas penduduk yang melampaui daya dukung. Alihfungsi hutan mangrove di wilayah pesisir Toroseaje yang tidak terkendali menyebabkan perubahan luasan mangrove dan hilangnya flora dan fauna di lokasi ini. Perubahan luas hutan mangrove tersebut diakibatkan oleh adanya tekanan sosial ekonomi masyarakat dan aktivitas manusia yang telah melampaui daya dukung lingkungan, di mana masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove sering melakukan penebangan liar baik dalam skala kecil maupun secara besar-besaran untuk diambil kayunya, dijadikan sebagai bahan bakar, arang dan bahan bangunan rumah. Lebih parah lagi, ekosistem ini berubah peruntukannya menjadi tambak yang produktif dan non produktif. Aktivitas masyarakat ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kerusakan hutan mangrove akibat ulah manusia membawa dampak juga pada ancaman rawan pangan dan kelangkaan pangan didaerah khususnya di wilayah pesisir. Peduduk Indonesia hanya mengetahui tanaman pangan yang asli Indonesia diantaranya adalah padi, pisang, jenis umbi, jagung, sagu, dan talas. Padahal ada komoditi sumber pangan yang juga mengandung karbohidrat yang bersumber dari hutan mangrove yakni buah mangrove yang tidak pernah diolah oleh masyarakat pesisir karena masyarakat pesisir beranggapan bahwa buah mangrove berbahaya, beracun, dan tidak dapat di konsumsi. Penduduk di desa-desa pesisir Torosiaje berada pada rata-rata garis kemiskinan, mata pencaharian keluarga nelayan sangat tergantung pada kondisi dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan sumberdaya ikan sulit dijangkau sehingga keluarga nelayan beralih pencaharian ke hutan mangrove. Mereka dapat terpengaruh merambah hutan mangrove demi kebutuhan hidup. Dengan demikian faktor yang mendorong aktivitas perusakan hutan mangrove adalah kebutuhan ekonomi untuk kelangsungan hidup keluarga. Persoalan utama yang harus dipertimbangkan adalah memenuhi kebutuhan ekonomi penduduk desa pesisir Torosiaje dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia tanpa mengabaikan pelestarian hutan mangrove. Dengan menemukan sumber pangan baru dalam bentuk produk dari buah mangrove maka masyarakat mendapatkan informasi dan pengetahuan baru bahwa ada sumber pangan lain pengganti beras selain umbi-umbian, sagu, dan jagung dalam bentuk bubur buah dan penepungan disamping produk makanan lainnya. Pemanfaatan melalui buah mangrove tidak akan berdampak pada habisnya spesies mangrove. Melalui diversifikasi produk olahan buah mangrove dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif pengganti beras bagi masyarakat yang hidup di wilayah pesisir. Secara tidak langsung pemanfaatan buah mangrove tersebut, akan mengatasi ancaman rawan pangan bangsa Indonesia. BAHAN DAN METODE Area kajian Area kajian meliputi tiga desa Toroseaje serumpun, yaitu Desa Torosiaje, Desa Torosiaje Jaya dan Desa Bumi Bahari di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo (N 00028’35,5” E 121026’5,03”). Wilayah Torosiaje bagian pantai yaitu Desa Torosiaje Jaya dan Desa Bumi Bahari berada pada ketinggian lebih kurang 3 m dpl, dan Desa Torosiaje di permukiman laut berada di laut dangkal dengan kedalaman sekitar 0,5-2 m. Posisi geografis wilayah kajiandisajikan pada peta (Gambar 1). Cara kerja Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode survey, yaitu metode yang dilakukan untuk mengadakan pemeriksaan yang berlangsung di lapangan atau lokasi penelitian. Cara kerja pengolahan buah mangrove menjadi produk pangan sebagai berikut:
BADERAN et al. – Diversifikasi produk olahan buah mangrove
349
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kawasan mangrove pesisir Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Tanda panah menunjukkan lokasi pengambilan sampel dari buah mangrove (PKEPKL 2014).
Tahap pengambilan buah mangrove: (i) Melakukan observasi untuk memeperoleh informasi awal mengenai loasi yang akan dijadikan sebagai lokasi penelitian, dimana peneliti melakukan pengamatan di lapangan yang meliputi keseluruhan kawasan hutan mangrove mengenai keadaan fisiogami hutan mangrove serta keadaan pasang surut yang ada di pesisir Toroseaje, Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. (ii) Melakukan identifikasi spesies mangrove secara langsung di lapangan. (iii) Jumlah individu setiap spesies mangrove yang ditemukan dicatat. Tahap pelaksanaan. Sebelum pelaksanaan pelatihan pembuatan produk dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan tahapan persiapan selama 3 hari. Adapun tahap persiapan yang dilakukan sebagai berikut : (i) Pengupasan. Buah mangrove yang akan diolah terlebih dahulu di kupas. Khusus untuk spesies Avivennia spp pengupasan ini untuk memisahkan lembaga dengan putiknya.Tahap pengupasan untuk pemisahan lembaga dan putik.Hasil dari pemisahan lembaga dengan putiknya untuk mendapatkan daging buah yang akan digunakan untuk berbagai olahan. (ii) Perebusan. Daging buah yang sudah diperoleh kemudian akan direbus. Tahapan perebusan dilakukan 2 tahap yakni perebusan 1 selama 10 menit dan perebusan 2 ditambah abu gosok. (iii) Pencucian. Buah yang sudah dicuci bersih kemudian akan direndam. Tahapan perendaman minimal
dilakukan selama dua hari. Perendaman tersebut di lakukan selama 2x24 jam atau 2 hari. Dan yang sangat diperhatikan yakni pada tahap perendaman air yang digunakan harus diganti air setiap 6 jam. (iv) Penghancuran. Buah yang sudah selesai direndam kemudian akan dihancurkan (bisa di ulek halus, ditumbuk, atau di blender). Buah mangrove yang sudah melewati berbagai tahap di atas kemudian siap diolah untuk menghasilkan berbagai produk pangan yang diinginkan Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Spesies dan pemanfaatan buah mangrove Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh tigaspesies mangrovedi pesisir Toroseaje yang dapat diolah menjadi produk pangan yaitu spesies Avicennia alba (apapi), Bruguiera gymnorrhiza (munto), dan Sonneratia alba. Spesies dan pemanfaatan buah mangrove yang digunakan oleh masyarakat disajikan pada (Table 1).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 347-351, April 2015
350
Tabel 1. Spesies dan pemanfaatan buah mangrove yang digunakan oleh masyarakat Produk pangan
Nama spesies
Nama lokal
Avicennia alba
Apapi
Bruguiera gymnorrhiza
Munto
Perebusan, pengupasan, perendaman, penghancuran Perebusan, pengupasan, perendaman, pemarutan
Sonneratia alba
Pappa
Pengupasan, penghancuran
Cara pengolahan
Pia khas Gorontalo Tepung mangrove, stik asin, stik manis, cake, kue pudding, kacang keong Dodol, Kerupuk
A
B
C
D
E
F
Gambar 2. A. Pia apapi; B. Tepung munto; C. Stik manis munto; D. Dodol Pappa; C. Cake munto; D. Kue pudding munto (PKEPKL 2014).
Produk pangan berbahan dasar buah mangrove Buah mangrove yang sudah melewati berbagai tahapan, kemudian siap diolah menghasilkan berbagai produk pangan yang diinginkan. Adapun produk pangan yang telah dihasilkan disajikan pada (Gambar 2). Pembahasan Kawasan pesisir Torosiaje memiliki berbagai potensi sumber daya alam pesisir serta kearifan lokal masyarakat yang mendukung pelestarian ekosistem hutan mangrove Persentase penutupan dan kerapatan vegetasi mangrove cukup baik. Ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir dan laut Torosiaje masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat sehingga potensial untuk dikembangkan gunamenghasilkan berbagai produk pangan. Produk pangan yang bersumber dari tiga spesies yakni spesies Avicennia alba (Bahasa lokal: apapi), Bruguiera gymnorrhiza (Bahasa lokal: munto), dan Sonneratia alba (Bahasa lokal: pappa).
Buah Avicennia spp. mempunyai perawakan agak membulat, berwarna hijau agak keabu-abuan. Permukaan buah berambut halus (seperti ada tepungnya) dan ujung buah agak tajam seperti paruh dengan ukuran sekitar 1,5x2,5 cm. Menurut Kasemat (2011) buah mangrove seperti spesies Avicennia alba memilki kandungan karbohidrat 21,43, protein 10,85, lemak 0,04, serat kasar 4,09, air 61,95, abu 1,27, Fe (mg/kg) 30,11, Mg 76,22, K 5689,13, Ca 383,63, Vit B 3,74 mg/100g, dan Vit C 22,24 mg/100g. Buah Bruguiera gymnorrhiza perawakannya melingkar spiral, bundar melintang dengan panjang 2-2,5 cm. Hipokotil lurus tumpul dan berwarna hijau tua keunguan. Ukuran hipotokil mempunyai panjang 12-30 cm dan berdiameter 1,5-2 cm. Buah dari spesies ini, sudah banyak dieksplorasi sebagaai sumber pangan lokal baru menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan kelapa parut (Fortuna 2005). Buah mangrove jenis Bruquiera gymnorrhiza yang secara tradisional diolah
BADERAN et al. – Diversifikasi produk olahan buah mangrove
menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerjasama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menghasilkan kandungan energi buah mangrove ini adalah 371 kalori per 100 g, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 g), dan jagung (307 kalori per 100 g). Kandungan karbohidrat buah bakau sebesar 85.1 g per 100 g, lebih tinggi dari beras (78.9 g per 100 g) dan jagung (63.6 g per 100 g) (Hidayat 2014). Produk pangan yang dihasilkan dengan keterbatasan waktu menyebabkan penyimpanan dari produk tersebut tidak bisa bertahan lama, cepat menjadi busuk, maka diolah lagi buah Bruguiera gymnorrhiza menjadi tepung. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Kasemat (2011) bahwa spesies Bruguiera gymnorrhiza memiliki kadar air 73,75%, karbohidrat 23,528%, protein 1,128%, kadar lemak 1,246%, kadar abu 0,342, HCN 6,8559 mg, Tannin 34,105 mg, HCN setelah perebusan 0,72 mg dan setelah perendaman 0,504 mg, tannin setelah perebusan 28,2 mg dan setelah perendaman 25,37 mg. Buah Sonneratia alba tampak seperti bola dengan ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga. Buah mengandung biji (150-200 biji) dan tidak akan membuka pada saat telah matang, memiliki ukuran buah berdiameter 3,5-4,5 cm. Spesies ini memiliki potensi yang bisa dikembangkan menjadi sumber pangan lokal, dimana buah Sonneratia spp. memiliki keunikan dari buah mangrove lainnya yakni buah Sonneratiaspp ketika sudah matang (masak) sudah bisa langsung di manfaatkan menjadi jus dan dodol. Produk pangan dengan bahan dasar buah mangrove, dapat dikategorikan sebagai produk yang unik, dikarenakan selama ini masyarakat yang hidup di wilayah pesisir belum banyak memanfaatkan buah dari berbagai spesies mangrove untuk menjadi sumber pangan pengganti beras. Melalui informasi ilmiah yang telah dilakukan di Toroseaje provinsi Gorontalo menambah khasanah pengetahuan dan ikut serta menurunkan ketergantungan pada makanan
351
pokok bangsa kita yakni beras. Hanggarawati (2012) menyatakan bahwa, sasaran dari kebijakan diversifikasi pangan untuk menaikkan Skor Pola Pangan Harapan (tahun 2010 = 80,6; tahun 2014 = 93,3), menurunnya konsumsi beras/kapita (1,5% tahun), diimbangi dengan peningkatan konsumsi/kapita hasil-hasil ternak, ikan, umbi, buahan, dan sayuran. Sasaran skor Pola Pangan Harapan setiap wilayah disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan potensi sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal dalam hal ini diversivikasi pangan berbasis buah mangrove akan membutuhkan buah yang melimpah dan itu bisa diperoleh dengan terus melakukan pelestarian mangrove. Jika upaya rehabilitasi berhasil dan pelestarian terjaga maka bahan baku industri pengolahan mangrove akan cukup tersedia memungkinkan untuk terbentuknya industri pengolahan mangrove dan produksi pangan berbasis buah mangrove lebih kontinyu. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Pusat Studi Kajian Ekologi Pesisir, Universitas Negeri Gorontalo serta Mangrove for the Future (MFF) yang telah mendanai kegiatan pengolahan buah mangrove sebagai produk pangan. DAFTAR PUSTAKA Fortuna J de. 2005. Ditemukan buah bakau sebagai makanan pokok. http:// Tempointeraktif.com Hanggarawati. 2012. Produksi pertanian dan pangan berbasis kawasan dan lingkungan.meretas kedaulatan pangan dan penganekaragaman pangan berbasis komunitas.Penerbit Omar Niode Foundation. Jakarta. Hidayat T. 2014. Pengembangan Beras Analog Berbasis Buah Lindur, Sagu, dan Kitosan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan. Departemen Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kasemat. 2011. Pengolahan buah mangrove. Universitas Diponegoro Semarang. PKEPKL. 2014.Modul pusat kajian ekologi pesisir berbasil kearifan local. Jurusan Biologi. Universitas Negeri Gorontalo. Sadana. D. 2007. Buah aibon di biak timur mengandung karbohidrat tinggi. Situs Resmi Saparinto C. 2007. Pendayagunaan ekosistem mangrove mengatasi kerusakan wilayah pantai dan meminimalisasi dampak gelombang tsunami. Effhar dan Dahara Prize, Semarang.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 352-357
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010231
Tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani padi sawah untuk mendukung Program M-P3MI di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur Participation level of farmers in wetland rice farmer groups to support MP3MI Program in Paser District of East Kalimantan MUHAMAD RIZAL♥, SRIWULAN PAMUJI RAHAYU Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 28 November 2014. Revisi disetujui: 29 Januari 2015.
Abstrak. Rizal M, Rahayu SP. 2015. Tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani padi sawah untuk mendukung Program M-P3MI di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 352-357. Penelitian ini dilaksanakan pada 4 (empat) kelompok tani padi sawah, di Kabupaten paser, Provinsi Kalimantan Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat partisipasi petani dalam Kelompok tani padi sawah untuk mendukung program Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (M-P3MI) di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder dengan Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan pencatatan. Penentuan sampel dilakukan secara simple random sampling, mengambil 4 orang dari masing-masing Kelompok Tani sehingga sampel berjumlah 40 orang. Data yang diperoleh ditabulasi kemudian diolah dengan cara analisis kualitatif. Untuk mengetahui tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani pada sawah pada program M-P3MI di Kabupaten Paser, dilakukan penilaian kepada responden dengan memberikan nilai/skor terhadap komponen partisipasi yaitu kesadaran, keterlibatan dan manfaat yang diperoleh menjadi anggota Kelompok Tani pada program M-P3MI. Pemberian nilai/skor pada responden berkisar 1-3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani padi sawah pada komponen kesadaran tergolong tinggi, karena dari 40 orang petani sebanyak 85% menyatakan masuk sebagai anggota Kelompok Tani padi sawah berdasarkan kesadaran sendiri, pada komponen keterlibatan sebanyak 62,50%, dan pada komponen manfaat sebanyak 100%. Sehingga dengan partisipasi petani dalam program Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (M-P3MI), dapat meningkatkan kemampuan petani dalam sistem usahatani, meningkatkan kesejahteraan petani serta nilai tambah dan daya saing produksi usahataninya secara berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Timur. Kata kunci: Tingkat Partisipasi, Kelompok Tani, M-P3MI, Kalimantan Timur
Abstract. Rizal M, Rahayu SP. 2015. Participation level of farmers in wetland rice farmer groups to support MP3MI Program in Paser District of East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 352-357. This research was conducted in 4 wetland rice farmer groups, Paser District, East Kalimantan. The purpose of this research was to assess participation levels of farmers in the farmer group to support the Innovation-based Development Model for Rural Agriculture (MP3MI) program in Paser District, East Kalimantan. Primary and secondary data were collected from observation, interview and recording, using simple random sampling (at least 4 persons from each group, 40 persons in total). Collected data was analyzed using qualitative analysis. Components of participation, namely awareness, involvement, and benefits obtained by becoming a member of the farmer group, were scored ranging 1-3, to examine the level of farmer participation in the farmer groups. Research result showed that the level of farmer participation, in terms of awareness, was high, because up to 85% of the respondents stated that they willingly wanted to join the group. Regarding involvement, 62.50% of the respondents were involved in the group’s activities. In addition, all respondents believed that they get to benefit from the group. Therefore, farmer participation in MP3MI program can increase farmer’s capacity in their farming system, increase farmer’s welfare, added value and competitiveness, which are necessary for sustaining agriculture in East Kalimantan. Keywords: Participation level, farmer group, MP3MI, East Kalimantan
PENDAHULUAN Salah satu sasaran pembangunan pertanian adalah menumbuh-kembangkan sistem dan usaha pertanian yang berdaya saing tinggi sehingga dapat memberi kesejahteraan bagi petani pelakunya. Membangun sistem pertanian yang tangguh perlu di dukung oleh teknologi disamping sumber daya alam dan sumber daya manusia serta modal.
Badan Litbang Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sejak tahun 2010, telah melaksanakan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (M-P3MI), suatu model diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian kepada pengguna, terutama masyarakat tani di pedesaan (Hendayana et al. 2009). Program M-P3MI
RIZAL & RAHAYU – Partisipasi dalam program MP3MI di Paser
diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) pengguna inovasi. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian menggunakan lima pendekatan yaitu: (i) agribisnis, (ii) agro-ekosistem, (iii) wilayah, (iv) kelembagaan, dan (v) pemberdayaan masyarakat. M-P3MI mencakup pengembangan agribisnis lengkap dan padu padan dalam satu unit industrial agribisnis, berbasis agroekosistem tertentu, melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya pertanian suatu wilayah, kelembagaan pertanian, dan pemberdayaaan masyarakat petani, sehingga inovasi yang diperkenalkan mampu meningkatkan partisipasi dan memberikan nilai tambah sebesar-besarnya bagi petani dan pelaku agribisnis lainnya (Badan Litbang Pertanian 2005). Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian diterapkan dengan penggalian potensi desa berdasarkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam secara teringetarsi sehingga secara teknis dapat di aplikasi oleh petani, secara sosial budaya diterima dan secara ekonomi menguntungkan. Sejak awal dimulai pada tahun 2011 telah dilaksakanakan secara terbatas di Kabupaten Paser, Bulungan dan Nunukan. Hasil yang diperoleh M-P3MI di Kabupaten Paser dengan agroekosistem sawah tadah hujan dengan sistem surjan dapat ditanami padi Inpari 10 memberikan keuntungan sebesar Rp. 22.153.000,-dengan B/C Ratio 3,12. Pemanfaatan surjan yang di tanami dengan kacang panjang dapat memberikan keuntungan tambahan sebesar Rp. 1.525.000,-dengan B/C Ratio 1,03. M-P3MI di Kabupaten Nunukan dengan agroekosistem sawah tadah hujan di integrasikan dengan ternak sapi. Introduksi VUB padi Inpari 10 memberikan keuntungan sebesar Rp. 22.623.000,-dengan B/C Ratio 2,70. Pemanfaatan limbah berupa jerami padi dapat dijadikan pakan ternak sapi. MP3MI di Kabupaten Bulungan dengan agroekosistem sawah pasang surut dengan sistem surjan dapat ditanami padi Inpara 1 memberikan keuntungan sebesar Rp.16.123.000,dengan B/C Ratio 2,05. Pemanfaatan surjan yang di tanami dengan jagung manis dapat memberikan keuntungan tambahan sebesar Rp.3.538.000,-dengan B/C Ratio 1,17. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Paser memiliki potensi yang cukup besar untuk terus di kembangkan melalui dukungan program Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (Purwantiningdyah et al. 2013). Provinsi Kalimantan Timur dengan luas daratan sekitar 19,40 juta Ha dan memiliki potensi lahan sawah (pasang surut dan rawa tadah hujan) seluas 665,36 ribu Ha dan lahan kering seluas 2,03 juta Ha, mempunyai potensi yang besar dalam meningkatkan ketersediaan pangan nasional. Namun demikian kontribusi provinsi Kalimantan Timur dalam mencukupi kebutuhan pangan secara nasional masih rendah (Dinas Pertanian Prov. Kaltim 2012). Sehubungan dengan itu maka pemerintah mulai meningkatkan kegiatan pertanian sebagai penyanggah perekonomian bangsa dengan meletakkan komponen dasar
353
yang harus dibina yaitu pembinaan terhadap petani sebagai pelaksana pembangunan ditingkat lapangan. Pembinaan terhadap petani di arahkan untuk merubah sikap petani dan perilakunya sehingga kegiatan usahataninya selain dapat meningkatkan produksi juga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya (Adjid D.A.,1985). Abbas (1995), menerangkan bahwa petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian memerlukan: (i) Peningkatan pengetahuan dan keterampilannya, (ii) Pemberian nasehat teknis dan informasi, (iii) Peningkatan mutu organisasi dan kepemimpinannya, dan (iv) Penanaman motivasi dan percaya diri dalam menangani usahataninya. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan petani dalam sistem usahatani, meningkatkan kesejahteraan petani serta nilai tambah dan daya saing produksi usahataninya secara berkelanjutan melalui partisipasi petani dalam program Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (M-P3MI). BAHAN DAN METODE Lokasi dan jenis data penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Padang Pengrapat, Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur, pada tahun 2014 di 4 Kelompok Tani Padi Sawah. Penentuan lokasi berdasarkan beberapa kriteria antara lain daerah tersebut merupakan lokasih kegiatan pelaksanaan program Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (M-P3MI), sebagai sentra produksi komoditas padi sawah, telah terbentuk lebih dari 10 kelompok tani dan sebagian besar (90%) petani padi sawah dilokasi penelitian telah menjadi anggota kelompok tani serta teknologi diperlukan petani dan domisili petani di daerah tersebut. Jenis data dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder serta pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan pencatatan. Teknik pengambilan sampel dan variabel yang diamati Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang terdaftar sebagai pengurus dan anggota kelompok tani padi sawah. Pengambilan sampel dengan menggunakan Teknik simple random sampling, yakni mengambi 4 orang dari masing-masing kelompok tani padi sawah sehinggal sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 responden. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: (i) Pengalaman berusaha tani dan pengalaman menjadi anggota kelompok tani. (ii) Tingkat partisipasi petani yang diukur adalah kesadaran menjadi anggota, keterlibatan dalam kegiatan kelompok dan manfaat yang diperoleh setelah menjadi anggota kelompok. Analisis data Data yang diperoleh ditabulasi kemudian diolah dengan cara analisis kualitatif. Untuk mengetahui tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani padi sawah di Desa Padang Pengrapat dilakukan penilaian kepada responden dengan memberikan skor/nilai pada responden berkisar 1-
354
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 352-357, Maret 2015
3. Nilai tersebut dijumlahkan kemudian dihitung nilai rataratanya untuk menentukan tingkat partisipasi responden dalam kelompok tani padi sawah. Responden dengan nilai di atas rata-rata menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi, sebaliknya responden dengan nilai di bawah ratarata menunjukkan tingkat partisipasi yang rendah dalam kelompopk tani. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum wilayah Kabupaten Paser secara geografis terletak antara 115031’12,16’’ s/d 116035’38,84” Bujur Timur dan 0°50’14,86’’ s/d 2°24’35,96’’ Lintang Utara, terdiri dari 10 kecamatan dengan 130 buah desa/kelurahan (data tahun 2012) dan empat buah UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi). Jarak dari ibukota Provinsi (Samarinda) ke ibukota Kabupaten Paser (Tanah Grogot) yaitu 260 km. Jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 231.593 jiwa atau memiliki kepadatan penduduk 8 jiwa/km² dengan curah hujan rata-rata tahunan cukup tinggi berkisar dari 1.746 mm/tahun, sedangkan mata pencaharian penduduk
sebagian besar adalah bertani (Dinas Perkebunan dan Pertanian Kab. Paser 2012). Desa Padang Pengrapat, Tanah Grogot, Paser, Kalimantan Timur (Gambar 1) dengan luas wilayah 3.000 hektar, sebagian besar dengan topografi datar dan merupakan lahan basah dengan prosentase 12,91% dari luas keseluruhan wilayah. Jenis tanah yang dimiliki ratarata tanah podsolik merah kuning, dengan tekstur pasir berlempung, tingkat kesuburan sedang dan derajat keasaman berkisar antara pH 4,2-5,8. Topografi dataran rendah dengan ketinggian 0-15 meter di atas permukaan laut, sebagian besar merupakan lahan kering. Vegetasi alami hutan lahan kering dan kayu gelam untuk daerah rawa tadah hujan. Desa Padang Pengrapat mempunyai iklim tropis, musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai Oktober, sedangkan musim penghujan dari bulan Nopember sampai dengan April. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun bervariasi, data curah hujan diperoleh dari stasiun curah hujan Kecamatan Tanah Grogot, curah hujan dan jumlah hari hujan tertinggi pada bulan Desember sedangkan terendah pada bulan Agustus, curah hujan ratarata 183,83 mm/tahun. Kisaran suhu harian 27-31 oC dengan kelembaban berkisar 65-80%. (Desa Padang Pengrapat 2013).
Gambar 1. Lokasi penelitian di Desa Padang Pengrapat (kotak), Tanah Grogot, Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur
RIZAL & RAHAYU – Partisipasi dalam program MP3MI di Paser
Identitas petani responden Identitas petani responden merupakan gambaran keadaan petani yang dapat mempengaruhi pola tindak dan pola pikir dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan usahataninya. Diantaranya adalah pengalaman berusaha tani dan pengalaman menjadi anggota kelompok tani. Pengalaman berusahatani merupakan lamanya petani responden menekuni kegiatan usahatani padi sawah. Adapun keadaan petani responden berdasarkan pengalaman berusahatani dapat dilihat pada Tabel 3. Secara geografis, Desa Padang Pengrapat terletak di sebelah utara dari Ibukota Kecamatan Tanah Grogot dengan jarak 10 km. Penduduk Desa Padang Pengrapat berjumlah 2.962 jiwa yang terdiri dari laki-laki 1.587 jiwa dan perempuan 1.357 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga 753 KK. Berdasarkan mata pencaharian penduduk Desa Padang Pengrapat sebagian besar petani pemilik, yaitu 463 jiwa dari jumlah penduduk. untuk lebih jelasnya terlihat pada Tabel 1. Jumlah Kelompok Tani di Desa Padang Pengrapat adalah 22 kelompok dengan tingkat kemampuan yang dicapai sebagai berikut: 15 kelompok tingkat lanjut, 3 kelompok tingkat madya dan 4 kelompok tani masih pemula, lebih rinci terlihat pada Tabel 2. Dari Tabel 3, diatas terlihat bahwa pengalaman berusahatani 77,50% berada pada usia 11-18 tahun, hal ini menunjukkan bahwa petani responden telah menggeluti usahatani padi sawah cukup lama yang berarti bahwa petani responden telah mahir berusaha tani. Salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam berusahatani adalah lamanya menjadi anggota kelompok. Karena dengan lamanya menjadi anggota kelompok maka sedikit banyak pengalaman berusahatani lebih banyak berkembang. Adapun keadaan petani responden berdasarkan lamanya menjadi anggota kelompok tani pada sawah di Desa Padang Pengrapat dapat dilihat pada Tabel 4. Partisipasi petani dalam kelompok tani program M-P3MI Partisipasi adalah peran serta atau keikutsertaan untuk mengambil bagian dalam suatu kegiatan yang meliputi kesadaran, keterlibatan dan manfaat. Kesadaran berupa keikutsertanaan petani dalam kegiatan penyuluhan, sedangkan keterlibatan berupa peran petani dalam kegiatan-kegiatan pertanian dan manfaat disini merupakan hasil yang diperoleh setelah petani responden menjadi anggota kelompok tani (Indrawati et al. 2003). Kesadaran adalah keikutsertaan petani responden untuk menjadi anggota kelompok tani padi sawah di Desa Padang Pengrapat, yang diukur dari jawaban petani dengan pernyataan/kriteria kesadaran sendiri diberi skor 3, ajakan teman diberi skor 2, dan karena paksaan orang lain diberi skor 1. Keterlibatan adalah ikut terlibatnya petani responden dalam kegiatan-kegiatan kelompok tani seperti penyusunan rencana usaha kelompok, kegiatan penyuluhan dalam kelompok maupun mengenai masalah dalam kelompok tani, yang diukur dari jawaban petani dengan
355
pernyataan/kriteria sering ikut diberi skor 3, kadangkadang ikut diberi skor 2, dan tidak pernah ikut diberi skor 1. Manfaat adalah hasil yang diperoleh setelah petani responden menjadi anggota kelompok tani yang diukur dari jawaban petani dengan pernyataan/kriteria bermanfaat diberi skor 3, kurang bermanfaat diberi skor 2, dan tidak bermanfaat diberi skor 1. Adapun komponen partisipasi petani dalam kelompok tani padi sawah di Desa Padang Pengrapat pada pelaksanaan kegiatan program MP3MI dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 1. Penduduk umur 16 tahun ke atas menurut kegiatan usaha di Desa Padang Pengrapat, Kabupaten Paser (Monografi Desa Padang Pengrapat 2011). Jenis mata pencaharian Petani pemilik penggarap Petani pemilik non penggarap Penyewa Pemilik perkebunan Peternak Pegawai Desa Pegawai Negeri Sipil Perdagangan Tukang Jasa Angkutan/Supir Perbengkelan Pemilik kolam Pengrajin Total
Jumlah (jiwa) 463 49 12 315 311 30 64 32 10 5 55 15 4 1.365
Tabel 2. Keadaan Kelompok Tani di Desa Padang Pengrapat, Kabupaten Paser (Monografi Desa Padang Pengrapat 2011). Nama Dahlia Utama Depan Rinjani Terang Rinjani Agung Karya Bakti Tani Mekar Tani Makmur Panca Usaha Paguyuban Makarti Mukti Pantang Mundur Bina Usaha Serba Usaha Sinar Maju Karya Baru Sinar Wareng Kandel Transita Jaya Rukun Karya Dahlia Baru Trubus Kencana Rawa Buah Padang Sawit
Jumlah anggota (orang) 15 26 35 37 27 23 20 30 40 25 40 25 21 20 26 33 22 23 17 30 20 15
Kelas Kelompok Lanjut Lanjut Pemula Madya Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Lanjut Madya Lanjut Pemula Lanjut Madya Lanjut Lanjut Pemula Lanjut Lanjut Pemula
Kegiatan Pertanian Utama Padi Sawah Padi Sawah Padi Sawah Padi Sawah Padi Sawah Padi Sawah Padi Sawah Hortikultura Padi Sawah Hortikultura Padi Sawah Hortikultura Hortikultura Hortikultura Hortikultura Padi Sawah Padi Sawah Padi Sawah Padi Sawah Hortikultura Hortikultura Hortikultura
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 352-357, Maret 2015
356
Tabel 3. Keadaan petani responden berdasarkan pengalaman berusahatani Pengalaman berusahatani (tahun) 3-10 11-18 Jumlah
Jumlah (orang) 9 31 40
Persentase (%) 22,50 77,50 100,00
Tabel 4. Keadaan petani responden berdasarkan lamanya menjadi anggota Poktan. Lamanya menjadi anggota Kelompok Tani (tahun) 2-5 6-10 Jumlah
Jumlah responden (orang) 25 15 40
Persentase (%) 62,50 37,50 100,00
Tabel 5. Komponen partisipasi petani responden dalam kelompok tani padi sawah di Desa Padang Pengrapat, Kabupaten Paser Komponen partisipasi Kesadaran: Sendiri Ajakan teman Paksaan orang lain Total Keterlibatan: Sering ikut Kadang-kadang Tidak pernah ikut Total Manfaat: Bermanfaat Kurang bermanfaat Tidak bermanfaat Total
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
34 6 40
85 15 100
25 15 40
62,50 37,50 100
40 40
100 100
Tabel 6. Komponen tingkat partisipasi petani responden dalam kelompok tani padi sawah di Desa Padang Pengrapat, Kabupaten Paser Komponen partisipasi Kesadaran: Tinggi Rendah Total Keterlibatan: Tinggi Rendah Total Manfaat: Tinggi Rendah Total
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
34 6 40
85 15 100
25 15 40
62,50 37,50 100
40 40
100 100
Dari Tabel 5, menunjukkan pada komponen kesadaran sebanyak 85% petani responden menyatakan masuk menjadi anggota kelompok tani padi sawah pada program MP3MI di Desa Padang Pengrapat atas kesadaran sendiri dengan alasan bahwa kelompok tani banyak memberikan manfaat dalam hal kegiatan budidaya seperti penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pemanenan. Pada komponen keterlibatan, sebanyak 62,50% petani responden menyatakan sering ikut dalam kegiatan kelompok tani dengan alasan selain memiliki banyak waktu, kegiatan dalam kelompok tidak bertepatan dengan urusan-urusan lain seperti urusan keluarga. Sedangkan pada komponen manfaat, sebanyak 100% petani responden menyatakan bermanfaat setelah masuk menjadi anggota kelompok tani dengan alasan rasa kekeluargaan semakin erat serta permasalahan yang dialami oleh anggota kelompok dapat di diskusikan dan diselesaikan dengan mudah dalam kelompok. Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah di lakukan sebelumnya, bahwa indikator partisipasi petani yaitu kesadaran memiliki skor rata-rata lebih tinggi (18,64), dari indikator keterlibatan dan manfaat, sedangkan dari indikator partisipasi yaitu keterlibatan sebanyak 10,56% petani yang terlibat dalam kegiatan kelompok tani serta pada indikator manfaat adalah 8,16 %, meskipun dari ketiga indikator skor rata-rata paling rendah, tetapi tidak mempengaruhi terhadap rendahnyatingkat partisipasi (Jannah dan Effendi 2011). Tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani program M-P3MI Berdasarkan hasil penelitian terhadap 40 orang petani responden di Desa Padang Pengrapat pelaksana kegiatan program MP3MI, pada komponen kesadaran 34 orang petani responden memiliki tingkat partisipasi tinggi dan 6 orang memiliki partisipasi rendah. Pada komponen keterlibatan, 25 orang petani responden memiliki tingkat partisipasi tinggi dan 15 orang memiliki partisipasi rendah. Sedangkan pada komponen manfaat secara keseluruhan petani memiliki tingkat partisipasi tinggi. Untuk mengetahui tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani program MP3MI di Desa Padang Pengrapat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi yang tinggi dari petani pada komponen kesadaran mengindikasikan bahwa tanpa ada paksaan dari pihak manapun petani di Desa Padang Pengrapat telah menyadari sepenuhnya dengan masuk menjadi anggota kelompok tani padi sawah untuk mendukung pelaksanaan program MP3MI akan memberikan manfaat terutama dalam hal pengelolaan usahatani dan peningkatan produktivitas padi sawah. Tingkat partisipasi yang tinggi pada komponen keterlibatan yakni petani sering mengikuti kegiatan dalam kelompok karena adanya koordinasi antar sesama pengurus dan anggota sehingga kegiatan yang dilaksanakan dalam kelompok tidak bertepatan dengan kegiatan lain. Sedangkan pada tingkat partisipasi tinggi pada komponen manfaat disebabkan karena secara keseluruhan petani responden merasakan bahwa masuk menjadi anggota kelompok memberikan manfaat yang besar baik dalam hal
RIZAL & RAHAYU – Partisipasi dalam program MP3MI di Paser
budidaya tanaman maupun adopsi inovasi teknologi pertanian yang diterapkan. Tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani padi sawah untuk mendukung program Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (M-P3MI), baik pada komponen kesadaran, komponen keterlibatan maupun komponen manfaat secara keseluruhan tergolong tinggi. Hal ini selain karena adanya kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dan memiliki banyak waktu, juga karena merasakan banyaknya manfaat yang diperoleh dalam hal kegiatan pengelolaan usahatani, peningkatan produktivitas maupun dalam kehidupan sosial. Peran dan partisipasi aktif petani dalam kelompok tani diharapkan dapat terus mendukung pelaksanaan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Pertanian (M-P3MI), sehingga dapat mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan secara berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Timur. DAFTAR PUSTAKA Abbas S. 1995. Sembilan Puluh Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Sekretaris Badan Pengendali Bimas. Jakarta, Departemen Pertanian.
357
Adjid DA. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana. Orba Sakti, Bandung. Badan Litbang Pertanian. 2005. Pedoman Umum Primatani. 2005. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2012. Petunjuk Pelaksanaan M-P3MI. Litbang Pertanian, Jakarta. Desa Padang Pengrapat. 2013. Profil Desa Padang Pengrapat. Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser. Provinsi Kalimantan Timur. Dinas Perkebunan dan Pertanian Kab. Paser. 2012. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan dan Pertanian Kabupaten Paser, Tahun 2012. Provinsi Kalimantan Timur, Tanah Grogot. Dinas Pertanian Prov. Kaltim. 2012. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur, Tahun 2012. Kalimantan Timur, Samarinda. Hendayana R, Djauhari A, Enrico S, Gozali A, Hutomo S. 2009. Disain Model Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Program Unggulan Badan Litbang Pertanian. Laporan Penelitian SINTA 2009. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Indrawati DR, Irawan E, Haryanti N, Yuliantoro D. 2003. Partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT). Jurnal Pengelolaan DAS 9 (1): 30-44. Jannah DM, Effendi M. 2011. Partisipasi Petani Dalam Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) di Kelurahan Lempake Kecamatan Samarinda Utara. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Pembangunan 8 (1): 9-16. Monografi Desa Padang Pengrapat. 2011. Data Monografi Desa Padang Pengrapat 2011, Kabupaten Paser, Paser. Purwantiningdyah DN, Hidayanto M, Nurbani 2013. Model Pengembangan Pertanian Melalui Novasi Pertanian (M-P3MI) Di Kalimantan Timur. Laporan Akhir Kegiatan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 358-365
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010232
Interaksi iklim (curah hujan) terhadap produksi tanaman pangan di Kabupaten Pacitan Relationship between climate (rainfall) and crop production in Pacitan SUCIANTINI Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Balitbang Kementan. Jl. Tentara Pelajar No. 1A Cimanggu, Kota Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia. Tel. +62-251-8312760, Fax. +62-251-8323909, εemail:
[email protected]. Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 16 Januari 2015.
Abstrak. Suciantini. 2015. Hubungan antara iklim (curah hujan) dan produksi tanaman pangan di Kabupaten Pacitan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 358-365. Pertumbuhan dan kualitas tanaman tergantung pada interaksi antara faktor lingkungan dengan faktor genetik tanaman. Faktor genetik berkaitan dengan karakteristik yang biasanya bersifat khas pada tanaman. Sedangkan faktor lingkungan berperan mengontrol potensi tanaman salah satunya adalah iklim/cuaca. Salah satu unsur iklim yang dapat digunakan sebagai indikator dalam kaitannya dengan tanaman adalah curah hujan. Keragaman curah hujan biasanya dikaitkan dengan keragaman hasil tanaman semusim, terutama untuk kondisi Indonesia. Dewasa ini banyak diperbincangkan mengenai terjadinya iklim ekstrim yang berdampak cukup besar terhadap tanaman semusim, terutama tanaman pangan. Tulisan ini memaparkan mengenai fluktuasi produksi dan luas panen tanaman pangan di Kabupaten Pacitan dan kaitannya dengan fluktuasi curah hujan. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pacitan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan, Dinas Binamarga dan Pengairan Kabupaten Pacitan dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) daerah. Data yang dikumpulkan meliputi; varietas, luas tanam, luas panen, data iklim terutama curah hujan harian dan bulanan, serta data kondisi pola tanam di sentra produksi tanaman pangan. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa luas panen dan produksi cukup terpengaruh dengan kondisi curah hujan terutama pada kondisi terjadi iklim ekstrim seperti El-Nino atau La-Nina. Kata kunci: Curah hujan, Pacitan, produksi, tanaman pangan
Abstract. Suciantini. 2015. Relationship between climate (rainfall) and crop production in Pacitan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 358-365. Growth and quality of crops depend on the interaction between environmental and genetic factors. Genetic factors correspond with characteristics that are usually unique to the plants. One of the environmental factors that control the plant’s potential is climate/weather. One element of climate that can be used as an indicator in relation to plants is rainfall. Variability of rainfall is usually associated with variability in seasonal crops, especially in Indonesia. It is recently recognized that the occurrence of extreme climate has a significant impact on crops production. This paper describes fluctuation in crop production and crop area related with rainfall fluctuation in Pacitan. Secondary data were obtained from Department of Food Crops and Livestock District Pacitan, Department of Public Works and Irrigation District Pacitan and Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics (BMKG). Data collected were including crop varieties, planting area, harvested area, and climate data (esp. daily and monthly rainfall), as well as planting pattern in crop production center. The results showed that planting area and crop production was moderately affected by the rainfall, mainly in extreme climatic conditions such as the El Nino or La Nina. Keywords: Crops, Pacitan, production, rainfall
PENDAHULUAN Salah satu komponen lingkungan yang merupakan faktor penentu keberhasilan suatu usaha budidaya tanaman adalah iklim/cuaca. Interaksi antara iklim/cuaca sebagai faktor lingkungan dengan faktor genetik tanaman akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kualitas tanaman. Faktor genetik berkaitan dengan karakteristik yang biasanya bersifat khas pada tanaman, seperti kondisi batang, bentuk bunga, bentuk daun dan sebagainya. Iklim perlu mendapat perhatian yang lebih serius mengingat pengaruhnya terhadap hampir semua aspek pertanian, sehingga sangat berperan terhadap perencanaan
jangka pendek maupun jangka panjang, terlebih lagi pada kondisi terjadinya perubahan iklim atau kejadian iklim ekstrim. Kejadian perubahan iklim sebagaimana diproyeksikan oleh model-model iklim abad 21 mempunyai potensi secara signifikan mengubah kondisi produksi. IPCC (2007) menjelaskan bahwa curah hujan rata-rata global meningkat 2% dalam 100 tahun terakhir. Hal ini menegaskan bahwa perubahan iklim mungkin terjadi. Terjadinya iklim ekstrim berdampak cukup besar terhadap tanaman semusim, terutama tanaman pangan. Salah satu unsur iklim yang dapat digunakan sebagai indikator dalam kaitannya dengan tanaman adalah curah
SUCIANTINI – Interaksi iklim dengan produksi di Pacitan
hujan. Mengingat curah hujan merupakan unsur iklim yang fluktuasinya tinggi dan pengaruhnya terhadap produksi tanaman cukup signifikan. Jumlah curah hujan secara keseluruhan sangat penting dalam menentukan hasil (Anwar et al. 2015), terlebih apabila ditambah dengan peningkatan suhu, peningkatan suhu yang besar dapat menurunkan hasil. Peningkatan curah hujan di suatu daerah berpotensi menimbulkan banjir, sebaliknya jika terjadi penurunan dari kondisi normalnya akan berpotensi terjadinya kekeringan. Kedua hal tersebut tentu akan berdampak buruk terhadap metabolisme tubuh tanaman dan berpotensi menurunkan produksi, hingga kegagalan panen. Menurut Latiri et al (2010), curah hujan berkorelasi tinggi terhadap komponen hasil. Studi Latiri et al (2010) di Tunisia, menunjukkan bahwa komponen hasil sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan pada musim gugur, yang menunjukkan pentingnya tahap pertumbuhan awal.Air merupakan faktor pembatas utama di wilayah semi arid, hal itu ditunjukkan tidak saja dari produksi per hektarnya, tetapi juga dari total luas panen. Kejadian iklim ekstrim yang mempengaruhi curah hujan, banyak dikaitkan dengan kondisi ENSO. Karakteristik ENSO diwakili oleh kondisi curah hujan pada tahun-tahun El-Nino dan La-Nina, yaitu pada saat kondisi curah hujan menyimpang dari kondisi normalnya. Pada saat terjadi El-Nino, curah hujan di wilayah Indonesia umumnya akan berada di bawah normal (di bawah rata-rata jangka panjangnya). Sebaliknya pada saat terjadi La-Nina, curah hujan akan berada di atas normalnya (di atas rata-rata jangka panjangnya). Pada saat terjadi La-Nina, curah hujan turun lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih
Gambar 1. Dua belas kecamatan di Kabupaten Pacitan
359
lama sehingga waktu tanam padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Untuk pertanaman padi, biasanya kondisi La-Nina dianggap cukup menguntungkan dengan tersedianya air yang cukup untuk pertanaman. Namun di sisi lain, kemungkinan terjadi banjir juga perlu diwaspadai. Pada peristiwa El-Nino, semakin kuat kejadian El-Nino maka curah hujan maksimum menjadi mundur waktunya dibandingkan pada kondisi normal. ElNino dapat menyebabkan lambatnya onset dan mundurnya awal musim hujan (Lansigan et al. 2000). Hal lain yang harus diwaspadai adalah terjadinya penurunan curah hujan yang cukup signifikan pada kejadian El-Nino kuat terutama pada bulan-bulan di musim hujan (mulai bulan Oktober). Keragaman curah hujan biasanya dikaitkan dengan keragaman hasil tanaman semusim yang dicerminkan dalam bentuk produksi atau produktivitas. Tulisan ini memaparkan mengenai fluktuasi curah hujan dan pengaruhnya terhadap produksi dan luas panen tanaman pangan di Kabupaten Pacitan.
BAHAN DAN METODE Area kajian Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Pacitan (Gambar 1). Kabupaten Pacitan mempunyai 12 kecamatan; yaitu Arjosari, Bandar, Donorojo, Kebonagung, Nawangan, Ngadirojo, Pacitan, Pringkuku, Punung, Sudimoro, Tegalombo dan Tulakan.
360
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 358-365, April 2015
Cara kerja Pengumpulan data. Data sekunder dikumpulkan dari dinas pertanian kabupaten (Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan tahun 2007 hingga 2011), Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten pacitan dan BMKG daerah, diantaranya adalah data varietas, kebiasaan budidaya petani, bencana iklim, luas tanam dan panen, dan curah hujan harian dan bulanan. Pengumpulan data di sentra produksi tanaman pangan serta data iklim dari instansi terkait dimaksudkan untuk mengetahui potensi curah hujan dalam kondisi iklim normal, basah, dan kering. Selain itu, untuk mengetahui perubahan kondisi ENSO, dikumpulkan data SST Nino 4. Data yang diperoleh kemudian direkapitulasi dan diolah secara statistik deskriptif dan disajikan hasilnya dalam bentuk tabulasi atau grafik sesuai kebutuhan analisis. Analisis data Analisis data yang dilakukan adalah analisis curah hujan, analisis produktivitas berkaitan dengan perubahan iklim dan lain-lain, sebagai berikut: (i) Untuk mengetahui keragaman iklim secara jangka panjang, dibuat keragaman musiman curah hujan dengan menggunakan data hujan pada wilayah Kabupaten Pacitan. Pada tahun-tahun ElNino, Normal dan La-Nina dilihat bagaimana pergeserannya. (ii) Untuk mengetahui keragaman musiman produksi padi, digunakan data produktivitas jangka panjang. Dilihat bagaimana perubahannya pada tahun-tahun El-Nino, Normal dan La-Nina.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kabupaten Pacitan terletak di bagian paling barat daya Propinsi Jawa Timur dan berada di kawasan pantai selatan Pulau Jawa berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah, memiliki luas wilayah daratan 1.419, 44 Km2. Letak geografis Kabupaten Pacitan berada antara 110˚55’ – 111˚25’ Bujur Timur dan 7˚55’ – 8˚17’ Lintang Selatan. Kabupaten Pacitan secara administratif terbagi dalam 12 kecamatan, 5 kelurahan dan 159 desa. Sekitar 21% dari luas Kabupaten Pacitan adalah kawasan pegunungan kapur (kars) dengan topografi: 85% wilayah berbukit sampai bergunung, 10% bergelombang, dan 5% wilayah datar. Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan (2009) diketahui bahwa dari 12 Kecamatan di Kabupaten Pacitan, semua kecamatan melakukan pertanian tanaman pangan dengan persentase terbesar di Kecamatan Nawangan (15%), Kebon Agung dan Tulakan (14%). Persentase tersebut didasarkan kepada luas sawah yang diusahakan pada setiap kecamatan (Gambar 2). Di samping penanaman pada lahan sawah, penanaman tanaman pangan di lahan kering juga diusahakan, bahkan lebih luas daripada lahan sawah. Gambar 3 memperlihatkan hamparan lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten Pacitan. Varietas yang banyak digunakan di Kabupaten Pacitan adalah IR 64, Sembada, Ciherang, Cibogo, Situ Bagendit,
Intani dan Slegreng (padi lokal). Pada umumnya penanaman pada MT-1 adalah >90% padi monokultur, dan hanya sebagian kecil yang menanam padi ditumpangsarikan dengan palawija. Tanaman pada MT II, lebih bervariasi, karena pada umumnya petani sudah memahami kesulitan pengairan untuk pertanaman padi, meskipun untuk sebagian kecil wilayah ada yang mengusahakan padi bahkan hingga pertanaman ke 3, seperti di Desa Candi Kecamatan Pringkuku. Produksi bervariasi dari 2-8 ton/ha. Pola tanam pada lahan sawah tadah hujan, umumnya adalah padi-palawija/sayuran dan padi-bera. Penanaman dimulai bulan Desember atau Januari. Di lahan kering penanaman lebih cepat, umumnya sekitar pertengahan bulan November dengan pola tanamnya adalah 1. padi gogo+palawija – palawija, 2. padi gogo+palawija-bera, 3. palawija-palawija-bera dan 4. palawija saja. Luasan yang menanam palawija saja di lahan kering merupakan luasan terbesar. Lahan kering ditanami padi gogo, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, ubi jalar dan sorgum. Untuk lahan kering selain padi gogo, ubi kayu mendominasi penanaman. Ubi kayu ditanam pada musim tanam kedua setelah padi. Ubi kayu dipanen pada saat menjelang musim hujan, dimana penanaman padi pada musim hujan akan dimulai. Curah hujan di Pacitan Untuk mengetahui sejauhmana respon atau hubungan antara curah hujan di Kabupaten Pacitan dengan ENSO, maka dilihat pola hujan berdasarkan tahun-tahun Normal, El-Nino dan La-Nina. Pada tahun Normal, curah hujan >200 mm terjadi pada bulan November hingga bulan Maret (Gambar 4). Sedangkan pada tahun-tahun La-Nina, curah hujan maksimum terjadi pada bulan November (Gambar 4). Kecamatan Kebonagung merupakan kecamatan yang paling basah dengan hanya memiliki rata-rata dua bulan kering per tahunnya. Sedangkan wilayah yang paling kering di Pacitan, dengan 5 bulan kering terjadi di Kecamatan Arjosari, Pacitan, Pringkuku, Punung dan Tegalombo (Gambar 5). Luas panen dan produksi di Pacitan Untuk melihat bagaimana produktivitas tanaman pangan di Kabupaten Pacitan disajikan melalui luas panen dan produksi pada Gambar 6 hingga 11. Hasil panen dan produksi di Pacitan kaitannya dengan curah hujan Untuk kaitan curah hujan dengan produktivitas tanaman pangan di Kabupaten Pacitan disajikan melalui jenis komuditas, yaitu: padi, jagung dan ubi kayu,kacang tanah dan kedelai pada Gambar 12 hingga 14. Pembahasan Berdasarkan gambaran pola hujan setiap kecamatan di Pacitan, terlihat bahwa Pacitan seperti halnya wilayah Pulau Jawa lainnya, termasuk dalam pola monsunal dengan satu puncak hujan (Gambar 4 dan 5). Curah hujan setiap kecamatan bervariasi pada jeluk hujannya dengan bulan
SUCIANTINI – Interaksi iklim dengan produksi di Pacitan
Gambar 2. Persentase luas sawah setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan
450 400 350 300 CH (mm)
kering antara 2 hingga 5 bulan, dengan rata-rata bulan kering 4 bulan dan puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Januari (Gambar 5). Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang cukup kering di Provinsi Jawa Timur. Menurut Wahab et al. (2007) bahwa pada pada Musim Tanam 2002/2003, terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan dan puso dan terjadi kehilangan hasil produksi padi sekitar 67.56%. Suciantini (2012) menyatakan bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang cukup erat dengan ENSO. Hasil korelasi antara curah hujan yang diwakili awal musim hujan dengan ENSO, yaitu SST Nino 4, memperlihatkan keterkaitan awal musim hujan yang nyata terpengaruh SST Nino 4 pada hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Pacitan. Tingkat keragaman data awal musim hujan dalam kaitannya dengan SST Nino 4 diperlihatkan dengan cukup besarnya kisaran koefisien determinasi terkoreksi untuk kecamatan-kecamatan di Pacitan terutama di Kecamatan Tulakan, yaitu sebesar 0.4025. Berdasarkan nilai p-value yang diperoleh, awal musim hujan pada sebagian besar kecamatan nyata dan sangat nyata dipengaruhi oleh SST Nino 4. Hanya satu kecamatan yang memperlihatkan nilai yang berbeda. Penetapan SST Nino 4 dilakukan karena wilayah ini yang paling dekat dengan Indonesia, juga terbukti memiliki pengaruh yang nyata terhadap kondisi curah hujan di Indonesia. Data SST Nino 4 yang digunakan adalah data SST bulan Agustus. Hal ini diacu dari hasil penelitian Boer et al. (2010) yang menyatakan bahwa fenomena ENSO sangat kuat pengaruhnya terhadap keragaman hujan musim transisi, maka kemampuan untuk memprakirakan (forecast skill) masuknya awal musim hujan dengan menggunakan indeks ENSO bulan-bulan awal pembentukannya (Juni hingga September) cukup tinggi.
361
250 200 150 100 50 0 Jan
Feb
Mar
Apr
CH tahun Normal
Mei
Jun
Jul
CH tahun El‐Nino
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
CH tahun La‐Nina
Gambar 4. Pola CH Pacitan tahun Normal dan tahun-tahun terjadinya ENSO
Gambar 3. Hamparan lahan sawah (kiri) dan lahan kering (kanan) di Kabupaten Pacitan
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 358-365, April 2015
362
Bandar 500
500
400
400
100
0
0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
0
Pringkuku
Pacitan 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Tulakan 400 350 300 250 200 150 100 50 0
350 300 250 200 150 100 50 0
Simpangan baku
Punung 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Tegalombo
Sudimoro
Rata-rata
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
100
CH (mm)
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Rata-rata
Simpangan baku
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
200
Ngadirojo
Nawangan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
CH (mm)
300
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
100
400 350 300 250 200 150 100 50 0
400
CH (mm)
200
200
500
400 350 300 250 200 150 100 50 0
300
300
Kebonagung
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Donorojo
600
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
CH (mm)
Arjosari 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Rata-rata
Simpangan baku
Gambar 5. Pola hujan dan simpangan baku setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan
Gambar 6. Rata-rata produksi padi ladang (kiri) dan padi sawah (kanan) GKG setiap kecamatan
SUCIANTINI – Interaksi iklim dengan produksi di Pacitan
Gambar 7. Rata-rata produksi jagung (kiri) dan kedelai (kanan) setiap kecamatan
Gambar 8. Rata-rata produksi kacang tanah (kiri) dan ubi kayu (kanan) setiap kecamatan
Gambar 9. Luas panen padi sawah (kiri) dan padi ladang (kanan) bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di Kabupaten Pacitan
Gambar 10. Luas panen jagung (kiri) dan kedelai (kanan) bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di Kabupaten Pacitan
363
364
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 358-365, April 2015
Gambar 11. Luas panen kacang tanah (kiri) dan ubi kayu (kanan) bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di Kabupaten Pacitan
Gambar 12. Curah hujan tahunan dan luas panen padi sawah (kiri) dan padi ladang (kanan)
Gambar 13. Curah hujan tahunan dan produksi jagung (kiri) dan ubi kayu (kanan)
Gambar 14. Curah hujan tahunan dan produksi kacang tanah (kiri) dan kedelai (kanan)
SUCIANTINI – Interaksi iklim dengan produksi di Pacitan
Pada saat kejadian El-Nino berlangsung, Indonesia mengalami masa kekeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi pertanian, karena turunnya pasokan air hujan. Kerap kali musim hujan mundur dari waktu normalnya, dan curah hujan turun dalam selang yang lebih singkat dibanding pada kondisi normalnya, yang implikasinya terhadap sektor pertanian terutama tanaman pangan menyebabkan kerugian pertanaman. Kekeringan yang terjadi di Desa Pringkuku misalnya, terutama terjadi pada MT 2005/06 yang menyerang tanaman kedelai dan jagung. Luasan lahan usahatani yang mengalami kekeringan pada MT 2005/06 hanya terjadi pada MT-3. Kerugian yang ditimbulkannya berupa penurunan produksi sebesar 58,7% (Wahab 2007). Sedangkan pada tahun 2007 (Gambar 9 hingga 11) terlihat bahwa waktu panen lebih lambat daripada tahun-tahun lainnya pada semua komoditas. Hal tersebut terjadi karena awal tanam pada tahun 2006 terutama pada musim hujan lebih lambat daripada tahun-tahun lainnya. Mundurnya penanaman pada tahun 2006, berakibat mundurnya panen pada 2007. Hal tersebut terjadi karena lebih rendahnya curah hujan pada tahun tersebut. Berdasarkan data luas panen bulanan Pacitan tahun 2006 hingga 2010 (sumber data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan tahun 2007 hingga 2011) terlihat bahwa untuk padi sawah, persentase panen terbesar pada bulan Februari hingga Mei, untuk penanaman musim hujan, dan kemudian mengalami penurunan pada bulan-bulan berikutnya. Umumnya penanaman 2 kali setahun, kecuali pada tahun 2010, karena curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun (Gambar 9). Sedangkan untuk padi gogo, penanaman dilakukan sekali setahun, dan panen dari bulan Januari hingga Mei. Pada tahun 2007 terjadi pergeseran puncak tanam yaitu pada bulan April, namun demikian luas panen lebih tinggi dibanding bulan lainnya, karena pada tahun tersebut terjadi La-Nina. Hal tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh Latiri et al (2010) bahwa produksi tanaman sangat berkorelasi dengan curah hujan pada saat musim tanam. Dari informasi luas panen dan luas tanam terlihat bahwa sentra produksi padi untuk Kabupaten Pacitan adalah Kecamatan Pringkuku, Punung dan Donorojo. Ketiga kecamatan tersebut lebih dominan mengusahakan padi di lahan kering daripada di lahan sawah. Karena memiliki lahan kering yang luas, maka selain mengusahakan padi, Kabupaten Pacitan juga mengusahakan tanaman pangan lain, seperti jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu dan lain-lain. Dari beberapa tanaman pangan non padi tersebut, ubi kayu ditanam paling luas, terutama pada tiga kecamatan penghasil padi gogo, yaitu Donorojo, Punung dan Pringkuku. Mengingat ketiga lokasi yang berada di sebelah Barat Pacitan ini memiliki kondisi iklim yang relatif mirip. Ubi kayu biasa dipanen puncaknya pada bulan Agustus hingga September. Luas panen dan produksi ubi kayu mengalami kenaikan cukup signifikan mulai tahun 2003 (Gambar 13), kecuali pada tahun 20092010 mengalami penurunan, hal tersebut terjadi karena lahan yang biasa ditanami ubi kayu, beralih ditanami padi,
365
mengingat hujan berlangsung terus hingga penanaman musim tanam ketiga (Suciantini 2012). Kejadian El-Nino pada tahun 1997 di Pacitan terlihat menurunkan produksi pada tanaman padi (Gambar 14), sedangkan pada tanaman pangan lain tidak terlalu signifikan. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan air non padi lebih sedikit dibanding tanaman padi. Terdapat hubungan yang cukup erat antara keanekaragaman hayati (biodiversitas) dengan curah hujan, seperti dijelaskan Di Falco et al. (2010) yang menyatakan bahwa sejumlah tanaman berkorelasi positif dengan curah hujan secara langsung. Hal itu menunjukkan bahwa jika hujan tersedia lebih banyak, maka akan lebih banyak lagi tanaman yang dapat ditumbuhkan, atau areal tanam yang dapat diperluas. Demikian pula halnya untuk studi di Kabupaten Pacitan, pada kondisi curah hujan yang meningkat, maka akan lebih banyak lahan yang dapat ditanami. Pemilihan komoditas disesuaikan dengan ketersediaan air atau kecukupan air tanaman. Hal yang juga penting diperhatikan dalam kaitan biodiversitas adalah varietas tanaman yang digunakan, juga keberadaan varietas lokal. Kejadian iklim ekstrim dapat saja mengurangi populasi tanaman tertentu (Vittoz et al 2013), dalam hal ini penting untuk menjaga varietas lokal tetap terjaga.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Rizaldi Boer dari Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB Bogor dan Direktur CCROM IPB Bogor dan Dr. Agus Buono dari Departemen Ilmu Komputer IPB Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Boer R, Buono A, Suciantini. 2010. Pengembangan Kalender Tanaman Dinamik sebagai alat dalam menyesuaikan pola tanam dengan prakiraan iklim musiman. [Laporan Hasil Penelitian I-MHERE B2CIPB], Institut Pertanian Bogor. Bogor Anwar MR, Liu DL, Farquharson R, Macadam I, Abadi A, Finlayson J, Wang B, Ramilan T. 2015. Climate change impacts on phenology and yields of five broadacre crops at four climatologically distinct locations in Australia. Agricultural Systems 132: 133-144. Di Falco S, Bezabih M, Yesuf M. 2010. Seeds for livelihood: Crop biodiversity and food production in Ethiopia (Analysis). Ecological Economics 69: 1695-1702. IPCC. 2007. Climate Change 2007 – The Physical Science Basis. Cambridge University Press, Cambridge. Lansigan FP, Santos WLDL, Coladilla JO. 2000. Agronomic impacts of climate variability on rice production in the Philippines. Agric Ecosyst Environ 82: 129-137. Latiri K, Lhomme JP, Annabi M, Setter TL. 2010. Wheat production in Tunisia: progress, inter-annual variability, and relation to rainfall. Eur J Agron 33: 33-42 Suciantini. 2012. Pengelolaan risiko iklim untuk sistem usaha tani berbasis padi melalui pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Vittoz P, Cherix D, Gonseth Y, Lubini V, Maggini R, Zbinden N, Zumbach S. 2013. Climate change impacts on biodiversity in Switzerland: a review. J Nat Conserv 21: 154-162. Wahab MI, Antoyo, Boer R. 2007. Farming system and climate related problems at Pacitan District, East Java. [CAPaBle Report]. Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 366-372
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010233
Variabilitas iklim dan dinamika waktu tanam padi di wilayah pola hujan monsunal dan equatorial Climate variability and dynamics of rice planting time in the monsoonal and equatorial region
1
YAYAN APRIYANA1,♥, TIGIA ELOKA KAILAKU2
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Balitbangtan. Jl. Tentara Pelajar No 1A, Bogor 1611, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-251-8312760. Fax +62-251-8323909, email:
[email protected]. 2 Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16424, Jawa Barat, Indonesia. Manuskrip diterima: 4 Desember 2014. Revisi disetujui: 29 Januari 2015.
Abstrak. Apriyana Y, Kailaku TE. 2015. Variabilitas iklim dan dinamika waktu tanam padi di wilayah pola hujan monsunal dan equatorial. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 366-372. Variabilitas iklim di Indonesia yang ditandai dengan peningkatan fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim dalam dasawarsa terakhir akibat fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) menyebabkan perubahan pola distribusi, intensitas dan periode musim hujan sehingga awal musim hujan maupun musim kemarau menjadi terlambat. Kondisi tersebut pada akhirnya berdampak terhadap pergeseran waktu dan pola tanaman pangan baik di wilayah dengan pola hujan monsunal maupun equatorial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh variabilitas iklim terhadap waktu tanam padi pada wilayah dengan pola hujan yang berbeda. Penelitian berupa desk work di sentra produksi padi pada wilayah dengan pola hujan monsunal yaitu Karawang dan pola hujan equatorial yaitu di Pesisir Selatan. Tahap penelitian dilakukan melalui (i) pengumpulan data curah hujan dan peta informasi dari stasiun curah hujan dan klimatologi; (ii) analisis iklim regional melalui analisis curah hujan yang tersebar di wilayah penelitian dilanjutkan dengan penentuan dampak variabilitas iklim, kemudian dilakukan analisis hubungan curah hujan dengan indikator penyimpangan iklim; serta (iii) analisis dinamika waktu tanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak variabilitas iklim regional terhadap penurunan curah hujan mulai terjadi pada periode September-November baik di Karawang maupun di Pesisir Selatan. Pengaruh anomali iklim pada wilayah pola hujan monsunal lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pola hujan Equatorial. Di Karawang, waktu tanam mundur 2-6 dasarian baik akibat fenomena ENSO maupun IOD, sedangkan di Pesisir Selatan tidak terjadi pergeseran waktu tanam dibandingkan dengan kondisi normalnya. Di Karawang semua wilayah terkena dampak anomali iklim terjadi penurunan luas panen pada Juli-Oktober dan puncak tanam terjadi pada Desember. Di Pesisir Selatan, kenaikan anomali iklim baik ENSO maupun IOD diikuti dengan penurunan luas tanam pada September dan Oktober. Pada wilayah yang tidak terkena dampak, puncak tanam terjadi pada bulan Oktober dan pada wilayah yang terkena dampak iklim regional tersebut terjadi pada bulan Desember. Kata kunci: variabilitas iklim, waktu tanam, pola hujan, monsunal, equatorial.
Abstract. Apriyana Y, Kailaku TE. 2015. Climate variability and dynamics of rice planting time in the monsoonal and equatorial region. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 366-372. Climate variability in Indonesia, characterized by increased fluctuations, frequency and intensity of climate anomalies in the last decade due to the phenomenon of ENSO (El Niño Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) cause changes in distribution patterns and intensity of rainfall, as such the beginning of the drought season and the rainy season becomes late. These conditions eventually affect the time and pattern of food crops in regions with equatorial and monsoonal rainfall pattern. The objective of this study to determine the impact of climate variability on rice planting time in regions with different rainfall patterns. Desk work in rice production centers was conducted at regions with monsoonal and equatorial rainfall patterns, i.e. district Karawang and Pesisir Selatan respectively. The study was started by (i) collecting rainfall data and information map from rainfall and climatology station; (ii) examining regional climate through analysis of rainfall distribution in the study area followed by the determination of the impact of climate variability, then analysis of rainfall relationship with indicators of climate anomalies; and (iii) analysis of the dynamics of planting time. The results showed that the impact of regional climate variability on the decrease of rainfall started in the period September-November both in Karawang and in Pesisir Selatan. The influence of climate anomalies in the region with monsoonal rainfall pattern is higher than one in the region with the equatorial rainfall. The planting time delayed 2-6 decadal (ten days period) in Karawang due to ENSO and IOD phenomenon, whereas in Pesisir Selatan the planting is not shifted compared to normal conditions. In Karawang, all areas affected by climate anomalies showed a decrease in harvested area on JulyOctober, while peak planting occurred in December. In Pesisir Selatan, increasing climate anomalies both ENSO and IOD was followed by a decrease in planting area in September and October. In areas not affected by regional climate, planting peak occurred in October while in affected areas, the peak occurred in December. Keywords: climate variability, time of planting, rainfall patterns, monsoonal, equatorial.
APRIYANA & KAILAKU – Variabilitas iklim di wilayah pola hujan monsunal dan equatorial
PENDAHULUAN Variabilitas iklim di satu sisi dapat menjadi potensi namun di sisi lain dapat pula menjadi ancaman bagi kemandirian pangan. Peningkatan fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim dalam dasawarsa terakhir berdampak pada perubahan pola distribusi, intensitas dan periode musim hujan sehingga awal musim hujan maupun musim kering menjadi terlambat (Las 2004; Boer 2006; Naylor et al. 2007; D’Arrigo dan Wilson 2008). Akibatnya terjadi pergeseran musim dari kondisi normal rata-ratanya yang akhirnya dapat berimplikasi serius pada tanaman pangan (Hamada et al. 2002; Haylock and McBride 2001). Variabilitas iklim Indonesia sangat berkaitan erat dengan ENSO (El Niño Southern Oscillation) di Samudera Pasifik (Kirono and Khakim 1999; Naylor et al. 2002) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Samudera Hindia (Saji et al. 1999; Webster et al. 1999; Ashok et al. 2001; Tjasyono 2006). Pada kenyataannya indikator anomali iklim ENSO dan IOD mempunyai dampak yang kuat terhadap curah hujan daerah tropis termasuk variabilitas curah hujan di Indonesia (Naylor et al. 2007; Saji et al. 2003). Pada tahun 1997/98 anomali iklim El Niño dan IOD positif secara bersamaan dapat mengakibatkan kekeringan dan sangat jelas implikasinya terhadap waktu tanam. Akibatnya terjadi penundaan waktu tanam pada musim hujan 1997/98 hingga 2-3 bulan (6-9 dasarian) yang secara runut juga berpengaruh terhadap waktu tanam pada musim tanam berikutnya sehingga produksi padi turun sebesar 6,5 %. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan impor beras menjadi sebesar 3 juta ton pada tahun 1998 (BPS 1998). Demikian pula terhadap masa tanam (growing season) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran sekitar 10 hingga 20 hari dari lama masa tanam normal pada satu abad terakhir ini (Linderholm 2006). Variabilitas iklim yang semakin kerap terjadi, sangat nyata pengaruhnya terhadap produksi padi, sebagai akibat dari penurunan luas tanam, luas panen, dan hasil pada saat terjadi anomali iklim. Disamping itu berdampak juga terhadap perubahan pola tanam, baik di lahan sawah irigasi maupun lahan tadah hujan. Dampak lainnya juga sangat terasa pada perubahan pola tanam baik di lahan sawah irigasi maupun tadah hujan. Saat ini, sebagian besar areal tanam padi menggunakan pola tanam padi-padi dimana pada musim tanam kedua sangat tergantung pada ketersediaan air irigasi (Las et al. 2007). Kekeringan yang terjadi pada musim tanam kedua akan mengubah pola tanam dari padi-padi menjadi padi-non padi sehingga akan mengakibatkan penurunan produksi beras, yang pada gilirannya akan mengganggu kesinambungan stok pangan nasional. Kesinambungan produksi beras dalam beberapa tahun terakhir sering terganggu akibat berkurangnya luas tanam padi karena dampak ENSO dan IOD. Penetapan awal musim tanam merupakan salah satu strategi penting dalam budidaya pertanian di Indonesia (Naylor et al. 2001, 2007) khususnya tanaman pangan yang sangat berkaitan dengan anomali iklim. Munculnya fenomena ENSO dan IOD mempunyai dampak yang sangat luas dan dampak yang paling serius terhadap tanaman padi.
367
Oleh karena itu upaya yang sangat penting dilakukan adalah dengan memahami karakteristik iklim wilayah dengan baik. Salah satu upaya adalah melalui kajian dampak kedua fenomena tersebut terhadap waktu tanam di sentra-sentra produksi padi di wilayah Indonesia, baik pada wilayah dengan pola curah hujan monsunal maupun equatorial. Hasil penelitian ini akan dijadikan dasar untuk pengembangan strategi adaptasi kalender tanam padi terhadap fenomena ENSO dan atau IOD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh variabilitas iklim terhadap waktu tanam padi pada wilayah dengan pola hujan yang berbeda. BAHAN DAN METODE Pengumpulan data Pengumpulan data iklim dan curah hujan dari instansi terkait seperti Balitklimat, BMG, PSDA/PU serta Dinas Pertanian untuk mengetahui kondisi curah hujan. Pengumpulan data luas tanam, luas lahan, penggunaan lahan. dan rotasi tanam serta wawancara dengan petani dan narasumber untuk mengetahui pola dan kalender tanam yang dilakukan petani. Disamping itu dilakukan pula survei lapang untuk melakukan identifikasi pola dan kalender tanam eksisting pada setiap musim tanam.. Analisis iklim regional Analisis curah hujan Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan sekunder dari stasiun-stasiun hujan periode tahun 1990 sampai 2007. Stasiun hujan yang menyebar di lokasi penelitian tidak seluruhnya digunakan, hanya stasiun yang lengkap dan memiliki periode hujan lebih dari 10 tahun, sehingga stasiun yang digunakan di Pesisir Selatan (wilayah dengan pola hujan equatorial) dan Karawang (wilayah dengan pola hujan monsunal) adalah masingmasing 11 dan 28 stasiun. Penentuan anomali iklim Untuk mengetahui besarnya pengaruh ENSO (El Niño Southern Oscillation)pada kejadian curah hujan adalah dengan menggunakan indeks suhu muka laut di Nino 3.4. (50N-50S, 1200-1700W). Indeks tersebut dihitung dari fluktuasi bulanan berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Kaplan et al (1998) yang diperoleh dari situs internet http://www.cpc.ncep.noaa.gov/. Sama halnya dengan ENSO, Indian Ocean Dipole (IOD) dinyatakan dalam bentuk indeks yaitu Dipole Mode Indeks. Dipole Mode Indeks dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera Hindia (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dengan suhu muka laut di kawasan tenggara Samudera Hindia (90°110°BT, 0°-10°LS). Analisis hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD Analisis anomali curah hujan bulanan dihitung berdasarkan persamaan berikut:
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 366-372, April 2015
368
AnoCH ij = CH ij − CH ij
CH ij =
i n ∑ CH j n j −1
dimana:
AnoCHij CH ij
= anomali curah hujan di stasiun ke-i bulan ke-j
= curah hujan di stasiun ke-i bulan ke-j
CH ij = curah hujan rata-rata di stasiun ke-i bulan ke-j
n
= jumlah data
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara anomali curah hujan yang terjadi di setiap stasiun hujan dengan nilai anomali SST sebagai indikator penyimpangan iklim. Pada analisis ini digunakanprogram Minitab 14 dengan cara menghitung nilai korelasi (r) yaitu korelasi antara dua variabel (Walpole 1982). Rumus perhitungan nilai korelasi adalah:
r=
n ⎛ n ⎞⎛ n ⎞ n∑ xi y i − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ y i ⎟ i =1 ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠
2 2 ⎡ n ⎛ n ⎞ ⎤ ⎡⎡ n 2 ⎛ n ⎞ ⎤⎤ 2 ⎢n∑ x i − ⎜ ∑ xi ⎟ ⎥ ⎢ ⎢ n∑ y i − ⎜ ∑ y i ⎟ ⎥ ⎥ ⎜ ⎟ ⎥ ⎢ ⎢ i =1 ⎜ ⎟ ⎥⎥ ⎢⎣ i =1 ⎝ ⎠ ⎦ ⎣⎣ ⎝ ⎠ ⎦⎦ dimana: r = nilai korelasi n = jumlah data x = anomali SST nino 3.4 atau anomali IOD y = anomali curah hujan
Nilai korelasi berkisar antara-1 dan 1. Tanda positif atau negatif menunjukkan arah korelasinya. Bila korelasi antara x dan y negatif maka kenaikan variabel x akan menyebabkan penurunan y atau sebaliknya. Bila korelasi antara x dan y positif maka kenaikan variabel x akan diikuti dengan kenaikan variabel y atau sebaliknya. Korelasi ditentukan berdasarkan tingkat kepercayaan kuat (99%), sedang (95%) dan lemah (90%). Karena jumlah pengamatan sebanyak 18 tahun maka berdasarkan analisis ”Significance of a Correlation Coefficient” http://faculty.vassar.edu/lowry/ch4apx.html diperoleh: (i) nyata kuat | ± 0.54 | ≤ r < | ± 1.00 |, (ii) nyata sedang | ± 0.39 | ≤ r < | ± 0.54 |, (iii) nyata lemah | ± 0.33 | ≤ r < | ± 0.39 |, (iv) tidak nyata r < | ± 0.33 |. Untuk mengetahui besarnya pengaruh ENSO pada kejadian curah hujan adalah dengan menggunakan indeks suhu muka laut di Nino 3.4. (50N-50S, 1200-1700W). Indeks tersebut dihitung dari fluktuasi musiman atau bulanan berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Kaplan et al. (1998). Data suhu muka laut di Nino 3.4 bulanan diperoleh dari situs internet http://www.cpc.ncep.noaa.gov. Sama halnya dengan ENSO, Dipole Mode (DM) atau Indian Ocean Dipole (IOD) dinyatakan dalam bentuk indeks yaitu Dipole Mode Indeks (DMI). DMI dapat
didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera Hindia (50°-70°BT, 10°LU-10° LS) dengan suhu muka laut di kawasan tenggara Samudera Hindia (90°-110°BT, 0°-10°LS). Data DMI diperoleh dari http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod. Untuk melihat maju mundurnya hubungan antara prediktor dan prediktan dilakukan analisis yang mempertimbangkan faktor lag, sehingga diperoleh informasi korelasi anomali iklim pada waktu tertentu. Hubungan curah hujan dan suhu permukaan laut Nino 3.4 dan DMI dinyatakan melalui skenario tenggang waktu (time lag) 0, 1 dan 2 bulan: (i) lag 0 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST pada bulan yang sama. (ii) lag 1 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST 1 bulan sebelumnya. (iii) lag 2 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST 2 bulan sebelumnya Dari keseluruhan hasil analisis, ditentukan lag yang dominan di setiap stasiun hujan berdasarkan besarnya nilai koefisien korelasi (r) validasi tertinggi pada setiap stasiun tersebut. Analisis dinamika waktu tanam Untuk mengetahui sensitifitas dan dinamika waktu tanam dilakukan dengan menganalisis hubungan antara indeks regional dengan luas tanam pada wilayah tanam dalam kalender tanam eksisting yang telah dibuat oleh Badan Litbang Pertanian. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengetahui dinamika waktu tanam yaitu : Normalisasi nilai luas tanam Normalisasi data dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan bias data dari pengaruh faktor lain seperti tren konversi lahan pertanian. Metode yang digunakan adalah Z-Score atau Normal Score. Perhitungan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
dimana: x = skor data yang dinormalkan σ = standar deviasi dari populasi μ = rata-rata populasi Jika variable acak dipertimbangkan sebagai rata-rata sample:
Piranti lunak yang digunakan adalah Minitab Ver 14. Korelasi lagging Dengan mempertimbangkan faktor lag, untuk melihat maju mundurnya hubungan antara prediktor dan predikta sehingga diperoleh informasi korelasi anomali iklim pada waktu tertentu (Pearson Method).
APRIYANA & KAILAKU – Variabilitas iklim di wilayah pola hujan monsunal dan equatorial
dimana: ¯x = sample rata-rata untuk variabel pertama Sx = standar deviasi unatuk variabel pertama ӯ = sample rata-rata untuk variabel kedua Sy = standar deviasi untuk variabel kedua n = panjang kolom HASIL DAN PEMBAHASAN Periode bulan yang dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di wilayah monsunal Tipe curah hujan monsunal mempunyai perbedaan yang sangat jelas antara musim hujan dan kemarau. Kabupaten Karawang termasuk dalam wilayah tipe curah hujan tersebut. Curah hujan meningkat memasuki bulan September dan mencapai puncaknya pada bulan Januari sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli dan terendah pada bulan Agustus (Gambar 1). Berdasarkan hasil analisis koefisien korelasi pada 28 stasiun yang tersebar di Kabupaten Karawang pengaruh ENSO dan IOD terjadi pada periode bulan SeptemberNovember yang ditandai dengan hampir seluruh stasiun hujan di kabupaten tersebut berkorelasi nyata dengan ENSO dan IOD (Tabel 1). Dinamika waktu tanam dan luas tanam di wilayah monsunal Di Karawang, sangat terlihat jelas pengunduran saat tanam terjadi pada tingkat korelasi yang berbeda akibat pengaruh IOD di periode SON (September-OktoberNovember). Pada tingkat korelasiyang rendah (r ≥-0.4) sekitar 18 % kecamatan di Karawang, puncak tanam terjadi pada Oktober II/III hal tersebut berarti mundur dua dasarian. Pada tingkat korelasi yang sedang (-0.4 > r >-0.5) puncak tanam semakin mundur dua dasarian menjadi November I/II, tetapi prosentase berkurang menjadi 14%. Pergeseran puncak tanam terpanjang hingga enam dasarian terjadi pada korelasi tinggi (≥-0.5) meskipun hanya terdapat pada 7% kecamatan saja (Gambar 2a). Selanjutnya anomali ENSO di Karawang hanya berkorelasi rendah dan sedang. Kedua tingkat korelasi tersebut mengakibatkan kemunduran puncak tanam empat dasarian pada November I/II, masing-masing 25% dan 20% kecamatan di Karawang (Gambar 2b). Disamping waktu tanam, anomali iklim regional juga berpengaruh terhadap luas tanam di Kabupaten Karawang. Seperti halnya terhadap waktu tanam, hasil analisis koefisien korelasi dikelompokkan menjadi 3 yaitu kecamatan dengan tingkat korelasi rendah (r ≥-0,4), kecamatan dengan tingkat korelasi sedang (-0,4 > r >-0,5), dan kecamatan dengan tingkat korelasi tinggi (r <-0,5). Pengelompokkan ini disebabkan semua kecamatan pada periode September-November terkena dampak ENSO dan
369
IOD. Anomali ENSO mulai meningkat memasuki bulan Juni hingga Oktober (Gambar 3a), akibatnya luas tanam menurun pada periode tersebut baik pada wilayah yang berkorelasi rendah maupun sedang namun demikian tidak ada perbedaan yang tegas antara wilayah yang berkorelasi rendah maupun sedang. Dari Gambar 3b yang menunjukkan fluktuasi IOD dan luas tanam padi sawah dapat dilihat bahwa penurunan luas tanam bersamaan dengan peningkatan anomali IOD pada wilayah-wilayah yang berkorelasi rendah, sedang maupun tinggi dengan anomali tersebut. Peningkatan IOD bersamaan dengan penurunan luas panen pada bulan Juli sampai dengan Oktober dan bulan Januari sampai dengan Maret. Penurunan luas tanam bulan Juli sampai dengan Oktober lebih tinggi dibandingkan dengan Januari sampai dengan Maret. Periode bulan yang dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di wilayah equatorial Curah hujan di Kabupaten Pesisir Selatan berpola hujan equatorial sebagaimana pola curah hujan di wilayah di Sumatera Barat lainnya. Pola tersebut dicirikan dengan wilayah yang memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan (Gambar 4). Atau tepatnya puncak curah hujan terjadi satu bulan setelah matahari tepat di atas khatulistiwa yaitu pada bulan Maret/April dan Oktober/November. Tabel 1. Nilai Koefisien Korelasi Anomali Curah Hujan dengan Anomali IOD dan ENSO setiap musim di wilayah dengan pola hujan monsunal (Kabupaten Karawang)
370
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 366-372, April 2015
Berdasarkan analisis korelasi lagging pada lag, 0, 1, dan 2. Lag 0 merupakan lag dengan korelasi tertinggi dengan iklim regionalnya (IOD dan ENSO) sehingga analisis dilakukan pada lag 0. Selanjutnya dari seluruh stasiun yang dianalisis, anomali suhu permukaan laut yang terjadi baik di Samudera Hindia yang ditunjukkan oleh fenomena IOD maupun yang terjadi di Samudera Pasifik Equatorial yang ditunjukkan oleh ENSO pada periode Desember-Februari hanya berkorelasi nyata positif akibat ENSO di Tapan (r ≥ 0.34), artinya semakin meningkat anomali ENSO semakin tinggi pula curah hujannya. Pengaruh IOD dan ENSO terhadap penurunan curah hujan baru terjadi pada periode September-November di beberapa wilayah seperti di Tarusan, Sutera, Ranah Pesisir, Bayang, Batang Kapas dan Lengayang. Pengaruh tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi yang nyata (r ≥-0.34). Akibat pengaruh
Gambar 1. Pola curah hujan monsunal di Kabupaten Karawang.
IOD dan ENSO curah hujan berkurang pada wilayahwilayah tersebut (Tabel 2). Dinamika waktu dan luas tanam Kabupaten Pesisir Selatan Berdasarkan Peta Kalender Tanam yang dibuat oleh Badan Litbang Pertanian, hampir semua wilayah Pesisir Selatan mempunyai tanam sepanjang tahun kecuali di IV Nagari Bayang. Sehingga petani dapat menanam padi kapan saja karena air yang dibutuhkan padi (200 mm/bulan) relatif terpenuhi (Tabel 3). Pada wilayah yang tidak terkena dampak, puncak tanam terjadi pada bulan Oktober sedangkan pada wilayah yang terkena dampak iklim regional tersebut terjadi mundur menjadi bulan Desember (Gambar 5).
Gambar 2. Pola curah hujan equatorial di Kabupaten Pesisir Selatan.
Gambar 3. Pergeseran puncak tanam pada wilayah yang dipengaruhi (a) IOD dan (b) ENSO. Periode September-November.
Gambar 4. Fluktuasi (a) ENSO dan (b) IOD dengan luas tanam padi sawah di Kabupaten Karawang.
APRIYANA & KAILAKU – Variabilitas iklim di wilayah pola hujan monsunal dan equatorial
Tabel 2. Nilai Koefisien Korelasi Anomali Curah Hujan dengan Anomali IOD dan ENSO setiap musim di wilayah dengan pola hujan equatorial (Kabupaten Pesisir Selatan)
Tabel 3. Waktu tanam di kabupaten Pesisir Selatan berdasarkan Kalender Tanam (Sumber: Badan Litbang Pertanian 2008)
Gambar 5. Fluktuasi (a) ENSO dan (b) IOD dengan luas tanam padi sawah di Kabupaten Pesisir Selatan.
Pembahasan Dampak variabilitas iklim terhadap penurunan curah hujan mulai terjadi pada periode September-November di wilayah tipe hujan monsunal maupun Equatorial. Pengaruh IOD dan ENSO pada wilayah tipe hujan Monsunal lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tipe hujan Equatorial. Munculnya fenomena El Niño kuat sebanyak tujuh kali sepanjang dua puluh tahun terakhir disertai dengan terjadinya fenomena IOD positif yang hampir terjadi
371
bersamaan mengakibatkan deraan kekeringan yang cukup serius. Berdasarkan peristiwa kekeringan yang terjadi sebanyak 43 kali sejak tahun 1844-1998, hanya enam peristiwa kekeringan yang tidak berkaitan dengan fenomena El Niño (Boer dan Subbiah 2005). Di Karawang, wilayah dengan pola curah hujan monsunal, puncak tanam mundur 2-6 dasarian akibat fenomena El Niño maupun IOD positif, semua wilayah terkena dampak anomali iklim dengan penurunan luas panen pada Juli-Oktober dan puncak tanam terjadi pada Desember. Di Pesisir Selatan, wilayah dengan pola curah hujan equatorial, waktu tanam tanam terjadi sepanjang tahun, dan karena pengaruh IOD maupun ENSO tidak cukup kuat, tidak terjadi pergeseran puncak tanam. Kenaikan anomali iklim baik ENSO maupun IOD diikuti dengan penurunan luas tanam pada periode September-Oktober. Pada wilayah yang tidak terkena dampak, puncak tanam terjadi pada bulan Oktober karena pada periode SON (SeptemberOktober-November) curah hujan di Sumatera Barat mengalami peningkatan dari periode normalnya (Gusmira 2005) sedangkan pada wilayah yang terkena dampak iklim regional tersebut terjadi pada bulan Desember. Meskipun secara keseluruhan hubungan antara iklim regional baik IOD maupun ENSO dengan luas tanam tidak nyata, tetapi saat memasuki periode September-November pada daerah yang terpengaruh oleh kedua fenomena tersebut, kenaikan anomalinya diikuti dengan penurunan luas tanam. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani lebih memilih menghindari resiko menanam pada saat terjadi penurunan curah hujan pada periode tersebut sehingga terjadi perbedaan puncak tanam antara wilayah yang terkena dampak IOD dan ENSO dengan yang tidak terkena dampak. Waktu tanam di Jawa Barat pada umumnya terjadi pada September dasarian III /Oktober dasarian I dengan pola tanam yang dapat dikembangkan Padi-Padi-Padi (Las et al. 2007). Namun karena pengaruh iklim regional pada beberapa wilayah mengalami pergeseran puncak tanam berupa pengunduran waktu tanam beberapa dasarian. Pada periode pengunduran puncak tanam tersebut pola tanam yang dapat diterapkan adalah Padi-Padi-Palawija. Disimpulkan bahwa dampak variabilitas iklim terhadap penurunan curah hujan mulai terjadi pada periode September-November di wilayah tipe hujan monsunal maupun Equatorial. Pengaruh IOD dan ENSO pada wilayah tipe hujan Monsunal lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tipe hujan Equatorial. Di Karawang, wilayah dengan pola curah hujan monsunal, puncak tanam mundur 2-6 dasarian akibat fenomena ENSO maupun IOD, semua wilayah terkena dampak anomali iklim dengan penurunan luas panen pada Juli-Oktober dan puncak tanam terjadi pada Desember. Di Pesisir Selatan, wilayah dengan pola curah hujan equatorial, waktu tanam tanam terjadi sepanjang tahun, dan karena pengaruh IOD maupun ENSO tidak cukup kuat, tidak terjadi pergeseran puncak tanam. Kenaikan anomali iklim baik ENSO maupun IOD diikuti dengan penurunan luas tanam pada periode SeptemberOktober. Pada wilayah yang tidak terkena dampak, puncak tanam terjadi pada bulan Oktober dan pada wilayah yang
372
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 366-372, April 2015
terkena dampak iklim regional tersebut terjadi pada bulan Desember. DAFTAR PUSTAKA Ashok K, Guan Z, and Yamagata T. 2001. Impact of the Indian Ocean Dipole on the relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys Res Lett, 28, 4499-4502. Boer R. 2006. Aplikasi Informasi Prakiraan Iklim di Sektor Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dalam: Modul Pelatihan Dosen Bidang Pemodelan dan Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bagpro PKSDM Dikti dan Dep. Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor. Cisarua, Bogor, 7-20 September 2006. Boer R, Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. In: Boken VJ, Cracknell AP, Heathcote RL (eds). Monitoring and predicting agriculture drought: A global study. Oxford University Press, New York. BPS [Biro Pusat Statistik]. 1998. Kondisi Produksi Beras Tahun 1998 Statistik Pertanian. Jakarta. D'Arrigo R, Wilson R. 2008. El Niño and Indian Ocean Influences on Indonesian Drought: Implications for Forecasting Rainfall and Crop Productivity. Intl J Clim 28: 611-616. Gusmira E. 2005. Pengaruh Dipole Mode terhadap angin zonal dan curah hujan di Sumatera Barat. Tesis bidang khusus Sains Atmosfer. ITB. Bandung. Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J Meteorol Soc Jpn 80: 285-310. Haylock M, McBride J. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. J Climate 14: 3882-3887.
Kaplan, A, Kushnir Y, Cane MA, Blumenthal MB. 1997. Reduced space optimal analysis for historical data sets: 136 years of Atlantic sea surface temperatures. J Geophys Res 102 (C13): 27835-27860. Kirono DGC, Khakim N. 1999. ENSO Rainfall Variability and Inpacts on Crop Production in Indonesia. Physical Geogr 20 (6): 508-519. Las I, Unadi A, Subagyono K, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2007. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor. Las I. 2004. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional Pada Era Revolusi Hijau Lestari. Laporan Orasi. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor. Linderholm HW. 2006. Growing season changes in the last century. Agric For Meteor 137 (1-2): 1-14. Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, Burke MB. 2007. Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proc Nat Acad Sci 104: 7752-7757. Naylor RL, Falcon W, Wada N, Rochberg D. 2002. Using El-Niño Southern Oscillation climate data to improve food policy planning in Indonesia. Bull Indon Econ Stud 38: 75-91. Saji NH, Yamagata T. 2003. Structure of SST and Surface Wind Variability during Indian Ocean Dipole Mode Events: COADS Observations. J Clim 16: 2735-2751. Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran P N, Yamagata T. 1999. A Dipole in the Tropical Indian Ocean. Nature 401: 360-363. Tjasyono BHK. 2006. Impact of el Nino on rice planting in the Indonesian monsoonal areas, The International Workshop on Agrometeorology, BMG, Jakarta. Tjasyono BHK. 2007. Variasi iklim musiman dan non musiman di Indonesia, Lokakarya Meteorologi, Deofisika, dan Klimatologi untuk Media dan Pengguna Jasa, BMG, Hotel NAM Center. Jakarta. Walpole E. 1982. Pengantar Statistika. Edisi ketiga. PT. Gramedia. Pustaka, Jakarta Webster PJ, Moore AM, Loschnigg JP, Leben RR. 1999. Coupled oceanatmosphere dynamics in the Indian Ocean during 1997-98. Nature 401: 356-359.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 373-377
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/ m010234
Review: Peluang pengembangan tanaman kakao di Kecamatan Sebatik Timur, Kabupaten Nunukan Development prospect of cocoa plant in East Sebatik Subdistrict, Nunukan District SRIWULAN PAMUJI RAHAYU♥, SUMARMIYATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 4 Desember 2014. Revisi disetujui: 30 Januari 2015.
Abstrak. Rahayu SP, Sumarmiyati. 2015. Peluang pengembangan tanaman kakao di Kecamatan Sebatik Timur, Kabupaten Nunukan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 373-377. Luas lahan perkebunan tanaman kakao di Kalimantan Timur saat ini mencapai 23.502 Ha dengan produksi 23.296 ton/tahun dan banyak diusahakan di Kabupaten Nunukan dengan luas tanam 6.514 Ha dan produksi 12.163 ton/tahun Data statistik perkebunan dalam kurun waktu 5 tahun (tahun 2009-2013) rata-rata luas panen kakao di kabupaten Nunukan adalah 7.936 Ha dengan produksi 9.513 ton dengan pertumbuhan produksi yang semakin tahun semakin menurun (-3.5801) dengan harga rata-rata Rp.16.000, sedangkan untuk Kecamatan Sebatik tahun 2012 luas lahan tanaman kakao sebesar 6.491 Ha dengan produktivitas 2.243 kg dan harga rata-rata Rp 19.000,- biji kering. Penurunan produksi ini disebabkan karena para petani banyak yang beralih ke tanaman kelapa sawit yang menurut mereka (petani) sangat menjanjikan dan tidak perlu merawat tanamannya, alasan lain bahwa tanaman kakaonya banyak yang mati terserang hama penyakit, produksinya rendah dan juga karena sudah berumur tua dan dengan budidaya kakao memerlukan perawatan yang ekstra. Dengan melihat potensi lahan terutama kebun (21,35%) dan permasalahan yang ada terutama pemupukan, maka dengan melakukan pemupukan NPK sesuai dosis dan umur tanaman kakao dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 8.291.000,-/ha/tahun atau meningkat 79,33%, atau terjadi peningkatan produksi 550 kg atau sebesar 64,71%, marginal B/C sebesar 4,8, sangat layak dikembangkan dan memungkinkan untuk pengembangan tanaman kakao secara lebih luas. Kata kunci: Tanaman kakao, Sebatik Timur, pengembangan
Abstract. Rahayu SP, Sumarmiyati. 2015. Development prospect of cocoa plant in East Sebatik Subdistrict, Nunukan District. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 373-377. Development prospect of the cocoa plantation in East Kalimantan is currently covering 23,592 ha, yielding 23,296 ton of cocoa annually. Statistic data shows that within 5 year period (2009-2013), the harvested plantation in Nunukan covered averagely an area of 7936 ha/year, producing 9,513 ton of cocoa/year. The cocoa production, however, decreased annually (-3,5801), at an average price of Rp.16,000,-. Whereas in Sebatik sub-district, the plantation occupied an area of 6,491 ha in 2012, with annual production of 2,243 kg at an average price of Rp. 19,000,- (dry beans). The decreasing production was because many cocoa farmers converted their land into oil palm plantation, as oil palm plantation provided relatively much revenue with lower maintenance. In addition, cocoa plantation suffers from pest and disease infestation and low productivity due the plant old age requiring extra maintenance, Considering land area potential (21.35%), proper fertilization using NPK, which can solve the main problem in cocoa plantation, can increase cocoa production by 550 kg/he annually (64.71%) and the farmer’s income up to Rp. 8,291,000./ha annually (79.33% income increase). Cocoa plant development is really feasible as it is seen from marginal B/C of 4.8. Keywords: cocoa plant, East Sebatik, development
PENDAHULUAN Kakao merupakan satu diantara produk pertanian yang memiliki peran sangat penting dan cukup nyata serta dapat diandalkan, khususnya dalam hal penyediaan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan petani dan peningkatan pendapatan negara/devisa. Sebagian besar kakao yang dibudidayakan di Indonesia adalah perkebunan kakao rakyat yang tersebar di berbagai wilayah pengembangan, sehingga usahatani komoditas ini langsung berkaitan erat
dengan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Luas lahan perkebunan khususnya tanaman kakao di Kalimantan Timur saat ini mencapai 23.502 Ha dengan produksi 23.296 ton/tahun (Disbun Kaltim 2013). Satu diantara penghasil kakao nasional, di Kalimantan Timur banyak diusahakan di Kabupaten Nunukan dengan luas tanam 6.514 Ha dengan produksi 12.163 ton/tahun. Satu diantara penghasil kakao nasional, di Kalimantan Timur banyak diusahakan di Kabupaten Nunukan dengan luas tanam 6.514 Ha dengan produksi 12.163 ton/tahun
374
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 373-377, April 2015
(Disbun Kaltim 2013). Kementerian Pertanian telah menargetkan produksi biji kakao nasional 2 juta ton pada tahun 2020. Dengan luas perkebunan kakao nasional saat ini mencapai 1,5 juta ha, target akan bisa dilaksanakan berdasarkan potensi lahan yang tersedia. Namun demikian produktivitas kakao rakyat pada saat ini relatif rendah akibat hama penyakit serta tanaman yang relatif tua. Tanaman Kakao merupakan tanaman perkebunan yang mempunyai prospek menjanjikan, jika faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kulaitas akan rendah. Budidaya Kakao di kaltim mengalami beberapa kendala teknis seperti pengelolaan usahatani yang kurang baik, tanaman banyak yang sudah tua dan rusak; tanaman kurang terpelihara serta adanya gangguan hama dan penyakit; bencana alam (banjir); dan kekeringan serta terbakar. Faktor pembatas kualitas lahan (fisik, kimia, biologi) dan tanaman yang sudah tua perlu mendapat sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya. Menurut Dormon et al. (2004) rendahnya produktivitas kakao antara lain disebabkan oleh faktor biologi (hama penyakit) dan sosial ekonomi (harga rendah, keterbatasan modal, upah tenaga kerja mahal dan terbatasnya infrastruktur). Upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalah diatas antara lain melalui konservasi tanah dan air, pengelolaan hara tanah,
pemanfaatan bahan organik, integrasi tanaman dan ternak (Dariah et al. 1993; Erfandy et al. 1997; Fahmudin, 1999; Garity dan Agus, 1999; Watung et al. 2003; Subagyono et al. 2004); serta penggantian tanaman kakao tua atau rusak dengan tanaman baru varietas unggul. Tujuan penulisan adalah sebagai acuan dalam peluang pengembangan tanaman kakao di Pulau Sebatik. KARAKTERISTIK DAN POTENSI WILAYAH Kecamatan Sebatik Timur, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara (sebelumnya Provinsi Kalimantan Timur) merupakan satu diantara kecamatan yang berada di Kabupaten Nunukan resmi di bentuk pada tahun 2011 sesuai dengan Perda Kabupaten Nunukan No. 06 Tahun 2011, merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan Sebatik (Gambar 1). Luas wilayah Kecamatan Sebatik Timur 15.581 Km2 atau 1.558,10 Ha dengan jumlah penduduk 12.466 jiwa, terdiri dari 4 Desa yaitu Desa Tanjung Aru, Desa Sei Nyamuk, Desa Bukit Aru Indah dan Desa Tanjung Harapan. Batas-batas wilayah Kecamatan Sebatik Timur, yaitu Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sebatik Barat, Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sulawesi, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sebatik, dan Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Sebatik Utara. (UPTBPPPK Sebatik 2013)
RAHAYU & SUMARMIYATI – Pengembangan kakao di Sebatik Timur, Nunukan
375
Gambar 1. Peta Pulau Sebatik, Provinsi Kalimantan Utara.
Jumlah penduduk di kecamatan Sebatik Timur secara keseluruhan berjumlah 12.466 jiwa, dan 2.924 Kepala Keluarga (KK). Komposisi jumlah penduduk tertera pada Tabel 1. Jenis Pekerjaan masyarakat di kecamatan Sebatik Timur di dominasi oleh nelayan sejumlah 1565 orang (35.33%), dan disusul oleh petani sejumlah 1.556 orang (35 .13%), dan buruh tani 512 orang (11.56%), jadi sebesar 46.69% penduduk di kecmatan Sebatik Timur didominasi oleh petani dan buruh tani seperti pada Tabel 2, sehingga sangat memungkinkan untuk pengembangan pertanian dan perkebunan di wilayah ini. Seperti terlihat pada Tabel 3, bahwa secara umum tingkat pendidikan formal masyarakat di kecamatan Sebatik Timur masih rendah, yaitu mempunyai pendidikan sampai dengan tamat SD. Pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir dan dapat menimbulkan kreatifitas dari dalam diri untuk menerima inovasi, dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda ini, diharapkan dengan perbedaan pendidikan tersebut akan mendorong tercapainya pembangunan diberbagai bidang ke arah yang lebih maju lagi. Penggunaan lahan di Kecamatan Sebatik Timur selain untuk pemukiman, juga dialokasikan sebagai lahan sawah, kebun, dan kolam. Dari luas wilayah tersebut peruntukan yang terbesar adalah untuk kebun terutama untuk kebun kakao sehingga sangat memungkinkan untuk pengembangan tanaman kakao, seperti tertera pada Tabel 4. Permasalahan yang dihadapi petani kakao di kecamatan Sebatik Timur adalah: (i) Kurangnya pengetahuan, ketrampilam dan kesadaran/sikap tentang penggunaan benih/bibit unggul yang bersertifikat dan klon unggul tahan terhadap seragan hama dan penyakit. (ii) Keterbatasan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam pengendalian OPT yang ramah lingkungan, pengurangan penggunaan pestisida yang sistemik dan pembukaan akses jalan sebagai pendukung pemasaran produk perkebunan. (iii) Kurangnya kesadaran,pemgetahuan dan keterampilan dalam menjaga kesuburan tanah dengan melakukan pemupukan baik menggunakan pupuk organik maupun anorganik, pembukaan lahan tanpa bakar, reklamasi lahan, pengendalian alih fungsi lahan dan pengelolaan irigasi. (iv) Belum optimalnya fungsi kelembagaan tani yang ada sebagai wadah petani dalam berdiskusi. (v) Belum optimalnya dalam membangun kemitraan dan akses permodalan sebagai bagian dari peningkatan produktivitas dan pendukung perekonomian bangsa. (vi) Belum tersedianya fasilitas pengolahan/ pabrik/industri untuk mengolah sebingga dapat meningkatkan harga jual dan nilai tambah dan pendapatan. (vii) Dalam sistem pamasaran, hasil kakao dijual ke pedagang pengumpul dan oleh pedangang pengumpul selanjutnya di jual ke negara tetangga Malaysia. Harga jual masih ditentukan oleh pedagang pengumpul dan petani hanya pasrah dengan harga yang telah ditetapkan sesuai dengan harga negara tetangga Malaysia dengan nilai tukar uang Ringgit Malaysia (RM). (viii) Tidak ada perbedaan harga jual antara buah difermentasi atau langsung dijemur, sehingga petani enggan untuk meningkatkan kualitas biji kakao.
INTRODUKSI TEKNOLOGI Data statistik perkebunan dalam kurun waktu 5 tahun (tahun 2009-2013) rata-rata luas panen kakao di kabupaten Nunukan adalah 7,936 Ha dengan produksi 9,513 ton dengan pertumbuhan produksi yang semakin tahun semakin menurun (-3.5801) dengan harga rata-rata Rp.16,000, sedangkan untuk Kecamatan Sebatik tahun 2012 luas lahan tanaman kakao sebesar 6,491 Ha dengan produktivitas 2,243 kg dan harga rata-rata Rp 19,000 biji kering. Penurunan produksi ini disebabkan karena para petani banyak yang beralih ke tanaman kelapa sawit yang menurut mereka (petani) sangat menjanjikan dan tidak perlu merawat tanamannya sudah menghasilkan, alasan lain bahwa tanaman kakaonya banyak yang mati terserang hama penyakit, produksinya rendah karena kurang dilakukan perawatan terutama pemberian pupuk organik dan anorganik dan juga karena sudah berumur tua dan dengan budidaya kakao memerlukan perawatan yang ekstra.(BPTP Kaltim 2013) Kondisi kebun kakao di Kecamatan Sebatik telah mengenal sarungisasi dan telah diberikan tanaman pelindung yang juga sebagai tanaman sela, yaitu tanaman pisang, durian, langsat, rambutan, dan lainnya, hanya saja terlalu lebat sehingga kondisi kebun agak lembab dan sanitasi kebun kurang dilakukan, juga pemupukan jarang dilakukan oleh petani di sekitar. Untuk mengatasi kondisi seperti ini telah dilakukan pendampingan oleh BPTP Kaltim pada tanaman kakao milik petani (BPTP Kaltim 2013) dengan rekomendasi pemupukan pada Tabel 5. Pupuk yang diberikan berupa pupuk NPK dengan dosis pupuk 500 gram/pohon/tahun dan di aplikasikan setiap bulan sekali. Burhansyah dan Puspitasari (2010) merekomendasikan bahwa tanaman kakao di Sekayam Kalbar pada umur 3-4 tahun di berikan pupuk NPK (15:15:15) sebesar 552 g/pohon/tahun dan pada umur 4 tahun diberikan 674,7 g/pohon/tahun. ANALISIS PERUBAHAN TEKNOLOGI Hasil perhitungan oleh petani kooperator sebelum dan sesudah dilakukan pemupukan kakao menggunakan NPK di Kecamatan Sebatik Timur, menunjukkan bahwa keuntungan atas biaya total usahatani kakao setelah dilakukan pemupukan adalah Rp 18.436.000, sedangkan sebelum dilakukan pemupukan adalah Rp 10.145.000. Jadi dengan pemupukan NPK pada tanaman kakao petani mendapatkan tambahan keuntungan Rp 8.291.000/ha/tahun atau meningkat 79,33%, atau terjadi peningkatan produksi 550 kg atau sebesar 64,71% (Tabel 6). Sementara analisis pada Tabel 7 menunjukkan bahwa dengan pemupukan NPK menghasilkan tambahan penerimaan bagi petani sebesar Rp 10.450.000;/ha/tahun. Angka marginal B/C dari perubahan teknologi tersebut adalah 4,8 yang menunjukkan bahwa tiap Rp 1,00 tambahan biaya yang dikeluarkan sebagai akibat perubahan teknologi menyebabkan diperolehnya tambahan penerimaan sebesar Rp 4,8. Jadi, pemberian pupuk NPK sesuai dosis dan umur
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 373-377, April 2015
376
tanaman Kakao sangat layak untuk dilakukan dan dikembangkan secara lebih luas. Tabel 1. Jumlah Penduduk di Kecamatan Sebatik Timur Tahun 2012 (UPTBPPPK Sebatik 2013). No Desa 1 Tanjung Aru 2 Bukit Aru Indah 3 Tanjung Harapan 4 Sei Nyamuk Jumlah Persentase (%)
KK 463 642 747 1.072 2.924
Laki-laki 1.050 1.358 1.535 2.663 6.606 53
Perempuan 932 1.256 1.212 2.360 5.760 47
Jumlah 1.982 2.614 2.747 5.123 12.466
Persentase (%) 16 21 22 41 100
Tabel 2. Jenis Pekejaan masyarakat di Kecamatan Sebatik Timur Tahun 2012 (UPTBPPPK Sebatik 2013). No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Pekerjaan Buruh Tani Petani Nelayan Peternak Pedagang Usaha Kecil Jumlah
Tanjung Aru 105 376 481 52 16 12 1.042
Bukit Aru Indah 74 271 150 19 3 5 522
Tanjung Harapan 112 450 540 150 20 70 1.342
Sei Nyamuk 221 459 394 50 219 180 1.523
Jumlah 512 1.556 1.565 271 258 267 4.429
Persentase (%) 11,56 35,13 35,33 6,12 5,83 6,03 100
Tabel 3. Tingkat Pendidikan di Kecamatan Sebatik Timur Tahun 2012 (UPTBPPPK Sebatik 2013). No 1 2 3 4
Desa Tanjung Aru Bukit Aru Indah Tanjung Harapan Sei Nyamuk Jumlah Persentase (%)
Pra Sekolah 309 452 578 306 1.645 15.56
SD 721 1.005 727 1.795 4.248 40.19
SLTP 420 535 456 816 2.227 21.07
SLTA 279 390 945 527 2.141 20.25
Sarjana 31 82 41 156 310 2.93
Tabel 4. Pengggunaan Lahan (ha) di Kecamatan Sebatik Timur Tahun 2012 (UPTBPPPK Sebatik 2013). Desa Tanjung Aru Bukit Aru Indah Tanjung Harapan Sei Nyamuk Jumlah Persentase (%)
Luas Wilayah 727,75 955 849 13.050 15.581,75 100
Sawah 50 70 50 70 240 1,54
Kebun 504 575 412 1.836 3.327 21,35
Kolam 24 12 8 20 64 0,41
Pemukiman 45 52 40 180 317 2,03
Tabel 5. Rekomendasi dosis pupuk pada tanaman Kakao di Kecamatan Sebatik Timur (BPTP Kaltim 2013) No. 1.
Komponen Teknologi Dosis Pupuk
Rekomendasi NPK 350-500 kg/ha/tahun Umur tanaman: 0-1 = 25-30 Kg 1-2 = 100-125 kg 2-3 = 250-300 kg > = 350-500 kg
Keterangan Pupuk diberikan 2 kali dalam setahun dengan cara meletakkan pupuk di parit atau alur yang dibuat mengelilingi pohon dan kemudian menutupnya kembali dengan tanah
Tabel 7. Analisis Perubahan Teknologi Usahatani Kakao di Kecamatan Sebatik Timur Kabupaten Nunukan (perhektar/tahun) (BPTP Kaltim 2013) No. 1. 2. 3.
Losses Tambahan tenaga kerja Tambahan Pupuk Tambahan Pestisida Total Losses
Jumlah (Rp) 2.679.000 697.000 -1.217.000 2.159.000
Gains Tambahan penerimaan untuk kenaikan 550 kg
Jumlah (Rp) 10.450.000
Total Gains
10.450.000
RAHAYU & SUMARMIYATI – Pengembangan kakao di Sebatik Timur, Nunukan
377
Keterangan: Tambahan Keuntungan = Total Gains - Total Losses = (Rp 10.450.000 - Rp 2.159.000) = Rp 8.291.000; Marginal B/C = (Total Gains):Total Losses) = Rp10.450.000:Rp2.159.000 = 4,8. Tabel 6. Analisis Usahatani Kakao di Kecamatan Sebatik Timur (perhektar/tahun)(BPTP Kaltim 2013) Sebelum Satuan
No.
Uraian
A. 1.
Sarana Produksi Tenaga Kerja: -pemangkasan -pemupukan -pembersihan lahan -penyemprotan pestisida -pembungkusan buah -Panen -Penjemuran buah -pembuatan Rorak Pupuk: -NPK (sak) -NPK Cap ayam -UREA Pestisida/herbisida: Amistartop Alika Ex. Santri dr Tawau Malaysia Ex.505 nurele dr Tawau Malaysia Total Biaya Produksi Pendapatan B/C Ratio
2.
3.
B. C. D.
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
33 4 3 2 12 0 12 6 0
57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000
1 1 3
150.000 323.000 110.000
0 0 11 13
190.000 63.000 29.000 190.000
850
19.000
2.223.000 228.000 171.000 114.000 684.000 0 684.000 0 0 697.000 150.000 323.000 440.000 2.541.000 0 0 319.000 2.660.000 6.005.000 16.150.000 10.145.000 1,7
Penurunan produksi kakao disebabkan karena para petani banyak yang beralih ke tanaman kelapa sawit, banyak yang mati terserang hama penyakit, produksinya rendah karena kurang dilakukan perawatan terutama pemupukan dengan menggunakan pupuk organik maupun anorganik dan juga karena tanaman kakaonya sudah berumur tua. Dengan melihat potensi lahan yang cukup luas terutama kebun seluas 3.327 ha (21,35%) sangat memungkinkan untuk pengembangan tanaman kakao. Dengan melakukan pemupukan NPK sesuai dosis dan umur tanaman kakao dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 8.291.000/ha/tahun atau meningkat 79,33%, atau terjadi peningkatan produksi 550 kg atau sebesar 64,71%, marginal B/C sebesar 4,8, sangat layak untuk dilakukan dan dikembangkan secara lebih luas. DAFTAR PUSTAKA BPTP Kaltim. 2013. Laporan Akhir Pendampingan Gernas Kakao di Kalimantan Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kaltim. Samarinda. Dariah A, Erfandy D, Suriadi E, Suwardjo H. 1993. Tingkat Efisiensi dan Efektifitas Tindakan Konservasi Secara Vegetatif dengan Strip Vetiver dan Tanaman Pagar Flemingia congesta Pada Usahatani Tanaman Jagung. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 18-21 Februari 1993. Puslittanak, Bogor. Disbun Kaltim. 2013. Statistik Perkebunan. Dinas Perkebunan Prop. Kaltim, Samarinda. Dormon ENA, Van Huis A, Leuwis C, Obeng-Ofori D, Sakyi-Dawson O. 2004. Causes of low productivity of cocoa in Ghana: farmers’
Sesudah Satuan
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
68 15 14 6 12 0 21 10 8
57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000 57.000
10 0 0
150.000 323.000 110.000
2 2 4 6
190.000 63.000 29.000 190.000
1.400
19.000
4.902.000 855.000 798.000 342.000 684.000 0 1.197.000 570.000 456.000 1.500.000 1500.000 0 0 1.762.000 380.000 126.000 116.000 1.140.000 8.164.000 26.600.000 18.436.000 2,26
perspectives and insights from research and the socio-political establishment. NJAS - Wageningen Journal of Life Sciences 53-3/4: 237-260. Erfandy MD, Nur M, Budhyastoro T. 1997. Perbaikan Sifat Fisik Tanah Dengan Strip Vetiver dan Pupuk Kandang. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret 1997. Puslittanak, Bogor. Fahmudin A, 1999. Konstribusi Bahan Organik Untuk Meningkatkan Produksi Pangan Pada Lahan Kering Bereaksi Masam. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua-Bogor, 9-11 Februari 1999. Puslittanak, Bogor. Garrity DP, Agus F. 1999. Natural Resource Management on Watershed Scale: What can agroforestry contribute? In: Lal R (ed.). Integrated Watershed Management in The Global Ecosystem. CRC Press LLC, Boca Raton, USA. Burhansyah R, Puspitasari M. 2010. Rekomendasi Kebijakan Mendukung Gernas Kakao di Kalimantan Barat http://kalbar.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content &view=article&id=214:kakao&catid=56:rekomendasi2011&Itemid=161 Subagyono K, Dariah A, Budyastoro T, Nurida NL. 2004. Pengembangan Teknologi Konservasi Untuk Peningkatan Produktivitas Tanaman Perkebunan di Lahan Kering Kabupaten Ende. Kerjasama antara: Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation (PFI3P) dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. UPTBPPPK Sebatik [Unit Pelaksana Teknis Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sebatik]. 2013. Program Penyuluhan. Unit Pelaksana Teknis Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sebatik, Nunukan. Watung RL, Vadari T, Sukristiyonubowo, Subiharta, Agus F. 2003. Managing Soil Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia. Phase 1 Project Completion Report. International Water Management Institute (IWMI). South East Asia Regional Office, Bangkok.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 378-382
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010235
Pengaruh pemberian silase limbah ikan terhadap kadar protein daging dan lemak daging broiler sebagai upaya peningkatan kualitas pangan The influence of fish waste silage on protein and fat content of broiler meat MEI SULISTYONINGSIH Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas PGRI Semarang. Jl. Sidodadi Timur Nomor 24Dr. Cipto Semarang, Jawa Tengah. Tel. +62-24-8316377, Fax. Tel. +62-24-8448217, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 3 Desember 2014. Revisi disetujui: 19 Januari 2015.
Abstrak. Sulistyoningsih M. 2015. Pengaruh pemberian silase limbah ikan terhadap kadar protein daging dan lemak daging broiler sebagai upaya peningkatan kualitas pangan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 378-382. Tingginya harga bahan pakan penyusun ransum, seperti jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan berpotensi menghambat pengembangan peternakan broiler. Penggunaan limbah perikanan sebagai salah satu alternative untuk mengurangi penggunaan pakan konvensional, dengan melalui pembuatan silase limbah ikan. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh pemberian silase limbah ikan terhadap kadar protein daging dan lemak daging broiler. Penelitian ini menggunaan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan P0 (kontrol/100% pakan komersial), P1 (97,5% pakan komersial + 2,5% silase limbah ikan), P2 (95% pakan komersial + 5% silase limbah ikan), dan P3 (92,5% pakan komersial + 7,5% silase limbah ikan), masing masing dengan 4 ulangan. Analisis data menggunakan Anova, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian silase limbah ikan terhadap protein daging broiler (P>0,05), tetapi ada pengaruh pemberian silase limbah ikan terhadap lemak daging broiler (P<0,05). Penggunaan silase limbah ikan sebagai pakan (P3) terbukti menurunkan kadar lemak daging broiler secara nyata (P<0,05). Kata kunci: silase ikan, protein, lemak, broiler
Abstract. Sulistyoningsih M. 2015. The influence of waste fish silage on protein and fat content of broiler meat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 378-382. The high price of animal feed ingredients, such as corn, soy and fishmeal, could potentially impede the development of broiler farms. Fish waste can be an alternative to reduce the use of conventional feed. This research aims to assess the influence of waste fish silage on protein and fat content of broiler meat. This research was set based on randomized complete design with 4 treatments, namely P0 (control/100% commercial feed), P1 (97.5% commercial feed + 2.5% waste fish silage), P2 (95% commercial feed + 5% waste fish silage), and P3 (92.5% commercial feed + 7.5% waste fish silage). Each treatment was replicated 4 times. The data was analyzed using ANOVA with Duncan test. The research results showed no influence of waste fish silage on the protein content of broiler meat (P>0.05). But the influence of waste fish silage was observed on the fat content of broiler meat (P<0.05). The use of fish waste silage as feed (P3) has significantly lowered fat content of meat broiler. Keywords: fish silage, protein, fat, broiler
PENDAHULUAN Unggas khususnya ayam broiler, sampai saat ini masih menjadi ternak andalan untuk memenuhi kebutuhan pangan hewani. Sifat broiler yang sangat efisien dalam durasi waktu pemeliharaan menjadi faktor yang penting untuk dibudidayakan secara luas. Citarasa ayam sangat disukai semua golongan umur, pengolahan yang mudah, harga yang relative terjangkau oleh masyarakat, menyebabkan kuliner berbahan baku ayam menjadi berkembang pesat. Salah satu kendala utama selama ini adalah mahalnya harga ransum broiler. Ayam pedaging memiliki sifat tumbuh yang cepat dalam waktu relatif singkat dan tergolong ternak yang efisien dalam menggunakan ransum. Ayam pedaging sangat memungkinkan dijadikan ternak percobaan untuk
menguji kualitas produk silase limbah ikan. Penggunaan produk silase limbah ikan dalam ransum diharapkan dapat menimbulkan respon positif dalam menunjang pertumbuhan dan produksi ayam pedaging (Abun 2004). Pemanfaatan limbah perikanan menjadi bahan pakan dapat memberikan arti penting bagi produksi peternakan, salah satu diantaranya yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif adalah limbah ikan. Limbah ikan yang terdiri atas kepala, isi perut, daging, dan tulang ikan bila diberikan secara langsung dapat menimbulkan efek negatif karena cepat rusak dan menjadi busuk, sehingga perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Salah satu usaha untuk pengolahan limbah tersebut yaitu melalui proses pembuatan silase ikan, baik secara kimiawi maupun secara biologis (Abun 2004). Silase adalah bahan pakan atau ransum berkadar air
SULISTYONINGSIH – Silase limbah ikan pada protein dan lemak broiler
tinggi (40-70%) yang diawetkan dalam kondisi an-aerob selama waktu tertentu. Silase dikatakan baik jika mempunyai pH 3-4, bau asam (didominasi oleh asam laktat), tidak berjamur mempunyai warna seperti atau mendekati warna bahan pakan atau ransum sebelum difermentasi, mengandung bakteri asam laktat lebih dari 106, dan mempunyai nilai gizi yang hampir sama dengan bahan asalnya karena kehilangan bahan kering selama proses fermentasi sangat sedikit. Silase yang baik dapat bertahan lebih dari satu tahun bila disimpan dalam kondisi an-aerob tanpa secara nyata menurunkan nilai gizinya. Selain dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan bahan pakan yang diolah dengan teknologi pengeringan, silase mengandung asam organik dan bakteri asam laktat yang sangat berguna dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Saat ini di beberapa negara maju asam organik telah diklaim sebagai bahan pemacu pertumbuhan (growth promoter), di samping sebagai bahan pengawet bahan pakan dan pangan, sedangkan bakteri asam laktat telah umum diketahui sebagai probiotik. Sehingga pemberian pakan silase pada ternak tidak memerlukan lagi penambahan bakteri asam laktat (probiotik) dan asam organik (pemacu pertumbuhan), dengan perkataan lain pemberian pakan silase pada ternak akan mengurangi biaya pakan dan sekaligus juga dapat menurunkan impor BAL dan asam organik dalam jangka panjang. Lebih jauh ternak yang diberi silase akan memperoleh air alami (air dalam bahan pakan), sehingga kebutuhan air dari luar menjadi lebih sedikit. Menurut Mukodiningsih (2003) umumnya produk silase hewan mengadung banyak air, sehingga dalam pencampuran perlu dikurangi kadar airnya sebelum dicampur dalam pakan atau diberikan langsung pada ternak. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai aditif dalam pengolahan silase adalah dedak. Dedak (bran) merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi pada lapisan luar maupun dalam dari butiran padi, jumlahnya sekitar 10% dari jumlah padi yang digiling menjadi beras dan energi yang terkandung dalam dedak padi bisa mencapai 2980 kkal/kg. Dedak padi memiliki bau khas wangi dedak, jika baunya sudah tengik berarti telah terjadi reaksi kimia (Dharmawati et al. 2014). Dedak dalam pembuatan silase berfungsi sebagai sumber karbohidrat merupakan substrat bagi bakteri asam laktat dan menghasilkan senyawa asam terjadi penurunan pH, sehingga mematikan bakteri pembusuk maupun bakteri patogen tidak dapat tumbuh (Nunung 2012). Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh pemberian silase limbah ikan terhadap peningkatan kualitas daging ayam sebagai bahan pangan yang banyak dikonsumsi, dilihat dari kandungan kadar protein dan lemak daging broiler.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2014. Kandungan nutrisi silase limbah ikan dan pakan komersial diuji di Laboratorium Nutrisi Makanan Ternak, Universitas Diponegoro, Semarang.
379
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Ada empat perlakuan dengan masing masing empat ulangan. Materi penelitian DOC (Day Old Chick) broiler berjumlah 96 ekor, dengan BB sekitar 35 ± 2,16 g, jenis kelamin “unsex”. Perlakuan penelitian ini adalah : (i) P0: Ransum komersial 100% (kontrol), (ii) P1: Ransum komersial 97,5% + 2,5% silase limbah ikan, (iii) P2: Ransum komersial 95,0% + 5,0% silase limbah ikan, (iv) P3: Ransum komersial 92,5% + 7,5% silase limbah ikan Kandang pemeliharaan yang digunakan adalah kandang panggung berukuran 1 m x 1 m x 0,7 m (p x l x t). Jarak ketinggian dari lantai 50 cm, dengan dinding dan alas kandang panggung dari ram kawat. Setiap kandang dibagi menjadi 4 flok. Setiap kandang dilengkapi dengan lampu dan thermostat sebagai pengatur suhu internal dalam kandang, serta termometer ruang sebagai indikator suhu. Suhu dalam kandang diatur 30˚C-32˚C, pada awal pemeliharaan, selanjutnya diatur untuk kebutuhan suhu dalam kandang, dengan menyesuaikan umur broiler setiap minggu. Setiap ruang dalam kandang dilengkapi dengan tempat makan dan alat minum gantung. Kandang pada awal pemeliharaan berlaku sebagai brooding DOC. Seluruh sisi kandang dan tutup atas kandang, ditutup dengan plastik transparan, untuk menstabilkan suhu internal kandang sesuai dengan kebutuhan suhu DOC. Alas kandang pada awal pemeliharaan menggunakan sekam padi sebagai upaya agar kaki DOC tidak cedera dan menjaga suhu tubuh DOC agar tetap hangat. Selanjutnya lapisan plastik transparan dilepas secara bertahap, sampai umur 10 hari hingga 2 minggu. Selebihnya seluruh lapisan plastik dilepas semua. Kandang ini selanjutnya menjadi kandang pembesaran hingga penelitian selesai pada minggu kelima. Parameter penelitian yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar protein daging broiler dan kadar lemak daging broiler pada pemeliharaan 5 minggu. Analisis akhir dengan ANOVA pada taraf signifikansi 5%, bila ada pengaruh dilanjutkan dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian tentang pengaruh pemberian silase limbah ikan pada ayam broiler (Gallus domesticus) adalah sebagai berikut: Protein daging Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian silase limbah ikan terhadap kadar protein daging broiler yang dipelihara selama 5 minggu (P>0,0). Tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata ini diduga disebabkan karena ayam diberi pakan yang relative tidak berbeda jauh dengan kandungan protein dan energi yang sesuai dengan kebutuhan ayam sampai umur 5 minggu. Anggorodi (1985) menyatakan bahwa jumlah konsumsi ransum sangat ditentukan oleh kandungan energi dalam ransum. Apabila kandungan energi dalam ransum tinggi maka konsumsi pakan akan turun dan sebaliknya apabila kandungan energi ransum rendah, maka konsumsi pakan akan naik guna memenuhi kebutuhan akan energi.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 378-382, April 2015
380
Tabel 1. Rataan bobot badan, protein daging, dan lemak daging broiler pada umur 5 minggu Perlakuan
Bobot badan (g) 2480,500a 2375,000a 2284,500a 2416,800a
Protein daging (%) 35.8400a 37.2600a 33.9650a 37.2675a
Lemak daging (%) 56.792a 46.167b 42.000b 26.582c
P0 P1 P2 P3 Keterangan: P0: Ransum komersial 100% (kontrol) P1: Ransum komersial 97,5% + 2,5% silase limbah ikan P2: Ransum komersial 95,0% + 5,0% silase limbah ikan P3: Ransum komersial 92,5% + 7,5% silase limbah ikan Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); Superskrip yang sama pada baris yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 2. Kandungan nutrisi silase limbah ikan dan pakan komersial. Kandungan nutrisi
Silase ikan *)
Pakan komersial
Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Ca (%) P (%) EM (Kal/g)
15,493 35,590 19,333 0,86 1,15 3593,67
21-23 5 5 0,9 0,6 3000-3500
Kandungan protein kasar pada uji laboratorium limbah silase ikan 15.49% BK, sedangkan kandungan protein kasar pada pakan komersial berkisar 18-21% (Tabel 2). Pemanfaatan limbah ikan untuk pakan ternak tidak bisa diberikan langsung begitu saja pada ternak, hal ini dikarenakan bahan tersebut memiliki kandungan nutrisi yang tidak sesuai dengan protein standar dan juga bahan tersebut mudah busuk dan banyak terdapat bakteri sehingga perlu pengolahan. Pengolahan silase limbah ikan pada dasarnya, dengan proses fermentasi berupa penguraian senyawa-senyawa kompleks pada tubuh bagian ikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim yang terdapat pada bagian tubuh ikan itu sendiri ataupun berasal dari mikroorganisme lain (Nunung 2012). Hasil rataan protein daging di atas menunjukkan tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian menunjukkan, semua perlakuan menghasilkan protein daging yang tinggi (berkisar 33-37%). Menurut Palupi (1986), daging secara umum terbentuk dari beberapa unsur pokok seperti, air, protein, lemak, mineral, vitamin dan sebagainya, unsur-unsur tersebut tergantung umur dan makanan hewan. Daging ayam mengandung protein antara 21-24% (Mountney 1976). Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa nilai rataan kandungan protein daging P3 (37,2775%), ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 (37,2600%), P2 (33,9650%) maupun kontrol P0 (35,8400%), yang tidak diberi tambahan silase limbah ikan. Pakan dengan kandungan protein rendah akan memiliki kandungan protein daging yang rendah pula. Soeparno (1998) menyatakan bahwa peningkatan kualitas protein
dalam pakan akan meningkatkan protein dalam tubuh. Broiler fase finisher membutuhkan protein yang lebih sedikit (sekitar 18,1-21,2%) daripada fase starter. Angka ini tidak terlalu jauh berbeda dengan kandungan protein kasar dari silase limbah ikan yang berkisar 15,5%. Terlebih lagi pada penelitian ini pemberian terbanyak pada P3 adalah sebesar hanya 10% dari total pakan harian. Hal ini menyebabkan hasil penelitian pada parameter protein daging tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini juga dibuktikan pada hasil bobot badan broiler yang juga tidak berbeda nyata (Tabel 1). Di samping karena kadar protein kasar di silase yang relative masih tinggi, manajemen pemeliharaan yang baik juga menjadi penyebab tingginya kadar protein daging pada semua perlakuan. Ayam menjadi tidak stress, lebih sehat dan nyaman, sehingga pakan menjadi efisien untuk produktifitas pembentukan masa daging dan kualitas daging dilihat dari bobot badan dan protein daging. Yeoh (1999) melaporkan bahwa penambahan 3% asam formiat 85% dalam pembuatan silase ikan ternyata mampu menurunkan pH dari 6,5 menjadi 3,8 dan relative stabil pada pH 4,4. Sedangkan penambahan 3% asam pormiat 98% menyebab pH tidak stabil yaitu selama terjadinya fermentasi 2 minggu pH turun menjadi 4,9% setelah itu naik menjadi 5,4%. Sedangkan penambahan asam-asam anorganik seperti penambahan 25-30% asam sulfat mampu menstabilkan pH, tetapi beberapa asam amino akan rusak sehingga kualitas protein akan menurun. Hal ini sama dengan yang dilaporkan oleh Mairizal (2005) bahwa pembuatan silase jeroan ikan dengan menggunakan 3% asan formiat 85% mampu menurunkan pH dari 6,4 menjadi 3,6 dan stabil pada pH 4. Produk silase yang menggunakan asam organic, sebelum diberikan ternak tidak perlu dinetralkan dahulu, sedangkan penggunaan asam-asam anorganik harus dinetralkan dahulu sehingga reaksi asam yang terbentuk tidak merusak saluran pencernaan unggas (Filawati 2008). Soeparno (1998) menyatakan bahwa peningkatan kualitas protein dalam pakan akan meningkatkan protein dalam tubuh. Bahan yang mengalami proses fermentasi mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan asal. Hal ini disebabkan fermentasi menghasilkan enzim-enzim tertentu yang dapat menguraikan protein menjadi asam amino sehingga lebih mudah diserap tubuh (Winarno dan Fardiaz 1980). Fermentasi bahan organik akan melepaskan asam amino dan sakarida dalam bentuk senyawa yang terlarut dan mudah diserap oleh saluran pencernaan ayam. Hal ini menyebabkan absorpsi dan pemanfaatan zat makanan untuk pertumbuhan menjadi lebih optimal. Selain itu makanan yang mengalami fermentasi akan meningkatkan kandungan vitaminnya, seperti riboflavin, vitamin B12 dan Provitamin A yang berpengaruh terhadap pertumbuhan. Scott et al. (1982), menambahkan bahwa riboflavin sangat esensial untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh semua hewan Semua hal tersebut di atas menjelaskan mengapa meskipun perlakuan P3 diberi silase limbah ikan terbanyak (10%), dengan kandungan protein kasar yang hanya berkisar 15,5%, ternyata mampu memberikan hasil kandungan protein daging yang sama bagusnya dengan
SULISTYONINGSIH – Silase limbah ikan pada protein dan lemak broiler
kontrol (P0). Hal ini berarti perlakuan P3 lebih efisien dari segi pembiayaan. Lemak daging Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh nyata pemberian silase limbah ikan terhadap penurunan kadar lemak daging broiler pada umur lima minggu (P<0,05). Pemberian silase limbah ikan secara nyata menurunkan kadar lemak daging broiler dibandingkan perlakuan lain. Perlakuan kontrol (P0), terbukti memiliki kandungan lemak daging yang paling banyak. Hal ini tentu saja tidak disukai oleh konsumen yang mengkonsumsi daging ayam. Konsumen menginginkan daging ayam yang sehat konsumsi, dengan kriteria antara lain tinggi protein daging dan rendah lemak daging (Tabel 1). Lemak merupakan sumber energi tinggi dalam pakan unggas. Hampir 40% kandungan bahan kering telur, 17% daging broiler, dan 12% daging kalkun tersusun atas lemak. Meskipun lemak merupakan sumber energi ekonomis, dalam pakan kandungan lemak dibatasi 2-5%. Kandungan lemak berlebihan mengakibatkan ternak diare dan pakan mudak tengik. Lemak sering dicampurkan dalam pakan broiler untuk meningkatkan kandungan energi pakan (Suprijatna et al. 2005). Lemak bagi tubuh ayam broiler diperlukan sebagai sumber tenaga (energi) dan sebagai pelarut vitamin A, D, E, K sehingga dapat diserap usus. Lemak juga berfungsi sebagai cadangan energi, dimana kelebihan makanan dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk lemak yang bisa dimanfaatkan sebagai cadangan energi bilamana diperlukan (Nastiti 2012). Lemak daging merupakan lemak yang berada di bagian tubuh (karkas) yang sangat menentukan dalam kualitas dari ayam pedaging. Semakin besar persentase lemak daging, maka semakin menurun kualitas daging ayam pedaging tersebut sebab konsumen menghendaki kadar lemak dalam daging yang rendah. Havenstein et al. (2003) menjelaskan bahwa lemak dalam ayam pedaging (umur 43 hari) sekitar 10-15% dari total bobot karkas. Kadar lemak daging memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) sehingga ransum perlakuan dengan silase limbah ikan memberikan hasil yang nyata. Rata-rata kadar lemak daging perlakuan dengan perlakuan P3 (26,582%) memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan P0, P1 dan P2. Hasil penelitian ini memperlihatkan kandungan lemak yang tinggi dibandingkan kadar lemak daging broiler pada umumnya. Suprijatna et al. (2005), menyatakan kadar lemak daging broiler berkisar 17%, tetapi penelitian ini memperlihatkan kadar lemak yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena kandungan lemak kasar pada silase limbah ikan memang sangat tinggi (35,590%), seperti terlihat pada Table 2. Angka ini jauh di atas kandungan lemak kasar yang hanya 5% pada pakan komersial. Hasil nyata diperlihatkan pada perlakuan P3, dengan penggunaan silase terbanyak (10%) mampu menurunkan kandungan lemak daging kurang dari setengah (26.582%), dibandingkan pada P0/kontrol (56.792%). Rendahnya kadar lemak daging pada perlakuan P3 diduga karena tingginya serat kasar pada silase limbah ikan (19,333%), bila dibandingkan dengan pakan komersial
381
yang hanya 5%. Perlakuan P3 juga memberikan hasil kandungan protein daging terbaik dari seluruh perlakuan meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Bobot badan terbaik juga diperlihatkan oleh P3 di samping P0 (Tabel 1). Noferdiman (2009), menyatakan lemak daging sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan pakan yang diberikan, dimana kandungan energi termetabolis dalam masing-masing ransum yang diberikan adalah iso kalori yaitu sekitar 2900 kkal/kg ransum dan pemotongan ayam dilakukan pada umur yang sama yaitu 4 minggu. Rendahnya kadar lemak daging pada ayam broiler yang mendapat perlakuan silase limbah ikan dengan level 7,5% disebabkan karena absorpsi asam-asam lemak yang berasal dari ransum menurun. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan silase limbah ikan sampai dengan level 7,5% mampu mengefisienkan penggunaan energi ransum untuk pertumbuhan sehingga tidak terjadi kelebihan energi yang ditimbun dalam bentuk lemak daging. Menurut Wahju (1997), bahwa pada ransum yang mengandung serat tinggi, maka daya cerna zat-zat makanan lainnya akan menurun dan ransum tersebut tidak dapat dicerna sepenuhnya dan menyebabkan tembolok penuh, sehingga jumlah konsumsi ransum menjadi terbatas. Penelitian ini juga menggunakan silase yang diberi dedak sebagai penyerap kadar air yang berlebih. Analisis laboratorium yang dilakukan pada silae limbah ayam menunjukkan kadar protein kasar 15,49% BK, ini lebih rendah dari kadar protein pakan komersial. Ayam broiler adalah unggas yang membutuhkan kadar protein tinggi dalam ransumnya untuk mencapai pertumbuhan yang optimal dalam waktu pemeliharaan yang singkat (panen 5 minggu). Secara ekonomis hal ini menguntungkan, artinya dengan memberikan pakan dari limbah ikan yang dapat mengurangi beban biaya operasional, ternyata tetap dapat menghasilkan bobot badan broiler yang sama baiknya secara statistik, kandungan protein daging yang tidak berbeda nyata dan kandungan lemak daging yang terbaik pada P3 (silase 10%), dibandingkan dengan hanya pemberian pakan komersial saja. Komposisi dedak perlu menjadi perhatian dalam penelitian sejenis untuk menghasilkan performans bobot badan yang lebih baik. Sesuai dengan hasil penelitian Dharmawati et al (2014), yang menyatakan, untuk menghasilkan silase dengan kualitas fisik terbaik menggunakan rasio (1: 2/dedak: limbah ikan), tetapi untuk menghasilkan silase dengan kadar protein tertinggi dengan rasio (1:4/dedak: limbah ikan). Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penambahan silase limbah ikan tidak berpengaruh terhadap kandungan protein daging (P>0,05), tetapi berpengaruh secara nyata pada kandungan lemak daging (P<0,05). Pemberian silase limbah ikan pada broiler terbukti lebih menguntungkan secara ekonomi dan performans (kadar protein daging tinggi dengan kandungan lemak daging yang rendah, pada bobot badan yang relative sama). Penelitian ini merekomendasikan pemberian makanan tambahan berupa silase limbah ikan dengan konsentrasi 10% dari jumlah total pakan, pada pemeliharaan ayam broiler untuk meningkatkan
382
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 378-382, April 2015
performans, di pemeliharaan intensif, untuk menghemat biaya produksi, serta mengurangi limbah ikan yang selama ini banyak terbuang.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masayarakat Universitas PGRI Semarang yang telah mendanai penelitian ini, dan kepada rekan Reny Rakhmawati serta Margono yang telah membantu berlangsungnya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Abun. 2004. Pengaruh cara pengolahan limbah ikan tuna (Thunnus atlanticus) terhadap kandungan gizi dan nilai energi metabolis pada ayam pedaging. Jurnal Bionatura 8 (3): 280-291. Dharmawati S, Malik A, Rafi’i M. 2014. Tingkat penggunaan dedak sebagai aditif terhadap kualitas fisik dan kadar protein silase limbah ikan. Media Sains 7 (1): 103-112. Filawati. 2008. Performans ayam pedaging yang diberi ransum mengandung silase limbah udang sebagai pengganti tepung ikan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 11 (3):-.
Havenstein GB, Ferket PR, Qureshi MA. 2003. Carcass composition and yield of 1957 versus 2001 broilers when fed representative 1957 and 2001 broiler diets. Poultry Sci 82: 1509-1518. Mountney GJ. 1966. Poultry Products Technology. AVI Publishing Co Inc., Westport, Connecticut, USA, Mukodiningsih S. 2003. Pengaruh lama pemeraman dan penambahan starter bakteri asam laktat terhadap kadar protein, lemak dan serat kasar silase bekicot. Jurnal Litbang Jawa Tengah 1: 20. Nastiti, R. 2012. Ayam Broiler. Yogjakarta: Pustaka Baru Press. Noferdiman. 2009. Pengaruh penggunaan lumpur sawit fermentasi dengan jamur P. chrysosporium dalam ransum terhadap performans ayam broiler. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 12 (4): 176-185. Nunung A. 2012. Silase Ikan Untuk Pakan Ternak. Dinas Peternakan Sulawesi Selatan, Makassar. Palupi WDE. 1986. Tinjauan Literatur Pengolahan Daging. Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional LIPI, Jakarta. Scott ML, Neishem MC, Young RJ. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd ed. M.L Scott and Assosiates, New York. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan 3. GMU Press, Yogyakarta. Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta. Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogjakarta. Winarno FG, Fardiaz O. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta. Yeoh QI. 1999. Fermentation Methods for the Preservation of Fish and Fish Trash. [Ph.D. Disertation] University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 383-387
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010236
Pemanfaatan sumberdaya lokal sebagai bahan baku industri dan pakan alternatif dalam meningkatkan pendapatan ternak puyuh organik di Kecamatan Sonder, Kabupaten Minahasa Utilization of local resources as industrial raw materials and alternative poultry feed to improve organic quail farm’s revenue in Sonder, District of Minahasa JOLYANIS LAINAWA1♥, NANSI MARGRET SANTA1,♥♥, JEANE PANDEY1,♥♥♥, BETTY BAGAU2,♥♥♥♥ 1
Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus UNSRAT Bahu Manado 95115 Sulawesi Utara, Tel./Fax. +62-431-863186, ♥email:
[email protected]. ♥♥email:
[email protected]♥♥♥email:
[email protected] 2 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus UNSRAT Bahu Manado 95115 Sulawesi Utara. Tel./Fax. +62-431-863186, ♥♥♥♥
[email protected]. Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 18 Januari 2015.
Abstrak. Lainawa J, Santa NM, Pandey J, Bagau B. 2015. Pemanfaatan sumberdaya lokal sebagai bahan baku industri dan pakan alternatif dalam meningkatkan pendapatan ternak puyuh organik di Kecamatan Sonder, Kabupaten Minahasa. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 383-387. Pakan merupakan masalah utama, selain bibit pada usaha ternak puyuh. Lebih dari 80% dari total biaya, digunakan untuk membeli pakan. Pakan pabrikan saat ini digunakan peternak sebagai pakan ternak puyuh. Keadaan ini menyebabkan jumlah pendapatan, sangat bergantung pada fluktuasi harga pakan pabrikan, yang cenderung naik. Berdasarkan masalah tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang bahan pakan lokal, yang dapat dijadikan sebagai pakan alternatif ternak puyuh. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui jenis dan jumlah bahan pakan lokal yang komposisi zat makanannya sesuai dengan kebutuhan ternak puyuh, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan baku industri pakan ternak. Peternak dapat menggunakan pakan lokal, sehingga pendapatan dapat meningkat. Selain itu, terbuka peluang untuk membuka usaha industri pakan. Penelitian menggunakan metode trial and error, dengan mengkategorikan beberapa bahan pakan lokal, kemudian dianalisis komposisi zat makanannya. Hasil penelitian yaitu, jenis bahan pakan dan jumlah pemberian dalam ransum ternak puyuh tipe petelur berupa jagung giling, dedak halus, bungkil kelapa, dan tepung ikan. Kesimpulannya, penggunaan bahan pakan lokal sesuai komposisi, dapat meningkatkan pendapatan sebesar 34,56%, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan baku industri pakan ternak puyuh. Kata kunci: pakan, puyuh, pendapatan, industri
Abstract. Lainawa J, Santa NM, Pandey J, Bagau B. 2015. Utilization of local resource as industrial raw materials and alternative poultry feed to improve organic quail farm’s revenue in Sonder, District of Minahasa. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 383-387. A limited supply of feed, in addition to baby chicks, is on of main problems in quail poultry. More than 80% of the total cost is spent on feed expenditure. Furthermore, farmers are suffering from the highly fluctuating price of the feed which is mostly supplied by big companies. It is, therefore, necessary to develop a new alternative of feed for quail farms from local resources. The purpose of research is to determine the type and amount of feed compositions required accordingly by the quails. Local resources were used, thus reducing the feeding cost, which consequently would increase the revenues. Furthermore, this might also open business opportunity in poultry feed industry. This research was conducted using trial and error method, by categorizing some local feed resources, then analyzing the composition of the feed. This study has obtained feed ingredients and composition which are suitable for quail farms. The feed is composed of corn flour, fine bran, coconut meat, and fish meal. In conclusion, the use of local feed resources in appropriate composition can increase revenue by 34.56%, thus the local resources can be used as raw materials for quail farm feed. Keywords: feed, quail, income, industry
PENDAHULUAN Rumah tangga tani merupakan komponen utama dalam mendukung pembangunan ekonomi khususnya sektor pertanian. Beragamnya komoditas yang dihasilkan rumah tangga tani didukung dengan sumberdaya yang ada, menjadikan sektor pertanian masih termasuk sektor unggulan sebagai penyedia bahan makanan (Todaro 2000).
Peternakan merupakan salah satu bagian dari bidang pertanian yang juga memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai sumber pendapatan rumah tangga. Usaha ternak puyuh saat ini termasuk salah satu sektor unggulan sebagai salah satu penyedia bahan makanan di Indonesia. Namun demikian, peternakan puyuh di Sulawesi Utara belum dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan sebagai penyedia bahan makanan berupa
384
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 383-387, April 2015
daging dan telur. Menurut BPS Sulut (2012), jumlah populasi ternak puyuh di Sulawesi Utara masih berkisar 12.000 ekor pada tahun 2012. Salah satu sumber protein hewani yang dikonsumsi masyarakat Sulawesi Utara yaitu telur puyuh. Telur puyuh dihasilkan oleh ternak puyuh yang termasuk dalam bangsa unggas, sehingga dapat dijadikan alternatif bagi konsumen dalam penyediaan konsumsi telur yang selama ini disediakan oleh ternak ayam. Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa sejak Tahun 2011 mulai memanfaatkan ternak puyuh sebagai salah satu jenis usaha di bidang Peternakan yang cukup memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Pada Tahun 2013, jumlah populasi ternak puyuh berkisar pada 6000 ekor. Populasi ternak tersebut merupakan penyedia telur puyuh untuk kabupaten/kota di sekitar Kecamatan Sonder (BP3K Kecamatan Sonder). Permasalahan yang dialami petani sampai saat ini yaitu pakan. Penggunaan pakan dalam usaha ternak ternak akan berpengaruh secara langsung pada jumlah pendapatan yang diterima petani. Pengeluaran biaya pakan dalam usaha ternak mencapai 60-70% dari total biaya (Rusdi 1992; Sudrajat 2000). Pakan pabrikan selama ini selalu digunakan oleh peternak unggas. Cara penggunaannya yang praktis menyebabkan peternak cenderung menggunakan pakan pabrikan. Keadaan ini menyebabkan peternak sangat bergantung pada ketersediaan pakan pabrikan di pasar. Selain itu, ketersediaanya sangat berpengaruh pada harga pakan itu sendiri. Harga input selalu mengalami kenaikan serta jarang terjadi penurunan harga. Fluktuasi harga pakan tersebut disebabkan karena ketersediaan pakan itu sendiri di pasar (Poultry Indonesia 2012). Penggunaan sumberdaya lokal sebagai pakan ternak unggas telah banyak diteliti (Noferdiman 2004; Noferdiman 2009; Nuhriawangsa 2004; Widodo 2010; Uzer et al. 2013). Penelitian tersebut mendapati bahwa sumberdaya lokal yang digunakan sebagai pakan ternak unggas, berasal dari limbah hasil pertanian yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisinya meningkat. Umumnya sumberdaya tersebut berada di lingkungan dekat tempat tinggal petani. Namun demikian, tingkat pengetahuan peternak tentang jenis dan jumlah sumberdaya lokal yang dapat dijadikan sebagai pakan unggas masih kurang. Selain itu, cara mencampur serta memformulasi bahan pakan untuk menjadi pakan ternak yang siap pakai, juga belum diketahui peternak lebih mendalam. Berdasarkan pemikiran diatas, maka perlu dilakukan penelitian pada usaha ternak puyuh fase layer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah bahan pakan lokal yang komposisi zat makanannya sesuai dengan kebutuhan ternak puyuh dan dapat dijadikan sebagai bahan baku industri pakan ternak, sehingga pendapatan peternak dapat meningkat. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sonder, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara yang dipilih secara
purposive sampling dengan pertimbangan bahwa terdapat populasi ternak puyuh sebanyak 6000 ekor. Teknik pengambilan sampel yaitu secara acak sederhana dengan mengambil 40 rumah tangga tani dari 60 populasi rumah tangga tani ternak puyuh. Sebanyak 50% rumah tangga tani menggunakan pakan pabrikan, sedangkan sisanya menggunakan pakan lokal yang sudah diuji dan diformulasikan melalui Laboratorium Industri Pakan, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT), Manado. Kandungan nutrisi pakan lokal setara dengan pakan pabrikan. Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan analisis regresi sederhana, seperti pada Persamaan 1. Y= a+d1D1 ................................................................ (1) Y = jumlah biaya pakan usaha ternak puyuh (rp) a = konstanta D1 = dummy variabel rumah tangga yang menggunakan pakan pabrikan; D1 = 1 ; rumah tangga yang menggunakan pakan pabrikan; D1 = 0 ; rumah tangga yang menggunakan pakan selain pakan pabrikan) d1 = koefisien regresi dummy variabel Berdasarkan persamaan (1), jumlah pendapatan usaha ternak puyuh dianalisis menggunakan jumlah biaya pakan usaha ternak puyuh. Jumlah total biaya pakan usaha ternak puyuh mencerminkan jumlah pendapatan yang diterima oleh peternak. Keadaan tersebut berlaku dengan asumsi bahwa jumlah ternak yang dijual oleh masing-masing rumah tangga tani dianggap sama, sehingga jumlah pendapatan usaha ternak puyuh tergantung pada jumlah biaya pakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat tiga unsur yang saling terkait dalam keberhasilan suatu usaha peternakan yaitu bibit, pakan dan manajemen. Unsur manajemen terkait dengan karakteristik rumah tangga tani ternak puyuh yang sangat berpengaruh pada keberhasilan usaha. Umur peternak, tingkat pendidikan termasuk dalam karakteristik. Umur peternak berkisar antara 48-55 tahun. Kisaran umur tersebut menunjukkan bahwa umumnya peternak masih termasuk kategori produktif. Peternak masih memiliki kemampuan fisik yang cukup kuat untuk melaksanakan kegiatan usahatani. Produktifitas usaha ternak juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan peternak. Tingkat pendidikan peternak puyuh yaitu 90% lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingkat pendidikan tersebut dapat dianggap cukup untuk menjalankan usaha ternak puyuh. Namun demikian, apabila dihubungkan dengan kemampuan mengaplikasikan teknologi pakan yang informatif, hal tersebut belum dapat dibuktikan secara nyata. Hal tersebut tergantung pada kemampuan mengakses informasi dari peternak itu sendiri, baik melalui media elektronik dan media cetak serta internet. Unsur pakan termasuk salah satu unsur yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha. Pakan dalam hal
LAINAWA et al. – Sumberdaya lokal sebagai bahan baku indusri dan pakan
ini jumlah konsumsi dan jumlah zat makanan yang terkandung dalam ransum ternak. Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum (Wahyu 1992) antara lain dipengaruhi oleh genetik, sex, berat badan, imbangan energi dan protein dalam ransum serta temperatur (Patihong et al. 1991; Nataatmijaya et al. 2003; Aipipidely et al. 2006). Pakan yang diberikan kepada ternak, tentunya pakan yang berkualitas. Dengan kata lain, pakan tersebut dapat memberikan pengaruh yang baik dalam meningkatkan pertumbuhan unggas, walaupun juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan jenis kelamin ternak itu sendiri (Wahyu 1992). Namun demikian, apabila faktor genetik dan jenis kelamin dianggap sama, maka yang sangat berperan dalam pertumbuhan ternak yaitu jumlah nutrisi atau zat makanan yang terkandung dalam pakan tersebut. Jumlah nutrisi atau zat makanan yang terkandung dalam pakan, biasanya diketahui sebagai komposisi pakan ternak. Komposisi pakan yang baik yaitu kandungan zat makanan dalam pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak pada saat pakan tersebut diberikan. Keseimbangan protein dan energi dalam ransum memiliki peran yang sangat penting dalam menyusun ransum, apabila tidak seimbang akan menyebabkan kelebihan atau kekurangan asupan energi dan protein dalam tubuh ternak (Wahyu 1997). Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi daya produksi dari ternak tersebut, apabila energi yang dikonsumsi berlebih maka dimanfaatkan untuk disimpan dalam bentuk lemak tubuh (Tilman 1998; Jull 1979). Burung puyuh, merupakan sebangsa burung liar dan termasuk salah satu burung yang tidak dapat terbang, memiliki ukuran tubuhyang relatif kecil, memiliki kaki pendek. Jenis puyuh yang biasa diternakkan berasal dari Coturnix-coturnix japonica dengan produksi telur yang mencapai 250-300 butir per tahun dengan berat rata-rata 10 gram per butir. Disamping dari telurnya, burung puyuh juga dimanfaatkan daging dan kotorannya. Keunggulan lain dari burung puyuh yaitu pemeliharaannya mudah, dapat diternakkan denga hewan lai, namun sangat rentan terhadap penyakit (Hartono,2004). Kebutuhan protein burung puyuh fase layer menurut NRC (1977) yaitu 20%, sedangkan kebutuhan energy berkisar 2600 kkal/kg ransum (Listiyowati dan Roospitasari 2000). Biaya pakan Jenis dan jumlah pakan berhubungan erat dengan biaya pakan. Biaya pakan meningkat seiring dengan semakin berkualitasnya suatu pakan. Umumnya peternak dalam mengusahakan ternak puyuh menggunakan pakan pabrikan. Keunggulan pakan pabrikan yaitu peternak dapat secara langsung menggunakannya untuk diberikan kepada ternak, karena kandungan zat-zat makanannya telah disesuaikan dengan kebutuhan ternak puyuh. Namun demikian, pakan pabrikan memiliki harga yang mahal dan relatif meningkat dengan berjalannya waktu (Poultry Indonesia 2012). Keadaan ini merupakan kendala utama dalam berusaha ternak. Penggunaan bahan pakan lokal untuk menggantikan pakan pabrikan belum seutuhnya dikenal dan digunakan oleh peternak burung buyuh
385
Berdasarkan penelitian di Kecamatan Sonder serta hasil analisis data menggunakan dengan program SAS 9, jumlah biaya pakan yang digunakan dalam usaha ternak puyuh fase layer menggunakan dua jenis pakan yang berbeda beserta hasil pengujiannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menjelaskan bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan peternak untuk membeli pakan pabrikan, lebih tinggi dan sangat nyata berbeda dari penggunaan pakan lokal. Keadaan tersebut menginformasikan bahwa penggunaan pakan lokal dapat menurunkan total biaya produksi sehingga dapat meningkatkan jumlah pendapatan usaha ternak puyuh. Jumlah biaya pakan tersebut apabila dihitung dan dibandingkan, maka dapat menghemat biaya pakan sebanyak 34,56%. Dengan kata lain, apabila peternak menggunakan pakan lokal untuk diberikan kepada ternak, maka pendapatan usaha ternak puyuh dapat meningkat sebanyak 34,56% karena dapat menekan atau menurunkan total biaya produksinya. Penggunaan pakan lokal sebagai pakan alternatif Kualitas pakan ternak dipengaruhi oleh jenis dan jumlah zat makanan yang terkandung di dalamnya. Pakan yang berkualitas terlihat pada imbangan jumlah protein dan energi dalam ransum. Keadaan ini berhubungan dengan tingkat kecernaan ransum. Pakan lokal yang digunakan dalam penelitian ini telah melalui pengujian Laboratorium Industri Pakan Fakultas Peternakan serta pengujian penggunaannya pada ternak unggas. Jumlah bahan pakan lokal dalam menyusun ransum ternak puyuh fase layer dijelaskan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa jagung giling, dedak halus, bungkil kelapa dan tepung ikan digunakan dalam mencampur bahan pakan untuk ternak puyuh fase layer atau petelur. Jenis pakan tersebut dapat ditemui peternak di sekitar tempat tinggalnya, sehingga dapat disebut sebagai pakan lokal dengan jumlah pemberian dalam ransum yaitu jagung 42%, dedak halus 17%, bungkil kelapa 21% dan tepung ikan 20%. Setelah melalui pengujian laboratorium dan penggunaannya terhadap ternak puyuh fase layer, maka kandungan zat makanannya seperti dijelaskan pada Tabel 3. Tabel 1. Perbandingan biaya pakan usaha ternak puyuh fase layer menggunakan pakan pabrikan dan pakan lokal Pakan pabrikan Biaya pakan pabrikan Biaya Pakan lokal
Pakan lokal Rp 8.288.000*** Rp 5.423.040
Keterangan: Data diolah berdasarkan keterangan peternak; *** Berbeda sangat nyata (P<0,001) Tabel 2. Jumlah bahan pakan lokal dalam ransum ternak puyuh fase layer Jenis pakan lokal
Rataan (kg)
Jagung giling 42,0 Dedak halus 17,0 Bungkil kelapa 21,0 Tepung Ikan 20,0 Keterangan: Data diolah berdasarkan keterangan peternak
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 383-387, April 2015
386
Tabel 3. Kandungan zat makanan pakan lokal Kandungan zat makanan Protein Serat kasar Lemak Energi bruto Jagung 42 3,96 0,90 2,17 1670,76 Bungkil Kelapa 21 5,20 3,15 1,97 918,33 Dedak halus 17 2,28 1,08 1,03 610,98 Tepung Ikan 20 11,20 0,07 2,18 689,80 Jumlah 100 22,64 5,21 7,34 3889,87 Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Industri Pakan Fakultas Peternakan Bahan pakan
Jumlah
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa ransum mengandung protein 22,64% dengan energi 3889,87 kkal/kg. Apabila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan protein dan energi ternak puyuh menurut NRC (1977), didapati bahwa pakan lokal mengandung protein dan energi yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Menurut Ramina (2001), peningkatan protein dalam ransum secara nyata dapat meningkatkan berat karkas dan presentasi karkas. Selain itu, asupan protein dan asam-asam amino dapat tercukupi dalam tubuhnya, sehingga metabolisme sel-sel dalam tubuh berlangsung secara normal. Campuran bahan pakan juga memiliki jumlah serat kasar yang rendah. Ternak unggas masih toleran pada serat kasar hingga 5% (Anggorodi 1985). Serat kasar yang tinggi dalam ransum mengakibatkan daya cerna pakan menurun. Menurunnya daya cerna mengakibatkan rendahnya nutrisi yang terserap oleh saluran pencernaan ternak (Sofjan dan Surisdiyanto 2003). Kendala dan prospek penggunaan pakan lokal sebagai bahan baku industri Penggunaan pakan lokal sebagai bahan penyusun ransum ternak puyuh belum sepenuhnya dikenal dan dilaksanakan oleh peternak. Keadaan tersebut disebabkan karena terdapat kendala yang sering ditemui peternak dalam penggunaannya. Kendala yang dihadapi peternak puyuh di Kecamatan Sonder antara lain sulitnya mendapatkan tepung ikan dan bungkil kedele. Terkadang, tepung ikan yang dijual di toko makanan ternak tidak sepenuhnya merupakan tepung ikan, melainkan sudah dicampur dengan serbuk gergaji atau lainnya. Disisi lain, bungkil kedele sangat jarang tersedia di toko makanan ternak. Keadaan tersebut seiring dengan penelitian Uhi (2006), dengan mensubstitusi bungkil kedele dengan bahan pakan lain karena mulai sulit dan terbatasnya hasil produksi hijauan akibat musim kemarau. Kenyataan tersebut diatas apabila dicermati, baik oleh peternak maupun masyarakat di Kecamatan Sonder, Minahasa merupakan hal yang baik dan dapat menjadi sumber mata pencaharian baru. Keadaan tersebut memungkinkan munculnya usaha-usaha baru di bidang pakan ternak khususnya industri pakan ternak. Industri pakan ternak dalam hal ini yaitu pengembangan usaha untuk menghasilkan bahan baku pakan ternak menggunakan bahan pakan lokal sebagai sumberdaya lokal (Bunyamin et al. 2013; Sinurat et al. 2000). Seperti diketahui bahwa Sulawesi Utara merupakan daerah penghasil ikan, sehingga dipastikan jenis dan jumlah ikan
Abu 6,35 1,46 1,76 2,41 11,98
yang tidak dikonsumsi masyarakat tersedia dengan melimpah. Kenyataan tersebut belum dimanfaatkan sebagai potensi bahan baku industri tepung ikan. Hal ini antara lain membuktikan bahwa penggunaan pakan lokal untuk dijadikan bahan baku industri memiliki prospek yang baik di Sulawesi Utara. Disamping itu, apabila ketersediaannya cukup, maka dapat membantu meningkatkan pendapatan peternak puyuh di Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa. KESIMPULAN Sumberdaya lokal, apabila digunakan oleh peternak puyuh fase layer, dapat mengurangi total biaya pakan sehingga pendapatan usaha ternak dapat meningkat sampai 34,56%. Selanjutnya, penggunaan pakan lokal dalam ransum ternak, membuka peluang usaha baru khususnya pengembangan industri pakan ternak sebagai bahan baku industri mengggunakan sumberdaya lokal yang tersedia di lingkungan sekitar. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada DP2M DIKTI karena telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan dana melalui kegiatan IbM tahun anggaran 2014, dengan Nomor Kontrak: 1990/UN12.II/KU/2014, tanggal 7 April 2014. DAFTAR PUSTAKA Aipipidely RL, Sidadolog JHP, Yuwanta T. 2006. Analisis genetik dan fenotip sifat produksi dan reproduksi ayam merawang. Jurnal Agrosains 19 (4):-. Anggorodi R. 1985. Nutrisi ternak unggas. Gramedia, Jakarta. BPS Sulut. 2012. Sulawesi Utara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara. Manado Bunyamin Z, Efendi R, Andayani NN. 2013. Pemanfaatan limbah jagung untuk industri pakan ternak. Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013, BPTP Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Hartono. 2004. Permasalahan burung puyuh dan solusinya. Penebar Swadaya, Jakarta. Jull MA. 1979. Poultry Nutrition. 5th ed. Tata McGraw-Hill Publ. Co. Inc., New Delhi. Listiyowati E, Roospitasari K. 2000. Burung Puyuh Tata Laksana Budidaya secara Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta. NRC [National Research Council]. 1977. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy of Science, Washington DC.
LAINAWA et al. – Sumberdaya lokal sebagai bahan baku indusri dan pakan Noferdiman. 2004. Ujicoba limbah sawit dalam ransum ayam broiler. Majalah Ilmiah Angsan 8 (1): 17-26. Noferdiman. 2009. Pengaruh penggunaan lumpur sawit fermentasi dengan jamur P.chrysosporium dalam ransum terhadap performans ayam broiler. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan 12 (4): 176-185. Nuhriawangsa AMP. 2004. Pengaruh presentasi daging buah papaya dan pemanggangan terhadap kualitas daging ayam. Jurnal Sains Peternakan 1(1): 32-41. Patihong MT. 1990. Analisis Sifat Fenotip dan Genetik Pertumbuhan Anak Ayam Kampung berdasarkan Warna Bulu Tetua. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Poultry Indonesia. 2012. Mengapa Harga Komoditas Ayam Berfluktuasi http://www.poultryindonesia.com/news/opini/mengapa-hargakomoditas-ayam-berfluktuasi/. [10 Januari 2015]. Rusdi UD. 1992. Fermentasi konsentrat campuran bugkil biji kapok dan onggok serta implikasi efeknya terhadap pertumbuhan ayam broiler. [Disertasi]. Universitas Padjajaran, Bandung. Sinurat APJ, Purwadaria, Ketaren P, Zainuddin D, Kompiang IP. 2000. Pemanfaatan lumpur sawit untuk ransum unggas. Jurnal Ilmu Ternak dan Veterinir 5 (2): 107-112.
387
Sofjan O, Surisdiyanto H. 2003. Penggantian jagung kuning dengan tepung gaplek dalam pakan ayam pedaging yang menggunakan konsentrat. Anim Prod 5 (4): 7-13. Sudrajat SD. 2000. Potensi dan prospek bahan pakan lokal dalam mengembangkan industri peternakan di Indonesia. Seminar nasional pada dies Natalis UGM Yogyakarta. Tilman AD. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Todaro MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga. Erlangga, Jakarta Uhi HT. 2006. Perbandingan suplemen katalitik dengan bungkil kedelai terhadap penampilan domba. Jurnal Ilmu Ternak 6 (1): 1-6. Uzer F, Iriyanti N, Roesdiyanto. 2013. Penggunaan pakan fungsional dalam ransum terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan ayam broiler. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1): 282-288. Wahyu. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Widodo W. 2010. Nutrisi dan pakan unggas kontekstual. Fakultas Peternakan-Perikanan. Universitas Muhammadyah Malang, malang.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 2, April 2015 Halaman: 388-391
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010237
Kandungan fitokimia beberapa jenis tumbuhan lokal yang sering dimanfaatkan sebagai bahan baku obat di Pulau Lombok Phytochemical content of some of local plant species frequently used as raw materials for traditional medicine in Lombok Island IMMY SUCI ROHYANI♥, EVY ARYANTI, SURIPTO Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram. Jl. Majapahit No. 62, Mataram 83125, Nusa Tenggara Barat. Tel.: +62-370-646506, Fax.: +62-370-646506, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 7 Desember 2014. Revisi disetujui: 1 Februari 2015.
Abstrak. Rohyani IS, Aryanti E, Suripto. 2015. Kandungan fitokimia beberapa jenis tumbuhan lokal yang sering dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 388-391. Suku Sasak merupakan masyarakat asli pulau Lombok. Masyarakat asli pulau Lombok masih mengandalkan beberapa jenis tumbuhan lokal sebagai bahan baku obat. Hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa dari 62 jenis tumbuhan obat lokal yang masih dikenal masyarakat, terdapat lima jenis tumbuhan obat lokal yang paling sering digunakan dan memiliki nilai bobot dan skor tertinggi dalam pemanfaatannya diantaranya adalah daun kelor (Moringa oleifera), daun pule (Alstonia scholaris), daun ciplukan (Physalis angulata), daun pegagan (Centella asiatica) dan daun asam (Tamarindus indica). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan fitokimia dari beberapa jenis tumbuhan obat lokal. Metode yang digunakan dalam penapisan fitokimia dilakukan dengan prosedur standar. Beberapa prosedur yang digunakan dalam ujialkaloid adalah prosedur Rizk (1982). Uji saponin dengan prosedur Forth, ujiflafonoid dengan prosedur Wilstater, uji steroid dengan prosedur Liebermann-Bunchard, uji terpenoid dengan prosedur Salkowski, uji antrakuinon dengan prosedur Borntrager’s dan uji Tanin. Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa daun kelor dan daun ciplukan, positif mengandung semua senyawa metabolit sekunder yang diujikan diantaranya flavonoid, alkaloid, steroid, tanin, saponin, antrakuinon dan terpenoid. Senyawa metabolit sekunder ini memiliki sifat antibakteri, pendenaturasi protein serta mencegah proses pencernaan bakteri, serta sebagai antimikroba dan antivirus Kata kunci: uji fitokimia, tumbuhan obat, pulau Lombok
Abstract. Rohyani IS, Aryanti E, Suripto. 2015. Phytochemical content of some local plant species frequently used as raw materials for traditional medicine in Lombok Island. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1 (2): 388-391. Sasak tribe, an indigenous community in Lombok island, has been utilizing some local plants as raw materials for traditional medicine. Results of previous studies show that of the 62 species of medicinal plants known by the community, five species are most commonly used with the highest scores and weight of utilization. Those are mainly leaves of moringa (Moringa oleifera), pule (Alstonia scholaris), ciplukan (Physalis angulata), pegagan (Centella asiatica) and tamarind (Tamarindus indica). This study aims to determine the phytochemical content of the medicinal plants using standard procedures of phytochemical screening. Procedures used for the colloid test was as proposed by Rizk (1982). Saponin test was based on Forth procedure, flavonoid test using Wilstater procedures, steroid test under Liebermann-Bunchard procedures, terpenoids test with Salkowski procedures, anthraquinone test based on Borntrager procedures and Tannins test. The phytochemical tests show that the leaves of moringa and ciplukan contained all screened secondary metabolites including flavonoids, alkaloids, steroids, tannins, saponins, anthraquinones, and terpenoids. These secondary metabolites exhibit antimicrobial and antiviral properties, denature protein and prevent ingestion of bacteria. Keywords: phytochemical test, medicinal plants, Lombok island
PENDAHULUAN Pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat pulau Lombok yang dominan dihuni oleh masyarakat suku Sasak tetang tumbuhan obat kebanyakan berasal dari leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Pengetahuan masyarakat juga berasal dari naskah daun lontar Usada yang sudah berusia ratusan tahun. Naskah Usada merupakan salah satu peninggalan budaya Lombok dalam bidang Ilmu pengetahuan, khususnya mengenai tanaman obat. Saat ini
penggunaan bahan alam sebagai obat (biofarmaka) cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu back to nature dan krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal harganya. Hasil inventarisasi yang telah dilakukan diperoleh sekitar 62 jenis tumbuhan lokal pulau Lombok yang sering dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat suku sasak. Berdasarkan jumlah tersebut kemudian dipilih lima jenis tumbuhan lokal yang memiliki nilai bobot dan skor
ROHYANI et al – Nilai gizi tumbuhan pangan lokal pulau Lombok
tertinggi berdasarkan pemanfaatannya. Kelima jenis tumbuhan tersebut diantaranya adalah daun kelor (Moringa oleifera), daun pule (Alstonia scholaris), daun ciplukan (Physalis angulata), daun pegagan (Centella asiatica)dan daun asam (Tamarindus indica). Tumbuhan lokal tersebut telah menjadi tumbuhan pekarangan dan secara turun temurun masih dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Masyarakat memanfaatkan tumbuhan obat sering kali tidak mengetahui kandungan kimia dari tumbuhan tersebut, sehingga dalam menentukan jumlah dosisi pemakaiannya masyarakat hanya mengandalkan pada pengalaman dan perkiraan semata. Kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam obat tradisional selain berkhasiat dapat juga menyebabakan efek samping yang merugikan jika dikonsumsi sembarangan (tanpa kontrol). Berdasarkan hal tersebut menjadi sangat penting untuk mengetahui kandungan fitokimia beberapa jenis tumbuhan lokal yang masih sering dijadikan obat oleh masyarakat.Uji kandungan kimia dilakukan melalui analisis fitokimia secara kualitataif. Uji fitokimia ini masih merupakan suatu metode pengujian awal dalam upaya untuk mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tumbuhan obat lokal yang berperan penting dalam penyembuhan penyakit. Hasil akhir dari seluruh rangkaian penelitian ini diharapkan akan dapat menemukan suatu senyawa yang memiliki efek farmakologi tertentu sehingga memacu penemuan obat baru yang berasal dari keragaman jenis tumbuhan obat lokal. BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa jenis tumbuhan lokal diantaranya daun kelor (Moringa oleifera), daun pule (Alstonia scholaris), daun ciplukan (Physalis angulata), daun pegagan (Centella asiatica) dan daun asam (Tamarindus indica). Aquades, metanol, natrium klorida, reagen folin-Ciocalteu 50%,
natrium klorida 2%, aluminium klorida 2%,Vanilin 4% dan asam klorida. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah desikator, timbangan analitik, satu set alat evaporator, oven, cawan petri, kertas saring wattman 42, aluminium foil, alat-alat gelas, spektrofotometer, inkubator, dan vortex. Masing-masing sampel tanaman dicuci dan dikering anginkan selama 5 hari, setelah kering sampel diblender hingga sampel menjadi halus lalu diayak dengan ayakan 65 mesh.
Ekstraksi sampel dengan cara maserasi dalam 2 buah toples bening berukuran 2 L menggunakan 4 L pelarut kloform teknis selama 1 x 24 jam. Ekstrak kloroform yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kloroform kental. Penapisan fitokimia dilakukan prosedur standar. Beberapa pengujian fitokimia yaitu uji alkaloid, saponin, steroid, terpenoid, flavonoid, antrakuinon dan tanin. Prosedur yang digunakan dalam uji alkaloid adalah prosedur Rizk (1982). Uji saponin dengan prosedur Forth, uji flafonoid dengan prosedur Wilstater, uji steroid dengan prosedur Liebermann-Bunchard, uni terpenoid dengan prosedur
389
Salkowski, uji antrakuinon dengan prosedur Borntrager’s dan uji Tanin. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji fitokimia untuk tanaman obat sangat diperlukan, biasanya uji fitokimia digunakan untuk merujuk pada senyawa metabolit sekunder yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak digunakan atau dibutuhkan pada fungsi normal tubuh. Namun memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peranan aktif bagi pencegahan penyakit (Sudarma 2010). Senyawa metabolit sekunder diproduksi oleh tumbuhan salah satunya untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti suhu, iklim, maupun gangguan hama dan penyakit tanaman (Lenny 2006; Zetra dan Prasetya 2007). Senyawa metabolit sekunder ini dikelompokkan menjadi beberapa golongan berdasarkan stuktur kimianya yaitu alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, saponin, antrakuinon dan terpenoid. Hasil uji fitokimia terhadap lima jenis tanaman obat lokal yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat pulau Lombok disajikan pada Tabel 2. Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa hampir semua tumbuah yang diuji positif mengandung senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, steroid/triterpenoid, tanin/polifenol dan terpenoid. Daun kelor dan daun ciplukan positif mengandung semua senyawa aktif yang diujikan. Daun asam ditemukan tidak mengandung saponin, sedangkan daun pule tidak mengandung Antrakuinon/ Antracena. Daun pegagang ditemukan tidak mengandung alkaloid dan antrakuinon/ antracena. Pembahasan Daun kelor dan daun ciplukan positif mengandung semua senyawa metabolit sekunder yang diujikan diantaranya Flavonoid, alkaloid, Steroid, tanin, saponin, antrakuinon dan terpenoid. Adanya kandungan senyawasenyawa metabolit tersebut menyebabkan daun kelor dan daun ciplukan dikenal sebagai tanaman obat yang berkhasiat saat ini. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada daun kelor meliputi fenol dan senyawa fenolik, alkaloid, dan minyak astiri (essential oils) Tabel 2. Hasil uji fitokimia tanaman obat lokal pulau Lombok Tanaman obat lokal Daun Daun Daun Daun Daun pegagan kelor asam ciplukan pule Flavonoid + + + + + Alkaloid + + + + Steroid/triterpenoid + + + + + Tanin/polifenol + + + + + Saponin + + + + Antrakuinon/ + + + antracena Terpenoid + + + + + keterangan : (+) terjadi perubahan warna sesuai uji ; (-) tidak ada perubahan warna Uji Fitokimia
390
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 388-391, April 2015
memiliki sifat antibakteri. Tanin pada daun kelor berperan sebagai pendenaturasi protein serta mencegah proses pencernaan bakteri, sedangkan flavonoid yaitu senyawa yang mudah larut dalam air untuk kerja antimikroba dan antivirus (Naiborhu 2002). Mekanisme kerjanya dalam menghambat bakteri dilakukan dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel. Senyawa ini mampu melakukan migrasi dari fase cair ke fase lemak. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme dan kondisi ini yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada bakteri (Naiborhu 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Dahot (1998) melaporkan bahwa dalam ekstrak daun kelor mengandung protein dengan berat molekul rendah yang mempunyai aktivitas antibakteri dan antijamur, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Meitzer dan Martin (2000), daun kelor yang dilarutkan dalam air dapat digunakan untuk antibiotika. Makkar dan Becker (1997) melaporkan bahwa daun kelor mengandung 27% protein. Daun kelor sebagai sumber protein memiliki kandungan asam amino esensial seimbang. Daun kelor juga dapat digunkan sebagai penutup luka dan obat pencahar serta sebagai anti anemia (Oduro et al. 2008). Daun ciplukan dikenal berkhasiat sebagai obat bisul, obat bengkak, dan peluruh air seni (Depkes RI 1994). Daun ciplukan dapat dimanfaatkan sebagai anti-hiperglikemi, antibakteri, antivirus, imunostimulan dan imunosupresan (imunomodulator), antiinflamasi, anti-oksidan, analgesik, dan sitotoksik, juga sebagai peluruh air seni (diuretik), menetralkan racun, meredakan batuk, mengaktifkan fungsi kelenjar-kelenjar tubuh dan anti tumor. Saponin yang terkandung dalam daun ciplukan memberikan rasa pahit dan sifat menyejukkan serta berkhasiat sebagai anti tumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus besar. Flavonoid dan polifenol berkhasiat sebagai antioksidan. Manfaat daun ciplukan terhadap virus juga telah dilakukan Penelitian di Jepang menemukan bahwa daun ciplukan memiliki tindakan tegas terhadap herpes simpleks I, campak, HIV-1 dan polio virus 1. Ditemukan bahwa daun ciplukan menunjukkan efek penghambatan reverse transcriptase. Reverse-transcriptase inhibitor (ISR) adalah kelas obat anti-retroviral digunakan untuk mengobati virus seperti HIV dan hepatitis B. Daun pegagan dari hasil uji ditemukan tidak mengandung senyawa alkaloid dan antrakuinon/antracena. Alkaloid merupakan senyawa yang mengandung nitrogen yang bersifat basa dan mempunyai aktifitas farmakologis (Lumbanraja 2009). Bagi tumbuhan, alkaloid berfungsi sebagai senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga atau herbivora (hama dan penyakit), pengatur tumbuh atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbanagan ion (Sudarma 2014). Umumnya alkaloid merupakan senyawa padat, berbentuk kristal, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit, sedangkan daun pegagan memiliki sifat manis dan sejuk. Menurut Harborne (1987). Alkaloid umumnya tidak ditemukan pada
gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah lainnya. Senyawa alkaloid dalam bidang kesehatan memiliki efek berupa pemicu sistem syaraf, menaikan tekanan darah,mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat penyakit jantung dan lainnya (Robinson 1995). Senyawa metabolit antrakuinon tidak terdapat pada daun pegagan dan daun pule. Senyawa antrakuinon mempunyai beberapa macam fungsi yaitu antiseptik, antibakteri, antikanker, pencahar (Gunawan et al. 2004; Samuelsson 1999). Antrakuinon terhidroksilasi tidak sering terdapat dalam tumbuhan secara bebas tetapi sebagai glikosida. Banyak antrakuinon yang terdapat sebagai glikosida dengan bagian gula terikat dengan salah satu gugus hidroksil fenolik (Robinson 1995). Semua antrakuinon berupa senyawa kristal bertitik leleh tinggi, larut dalam pelarut organik basa. Antrakuinon bersifat lexsan, pada penggunaan yang berlebih dapat menimbulkan iritasi pada dinding intestinal. antrakuinon dapat mempermudah buang air besar. Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa daun asam tidak mengandung saponin. Saponin dikarakterisasi dari rasa pahit dan kemampuannya untuk menghemolisa pada sel darah merah. Saponin larut dalam air membentuk buih seperti buih sabun, hal ini disebabkan karena saponin mempunyai amphiphilik. ikatan glikosida pada saponin cukup stabil, tetapi dapat putus secara kimia oleh asam kuat dalam air (Sudarma 2014). Saponin untuk obat luar biasanya bersifat membersihkan. saponin juga sering dimanfaatkan untuk meracuni ikan karena dapat menghambat pembuluh darah ikan mengikat oksigen. DAFTAR PUSTAKA Dahot MU. 1998. Antimicrobial activity of Small Protein of Moringa oleifera leaves. J Islam Acad Sci 11 (1): 27-32 Depkes RI. 2004. Keputusan Menkes RI No. 1197/Menkes/SK/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Indonesia. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Gunawan D, Mulyani S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Penebar Swadaya, Jakarta. Harborne IB. 1987. Metode Fitokimia. Penerbit ITB Bandung. [Dictionary of Natural Product] Lenny S. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Fakultas MIPA, USU, Medan. Lumbanraja LB. 2009. Skrining Fitokimia dan uji efek Antiinflamasi ekstak etanol daun tempuyang (Sonchus arvenis L.) terhadap radang pada tikus. Universitas Sumatera Utara, Medan. Makkar HPS, Becker K.1996. Nutritional value and antinutritional components of whole and ethanol extracted Moringa oleifera leaves. Ani Feed SciTechnol 63 (1-4): 21-24. Meitzer LS, Martin LP. 2000. Effectivenes of a Moringa Seed Ekstract in Treating a Skin Infection. Amaranth to Zai Holes. ECHO. USA Naiborhu PE. 2002. Ekstraksi dan Manfaat Ekstrak Mangrove (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris) Sebagai Bahan Alami Antibakterial pada Patogen Udang Windu, Vibrio harveyi. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Oduro W, Ellis O, Owusu D. 2008. Nutritional potential of two leafy vegetables: Moringa oleifera and Ipomoea batatas leaves. Sci Res Essay 3 (2): 57-60. Rizk AM. 1982. Constituents of plants growing in. Qatar. I. A chemical survey of sixty plants. Fitoterapia 52: 35-44 Robinson T.1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Terjemahan: Koensoemardiyah. IKIP Semarang Press, Semarang.
ROHYANI et al – Nilai gizi tumbuhan pangan lokal pulau Lombok Rohyani IS, Aryani E, Suripto. 2014. Potensi Tumbuhan Lokal Pulau Lombok dalam Upaya Menunjang Ketahanan. Universitas Mataram, Mataram. Samuelsson G. 1999. Drugs of natural origin. 4th ed. Apotekar Societeten. Stockholm
391
Zetra Y, Prasetya P. 2007. Isolasi senyawa α-amirin dari tumbuhan Beilschmiedia roxburghiana (Medang) dan uji bioaktivitasnya. Akta Kimindo 3: 27-30.