BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia yang diakui telah banyak memberikan sumbangan bagi perjalanan bangsa Indonesia. Melalui seruan jihad yang difatwakan oleh pendiri NU, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, maka ribuan pejuang maju bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Organisasi NU melalui KH. A. Wahid Hasyim juga berperan penting dalam peristiwa persetujuan naskah Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, berpendapat, NU adalah salah satu “pemegang saham” bagi lahirnya republik ini (Sobary, 2010: 13). Dan, yang fenomenal adalah, kesediaan NU menerima Pancasila sebagai asas organisasi, berbangsa dan bernegara, yang dicetuskan pada Muktamar NU ke 27 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo tahun 1984. NU selalu hadir dalam setiap moment kritikal bangsa Indonesia. Kiprah NU tersebut dilandasi komitmen untuk mengembangkan Islam moderat yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta), yang berpedoman pada ajaran Islam dan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), serta berasaskan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (pasal 5, 6 dan 7 AD/ART NU). Pantas jika mantan Wakil Presiden Budiono mengatakan, Indonesia beruntung memiliki NU. Jadi selama ada NU, Insya Allah, Indonesia akan tetap aman (republika.co.id. Selama Ada NU, Insya Allah Indonesia Tetap Aman. 1/2/2013). Sebagai
sebuah
organisasi
(gesellschaft,
patembayan,
jam’iyyah),
Nahdlatul Ulama berdiri secara resmi pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Dalam perkembangannya, organisasi NU berkembang pesat dengan dukungan komunitas (gemeinschaft, paguyuban, jama’ah) NU atau nahdliyyin (warga NU) yang memang sudah mapan, dan memiliki jumlah yang besar. Diperkirakan 85 juta
1
umat Islam di Indonesia saat ini mengasosiasikan dirinya dengan NU (Laporan Tahunan PBNU 2010-2013, 2013: 67). Jumlah anggota NU yang besar ini menurut Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Mustofa Bisri, tidak lepas dari keberhasilan dakwah damai yang digagas oleh para ulama dan kiai sufi yang menyebarkan ajaran Islam di nusantara, yang inklusif dan akomodatif terhadap kehidupan sosial budaya setempat. Jalan dakwah damai ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama dan kiai dengan membangun pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengutamakan akhlak dan kearifan lokal, yang kemudian menjadi ciri khas NU (Kompas. Islam Nusantara Memberi Harapan. 28/5/2015). Adanya dukungan jumlah anggota yang cukup besar ini menjadi modal potensial bagi organisasi NU dalam memberikan kontribusi bagi perjalanan bangsa dan negara Indonesia di berbagai bidang. Di lain sisi, jumlah anggota yang besar, memerlukan usaha yang besar pula untuk menjaga, membina dan mengelolanya supaya roda organisasi dapat berjalan dengan baik, agar tujuan organisasi dapat tercapai. Seiring dengan perkembangan jaman, di usianya yang hampir mencapai seabad, beragam tantangan muncul menghadang organisasi NU. Menurut Nur Kholik Ridwan (2008: 7-11), ada dua masalah utama yang harus dihadapi NU saat ini. Pertama, globalisasi Islam yang berjenis lain dari NU, dan kedua, globalisasi neoliberalisme khususnya di bidang ekonomi. Pendapat Nur Kholik Ridwan ini senada dengan hasil diskusi yang diselenggarakan oleh Harian Kompas bekerjasama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam rangka memperingati hari lahir NU ke 89 (Kompas. Perlu Diperkuat, Kapasitas NU Bentengi Radikalisme. 28/1/2015). Diskusi ini menghasilkan dua rekomendasi, pertama, perlunya upaya penguatan NU dalam upaya membentengi Indonesia dari serbuan ideologi radikalisme dan paham keagamaan transnasional yang mewujud dalam bentuk gerakan Islam transnasional. Kedua, harus ada upaya yang lebih serius mengatasi masalah kemiskinan yang masih membelenggu sebagian besar warga NU.
2
Khusus terkait mengenai paham radikalisme dan gerakan Islam transnasional menjadi perhatian, mengingat keduanya berpotensi mengikis sendisendi kebangsaan dan tatanan keberagamaan Indonesia. Paham radikalisme muncul dengan wajah puritan, sektarian, memonopoli kebenaran, dan eksklusif yang tidak memberikan ruang bagi budaya lokal. Sementara keberadaan Islam transnasional diwakili oleh kelompok atau organisasi seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Salafi, Jihadi, Jamaah Tabligh, dan Syi’ah. Kelompok atau organisasi tersebut berusaha menerapkan konsep Khilafah Islamiyah (imperium Islam) dengan syariat Islam sebagai dasarnya. Karena itulah, kelompok seperti Hizbut Tahrir secara jelas menolak demokrasi dan gagasan negara-bangsa karena Islam dianggap melampaui identitas nasional dan etnik. Dan yang patut diperhatikan, mayoritas gerakan Islam transnasional (kecuali Syiah), merupakan pewaris ideologi Wahabi (Muaz, 2012). Sebagai sebuah gerakan, kelompok atau organisasi Islam transnasional tidak lahir dari pergumulan identitas keindonesiaan yang otentik, melainkan “dipindahkan”, “dibawa” atau “diimpor” dari negara lain yang cenderung tidak mau meng-”Indonesia”. Berbeda dengan organisasi seperti NU yang menyebarkan Islam di nusantara melalui serangkaian dialog, asimilasi, bahkan akulturasi budaya antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal, dan tidak menekankan pada proses
Arabisasi,
tetapi
Indonesianisasi
Islam.
Perbedaan
inilah
yang
menyebabkan gerakan Islam transnasional berseberangan secara diametral dengan NU (Hilmy, 2011). Oleh karena itu KH. Hasyim Muzadi, Wakil Rais Am PBNU, meminta agar NU mewaspadai adanya kelompok-kelompok seperti Syiah, Wahabi dan Islam aliran kiri seperti Jaringan Islam Liberal (JIL). Pasalnya, mereka tidak saja berusaha menyebarkan paham yang dimilikinya kepada warga NU, namun juga berusaha menempatkan “perwakilannya” dalam organisasi NU. Menurut KH. Hasyim Muzadi, jika warga dan pengurus NU gagal mengantisispasi atau membendung rencana ini, maka sangat berbahaya bagi NU. “NU bukan hanya ganti pengurus, tapi juga bisa ganti kelamin,” tegas KH. Hasyim Muzadi
3
(bangsaonline.com. Kolaborasi Eksternal Mengepung NU, Muktamar dalam Situasi Emergensi. 31/3/2015). Untuk mengatasi tantangan tersebut, secara umum telah banyak usaha yang dilakukan oleh organisasi NU untuk menjaga dan membentengi nahdliyin, sekaligus Indonesia. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH. Said Aqil Siroj, NU bertekad memperjuangkan Islam yang ramah dan menjaga keutuhan Indonesia (Kompas. Nahdlatul Ulama. Tantangan Kebangsaan Berada Di Depan Mata. 1/2/2015). Salah satunya dengan mempergencar dan memperkuat fungsi lembaga pendidikan di bawah NU dan upaya pemberdayaan ekonomi massa NU (Kompas. Perlu Diperkuat, Kapasitas NU Bentengi Radikalisme. 28/1/2015). Di lain sisi arus globalisasi Islam berjenis lain dari NU (Islam transnasional, radikalisme), gencar masuk ke Indonesia dalam bentuk aliran informasi yang dapat berupa ide, pemikiran, ajaran, paham, gerakan yang dibawa oleh kelompok atau organisasi tertentu. Kondisi ini didukung oleh pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, maka arus informasi menembus batas geografis negara tanpa dapat dihalangi lagi. Ditambah dengan gerakan reformasi yang melanda tanah air di tahun 1998, membuka babak baru era keterbukaan, termasuk keterbukaan terhadap munculnya berbagai organisasi (termasuk organisasi sosial keagamaan) yang dahulu di jaman Orde Baru mustahil hidup di Indonesia. Dinamika lingkungan tersebut juga dirasakan di Jember sebagai salah satu basis NU di Jawa Timur. Kini di Jember bermunculan kelompok Islam transnasional. Sebenarnya beberapa kelompok sudah ada sejak lama, namun kiprah mereka makin terang seiring dengan era reformasi, dan atas nama penghormatan akan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai contoh dari data yang ada, di Jember terdapat lima kelompok pengajian dan atau yayasan milik kelompok Syiah, yakni Al Hujjah, Al Iffah, Al Mahdi, Al Ittrah dan Bab Al Ilmu (wawancara dengan Rais Syuriyah PCNU Jember, KH. Muhyiddin Abdusshomad, 14/4/2015 dan Wakil Ketua PCNU Jember, H. Alfan Jamil, 18/3/2015). Sementara untuk kelompok Wahabi-Salafi diwakili dengan dua lembaga pendidikan tinggi yang cukup aktif, yakni Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam 4
Syafi’i Jember dan Ma’had As-Salafy Jember yang didirikan para veteran konflik Ambon. Untuk sayap politik dimainkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selain itu ada juga kelompok yang lahir dari bumi Indonesia, seperti organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Pesantren Robbany, dan lainnya yang cenderung mengikuti paham Wahabi-Salafi (Soebahar, 2015). Tentu saja data tersebut belum mencakup semua kelompok dan organisasi Islam transnasional atau kelompok sejenis di Jember, mengingat ada pula kelompok dan organisasi yang tidak muncul secara terang-terangan di permukaan. Setiap kelompok akan berusaha berdakwah dan menyebarluaskan paham yang diyakininya kepada masyarakat luas, dalam hal ini kepada warga Jember yang nota bene mayoritas nahdliyyin. Masalahnya, paham yang diusung oleh kelompok Islam transnasional tersebut memiliki perbedaan baik yang menyangkut aqidah (prinsip-prinsip agama Islam), amaliah (tata cara peribadatan) dan tradisi. Misalnya pada kelompok Syiah memiliki syahadat, rukun Islam dan rukun Iman (aqidah), adzan, dan pelaksanaan serta waktu sholat (amaliah) yang berbeda dengan kalangan Islam Sunni secara umum (Dharmawan, 2013: 77-80). Sementara itu kelompok Wahabi-Salafi muncul dengan jargon kembali ke Al Qur’an dan hadis yang salah satunya dimanifestasikan dalam penolakan upaya akomodasi tradisi lokal dalam pelaksanaan agama Islam dengan alasan bid’ah, atau tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Penggunaan identitas Arab seperti pakaian ghamis serta jenggot bagi pria, dan cadar bagi perempuan. Kelompok yang juga disebut sebagai neo-fundamentalisme ini umumnya bertolak belakang dengan Islam Nusantara yang dikembangkan oleh kalangan NU. Kemudian kalangan Wahabi-Salafi, terutama kelompok HTI memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam dan Khilafah Islamiyah. Pandangan ini jelas berlawanan dengan pandangan NU, bahwa NKRI adalah final dan Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara bagi Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Mengingat ajaran dan paham yang dibawa berseberangan dengan aqidah, amaliah dan tradisi NU, maka sedikit banyak keberadaan dan sepak terjang 5
kelompok dan organisasi Islam transnasional di Jember menimbulkan gesekan bahkan konflik. Dari yang berskala kecil seperti ketidaksetujuan masalah kegiatan tahlil, polemik Khilafah Islamiyah hingga bentrok fisik yang menimbulkan korban harta benda dan jiwa, seperti yang terjadi di Kecamatan Puger, Jember, pada tahun 2013 lalu. Bentrok fisik terjadi antara warga Desa Puger Kulon yang mayoritas warga NU, dengan massa pondok pesantren Darus Sholihin yang disinyalir mengembangkan ajaran Syiah. NU yang mengusung Islam moderat dengan nilai-nilai tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (proporsional) dan i’tidal (adil), diyakini mampu menjadi referensi pemikiran dunia Islam dalam membendung paham Islam transnasional dan neoliberalisme (Kompas. Nahdlatul Ulama. Tantangan Kebangsaan Berada Di Depan Mata. 1/2/2015). Namun ancaman Islam transnasional dan neoliberalisme tadi harus direspon secara aktif-kreatif, dan hendaknya ditindaklanjuti dengan upaya penterjemahan nilai-nilai Aswaja dalam konteks dan kebutuhan nyata massa NU, serta pelaksanaan nilai-nilai manajemen publik dalam organisasi NU (Ridwan, 1998: 143 -152). Pada titik inilah Pengurus Cabang NU (PCNU) Jember (selanjutnya disebut organisasi NU Jember), khususnya pada periode 2009-2014 berusaha merespon kondisi ini. Salah satu bukti konkritnya adalah keputusan organisasi NU Jember periode 2009-2014, yang memilih lebih memusatkan perhatian, pikiran dan tenaga bagi program-program yang ditujukan untuk menghadapi aliran informasi dari kelompok Islam transnasional. Kelompok Islam transnasional di sini adalah kelompok Wahabi-Salafi, HTI dan Syiah yang umumnya berafiliasi dengan kelompok tertentu di luar negeri, serta kelompok dan organisasi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, namun menganut paham Wahabi-Salafi (Laporan Pertanggung Jawaban PCNU Jember periode 2009-2014, 2014: 34). Langkah organisasi NU Jember periode 2009-2014 untuk lebih memusatkan perhatian, pikiran dan tenaga kepada program-program yang ditujukan untuk menghadapi aliran informasi dari kelompok Islam transnasional mendapatkan pujian, antara lain dari Ketua PBNU KH. Said Aqil Siroj, seperti yang tertuang dalam opininya di Harian Kompas, Sabtu 11 April 2015, berjudul 6
Mendahulukan Cinta Tanah Air. Menurutnya, ulama di Jember berhasil mengembangkan sikap moderat, menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga negara), mengembangkan dakwah kultural, dan menghindari konflik dalam menghadapi aliran informasi dari kelompok Islam transnasional yang mengusung “produk impor”. Peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana respon organisasi NU Jember periode 2009-2014, menghadapi aliran informasi dari kelompok Islam transnasional dalam rangka menjaga, mempertahankan dan membina warga NU. Sekaligus melihat bagaimana organisasi NU Jember periode 2009-2014 mempertahankan dan mengembangkan aqidah Aswaja yang menjadi ruh dan dasar organisasi NU. Pemilihan organisasi NU pada level Pengurus Cabang sebagai obyek penelitian didasari pada kenyataan bahwa Pengurus Cabang yang selama ini berhubungan langsung dengan nahdliyin (warga NU). Alasan berikutnya karena Kabupaten Jember adalah salah satu basis NU dan termasuk dalam wilayah yang dikenal sebagai wilayah Tapal Kuda di Jawa Timur, yang sejak dulu dikenal memiliki kehidupan sosial politik dan budaya yang cukup dinamis.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalahnya adalah : Bagaimana respon organisasi Nahdlatul Ulama Jember Periode 2009-2014 dalam menghadapi aliran informasi kelompok Islam transnasional ?
C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut di atas, maka tujuan pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana respon organisasi Nahdlatul Ulama Jember Periode 2009-2014, dalam menghadapi aliran informasi dari kelompok Islam transnasional.
7
Sebagai organisasi yang berlandaskan pada norma-norma agama, maka salah satu ukuran keberhasilannya dapat dilihat dari bagaimana organisasi NU beserta anggotanya mempertahankan aqidah, amaliah dan tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), yang diyakini kebenarannya sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Aqidah, amaliah dan tradisi Aswaja ini menjadi pengikat soliditas organisasi NU. Dan salah satu cara untuk menginternalisasikan aqidah, amaliah dan tradisi Aswaja kepada anggota organisasi NU adalah dengan menjalankan komunikasi organisasi yang baik. Termasuk di dalamnya, bagaimana respon organisasi NU sebagai salah satu bentuk komunikasi organisasi, saat dihadapkan kepada aliran informasi yang bertentangan dengan aqidah, amaliah dan tradisi Aswaja. Maka keberhasilan organisasi NU merespon informasi yang bertentangan dengan aqidah, amaliah dan tradisi Aswaja, berarti juga keberhasilan mempertahankan anggota dan eksistensi organisasi.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Akademis Sebagai bahan masukan bagi pengembangan Ilmu Komunikasi, khususnya pada ranah Komunikasi Organisasi, terutama pada kajian komunikasi organisasi sosial keagamaan yang tidak berorientasi keuntungan. Pasalnya menurut peneliti, organisasi yang non profit oriented memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakan dengan organisasi berorientasi keuntungan, ketika menghadapi ketidakpastian dalam upaya menjalankan dan mempertahankan organisasi serta membina anggotanya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini, diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi organisasi Nahdlatul Ulama untuk mewujudkan organisasi Nahdlatul Ulama yang lebih baik, mengingat pentingnya posisi dan peran Nahdlatul Ulama sebagi salah satu pilar civil society di Indonesia.
8
E. KERANGKA PEMIKIRAN E.1. Teori Informasi Organisasi Karl Weick Organisasi dari sudut pandang pendekatan subyektif menurut Pace dan Faules (2010: 11), adalah kegiatan yang dilakukan orang-orang. Organisasi terdiri dari tindakan-tindakan, interaksi, dan transaksi yang melibatkan anggotanya dan orang di luar organisasinya. Organisasi diciptakan dan dipupuk melalui kontakkontak yang terus menerus dan selalu berubah, yang dilakukan oleh individu yang satu dengan lainnya. Keberadaan perilaku individu-individu tersebut pada akhirnya turut membentuk organisasi tersebut. Dengan kata lain, organisasi berarti proses yang terus menerus berjalan dengan komunikasi sebagai jembatan utamanya. Definisi organisasi dari sudut pandang pendekatan subyektif di atas senada dengan Teori Informasi Organisasi (dikenal juga sebagai Teori Pengorganisasian) yang dicetuskan oleh Karl Weick. Menurut Weick (Morissan, 2009: 32-40), organisasi bukan sebuah benda, namun sebagai aktivitas dan lebih spesifik lagi sebagai aktivitas komunikasi informasi. Oleh karena itu tugas mengelola informasi bagi sebuah organisasi menjadi vital, tidak hanya sekedar menyerap informasi yang datang, namun yang lebih penting adalah bagaimana organisasi tersebut mengolah, memahami dan kemudian mendistribusikan informasi tersebut. Kemampuan sebuah organisasi dalam menyerap informasi, mengolah dan mendistribusikannya akan mempengaruhi daya hidup organisasi tersebut. Dalam hal ini, Weick meminjam teori Darwin untuk menjelaskan pentingnya kegiatan ini dalam organisasi. Menurut Weick, prinsip Darwin mengenai survival of the fittest atau siapa yang kuat bakal tetap bertahan, terjadi juga di organisasi. Weick mengibaratkan lingkungan di luar organisasi sebagai hutan belantara informasi, sementara organisasi sebagai pihak yang harus berupaya bertahan hidup di tengah ganasnya
gelombang
informasi.
Serbuan
informasi
yang
datang
bisa
mengakibatkan perubahan, bahkan membunuh organisasi. Hanya organisasi yang mampu mengolah informasi yang bakal terus survive (Griffin (ed), 2006: 282283). 9
Dalam kesehariannya, organisasi dapat menerima banyak informasi, dengan demikian organisasi dihadapkan pada tantangan untuk selalu melakukan penafsiran
terhadap
informasi
yang
datang,
mengkoordinasikan
dan
mendistribusikan informasi yang dianggap relevan serta membuatnya bermakna bagi anggota dan tujuan organisasi. Weick berpendapat bahwa kegiatan organisasi dalam memahami informasi yang tidak pasti, sulit dimengerti, tidak jelas, membingungkan dan multi tafsir (equivocality) dengan pengorganisasian lebih penting daripada sekedar struktur organisasi. Pengorganisasian pada dasarnya adalah usaha untuk mengurangi ketidakpastian (equivocality) yang berasal dari informasi yang datang dari lingkungan. Pengurangan ketidakpastian yang dilakukan organisasi sebagai upaya bertahan hidup, dilakukan melalui sebuah evolusi yang meliputi tiga tahap. Pertama, tahap enactment (pemeranan, penerimaan informasi) dimana anggota organisasi menciptakan ulang lingkungan mereka dengan menentukan dan merundingkan makna khusus bagi satu peristiwa yang bisa berupa tuntutan dari dalam organisasi maupun lingkungan sekitar (Pace & Faules, 2010: 81). Kedua, tahap selection (seleksi), penggunaan aturan-aturan yang ada dalam organisasi guna mengurangi ketidakjelasan. Weick menjelaskan ada dua alat yang digunakan organisasi dalam melakukan seleksi. 1. Aturan bersama (assembly rules). Aturan bersama adalah nilai-nilai, konvensi, prosedur operasi standar dan praktik organisasi yang membantu anggota organisasi dalam melaksanakan tugas mereka, dan menjadi dasar untuk menafsirkan informasi yang membingungkan, tidak jelas dan multi tafsir atau equivocality (Pace dan Faules, 2010: 80). Aturan bersama dapat dikodifikasikan dalam tradisi lisan, atau dinyatakan dalam manual organisasi, aturan ini juga bisa merupakan kebijaksanaan organisasi tentang bagaimana memproses informasi (Griffin (ed), 2006: 284). 2. Penerapan siklus komunikasi yang terdiri dari aksi (act), yakni pernyataan atau perilaku seseorang, kelompok atau organisasi lain. Respon (interact), reaksi organisasi terhadap aksi yang didapat. Penyesuaian (adjustment) adalah tanggapan terhadap respon yang merupakan penyesuaian terhadap 10
informasi (aksi) yang diterima sebelumnya. Ketiga tahapan tersebut akan berulang yang disebut interaksi ganda (double interact), dimana siklus dari aksi, respon dan penyesuaian tadi berulang kembali. Siklus komunikasi juga disebut sebagai ‘rutinitas’ kerja yang memungkinkan anggota organisasi untuk melakukan klarifikasi terhadap hal-hal yang belum jelas. Dalam pelaksanaannya, siklus komunikasi dikontrol oleh aturan bersama atau assembly rules yang dapat berupa aturan tertulis atau tidak tertulis, nilai-nilai dan kebijakan organisasi. Aturan bersama juga mencakup di dalamnya aturan durasi, aturan personel, aturan keberhasilan dan aturan usaha (Morissan, 2009: 3839). Penjelasan singkat dari aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Aturan durasi mengacu kepada pilihan yang dibuat organisasi dalam melakukan komunikasi, yang dapat diselesaikan dalam waktu sesingkat mungkin. 2. Aturan personel, aturan ini menyatakan bahwa orang yang paling tahu harus muncul sebagai sumber informasi kunci untuk mengurangi ketidakpastian. 3. Aturan keberhasilan, organisasi akan menggunakan satu rencana komunikasi yang telah terbukti efektif di masa lalu dalam mengurangi ketidakpastian informasi. 4. Aturan usaha, organisasi akan memilih satu strategi informasi yang membutuhkan paling sedikit usaha untuk mengurangi ketidakpastian.
Ketiga, terakhir adalah tahap retention (retensi), dimana organisasi menyimpan informasi mengenai cara organisasi merespon sebuah permasalahan atau situasi tertentu, dan menerapkannya di masa datang. Namun Weick mengingatkan agar organisasi tidak begitu saja mengandalkan kisah keberhasilan di masa silam sebagai resep untuk mengatasi masalah yang mungkin akan menerpa organisasi di masa datang. Dalam hal ini organisasi dituntut untuk kreatif dan kritis menghadapi setiap ketidakpastian. Menurut Weick, dalam praktek keseharian sebuah organisasi kegiatan pengorganisasian bisa dilakukan melalui rapat, briefing, konferensi, perbincangan 11
melalui telepon, diskusi, surat menyurat bahkan bisa berupa kegiatan perbincangan ringan sampai makan siang bersama (Griffin (ed), 2006: 285).
E.2. Dimensi Komunikasi Organisasi Komunikasi yang dilakukan dalam sebuah organisasi atau komunikasi organisasi, menurut Virginia P. Richmond dan James C. McCroskey (1992: 19) adalah proses dimana individu merangsang makna dalam pikiran individu lain dengan cara pesan verbal atau nonverbal dalam konteks organisasi formal. Menurut Allo Liliweri (2014:372-374), ada empat tujuan komunikasi organisasi. Pertama, komunikasi organisasi bertujuan menyatakan pikiran pandangan dan pendapat bagi anggota organisasi. Kedua, membagi informasi. Komunikasi organisasi memberi peluang bagi seluruh aparatur organisasi untuk membagi informasi dan memberikan makna yang sama atas visi, misi, tugas pokok dan fungsi organisasi. Ketiga, menyatakan perasaan dan emosi. Komunikasi organisasi memberikan peluang bagi seluruh anggota organisasi untuk bertukar informasi yang berkaitan dengan perasaan dan emosi. Keempat, tindakan koordinasi. Komunikasi organisasi bertujuan mengordinasikan sebagian atau seluruh tindakan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi organisasi. Sementara itu Charles Conrad (1985) menambahkan, komunikasi organisasi memiliki dua fungsi makro, yaitu fungsi komando yang terkait dengan pemenuhan tugas dan fungsi relasi yang menitikberatkan pada hubungan antar manusia. Dalam sebuah organisasi, komunikasi yang terjadi berupa komunikasi vertikal yang merupakan komunikasi ke bawah (downward communication), dimana informasi mengalir dari otoritas lebih tinggi ke otoritas yang lebih rendah, dan sebaliknya berupa komunikasi ke atas (upward communication). Kemudian bentuk komunikasi yang juga dilaksanakan adalah komunikasi horizontal (horizontal communication) yang terjadi di antara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama, atau diantara mereka yang memiliki kedudukan setara (Pace & Faules, 2010: 189-199). Aliran informasi dan komunikasi yang juga dilakukan adalah
komunikasi
diagonal,
dimana
12
komunikasi
terjadi
diantara
dua
individu/kelompok yang berasal dari unit kerja berbeda dengan posisi yang berbeda pula (Liliweri, 2014: 371). Organisasi terdiri dari individu dan kelompok yang satu dengan yang lain selalu terhubung oleh komunikasi dalam sistem tertentu. Melalui sistem tersebut, maka kerangka kerja organisasi diatur dalam jaringan-jaringan formal dan informal. Jaringan-jaringan tersebut dapat berdasarkan budaya, keyakinan dan sistem nilai. Beberapa jenis jaringan dalam organisasi antara lain jaringan antar personal, jaringan antar kelompok, jaringan komunikasi informal dan sebagainya (Liliweri, 2014: 380-385). Setiap organisasi juga memiliki budaya organisasi, budaya organisasi didefinisikan sebagai cara anggota organisasi melakukan sesuatu dalam lingkup tertentu, dengan satu implikasi bahwa cara tersebut berbeda dengan cara anggota organisasi lain saat melakukan hal yang sama. Budaya organisasi meliputi kebudayaan, simbol, dan faktor lain yang dikomunikasikan kepada para anggota organisasi yang berbasis pada kepercayaan, adat istiadat, agama, pengetahuan, praktisi dan perilaku budaya yang sudah dikonvensikan oleh satu kelompok sosial tertentu (Liliweri, 2014: 282-283).
E. 3. Organisasi Kemasyarakatan Salah satu bentuk organisasi yang dikenal di Indonesia adalah organisasi kemasyarakatan (ormas). Berdasarkan Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang dimaksud ormas adalah semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila (Culla, 2006: 69). Organisasi kemasyarakatan dikenal juga sebagai masyarakat sipil (civil society) yang bercirikan tidak berorientasi mencari keuntungan. Menurut A.S. Hikam, masyarakat sipil didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), 13
keswasembadaan
(self-generating)
dan
keswadayaan
(self-supporting),
kemandirian tinggi kala berhadapan dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (Prasetyo dan Munhanif, 2002: 133). Sebagai organisasi non profit, tujuan mewujudkan perubahan sosial menjadi ciri khas, sekaligus tantangan bagi pengurus organisasinya. Tantangan tersebut antara lain bagaimana cara mengukur sukses sebuah program yang kerap bersifat ambigu, misalnya bagaimana mengukur tujuan “meningkatkan toleransi antar umat beragama”. Tantangan kedua adalah, kesulitan dalam mengukur kinerja bawahan dan ketergantungan kepada kegiatan relawan (Daft, 2010: 2829). Edward Gross dan Amitai Etzioni (1985: 22-23) mencatat, untuk ormas sosial keagamaan selain memiliki tujuan spiritual, sering kali tidak dapat dipisahkan dengan tujuan sosialnya. Namun, memiliki dua atau bahkan lebih tujuan utama dalam sebuah organisasi berpotensi menimbulkan konflik. Konflik yang terjadi meliputi konflik waktu, energi dan ketekunan yang harus dialokasikan kepada masing-masing tujuan. Terdapat pula bahaya bagi organisasi dengan lebih dari satu tujuan, saat satu tujuan mungkin berada di bawah (subordinat) tujuan lain, sehingga satu tujuan kemudian lebih diutamakan sementara yang lain tidak lagi digarap dengan benar. Sebuah ormas sosial keagamaan mungkin memiliki kegiatan sosial yang menyedot sumber daya terbesar, atau bahkan lebih menitikberatkan pada tujuan sosial sehingga mengabaikan tujuan spiritual. Selanjutnya, Edward Gross dan Amitai Etzioni (1985: 112-118) menjelaskan bahwa pada ormas sosial keagamaan, organisasi dijalankan berdasarkan kekuatan norma yang diyakini (organisasi normatif). Pemimpin memiliki kekuatan untuk mengkontrol kekuasaan dalam organisasi, bersandarkan pada kekuatan personal yang memanipulasi simbol-simbol, guna melayani dan membangkitkan komitmen para anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Kontrol dalam organisasi normatif jauh lebih tergantung pada kualitas pribadi. Oleh karena itu melalui berbagai seleksi dan proses sosialisasi, organisasi 14
normatif berusaha untuk mengatur dan menempatkan personil dalam struktur organisasinya dengan sosok yang memiliki karisma atau pengaruh pribadi, lantas mengkombinasikan dengan kekuatan yang berasal dari posisi normatif dalam organisasi, serta memperhatikan kemampuan pribadi tersebut untuk melakukan komunikasi persuasif. Pribadi dengan tiga kemampuan tersebut yang akan dijadikan pemimpin organisasi. Dalam organisasi normatif, dimana pribadi yang memiliki
karisma
ditempatkan sebagai pimpinan, maka kewenangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin tergolong sebagai kewenangan karismatik. Wewenang kharismatik ini diperoleh melalui relasi keseharian dalam tatanan sosial yang ada. Menurut Weber, organisasi dengan kewenangan kharismatik, termasuk dalam organisasi yang tradisional (Liliweri, 2014: 129-131). Mengenai organisasi tradisional, khususnya organisasi keagamaan, pakar komunikasi Marshall McLuhan memaparkan teorinya yang dikenal sebagai teori Happening atau teori Kejadian (Wahid, 2011: 65-68 & 298-300). Menurut McLuhan, organisasi keagamaan tradisional dapat berkembang dan bertahan hidup karena para anggota organisasinya secara sukarela turut aktif menghidupi organisasinya. Oleh karenanya, banyak aktivitas bahkan program dalam organisasi keagamaan tradisional yang dapat terjadi (happening) tanpa perencanaan. Aktivitas organisasi berjalan berdasarkan inisiatif para anggota organisasi walaupun tidak ada arahan langsung atau komando dari pengurus organisasi. Kesukarelaan dan inisiatif pribadi ini, dalam konteks organisasi keagamaan tradisional berlangsung dengan dilandasi norma agama yang dianut. Kesukarelaan para anggota organisasi tadi bersumber dari keinginan untuk mengabdi kepada agama, dan dilakukan dengan keyakinan akan mendapatkan berkah Tuhan. Menurut McLuhan, bentuk happening terdapat di seluruh dunia dalam bentuk dan ragam yang beraneka warna.
F. DESAIN MODEL PENELITIAN Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka desain model penelitian yang diharapkan menjelaskan bagaimana respon Pengurus Cabang Nahdlatul 15
Ulama Jember periode 2009-2014, menghadapi ketidakpastian (equivocality) berupa aliran informasi kelompok Islam transnasional adalah sebagai berikut ;
Gambar 1.1. Desain Model Penelitian
EQUIVOCALITY Informasi yang tidak pasti, sulit dimengerti, tidak jelas, membingungkan dan multi tafsir.
ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA JEMBER 2009-2014
RESPON ORGANISASI 1. Penerimaan informasi 2. Penentuan prioritas masalah 3. Cara menangani masalah 4. Penentuan aktor/bagian yang menangani masalah 5. Mekanisme respon a. Penyusunan pesan & target sasaran b. Pemilihan media c. Rencana aksi
G. KERANGKA KONSEP DAN OPERASIONALISASI Dari gambaran desain model penelitian yang sudah dipaparkan, berikut penjelasan lebih lanjut mengenai kerangka konsep dan operasionalisasi penelitian ini ;
16
Tabel 1.1. Kerangka Konsep dan Operasionalisasi No Konsep 1. Equivocality Informasi yang tidak pasti, sulit dimengerti, tidak jelas, membingungkan dan multi tafsir.
Penjelasan Peneliti meneliti equivocality apa saja, yang diterima oleh organisasi NU Jember periode 20092014. Equivocality tersebut dapat merupakan equivocality di bidang keagamaan maupun equivocality di bidang sosial, sesuai dengan karakteristik organisasi NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Khusus mengenai equivocality di bidang agama, peneliti akan memetakan informasi mana yang berlawanan dengan aqidah, amaliah, dan tradisi serta pandangan politik yang berlaku dan diyakini dalam organisasi NU.
2.
Respon Organisasi
Respon organisasi adalah upaya organisasi dalam melakukan pengurangan ketidakpastian atas equivocality yang diterima. Untuk menghadapi equivocality, maka organisasi melakukan kegiatan enactment (pemeranan, penerimaan informasi, pemetaan situasi), dan selection (seleksi) sebagai bagian dari bentuk respon organisasi. Pada tahapan seleksi, organisasi akan menggunakan assembly rules (aturan bersama) sebagai panduan dalam menyeleksi informasi dan memberikan respon. Dalam tahapan ini peneliti meneliti bagaimana organisasi NU Jember periode 2009-2014 melakukan respon atas equivocality yang diterima. Meliputi bagaimana organisasi NU menerima informasi, menentukan prioritas masalah, cara menangani masalah, menentukan aktor/bagian yang menangani masalah dan bagaimana mekanisme respon yang diberikan atas equivocality yang diterima.
3.
Penerimaan informasi
Pada tahapan ini peneliti mengamati, bagaimana organisasi NU Jember periode 2009-2014 menerima equivocality, dan melalui saluran apa saja.
17
No Konsep Penjelasan 4. Penentuan prioritas Pada tahapan ini peneliti meneliti bagaimana masalah organisasi NU Jember periode 2009-2014 menentukan prioritas masalah yang akan ditangani dari equivocality yang diterima, dan berdasarkan apa prioritas tersebut dilakukan. 5. Penentuan Dalam tahapan ini peneliti meneliti siapa saja aktor/bagian yang aktor/bagian yang ditunjuk oleh organisasi NU menangani masalah Jember periode 2009-2014 dalam melakukan respon atas equivocality yang diterima, kemudian mengapa aktor/bagian tersebut yang ditunjuk. 6.
Mekanisme respon
Pada tahapan ini peneliti mengamati, bentukbentuk respon yang diberikan oleh organisasi NU Jember periode 2009-2014 sebagai usaha pengorganisasian untuk mengurangi equivocality. Bagaimana organisasi NU periode 2009-2014 menyusun pesan dan target sasaran, pemilihan media dan rencana aksi.
H. METODOLOGI PENELITIAN H.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Menurut Creswell (Santana, 2010: 1), riset kualitatif mengandung pengertian adanya upaya penggalian dan pemahaman makna terhadap apa yang terjadi pada berbagai individu atau kelompok, yang berasal dari persoalan sosial atau kemanusiaan. Peneliti mengambil pendekatan studi kasus karena peneliti ingin mengetahui dan memahami lebih dalam bagaimana respon organisasi Nahdlatul Ulama Jember periode 2009-2014, menghadapi equivocality dari kelompok Islam transnasional dalam upaya mempertahankan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Studi kasus dipilih karena dari sekian banyak pengurus cabang NU di Indonesia, organisasi NU Jember dinilai berhasil mengembangkan sikap moderat, menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga negara), mengembangkan dakwah kultural, dan menghindari konflik dalam menghadapi aliran informasi dari 18
kelompok Islam transnasional yang mengusung “produk impor”, seperti yang disampaikan oleh Ketua PBNU KH. Said Aqil Siroj (Siroj, 2015). Pendekatan studi kasus dinilai cocok karena diharapkan mampu menjawab pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why) seperti yang dijelaskan Robert K. Yin (2014: 1). Selanjutnya, menurut Denzin dan Lincoln, penelitian kualitatif mensituasikan aktivitas pengamatan di lokasi tempat berbagai fakta, data, bukti, atau hal-hal lain yang terkait dengan riset, dan atau hal-hal yang terjadi (Santana, 2010: 5). Melalui metodologi penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan data deskriptif yang berasal dari kata-kata, baik tertulis maupun lisan dari sejumlah orang dan perilaku yang dapat diamati yang nantinya akan diinterpretasikan oleh peneliti dalam sebuah narasi.
H.2. Obyek Penelitian Obyek penelitian adalah organisasi Nahdlatul Ulama Jember periode 2009-2014, dalam hal ini adalah pengurus organisasi NU Jember periode 20092014 yang berlokasi di Jl. Imam Bonjol 41 A Jember.
H.3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan cara sebagai berikut : 1. Wawancara mendalam, wawancara mendalam dilakukan kepada para informan dengan pertanyaan yang sudah disiapkan terlebih dahulu sebagai pertanyaan pembuka untuk menggali data, fakta dan informasi dari para informan. 2. Observasi lapangan, pengamatan lapangan dilaksanakan pada organisasi NU Jember, serta lokasi atau pihak lainnya yang dianggap memiliki kepentingan dan keterkaitan, baik langsung maupun tidak langsung. 3. Studi pustaka, penelitian ini juga akan ditunjang oleh data dan fakta yang berasal dari sumber tertulis primer semisal dokumen organisasi NU serta dokumen sekunder seperti buku, tulisan ilmiah, penelitian, tulisan di media massa dan sumber tertulis lainnya guna mendukung penelitian.
19
H.4. Teknik Penentuan Informan Peneliti memilih informan secara purposif dengan obyek penelitian utama pengurus organisasi NU Jember periode 2009-2014. Pemilihan informan secara purposif memberikan keleluasaan bagi peneliti memilih informan yang dianggap kredibel dan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun informan yang dijadikan sebagai narasumber adalah sebagai berikut : 1. Rais Syuriyah PCNU Jember. 2. Anggota pengurus Syuriyah PCNU Jember. 3. Ketua Tanfidziyah PCNU Jember. 4. Anggota pengurus Tanfidziyah PCNU Jember. 5. Anggota pengurus Syuriyah di tingkat Majelis Wakil Cabang (MWC). 6. Anggota pengurus Tanfidziyah di tingkat Majelis Wakil Cabang (MWC). 7. Aktivis PCNU Jember, adalah mereka yang menjadi pengurus lembaga, lajnah, badan otonom NU. 8. Warga NU, adalah mereka yang dalam aktivitas keseharian bersinggungan dengan organisasi NU Jember, dan atau hidup di lingkungan NU, namun tidak menjadi pengurus organisasi NU atau menjadi pengurus lembaga, lajnah dan badan otonom NU (NU kultural). 9. Pemerhati NU, adalah mereka yang mengerti dan paham akan organisasi NU Jember, memiliki latar belakang serta kompetensi untuk menjelaskan mengenai organisasi NU, namun bukan pengurus organisasi NU Jember dan atau pengurus lembaga, lajnah serta badan otonom NU.
H.5. Teknik Analisis Data Data yang didapat dari proses penelitian ini akan dianalisa melalui tiga tahapan, yakni pertama tahapan reduksi data atau penjodohan pola. Kedua, pembuatan penjelasan dan penyajian data, dan ketiga, tahapan analisis deret waktu atau penyajian gambaran yang berlanjut pada penarikan kesimpulan (Yin, 2014: 140-158 dan Miles & Hubberman, 1994: 10-12). Data yang diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan dengan fenomena yang
senyatanya
terjadi,
dengan
pola 20
kejadian
yang
diprediksikan
(proposisi/prediksi alternatif) yang sesuai dengan teori informasi organisasi (pengorganisasian) Weick. Selanjutnya peneliti akan menyajikan data dalam bentuk narasi yang dapat menggambarkan realita bagaimana respon organisasi Nahdlatul Ulama Jember periode 2009-2014 menghadapi dinamika lingkungan, menghadapi equivocality berupa aliran informasi dari kelompok Islam transnasional. Kemudian berlanjut pada tahapan penyajian gambaran dan pengambilan kesimpulan berdasarkan data dan fakta yang diperoleh yang telah berupa narasi. Peneliti juga akan melaksanakan pengujian validitas dengan menggunakan triangulasi sumber data, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, obervasi langsung, dan studi pustaka akan diperbandingkan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang sama. Selain itu, peneliti berencana melakukan wawancara dan meminta beberapa pihak yang kompeten untuk menghindari bias penelitian. Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut akan memberikan gambaran yang utuh mengenai bagaimana respon organisasi Nahdlatul Ulama Jember periode 2009-2014 menghadapi dinamika lingkungan, menghadapi equivocality berupa aliran informasi dari kelompok Islam transnasional dalam upaya mempertahankan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
H.6. Lingkup Penelitian Penelitian ini berfokus pada bagaimana respon organisasi Nahdlatul Ulama Jember periode 2009-2014, menghadapi dinamika lingkungan berupa aliran informasi dari kelompok Islam transnasional, equivocality yang berasal dari luar organisasi. Peneliti berasumsi bahwa kondisi internal organisasi NU Jember periode 2009-2014 adalah solid. Peneliti berfokus pada proses pengorganisasian yang dilakukan organisasi NU Jember periode 2009-2014, yakni pada tahapan enactment hingga tahapan selection, khususnya pada fase respon organisasi. Sementara pada fase double interact (interaksi ganda) tidak dibahas, karena dalam penelitian ini tidak
21
mengamati tanggapan balik dari kelompok Islam transnasional atas respon organisasi NU Jember periode 2009-2014. Begitu pula pada tahapan retention tidak diteliti, dengan pertimbangan untuk meneliti tahapan retention pada sebuah organisasi memerlukan waktu, karena retention adalah tahapan dimana organisasi menyimpan informasi tertentu untuk kemudian diterapkan di masa datang. Sedangkan penelitian ini hanya berfokus pada respon organisasi NU Jember periode 2009-2014. Penelitian ini hanya dilakukan dalam lingkup organisasi Nahdlatul Ulama Jember periode 2009-2014 saja, oleh karena itu hasil penelitian ini belum tentu dapat menggambarkan keseluruhan kondisi organisasi Nahdlatul Ulama di tingkatan cabang secara umum.
22