INVENTARISASI PENYAKIT KANKER BATANG PADA ACACIA MANGIUM WILLD. DI BUKIT SOEHARTO, KALIMANTAN TIMUR Inventory of Stem Canker Disease on Trees of Acacia mangium Willd. in Bukit Soeharto, East Kalimantan
Yusran1), Djumali Mardji2) dan Agus Sulistyo Budi3)
Abstract. This research aimed at determining causal agent of stem canker disease of Acacia mangium, disease incidence and severity. This research was undertaken at the Education Forest of Mulawarman University Bukit Soeharto, in the laboratory of the Center for Tropical Forest Research (PPHT) and in the Laboratory of Forest Protection, Faculty of Forestry Mulawarman University Samarinda from October 2001 to June 2002. Results of the research showed that the causal agent of the stem canker disease of Mangium trees was a kind of fungi belonged to the class Basidiomycetes. The incidence (frequency) and severity (intensity) of the infected stem between trees on the top of hill and the valley and also on the saplings and trees were not significantly different, hence there was no influence of different topography and growth level of the plants on the incidence and severity. Infection severities on the saplings and trees were in the level of moderately damage. Kata kunci: patogen, frekuensi, intensitas, lembah, puncak.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan dan penyediaan bahan baku industri perkayuan dalam jumlah yang cukup secara berkesinambungan. Salah satu jenis yang dianjurkan untuk ditanam dalam proyek HTI adalah jenis Acacia mangium Willd. (mangium). Kayu mangium dapat digunakan sebagai moulding, meubel, arang, kayu bakar, papan partikel dan pulp (Anonim, 1989). Menurut Sutisna (1999), kayu mangium dapat digunakan untuk meubel yang baik, rangka pintu dan jendela. Kayu ini mempunyai kalori yang cukup yaitu 4.800–4.900 cal/kg, karenanya cukup baik untuk kayu energi. Panjang seratnya antara 1,0–1,2 mm, sehingga dapat menghasilkan pulp bermutu baik. Tanaman mangium memiliki sifat pertumbuhan tajuk yang dalam waktu singkat dapat menutup tanah, sehingga dapat mengatasi peliaran alang-alang dan gulma lainnya serta daunnya yang lebar dan tebal baik sekali digunakan sebagai tanaman sekat __________________________________________________________________________________________________________________________
1) Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu 2) Laboratorium Perlindungan Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Anatomi dan Biologi Kayu Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
206
207
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
bakar (Sindusuwarno dan Utomo, 1981). Untuk keperluan pelaksanaan HTI dilakukan penyiapan lahan di areal hutan produksi, lahan kurang produktif, padang alang-alang dan semak belukar. Pembukaan areal yang semula tertutup oleh vegetasi secara langsung atau tidak, akan mengakibatkan perubahan lingkungan setempat yang selalu diikuti pula dengan timbulnya permasalahan baru seperti munculnya tumbuhan pengganggu, penyakit yang sewaktu-waktu siap menyerang tanaman muda yang baru ditanam di lapangan sampai menjadi tegakan yang siap dipanen. Faktor pengganggu yang berupa penyakit merupakan faktor yang dapat menyebabkan kegagalan dalam pembangunan HTI. Menurut Luckman dan Metcalf (1982), komposisi tegakan di dalam hutan tanaman terdiri dari jumlah jenis yang terbatas dan bahkan sering monokultur. Dalam keadaan demikian ekologinya cenderung dapat memacu peningkatan populasi patogen seperti halnya yang terjadi pada ekosistem pertanian atau perkebunan. Sebaliknya menurut Johnson (1976), hutan monokultur yang terdiri dari jenis pohon lokal maupun jenis eksotik tidak rentan terhadap serangan patogen, terutama bila ditanam di tempat yang sesuai dan menurut Bain (1981), bila disertai dengan pemeliharaan yang baik. Peace (1957) berpendapat, bahwa serangan patogen dapat disebabkan oleh: i) faktor fisik lingkungan, seperti yang pernah dialami di tempat asalnya; ii) patogen yang terbawa dari tempat asalnya, dalam hal ini di tempat yang baru patogen tersebut menjadi lebih virulen (ganas); dan iii) disebabkan oleh patogen yang endemik di tempatnya yang baru dan jenis pohon yang ditanam rentan terhadapnya. Menurut Larsen (tanpa tahun) yang mengutip dari beberapa literatur menyatakan, bahwa selain rentan terhadap faktor biotik, hutan tanaman yang monokultur juga rentan terhadap faktor abiotik seperti angin dan api. Menurut Wirakusumah (1986), pada dasarnya hutan alam merupakan gudang (reservoir) dari penyakit dalam situasi persaingan ketat dan seleksi tinggi, dominasi oleh salah satu atau sebagian dari organisme-organisme itu tidak pernah ada. Dalam keseimbangan yang dinamik, hutan alam seolah-olah telah menciptakan suatu mekanisme sistem penangkal penyakit yang tangguh. Natawiria (1986) menyatakan, bahwa hutan campuran yang bisa berbentuk hutan tanaman atau hutan alam menyediakan makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada hutan monokultur. Pohon inang tumbuh tersebar tidak merata di dalam hutan dan kadangkadang dalam jarak yang cukup jauh, sehingga peluang patogen untuk diserang oleh musuh alaminya semakin besar. Menurut Mardji (1994), serangan patogen pada tegakan yang terdiri dari banyak jenis terjadi hanya bersifat sporadis dan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti, sebaliknya pada tegakan monokultur serangannya bersifat epidemi. Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (HPUM) di Bukit Soeharto terdiri atas berbagai tipe vegetasi penutup tanah, antara lain hutan alam bekas tebangan, belukar dan alang-alang akibat dari kegiatan perladangan penduduk serta hutan-hutan tanaman Paraserianthes falcataria, Pinus merkusii dan A. mangium yang merupakan hasil reboisasi pada sebagian lahan hutan tidak produktif tersebut.
Yusran dkk. (2006). Inventarisasi Penyakit Kanker Batang
208
Informasi mengenai penyakit pada tanaman A. mangium telah banyak dilaporkan. Salah satu penyakit yang diketahui sering timbul dan dapat menimbulkan kerusakan yang sangat berarti pada tanaman jenis ini adalah penyakit kanker batang. Penyakit tersebut pada umumnya disebabkan oleh jamur atau bakteri. Menurut Natawiria dkk. (1991), penyakit kanker batang yang disebabkan oleh jamur dapat berkembang dengan cepat atau lambat. Kanker yang tumbuh cepat dapat mencapai ukuran yang maksimal dalam satu musim, sedangkan kanker yang tumbuh lambat akan berlangsung bertahun-tahun. Jamur penyebab penyakit kanker batang umumnya berkembang di dalam kulit batang atau dalam batas-batas tertentu dapat masuk ke bagian kayu. Pada serangan yang berat, terutama pada tanaman muda dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada tanaman dewasa dapat menurunkan kualitas kayu. Old dkk. (1999) melaporkan, bahwa patogen kanker batang pada mangium adalah Botryosphaeria spp., Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griff. & Maubl. dan Dothiorella spp. Selain itu, juga dilaporkan jenis patogen kanker batang pada mangium adalah Corticium salmonicolor (pink disease), Phytophthora palmivora, Cytospora sp. dan Hypoxylon mammatum (kanker hitam) (Nair dan Sumardi, 2000). Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menginventarisasi serangan patogen kanker batang A. mangium di lapangan dan mengidentifikasi jenis patogennya. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di HPUM Bukit Soeharto Kecamatan Samboja Provinsi Kalimantan Timur dan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman dan Laboratorium Fauna Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Samarinda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2001 sampai Juni 2002 meliputi persiapan penelitian dan pelaksanaan penelitian di lapangan serta laboratorium. Sebagai objek penelitian digunakan tanaman A. mangium tingkat pancang dan pohon. 1. Penelitian di Lapangan Plot-plot pengamatan dibuat di lembah dan puncak dengan luas yang tidak ditentukan (tergantung kondisi di lapangan) pada tingkat pancang dan pohon yang masing-masing diulang sebanyak 5 kali, sehingga jumlah plot pengamatan secara keseluruhan adalah 20 plot. Plot-plot dibatasi dengan tali rafia untuk mempermudah pengenalan batas. Tanaman yang diteliti dibagi dalam 2 tingkat pertumbuhan, yaitu tingkat pancang dan pohon. Pada tingkat pohon, jarak tanam adalah 3x3 m, sedangkan pada tingkat pancang jarak tumbuhnya sangat rapat karena tumbuh secara alami. Untuk keseragaman, maka jumlah tanaman yang diamati untuk masing-masing tingkatan adalah sama, yaitu 250 pancang atau pohon. Pengambilan sampel pada tingkat pancang adalah secara acak dengan mengambil jarak sekitar 3x3 m seperti pada tingkat pohon. Tingkat pohon yang diteliti adalah berupa hasil tanaman tahun 1986.
209
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Pada setiap tanaman contoh yang telah ditentukan dilakukan inventarisasi penyakit kanker batang, yaitu dengan mencatat jumlah tanaman yang sehat dan yang terserang berikut dengan gejala serangannya. Tanaman yang sehat dan terserang dicatat berdasarkan atas kondisi tanaman yaitu sehat, terserang ringan (R), sedang (S), berat (B) dan mati (M). Pengelompokkan tingkat serangan tersebut menggunakan kriteria yang dimodifikasi dari de Guzman (1985), Singh dan Mishra (1992) seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Cara Menentukan Kriteria dan Skor Serangan pada setiap Tanaman Kriteria Sehat Terserang ringan Terserang sedang Terserang berat Mati
Kondisi pohon/gejala serangan Tidak ada gejala serangan, daun tidak rontok dan tidak klorosis ….............. Daun rontok atau klorosis sedikit, ada kanker 1 ………………………....... Daun rontok atau klorosis agak banyak, ada 1 atau lebih kanker …………. Daun rontok atau klorosis banyak, ada 1 atau lebih kanker ……………….. Seluruh daun layu atau rontok atau tidak ada tanda-tanda kehidupan, ada 1 atau lebih kanker …………………………………………………………...
Skor 0 1 2 3 4
Untuk mengetahui penyebab penyakit yang berupa mikroorganisme, maka bagian batang yang terserang diambil sebagian dengan menggunakan parang, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Setelah patogennya ditemukan di laboratorium, kemudian dilakukan inokulasi kepada batang pohon A. mangium di lapangan untuk membuktikan apakah mikroorganisme tersebut benar-benar patogen kanker batang A. mangium (Postulat Koch). 2. Penelitian di Laboratorium Media biakan yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA) dengan komposisi: kentang 200 g, dextrose (gula murni) 20 g, tepung agar-agar 20 g dan air suling 1000 ml. Proses pembuatannya adalah sebagai berikut: kentang dikupas kulitnya dan dipotong tipis-tipis, lalu dimasak dalam air suling secukupnya sampai lunak. Tepung agar-agar dilarutkan dalam air suling sebanyak 500 ml secara terpisah. Kentang yang telah lunak disaring dan diambil ekstraknya sebanyak 500 ml, kemudian dicampur dengan tepung agar-agar dan dextrose sebanyak 20 g yang telah dilarutkan. Selanjutnya larutan tersebut ditambah air suling hingga volumenya menjadi 1000 ml dan diaduk sampai merata. Campuran ekstrak kentang, agar-agar dan dextrose tersebut dimasukkan ke dalam botol erlenmeyer, selanjutnya disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121 C (tekanan 1 kg/cm2). Setelah itu media dikeluarkan dari autoclave dan selanjutnya dimasukkan ke dalam inkas. Media yang masih cair tersebut dituang ke dalam wadah pertumbuhan berupa cawan Petri berukuran tinggi 1 cm diameter 9 cm sebanyak 15 ml per cawan. Kemudian ditunggu beberapa menit sampai media isolasi siap digunakan (dingin dan padat). Bagian batang (spesimen) yang menunjukkan gejala sakit dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan bagian yang kotor (tanah atau kotoran yang bukan
Yusran dkk. (2006). Inventarisasi Penyakit Kanker Batang
210
bagian dari tanaman), lalu dipotong-potong dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm kemudian dicuci dengan air suling steril, disterilkan dengan alkohol 80 %, selanjutnya dibilas lagi dengan air suling steril dan dikeringkan pada kertas saring steril. Sesudah itu, spesimen tersebut diletakkan di permukaan media PDA, kemudian cawan petri ditutup dan pinggirnya dibalut dengan kertas parafin untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Isolat-isolat tersebut diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 26 C sampai mikroorganisme tumbuh. Isolasi mikroorganisme merupakan langkah akhir untuk mengetahui penyebab penyakit kanker batang pada tanaman A. mangium. Mula-mula preparat disiapkan dengan mengambil sebagian patogen yang telah tumbuh dalam cawan petri menggunakan jarum ose, lalu diletakkan pada gelas objek. Selanjutnya diamati dan diidentifikasi dengan mikroskop. Identifikasi dilakukan dengan melihat ciri-ciri mikroorganisme seperti bentuk hifa, ada tidaknya konidia, klamidospora dan ciriciri lainnya kemudian dibandingkan dengan literatur. Data hasil identifikasi patogen kanker batang baik yang diperoleh dari hasil isolasi tanaman sakit di lapangan maupun dari hasil isolasi kembali, diuraikan secara kualitatif berdasarkan ciri patogen yang ditemukan. Frekuensi serangan patogen (FS) dihitung menurut James (1974), yaitu: (Jumlah pohon yang sakit dan yang mati / Jumlah seluruh pohon sampel) x 100 %. Intensitas serangan (IS) dihitung dengan menggunakan rumus menurut de Guzman (1985); Singh dan Mishra (1992) yang dimodifikasi Mardji (2000) sebagai berikut: {(X0Y0 + X1Y1 + X2Y2 + X3Y3 + X4Y4) / XY4} x 100 % yang mana: X = Jumlah pohon yang diamati. X1 sampai X4 = Jumlah tanaman yang mempunyai skor 1 sampai 4. Y1 sampai Y4 = Skor 1 sampai 4 Setelah nilai IS diperoleh, selanjutnya ditentukan kondisi tanaman A. mangium untuk mengetahui seberapa berat serangan patogen kanker batang (Tabel 2). Tabel 2. Kriteria Penentuan Kondisi Tanaman Berdasarkan Intensitas Serangan Patogen Kanker Batang Intensitas serangan (%) 0,0 – 1,0 1,1 – 25,0 25,1 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100
Kondisi tanaman Sehat Rusak ringan Rusak sedang Rusak berat Rusak sangat berat
Data inventarisasi (frekuensi dan intensitas serangan patogen kanker batang), data inokulasi (waktu timbulnya gejala serangan) yang diperoleh di lapangan dianalisis dengan analisis sidik ragam dari percobaan faktorial dua faktor dengan program komputer “costat”. Frekuensi dan intensitas serangan dihitung dengan angka relatif (satuan %). Sebelum diuji secara statistik, data yang telah terkumpul ditransformasi agar nilai pengamatan mempunyai sebaran yang normal dengan ketentuan menurut Gomez dan Gomez (1984).
211
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gejala Serangan pada Tingkat Pohon Batang pohon mangium yang diteliti adalah berasal dari tanaman di areal Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman Bukit Soeharto dengan tahun penanaman 1986/1987 yang diperuntukkan bagi pencanangan program reboisasi. Adanya bencana kebakaran hutan yang melanda sebagian besar areal hutan, baik hutan alam maupun HTI di wilayah Kalimantan Timur pada tahun 1997/1998 menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pengusahaan selanjutnya. Dari hasil pengamatan di lapangan, hingga kini tanaman mangium tersebut sebagian besar masih tetap bertahan hidup namun mengalami gangguan, satu di antaranya adalah tampak dari abnormalitas pertumbuhan bentuk batang pohon yang diteliti, yakni pada bagian bekas terbakar sebagian xylem tampak terbuka dan tidak dapat tertutup oleh kallus secara sempurna. Terdapatnya beberapa bagian batang pohon yang memiliki xylem terbuka tanpa ditutupi kulit (floem) disebabkan sebelumnya telah terbakar langsung oleh api atau mendapatkan radiasi panas dengan intensitas yang cukup tinggi, sehingga kulit batang mengalami pecah vertikal dan mengelupas. Menurut Budi (1999), pola pecahnya kulit tersebut diakibatkan terjadinya pengerutan ke arah samping (horisontal) lebih banyak dan tidak seimbang dengan pengerutan ke arah vertikal akibat lebih banyaknya anggota penyusun sel yang mengarah vertikal. Selain itu, kambium yang biasanya selalu basah dan berlendir mengalami pengeringan, sehingga kehilangan daya lekatnya maka tidak didapatkan jaringan yang menghubungkan langsung antara bagian kayu dan jaringan kulit. Dalam kondisi demikian, ketahanan pohon untuk mencegah gangguan penyakit menjadi lemah. Di samping itu, xylem yang tidak tertutup oleh kallus dan lembap mudah menjadi tempat menempelnya spora jamur patogen (penyebab penyakit) yang terbawa oleh angin. Kemudian dengan dimungkinkannya oksigen (udara) keluar masuk ke dalam kayu melalui luka tersebut memberikan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan patogen untuk miselium jamur yang dapat menyebar ke bagianbagian kayu lainnya sehingga dapat menyebabkan penyakit kanker batang. Kanker pada batang terjadi di daerah bekas luka terbakar (tampak xylem yang tidak tertutup floem berwarna hitam) kurang lebih 2,5 m arah vertikal mulai dari pangkal pohon, sedangkan pada bagian sisi yang lain masih tertutupi oleh kulit. Hal ini menunjukkan bahwa kanker merupakan luka atau kematian pada kulit batang yang terjadi secara lokal. Jaringan yang masih hidup pada daerah sekitar kanker mengalami penebalan sehingga seakan-akan bagian yang sakit atau daerah kanker terlihat tenggelam dan terletak lebih rendah daripada bagian sekelilingnya. Pohon dapat hidup terus dan menahan meluasnya kanker dengan jalan membentuk kallus di sekitar kanker. Pembentukan kallus ini merupakan bentuk respon tanaman untuk mempertahankan diri dari serangan patogen. Pada pohon mangium yang diamati, ternyata kanker berkembang dengan cepat, sehingga kanker menjadi lebih luas. Kenyataan lain adalah pada daerah luka bekas terbakar masih terdapat sisa lapisan kulit (floem) yang telah mati dan rontok sehingga xylem menjadi terbuka. Pada lapisan kulit luar bentukan dari kallus tampak floem pecah-pecah dan terdapat bagian-bagian tertentu berbentuk benjolan pipih yang tidak beraturan, sedangkan
Yusran dkk. (2006). Inventarisasi Penyakit Kanker Batang
212
pada bagian lain dari batang yang sehat, terlihat floem lebih kompak dan rata (lebih halus). Akibat lain dari kanker adalah bentuk batang menjadi tidak silindris, yakni pada beberapa ketinggian tertentu diameter batang terlihat cenderung lebih besar dari pangkal. Hal tersebut disebabkan pembentukan kallus pada bagian batang di daerah bekas luka tidak sempurna. Hal ini sesuai dengan pendapat Budi (1999), bahwa pertumbuhan sel lebih banyak terkonsentrasi ke daerah luka namun biasanya hanya sampai pada ketinggian tertentu. Selain itu diduga pula meluasnya serangan patogen dalam menginfeksi xylem turut mempengaruhi perkembangan kambium yang membentuk jaringan-jaringan pertahanan. Keadaan demikian terjadi di sepanjang batang yang mengalami kanker mulai dari pangkal hingga pada ketinggian kurang lebih 2,5 m dan selanjutnya kondisi batang menjadi normal kembali, yakni kulit menutupi sekeliling lingkaran batang. Penyakit kanker batang ini kelihatannya sudah ada sebelum hutan itu terbakar pada tahun 1998, karena gejalanya telah meluas, sehingga dengan terbakarnya pohon, maka menambah merananya pohon yang sakit tersebut. Terjadinya kanker kebanyakan di pangkal batang, yang berarti jamur penyebabnya menginfeksi melalui pangkal batang atau akar. Tidak diketahui kapan dan dengan cara bagaimana jamur tersebut menginfeksi inangnya. Telah lama diketahui bahwa banyak jenis jamur mampu menginfeksi inangnya melalui luka dan tampaknya merupakan penyakit yang paling berbahaya pada tanaman mangium di lokasi penelitian ini. Sulit untuk mencegah terjadinya luka pada kulit pohon, karena banyak penyebabnya seperti akibat gigitan serangga, satwa liar, luka mekanis dan api. Gejala Serangan pada Tingkat Pancang Gejala penyakit kanker batang pada tingkat pancang terjadi pada bagian batang yang berada di dekat permukaan tanah dan atau kanker akar yang berkembang ke batang. Dilihat dari gejalanya, patogen masuk melalui ranting yang telah mati atau gugur. Diduga karena bekas ranting ini tidak segera tertutup oleh kallus dan lembap, sehingga dimanfaatkan oleh patogen untuk tempat masuknya. Bagian batang di sekeliling tempat infeksi terlihat lebih membengkak daripada bagian yang sehat. Kulit batang mengalami nekrosis, pecah-pecah dan terkelupas. Pada beberapa pancang terlihat keluar getah dari tempat timbulnya nekrosis atau di sekitarnya. Keluarnya getah tersebut merupakan salah satu mekanisme pertahanan dari tumbuhan untuk mencegah serangan patogen. Menurut Kartasapoetra (1987), pada saluran getah banyak terkandung hormon dan enzim yang dapat berfungsi sebagai alat untuk menyembuhkan atau menutupi bagianbagian luka pada tumbuhan. Proses keluarnya getah disebabkan oleh adanya hidrolisis pada dinding sel (Kramer dan Kozlowski, 1960). Getah yang keluar tersebut baru akan terhenti bila pada luka telah terbentuk kallus (Mardji, 1994). Pada kanker yang berkembang lambat, terlihat nekrosis tertutup oleh kallus dan pohon menjadi sehat kembali, berarti jamur patogen mengalami kematian. Pembentukan kallus tersebut merupakan salah satu reaksi tumbuhan untuk mempertahankan diri dari serangan patogen. Menurut Mardji (1995), jaringan
213
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
kallus terdiri dari sel-sel parenkim yang berdinding tebal yang tidak dapat ditembus oleh patogen, tetapi bila perkembangan patogen lebih cepat daripada pembentukan kallus, maka pembentukan kallus tidak mempunyai arti. Dalam hal ini, menurut Fahn (1991), kambium mempunyai fungsi dalam membentuk kallus atau jaringan di atas luka. Menurut Desc dan Dinwoodi (1996), serangan jamur pada kayu dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan arah serat kayu sampai 60º, tergantung berat ringannya serangan. Adanya penyimpangan arah serat tersebut menyebabkan menurunnya kekuatan tarik, kekuatan tekan dan kekuatan lengkung kayu. Semakin besar sudut penyimpangannya, maka kekuatan kayunya juga semakin menurun. Menurut Nicholas (1987), serangan jamur patogen menyebabkan warna dan kekuatan kayu jauh di bawah normal. Dari hasil pengamatan terlihat juga gejala kanker yang berkembang cepat yang ditandai dengan luka yang dalam dan terbuka pada batang. Serangan patogen ada yang meluas baik ke arah horisontal dan menggelang batang maupun ke arah vertikal (atas dan bawah batang), sehingga mengakibatkan mati pucuk. Selain itu, kayu pada bagian ini terlihat lebih rapuh, sehingga mudah patah oleh angin. Keadaan ini disebabkan karena sel-sel yang berperan dalam pengangkutan zat-zat makanan dan air di daerah infeksi mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik yang mengakibatkan kematian pucuk dan rapuhnya batang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sharma dkk. (1985 dan 1986) pada tanaman Eucalyptus spp. yang diserang oleh jamur upas (Corticium salmonicolor), sehingga pucuknya mati, karena jamur tersebut mengeluarkan substansi yang bersifat racun yang dapat merusak jaringan kayu. Pada bagian batang yang masih hidup tumbuh tunas-tunas baru yang nantinya juga akan mati, karena serangan patogen terus berlanjut ke bawah. Tumbuhnya tunas-tunas baru seperti itu terjadi juga pada beberapa jenis tanaman yang terserang oleh jamur upas, yaitu pada Eucalyptus spp. (Seth dkk., 1978; Sharma dkk., 1985), pada Paraserianthes falcataria (Eusebio dkk., 1979), pada Cordia alliodora (Neil, 1987), pada Acacia auriculiformis (Maria Florence dan Balasundaran, 1991) dan pada A. mangium (Mardji, 1994). Penyebab Penyakit Kanker Batang Dari hasil identifikasi diketahui bahwa patogen yang menyebabkan penyakit kanker batang pada tegakan mangium adalah jenis jamur dengan ciri-ciri miselium berwarna putih dengan struktur yang lebih halus yang tumbuh meluas dan menutupi seluruh permukaan cawan petri dan bila cawan dibalik terlihat dasar kultur berwarna kuning dan jamur dapat tumbuh sampai ke dinding cawan yang tidak ada medianya. Miselium tersebut merupakan kumpulan dari sel-sel hifa jamur berbentuk benang-benang halus berstruktur mikroskopis. Hifa tersebut berwarna putih, bersekat (bersepta), memiliki cabang-cabang yang lebih kecil dari hifa utamanya dan sering tumbuh sejajar dan atau melekat pada hifa utamanya. Cabang-cabang hifa tersebut membentuk sudut yang tidak teratur terhadap hifa utama dan tidak melebihi sudut 90º, di antara hifa sering terjadi anastomosis, yaitu hifa yang
Yusran dkk. (2006). Inventarisasi Penyakit Kanker Batang
214
bertemu saling bersambungan. Ditemukan pula ciri-ciri lain, yaitu adanya sambungan lutut atau juga disebut hubungan ketam (clamp connection). Hubungan ketam tersebut jarang sekali terjadi atau ditemukan pada setiap sekat atau bersifat tidak konsisten. Berdasarkan ciri-ciri demikian, maka menurut Nobles (1965), jamur tersebut digolongkan ke dalam kelas Basidiomycetes. Jamur dari kelas ini dikategorikan sebagai jamur pembusuk kayu (Parham, 1983) dan menurut Panshin dan de Zeeuw (1964) termasuk jamur perusak kayu (wood destroying fungi). Sebagai mikroorganisme perusak kayu, jamur dari kelas Basidiomycetes menurut Kollman dan Cote (1968) dapat menyerang holosellulosa dan lignin. Jika jamur hanya menyerang seluruh kandungan karbohidrat (holosellulosa dan zat tepung) dan meninggalkan residu kecoklat-coklatan berakibat terjadinya perombakan komponen kayu yang sepihak, sehingga warna kayu berubah menjadi coklat kehitam-hitaman dan kekuatan kayu menjadi hilang walaupun bentuk dinding seolah-olah masih utuh, sehingga disebut sebagai jamur pembusuk coklat (brown rot fungus). Parham (1983) mengemukakan, bahwa jamur ini biasanya menyerang kayu teras tetapi ada beberapa jenis dapat juga menyerang kayu gubal. Bila jamur menyerang kayu dengan merombak lignin dan sellulosa (karbohidrat), sehingga menyebabkan deteriorasi kayu dengan warna yang tampak lebih muda dari normalnya, yaitu berwarna putih, kuning atau coklat terang maka disebut jamur pembusuk putih (white rot). Jenis jamur ini menginfeksi inangnya baik secara inter- maupun intraselluler, yaitu hifanya berada di luar maupun masuk ke rongga sel. Masuknya hifa ke dalam sel-sel kayu selain melalui lubang-lubang alami seperti noktah dan bidang perforasi, juga adanya kemampuan jamur dengan hifanya menginfeksi dinding sel secara enzimatis. Sebagaimana menurut pendapat Parham (1983), penetrasi hifa jamur pembusuk putih dapat terjadi secara enzimatis, khususnya terhadap lignin dan atau karbohidrat pada dinding sel kayu. Dari reaksi enzimatis tersebut dapat diketahui bahwa perombakan dinding sel bukan dipengaruhi langsung oleh kekuatan mekanis hifa melainkan menurut Proctor (1941) seperti dikutip Cartwright dan Findlay (1946) dikarenakan adanya aktivitas enzim yang dikeluarkan oleh jamur pada ujung-ujung hifa yang berhasil menembus dinding sel. Jadi tidak ada kontak secara langsung antara hifa dengan dinding sel karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekuatan mekanis selama penetrasi hifa berlangsung. Menurut Panshin dan de Zeeuw (1964), melalui aktivitas tersebut, zat-zat atau substansi padat kayu dapat terurai menjadi substansi yang dapat larut sehingga memudahkan penetrasi hifa. Tidak diketahui enzim apa yang dihasilkan jamur jenis ini. Namun dari komponen yang didegradasi, diduga enzim tersebut menghancurkan lignin dan sellulosa di dinding sel. Hal ini sesuai dengan beberapa pendapat, di antaranya Schlee (1992) yang mengemukakan bahwa enzim yang dikeluarkan patogen tumbuhan untuk mendegradasi dinding sel umumnya adalah kitinase, sellulose, hemisellulose dan pektinase. Jamur dari kelas Basidiomycetes ini juga dapat menyebabkan penyakit kanker batang pada tanaman lain, seperti yang dilaporkan oleh Erwin (2001), bahwa jamur dari kelas ini menyebabkan penyakit kanker batang pada tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di PT Inhutani I Batu Ampar.
215
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Frekuensi dan Intensitas Serangan Patogen Kanker Batang Pada Tabel 6 terlihat, bahwa frekuensi serangan patogen kanker batang pada tingkat pancang dan pohon tidak berbeda jauh, baik pada plot pengamatan yang ada di lembah maupun di puncak. Frekuensi serangan pada tingkat pancang adalah 77,6 % di lembah dan 68,8 % di puncak, sedangkan frekuensi serangan pada tingkat pohon adalah 82,4 % di lembah dan 72,4 % di puncak. Setelah dianalisis secara statistik, ternyata lokasi pengamatan, dimensi pohon maupun interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap frekuensi serangan. Hal tersebut disebabkan oleh ketinggian tempat plot pengamatan baik di puncak maupun di lembah tidak berbeda jauh, yaitu plot pengamatan di puncak berada pada ketinggian antara 130 sampai 135 mdpl, sedangkan plot pengamatan di lembah berada pada ketinggian 105 sampai 110 mdpl, sehingga memberikan pengaruh yang tidak berbeda pula. Dengan semakin tingginya suatu tempat dari permukaan laut, maka semakin rendah pula suhu udara. Suhu udara yang rendah menyebabkan kelembapan udara suatu daerah cenderung semakin tinggi, sehingga makin lama pula bertahannya kebasahan pada permukaan batang yang mana hal ini akan mendukung terjadinya infeksi. Tabel 6. Frekuensi (FS), Intensitas (IS) Serangan Patogen Kanker Batang Acacia mangium dan Kriteria Kerusakan (KK) dengan Tempat Tumbuh dan Tingkat Pertumbuhan yang Berbeda Tempat tumbuh Lembah
Tingkat pertumbuhan Pancang
Nomor plot (ulangan) 1 2 3 4 5
Rataan Pohon
Puncak
1 2 3 4 5
Rataan Rataan lembah Pancang
1 2 3 4 5
Rataan Pohon
Rataan Rataan puncak Rataan keseluruhan Keterangan: S = sedang
1 2 3 4 5
FS (%)
IS (%)
KK
72 80 80 80 76 77,6 92 68 68 88 96 82,4 80 68 76 72 64 64 68,8 92 80 60 64 84 76 72,4 76,2
28 40 39 37 36 36 45 34 30 41 42 38,4 37,2 38 37 33 30 30 33,6 44 33 21 27 37 32,4 33 35,1
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
Yusran dkk. (2006). Inventarisasi Penyakit Kanker Batang
216
Faktor lainnya yang diduga sebagai penyebab berkembangnya penyakit kanker batang pada lokasi penelitian, sehingga frekuensi dan intensitas serangan patogen kanker batang menunjukkan persentase yang besar adalah keadaan suhu yang rendah dengan kelembapan udara yang tinggi di lokasi penelitian. Selain itu, juga disebabkan oleh adanya curah hujan yang tinggi selama penelitian dilaksanakan. Tingginya frekuensi serangan pada tingkat pancang, baik di lembah maupun puncak adalah disebabkan oleh populasi tanaman mangium yang tumbuh secara alami pasca kebakaran yang sangat rapat dan tidak teratur, sehingga diduga dapat menyebabkan kelembapan udara di sekitar pertanaman menjadi lebih tinggi dan mendukung terjadinya infeksi oleh patogen. Selain itu, juga disebabkan oleh keberadaan liana di sekitar tanaman yang menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi merana sehingga mudah diserang oleh patogen, karena kondisi tanaman sangat menentukan mudah atau tidaknya terkena infeksi oleh patogen (daya resistensi tanaman). Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (1986), bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor genetik inang, keganasan (virulensi) patogen dan kondisi lingkungan abiotik. Adanya jarak tanam yang sangat rapat, ditambah lagi dengan kehadiran gulma dapat menyebabkan persaingan dengan tanaman pokok, baik terhadap unsur hara, cahaya maupun air. Unsur hara dan air yang seharusnya diserap oleh tanaman pokok diambil oleh gulma. Selain itu, dengan adanya tanaman yang merambat (liana) dapat menutupi tanaman pokok, sehingga tanaman pokok sulit memanfaatkan cahaya. Hal yang terpenting dari keberadaan gulma di sekitar pertanaman pokok adalah dapat menjadi inang sekunder dari patogen. Menurut Sutakaria (1981), interaksi antara tanaman yang rentan dengan patogen seringkali dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lamanya keadaan lingkungan yang baik untuk mendukung terjadinya serangan patogen dan perkembangan penyakit selanjutnya sangat menentukan tingkat kerusakan yang disebabkan oleh penyakit pada suatu musim. Untuk menghindari serangan patogen kanker batang maupun untuk menekan perkembangan penyakit kanker batang pada tanaman mangium terutama pada tingkat pancang, hendaknya tanaman diusahakan mendapatkan sinar matahari yang cukup, artinya lingkungan tempat penanaman diatur sedemikian rupa akan kelembapan udara tinggi, di antaranya dengan mengurangi kerapatan jarak tanam atau intensitas naungan serta membebaskan tanaman dari gulma. Tingginya frekuensi serangan pada tingkat pohon, baik pada plot pengamatan di lembah maupun di puncak, terutama disebabkan oleh bencana kebakaran hutan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang mana bencana kebakaran tersebut telah menciptakan kondisi yang sangat merugikan bagi pertumbuhan tanaman mangium sebagai akibat efek radiasi panas api, baik langsung maupun tidak langsung dari kebakaran tersebut. Efek tersebut tidaklah selalu mematikan pohon, tetapi juga dapat melemahkan atau menurunkan ketahanan pohon terhadap gangguan lainnya, seperti serangan serangga dan patogen yang memudahkan timbulnya penyakit kanker batang. Serangan patogen terutama pada bagian batang karena akibat lapisan kulit (kambium) dalam keadaan terbuka setelah mengalami luka bakar dan respon pohon sendiri adalah berupa pembentukan kallus untuk menutupi kayu terlihat lebih lambat.
217
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Berdasarkan pengamatan di lapangan juga diperoleh hasil yang menunjukkan, bahwa pohon-pohon yang berdimensi besar ada yang mengalami kematian. Pohon-pohon berdimensi besar tersebut mempunyai kulit lebih tebal dan diduga kematiannya bukan sebagai akibat langsung dari kebakaran, tetapi disebabkan oleh penyakit kanker batang, karena dari kebakaran tersebut dapat terjadi luka pada kulit pangkal batang dan kemudian terinfeksi oleh patogen. Sesuai dengan pendapat Boyce (1961) yang menyatakan bahwa luka pada kulit batang tumbuhan akibat api, luka mekanis, kerebahan pohon/dahan lain, akibat gigitan binatang besar atau serangga dapat menjadi tempat masuknya patogen. Untuk menghindari atau mencegah kebakaran sebagai salah satu penyebab luka pada tanaman, perlu dibuatkan sekat bakar atau penanaman jenis yang tahan terhadap kebakaran. Dilihat dari kriteria serangan, maka intensitas serangan pada kedua lokasi tersebut tergolong pada kriteria sedang dan tidak jauh berbeda antara tingkat pancang maupun pohon, sehingga dapat dikatakan bahwa dimensi dan lokasi pengamatan tidak berpengaruh terhadap frekuensi dan intensitas serangan patogen kanker batang. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hasil identifikasi menunjukkan bahwa patogen kanker batang pada tanaman A. mangium adalah hanya satu jenis jamur yang belum teridentifikasi jenisnya, yaitu dari kelas Basidiomycetes dan dikategorikan sebagai jamur pembusuk putih (white rot). Jamur ini menginfeksi inangnya secara inter- dan intraselluler, yaitu hifanya berada di luar dan masuk ke rongga sel-sel kayu melalui noktah dan bidang perforasi serta mampu menginfeksi dinding sel secara enzimatis. Frekuensi dan intensitas serangan patogen kanker batang di puncak dan lembah ternyata tidak berbeda signifikan. Demikian pula halnya antara pancang dan pohon. Artinya perbedaan tempat tumbuh maupun tingkat pertumbuhan tanaman tidak berpengaruh signifikan terhadap frekuensi maupun intensitas serangan patogen kanker batang. Tegakan pada kedua plot pengamatan tersebut termasuk ke dalam kategori kerusakan sedang. Saran Untuk mencegah serangan patogen kanker batang maupun untuk menekan perkembangan penyakit kanker batang pada tanaman mangium terutama pada tingkat pancang, hendaknya tanaman diusahakan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Artinya lingkungan tempat tumbuh diatur sedemikian rupa agar kelembapan udara tidak tinggi, di antaranya dengan mengurangi kerapatan jarak tanam atau intensitas naungan serta membebaskan tanaman dari gulma. Untuk mencegah atau menghindari kebakaran hutan sebagai salah satu penyebab luka pada tanaman, maka perlu dibuatkan sekat bakar atau penanaman jenis yang tahan terhadap kebakaran dalam suatu areal penanaman.
Yusran dkk. (2006). Inventarisasi Penyakit Kanker Batang
218
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1989. Teknik Pembuatan Tanaman Acacia mangium. Direktorat Jenderal Reboisasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta. 17 h. Bain, J. 1981. Forest Monocultures – How Save Are They? An Entomologist’s View. New Zealand J. For. 26(1): 37–42. Boyce, J.S. 1961. Forest Pathology. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc., New York. 572 h. Budi, A.S. 1999. Respon Kayu terhadap Kebakaran Hutan (the Response of Wood on Forest Fire). Frontier 25: 9–22. Cartwright, G.ST.K. and W.P.K. Findlay. 1946. Decay of Timber and Its Prevention. Department of Scientific and Industrial Research. H.M. Stationery Office, London. 294 h. de Guzman, E.D. 1985. Field Diagnosis, Assessment and Monitoring Tree Diseases. Inst. For. Conserv. UPLB., College of Forestry, Laguna. 16 h. Desc, H.E. and J.M. Dinwoodi. 1996. Timber (Structure, Properties, Conversion and Use). Food Products Press, An Imprint of the Hawarth Press, Inc. New York. 306 h. Erwin. 2001. Dampak Serangan Patogen Kanker Batang terhadap Struktur Anatomi Kayu dari Pohon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Bekas Terbakar di Areal PT Inhutani I Batu Ampar. Tesis Magister Program Pascasarjana Universitas Mulawarman, Samarinda. 89 h. Eusebio, M.A.; M.J. Quimio Jr. and F.P. Ilagan. 1979. Canker of Moluccan sau (Albizia falcataria (L.) Back.) in Bislig. Sylvatrop. Philipp. For. Res. J. 4(4): 181–193. Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan (Edisi ketiga). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 895 h. Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1984. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian (Terjemahan Endang Sjamsuddin dan Justika S. Baharsjah). Universitas Indonesia, Jakarta. 698 h. Hadi, S. 1986. Pengolahan Hutan Tanaman Industri dengan Penekanan pada Masalah Upaya Perlindungan terhadap Penyakit. Prosiding Seminar Nasional Ancaman terhadap Hutan Tanaman Industri. Kerja sama antara Dephut dan FMIPA Universitas Indonesia. PT Inhutani I, Jakarta. h 331–372. James, W.C. 1974. Assessment of Plant Diseases and Losses. Ann. Rev. Phytopath. 12: 2– 48. Johnson, N.E. 1976. Biological Opportunities and Risks Associated with Fastgrowing Plantation in the Tropics. Journal of Forestry 4: 206–211. Kartasapoetra, A.G. 1987. Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan (tentang Sel dan Jaringan). Bina Aksara, Jakarta. 247 h. Koolman, F.F.P and W.A.Cote, Jr. 1968. Principles of Wood Science and Technology. Solid Wood. Volume I. Springer–Verlag, Berlin. 592 h. Kramer, P.J. and T.T. Kozlowski. 1960. Physiology of Trees. McGraw-Hill Book Company Inc., New York. 642 h. Larsen, B.J. Tanpa Tahun. Vorlaeufiges Manuskript zur Vorlesung “Forstschutz in den Tropen und Subtropen”. (Preliminary Manuscript for Lecture on Forest Protection in the Tropics and Subtropics). Forstfakultaet der Universitaet Goettingen, Germany. 157 h. Luckman, W.H. and R.L. Metcalf. 1982. Introduction to Insect Pest Management. A Willey Interscience Series of Texts and Monographs. 597 h. Mardji, D. 1994. Pengamatan Epidemi Corticium salmonicolor Berk. & Br. pada Acacia mangium Willd. di PT ITCI, Kenangan, Kalimantan Timur, Indonesia (D. Ruhiyat dan A. Schulte, Penyunting). Mulawarman Forestry Report 12: 143 h.
219
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Mardji, D. 1995. Perlindungan Hutan di Daerah Tropis. Bahan Kuliah. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 109 h. Mardji, D. 2000. Penuntun Praktikum Penyakit Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 28 h. Maria Florence, E.J. and M. Balasundaran. 1991. Occurrence of Pink Disease on Acacia auriculiformis in Kerala. Indian Forester 117(6): 494–496. Nair, K.S.S. and Sumardi. 2000. Insect Pests and Diseases of Major Plantation Species. Dalam: Insect Pests and Diseases in Indonesian Forests (K.S.S. Nair, Ed.). Center for International Forestry Research. Bogor. h 15–55. Natawiria, J. 1986. Ancaman Hama dan Penyakit terhadap Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional “Ancaman terhadap Hutan Tanaman Industri”. Kerja sama antara Departemen Kehutanan dan FMIPA UI. PT Inhutani I, Jakarta. h 69–74. Natawiria, D.; M. Suharti dan E. Santoso. 1991. Teknik Pengenalan Penyakit Hutan Tanaman Industri. Informasi Teknis no 22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. 34 h. Neil, P.E. 1987. Corticium salmonicolor (Pink Diseases) on Cordia alliodora. Vanuatu Forest Service Report 3: 8 h. Nicholas, D.D. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya dengan Perlakuan-perlakuan Pengawetan. Jilid I: Degradasi dan Proteksi Kayu. Airlangga University Press. (Diterjemahkan oleh H. Yoedodibroto). 590 h. Nobles, M.K. 1965. Identification of Cultures of Wood–inhabiting Hymenomycetes. Canadian Journal of Botany 43:1097–1139. Old, K.M.; L.S. See; J.K. Sharma and Z.Q. Yuan. 1999. A Manual of Diseases of Tropical Acacias in Australia, South-East Asia and India. Center for International Forestry Research, Canberra, Australia. 104 h. Panshin, A.J and C. de Zeeuw, 1964. Textbook of Wood Technology. Volume I. McGrawHill Book Company Inc., New York. 705 h. Parham, R.A. 1983. Wood Defects. Properties of Fibrous Raw Material and Their Preparation for Pulping. The Joint Textbook Committee of the Paper Industry of United States and Canada. 182 h. Peace, T.R. 1957. Approach and Perspective in Forest Pathology. Forestry 30(1): 47–56. Schlee, D. 1992. Oekologische Biochemie. Gustav Fischer Verlag Jena, Stuttgart. 587 h. Seth, S.K.; B.K. Bakshi; M.A.R. Reddy and Sujan Singh. 1978. Pink Diseases of Eucalyptus in India. Eur. J. For. Path. 8: 200–216. Sharma, J.K.; C. Mohanan dan E.J. Maria Florence. 1985. Incidence and Severity of Botryodiplodia Die-back in Plantations of Albizia falcataria in Kerala, India. Forest Ecology and Management 24: 43–58. Sharma, J.K.; E.J. Maria Florence; K.V. Sankaran and C. Mohanan.1986. Toxin Bioassay for Assessing Relative Succeptibility of Eucalypts to Pink Disease. Proceeding of National Seminar on Eucalypts in India, Past, Present and Future. Kerala for. Res. Inst. h 400–403. Sindusuwarno, R.D. dan D.I. Utomo. 1981. Acacia mangium. Jenis Pohon yang Belum Banyak Dikenal. Majalah Kehutanan Indonesia 11: 38–41. Singh, U.P. and G.D. Mishra. 1992. Effect of Powdery Mildew (Erysiphe pisi) on Nodulation and Nitrogenase Activity in Pea (Pisum sativum). Plant Pathology 41: 262–264 . Sutakaria, J. 1981. Diktat Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bagian Ilmu Penyakit Tumbuhan, Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB, Bogor. 83 h. Sutisna, M. 1999. Budidaya Kebun Kayu di Indonesia. Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda. 43 h.
Yusran dkk. (2006). Inventarisasi Penyakit Kanker Batang
220
Wirakusumah, S. 1986. Keperluan Pemantauan dan Penelitian dalam Usaha Mencegah dan Mengatasi Gangguan-gangguan terhadap Hutan Tanaman Industri. Prosiding Seminar Nasional “Ancaman terhadap Hutan Tanaman Industri”. Kerja sama antara Departemen Kehutanan dan FMIPA UI. PT Inhutani I, Jakarta. h 47–50.