I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu penyakit yang paling sering mengenai nervus medianus adalah
neuropati tekanan / jebakan (entrapment neuropathy). Di
pergelangan tangan, nervus medianus berjalan melalui terowongan karpal (carpal tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan punggung tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah dan setengah sisi radial jari manis. Pada saat berjalan melalui terowongan inilah nervus medianus paling
sering
mengalami
tekanan
yang
menyebabkan terjadinya
neuropati tekanan yang dikenal dengan istilah Sindroma Terowongan Karpal / STK (Carpal Tunnel Syndrome / CTS). Sindrom ini merupakan sindrom yang timbul akibat N. Medianus tertekan di dalam Carpal Tunnel (terowongan karpal) di pergelangan tangan, sewaktu nervus melewati terowongan tersebut dari lengan bawah ke tangan. CTS merupakan salah satu penyakit yang dilaporkan oleh badan-badan statistik perburuhan di negara maju sebagai penyakit yang sering dijumpai di kalangan pekerjapekerja industri (Jagga, 2011). Tingginya angka prevalensi yang diikuti tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatannya membuat permasalahan ini menjadi masalah besar dalam dunia okupasi. Beberapa faktor diketahui menjadi risiko terhadap terjadinya CTS pada pekerja, seperti gerakan berulang dengan kekuatan, tekanan pada otot, getaran, suhu, postur kerja yang tidak ergonomik dan lain-lain (Kurniawan, 2008). Angka kejadian CTS di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan p revalensi sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. National Health Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa prevalensi CTS yang dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah sebesar 1.55% (2,6 juta). CTS lebih sering mengenai wanita daripada pria dengan usia
1
berkisar 25-64 tahun, prevalensi tertinggi pada wanita usia >55 tahun, biasanya antara 40-60 tahun. Prevalensi CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki-laki CTS adalah jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral (Gorsché, 2001). Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, sebabnya antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada pekerja suatu perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada pekerja sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan positif antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan menggunakan alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan (Tana, 2004). B. Tujuan 1. 2. 3. 4.
Mengetahui pengertian Carpal Tunnel Syndrome. Mempelajari etiologi Carpal Tunnel Syndrome. Menjelaskan patofisiologi Carpal Tunnel Syndrome. Mempelajari diagnosis dan penatalaksaan Carpal Tunnel Syndrome.
5. Mengetahui prognosis dari Carpal Tunnel Syndrome.
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan atau cerutan terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah tleksor retinakulum (Samuel 1979, Dejong 1979, Mumenthaler 1984). Dahulu, sindroma ini juga disebut dengan nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar atrophy. CTS pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir James Paget pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal. CTS spontan pertama kali dilaporkan oleh Pierre Marie dan C. Foix pada tahun 1913 (Rosenbaum, 1997). Istilah CTS diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938. Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus (Rosenbaum, 1997). B. Etiologi dan Predisposisi 1. Etiologi Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga timbullah CTS. Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita
3
lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulangulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS (Rosenbaum, 1997). Pada kasus yang lain etiologinya adalah (Rosenbaum, 1997): a) Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy, misalnya Hereditary Motor and Sensory Neuropathies (HMSN) tipe III. b) Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap pergelangan tangan. c) Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang berulang-ulang. d) Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis. e) Metabolik: amiloidosis, gout. f) Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus, hipotiroidi, kehamilan. g) Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma. h) Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid, polimialgia reumatika, skleroderma, lupus eritematosus sistemik. i) Degeneratif: osteoartritis. j) Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan. 2. Predisposisi Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum diketahui
karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis
penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada pekerja suatu perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada pekerja sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan positif antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan menggunakan alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan (Rosenbaum, 1997).
4
C. Patofisiologi Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang paling populer adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori getaran. Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena kompresi nervus medianus di terowongan karpal. Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa teori ini menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari kompresi mekanik. Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa faktor seperti ketegangan, tenaga berlebihan, hiperfungsi, ekstensi pergelangan tangan berkepanjangan atau berulang (Bahrudin, 2011). Teori insufisiensi mikro-vaskular mennyatakan bahwa kurangnya pasokan darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang menyebabkan saraf secara perlahan kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls saraf. Scar atau luka parut dan jaringan fibrotik akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera, perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala CTS terutama kesemutan, mati rasa, dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan konduksi saraf akut dan reversible dianggap gejala untuk iskemia. Sebuah studi oleh Seiler (dengan Doppler laser flow metry) menunjukkan bahwa normalnya aliran darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1 menit dari saat ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental mendukung teori iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal dan karena peningkatan tekanan di karpal tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai dengan integritas suplai darah dari saraf dan tekanan darah sistolik. Hasil studi Kiernan menemukan bahwa konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi iskemik saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang terganggu (Bahrudin, 2011). Menurut teori getaran, gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal tunnel. Lundborg mencatat edema epineural pada saraf median dalam
5
beberapa hari berikut paparan alat getar genggam. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma kimia (Bahrudin, 2011). Hipotesis lain dari CTS adalah bahwa faktor mekanik dan vaskular memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulangulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intravesikuler. Akibatnya aliran darah vena intravesikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intrvesikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Semakin lama hal itu terjadi, saraf dapat mengalami atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh (Tana, 2004). Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intravesikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu yang berkibat terjadi kerusakan pada saraf tersebut (Tana, 2004). Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian menerangkan bahwa CTS terjadi karena kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal transversal berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal
6
≥25 lebih mungkin untuk terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang mempunyai
berat
badan
ramping.
American
Obesity
Association
menemukan bahwa 70% dari penderita CTS memiliki kelebihan berat badan. Resiko CTS meningkat setiap peningkatan IMT sebanyak 8% (Tana, 2004). Pergelangan tangan mempunyai struktur anatomi yang rumit dan aktif. Carpal Tunnel yang mirip terowongan berada di pergelangan tangan, dibentuk 8 tulang carpal dan fleksor retinaculum atau ligamentum carpal transversalis. Di dalam tunnel (terowongan) ini lewat atau tersusun secara rapat fleksor digitorum profunda dan superficialis, fleksor ligitorum dan nervus medianus (Kurniawan, 2008). Terjadinya sindrom ini bertumpu pada perubahan patologis yang diakibatkan oleh adanya iritasi secara terus menerus pada nervus medianus di daerah pergelangan tangan. Banyak faktor yang dapat mengawali timbulnya sindrom ini, baik sistemik maupun lokal, namun khusus bagi para pemakai komputer, faktor iritasi lokal terhadap nervus medianus inilah yang tampaknya perlu mendapat perhatian lebih banyak (Darno, 2011). Bila kedudukan antara telapak tangan terhadap lengan bawah bertahan secara tidak fisiologis untuk waktu yang cukup lama, maka gerakan-gerakan tangan akan mengakibatkan tepi ligamentum karpi transversum bersentuhan dengan saraf medianus secara berlebihan. Hal lain yang dapat terjadi yaitu adanya bagian persendian tangan yang mengalami tekanan atau regangan yang berlebih dan sebagai mekanisme kompensasi, tubuh berusaha memperkuat bagian yang mendapat beban tidak fisiologis ini antara lain dengan mempertebal ligamentum karpi transversum. Penebalan ini akan mempersempit terowongan tempat lalunya saraf dan urat, dan lebih berat lagi akan menjepit saraf (Darno, 2011). Pada operasi, tak jarang dijumpai perubahan struktur pada nervus medianus di daerah proximal dari tepi atas ligamentum karpi ransversum, tanpa diikuti oleh penebalan ligamentumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua penyebab di atas dapat berjalan secara terpisah ataupun bersamaan. Nervus medianus sendiri mulai dari daerah pergelangan
7
tangan, 94% merupakanserabut perasa / sensoris, sedangkan 6% merupakan serabut motoris yang ke arah ibu jari. Dengan demikian, pada awalnya gejala lebih banyak ditandai dengan kejadian parestesia (seperti kesemutan, rasa terbakar), sampai ke hipoanestesia (baal-baal sampai hilangnya rasa raba). Bila sudah ada gejala motorik (otot pangkal ibu jari tangan mulai mengecil,
kekuatan
berkurang),
maka
iritasi
kemungkinan
sudah
berlangsung sejak lama (Verina, 2006). D. Penegakkan Diagnosis 1. Anamnesis Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus walaupun kadangkadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari (Salter, 2009). Komar dan Ford membahas dua bentuk CTS yaitu akut dan kronis. Bentuk akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan tangan atau tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis mempunyai gejala baik disfungsi sensorik yang mendominasi atau kehilangan motorik dengan perubahan trofik. Nyeri proksimal mungkin ada dalam carpal tunnel syndrome (Pecina, 2010). Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya (Rambe, 2008). Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan
8
pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus (Mark, 2006). 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah (Katz, 2011): a) Tes Phalen Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.
Gambar 1.1 Tes Phalen (Katz, 2011)
b) Tes Torniquet Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnose (Katz, 2011). c) Tinel's Sign Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi (Katz, 2011). Gambar 1.2 Tinel’s Test (Katz, 2011)
9
d) Flick's Sign Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerakgerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011). e) Thenar Wasting Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otototot thenar (Katz, 2011). f) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat dinamometer (Katz, 2011). g) Wrist Extension Test Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011). h) Tes Tekanan Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnose (Katz, 2011). i) Luthy's Sign (Bottle's sign) Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnose (Katz, 2011). j) Pemeriksaan Sensibilitas Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnose (Katz,
10
2011). k) Pemeriksaan Fungsi Otonom Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS (Katz, 2011). 3. Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik) Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik (Latov, 2007). b) Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome (Rambe, 2004). c) Pemeriksaan Laboratorium Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (Rambe, 2004). E. Penatalaksanaan
11
Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder untuk penyakit endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer harus diobati (Bahrudin, 2011). 1. Medikamentosa Terdapat beberapa terapi terhadap carpal tunnel syndrome yang masih dipergunakan hingga saat ini, antara lain (George, 2009): a) Injeksi Kortikosteroid Lokal Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala CTS secara temporer dalam waktu yang singkat. Metilprednisolon atau hidrokortison bisa disuntikkan langsung ke carpal tunnel untuk menghilangkan nyeri. Injeksi kortikosteroid dapat mengurangi peradangan, sehingga mengurangi tekanan pada nervus medianus. Pengobatan ini tidak bersifat untuk dilakukan dalam jangka waktu yang panjang (George, 2009). Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus palmaris longus. Sementara suntikan dapat diulang dalam 7 sampai 10 hari untuk total tiga atau empat suntikan. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan. Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien di bawah usia 30 tahun (George, 2009) b) Vitamin B6 (Piridoksin) Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar. Namun pemberian dapat berfungsi
12
untuk mengurangi rasa nyeri (George, 2009). c) Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID) Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan membantu menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu ketoprofen dan naproxen (George, 2009). 2. Non-medikamentosa Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) juga bisa menggunakan penjepit pergelangan tangan yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan, terutama pada malam hari atau selama ada gerak berulang. Jika tidak efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan untuk meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi atas 2 kelompok, yaitu (Bahrudin, 2011): a) Terapi langsung terhadap CTS 1) Terapi konservatif (Bahrudin, 2011) i. Istirahatkan pergelangan tangan. ii. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu. iii. Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan (ROM) latihan dari ekstremitas atas dan leher yang menghasilkan ketegangan dan gerakan membujur sepanjang saraf median dan lain dari ekstremitas atas. Latihan-latihan ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf perifer dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan meluncur saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi melalui perubahan dalam aliran pembuluh darah dan axoplasmic.
Latihan dilakukan
sederhana
dilakukan oleh pasien setelah instruksi singkat.
13
dan dapat
Gambar 2. 3 Nerve Gliding
iv. Fisioterapi yang ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan. 2) Terapi operatif Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan
terapi
konservatif
atau
bila
terjadi
gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang persisten. Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka (Bahrudin, 2011). 14
b) Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS atau mencegah kekambuhannya antara lain (Bahrudin, 2011): i.
Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitif, getaran peralatan tangan pada saat bekerja.
ii.
Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat kerja.
iii.
Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.
iv.
Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta mengupayakan rotasi kerja.
v.
Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini. Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa
penyakit
yang sering mendasari terjadinya CTS seperti: trauma akut maupun kronik pada pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang sering dihemodialisa, myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat tumor hipofisis, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi, penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal (Bahrudin, 2011). F. Prognosis Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik. Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang
15
sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap (Bahrudin, 2011). Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan
maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini
(Bahrudin, 2011): 1.
Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan / tekanan terhadap nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2.
Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3.
Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik. Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
G. Komplikasi Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya sensibilitas
yang
persisten
di
daerah
distribusi
nervus medianus.
Komplikasi yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik. Sekalipun prognosa carpal tunnel syndrome dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali (Ashworth, 2013).
16
III.
KESIMPULAN
1. Carpal Turner Syndrome adalah sindroma dengan gejala kesemutan dan rasa nyeri pada pergelangan tangan terutama tiga jari utama yaitu ibu jari telunjuk dan jari tengah terjadi akibat N. Medianus tertekan di dalam Carpal Tunnel (terowongan karpal) di pergelangan tangan, sering dialami pekerja industri. 2. Gejala Carpal Turner Syndrome yaitu kaku pada bagian-bagian tanggan sakit seperti tertusuk atau nyeri menjalar dari pergelangan tangan sampai kelengan, kelemahan pada satu atau dua tangan, nyeri pada telapak tangan, pergelangan jari tidak terkoordinasi, sensasi terbakar pada jari-jari. 3. Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan intensitas kompresi saraf. Terapi medika mentosa meliputi pemberian injeksi kortikosteroid lokal, vitamin B-6, NSAID. Terapi non medika mentosa yaitu terapi konservatif, meliputi istarahat, pemasangan bidai, nerve gliding, dan fisioterapi, dan terapi operatif yang dilakukan jika penyakit tidak mengalmi perbaikan dengan terapi konservatif. 4. Prognosis CTS baik jika terapi konservatif dan atau terapi operatif berhasil, dan buruk jika telah dilakukan terapi operatif namun tidak membaik.
17
IV.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Orthopaedic Surgeons. Clinical Practice Guideline on the Treatment of Carpal Tunnel Syndrome. 2008. Bahrudin, Mochamad. Carpal Tunnel Syndrome. Malang: FK UMM. 2011. Vol.7 No. 14. Diakses melalui: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed /article/view/1090 (diakses 27 Oktober 2014). Darno. 2011. Hubungan Karakteristik Pekerja dan Gerakan Berulang dengan Kejadian CTS pada Pemetik Daun Teh di PT. Rumpun Sari Kemuning. Surakarta : UNS. Skripsi. George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 2009;h.120-123 Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill ; 2000.p.599-601. Gorsché, R. Carpal Tunnel Syndrome. The Canadian Journal of CME. 2001, 101-117. Gunderson CH. Quick Reference to Clinical Neurology. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1982. p. 370-371. Jagga, V. Lehri, A. et al. 2011. Occupation and its association with Carpal Tunnel syndrome- A Review. Journal of Exercise Science and Physiotherapy. Vol. 7, No. 2: 68-78. Katz, Jeffrey N., et al. 2011. Carpal Tunnel Syndrome. N Engl J Med. Vol. 346, No. 23. Kurniawan, Bina, et al. Faktor Risiko Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 3, No. 1. 2008. Kurniawan Bina, jayanti Siswi, Setyaningsih Yuliani. Faktor Risiko Kejadian CTS pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM UNDIP. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 3/No. 1/ Januari. 2008 Latov, Norman. Peripheral Neuropathy. New York: Demos Medical Publishing. 2007. 18
Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 3rd ed. New York: Churchill Livingstone ;1997.p.435. Lusan Maria, Pudjowidyanto Handojo. Karakteristik Penderita Sindrom Terowong Karpal (STK) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik Rs Dr. Karyadi Semarang 2006. Media Medika Indonesia Vol. 43, No.1, 2008 Mumenthaler, Mark. Et al. 2006. Fundamentals of Neurologic Disease. Stuttgard: Thieme. Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. 2010. Tunnel Syndromes: Peripheral Nerve Compression Syndromes Third Edition. New York: CRC PRESS. Rambe, Aldi S. 2008. Sindroma Terowongan Karpal. Bagian Neurologi FK USU. Rosenbaum R. Occupational and Use Mononeuropathies. Dalam Evans RW, editor. Neurology and Trauma. Philadelphia: WB Saunders Co; 1996. p. 403-405. Rosenbaum R. Carpal Tunnel Syndrome dalam Johnson RT dan Griffin JW Current Therapy in Neurologic Disease. 5th ed. St.Louis: Mosby; 1997. p. 374-379 Rusdi Yusuf, Koesyanto Herry. Hubungan Antara Getaran Mesin pada Pekerja Bagian Produksi dengan Carpal Tunnel Syndrome Industri Pengolahan Kayu Brumbung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Jurnal KEMAS 5(2) (2010) 89-94. Salter, R. B. 2009. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System. 2nd ed. Baltimore: Williams&Wilkins Co; p. 274-275. Tana, Lusianawaty et al. Carpal Tunnel Syndrome Pada Pekerja Garmen di Jakarta. Buletin Peneliti Kesehatan. 2004. vol. 32, no. 2: 73-82. Verina YD. 2006. Hubungan Karakteristik Pekerja, Frekuensi Gerakan berulang dan Faktor Kesehatan dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome pada Pemetik Melati. Semarang: UNDIP.
19