ISOLASI DAN PEMURNIAN BAHAN AKTIF DARI MIKROALGA BTM 11 SEBAGAI INHIBITOR RNA HELIKASE VIRUS HEPATITIS C
PRABAWATI HYUNITA PUTRI
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ISOLASI DAN PEMURNIAN BAHAN AKTIF DARI MIKROALGA BTM 11 SEBAGAI INHIBITOR RNA HELIKASE VIRUS HEPATITIS C
PRABAWATI HYUNITA PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
Nama NIM
: Isolasi dan Pemurnian Bahan Aktif dari Mikroalga BTM 11 Sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C : Prabawati Hyunita Putri : G84063232
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S Ketua
A. Zaenal Mustopa, M.Si Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. Ketua Departemen Biokimia
Tanggal lulus:
ABSTRAK PRABAWATI HYUNITA PUTRI. Isolasi dan Pemurnian Bahan Aktif dari Mikroalga BTM 11 Sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C. Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan A. ZAENAL MUSTOPA. Virus hepatitis C merupakan penyebab penyakit hepatitis C yang mempunyai tingkat virulensi yang tinggi. Pengobatan menggunakan kombinasi ribavirin dan interferon alfa mempunyai efektivitas yang rendah < 80%. Penemuan obat yang berperan sebagai antivirus dapat dilakukan melalui terapi target molekuler dengan mencari inhibitor RNA helikase yang berperan dalam replikasi virus. Penelitian ini bertujuan mengisolasi bahan aktif dari mikroalga BTM 11 yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap RNA helikase virus hepatitis C. Aktivitas penghambatan dihitung berdasarkan pelepasan fosfat anorganik bebas dengan pengujian secara kolorimetri ATPase. Bahan aktif yang diisolasi difraksinasi menggunakan kromatografi gel filtrasi dengan pelarut metanol dalam kloroform. Fraksi 3 merupakan fraksi yang mempunyai aktivitas inhibisi tertinggi sebesar 81.205%. Uji fitokimia terhadap ekstrak kasar menunjukkan positif flavonoid dan kumarin. Analisis terhadap fraksi 3 menggunakan kromatografi lapis tipis dengan eluen kloroform : metanol menghasilkan 2 noda yang mempunyai nilai Rf masingmasing 0.8 dan 0.37. Kromatogram kromatografi cair kinerja tinggi menunjukkan serapan puncak dengan kelimpahan tertinggi pada waktu retensi 12.483 menit dan 16.617 menit adalah 266 nm dan 230 nm. Berdasarkan hasil analisis dengan uji fitokimia, kromatografi lapis tipis, dan serapan panjang gelombang puncak pada kromatografi cair kinerja tinggi diperkirakan bahan aktif yang berperan sebagai inhibitor dalam fraksi tersebut merupakan senyawa golongan flavonoid.
ABSTRACT PRABAWATI HYUNITA PUTRI. Isolation and Purification Active Compound from Microalgae BTM 11 As Inhibitor RNA Helicase Hepatitis C Viruses. Under the direction of MARIA BINTANG and A. ZAENAL MUSTOPA. Hepatitis C virus is the cause of hepatitis C disease which has high virulence. Recent therapy using combination of ribavirin and alpha interferon has short efficiency < 80%. Thus, the discovery of new drug is needed. Antiviral drugs can be discovered through molecular target therapy by finding the inhibitor of RNA helicase that play role in viral replication. Inhibitor can be derived from chemical compound produced by microalgae. The aim of this research was to isolate the active compound from microalgae BTM 11 which had inhibitory activity against RNA helicase. Inhibitory activity was measured by releasing of phospate inorganic in colorimetric ATPase assay. Crude extract was fractionated using gel filtration chromatography with methanol in chloroform solvent. The result showed that Fraction 3 has the highest inhibitory activity which (81.205%). Phytochemical test of crude extract indicated positive flavonoids and coumarin. Thin layer chromatography (TLC) analysis with eluent chloroform: methanol gave 2 spots with Rf value of 0.8 and 0.37. Moreover, high performance liquid chromatography (HPLC) analysis showed absorption peak with the highest abundance at the retention time of 12.483 minute and 16.617 minute was 266 nm and 230 nm. According to these of phytochemical, TLC, and HPLC, inhibitor compound from BTM 11 belongs to flavonoids.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga terselesaikannya skripsi ini. Skripsi ini berjudul Isolasi dan Pemurnian Bahan Aktif dari Mikroalga BTM 11 Sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C. Penelitian ini didanai oleh Indonesia Toray Science Foundation atas nama A. Zaenal Mustopa dengan judul Isolation and Identification of RNA helicase Inhibitor from Indonesia Microalgae. Penelitian ini dilangsungkan di Laboratorium Virologi dan Bakteriologi Molekuler, Puslit Bioteknologi LIPI Cibinong. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S. selaku pembimbing utama serta A. Zaenal Mustopa, M.Si sebagai pembimbing kedua, Dr. Laksmi Ambarsari, M.S serta Dr. Dwi Susilaningsih, M.Pharm. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibuk, Ervian Hadi Ramdani serta semua keluarga atas dukungannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mas Ridwan, Mas Melky, Mas Erik, Mas kukun dan Mbak Hilda. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk teman-teman di laboratorium (Skoti, Ika, Tya, Marcel, Sholeh, dan Bu Emi), Biokimia 43 (Tiwi, Nestri, Mike, Iyaz, Umul, Marsu, Onta, Adju, dan Himajaman), Seroja (Vivi, Lina, Lastri, Maria), D’Sabars (Diki, Dedi, Soleh, Imam, dan Rido), dan Bahtiyar serta Khasin atas dukungan serta semangatnya. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun atas ketidaksempurnaan dari laporan ini sehingga tulisan ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun semua pihak yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Februari 2011
Prabawati Hyunita Putri
RIWAYAT HIDUP Prabawati Hyunita Putri dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 19 Juni 1988 dari ayah Kusnanto dan ibu Sriyani. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Negeri I Genteng Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biokimia Umum pada tahun 2009/2010 dan mata kuliah Struktur dan Fungsi Biomolekul pada tahun yang 2010/2011. Penulis melakukan praktek kerja lapang di Laboratorium Kultur Jaringan dan Transformasi, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) dari bulan Juli sampai Agustus 2009 dengan judul laporan praktek lapang, yaitu Transformasi Gen Stilbene Synthase Pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Melalui Agrobacterium tumefaciens Galur AGL0. Penulis juga aktif di OMDA Lare Blambangan sebagai Sekretaris pada tahun 2008/2009 dan pada tahun yang sama penulis menjadi staf khusus Departemen Sosial Lingkungan BEM FMIPA IPB. Pada tahun 2009/2010 penulis aktif di Himpunan Profesi (Himpro) CREBs (Community Research and Education Biochemistry Students) sebagai staf Divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
ii
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Mikroalga ................................................................................................... Hepatitis C ................................................................................................... Virus Hepatitis C ......................................................................................... RNA Helikase ............................................................................................. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)................................................................. Kromatografi Gel Filtrasi ............................................................................ Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ................................................
2 2 3 4 4 4 5
BAHAN DAN METODE PERCOBAAN Bahan dan Alat ........................................................................................... Metode ........................................................................................................
6 7
HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur sel E. coli pET BL21 (DE3) pLysS ................................................. 9 Enzim RNA Helikase Virus Hepatitis C ..................................................... 9 Kultur Mikroalga BTM 11 ........................................................................... 10 Ekstrak Mikroalga BTM 11 ......................................................................... 11 Hasil Uji Fitokimia ...................................................................................... 11 Hasil Pemurnian dan Aktivitas Penghambatan Terhadap RNA Helikase . 11 Profil Kimiawi Fraksi yang Mempunyai Aktivitas Penghambatan Tertinggi 13 Kromatogram Fraksi yang Mempunyai Aktivitas Penghambatan Tertinggi 13 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan...................................................................................................... 14 Saran ............................................................................................................ 14 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15 LAMPIRAN ...................................................................................................... 17
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Mikroalga BTM 11 ........................................................................................ 2 2 Struktur virus hepaitis C ................................................................................
3
3 Peta genomik Virus Hepatitis C ....................................................................
4
4 Kromatografi gel filtrasi ................................................................................
5
5 Elektroforegram SDS-PAGE RNA helikase HCV........................................ 10 6 Kultur mikroalga BTM 11 ............................................................................. 10 7 Kurva pertumbuhan mikroalga BTM 11 ........................................................ 10 8 Aktivitas penghambatan fraksi kromatografi gel filtrasi ............................... 12 9 Kromatogram KLT fraksi 2, 3, 4 .................................................................. 13 10 Kromatogram KCKT fraksi 3........................................................................ 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Rancangan penelitian ...................................................................................... 18 2 Perhitungan bobot molekul relatif RNA helikase ........................................... 20 3 Kurva standar fosfat uji ATPase ..................................................................... 21 4 Nilai penghambatan terhadap RNA helikase .................................................. 22 5 Serapan puncak pada waktu retensi 12.483..................................................... 25 6 Serapan puncak pada waktu retensi 16.617..................................................... 26
1
PENDAHULUAN Virus Hepatitis C (HCV) menginfeksi hampir 170 juta orang diseluruh dunia. Virus ini menyebabkan penyakit hepatitis C yaitu peradangan pada hati yang mengakibatkan sirosis hati (Lauer & Walker 2001). Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2010 jumlah penderita hepatitis C di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 30 juta jiwa orang (Kementrian Kesehatan 2010). Tingginya jumlah penderita dikarenakan penyebaran virus yang sangat cepat. Virus dapat menghasilkan sekitar 1 milyar virion (partikel virus baru) tiap jamnya pada tubuh penderita (Sy & Jamal 2006). Sebagian besar kasus hepatitis C belum dapat dideteksi oleh tenaga kesehatan pada substansi terendah. Hal itu disebabkan masih minimnya peralatan yang digunakan untuk deteksi hepatitis C. Penyakit ini menular melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, dan hemodialisis. Selain itu, penyakit ini baru terdeteksi setelah memasuki fase akut (Moradpour et al. 2007). Deteksi penyakit yang lambat menyebabkan hanya sebagian kecil penderita yang memperoleh terapi pengobatan. Obat terhadap penyakit hepatitis C belum ditemukan. Terapi pengobatan hepatitis C pada umumnya dengan pemberian interferon alfa (PEG-IFN α) yang dikombinasikan dengan ribavirin yang diberikan selama 12-72 minggu. Namun, terapi ini hanya berhasil pada penderita yang terinfeksi hepatitis C dengan genotip tertentu saja. Pada pasien yang terinfeksi hepatitis C genotip satu dan empat dapat menghambat pertumbuhan virus baru sebesar 50%-80%, sedangkan pada pasien yang terinfeksi HCV genotipe dua dan tiga dapat menghambat pertumbuhan virus kurang dari 80%. Selain itu, terapi ini menimbulkan efek samping seperti depresi, anemia, dan mual (Moradpour et al. 2007). Untuk itulah diperlukan pencarian obat baru untuk terapi penyakit hepatitis C. Beberapa upaya pencarian obat terhadap hepatitis C telah dilakukan, salah satunya melalui terapi target molekuler. Terapi target molekuler dikembangkan dengan pencarian inhibitor enzim yang berperan dalam replikasi HCV. Enzim yang berperan dalam replikasi HCV adalah serin protease, RNA polimerase, dan RNA helikase (Soriano et al. 2009). Penghambatan terhadap enzim RNA helikase dianggap lebih potensial sebagai
target pengobatan HCV. Hal tersebut dikarenakan RNA helikase selain membuka ikatan dupleks RNA juga dapat menghidrolisis adenosin trifosfat (ATP) menghasilkan fosfat bebas yang berfungsi sebagai donor energi. Penghambatan terhadap kerja RNA helikase secara tidak langsung berpengaruh terhadap replikasi HCV. Penghambatan terhadap aktivitas ATPase lebih mungkin dijadikan sebagai target obat karena tidak memerlukan substrat RNA virus yang bersifat tidak stabil dan tidak membutuhkan pelabelan radioaktif (Borowski et al. 2002). Inhibitor enzim RNA helikase HCV dapat diperoleh dari hasil metabolit sekunder dari tumbuhan yang dihasilkan secara alami, misalnya dari mikroalga. Mikroalga merupakan fitoplankton yang hidup di air tawar maupun air laut. Kandungan senyawa kimianya banyak dimanfaatkan sebagai antibakteri, kosmetik, sumber makanan baru, pewarna makanan alami, antivirus, dan bahan bakar nabati. Beberapa penelitian tentang mikroalga sebagai antivirus adalah antivirus terhadap virus herpes simpleks (HSV) yang diperoleh dari isolat Dunaliella primolecta (Ohta et al. 1998), antienterovirus dari isolat Spirulina plantesis (Shih et al. 2003), dan antiretrovirus dari isolat Phorphyridium sp (Talyshinsky et al. 2002). Laboratorium Bakteriologi dan Virologi Molekuler, Puslit Bioteknologi, LIPI Cibinong telah melakukan penapisan terhadap 30 isolat mikroalga dengan pelarut aseton dan metanol. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa ekstrak kasar BTM 11 metanol 80% memiliki aktivitas penghambatan tertinggi terhadap RNA helikase HCV dan bersifat stabil dibandingkan dengan isolat yang lain (Mustopa 2009). Penelitian ini bertujuan mengisolasi bahan aktif dari mikroalga BTM 11 yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase HCV. Rumusan masalah penelitian ini adalah belum ditemukannya obat hepatitis C yang efektif dan isolasi serta pemurnian bahan aktif dari mikroalga sebagai antihepatitis C belum banyak dilakukan. Hipotesis penelitian ini adalah bahan aktif dari mikroalga BTM 11 dapat menghambat RNA helikase HCV. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bahan aktif dari mikroalga BTM 11 sebagai inhibitor RNA helikase HCV, serta dapat memberikan informasi tambahan tentang pengobatan terhadap infeksi virus hepatitis C.
2
TINJAUAN PUSTAKA Mikroalga Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang ditemukan pada perairan darat maupun laut. Berukuran mikroskopis dengan diameter antara 3-30 µm serta tidak mempunyai akar, batang, dan daun. Biasanya ditemukan hidup secara individual ataupun berkelompok. Mikroalga bergerak secara pasif dengan mengikuti arus air. Morfologi selnya sangat bervariasi, baik bersel tunggal maupun bersel banyak, Mikroalga juga memiliki bentuk yang bervariasi seperti filamen atau lembaran, spiral, dan bulat (Kabinawa 2001). Penelitian ini menggunakan mikroalga isolat BTM 11 (Gambar 1). Taksonomi mikroalga selama ini lebih banyak menggunakan karakteristik morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran sel dan lain-lain. Berdasarkan warna pigmen dibagi menjadi lima kelompok, yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceaae (alga coklat), Chrysophyceae (alga kuning keemasan), Rhodophyceae (alga merah), dan Pyrrophyceae (dinoflagellata). Namun secara garis besar, mikroalga dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu Diatom (Bacillariophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae) (Borowitzka & Borowitzka 1988). Biomassa mikroalga mengandung komponen kimia yang potensial, misalnya protein, karbohidrat, pigmen (klorofil dan karetenoid), asam amino, lipid, dan hidrokarbon. Mikroalga mempunyai kemampuan untuk mensintesis semua asam amino, baik esensial maupun nonesensial. Karbohidrat yang dihasilkan dapat ditemukan dalam bentuk pati, glukosa, gula, dan polisakarida lainnya. Kandungan lipid dari mikroalga sangat bervariasi berkisar antara 1%-2%. Lemak mikroalga pada umumnya terdiri atas asam lemak tidak jenuh, seperti linoleat, asam eikosapentanoat, dan asam dokosaheksanoat. Mikroalga mengandung lemak dalam jumlah yang besar terutama asam arakidonat dan sejumlah asam eikosapentaenoat. Selain itu, lemak mikroalga juga kaya akan asam lemak tidak jenuh dengan empat atau lebih ikatan rangkap. Mikroalga juga menghasilkan beberapa vitamin penting, seperti: A, B1, B2, B6, B12, C, E, nikotinamida, biotin, asam folat, dan asam pantotenat. Pigmen yang dihasilkan
meliputi klorofil, karotenoid, dan fikobiliprotein (Borowitzka & Borowitzka 1988). Kandungan senyawa kimia dari mikroalga tergantung pada spesies dan kondisi kultur. Pertumbuhan dari mikrolaga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti salinitas, cahaya, suhu, derajat keasamaan, nitrogen, karbondioksida, dan nutrien. Kisaran suhu 25oC-30oC merupakan kondisi umum bagi pertumbuhan mikroalga. Derajat salinitas bergantung pada tiap spesies mikroalga. Cahaya diperlukan bagi pertumbuhan mikroalga dan berperan dalam proses metabolisme sel seperti kemampuan berfotosintesis. Kisaran derajat keasaman (pH) juga sangat bervariasi mulai dari pH 6-8. Nitrogen dan karbondioksida diperlukan dalam metabolisme sel (Borowitzka & Borowitzka 1988).
Gambar 1 Mikroalga BTM perbesaran 1000x Laboratorium Lingkungan, Dwi 2010).
11 dengan (dokumentasi Biorekayasa Susilaningsih
Hepatitis C Hepatitis C merupakan penyakit yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan. Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C. Pertama kali diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai hepatitis Non-A dan Non-B. Hepatitis C menginfeksi hampir 170 milyar orang di seluruh dunia. Penyakit ini dalam jangka panjang dapat menimbulkan kanker hati yang berujung pada sirosis hati (Worman & Lin 2000). Hepatitis C menyerang semua kalangan umur dengan tingkat penularan yang tinggi. Penularan hepatitis C umumnya melalui penggunaan jarum suntik, dan transfusi darah yang telah tercemar virus hepatitis C. Penyakit ini sangat sulit dideteksi karena gejala yang ditimbulkan hampir mirip dengan penyakit yang lain. Gejala-gejala yang ditimbulkan seperti mual, pusing, urin berwarna gelap, mudah lelah, tidak nafsu makan, dan kadang-
3
kadang timbul jaundice (kekuningan) pada tubuh. Hepatitis C biasanya terdeteksi apabila sudah mencapai tingkat akut sekitar 30%-80% infeksi (Jawaid & Khuwaja 2008). Terdapat dua cara dalam mendeteksi penyakit ini, yaitu tes serologi dan tes secara molekuler untuk partikel virusnya. Keduanya menggunakan darah penderita sebagai analit. Tes serologi menggunakan antibodi atau anti HCV (virus hepatitis C), apabila terinfeksi maka antibodi penderita menurun drastis. Tes secara molekuler menggunakan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT PCR). Tes secara nonspesifik diperoleh dari pengukuran jumlah enzim alanin transferase dalam tubuh. Tes ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit hepatitis C maupun untuk mengontrol keefektifan terapi pengobatan penyakit tersebut. Jumlah alanin transferase yang meningkat mengindikasikan bahwa kinerja hati menurun (Lauer & Walker 2001). Terapi hepatitis C pada umumnya dengan pemberian interferon seminggu sekali yang dimasukkan ke tubuh melalui injeksi subkutan. Pemberian interferon tersebut dikombinasikan dengan ribavirin. Mekanisme terapi untuk hepatitis C dari kedua bahan tersebut masih belum banyak diketahui. Selain itu, terapi tersebut kurang efektif karena menimbulkan efek samping, seperti mual, anemia, depresi, dan harganya relatif mahal. Manfaat terapi kedua bahan tersebut berbeda hasilnya ditiap individu tergantung pada genotip dari virus hepatitis C (Jawaid & Kuwaja 2008). Virus Hepatitis C (HCV) Virus hepatitis C pertama kali diidentifikasi pada tahun 1989 dan disebut sebagai virus Non-A dan Non-B. Virus ini menyerang hepatosit dan sel limfosit B. Selain itu, virus hepatitis C terdiri atas satu open reading frame (ORF) dan dua daerah tidak tertranslasi atau untranslation regions (UTRs) (Wardell et al. 1999). Secara taksonomi virus ini termasuk dalam famili Flaviviridae dengan genus Hepacivirus. Virus ini merupakan virus RNA positif. Seperti yang terlihat pada Gambar 2, virus berbentuk bulat dengan diameter partikelnya berkisar antara 55-65 nm, dan mempunyai selubung protein atau amplop glikoprotein (envelope glycoprotein). Selain itu, terdapat inti (core) dan di dalamnya terdapat viral RNA. Virus hepatitis C dibagi menjadi enam genotipe yang disandikan
dengan angka, yaitu genotipe satu sampai enam (Worman & Lin 2000). Genom HCV berukuran 9.6 kilobasa yang mengkodekan sekitar 3011 asam amino. Poliproteinnya dipotong setelah proses translasi dan dibagi menjadi peptida struktural dan peptida nonstruktural (nonstructural atau NS) (Gambar 3). Peptida struktural terdiri dari sebuah nukleokapsid inti, p7, dan dua glikoprotein selubung virusnya (E1 dan E2) (Gambar 2). Dua daerah pada E2 merupakan daerah hipervariabel 1 dan 2 (HVR 1 dan HVR 2). Daerah tersebut menunjukkan hipermutasi dari selubung virus sehingga sangat spesifik terhadap antibodi. Daerah E2 juga terdapat sisi pengikatan terhadap cluster of diffrerentiation 81 (CD81), reseptor virus pada hepatosit dan sel limfosit B (Tellinghuisen et al. 2007). Peptida nonstruktural terbagi menjadi empat macam, yaitu NS1, NS2, NS3, NS4 (NS4A dan NS4B), dan NS5 (NS55A dan NS5B). Protein nonstruktural tersebut berfungsi dalam reaksi enzimatis yang berperan dalam replikasi virus. NS1 berinteraksi dengan NS4A dibutuhkan untuk replikasi RNA. NS2A bersifat hidrofobik berfungsi dalam perakitan virion (partikel virus baru) dan pelepasan partikel virus. NS2B membentuk kompleks dengan NS3 berperan sebagai kofaktor bagi serin protease dari NS3. Protein NS3 mengkodekan RNA helikase yang berperan dalam replikasi virus. NS5A merupakan daerah yang sensitif terhadap interferon, sedangkan NS5B berperan didalam aktivitas RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) (Tellinghuisen et al. 2007). Pelindung glikoprotein (E2)
Inti virus
Pelindung virus (E1)
Viral RNA Diameter 60 nm
Gambar 2 Struktur virus hepatitis C (HCV) (Moradpour et al. 2007).
4
Gen yang menyandikan prekusor poliprotein
Protein struktural
Pelindung glikoprotein
nukleokapsid
Protein non struktural
RNA helikase
Protein transmembran
kofaktor
RNA polimerase
Protein resisten interferon
Gambar 3 Peta Genomik Virus Hepatitis C (Tellinghuisen et al. 2007) Virus hepatitis C memiliki tingkat replikasi yang sangat tinggi. Sekitar satu miliar partikel dihasilkan setiap hari pada individu yang terinfeksi. Replikasi dari virus tersebut membutuhkan lingkungan yang tepat. Pertama, virus menginfeksi hepatosit atau sel limfosit B. Daerah pada E2 virus dikenali oleh CD81 ataupun human scavenger class B1 (SR-B1) yang merupakan reseptor dari virus hepatitis C. Setelah terjadi pengikatan virus ke sel, partikel virus masuk ke dalam sel dan mengalami lisis. Utas tunggal sense positif RNA membentuk antisense negatifnya dengan bantuan RNA polimerase. Rantai negatif RNA tersebut berfungsi sebagai cetakan untuk membentuk rantai positif RNA. RNA helikase membuka ikatan ganda antara rantai sense dan antisense dan akhirnya membentuk duplikat dari rantai sense positif RNA. Rantai RNA hasil translasi dilepaskan dan berasosiasi dengan membran. Selanjutnya, terjadi morfogenesis virion (pengemasan partikel virion baru) dan pematangan. Setelah proses pematangan selesai, kompleks virion yang lengkap dilepaskan keluar sel untuk selanjutnya menginfeksi sel yang lain (Moradpour et al. 2007). RNA Helikase RNA helikase ditemukan pada bakteri, khamir, dan virus. Pertama kali ditemukan pada bakteri E. coli. Pada virus hepatitis C, enzim ini dikodekan oleh protein NS3 RNA helikase (Kadare & Haenni 1997).
Enzim ini diperlukan dalam replikasi virus hepatitis C (HCV). RNA helikase HCV memiliki tiga aktivitas, yaitu mengikat rantai RNA, menghidrolisis NTP (nukleotida trifosfat), dan membuka ikatan dupleks RNA. Enzim ini berperan dalam membuka ikatan dupleks antar rantai RNA dari 3’-5’. RNA helikase merusak ikatan hidrogen antara rantai RNA yang berpasangan. Reaksi enzimatis tersebut memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisis NTP menjadi NDP dan P dan juga kation divalen, seperti Mg2+ (Kadare & Haenni 1997). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik kromatografi yang menggunakan plat silika atau alumina sebagai fase diamnya. Fase diam yang digunakan dapat juga memakai bahan yang berpendar dalam sinar ultra violet (UV). Teknik ini biasa digunakan untuk memisahkan komponen dari suatu campuran senyawa organik alam, sintetis, dan campuran kompleks anorganik. Fase gerak yang digunakan tergantung dari senyawa yang ingin dipisahkan (Harjadi 1976). Pemisahan komponen yang akan dipisahkan ditotolkan pada plat silika yang telah didesain. Plat silika pada bagian bawah diberi sebuah garis untuk menandakan posisi awal penotolan. Selanjutnya dibuat pula sebuah garis akhir menggunakan pensil. Jarak antara garis awal dengan garis akhir biasanya 5 cm. Plat yang telah ditotol dengan sampel dimasukkan
5
kedalam bejana pengembang yang berisi eluen yang telah dijenuhkan. Proses penjenuhan berlangsung sekitar 20 menit. Penjenuhan berfungsi agar eluen lebih efektif dalam memisahkan komponen tersebut. Eluen akan memisahkan komponen hingga garis akhir yang telah didesain. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut (Wilson & Walker 1994). Tahapan selanjutnya adalah visualisasi atau deteksi. Deteksi atau visualisasi sampel yang tidak berwarna dapat menggunakan dua cara, yaitu penyinaran dengan sinar UV (254 nm dan 366 nm) dan pereaksi kimia (ninhidrin, FeSO4, dragendroff, dan anilin). Pada saat disinari dengan sinar UV, komponen yang terpisahkan akan terlihat seperti spot atau bidang kecil yang berwarna gelap. Deteksi komponen juga dapat dilakukan dengan menempatkan kromatogram pada bejana tertututp yang telah dijenuhkan dengan kristal iod. Uap kristal iod bereaksi dengan komponen yang terpisahkan dan terlihat seperti noda-noda kecoklatan (Walker & Wilson 1994). Aplikasi dari teknik ini dapat digunakan untuk mengukur nilai retardation factor (Rf) atau jarak relatif pemisahan suatu senyawa pada kromatogram. Nilai Rf dari suatu senyawa bernilai sama meskipun jarak plat yang digunakan berbeda (Wilson & Walker 1994). Pengukuran ini berdasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh noda warna masing-masing. Nilai Rf dari suatu komponen dihitung sebagai berikut:
Matriks gel atau matriks berpori yang bertindak sebagai fase diam disesuaikan dengan komponen yang akan dipisahkan. Matriks gel yang digunakan bermacammacam jenisnya tergantung dari komponen yang ingin dipisahkan, contohnya: silika gel, sephadex, sepharosa, dan superdex. Penelitian ini menggunakan matriks silika gel F60. Pada prinsipnya, komponen yang dipisahkan akan terjerap sesuai dengan ukuran pori matriks yang digunakan. Komponen yang memiliki ukuran molekul yang sama akan terelusi bersama-sama. Komponen yang berukuran besar daripada matriks gel akan terelusi terlebih dahulu oleh eluen dengan laju yang tinggi, sedangkan komponen yang berukuran lebih kecil akan terdistribusi pada fase diam dan terelusi lebih akhir (Hagel 1993). Fase diam atau matriks berpori yang akan digunakan untuk pemisahan terlebih dahulu harus diseimbangkan dengan pelarut pengembang. Penyesuaian kolom dilakukan dengan mencuci kolom dengan larutan pengembang. Untuk mendapatkan resolusi pemisahan yang baik, sampel yang dipisahkan sebaiknya bervolume sekitar 1-5% dari volume matriks gel (Hagel 1993).
Fase gerak sampel
Fase diam
Rf = jarak yang ditempuh oleh komponen jarak yang ditempuh oleh pelarut Kromatografi Gel Filtrasi Kromatografi gel filtrasi merupakan salah satu contoh jenis kromatografi padat-cair. Kromatografi ini (Gambar 4) merupakan teknik pemisahan komponen berdasarkan bentuk dan ukuran molekulnya. Teknik ini melibatkan fase diam berupa matriks gel atau matriks berpori, sedangkan fase geraknya berupa cairan atau eluen dengan perbandingan tertentu sesuai dengan sampel yang ingin dipisahkan. Teknik ini sangat baik memisahkan molekul yang berukuran besar dengan yang berukuran kecil tanpa mengganggu jalannya pemisahan. Selain itu, teknik ini mudah dan menghasilkan hasil pemisahan yang baik (Wilson & Walker 1994).
Gambar
4
Kromatografi gel filtrasi (dokumentasi Laboratorium Bakteriologi dan Virologi Molekuler 2010).
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan kromatografi partisi dengan fase gerak dan fase diamnya berupa cairan (Adnan 1997). Menurut Nur et al. (1992) teknik analisis dengan KCKT prinsipnya adalah interaksi antara molekul dengan fase gerak dan fase diam akan memisahkan beberapa komponen dari senyawa tersebut sesuai
6
dengan tingkat kepolarannya. Molekul polar akan lebih kuat berinteraksi dengan eluen polar sehingga mudah terelusi, begitu juga sebaliknya dengan molekul nonpolar. Komponen utama KCKT adalah tempat untuk fase gerak, pompa, injektor, kolom, detektor, dan rekorder (Adnan 1997). Pelarut yang dipakai untuk analisis sampel pada KCKT memiliki polaritas yang berbedabeda tergantung pada senyawa yang akan dianalisis. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah tempat pelarut yang digunakan harus memungkinkan untuk terjadinya proses penghilangan gas atau udara yang ada dalam pelarut tersebut. Cara yang dapat dipakai bemacam-macam, seperti pemanasan, perlakuan vakum, atau dengan mengalirkan gas yang bersifat lembam (Adnan 1997). Penggunaan pompa juga sangat berpengaruh terhadap kerja KCKT. Pompa diperlukan untuk mengalirkan pelarut sebagai fase gerak dengan kecepatan dan tekanan yang tetap. Gangguan pada pompa biasanya disebabkan oleh perawatannya yang kurang teratur, adanya gangguan pelarut yang tidak difiltrasi dengan baik, adanya elektrolit yang mengandung kadar klorida tinggi pada pH rendah, dan terjadinya endapan dalam pompa (Adnan 1997). Tekanan yang diperlukan tergantung pada ukuran kolom dan viskositas dari pelarut. Kolom yang memilki diameter lebih kecil memiliki kecepatan alir yang lebih kecil juga. Sebaliknya kolom yang lebih lebar memilki kecepatan alir yang lebih besar pula. Pompa yang baik dapat mengatur kecepatan aliran 10-20 µl/meni (Adnan 1997). Kolom yang digunakan pada KCKT juga harus memenuhi kriteria tertentu. Ukuran kolom yang umum dipakai memiliki panjang 10-25 cm dan berdiameter 4.5-5.0 mm. Efisiensi kolom tergantung pada besarnya partikel fase diam. Kolom yang pendek dan efisien akan menyebabkan pemisahan berjalan lebih cepat (Adnan 1997). Komponen yang tidak kalah penting dari komponen-komponen yang sebelumnya disebutkan adalah detektor. Detektor yang digunakan harus memenuhi persyaratan, yaitu memiliki sensitivitas yang tinggi, bersifat linier untuk jangka konsentrasi tertentu, dan dapat mendeteksi eluen tanpa mempengaruhi reolusi kromatogram. Detektor harus tidak peka terhadap perubahan berbagai parameter terutama suhu dan tekanan. Detektor yang digunakan pada penelitian ini adalah photo diode array (PDA) (Adnan 1997).
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur ketika sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum dari senyawa itu. Senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda pula. Waktu retensi ini tergantung pada tekanan yang digunakan karena berpengaruh pada laju alir dari pelarut, kondisi dari fase diam, komposisi yang tepat dari eluen, dan temperatur pada kolom (Hostettmann et al. 1986). Keuntungan penggunaan KCKT adalah mampu memisahkan molekul-molekul dari campuran, sampel yang digunakan sedikit, kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi, dapat dihindari terjadinya dekomposisi atau kerusakan bahan yang dianalisis, resolusi yang baik, dapat digunakan bermacam-macam detektor, dan kolom dapat digunakan kembali (Hostettmann et al. 1986).
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi dan pemurnian enzim RNA Helikase meliputi bakteri E. coli pET BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase virus hepatitis C dalam plasmid 21b (koleksi Andi Utama, Puslit Bioteknologi LIPI), media Luria Bertani (LB), akuades, ampisilin, isopropil β-D-thiogalaktopiranosidase (IPTG) 0.3 M, bufer B (10 mM Tris HCl pH 8.5, 100 mM NaCl, dan 0.25% Tween 20), resin TALON, dan bufer elusi (400 mM imidazola dalam bufer B). Bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi dan pemurnian bahan aktif dari mikroalga BTM 11 adalah isolat BTM 11 (koleksi Dwi Susilaningsih, Puslit Bioteknologi LIPI), metanol 80%, media modified bristol medium sea water (MBM SW), 0.1 mM adenosin trifosfat (ATP), 0.1 mM 4-asam morfolinopropana sulfonat (MOPS), 1 mM MgCl2, larutan hijau malakit, 2.3% polivinil alkohol, amonium molibdat, natrium sitrat, kloroform, gel silika (0.063 mm-0.200 mm), plat silika gel F254, dan akuades. Alat-alat yang digunakan untuk isolasi RNA helikase adalah sonikator (Labsonic), ultrasentrifus Sorvall RC-26 plus, tabung sentrifus, Erlenmeyer 2000 mL, inkubator, mikrosentrifus, dan rotator (N-Biotec). Peralatan untuk pemurnian dan pengujian kolorimetri ATPase BTM 11 meliputi
7
microtiter plate (Nalge Nunc), pipet mikro, tabung ulir, evaporator, neraca analitik, peralatan gelas, pipa kapiler, microplate reader (Multiscan EX Thermo), bejana KLT (CAMAG), transiluminator UV, pemanas plat, kolom KCKT kolom 4.6 x 150 mm Eurospher 100-5C-18 diameter 5 µm, kolom gel filtrasi, tabung falcon, dan vial.
Metode Isolasi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Hepatitis C (Utama et al. 2000) Kultur E. coli pET BL21(DE3) pLysS yang Membawa Gen NS3 RNA Helikase HCV. Sebanyak 10 mL prekultur E. coli yang membawa gen NS3 RNA helikase HCV ditumbuhkan dalam media LB. Sebelumnya, media LB ditambahkan ampisilin 100 µg/mL, dan diletakkan dalam inkubator pada suhu 37oC dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit. Setelah 30 menit, kultur tersebut diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 600 nm. Apabila telah mencapai nilai absorbansi ± 0.3, maka ditambahkan 0.3 M IPTG ke dalam kultur tersebut. Selanjutnya, diinkubasi pada inkubator berpenggoyang dengan kecepatan 200 rpm selama 3 jam pada suhu 37oC sampai nilai OD pada panjang gelombang 600 nm ± 1. Kemudian, disentrifugasi pada suhu 4oC dengan kecepatan 7000 g selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan disimpan pada suhu -20oC (Lampiran 1). Isolasi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Hepatitis C. Pelet hasil sentrifugasi dikeringbekukan (freeze thawing) selama tiga kali pengulangan. Selanjutnya, ditambahkan bufer B sebanyak 20 mL kemudian disonikasi (amplitudo 40; siklus 0.5; waktu 3 x 15 detik; interval waktu 1 menit). Hasil sonikasi disentrifugasi dengan kecepatan 7000 g selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan selanjutnya ditambahkan resin Talon. Dan diinkubasi pada rotator dalam ruang dingin (cold room) selama 3 jam. Hasil inkubasi kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepaatan 5000 g pada suhu 4oC. Supernatan diambil 50 µL untuk di SDSPAGE (IV) dan sisanya dibuang. Pelet ditambahkan bufer B sebanyak 15 ml, dan disentrifus kembali pada kecepatan 5000 g selama 7 menit. Supernatan diambil 50 µL untuk diuji dengan SDS-PAGE (W1) dan sisanya dibuang. Selanjutnya, pelet ditambah bufer B sebanyak 15 ml dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 5000 g. Supernatannya diambil 50 µL untuk dianalisis
dengan SDS-PAGE (W2), sedangkan peletnya ditambahkan bufer elusi (imidazola dalam bufer B) dan diinkubasi semalam pada rotator yang ditempatkan pada suhu 4oC. Setelah itu, supernatan diambil (E) dan dipisahkan dari pelet. Supernatan ditentukan bobot molekulnya dengan metode SDS-PAGE. Supenatan merupakan enzim RNA helikase yang telah dimurnikan (Lampiran 1). Analisis Bobot Molekul Protein RNA Helikase HCV. Analisis bobot molekul menggunakan teknik sodium dedosil sulfate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS PAGE) bertujuan mengetahui kemurnian enzim yang berhasil diisolasi. Gel yang digunakan sebagai media pemisahan komposisinya sebesar 12% akrilamid. Gel kemudian dielektroforesis pada 30 mA selama 60 menit dalam bufer elektroforesis (24% gliserol, 8% SDS, 100 mM Tris). Setelah itu, gel tersebut diwarnai dengan pewarnaan comassie blue. Kultur dan Ekstraksi Mikroalga BTM 11 (Modifikasi Kusmiyati & Agustini 2006) Isolat mikroalga BTM 11 dikulturkan selama 2 bulan pada MBM SW. Setiap 2 hari sekali dihitung nilai OD (Optical Density) pada panjang gelombang 630 nm untuk mengetahui kurva pertumbuhan. Setelah diketahui fase pertumbuhannya, BTM 11 dipanen sebanyak 500 mL dan disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 8500 g. Pelet diambil dan dipindahkan pada tabung ulir kemudian ditambahkan dengan metanol 80%. Larutan selanjutnya disonikasi selama 1 menit dan 2 menit istirahat, sonikasi dilakukan sebanyak empat kali ulangan. Hasil sonikasi dievaporasi pada suhu 60˚C dalam keadaan vakum. Sampel (ekstrak kasar) hasil evaporasi dipipet dan dimasukkan pada tabung ulir kecil. Uji Fitokimia (Farnswoth 1966) Uji Flavonoid dan Senyawa Fenolik. Sebanyak 2 g bahan ditambahkan 100 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit kemudian disaring. Sebanyak 5 ml filtrat ditambahkan serbuk Mg dan 1 ml HCl pekat. Selanjutnya ditambah 5 ml amilalkohol dan dikocok hingga kuat. Terbentuknya warna dalam amilakohol menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Uji Alkaloid. Sebanyak 2 g bahan dilembabkan dengan ammonia 30%, digerus dan ditambahkan 20 ml kloroform kemudian disaring. Filtrat (larutan A) diekstraksi dengan 10 ml HCl 1:10 dan dikocok dalam tabung
8
reaksi kemudian diambil larutan bagian atasnya (larutan B). Larutan A diteteskan pada kertas saring dan disemprot dengan pereaksi Dragendorff Dagendorf, Meyer, dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan merah oleh pereaksi Dagendorf, endapan putih oleh pereaksi Meyer, dan endapan coklat oleh pereaksi Wagner. Uji Tanin. Sebanyak 2 g serbuk bahan ditambah 100 mL akuades kemudian dididihkan selama 15 menit. Setelah dingin, campuran disaring dan filtratnya ditambah FeCl3 1% (b/v). Warna biru tua atau hitam menunjukkan adanya tanin. Uji Saponin. Ekstrak sampel sebanyak 0.1 g ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok. Timbulnya busa selama ± 10 menit menunjukkan adanya saponin. Uji Triterpenoid. Ekstrak sampel sebanyak 1 g dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam kemudian disaring dan diambil filtratnya. Filtrat sebanyak 5 ml diuapkan hingga diperoleh residu. Residu kemudian ditambahkan dengan pereaksi Lieberman Buchard (3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes H2S04 pekat). Warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya triterpenoid. Pemurnian Bahan Aktif dari Mikroalga BTM 11 Sebagai Inhibitor RNA Helikase HCV (Ohta et al. 1998). Kromatografi Gel Filtrasi. Silika gel dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom kromatografi. Ekstrak kasar mikroalga BTM 11 dilusi 1:1 (ekstrak kasar : metanol 80%) sebanyak 5% dari volume kolom dimasukkan ke kolom gel filtrasi. Sampel dielusi dengan eluen 1% metanol dalam kloroform, dengan laju alir 1 mL/menit tiap fraksi. Masingmasing fraksi hasil pemisahan diuji aktivitas penghambatannya terhadap RNA helikase virus hepatitis C dengan uji ATPase. Fraksi yang mempunyai aktivitas penghambatan tertinggi dilihat profilnya dengan KLT. Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Disiapkan plat silika F254 dan diatur jarak antara garis penotolan dengan garis akhir. Bejana KLT diisi dengan eluen kloroform:metanol dengan perbandingan (9:2) dan dijenuhkan. Kemudian, plat yang telah ditotol dikembangkan dalam bejana sampai eluen mencapai garis akhir. Hasil KLT kemudian divisualisasi menggunakan sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.
Setelah itu, disemprot dengan serium sulfat dan dipanaskan. Analisis Bahan Aktif dari Mikroalga BTM 11 Sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C (Modifikasi Ohta et al. 1998). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Tahapan ini bertujuan mengetahui bahan aktif yang terdapat pada fraksi hasil kromatografi kolom gel filtrasi yang mempunyai aktivitas inhibisi tertinggi. Instrumen yang digunakan adalah KCKT KNAUER menggunakan kolom 4.6 x 150 mm Eurospher 100-5C-18 diameter 5µm. Fase gerak menggunakan metanol (A) : air (B) dengan berbagai perbandingan. Perbandingan yang digunakan adalah 0% A pada 0 menit, 100% A pada 22 menit, 100% A pada 30 menit, 0% A pada 33 menit, dan 0% A pada 40 menit. Volume yang diinjeksikan sebanyak 20 µL dan laju alir sebesar 1 mL/menit. Detektor yang digunakan adalah photo diode array (PDA) panjang gelombang 254 nm. Uji Aktivitas Penghambatan RNA Helikase dengan Kolorimetri ATPase (Utama et al. 2000). Sebanyak 50 µL campuran pereaksi (master mix) tiap sumur pada microtiter plate mengandung 5 µL 10 mM bufer MOPS (pH 6.5), 1 mM ATP, 0.5 µL 1 mM MgCl2, 38.5 µL H2O. Blanko yang digunakan merupakan campuran pereaksi tanpa enzim. Kontrol negatif merupakan campuran larutan blanko yang ditambah enzim dan 5 µL metanol 80%. Tiap sumur yang telah diisi dengan campuran pereaksi ditambah dengan 5 µL fraksi hasil kromatografi gel filtrasi. Selanjutnya, digoyang dengan Multiscan EX Thermo dan diinkubasi selama 45 menit pada suhu ruang. Reaksi selanjutnya ditambahkan pereaksi warna sebesar 100 µL (akuades: larutan hijau malakit: amonium molibdat: polivinil alkohol = 2:2:1:1, v/v), dan diinkubasi kembali selama 5 menit pada suhu ruang. Setelah itu, reaksi warna dihentikan dengan penambahan natrium sitrat sebanyak 25 µL/sumur. Selanjutnya, dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm dan 405 nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur E. coli pET BL21 (DE3) pLysS Bakteri E. coli pET BL21(DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase virus hepatitis C (HCV) berhasil dikulturkan dan
9
ditunjukkan dengan terbentuknya suspensi berwarna kuning keruh. Media Luria Bertani (LB) merupakan media kompleks yang mempunyai komposisi media yang lengkap (tripton, ekstrak khamir, dan NaCl) dan cocok untuk pertumbuhan bakteri. Media LB ditambahkan dengan ampisilin. Penambahan ini bertujuan sebagai marka seleksi supaya bakteri lain selain bakteri E. coli yang membawa gen NS3 helikase HCV tidak dapat tumbuh. Kultur bakteri diinkubasi pada suhu 37oC dan digojok dengan kecepatan 200 rpm. Menurut Pelzar & Chan (1986), kondisi tersebut merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri E. coli. Pengukuran fase pertumbuhan E. coli pada panjang gelombang 600 nm karena kultur mempunyai serapan optimum pada panjang gelombang tersebut. Isopropil β-D-thiogalaktopiranosida (IPTG) ditambahkan pada saat nilai OD600 kultur sel E. coli mencapai 0.3 karena pada nilai tersebut kultur bakteri mencapai fase pertumbuhan logaritmik. Pada fase tersebut bakteri rekombinan mulai mengekspresikan enzim RNA helikase. Penambahan IPTG bertujuan menginduksi gen NS3 RNA helikase virus hepatitis C agar terjadi ekspresi berlebih. Ekspresi berlebih pada gen NS3 menyebabkan pembentukan enzim RNA helikase dalam jumlah yang lebih banyak dari fase logaritmik hingga fase stasioner awal (Utama et al. 2000) Bakteri E. coli yang membawa gen NS3 RNA helikase HCV dipanen dengan sentrifugasi bertingkat sebanyak dua tahap. Sentrifugasi bertingkat bertujuan memisahkan E. coli dengan media LB. Bakteri E. coli mengendap sebagai pelet sedangkan media LB akan terpisah sebagai supernatan. Pelet atau bakteri yang terendapkan disimpan pada suhu -20oC untuk menghindari kerusakan pada sel bakteri dan menjaga stabilitas enzim RNA helikase virus hepatitis C (Schawen & Melling 1985). Enzim RNA Helikase Virus Hepatitis C Enzim diisolasi dengan pemecahan sel terlebih dahulu. Pemecahan sel berlangsung secara mekanik, yaitu dengan cara pengeringbekuan (freeze thawing) dan sonikasi. Pengeringbekuan (freeze thawing) menyebabkan pembentukan kristal es pada sel E. coli yang membawa gen NS3 helikase HCV. Kristal es terbentuk akibat pengeringbekuan yang berlangsung berulang terhadap cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Proses tersebut akan
memudahkan pemecahan sel (Schawen & Melling 1985). Pemecahan sel selanjutnya dengan sonikasi yang bertujuan memecah dinding sel. Sonikasi juga menyebabkan organel dalam sel keluar namun tidak merusak integritas fungsionalnya. Pada saat sonikasi ditambahkan bufer B yang mengandung 10 mM Tris HCl pH 8.5, 100 mM NaCl, dan 0.25% Tween 20. Larutan 10 mM tris HCl pH 8.5 berfungsi mempertahankan aktivitas enzim selama proses isolasi dan pemurnian enzim. Tween 20 yang terdapat dalam bufer digunakan untuk menghancurkan lipid bipolar pada membran sel. Lipid bipolar berasosiasi dengan virus hepatitis C membentuk kompleks replikasi sehingga enzim RNA helikase melekat pada membran (metabolit intraseluler). Rusaknya lipid bipolar akan menyebabkan disosiasi bagian hidrofobik enzim RNA helikase dengan membran sel. NaCl (natrium klorida) pada larutan bufer ini berfungsi menghilangkan asam nukleat dan kontaminan lainnya yang berikatan tidak spesifik dengan RNA helikase HCV dengan cara interaksi ionik (Vanz et al. 2008). Hasil sonikasi selanjutnya disentrifugasi dan diambil supernatannya. Supernatan berisi metabolit intraseluler yang perlu dimurnikan. Pemurnian menggunakan kromatografi afinitas metal amobilisasi. Metode pemurnian ini menggunakan resin TALON afinitas logam (metal affinity) yang secara spesifik dapat mengikat RNA helikase yang terlabeli dengan 6xHis-Tag pada N terminalnya. Pengikatan residu His dilakukan oleh logam Co2+ yang terdapat dalam resin TALON. Pelabelan RNA helikase dilabeli dengan ujung His pada saat penyisipan gen ke dalam E. coli pET BL21 (DE3) pLysS. RNA helikase yang telah diikat oleh resin TALON dipisahkan dengan metabolit intraseluler lainnya melalui sentrifugasi. Bufer elusi (imidazola dalam bufer B) ditambahkan untuk menghilangkan protein selain enzim RNA helikase. Imidazola yang terdapat dalam bufer elusi dapat memutuskan ikatan antara RNA helikase dengan resin TALON afinitas logam. Imidazola berperan sebagai analog residu His yang terdapat pada enzim yang telah diikat oleh logam Co2+. Sentrifugasi pada kecepatan 5000 g selama 1 menit digunakan untuk memisahkan imidazola dengan enzim yang telah murni. Penggunaan kecepatan tersebut untuk menghindari kerusakan enzim dan mencegah penurunan aktivitasnya (Sambrook & Russel 2001). Setiap hasil sentrifugasi pada tahap pemurnian enzim dikoleksi untuk dianalisis
10
dengan metode SDS PAGE. Analisis ini bertujuan1 mengetahui enzim. 5 2 3 kemurnian 4 Elektroforegram SDS PAGE (Gambar 5) menunjukkan lajur 1 berupa marker yang digunakan. Lajur 2 adalah supernatan hasil sentrifugasi yang terdapat banyak pita protein yang belum dimurnikan. Lajur 3 dan 4 merupakan supernatan hasil pencucian. Pada lajur W1 dan W2 tidak terdapat pita protein karena supernatan hanya berisi bufer B. Enzim RNA helikase berhasil diisolasi yang ditunjukkan dengan hasil SDS-PAGE pada lajur 5 berupa pita protein (E) dengan bobot molekul 54 kDa (Gambar 5) (Lampiran 2). Ukuran pita protein tersebut hasilnya sama dengan yang dilaporkan oleh Utama et al. (2000).
250 kDa150 kDa100 kDa-
nilai pH pada kondisi kultur dijaga dengan aerasi. Aerasi menyebabkan pertukaran karbondioksida yang dapat menjaga stabilitas pH. Cahaya yang digunakan berasal dari lampu neon, sedangkan suhu kultur mikroalga BTM 11 berkisar antara 25oC-30oC (Barsanti & Gualtieri 2006). Pengukuran pola pertumbuhan dari mikroalga BTM 11 menggunakan metode turbidimetri. Metode ini berdasarkan pengukuran kepadatan sel yang sebanding dengan nilai absorbansi pada panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang yang digunakan adalah 630 nm. Panjang gelombang tersebut digunakan karena kultur mikroalga BTM 11 mempunyai serapan optimum pada panjang gelombang tersebut (Kusmiyati & Agustin 2006). Pemanenan BTM 11 pada waktu mendekati fase stasioner awal yaitu pada hari ke 50 (Gambar 7). Pada fase tersebut, mikroalga menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang diperkirakan mempunyai aktivitas sebagai antivirus hepatitis C (Barsanti & Gualtieri 2006).
75 kDa-
50 kDa-
54 kDa
Gambar 5 Elektroforegram SDS-PAGE RNA helikase virus hepatitis C (1: marker, 2: inner volume; 3: washing 1; 4: washing 2; E1: enzim). Kultur Mikroalga BTM 11 Nama BTM diambil dari tempat asal isolat tersebut, yaitu perairan Batam. Angka 11 menunjukkan kode lokasi isolat tersebut diambil. Pertumbuhan isolat mikroalga BTM 11 ditandai dengan terbentuknya sel yang berbentuk filamen dan berwarna hijau (Gambar 6). Mikroalga BTM 11 tumbuh pada media modified bristol medium sea water (MBM SW) yang mengandung mineral, seperti KNO3, K2HPO4, KH2PO4, NaCl, CaCl2.2 H2O, Fe sitrat, dan air laut steril. Tujuan digunakan air laut yang steril adalah mencegah pertumbuhan mikroorganisme lain selain mikroalga. Derajat kesamaan (pH) pada kondisi kultur berkisar antara 7-8. Kisaran
Gambar 6 Kultur mikroalga BTM 11.
Gambar 7 Kurva pertumbuhan mikroalga BTM 11. Ekstrak Mikroalga BTM 11 Modifikasi metode ekstraksi mikroalga BTM 11 dibandingkan dengan Kusmiyati & Agustini (2006) adalah pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan pada
11
ekstraksi ini adalah metanol 80%. Metanol 80% akan melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat polar. Selain itu, pemilihan pelarut metanol 80% didasarkan pada hasil penapisan terhadap 50 isolat mikroalga. Berdasarkan hasil penapisan yang dilakukan oleh Laboratorium Virologi dan Bakteriologi Molekuler, ekstrak metanol 80% BTM 11 memiliki aktivitas penghambatan tertinggi terhadap RNA helikase virus hepatitis C. Sebelum diekstraksi, sel mikroalga terlebih dahulu diendapkan selama semalam karena bentuk sel yang berupa filamen sulit dipisahkan dengan medianya. Setelah diendapkan, sel mikroalga BTM 11 dipisahkan secara sentrifugasi supaya sel benar-benar terpisah dengan media (Kusmiyati & Agustin 2006). Sel yang telah terendapkan sebagai pelet ditambahkan pelarut metanol 80% dan disonikasi untuk memecah selnya. Pemecahan sel ini akan mengeluarkan metabolit intraseluler yang terdapat di dalam sel. Mikroalga memiliki susbtansi organik yang berlimpah didalam selnya yang disebut metabolit intraseluler, sedangkan produk yang disekresikan ke medium tumbuhnya disebut metabolit ekstraseluler (Barsanti & Gualtieri 2006). Hasil sonikasi selanjutnya dievaporasi yang bertujuan menguapkan pelarut yang tidak berikatan dengan senyawa sehingga diperoleh senyawa hasil ekstraksi yang diinginkan. Evaporasi dilakukan pada suhu 60˚C dalam keadaan vakum untuk memekatkan larutan dalam volume kecil serta tidak merusak senyawa yang terkandung didalamnya. Hasil evaporasi berupa ekstrak kasar mikroalga BTM 11 dengan bobot biomassa sebesar 58.89 g. Hasil Uji Fitokimia Analisis kualitatif ini bertujuan mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak metanol 80% mikroalga BTM 11. Kandungan metabolit sekunder yang dianalisis dalam ekstrak kasar mikroalga antara lain; alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, kumarin, triterpenoid, dan steroid. Uji fitokimia yang pada ekstrak mikroalga BTM 11 menunjukkan hasil positif terdapat flavonoid dan kumarin (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan Stobiecki & Kachlicki (2006) bahwa flavonoid dan kumarin akan larut dalam pelarut polar, seperti metanol dan air. Hasil negatif ditunjukkan terhadap alkaloid, tanin, saponin, kuinon, dan triterpenoid. Triterpenoid dan steroid bersifat nonpolar sehingga tidak
terekstrak dalam pelarut polar seperti metanol 80%. Tabel 1 Hasil uji fitokimia ekstrak metanol mikroalga BTM 11. Senyawa Hasil Uji Keterangan Alkaloid -Wagner Tidak ada endapan -Meyer Tidak ada endapan -Dragendorf Tidak ada endapan Tanin Terbentuk warna merah muda Saponin Tidak berbusa Flavonoid + Terbentuk warna merah Kumarin + Fluorosensi warna hijau Steroid Warna kuning Triterpenoid Warna kuning Keterangan: (-): tidak terdeteksi; (+): terdeteksi Hasil Pemurnian Ekstrak Kasar Mikroalga BTM 11 Dan Aktivitas Penghambatan Terhadap RNA Helikase HCV Ekstrak kasar yang diperoleh merupakan kumpulan dari berbagai senyawa yang terekstrak dalam metanol 80%. Oleh karena itu, perlu dimurnikan untuk mendapatkan senyawa kimia yang berperan sebagai inhibitor. Pemurnian ekstrak kasar menggunakan teknik kromatografi, yaitu kromatografi gel filtrasi dan kromatografi lapis tipis. Ekstrak kasar terlebih dahulu difraksinasi dengan kromatografi kolom gel filtrasi. Fraksinasi ini menghasilkan 25 fraksi yang ditampung masing-masing sebanyak 1 mL. Kromatografi gel filtrasi merupakan teknik umum yang digunakan untuk memisahkan senyawa berdasarkan ukuran partikel dan polaritas analit. Ukuran analit yang cocok akan terperangkap dalam pori gel (fase diam) dan terelusi oleh fase gerak yang digunakan. Pemisahan ini menggunakan silika gel sebagai fase diamnya. Fase gerak yang digunakan merupakan campuran kloroform:metanol dengan perbandingan 99:1. Fase gerak tersebut akan membawa senyawa-senyawa yang bersifat non polar dan senyawa yang bersifat lebih polar. Senyawa-senyawa yang
12
bersifat nonpolar akan keluar terlebih dahulu karena senyawa tersebut berinteraksi lemah dengan fase diam (silika gel). Senyawa yang bersifat lebih polar akan keluar paling akhir, senyawa tersebut berikatan lebih kuat dengan fase diam sehingga terelusi paling akhir (Soczewinski & Wawrzynowicz 2003). Fraksi-fraksi yang diperoleh kemudian diuji aktivitas penghambatannya dengan uji kolorimetri ATPase. Penentuan aktivitas penghambatan RNA helikase HCV menggunakan uji kolorimetri ATPase. Berdasarkan uji tersebut terhadap 25 fraksi hasil kromatografi gel filtrasi terlihat bahwa fraksi 2, 3, dan 4 mempunyai aktivitas penghambatan tinggi (Gambar 8). Fraksifraksi tersebut diuji dengan nilai aktivitas enzim sebesar 1.02333 dan nilai blanko sebesar 0.495, sedangkan kontrol negatif (metanol 80%) sebesar 15.1791% (Lampiran 4). Kontrol negatif ini diuji untuk mengetahui pengaruh dari pelarut yang digunakan yaitu metanol 80% terhadap penghambatan enzim. Pengujian ini tidak menggunakan kontrol positif dikarenakan belum ditemukannya obat atau vaksin yang sesuai untuk infeksi virus hepatitis C. Nilai aktivitas penghambatan terhadap RNA helikase dari fraksi 2, 3, dan 4 masing-masing sebesar 71.726%, 81.205%, dan 67.622%. berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa fraksi 3 mempunyai aktivitas penghambatan tertinggi. Nilai aktivitas tersebut berarti secara in vitro fraksi 3 dapat menghambat aktivitas RNA helikase sebesar 81.205%. konsentrasi RNA helikase sebelum dihambat adalah 0.9925 mM. Konsentrasi enzim yang berhasil dihambat oleh senyawa yang terdapat dalam fraksi 3 sebesar 0.7855 mM. Uji ATPase digunakan untuk pengujian enzim yang aktivitasnya bergantung pada keberadaan ATP sebagai donor energi. Oleh karena itu, uji ini dapat digunakan untuk pengujian aktivitas penghambatan RNA helikase oleh inhibitor. Prinsip ujinya adalah pengukuran fosfat bebas yang terbentuk dari hasil reaksi antara RNA helikase dengan ATP yang menghasilkan ADP dan Pi (fosfat anorganik). Pi bebas akan membentuk kompleks warna dengan pereaksi amonium molibdat membentuk fosfomolibdat. Fosfomolibdat dapat bereaksi dengan protein (enzim RNA helikase) sehingga protein akan mengendap dan menimbulkan kekeruhan. Protein yang terendapkan dapat terlarut kembali dengan pereaksi polivinil alkohol sehingga kekeruhan tidak terjadi. Kekeruhan dapat menimbulkan rekasi warna yang
berlebih dan menimbulkan kesalahan positif. Warna yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi Pi yang dihasilkan dari reaksi antara RNA helikase dan ATP (Chan et al. 1986). Pengukuran absorbansi dilakukan pada dua panjang gelombang, yaitu panjang gelombang 620 nm dan 405 nm. Panjang gelombang 620 optimum serapan warna hijau kebiruan dan panjang gelombang 405 nm optimum serapan warna kuning. Warna hijau kebiruan merupakan kompleks warna yang dibentuk dari reaksi larutan pewarna dan dengan fosfat bebas hasil hidrolisis ATP, sedangkan warna kuning merupakan warna yang dihasilkan oleh larutan pewarna yang tidak berikatan dengan Pi. Penggunaan dua panjang gelombang supaya perhitungan reaksi antara enzim dengan substrat lebih akurat. Perhitungan konsentrasi Pi yang dihasilkan dengan membandingkan nilai absorbansi dari pembacaan kedua panjang gelombang tersebut (Chan et al. 1986). Penghentian reaksi warna dengan penambahan Na-sitrat terhadap campuran pereaksi. Penambahan ini bertujuan mencegah proses pembentukan warna yang berlebihan. Molibdat bebas tersebut dapat berikatan dengan ATP yang tidak stabil yang dapat terhidrolisis selama proses uji ATPase berlangsung (Gawronski & Benson 2004). Larutan campuran utama (master mix) berguna sebagai blanko dalam pengujian secara kolorimetri ATPase. Asam 4morfolinopropanafosfat sulfonat (MOPS) digunakan sebagai bufer dalam campuran utama. Bufer tersebut digunakan untuk menjaga stabilitas enzim. ATP yang ditambahkan berperan sebagai substrat untuk RNA helikase. Keberadaan Mg2+ diperlukan sebagai kofaktor RNA helikase sehingga MgCl2 berfungsi sebagai donor kofaktor dalam campuran utama (Utama et al. 2000).
81.205%
Gambar 8 Aktivitas penghambatan fraksi kromatografi gel filtrasi terhadap RNA helikase HCV.
13
Profil Kimiawi Fraksi yang Mempunyai Aktivitas Penghambatan Tertinggi Terhadap RNA Helikase HCV Hasil uji ATPase tiap fraksi yang memiliki aktivitas penghambatan tinggi dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) untuk melihat pemisahan senyawanya. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa fraksi 2, 3, dan 4 hasil kromatografi gel filtrasi memiliki aktivitas penghambatan tertinggi sebesar 71.726%, 81.205%, dan 67.622% (Lampiran 4). Kromatogram KLT terlihat bahwa fraksi 2 mempunyai 1 noda pemisahan dengan nilai Rf sebesar 0.8, sedangkan fraksi 3 dan 4 mempunyai 2 noda pemisahan. Nilai Rf untuk noda yang terbentuk pada fraksi 3 berturut-turut adalah 0.8 (noda A) dan 0.37 (noda B), sedangkan pada fraksi 4 adalah 0.7 dan 0.35 (Gambar 9). Pemurnian lanjutan dengan KLT preparatif hanya dilakukan terhadap fraksi 3 dengan noda A. Hasil preparatif noda A mempunyai aktivitas penghambatan lebih tinggi daripada noda B. Hasil uji penghambatan terhadap RNA helikase HCV oleh noda A sebesar 62.29% dan berhasil menghambat enzim sebesar 0.6002 mM (Lampiran 4). Eluen yang digunakan adalah kloroform : metanol (9:2). Fase gerak tersebut dipilih karena kemampuan metanol dalam meningkatkan polaritas kloroform (Rahman 2009). Noda yang terbentuk dikerok kemudian dilarutkan dengan metanol 80%. Pemisahan senyawa yang terikat dengan silika dilakukan dengan teknik sentrifugasi. Rendemen yang dihasilkan dari KLT preparatif sebesar 12% (b/v).
Rf 0.8
Rf 0.37
2
3
4
2
3
4
(a) (b) Gambar 9 Kromatogram KLT fraksi 2, 3, dan 4; (a) hasil deteksi dengan penampak noda, (b) hasil deteksi spot pada sinar UV 254 nm.
Kromatogram dideteksi pada sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm. Pada panjang gelombang ini, plat silika gel akan berpendar dan analit akan terlihat sebagai noda berwarna hitam. Menurut Fernand 2003 yang diacu dalam Puspita 2009, noda yang terlihat pada panjang gelombang 254 nm merupakan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, dan senyawa fenolik. Hasil deteksi dengan sinar UV menunjukkan noda pemisahan yang sama dengan hasil penyemprotan lempeng silika dengan serium sulfat. Kromatogram Fraksi yang Mempunyai Aktivitas Penghambatan Tertinggi Analisis kualitatif senyawa terhadap fraksi 3 menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kromatogram KCKT berupa puncakpuncak yang memiliki serapan pada panjang gelombang tertentu. Kromatogram fraksi 3 menunjukkan dua puncak yang memiliki kelimpahan tertinggi pada waktu retensi (Rt, retention time) menit 12.483 dan 16.617 (Gambar 10). Menurut Stefova et al. 2003, puncak pertama (menit 0.900) yang ditunjukkan pada kromatogram fraksi tersebut diperkirakan merupakan eluen yang digunakan. Dua puncak terpilih pada fraksi 3 selanjutnya dianalisis dengan detektor PDA untuk mengetahui serapan panjang gelombangnya. Fraksi 3 untuk puncak dengan Rt 12.483 menit mempunyai serapan pada panjang gelombang 266 nm (Lampiran 5) sedangkan pada Rt 16.617 serapannya adalah 230 nm (Lampiran 6). Berdasarkan Harbone (1987), kedua serapan puncak tersebut merupakan golongan senyawa flavonoid. Selain itu, hasil KLT yang memperlihatkan adanya noda yang terdeteksi pada panjang gelombang 254 juga mengindikasikan bahwa senyawa yang berhasil diisolasi merupakan golongan flavonoid (Fernand 2003, yang diacu dalam Puspita 2009). Analisis dengan KCKT juga sesuai dengan penapisan awal fitokimia yang menunjukkan hasil positif terhadap flavonoid. Penelitian ini menggunakan KCKT fase terbalik. Eluen yang digunakan pada KCKT fase terbalik mempunyai tingkat kepolaran yang tinggi, seperti: metanol, air, asetonitril, dan tetrahidrofuran. Eluen yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol dan air dalam berbagai perbandingan. Penggunaan eluen tersebut dikarenakan eluen tersebut relatif lebih murah dan relatif tidak toksik jika dibandingkan dengan asetonitril dan tetrahidrofuran (Stefova et al. 2003).
14
230 nm 266
nm
Rt 12.483
Rt 16.617
Gambar 10 Kromatogram KCKT fraksi preparatif 3 noda Rf 0.8. Kromatogram fraksi 3 preparatif belum menunjukkan satu puncak dikarenakan eluen yang digunakan pada fraksinasi ekstrak kasar belum dapat memisahkan senyawa-senyawa dengan baik. Baseline kromatogram tidak linier dikarenakan kandungan metanol dalam fraksi (pelarut) yang konsentrasinya lebih besar dari senyawa inhibitor. Namun, secara uji ATPase pelarut yang digunakan hanya berperan kecil dalam menghambat enzim yaitu sebesar 15.1791%. Nilai penghambatan tersebut diperoleh melalui uji ATPase terhadap RNA helikase HCV (Lampiran 4). Hasil analisis dengan uji fitokimia, KLT, dan KCKT menunjukkan bahwa golongan senyawa yang diperkirakan sebagai inhibitor RNA helikase HCV adalah flavonoid. Flavonoid telah banyak diteliti sebagai agen antivirus terhadap virus herpes, HIV, virus parainfluenza, dan adenovirus (Tapas et al. 2008). Flavonoid menghambat siklus hidup virus pada waktu replikasi. Mekanisme penghambatan dari flavonoid yang melibatkan enzim replikasi virus diperkirakan melalui interaksi flavonoid dengan kofaktor enzim. Enzim replikasi seperti RNA helikase yang aktivitasnya bergantung pada ATP sangat membutuhkan kofaktor (Mg2+) untuk membantu interaksinya dengan substrat. Apabila kofaktor tersebut berikatan dengan flavonoid maka aktivitas enzim replikasi akan terhambat (Narayana et al. 2001).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Enzim RNA helikase yang berhasil diisolasi mempunyai bobot molekul 54 kDa. Enzim tersebut dapat dihambat oleh bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroalga BTM 11. Secara in vitro bahan aktif tersebut dapat menghambat aktivitas enzim sebesar 81.205%. Kromatogram KLT terhadap fraksi 3 menghasilkan dua noda yang mempunyai nilai Rf masing-masing 0.8 dan 0.37. Hasil fitokimia terhadap ekstrak kasar menunjukkan positif flavonoid dan kumarin. Analisis serapan puncak kromatogram KCKT dengan kelimpahan tertinggi pada waktu retensi 12.483 menit dan 16.617 menit adalah 266 nm dan 230 nm. Berdasarkan analisis dengan uji fitokimia, KLT, dan KCKT diperkirakan bahan aktif yang berperan sebagai inhibitor dalam fraksi tersebut merupakan senyawa golongan flavonoid. Saran Optimasi eluen kromatografi gel filtrasi perlu dilakukan. Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya spot senyawa pada fraksi yang dianalisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Selain itu, perlu juga dilakukan optimasi eluen untuk menghasilkan fraksi yang mempunyai daya inhibisi yang lebih tinggi terhadap RNA helikase. Setelah
15
mendapatkan senyawa murni yang berperan sebagai inhibitor perlu dilakukan identifikasi senyawa tersebut sehingga diperoleh informasi mengenai struktur kimianya.
DAFTAR PUSTAKA Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Yogyakarta: Andi Offset. Barsanti L, Gualtieri P. 2006. Algae: Anatomy, Biochemistry, and Biotechnology. New York: CRC Pr. Borowitzka MA, Borowitzka LJ. 1988. Microalgal Biotechnology. Cambridge: Cambridge University Pr. Borowski et al. 2002. NTPase/helicase of Flaviviridae: inhibitors and inhibition of the enzyme. Acta Biochem Polonica 49: 497-614. Chan KM, Delfert D, Junger KD. 1986. A direct colorimetricc assay for Ca2+ stimulated ATPase activity. Anal Biochem 157: 375-380. Farnswoth NR. 1966. Biological and phytochemical screening of plant. J Pharm Sci 55:3. Gawronski JD, Benson DR. 2004. Microtiter assay for gluthamine synthetase biosintetic activity using inorganic phospate detection. Anal Biochem 327: 114-118. Hagel L. 1993. Size exclusion chromatography in an analytical perspective. J Chromatograp 648:19-25. Harjadi W. 1976. Ilmu Kimia Analitik. Bogor: IPB Pr. Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Ed 2. Kosasih P et al., penerjemah. Bandung: ITB Pr. Hatsu et al. 2002. A japanese enchepalitis virus NS3 inhibitor produced by a Streptomyces sp. Actinomycetologica 16:6-8. Hostettmann et al. 1986. Cara Kromatografi Preparatif. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Preparative Chromatography Techniques. Jawaid A, Khuwaja AK. 2008. Treatment and vaccination for hepatitis C: present and
future. J Med Coll Abbottabad 20: 129133. Kabinawa INK. 2001. Mikroalga Sebagai Sumber Daya Hayati (SDH) Perairan Dalam Perspektif Bioteknologi. Bogor: Puslitbang Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kadare G, Haenni A. 1997. Virus encoded RNA helicases. J Virology 71: 25832590. DEPKES. Departemen Kesehatan. 2010. Masyarakat dunia peringati hari hepatitis. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/ press-release/1156-masyarakat-duniaperingati-hari-hepatitis.html. Kusmiyati, Agustini NWS. 2006. Uji aktivitas senyawa antibakteri dari mikroalga Porphyridium cruentum. Biodiversitas 8: 48-53. Lauer GM, Walker BD. 2001. Review article: hepatitis c virus infection. N Engl J Med 1: 41-50. Moradpour D, Penin F, Rice CM. 2007. Replication of hepatitis C virus. Nat Rev Microbiol 5:453–463. Mustopa AZ. 2009. Isolation and identification of RNA helicase inhibitor from indonesia microalgae. TORAY, unpublished. Narayana KR, Sripal R, Chaluvadi, Khrisna. 2001. Bioflavonoids classification, pharmacological, biochemical effect and therapeutical potentials. Indian J Pharm 33: 2-16. Nur MA et al. 1992. Teknik Laboratorium. Bogor: IPB Pr. Ohta et al. 1998. Anti-herpes simplex virus substances produced by the marine green alga, Dunaliella primolecta. J App Phycology 10:349-355. Pelzar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Hadietomo et al., penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Puspita MDA. 2009. Pengoptimuman fase gerak KLT menggunakan desain campuran untuk pemisahan komponen ekstrak meniran (Phyllanthus niruri) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
16
Rahman MN. 2009. Aktivitas antibakteri senyawa hasil biotransformasi kurkumin oleh mikrob endofit asal kunyit [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sambrook J, Russel DW. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual Vol 3. Ed 3. Cold Spring Harbour: Cold Spring Laboratory Pr. Schawen MD, Melling J. 1985. Handbook of Enzyme Biotechnology. Alan Wiseman, editor. West Sussex: Ellis Horword Ltd. Shih SR et al. 2003. Inhibition of enterovirus 71-induced apoptosis by allophycocyanin isolated from a blue-green alga Spirulina platensis. J Med Virology 70:119–125. Soczewinski E, Wawrzynowicz T. 2003. Gel Filtration Chromatography. Di dalam: Jack Cazes, editor. Encyclopedia of Chromatography. New York: Marcel Dekker. hlm 374-385. Stefova M et al. 2003. High Performance Liquid Chromatography. Di dalam: Jack Cazes, editor. Encyclopedia of Chromatography. New York: Marcel Dekker. hlm 236-242. Stobiecki M, Kachlicki P. 2006. The Science of Flavonoids. Erich Grotewold, editor. New York: Springer Science. Soriano V, Peters JM, Zeuzem S. 2009. New therapies for hepatitis C infection. Clinical Infectious Diseases 48:13–20. Sy T, Jamal M. 2006. Reviews: Epidemiology of hepatitis C virus (HCV) infection. J Med Sci 3: 41-46.
Talyshinsky MM, Yelena YS, Mahmoud MH. 2002. Antiviral activity of red microalgal polysaccharides against Retroviruses. Cancer Cell International 2: 1-7. Tapas AR, DM Darkarrar, Kakde RB. 2008. Flavonoids as nutraceuticals. Tropical J Pharm 7:1089-1099. Tellinghuisen TL et al. 2001. Studying hepatitis C virus: making the best of a bad virus. J Virology 81: 8853-8867. Utama A et al. 2000. Identification and characterization of t he RNA helicase activity of japanese enchepalitis virus NS3 protein. FEBS Letters 456: 74-78. Vanz et al. 2008. Human granulocyte colony stimulating factor (Hg-CSF): cloning, overexpression, purification, and characterization. Microbial Cell Factories 7:13-15. Wardell AD et al. 1999. Characterization and mutational analysis of the helicase and NTPase activities of hepatitis C virus full length NS3 protein. J General Virology 80:701-709. Wilson K, Walker JM. 1994. Principles and Techniques of Practical Biochemistry. Ed 4. Cambridge: Cambridge University Pr. Worman HJ, Lin F. 2000. Molecular biology of liver disorders: the hepatitis C virus and molecular targets for drug development. World J Gastroentestinal 6:465-469.
LAMPIRAN
18
Lampiran 1 Rancangan Penelitian Isolasi dan Pemurnian RNA Helikase HCV Kultur E. coli BL 21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 (RNA Helikase)
Isolasi RNA Helikase HCV
Pemurnian RNA Helikase HCV menggunakan kromatografi afinitas dengan TALON Uji ATPase
RNA Helikase HCV
19
Lanjutan lampiran 1 Isolasi dan Pemurnian Bahan Aktif dari Mikroalga BTM 11 Kultur Mikroalga BTM 11
Ekstraksi mikroalga BTM 11 dan penapisan fitokimia
Pemurnian bahan aktif menggunakan kromatografi gel filtrasi Uji ATPase
Analisis bahan aktif menggunakan kromatografi lapis tipis
Analisis bahan aktif menggunakan KCKT
20
Lampiran 2 Bobot molekul relatif enzim RNA helikase HCV Bobot molekul (BM) marker 250 150 100 75 50
Log BM
Rf
2.39 2.17 2 1.87 1.69
0.12 0.22 0.37 0.48 0.74
Bobot molekul relatif RNA helikase : 4.8 Rf = = 0.65 7.4 y = -1.091x + 2.44 y = -1.091(0.65) + 2.44 y = 1.73 Log BM = 1.73 BM = 54 kDa
21
Lampiran 3 Kurva standar fosfat (Uji ATPase) Konsentrasi K2HPO4 Absorbasi 620 nm (mM) dengan referensi 405 nm 0.0 0.000 0.1 0.102 0.2 0.239 0.4 0.417 0.6 0.622 0.8 0.834 1.0 1.022
y = 1.0207x + 0.0103 R2 = 0.9989
Lampiran 4 Nilai penghambatan terhadap RNA helikase oleh fraksi hasil kromatografi gel filtrasi.
Ulangan
A
B
1.02333 0.868 0.204 0.134 0.037 0.176 0.23067 0.26533 0.58333 0.31767 0.285 0.39533 0.422 0.37267 0.528 0.444 0.53667 0.566 0.55667 0.65467 0.59867 0.734 0.82433 0.64333 0.76133 0.77133 0.557
1
2
3
0.992
0.922
0.877
0.459
2.423 2.154 1.193 1.18 1.32 1.253 1.24 1.242 1.536 1.328 1.344 1.422 1.443 1.293 1.599 1.432 1.4 1.516 1.497 1.635 1.553 1.731 1.929 1.657 1.756 1.767 1.55
2.173 1.865 1.168 1.126 1.206 1.139 1.245 1.313 1.616 1.34 1.263 1.38 1.445 1.408 1.514 1.275 1.548 1.607 1.586 1.723 1.656 1.775 1.924 1.752 1.767 1.78 1.597
2.152 1.885 1.191 1.197 1.152 1.16 1.273 1.255 1.564 1.25 1.205 1.367 1.375 1.391 1.556 1.502 1.536 1.488 1.512 1.578 1.542 1.77 1.828 1.643 1.798 1.811 1.615
1.48233 1.327 0.663 0.593 0.496 0.635 0.68967 0.72433 1.04233 0.77667 0.744 0.85433 0.881 0.83167 0.987 0.903 0.99567 1.025 1.01567 1.11367 1.05767 1.193 1.28333 1.10233 1.22033 1.23033 1.016
C
D
E
Nama Sampel Blanko
0.15179 0.80065 0.86906 0.96384 0.82801 0.77459 0.74072 0.42997 0.68958 0.7215 0.61368 0.58762 0.63583 0.48404 0.56612 0.47557 0.44691 0.45603 0.36026 0.41498 0.28274 0.19446 0.37134 0.25603 0.24625 0.4557
15.1791 80.0651 86.9055 96.3844 82.8013 77.4593 74.0717 42.9967 68.9576 72.1498 61.3681 58.7622 63.5831 48.4039 56.6124 47.557 44.6905 45.6026 36.026 41.4984 28.2736 19.4462 37.1335 25.6026 24.6254 45.57
64.886 71.726 81.205 67.622 62.28 58.893 27.818 53.779 56.971 46.189 43.583 48.404 33.225 41.433 32.378 29.511 30.423 20.847 26.319 13.094 4.2671 21.954 10.423 9.4463 30.391
Enzim Negatif Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10 Fraksi 11 Fraksi 12 Fraksi 13 Fraksi 14 Fraksi 15 Fraksi 16 Fraksi 17 Fraksi 18 Fraksi 19 Fraksi 20 Fraksi 21 Fraksi 22 Fraksi 23 Fraksi 24 Fraksi 25
22
23
Lanjutan lampiran 4 Keterangan: A = selisih absorbansi (λ620 nm-λ405 nm) B = A – nilai blanko C = (absorbansi enzim tanpa inhibitor – absorbansi enzim dengan inhibitor) Absorbansi enzim tanpa inhibitor D (persentase absorbansi inhibisi) = C x 100% • Contoh perhitungan pada fraksi 3: A = 0.496 B = 0.496 – 0.459 = 0.037 C = (1.02333 – 0.037): 1.02333 = 0.96384 D = 0.96384 x 100% = 96.3844% Absorbansi aktivitas inhibisi dikurangi dengan kontrol negatif = 96.3844% - 15.1791% = 81.205 % • Perhitungan inhibisi enzim y = 1.0207 x + 0.0103 keterangan: y = absorbansi x = konsentrasi Pi yang setara dilepaskan oleh 1 molekul RNA helikase y = 1.0207 x + 0.0103 1.02333 = 1.0207 x + 0.0103 x = 0.9925 mM x = konsentrasi enzim tanpa inhibitor •
Konsentrasi enzim yang telah dihambat oleh bahan aktif dari mikroalga BTM 11 y = 1.0207 x + 0.0103 0.8121 = 1.0207 x + 0.0103 x = 0.7855 mM x = besar konsentrasi enzim yang berhasil dihambat
Lanjutan lampiran 4
Ulangan Rata-rata 1
2
3
0,817 2,227 2,113 1,231 1,842
0,865 2,218 2,151 1,162 1,66
0,762 2,189 2,163 1,238 1,72
0,814667 2,211333 2,142333 1,210333 1,740667
(AbsenzimSelisih λ620Abs-blanko Absenzimdgninh λ405 ibitor)
0,387666 1,488333 1,433333 0,747666 1,171333
1,100666 1,045666 0,359999 0,783666
0,049969 0,672926 0,288007
persentase
4,996944 67,29256 28,80071
62,29562 23,80377
blanko enzim metanol noda A noda B
24
25
Lampiran 5 Serapan puncak pada waktu retensi 12.483.
266 nm
26
Lampiran 6 Serapan puncak pada waktu retensi 16.617.
230 nm