Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI/IPA DAN PEMBELAJARANNYA Peran Biologi dan Pendidikan Biologi/IPA Dalam Menyiapkan Generasi Unggul dan Kompetitif di Abad 21 Sabtu, 1 November 2014 FMIPA Universitas Negeri Malang
Reviewer: Prof. Dr. A.D. Corebima, M.Pd Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc. Ph.D Prof. Dr. Hj. Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, M.S Prof. Dr. Siti Zubaidah, M.Pd Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.S Prof. Dr. agr. M. Amin, M.Si Dr. Umie Lestari, M.Si Dr. Murni Saptasari, M.Si Dr. Hadi Suwono, M.Si Dr. Ibrohim, M.Si Dr. Sueb, M.Kes Dr. Betty Lukiati, M.S Dr. Endang Suarsini, M.Ked Dr. Susriyati Mahanal, M.Pd Dr. Fatchur Rohman, M.Si Dr. Sri Endah Indriwati, M.Pd Dr. Abdul Gofur, M.Si Dr. Dahlia, MS
Diterbitkan oleh : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang ISBN : 978-602-72185-0-5 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hak Cipta © 2014 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang | i
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI/IPA DAN PEMBELAJARANNYA Peran Biologi dan Pendidikan Biologi/IPA Dalam Menyiapkan Generasi Unggul dan Kompetitif di Abad 21
ISBN : © 2014 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang
Proseding ini berisi artikel hasil penelitian dan kajian terhadap temuan-temuan, oleh sebab itu proseding ini merupakan hak cipta. Tidak diperkenankan mereproduksi seluruhnya atau sebagian dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari editor. Permintaan dan pertanyaan tentang reproduksi dan hak-hak ditujukan kepada Dr. Hadi Suwono, MSi, Jurusan Biologi FMIPA atau Email ke
[email protected]
Hak intelektual pada masing-masing artikel tetap merupakan hak penulis seperti yang tercantum pada prosiding ini.
Dipublikasikan oleh: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jl. Semarang 5 Malang, Jawa Timur, INDONESIA Telp : (0341) 588077 Fax : (0341) 588077 Email :
[email protected] Website: semnas.biologi.um.ac.id
ii | Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur alhamdulillah, Seminar dan Workshop Nasional 2014 dalam rangka memperingati Lustrum XII Universitas Negeri Malang dan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, dapat terlaksana. Seminar dan Workshop Nasional dengan tema Peran Biologi dan Pendidikan Biologi/IPA dalam Menyiapkan Generasi Unggul dan Kompetitif di Abad 21 membahas peran biologi dan pendidikanbiologi/IPA dalam menunjang peningkatan kualitas Bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad 21. Abad 21 disebut pula abad pengetahuan yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi yang diterapkan dalam berbagai bidang. Kehidupan generasi abad 21 bertumpu pada kemajuan biologi. Riset dan temuan di bidang biologi diperlukan untuk memecahkan berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh manusia saat ini, yaitu kesehatan, pangan, lingkungan dan energi. Bersamaan dengan tumbuhnya biologi, berkembang pula pendidikan biologi. Kemajuan pendidikan biologi memiliki peran penting untuk menyiapkan generasi unggul yang siap memecahkan permasalahan yang muncul di abad 21 ini.Oleh sebab itu Seminardan Workshop Nasional yang diselenggarakan ini memiliki makna penting untuk mewadahi, menyebarluaskan, dan menyosialisasikan hasil-hasil penelitian dan praktik-praktik yang baik, dalam bidang biologi maupun pendidikan biologi/IPA yang memiliki prospek dalam menyiapkan manusia Indonesia yang cerdas, bermartabat, kompetitif, dan maju. Penyelenggaraan seminar dan workshop ini dapat terwujud karena dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya kegiatan ini baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama kepada seluruh peserta seminar dan workshop yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, seluruh narasumber, segenap panitia, dan jajaran pimpinan di Universitas Negeri Malang. Akhirnya, semoga seminar ini dapat mencapai tujuan dan memberi manfaat bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Malang, 1 November 2014 Panitia
Dr. Hadi Suwono, M.Si NIP. 19670515 199103 1 007
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang | iii
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
DAFTAR ISI Halaman Judul ............................................................................................................................. i Daftar Isi ...................................................................................................................................... ii Kata Pengantar ............................................................................................................................. iii Makalah Utama Sutiman B.Sumitro Pandangan Nano Biologi dalam Bahasan Pemanfaatan Jamoe (Sebuah upaya memahami kearifan lokal) ................................................................................................... Stuart Weston Refleksi Tentang Pendidikan Dasar Di Indonesia ................................................................ Herawati Susilo Pembelajaran Biologi/IPA untuk Generasi Abad 21 ............................................................ Endang Kartini Ariati Murwanti Dinamika Pembelajaran dan Penelitian Botani di Universitas Negeri Malang (UM)............. Istamar Syamsuri Pembelajaran Biologi Di Masa Depan .................................................................................
Makalah Pendidikan Biologi 1. Abdul Basith, Aloysius Duran Corebima, Siti Zubaidah Pengaruh Strategi Pembelajaran Problem-Based Learning dan Reciprocal Teaching, Potensi Akademik, dan Interaksinya Terhadap Pemahaman Konsep Biologi dan Retensi Siswa Kelas X SMA Kota Malang ............................................................................... 2. Agus Kusnandi Peningkatan Motivasi dan Hasil Belajar Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang Pada Mata Kuliah Biologi Umum Melalui Model Inkuiri Berbasis Lesson Study 2014/2015 ......................................................... 3. Agus Ramdani, A. Wahab Jufri, Afriana Azizah Implementasi Perangkat Pembelajaran Sains Biologi Berbasis Inkuiri Untuk Mengembangkan Karakter Positif Siswa SMPN se Kota Mataram ............................... 4. Alif Yanuar Zukmadini Problem Based Learning Melalui Lesson Study untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa Biologi .................................. 5. Alifa Robitah, Herawati Susilo, Hadi Suwono Pengaruh Inkuiri dan Creative Problem Solving (CPS) terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Hasil Belajar dan Keterampilan Proses Ilmiah ......................................................................................... 6. Amin Agus Pugiharto Studi Komunitas Amorphophallus spp Di KPH Saradan Untuk Pengembangan Buku Pengayaan Keanekaragaman Hayati Kelas X SMA Negeri 1 Saradan ......................................................................................................... 7. Anis Samrotul Lathifah, Sri Rahayu Lestari, Hadi Suwono Pengembangan Website Berbasis Moodle untuk Membelajarkan Biologi Melalui Blended Learning 6Di SMA Negeri 5 Malang .......................................................................................... 8. Anwari Adi Nugroho, Sajidan, Mohammad Masykuri Active Learning in Higher Education (Alihe) pada Pembelajaran Biokimia Melalui Model Problem Based Cycle-Learning (PBC-L) ...................................................................................
iv | Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
1 3 12 23 27
38
46
53 60
67
77
87
95
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
9.
10.
11.
12.
13.
14. 15. 16.
17.
18.
19.
20. 21.
22.
23.
Ardian Anjar Pangestuti, Herawati Susilo, Siti Zubaidah Penerapan Model Pembelajaran Biologi Berbasis Reading-Concept Map-Teams Games Tournaments untuk Meningkatkan Minat Baca dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas X IPA 4 SMA Laboratorium UM .............................................................................................. Avia Riza Dwi Kurnia Pengembangan Model Pembelajaran Think Scaffolding Share untuk Meningkatkan Kompetensi IPA Terpadu Bagi Mahasiswa Calon Guru Bidang Tunggal ........................................................................................................... Bea Hana Siswati, AD. Corebima Mencari Faktor yang Berpengaruh Terhadap 110Hubungan Keterampilan Metakognitif dan Pemahaman Konsep Biologi dengan Bantuan Analisis Slope dan Intercept Regresi .............................................................. Calvin Talakua, Hadi Suwono, Harmoko, dan Hendrikus Julung Penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek Dipadu PQ4R Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif Limnologi di Jurusan Biologi....................................................................................... Cik’Ani Penerapan Model Pembelajaran STAD dan Media Kartu Genetika pada Materi Penurunan Sifat untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa di Kelas IX A SMP Negeri 2 Sukorejo Tahun Pelajaran 2012/2013.................................. Dede Cahyati Sahrir Analisis Pola Wacana Pedagogis Guru Biologi di SMA Negeri 7 Cirebon ......................................................................................................... Dede Nuraida Analisis Laporan Praktikum Fisiologi Tumbuhan untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa ....................................................................... Deden Ismail, Pita Listyorini Pengaruh Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E Berbasis Lanskap Budaya Subak terhadap Perilaku Berkelompok dan Hasil Media Presentasi Power Point Siswa Kelas X SMAN 1 Penebel........................................................................................................................ Deny Setiawan, Aloysius Duran Corebima, dan Sulisetijono Pengembangan Instrumen Penulisan Jurnal Belajar Berbasis ICT pada Pelajaran Biologi Siswa Sekolah Menengah Atas .............................................................................................. Desy Yanuarita Wulandari, Sri Endah Indriwati, dan Susilowati Pengembangan Media Pembelajaran E-Learning Inkuiri Berbasis Web pada Materi Sistem Imun di SMAN 3 Malang ................................................................................. Desy Fajar Priyayi, Sajidan, Baskoro Adi Prayitno Active Learning school (Alis) Pada Pembelajaran Biologi Melalui Model Accelerated Learning Encluded by discovery learning (ADI) ........................................................................................ Didimus Tanah Boleng Fenomena Penggunaan Pembelajaran Konvensional oleh Guru-Guru Biologi SMA Samarinda pada Kelas dengan Siswa Multietnis ................... Dwi Martha Nur Aditya Pengaruh Etnis Terhadap Keterampilan Metakognitif, Hasil Belajar, dan Retensi Siswa Pada Pembelajaran Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan (PBMP) Dipadu Think Pair Share (TPS) Kelas X SMAN 1 Gondanglegi ................................................................................................................ Dyah Afiat Mardikaningtyas, Ibrohim, Dahlia Pengembangan Perangkat Pembelajaran Pencemaran Berbasis Discovery-Inquiry dengan Sumber Belajar Limbah Cair Pabrik dan Rumah Tangga untuk Mengembangkan Pemahaman Konsep, Sikap dan Keterampilan Ilmiah Siswa SMP Kelas VII .................................... Elfis, Nurkhairo Hidayati Kompetensi Profesional Guru Biologi SMAN Kecamatan Tangkerang Raya Kota Pekanbaru TA 2013/2014 .....................................
103
110
117
132
139 143 150
154
160
169
178 186
194
203 210
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang | v
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
24. En Alamin Pengaruh Perkembangan Sikap Siswa Terhadap Hasil Belajar Siswa Beserta Permasalahannya dalam Pembelajaran IPA di SMP Negeri 1 Kejayan ............. 25. Endik Deni Nugroho, Moh. Amin, Umie Lestari Pengembangan Buku Pengayaan Identifikasi Ikan Secara Morfologi dan Molekuler Berbasis Penelitian dan Potensi Lokal ........................................................................................................ 26. Erfitra Rezqi Prasmala, Siti Zubaidah, Susriyati Mahanal Penerapan Model Reading Map Group Investigation (GI) untuk Meningkatkan Minat Baca dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X SMA Surya Buana Malang ....................... 27. Ericka Darmawan Penyempurnaan Integrasi Strategi Pembelajaran Simas Eri dan Blended Learning terhadap Hasil Belajar ..................................................................... 28. Fendy Hardian Permana Peran Pembelajaran Blended Learning dalam Meningkatkan Kemampuan Digital Literacy dan Communication Mahasiswa Pendidikan Biologi FMIPA UM Sebagai Bekal Hidup Di Abad 21 .............................. 29. Ferawati, Susilowati, Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, Fathur Rochman, Endang Budiasih Strategi Project Based Learning Meningkatkan Pengetahuan Siswa dalam Pengelolaan Sampah Berbasis 6M ........................................................... 30. Fitri Rahmawati, Susilowati, Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, Fathur Rochman, Endang Budiasih Strategi Project Based Learning Meningkatkan Pengetahuan Siswa dalam Pengelolaan Sampah Berbasis 6M ...................................... 31. Fuji Astutik, Hadi Suwono, Nuning Wulandari Pengembangan Media CD Interaktif Pembelajaran Biologi Materi Indera Penglihatan untuk Kelas XI IPA SMA ........................................................................................................................... 32. Hadi Suwono, Herawati Susilo, Ibrohim Kecakapan Hidup Abad 21 dalam Pembelajaran IPA/Biologi ........................................................................................... 33. Hadi Suwono, Munzil, Sentot Kusairi, Anis Samrotul Latifah, Rifqi Hardiana Pragaswari Pengembangan Blended Learning Biologi SMA Berbasis MOODLE ....... 34. Harlis Purwaningsih Peningkatan ketuntasan belajar peserta didik pada pokok bahasan Hukum Mendel melalui Model Pembelajaran Buying and Selling Quiz di Kelas XII-IPA1 SMA Negeri 2 Lumajang ................................................................... 35. Hanum Isfaeni, Khaerudin Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Web (ELearning) dengan Program Atutor pada Mata Pelajaran Biologi untuk Membangun Kemampuan Metakognitif Siswa ................................................................................. 36. Husamah E-Learning Ekologi Tumbuhan untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Dalam Menyiapkan Generasi Unggul Abad 21 ....................................... 37. Husnul Chotimah Refleksi Implementasi Kurikulum 2013 dan Analisis Kebutuhan Bahan Ajar Biologi SMK se Kota Malang.................................................. 38. Imas Cintamulya Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa yang Bergaya Kognitif Impulsif dan Mahasiswa Bergaya Kognitif Reflektif dalam Genetika Dasar ................. 39. Isma Aziz Fakhrudin, Puguh Karyanto, Baskoro Adi Prayitno Implementasi Education for Sustainable Development: Peningkatan Literasi Sains Melalui Pengembangan E-Module Ekosistem Berbasis Problem Based-Learning ..................... 40. Izzatul Laela Peningkatan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas VIII SMPN 2 Wonorejo Kabupaten Pasuruan Menggunakan Kooperatif STAD Melalui Media Kartu Domino ....................................................................................................................... 41. Lely Krisnawati, dan Diah Harmawati Implementasi PBL (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Kritis pada
vi | Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
218
225
232 237
246
257
267
278 287 300
313
324 334 346 354
362
371
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
42. 43.
44. 45. 46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55. 56.
Mata Pelajaran Biologi Kelas XI Kelompok Peminatan Matematika dan Ilmu Alam di SMAN Senduro Lumajang....................................................................................... Liliek Triani Belajar Sepanjang Hayat dengan Lesson Study? ..................................... Lilis Suryani, Ibrohim Penerapan Metode Discovery-Inquiry dalam Pembelajaran Klasifikasi Tumbuhan untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep, Ketrampilan dan Sikap Ilmiah Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Gempol Kabupaten Pasuruan ................. Lina Listiana Realitas Pengembangan Keterampilan Berpikir dalam Pembelajaran Biologi: Studi Pendahuluan di SMA Muhammadiyah Surabaya ................................... Lutfin Andyana Rehusisma, Sri Endah Indriwati Implementasi Penilaian Autentik Website Portofolio Melalui PBL untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa .... M. Khoirul Anwar, Anastya Eka Kharisma, Nur Hayati, Hadi Suwono Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Cooperative Inquiry Learning (PBCIL) Untuk Meningkatkan Keterampilan Bertanya, Keterampilan Mengidentifikasi dan Memecahkan Masalah, dan Menulis Jurnal Belajar Mahasiswa Matakuliah Biologi Umum Semester Gasal Tahun Pelajaran 2014/2015 .... Marhamah, Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, Herawati Susilo, Ibrohim Meningkatkan Kualitas Proses Pembelajaran pada Mata Kuliah Pengetahuan Lingkungan Melalui Kegiatan Lesson Study................................................................. Marheny Lukitasari, Nasrul Rofiah Hidayati, Junita Tri Susanti Penggunaan Portofolio sebagai Sarana Meningkatkan Motivasi Belajar Mahasiswa: Kajian Perkuliahan Biologi Sel di IKIP PGRI Madiun ............................................................ Mohammad Amirudin L., Rifqi Hardiana P., Monica Hetharia Penerapan Pembelajaran Berbasis Riset untuk Meningkatkan Kemampuan Merancang Penelitian pada Mahasiswa Pendidikan Biologi............................................................ Murni Sapta Sari Implementasi Lesson Study Sebagai Sarana Meningkatkan Aktifitas Kolaboratif Bagi Dosen Matakuliah Struktur Perkembangan Tumbuhan di Universitas Negeri Malang .......................................................................................... Murni Ramli, Suciati, Umi Fatmawati, Restu Yudha Sari, Amytia Putri, Ariska Yanuar Sari Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMA Melalui Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah dan Proyek .................................................... Muslihasari, A., Susilo, H., Lestari, S. R. Penerapan Penilaian Portofolio dalam Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa Kelas X-4 SMAN 8 Malang......................................................................................... Ndzani Latifatur Rofi’ah, Nuning Wulandari, Endang Suarsini Pengembangan CD Interaktif pada Pembelajaran Biologi Materi Indera Pendengar untuk Siswa Kelas XI SMA............................................................................................................. Ni Wayan Ekayanti Kohesi Sosial dan Persepsi Ekoliterasi Ketahanan Hayati Mahasiswa Pendidikan Biologi dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation ................................................................................................................ Novy Kurnia Rikardo Pembenihan Ikan di Balai Benih Ikan (BBI) Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Trenggalek ................................................ Pt Yulyana G. Artha, Herawati Susilo, dan Eko Sri Sulasmi Upaya Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Biologi Melalui Model Pembelajaran Quantum Teaching Dipadu STAD Berbasis Lesson Study pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Malang.................................................................................................
380 387
396 404 412
418
425
432
439
446
453
461
469
477 485
491
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang | vii
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
57. Purwaning Budi Lestari Isolasi Mikroorganisme Indigen dari Limbah Cair Tahu sebagai Bahan Ajar Mikrobiologi Lingkungan ............................................................ 58. Purwaningsih Peningkatan Ketuntasan Belajar Peserta Didik pada Bahasan Hukum Mendel Melalui Pembelajaran Buying And Selling Quiz di SMA Negeri 2 Lumajang .................................................................................................................... 59. Ratna Djuniwati Lisminingsih Meningkatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar di dalam Pengelolaan Energi Melalui Pembelajaran Berbasis Projek Berbantuan Komputer .................................................................................................................... 60. Rifqi Hardiana Pragaswati, Hadi Suwono, Umie Lestari Penelitian Pengembangan Website Berbahasa Inggris Pada Pembelajaran Biologi Berbasis Blended Learning di SMA Negeri 5 Malang ................................................................ 61. Rimbi Paulina Dewi, Herawati Susilo, dan Masjhudi Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E Berbasis Lesson Study untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas X IPA 2 SMA Brawijaya Smart School Malang .................................................................................................. 62. Riski Fitriyani, Sawitri Komarayanti, Kukuh Munandar Menuntaskan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII C Melalui Pembelajaran Kontekstual Menggunakan Kooperatif Jigsaw di SMPN 2 Tempurejo Tahun Ajaran 2011/2012...... 63. Sentot Irianto Analisis Kurikulum 2013 di SMA Negeri 1 Bangil............................... 64. Siti Rokhmatika, Harlita, Baskoro Adi Prayitno Pengaruh Model Inkuiri Terbimbing Dipadu Kooperatif Jigsaw Terhadap Keterampilan Proses Sains Ditinjau dari Kemampuan Akademik ........................................................................... 65. Siti Sunariyati Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Etnobotani untuk Meningkatkan Karakter Peduli Terhadap Lingkungan ........................................ 66. Sonja V.T Lumowa, Herlan Perdana Putra Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran E-Learning Berbasis Web dan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis Lingkungan Pada Pelajaran IPA Biologi Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas VII SMP di Kota Samarinda Tahun Pembelajaran 2013/ 2014 ............................ 67. Sri Rahayu Penerapan Model Pembelajaran Numbered Heads Together untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas X5 SMA Negeri 5 Malang ........................................................................................................................ 68. Suci Ferdiana Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Terpadu Berbahasa Inggris Tipe Integrated dengan Tema Mengamati Jasad Renik dalam Setetes Air untuk Kelas VII SMP .................................................................................................. 69. Suciati Sudarisman Identifikasi Pemahaman Mahasiswa Tentang Sains Dikaitkan dengan Kemampuan Pembuatan Instrumen pada Mata Kuliah Kapita Selekta di Program Magister Pendidikan Sains UNS .................................................................... 70. Suharlik Penerapan Pembelajaran Kooperatif Quis-Rt Siswa Kelas IX SMP Negeri 01 Batu........................................................................................................................ 71. Sundari Persepsi Guru Biologi di Kota Ternate terhadap Pendekatan Scientific dan Implikasinya pada Pengembangan Perangkat Pembelajaran (RPP) Kurikulum 2013 ..... 72. Supiana Dian Nurtjahyani Profil Hasil Belajar dan Ketrampilan Kerja Ilmiah Mahasiswa Biologi dengan Pembelajaran Berbasis Inkuiri pada Mata Kuliah Mikrobiologi ...............................................................................................................
viii | Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
496
505
511
519
531
538 548
553 562
569
575
592
598 604 613
619
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
73. Susilowati, Novida Pratiwi, dan Sitoresmi Prabaningtyas Penerapan Media Flash Card untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Mahasiswa Prodi IPA FMIPA UM Pada Matakuliah Biologi Dasar I.............................................................. 74. Susilowati, Nuning Wulandari, Sri Rahayu Lestari Lesson Study Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran pada Mata Kuliah Anatomi Dan Fisiologi Manusia ...................................................................................................................... 75. Susriyati Mahanal, Sugeng Utaya Pengembangan Buku Ajar Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai Mata Pelajaran Muatan Lokal pada Jenjang Pendidikan Sekolah Dasar ........................................................................................... 76. Tanti Rahayu, Endik Deni Nugroho Implementasi Lessson Study Berbasis Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru SMPN 1 Gondang Wetan .................. 77. Tengku Idris, Siti Sriyati, Adi Rahmat Penerapan Asesmen Portofolio untuk Meningkatkan Habits Of Mind dan Penguasaan Konsep Siswa Kelas XI ...................... 78. Tri Asih Wahyu Hartati, A. D. Corebima, Hadi Suwono Pengaruh Model Pembelajaran Siklus Belajar 5E dan Inkuiri Terstruktur Terhadap Keterampilan Proses Sains dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VIII SMPN di Kota Malang Matapelajaran IPA-Biologi .......................................................................................... 79. Trikinasih Handayani, Hendro Kusumo EPM, Septi Asri Lestari Upaya Peningkatan Motivasi Belajar IPA melalui Media Pembelajaran Lectoradi Siswa Kelas 7 SMP Muhammadiyah 2 Kalibawang ............................................................... 80. Tutut Indria Permana, Susilowati, dan Triastono Imam Prasetyo Implementasi Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas X IPA 3 MAN 3 Malang ................................ 81. Wahyu Fitri Lestari, Sri Widoretno, Nurmiyati Pengembangan Modul Berbasis Research untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Metakognisi Siswa Kelas X pada Topik Ekosistem di SMA Negeri 1 Karanganyar .......................... 82. Yahmi Ira Setyaningrum Gambaran Pengetahuan Santri di Pondok Pesantren Kota Malang dan Batu Tentang Skabies Terkait dengan Literasi Sains dan Literasi Kesehatan .................................................................................................................... 83. Yuni Krisnawati, Susilowati, Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, Fathur Rochman, Endang Budiasih Penerapan Strategi PBL Berbantuan Modul 6M untuk Meningkatkan Pengetahuan dan Sikap Siswa SMP ............................................. 84. Eko Sri Sulasmi Mengembangkan Desain Pembelajaran Matakuliah Botani Berpembuluh Melalui Lesson Study di Jurusan Biologi ................................................ 85. H. Mokhammad Firdaus Efendi Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) sebagai “Eksperimen” dan “Eksperien” Di SMPN 2 Grati dan Dampaknya Bagi Profesionalisme Guru .................................................................................................. 86. Yula Miranda, Saritha Kittie Uda The Efficient Use Of Questions, Discussions, And Practical Works At Environmental Knowledge Subject For Increasing The Students Critical Thinking Abilities In Preservation Effort Of Medicine Plants ............
624
632
638 646 652
658
665
672
680
687
693 705
712
721
Makalah Biologi 87. Agus Dharmawan Uji Efektivitas Isolasi Kering Hewan Tanah Dengan Metode Modifikasi Barless Eco 12 ........................................................................................... 737
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang | ix
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
88. Ajeng Wijarprasidya, Istamaya Ariani, Lilik H. Mukminin, Arif B. Setiawan, Eko Sri Sulasmi Studi Morfologi Spora Tumbuhan Paku Pada Famili Dennstaedtiaeceae....................................................................................................... 89. Anisa Purnamasari, Eliska Purnamasari, Suparti Produktivitas Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Media Tambahan Serabut Kelapa (Cocos nucifera)...................................................................................................................... 90. Badrud Tamam, Apri Arisandi Kondisi dan Keragaman Terumbu Karang Di Pulau Mamburit Kepulauan Kangean ........................................................................... 91. Bevo Wahono Analisis Anatomi dan Histologi Umbai Cacing (Vermiformappendix) Pada Kelinci Sebagai Anggota Hewan Herbivora ....................... 92. Chandra Kirana, Utami Sri Hastuti, Endang Suarsini Pengaruh Variasi Macam Gula dalam Beberapa Konsentrasi Terhadap Kualitas Nata De Nira Siwalan (Borassus flabellifer L.) dari Pamekasan ...................................................................... 93. Cicilia Novi Primiani, Umie Lestari, Mohammad Amin, Sutiman B. Sumitro Fitoestrogen Umbi Bengkuang (Pachyrhizus erosus): Sebuah Kajian Hasil Penelitian dalam Perspektif Holistik ............................................................................ 94. Dian Puspita Dewi, Nursasi Handayani, Umie Lestari Analisis Protein Membran Spermatozoa Sapi Madura, Sapi Simental dan Sapi Limousin Sebagai Pendekatan Hubungan Kekerabatan Sapi ..................................................................... 95. Dwi Anggorowati Rahayu, Endik Deni Nugroho, Haryono, Nia Kurniawan, Rodiyati Azrianingzih Distribusi Haplogrup Ikan Genus Tor di Indonesia Berdasarkan DNA Barcode Cytrocome oxydase I ......................................................... 96. Endah Handayani , Bima Diwanata, Eko Sri Sulasmi Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L................................................ 97. Fatchur Rochman Preferensi Kumbang Kubah Predator pada Beberapa Tumbuhan Gulma Berpotensi sebagai Tumbuhan “Refugia” ........................................ 98. Gito Hadiprayitno Kelimpahan dan Status Konservasi Burung Air di Danau Meno, Lombok ............................................................................................................ 99. Khoirul Anwar Ekstraksi Agar dari Rumput Laut Gracillaria verucosa verucosa dan Euchema cottoni cottoni ........................................................................................ 100. Lalu Irfan Arisaputra, Firda Asmaul Husna, Syifa Sundari, Eko Sri Sulasmi Variasi Bentuk dan Ornamentasi Spora pada Marga Cheilanthes .................................. 101. Lelly Dwi Arrummaisha, Sofia Ery Rahayu, Sulisetijono Preferensi Kupu-Kupu Familia Nymphalidae dan Lycaenidae pada Tumbuhan di Wisata Air Terjun Coban Rais Kota Batu, Jawa Timur ........................................................................................ 102. Mochammad Ichsan, Didik Huswo Utomo, Jayarani Fatimah, Widodo Identifikasi Senyawa Kandidat Inhibitor Protein Rock2 Menggunakan Metode Penapisan Senyawa Secara Virtual Berlapis Ganda ...................................................... 103. M. Wildan Zul Auzan, M. Zufikar, Sodri, Hendro Kusumo Epm Biokomunikasi Tumbuhan Putri Malu (Mimosa pudica) .............................................. 104. Na’im Mustikawati, Poppy Rahmatika Primandiri, Sulistiono Keanekaragaman Serangga di Taman Wisata Bendungan Waru Turi Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri ........................................................................................................ 105. Novia Fahmi Ayu W, Suhadi, Hawa Tuarita Komposisi dan Distribusi Gastropoda di Kawasan Mangrove Desa Pagagan Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan-Madura ....................................................................................
x | Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
743
748 753 761
765
770
780
786 794 800 807 814 817
822
829 838
843
850
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
106. Pintar Tri Wahyuni Studi Keragaman Kupu-Kupu Pieridae di Kawasan Wisata Air Terjun Coban Rais Kota Batu ................................................................................ 107. Poedji Hastutiek, Agus Sunarso Identifikasi Komponen Kimia Ekstrak Daun Permot (Passiflora foetida Linn.) dengan TLC dan GC-MS sebagai Kandidat Bioinsektisida terhadap Nyamuk.................................................................................. 108. Putri Eka Maharani, Putri Moortiyani Al Asna, Lenny Yunia Nurwega, Dwi Rahmawati, Eko Sri Sulasmi Studi Karakterisasi Morfologi Spora Tumbuhan Paku pada Famili Adiantaceae ..................................................................................... 109. Ratna Dwi Ramadani, Sofia Ery Rahayu, Umie Lestari Analisis Protein Membran Spermatozoa Sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali, dan Sapi Ongole Sebagai 891Pendekatan Kekerabatan Sapi ................................................................................ 110. Rony Irawanto Perbanyakan dan Pertumbuhan Acanthus Ilicifolius L. sebagai Fitoteknologi Lingkungan............................................................................................ 111. Rony Irawanto, R. Hendrian Koleksi dan Sebaran Coix lacryma-jobi di Kebun Raya Purwodadi .......................................................................................................... 112. Siti Imroatul Maslikah Potensi Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Etanol Umbi Gendola (Basella rubra linn) Sebagai Kandidat Obat Herbal dan Antioksidan Alternatif ..................................................................................................................... 113. Sitoresmi Prabaningtyas Isolasi Mikroalga Langkah Awal Bioeksplorasi Mikroalga Potensial ..................................................................................................... 114. Slamet Santosa Pengaruh Sekam Padi, Kompos dan Pupuk Kandang Sapi terhadap Beberapa Sifat Kimia, Fisika, dan Biologi Endapan Lumpur Sidoarjo ............ 115. Sofia Ery Rahayu Perilaku Pemangsaan Coccinella transversalis terhadap Kutu Daun (Aphids) ............................................................................................................. 116. Sueb Mengembangakan Wawasan Lingkungan dengan Menggunakan Paradigma Ekologis Baru sebagai Upaya Mengurangi Pencemaran Lingkungan ............................ 117. Tri Nova Anggraini, Fatchur Rohman, Abdul Gofur, Pengaruh Tumbuhan Akar Wangi (Chrysopogon zizanioides, L) Terhadap Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dan Pengembangannya untuk Bahan Ajar pada Matakuliah Pengetahuan Lingkungan di Perguruan Tinggi ................................................................................. 118. Widodo Temuan Asterostemma repandum Decne. (Asclepiadoideae) di Gunung Ijo Pegunungan Batur Agung Yogyakarta .................................................................... 119. Wiwik Hariyatik, Mohamad Amin, Endang Suarsini Eksplorasi dan Identifikasi Bakteri Termofilik Lokal Penghasil Amilase, Lipase, dan Protease Termostabil dari Sumber Air Panas Kawah Ijen .............................................................................. 120. Yousep Anitasari, Sulistiono, Poppy Rahmatika Primandiri Keragaman Morfologi Talus Lumut Kerak di Kabupaten Tulungagung .......................................... 121. Amy Tenzer Pengaruh Pemberian Suplemen Kalsium Terhadap Penampilan Reproduksi Dan Perkembangan Rangka Mencit (Mus Musculus) Balb C ..................... 122. Liswara Neneng, Yusintha Tanduh, Soleh Mochtar Pengaruh Jenis dan Komposisi Mikroorganisme dalam Bioorganik Fertiliser terhadap Kesuburan Tanaman pada Lahan Pasca Penambangan Emas di Kalimantan Tengah ...................... 123. Muchammad Yunus Atenuasi Patogenitas Beberapa Spesies Eimeria Melalui Pasase Berseri Precocious Line Pada Naïve Chicken .................................................... 124. Mufasirin, Lucia Tri Suwanti, Suwarno, Hani Plumeriastuti, Dewa Ketut Meles, Zainul Muttaqin Efektifitas Penggunaan Protein Ekskretori-Sekretori
856
861
868
874 881 891
900 907 915 922 926
932 942
949 958 965
973 980
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang | xi
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Antigen Toxoplasma gondii Hasil Pembiakan In Vivo pada Mencit sebagai Bahan Pembuatan Immunocrhomatography Test untuk Diagnosis Toksoplasmosis ............... 989 125. Tintrim Rahayu, Umu Sholikhah Respon Kalogenesis dalam Optimasi Medium B5 dan MS Pada Kultur In Vitro Tanaman Koro Pedang (Canavalia ensiformis, L) ..... 995
xii | Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Uji Efektivitas Isolasi Kering Hewan Tanah dengan Metode Modifikasi Barless Eco 12 Agus Dharmawan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang, e-mail:
[email protected]
Abstrak Isolasi kering merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pengambilan sampel hewan tanah khususnya hewan infauna salah satunya adalah barless tullgren. Penggunaan alat ini belum banyak digunakan oleh kalangan akademis dikarenakan harganya yang mahal. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif alat barless tullgren yang lebih praktis dan ekonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas modifikasi Barless Eco 12 pada isolasi kering dibandingkan dengan metode isolasi basah menggunakan penyaring bertingkat. Untuk mengetahui efektifitas alat modifikasi Barless Eco 12, dilakukan komparasi dengan hasil isolasi basah terhadap tanah yang terdedah selama 5 jam. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan lama penyinaran yaitu, 3 jam, 4 jam dan 5 jam dan setiap pelakuan dilakukan 10 kali ulangan. Analisis statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan hasil antar variasi perlakuan waktu pendedahan adalah analisis varian dan uji BNT, sedangkan untuk mengetahui perbedaan efektifitas antara isolasi basah dan isolasi kering menggunakan analisis uji T. Hasil uji t menunjukkan adanya perbedaan perolehan hewan tanah barless tullgren dengan isolasi basah. Penggunaan modifikasi Barless Eco 12 pada isolasi kering memberikan hasil sampel hewan tanah yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan isolasi basah. Berdasarkan uji BNT, variasi waktu yang paling efektif adalah perlakuan 4 jam. Kata kunci: Berless tullgreen, Isolasi kering, Barless Eco 12
Pendahuluan Hewan tanah adalah hewan yang habitat hidupnya di tanah. Kelompok hewan ini terdiri dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Anelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata (Suin, 1989). Hewan tanah merupakan orgnisme decomposer yang berperan dalam menentukan laju komposisi botan (Sugiyarto, 2000). Hewan tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal, antara lain berdasarkan ukuran tubuh, kehadirannya di tanah, habitat yang di pilihnya, dan kegiatan makannya (Isnan, Tuarita, Dharmawan, Tanpa tahun). Ada dua metode yang sering digunakan untuk memperoleh hewan tanah yaitu metode isolasi basah dan metode isolasi kering. Metode isolasi basah dilakukan dengan
menyaring tanah yang sudah dicampur dengan air. Metode ini memiliki kekurangan, yaitu hewan tanah yang diperoleh sebagian struktur tubuhnya tidak utuh sehingga proses identifikasi sulit dilakukan. Metode isolasi kering salah satunya adalah Barlese Tullgreen. Barless tullgreen merupakan metode isolasi kering dinamik. Alat ekstraktor ini memanfaatkan cahaya lampu sebagai sumber panas untuk merangsang hewan tanah untuk masuk dalam tempat pengumpul (Suin, 1989). Metode ini memiliki kelebihan pada kesederhanaan pengoperasiannya. Selain itu, hewan tanah yang diperoleh memiliki struktur tubuh yang utuh, sehingga identifikasi lebih mudah dilakukan. Metode isolasi kering lebih mudah dan tidak rumit seperti metode isolasi basah. Metode ini hanya menunggu waktu
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 737
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
yang sudah ditentukan serta tidak perlu menyaring dengan air beberapa kali seperti isolasi basah. Namun, metode isolasi kering ini memiliki kelemahan pada efisiensi waktu dan energi. Proses pengambilan sampel menggunakan Berlesse tullgren membutuhkan waktu selama 4 hari dengan lampu yang digunakan sebagai perangsang hewan tanah harus selalu menyala selama pengambilan sampel. Hal tersebut memungkinkan terjadinya pemborosan energi. Barless tullgren merupakan metode yang sudah ada sejak dahulu, namun belum banyak modifikasi untuk meningkatkan efisiensi waktu dan energi, sehingga dalam penelitian ini digunakan metode baru yang dinamakan Modifikasi Barless Eco 12. Prinsip utama dalam metode Modifikasi Barless Eco 12 adalah adanya respon positif dan negatif hewan tanah terhadap sinar matahari. Intensitas cahaya matahari meyebabkan perubahan suhu lingkungan, sehingga merangsang hewan tanah untuk bergerak menjauhi cahaya. Metode Barless Eco 12 ini digunakan untuk membandingkan hasil
738 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
perolehan hewan tanah antara metode isolasi basah dan metode isolasi kering. Metode Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ekologi Universitas Negeri Malang. Penelitian dilaksanakan dari 23 September hingga 3 Oktober 2014. Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan masing-masing perlakuan 10 ulangan. Untuk mengetahui efektifitas alat modifikasi barless dilakukan komparasi dengan hasil isolasi basah terhadap tanah yang terdedah sinar matahari selama 5 jam. Analisis statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan hasil antar variasi perlakuan waktu pendedahan menggunakan analisis varian dan uji BNT. Untuk mengetahui perbedaan hasil antara isolasi kering dan isolasi basah menggunakan uji T. Bahan dan Alat Penelitian Isolasi Kering Alat: Seperangkat Alat Isolasi Kering (Modifikasi Barless Eco 12) Bahan: Tanah humus dan alkohol (70 %)
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Keterangan : A : Kasa nyamuk B : Corong Plastik diameter 14 cm
C: Botol Selai
Gambar 1. Seperangkat alat Barless Eco 12
Isolasi Basah Alat: Saringan bertingkat, sprayer, dan 10 plakon Bahan: Air dan tanah humus (setelah digunakan dalam dekantasi) Barless diletakkan pada tempat terbuka dan tidak ternaungi agar terkena cahaya selama proses isolasi. Proses isolasi dimulai pukul 08.00 WIB. Tanah humus (100 cc) diletakkan di atas kasa corong. Didiamkan dengan variasi waktu perlakuan 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Hasil isolasi kemudian diidentifikasi di laborarorium. Tanah yang telah terdedah cahaya matahari selama perlakuan (5 jam) dilakukan isolasi basah untuk mendapatkan sisa infauna yang masih tertinggal saat isolasi kering (Modifikasi Barless Eco 12). Hasil dan Pembahasan Metode Barless-Tullgren adalah metode untuk mengekstraksi atau mengisolasi Arthropoda tanah dari tanah atau serasah. Penggunaan dibantu dengan cahaya. Cahaya pada metode ini memaksa organisme tanah yang fotofobik untuk menjauh dari sumber cahaya sehingga hewan tanah tersebut akan menghindari cahaya dan jatuh dalam botol pengumpul sampel (Arias, dkk, 2003). Cahaya yang digunakan berasal dari cahaya matahari langsung (Edwards dan Fletcher, 1972) dalam Bremner, 1990). Untuk mengetahui perbedaan hasil dua metode dan mencari metode yang paling efektif dengan menggunakan uji t. Data yang ada dianalisis untuk mencari nilai t hitung dan t tabel sehingga diperoleh kesimpulan apakah hipotesis diterima atau ditolak. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji-t diketahui bahwa F hitung (16.32376356) > F tabel (2.100922037). Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah hewan tanah yang tersaring antara metode Modifikasi Barless Eco 12 dengan metode Isolasi Basah. Barless Eco 12 lebih efektif digunakan karena hewan tanah yang diperoleh dengan metode ini lebih banyak dibandingkan dengan dekantasi basah. Metode Barless-Tullgren memiliki kelebihan yang terletak pada kesederhanaan pengoperasian dan struktur tubuh hewan tanah yang diperoleh masih utuh, sehingga mudah untuk diidentifikasi. Pada metode ini tanah langsung disaring dalam keadaan kering dan langsung diletakkan di tempat yang terpapar sinar matahari sehingga mesofauna yang ada pada sampel terisolasi. Dibandingkan dengan metode isolasi basah, metode isolasi kering lebih mudah dan tidak rumit, metode ini tinggal menunggu waktu yang sudah ditentukan serta tidak perlu menyaring dengan air beberapa kali seperti isolasi basah. Namun, metode isolasi kering ini memiliki kelemahan pada efisiensi waktu dan energi. Sedangkan metode isolasi basah dalam hal ini adalah dengan metode penyaringan. Tanah sampel direndam air lalu diaduk kemudian disaring dengan ayakan yang ukuran lubangnya bervariasi dari besar ke kecil. Penyaring mula-mula dilakukan dengan ayakan yang ukuran lubangnya paling besar sehingga infauna berukuran besar bersama material organik akan tertinggal dalam ayakan. Selanjutnya ditampung pula dibawahnya dengan ayakan yang semakin lama semakin kecil lubangnya sehingga pada akhirnya semua hewan-hewan tanah akan terkumpul (Suin, 1997). Metode Barless Tulgren ini merupakan salah satu metode yang sangat sedserhana. Pada metode ini hewan akan terisolasi dari sampel tanah dan terjatuh dari saringan. Hal itu dipengaruhi oleh
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 739
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
perilaku hewan tanah. Keakuratan metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yang meliputi jenis tanah, spesies hewan tanah dan usia hewan tanah. Keefektifitasan metode modifikasi Barless Eco 12 ini terletak pada penggunaan waktu yang cukup singkat. Selain itu metode
ini hemat biaya dan mudah dilakukan. Metode ini memiliki kekurangan, yaitu hewan tanah yang diperoleh kebanyakan tidak utuh struktur tubuhnya sehingga mempersulit saat mengidentifikasi. Metode ini kurang efektif digunakan pada musim penghujan.
Gambar 2. Perolehan Hewan Tanah Antara Modifikasi Barles Tullgren dengan Metode Isolasi Basah
. Hasil hewan tanah yang didapatkan antara modifikasi Barless Eco 12 dengan
Metode Isolasi Basah sebagai berikut:
Gambar 3. Hewan Hasil Barless Eco 12
740 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Gambar 4. Hewan Hasil Isolasi Basah
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Berdasarkan hasil sidik ragam pada taraf = 5% terungkap bahwa hasil penyaringan hewan tanah dengan metode modifikasi Barless Eco 12 pada perlakuan 3 jam, 4 jam, 5
jam menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah hewan tanah. Perlakuan dengan penyinaran 5 jam mengahasilkan jumlah hewan tanah paling banyak.
Tabel 1: Rata-Rata Perolehan Serangga Dengan Penyinaran yang Berbeda Perlakuan Rata-rata Notasi 3 jam 8.4 A 4 jam 13.2 b 5 jam 14.7 bc
Isolasi kering atau Barless Tulgreen menggunakan cahaya sebagai sumber panas yang akan mempengaruhi hewan tanah begerak ke bawah. Barless Tulgreen menggunakan cahaya lampu sebagai sumber panas dan interval panas dapat diatur dengan menurunkan atau menaikkan lampu tersebut. Metode Barles Eco 12 memanfaatkan cahaya matahari sebagai sumber panas. Cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sifat-sifat tumbuhan dan hewan (Soetjipta, 1992 dalam Sugiarto,dkk. 2007). Tumbuhan dan hewan yang berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, air, suhu, dan kelembapan yang berbeda (Reinjtjes et al.,1999 dalam Sugiarto, et.al., 2007). Sugiarto, et.al. (2007) menyebutkan berdasarkan responnya terhadap cahaya, hewan tanah ada yang aktif pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Simpulan Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa metode isolasi kering menggunakan modifikasi Barless Eco 12 lebih efektif dibandingkan dengan isolasi basah. Lama penyinaran paling efektif untuk isolasi hewan tanah menggunakan metode ini adalah 4 jam.
Daftar Rujukan Arias, Barberena, M. F., González, G., & Cuevas, E.. 2003. Quantifying Variation of Soil Arthropods Using Different Sampling Protocols: Is Diversity Affected?. Tropical Forest: 51-70. Bremne, Graeme. 1990. A Berlese funnel for the rapid extraction of grassland surface macro-arthropods. New Zealand Entomologist, 13:76-80 Isnan, W. F., Tuarita, H., Dharmawan, A.. Tanpa Tahun. Studi Keanekaragaman Hewan Tanah (Epifauna) di Perkebunan Kubis (Brassica Oleracea L) dengan Sistem Terasering di Cangar Kecamatan Bumiaji Kota Batu, (Online), (http://jurnal online.um.ac.id/data/artikel/ artikel6DB4594912BA954F4E846FFB 36BC2E21.doc), diakses 24 April 2014. Sugiyarto, E., M., Mahajoeno, E., Sugito, Y., Handayanto, E., Agustina, L.. 2007. Preferensi Berbagai Jenis Makrofauna Tanah Terhadap Sisa Bahan Organik Tanaman pada Intensitas Cahaya Berbeda. Biodiversitas. (Online), 7 (4): 96-100, (http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D 0802/D080204.pdf), diakses pada 28 September 2014. Sugiyarto. 2000. Aplikasi Bahan Organik Tanaman terhadap Komunitas Fauna Tanah dan Pertumbuhan Kacang Hijau
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 741
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
(Vigna radiata). Biodiversitas. (Online), 1 (1): 25:29. (http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D 0101/D010105.pdf), diakses pada 27 Oktober 2014. Suin, N. N.. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bandung: Bumi Aksara. ITB Suin, N. M.. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bandung: Bumi Aksara. IT
742 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
STUDI MORFOLOGI SPORA TUMBUHAN PAKU PADA FAMILI Dennstaedtiaeceae Ajeng Wijarprasidya, Istamaya Ariani, Lilik H. Mukminin, Arif B. Setiawan dan Eko Sri Sulasmi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang Email:
[email protected]
Abstrak Tumbuhan paku family Dennstaedtiaeceaememiliki ciri morfologi yang berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri morfologi spora tumbuhan paku family Dennstaedtiaeceae. Spesimen yang diamati dalam penelitian meliputi Davallia divaricata Bl. Davallia trichomanoides Bl., Microlepia strigosa (Thb.) Pr., dan Odontosoria chinensis (L.) J. Smithyang diperoleh dari Herbarium Malangensis Universitas Negeri Malang. Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 di Laboratorium Botani Jurusan Biologi dan Laboratorium Bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang. Metode yang digunakan yaitu (1) preparasi spora, (2) pengamatan spora menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM), (3) analisis deskriptifyang ditinjau dari bentuk, ukuran, ornamentasi, apertura dan lampang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ciri morfologi spora tumbuhan paku family Dennstaedtiaeceaememiliki bentuk spora bevariai yaitu bulat bercekung (concave-convex), segitiga tumpul (triangular concave), dan bulat (circular). Ukuran spora panjangnya berkisar 34.68—43,80 µm dan lebar berkisar 27,95—34,68 µm. Ornamentasi meliputi verrucate, regulate, psilate. Spora pada tumbuhan paku family Dennstaedtiaeceae tidak berapertura dan tidak berlampang. Kata Kunci: Dennstaedtiaeceae, Morfologi Spora.
Pendahuluan Tumbuhan paku (Pteridophyta) memiliki morfologi generatif yang unik pada setiap spesies. Morfologi generatif tumbuhan paku, terutama morfologi spora belum banyak diteliti. Penelitian ciri morfologi spora paku penting dilakukan untuk mengetahui ciri morfologi dari setiap spesies anggota dari suatu famili tumbuhan paku. Spora merupakan alat perkembangbiakan dari tumbuhan paku. Spora umumya terdapat pada permukaan bawah daun. Spora pada tumbuhan paku berfungsi pada proses pemencaran tumbuhan pada habitat yang lembab sehingga gametofit dapat tumbuh. Spora memiliki dinding yang memiliki kemampuan untuk bertahan pada kondisi kering. Dinding spora pada paku umumnya juga memiliki ornamentasi yang detail.
Ornamentasi yang detail dan berbeda-beda dapat digunakan untuk menganalisis spora. Ornamentasi pada spora, terutama spora paku belum banyak dipelajari (Moore & Webb, 1978). Beberapa karakter spora tumbuhan paku yang umum digunakan dalam deskripsi yaitu aggregation atau conglobation, simetri, apertures, ukuran, bentuk, dan karakter dinding (Harris, 1955). Secara umum bentuk spora dapat dibedakan atas spora monolete yaitu spora yang hanya mempunyai satu garis pembuka atau pembagi, dan spora trilete yang mempunyai 3 garis pembuka atau pembagi (Harris, 1955). Nair (1991) menyebutkan bahwa karakter morfologi spora yang umumnya dianalisis berkaitan dengan dinding atau lapisan terluar dari polen dan spora yang resisten. Karakter morfologi polen dan spora
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 743
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
terdiri atas apertura, tingkat eksin, ornamentasi eksin, ukuran, dan bentuk. Sudut pandangyang berlainan (distal, polar, dan equatorial) spora memiliki bentuk yang berbeda. Hal ini terjadi karena pada pandangan polar yang terlihat merupakan bagian spora yang menghadap ke arah pusat tetrad, pada bagian distal yang terlihat merupakan sisi yang paling jauh dari tetrad, sedangkan pada pandangan equatorial dapat dilihat pandangan samping yang menunjukkan ujung polar dan distal secara bersamaan. Dennstaedtiaceae merupakan famili yang termasuk paku modern dengan 203 spesies yang telah diketahui di Malaya dari total keseluruhan 389 spesies paku modern (Holttum, 1968). Beberapa sub-family dari Dennstaedtiaceae yang banyak ditemukan di beberapa daerah Indonesia antara lain Dennstaedtia, Davallia, dan Dryopteris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri morfologi spora tumbuhan paku dari beberapa spesies family Dennstaedtiaceae. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2014. Pengambilan spesimen dilakukan di Herbarium Malangensis Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang. Pengambilan data spora tumbuhan paku dilaksanakan di Laboratorium Bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa spora herbarium tumbuhan paku family Denstaedtiaceae. Spesies yang digunakan yaitu Davallia divaricata Bl., Davallia trichomanoides Bl.,Microlepia strigosa (Thb.) Pr.dan Odontosoria chinensis (L.) J. Smith. Alat yang digunakan yaitu mikroskop stereo, jarum pentul, kaca benda, dan Scaning Electron Microscopy (SEM). Spora spesimen tumbuhan paku diambil dengan menggunakan bantuan mikroskop stereo. Kemudian spora diamati dengan menggunakan Scanning Electron
744 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Microscopy (SEM). Berdasarkan hasil SEM ciri morfologi masing-masing spora tumbuhan paku famili Denstaedtiaceae dianalisis secara deskriptif. Ciri yang diamati meliputi bentuk spora, ukuran, ornamaentasi, aperture, lampang. Morfologi spora yang diperoleh dari specimen dikaji menggunakan Flora Of Malaya karangan Holtum(1968). Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan deskripsi morfologi tumbuhan paku famili Denstaedtiaceae didapat hasil sebagai berikut: spesies Davallia divaricate Bl.memiliki bentuk spora bulat bercekung atau concaveconvex (Moore & Webb, 1978), sedangkan bentuk simetrikal spora dilihat dari sudut pandang kutub bentuknya bulat, dan dari sudut pandang ekuatorial berbentuk bulat. Ukuran spora panjang 43,80 µm dan lebar 27,95 µm. Spora spesies ini tidak memiliki apertura (allate). Apertura merupakan bagian tipis atau bagian yang hilang dari eksin yang membentuk pola bebas dari eksin. Terbentuknya aperture disebabkan oleh perubahan ketebalan lapisan sexine atau nexine atau keduanya (Moore & Webb, 1978). Ornamentasi spora ini memiliki tipe verrucate, yakni terdapat tonjolan-tonjolan seperti kutil pada seluruh permukaan luar spora (Moore & Webb, 1978). Spesies kedua yakni Davallia trichomanoides Bl. memiliki bentuk spora bulat bercekung atau concave-convex (Moore & Webb, 1978), sedangkan bentuk simetrikal spora dilihat dari sudut pandang kutub bentuknya bulat, dan dari sudut pandang ekuatorial berbentuk bulat. Ukuran spora panjang 41,8 µm dan lebar 31,19 µm. Spora spesies ini tidak memiliki apertura (allate). Ornamentasi spora ini memiliki tipe verrucate yang sama dengan ornamentasi pada spora spesies Davallia divaricata. Seperti halnya spesies pertama, spora pada Davallia trichomanoides memiliki tipe allate.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 745
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
746 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 747
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Produktivitas Jamur Tiram Putih (Pleurotusostreatus) Pada Media Tambahan Serabut Kelapa (Cocosnucifera) Anisa Purnamasari, Eliska Purnamasari, Suparti Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. Jenderal Ahmad Yani Pabelan Kartasura, Solo 57102 Jawa Tengah, Email:
[email protected]
Abstrak Jamur Tiram putih merupakan jenis jamur yang tidak dapat menyediakan makanan sendiri, sehingga membutuhkan nutrisi seperti selulosa, lignin, zat hara seperti N, P, K dan C. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas jamur tiram putih (Pleurotusostreatus) pada media tambahan serabut kelapa (Cocosnucifera). Penelitian ini menggunakan desain penelitian satu faktorial rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan yaitu penambahan serabut kelapa ( 0 %, ( 22 %, ( ) 44 % dan( 66 % baglog.Hasil penelitian menyatakan pengaruh paling nyata media serabutkelapaialahterhadap : lama penyebaran miselium dengan rerata 16,30, jumlah badan buah panen pertama dengan rerata 14,73, jumlah badan buah panen kedua dengan rerata 11,30, berat basah panen pertama dengan rerata 118,92dan berat basah panen kedua dengan rerata 33,33 pada perlakuan yaitu media standar 228 gram dengan penambahan media serabut kelapa 66%.Selanjutnya analisis data dalam penelitian ini menggunakan ANOVA satu jalur yang menghasilkan lama penyebaran miselium= 28,467> = 4,066, jumlah tubuh buah panen pertama= 4,337> panen kedua= 4,88> 4,066 dan
= 4,066,
= 4,066,
jumlah tubuh buah
berat basah panen pertama = 9,542>
berat basah panen kedua= 9,174>
=
= 4,066. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah produktivitas jamur tiram putih meningkat pada penambahan media serabut kelapa 66%. Kata kunci: Jamur tiram putih (Pleurotusostreatus),serabut kelapa (Cocosnucifera)
Pendahuluan Jamur adalah organisme pendegradasi kayu, tumbuhan dan daun-daun sisa. Jamur tiram putih adalah golongan fungi saprobik, karena jenis ini mengambil makanan dengan mendegradasi sampah organik atau bangkai hewan di sekitar hidupnya (Campbell, 2003 hal: 185-186). Fungi dapat hidup pada media tumbuh yang sesuai, artinya media tumbuh harus mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketiga jenis ini akan digunakan sebagai sumber makanan melalui degradasi enzim hidrolitik (Djarijah dan Djarijah, 2001, hal: 15-16). Pada penelitian sebelumnya Semiatun (2007) meneliti tentang Pengaruh penambahan NPK terhadap pertumbuhan
jamur tiram putih pada media serbuk kayu. Penelitian tersebut menggunakan rancangan satu faktorial dengan empat taraf perlakuan yaitu ) media serbuk kayu tanpa penambahan pupuk NPK, media serbuk kayu dengan penambahan NPK antara lain adalah ) NPK 1%, ) NPK 2% dan ) NPK 3%. Hasilnya adalah jamur tiram putih dapat tumbuh dengan baik pada perlakuan media serbuk kayu dengan penambahan NPK adalah pada perlakuan ) NPK 1%. Kandungan lignin dan selulosa serabut kelapa yaitu lignin (35%-455) dan selulosa (23%-43%) (Carijo, et al, 2002).Adapun kayu sengon memiliki kandungan selulosa,
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 748
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
yaituHolo-selulosa 74,9% dan Alfa-selulosa 46,0% dan kandungan lignin yaitu 25,7% (Atmosuseno, 1996). Jumlah hara dalam serabut kelapa antara lain unsur N 0,975%, P 0,095%, K 0,29% dan C 54,89% (Laboratorium tanah fakultas pertanian IPB, 2002). Selain unsur-unsur tersebut, pembentukan badan buah juga memerlukan unsur tambahan seperti vitamin dan kalsium. Vitamin dapat diperoleh dari bekatul. Kalsium dapat diperoleh dari bekatul dan kapur kawur. Kandungan vitamin pada bekatul niacin 303 miligram per kilogram, biotin 4200 mcg/kg, riboflanvin 3 miligram per kilogram, vitamin e 60,8 miligram per kilogram, thiamine 22,8 miligram per kilogram, asam phantotenat 22 miligram per kilogram dan choline 303 miligram per kilogram (Allen, 1982 dalam Rasyaf, 1990 hal: 32). Subyek penelitian adalah media tambahan serabut kelapa, obyek penelitian yaitu produktivitas jamur Tiram putih (Pleurotus ostreatus) dan parameter penelitian adalah lama penyebaran miselium, jumlah tubuh buah dan berat basah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan media serabut kelapa terhadap produktivitas jamur tiram putih panen pertama dan kedua. Manfaat dari penelitian ini mencakup manfaat teoritis antara lain menambah alternatif ilmu bagi peneliti dan memberikan pengetahuan tentang manfaat media tambahan serabut kelapa sebagai media pembuatan jamur serta manfaat praktis yaitu:member informasi kepada masyarakat terutama masyarakat bahwa limbah serabut kelapa ternyata bermanfaat bagi pertumbuhan jamur tiram putih. Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah adalah bagaimanakah pengaruh penggunaan media tambahan serabut kelapa pada produktivitas jamur tiram putih (Pleurotusostreatus).
749 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Metode Lokasi penelitian di Desa Garen RT 03 RW 04, Pandean, Kecamatan Ngemplak, kabupaten Boyolali dengan waktu penelitian berlangsung mulai bulan September 2012 hingga April 2013. Penelitian ini menggunakan variabel bebas (Independent Variable) media tambahan serabut kelapa dan variabel terikat (Dependent Variable) produktivitas jamur tiram putih (Pleurotusostreatus). Alat dan bahan penelitian dikelompokkan berdasarkan tahap-tahap pelaksaan (menurut dermawan, 2012) meliputi tahap fermentasi (plastik besar 1 buah, timbangan 1 buah dan pengaduk 1 buah), tahap log (plastik log (polipropropilen) ukuran 1/2kg, cincin jamur 12 buah dan kapas 12 buah), tahapan sterilisasi (elpigi 1 kg 1 buah, autoklaf 1buah, selang kaburator 1 buah dan thermometer 1 buah), tahapan inokulasi (tongkat inokulasi 1 buah, lampu 1 buah, sarung tangan 2 buah dan api spirtus) dan tahapan perawatan adalah spray. Bahan utama dalam praktikum ini adalah bibit Jamur Tiram putih (Pleurotusostreatus) F3, bahan yang digunakan untuk media antara lain serbuk kayu sengon 2,4 kg, plastik 12 buah, kapur kawur 0,0096 kg, bekatul 0,24 kg, serabut kelapa0,9 kg dan kapas secukupnya, Bahan yang digunakan untuk tahapan sterilisasi adalah air dan bahan untuk tahapan inokulasi adalah alkohol 70%. Pelaksanaan Penelitian meliputi beberapa tahapan.Tahap pencampuran bahan yaitu mencampur rata serbuk kayu sengon 100% (200g), bekatul 10% (20g), Calcit ) 4% (8g), dan air 70% terhadap ( masing-masing perlakuan pada 1 baglog sehingga media standar adalah 228g sebagai media kontrol, menambahkan serabut kelapa pada log sesuai perlakuan /0 gram, /50 gram, /100 gram, (66%)/150 gram, kemudian ditutup dengan plastik besar dan difermentasi selama tiga hari. Tahap pembuatan log yaitu memasukkan bahan yang sesuai perlakuan sampai padat per-log dan mengunci log jamur dengan cincin log dan kapas. Tahap
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
sterilisasi log yaitu mensterilisasi log ke dalam autoklaf selama 6 jam dengan suhu C dengan tekanan 1,5 atm, menaruh dalam ruangan 24 jam. Tahapan inokulasi bibit jamur ke dalam log yaitu membersihkan alat-alat inokulasi dan kedua telapak tangan dengan alkohol 70% dengan api spirtus kemudian mengambil 5g bibit jamur tiram putih dalam log sampai bagian tinggi log dan memasang kapas penutup kembali. Tahapan inkubasi antara lain menaruh log-log jamur yang sudah diinokulasi ke dalam ruang inokulasi selama 1 bulan dengan suhu cc dan
kelembaban 90-100%. Tahapan pemeliharaan yaitu menjaga kelembaban dengan menyemprot air 2 sampai 3 kali sehari, namun apabila musim hujan cukup 1 kali sehari. Tahapan penumbuhan yaitu melakukan penyobekan 2 sampai 3 tempat di bagian bawah dan membuka kapas penutup apabila miselium sudah penuh. Rancangan percobaan yang digunakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan desain penelitian satu faktorial 4 taraf konsentrasi penambahan serabut kelapa 3 kali ulangan sebagai berikut:
Tabel 2.1: Rancangan penelitian G N
0
Dosis (%) 22 44
66
X
Keterangan: G = Dosis media standar N = Ulangan Dalam pelaksanaam penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi metode eksperimen, metode observasi, metode kepustakaan dan metode dokumentasi.Analisis yang digunakan adalah kuantitatif ANOVA satu jalur dengan uji normalitas, uji homogenitas dan uji hipotesis. Hasil dan Pembahasan Lama penyebaran miselium Pada hasil pengamatan pemenuhan miselium perlakuan yang memberikan pengaruh paling cepat penambahan serabut kelapa 66% baglog dengan rerata 16,30 hari. Pada awal perkembangan, miselium melakukan penetrasi pada sel kayu pada lignin danselulosaserabutkelapadan kayu sengon dengan enzim pendegradasi, hemiselulosa dan lignin selanjutnya memanfaatkannya sebagai sumber nutrisi bagi jamur (Djarijah dan Djarijah, 2001, hal: 15-16). Adanya penambahn Nitrogen
membuat penebalan dan kepadatan pada miselium. Fosforberfungsi dalam pembentukan miselium (Silvero (1981) dalamSuhati, 1988), jamur harus mendapatkan karbon dari organisme yang sudah mati (Darnetty, 2006).Kalium berfungsi sebagai aktivator enzim. Thiamin pada bekatul berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan jamur tiram putih (Silvero (1981) dalamSuhati, 1988). Vitamin pada bekatul berfungsi sebagai pemercepat reaksi enzimatis (Djarijah dan Djarijah, 2001, hal: 16). Kalsium pada bekatul dan calcit berfungsi untuk merekatkan antar sel dan pengelola pasokan nutrisi lain dalam jaringan tanaman (Hendaryono, 1998 hal: 55-57). Suhu pada kubung harus berkisar . Kelembaban pertumbuhan miselium yaitu 65%-70% dan PH 5,5-6,5 (Djarijah dan Djarijah, 2001, hal: 15-16).
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 750
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Jumlah tubuh buah Pada hasil penghitungan jumlah tubuh buah perlakuan yang memberikan pengaruh paling cepat penambahan serabut kelapa 66%baglog dengan rerata panen pertama 14,73 buah dan panen kedua 11,30 buah. Jumlah tubuh buah pada panen kedua relatif lebih sedikit dari pada panen pertama. Dikarenakan unsur hara yang berkurang. Unsur hara yang terkandung dalam media optimum akan dapat menghasilkan hasil yang optimum (Sarief, 1989). Nitrogen berfungsi dalam pembentukan badan buah (Silvero (1981) dalamSuhati, 1988), sintesa protein dan sintesa molekul rantai panjang yang tersusun atas nukleotida (Gunawan, 1989 hal: 29-30). Tanaman yang kekurangan phospor akan menghasilkan buah yang tidak sempurna. (Redaksi trubus, 1992 hal: 10). Kalium berfungsi sebagai aktivator enzim dan perkembangan primordia (Silvero (1981). Vitamin dapat diperoleh dari bekatul. Kalsium dapat diperoleh dari bekatul dan kapur kawur. Thiamin pada bekatul berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan jamur
tiram putih (Silvero (1981) dalamSuhati, 1988). Vitamin pada bekatul berfungsi sebagai pemercepat reaksi enzimatis (Djarijah dan Djarijah, 2001, hal: 16). Kalsium berfungsi untuk merekatkan antar sel dan pengelola pasokan nutrisi (Hendaryono, 1998 hal: 55-57). syarat tumbuh utama antara lain faktor penyiraman (Adiyuwono, 2001), oksigen dan kelembaban 70% (induksi primordia) kelembaban 80% (tubuh buah) (Soenanto, Hardi 2000 hal: 15). Berat basah Pada hasil pengamatan berat basah perlakuan yang memberikan pengaruh penambahan serabut paling cepat kelapa 66% baglog dengan rerata panen pertama 118,92g dan panen kedua diperoleh rerata 33,33g. Nutrisi pada media tanam jamur yang dapat diabsorbsi oleh jamur dapat meningkatkan berat basah jamur (Suriawiria (2002) dalam Tutik (2004)). Berat basah pada panen kedua relatif sedikit karena unsur hara yang tersedia dalam log kecil, sehingga tidak otimum dalam menyerap (Sarief, 1989).
Tabel 3.1: Data rerata hasil pengamatan jamur tiram putih Parameter Penelitian Perlakuan Pemenuhan Jumlah tubuh buah Berat buah jamur (g) miselium jamur (buah) (hari) 1 2 1 2 G0 G1 18,30 8,30 4,70 36,77 15,83 G2 17 11,70 5 57,84 22,75 G3 Simpulan Dari hasil penelitian rerata produktivitas jamur tiram putih. (Pleurotusostreatus) dengan media tambahan serabut kelapa paling tinggi pada perlakuan penambahan serabut kelapa 66% berpengaruh paling tinggi lama penyebaran miselium dengan rerata 16,30 hari, jumlah tubuh buah panen pertama 14,73 buah, jumlah tubuh buah panen kedua 11,30 buah, berat basah panen pertama 108,92g dan berat basah panen kedua 33,33g dibandingkan dengan perlakuan kontrol,
751 | Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
perlakuan media standar dengan penambahan serabut kelapa 22% dan perlakuan media standar dengan penambahan serabut kelapa 44%. Daftar Rujukan Campbell. 2003. Biologi Edisi Kelima Jilid Kedua. Jakarta: Erlangga. Carijo, O. A., Liz, R. S., Makishima, N. 2002. Biosorpsi Cr (III) pada Biosorben Serat Sabut Kelapa Teraktivitasi Sodium Hidroksida
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
(NaOh).http://ojs.unud.ac.id/ Sudiarta/ tanggal 26 september 2012. Dermawan, Apririzky. 2012. Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Kewirausahaan Budidaya Jamur. Surakarta: UMS Press. DjarijahdanDjariah. 2001. Jamur Tiram Pembibitan, Pemeliharaan dan Pengendalian Hama-Penyakit. Yogyakarta: Kanisius. Gunawan, Winata L. 1986. Budidaya Anggrek. Jakarta: Penebar Swadaya. Hendaryono, Sriyanti P. D. 1998. Budidaya Anggrek. Yogyakarta: Kanisius. Laboratorium tanah fakultas pertanian IPB (2002).Pengaruh Tarafampas Tahun Dalam Media Serbuk Sabut Kelapa Terhadap Panjang, Diameter Tubuh, Produksidan Kualitas Kascing Cacing Tanah (Lumbricus rubellus).http://repository.ipb.ac.id/dia kses30september 2012. Rasyaf, Muhammad. 1992. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Sarief. 1989. Jurnal: Pemanfaatan Limbah Media Jamur Tiram Putih (Pleurotus Florida) Sebagai Tambahan Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Kacang Tanah (Arachishypogaea L.). http://jurnal.ump.ac.id/diakses 22 september 2012. Semiatun. 2007. Jurnal Pengaruh Penambahan Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Jamur Tiram Putih (Pleurotusostreatus) Pada Media Serbuk Kayu. http://www. etd-eprintsums-ac-id/30 september 2012. Suhati, S. 1998. Jurnal Skripsi: Pengaruh penambahan bekatul dan ampas tahu pada media terhadap pertumbuhan dan produksi jamur tiram putih (Pleorotusostreatus).http://ib.uinmalang.ac.id/diakses tanggal 26 desember 2012. Soenanto, Hardi. 2000. Jamur Tiram Budi Daya dan Peluang Usaha. Semarang: Aneka Ilmu.
Tim Redaksi Trubus. 1992. Mengapur Tanah Asam. Jakarta: PenebarSwadaya. Tutik.2004. Pengaruh penambahan bekatul dan ampas tahu pada media terhadap pertumbuhan dan produksi jamur tiram putih(Pleorotusostreatus). http://ib.uinmalang.ac.id/diakses 26 desember 201
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang | 752
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Kondisi dan Keragaman Terumbu Karang Di Pulau Mamburit Kepulauan Kangean 1
Badrud Tamam1, Apri Arisandi2 Jurusan Pendidikan IPA FKIP Universitas Trunojoyo Madura 2 Jurusan IKL FP Universitas Trunojoyo Madura JL. Raya Telang PO.BOX 2 Kamal-Bangkalan 69162 Email:
[email protected]
Abstrak Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap hewan karang bisa menjadi ancaman terhadap terumbu karang, sedangkan pengelolaan terumbu karang harus memiliki data dasar status terumbu karang dan pemantauan secara terus menerus.Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk pertumbuhan terumbu karang yang terdapat di Pulau Mamburit kepulauan Kangean, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi lifeform. Penelitian menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT).Perhitungan nilai Indeks keragaman dan indeks dominasi berdasarkan pada perhitungan persentase pertumbuhan karang yangdijumpai pada titik pengamatan dengan metoda lifeform. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 11 lifeform di Pulau Mamburit Kepulauan kangean yaitu; Acropora branching, Acropora digitate, Acropora submassive, Acropora tabulate, Coral branching, Coral foliosi, Heleopora, Coral massive, Coral submassive, Mellepora dan Mushroo. Stasiun I dan II termasuk kategori baik sedangkan pada stasiun III dan IV termasuk kategori sedang. Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun I, II, dan IV berkisar antara 1,1-1,70 termasuk kategori sedang. Sedangkan pada stasiun III memiliki indeks keanekaragaman rendah yaitu 0,70. Nilai indeks keseragaman pada stasiun I, II, III dan IV berkisar 0,63–0,99 dengan nilai rata-rata 0,77 dengan kategori tingkat keseragaman tinggi. Nilai indeks dominansi stasiun I, II, II dan IV berkisar 0,20-0,50 dengan rata-rata 0,35 termasuk dalam kategori rendah. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada lifeform yang mendominasi di pulau Mamburit kepulauan Kangean. Kata Kunci: Kondisi, Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi, Terumbu Karang. Pendahuluan Spesies terumbu karang Indonesia merupakan 17% dari terumbu karang dunia, yaitu 70 genera dan 450 spesies karang dengan luasan sekitar 42.000 km². Hasil Penelitian Pusat Pengembangan Oceanologi (2000) menunjukkan bahwa 41,78% kondisi kondisi terumbu karang rusak, 28,30% kondisi sedang, 23,72% kondisi baik, dan hanya 6,20% dalam kondisi sangat baik. (Setiawan, 2010).Terumbu karang memiliki fungsi sebagai pelindung pantai, habitat bagi ikan karang, mencari makan, memijah dan pembesaran bagi biota laut (Souhoka,2007). Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang sangat produktif.
Berbagai biota laut yang hidup dan membangun ekosistem atau memiliki nilai ekologis serta memiliki nilai ekonomis seperti ikan, udang-udangan, algae, teripang, dan jenis kerang-kerangan. Disisi lain, perpaduan antara berbagai biota yang hidup di dalam ekosisitem itu sendiri dengan karang batu menciptakan nilai estetika yang indah sebagai daya tarik pariwisata. Kebutuhan masyarakat yang meningkat terhadap hewan karang bisa menjadi ancaman terhadap terumbu karang.Oleh karena itu, untuk pengelolaan terumbu karang yang baik harus memiliki data dasar status terumbu karang, pemantauan yang terus menerus, perencanaan strategis dan pengelolaan
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 753
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
yang berbasis masyarakat yang mengutamakan konservasi dibandingkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kepulauan Kangean merupakan salah satu Pulau di Kabupaten Sumenep, secara geografis Kepulauaan Kangean terletak diantara 6050`LS-115025`BT. Kepulauan Kangean terdiri dari beberapa pulau diantaranya Pulau Sadulang Besar, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Sapeken, Saubi, Paliat, Sepapan, Saseil,Sepangkur, Sabuntan, Saebus, Saor, danMamburit (Djojoprajitno 2005).Pulau Mamburit secara geografis berada di sebelah barat pulau Kangean memiliki luas ±206,83 Ha, penduduknya sebagian besar berprofesi nelayan, pulau Mamburit memiliki jenis pantai yang landai dan pasir putih dan tergolong baik dibuktikan dengan tumbuhnya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem laut yang paling terancam mengalami kerusakan, padahal ekosistem ini memiliki keunikan tersendiri untuk dijadikan sebagai objek pariwisata bahari (Riyan, 2007). Kerusakan ekosistem terumbu karang di pulau Mamburit berjalan cepat akibat pengeboman dan penggunaan racun sianida serta pemanfaatan sebagai bahan material rumah dan jalan. Mengingat pentingnya ekosistem terumbu karang di lokasi ini baik fungsi ekologis dan ekonomis, maka perlu dilakukan studi dasar dan monitoring untuk mengetahui perkembangannya dari waktu ke waktu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi eksploitasi dan pemanfaatan yang tidak tepat. dominansi
754 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
dan distribusi jenis karang di Pulau Mamburit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan karang, keanekaragaman terumbu karang.. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pulau Mamburit Desa Kalisangka Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep pada tanggal 07 – 29 September 2013 (Gambar 1). Pengambilan data karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT), yaitu transek garis dibentangkan sepanjang 100 meter tegak lurus garis pantai. Pengamatan dilakukan dengan menentukan bentuk Lifeform di perairan Pulau Mamburit serta dilakukan penghitungan persentase pertumbuhan karang. Menurut Suhartati (2010) pengambilan data searah jarum jam dan empat stasiun yaitu pada bagian timur, utara, barat dan selatan suatu pulau sehingga diasumsikan dapat mewakili keadaan terumbu karang di suatu pulau. Untuk menentukan persentase tutupan karang digunakan rumus : L = Li x 100% N Keterangan : L = Persentase penutupan karang (%) Li = Panjang kategori Lifeform ke-i N = Panjang transek
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Pulau Mamburit dan Penentuan Stasiun Kisaran untuk penilaian ekosistem terumbu karang berdasarkan kisaran
tingkat persentase penutupan karang berdasarkan Gomez dan Yap (1988).
Tabel 1: Kriteria Penilaian Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Kisaran Tingkat Persentase Penutupan Karang Persentase Penutupan Kriteria Penilaian 0 – 24,9 Buruk 25 – 49,9 Sedang 50 – 74,9 Baik 75 – 100 Sangat Baik H>3 : Keragaman tinggi, penyebaran Untuk menghitung indeks keragaman tiap spesies tinggi dan kestabilan bentuk pertumbuhan terumbu karang dapat komunias tinggi. digunakan metode Shannon – Weiner (Odum 1971) berikut ini : Untuk menghitung digunakan rumus indeks keseragaman (Krebs, 1972): H’= - pi.ln pi Dimana Pi = ni/N E= H’ maks = ln s Keterangan: H’ = Indeks keragaman bentuk pertumbuhan ni = Jumlah individu dalam bentuk ke I N = Total jumlah individu Kriteria; H<1 : Keragaman rendah, penyebaran tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah 1
Keterangan: E : Indeks kemerataan H’ : Indeks keanekaragaman S : jumlah spesies Kisaran nilai indeks keseragaman adalah: E < 0.4 = keseragaman rendah 0,4 E < 0,6 = keseragaman sedang E 0,6 = Keseragaman tinggi Indeks dominasi terumbu karang dapat di hitung dengan menggunakan rumus: C = (Pi)² Dimana Pi = ni/N Keterangan: C = Indeks dominasi.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 755
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
ni
= Jumlah individu bentuk pertumbuhan ke i
N = Jumlah total individu tiap bentuk pertumbuhan Nilai C berkisar antara 0 hingga 1, jika nilai mendekati nilai 1 berarti terdapat bentuk pertumbuhan yang mendominasi pada stasiun tesebut, dan jika nilai C mendekati 0 berarti tidak ada bentuk pertumbuhan yang mendominasi. Hasil dan Pembahasan Parameter Kualitas Perairan Data kualitas perairan sangat penting diketahui untuk dapat melihat seberapa jauh pengaruh kondisi perairan terhadap keberadaan dan pertumbuhan lifeform. Berdasarkan hasil observasi parameter kualitas perairan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data pada Tabel 2, diketahui bahwa suhu, pH, DO, salinitas,
kecepatan arus dan kecerahan tidak begitu berbeda jauh pada masing-masing stasiun. Fluktuasi suhu tidak ekstrem berkisar antara 28-30 C, tingkat keasaman (pH) 7,3-7,5, Dissolved Oxygen (DO) 7,2-7,9, Salinitas 35,9‰-36,9‰, kecepatan arus mencapai 14 cm/s. Dan berdasarkan hasil pengukuran kecerahan perairan laut pada masing–masing stasiun penelitian diketahui bahwa, secara umum kecerahan perairan laut pulau Mamburit sangat tinggi sampai dasar laut. Secara umum, kualitas perairan mendukung dan bagus untuk pertumbuhan terumbu karang. Menurut Chou and Tun (2004), suhu optimal untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 22–32ºC. suhu dapat memberikan efek pada aktifitas fisiologi terumbu karang (Bengen, 2002).
Tabel 2: Hasil Pengukuran Parameter Perairan Parameter kualitasPerairan NO Stasiun Kordinat Suhu pH DO Salinitas Arus Kecerahan S 6050’30.96” 12,1m/s 28,6 C 7,4 7,2 36,8‰ 1 I E 15013'17.25 Sampai ke S 06050’17.91” 12,9m/s dasar 29,5 C 7,5 6,9 36,9‰ 2 II perairan E 115013'10.88 S 06050’27.24” 15,4m/s 3 III 29,8 C 7,3 7,9 36,2‰ 0 E 115 13'01.74 S 06050’40.64” 15,3m/s 29,4 C 7,3 7,8 35,9‰ 4 IV E 115012'59.37 kecerahan adalah kondisi yang pH bisa berpengaruh negatif terhadap menunjukkan kemampuan cahaya matahari proses metabolisme dan respirasi apabila untuk menembus lapisan air hingga pH terlalu basa. DO sangat berperan kedalaman tertentu. Menurut Suhartati penting untuk proses respirasi sehingga (2010) kecerahan yang optimal untuk berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan karang yaitu berkisar antara pertumbuhan karang. Menurut Effendi 6-10 m. Hasil pengukuran kecerahan (2003) perubahan DO dipengaruhi oleh perairan laut pada masing–masing stasiun intensitas cahaya matahari, biota laut dan penelitian diketahui bahwa, secara umum arus. kecerahan perairan laut pulau Mamburit Cahaya matahari merupakan sumber sangat tinggi sampai dasar laut. energi yang berperan penting dalam proses Hasil pengukuran salinitas air pertumbuhan karang, menunjukkan kisaran antara 35,9‰ – 36,9‰. Menurut Riyan (2007) bahwa umumnya terumbu karang tumbuh dengan
756 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
baik di wilayah dekat pesisir pada salinitas 30-35‰. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada
salinitas normal (Vaughan,1999; Wells, 1932 dalam Supriharyono, 2007). Kondisi Tutupan Karang Data hasil pengamatan untuk tutupan karang di empat stasiun dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3: Kondisi Tutupan Karang di Pulau Mamburit NO Lokasi Kordinat Rata-rata (%) 1 Stasiun I S 06050’30.96” 76,92% E 115013'17.25 2 Stasiun II S 06050’17.91” 73,18% E 115013'10.88 3 Stasiun III S 06050’27.24” 32,83% E 115013'01.74 4 Stasiun IV S 06050’40.64” 35,34% E 115012'59.37.
Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa tutupan karang tertinggi terdapat di stasiun 1 dengan persentase tutupan karang mencapai 76,92% termasuk kategori sangat baik. Stasiun II termasuk kriteria baik. Stasiun III dan IV termasuk kriteria sedang. Bentuk pertumbuhan karang berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada empat stasiun menunjukkan terdapat 11 bentuk pertumbuhan terumbu karang yang ditemukan di Pulau Mamburit Kepulauan Kangean. Bentuk pertumbuhan terumbu karang di Pulau Mamburit Kepulauan
Baik Sedang Sedang
Kangean, yaitu; Acropora branching, Acropora digitate, Acropora submassive, Acropora tabulate, Coral branching, Coral foliosi, Heleopora, Coral massive, Coral submassive, Mellepora dan Mushroo. Nilai Indeks Keanekaragaman Keseragaman Dan Dominansi Perhitungan nilai Indeks keragaman, keseragaman dan dominansi berdasarkan pada perhitungan persentase pertumbuhan karang yang dijumpai pada titik pengamatan dengan metoda lifeform. Untuk nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4: Indeks Keanekaragaman Lifeform Stasiun Kordinat H’ S 06050’30.96” 1,5 I E 115013'17.25 S 06050’17.91” 1,7 II E 115013'10.88 S 06050’27.24” 0,7 III E 115013'01.74 S 06050’40.64” 1,1 IV 0 E 115 12'59.37 Berdasarkan Table 4 diketahui bahwa masing-masing stasiun, mempunyai nilai indeks keanekaragaman
Kriteria Sangat Baik
Kategori SEDANG
Rata-rata
SEDANG RENDAH
1,25
SEDANG lifeform berkisar antara 0,7–1,7 dengan rata-rata sebesar 1,25, nilai ini termasuk kategori sedang. Stasiun I, nilai indeks keanekaragaman sebesar 1,5 dengan kategori sedang, pada stasiun II 1,7 termasuk kategori sedang, pada stasiun IV 1,1 termasuk kategori sedang. Nilai
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 757
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
tersebut menunjukkan bahwa penyebaran tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang. Menurut Krebs (1972) kategori sedang menunjukkan bahwa jumlah bentuk pertumbuhan karang pada daerah tersebut berada dalam kondisi relatif baik. Sedangkan pada stasiun III 0,7 Tabel 6: Nilai Indeks keseragaman Lifeform Stasiun Lokasi E 0 S 06 50’30.96” 0,63 I E 115013'17.25 S 06050’17.91” 0,68 II E 115013'10.88 S 06050’27.24” 0,99 III E 115013'01.74 S 06050’40.64” 0,79 IV E 115012'59.37 Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa nilai rata-rata indeks keseragaman yang diperoleh pada setiap stasiun adalah 0,77. Pada Stasiun I diperoleh nilai indeks keseragaman antara 0,63 nilai ini termasuk keseragaman tinggi. Di Stasiun II diperoleh nilai indeks keseragaman antara 0,68 nilai ini termasuk kategori keseragaman tinggi, sama halnya di Stasiun III diperoleh nilai keseragaman tinggi dengan nilai 0,99 nilai ini termasuk
termasuk kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. Nilai indeks keseragaman lifeform masing-masing stasiun di pulau Mamburit dapat dilihat pada Tabel 6.
Kategori TINGGI TINGGI TINGGI
758 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
0,77
TINGGI kategori keseragaman tinggi dan di stasiun IV diperoleh nilai indeks keseragaman dengan nilai 0,79 nilai ini termasuk kategori keseragaman tinggi. Hasil analisis indeks keseragaman diatas, di setiap stasiun memiliki nilai indeks keseragaman yang mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang dalam kondisi relatif baik (Krebs, 1972). Nilai indeks dominansi bentuk pertumbuhan karang di pulau Mamburit dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Indeks Dominansi Lifeform Stasiun Lokasi C Kategori 0 S 06 50’30.96” 0,28 Tidak ada yang mendominasi I E 115013'17.25 S 06050’17.91” 0,20 Tidak ada yang mendominasi II E 115013'10.88 S 06050’27.24” 0,50 Tidak ada yang mendominasi III 0 E 115 13'01.74 S 06050’40.64” 0,40 Tidak ada yang mendominasi IV E 115012'59.37 Berdasarkan nilai indeks dominansi pada Tabel 7. Diketahui bahwa nilai yang diperoleh di setiap stasiun yang berkisar antara 0,20 -0,50 dengan rata-rata 0,35 nilai ini termasuk dalam kategori rendah. Stasiun I diperoleh nilai indeks dominansi 0,28 yang termasuk kategori rendah. Stasiun II diperoleh nilai indeks dominansi
Rata-rata
Rata-rata
0,35
0,20 yang masuk dalam kategori rendah, sedangkan di Stasiun III diperoleh nilai indeks dominansi 0,50 yang masuk dalam kategori rendah dan pada stasiun IV juga termasuk dalam kategori rendah dengan nilai indeks dominansi antara 0,40. Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 - 1. Jika indeks dominansi mendekati 0
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti indeks keragaman yang tinggi. Apabila indeks dominansi mendekati 1 berarti ada salah satu jenis yang mendominasi dan nilai indeks keragaman semakin kecil (Krebs, 1972). Simpulan Terdapat 11 tipe lifeform yang ditemukan di Pulau Mamburit Kepulauan Kangean yaitu; Acropora brancing, Acropora digitate, Acropora submassive, Acropora tabulate, Coral branching, Coral foliosi, Heleopora, Coral massive, Coral submassive, Mellepora dan Mushroo. Kondisi terumbu karang pada stasiun I termasuk kategori sangat baik, stasiun II termasuk kategori baik, sedangkan pada stasiun III dan IV temasuk kategori sedang. Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun I, II, II dan IV diketahui sebesar 1,25 (kategori sedang). Menunjukkan bahwa penyebaran tiap spesies dan kestabilan komunitas sedang, sedangkan kondisi pertumbuhan karang relatif baik. Nilai indeks keseragaman pada stasiun I, II, II dan IV berkisar antara 0,63– 0,99 dengan nilai rata-rata sebesar 0,77 (kategori keseragaman tinggi). Nilai indeks dominansi stasiun I, II, II dan IV berkisar 0,20-0,50 dengan rata-rata 0,35 (kategori rendah) menunjukkan bahwa tidak ada lifeform yang mendominasi di pulau Mamburit kepulauan Kangean. Daftar Rujukan Dadang Setiawan. 2010. Laporan Perkembangan & Pencapaian Komponen Penguatan Kelembagaan Dan Pengelolaan Proyek. Coral Reef Rehabilitation And Management Program (coremap) Phase II – ADB. Djojoprajitno, S. 2005. Kangean dari zaman wilwatikta sampai Republik Indonisia (1350 – 1950 ). Buletin Kangean Nyiur Melambai (KNM). Pamekasan Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan
lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. Gomez ED dan HT Yap. 1998. Monitoring Reef Condition. Page: 187-195 in R. A. Kenchington dan B. E. T. Hudson (eds.), Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. MichaelJ.P. 2008. Laboratory methods for the identification of soft corals (Octocorallia: Alcyonacea). Advances in Coral Husbandry in Public Aquariums. Public Aquarium Husbandry Series, vol. 2. R.J. Leewis and M. Janse (eds.), pp. 413-426 Johan Ofri. 2003. Metode survei terumbu karang indonisia. PSK-UI dan Yayasan Terangi. Kenchington R.A. 1988. Issues and Achievement in Marine Resources Management. In Kenchington RA dan Brydget ETH (ed) : Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta, Indonisia. Pp. 29 36. Suhartati M.N. 2010. Foraminifera Bentik Sebagai Indikator Kondisi Lingkungan Terumbu Karang Perairan Pulau Kotok Besar Dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Nababan T.M. 2009. Persen tutupan (Percent Cover) terumbu karang hidup di bagian timur Pulau Rubiah Nanggro Aceh Darussalam. SKRIPSI. Universitas Sumatra Utara. Medan. Riyan, N. 2007. Kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sumenep, Madura – Jawa timur. SKRIPSI. Prodi ilmu dan teknologi kelautan. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Richmond, R.H. 2001. Reproduction and Recruitment in Corals: Critical Link in the Perssistence of Reefs. Chapman & Hall, New York:175 – 197. Souhoka, J. 2007. Sebaran dan kondisi karang batu (Hard coral) di perairan
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 759
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
tanjung merah bitung, Sulawesi Utara. UPT Loka Konservasi Biota Laut Bitung-LIPI.Sulawesi Utara Soekarno. 2006. Modul Transplantasi Karang Secara Sederhana. COREMAP Fase II Kabupaten Selayar – Yayasan Lanra Link Makassar. Benteng, Selayar. Yusapri, 2009. Kondisi Terumbu Karang Di Pesisir Kelurahan Sungai Pisang Sumatera Barat. Jurnal of Environmental science. Universitas Riau.
760 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
ANALISIS ANATOMI DAN HISTOLOGI UMBAI CACING (Vermiformappendix) PADA KELINCI SEBAGAI ANGGOTA HEWAN HERBIVORA Bevo Wahono Pendidikan Biologi FKIP Universitas Jember E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis anatomi dan histologi umbai cacing (Vermiform Apependix) pada kelinci sebagai salah satu anggota hewan herbivora. Jenis makanan yang berbeda memungkinkan adanya struktur pencernaan yang berbeda pada masing-masing jenis hewan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara mengukur, menghitung, dan mengamati anatomi umbai cacing dari kelinci serta pengamatan preparat permanen umbai cacing kelinci yang telah dibuat dibawah mikroskop. Hasil penelitian yang didapat yaitu; umbai cacing pada kelinci berbentuk silinder dengan panjang rata-rata 5,6 cm;diameter rata-rata 0,8 cm; berat rata-rata 1,5 gram;berwarna putih kemerahan; dan terletak pada ujung dari sekum; mempunyai lapisan dari dalam keluar yang terdiri dari lumen, mukosa, submukosa,muskularis dan serosa. Kata Kunci: Anatomi, Histologi, Umbai Cacing, Kelinci, Herbivora Pendahuluan Umbai cacing (VermiformAppendix) sebagai organ pertahanan tubuh (immunoglobulin). Martin (2012), menyebutkan bahwa fungsi umbai cacing tersebut adalah sebagai salah satu organ tempat produksinya pertahanan tubuh sama halnya seperti fungsi limpa. Dari ilmu evolusi, Umbai cacing (VermiformAppendix) dianggap sebagai struktur vestigial (sisihan) yang tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh. Appendiks dulunya berguna dalam mencerna dedaunan seperti halnya pada primata. Penelitian mengenai stuktur anatomi dan histologi penting dilakukan terhadap suatu organ yang belum banyak diketahui fungsinya maupun strukturnya secara pasti. Hal ini cukup beralasan karena dalam ilmu biologi terutama fisiologi hewan struktur tubuh berkaitan erat dengan fungsinya. Diharapkan, dengan mengetahui secara detail struktur anatomi dan histologi umbai cacing tersebut dapat mengetahui fakta yang belum banyak terungkap dan dapat membantu dalam pembelajaran di kelas.
Metode Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Penelitian yang dilakukan berupa analisis anatomi dan histologi umbai cacing (vermiform appendix) pada kelinci.Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara mengukur, menghitung, mengamati anatomi umbai cacing dari kelinci serta pengamatan preparat permanen umbai cacing kelinci yang telah dibuat dibawah mikroskop. Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif. Analisis deskriptif untuk mendeskripsikan struktur anatomi dan histologi umbai cacing kelinci. Hasil dan Pembahasan Pengamatan terhadap anatomi dan histologi umbai cacing pada 3 ekor kelinci didapatkan hasil bahwa posisi umbai cacing pada kelinci terletak diujung sekum. Pada penelitian ini ditemukan warna yang berbeda yang menjadi batas antara sekum dan umbai cacing. Umbai cacing pada kelinci
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 761
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
berbentuk silinder dengan panjang rata-rata 5,6 cm; diameter rata-rata 0,8 cm; berat ratarata 1,5 gr; berwarna putih kemerahan;; mempunyai lapisan dari dalam keluar yang
terdiri dari lumen, mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Anatomi dan histologi umbai cacing disajikan pada Gambar 1, 2, dan 3.
Gambar 1. Anatomi Umbai Cacing
Pembahasan Ada atau tidaknya umbai cacing pada salah satu jenis kelompok hewan dari pandangan evolusi salah satunya disebabkan oleh jenis makanan. Hewan karnivora mayoritas tidak ditemukan adanya umbai cacing. Hewan omnivora beberapa memiliki umbai cacing. Sedangkan pada hewan herbivora mayoritas ditemukan umbai cacing walaupun berbeda bentuk dan ukurannya. Pada penelitian ini difokuskan terhadap analisis umbai cacing di kelompok hewan herbivora terutama pada kelinci. Umbai cacing pada kelinci terletak di ujung sekum. Hal yang membedakan antara umbai cacing dengan sekum pada kelinci yaitu perbedaan warna dan ukurannya. Umbai cacing pada kelinci berwarna putih kemerahan. Warna yang berbeda antara sekum dan umbai cacing ini disebabkan oleh isi maupun histologisnya. Sekum berisi makanan yang dicerna secara fermentasi oleh hewan tersebut sehingga ukurannya lebih besar dan berwarna hitam kehijauan, sedangkan pada umbai cacing berwarna putih kemerahan dan berukuran lebih kecil dari sekum yaitu panjang rata-rata 5,6 cm, diameter rata-rata 0,8 cm dan berat rata-rata 1,5 gram.
Gambar 2. Struktur Histologi Umbai Cacing (Perbesaran Mikroskop 10x10) Pengamatan lebih jauh umbai cacing dilihat dari histologisnya. Umbai cacing pada kelinci mempunyai lapisan dari dalam keluar yang terdiri dari lumen, mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Lumen umbai cacing berdiameter rata-rata 0,3 cm. Lumen ini tidak berisi makanan yang difermentasi seperti pada sekum. Namun merupakan ruang kosong yang tidak berisi apapun. Lapisan mukosa pada umbai cacing ini berbentuk seperti jonjot-jonjot pada usus halus, yang terdiri dari dalam ke luar yaitu lapisan epitelium, lamina propria dan mukosa muskularis. Lapisan epitelium mukosa berfungsi dalam sekresi dan absorbsi cairan-cairan tertentu yang berhubungan dengan pencernaan dan imun. Lamina propria merupakan jaringan penghubung areolar yang mengandung pembuluh darah dan pembuluh limfatik. Sedangkan mukosa muskularis merupakan lapisan tipis dari otot polos yang kadangkadang membentuk lipatan-lipatan tipis (Tortora & Bryan, 2009). Lapisan submukosa mirip seperti lamina propria yaitu jaringan pengubung areolar yang mengikat mukosa ke jaringan otot polos. Pada lapisan ini ditemukan juga pembuluh darah dan pembuluh limfatik.Pada
762 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
usus, lapisan ini berfungsi juga sebagai tempat penyerapan zat-zat makanan, namun pada umbai cacing kelinci ini tidak
berkembang sebagai daerah penyerapan zatzat makanan.
Gambar 2. Struktur Histologi Umbai Cacing (Perbesaran Mikroskop 40x10)
Gambar 3. Struktur Histologi Umbai Cacing (Perbesaran Mikroskop 40x10) Umbai cacing pada kelinci juga memiliki lapisan muskularis seperti pada saluran pencernaan lainnya. Kehadiran lapisan muskularis pada saluran pencernaan yang lain menyebabkan saluran tersebut bisa berkontraksi (Rastogi, 2007). Kontraksi tersebut bisa berasal dari otot lurik maupun dari otot polos. Pada umbai cacing ini, kontraksi menyebabkan gerakan peristaltik, yang merupakan kelanjutan dari gerakan pristaltis pada sekum. Lapisan muskularis pada umbai cacing menyebabkan organ ini sebagai organ yang kelihatannya berfungsi layaknya pada sistem pencernaan. Namun, fungsi umbai cacing ini tidak signifikan terhadap pencernaan hewan tersebut. Menurut Martin (2012), umbai cacing merupakan organ yang berfungsi hanya sebagai tempat sel-sel darah putih berkembang. Hal ini juga tentunya ada kaitannya dengan ditemukannya lapisan submukosa yang mengandung pembuluh limfatik di dalamnya. Lapisan terakhir yang menyusun umbai cacing pada kelinci yaitu lapisan serosa. Lapisan ini tidak hanya ditemukan di umbai cacing kelinci tetapi sebaliknya, banyak ditemukan di semua bagian saluran pencernaan. Serosa merupakan lapisan terluar dari saluran pencernaan yang
berbentuk memberan serosa yang tersusun atas jaringan penghubung areolar dan epitelium sekumosa sederhana. Lapisa epitelium ini menjadi pembatas organ umbai cacing dengan lingkungan luarnya. Simpulan Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini yaitu: 1. Secara anatomi sumbai cacing pada kelinci berbentuk silinder dengan panjang rata-rata 5,6 cm; diameter ratarata 0,8 cm; berat rata-rata 1,5 gr; berwarna putih kemerahan; dan terletak pada ujung dari sekum; 2. Secara Histologis umbai cacing pada kelinci mempunyai lapisan dari dalam keluar yang terdiri dari lumen, mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Secara histologist lapisan ini mempunyai banyak kesamaan dengan histology lapisan saluran pencernaan pada umumnya. Daftar Rujukan Ahmed, Irfan; Kristjan S; Asgeirsson; Ian J; Beckingham; Dileep N. 2007. The Position of The Vermiform Appendix At Laparoscopy. Surgiol Radiology Anatomy Journal. 29: 165-168.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 763
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Martin, Loren G. 2012.For years, the appendix was credited with very little physiological function. USA: Oklahoma State University (physiology). Rastogi, S.C. 2007. Essentials of Animal Physiologi. New Delhi. New Age Internasional Publishers. Tortora, G.J & Bryan D. 2009. Principles Of Anatomy And Physiologi, Twelfth Edition. United States Of America: John Wiley & Sons Inc.
764 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Pengaruh Variasi Macam Gula Dalam Beberapa Konsentrasi Terhadap Kualitas Nata De Nira Siwalan (Borassus Flabellifer L.) dari Pamekasan Chandra Kirana, Utami Sri Hastuti, Endang Suarsini Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang e-mail:
[email protected]
Abstrak Siwalan (Borassus flabellifer L.) tersebar luas di Kabupaten Pamekasan salah satudiantaradesaialah desa Kertagenah Laok Kecamatan Kadur. Potensi siwalan yang melimpah dapat dikembangkan menjadi produk yang lebih bermanfaat dan bernilai ekonomi tinggi salah satudiantaranyaadalah diolahmenjadinata de nira siwalan. Kualitas nata dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah macam gula dan konsentrasi. Penelitian eksperimen ini bertujuan menguji pengaruh variasi macam dan konsentrasi gula terhadap kualitas nata ditinjau dari berat nata. Hasil penelitian eksperimen menunjukkan bahwa terdapat pengaruh macam dan konsentrasi gula terhadap kualitas nata de nira siwalan berdasarkanberatnata. Kata Kunci:
nata de nira siwalan, macam gula
Pendahuluan Salah satu potensi lokal Kabupaten Pamekasan adalah siwalan. Pohon siwalan (Borassus flabellifer L.) merupakan tanaman multiguna yang banyak tumbuh dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia antara lain Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara (Nuroniah, 2010). Tanaman siwalan dikenal karena menghasilkan sari gula atau lebih dikenal dengan nira, yaitu cairan yang disadap dari tongkol bunga siwalan. Nira yang telah disadap bisa diminum dalam keadaan segar dan bisa dimasak agar lebih awet. Nira mentah harus segera dimasak karena apabila tidak segera dimasak maka nira akan berubah menjadi minuman tuak atau menjadi asam cuka. Upaya lain untuk mengawetkan nira siwalan adalah dimasak menjadi gula siwalan. Pohon siwalan tersebar luas di Kabupaten Pamekasan, salah satunya di desa Kertagenah Laok Kecamatan Kadur. Hasil observasi menunjukkan bahwa masyarakat sekitar memanfaatkan nira untuk dijual sebagai minuman segar dan bahan baku pembuatan gula siwalan. Potensi nira siwalan yang cukup besar
tersebut masih dapat dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai guna dan nilai manfaat yang tinggi. Pengembangan produk dan pengolahan siwalan memerlukan teknologi yang tepat guna. Salah satu produk yang dapat dikembangkan dari nira siwalan adalah nata de nira siwalan. Nata berasal dari bahasa Spanyol yang dalam bahasa Inggris berarti cream, sehingga nata de coco kemudian diartikan sebagai krim dari air kelapa (Sutarminingsih, 2004). Nata dibentuk oleh bakteri asam asetat Acetobacter xylinum dari substrat air kelapa, santan kelapa, tetes tebu, limbah cair tahu atau sari buah. Bakteri nata merupakan bakteri Gram negatif, aerob, berbentuk batang pendek atau kokus (Nainggolan, 2009). Bakteri Acetobacter xylinum akan dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon (C) dan nitrogen (N) melalui proses yang terkontrol. Bakteri ini akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa, dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam air kelapa tersebut akan dihasilkan jutaan lembar benang-
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 765
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
benang selulosa yang akhirnya terlihat padat berwarna putih hingga transparan yang disebut nata (Wahyudi, 2007; Budiarti, 2008). Adanya gula dalam air kelapa atau bahan lain akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk membentuk senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang nantinya membentuk lapisan nata. Adanya senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan aktifitas enzim dalam metabolisme sel bakteri Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa. Salah satu faktor pendukung pertumbuhan dan aktifitas bakteri Acetobacter xylinum adalah sumber nitrogen. Sumber Nitrogen yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktifitas bakteri nata dapat berasal dari nitrogen organik, seperti misalnya protein dari ragi roti, maupun nitrogen anorganik seperti misalnya ammonium fosfat, urea, dan ammonium sulfat (Nainggolan, 2009). Tujuan penelitian ini antara lain: (1) menganalisis pengaruhmacam gula terhadap kualitas nata de nira siwalan berdasarkan berat nata; (2)menganalisis pengaruh konsentrasi macam gula terhadap kualitas nata de nira siwalan berdasarkan berat nata; (3) menganalisis pengaruh interaksi macam dan konsentrasi gula terhadap kualitas nata de nira siwalan berdasarkan berat nata. Hipotesis penelitian eksperimen yang diajukan yaitu (1) ada pengaruh macam gula terhadap kualitas nata berdasarkan berat lapisan nata,(2) ada pengaruh konsentrasi gula terhadap kualitas nata berdasarkan berat lapisan nata, dan (3) ada pengaruh interaksi macam dan konsentrasi gula terhadap kualitas nata de nira siwalan berdasarkan berat. Metode Penelitian eksperimen bertujuan menguji pengaruh variasi macamdankonsentrasi gula terhadap kualitas nata de nira siwalan berdasarkan berat nata. Penelitian eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap
766 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
(RAL). Desain faktorial yang digunakan adalah desain dua faktor yang terdiri dari faktor pertama ialah faktor A meliputi macam gula (A1: gula pasir dan A2: gula siwalan) sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi gula atau faktor B (B1: 5%, B2: 10%, dan B3: 15%). Penelitian eksperimen menggunakan lima kali ulangan. Variabel terikat yang diukur adalah kualitas nata berdasarkan berat lapisan nata de nira siwalan setelah pemeraman 14 hari. Penelitian eksperimen inidilakukan dalam dua tahap yaitu perbanyakan starter dan pembuatan nata de nira siwalan. Pembuatan nata de nira siwalan dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. 3000 ml nira siwalan dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan masing-masing 1000 ml. Kelompok I ditambah gula siwalan dengan konsentrasi 5%, kelompok II ditambah gula siwalan dengan konsentrasi 10% dan kelompok III ditambah gula siwalan dengan konsentrasi 15%. Masing-masing ditambah dengan 0,25 gram ragi roti dan 250 ml air rebusan kecambah kacang hijau. 2. Langkah pertama dilakukan dengan menambahkan gula pasir. 3. Campuran larutan direbus sampai mendidih selama 15 menit kemudian api kompor dimatikan, ditambah 15 ml asam cuka glasial agar pH mencapai 3-4. 4. 200 ml campuran dimasukkan ke dalam botol yang telah disterilisasi kemudian ditutup kertas sampul coklat. 5. Campuran dibiarkan hingga dingin kemudian ditambahkan starter dengan perbandingan 1:5, 1 bagian starter dan 5 bagian nira siwalan. 6. Larutan disimpan dalam lemari penyimpanan selama 14 hari dan tidak boleh terguncang. 7. Setelah 14 hari lapisan nata dari beberapa perlakuan terbentuk, maka berat nata dapat diukur. 8. Masing-masing lapisan nata dari beberapa perlakuan tersebut dikeluarkan dari botol dengan menggunakan pinset.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Kemudian diukur beratnya menggunakan tim bangan tepung. Ringkasan langkahlangkahpembuatannata de nirasiwalan dapat disajikan pada Gambar 1. Analisis data hasil penelitian eksperimen adalah Analisis Varian (ANAVA) untuk menguji hipotesis
mengenai kajian pembuatan nata de nira siwalan dan uji lanjut DMRT. Hasil dan Pembahasan Berat lapisan nata de nira siwalan dengan variasi gula pasir dan gula siwalan dengan 3 konsentrasi yang berbeda yaitu 5%, 10%, dan 15% disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1: Rerata Hasil Pengukuran Berat Lapisan Nata de Nira Siwalan dengan Variasi Macam dan Konsentrasi Gula Perlakuan BeratLapisanNatadariNiraSiw (g) Rerata alan (g) padaUlanganke(g) Macamgula Konsentrasi 1 2 3 4 5 Gulapasir 5% 27,9 28,0 29,2 29,7 30,3 145,1 29,02 10% 9,4 31,8 32,6 36,5 45,5 175,8 35,16 15% 5,8 28,7 30,6 35,6 36,5 157,2 31,44 Gulasiwalan 5% 8,9 29,3 35,8 36,9 37,8 168,7 33,74 10% 7,6 39,2 41,7 44,2 45,1 207,8 41,56 15% 2,3 34,8 35,9 41,9 47,1 192,0 38,40 Data pada Tabel 1 dapat disajikan pada Glukosa merupakan sumber karbon yang diagram balok Gambar 1. Hasil uji ANAVA dibutuhkan dalam proses fermentasi nata de menunjukkan bahwa dari sumber macam nira siwalan sebagai sumber nutrisi bakteri gula, diperoleh nilai p-level lebih kecil dari Acetobacter xylinum.. 0,05 (p<0,05) dengan sig 0,01. Hasil Bakteri Acetobacter xylinum menurut tersebut menunjukkan bahwa hipotesis Suparti, dkk (2007) dapat hidup dan penelitian diterima, artinya terdapat membentuk nata dengan memanfaatkan pengaruh yang signifikan macam gula glukosa dalam kondisi asam. Pembentukan terhadap kualitas nata de nira siwalan nata dapat terjadi karena proses berdasarkan berat lapisan nata. Hasil uji pengambilan glukosa dari larutan gula yang lanjut DMRT0,05 menunjukkan bahwa terdapat dalam substrat atau bahan dasar perlakuan dengan gula siwalan memberikan oleh sel-sel bakteri. Glukosa kemudian pengaruh lebih tinggi terhadap rerata berat digabungkan dengan asam lemak nata yang dihasilkan dibandingkan dengan membentuk prekursor (penciri nata) pada gula pasir. membran sel, dan keluar bersama-sama Hasil penelitian menunjukkan bahwa enzim yang mempolimerisasikan glukosa terdapat perbedaan berat lapisan nata yang menjadi polisakarida yang disebut selulosa dibuat dengan penambahan gula pasir dan di luar sel (Nainggolan, 2009). Selulosa gula siwalan. Nata de nira siwalan dengan tersebut yang kemudian membentuk lapisan penambahan gula siwalan memiliki berat nata. yang lebih tinggi daripada yang diberikan Dari sumber konsentrasi gula, diperoleh tambahan gula pasir. Perbedaan ini nilai p-level lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) disebabkan perbedaan kandungan glukosa dengan sig 0,01. Hasil tersebut pada kedua jenis gula tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian didukung hasil penelitian Burhanuddin diterima artinya ada pengaruh yang (2005) yang menyatakan bahwa kandungan signifikan konsentrasi gula terhadap kualitas glukosa pada gula siwalan lebih tinggi nata de nira siwalan berdasarkan berat daripada gula pasir. Gula siwalan memiliki lapisan nata. Uji lanjut DMRT kandungan glukosa 76,85% sedangkan gula menunjukkan bahwa perlakuan dengan pasir memiliki kandungan glukosa 71,89%. konsentrasi gula 10% memberikan pengaruh
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 767
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
lebih tinggi terhadap berat lapisan nata. Hasil ini didukung penelitian Arviyanti dan Yulimartani (2010) yang menyatakan bahwa penambahan gula dengan konsentrasi 10% menghasilkan berat nata yang paling
tinggi. Dari sumber interaksi, hasil analisis menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan interaksi macam dan konsentrasi gula terhadap berat lapisan nata.
1000 ml nirasiwalan
Tambahkan 100 gr gula, 0,25ragi roti, 250 ml air rebusankecambahkacanghijau
Didihkanselama 15 menit, kemudiankompordimatikan
Ukur pH, apabila pH>4, makaditambahkanlagiasamcuka glacial sampai pH berkisar 3-4 (+15 ml asamcukaglasial
Masukkannirasiwalankedalambotolselaisteril, lalututupdengankertassampulcoklat, diikatdengankaretgelang, danbiarkansampaimendingin
Tambahkan starter kedalamnirasiwalandenganperbandinganantara volume starter : volume nirasiwalan = 1:5 secaraaseptik
Botolditutupkembalidengankertassampu; lalusimpan di dalamalmaripenyimpananselama 14 hari, janganterguncang
Amati lapisannata yang terbentukdaribeberapaperlakuan, ukurlahberatnya
Gambar 1. PembuatanNata De NiraSiwalan . Materi tentang pembuatan nata de nata sebagai salah satu usaha untuk nira siwalan dapat digunakan sebagai meningkatkan nilai guna nira siwalan yang sumber informasi tentang potensi selama ini belum dimanfaatkan secara pemanfaatan nira siwalan dalam pembuatan maksimal.
768 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Berat Lapisan Nata (g)
50 40
Gula Pasir
30
Gula Siwal an
20 10 0 5%
10% Konsentrasi
15%
Gambar 1. Diagram Balok tentang Berat Lapisan Nata dengan Variasi Perlakuan Macam dan Konsentrasi Gula Budiarti, R.S. 2008. Pengaruh Konsentrasi Simpulan Hasil penelitian menunjukkan Starter Acetobacter xylinum terhadap bahwa terdapat pengaruh yang signifikan Ketebalan dan Rendemen Selulosa macam dan konsentrasi gula terhadap Nata de Soya. Biospecies. 1(1): 19-24, kualitas nata de nira siwalan berdasarkan (http://online-journal.unja.ac.id) berat lapisan nata. [diakses pada 28 April 2013]. Saran yang dapat diajukan Budiharta. 2006. Menyadap Lontar berdasarkan hasil penelitian ini antara lain: Menenggak Rupi-ah. UPT BKTKR (1) bagi guru, terutama pengajar materi Purwodadi. (http://www.krBioteknologi, perlu mengimplementasikan purwodadi.lipi.go.id) [diakses pada 2 hasil penelitian ini dengan Februari 2012]. mempertimbangkan potensi lokal untuk Burhanuddin. 2005. Prospek diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di Pengembangan Usaha Koperasi dalam sekolah; (2) bagi siswa, perlu Produksi Gula Aren. (www. mengembangkan keterampilan dalam smecda.com/kajian/files.hslkajian/kajia membuat nata dengan bahan dari berbagai n_gula_aren.pdf) [diakses 20 Februari macam buah-buahan dari lingkungan sekitar 2012]. siswa secara mandiri; serta (3) bagi Nainggolan. 2009. Kajian Pertumbuhan masyarakat di Kabupaten Pamekasan, hasil Bakteri Ace-tobacter sp dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai Kombucha-Rosela Merah (Hibiscus informasi untuk usaha meningkatkan sabdariffa) pada Kadar Gula dan pemberdayaan potensi daerah dan Lama Fermentasi yang Berbeda. pendapatan daerah. Disertasi. Medan: Universitas Sumatera Utara. (reposi-tory.usu.ac.id) [diakses 2 Desember 2011). Daftar Rujukan Admin. 2009. Image of Acetobacter xylinum. Nuroniah, S.H., Rostiwati, T., dan Bustomi, http://somphyto.trustpast.alibaba.com/v S.2010. Sintesa Hasil Penelitian iewing Lontar (Borassus flabellifer) sebagai photo/107232348/ACETOBACTER_X Sumber Energi Bioetanol Potensial. YLI-NUM.jpg.html) [diakses 8 Bogor: Kementerian Kehutanan. Desember 2011]. Sutarminingsih. 2004. Peluang Usaha Nata Arviyanti, E. dan N., Yulimartani. 2010. de Coco. Yogyakarta: Kanisius. Pengaruh Penambahan Air Limbah Wahyudi. 2003. Memproduksi Nata de Tapioka pada Pro-ses Pembuatan Nata. Coco. Jakarta: Direktorat Pendidikan (eprints.undip.ac.id/34-68) [diakses 25 Menengah dan Kejuru-an Dirjen Mei 2013]. Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 769
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
FITOESTROGEN UMBI BENGKUANG (Pachyrhizus erosus): SEBUAH KAJIAN HASIL PENELITIAN DALAM PERSPEKTIF HOLISTIK Cicilia Novi Primiani, Umie Lestari, Mohammad Amin, Sutiman B. Sumitro Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Madiun Jl. Setia Budi 85 Madiun E-mail:
[email protected]
Abstrak Penggunaan bahan alam dalam bidang kesehatan selalu dilakukan dengan proses isolasi komponen aktifnya, dilanjutkan pembahasan mekanismenya pada organ target. Pembahasan hanya bersifat parsial pada salah satu komponen aktifnya, tanpa melihat mekanisme sinergis antar senyawa. Konsep kembali ke alam tidak dipandang sebagai sebuah konsep secara holistik. Umbi bengkuang merupakan salah satu tumbuhan yang sering disebut fitoestrogen, karena adanya kandungan senyawa kimia mirip 17 estradiol, serta mempunyai aktivitas mirip hormon estrogen. Tujuan penelitian adalah melakukan pengujian keterlibatan kompleksitas senyawa umbi bengkuang dalam sistem biologi tubuh melalui uji preklinis terhadap hewan coba. Penelitian menggunakan pendekatan eksperimen, perlakuan pemberian air perasan umbi bengkuang dan senyawa daidzein murni pada 24 ekor tikus putih jenis Sprague Dawley umur 5 bulan selama 24 hari. Pengambilan darah dilakukan pada hari pertama (jam ke-8, 16, dan 24 setelah perlakuan). Pengujian kadar daidzein darah dianalisis dengan metode HPLC. Hasil penelitian menunjukkan retensi daidzein umbi bengkuang dalam serum darah pada 3 fraksi masing-masing adalah 1459,747 pg, 2120,353 pg, dan 2802,746 pg. Kesimpulan menunjukkan retensi daidzein di darah lebih rendah pada pemberian air perasan umbi bengkuang, tetapi retensi di organ sama. Umbi bengkuang diduga berpotensi sebagai estrogen alami. Kata kunci: bengkuang, fitoestrogen, holistik Pendahuluan Keanekaragaman hayati tumbuhan yang tumbuh di Indonesia sangat berpotensi sebagai tumbuhan obat. Tradisi pengobatan dengan memanfaatkan tumbuhan obat yang diambil dari alam, lebih dikenal dengan istilah jamu. Penggunaan jamu telah dilakukan oleh masyarakat di seluruh wilayah Nusantara sejak jaman dulu, penggunaannya semula dilakukan berdasarkan informasi secara turun temurun, dan terbukti dapat memberikan kasiat yang efektif. Pemanfaatan tumbuhan obat yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan salah satu atau keseluruhan bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, dan buah) atau memadukan antar bagian tumbuhan satu dengan yang lain. Penggunaan tumbuhan obat dilakukan dengan sangat
mudah dan sederhana, misalnya dengan direbus, ditumbuk kemudian diperas, diparut, dan diiris-iris. Cara-cara penggunaan tumbuhan sebagai obat merupakan suatu cara untuk memperoleh ekstrak kasar, sehingga keseluruhan bagian itulah yang dikonsumsi dengan cara yang sangat mudah. Tumbuhan obat terdiri dari senyawasenyawa yang sangat kompleks, yang bekerja saling berinteraksi dan bersinergi, memberikan efek fisiologis yang sangat efektif (FughBerman, 2000; Spinella, 2002 dan Xiang, et al., 2011), kemanfaatannya bagi tubuh dapat memberikan efek optimal (Lan dan Jia, 2010). Kompleksitas senyawa tumbuhan obat serta mekanisme kerjanya yang saling bersinergi, memberikan nilai potensi sangat baik bagi sistem tubuh, oleh karena itu penggunaan
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 770
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
tumbuhan obat lebih aman dan efektif daripada obat sintetis. Perkembangan pengobatan modern dan industri farmasi saat ini telah merubah konsep berpikir masyarakat terhadap tumbuhan obat. Masyarakat beranggapan bahwa penggunaan tumbuhan obat merupakan pengobatan kuno, tidak memberikan respons yang cepat, tidak terstandar serta tidak ilmiah. Perkembangan teknologi pengobatan modern menjadi pilihan utama masyarakat, sehingga penggunaan tumbuhan obat sampai saat ini semakin ditinggalkan. Penelitian terhadap bahan kimia sintetis untuk pengobatan semakin berkembang pesat. Pengobatan menggunakan bahan kimia sintetis menjadi pilihan masyarakat modern, karena bahan kimia sintetis mempercepat penyembuhan serta mempunyai takaran jelas. Eksplorasi terhadap berbagai tumbuhan obat dilakukan untuk menjadikan tumbuhan obat mempunyai nilai ilmiah. Berbagai penelitian diarahkan terhadap tumbuhan obat dengan fokus pada komponen senyawa aktif yang terdapat di dalamnya. Industri obat tradisional yang bahan bakunya dengan memanfaatkan tumbuhan obat telah beralih menjadi industri obat tradisional yang terstandar. Penelitian tumbuhan obat telah beralih dan diarahkan dengan melakukan proses isolasi dan identifikasi senyawa aktif, memisahkannya, serta menganalisisnya berdasarkan standar kefarmasian. Orientasi bisnis menjadi tolok ukur yang pada akhirnya dijadikan sebagai standar keilmiahan. Para peneliti tumbuhan obat menyajikan berbagai data senyawa aktif tumbuhan obat serta menjelaskan mekanisme kerjanya dalam tubuh. Hasil-hasil penelitian dengan melakukan fraksi dan isolasi sampai akhirnya ditetapkan dosis yang tepat telah berhasil dipublikasikan kepada masyarakat secara terus menerus. Masyarakat sangat mempercayai nilai keilmiahan tumbuhan obat dan meyakininya serta menerapkannya sebagai suatu bentuk apresiasi terhadap tumbuhan
771 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
obat. Penyebarluasan hasil-hasil penelitian tumbuhan obat telah mengalami pergeseran dari konsep utama terhadap tumbuhan obat itu sendiri. Pemikiran reduksionistik menjadi bagian pokok dalam pembahasan kasiat tumbuhan obat. Pengembangan konsep pemikiran secara holistik terhadap tumbuhan obat memerlukan keterpaduan berbagai aktivitas senyawa yang menyebabkan tumbuhan obat mempunyai potensi. Umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus) merupakan salah satu tumbuhan yang sampai saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan, sebagai salah satu contoh yang dapat dikembangkan dalam pembahasan potensinya dalam perspektif holistik. Pemanfaatan umbi bengkuang masih sebatas konsumsi buah segar sebagai rujak, salad, dan asinan. Industri kosmetika telah memanfaatkan tepung bengkuang sebagai pemutih kulit, pelembab, dan bedak. Pemanfaatan bengkuang sebagai hormon alami berdasarkan uji preklinis telah dilakukan penelitian, tetapi masih perlu dikembangkan sehingga dapat digunakan oleh masyarakat khususnya wanita sebagai salah satu estrogen alami. Bengkuang merupakan salah satu tumbuhan famili Fabaceae, seperti halnya beberapa tumbuhan kacang-kacangan (kedelai, buncis, kacang tanah, kacang koro), yang mempunyai senyawa metabolit sekunder isoflavon, lignan, stilbens, dan koumestans (Umland et al., 2000; Pilsakova et al., 2010), dengan adanya struktur cincin aromatik mirip hormon estrogen. Hasil penelitian Primiani (2013a) kandungan daidzein dan genistein umbi bengkuang dengan analisis metode high performance liquid chromatography (HPLC) menunjukkan kadar masing-masing sebesar 108,831 mg/100 dan 163,079 mg/100. Daidzein dan genistein merupakan senyawa kelompok isoflavon yang sering disebut sebagai fitoestrogen karena mempunyai struktur kimia mirip 17 estradiol.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Senyawa kimia kelompok fitoestrogen merupakan komponen kimia alam dengan struktur kimia mirip 17 estradiol sebagai hormon estrogen (Setchell, 1998; Wanibuchi, et al., 2003; Milligan dan Kalita, 2010). Fitoestrogen mempunyai afinitas ikatan dengan reseptor estrogen serta memiliki aktivitas mirip estrogen (Setchell, 1998; Fujioka et al., 2004; Jagla, 2010; Milligan dan Kalita, 2010; Orhan, 2011) yang terdapat di beberapa organ tubuh yaitu uterus, ovarium, kelenjar mamae, tulang, hipotalamus, kelenjar pituitaria, timus, kolon, sel Leydig, prostat, dan epididimis (Kuiper, 1998). Fitoestrogen walaupun bukan hormon namun karena strukturnya mirip dengan estradiol dapat pula menduduki reseptor estrogen dan mampu menimbulkan efek layaknya estrogen endogenous sendiri (Harrison, et al., 1999; Glazier dan Bowman, 2001). Pemberian parutan umbi bengkuang dosis 0,3 g/kg, 0,6 g/kg, dan 0,9 g/kg mencit premenopause menyebabkan proliferasi lapisan endometrium dan miometrium uterus (Primiani, 2013b) Tujuan penelitian adalah untuk melakukan pengujian keterlibatan kompleksitas senyawa umbi bengkuang dalam sistem biologi tubuh melalui uji preklinis terhadap hewan coba. Metode Penelitian Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan: seperangkat kandang metabolik untuk tikus, seperangkat kandang pemeliharaan tikus dengan easy flow tipe Boxunef, timbangan analitik, labu takar, penumbuk porselen, spatula, pipet ukur, oven, erlenmeyer, corong, stirer, sentrifuse, seperangkat alat HPLC Shimadzu spesifikasi C18 detektor DAD, evaporator, filter 0,45µm, Disposible Bond Elut C8 cartridges (100 mg/1 ml), sentrifugation tubegrading system 1,5 ml, parut kelapa, alat sonde (gavage tube), beker glas, pipet ependorf, timbangan digital HM200, alat suntik/syringe 1 ml dengan
disposable needle ukuran 3 ml (G23), inkubator. Bahan yang digunakan: tikus putih betina Sprague Dawley umur 5 bulan, umbi bengkuang diperoleh dari Kecamatan Takeran Kabupaten Madiun, daidzein 25 mg dibeli dari Sigma Jepang, serum, pakan mencit jenis pelled susu A, sekam, sebagai alas, aquadestilata, politetrafluoroetilen, asetonitril, HCl, metanol, asam asetat glasial, sodium asetat 0,1 mol/L dan kertas saring. Hewan percobaan Hewan coba tikus putih betina Sprague Dawley umur 5 bulan diperoleh dari UPHP Universitas Gadjah Mada kondisi sehat, berjumlah 24 ekor, bobot badan awal perlakuan berkisar 160-200 gram, dipelihara di laboratorium Biosains Universitas Brawijaya. Pemeliharan hewan coba dan pembuatan bahan uji Aklimatisasi terhadap hewan coba dilakukan selama 14 hari sebelum perlakuan. Hewan coba ditempatkan dalam kandang metabolit selama 24 jam pertama, selanjutnya dipindahkan pada kandang pemeliharaan selama 23 hari. Pemberian pakan dan minum secara ad libitum. Penempatan hewan coba dalam kandang pemeliharaan dengan easy flow pada suhu ruang (± 27o C) dan kelembaban relatif antara 50-60%, siklus pencahayaan 12 jam. Pembuatan bahan uji serbuk daidzein berdasarkan kadar daidzein pada 1,5 ml perasan umbi bengkuang (20,188 mg/100 g) dan bobot hewan coba. Perlakuan hewan coba dan pengambilan spesimen Perlakuan terhadap hewan coba dengan cara induksi langsung ke dalam lambung dengan menggunakan sonde (gavage tube) satu kali dalam sehari selama 24 hari. Hewan coba ditempatkan dalam kandang metabolit pada hari pertama perlakuan, pada jam ke-8, 16, dan 24 dilakukan pengambilan darah melalui vena ekor. Hewan coba dipindahkan
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 772
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
pada kandang pemeliharaan pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-24. Preparasi sampel serum Sampel serum diambil sebanyak 50 µl ditempatkan dalam erlenmeyer tertutup, ditambahkan 10 ml asetonitril, 2 ml HCl 0,1 M dan 5 ml aquades, diaduk menggunnakan stirer selama 2 jam pada suhu ruang. Larutan kemudian disaring dengan kertas saring untuk diambil filtratnya. Filtrat dievaporasi menggunakan rotari evaporator suhu kurang dari 30o C. Residu hasil evaporasi dilarutkan dengan 10 ml metanol grade HPLC 85% dalam air, kemudian disaring dengan filter 0,45 µm politetrafluoroetilen untuk dianalisis dengan HPLC. Penentuan kadar daidzein serum Penentuan kadar daidzein umbi bengkuang dan serum darah menggunakan HPLC Shimadzu dengan spesifikasi C18. Larutan fase gerak dengan menggunakan asam
asetat glasial 0,1% dalam air dan 0,1% asam asetat glasial dalam asetonitril. Sebanyak 20 µl sampel diinjeksi. Kecepatan alir larutan 1 ml/menit. Detektor menggunakan photodiode pada 255-300 mm,temperatur kolom 250C, flow rate 0,8 ml/menit, wavelength 255 nm, running time 40 menit, post running time 15 menit. Analisis Data Pengujian kadar daidzein serum darah tiap fraksi (jam ke-8, 16, dan 24) setelah perlakuan dengan metode HPLC serta profil serum darah dengan metode GC-MS penghitungan retensi daidzein dalam serum dan organ dianalisis secara diskriptif. Hasil dan Pembahasan Analisis data retensi daidzein pada serum dan organ tikus putih betina setelah perlakuan daidzein dan air perasan umbi bengkuang fraksi 1,2, dan 3 terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis retensi daidzein dalam serum dan organ perlakuan senyawa daidzein dan air perasan umbi bengkuang fraksi 1, 2, dan 3 Bahan Fraksi Retensi daidzein Retensi total Retensi daidzein Retensi daidzein di ke total (pg/ekor) (%) di serum organ (pg/ekor) (pg/ekor) D 1 302820821,3 99,9999911 1988,717 302818832,5 2 302820819,8 99,9999966 3015,919 302817803,6 3 302820819,1 99,9999964 3839,392 302816979,9 Rata-rata 302820820,1 99,9999947 2948,009 302817872,0 B
1 302820824,4 99,9999981 2 302820822,7 99,9999975 3 302820822,0 99,9999973 Rata-rata 302820823,0 99,9999976 Ket: D: Daidzein; B: Air perasan umbi bengkuang
Genistein dan daidzein merupakan senyawa kelompok isoflavon dengan struktur kimia mirip hormon estrogen, sehingga aktivitas biologisnya mirip estrogen. Retensi daidzein dalam serum tikus putih perlakuan air perasan umbi bengkuang lebih rendah pada perlakuan air perasan umbi bengkuang daripada daidzein murni (Tabel 1). Retensi daidzein pada organ tikus putih perlakuan air perasan umbi bengkuang dan perlakuan
773 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
1459,747 2120,353 2802,746 2127,615
302819364,7 302818702,3 302818019,3 302818695,4
daidzein murni memberikan hasil hampir sama (Tabel 1). Daidzein mampu berikatan dengan reseptor esrogen dengan afinitas sekitar 1/500 sampai 1/1000 yang dapat berkompetisi dengan estrogen endogen (Verdeal et al., 1980) meskipun ikatannya dengan reseptor estrogen lemah tetapi aktivitasnya cukup besar dalam menimbulkan respon (Knight, dan Eden, 1995).
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Proses pencernaan atau konjugasi intensif daidzein dalam hati dan bentuk sirkulasi enterohepatik dalam bentuk konjugat oleh glukoronidase dan/atau sulfatase bakteri dalam usus sehingga menghasilkan daidzein dalam feses (Bayer et al., 2001) oleh karena itu kemungkinan terjadi biotransformasi, ekskresi cepat, dan absorbsi tidak efisien meskipun sejumlah kecil daidzein dapat digunakan untuk ikatan reseptor. Tabel 1 menunjukkan bahwa retensi daidzein total 99%, retensi daidzein dalam organ memberikan hasil hampir sama dengan retensi daidzein total tiap ekor tikus perlakuan daidzein murni maupun air perasan umbi bengkuang, meskipun potensi daidzein murni dan air perasan umbi bengkuang pada organ target memberikan hasil berbeda. Metabolisme daidzein lambat diabsorbsi tetapi lebih efisien dari saluran pencernaan (Xu, et al., 1994; Lu, et al., 1996b). Pemberian parutan umbi bengkuang menyebabkan terjadinya proliferasi lapisan endometrium, kelenjar uterina dan miometrium mencit premenopause (Primiani, 2013b). Pemberian ekstrak umbi bengkuang dosis 400 mg/kg dan 800 mg/kg selama 4 minggu pada tikus ovariektomi dapat mencegah terjadinya kerapuhan tulang (Nurrochmad et al., 2010). Pemberian isoflavon dapat meningkatkan kadar estradiol tikus ovariektomi (Kawakita, et al., 2009). Pemberian isoflavon dari susu kedelai 76 mg/hari dapat mencegah kerapuhan tulang wanita premanopause (Ishimi, 2010). Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa daidzein sebagai salah satu senyawa isoflavon yang terdapat dalam umbi bengkuang sebagai bahan alam mempunyai potensi sebagai estrogen alami. Senyawa kimia serum darah tikus putih dengan perlakuan air perasan umbi bengkuang yang terdeteksi menunjukkan kadar lebih rendah daripada pemberian daidzein murni. Diduga senyawa-senyawa yang terdapat dalam air perasan umbi bengkuang saling berinteraksi dan berkompetisi. Interaksi dan
kompetisi terjadi pada senyawa-senyawa isoflavon yang mempunyai struktur kimia mirip estrogen dengan saling menduduki reseptor estrogen dalam sistem biologis tubuh, sehingga dapat bekerja optimal dalam memberikan efek biologis. Proses analisis senyawa kimia bahan alam sebagai obat herbal tidak mudah dilakukan karena sangat banyaknya senyawa kompleks, oleh karena itu pembahasan dilakukan dengan pendekatan terhadap senyawa multikomponen (Zeng et al., 2008). Bahan alam sebagai obat herbal tidak seperti bahan sintetik, karena biasanya bahan alam merupakan campuran beberapa komponen, oleh karena itu kajian dititikberatkan pada kompleksitas konstituen aktif (Na et al., 2011). Strategi analisis bahan alam sebagai obat herbal sebaiknya dilakukan dengan pendekatan holistik, meskipun tidak menutup kemungkinan menggunakan teknik-teknik modern. Teknologi komputasi dapat dilakukan dengan mengemas menggunakan metode evaluasi secara integral menggunakan teknologi aplikasi misalnya HPLC, GCMS, dan HAIEMS (Li et al., 2008). Simpulan Bengkuang mengandung kadar daidzein dengan struktur kimia mirip estrogen sehingga dapat digunakan sebagai estrogen alami. Retensi daidzein dalam tubuh cukup tinggi dan memberikan retensi dalam organ secara optimal, sehingga mempunyai potensi baik pada organ. Adanya berbagai senyawa yang terdapat dalam umbi bengkuang memungkinkan terjadinya interaksi secara harmoni sehingga memberikan potensi optimal pada organ. Daftar Pustaka Bayer, T., Colnot,T., & Dekant, W. 2001. Disposition and Biotransformation of the Estrogenic Isoflavone Daidzein in Rats. Toxicological Sciences. 62:205-211.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 774
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Fujioka, M., Uehara, M., Wu, J., Adlercreutz, H., Suzuki, K., Kanazawa, K., Takeda, K., Yamada, K., & Ishimi, Y. 2004. Equol, a Metabolite of Daidzein, Inhibits Bone Loss in Ovariectomized Mice. J.Nutr. 134: 2623-2627. Fugh-Berman, A. 2000. Herb-drug Interaction. Lancet. 355:134-138. Glazier, M.G., & M.A. Bowman, 2001. A Review of the Evidence for the Use of Phytoestrogens as Replacement for Traditional Estrogen Replacement Therapy. Arch Intern Med. 161:11611172. Harrison, R.M., Phillippi, P.P., Swan, K.F., & Henson, M.C. 1999. Effect of genistein on steroid hormon production in the pregnant rhesus monkey,” Society for Experimental Biology and Medicine, vol. 222. Ishimi, Y. 2010. Dietary Equol and Bone Metabolism in Postmenopausal Japanese Women and Osteoporotic Mice. J.Nutr, 1373S-1376S. Jagla, F., Riecansky, L., & Pilsakova, L. 2010. The Physiological Actions of Isoflavone Phytoestrogens. Physiol.Res. 59:651664. Kawakita, S., Marotta, F., Naito, Y., Gumaste, U., Jain, S., Tsuchiya, J., & Minelli, E. 2009. Effect of An Isoflavones Containing Red Clover Preparation and Alkaline Supplementation on Bone Metabolism in Ovariectomized Rats. Clin Interv Aging, 4:91-100. Knight, D.C., & Eden, J.A. 1995. Phytoestrogens – A Short Review. Maturitas, 22:167-175 Kuiper, G.G.J.M., Lemmen, J.G., Carlsson, B., Corton, J.C., Safe, S.H., Van der Saag, P., Van der Burg, B., & Gustafsson, B.J. 1998. Interaction of Estrogenic Chemicals and Phytoestrogens with Estrogen Receptor . Endocrinology.139(10):4252-4263.
775 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Lan, K., & Jia, W. 2010. An Integrated Metabolomics and Pharmacokinetics Strategy for Multicomponent Drugs Evaluation. Current Drug Metabolism. 11:105-114 Li, P., Qi, L.W., Liu, E.H., Zhou, J.L., & Wen, X.D. 2008. Analysis of Chineses Herbal Medicines with Holistic Approaches and Integrated Evaluation Models. Trends in Analitical Chemistr. 27(1):66-77. Lu, L.J., Lin, S.N., Grady, J.J., Nagamani, M., & Anderson, K.E. 1996. Altered Kinetics and Extent of Urinary Daidzein and Genistein Excretion in Women During Chronic Soya Exposure. Nutr.Cancer. 26:289-302. Milligan, S.R. & Kalita, J.C. 2010. In Vitro Estrogenic Potency of PhytoestrogenGlycosides and Some Plant Flavanoids. Indian J.Sci.Technol, 3(12):1142-1147. Na, D.H., Ji, H.Y., Park, E.J., Kim, M.S., Liu, K.H., & Lee, H.S. 2011. Evaluation of Metabolism of Mediated Herb Drug Interactives. Arch. Pharm. Res. 34(11):1829-1842. Nurrochmad, A., F. Leviana, F., Wulancarsari, C.G., & Lukitaningsih, “Phytoestrogens of Pachyrhizus erosus Prevent Bone Loss in An Ovariectomized Rat Model of Osteoporosis. J. Phytomed. 2:363-372. Orhan, L.E., Tosun, F., Tamer, U., Duran, A., Alan, B., & Kok, A.F. 2011. Quantification of Genistein and Daidzein in Two Endemic Genista Species and Their Antioxidant Activity. J. Serb.Chem. Soc. 76(1):35-42. Pilsakova, L., Riecansky, I., & Jagla, F. 2010. The Physiological Actions of Isoflavone Phytoestrogens. Physiol.Res. (Online), 59:651-664, www.biomed,cas.cz, diakses 16 Juli 2013. Primiani, C.N. 2013a. Dinamika Senyawa Daidzein Umbi Bengkuang (Pachyrhizus erosus) dalam Darah Serta Potensinya pada Tikus Betina. Prosiding Seminar Nasional Biologi, Lingkungan dan
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Pembelajarannya X. Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6 Juli 2013. ISBN 978-6028580-94-6. Vol 1. Hal. 502-510. Primiani, C.N., 2013b. Potensi Umbi Bengkuang (Pachyrhizus erosus) Umland, E.M., Cauffield, J., Kirk, J., & Thomason, T.E. 2000. Phytoestrogens as Therapeutic Alternatives to Traditional Hormone Replacement in Postmenopausal Women. Pharmacotherapy.20(8):981-990. Setchell, K. 1998. Phytoestrogens: The Biochemistry, Physiology, and Implications for Human Health of Soy Isoflavones. Am.J.Clin.Nutr, 68(s):1333s-13346s. Spinella, M. 2002. The Importance of Pharmacological Synergy in Psychoactive Herbal Medicines. Altern Med. Rev. (Online) 7(2):130-137. (http://www.herbal.synergy.pdf), diakses 4 November 2012. Verdeal, K., Brown, R.R., Richardson, T. & Ryan, D.S. 1980. Affinity of Phytoestrogens for Estradiol Binding Proteins and Effect of Coumestrol on Growth of 7.12-Dimethylbenz (alpha) Anthracene Induced Rat Mammary Tumors. J. Natl. Cancer Inst. 64:285-290.
Terhadap Histologi Ovarium dan Uterus Mencit (Mus musculus) Premenopause. dalam Prosiding Seminar Nasional IPA IV. Universitas Negeri Semarang. 27 April 3013. ISBN 978-602-99075-3. Vol. 2. Hal. 579-584. Wanibuchi, H., Kang, J.S., & Fukushima, S. 2003. Toxicity vs Benefecial Effects of Phytoestrogens. Pure Appl.Chem,. 75(11-12):2047-2053. Xiang, C., Qiao, X., Wang, Q., Li, R., Miao, W., Guo, D., & Ye, M. 2011. From Single Compounds to Herbal Extract: A Synergy to Systematically Characterize the Metabolites of Licorice in Rats. Drug. Met.and Deposition. (Online), 39(9):1597-1608, (http://dmd.aspetjournals.org), diakses 17 November 2012. Xu, X., Wang, H.J., Murphy, P.A., Cook, L., & Hendrich, S. 1994. Daidzein is a More Bioavailable Soymilk Isoflavone Than is Genistein in Adult Women. J.Nutr, 124:825-832. Zeng, Z., Chau, F., Chan, H., Cheung, C., Lau, T., Wei, S., Mok, D.K., Chan, C & Liang, Y. 2008. Recent Advances in the Compound Oriented and Pattern Oriented Approaches to the Quality Control of Herbal Medicine. Chinese Med. 3(9):1-7 2008.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 776
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Analisis Protein Membran Spermatozoa Sapi Madura, Sapi Simental dan Sapi Limousin Sebagai Pendekatan Hubungan Kekerabatan Sapi Dian Puspita Dewi, Nursasi Handayani2, Umie Lestari1 Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang Email:
[email protected]
Abstract Research about Madura, Simental and Limousin bull’s sperm protein membrane aimed to estimate the bull’s genetic relationship by compared the sperm membrane protein with the protein specific testis. The results of this research has known that Madura and Simental bulls has Doppel Protein with molecule mass around 34-38 kDa, While Simental bull had tyrosine phosphorylation SPACA1 protein with molecule mass around 33 kDa, Doppel Protein and PH20 hyaluronidase protein with molecule mass around 75 kDa. Based on the dendogram analysis MVSP 3.22, we know that Madura bull and Simental bull have a close genetic relationship with similiarity index 1, while Limousin has distant genetic relationship with Madura and Simental bulls with similiarity index around 0,6. The suitable breeding system for the three bulls are breeding between Madura and Simental bulls and also Simental and Limousin bulls Both of these breeding animals estimated had far distant relationship so they could being cross-breeded. Keywords: protein analysis, spermatozoa membrane, bull’s genetic relationship, bull’s breeding systems. Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman plasma nutfah. Salah satu plasma nutfah yang dimiliki Indonesia dalam bidang peternakan adalah sapi, yang mempunyai arti yang sangat penting dalam pembangunan dibidang peternakan, karena merupakan bahan dasar genetik yang keragamannya sangat dibutuhkan untuk membentuk bibit unggul guna meningkatkan produktivitas (Diwyanto, 2005). Upaya untuk meningkatkan produktivitas hewan ternak, salah satunya dengan perkawinan silang dengan sapi Impor. Salah satu instansi yang berperan dalam menghasilkan bibit unggul sapi adalah Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari Malang. Spermatozoa sapi pejantan dari BBIB didistribusikan ke berbagai daerah seluruh Indonesia untuk dilakukan sistem perkawinan. Spermatozoa dari BIBB diinseminasikan dengan sapi betina yang dengan teknik
inseminasi buatan bertujuan untuk menghasilkan ternak dengan kualitas unggul. Salah satu caranya adalah dengan melakukan perkawinan silang (cross breeding). Caraviello (2004) berpendapat bahwa hasil dari cross breeding berupa peningkatan kualitas hewan ternak. Selain itu, perkawinan cross breeding dapat mengakibatkan penurunan sifat hewan ternak seperti yang dilaporkan oleh Kutsiyah (2012) pada persilangan antara Sapi Madura dengan Sapi Limousin. Menurut Kutsiyah (2012), performans reproduksi dan produksi filial2 (F2) dan filial3 (F3) sapi cenderung lebih rendah dibandingkan dengan Filial1 (F1) karena adanya faktor pembatas atau batas-batas kisaran toleransi genetik dengan lingkungan. Performans F2 dan F3 tidak lebih baik dari F1 dikarenakan F2 dan F3 kurang mampu beradaptasi terhadap keadaan lingkungan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki asal-usul dan silsilah
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 780
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
(genealogical) pada beberapa tipe sapi asal Asia Timur, termasuk beberapa sapi asli Indonesia berdasarkan ukuran berbagai bagian tubuh (Otsuka et al., 1980; Otsuka et al., 1982). Menurut Ciampolini et al., (1995) penanda molekuler banyak digunakan dalam bidang pemuliaan ternak, antara lain untuk mengidentifikasi ternak, penentuan garis keturunan, atau mengevaluasi sumber daya genetik. Salah satu cara untuk menentukan hubungan kekerabatan antar organisme saat ini, menggunakan polimorfisme protein pada darah. Maeda et al., (1972) berpendapat bahwa, beberapa polimorfisme protein dapat dipelajari dalam darah, telur dan organ tubuh burung puyuh. Beberapa penelitian yang lain, telah membuktikan bahwa terdapat protein spesifik yang terdapat pada membran spermatozoa sapi. Rondena et al., (2004) mengemukakan bahwa Dopel protein merupakan protein membran sperma yang dikode oleh gen prnd (34-38). Harayama et al., (2010), berpendapat bahwa protein tyrosine phosphorylation SPACA1 merupakan protein membran sperma pada bagian anterior akrosom (33) kDa. Protein perlekatan kalsium (calcium-binding protein) yang merupakan protein integral akrosomal membran spermatozoa sapi (64) kDa (Nadgas et al., 2013), protein perlekatan sel telur (ovum binding protein) atau Phospholipase A2 (16) kDa (Marques et al., 2000), serta protein hyaluronidase PH-20 pada jaringan testis sapi yang diperjualbelikan (75) kDa (Lalancette et al., 2001). protein spesifik yang ditemukan pada membran spermatozoa sapi dan protein spesifik testis (testicular spermatozoa). Protein spesifik tersebut digunakan sebagai pembanding protein yang diisolasi dari spermatozoa sapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil protein membran spermatozoa sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin yang digunakan dalam kajian hubungan kekerabatan sapi.
781 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekular Gedung O5 Universitas Negeri Malang. Materi yang digunakan dalam penelitian ini berupa semen sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin dalam bentuk straw. Isolasi protein membran spermatozoa sapi. Isolasi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mengoleksi protein spermatozoa sapi dalam bentuk straw dengan bahan Semen sapi dalam straw, Larutan PBS (Phosphate Buffer Saline), BO Cafein, Larutan PBS-T (Phosphate Buffer Saline – Tween), dan RSB (Reducing Sample Buffer). Larutan PBS-T sebagai detergen yang digunakan untuk memisahkan ikatan protein dan fosfolipid pada membran spermatozoa. Hasil dari isolasi protein membran spermatozoa sapi ini berupa isolat protein. Selanjutnya melakukan perhitungan konsentrasi isolat protein dengan menggunakan nano drop, kemudian melakukan elektroforesis SDS PAGE isolat protein membran spermatozoa dengan bahan Protein marker Spectra TM Multicolor Broad Range Protein Ladder #SM1841, AkrilamidBis, Tris 1M pH 8,8, Tris 1M pH 6,8, SDS (Sodium Dedocyl Sulphate) 10%, APS (Amonium Per Sulphate) 10%, RSB (Reducing Sample Buffer), Temed (N, N, N’,N’,tetramethyl-ethylenediamine), Larutan RSB Non-reducing, larutan staining, larutan destaining. Dari program SPSS 16, 0 for windows diketahui berat molekul protein dari masingmasing pita yang terbentuk. Selanjutnya data berat molekul tersebut dibandingkan dengan protein pembanding , selanjutnya dianalisis dengan program cluster analysis MVSP 3.22 dengan cara membuka program MVSP 3.22. Kemudian memasukkan angka 3 pada case dan angka 5 pada variabel. Input data berat molekul protein yang di isolasi dan protein pembanding, selanjutnya dilakukan analisis. Hasil analisa yang didapatkan berupa
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dendogram, dengan dendogram tersebut akan dapat diketahui indeks similaritas antar sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin yang kemudian dianalisa secara deskriptif untuk penentuan sistem perkawinan pada sapi.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian profil pita protein menggunakan isolat protein membran spermatozoa sapi Madura, sapi Simental dan
sapi Limousin dengan penyetaraan konsentrasi yang sama yaitu sebesar 2,747 mg/mL. Secara umum memperlihatkan adanya perbedaan. Perbedaan tersebut terlihat dari tebal tipisnya pita protein serta adanya perbedaan pola separasi pita protein yang muncul dari hasil elektroforesis SDS PAGE (Sodium Dedocyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis). Gambar gel elektroforesis dapat dilihat pada Gambar.1 di bawah ini.
kDa 260 135
95 72 52
42 34 26 17 10
Gambar 1: Hasil elektroforesis isolat protein membran spermatozoa sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin. (A) pola separasi pita protein membran spermatozoa sapi Madura (M1-M3), sapi Simental (S1-S3) dan sapi Limousin (L1-L3) pada gel akrilamid. Gambar (B) zimogram profil pita protein membran spermatozoa sapi madura, sapi simental dan sapi limousin. Data berat molekul protein kemudian dibandingkan dengan protein pembanding yaitu, protein spesifik pada membran spermatozoa dan protein spesifik pada jaringan testis (testicular spermatozoa).
Protein yang dijadikan pembanding yaitu protein dengan berat molekul16 kDa, 33 kDa, 34-38 kDa, 64 kDa dan 75 kDa disajikan pada tabel 1.
Tabel 1: Analisa Protein Membran Spermatozoa Sapi Dalam Hubungan Kekerabatan Sebagai Manajemen Perkawinan Sapi Protein Spesifik No Spesies Sapi 16 kDa 33 kDa 34-38 kDa 64 kDa 75 kDa 1 Sapi Madura ~ ~ ~ ~
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 782
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
2 Sapi Simental ~ ~ 3 Sapi Limousin ~ Keterangan : (~) Menunjukkan tidak adanya pita protein ( ) Menunjukkan adanya pita protein Berdasarkan data Tabel.1 dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui jarak hubungan kekerabatan antara sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin. Proses analisis dilakukan dengan menggunakan program cluster analysis MVSP 3.22 (Multivariate Statistical
~ ~
~
Package) untuk membuat dendogram yang menggambarkan kedekatan hubungan antara Sapi Madura, Sapi Simental dan Sapi Limousin. Dendogram tersebut dapat di lihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2: Dendogram Hubungan Kekerabatan Sapi Madura, Sapi Simental Dan Sapi Limousin Berdasarkan Profil pita Protein spesifik Membran Spermatozoa. Pendekatan kekerabatan ke tiga macam sapi tersebut, menggunakan protein spesifik membran spermatozoa BM 16 kDa, 33 kda, 34-38 kDa, 64 kDa dan 75 kDa. Protein tersebut merupakan hasil ekspresi gen, antara lain protein perlekatan sel telur/phospholipase A2 (16 kDa) (Marques et al., 2000), protein tirosin terfosforilasi/tyrosine phosphorilated protein (33 kDa) (Harayama et al., (2010), protein doppel (34-38 kDa) (Rondena et al., (2004)), protein perlekatan kalsium / calcium binding protein (64 kDa) (Nadgas et al., 2013), dan protein PH-20 Hyaluronidase (75 kDa) (Lalancette et al., 2001). Dopel protein dengan berat (34-38 kDa) dimiliki oleh sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin. Protein tyrosine phosphorylation SPACA1 dengan berat molekul (33 kDa) dan protein PH-20 (75 kDa) hanya dimiliki oleh sapi Limousin.
783 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Berdasarkan hasil analisis data isolat protein sapi dengan protein pembandingan yang dilanjutkan dengan analisis kluster dengan menggunakan program MVSP 3.22, diketahui bahwa Sapi Madura dan Sapi Simental diestimasikan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan nilai indeks similiaritas 1. Sementara itu, Sapi Madura dan Sapi Simental memiliki estimasi hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan Sapi Limousin dengan nilai indeks similiaritas 0,6. Menurut Benson (2002), nilai similaritas berkisar antara 0 sampai 1 dan hubungan kekerabatan makin dekat bila nilai similaritas makin dekat dengan 1. Berdasarkan nilai indeks similaritas dapat diestimasikan hubungan kekerabatan antara sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam sistem perkawinan (breeding) pada sapi. Sistem perkawinan yang tepat untuk ketiga
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
sapi tersebut adalah sapi Madura dikawinkan dengan sapi Limousin dan sapi Simental dikawinkan dengan sapi Limousin. Sapi Madura dikawinkan dengan sapi Limousin karena keduanya memiliki hubungan kekerabatan jauh begitu pula sapi Simental dengan sapi Limousin yang juga berkerabat jauh dapat dikawin silangkan, karena menurut Caraviello (2004) bahwa hasil dari cross breeding berupa peningkatan kualitas hewan ternak. Selanjutnya dikatakan Taylor dalam Kutsiyah (2012) dua alasan utama cross breeding (perkawinan silang) yaitu (1) menghasilkan bangsa baru dan (2) mendapatkan efek heterosis/hibrid vigor (suatu kondisi menyatunya keunggulan dari kedua bangsa ternak yang digunakan dalam persilangan pada keturunannya). Menurut Noor dalam Wulandari, (2008) makin jauh hubungan kekerabatannya antara kedua ternak, maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat heterosigozitasnya. Akan tetapi upaya perkawinan silang (cross breeding) perlu ditindak lanjuti dengan strategi pemuliabiakan yang terkendali dan berkelanjutan dalam upaya menekan efek samping cross breeding yang mengarah pada perubahan mutu ternak kearah perkembangan negatif (Wijono et al., 2004). Simpulan Dopel protein dengan berat (34-38 kDa) dimiliki oleh sapi Madura, sapi Simental dan sapi Limousin. Protein tyrosine phosphorylation SPACA1 dengan berat molekul (33 kDa) dan protein PH-20 (75 kDa) hanya dimiliki oleh sapi Limousin. Berdasarkan analisis MVSP 3.22 dendogram dapat diestimasikan bahwa sapi Madura memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan sapi Simental dengan indeks similaritas 1, sedangkan sapi Limousin memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan sapi Madura dan sapi Simental dengan indeks similaritas 0,6.
Daftar Rujukan Caraviello, D. Z. 2004. Cross breeding dairy Cattle. Reproduction and Genetics 610: 1-5 Ciampolini, R. 1995. Individual multilocus genotypes using microsatelit polymorphisms to permit the analysis of the genetic variability within and between Italian beef cattle breeds. J. Anim. Sci. 73: 3259-3268. Diwyanto, K. 2005. Pokok-Pokok Pemikiran Pengelolaan berkelanjutan Plasma Nutfah Peternakan. Makalah dalam Lokakarya Plasma Nutfah Peternakan. Puslitbangnak dan Balitnak. Bogor, 29 Desember 2005. Harayama H, Nishijima K, Murase T, Sakase M, Fukushima M. 2010. Relationship of Protein Tyrosine Phosphorylation State with Tolerance to Frozen Storage and the Potential to Undergo Cyclic AMPDependent hyperactivation in the spermatozoa of Japanesse Black Bull. Mol Reprod Dev. 2010 Oct;77(10):91021. doi: 10.1002/mrd.21233. Herliantien, Herwiyanti, E., Parlindungan, O., Sarastina, Pujianto, J. 2012. Semen Beku dan Inseminasi Buatan. Malang: Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari. Kutsiyah, F. 2012. Analisis Pembibitan Sapi Potong Di Pulau Madura. Wartazoa 22 (3): 113-126 Lalancette, C., Dorval, V., Leblanc, V. and Leders, P. 2001. Characterization of an 80-kilodalton Bull Sperm Protein Identified as PH-20. Biology of Reproduction 65(2): 628-636. Maeda, Y., T. Hashiguchi & M. Taketomi. 1972. Genetical studies on serum alkaline phosphatase isozyme in the Japanese quail. Japan. J. Genet. 47: 165-170. Marques, V. A., Goulart, L.R. and Silva, A. E. D. F. 2000. Variation of Protein Profiles and Calcium and Phospholipase A2 Concentration in Thawed Bovine Semen and Their Relation to Acrosome
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 784
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Reaction. Genetics and molecular biology 23(4): 825-829. Nadgas, S.K., Buchanan, T. and MCCashill, S., Mackey, J., Alvarez, G. E. and Raychoudhury, S. 2013. Isolation of a Calcium Binding Protein of Acrosomal Membrane of Bovine Spermatozoa. Int J Biochem Cell Biol 45(4): 876-884 Otsuka, J.,Kondo, K., Simamora, S., Mansjoer, S., And Martojo, H. 1980. Body measurement of the Indonesian native cattle. In the origin and Phylogeny of Indonesian native livestock. The Research Group of Overseas Scientific Survey. Rondena, M., Ceciliani, F., Comazzi, S., Pocacqua, V., Bazocchi, C., Luvoni, C., Chigioni, S. and Paltrinieri, S. 2006. Identification of Bovine Doppel Protein in Testis, Ovary and Ejaculated Spermatozoa. Theriogenology (63): 11951206.
785 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
DISTRIBUSI HAPLOGRUP IKAN GENUS TOR DI INDONESIA BERDASARKAN DNA BARCODE cytrocome oxydase I DwiAnggorowati Rahayu1), Endik Deni Nugroho2), Haryono3),Nia Kurniawan4), Rodiyati Azrianingzih4) 1 Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang, email:
[email protected] 2 Jurusan Biologi Universitas Borneo Tarakan 3 Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Gd. Widyasatwaloka, Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911 4 JurusanBiologiUniversitasBrawijaya
Abstrak Ikan Tor merupakan ikan lokal Indonesia yang terancam punah akibat penangkapan manusia yang tak terkendali. Distribusi clade ikan genus Tor akan membantu upaya pemantauan, pijakan konservasi, pengembangan, dan data base ikan lokal Indonesia yang akan terekam dalam Barcoding of Life Data System. Sampel genus Tor berasal dari Jawa Timur, Sumatra Barat, Kalimantan Barat,dan Sumatra Utara. Amplifikasi gen COI dilakukan dengan menggunakan primer universal. Berdasarkan sekuen gen COI, ditemukan 5 basa automorfi penentu spesies diantara genus Tor. Jarak genetik Tor duoronensis < 3%, sedangkan Tor tambraides dan Tor soro memiliki rentangan jarak genetic antara 4,43%-5,82%. Median joining network membuat deskripsi variasi ikan Tor menjadi 8 haplotypedengan 3 haplogrup. Haplotype 1 (SKRG-1 dan SKRG-2), 2 (TABR-1), 3 (TABR-2), 4 (TORD-1), 5 (TORD-2) merupakan spesies Tor duoronensis(Clade 1), haplotype 6 dan 7 merupakan spesies Tor soro(Clade 2), dan haplotype 8 merupakan spesies Tor tambraides (Clade 3).Tor duoronensis Pasuruan masih berada satu cluster dengan Tor duoronensisdariPadang, namun tidak tumpang tindih. Hal ini juga diperkuat dari hasil analisis Median Joining haplotype yang menunjukkan haplotype yang berbeda antara Tor duoronensis, meskipun berada dalam satu haplogrup yang dihubungkan dengan sejarah biogeografi Indonesia pada Era Pleistocene.
Kata Kunci: Distribusi haplogrup, Genus Tor, DNA Barcode COI
Pendahuluan Ikan genus Tor merupakan ikan lokal Indonesia. Berdasarkan daftar Merah Jenis Terancam Punah yang diterbitkan oleh IUCN tahun 1990 tercantum 29 jenis ikan dari Indonesia, diantaranya semua Genus Tor (Kottelat dkk., 1993). Terbitan IUCN tahun 2012 tercantum 12 jenis dari ikan Genus Tor yang terancam punah, diantaranya Tor tambraides dan Tor tambra dari Indonesia. Kottelat dkk.(1993) dan Haryono (2006) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat empat jenis ikan genus Tor yaitu Tor tambroides Blkr, Tor douronensis(C.V.), Tor
Tambra(C.V.) dan Tor soro (C.V.). Weber & Beaufort (1916) sebelumnya memberi nama Labeobarbus, dan membedakan jenisnya berdasarkan ukuran cuping pada bibir bawah. Selanjutnya Kottelat dkk. (1993) menyatakan bahwa secara taksonomi dan sistematik jenis ikan dari Genus Tor belum jelas. Identifikasi spesies dapat dilakukan secara cepat, tepat dan akurat dengan menggunakan marka molekular yang telah terstandarisasi yaitu DNA Barcoding yang dapat dihubungkan secara komprehensif dengan analisis morfologi (Hebert dkk., 2004; Ward dkk., 2005; Meyer dan Paulay 2005;
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 786
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hebert dan Gregory, 2005; Hajibabei dkk., 2007; Hubert dkk., 2008). Teknologi Barcoding dengan menggunakan penanda gen mitokondria dapat digunakan untuk mengidentifikasi hampir semua spesies hewan (Ward dkk., 2005; Garcia dkk., 2010), baik interspesifik maupun intraspesifik (Hebert dkk., 2003). Gen yang banyak digunakan sebagai penanda barcoding yaitu gen pengkode proteincytochrome-c oxidase I (COI) dengan panjang sekitar 648 bp (Folmer dkk., 1994; Zhang & Hewitt, 1997). Gen COI berpeluang yang sangat cepat dan akurat sebagai marker yang akurat untuk identifikasi berbagai variasi taksa dan mengungkapkan beberapa kelompok hewan yang belum diketahui tingkat taksonominya (Popa dkk., 2007; Rock dkk., 2008; Arief dkk., 2009;). Hebert dkk.(2003) menyatakan dengan menggunakan gen COI suatu spesies menunjukkan intraspesiesjika memiliki variasi sekuenintraspesies < 3% dan masuk dalam satu genus jika memiliki sekuen divergence antara 3% - 6% (Freitas dkk., 2011). Distribusi haplogrup ikan genus Tor yang ditemukan di perairan Indonesia belum ada rekaman data basenya baik di Gene Bank maupun Barcoding of Life Data System. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah dapat ditentukan haplotype network ikan Genus Tor yang ditemukan di perairan Indonesia dan dapat dilakukan sebagai langkah awal upaya pemetaan ikan genus Tor Indonesia. Novel Barcode ikan genus Tor akan membantu upaya pemantauan, konservasi, dan data base ikan lokal Indonesia yang akan terekam dalam Barcoding of Life Data System. Metode Penelitian Penangkapan ikan genus Tor dari Jawa Timur (Telaga Banyu Biru Kabupaten Pasuruan), Sumatra Barat, Kalimantan Barat,dan Sumatra Utara. Analisis genetik diambil dari bagian sirip pectoral masingmasing 2 individu untuk masing-masing jenis
787 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
ikan dan dipersevasi dalam etanol 96%. Isolasi DNA total dilakukan dengan menggunakan protocol manual isolasi jaringan dengan modifikasi (Sambrook, 1999). Amplifikasi PCR dengan menggunakan rancangan primer yang didesain oleh Palumbi dkk., 1991 yaitu COIf (5’-CCTGCAGGAGGAGGAGAYCC-3’) dan COIe(5’-CAGAATTAGAGGGAATCAGTG3’). Selanjutnya dilakukan elektroforesis menggunakan agarosa1% dan dilanjutkan dengan sekuensing di Macrogen, Korea dan analisis genetik. Tahapan analisis genetik yang dilakukan adalah pengecekan kromatogram dengan software sequencer selanjutnya dianalisis dengan menggunakan DNASTAR untuk melihat kromatogram sekuen dan membuat consensus (menggabungkan primer foward dan reverse). Setelah membuat consensus, hasil consensus dicocokan di BLAST secara online. Sebelum tahap alignment, setiap sampel harus ditranslasi menjadi protein (tanpa adanya stop kodon di bagian tengah) dengan menggunakan SeqMan (DNASTAR). Perhitungan jarak genetik menggunakan model filogenetik Kimura 2 Parameter dan Maximum Likelihood dengan nilai repetisi boostrap 1000 kali ulangan. Analisis variasi sekuen basa nukleotida dan haplotype antara ikan Sengkaring dan Tambra dilakukan dengan menggunakan program komputer DnaSP V.5.0, serta membuat haplogroup berdasarkan analisis median joining networkikan Sengkaring dan Tambra dengan spesies acuan dan gen referensi berdasarkan sekuen gen COI menggunakan program komputer Network 4.1.0.8 (Bandelts dkk., 1999). Hasil dan Pembahasan Komposisi basa nukleotida dari Sengkaring, Tambra (ikan Tor dari Pasuruan Jawa Timur) dengan spesies acuan ( ikan Tor dari Sumatra Barat, Kalimantan Barat,dan Sumatra Utara) adalah A=26.79%, C=23.16%,
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
G=19.17% serta T=30.93%. Total basa nukleotida A+T sebesar 57.73%, sedangkan G+C sebesar 42.33%, nilai GC < AT relatif seimbang dan umumnya kandungan GC pada vertebrata sebesar 40-45%. Translasi protein yang dihasilkan dari 408 bp adalah 136 asam amino. Hasil translasi tersebut mengindikasikan tidak ditemukan pseudogen pada sekuen asam amino, sehingga sekuen gen COI ini sangat kuat digunakan sebagai standart barcode identifikasi ikan Tor di Indonesia. Hasil alignment 10 sekuen gen COI dari Sengkaring dan Tambra dengan spesies acuan menunjukkan 29 subtitusi basa nukleotida
yang terdiri atas 24 transisi, 5 transversi, dan tidak ditemukan adanya indel (insersi dan delesi). Salah satu contoh basa nukleotida yang menunjukkan transisi adalah basa nomer 27, dimana Tambra 1 memiliki basa A (Adenin) yang dimiliki juga oleh Tambra 2; Sengkaring 1 dan 2; Tor Tambraides 1 dan 2; serta Tor duoronensis 1 dan 2 , sedangkan Tor soro menunjukkan basa nukleotida G (Guanin). Contoh basa nukleotida yang mengalami transversi adalah basa nukleotida nomer 108, dimana Tambra menunjukkan basa T (Timin), sedangkan Tor Tambraides menunjukkan basa nukleotida A (Adenin).
Tabel 1. Subtitusi basa nukleotida sekuen gen COI Sengkaring dan Tambra
Lima dari 22 basa nukleotida yang mengalami subtitusi diduga dapat digunakan sebagai penanda untuk membedakan spesies. Tor soro memiliki automorfi pada basa nukleotida nomer 39 (Guanin); 102 (Timin) yang tidak dimiliki oleh jenis lainnya. Tor Tambraides menunjukkan automorfi pada basa nukleotida nomer 51 (Sitosin); 108 (Adenin); 334 (Sitosin); 378 (Guanin) serta nomer 400 (Timin). Tambra memiliki automorfi pada basa nomer 164 dan 187 yaitu Tambra 1 (Guanin), sedangkan Tambra 2 (Sitosin). Karakter automorfi merupakan karakter unik yang hanya dimiliki oleh satu spesies saja, yang dapat membedakan dengan spesies lainnya (Ubaidillah dan Sutrisno,
2012). Perubahan asam amino ditunjukkan pada posisi basa nomer 55,63,111 dan 134. Konstruksi pohon filogenetik dibuat berdasarkan hasil alignment gen COI antara sampel dengan spesies acuan serta antara sampel, spesies acuan dengan referensi (Esa et al., 2008 dan Biun & Sade, 2012). Topologi pohon filogenetik antara sampel dengan spesies acuan menunjukkan dua cluster besar yang didukung dengan nilai boostrap 100/99. Sengkaring (SKRG-1 dan SKRG-2) dan Tambra (TABR-1 dan TABR-2) berada satu cluster dengan Tor duoronensis (TORD-1 dan TORD-2) yang didukung dengan nilai bootstrap 100%. Tor Tambraides (TORT-1 dan TORT-2) dan Tor soro membentuk cluster yang terpisah (TORS-1 dan TORS-2)
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 788
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
(Gambar 34). Hrbek dkk.(2003) menyatakan bahwa persentase bootstrap 1000 kali ulangan dengan nilai diatas 80% pada percabangan menunjukkan hasil yang sangat baik karena nilai tersebut mendukung secara kuat bahwa sampel yang berada dalam satu cabang adalah benar atau berada dalam satu spesies. Konstruksi topologi pohon filogenetik tersebut
dibuat berdasarkan metode ML dengan (model perhitungan Kimura-2 Parameter), MP dan NJ dengan (model perhitungan Kimura-2 Parameter). Model perhitungan kimura-2 parameter tersebut digunakan karena efektif untuk analisis DNA Barcoding (mempertimbangkan titik substitusi transisi dan transversi) (Hebert dkk., 2003).
Gambar 1. Topologi Filogenetik Sengkaring dan Tambradengan spesies acuan dan referensi gen berdasarkan sekuen gen COI. Keterangan: A. Tor duoronensis di Sarawak, Malaysia; B. Tor Tambraides di LIPI, Cibinong, Bogor; C. Tor Tambraides dari Sarawak, Malaysia; D. Sengkaring di Banyu Biru, Kabupaten Pasuruan. Keterangan SKRG-1=Sengkaring 1; SKRG-2=Sengkaring-2; TABR-1=Tambra-1; TABR-2= Tambra-2; TORS-1=Tor soro-1; TORS-2=Tor soro-2; TORT-1=Tor tambraides 1; dan TORT-2= Tor tambraides-2; TDUL1, TDSK1,BWN10,SB1,TTBKS1=Tor duoronensis; YE8TT,PK13,Tthap18=Tor tambraides dari Sarawak, Malaysia
789 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Perbandingan konstruksi topologi filogenetik dilakukan antara Sengkaring, Tambra, spesies acuan dengan Esa dkk. (2008), diketahui bahwa Sengkaring dan Tambraberada satu cluster dengan kelompok Tor Tambraides, sedangkan Tor soro dan Tor Tambraides dari BPPBAT, Cijeruk, Bogor satu cluster dengan kelompok Tor duoronensis (Gambar 1).Topologi tersebut ditunjang dengan nilai bootstrap yang tinggi yaitu 100/90 dengan menggunakan model perhitungan algoritmik Kimura-2 Parameter. Pengelompokkan ini menjadi tanda tanya besar karena terdapat perbedaan pendapat dalam membedakan karakter morfologi ikan Sengkaring dan Tambra dengan Tor duoronensis dan Tor Tambraides dari penelitian Esa dkk. tersebut. Esa dkk. (2008) berhasil mengidentifikasi ikan Tor duoronensis dan Tor Tambraides yang berada di Sarawak, Malaysia. Sampel yang diidentifikasi adalah sampel jaringan sirip yang tidak diketahui karakter morfologi penentu spesies ikan genus Tor tersebut. Tor Tambraides memiliki ukuran cuping yang pendek atau sedang yang memiliki karakter pola warna silver dan kemerahan (Komunikasi Pribadi). Hal ini yang menjadi kehati-hatian dalam menentukan status taksonomi ikan Sengkaring dan Tambra. Weber dan Beufort (1916) menyebutkan bahwa Tor Tambraides memiliki ukuran cuping yang panjang dan mencapai sudut mulut, sedangkan Tor duoronensis memiliki cuping yang pendek dan tidak mencapai sudut mulut. Topologi filogenetik yang dihasilkan dari perbandingan data sekuender dengan Esa dkk. (2008) menunjukkan hasil yang serupa dengan topologi yang dihasilkan dan mendukung bahwa Tor duoronensis dan Tor Tambraides merupakan dua spesies yang berbeda. Namun, kesalahan dalam determinasi karakter morfologi berdampak besar pada kesalahan dalam penentuan status taksonomi ikan Sengkaring dan Tambra. Topologi sampel dengan spesies acuan dan gen referensi
menghasilkan pohon filogeni yang konsisten dan identik, hanya berbeda pada nilai bootstrap, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan Sengkaring dan Tambra adalah Tor duoronensis. Median joining network membuat deskripsi variasi ikan Sengkaring, Tambra dengan Spesies acuan menjadi 8 haplotypedengan 3 haplogroup. Haplotype network tersebut menunjukkan bahwa ikan Sengkaring dan Tambra berada satu kelompok dengan Tor duoronensis dari Padang, Sumatra Barat. Masing-masing ikan tersebut memiliki haplotype yang berbeda, tidak homolog. Ikan Sengkaring memiliki haplotype homolog sendiri (haplotype 1); Tambra 1 (haplotype 2); Tambra 2 (haplotype 3) dan Tor duoronensis memiliki haplotype yang berbeda (haplotype 4 dan 5). Hal ini mengindikasikan bahwa Sengkaring dan Tambra di Telaga Banyu Biru berkerabat dekat denganTor duoronensis dari Padang (Gambar 2). Belum ada penggelompokan ikan genus Tor di Indonesia, sehingga penelitian awal ini dapat digunakan sebagai kajian referensi untuk memetakan ikan Tor khususnya di Jawa, dan Indonesia pada umumnya. Kedekatan ikan Sengkaring, Tambra dari Telaga Banyu Biru, Pasuruan dengan Tor duoronensis dari Padang (Sumatra Utara) dapat dihubungkan dengan adanya sungai purba sekitar 17.000 sampai 20.000 tahun lalu pada Era Pleistocene. (Gambar 3). Aliran sungai purba ini menghubungkan antara Sumatra Barat dan Jawa Timur. Adanya aliran sungai purba ini memungkinkan ikan dapat berenang menuju aliran sungai yang terhubung dengan sungai purba menuju ke lokasi lain. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah Jawa, Sumatra dan Kalimantan yang dahulunya merupakan daerah Paparan Sunda Besar. Pemisahan. Jawa dan Sumatra terjadi sekitar zaman pertengahan Miosen (Gambar 3) saat es dikutub mencair, sehingga menyebabkan sungai purba didaerah paparan sunda tertutupi
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 790
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dan kondisi air laut yang meningkat menyebabkan terbentuknya daratan (Voris dkk., 2000). Pemisahan ini diyakini adalah akibat gerakan lempeng Bumi, letusan Gunung Krakatau serta fluktuasi air laut (Hall, 1996). Faktor sejarah sungai purba di Jawa serta Sumatera memungkinkan Sengkaring, Tambra dan Tor duoronensis merupakan satu spesies dan berkerabat dekat. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa terdapat variasi spesies Tor duoronenesis antara Sengkaring, Tambra dan Tor duoronensis dari Padang (Sumatra Barat), dikarenakan terisolasi di dua tempat yang berbeda yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Gambar 2. Haplotype network dan Distribusi geografis haplotype ikan Tor A. Haplotype network dari 8 haplotype berdasarkan sekuen gen COI. Haplotype ditunjukkan dengan bentuk lingkaran dan pola yang berbeda, jumlah individu ditunjukkan dengan bentuk lingkaran yang berbeda (besar=2 individu; kecil=1 individu). Percabangan antar haplotype ditunjukkan dengan subtitusi berdasarkan posisi alignment sekuen gen COI. B. Distribusi geografis haplotype ikan Tor di Indonesia.
791 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 3. Peta daerah Paparan Sunda. A. Paparan Sunda Era Pleistocene, B. Paparan Sunda Era Meiosin. Peta ini diilustrasikan berdasarkan kedalaman air laut (120 m dan 10 m) (Voris dkk., 2000). Keterangan: panah kuning (percabangan garis) menunjukkan aliran sungai purba, bulatan hijau merupakan daerah Padang, Sumatra Barat dan bulatan merah merupakan Telaga Banyu Biru, Pasuruan Simpulan Distribusi haplogrup ikan genus Tor membagi ikan Sengkaring dan Tambra (ikan Tor dari Pasuruan Jawa Timur) berada satu kelompok dengan Tor duoronensis dari Padang, Sumatra Barat. Masing-masing ikan Tor tersebut memiliki haplotype yang berbeda, tidak homolog. Kedekatan ikan Sengkaring, Tambra dari Telaga Banyu Biru, Pasuruan dengan Tor duoronensis dari Padang (Sumatra Barat) dapat dihubungkan dengan adanya sungai purba sekitar 17.000 sampai 20.000 tahun lalu pada Era Pleistocene Daftar Rujukan Arief, I. A. & Khan, H. A. 2009. Molecular Markers for Biodiversity Analysis of Wildlife Animals: a brief review. Animal Biodiversity and Conservation. 32: 9-17. Esa, B, Y., Siti, Shapor, S., Siti, Khalijah, D., Khairul, Adha, A, R., Jeffrine, R, R. & Soon, G. T. 2008. Mitochondrial DNA Diversity of Tor Tambraides
Valenciennes (Cyprinidae) from Five Natural Populations in Malaysia. Zoological Studies. 47(3): 360-367. Folmer, O., Hoeh, B. W., Lutz, R. & Vrijenhoeicatk, R. 1994. DNA Primers For Amplification of Mitochondrial Cytochrome-c OxidaseSubunit I From Diverse Metazoan Invertebrates.Molecular Marine Biology And Biotechnology. 3(5): 294-299. Freitas, P.D., Machado,C.B., Ishizuka,T.K., Galetti, J.P.M. 2011. Molecular Identification of Species From Genus Salminus (Characidae) through DNA Barcoding. Poster in Barcoding Fish in The Fourth International Barcode of Life Conference. Hajibabei, M., Siregar,G., Hebert, P and Hickey, D.A. 2007. DNA Barcoding: Hoe it completets taxonomy, molecular phylogenetic, and population genetics. TRENDS in Genetics Vol.xxx No.x.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 792
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hebert, P. D. N, Cywinska, A., Ball, S. L. & deWaard, J. R. 2003. Biological Identifications though DNA Barcodes.The Royal Society. 270: 313321. Hebert, P.D.N. 2004. Identification of Birds through DNA Barcodes. Plos Biology. 2:e312. Hebert, P.D.N., Gregory, T.N. 2005. The Promise of DNA Barcoding for Taxonomy. Systematic Biology.54(5):852–859. Hrbek, T., Seckinger, J. & Meyer, A. 2006. A Phylogenetic and Biogeographic Prespective on the Evolution of Poeciliid Fishes. Molecular Phylogenetics And Evolution. 43:986998. Hubert, N., Hanner, R., Holm, E. M., Nicholas.E. 2008. Identifying Canadian Freshwater Fishes though DNA Barcodes. PLos One. 3(6):e2490. IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 15 March 2013. Kottelat,M., Whitten, A. J., Kartikasari, S. N. & Wirjoatmodjo, S. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Jakarta: Periplus Edition. Meyer CP, Paulay G (2005) DNA Barcoding: Error Rates Based on Comprehensive Sampling. PLoS Bio. 3(12): e422. Popa, L. O., Popa, O. P., Gargarea, P. & Murariu, D. 2007. Sequence Analysis of the 5’ COI Gene Region from Dama dama (Linnaeus, 1758) (Mammalia: Cervidae).Travaux du Museum National d’ Historie Naturelle. L: 537-542. Rahayu, D. A., Nugroho, E. D., Azriyaningsih, R. 2012. Community Perceptions around Banyu Biru Lake on Sengkaring Fish Existence and Its Implications in Conservation Strategy.Proceedings of the 3rdInternational Conferenceon Global
793 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Resource Conservation2012 Meeting, Malang. Indonesia. Rock, J., Costa, F. O., Walker, J. D, North, W. A., Hutchinson, F. W. & Carvalho, R. G. 2008. DNA Barcodes of Fish of The Scotia Sea, Antarctica Indicates Priorty Groups For Taxonomic and Systematics Focus. Antartic Science. 20(3): 253262. Voris, H.K. 2000. Maps of Pleistocene Sea Levels in Southest Asia: Shorelines, River Systems and Time Durations. Journal of Biogeography, 27 (11571167). Ward, R. D., Zemlak, T. S., Innes, B. H., Last, P. R., & Hebert, P. D. N. 2005. DNA Barcoding Australia’s Fish Species.Philosophical Transactions of The Royal Society. 360: 1847-1857. Weber, M. & L. F. de Beaufort, 1916. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. III. Ostariophysi: II Cyprinoidea, Apodes, Synbranchi. E. J. Brill, Leiden. xv+455 pp. Zhang, D. X. & Hewitt, G. M. 1997. Assesment of the Universality and Utility of a set of Conserved Mitochondrial Primers in Insect.Insect Molecular Biology. 6: 143-154.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
SKRINING FITOKIMIA EKSTRAK ETANOL Pteris linearis Poir. DAN Pteris vitatta L. Endah Handayani, Bima Diwanata, Eko Sri Sulasmi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang e-mail:
[email protected].
Abstrak Jumlah tumbuhan paku di dunia banyak, namun penelitian tentang kandungan senyawa kimia tumbuhan paku terutama pada Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. belum banyak dilaporkan. Skrining fitokimia pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senyawa aktif yang termasuk dalam golongan metabolit sekunder dari Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. Penelitian ini dilakukan dengan metode uji kualitatif mengggunakan reagen tertentu pada ekstrak etanol dari kedua Pteris. Hasil skrining fitokimia pada Pteris linearis Poir dan Pteris vitatta L menunjukkan adanya kandungan alkaloid, flavonoid, polifenol, dan triterpenoid dalam ekstrak etanol Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L Kata kunci: Pteris linearis Poir, Pteris vitatta L., skrining fitokimia
Pendahuluan Tumbuhan paku termasuk dalam divisi Pteridophyta merupakan tumbuhan yang kosmopolitan. Menurut Pooja (2010), spesies tumbuhan paku hidup pada lingkungan yang bervariasi. Polypodiopsida adalah tumbuhan paku yang memiliki anggota terbanyak (Smith et al., 2006 dan Cristenhusz et al., 2011 dalam Effendi dkk, 2013). Penyebaran dan keanekaragaman tumbuhan paku sangat besar, begitu pula dengan potensi dan manfaatnya yang cukup penting, tetapi banyak jenis yang akan hilang sebelum diketahui keberadaan dan potensinya bagi pertanian maupun kedokteran (Jhamtani, 1993 dalam Sunarmi dan Sarwono, 2004). Data dasar tumbuhan paku berkenaan dengan komposisi, keanekaragaman dan distribusi belum banyak terungkap (Suryana, 2009). Uji skrining fitokimia dilakukan untuk mengungkap komposisi atau kandungan senyawa yang dimiliki tumbuhan paku, utamanya pada Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. Skrining fitokimia merupakan tahap identifikasi atau pemeriksaan kandungan senyawa aktif suatu tanaman yang bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa yang
terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti (Kristianti dkk, 2008). Pada penelitian ini senyawa aktif yang diuji merupakan metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan metabolit antara atau produk metabolisme yang ditemukan secara unik pada suatu kelompok taksonomi organisme tertentu, bukan merupakan senyawa yang esensial untuk hidup dan tumbuh, dan dibiosintesis dari satu atau lebih metabolit primer dengan jalur biosintesis yang berbeda dibanding jalur metabolisme pada umumnya. Beberapa golongan metabolit sekunder utama adalah terpena dan terpenoid, poliketida, fenilpropanoid, flavonoid dan stilbenoid, serta alkaloid. Metabolit sekunder memiliki fungsi yang berbeda dan spesifik spesies. Salah satu metabolit sekunder, yaitu flavonoid memiliki peranan sebagai antioksidan, antiinflamasi, antihepatotoksik, antitumor, antimikrobial, antiviral, dan pengaruh terhadap saraf pusat. Tanaman merupakan sumber utama metabolit sekunder (Raharjo, 2013). Menurut data dari database Napralert (natural product alert) jumlah spesies tanaman yang telah dilaporkan menghasilkan senyawa metabolit sekunder dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 794
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Tabel 1: Jumlah Spesies Tanaman yang Dilaporkan Mempunyai Metabolit Sekunder Golongan Jumlah Spesies Monokotil 3.721 Dikotil 31.126 Gimnospermae 638 Tumbuhan Paku 961 Bryophyta 457 Lumut kerak (lichen) 625 (Raharjo, 2013) Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan terdapat 961 spesies tumbuhan paku yang melakukan skrining fitokimia ekstrak etanol dilaporkan memiliki metabolit sekunder, pada Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta tetapi belum dijelaskan kepastian spesies L. dengan uji kualitatif. Uji alkaloid dan senyawa metabolit sekunder yang menggunakan reagen mayer, wagner, dan terkandung. Skrining fitokimia ekstrak dragendorff. Uji flavonoid menggunakan etanol terhadap Pteris linearis Poir. dan metode Wilstater dengan reagen HCl dan Pteris vitatta L. diharapkan dapat logam Mg. Uji triterpenoid menggunakan memberikan informasi tentang senyawa reagen H2SO4 pekat daan anhidrad asam aktif atau metabolit sekunder yang asetat. Uji polifenol menggunakan larutan terkandung dalam kedua Pteris. FeCl3 1% Metode Penelitian ini merupakan penelitian analisis deskriptif dengan pendekatan
a.
b.
Hasil dan pembahasan Berdasarkan uji yang penulis lakukan, didapatkan hasil pada gambar 1 dan 2.
c.
d.
e.
f.
Gambar 1. Hasil Uji Skrining Fitokimia pada Pteris linearis Poir. (a) Uji Alkaloid menggunakan reagen Mayer, tidak terbentuk endapan putih (-); (b) Uji Alkaloid menggunakan reagen Wagner, terbentuk endapan berwarna lebih gelap dari warna larutan (+); (c) Uji Alkaloid menggunakan reagen Dragendorff, terbentuk butiran endapan berwarna jingga (+); (d) Uji Flavonoid, terjadi perubahan warna dari hijau menjadi hijau tua (+); (e) Uji Polifenol, terjadi perubahan dari hijau menjadi hitam kehijauan (+); (f) Uji Terpenoid, Terbentuk 2 lapisan, lapisan atas berwarna hijau tua
795 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang |
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dan lapisan bawah tidak berwarna. Diantara 2 lapisan terdapat cincin berwarna kecoklatan (+)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Gambar 2. Hasil Uji Skrining Fitokimia pada Pteris vitatta L. (a) Uji Alkaloid menggunakan reagen Mayer, tidak terbentuk endapan putih (-); (b) Uji Alkaloid menggunakan reagen Wagner, terbentuk butiran endapan berwarna coklat (+); (c) Uji Alkaloid menggunakan reagen Dragendorff, terbentuk butiran endapan berwarna jingga (+); (d) Uji Flavonoid, terjadi perubahan warna dari hijau menjadi hijau tua (+); (e) Uji Polifenol, terjadi perubahan dari hijau menjadi hitam kehijauan (+); (f) Uji Terpenoid, Terbentuk 2 lapisan, ½ lapisan atas berwarna hitam kehijauan, dan ½ lapisan bawah tidak berwarna. Diantara 2 lapisan terdapat cincin berwarna kecoklatan (+) Keterangan: + : sampel mengandung senyawa yang diuji - : sampel tidak mengandung senyawa yang diuji Bahan yang penulis uji untuk skrining fitokomia adalah Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. Kedua bahan tersebut merupakan tumbuhan paku dari kelas Filicopsida (=Polypodiopsida) yang banyak ditemukan di tempat yang lembab, terutama di daerah kampus Universitas Negeri Malang. Uji Alkaloid Uji Alkaloid menggunakan 3 reagen berbeda, yaitu reagen Mayer, Wagner, dan Dragendorff. Hasil positif dengan penambahan reagen Mayer adalah terbentuk endapan berwarna putih (Aini, 2014). Berdasarkan hasil uji menggunakan reagen
Mayer pada Pteris linearis Poir dan Pteris vitatta L. tidak menunjukkan adanya endapan putih. Hasil tersebut diperkirakan nitrogen pada alkaloid Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. tidak bereaksi dengan ion K+ dari kalium tetraidomerkurat (II), sehingga tidak dapat membentuk endapan dari kompleks kalium-alkaloid. Apabila terbentuk endapan putih kekuningan pada penambahan reagen Mayer diperkirakan karena nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana dkk, 2005)
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 796
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 3. Perkiraan Reaksi Uji Mayer (Sumber: Marliana dkk, 2005)
Berdasarkan hasil uji alkaloid menggunakan reagen Wagner pada Pteris linearis Poir. terbentuk endapan berwarna lebih gelap dari warna larutan (hijau), warna endapan tersebut antara hijua tua/pekat, cokelat, dan hitam, dan pada Pteris vitatta L. menunjukkan adanya butiran endapan berwarna cokelat. Terbentuknya endapan berwarna cokelat muda-kuning disebabkan dengan uji Wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana dkk, 2005). Hasil uji
menunjukkan bahwa Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. mengandung senyawa alkaloid. Hasil uji alkaloid menggunakan reagen Dragendorff menunjukkan pada Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. terbentuk endapan berwarna jingga. Terbentuknya endapan jingga merupakan hasil positif dari uji reagen Dragendorff. Endapan tersebut merupakan kalium-alkaloid yang merupakan hasil reaksi dari nitrogen membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam.
Gambar 4. Reaksi Uji Dragendorff (Sumber: Marliana dkk, 2005) kedua Pteris mengandung aglikon atau glikosida. Gugus hidroksi pada flavonoid Uji Flavonoid Uji Flavonoid menggunakan metode juga menjadi gugus fungsi yang salah Wilstater. Hasil positif ditunjukkan dengan satunya membentuk ikatan dengan gula warna merah sampai jingga diberikan oleh membentuk flavonoid senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau glikosida. Sebagian besar flavonoid berada sampai biru diberikan oleh aglikon atau dalam bentuk glikosida (Raharjo, 2013). glikosida (Marliana dkk, 2005). Hasil uji Uji Triterpenoid Senyawa triterpenoid yang berstruktur flavonoid pada Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. menunjukkan perubahan siklik berupa alkohol, aldehid atau asam warna dari hijau menjadi berwarna hijau karboksilat dengan gugus –OH tua. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mengakibatkan senyawa ini bersifat
797 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang |
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
semipolar (Harborne, 2006). Analisis senyawa triterpenoid didasarkan pada kemampuan senyawa tersebut membentuk warna dengan H2SO4 pekat dalam pelarut anhidrad asam asetat (Sangi dkk, 2008). Hasil positif uji ini adalah adanya cincin berwarna kecoklatan. Berdasarkan hasil uji triterpenoid menunjukkan bahwa Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. positif mengandung triterpenoid, dibuktikan dengan adanya cincin kecoklatan diantara 2 lapisan yang terbentuk: lapisan atas berwarna hijau tua dan lapisan bawah tidak berwarna/bening. Warna hijau tua yang terbentuk dapat disebabkan pembentukan ikatan rangkap terkonjugasi yang terbentuk akibat polimerasi hidrokarbon tak jenuh (Aini, 2014). Sebagian besar ciri khas bahwa senyawa komplek merupakan hasil biosintesis dengan melibatkan terpenoid adalah adanya struktur C dengan ikatan rangkap yang mengikat dua atom C yang lain. Triterpenoid salah satu macam terpenoid tersusun atas 6 unit isoprena (C30) (Raharjo, 2013). Uji Polifenol Hasil uji polifenol pada Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L. terjadi perubahan warna dari hijau menjadi hijau kecoklatan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua Pteris yang di uji mengandung senyawa polifenol. Pembentukan warna dengan larutan besi (III) klorida (FeCl3) 1% merupakan ciri khas banyak fenol (Robinson, 1995). Hasil positif dari uji polifenol menggunakan larutan FeCl3 1% ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi warna hijau, merah, ungu, biru tua, biru kehitaman, atau hitam kehijauan (Aini, 2014). Perubahan warna terjadi ketika penambahan FeCl3 yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa polifenol (Marliana dkk, 2005). Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa Pteris linearis Poir. dan Pteris vitatta L.
mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, polifenol, dan triterpenoid. Daftar Rujukan Aini, K. 2014. Skrining Fitokimia dan Penentuan Aktivitas Antioksida serta Kandungan Total Fenol Ekstrak Buah Labu Siam (Sechium edule (Jacq.) Sw.). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UM Effendi, W. W., Hapsari, F. N.P., Nuraini, Z. 2013. Studi Inventarisasi Keanekaragaman Tumbuhan Paku di Kawasan Wisata Coban Rondo Kabupaten Malang. Cogito Ergo Sum. 2 (3). (Online), (http://www.academia.edu/3036421/St udi_Inventarisasi_Keanekaragaman_Tu mbuhan_Paku_di_Kawasan_Wisata_C oban_Rondo_Kabupaten_Malang), diakses 28 Oktober 2014 Harborne, J.B. 2006. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Edisi Kedua. Bandung: Penerbit ITB Kristianti, A. N, N.S., Aminah, Tanjung, M, dan Kurniadi, B. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Universitas Airlangga Marliana, S. D, Suryanti, V., Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi. 3 (1): 26-31. Pooja. 2010. Text Book of Pteridology. New Delhi: Discovery Publishing House Pvt. Ltd Raharjo, T. J. 2013. Kimia Hasil Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Koasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB Sangi, M. S., Runtuwene, M.R.J., Simbala, H.E.I. and Makang, V.M.A. 2008. Analisis Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chemistry Program 1 (1): 47-53. Sunarmi dan Sarwono. 2004. Inventarisasi Tumbuhan Paku di Daerah Malang.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 798
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Berkah Penelitian Hayati. 10: 71. (Online), (http://www.berkalahayati.org/index.ph p/bph/article/viewFile/484/383), diakses 28 Oktober 2014 Suryana. 2009. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku Terestrial dan Epifit di Kawasan PLTP Kamojang Kab. Garut Jawabarat. Jurnal Biotika. 7 (1)
799 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang |
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
PREFERENSI KUMBANG KUBAH PREDATOR PADA BEBERAPA TUMBUHAN GULMA BERPOTENSI SEBAGAI TUMBUHAN “REFUGIA” Fatchur Rohman Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak Preferensi Kumbang Kubah Predator pada beberapa tumbuhan gulma berpotensi sebagai tumbuhan “Refugia” telah dilakukan, dengan tujuan menguji ketertarikan dua spesies Kumbang Kubah Predator yaitu Menochillus sexmaculata dan Coccinella trnasversalia terhadap empat jenis tumbuhan gulma dari area tanaman Kubis di Sentra Perkebunan sayur Sumberbrantas Batu dalam skala laboratorium. Penelitian dilakukan di Laboratorium Diversitas dan Konservasi Ekologi Universitas Brawijaya. Uji ketertarikan tersebut menggunakan alat olfaktometer. Kecenderungan ketertarikan kumbang kubah predator terhadap tumbuhan uji diamati dengan menghitung persentase dari dua puluh hewan uji tersebut yang tertarik pada empat jenis tumbuhan uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Menochilus sexmaculata secara berurutan paling tertarik pada tumbuhan Eleusin indica sebanyak 50%, sedang ketertarikan pada jenis tumbuhan gulma yang lain kurang dari 50%, yakni tertarik ke jenis Spilanthes sp sebanyak 28%, ke Amaranthus sp 13% dan ke Capsella bursa-pastoris sebanyak 8%. Predator Coccinella transversalis secara berurutan paling tertarik pada tumbuhan Amaranthus sp sebanyak 53%, sedang ketertarikan pada jenis tumbuhan gulma yang lain kurang dari 53%, yakni tertarik ke jenis Spilanthes sp sebanyak 25,8%, ke Eleusin indica 17% dan ke Capsella bursa-pastoris sebanyak 5%. Kata Kunci: preferensi, kumbang kuah, predator, tumbuhan gulma, refugia
Pendahuluan Tumbuhan liar berbunga terbukti dapat meningkatkan keragaman fauna di ekosistem pertanian (Knauer, 1993). Tanaman bunga pada lajur di agroekosistem terbukti meningkatkan kepadatan populasi predator dan mampu memberikan efek pengendalian pada hama (Bosch, 1987; Weiss & Stettmer, 1991). Penanaman variasi jenis tanaman berbunga dalam suatu lajur di areal pertanian mendatangkan musuh alami (Perrins, 1975; Alteiri & Whitcomb, 1979; Weiss & Stettmer, 1991). Pada setiap jenis tanaman (sebagai habitat) dapat menyokong ± 12 phytophagus sebagai cadangan makanan predator hama (Wingeier, 1992). Dengan demikian penelitian tentang pemanfaatan tumbuhan liar atau gulma menjadi mikrohabitat yang meningkatkan biodiversitas dan kelimpahan musuh alami perlu perhatian lebih luas. Informasi atau data-data teknis berasal dari penelitian
tersebut dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pembangunan pertanian yang berkelajutan dan berbasis keseimbangan ekosistem. Pembangunan pertanian selaras dengan alam sudah menjadi kebutuhan bukan lagi suatu kemauan. Pembangunan pertanian berbasis ekologi dapat didekati dengan mengembalikan peningkatan dan pengelolaan keanekaragaman hayati pada suatu hamparan agroekosistem. Upaya peningkatan dan pengelolaan keanekaragaman hayati dapat memanfaatkan berbagai tanaman pagar (hedgerows), tanaman penghasil polen atau nektar yang dapat menarik serangga (insectory plants), cover crops dalam suatu hamparan tanaman budidaya (Singh, tanpa tahun). Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan adalah ”Pengembangan Mikrohabitat untuk Meningkatkan Biodiversitas dan Kelimpahan Arthropoda Predator Hama
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 800
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Tanaman Kubis di Sentra Perkebunan Sayur Sumberbrantas Batu Jawa Timur”. Penelitian sebelumnya menemukan komposisi Arthropoda pada tumbuhan liar/gulma di kebun teh Wonosari Kabupaten Malang meliputi 47 taksa Artropoda yang terbagi atas 40 taksa insekta terdiri 22 famili dan 7 taksa Arachnida terdiri 3 famili. Diantara Arthropoda yang ditemukan berstatus sebagai musuh alami seperti anggota kelompok famili Coccinelidae, Gryllidae, Lycosidae, dan Oxyopidae. (Rohman, dkk., 2007a). Penelitian sebelumnya yang lain menunjukkan bahwa beberapa predator (famili Coccinellidae, Mantidae, Lycosidae, dan Oxyopidae) cenderung tertarik pada beberapa tumbuhan liar/gulma di sekitar kebun teh seperti Borreria repen DC., Bidens pilosa L., Centella asiatica (L.) Urb. (Rohman, dkk., 2007b). Interaksi antara tumbuhan dan insekta saling menguntungkan. Insekta dapat melangsungkan proses penyerbukan pada tumbuhan, insekta ”Syrphid flies” memperoleh nektar (Nentwig, 1998), tumbuhan inang bagi beberapa aphid dan tumbuhan juga menyediakan makanan tambahan ”Coccinellid beetless” (Stary & Gonzales 1991), atau bentuk arsitektur tumbuhan mempermudah laba-laba membuat sarang (Jennings 1971; Nentwig, 1998). Tumbuhan liar ada yang berpotensi sebagai refugia bagi predator serangga hama. Tumbuhan refugia adalah jenis tumbuh-tumbuhan disekitar pertanaman yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan tambahan, tempat istirahat, dan tempat bereproduksi (Nentwig, 1998; Wratten et al., 1998; Sosromarsono dan Untung, 2000 dalam Rohman, 2010). Berdasarkan uraian diatas maka penulis melalukan penelitian dengan judul preferensi kumbang kubah predator pada beberapa tumbuhan gulma berpotensi sebagai tumbuhan “refugia”. Uji preferensi dilakukan dalam skala laboratorium dengan menggunakan alat olfaktometer. Tumbuhan
gulma yang diuji berasal dari hasil analisis komunitas tumbuhan gulma sekitar tanaman kubis di sentra perkebunan sayur sumberbrantas Batu Jawa Timur. Beberapa tumbuhan uji terpilih tersebut dikatakan sebagai tumbuhan indigeneus, karena asli atau berasal dari sekitar tanaman kubis daerah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini maka akan dapat diperoleh beberapa tumbuhan uji yang potensial dikembangkan menjadi tumbuhan “Refugia “. Metode Uji preferensi Artropoda predator pada beberapa tanaman gulma sebagai tumbuhan uji dengan menggunakan Olfaktometer. Kecenderungan ketertarikan kumbang kubah predator terhadap tumbuhan uji diamati dengan menghitung persentase dari dua puluh hewan uji tersebut yang tertarik pada empat jenis tumbuhan uji. Olfaktometer merupakan alat untuk menguji ketertarikan hewan uji (kumbang Predator Menochillus sexmaculata dan Coccinella trnasversalia) kepada tumbuhan uji (Eleusin indica, Spilanthes sp., Amaranthus sp., Capsella bursa-pastoris) karena adanya bau yang dapat dikeluarkan oleh tumbuhan uji. Bau yang dikeluarkan setiap tumbuhan uji disalurkan melalui mulut lubang penghubung menuju suatu ruang hampa udara. Di dalam ruang hampa tersebut dimasukkan satu persatu kumbang predator uji hingga sejumlah 20 ekor, setelah 20 (dua puluh) menit diamati kumbang tersebut cenderung mendekat atau menuju ke mulut lubang yang terhubung dengan selang pada setiap ruang tumbuhan uji. Hasil dan Pembahasan Ketertarikan atau preferensi Arthropoda predator (Monochillus sexmaculata dan Coccinella trnasversalia yang ditemukan di sekitar area kebun Kubis di Sumberbrantas Batu disajikan dalam Gambar 4.1-4.2. Beberapa jenis tumbuhan Gulma setelah diuji didapatkan 4 jenis tumbuhan Gulma, yaitu Spilanthes sp, Eleusin indica, Capsella bursa-pastoris, dan Amaranthus sp.
801 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 1. Ketertarikan Menochilussexmaculata pada Beberapa Tumbuhan Gulma
Gambar 2. Ketertarikan Coccinella transversalis pada Beberapa Tumbuhan Gulma ke Capsella bursa-pastoris sebanyak 8%. Berdasarkan Gambar 1 dan 2 dapat Predator Coccinella transversalissecara dijelaskan bahwa Menochilus berurutan paling tertarik pada tumbuhan sexmaculatasecara berurutan paling tertarik Amaranthus sp sebanyak 53%, sedang pada tumbuhan Eleusin indicasebanyak ketertarikan pada jenis tumbuhan gulma 50%, sedang ketertarikan pada jenis yang lain kurang dari 53%, yakni tertarik ke tumbuhan gulma yang lain kurang dari 50%, jenis Spilanthes sp sebanyak 25,8%, ke yakni tertarik ke jenis Spilanthes sp. Eleusin indica 17% dan ke Capsella bursasebanyak 28%, ke Amaranthus sp 13% dan pastoris sebanyak 5%. Hal ini menunjukkan
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 802
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
kecendeungan ketertarikan setiap serangga predator terhadap jenis tumbuhan adalah berbeda, dan bersifat spesifik. Predator Menochilus sexmaculata lebih cenderung tertarik pada tumbuhan Eleusin indica dan Coccinella transversalislebih cenderung tertarik pada tumbuhan Amaranthus sp. Salah satu tantangan yang dihadapi di sektor pertanian atau perkebunan dewasa ini adalah “sustainability” (keberlanjutan), yaitu keinginan untuk menggunakan sumber daya alam tanpa merusak lingkungannya. Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan adalah bagaimana mengkondisikan sistem pertanian yang mantap secara ekologi (Siti Rasminah Chailani, 2005). Suatu konsep pemecahan masalah yang dapat diterapkan adalah pemberdayaan peran faktor biotik agroekosistem dan pengelolaan habitat. Pemberdayaan peran faktor biotik dapat melalui konservasi dan pemberdayaan musuh alami melaui pemanfaatan tumbuhan liar sebagai tumbuhan refugia. Keberadaan tumbuhan refugia diharapkan dapat meningkatkan populasi musuh alami sebagai agen hayati yang dapat mengendalikan terjadinya peledakan hama. Tumbuhan refugia dapat dijadikan sebagai habitat predator hama. Tumbuhan refugia adalah jenis tumbuhan yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan tambahan atau mikroklimat yang menguntungkan bagi musuh alami, seperti predator dan parasitoid. Nurindah et al. (2002) menyatakan kondisi yang menguntungkan tersebut adalah tersedianya tempat berlindung (shelter), inang atau mangsa alternatif atau makanan yang berupa nektar atau polen. Peran tumbuhan refugia sebagai habitat musuh alami mulai mendapat perhatian. Salah satu bentuk perhatian tersebut diwujudkan dalam kegiatan penelitian. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut menerapkan strategi pengelolaan habitat (habitat management) dalam kerangka implementasi pengelolaan hama terpadu (PHT). Pengelolaan habitat adalah bentuk konservasi pengendalian hayati, pendekatan
berbasis ekologi yang diarahkan pada kondisi yang baik bagi musuh alami dalam agroekosistem (Landis et al., 2000). Tumbuhan gulma/liar berpotensi sebagai mikrohabitat bagi predator serangga hama. Tumbuhan gulma/liar yang dapat menyediakan habitat bagi musuh alami dikenal juga sebagai refugia. Tumbuhan refugia adalah beberapa jenis tumbuhan di sekitar pertanaman yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain (Nentwig, 1998; Wratten et al., 1998, Sosromarsono dan Untung, 2000). Tumbuhan refugia yang berfungsi sebagai mikrohabitat dalam bidang pertanian umumnya mengacu pada jenis tumbuhan penyerta tanaman budidaya yang berperan sebagai habitat kelompok biota tingkat tropik tiga (Murphy et al., 1998; Wratten et al., 1998). Odum (1993) menjelaskan habitat adalah tempat suatu organisme hidup atau dapat juga menunjukkan tempat yang diduduki oleh seluruh komunitas. Begon et al. (1986) mengemukakan suatu area merupakan habitat (habitable area) adalah area bagi masing-masing jenis yang ada di dalamnya, dapat mempertahankan keberadaan populasinya karena (1) memiliki kesempatan untuk berkoloni, dan (2) tidak dikalahkan oleh kompetitor. Interaksi antara tumbuhan dan insekta saling menguntungkan. Insekta dapat melangsungkan proses penyerbukan pada tumbuhan, insekta ”Syrphid flies” memperoleh nektar (Nentwig, 1998), tumbuhan inang bagi beberapa aphid dan tumbuhan juga menyediakan makanan tambahan ”Coccinellid beetless” (Stary & Gonzales 1991), atau bentuk arsitektur tumbuhan mempermudah Laba-laba bermata tajam membuat sarang (Jennings 1971; Nentwig, 1998). Nentwig (1998) berpendapat bahwa keberadaan tumbuhan telah dikenal sebagai sumberdaya penting bagi hewan Arthropoda. Keberadaan beberapa gulma di area tanaman budidaya merupakan sumberdaya penting yang menyediakan sumber makanan tambahan dan sebagai tumbuhan refugia yang
803 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
bermanfaat bagi beberapa hewan Arthropoda (van Emden 1965; Perrin, 1975; Curry 1976; Altieri & Whitcomb 1979; Bosch 1987; Frei & Manhart 1992). Tidak adanya tumbuhan selain tanaman budidaya utama menyebabkan hilangnya tempat hidup, makanan alternatif, tempat hinggap sementara, bertemunya organisme jantan dan betina, dan tempat hidup mangsa alternatif (Knauer, 1993). Pengendalian hayati dengan serangga predator merupakan pengendali alami populasi serangga hama yang menjadi alternatif efektif untuk pengendalian hama (Huffaker & Messenger, 1989). Peningkatan keragaman tanaman pada pola polikultur telah dilaporkan dapat menekan perkembangan populasi serangga hama pada tanaman utama (Liang & Huang, 1994; Hickman & Wratten, 1997, Nurindah et al., 2002). Keragaman musuh alami hama meningkat bila diciptakan habitat yang disukai sehingga kualitas ruang hidup musuh alami juga meningkat. Simpulan Kumbang Predator Menochilus sexmaculatasecara berurutan paling tertarik pada tumbuhan Eleusin indicasebanyak 50%, sedang ketertarikan pada jenis tumbuhan gulma yang lain kurang dari 50%, yakni tertarik ke jenis Spilanthes sp sebanyak 28%, ke Amaranthus sp 13% dan ke Capsella bursa-pastoris sebanyak 8%. Predator Coccinella transversalissecara berurutan paling tertarik pada tumbuhan Amaranthus sp sebanyak 53%, sedang ketertarikan pada jenis tumbuhan gulma yang lain kurang dari 53%, yakni tertarik ke jenis Spilanthes sp sebanyak 25,8%, ke Eleusin indica 17% dan ke Capsella bursapastoris sebanyak 5%. Hal ini menunjukkan kecendeungan ketertarikan setiap serangga predator terhadap jenis tumbuhan adalah berbeda, dan bersifat spesifik. Predator Menochilus sexmaculata lebih cenderung tertarik pada tumbuhan Eleusin indica dan Coccinella transversalislebih cenderung tertarik pada tumbuhan Amaranthus sp.
Daftar Rujukan Altieri, M.A. & W. H. Whitcomb. 1979. The potential use of weeds in the manipulation of beneficial insects. HortScience 14: 12-18. Begon, M., J.L. Harper, and C.R. Townsed. 1986. Ecology: Individuals, Populations and Communities, Blackwell Scientifics Publications. Oxford, London, Edinburgh, Boston, Palo Alto, Melbourne. p. 583. Bosch, J. 1987. Der Einfuss einiger dominter Ackerunkrauter auf Nutzund Schadarthropoden in einem Zuckerrubenfeld.Zeitschift fur Pfanzenkrankheiten und Pflanzenschutz 94: 398-408. Curry, J.P. 1976. The arthropod fauna of some common grass and weed species of pasture. Proc. R. Irish Acad. B. 76: 1-35. Frei, G. & C. Manhart. 1992. Nützlinge und Schadlinge an kunstlich angelegten Ackerkrauststreifen in Getreidefeldern. Agrarökologie 4: 1-140. Helenius, J. 1998. Enhanchement of Predation Through Within-field Diversivicatio, In. C.H. Pickett and R.L. Bugg (ed.). Enhanching biological control, habitat management to promote natural enemies of agricultural pests.University of California Press. Berkeley, Los Angeles, London. pp. 121- 160. Hickman, J. M. & S. D. Wratten. 1977. Use of Phacelia tanacetitolia (Hydrophyllaceae) as a plooen source to enhance hoverly (Diptera: Syrphidae) population in cereal fields. Journal of Economic Entomology89: 832 – 840. Huffaker & Messenger, 1989.Theory and Practice of Biological Control.Academic Press, Inc. (London) Ltd., 1976. Soeprapto Mangoendihardjo (penterjemah). 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. pp. 3 – 20.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 804
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Jennings, D.T. 1971. Pant associations of Misuminops coloradensis Gertsch (Araneae: Thomisidae) in central New Mexico. Southw. Nat.16: 201 – 207. Knauer. 1993. ökologie und landwirschaft, situatiom konflikte. Losungen. Stutgart Landis, D.A., S.D. Wratten, and G.M. Gurr. 2000. Habitat Management to Conserve Natural Enemies of Arthropoda Pests in Agriculture. In. M.R. Berenbaum, R.T. Carde, and G.E. Robinson (ed.). Annual Review of Entomology.Volume 45, 2000.Annual Reviews Palo Alto California USA. pp. 175-201. Liang, W. & M. Huang. 1994. Influence of citrus orchad ground cover plant on arthropods communities in China: E. review .Agricultur Ecosystem and Enviromental 50: 29 – 37. Murphy, B.C., J.A. Resenheim, J. Granet, C.H. Pickett, and R.V. Dowell. 1998. Measuring the Impact of a Natural Enemy Refuge: The Prune Tree/Vineyard Exmple. In. C.H. Pickett and R.L. Bugg (ed.). Enhanching biological control, habitat management to promote natural enemies of agricultural pests.University of California Press. Berkeley, Los Angeles, London. pp. 297-309. Nentwig, W. 1998. Weedy plant species and their benefecial arthropods: potential for manipulation in field crops. In. C.H. Pickett and R.L. Bugg (ed.). Enhanching biological control, habitat management to promote natural enemies of agricultural pests.University of California Press. Berkeley, Los Angeles, London. pp. 49-71. Nurindah, D.A. Sunarto, Subiyakto, Sujak, dan Suhadi. 2002. Upaya Peningkatan Populasi Musuh Alami Hama Utama Kapas Melalui Manipulasi Habitat pada Pertanaman Kapas, Laporan Kegiatan Penelitian Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat. Karangploso Malang. 70 p. Perrin, R.M. 1975. The role of perennial stinging nettle Urtica dioica as a
reservoir of beneficial natural enemies. Ann. Appl. Biol. 81: 289-297. Rohman, F., Fathurrachman, I.D. Maulina, 2007a.Keanekaragaman dan Kelimpahan Artropoda pada Komunitas Tumbuhan Liar di Kebun Teh Wonosari Singosari Kabupaten Malang. Laporan Penelitian. Rohman, F., B. Yanuwiadi, M. Mukti, 2007b. Preferensi Kumbang Kubah (Coccinellidae), Belalang Sembah (Mantidae), dan Laba-laba Srigala (Lycosidae) Terhadap Tumbuhan Liar Borreria repens D.C., Biden pilaosa L., dan Centella asiatica (L.) Urb. Laporan Penelitian. Rohman, F. 2008. Kajian Struktur Komunitas Tumbuhan Liar dan Arthropoda sebagai Evaluasi Agroekosistem Kebun Teh di Wonosari Singosari Kabupaten Malang Jawa Timur, Disertasi. Universitas Brawijaya Malang Sosromarsono, S. & K. Untung. 2000. Keanekaragaman Hayati Arthropoda Predator dan Parasit di Indonesia dan Pemanfaatannya, Makalah Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian PEI. Bogor. 8 p. Stary, P.& D. Gonzales. 1991. The chenopodium aphid Hayhurstia atriplicis (L). (Homoptera: Aphididae), a parasitoid reservoir and a source of biocontrol agents in pest management.J. Appl. Entomol.111: 243-248. Takafuji, A & H. Amano. 2001. Biological Control of Insect Pest in Japan: A Control of Multiple Pests of Tea, and Spider Mites in Greenhouses, www.agnet.org/library/article/eb499a.ht ml. April, 17 2006. van Emden, H.F. 1965. The role of uncultivated land in the biology of crop pests and beneficial insects. Sci. Hortic.17: 121-136. Weiss, E. & C. Stettmer, 1991. Unkräuter in der Agrarlandschaft locken blüten
805 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
besuchende Nützlinge an. Agrarökologie1: 1 – 104. Wingeier, T. 1992. Agraokonomische Auswirkungen von in Ackerflachen angesaten Grunsteifen. Agrarökologie2: 1 -97. Wratten, S.D., H.F. van Emden, and M.B. Thomas. 1998. Whitin-field and Bordr
Refugia for the Enhanchement of Natural Enemies. In. C.H. Pickett and R.L. Bugg (ed.). Enhanching biological control, habitat management to promote natural enemies of agricultural pests.University of California Press. Berkeley, Los Angeles, London. pp. 375-403.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 806
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
KELIMPAHAN DAN STATUS KONSERVASI BURUNG AIR DI DANAU MENO, LOMBOK Gito Hadiprayitno Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram Jl. Majapahit 62 Mataram, e-mail:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis kelimpahan dan menentukan status konservasi burung air yang ada di Danau Meno, Lombok. Pengambilan data yang terkait dengan kelimpahan dilakukan melalui titik hitung, sedangkan penentuan status konservasi burung air yang ditemukan ditentukan berdasarkan status kehadiran dan status perlindungannya mengacu pada ketentuan undang-undang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis burung yang ditemukan dengan kelimpahan tertinggi ialah Nycticorax nycticorax (45.93%), kemudian diikuti secara berturut-turut oleh Butorides striatus (25.32%), Egretta garzetta (9.46%), Tringa nebularia (5.29%), Ardea purpurea (5.02%), Egretta sacra (3.38%), Anas gibberifrons (2.33%), Actitis hypoleucos (1.69%), Chlidonias hybridus (0.95%), Himantopus himantopus (0.37%), Nycticorax caledonicus (0.21%), dan Ardeola speciosa (0.05%). Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa status konservasi burung air yang ditemukan dapat dikategorikan ke dalam prioritas konservasi 1 (Nycticorax caledonicus dan Himantopus himantopus), prioritas konservasi 2 (Chlidonias hybridus), dan prioritas konservasi 3 (Egretta garzetta dan Egretta sacra), sedangkan jenis burung yang lain dikategorikan ke dalam prioritas konservasi 4. Kata kunci: kelimpahan, burung air, status konservasi, Danau Meno
Pendahuluan Hasil penelitian burung di Danau Meno yang dilakukan selama ini dilakukan oleh Hadiprayitno, dkk. (2009) dan Atmanegara (2010) menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah jenis dan kelimpahanrelatif burung air yang ada di Danau Meno. Penurunan tersebut diduga diakibatkan oleh adanya perubahan habitat yang dilakukan oleh masyarakat. Perubahan-perubahan habitat ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur komunitas burung yang ada di Danau Meno. Perubahan pada habitat ini apabila tidak dilakukan pengelolaan dengan baik, tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya kepunahan beberapa jenis burung secara lokal.
Kepunahan jenis burung air secara lokal ini akan memberikan dampak terhadap keseimbangan ekosistem yang ada di Danau meno. Dalam jangka panjang keseimbangan ekosistem akan terganggu sehingga dapat menggangu terjadinya siklus biogeoenergi dan akan menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan terhadap ekosistem secara keseluruhan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keberadaan burung air di Danau Meno dapat dijadikan sebagai indikator yang sangat penting dalam pengkajian mutu dan produktivitas lahan basah yang ada di Danau Meno. Lebih lanjut Gunawan dan Anwar (2004) menyatakan bahwa berbagai jenis burung air yang biasa ditemukan di daerah lahan basah memiliki peranan ekologis yang sangat penting yaitu sebagai media
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 807
pertukaran energi antara kehidupan yang ada di daratan dengan kehidupan yang ada di daerah perairan. Disamping itu, keberadaan Danau Meno dengan keunikan yang ditemukan di dalamnya telah memberikan kontribusi secara ekonomi pada masyarakat terutama yang terkait dengan kunjungan para wisatawan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiprayitno, dkk. (2009) menunjukkan bahwa nilai ekonomi total dari ekosistem Danau Meno sebesar Rp 159.140.668 per tahun. Manfaat secara tidak langsung memberikan kontribusi tertinggi sebesar 50%, kemudian diikuti secara berturut-turut oleh manfaat langsung sebesar 46%, manfaat keberadaan sebesar 3%, dan manfaat pilihan sebesar 1%. Keberadaan jenis burung air dan habitatnya yang ada di Danau Meno telah memberikan manfaat secara tidak langsung dan manfaat langsung dengan persentase total sebesar 96%. Fakta ini menunjukkan bahwa apabila keberadaan burung air dan habitatnya yang ada di Danau Meno tidak bisa dipertahankan, akan memberikan dampak secara ekonomi karena nilai ekonomi total dari ekosistem danau akan berkurang sekitar 96%. Berdasarkan kenyataan seperti ini mempertahankan keberadaan jenis burung air dan habitatnya memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis bukan hanya dilihat dari sudut pandang secara ekologi semata akan tetapi juga dilihat dari kepentingan secara ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, upaya pengelolaan jenis burung air yang berada di Danau meno harus dilakukan bersama dengan upaya mengelola habitatnya. Upaya seperti ini akan berhasil dilakukan apabila dalam kegiatan pengelolaannya masyarkat diikutsertakan (dilibatkan) secara aktif. Upaya mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan burung air dan habitatnya yang ada di Danau Meno harus dilakukan secara partisipatif dengan mendasarkan kepada beberapa prinsip dasar pengelolaan
808 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
partisipatif. Pelibatan masyarakat dalam melakukan kegiatan pengelolaan ini harus bisa dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini perlu dilakukan karena adanya keterbatasan dana, tenaga, dan waktu. Karena itu diperlukan skala prioritas dalam melakukan kegiatan pengelolaan. Sehubungan hal tersebut diperlukan penentuan status konservasi burung yang yang ditemukan di Danau Meno. Metode Penelitian Inventarisasi jenis burung dilakukan melalui pengamatan langsung dengan menggunakan jalan kaki mengelilingi danau.. Jenis burung dan jumlah individu tiap jenis yang ditemukan dicatat dan dimasukkan ke dalam tabulasi data untuk dianalisis nilai kelimpahannya. Untuk memudahkan proses identifikasi jenis burung yang ditemukan, pada saat pengamatan dilakukan dengan bantuan teropong binokuler dan kamera digital. Jenisjenis burung yang ditemukan diidentifikasi dengan mengacu pada Coates dan Bishop (2000). Selanjutnya analisis frekeunsi kehadirannya menggunakan persentase. Penentuan status konservasi burung air yang ditemukan di Danau Meno dilakukan dengan mengacu kepada (1) Frekuensi Kehadiran, Nilai frekuensi kehadiran dikonversi ke dalam skor. Fauna yang memiliki frakuensi kehadiran 100% diberikan skor 10, frekuensi kehadiran 10% diberikan skor 1, dan tidak hadir diberikan skor 0; (2) Status Perlindungan, Perlindungan fauna diberikan skor 1 jika dilindungi undangundang dan 0 jika tidak dilindungi undangundang. dan (3) Kelimpahan Relatif, Kelimpahan relatif diberikan skor 3 jika kelimpahan relatif 75 – 100% (tinggi), skor 2 jika kelimpahan relatif 50 – 75% (sedang) dan skor 1 jika < 50% (rendah).
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Selama penelitian telah ditemukan sebanyak 1892 individu jenis burung. Jenis burung yang memiliki kelimpahan tertinggi ialah Nycticorax nycticorax, kemudian diikuti secara berturut-turut oleh Butorides striatus, Egretta garzetta, Tringa nebularia, Ardea purpurea, Egretta sacra, Anas gibberifrons, Actitis hypoleucos, Chlidonias hybridus, Himantopus himantopus, Nycticorax caledonicus, dan Ardeola speciosa. Tabel 1. Kelimpahan Jenis Burung Air yang Ditemukan di Danau Meno Pagi Hari Sore Hari Total Jenis Burung Jumlah KR Jumlah KR Jumlah KR Ardea purpurea 49 5,17 46 4,87 95 5,02 Ardeola speciosa 1 0,11 0 0,00 1 0,05 Butorides striatus 250 26,37 229 24,26 479 25,32 Egretta garzetta 90 9,49 89 9,43 179 9,46 Egretta sacra 32 3,38 32 3,39 64 3,38 Nycticorax nycticorax 395 41,67 474 50,21 869 45,93 Nycticorax caledonicus 3 0,32 1 0,11 4 0,21 Anas gibberifrons 31 3,27 13 1,38 44 2,33 Actitis hypoleucos 21 2,22 11 1,17 32 1,69 Tringa nebularia 59 6,22 41 4,34 100 5,29 Himantopus himantopus 5 0,53 2 0,21 7 0,37 Chlidonias hybridus 12 1,27 6 0,64 18 0,95 Keterangan: KR = Kelimpahan relatif
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan Jenis Burung Air Pengamatan yang terkait dengan kelimpahan jenis burung dilakukan pada pagi hari (jam 06.00 sampai dengan 09.00 wita) dan sore hari (jam 16.00 sampai dengan 18.00 wita). Hasil analisis tentang kelimpahan jenis burung air yang ditemukan di Danau Meno selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil kelimpahan jenis burung air yang ditemukan di Danau Meno pada Tabel 1 menunjukkan bahwa selama penelitian (20 kali pengamatan) ditemukan sebanyak 1892 individu burung. Apabila dirata-ratakan pada setiap kali pengamatan ditemukan individu burung air sebanyak 95 individu/hari. Jenis burung air yang memiliki kelimpahan tertinggi ialah Nycticorax nycticorax (869 indvidu) kemudian diikuti secara berturut-turut oleh Butorides striatus (479 individu), Egretta garzetta (179 individu), Tringa nebularia (100 individu), Ardea purpurea (95 individu), Egretta sacra (64 individu), Anas gibberifrons (44 individu), Actitis hypoleucos (32 individu), Chlidonias hybridus (18 individu), Himantopus himantopus (7 individu), Nycticorax caledonicus (4 individu), dan Ardeola speciosa (1 individu).
Hasil penelitian pada Tabel 1 apabila ditelusuri lebih lanjut menunjukkan bahwa telah terjadi variasi kelimpahan jenis burung air di Danau Meno secara mewaktu. Kelimpahan jenis burung air yang ditemukan pada pagi hari menunjukkan jumlah yang berbeda jika dibandingkan dengan kelimpahan jenis burung air yang ditemukan pada sore hari. Kelimpahan jenis burung air pada pagi hari lebih tinggi (948 individu) jika dibandingkan dengan kelimpahan jenis burung air yang ditemukan pada sore hari (943 individu). Semua jenis burung air yang ditemukan di Danau Meno menunjukkan kelimpahan yang tinggi pada pagi hari kecuali Nycticorax nycticoras yang menunjukkan kelimpahan yang tinggi pada sore hari. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, kelimpahan individu jenis burung
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 809
air yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan peningkatan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Virgota & Tresnani (2006) menemukan kelmpahan jenis burung air 36 individu/hari. Penelitian yang dilakukan oleh Hadiprayitno, dkk., (2009) menemukan kelimpahan jenis burung air 26 individu/hari. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Atmanegara (2010) menemukan kelimpahan jenis burung air 13 individu/hari. Perbedaan hasil penelitian ini diduga disebabkan oleh melimpahnya jenis burung Nycticorac nycticorax yang tidak terjadi pada penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Kelimpahan Nycticorac nycticorax pada penelitian yang dilakukan oleh Hadiprayitno (2009) ialah 4 individu/hari, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Atmanegara (2010) sebanyak 2 individu/hari. Sementara itu dalam penelitian ini, kelimpahan Nycticorac nycticorax sebnayak 43 individu/hari. Berdasarkan kelimpahan jenis burung air pada Tabel 1 dominansi burung air yang ditemukan di Danau Meno dapat diklasifikan ke dalam 3 kategori. Ketiga kategori tersebut ialah dominan (apabila kelimpahan jenisnya > 5%), sub dominan (apabila kelimpahan jenisnya 2 – 5%), dan tidak dominan (apabila kelimpahan jenisnya < 2%). Atas dasar pengklasifikasian tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa jenis burung air yang termasuk dalam kategori dominan ialah Nycticorax nycticorax (45,93%), Butorides striatus (25,32%), Egretta garzetta (9,46%), Tringa nebularia (5,29%) dan Ardea purpurea (5,02%). Apabila ditelusuri lebih lanjut, dominansi dari Tringa nebularia dan Ardea purpurea dapat mengalami perubahan menjadi sub dominan terutama jika dikaitkan dengan aktivitas burung tersebut pada pagi dan sore hari. Kedua jenis burung tersebut pada saat pagi hari dominansinya masih tinggi (Ardea purpurea 5,17% dan Tringa nebularia 6,22%) akan tetapi pada saat sore hari dominansinya mengalami perubahan menjadi sub dominan
810 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
(Ardea purpurea 4,87% dan Tringa nebularia 4,34%). Hal ini mungkin saja terjadi terutama jika dikaitkan dengan aktivitas kedua burung tersebut yang mengalami penurunan (banyak istirahat maupun preening) pada saat sore hari. Jenis-jenis burung air yang lain seperti Egretta sacra dan Anas gibberifrons dengan kelimpahan relatif sebesar 3,38% dan 2,33% diklasifikasikan sebagai burung yang sub dominan. Akan tetapi, Anas gibberifrons pada pengamatan sore hari statusnya berubah menjadi tidak dominan dengan kelimpahan relatif sebesar 1,38%, sedangkan Egretta sacra. Sementara itu, Ardeoala speciosa, Nycticorax caledonicus, Actitis hypoleucos, Himantopus himantopus, dan Chlidonias hybridus diklasifikasikan sebagai burung yang tidak dominan baik pada pengamatan pagi hari maupun pengamatan pada sore hari dengan kelimpahan relatif masing-masing sebesar 0,05%, 0,21%, 1,69%, 0,37%, dan 0,95%. Hasil penelitian ini apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hadiprayitno, dkk. (2009) Butorides striatus, Egretta garzetta, Egretta sacra, Actitis hypoleucos, dan Charadrius alexandrinus dikategorikan sebagai burung dominan dengan kelimpahan relatif sebesar 22,29%, 20,43%, 5,57%, 21,98%, dan 15,79%. Sementara itu, jenis burung Nycticorax nycticorax, Anas gibberifrons, Phalacrocorax sulcirostris, dan Ardea purpurea diklasifikasikan sebagai burung sub dominan dengan kelimpahan relatif sebesar 2,79%, 3,09%, 2,48%, dan 4,64%, sedangkan Ardea cinerea dengan kelimpahan relatif sebesar 0,31% diklasifikasikan sebagai burung yang tidak dominan. Jenis burung Ardea cinerea dan Phalacrocorax sulcirostris tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang berbeda juga diperlihatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Atmanegara (2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Atmanegara (2010) kelimpahan relatif total dari jenis burung
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Butorides striatus (44,31%), Egretta garzetta (7,34%), Anas gibberifrons (7,81%), Actitis hypoleucos (26,48%), dan Ardea purpurea (7,37%) diklasifikasikan sebagai burung yang dominan. Jenis burung air yang lain seperti Nycticorax nycticorax (2,18%) dan Phalacrocorax sulcirostris (2,13%) diklasifikasikan sebagai burung sub dominan, sedangkan Egretta sacra (1,22%), Charadrius alexandrinus (0,99%), dan Himantopus himantopus (0,16%) diklasifikasikan sebagai burung yang tidak dominan. Jenis burung Butorides striatus dan Egretta garzetta pada penelitian yang dilakukan oleh Hadiprayitno, dkk. (2009), Atmanegara (2010), dan pada penelitian ini status dominansinya tidak mengalami perubahan, masih diklasifikasikan sebagai burung yang dominan. Sementara itu jenis burung yang lain dominansinya mengalami perubahan dalam setiap kali pengamatannya. Khusus untuk jenis burung Nycticorax nycticorax status dominansinya mengalami perubahan yang cukup drastis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hadiprayitno, dkk. (2009) dan Atmanegara (2010) jenis burung ini status dominansinya tidak pernah menjadi dominan, akan tetapi dalam penelitian ini apabila dilihat dari kelimpahan realtifnya status dominansinya bisa menggantikan posisi Butorides striatus dan Egretta garzetta. Secara ekologi dapat dikatakan bahwa jenis burung yang memiliki kelimpahan relatif < 5% dapat digolongkan sebagai jenis burung yang memiliki peran tidak dominan (penting) dalam ekosistem yang ditempatinya. Namun demikian, kelimpahan jenis burung yang < 5% bukan berarti burung tersebut harus dihilangkan dari habitatnya karena memiliki pengaruh yang kecil. Dominansi jenis burung ini mengindikasikan pemanfaatan burungburung tersebut terhadap berbagai sumberdaya yang ada di Danau Meno. Rahayuningsih (2007) mengatakan bahwa adanya variasi kelimpahan jenis burung dalam suatu habitat menunjukkan perbedaan kemampuan setiap
jenis burung dalam menggunakan habitatnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kelimpahan jenis burung yang tinggi didukung oleh kemampuan habitat dalam menyediakan makanan dan kebutuhan hidup yang lainnya. Tidak mudah mencari penyebab dari tinggi rendahnya kelimpahan populasi suatu jenis burung di suatu tempat tertentu, pada waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menentukan tinggi/rendahnya kelimpahan suatu jenis dalam suatu populasi (Loiselle & Blake, 1992). Banyaknya faktor ekologi yang berperan dan adanya berbagai model interaksi spesies yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi jenis dan kemungkinankemungkinan ini sulit diprediksi (Poespita, 1996). Tinggi rendahnya kelimpahan suatu jenis dalam waktu tertentu merupakan sebagian dari dinamika fluktuasi jumlah individu spesies. Tingginya kelimpahan jenisjenis tertentu di suatu tempat menunjukkan bahwa jenis-jenis yang bersangkutan ada kecenderungan lebih mendominasi dibandingkan dengan jenis-jenis lain, serta mengindikasikan adanya kesesuaian jenisjenis tersebut dengan potensi habitat di dalam menyediakan sumber makanan, perlindungan dan tempat melakukan aktivitas yang lain (Nurwatha, 1995). Sejalan dengan pemikiran tersebut, Elfidasari & Januardi (2005) menyatakan bahwa salah satu penyebab melimpahnya burung pada suatu habitat tertentu ialah ketersediaan sumberdaya pakan. Berbagai jenis burung yang dapat ditemukan pada suatu habitat tertentu sampai dengan saat ini menandakan bahwa burung-burung tersebut telah berhasil menciptakan relung yang khusus bagi dirinya untuk mengurangi kompetisi atas kebutuhan sumberdaya dengan jenis burung yang lain dan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan yang ada.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 811
Status Konservasi Burung Air Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, status perlindungan jenis burung air yang ditemukan di Danau Meno terdiri dari 5 jenis burung dilindungi UU dan jenis sisanya tidak dilindungi UU.
Apabila status perlindungan tersebut dikaitkan dengan frekuensi kehadiran burung yang ada di Danau Meno, maka dapat dibuatkan matrik prioritas konservasi burung seperti tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Matrik Prioritas Konservasi Burung Air yang ada di Danau Meno Status Perlindungan Status Kehadiran Tidak Dilindungi UU Dilindungi UU Sangat Umum Ardea purpurea (7) Egretta garzetta (3) Butorides striatus (7) Egretta sacra (3) Nycticorax nycticorax (7) Anas gibberifrons (7) Umum Tringa nebularia (6) Chlidonias hybridus (2) Tidak Umum Actitis hypoleucos (5) Jarang Ardeola spesiosa (4) Nycticorax caledonicus (1) Himantopus himantopus (1) Keterangan: angka di dalam kurung menunjukkan prioritas konservasi (jenis burung yang perlu segera dilindungi supaya tidak mengalami kepunahan secara lokal) Mengacu pada hasil analisis pada Tabel 2 terlihat bahwa prioritas konservasi burung air yang ada di Danau Meno dapat dikategorikan ke dalam prioritas 1 (Nycticorax caledonicus dan Himantopus himantopus), prioritas 2 (Chlidonias hybridus), prioritas 3 (Egretta sacra dan Egretta garzetta), prioritas 4 (Ardeola spesiosa), prioritas 5 (Actitis hypoleucos), prioritas 6 (Tringa nebularia), dan prioritas 7 (Anas gibberifrons, Nycticorax nycticorax, Butorides striatus, dan Ardea purpurea). Apabila dicermati lebih lanjut, prioritas konservasi burung air di Danau Meno dapat dikelompokkan ke dalam prioritas utama dan prioritas bukan utama. Prioritas utama konservasi burung air di Danau Meno terdiri dari semua jenis burung air yang dilindungi undang-undang, sedangkan prioritas bukan utamanya terdiri dari jenis burung air yang tidak dilindungi undangundang. Atas dasar hal tersebut rasionalisasi untuk melakukan konservasi burung air di Danau Meno merupakan hal yang harus dijadikan sebagai fokus utamanya.
812 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Hal lain yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan konservasi burung air di Danau Meno ialah terkait dengan aktivitas harian yang dilakukan oleh burung tersebut di Danau Meno. Hasil penelitian pada Lampiran 28 menunjukkan bahwa secara umum aktivitas harian burung air di Danau Meno sebagian besar (58%) melakukan aktivitas istirahat, mencari makan (25%), dan lokomosi (17%). Berdasarkan urutan prioritas aktivitas harian burung tersebut dapat dikatakan bahwa kepentingan burung air terhadap keberadaan Danau Meno ialah untuk melakukan aktivitas istirahat, mencari makan, dan lokomosi. Aktivitas mencari makan sangat terkait dengan aktivitas lokomosi karena sebagian besar burung air dalam melakukan aktivitas mencari makan terlebih dahulu melakukan aktivitas lokomosi. Jenis aktivitas yang lain seperti preening dan vokalisasi merupakan jenis aktivitas yang dilakukan setelah melakukan aktivitas istirahat, mencari makan, dan lokomosi. Konservasi burung air di Danau Meno ini kemungkinan akan berhasil dengan baik
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
apabila kegiatan rehabilitasi mangrove sebagai habitat burungnya berhasil dilakukan. Hasilhasil penelitian yang dilakukan di Aceh pasca tsunami telah menunjukkan bahwa keberhasilan dalam melakukan rehabilitasi mangrove telah mengembalikan keberadaan Egretta garzetta untuk membuat sarang dan berkembangbiak yang sempat menghilang karena kejadian tsunami. Pada kasus rehabilitasi mangrove di Danau Meno diharapkan apabila kegiatan rehabilitasinya berhasil dilakukan maka keberadaan berbagai jenis burung airnya dapat dipertahankan sehingga fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya pada saat sekarang akan tetapi dapat dirasakan juga oleh generasi-generasi yang akan datang. Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis burung yang ditemukan dengan kelimpahan tertinggi ialah Nycticorax nycticorax (45.93%), kemudian diikuti secara berturut-turut oleh Butorides striatus (25.32%), Egretta garzetta (9.46%), Tringa nebularia (5.29%), Ardea purpurea (5.02%), Egretta sacra (3.38%), Anas gibberifrons (2.33%), Actitis hypoleucos (1.69%), Chlidonias hybridus (0.95%), Himantopus himantopus (0.37%), Nycticorax caledonicus (0.21%), dan Ardeola speciosa (0.05%). Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa status konservasi burung air yang ditemukan dapat dikategorikan ke dalam prioritas konservasi 1 (Nycticorax caledonicus dan Himantopus himantopus), prioritas konservasi 2 (Chlidonias hybridus), dan prioritas konservasi 3 (Egretta garzetta dan Egretta sacra), sedangkan jenis burung yang lain dikategorikan ke dalam prioritas konservasi 4. Daftar Rujukan Atmanegara, F. 2010. Keanekaragaman Jenis Burung Air di Sekitar Danau Gili Meno, Lombok Utara. Skripsi tidak
dipublikasikan. Mataram: Universitas Mataram. Coates, B.J. & Bishop, K.D. 1997. Burungburung di Kawasan Wallacea. Terjemahan S.N. Kartikasari, Meiske D. Tapilatu & Dwiatinovita R. 2000. Bogor: BirdLife International Indonesia Programme. Elfidasari, D. & Junardi. 2006. Keragaman Burung Air di Kawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Pontianak. Biodiversitas (7): 63–66. Hadiprayitno, G. 2009. Komunitas Burung di Danau Meno Lombok – NTB. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Kongres Biologi di UIN Malang, 23 – 24 Juli 2009. Hadiprayitno, G., Husni, S., & Santoso, D. 2009. Desain Model Pengelolaan Danau Meno. Mataram: Universitas Mataram. Loiselle, B.A. & Blake, J.G. 1992. Population Variation in a Tropical Bird Community. Bioscience, 42 (11): 838 – 845. Nurwatha, P.F. 1995. Penggunaan Habitat secara Vertikal Burung di Taman Kota Bandung. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: FMIPA UNPAD. Rahayuningsih. 2007. Bird Community in Burung Island, Karimunjawa National Park, Central Jawa. Biodiversitas Vol 8: 183-187. Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal ILMU DASAR, 3 ( 1): 50-55. Virgota, A. & Tresnani, G. 2006. Bioekologi Burung di Desa Gili Indah Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Barat serta Prospeknya sebagai Ekoturisme. Mataram: Universitas Mataram.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 813
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
EKSTRAKSI AGAR DARI RUMPUT LAUT Gracillaria verucosa verucosa DAN Euchema cottoni cottoni Khoirul Anwar Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang Email:
[email protected]
Abstrak Dibutuhkan kualitas agar yang baik supaya dihasilkan produk olahan dari agar yang berkualitas baik. Rumput laut Gracillaria verucosa verucosa dan Euchema cottoni cottoni mengandung agar dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Untuk menentukan rumput laut yang paling berpotensi memiliki kandungan agar yang berkualitas baik perlu dilakukan penelitian tentang kualitas kandungan agar dari kedua rumput laut tersebut. Bahan yang diteliti adalah rumput laut jenis Gracilaria verrucosa (dari tambak Pulokerto-Pasuruan) dan Euchema cottoni cottoni. Masing-masing bahan direndam dalam larutan H2SO4 0,1% selama 30 menit, kemudian direndam dalam aquades selama 30 menit dalam kondisi pH 7. Rendaman rumput laut diekstraksi dalam aquades menggunakan waterbath selama 4 jam pada suhu 90o C, kemudian disaring. Hasil saringan didinginkan semalam dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50o C. Kandungan serat diuji pada masing-masing hasil ektraksi Euchema cottoni cottoni dan Gracillaria verucosa verucosa. Data dianalisi secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agar Euchema cottoni cottoni memiliki agar lebih banyak daripada Gracillaria verucosa verucosa, yaitu ditandai dengan ciri-ciri terbentuknya endapan agar pada hasil ekstraksi. Sedangkan kandungan agar dari rumput laut Gracillaria verucosa sedikit, yaitu ditandai dengan adanya sedikit endapan pada hasil ekstraksi serta kondisi ekstrak tidak menjendal membentuk gel. Kandungan agar yang kurang dari 10% tidak dapat membentuk gel. Hasil pengujian kadar serat agar dari Euchema cottoni cottoni dan Gracillaria verucosa verucosa menunjukkan bahwa Gracillaria verucosa verucosa memiliki kandungan serat 11,84% dan Euchema cottoni cottoni 7,95%. Kata kunci : ekstraksi agar, gracillaria verucosa verucosa dan euchema cottoni cottoni
Pendahuluan Rumput laut Eucheuma cottonii di budidayakan di laut dan merupakan penghasil karaginan, sedangkan Gracilaria sp di budidayakan di Tambak dan merupakan penghasil agar-agar (Mappiratu, 2010). Rumput laut telah banyak dikenal oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Salah satu olahan makanan dari rumput laut yang banyak beredar adalah agar-agar. Agar dapat dimanfaatkan sebagai pengemulsi, pengental, dan penyeimbang (stabilizer). Dibutuhkan kualitas agar yang baik supaya dihasilkan produk olahan dari
agar yang berkualitas baik. Rumput laut Gracillaria verucosa verucosa dan Euchema cottoni cottoni mengandung agar dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Untuk menentukan rumput laut yang paling berpotensi memiliki kandungan agar yang berkualitas baik perlu dilakukan penelitian tentang kualitas kandungan agar dari kedua rumput laut tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas agar dari Euchema cottoni cottoni dan Gracillaria verucosa verucosa.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 814
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Metode Penelitian Bahan yang digunakan adalah rumput laut jenis Gracilaria verrucosa (dari tambak Pulokerto-Pasuruan) dan Euchema cottoni sp. yang akan direndam dalam larutan H2SO4 0,1% selama 30 menit. Kemudian direndam dalam aquades slama 30 menit dalam kondisi pH 7. Rendaman rumput laut diekstraksi dalam aquades menggunakan waterbath selama 4 jam pada suhu 90o C. disaring kemudian hasil saringan didinginkan semalam dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50o C. Kandungan serat diuji pada masing-masing hasil ektraksi Euchema cottoni cottoni dan Gracillaria verucosa verucosa. Data dianalisi secara deskriptif kualitatif. Hasil dan Pembahasan Ekstraksi agar dilakukan pada dua jenis alga yaitu Euchema cottoni cottoni dan Gracillaria verucosa verucosa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa agar Euchema cottoni cottoni memiliki agar yang lebih banyak daripada Gracillaria verucosa verucosa, yaitu ditandai dengan ciri-ciri terbentuknya endapan agar pada hasil ekstraksi. Sedangkan agar dari rumput laut Gracillaria verucosa kurang baik atau hanya sedikit, yaitu ditandai dengan adanya sedikit endapan agar pada hasil ekstraksi dan kondisi ekstrak tidak menggumpal (lihat gambar 1). Kandungan agar yang kurang dari 10% tidak dapat membentuk gel (Rasyid, 2004). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kandungan agar pada Gracillaria verucosa kurang dari 10% atau tidak sebanyak Euchema cottoni cottoni. Dari hasil penelitian ini masih perlu dilakukan uji kuantitatif terhadap kadungan agar dari masing-masing rumput laut untuk mengetahui kuantitas kandungan agar pada rumput laut Gracillaria verucosa dan Euchema cottoni.
Tabel 1. Hasil uji kadar serat yang terkandung pada hasil ekstraksi agar Euchema cottoni cottoni dan Gracillaria verucosa verucosa. Sampel ul m krts m sampel m akhir Serat (%) E1 1 1,145 2,02 1,302 7,772 2 1,144 2,011 1,304 7,956 E2 1 1,146 2,009 1,307 8,014 2 1,145 2,017 1,308 8,081 G1 1 1,144 2,009 1,377 11,598 2 1,146 2,006 1,374 11,366 G2 1 1,145 2,004 1,389 12,176 2 1,145 2,011 1,391 12,233
815 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
1
2
Gambar 1. Hasil Ektraksi Agar, 1. Euchema cottoni, 2. Gracillaria verucosa
Hasil pengujian kadar serat agar dari Euchema cottoni cottoni dan Gracillaria verucosa verucosa menunjukkan bahwa Gracillaria verucosa memiliki kandungan serat 11,84% dan Euchema cottoni 7,95% (lihat Tabel 1). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar serat Euchema cottoni cottoni lebih rendah dari pada kadar serat Gracillaria verucosa verucosa. Kandungan serat ini dioengaruhi oleh kadar biomassa dari masing-masing alga. Alga Euchema cottoni cottoni memiliki biomassa yang lebih tinggi daripada Gracillaria verucosa verucosa per satuan beratnya. Artinya satu gram alga Euchema cottoni hanya satu thallus sedangkan satu gram Gracillaria verucosa lebih dari satu thallus.
Daftar Rujukan Rasyid, A. 2004. Beberapa Catatan tentang Agar. Jurnal Oseana, 29 (2): 1-7 Mappiratu. 2010. Strategi Riset Rumput Laut untuk Produksi Produk Spesifik Daerah Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulteng 3 (2): 91-95 Distantina, S., Anggraeni, DR., dan Fitri, LE. 2008. Pengaruh Konsentrasi dan Jenis Larutan Perendaman terhadap Kecepatan Ekstraksi dan Sifat Gel Agar-agar dari Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Jurnal Rekayasa Proses, 2 (1): 11-16.
Simpulan Euchema cottoni cottoni memiliki kandungan agar lebih banyak daripada Gracillaria verucosa verucosa. Kandungan serat Euchema cottoni cottoni lebih rendah daripada Gracillaria verucosa verucosa.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 816
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
VARIASI BENTUK DAN ORNAMENTASI SPORA PADA MARGA Cheilanthes Lalu Irfan Arisaputra, Firda Asmaul Husna, Syifa Sundari , Eko Sri Sulasmi Mahasiswa S1 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang Dosen Pembina Matakuliah Biosistematik Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, Malang, Jawa Timur, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Tumbuhan paku memiliki spora yang beranekaragam dalam hal bentuk, ukuran, dan ornamentasi. Keanekaragaman tersebut dapat terjadi dalam satu marga. Cheilanthes merupakan salah satu marga dari suku Adiantaceae menurut Holttum (1968). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan variasi bentuk spora pada marga Cheilanthes yakni Cheilanthes bullosa, Cheilanthes farinosa, Cheilanthes mysurensis, dan Cheilanthes tenuifolia. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2014 di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Malang. Spesimen penelitian diambil dari koleksi Herbarium Malangensis dengan metode asetolisis dan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk pengambilan data yang akan dideskripsikan. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, dapat dijelaskan mengenai variasi morfologi pada spora marga Chelianthes, diantaranya: 1) Cheilantes farinosa memiliki bentuk: non angular- circular, ornamentasi: reticulate colpus dengan margo, lumina semakin kecil kearah tepi corpus dan menghilang di tepi bertectate margin, sexine bertahap menjadi lebih tipis kearah tepi colpus. 2) Cheilantes mysurensis memiliki bentuk: non angulareliptic, ornamentasi: reticulate yang pada bagian nexine berpori (pantoporate). 3) Cheilantes tenuifolia memiliki bentuk: tetrahedral, ornamentasi: reticulate di dalamnya ada pilate. 4) Cheilantes bullosa memiliki bentuk eliptic, dan ornamen: verrucate semitectate. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa marga Cheilantes memiliki bentuk dan ornamentasi spora yang bervariasi. Kata kunci: Tanaman paku, Cheilantes, spora, ornamen, bentuk.
Pendahuluan Tumbuhan paku mempunyai karakter dan penampilan yang sangat khas. Tumbuhanpaku merupakan tumbuhan berpembuluh yang paling primitive daripada tanaman berpembuluh lain. Tumbuhan paku telah melalui berbagai tingkat evolusi sejak zaman Devonian sampai sekarang. Namun demikian penelitian tentang klasifikasi dan hubungan kekerabatan pada Pteridophyta masih belum banyak dilakukan. Pichi-sermoli (1973) dalam Nurchayati (2010) telah menyatakan bahwa tumbuhan paku telah melaluibanyak perubahan dalam taksonomi dan tata nama. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam
menentukan hubungan kekerabatan antara kelompok-kelompok besar Pteridophyta. Spora merupakan sel-sel yang tersebar pada Cryptogam (lumut, liverwort, paku dll.) yang mengandung genom dan secara asexual akan berkembang menjadi gametofit baru (Cynthia, 2012). Spora tumbuhan paku memiliki bentuk yang beragam. Keanekaragaman tersebut dapat berupa bentuk dasar, ukuran, dan tipe pahatan dinding yang dapt digunakan untuk melakukan identifikasi. Spora yang masak pada tumbuhan paku ini sering memperlihatkan berbagai tipe pahatan dinding yang mempunyai makna dalam kegiatan taksonomi.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 817
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Sebagian dari butir polen memiliki dua lapisan, lapisan luar exin dan lapisan bagian dalam intine (Fritzsche 1837 dalam Erdtman (1954)). Permukaan dinding luar atau eksin mempunyai ornamen (sculpture). Ornamen tersebut dapat berupa spinula atau duri kecil, dapat pula berupa pila atau batang kecil dengan ujung berupa bola. Permukaan eksin ada yang mempunyai lubang atau lekuk (pits), eksin scrobilatus; ada yang berparit (streaks) atau parit yang membentuk jala, eksin reticulatus. Namun, ada juga spora yang permukaan eksinnya tidak mempunya tojolan, duri atau apapun juga sebagai ornamen, pola semacam ini dinamai psilatum (psilate; licin, halus). Ornamen eksin tersebut dapat dipertahankan pada preparat awetan yang dibuat dengan metoda asetolisis. Hal harus diamati dalam melakukan identifikasi spora adalah tipe apertura yang dimiliki spora tersebut. Moore dan Webb (1978) menjelaskan bahwa apertura merupakan bagian yang tipis atau bagian yang hilang dari eksin yang berdiri sendiri dari pola pada exine. Ada dua macam dari apertura dinamakan pori (pores) dan colpi (furrows). Colpi merupakan bagian yang lebih primitive dibanding pori. Pori biasanya merupakan rongga isodiametris, tetapi dapat sedikit panjang dengan membulat dibagian akhir. Butir spora dengan pori dinamakan porate, dengan colpi, colpate, dan dengan keduanya (colpus dan porus) jika terdapat bersamaan pada apertura yang sama, colporate. Pada apertura (colpus atau porus) membuat garis demarkasi dengan garis yang seringkali menyebabkan perubahan dalam ketebalan dari sexine atau nexine atau keduaya. Pada analisis memerinci dari struktur butir polen pada apertura yang keistimewaan dari nexine dinamakan ectoapertura (ectocalpus, endocarpus). Pada beberapa kasus ecto- dan endoapertura dapat memiliki tipe yang sama dan terjadi dalam tempat yang sama, dan pada kasus yang lain mungkin berbeda tipe yang terjadi dalam sedikit perbedaan posisi.
818 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Moore dan Webb (1978) menambahkan bahwa butir polen dan spora dapat dibagi kedalam kelompok yang didasarkan pada jumlah, posisi, dan karakter dari apertura. Jumlah dari apertura diindikasikan dengan memasang awalan mono-, di-, tri-, tetra-, penta-, dan hexa- sebelum istilah colpate, porate atau colporate. Lebih dari tujuh apertura diindikasikan dengan penggunaan awalan poly-. Dalam banyak kasus pori dan/ atau colpi diatur sama jauhnya sekeliling equator dari butir. Situasi ini diindikasikan dengan awalan zono-. Jika apertura semua berserak diatas permukaan butir digunakan awalan panto-. Morfologi polen merupakan ekspresi dari gen seperti ciri baik itu tidak begitu nampak (samar) atau morfologi yang terlihat jelas, berguna dalam beberapa kelompok untuk studi taksonomi dan kurang berguna bagi studi lainnya. (Ferguson, I.K., 1985) Morfologi yang ada menyebabkan terjadinya keanekaragaman, dan keanekaragaman tersebut dapat terjadi dalam satu marga. Cheilanthes merupakan salah satu marga dari suku Adiantaceae menurut Holttum (1968). Beberapa spesies yang menjadi objek kajian memiliki variasi morfologi khususnya dalam morfologi spora walaupun masih dalam satu marga. Dalam artikel ini akan dibahas variasi morfologi spora pada setiap spesies yang menjadi objek penelitian. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2014. Pengambilan sampel spora bertempat di Herbarium Malangengsis. Pengamatan spora dengan menggunakan mikroskop cahaya dilaksanakan di Laboratorium Struktur Perkembangan Tumbuhan dan Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA UM. Adapun pengamatan spora dengan SEM dilakukan di Gedung Labolatorium Bersama FMIPA UM. Alat yang digunakan meliputi: Mikroskop cahaya, botol vial, centrifuge manual,
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
penangas air, batang kaca pengaduk, pipet, kaca benda dan kaca penutup. Bahan yang digunakan meliputi: Sporofil tumbuhan paku, spora, asam cuka glasial, asam cuka anhidrat, asam sulfat pekat, akuades, natrium cholat, HCl, safranin, alkohol 70%, xylol. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada spora marga Cheliantes, diperoleh hasil sebagai berikut:
ukuran diameter 51,64 m. Bentuk spora ini non angular- circular, membulat. Pada apertura menunjukkan adanya colpus yang berkombinasi dengan porus yang disebut colporate seperti pada gambar 1.2. dan 1.3. Ornamentasi yang terlihat Reticulate, yakni penonjolan yang membentuk pola jaring, membentuk kerutan (Colpus) dengan margo yakni penipisan sekeliling sexine pada ektokolpus. Lembaran Lumina semakin kecil kearah tepi corpus dan menghilang di tepi memberi tectate margin. Sexine bertahap menjadi lebih tipis kearah tepi colpus.
1. Cheilantes farinose Spora dari paku C. farinose, memiliki
1.1
1.2
1.3
Gambar. 1.1 Spora Cheliantes farinose dari mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000;. Gambar. 1.2 & 1.3 Spora hasil SEM, dengan ukuran 51,64 m
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 819
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
2. Cheilantes mysurensis Bentuk spora pada C. mysurensis terlihat oval pada pengamatan dengan mikroskop cahaya seperti gambar 2.1. Memiliki ukuran panjang: 42.98 m dan lebar: 33.69 m. Pada gambar 2.2 dan 2.3 hasil SEM nampak memiliki bentuk non angular- eliptic.
2.1
2.2
Apertura menunjukkan adanya colpus yang berkombinasi dengan porus yang disebut colporate seperti pada gambar 2.2. dan 2.3.Ornamen (sculpture): Reticulate yang pada bagian nexine/foot layer-nya berpori (pantoporet)
2.3
Gambar. 2.1 Spora Cheliantes mysurensis dari mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000. ; Gambar. 2.2 & 2.3 Spora hasil SEM, dengan ukuran P: 42.98 m L: 33.69 m 3. Cheilantes tenuifolia Bentuk spora pada C. mysurensis terlihat oval pada pengamatan dengan mikroskop cahaya seperti gambar 3.1 . Spora ini memiliki ukuran panjang: 47.14 m dan
3.1
3.2
Lebar: 33.14 m (gambar 3.3). Memiliki bentuk: tetrahedral. Apertura colpus dengan porus sehingga colporate. Ornamentasi: sepertii membentuk jaringan (reticulate) di dalamnya ada pilate.
3.3
Gambar. 3.1 Spora Cheliantes tenuifolia dari mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000; Gambar 3.2 & 3.3 Spora hasil SEM, dengan ukuran P: 47.14 m, L: 33.14 m P: 42.98 m L: 33.69 m
820 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
4. Cheilantes bullosa Bentuk spora pada C. bullosa terlihat seperti ginjal pada pengamatan dengan mikroskop cahaya seperti gambar 4.1. pengamatan menggunkan SEM menunjukan
4.1
4.2
spora memiliki ukuran Panjang: 61.08 m dan Lebar: 39.03 m. bentuknya menjadi non angular- eliptic. Apertura mebenetul kerutan saja tanpa porus (colpus). Ornamentasi (sculpture): Verrucate semitectote.
4.3
Gambar. 4.1 Spora Cheliantes bullosa dari mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000; Gambar. 4.2 & 4.3 Spora hasil SEM, dengan ukuran P: 61.08 m L: 39.03 m Simpulan Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa marga Cheilantes memiliki bentuk dan ornamentasi spora yang bervariasi. Keanekaragaman bentuk dan ornamentasi spora pada marga Cheilantes dapat dijadikan sebagai pembeda antar spesies dan menjadi salah satu kriteria yang dipertimbangkan dalam identifikasi tumbuhan paku dalam bidang taksonomi. Daftar Rujukan Cynthia Fernandes Pinto da Luz (2012). Palynology as a Tool in Bathymetry, Bathymetry and Its Applications, Dr. Philippe Blondel (Ed.), ISBN: 978-953307-959-2, InTech, DOI: 10.5772/32400. Available from: http://www.intechopen.com/books/bath ymetry-and-itsapplications/palynology-as-a-tool-inbathymetry. Erdtman, G., 1954. An Introduction of Pollen Analysis. Stockholm: Almquist and
Wiksell. Ferguson, I.K., 1985. The Role Of Pollen Morphology in Plant Systematics. An. Asoc. Palinology. Leng. Esp. 2:5-18 (1985). Holttum R.E. 1968. Flora of Malaya: Volume II Fern of Malaya. Singapura: Authority Government Printing Office Singapore. Moore, P.D. dan Webb, J.A. 1978. An Illustrated Guide to Pollen Analysis. New York: Division of John Wiley & Sons Inc. Nurchayati, Nunuk. 2010. Hubungan Kekerabatan Beberapa Spesies Tumbuhan Paku Familia Polypodiaceae dari Karakter Morfologi Sporofit dan Gametofit. Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.19, April 2010.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 821
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
PREFERENSI KUPU-KUPU FAMILIANymphalidaeDANLycaenidae PADA TUMBUHAN DI WISATA AIR TERJUN COBAN RAIS KOTA BATU JAWA TIMUR Lelly Dwi Arrummaisha, Sofia Ery Rahayu, Sulisetijono Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang Jalan Semarang No.5, Malang, Indonesia
[email protected]
Abstrak Informasi mengenai preferensi kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae di Wisata Air Terjun Coban Rais yang masih kurang. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui spesies kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae beserta preferensinya pada tumbuhan di Wisata Air Terjun Coban Rais. Penelitian bersifat deskriptif eksploratif, dilaksanakan pada bulan Pebruari 2014 dengan metode transek titik (Bismark, 2011). Kupu-kupu ditangkap menggunakan jaring serangga, sedangkan pengamatan preferensi menggunakan binokuler. Hasil penelitian diperoleh 12 spesies yang terdiri dari familia Nymphalidae (10 spesies) dan Lycaenidae (2 spesies). Tumbuhan yang dijadikan preferensi oleh kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae di Wisata Air Terjun Coban Rais berjumlah 13 spesies. Kupukupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae banyak hinggap pada tumbuhan Chromolaena odorata, Eupatorium riparium, dan Imperata cylindrica dan menggunakan Ageratum conyzoides, Bidens pilosa, Eupatorium inulifolium, Melastoma malabathricum, dan Stachytarpeta indica sebagai tumbuhan pakan. Kata kunci: Preferensi, Kupu-kupu, Air Terjun Coban Rais
Pendahuluan Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia. Dari perkiraan 17.500 jenis kupu-kupu di dunia, tak kurang dari 1.600 jenis diantaranya tersebar di Indonesia. Kekayaan jumlah jenis ini hanya tertandingi oleh Negara-negara tropis di Amerika Selatan, seperti Peru dan Brazil yang mempunyai sekitar 3.000 jenis (Peggie, 2008).Keadaan alam Indonesia dengan iklim tropik menjadi habitat yang cocok bagi perkembangan berbagai spesies kupu-kupu, yang diperkirakan sekitar 4.000-5.000 spesies, namun, sampai saat ini baru sekitar setengahnya yang sudah diketahui spesiesnya (Tsukada & Nishiyama, 1982). Indonesia memiliki jumlah jenis kupukupu yang cukup banyak dan diperkirakan berjumlah 2500 jenis.Beberapa spesies di antaranya telah punah.Beberapa lagi
822 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
dilindungi sebagai satwa langka, termasuk jenis kupu-kupu paling besar dan langka di dunia.Di Jawa dan Bali saja tercatat 600 spesies kupu-kupu (Soekardi, 2007), namun belum ada data yang lengkap mengenai jumlah spesies kupu-kupu khususnya wilayah Jawa Timur. Keberadaan kupu-kupu sangat tergantung kepada daya dukung habitatnya, yaitu habitat yang memiliki komponen hostplant dan foodplant. Hostplant adalah tumbuhan inang yang menjadi makanan larva dan foodplant adalah tumbuhan yang menjadi makanan kupu-kupu dewasa. Apabila salah satu, atau bahkan kedua komponen tersebut tidak ada, maka kupu-kupu jelas tidak bisa melangsungkan kehidupannya (Shalihah dkk., 2012). Coban Rais merupakan salah satu wisata air terjun yang terdapat di Desa Oro-Oro
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Ombo Kota Batu Jawa Timur. Secara pengelolaan hutan terletak di petak 221 & 225, Resort Polisi Hutan (RPH) Oro-oro ombo, Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Pujon, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH)Malang dengan luas baku 4,5 ha. Terletak pada ketinggian 850 mdpl dengan suhu 18 – 230C dengan topografi berbukit dan curah hujan rata-rata 1.500 mm/tahun dan termasuk kelas hutan lindung pinus dan rimba campur. Jarak terdekat dari kota Batu ± 6 km (Perhutani, 2012).Wisata air terjun tersebut tergolong masih alami dan masih belum banyak terjamah manusia.Kondisi dan vegetasi yang alami tersebut memungkinkan dilakukanya penelitian mengenai preferensi kupu-kupu terhadap tumbuhan. Penelitian yang dilakukan Eka dkk. (2012) mengenai komunitas kupu-kupu di UI Depok menyebutkan bahwa spesies Ypthima philomela pada tumbuhan familia Poaceae dan Zizinia otis pada tumbuhan polong (Fabaceae). Penelitian mengenai identifikasi dan keanekaragaman jenis kupu-kupu banyak dilakukan, namun penelitian yang mengkhususkan pada preferensi spesies tumbuhan kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae di Wisata Air Terjun Coban Rais belum dilakukan. Kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae ini memiliki ciri khas yang berbeda. Familia Nymphalidae memiliki ukuran sedang hingga besar dengan corak warna yang tidak terlalu mencolok yang didominasi warna abu-abu, hitam, coklat, dengan corak putih.Selain itu ada beberapa spesies berukuran besar yang memiliki warna terang contohnya Danainae. Familia Lycaenidae berukuran kecil dengan corak metalik, biru, atau ungu. Diketahuinya tumbuhan yang menjadi preferensi bagi kupukupu ini akan menunjang kajian konservasi terhadap keberadaan kupu-kupu. Metode Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Penelitian dilakukan
pada bulan Januari-Juni 2014, sedangkan penangkapan kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae dilakukan pada bulan Pebruari 2014 di Wisata Air Terjun Coban Rais. Identifikasi dan analisis data dilakukan di Laboratorium Biologi, Universitas Negeri Malang. Lokasi penelitian yaitu di sepanjang jalan menuju Wisata Air Terjun Coban Rais dengan menggunakan metode transek titik (Bismark, 2011). Pengambilan sampel kupu-kupu dan pengamatan preferensi kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae dilakukan di setiap titik transek. Kelima titik pengamatan ini dipilih di daerah yang banyak terdapat kupu-kupu. Batas radius pengamatan sekitar 10 meter dari titik pengamat berdiri. Sedangkan jarak antar transek titik sekitar 500 meter. Preferensi diamati pada pukul 08.0012.00 yang tersebar di 5 titik dengan cara mengamati dan mencatat semua kupu-kupu yang terlihat sedang hinggap pada tumbuhan yang berada di titik lokasi tersebut dengan kisaran waktu 10-20 menit. Tumbuhan preferensi yang diamati meliputi tumbuhan pakan dan tumbuhan inang. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dengan interval ulangan setiap satu minggu sekali.Sebelum melakukan pengamatan, dilakukan pengukuran faktor abiotik di setiap titik pengamatan. Pengukuran faktor abiotik meliputi suhu, intensitas cahaya, dan kelembapan udara. Penangkapan kupu-kupu dilakukan dengan menggunakan jaring serangga. Kupukupu yang telah ditangkap akan dilakukan pengawetan dan dilanjutkan dengan proses identifikasi. Pengamatan kupu-kupu dibatasi pada morfologi luar kupu-kupu. Kupu-kupu yang telah diamati kemudian diidentifikasi dengan cara mencocokkan bentuk serta corak sayap kupu-kupu dan dibandingkan dengan buku Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden (Peggie & Amir, 2006)The Butterfly of Australia (Orr & Kitching, 2010), dan The Complete Field
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 823
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Guide to Butterflies of Australia (Braby, 2004). Identifikasi tumbuhan dilakukan dengan mengamati ciri-ciri morfologi yang meliputi habitus, perakaran, batang, daun, bunga, buah dan biji. Buku yang digunakan untuk identifikasi tumbuhan adalah Flora untuk Sekolah di Indonesia (Steenis, 1975) dan The Mountain Flora of Java (Steenis, 1972).Data mengenai spesies kupu-kupu dan preferensi kupu-kupu familia Nymphalidae
dan Lycaenidae pada tumbuhan kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Pengukuran faktor abiotik juga dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan yang sesuai untuk habitat kupu-kupu. Kondisi lingkungan di Wisata Air Terjun Coban Rais disajikan pada Tabel 1seperti berikut.
Tabel 1: Faktor Abiotik Lokasi Penelitian di Coban Rais No Faktor Abiotik 1 Suhu Udara 2 Intensitas Cahaya 3 Kelembapan Udara Dari hasil pengamatan pada 5 sektor lokasipengamatan, ditemukan 12 spesies kupu-kupu yang terdiri atas 10 spesies dari familia Nymphalidae yaitu Lethe confusa, Neptis hylas, Ypthima philomela, Ypthima pandacus, Mycalesis horsfieldi, Ariadne ariadne, Polyura hebe, Mycalesis sudra, Hypolimnas Bolina, dan Acraea issoria, dan 2 spesies Lycaenidae yaitu Zizinia otis, dan Heliophorus epicles, serta 13 jenis tumbuhan yang menjadi preferensi kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae. Keberadaan kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae di Wisata air Terjun Coban Rais ini selain dikarenakan habitat yang masih alami juga karena faktor abiotik yang mendukung. Kisaran faktor abiotik yang diperoleh dari hasil pengukuran dilapangan adalah 46-80% untuk kelembaban, 220 C - 290 C untuk suhu, dan 32-1735 x 100 untuk intensitas cahaya. Dari data dapat diketahui bahwa tumbuhan pakan yang menjadi preferensi kupu kupu familia Nymphalidae di Wisata Air Terjun Coban Rais adalah tumbuhan dari suku Asteraceae, Verbenaceae, Athyriceae, Urticaceae, Araceae, Mimosaceae, Melastomataceae, Solanaceae dan Poaceae. Dari suku Asteraceae meliputi spesies
824 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Rerata Nilai 26,2°C 418,2 x 100 lux 61,6 %
Ageratum conyzoides, Bidens pilosa, Chromolaena odorata, Tithonia diversifolia, dan Eupatorium riparium. Suku Verbenacea meliputi Stachytarpeta indica. Suku Athyriceae, Urticaceae, Araceae, Mimosaceae, Poaceae, Melastomataceae, dan Solanaceae berturut-turut meliputi Athyrium sp., Laportea canadensis, Colocasia giganteum, Mimosa pudica, Imperata cylindrica, Melastoma malabathricum, dan Brugmansia suaveolens. Tumbuhan yang banyak didatangi oleh kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae sebagai tempat hinggap antara lain Imperata cylindrica, Chromolaena odorata dan Eupatorium riparium, sedangkan tumbuhan yang banyak didatangi oleh kupukupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae sebagai tempat pakan antara lain Ageratum conyzoides, Bidens pilosa, Chromolaena odorata, Melastoma malabathricum, dan Stachytarpeta indica. Preferensi kupu-kupu terhadap tumbuhan adalah kecenderungan atau ketertarikan kupukupu terhadap tumbuhan. Kupu-kupu menggunakan tumbuhan sebagai tempat hinggap, tumbuhan pakan, (foodplant), atau tumbuhan inang (hostplant). Dari hasil penelitian di Wana Wisata Coban Rais ditemukan 10 spesies familia Nymphalidae
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
dan dua spesies familia Lycaenidae yang tumbuhan preferensinya berhasil teramati. Untuk tumbuhan preferensi sendiri sebanyak 13 spesies tumbuhan. Kupu-kupu dengan jenis yang berbeda memiliki tumbuhan tempat hinggap atau tumbuhan pakan yang berbeda walaupun masih dalam satu familia. Hasil penelitian dilapangan diketahui bahwa kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidaebanyak mengunjungi tumbuhan Eupatorium inulifolium Kunth, Eupatorium riparium Regel, dan Imperata cylindrica L. Ketiga tumbuhan ini berasal dari familia yang berbeda, yaitu Asteraceae dan Poaceae. Ketiga tumbuhan ini banyak digunakan kupu-kupu untuk hinggap. Kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidaemenggunakan tumbuhan Stachytarpeta indica(L) Vahl, Bidens pilosa L, Ageratum conyzoidesL, Eupatorium inulifolium Kunth dan Melastoma malabathricum L. sebagai tumbuhan pakan. Tumbuhan ini berasal dari familia Asteracea, Verbenaceae, dan Melastomaceae. Kupu-kupu familia Nymphalidae mendatangi tumbuhan Imperata cylindrica L. dengan frekuensi yang tinggi. Menurut Peggie (2004) kupu-kupu familia Nymphalidae yang memiliki tumbuhan preferensi dari familia Poaceae antara lain Junonia atlites, Lethe manthara, Melanitis leda, Melanitis zitenius, Melanitis phedima, Mycalesis horsfieldi, Mycalesis janardana, Mycalesis mineus, Ypthima horsfieldii, dan Ypthima phylomela. Imperata cylindrica L. adalah salah satu tumbuhan dari familia Poaceae yang terdapat di Wisata Air Terjun Coban Rais. Kehadiran kupu-kupu Nymphalidae dengan frekuensi yang tinggi pada Eupatorium inulifolium Kunth, Eupatorium riparium L., Bidens pilosa L., Ageratum conyzoides L. sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dendang (2009), yang menjelaskan tumbuhan inang dari famili Nymphalidae yaitu Annonaceae, Asteraceae, Moraceae, Rubiaceae dan Anacardiaceae. Menurut Peggie (2004) dalam bukunya
Panduan Praktis Kupu-Kupu Di Kebun Raya Bogor spesies Zizinia otis Fabricus memiliki foodplant tumbuhan dari familia Papilionaceae dan Mimocaseae namun di Wisata Air Terjun Coban Rais ini Zizinia otis Fabricus diketahui mengunjungi tumbuhan dari familia Asteraceae (Eupatorium riparium Regel), Verbenaceae (Brugmansia suaveolens (Humb. & Bonpl. Ex Willd) Bercht & J. Presl) dan Poaceae (Imperata cylindrical L.). Perbedaan ini dapat diakibatkan vegetasi dan kondisi alam yang berbeda. Kupu-kupu memilih tumbuhan sebagai pakan, hinggap maupun inang berdasarkan interaksi antara kupu-kupu pada tumbuhan begitu pula sebaliknya. Menurut Gombert dkk (2005) kupu-kupu akan tertarik mendatangi bunga sebagai sumber nektar atau makananya berdasarkan tiga karakteristik yaitu bentuk bunga, warna, dan aroma. Sedangkan menurut Sodiq (2005) tiga karakteristik visual tumbuhan yang menyebabkan suatu tumbuhan dipilih oleh serangga untuk meletakkan telur maupun makan adalah ukuran, bentuk dan kualitas warna. Pemilihan inang oleh serangga dilakukan dengan beberapa cara seperti melalui penglihatan (visual), penciuman (olfaktori), pencicipan (gustatory), dan perabaan (taktil) (Shodiq, 2005). Kupu-kupu dalam proses menemukan tumbuhan yang akan digunakan sabagai pakan atau inang dibantu oleh indra yang bernama kemoreseptor. Shodiq (2005) menjelaskan bahwa kemoreseptor adalah indra yang berfungsi untuk menerima energy yang berupa molekul kimia. Indra peraba dan penciuman termasuk dalam golongan ini. Kemoreseptor umumnya terpusat pada antenna, alat mulut, dan tarsi (Wigglesworth, 1972). Olfakto reseptor yang termasuk dalam golongan ini merupakan indra yang salah satunya berfungsi sebagai tanggap terhadap makanan. Organ ini berupa Olfakto Reseptor Neuron (ORN). ORN ini pada kebanyakan serangga termasuk kupukupu ditemukan pada dua pasang bilateral simetris organ penciuman, antenna dan palpus
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 825
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
rahang atas. (Hallem dkk.,, 2006). Permukaan organ penciuman ditutupi dengan rambut sensorik disebut sensilla, yang berisi dendrit ORN (Hallem dkk., 2006). Serangga mempunyai indra penciuman dan indra perasa, tetapi untuk mendeteksi suatu senyawa kimia dengan dendrit organ-organ penerima (Dethier, 1963 dalam Atkins, 1980). Indra perasa maupun penciuman pada serangga termasuk kupu-kupu bekerja secara spesifik. Indra penciuman bekerja secara spesifik menangkap dan menerima senyawasenyawa dalam bentuk gas, sedangkan indra perasa spesifik menangkap dan menerima senyawa dalam bentuk cairan atau padat. Wingglessworth (1972) menyebutkan bahwa kemoreseptor dicirikan oleh ujung-ujung syaraf yang halus sekali yang berhubungan dengan udara luar melalui pori-pori pada kutikula. Kutikula ini tipis halus dan mempunyai struktur seperti saringan. Tiap indra penciuman terdiri dari satu atau lebih saraf-saraf penerima. Saraf-saraf ini memiliki dendrit yang berhubungan dengan struktur kutikula dan benang-benang saraf yang meneruskan rangsang ke sistem saraf pusat. Serangga dapat menerima rangsang bila terjadi kontak antara saraf pusat. Serangga dapat menerima rangsang bila terjadi kontak antara molekul-molekul gas dengan dengan dendrit. Rangsangan dari dendrit kemudian diteruskan ke tubuh sel, lalu ke sistem saraf pusat melalui benang saraf (Atkins, 1980). Tanggapan dapat berupa ketertarikan serangga pada sumber-sumber bau-bauan tersebut. Sistem saraf penciuman terdiri dari neuron penerima rangsang, neuron penyalur, dan neuron perantara (Atkins,1980). Indra lain pada kupu-kupu yang berfungsi untuk mengenali tumbuhan adalah fotoreseptor. Fotoreseptor ini adalah indera yang berfungsi untuk menerima cahaya. Mata majemuk, mata tunggal dan stema adalah indra yang digunakan serangga untuk berkomunikasi secara visual dengan tumbuhan. Shodiq (2005) menjelaskan bahwa
826 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
serangga hanya mampu menerima dan merespon cahaya dengan panjang gelombang antara 300-400 mµ (warna mendekati ultraviolet) sampai 600-650 mµ (warna jingga). Diantara beberapa warna spectrum cahaya tersebut, ada dua yang menghasilkan respon paling tinggi pada serangga yaitu cahaya mendekati ultraviolet (350 mµ). Serangga walaupun memiliki indera berupa mata namun tidak dapat membedakan bentuk secara sempurna. Meskipun tidak dapat membedakan bentuk segitiga, persegi, atau lingkaran dengan baik namun serangga dapat membedakan bentuk berupa pecahan atau kepingan. Bunga yang terdiri dari beberapa bagian bunga seperti sepal dan petal, tidak lain berupa bayangan yang berkelip dan hal itu dapat menjadi isyarat bahwa terdapat nektar pada lokasi tersebut. Ketertarikan kupu-kupu pada tumbuhan selain karena kemampuanya untuk mengenali tumbuhan dengan beberapa indra juga dikarenakan adanya interaksi yang dilakukan tumbuhan itu sendiri. Hal ini dilakukan tumbuhan untuk menarik serangga agar mendekat. Tumbuhan dapat menarik kehadiran serangga termasuk juga kupu-kupu dengan warna pada bunga, aroma dan betuk bunga. Warna-warna yang cerah dapat menarik perhatian kupu-kupu agar mendekat, selain itu aroma khas pada bunga maupun tumbuhan serta bentuknya. Hubungan antara bunga dengan kupu-kupu ini antara lain disebabkan oleh atraktan. Atraktan berupa serbuk sari dan bakal madu atau nektar merupakan sumber nutrisi yang digunakan kupu-kupu untuk makanannya sehingga kupukupu dapat melangsungkan kehidupanya.Lethe confuse Aurivillius memiliki lebih dari satu tumbuhan pakan dan dapat hinggap pada banyak tumbuhan. Beberapa spesies kupukupu merupakan polifagus dimana dapat makan lebih dari satu jenis nectar pada tumbuhan, namun Lethe confuse Aurivillius belum diketahui secara pasti merupakan
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
spesies kupu-kupu polifagus, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Beberapa bunga yang ditemukan di Wisata Air Terjun Coban Rais menjadi preferensi bagi beberapa spesies kupu-kupu dari familia Nymphalidae dan Lycaenidae. Ageratum conyzoides L., Bidens pilosa L, Eupatorium inulifolium Kunth, dan Stachytarpeta indica (L). merupakan tumbuhan preferensi yang digunakan sebagai pakan bagi kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae. Keempat tumbuhan ini memiliki bau yang khas yang dapat menarik perhatian kupu-kupu. Stachytarpeta indica (L) Vahl. mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, saponin, triterpenoid, akirantin, dan lain-lain. Terpenoid dalam tumbuhan antara lain berupa minyak atsiri yang menyebabkan bau yang khas pada tumbuhan (Utami,2012). Ageratum conyzoides L., Bidens pilosa L., dan Eupatorium inulifolium Kunth. juga mengandung minyak atsiri yang memberikan aroma yang khas yang mampu menarik perhatian kupu-kupu. Miyak atsiri yang memberikan aroma dalam tumbuhan terletak pada lokasi yang berbeda-beda pada tumbuhan.Menurut Gunawan & Mulyani (2004) minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ, seperti didalam rambut kelenjar (pada famili Labiatae), di dalam selsel parenkim (misalnya famili Piperaceae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada famili Pinaceae dan Rutaceae). Minyak atsiri dapat terbentuk secara langsung oleh protoplasma akibat adanya peruraian lapisan resin dari dinding sel atau oleh hidrolisis dari glikosida tertentu. Tumbuhan yang digunakan untuk tempat hinggap antara lain Eupatorium inulifolium Kunth, Eupatorium riparium Regel, dan Imperata cylindrica L. Mirin (1997) mengemukakan bahwa Ageratum conyzoides L (babadotan), Eupatorium inulifolium Kunth (tumbuhan siam), Imperata cylindrica L.
(alang-alang), dan Cyperus rotundus (teki) mengandung senyawa kimia seperti minyak atsiri, sineol, dan alkaloid, sehingga berdasarkan aroma warna bunga dan bentuk yang sesuai dengan proboscis yang dimiliki kupu-kupu juga berpengaruh terhadap ketertarikan kupu-kupu terhadap tumbuhan. Bunga-bunga berwarna cerah (putih, violet, dan kuning) mampu ditangkap dan direspon oleh indra kupu-kupu. Keberadaan kupu-kupu familia Nymphalidae dan Lycaenidae pada Wisata Air Terjun selain dipengaruhi oleh tumbuhan juga dipengaruhi oleh faktor abiotik. Faktor abiotik yang sesuai dengan habitat hidup kupu-kupu akan menunjang keberadaan kupu. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata suhu pada Wisata Air Terjun Coban Rais sebesar 26,20 C dengan rentangan 220 C - 290 C, intensitas cahaya 418,2 x 100, dan kelembaban sebesar 61,6 %. Menurut Amir dkk., (2002) kupu-kupu beraktifitas pada kelembaban udara sedang sekitar 60% dan suhu udara yang hangat sekitar 300 C serta cukup sinar matahari. Simpulan Macam spesies kupu-kupu dari familia Nymphalidae dan Lycaenidae di Wisata Air Terjun Coban Rais antara lain Lethe confuse, Neptis hylas, Ypthima philomela, Ypthima pandacus, Mycalesis horsfieldi, Zizinia otis, Ariadne ariadne, Heliophorus epicles, Polyura hebe, Mycalesis sudra, Hypolimnas bolina, dan Acraea issoria. Tumbuhan yang menjadi preferensi kupu-kupu dari familia Nymphalidaedan Lycaenidae di Wisata Air Terjun Coban Rais antara lain Ageratum conyzoides, Bidens pilosa, Chromolaena odorata, Athyrium sp, Laportea canadensis, Stachytarpeta indica, Ageratina riparia, Colocasia giganteum, Mimosa pudica, Imperata cylindrica, Tithiolia difersifolia, Brugmansia suaveolens, dan Melastoma malabathricum. Dari beberapa tumbuhan tersebut yang sering digunakan sebagai tempat
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 827
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
hinggap adalah Chromolaena odorata, Ageratina riparia, dan Imperata cylindrica. Tumbuhan yang digunakan sebagai pakan Ageratum conyzoides, Bidens pilosa, Chromolaena odorata, Melastoma malabathricum, dan Stachytarpeta indica. Daftar Rujukan Atkins, M.D. 1980. Introduction to Insect Behavior. Macmillan Publishing Co. London 273.pp Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis pada Kawasan Konservasi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Dendang, Benyamin. 2009. Keragaman KupuKupu di Resort Selabintana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. VI (1): 25-36. Gombert, L.L., Hamilton, H.L., & Coe, Mindi. 2005. Butterfly Gardening. Tenessee: University of Tenessee Extension. Orr, Albert & Kitching, Roger. 2010. The Butterflies of Australia. Australia: Jacana Book. Peggie D & Amier M. 2006.Panduan Praktis Kupu-Kupu di Kebun Raya Bogor. Bogor : Puslitbang Biologi LIPI Peggie, Djunijanti. 2008. Kupu-Kupu, Keunikan Tiada Tara, (Online), (http://biologi.lipi.go.id/bio_indonesia/m Template.php?h=3&id_berita=32, diakses 28 April 2014
828 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Perhutani, 2012.Wana Wisata Sumber Darmi. (http://www.perumperhutani.com/) (Online), diakses tanggal 2 Januari 2014. Shalihah, A., Pamula, G.,Cindy, R., Rizkawati, W., Anwar, Z.I. 2012. KupuKupu Di Kampus Universitas Padjajaran Jatinangor. HMDP Unpad. Sodiq, M. 2009. Ketahanan Tanaman Terhadap Hama.Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Pertanian. Soekardi, H. 2007. Kupu-Kupu Di Kampus Unila. Lampung: Penerbit Universitas Lampung. Tsukada, E. 1982.Butterfly of The South East Asian Islands, part 4: Nymphalidae (I). Plapac Co.,Ltd. Japan. __________. 1991. Butterflies of The South East Asian Islands, part 5: Nymphalidae (II). Azumino Butterflies Research Institute. Japan. Utami, E. N. 2012. Komunitas Kupu-Kupu (Bangsa Lepidoptera: PapilionoIdea) Di kampus Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Departemen BiologiUniversitas Indonesia. Van Stenis, C.EG. J. 1972. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Diterjemahkan oleh Moeso Surjowinoto. Pradnya Paramitha. Jakarta. Wigglesworth, V.R. 1972. The Principle of Insect Physiology.English Language Book Society and Chapman and Hall. London. 872 pp.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
IDENTIFIKASI SENYAWA KANDIDAT INHIBITOR PROTEIN ROCK2 MENGGUNAKAN METODE PENAPISAN SENYAWA SECARA VIRTUAL BERLAPIS GANDA Mochammad Ichsan1,2,3*, Didik Huswo Utomo2, Jayarani Fatimah2, Widodo2,3 Program Magister Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang 2 Indonesian Institute of Bioinformatics, Malang 3 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang Jl. Veteran Malang, E-mail:
[email protected];
[email protected]. 1
Abstrak Jalur persinyalan seluler yang melibatkan protein ROCK2 diyakini sebagai salah satu intrumen penting dalam regulasi homeostasis antara subset sel T regulator dan subset sel T proinflamasi pada manusia1.Ilmuwan meyakini bahwa hambatan yang diberikan terhadap aktivitas protein ROCK2dapat menyembuhkan penyakit autoimun yang disebabkan oleh gangguan homeostasis sistem imun1. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk menemukan senyawa kandidat inhibitoraktivitas ROCK2 yang memiliki domain dan pola pengikatan yang sama dengan senyawa KD025yang telah diketahui memiliki aktivitas inhibisi terhadap ROCK2. Struktur 3D protein ROCK2 didapatkan protein data bank (PDB ID:4L6Q)2 dan kemudian strukturnya diperbaiki sebanyak 11 kali menggunakan KOBAMIN3hingga jumlah residu asam amino yang terletak pada most favoured region-nyamencapai 98,4% berdasarkan Ramachandran plot yang terintegrasi dalam web server RAMPAGE4. Selanjutnya, struktur 3D ROCK2 digunakan sebagai reseptor dalamstructure-based virtual screening (SBVS) pertama menggunakan web server FINDSITECOMB5. 9 senyawa tertinggi dari proses ini digunakan sebagai ligan pada SBVS kedua menggunakan software PyRx 0,86 dengan senyawa KD-025 sebagai kontrol1. Interaksi antara senyawa inhibitor dengan reseptor ROCK2 divisualisasikan serta dianalisis menggunakan PyMol7 dan LigPlus8. Berdasarkan afinitas pengikatan serta hasil analisis interaksi menggunakan LigPlus disimpulkan bahwa senyawa Rapamycin (-10,1 kcal/mol) memiliki potensi untuk digunakan sebagai kandidat inhibitor aktivitas protein ROCK2 karena relatif memiliki kemiripanpola interaksi terhadap protein ROCK2 dengan senyawa KD0251,6,8, fasudil9, dan benzoxaborole10, khususnya dalam hal pengikatan terhadap 5 residu asam amino terpenting, yaitu Ile98, Val106, Leu221, Asp232, dan Phe384. Kata kunci: Benzoxaborole, fasudil, Rapamycin, inhibitor ROCK2, penapisan senyawa secara virtual berlapis ganda
Pendahuluan Jalur persinyalan seluler yang melibatkan protein ROCK2 diyakini sebagai salah satu intrumen penting dalam regulasi homeostasis antara subset sel T regulator dan subset sel T proinflamasi pada manusia1. Ilmuwan meyakini bahwa hambatan yang diberikan terhadap aktivitas protein ROCK2 dapat
menyembuhkan penyakit autoimun yang disebabkan oleh gangguan homeostasis sistem imun1. Hingga saat ini, peneliti telah berhasil mengidentifikasi tiga senyawa inhibitor protein ROCK2, yaitu: KD-025, fasudil9, dan benzoxaborole10. Menurut Zanin-Zhorov et al., (2014), hambatan yang diberikan kepada protein
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 829
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
ROCK2 tidak akan berdampak pada protein ROCK1. Di sisi lain, hambatan terhadap ROCK2 oleh senyawa KD-025 akan menurunkan laju fosforilasi pada protein STAT3, level interferon regulatory factor 4 (IRF4), dan level steroid receptor-type nuclear receptor RORgt pada sel T yang berasal dari pasien rheumatoid arthritis (RA) maupun dari non-pasien (sehat). Selain itu, hambatan yang diberikan terhadap protein ROCK2 secara simultan akan menginduksi fosforilasi pada protein STAT5 dan protein SMAD2/3. Mekanisme ini selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peningkatan persentase sel T Foxp3+. Oleh karena itulah, hambatan terhadap protein ROCK2 sebagaimana yang dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa KD-025 diaggap memiliki potensi untuk digunakan sebagai alternatif pengobatan untuk penyakit autoimun yang disertai dengan gangguan homeostasis sistem imun1. Selain untuk beberapa tujuan di atas, protein ROCK2 juga dapat digunakan sebagai salah satu target pengobatan yang spesifik pada beberapa penyakit neurodegeneratif. Selain itu, hambatan yang diberikan pada protein ROCK2 dapat menyebabkan terjadinya degenerasi akson, apoptosis, dan autofagi12. Penelitian ini ditujukan untuk menemukan senyawa kandidat inhibitor aktivitas ROCK2 yang memiliki pola interaksi yang sama dengan ketiga senyawa inhibitor protein ROCK2 yang telah diketahui (KD025, fasudil, dan benzoxaborole). Metode Penelitian Struktur 3D protein ROCK2 didapatkan dari protein data bank (PDB ID 4L6Q). Kualitas struktur 3 dimensi yang diperoleh dari database protein data bank kemudian dianalisis menggunakan Ramachandran plot yang terintegrasi di dalam web server RAMPAGE. Apabila number of residues in favoured regions dari struktur 3D yang bersangkutan masih berada di bawah 98%,
830 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
maka struktur 3D protein ROCK2 diperbaiki strukturnya menggunakan web server KOBAMIN. Kualitas struktur 3D protein ROCK2 pasca mengalami perbaikan (web server KOBAMIN) dianalisis kembali menggunakan Ramachandran plotyang terintegrasi pada web server RAMPAGE.Proses perbaikan struktur semacam ini dilakukan beberapa kali hingga target >98% pada number of residues in favoured region tercapai. Selanjutnya, struktur 3D protein ROCK2 (pasca protein structure refinement) digunakan sebagai reseptor dalam first layer of structure-based virtual screening terhadap database NCI (The National Cancer Institute) menggunakan web server FINDSITECOMB.9 senyawa dengan effective TC score tertinggi dari proses ini kemudian digunakan kembali sebagai ligan dalam second layer of structure-based virtual screening menggunakan software PyRx 0,8 dengan koordinat grid maximize(x=-0,3263 y=0,0412 z=-26,8851). Komplek docking antara tiap-tiap senyawa dengan protein ROCK2 (sebagai reseptor) kemudian dianalisis dan divisualisasi menggunakan software PyMol (for education only) dan software LigPlus. Hasil dan Pembahasan Koleksi struktur 3D protein ROCK2 dari Protein Data Bank Berdasarkan informasi tentang struktur 3D protein ROCK2 (human) yang telah disimpan dan disajikan di dalam protein data bank, maka 3L6Q adalah satu-satunya struktur 3D protein ROCK2 yang juga disajikan di dalam database UniProt. 4L6Q merupakan struktur 3D komplek protein ROCK2 dalam bentuk dimer (chain A dan B) yang berikatan dengan senyawa inhibitor ROCK, benzoxaborole, yang diperoleh melalui metode X-ray dengan resolusi sebesar 2,79 Å. Pada hakikatnya, 4L6Q hanya merepresentasikan residu asam amino nomor 19-417 dari total 1388 residu asam amino
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
yang dimiliki oleh protein ROCK2. Meskipun 4L6Q hanya mampu merepresentasikan sebagian kecil area pada protein ROCK2, namun 4L6Q telah merepresentasikan beberapa domain dan region penting yang diperlukan oleh protein ROCK2 dalam menjalankan fungsinya, diantaranya: (1) domain protein kinase yang terdiri atas beberapa residu asam amino dari urutan ke-92 hingga ke-354 (263 residu asam amino) berdasarkan anotasi PROSITE-ProRule, dan (2) sebagian besar dari domain AGC-kinase C-terminal yang terdiri atas beberapa residu
asam amino dari urutan ke-357 hingga ke-425 (69 residu asam amino)(UniProt, 2014). Protein structure refinement menggunakan web server KOBAMIN Berdasarkan analisis kualitas struktur 3D protein ROCK2 yang dilakukan dengan menggunakan web server RAMPAGE sebelum dan sesudah dilakukan 12 kali proses perbaikan struktur menggunakan web server KOBAMIN didapatkan hasil sebagaimana disajikan pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Hasil analisis kualitas struktur 3D protein ROCK2 menggunakan web server RAMPAGE Number of residues in favoured in allowed regions in outlier regions regions 4L6Q 0 ref 357 (93,0%) 23 (6%) 4 (1%) 4L6Q1 ref 377 (97,7%) 7 (1,8%) 2 (0,5%) 4L6Q2 ref 377 (97,7%) 5 (1,3%) 4 (1%) 4L6Q3 ref 378 (97,9%) 4 (1%) 4 (1%) 4L6Q4 ref 377 (97,7%) 5 (1,3%) 4 (1%) 4L6Q5 ref 376 (97,4%) 6 (1,6%) 4 (1%) 4L6Q6 ref 377 (97,7%) 5 (1,3%) 4 (1%) 4L6Q7 ref 379 (98,2%) 3 (0,8%) 4 (1%) 4L6Q8 ref 379 (98,2%) 3 (0,8%) 4 (1%) 4L6Q9 ref 379 (98,2%) 3 (0,8%) 4 (1%) 4L6Q10 ref 380 (98,4%) 2 (0,5%) 4 (1%) 4L6Q11* ref 380 (98,4%) 2 (0,5%) 4 (1%) 4L6Q12 ref 378 (97,8%) 5 (1,3%) 3 (0,8%) Keterangan:struktur 3D protein ROCK2 dengan tanda (*) digunakan sebagai reseptor dalam analisis selanjutnya (first dan second layer of structure-based virtual screening) Refinement
First layer of Structure-based virtual screening Berdasarkan proses structure-based virtual screening pertama yang dilakukan
terhadap database senyawa kimia NCI dengan reseptor protein ROCK2 (4L6Q 11*ref) maka hasil yang didapatkan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil First layer structure-based virtual screening menggunakan web server FINDSITECOMB
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 831
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ID Senyawa dari database NCI Rock inhibitor/kontrol NSC_407285 NSC_705701 NSC_697286 NSC_226080 NSC_622947 NSC_627609 NSC_344022 NSC_257450 NSC_673433
Second layer of Structure-based virtual screening Berdasarkan proses structure-based virtual screening keduayang dilakukan terhadap 9 senyawa yang didapatkan dari database NCI dengan effective TC score tertinggi (tabel 2; selain hamalol
Nama Senyawa KD-025 Harmaline Alsterpaullone LY294002 Rapamycin Emodin Wortmannin Caterarin Dermocybin SID515252
Effective TC score 0.923764 0.925221 0.919677 0.915191 0.915005 0.913024 0.908406 0.901990 0.901692
hydrochloride, imanitib mesylate, staurosporine, NSC_702827, kenpaullone, NSC_029844, NSC_091546, NSC_075890, dan NSC_072293) dengan reseptor protein ROCK2 (4L6Q 11*ref) didapatkan hasil sebagaimana disajikan pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Hasil Second layer structure-based virtual screening menggunakan software PyRx 0,8 No. ID Senyawa dari database NCI Nama Senyawa Binding afinity 0 ROCK2 inhibitor/kontrol KD-025 -10,4 1 NSC_226080 Rapamycin (904,24) -10,1 2 NSC_673433 SID515252 (458,14) -8,9 3 NSC_705701 Alsterpaullone (494,54) -8,6 4 NSC_697286 LY294002 (350,06) -8,8 5 NSC_627609 Wortmannin (627,18) -8,4 6 NSC_622947 Emodin (145,56) -8,1 7 NSC_344022 Caterarin (160,50) -8,1 8 NSC_257450 Dermocybin (191,87) -7,9 9 NSC_407285 Harmaline (361,28) -7,1
832 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
(a)
(d)
(b)
(e)
(c) (f) Gambar 1. Visualisasi dan analisis interaksi antara protein ROCK2 dengan senyawa inhibitor dan kandidat senyawa inhibitor Pada Gambar 1 menunjukkan visualisasi dan analisis interkais antar protein ROCK2 dengan senyawa inhibitor dan kandidiat senyawa inhibitor dengan keterangan sebagai berikut (a)Visualisasiinteraksi software PyMol
dalam tampilan cartoon menggunakan software PyMol antara protein ROCK2 (hijau) dengan senyawa inhibitor ROCK2 (KD-025; merah), (b) visualisasiinteraksi dalam tampilan surface menggunakan software
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 833
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
PyMol antara protein ROCK2 (hijau) dengan senyawa inhibitor ROCK2 (KD-025; merah), (c) visualisasiinteraksi dalam bentuk 2Dmenggunakan software LigPlus antara protein ROCK2 (hijau) dengan senyawa inhibitor ROCK2 (KD-025; merah), (d) visualisasiinteraksi software PyMol dalam tampilan cartoon menggunakan software PyMol antara protein ROCK2 (hijau) dengan senyawa kandidat inhibitor ROCK2 (rapamycin; merah), (e) visualisasiinteraksi dalam tampilan surface menggunakan software PyMol antara protein ROCK2 (hijau) dengan senyawa kandidat inhibitor ROCK2 (rapamycin; merah), (f) visualisasiinteraksi dalam bentuk 2Dmenggunakansoftware LigPlus antara protein ROCK2 (hijau) dengan senyawa kandidat inhibitor ROCK2 (rapamycin; merah).
Sebelumnya, rapamycin dikenal sebagai senyawa inhibitor yang secara selektif mampu menghambat jalur persinyalan mTORC11. Rapamycin mampu mengikat secara langsung pada domain tertentu pada enzim mammalian target of rapamycin (mTOR)yang mana posisi domain ini terpisah dari sisi katalitiknya sehingga dengan terikatnya rapamycin pada salah satu domain mTOR akan berakibat pada terhambatnya beberapa fungsi downstreamenzim mTOR (Ballou dan Lin, 2008). Namun, berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini diketahui bahwa rapamycin terlibat dalam mekanisme lain, selain dengan mengikat secara langsung pada salah satu domain protein mTOR, yaitu dengan mengikat protein ROCK2.
(a) (b) Gambar 2. Struktur 2D (a) senyawa inhibitor protein ROCK2 (KD-025), dan senyawa kandidat inhibitor protein ROCK2 (rapamycin)(PubMed, 2014). Berdasarkan hasil analisis menggunakan software LigPlus diketahui bahwa interaksi intermolekuler yang terjadi antara protein ROCK2 dengan senyawa Rock inhibitor (KD025; gambar 2.a) melibatkan beberapa residu
834 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
asam amino penting, diantaranya: Ile98, Val106, Asp176, Leu221, Asp232, dan Phe384 (gambar 1a, b, dan c). Beberapa residu asam amino tersebut terlibat aktif dalam interaksi intermolekuler khususnya pada lima
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
komplek protein-ligan (mode 0, 1, 2, 3, dan 4) hasil docking antara protein ROCK2 dengan senyawa KD-025 (lampiran 1) meskipun di antara kelima komplek tersebut terdapat variasi terkait detail interaksi yang terbentuk khususnya pada residu asam amino Asp176. Pada komplek interaksi antara protein ROCK2 dengan senyawa KD-025 mode 0 (binding affinity = -10,4 kcal/mol), dan mode 4 (binding affinity = -9,8 kcal/mol), residu asam amino berinteraksi dengan senyawa KD-025 melalui ikatan hidrogen serta interaksi hidrofobik sedangkan pada mode 1 (binding affinity = -10,2 kcal/mol), 2 (binding affinity = -10,2 kcal/mol), dan 3 (binding affinity = -10,1 kcal/mol), residu asam amino Asp176 hanya berinteraksi dengan senyawa KD-025 melalui interaksi hidrofobik (lampiran 1). Berkaitan dengan fakta di atas, pola interaksi antara rapamycin (gambar 2.b) dengan protein ROCK2 relatif telah sesuai dengan pola interaksi yang ada pada komplek interaksi antara senyawa KD-025 dengan protein ROCK2 (mode 0, 1, 2, 3, dan 4), khususnya berkaitan dengan keterlibatan enam residu asam amino di atas (Ile98, Val106, Asp176, Leu221, Asp232, dan Phe384; lampiran 1). Hasil prediksi ini semakin diperkuat dengan fakta terkait pola interaksi antara senyawa inhibitor protein ROCK2 lainnya seperti Benzoxaborole (PDB ID = 4L6Q) dan Fasudil (PDB ID = 2F2U)yang juga mengikat protein ROCK2 melalui residu asam amino Ile98, Leu221, Asp232, dan Phe384 (lampiran 1). Selain 6 residu asam amino di atas, tiga residu asam amino lain juga diketahui keterlibatannya di dalam 4 komplek protein ROCK2 dengan senyawa KD-025 berdasarkan hasil virtual screening menggunakan software PyRx 0,8, yaitu: Ala119, Met169, dan Gly175 (mode 0, 1, 2, 3, dan 4) (lampiran 1). Berkaitan dengan fakta tentang tiga residu di atas, pola interaksi yang dimiliki oleh senyawa rapamycin terhadap protein ROCK2, khususnya melalui residu asam amino Ala119 relatif sama dengan pola interaksi tiga
senyawa inhibitor protein ROCK2 lainnya, yaitu KD-025 (mode 0, 2, 3, dan 4), Benzoxaborole, dan Fasudil(lampiran 1). Pola yang sama juga dapat ditemukan pada interaksi antara residu asam amino Met169 dengan ketiga senyawa inhibitor protein ROCK2 tersebut. Secara lebih spesifik, interaksi antara residu asam amino Met169 dengan KD-025 dapat ditemukan pada komplek interaksi antara protein ROCK2 dengan KD-025, khususnya mode 0, 1, 2, dan 4 (lampiran 1). Berbeda dengan dua residu asam amino lainnya, interaksi antar residu asam amino Gly175 relatif tidak terbentuk pada komplek interaksi antara rapamycin dengan protein ROCK2. Dalam hal ini, interaksi yang sama juga tidak ditemukan pada komplek interaksi antara protein ROCK2 dengan Benzoxaborole maupun dengan Fasudil(lampiran 1). Beberapa residu lain seperti Gly99, Gly101, Lys121, Met172, Asp218, dan Asn219 juga memiliki peran dalam interaksi antara protein ROCK2 dengan senyawa KD0256,8. Interaksi hidrofobik antara senyawa rapamycin, KD-025 (mode 2,3, dan 4) dengan residu asam amino Gly99 juga terbentuk pada komplek interaksi antara senyawa fasudil dengan residu asam amino yang sama. Pola sama (interaksi hidrofobik) juga dibentuk oleh senyawa fasudil, rapamycin, dan KD-025 (mode 0, 1, dan 3) terhadap residu asam amino Gly101. Berbeda dengan dua senyawa inhibitor protein ROCK2 di atas (KD-025 dan fasudil), benzoxaborole relatif tidak melakukan interaksi dengan residu asam amino Gly99 dan Gly101 (lampiran 1). Terkait residu asam amino Lys121, senyawa inhibitor yang membentuk interaksi hidrofobik hanya senyawa KD-025 (mode 0, 1, dan 3) serta rapamycin. Selanjutnya, senyawa KD025 (mode 2, 3, dan 4), benzoxaborole, fasudil, dan rapamycin sama-sama memiliki interaksi dengan residu asam amino Met172, khsusnya melalui interaksi hidrofobik. Khusus untuk senyawa inhibitor protein ROCK2, yaitu
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 835
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
benzoxaborole dan fasudil, keduanya tidak hanya menggunakan interaksi hidrofobik terhadap residu asam amino Met172 tetapi juga melibatkan ikatan hidrogen (lampiran 1). Dua residu asam amino, yaitu Asp218 dan Asn219, juga berinteraksi dengan senyawa fasudil dan rapamycin melalui interaksi hidrofobik. Selain itu, senyawa benzoxaborole dan KD-025 (mode 1, 2, dan 4) juga berinteraksi dengan residu asam amino Asp218 dan Asn219 melalui interaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen dengan residu asam amino Asn219 (KD-025 mode 2 dan 4). Pada penelitian ini, selain 9 senyawa dengan effective TC score tertinggi sebagaimana yang telah disajikan pada tabel 2, ada beberapa senyawa lain yang juga memiliki effective TC score berdasarkan hasil structurebased virtual screening pertama (menggunakan web server FINDSITECOMB) namun tidak digunakan sebagai ligan pada analisis selanjutnya (second of SBVS) dikarenakan permasalahan yang sifatnya teknis. Sehingga, kedepannya nanti, senyawasenyawa semacam ini harus dianalisis juga potensinya sebagai kandidat inhibitor protein ROCK2 mengikat senyawa-senyawa ini telah terbukti memiliki effective TC score berdasarkan hasil SBVS yang pertama. Senyawa-senyawa yang termasuk dalam golongan ini seperti: hamalol hydrochloride, imanitib mesylate, staurosporine, kenpaullone, NSC_702827, NSC_029844, NSC_091546, NSC_075890, dan NSC_072293). Beberapa senyawa di atas tidak dianalisis lebih lanjut pada penelitian ini dikarenakan beberapa faktor teknis seperti adanya missing atom, dan beberapa lainnya tidak dapat ditemukan keberadaan struktur 3 dimensinya pada database NCI karena saat ini database NCI sedang mengalami perbaikan. Simpulan Berkaitan dengan beberapa fakta di atas, rapamycin merupakan senyawa dengan pola interaksi terhadap protein ROCK2 yang relatif
836 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
mirip dengan pola interaksi antara protein ROCK2 dengan beberapa senyawa inhibitornya, yaitu senyawa KD-0251, fasudil9, dan benzoxaborole10, khususnya pada 6 residu asam amino yang telah disebutkan di atas (Ile98, Val106, Asp176, Leu221, Asp232, dan Phe384)6,8. Daftar Rujukan Zanin-Zhorov, A., Mo, R, Scher, J., Nyuydzefe, M., Weiss, J., Schueller, O., Weiss, S., Poyurovsky, M., Dustin, M., Abramson, S., and Waksa, S. 2014. Selective ROCK2 inhibitor down-regulates proinflammatory T cell responses via shifting Th17/Treg balance (IRM6P.711). J Immuno. 192:63.3. Biasini, M., Bienert, S., Waterhouse, A., Arnold, K., Studer, G., Schmidt, T., Kiefer, F., Cassarino, T. Z., Bertoni, M., Bordoli, M., Schwede, T. 2014. SWISS-MODEL: modelling protein tertiary and quaternary structure using evolutionary information. Nucleic Acids Research; doi: 10.1093/nar/gku340 Rodrigues J, Levitt M, Chopra G. KoBaMIN: A Knowledge Based MINimization Web Server for Protein Structure Refinement. NAR (2012) vol. 40 W323-8 Lovell, S. C., Davis, I. W., Arendall III, W. B., de Bakker, P. I. W., Word, J. M., Prisant, M. G., Richardson, J. S., dan Richardson, D. C.2002. Structure validation by Ca geometry: f/y and Cb deviation. Proteins: Structure, Function & Genetics. 50: 437-450. Zhou, H., dan Skolnick, J. FINDSITECOMB: A threading/structure-based, proteomic-scale virtual ligand screening approach. Journal of Chemical Information and Modeling, in press.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Wolf, L. K. 2009. New software and Websites for the Chemical Enterprise, Chemical & Engineering News 87, 31. The PyMOL Molecular Graphics System, Version 1.5.0.4 Schrödinger, LLC. Laskowski, R. A., Swindells, M. B. 2011. LigPlot+: multiple ligand-protein interaction diagrams for drug discovery. J. Chem. Inf. Model., 51, 2778-2786. Yamaguchi, H., Kasa, M., Amano, M., Kaibuchi, K., dan Hakoshima, T. 2006. Molecular mechanism for the regulation of Rho-kinase by dimerization and its inhibition by fasudil. Structure, Volume 14, Issue 3, 589–600. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.str .2005.11.024. Akama, T., Dong, C., Virtucio, C., Sullivan, D., Zhou, Y., Zhang, Y. K., Rock, F., Freund, Y., Liu, L., Bu, W., Wu, A., Fan, X. Q., dan Jarnagin, K. 2013. Linking phenotype to kinase: identification of a novel benzoxaborole hinge-binidng motif for kinase inhibition and development of high-potencyrho kinase inhibitors. JPET. Decembervol. 347no.3. 615625.DOI:10.1124/jpet.113.207662. Shu, J., dan Houghton, P. J. 2009. The mTORC2 Complex Regulates Terminal Differentiation of C2C12 Myoblasts. Mol Cell Biol. Sep 2009; 29(17): 4691– 4700.doi: 10.1128/MCB.00764-09. Koch, J. C., Tonges, L., Barski, E., Michel, U., Bahr, M., dan Lingor, P. 2013. ROCK2 is a major regulator of axonal degeneration, neuronal death and axonal regeneration in the CNS.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 837
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
BIOKOMUNIKASI TUMBUHAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) M. Wildan Zul Auzan, M. Zufikar, Sodri, Hendro Kusumo EPM
Abstrak Biokomunikasi merupakan salah satu bentuk persepsi mahluk hidup terhadap stimulus dengan memberikan respon seperti perubahan tegangan, suara atau biokimia.Salah satu makhluk hidup yang mempunyai kemampuan biokomunikasi yang unik adalah tumbuhan seperti putri malu (Mimosa pudica).Secara umum, respon tumbuhan terbagi menjadi menjadi dua yaitu yang dapat diamati seperti gerakan dan yang tidak dapat diamati seperti tegangan atau suara.Respon yang menarik dan unik tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) tidak dapat diamati seperti respon suara tumbuhan ketika mendapatkan rangsang.Tujuan penelitian ingin mengetahui respon suara tumbuhan putri malu sebagai bentuk biokomunikasi. Penelitian dilakukan dengan memperbandingkan respon suara tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) yang diberikan stimulus dan tidak. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat ukur Voltage Frequence Converter (VFC) sedangkan analisis data menggunakan multimeter dan bantuan software Sound Forge 6.0. Hasil penelitian menunjukkan biokomunikasi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) melalui respon frekuensimengalami perubahan ketika diberikan stimulus berupa sentuhan.Respon paling aktif terjadi pada bagian petiolus. Kata kunci: Biokomunikasi, Mimosa pudica
Pendahuluan Makhluk hidup merupakan organisme yang mempunyai kompleksitas dalam memberikan respon ketika menerima suatu rangsang. Secara umum, respon makhluk hidup dapat terbagi menjadi dua jenis yaitu respon bersifat partikel yaitu yang dapat diamati dan respon bersifat gelombang yaitu respon tidak dapat diamati yang berfungsi untuk adaptasi, perlindungan diri dan bertahan hidup. Salah satu mahkluk hidup yang mempunyai kompleksitas respon ketika menerima rangsang adalah tumbuhan. Berbicara tentang respon tumbuhan ketika menerima suatu rangsan maka tidak lepas dari kajian mengenai biokomunikasi. Biokomunikasi merupakan sebuah kompleksitas respon tumbuhan ketika menerima sebuah stimulus atau rangsang sebagai bentuk komunikasi, interaksi
838 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
tumbuhan dengan tumbuhan, makhluk hidup lain bahkan lingkungan. Baecker (1968) memberikan penjelasan mengenai biokomunikasi sebagai relasi respon antara yang dapat diamati seperti gerakan dengan yang tidak dapat diamati seperti perubahan biokimia ataupun tegangan. Salah satu tumbuhan yang mempunyai relasi respon yang dapat diamati dengan yang tidak dapat diamati sebagai kompleksitas biokomunikasi adalah tumbuhan putri malu (Mimosa pudica). Respon yang dapat diamati adalah gerakan elastis daun, pulvinus ketika terkena stimulus berupa sentuhan.Adanya respon berupa gerakan berarti mengindikasikan adanya perubahan respon elektrisitas atau bunyi tumbuhan yang tidak dapat diamati pada tumbuhan putri malu. Volkov (2010) bahwa putri malu mempunyai tiga macam respon yaitu gerakan,
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
elektisitas dan biokimia ketika mendapatkan sebuah stimulus.Adanya perubahan elektrisitas dan biokimia suatu tumbuhan berkaitan dengan perubahan frekuensi atau bunyi.Penelitian yang dilakukan oleh volkov pada respon yang tidak dapat diamati terbatas pada tegangan (elektrisitas).Keterbatasan pemahaman masyarakat terhadap respon tumbuhan secara partikel dan penelitian Volkov (2010) membuka peluang untuk meneliti jenis respon yang tidak dapat diamati yaitu respon bunyi tumbuhan putri malu. Tumbuhan mengeluarkan respon dengan sinyal-sinyal kimia atau sinyal listrik sebagai mekanisme pertahanan, hanya saja tidak mudah diketahui karena sifat pasif dari tumbuhan tersebut mudah karena tumbuhan mempunyai keunikan sifat adaptasi untuk bertahan hidup dan “stasioner” atau tidak dapat berpindah atas kehendak sendiri. Istilah “stasioner” membelenggu pemahaman mengenai respon tanaman sehingga masyarakat mengetahui bahwa respon tanaman ketika mendapat rangsang terbatas pada sistem indra visual, seperti tanaman layu yang menandakan respon mati, tanaman bertambah tinggi sebagai respon pertumbuhan. Penelitian sebelum Volkov, kajian pertama mengenai respon atau komunikasi tumbuhan telah dilakukan pada tahun 1983, mendemonstrasikan bahwa pohon willow, poplar, dan sugar maple saling memperingati satu sama lain tentang serangan serangga melalui sinyal-sinyal kimiawi, dan pohonpohon sekitar yang belum rusak akan mulai “mengeluarkan kimia penangkal serangga untuk menangkis serangan itu” (How Plants Secretly Talk to Each Other, Wired, 20 Des. 2013). Hal ini disetujui oleh Martin Heil pakar ekologi Lembaga Riset Meksiko Cinvestav Irapuato, “tumbuhan tomat mengeluarkan volatile saat dirusak oleh herbivora adalah suatu yang pasti dalam sains”.Pengeksploran komunikasi dari tumbuhan juga dilakukan oleh Ted Farmer, salah satu peneliti pelopor studi sinyal tumbuhan dari University of
Lausanne Swiss.Farmer menemukan “tumbuhan mengirimkan informasi melalui sinyal listrik dan system sinyal berbasis tegangan untuk menakuti dan memperingati system saraf pada hewan”. Pemilihan tumbuhan puteri malu (Mimosa pudica) sebagai objek penelitian merupakan salah satu faktor yang mempermudah penelitian karena tumbuhan ini bersifat responsif ketika diberikan stimuli.Sedangkan respon bunyi tumbuhan putri malu dipilih karena selama ini belum dikaji dan untuk memberikan gagasan bahwa tanaman mampu berkomunikasi menggunakan bunyi sebagai bentuk respon terhadap stimulus. Kontribusi penelitian ini terhadap ilmu pengetahuan adalah kita dapat mengimplementasi-kan salah satu ciri dari makhuk hidup yaitu berkomunikasi yang selama ini memiliki kendala karena keterbatasan panca indera, penelitian ini juga dapat mempermudah dalam memahami bagaimana respon bunyi pada tumbuhan puteri malu (Mimosa pudica) sebagai bentuk komunikasi tumbuhan ketika diberi stimuli, selain itu respon bunyi dapat dijadikan sebagai penandatingkat kesuburan dan kesetresan dari tumbuhan, pemanfaatan bagi masyarakat adalah dengan mengimplementasikan pada tanaman yang lebih produktif untuk mencari perlakuan yang harus dipenuhi dan dihindari dalam bercocok tanam, sehingga dapat mengurangi penggunaan peptisida untuk menyuburkan tumbuhan yang dapat merugikan petani ataupun tumbuhan itu sendiri. Penelitian ini difokuskan pada respon bunyi tumbuhan puteri malu (Mimosa pudica) ketika diberikan stimuli, berdasarkan pernyataan dari penelitian sebelumnya dimana tumbuhan dapat mengirimkan sinyal berbasis tegangan maka dapat diketahui frekuensi tumbuhan puteri malu (Mimosa pudica) dengan menggunakan alat pengubah tegangan menjadi frekuensi yaitu Volt Frequence
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 839
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Converter (VFC). Berdasarkan latar belakang penelitian, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut apakah ada interaksi biokumunikasi antara tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) ketika salah satu dari tumbuhan diberikan perlakuan sentuhan Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perbandingan reaksi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Kedua, untuk mengetahui bagaimana biokomunikasi melalui respon bunyi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) ketika diberikan perlakuan, dan ketiga, untuk mengetahui adanya interaksi antara tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) ketika salah satu dari tumbuhan diberikan perlakuan. Dengan diketahuinya reaksi yang terjadi pada tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) diharapkan dapat dimanfaatkan dan diimplementasikan pada tumbuhan lain yang lebih produktif untuk mengetahui tingkat kesuburan dan kesetresan tumbuhan sehingga dapat dilakukan pencegahan ataupun perawatan untuk meningkatkan kualitas dari tumbuhan tersebut melalui biokomunikasi yaitu respon bunyi. Secara akademis manfaat penelitian dapat diuraikan berdasarkan ilmu pengetahuan. Untuk ilmu biologi memberikan penjelasan mengenai biokomunikasi tumbuhan sebagai sebuah bentuk relasi respon yang dapat diamati dengan yang tidak dapat diamati Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November – Desember 2014 yang di bagi menjadi tiga tahap yaitu persiapan, pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan hasil penelitian.Penelitian menggunakan metode eksperiman yaitu mengukur respon bunyi sebagai bentuk biokomunikasi tumbuhan putri malu yang diberikan stimulus dengan yang tidak.Respon bunyi putri malu dianalisa sesuai dengan
840 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
hipotesa yang dirumuskan (Sugiyono, 2011:66).Kriteria yang ditetapkan peneliti bahwa respon putrid malu ketika mendapatkan rangsang dapat diamati secara langsung dengan mengatupnya daun. Alat dalam penelitian ini meliputi: Alat ukur VFC (Voltage to Frequency Converter), Software Sound Forge 6.0 ®, Elektroda, Pinset, Pisau, Laptop. Bahan dalam penelitian ini meliputi:Tumbuhan putri malu, Pot atau polybag, Media tanam Disiapkan media tanam untuk menyimpan tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) dan diberi tanah untuk tempat penanaman.Tanam tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) sebanyak 2 batang dan ditunggu beberapa hari sampai tumbuhan dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Diukur kedua tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) sebelum diberi perlakuan menggunakan alat VFC dan dicatat hasilnya. Diuji salah satu tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) dengan diberi perlakuan /stimuli dan diukur frekuensinya serta bandingkan dengan frekuensi sebelum diberi perlakuan. Dilakukan pengujian kembali dan pengukuran juga dilakukan pada individu lainnya untuk membuktikan apakah ada interaksi yang terjadi Hasil dan Pembahasan Setelah dilakuakan penelitian Biokomunikasi pada tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, Gambar 4 , dan Gambar 5. Biokomunikasi merupakan salah satu bentuk persepsi mahkluk hidup terhadap stimulus dengan memberikan respon seperti perubahan tegangan, bunyi atau biokimia.Salah satu makhluk hidup yang mempunyai kemampuan biokomunikasi yang unik adalah tumbuhan seperti putri malu.Secara umum, respon tumbuhan terbagi menjadi menjadi dua yaitu yang dapat diamati seperti gerakan dan yang tidak dapat diamati
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
seperti tegangan atau bunyi.Respon yang menarik dan unik tumbuhan putri malu adalah yang tidak dapat diamati seperti respon bunyi tumbuhan ketika mendapatkan rangsang
sehingga fokus penelitian adalah respon bunyi tumbuhan putri malu sebagai bentuk biokomunikasi.
Gambar 1. Grafik VFC sebelum dihubungkan dengan tumbuahan putri malu (Mimosa pudica)
Gambar 2. Grafik VFC setelah dihubungkan dengan tumbuahan putri malu (Mimosa pudica) sebelum diberi rangsangan.
Gambar 3.Grafik VFC setelah tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) diberi rangsangan dengan sentuhan.
Gambar 4.Grafik VFC setelah tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) kembali normal.
Gambar 5.Grafik VFC tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) pada malam hari. Sebelum VFC dihubungkan dengan tumbuahan putri malu (Mimosa pudica) grafik pada VFC menunjukan tidak adanya
perubahan frekuensi yaitu frekuensi masih terletak 0 Hz, dan setelah VFC dihubungkan dengan tumbuhan putri malu (Mimosa
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 841
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
pudica)grafik menunjukan adanya perubanhan frekuensi. Pada saat tumbuhan putri (Mimosa pudica) diberi ransangan berupa sentuhan, grafik pada VFC menunjukan adanya perubahan frekuensi yang drastis, dan pada saat malam hari grafik menunjukan adanya perubahan frekuensi yang konstan. Dengan adanya perubahan-perubahan frekueni pada grafik VFC dianggap sebagai bentuk Biokomunikasi dari tumbuhan putri malu (Mimosa pudica). Simpulan Berdasarkan penelitan biokomunikasi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) dapat disimpulkan bahwa yang pertama adalah mengenai perbandingan reaksi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) sebelum diberi pelakukan,grafik tidak menunjukan adanya perubahan frekuensi dan sesudah diberikan perlakuan, grafik menunjukan adanya perubanhan dengan adanya peningkatan frakuaensi. Simpulan yang kedua adalah respon bunyi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) ketika diberikan perlakuan adanya peningkatan frekuensi secara drastis. Setelah diberi perlakuan berupa sentuhan adanya perubahan frekuensi sebagai bentuk Biokumunikasi tumbuhan putri malu (Mimosa pudica).
842 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Daftar Rujukan Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,Jakarta: PT Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Backster, Cleve. 1968. Evidence of a Primary Perception in Plant Life: International Journal of Parapsychocology volume 4: Parapsychology foundation inc New York. Beckster, Proswe. 2006. Exploring A sentinet World. Artikel Jurnal Frontier of Uncounsious. Gabriel, J. F. 1996. Fisika kedokteran. Universitas Udayana. Penerbit buku Kedokteran. Bab Bioakustik. O’neal et al. 2013. Morphing structures and signal transduction in Mimosa pudica L. induced by localized thermal stress. Journal of plant Psysiology. Sugiyono.2011. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung; Alfabeta. Volkov, Alexander (ed). 2000. Plant of electropsyology signaling and response. new York: Springer. Volkov et al. 2010. Signal transduction in mimosa pudica: biological closed electrical circuit. Blacwell Publishing Ltd
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
KEANEKARAGAMAN SERANGGA DI TAMAN WISATA BENDUNGAN WARU TURI KECAMATAN GAMPENGREJO KABUPATEN KEDIRI Na’im Mustikawati, Poppy Rahmatika Primandiri, Sulistiono Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Nusantara PGRI Kediri E-mail :
[email protected]
Abstrak Taman Wisata Bendungan Waru Turi adalah daerah wisata yang memiliki luas 32 hektar dan 80 % masih berupa tanah dan kaya pohon serta rerumputan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman serangga di Taman Wisata Bendungan Waru Turi Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Penelitian ini menggunakan metode transek dengan perangkap serangga berupa sweepnet, pitfall, dan light trap. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan indeks Shannon Weinner. Sampel serangga yang diambil dilengkapi data sekunder yang meliputi suhu tanah, suhu udara, pH, kelembapan, kecepatan angin, dan intensitas cahaya. Hasil penelitian didapatkan 10 ordo, 33 famili, dan 4353 individu. Jumlah individu terbesar adalah pada ordo Hymenoptera dan Orthoptera, sedangkan terendah ordo Blattaria. Nilai indeks keanekaragaman pada zona 1, 2, 3, dan 4 secara berturut 1,709, 1,293, 1,413, dan 1,453. Nilai indeks keanekaragaman keempat zona tergolong sedang. Kata kunci : serangga, Taman Wisata Bendungan Waru Turi , keanekaragaman
Pendahuluan Bendungan Waru Turi merupakan bendungan yang dibangun untuk menambah suplai air pada daerah Kediri dan sekitarnya serta dikembangkan sebagai kawasan Taman Wisata oleh Perum Jasa Tirta I selaku pengelola bendungan. Taman Wisata Bendungan Waru Turi memiliki luas32 hektar dan terletak di kecamatan Gampengrejo kabupaten Kediri, kurang lebih 7 km di utara kota Kediri. Pada tahun 2000 telah diketahui sebanyak kurang lebih 950.000 spesies serangga di dunia, atau sekitar 59,5% dari total organisme yang telah dideskripsi (Sosromartono, 2000 dalam Fajri, 2011). Keberadaan serangga dalam sebuah ekosistem memegang peran vital, karena dapat mencerminkankondisi lingkungan yang kompleks dan kesehatan lingkungan (Jana dkk., 2006 dalam Shalbaf, 2012).Sebagai contoh adalahkeberadaan serangga permukaan tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan
organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah (Ruslan, 2009). Sebagian besar penelitian mengenai keanekaragaman serangga yang telah dipublikasikan mengambil lokasi di daerah perhutanan (Ruslan, 2009), perkebunan (Pelawi, 2009) dan pertanian (Fajarwati, 2009) sedangkan penelitian tentang serangga darat dan serangga terbang di taman wisata berupa bendungan masih sangat jarang sekali dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di taman wisata Bendungan Waru Turi. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 21 Mei - 20 Juni 2014 bertempat di Taman Wisata Bendungan Waru Turi Gampengrejo Kediri. Alat dan bahan yang digunakan adalah perangkap sweepnet (kain kasa berbentuk kerucut dengan jari 10 cm dan tinggi 15 cm, pegangan kayu 1 meter), perangkap pitfall (gelas plastik, gliserin, sekop), perangkap
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 843
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
lampu (lampu LED, baskom, air), pH meter, termohigrometer, lux meter, anemometer, alkohol 70%, mikroskop stereo, pinset, meteran, kertas label, plastik atau botol, rafia, formalin, FAA, kamera, dan buku kunci determinasi yaitu Borror (1996). Pengambilan data menggunakan metode transek dengan plot 20 m x 20 m pada 4 zona di Taman Wisata Bendungan Waru Turi. Pemilihan zona didasarkan oleh kondisi daerah yang masih banyak pepohonan dan rumput serta wilayahnya yang luas. Jumlah plot disesuaikan dengan 20 % luas zona. Pengumpulan serangga menggunakan Sweepnet, pitfall, dan lihgt trap. Pada sweepnet, setiap plot dilakukan proses penjaringan selama 30 menit yaitu, pada pagi hari mulai 08.00 - 10.00 WIB dan sore hari mulai 15.30 - 17.30 WIB. Pada pitfall, tanah digali dan dibuat lubang dengan sekop, kemudian gelas plastik yang telah diberi gliserin ditaruh di dalamnya. Pada setiap plot diberi 4 pitfall yang dipasang di ujung-ujung plot dan dibiarkan selama 24 jam. Pada light trap,lampu dipasang pada tengah-tengah plot
a. Orthoptera
b. Mantodea
c. Blattaria
dan di dasar lampu diberi baskom berisi air. Perangkap ini dipasang mulai pukul 20.0005.00 WIB.Suhu udara, kelembaban udara, pH tanah, intensitas cahaya, dan kecepatan angin diukur pada setiap zona dan setiap jenis perangkap sebagai data sekunder. Identifikasi dilakukan dengan cara mengumpulkan serangga yang diperoleh kemudian diawetkan menggunakan formalin untuk awetan kering dan FAA untuk awetan basah. Serangga diidentifikasi menggunakan buku Borror (1996) sampai tingkat famili. Untuk mempermudah indentifikasi digunakan mikroskop stereo. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan indeks kemelimpahan dan keanekaragaman Shannon Weinner (Magurran, 1988). Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil identifikasi serangga di Taman Wisata Bendungan Waru Turi secara keseluruhan didapatkan 10 ordo, 33 famili, dan 4353 jumlah individu. Serangga yang representatif mewakili 10 ordo yang ditemukan ditampilkan pada gambar 1.
d. Lepidoptera
e. Hemiptera
f. g. Odonata h. Diptera i. Homoptera j.Hymenoptera Coleoptera Gambar 1. Serangga yang representatif mewaliki 10 ordo yang ditemukan di Taman Wisata Bendungan Waru Turi.
844 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Pada 4 zona diperoleh jumlah ordo (O), famili (F), individu (N), dan keanekaragaman (H’) pada Tabel 1. Jumlah ordo terbesar terdapat pada zona 1 dan 3 dengan jumlah 9, sedangkan jumlah ordo terkecil berjumlah 7 terdapat pada zona 4. Jumlah famili terbesar terdapat pada zona 1, sedangkan jumlah famili terkecil terdapat pada zona 4. Jumlah individu pada zona 2 menempati urutan terbesar dibanding yang lain dengan nilai 1569 dan berturut-turut 1195 pada zona 1, 803 pada zona 4 dan jumlah individu terkecil terdapat pada zona 3 dengan Keterangan O F N H’
1 9 24 1195 1,709
2 8 23 1569 1,293
nilai 786.Berdasarkan indeks nilai Shannon Wienner, kenekaragaman tertinggi yaitu 1,708 terdapat pada zona 1, sedangkan yang terendah terdapat pada zona 2 dengan nilai 1,293. Zona 3 dan zona 4 memiliki indeks nilai keanekaragaman 1,413 dan 1,453.
Zona 3 9 18 786 1,413
4 7 17 803 1,453
Tabel 1: Komposisi dan keanekaragaman serangga di taman wisata bendungan waru turi
Ordo Orthoptera Mantiidae Blattaria Odonata Hemiptera Coleoptera Lepidoptera Hymenoptera Diptera Homoptera
1 193 2 0 6 2 2 139 621 228 2
2 812 0 1 8 2 7 23 660 56 0
Total
Zona 3 383 1 1 19 0 4 41 290 46 1
4 325 0 0 12 4 3 12 375 72 0
Total 1713 3 2 45 8 16 215 1946 402 3 4353
Tabel 2: Komposisi Ordo Serangga yang Ditangkap di Taman Wisata Bendungan Waru Turi (jumlah individu) Ordo Hymenoptera ditemukan di seluruh zona dengan jumlah total individu 1946. Ordo
ini memiliki jumlah individu terbesar dibanding yang lain. Hasil ini juga sama
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 845
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dengan penelitian Rizali (2002), Ruslan (2009), dan Patang (2010) yang menyatakan bahwa ordo Hymenoptera lebih banyak diperoleh daripada ordo lainnya. Pada penelitian ini, famili dari ordo Hymenoptera yang banyak ditemukan adalah Formicidae. Famili ini merupakan golongan semut-semut umum yang banyak ditemukan dalam perangkap pitfall trap. Keberadaan semut melimpah pada perangkap karena serangga ini merupakan serangga yang umum dan banyak yang beraktivitas di permukaan tanah (Borror, 1996). Hal ini menjadikan semut tergolong dalam serangga tanah. Selain itu, kondisi tanah pada bendungan yang liat sampai liat berdebu mendukung keberadaannya untuk membuat sarang dan berkembang (Patang, 2010). Semut pada tanah akan memakan sisasisa sampah organik dan hewan maupun tumbuhan dalam keadaan hidup atau mati. Kisaran suhu optimal pada famili Formicidae pada suhu tropis antara 250-320 C (Riyanto, 2007). Kisaran suhu optimal ini sama dengan kisaran suhu yang ada di taman wisata sehingga famili ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Data pendukung berupa pH tanah yang berkisar antara 4,2-5,8 juga berpengaruh pada kelimpahan famili ini. PH tanah mempengaruhi reaksi kimia termasuk aktvitas enzimatik dalam tanah (Gullan, 2005). PH tanah yang sesuai membuat serangga tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah dan menambahkan kandungan bahan organiknya (Borror, 1996). Ordo terbesar kedua adalah Orthoptera dengan jumlah individu 1713. Ordo ini banyak ditemukan pada perangkap sweepnet. Jumlah famili yang ditemukan pada ordo ini ada 3 dan didominasi oleh famili Acrididae, sedangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Erawati (2010) menemukan 9 famili dan 414 individu. Perbedaan ini terjadi karena letak geografis dan kondisi lokasi penelitian yang berbeda. Famili ini terdiri dari 4 subfamili dan memiliki ciri utama sungut yang pendek. Kebanyakan
846 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
famili Acrididae berwarna kelabu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna yang cemerlang pada sayap belakang (Borror, 1996). Famili ini melimpah karena banyak rumput dan dedaunan yang ada di dalam zona. Rumput ini yang merupakan sumber makanan bagi famili Acrididae sehingga famili ini tergolong sebagai herbivor (Hadi, 2009). Ordo terendah adalah Blattaria dengan jumlah 2 individu. Ordo Blattaria adalah ordo yang terdiri dari serangga yang tergolong dalam jenis kecoa (Borror, 1996). Ordo ini memiliki ciri-ciri tubuh pipih dan berbentuk oval, kepala tersembunyi di bawah pronotum (Hadi, 2009). Famili ordo Blattaria yang ditemukan pada penelitian ini adalah Blattellidae. Famili ini adalah golongan kecoa yang berukuran kecil (panjangnya 12 mm atau kurang) dan sebagian termasuk kecoa kayu. Pada penelitian Patang (2010) yang dilaksanakan pada areal hutan bekas tambang batubara, ordo Blattarria juga memiliki jumlah individu terkecil dibanding ordo yang lain. Menurut pendapat Borror (1996) pada umumnya ordo Blattaria terdapat dalam rumah-rumah dan di pemukiman manusia. Habitat pada rumah-rumah atau pemukiman lebih sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan kecoa dibanding di alam bebas seperti areal hutan atau taman wisata. Hal ini karena di pemukiman lebih banyak tersedia makanan yang sesuai bagi ordo Blattaria yaitu bongkahan-bongkahan kayu dan sampahsampah makanan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan serangga dari 4 zona penelitian antara lain adalah sifat serangga itu sendiri dan faktor lingkungan dari masing-masing zona. Sifat serangga meliputi cara hidup, makan, dan berkembang biak (Haneda, 2013). Selain itu, jumlah individu pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor penunjang kehidupannya diantaranya suhu, kelembaban, pH tanah, intensitas cahaya, dan kecepatan angin. Faktor lain yang juga mempengaruhi jumlah individu adalah vegetasi yang terdapat
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
pada setiap zona. Hal ini terutama terjadi pada serangga permukaan tanah, karena faktor vegetasi mempengaruhi penyediaan habitat yaitu berupa bahan-bahan organik sebagai sumber energi (Ruslan, 2009). Serangga terbang sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin, intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban. Cahaya akan memberikan energi, sehingga dapat menaikkan suhu tubuh dan metabolisme menjadi lebih cepat sehingga mempercepat perkembangan larva (Akutsu et al., 2007 dalam Subekti, tanpa tahun). Suhu akan mempengaruhi aktivitas serangga, penyebaran, pertumbuhan, dan perkembangbiakan serangga. Intentitas cahaya dan suhu di bendungan berkisar antara 7603420 lux dan 25-320C. Pada umumnya kisaran suhu efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C, dan suhu maksimum 450C (Abdurrahman, 2008). Kelembaban efektif umumnya kisaran kelembaban minimun 0, kelembaban maksimum 100%, dan kelembaban optimum 75%. Sedangkan di bendungan memiliki kelembaban antara 61%86%. Keanekaragaman serangga di 4 zona yang ada di Taman Wisata Bendungan Waru Turi digolongkan dalam kriteria sedang (berada antara 1-3). Semakin tinggi nilai indeks H’ maka semakin tinggi pula keanekaragaman spesies produktivitas ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem. Menurut Riyanto (2007) daerah yang lebih kompleks (iklim, vegetasi, fauna, ekosistem, dan landscape) cenderung memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman yang sedang menandakan wilayah tersebut memiliki produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dan tekanan ekologi sedang. Nilai indeks keanekaragaman penelitian ini tergolong sedang karena lokasi sudah dimanfaatkan untuk kepentingan manusia sehingga beberapa vegetasi yang ada sudah disesuaikan dengan kepentingan seperti pada penelitian Fajarwati (2009) pada lahan
pertanian dan Pelawi (2009) pada perkebunan kelapa sawit. Adanya kegiatan manusia di lokasi penelitian juga mempengaruhi keanekaragaman serangga. Pada Taman Wisata Bendungan Waru Turi ada banyak kegiatan manusia meliputi berwisata, berjualan, dan mencari rumput. Selain itu, taman ini juga digunakan sebagai akses jalan alternatif sehingga pertumbuhan dan perkembangan serangga cukup terganggu, tetapi beberapa faktor yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan serangga masih dipertahankan pada taman ini yaitu jenis vegetasinya. Vegetasi merupakan salah satu sumber ketersediaan energi bagi serangga (Ruslan, 2009). Vegetasi pada taman wisata ini terdiri dari 40 lebih jenis pohon dan berbagai jenis rumput yang tumbuh subur sehingga serangga bisa mendapatkan makanan dari sini. Sebagai contoh vegetasi pohon yang ada pada taman wisata adalah Glodok Tiang (Polyalthia longifolia), Mahoni (Switenia maccophyla), Trembesi (Samanea saman), Flamboyan (Delonix regia), dan Cemara Gunung (Cassuarina equisetifolia) (Perum Jasa Tirta, tanpa tahun). Hal ini didukung dengan pendapat Subekti (tanpa tahun) yang menyatakan bahwa keanekaragaman vegetasi sangat diperlukan oleh serangga sebagai sumber makanan atau sebagai sarang. Berbeda dengan penelitian Rizali (2002) yang dilakukan pada lahan persawahan yang malah memiliki nilai keanekaragaman tinggi. Hal ini karena lokasi penelitiannya masih alami karena dipengaruhi oleh kondisi hutan hujan primer di sekitar lahan persawahan (Rizali, 2002). Pada penelitian Haneda (2013) yang dilakukan di hutan mangrove yang lokasinya tergolong masih alami tetapi keanekaragamannya tergolong sedang karena vegetasi cenderung homogen hanya terdiri dari 3 jenis vegetasi yaitu A. Mucronata, A. Marina, dan S. Alba sehingga hanya beberapa serangga yang sesuai makanannya yang dapat bertahan hidup.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 847
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Simpulan 1. Total serangga yang diperoleh terdiri dari 10 ordo, 36 famili, dan 4353 individu. Pada zona 1 terdiri dari 9 ordo, 24 famili, dan 1195 individu. pada zona 2 terdiri dari 8 ordo, 23 famili, dan 1569 individu. Pada zona 3 terdiri dari 9 ordo, 18 famili, dan 786 individu. Pada zona 4 terdiri dari 7 ordo, 17 famili, dan 803 individu. 2. Keanekaragaman serangga di Taman Wisata Bendungan Waru Turi secara berturut zona 1,2,3, dan 4 yaitu 1,709, 1,293, 1,413, dan 1,453. Daftar Rujukan Abdurrahman. 2008. Studi Keanekaragaman Serangga Polinator pada Perkebunan Apel Organik dan Anorganik. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim. Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1996.Pengenalan Pelajaran Serangga. Terjemahan Soetiono Partosoedjono. 1996. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Erawati, MV dan Kahono S. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan Belalang dan Kerabatnya (Orthoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Entomol Indonesia, 7(2): 100-115. Fajarwati, MR, Atmowidi T, dan Dorly. 2009.. Keanekaragaman Serangga pada Bunga Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) di Lahan Pertanian Organik. J. Entomol. Indon., 6 (2): 77-85. Fajri, Z. 2011. Komparasi Keanekaragaman Serangga Herbivora Antara Kebun Kelapa Sawit Dan Areal Konservasi. Skripsi. Banda Aceh: Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam. Tersedia pada http://komparasikeanekaragamanserangga her.blogspot.com/2011/07/komparasikeanekaragaman-serangga.html. Diunduh 21 Juni 2013.
848 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Gullan, PJ dan Cranston PS, 2005. The Insects An Outline of Entomology. California: Blackwell. Hadi, M. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Haneda, NF, Kusmana C, dan Kusuma FD. 2013. Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove. Jurnal Silvikultur Tropika. 4 (1): 42 – 46. Magurran, Anne E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton University Press. Patang, F. 2010. Keanekaragaman Takson Serangga dalam Tanah pada Areal Hutan Bekas Tambang Batubara PT. Makam Sumber Jaya Desa Separi Kutai Kartanegara Kalimantan Timur . Bioprospek. 7(1): 80-89. Pelawi, A. 2009. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga pada Beberapa Ekosistem di Area Perkebunan PT Umbul Mas Wisesa Labuhanbatu. Skripsi. Medan: USU. Tersedia pada : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /7731/1/10E00324.pdf. Diunduh 17 Juli 2013. Perum Jasa Tirta. Tanpa tahun. Daftar Nama Pohon di Tepian Jalan dan Sungai Taman Wisata Bendungan Waru Turi. Tidak dipublikasikan. Kediri: Jasa Tirta. Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains, 10(2): 241-253. Rizali, A, Buchori D, dan Triwidodo H. 2002. 2002. Keanekaragaman Serangga pada Lahan Persawahan-Tepian Hutan: Indikator untuk Kesehatan Lingkungan. Jurnal Hayati, 9(2): 41-48. Ruslan, H. 2009. Komposisi dan Keanekaragaman Serangga Permukaan Tanah pada Habitat Hutan Homogen dan Heterogen di Pusat Pendidikan Konservasi Alam (Ppka) Bodogol, Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Vis Vitalis, 2(1):43-53.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Shalbaf, Sheraj, Esfandiari, dan Ramazani. 2012. Insect Biodiversity in Karkheh Wild Life Refuge, SW Iran. Journal of Entomology, 9 (3): 178-182.
Subekti, N. Tanpa tahun. Keanekaragaman Jenis Serangga Di Hutan Tinjomoyo Kota Semarang, Jawa Tengah. Tersedia pada : jurnal.untan.ac.id./index.php/.../1594.pdf. Diunduh 17 Juli 2013.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 849
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI GASTROPODA DI KAWASAN MANGROVE DESA PAGAGAN KECAMATAN PADEMAWU KABUPATEN PAMEKASANMADURA Novia Fahmi Ayu W, Suhadi, dan Hawa Tuarita Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Abstrak Fauna Gastropoda merupakan salah satu komponen biota laut yang berperan penting dalam rantai makanan di ekosistem hutan mangrove. Penelitian terkait aspek ekologis Gastropoda yang telah dilakukan di kawasan mangrove Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, kabupaten Pamekasan bertujuan untuk mengungkapkan komposisi dan distribusi gastropoda. Pengambilan total sampel dilakukan pada bulan Maret 2014 melalui metode transek kuadrat. Kawasan mangrove di Desa Pagagan dapat dibagi menjadi 2 stasiun berdasarkan formasi substratnya. Berdasarkan proses identifikasi, diperoleh 574 individu yang termasuk ke dalam 4 ordo; 5 famili; 6 genus; dan 7 jenis. Nilai H’ pada tiap stasiun berkisar antara 1,0954-1,0978 dan tergolong keanekaragaman sedang. Pola distribusi gastropoda pada kedua stasiun menunjukkan pola sebaran mengelompok. Komponen abiotik yang berpengaruh signifikan terhadap komposisi gastropoda adalah pH. Selain itu kerapatan, basal area dan indeks nilai penting mangrove juga dapat mempengaruhi keanekaragamnan gastropoda. Hasil analisis menunjukkan pada stasiun I nilai penting berbanding lurus terhadap keanekaragaman gastropoda terutama kerapatan mangrove. Sebaliknya pada stasiun II menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Kata kunci: Gastropoda, komposisi komunitas, distribusi
Pendahuluan Pantai Pagagan adalah kawasan pantai terletak di Kabupaten Pamekasan Jawa Timur di bagian pesisir selatan. Luas pantai di Jawa Timur adalah sekitar 28.437 ha yang terdiri dari 21.529 ha kawasan hutan dan 6.908 ha bukan kawasan hutan. Salah satu potensi yang menyimpan kekayaan ekosistem mangrove adalah Kabupaten Pamekasan. Luas hutan mangrove keseluruhan yang ada di Pamekasan adalah 600 ha. Secara geografis Kabupaten Pamekasan terletak antara 112019’ BT – 113058’ BT serta 6051’ LS – 7031’ LS (BPS, 2005). Keberadaan dan kelimpahan gastropoda sangat ditentukan oleh adanya vegetasi mangrove yang ada di pesisir. Kelimpahan dan distribusi gastropoda dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: kondisi lingkungan, ketersediaan makanan,
850 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
pemangsaan dan kompetisi. Tekanan dan perubahan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan struktur dari gastropoda (Suwondo, dkk. 2006). Saat ini kondisi mangrove di Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan telah mengalami kerusakan. Kerusakan hutan mangrove di pantai Pegagan mencapai 40% dari luas 12 ha. Hal ini telah dilakukan perhitungan luas lahan mangrove yang mengalami kerusakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pamekasan ternyata lahan yang tumbuh subur cuma tersisa 400 hektar pada daerah selatan termasuk pantai pegagan. Lahan yang lainnya dalam kondisi kritis. Kondisi ini akan mengakibatkan turunnya produktivitas perairan dan secara tidak langsung mempengaruhi kondisi biota-biota yang hidup
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
di kawasan hutan mangrove seperti ikan dan makrobenthos. Gastropoda sebagai salah satu makrobenthos dalam ekosistem mangrove di kawasan mangrove pantai Pagagan ini yang diperkirakan akan terpengaruh oleh kondisi tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian terkait komposisi dan distribusi gastropoda di kawasan mangrove desa pagagan kecamatan pademawu kabupaten pamekasan-madura.
Metode Penelitian Pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling dengan teknik transek kuadran. Transek terdiri dari 10 transek dengan jarak antara garis 40 m. Pengambilan transek dibagi menjadi 2 stasiun dimana stasiun 1 merupakan stasiun substrat dominan pasir dan stasiun 2 merupakan stasiun subsrat dominan lumpur. Pada setiap transek dibuatkan 3 plot dengan ukuran 2mx2m dengan jarak antara plot satu dengan yang lainnya adalah seragam yaitu 8 m seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Gastropoda Sedangkan untuk menghitung diameter mangrove dilakukan dengan metode
Point Centered Quarter untuk lebih memudahkan menghitung jumlah semua tegakan pohon setiap transek.
Gambar 2. Point Centered Quarter method yang digunakan dalam Penelitian (Micthell K, 2001)
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 851
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Mangrove yang diukur adalah mangrove yang berada di titik Point Centered Quarter, dimana dipilih pohon yang paling dekat di setiap Quarter (Micthell K, 2001) kemudian dihitung semua mangrove yang termasuk didalam transek sesuai ukuran plot yaitu 2mx2m. Jarak yang diukur untuk pemetaan kerapatan mangrove hanya yang masuk dalam kriteria pohon, yaitu tumbuhan dengan ukuran tinggi > 1m dan diameter batang ≥10 cm (Fachrul, 2006). Indeks Keanekaragaman Untuk menganalisi keanekaragaman jenis pada setiap stasiun mengikuti formulasi Shanon-Winner: H’= -∑ pi ln pi Keterangan: Pi = H : Indeks Keanekaragaman ShannonWinner n : Jumlah masing-masing spesies N : Jumlah total spesies dalam sampel (Ludwig dan Raynolds, 1998) Indeks Kemerataan (E) Indeks kemerataan Pielou (Evenness index = E’) untuk setiap stasiun dihitung menggunakan formulasi sebagai berikut: E = H’/ln S
E : Indeks kemerataan Evennes H’ : Indeks Keanekaragaman ShannonWinner S : jumlah spesies (n1, n2, n3, ..... ) (Ludwig dan Raynolds, 1998) Indeks Kekayaan Spesies (R) Indeks Kekayaan spesies (R) untuk setiap stasiun dihitung menggunakan formulasi sebagai berikut: R = S-1/ln n Keterangan: R : Indeks Kekayaan Richeness S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, .....) N : Total individu dalam pengambilan sampel (Ludwig dan Raynolds, 1998) Hubungan Antara Faktor Lingkungan Dengan Komposisi Komunitas Informasi mengenai hubungan faktor lingkungan (suhu, salinitas, dan pH) dengan komposisi komunitas pada tiap stasiun akan dianalisis menggunakan SPSS 16 Uji statistik regresi ganda. Hasil dan Pembahasan Jenis-jenis Gastropoda Berdasarkan proses identifikasi, secara keseluruhan diperoleh 574 individu yang termasuk ke dalam 7 jenis.
Keterangan: Tabel 1: Komposisi Jenis dan Jumlah Individu Fauna Gastropodaa yang Ditemukan di Kawasan Mangrove Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Jenis Cerithidea sp Cassidula sp Telescopium telescopium Nerita costata Littorina sp Strombus labiatus Nerita sp
Kode Sp1 Sp2 Sp3 Sp4 Sp5 Sp6 Sp7 Individuals
852 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Stasiun I 33 25 62 40 77 28 10 275
II 37 34 74 53 80 21 0 299
Jumlah 70 59 136 93 157 49 10 574
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Komposisi Komunitas Pada penelitian ini, kawasan mangrove di Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan dibagi menjadi 2 stasiun atas dasar perbedaan formasi
substratnya sehingga diperoleh nilai H, E, dan R pada tiap stasiun. Berikut adalah tabulasi nilai H, E, dan R pada masing –masing stasiun (Gambar 3).
Gambar 3. Diagram Nilai Komposisi Gastropoda pada Tiap Stasiun Pola Distribusi Indeks dispersi Morisita (Id) digunakan untuk mengetahui pola sebaran
jenis gastropoda. Hasil analisis indeks dispersi Morisita pada substrat dominan pasir dan substrat dominan lumpur akan disajikan pada gambar histogram berikut:
Gambar 4. Indeks dispersi Morisita pada Substrat Dominan Pasir
Gambar 5. Indeks dispersi Morisita pada Substrat Dominan Lumpur
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 853
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Stasiun I kawasan mangrove yang merupakan substrat dominan pasir. Pada stasiun I berhasil ditemukan 275 individu yang termasuk ke dalam 7 jenis. Stasiun II merupakan kawasan mangrove substrat dominan lumpur. Pada stasiun II berhasil ditemukan 299 individu yang termasuk ke dalam 6 jenis. Jenis-jenis gastropoda yang ditemukan pada stasiun I maupun stasiun II yang paling banyak yaitu Littorina sp. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Mujiono (2008) beberapa gastropoda yang dominan terdapat pada ekosistem mangove terdiri dari famili Littorinidae (seperti Littorina scabra), Muricidae, Onchinidae, Certhiidae, dan Ellobidae. Jenis berikutnya yang banyak ditemukan yaitu spesies Telescopium telescopium, Cerithidea sp dan Casidula sp. Hal tersebut dikarenakan spesies Telescopium telescopium dan Cerithidea sp tersebut merupakan gasropoda asli mangrove sehingga dapat dijumpai di hampir semua pelosok hutan mangrove serta tidak terpengaruh dengan jenis-jenis mangrove tertentu (Soemodiharjo & Kastoro, 1977). Selain itu jenis Cerithidea biasanya di temukan pada ekosistem mangrove jenis Rhizophora spp karena Rhizophora spp dapat menyediakan substrat lumpur, yang merupakan habitat dari Cerithidea. Casidula sp juga banyak ditemukan pada vegetasi mangrove tingkat pohon jenis Rhizophora spp. dibandingkan jenis pohon lainnya. Pada umumnya ditemukan menempel pada batang dan akar mangrove, ranting-ranting dan juga merayap pada permukaan tanah saat air surut. Berdasarkan jenis-jenis yang telah ditemukan pada kedua stasiun diketahui bahwa Indeks keanekaragaman gastropoda pada substrat dominan pasir dan substrat dominan lumpur menunjukkan kategori sedang dengan nilai indeks keanekaragaman lebih dari 1,00. Menurut Rahma (2006) indeks keanekaragaman (H’) yang termasuk dalam kategori sedang menunjukkan bahwa
854 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
produktivitasnya cukup tinggi dan kondisi ekosistem seimbang. Tingkat keanekaragaman gastropoda pada kedua stasiun berhubungan dengan indeks kemerataan dan indeks kekayaan. Secara keseluruhan kemerataan pada kedua stasiun menunjukkan bahwa komunitas kurang baik dengan penyebaran tidak merata dengan kisaran 0,2792-0,2773. Sedangkan Indeks kekayaan (R) jenis gastropoda pada substrat dominan pasir di kawasan mangrove Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan-Madura lebih tinggi dibandingkan indeks kekayaan pada substrat dominan lumpur dengan niali kekayaan masing-masing 1,06754 dan 0,877125. Menurut Kreb dan Leksono dalam Rumahlatu (2007) menjelaskan bahwa suatu komunitas dikatakan memiliki kekayaan yang tinggi apabila pada komunitas tersebut terdapat jumlah jenis yang banyak. Keanekaragaman gastropoda yang ditemukan pada substrat dominan pasir dan substrat dominan lumpur dipengaruhi oleh faktor abiotik diantaranya pH, suhu dan salinitas. Dimana ketiga faktor abiotik tersebut memberikan pengaruh yang kecil terhadap komposisi gastropoda. Faktor abiotik yang paling berpengaruh terhadap komposisi gastropoda yaitu pH. Selain itu vegetasi mangrove yang meliputi kerapatan, basal area serta indeks nilai penting juga mempengaruhi komposisi gastropoda. Pada stasiun I hubungan indeks nilai penting mangrove dan komposisi gastropoda berbanding lurus terhadap kompoisis gastropoda sedangkan padatstasiun II berbanding terbalik dimana indeks nilai penting tidak berpengaruh terhadap komposisi gastropoda. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi indeks nilai penting mangrove maka komposisi gastropoda semakin rendah. Budiman (1991) menyatakan bahwa kehadiran jenis-jenis gastropoda mangrove sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kondisi setempat bukan kondisi hutan mangrove secara umum.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Jenis-jenis gastropoda yang ditemukan mempunyai pola ditribusi. Pola distribusi gastropoda pada stasiun I maupun stasiun II acak dan mengelompok. Dharmawan, dkk (2005) menyatakan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat agregarius, karena adanya keragaman kondisi lingkungan, ketersediaan makanan, perkawinan, pertahanan, perilaku sosial, serta faktor persaingan. Pola sebaran secara berkelompok sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain gerak hewan, cara hidup hewan (misalnya melekat pada batu, sekitar rumput laut atau di rongga batu karang). Selain itu dapat juga disebabkan oleh keadaan substratnya (pasir berlumpur, pasir berbatu, atau berbatu karang) (Kastawi, dkk. 2005). Simpulan Kawasan mangrove Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan terdapat 2 stasiun berdasarkan formasi substratnya. Stasiun I ditemukan 7 jenis gastropoda dan stasiun II ditemukan 6 jenis gastropoda. Stasiun I maupun stasiun II keanekaragaman gastropoda termasuk ke dalam kategori sedang. Faktor abiotik yang berpengaruh signifikan terhadap kompoisisi gastropoda yaitu pH. Indeks nilai penting mangrove bukan faktor yang paling utama terhadap kompoisisi gastropoda. Pola sebaran gastropoda pada kedua stasiun adalah mengelompok.
Daftar Rujukan BPS, 2005. Kabupaten Pamekasan Dalam Angka. Budiman, A. 1991. Penelaahan beberapa gatra ekologi moluska bakau Indonesia. Journal of Animal Ecology. Dharmawan, dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang: UM Press. Fachrul, F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta
Kantor Kehutanan dan Perkebunan, 2009. Laporan Tahunan 2006. Kabupaten Pamekasan Jawa Timur. Kastawi, dkk. 2005. Zoologi Avertebrata. Malang: UM Press. Ludwig, J.A. & Reynolds, J.F. 1998. Statistical Ecology: A Primer Methods and Computing. A Willey InterScience Publication. Mitchell K. 2001. Quantitative analysis by the Point-centered Quarter method. http://people.hws.edu/mitchell/PCQM.p df. Mujiono, N. 2008. Mudwhekks (Gastropoda: Potamididae) from mangroves of Ujung Kulon National Park, Banten. Jurnal Biologi. Rahma, P. 2006. Keanekaragaman dan Pola Distribusi Gastropoda di Kawasan Hutan Manrove Pantai Paciran Tuban, Jawa Timur. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Brawijaya. Rumahlatu, D. 2007. Hubungan antara Faktor Fisik-Kimia Lingkungan dengan keanekaragaman dan Pola Distribusi Echinodermata pada Daerah Pasang Surut Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai Sumber Pembelajaran Ekologi Kelautan. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Soemodihardjo, S. & W. Kastoro. 1997. Beberapa Segi Biologi Hutan Payau Dan Tinjauan Singkat Komunitas Mangrove Di Gugus Pulau Pari. Oseana. Suwondo, dkk. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan Mangrove Di Pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawi Sumatera Barat : Jurnal Biogenesis 2(1): 25-29.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 855
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
STUDI KERAGAMAN KUPU-KUPU Pieridae DI KAWASAN WISATA AIR TERJUN COBAN RAIS KOTA BATU Pintar Tri Wahyuni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang, E-mail:
[email protected]
Abstrak Kupu-kupu adalah salah satu bioindikator perubahan lingkungan, salah satunya dari familia Pieridae. Familia Pieridae terbang tidak terlalu cepat dan terbang cukup rendah, serta sebagian besar hinggap di tanaman semak. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui jenis kupu-kupu Pieridae dan tumbuhan yang dihinggapi kupu-kupu Pieridae dewasa, serta mengetahui status perlindungannya. Pengambilan sampel kupu-kupu dilakukan mulai bulan Februari hingga Maret 2014 yang dilakukan di kawasan wisata air terjun Coban Rais. Pengambilan kupu-kupu dilakukan dengan metode walking transect. Hasil penelitian menemukan 10 jenis familia Pieridae yang diklasifikasikan menjadi 7 genus. Jenis yang ditemukan meliputi Catopsilia pomona, Eurema simulatrix, Eurema blanda, Eurema tilaha, Cepora iudith, Appias pandione, Delias belisama, Delias hyparete, Leptosia nina dan Hebomoia glaucipe. Tumbuhan yang dihinggapi kupu-kupu meliputi Crhomolaena laevigata, Bambusa oldhamii, Acmella ulliginosa, Moraceae, Crhysopogon aciculatus dan Cassia alata. Semua jenis kupu-kupu yang ditemukan memiliki status yang tidak dilindungi. Kata Kunci : Keragaman, kupu-kupu, familia Pieridae.
Pendahuluan Indonesia memiliki keunikan dalam hal sebaran fauna, yang dikenal sebagai endemisitas. Tingkat endemisitas yang tinggi terlihat jelas sekali pada kupu-kupu Indonesia, yaitu mencapai lebih dari 35 persen dari total jumlah jenis kupu-kupu yang ada di dunia (Peggie dan Amir, 2006). Kupu-kupu merupakan komponen biotik yang mudah dikenali dalam ekosistem. Kupu-kupu merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya (Achmad 2002 dalam Rahayu, 2012). Kupu-kupu merupakan komponen biotik yang mudah dikenali dalam ekosistem karena keindahannya. Peran ekologi kupu-kupu dalam ekosistem tidak hanya sebagai herbivora semata, tetapi juga sebagai
856 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
komponen yang penting dalam membantu penyerbukan tumbuhan (Subahar dan Yuliana, 2010). Peran kupu-kupu yang tidak kalah penting dalam ekosistem yaitu sebagai indikator perubahan lingkungan karena jika terjadi sedikit perubahan dalam lingkungan maka dapat berpengaruh terhadap keberadaan kupu-kupu (Davies & Butler, 2008 dalam Rahayu, 2012). Semakin banyaknya lahan kosong atau hutan yang dijadikan bangunanbangunan kota maka dapat mengancam keberadaan kupu-kupu. Lokasi yang dilindungi dan memiliki komponen biotik yang masih alami salah satunya yaitu wisata air terjun Coban Rais. Lokasi Coban Rais berada di ketinggian 1025 meter di atas permukaan laut (Anonim, 2013). Daerah sekitar lokasi air terjun Coban Rais lambat laun juga mengalami pengalihan fungsi lahan misalnya bangunan pemancar stasiun
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
televisi, tempat rekreasi, dan juga kebun binatang buatan. Lokasi Air terjun Coban Rais dipilih sebagai lokasi penelitian untuk mengetahui keberadaan jenis kupu-kupu Pieridae yang ditemukan di kawasan Air terjun Coban Rais dan tumbuhan yang dihinggapi oleh kupu-kupu Pieridae dewasa, serta untuk mengetahui status perlindungan kupu-kupu Pieridae yang ditemukan. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif dengan metode swing net. Populasi dalam penelitian adalah semua kupu-kupu yang ada di kawasan wisata air terjun Coban Rais Kota Batu. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah jenis kupu-kupu familia Pieridae yang tertangkap di jalur pengambilan data Penelitian dilakukan di sekitar hutan tropis di kawasan wisata air terjun Coban Rais Kota Batu, dimulai pada bulan Maret hingga April 2014. Lokasi pengambilan data sebanyak lima sektor pengamatan, masing-masing sektor berjarak 500 meter. Perjalanan dimulai dari area Ground Camp atau bumi perkemahan sampai mendekati area air terjun Coban Rais. Lebar sisi kanan dan kiri pada jalur pengamatan adalah 5 meter (dengan jarak jangkauan masing-masing sisi 2,5 meter). Penangkapan kupu-kupu dilakukan pada pukul 08.00-12.00 WIB. Pengambilan sampel pada waktu tersebut berdasarkan waktu aktif terbang kupu-kupu (Anwar dkk., 2012). Penangkapan dilakukan dengan menggunakan jaring serangga. Kupu-kupu yang tertangkap dimasukkan kedalam kertas papilot untuk selanjutnya digunakan untuk pembuatan insektarium. Selain itu juga dilakukan
pengukuran faktor abiotik meliputi suhu, kelembapan udara, dan intensitas cahaya. Pengukuran dilakukan pada setiap sektor, masing-masing sektor dilakukan pengukuran 1 titik dan pengamatan faktor biotik berupa tumbuhan yang dihinggapi oleh kupu-kupu Pieridae dewasa. Spesimen kupu-kupu Pieridae diidentifikasi berdasarkan buku Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden (Peggie dan Amir, 2006) dan Fauna Serangga Gunung Ciremai (Peggie, dkk., 2011) dan untuk identifikasi tumbuhan adalah buku The Mountain Flora of Java (Steenis, 1972). Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil dari pengamatan kupukupu pada saat pengambilan data, didapatkan 10 spesimen dari familia Pieridae yang ditemukan sepanjang jalur pengamatan di wisata air terjun Coban Rais kota Batu. sepuluh spesimen diidentifikasi berdasarkan warna tubuh, ukuran sayap, dan bentuk antena. Pengamatan pola warna pada sayap didasarkan pada bentuk venasi sayap yang merujuk pada buku Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden (Peggie dan Amir, 2006) dan Fauna Serangga Gunung Ciremai (Peggie, dkk., 2011). Hasil identifikasi 10 spesimen diklasifikasikan hingga tingkat jenis, meliputi Catopsilia pomona, Eurema simulatrix, Eurema blanda,Eurema tilaha, Appias pandione, Cepora iudith, Delias belisama, Delias hyparete, Leptosia nina dan Hebomoia glaucipe. Jenis tersebut dikelompokkan dalam 7 genus yang berbeda. Masing-masing genus ditunjukkan pada Gambar 1.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 857
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 1. (A) Catopsilia pomona,(B) Eurema simulatrix, (C) Eurema blanda, (D) Eurema tilaha, (E) Appias pandione, (F) Cepora iudith, (G) Delias belisama, (H) Delias hyparete, (I) Leptosia nina, (J) Hebomoia glaucipe Berdasarkan hasil penelitian tercatat hanya 6 jenis kupu-kupu familia Pieridae hinggap pada tumbuhan. Tumbuhan yang dihinggapi kupu-kupu Pieridae dewasa meliputi Bambusa oldamii, Crhomolaena laevigata, Moraceae, Crysopogon aciculatus dan Cassia alata, sedangkan tumbuhan Acmella uliginosa (Sw.) Cass.merupakan foodplant bagi jenis Eurema blanda dan Eurema tilaha. Berdasarkan hasil penelitian ciri-ciri umum familia Pieridae yaitu memiliki sayap berwarna kuning, putih terkadang terdapat bercak coklat, bentuk sayap bulat, Ciri-ciri morfologi kupu-kupu yang ditemukan sesuai dengan ciri-ciri kupu-kupu Pieridae pada umumnya, yaitu kupu-kupu familia Pieridae umumnya memiliki warna kuning dan putih, sebagian kecil berwarna oranye dengan sedikit terdapat bercak hitam atau merah (Peggie dan Amir, 2006). Familia Pieridae berukuran sedang. Radius pada sayap depan biasanya bercabang 3 atau 4. Tungkai depan berkembang dan kaku, tarsus terbelah dua (Trimurti, 2010). Berdasarkan penelitian jumlah jenis Pieridae yang ditemukan sebanyak 10 jenis lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah
858 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
jenis familia Pieridae dalam penelitian Rahayu, dkk., (2013) sebanyak 15 jenis. Perbedaan jumlah jenis kupu- kupu yang diperoleh dipengaruhi oleh faktor abiotik maupun faktor biotik. Data faktor abiotik yang diperoleh pada saat penelitian suhu berkisar antara 22-290 C dan kelembapan udara berkisar antara 40-80%, suhu dan kelembapan udara tersebut masih dalam batas normal untuk kupu-kupu dapat bertahan hidup karena kupu-kupu dapat bertahan hidup pada suhu 18-380 C dengan kelembapan udara kurang dari 85% (Sihombing, 2002). Faktor yang berpengaruh dalam pengambilan data spesimen kupu-kupu meliputi faktor abiotik maupun faktor abiotik, faktor abiotik yang mempengaruhi perbedaan jumlah spesimen dalam pengambilan data yaitu saat penelitian dilakukan pada saat musim penghujan sedangkan pada penelitian Rahayu, dkk., (2013) pengambilan data dilakukan pada saat musim kemarau, sehingga meskipun faktor suhu dan kelembapan tidak berpengaruh terhadap keberadaan kupu-kupu pada lokasi penelitian tetapi adanya curah hujan pada saat penelitian menyebabkan aktifitas kupu-kupu untuk terbang menjadi terhambat, hal ini yang menyebabkan sedikit
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
ditemui adanya kupu-kupu yang terbang pada saat pengambilan data. Faktor abiotik lain yang berpengaruh terhadap jumlah jenis yang ditemukan yaitu intensitas cahaya dan ketinggian tempat. Intensitas cahaya berhubungan dengan adanya hujan, karena apabila kondisi cuaca dalam keadaan hujan maka intensitas cahaya akan menurun, intensitas cahaya akan dapat menarik kupu-kupu, karena kupu-kupu membutuhkan cahaya untuk menjaga keseimbangan suhu tubuhnya (Saroyo dan Koneril, 2012). Faktor abiotik berupa ketinggian tempat juga dapat mempengaruhi variasi jenis dan keberadaan kupu-kupu yang ditemukan, tetapi pada saat pengamatan tidak dilakukan adanya pengukuran ketinggian tempat. Faktor biotik yang mempengaruhi jumlah spesimen kupu-kupu pada saat penelitian yaitu adanya tumbuhan. Berdasarkan hasil pengamatan faktor biotik diketahui hanya 6 jenis yang hinggap pada tumbuhan. Tumbuhan yang dihinggapi oleh kupu-kupu familia Pieridae merupakan tempat hinggap, meliputi Bambusa oldhamii yang dihinggapi Eurema blanda, tumbuhan Chromolaena laevigata yang dihinggapi oleh Eurema tilaha dan Cepora iudith, tumbuhan Moraceae yang dihinggapi oleh Delias belisama,rumput-rumputan jenis Crysopogon aciculatus sering dihinggapi jenis Leptosia nina dan tumbuhan perdu Cassia alata dihinggapi oleh Catopsilia pomona. Tumbuhan yang bukan merupakan tempat hinggap yaitu Acmella uliginosa (Sw.) Cass. yang merupakan foodplant bagi jenis Eurema blanda dan Eurema tilaha. Tumbuhan Acmella uliginosa (Sw.) Cass termasuk dalam familia Asteraceae, warna bunga dari Asteraceae dapat menarik perhatian bagi kupu-kupu karena bentuk, warna, dan aroma bunga dipergunakan sebagai petunjuk adanya nektar bunga yang dipilih sebagai makanannya (Dendang, 2009). Selain itu tumbuhan Asteraceae memiliki
mahkota bunga berbentuk tabung karena bunga berbentuk tabung mempunyai nektar yang cukup banyak (Gombert, dkk., 2005). Berdasarkan hasil pengamatan semua jenis kupu-kupu familia Pieridae yang tertangkap memiliki status perlindungan yang tidak dilindungi sehingga untuk keberadaan kupu-kupu familia Pieridae masih belum mengalami ancaman kepunahan atau ancaman bagi habitat hidupnya, tetapi keberadaan kupu-kupu tetap harus dijaga, terutama habitat hidupnya yang merupakan tumbuhan karena tumbuhan digunakan kupukupu sebagai tempat inang bagi larvanya dan tempat untuk mencari sumber makanan bagi kupu-kupu dewasa. Simpulan Kupu-kupu familia Pieridae yang ditemukan sebanyak 10 jenis meliputi Catopsilia pomona, Eurema simulatrix, Eurema blanda,Eurema tilaha, Appias pandione, Cepora iudith, Delias belisama, Delias hyparete, Leptosia nina dan Hebomoia glaucipe. Tidak semua kupu-kupu terlihat hinggap pada tumbuhan, hanya 6 jenis yang diketahui hinggap pada tumbuhan, tetapi untuk tumbuhan Acmella uliginosa (Sw.) Cass.untuk mencari nektar bagi Eurema tilaha dan Eurema blanda, sedangkan tumbuhan lain hanya sebagai tempat hinggap bagi kupu-kupu dan kupu-kupu yang ditemukan memiliki status yang tidak terevaluasi berdasarkan IUCN dan belum dilindungi berdasarkan CITES. Berdasarkan simpulan tersebut disarankan untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal perlu dilakukan pengukuran faktor abiotik dalam penelitian berupa ketinggian tempat, karena dapat digunakan sebagai acuan bahwa perbedaan ketinggian mempengaruhi jenis kupu-kupu yang ditemukan. Daftar Rujukan Anonim, 2013. Coban Rais Batu. (Online) (http://www.eastjava.com/ tourism/batu/
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 859
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
coban_rais.html). Diakses Pada Tanggal 23 September 2013. Anwar, Rizkawati, Pamula, Cindy dan Shalihah, 2012. Kupu- kupu di Kampus Universitas Padjajaran Jatinangor. Bogor: Departemen Keilmuan Devisi Entomologi. (Online). (http:// www.himbiounpad.wordpress.com). Diakses Pada Tanggal 23 September 2013. Dendang, 2009. Keragaman Kupu-Kupu Di Resort Selabintana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. VI No. 1 : 25-36, 2009. Gombert, L.L., Hamilton, H.L., & Coe, Mindi. 2005. Butterfly Gardening. Tenessee: University of Tenessee Extension. Peggie, D & Amir, M. 2006. Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden. Cibinong: Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Peggie, D., Noerdjito, W.A., & Aswari, P. 2011. Fauna Serangga Gunung Ciremai. Cibinong: Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Rahayu, 2012. Keanekaragam Jenis Dan Distribusi Kupu-Kupu (Lepidoptera; Rhopalocera) di Beberapa Tipe Habitat Di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi. Tesis tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia. Rahayu, S.E., Tuarita, H dan Sulisetijono. 2013. Biodiversitas Kupu-kupu Coban Rondo dan Coban Rais Batu Sebagai Data Dasar Usaha Konservasi. Laporan Penelitian. Malang : LP2M. Saroyo dan Koneril, 2012. Distribusi dan Keanekaragaman Kupu-Kupu (Lepidoptera) di Gunung Manado Tua, Kawasan Taman Nasional Laut Bunaken, Sulawesi Utara. Manado. Jurnal Bumi Lestari,Volume 12 No. 2: 357 - 365. Sihombing, 2002. Satwa Harapan I Pengantar Teknologi Budidaya. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.
860 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Steenis, C.G.G.J.V. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden: E.J. Brill & Co. Subahar, S.S. & Yuliana, A. 2010. Butterfly diversity as a data base for the Development plant of Butterfly Garden at Bosscha Observatory, Lembang, West Java. Jurnal Biodiversitas. 11 (1): 24-28. Trimurti, 2010. Jenis Kupu- kupu di Kebun Bunga Kebun Raya UNMUL Samarinda.Jurnal Bioprospek Vol. 7, No. 1.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
IDENTIFIKASI KOMPONEN KIMIA EKSTRAK DAUN PERMOT (Passiflora foetida Linn.) DENGAN TLC DAN GC-MS SEBAGAI KANDIDAT BIOINSEKTISIDA TERHADAP NYAMUK Poedji Hastutiek, Agus Sunarso Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya
Abstract The aim study was to investigate the effectivity of P. foetida Linn. Extracted by diverse organic solvent such as n-hexana, etil acetat and etanol. The component of n-hexana fraction using Thin Layer Chromatography (TLC) identified ware alkaloid and terpenoid, the component of etil acetat fraction identified was terpenoid and the component of etanol fraction identified was phenol. The Gas Chromatography-Mass Spektrometry analysis showed, components identification were : 13-Octadecenal, Neophytadiene, Isophytol, 9,12,15-Octadecatrienoic acid and Phytol. The GC-MS analysis showed that isophytol and phytol were the major component of the n-hexana fraction. Result suggest that extract of P. foetida Linn., leaves showed the highest insecticidal effect on Ae. aegypti larvae instar IV. The extract of P. foetida Linn., leaves was good candidate to be developed as sources of natural insecticide (Bioinsecticide). Key word: Passiflora foetida, TLC, GC-MS, Bioinsecticide. Pendahuluan Kota Surabaya terdiri dari 31 kecamatan, terdapat beberapa daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). Kurun waktu sejak awal ditemukan kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, angka kejadian penyakit cenderung meningkat. Insiden (jumlah kasus) dalam 100.000 penduduk tertinggi di Surabaya sebesar 58, 89 dengan kematian 41 %, sejak saat itu penyakit ini menyebar ke berbagai kota dan hampir seluruh propinsi di Indonesia terjangkit penyakit ini (Soegianto dkk, 2004). Kasus DBD terus meningkat terjadi sepanjang tahun dan fluktuatif, sedang angka kematiannya sudah dapat ditekan serendah mungkin dengan ratarata dibawah 1 % (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2005). Penyakit infeksi DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sumarmo, 1994). Peningkatan infeksi virus dengue setiap tahun berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan. Faktor lingkungan ikut berperan dan tidak kalah pentingnya adalah
kondisi masyarakat serta kepeduliannya masih belum memadai dalam menanggulangi penyakit DBD (Arsin dan Wahiduddin, 2004). Cara yang paling tepat untuk menanggulangi penyakit ini secara tuntas adalah mengendalikan vektor yaitu Ae. Aegypti dan Ae. albopictus. Pengendalian larva merupakan kunci strategis program pengendalian vektor di seluruh dunia (Okumo, et al., 2007). Penggunaan insektisida yang ditujukan pada stadium larva nyamuk yang disebut sebagai larvisida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalian nyamuk. Penggunaan Abate SG (Temephos 1 %) di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1976, empat tahun kemudian ditetapkan sebagai bagian dari program pemberantasan massal Ae. aegypti (Daniel, 2008). Tetapi bahaya resistensi dan efek samping yang ditimbulkan oleh insektisida tersebut tidak dapat dihindarkan, resistensi Ae. aegypti terhadap Abate SG sudah ditemukan di Surabaya (Rahardjo, 2006). Mengingat resistensi vektor nyamuk yang begitu cepat, maka pengembangan insektisida yang berasal
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 861
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dari tanaman (bioinsektisida) sangat dibutuhkan untuk mengatasi penyakit tersebut. Penggantian insektisida kimia dengan bioinsektisida yang bersifat ramah lingkungan diperlukan untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan. Salah satu tanaman obat yang diduga mengandung bahan aktif yang dapat digunakan sebagai bioinsektisida terhadap nyamuk Ae. aegypti adalah tanaman Permot (Passiflora foetida Linn.). Tanaman ini merupakan sumber daya alam hayati yang tumbuh liar dan banyak diperoleh di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman Permot mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mengekstraksi, mengisolasi dan menganalisis komponen kimia senyawa daun Permot (P. foetida). 2. Mengetahui potensi ekstrak daun Permot (P. foetida) sebagai bioinsektida terhadap larva nyamuk.
kali. Residu diekstraksi kembali menggunakan pelarut etilasetat (semi polar) dilakukan dengan cara yang sama. Residu diesktraksi kembali menggunakan pelarut etanol (polar) dengan cara yang sama. Filtrat dari masingmasing pelarut dikumpulkan dan diuapkan menggunakan rotary evaporator dengan penurunan tekanan sampai diperoleh ekstrak kental. Fraksi n-hexana, fraksi etil asetat dan fraksi etanol yang diperoleh kemudian ditimbang. Penentuan kandungan kimia terhadap fraksi n-hexana, fraksi etil asetat dan fraksi etanol daun permot meliputi golongan senyawa alkaloid, flavonoid, fenol, dan terpenoid diuji dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Fraksi yang memiliki harga LC50 paling kecil dipilih sebagai fraksi paling aktif. Komponen kimia dalam ekstrak daun permot dianalisis menggunakan GC-MS. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa, baik satu komponen maupun campuran (Sastrohamidjojo dan Pranowo, 1985). Spektrometri massa tepat dalam menentukan fragmentasi dan molekul-molekul serta dapat mengidentifikasi komponenkomponen yang terdapat dalam jumlah kecil (Harborne, 1987).
Metode Penelitian Daun Permot (P. foetida) sebanyak 5 (lima) kg berat basah, diperoleh dibeberapa tempat di Surabaya. Diidentifikasi dilakukan di LIPI Kebun Raya Purwodadi Pasuruan, Jawa Timur. Daun Permot diambil secara purposif dari beberapa lokasi di Surabaya, kemudian dibersihkan dan diangin-anginkan Hasil dan Pembahasan selama 5-7 hari dengan meletakkan di tempat Koleksi daun permot diperoleh ± 7,5 kg yang terlindung dari sinar matahari kemudian daun Permot basah. Daun Permot kemudian dihaluskan hingga berbentuk serbuk digiling dan diperoleh simplisia sebanyak (simplisia) dipersiapkan untuk ekstraksi. 1.190 gram. Sebanyak 1 kg simplisia daun Simplisia daun permot sebanyak 1 (satu) permot dilakukan maserasi, diperoleh ekstrak kg dimaserasi terlebih dahulu dengan pelarut n-heksana, ekstrak etil acetat dan ekstrak n-hexana (non polar) sebanyak 5 liter selama etanol. Hasil ekstraksi yang telah dilakukan 24 jam kemudian dilakukan penyaringan dan terlihat pada Tabel 1 di bawah ini. filtratnya ditampung, diulangi sebanyak tiga Tabel 1: Hasil Ekstraksi Simplisia dengan Berbagai Pelarut Tumbuhan Bagian Pelarut Berat ekstrak (g) P. foetida Simplisia n-hexana 34 Daun (1 kg) Etil acetat 27 Etanol 126
862 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Analisis fitokimia dengan KLT pada fraksi n-hexana, etil acetat dan etanol daun permot dilakukan menggunakan fase diam silika gel 60F254 dan pereaksi Dragendorf. Hasil KLT menunjukkan bahwa fraksi nEA
hexana mengandung alkaloid yang ditunjukkan dengan noda berwarna merah jingga dianggap bereaksi positif terhadap pereaksi Dragendorf, ditampilkan pada Gambar 1. H
EOH
Gambar 1. Hasil analisis Kromatografi lapis Tipis (KLT) identifikasi alkaloid dalam fraksi n-Hexana, etil acetat dan etanol Daun Permot setelah divisualisasi dengan pereaksi Dragendorf. Keterangan : EA = Etil acetat; H = n-hexana; EOH = etanol. Hasil identifikasi kualitatif kandungan kimia fraksi n-hexana daun permot adalah senyawa alkaloid, hal ini sesuai pendapat Wijayakusuma dkk., (1995). Senyawa alkaloid tersebut banyak terdapat di daun dibandingkan di bagian lain dari tanaman. Metabolit sekunder daun permot antara lain alkaloid yang memiliki kemampuan bekerja sebagai racun pada larva baik sebagai racun kontak maupun racun perut. Berdasarkan hasil KLT, identifikasi terpenoid dengan fase diam silika gel 60F254 dengan fase gerak campuran n-hexana : etil acetat (4:1), penampak noda anisaldehida asam sulfat, timbul warna merah ungu atau
ungu menunjukkan adanya terpenoid dalam fraksi n-hexana dan fraksi etil acetat, ditampilkan dalam Gambar 2. Berdasarkan hasil KLT, identifikasi flavonoid dengan fase diam silika gel 60F254 dengan fase gerak campuran butanol : asam asetat glasial : air (4 : 1 : 5) kloroform : aseton : asam formiat (6 : 6 : 1) penampak noda uap amoniak, dari ke tiga fraksi tidak timbul warna kuning, ketiganya tidak mengandung flavonoid. Berdasarkan hasil KLT, identifikasi fenol dengan fase diam silika gel 60F254 dengan fase gerak campuran kloroform : etil acetat : asam formiat (0,5:9:0,5), penampak FeCl3, timbul
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 863
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
warna hitam dalam fraksi etanol menunjukkan EA
adanya fenol, ditampilkan dalam Gambar 3. H
Et
Gambar 2. Hasil analisis Kromatografi lapis Tipis (KLT) identifikasi terpenoid dalam fraksi n-Hexana, etil acetat dan etanol setelah divisualisasi dengan pereaksi Anisaldehid asam sulfat. Keterangan : EA = Etil acetat; H = n-hexana; Et = etanol. EA
Et
H
Gambar 3. Hasil analisis Kromatografi lapis Tipis (KLT) identifikasi fenol dalam fraksi n-Hexana, etil acetat dan etanol setelah divisualisasi dengan FeCl3. Keterangan : EA = Etil acetat; H = n-hexana; Et = etanol.
864 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Komponen kimia dalam fraksi n-hexana daun permot, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode GC-MS. Data kromatogram pada Gambar 5. diketahui terdapat 28 senyawa (puncak) yang terkandung dalam fraksi n-hexana. Lima
puncak diantaranya kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui struktur senyawanya. Lima puncak tertinggi diduga mengandung 13-Octadecenal, Neopytadiene, Isophytol, 9,12,15-octadecatri- noic acid dan Phytol.
Intensitas
Gambar 4. Kromatogram fraksi n-hexana Daun Permot Hasil analisis GC-MS menunjukkan Salvia splendens memiliki aktifitas sebagai bahwa fraksi n-hexana mengandung senyawa larvisidal terhadap larva Ae. albopictus dengan isophytol (tr = time retensi 10,27 menit) dan LC50 sebesar 59,2 ppm. phytol (tr = 12,14 menit), keduanya Kematian larva instar IV nyamuk Ae. aegypti merupakan bagian dari terpenoid yang bersifatpasca pencelupan dalam larutan uji selama 24 jam sebagai bioinsektisida terhadap larva instar IVkarena pengaruh senyawa aktif dalam fraksi nnyamuk Ae. aegypti, hal ini sesuai denganhexana yang mengandung alkaloid dan terpenoid. penelitian yang telah dilakukan oleh Estrada etBanyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa al., (2013) bahwa senyawa phytol (tr = 12,09diantaranya dari segi biosintesis merupakan menit ) sebagai komponen utama dari daun P.terpenoid termodifikasi alkaloid lain. alliaceae. Metabolit sekunder tersebut juga Alkaloid memiliki kemampuan bekerja dilaporkan oleh Mathew dan Thoppil (2011),sebagai racun kontak yang baik karena bahwa komponen penting dalam essential oilkemampuannya untuk menembus kutikula
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 865
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
serangga. Alkaloid ini sangat efektif terhadap berbagai serangga, khususnya serangga bertubuh lunak. Pada larva alkaloid bekerja baik sebagai racun kontak maupun racun perut, pada sistem saraf senyawa aktif ini bekerja pada ganglia sistem syaraf pusat. Alkaloid juga dapat menyebabkan gangguan sistem pencernaan karena alkaloid bertindak sebagai racun perut yang masuk melalui mulut larva (Soparat, 2010). Alkaloid sebagai racun kontak dan perut yang membunuh serangga secara perlahan yang diikuti dengan aktifitas makan yang terhenti (stop feeding action). Berdasarkan hasil-hasil tersebut di atas membuktikan bahwa ekstrak daun permot dengan pelarut n-hexana yang mengandung alkaloid dan terpenoid (isophytol dan phyto) mempunyai efek sebagai racun kontak dan racun perut terhadap larva instar IV nyamuk Ae. aegypti dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida yang ramah lingkungan. Simpulan Ekstrak daun Permot (Passiflora foetida Linn.) mengandung alkaloid, terpenoid dan fenol. Fraksi n-hexana daun permot mengandung alkaloid dan terpenoid (isophytol dan phytol), fraksi etil acetat mengandung terpenoid dan fraksi etanol mengandung fenol. Terpenoid bersifat sebagai larvisida (bioinsektisida). Hasil analisis fraksi n-hexana daun permot dengan GC-MS mengandung 28 senyawa puncak. Lima puncak tertinggi diduga mengandung 13-Octadecenal, Neopytadiene, Isophytol, 9,12,15octadecatrienoic acid dan Phytol.
Daftar Rujukan Arsin, A.A., Wahiddudin. 2004. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di kota Makassar. J. Kedokteran Yarsi. 12(2): 2333. Estrada, A.C., M. G. Angulo, R. B.Argáez, E. R. Sánchez. 2013. Insecticidal effects
of plant extracts on immature whitefly Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyroideae). E. J. Biotechnol. Plant Biotechnol. Vol 16 No. 1. Dinas Kesehatan Kota Surabaya.2005. Incidence Rate dan Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue di Kota Surabaya dalam lima tahun terakhir. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis Tumbuhan 2. ITB Bandung 354 halaman. Mathew, J and J.E. Thoppil. 2011. Chemical composition and mosquito larvicidal activities of Salvia essential oils. Pharmaceutical Biology, vol. 49, no. 5, P. 456463. Okumu, F.O., B.G.J. Knols and U. Fillinger. 2007. Larvasidal effect of neem (Azadirachta indica) oil formulation on the malaria vector Anopheles gambiae. Malaria J. 6: 63. Raharjo, B. 2006. Uji kerentanan (susceptibility test) Aedes aegypti (Linnaeus) dari Surabaya, Palembang dan beberapa wilayah di Bandung terhadap larvasida Temephos (Abate 1 SG). Skripsi sarjana. Sekolah Ilmu Teknologi Hayati ITB. Sastrohamidjojo, H dan H.D. Pranowo. 1985. Kromatografi. Edisi kesatu. Penerbit Liberti, Yokyakarta. Halaman 6-8, 23, 26, 27, 46, 53-55, 92 dan 97. Soegianto, S., F. Sustini dan A. Wirahjanto. 2004. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue dalam Demam berdarah dengue, tinjauan dan temuan baru di era 2003. Cetakan I. Airlangga University Press Surabaya: 1-10.
866 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Soparat, S. 2010. Chemical ecology and function of alkaloids. http://pirun.ku.ac.th/g4686045/media/alka loid.pdf. (dikutip: 10 September 2011) Sumarmo, P.S. 2004. Masalah Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Balai Penerbit FHUI, Jakarta: 1-13. Wijayakusuma, H., S. Dalimarta dan A.S. Wirian. 1995. Tanaman berkhasiat obat di Indonesia. Pustaka Jakarta: 106-107.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 867
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
STUDI KARAKTERISASI MORFOLOGI SPORA TUMBUHAN PAKU PADA FAMILI Adiantaceae Putri Eka Maharani, Putri Moortiyani Al Asna, Lenny Yunia Nurwega, Dwi Rahmawati, Eko Sri Sulasmi
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang Email:
[email protected] Abstrak Tumbuhan paku memiliki karakteristik morfologi spora yang khas yang dapat digunakan sebagai penanda takson. Morfologi spora terdiri atas ada tidaknya lampang, apertura, bentuk spora, dan ornamentasi. Spora yang digunakan dalam uji karakteristik Morfologi termasuk dalam Famili Adiantaceae dari marga Cheilantes yang terdiri dari Cheilantes farinosa, Cheilantes mysurensis, Cheilantes tenuifolia, Cheilantes bullos dan marga Anthrophyum, spesies Anthrophyum reticulatum. Tujuan penelitian adalah (1) mengetahui karakteristik morfologi spora tumbuhan paku dalam Famili Adiantaceae, (2) mendeskripsikan perbedaan karakter morfologi spora tumbuhan paku antara marga Cheilantes dan Anthrophyum. Metode penelitian ini meliputi preparasi spora tumbuhan paku, pengamatan spora tumbuhan paku menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM), dan pendeskripsian morfologi spora tumbuhan paku mengacu pada literatur. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan morfologi spora yang spesifik antara marga Cheilantes dengan Anthrophyum yaitu ada tidaknya lampang pada spora sedangkan perbedaan morfologi spora antar spesies dalam marga Cheilantes mencakup apertura, bentuk spora, dan ornamentasi. Kata Kunci: Spora, Famili Adiantaceae, Morfologi Spora
Pendahuluan Tumbuhan paku (Pteridophyta) memiliki morfologi generatif yang unik pada setiap spesies. Morfologi generatif tumbuhan paku, terutama morfologi spora belum banyak diteliti. Penelitian ciri morfologi spora paku penting dilakukan untuk mengetahui ciri morfologi dari suatu famili tumbuhan paku. Spora merupakan alat perkembangbiakan dari tumbuhan paku. Spora umumya terdapat pada permukaan bawah daun. Spora tumbuhan paku berfungsi dalam proses pemencaran tumbuhan pada habitat yang lembab sehingga gametofit dapat tumbuh. Spora memiliki dinding yang berkemampuan untuk bertahan pada kondisi kering. Spora memiliki bentuk ornamentasi, lampang, apertura, dan rentang ukuran yang berbeda.
868 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Karakteristik morfologi spora tumbuhan paku yang khas yang dapat digunakan sebagai penanda takson. Ornamentasi spora, terutama spora paku belum banyak dipelajari (Moore & Webb, 1978). Beberapa karakter spora tumbuhan paku yang umum digunakan dalam deskripsi yaitu aggregation atau conglobation, simetri, apertures, ukuran, bentuk, dan karakter dinding (Harris, 1955). Secara umum bentuk spora dapat dibedakan atas spora monolete yaitu spora yang hanya mempunyai satu garis pembuka atau pembagi, dan spora trilete yang mempunyai 3 garis pembuka atau pembagi (Harris, 1955). Nair (1991) menyebutkan bahwa karakter morfologi spora umumnya dianalisis berkaitan dengan dinding atau lapisan terluar dari polen dan spora yang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
resisten. Karakter morfologi polen dan spora meliputi apertura, tingkat eksin, ornamentasi eksin, ukuran, dan bentuk. Sudut pandang yang berlainan dilihat dari distal, polar, dan equatorial spora memiliki bentuk yang berbeda. Hal ini terjadi karena pada pandangan polar yang terlihat merupakan bagian spora yang menghadap ke arah pusat tetrad, pada bagian distal yang terlihat merupakan sisi yang paling jauh dari tetrad, sedangkan pada pandangan equatorial dapat dilihat dari samping yang menunjukkan ujung polar dan distal secara bersamaan. Adiantaceae merupakan tumbuhan paku yang tumbuh pada daerah lembab hingga kering. Batang bawah pendek, merayap dan memanjat. Pelindung sorusnya tidak ada atau merupakan pelekukan tepi daun yang termodifikasi menjadi indusium palsu. Sporanya hampir selalu tetrahedral. Adiantaceae terdiri dari kurang lebih 62 marga. Beberapa sub-Famili dari Adiantaceae yang banyak ditemukan di beberapa daerah Indonesia antara lain dari marga Cheilantes meliputi Cheilantes farinosa, Cheilantes mysurensis, Cheilantes tenuifolia, Cheilantes bullos dan marga Anthrophyum, spesies Anthrophyum reticulatum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri morfologi spora tumbuhan paku dari beberapa spesies Famili Adiantaceae. (Becking, 1982) Metode Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus 2014 hingga bulan Oktober 2014. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan dan Laboratorium Herbarium
Malangenensis Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Malang Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati dan mendeskripsikan morfologi dan karakteristik spora tumbuhan Paku pada Famili Adiantaceae meliputi ada tidaknya lampang, apertura, bentuk spora, dan ornamentasi. Pengamatan spora tumbuhan paku pada Famili Adiantaceae meliputi preparasi spora tumbuhan paku, pengamatan spora tumbuhan paku menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Universitas Negeri Malang. Spora tanaman paku Famili Adiantaceae dari marga Cheilantes yang terdiri dari Cheilantes farinosa, Cheilantes mysurensis, Cheilantes tenuifolia, Cheilantes bullos dan marga Anthrophyum, spesies Anthrophyum reticulatum didapatkan dari Laboratorium Herbarium Malangenensis berupa herbarium kering. Analisis data yang digunakan menggunakan pendekatan Deskriptif Kualitatif dan mengacu pada literatur. Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan deskripsi morfologi spora tumbuhan Paku pada Famili Adiantaceae dari marga Cheilantes yang terdiri dari Cheilantes farinosa, Cheilantes mysurensis, Cheilantes tenuifolia, Cheilantes bullos dan marga Anthrophyum, spesies Anthrophyum reticulatum menunjukkan hasil sebagai berikut:
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 869
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
a.
Cheilantes farinosa
Gambar 1. Spora Cheilantes farinosa dilihat dari depan (Sumber : Dokumen Pribadi, 2014) Spora tumbuhan paku dari Cheilantes farinosa berbentuk membulat non angular sirkuler dengan diameter 51,64 μm, dengan ornamentasi Reticulate berupa penonjolan yang membentuk pola jaring. Spora apertura menunjukkan adanya colpus yang b.
berkombinasi dengan porus yang disebut colporate. Colpus dengan margo, lembaran lumina semakin kecil ke arah tepi colpus dan menghilang di tepi memberi tectate margin. Sexine bertahap menjadi lebih tipis kearah tepi colpus. (Moore & Webb, 1978).
Cheilantes mysurensis
Gambar 2. Spora Cheilantes mysurensis dilihat dari depan (Sumber : Dokumen Pribadi, 2014) Spora tumbuhan paku dari Cheilantes mysurensis berbentuk bulat non angular eliptik dengan panjang 42.98 μm dan Lebar 33.69 μm. Apertura menunjukkan adanya colpus yang berkombinasi dengan porus yang
870 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
disebut colporate. Ornamentasi Reticulate yang terdapat pada bagian nexine/foot layernya yang berpori disebut pantoporet. (Moore & Webb, 1978).
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
c.
Cheilantes tenuifolia
Gambar 3. Spora Cheilantes tenuifolia tampak dari polar (Sumber : Dokumen Pribadi, 2014) Spora tumbuhan paku dari Cheilantes tenuifolia berbentuk tetrahedral dengan panjang 47.14 μm dan lebar 33.14 μm. Apertura juga menunjukkan adanya colpus d.
yang berkombinasi dengan porus yang disebut colporate. Ornamentasi reticulate dan di dalamnya terdapat pilate. (Moore & Webb, 1978)
Cheilantes bullosa a
b
Gambar 4. Spora Cheilantes bullosa a. Spora tanpa eksin b. Spora dengan eksin yang terkelupas (Sumber : Dokumen Pribadi, 2014)
Spora tumbuhan paku dari Cheilantes bullosa berbentuk non-angular eliptic dengan panjang 61.08 μm dan lebar 39.03 μm.
Apertura membentuk kerutan saja tanpa porus (colpus). Ornamentasi Verrucate semitectote. (Moore & Webb, 1978).
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 871
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
e.
Anthrophyum reticulatum
Gambar 5. Spora Anthrophyum reticulatum dilihat dari depan (Sumber : Dokumen Pribadi, 2014) Spora tumbuhan paku dari Anthrophyum reticulatum berbentuk angular triangular obfuse concave dengan panjang dengan tinggi 44.21 μm. Lampang Trilete dan ornamentasi Scabrate. (Moore & Webb, 1978). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada setiap spesies dari Famili Adiantaceae memiliki karakterisasi yang khas yaitu pada spesies Cheilantes farinosa, Cheilantes mysurensis, dan Cheilantes tenuifolia memiliki ornamentasi yang sama yaitu Reticulate. Pada spesies Cheilantes bullosa memiliki ornamentasi Verrucate semitectote, tetapi Cheilantes bullosa memiliki bentuk yang sama seperti pada spesies Cheilantes farinosa dan Cheilantes mysurensis yaitu Non Angular. Persamaan karateristik dari marga Cheilantes adalah tidak memiliki lampang sesuai dengan pernyataan Moore & Webb (1978). Marga Anthrophyum memiliki perbedaan yang signifikan dengan marga Cheilantes. Anthrophyum memiliki ornamentasi Scabrate, berbentuk Angular Triangular Obfuse Concave dan memiliki lampang trilete menurut Moore & Webb (1978). Persamaan yang dimiliki kedua marga tersebut dijadikan dalam satu famili Adiantaceae adalah karateristik morfologi sporofil yakni adanya indusium palsu dan
872 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
karateristik morfologi lainnya, bukan dari karateristik morfologi spora (Holtum, 1968) Beberapa karakter morfologi tumbuhan paku pada Adiantaceae di atas juga merujuk pada buku identifikasi yang berjudul “FLORA OF MALAY” tulisan R.E Holtum tahun 1968 yang menyatakan bahwa keanekaragaman bentuk dan ornamentasi spora pada Famili Adiantaceae dapat dijadikan sebagai pembeda antar marga dan antar spesies. Penjabaran tersebut kemudian menjadi salah satu kriteria yang dipertimbangkan dalam identifikasi tumbuhan paku dalam bidang taksonomi. Pada hasil penelitian terdapat beberapa variasi baik dari marga Cheilantes dan marga Anthrophyum. Kedua marga tersebut memiliki persamaan sehingga dijadikan dalam satu famili Adiantaceae. Persamaan pada kedua marga tentang karateristik morfologi sporofil yakni adanya indusium palsu dan karateristik morfologi lainnya, bukan dari karateristik morfologi sporanya. . Simpulan Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan morfologi spora yang spesifik antara marga Cheilantes dengan Anthrophyum ditinjau dari keberadaan lampang pada spora dan perbedaan morfologi spora antar spesies
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dalam marga Cheilantes yang mencakup apertura, bentuk spora, dan ornamentasi. Daftar Rujukan Becking, R.W. 1982. Pocket Flora of Redwood Forest. California: Island Press Harris, W.F. 1955. A manual of the Spores of New Zealand Pteridophyta. New Zealand. Department of Scientific and Industrial Research.
Holttum R.E. 1968. Flora of Malaya: Volume II Fern of Malaya. Singapura: Authority Government Printing Office Singapore. Moore, P.D. dan Webb, J.A. 1978. An Illustrated Guide to Pollen Analysis. New York: Division of John Wiley & Sons Inc. Nair, P.K.K. (1991). Pollen Morphologi, Plant Taxonomy and Evolution. 1 (1&2):7883.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 873
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
ANALISIS PROTEIN MEMBRAN SPERMATOZOA SAPI Aberdeen-Angus, SAPI BALI, DAN SAPI ONGOLE SEBAGAI PENDEKATAN KEKERABATAN SAPI Ratna Dwi Ramadani, Sofia Ery Rahayu, Umie Lestari Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No. 5 Malang Email:
[email protected]
Abstract Generally, livestock’s breeding could make both possitive and negative effects if done without pay few attention on it’s genetic relationship. Therefore, livestock’s genetic relationship characterization, especially in bull is crucial to be observed so that we could manage the appropriate breeding system. The purposes of this research are to describe the Aberdeen-Angus, Bali, and Ongole bull’s sperm membrane protein profile and observe its polymorphismic protein to determine the compared bull’s genetic relationship. Data analysis of the bull’s sperm protein membrane had been done by comparing the testicular spermatozoa protein with molecule mass around 16 kDa, 33 kDa, 34-38 kDa, 64 kDa and 75 kDa, that are the results of sperm nuclear DNA expression. Based on the result of electrophoresis SDS-PAGE, it have been known that Aberdeen-angus bull has the expression of doppel protein (34-38 kDa) and PH-20 Hyaluronidase protein (75 kDa), besides Bali bull just has the expression of doppel protein. In the other hand, Ongole bull has the expression of doppel protein and phospholipase A2 protein (16 kDa). Genetic relationship estimation among Aberdeen-Angus, Bali and Ongole bulls conducted by doing cluster analysis using MVSP 3.22 program to obtain a dendogram as the result. Based on the dendogram, could be estimated that Bali bull has a close genetic relationship with Aberdeen-angus bull, in the other hand, both of them estimated to have such as a distant genetic relationship with Ongole bull. Keywords: Protein Analysis, Bull’s Membrane Spermatozoa, Genetic Relationship, Bull’s Breeding Systems. Pendahuluan Salah satu upaya peningkatan potensi produksi ternak sapi lokal Indonesia adalah dengan memperhatikan sistem perkawinan sapi. Sistem perkawinan hewan ternak dapat menimbulkan dampak positif dan negatif apabila dilakukan tanpa memperhatikan kekerabatan hewan ternak. Studi hubungan kekerabatan antara suatu makhluk hidup dapat diketahui melalui pengamatan morfologi dan anatomi serta melalui pengamatan molekular dalam kajian filogenetik (Hidayat, dkk. 2006). Pengamatan hubungan kekerabatan berdasarkan kajian filogenetik melalui
874| Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
pengamatan terhadap variasi genetik pada hewan ternak, khususnya pada sapi, seringkali dilakukan dengan mengamati polimorfisme protein (Johari, dkk. (2007); Lisnawati (2011); Noviani, dkk. (2013); Riztyan (2000)). Polimorfisme protein merupakan studi mengenai karakteristik dari berbagai protein, yang dapat dipelajari dari struktur protein atau enzim yang dihasilkan karena perbedaan basa nukleotida dalam DNA. Polimorfisme protein sangat berguna untuk membantu penentuan asal-usul serta menyusun hubungan filogenetis makhluk hidup intraspesies maupun interspesies. Pada
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
penelitian ini diamati polimorfisme protein membran spermatozoa sapi dalam estimasi hubungan kekerabatan. Protein membran spesifik spermatozoa digunakan sebagai dasar dalam estimasi hubungan kekerabatan, protein-protein tersebut diantaranya protein membran spermatozoa yang terekspresi di testis selama spermatogenesis, bukan proteinprotein yang terbentuk ketika spermatozoa berada pada saluran reproduksi jantan (epididimis, vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar cowper) (Johnson and Everitt, 2007). Pengamatan protein spesifik didasarkan pada karakter spermatozoa yang DNA stabil akibat ikatan disulfida yang kuat DNA dengan protamin sehingga spermatozoa tidak akan mengalami sintesis protein hingga spermatozoa membuahi sel telur. Oleh karena itu, susunan protein struktural membran spermatozoa tidak mengalami perubahan hingga spermatozoa membuahi ovum (Yu, 2008). Protein spesifik spermatozoa yang digunakan sebagai protein pembanding pada penelitian kali ini diantaranya adalah protein doppel yang dikode oleh gen prnd dengan berat protein 34-38 kDa (Rondena et al., 2006), protein perlekatan kalsium (calciumbinding protein) yang merupakan protein integral akrosomal membran spermatozoa bovine dengan berat molekul 64 kDa (Nadgas et al., 2013), protein perlekatan sel telur (ovum binding protein) atau Phospholipase A2 dengan berat molekul 16 kDa (Marques et al., 2000), protein tirosin terfosforilasi (tyrosin phosphorylated protein) yang memiliki berat molekul 33 kDa (Harayama et al., 2010) serta protein PH-20 hyaluronidase dengan berat molekul 75 kDa (Lalancette et al., 2001). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil protein membran spermatozoa sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali, dan Sapi Ongole serta mengamati polimorfisme proteinnya untuk mengkaji hubungan kekerabatan antara sapi yang dibandingkan.
Metode Penelitian Materi penelitian ini adalah semen beku Sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali, dan Sapi Ongole yang diperoleh dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari Malang. Semen beku yang diperoleh disimpan dalam nitrogen cair sebelum diisolasi untuk menghindari kerusakan semen selama transportasi. Semen sapi diencerkan (thawing) dengan direndam pada air suhu 36-380 C (1530 menit). Isolasi Protein Membran Spermatozoa Sapi Isolasi protein membran spermatozoa dilakukan berdasarkan petunjuk dalam Lestari (2008), dimana: 2 ml semen spermatozoa sapi diperoleh dari 9 straw semen sapi, semen dicuci dengan menggunakan PBS hingga dua kali pencucian dengan sentrifugasi 3000 rpm (10 menit). Pellet hasil sentrifugasi di rendam dalam BO cafein dan diinkubasi 36,5 – 37o C (20 menit). Isolasi protein membran spermatozoa sapi, menggunakan Tuenn dan PMSF, selajutnya proses homogenasi larutan dengan menggunakan vortex (10 menit) dan sonikasi (2x10 menit) untuk membantu lysis protein membrannya. Sentrifugasi dingin dilakukan pada suhu 4oC dengan kecepatan 12.000 rpm selama 2x10 menit. Presipitasi protein membran spermatozoa dilakukan dengan menambahkan etanol absolut dingin, selanjutnya ditambah etanol dan dikeringanginkan. Endapan di dasar tabung eppendorf 2 ml ditambahkan buffer Tris-Cl dan disimpan pada suhu -20oC. Elektroforesis SDS-PAGE Crude Protein Membran Spermatozoa Sapi Pada penelitian ini elektroforesis SDSPAGE dilakukan dengan konsentrasi separating gel 12,5% dan stacking gel 3% menurut Lestari (2008). Separating gel 12,5% mengandung 30% acrylamide-bis; 1,5 M Tris pH 8,8; demineralized water; SDS 10%; APS 10%; serta TEMED. Sementara stacking gel 3% mengandung 30% acrylamide-bis; 0,5 M Tris pH 6,8; demineralized water; SDS 10%; APS 10%; serta TEMED. Sebelum
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang I 875
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dielektroforesis, crude protein membran spermatozoa sapi diukur konsentrasi dengan menggunakan NANODROP spektrofotometer dan disamakan konsentrasinya melalui pengenceran. Selanjutnya, crude protein ditambah RSB dengan perbandingan 1:1 dan dipanaskan selama 5 menit pada suhu 95oC. Protein marker yang digunakan dalam penelitian ini adalah marker protein SpectraTM Multicolor Broad Range Protein Ladder SM1841. Proses elektroforesis dilakukan dengan tegangan 130 V dan kuat arus 60 mA (running elektroforesis per-2 gel). Gel hasil elektroforesis diwarna dengan commasie brilliant blue, methanol absolut, asam asetat glasial, dan demineralized water selama 20-30 menit. Proses penghilangan warna dilakukan menggunakan destaining buffer yang mengandung methanol absolut, asam asetat glasial, dan demineralized water. Pencucian
dengan destaining water dilakukan selama 3 hari 3 malam. Dilakukan perbandingan polimorfisme protein membran spesifik spermatozoa sapi dengan berat molekul 16 kDa, 33 kDa, 34-38 kDa, 64 kDa, dan 75 kDa pada ketiga jenis sapi. Selanjutnya berdasarkan profil protein spesifik spermatozoa dilakuakan analisis kluster (cluster analysis) dengan menggunakan program Multivariate Statistical Package (MVSP) 3.22. Hasil analisis kluster menggunakan MVSP 3.22 adalah dendogram yang menggambarkan estimasi hubungan kekerabatan sapi. Hasil dan Pembahasan Hasil elektroforesis SDS-PAGE crude protein membran spermatozoa Sapi AberdeenAngus, Sapi Bali, dan Sapi Ongole dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. (a)Gambar Hasil Elektroforesis SDS-PAGE (b) Zimogram Hasil Elektroforesis SDS PAGE, (AA) Crude Protein Sapi Aberdeen-Angus, (B) Crude Protein Sapi Bali, (M) Protein Marker SpectraTM Multicolor Broad Range Protein Ladder SM184, (O) Crude Protein Sapi Ongole.
876| Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hasil elektroforesis crude protein Sapi Aberdeen-Angus menunjukkan bahwa protein yang terbentuk pada separating gel sejumlah 11 band protein dengan berat molekul diantaranya: 179,6 kDa; 82,4 kDa; 75 kDa; 37,8 kDa; 15,01 kDa; 14,3 kDa; 13,6 kDa; 12,36 kDa; 11,29 kDa; 10,7 kDa dan 9,7 kDa. Hasil elektroforesis crude protein Sapi Bali terbentuk 9 band protein pada separating gel dengan berat molekul 199,2 kDa; 82,2 kDa; 71,5 kDa; 37,2 kDa; 15,4 kDa; 14,7 kDa; 12,2 kDa; 11,1 kDa dan 10,6 kDa. Sementara itu, Hasil elektroforesis SDS-PAGE pada crude protein Sapi Ongole menggambarkan terbentuknya 11 band protein. Berdasarkan hasil penghitungan berat molekul protein diketahui bahwa protein-protein tersebut memiliki berat molekul 198,4 kDa; 83,7 kDa; 72,5 kDa; 37,0 kDa; 15,6 kDa; 14,9 kDa; 12,3 kDa; 11,7 kDa; 11,2 kDa dan 10,6 kDa. Berikut di bawah ini merupakan gambar hasil elektroforesis SDS-PAGE.
Pada penelitian ini, estimasi hubungan kekerabatan antara Sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali dan Sapi Ongole dilakukan dengan membandingkan profil protein membran spesifik spermatozoa sapi sebagai protein pembanding. Protein spesifik spermatozoa sapi yang diamati diantaranya: (1) protein doppel (34-38 kDa), (2) calcium-binding protein (64 kDa), (3) Phospholipase A2 protein (16 kDa), tyrosin phosphorylated protein (33 kDa), serta (4) protein PH-20 hyaluronidase (75 kDa). Protein spesifik membran spermatozoa merupakan hasil sintesis protein yang terjadi selama tahapan mitosis dan meiosis selama spermatogenesis, yang selanjutnya dipergunakan untuk pembentukan protein struktural, enzim, dan hormon. Sintesis protein pada spermatozoa terhenti pada tahap akhir spermiogenesis. Analisa profil protein penanda dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1: Tabel Analisa Profil Protein Spesific Spermatozoa antara Sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali, dan Sapi Ongole Dalam Pendekatan Kekerabatan Sapi Protein No Jenis Sapi 16 kDa 33 kDa 34-38 kDa 64 kDa 75 kDa (A2) (TPP) (Dop) (CBP) (PH-20) 1 Sapi Aberdeen-angus ~ ~ √ ~ √ 2 Sapi Bali ~ ~ √ ~ ~ 3 Sapi Ongole √ ~ √ ~ ~ Keterangan: A2 : Protein perlekatan sel telur TPP : Tyrosine Phosphorilated Protein Dop : Protein Doppel CBP : Calcium Binding Protein PH-20 : Protein PH-20 Hyaluronidase √ = Terdapat protein ~ = Tidak terdapat protein Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa Protein Doppel terekspresi pada spermatozoa ketiga sapi, yakni Sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali, dan Sapi Ongole. Protein PH-20 Hyaluronidase (75 kDa) hanya terekspresi pada spermatozoa Sapi Aberdeen-Angus.
Selain itu, phospholipase A2 protein (16 kDa) hanya terekspresi pada spermatozoa Sapi Ongole. Berdasarkan keberadaan protein pembanding, dilakukan analisa kluster (cluster analysis) untuk mengestimasi kedekatan hubungan antara sapi yang dibandingkan
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang I 877
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dengan memanfaatkan program MVSP 3.22 yang akan menghasilkan dendogram (Gambar 2), dari gambaran dendogram dapat diketahui estimasi kedekatan hubungan antara Sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali, dan Sapi Ongole. Berdasarkan dendogram dapat diketahui bahwa Sapi Bali diestimasikan memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan Sapi Aberdeen-Angus, indeks similiaritas antara kedua jenis sapi ini adalah 0,8. Hal tersebut menggambarkan ekspresi
protein spesifik spermatozoa antara Sapi Aberdeen-Angus dan Sapi Bali memiliki 80% kemiripan. Sementara itu Sapi Bali dan Sapi Aberdeen-Angus dengan Sapi Ongole memiliki indeks similiaritas 0,7 yang menandakan kemiripan ekspresi protein antara ketiganya mencapai 70%, sehingga Sapi Bali dan Aberden-angus diestimasikan memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan Sapi Ongole.
Gambar 2. Gambar Dendogram Hubungan Kekerabatan Sapi Berdasarkan Analisis Protein Membran Spermatozoa Sapi Aberdeen-Angus, Sapi Bali dan Sapi Ongole. Kedekatan hubungan antar hewan, merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya pemuliabiakan ternak, untuk dapat menentukan teknik perkawinan (breeding) yang tepat bagi hewan ternak. Berdasarkan profil protein membran spermatozoa diketahui bahwa sistem perkawinan sapi yang tepat bagi ketiga jenis sapi tersebut diatas berdasarkan profil protein membran spermatozoanya adalah perkawinan antara sapi Bali dengan Sapi Ongole dan Sapi Aberdeen-angus dengan Sapi Ongole yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh. Perkawinan antara hewan yang memiliki hubungan kekerabatan jauh dikenal sebagai
878 I Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang
cross breeding atau perkawinan silang. Peningkatan kualitas sapi akibat cross breeding dapat terjadi akibat adanya gabungan sifat unggul dari induknya yang biasa disebut heterosis atau hybrid vigour. Perkawinan cross breeding memiliki dampak positif berupa peningkatan kualitas hewan ternak hasil perkawinan serta peningkatan variasi genetik hewan ternak hasil perkawinan. Hasil persilangan antara Sapi Aberdeen-angus dan Sapi Bali yang diperkirakan memiliki hubungan kekerabatan relatif lebih dekat didasarkan pada polimorfisme protein membran spermatozoanya dikawinkan, maka besar
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
kemungkinan akan terjadi perkawinan inbreeding. Perkawinan inbreeding akan menyebabkan penurunan keragaman genetik dalam populasi. Selain itu, filial pertama hasil perkawinan inbreeding kemungkinan memiliki kondisi fisik yang lemah (viabilitas rendah) serta sulit memperoleh keturunan (mandul) (Christine et al., 1983). Simpulan Hasil elektroforesis SDS-PAGE pada crude protein membran spermatozoa Sapi Aberdeenangus, Sapi Bali dan Sapi Ongole menunjukkan bahwa Sapi Aberdeen-Angus memiliki ekspresi Protein Doppel dengan berat molekul 34-38 kDa dan Protein PH-20 Hyaluronidase dengan berat molekul 75 kDa. Sapi Bali hanya memiliki ekpresi Protein Doppel (34-38 kDa). Sementara Sapi Ongole memiliki ekpresi Protein Phospholipase A2 dengan berat molekul 16 kDa dan Protein Doppel (34-38 kDa). Berdasarkan profil protein membran spermatozoa diketahui bahwa Sapi Bali diestimasikan berkerabat dekat dengan Sapi Aberdeen-angus, sementara kedua sapi tersebut diestimasikan memiliki kekerabatan yang lebih jauh jika dibandingkan dengan Sapi Ongole. Daftar Rujukan Balhorn, Rod. 2007. Protein Family Review: The Protamine Family of Sperm Nuclear Proteins. Genome Biology (8) : 227. Christine M. S., Cox S. M., Chambers B., Macbryde L., Thomas. 1983. Genetics and Conservation. California: Benjamin/ cummings publishing. Hecht, N., Cavalcanti, M. C. O., Nayudu, P., Behr, R., Reichenbach, M., Weidner, W. and Steger, K. 2010. Protamine-1 Represents a Sperm Spesific Gene Transcript: a Study in Callithrix jacchus and Bos taurus. Andrologia (41) : 1-7 Hidayat, T. dan Pancoro, A. 2006. Sistematika dan Filogenetika Molekuler. Makalah Disajikan Pada Kursus Singkat Aplikasi
Perangkat Lunak PAUP dan MrBayers Untuk Penelitian Filogenetika Molekuler SITH-ITB, Bandung, 14-16 Desember 2006. Johari, S., Kurnianto, E., Sutopo, Aminah, S. 2007. Keragaman Protein Darah Sebagai Parameter Biogenetik Pada Sapi Jawa. J. Indon. Trop. Anim. Agric 32(2): 112-118 Johnson, M. H. and Everitt, B. J. 2007. Essential Reproduction. Sixth Edition. Garshington Road UK: Blackwell Publishing. Lalancette, C., Dorval, V., Leblanc, V. and Leders, P. 2001. Characterization of an 80-kilodalton Bull Sperm Protein Identified as PH-20. Biology of Reproduction 65(2): 628-636. Lestari, Umie. 2008. Karakterisasi Dan Spesifikasi Protein Membran Spermatozoa Manusia Dan Antibodi Hasil Induksinya Untuk Pengembangan Kandidat Bahan Imunokontrasepsi. Disertasi Tidak Diterbitkan. Malang: Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Lisnawati, Priskila. 2011. Analisis Keragaman Genetik Protein Darah Kuda Lokal Sulawesi Utara Dengan Menggunakan Polyacrilamide Gel Electrophoresis (PAGE). Skripsi Tidak Diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Marques, V. A., Goulart, L.R. and Silva, A. E. D. F. 2000. Variation of Protein Profiles and Calcium and Phospholipase A2 Concentration in Thawed Bovine Semen and Their Relation to Acrosome Reaction. Genetics and Molecular Biology 23(4): 825-829 Nadgas, S.K., Buchanan, T. and MCCashill, S., Mackey, J., Alvarez, G. E. and Raychoudhury, S. 2013. Isolation of a Calcium Binding Protein of Acrosomal Membrane of Bovine Spermatozoa. Int J Biochem Cell Biol 45(4): 876-884 Noviani, F., Sutopo dan Kurnianto, E. 2013. Hubungan Genetik Antara Domba
Jurnal Biologi Universitas Negeri Malang I 879
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Wonosobo (Dombos), Domba Ekor Tipis (DET) dan Domba Batur (Dombat) Melalui Analisis Polimorfisme Protein Darah. Sains Peternakan 11(1): 1-9 Riztyan. 2005. Konstitusi Gen Pada Protein Putih Telur Burung Puyuh Sebagai Dasar Dalam Klasifikasi. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 30(1): 53-61 Rondena, M., Ceciliani, F., Comazzi, S., Pocacqua, V., Bazocchi, C., Luvoni, C., Chigioni, S. and Paltrinieri, S. 2006. Identification of Bovine Doppel Protein in Testis, Ovary and Ejaculated Spermatozoa. Theriogenology (63): 11951206. Shaman, J. A. and Ward, W. S. 2006. Sperm Chromatin Stability And Susceptibility To Damage In Relation To Its Structure. The Sperm Cell (Production, Maturation, Fertilization, Regeneration) : 31- 48 Warwick, E. J., Astuti, J. M. dan Hardjosubroto, W. 1990. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Yu, Yang. 2008. The Identification and Characterization of an Inner Acrosomal Membrane Associated Protein, IAM38, Responsible for Secondary Sperm-Zona Binding During Fertilization. Thesis tidak diterbitkan. Canada: Queen’s University Press
880 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
PERBANYAKAN DAN PERTUMBUHAN Acanthus Ilicifolius L. SEBAGAI FITOTEKNOLOGI LINGKUNGAN Rony Irawanto Kebun Raya Purwodadi – LIPI Jl. Surabaya – Malang Km 65 Pasuruan, Email:
[email protected]
Abstrak Jenis tumbuhan Acanthus ilicifolius L. (jeruju) secara alami ditemukan pada daerah lahan basah (wetland) di muara sungai, sebagai vegetasi mangrove sejati. Jeruju ditemukan sampai ketinggian 500 m dpl. Kawasan mangrove berada di perairan estuari yang merupakan hilir sungai dan muara dari berbagai limbah, baik limbah pertanian, domestik, perkotaan bahkan industri. Limbah cair dapat mencemari lingkungan, mengganggu ekosistem perairan, gangguan kesehatan pada manusia dan bahkan menyebabkan kematian terhadap makhluk hidup. Konsep yang memusatkan peran tumbuhan sebagai teknologi alami untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan disebut Fitoteknologi. Jeruju yang dominan pada kawasan mangrove, merupakan indikator kerusakan kawasan dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu upaya perbanyakan dan pertumbuhan A. ilicifolius untuk penelitian fitoteknologi perlu dilakukan. Penelitian secara deskriptif dilakukan selama April 2014. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian dan konservasi jenis A. ilicifolius lebih lanjut. Perbanyakan A. ilicifolius dilakukan secara vegetatif dengan stek batang, karena keterbatasan biji dan lebih cepat dalam perbanyakannya. Stek batang jeruju yang optimal pertumbuhannya diambil pada batang bagian tengah, dengan diameter 0,7-1,2 cm dan panjang 12-15 cm. Jeruju termasuk tumbuhan perineal sehingga bibit dewasa berumur 6 bulan keatas, memiliki tinggi 35-65 cm dan jumlah daun 6-12 helai. Pertumbuhan batang bertambah 1 cm/hari dengan panjang akar dua kalinya, sebaliknya diameter akar setengah dari diameter batang. Minimal perubahan jumlah daun terjadi dalam waktu 5 hari dan pengukuran biomassa diketahui 81,84 % berupa kandungan air. Kata kunci: Acanthus ilicifolius, Fitoteknologi. Pendahuluan Indonesia memiliki keanekaragaman ekosistem, kekayaan jenis dan endemisme yang tinggi, Namun acaman terhadap kelestarian alam dan kerusakan lingkungan berakibat hilangnya keanekaragaman hayati. Sehingga upaya pelestarian melalui konservasi tumbuhan dan pemanfaatan potensinya perlu dilakukan. Salah satu lembaga yang terkait dengan konservasi tumbuhan adalah kebun raya. Kebun Raya Indonesia sebagai lembaga konservasi ex-situ tumbuhan di Indonesia, tidak diragukan lagi merupakan pilar penyelamatan jenis-jenis tumbuhan dari kepunahan (Sari, dkk., 2004).
Kebun raya didefinisikan sebagai kawasan konservasi tumbuhan secara ex-situ yang memiliki koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi taksonomi, bioregion, tematik atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata, dan jasa lingkungan (Perpres, 2011). Kebun Raya Purwodadi sebagai salah satu Kebun Raya Indonesia, memiliki tugas melakukan konservasi tumbuhan Indonesia, terutama di daerah dataran rendah kering. Tumbuhan yang sudah ditanam dan menjadi koleksi akan dikelola, didata dan dimanfaatkan untuk tujuan konservasi,
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 881
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
penelitian, pendidikan lingkungan dan pariwisata (Happyanto, 2002). Tumbuhan yang sudah ditanam dan menjadi koleksi di Kebun Raya Purwodadi saat ini sejumlah 11.748 spesimen, 1.925 jenis, 928 marga dan 175 suku (Lestarini dkk., 2012). Salah satu koleksi Kebun Raya Purwodadi yang menarik adalah koleksi tanaman air / aquatic plants / tumbuhan akuatik. Tumbuhan akuatik saat ini sangat digemari masyarakat sebagai tanaman hias taman, karena keindahan bentuk dan warna, baik pada daun maupun bunga (Hidayat, dkk., 2004). Tumbuhan akuatik sebagai ornamental berfungsi ekologi dalam menciptakan keseimbangan ekosistem yang baik, sumber makanan organik, media bertelur dan tempat berlindung anakan ikan ataupun binatang air lainnya. Peran lain dalam ekosistem perairan adalah sebagai indikator kualitas air, akumulator dalam menyaring / menyerap kotoran dalam air yang dipergunakan sebagai pertumbuhannya. Sehingga tumbuhan akuatik dapat berfungsi sebagai pengolah air limbah, bahkan dalam tantanan taman yang estetika (Kusumawardani dan Irawanto, 2013). Menurut Irawanto (2009) tercatat 34 jenis tumbuhan akuatik yang ditemukan di Kebun Raya Purwodadi. Potensi tumbuhan akuatik ini umumnya sebagai tanaman hias, selain sebagai sumber pangan, obat dan kerajinan. Berdasarkan kriteria jenis setempat, banyak ditemukan di alam dan melihat kondisi lingkungannya, jenis Acanthus ilicifolius masih kurang digali potensinya dan berpeluang terpilih dalam fitoteknologi (Irawanto, 2014). Jenis tumbuhan Acanthus ilicifolius L. (jeruju) secara alami ditemukan pada daerah lahan basah (wetland) di muara sungai, sebagai vegetasi mangrove sejati. Jeruju ditemukan sampai ketinggian 500 m dpl. Kawasan mangrove berada di perairan estuari yang merupakan hilir sungai dan muara dari berbagai limbah, baik limbah pertanian, domestik, perkotaan bahkan industri. Limbah
882 |Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
cair dapat mencemari lingkungan, mengganggu ekosistem perairan, gangguan kesehatan pada manusia dan bahkan menyebabkan kematian terhadap makhluk hidup. Konsep yang memusatkan peran tumbuhan sebagai teknologi alami untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan disebut Fitoteknologi. Jeruju yang dominan pada kawasan mangrove, merupakan indikator kerusakan kawasan dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu upaya perbanyakan dan pertumbuhan Acanthus ilicifolius untuk penelitian fitoteknologi perlu dilakukan. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi dasar penelitian fitoforensik. Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada rumah kaca (green house) Jurusan Teknik Lingkungan – ITS Surabaya. Penelitian bersifat deskriptif dilaksanakan pengamatan selama bulan April 2014, dimana untuk siklus pertumbuhan dari mulai bibit ditanam pada tanggal 10 November 2013 sampai muncul bunga pertama pada tanggal 20 Oktober 2014, melalui tiga tahap berupa: perbanyakan, aklimatisasi dan pertumbuhan. Tumbuhan Acanthus ilicifolius diambil dari kawasan mangrove Pamurbaya (Pantai Timur Surabaya), kemudian dilakukan perbanyakan secara vegetatif dengan stek batang. Material tumbuhan diambil pada tanggal 10 November 2013, kemudian stek batang ditanam pada bak semai. Bak semai berupa bak plastik persegi panjang dengan kapasitas 10 Liter, berdimensi panjang 30 cm, lebar 25 cm dan tinggi 10 cm. Bibit yang telah tumbuh dilakukan pemindahan (transplanting) ke bak tanam pada tanggal 28 Januari 2014. Bak tanam berisi media pasir seberat 5 kg, dengan air sebanyak 2 Liter. Pemberian nutrisi dengan pupuk NPK dilakukan setiap bulan sekali, sejumlah 10 gram/Liter.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Proses aklimatisasi, dilakukan agar bibit tumbuhan uji dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tempat percobaan. Aklimatisasi dilakukan selama pertumbuhan bibit sampai berumur sekitar 6 bulan, pengamatan yang dilakukan berupa pencatatan suhu dan kelembaban udara. Sedangkan pengamatan pertumbuhannya dilakukan pada tanggal 5-28 April 2014, dimana hal yang dicatat berupa tinggi tumbuhan dan jumlah daun. kemudian dilakukan destruksi untuk mengetahui berat kering setiap bagian pada tumbuhan tersebut, berupa akar, batang dan daun. Persiapan alat dan bahan dalam melakukan penelitian ini, antara lain:
A: 3T
B: 5T
C: 3T
pengaris/meteran untuk mengukur tinggi tumbuhan, jangka sorong/kaliper untuk mengukur diameter tumbuhan, termohigro untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, timbangan untuk mengukur berat media tanam yang digunakan, skop/cetok untuk mencampur dan mengambil media tanam, gunting stek untuk melakukan perbanyakan tumbuhan. Sedangkan cara kerja yang dilakukan dengan mengamati langsung tumbuhan yang ditanam dengan jumlah tiga dan lima tumbuhan pada setiap media tanam dengan dua ulangan, skema dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperoleh, kemudian dianalisis dan disajikan dalam uraian maupun dalam bentuk Gambar dan Tabel.
D: 5T
Gambar 1. Skema penelitian pembibitan Acanthus ilicifolius
Hasil Dan Pembahasan Deskripsi Acanthus ilicifolius Perdu perennial (Jayaweera dan Senaratna, 2006), semak kecil (Anonim, 1995; Yudhoyono dan Sukarya, 2013), semak pendek atau perdu tinggi (Kovendan dan Murugan, 2011). Semak tegak, tidak melilit, berumpun banyak, tinggi hingga 1,5 m, 2,5 m atau 0,5-3 m, bercabang, 2 duri tajam di samping masing-masing daun, daun lonjong atau lanset, duri marjinal, perbungaan terminal, bunga biseksual, biji reniform panjang 6-30 cm, tidak padat, beberapa bunga
terbuka pada waktu yang sama, buah panjang 2,0-2,5 cm, kapsul, coklat kacang, kotak lonjong dan pipih, panjang 0,5-1,0 cm, keputihan, datar, biji terlempar ketika matang hingga 2 m dari kapsul, kapsul berbentuk oval yang mendorong biji menggunakan mekanisme lontaran pegas (Yudhoyono dan Sukarya, 2013; Valkenberg dan Bunyapraphatsara, 2002; Backer dan Bekhaizen. 1963; Brown, 2006; Kovendan dan Murugan, 2011; Xie, dkk., 2005). Habitas koleksi tumbuhan A. ilicifolius dan gambar botani dapat dilihat pada Gambar 2.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 883
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 2. Tumbuhan Acanthus ilicifolius (koleksi hidup dan ilustrasi). Habitat Acanthus ilicifolius tumbuh berkelompok dan sangat umum ditemukan di sepanjang tepi muara dan laguna, di tanah berawa, dan hutan mangrove dekat dengan pantai (Valkenberg dan Bunyapraphatsara, 2002). Tumbuhan semak bawah (undershrub) di mangrove sepanjang tepi pantai (Jayaweera dan Senaratna, 2006). Umumnya tumbuh di tepi sungai, daerah pasang surut, lahan basah rendah dan hutan mangrove. Tumbuhan mangrove sejati, ditemukan juga di sepanjang air tawar (Backer dan Bakhaizen, 1963). Tumbuhan ini jarang ditemukan di pedalaman. Ketinggian hingga 450 m dpl (Anonim, 1995). Jenis ini ditemukan dari zona menengah ke hulu muara di pertengahan hingga daerah intertidal (Kovendan dan Murugan, 2011). Acanthus ilicifolius lebih memilih daerah dengan masukan air tawar yang tinggi, dan jarang terendam air pasang, tersebar luas dan umum. Ditemukan pada semua jenis tanah, terutama daerah berlumpur sepanjang tepi sungai (Kovendan dan Murugan, 2011). Tumbuh pada substrat berlumpur dan berpasir di tepi daratan hutan bakau (Ardli, dkk., 2011). Pertumbuhan ternaungi, hingga sepenuhnya terbuka (Yudhoyono dan Sukarya, 2013), toleran terhadap naungan (Kovendan dan Murufan, 2011).
884 |Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Tahap Perbanyakan Tahap perbanyakan ini dilakukan pada awal penelitian, berfungsi untuk menyediakan material bibit tumbuhan sesuai dengan jumlah kebutuhan dan kondisi yang diinginkan secara seragam. Perbanyakan Acanthus ilicifolius dapat diperbanyak dari stek batang (vegetatif) dan biji (generatif) (Yudhoyono dan Sukarya, 2013). Secara alami reproduksi secara vegetatif dan juga biji. Sehingga panjang generasi / umur hidupnya sulit untuk ditentukan (Kovendan dan Murugan, 2011). Pada penelitian ini perbanyakan dilakukan dengan cara vegetatif (stek batang), karena keterbatasan jumlah biji dan waktu penelitian. Selain lebih cepat dalam pertumbuhan bibitnya. Material bibit Acanthus ilicifolius untuk perbanyakan yang disediakan sejumlah 340 stek batang, ditanam dalam 12 bak semai, namun 35% tidak dapat bertahan hidup dan hanya 51% yang tumbuh dengan baik, untuk kemudian dilakukan pemindahan pada bak tanam, dengan 4 bak tanam yang dilakukan pengamatan dalam penelitian ini. Hasil perbanyakan Acanthus ilicifolius pada bak tanam di rumah kaca dapat dilihat pada Gambar 3.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 3. Hasil perbanyakan tumbuhan Acanthus ilicifolius (stek batang). Stek batang tumbuhan Acanthus ilicifolius yang optimal pertumbuhannya diambil pada batang tengah, dengan diameter 0,7 – 1,2 cm dan sepanjang 12-15 cm. Tumbuhan Acanthus ilicifolius termasuk tumbuhan perineal, memiliki siklus hidup 2 tahun atau lebih. Sehingga bibit dewasa yang akan dipergunakan dalam penelitian berumur 6 bulan keatas. Sedangkan awal mulai berbunganya pada umur 11 bulan keatas. Tahap Aklimatisasi Tahap aklimatisasi adalah tahap kedua yang dilakukan dalam penelitian. Tahap ini dilakukan agar tumbuhan dapat menyesuaikan diri dengan tempat penelitian dalam rumah kaca (greenhouse). Proses aklimatisasi ini tergantung dari material tumbuhannya, apabila tumbuhan diperbanyak pada kondisi lingkungan yang hampir sama dengan tempat penelitian maka memerlukan waktu lebih cepat daripada dengan kodisi yang berbeda. Tahap ini diperlukan apabila melakukan
transplanting, dimana bibit tumbuhan dipindahkan dari tempat persemaian ke tempat perlakuan. Aklimatisasi berakhir apabila tumbuhan dapat beradaptasi dengan lingkungan yang ada (rumah kaca) dengan daun yang tidak mengering, berwarna hijau dan segar. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan aklimatisasi tumbuhan adalah suhu dan kelembaban. Pengamatan suhu selama penelitian berfluktuatif, dimana suhu udara tinggi pada siang hari antara pukul 10.30 – 13.30 WIB. Rata-rata suhu dan kelembaban di rumah kaca selama 4 bulan (Desember 2013 s/d Maret 2014) dapat dilihat pada Tabel 1. Suhu siang hari tertinggi pernah mencapai 56,3oC. Hal ini karena kondisi rumah kaca dan sekitarnya yang kurang sesuai, serta cuaca di Surabaya yang cukup panas dan sedikit hujan. Sehingga waktu pengamatan dilakukan pada sore hari sekitar pukul 17.00 WIB, dengan kisaran suhu media antara 29oC - 30oC.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 885
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Tabel 1: Suhu udara (rata-rata) di rumah kaca selama Desember 2013 s/d Maret 2014 Pukul 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 Suhu 27,60 27,40 28,00 30,12 32,67 34,92 37,74 Kelembaban 82,00 84,00 87,00 78,5 73,27 70,19 60,24 Pukul Suhu Kelembaban
12.00 35,87 63,83
13.00 36,24 64,89
14.00 35,92 60,11
Suhu yang terlampau tinggi akan menyebabkan kerugian terhadap pertumbuhan tumbuhan. Suhu yang tinggi dapat menghambat kinerja enzim, terganggunya proses pengangkutan dan penyebaran assimilat (hasil fotosintesis) dari sumber fotosintesis ke bagian tumbuhan yang menggunakan atau menyimpan makanan, dan tumbuhan menjadi layu akibat suhu yang tinggi karena tingginya evapotransipirasi. Tahap Pertumbuhan Tahap pertumbuhan merupakan tahap akhir dalam penelitian ini. Bibit Acanthus ilicifolius yang memenuhi kriteria diamati dalam bak tanam, masing masing ditanam sejumlah tiga dan lima individu. Pemilihan jumlah tiga dan lima tumbuhan berdasarkan pada metode phytotoxicity yaitu metode OECD 208 dengan minimum jumlah tumbuhan lima (Baumgarten dan Heide, 2004) dan untuk meremediasi tanah tercemar
886 |Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
15.00 31,79 68,44
16.00 30,88 72,13
17.00 29,77 75,22
18.00 28,36 81,08
digunakan jumlah mulai dari tiga tumbuhan dalam satu tempat untuk mengetahui efek tumbuhan dari tanah tercemar (Ogbo dkk., 2009). Pengamatan secara morfologi tumbuhan berupa tinggi tumbuhan dan jumlah daun, serta ada atau tidaknya tunas daun baru. Pengukuran tinggi tumbuhan dilakukan dengan mengukur di atas permukaan tanah (pada level air) sampai ujung daun paling tinggi. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2. Dapat dilihat bahwa tinggi awal berkisar 22-49 cm, sedangkan pada akhir 2269 cm. Dengan diameter batang antara 0,570,8 cm, panjang akar 45-95 cm, dan diameter akar berkisar 0,2-0,5 cm. Sehingga secara umum tumbuhan berumur 6 bulan keatas, memiliki tinggi 35-65 cm dan mengalami pertumbuhan batang 1 cm/hari dengan panjang akar dua kalinya, sebaliknya diameter akar setengah dari diameter batang.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Tabel 2: Tinggi dan diameter tumbuhan Acanthus ilicifolius Tinggi Diameter Panjang Diameter Akhir Tumbuhan Akar Akar (cm) (mm) (cm) (mm) 22 6,3 70 3,5 40 8 75 4 34 6,3 72 4 B:5 individu 33 6 74 3 38 5,7 84 4 39 6,7 72 4 36 7 62 4 35 7 75 3 C:3 individu 69 7,3 95 5 47 6 60 3 43 5,7 62 2 D:5 individu 40 8 82 5 42 6 86 5 42 6,3 45 4 43 5,7 63 4 45 6 54 4 untuk pengamatan perubahan dapat dilakukan Selain tinggi tumbuhan, pengamatan minimal lima hari sekali. jumlah daun juga dilakukan selama 20 hari Pengukuran biomassa diperoleh yang dilakukan secara rutin setiap hari, seperti dengan menimbang berat basah dan berat dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengamatan kering tumbuhan. Hasil pengamatan berat secara umum tumbuhan mengalami perubahan basah dan berat kering dapat dilihat jumlah daun, pada umur 6 bulan keatas, selengkapnya pada Tabel 4. Bila dilihat memiliki jumlah daun sekitar 6-12 helai. biomassa tumbuhan sekitar 60,84 % Perubahan daun, berupa berkurang karena daun mengering dan gugur maupun bertambah 91,19 % adalah kandungan air, sehingga dengan tunas daun baru yang tumbuh. Untuk rata-ratanya adalah 81,84 %. Biomassa daun yang mengalami kematian / gugur daun tumbuhan merupakan ukuran paling sering terjadi perhelai, namun untuk tunas daun yang digunakan untuk menggambarkan dan muncul terjadi sepasang / dua tunas daun. Dari mempelajari pertumbuhan. Parameter ini daun kuning, kering sampai gugur daun sangat representatif sebagai indikator diperlukan 2-3 hari, sedangkan dari kuncul pertumbuhan, dimana taksiran biomassa tunas daun sampai muncul daun muda (berat) mudah diukur dan merupakan diperlukan 3-5 hari. Perubahan jumlah daun integrasi dari hampir semua peristiwa terjadi dalam durasi waktu 5-10 hari, sehingga yang dialami tumbuhan sebelumnya Bak Tanam A:3 individu
Individu Tumbuhan T1 T2 T3 T1 T2 T3 T4 T5 T1 T2 T3 T1 T2 T3 T4 T5
Tinggi Awal (cm) 29 32 23 27 27 22 25 25 49 31 23 35 34 31 31 23
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 887
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Tabel 3: Jumlah daun tumbuhan Acanthus ilicifolius pada bak tanam Bak tanam Tumbuhan 0 2 4 6 8 10 12 14 A:3 individu T1 15 13 13 13 12 12 10 10 T2 8 8 8 6 6 6 6 6 T3 10 10 10 8 7 7 7 7 B: 5 individu T1 13 13 13 13 13 13 12 12 T2 13 13 13 13 13 13 12 12 T3 13 13 13 13 13 15 15 15 T4 8 8 8 8 8 8 9 9 T5 12 12 12 12 12 12 11 11 C: 3 individu T1 16 16 16 16 18 18 18 18 T2 7 6 6 6 6 6 8 8 T3 13 13 13 13 12 16 13 12 D: 5 individu T1 15 15 15 15 15 15 15 14 T2 16 16 16 16 16 16 15 15 T3 18 18 18 18 17 17 15 15 T4 14 14 14 14 14 14 14 14 T5 14 14 14 14 14 14 14 14
Tabel 4: Berat Basah dan Berat Kering tumbuhan Acanthus ilicifolius Berat Kering Bak Individu Berat Tanam Tumbuhan Basah Akar Batang Daun A:3 individu T1 36,00 3,12 2,10 0,76 T2 40,00 4,26 3,08 0,37 T3 34,00 3,27 2,24 0,41 40,00 4,39 3,93 0,90 B:5 individu T1 T2 26,00 4,64 4,23 1,31 54,00 3,59 3,49 1,02 T3 T4 58,00 2,62 2,06 0,43 T5 48,00 3,75 2,85 0,58 C:3 individu T1 158,00 16,32 7,40 3,63 T2 46,00 3,91 3,44 1,09 T3 38,00 2,59 1,99 0,76 D:5 individu T1 68,00 7,05 3,98 1,62 T2 76,00 7,81 4,18 1,51 T3 54,00 4,18 4,58 1,04 T4 52,00 5,38 3,07 1,34 T5 40,00 3,62 2,97 1,02
888 |Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
16
18
20
10 4 10 11 11 15 9 11 20 8 14 16 14 14 15 14
10 3 10 11 11 15 7 9 20 8 13 16 14 15 15 14
10 3 9 11 11 14 7 9 20 8 12 16 14 15 15 14
Total 5,98 7,71 5,91 9,23 10,18 8,10 5,11 7,18 27,35 8,45 5,34 12,65 13,51 9,79 9,79 7,61
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Simpulan Secara vegetatif dengan stek batang, bibit Acanthus ilicifolius diambil dari batang bagian tengah, dengan diameter 0,7-1,2 cm dan panjang 12-15 cm. Acanthus ilicifolius termasuk tumbuhan perineal, memiliki siklus hidup 2 tahun atau lebih, dengan bibit dewasa yang dipergunakan dalam penelitian berumur 6 bulan keatas dan awal mulai berbunganya pada umur 11 bulan keatas. Bibit dianggap dewasa bila telah berumur 6 bulan keatas, dengan tinggi 35-65 cm, jumlah daun 6-12 helai. Dimana pertumbuhan batang bertambah 1 cm/hari dengan panjang akar dua kalinya, sebaliknya diameter akar setengah dari diameter batang. Perubahan jumlah daun terjadi dalam waktu 5-10 hari dan pengukuran biomassa diketahui rata-rata 81,84 % berupa kandungan air. Daftar Rujukan Anonim, 1995. Medical Herb Index in Indonesia, PT. Eisai Indonesia Ardli, E.R., E. Yani dan A. Widyastuti. 2011. Density and Spatial Distribution of Derris trifoliata and Acanthus ilicifolius as a Biomonitoring Agent of Mangrove Damages at the Segara Anakan lagoon (Cilacap, Indonesia). 2nd International Workshop for Conservation Genetics of Mangroves. Hal 1-10. Backer, C.A. dan R.C. Bakhaizen 1963. Flora of Java. The Rijksherbarium. Netherlands. Baumgarten, A dan S. Heide. 2004. Phytotoxicity (Plant Tolerance).Agency for Health and Food Safety, Vienna. Brown, B. 2006. Cooking with Mangrove: 25 Indonesian Mangrove Recipes. MAP (Mangrove Action Project). Jakarta. Happyanto, A. 2002. Rencana Induk Pengembangan Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan. Hidayat, Yuzammi, S., Hartini, S., dan Astuti, I.P. 2004. Tanaman Air Kebun Raya
Bogor. Vol.1 No.5. Kebun Raya Bogor. Bogor. Irawanto, R. 2009. Inventarisasi Koleksi Tanaman Air Berpotensi WWG di Kebun Raya Purwodadi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan IV – ITS. Surabaya. Irawanto, R. 2014. Seleksi Tumbuhan Akuatik Koleksi Kebun Raya Purwodadi Dalam Fitoteknologi Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains – UNESA. Surabaya. Jayaweera, D.M.A dan L.K. Senaratna. 2006. Medicinal Plants (Indigenous and Exotic) Used in Ceylon. The National Science Foundation. Colombo. Kovendan, K. dan K. Murugan. 2011. Effect of Medicinal Plants on the Mosquito Vectors from the Different Agroclimatic Regions of Tamil Nadu, India. Advances in Environmental Biology. Vol 5 (2). Hal 335-344. Kusumawardani, Y., dan R. Irawanto. 2013. Study of Plants Selection in Wastewater Garden for Domestic Wastewater Treatment. Prosiding International Conference of Basic Science Universitas Brawijaya. Malang. Lestarini, W., Matrani, Sulasmi, Trimanto, Fauziah, dan Fiqa, A.P., 2012. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in Purwodadi Botanic Garden. Purwodadi Botanic Garden. Pasuruan. Ogbo, E. M., Mary Z., Gloria O. 2009. The Effect of Crude Oil on Growth of The Weed (Paspalum scrobiculatum L.) – Phytoremediation Potential of The Plant. African Journal of Environmental Science and Technology Vol. 3 (9), pp. 229-233. Perpres / Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya. Sari, R., Sutrisno, Hendrian, Puspitaningtyas, D.M., Darwndi, Hidayat, S., Yuzammi, dan Suhendar. 2004. Rencana Strategis
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 889
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
2005-2009, Kebun Raya Bogor – LIPI. Bogor. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta. Valkenberg, J.L.C.H.V., dan Bunyapraphatsara. 2002. Plant Resources of South-East Asia No. 20 (2): Medical and Poisoning Plant 2. PROSEA Foundation. Bogor.
890 |Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Xie, LS., Y.K. Liao, Q.F. Huang, dan M.C. Huang. 2005. Pharmacognostic Studies on Mangrove Acanthus ilicifolius. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi, 30. Hal 1501-1503. Yudhoyono, A. dan D.G. Sukarya. 2013. 3500 Plant Species of The Botanic Gardens of Indonesia. PT. Sukarya dan Sukarya Pendetama. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
KOLEKSI DAN SEBARAN Coix lacryma-jobi DI KEBUN RAYA PURWODADI Rony Irawanto dan R. Hendrian Kebun Raya Purwodadi – LIPI Jl. Surabaya – Malang Km 65 Pasuruan Email:
[email protected]
Abstrak Jenis tumbuhan Coix lacryma-jobi (jali) secara alami berada pada daerah lahan basah (wetland) di tepian sungai. Jali ditemukan sampai ketinggian 2000 m dpl, pada daerah hilir. Jali termasuk dalam suku Poaceae, dan merupakan salah satu koleksi Kebun Raya Purwodadi (KRP). KRP merupakan lembaga konservasi tumbuhan ex-situ yang bertujuan melakukan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata, dan jasa lingkungan. Jenis C. lacryma-jobi merupakan tumbuhan sensitif terhadap perubahan habitat dan direkomendasikan sebagai pengolah limbah dalam fitoteknologi lingkungan. Fitoteknologi merupakan konsep yang memusatkan peran tumbuhan sebagai teknologi alami untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Pencemaran sungai oleh limbah cair, baik limbah pertanian, domestik, perkotaan bahkan industri, dapat mengganggu ekosistem perairan, gangguan kesehatan pada manusia dan menyebabkan kematian terhadap makhluk hidup. Sedangkan lingkungan perairan seperti sungai dengan daerah ripariannya merupakan habitat C. lacryma-jobi seringkali terkena dampak pencemar limbah. Oleh karena itu penelitian koleksi dan sebaran C. lacryma-jobi perlu dilakukan. Penelitian secara eksploratif deskriptif dilakukan selama Febuari 2014. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian dan konservasi jenis C. lacryma-jobi lebih lanjut. Koleksi C. lacryma-jobi di KRP berada pada vak II.A.I.16, namun sebaran jali secara alami juga ditemukan pada saluran air (drainase) terutama pada lingkungan II dan IV di KRP. Kata kunci: Persebaran, Coix lacryma-jobi, Kebun Raya Purwodadi. Pendahuluan Indonesia memiliki keanekaragaman ekosistem, kekayaan jenis dan endemisme yang tinggi, namun acaman terhadap kelestarian alam dan kerusakan lingkungan berakibat hilangnya keanekaragaman hayati. Upaya pelestarian melalui konservasi tumbuhan dan pemanfaatan potensinya perlu dilakukan. Salah satu lembaga yang terkait dengan konservasi tumbuhan adalah kebun raya. Kebun Raya Indonesia sebagai lembaga konservasi ex-situ tumbuhan di Indonesia, tidak diragukan lagi merupakan pilar penyelamatan jenis-jenis tumbuhan dari kepunahan (Sari, dkk., 2004). Kebun raya didefinisikan sebagai kawasan konservasi tumbuhan secara ex-situ
yang memiliki koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi taksonomi, bioregion, tematik atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata, dan jasa lingkungan (Perpres 93/2011). Kebun Raya Purwodadi sebagai salah satu Kebun Raya Indonesia, memiliki tugas melakukan konservasi tumbuhan Indonesia, terutama di daerah dataran rendah kering. Tumbuhan yang sudah ditanam dan menjadi koleksi akan dikelola, didata dan dimanfaatkan untuk tujuan konservasi, penelitian, pendidikan lingkungan dan pariwisata (Happyanto, 2002). Tumbuhan yang sudah ditanam dan menjadi koleksi di Kebun Raya Purwodadi saat ini sejumlah
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 891
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
11.748 spesimen, 1.925 jenis, 928 marga dan 175 suku (Lestarini dkk., 2012). Salah satu koleksi Kebun Raya Purwodadi yang menarik adalah koleksi tanaman air/aquatic plants/tumbuhan akuatik. Tumbuhan akuatik saat ini sangat digemari masyarakat sebagai tanaman hias taman, karena keindahan bentuk dan warna, baik pada daun maupun bunga (Hidayat, dkk., 2004). Tumbuhan akuatik selain sebagai ornamental, juga berfungsi ekologi dalam menciptakan keseimbangan ekosistem yang baik, sumber makanan organik, media bertelur dan tempat berlindung anakan ikan ataupun binatang air lainnya. Peran lain dalam ekosistem perairan adalah sebagai indikator kualitas air, akumulator dalam menyaring/menyerap kotoran dalam air yang dipergunakan sebagai pertumbuhannya. Tumbuhan akuatik dapat berfungsi sebagai pengolah air limbah, bahkan dalam tantanan taman yang estetika (Kusumawardani dan Irawanto, 2013). Irawanto (2009) menyebutkan bahwa tercatat 34 jenis tumbuhan akuatik yang ditemukan di Kebun Raya Purwodadi. Potensi tumbuhan akuatik ini umumnya sebagai tanaman hias, selain sebagai sumber pangan, obat dan kerajinan. Jenis Coix lacryma-jobi masih kurang digali potensinya dan berpeluang terpilih dalam fitoteknologi jika ditinjau dari kriteria jenis setempat, banyak ditemukan di alam dan melihat kondisi lingkungannya (Irawanto, 2014). Coix lacryma-jobi (jali) secara alami berada pada daerah lahan basah (wetland) di tepian sungai. Jali ditemukan sampai ketinggian 2000 m dpl, pada daerah hilir. Jali termasuk dalam suku Poaceae, dan merupakan salah satu koleksi Kebun Raya Purwodadi. Coix lacryma-jobi merupakan tumbuhan sensitif terhadap perubahan habitat dan direkomendasikan sebagai pengolah limbah dalam fitoteknologi lingkungan. Fitoteknologi merupakan konsep yang memusatkan peran tumbuhan sebagai teknologi alami untuk
892 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
menyelesaikan permasalahan lingkungan. Pencemaran sungai oleh limbah cair, baik limbah pertanian, domestik, perkotaan bahkan industri, dapat mengganggu ekosistem perairan, kesehatan pada manusia dan menyebabkan kematian terhadap makhluk hidup. Lingkungan perairan seperti sungai dengan daerah riparian sebagai habitat Coix lacryma-jobi seringkali terkena dampak pencemar limbah. Oleh karena itu penelitian koleksi dan sebaran C. lacryma-jobi perlu dilakukan. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi dasar penelitian selanjutnya. Metode Penelitian Penelitian secara eksploratif deskriptif dilakukan di Kebun Raya Purwodadi - LIPI selama Febuari 2014. Studi pustaka dilakukan terkait deskripsi dan potensinya. Koleksi dan sebarannya Coix lacryma-jobi di Kebun Raya Purwodadi dilakukan berdasarkan data registrasi dan hasil pengamatan langsung di lapangan (kebun). Alat dan bahan yang digunakan berupa alat tulis, peta kebun, GPS dan komputer. Data yang diperoleh kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel maupun gambar, terutama habitus koleksi dan sebarannya di Kebun Raya Purwodadi. Peta Kebun Raya Purwodadi dapat dilihat pada Gambar 1. Jali merupakan tanaman serealia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan (Nurmala, 1998). Jali tidak dipertimbangkan sebagai tanaman utama sereal berbiji, dan sering dilewati, bahkan diabaikan diantara padi-padian, seperti dalam publikasi FAO disebut bahwa jali adalah kurang penting. Namun jali adalah bijian bernutrisi, yang mengandung protein, lemak, kalsium dan vitamin B1 lebih tinggi dibandingkan tanaman serealia lainnya. Jali juga difermentasi untuk membuat bir, makanan ringan dan minum teh (Burnette, 2012). Dahulu jali dimanfaatkan sebagai sumber energi dan cadangan makanan
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
untuk mengatasi kelangkaan pangan bagi penduduk di negara-negara miskin (Grubben dan Partohardjono, 1996). Daun jali digunakan sebagai pakan / makanan ternak. Biji dan tepungnya untuk makanan unggas. Di luar Asia, jali terutama ditanam sebagai pakan ternak untuk lembu
dan kuda. Hampir disemua tempat dimana jali tumbuh, jenis liar dengan buah berkulit keras digunakan sebagai hiasan dekoratif (Yudhoyono dan Sukarya, 2013). Jali dimanfaatkan untuk bahan baku membuat kalung, gelang, tasbih dan tirai yang sangat memikat dan menarik (Sholikhah, dkk. 2010).
Gambar 1. Peta Kebun Raya Puwodadi Disamping sebagai makanan dan pakan, jali juga digunakan dalam pengobatan. Seluruh bagian tumbuhan jali dipergunakan baik akar, batang dan daun sebagai obat. Jali memiliki nilai obat dengan aktivitas diuretik, depurative, anti-inflamasi, antiproliferatif, antitumor, antiobesitas, antiosteoporosis, antipiretik, antiseptik, hipoglisemik, dan immunomodulasi. Secara fitokimia jali, mengandung: 4-ketopinoresinol; alpha-coixin; alpha-sitosterol; beta-sitosterol; coicin; coixan A; coixan B; coixan C; coixenolide; coixlactam; coixol; coixspirolactam A; coixspirolactam B; coixspirolactam C; palmitic acid; stearic acid; oleic acid; linoleic acid; alkohol coniferyl; ferulic acid; gammasitosterol; glukosa; metil dioxindole-3-asetat; myuenolide; palmatate; phytin; kalium klorida, stearat, stigmasterol; asam syringic; syringaresinol; vitamin B1; dan peracetylated yang terbentuk dari glukosa, maltosa,
maltotriosa, maltotetraose, dan maltopentaose (Bao, dkk., 2005; Chang, dkk., 2003; Chang, dkk., 2006; Check dan K'Ombut, 1995; Chung, dkk., 2010; Dalimartha, 2008; Hsia, dkk. 2007; Hsia, dkk., 2006; Kim, dkk., 2004; Koh, dkk., 2009; Kuo, dkk., 2002; Lee, dkk., 2008; Otsuka, dkk., 1988; Shih, dkk. 2004; Sugimoto, dkk., 2001; Yang, dkk., 2008). Hasil dan Pembahasan Tumbuhan Akuatik Tumbuhan akuatik dikelompokan menjadi tiga kategori: a. Emerged dimana tumbuhan muncul di atas permukaan air namun akarnya berada dalam sedimen, b. Submerged, seluruh tumbuhan berada di dalam air, dan c. Floating dimana seluruh bagian tumbuhan atau sebagian (daun) mengapung pada permukaan air (Tanaka dkk., 2011), seperti pada Gambar 2.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 893
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 2. Pengelompokan tumbuhan akuatik a. Emerged, b. Submerged dan c. Floating Tumbuhan akuatik umumnya terdapat mengatasi berbagai masalah lingkungan pada habitat wetland (lahan basah). Lahan (Mangkoedihardjo dan Samudro, 2010). basah ini merupakan area yang tergenang air Fitoteknologi didasari pada kajian sebagian atau sepanjang tahun disebabkan transformasi efek zat dalam ekotoksikologi. lokasinya dalam bentang alam (Kadlec dan Ekotoksikologi mempunyai kesamaan dengan Wallace, 2009). Prasad dan Freitas (2003) toksikologi lingkungan dalam produk kajian menyebutkan terdapat 400 jenis tumbuhan berupa efek negatif zat terhadap makhluk dalam fitoremediasi. Mengingat kekayaan hidup dan perlakuan hasilnya untuk keanekaragaman hayati, dengan daerah lahan pembatasan zat. Sehingga perlu disikapi efek basah (wetland) alami yang spesifik dan negatif zat sebagai penjagaan kesehatan dan beragam di Indonesia. Sehingga tidak keberlanjutan kehidupan (Mangkoedihardjo menutup kemungkinan terdapat jenis dan Samudro, 2009). tumbuhan akuatik yang perlu dikonservasi dan Deskripsi Coix lacryma-jobi dapat digunakan dalam fitoteknologi Rumput, siklus hidup singkat, annual, lingkungan. merumpun banyak, tegak, bercabang kuat, tinggi 1,5 m hingga mencapai 3 m. Batang Fitoteknologi Fitoteknologi adalah penerapan ilmu dan besar padat, buluh terisi dengan empulur, teknologi untuk mengkaji dan menyiapkan bercabang pada bagian atasnya. Batang bulat, solusi masalah lingkungan dengan lunak, bergabus, beruas-ruas, licin, hijau mengunakan tumbuhan. Fitoteknologi kekuningan. Daun tunggal, besar, lebar dan digunakan untuk memperluas pengertian berpelepah, tepi berbulu halus, helaian daun mengenai pentingnya tumbuhan dan memita sampai membundar telur-melanset, peranannya dalam kehidupan dan lingkungan. tepi daun kasar, halus atau kasap permukaan Konsep fitoteknologi memusatkan tumbuhan atasnya. Daun panjang 30-45 cm / 10-50 cm sebagai teknologi lingkungan hidup yang dan lebar 2-5 cm / 3-5 cm, ujung runcing, mampu menyelesaikan masalah lingkungan. pangkal tumpul, tepi rata, kasap, hijau. Tinjauan teknologi dan proses memperjelas Perbungaan dengan bunga betina bertumpuk, fitoteknologi sebagai cara pendekatan berbasis bunga jantan seakan tumbuh dari bunga betina alam dalam penyelesaian masalah lingkungan. yang teratas, bunga betina dikelilingi sebuah Keseimbangan teknologi antara proses buatan daun pelindung. manusia dan proses alam tumbuhan, menjadi Perbungaan di ketiak daun paling atas, representasi bagaimana kedua proses soliter atau terdiri dari 2-7-berkas, putih atau kebiruan, mengandung 2 tandan; tandan betina
894 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
mengandung buliran yang duduk, buliran dengan 1 floret, tandan jantan dengan kira-kira 10 buliran yang menyirap dan muncul berpasangan atau tiga-tiga, satu mempunyai gantilan lainnya duduk; buliran melanset sampai menjorong, mengandung 1-2 floret jantan. Biji terkelompok dalam daun mengarpu pada tangkai batang sepanjang 3-6 cm, dan berisi bagian jantan dan betina yang terpisah. Bunga betina berbentuk bulat atau bulat telur, kehijauan, dengan lubang kecil di bagian atas, dengan dua stigma. Bunga jantan dalam kelompok kecil memanjang (1,5-5 cm), yang muncul dari pembukaan yang sama. Setiap bunga jantan panjang 6-10 mm dan memiliki tiga benang sari, kuning. Bunga majemuk, bentuk bulir, kelopak bersegi tiga, hijau kekuningan, benang sari coklat, pangkal putik putih, ujung putih kecoklatan, hijau. Buah bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan kekerasannya, diameter ± 1 cm,
biasanya berwarna abu-abu, kuning-merah tua atau keunguan, masih muda hijau kekuningan setelah tua ungu keputih-putihan. Buah berbentuk air mata 8 mm sebesar 1,1 cm, halus, mengkilap, seperti manik (5-15 mm x 6-10 mm) biasanya menjadi keras dan berubah hitam saat matang. Buah berwarna putih, abuabu kebiruan, coklat keabu-abuan, kuning, oranye, kemerahan atau kehitaman. Buah lunak atau keras, berisi jali. Jali berwarna merah tua untuk yang berkulit keras, atau merah muda untuk yang berkulit lunak. Sistem perakaran serabut, putih kecoklatan (Koh, dkk., 2009; Mansfeld’s, 2001; Dalimartha, 2008; Backer dan Bakhaizen, 1963; Grubben dan Partohardjono, 1996; Anonim, 1995). Habitas koleksi tumbuhan Coix lacryma-jobi dan gambar botani dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tumbuhan Coix lacryma-jobi (koleksi hidup dan ilustrasi). Asal usul jali tidak diketahui dengan pasti, tetapi asli Asia tropis, diduga dari Asia bagian selatan dan bagian timur. Buah yang berkulit lunak (var. ma-yuen) telah dibudidayakan sejak zaman purba, 3000-4000 tahun yang lalu di India, 2000 tahun yang lalu di China dan merupakan tanaman penting sebelum jagung dan beras tersebar secara luas sebagai makanan pokok. Saat ini dibudidayakan sebagai tanaman pertanian biji-
bijian minor, terutama di India, China, Filipina, Thailand, Malaysia dan daerah Mediterranea. Jenis liar dengan buah yang berkulit keras kadang-kadang juga dibudidayakan. Jali telah lama dibudidayakan, sehingga tersebar luas dan ternaturali-sasi di seluruh daerah tropis dan sub-tropis di dunia (Koh, dkk., 2009; Backer dan Bakhaizen, 1963; Grubben dan Partohardjono, 1996).
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 895
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Jali merupakan tumbuhan berhari pendek dan membutuhkan suhu tinggi, curah hujan yang melimpah, tanah yang cukup subur, dan lebih menyukai sinar matahari harian yang pendek. Di daerah tropis jenis ini dapat tumbuh dari permukaan laut sampai pada ketinggian 2000 m dpl. Jali dapat tumbuh di dataran tinggi maupun dataran rendah (Nurmala, 1998), dan toleran terhadap suhu dingin, tanah asam ataupun basa (Rahmawati, 2003). Jali beradaptasi pada daerah tropis kering dengan suhu sekitar 25-35oC Jali beradaptasi pada daerah tropis kering dengan suhu sekitar 25-35oC (Grubben dan Partohardjono, 1996). Penyebaran di Jawa, 11000 m dpl. Seringkali juga ditemukan tumbuh meliar di daerah-daerah payau, rawa, sepanjang sungai, daerah lahan basah dan saluran air pinggir jalan. Di Afrika sering dijumpai pada daerah pedesaan dan tegalan yang ditinggalkan (Grubben dan Partohardjono, 1996; Anonim, 1995). Koleksi dan Sebaran di Kebun Raya Purwodadi Kebun Raya Purwodadi terletak di kaki Gunung Baung, dengan titik koordinat 7o47’54,9588” dan 112o44’18,2782”. Secara administratif lokasinya berada di Desa Purwodadi, Kec. Purwodadi, Kab. Pasuruan, dan berada di tepi jalan utama penghubung
896 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Surabaya – Malang pada Km 65. Kebun Raya Purwodadi memiliki areal seluas 845.148 m2 yang terbagi menjadi 25 vak dan dua wilayah kebun dengan jalan utama sebagai batas pembagi, masing-masing wilayah dibagi menjadi tiga lingkungan (Sugiarto, 2001). Sesuai perkembangan, area Kebun Raya Purwodadi yang terbagi dalam dua wilayah dan enam lingkungan, dari 25 vak menjadi 183 vak. Dalam satu vak bisa terdiri dari beberapa suku, namun satu suku juga bisa menempati beberapa vak. Hal ini tergantung dari jumlah spesimen / individu dalam satu suku tersebut. Pengaturan penanaman dalam vak didasarkan atas kekerabatan suku (Laksono, 2008). Koleksi tumbuhan Coix lacryma-jobi berada pada Vak II.A.I. 16. Namun jenis ini juga dijumpai pada lahan bekas kolam di belakang pembibitan timur, lingkungan II dan sepanjang saluran / drainase di sekitar koleksi bambu, lingkungan IV yang tumbuh secara liar, serta pada lokasi ditepi sungai welang yang membatasi kebun dengan TWA Baung. Sebaran jali yang ditemukan di dalam Kebun Raya Purwodadi, dapat dilihat pada Gambar 4. Oleh karena jenis ini masih dijumpai secara liar di sungai, besar kemungkinan di sepanjang sungai maupun di saluran air pada wilayah Purwodadi dan sekitarnya masih dapat ditemukan.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 4. Sebaran Coix lacryma-jobi di Kebun Raya Purwodadi Simpulan Koleksi Coix lacryma-jobi di Kebun Raya Purwodadi berada pada Vak II.A.I. 16., namun sebaran jali secara alami juga ditemukan enam titik yang dijumpai pada lahan bekas kolam belakang pembibitan timur (lingkungan II), saluran / drainase di sekitar koleksi bambu (lingkungan IV) dan pada tepi sungai welang (TWA Baung) yang tumbuh secara liar. Daftar Rujukan Anonim. 1995. Medical Herb Index in Indonesia, PT. Eisai Indonesia. No 2329. Backer, C.A. dan R.C. Bakhaizen. 1963. Flora of Java. The Rijksherbarium. Netherlands. Hal..143-146 Bao Y, Yuan Y, Xia L, Jiang H, Wu W, dan Zhang X. 2005. Neutral lipid isolated from endosperm of Job's tears inhibits the growth of pancreatic cancer cells via apoptosis, G2/M arrest, and regulation of gene expression. J Gastroenterol Hepatol.; 20(7): Hal. 1046-1053.
Burnette, R. 2012. Tiga Kelebihan Jali: Padian Asli Asia Satu Lagi. ECHO Asia Impact Center. Chang HC, Huang YC, dan Hung WC. 2003. Antiproliferative and chemopreventive effects of adlay seed on lung cancer in vitro and in vivo. J Agric Food Chem.; 51(12): Hal. 3656-3660. Chang LL, Wun AW, Hung CT, Hsia SM, Chiang W, da Wang PS. 2006. Effects of crude adlay hull acetone extract on corticosterone release from rat zona fasciculata-reticularis cells. Naunyn Schmiedebergs Arch Pharmacol.; 374(2): Hal. 141-152. Check JB, dan K'Ombut FO. 1995. The effect on fibrinolytic system of blood plasma of Wister rats after feeding them with Coix mixed diet. East Afr Med J.; 72(1): Hal. 51-55. Chung CP, Hsu HY, Huang DW, Hsu HH, Lin JT, Shih CK, dan Chiang W. 2010. Ethyl acetate fraction of adlay bran ethanolic extract inhibits oncogene expression and suppresses DMHinduced preneoplastic lesions of the colon in F344 rats through an anti-
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 897
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
inflammatory pathway. J Agric Food Chem;58(13): Hal. 7616-7623. Dalimartha, S., 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 5. Pustaka Bunda. Jakarta Hal. 41 – 44 Grubben, G.J.H. dan S. Partohardjono. 1996. Plant Resources of South-East Asia No. 10: Cereal. PROSEA Foundation, Bogor. Hal. 84-87 Happyanto, A. 2002. Rencana Induk Pengembangan Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan. Hidayat, Yuzammi, S., Hartini, S., dan Astuti, I.P. 2004. Tanaman Air Kebun Raya Bogor. Vol.1 No.5. Kebun Raya Bogor. Bogor. Hsia SM, Chiang W, Kuo YH, dan Wang PS. 2006. Downregulation of progesterone biosynthesis in rat granulosa cells by adlay (Coix lachryma-jobi L. var. mayuen Stapf.) bran extracts. Int J Impot Res.; 18(3): Hal. 264-274. Hsia SM, Yeh CL, Kuo YH, Wang PS, dan Chiang W. 2007. Effects of adlay (Coix lachryma-jobi L. var. ma-yuen Stapf.) hull extracts on the secretion of progesterone and estradiol in vivo and in vitro. Exp Biol Med (Maywood); 232(9): Hal. 1181-1194. Irawanto, R. 2009. Inventarisasi Koleksi Tanaman Air Berpotensi WWG di Kebun Raya Purwodadi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan IV – ITS. Surabaya. Irawanto, R. 2014. Seleksi Tumbuhan Akuatik Koleksi Kebun Raya Purwodadi Dalam Fitoteknologi Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains – UNESA. Surabaya. Kadlec, R.H. dan S. Wallace. 2009. Treatment Wetland. CRC Press. New York. Kim SO, Yun SJ, Jung B, Lee EH, Hahm DH, Shim I, dan Lee HJ. 2004. Hypolipidemic effects of crude extract
898 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
of adlay seed (Coix lachryma-jobi var. mayuen) in obesity rat fed high fat diet: relations of TNF-alpha and leptin mRNA expressions and serum lipid levels. Life Sci.; 75(11): Hal. 13911404. Koh, H.L., C.T. Kian, dan C.H. Tan. 2009. A Guide to Medicinal Plants: An Illutrated, Scientific and Medicinal Approach. World Scientific Publishing. Singapore. Hal. 53–54. Kuo CC, Chiang W, Liu GP, Chien YL, Chang JY, Lee CK, Lo JM, Huang SL, Shih MC, dan Kuo YH. 2002. 2,2'Diphenyl-1-picrylhydrazyl radicalscavenging active components from adlay (Coix lachryma-jobi L. var. mayuen Stapf) hulls. J Agric Food Chem.; 50(21) Hal. 5850-5855. Kusumawardani, Y., dan Irawanto, R. 2013 Study of Plants Selection in Wastewater Garden for Domestic Wastewater Treatment. Prosiding International Conference of Basic Science Universitas Brawijaya. Malang. Laksono, R.A. 2008. Analisis Spasial Kerapatan Koleksi di Kebun Raya Purwodadi. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas II Biologi Universitas Airlangga. Surabaya. Lee MY, Lin HY, Cheng F, Chiang W, dan Kuo YH. 2008. Isolation and characterization of new lactam compounds that inhibit lung and colon cancer cells from adlay (Coix lachryma-jobi L. var. ma-yuen Stapf) bran. Food Chem Toxicol.; 46(6): Hal. 1933-1939. Lestarini, W., Matrani, Sulasmi, Trimanto, Fauziah, dan Fiqa, A.P., 2012. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in Purwodadi Botanic Garden. Purwodadi Botanic Garden. Pasuruan.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Mangkoedihardjo, S. dan G. Samudro. 2009. Ekotoksikologi Teknosfer. Guna Widya. Surabaya Mangkoedihardjo, S. dan G. Samudro. 2010. Fitoteknologi Terapan. Graha Ilmu. Yogyakarta Mansfeld’s, P.H. 2001. Encyclopedia of Agricultural and Horticultural Crops. Vol. 5. Springer-Verlag. Berlin. Hal. 2748 Nurmala, T. 1998. Serealia Sumber karbohidrat Utama. Rineka Cipta. Jakarta Otsuka H, Hirai Y, Nagao T, dan Yamasaki K. 1988. Anti-inflammatory activity of benzoxazinoids from roots of Coix lachryma-jobi var. ma-yuen. J Nat Prod.; 51(1): Hal. 74-79. Perpres / Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya. Prasad, M.N.V dan H.M.O. Freitas. 2003. Metal Hyperacumulation in Plants – Biodiversity Prospecting for Phytoremediation Technology. Jurnal Biotechnology Vol. 6 No. 3 Rahmawati, D.E. 2003. Estimasi Heritabilitas Dengan Metode Regresi Tetua-Turunan (Parents–Offspring Regression) dan Kemajuan Genetik Beberapa Karakter Penting Hanjeli (Coix lacryma–jobi L.) di Arjasari. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung Sari, R., Sutrisno, Hendrian, Puspitaningtyas, D.M., Darwandi, Hidayat, S., Yuzammi, dan Suhendar. 2004. Rencana Strategis 2005-2009, Kebun Raya Bogor – LIPI. Bogor. Shih CK, Chiang W, dan Kuo ML. 2004. Effects of adlay on azoxymethaneinduced colon carcinogenesis in rats. Food Chem Toxicol.; 42(8): Hal. 13391347. Sholikhah, W.F., L.T. Yuswanto, A. Widianto dan M. Shofi. 2010. Pemanfaatan Jepen
Sebagai Bahan Pangan Alternatif Dalam Upaya Menanggulangi Krisis Pangan Masyarakat Bondowoso Jawa Timur. PKM-AI. Universitas Negeri Malang. Malang. Soegiarto, K.A. 2001. Kebun Raya Purwodadi : 30 Januari 1941 - 30 Januari 2001, Kebun Raya Purwodadi. Pasuruan. Sugimoto N, Fukuda J, Takatori K, Yamada T, dan Maitani T. 2001. Identification of principal constituents in enzymatically hydrolyzed coix extract. Shokuhin Eiseigaku Zasshi;42(5): Hal. 309-315. Tanaka, N., W.J. Ng dan K.B.S.N. Jinadasa. 2011. Wetlands For Tropical Applications: Wastewater Treatment by Constructed Wetlands. Imperial College Press. London Yang RS, Chiang W, Lu YH, dan Liu SH. 2008. Evaluation of osteoporosis prevention by adlay using a tissue culture model. Asia Pac J Clin Nutr.;17 Suppl 1: Hal. 143-146. Yudhoyono, A. dan D.G. Sukarya. 2013. 3500 Plant Species of The Botanic Gardens of Indonesia. PT. Sukarya dan Sukarya Pendetama. Jakarta. Hal. 1090.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 899
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
POTENSI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK ETANOL UMBI GENDOLA (Basella rubra linn) SEBAGAI KANDIDAT OBAT HERBAL DAN ANTIOKSIDAN ALTERNATIF Siti Imroatul Maslikah Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar aktivitas antioksidan ekstrak etanol umbi gendola (Basella rubra Linn). Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret 2014 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Universitas Negeri Malang dengan rancangan deskripsi observasional. Ekstraksi umbi gendola didapatkan dari Materia Medica Batu dengan menggunakan alkohol 70%, selanjutya ekstrak tersebut dilakukan pengukuran aktivitas antioksidan secara spektrofotometri menggunakan radikal bebas 1,1-difenil-2-pikril hidrazil hidrat (DPPH). Aktivitas antioksidan ditentukan berdasarkan persentase peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa antioksidan. Peluruhan warna dari ungu ke kuning terjadi karena adanya peredaman, yang diukur dengan menggunanakan spektro UV-vis pada panjang gelombang 517 nm. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol umbi gendola menunjukkan nilai IC50 = 503,44 ppm (>150 ppm) termasuk antioksidan lemah. Kata kunci: aktivitas antioksidan, ekstrak etanol umbi binahong, uji DPPH
Pendahuluan Perkembangan zaman dan teknologi turut serta membawa perubahan pada perilaku manusianya. Seperti pada zaman sekarang ini terjadi pergeseran pola hidup atau gaya hidup manusia yang lebih menyukai produk-produk makanan cepat saji atau instan, sehingga banyak dijumpai orang pada usia produktif banyak yang terkena berbagai macam penyakit bahkan anak-anak yang masih tergolong remaja yang terkena diabet, hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab adalah faktor makanan. Makanan yang instant atau cepat saji sebaiknya dihindari untuk mencegah munculnya penyakit degeneratif seperti diabet, jantung, dan sebagainya, sehingga untuk hidup sehat harus memperhatikan asupan gizi yang seimbang disertai dengan olahraga. Selain itu konsumsi antioksidan alami juga sangat penting diperhatikan, yaitu dengan mengkonsumsi buah-buahan dan sayur yang mengandung antioksidan alami dan
900 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
menyehatkan. Selain berasal dari buah dan sayur antioksidan juga terdapat di berbagai jenis tumbuhan seperti gendola dan binahong. Menurut hasil penelitian Lukiati (2014) daun gendola memiliki antioksidan IC50 = 84,70 ppm (<100ppm) termasuk antioksidan kuat. Menggunakan antioksidan alami lebih baik daripada antioksidan sintetik. Sumber-sumber antioksidan dapat berupa antioksidan alami maupun antioksidan buatan atau sintetik.antioksidan sintetik memiliki efektivitas yang tinggi namun juga memiliki efek samping dan kurang aman terhadap kesehatan sehingga peggunaannya diawasi secara ketat oleh berbagai negara.adanya kekhawatiran dari penggunaan antioksidan sintetik menyebabkan orang lebih menyukai antioksidan alami sebagai alternatif karena tidak memiliki efek samping dan lebih aman (Katrin dan Ali, 2012). Bahan- bahan alami jarang atau sedikit memiliki efek samping, tingkat bahayanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan antioksidan sintetik atau
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
obat kimia. Gendola (Basella rubra Linn) adalah tanaman obat potensial yang dapat mengatasi berbagai penyakit. Di berbagai negara, tanaman ini sudah banyak dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai jenis pengobatan. Gendola mempunyai kandungan kimia karotenoid, saponin, pigmen antosianin, flavonoid dan polifenol (Materia medika, dalam Lukiati (2014). Bagian dari tanaman gendola hampir semuanya dapat dimanfaatkan mulai dari batang, akar, bunga, dan daun, tetapi yang paling sering dimanfaatkan untuk kesehatan atau sebagai obat herbal adalah bagian daun untuk menangkal radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu senyawa yang mempunyai reaktivitas tinggi terhadap molekul sebagai target utama radikal bebas yaitu protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur Deoxyribonucleid Acid (DNA) termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul tersebut yang paling rentan terhadap radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh (Winarsi, 2007). Berbagai kemungkinan dapat terjadi sebagai akibat kerja radikal bebas, seperti kerusakan struktur sel, gangguan fungsi sel, molekul termodifikasi yang tidak dapat dikenali oleh sistem imun dan bahkan mutasi. Semua bentuk kerusakan itu dapat meyebabkan munculnya berbagai macam penyakit. Radikal bebas yang diproduksi oleh sel di dalam tubuh normal, akan dinetralisir oleh antioksidan yang ada di dalam tubuh, sehingga kalau jumlah radikal bebas yang dihasilkan jauh lebih banyak maka kemampuan antioksidan endogen tidak memadai untuk menetralisir radikal bebas akibatnya tidak terjadi keseimbangan di dalam tubuh antara radikal bebas dan antioksidan, ketidakseimbangan ini akan memunculkan berbagai penyakit degeneratif, sehingga diperlukan antioksidan dari luar (eksogen). Tanpa disadari tubuh manusia terus menerus memproduksi radikal bebas akibat peradangan, kekurangan gizi, dan respons akibat pengaruh dari luar tubuh seperti polusi
lingkungan, asap rokok, dan sinar ultraviolet (UV-vis), sehingga dengan bertambahnya usia juga semakin meningkatnya pembentukan radikal bebas di dalam tubuh manusia. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme seiring dengan bertambahnya usia. Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan oksidasi glukosa pada siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk lebih banyak. Secara eksogenus kemungkinan tubuh seseorang juga akan terpapar polutan lebih banyak atau tinggi, seiring dengan bertambahnya usia, kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2007). Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunda, memperlambat atau menghambat reaksi oksidasi. Antioksidan memegang peranan penting terhadap pengaruh buruk radikal bebas. Antioksidan dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Senyawa antioksidan berfungsi untuk menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron dari radikal bebas sehingga menghambat terjadinya reaksi berantai karena senyawa radikal menjadi tidak bersifat reaktif . Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang potensi antioksidan dari umbi binahong. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar aktifitas antioksidan umbi gendola jika dibandingkan dengan vitamin C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Bulan Maret 2014 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang. Rancangan penelitian adalah deskriptif observasional. Bahan penelitian berupa ekstrak etanol umbi gendola yang diperoleh dari Balai Materia Medika (BMM) kota Batu, definil pikril hidrasil hidrat (DPPH) ex Sigma, etanol absolut, asam sulfanilat, NaNO3, dan H2SO4 ex Merk. Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak etanol gendola
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 901
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dengan metoda Spektrofotometri menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Uji DPPH (1,1-difenil-2pikril hidrazil hidrat) dilakukan untuk pengukuran daya antioksidan ekstrak etanol umbi gendola. Larutan pereaksi DPPH dibuat dengan melarutkan 4 mg DPPH dalam etanol pro analisis sampai 100 mL ( konsentrasi 40 ppm yang dibuat baru dan dijaga pada suhu 25ºC serta terlindung dari cahaya). Sampel ekstrak umbi gondola dibuat dengan konsentrasi 60, 120, 180, 240, 300 ppm, masing-masing sebanyak 300 µL dilarutkan dalam DPPH 40 ppm sampai dengan 3 mL. Sampel diinkubasi selama 30 menit pada suhu 25ºC dalam keadaan gelap, selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm. Etanol pro analisis yang direaksikan dengan 3 ml DPPH sebagai blanko. Aktivitas antioksidan dihitung berdasarkan persentase peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa antioksidan dengan rumus: % Peredaman DPPH = (Absorbansi standar – Absorbansi sampel) x 100% Absorbansi standar
Setelah didapatkan persentase peredaman selanjutnya dilakukan perhitungan secara regresi linier dengan menggunakan persamaan: y= A + Bx Keterangan: x= konsentrasi (µg/l), dan y = persentase inhibisi (peredaman) (%) Aktifitas antioksidan dinyatakan dengan Inhibition Concentration 50% (IC50) yaitu konsentrasi efektif senyawa antioksidan (sampel) yang dapat meredam radikal bebas sebanyak 50%. Nilai IC50 didapat dari nilai x setelah mengganti nilai y dengan 50. Hasil dan Pembahasan Penentuan aktivitas antioksidan Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak etanol umbi gendola dengan cara menghitung persentase peredaman radikal dari sampel yang dilakukan secara duplo. Nilai IC50 ekstrak umbi gendola dapat ditentukan secara regresi linier dengan menghubungkan antara konsentrasi sampel dan % peredaman seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan konsentrasi ekstrak umbi gendola dengan % peredaman
902 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hasil penentuan aktivitas antioksidan dengan DPPH menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi gendola mempunyai daya aktivitas antioksidan lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak etanol daun gendola (Lukiati, 2014) berdasarkan nilai IC50 masing-masing sampel. Ekstrak umbi gendola mampu meredam radikal bebas sebesar 503,44 ppm memerlukan konsentrasi jauh lebih banyak dibandingkan dengan ekstrak daun
gondola. Hasil penelitian Lukiati (2014) menunjukkan bahwa ekstrak daun gendola mampu meredam radikal bebas dengan konsentrasi sebesar 84,70 ppm sebesar 50%. Hal ini menujukkan bahwa pengobatan dengan menggunakan daun gendola lebih baik daripada menggunakan umbi, walaupun secara keseluruhan antioksidan terdapat diberbagai tempat seperti akar, batang, daun dan termasuk umbi.
Gambar 3. Perubahan warna larutan pada reaksi radikal DPPH dengan antioksidan (Witt, et al., 2010) DPPH merupakan radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian aktivitas antioksidan komponen tertentu dalam suatu ekstrak. Karena adanya elektron yang tidak berpasangan, DPPH memberikan serapan kuat pada 517 nm. Ketika elektronnya menjadi berpasangan oleh keberadaan penangkap radikal bebas, maka absorbansinya menurun secara stokiometri sesuai jumlah elektron yang diambil. Keberadaan senyawa antioksidan dapat mengubah warna larutan DPPH dari ungu menjadi kuning (Dehpour, et al., 2009). Perubahan absorbansi akibat reaksi ini telah
digunakan secara luas untuk menguji kemampuan beberapa molekul sebagai penangkap radikal bebas. Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu menjadi kuning oleh elektron yang berasal dari senyawa antioksidan. Konsentrasi DPPH pada akhir reaksi tergantung pada konsentrasi awal dan struktur komponen senyawa penangkap radikal. Hasil uji aktivitas antioksidan dengan DPPH menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi gendola mempunyai aktivitas sebagai antioksidan lebih rendah dari pada vitamin C. Berdasar nilai IC50 ekstrak etanol umbi gendola menunjukkan bahwa umbi gendola
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 903
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
mempunyai aktivitas antioksidan yang lemah karena nilai IC50 lebih dari dari 150 ppm. Menurut Armala (2009) tingkat kekuatan antioksidan senyawa uji menggunakan metode DPPH dapat digolongkan menurut nilai IC50, < 50 µg/mL termasuk sangat kuat, 50-100 µg/mL kuat, 101-150 µg/mL sedang, dan > 150 µg/mL termasuk antioksidan yang lemah. Berbagai jenis senyawa yang terkandung dalam umbi gendola diantaranya flavonoid. Flavonoid sebagai salah satu kelompok antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-sayuran dan buah, telah banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai
antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppett et al.,1954). Aktivitas antioksidan umbi gendola dipengaruhi oleh jumlah komponen bioaktif terutama flavonoid dan senyawa fenolik yang terkandung di dalam ekstrak umbi gendola. Struktur dasar senyawa golongan flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur dasar senyawa flavonoid (Erdman et al., 2005) Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik yang dapat ditemukan pada buah dan sayur. Flavonoid merupakan salah satu jenis antioksidan primer, dimana sebagai antioksidan primer dapat memutus rantai propagasi dengan menyumbangkan elektron pada peroksi radikal dalam asam lemak. Pada pengujian aktivitas antioksidan ekstrak umbi gendola dengan metode DPPH (2,2-Difenil-1Prikrilhidril) terjadi peredaman warna DPPH dengan adanya flvonoid dan senyawa fenolik yang dapat memberikan radikal bebas kepada
radikal DPPH sehingga tereduksi menjadi DPPH-H (1,1- Difenil-2-Prikrilhidrazil). Gambar 3 menunjukkan struktur kimia senyawa flavonoid sebagai antioksidan adalah karena adanya: (a). gugus hidroksil 3’,4’ (orto-dihidroksi) pada cincin B flavonoid, (b). ikatan rangkap 2,3 yang terkonjugasi dengan gugus 4-okso (gugus 1,4-piron) pada cincin C dan (c). gugus hidroksil pada posisi 3 dan 5 (Lukiati, 2014).
Gambar 3. Stuktur kimia senyawa flavonoid sebagai Antioksidan (Zhang, 2005 dalam Lukiati, 2014)
904 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Pada senyawa polifenol, aktivitas antioksidan berkaitan erat dengan struktur rantai samping dan juga substitusi pada cincin aromatiknya. Kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas DPPH dapat mempengaruhi urutan kekuatan antioksidannya. Aktivitas peredaman radikal bebas senyawa polifenol diyakini dipengaruhi oleh jumlah dan posisi hidrogen fenolik dalam molekulnya. Dengan demikian aktivitas antioksidan yang lebih tinggi akan dihasilkan pada senyawa fenolik yang mempunyai jumlah gugus hidroksil yang lebih banyak pada inti flavonoidnya. Senyawa fenolik ini mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan hidrogen, maka aktivitas antioksidan senyawa fenolik dapat dihasilkan pada reaksi netralisasi radikal bebas yang mengawali proses oksidasi atau pada penghentian reaksi radikal berantai yang terjadi . Sifat antioksidan dari flavonoid berasal dari kemampuan untuk mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal dan juga membentuk kompleks dengan logam. Kedua mekanisme itu membuat flavonoid memiliki beberapa efek, diantaranya menghambat peroksidasi lipid, menekan kerusakan jaringan oleh radikal bebas dan menghambat aktivitas beberapa enzim. Senyawa alkaloid, terutama indol, memiliki kemampuan untuk menghentikan reaksi rantai radikal bebas secara efisien (Yuhernita dan Juniarti, 2011). Adanya gugus hidroksil menyebabkan senyawa fenolik mampu menangkap radikal bebas. Fenolik mengamankan sel dari serangan senyawa oksigen reaktif seperti oksigen singlet, superoksida, radikal peroksil, radikal hidroksil dan peroksinitrit (Sirait, 2007 dalam Marlianan, 2012). Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Senyawa flavonoid dapat bertindak sebagai antioksidan dan merupakan donor hidrogen. Aktivitas antioksidasi yang juga dimiliki oleh komponen aktif flavonoid tertentu digunakan
untuk menghambat pendarahan. Aktivitas antioksidasinya mungkin dapat menjelaskan mengapa flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati (Robinson, 1995 dalam Marlianan, 2012). Flavonoid memiliki kemampuan sebagai antioksidan karena mampu mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal bebas, dimana R• merupakan senyawa radikal bebas, Fl-OH merupakan senyawa flavonoid sedangkan Fl-OH• merupakan radikal flavonoid (Kandaswami dan Midelton, 1997). Simpulan Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol umbi gondolaengan DPPH menunjukkan nilai IC50 = 503,44 ppm (>150 ppm) termasuk antioksidan yang lemah karena nilai IC50 lebih dari dari 150 ppm. Aktivitas antioksidan ini disebabkan adanya kandungan alkaloid dan polifenol yang dapat meredam radikal DPPH dengan cara mentransfer elektron ke senyawa radikal bebas DPPH. Daftar Rujukan Armala, M. M. 2009. Daya Antioksidan Fraksi Air Ekstrak Herba Kenikir (Cosmos caudatus H. B. K.) dan Profil KLT. Skrips.39. Fakultas Farmasi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Lukiati, Bety. 2014. Penentuan Aktivitas Antioksidan Dan Kandungan Fenol Total Ekstrak Daun Gendola (Basella Rubra Linn) dan Daun Binahong (Anredera Cordifolia Stennis) sebagai Kandidat Obat Herbal. Prosiding: Seminar Nasional UNS. Solo. Cuppett, S., M. Schrepf and C. Hall III. 1954. Natural Antioxidant – Are They Reality. dalam Foreidoon Shahidi: Natural Antioxidants, Chemistry,
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 905
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Health Effect and Applications, AOCS Press, Champaign, Illinois: 12-24 Erdman Jr, John W, Douglas Balentine, Lenore Arab, Gary Beecher, Johanna T. Dwyer, John Folts, James Harnly, Peter Hollman, Carl L. Keen, G. Mazza, Mark Messina, Augustin Scalbert, Joseph Vita, Gary, Williamson, and Jerrilynn Burrowes. Flavonoids and Heart Health: Proceedings of the ILSI North America Flavonoids Workshop, May 31–June 1, 2005, Washington, DC. Dehpour, A.A., Ebrahimzadeh, M.A., Fazel, N.S., dan Mohammad, N.S. 2009. Antioxidant Activity of Methanol Extract of Ferula Assafoetida and Its Essential Oil Composition. Grasas Aceites. 60(4). 405-412. Katrin, Berna Elya, Ali Mohammad Sodiq. Aktivitas Antioksidan Dan Fraksi Daun Cincau Hijau Rambat Cyclea barbata Miers serta Identifikasi Senyawa dari Fraksi yang Paling Aktif. Jurnal Bahan Alam. Vol 8. No.2 Mei 2012. Kandaswami, C and Middleton, E. 1997. Flavonoids as antioxidant, In F. Shahidi (Ed). Natural Antioxidant Chemistry, Health Effects and Applications. Champaign Illions : AOCS Press. Marliana, Eva. 2012. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Andong (Cordyline fruticosa [L] A. Cheval). Mulawarman Scientific. Volume 11, Nomor 1, April 2012. Nihlati A., I.,Abdul Rohman dan Triana Hertiani. Tanpa tahun. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol Rimpang Temu Kunci (Boesenbergia Pandurata (Roxb.) Schlecth) dengan Metode Penangkapan Radikal DPPH (1,1difenil-2-pikrilhidrazil). Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mad. Yogyakarta.
906 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Winarsi, Heri. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Kanisius.Yogyakarta. Witt, S., Lalk, M., Hager, C., dan Voigt, B., 2010, DPPH-Test: Determination of Scavenger Properties, http : / / www. baltic analytics. de/ index. php?id=7&L=1. Yuhernita dan Juniarti. 2011. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak Metanol Daun Surian Yang Berpotensi Sebagai Antioksidan. MAKARA, SAINS, VOL. 15, NO. 1, APRIL 2011: 48-52.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
ISOLASIMIKROALGA: LANGKAH AWAL BIOEKSPLORASI MIKROALGA POTENSIAL Sitoresmi Prabaningtyas Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang
Abstrak Mikroalga merupakan salah satu sumber daya hayati di Indonesia yang mempunyai keanekaragaman sangat tinggi.Masih sedikit species mikroalga di Indonesia yang dimanfaatkan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini bertujuan untuk mendapatkanisolasat mikroalga; sehingga mikroalga yang terisolasi dapat dibudidayakan dalam skala laboratorium;dan selanjutnya dapat di uji potensialnya serta dapat di manfaatkan untuk kebutuhan manusia. Penelitian yang telah dilaksanakan di laboratorium Mikrobiologi, jurusan Biologi FMIPA UM adalah isolasi mikroalga dari berbagai sumber yang terdapat di Jawa Timur yaitu, rawa Senggreng, waduk Selorejo dan waduk Lahor di kabupaten Malang; ranu Grati dan muara sungai Gembong di Pasuruan; tambak – tambak ikan di Gresik dan kolam – kolam di kota Malang. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2014, diawali denganmengisolasi semua isolat mikroalga yang belum murni dengan menggunakan 3 metode isolasi ( metode sreak plate, metode tuang dan metode pengenceran berseri) Jumlah isolat yang didapat di catat sebagai data. Penelitian ini menghasilkan 9 isolat murni dan 17 isolat yang masih belum murni. Kesimpulan dari penelitian yang telah dilaksanakan bahwa didapatkan 13 genus mikroalga yang terisolasi yaitu : Chloroccocum, Closterium, Pediastrum, Oedogonium, Chlorella, Scenedesmus,Ulotrich, Clamydomonas, Euglena, Navicula, Oscillatoria, Anabaena dan Spirulina. Kata Kunci :isolasi, mikroalga, bioeksplorasi
Pendahuluan Penelitian tentang mikroalga sangat penting di lakukan. Hal ini mengingat keanekaragaman mikroalga di Indonesia sangat tinggi. Keanekaragaman yang tinggi ini merupakan sumber daya hayati yang tidak ternilai harganya. Masih banyak sekali spesies mikroalga yang belum diteliti potensinya, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mikroalga. Penelitian tentang potensi mikroalga tentu harus di dahului dengan penelitian tahapawal yaituisolasi dan identifikasi.Penelitian tahap awal ini sudah banyak di lakukan di laboratorium Mikrobiologi, jurusan Biologi, UM. Meskipun demikian perlu ditambah lagi memurnikan isolate mikroalga yang masih belum murni. Tahapanuntuk mendapatkan mikroalga potensial meliputi koleksi, isolasi, kultur skala
laboratorium, uji potensi dan penerapan mikroalga potensial. Koleksi bertujuan untuk mendapatkan satu atau beberapa jenis mikroalga di alam untuk dikultur secara murni (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995:63). Isolasi merupakan kegiatan memisahkan beberapa spesies mikroalga yang telah dikultur untuk mendapatkan satu spesies murni mikroalga. Kultur mikroalga skala laboratorium adalah membiakkan mikroalga dengan volume 10 – 20 L di laboratorium. Setelah biomassa mikroalga cukup kemudian dilakukan uji potensi sehingga didapatkan mikroalga potensial untuk memenuhi kebutuhan manusia. Potensi mikroalga tidak hanya sebagai bagian dari produsen dalam rantai makanan di dalam ekosistem perairan. Manfaat mikroalga sangat banyak dan bervariasi tergantung pada
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 907
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
spesiesnya, diantaranya beberapa mikroalga dapat digunakan sebagai pakan ikan,kosmetik ,agar,toksin, pupuk(Barsanti, 2006). Yenni (2010:1) menyebutkan beberapa jenis mikroalga mengandung karotenoid dalam jumlah tinggi yang bisa diaplikasikan secara luas sebagai pewarna dan antioksidan alami. Kultur Mikroalga sangat penting untuk mendapatkan biomassamikroalga yang cukup untuk uji potensi. Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan keberadaan nutrisi atau unsur hara. Setiap unsur hara memiliki fungsi-fungsi khusus yang tercermin pada pertumbuhan dan kepadatan mikroalga yang dicapai. Unsur hara makro berperan dalam sistem enzim, proses oksidasi dan reduksi dalam metabolisme mikroalga dan memproduksi klorofil. Unsur hara mikro dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi dalam pertumbuhan mikroalga (Reynold 1990 dalam IPB, 2010:6). Setelah dapat dikultur skala lab maka dapat digunakanuntuk uji potensi sehingga dapat diketahui spesiesmikroalga yang berpotensi dan bisa diterapkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Penelitian yang telah dilaksanakan di laboratorium Biologi FMIPA UM adalah isolasi mikroalga dari berbagai sumber yang terdapat di Jawa Timur yaitu, rawa Senggreng, waduk Selorejo dan waduk Lahor di kabupaten Malang; ranu Grati dan muara sungai Gembong di Pasuruan; tambak – tambak ikan di Gresik dan kolam – kolam di kota Malang. Penelitian ini menghasilkan 9 isolat murni dan 17 isolat yang masih belum murni. Banyaknya isolat yang belum murni ini mendorong peneliti untuk dilakukan pemurnian terhadap isolasat mikroalga tersebut. Metode isolasi yang digunakan adalah metode tuang, metode streakplate dan metode pengenceran berseri. Diharapkan dengan penelitian ini akan diperoleh isolat mikroalga sehingga semakin banyak koleksi isolat mikroalga di lab. Mikrobiologi.
Beberapa temuan akan di dapatkan dari penelitian ini, yaitu :Isolat mikroalga dari berbagai sumber di Jawa Timur. Metode isolasi yang efektif untuk mengisolasi mikroalga.Nilai penting dari penelitian ini adalah : Pencarian sumber – sumber daya hayati sangat diperlukan, karena sumber – sumber ini merupakan sumber yang dapat di perbaharui. Mikroalga merupakan sumber daya hayati yang mempunyai keanekaragaman tinggi; sehingga penemuan mikroalga yang potensial menjadi sangat penting untuk menunjang pembangunan negeri ini. Langkah awal untuk mendapatkan mikroalga potensial adalah dengan mengisolasi mikroalga tersebut,sehingga perlu diteliti metode isolasi yang paling efektif untuk mengisolasi mikroalga yang ditemukan. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif, di lakukan melalui dua tahap yaitu: pemilihan isolat mikroalga yang belum murni di laboratorium dan isolasi mikroalga dengan berbagai metode. Studi Pendahuluan dan Penelitian Tahap Awal Beberapa penelitian tentang identifikasi dan isolasi mikroalga telah dilaksanakan. Hasilnya berupa isolat murni dan tidak murni. Pada tahap awal ini seluruh isolat yang ada di laboratorium diamati kembali untuk menentukan isolat yang belum murni. Isolasi Isolasi dilakukan denganmetode tuang , metode pengenceran berseri dan metode streak plate. Masing – masing metode diulang 3 kali untuk tiap isolat yang belum murni. 1. Metode Tuang Sampel mikroalga di tuang ke cawan petri sebanyak 0,1 mL . Setelah 2 minggu di amati. Diambil dengan jarum inokulasi, diamati di bawah mikroskop. Koloni yang terisolasi di pindah ke media miring di tabung reaksi. 2. Metode pengenceran berseri
908 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Metode isolasi ini digunakan bila jumlah jenis organisme yang terkumpul sangat banyak dan ada salah satu spesies yang dominan. Cara ini dilakukan dengan memindahkan beberapa sampel ke dalam beberapa dengan menggunakan tabung reaksi tabung reaksi dengan komposisi hara, kondisi suhu dan cahaya yang cocok untuk pertumbuhan mikroalga yang akan diisolasi. Biasanyaspesies yang dominan pada sampel tersebut akan terisolasi. Jika belum terisolasi maka diulang kembali. 3. Metode streak plate atau isolasi goresan Metode ini sangat baik digunakan untuk mengisolasi mikroalga sel tunggalseperti Chlorella. Metode ini menggunakan media lempeng agar dan tabung miring. Agar miring pada tabung digunakan untuk menyimpan isolat. Langkah isolasi dengan metode ini adalah sebagai berikut : mikroalga dari alam diambil menggunakan jarum ose kemudian distreakdengan arah goresan zig-zag pada permukaan medium agar plate. Hasilnya di amati setelah 2 minggu. Koloni yang terbentuk diisolasi dengan menggoreskan pada medium miring. Kemudian setelah 2 minggu diamati kembali
Identifikasi Hasil isolasi mikroalga (tahap b) kemudian di amati dengan mikroskop dan di cocokkan dengan buku /Literatur mengenai klasifikasi mikroalga air tawar, seperti buku The Freshwater Algae of The United States karangan Gilbert M. Smith tahun 1950, buku How To Know The Freshwater Algae karangan G.W. Prescott (tahun 1978) dan buku Freshwater Algae Identification and Use as Bioindicators karangan Edward G. Bellinger & David C. Sigee (2010). AnalisisData Data yang diperoleh di analisa secara diskriptif untuk memperoleh hasil berupaisolati mikroalga. Hasil dan Pembahasan 1.Metode Streak Plate Isolasi mikroalga dengan metode inidilakukan dengan cara mengambil biakan menggunakan jarum inokulasi berkolong, kemudian digoreskan di medium Walne padat di cawan petri. Hasil pengamatan menunjukkan 1 cawantumbuh.mikroalga.
Gambar 1.Hasil pengamatan mikroalga dengan mikroskop yang di ambil dari salah satu cawan dengan metode streak plate Setelah di amati dengan mikroskop terlihatmikroalga yang berwarna hijau,ini
menunjuk-kan bahwamikroalga tersebut masih hidup dan perlu di isolasi lebih lanjut.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 909
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
2.MetodePengenceran Berseri Hasil pengamatan setelah dilakukan isolasi mikroalga dengan metode ini, menunjukkanbahwa pada pengenceran 10 1dan
10 -2terjadi pertumbuhan mikroalga seperti tampak pada Gambar 2
Gambar 2.Padatingkat pengenceran 10 -1 tampak pertumbuhan mikroalga di dasar tabung.Pengamatan dilakukan setelahsetelah 2 minggu penanaman.
Adapun hasil pengamatan mikroskop menunjukkan isolate masih belum murni, karena masih terdapat beberapa spesies di
dalamnya, seperti tampak pada Gambar 3 berikut ini.
ab Gambar 3. Pengamatan dengan mikroskop hasil isolasi dengan metode pengenceranberseri dengan tingkat pengenceran 10 -1 (a) dan tingkapengenceran 10 -2 (b)
3.Metode Tuang Setelah 2 minggu penanaman, hasil pengamatanmenunjukkan mikroalga yang di tuang ke cawan petri sebanyak 0,1 mL sampel tidak tumbuh. Kemudian volume sampel yang dituang ke cawan petri ditambah yaitu
sebanyak 5mL.Pengamatan berikutnya menunjukkan tumbuh koloni mikroalga, tetapi setelah diamati dibawah mikroskop, tampak warna mikroalga menjadi kecoklatan, menandakan mikroalga tersebut mati.Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.4.berikut ini :
910 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Spyrogira
Tuang ab
Gambar4. (a) mikroalga yang dituang di medium padat, (b) mikroalga dari cawan pada gambar a, di amati dengan mikroskop, tampak mikroalga berwarna coklat.
Spesies Mikroalga yang berhasil di isolasi adalah sebagai berikut: Tabel 1.Mikroalga yang Berhasil Di isolasi
1
No
Divisi Chlorophyta
2 3 4
Euglenophyta Chrysophyta Chyanophyta
Famili Chlorococcaceae Desmidiaceae Hydrodictyaceae Oedogoniaceae Oocystaceae Scenedesmaceae Clamydomonadaceae Ulotrichaceae Euglenophyceae Naviculaceae Oscillatoriaceae
Metode streak plate. Dilihat dari mikroalga yang tumbuh, maka metode ini kurang efisien karena hanya ada satu cawan yang tumbuh. Namun demikian jika dilihat dari tingkat kemurnian isolate maka metode ini lebih efektif dan efisien, karena ada spesies yang dominan terlihat dari hasil streak plate yang di amati dengan mikroskop. Adapun jika ditinjau dari waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan isolat mikroalga, metode ini membutuhkan waktu yang relatife lebih singkat dibandingkan dengan metode yang lain. Hal ini karena pengamatan dilakukan setelah 2 minggu.Jika hasil pengamatan ternyata sudah
Genus Chloroccocum Closterium Pediastrum Oedogonium Chlorella Scenedesmus Clamydomonas Ulotrich Euglena Navicula Oscillatoria Anabaena Spirullina
ada spesies yang dominan maka langkah berikutnya adalah di isolasi ke medium miring di tabung reaksi. Metode ini membutuhkan medium lempeng(dicawan petri) dan medium miring (di tabung reaksi). Jika dibandingkan dengan medium cair, maka medium padat ini lebih cepat kering, sehingga dalam waktu 2 minggu hasil streak plate harus segera di pindah ke medium miring yang lebih tahan lamaatau medium cair yang paling tahan terhadap kekeringan.Mikroalga yang berhasil di isolasi dengan metode ini adalah mikroalga dari genus Chloroccocum, Closterium, Pediastrum, Oedogonium, Chlorella,
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 911
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Scenedesmus,Ulotrich, Clamydomonas, Euglena dan Navicula. Metode Pengenceran Berseri. Hasil pengamatan dengan metode ini menunjukkan setelah 2 minggu penanaman mikroalga tumbuh padatingkat pengenceran 10 -1 dan 10 -2, sedangkantingkat pengenceran 10 -3, 10 -4 dan 10 -5 tidak tampak adanya pertumbuhan mikroalga. Pada hasil pengamatan terlihat pada tingkat pengenceran 10 -1 (Gambar 4.3, a) masih terlihat mikroalga dari beberapa genus, yaitu : Chlorella, Scenedesmus, Chlorococcum , Navicula, dan Fragillaria. Sedangkan pada tingkat pengenceran 10 -2 terlihat jumlah macam spesies lebih sedikit, yaitu : Fragilaria , Chlorococcum dan Navicula. Jika pengamatan di lakukan pada waktu yang lebih lama lagi maka tidak menutup kemungkinan bahwa tingkat pengenceran 10 -3, 10 -4 dan 10 -5 akan terlihatpertumbuhan mikroalga dengan jumlah macam spesies yang lebih sedikit. Karena masih terdapat beberapa spesies maka perlu dilakukan pengenceran lebih lanjut, hingga di dapatkan 1 macam spesies dalam tabung pengenceran. Metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan isolate mikroalga yang murni. Sedangkan ditinjau dari media yang dibutuhkan metode ini menbutuhkan media cair yang relative lebih tahan lama di bandingkan media
padat.Mikroalga yang berhasil di isolasi dengan metode ini adalah mikroalga dari genus Chloroccocum dan Navicula. Metode Tuang. Perlakuan dengan metode ini menunjukkan tidak ada mikroalga yang tumbuh. Setelah volume sampel ditambah terlihat mikroalga tumbuh, Tetapi pada waktu di amati (2 minggu setelah penanaman) mikroalga mulai menguningJika dilihat dari kemurnian, metode ini lebih cepat menghasilkan isolate murni, karena mikroalga yang tumbuh di medium tersebar merata, dan untuk langkah selanjutnya tinggal di pindah ke medium miring di tabung reaksi. Media yang digunakan adalah media lempeng dalam cawan, dan jika sudah tumbuh dipindah ke medium miring dalam tabung reaksi.Dibandingkan media yang digunakan untuk pengenceran berseri,metode ini memerlukan lebih banyak bahan karena harus menggunakan agar.Mikroalga yang berhasil di isolasi dengan metode ini adalah mikroalga dari genus Oscillatoria, Anabaena dan Spirulina. Hasil penelitian menunjukan kekurangan metode mempunyai kelebihan masingmasing.Sehingga untuk melakukan isolasi perlu di tentukan metode isolasi yang paling tepat.
Isolat
kultur
(a) (b) Gambar 5.Isolat dan Kultur Mikroalga. Keterangan: (a) Isolat mikroalga, (b)kultur mikroalga di erlemeyer
912 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan genus mikroalga yang terisolasi adalah : Chloroccocum, Closterium, Pediastrum, Oedogonium, Chlorella, Scenedesmus, Ulotrich, Clamydomonas, Euglena, Navicula, Oscillatoria, Anabaena dan Spirulina. Daftar Rujukan Barsanti, Laura & Gualtieri, Paolo. 2006. Algae (Anatomy, Biochemistry, and Biotechnology). New York: CRC Press Bellinger, Edward G. & Sigee, David C. 2010.Freshwater Algae Identification and Use as Bioindicators. USA: WileyBlackwell. Bold, Harold C. & Claire II, John W. 1987.The Plant Kingdom 5th Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Fauzia, nanda. 2011. Manfaat Mikroalga. (Online), (http://www.scribd.com/doc/498213 56/MANFAAT-MIKROALGA, diakses pada tanggal 10 Maret 2011) Femi.2011. Pemanfaatan Karbondioksida (CO2) untuk Kultivasi Mikroalga Nannochloropsis sp. sebagai Bahan Baku Biofuel. (Online), (http://repository.ipb.ac.id/bitstream /handle/123456789/47148/C11fzu.p df?sequence=1, diakses pada tanggal 25 Juli 2011) IPB.2010. Peran Substrat Zeolit dalam Mendukung Kelimpahan Mikroalga.Online,(www.repository.i pb.ac.id/bitstream/handle/Bab%202 %202010dar1.pdf?3,diakses pada tanggal 4 Juni 2011) Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Mikroalga dan Zooplankton. Yogyakarta: Kanisius
Prabaningtyas, Suarsini,Saptasari, 2009, Identifikasi Mikroalga dari Malang sebagai Langkah Awal Pembuatan Biodiesel,Malang: Lemlit Prabaningtyas, Suarsini, Prasetyo, 2002,Identifikasi dan Isolasi Mikroalga dari Rawa Senggreng Kabupaten Malang, Malang : Lemlit Prescott, G.W. 1978. How To Know The Freshwater Algae. United States of America: Wm.C. Brown Publisers. Round. 1965. The Biology of The Algae. London: Edward Arnold. Saptasari, Murni; Martono, Achmad.1999. Petunjuk Praktikum Botani Tumbuhan Rendah I (Ganggang). Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang: Malang Saptasari, Murni; Prasetyo, Triastono I. & Susriyati. 2007. Buku Ajar Botani Tumbuhan Bertalus Alga. Malang: FMIPA UM. Smith. R. L. 1950. Fresh-Water Algae of The United States. Second Edition. New York: Mc-GRAW Hill Book Company Inc Suarsini, Prabaningtyas, Saptasari,2009, Pemanfaatan Ultrasonik untuk Peningkatan Efisiensi Minyak dari Mikroalga, Malang: Lemlit ,UM Sulasmi, Saptasari, Prabaningtyas, 2006, Identifikasi dan Isolasi Mikroalga sebagai Pakan Ikan Alami dari Tambak Muara Sungai Gembong Pasuruan Jawa Timur, Malang: Lemlit, UM Suwono, Hadi. 2010. Dasar-Dasar Limnologi. Surabaya: Putra Media Nusantara Wetzel, Robert. G. 1983. Limnology.Second Edition. America: United States of America Wulandari, Dewi. 2009. Keterikatan antara Kelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisika Kimia di Estuari
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 913
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Sungai Brantas (Porong), Jawa timur. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Yenni. 2010. Prospek Pengembangan Mikroalga. (Online),
914 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
(http://www.kendarinews.com/beta/i ndex2.php?option=com_content&do _pdf=&id=13183, diakses pada tanggal 25 Juli 2011)
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
PENGARUH SEKAM PADI, KOMPOS DAN PUPUK KANDANG SAPI TERHADAP BEBERAPA SIFAT KIMIA, FISIKA, DAN BIOLOGI ENDAPAN LUMPUR SIDOARJO Slamet Santosa Laboratorium Lingkungan dan Kelautan, Jurusan Biologi, Fmipa, Universitas Hasanuddin Jl. Sunu, Komplek Unhas Baraya blok KX.8, Makassar 90214 Email:
[email protected]
Abstrak Endapan lumpur Sidoarjo terbentuk dari lumpur yang keluar dari bekas pengeboran minyak PT. Lapindo Brantas. Endapan lumpur Sidoarjo mengandung unsur hara, liat yangtinggi dan beberapa populasi mikroba. Sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi diketahui dapat meningkatkan hara, memperbaiki porositas dan menambah keragaman mikroba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi terhadap beberapa sifat kimia, fisika dan biologi endapan lumpur Sidoarjo. Endapan lumpur diambil di desa Siring, kecamatan Porong, kabupaten Sidoarjo, lalu dikeringkan, dihancurkan (tumbuk) dan disaring dengan saringan ukuran 2 mm. Endapan lumpur halus dicampur sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi, dan diinkubasikan selama 5 minggu. Selanjutnya campuran tersebut dianalisis kandungan bahan organic; C organic; N, P dan K; bobot isi dan jenis; porositas; agregat dan total mikroba. Hasil analisis kimiamenunjukkan bahwa penambahan sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi pada endapan lumpur menyebabkankandungan bahan organik meningkat dari 1,63% menjadi antara 2,67-15,87%; C organic meningkat dari 0,94% menjadi 1,54-9,53%; N total meningkat dari 0,12% menjadi 0,17-0,46%;P Bray 1meningkat dari 4,86 mgkg-1menjadi 32,50-98,18 mgkg-1,; K meningkat dari 0,09 me/100g menjadi 1,02-2,39 me/100g. Hasil analisis fisik menunjukkan penurunanbobot isi dari 1,07 gcm-3menjadi antara 0,34-1,03 gcm-3; penurunan bobot jenis dari 2,49gcm-3 menjadi 0,77-2,43 gcm-3; peningkatan porositas dari 57,24% menjadi 57,54-71,44%; peningkatan agregat dari 0,09 mm menjadi 0,21-1,37 mm. Hasil analisis mikrobiologi pada endapan lumpur Sidoarjo ditemukan total bakteri 5,1x104 CFU/g dan total jamur 1,0x102 propagul/g; sekam padi total bakteri 1,56x106 CFU/g dan total jamur 3,15x104 propagul/g; kompos total bakteri 2,53x106CFU/g dan total jamur 7,95x104 propagul/g ; pupuk kandang sapi total bakteri 5,85x104 CFU/g dan total jamur 5,3x106 propagul/g. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penambahan sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi dapat meningkatkan hara, memperbaiki sifat fisik dan menambah keragaman mikroba endapan lumpur Sidoarjo.. Kata kunci : Sifat Kimia, Fisika dan Biologi, Endapan lumpur Sidoarjo
Pendahuluan Lumpur Sidoarjo merupakan bencana nasional yang terjadi pada tahun 2006 dengan volume awal semburan mencapai 120.000 m3/hari. Semburan lumpur tersebut menenggelamkan sarana dan prasarana yang ada pada8 desa,di kecamatan Porong, Besuki
dan Tanggul angin,kabupaten Sidoarjo. Saat ini semburan lumpur sudah berkurang dengan volume semakin kecil dan lumpur dialirkan ke sungai Porong namun sebagian mengendap di penampungan membentuk hamparan endapan yang semakin banyak dan meluas. Volume endapan lumpur yang terbentuk di
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 915
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
penampungan mencapai ketinggian lebih dari 10 m. Endapan lumpurjuga merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Hasil analisis kimia dan fisik diketahui mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) 42,58 me/100g dan mengandung liat 62%,termasuk kategori tinggi. Hanafiah (2007),menyatakan bahwa KTK tanah tinggi merupakan indikator pada kemampuan tanah dalam menahan kation dan mempertukarkan kation-kation termasuk kation pada tumbuhan. Kapasitas tukar kation merupakan indikator penting untuk kesuburan tanah. Syukur dan Indah (2006), tanah dengan fraksi lempung tinggi (55%) menyebabkan tanah mempunyai daya menahan air tinggi. Sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi merupakan bahan organik yang jumlahnya berlimpah dan diketahui dapat memperbaiki sifat-sifat tanah. Gusmailina dan Komarayati (2003), menyatakan bahwa sekam padi dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah. Penggunaan sekam padi mengurangi pemadatan tanah karena semakin banyak poripori. Struktur fisik tanah yang baik dapat merangsang akar tumbuh lebih baik sehingga tingkat pengambilan hara semakin tinggi sesuai kebutuhan tanaman. Wahyono (2010), kompos dapat menambah kesuburan tanah dan merangsang pertumbuhan akar yang sehat serta menjadikan struktur tanah lebih baik dengan meningkatkan kadar bahan organik tanah. Penggunaan kompos di tanah berpasir dapat meningkatkan ketersediaan air untuk tanaman. Sedangkan pada tanah berlempung bisa meningkatkan permeabilitas air dan udara serta meningkatkan penyerapan air sehingga mengurangi pergerakan aliran air di permukaan tanah. Hasil penelitian Syukur (2005), penggunaan pupuk kandang sapi 20 tonha-1 dapat memperbaiki kualitas atau mutu tanah dengan meningkatkan kapasitas menahan air. Putri (2008), bahan organik mempunyai sifat remah yaitu udara, air dan akar tumbuhan lebih mudah masuk kedalam fraksi. Sifat
916 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
tersebut sangat penting yang dapat menyebabkan akar bibit tanaman akanmudah tumbuh dan berkembang lebih baik. Sutedjo dan Kartasaputra, (2005), bahan organik bertindak sebagai perekat antara zarah mineral pratama. Bahan organik meningkatkan kemantapan agregat. Djayadi, dkk. (2010), penambahan bahan organik dapat meningkatkan porositas tanah, yang diindikasikan dengan meningkatnya proporsi makroagregat tanah. Menurut Karama dalam Wigati dkk. (2006), bahwa bagian serat dari bahan organik meningkatkan pembentukan agregat dan granulasi tanah. Perbaikan agregasi tanah akan memperbaiki permeabilitas dan peredaran udara tanah lempungan. Granulasi butir-butir tanah memperbaiki daya pegang hara dan air tanah. Berdasarkan kajian bahan organik tersebut maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan yaitu mengetahui pengaruh sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi terhadap beberapa sifat kimia, fisika dan biologi endapan lumpur Sidoarjo. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Fisika Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian inidilaksanakanpada bulan Maret sampai Agustus 2012. Bahan penelitian yang digunakan yaitu endapan lumpur Sidoarjo, sekam padi, kompos, pupuk kandang sapi, dan zat kimia yaitu selen, asam sulfat, tartrat, na-fenat, natrium klorida, pengektrak, kalium kromat dan sebagainya. Sedangkan alat penelitian yaitu shaker, tabung reaksi, labu ukur, tabung kuningan, pressure plate/sand box, oven, gelas piala, spektrofotometer, satu set ayakan, polybag, kantong plastik, sendok tanah, timbangan, timbangan digital, saringan 2 mm, gembor, alat tulis dan seperangkat komputer dengan software SPSS versi 12,0 untuk analisis data.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Endapan lumpur Sidoarjo kering diambil ditepi (2 m) dari tanggul penampungan lumpur,didesa Siring, kecamatan Porong, kabupaten Sidoarjo. Endapan lumpur tersebut dihancurkan (tumbuk), lalu disaring dengan saringan berukuran diameter 2 mm. Endapan lumpur halus dengan kadar air 11% dicampur sekam padi dengan kadar air 4%, kompos kadar air 6% dan pupuk kandang sapi kadar air 6%, yang masing-masing bahan berbanding sebagai berikut. 1. Endapan lumpur Sidoarjo 20%, sekam padi 40%, kompos 20%, dan pupuk kandang sapi 20% (M1) 2. Endapan lumpur Sidoarjo 50%, sekam padi 20%, kompos 10%, dan pupuk kandang sapi 20% (M2) 3. Endapan lumpur Sidoarjo 50%, sekam padi 20%, kompos 20%, dan pupuk kandang sapi 10% (M3) 4. Endapan lumpur Sidoarjo 50%, sekam padi 40% dan kompos 10% (M4) 5. Endapan lumpur Sidoarjo 50%, sekam padi 40% dan pupuk kandang sapi 10% (M5) 6. Endapan lumpur Sidoarjo 80%, kompos 10% dan pupuk k andang sapi 10% (M6) 7. Endapan lumpur Sidoarjo 80% dan sekam padi 20% (M7) 8. Endapan lumpur Sidoarjo 80% dan kompos 20% (M8) 9. Endapan lumpur Sidoarjo 80% dan pupuk kandang sapi 20% (M9) 10. Endapan lumpur Sidoarjo 100% ( M10) Parameter penelitian yang diamati yaitu kandungan bahan organic; C organic; kadar N, P, K; bobot jenis dan isi; porositas; agregat dan total mikroba. Untuk mengetahui faktor yang nyata dilakukan analisis sidikragam (ANOVA) pada taraf signifikasi 95%.Untuk mengetahui dosis yang nyata dilakukanuji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple
Range Test = DMRT) pada taraf signifikasi 95% Hasil dan Pembahasan Hasil analisis sifat endapan lumpur Sidoarjo, sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis kimia endapan lumpur Sidoarjo menunjukkan bahwa ketersediaan hara N, P dan K sangat rendah tetapi mempunyaiKTK tinggi. Ketersediaan hara N, P dan K sangat rendah disebabkan diantaranya kandungan bahan organik endapan lumpur Sidoarjo hanya 1,63%, termasuk kategori rendah. Bahan organic yangrendah karena endapan tersebut berasal dari lumpur yang keluar pada kedalaman yang sangat dalam. Wiguna, dkk. (2009), endapan lumpur Sidoarjo keluar dari kedalaman ± 100 m. Menurut Prasetyo (2007), semakin kedalam tanah semakin menurun kandungan bahan organik. Bahan organik dalam tanah merupakan salah satu sumber hara. Madjid (2007), bahan organik dapat menyebabkan sifat kimia tanah berubah melalui proses dekomposisi oleh mikroba. Dekomposisi bahan organik akan melepaskan unsur hara kedalam larutan tanah dan juga menjadikan bahan organik ke bentuk lebih sederhana dan bersifat koloid. Keadaan ini menyebabkan peningkatan kemampuan absorbsi tanah dan berhubungan juga dengan KTK tanah karena bertambahnya luas permukaan partikel tanah. Hal tersebut menyebabkan tanah mempunyai kemampuan menyimpan hara yang semakin baik, mengurangi penguapan hara nitrogen, maupun pencucian hara-hara kation lain. Pada akhirnya menyebabkan peningkatan kapasitas tanah untuk melepas hara kation bagi kebutuhan pertumbuhan tanaman, baik melalui mekanisme pertukaran secara langsung maupun mekanisme pasif yaitu proses difusi.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 917
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Tabel 1. Sifat endapan lumpur Sidoarjo, sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi No Parameter ______________
Endapan lumpur
Sekam
Kompos Pupuk kandang sapi
Nilai Harkat _______________________________________________________________________ 1. pH (H2O) 7,0 6,8 7,7 7,8 2. Bahan organic (%) 1,63 40,89 17,69 2,74 3. C organik (%) 0,94 23,63 10,22 1,58 4. N total (%) 0,12 SR* 0,62 0,93 0,40 5. P Bray 1 (mgkg-1)4,86 SR* 6. Ktersedia (me/100g) 0,09 SR* 7. KTK (me/100g) 42,58 Tinggi* 8. C/N 8,0 38 11 4 9. P total (%) 0,01 0,16 0,14 10. K Total (%) 0,35 0,45 0,25 11. Pasir (%) 3 12. Debu (%) 35 13. Liat (%) 62 14. Tekstur Liat 15. Bobot Isi (gcm-3) 1,07 16. Bobot Jenis (gcm-3) 2,49 17. Porositas (%) 57,26 _______________________________________________________________________ SR = sangat rendah ; * = pengharkatan menurut Balai Penelitian Tanah (2005). Penambahan sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi pada endapan lumpur Sidoarjo meningkatkan kandungan bahan organik, C organik dan hara N,P dan K. Bahan organik yang ditambahkan kedalam tanah akan terdekomposisi menghasilkan senyawa organik yang terurai menjadi mineral dan terakumulasi dalam larutan tanah. Bahan organik mempunyai kandungan hara rendah, agar efektif penggunaannya harus ditambahkan dalam jumlah banyak. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa penambahan sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi ≥ 50% (M1,M2,M3,M4 dan M5) pada endapan lumpur menyebabkan peningkatan kandungan bahan organik, C organik dan hara N,P dan K relatif lebih tinggi dibandingkan ˂ 50% (M6, M7, M8, M9 dan M10 (Tabel 2).
918 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Warsiti .(2009), menyatakan bahwa penambahan bahan organik meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mengakibatkan mengecilnya erodibilitas tanah.Syukur dan Indah (2006), penambahan bahan organik kedalam tanah, baik itu berupa kompos maupun pupuk kandang mengakibatkan peningkatan C organik tanah. Semakin banyak bahan organik yang ditambahkan kedalam tanah semakin banyak pula C organik yang dilepaskan kedalam tanah. Nursyamsi dkk. (1995),pemberian bahan organik berupa pupuk kandang 10 tonha-1dan pupuk hijau 5 tonha-1 meningkatkan kandungan C dan N organik serta KTK tanah. Menurut Brady (1990) dalam Syukur dan Harsono (2008), kotoran sapi yang diberikan kedalam tanah mengalami dekomposisi yang berakhir dengan mineralisasi dan terbentuknya bahan yang
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
relatif resisten yaitu humus. Humus yang tersusun dari selulosa, lignin dan protein mempunyai kandungan Corganik umumnya sebesar 58% sehingga dapat dipahami bahwa pemberian kotoran sapi akan meningkatkan
jumlah humus juga berarti meningkatkan Corganik tanah. Peningkatan Corganik dalam tanah juga meningkatkan bahan organik tanah.
Tabel 2. Sifat kimia endapan lumpur Sidoarjo setelah ditambah sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi ________________________________________________________________________ Parameter Perlakuan______________________________________________________________ __ M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10* ________________________________________________________________________ Bahan Organik (%) 15,87 12,39 12,70 16,49 13,99 8,04 14,12 2,67 3,35 1,63 C. Organik (%) 9,17 7,16 7,34 9,53 8,09 4,65 8,16 1,54 1,93 0,94 N Total (%) 0,46 0,34 0,38 0,43 0,29 0,23 0,35 0,17 0,19 0,12 P Bray 1 (mgkg-1) 65,00 52,56 43,81 81,44 32,50 98,18 55,80 59,68 35,72 4,86 K (me/100g) 1,33 2,39 2,54 1,78 1,02 1,84 1,26 1,69 1,71 0,09 * Hanya endapan lumpur Sidoarjo Hasil analisis fisik juga menunjukkan bahwa M1 menyebabkan penurunan bobot isi (BI) dan jenis (BJ) relatif lebih tinggi. Perlakuan bahan organik menurunkan BI dan BJ (Gambar 1) danmeningkatkan porositas dan agregat (Gambar 2).Hasil ini sesuai dengan penelitian Sunantara et.al., (2005) bahwa penambahan pupuk kandang, sekam maupun serbuk gergaji dapat menurunkan bobot jenis isi dan bobot jenis partikel, tetapi meningkatkan porositas, air tersedia, pori draenase cepat dan lambat. Menurut Soetedjo dan Kartasaputra (2005), bahan organik bertindak sebagai perekat antara zarah mineral pratama. Bahan organik meningkatkan kemantapan agregat.Agregat yang mantap dengan ruang pori yang cukup akan menjamin penyebaran udara dan air dalam tubuh tanah secara optimal, keadaan yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Syukur (2005), agregasi tanah yang baik secara tidak langsung
memperbaiki ketersediaan unsur hara. Hal ini karena agregasi tanah yang baik akan menjamin tata udara dan air tanah yang baik pula, sehingga aktivitas mikroorganisme dapat berlangsung dengan baik dan meningkatkan ketersediaan unsur hara. Djajadi et al., (2010), penambahan bahan organik dapat meningkatkan porositas tanah, yang diindikasikan dengan meningkatnya proporsi makroagregat tanah. Hasil analisis mikroba pada campuran endapan lumpur Sidoarjo dengan bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi ditemukan bakteri dan jamur. Pada sekam padi ditemukan bakteri dengan total 1,56x106 CFU/g. Bakteri tersebut dikelompokkan menjadi 3 isolat dengan morfologi koloni yaitu isolat A: rhizoid, lobate, transparan, krem dan flat; isolat B: curied,undulate, tidak tembus cahaya, putih dan flat; dan isolat C: curied, undulate, tidak tembus cahaya, putih, umbonate
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 919
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Bobot isi (gcm-3)
Bobot jenis (gcm-3) 2.53
1.72 0.96 0.4 M1
1.31 0.48
0.58 M2
0.97 0.35
M3
M4
0.96
0.77 0.34 M5
2.19
M6
0.62 M7
2.37
2.43
2.49
0.97
1.03
1.07
M8
M9
M10
Gambar 1. Pengaruh sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi terhadap bobot isi dan jenis endapan lumpur Sidoarjo Porositas (%)
M1
Kemantapan Agregat (mm)
58.89
66
63.26
63.98
55
61.86
71.44
0.51
0.41
0.51
0.94
0.59
0.24
0.68
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
58.98
57.54 57.24
1.37
0.21 M9
0.09 M10
Gambar 2. Pengaruh sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi terhadap porositas Dan kemantapan agregat endapan lumpur Sidoarjo Selain bakteri, pada sekam padi juga ditemukan 2 isolat jamur yaitu Penicillium sp dan Rhizopus sp. dengan total 3.15x104 propagul/g. Pada kompos diperoleh total bakteri2,53x106 CFU/g dengan 3 isolat dengan morfologi koloni yaitu isolat A :circulair, tidak tembus cahaya, putih kehijauan, cembung; isolat B: irregulair, bergerigi, transparan, krem, flat; dan isolat C: circulair, entire, transparan, putih. Pada kompos ditemukan 2 isolat jamur yaitu Aspergillus sp dan Aspergilus niger , dengan total jamur 7,95x104 propagul/g. Pupuk kandang sapi ditemukan total bakteri 5,85x104 CFU/g dengan 3 isolat dengan morfologi koloni yaitu isolat A: circulair, entire, transparan, putih; isolat B: circulair, entire, tidak tembus cahaya, putih susu, flat; dan isolat C: circulair, entire, transparan, putih, cembung. Pupuk kandang sapi juga ditemukan 1 isolat jamur yaitu Aspergillus niger, dengan total 5,3x106
920 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
propagul/g. Menurut Tian et al. 1997dalam Atmojo, 2003), bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikroba dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Sugiarto (2000), bahwa kelimpahan dan keanekaragaman mikroba dan fauna tanah pada media tumbuh kacang hijau cenderung meningkat oleh adanya aplikasi bahan organik. Simpulan Berdasarkan hasil analisis kimia, fisika dan biologi penelitian ini menyimpulkan bahwapenambahan sekam padi, kompos dan
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
pupuk kandang sapi pada endapan lumpur Sidoarjo berpengaruh nyata terhadap peningkatan bahan organik tanah, C organik, hara N, P dan K; penurunan bobot isi dan jenis; peningkatan porositas dan agregat serta keragaman mikroorganisme. Perlakuan M1 memberikan pengaruh yang terbaik dibandingkan perlakuan lainnya.. Daftar Pustaka Djajadi, Bambang Helianto dan Nurul Hidayah. 2010. Pengaruh Media Tanam dan Frekuensi Pemberian Air Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah Serta Pertumbuhan Jarak Pagar. Jurnal Littri, Vol..16 (2), h:64-69 Gusmailina, G. P. dan S. Komarayati. 2003. Pengembangan Penggunaan Arang untuk Rehabilitasi Lahan. Bulletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Vol. 4 (1), h: 21-30. Hanafiah, A.K. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Rajawali Press. Jakarta Madjid, A. R. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.http://dasar2ilmutanah.Blogspot.co m. Diakses 5 Desember 2010 Nursyamsi, D.O. Supandi, D. Erfandi, Sholeh dan I.P.G. WijayaAdhi. 1995. Penggunaan Bahan Organik, Pupuk P dan K untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah Podsolik (Typic Kandiudult). Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor Prasetyo, B.H. 2007. Perbedaan Sifat-Sifat Tanah Vertisol Dari Berbagai Bahan Induk. Jurnal Ilmu ilmu Pertanian indonesia, Vol. 9 (1), h: 20-31 Putri, A.I. 2008. Pengaruh Media Organik Terhadap Indek Mutu Cendana . Jurnal Pemulian Tanaman Hutan, Vol.21 (1), h:18 Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition and Reaction. A. Willey Interscience Pub Singapore. 496 p Sudadi, N.H. Yuni dan Sumani. 2007. Ketersediaan K dan Hasil Kedelai Glycine max L.. Merril Pada Tanah Vertisol Yang Diberi Mulsa dan Pupuk Kandang. Jurnal
Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol. 7(1),h : 8-12 Sugiarto. 2000. Aplikasi Bahan Organik Tanaman Terhadap Komunitas Fauna Tanah dan Pertumbuhan Kacang Hijau (Vignaradiate) Jurnal Biodiversitas, Vol.1 (1), h: 25-29 Sunantara, M., I.B. Aribawa dan I.K. Kariada. 2005. Pengaruh Berbagai Media Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Bibit Jeruk Bali (Citrusmaxima Merr). BPPT. Bali Sutedjo, M.M dan A.G. Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. Rinneke Cipta. Jakarta Syukur, A. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap Sifat-Sifat Tanah dan Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir Pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan,Vol. 5 (1), h:30-38 Syukur, A. dan N. M. Indah. 2006. Kajian Pengaruh Pemberian Macam Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jahe di Inceptisol, Karanganyar. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol. 6 (2), h:124-131 Syukur, A. dan E.S. Harsono. 2008. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan NPK Terhadap Beberapa Sifat Kimia dan Fisika Tanah Pasir Pantai Samas Bantul. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol . 8 (2), h:138-145 Warsiti. 2009. Kajian Pemakaian Pupuk Kandang Sapi Pada Tanah Regosol Kelabu Terhadap Erosi. Jurnal Orbith, Vol. 5 (1), h:52-59 Wigati, E.S.,S. Abdul, dan D.K. Bambang. 2006. Pengaruh Takaran Bahan Organik dan Tingkat Kelengasan Tanah Terhadap Serapan Fosfor Oleh Kacang Tunggak di Tanah Pasir Pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 6 (1), h:53-58 Wiguna, I.P.A., Wahyudi C., dan Amien Widodo. 2009. Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo. PSKB., LPPM., ITS. Surabaya
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 921
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
PERILAKU PEMANGSAAN Coccinella transversalis TERHADAP KUTU DAUN (APHIDS) Sofia Ery Rahayu Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan perilaku makan Coccinelidae predator yaitu Coccinella transversalis terhadap kutu daun (aphids). Penelitian yang dilakukan tergolong deskriptif. Hewan C. transversalis diletakkan pada daun kubis yang sudah diberi kutu daun, selanjutnya diamati perilaku makannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga C. transversalis akan mencari kutu daun, selanjutnya langsung menggigit dan mengunyahnya. Kutu daun dimakan mulai dari sisi posterior tubuh. Kutu daun melakukan penolakan dengan menggerak-nggerakan antena, tubuh dan kakinya. Apabila kaki kutu daun masih aktif bergerak, maka salah satu kaki pertama C. transversalis akan membantu memeganginya. Lama waktu memakan seekor kutu daun sekitar 3-4 menit. Setelah kutu daun habis dimakan, selanjutnya salah satu kaki pertama serangga C. transversalis akan membawa antenanya diarahkan ke mulut. Kata kunci: perilaku makan, Coccinella transversalis, aphid Pendahuluan Pengendalian hama yang ramah lingkungan menggunakan serangga predator pada saat ini terus dikembangkan. Hal ini karena dapat mengurangi dampak penggunaan pestisida dalam memberantas hama. Hasil penelitian Rahayu,dkk. (2012) di lahan sayur di daerah Batu ditemukan anggota Coccinellidae yang berperanan sebagai predator dan umum banyak ditemukan yaitu Coccinella transversalis dan Menochilus sexmaculata. Kedua hewan tersebut merupakan predator bagi kutu daun. Kutu daun merupakan hama yang banyak menyerang tanaman budidaya. Bagian tanaman yang diserang biasanya bagian pucuk dan daun muda. Serangga ini akan bergerombol sehingga menutupi bagian tanaman. Satu individu dewasa kutu daun dapat menghasilkan 50 individu keturunan dalam waktu satu minggu. (Arifin dan Lubis , 2003 dalam Nelly, dkk, 2012). Hasil penelitian Radiyanto, dkk., (2011) tentang potensi M. sexmaculata terhadap pemangsaan hama kutu daun jagung
922 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
(Rhopalusicum maidis) menunjukkan bahwa serangga M. sexmaculata dapat dikategorikan sebagai agen kontrol biologis yang baik. Peneliti lain yaitu Nelly, dkk. (2012) menyatakan bahwa M. sexmaculata merupakan predator yang efektif bagi kutu daun karena sangat rakus dalam memakan kutu daun. Lebih lanjut dikatakan bahwa sepasang serangga M. sexmaculata mampu memakan 50-200 ekor dalam sehari. Sementara itu Agus, dkk. (2011) menyatakan bahwa serangga Coccinella sp. merupakan agen hayati potensial dalam menekan berbagai populasi kutu daun. Adapun hasil penelitian Rahayu, dkk. (2012) menunjukkan bahwa kemampuan predasi Coccinella transversalis dan Menochilus sexmaculata terhadap kutu daun tidak berbeda nyata, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua serangga tersebut juga merupakan predator yang potensial bagi kutu daun. Riyanto dan Sudrajat, (2008) menyatakan bahwa pengamatan tingkah laku dan biologi predator merupakan kunci yang penting dalam memahami cara hidup predator
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dan pengaruh predator terhadap dinamika populasi inang atau mangsanya. Menurut Tanudimadja dan Kusumamiharja (1985) dalam Sawitri, dkk. (2012) bahwa perilaku merupakan suatu aktivitas yang perlu melibatkan fungsi fisiologis dan setiap perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera dan diubah menjadi aktivitas nneural, aksi itegrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik. Rangsangan tersebut terdiri atas dua macam yaitu rangsangan dalam dan luar. Salah satu tingkah laku yang berkaitan erat dengan potensi serangga C. transversalis sebagai predator yang potensial bagi kutu daun adalah tingkah laku makan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perilaku makan C. transversalis dalam memakan hama kutu daun. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan tergolong deskriptif yang akan mengungkap perilaku makan Coccinella transversalis terhadap kutu daun. Obyek penelitian berupa serangga Coccinella transversalis dan kutu daun yang diperoleh dari tanaman kubis digunakan sebagai makanannya. Penelitian dilakukan dalam bulan Januari 2013. Kutu daun (aphid) diletakkan di dalam botol yang sebelumnya diletakkan sepotong daun kubis yang digunakan sebagai makanan aphid. Serangga Coccinella transversalis yang diperoleh dari lahan kebun sayur dari daerah Cangar Batu dilaparkan selama sehari. Keesokan harinya serangga tersebut dimasukkan ke dalam botol yang telah diisi dengan sepotong daun kubis dan diberi kutu daun. Pengamatan perilaku makan serangga Coccinella transversalis dilakukan dengan cara merekam semua aktivitasnya meliputi mendekati kutu daun lalu mengkonsumsinya serta lama waktu makan dengan bantuan alat perekam gambar Handycam. Lama waktu makan dihitung mulai dari serangga mulai
makan sampai berhenti makan kutu daun. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian berupa etogram perilaku makan serangga C. transversalis dalam memakan kutu daun sebagai berikut. Serangga C. transversalis bergerak mencari kutu daun menemukan kutu daun menggigit dan memakannya dimulai dari bagian posterior tubuh kutu daun setelah selesai makan, kemudian membersihkan mulut dengan mengunakan kaki atau maxila. Respon kutu daun saat proses pemangsaan tersebut dengan menggerakkan antena, kaki, dan tubuhnya. Kutu daun dimakan sampai habis sehingga tidak ada sisa tubuh kutu daun yang tertinggal. Lama waktu yang dibutuhkan seekor serangga C. transversalis dalam memakan seekor kutu daun sekitar 3-4 menit. Pada saat serangga C. transversalis mencari kutu daun terlihat serangga tersebut langsung menuju ke lokasi kutu daun. Menurut Nakamuta (1984) dalam Hodek dan Honek (1996) bahwa pencarian mangsa oleh C. septempunctata dilakukan secara visual dari jarak yang sangat dekat hanya jika dalam kondisi ada cahaya, namun jika kondisi gelap, maka menangkap mangsanya dengan didahului adanya kontak terlebih dahulu. Kondisi saat dilakukan pengamatan perilaku makan serangga C. transversalis yaitu terang atau ada cahaya lampu, sehingga serangga tersebut dalam menemukan kutu daun dengan bantuan indera matanya. Selain itu juga dibantu oleh antena yang memiliki fungsi sebagai indera pembau. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kutu daun berhasil dimakan oleh serangga C. transversalis, dan memperlihatkan respon penolakan yaitu adanya pergerakan antena, kaki, dan tubuh. Tahapan perilaku makan yang ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut seperti yang dijelaskan oleh Hodek dan Honek (1996) yaitu saat serangga Coccinelidae
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 923
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
mendekati kutu daun dan terjadi kontak maka ada terjadi respon dari kutu daun. Respon tersebut berupa antena digerak-gerakkan atau pergerakan tendangan, pergerakan tubuh, menggulung apendik saat ditangkap oleh serangga Coccinelidae, dan meminyaki serangga Coccinelidae dengan cairan minyak yang dikeluarkan dari ujung siphunculinya. Selain itu kutu daun akan menghindar dengan cara berjalan menjauh dari predatornya. Akibat dari respon yang dimunculkan oleh kutu daun tersebut maka perilaku yang tampak dari serangga Coccinelidae yaitu memakan kutu daun, melepaskan kutu daun, menjauh dari kutu daun, atau melepaskan kutu daun dan membersihkan tubuhnya dari cairan minyak yang dihasilkan oleh kutu daun. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa keberhasilan serangga C. tansversalis dalam mendapatkan kutu daun pada penelitian karena serangga tersebut menangkap kutu daun dari arah posterior, sehingga kutu daun tidak bisa menghindarinya. Dalam proses memakan kutu daun, terlihat bahwa tidak ada sisa tubuh kutu daun yang tertinggal. Serangga C. transversalis akan memakan tubuh kutu daun sedikit demi sedikit sampai habis semua bagian tubuh kutu daun. Kondisi ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Agus, dkk. (2011) bahwa perilaku imago Coccinella sp dalam memangsa yaitu diawali dengan adaptasi untuk mengenali lingkungannya, kemudian mendekati, dan memakannya sampai habis. Setelah selesai memakan kutu daun, dilanjutkan mengarahkan antenanya ke arah mulut dengan salah satu kaki pertamanya. Munculnya perilaku makan pada C. transversalis pada penelitian ini akibat stimulus yang berasal dari dalam dan luar. Stimulus dari dalam berupa kebutuhan akan energi untuk aktivitasnya, apalagi sehari sebelum perlakuan serangga dilaparkan terlebih dahulu. Sedangkan stimulus dari luar berupa keberadaan kutu daun.
924 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Lama waktu yang dibutuhkan bagi seekor serangga C. transversalis dalam memakan seekor kutu daun berkisar 3-4 menit. Dalam penelitian ini tidak membedakan lama waktu memakan antara serangga betina dan jantan. Sementara itu menurut Hodek dan Honek,( 2012) bahwa serangga Coccinellidae betina akan segera bertelur saat menemukan kutu daun dalam jumlah melimpah dan meletakkan telurnya di dekat lokasi tersebut. Adapun hasil penelitian oleh Agus, dkk. (2011) menunjukkan bahwa imago betina serangga Coccinella sp. cenderung lebih kuat makan dibandingkan antara imago jantan atau larva. Sementara itu hasil penelitian Radiyanto, dkk. (2011) menujukkan bahwa estimasi imago betina M. sexmaculata mampu memakan 300 ekor berbagai stadia R. maidis dalam waktu 24 jam. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut dapat dimungkinkan bahwa perbedaan jenis kelamin fase imago dari serangga Coccinellidae khususnya C. transversalis berkorelasi dengan lama waktu yang dibutuhkan dalam memangsa seekor kutu daun. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dikaji lebih lanjut. Simpulan Perilaku memangsa serangga C. transversalis diawali dengan mencari kutu daun, selanjutnya langsung menggigit dan mengunyahnya. Kutu daun dimakan mulai dari sisi posterior tubuh. Kutu daun melakukan penolakan dengan menggeraknggerakan antena, tubuh, dan kakinya. Jika kaki kutu daun masih aktif bergerak, maka salah satu kaki C. transversalis akan membantu memeganginya. Lama waktu memakan seekor kutu daun sekitar 3-4 menit. Setelah kutu daun habis dimakan, selanjutnya salah satu kaki pertama serangga C. transversalis akan membawa antenanya diarahkan ke mulut. Perlu dikaji lebih lajut korelasi antara jenis kelamin imago dengan lama waktu memangsa seekor kutu daun.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Daftar Pustaka. Agus, N., Abdullah, T., dan Ngatimin, S.N.A. 2011. Kemampuan Makan Predator Coccinella sp. (Coleopter: Coccinellidae) pada Makanan Buatan. Jurnal Fitomedika: 7 (3): 191-194. Hodek,I. dan Honek, A. 1996. Ecology of Coccinelllidae. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Hodek, I. dan Honek, A. 2012. Ecology and Behaviour of The Ladybirds Beetles (Coccinellidae). Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Nelly, N., Trizelia, dan Syuhaddah, Q. 2012. Tanggap Fungsional Menchilus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae) pada Umur Tanaman Cabai Berbeda. Jurnal Entomologi Indonesia, Vol 9. No. 1: 2331. Rahayu, S.E., Rohman, F., dan Tuarita, H. 2012. Kemampuan Predasi Coccinellidae yang Ditemukan pada Sentra Perkebunan Tanaman Sayur di
Batu Jawa Timur Terhadap Serangga Hama. Laporan Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang. Riyanto, A.T. dan Sudrajat. 2008. Lama Hidup, Keperidian, dan Kemampuan Memangsa Curinus coereleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) Terhadap Bemisia tabaci gennadius (Homoptera: Aleyrodidae). Jurnal Agrikultura, Vol. 19. No.3: 167-172 Radiyanto, I., Rahayuningtiyas, S., dan Widhiningtyas, E. 2011. Kemampuan Pemangsaan Menochillus sexmaculatus terhadap Rhopalosiphum maidis Fitch (Homoptera: Aphididae). Jurnal Entomologi Indonesia, Vol. 8, No.1: 17. Sawitri, R., Bismark, M., dan Takandjandji, M. 2012. Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran Purwodadi, Deli Serdang, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9, No. 3: 285-297.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 925
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Mengembangkan Wawasan Lingkungan dengan Menggunakan Paradigma Ekologis Baru Sebagai Upaya Mengurangi Pencemaran Lingkungan Sueb Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang e-mail:
[email protected] Abstrak Masalah lingkungan telah menjadi perhatian ilmuwan semenjak beberapa puluh tahun terakhir. Akan tetapi sesungguhnya masalah itu muncul semenjak manusia menghuni muka bumi ini. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui penyebab pencemaran lingkungan, dan mengembangkan paradigma ekologis baru sebagai upaya mengukur wawasan lingkungan di Indonesia. Pencemaran lingkungan dimulai sejak manusia mengenal api dan berbagai peralatan teknologi lainnya. Api digunakan untuk memasak makanan. Alat teknologi digunakan untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sampai pada suatu saat manusia mengenal berbagai teknologi untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi berbagai sumber daya alam. Pengenalan berbagai teknologi ini sebagai penyebab terjadinya pencemaran lingkungan. Untuk mengurangi terjadinya pencemaran diperlukan orientasi baru wawasan lingkungan yaitu dengan menerapkan paradigma ekologis baru. Simpulannya bahwa manusia merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran lingkungan karena wawasan lingkungan yang keliru. Oleh karenanya diperlukan wawasan lingkungan yang mengarah pada paradigma ekologis baru. Kata kunci: wawasan lingkungan, pencemaran lingkungan, paradigma ekologis baru (PEB) Pendahuluan Berbagai pencemaran lingkungan telah terjadi dan akan senantiasa terjadi di bumi ini. Salah satu penyebab tersebut diakibatkan oleh cara pandang dan cara meninjau dan cara menggunakan segala potensi sumber daya alam yang ada di muka bumi. Cara pandang manusia terhadap lingkungannya dinamakan sebagai wawasan lingkungan yang di negeri barat disebut sebagai environmental worldview. Miller dan Spoolman (2010:18) mendefinisikan environmental worldview sebagai seperangkat asumsi dan kepercayaan tentang bagaimana orang berfikir cara kerja dunia, apa yang seharusnya mereka pikirkan tentang peranannya di dunia, dan apa yang mereka percaya merupakan perilaku lingkungan yang baik dan salah (etika lingkungan). Wawasan lingkungan yang digunakan manusia berabad lalu sampai
926 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
sekarang cenderung menggunakan antroposentrisme. Antroposentrisme memandang bahwa segala sesuatu di muka bumi meliputi segala sumber daya alam yang terbentang luas di segala sudut digunakan sepenuhnya untuk kepentingan manusia. Organisme lain kurang diperhitungkan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di muka bumi. Organisme lain tersebut termasuk di dalamnya tumbuhan, hewan, berbagai protista, jamur, eubakteri dan arkeabakteri seolah tidak punya hak yang sama dengan manusia. Padahal organisme lain ini berhak hidup dan melangsun gkan kehidupannya. Memang organisme lain ada yang sangat mengganggu dan menyebabkan penyakit pada manusia. Manusia berupaya terus membasmi berbagai organisme pengganggu ini. Sementara terdapat berbagai makroorganisme yang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
terpaksa mengalah dan terdesak oleh berbagai kepentingan manusia akhirnya mati dan musnah. Makroorganisme ini sekarang ini hanya tersisa beberapa spesies dan bahkan populasinya hanya dalam jumlah sedikit dan dalam kondisi terancam. Akibanya manusia menjadi terlalu dominan di alam bumi ini. Dominansi manusia terhadap bumi telah menjadi semakin tak terkalahkan oleh makhluk berukuran besar apapun di muka bumi. Pada saat ini terdapat lebih dari 7 milyar manusia yang menghuni bumi. Bumi yang hanya satu biji ini telah menjadi tempat manusia beranak pinak yang sepertinya tak terbatas lagi berapa jumlah yang akan mampu didukung. Padahal bumi memiliki daya dukung (carrying capacity) yang terbatas. Akankah bumi terus dihuni oleh manusia sampai 10 milyar? Atau mungkin 25 milyar? Apakah mungkin bumi mampu menampung 50 milyar atau bahkan 100 milyar yang merupakan angka 13 kali lipat dari jumlah manusia yang sekarang ada yang ada di dalamnya? Tentu bumi ini tidak akan sanggup menopang manusia sebanyak 100 milyar yang akan dicapai selama beberapa puluh atau beberapa ratus tahun lagi. Pertambahan populasi manusia yang semakin meningkat disertai dengan meningkatnya penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) yang juga semakin meningkat akan menyebabkan peningkatan berbagai kerusakan dan pencemaran. Untuk itu perlu dicari wawasan lingkungan yang cenderung dapat menyelamatkan kehidupan. Sebab, selama ratusan tahun bahkan sampai saat ini manusia terlalu mementingkan dirinya sendiri. Manusia terlalu mengacu pada dirinya sendiri. Wawasan lingkungan ini perlu menggunakan instrumen untuk meningkatkan kesadaran manusia sebagai anggota ekosistem atau biosfer. Selama lebih dari 30 tahun skala paradigma ekologis baru (New Ecological Paradigm) telah berhasil digunakan untuk menyelidiki wawasan ekologis kaum dewasa
(Dunlap & Van Liere, 1978; Dunlap et al., 2000 dalam Van Petegen dan Blick, 2006). Untuk itu perlu dicari upaya untuk menggunakan skala tersebut di Indonesia. Untuk itulah dalam makalah ini akan dibahas dengan beberapa tujuan. Tujuan tersebut antara lain: mengetahui penyebab pencemaran lingkungan, dan mengembangkan paradigma ekologis baru sebagai upaya mengukur wawasan lingkungan di Indonesia. Memahami Pencemaran Lingkungan Undang-Undang No.32 (2009) tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan menyatakan bahwa pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sementara itu, pencemaran lingkungan bermakna pencemaran lingkungan karena lepasnya substansi dari proses apapun yang dapat menyebabkan bahaya pada manusia dan organisme hidup yang ditopang oleh lingkungan (Hussain, 1998 dalam Roman, 2013) dan pencemaran lingkungan adalah kontaminasi komponen fisik dan biologis bumi/sistem atmosfer pada jumlah yang sedemikian rupa sehingga proses lingkungan lingkungan terpengaruh berat (Kemp, 1998 dalam Roman, 2013). Pencemaran lingkungan telah terjadi di seluruh dunia. Pencemaran lingkungan telah menjadi masalah dunia dan berpotensi besar memengaruhi kesehatan populasi manusia (Fereidoun et al., 2007; Progressive Insurance, 2005 dalam Khan dan Ghouri, 2011). Selanjutnya Khan dan Ghouri (2011) menyatakan bahwa beraneka jenis pencemaran lingkungan (pencemaran udara, tanah, air) tidak hanya berpengaruh pada manusia dengan penyakit dan masalah juga pada hewan dan tumbuhan. Akan tetapi mereka berdua menyatakan bahwa masih ada waktu tersisa melalui tangan lembaga global,
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 927
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
badan pemerintah dan lokal untuk menggunakan sumber daya maju dan untuk menyeimbangkan lingkungan bagi kehidupan dan memulai hidup ramah dengan lingkungan. Bhattacharjee (2010) menyatakan pencemaran lingkungan di alam sangat tinggi terjadi di sekitar daerah industri seperti pemurnian minyak, petrokimia, industri kimia dan industri berat dan lainnya. Sepanjang waktu residu industri tersebut umumnya tersusun atas beraneka materi beracun dalam bentuk gas, dibuang atau dibakar di udara terbuka setelah dibakar melalui lubang cerobong yang dipasang tinggi. Materi beracun inilah yang menyebabkan berbagai ketimpangan dan pencemaran. Penyebab Pencemaran Lingkungan Penyebab nyata pencemaran lingkungan disebabkan banyak hal. Beberapa di antaranya berubahnya perilaku manusia terhadap lingkungan, dan berubahnya wawasan lingkungan manusia terhadap alam di sekitarnya. Hayati dan Sayadi (2012) menyatakan bahwa bangunan tinggi menyebabkan peningkatan pencemaran udara di daerah kota besar karena perubahan arah angin dan juga kemacetan (congestion) bangunan tinggi sebagai sumber pencemar. Oleh karena itu, mereka berdua berpendapat bahwa diperlukan teknik tertentu untuk merancang bangunan tinggi untuk mengurangi dampak negatif bangunan tinggi terhadap pencemaran lingkungan. Zucchetti (2005) melalui penelitian asesmen statistik untuk menguji jika “Quirra syndrome” ada, simulasi dengan dispersi atmosfer dan kode dosis (HOTSPOT) untuk mengevaluasi dampak kesehatan dispersi udara Depleted Uranium. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa the “Quirra Syndrome” ada, tetapi kemungkinan ini tidak seluruhnya disebabkan oleh Depleted Uranium (DU). Penyebab lainnya kemungkinan yang menyebabkan pencemaran udara.
928 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Sementara itu, Kimani (tanpa tahun) di Kenya pencemaran lingkungan berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Sampel tanah yang diambil dari lokasi dan dekat pembuangan sampah (dumpsite) menunjukkan kadar logam berat yang tinggi terutama merkuri, kadmium, tembaga dan krom. Pada saat yang sama, evaluasi medis pada anak dan remaja yang tinggal dan bersekolah sekitar dumpsite menunjukan insidensi penyakit yang tinggi yang berkaitan dengan pajanan tinggi pencemar logam tersebut. Sementara itu, Savei (2012) menyimpulkan peningkatan konsumsi pupuk di seluruh dunia menyebabkan masalah yang serius pada lingkungan. Pupuk dapat memengaruhi akumulasi logam berat pada tanah dan sistem tumbuhan. Tumbuhan menyerap pupuk melalui tanah, dan kemudian memasuki rantai makanan. Dia menambahkan jika pupuk ini digunakan tidak tepat dan terlalu banyak akan menyebabkan pencemaran udara oleh emisi nitrogen oksida (NO, N2O dan NO2). Ndwiga et al., (2014) menyimpulkan memasak dengan bahan bakar biomassa memajan wanita pada efek kesehatan pencemaran udara indoor yang berbahaya. Dampak kesehatan lainnya yang dialami selama tahapan rantai bahan bakar biomassa meliputi pengumpulan (gathering), pemrosesan, trasnportasi dan memasak. Paradigma Ekologis Baru Sebagai Upaya Mengurangi Pencemaran Lingkungan di Indonesia Telah banyak upaya ilmuwan untuk menanggulangi dan mencegah semakin meningkatnya pencemaran lingkungan. Ada yang menggunakan berbagai peralatan teknologi , penerapan berbagai undangundang dan penerapan pendidikan berbasis lingkungan. Upaya yang digalakkan melalui pendidikan lingkungan bertujuan agar tercipta generasi yang memiliki wawasan lingkungan yang lebih baik daripada generasi sebelumnya.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Generasi kita pada saat ini lebih banyak menggunakan wawasan lingkungan yang cenderung mementingkan dirinya sendiri. Dalam arti lingkungan tampaknya hanya diperuntukkan bagi manusia. Paham yang demikian dikenal sebagai antroposentrisme (antropos=manusia, sentris=pusat). Paham inilah yang semenjak revolusi industri masih banyak digunakan oleh manusia modern. Paham antroposentrisme atau dikenal wawasan antroposentris yang pada mulanya mewakili budaya masyarakat barat yang kemudian disebarkan ke bagian lain dunia ini. Wawasan antroposentris (Sokram, 2013) ini memiliki perpektif: (1) manusia itu superior dan di atas alam, (2) sumber daya alam terdapat berlimpah sehingga tak perlu konservasi, (3) manusia, karena memiliki budaya dan teknologi, dapat beradaptasi pada alam sampai akhir manusia daripada beradaptasi pada lingkungan alam, dan (4) ilmu sosial menganggap manusia sebagai terbebas dari hambatan ekologis. Karena wawasan antroposentris inilah berbagai sumber daya alam dieksploitasi dan dieksplorasi demi kepuasan dan kebutuhan manusia. Akibatnya jelas semakin lama semakin banyak kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, perlu dicari wawasan lingkungan baru yang lebih cenderung tidak terlalu mementingkan manusia. Sebab, ternyata sumber daya alam ini terbatas dan pada suatu saat akan habis. Wawasan lingkungan yang lebih memberdayakan lingkungan dan lebih menjaga keberlanjutan hidup itulah yang perlu diwujudkan dan diejawantahkan dalam kehidupan seseharian kita. Wawasan lingkungan yang dimaksud berupa biosentrisme. Biosentrisme memandang bahwa segala kehidupan ini penting bukan hanya bagi keberlanjutan hidup manusia tetapi juga keberlanjutan segala komponen yang ada di lingkungan. Sebab, manusia telah menyadari saat ini bahwa
terjadinya banyak kerusakan dan pencemaran di muka bumi ini diakibatkan salah satunya oleh wawasan lingkungan antroposentris yang telah digunakan berabad dan ditiru oleh bangsa lain yang kurang maju. Penelitian Henning et al., (tanpa tahun) tentang wawasan lingkungan atau wawasan ekologis menyajikan hasil skala Paradigma Ekologis Baru (The New Ecological Paradigm/NEP) merupakan pendekatan yang diterima untuk mengukur perilaku ke arah lingkungan. Produser tebu yang merespons penelitian tersebut memiliki kepercayaan kuat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi alam melalui intelektual dan talenta lainnya. Henning et al., (tanpa tahun) menambahkan bahwa produser percaya bahwa dia dapat meningkatkan produktivitas sumber daya alam tanpa membahayakan keseimbangan alam. Rider (2005) menyimpulkan tesisnya antara lain profesional perancang gedung hijau menerima skor tinggi pada skala paradigma ekologis baru (PEB). Ini mengarah pada simpulan bahwa perancang memiliki kemampuan untuk memedulikan lingkungan yang berkaitan dengan profesinya; ini mengislustrasikan bahwa rancangan dan lingkungan tidak perlu ekslusif bila berkaitan dengan praktisi. De Pauw, J.B. dan Van Petegem (2012) menyimpulkan bahwa paradigma ekologis baru (PEB) selain populer untuk mengukur kepedulian dan orientasi prolingkungan orang dewasa yang dengan modifikasi dapat digunakan pada anak. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ada pengaruh budaya yang sangat signifikan dan jelas pada wawasan lingkungan anak, bila negara berkembang dan negara maju dibandingkan. Untuk itu perlu dikenal lebih jauh apa sebenarnya skala paradigma ekologis baru (PEB) yang akan dapat digunakan untuk mengukur apakah manusia tersebut berwawasan lingkungan apa tidak. Skala paradigma ekologis baru terdiri atas 15
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 929
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
pernyataan. Kelima belas pernyataan dijawab dengan pilihan jawaban sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Kelimabelas pernyataan tersebut (Rider, 2005 dan Sokram, 2013) sebagai berikut. (1). Manusia mendekati batas jumlah yang dapat disokong bumi. (2). Manusia memiliki hak mengubah lingkungan alam untuk menyesesuaikan dengan kebutuhannya.(3). Ketika manusia berinteraski dengan alam sering menghasilkan akibat yang membayakan.(4). Kecerdikan manusia akan terasuransikan jika kita tidak membuat bumi tak dapat ditinggali.(5). Manusia menyalahgunakan lingkungan.(6). Bumi memiliki sumber daya alam berlimpah sehingga kita belajar untuk mengembangkannya.(7). Tumbuhan dan hewan memiliki hak yang sama dengan manusia.(8). Keseimbangan alam cukup kuat untuk menangani dampak industri modern. (9). Meskipun memiliki kemampuan yang istimewa manusia masih tunduk pada hukum alam.(10). Krisis ekologis terkenal yang menghadang manusia telah terlalu dibesarkan.(11). Bumi seperti kapal ruang angkasa dengan kamar dan sumber daya yang terbatas. (12). Manusia merupakan pengatur alam. (13). Keseimbangan alam sangat lembut dan mudah terganggu. (14). Manusia akhirnya akan belajar cukup tentang bagaimana alam bekerja untuk dapat mengendalikannya. (15). Jika segala sesuatu berlanjut pada perjalanan sekarang, kita akan segera mengalami bencana ekologis yang besar. Kelimabelas indikator paradigma ekologis baru inilah yang dapat digunakan untuk mendeteksi apakah seseorang berwawasan ekologis atau berwawasan lingkungan. Diharapkan dengan skor yang tinggi wawasan ekologis seseorang akan dapat meningkatkan kepeduliannya pada lingkungan dan pada gilirannya akan dapat mengurangi berbagai kerusakan serta yang paling utama berkurangnya pencemaran lingkungan. Memang hal tersebut tidak seperti membalik
930 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
tangan. Tetapi pada masanya kita harus optimis bahwa manusia yang memiliki skor paradigma ekologis baru tinggi akan dapat minimal mengurangi pencemaran lingkungan. Simpulan Dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya pencemaran lingkungan antara lain terjadinya perubahan perilaku dan wawasan lingkungan manusia terhadap alam. Perubahan tersebut ditengarai dengan adanya bangunan tinggi menyebabkan peningkatan pencemaran udara di kota. Selain itu, penyebab pencemaran lingkungan juga disebabkan oleh penggunaan pupuk yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Pupuk akhirnya mengalir ke perairan dan menimbulkan masalah di air. Paradigma ekologis baru dapat digunakan untuk mengukur wawasan lingkungan. Paradigma ekologis baru terbentuk dari 15 pernyataan. Daftar Rujukan Bhattacharjee, P.K. 2010. Environmental Pollution Free System in All Over The World. International Journal of Environmental Science and Development, Vol. 1, No. 1, April. ISSN:2010-0264. De Pauw, J.B. dan Van Petegem, P. 2012. Cultural Differences In The Environmental Worldview Of Children. International Electronic Journal Of Environmental Education Vol.2, Issue 1, ISSN: 21460329. © International Electronic Journal Of Environmental Education, 2012.www.Iejeegreen.Com. Hayati, H. dan Sayadi, M.H.2012. Impact of tall buildings in environmental pollution. Environmental Skeptics and Critics, 1(1):8-11. Henning, S.A, Zhong,Y. dan Cardona, H. Tanpa tahun. Ecological Attitudes of Farmers and Adoption of Best Management Practices. Southwestern Economic Proceedings. Khan, M.A. dan Ghouri, A.M. 2011. Environmental Pollution: Its Effects On
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Life And Its Remedies. International Refereed Research Journal .Vol.– II, Issue –2,April, www..researchersworlld..com. Kimani, N.G..Tanpa tahun. Environmental Pollution and Impacts on Public Health: Implications of Dandora Municipal Dumping Site in Nairobi, Kenya. Summary Report. Urban Environment Unit, United Nations Environment Programme, Nairobi Kenya.o Miller, G. T. Jr. dan Spoolman, S.E. 2010. Environmental Science. Thirteenth Edition. Australia: Brooks/Cole Cengage Learning. Ndwiga, T, Kei,R.T., Jepngetich,H. dan Korrir, K. 2014. Assessment of Health Effects Related to the Use of Biomass Fuel and Indoor Air Pollution in Kapkokwon Sub-Location, Bomet Country,Kenya. Open Journal of Air Pollution, 3, 61-69. http://dx.doi.org/10.4236/ojap.2014.33007. Rider, T.R.2005. Education, Environmental Attitudes And The Design Professions: A Masters Thesis. A Thesis. Presented to the Faculty of the Graduate School of Cornell University In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Science. Roman, M., Idrees, M., dan Ullah,S. 2013. A Sociological Study of Environmental Pollution and Its Effects on the Public Health Faisalabad City. International Journal of Education and Research¸Vol. 1 No. 6 June. Savei, S. 2012. An Agricultural Pollutant: Chemical Fertilizer. International Journal of Environmental Science and Development, Vol. 3, No. 1, February. Sookram, R. 2013. Environmental Attitudes and Environmental Stewardship: Implications for Sustainability. The Journal of Values-Based Leadership.Volume 6, Issue 2 Summer/Fall 2013 Article 5. Undang-Undang No.32. 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Van Petegem, P. dan Blieck, A. 2006. The environmental worldview of children: a cross-cultural perspective. Environmental Education Research, Vol. 12, No. 5, November pp. 625–635, ISSN 1350-4622 (print)/ISSN 1469-5871 (online)/06/050625–11. Zucchetti, M. 2005. Environmental Pollution And Health Effects In The Quirra Area, Sardinia Island (Italy) And The Depleted Uranium Case. Journal of Environmental Protection and Ecology.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 931
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Pengaruh Tumbuhan Akar Wangi (Chrysopogon Zizanioides, L) Terhadap Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Dan Pengembangannya untuk Bahan Ajar Pada Matakuliah Pengetahuan Lingkungan di Perguruan Tinggi Tri Nova Anggraini, M,Pd Dr. H. Fatchur Rohman, M.Si Dr. H. Abdul Gofur, M.Si Dosen Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Islam Riau
[email protected] Dosen Biologi Universitas Negeri Malang
[email protected];
[email protected]
Abstrak Pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah cair pabrik kelapa sawit memerlukan penanganan yang murah dan mudah seperti melalui proses fitoremediasi, yaitu memanfaatkan tumbuhan untuk menanggulangi jumlah pencemaran. Metode ini kemudian dijadikan materi bahan ajar pada Matakuliah Pengetahuan Lingkungan sebagai upaya memberikan pengetahuan dan menumbuhkan rasa kepedulian dalam menjaga lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama penanaman dan berat basah tumbuhan Akar Wangi (Chrysopogon zizanioides,L) terhadap kadar pencemar pada limbah cair kelapa sawit, serta pengembangannya untuk bahan ajar pada Matakuliah Pengetahuan Lingkungan di perguruan tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang didahului dengan penelitian eksperimen yang hasilnya dikembangkan untuk materi bahan ajar. Penelitian eksperimen dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data didapatkan dengan melakukan pengukuran kandungan BOD, COD, Minyak/ Lemak, dan NH3-N dan dianalisis dengan Anava ganda dengan taraf signifikansi 0,05. Penelitian pengembangan menggunakan four-D-models yang dimodifikasi. Hasil penelitian dengan Analisis Varians (ANAVA) menunjukan, bahwa terdapat perbedaan yang nyata untuk variabel terikat lama tanam dan berat basah pada Akar Wangi 50gr, 100gr, dan 150gr pada hari ke-15 dan ke-30. Limbah cair kelapa sawit pada hari ke15 dan ke-30 dengan berat basah 50gr mengalami penurunan kadar COD sebasar 13,21%, 100gr sebesar 23,81%, dan 150gr sebesar 26,19%. Kadar BOD pada Akar Wangi 50 gr mengalami penurunan sebasar 2,40%, 100gr sebasar 6,61%, dan 150gr sebasar 7,43%. Kadar NH3-N pada Akar Wangi dengan berat basah 50gr mengalami penurunan sebasar 7,67%, 100gr sebesar 11,85% dan 150gr terjadi sebesar 12,91%. Kadar minyak/ lemak dengan berat basah 50 gr pada mengalami penurunan sebasar 1,64%, 100gr sebasar 3,30%, namun tidak berbeda untuk Akar Wangi dengan berat basah 150gr mengalami penurunan sebasar 3,30%. Uji validasi dan uji kelompok kecil menunjukkan bahwa bahan ajar telah layak digunakan dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Kata kunci: Fitoremediasi, Akar Wangi (Chrysopogon zizanioides, L), Limbah Cair Kelapa Sawit, Bahan Ajar Pendahuluan Peningkatan permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) mendorong peningkatan jumlah lahan kelapa sawit di Indonesia, terutama di Provinsi
932 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Riau. Seiring pertumbuhan industri tersebut disatu sisi dapat meningkatkan kualitas hidup manusia, yaitu dengan pening-katan pendapatan masyarakat, namun disisi lain
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
hasil pengolahan CPO dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan terutama di perairan. Pada tahun 2012 produksi CPO diprediksikan volumenya mencapai 12,3 juta ton. Setiap ton minyak sawit yang dihasilkan akan mengeluarkan limbah cair sebanyak 2,5 m3 berarti untuk men-capai produksi minyak sawit sebesar 12,3 juta ton menghasilkan 30,7 juta m3 limbah cair, (Silaholo, 2009). Data ini menunjukkan besarnya pencemaran yang diakibatkan oleh limbah cair pabrik kelapa sawit, oleh sebab itu perlu adanya upaya pengendalian terhadap pencemaran tersebut. Banyak metode yang dapat digunakan untuk penanggulangan pen-cemaran, yaitu secara fisika, kimia dan biologi. Pada metode biologi, fitoreme-diasi dapat dijadikan sebagai alternatif metode penangulangan pencemaran. Metode ini telah terbukti lebih mudah diaplikasikan disamping menawarkan biaya lebih rendah dibandingkan me-tode kimiawi ataupun pengerukan. Salah satu strategi fitoremediasi yang sudah digunakan secara komersial mau-pun masih dalam taraf riset, yakni yang berlandaskan pada kemampuan tum-buhan dalam mengakumulasi kontaminan (fitoekstraksi), (Chen et al., dalam Juhaeti,. dkk, 2009). Metode fitoremediasi masih terus dikembangkan dengan cara men-cari berbagai jenis tanaman dari ber-bagai kompartemen lingkungan. Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan adalah akar wangi (Chrysopogon zizanioides, L) atau Vetiver (Inggris) atau Vetiveria zizanioides (sinonim). Akar Wangi adalah sejenis rumput-rumputan berukuran besar. Akar Wangi banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan ekologis dan fitoremediasi tanah serta air, (Dafforn, 2002). Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian bagai-mana pengaruh Akar Wangi terhadap limbah cair pabrik kelapa sawit. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan materi bahan ajar pada Matakuliah Pengetahuan Lingkungan. Hal ini, diharapkan mampu menimbulkan pe-mikiran
baru yang akan menjawab per-masalahan lingkungan serta melin-dungi komponenkomponen di dalam-nya dari kepunahan akibat serangkaian intervensi manusia yang bersifat negatif. Mahasiswa juga harus mampu menganalisis dan memberikan solusi pada permasalahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Dosen juga ber-peran dalam menentukan proses pem-belajaran tersebut agar harapan dari dibelajarkannya Matakuliah Pengeta-huan Lingkungan dapat tercapai. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh dosen adalah dengan mengembangkan bahan ajar. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan. Melalui bahan ajar pendidik akan lebih mudah dalam melaksanakan pembela-jaran serta mahasiswa akan lebih ter-bantu dalam belajar. Salah satu manfaat dari bahan ajar adalah memperkaya informasi yang diperlukan mahasiswa dalam belajar dan memudahkan maha-siswa untuk mempelajari suatu kom-petensi tertentu. Metode Penelitian ini merupakan peneli-tian eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jumlah perlakuan ada 4, dengan 2 macam lama penanaman dan setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali, sehingga secara keseluruhan diper-oleh 40 unit analisis. Percobaan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai ber-ikut. (1) Dilakukan pengukuran faktor fisika kimia dari limbah cair kelapa sawit (BOD,COD, minyak/ lemak, dan NH3-N). (2) Limbah cair kelapa sawit diletakkan di wadah yang berukuran 10cm x 10cm x 40cm. (3) Tiap-tiap wadah diberi perlakuan dengan mele-takan tumbuhan Akar Wangi (Chrysopogon zizanioides, L) yang di-variasikan jumlah rumpun dan lamanya penanaman yang dimana, tiap perlakuan akan diulang sebanyak 5 kali. (4) Sete-lah perlakuann (waktu yang telah ditentukan), dilakukan kembali pengukuran faktor
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 933
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
fisika kimia dari limbah cair kelapa sawit (BOD,COD, minyak/ lemak, dan NH3-N). Data yang di-peroleh dianalisis dengan menggunakan analisis statistik dibantu dengan soft-ware SPSS 16 for Windows (analisis Anava ganda dan normalitas) dengan taraf signifikansi 0,05. Produk yang dikembangkan adalah bahan ajar pada Matakuliah Pengetahuan Lingkungan. Bahan ajar ini dikembangkan dengan menggunakan four-D-models (Thiagarajan, 1974) yang dimodifikasi, yaitu melalui tahap define, design, dan develop tanpa tahap-an disseminate. Data diperoleh
dari hasil validasi ahli materi bioremediasi dan ahli pembelajaran, serta angket yang digunakan dalam uji kelompok kecil. Data kemudian dianalisis dengan teknik persentase. Hasil dan Pembahasan Data yang diperoleh dianalisis varian (ANAVA), dan apabila terdapat perbedaan, maka dianalisis lebih lanjut dengan uji DMRT0,05 untuk mengetahui secara detail letak perbedaan, apakah berbeda nyata atau tidak. Ringkasan uji ANAVA sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1: Hasil Analisis Varians dari data hasil penelitian pengukuran COD Type III Sum of Source df Mean Square Squares
F
Sig.
Corrected Model 230697.500a Intercept 6847562.500 Waktu 44222.500 Berat_Basah 167607.500 Waktu * Berat_Basah 18867.500 Error 46240.000 Total 7124500.000 Corrected Total 276937.500 a. R Squared = ,833 (Adjusted R Squared = ,797)
7 1 1 3 3 32 40 39
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai p-level lebih kecil dari alpha 0,05 (p<0,05) dengan sig 0,000. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka hipotesis penelitian diterima. Terdapat perbedaan yang nyata untuk variabel terikat
lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar COD pada limbah cair pabrik kelapa sawit. Analisis dilanjut-kan ke uji lanjut DMRT0,05 (Tabel 2).
32956.786 6847562.500 44222.500 55869.167 6289.167 1445.000
22.807 4.739E3 30.604 38.664 4.352
.000 .000 .000 .000 .011
Tabel 2: Ringkasan uji DMRT0,05 tentang pengaruh lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar COD pada limbah cair pabrik kelapa sawit Variabel Terikat Kadar COD Notasi 30 hari 380.500 a Waktu (Lama Tanam) 15 hari 447.000 b
Berat Basah Akar Wangi
150 gr 100 gr 50 gr Kontrol
Ket. Satuan Kadar COD = mg/l
934 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
365.000 370.000 396.000 524.000
a b c d
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hasil uji lanjut DMRT 0,05 menunjukkan bahwa untuk pengaruh lama tanam Akar Wangi terhadap kadar COD pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama tanam Akar Wangi 30 hari (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar COD pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan lama tanam akar Wangi 15 hari (notasi b). Hasil uji lanjut DMRT0,05 juga menunjukkan bahwa untuk pengaruh berat
basah Akar Wangi terhadap kadar COD pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan berat basah akar wangi 150 gr (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar COD pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan berat basah Akar Wangi kontrol (notasi d), 50 gr (notasi c), 100 gr (notasi b). Ringkasan uji ANAVA untuk kadar pencemar BOD sebagai berikut (Tabel 3).
Tabel 3: Hasil Analisis Varians dari data hasil penelitian pengukuran BOD Type III Sum of Source df Mean Square Squares Corrected Model 5732.832a 7 Intercept 2773280.978 1 Waktu 1184.723 1 Berat_Basah 3900.354 3 Waktu * Berat_Basah 647.754 3 Error 2212.693 32 Total 2781226.503 40 Corrected Total 7945.525 39 a. R Squared = ,722 (Adjusted R Squared = ,661)
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai p-level lebih kecil dari alpha 0,05 (p<0,05) dengan sig 0,000. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka hipotesis penelitian diterima. Terdapat perbedaan yang nyata untuk variabel terikat
818.976 2773280.978 1184.723 1300.118 215.918 69.147
F
Sig.
11.844 4.011E4 17.133 18.802 3.123
.000 .000 .000 .000 .039
lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar BOD pada limbah cair pabrik kelapa sawit. Analisis dilan-jutkan ke uji lanjut DMRT0,05 sebagai berikut (Tabel 4).
Tabel 4: Ringkasan uji DMRT0,05 tentang pengaruh lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar BOD pada limbah cair pabrik kelapa sawit Variabel Terikat Kadar BOD Notasi 30 hari 257.868 a Waktu (Lama Tanam) 15 hari 268.752 b
Berat Basah Akar Wangi
150 gr 100 gr 50 gr Kontrol
255.034 255.535 263.202 279.468
a b c d
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 935
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Ket. Satuan Kadar BOD = mg/l
Hasil uji lanjut DMRT0,05 me-nunjukkan bahwa untuk pengaruh lama tanam Akar Wangi terhadap kadar BOD pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama tanam akar wangi 30 hari (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar BOD pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan lama tanam Akar Wangi 15 hari (notasi b). Hasil uji lanjut DMRT0,05 juga menunjukkan bahwa untuk pengaruh berat
basah Akar Wangi terhadap kadar BOD pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan berat basah Akar Wangi 150 gr (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar BOD pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan berat basah Akar Wangi kontrol (notasi d), 50 gr (notasi c), 100 gr (notasi b). Ringkasan uji ANAVA untuk kadar pencemar NH3-N sebagai berikut (Tabel 5).
Tabel 5: Hasil Analisis Varians dari data hasil penelitian pengukuran NH 3-N Type III Sum of Source df Mean Square F Squares Corrected Model 179.565a Intercept 9584.287 Waktu 15.092 Berat_Basah 158.612 Waktu * Berat_Basah 5.861 Error 41.206 Total 9805.059 Corrected Total 220.771 39 a. R Squared = ,813 (Adjusted R Squared = ,773)
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai p-level lebih kecil dari alpha 0,05 (p<0,05) dengan sig 0,002 dan sig 0,000. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka hipotesis penelitian diterima. Terdapat perbedaan yang nyata untuk variabel
7 1 1 3 3 32 40
25.652 9584.287 15.092 52.871 1.954 1.288
Sig.
19.921 7.443E3 11.720 41.058 1.517
.000 .000 .002 .000 .229
terikat lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar NH3-N pada limbah cair pabrik kelapa sawit. Analisis dilanjutkan ke uji lanjut DMRT0,05 sebagai berikut (Tabel 6).
Tabel 6. Ringkasan uji DMRT0,05 tentang pengaruh lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar NH3-N pada limbah cair pabrik kelapa sawit Variabel Terikat Kadar NH3-N Notasi 30 hari 14.865 a Waktu (Lama Tanam) 15 hari 16.094 b
Berat Basah Akar Wangi
150 gr 100 gr 50 gr Kontrol
Ket. Satuan Kadar NH3-N = mg/l
936 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
14.125 14.216 14.666 18.910
a b c d
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hasil uji lanjut DMRT 0,05 me-nunjukkan bahwa untuk pengaruh lama tanam Akar Wangi terhadap kadar NH3-N pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama tanam Akar Wangi 30 hari (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar NH3-N pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan lama tanam Akar Wangi 15 hari (notasi b). Hasil uji lanjut DMRT 0,05 juga menunjukkan bahwa untuk pengaruh berat
basah Akar Wangi terhadap kadar NH3-N pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan berat basah Akar Wangi 150 gr (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar NH3-N pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan berat basah Akar Wangi kontrol (notasi d), 50 gr (notasi c), 100 gr (notasi b). Ringkasan uji ANAVA untuk kadar pencemar minyak/lemak sebagai berikut Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisis Varians dari data hasil penelitian pengukuran minyak/lemak Source
Type III Sum of Squares
Df
Corrected Model 31.754a Intercept 34331.982 Waktu 3.654 Berat_Basah 26.497 Waktu * 1.602 Berat_Basah Error 6.362 Total 34370.098 Corrected Total 38.116 a. R Squared = ,833 (Adjusted R Squared = ,797)
Tabel 7. menunjukkan bahwa nilai p-level lebih kecil dari alpha 0,05 (p<0,05) dengan sig 0,000. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka hipotesis penelitian diterima. Terdapat perbedaan yang nyata untuk variabel terikat
Mean Square
F
Sig.
7 1 1 3
4.536 34331.982 3.654 8.832
22.816 1.727E5 18.380 44.425
.000 .000 .000 .000
3
.534
2.687
.063
32 40 39
.199
lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar lemak pada limbah cair pabrik kelapa sawit. Analisis dilanjutkan ke uji lanjut DMRT0,05 sebagai berikut (Tabel 8).
Tabel 8. Ringkasan Uji DMRT0,05 tentang pengaruh lama tanam dan berat basah Akar Wangi terhadap kadar minyak/lemak pada limbah cair pabrik kelapa sawit Variabel Terikat Kadar Lemak Notasi 30 hari 28.994 a Waktu (Lama Tanam) 15 hari 29.599 b 150 gr 28.611 a 100 gr 28.827 b Berat Basah Akar Wangi 50 gr 29.071 c Kontrol 30.678 d Ket. Satuan Kadar Lemak = mg/l
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 937
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hasil uji lanjut DMRT 0,05 menunjukkan bahwa untuk pengaruh lama tanam Akar Wangi terhadap kadar lemak pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama tanam Akar Wangi 30 hari (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar lemak pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan lama tanam Akar Wangi 15 hari (notasi b). Hasil uji lanjut DMRT0,05 juga menunjukkan, bahwa untuk pengaruh berat basah Akar Wangi terhadap kadar lemak pada limbah cair pabrik kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan dengan berat basah Akar Wangi 150 gr (notasi a) memberikan pengaruh paling tinggi terhadap penurunan kadar lemak pada limbah cair pabrik kelapa sawit dan berbeda nyata dengan perlakuan berat basah Akar Wangi kontrol (notasi d), 50 gr (notasi c), 100 gr (notasi b). Hasil penelitian ini me-nunjukkan bahwa limbah cair pabrik kelapa sawit mengandung senyawa protein, karbohidrat, dan lemak. Ketiga jenis pencemar tersebut terutama disusun unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Brahmana dan Hidayat (2008), menjelaskan bahwa bahan-bahan pencemar tersebut akan diserap oleh akar tanaman setelah didegradasi oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana. Apriadi (2008), menguatkan, bahwa bakteri akan meng-ubah bahan organik menjadi lebih se-derhana serta menghasilkan energi untuk sintesis sel bakteri itu sendiri. Menurut Anderson et al., dalam Erickson et al., (1999) beberapa tanaman tidak secara aktif berperan langsung dalam remediasi tanah dan air tetapi tanaman berfungsi sebagai faktor
pendorong dan fasilitator membantu mikroorganisme tanah dan air dalam meningkatkan efesiensi biodegradasi polutan, seperti proses transpirasi yang dilakukan oleh tanaman dimana terjadi penyerapan air dan kemudian diuapkan ke udara melewati stomata pada daun. Proses transpirasi ini mengunakan matahari sebagai sistem yang membantu transpirasi. Pada saat transpirasi terjadi, akar tanaman menghisap zat cair dan larutan yang berada di sekitar akar tertarik ke daerah rhizospher sehingga kontaminan lebih terkonsentrasi di daerah rhizospher dan mempermudah bakteri untuk mengambil sebagai sumber nutrisi. Tanaman juga dapat mengadsorpsi dan biodegradasi konta-minan yang berada di udara, tanah, dan air. Proses adsorpsi tersebut bersifat menyaring/ filter untuk kontaminan. Penurunan parameter pencemar menurut Zhang, et.al dalam Suhendrayatna dkk, (2012) dipengaruhi oleh lama waktu fitoremediasi. Lama-nya waktu tanam dalam proses fitoremediasi akan memberikan kesem-patan bagi mikroorganisme untuk men-degradasi zat kontaminan. Deny dalam Kansiime dan Nalubega (1999) juga menjelaskan, bahwa penyerapan unsur hara (bahan pencemar) berhubungan langsung dengan laju pertumbuhan tanaman, di mana unsur hara akan diubah dan digunakan dalam produksi sel-sel baru selama pertumbuhan. Unsur hara diserap tanaman sebagai nutrisi untuk membantu pertumbuhannya. Hasil validasi ahli pengem-bangan bahan ajar dan analisis terhadap bahan ajar secara ringkas disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9: Ringkasan hasil dan analisis validasi ahli pengembangan bahan ajar Aspek P (%) Kategori Keputusan Uji Format Handout 85 S.L T.R Kebahasaan 80 L T.R Penyajian 90 S.L T.R Tampilan 70 L T.R Manfaat 100 S.L T.R
938 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Ket: S.L = Sangat Layak L = Layak
T.R = Tidak Revisi R = Revisi
Berdasarkan Tabel 9. diketahui bahwa aspek format bahan ajar di-dapatkan nilai presentase 85%. Peroleh-an presentase tersebut menunjukkan kategori sangat layak, sehingga bahan ajar tidak perlu direvisi. Aspek kebahasaan didapatkan nilai presentase 80%, menunjukkan kategori layak dengan keputusan uji tidak perlu di-revisi. Aspek penyajian didapatkan nilai presentase 90%, menunjukkan kategori sangat layak dengan pada Tabel 10.
keputusan uji tidak perlu direvisi. Aspek tampilan didapat-kan nilai presentase 70%, menunjukkan kategori layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi, sedangkan untuk aspek manfaat didapatkan nilai pesentase 100%, menunjukkan kategori sangat layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi. Hasil validasi ahli materi dan analisis terhadap bahan ajar secara ringkas disajikan
Tabel 10: Ringkasan hasil dan analisis validasi ahli materi Aspek Kesesuaian dengan prinsip pengembangan bahan ajar Kelayakan Isi Keterbacaan Ket: S.L = Sangat Layak L = Layak
P (%)
Kategori
Keputusan Uji
90.00
S.L
T.R
90.56 91.67
S.L S.L
T.R T.R
T.R = Tidak Revisi R = Revisi
Berdasarkan Tabel 11, juga diketahui bahwa aspek kesesuaian dengan prinsip pengembangan bahan ajar didapatkan nilai presentase 90%. Perolehan presentase tersebut menun-jukkan kategori sangat layak, sehingga handout tidak perlu direvisi. Aspek kelayakan isi didapatkan nilai pre-sentase 90,56%, menunjukkan kategori sangat layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi, sedangkan
untuk aspek keterbacaan didapatkan nilai presentase 91,67%, menunjukkan kategori sangat layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi. Uji pengembangan dilakukan dalam kelompok kecil dengan jumlah responden sebanyak 15 mahasiswa. Hasil uji pengembangan dan analisis secara ringkas disajikan pada Tabel 12
Tabel 11: Ringkasan hasil dan analisis uji pengembangan Aspek P (%) Kategori Format bahan ajar 84,27 S.L Kebahasaan 84,00 S.L Penyajian 82,00 S.L Tampilan 89,33 S.L Manfaat 89,33 S.L Ket: S.L = Sangat Layak T.R = Tidak Revisi L = Layak R = Revisi
Keputusan Uji T.R T.R T.R T.R T.R
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 939
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Berdasarkan Tabel 12. diketahui bahwa aspek format bahan ajar didapatkan nilai presentase 84.27%. Perolehan presentase tersebut menunjukkan kategori sangat layak, sehingga bahan ajar tidak perlu direvisi. Aspek kebahasaan didapatkan nilai presentase 84%, menunjukkan kategori sangat layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi. Aspek penyajian didapatkan nilai presentase 82%, menunjukkan kategori sangat layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi. Aspek tampilan didapatkan nilai presentase 89.33%, menunjukkan kategori sangat layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi, sedangkan untuk aspek manfaat didapatkan nilai presentase 89.33%, menunjukkan kategori sangat layak dengan keputusan uji tidak perlu direvisi. Penelitian pengembangan dila-kukan untuk menjembatani antara pene-litian dan praktek pendidikan (Ardhana, 2002). Materi yang terdapat dalam bahan ajar ini diharapkan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang akan menjawab permasalahan lingkungan akibat serangkaian inter-vensi manusia yang bersifat negatif. Pengembangan bahan ajar berdasarkan permasalahan kontekstual, menurut Amir (2012) pada dasarnya sama dengan pengembangan materi untuk bahan ajar pada umumnya. Perbedaannya adalah pada bentuk penyajian materinya. Penyajian materi untuk bahan ajar yang kontekstual mengguna-kan pendekatan kontekstual artinya, penyajian materi untuk bahan ajar yang kontekstual dikaitkan dengan situasi dunia nyata mahasiswa, sehingga diharapkan dapat memberikan banyak informasi tentang pengolahan limbah cair dari pabrik kelapa sawit. Simpulan Hasil penelitian ini menun-jukkan bahwa Akar Wangi (Chrysopogon zizanioides,L) mampu menurunkan kadar COD, BOD, NH3N, dan minyak/ lemak, serta uji validasi dan
940 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
uji kelompok kecil menunjukkan, bahwa bahan ajar telah layak digunakan dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui mikro-organisme yang bersimbiosis dengan akar tumbuhan (Akar Wangi), serta mengembangkan penelitian ini menjadi buku refrensi dengan informasiinformasi berdasarkan hasil penelitian yang lebih lengkap. Daftar Rujukan Amir, S. 2012. Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Kontekstual untuk Pembelajaran Kimia Materi Unsur Transisi sebagai Sumber Belajar Mandiri Peserta Didik Kelas XII SMA. (Online), (eprints.uny.ac.id), diakses pada 25 April 2013. Apriadi, T. 2008. Kombinasi Bakteri dan Tumbuhan Air sebagai Bioremediator dalam Mereduksi Kandungan Bahan Organik Limbah Kantin. IPB Repository. Ardhana, I.W., 2002. Konsep Penelitian Pengembangan dalam Bidang Pendidikan dan Pembelajaran. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Angkatan II Metodologi Penelitian Bidang Pendidikan dan Pembelajaran. Malang, 22-24 Maret Dafforn, MR. 2002. Hedge Vetiver: A Genetic and Intellectual Heritage. Proceedings of the Second International Conference on Vetiver: Vetiver and the Environment. Pp. 361-371. Bangkok Erickson L.E, M.K. Banks, L.C.Davis, A.P.Schwab, N. Muralidharan, and K. Reilley. 1999. Using Vegetaion To Enhance In Situ Bioremediation. (Online). http ://www .engg.ksu.edu /HSRC/phytorem /vegenhance.html, diakses 06 Juni 2013 Hidayat, E.N., dan W. Aditya. 2008. Potensi dan Pengaruh Tanaman pada Pengolahan Air Limbah Domestik
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dengan Sistem Constructed Wetland. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, vol 2 (2), 11-18. (Online). eprints.upnjatim.ac.id/1257/2/2._Jurnal_Euis.pdf. Diakses 06 Juni 2013 Juhaeti, Titi., N. Hidayati., F. Syarif., dan S. Hidayat. 2009. Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi Lingkungan Tercemar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kampung Leuwi Bolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Bogor. Jurnal Biologi Indonesia 6 (1):1-11 Kansiime, F., dan Nalubega, M. 1999. Wastewater Treatment by Natural Wetland; The Nakubivo Swamp, Uganda [pdf]. Disertation defense, Board of Deans of Wageningen Agricultural University and the Academic Board of the International Institute for Infrastructural, Hydraulic and Enviromental Engineering). (Online). http://edepot.wur.nl/192727. Diakses 06 Juni 2013
Silaholo W.S. 2009. Analisa Kandungan Ammonia dari Limbah Cair Inlet dan Outlet dari Beberapa Industri Kelapa Sawit. Tesis tidak diterbitkan. USU. Medan Suhendrayatna., Marwan., R. Andriyani., Y. Fajriana., dan Elvitriana. 2012. Removal of Municipal Wastewater BOD, COD, and TSS by Phyto-Reduction: A Laboratory Scale Comparison of Aquatic Plants at Different Species Typha latifolia and Saccharum spontaneum. International Journal of Engineering and Innovative Technology (IJEIT), vol 2(6), 333-337. (Online), http://www.idconline.com/technical_references/pdfs/civil_engineering. Diakses 06 Juni 2013. Tjahaja, P. I. 2007. Penyerapan 134Cs dari Tanah oleh Tanaman Bunga Matahari (Helianthus anuus, Less). Jurnal Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri. BATAN. Bandung.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 941
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
TEMUAN Asterostemma repandum Decne. (Asclepiadoideae) DI GUNUNG IJO PEGUNUNGAN BATUR AGUNG YOGYAKARTA Widodo Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto No. 1 Yogyakarta 55281, e-mail:
[email protected]
Abstrak Ditemukan populasi terbatas Asterostemma repandum Decne. di semak-semak tepi jalan pada lokasi S 07o 04’ 04.1”; E 110o 30’ 47.9” Gunung Ijo Pegunungan Batur Agung Yogyakarta. Identifikasi didasarkan pada deskripsi Backer dan Bakhuizen (1963), specimen tipe Herbarium MNHN-P-P032565 berasal dari Jawa (Muséum national d’Histoire naturelle Paris Perancis, 2014), gambar Delessert dan Candolle (1838). Informasi tentang Asterostemma repandum di Indonesia maupun global sangat terbatas. Artikel ini memaparkan foto karakteristik morfologi penting seperti perawakan (habitus), batang, daun, bunga, dan pollinia. Kata kunci: Asterostemma repandum, Asclepiadoideae, Gunung Ijo, Batur Agung
Pendahuluan Pada eksplorasi, pengamatan dan pengkajian tumbuhan liar di Gunung Ijo Pegunungan Batur Agung Yogyakarta, penulis mengkoleksi tumbuhan merambat (Widodo, 415 m, 31 Desember 2012) diantara semaksemak liar disisi timur Candi Ijo (S. 07’,47”,04.4”; E. 110, 30’, 47.9”) yang berada di Gunung Ijo. Setelah proses koleksi dan pengamatan ulang pada musim perbungan tahun 2013, pembentukan buah 2014 serta proses identifikasi melalui penelusuran literatur maupun herbarium diperoleh bahwa species tumbuhan tersebut adalah Asterostemma repandum. Penelusuran literatur lebih lanjut diperoleh bahwa Asterostema repandum dikemukakan pertama kali oleh Joseph Decaisne (1838). Species ini dimuat dalam atlas gambar tumbuhan dalam buku Icons Selectae Plantarum (Dellesert dan Candole, 1846). Karakteristik bunga Asterostemma repandum dideskripsikan dan digambarkan oleh Lindley (1853). Herbarium tipe Asterostemma repandum dikoleksi oleh Leschenault berasal dari Jawa
942 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
tanpa keterangan tahun. Herbarium tipe disimpan di Museum National D’Hirtoire Naturelle Paris (MNHN) No.P032565 ( http:// coldb. mnhn. fr/ catalog number / mnhn/p/p032565). Asterostemma merupakan genus sub famili Asclepiadoideae (dahulu famili Ascledpiadaceae). Asterostemma merupakan anggota tribus Marsdenieae dari famili Asclepiadaceae (Takhtajan, 2009). Informasi tentang Asterostemma di Indonesia maupun global sangat sedikit. Tercatat record tentang Asterostemma hanya terdiri dari satu spesies yaitu Asterostemma repandum (IPNI, 2005). Backer dan Bakhuizen (1963) menuliskan bahwa genus Asterostemma di Jawa meliputi satu spesies yaitu Asterostemma repandum Decne. Species ini ada di Jawa bagian timur dan sangat lokal. Masa perbungaan berkisar bulan Juli, November, Desember (Backer dan Bakhuizen, 1963). Sangat sedikit informasi tentang Asterostemma repandum dalam literatur maupun gambar-gambar di internet. Tulisan ini mempresentasikan deskripsi tumbuhan, foto specimen dibandingkan dengan herbarium tipe dan gambar atlas kuno untuk
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
memperjelas identifikasi. Penemuan spesies Asterostemma repandum di pegunungan Batur Agung Yogyakarta perlu disebarluaskan untuk mempresentasikan kekayaan flora di Jawa. Kekayaan flora di Jawa khususnya tumbuhan non budidaya saat ini mendekati tidak dikenali lagi baik nama maupun specimennya walaupun telah didokumentasikan pada bukubuku flora dan herbarium ratusan tahun masa lalu oleh penjelajah Eropa. Publikasi penemuan kehidupan speciesspecies tumbuhan di alam diperlukan untuk melengkapi data flora dunia, re-check dan rediscovery flora lama, memperbaiki dan memudahkan deskripsi ciri yang telah ada untuk data base penelitian lebih lanjut tentang biodiversitas tumbuhan, struktur tumbuhan, sistematika tumbuhan dan pembelajaran bidang tersebut dalam kajian biologi. Kajian biologi menjadi dasar dukungan untuk kegiatan-kegiatan pelestarian (konservasi) dan penggalian manfaat tumbuhan bumi yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini mempresentasikan deskripsi visual karakteristik morfologi daun, batang, bunga, pollinia, buah Asterostemma repandum untuk verifikasi identifikasi. Metodologi Metode penelitian dengan eksplorasi dan kunjungan dengan koleksi (exploration and collection trip, (Singh, 1999). Eksplorasi awal dilakukan pada Desember 2012 bersamaan kegiatan eksplorasi tumbuh-tumbuhan liar. Pemotretan dilakukan untuk langkah awal identifikasi. Pengambilan sampel specimen untuk herbarium juga dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian populasi. Bersamaan dengan proses identifikasi dilakukan pemantauan dan kunjungan berdasarkan prediksi masa perbungaan dan pembentukan buah, yaitu Desember 2012, Januari 2013, Desember 2013, Januari 2014, Oktober 2014. Koleksi bunga dengan teknik awetan basah dilakukan untuk identifikasi lebih lanjut.
Alat-alat untuk pengamatan dan koleksi terdiri: kamera digital Sony Nex F3, kamera digital Sony Cyber-Shot DSC-W180, kamera digital Canon DSLR, mistar, mikrometer, jangka sorong, roll meter kecil, plastik koleksi, gunting, cutter, kertas label, GPS (Global Positioning System), perlengkapan koleksi herbarium kering, botol flakon, mikroskop stereo Nikon SMZ 1500 dilengkapi kamera, mikroskop cahaya Nikon Eclipse 50 dilengkapi kamera Nikon DSF1. Bahan untuk pengamatan dan koleksi terdiri: Aquadest, Alkohol 70 %, larutan FAA (Formalin Acetic Alchohol). Cara Kerja 1. Pemotretan specimen dalam kondisi alamiah di lokasi 2. Pemotretan specimen dalam kondisi persiapan proses herbarium kering 3. Pemotretan detail bunga 4. Pembuatan herbarium kering 5. Pemotretan herbarium kering specimen 6. Koleksi awetan dan pengamatan struktur bunga 7. Pengamatan dan pemotretan pollinia 8. Deskripsi dan determinasi specimen untuk anggota Asclepiadaceae berdasarkan buku Flora of Java (Backer dan Bakhuizen, 1963) 9. Checking dan pencocokan dengan herbarium tipe Hasil dan Pembahasan Koleksi specimen Asterostemma repandum dilakukan penulis pada 31 Desember 2012 di jalur pungung Gunung Ijo Pegunungan Batur Agung pada lokasi lokasi S 07o 04’ 04.1”; E 110o 30’ 47.9” populasi terbatas. Populasi ditempat lain belum ditemukan penulis. Pada 19 Januari 2013, 4 Desember 2013, 3 Januari 2014 dan 20 Oktober 2014 dilakukan koleksi kembali (Gambar 1, 2, 3, 4, dan 5). Teknik koleksi herbarium basah dilakukan terhadap sebagian bunga.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 943
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Informasi taksonomi. Asterostemma repandum Decne. Decaisne, J. Sci. Nat., Bot. Sér. 2, 9: 271. 1838; Delessert, B., Candolle, A.P. de, Icones Selectae Plantarum, Vol. 5: 83. 1846; Backer, C. A & Bakhuizen, R. C. Flora of Java, Vol. 2: 274. 1965. Tipe: Leschenault P032565 (MNHN, tipe). Bunga majemuk malai sangat pendek, tangkai pendek berbulu, terdiri 3-5 bunga, berbulu halus; lobus daun kelopak ketika kering panjang 2,5 mm; oblong, obtusus, berambut, sisi luar berbulu halus; korola kuning atau pink salmon, dengan satu titik merah gelap, sisi luar berbulu halus, berbulu pendek di sisi dalam, panjang mahkota ketika kering 8 mm; tabung pendek; segmen mahkota
Gambar 1.
bulat telur-oblong atau bulat telur hingga lanset, tidak sangat tumpul; korona berbulu halus; ujung lobus korona bidentatus, setinggi ujung stigma atau sedikit lebih tinggi; buah follikulus panjang 6-8 cm. Daun bulat telur memanjang, pangkal cordatus, ujung mendekati meruncing, sangat tumpul, kadang oval dengan ujung pendek meruncing, berbulu dikedua sisi, 4-5 anak tulang daun, 3-9,5 cm lebar 2-4 cm; tangkai pendek berbulu, 0,51cm. Perbungaan, Desember, Januari; Gunung Ijo dekat Candi Ijo Peg. Baturagung Yogyakarta: S 07o 04’ 04.1”; E 110o 30’ 47.9”, 415 m diatas permukaan laut; sangat sedikit; semak merambat-liana kecil.
A. Foto Perawakan (Habitus) Asterostemma repandum di Habitat Alami Temuan Penulis. B, C, D. Letak Bunga. E. Koleksi Specimen Basah. F. Herbarium Kering Penulis. G Foto Herbarium Tipe (MNHN, Paris). H. Ilustrasi (DeCandolle dan DeLessert (1846).
944 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 2.
A. Susunan Bunga Asterostemma repandum Temuan Penulis (1, 2. Kuncup Bunga Majemuk, 3,4. Susunan Bunga Mekar, 5. Satuan Bunga mekar. B. Susunan Bunga Asterostemma repandum Herbarium Tipe dan Ilustrasi dari DeCandolle dan deLessert (1846) (1,2. Kuncup Bunga Majemuk pada Herbarium Tipe, 3,4. Ilustrasi Bunga Mekar, 5. Ilustrasi Satuan Bunga Mekar).
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 945
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
A 1. Gynostegium dengan korona
B 1. Gynostegium dengan korona
C 1. Gynostegium dengan korona
2. Susunan gynostegium
2. Susunan gynostegium
3. Susunan gynostegium
Gambar 3.
Gabungan Alat Kelamin Betina dengan Jantan (Gynostegium) Asterostemma repandum. A. Foto Specimen Temuan Penulis. B. Ilustrasi DeCandolle dan DeLessert (1846). C. Ilustrasi Pada Herbarium Tipe (MNHN, Paris). Keterangan Pada Ilustrasi Merupakan Tambahan Penulis.
946 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
A 1
B 2
3
Gambar 4.
C
Bentuk dan Susunan Pollinia Asterostemma repandum. A. Temuan Penulis (1,2. Keadaan Terlepas atau Bebas dari Gynostegium, 3. Orientasi dan Kedudukan BagianBagian Pollinia pada Gynostegium dengan Korpuskulum dan Lobus Pollinia Yang Tegak). B. Ilustrasi DeCandolle dan DeLessert (1846). C. Ilustrasi dalam Herbarium Tipe (MNHN, Paris)
A
Gambar 5.
B
Buah Asterostemma repandum. Biji Telah Lepas. A. Tampak Dinding Bagian Dalam. B. Tampak Dinding Luar.
Tumbuhan ini melilit pada Meyna grisea bersamaan tumbuhan melilit lainnya: Argyreia mollis, Centrosema pubescens berdekatan dengan Mardenia tenacissima, Telosma accedens, Eupatorium palescens sehingga sulit dikenali. Ukuran dan struktur daun
tumbuhan ini mirip dengan daun Argyera mollis. Eksplorasi dan pengamatan di sekitar lokasi belum ditemukan tumbuhan tersebut sampai laporan ini ditulis. Specimen ditemukan penulis ketika sedang kunjungan periodik untuk mengamati
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 947
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dan proses identifikasi Marsdenia tenacissima, Telosma accedens, Gymnema sylvestris, Marsdenia brunoniana. Terbatasnya keberadaan tumbuhan ini di lokasi penemuan maka diperlukan eksplorasi dikawasan pegunungan sekitarnya untuk memastikan status persebarannya. Bersamaan proses eksplorasi perlu dilakukan pengawetan specimen dari biji. Sampai saat ini koleksi biji belum berhasil karena pengamatan buah pada kunjungan terakhir telah mengalami pecah buah (kehilangan biji-bijinya). Simpulan Berdasarkah pembahasan diperoleh kesimpulan yang pertama adalah Asterostemma repandum Decne. ditemukan di Gunung Ijo Pegunungan Baturagung DI Yogyakarta. Kemudian kesimpula yang kedua yaitu ciri-ciri morfologi perawakan (habitus), daun, bunga specimen Asterostemma repandum di Gunung Ijo menunjukkan kesesuaian dengan Herbarium Type di MNHN dan ilustrasi Dellesert & Decandolle (1838). Kesimpulan yang ketiga adalah ciri gynostegium, korona, pollinia merupakan bagian penting untuk checking dan verifikasi identifikasi
948 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Daftar Rujukan Backer, C. A. & Bakhuizen. 1963. Flora of Jawa (Spermatophytes Only). Vol I, II, III. Groningen: N. V. P. Noordhoff. DeLessert, B., Candole, A. P. 1846. Icon Selectae Plantarum Vol. 5. Paris: Apud Fortin Masson et Sociorum. (www.illustratedgarden.org/mobot/.../ page.asp?.., diakses 30 Oktober 2014). Herbarium Museum National d’ Histoire Naturelle Paris (MNHN). 2014. Asterostemma repandum. (http://colb.mnhn.fr., diakses 30 Oktober 2014). Singh, G. 1999. Plant Systematics. New Hampshire: Science Publisher. Takhtajan, A. 2009. Flowering Plant. St Petersburg: Springer. IPNI (International Plant Name Index). 2014. Asterostemma repandum (http://www.plantsystematics.org, diakses 30 Oktober 2014). Decaisne, J. 1838. Annales des Sciences Naturelles : Botanique, ser. 2. Paris: Paris and Archives de botanique. (http : // www.tropicos.org / Name/2603118, diakses 30 Oktober 2014)
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
EKSPLORASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI TERMOFILIK LOKAL PENGHASIL AMILASE, LIPASE, DAN PROTEASE TERMOSTABIL DARI SUMBER AIR PANAS KAWAH IJEN Wiwik Hariyatik, Mohamad Amin, Endang Suarsini SMA Negeri 1 Tenggarang Jl. Raya Situbondo No. 96, e-mail:
[email protected]
Abstrak Kawah Ijen merupakan salah satu kawasan yang memiliki keanekaragamanan mikroorganisme penghasil enzim termostabil. Pengeksplorasian bakteri termofilik penghasil amilase, lipase, dan protease di kawah Ijen merupakan langkah untuk penyediaan enzim termostabil khas wilayah Indonesia yang dapat digunakan untuk industri, bioteknologi dan bioremidiasi. Tujuan dalam penelitian ini, antara lain 1) Mengidentifikasi keragaman bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur; 2) Menganalisis aktivitas amilase oleh isolat bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur; 3) Menganalisis aktivitas lipase oleh isolat bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur; dan 4) Menganalisis aktivitas protease oleh isolat bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif laboratorik. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANAVA (uji F) satu jalur dengan taraf signifikant 5% yang dilanjutkan dengan uji BNT 5%. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: ditemukan 12 isolat bakteri termofilik, masing-masing terdapat 3 isolat bakteri termofilik amilolitik, lipolitik dan proteolitik unggul. Bakteri termofilik amilolitik unggul adalah Pseudomonas stutzeri, Bacillus firmus, dan Pseudomonas flurescens. Bakteri termofilik lipolitik unggul adalah Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas flurescens, dan Pseudomonas stutzeri sedangkan bakteri termofilik proteolitik unggul adalah Bacillus firmus, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus. Setiap isolat memiliki karakteristik makroskopis, mikroskopis, dan fisiologis yang berbeda satu dengan yang lain. Aktivitas amilase, lipase, dan protease termostabil secara kuantitatif dari ketiga isolat bakteri termofilik amilolitik, lipolitik, dan proteolitik unggul berbeda. Bakteri termofilik amilolitik yang potensial menghidrolisis amilum adalah Bacillus firmus dan Pseudomonas flurescens. Bakteri termofilik lipolitik yang paling potensial menghidrolisis lemak adalah Pseudomonas stutzeri sedangkan bakteri termofilik proteolitik yang paling potensial menghidrolisis protein adalah Pseudomonas aeruginosa. Kata kunci:eksplorasi, identifikasi, bakteri termofilik, termostabil Pendahuluan Bakteri termofilik merupakan organisme penghasil enzim termostabil.
Enzim ini memiliki keunggulan yaitu resisten terhadap panas, cepat bereaksi, meningkatkan kelarutan reaktan,
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 949
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
menurunkan viskositas substrat, mengurangi resiko kontaminasi (Burg, 2003), memungkinkan biostransformasi pada pH yang sama, dan mencegah penambahan garam (Di lerni dkk., (1998) dalam Khalil, 2011). Enzim termostabil yang dibutuhkan oleh industri antara lain amilase, lipase, dan protease. Amilase dibutuhkan (25-30)% dari total penggunaan enzim di dunia (Maarel 2002). Setiap tahun dibutuhkan 1.000.000 ton asam lemak, dengan demikian dibutuhkan lipase yang menghidrolisis lemak menjadi asam lemak (Natalia dkk., 2004) sedangkan protease dibutuhkan sebanyak 60% dari total penggunaan enzim di dunia (Kamelia dkk., 2005). Indonesia merupakan negara dengan biodeversitas tinggi serta memiliki banyak aktivitas geotermal. Pasar yang luas dan sumber daya alam yang mendukung merupakan peluang yang sangat berharga bagi pengembangan industri enzim di Indonesia sehingga eksplorasi bakteri termofilik penghasil amilase, lipase, dan protease dari sumber air panas kawah Ijen merupakan langkah untuk mengatasi kelangkaan enzim termostabil di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini yaitu, 1) Mengidentifikasi keragaman bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. 2) Menganalisis aktivitas amilase oleh isolat bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. 3) Menganalisis aktivitas lipase oleh isolat bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. 4) Menganalisis aktivitas protease oleh isolat bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen Kabupaten Bondowoso Jawa Timur.
950 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Metode Penelitian Desain penelitian ini adalah eksploratif laboratorik. Penelitian eksploratif laboratorik dilakukan dengan metode observasi untuk mengidentifikasi keanekaragaman karakter atau ciri-ciri morfologi, sitologi, fisiologi, dan menganalisis aktivitas amilase, lipase, dan protease termostabil secara kualitatif dan kuantitatif oleh spesies-spesies bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen. Peralatan yang digunakan pada penelitan ini adalah cawan petri, gelas kimia, gelas ukur, labu takar, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, corong kaca, pengaduk, pipet volume, mikroburet, botol Reagent, dan thermometer, termos, gloves, sikat, container gabus, mikropipet Eppendorf beserta tip pipet mikro ukuran 100 L dan 1000 L, tabung mikro (Eppendorf) ukuran 2000 L, botol semprot, dan kawat ose berkolong, kawat ose tidak berkolong, hot plate, kompor gas, rak tabung reaksi, gunting, alumunium foil, vortex, spatula, kuvet, label, kapas, tissue, pH meter dan bunsen, neraca analitis, laminar air flow (LAF), Autoclave,incubator shaker, magnetic stirrer,lemaries, inkubator, spektrofotometer (spektronik 20 D), dan kamera. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri termofilik yang menempel pada batu yang berasaldari sumber air panas kawah Ijen Jawa Timur. Bahan kimia lain yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: medium Luria Bertani (LB) cair, medium Luria Bertani (LB) padat, medium pengenceran, medium spesifik yang terdiri dari Amilum Agar (AA); Nutrient Agar Lemak (NAL); dan Skim Milk Agar
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
(SMA), medium Nutrient Agar, larutan uji aktivitas amilase, larutan uji aktivitas lipase, dan larutan uji aktivitas protease. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini dilakukan prosedur kerja yaitu 1) isolasi bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen. Kegiatan ini meliputi: sterilisasi alat dan bahan, pembuatan medium yang terdiri atas medium LB cair; medium LB padat; medium NA miring; medium selektif (AA, NAL, dan SMA); medium produksi amilase, lipase dan protease yang berupa Reagent untuk mengetahui aktivitas enzim dari isolat bakteri termofilik yang unggul, pengambilan sampel, propagasi bakteri termofilik, pengenceran sampel, inokulasi bakteri, dan karakterisasi. 2) seleksi bakteri termofilik amilolitik, lipolitik, dan proteolitik unggul berdasarkan nilai indeks hidrolisis dalam medium spesifik. 3) penentuan aktivitas amilase, lipase, dan protease secara kuantitatif. 4) identifikasi jenis-jenis bakteri termofilik amilolitik, lipolitik, dan proteolitik.Data yang diperoleh berupa aktivitas amilase, lipase, dan protease termostabil, dianalisis dengan sidik ragam ANAVA tunggal yang dihitung dengan software Windows SPSS 18 kemudian diuji lanjut dengan uji LSD 5%. Hasil dan Pembahasan Eksplorasi bakteri termofilik dilakukan pada sepuluh sumber air panas yang ada di kawah Ijen tepatnya di daerah Belawan. Bakteri termofilik dari kesepuluh sumber air panas kawah Ijen
yang terisolasi ada dua belas isolat yang diberi kode A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K , dan L. Selanjutnya dua belas isolat bakteri termofilik ditumbuhkan di dalam medium spesifik yaitu amilum agar (AA), nutrient agar lemak (NAL), dan skim milk agar (SMA). Bakteri termofilik yang mampu menghidrolis amilum, lemak, dan protein akan memperlihatkan zona bening pada bagian dasar medium spesifik sedangkan yang tidak mampu membentuk zona bening berarti tidak mampu menghidrolisis amilum, lemak, dan protein yang ada di dalam masing-masing medium spesifik. Data isolat bakteri termofilik berdasarkan kemampuan dalam menghidrolisis amilum, lemak, dan protein dapat dilihat pada Tabel 1. Dari data di atas terdapat 5 jenis isolat bakteri termofilik amilolitik, 9 jenis isolat bakteri termofilik lipolitik, dan7 jenis isolat bakteri termofilik proteolitik. Kemudian dilakukan pengukuran indeks hidrolisis untuk mengukur aktivitas amilase, lipase, dan protease termostabil secara kualitatifdan seleksi 3 isolat bakteri termofilik amilolitik, lipolitik, dan proteolitik yang unggul. Selanjutnya masing-masing 3 isolat bakteri termofilik amilolitik, lipolitik, dan proteolitik unggul diamati aktivitas amilase, lipase, dan protease termostabil secara kuantitatif. Data indeks hidrolisis dan aktivitas amilase, lipase, dan protease termostabil dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 yang diperjelas pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 951
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Tabel 1. Hasil Pengujian Kemampuan Isolat Bakteri Termofilik dalam Menghidrolisis Amilum, Lemak, dan Protein Secara Kualitatif Kemampuan Hidrolisis Kode Isolat Bakteri Amilum Lemak A + + B + C + + D E + F + G + + H + I + + J + + K L -
Protein + + + + + + +
Tabel 2. Hasil Pengukuran Indeks Hidrolisis Amilum dan Aktivitas Amilase Pada Bakteri Termofilik Amilolitik Unggul Kode Isolat Bakteri Rata-rata (mm) Rata-rata (U/g) G 3.43 23,01 I 3,43 26,73 J 3,24 26,67
Gambar 1. Perbedaan Aktivitas Amilase antar Spesies Bakteri Termofilik Amilolitik dari Sumber Air Panas Kawah Ijen
Berdasarkan Tabel2 dan Gambar 1 isolat bakteri termofilik amilolitik unggul yaitu G, I, dan J. Isolat bakteri termofilik amilolitik yang memiliki indeks hidrolisis tertinggi ialah bakteri dengan kode G dan I dengan rata-rata nilai indeks hidrolisis
952 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
amilum 3,43 mm. Tiap isolat bakteri termofilik amilolitik memiliki aktivitas amilase yang berbeda-beda. Aktivitas amilase yang tertinggi ialah isolat bakteri termofilik amilolitik dengan kode I sebesar 26,73 U/g dan yang terendah
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
adalah isolat bakteri termofilik amilolitik
dengan kode G yaitu 23,01 U/g.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Indeks Hidrolisis Lipida dan Aktivitas Lipase Pada Bakteri Termofilik Lipolitik Unggul Kode Isolat Bakteri Rata-rata (mm) Rata-rata (U/g) E 1,44 45,94 G 1,01 55,76 J 1,55 53,36
Gambar 2. Perbedaan aktivitas Lipase antar Spesies Bakteri Termofilik Lipolitik dari Sumber Air Panas Kawah Ijen
Berdasarkan Tabel3dan Gambar 2 di atas diketahui isolat bakteri termofilik lipolitik unggulyaitu E, G, dan J dengan nilai indeks hidrolisis lemak tertinggi adalah isolat dengan kode J sebesar 1,55 mm sedangkan secara kuantitatif isolat
bakteri termofilik lipolitik dengan kode isolat G memiliki aktivitas enzim lipase tertinggi yaitu 55,76 U/g dan bakteri termofilik lipolitik dengan kode isolat E memiliki aktivitas enzim lipase terendah yaitu 45,94 U/g.
Tabel 4.Hasil Pengukuran Indeks Hidrolisis Protein dan Aktivitas Protease Pada Bakteri Termofilik Proteolitik Unggul Kode Isolat Bakteri Rata-rata (mm) Rata-rata (U/g) D 0,94 39,27 E 1,45 41,77 I 0,94 37,40
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 953
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Gambar 3. Perbedaan aktivitas Lipase antar Spesies Bakteri Termofilik Proteolitik dari Sumber Air Panas Kawah Ijen
Berdasarkan Tabel4dan Gambar 3 diketahui isolat bakteri termofilik proteolitik unggulyaitu D, E, dan I dengan indeks hidrolisis protein tertinggi adalah isolatE dengan nilai indeks hidrolisis protein 1,45 mm. Aktivitas enzim protease secara kuantitatif yang tertinggi yaitu 41,77 U/g (isolat E) dan isolat I memiliki aktivitas enzim protease terendah yaitu 37,40 U/g. Setelah diketahui nilai indeks hidrolisis bakteri unggul yang terpilih pada medium spesifik, bakteri-bakteri tersebut kemudian diidentifikasi untuk menentukan spesiesnya. Identifikasi dilakukan berdasarkan hasil deskripsi terhadap ciri-ciri secara makroskopis, mikroskopis maupun fisiologis TM menggunakan Microbact 12A/B/E, 24E Identification Kids. Isolat D adalah Staphylococcus aureus, isolat E adalah Pseudomonas aeruginosa, isolat G adalah Pseudomonas stutzeri, I adalah Bacillus firmus, dan F adalah Pseudomonas flurescens. Data hasil penelitian perbedaan aktivitas amilase, lipase, dan protease
954 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
antar spsies bakteri termofilik amilolitik, lipolitik, dan proteolitikunggul yang ditemukan dianalisis dengan ANAVA tunggal dengan taraf signifikan 5% yang dilanjutkan dengan uji LSD dengan taraf signifikan 5%. Adapun hasilnya yaitu ketiga bakteri termofilik amilolitik memiliki kemampuan menghidrolis yang sedikit berbeda. Bacillusfirmus memiliki kemampuan aktivitas amilase dalam menghidrolis amilum tertinggi namun tidak berbeda nyata dengan kemampuan aktivitas amilase Pseudomonas flurescens dalam menghidrolisis amilum karena kedua spesies ini memiliki notasi yang sama yaitu b. Pseudomonas stutzeri memiliki kemampuan aktivitas amilase dalam menghidrolisis amilum lebih rendah dibandingkan kedua spesies yang lain sehingga berbeda nyata karena itu diberi notasi a. Untuk bakteri termofilik lipolitik memiliki kemampuan aktivitas lipase dalam menghidrolis lemak yang berbeda juga. Pseudomonas stutzeri memiliki kemampuan aktivitas lipase dalam menghidrolis lemak tertinggi dan berbeda nyata dengan kemampuan aktivitas
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
lipasePseudomonas flurescens dalam menghidrolisis lemak karena karena itu Pseudomonas stutzeridiberi notasi c. Pseudomonas flurescens memiliki kemampuan aktivitas lipase dalam menghidrolisis lemak lebih rendah dibandingkan Pseudomonas stutzeri namun lebih tinggi dibandingkan Pseudomonas aerugenosa sehingga dapat disimpulkan berbeda nyata untuk itu diberi notasi b sedangkan Pseudomonas aeruginosa memiliki aktivitas lipase yang terendah dan berbeda nyata dibandingkan spesies lainnya karena itu diberi notasi a. Bakteri termofilik proteolitik memiliki kemampuan menghidrolis yang berbeda. Pseudomonas aeruginosa memiliki kemampuan aktivitas proteasae dalam menghidrolis protein tertinggi dan berbeda nyata dengan kemampuan Staphylococcus aureusdan Bacillus firmusdalam menghidrolisis protein karena itu bakteri ini memiliki notasi c. Staphylococcus aureus memiliki kemampuan aktivitas protease dalam menghidrolisis protein lebih rendah dibandingkan Pseudomonas aeruginosa namun lebih tinggi dibandingkan Bacillus firmus sehingga dapat disimpulkan berbeda nyata untuk itu diberi notasi b sedangkan Bacillus firmus memiliki aktivitas protease yang terendah dan berbeda nyata dibandingkan spesies lainnya karena itu diberi notasi a. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bakteri termofilik amilolitik yang unggul adalah isolat G, I, dan J. Ketiga isolat memiliki perbedaan aktivitas amilase, isolat yang potensial menghidrolisis amilum adalah isolat I dan J. Isolat bakteri lipolitik unggul yaitu E, G, dan J. Aktivitas lipase dari ketiga isolat menunjukkan adanya perbedaan, lemak potensial dihidrolisis oleh isolat G
sedangkan isolat bakteri termofilik proteolitik unggul adalah isolat D, E, dan I. Isolat yang potensial menghidrolisis protein adalah isolat E. Pseudomonas stutzeri, Bacillus firmus, Pseudomonas flurescens, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini termasuk bakteri termofilik karena dapat adaptif hidup di atas suhu 500 C walaupun bakteri tersebut juga dapat ditemukan dalam kondisi mesofilik. Ini berarti kelima bakteri yang diisolasi dari sumber air panas kawah Ijen memiliki rentang hidup yang lebih lebar berdasarkan suhu. Bakteri termofilik dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan temperatur pertumbuhan optimal yaitu moderat termofilik (35-70)0 C, ekstrim termofilik (55-85)0 C, dan hipertermofilik (75-113)0 C (Baker dkk., 2001). Berdasarkan perlakuan dalam penelitian ini, bakteri-bakteri termofilik tersebut termasuk bakteri moderat termofilik karena mampu hidup pada suhu (52-57)0 C. Pada umumnya bakteri termofilik termasuk domain Archaebacteria, namun kelima bakteri tersebut termasuk domain Eubacteria. Hal ini dikarenakan sampel dari sumber air panas kawah Ijen yang mengandung bakteri termofilik diperlakukan secara aerobik, sedangkan bakteri termofilik yang tergolong Archaebacteria umumnya anaerobik sehingga bakteri yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini adalah bakteri termofilik yang tergolong Eubacteria. Bakteri menghasilkan enzim intraseluler dan ekstraseluler. Faktor yang mempengaruhi kemampuan bakteri dalam menghidrolisis medium spesifik, adalah
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 955
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
jenis enzim ekstraseluler yang dihasilkan. Jumlah enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh suatu bakteri yang ditumbuhkan dalam medium padat akan sebanding dengan besarnya kadar penurunan substrat dalam medium cair (Fogarti, 1983). Berdasarkan hasil penelitian ini nilai indeks hidrolisis yang menunjukkan aktivitas amilase secara kualitatif tidak berbanding lurus dengan nilai aktivitas amilase secara kuantitatif, begitu pula dengan nilai aktivitas lipase secara kualitatif tidak berbanding lurus dengan nilai aktivitas lipase secara kuantitatif. Hal ini disebabkan pengukuran indeks hidrolisis secara kualitatif dilakukan setelah isolat bakteri termofilik amilolitik terpapar di dalam medium AA selama 24 jam dan isolat bakteri termofilik lipolitik terpapar dalam medium NAL selama 24 jam, sedangkan pengukuran aktivitas amilase dan lipase secara kuantitatif dilakukan pada saat isolat bakteri termofilik amilolitik dan lipolitik terpapar di dalam medium cair dan reagen ± 30 menit. Pada saat itu, berdasarkan fase pertumbuhan bakteri, bakteri termofilik amilolitik dan lipolitik masih dalam tahap pertumbuhan awal (lag). Bakteri masih beradaptasi dengan lingkungannya pada fase lag, sehingga jumlah sel bakteri belum banyak karena belum berkembangbiak. Hal ini menyebabkan enzim ekstraselulur atau eksoenzim yang digunakan untuk menghidrolisis substrat amilum dan lemak masih diproduksi dalam jumlah sedikit, bahkan bisa jadi enzim ekstraseluler belum diproduksi, yang diproduksi masih berupa enzim endoseluler. Enzim ekstraseluler akan diproduksi dalam jumlah banyak pada saat bakteri memasuki tahap pertumbuhan stasioner. Pada tahap ini terjadi
956 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
pengurangan substrat, kepadatan populasi sel sangat tinggi, tekanan parsial oksigen yang rendah, dan adanya akumulasi produk metabolisme berupa enzim ekstraseluler maupun senyawa lain yang bersifat toksik (Schlegel dan Schmidt, 1994). Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1) Isolat bakteri termofilik dari sumber air panas kawah Ijen yang berhasil diisolasi sebanyak 12 isolat yaitu isolat A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, dan L. 2) Ada perbedaan kemampuan aktivitas amilase secara kuantitatif pada spesies Pseudomonas stutzeri 23,01U/g lebih rendah dibandingkan Pseudomonas flurescents (26,67 U/g) dan Bacillus firmus sebesar 26,73 U/g. Bakteri yang paling potensial menghidrolisis amilum adalah Bacillus firmusdan Pseudomonas fluorescents. 3) Ada perbedan kemampuan aktivitas enzim lipase secara kuantitatif pada spesies Pseudomonas aeruginosa 45,94 U/g lebih rendah jika dibandingkan Pseudomonas flurescens (53,39 U/g) dan Psedomonas stutzeri sebesar 55,76 U/g. Bakteri yang paling potensial menghidrolisis lemak adalah Psedomonas stutzeri. 4) Ada perbedaan kemampuan aktivitas enzim protease pada spesies Bacillus firmus 37,40 U/g lebih rendah jika dibandingkan Staphylococcus aureus 39,27 U/g dan Pseudomonas aeruginosasebesar 41,77 U/g. Bakteri yang paling potensial menghidrolisis protein adalah Pseudomonas aeruginosa.
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Daftar Pustaka Baker, G. C., S. Gaffar, D. A. Cowan, and A. R. Suharto. 2001. Bacterial community analysis of Indonesian hot springs. Fems Microbiology Letters 200 (1):103-109. (Online), www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11 410357, diakses 2 Nopember 2011. Burg V. A. 2003. Extremophiles as a Source for Novel Enzymes. Curr Opinion in Mcrobiol. 6. (Online), linkinghub.elsevier.com/.../S1369 527403000, diakses 16 Nopember 2011. Fogarty, M. W. 1983. Microbial Enzymes and Biotechnology. London: Applied Science. Kamelia R, M. Sindumarta dan D. Natalia. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Protease Intraseluler Termostabil dari bakteri Bacillus steaarothemophilus. (Online), http://indoplasma.or.id/publikasi/ buletin-pn/pdf/buletin _pn _9 _2 _2003 _38 _44 _deasy.pdf, diakses 23 September 2011. Khalil. 2011. Isolation and Characterization of Three Thermofilic Bacterial Stain (lipase, Cellulose, and Amylase Producer) from Hot Spring in
Saudi Arabia. African Journal of Biotecnology, 10(44):8834-8839, (Online), www.academicjournals.org/ajb/... /Khalil.pdf, diakses 10 Oktober 2011. Maarel V. D, Veen B. V. D, Uitdehaag, Leemhuis, Dikjhuizen. 2002. Properties and Aplication os Strachconverting Enzymes of The Alpha Amilase Family. 94. (Online), http: // www. ajol. info/ index. php/ ajb/ article/ view/ 14896/ 58640, diakses 16 Nopember 2011. Natalia, D., Widiasa, I.N., Wanten, I. G. 2004. Studi Awal Konversi Enzimatik Secara In-Situ untuk Hidrolisis CPO dari Buah Segar Kelapa Sawit. Makalah disajikan dalam seminar nasional rekayasa kimia danproses di Semarang. (Online), www.lppm.itb.ac.id/bp/august/20 05/Suplemen-August%2005.pdf, diakses 2 Oktober 2011. Schlegel, H.G & Schmidt, K. 1994. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedja Baskoro. Yogyakarta: UGM Pers
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 957
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
KERAGAMAN MORFOLOGI TALUS LUMUT KERAK DI KABUPATEN TULUNGAGUNG Yousep Anitasari, Sulistiono, Poppy Rahmatika Primandiri Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusantara PGRI Kediri Jl. K.H. Ahmad Dahlan No. 76 Kota Kediri email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman morfologi talus lumut kerak di kawasan industri pabrik gula Mojopanggung dan wisata waduk Wonorejo kabupaten Tulungagung. Penelitian dilakukan dengan desain transek dalam plot yang dimodifikasi. Sampel diambil dengan cara dikerik dari permukaan kulit pohon pada sisi pohon yang menghadap ke jalan dengan ketinggian sampai 200 cm dari permukaan tanah. Pengamatan keragaman morfologi talus dilakukan secara makroskopik yaitu dengan melihat warna dan bentuk, serta pengamatan secara mikroskopik untuk melihat jaringan yang menyusun talus lumut kerak. Hasil pengamatan keragaman morfologi talus lumut kerak yang ditemukan di kawasan pabrik gula Mojopanggung dan waduk Wonorejo yaitu tipe talus foliose dan crustose dengan berbagai bentuk dan warna. Bentuk dan warna talus yang berbeda menunjukkan kondisi talus lumut kerak dalam menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Kata Kunci : Keragaman lumut kerak, daerah wisata, pabrik gula
Pendahuluan Lumut kerak adalah organisme hasil simbiosis mutualisme antara jamur dengan ganggang hijau, yang mampu hidup subur pada suhu dan kelembaban yang ekstrim seperti gurun dan kutub. Populasinya tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di Indonesia lebih dari 1000 species yang diketahui dari 2500 spesies yang ada. Lumut kerak merupakan tumbuhan epifit pada pohon, bebatuan dan tanah mulai dari daerah tropis sampai dengan kutub. Tergolong tumbuhan perintis yang berperan dalam pembentukan tanah dan dapat ditemukan pada kondisi lingkungan yang ekstrim (Sudrajat dkk, 2013). Beberapa penelitian telah dilakukan antara lain adalah hasil penelitian Istam (2007) yang menemukan 2 jenis tipe talus lumut kerak, di Kebun Raya Bogor berupa tipe crustose dan di Hutan Kota Manggala Wana Bhakti berupa tipe foliose. Menurut Pratiwi (2006), pada lokasi pengamatan di kawasan
958 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis (Phaeographis sp., Strigula sp. dan D. Cf picta), di arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis (Strigula sp., Verrucaria sp., Graphidaceae, Heterodermia sp dan P. cf austrosinensis), dan pada tegakan mahoni Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.). Hardini (2010), lumut kerak yang ditemukan di Kampus Unud Denpasar yaitu Lecidea, Parmelia dan Lecanora, sedangkan di Kampus Bukit Jimbaran ditemukan delapan genus lumut kerak yaitu Lecidea, Parmelia, Lecanora, Ramalina, Graphis, Loxospora, Trentepholia, dan Arthonia. Namun demikian informasi tentang lumut kerak di daerah Tulungagung belum pernah dilakukan. Penelitian keragaman lumut kerak masih sedikit dilakukan, karena belum banyak kalangan pelajar maupun masyarakat yang
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
mengetahui manfaat lumut kerak. Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa lumut kerak sangat beragam berdasarkan morfologi talus. Selain itu, masing-masing tipe lumut kerak memiliki tingkat ketahanan yang berbeda terhadap pencemaran udara, sehingga informasi tentang keragaman lumut kerak penting untuk diketahui oleh para pelajar dan masyarakat sekarang ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman morfologi talus lumut kerak di kawasan industri pabrik gula Mojopanggung dan wisata waduk Wonorejo kabupaten Tulungagung. Metode Penelitian Alat yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah: peta lokasi, pita meteran, tally sheet, kamera, silet dan termohygrometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: plastik transparan, alat tulis dan tali rafia. Data sampel talus lumut kerak diambil pada masing-masing lokasi penelitian dengan metode transek dalam plot pengamatan menurut Mueller et al. (1974) dalam Tjitrosoepomo (2010) yang dimodifikasi, yaitu dengan membuat plot berukuran 10x10 meter dengan jarak antar plot sepanjang 5 meter. Vegetasi yang ada dalam plot diamati jenis pohon dan dilakukan pengukuran keliling pohon (dengan catatan keliling pohon
a
yang digunakan minimal 31,4 cm) pada batang pohon bagian tengah (± 150 cm dari permukaan tanah). Setelah itu, dilakukan pengamatan secara makroskopis untuk melihat bentuk dan warna talus lumut kerak. Sampel lumut kerak dikerik utuk dilanjutkan dengan pengamatan mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya elektrik dengan perbesaran 100x untuk melihat bagian-bagian dari lumut kerak yang ditemukan. Pengamatan mikroskopik dilakukan dengan cara membuat preparat segar. Sampel lumut kerak yang diperoleh selanjutnya dianalisis struktur morfologinya secara makroskopis dan mikrokoskopis. Pengamatan makroskopis meliputi bentuk dan warna, sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi struktur lapisan yang menyusun talus lumut kerak. Hasil dan Pembahasan Lumut kerak yang diamati merupakan lumut kerak yang ditemukan pada pohon di sepanjang jalan yang masuk plot dalam transek. Keragaman morfologi talus lumut kerak dibedakan berdasarkan ciri makroskopis dan mikroskopis. Lumut kerak yang banyak ditemukan di kedua lokasi penelitian yaitu lumut kerak tipe crustose dan foliose (gambar 1).
b
Gambar 1 Jenis lumut kerak yang ditemukan di kedua lokasi, a) tipe crustose, b) tipe foliose
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 959
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Bentuk talus lumut kerak cukup beragam, yaitu cenderung bulat, memanjang vertikal,
memanjang horizontal dan tidak beraturan (tabel 1).
Tabel 1. Bentuk Talus Lumut Kerak Bentuk Talus
Lokasi Pengamatan
Tipe Lumut Kerak Foliose Crustose -
A B A Memanjang Vertikal B A Memanjang Horizontal B A Tidak Beraturan B Keterangan : = Ditemui, A = pabrik gula Mojopanggung, B = bendungan Wonorejo Cenderung Bulat
Lumut kerak tipe foliose yang ditemukan di pabrik gula Mojopanggung memiliki dua bentuk, yaitu cenderung bulat dan tidak beraturan. Bentuk cenderung bulat lebih banyak ditemukan pada pohon angsana (Pterocarpus indicus), glodok tiang (Polyathia longifolia), trermbesi (Samanea saman) dan randu (Ceiba petandra) karena pohon-pohon tersebut memiliki kulit pohon yang licin dan rata, sehingga talus lumut kerak yang ditemukan cenderung tipis, tidak bekoloni dan tidak bertumpuk. Bentuk tidak beraturan lebih banyak ditemukan pada pohon angsana (Pterocarpus indicus), mangga (Mangifera indica), dan mahoni (Swietenia mahagoni) karena pohon-pohon tersebut memiliki kulit pohon yang pecah-pecah, sehingga talus lumut kerak yang ditemukan cenderung tipis, tidak berkoloni dan tidak bertumpuk. Tipe crustose memiliki dua bentuk, yaitu memanjang vertikal dan tidak beraturan. Bentuk memanjang vertikal lebih banyak ditemukan pada pohon trembesi (Samanea saman) karena pohon ini memiliki kulit pohon yang licin dan rata, sehingga talus lumut kerak yang ditemukan cenderung utuh, tipis, permukaan talus kasar dan berkoloni. Bentuk tidak beraturan lebih banyak ditemukan pada pohon angsana (Pterocarpus indicus), mangga (Mangifera indica), dan mahoni (Swietenia
960 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
mahagoni) karena pohon-pohon tersebut memiliki kulit pohon yang pecah-pecah, sehingga lumut kerak yang ditemukan cenderung pecah-pecah, tipis, berkoloni dan permukaan talus kasar. Lumut kerak tipe foliose yang ditemukan di waduk Wonorejo memiliki empat bentuk, yaitu cenderung bulat, memanjang vertikal dan horizontal serta tidak beraturan. Bentuk cenderung bulat lebih banyak ditemukan pada pohon palem (Chamaedorea sp.), angsana (Pterocarpus indicus), glodok tiang (Polyathia longifolia), jati (Tectona grandis) dan kersen (Muntingia calabora) karena pohon-pohon tersebut memiliki kulit pohon yang licin dan rata, sehingga talus lumut kerak yang ditemukan cenderung lebih tebal, bekoloni dan bertumpuk pada beberapa jenis pohon. Bentuk memanjang vertikal dan horizontal lebih banyak ditemukan pada pohon palem (Chamaedorea sp.) karena pohon tersebut memiliki kulit pohon yang licin dan rata, sehingga talus lumut kerak yang ditemukan cenderung tebal dan bekoloni. Bentuk tidak beraturan lebih banyak ditemukan pada pohon angsana (Pterocarpus indicus), glodok tiang (Polyathia longifolia) dan kersen (Muntingia calabora) karena pohon-pohon tersebut memiliki kulit pohon yang pecah-pecah, sehingga talus lumut kerak yang ditemukan
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
cenderung tipis, tidak berkoloni dan tidak bertumpuk. Tipe crustose memiliki dua bentuk, yaitu bentuk cenderung bulat dan tidak beraturan. Bentuk cenderung bulat lebih banyak ditemukan pada pohon palem (Chamaedorea sp.), angsana (Pterocarpus indicus), glodok tiang (Polyathia longifolia), jati (Tectona grandis) dan kersen (Muntingia calabora) karena pohon-pohon tersebut memiliki kulit pohon yang licin dan rata, sehingga talus lumut kerak yang ditemukan cenderung utuh, lebih tebal, tidak berkoloni dan permukaan talus kasar. Bentuk tidak
beraturan lebih banyak ditemukan pada pohon angsana (Pterocarpus indicus), glodok tiang (Polyathia longifolia) dan kersen (Muntingia calabora) karena pohon-pohon tersebut memiliki kulit pohon yang pecah-pecah, sehingga lumut kerak yang ditemukan cenderung pecah-pecah, tipis, tidak berkoloni dan permukaan talus kasar. Warna talus lumut kerak cukup beragam, yaitu hijau tua, hijau keabu-abuan/kusam, putih dan putih keabu-abuan (tabel 2).
Tabel 2. Warna Talus Lumut Kerak Warna Talus
Lokasi Pengamatan
Tipe Morfologi Talus Foliose Crustose -
A B A Hijau Keabuan/Kusam B A Putih B A Putih Keabuan B Keterangan : = Ditemui, A = pabrik gula Mojopanggung, B = bendungan Wonorejo Hijau Tua
Lumut kerak yang ditemukan di pabrik gula Mojopanggung memiliki warna yang cukup beragam, yaitu hijau keabuan/kusam, putih, dan putih keabuan. Warna talus hijau keabuan/kusam pada tipe foliose memiliki pinggiran berwarna putih dan tidak berkoloni, sedangkan pada tipe crustose memiliki pinggiran berwarna putih dengan bagian tengah berwarna hijau pucat dan berkoloni. Warna talus putih pada tipe foliose memiliki pinggiran dan tengah berwarna putih terang, sedangkan pada tipe crustose memiliki pinggiran berwarna putih terang dengan bagian tengah tidak terdapat talus. Bagian pinggir dan tengah talus berwarna putih gelap, baik pada lumut kerak tipe foliose dan crustose, namun pada tipe foliose warna talus lebih tebal daripada tipe crustose.
Lumut kerak yang ditemukan di waduk Wonorejo memiliki warna yang beragam, yaitu hijau tua, hijau keabuan/kusam, putih, dan putih keabuan. Warna talus hijau tua pada tipe foliose memiliki pinggiran berwarna hijau pucat dan berkoloni, sedangkan pada tipe crustose memiliki pinggiran berwarna hijau pucat dengan bagian tengah berwarna hijau tua dan berkoloni. Warna talus hijau keabuan/kusam pada tipe foliose memiliki pinggiran berwarna putih dan berkoloni, sedangkan pada tipe crustose memiliki pinggiran berwarna putih dengan bagian tengah berwarna hijau pucat dan berkoloni. Warna talus putih pada tipe foliose memiliki pinggiran putih terang dan bagian tengah berwarna hijau kusam, sedangkan pada tipe crustose memiliki pinggiran dan bagian tengah berwarna putih terang. Warna talus
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 961
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
putih keabuan pada tipe foliose memiliki pinggiran putih kusam dan bagian tengah berwarna abu-abu kusam, sedangkan pada tipe crustose memiliki pinggiran dan bagian tengah berwarna putih kusam. Warna talus lumut kerak lebih beragam di waduk Wonorejo daripada di pabrik gula Mojopanggung karena waduk Wonorejo memiliki suhu udara yang rendah yaitu 26,5°C dan tingkat kelembaban udara yang cukup tinggi yaitu 61,75% sehingga suasana di
waduk Wonorejo cukup sejuk. Berbeda dengan kondisi di pabrik gula Mojopanggung yang memiliki suasana panas karena suhu udara yang tinggi sekitar 31°C dengan tingkat kelembaban udara yang rendah sekitar 59,75%. Ciri mikroskopis lumut kerak yang ditemukan di kedua lokasi penelitian diamati dengan cara membuat preparat segar yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x (gambar 2). 1 2 3 4 5
a
b
Gambar 2. Penampang melintang lumut kerak tipe crustose (a) dan foliose (b) dengan perbesaran 100x, 1) lapisan korteks bagian atas, 2) lapisan alga, 3) lapisan medula, 4) lapisan korteks bagian bawah dan 5) substrat. Berdasarkan gambar di atas tampak adanya perbedaan pada jaringan yang menyusun talus lumut kerak antara tipe crustose dengan foliose. Pengamatan keragaman lumut kerak berdasarkan ciri makroskopis dilihat dari morfologi talus yang meliputi bentuk dan warna, karena kedua ciri tersebut yang paling mudah untuk diamati dan dibedakan (Januardania, 1995), sehingga memudahkan talus lumut kerak untuk dianalisis secara deskriptif. Lumut kerak tipe crustose memiliki lapisan yang tipis atau sangat tipis dan hampir menutupi permukaan substrat. Talus sangat halus dan tumbuh berkesinambungan atau tampak retak tidak beraturan. Berbeda dengan tipe foliose yang berbentuk seperti daun dan memiliki lapisan yang lebih tebal.
962 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Bentuk kedua tipe lumut kerak dipengaruhi oleh bentuk permukaan kulit pohon yang menjadi substrat. Menurut Pratiwi (2006) bentuk talus lumut kerak dipengaruhi oleh faktor subsrat yaitu umur dan jenis tanaman. Pertumbuhan talus lumut kerak yang utuh dengan batas antar koloni terlihat jelas terdapat pada kulit pohon yang tidak pecahpecah. Secara umum, perkembangan talus lumut kerak akan cenderung membulat. Pekembangan bentuk talus lumut kerak cenderung akan mengikuti pola pecahan pada permukaan kulit pohon yang pecah-pecah. Fink (1961), menyatakan bahwa bentuk talus khususnya untuk tipe crustose ditemukan dalam bentuk yang tidak tetap, serta beberapa jenis lumut kerak lainnya memiliki bentuk talus yang cenderung berbentuk menyerupai
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA danPembelajarannya
lingkaran tetapi juga dapat ditemukan pada keadaan tidak beraturan. Warna talus lumut kerak yang ditemukan di lokasi penelitian mengalami perubahan warna yang tidak konsisten. Lumut kerak di daerah yang tercemar, pertumbuhannya akan kurang baik yang ditandai dengan warna menjadi pucat atau berubah (Noer, 2004). Menurut Istam (2007), penampakan warna talus dari suatu jenis lumut kerak tidak selalu memperlihatkan warna yang tetap, hal ini tergantung pada kondisi tempat tumbuh talus lumut kerak. Hal ini diakibatkan oleh adanya aktivitas industri dan lalu lintas kendaraan bermotor yang melewati lokasi penelitian. Selain itu menurut Wijaya (2004), perubahan warna juga dapat terjadi karena adanya perubahan kadar klorofil pada talus lumut kerak akibat terkontaminasi gas-gas yang bersifat racun atau pencemar. Pengamatan mikroskopik ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui lapisan-lapisan yang menyusun talus lumut kerak (Pratiwi, 2006). Lumut kerak tipe crustose memiliki tiga lapisan, yaitu lapisan korteks bagian atas, lapisan alga dan lapisan medula, yang batas antar lapisannya tidak terlalu jelas. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ahmadjian & Hale (1973) bahwa pada umumnya tipe talus crustose hanya terbagi ke dalam lapisan korteks atas, lapisan alga, dan medula. Lumut kerak tipe crustose tidak pernah memiliki lapisan korteks bawah sehingga pelekatan dengan substratnya langsung menggunakan medula, memiliki sifat homoiomerous artinya tidak memiliki stratifikasi pada lapisan-lapisan tersebut, miselium menyebar di atas substrat berupa filamen tipis kusut yang menyelubungi alga. Lumut kerak tipe foliose memiliki empat lapisan, yaitu lapisan korteks bagian atas, lapisan alga, lapisan medula dan lapisan korteks bawah. Tipe talus foliose secara makroskopis memiliki bentuk seperti lembaran daun, sedangkan secara mikroskopis tipe talus ini memiliki batasan antar lapisan
yang tidak terlalu terlihat jelas. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Fink (1961), yang menyatakan bahwa lapisan dermis pada kebanyakan tipe talus foliose tidak dapat dibedakan dengan lapisan atasnya. Pengamatan mikroskopis lumut kerak tipe crustose sulit dilakukan karena talusnya sangat tipis dan melekat pada substrat, sedangkan pada tipe foliose sulit dilakukan karena talusnya tipis, bertumpuk-tumpuk dan mudah terpisah dengan substrat saat pengirisan sampel. Namun, pada kedua preparat dapat terlihat adanya alga yang bersimbiosis meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis alga tersebut. Simpulan Talus lumut kerak yang ditemukan di kedua lokasi yaitu di pabrik gula Mojopanggung dan bendungan Wonorejo Kabupaten Tulungagung memiliki perbedaan dari segi tipe morfologi, keadaan talus dan jaringan penyusun talus. Berdasarkan tipe morfologi lumut kerak yang ditemukan yaitu tipe talus foliose dan tipe talus crustose dengan bentuk dan warna yang berbeda. Daftar Rujukan Ahmadjian, V. & Hale, M.E. 1973. The Lichens. Academic Press, A Subsidiary of Harcourt Brace Javanovich. New York. Fink, B. 1961. The Lichen Flora of United States. Ann Arbor: The University of Michigan Pr. Hardani, Y. 2010. Keanekaragaman Lichen di Denpasar sebagai Bioindikator Pencemar Udara. Seminar Nasional Biologi 2010. Istam, Y.C. 2007. Respon lumut Kerak Pada Vegetasi Pohon Sebagai Indikator Pencemaran Udara di Kebun Raya Bogor Dan Hutan Kota Mangalawana Bhakti. Bogor: IPB. Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada Tegakan Pinus
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 963
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Noer, IS. 2004. Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran Udara. Bandung: Forum Komunikasi Lingkungan III, Kamojang. Pratiwi, M.E. 2006. Kajian Lumut Kerak Sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sudrajat, W., T. R. Setyawati dan Mukarlina. 2013. Keanekaragaman Lichen
964 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
scorticolous pada 3 jalur hijau di Kabupaten Kubu Raya. Protobiont 2 (2): 75-79 Tjitrosoepomo G. 2010. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Thallophyta, Bryophyta, Pteridopyta. Jakarta: Bhantara Karya Aksara. Wijaya, L.F. 2004. Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam Mempergunakan Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul Buruz Bandung. Skripsi. Bandung: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjajaran.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA dan Pembelajarannya
Pengaruh Pemberian Suplemen Kalsium Terhadap Penampilan Reproduksi Dan Perkembangan Rangka Mencit (Mus Musculus) Balb C Amy Tenzer dan Nursasi Handayani Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang, e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjajagi pengaruh pemberian suplemen CaCO3 terhadap penampilan reproduksi dan perkembangan rangka fetus mencit. CaCO3 yang dilarutkan dalam akuades diberikan pada mencit secara oral dengan alat gavage selama hari kebuntingan ke 6-15, dengan dosis 0 (kontrol), 195; 390; dan 585 mg/ kg berat badan/ hari.Mencit dibedah pada hari kebuntingan ke 18, dan dilakukan pengamatan terhadap jumlah fetus hidup, fetus mati, fetus resorpsi, berat fetus, dan panjang fetus, dan kelainan morfologi fetus. Di samping itu dilakukan pengukuran panjang tulangtulang panjang penyusun anggota gerak depan dan belakang dari fetus yang telah diwarnai dengan Alizarin Red S.Hasil pengamatan menunjukkan tidak ada hubungan dose-response antara besarnya dosis yang diberikan dengan penampilan reproduksi mencit dalam hal jumlah fetus hidup, fetus mati, fetus resorpsi, berat fetus, dan panjang fetus, serta perkembangan rangka fetus yang meliputi panjang tulang humerus, radius dan ulna pada anggota gerak depan; dan femur, tibia dan fibula pada angota gerak belakang.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian sulemen kalsium sampai dengan dosis 585 mg/kg berat badan selama masa organogenesis tidak berpengaruh terhadap penampilan reproduksi dan perkembangan rangka fetus mencit. Kata kunci: suplemen kalsium, penampilan reproduksi, perkembangan rangka, fetus mencit. Pendahuluan Kalsium merupakan mineral makro untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan gigi serta dalam pengaturan proses-proses biologis. Kalsium berperan sangat penting dalam mineralisasi tulang, pembekuan darah, aktivasi komplemen dan transmisi neuromuskuler. Tubuh tidak memproduksi kalsium, sehingga kalsium harus didapatkan dari luar tubuh, seperti misalnya dari makanan yang dikonsumsi. Makanan yang mengandung sumber kalsium antara lain produk dari susu dan olahannya seperti keju, yoghurt; sayuran yang berwarna hijau gelap, seperti: brokoli, bayam; ikan dengan tulang yang bisa dimakan, seperti ikan sarden dan ikan salmon dalam kaleng; makanan dan minuman yang
telah difortifikasi dengan kalsium, seperti: susu, produk dari kedelai, sereal dan jus buah dalam kemasan. Kebutuhan tubuh manusia untuk dapat tetap menjaga viabilitasnya dapat diperoleh dari pasokan gizi seimbang dari makanan sehari-hari. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan gizi yang diperoleh dari makanan tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh seseorang. Misalnya wanita yang telah mengalami menopausedimana absorbsi kalsium menurun secara bertahap, membutuhkan 1200-1500 mg kalsium setiap hari (Olson et al., 1994). Kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh makanan harian yang dikonsumsi, sehingga wanita pascamenopause memerlukan suplemen
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 965
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
kalsium untuk mengurangi laju hilangnya tulang dengan menurunkan laju pengubahan tulang secara keseluruhan, baik resorpsi maupun pembentukannya. Pemberian suplemen kalsium 1000 mg per hari terbukti secara signifikan menghambat kehilangan tulang pada angka aksial dan apendikular wanita pascamenopause (Reid et al.1993). Demikian juga dengan wanita hamil, kebutuhan zat gizinya akan bertambah, karena segala kebutuhan yang diperlukan untuk perkembangan janin yang dikandungnya berasal dari ibu. Banyak wanita hamil yang mengkonsumsi suplemen kalsium untuk memenuhi kebutuhan pembentukan tulang janin yang dikandungnya. Pengkonsumsian suplemen kalsium dan juga makanan yang telah difortifikasi dengan kalsium, dapat menyebabkan tubuh menyerap lebih banyak kalsium dari yang dibutuhkan tanpa disadari. Oleh karena itu, perlu selalu diperiksa label yang tertera pada kemasan makanan dan suplemen untuk mengetahui berapa banyak kalsium yang diasup setiap hari, sehingga sesuai dengan jumlah yang direkomendasikan tanpa melewati batas maksimalnya. Kalsium yang berasal dari makanan secara umum, aman untuk dikonsumsi. Tetapi bukan berarti dengan mengkonsumsi lebih banyak kalsium akan memberikan manfaat yang lebih juga terhadap kesehatan tulang. Bahkan, bila asupan kalsium baik yang berasal dari makanan atau yang berasal dari suplemen kalsium melebihi batas maksimal asupannya, akan dapat meningkatkan resiko dari berbagai masalah kesehatan, seperti batu ginjal, kanker prostat, konstipasi, penumpukan kalsium di pembuluh darah, gangguan penyerapan zat besi dan zinc (Mayus, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh pemberian suplemen kalsium pada hewan coba maupun manusia. Pemberian suplemen kalsium 1000 mg per hari terbukti secara signifikan menghambat kehilangan tulang pada rangka aksial dan apendikular
966 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
wanita postmenopause (Reid et al.1993). Firmansyah (2005) melaporkan bahwa pemberian suplemen kalsium karbonat dosis tinggi (450 mg per hari) mempengaruhi proses perbaikan gambaran histopatologik tulang femur pada tikus putih yang diovariohisterektomi. Pemberian suplemen kalsium karbonat mulai dosis 100 mg/ekor/hari menyebabkan terjadinya hemorragi dan perubahan histopatologi ginjal tikus putih yang berupa degenerasi tubuler, nekrosis tubuler, dan glomerulonefritis (Mufidah, 2006). Selanjutnya hasil penelitian Yuniarti dkk (2008) menunjukkan bahwa asupan kalsium yang tinggi tanpa disertai dengan peningkatan asupan fosfor akan menyebabkan ketidakseimbangan rasio kalsium-fosfor dalam darah. Absorpsi kalsium yang berlebihan akan diekskresikan melalui urin, sehingga terjadi hiperkalsiuria. Sebagai akibatnya kadar kalsium dalam ginjal menurun yang dapat memicu tubulus kontortus proksimal mereabsorpsi fosfat. Hal ini menyebabkan retensi fosfat dalam ginjal, yang bila berlangsung lama akan menyebabkan terganggunya fungsi ginjal. Jumlah elemen kalsium yang terkandung dalam suplemen kalsium merupakan hal yang penting karena merupakan jumlah kalsium yang sesungguhnya, dan yang akan diserap oleh tubuh untuk pertumbuhan tulang dan manfaat kesehatan lainnya. Label yang tertera dalam kemasan dapat membantu kita mengetahui berapa banyak kalsium yang terkandung dalam setiap 1 x konsumsinya. Sebagai contoh, kalsium karbonat mengandung 40% elemen kalsium, sehingga dari 1250 mg kalsium karbonat yang dikonsumsi, akan diperoleh 500 mg elemen kalsium (40/100 x 1250 mg = 500 mg). Telah banyak penelitian mengenai efek pemberian suplemen kalsium terhadap penggunanya, namun belum banyak yang mengungkap efek kelebihan kalsium terhadap fetus yang berkembang dalam kandungan. Taylor (1986) menyatakan bahwa untuk
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA dan Pembelajarannya
mengevaluasi batas aman penggunaan zat kimia oleh wanita hamil sangat diperlukan adanya keteratogenikan. Pada uji tersebut dilakukan pengamatan terhadap penampilan reproduksi, kelainan morfologi dan skeleton, serta histopatologi. Penampilan reproduksi meliputi jumlah fetus hidup,jumlah embrio yang diresorpsi, jumlah fetus mati, berat badan, dan panjang fetus. Kelainan morfologi meliputi cacat morfologi pada tubuh fetus, sedangkan kelainan rangka meliputi kelainan struktur dan jumlah tulang, serta keterlambatan ossifikasi yang dapat diketahui dari pengukuran panjang tulang.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dengan perlakuan berupa empat taraf dosis CaCO3, masing-masing perlakuan diulang dua kali. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis CaCO3 yang diperlakukan pada mencit, yaitu 0 (kontrol); 195; 390; dan 585 mg/ kg berat badan/ hari. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah fetus hidup, fetus mati, fetus resorpsi, berat fetus, panjang fetus, persentase kelainan morfologi fetus, dan perkembangan rangka fetus yang meliputi panjang tulang humerus, radius dan ulna pada anggota gerak depan; dan femur, tibia dan fibula pada angota gerak belakang. Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalsium karbonat (CaCO3), dengan bahan pelarut akuades. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor mencit ( Mus musculus) galur Balb C dara berumur 8-10 minggu dengan berat badan 20-25 gram. Suplemen kasium yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kalsium karbonat (CaCO3) yang mengandung 40% kalsium. Penentuan dosis kalsium perlakuan berdasarkan atas besarnya dosis suplemen kalsium yang digunakan
manusia. Dalam 1 tablet suplemen kalsium mengandung 1500 mg CaCO3, berarti mengandung 600 mg kalsium. Kebutuhan kalsium wanita hamil adalah 1000 mg per hari (Mayus, 2013), dan dosis kalsium harian manusia tidak boleh melebihi 2500 mg. Kisaran dosis kalsium yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosis 600-2500 mg/orang/hari, atau untuk CaCO3 sebesar 1500-6250 mg. Dosis tersebut dikonversikan pada mencit menurut cara Laurence dan Bacharach, sehingga diperoleh dosis perlakuan 0 (kontrol); 195; 390; dan 585 mg/ kg berat badan/ hari. Mencit betina yang berada dalam tahap estrus (diketahui dari pemeriksaan lavage vagina) dikawinkan. Adanya sumbat vagina pada keesokan harinya dianggap hari kebuntingan ke-0. Mencit bunting dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan dosis perlakuan suplemen kalsium yaitu kelompok I (kontrol: 0 mg/kg bb), kelompok II (195 mg/kg bb), kelompok III (390 mg/kg bb), dan kelompok IV (585 mg/kg bb). Selama penelitian hewan uji diberi pakan berupa pellet susu A dan minum berupa air PAM secara ad libitum. Pada hari kebuntingan ke 6-15 (masa organogenesis) mencit perlakuan diberi CaCO3 secara oral dengan alat gavage sebanyak 0,5 ml/20 g berat badan. Mencit kontrol diberi akuades dengan cara yang sama. Pada hari kebuntingan ke-18 mencit dimatikan dengan cara dibius dengan eter, kemudian dibedah untuk mengeluarkan fetus dari uterus. Data yang diambil meliputi jumlah fetus hidup dari uterus kanan dan kiri, jumlah fetus mati dan jumlah fetus yang diresorpsi serta berat fetus. Diamati pula morfologi fetus meliputi kelengkapan dan kelainan yang
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 967
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
tampak pada tungkai depan dan belakang, ekor, mata, bibir, langit-langit mulut, dan perdarahan bawah kulit. Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan rangka fetus dengan Alizarin Red S untuk mengamati perkembangan rangka mencit. Pengamatan perkembangan rangka meliputi: pengukuran panjang tulang humerus, radius dan ulna pada anggota gerak depan; dan panjang tulang femur, tibia dan fibula pada anggota gerak belakang. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk memprediksi ada tidaknya
pengaruh suplemen kalsium terhadap penampilan reproduksi dan perkembangan rangka fetus mencit. Hasildan Pembahasan Data penampilan reproduksi mencit yang diperlakukan dengan suplemen kalsium meliputi jumlah fetus hidup, fetus mati, fetus resorpsi, berat fetus, panjang fetus dapat dilihat pada Tabel 1, Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3.
Tabel 1: Penampilan Reproduksi Mencit yang Diperlakukan dengan Suplemen Kalsium Selama Masa Organogenesis. Rerata Jumlah Fetus Rerata Rerata Dosis CaCO3 Jumlah Berat Panjang Fetus (cm) (mg/kg b.b) Induk Hidup Mati Resorpsi Fetus (g) 0 (Kontrol)
2
8
-
-
1,09±0,18
2,08±0,17
195
2
9
-
-
0,89±0,13
1,74±0,14
390
2
7
-
-
1,08±0,24
1,80±0,19
585
2
5,5
-
-
1,27±0,27
2,11±0,08
Dari Tabel 1 terlihat bahwa dari seluruh mencit perlakuan maupun kontrol tidak ditemukan fetus yang mati maupun yang diresorpsi. Rerata jumlah fetus hidup terendah terdapat pada induk yang diperlakukan dengan suplemen CaCO3 dengan dosis yang tertinggi, yaitu 585 mg/kg berat badan, tetapi tidak terlihat hubungan dose-response antara besarnya dosis dengan jumlah fetus hidup dari mencit perlakuan. Rerata berat fetus terendah terdapat pada induk yang diperlakukan dengan suplemen CaCO3 dengan dosis 195 mg/kg berat badan, tetapi tidak terlihat hubungan dose-response antara besarnya dosis dengan berat fetus dari mencit perlakuan.
968 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Rerata panjang fetus terendah terdapat pada induk yang diperlakukan dengan suplemen CaCO3 dengan dosis 195 mg/kg berat badan, tetapi tidak terlihat hubungan dose-response antara besarnya dosis dengan panjang fetus dari mencit perlakuan. Hasil pengamatan morfologi fetus tidak menunjukkan adanya kelainan pada tungkai depan dan belakang, ekor, mata, bibir, langit-langit mulut, dan tidak ditemukan terjadinya perdarahan bawah kulit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suplemen kalsium yang diberikan pada induk mencit selama masa organogenesis tidak bersifat teratogenik.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA dan Pembelajarannya
Pengamatan rangka dilakukan pada fetus yang telah diproses pewarnaan rangka dengan Alizarin Red S. Data perkembangan rangka fetus mencit dari induk yang diperlakukan dengan suplemen
kalsium meliputi panjang tulang panjang penyusun kaki depan (humerus, radius dan ulna) dan tulang penyusun kaki belakang (femur, tibia dan fibula) dapat dilihat pada Tabel 2, Gambar 4, dan 5.
Tabel 2: Rerata Panjang Tulang Panjang Penyusun Kaki Fetus dari Mencit yang Diperlakukan dengan Suplemen Kalsium Selama Masa Organogenesis. Dosis Kaki Depan (mm) Kaki Belakang (mm) CaCO3 Humerus Radius Ulna Femur Tibia Fibula (mg/kg b.b) 0 (Kontrol)
2,53±0,15
2,62±0,18
2,25±0,05
2,39±0,24
2,80±0,14
2,67±0,19
195
2.08±0,14
2.25±0,13
1,96±0,17
2,10±0,15
2,41±0,12
2,17±0,14
390
2,32±0,19
2.56±0,07
2.06±0,17
2,32±0,17
2,73±0,23
2,40±0,10
585
2,82±0,210
2.93±0,17
2,45±0,09
2.54±0,14
2,96±0,15
2,77±0,18
Gambar 1. Perbandingan fetus (hasil proses pewarnaan rangka) dari Mencit yang Diperlakukan dengan Suplemen Kalsium Selama Masa Organogenesis. a. 0 (kontrol), b. 195 mg/kg b.b., c. 390 mg/kg b.b., d. 585 mg/kg b.b.
Gambar 2. Rangka Fetus Mencit Umur 18 Hari, Hasil Proses Pewarnaan Rangka dengan Alizarin Red S. 1. Humerus, 2. Radius, 3. Ulna, 4. Femur, 5. Fibula, 6. Tibia.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 969
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Hasil pewarnaan rangka fetus mencit dengan Alizarin Red S menunjukkan bahwa pada umur 18 hari rangka penyusun kaki depan dan kaki belakang fetus dari induk kontrol maupun perlakuan telah mengalami ossifikasi (terlihat berwarna merah). Data pengukuran tulang-tulang panjang penyusun kaki depan dan kaki belakang fetus seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 tidak memperlihatkan adanya hubungan dose-response antara besarnya dosis suplemen CaCO3 yang diberikan dengan panjang tulang-tulang panjang penyusun kaki depan dan kaki belakang fetus dari mencit perlakuan. Jumlah fetus hidup ditentukan oleh jumlah sel telur yang diovulasikan, jumlah implantasi yang terjadi di dalam uterus, dan kelangsungan hidup embrio yang berkembang di dalam uterus (Rugh, 1968). Adanya agensia pengganggu yang diberikan pada induk selama masa organogenesis dapat menyebabkan terganggunya perkembangan embrio di dalam uterus, yang akan berdampak pada terjadinya resorpsi embrio maupun kematian fetus. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya resorpsi embrio maupun kematian fetus dari induk mencit yang diberi suplemen CaCO3. Hal ini memberi petunjuk bahwa CaCO3 merupakan agensia yang tidak bersifat embriotoksik maupun fetotoksik. Rendahnya jumlah fetus hidup dari induk mencit yang diperlakukan dengan suplemen CaCO3 dosis 585 mg/kg berat badan dalam penelitian ini tampaknya bukan merupakan efek dari suplemen CaCO3 yang diberikan. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran berat dan panjang fetus, karena adanya penurunan berat dan panjang badan merupakan perwujudan
970 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
adanya abnormalitas pertumbuhan baik pada hewan percobaan maupun pada manusia. Di samping itu, penurunan berat badan dan panjang fetus merupakan bentuk paling ringan efek agensia teratogenik dan merupakan parameter yang sensitif (Wilson, 1973). Penurunan berat badan dan panjang fetus terjadi pada induk perlakuan suplemen CaCO3 dengan dosis 195 mg/kg berat badan. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai efek CaCO3 yang diberikan, karena berat badan dan panjang fetus dari induk perlakuan dosis tertinggi dalam penelitian ini (585 mg/kg berat badan) justru melebihi kelompok kontrol. Wujud gangguan perkembangan embrio dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kematuan, kecacatan, hambatan pertumbuhan, dan gangguan fungsi (Hutahean, 2001). Jika suatu agensia toksik menimpa embrio pada masa organogenesis, yaitu ketika pembentukan organ-organ sedang giat berlangsung, maka perkembangan organ dapat terganggu dan mungkin terwujud menjadi kecacatan yang dapat teramati pada waktu lahir. Kalsium karbonat yang diberikan pada mencit bunting secara oral dikonversi menjadi kalsium klorida oleh asam lambung. Sebagian kalsium diabsorpsi di usus halus dan sisanya yang tidak diabsorpsi, dieliminasi bersama feses. Kalsium dapat menembus plasenta dan didistribusikan kepada fetus untuk keperluan perkembangan tulangnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelebihan asupan kalsium pada induk mencit tampaknya tidak mempengaruhi perkembangan tulang-tulang panjang penyusun kaki depan maupun kaki belakang fetusnya.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA dan Pembelajarannya
Dosis CaCO3 yang digunakan dalam penelitian ini masih dalam kisaran dosis normal yang diperbolehkan untuk manusia. Dosis tertinggi dalam penelitian ini (585 mg/kg berat badan/hari) identik dengan 4500 mg/orang/hari untuk manusia, masih lebih rendah dari ambang batas atas dosis manusia (6250 mg/orang/hari). Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium (dalam hal ini CaCO3) pada mencit bunting yang masih dalam kisaran dosis normal, ternyata tidak berpengaruh terhadap penampilan reproduksi dan perkembangan rangka, serta tidak menimbulkan kecacatan morfologi pada fetus. Simpulan Kesimpulan penelitian ini ialah bahwa pemberian suplemen kalsium (CaCO3) sampai dengan dosis 585 mg/kg berat badan/ hari pada mencit selama masa organogenesis tidak berpengaruh terhadap penampilan reproduksi mencit dalam hal jumlah fetus hidup, fetus mati, fetus resorpsi, berat fetus, dan panjang fetus, juga tidak berpengaruh terhadap perkembangan rangka fetus yang meliputi panjang tulang humerus, radius dan ulna pada anggota gerak depan; dan femur, tibia dan fibula pada angota gerak belakang. Daftar Rujukan Dettlaff, T.A. dan Vassetzky, S.G. 1991. Animal Species for Developmental Study. New York: A Division of Plenum Firmansyah, I. 2005. Gambaran Histopatologik Tulang Femur Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pasca Ovariohisterektomi dengan Suplemen
Kalsium Karbonat Dosis Tinggi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Hutahean, S. 2002. Prinsip-prinsip Uji Toksikologi Perkembangan. Medan: Digital Library Universitas Sumatra Utara. Lugito, M. 1995. Evaluasi Proses Kondrifikasi Dan Osifikasi Kaitannya Dengan Umur Kehamilan Pada Mencit (Mus Musculus) Galur A/J. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Mayus, S. 2013. Kebutuhan Kalsium Wanita Hamil. http://jaringnews.com/hidupsehat/umum/32411/jumlahkebutuhan-kalsium-ibu-hamilsebesar-mg-hari. Diakses 15 September 2013. Mufidah, A.V. 2006. Pengaruh Pemberian Kalsium Karbonat pada Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Putih (Rattus vorvegicus). Skripsi Tidak Diterbitkan. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Olson, R.E., Broquist, H.P., Chichester, C.O., Darby, W.J., Kolbye, A.C., Stalvey, R.M. 1998. Mineral. Jakarta: Gramedia. Reid, I.R., Ames, R.W., Evans, M.C., Gamble, G.D., Sharpe, S.J., 1993. Effect of Calcium Supplementation on Bone Loss in Postmenopausal Woman. N Engl J Med 1993; 328:460-464. Rugh, R. 1968. The Mouse – Its Reproduction and Development. Mineapolis: Burgess. Smith, J.B. and Mangkoewidjojo, S. 1988. The Care, Breeding and Management
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 971
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
of Experimental Animals for Research in The Tropics. Canberra, IDP. Subowo. 1992. Histologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara. Surjono, T.W. 2001. Perkembangan Hewan.Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Wilson. J.G. 1973. Environment & Birth Defects. London: Academic Press Inc. Winarno, F.G. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Yuniarti, W.M., Yudaniayanti, I.S., Triakoso, N. 2008. Pengaruh pemberian Suplemen Kalsium Karbonat Dosis Tinggi pada Tikus Putih Ovariohisterektomi terhadap Mineralisasi Ginjal. J. Veteriner Vol 9 No 2: 73-78.
972 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA dan Pembelajarannya
PENGARUH JENIS DAN KOMPOSISI MIKROORGANISME DALAM BIOORGANIK FERTILISER TERHADAP KESUBURAN TANAMAN PADA LAHAN PASCA PENAMBANGAN EMAS DI KALIMANTAN TENGAH Liswara Neneng*), Yusintha Tanduh, Soleh Mochtar Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Palangka Raya e-mail:
[email protected]
Abstrak Lahan pasca penambangan emas di Kalimantan Tengah tidak subur akibat hilangnya lapisan top soil, minim unsur hara tanah, dan berpotensi tercemar merkuri. Perbaikan kondisi lahan membutuhkan upaya peningkatan kesuburan tanah dan eliminasi merkuri dari tanah. Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas bioorganik fertiliser yang diperkaya dengan mikrooganisme untuk bioremediasi merkuri, dalam mendukung pertumbuhan tanaman pada lahan pasca penambangan emas. Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimental pada salah satu lahan pasca penambangan emas di Kalimantan Tengah, yakni di daerah Hampalit, Kabupaten Katingan. Mikroorganisme yang digunakan sebagai bahan aktif untuk bioorganik fertiliser, terdiri dari kelompok bakteri EM4, kelompok bakteri IBT (Isolat Barito Timur), dan konsorsium Klebsiella sp. dan Pseudomonas sp (KP). Kelompok mikroorganisme ini diketahui berperan dalam kesuburan tanah maupun untuk proses bioremediasi. Parameter penelitian berupa pertumbuhan 4 jenis tanaman (karet, nenas, jambu mete, jarak) pada lahan pasca penambangan emas. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa komposisi mikroorganisme dalam bioorganik fertiliser berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tanaman. Kelompok mikroorganisme IBT berpengaruh signifikan dalam menunjang pertumbuhan jenis tanaman uji. Pada tanaman karet, perlakuan terbaik adalah M2 (IBT tanpa EM4), dan M3 (KP+EM4). Perlakuan terbaik pada tanaman jarak dan jambu mete adalah M4 (terdiri dari komposisi IBT+EM4), sedangkan perlakuan terbaik pada tanaman nenas adalah M2, yakni komposisi IBT tanpa EM4. Kata kunci: Mikroorganisme, Bioorganik Fertiliser, Lahan Pasca Penambangan Emas Pendahuluan Lahan pasca penambangan emas di Kalimantan Tengah, didominasi pasir sekitar 97%, pH tanah kurang dari 6, kandungan bahan organik tanah kurang dari 2%, secara umum minim unsur hara tanah dan masih terpolusi oleh senyawa merkuri (Hg). Hingga saat ini, lahan pasca penambangan emas banyak yang masih menjadi lahan tidur, walaupun sudah ditinggalkan selama hampir sepuluh tahun. Hasil penelitian Neneng, dkk. (2012) memperlihatkan bahwa lahan pasca penambangan emas miskin komponen biotik tanah, dan hanya ditemukan 8 species
tumbuhan yang dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik di dalamnya. Tumbuhan budidaya sangat sulit dikembangbiakkan pada lahan seperti ini. Perbaikan kondisi lahan membutuhkan upaya peningkatan kesuburan tanah dan eliminasi merkuri dari tanah. Hasil penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa eliminasi merkuri dari lingkungan dapat dilakukan dengan bantuan kelompok bakteri Klebsiella sp. dan Pseudomonas sp. (Neneng, 2007). er Pendidikan Sains UNS, dkk. (2012-2013), menemukan adanya satu kelompok isolat bakteri IBT (Isolat Barito Timur), yang
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 973
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
memiliki resistensi tinggi terhadap merkuri, dan sekaligus berpotensi sebagai penyubur tanah. Kedua kelompok isolat di atas diujicoba dalam penelitian ini, dan dikombinasikan dengan kelompok mikroorganisme yang sudah dikenal luas di pasaran sebagai mikroorganisme penyubur tanah, yakni EM4. EM4 terdiri dari 95% lactobacillus yang berfungsi menguraikan bahan organik tanpa menimbulkan panas tinggi karena mikroorganisme anaerob bekerja dengan kekuatan enzim. Kandungan mikroorganisme utama dalam EM-4 yaitu: bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas spp.), bakteri asam laktat (Lactobacillus spp.), ragi / yeast (Saccharomyces spp), actinomycetes dan jamur fermentasi (Aspergillus dan Penicilium). Tanaman budidaya yang diujicoba dalam penelitian ini adalah jenis karet, nenas, jarak, dan jambu mete. Pemilihan jenis tanaman ini didasarkan pada nilai ekonomis tanaman, dan karakter tanaman yang diharapkan dapat bertahan pada kondisi lahan tambang yang panas. Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas bioorganik fertiliser yang diperkaya dengan mikrooganisme untuk bioremediasi merkuri, dalam mendukung pertumbuhan tanaman pada lahan pasca penambangan emas. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2013 – Nopember 2013, pada salah satu lahan pasca penambangan emas di Kalimantan Tengah, yakni di daerah Hampalit, Kabupaten Katingan. Bahan-bahan yang digunakan: mikroorganisme yang digunakan sebagai bahan aktif untuk bioorganik fertiliser, terdiri dari kelompok bakteri EM4, kelompok
974 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
bakteri IBT (Isolat Barito Timur), dan konsorsium Klebsiella sp. dan Pseudomonas sp., limbah ternak sapi, bahan pengaya organik berupa arang dan serat sawit, serasah Colopogonium, dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS), tanaman nenas, karet, jarak, dan jambu mete. Alat-alat penelitian berupa alat-alat gelas, autoklaf, laminar air flow, penggaris, cangkul, dan gembor. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Perlakuan terdiri dari jenis dan komposisi mikroorganisme dalam bioorganik fertiliser, yang terdiri dari: M1 (KP: Klebsiella sp. dan Pseudomonas, sp.), M2 (IBT: Isolat Barito Timur), M3 (KP+EM4), M4 (IBT+EM4). Parameter penelitian berupa pertumbuhan tanaman nenas, karet, jarak, dan jambu mete, pada lahan pasca penambangan emas, yang diukur dari indikator: tinggi batang (cm), lingkar batang (cm), dan jumlah helaian/daun/ranting. Jumlah perlakuan 5 termasuk kontrol, dan 5 kali ulangan. Analisis data dilakukan secara kuantitatif menggunakan uji F, dan secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan Terhadap Tingkat Kesuburan Tanaman Hasil uji F memperlihatkan bahwa perlakuan M1, M2, M3, dan M4 berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan semua jenis tanaman uji, ditinjau dari parameter pertumbuhan berupa tinggi batang (TB), lingkar batang (LB), maupun jumlah daun/ranting (JD). Hasil uji lanjut menggunakan uji BNJ 5%, memperlihatkan hampir semua perlakuan berbeda signifikan dengan kontrol (Tabel 1).
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA dan Pembelajarannya
Tabel 1: Pengaruh Perlakuan Jenis dan Komposisi Mikroorganisme dalam Bioorganik Fertiliser terhadap Pertumbuhan 4 Jenis Tanaman
Keterangan: M1= Kelompok Mikroorganisme KP; M2= Kelompok Mikroorganisme IBT; M3= Kelompok Mikroorganisme KP+EM4; M4= Kelompok Mikroorganisme IBT+EM4; TB = Tinggi Batang; LB= Lingkar Batang; JD= Jumlah Daun; JR= Jumlah Ranting; JH= Jumlah Helaian (Rerata perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap lajur pertumbuhan tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada Uji BNJ 5%). Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Nenas Berdasarkan grafik pada Gambar 1 yang ditunjang dengan hasil Uji BNJ 5%, terlihat bahwa penambahan kelompok mikroorganisme M2 dalam biofertiliser
organik menghasilkan pertumbuhan nenas yang lebih baik, khususnya dari aspek tinggi batang. Pada parameter lingkar batang dan jumlah helaian, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Keterangan: M1= Kelompok Mikroorganisme KP; M2= Kelompok Mikroorganisme IBT; M3= Kelompok Mikroorganisme KP+EM4; M4= Kelompok Mikroorganisme IBT+EM4; TB = Tinggi Batang; LB= Lingkar Batang; JD= Jumlah Daun; JR= Jumlah Ranting; JH= Jumlah Helaian (Rerata perlakuan yang ditulis dengan huruf yang sama pada setiap variabel pengamatan pertumbuhan tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada Uji BNJ 5%). Gambar 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Nenas
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 975
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Komposisi Mikroorganisme M2 hanya terdiri dari kelompok bakteri IBT (Isolat Barito Timur). Isolat potensial ini diperoleh dari lahan penambangan barubara di daerah Barito Timur. Habitat asal kelompok mikroorganisme ini adalah perairan yang tercemar asam tambang, dengan pH air hingga mencapai kisaran 2 hingga 4. Kelompok mikroorganisme ini juga memperlihatkan kemampuan resistensi yang tinggi terhadap kadar merkuri di media cair. Potensi kelompok isolat ini untuk meningkatkan kesuburan tanah, terutama di lahan pasca penambangan emas, belum pernah diuji sebelumnya. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet Berdasarkan grafik pada Gambar 2 yang ditunjang dengan hasil Uji BNJ 5%,
terlihat bahwa pengaruh kelompok mikroorganisme M2 (terdiri dari kelompok mikroorganisme IBT) dengan M3 (terdiri dari kelompok mikroorganisme KP+EM4) dalam biofertiliser organik sama baiknya dalam menunjang pertumbuhan tanaman karet. Kedua kelompok mikroorganisme ini berpengaruh menyebabkan ranting untuk percabangan daun yang berbeda signifikan jumlahnya dibandingkan dengan kelompok mikroorganisme lainnya. Perlakuan IBT tanpa EM4 memberikan dampak pertumbuhan karet yang lebih baik dibandingkan dengan IBT+EM4. Pada kelompok isolat KP, perlakuan KP+EM4 lebih baik dalam mendukung pertumbuhan tanaman karet, dibandingkan dengan KP tanpa EM4 (Perlakuan M1).
Keterangan: M1= Kelompok Mikroorganisme KP; M2= Kelompok Mikroorganisme IBT; M3= Kelompok Mikroorganisme KP+EM4; M4= Kelompok Mikroorganisme IBT+EM4; TB = Tinggi Batang; LB= Lingkar Batang; JD= Jumlah Daun; JR= Jumlah Ranting; JH= Jumlah Helaian (Rerata perlakuan yang ditulis dengan huruf yang sama pada setiap variabel pengamatan pertumbuhan tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada Uji BNJ 5%). Gambar 2. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Jarak Berdasarkan grafik pada Gambar 3, dan ditunjang dengan hasil Uji BNJ 5%, terlihat bahwa perlakuan M4 yang terdiri dari kelompok mikroorganisme IBT+EM4, berbeda signifikan pengaruhnya dalam
976 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
menunjang pertumbuhan tanaman jarak. Hal sebaliknya yang terjadi, jika kelompok mikroorganisme berupa IBT saja tanpa EM4 (Perlakuan M2) yang diberikan pada bioorganik fertiliser, maka hasilnya tidak berbeda signifikan dengan kontrol.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA dan Pembelajarannya
Keterangan: M1= Kelompok Mikroorganisme KP; M2= Kelompok Mikroorganisme IBT; M3= Kelompok Mikroorganisme KP+EM4; M4= Kelompok Mikroorganisme IBT+EM4; TB = Tinggi Batang; LB= Lingkar Batang; JD= Jumlah Daun; JR= Jumlah Ranting; JH= Jumlah Helaian (Rerata perlakuan yang ditulis dengan huruf yang sama pada setiap variabel pengamatan pertumbuhan tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada Uji BNJ 5%). Gambar 3. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Jarak Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Jambu Mete Sebagaimana halnya pada pertumbuhan tanaman jarak, perlakuan terbaik yang menunjang pertumbuhan tanaman jambu mete, juga perlakuan M4. Semua parameter
pertumbuhan, baik tinggi batang, lingkar batang, maupun jumlah daun pada jambu mete, berbeda signifikan akibat perlakuan M4 dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 4).
Keterangan: M1= Kelompok Mikroorganisme KP; M2= Kelompok Mikroorganisme IBT; M3= Kelompok Mikroorganisme KP+EM4; M4= Kelompok Mikroorganisme IBT+EM4; TB = Tinggi Batang; LB= Lingkar Batang; JD= Jumlah Daun; JR= Jumlah Ranting; JH= Jumlah Helaian (Rerata perlakuan yang ditulis dengan huruf yang sama pada setiap variabel pengamatan pertumbuhan tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada Uji BNJ 5%). Gambar 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Tanaman Jambu Mete Upaya perbaikan lahan kritis pasca tambang emas di Kalimantan Tengah sangat
dibutuhkan karena lahan pasca tambang emas masih menyimpan potensi untuk menjadi
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 977
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
sumber pencemaran logam berat berbahaya (Hg). Reklamasi secara alami tidak dapat terjadi secara mudah, karena tingkat kerusakan akibat kegiatan penambangan emas, menyebabkan hilang dan berkurangnya lapisan topsoil tanah. Lahan tidak produktif yang terbentuk pasca penambangan emas, sangat merugikan bagi lingkungan dan masyarakat setempat. Jika perbaikan kondisi lahan pasca tambang emas berhasil dilakukan, maka akan ada ribuan hektar lahan di Kalimantan Tengah yang dapat dipulihkan menjadi lahan yang lebih produktif. Berdasarkan hasil penelitian pada 6 lokasi pasca penambangan emas yang terdapat pada 3 kabupaten di Kalimantan Tengah, diketahui bahwa lahan tersebut memiliki karakteristik yang kurang lebih sama. Lahan didominasi pasir sekitar 97%, pH tanah kurang dari 6, kandungan bahan organik tanah kurang dari 2%, secara umum minim unsur hara tanah dan masih terpolusi oleh senyawa merkuri (Hg) (Neneng, dkk., 2012). Kondisi ini yang menyebabkan penanaman jenis tanaman budidaya di areal lahan pasca penambangan emas, tidak mampu tumbuh dengan baik. Perlakuan bioremediasi Hg, yang dipadukan dengan pengayaan unsur hara tanah menggunakan bahan bioorganik fertiliser, terbukti telah mampu menunjang pertumbuhan tanaman pada lahan kritis. Bioorganik fertiliser merupakan pupuk organik yang diperkaya dengan mikroorganisme (Khudori, 2006). Mikroorganisme meliputi bakteri, yeast, kapang, jamur, prokariota, protista dan alga uniseluler. Salah satu habitat mikroorganisme adalah akar tanaman (rhizosfer) (Madigan, et.al., 2012). Rhizosfer kaya akan eksudat yang dikeluarkan oleh tanaman melalui proses sekresi akar. Kandungan eksudat antara lain adalah karbohidrat, asam amino, asam organik, enzim dan senyawa-senyawa lain. Mikroorganisme memanfaatkan eksudat melalui proses dekomposisi. Dekomposisi eksudat oleh mikroorganisme menghasilkan
978 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
energi dan senyawa prekursor. Senyawa prekursor ini dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme dan tanaman. Oleh karena itu, keberadaan mikroorganisme menjadi salah satu parameter produktivitas tanah. Tanah yang berada dalam kondisi normal mengandung berbagai jenis mikroorganisme (Kartasapoetra, 1991). Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa kelompok mikroorganisme IBT memberikan pengaruh signifikan dalam menunjang pertumbuhan semua jenis tanaman uji. Pada tanaman karet, perlakuan terbaik adalah M2 (IBT tanpa EM4), dan M3 (KP+EM4). Perlakuan terbaik pada tanaman jarak dan jambu mete adalah M4 yang terdiri dari komposisi IBT+EM4, sedangkan perlakuan terbaik pada tanaman nenas adalah M2, yakni komposisi IBT saja tanpa EM4. Kelompok mikroorganisme jenis IBT (singkatan dari Isolat Barito Timur), merupakan sekelompok isolat bakteri yang diisolasi dari lahan pasca penambangan batu bara di daerah Barito Timur (Kalimantan Tengah). Habitat asal kelompok mikroorganisme ini adalah perairan yang tercemar asam tambang, dengan pH air hingga mencapai kisaran 2 hingga 4. Kelompok mikroorganisme ini juga memperlihatkan kemampuan resistensi yang tinggi terhadap kadar merkuri di media cair. Potensi kelompok isolat ini untuk meningkatkan kesuburan tanah, terutama di lahan pasca penambangan emas, belum pernah diuji sebelumnya. Hasil analisis kompos memperlihatkan bahwa komposisi biofertiliser yang mengandung mikroorganisme dari kelompok IBT, memiliki kandungan C organik, kalium, dan magnesium, yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi unsur hara yang sama pada jenis kompos lainnya (Neneng, dkk. 2013). Diduga kuat, kelompok mikroorganisme ini memiliki potensi untuk menghasilan enzim ekstraseluler yang mampu
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
untuk mendegradasi senyawa-senyawa yang dibutuhkan untuk kesuburan tanah. Menurut Phua, et.al. (2012), isolat mikroorganisme indigenus mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui proses fiksasi N, melarutkan posfat anorganik, atau menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan cara menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan tertentu. Kombinasi dari beberapa strain mikroorganisme, dapat menjadi biofertilizer multifungsi untuk pertanian yang berkelanjutan. Simpulan 1. Perlakuan jenis dan komposisi mikroorganisme berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tanaman pada lahan pasca penambangan emas di Kalimantan Tengah. 2. Kelompok mikroorganisme IBT memberikan pengaruh signifikan dalam menunjang pertumbuhan semua jenis tanaman uji. Pada tanaman karet, perlakuan terbaik adalah M2 (IBT tanpa EM4), dan M3 (KP+EM4). Perlakuan terbaik pada tanaman jarak dan jambu mete adalah M4 yang terdiri dari komposisi IBT+EM4, sedangkan perlakuan terbaik pada tanaman nenas adalah M2, yakni komposisi IBT saja tanpa EM4.
Daftar Rujukan Choirina, Y., Sudadi, Dan Hery Widijanto. 2013. Pengaruh Pupuk Alami Bermikroba (Bio-Natural Fertilizer) Terhadap Serapan Fosfor Dan Pertumbuhan Kacang Tanah Pada Tanah Alfisol, Entisol, Dan Vertisol. Jurnal Sains Tanah- Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 10(2). Kartasapoetra, 1991. Inokulasi Mikroorganisme Rhizobium. Jakarta: Penebar Swadaya Khudori. 2006. Teknologi Pemupukan Hayati. Republika. Jakarta. Michael T. Madigan, John M. Marinko, David Stahl, David P. Clark (2012) Brock Biology Of Microorganisms (13th Edition). Boston: Benjamin Cummings Neneng, L., Yusintha Tanduh, Soleh Mochtar. 2012-2014. Aplikasi Metode Reklamasi Terpadu Untuk Aplikasi Tanaman Perkebunan Pada Lahan Pasca Penambangan Emas Di Kalimantan Tengah. Hibah Insinas Ristek. Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Jakarta. Phua, C. K. H., Abdul Wahid, A. N. and Abdul Rahim, K.(2012). Development of Multifunctional Biofertilizer Formulation from Indigenous Microorganisms and Evaluation of Their N2 -Fixing Capabilities on Chinese Cabbage Using 15N Tracer Technique Pertanika, J. Trop. Agric. Sci. 35(3):673-679.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 979
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Atenuasi Patogenitas Beberapa Spesies Eimeria Melalui Pasase Berseri Precocious Line Pada Naïve Chicken Muchammad Yunus Departemen Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Kampus “C“ Unair, Jl Mulyorejo Surabaya 60115 Phone: 031-5992785, 5993016, Fax: 031-5993015 Email:
[email protected]
Abstrak Pengembangan dan penggunaan live vaccine untuk koksidiosis ayam selama ini belum berhasil dengan baik dikarenakan pengembangan vaksin tersebut biasanya terbatas pada satu isolat (spesies) Eimeria saja. Kenyataan menunjukkan banyak kasus koksidiosis yang terjadi di beberapa farm ayam adalah infeksi campuran beberapa spesies Eimeria. Disamping itu, respon kekebalan yang terjadi akibat infeksi Eimeria bersifat spesies spesifik artinya vaksinasi dengan satu atau beberapa spesies Eimeria saja hanya dapat melindungi induk semang dari satu atau beberapa isolat tersebut. Penelitian ini bertujuan mengatenuasi patogenitas beberapa spesies Eimeria penyebab koksidiosis ayam sebagai kandidat polyvalent live vaccine melalui pasase berseri precocious line pada naive chicken. Patogenitas dalam penelitian ini direpresentasikan dalam lama periode prepaten, daya perkembangbiakan secara endogen dan produksi ookista. Tiga spesies Eimeria (E. tenella, E. acervulina dan E. maxima) yang diisolasi dari non commercial farm, atenuasi strain Eimeria dilakukan dengan metode serial pasase pada ayam sehat untuk seleksi pengembangan precocious lines Eimeria sp. Untuk masingmasing pasase, 12 ayam diinokulasi dengan ookista dengan dosis 5 x 103. Sampel feses diuji untuk produksi ookista dengan menggunakan metode saturated sugar flotation. Ookista pertama yang didapat dari infeksi digunakan untuk pasase berikutnya, dan proses tersebut dilakukan berulang sampai periode prepaten masing-masing spesies Eimeria menjadi lebih pendek. Hasil penelitian menunjukkan ketiga spesies Eimeria mengalami pemendekan periode prepaten, penurunan multiplikasi, perkembangan dan produksi ookista. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode pasase berseri precocious line Eimeria sp pada naive chicken dapat digunakan untuk menurunkan patogenitas spesies secara alamiah. Kata Kunci: Eimeria sp ayam, pasase berseri, patogenitas.
Pendahuluan Koksidiosis pada ayam adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa intraseluler. Parasit ini menginfeksi dan berkembang dalam sel epitel lapisan mukosa intestine atau sekum.
980 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Perkembangan parasit menyebabkan kerusakan epitel intestine, diare dan malabsorpsi nutrisi. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi peternak ayam, antara lain karena angka kematian yang cukup
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
tinggi, terhambatnya pertumbuhan, penurunan produksi telur dan efisiensi pakan serta tingginya biaya pengobatan dan upah tenaga kerja (Jangi et al, 2006). Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit ini menyebabkan kerugian lebih dari 2 milyar dolar Amerika di seluruh dunia per tahun (Williams, 2002). Peningkatan kasus koksidiosis di Indonesia antara 20-25% pada tahun 2006, dimana hampir setengahnya terjadi di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur (Wiryawan, 2006). Berdasarkan fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa koksidiosis adalah infeksi yang hampir selalu ditemukan peternakan ayam baik di farm komersial maupun breeder (Anonimus, 2005). Penularan penyakit mudah dan infeksi terjadi akibat tertelannya stadium ookista yang infektif yang mengkontaminasi pakan atau air minum ayam yang sehat yang dikeluarkan oleh ayam yang sakit. Sistem pemeliharaan yang kurang memperhatikan kebersihan merupakan predesposisi dan kondisi yang menyebabkan penyakit berjangkit. Fakta yang ada pada industri perunggasan, kontrol terhadap koksidiosis sebagian besar berhubungan dengan penggunaan secara rutin anti koksidiosis (koksidiostat). Hal ini dapat dibuktikan adanya active ingredient koksidiostat pada setiap produk pakan yang diproduksi oleh produsen pakan ternak. Disamping adanya resistensi parasit yang ditimbulkan akibat penggunaan koksidiostat yang terus menerus (Chapman and Shirley, 1989; Stephan et al., 1997), kekhawatiran adanya residu dalam produk-produk asal unggas (daging dan telur), juga menyebabkan strategi menejemen industri perunggasan menjadi lebih komplek dan mahal. Implikasi lain yang timbul dari
resistensi beberapa spesies Eimeria terhadap koksidiostat adalah lambatnya perkembangan dan penemuan obat baru serta registrasi yang mahal terutama insentif yang harus diberikan pada pabrik obat untuk investigasi obat baru (Shirley, 1992). Untuk mengatasi kondisi tersebut pilihan untuk melakukan pendekatan penggunaan vaksin dalam mengontrol penyakit yang lebih intensif dan terencana sangat diperlukan. Penggunaan vaksin untuk pengendalian koksidiosis lebih memberikan harapan dalam menghindari atau menurunkan ketergantungan terhadap penggunaan koksidiostat dan bahan kimia lain, disamping itu penggunaan vaksin lebih alami, aman, efektif dan efisien dalam meningkatkan resistensi dan menghambat perkembangan agen infeksi. Penggunaan beberapa macam vaksin dalam mengontrol koksidiosis (infeksi Eimeria) telah dikembangkan diantaranya dengan menggunakan organisme hidup stadium ookista yang virulen dari Eimeria yang dilemahkan (Jenkins et al., 1991; Shirley, 1989), derivative parasit non infektif (Rose, 1987), dan rekayasa genetik vaksin subunit (Bhogal et al., 1992; Danforth et al., 1989; Jenkins et al., 1991) semua telah digunakan untuk imunisasi. Pada kenyataannya, pengembangan dan penggunaan live vaccine stadium ookista untuk koksidiosis ayam selama ini kurang berhasil dengan baik dikarenakan pengembangan vaksin tersebut biasanya terbatas pada satu isolat (spesies) Eimeria saja. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak kasus koksidiosis yang terjadi di banyak farm ayam adalah infeksi campuran dari beberapa spesies Eimeria, sementara di farm yang lain oleh spesies Eimeria yang
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 981
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
lain, sehingga program pencegahan atau proteksi terhadap koksidiosis ayam tidak sesuai harapan, dengan kata lain program vaksinasi kurang berhasil dikarenakan agen atau isolat untuk proteksi terbatas pada satu spesies saja. Disamping itu, respon kekebalan yang terjadi akibat infeksi Eimeria bersifat spesies spesifik artinya vaksinasi dengan satu spesies Eimeria saja hanya dapat melindungi induk semang dari satu isolat tersebut, padahal macam spesies Eimeria yang sering menginfeksi ayam seperti E. tenella, E. maxima, E. acervulina. Kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan baik dari segi proteksi yang dihasilkan maupun secara ekonomi apabila program vaksinasi dilakukan beberapa kali yang akan memberikan stress yang lebih sering pada ayam dan mempengaruhi produksi, tidak efektif dalam tenaga, waktu dan biaya. Dari uraian dan informasi diatas, pengembangan live vaccine menggunakan low-virulence precocious lines tiga spesies Eimeria pada ayam dapat dijadikan alternatif untuk lebih efisien dan efektif dalam potensi dan biaya, karena akan memberikan proteksi yang lebih baik terhadap beberapa spesies Eimeria yang menginfeksi ayam dengan hanya satu kali vaksinasi, meningkatkan performan dan kualitas unggas dalam rangka mendukung keberlangsungan dan produktifitas industri perunggasan yang pada akhirnya mampu menjadi industri yang lebih efisien dan efektif sehingga dapat bersaing dalam persaingan global dan dapat membangun image industri dan produk yang baik. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Parasitologi Veteriner, Departemen Patologi Anatomi dan
982 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, mulai bulan Juni sampai Agustus 2014 dengan tahapan awal biosafety dan karantina yang meliputi rearing ayam bebas koksidia, housing ayam penelitian, prosedur laboratorium, disposal dan decontamination. Tahapan karakterisasi meliputi: pengamatan durasi periode prepaten, kemampuan perkembangbiakan parasit secara endogen (histologis), uji potensial reproduksi (produksi ookista), pada ayam yang dipasase berseri dengan precocious line dari ketiga spesies Eimeria (E. tenella, E. acervulina, E. maxima) sebagai kandidat coccidiosis polyvalent seed vaccine (attenuated oocyst). Beberapa tahapan tersebut dilakukan secara bersamaan dan simultan dalam satu periode penelitian. Pengamatan durasi periode prepaten dilakukan untuk mengetahui peluang atau lama parasit untuk berkembangbiak dalam tempat predileksi di usus ayam sehingga menghasilkan generasi baru (sexual generation) yang siap dipasasekan melalui feses. Uji kemampuan perkembangbiakan parasit secara endogen pada induk semang untuk menandai apakah parasit mengalami penurunan kemampuan berkembangbiak dan tidak menimbulkan kerusakan pada tempat predileksi dan perkembangbiakannya pada induk semang pada induk semang dengan melihat gambaran histologis usus. Uji potensial reproduksi digunakan untuk menandai apakah precocious line (attenuated live vaccine, low virulence) telah tereduksi kemampuan produksi ookistanya dibandingkan dengan strain yang belum teratenuasi (strain induk). dan tidak menimbulkan kerusakan pada tempat
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
predileksi dan perkembangbiakannya pada induk semang yang dipasase. Sebanyak seratus delapan belas ekor ayam pedaging umur 3 minggu dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan spesies Eimeria yang diatenuasi, dimana kelompok pertama, kedua dan ketiga masing-masing terdiri dari 36 ekor. Kelompok pertama adalah kelompok ayam yang dipasase berseri sebanyak tiga kali dengan precocious line E. tenella dosis 5 x 103. Kelompok kedua adalah kelompok ayam yang dipasase berseri sebanyak tiga kali dengan precocious line E. acervulina dengan dosis yang sama dengan kelompok pertama. Kelompok ketiga adalah kelompok ayam yang dipasase berseri sebanyak tiga kali dengan precocious line E. maxima dengan dosis yang sama dengan kelompok pertama dan kelompok kedua. Pengamatan durasi atau lama periode prepaten dan produksi ookista dilakukan pada ketiga kelompok ayam mulai pasase pertama sampai pasase ketiga, sedangkan pengamatan kemampuan perkembangbiakan parasit secara endogen pada induk semang untuk menandai apakah parasit mengalami penurunan kemampuan berkembangbiak dan tidak menimbulkan kerusakan pada tempat predileksi dan perkembangbiakannya dilakukan pada hari keempat setelah infeksi yaitu setengah dari jumlah masingmasing kelompok ayam dikorbankan dari masing-masing pasase dan spesies Eimeria dan pengamatan dilakukan secara histologis. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, data produksi ookista dianalisis menggunakan uji one way anova (uji F ) dilanjutkan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel and Torrie, 1995), sedang
durasi atau lama periode prepaten dan untuk membandingkan orientasi gambaran histopatologis usus menggunakan analisis komparasi dan deskriptif. Penggunaan Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0 dilakukan untuk memudahkan perhitungan statistik. Hasil dan Pembahasan Pola produksi ookista harian Pola produksi ookista harian pada ketiga kelompok ayam pada masingmasing tingkatan pasase dan spesies Eimeria selama infeksi berlangsung diilustrasikan secara berturut-turut pada Gambar 1, 2 dan 3. Pada pasase pertama, ookista E. tenella pertama kali dipasasekan bersama feses terlihat 168 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 240 jam setelah infeksi dan menurun secara drastis 288 jam setelah infeksi dan 312 jam setelah infeksi ookista sudah tidak terdeteksi dalam feses. Sedangkan pada pasase kedua, ookista terlihat pertama kali dalam feses 144 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 216 jam setelah infeksi dan turun drastis 264 jam setelah infeksi dan tidak lagi terdeteksi 288 jam setelah infeksi. Pada pasase ketiga, ookista terlihat pertama kali dalam feses 120 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 192 jam setelah infeksi dan turun drastis 240 jam setelah infeksi dan tidak lagi terdeteksi 264 jam setelah infeksi. Pada tiga pasase berseri dari precocious line E. tenella menunjukkan pemendekan durasi atau lama periode prepaten dari 168 jam (7 hari) menjadi 120 jam (5 hari) yang dapat merepresentasikan waktu yang pendek parasit untuk berkembangbiak dalam induk semang dan konseksuensinya
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 983
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
jumlah parasit yang berkembangbiak menurun dibandingkan strain induknya. Penurunan jumlah parasit yang berkembangbiak akan menurunkan kerusakan sel epitel yang ditimbulkan
akibat perkembangbiakan dan juga berdampak penurunan gejala klinis yang terlihat pada ayam bahkan tidak sampai menimbulkan gejala klinis, tetapi sudah mampu menginduksi respon kekebalan.
Gambar 1. Pengembangan precocious lines E. tenella. Penurunan patogenitas (produksi ookista) dan periode prepaten semakin singkat (dari 7 hari menjadi 5 hari)
Study yang dilakukan oleh Myung-Jo You (2014) pada E. tenella isolat Korea menunjukkan pola dan periode prepaten yang hampir sama. Sedangkan pada ookista E. tenella hasil atenuasi memperlihatkan pola yang hampir sama akan tetapi pola peningkatan tidak tajam dengan periode prepaten 48 jam lebih pendek (120 jam). Penelitian yang dilakukan oleh Anderson and Jorgensen (2003) menunjukkan hasil bahwa E. mitis dan E. brunetti mempunyai periode prepaten 20 jam lebih pendek dari strain induk setelah generasi precocious line mengalami pasase berseri 9 kali pada
984 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
naive chicken. Pada penelitian sebelumnya peneliti telah melakukan pasase berseri terhadap strain induk E. tenella sebanyak 3 kali pada naive chicken terhadap generasi precocious line menghasilkan generasi atenuasi E. tenella dengan periode prepaten lebih pendek. Hasil penelitian McDonald and Shirley (1987) menyatakan bahwa terjadi penurunan siklus reproduksi aseksual yaitu stadium skizogoni yang menyebabkan proses gametogoni lebih dini, sehingga berpengaruh terhadap periode prepaten yang lebih pendek.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Pada pasase pertama, ookista E. acervulina pertama kali dipasasekan bersama feses terlihat 96 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 168 jam setelah infeksi dan menurun secara drastis 216 jam setelah infeksi dan 240 jam setelah infeksi ookista sudah tidak terdeteksi dalam feses. Sedangkan pada pasase kedua, pola produksi ookista harian sama dengan pasase pertama dimana ookista terlihat pertama kali dalam feses 96 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 168 jam setelah infeksi tetapi lebih
rendah dari puncak pasase pertama dan turun drastis 216 jam setelah infeksi dan tidak lagi terdeteksi 240 jam setelah infeksi. Pada pasase ketiga, ookista terlihat pertama kali dalam feses 72 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 144 jam setelah infeksi dan turun drastis 192 jam setelah infeksi dan tidak lagi terdeteksi 216 jam setelah infeksi. Pada tiga pasase berseri dari precocious line E. acervulina menunjukkan pemendekan durasi atau lama periode prepaten dari 96 jam (4 hari) menjadi 72 jam (3 hari).
Gambar 2. Pengembangan precocious lines E. acervulina. Penurunan patogenitas (produksi ookista) dan periode prepaten semakin singkat (dari 4 hari menjadi 3 hari)
Pada pasase pertama, ookista E. maxima pertama kali dipasasekan bersama feses terlihat 120 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 192 jam setelah infeksi dan menurun secara drastis 240 jam setelah infeksi dan 264 jam setelah infeksi ookista sudah tidak terdeteksi dalam feses. Sedangkan pada pasase kedua, pola produksi ookista terlihat pertama kali dalam feses 96 jam
setelah infeksi kemudian mencapai puncak 168 jam setelah infeksi dan turun drastis 216 jam setelah infeksi dan tidak lagi terdeteksi 240 jam setelah infeksi. Pada pasase ketiga, ookista terlihat pertama kali dalam feses 72 jam setelah infeksi kemudian mencapai puncak 144 jam setelah infeksi dan turun drastis 192 jam setelah infeksi dan tidak lagi terdeteksi 216 jam setelah infeksi. Pada tiga pasase
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 985
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
berseri dari precocious line E. maxima menunjukkan pemendekan durasi atau
lama periode prepaten dari 120 jam (5hari) menjadi 72 jam (3 hari).
Gambar 3. Pengembangan precocious lines E. maxima. Penurunan patogenitas (produksi ookista) dan periode prepaten semakin singkat (dari 5 hari menjadi 3 hari)
Seluruh atenuasi strain Eimeria ayam melalui seleksi untuk pengembangan precocious lines menunjukkan penurunan periode prepaten, E. tenella (7 hari menjadi 5 hari), E. acervulina (4 hari menjadi 3 hari) dan E. maxima (5 hari menjadi 3 hari) setelah melalui rata-rata 3 kali pasase. Total produksi ookista Rerata total produksi ookista pada ketiga kelompok ayam yang masingmasing dipasase berseri precocious line E. tenella, E. acervulina dan E. maxima selama infeksi berlangsung diilustrasikan pada Gambar 4. Total produksi ookista pasase ketiga dari masing-masing spesies Eimeria sangat signifikan lebih rendah dibandingkan dengan pasase ketiga (p<0,01). Beberapa faktor yang mempengaruhi daya reproduksi Eimeria sp dalam menghasilkan ookista (generasi seksual) selama proses infeksi terjadi pada
986 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
induk semang antara lain sifat alamiah potensial dari spesies Eimeria itu sendiri, status imunitas dari induk semang, strain line yang menginfeksi (Arabkhazaeli et al., 2011). Strain line dari E. tenella, E. acervulina dan E. maxima yang digunakan dalam penelitian ini merupakan strain keturunan dari strain induk yang mengalami pasase berseri pada naive chicken sehingga menghasilkan generasi precocious line yang mempunyai virulensi yang rendah. Generasi precocious lines dari E. mitis, E. brunetti dan E. praecox (Anderson and Jorgensen, 2003) dan E. acervulina (Kawazoe et al., 2005) mengalami penurunan virulensi setelah dilakukan pasase berseri pada naive chicken. Hasil penelitian Shirley and Bedrnik (1997) menyatakan bahwa pada tahap skizon dari strain Eimeria sp yang dipasase berseri dari precocious lines pada
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
naive chicken terjadi pengurangan jumlah maupun ukuran dari skizon. Pada penelitian sebelumnya, kualitas ookista yang dihasilkan dari pasase berseri dari precocious lines pada naive chicken mengalami penurunan dengan semakin kecil ukuran morfometri dari ookista infektif, semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk bersporulasi dan semakin sedikit ookista yang dikeluarkan (data tidak dipublikasi).
Simpulan Karakterisasi ookista infektif yang teratenuasi dari hasil pasase berseri precocious line E. tenella, E. acervulina dan E. maxima pada naive chicken melalui pengamatan durasi atau lama periode prepaten, kemampuan berkembangbiak parasit secara endogen dan reproduksi (produksi ookista) menunjukkan penurunan pada ayam yang diinokulasi.
Gambar 4. Komparasi total produksi ookista pada kelompok ayam yang diinfeksi E. tenella (A), E acervulina (B) dan E. maxima (C) strain induk dan precocious line masing-masing spesies Eimeria tersebut sebagai hasil atenuasi pasase berseri pada naive chicken. **, p<0,01.
Daftar Pustaka Anderson, G. and Jorgensen, W. 2003. Live vaccines for three species of Eimeria. A report for the Rural Industries Research and Development Corporation. Anonimus, 2005. Koksidiosis semakin merajalela. Poultry Indonesia, Jakarta Arabkhazaeli, F., Nabian, S., Modirsaneii, M., Mansoori, V., and Rahbari, S. 2011 Biopathologic characterization of three mixed poultry Eimeria spp. Isolates. Iran J. Parasitol. 6 (4): 23–32.
Bhogal, B. S., Miller, G. A., Anderson, A. C., Jessee, E. J., Strausberg, S., McCandliss, R., Nagle, J. and Strausberg, R. L. 1992. Potential of a recombinant antigen as a prophylactic vaccine for day-old broiler chickens against Eimeria acervulina and Eimeria tenella infections Vet. Immunol. Immunopathol. 31: 323 – 335. Chapman, H. D. and Shirley, M. W. 1989. The sensitivity of isolate of Eimeria species to monensin and lasalocid acid in the chicken. Res. Vet. Sci. 46: 114 – 117.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 987
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Danforth, H. D., Augustine, P. C., Ruff, M. D., McCandliss, R., Strausberg, R. L. and Likel, M. 1989. Genetically engineered antigen confers partial protection against avian coccidial parasites. Poult. Sci. 68: 1643 – 1652. Jangi S, Puay-Eng Soon., Kiew-Lian Wang. 2006. Pengenalpastian protein membran putatif dalam sporozoit Eimeria tenella melalui penyaringan. Imuno. J. Parasitol. Malaysian 35(2): 23 - 28. Jenkins, M. C., Castle, M. D. and Danforth, H. D. 1991a. Protective immunization against the intestinal parasite Eimeria acervulina with recombinant coccidial antigen. Poult. Sci. 539 – 547. Kawazoe, U., Bordinb, E. L., Alves de Lima, C. and Dias, L. A. V., 2005. Characterisation and histopathological observations of a selected Brazilian precocious line of Eimeria acervulina. Vet. Parasitol. 131: 5–14 McDonald, V. and Shirley, M. W. 1987. The endogenous development of virulent strains and attenuated precocious lines of Eimeria tenella and E. necatrix. J. Parasitol. 73: 993 – 997. Myung-Jo You. 2014. The comparative analysis of infection pattern and oocyst output in E. tenella, E.
988 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
maxima and E. acervulina in young broiler chicken. Veterinary World 7(7): 542-547. Rose, M. E. 1987. Immunity to Eimeria infections. Vet. Immunol. Immunopathol. 17: 333 – 343. Shirley, M. W. 1989. Development of a live attenuated vaccine against coccidiosis of poultry. Parasite Immunol. 11: 117 – 124. Shirley, M. W. and P. Bedrnik. 1997. Live Attenuated Vaccines Against Avian Coccidiosis: Succes with Precocious and Egg-adapted Lines of Eimeria. Parasitology Today 13: 481-484. Shirley, M. W. 1992. Research on avian coccidia: an update. Br. Vet. J. 148: 479 – 498. Steel, R. G. D. and Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Hal. 168-181. Stephan, B., Rommel, M., Daugschies, A. and Haberkorn, A. 1997. Studies of resistance to anticoccidials in Eimeria field isolates and pure Eimeria strains. Vet. Parasitol. 69: 19 – 29. Williams, R. B. 2002. Fifty years of anticoccidial vaccines for poultry (1952 – 2002). Avian Dis. 46: 775 – 802. Wiryawan, 2006. Pengendalian Penyakit Berak Darah, Sebuah dilema dan harapan. Buletin Sanbe, Bandung
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PROTEIN EKSKRETORI-SEKRETORI ANTIGEN Toxoplasma gondii HASIL PEMBIAKAN IN VIVO PADA MENCIT SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN IMMUNOCRHOMATOGRAPHY TEST UNTUK DIAGNOSIS TOKSOPLASMOSIS Mufasirin1, Lucia Tri Suwanti1, Suwarno2, Hani Plumeriastuti3, Dewa Ketut Meles4 , Zainul Muttaqin5 1. Departemen Parasitologi Veteriner FKH Unair, 2. Departemen Mikrobiologi Veteriner 2. FKH Unair, 3. Departemen Patologi Veteriner FKH Unair, 4. Departemen Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner FKH Unair, . 5Unit Riset Biomedik Rumah Sakit Umum, Provinsi NTB 1,2,3,4. Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo, SURABAYA, Telp. 031-5992785 (Psw. 203). 5. Jl. Pejanggik No. 6 Mataram, NTB. Email:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektifitas penggunaan protein ekskretori-sekretori antigen (ESA) Toxoplasma gondii hasil pembiakan in vivo pada mencit sebagai bahan pembuatan alat immunochromatography test (ICT) untuk diagnosis toksoplasmosis. Sejumlah 82 sampel serum darah manusia digunakan sebagai sampel uji ICT. Serum darah sampel diteteskan pada alat ICT, dibiarkan beberapa menit sampai pita kontrol terlihat. Hasil pemeriksaan kemudian dibandingkan dengan uji ELISA sebagai gold standard. Sensitivitas dan spesifitas alat dihitung untuk menentukan tingkat efektifitas alat. Hasil penelitian didapatkan bahwa alat ICT yang dibuat untuk diagnosis toksoplasmosis dengan menggunakan protein ESA T. gondii hasil pembiakan in vivo pada mencit dengan spesifikasi kadar antigen 2,5 ng dan pengenceran serum sampel 10-2 mempunyai sensitivitas 63% dan spesifisitas 83%.
Kata kunci: Toxoplasma gondii, ekskretori-sekretori antigen, immunochromatography
Pendahuluan Toxoplasma gondii adalah parasit obligat intraseluler yang menyerang semua hewan berdarah panas, termasuk manusia. Kucing sebagai inang utama merupakan kunci penularan toksoplasmosis pada hewan dan manusia. Diagnosis toksoplasmosis dapat ditegakkan berdasarkan ditemukan parasit atau antibodi dalam spesimen. Beberapa teknik untuk diagnosis toksoplasmosis antara lain dengan teknik imunohistokimia (Szeredi dan Bacsadi, 2002) dan polymerase chain reaction (PCR) (Kijlstra et al., 2008; Montoya et al., 2008). Uji lain adalah dengan uji biologis dengan menginokulasikan pada
hewan coba (Montoya et al., 2008), indirect fluorecence, enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (De Craeye et al., 2008; Liu et al., 2008), Sabin Fieldman dye test (Karaca et al., 2007), indirect haemaglutination (IHA), direct agglutination test (Dubey et al., 2008), indirect agglutination test (IAT) ( Liu et al., 2008), latex aglutination, modified aglutination (Da Silva et al., 2008), complement fixation test (CFT), uji kulit (Center for Food Security and Public Health, 2005), radio immuno assay (RIA) (Sukthana, 1999), immunosorbent aglutination assay (ISAGA) (Sukthana, 1999) dan immunoblotting (Wongkamchai et al., 1999).
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 989
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Isolasi T. gondii dapat berasal dari tinja kucing, jaringan otak, otot dan darah kucing dan ternak. Isolasi T. gondii dapat dilakukan dengan mempasasekan material yang diduga ke hewan coba atau telur ayam bertunas (Soulsby, 1986). Diagnosa cepat toksoplasmosis menggunakan perangkat diagnostik seperti test imunokromatografi (ICT) sampai sekarang belum banyak dilaporkan. Di lapangan, diagnosis toksoplasmosis pada umumnya didasarkan atas ditemukan antibodi terhadap T. gondii dalam darah (dalam serum). Uji serologis yang sering digunakan adalah ELISA sebagai gold standard. Uji ini memiki sensitivitas dan spesifitas tinggi, tetapi dibutuhkan waktu yang lama, peralatan dan teknisi khusus serta biaya yang mahal. Di lain pihak, beberapa uji imunologis yang memanfaatkan teknologi kromatografi (imunokromatografi) sudah banyak dilakukan seperti test kehamilan, diagnosis HIV (Beristain et al., 2005), penyakit demam berdarah (Adnin, 2002) dan malaria (Arum dkk, 2006). Keuntungan uji serologis menggunakan teknik immunokromatografi adalah waktu cepat (beberapa menit), biaya murah dan mudah (praktis) digunakan. Salah satu model teknik imunokromatografi adalah ICT, merupakan model deteksi antigen atau antibodi yang penggunaannya dengan diteteskan atau dicelupkan pada material sampel (analit) dan hasil deteksi berupa warna yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Salah satu protein yang dikembangkan sebagai antigen yang digunakan untuk bahan diagnostik toksoplasmosis adalah protein Ekskresi-Sekresi Antigen (ESA) T. gondii, adalah protein yang dikeluarkan pada saat parasit menginfeksi inang. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa protein ESA T. gondii hasil isolasi dengan pemecahan takizoit mampu membangkitkan respons kekebalan inang tetapi untuk pengembangan produksi menemui beberapa kendala antara
990 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
lain biaya yang tidak sedikit dan protein yang dihasilkan mempunyai potensi yang lebih rendah dibandingkan dengan protein yang diekskresi dan disekresikan secara alami. Kekurangan lain protein ESA T. gondii hasil pemecahan takizoit dibanding dengan protein ESA T. gondii yang disekresikan secara alami adalah sering terkontaminasi dengan material sel induk semang. Protein ESA T. gondii juga membangkitkan respons imun pada inang yang terinfeksi T. gondii, sehingga protein ESA dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan kit diagnostik. Tujuan penelitian ini adalah menguji prototipe ICT yang dibuat menggunakan ESA T. gondii dari pembiakan in vivo sebagai antigen untuk diagnosis toksoplasmosis pada manusia. Diharapkan dengan adanya alat ICT, diagnosis toksoplasmosis pada manusia dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan murah sehingga penanganan pasien dapat segera dilakukan. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Protozoologi Departemen Parasitologi Veteriner, Laboratorium Biologi Molekuler Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Arlangga, Institut Tropical Disease, Unit Riset Biomedik, Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Alat penelitian yang digunakan adalah perangkat kit diagnostik cepat ICT menggunakan antigen ESA T. gondii. Sebagai pembanding digunakan uji ELISA sebagai uji gold standard. Bahan penelitian adalah serum darah manusia. Pembuatan ICT diadopsi dari teknik gold immunochromatographic assay (Dewi, 2010). Sebelum pembuatan ICT, dilakukan optimasi jumlah antigen dan volume sampel yang akan digunakan. Optimasi jumlah antigen dilakukan dengan cara pengenceran antigen. Optimasi juga dilakukan pada volume sampel serum yang dapat digunakan. Antigen ditempelkan pada membran nitroselulose menggunakan
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
mesin dispenser BioJet XY Platform (Biodot, USA) yang akan membentuk garis tes, sedangkan garis kontrol berisi goat-anti-mouse IgG 1 ng/ L. Membran nitroselulose kemudian dikeringkan, kemudian dipotong menjadi bentuk strip. Optimasi volume serum menggunakan serum manusia sebagai kontrol Sebanyak 20 mikroliter sampel serum diteteskan pada bantalan di dekat zona kontrol, 1 tetes buffer. Sebanyak 2 tetes buffer juga diteteskan pada bantalan gold colloidal. Lembaran foto (kartu test) segera ditutup dan hasil reaksi dilihat 15-20 menit kemudian. Hasil positif apabila muncul 2 garis berwarna merah pada garis kontrol dan garis test dan negatif apabila hanya muncul 1 garis merah pada garis kontrol dan invalid apabila tidak muncul garis sama sekali atau hanya muncul garis tes. Sejumlah 82 sampel serum darah manusia digunakan sebagai sampel uji alat ICT. Serum darah sampel diteteskan pada alat ICT, dibiarkan beberapa menit sampai pita kontrol terlihat. Hasil pemeriksaan kemudian dibandingkan dengan uji ELISA sebagai gold standard.
Data hasil uji alat ICT dibandingkan dengan uji ELISA dan dihitung sensitivitas dan spesifitas alat menggunakan tabel 2x2. Hasil dan Pembahasan Hasil Sebelum antigen digunakan dalam alat ICT dilakukan optimasi antigen ESA dan sampel. Hasil optimasi antigen ESA dan sampel serum didapatkan dapat antigen optimum yang dapat digunakan adalah 2,5 ng/ L. Kadar antigen di bawah tidak menunjukkan reaksi sedangkan di atas 2,5 ng/ L menunjukkan artefak yang menunjukkan positif palsu. Demikian juga penggunaan volume sampel serum yang optimum untuk digunakan uji adalah 10-20 L. Di bawah nilai tersebut tidak bereaksi dengan antigen dan timbul artefak. Hasil uji toksoplasmosis sampel darah manusia menggunakan alat ICT dibandingkan dengan uji ELISA dan hasil analisis perbandingan kedua uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan dipstick (ICT) dan uji ELISA sebagai uji gold standard Elisa
ICT
Positif Negatif Jumlah
Positif 10 6 16
Dari Tabel 1. didapatkan bahwa alat ICT mempunyai sensitivitas 63% dan spesifisitas 83%. Dari hasil tersebut kemampuan alat tersebut untuk mendiagnosa secara benar manusia yang menderita toksoplasmosis hanya sebesar 63% dan tidak menderita toksoplasmosis sebesar 83%. Angka tersebut masih di bawah angka sensitivitas dan spesifisitas uji yang sama menggunakan antigen berbeda yang dilakukan oleh Huang et al. (2004) yang melaporkan sensitivitas dan
Negatif 11 55 66
Jumlah 21 61 82
spesifisitas GICA bila menggunakan hasil ELISA sebagai referensi adalah 100% dan 94.5% dengan menggunakan antigen rekombinan SAG2. Sensitivitas yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kemurnian antigen dan jumlah antigen yang digunakan. Kedua faktor tersebut sangat berhubungan, yang dibuktikan dengan pada optimasi jumlah antigen. Antigen ESA T. gondii yang dapat digunakan maksimal 2,5 ng/ L dan apabila lebih dari kadar tersebut
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 991
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
terjadi reaksi/artefak yang merupakan reaksi di luar reaksi yang dikehendaki. Reaksi artefak tersebut dimungkinkan antigen ESA masih mengandung protein A pada saat isolasi. Di lain pihak, penggunaan antigen yang rendah dimungkinkan tidak mampu menimbulkan reaksi yang dikehendaki karena jumlah antigen yang terbatas tidak mampu menangkap imunoglobulin yang tersedia sehingga tidak terjadi reaksi positif (negatif palsu). Demikian juga spesifisitas yang rendah diakibatkan karena protein A yang mengkontaminasi antigen sehingga menimbulkan positif palsu, sehingga banyak sampel yang negatif toksoplasmosis didiagnosis positif terinfeksi T. gondii. Untuk meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas alat yang menggunakan protein ESA T. gondii yang didapatkan dari kultivasi in vivo diperlukan pemurnian lebih lanjut antara lain dengan kromatografi afinitas protein A. Protein A kontaminan akan diikat oleh matrik sehingga didapatkan sampel protein ESA T. gondii yang murni yang tidak tercemar dengan protein A. Dengan peningkatan kadar antigen ESA optimal yang diikuti dengan kemurnian protein yang bebas protein A maka sensitivitas dan spesifisitas alat akan naik mendekati metode pemeriksaan standard (ELISA). Deteksi antibodi yang ada dalam serum darah akibat respons sistem kebal untuk eliminasi T. gondii dapat dideteksi dengan mereaksikan dengan antigen pemicu. Adanya antigen T. gondii yang dapat dikenali oleh inang dan respons antibodi baik IgM dan IgG dapat divisualisasikan dengan beberapa cara antara lain imunobloting maupun kombinasinya seperti imunokromatografi. Adanya protein ESA T. gondii yang bersifat antigenik dapat digunakan untuk coating baik pada ELISA maupun imunokromatografi (ICT). Hasil penggunaan metode tersebut adalah sama dapat mendeteksi adanya antibodi pada induk semang yang terinfeksi, hanya pada ELISA bersifat kuantitaif sedangkan
992 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
pada ICT bersifat kualitatif sampai semikuantitatif. Uji imunokromatografi merupakan uji pengembangan kromatografi dengan imunologi. Prinsip imunokromatografi adalah reaksi antara antigen dan antibodi yang dikonjugasikan ke partikel warna, kompleks imun yang terbentuk kemudian mengalir melalui daerah reaksi membran. Hasil positif terjadi apabila terlihat warna. Keunggulan utama metode imunokromatografi adalah praktis dan membutuhkan waktu tidak lama (Sacher dan Pherson, 2004). Salah satu metode imunokromatografi baru adalah Gold Immunocromatographyc Assay (GICA), yaitu imunokromatografi yang menggunakan menggunakan membran selulose sebagai pembawa dan koloidal emas sebagai pelacak (tracer). Metode ini banyak digunakan untuk mendeteksi molekul bioaktif termasuk hormon dan haptens. Keuntungan metode ini adalah sederhana, cepat, murah dan tidak membutuhkan teknisi peralatan khusus untuk mendeteksi antigen atau antibodi (Peng et al., 2007). Metode imunokromatografi sudah banyak digunakan untuk diagnosis penyakit. Graham dan Reddy (2001) mendeteksi antibodi terhadap Helicobacter pylori dalam air kencing. Adnin (2002) membandingkan uji serologi demam berdarah menggunakan ELISA dan imunokromatografi. Dalam penelitian tersebut digunakan dua macam kit yang saat ini banyak dipasarkan yaitu kit dengue duo IgM capture and IgG capture ELISA dan kit dengue fever IgM and IgG rapid immunochromatographic test. Prinsip dari kedua uji ini didasarkan atas adanya antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue di dalam serum penderita. Waktu yang diperlukan untuk uji ini cukup singkat, dengan menggunakan ELISA memerlukan waktu sekitar 2,5 jam, sedangkan tes imunokromatografi hanya memerlukan waktu lebih kurang 7 menit. Sampel penelitian ini adalah 60 orang penderita demam berdarah dengue dewasa dengan tes HI positif,
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
sedangkan untuk kelompok kontrol digunakan 25 orang penderita demam tifoid dengan tes HI negatif yang dirawat di RSCM Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deteksi terhadap IgM dan IgG dengan ELISA dan imunokromatografi, baik menggunakan serum akut maupun ganda tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hasil ELISA terhadap IgM dan IgG menggunakan serum akut memberikan sensitivitas sebesar 68,3%, sedangkan uji Imunokromatografi terhadap IgM dan IgG memberikan sensitivitas 65% dengan spesifisitas masingmasing 96%. Dibandingkan dengan uji HI menggunakan serum akut, sensitivitas dari kedua uji ini sedikit lebih tinggi (sensitivitas tes HI 51,7%). Bila pada ELISA dan imunokromatografi digunakan serum ganda maka sensitivitas meningkat menjadi 98,3% dengan spesifisitas 96%. Secara tersendiri sensitivitas IgM serum akut dan ganda pada uji imunokromatografi lebih tinggi dari ELISA dan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Protein ESA adalah protein yang diekskresi dan disekresikan T. gondii saat berkembang biak, termasuk saat penempelan, penembusan dan perkembangan di dalam vakuola parasitoforus. Segera setelah T. gondii masuk ke induk semang, beberapa protein diekskresikan dan disekresikan oleh organel roptri (ROP), micronema (MIC) dan granula (GRA). Protein ESA T. gondii hasil isolasi dari pembiakan in vivo pada mencit dapat digunakan untuk pengembangan teknik diagnosis imunokromatografi setelah melalui beberapa proses pemurnian (kromatografi afinitas). Alat ICT merupakan metode yang mudah, cepat dan murah dapat dikembangkan lebih lanjut untuk alat diagnosis toksoplasmosis. Simpulan Alat ICT yang dibuat untuk diagnosis toksoplasmosis dengan menggunakan protein ESA T. gondii hasil pembiakan in vivo pada
mencit dengan spesifikasi kadar antigen 2,5 ng yang dilekatkan dan penggunaan sampel serum manusia dengan pengenceran 10-2 mempunyai sensitivitas 63% dan spesifisitas 83%. Daftar Rujukan Adnin, M. 2002. Evaluasi Tes Serologi Elisa dan Imunokromatografi untuk Mendekteksi Antibodi IgM dan IgG terhadap Virus Dengue pada Penderita Demam Berdarah Dengue. Litbangkes Abstrak Penelitian Kesehatan Seri 19. Arum L.I, A.P. Purwanto, S. Arfi, H. Tetrawindu, M. Octora, Mulyanto, K. Surayah dan Amanukarti. 2006. Uji diagnostik Plasmodium malaria menggunakan metode imunokromatografi diperbandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis.. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 12 (3): 118-122. Beristain, C.N., L. F. Rojkin, and L.E. Lorenzo. 2005. Evaluation of a dipstick method for the detection of human immunodeficiency virus infection. J.Clin. Lab. Anal. 9 (6):347 – 350. Center for Food Security and Public Health. 2005. http://www.cfsph.iastate.edu/ Factsheets/pdfs/toxoplasmosis.pdf. Da Silva, R.C, C.B. Zetun, S.M.G. Bosco, E.Bagagli, P.S.Rosa and H.Langoni. 2008. Toxoplasma gondii and Leptospira spp. Infection in freeranging armadillos Veterinary Parasitology. 157. 291–293. De Craeye, S., A. Francart, J. Chabauty, V. De Vriendt, S. Van Gucht, I. Leroux , and E. Jongert. 2008. Prevalence of Toxoplasma gondii infection in Belgian house cats. Veterinary Parasitology. 157: 128–132. Dewi L.B.K. 2010. Rapid test gold immunochromatograpgic assay
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 993
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
menggunakan crude ESA untuk mendeteksi immunoglobulin G terhadap Toxoplasma gondii. Tesis, Program Studi Kimia, Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Dubey, J.P., K. Mansfield, B. Hall, O.C.H. Kwok, and P. Thulliez. 2008. Seroprevalence of Neospora caninum and Toxoplasma gondii in black-tailed deer (Odocoileus hemionus columbianus) and mule deer (Odocoileus hemionus hemionus). Veterinary Parasitology. 156.310– 313. Graham, D.Y. and S. Reddy. 2001. Rapid detection of anti Helicobacter pylori IgG in urin using immunocromatographyc. Aliment Pharmacol. Ther. 15: 699-702. Huang, Xuan, Xuenan., Hirata, Haruyuki., Yokoyama, Naoaki., Xu, Longshan., Suzuki, Naoyoshi., and Igarashi, Ikuo.2004, Rapid Immunochromatographic Test Using Recombinant SAG2 for Detection of Antibodies against Toxoplasma gondii in cats, Journal of Clinical Microbiology, 42 (1): 351-353. Karaca, M., C. Balber, B. Celebi, H.A. Akkan,, M, Tutuncu, I. Keles, B.A. Uslu and S.A. Islic. 2007. Investigation on the seroprevalence of toxoplasmosis, listeriosis and brucellosis in goats living in the region of Van, Turkey. Yyu Vet Fak Derg. 18:45-49. Kijlstra, A., B.Meerburg, J. Cornelissen, S. De Craeye, P.Vereijken, and E. Jongert. 2008. The role of rodents and shrews in the transmission of Toxoplasma gondii to pigs. Veterinary Parasitology.156:183–190.
994 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Liu, J., J.Z. Cai., W. Zhang, Q. Liu, D. Chen, J.P. Han, and Q.R. Liu. 2008. Seroepidemiology of Neospora caninum and Toxoplasma gondii infection in yaks (Bos grunniens) in Qinghai, China. Veterinary Parasitology. 152: 330–332. Montoya, A., G. Miró, M. Mateo, C. Ramírez, and I. Fuentes. 2008. Detection of Toxoplasma gondii in cats by comparing bioassay in mice and polymerase chain reaction (PCR). Veterinary Parasitology. 1-11. Peng, D.P., S. Hu, Y. Hua, Y. Xiao, Z. Li, X. Wang and D. Bi. 2007. Comparison of new gold-immunocromatographic assay for the detection of antibodies against avian influenza virus with hemaglutinin inhibition and agar gel immunodiffusion assays. Vet Immun and Immunopath. 117. 17-25. Sacher and Pherson, Mc., 2004, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Soulsby, E.J.L. 1986. Helminths, Artropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed. Bailliere Tindall. London. Sukthana, Y. 1999. Difference of Toxoplasma gondii antibodies between Thai and Australian pregnant women. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 30(1): 38-41. Wongkamchai, S., V. Mahakittikun, P. Dekumyoy and J. Onrotchanakun. 1999. Immunoblotting and enzym linked immunosorbent assay for diagnosis of Toxoplasma gondii in HIV Thai patient. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 30: 580-583.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
RESPON KALOGENESIS DALAM OPTIMASI MEDIUM B5 DAN MS PADA KULTUR IN VITRO TANAMAN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis, L) Tintrim Rahayu; Umu Sholikhah Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Malang
[email protected]
Abstrak Koro pedang (Canavalia ensiformis) merupakan sumber senyawa fenolik dan flavonoid yang keduanya memiliki aktifitas anti oksidan sebagai penangkal radikal bebas yang sangat efektif, dapat digunakan sebagai pengganti tempe dan berpotesi sebagai antioksidan alami karena aktifitas antioksidannya lebih tinggi. Permintaan dalam bidang farmasi dapat terpenuhi, bila dilakukan perbanyakan melalui teknik kultur jaringan tumbuhan, khususnya kalogenesis, yang dapat diinduksi dari berbagai jaringan tanaman dan organ. Pertumbuhan kalus atau kalogenesis merupakan hasil interaksi yang sangat komplek antara eksplan, komposisi medium dan kondisi lingkungan selama periode inkubasi. kalus kedelai dari eksplan kotiledon tumbuh dengan baik pada penambahan 2,4-D 4 ppm pada medium dasar B5(Gamborg). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon kalogenesis dalam optimasi medium B5 dan MS pada kultur in vitro tanaman koro pedang pada berbagai eksplan. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktorial, faktor pertama adalah medium MS dan B5, faktor kedua adalah eksplan hipokotil, epikotil dan kotiledon dengan tiga kali ulangan. Berdasarkan pengamatan secara kualitatif morfologi kalus, eksplan hipokotil terlihat paling responsif dibanding dengan epikotil dan kotiledon. Media MS dan B5 tidak tampak perbedaannya respon kalogenesisnya pada eksplan hipokotil dan epikotil, namunwaktu kemunculan kalus pada media B5 terlihat lebih cepat. Pada pengamatan kuantitatif berat dan volume kalus menunjukkan media B5 dan eksplan kotiledon paling responsif dengan berat 1,136 gr dan volume kalus tertinggi 3,25cm2 dibanding media MS dengan eksplan katiledon berat hanya 0,78 gr dengan volum 1,5 cm2 . Kata kunci : koro pedang, kultur in vitro, kalus
Pendahuluan Koro pedang (Canavalia ensiformis) merupakan sumber senyawa fenolik dan flavonoid yang keduanya memiliki aktifitas anti oksidan sebagai penangkal radikal bebas yang sangat efektif, dapat digunakan sebagai pengganti “tempe” yang berpotesi sebagai antioksidan alami
karena aktifitas antioksidannya lebih tinggi. Bila dibandingkan dengan tempe kedelai -karoten , vitamin C dan tokoferol tidak berbeda nyata pada =5% (Istiani , 2010). Tempe koro pedang memiliki kandungan protein sebesar 15,23%, lemak 3,62%, dan karbohidrat 19,88% (Kalaminasi dan Pangesthi 2013).
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 995
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Permintaan dalam bidang farmasi dapat terpenuhi melalui kultur jaringan tumbuhan, khusunya kalogenesis. Penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayu dan Sajidah (2008) menunjukkan bahwa kultur kalus kedelai telah berhasil meningkatkan metabolit sekunder berupa isoflafon dengan perlakuan elisitor logam. Parti (2004) juga menyatakan, kultur jaringan dapat digunakan sebagai penghasil metabolit sekunder karena metabolit sekunder merupakan hasil dari proses-proses biokimia yang terjadi di dalam tubuh tanaman, dan proses tersebut juga terjadi pada kultur jaringan yang terdapat pada kalus. Rahayu T (2006) juga menyatakan bahwa melalui kultur kalus kedelai (Glycine max merr) dapat diproduksi estrogen nabati berupa isoflavon genistein dan daidzein Pada dasarnya kutur jaringan tumbuhan adalah suatu teknik propagasi mikro yang dilakukan secara in vitro dengan cara membudidayakan jaringan tanaman yang steril pada suatu media, sehingga mampu berkembang menjadi kalus dan seterusnya menjadi tanaman (Abidin Z, 1991). Mikropopagasi atau perbanyakan secara in vitro dapat dilakukan dengan perbanyakan tunas dari eksplan berupa mata tunas atau meristem, namun dapat pula terjadi secara tidak langsung melalui pembentukan kalus dari jaringan vegetatif, misalnya hipokotil. Selanjutnya kalusterbentuk dapat dirangsang untuk berdeferensiasi menjadi planlet (Pratiwi E dan Rahayu T, 2013). . Kalus merupakan kumpulan sel amorphous tidak mempunyai dinding sel parenkim, yang terbentuk dari poliferasi sel eksplan yang dikultur. Dengan metode kultur jaringan tumbuhan, bentuk kalus dapat diinduksi dari berbagai jaringan
996 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
tanaman dan organ yang tidak umum berkembang menjadi kalus dari repons perlukaan yang diberikan (Dodds JH, dan Robert L.W, 1995). Pertumbuhan kalus atau kalogenesis merupakan hasil interaksi yang sangat komplek antara eksplan, komposisi medium dan kondisi lingkungan selama periode inkubasi. Induksi kalus dan pertumbuhan kalus yang terus berlangsung melalui subkultur, memerlukan gula dan garam-garam mineral pada medium, selain itu juga memerlukan zat pengatur tumbuh atau hormon. Hormon yang umum dan efektif digunakan untuk induksi kalus (dediferensiasi) adalah 2,4-D (Indrianto A, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Anggraini (2004), kalus kedelai dari eksplan kotiledon tumbuh dengan baik pada penambahan 2,4-D 4 ppm pada medium dasar B5.Medium B5 (Gamborg) (1968) digunakan untuk kultur suspensi sel kedelai, alfalfa dan legume lain. Namun belum diketahui bagaimana respon kalogenesis tanaman legume khususnya tanaman koro pedang pada medium MS (Murashinge dan Skoog) yang paling banyak digunakan untuk kultur kalus dan tunas (Indrianto, 2014). Oleh karena itu, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon kalogenesis dalam optimasi medium B5 dan MS pada kultur in vitro tanaman koro pedang pada berbagai eksplan. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan tumbuhan FMIPA Unisma pada bulan Desember 2013April 2014 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktorial, faktor pertama jenis media dan
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
faktor kedua adalah jenis eksplan. Media yang digunakan adalah MS dan B5, eksplan yang digunakan adalah epikotil, hipokotil dan kotiledon yang diperoleh dari kecambah koro pedang aseptis. Parameter yang diamati meliputi pengamatan kualitatif yaitu morfologi kalus dan pengamatan kuantitatif yaitu berat dan volume kalus setelah kalus berumur 14 hari. Data di analisis menggunakan analisis sidik ragam. Hasil Dan Pembahasan Inisiasi Kalus Tanaman Koro Pedang (Canavalia ensiformis, L.) Inisiasi kalus koro pedang dilakukan pada medium dasar MS dan medium B5 dengan penambahan hormon 2,4 D 4 ppm. Eksplan yang digunakan adalah hipokotil, epikotil, dan kotiledon kecambah koro pedang yang ditanam secara aseptis. Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu langkah penting yang menentukan keberhasilan teknik kulturin vitro. Kalus merupakan massa sel yang tidak terorganisir, pada mulanya sebagai respon terhadap perlukaan (wounding). Pembelahan selnya menjadi tidak terkendali, sel-selnya mengalami proliferasi yaitu membelah terus menerus dengan sangat cepat (Indrianto A, 2014). Krisnamoorthy (1981) menyatakan jaringan yang tumbuh membentuk kalus adalah jaringan epidermis bagian atas. Pembentukan kalus diawali dengan membesarnya sel-sel epidermis kemudian sel-sel tersebut membelah menjadi dua. Menurut Indrianto, (2004) pertumbuhan yang tercepat terjadi didaerah tepi (bekas perlukaan) karena pada dasarnya kalus merupakan kumpulan sel yang menutupi luka, hal tersebut terlihat pada pengamatan pertumbuhan kalus yang diawali dengan
pembengkakan di daerah tepi. Jaringan yang membentuk kalus pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan periphery yang membelah terus-menerus, sedangkan sel yang ditengah tetap quiescent(Gunawan, 1988). Respon kalogenesis Tanaman Koro Pedang (Canavalia ensiformis, L.) Pengamatan pertumbuhan kalus dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pengamatan secara kualitatif yang meliputi morfologi kalus yaitu kondisi eksplan dan pengamatan secara kuantitatif meliputi berat dan volume kalus. Pengamatan kualitatif (morfologi kalus) Berdasarkan pengamatan yang telah dilaksanakan, kalogenesis koro pedang mulai telihat pada hari ke 2 HST (Hari Setelah Tanam). Pada media B5, kalus dari eksplan kotiledon dan hipokotil mulai mengalami pembengkakan pada bagian tepi (bekas perlukaan) menurut Suryowinoto (1996) dalam Lizawati, dkk, (2010) proses terjadinya kalus disebabkan adanya rangsangan luka, rangsangan tersebut menyebabkan kesetimbangan pada dinding sel berubah arah, sebagian protoplas mengalir keluar sehingga mulai terbentuk kalus. Terbentuknya kalus juga disebabkan selsel kontak dengan media terdorong menjadi meristematik dan selanjutnya aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan penutup luka. Suatu sifat yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di tengah
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 997
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
tetap quiscent. Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel hanya terbatas di lapisan luar dari jaringan kalus, adalah: 1. Ketersediaan oksigen yang lebih tinggi, 2. Keluarnya gas CO2, 3.Kesediaan hara yang lebih banyak, 4. Penghambat yang bersifat folatik lebih cepat menguap, 5. Cahaya (Sjahril R, 2011). Pada kalus yang bersumber dari eksplan hipokotil, pada hari ke-2 HST selain mengalami pembengkakan, eksplan juga terlihat berwarna putih, dan sampai hari ke-7 HST eksplan hipokotil terlihat paling responsif dibandingkan kalus yang bersumber dari kotiledon maupun epikotil, dengan warna putih yang menutupi seluruh eksplan. Sedangkan eksplan yang bersumber dari kotiledon pada hari ke-7 HST pada bagian tepi berwarna coklat, Mentary(2006) menyatakan bahwa, banyaknya kalus yang berwarna coklat disebabkan oleh oksidasi senyawa fenolik. Hal ini menunjukkan bahwa kalus berwarna coklat mengandung senyawa fenolik dalam jumlah tertentu. Pada kalus yang bersumber dari epikotil, sampai hari ke-7 eksplan hanya menunjukkan repon pembengkakan , tanpa disertai adanya warna putih. Kegagalan eksplan membentuk kalus diduga adanya perbedaan kemampuan jaringan menyerap unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam media induksi kalus
998 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
tersebut (Mentari, 2006). Selain itu kegagalan pembentukan kalus pada eksplan epikotil, kemungkinan disebabkan oleh rusaknya jaringanketika diinisiasi. Pada media MSpertumbuhan eksplan tidak begitu berbeda dengan media B5 hanya saja pada awal pertumbuhan kalus dari eksplan hipokotil terlihat lebih lambat pertumbuhannya di banding eksplan dari media B5. Adanya perbedaan pertumbuhan ini disebabkan perbedaan komposisi media dasar B5 dengan MS. Medium dasar B5 yang dikembangkan di Praire Regional Laboratory untuk menumbuhkan jaringan kedelai berhasil digunakan menumbuhkan sel dari bermacam-macam varietas tumbuhan khususnya tanaman famili leguminaceae (Constabel dan Wetter, 1991). Hal ini juga terlihat saat uji pendahuluan menggunakan media dasar MS dengan penambahan 2,4 D 4 ppm. Dari berbagai eksplan yang digunakan, eksplan hipokotil pada media MS + 4 ppm 2,4 D paling responsif dengan terbentuknya warna putih yang menutupi eksplan. Hanya saja kalus yang terbentuk memiliki terkstur kompak dan masif. Dibandingkan dengan kalus kedelai yang sturktur kalusnya bersifat friable (gambar 2) kalus koro Pedang memperlihatkan adanya perbedaan. Terlihat hasil kultur kalus terlihat masif.
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
A
B
Gambar 1 : Kalus kedelai pada media B5 (A) dan kalus kedelai pada media MS (B) Gambar 2 merupakan kalus kedelai pada media B5 dan MS dengan konsentrasi hormon 2,4 D 4 ppm, yang dapat digunakan sebagai pembanding pada
kalus koro pedang yang terbentuk. Berikut gambar kalus Koro Pedang yang terbentuk pada msing-masing media.
Gambar 2: Kalus Koro Pedang pada media B5 dari berbagai sumber eksplan. ( A. Hipokotil B. Kotiledon C. Epikotil)
Gambar 3: Kalus Koro Pedang (Canavalia ensiformis, L.) pada media MS dari berbagai sumber eksplan. (A.Hipokotil, B. Kotiledon, C. Epikotil) b. Pengamatan Kuantitatif (Berat dan Volume Kalus) Berdasarkan hasil pengamatan kuantitatif yaitu pertambahan volume dan berat kalus, terlihat perbedaan yang
cukupmenonjol antara kalus dari media B5 dengan kalus dari media Ms. adapun berat dan volume kalus dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 999
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
Tabel 1. Volume dan Berat Kalus Media Eksplan B5
MS
Hipokotil
Volume (cm3) 1,5
Kotiledon
3,25
1,136
Epikotil
0,55
0,51
Hipokotil
1
0,38
Kotiledon
1,5
0,78
Epikotil
0,375
0,45
0,48
ditambahkan ke dalam media. Menurut Gunawan (1998) hormon 2,4-D akan merangsang terjadinya pembelahan sel pada kalus sehingga mampu meningkatkan jumlah dan ukuran sel. Hendaryono (1994) menyatakan auksin dapat meningkatkan tekanan osmotik, sintesa protein, dan permeabilitas sel terhadap air. Hal itu menyebabkan air dapat masuk ke dalam sel sehingga volume kalus meningkat. Dengan adanya peningkatan sintesis protein, maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan.
Dari tabel 1 terlihat dalam medium B5 dengan eksplan kotiledon menunjukkan respon yang lebih baik dengan volume 3,25 cm3 ,berat 1,136 gr dibandingkan dalam media Ms dengan eksplan yang sama volumenya 1,5 cm3 dengan berat 0,78 gr.. Peningkatan volume dan berat kalus menunjukkan adanya proses pertumbuhan. Hal itu disebabkan karena sel-sel kalus mengalami pembelahan sel sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan massa sel. Pembelahan sel kalus disebabkan oleh adanya 2,4-D yang
Gambar 5: Grafik volume Kalus
Kalus Berat Kalus (gr)
Gambar 6: Grafik berat kalus
1000 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Dari Grafik 5 dan 6diatas terlihat dari perlakuan antara media B5 dan media Ms dengan eksplan hipokotil, kotiledon maupun epikotil, baik volume kalus maupun berat kalus terlihat respon pertumbuhan kalus paling bagus adalah eksplan kotiledon dengan media B5, berat paling tinggi 1,136 gr dengan volume 3,25 cm3 lebih tinggi dari pada media Ms. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakasanakan dapat disimpulkan Medium dan eksplan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus koro pedang(Canavalia ensiformis, L.). Respon kalogenesis tanaman koro pedang (Canavalia ensiformis, L.) pada medium B5 dan Ms dengan penambahan hormon 2,4 D 4 ppm cukup baik dengan adanya warna putih yang menutupi eksplan kotiledon dan hipokotil, namun kurang responsif pada eksplan yang bersumber dari epikotil. Respon kalogenesis dari tanaman koro pedang (Canavalia ensiformis, L.) pada media B5 dengan eksplan kotiledon nampak lebih baik dari pada media Ms. Pada media Ms dengan eksplan kotiledon berat kalus 0,78 dengan volume 1,5 cm3, sedangkan pada media B5 dengan eksplan kotiledon menunjukkan berat kalus lebih tinggi yaitu 1,136 dengan volume 3,25 cm3.
Daftar Rujukan Abidin Z, 1991. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman. Angkasa: Bandung Anggraini, Y.D, 2004. Uji Konsentrasi Hormon 2,4 D Pada Pertumbuhan Kalus Dari Eksplan Kotiledon Dan Hipokotil Kedelai (Glycine Max
Merr). Skripsi. Jurusan Biologi Fmipa Unisma Azariati, 2009. Respon Regenerasi Eksplan Kalus Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Terhadap Pemberian Naa Secara In Vitro. PKMP Universitas Negeri Padang: Padang Dodds JH, dan Robert L.W, 1995. Eksperiments In Plant Tissue Culture. Cambrrige University Press: USA Indrianto A, 2014. Kultur jaringan tunbuhan. http://elisa.ugm.ac.id/communit y/show/kulturjaringantumbuhan olehariindrianto/. Diakses tanggal 27 februari 2014. Istiyani Y (2010). Karakterisasi Senyawa Bioaktif Isoflavon Dan Uji Aktivitas Antioksidan Dari Ekstrak Etanol Tempe Berbahan Bakukoro Pedang (Canavalia ensiformis).Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret: Surakarta Kalaminasi D dan Pangesthi Lc (2013). Pengaruh Proporsi Kacang Koro Sayur (Phaseolus lunatus) dan Kacang Koro Pedang (Canavalia ensiformis L) Terhadap Mutu Organoleptik Tempe Koro. e-journal Boga.Volume 02. Nomor 03. Yudisium Oktober. Tahun 2013. Hal. 104 – 113. Krishnamoorthy, H.N.1981. Plant Growth Substances. Tata McGrawhillPublishing Company Limited. New Delhi Lizawati, dkk, 2010. Induksi Kalus Eksplan Daun Durian (Durio Zibethinus Murr. Cv.
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 1001
Prosiding Seminar Nasional Biologi / IPA dan Pembelajarannya
SelatJambi) Pada Beberapa Kombinasi 2,4-D Dan BAP. Agriculture Faculty, Jambi University. Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472. Mentary, M. 2006. Induksi kalus dan tunas secara In Vitro tanaman mahkota dewa dengan manipulasi zat pengatur tumbuh dan eksplan. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 104 p Paramitha DS, 2008. Pengaruh Teknik pemanasan Terhadap Kadar Asam Fitat Dan Aktivitas antioksidan Koro Benguk (Mucuna pruriens), Koro Glinding (Phaseolus lunatus), Dan Koro Pedang (Canavalia ensiformis) Universitas Sebelas Maret : Surakarta Parti, 2004. Identifikasi Senyawa Isoflafon pada Kalus yang Berasal dari Dua Macam Eksplan Kedelai (Glycine max Merr). Skripsi. Jurusan Biologi Lingkungan FMIPA UNISMA: Malang Pawiroharsono, S. 2001. Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk Kesehatan. Direktorat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Pratiwi E dan Rahayu T, 2013. Uji Hormon NAA dan BAP dalam Medium MS untuk Pertumbuhan Eksplan alfalfa (Medicago sativa L) dari Berbagai Sumber Eksplan. Jurnal Ilmiah Biosaintropis. Volume: 1 No. 1 (Januari 2013). Rahayu T, 2006. Produksi Estrogen Nabati Berupa Isoflavon Genistein Dan
1002 | Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
Daidzein Melalui Kultur Kalus Kedelai (Glycine Max Merr) : Laporan Penelitian. Fmipa Unisma. Indonesian Science And Technology Digital Library .http: //elib. pdii. lipi. go. id /katalog/index.php/searchkatalo g/byId/50824.di akses tanggal 7 Februari 2014. Rahayu T dan Sajidah A, 2008. Deteksi Senyawa Isoflafon pada Kalus Kdelai (Glycine max (L) Merr) varietas Kaba Setelah Dielisitasi dengan Elisitor Logam Mg+, Cu2+, dan Co2-. Skripsi Jurusan Biologi FMIPA Unisma Malang. Sjahril R, dkk, 2011. Pembiakan In Vitro. Program studi Agroteknologi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin: Makassar Suciati A, 2012. Pengaruh lama perendaman dan fermentasi Terhadap kandungan HCN pada tempe Kacang koro (Canavalia ensiformis L). Skripsi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin: Makassar Suharyanto.2008. Ketahanan Pakan untuk Ketahanan Pangan. http://unib. ac.id/blog/suharyanto/ 2008/03/ 13/ketahanan - pakan untuk ketahanan - pangan /. Di Akses tanggal 20 Maret 2014. Wiendi NMA, GA Wattimena, LW Gunawan. 1991. Bioteknologi Tanaman.Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB: Bogor
Prosiding Seminar NasionalBiologi / IPA danPembelajarannya
Windarti, dkk, 2010. Sifat Nutrisional Protein Rich Flour (PRF) Koro Pedang (Canavalia ensiformis).Agrotek. Vol4. No. 1,2010 :18-26 Wetter dan Constabel, 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman , Edisi
II (Terjemahan). Penerbit IPB : Bandung
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang | 1003