ISBN : 978-602-9096-10-1
MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG Penulis : Sapto Indrioko
Editor : Rizki Maharani
Dipterocarps Research Center, Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry In Cooperation With ITTO PROJECT PD 586/10 Rev.1 (F) Operation Strategies for the Conservation of Tengkawang Genetic Diversity for Sustainable Livelihood on Indigenous People in Kalimantan Samarinda - Indonesia 2014
MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG
EDITOR Rizki Maharani
PENYUSUN Sapto Indrioko
BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA, BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN, KEMENTERIAN KEHUTANAN BEKERJASAMA DENGAN ITTO PROJECT PD 586/10 Rev.1 (F) SAMARINDA – INDONESIA 2014
MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG Editor Rizki Maharani Desain Cover Dian Foto Rizki Maharani Andrian Fernandes Layout Puruwito Handayani Buku ini diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan sebagai bagian dari program kerjasama dengan ITTO Project PD 586/10 Rev.1 (F) “Operational Strategies for the Conservation of Tengkawang Genetic Diversity and for Sustainable Livelihood of Indigenous People In Kalimantan” ISBN : 978-602-9096-10-1 Dipublikasikan oleh Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Indonesia. Jl. A. Wahab Syahranie, No.68 Sempaja – Samarinda, Indonesia Telp.: 62-541-206364 Fax.: 62-541-742298 e-mail:
[email protected]
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
KATA PENGANTAR Buku panduan ini memuat tahapan kegiatan dalam rangka “Pembangunan Plot Konservasi In-Situ Shorea Penghasil Tengkawang” dan beberapa kegiatan lapangan terkait, yang merupakan bagian dari program kegiatan dalam proyek International Tropical Timber Organization (ITTO) PD 586/10 Rev.1 (F), bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Buku panduan ini diharapkan dapat mempermudah dan memperlancar pelaksanaan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara in-situ. Di samping itu, diharapkan pula agar para pemangku kepentingan dapat memaklumi dan saling berkoordinasi sesuai dengan kompetensi masing-masing sehingga tujuan untuk melestarikan sumberdaya genetik tengkawang dapat tercapai. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam pelaksanaan kegiatan maupun penyusunan buku panduan ini. Besar harapan kami agar buku ini dapat digunakan sebagai bentuk dukungan pada program konservasi keragaman genetik tengkawang, sekaligus memenuhi kebutuhan para tenaga teknis di lapangan. Samarinda, Maret 2014 PENYUSUN
iii
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR I. Pendahuluan A. Kepentingan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara in-situ B. Tujuan pembuatan manual II. Prinsip Dasar Konservasi Sumber Daya Genetik In-Situ
1 3 4
III. Metode Konservasi Tengkawang Secara In-Situ A. Perencanaan 1. Pemilihan spesies 2. Pemilihan lokasi 3. Pengambilan data ekologis untuk analisis vegetasi sebelum pelaksanaan konservasi 4. Pengambilan sampel untuk analisis keragaman genetik sebelum pelaksanaan konservasi B. Pelaksanaan 1. Pengajuan kepada pemerintah sebagai areal konservasi sumber daya genetik 2. Penetapan areal sumber daya genetik dan penetapan batas kawasan 3. Pemeliharaan 4. Monitoring dan evaluasi DAFTAR PUSTAKA
iv
7 7 11 13 17 20 20 20 21 27
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
DAFTAR GAMBAR 1. Perbedaan dalam pendekatan ekosistem dan konservasi in-situ
5
2. Beberapa spesies tengkawang dalam kegiatan survei kawasan calon in-situ
9
3. Contoh lokasi survei jenis tengkawang dengan akses dekat dengan jalan dan perkampungan penduduk 4. Contoh deskripsi edafis calon plot in-situ tengkawang
11 14
5. Penempatan petak ukur dalam jalur pengamatan untuk analisa vegetasi 6. Pembuatan petak ukur secara bersarang (nested)
15 16
7. Pengambilan sampel untuk analisa genetik jenis Shorea penghasil tengkawang
18
8. Pengembalian tanah untuk menutupi lubang penanaman
24
9. Kedudukan leher akar semai saat penanaman
25
10. Seluruh allele dalam populasi dapat diwariskan kepada generasi berikutnya
26
11. Aliran gen yang baik antar kelompok dalam populasi dapat meningkatkan rekombinasi genetik
26
v
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
I. PENDAHULUAN A. Kepentingan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara in-situ Tengkawang merupakan beberapa jenis meranti (Shorea) yang dapat menghasilkan lemak tengkawang. Tidak kurang dari 17 jenis meranti penghasil tengkawang yang diketahui dan penyebarannya berada di Thailand, Malaysia (Sarawak dan Sabah), Filipina dan Indonesia (Kalimantan dan Sumatra). Di Indonesia ditemukan sebanyak 15 jenis tengkawang, yakni 12 jenis terdapat di Kalimantan dan 4 jenis lainnya terdapat di Sumatera. Sedikitnya terdapat 13 spesies tengkawang yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Beberapa spesies di antaranya sudah dikategorikan sebagai terancam punah (endangered) maupun kritis (critically endangered) keberadaannya menurut IUCN (2013). Keragaman genetik perlu dilestarikan dalam jangka pendek untuk menjaga kemampuan reproduksi agar kelangsungan regenerasi tetap dapat dipertahankan, sedangkan dalam jangka panjang bertujuan untuk menjaga potensi evolusi adaptif agar mampu mempertahankan diri dari ancaman kepunahan. Pada populasi dan spesies yang sudah terancam punah selalu ditandai dengan tingkat keragaman genetik yang rendah. Sedangkan pada populasi yang besar dan spesies yang tidak terancam punah dan saling berhubungan (tidak terisolasi,) seringkali ditandai dengan nilai keragaman genetik yang lebih besar.
1
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Pelestarian keragaman genetik sangat penting dalam kegiatan konservasi biodiversitas tengkawang. Variasi genetik sangat diperlukan oleh spesies ini dalam menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis. Perubahan lingkungan merupakan proses yang berlangsung secara kontinyu. Oleh karena itu tengkawang harus mampu berkembang atau menjadi punah. Akibat tekanan lingkungan maka populasi menjadi berkurang, terfragmentasi, bahkan terisolasi. Secara genetik hal ini dapat berakibat hilangnya keragaman genetik dan meningkatnya frekuensi inbreeding. Konsekuensi dari hilangnya keragaman genetik ialah berkurangnya kemampuan beradaptasi, kemampuan mempertahankan hidup, serta kemampuan reproduksinya. Proses ini dapat terus berlanjut sehingga menyebabkan tengkawang makin berkurang ukuran populasi serta keragaman genetiknya dan akhirnya terancam punah. Pelestarian keragaman genetik sangat penting dalam kegiatan konservasi keragaman hayati. Salah satu bentuk upaya pelestarian sumber daya genetik adalah dilakukan secara in-situ. Tujuannya adalah untuk melestarikan populasi terpilih dengan susunan genetik yang representatif dan dapat berkembang pada habitat alaminya. Beberapa sinonim untuk konservasi genetik in-situ adalah gene conservation forests, gene conservation reserves, gene management zones, gene resource management units, evolutionary conservation stands, serta gene conservation areas.
2
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
B. Tujuan pembuatan manual Peraturan yang mendasari pelaksanaan pembangunan areal konservasi sumber daya genetik ialah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.72/Menhut-II/2009. Namun untuk pelaksanaan teknis masih diperlukan pedoman yang lebih rinci. Oleh karena itu, manual ini disusun dengan tujuan untuk mempermudah dan memperlancar pelaksanaan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara insitu. Diharapkan para pemangku kepentingan dapat memaklumi dan saling berkoordinasi sesuai dengan kompetensi masing-masing sehingga tujuan untuk melestarikan sumber daya genetik tengkawang dapat tercapai.
3
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
II. PRINSIP DASAR KONSERVASI SUMBER DAYA GENETIK IN-SITU Konservasi sumber daya genetik in-situ secara ideal memerlukan areal dengan ukuran luas, kontinyu, dan dikelola agar selalu terlindung agar spesies yang dikonservasi dapat tumbuh dan berkembang sebagai populasi yang dapat mempertahankan keragaman genetiknya secara alami sesuai dengan Keseimbangan Hardy-Weinberg (Frankham et al., 2002). Tantangan yang harus dihadapi untuk melindungi spesies tengkawang terutama adalah sulitnya mencari areal yang kompak/utuh dan kontinyu, dengan jumlah individu yang mencukupi dan terlindung dalam ukuran yang luas. Hal ini disebabkan tengkawang memiliki distribusi alami yang seringkali bertampalan dengan berbagai spesies Dipterocarpaceae lain yang komersial dan dikelola untuk dipanen dalam areal hutan produksi dengan IUPHHK-HA (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam). Oleh karena itu, faktor kepastian dan keamanan areal merupakan hal yang sangat penting. Tantangan yang lain adalah keinginan masyarakat sekitar untuk memanen buah tengkawang yang memiliki nilai komersial, sehingga apabila tetap dipanen akan mempengaruhi proses regenerasi individu penyusun areal konservasi in-situ yang seharusnya dilestarikan. Jumlah genotip (yang ada di dalam individu-individu pohon) dalam populasi tengkawang harus cukup untuk memastikan bahwa mayoritas allele dapat terselamatkan. Oleh karena itu diperlukan survei pendahuluan untuk mengetahui kondisi ekologis dan genetis sebelum menetapkan suatu lokasi sebagai areal konservasi sumber daya genetik in-situ. Secara ekologis, potensi vegetasi yang ada di tempat tersebut
4
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
diharapkan dapat membawa keragaman genetik populasi dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Gambar 1. Survei pendahuluan untuk mengetahui kondisi ekologis dan genetis
Pengelolaan areal konservasi sumber daya genetik diperlukan untuk memastikan kelestarian keragaman genetik tengkawang. Secara prinsip cara pengelolaannya berbeda dengan pengelolaan kawasan konservasi seperti dapat dilihat dalam tabel berikut.
5
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Perbedaan dalam pendekatan ekosistem dan konservasi in-situ. Pendekatan ekosistem
Konservasi
Intervensi manusia lebih sedikit
Intervensi manusia lebih banyak
Lebih berorientasi pada proses dan fungsi ekosistem
Lebih berorientasi pada secara spesifik
Lebih fokus pada pelestarian habitat, seringkali tanpa/sedikit pengetahuan mengenai keberadaan sumber daya tersebut.
Lebih fokus pada pelestarian sumber daya
6
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
III. METODE KONSERVASI TENGKAWANG SECARA IN-SITU A. Perencanaan Agar konservasi dapat dilaksanakan secara optimal, sebelumnya diperlukan perencanaan yang baik. Beberapa aspek perencanaan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan spesies Di Indonesia terdapat sekitar 15 spesies tengkawang yaitu Shorea stenoptera, S. macrophylla, S. pinanga, S. beccariana, S. seminis, S. pilosa, S. splendida, S. hemsleyana, S. scaberrima, S. mecistopteryx, S. macrantha, S. amplexicaulis, S. sumatrana, S. palembanica, dan S. singkawang, dengan sebaran alami yang bervariasi. Secara ideal tentunya diinginkan untuk dapat melestarikan secara in-situ semua spesies yang ada. Namun jika terdapat keterbatasan dalam sumber daya manusia ataupun dana, maka spesies tengkawang perlu dipilih berdasarkan prioritas. Hal ini dapat ditinjau dari berbagai pertimbangan seperti: a. Status kelangkaan Semakin langka keberadaan suatu spesies, maka semakin menjadi prioritas utama untuk dilestarikan. Kriteria kelangkaan dapat mengacu misalnya pada IUCN (2001) yang mengelompokkannya menjadi rentan (vulnerable) jika peluang untuk punah sebesar 10% dalam jangka waktu 100 tahun, terancam punah (endangered) jika peluang untuk punah sebesar 20% dalam
7
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
jangka waktu 20 tahun atau 5 generasi, dan kritis (critically endangered) jika peluang untuk punah sebesar 50% dalam jangka waktu 10 tahun atau 3 generasi. Selanjutnya kriteria tersebut dijabarkan lebih detil yaitu mengenai sebaran dan pengurangan ukuran populasi beserta dugaan penyebabnya. Berdasarkan kriteria di atas maka spesies dengan kategori paling kritis perlu diutamakan untuk dilestarikan. Status kelangkaan beberapa jenis tengkawang dapat dilihat dalam red list IUCN (http://www.iucnredlist.org). Namun, data yang terdapat dalam terbitan IUCN mungkin masih perlu dicek kembali aktualitasnya, sehingga status kelangkaan suatu spesies akan lebih baik lagi jika didukung data aktual yang diperoleh dari lapangan melalui survei potensi di awal kegiatan. Prioritas utama juga diberikan bila di suatu kawasan terdapat lebih dari satu spesies tengkawang, sehingga langkah konservasi yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan dapat menyelamatkan beberapa spesies sekaligus.
8
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Gambar 2. Beberapa spesies tengkawang dalam kegiatan survei kawasan calon in-situ
b. Kepentingan ekonomi Masyarakat cenderung lebih mendukung pelestarian jenis tengkawang yang selama ini selalu diambil manfaat ekonominya, yaitu buah yang dapat dipanen dan laku dipasarkan, misalnya jenis Shorea stenoptera, S. macrophyla, dan S. pinanga. Keberadaan spesies-spesies tersebut cenderung lebih aman dibandingkan dengan tengkawang yang kurang dikenal (lesser known spesies). Di lain pihak, apabila pemanfaatan dilakukan dengan tidak bijaksana, spesies yang paling diminati masyarakat untuk diambil buahnya tersebut cenderung lebih terancam pula kelestariannya karena proses regenerasinya di alam menjadi terganggu. Oleh 9
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
karena itu spesies tengkawang yang bersifat komersial perlu mendapatkan prioritas untuk dilestarikan. c. Aksesibilitas lokasi Merupakan hal yang ideal jika spesies yang akan dikonservasi terletak di lokasi yang aksesibilitasnya baik atau relatif mudah dijangkau, serta aman dari berbagai potensi gangguan keamanan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kadang bertolak belakang, mengingat hutan dengan potensi kayu yang bagus dan aksesibilitas tinggi memiliki resiko kerawanan yang lebih tinggi terhadap gangguan keamanan. Meskipun demikian, lokasi yang dipilih hendaknya tetap dapat dipantau, dikelola dan dievaluasi dengan baik untuk menjamin kelestariannya. d. Ketersediaan sarana dan prasarana Spesies akan lebih mudah dikonservasi sumber daya genetiknya jika berada di areal hutan yang dikelola dengan baik oleh suatu institusi, misalnya taman nasional atau pemegang IUPHHK-HA. Lazimnya di areal tersebut terdapat sarana dan prasarana penunjang operasional yang cukup baik. Institusi resmi yang ada di lokasi tersebut diharapkan juga memiliki komitmen untuk turut mendukung upaya pelestarian sumber daya genetik tengkawang, sehingga dapat dilibatkan untuk berperan secara aktif.
10
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Gambar 3. Contoh lokasi survei jenis tengkawang dengan akses dekat dengan jalan dan perkampungan penduduk
2. Pemilihan lokasi Lokasi yang dipilih untuk konservasi sumber daya genetik in-situ tengkawang pada dasarnya dilakukan berdasarkan pertimbangan: a. Kelimpahan spesies prioritas Apabila di suatu lokasi terdapat spesies prioritas tengkawang dengan jumlah yang melimpah, maka hal ini menunjukkan adaptasi yang baik dari spesies tersebut terhadap tempat
11
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
tumbuhnya. Dengan kesesuaian tapak yang baik diharapkan dapat lebih mempermudah pengelolaan areal konservasi. Kelimpahan spesies dapat diketahui melalui survei potensi di awal kegiatan. b. Resiko dan tingkat ancaman rendah Sedapat mungkin memilih lokasi dengan resiko kerusakan yang paling rendah. Diperlukan analisa untuk memastikan kemungkinan ancaman misalnya kemungkinan kebakaran, pemanenan ilegal, serta isu kepemilikan lahan. c. Manajemen organisasi yang efisien Kandidat areal yang berada di bawah manajemen suatu institusi (misalnya pemegang IUPHHK-HA) yang memiliki komitmen serta sumber daya yang baik memberikan nilai positif dalam upaya konservasi sumber daya genetik tengkawang. d. Dukungan dari masyarakat lokal Masyarakat di sekitar hutan yang ikut serta menjaga dan tidak mengganggu keberadaan sumber daya hutan sangat diperlukan untuk mendukung keamanan dan kelestarian areal hutan beserta individu tanaman di dalamnya. e. Bentuk kompak dan terdapat zona penyangga hutan. Pada tengkawang yang memiliki sebaran di areal yang cukup luas dan kompak (tidak terfragmentasi), aliran gen di antara pohonpohon dewasa perlu dipastikan agar dapat menghasilkan keturunan yang dapat mempertahankan keragaman genetiknya. Zona penyangga hutan diperlukan sebagai batas areal yang dapat
12
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
mendukung keberadaan areal konservasi sumber daya genetik. f. Kesempatan untuk melestarikan spesies prioritas lain Areal dengan variasi jumlah spesies tengkawang yang lebih banyak dapat lebih diprioritaskan, karena dalam satu kawasan tersebut akan ada lebih banyak sumber daya genetik yang dapat dilestarikan. 3. Pengambilan data ekologis untuk analisa vegetasi sebelum pelaksanaan konservasi Perlu analisa vegetasi untuk mengetahui potensi ekologis tengkawang dalam suatu areal yang menjadi kandidat konservasi sumber daya genetik. Data ekologis dapat lebih menggambarkan daya dukung tapak, kondisi tegakan, maupun kemampuan regenerasi. Data yang diperlukan antara lain: a. Edafis Deskripsi mengenai kondisi tanah berdasarkan pengamatan langsung (misalnya: ketinggian tempat, topografi, arah dan sudut kelerengan, jenis tanah, tekstur tanah, struktur tanah, ketebalan seresah dan ketebalan setiap horizon tanah) maupun pengambilan sampel untuk diamati di laboratorium (misalnya: kadar lengas, kandungan unsur hara makro dan mikro, serta kandungan bahan organik).
13
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Gambar 4. Contoh deskripsi edafis calon plot in-situ tengkawang
b. Klimatis Deskripsi faktor-faktor iklim seperti suhu udara, tekanan udara, curah hujan dan penyinaran matahari. Data ini diperlukan untuk mengetahui kondisi optimal yang diperlukan tengkawang untuk tumbuh dan berkembang, serta untuk mengetahui evaluasi misalnya jika suatu saat terdapat kemungkinan penyimpangan faktor iklim di luar dari kondisi rata-rata.
14
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
c. Potensi tegakan Deskripsi struktur dan komposisi tegakan yang diperlukan meliputi jumlah dan sebaran spesies tengkawang maupun spesies-spesies lain baik pada tingkat hidup pohon, tiang, sapihan serta semai. Tumbuhan bawah juga dicatat. Data diambil melalui sampling dengan membuat petak ukur bersarang (nested), ukuran petak untuk pohon 20m x 20m, tiang 10m x 10m, sapihan 5m x 5m, dan semai serta tumbuhan bawah 1m x 1m. Agar mewakili kondisi yang sebenarnya, petak ukur dibuat dalam jalur-jalur (Gambar 5) dengan intensitas sampling minimum 2,5%.
Gambar 5. Penempatan petak ukur dalam jalur pengamatan untuk analisa vegetasi
15
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Petak ukur secara bersarang (Gambar 6) dibuat dalam jalur pengamatan secara berselang-seling di sebelah kiri dan kanan jalur, dengan jarak antar petak ukur maupun jarak antar jalur disesuaikan dengan intensitas sampling yang ditetapkan.
Gambar 6. Pembuatan petak ukur secara bersarang (nested)
Beberapa parameter yang dapat dihitung berdasarkan cara pengumpulan data ini adalah (Ludwig & Reynolds, 1988): Jumlah individu Luas petak ukur K suatu spesies jenis x 100% Kerapatan Relatif (KR) = K total seluruh spesies Kerapatan (K) =
Frekuensi (F) =
Jumlah petak ukur ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh petak ukur
Frekuensi Relatif (FR) = Dominansi (D) =
16
F suatu jenis F total seluruh jenis
Luas bidang dasar suatu jenis Luas petak ukur
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Dominansi Relatif (DR) =
D suatu jenis D total seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR Kondisi yang ideal adalah jika terdapat jumlah tengkawang yang banyak dan tersebar merata di seluruh areal untuk setiap tingkatan hidupnya. Terdapat beberapa pendapat mengenai jumlah individu yang dianggap memadai untuk melakukan konservasi sumber daya genetik in-situ, misalnya 500–2.000 individu (Frankel dan Soulé, 1981), 1.000 individu (Hawkes, 1991), 5.000 individu (Lawrence dan Marshall, 1997). Yang penting dalam hal ini adalah seluruh individu yang tercatat dapat melakukan proses regenerasi. 4. Pengambilan sampel untuk analisa keragaman genetik sebelum pelaksanaan konservasi Keragaman genetik tengkawang yang menjadi spesies target perlu dianalisa untuk mengetahui seberapa besar keragaman genetik yang akan dilestarikan. Pengamatan dilakukan terhadap semua tingkatan hidup (pohon, tiang, sapihan dan semai). Jumlah sampel yang diambil minimum 25 individu untuk setiap tingkatan hidup, yang tersebar merata di areal tersebut. Sampel dapat diambil berdasarkan data sebaran spesies dari analisa vegetasi tengkawang yang juga dilaksanakan.
17
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Gambar 7. Pengambilan sampel untuk analisa genetik jenis Shorea penghasil tengkawang
Sampel jaringan tanaman yang diambil tergantung penanda genetik dan kondisi tanaman. Penanda isozim memerlukan jaringan yang selalu segar agar enzim yang akan diekstrak di laboratorium tetap aktif dan dapat dianalisa, sedangkan penanda DNA (misalnya SSR, AFLP, RAPD, dan sebagainya) tidak harus menggunakan jaringan yang segar, sekalipun pada umumnya jaringan yang segar lebih mudah untuk diisolasi DNA-nya. Analisa keragaman dilakukan berdasarkan data pola pita (banding pattern) hasil elektroforesis atau fragmen DNA hasil PCR. Data yang diperoleh selanjutnya dipergunakan untuk menghitung parameter keragaman genetik seperti (Finkeldey & Hattemer, 2007): Proporsi lokus polimorfik 100 x N (P) PLP = N (P) + N (M) Keterangan: PLP = Proporsi lokus polimorfik N(P) = Jumlah lokus polimorfik N(M) = Jumlah lokus monomorfik
18
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Rerata jumlah alel per lokus
Keterangan: A = Rerata jumlah alel per lokus ni = Jumlah alel pada suatu lokus L = Jumlah lokus
Jumlah alel efektif
Keterangan: v = Jumlah alel efektif pi = Frekuensi alel
Heterozigositas observasi
Keterangan: HO = Heterozigositas observasi Pii = Frekuensi genotip yang homozigot
Heterozigositas harapan
Keterangan: HE = Heterozigositas harapan pi = Frekuensi alel
19
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Indeks fiksasi F IS = 1 - Ho HE Keterangan: FIS = Indeks fiksasi HO = Heterozigositas observasi HE = Heterozigositas harapan
Keragaman genetik dibandingkan untuk setiap tingkatan hidup (pohon, tiang, sapihan, dan semai). Kondisi yang ideal adalah jika populasi yang diamati tersebut dapat mempertahankan keragaman genetiknya pada setiap generasi sehingga berada dalam kondisi Keseimbangan Hardy-Weinberg.
B. Pelaksanaan 1. Pengajuan kepada pemerintah sebagai areal konservasi sumber daya genetik S e s u a i d e n g a n a m a n a t Pe ra t u ra n M e n t e r i N o . P.72/Menhut/2009, areal yang dipandang memenuhi syarat untuk dikelola sebagai areal konservasi sumber daya genetik perlu diajukan kepada pemerintah agar dapat segera ditetapkan. Dalam hal ini teknis pengajuan dan penetapan oleh pemerintah memang belum diatur lebih detail. 2. Penetapan areal sumber daya genetik dan penetapan batas kawasan Sekalipun teknis penetapan areal konservasi sumber daya genetik oleh pemerintah belum diatur secara lengkap, namun areal yang memenuhi syarat sebagai areal konservasi sumber daya 20
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
genetik tengkawang tetap perlu dicatat dan diperlakukan secara konsisten sebagai areal konservasi in-situ, agar plasma nutfah tengkawang yang ada dalam areal tersebut dapat dilindungi secara optimal. Luas dan batas areal harus ditetapkan secara tegas untuk menghindari konflik kepentingan di kemudian hari. 3. Pemeliharaan Mengingat spesies tengkawang berada pada sebaran alaminya, maka konservasi sumber daya genetik in-situ tengkawang pada prinsipnya dilaksanakan dengan tetap memperhatikan komponen-komponen ekosistem yang ada di areal yang telah ditetapkan tersebut. Berbagai spesies lain yang ada di lokasi tersebut tetap dipertahankan sepanjang tidak mengganggu kelestarian tengkawang sebagai spesies target. a. Perlindungan dan pengamanan areal konservasi. Perlindungan perlu dilakukan jika terdapat spesies yang bersifat invasif maupun secara dominan berpotensi sebagai kompetitor atau mengganggu tengkawang, misalnya jenis-jenis pioner dan cepat tumbuh seperti Trema spp. dan Macaranga spp. Demikian pula spesies ekso tidak boleh dimasukkan secara sengaja ke dalam areal konservasi in-situ. Spesies yang berpotensi sebagai gulma harus dikendalikan agar tidak mengganggu, sehingga perlu dilakukan pemberantasan gulma secara manual dan dikontrol secara periodik. Pengamatan seksama juga perlu dilakukan untuk menekan potensi serangan hama baik berupa satwa liar maupun serangga dan patogen penyebab penyakit. Aktivitas penduduk di sekitar areal
21
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
dipantau agar tidak mengganggu tanaman maupun merusak komponen ekosistem. Penyuluhan perlu dilakukan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam melindungi tengkawang dalam areal konservasi dan tidak diperkenankan sama sekali untuk memanen buah tengkawang. Pada musim kemarau atau bulan kering kewaspadaan perlu ditingkatkan terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran yang dapat mengganggu areal konservasi. b. Pemeliharaan dan peningkatan kemampuan regenerasi. Mengingat areal konservasi ini ditujukan pula sebagai sumber plasma nutfah, maka kemampuan regenerasi tanaman tengkawang sebagai penyusun tegakan perlu dipantau dan dievaluasi. Oleh karena itu, pada saat musim pembungaan perlu diamati secara seksama berapa ukuran populasi efektifnya (ne= effective population size), yaitu jumlah individu yang melakukan proses regenerasi dengan baik. Individu tanaman dewasa yang produksi bunganya kurang atau bahkan tidak berbunga sama sekali harus dicatat dan diamati apakah tetap memiliki perilaku yang sama pada masa pembungaan berikutnya. Apabila memungkinkan, perlu dipertimbangkan untuk melakukan upaya stimulasi pembungaan agar semua individu dewasa melakukan proses regenerasi, misalnya dengan aplikasi stimulan/hormon. c. Penataan permudaan alam. Permudaan alam yang ada, baik pada tingkatan hidup semai, sapihan, maupun tiang perlu dipelihara dengan sebaikbaiknya. Apabila terganggu oleh tanaman lain perlu diatasi, 22
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
misalnya liana yang membelit harus dipotong, atau jika permudaan tengkawang ternaungi sama sekali oleh tanaman lain maka perlu diatasi dengan memangkas tanaman yang menaungi agar cahaya matahari yang diperlukan untuk proses fotosintesis dapat menembus masuk. Apabila hasil inventarisasi menunjukkan kepadatan permudaan alam yang tinggi pada tempat-tempat tertentu, terutama pada tingkatan hidup semai, maka jika memungkinkan harus segera dipindahkan (transplanting) ke tempat yang permudaan tengkawangnya jarang atau kosong. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kompetisi sesama permudaan alam tengkawang serta agar sebarannya menjadi lebih merata. Lokasi penanaman yang dipilih hendaknya bukan merupakan tempat yang tertutup naungan pohon-pohon besar ataupun sebaliknya terbuka sama sekali, melainkan harus terdapat ruang secara vertikal yang cukup untuk mendapatkan sinar matahari. Selanjutnya disiapkan lubang tanam dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Pada saat pembuatan lubang, tanah bagian atas (top soil) dicangkul dan ditempatkan pada sisi yang berbeda dengan tanah bagian bawah (sub soil). Untuk memperbaiki aerasi tanah, sebaiknya lubang dibiarkan terbuka sekitar 2-3 minggu sebelum ditanami. Sebaliknya pada saat penanaman, penutupan lubang dengan tanah diatur sehingga tanah bagian atas dimasukkan lebih dahulu, diikuti penutupan dengan tanah bagian bawah yang telah dicampur dengan pupuk seperti pada Gambar 8. Jenis pupuk disesuaikan dengan yang 23
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
tersedia dan dalam dosis yang mencukupi untuk setiap batang semai.
Gambar 8. Pengembalian tanah untuk menutupi lubang penanaman
Untuk mengurangi resiko kematian, saat pemindahan semai harus dilakukan bersama dengan tanah tempat tumbuhnya (semai dipindah dengan cara putaran, bukan cabutan) dan diusahakan secara hati-hati agar perakarannya tidak terpotong atau rusak. Pada saat penanaman, semai diletakkan dalam lubang dengan kedalaman sedemikian rupa sehingga leher akar terletak tepat pada permukaan tanah (Gambar 9). Pemindahan ini sebaiknya dilakukan saat musim hujan untuk meningkatkan keberhasilan.
24
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Gambar 9. Kedudukan leher akar semai saat penanaman
d. Pelestarian dan peningkatan keragaman genetik populasi. Hasil pengamatan keragaman genetik harus digunakan sebagai salah satu dasar dalam kegiatan pemeliharaan agar tujuan pelestarian keragaman genetik dapat tercapai. Oleh karena itu, keragaman genetik di antara tingkatan hidup pohon, tiang, sapihan dan semai harus dibandingkan. Apabila keragamannya tidak sama, terutama jika keragaman genetiknya makin berkurang pada tingkatan hidup tanaman yang lebih muda, maka diperlukan tindakan untuk meningkatkan keragaman genetik yang menurun tersebut. Dalam hal ini regenerasi dari hasil propagasi yang disiapkan harus berasal dari perkawinan indukinduk di dalam populasi yang relevan dan dengan tingkat keragaman yang cukup untuk melestarikan populasi tersebut.
25
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Sebagai contoh, apabila diketahui dalam populasi tersebut terdapat 5 allele (A, B, C, D, E) sebagai penyusun keragaman genetiknya, maka diupayakan semua allele ini dapat diperoleh kembali pada generasi berikutnya (Gambar 10).
Gambar 10. Seluruh allele dalam populasi dapat diwariskan kepada generasi berikutnya
Jika populasi tersusun atas individu-individu yang membentuk kelompok-kelompok, diupayakan agar aliran gen dapat terjadi di antara kelompok-kelompok tersebut untuk mengoptimalkan perkawinan acak dan rekombinasi genetik dari pohon induk (Gambar 11).
Gambar 11. Aliran gen yang baik antar kelompok dalam populasi dapat meningkatkan rekombinasi genetik
26
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
Berbagai teknik untuk mempertahankan dan meningkatkan keragaman genetik dapat dilakukan melalui: Optimalisasi penyelamatan semai hasil permudaan alam (wildling). Permudaan alam dipelihara agar sehat dan tumbuh dengan baik. Induk tanaman yang memiliki allele yang langka (frekuensinya rendah dalam populasi tersebut, yaitu kurang dari 10%) perlu dipantau pada saat mulai musim pembungaan, agar proses reproduksi tanaman dapat berjalan dengan baik. Induk tanaman yang memiliki allele yang langka dan mampu berbunga namun hanya menghasilkan benih yang terbatas perlu dibantu penyerbukannya secara terkendali (controlled pollination). Induk tanaman yang memiliki allele yang langka dan sama sekali tidak mampu berbunga perlu diupayakan untuk diperbanyak secara vegetatif. 4. Monitoring dan evaluasi Monitoring dilakukan sebagai penilaian secara kuantitatif terhadap status populasi dan komponennya dari waktu ke waktu. Sebelum spesies dilindungi secara hukum, monitoring memberi gambaran prediksi dan situasi kritis yang perlu diidentifikasi, sehingga dapat digunakan untuk mengambil tindakan yang perlu dilakukan dalam penanganan areal konservasi. Setelah perlindungan secara hukum, monitoring memberi prediksi efektivitas areal konservasi dalam melindungi dan mengembangkan ekosistem dan spesies di dalamnya. Oleh karena itu pengamatan 27
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
perlu dilakukan secara periodik. Mengingat tengkawang berbuah raya rata-rata 5 tahun sekali, maka pengambilan data ekologis untuk analisa vegetasi dan sampel analisa keragaman genetik dapat dilakukan minimum setiap 10 tahun sekali. a. Dokumentasi. Mengingat konservasi sumber daya genetik merupakan upaya jangka panjang, maka hendaknya seluruh data direkam dengan baik agar dapat dimanfaatkan untuk keperluan analisa dan pengambilan kebijakan yang diperlukan. Data yang diperoleh dari lapangan maupun laboratorium hendaknya disimpan dalam bentuk digital agar dapat digandakan dengan lebih mudah. b. Pengambilan data ekologis untuk analisa vegetasi secara periodik. Analisa vegetasi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui potensi ekologis tengkawang dalam tegakan yang sudah ditetapkan menjadi areal konservasi sumber daya genetik, sehingga dapat diperoleh gambaran lengkap mengenai daya dukung tapak, kondisi tegakan, maupun kemampuan regenerasinya. c. Pengambilan sampel untuk analisa keragaman genetik secara periodik. Analisa keragaman genetik tengkawang yang menjadi spesies target secara periodik memberikan gambaran potensi keragaman genetik pada semua tingkatan hidup (pohon, tiang, sapihan dan semai) yang harus dilestarikan pada areal sumber daya genetik in-situ yang sudah ditetapkan. 28
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
d. Evaluasi terhadap teknik pelaksanaan. Analisa data dilakukan dengan cara membandingkan data awal dan data pada periode berikutnya. Selanjutnya disimpulkan apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal keberadaan dan distribusi populasi, ukuran dan kondisi populasi, struktur genetik populasi serta kondisi demografinya. Apabila terjadi penurunan, perlu dicermati apakah merupakan hal yang normal, atau merupakan siklus yang alami, atau akibat manajemen yang tidak tepat. Jika menunjukkan tren kemerosotan status konservasi, maka diperlukan tindakan perbaikan manajemen konservasi selanjutnya.
29
Manual Pembangunan Plot Konservasi In-situ Shorea Penghasil Tengkawang
DAFTAR PUSTAKA Ådjers, G., Hadengganan, S., Kuusipalo, J., Nuryanto, K., & Vesa, L. 1995. Enrichment planting of dipterocarps in logged over secondary forest: effect of width, direction and maintenance method of planting line on selected Shorea spesies. Forest Ecology and Management 73 : 259-270. Finkeldey, R. & Hattemer, H.H. 2007. Tropical Forest Genetics. Springer Verlag. Berlin. Frankel, O. & Soulé, M. Conservation and evolution. Cambridge University Press, Cambridge. 1981. Frankham, R., Ballou, J.D., & Briscoe, D.A. 2002. Introduction conservation genetics. Cambridge University Press. Cambridge. Hawkes, J.G., 1991. International workshop in dynamic in-situ conservation of wild relatives of major cultivated plants: Summary of final discussion and recommendations. Israel Journal of Botany 40: 529–536. IUCN, 2001. 2001 IUCN Red List Categories and Criteria version 3.1. http://www.iucnredlist.org. Diakses tanggal 11 Desember 2013. IUCN, 2013. IUCN Red list of threatened spesies. Version 2013.2. http://www.iucnredlist.org. Diakses tanggal 11 Desember 2013. Lawrence, M.J. & Marshall, D.F. 1997. Plant population genetics. In: Maxted, N., B.V. Ford Lloyd & J.G. Hawkes (Eds), Plant Genetic Conservation. The in-situ Approach. Chapman and Hall. pp. 99–113. Ludwig, J.A. & Reynolds, J.F. 1988. Statistical Ecology: A Primer in method and computing. John Wiley and Sons. New York.
30