BAB IPENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan industri bisnis di Indonesia saat ini cukup pesat. Dalam kurun waktu lima tahun saja sudah banyak bermunculan beberapa produk baru, tidak terkecuali produk yang berasal dari daerah luar Jakarta. Pengusaha dalam skala multinasional dan nasional pun berlomba-lomba untuk membuka usaha yang menguntungkan. Hal ini juga yang menyebabkan para pengusaha tidak hanya belajar membuat suatu produk namun juga belajar mengkomunikasikan produk mereka. Banyak hal yang dapat mereka tempuh tetapi hal yang terpenting adalah menentukan konsep dari produk yang akan mereka jual. Oleh sebab itu para pengusaha pun mulai belajar membangun sebuah brand. Konsep brand sendiri tidaklah hanya sekedar memberi nama atau merek pada produk. Brand atau secara kasar disebut merek di Indonesia menurut Giribaldi adalah kombinasi dari atribut-atribut, dikomunikasikan melalui nama atau simbol, yang dapat mempengaruhi proses pemilihan suatu produk atau layanan di benak konsumen 1. Proses pembuatan brand ini seperti menciptakan seorang manusia baru karena tujuannya memang menciptakan karakter yang kuat pada sebuah produk. Sehingga produk tersebut akan lahir seperti layaknya seorang manusia. Ketika brand lahir brand perlu mempunyai sifat yang khas dan berbeda. Brand perlu dikomunikasikan dan juga perlu dirawat sehingga tidak mati pada akhirnya. Pemikiran konsep yang matang untuk membuat brand saat ini mulai juga dipraktikan oleh produk-produk lokal, salah satunya adalah produk dari Yogyakarta, cokelat Monggo. Cokelat Monggo adalah brandcokelat pertama yang berasal dari Yogyakarta. Walaupun yang menciptakan adalah orang Belgia, namun pada perkembangannya 1
Agus Suhadi.2005.Effective Branding : Konsep dan Aplikasi Pengembangan Merek yang Sehat dan Kuat.Bandung:Quantum Bisnis dan Manajemen.Hal.2
1
seluruh pembuatan dilakukan oleh orang Indonesia. Usia Monggo dapat dikatakan masih muda, kurang dari 10 tahun. Distribusi produk ini pun masih terbatas pada wilayah Jawa dan Bali. Namun cara Monggo mengkomunikasikan brand mereka dapat dikatakan baik bahkan majalah Forbes pada edisi September 2011 mengutip perkataan Joseph Chuang, direktur eksekutif Petra Food, bahwa Monggo mempunyai konsep yang bagus, Monggo tidak hanya sebuah cokelat tetapi sebuah konsep. 2 Sekilas jika dilihat dari namanya, brand ini sangat terkesan kental dengan budaya Jawa. Tetapi jika kita benar-benar melihat dari semua sisi identitas brand yang ada pada brand ini tidak semua budaya Jawa yang ditampilkan. Ada beberapa budaya lain yang juga coba diangkat oleh brand ini. Contoh yang paling sederhananya adalah melalui kemasan-kemasan edisi khusus dari cokelat ini. Monggo tidak hanya mempunyai kemasan-kemasan dalam nuansa Jawa. Ketika menjelang hari Halloween, Monggo juga membuat cokelat spesial Halloween. Padahal seperti yang sudah diketahui, Halloween bukanlah kebudayaan yang berasal dari tanah Jawa. Begitu pula pada beberapa acara pemasaran, Monggo sering mencampurkan beberapa budaya yang ada. Dalam sebatang cokelat, Monggo seakan-akan ingin memperkenalkan betapa banyak budaya yang ada di sekitar kita. Multikulturalisme cukup terasa dalam membangun brand ini. Multikulturalisme yang dimaksudkan disini adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. 3 Menilik dari keseluruhan simbol-simbol yang tertuang dalam elemen-elemen brand ini tidak lepas dari percampuran budaya-budaya yang ada. Monggo sepertinya tidak hanya fokus dalam satu budaya saja.
2
Blair Herman.Monggo Please.Forbes.vol.2.September 2011.Hal.80 Azyumardi Azra.Identitas dan Krisis Budaya Membangun Multikulturalisme Indonesia. (online) http://www.lpmpbanten.net/berita-item/identitas-dan-krisis-budaya-membangun-multikulturalismeindonesia.html 3
2
Pencampuran berbagai budaya adalah isu yang cukup menarik di Indonesia. Budaya-budaya asli dan dari negara lain tampak bercampur baur di tanah Indonesia. Mempelajari budaya-budaya yang disatukan tanpa merendahkan budaya satu dengan yang lain adalah hal yang selalu berhasil mencuri perhatian apalagi jika menyatukan antara bisnis dan budaya. Praktik menjadikan brand menjadi brand yang multikultur sebenarnya juga sudah mulai dilakukan oleh beberapa brand multinasional yang memang mempunyai target pasar di berbagai belahan dunia. Disamping itu saat ini juga banyak bermunculan lembaga-lembaga konsultasi brand yang menawarkan untuk menciptakan sebuah brand yang bisa menceriminkan multikulturalisme. Simbol-simbol dan tanda-tanda sudah sering menjadi bahan yang menarik untuk diteliti dalam ranah ilmu komunikasi. Brand walaupun bukan merupakan media komunikasi konvensional, namun tetap menyimpan banyak makna dalam setiap elemen yang dipilihnya. Elemen-elemen yang dipilih sebuah brand tanpa disadari menyimpan banyak hal yang cukup bisa merepresentasikan hal-hal yang ingin diusung orang-orang yang membuat dan membangun brand tersebut. Selain itu pembuatan brand juga membutuhkan proses yang cukup panjang dan menjadikan hal ini pun menarik untuk diteliti dari ranah studi representasi. Melihat banyak hal yang dapat dikomunikasikan dalam sebuah brand baik yang tersirat maupun tersurat. Maka hal ini menggelitik peneliti untuk melihat bagaimanakah brand Monggo merepresentasikan multikulturalisme melalui brand yang dibuat dan dibangunnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah: Bagaimanamultikulturalisme direpresentasikan oleh brand Monggo?
3
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab perumusan masalah diatas. Hal penting
yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana konsep
multikulturalisme direpresentasikan oleh brand Monggo.
D.
Manfaat Penelitian
Penellitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan orang yang membaca hasil penelitian ini. Manfaat bagi peneliti adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam konfigurasi unsur-unsur multikulturalisme yang direpresentasikan dalam brand Monggo. Sehingga data ini dapat dijadikan tambahan pengetahuan pada ilmu komunikasi, khususnya pada kajian semiotik. Penelitian ini juga bermanfaat secara : 1. Akademis Manfaat akademis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mampu mempratikan sebuah teori. 2. Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan para pengusaha atau calon pengusaha agar dapat membuat brand yang mempunyai konsep baik. 3. Sosial Penelitian ini diharapkan dapat menciptakan pemikiran baru mengenai brand di lingkup sosial dan dapat membuka pikiran masyarakat tentang proses dari terbentuknya suatu brand.
4
E.
Kerangka Pemikiran
Ilmu komunikasi adalah ilmu yang berkembang. Hal-hal yang dipelajari dalam bidang ini tidak akan berhenti pada suatu hal dalam jangka waktu panjang dan pasti selalu ada hal baru yang dapat dipelajari dalam ranah ilmu komunikasi. Salah satunya adalah brand. Istilah brand sebenarnya sudah banyak diketahui oleh para pebisnis yang notabene berangkat dari ranah perekonomian, namun saat ini ilmu komunikasi juga turut andil dalam pembentukan brand. Brand sendiri sesungguhnya lebih kompleks daripada sebuah produk. Hal-hal yang ingin disampaikan oleh produsen lewat produknya lebih banyak diungkapkan melalui brand yang dibangunnya terlebih di dalam brand tersebut pasti banyak mengandung simbol-simbol yang merujuk pada makna tertentu. Hal ini jugalah yang akan memicu munculnya representasi-representasi dari sebuah brand. Representasi dari sebuah brand inilah yang akan diteliti lebih lanjut.
1. Representasi
Representasi sendiri merujuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Ia merupakan sebuah bagian esensial dari proses dimana makna dihasilkan atau diproduksi dan diubah antara anggota kulturnya. 4 Dari kalimat ini dapat dicerna bahwa representasi dan suatu proses mempunyai hubungan yang kuat. Representasi ada dari perjalanan sebuah proses atau dengan kata lain tanpa proses representasi tidak akan memiliki makna yang dalam. Dikarenakan pembuatan brand adalah juga sebuah proses, maka brand pasti memiliki representasi yang ditunjukkan dari simbol-simbol dalam identitas brand tersebut.
4
stuart hall, representation : Cultural representations and signifying practices London:1997 hal 15
5
Representasi merupakan suatu sistem yang menghubungkan makna dan bahasa dengan kultur. Lebih jauh lagi, makna dikonstruksi oleh sistem representasi dan diproduksi melalui sistem bahasa yang fenomenanya bukan hanya melalui ungkapan-ungkapan verbal, tapi juga visual. Oleh sebab itu banyak unit yang dapat diteliti jika ingin meneliti mengenai representasi. Visual pun tidak hanya berkisar antara garis dan gambar namun juga warna. Begitu pula mengenai bahasa, tidak hanya bahasa apa yang dipilih beserta artinya dan struktur kata seperti apa yang dipilih, namun juga pemilihan jenis tulisan dan dimana letak tulisan tersebut. Studi representasi berkaitan cukup erat dengan media. Sudah cukup banyak studi representasi yang berpusat pada media lama dan media baru, contohnya saja film, komik, lagu, mural dan sampai pada blog. Beranjak ke generasi-generasi yang lebih baru, brand pun dapat dikatakan sebagai media khusus.
2. Brand
Menilik sedikit sejarahnya, pada dekade-dekade yang lalu, kata ‘brand’ memang belum biasa didengar di telinga para konsumen di Indonesia. Konsumen dan mungkin juga produsen hanya mengenal produk. Produk adalah barang atau jasa yang dapat diperjualbelikan di khalayak luas serta apapun yang bisa ditawarkan ke sebuah pasar dan bisa memuaskan sebuah keinginan atau kebutuhan. 5 Barang atau jasa ini benar-benar hanya dipandang melalui kegunaannya saja. Mereka seakan-akan tidak mempunyai karakteristik khusus yang membedakannya dengan barang serupa. Hal ini tentu saja pada saat dekade terdahulu belum banyak produk-produk yang menjual barang atau jasa yang serupa dan sulit dibedakan. Saat ini ketika kebutuhan manusia mulai meningkat dan rasa puas manusia seakan tidak ada habisnya, mulailah terjadi berbagai terobosan baru. Banyak 5
Kotler, P., Armstrong, G., Brown, L., and Adam, S.2006. Marketing, 7th Ed. Australia:Prentice Hall.
6
produsen yang mulai berlomba-lomba menawarkan produk-produknya dengan keunggulannya masing-masing. Produsen ini berharap selalu dapat menambah formula baru di dalam produknya agar terlihat lebih di mata para konsumen. Produk-produk yang mulai menjamur ini semakin lama semakin seragam dalam fungsi dan kegunaannya. Pada saat inilah muncul trend baru untuk membuat brand yang kuat pada setiap produk yang dihasilkannya. Brand tidaklah sekedar memilihkan nama yang sesuai untuk melabeli produk yang diproduksi. Brand tidak ada ubahnya dengan mahkluk hidup yang juga mempunyai karakter yang kuat dan tentu saja berbeda satu dengan lainnya. Kata “brand” berasal dari bahasa Jerman Utara (Old Norse), “brandr”, yang artinya “to burn”. Kata ini mengacu pada praktik para produsen masa lampau yang membakar cap pada produk mereka dengan tujuan untuk membedakan barang dari satu produsen dengan produsen lainnya. Brand atau secara kasar disebut merek di Indonesia menurut Giribaldi adalah kombinasi dari atribut-atribut, dikomunikasikan melalui nama atau simbol, yang dapat mempengaruhi proses pemilihan suatu produk atau layanan di benak konsumen 6. Dapat dikatakan brand tidak hanya soal nama, namun juga segala atribut-atribut yang melengkapinya. Atribut-atribut itu juga tidaksekedar dipilih karena bagus atau menarik, tapi karena atribut itu dapat melambangkan apa yang produsen ingin sampaikan dari produk yang dibuatnya tersebut. Aaker juga mendefinisikan brand sebagai nama dan/atau simbol khusus (seperti logo, trademark, atau desain kemasan) yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan membedakannya dari kompetitor 7. Jadi, brandmenunjukkan sumber produk pada pelanggan sekaligus melindungi pelanggan dan produsen dari kompetitor yang berusaha menyediakan produk yang terlihat sama. 6
Agus Suhadi.2005.Effective Branding : Konsep dan Aplikasi Pengembangan Merek yang Sehat dan Kuat.Bandung:Quantum Bisnis dan Manajemen.Hal.2 7 David A. Aaker. 1991. Managing Brand Equity. New York:Free Press.
7
Dengan demikian dapat terlihat bahwa brand lebih dari sekedar produk. Menurut Kotler apapun yang bisa ditawarkan ke pasar untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan juga adalah produk 8. Produk dapat berupa benda fisik, jasa, pengalaman, event, orang, tempat, properti, organisasi, informasi, atau ide. Brandmerupakan suatu produk, tapi ia memiliki dimensi-dimensi tambahan yang membedakannya dari produk-produk lain yang didesain untuk memenuhi kebutuhan yang sama 9. Menurut King dalam Aaker, “A product is something that is made in a factory; a brand is something that is bought by a customer. A product can be copied by a competitor; a brand is unique. A product can be quickly outdated; a succesful brand is timeless.” Produk adalah komoditas, sedangkan brandadalah mindset. Brandhanya ada di benak konsumen. Brandjuga harus merepresentasikan sesuatu. Semakin berbeda sebuah branddi mindset konsumen, semakin kuat brand preference-nya. Ini penting untuk menjauhkan kompetitor dari pertimbangan konsumen. Dengan demikian, brandmerupakan seni sekaligus ilmu menciptakan brain space dan shelf space. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa produk hanyalah bagian dari brand. Masih ada unsur-unsur lain yang menyusun brand, yakni identitas dan ekuitas. Suatu produk perlu memiliki identitas dan ekuitas agar dapat disebut brand. Karena brandadalah sebuah janji, produk harus menepati janji itu, identitas brand merepresentasikan janji itu di semua contact point, dan ekuitas brandmenambah janji itu. Ada pula yang mengatakan bahwa membangun brand hampir sama dengan membangun sebuah rumah. Menurut Lynn B. Upshaw dalam bukunya yang berjudul Building brand identity: a strategy for success in a hostile marketplace, kita dapat menganalogikan brand sebagai sebuah rumah. Ekuitas adalah 8
Kotler, P., Armstrong, G., Brown, L., and Adam, S.2006. Marketing, 7th Ed. Australia:Prentice Hall Kevin Lane Keller. 2003. Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity.California:Prentice Hall
99
8
keseluruhan nilai dan finansial yang akan kita keluarkan untuk membangun rumah tersebut. Sementara Identitas adalah identitas dari rumah tersebut, contohnya arsitekturnya, warna yang dipilih untuk interiornya, bagaimana bentuk rumahnya, bagaimana model rumah yang dipilih apakah model mediteranian, minimalis, atau yang lainnya, serta bagaimana ia dapat bersaing dengan kompetitornya. Dalam kasus rumah ini kompetitor adalah rumah tetangga.
Bagan1.1Elemen Penyusun Brand
a. Ekuitas Brand Ekuitas brandadalah keseluruhan nilai yang dilekatkan orang pada nama brand. Sifatnya intangible, hanya ada di benak orang, namun memiliki bankable power. Ekuitas brandterbentuk oleh: •
Pilihan awal atas elemen atau identitas brand.
•
Produk beserta semua kegiatan pemasaran dan program pendukungnya.
•
Asosiasi yang didapat secara tidak langsungdengan cara mengaitkan branddengan entitas lain.
Ada beberapa pendekatan untuk mempelajari ekuitas brand, di antaranya:
1)
Ekuitas brandKeller: Customer-based Brand Equity (CBBE) Sesuai definisi yang diberikan oleh Keller, customer-based brand equity adalah efek diferensial yang dimiliki oleh brand knowledge terhadap 9
respons konsumen atas pemasaran brandtersebut. Suatu branddikatakan memiliki CBBEyang positif ketika konsumen bereaksi baik terhadap produk tersebut dan cara pemasarannya. Tiga bahan utama untuk konsep ini, yaitu: a)
Brand equity muncul dari respons konsumen yang berbeda-beda.
b) Perbedaan itu merupakan hasil dari pengetahuan konsumen tentang brand. c)
Tercermin
dalam
persepsi,
preferensi,
dan
perilaku
yang
berhubungan dengan semua aspek pemasaran brand.
Bagan1.2 Piramida CBBE
2)
Ekuitas brandAaker: Aset brand Aaker mendefinisikan ekuitas brandsebagai seperangkat aset dan liabilitas yang berkaitan dengan suatu brand, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan suatu produk kepada perusahaan dan/atau kepada pelanggan perusahaan itu. 10 Aset dan liabilitas tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori:
10
David A. Aaker. 1991. Managing Brand Equity. New York:Free Press.
10
brandloyalty, brand awareness, perceived quality, brand associations, dan other proprietary brand assets.
Bagan 1.3. Ekuitas BrandAaker
a)
Brand loyaltyadalah keterikatan konsumen terhadap brand; seberapa besar kemungkinan konsumen beralih ke brandlain, terutama ketika brandtersebut melakukan perubahan, baik pada harga maupun fitur produk.
b)
Brand awarenessadalah kemampuan yang dimiliki oleh pembeli potensial untuk mengenali atau mengingat bahwa suatu brandadalah bagian dari kategori produk tertentu.
11
c)
Perceived quality adalah persepsi konsumen tentang kualitas atau superioritas suatu produk secara keseluruhan. Persepsi ini tidak selalu didasarkan pada pengetahuan tentang spesifikasi detail produk tersebut.
d)
Brand associations adalah apa saja yang berkaitan dengan suatu branddalam memori konsumen. Nilai suatu brandseringkali didasarkan pada asosiasi tertentu yang dihubungkan dengannya. Ada beberapa tipe asosiasi, yaitu:
e)
•
Product attributes
•
Intangibles
•
Customer benefit
•
Relative price
•
Use/application
•
User/customer
•
Celebrity/person
•
Life style/personality
•
Product class
•
Competitor
•
Geographic area
Other proprietary brand assets: paten, merk dagang, hak cipta, licenses, channel relationship, karyawan, daftar pelanggan.
Kelima aset brandtersebut memiliki tingkat signifikansi yang berbeda di tiap tahap siklus hidup produk. Pada tahap introduction, kategori aset yang
paling
penting
adalah
awareness.
Pada
tahap
growth,
brandmembutuhkan awareness, association, perceived quality, dan
12
proprietary brand assets. Akhirnya, di tahap maturity, aset yang paling penting adalah loyalty, perceived quality, dan association.
Ekuitas brand dapat dikatakan satu paket sempurna sebuah brand. Seperti yang sudah terlihat bahwa di dalam ekuitas brand ada identitas brand. Identitas brand adalah suatu konsep yang juga sangat penting untuk dibangun sebuah perusahaan saat membangun brand.
b. Identitas brand Identitas brand sendiri adalah seperangkat brand association yang ingin diciptakan atau dipertahankan oleh brand strategist. Asosiasi-asosiasi tersebut merepresentasikan posisi brand dan menyiratkan janji anggota organisasi kepada konsumen. Identitas brandikut membangun hubungan antara brand dan konsumen dengan cara menghasilkan suatu proposisi nilai yang meliputi manfaat fungsional, emosional, dan ekspresi diri. 11 Identitas brandtidak sama dengan brand image. Keller mendefinisikan brand image sebagai “perceptions about a brand as reflected by the brand associations held in consumer’s memory”.Senada dengan Keller, Aaker berpendapat, “It is the collection ofbrand associations which indicates how customers perceive a brand.” 12 Dari sini dapat disimpulkan bahwa identitas brandadalah asosiasi yang diinginkan oleh perusahaan, sedangkan brand image adalah asosiasi yang ada di benak konsumen. Identitas brandada di pihak pengirim (sender) sementara brand image ada di pihak penerima (receiver).
11
Ibid Kevin Lane Keller. 2003. Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity.California:Prentice Hall
12
13
Bagan1.4. Identitas dan Image (Kapferer, 2007)
Aaker mengembangkan model identitas branddengan empat perspektif berbeda dan dua belas dimensi. Manajer brandperlu memahami identitas branddari perspektif yang berbeda-beda sebelum mereka dapat menjelaskan, memperkaya, dan mendiferensiasi identitas brand. Perspektif-perspektif itu ialah:
1)
Brandsebagai produk Pada dasarnya, atribut yang terkait dengan produk akan memiliki
pengaruh penting pada identitas brand karena atribut-atribut itu terkait dengan kebutuhan pengguna dan pengalaman produk. Aaker menyebutkan enam dimensi dalam kelompok ini, yaitu product scope, product attributes, quality or value, uses, users, dan country of origin.
2)
Brandsebagai organisasi Dengan melihat brandsebagai organisasi, manajer branddipaksa untuk
mengalihkan perspektif mereka dari atribut produk ke atribut organisasi. Atribut-atribut ini kurang nyata (less tangible) dan lebih subjektif. Atributatribut seperti CRM, inovasi, perceived quality, visibilitas, dan presence dapat berkontribusi secara signifikan terhadap proposisi nilai dan hubungan konsumen. Aaker menyebutkan dua dimensi dalam kelompok ini, yaitu Organization attributes (innovation, consumer, concern, trustworthiness) dan Local vs Global.
14
3)
Brandsebagai person Brand personality adalah sebuah elemen brandyang digunakan secara
luas pada model-model ekuitas brand. Brand personality mengacu pada seperangkat karakter manusia yang diasosiasikan dengan sebuah brand. Aaker menyebutkan dua dimensi dalam kelompok ini, yaitu personality (contoh: lugu, enerjik) dan brand-customer relationships (contoh: sebagai teman atau sebagai pemberi saran).
4)
Brandsebagai simbol Brandsebagai simbol dapat meliputi hampir semua hal
yang
merepresentasikan brand. Simbol yang kuat dapat berperan penting, bahkan dominan, dalam strategi brand. Simbol menjadi sangat kuat jika melibatkan metafora yang dapat dikenali, bermakna, dan terpercaya. Aaker menyebutkan dua dimensi/tiga tipe dalam kelompok ini, yaitu visual imagery and metaphors dan brand heritage.
3. Multikulturalisme
Brand yang baik tentu harus memiliki karakter yang bagus dan tepat. Oleh sebab itu banyak simbol-simbol kasat mata yang dipakai untuk menyampaikan keinginan produsen akan produknya tersebut. Banyak unsur-unsur atau hal-hal yang ingin disampaikan melalui brand yang dibangun. Salah satu hal yang dapat diusung oleh brand adalah multikulturalisme. Multikulturalisme sendiri hubungannya sangat dekat dengan ilmu komunikasi. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dapat ditelisik bahwa di dalam kata multikulturalisme terdapat kata kultur, yang jika diterjemahkan secara bebas mempunyai arti budaya. 15
Budaya mempunyai hubungan yang erat dengan cara hidup manusia. Bagaimana manusia hidup dan berkomunikasi merupakan respon-respon terhadap budaya mereka. Budaya menempatkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk-bentuk kegiatan serta perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakantindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu saat tertentu. 13 Budaya
bertanggungjawab
atas
seluruh
perbendaharaan
perilaku
komunikatif dan makna yang dimilki oleh setiap orang. Budaya mempengaruhi proses persepsi sedemikian rupa sehingga kita memiliki tatanan-tatanan persepsual yang bergantung pada budaya. Budaya dan komunikasi itu mempuyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewaris budaya. Edward T Hall menegaskan bahwa: Culture is communication, communication is culture. Sementara itu ketika kata budaya berubah menjadi kebudayaan maka makna yang terkandung di dalamnya juga sedikit berubah walaupun tetap mempunyai inti yang sama. Kebudayaan sendiri lebih merujuk pada aktivitasaktivitas pada masyarakat yang berpola. Dikarenakan adanya pola dalam aktivitas tersebut, pada akhirnya membentuk sistem di dalam masyarakat. Selain aktivitas, kebudayaan juga merujuk pada kepercayaan pada masyarakat. Peter L. Berger pun mengatakan bahwa kebudayaan adalah produk manusia dan manusia sendiri adalah produk kebudayaan. Jadi kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan manusia dapat hidup di tengah
13
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rahmat. 1993. Komunikasi Antarbudaya. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Hal:10
16
kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendukungnya. 14 Kebudayaan yang terdapat di setiap masyarakat ini, mempunyai isi utama dari kebudayaannya. Isi utama kebudayaan adalah wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk atau berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan. Isi utama dari kebudayaan yang telah disebutkan diataslah yang akhirnya memecah kebudayaan menjadi beberapa bentuk. Hunnington menyatakan bahwa hal
terpenting
dalam
budaya
meliputi
bahasa,
agama,
tradisi,
dan
kebiasaan.Namun seiring berkembangnya zaman, wujud kebudayaan pun menjadi meluas dan bertambah banyak sehingga dapat diklasifikasikan menjadi wujud atau jenis kebudayaan yang berbeda. Selain itu wujud-wujud kebudayaan dapat juga memperlihatkan bagaimana budaya tersebut berubah dari yang hanya berwujud nilai menjadi sebuah bentuk fisik yang nyata. Dalam buku Ilmu Sosial Budaya Dasar wujud kebudayaan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
a. Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud kebudayaan ini sangatlah abstrak dan tidak dapat dilihat. Namun wujud seperti ini sangat bisa dirasakan dan sedikit banyak mempengaruhi karakter dari suatu masyarakat dan mempengaruhi dasar dari sistem sosial pada masyarakat tersebut.
b. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Setelah wujud pertama didapatkan maka kebudayaan pun dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih konkret dan dapat dirasakan walau belum terlalu nyata. Wujud ini adalah 14
Ibid. Hal:36
17
perkembangan dari nilai-nilai, ide-ide, dan norma-norma yang sudah dianut sebuah masyarakat. Contoh yang paling nyata dan paling mudah dirasakan adalah bahasa. Dalam buku ilmu sosial dan budaya dasar disebutkan bahwa level paling dasar kebudayaan dapat direfleksikan adalah dalam bahasa. Bahasa ini mencakup sintaksis, kosakata, dan tata bahasa. Selain itu norma-norma yang sudah berkembang di masyarakat pun mulai berkembang menjadi system sosial yang dipakai dalam sebuah masyarakat. Sistem sosial ini menyangkut banyak hal, seperti gender, system kerja, kekeluargaan, dan kepempinan.
c. Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Setelah manusia mapan dengan budaya mereka, maka mereka akan mereflesikan atau mengabadikan budaya mereka lebih jauh agar dapat diketahui secara luas. Maka setelah itu akan terwujud sebuah kebudayaan fisik. Diantara semua wujud kebudayaan, wujud inilah yang paling konkret bentuknya dan dapat dilihat secara kasat mata. Contohnya candi,artefak, dan literatur.
Walaupun wujud-wujud kebudayaan ini terasa seperti kebudayaan yang bermetamorfosis, namun sesungguhnya kebudayaan pun masih dapat terus berkembang dan berubah walaupun dalam bentuknya yang paling abstrak. Sama seperti manusia, kebudayaan pun memiliki sifat-sifat yang akhirnya membentuk karakter dari budaya tersebut. Di dalam buku tersebut juga disampaikan sifat-sifat dari kebudayaan adalah : 15
a. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
15
Elly M. Setiadi, Kama Abdul Hakam, Ridwan Effendi. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta Kencana. Hal:27
18
b. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. c. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. d. Kebudayaan
mencakup
aturan-aturan
yang
berisikan
kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan, yang diterima dan ditolak, serta tindakantindakan yang dilarang dan diizinkan.
Melalui sifat-sifat diatas maka terbentuklah karakteristik-karakteristik dari kebudayaan menurut Samovar, yaitu : 16 a. Budaya itu dipelajari Semenjak bayi suatu kelompok budaya mempelajari pola perilaku dan cara berpikir. Hal ini menyebabkan banyak dari pola ini terinternalisasi dan menjadi kebiasaan dalam diri manusia bahkan tanpa disadari. Budaya sendiri dapat dipelajari melalui dua cara, yaitu :
1) Pembelajaran informal, contohnya melalui pola interaksi, pengamatan, belajar tentang peranan gender dan imitasi. Pembelajaran informal ini pasti dialami oleh semua masyarakat karena seiring dengan proses kehidupan masyarakat tersebut, berjalan jugalah pembelajaran budaya melalui cara ini.
2) Pengajaran formal. Pembelajaran ini tergantung pada institusi. Contoh yang paling terlihat melalui sekolah. Sekolah di beberapa negara memiliki cara mengajar yang berbeda-beda dan hal ini lah yang pada akhirnya akan menjadi saluran untuk mempelajari budaya setempat. 16
Larry A.Samovar, Richard E.Porter,Edwin R.McDaniel. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta:Salemba Humanika. Hal:28
19
Selain cara mengajarnya, mata pelajaran pun bisa menjadi wadah untuk menyalurkan budaya yang ada di daerah setempat.
Walau begitu budaya sesungguhnya cenderung untuk tidak disadari. Kita mempelajari pola budaya dalam proses komunikasi. 17 Contohnya melalui peribahasa, dongeng, legenda, mitos, karya seni, dan media masa,
b. Budaya itu dibagikan Budaya merupakan denominator utama yang membuat tindakan suatu individu cerdas bagi anggota lain dari masyarakat tersebut. 18 Budaya tidak dapat diendapkan dan disimpan sendiri. Budaya pasti dibagikan agar masyarakat sekitar mengerti dan hidup dengan mengacu pada budaya tersebut.
c. Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi Jika budaya ingin dipertahankan maka budaya perlu untuk tidak hanya dibagikan namun juga lebih spesifiknya diturunkan. Sehingga penyebaran budaya tidak hanya secara horizontal namun juga vertikal antar generasi dan usia. Komunikasilah yang mempunyai andil besar untuk membuat budaya berkelanjutan, tidak hanya komunikasi verbal namun juga non verbal.
d. Budaya itu didasarkan pada simbol. Ada banyak budaya yang tidak kasat mata dan sangat abstrak. Mayarakat membutuhkan sesuatu untuk membuat budaya mudah dibagikan dan diturunkan. Portabilitas simbol memungkinkan orang untuk membungkus, 17 18
Ibid. Hal:34
WA Havilan,D. Walrath, B McBride.2005. Cultural Anthropology : The Human Challenge. ed 11. Belmont ca:Wadsworth.Hal:32 20
menyimpan, dan menyebarkan budaya. 19 Melalui simbol yang dapat dengan mudah terlihat inilah budaya suatu masyarakat dapat dikenal luas dan dapat diturunkan.
e. Budaya itu dinamis Budaya adalah proses penciptaan yang tak pernah berakhir. Contoh yang terlihat adalah di negara Amerika. Dikarenakan perkembangan kapitalisasi Amerika juga menjadikan budayanya tersebar dimana-mana dan pada akhirnya menimbulkan globalisasi. Perkembangan sistem informasi disadari atau tidak juga akan merubah budaya suatu masyarakat. Walaupun budaya itu kuat dan stabil, budaya tidak pernah statis. Kelompok budaya
menghadapi tantangan berkesinambungan dari
pengaruh kuat, seperti pergolakan lingkungan, tulah, peperangan, migrasi, banjir imigrasi, dan pertumbuhan teknologi baru. Sebagai akibatnya, budaya berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. 20
f. Budaya itu sistem yang terintegrasi Ketika menyentuh budaya di suatu tempat maka seluruhnya akan berpengaruh. Jika kembali membuka cerita lama, pada zaman kerajaan di Aceh, Belanda pun pada akhirnya dapat mengalahkan tentara Aceh setelah mengirimkan budayawan untuk mengetahui seluk beluk masyarakat Aceh. Ini adalah contoh bahwa ketika sekelompok orang telah menyentuh atau
19
Larry A.Samovar, Richard E.Porter,Edwin R.McDaniel. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta:Salemba Humanika. Hal:45 20
J
Luckman.1999.Transcultural
Communication
York:Delmar. Hal:22
21
in
Nursing.
Albany
New
memegang budaya satu tempat otomatis semua seluk beluk masyarakat di dalamnya akan berpengaruh.
Sebagai dua unsur yang tak dapat dipisahkan, masyarakat dan budaya akan selalu berjalan beriringan. Implikasi dari keadaan ini adalah setiap masyarakat akan memiliki budayanya masing-masing di setiap wilayah mereka. Dunia yang sangat luas ini mendorong timbulnya beraneka ragam budaya. Keanekaragaman budaya menciptakan suatu dunia yang kaya, beraneka, dan secara estetis menyenangkan dan memberikan dotrongan-dorongan. Keanekaragaman budaya ini memang dapat menimbulkan efek negatif apabila masyarakat tidak bisa berpandangan luas. Namun perlu juga ditekankan bahwa dengan adanya keberagaman dalam budaya di dunia ini maka masyarakat pun akan mempunyai banyak pilihan dan memperluas kebebasan pilihan mereka akan budaya yang ada.Mayarakat menjadi tidak berpikiran sempit dan bisa mempelajari makna hidup dari kebudayaan yang ada. Hubungan antara keanekaragaman budaya dengan kepribadian dan kemajuan adalah keanekaragaman budaya mendorong satu kompetisi yang sehat antara sistem gagasan dan jalan hidup yang berbeda beda, keduanya mencegah dominasi salah satu dari mereka dan mempermudah munculnya kebenarankebenaran baru. Seperti yang telah dikatakan, bahwa dengan adanya keberagaman budaya ini pikiran manusia menjadi luas. Mereka tidak hanya berpuas diri dan terkukung dalam satu budaya saja. Keanekaragaman budaya ini pula lah yang memungkinkan peradaban manusia menjadi lebih maju dari tahun ke tahun. Selain itu jelas bahwa kebudayaan yang berbeda-beda akan memperbaiki dan melengkapi satu sama lain saling memperluas cakrawala pemikiran dan menyadarkan satu sama lain mengenai bentuk-bentuk baru pemenuhan manusia. Keberagaman budaya inilah yang pada akhirnya juga melahirkan masyarakat yang multikultur serta pandangan multikulturalisme di dunia. 22
Multikulturalisme bukanlah suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu multi yang berarti plural dan kulturalisme yang berarti pengertian kultur atau
budaya. 21 Istilah plural
mengandung arti yang berjenis-jenis sementara pluralisme bukanlah berarti sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut harus mempunyai implikasi-implikasi pada bidang politis, sosial, dan ekonomi. Multikulturalisme harus diarahkan secara positif agar dapat ikut serta membangun negara yang lebih kaya dan masyarakat yang lebih toleran. Masa depan multikulturalisme ini disadari maupun tidak akan ada dua aspek yang akan mempengaruhinya, yaitu historis dan politik. Aspek historis ini berkaitan erat dengan sejarah perkembangan multikulturalisme di Indonesia yang tidak dapat dipisahkan juga dengan negara tetanggga maupun bangsa lain. Indonesia terkenal dengan nusantara silang budaya. 22Hal ini lah yang menyebabkan sejak berabad-abad lalu Indonesia dipengaruhi oleh budaya-budaya dunia lainnya, sehingga Indonesia akan selalu menjadi negara yang pluralistis. Politik adalah aspek kedua yang akan lebih banyak mempengaruhi paham multikulturalisme di Indonesia. Politik yang tidak jelas dan banyaknya diskriminasi dalam ranah politik sudah tentu dapat menjadi pengaruh yang besar bagi kelangsungan multikulturalisme di Indonesia. Aspek historis dan politik dari konsep multikulturalisme hendaknya digarap secara terbuka dan obyektif sehingga dapat ditumbuhkan suatu pengertian yang jernih mengenai keperluan memahami budaya yang berjenis-jenis tersebut sebagai
kekuatan
di
dalam
kehidupan
bersama.
Dengan
demikian
multikulturalisme masa depan berkembang ke arah sebagai berikut: 21
HAR Tilaar. 2004. Multikulturalisme:Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:Grasindo.Hal:82 22 Ibid. Hal:91
23
a. Multikulturalisme yang bertujuan. Perlu dikaji dasar-dasar dan keperluan multikulturalisme itu sendiri. Budaya merupakan modal suatu bangsa untuk berkembang dan maju dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang memang perlu menggalang kekuatan terutama di dalam era globalisasi. Kemampuan melawan arus globalisasi sangat penting untuk mencegah terbentuknya monokultural. Walaupun begitu, tetap ada dua kemungkinan yang akan terjadi.Kemungkinan negative, maka akan timbul fanatlik budaya sementara kemungkinan positif akan timbul rasa pengharagaan dan toleransi terhadap sesama komunitas dengan budayanya masing-masing. Kekuatan di dalam masingmasing budaya pun akhirnya dapat digalangkan.
b.
Multikulturalisme merupakan suatu
benteng pertahanan terhadap
penyerangan kapitalisme global. Kapitalisme global yang merupakan anak
dari
corporation
neoliberalisme adalah
dengan
gurita
yang
berkembanganya akan
multinational
melumpuhkan
pluralitas
kebudayaan.
c. Multikulturalisme di masa depan akan terus-menerus bergumul dengan hegemoni di dalam masyarakat sebagai hasil dari struktur kekuasaan yang didominasi oleh kelas yang berkuasa.
Perubahan dalam masyakat memang tidak perlu revolusi, tetapi evoluasi dari intelektual agar mempengaruhi pemimpin untuk memperhatikan golongan miskin dan tidak berdaya.Multikulturalisme adalah upaya untuk menggali potensi budaya sebagai capital yang dapat membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko. Multikulturalisme menuntut kehidupan bersama
24
yang penuh dengan toleransi, tetapi saling pengertian antar budaya, antar bangsa, dalam membina suatu dunia yang baru.
F.
Kerangka Konsep Dari kerangka pemikiran yang telah dipaparkan, ada beberapa konsep utama yang akan digunakan dalam penelitian ini. Kerangka konsep juga memudahkan pembaca untuk memahami batasan-batasan yang ada dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut:
1. Identitas Brand dan Elemen Brand Sesuai dengan model yang dikembangkan oleh Aaker, identitas brand dapat dilihat dari empat perspektif yaitu, brand sebagai produk, brand sebagai organisasi, brand sebagai person, dan brand sebagai simbol. Pada penelitian ini identitas brand akan difokuskan pada brand sebagai simbol. Dalam perspektif brand sebagai simbol akan ada dua dimensi, yaitu visual imaginery and metaphor dan brand heritage. Melihat bahwa penelitian ini lebih fokus ke simbol yang kasat mata, maka akan diambil dimensi visual imaginery yang biasa disebut juga dengan elemen-elemen brand. Dimensi visual imaginery and metaphor, terdiri dari:
a. Nama Brand adalah nama yang dipilih oleh perusahaan untuk membedakan dari produk lain.
b. Logo dan simbol. Logo adalah penanda yang paling mudah yang dipilih oleh perusahaan agar calon konsumen dapat membedakan produk mereka dengan lebih cepat dan mudah. Logo biasanya hanya
25
berupa gambar atau beberapa huruf yang disusun dengan menarik dan mudah diingat.
c. Karakter adalah simbol yang merupakan manusia atau karakter yang dipilih perusahaan untuk menyempurnakan brand-nya.
d. Slogan
dan
Jingle.
Slogan
adalah
frase
singkat
yang
mengkomunikasikan informasi deskriptif atau persuasif tentang brand. Jingle adalah pesan musikal yang ditulis seputar brand. Jingle bisa dianggap sebagai slogan musikal yang panjang.
e. Packaging atau kemasan produk adalah tampilan produk yang akan dijual. Pada penelitian ini akan dibahas kemasan edisi biasa dan edisi khusus.
2. Multikulturalisme dan Budaya Multikulturalisme yang diambil dalam penelitian ini mengacu pada multikulturalisme menurut Parsudi Suparlan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu multikulturalisme yang akan dibahas lebih mengacu kepada keberagaman budaya yang terlihat dalam elemen-elemen brand. Penelitian ini akan lebih menjurus ke budaya-budaya yang ditampilkan dalam elemen-elemen brand Monggo. Jenis-jenis budaya yang diambil pun mencakup bahasa, simbol agama dan kepercayaan, dan simbol tradisi.
26
G.
Metodologi 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai metode
analisis semiotik. Pengunaan metode analisis semiotik dipandang relevan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai peneliti. Hal ini disebabkan karena analisis ini dapat digunakan sebagai suatu pendekatan untuk memperlihatkan makna yang tersembunyi (latent) dalam simbol dan teks suatu media. Dalam penelitian ini media yang dimaksud adalah brand. Komunikasi adalah studi tentang bagaimana makna dapat diintepretasikan sedangkan semiotik adalah studi tentang tanda dan bagaimana tanda bekerja. Antara tanda dan makna mempunyai keterkaitan yang sangat kuat.
Semiotik sendiri mempunyai tiga kajian, yaitu:
a.
Studi tentang tanda itu sendiri yang terdiri dari studi tentang beragam tanda, beragam cara,bagaimana tanda menghasilkan makna dan bagaimana
tanda
berhubungan
dengan
orang-orang
yang
menggunakannya. Karena tanda adalah konstruksi dari manusia dan hanya
dapat
dimengerti
menurut
konteks
masyarakat
yang
menggunakannya.
b.
Mengenai kode atau sistem dimana tanda-tanda diorganisasikan. Studi ini berkaitan dengan cara berbagai kode muncul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya.
27
c.
Budaya dimana kode-kode dan tanda-tanda melakukan operasinya. Dalam hal ini bergantung pada penggunaan kode dan tanda dalam bentuk dan keberadaannya sendiri. 23
Tidak hanya dapat digunakan untuk meneliti tanda, semiotik juga menitikberatkan perhatian pada aspek berfungsinya tanda dan bagaimana bahasa dan penandaaan beroperasi dalam memproduksi makna. Oleh sebab itu penelitian ini akan menggunakan analisis semiotik yang didasarkan pada pemikiran Roland Barthes. Semiotik Barthes memperlakukan citra-citra dalam media sebagai tandatanda. Tanda tersebut mewakili konsep-konsep, ide, dan perasaan kita dalam cara tertentu sehingga memungkinkan orang lain untuk ’membaca’, menyandi balik (decode), atau menafsirkan makna mereka dalam cara yang kira-kira sama dengan yang kita lakukan. Dengan begini, jelaslah bahwa fungsi tanda yang demikian menunjukkan perannya dalam mengkonstruksi makna dan sekaligus membawa pesan. 24 Makna sendiri tidak langsung melekat pada tanda melainkan baru bisa terbentuk apabila ada praktik penandaan (signifying) melalui proses representasi. Penandaan adalah sebuah praktik yang memproduksi makna, suatu praktik yang membuat sesuatu menjadi memiliki arti. Hakikat yang terkandung dalam penandaan atau signifikasi adalah bahwa tanda-tanda diorganisasi dalam satu rangkaian khusus dalam suatu ’bahasa’. Adapun yang dimaksud dengan ’bahasa’ itu sendiri adalah segala suara, kata, gambar, atau objek yang berfungsi sebagai tanda dan diorganisir dengan tanda-tanda lain ke dalam satu sistem dimana mampu membawa dan mengekspresikan makna. 25
23
John Fiske.Introduction to Communication Studies.1990. London:Routledge.Hal:40 Stuart hall. 1997. Representation : Cultural Representations and Signifying Practises. London:Sage Publication, ltd. Hal:37 24
25
Ibid. Hal:19
28
Pokok pemikiran Barthes yang menjadi acuan dasar dalam metode penelitian ini adalah pemaknaan bertingkat melalui denotasi dan konotasi. Tingkatan pertama yang dilalui dalam praktik pemaknaan adalah denotasi. Denotasi merupakan level dasar dan deskriptif dimana konsensus atas makna disetujui oleh banyak orang secara luas. Selanjutnya penanda dan petanda pada tingkat denotasi ini menjadi satu penanda tersendiri yang kemudian dimaknai pada tingkat kedua, yaitu konotasi. Dalam konotasi, proses penandaan lebih luas dimaknai dengan menghubungkan bahasa ke dalam cakupan yang lebih luas kepada tema-tema dan makna. Dari sinilah kemudan diperoleh petanda baru yang sangat terkait dengan konteks sosial, budaya, dan sistem nilai yang ada. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Lewat unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pada tingkatan konotasi inilah dapat ditemukan semacam fragmen-fragmen dari suatu ideologi, dimana makna tersembunyi yang hendak digali dapat diperoleh. Barthes menyebut tingkat penandaan kedua ini sebagai level mitos. Oleh sebab itu representasi hanya dapat dianalisis secara tepat apabila dijalankan melalui praktik penandaan (signfying). Ini semua memerlukan analisis atas tanda-tanda aktual yang wujudnya dapat berupa simbol, angka, gambar (picture atau motion picture), narasi, kata-kata (tertulis atau terucap), dan suara. 26 Maka, pada penelitian ini analisis akan diarahkan pada elemen dan relasi tanda-tanda yang hadir secara nyata pada identitas brand Monggo. Dengan demikian, peran analisis semiotik dibutuhkan dalam proses produksi makna atas citra-citra multikulturalisme pada elemen-elemen identitas brand Monggo.
26
Ibid. Hal:9
29
2. Objek Penelitian Penelitian ini akan mengambil objek identitas brand pada brand Monggo. Lebih jauhnya adalah identitas brand dalam perspektif brand sebagai simbol atau lebih dikenal dengan sebutan elemen-elemen brand. Elemen-elemenbrand yang akan diteliti, yaitu nama brand, logo dan simbol, tagline dan jingle, serta kemasan (packaging).Elemen-elemenbrand dipilih karena penelitian ini memang dimaksudkan untuk melihat pesan apa yang ingin dibawakan oleh Monggo sejak awal pembuatannya, sehingga dipilihlah elemen-elemen dasar dari brand ini.
3. Operasionalisasi Penelitian Dalam penelitian ini akanada beberapa langkah yang ditempuh, meliputi : a.
Pengumpulan Data Langkah pertama yang diambil untuk melakukan analisis ini adalah dengan mengamati tanda-tanda yang terdapat dalam elemen-elemen brand Monggo. Pengumpulan data ini dilakukan dengan beberapa cara:
1)
Studi Pustaka Membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti,
yaitu
mengenai
representasi,
brand,
dan
konsep
multikulturalisme.
2)
Wawancara Mendalam Wawancara mendalam terhadap pihak-pihak yang dianggap kompeten dan dapat memberikan data yang lengkap dan terpercaya, yakni tim marketing dari brand Monggo.
b.
Pengolahan Data Setelah dikumpulkan selanjutnya data-data tersebut dilasifikasikan menurut unit analisis dan unit tertelitinya. 30
c.
Penyajian Data Data-data ini akan disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah untuk proses pengklasifikasiannya dan lebih mudah dibaca.
1)
Unit Analisis
Unit Analisis
Elemen
Sub Elemen
Multikulturalisme
Keberagaman
Bahasa,
budaya
agama
simbol dan
kepercayaan, mitos, dan tradisi.
2)
Unit Terteliti
Unit Terteliti
Unsur
Sub Unsur
Elemen-elemen
Nama Brand
Bahasa.
Logo dan Simbol
Bahasa,
Brand
Gambar
Warna, dan
tata
letaknya Slogan
Bahasa, Warna, Jenis tulisan.
Karakter
Aktor karakter, sifatsifat
dan
penampilannya Kemasan
31
Bentuk,
Warna,
Tokoh
dalam
kemasan,
tulisan,
bahasa.
d.
Analisis Data Selanjutnya data-data yang telah terklasifikasikan dan telah disajikan dalam berntuk tabel akan dipaparkan dan dijelaskan menurut semiotika Barthes. Semiotika Barthes ini akan melihat tanda-tanda denotatif yang akan dijabarkan pula secara konotatif.
32