Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
ISOLASI GALUR MIKROBA SELEKTIF PEMECAH KERATIN PADA BULU AYAM (Isolation of Microbes With An Ability To Breakdown Chicken Feather’s Keratin) SUPRIYATI, M.T. PURWADARIA dan I. P. KOMPIANG Balai Penelitian Ternak, PO Box 221 Bogor, 16002 ABSTRACT The aim of study was to isolate microbe from nature, which has an ability to break down feathe’s' this keratin. The isolation was carried out by selecting the microbes isolated from soil where chicken's feather were buried, with 50 cm depth, previously (2, 4, 6 and 8 weeks) and its soil moisture was maintain around 70 to 80 %. Then the screening of microbes was conducted by taken samples from broken feather burried in soil, then sub sampled and disolved in distilled water. Each sample was then diluted gradually with distilled water, and cultured in nutrient agar containing ground feather for 3 days. The colony forming unit was then measured and the forming colony separated based on microscopic identification, and recaptured in a slanted agar as a pure culture. Microscopic identification was carried out by gram staining and spore staining, including clear zone test for further identification. Other parameters masures were pH and water contents of samples. Colony forming unit from the sample taken at 2, 4, 6 and 8 weeks sample on day one were 0, 8, 69 and Tdd, respectively. On day 2 the counts were 13, 31,Tdd and Tdd; respectively, and on day 3, all cultures growth so densely and can not be counted. Seventeen colonies were identified from these culture and planted in a slanted agar. Three out of 17 culture have a similar character to Bacillus sp. Further identification of these 3 cultures showed that they were gram positive, with spore located subterminally, long rods and have proteolitic activity. pH of the soil where the feather was burned, declined from the initial value of 6.73 to 6.51 after 8 weeks. The moisture content were varied between 10.35 to 28.03%. Key words: Isolation, microbe for keratin breaking down, chicken feather ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi galur mikroba selektif pemecah keratin pada bulu ayam. Isolasi dilakukan dengan cara menyeleksi mikroba yang terdapat di alam dengan cara menguraikan bulu ayam di tanah pada kedalaman sekitar 50 cm. Penanaman dilakukan dengan menggunakan variasi waktu (2, 4, 6 dan 8 minggu). Selama penanaman kelembaban tanah diusahakan stabil yaitu sekitar 70-80%. Selanjutnya dilakukan skrining mikroba dengan cara mengambil cuplikan bulu ayam terurai yang ditanam, kemudian disubsampling dan dilarutkan dengan air destilasi. Selanjutnya masing-masing cuplikan dilakukan pengenceran bertingkat dengan air distilasi dan ditanam pada media nutrient agar dengan bulu ayam yang digiling halus selama 3 hari. Koloni yang tumbuh dihitung jumlahnya dan dipisah-pisahkan berdasarkan identifikasi makroskopik untuk ditanam pada medium agar miring sebagai biakan murni. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan pewarnaan Gram dan pewarnaan spora, lalu uji zona bening. Parameter pendukung yang diukur adalah pH dan kadar air cuplikan. Hasil pengukuran jumlah koloni yang tumbuh pada medium agar hasil isolasi setelah penguraian bulu ayam 2, 4, 6, dan 8 minggu ternyata pada hari pertama pengamatan berturut-turut 0, 8, 69 dan Tdd (tidak dapat dihitung) Sedangkan pada hari ke dua meningkat menjadi 13, 31, Tdd danTdd untuk cuplikan pada minggu ke 0, 2, 4, 6 dan 8. Pada hari ketiga pengamanan semua koloni tak dapat dihitung. Dengan demikian semakin lama proses penguraian semakin meningkat populasi bakteri. Hasil identifikasi makroskopis koloni bakteri pada medium miring ternyata dari 17 tabung ada 3 tabung yang menunjukkan adanya Bacillus sp. Dari 3 tabung ini selanjutnya dilakukan uji mikrpskopis dan uji zona bening temyata preparat tersebut merupakan jenis Gram positif dengan letak spora subterminal, morfologi sel batang
639
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
panjang (long rods), dengan uji zona bening bersifat proteolitik. Nilai pH cuplikan bulu ayam yang tercampur tanah selama 8 minggu menurun dari 6,73 menjadi 6,51 dengan kadar air bervariasi antara 10,35 dan 28,03%,. Kata kunci: Isolasi, mikroba pemecah keratin, bulu ayam
PENDAHULUAN Limbah peternakan dapat berasal dari industri pembibitan dan pemotongan unggas. Limbah peternakan yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan adalah bulu ayam- Bulu ayam sangat potensial dikembangkan menjadi bahan baku pakan sebagai sumber protein karena kandungan proteinnya tinggi namun mempunyai faktor pembatas dalam pemanfaatannya. Ketersediaan bulu ayam terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap daging ayam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 1999), pada tahun 1998 produksi daging unggas sekitar 807,9 ribu ton dengan produksi bulu sekitar 80,79 ribu ton (sekitar 10% dari bobot ternak berupa bulu). Jenis dan breed unggas memberikan variasi kandungan nutrien bulu ayam terutama kandungan asam amino metioninnya (KLEMESRUD et al.,1996). Kandungan protein kasar pada bulu ayam mencapai 95% (HOWIE et al.,1996), dengan faktor pembatas berupa keratin yang sulit dicerna oleh ternak monogastrik. Dengan tingginya kandungan protein, maka tepung bulu ayam dapat merupakan altematif sebagai pengganti tepung ikan dalam ransum. Tepung bulu ayam yang diperjualbelikan pada saat ini mencapai hasil hidrolisis dari bulu ayam. Hidrolisis yang dilakukan selama ini memakai tekanan uap pada tekanan 20 psi untuk memutuskan ikatan -S-S- senyawa keratin, kemudian dikeringkan, dan digiling menjadi tepung (PAPADOPAULUS et al., 1985). Tepung bulu yang dihasilkan memiliki nilai daya cerna protein rendah, terutama pada unggas. PAPADOPAULUS et al. (1985) menyatakan bahwa tepung bulu apabila ditambahkan pada ransum ternak berlambung tunggal, maka yang diserap hanya sekitar 5% saja, Di samping itu, pada penggunaanya masih harus ditambahkan tepung ikan dan tepung daging. Untuk lebih meningkatkan mutu tepung bulu ayam sebagai sumber protein, diupayakan dengan menggunakan bioteknologi. Teknik bioteknologi dengan menggunakan proses fermentasi secara mikrobial telah dilakukan oleh WILIAMS et al. (1991), BARBOUD dan LIBURN (1994), serta SHIH dan LIN (1994). Demikian pula P.T. Alltech International Amerika, telah mengembangkan enzim pemecah keratin. Untuk itu, dalam penelitian ini dipelajari teknik isolasi mikroba selektif pemecah keratin pada bulu ayam. MATERI DAN METODE Percobaan ini dilakukan dalam beberapa tahapan .yaitu: tahap preparasi contoh, pengisolasian, dan identifikasi mikroba. Contoh bulu ayam diambil dari tempat pemotongan ayam Kebon Pedes, Bogor. Bulu ayam dicuci bersih, dikeringkan dengan panas matahari, dipotong-potong sekitar 3-4 cm, kemudian ditanam pada kedalaman 0,5 m di dalam tanah untuk diuraikan secara alami oleh Bacillus iicheniformis dan bakteri tanah lainnya. Penanaman bulu ayam dilakukan di 3 lokasi dengan jarak masing-masing lokasi 10 meter. Setelah penanaman bulu ayam selama periode 0, 2, 4, 6 dan 8 minggu diambil cuplikan tanahnya sebanyak 1 kg, kemudian 0 dilakukan sampling 100 gram. Selanjutnya dilakukan subsampling 10 gram,.lalu ditimbang sebanyak 1 gram. Sub-sub sampel dimasukkan ke dalam botol pengencer berisi 9 ml air tanah yang telah didestilasi. Selanjunya masing-masmg cuplikan dilakukan pengenceran bertingkat dengan air destilasi sehingga 640
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
pengencerna terakhir 1:10.000. Suspensi selanjutnya ditanam pada medium nutrient agar (NA) dengan bulu ayam yang digiling halus, diinkubasikan pada suhu 45° C selama 3 hari dan jumlah koloni yang tumbuh dihitung (COWAN, 1974). Koloni yang tumbuh dikelompok-kelompokkan berdasarkan bentuk, warna,.dan ukuran koloni kemudian ditanam kembali pada medium NA lainnya memakai metode penggoresan. Koloni yang tumbuh pada medium ini ditanamkan lagi pada-medium agar miring sebagai biakan murni, sedangkan koloni yang tersisa dipakai untuk uji zona bening. Identifikasi dilakukan menggunakan mikroskop dengan pewarnaan Gram dan pewarnaan spora. Selanjutnya dilakukan uji zona bening dengan menambahkan asam klorioda 1% ke dalam medium (BUCHANAN dan GIBBONS, 1984). Sebagai referensi dipergunakan Bacillus licheniformis yang merupakan koleksi Balai Penelitian Veteriner Bogor. Bacillus licheniformis telah diidentifikasi sebagai penghasil enzim keratinolitik (pemecah keratin) terhadap bulu ayam (WILLIAMS et al., 1991; SHIH, 1992). Paramefer pendukung lainnya yang diukur adalah pH, kadar air cuplikan dan kadar protein kasar bulu ayam dengan menggunakan metode AOAC (WILLIAMS, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil isolasi dan identifikasi mikroba spesifik serta penetapan beberapa parameternya diperlihatkan dalam Tabel 1, 2, 3 dan 4. Tabel 1. pH tanah, kadar air tanah dan keadaan cuaca setempat pada pengambilan contoh uji dan tanah Lama Penguraian
Waktu pengambilan
Cuaca
pH
Kadar air %
0 minggu
-
Cerah
6,72
10,44
2 minggu
09.30
Cerah
6,64
19,75
4 minggu
10.30
Cerah
6,60
19,04
6 minggu
10.15
Mendung
6,7
27,03
8 minggu
11.00
Cerah
6,51
11,89
Tabel 1 memperlihatkan nilai pH, kadar air dan keadaan setempat pada saat pengambilan contoh. Semua parameter di atas ditetapkan sebagai penunjang untuk mengetahui kondisi tanah saat pengambilan contoh. Selama penguraian bulu di dalam tanah terjadi penurunan nilai pH,yaitu dari 6,72 menjadi 6,51 pada minggu ke-8. Hal ini diakibatkan.oleh terjadinya asam-asam organik yang dihasilkan oleh bakteri tanah selama proses penguraian. Bakteri yang terdapat pada tanah seperti Bacillus sp. menghasilkan asam-asam organik dalam metabolismenya (BUCHANAN dan GIBBONS, 1984). Kadar air yang ditetapkan memberikan nilai yang bervariasi. Tidak seragamnya nilai kadar air ini dipengaruhi oleh cuaca saat ataupun sehari sebelum pengambilan contoh dan berhubungan dengan besarnya tegangan air dan kemampuan tanah untuk menahan air yang dipengaruhi oleh tekstur tanah.
641
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Hasil penetapan protein kasar dari bulu ayam yang dipergunakan sebagai contoh uji adalah 98,66%. Penetapan protein kasar ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa bulu ayam yang dipergunakan memang memiliki kadar protein kasar yang tinggi sehingga bulu ayam tersebut dinilai baik (layak) sebagai bahan baku dalam pembuatan tepung bulu ayam. Menurut CULLISON (1970) tepung bulu ayam yang diolah secara pengukusan dengan tekanan tinggi mengandung kadar protein kasar sebesar 81%. Dimungkinkan kandungan protein dengan cara pengukusan ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan selama proses pengukusan ada protein yang terlarut ke dalam air kukusan, sedangkan dalam penelitian ini contoh bulu ayam hanya dikeringkan, dipotong-potong dan digiling, sehingga tidak ada protein yang terbuang. Walaupun kandungan protein kasar tinggi, namun penggunaan tepung bulu pada ternak, terutama unggas dibatasi oleh daya cerna yang relatif rendah (HOWIE et al., 1996). Hal ini disebabkan oleh adanya keratin yang membuat bulu murni sukar dicerna. Keratin merupakan protein berserat khusus, tidak larut dalam air dan susah dicerna, dan terdiri atas rantai peptida panjang atau gugus dari rantai tersebut (RAWN, 1989). Rantai peptida dapat terbelit dalam bentuk pilin atau heliks dan saling berhubungan dengan ikatan S-S serta ikatan hidrogen. Oleh karena itu, ikatan sulfur dari sistin pada bulu harus dipecah agar bulu mudah dicerna (PAPADOPAULUS et al., 1985). Selain itu, keterbatasan penggunaan bulu ayam pada pakan unggas disebabkan oleh rendahnya asam amino metionin (KLEMESRUD et al., l.997). Tabel 2. Jumlah koloni mikroba hasil seleksi yang tumbuh pada media nutrien agar Lama penguraian bulu ayam di dalam tanah 2 minggu
4 minggu
6 minggu
8 minggu
Hari pengamatan
Jumlah kotoni
1
-
2
13
3
Tdd
1
8
2
31
3
Tdd
1
69
2
Tdd
3
Tdd
1
Tdd
2
Tdd
3
Tdd
Keterangan: Tdd (Tidak dapat dihitung)
Hasil pengamatan pertumbuhan bakteri tiap variasi waktu penguraian bulu ayam pada tanah pada Tabel 2 menunjukkan peningkatan populasi bakteri dengan semakin lamanya penguraian bulu ayam di dalam tanah. Jumlah koloni yang dihitung pada minggu kedelapan penguraian bulu ayam ternyata terlalu banyak sehingga tidak dapat dihitung. Peningkatan populasi ini bisa dilihat dari jumlah koloni pada hari 1, 2 dan 3 setelah ditanam pada medium pemeliharaan.
642
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tabel 3. Hasil identifikasi makroskopis bakteri pada medium miring Kode tabung
Bentuk koloni
A
Permukaan koloni
Halus/Kasar Wajah permukaan permukaan
Warna koloni
Kepekatan
Tepi koloni
Batang Rata panjang
Halus
Mengkilat
Keputihan Lunak seperti lendir
Utuh
B
Batang Rata panjang
Halus
Mengkilat
Keputihan Lunak seperti lendir
Utuh
C
Batang Rata panjang
Halus
Mengkilat
Keputihan Lunak seperti lendir
Utuh
D
Berduri Rata
Halus
Mengkilat
Keputihan Lunak seperti lendir
Pecah
E
Berduri Timbul rata
Halus
Mengkilat
Keputihan Lunak seperti lendir
Berombak
F
Titiktitik
Mencembung Halus
Agak mengkilat
Kuning
Lunak seperti mentega
Berombak
G
Titiktitik
Mencembung Kasar
Agak mengkilat
Kuning
Lunak seperti mentega
Berombak
H
Titiktitik
Kawah
Kasar
Agak mengkilat
Kuning
Lunak seperti mentega
Berombak
I
Titiktitik
Mencembung Kasar
Agak mengkilat
Kuning pucat
Lunak seperti mentega
Berombak
J
Tasbih
Mencembung Kasar
Agak mengkilat
Keputihan Lunak seperti mentega
Berombak
K
Tasbih
Timbul rata
Halus
Mengkilat
Kuning
Lunak seperti lendir
Berombak
L
Tasbih
Timbul rata
Halus
Mengkilat
Kuning
Lunak seperti lendir
Berombak
M
Tasbih
Rata
Halus
Mengkilat
Keputihan Lunak seperti lendir
Berombak
N
Titiktitik
Mencembung Halus
Mengkilat
Kuning
Lunak seperti mentega
Berombak
O
Titiktitik
Rata
Kasar
Agak mengkilat
Kuning
Lunak seperti mentega
Berombak
P
Titiktitik
Timbul rata
Kasar
Agak mengkilat
Keputihan Lunak seperti mentega
Berombak
643
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tabel 3 adalah tabel yang memuat hasil idendfikasi makroskopis kotoni bakteri pada medium miring. Indefltifikasi ini dilakukan dengan metode perbandingan, yaitu agar bakteri yang hendak ditentukan dibandingkan dengan bakteri standar yang diberi perlakuan sama. Pengidentifikasian ini menghasilkan dugaan bahwa bakteri pada tabung A, B, dan C adalah Bacillus licheniformis agar, karena. penampakan koloninya pada medium miring. Dugaan ini merupakan dugaan awal yang masih sangat lemah kebenarannya. Oleh karena itu, pada pengujian mikroskopis keempat belas jenis kotoni yang memberikan penampakan berbeda tetap disertakan. Tabel 4. Hasil identifikasi mikroskopis dan uji zona bening Kode preparat
Jenis Gram
Letak spora
Morfologi sel
Uji zona bening
A
+
Sub terminal
Batang panjang
Proteolitik
B
+
Sub terminal
Batang panjang
Protcolitik
C
+
Sub terminal
Batang panjang
Proteolitik
D
+
Terminal
Batang panjang
Proteolitik
E
+
Terminal
Batang panjang
Proleolitik
F
+
Terminal
Batang pendek
Proteolitik
G
+
Terminal
Batang panjang
Proteolitik
H
+
Terminal
Batang pendek
Proteolitik
I
+
Terminal
Batang pendek
Proteolitik
J
+
Terminal
Batang panjang
Proteolitik
K
+
Terminal
Batang pendek
Proteolitik
L
+
Subterminal
Batang pendek
Proteolitik
M
+
Sentral
Batang pendek
Proteolitik
N
+
Terminal
Batang pendek
Proteolitik
O
+
Terminal
Batang panjang
Proteolitik
P
+
Terminal
Batang pendek
Proteolftik
Q
+
Terminal
Batang panjang
Proteolitik
Tabel 4 menunjukkan hasil identifikasi mikroskopis (pewarnaan Gram dan pewarnaan spora) dan uji zona bening dari ketujuh belas koloni yang diidentifikasi. Berdasarkan hasil di atas, hanya bakteri pada tabung A, B dan C yang menunjukkan penampakan yang sama dengan bakteri standar pada mikroskop sehingga, makin memperkuat dugaan semula tapi tetap belum meyakinkan. Identifikasi di bawah mikroskop menunjukkan bahwa bakteri yang diduga Bacillus licheniformis bentuk selnya batang panjang (long rods) dan langsing.
644
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Bakteri ini berdasarkan pewarnaan Gram digolongkan sebagai Gram positif (sel berwarna ungu). Biakan yang dipergunakan untuk pewarnaan ini adalah biakan muda (2 x 24 jam) karena pada usia ini penampakan sel bakteri sangat baik. Hasil pewarnaan spora menunjukkan bahwa semua bakteri adalah bakteri pembentuk endospora. Perbedaannya hanya terletak pada posisi spora tersebut di dalam sel vegetatifnya. Berdasarkan literatur diketahui bahwa letak spora Bacillus licheniformis ada dua kemungkinan, yaitu sentral atau subterminal. Hasil pewarnaan spora memakai bakteri standar menunjukkan bahwa bakteri yang diduga Bacillus licheniformis posisi sporanya subterminal, bantuk spora bulat telur dengan diameter lebih kecil dibandingkan dengan diameter selnya. Pewarnaan spora ini memakai pemanas untuk memecahkan spora yang tebal dan keras agar warna dapat meresap. Bacillus licheniformis yang diperoleh dalam penelitian ini diisolasi dari bulu ayam yang ditanam di dalam tanah, sedangkan WILLIAMS (1994) mengisolasi Bacillus licheniformis dari usus ayam. Walaupun sudah diketahui bahwa Bacillus licheniformis dapat dipergunakan untuk mengolah bulu ayam secara bioteknologi (BARBOUD dan LIBURN, 1994; SHIH dan LIN, 1994), namun hasil Bacillus sp. Yang diperoleh dari isolasi ini dapat diharapkan lebih spesifik untuk kondisi lingkungan Indonesia. Paling sedikit dapat mengurangi mikroba luar (eksotik) masuk ke Indonesia. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil isolasi diduga positif Bacillus licheniformis dengan ciri-ciri sebagai berikut: berdasarkan sifat koloninya merupakan bakteri berbentuk batang; tetapi koloninya utuh; permukaan koloninya halus dan mengkilat; pewarna koloni keputihan; dan koloninya lunak seperti lendir, berdasarkan uji pewarnaan bakteri ini termasuk gram positif yang membentuk spora dengan bentuk sel batang panjang sedangkan berdasarkan uji zona bening bakteri proteolitik. Perlu dilakukan identifikasi yang lengkap terhadap bakteri yang diperoleh yang meliputi identifikasi genus dan spesiesnya untuk meyakinkan jenis bakteri yang diperoleh dari isolasi. DAFTAR PUSTAKA BARBOUD, G.W. and M.S. LILBURN. 1994. The protein quality of prepressed and enzyme digested feather meal. J. Poult Sci. 73(1): 48-52,. BPS, 1999. Statistik Perunggasan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia. BUCHANAN, R.E. and N.E. GIBBONS. 1984. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Eight edition. The Williams and Wilkins Co. Baltimore. USA. COWAN, F.T. 1974. Manual for Identification Medical Bacteria. Combridge University Press. London England. CULLISON, A.E. 1979. Feed and Feeding. Second Edition. Reston and Publishing Company, Inc. Prentice Hall Company. Reston Virginia. HOWIE, S.A., S. CALSAMIGLIN, and M.D. STERN. 1996. Variation in ruminal degradation and intestinal digestion of animal byproduct proteins. Anim, Feed Sci. Tech, 63 (1-4): 1-7. KLEMESRUD, M.J., T.J. KLOPFENSTEIN, A.J. LEWIS, D.H. SHAIN, and D.W. HEROLD. 1997. Limiting amino acids in meat and bone and poultryby product meals. Jo.Anim Sci. 75 : 3294-3300. PAPADOPAULUS, M.C., A.R.M. BOUSHY,and E.M. KELELAARS. 1985. Effect of different processing condition on amino acid digestibility of feather meal determined by chicken assay. Jo Poult 64 :1729.
645
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
RAWN, J.D. 1989. Biochemistry. First Edition. Neil Pattherson Publisher, Barlington, United States. SHIH, J.C.H. 1992. Bioconvertion of feather keratin to a more digestibel protein. Jo Poult Sci 71:176. SHIH, J.C.H, and X. Lin- 1994. Utilizing keratinase for digestyion of feather meal. Jo Poultr Sci 73:146. WILLIAMS, L.M., L.G.,LEE, J.D. GARLICH, and J.C.H. SHIH. 1991. Evaluation of bacterial feather fermentation product, feather-Iysate, as a feed protein. Jo Poultr Sci 70:85. WILLIAMS, J. 1984. Official Methods of Analysis 14th edition. Association of Official Analytical Chemist (AOAC). Washington USA.
646