MATEMATIKA SEKOLAH DAN PEMBELAJARANNYA Subanji Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang Abstrak: Terdapat dua pandangan berbeda terhadap matematika sekolah. Pertama, matematika dipandang sebagai kumpulan aturan-aturan yang harus dimengerti, perhitungan-perhitungan aritmatika, persamaan aljabar yang misterius, dan bukti-bukti geometris. Kedua, matematika dipandang sebagai ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Sebagai konsekuensinya, pandangan pertama lebih cocok apabila matematika diajarkan dengan mengacu kepada behaviorisme dan pandangan kedua lebih cocok bila ajarkan dengan mengacu kepada konstruktivisme. Kata Kunci: matematika sekolah, pembelajaran matematika, behaviorisme, konstruktivisme. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat memberikan dampak pada perubahan tuntutan hidup masyarakat. Perkembangan yang sangat dinamis membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi secara cepat. Untuk mampu beradaptasi secara cepat diperlukan pengembangan pola pikir yang baik. Pola pikir dapat terbentuk secara baik apabila pembelajaran dilakukan dengan membiasakan siswa untuk berpikir. Dengan demikian skema yang dimiliki oleh siswa dapat berkembang secara optimal. Karena itu perubahan pola pembelajaran merupakan hal utama untuk bisa menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir mengonstruksi pengetahuan sendiri didasari oleh perubahan pemahaman orang terhadap keunikan manusia. Bahwa siswa tidak bisa dipandang sebagai gelas kosong yang akan diisi oleh guru. Tetapi siswa secara fitrahnya merupakan individu unik yang memiliki potensi untuk mengembangkan pola pikirnya. Karena itu dalam pembelajaran, peran guru juga mengalami perubahan dari yang semula “memberi” pengetahuan kepada siswa menjadi “memfasilitasi” siswa untuk belajar (fasilitator).
Pembelajaran yang berorientasi pada pemberdayaan berpikir siswa, nampaknya merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda lagi. Karena hakekat pembelajaran adalah mengembangkan berpikir siswa, sehingga mampu memecahkan masalahmasalah dalam kehidupannya yang cukup dinamis. Untuk itu perlu ada upaya meningkatkan kualitas pendidikan matematika. PRINSIP DAN STÁNDAR PENDIDIKAN MATEMATIKA Menurut NCTM (2000), ada 6 (enam) prinsip dasar untuk mencapai pendidikan matematika yang berkualitas tinggi meliputi: (1) kesetaraan/ keadilan/ pemerataan, (2) kurikulum, (3) pengajaran/pembelajaran, (4) belajar, (5) penilaian, dan (6) teknologi. Dalam prinsip pemerataan, prestasi matematika yang tinggi diharapkan tidak hanya pada siswa-siswa tertentu tetapi untuk semua siswa. Prinsip kurikulum bahwa harus disusun kurikulum yang tidak hanya sekumpulan aktifitas tetapi harus koheren, difokuskan pada matematika yang penting dan berkaitan secara jelas antar tingkatan. Prinsip pembelajaran, menekankan bahwa tugas guru adalah mendorong siswannya untuk berpikir, bertanya, menyelesaikan masalah, mendiskusikan ide-ide, strategi dan hasil penyelesaian masalah dari siswa. Prin-
1
2, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
sip belajar menekankan bahwa siswa harus belajar matematika dengan pemahaman/ penalaran, secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Belajar matematika tidak hanya berkaitan dengan keterampilan berhitung, tetapi perlu kecakapan berpikir dan bernalar secara matematis dalam menyelesaikan soal-soal baru dan mempelajari ideide baru yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Prinsip penilaian, menjelaskan bahwa penilaian harus dilakukan secara terus-menerus untuk memperoleh gambaran kemajuan belajar siswa, untuk mendorong belajar siswa, dan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Prinsip teknologi, menjelaskan bahwa teknologi penting untuk pembelajaran matematika karena memungkinkan untuk melakukan eksplorasi lebih luas dan memperbaiki penyajian ide-ide matematika. STANDAR ISI DAN STANDAR PROSES NCTM (2000) juga menjelaskan bahwa terdapat dua standar di matematika sekolah, yaitu standar isi dan standar proses pendidikan matematika sekolah. Standar isi berkaitan dengan materi matematika yang perlu diberikan di sekolah meliputi: Bilangan dan Operasinya, Aljabar, Geometri, Pengukuran, Analisis Data dan Probabilitas. Dalam bilangan dan operasinya antara lain mencakup: memahami bilangan (menyatakan bilangan dan hubungan antar bilangan), memahami pengertian operasi dan dapat mengoperasikan bilangan. Materi aljabar antara lain mencakup: (1) memahami pola, hubungan, dan fungsi; (2) menyatakan matematika dalam bentuk aljabar, dan (3) menggunakan model matematika untuk memecahkan masalah. Geometri mencakup antara lain: (1) menganalisis sifat-sifat bangun dua dimensi dan tiga dimensi, (2) menggambar koordinat, (3) menggunakan transformasi dan simetri untuk menganalisis masalah matematika, dan (4) menggunakan pemodelan geometri untuk memecahkan masalah. Pengukuran antara lain mencakup: (1) memahami apa saja yang dibutuhkan
untuk mengukur suatu benda dan (2) dapat menggunakan alat ukur dan dapat mengukur secara tepat. Analisis data dan peluang mencakup, antara lain: (1) memahami teknik mengumpulkan data dan menyatakannya; (2) menggunakan statistika yang tepat untuk menganalisis data; (3) mengembangkan dan mengevaluasi kesimpulan serta prediksi dari data yang ada; dan (4) memahami dan mampu menerapkan konsep dasar peluang. Standar proses berkaitan dengan proses pembelajaran matematika, yang meliputi: (1) pemecahan masalah, (2) penalaran dan bukti, (3) komunikasi, (4) koneksi (hubungan), dan (5) representasi. Lebih jauh, dalam standar proses, dijelaskan bahwa guru perlu melakukan beberapa perubahan kegiatan di kelas: (1) mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas metamatika, (2) menjadikan penalaran dan bukti matematika sebagai alat pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk memutuskan suatu kebenaran, (3) mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur, (4) mementingkan membuat dugaan, penemuan dan pemecahan masalah dan menjauhkan dari pembelajaran yang hanya menekankan prosedur (penemuan jawaban secara mekanis), dan (5) mengaitkan matematika, ide-ide dan aplikasinya, supaya matematika tidak hanya diperlakukan sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang kering (terpisahkan dari kehidupan). PENGARUH PANDANGAN TERHADAP MATEMATIKA KE PRAKTIK PEMBELAJARAN Pada dasarnya proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh pandangan terhadap matematika dan sebaliknya. Dalam pandangan tradisional, matematika adalah kumpulan aturan-aturan yang harus dimengerti, perhitungan-perhitungan aritmatika, persamaan aljabar yang misterius, dan buktibukti geometris. Pemahaman ini muncul sebagai dampak dari pembelajaran yang dilakukan, yang disebut sebagai pengajaran tradisional. Pengajaran ini dimulai dengan
Subanji, Matematika Sekolah dan Pembelajarannya,3
penjelasan oleh guru ide-ide yang ada di buku, dilanjutkan dengan menunjukkan kepada siswa bagaimana mengerjakan latihan soal. Fokus utama pengajaran adalah mendapatkan jawaban. Selanjutnya guru menjustifikasi apakah jawaban siswa, benar atau salah. Pengajaran tersebut sangat tidak menyenangkan, hanya sedikit siswa yang baik dalam belajar aturan dan memperoleh nilai baik, serta siswa tersebut bukan menjadi pemikir yang baik. Pandangan terhadap matematika yang lain bahwa matematika dipandang sebagai ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Menemukan dan mengungkap keteraturan/pola atau urutan dan kemudian memberikan arti merupakan makna dari mengerjakan dan belajar matematika. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dunia penuh dengan pola dan urutan. Matematika menyelidiki pola ini, memberi arti, dan menggunakannya dalam berbagai cara yang menarik, untuk memperbaiki dan memperluas cakrawala hidup. Yang paling mendasar di matematika adalah bahwa matematika dapat dipahami atau masuk akal. Konsekuensinya: (1) setiap hari siswa harus mendapatkan pengalaman bahwa matematika masuk akal, (2) para siswa harus percaya bahwa mereka mampu memahami matematika, (3) para guru harus menghentikan cara mengajar dengan memberi tahu segalanya kepada siswa dan harus mulai memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami matematika yang dipelajari, dan (4) akhirnya para guru harus percaya terhadap kemampuan siswa. Untuk itu dalam praktik pembelajaran matematika di kelas perlu mempertimbangkan teori Konstruktivisme. PANDANGAN KONSTRUKTIVISME DAN PERUBAHAN ORIENTASI PEMBELAJARAN Hal yang sangat menarik dalam belajar matematika adalah mengembang-kan pemahaman matematika yang dikaji berdasarkan Teori Konstruktivisme. Prinsip dasar dari Teori ini adalah anak-anak
mengonstruksi sendiri pengetahu-annya. Mengonstruksi pengetahuan adalah suatu usaha yang sangat aktif oleh Pelajar Untuk mengonstruksi atau memahami ide baru diperlukan pemikiran yang aktif tentang ide tersebut. Selanjutnya mengonstruksi pengetahuan memerlukan pemikiran reflektif, yakni secara aktif memikirkan ide. Berpikir reflektif berarti mengubah melalui ide-ide yang ada untuk mencari ide-ide yang kiranya paling berguna untuk memberi arti terhadap ide baru. Teori Konstruktivisme berakar kuat dari psikologi kognitif yang dipelopori oleh Piaget. Dalam menghadapi masalah, seseorang akan melakukan proses adaptasi. Dalam hal ini akan terjadi proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi merujuk pada penggunaan skema yang ada untuk memberi arti terhadap pengalaman. Akomodasi adalah proses mengubah skema sehingga bisa menginterpretasi suatu pengalaman (gagasan/ide). Proses asimilasi dan akomodasi yang terjadi ketika seseorang memecahkan masalah dijelaskan oleh Subanji (2007) seperti Diagram 1 berikut.
Gambar 1. Terjadinya Asimilasi dan Akomodasi
Asimilas i Struktur Masalah
Akomodasi Struktur Masalah
Skema
Skema
Asimilasi
Akomodasi Integrasi
menyatakan kesesuaian antara struktur masalah dan skema yang dimiliki.
4, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
menyatakan ketidaksesuaian antara struktur masalah dan skema yang dimiliki Pemahaman matematika menggunakan Teori Konstruktivisme ini termasuk bagaimana siswa mengonstruksi pemecahan masalah secara berbeda-beda tetapi masuk akal, dan bagaimana siswa bisa mengalami kesalahan dalam mengonstruksi suatu pengetahuan. Sebagai contoh, siswa bisa berbedabeda dalam memperoleh/ mengonstruksi nilai π tetapi keduanya sama-sama masuk akal. Pertama, siswa memiliki pengalaman dalam memperoleh nilai dengan melakukan eksperimen membagi keliling lingkaran yang berbeda-beda dengan panjang diameternya. Siswa pertama melakukan eksperimen mengukur keliling lingkaran A yang berdiameter 7 cm; lingkaran B berdiameter 14 cm, dan lingkaran C berdiameter 21 cm.
Gambar 2. Lingkaran untuk Eksperimen
A
B
C
Dalam hal ini lingkaran dimodelkan dengan media stereoform sehingga mudah diukur kelilingnya menggunakan benang. Dari pengukuran diperoleh keliling lingkaran A = 22 cm, keliling lingkaran B = 44 cm, dan keliling lingkaran C = 66 cm. Siswa pertama membandingkan keliling lingkaran dengan panjang diameternya, diperoleh:
=
,
=
=
lingkaran dengan diameternya selalu tetap = , dan nilai yang tetap tersebut disebut Kedua, Siswa memiliki pengalaman melakukan percobaan membandingkan keliling dengan diameter yang berbeda dengan siswa pertama. Dengan masalah sama diameter lingkaran A = 7 cm, diameter lingkaran B = 14 cm, dan diameter linkaran C = 21 cm. Pada awalnya sama-sama mengukur diameter dan kelilingnya, namun dalam membandingkannya, siswa kedua melakukannya sebagai berikut. Dari benang yang dililitkan pada lingkaran A, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 7 cm.
Gambar 3. Percobaan 1 Keliling lingkaran
Sisa 1 cm
diameter
Diameter dibandingkan dengan keliling yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 1 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut. = Dari kawat yang dililitkan pada lingkaran B, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 14 cm.
Gambar 3. Percobaan 2 Keliling lingkaran Sisa
Dari percobaannya siswa pertama menyimpulkan bahwa perbandingan keliling
diameter
2 cm
Subanji, Matematika Sekolah dan Pembelajarannya,5
Diameter dibandingkan dengan keliling lingkaran B yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 2 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut. = Dari kawat yang dililitkan pada lingkaran C, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 21 cm.
Gambar 4. Percobaan 3 Keliling lingkaran
Sisa 3 cm
diameter
Diameter dibandingkan dengan keliling lingkaran C yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 3 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut. = Dari percobaannya siswa kedua menyimpulkan bahwa perbandingan keliling lingkaran dengan diameternya selalu tetap, dan nilai yang tetap tersebut disebut . Dari kedua kasus tersebut, terlihat bahwa proses mengonstruksi berbeda, tetapi hasil konstruksinya adalah sama dan keduanya masuk akal. Konstruktivisme merupakan sebuah teori yang mempelajari bagaimana seseorang belajar. Teori ini lebih memandang bagaimana belajar itu berlangsung. Guru tidak akan dapat memilih untuk memiliki
siswa yang konstrukstif suatu hari dan tidak konstruktif pada hari lain. Karena itu belajar hafalanpun juga merupakan sebuah konstruksi, tetapi “konstruksi yang lemah”. Bahkan bisa jauh dari “titik-titik” matematis yang berguna untuk konstruksi pemahaman. Sesuai dengan Teori Konstruktivisme, mengajar bukanlah soal mentransfer informasi kepada siswa dan bahwa belajar bukanlah secara pasif menyerap informasi dari buku atau guru. Sebaliknya guru harus membantu siswanya mengonstruksi ide mereka sendiri dengan menggunakan ide-ide yang telah dimiliki. Subanji (2010) menegaskan bahwa dengan perkembangan paradigma pendidikan, dari pandangan behaviorisme ke pandangan konstruktivisme, perlu perubahan peran guru dari “memindahkan informasi dalam proses pembelajaran” ke arah “pemberian pengalaman, dan pengembangan berpikir (kognisi)”. Sehingga peran guru berubah dari “memberi/mengajar” menjadi “ fasilitator” yang memfasilitasi siswa agar mampu belajar secara mandiri. Hal ini juga ditegaskan oleh Ticha dan Hospesova (2006). This means, in a very simplified way, that education should move from the mere transmission of information, instructions and algorithms in the teaching/learning process to cog-nising, experiencing, acting, co-mmunicating... and developing a thirst for self-education. This approach requires changes in the teacher’s role that promote new dimensions and become more demanding. The teacher becomes a facilitator, diagnostician, promoter, guide to knowledge and initiator. PEMAHAMAN RELATIONAL versus INSTRUMENTAL Pemahaman merupakan ukuran kualitas dan kuantitas hubungan suatu ide dengan ide yang telah ada (dimiliki). Pemahaman sangat bergantung pada modal ide sesuai yang dimiliki dan kualita hubungan antar ide tersebut. Salah satu cara
6, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
untuk memikirkan pemahaman individu adalah bahwa pemahaman itu berada di atas garis kontinyu. Puncak pemahaman berisi hubungan yang sangat banyak. Ide yang dipahami dihubungkan dengan banyak ide lain oleh jaringan konsep dan prosedur yang bermakna. Dua titik ujung tersebut oleh Skem (dalam Kennedy, 2008) dinamai pemahaman relasional (relational understanding) dan pemahaman instrumental (instrumental understanding). Pemahaman relasional merupakan jaringan ide yang kaya, terkait satu ide dengan ide yang lain secara bermakna. Sebagai contoh, dalam be;lajar pecahan senilai dilakukan dengan menggunakan media balok-balok berikut. Misalnya diberikan balok utuh panjangnya 1 meter.
Gambar 5. Balok untuk Eksperimen
.
1
menjadi 8 bagian sama. Balok kelima dipotong menjadi 16 bagian sama. Dari balok yang dipotong-potong tersebut, pecahan-pecahan yang terbentuk meliputi: ,
,
, dan . Dari gambar-gambar balok sebagai representasi dari pecahan tersebut, terlihat bahwa ada hubungan antar konsep: 1 bagian dari 2 (dua) potongan (balok kedua) sama dengan 2 bagian dari 4 (empat) potongan (balok ketiga) sama dengan 4 bagian dari 8 (delapan) potongan (balok keempat) sama dengan 8 bagian dari 16 (enam belas) potongan (balok kelima). Sehingga hubungan konsep tersebut bisa ditulis: = Artinya
=
= nilainya sama dengan
,
, dan
. Pecahan-pecahan tersebut disebut pecahan senilai. Konsep pecahan senilai tersebut bisa digunakan untuk membentuk pemahaman relasional dalam menjumlahkan pecahan berpenyebut berbeda, seperti menjumlahkan . dan merupakan dua pecahan yang memiliki satuan (selanjutnya disebut penyebut) berbeda. merupakan 2 bagian dari 3 satuan (pecahan berpenyebut 3). merupakan 3 bagian dari 4 satuan (pecahan berpenyebut 4). Dalam bentuk representasi gambar dan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 6. Representasi gambar ……………………………………… …………………………….
Balok kedua dipotong menjadi 2 bagian sama. Balok ketiga dipotong menjadi 4 bagian sama. Balok keempat dipotong
dan
Subanji, Matematika Sekolah dan Pembelajarannya,7
Karena memiliki satuan/penyebut yang berbeda, maka perlu dibuat satuan baru yang bisa mewakili keduanya. Salah satu caranya adalah dengan mengubah kedua pecahan tersebut dengan menggunakan pecahan senilai.
Dalam kasus ini hasil penjumlahannya melebihi satuannya. Untuk menghitungnya, dapat dibandingkan hasil penggabungannya dengan satuan yang digunakan. Karena satuan yang digunakan sebanyak 12 maka hasil penggabungannya dibandingkan dengan satuan tersebut. Gambar 9. Representasi Hasil Satuan (terbagi 12)
Dari pecahan senilai tersebut, dapat diketahui bahwa pecahan dan (yang memiliki satuan/ penyebut berbeda) senilai dengan pecahan dan yang memiliki satua/penyebut sama. Selanjutnya dapat direpresentasikan pecahan dan dengan gambar seperti berikut.
Gambar 7. Representasi gambar
dan
Hasil Penggabungan
Hasil penjumlahannya adalah 17 dari dua belas satuan atau satu satuan dan 5 dari dua belas satuan. Biasanya ditulis: +
Selanjutnya menjumlahkan pecahan dan dapat direpresentasikan sebagai penggabungan balok yang diarsir seperti berikut.
Gambar 8. Representasi gambar penjumlahan pecahan.
+
=
= 1+
Sedangkan pemahaman instrumental merupakan jaringan ide yang terpisah-pisah tanpa makna. Pengetahuan yang diperoleh dengan hafalan berada pada pemahaman instrumental, karena terbentuk dari proses konstruksi yang terpisah-pisah tanpa makna. Pemahaman instrumental biasanya dihasilkan dari proses pembelajaran yang menekankan prosedur. Sebagai contohnya, dalam menjumlahkan pecahan berpenyebut berbeda, langsung disampaikan oleh pengajar dengan cara menyamakan penyebut. Langkah-langkah menyamakan penyebut adalah dengan mencari KPK dari penyebut tersebut. Misalnya menjumlahkan . Penyebut dan masing-masing 3 dan 4, sehingga kelipatan persekutuan terkecil (KPK) nya adalah 12. Sehingga diperoleh = = = 1 . Dalam proses ini,
8, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
hanya ditekankan pada prosedur, "POKOK" nya untuk menyamakan penyebut dilakukan dengan mencari KPK nya. Proses tersebut bisa jadi tidak bermakna bagi siswa. Kenapa harus disamakan penyebut? Kenapa harus dengan kelipatan persekutuan terkecil (KPK)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa terjawab, sehingga siswa hanya menghafal prosedur yang sudah ditetapkan. Hal ini yang menunjukkan ketidakbermaknaan. Karena itu dalam pembelajaran akan lebih baik bila lebih banyak menekankan pemahaman relasional daripada pemahaman instrumental. Untuk mengembangkan pemahaman relasional perlu banyak usaha. Konsep dan hubungan berkembang sepanjang waktu bukan hanya dalam satu hari. Tugastugas dan bahan-bahan harus dipilih dan dibuat untuk bisa terjadinya kerja kelompok dan interaksi antar siswa. Beberapa keuntungan bila mengembangkan pemahaman relasional adalah memberi kepuasan, meningkatkan ingatan, tidak terbebani untuk mengingat, membantu mempermudah mempelajari konsep dan cara baru, meningkatkan kemampuan masalah, membangun sendiri pemahaman, memperbaiki sikap dan rasa percaya diri. PENGETAHUAN KONSEP versus PROSEDURAL Pendidik matematika membedakan pengetahuan dalam dua bentuk, yakni pengetahuan konsep dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan konsep adalah pengetahuan yang berisi banyak hubungan atau jaringan ide (Hiebert & Lefevre, 1997). Sedangkan Carpenter (dalam Kennedy, 2008) menyatakannya secara ringkas, pengetahuan konsep adalah pengetahuan yang dipahami. Pengetahuan prosedur adalah pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan tugastugas matematika, yang mencakup pengetahuan tentang langkah demi langkah dalam menyelesaikan tugas matematika. Seringkali tugas-tugas yang diselesaikan hanya dengan prosedural tidak
membantu anak untuk memahami suatu konsep. Keterampilan menggunakan prosedur tidak akan membantu mengembangkan pengetahuan konsep yang terkait dengan prosedur tersebut (Herbert, 1997). Karena itu mengaitkan prosedur dengan konsep jauh lebih penting dari pada menggunakan prosedur itu sendiri. Dalam pembelajaran, aturan yang bersifat prosedural seharusnya jangan diajarkan tanpa disertai konsep. Prosedur-prosedur tanpa dasar konsep hanyalah akan merupakan aturan tanpa alasan yang akan membawa kepada kesalahan dan ketidaksukaan terhadap matematika. Ada tiga faktor yang dapat digunakan untuk mengembangkan pembelajaran di kelas, yakni: (1) mengkondisikan berpikir reflektif siswa, (2) menciptakan interaksi sosial antar siswa dan siswa-guru, dan (3) menggunakan model atau alat-alat untuk belajar. Berpikir reflektif adalah kegiatan aktif untuk menjelaskan sesuatu atau mencoba menghubungkan ide-ide yang terkait. Berpikir reflektif terjadi ketika siswa mencoba memahami penjelasan dari orang lain, ketika mereka bertanya, ketika mereka menjelaskan atau menyelidiki kebenaran ide mereka sendiri. Kita tidak bisa hanya menyuruh siswa berpikir dan mengharapkan mereka memikirkan ide baru. Yang harus dikondisikan oleh guru adalah bagaimana siswa terlibat dalam berpikir. Kunci penting agar anak-anak dapat berpikir reflektif adalah dengan melibatkan mereka dalam soal yang memaksa mereka untuk menggunakan ide-ide yang mereka miliki untuk memecahkan masalah dan membuat ide-ide baru. Berpikir reflektif bisa menjadi lebih meningkat ketika siswa terlibat dengan pekerjaan temannya. Suasana interaktif merupakan kesempatan terbaik bagi siswa untuk belajar dalam tahapan reflektif. Interaksi yang banyak di dalam kelas akan dapat meningkatkan peluang terjadinya berpikir reflektif yang produktif. Proses interaksi antar siswa ini dijelaskan oleh Teori
Subanji, Matematika Sekolah dan Pembelajarannya,9
Vygotsky bahwa interaksi social sebagai komponen penting dalam pengembangan pengetahuan. Proses berrpikir terjadi ketika ada interaksi sosial antar siswa, sehingga terjadi proses saling bertukar ide dan menstranfer ide. Interaksi hanya terjadi dalam Zona Proximal Development (ZPD) setiap siswa. ZPD bukan ruang fisik tetapi merupakan ruang simbolik yang dibuat melalui interaksi dengan siswa yang berpengetahuan lebih banyak dan dengan budaya mereka. Lebih jauh Vygotsky menjelaskan bahwa ide-ide yang berada di kelas, yang berada di buku, dan yang ada di pikiran guru bisa berbeda dengan ide-ide yang dikonstruksi oleh anak. Ide-ide yang diformulasikan dengan baik yang datangnya dari luar dinamakan konsep-konsep ilmiah. Sedangkan ide-ide yang dikembangkan oleh anak disebut sebagai konsep-konsep spontan.
Konsep-konsep Ilmiah (dari luar) Zona of Proximal Developmnet Konsep-konsep Spontan (dikembangkan dari dalam)
Dalam kerangka kerja Vygotsky ini, siswa dapat bekerja secara bermakna dengan konsep-konsep ilmiah dari luar termasuk dari diskusi di dalam kelas. Di sini pemahaman konsep yang dimiliki oleh anak cukup untuk mengambil ide-ide dari atas. Di dalam komunitas belajar matematika di kelas, kegiatan belajar siswa dapat ditingkatkan melalui pemikiran reflektif yang dinaikkan oleh interaksi sosial. Pada saat yang sama manfaat dari interaksi bagi masing-masing anak adalah adanya per-
luasan yang diakibatkan oleh ide-ide anak yang dibawa anak ketika diskusi. Untuk dapat meningkatkan pembelajaran di kelas, maka guru perlu menciptakan situasi yang mendukung. Dalam hal ini, ada empat ciri budaya kelas matematika yang dijelaskan oleh Hiebert, dkk (1997): 1. Ide-ide adalah hal penting, tidak peduli milik siapa ide tersebut. Para siswa dapat memiliki ide-ide mereka sendiri dan membaginya dengan yang lain. 2. Ide-ide harus dipahami bersama di dalam kelas. Setiap siswa harus menghargai ide-ide dari temannya dan mencoba menilai dan memahaminya. 3. Kepercayaan harus dibangun dengan pemahaman bahwa membuat kesalahan tidak menjadi masalah. Siswa harus menyadari bahwa kesalahan adalah kesempatan untuk berkembang. Harus dibangun keyakinan pada siswa bahwa ide yang salahpun akan bisa didiskusikan sehingga bisa mengubah dan memperoleh kesimpulan yang benar. 4. Para siswa harus memahami bahwa matematika dapat dipahami atau masuk akal. Sebagai akibatnya kebenaran suatu hasil didasarkan pada matematika sendiri, bukan guru atau pihak lain. PERANAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Dalam pembelajaran matematika sangat penting untuk menekankan media (peraga) untuk mengembangkan pemahaman siswa. Benda-benda fisik atau manipulatif untuk memodelkan konsep-konsep matematika merupakan alat-alat yang penting untuk membantu siswa belajar matematika. Dalam hal ini konsep matematika berisi hubungan-hubungan logis yang dikonstruksi di dalamnya dan yang ada dalam pikiran sebagai bagian dari jaringan ide. Model untuk sebuah konsep matematika merujuk kepada sebarang objek atau gambar yang menyatakan konsep tersebut atau yang padanya hubungan konsep dapat dikaitkan. Yang tidak benar adalah sebuah model “menggambarkan”/menunjukkan sebuah
10, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
konsep. Ini berarti model hanyalah sebuah contoh dari konsep. Secara teknis, semua yang dilihat oleh siswa adalah objek fisik dan hanya otak siswa yang dapat mengaitkan hubungan matematika dengan objek tersebut (Thompson, 1994). Bagi siswa yang belum memiliki hubungan, maka model tidak bisa menggambarkan suatu konsep. Sebagai contoh model yang menggambarkan hubungan antara objek dan konsep adalah konsep "enam". Dalam hal ini konsep “enam” adalah hubungan antara himpunan yang dapat dipasangkan dengan kata-kata satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Mengubah himpunan dengan menambah satu berarti mengubah hubungan. Perbedaan antara himpunan yang berisi 6 dan 7 adalah hubungan “satu lebih dari”. Konsep “ukuran panjang” adalah perbandingan panjang dari objek-objek berbeda. Suatu batang kayu bisa diukur panjangnya dengan jengkal, depa, atau mungkin dengan potongan kayu yang lain.
Misalnya luas daerah persegi panjang dengan panjang 5 meter dan lebar 3 meter. Gambar 11. Konsep Luas 5m
3m
Daerah persegi panjang tersebut dapat ditutup dengan daerah persegi panjang lain, seperti berikut. Gambar 12. Satuan Luas dengan Persegi Panjang
Gambar 10. Konsep Ukuran Panjang
Batang kayu besar panjangnya "empat" batang kayu kecil, mungkin "delapan" depa, atau "enam belas" jengkal. Pengukuran panjang tersebut akan menghasilkan ukuran panjang yang berbeda-beda, manakala potongan batang kayu kecil berbeda, atau depa/jengkal orang yang berbeda. Karena itu dibutuhkan standar yang bisa diterima oleh semua orang, akhirnya ditetapkan satuan panjang standar: mm, cm, dm, m, dm, hm, km, dan sebaginya. Konsep “luas daerah persegi panjang” memuat hubungan perbandingan bidang dengan bidang lain.
Luas daerah persegi panjang "besar" tersebut adalah "enam persegi panjang kecil". Dalam hal ini persegi panjang kecil sebagai satuan luas. Apabila daerah persegi panjang besar ditutup dengan segitiga kecil, maka luas daerah persegi panjang tersebut adalah "dua belas segitiga kecil". Dalam hal ini "segitiga kecil" sebagai satuan luas. Gambar 13. Satuan Luas dengan Segitiga
Mungkin pula menutup persegi panjang tersebut dengan bangun-bangun
Subanji, Matematika Sekolah dan Pembelajarannya,11
datar lain, seperti lingkaran, trapesium, jajar genjang, dan sebagainya. Namun seringkali tidak mudah menutup bangun dengan bangun yang lain secara tepat. Karena itu "satuan" persegi panjang kecil, segitiga kecil, lingkaran, dan sebagainya disebut "satuan tidak baku". Penggunaan "satuan tidak baku" menyebabkan hasil pengukuran yang berbeda-beda, sehingga pengukuran luas dengan satuan tidak baku tersebut tidak bisa dijadikan pedoman. Selanjutnya ada bangun yang selalu bisa menutup secara tepat bangun yang lain, yaitu persegi, sehingga persegi dijadikan ukuran satuan luas yang baku. Persegi panjang di atas bisa ditutup dengan tepat menggunakan persegi dengan panjang sisi 1 m.
Gambar 14. Satuan Luas Baku 1m 1m
Persegi dengan panjang sisi 1 m tersebut, sering disebut persegi satuan dan biasa di tulis satu meter persegi atau disimbolkan dengan 1 Selanjutnya luas daerah persegi panjang di atas bisa dihitung dengan menggunakan satuan persegi.
Gambar 15. Luas Persegi Panjang dengan Satuan Baku
Bahwa untuk menutup daerah persegi panjang berukuran panjang 5 m dan lebar 3
m dibutuhkan 15 persegi satuan bersisi 1 m. Dengan kata lain luas daerah persegi panjang tersebut adalah 15 . Konsep “kemungkinan” adalah hubungan antara frekuensi dari suatu kejadian dibandingkan semua hasil yang mungkin. Konsep “bilangan bulat negatif” didasarkan pada hubungan besar dan arah berlawanan. Kuantitas negatif hanya ada di dalam hubungan dengan kuantitas positif. Konsep-konsep tersebut dapat dibangun dengan menggunakan model (peraga) yang bisa mempermudah proses konstruksi konsep. PENUTUP Untuk meningkatkan pendidikan matematika sekolah dibutuhkan prinsip dan standar. Prinsip pendidikan matematika meliputi: kesetaraan, kurikulum, pembelajaran, belajar, penilaian, dan teknologi. Standar pendidikan matematika terdiri dari standar isi dan standar proses. Standar isi matematika di sekolah mencakup: bilangan dan operasinya, aljabar, geometri, pengukuran, analisis data dan probabilitas. Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran matematika sekolah, dibutuhkan standar proses pembelajaran. Standar proses mencakup: pemecahan masalah, penalaran dan bukti, komunikasi, koneksi, dan representasi. Dalam praktiknya pembelajaran matematika dipengaruhi oleh pandangan terhadap matematika. Terdapat dua pandangan berbeda terhadap matematika: (1) matematika adalah kumpulan aturan-aturan yang harus dimengerti, perhitungan-perhitungan aritmatika, persamaan aljabar yang misterius, dan bukti-bukti geometris; dan (2). matematika dipandang sebagai ilmu tentang pola keteraturan dan urutan yang logis. Konsekuensinya, pandangan bahwa matematika sebagai kumpulan aturan lebih cocok bila matematika diajarkan dengan mengacu kepada behaviorisme. Sedangkan pandangan bahwa matematika sebagai suatu keteraturan dan urutan logis, lebih cocok bila ajarkan dengan mengacu kepada konstruktivisme.
12, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
DAFTAR RUJUKAN Herbert P.,dkk 1997. Children’s Learning: A Cognitive View. Journal Research Mathematics Education. Monograph No.4. Hospesova, A. & Ticha, M., 2006. Qualified Pedagogical Reflection as A Way to Improve Mathematics Educa-tion. Journal of Mathematics Teachers Education, 9, 129–156. Kennedy, dkk. 2008. Guiding Children’s Learning of Mathematics. Thomson wadsworth. NCTM. 2000. Prinsiple and Standards for School Mathematics. Reston: The
National Council Mathematics, Inc.
of
Teacher
Subanji, 2007. Proses Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional Mahasiswa dalam Mengonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Subanji, 2010. Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teachers Quality Improvement Program (TEQIP) Berbasis Lesson Study. J-TEQIP. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru Edisi 1 Nomor 1: pp 1 – 11.