Pendahuluan
Introduction
Akar buku informasi ini kembali ke Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, ketika Perserikatan BangsaBangsa mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi untuk mendiskusikan masalah-masalah lingkungan yang menjadi perhatian global. Salah satu dari kesepakatan penting pada KTT Bumi adalah Perjanjian Internasional tentang Keanekaragaman Hayati. Tidak kurang dari 158 negara, termasuk Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian tersebut, yang ditujukan pada kebijakan konservasi penggunaan keanekaragaman hayati global. Salah satu kesepakatan dalam perjanjian itu menyerukan kepada negara-negara di daerah beriklim sedang, yang relatif miskin akan keanekaragaman hayati, untuk memberikan dukungan bagi penelitian keanekaragaman hayati dan konservasi di negaranegara yang memiliki keanekaragaman hayati tropis. Sebagai kelanjutan dari persetujuan ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Belanda (NWO/Netherlands Science Foundation) melancarkan program penelitian Keanekaragaman Hayati pada Ekosistem Terganggu, dan mensyaratkan dalam seruannya supaya membuat usulanusulan penelitian yang proyeknya lebih diharapkan untuk dilaksanakan di Indonesia. Indonesia dipilih sebagai lokasi bagi program tersebut dengan tiga alasan. Pertama, karena salah satu dari pusat keanekaragaman hayati utama dunia berlokasi di hutan dataran rendah Sumatra dan Kalimantan. Kedua, kerjasama dengan lembaga mitra yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akan memperkuat program ini di Indonesia. Ketiga, koleksikoleksi bersejarah yang penting dari Asia Tenggara yang dikelola di museum zoologi dan herbarium di Indonesia dan Belanda akan menyediakan dasar taksonomi yang kuat untuk program penelitian. Tema penelitian ‘Keanekaragaman Hayati pada Ekosistem Terganggu’, dipilih karena diakui bahwa ekosistem-ekosistem yang tidak terganggu masih tersisa sedikit di planet ini, dan pengetahuan kita tentang ekosistem terganggu masih terbatas. Informasi tentang dimana, bagaimana dan berapa banyak, keanekaragaman hayati dapat dipelihara di dalam berbagai macam tipe ekosistem terganggu merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Antara tahun 1997 dan 2001, tujuh proyek dilaksanakan di Indonesia di bawah program NWO/ LIPI tersebut. Kelompok-kelompok model
The roots of this booklet go back to Rio de Janeiro in 1992, when the United Nations held the Earth Summit to discuss environmental issues of global concern. One of the major achievements of the Summit was the International Convention on Biodiversity. No fewer than 158 countries – including Indonesia and the Netherlands – signed this convention, which is aimed at the conservation and wise use of global biodiversity. One of the agreements in the Convention calls for countries in temperate latitudes, which are relatively poor in biodiversity, to make means available for biodiversity research and conservation in countries with tropical biodiversity hotspots. Following up on this agreement, the Netherlands Science Foundation (NWO) launched the Biodiversity in Disturbed Ecosystems research programme, and stipulated in its call for research proposals that projects should preferably be carried out in Indonesia. Indonesia was chosen as the location for the programme for three reasons. Firstly, because one of the major biodiversity hotspots of the world is located in the lowland forests of Sumatra and Kalimantan. Secondly, in Indonesia cooperation with a capable counterpart institution – namely the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) – would strengthen the programme. Thirdly, the important historical collections from Southeast Asia thatare maintained in zoological museums and herbaria in Indonesia and the Netherlands would provide a solid taxonomic basis for the research programme. The research theme ‘Biodiversity in disturbed ecosystems’ was chosen because it was recognized both that there are few undisturbed ecosystems left on the planet, and that our knowledge of disturbed ecosystems is limited. There is an urgent need for information about where, how and how much biodiversity can be maintained in various types of disturbed ecosystems. Between 1997 and 2001, seven projects were carried out under the programme. Model groups of biodiversity that were studied included trees, ferns, birds and butterflies. For each model group, sev1
keragaman hayati yang diteliti termasuk pohon, paku-pakuan, burung, dan kupu-kupu. Untuk setiap kelompok model, beberapa ekosistem dibandingkan, termasuk hutan dataran rendah primer, hutan bekas pembalakan dan bekas terbakar, hutan bukit, perhutanian karet rakyat (‘hutan karet’), dan perkebunan-perkebunan karet. Ketika program ini dimulai pada tahun 1997, satu jaringan kawasan lindung yang cukup lengkap dengan hutan-hutan primer berlokasi di Kalimantan dan Sumatra. Banyak hutan dataran rendah dikelola sebagai konsesi HPH menurut perundangan kehutanan nasional. Dengan situasi tersebut, tujuan program penelitian ini adalah untuk menyediakan data tentang berbagai dampak kerusakan (pembalakan, kebakaran, pengolahan karet) terhadap keanekaragaman hayati hutan hujan, termasuk juga data tentang potensi hutan-hutan terganggu yang masih tersisa untuk konservasi keragaman hayati. Buku ini menyediakan suatu rangkuman berbagai penemuan kami yang memfokuskan pada pilihan pengelolaan bagi keragaman hayati pendukung kehutanan dan perhutanian. Walaupun demikian, status dan tekanan terhadap hutan dataran rendah di Kalimantan dan Sumatra telah berubah secara radikal dalam beberapa tahun belakangan ini. Kebakaran besar pada tahun 1997 dan 1998 merusak daerah luas hutan dataran rendah, dan daerah-daerah luas hutan dataran rendah sekarang dialihfungsikan untuk pembangunan perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Produksi kayu di Sumatra dan Kalimantan sekarang di mana-mana didominasi oleh pengusaha-pengusaha skala kecil yang tak terbilang jumlahnya, yang menebang secara liar di dalam areal konsesi HPH dan di dalam kawasan lindung. Pembalak-pembalak liar memiliki sedikit sekali kepedulian terhadap pelestarian, hak-hak lahan, ataupun berbagai konsekuensi ekologi, dan aktivitas-aktivitas mereka secara cepat menghabiskan persedian kayu. Dengan situasi seperti ini, pengimplementasian tuntunan pengelolaan hutan pendukung-keanekaragaman hayati menjadi sangat mendesak tetapi sulit dilaksanakan. Sebagai konsekuensi dari kebakaran hutan dan pembalakan liar, jaringan kawasan lindung di Indonesia juga menjadi semakin buruk secara cepat dalam beberapa tahun terakhir. Organisasiorganisasi internasional non-pemerintah sedang kehilangan minat terhadap kawasan-kawasan konservasi dataran rendah yang sudah ada dan telah dirusak oleh pembalakan dan kebakaran, dan malahan mempromosikan pengembangan kawasankawasan konservasi baru, sering di hutan berbukit atau hutan rawa gambut. Akan tetapi, penemuan 2
eral ecosystems were compared, including primary, logged and burned lowland forests, hill forests, rubber agroforests (‘jungle rubber’) and rubber plantations. When this programme started in 1997, a fairly comprehensive network of protected areas with primary forests was in place in Kalimantan and Sumatra. Many lowland forest areas were managed as logging concessions according to national forestry laws. Under these circumstances, the aim of the research programme was to provide policymakers and stakeholders in the forestry sector with sound scientific data on the effect of disturbance (logging, fire, rubber cultivation) on rainforest biodiversity, as well as on the remaining potential of disturbed forests for biodiversity conservation. This booklet provides a summary of the findings with regard to management options for biodiversitysupporting forestry and agroforestry. However, the status of and pressures on the lowland forests of Kalimantan and Sumatra have changed radically in recent years. The large forest fires of 1997 and 1998 damaged extensive areas of such forests, and substantial areas of it are being cleared for the establishment of oil palm plantations. Timber production in Sumatra and Kalimantan is now dominated by a myriad of small-scale but
Lapisan bawah hutan primer Primary forest understorey
Kabel listrik melintasi hutan terbuka Power line through opened forest
kami terhadap persebaran tumbuhan dan satwa yang luas mengindikasikan bahwa hutan-hutan dataran rendah, bahkan yang telah rusak oleh pembalakan dan kebakaran, masih memiliki nilai konservasi yang tinggi jika dibandingkan keuntungannya dengan jenis hutan lain seperti hutan berbukit. Miskinnya keanekaragaman hayati di hutan-hutan berbukit dibandingkan dengan hutan-hutan dataran rendah telah kelihatan jelas pada ketinggian 200 m. Meskipun demikian, hutan-hutan dataran rendah paling kaya tidak terwakili dalam jaringan kawasan lindung pada saat ini. Untuk itulah kami memohon keseriusan dalam usaha perlindungan untuk kawasan konservasi yang sudah ada di hutan-hutan dataran rendah, meskipun telah dirusak oleh pembalakan dan kebakaran. Kami sangat merekomendasikan untuk memasukkan lebih banyak hutan dataran rendah ke dalam kawasan lindung, lebih disukai yang mengalami kerusakan ringan atau sisa-sisa hutan dataran rendah primer, karena ada nilai tambah yang tersembunyi tetapi dapat diukur untuk keanekaragaman hayati di hutan tersebut dibandingkan dengan hutan dataran rendah yang terganggu. Hutan karet, khususnya tegakantegakan lebih tua, dapat berfungsi sebagai suatu perluasan habitat atau koridor bagi suatu proporsi besar keanekaragaman hayati jika berdekatan dengan hutan-hutan alami. Sampai saat ini, hasil-hasil program penelitian telah dipublikasikan hanya di jurnal-jurnal ilmiah internasional, dan hanya berbahasa Inggris. Tujuan dari buku ini adalah untuk menjadikan penemuanpenemuan penting dari program penelitian ini tersedia bagi berbagai pihak dalam memutuskan atau mempengaruhi kebijakan-kebijakan peruntukan lahan di Indonesia, termasuk yang berhubungan dengan ketersediaan kawasan-kawasan lindung, pembangunan perkebunan, pengelolaan hutanhutan produksi, dan berbagai dorongan terhadap kepemilikan perhutanian rakyat. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada LIPI, para professional, dan masyarakat desa untuk keramahan dan kerjasama yang produktif, juga kepada Tropenbos Indonesia yang telah membantu dalam kelancaran beberapa proyek. Selamat membaca buku ini untuk mendapatkan pandanganpandangan yang berguna.
omnipresent entrepreneurs who log illegally in concessions and protected areas. Illegal loggers have little regard for sustainability, land rights or ecological consequences, and their activities are rapidly exhausting the timber stock. Under these circumstances, implementing guidelines on biodiversity-supporting forest management is both difficult and increasingly urgent. As a consequence of forest fires and illegal logging, also the protected area network in Indonesia has rapidly deteriorated in recent years. International NGOs are losing interest in existing lowland reserves that have been damaged by logging and fire and instead are promoting the establishment of new reserves, often in hill forests or peat swamps. However, our findings for a wide range of flora and fauna indicate that lowland forests, even after being damaged by logging and fire, still have a high conservation value that compares favourably with other forest types, such as hill forests. An impoverishment of biodiversity in hill forests compared to lowland forests becomes apparent already at an elevation of only 200 m. The richest, lowland-plain forests are, however, underrepresented in the current protected area network. We therefore plea for tenacity in protection efforts for existing reserves in the lowland-plains, even if they have been damaged by logging and fire. We strongly recommend including more lowlandplain forest in protected areas – preferably lightly disturbed or primary remnants of lowland-plain forest – because there is a subtle but measurable added value for biodiversity in such forests compared to disturbed lowland forests. Jungle rubber – especially older stands – can serve as a habitat extension or corridor for a large proportion of biodiversity if it is adjacent to natural forests. Until now, the results of the research programme have been published only in international scientific journals, and only in English. The aim of this booklet is to make the main findings of the research programme available to the parties that decide on or influence landuse policies in Indonesia, including those related to the allocation of protected areas, the allocation of plantation development, the management of production forests and the stimulation of smallholder agroforestry. We should like to thank LIPI and the many Indonesian professionals and villagers we worked with for their hospitality and fruitful cooperation, as well as Tropenbos Indonesia for facilitating some of the projects. We hope you enjoy reading this booklet and gain useful insights from it.
3
Penemuan-penemuan penting
Main findings
Dampak-dampak kerusakan n Pembalakan mempengaruhi struktur hutan dan komposisi komunitas pohon, burung dan kupu-kupu, tetapi tidak mempengaruhi kekayaan jenis; n Walaupun kerapatan banyak jenis burung menurun setelah pembalakan di hutan dataran rendah, tetapi pada umumnya kerapatan dan kekayaan jenis burung lebih tinggi di hutan dataran rendah bekas pembalakan daripada di hutan bukit primer; n Jangkauan pengaruh kebakaran hutan jauh lebih parah dibandingkan pembalakan, di mana secara negatif kebakaran mempengaruhi kekayaan jenis pohon, burung dan kupu-kupu; n Petak-petak hutan sisa yang tidak terbakar dapat berfungsi sebagai satu sumber penyebaran jenis pohon yang secara lokal telah punah di sekitar areal hutan yang terbakar.
Impact of disturbance n Logging affects the forest structure and the community composition of trees, birds and butterflies, but does not affect species richness
Kegunaan Spesies Indikator n Mengukur tingkat kerusakan di hutan terbakar dan bekas pembalakan, dan kegunaan didapat dari kelimpahan jenis pohon perintis marga Macaranga dan Mallotus, dan dari komposisikomposisi komunitas burung dan kupu-kupu; n Keberadaan jenis paku-pakuan yang menyenangi naungan merupakan indikator yang berguna terhadap kondisi yang menyerupai hutan di perhutanian rakyat; n Penggabungan jenis burung ke dalam kelompok-kelompok dengan pola makan akan menyamarkan penurunan populasi jenis sensitif di hutan bekas pembalakan dan bekas terbakar; n Penilaian cepat terhadap tingkat kerusakan dengan menggunakan jenis pohon Macaranga dan Mallotus sebagai indikatornya menghabiskan 10 sampai 25 hari di lapangan dan juga kursus singkat dalam identifikasi pohon yang dibutuhkan satu tim kerja (lihat Liana yang bergelombang - Curling lianas http://www.nationaalherbarium.nl/ MacMalBorneo/index.htm); menggunakan burung sebagai indikatornya membutuhkan n Although densities of many birds decline after seorang peneliti berpengalaman dalam logging in lowlands, bird densities and species mengidentifikasi suara burung yang richness generally are higher in logged lowlands menghabiskan paling sedikit 40 hari kerja di than in primary hill forests lapangan. n Fire has more far-reaching effects than logging does in that it negatively affects the species richness of trees, birds and butterflies n Remaining unburned forest patches can serve as a dispersal source for many tree species that have gone locally extinct in the surrounding burned forest 4
Rekomendasi-rekomendasi Penting Pengelolaan hutan produksi kayu n Kerusakan pada struktur hutan dan keragaman pohon dapat secara mudah dikurangi dengan meminimalkan perluasan jalur tarik kayu dan jumlah kayu tebangan per unit areal permukaan; n Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan pengurangan dalam intensitas pembalakan (total gabungan sekitar 5 batang/ ha); n Siklus tebang 55 tahun (daripada siklus 35 tahun yang ditentukan pada saat ini) diperlukan untuk pemulihan kembali areal pokok pohon dan menguntungkan bagi konservasi jenis burung yang sensitif terhadap pembalakan; n Pembalakan liar dan kebakaran hutan merupakan ancaman yang jauh lebih besar terhadap keanekaragaman hayati daripada eksploitasi kayu yang dapat berkelanjutan, dan selanjutnya harus dicegah sama sekali. n Karena regenerasi hutan bekas terbakar sangat bergantung pada pohon-pohon yang dapat bertahan hidup, semai-semai dan anakananakan yang sudah mapan, maka pada lokasi hutan bekas terbakar ini tidak boleh ada kegiatan pembalakan sebagai tindakan penyelamatan (pemanenan tegakan-tegakan mati).
Use of indicator species n To quantify disturbance levels in burned and logged forests, use can be made of the abundance of pioneer tree species from the genera Macaranga and Mallotus, and of the community compositions of birds and butterflies n The presence of shade-preferring fern species is a useful indicator of forest-like conditions in agroforests n The lumping of bird species in feeding guilds masks the population decline of sensitive species in logged and burned forests n A rapid assessment of disturbance levels using Macaranga and Mallotus trees as indicators requires a team of two fieldworkers to spend 10 to 25 days in the field as well as brief training in tree identification, (see http:// www.nationaalherbarium.nl/MacMalBorneo/ index.htm); the use of bird indicators requires a researcher skilled in bird sound identification to spend at least 40 days in the field.
Main recommendations Management of timber production forests n Damage to forest structure and tree diversity can most easily be reduced by minimizing the extent of skid trails and the number of harvested trees per unit of surface area n For a long-term sustainable harvest of such slow-growing tree species as Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica spec., Koompassia spec. and Eusideroxylon zwageri, a strong reduction in logging intensity (to a combined total of ca. 5 stems/ha) is required n A cutting cycle of 55 years (instead of the currently prescribed 35 years) is necessary for the recovery of tree basal area and is beneficial for the conservation of logging-sensitive bird species n Illegal logging and forest fires are a far greater threat to biodiversity than sustainable timber exploitation is, and thus should be prevented at all costs n Because burned forest regeneration depends strongly on the last surviving trees, seedlings and saplings, no salvage logging operations (the harvesting of standing dead trees) should be carried out in burned forests
Sikatan cacing (Cyornis banyumas) Hill Blue Flycatcher
5
Alokasi dan pengelolaan kawasan lindung n Sisa hutan dataran rendah primer harus menjadi prioritas utama konservasi karena kehadiran jenis yang terancam dan kerapatan yang tinggi akan jenis sensitif terhadap pembalakan, dan juga karena penting sebagai lokasi acuan dalam penelitian keragaman hayati n Kawasan-kawasan konservasi hutan dataran rendah layak mendapatkan perlindungan penuh walaupun telah rusak oleh kebakaran dan pembalakan liar n Hutan-hutan dataran rendah bekas pembalakan dan bekas terbakar ringan di bawah ketinggian <200 m seharusnya lebih dulu dipilih untuk dimasukkan ke dalam kawasan-kawasan lindung baru daripada hutan-hutan perbukitan n Hutan-hutan bekas terbakar yang terpilih untuk dikonservasi seharusnya berdekatan dengan hutan-hutan dewasa tidak terbakar karena berpengaruh ringan nantinya terhadap kekayaan jenis dalam komunitas burung n Tegakan-tegakan lebih tua di hutan karet yang berdekatan dengan hutan-hutan alami dapat berfungsi sebagai suatu habitat perluasan atau koridor untuk keragaman hayati dalam satu proporsi besar.
Udang Api ( Ceyx erithacus)- Malaysian Dwarf Kingfisher
6
Allocation and management of protected areas n The few remnants of primary lowland forest must be a top conservation priority because of the presence of threatened species and high densities of logging-sensitive species, and because of their importance as reference sites in biodiversity studies n Existing lowland forest reserves in lowlandplain forests deserve full conservation efforts even after they have been damaged by fire and illegal logging n Lightly logged and burned lowland forests < 200 m elevation should be preferred over hill forests for inclusion in new protected areas n Burned forests selected for conservation should preferably be adjacent to unburned mature forests because of the latter’s mitigating effect on species richness in bird communities n Older stands of jungle rubber adjacent to natural forests can serve as a habitat extension or corridor for a large proportion of biodiversity
Apakah hutan hujan dataran rendah Are Borneo’s logged and burned lowland Kalimantan bekas pembalakan dan rainforests still valuable enough to kebakaran masih cukup berharga untuk conserve as regards tree diversity? pelestarian keragaman pohon? Ferry Slik
Ferry Slik
Sejak pertengahan abad keduapuluh, kebakaran hutan dan pembalakan telah merusak daerah hutan dataran rendah yang luas di Kalimantan. Daerah permukaan yang dipengaruhi oleh dua tipe kerusakan ini sekarang melebihi besarnya hutan hujan dataran rendah yang tidak terganggu. Ini menunjukkan bahwa hutan-hutan sekunder saat ini memainkan peranan penting dalam konservasi hutan dataran rendah Kalimantan, baik sebagai kawasan hutan tersisa yang terakhir dalam wilayah tersebut atau sebagai koridor di antara petak-petak hutan tersisa di hutan yang tidak terganggu. Meskipun demikian, struktur hutan dan keragaman jenis pohon sangat dipengaruhi oleh tebang pilih dan kebakaran hutan, dan hutan tersebut masih memberikan harapan pada hampir semua keragaman pohon sebelum kerusakan.
Since the middle of the twentieth century, forest fires and selective logging have damaged large areas of lowland forest in Borneo. The surface area affected by these two types of disturbance now greatly exceeds the extent of undisturbed lowland rainforest. This means that these secondary forests play a vital role in the conservation of Borneo’s lowland tropical rainforest, either as the last remaining forested areas in a region, or as forested corridors between the last patches of undisturbed forests. Eventhough forest structure and tree species diversity is greatly affected by both selective logging and forest fires, these forests still harbour most of the pre-disturbance tree diversity.
Dampak tebang pilih konvensional Antara 20 hingga 50% dari semua pohon yang berdiameter lebih besar dari 10 cm musnah karena kegiatan pembalakan HPH. Kerusakan pada lapisan bawah hutan (pohon-pohon dengan diameter lebih kecil daripada 10 cm), dan khususnya semai-semai dan anakan-anakan yang sudah mapan, umumnya kurang parah dan terutama terbatas hanya pada lingkungan sekitar jalur tarik kayu dan pohonpohon yang tumbang. Kerapatan jenis pohon (jumlah jenis per unit areal permukaan) juga lebih rendah akibat pembalakan (sampai dengan 30-50% untuk pohon berdiameter > 10 cm). Walaupun demikian, tidak ada indikasi-indikasi bahwa keragaman jenis pohon sangat dipengaruhi oleh pembalakan, di mana jumlah kumpulan jenis pohon untuk seluruh areal masih tetap sama. Dampak tebang pilih berhubungan erat dengan besarnya jalur tarik kayu dan jumlah pohon yang ditebang per unit areal permukaan. Ini berarti bahwa kerusakan pada struktur hutan dan keragaman pohon dapat secara mudah dikurangi dengan meminimalkan besarnya jalur tarik kayu dan jumlah pohon yang ditebang per unit areal permukaan. Pembalakan oleh HPH sebagaimana dipraktekkan di Indonesia pada saat ini menghasilkan suatu jaringan hutan berpetak-petak yang rusak parah bercampur dengan petak-petak hutan yang hampir tidak terganggu. Akan tetapi, sebagai dampak dari pembukaan tajuk hutan, jumlah cahaya meningkat
The impact of conventional selective logging Between 20 and 50% of all trees with a diameter at breast height (dbh) larger than 10 cm are killed by conventional logging operations. Damage in the forest understorey (trees with a dbh smaller than 10 cm), and especially among the seedlings and saplings, is generally less severe and is mainly restricted to the direct neighbourhood of skid trails and fallen trees. Tree species density (the number of species per unit of surface area) is also strongly reduced by logging (up to 30-50% for trees with a dbh > 10 cm). However, there are no indications that tree species diversity is strongly affected by logging; that is, the total tree species pool for the whole area remains the same. The impact of selective logging is strongly related to the extent of skid trails and the number of harvested trees per unit of surface area. This means that damage to forest structure and tree diversity can most easily be reduced by minimizing the extent of skid trails and the number of harvested trees per unit of surface area. Conventional selective logging as currently practiced in Indonesia results in a patchy network of severely damaged forest intermixed with patches of almost undisturbed forest. However, as a result of the opening up of the forest canopy, the amount of light increases strongly throughout the forest understorey. This temporarily favours fastgrowing tree species with low wood densities, and might thus change the future tree species composition.
7
tajam di seluruh lapisan bawah hutan. Untuk sementara, hal ini membantu jenis pohon yang cepat tumbuh dengan kerapatan kayu rendah, dan barangkali juga merubah komposisi jenis pohon di masa mendatang. Potensi regenerasi hutan-hutan tebang pilih. Jumlah pohon (dbh/diameter setinggi dada > 10 cm), kerapatan dan keragaman jenis pohon mencapai kembali tingkat-tingkat sebelum terjadinya kerusakan dalam kurun waktu 15 sampai 20 tahun setelah pembalakan. Walaupun demikian, areal pokok total dan volume kayu pulih kembali jauh lebih lambat. Siklus tebang 35 tahun yang digunakan pada saat ini tidak cukup lama bagi areal pokok untuk pulih kembali dan seharusnya ditingkatkan menjadi 50-60 tahun. Penjarangan lepas pada lapisan bawah dan lapisan atas hutan menghasilkan peningkatan sementara dalam pertumbuhan pohon-pohon besar (dbh >10 cm). Akan tetapi, hal ini sangat mengubah komposisi jenis pohon hutan dan tidak disarankan untuk konservasi keragaman pohon. Pada umumnya, hutan-hutan tebang pilih berpotensi bagus untuk pulih kembali karena setelah pembalakan semai-semai, anakan-anakan yang sudah mapan dan tegakan-tegakan yang tinggal di lapisan bawah hutan secara cepat mengisi kembali ruang terbuka di tajuk hutan. Akan tetapi, regenerasi pada jalur tarik kayu lebih lama dan tergantung sepenuhnya pada keberadaan biji. Pengkayaan tanaman seharusnya difokuskan pada jalur tarik kayu. Disarankan juga untuk mencegah atau merusak jalan masuk hutan setelah kegiatan pembalakan selesai, untuk menghindari atau merintangi kehadiran pembalakan liar.
Regeneration potential of selectively logged forests The number of trees (dbh > 10 cm), the tree species density and the tree species diversity reach predisturbance levels within 15-20 years after logging. However, total basal area and wood volume recover much more slowly. The currently used cutting cycle of 35 years is not long enough for basal area to recover and should be increased to 50-60 years. Liberation thinning of the forest understorey and overstorey results in a temporary increase in the growth of large trees (dbh > 10 cm). However, it seriously alters the tree species composition of the forest and is not advisable for the conservation of tree diversity. In general, selectively logged forests have a good potential for recovery because the seedlings, saplings and poles that remain in the forest understorey after logging quickly fill up the open spaces in the forest canopy. However, regeneration on skid trails is very slow and depends completely on seed input. Enrichment planting should thus be focused on skid trails. It is also advised to block or destroy forest access roads after the logging operations have been completed, to prevent or hinder the occurrence of illegal logging.
Lapisan bawah hutan primer lembab dengan pakupakuan dan lumut-lumutan
Struktur hutan terbuka dari sebuah hutan tebang pilih
The humid understorey of primary forest with ferns and mosses
The opened forest structure of a selectively logged
8
forest
Dampak kebakaran hutan Kebakaran hutan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap ekosistem hutan karena mengakibatkan hampir 100% angka kematian pohon dengan diameter < 10 cm, dan sampai dengan 50% angka kematian pohon-pohon dengan diameter > 10 cm. Sesungguhnya angka kematian tergantung pada ukuran, misalnya, bertambahnya diameter pohon maka akan menyebabkan turunnya angka kematian. Struktur hutan juga berubah tajam, lapisan bawah dan lapisan tengah hutan langsung menjadi sangat terbuka setelah kebakaran. Kerusakan karena kebakaran sangat merata di seluruh hutan. Hanya petak-petak kecil hutan yang kebanyakan berlokasi di hutan rawa, dataran-dataran berlumpur, dan lembah-lembah sungai yang selamat dari kebakaran. Petak-petak hutan yang tidak terbakar ini biasanya meliputi 4 hingga 10% dari total kawasan hutan. Intensitas kebakaran berkaitan dengan muatan air tanah. Daerah lereng bagian bawah menunjukkan kerusakan yang kurang parah daripada daerah lereng bagian atas, karena daerah lereng bagian bawah memiliki muatan air tanah yang lebih tinggi, bahkan setelah periode kering yang lama. Kebakaran yang berulang menyebabkan semakin berkurangnya keragaman jenis pohon dan kadang-kadang menyebabkan kepunahan banyak jenis lokal. Hal ini disebabkan oleh angka kematian kebakaran dan kenyataan bahwa jarak antar pohon terlalu besar untuk terjadinya penyerbukan yang efektif.
Hutan-hutan dataran rendah Kalimantan dan Sumatera menjadi rusak parah akibat kebakaran hutan besar pada tahun 1997-1998 The large forest fires of 1997-1998 severely damaged lowland forests of Kalimantan and Sumatra
Potensi regenerasi hutan bekas terbakar Regenerasi hutan-hutan bekas terbakar terutamanya melalui biji-biji dari pohon-pohon dewasa yang masih bertahan hidup, dan membutuhkan waktu yang lama karena lambatnya pertumbuhan kebanyakan jenis klimaks. Karena itulah selama beberapa tahun pertama setelah kebakaran, lapisan bawah dan tengah hutan banyak didominasi oleh jenis-jenis rumput perintis dan pohon yang cepat tumbuh. Kondisi ini menyebabkan tersedianya
The impact of forest fires Forest fires have a very large impact on the forest ecosystem because they lead to almost 100% mortality of trees with a dbh < 10 cm and up to 50% mortality of trees with a dbh > 10 cm. Mortality is strongly size dependent, that is, it decreases as the diameter of a tree increases. Forest structure is thus strongly altered, with a very open understorey and middle storey directly after the fire. Fire damage is very uniform throughout the forest. Only small forest patches – mostly in swamps, floodplains and river valleys – escape from fire. These unburned forest patches usually cover 4-10% of the total forest area. Fire intensity is related to soil water content. Down-slope areas show less fire damage than upslope areas do, because the former have higher soil water contents, even after prolonged periods of drought. Repeated fires lead to increasingly impoverished diversity of tree species and eventually to the local extinction of many species. This is caused both by direct fire mortality and by the fact that distances between trees become too large for effective pollination to take place.
Jalan pembalakan yang tererosi An eroded logging road
Regeneration potential of burned forests The regeneration of burned forests mainly takes place through the seed rain from surviving adult trees, and can take a considerable time because of the slow growth of most climax species. During the first few years after a fire, the forest understorey and middle storey are therefore strongly dominated by fastgrowing pioneer herb and tree species. These provide a good light and humidity climate in the forest understorey for the regeneration of the climax tree species. The remaining unburned forest patches also play an important role in the regeneration of the burned forest because they still contain an almost 9
cahaya bagus dan iklim lembab di lapisan hutan bawah untuk regenerasi jenis pohon klimaks. Petakpetak sisa hutan tidak terbakar juga memainkan suatu peranan penting dalam regenerasi hutan bekas terbakar karena petak-petak tersebut masih berisikan satu komunitas jenis pohon yang hampir utuh seperti sebelum terjadinya kebakaran. Petak-petak hutan ini dapat bertindak sebagai pusat penyebaran bagi banyak jenis pohon yang secara lokal telah punah di sekitar hutan yang terbakar. Walaupun mungkin untuk meregenerasi hutanhutan yang telah terbakar sekali atau dua kali, proses tersebut sangat lama: regenerasi dapat membutuhkan waktu selama-lamanya 100 tahun. Walaupun demikian, kebanyakan jenis, meski punah secara lokal, masih ada didalam kumpulan sumber jenis hutan, khususnya di beberapa petak hutan yang tidak terbakar. Karena regenerasi hutan terbakar sangat tergantung pada pohon-pohon yang masih bertahan hidup, semai-semai dan anakan-anakan yang sudah mapan, sangatlah tidak bijaksana untuk memulai kegiatan pembalakan sebagai tindakan penyelamatan (pemanenan tegakan-tegakan mati) di hutan-hutan bekas terbakar ini. Kegiatan-kegiatan ini sesungguhnya akan menghambat, dan dalam beberapa hal mencegah pemulihan hutan kembali.
intact pre-fire tree species community. They can serve as dispersal nuclei for many tree species that have gone locally extinct in the surrounding burned forest. Although it is possible to regenerate forests that have burned once or twice, the process is a very long one: regeneration can take as long as 100 years. However, most species, although locally extinct, are still present in the forest species pool, especially in the few unburned forest patches. Because burned forest regeneration depends strongly on the last surviving trees, seedlings and saplings, it is very unwise to start salvage logging operations in these burned forests. These operations will seriously retard, and in some cases prevent, forest recovery.
Conclusion Although both selective logging and forest fires result in considerable damage to forest structure and species density, both types of disturbed forest still contain most of the pre-disturbance tree diversity. Regeneration potential for logged forests is good, but reductions in logging frequency, the extent of skid trails and the number of logged trees per ha are necessary if the forest is to recover its forest structure completely. Liberation thinning should be strongly discouraged since it negatively affects tree species Kesimpulan composition. The regeneration of burned forests is Walaupun tebang pilih dan kebakaran hutan possible (if they have not been burned repeatedly) menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada but takes a considerable period of time. Burned struktur hutan dan kerapatan jenis, kedua jenis hutan forests remain vulnerable to recurrent fires and it is rusak ini masih mengandung hampir semua therefore necessary to take measures to prevent new keragaman pohon seperti sebelum terjadinya fires from spreading into burned forests. Salvage kebakaran. Hutan bekas pembalakan masih logging in burned forests should be strongly memiliki potensi bagus untuk regenerasi, dengan discouraged, since it seriously retards forestrecovery. pengurangan-pengurangan pada frekuensi pembalakan, besarnya jalur tarik kayu, dan jumlah pohon tebang per hektar penting jika hutan dapat memulihkan kembali struktur hutannya secara lengkap. Penjarangan lepas seharusnya dicegah sejak kegiatan ini secara negatif mempengaruhi komposisi jenis pohon. Regenerasi hutan-hutan bekas terbakar masih mungkin (jika tidak terbakar ulang) tetapi membutuhkan periode waktu yang sangat lama. Hutan-hutan bekas terbakar masih tetap rentan terhadap kebakaran yang mungkin berulang pada waktu tertentu dan karena itu perlu mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah menyebarnya kebakaran baru kedalam hutan-hutan bekas terbakar tersebut. Pembalakan sebagai tindakan penyelamatan Gambar 1. Perbandingan kerapatan relatif jenis klimaks (pemanenan tegakan-tegakan mati) di hutan bekas di hutan terbakar satu kali (putih) dan terbakar dua terbakar seharusnya dicegah, karena ini kali (hitam) dengan hutan yang tidak terbakar per kelas diameter. sesungguhnya dapat menghambat pemulihan hutan Figure 1 . Relative density of climax species in once kembali. (white bars) and twice (black bars) burned forest in comparison to unburned forest per diameter class.
10
Hasil-Hasil Proyek/ Output from this project
Slik, J. W. F. 2001. Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae) as indicators for disturbance in the lowland dipterocarp forests of East Kalimantan, Indonesia. Tropenbos-Kalimantan Series 4, Tropenbos International, Wageningen, the Netherlands, 224 pp. Slik, J. W. F., and Eichhorn K. A. O. 2003. Fire survival of lowland tropical rain forest trees in relation to stem diameter and topographic position. Oecologia 137: 446-455. Slik, J. W. F., Keßler, P. J. A., and Welzen, P. C. van .2003. Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae) as indicators for disturbance in the mixed lowland dipterocarp forest of East Kalimantan (Indonesia). Ecological Indicators 2: 311324. Slik, J. W. F., Verburg, R. W., and Keßler, P. J. A. 2002. Effects of fire and selective logging on the tree species composition of lowland dipterocarp forest in East Kalimantan, Indonesia. Biodiversity and Conservation 11: 85-98.
Bacaan lebih lanjut: pengaruh-pengaruh pembalakan/ Further reading: logging effects
Cannon, C. H., Peart, D. R., and Leighton, M. 1998. Tree species diversity in commercially logged Bornean rainforest. Science 281: 1366-1368. Cannon, C. H., Peart, D. R., Leighton, M., and Kartawinata, K. 1994. The structure of lowland rainforest after selective logging in West Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 67: 49-68. Fadillah, D. 2000. The economic of thinning natural production forest. In: Purnama, B., Ginting ANg, Tarigan, D. D., Pratiwi,Sukardi, D., Soeparno, W., Rochadi, D., Panjaitan, J.H., and Septiani, Y. (Eds). Expose of research results of international cooperation projects. Forestry and Estate Crops Research and Development Agency, Ministry of Forestry and Estate Crops, Jakarta, Indonesia. Favrichon, V., Nguyen-The, N., and Enggelina, A. 2001. Estimation of the harvestable potential, after logging in a lowland mixed dipterocarp forest of east Kalimantan. Journal of Tropical Forest Science 13: 62-75. Huth, A., and Ditzer, T. 2001. Long-term impacts of logging in a tropical rain forest - a simulation study. Forest Ecology and Management 142: 33-51. Pinard, M.A., Barker, M.G., and Tay, J. 2000. Soil disturbance and post-logging forest recovery on bulldozer paths in Sabah, Malaysia. Forest Ecology and Management 130: 213-225. Sist,P., Fimbel, R., Sheil, D., Nasi, R., and Chevallier, M. 2003. Towards sustainable management of mixed dipterocarp forests of Southeast Asia: moving beyond minimum diameter cutting limits. Environmental Conservation 30: 364374. Sist, P., Sheil, D., Kartawinata, K., and Priyadi, H. 2003. Reduced-impact logging in Indonesian Borneo: some results confirming the need for new silvicultural prescriptions. Forest Ecology and Management 179: 415-427.
Bacaan lebih lanjut: pengaruh-pengaruh kebakaran/ Further reading: fire effects
Barlow, J., Lagan, B. O., and Peres, C. A. 2003. Morphological correlates of fire-induced tree mortality in a central Amazonian forest. Journal of tropical Ecology 19: 291-299. Cochrane, M. A. 2003. Fire science for rainforests. Nature 421: 913-919. Cochrane, M. A., Alencar, M. A., Schultze, M. D., Souze Jr., J. M, Nepstad, D. C., Lefebvre, P., and Davidson, E.A. 1999. Positive feedbacks in the fire dynamic of closed canopy tropical forest. Science 284: 1832-1835. Cochrane, M. A., and Schultze, M.D. 1999. Fire as a recurrent event in tropical forests of the eastern Amazon: effects on forest structure, biomass, and species composition. Biotropica 31: 2-16. Nieuwstadt, M. G. L. van, Sheil, D., and Kartawinata, K. 2001. The ecological consequences of logging in the burned forests of East Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology 15: 1183-1186. Nykvist, N. 1996. Regrowth of secondary vegetation after the ‘Borneo fire’ of 1982-1983. Journal of Tropical Ecology 12: 307-312. Peres, C. A. 1999. Ground fires as agents of mortality in a Central Amazonian forest. Journal of Tropical Ecology 15: 535-541. Siegert, F., Rücker, G., Hinrichs, A., and Hoffmann, A. A. 2001. Increased damage from fires in logged forests during droughts caused by El Niño. Nature 414 : 437-440. Stolle, F., and Lambin, E. F. 2003. Interprovincial and interannual differences in the causes of land-use fires in Sumatra, Indonesia. Environmental Conservation 30: 375-387. Woods, P. 1989. Effects of logging, drought, and fire on structure and composition of tropical forests in Sabah, Malaysia. Biotropica 21: 290-298.
11
Keanekaragaman tumbuhan di sisa-sisa Plant diversity in unburned forest remnants hutan tidak terbakar dalam lansekap hutan in burned Bornean rainforest landscapes: a hujan yang terbakar di Kalimantan: sumber potential source for forest regeneration potensial untuk regenerasi hutan Karl Eichhorn
Karl Eichhorn
Kombinasi kebakaran hutan dan aktivitas manusia secara dramatis telah meningkatkan kerusakan hutan di wilayah-wilayah tropis, khususnya selama kejadian El Niño Southern Oscillation (ENSO). Kebakaran hutan yang paling besar telah terjadi di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia, dimana 3,5 juta hektar rusak ditahun 1982/83 dan 5,2 juta hektar di tahun 1997/98, termasuk 2,6 juta hektar hutan. Kebakaran ENSO berskala besar pada waktu yang sama juga tercatat di tempat lain di Indonesia dan di wilayah Amazon. Sejauh ini, sedikit sekali data yang tersedia tentang dampak dari kebakarankebakaran hutan tersebut terhadap keragaman jenis dan ekosistem hutan hujan. Artikel ini memperlihatkan bahwa jaringan-jaringan sisa hutan yang tidak terbakar melindungi hampir seluruh keragaman tumbuhan di hutan-hutan yang terbakar. Aktivitas-aktivitas manusia yang kemudian bersifat merusak, lebih daripada kebakaran-kebakaran ENSO itu sendiri, merupakan ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati dari hutan-hutan tersebut.
A combination of fire and human activity has dramatically increased forest destruction in tropical regions, especially during El Niño Southern Oscillation (ENSO) events. The most extensive fires have occurred in the Indonesian province of East Kalimantan, where 3.5 million ha were destroyed in 1982/3 and 5.2 million ha in 1997/8, including 2.6 million ha of forest. Contemporary large-scale ENSO fires have also been recorded elsewhere in Indonesia and in the Amazon region. So far, few data on the impact of these fires on species diversity and the rainforest ecosystem are available. This paper shows that networks of unburned remnant forest conserve most of the plant diversity in burned forests. Subsequent destructive human activities, rather than the ENSO fires themselves, are the major threat to the biodiversity of these forests.
Field study Two years after the fires, burned forests were studied in detail in two forest reserves north of the city of Balikpapan (Fig. 1). The Sungai Wain Reserve (SW) Penelitian lapangan originally covered ca. 10,000 ha of mixed Dua tahun setelah kebakaran, hutan-hutan yang dipterocarp forest (MDF). Only a small part of it terbakar diteliti secara rinci di dua hutan lindung was burned by the ENSO fires in 1982, while more disebelah utara kota Balikapapan (Gambar 1). Hutan than 50% was destroyed by those of 1998. In this Lindung Sungai Wain (SW) aslinya meliputi sekitar reserve, plant diversity was studied in unburned and 10.000 hektar hutan Dipterocarpaceae campuran once-burned forest. The Wanariset Reserve (W) (MDF). Hanya sebagian kecil saja yang terbakar oleh originally covered ca. 500 ha of MDF but was almost kebakaran ENSO ditahun 1982, sementara lebih completely burned during both ENSO events. Here, daripada 50% rusak oleh kebakaran ENSO pada plant diversity was studied in twice-burned forest. tahun 1998. Didalam hutan lindung ini, keragaman Since very few stems survived the fires, both burned tumbuhan diteliti di hutan tidak terbakar dan hutan forests can be classified as forests having total fire yang terbakar satu kali. Hutan lindung Wanariset damage – the most severely affected category. (W) aslinya meliputi sekitar 500 hektar hutan The field survey was carried out from January Dipterocarpaceae campuran (MDF) tapi hampir to May 2000. All three forest areas were sampled seluruhnya terbakar selama dua kejadian ENSO using the same basic design (Fig. 1). Two sets of 40 tersebut. Di hutan lindung Wanariset, keragaman random subplots (10 x 20 m) were located in plots tumbuhan diteliti di hutan yang telah dua kali of 18 and 450 ha. The plots were positioned at terbakar.Karena sangat sedikit sekali tegakan-tegakan similar locations with respect to topographical yang selamat dari kebakaran, maka kedua hutan variation. Remnant forest was still easily recognizable terbakar tersebut dapat diklasifikasikan sebagai in the study sites. From the strong contrast in the hutan-hutan yang mengalami kerusakan kebakaran vegetation structure and the absence of burned wood total, kategori yang paling parah. fragments, limits could usually be mapped in the Survei lapangan dilaksanakan dari bulan Januari subplots to one metre accuracy. All terrestrial plants sampai Mei 2000. Ketiga daerah hutan diambil taller than 1.3 m were sampled in the 240 subplots. contohnya menggunakan desain dasar yang sama In total, 27,715 stems of 695 tree species and (Gambar 1). Dua set yang terdiri dari 40 anak petak 17,816 stems of 338 non-tree species were 12
(a)
(c)
(b)
Gambar 1. Peta areal penelitian dan desain petak. (a) Lokasi daerah Balikpapan di Kalimantan. (b) Lokasi 450 hektar petak di daerah Balikpapan. Nomor-nomor di dalam petak berkaitan dengan jumlah kebakaran yang telah terjadi di dalamnya. (c) Lokasi-lokasi dari dua set dengan 40 anak petak acak di dalam 18 dan 450 hektar petak di hutan terbakar yang diteliti. Ukuran anak petak (10 x 20 m) tidak berdasarkan skala, anak petak berwarna putih terbakar seluruhnya, anak petak berwarna hitam berisikan sisa hutan tidak terbakar. Hutan tidak terbakar diambil contohnya dengan menggunakan desain yang sama .
acak (10 x 20 m) dilokasikan di dalam petak berukuran 18 dan 450 hektar. Petak-petak tersebut ditempatkan pada lokasi yang sama dengan memperhatikan variasi topografi. Sisa hutan masih dapat dikenali secara mudah di dalam lokasi-lokasi penelitian. Karena perbedaan yang nyata dalam struktur vegetasi dan tidak adanya fragmen-fragmen hutanterbakar, batas-batas biasanya dapat dipetakan ke dalam anak petak sampai dengan ketepatan satu meter. Semua tumbuhan yang hidup di tanah dan lebih tinggi daripada 1,3 m diambil contohnya dalam 240 anak petak. Total 27.715 batang dari 695 jenis pohon dan 17.816 batang dari 338 jenis bukan pohon diamati. Semua contoh tumbuhan diidentifikasikan ke dalam tingkat taksonomi yang serendah mungkin oleh karyawan di Herbarium Wanariset atau Herbarium Nasional Belanda, atau oleh ahli taksonomi dimanapun. Sisa hutan Walaupun petak-petak sisa hutan tidak terbakar yang berada di lansekap hutan terbakar telah diteliti sebelumnya, masih tidak diketahui pada tingkat mana integritas biotiknya terpelihara selama suksesi pasca kebakaran. Petak-petak hutan yang tidak
Figure 1. Maps of the research area and plot design. (a) Location of the Balikpapan area in Kalimantan. (b) Locations of the 450-ha plots in the Balikpapan area. Numbers in the plots correspond to the number of fires that have occurred in it. (c) Locations of the two sets of 40 random subplots in the 18-ha and 450-ha plots in the burned forests studied. Subplots (10 x 20 m) not to scale; white subplots were entirely burned, black subplots contained unburned remnant forest. The unburned forest was sampled with the same design.
observed. All plant samples were identified to the lowest possible taxonomical level by staff at the Herbarium Wanariset or the Nationaal Herbarium Nederland, or by taxonomic specialists elsewhere. Remnant forest Although patches of unburned remnant forest in a burned landscape have been observed before, it is unknown to what degree their biotic integrity is maintained during post-fire succession. Unburned forest patches covered 10.6% (SW) and 8.1% (W) of the study areas, and nearly all were in the floodplains of small rivers and streams. As these form an integrated network, unburned remnant forest did not comprise isolated fragments but effectively constituted networks of interconnected patches (Fig. 2). Plant composition and diversity of the unburned forest network was compared with the surrounding burned matrix by classifying species as ‘abundant’ (30 or more stems ha-1 ) or ‘infrequent’ (fewer than 30). The network was mainly composed of infrequent species (SW: 79.0% of all stems, W: 88.6%), while the matrix was mainly composed of abundant species (SW: 76.3%, W: 88.5%). This had important consequences for species richness in both 13
terbakar meliputi 10,6% (SW) dan 8,1%(W) dari areal-areal penelitian, dan hampir semua berada di dataran-dataran berlumpur pada sungai-sungai kecil yang mengalir. Karena petak-petak tersebut membentuk jaringan terpadu, sisa hutan yang tidak terbakar tidak terdiri dari fragmen-fragmen yang terisolasi tetapi membentuk jaringan petak-petak hutan yang berhubungan secara efektif (Gambar 2). Komposisi dan keragaman tumbuhan dalam jaringan hutan tidak terbakar dibandingkan dengan susunan hutan terbakar disekitarnya dengan cara mengklasifikasikannya sebagai ‘melimpah’ (30 batang atau lebih per hektar) atau ‘jarang’ (kurang dari 30 batang). Jaringan hutan yang tidak terbakar, utamanya tersusun oleh jenis-jenis jarang (SW: 79,0% dari semua batang, W: 88,6%), sedangkan susunan hutan terbakar, utamanya terdiri dari jenis yang melimpah (SW: 76,3%, W: 88,5%). Ini memiliki konsekuensi penting terhadap kekayaan jenis di kedua lokasi tersebut. Dengan menggunakan analisis regresi dan faktor pengali 3,4 bahwa kekayaan jenis-jenis ‘jarang’ di dalam anak petak jaringan hutan tidak terbakar lebih tinggi daripada susunan hutan terbakar (SW: 62,7/18.6) dan 4,9 (W: 107,1/21,9) (Gambar 3). Kekayaan jenis-jenis melimpah tidak berhubungan dengan jaringan hutan tidak terbakar, tapi hanya menandakan kerusakan/ fraksi kecil dari seluruh jenis (SW:30/468, 6,4%; W: 49/599, 8,2%) dan jenis-jenis utamanya berasal dari keluarga-keluarga perintis seperti Ficus, Macaranga, Piper, dan Trema. Sebagian besar jenis ‘jarang’ disusun oleh jenis-jenis yang termasuk dalam seluruh suku-suku tumbuhan, yang merupakan karakteristik hutan asli seperti Anacardiaceae, Annonaceae, Burseraceae, Dipterocarpaceae, Meliaceae dan Myristicaceae. Keragaman tumbuhan Karena jaringan-jaringan hutan tidak terbakar, maka kedua hutan terbakar tersebut masih memberi harapan bagi keragaman tumbuhan yang luar biasa tinggi. Kekayaan jenis dikedua lokasi sudah dinilai, baik yang berskala anak petak (0,02 hektar), dengan mengambil jumlah rata-rata jenis per anak petak, maupun berskala lansekap (450 hektar), dengan mengambil jumlah total jenis yang diamati di ketiga hutan tersebut. Pada skala anak petak, kekayaan jenis yang diamati di kedua hutan terbakar diperkirakan lebih rendah (Gambar 4). Di Sungai Wain dan Wanariset, masing-masing sekitar 46% dan 68% dari hutan yang tidak terbakar. Akan tetapi ini terutamanya merupakan contoh peninggalan/ artefak berskala kecil, dikarenakan perbedaan relatif antar lokasi jauh lebih kecil nilainya pada skala lansekap. Jumlah total jenis yang diamati di hutan-hutan 14
classes. It was estimated by regression analysis that infrequent species richness in subplots was higher in the network than in the matrix by a factor of 3.4 (SW: 62.7/18.6) and 4.9 (W: 107.1/21.9) (Fig. 3). Abundant species richness was not related to the network, but these were only a small fraction of all species (SW: 30/468, 6.4%; W: 49/599, 8.2%) and comprised mainly species in pioneer genera, such as Ficus, Macaranga, Piper and Trema. Infrequent species comprised the majority of the species including all those of plant families characteristic of pristine forest, such as Anacardiaceae, Annonaceae, Burseraceae, Dipterocarpaceae, Meliaceae and Myristicaceae. Plant diversity Because of the networks, both burned forests still harboured a remarkably high level of plant diversity. Species richness was assessed both at the subplot scale (0.02 ha) – by taking the average number of species per subplot – and at the landscape scale (450 ha), by taking the total number of observed species in each of the three forests. At the subplot scale, observed species richness was considerably lower in the two burned forests (Fig. 4). In Sungai Wain
Gambar 2. Posisi jaringan sisa hutan di kawasan Cagar Sungai Wain yang terbakar satu kali. Figure 2. Location of the remnant forest network in the once-burned forest of the Sungai Wain Reserve.
(a)
(a)
(b)
(b)
Gambar 3. Hubungan antara kekayaan jenis pada jenis jarang (jarang, kotak hitam penuh) dan jenis melimpah (melimpah, kotak kosong) dan penutupan oleh sisa hutan tidak terbakar. (a) Hutan lindung Sungai Wain (b) Hutan lindung Wanariset. Figure 3. Relation between species richness in infrequent (infr, solid squares) and abundant (abun, open squares) species and the cover by unburned remnant forest. A Sungai Wain Reserve. B Wanariset Reserve.
terbakar adalah 498 (SW) dan 648 (W); masingmasing sebesar 70% dan 91% untuk hutan yang tidak terbakar (dari sebanyak 715 jenis). Disaat hanya 0,35% (1,6/450 hektar) contoh/sampel hutan-hutan diambil, jumlah jenis sebenarnya diharapkan akan menjadi jauh lebih tinggi. Dengan menggunakan indeks-ICE diperkirakan bahwa jumlah total jenis di hutan-hutan yang terbakar adalah 684 (SW) dan 918 (W), sementara 939 jenis diperkirakan terdapat di hutan tidak terbakar. Banyaknya suku-suku tumbuhan yang ditemukan di hutan-hutan terbakar merupakan ciri khas hutan-hutan alami. Walaupun kelimpahan di keenam suku-suku tersebut turun menjadi 6-20% dari tingkat kelimpahannya, dalam hampir semua kasus, kekayaan jenis di hutan tidak terbakar masih lebih daripada 50% (Gambar 5).
Gambar 4. Kekayaan jenis dalam kelompok tumbuhan yang tumbuh di tanah di setiap hutan dalam dua skala ruang. (a) Skala anak petak, dinyatakan sebagai jumlah jenis yang diamati per anak petak, menunjukkan rerata dan standar deviasi. (b) Skal a lansekap, dinyatakan sebagai jumlah total jenis yang diamati dan yang diperkirakan tiap hutan. Jumlah jenis total diperkirakan dengan menggunakan nilai rerata non-parametrik indeksICE. 4. Species richness in terrestrial plants per forest Figure at two spatial scales. A Subplot scale, expressed as the observed number of species per subplot, showing average and standard deviation. B Landscape scale, expressed as the observed and estimated total number of species per forest. The total number of species was estimated by means of the non-parametric ICE index.
and Wanariset, it was 46% and 68%, respectively, of the unburned forest. However, this was mainly an artefact of small-scale sampling, since relative differences between sites were much smaller at the landscape scale. Total observed species numbers in the burned forests were 498 (SW) and 648 (W); these figures are 70% and 91%, respectively, of the figure for the unburned forest (715 species). Since only 0.35% (1.6/450 ha) of these forests was sampled, the actual species numbers are expected to be much higher. With the ICE index it was estimated that total species numbers in the burned forests were 684 (SW) and 918 (W), while 939 species were estimated to be present in the unburned forest. 15
Implikasi bagi konservasi Bila tidak ada kerusakan lebih lanjut, hutan hujan tropis yang terbakar di Kalimantan Timur nampaknya dapat melestarikan hampir semua keragaman tumbuhan yang ada. Di hutan lindung Wanariset yang terbakar dua kali, jaringan hutan yang pertama kali terbakar tahun 1982, ternyata masih ada dan bertahan selama 18 tahun, jenis-jenis utamanya terdiri dari jenis-jenis jarang. Ini menunjukkan bahwa jaringan tersebut telah dapat bertahan dari kebakaran yang berulang dan komposisinya menjadi sangat tangguh selama proses suksesi pasca kebakaran. Jaringan hutan tersebut sebaiknya bertindak sebagai satu koridor bagi kelompok mamalia dan penyebaran biji-biji, dan bisa juga sebagai mediasi pemulihan kembali jenis-jenis jarang di susunan hutan terbakar. Ada satu persamaan sejarah yang menarik disini, yaitu hutan-hutan tepian sungai di daerah tropis diperkirakan berfungsi sebagai tempat perlindungan hutan yang tangguh selama masa kering jaman Pleistocene, dan juga memungkinkan konversi padang rumput berpohon di sekitarnya menjadi hutan. Oleh karena itu, jaringan-jaringan hutan yang tidak terbakar bisa menjelaskan mengapa hutan hujan tropis Kalimantan Timur dan Amazonia di masa lalu dapat memulihkan kembali keragamannya yang tinggi setelah terbakar. Walau bagaimanapun, saat ini, frekuensi kejadian kebakaran jauh lebih tinggi, dikarenakan adanya interaksi antara aktivitas-aktivitas manusia yang bersifat merusak dan umpan balik yang positif. Di Kalimantan Timur, aktivitas-aktivitas semacam itu kelihatannya telah meningkat secara pesat
Many plant families typical of pristine forests were among the species found in the burned forests. Although the abundance in six of these families was reduced to 6-20% of the level in the unburned forest, in nearly all cases species richness was still more than 50% (Fig. 5).
Gambar 5. Kelimpahan dan jumlah jenis dalam 10 besar suku pepohonan yang kaya-jenis di hutan tidak terbakar. Batang berwarna hitam adalah hutan tidak terbakar, batang pecah-pecah adalah hutan terbakar Sungai Wain, batang putih adalah hutan terbakar Wanariset. (a) Kerapatan pohon per hektar.(a) Total jumlah jenis pohon yang diamati di setiap hutan. Euph Euphorbiaceae, Laur Lauraceae, Meli Meliaceae, Myri Myristicaceae, Myrt Myrtaceae, Rubi Rubiaceae, Dipt Dipterocarpaceae, Anno Annonaceae, Burs Burseraceae, Anac Anacardiaceae. Suku-suku tersebut memiliki 20% lebih sedikit batang per hektar di kedua hutan terbakar daripada di hutan tidak terbakar.
(a)
Figure 5. Abundance and species numbers in the ten most species-rich tree families of the unburned forest. Black bars unburned forest, hatched bars Sungai Wain burned forest, white bars Wanariset burned forest. (a) Tree densities per ha. (b) Total number of tree species observed per forest. Euph Euphorbiaceae, Laur Lauraceae, Meli Meliaceae, Myri Myristicaceae, Myrt Myrtaceae, Rubi Rubiaceae, Dipt Dipterocarpaceae, Anno Annonaceae, Burs Burseraceae, Anac Anacardiaceae. The underlined families had 20% fewer stems per ha in the two burned forests than in the unburned forest.
(b)
16
Kerapatan (batang ha -1 ) Density (stem ha -1 )
Kerapatan (batang ha -1 ) Density (stem ha -1 )
Implications for conservation In the absence of further disturbance, the burned tropical rainforests in East Kalimantan seem to conserve most of their plant diversity. In the twiceburned Wanariset Reserve, the network was still present 18 years after the initial fires in 1982 and mainly comprised infrequent species. This shows that it has been able to survive recurrent fires and that its composition has been very persistent during post-fire succession. The network may well serve as a corridor for mammals and for the dispersal of seeds, and may facilitate the recovery of infrequent species in the burned matrix. There is an interesting historical analogue here, in that tropical riparian forests are thought to have functioned as persistent forest refuges during Pleistocene dry periods, and subsequently to have enabled the conversion of surrounding savannah into forest. Unburned networks may therefore explain why in the past rainforests in East Kalimantan and Amazonia were able to recover their high diversity after being burned. Today, however, fires occur at much higher frequencies due to the interaction between destructive human activities and positive feedback. Such activities seem to have increased greatly since the 1998 fires in East Kalimantan. Salvage felling
semenjak kebakaran tahun 1998. Pemanenan tegakan-tegakan mati yang selamat dari kebakaran, menjadi suatu ancaman untuk regenerasi hutanhutanterbakar. Kebakaran liar yang disebabkan oleh manusia menjadi lebih sering terjadi dan berpotensi menyebabkan kerusakan hutan yang permanen dan hilangnya sisa-sisa hutan. Akan tetapi pandangan yang terlalu pesimis bisa memperkuat opini bahwa hutan-hutan bekas terbakar tidak layak dipertimbangkan untuk dilestarikan keanekaragaman hayatinya. Padahal dengan perkiraan bahwa pada masa mendatang, akan sedikit sekali hutanhutan dataran rendah tidak terganggu yang tersisa di Kalimantan, maka mulai saat ini, hutan-hutan bekas terbakar harus dipertimbangkan sebagai ekosistem penting untuk dilestarikan.
has become a threat to regenerating burned forests. Human-induced wildfires have become more frequent and these have the potential to cause permanent deforestation and loss of forest remnants. But too pessimistic a view might reinforce the opinion that the burned forests are not worth considering for biodiversity conservation. With the expectation that few undisturbed lowland forests will remain in Kalimantan in the near future, burned forests must now be considered as important ecosystems for conservation.
Hutan bekas pembalakan lebih rentan terhadap kebakaran hutan dikarenakan lapisan bawahnya yang sudah mengering Logged forests are more susceptible for forest fires because of their desiccated understorey
Kerusakan akibat kebakaran di lansekap yang terbakar khususnya parah di petak-petak dimana bahan bakar seperti pohon-pohon tumbang telah terakumulasi sebelum kebakaran terjadi.
Fire damage in burned landscapes is especially severe in patches where before the fires fuel such as fallen trees had accumulated
Hasil-hasil Proyek/ Output from this project
Slik, J. W. F., and Eichhorn K. A. O. 2003. Fire survival of lowland tropical rain forest trees in relation to stem diameter and topographic position. Oecologia 137: 446-455. Slik, J. W. F., and Eichhorn, K. A. O. (in prep). Forestfires in the tropical rain forests of east Kalimantan, Indonesia: spatial and temporal changes in plant diversity.
Bacaan lebih lanjut/ Further reading
Cochrane, M. A. 1998. Forest fires in the Brazilian Amazon. Conservation Biology 12: 948-950. Goldammer, J. G. 1999. Forest on fire. Science 284: 1782-1783. Hammond, S., and Ter Steege, H. 1998. Propensity for fire in Guianan rainforests. Conservation Biology 12: 944-947. Jepson,P.,Jarvie, J. K., MacKinnon, K. and Monk, K. A. 2001. The end for Indonesia´s lowland rainforests? Science 292: 859-861. Laurance, W. F. 1998. A crisis in the making: responses of Amazonian forests to land use and climate change. Trends in Ecology and Evolution 13: 411-415. Laurance, S. G., and Laurance, W. F. 1999. Tropical wildlife corridors: use of linear rainforest remnants by arboreal mammals. Biological Conservation 91: 231-239. Legg, C. A., and Laumonier,Y. 1999. Fires in Indonesia, 1997: a remote sensing perspective. Ambio 28: 479-485. Meave, J., Kellman, M., MacDougall, A., and Rosales, J. 1991. Riparian habitats as tropical forest refugia. Global Ecology and Biogeography Letters 1: 69-76. Sanford, R. L., Saldarriaga, J. G., Clark, K., Uhl C., and Herrera, R. 1985. Amazon rain-forest fires. Science 227: 53-55. 17
Pengukuran kerusakan hutan menggunakan Quantifying forest disturbance using jenis tumbuhan indikator indicator plant species Ferry Slik
Ferry Slik
Hutan sekunder memainkan peranan penting dalam konservasi keragaman jenis pohon di Asia Tenggara karena terus meningkatnya fragmentasi dan berkurangnya luas hutan-hutan tidak terganggu di wilayah ini. Suatu metode pengujian cepat dibuat untuk memfasilitasi penetapan kesempurnaan hutan-hutan sekunder dalam istilah struktur hutan dan komposisi jenis, dengan menggunakan jenis tumbuhan indikator dari marga Macaranga dan Mallotus (Euphorbiaceae). Berikut ini adalah penjelasan bagaimana metode ini dapat bekerja dan dapat diaplikasikan di lapangan.
Secondary forests play a vital role in the conservation of tree species diversity in Southeast Asia because of the continuing fragmentation and decreasing extent of undisturbed forests in this region. A rapid assessment method was developed to facilitate determination of the integrity of secondary forests in terms of forest structure and species composition, using indicator plant species from the genera Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae). The following is an explanation of how this method works and how it can be applied in the field.
Kerusakan hutan dan jenis-jenis tumbuhan perintis Salah satu dari perubahan-perubahan yang jelas terlihat setelah kerusakan di hutan-hutan tropis adalah kemunculan jenis tumbuhan perintis secara tiba-tiba. Meningkatnya jenis-jenis perintis di habitat-habitat yang terganggu berkaitan erat dengan meningkatnya kadar cahaya di lapisan bawah hutan. Karena adanya peningkatan jumlah jenis-jenis perintis setelah kerusakan, maka jenis-jenis perintis tersebut pada prinsipnya, cocok untuk mendeteksi dan mengukur kerusakan hutan tropis. Disini fokusnya adalah pada dua marga yang berhubungan erat, mudah untuk dikenali, marga yang kaya jenis di Asia Tenggara, yaitu Macaranga dan Mallotus. Banyak jenis dari kedua marga ini dapat diklasifikasikan sebagai ciri khas jenis-jenis perintis, dan kelimpahannya berkaitan erat dengan tingkat umum kerusakan di hutan-hutan yang diteliti, jangka waktu setelah kerusakan terjadi, dan jumlah kerusakan.
Forest disturbance and pioneer plant species One of the most obvious changes that takes place after disturbance in tropical forests is the sudden appearance of pioneer plant species. The increase in pioneers in disturbed habitats is closely related to the increase in light levels in the forest understorey. Because pioneers increase in numbers after disturbance, they are, in principle, suitable for detecting and quantifying tropical forest disturbance. Here the focus is on two common, closely related, easy to recognize, species-rich genera of Southeast Asia, namely Macaranga and Mallotus. Many species of these two genera can be classified as typical pioneers, and their abundances are closely related to general level of disturbance in the studied forests, the time since disturbance took place and the number of disturbances.
Classification into pioneer and climax species Since ecological field data for most tropical plant species is lacking, methods to determine whether species belonging to the genera Macaranga and Mallotus could be classified as either pioneer or Klasifikasi kedalam jenis perintis dan jenis climax species had to be developed. For this, the length/width ratio of the leaves, seed size and wood klimaks Sejak kurangnya data lapangan tentang ekologi density were used (these factors were strongly kebanyakan jenis tumbuhan tropis, metode-metode correlated with the light establishment preferences untuk menentukan apakah jenis milik marga of a subset of 33 Macaranga and Mallotus species; Macaranga dan Mallotus dapat diklasifikasikan see Fig. 1). Each of these characteristics was sebagai jenis perintis ataukah jenis klimaks harus subdivided into three classes, the order of which dibuat. Untuk tujuan ini, rasio panjang/lebar daun, represented the change from pioneer to climax habit ukuran biji dan kerapatan pohon digunakan (faktor- (Table 1). The average of these three values for each species faktor ini berkorelasi erat dengan pilihan-pilihan was used to classify them as possessing either the penetapan cahaya dari satu sub-bagian berisikan 33 pioneer (average < 2) or the climax (average > 2) jenis Macaranga dan Mallotus; lihat Gambar 1). Tiaptiap karakter dibagi-bagi kedalam tiga kelas, urutan life history strategy. yang memperlihatkan perubahan dari perintis ke 18
Gambar 1. Hubungan antara pilihan-pilihan penetapan cahaya jenis Macaranga dan Mallotus, dengan (a) kerapatan pohon, (b) bentuk daun dan (c) ukuran biji.
a
Figure 1 . Relation between light establishment preferences of Macaranga and Mallotus species and their (a) wood density, (b) leaf shape and (c) seed size.
habitat klimaks (Tabel 1). Rata-rata dari ketiga nilai ini untuk setiap jenis digunakan untuk mengklasifikasikan mereka apakah sebagai milik sejarah strategi perintis (rata-rata < 2) ataukah kehidupan klimaks (rata-rata > 2). Jenis perintis sebagai indikator-indikator kerusakan hutan Metode pengujian cepat didasarkan pada petakpetak sepanjang 900 m yang terdiri dari 30 kotak persegi empat berukuran 10 x 10 m dengan interval yang teratur. Semua jenis Macaranga dan Mallotus lebih tinggi daripada 30 cm yang ditemukan di dalam kotak-kotak persegi empat tersebut diidentifikasi dan dihitung. Jumlah jenis-jenis perintis yang ditemukan di dalam setiap petak (total 30 kotak persegi empat) memberikan perkiraan tingkat kerusakan di dalam petak tersebut. Meskipun demikian, untuk suatu perkiraan tingkat kerusakan yang dapat dipercaya, paling sedikit 5 petak sejenis harus dibangun di daerah hutan tempat penelitian. Nilai rata-rata yang ditemukan untuk beberapa tipe umum kerusakan hutan terdapat di Tabel 2. Website interaktif dengan dasar-dasar identifikasi dan metode indikator kerusakan hutan Baru-baru ini suatu sarana interaktif untuk identifikasi jenis Macaranga dan MallotusKalimantan dibuat dalam bentuk Internet (http:// www.nationaalherbarium.nl/MacMalBorneo/ index.htm). Berdasarkan deskripsi atau gambaran, kunci-kunci dan karakter-karakter tempat, maka sekarang ini mungkin untuk mengidentifikasi semua jenis Macaranga dan Mallotus dari Kalimantan berdasarkan karakter-karakter vegetasi. Tambahan lagi, sarana Internet ini juga berisikan satu metode indikator kerusakan hutan yang interaktif, yang mana dapat menghitung tingkat kerusakan hutan berdasarkan masukan yang disediakan oleh pengguna sarana ini.
b
c
Pioneer species as indicators for forest disturbance The rapid assessment method is based on plots 900 m long consisting of 30 quadrates of 10 x 10 m at regular intervals. All Macaranga and Mallotus species taller than 30 cm found in these quadrates were identified and counted. The number of pioneers found in each plot (sum of the 30 quadrates) provided an estimate of the disturbance level in that plot. However, for a reliable disturbance level estimate, at least five such plots have to be established within the forest area under study. The average values found for several common types of forest disturbance are given in Table 2. Interactive Web-based identification and forest disturbance indicator method Recently an interactive tool for Bornean Macaranga and Mallotus species identification has been developed for the Internet (http:// 19
www.nationaalherbarium.nl/MacMalBorneo/ index.htm). Based on illustrated descriptions, keys and spot characteristics, it is now possible to identify all Macaranga and Mallotus species of Borneo based on vegetative characteristics. Additionally, this Internet site also contains an interactive forest disturbance indicator method, which can calculate the level of forest disturbance based on input provided by the user. Tabel 1. Interval kelas yang digunakan untuk mengklasifikasikan ke dalam jenis perintis dan nonperintis. Urutan kelas memperlihatkan perubahan sejarah strategi dari perintis ke kehidupan klimaks. Table 1. Class ranges used to classify species into pioneers and non-pioneers. The class order reflects the change from a pioneer to a climax life history strategy.
Tipe gangguan (kali sej ak gangguan) Dist urb a nce t y p e (t ime since d ist urb a nce )
Perintis Pione ers (n ± sd)
Non-perintis Non-p ione e rs (n ± sd)
Perintis Pione e rs (%)
Jumlah petak Plot s (n)
Tidak terganggu/ Und ist urbe d
23.5 ± 36.4a
250.8 ± 143.4a
8.6
20
Ditebang dan penjarangan/ Logge d (21) and t hinning (12)
11.6 ± 9.6a
51.8 ± 37.5bc
18.3
5
Ditebang/ Logge d (20-30)
35.3 ± 21.6b
82.3 ± 69.9bc
30
6
Ditebang/ Logge d
(10-20)
58.4 ± 44.4bc
80.3 ± 110.9bc
42.1
7
Ditebang/ Logge d
(0-10)
138.4 ± 130.0cd
110.0 ± 78.8ab
55.7
7
Terbakar satu kali/ Once burne d (15) Ter bakar satu kali/ Once burne d (3)
168.2 ± 82.1de
45.6 ± 20.0bcd
78.7
5
507.0 ± 273.8ef
57.0 ± 39.7abcd
89.9
3
Terbakar satu kali/ Once burne d (1)
476.0 ± 229.3ef
16.2 ± 12.6cde
96.7
5
Terbakar dua kali/ Tw ice burne d (3)
1124.6 ± 662.0f
35.0 ± 29.2bcd
97
5
Terbakar dua kali/ Tw ice burned (3)
1671.7 ± 1275.3f
8.3 ± 4.9de
99.5
3
Ditebang dan Te rbakar/ Logge d (15) and burne d (1)
1264.2 ± 866.3f
6.0 ± 7.3e
99.5
5
Tabel 2. Hubungan antara kelimpahan jenis-jenis perintis dan non-perintis (n per petak 0.3 hektar) dan tipe kerusakan. Tipe-tipe kerusakan diurutkan berdasarkan peningkatan dominasi jenis-jenis perintis. Perbedaan signifikan dalam jumlah jenis perintis dan non-perintis (transformasi log) diantara tipe-tipe kerusakan (diindikasikan dengan perbedaan karakter) diuji dengan menggunakan Model Umum Berfaktor Linier dengan test Perbedaan Signifikan Fishers.
Table 2. The relation between pioneer and non-pioneer abundance (n per plot of 0.3 ha) and disturbance type. Disturbance types are ordered according to increasing dominance of pioneers. Significant differences in pioneer and non-pioneer numbers (log transformed) between disturbance types (indicated with different characters) were tested using a General Linear Factorial Model with a Fishers’ Least Significant Difference test.
Hasil-hasil Proyek/ Output from this project Slik, J. W. F. 2001. Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae) as indicators for disturbance in the lowland dipterocarp forests of East Kalimantan, Indonesia. Tropenbos-Kalimantan Series 4, Tropenbos International, Wageningen, the Netherlands, 224 pp. Slik, J. W. F., Keßler, P. J. A, and Welzen, P. C. van. 2003. Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae) as indicators for disturbance in the mixed lowland dipterocarp forest of East Kalimantan (Indonesia). Ecological Indicators 2: 311-324. Slik, J. W. F., and Welzen, P. C. van. 2004. Macaranga and Mallotus species of Borneo. Nationaal Herbarium Nederland, Leiden University, Leiden, The Netherlands: http://www.nationaalherbarium.nl/ MacMalBorneo/index.htm 20
Petak-petak terbuka di hutan bekas pembalakan, dengan cepat akan ditumbuhi jenis pohon-pohon perintis seperti Macaranga and Mallotus
Buah Macaranga sebagian besar disebarkan dengan perantaraan burung dan mamlia kecil. Untuk mengidentifikasi spesies Macaranga dan Mallotus tidak diperlukan buah atau bunga
Opened up patches in logged forests are quickly filled by pioneer trees as Macaranga and Mallotus
Contoh herbarium dari
Macaranga aëtheadenia
A herbarium sample of Macaranga aëtheadenia
Macaranga fruits are mostly dispersed by birds and small mammals. For identification of Macaranga and Mallotus species no fruits or flowers are required
21
Simulasi perubahan hutan: pengaruhpengaruh jangka panjang akibat pembalakan dan musim kering El Niño terhadap komposisi hutan di Kalimantan
Simulating forest change: the long-term repercussions of logging and El Niño droughts on forest composition in Kalimantan
René Verburg
René Verburg
Membuat model perubahan hutan Pengaruh-pengaruh jangka panjang akibat pembalakan, musim kering berkala, dan kebakaran hutan sebagian besar masih tidak diketahui. Untuk alasan inilah model-model simulasi dibuat untuk mengetahui pengaruh-pengaruh kerusakan semacam itu terhadap komposisi hutan dan keanekaragaman. Dikarenakan hutan hujan, termasuk beberapa hutan sekunder, begitu luar biasa kaya akan jenis, sulit untuk suatu deskripsi tentang perubahan-perubahan di dalam komunitas hutan itu sendiri. Petak-petak contoh permanen ITCI (International Timber Company Indonesia) memperlihatkan bahwa satu variabel komunitas hutan yang dapat dipercaya dan dapat diukur adalah rata-rata pertumbuhan jenis pohon. Ditemukan suatu cara mudah-untukmengukur sepenuhnya rata-rata pertumbuhan ini yaitu kerapatan pohon dari satu jenis pohon. Satu model simulasi dibuat yang mana perubahanperubahan dalam kelimpahan indikator (berbagai jenis pohon dengan ciri khasnya rata-rata pertumbuhan/kerapatan pohon) disimulasikan dengan respon terhadap dua tipe kerusakan, yaitu pembalakan dan musim kering berkala. Gambar 1 menggambarkan hasil-hasil yang paling penting dari simulasi-simulasi ini.
Modelling forest change The long-term effects of logging, periodic droughts and forest fires are still largely unknown. For this reason simulation models were developed to assess the effects of such disturbances on forest composition and diversity. Because rainforests, including many secondary forests, are so extremely species rich a description of the changes in forest communities alone is difficult to make. The ITCI (International Timber Company Indonesia) permanent sample plots show that a reliable and measurable variable of the forest community is the growth rate of the tree species. It was found that an easy-to-measure proxy for this growth rate is the wood density of a tree species. A simulation model was developed in which the changes in abundances of indicators (i.e. various tree species with their typical growth rate/wood density) are simulated in response to two disturbance options, namely logging and periodic droughts. Figure 1 depicts the most important results of these simulations.
In summary, the conclusions with respect to logging are that: 1. The current logging intensity (ca. 20 stems/ha) and cutting cycle (35 years) of slow-growing tree species (e.g. Shorea ovalis, S. seminis, S. Kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan leavis, Vatica spec., Koompassia spec., pembalakan dirangkum sebagai berikut: Eusideroxylon zwageri) result in the slow but 1. Intensitas pembalakan pada saat ini (sekitar 20 steady extinction of such species. batang/hektar) dan siklus tebang (35 tahun) jenis 2. Decreasing the cutting cycle to 70 years but not pohon yang lambat tumbuh (misalnya, Shorea the logging intensity does not affect this ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica spec., extinction, while a strong reduction in logging Koompassia spec., Eusideroxylon zwageri) intensity (to ca. 5 stems/ha) accompanied by mengakibatkan kepunahan secara perlahan tapi reduced impact logging (RIL) might reduce this pasti terhadap jenis-jenis tersebut. risk of extinction. 2. Penurunan siklus tebang menjadi 70 tahun tetapi bukannya penurunan intensitas The conclusions with respect to the drought pembalakan tidak berpengaruh terhadap events are that: kepunahan tersebut, sedangkan penurunan 1. Species with moderate growth rates/wood tajam dalam intensitas pembalakan (sampai densities (e.g. many Meranti Shorea spec. sekitar 5 batang/hektar) disertai dengan species) are very vulnerable to droughts and pengurangan dampak pembalakan (RIL/ have a considerable risk of extinction. Reduced Impact Logging) barangkali akan 2. Species with high growth rates/low wood mengurangi resiko kepunahan. densities (almost all pioneer species such as
22
Gambar 1. Simulasi perubahaan hutan. Kelompokkelompok jenis antara lain perintis, jenis tajuk yang butuh cahaya (jenis tajuk cepat yang tumbuh), jenis lapisan bawah klimaks, dan jenis tajuk klimaks. A: suksesi jenis tanpa kerusakan, B:Pembalakan 20 batang pohon dengan siklus tebang 35 tahun, C: musim kering berkala (setiap 7 tahun, dengan curah hujan 350 mm/tahun), D: kombinasi pembalakan (sebagaimana di B) dan musim kering berkala (sebagaimana di C).
Jumlah spesies/ Number_of_species
600
Jumlah batang Nr_of_Stems Biomassa batang Trunk Biomass
400
Gambar 2. Tipe-tipe indikator yang berbeda sebagai respon terhadap pembalakan (pedoman penebangan: 20 batang/35 tahun siklus tebang). Poros kiri adalah dalam jumlah (untuk jumlah jenis dan jumlah batang), 160poros kanan dalam ton biomasa (untuk total biomasa 140batang-batang pohon). 120
Figure 2. Different types of indicators as a response to (cutting regime: 20 stems/35 years cutting 80 cycle). Left axis in numbers (for number of species and 60 number of stems), right axis in tons biomass (for total 40 biomass in tree trunks). 100logging
Ton Tons
Jumlah Numbers
500
Figure 1. Simulation of forest change. Species groups are pioneers, light demanding canopy species (fastgrowing canopy species), climax understorey species and climax canopy species. A: succession of species without disturbance, B: Logging of 20 stems with a cutting cycle of 35 years, C: periodic droughts (every 7 years, with a water shortage of 350 mm/year), D: combined logging (as in B) and periodic droughts (as in C).
300 200 100
20
0 0
100
200
300
400
Waktu (tahun) Time (years)
500
0 600
Lambatnya pertumbuhan kanopi pohon, membuatnya butuh beberapa abad utuk mencapai ukuran raksasa, yang merupakan gambaran khas hutan dataran rendah dan perbukitan di Sumatra dan Kalimantan It takes several centuries for slow growing canopy trees to reach the giant dimensions that are a characteristic feature of primary dipterocarp forests in the lowlands and hills of Sumatra and Kalimantan
23
Kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan musim kering adalah:
Macaranga spec.) gradually replace species with moderate growth rates.
1. Jenis-jenis dengan rata-rata pertumbuhan sedang/kerapatan pohon sedang (misalnya beberapa jenis Meranti Shorea spec.) sangat rentan terhadap masa kekeringan dan beresiko besar menjadi punah. 2. Jenis-jenis dengan rata-rata pertumbuhan tinggi/ kerapatan pohon rendah (hampir semua jenis perintis seperti Macaranga spec.) secara berangsur-angsur menggantikan jenis-jenis dengan rata-rata pertumbuhan sedang.
In the last twenty years, the El Niño Southern Oscillation (ENSO) event has become stronger (longer and more frequent periods of drought). It is likely that the ENSO will not decrease in the coming years. It is alarming to see that the simulation model predicts an even greater extinction risk of tree species (including many economically valuable timber species) under current logging practice. Thus, to guarantee that future generations will have healthy forests that also include economically valuable resources, the current logging operations should be reconsidered.
Dalam duapuluh tahun terakhir, El Niño Southern Oscillation (ENSO) menjadi lebih kuat (musim kering yang lebih lama dan lebih sering). Sangat mungkin ENSO tidak akan menurun di tahun-tahun mendatang. Mengkhawatirkan bila melihat bahwa contoh simulasi memprediksikan resiko kepunahan yang lebih besar terhadap jenisjenis pohon (termasuk banyak jenis kayu bernilai ekonomis) dengan adanya kegiatan pembalakan yang berlangsung sekarang. Jadi, untuk menjamin bahwa generasi-generasi masa depan akan mewarisi hutan-hutan yang sehat, termasuk juga sumbersumber daya yang bernilai ekonomis, kegiatankegiatan pembalakan yang berlangsung sekarang ini harus dipertimbangkan kembali. Indikator-indikator Model-model simulasi memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok jenis dengan rata-rata pertumbuhan/kerapatan pohon yang sama mendeskripsikan secara jelas komposisi jenis di hutan hujan. Suatu kerugian penting dari cara pengelompokan jenis ini adalah bahwa dibutuhkan tambahan pengetahuan biologi tentang sifat-sifat jenis untuk mengevaluasi respon-respon komunitas pohon di dalam petak-petak hutan yang baru. Penggunaan indikator khusus bergantung erat pada sasaran-sasaran yang dibuat oleh para pengambil keputusan (misalnya apakah tujuannya adalah untuk melindungi keragaman hayati di hutan-hutan hujan ataukah memanfaatkan hutan sebagai tempat penyimpanan karbon. Dalam proyek ini disimpulkan bahwa kanekaragaman jenis (seperti Alpha Fisher) bukanlah suatu indikator atau ukuran yang bagus untuk konservasi hutan basah, walaupun hutan-hutan tidak terganggu dapat menyimpan lebih banyak karbon daripada hutanhutan terganggu.
24
Indicators The model simulations show that the species groups with similar growth rate/wood density adequately describe the species composition in rainforests. A major disadvantage of this species grouping approach is that additional biological knowledge is needed about species traits in order to evaluate the responses of the tree community in new forest plots. The use of a particular set of indicators largely depends on the targets set by decision-makers (e.g. whether the aim is to conserve biodiversity in rainforests or to use forests for carbon sequestration). In this project it was concluded that species diversity (like Fishers’ alpha) is not a good measure and indicator for rainforest conservation, although undisturbed forests can store much more carbon than disturbed forests can.
Hasil-hasil Proyek/ Output from this project Verburg, R., and van Eijk-Bos, C. 2003. Temporal changes in species diversity, composition, and plant functional types after logging in a Bornean rain forest. In: Ter Steege, H. (ed.) Long-term changes in tropical tree diversity. Studies from the Guiana Shield, Africa, Borneo and Melanesia. Pp. 117-133. Tropenbos Series 22, Tropenbos International. Verburg, R., and Schieving, F. 2003. A mathematical framework for the Intermediate Disturbance – and Dynamic Equilibrium Hypotheses. In: Ter Steege, H. (ed.) Long-term changes in tropical tree diversity. Studies from the Guiana Shield, Africa, Borneo and Melanesia. Pp. 157-173. Tropenbos Series 22, Tropenbos International. Verburg, R., Ter Steege, H., and Zagt, R. 2003. Long-term changes in tree diversity: synthesis and implications for management. In: Ter Steege, H. (ed.) Long-term changes in tropical tree diversity. Studies from the Guiana Shield, Africa, Borneo and Melanesia. Pp. 175-192. Tropenbos Series 22, Tropenbos International. Verburg, R., and van Eijk-Bos, C. 2003. The effects of selective logging on tree species diversity, tree composition, and plant functional types in a Bornean rainforest. Journal of Vegetation Science 14: 99-110. Slik, J.W.F., Verburg, R.W., Kessler, P.J.A. 2002. Effects of fire and selective logging on the tree species composition of lowland dipterocarp forest in East Kalimantan, Indonesia. Biodiversity and Conservation 11:85-98. Verburg, R., 2001. The impact of logging on the tree community of a Bornean rainforest. In: Zotz, G. and Körner, Ch. (eds.). The functional Importance of Biodiversity, pp 168. Verhandlungen der Geselschaft für Ökologie, Band 31. Verburg, R., Slik, F., Heil, G., Roos, M., Baas, P. 2001. Secondary forest succession of rainforests in East Kalimantan: a preliminary data analysis. In: Hillegers, P.J.M. & de Iongh, H.H. (eds.). The balance between biodiversity conservation and sustainable use of tropical rain forest, pp. 151-160. Tropenbos International, Wageningen, the Netherlands. Bacaan lebih lanjut/ Further reading Ter Steege, H. (ed.). 2003. Long-term changes in tropical tree diversity. Studies from the Guiana Shield, Africa, Borneo and Melanesia. Tropenbos Series 22, Tropenbos International.
25
Komunitas-komunitas burung yang kaya di hutan dataran rendah bekas pembalakan: perbandingan nilai konservasi antara hutan dataran rendah bekas pembalakan dengan hutan dataran rendah primer dan bukit di Kalimantan.
Rich bird communities in logged lowland forests: the conservation value of logged Bornean lowland forests compared to that of primary lowland forests and hill forests
Martjan Lammertink & Utami Setiorini
Martjan Lammertink & Utami Setiorini
Hutan-hutan dataran rendah Kalimantan dan Sumatra telah dikenal luas sebagai salah satu kawasan dengan ekosistem-ekosistem terkaya jenisnya di dunia. Kekayaannya tercermin pada keanekaragaman burung hutan di wilayahwilayahnya: tercatat sebanyak 205 jenis burung pada areal penelitian yang hanya seluas 1.5 km 2 di dalam Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat. Dari total 274 jenis, tidak terdapat didaerah manapun kecuali di wilayah dataran rendah Sunda. Walaupun hampir seluruh hutan-hutan dataran rendah sekarang, telah dipengaruhi oleh pembalakan dan kebakaran hutan, namun masih ada tamantaman nasional besar dan relatif aman di hutanhutan bukit dan pegunungan dengan ketinggian melebihi 200 m. Penelitian ini menguji apakah peningkatan pembalakan mempengaruhi komunitas burung di dataran rendah, dan apakah hutan-hutan bukit dapat menawarkan sebuah alternatif bagi konservasi keanekaragaman burung hutan dataran rendah. Keragaman dan kerapatan burung-burung telah dihitung di delapan lokasi hutan dataran rendah yang meliputi tempat-tempat di dataran rendah dengan intensitas pembalakan yang meningkat, demikian juga dengan dua daerah hutan bukit primer. Penggunaan lokasi yang beragam dalam penelitian ini telah memungkinkan untuk melakukan penilaian pertama dalam menguji konsistensi dan signifikansi pengaruh pembalakan terhadap burung-burung. Suatu hal yang menarik perhatian dari keanekeragaman hayati hutan dataran rendah Sunda adalah keluarga burung pelatuk (Picidae), dengan diwakilinya jenis hingga 15 jenis, suatu keanekaragaman burung pelatuk yang tinggi dari daerah manapun di dunia. Beberapa jenis pelatuk mengkhususkan diri mencari makan di bagianbagian struktur hutan yang hanya terdapat di hutanhutan dewasa. Penelitian ini menguji apakah kelimpahan pelatuk-pelatuk yang mengkhususkan diri tersebut dapat menjadi alat untuk memantau dampak dari kegiatan pembalakan.
The lowland forests of Kalimantan and Sumatra are widely acknowledged to be among the world’s most species-rich ecosystems. This richness is reflected in the forest bird diversity of the region: 205 bird species have been recorded in a research area of only 1.5 km2 in Gunung Palung National Park in West Kalimantan. A total of 274 bird species occur nowhere but in the lowlands of the Sundaic region. Although nearly all these lowland forests have now been affected by logging or fires, there are relatively secure and large national parks in hill and montane forests at altitudes of over 200 m. This study examined to what extent logging affects bird communities in lowlands, and whether hill forests may offer an alternative for the conservation of lowland-forest bird diversity. The diversity and densities of birds were counted at eight sites covering a range of lowland sites with increasing logging intensities, as well as at two sites with primary hill forests. The use of multiple sites allowed for the first assessment of the consistency and significance of logging effects on birds. One conspicuous component of the Sundaic lowland forest biodiversity is the woodpecker family (Picidae), which is represented by as many as 15 species – a higher diversity of woodpeckers than anywhere else in the world. Some woodpecker species specialize in foraging on forest structure elements that occur only in mature forests. This study examined whether the abundance of these specialized woodpeckers can be a tool for monitoring the impact of logging activities.
26
Distinct composition of bird communities in primary and logged lowland forests and hill forests The composition (i.e. the presence or absence) of bird communities was compared at ten sites. This comparison revealed a distinctive clustering with regard to forest type (Fig. 1). Primary forest sites were clustered in one group. Lightly logged forests with many primary patches were grouped close to the primary forest sites because these sites had similar bird communities, whereas heavily logged areas had
Perbedaan komposisi komunitas-komunitas burung di hutan-hutan dataran rendah primer dan bekas pembalakan dan hutan bukit Komposisi (kehadiran atau absen) komunitaskomunitas burung dibandingkan di sepuluh lokasi penelitian. Perbandingan ini menunjukkan suatu pengelompokan yang khusus berkaitan dengan tipe hutan (Gambar 1). Lokasi-lokasi hutan primer dikelompokkan kedalam satu kelompok. Hutanhutan bekas pembalakan ringan dengan banyak petak-petak hutan primer dikelompokkan dekat dengan lokasi-lokasi hutan primer karena kedua lokasi tersebut mempunyai komunitas burung yang hampir sama, sedangkan daerah-daerah hutan bekas pembalakan parah mempunyai komunitas burung yang kurang mirip dengan yang ada di hutan-hutan primer. Lokasi-lokasi hutan bukit, walaupun primer, jauh berbeda dengan lokasi-lokasi hutan dataran rendah primer dan hutan dataran rendah bekas pembalakan. Jadi, komposisi komunitas burung berhubungan erat dengan tingkat pembalakan, dan hutan-hutan bukit pada ketinggian hanya 120 - 400 m sudah mempunyai komunitaskomunitas burung yang berbeda daripada yang ada di dataran-dataran rendah. Penurunan kerapatan burung di hutan-hutan bekas pembalakan Walaupun hutan bekas pembalakan dan hutan primer dapat dibedakan berdasarkan kehadiran atau absennya jenis burung tertentu, sejumlah besar jenis burung terdapat dikedua jenis hutan, tetapi kerapatan antara hutan bekas pembalakan dan hutan primer berbeda jauh. Contoh burung-burung yang kerapatannya turun secara konsisten di hutan bekas pembalakan termasuk Cirik-cirik kumbang (Nyctyornis amictus), Pelatuk kelabu besar (Mullleripicus pulverulentus), Pelatuk kumis-kelabu (Picus mentalis), Tiong-batu Kalimantan (Pytiriasis gymnocephala), Berencet loreng (Kenopia striata), dan Asi dada-kelabu (Malacopteron albogularis). Di hutan-hutan bekas pembalakan jenis-jenis ini hanya terdapat sekitar 10-30% dari kerapatannya dihutan primer. Jenis burung lain juga lebih sering ditemui di hutan-hutan primer (contoh Paok sintau, Pitta caerulea), tetapi ukuran-ukuran sampel terlalu kecil untuk menguji apakah hutan primer dipilih secara konsisten atau tidak. Burung-burung khas lansekap setengah terbuka dan vegetasi sekunder yang rapat menjadi lebih berlimpah di hutan-hutan bekas pembalakan, terlebih-lebih jenis Cinenen merah (Orthotomus sericeus), Cinenen belukar (Orthotomus atrogularis), Wergan coklat (Alcippe brunneicauda), dan Pelatuk merah (Picus miniaceus).
bird communities that were less similar to those in primary forests. Hill forest sites, although primary, differed strongly from primary and logged lowland sites. Thus, the composition of bird communities closely corresponded to the degree of logging, and hill forests at elevations of only 120-400 m already had bird communities that were different from those on lowland plains. Decline of bird density in logged forests Although logged and primary forests could be distinguished based on the presence or absence of bird species, a far greater number of bird species occurred in both forest types, yet differed greatly in densities between logged and primary forests. Examples of birds whose densities consistently were reduced in logged forests include Red-bearded Beeeater (Nyctyornis amictus), Great Slaty Woodpecker (Mullleripicus pulverulentus), Checker-throated Woodpecker (Picus mentalis), Bornean Bristlehead (Pytiriasis gymnocephala), Striped Wren-Babbler (Kenopia striata) and Grey-breasted Babbler (Malcopteron albogularis). In logged forests these species occurred at only 10-30% of their primary forest density. Other bird species were also more frequently observed in primary forests (e.g. Giant Pitta, Pitta caerulea), but sample sizes were too small to assess whether a preference for primary forests was consistent. Birds characteristic of half-open landscapes and dense secondary vegetation became more abundant in logged forests, notably Rufoustailed Tailorbird (Orthotomus sericeus), Dark-necked Tailorbird (Orthotomus atrogularis), Brown Fulvetta (Alcippe brunneicauda) and Banded Woodpecker (Picus miniaceus). Many previous studies of the logging responses of birds summarized responses for groups of birds with similar feeding ecology (guilds). However, we found that even birds with only subtle differences in feeding ecology showed markedly different responses to logging. Some species of woodpecker, some species of trogon and pitta, and some babblers were reduced in density in logged forests, whereas other closely related species were not affected by logging. Thus, the lumping of species in feeding guilds masks the population decline of sensitive species in logged forests. Low species richness and low densities of birds in hill forests Hill dipterocarp rainforests, despite similarity in vegetation to dipterocarp forest on lowland plains, had a remarkably poor bird fauna compared to lowland plains. With a standardized survey effort of 30 hours per transect, species richness in hill 27
5 Buurng-burung khas hutan berbukit Birds characteristic for hill forest: Long-billed Partridge/ Rhizothera longirostris Black Eagle/ Ictinaetus malayensis Grey-breasted Spiderhunter/ Arachnothera affinis Burung-burung khas hutan dataran rendah Birds characteristic for lowland forest: W rinkled Hornbill/ Aceros corrugatus Asian Black Hornbill/ Anthracoceros malayanus Large Green-Pigeon/ Treron capellei Raffles's Malkoha/ Phaenicophaeus chlorophaeus Short-toed Coucal/ Centropus rectunguis Long-tailed Parakeet/ Psittacula longicauda Yellow-crowned Barbet/ Megalaima henricii Rufous Piculet/ Sasia abnormis White-bellied Woodpecker/ Dryocopus javensis Great Slaty Woodpecker/ Mulleripicus pulverulentus Banded Broadbill/ Eurylaimus javanicus Ferruginous Babbler/ Trichastoma bicolor Black-capped Babber/ Pellorneum capistratum Horsfield's Babbler/ Malacocincla abboti Chestnut-rumped Babbler/ Stachyris maculata Rufous-tailed Shama/ Trichixos pyrrhopygus Little Spiderhunter/ Arachnothera longirostra
Hb 4
3
2
1
-2
0 P27 0
-1 P41
P0
L59
-1
L95 L81
1
2
3
4 L100
L64 -2
Burung-burung khas hutan dataran rendah primer Birds characteristic for primary lowland forest: Storm's Stork/ Ciconia stormi Great Argus/ Argusianus argus Crested Fireback/ Lophura ignita Crestless Fireback/ Lophura erythrophthalma Bornean Ground-Cuckoo/Carpococcyx radiceus Helmeted Hornbill/ Buceros vigil Red-crowned Barbet/ Megalaima rafflesii Dusky Broadbill/ Corydon sumatranus Puff-backed Bulbul/ Pycnonotus eutilotus Striped Wren-Babbler/ Kenopia striata Bornean Bristlehead/ Pytiriasis gymnocephala Maroon-breasted Philentoma/ Philentoma velatum
Gambar 1. Analisis Komponen Utama (PCA) petak berdasarkan kompisisi komunitas burung pada sepuluh lokasi penelitian. Lokasi-lokasi penelitian diberi label sebagai hutan dataran rendah (hampir) primer (P), hutan bekas pembalakan (L) dan hutan bukit primer (H). Angka-angka mengindikasikan persentase dari panjang transek yang memiliki vegetasi rusak karena pembalakan. Lokasi-lokasi dataran rendah bekas pembalakan dengan proporsi besar petak-petak primer mempunyai komunitas burung menyerupai hutan primer, sedangkan pada lokasi-lokasi dengan proporsi besar areal bekas pembalakan, karakter burung-burung hutan primer digantikan oleh burung-burung dari hutan terganggu. Hutanhutan bukit pada ketinggian 120-400 m, walaupun primer, mempunyai komunitas burung yang sangat berbeda dari hutan dataran rendah primer dan hutan bekas pembalakan. Burungburung yang berasosiasi masing-masing dengan sumbu tegak paling atas dan paling bawah adalah karakter hutan bukit dan hutan bekas pembalakan. Burung-burung yang berasosiasi masing-masing dengan sumbu mendatar kiri dan kanan adalah karakter hutan dataran rendah bekas pembalakan dan hutan dataran rendah primer.
28
Ha
Burung-burung khas hutan dataran rendah bekas pembalakan Birds characteristic for logged lowland forest: Lesser Coucal/ Centropus bengalensis Yellow-vented Bulbul/ Pycnonotus goiavier Magpie Robin/ Copsychus saularis Golden-bellied Gerygone/ Gerygone sulphurea Blue-winged Leafbird/ Chloropsis cochinchinensis Dark-necked Tailorbird/ Orthotomus atrogularis Rufous-tailed Tailorbird/ O. sericeus Ashy Tailorbird/ O. ruficeps Ruby-cheeked Sunbird/ Anthreptes singalensis Scarlet Minivet/ Pericrocotus flammeus Orange-bellied Flowerpecker/ Dicaeum trigonostigma Dusky Munia/ Lonchura fuscans
Figure 1. A Principal Component Analysis plot based on the composition of bird communities at ten sites. Sites are labelled as (nearly) primary lowland forest (P), logged lowland forests (L) and primary hill forests (H). Numbers indicate the percentage of transect length that held vegetation disturbed by logging. Logged lowland sites with a large proportion of primary patches have bird communities that closely resemble primary forests, whereas at sites with a large proportion of logged area, birds characteristic of primary forest are replaced by birds of disturbed forests. Hill forests at elevations of 120-400 m, although primary, have bird communities very different from primary and logged forests on lowland plains. Birds that associate with the upper and lower extremes of the vertical axis are characteristic of hill forest and lowland forest, respectively. Birds that associate with the left and right extremes of the horizontal axis are characteristic of logged and primary lowland forests, respectively.
Banyak penelitian sebelumnya mengenai respon burung-burung terhadap pembalakan merangkum respon tersebut ke dalam kelompok burung dengan pola makan yang sama (guilds). Akan tetapi, kami menemukan bahwa meskipun burung-burung yang hampir tidak memiliki perbedaan dalam pola makannya menunjukkan secara jelas respon yang berbeda terhadap pembalakan. Beberapa jenis burung pelatuk, beberapa jenis luntur dan paok, dan beberapa jenis tepus, asi dan wergan turun kerapatannya di hutan-hutan bekas pembalakan, sedangkan jenis lain yang berhubungan dekat tidak terpengaruh sama sekali oleh pembalakan. Jadi, penggabungan jenis kedalam satu kelompok berdasarkan pola makan menyamarkan penurunan populasi jenis burung yang sensitif di hutan-hutan bekas pembalakan. Kekayaan jenis dan kerapatan burung yang rendah di hutan-hutan bukit Dengan mengabaikan persamaan vegetasi pada hutan dataran rendah dipterocarpaceae, hutan bukit dipterocarpaceae mempunyai fauna burung yang luar biasa miskin dibandingkan dengan hutan-hutan dataran rendah. Dengan menggunakan survei kerja baku selama 30 jam per transek, kekayaan jenis di hutan bukit hanya 40-45 jenis, dibandingkan dengan 63-79 jenis di hutan dataran rendah bekas pembalakan dan 69-79 jenis di hutan-hutan dataran rendah primer. Walaupun demikian, dari 76 jenis burung yang kerapatannya di hutan dataran rendah menurun setelah pembalakan, 71 (93%) masih memiliki kerapatan yang lebih tinggi di hutan dataran rendah bekas pembalakan daripada di hutan bukit. Diantara 71 jenis burung yang terdapat di hutan bukit maupun di hutan dataran rendah, hanya 25% yang paling melimpah di hutan bukit, dan hanya dua jenis ditemukan khusus di hutan bukit. Jadi, dari segi pandang komunitas burung, hutan dataran rendah primer adalah prioritas konservasi terpenting karena tingginya kerapatan jenis burung yang sensitif terhadappembalakandanstatusnyaterancam.Hutanhutan dataran rendah bekas pembalakan merupakan pilihan terbaik kedua setelah hutan primer, sedangkan hutan-hutan bukit dapat dijadikan sebagai pilihan yang terakhir. Penyebab turunnya jenis burung setelah pembalakan berbeda diantara setiap jenis Banyak perbedaan di dalam struktur hutan antara hutan bekas pembalakan dan hutan primer; contohnya, hutan-hutan primer mempunyai pohonpohon berdiameter besar yang lebih melimpah, lapisan bawah dan lapisan tengah hutan lebih
forest was 40-45 species, compared to 63-79 species in logged lowland and 69-79 in primary lowland forests. Of 76 bird species that declined in density after logging in lowland areas, 71 (93%) nevertheless had densities in logged lowlands that were higher than the densities in hill forest. Among 71 bird species that occurred both in hill forest and lowland forest, only 25% were most abundant in hills, and only two species were found exclusively in hills. Thus, from the perspective of bird communities, primary lowland forest is the first conservation priority because of the high densities of loggingsensitive and threatened species. Logged lowland forests are the second best option, while hill forests are a poor third choice. Cause of bird declines after logging differs between species There are numerous differences in forest structure between logged and primary forest; for instance, primary forests have a higher abundance of large diameter trees, a more open understorey and middle storey, and fewer open areas. For each declining (or increasing) bird species in logged areas another set of differences in forest structure may be of importance. A clear example of the relationship between forest structure change and bird population density decline in logged areas is provided by the Great Slaty Woodpecker. Trees of large diameters are scarce in lowland forests in Kalimantan, even in primary forests (Fig. 2a). These rare, large diameter trees are preferred by the Great Slaty Woodpecker for foraging (Fig. 2b), because it forages on the nests of ants, termites and stingless bees that occur in natural hollows in the large diameter branches and trunks of older trees. Furthermore, Great Slaty Woodpeckers usually nest in very large diameter trees (dbh 80-300 cm). The density of large diameter trees declines with the increasing intensity of logging in forests (Fig. 2c), as does the density of Great Slaty Woodpeckers (Fig. 2d). The Checker-throated Woodpecker (Picus mentalis) also shows a strong decline in density in logged forest. This species gleans insects from the surface of lianas and trees of all diameters, and moves very quickly through the forest from foraging site to foraging site in the open middle storey of primary forests. Logged forests, on the other hand, are characterized by a dense middle storey full of young trees and vines that hamper the quick foraging movements of the Checker-throated Woodpecker and thus render logged forests unsuitable habitat for this woodpecker. The Striped Wren-Babbler (Kenopiastriata) forages in the litter layer of the open forest floor in primary forests, and declines in logged 29
terbuka, dan lebih sedikit daerah terbuka. Untuk setiap penurunan (atau peningkatan) jenis burung di areal hutan bekas pembalakan, perbedaanperbedaan tertentu di dalam struktur hutan barangkali berperan penting. Satu contoh jelas dari hubungan antara perubahan struktur hutan dan turunnya kerapatan populasi burung di areal bekas pembalakan ditunjukkan oleh Pelatuk kelabu-besar ( Mulleripicus pulverulentus). Pohon-pohon berdiamater besar langka di hutan-hutan dataran rendah di Kalimantan, bahkan juga langka di hutan primer (Gambar 2a). Pohon-pohon berdiameter besar yang langka ini disukai oleh Pelatuk kelabu besar untuk mencari makan (Gambar 2b), karena Pelatuk kelabu besar mencari makanan pada sarang semut, rayap dan lulut yang terdapat di lubanglubang alami pada cabang-cabang berdiamater besar dan batang-batang pohon yang tua. Lebih jauh lagi, Pelatuk kelabu besar biasanya bersarang di pohonpohon berdiamater sangat besar (diameter 80-300 cm). Kerapatan pohon-pohon berdiameter besar menurun seiring dengan meningkatnya intensitas pembalakan di hutan (Gambar 2c), begitu juga dengan kerapatan Pelatuk kelabu-besar (Gambar 2d).
Tiga jenis burung yang sangat sering dijumpai tetapi tidak eksklusif hutan primer dataran rendah: Kuau raja(Argusianus argus), Tiong-batu Kalimantan (Pityriasis gymnocephala ), dan Pelatuk kelabu-besar (Mulleripicus pulverulentus) Three birds that occur most frequently, but not exclusively, in primary lowland forests: Great Argus (Argusianus argus), Bornean Bristlehead (Pityriasis gymnocephala ), and Great Slaty Woodpecker (Mulleripicus pulverulentus)
Caladi tikotok (Hemicircus concretus) langka di semua tipe hutan Grey-and-Buff Woodpecker is rare in all forest type
30
Kerapatan Pelatuk kumis-kelabu (Picus mentalis) juga memperlihatkan penurunan yang tajam di hutan bekas pembalakan. Jenis pelatuk ini memungut serangga pada permukaan akar liana dan pohon-pohon dari semua ukuran , dan berpindahpindah dengan sangat cepat di hutan dari satu tempat mencari makanan ke tempat lainnya di lapisan tengah hutan primer yang terbuka. Hutan-hutan bekas pembalakan, di sisi lain, dicirikan dengan lapisan tengah hutan yang rapat dan penuh dengan pohonpohon muda dan tanaman merambat yang menghambat kecepatan berpindahnya Pelatuk kumis-kelabu dan akhirnya membuat hutan-hutan bekas pembalakan menjadi habitat yang tidak cocok untuk jenis pelatuk ini. Berencet loreng (Kenopia striata) mencari makanan di lapisan humus pada lantai hutan primer yang terbuka, dan menurun di hutan-hutan bekas pembalakan karena lapisan bawah hutan tersebut lebih rapat daripada di hutanhutan primer. Jadi, walaupun banyak burungburung turun di hutan-hutan bekas pembalakan, faktor-faktor yang menyebabkan penurunan berbeda dari satu jenis ke jenis lainnya. Pengelolaan hutan setelah pembalakan dapat bertujuan untuk meringankan perubahan-perubahan dalam struktur hutan, tetapi akan sulit untuk mengganti kerugian akibat perubahan-perubahan berlipatganda yang telah terjadi dalam struktur hutan, khususnya karena setiap perubahan mempengaruhi jenis burung yang berbeda. Sebagai pengganti, tindakan pengelolaan pada konsesi HPH yang akan menguntungkan konservasi keragaman burung adalah pemeliharaan petak-petak kecil hutan yang tidak di tebang paling sedikit 100 hektar, meningkatkan siklus pembalakan menjadi 55 tahun, penurunan jumlah hasil kayu per unit areal permukaan, dan mencegah terjadinya kebakaran dan pembalakan liar diantara siklus pembalakan.
forests because the understorey in such forests is much denser than it is in primary forests. Thus, although many birds decline in logged forests, the factors that cause the decline differ from species to species. Forest management after logging can be aimed at mitigating some changes in forest structure, but it will be difficult to compensate for the multiple changes in forest structure that have occurred, especially because each change affects different bird species. Instead, management measures in logging concessions that will greatly benefit conservation of bird diversity are the maintaining of unlogged patches of at least 100 ha, increasing the logging cycle to 55 years, reducing the amount of timber harvested per unit of surface area, and preventing fires and illegal logging occurring between logging cycles.
Penggunaan burung sebagai indikator untuk memantau kerusakan hutan dan pemulihan kembali daerah-daerah bekas pembalakan Seperti telah dijelaskan di atas, komposisi komunitas burung secara keseluruhan dan kerapatan beberapa jenis individu berkorelasi erat dengan tingkat kerusakan. Karena itulah atribut-atribut komunitas burung ini berpotensi untuk memantau kerusakan hutan, dan sangat mungkin, pemulihan hutan kembali. Akan tetapi, penggunaan organisme sebagai indikator juga harus dievaluasi dengan usaha dan waktu yang di kehendaki dalam memperoleh data yang diperlukan untuk penggunaan indikator. Berdasarkan kerja lapangan yang berat (528 km transek di survei sekitar 152 hari kerja), data kami memperlihatkan tanda-tanda
Implications for allocation of protected areas It is clear that hill forests alone will be inadequate to conserve the rich bird diversity of the Sundaic region. Currently, however, protected areas in Kalimantan are mostly located in hill forests (81% of the total protected area), and in Sumatra lowland forests are similarly underrepresented in the protected area network. The few lowland reserves that exist receive little support from international organizations and the national government to help protect the reserves from fires and illegal logging and mining. This should change, because our results show that disturbance of these primary forests by logging already influences bird populations negatively, let alone more far-reaching habitat changes invoked by fire. Our results also show that
Use of birds as indicators for monitoring forest disturbance and recovery in logged areas As explained above, both the overall composition of bird communities and the densities of several individual species closely correlate with the degree of logging disturbance. These attributes of bird communities therefore have potential for the monitoring of forest disturbance and, very likely, of forest recovery. However, indicator use of organisms also should be evaluated against the effort and time required to obtain the necessary dataset for indicator applications. Our present dataset, in which clear signals are apparent, is based on a considerable fieldwork effort (i.e. 528 km of transect surveys in ca. 152 field days). We have not yet established the minimal field effort that will still enable researchers to detect significant differences between bird communities in logged and primary forests, but expect that it will be at least 40 field days by a researcher skilled in bird sound identification.
31
jelas. Kami belum menetapkan minimal kerja lapangan yang masih akan memungkinkan para peneliti untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan signifikan diantara komunitas burung di hutanhutan bekas pembalakan dan hutan primer, tapi memperkirakan paling sedikit seorang peneliti ahli dalam identifikasi suara burung menghabiskan 40 hari kerja.
lightly logged lowland forests accommodate bird communities that still closely resemble primary forests. We therefore recommend that the protected area network in Sumatra and Kalimantan be extended to include more areas with lightly logged lowland forests below 200 m elevation.
Implikasi-implikasi bagi alokasi kawasankawasan lindung Jelas bahwa hutan-hutan bukit saja tidak akan cocok untuk melindungi karagaman burung yang kaya di wilayah daratan Sunda. Akan tetapi akhir-akhir ini, kawasan-kawasan lindung di Kalimantan kebanyakan berlokasi di hutan-hutan bukit (81%
Gambar 2. Satu contoh hubungan antara perubahan di dalam struktur hutan setelah pembalakan (penurunan kerapatan pohon-pohon berdiameter besar) dan kerapatan jenis-jenis yang sensitif terhadap pembalakan, Pelatuk kelabu-besar (Mulleripicus pulverulentus). (a) Pohon-pohon berdiamater besar relatif langka di hutan hujan dataran rendah, tetapi (b) disukai oleh Pelatuk kelabu-besar untuk mencari makanan. (c) Kerapatan pohon-pohon berdiamater besar turun seiring dengan meningkatnya intensitas pembalakan, dan (d) kerapatan populasi Pelatuk kelabu-besar menurun seiring dengan meningkatnya intensitas pembalakan. Pola-pola tersebut terulang kembali pada dua populasi lepas di Kalimantan Barat dan di pulau Lingga (Riau, Sumatra).
32
Figure 2 . An example of the relationship between change in forest structure after logging (a decline in the density of large diameter trees) and the density of a logging-sensitive species, the Great Slaty Woodpecker (Mulleripicus pulverulentus). (a) Large diameter trees are relatively scarce in lowland rainforests, but (b) are preferred by Great Slaty Woodpeckers for foraging. (c) Density of large diameter trees declines over a range of increasing logging intensities, and (d) so does the population density of the Great Slaty Woodpecker decline over the same range. These patterns are repeated in two independent populations in West Kalimantan and on Lingga island (Riau, Sumatra).
dari total kawasan yang dilindungi), dan hutan-hutan dataran rendah Sumatra juga sama tidak terwakili di dalam jaringan kawasan lindung. Beberapa kawasan konservasi dataran rendah yang ada mendapatkan sedikit sekali dukungan dari organisasi-organisasi internasional dan pemerintah Indonesia untuk menolong melindungi kawasankawasan konservasi tersebut dari kebakaran dan pembalakan liar, serta penambangan. Hal ini mestinya diubah, karena hasil-hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa kerusakan hutan-hutan primer yang disebabkan oleh pembalakan secara negatif mempengaruhi populasi burung, mengabaikan perubahan-perubahan habitat lebih parah yang disebabkan oleh kebakaran hutan. Hasil kami juga memperlihatkan bahwa hutan-hutan dataran rendah bekas pembalakan ringan mengakomodasikan komunitas-komunitas burung yang masih menyerupai komunitas di hutan-hutan primer. Oleh karena itu kami merekomendasikan supaya jaringan kawasan lindung di Sumatra dan Kalimantan di perbesar untuk memasukkan lebih banyak daerah hutan dataran rendah bekas pembalakan ringan dibawah ketinggian 200 m.
Hasil-hasil proyek/ Ouput from this project
Lammertink, M. 2001. Responses of woodpeckers to selective logging and forest fragmentation in Kalimantan preliminary data. Pages 169-177 in Hillegers, P. J. M. and de Iongh, H. H., editors. The balance between biodiversity conservation and sustainable use of tropical rain forests. Tropenbos Foundation, Wageningen, The Netherlands. Lammertink, M., Nijman, V., and Setiorini, U. 2003. Population size, Red List status and conservation of the Natuna leaf monkey Presbytis natunae endemic to the island of Bunguran, Indonesia. Oryx 37: 472-479. Lammertink, M. 2004. Grouping and cooperative breeding in the Great Slaty Woodpecker. Condor 106:309-319. Lammertink, M. 2004. A multiple-site comparison of woodpecker communities in Bornean lowland and hill forests. Conservation Biology 18: 746-757. Setiorini, U. 2004. Forest bird communities of Borneo: effects of logging, preferences for lowland versus hill forest, and the merits of guilds, taxonomic groups, or species for measuring disturbance effects. Unpublished MSc thesis, Wageningen University.
Bacaan lebih lanjut/ Further reading
Grieser Johns, A. 1996. Bird population persistence in Sabahan logging concessions. Biological Conservation 75:3-10. Laman, T. G., Gaither, J. C., Lukas, D. E. 1996. Rain forest bird diversity in Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Tropical Biodiversity 3: 281-296. Lambert, F. R. 1992. The consequences of selective logging for Bornean lowland forest birds. Philosophical Transactions of the Royal Society London series B 335:443–457. Lambert, F. R., and Collar, N. J. 2002. The future for Sundaic lowland forest birds: long-term effects of commercial logging and fragmentation. Forktail 18:127-146. Martikainen, P., Kaila, L., and Haila, Y. 1998. Threatened beetles in White-backed Woodpecker habitats. Conservation Biology 12:293-301. Mikusinski, G., Gromadzki, M. and Chylarecki, P. 2001. Woodpeckers as indicators of forest bird diversity. Conservation Biology 15:208-217. Short, L. L. 1978. Sympatry of woodpeckers of lowland Malayan forest. Biotropica 10:122-133. Stork, N. E, T. J. B. Boyle, V. Dale, H. Eeley, B. Finegan, M. Lawes, R. Prabhu and J. Soberon. 1997. Criteria and indicators for assessing the sustainability of forest management: Conservation of Biodiversity. CIFOR working papers no. 17, Bogor. Wells, D. R. 1999. The birds of the Thai-Malay Peninsula. Volume one: non-passerines. Academic Press, London. Winkler, H., D. A. Christie and D. Nurney. 1995. Woodpeckers - a guide to the woodpeckers, piculets and wrynecks of the world. Pica Press, Sussex. 33
Dampak kebakaran terhadap struktur hutan The impact of fire on forest structure and dan komunitas burung di Kalimantan Timur bird communities in East Kalimantan Bas van Balen & Ferry Slik
Bas van Balen & Ferry Slik
Selama dua kebakaran hutan besar di tahun 1982/ 83 dan 1997/98, masing-masing 3.6 dan 5 juta hektar hutan dan hutan belukar rusak di Kalimantan Timur. Walaupun kebanyakan dari daerah yang rusak sudah merupakan hutan bekas pembalakan ataupun paling tidak lahan hutan rusak, daerah hutan pertumbuhan tua yang luas dipengaruhi oleh kebakaran. Pada hutan-hutan pertumbuhan tua, banyak pohon-pohon besar yang selamat dari kebakaran, yang terutama merusak lapisan-lapisan vegetasi bagian bawah. Pembalakan tegakan-tegakan setelah kebakaran diketahui secara serius menurunkan potensi pulihnya kembali kondisi hutan, setidaknya sejauh pohon-pohon tersebut diperhatikan. Sedikit diketahui tentang nilai konservasi dunia burung atau pulihnya kembali kondisi di hutan bekas terbakar. Dalam laporan pertama mengenai kerusakan terhadap kehidupan burung Kalimantan yang disebabkan oleh kebakaran liar, disebutkan antara lain, menurunnya jumlah burung-burung tepus, asi, wergan dan takur tiga tahun setelah terjadinya bencana. Di Sumatra, pengaruh kebakaran enam bulan setelah terjadi bukanlah terhadap kekayaan jenis ataupun total kelimpahan individu burung, tetapi terhadap komposisi komunitas: jumlah jenis dan kerapatan burung-burung pemakan buah dan pemakan segala (terutamatakur, cabai dan burung madu) turun, sedangkan burungburung pemakan serangga seperti beberapa pelatuk dan pemakan serangga dari dedaunan (terutama kadalan dan burung daun) meningkat. Reaksi burung-burung rangkong lebih bervariasi: beberapa jenis menurun jumlahnya dan yang lain-lain tidak berubah jumlahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui pengaruh kebakaran tunggal ataupun berulang, terhadap kekayaan jenis burung dan komposisi komunitasnya; 2) untuk mengetahui efek ringan dari hutan pertumbuhan tua terhadap komunitas burung hutan di daerah-daerah bekas terbakar; dan 3) untuk menetapkan burung-burung indikator yang dapat digunakan dalam metode pengujian cepat bagi tumbuhan dan satwa hutan dipterocarpaceae dataran rendah.
During the two large forest fires in 1982/83 and 1997/98, 3.6 million ha of forest and 5 million ha of scrubland were damaged in East Kalimantan alone. Although most of the damaged area comprised already logged or otherwise disturbed forest land, large areas of old-growth forest were affected by the fires. In the old-growth forests, many large trees survived the fires, which mainly damaged the lower vegetation layers. The post-fire logging of standing trees is known to seriously reduce the recovery potential of the forest, at least as far as trees are concerned. Little is known about the conservation value of the avifauna of burned forest, or about its recovery. In the first reports on the damage to Bornean birdlife caused by the wildfires, there was mention of, for example, a decrease in the number of babblers and barbets three years after the disaster. In Sumatra, the effect in the six months after the fires was not on bird species richness or on total abundance of individuals, but on the composition of the community: frugivorous and omnivorous birds (notably barbets, flowerpeckers and sunbirds) declined in species numbers and density, whereas insectivorous birds such as some woodpeckers and foliage gleaners (notably malkohas and leafbirds) increased. Hornbills reacted more variably: some species declined and others did not change in numbers. The objectives of the present study were threefold, namely: 1) to assess the effect of fire, single or multiple, on bird species richness and composition of communities; 2) to assess the mitigating effect of nearby old-growth forest on forest bird communities in burned areas; and 3) to establish avian indicators that can be used in a rapid assessment method for the fauna and flora integrity of lowland dipterocarp forest.
Lokasi dan metode penelitian Survei burung dilaksanakan di lima daerah hutan di Kalimantan Timur. Dahulunya daerah hutan 34
Study area and methods The bird surveys were carried out in five forest areas in East Kalimantan. Formerly they were part of a more or less continuous forest block. They are now considered as Important Bird Areas (IBA) in a recent inventory. These areas are: 1) The Gunung Meratus IBA (230,000 ha of production and protection forest proposed as nature reserve).
tersebut merupakan bagian dari blok hutan yang bersambung. Daerah-daerah hutan tersebut sekarang dipertimbangkan sebagai Daerah Penting bagi Burung (IBA/Important Bird Areas) dalam suatu inventarisasi baru-baru ini. Daerah-daerah tersebut adalah: 1) Gunung Meratus IBA (230.000 hektar hutan produksi dan hutan lindung yang di ajukan sebagai cagar alam). 2) Hutan Samarinda-Balikpapan IBA (total 100.000 hektar, tetapi kebanyakan telah rusak pada dua kebakaran terakhir). IBA ini terdiri dari blok-blok hutan yang lebih kurang kondisinya utuh, tercakup dalam satu daerah hutan yang lebih kurang terbakar parah, lahan-lahan yang tidak produktif dan lahan-lahan pertanian: Sungai Wain (sekitar 4.000 hektar), Bukit Bangkirai (sekitar 500 hektar), Wartono Kadri (50 hektar) dan Bukit Soeharto (60.000 hektar hutan bekas terbakar). Metode petak lingkaran yang bervariasi digunakan untuk menaksir jumlah burung relatif sepanjang sejumlah transek di dalam petak-petak penelitian. Setiap 1 km transek, enam stasiun sensus dibuat dengan interval 200 m. Pada setiap stasiun sensus, 20 menit penghitungan di dua pagi dan dua sore dilaksanakan pada awal (Mei/Juni) dan pada akhir (Oktober/November) di musim kering di wilayah tersebut. Karena keterbatasan waktu, transek-transek ITCI (Gunung Meratus) hanya dikunjungi pada akhir musing kering. Transektersebut dikunjungi empat kali pada awal musim kering (Mei-Juni), yang bertepatan dengan mulainya musim berbiak bagi kebanyakan burung, dan pada akhir musim kering (Oktober-November), bertepatan dengan akhir musim berbiak. Tigapuluh satu transek dipasang di tiga hutan primer yang berdekatan dengan daerah hutan bekas terbakar, di satu hutan primer, dan di satu hutan terbakar dua kali tapi tidak berdekatan dengan hutan primer. Parameter-parameter habitat terutamanya dicatat di sepanjang transek-transek yang sama, atau sepanjang transek-transek alternatif di dalam 50-100 m transek-transek penelitian kami. Transek-transek tersebut berada pada ketinggian 70-200 m dan berada di wilayah hutan dataran rendah dipterocarpaceae. Petak-petak primer luasnya berkisar dari hanya 50 hektar sampai yang lebih daripada 20.000 hektar, walaupun hanya sebagian dari daerah terluas merupakan hutan dataran rendah. Keragaman habitat dan jenis burung Gambar 1 menunjukkan profil-profil ketinggian vegetasi untuk semua transek. Penutupan dasar
2) The Hutan Samarinda-Balikpapan IBA (totalling some 100,000 ha, but much of it was damaged during the last two fire events). This IBA contains the following more or less intact forest blocks, imbedded in an area of more or less heavily burned forest, wastelands and agricultural lands: Sungai Wain (c 4,000 ha), Bukit Bangkirai (c 500 ha), Wartono Kadri (50 ha) and Bukit Soeharto (60,000 ha of burned forest). The variable circular plot method was used to assess relative bird numbers along a number of transects in the research plots. Along each 1 km transect, six census stations were established at intervals of 200 m. At each census station, two dawn or morning and two afternoon 20-minute counts were made at both the beginning (May/June) and end (October/November) of the dry monsoon in the region. Because of time constraints, the ITCI (Gunung Meratus) transects were visited only at the end of the dry monsoon. The transects were visited four times at the beginning of the dry season (MayJune), which coincides with the start of the breeding season of most birds, and the end of the dry season (October-November), which coincides with the end of the breeding season. Thirty-one transects were laid out in three primary forest and adjacent burned forest areas, in a primary forest, and in a twice-burned forest without adjacent primary forest. Habitat parameters were mainly recorded along the same transects, or along alternative transects within 50-100 m of our transects. The transects were at an altitude of 70200 m and thus well within the range of lowland dipterocarp forest. The primary plots ranged from a mere 50 ha to more than 20,000 ha, although only a proportion of the largest area was lowland-plain forest. Habitat and bird species diversity Fig. 1 shows the vegetation height profiles for all transects. Ground cover varied least, with values of 57-75% in primary forest, and 50-75% in burned forest. Canopy cover varied most strongly, from 10% (twice-burned forest Bukit Bangkirai) to 33% (burned forest Sungai Wain), whereas primary forest was more uniform with values between 59 and 66% for all vegetation levels. Bird species diversity (BSD) did not substantially vary amongst the different burned or unburned forests, though it was consistently higher in the primary forests (4.05-4.33) than at the burned transects (3.88-4.12). A positive correlation was found for the size of the unburned forest patches 35
Gambar 1. Profil-profil ketinggian tipe-tipe habitat yang berbeda di lima lokasi hutan dataran rendah di daerah Balikpapan.
A
Gambar 2. Proporsi-proporsi individu dalam transek survei dihubungkan dengan tiga kelas habitat yang berbeda. Hutan primer(A) : 1. Meratus; 2. Sungai Wain; 3. Bukit Bangkirai; 4. wartono Kadri. Hutan bekas terbakar (B) :1. Sungai Wain (1x terbakar); 2. Bukit Bangkirai (1x terbakar); 3. Bukit Bangkirai (2x terbakar); 4. Wartono Kadri (2x terbakar); 5. Bukit Soeharto (2x terbakar).
36
Figure 1. Height profiles of different habitat types in five lowland forest localities in the Balikpapan area.
B
Figure 2. Proportions of individuals in the transect counts associated with three different habitat classes. Primary forest (A): 1. Meratus; 2. Sungai Wain; 3. Bukit Bangkirai; 4. Wartono Kadri. Burned forest (B): 1. Sungai Wain (1x burned); 2. Bukit Bangkirai (1x); 3. Bukit Bangkirai (2x); 4. Wartono Kadri (2x); 5. Bukit Soeharto (2x).
bervariasi paling rendah dengan nilai-nilai 57-75% di hutan primer, dan 50-75% di hutan terbakar. Penutupan tajuk yang bervariasi paling tajam, dari 10% (hutan Bukit Bangkirai terbakar dua kali) sampai 33% (hutan terbakar Sungai Wain), sedangkan hutan primer lebih merata dengan nilai antara 59 dan 66% untuk semua tingkat vegetasi. Keragaman jenis burung (BSD/Bird Species Diversity) tidak bervariasi nyata antara hutan-hutan terbakar atau tidak terbakar, walaupun secara konsisten keragaman jenis burung lebih tinggi di hutan-hutan primer (4,05-4,33) daripada di transektransek hutan terbakar. Korelasi positif ditemukan antara ukuran petak-petak hutan tidak terbakar dengan BSD, kecuali untuk Bukit Bangkirai. Penyimpangan ini mungkin disebabkan oleh efek samping dari gangguan jenis perintis di daerah berukuran sedang ini. Efek yang meringankan dari kedekatan hutan dewasa tak terbakar terhadap BSD di hutan terbakar tidak begitu jelas, meskipun ada sedikit kecondongan adanya keragaman yan lebih tinggi bila dekat dengan hutan dewasa (tapi lihat ‘Pengaruh fragmentasi’ di bawah ini). Penggunaan indeks-indeks keragaman jenis untuk menguji perbedaan-perbedaan diantara habitat-habitat terganggu memiliki kerugian-kerugian tersendiri. Hal ini karena reaksi-reaksi yang berbeda terhadap habitat terganggu dari bagian-bagian dunia burung berbeda tetapi tidak terdeteksi oleh indeks-indeks tersebut. Oleh karena itu, suatu klasifikasi berguna berasal dari kumpulan-kumpulan habitat: 1) jenisjenis hutan sesungguhnya, merupakan jenis-jenis yang sensitif terhadap kerusakan, 2) jenis-jenis pinggiran (rumpang-rumpang dan hutan terdegradasi), dan 3) jenis-jenis hutan terbuka, dan tanah olahan. Gambar-gambar 2a dan b memperlihatkan secara jelas penurunan proporsi jenis hutan sesungguhnya pada satu sisi, dan peningkatan proporsi jenis hutan terbuka di sisi lainnya. Proporsi jenis-jenis pinggiran masih tetap relatif konstan. Pengaruh fragmentasi Fragmentasi dan isolasi hutan primer mempunyai dampak parah terhadap pemulihan kembali hutan terbakar, seperti akan berkurangnya penggantian jenis, dan lebih banyak dampak kerusakan parah terhadap kekayaan jenis, jika lokasi-lokasi tersebut tidak memiliki jenis-jenis hutan dalam jarak dekat. Fragmentasi diukur dengan menggunakan indeks kebersarangan , yang mana ‘temperatur-temperatur’ lebih tinggi mengindikasikan kurang kebersarangan, yang berarti kurang parahnya pengaruh-pengaruh fragmentasi. Nilai 34,12º yang ditemukan (188 jenis, 4 fragmen) jauh melebihi dari yang dilaporkan
and BSD, except for Bukit Bangkirai. This dissonant may be due to an edge effect of pioneer species intruding in this medium-sized area. A mitigating effect of the proximity of mature unburned forest on BSD in burned forest is not clear, though there is a slight trend for higher diversity when mature forest is near (but see ‘Effects of fragmentation’ below). The use of species diversity indices for the examination of differences between habitats has its drawback in the case of disturbed habitats. This is because the different reactions to the disturbed habitat by different subsets of the avifauna remain undetected by the indices. Therefore, a useful classification is that of the habitat assemblages: 1) true forest species, which are disturbance-sensitive species, 2) edge species (gaps and degraded forest), and 3) species of open woodland, and cultivation. Figs. 2a and b show clearly the decreasing proportions of true forest species on the one hand, and increasing proportions of open woodland species on the other. The proportions of edge species remain relatively constant. Effects of fragmentation Fragmentation and isolation of primary forest may have a severe impact on the recovery of burned forest, as there will be less species replacement, and more impact of severe disturbance on species richness, if the sites have no forest species in close proximity. A measure for fragmentation is the nestedness index, in which higher ‘temperatures’ indicate less nestedness, and thus less severe fragmentation effects. The high value of 34.12o found (188 spp, 4 fragments) is far above that of those reported by Atmar and Patterson (1995) for birds in forest fragments (average 11.8; n=9). It also compares favourably with values found in a study carried out on Javan forest birds, in which even the most disturbance-tolerant group of birds (i.e. rural and urban birds) had a much lower value, namely 20.5o (for 19 fragments). This suggests that either the fragments in the present study have only started to lose species or – more importantly – that the surrounding burned forest acts as a matrix in which dispersal is still effective. A significant positive correlation was found between the proportion of true forest species and patch size (0.73 for the 20,000 ha fragment to 0.58 for the 50 ha fragment), whereas the proportion of especially edge species increases. The mitigating effect of nearby old-growth forest on the birds occurring in burned areas is also shown by higher proportions of true forest species in the burned transects adjacent to larger areas. Bukit Soeharto – which has hardly any remnant old-growth forest – is an exception, 37
oleh Atmar dan Patterson (1995) untuk burungburung di hutan-hutan fragmen (rata-rata 11,8º; n=9). Juga membandingkan dengan nilai-nilai yang ditemukan pada satu penelitian tentang burungburung hutan di Jawa, dimana burung-burung dari kelompok paling toleran terhadap kerusakan (contoh burung-burung pedesaan dan perkotaan) memiliki nilai yang jauh lebih rendah, yaitu 20,5º (untuk 19 fragmen). Ini mengartikan bahwa hutanhutan fragmen dalam penelitian sekarang ini telah mulai kehilangan jenis atau, lebih penting lagi, bahwa hutan-hutan terbakar sekelilingnya bertindak sebagai satu susunan hutan dimana penyebaran masih berlangsung efektif. Suatu korelasi positif yang signifikan ditemukan antara proporsi jenis hutan sesungguhnya dan ukuran petak (0,73 untuk 20.000 hektar fragmen sampai dengan 0,58 untuk 50 hektar fragmen), sedangkan proporsi jenis-jenis pinggiran pada khususnya meningkat. Efek yang meringankan keberadaan burung di hutan-hutan terbakar yang dekat dengan hutan pertumbuhan tua juga diperlihatkan dengan tingginya proporsi jenis hutan sesungguhnya di transek-transek terbakar yang berdekatan dengan daerah-daerah lebih besar. Bukit Soeharto yang tidak memiliki sama sekali sisa-sisa hutan pertumbuhan tua merupakan suatu pengecualian, ini mungkin karena ukurannya bila dibandingkan dengan petak-petak hutan terbakar disekeliling petak-petak hutan pertumbuhan tua. Burung-burung indikator untuk hutan yang rusak karena kebakaran Indikator yang baik haruslah: 1) efektif untuk memantau (terbatas tapi tersebar luas di hutan primer, lebih daripada habitat spesialis yang langka, sehingga banyak daerah yang perlu untuk diliput); 2) memungkinkan untuk ketepatan pengukuran (burung-burung yang terikat disatu tempat dan sering bernyanyi secara teratur nampaknya menjadi indikator yang paling cocok), dan 3) dapat mengungkapkan kecenderungan yang berarti. Penggunaan kelompok-kelompok dengan pola makan sebagai indikator untuk hutan yang rusak agaknya berbelit-belit. Kecenderungan dalam kelompok-kelompok dengan pola makan tidak selalu transparan jika seluruh kelimpahan jenis dalam kelompok tersebut digunakan. Ini karena besarnya peningkatan-peningkatan pada satu atau dua jenis dapat menyamarkan penurunan atau kehilangan dari jenis lainnya di dalam kelompok yang sama. Hasil-hasil sensus menyatakan bahwa struktur komunitas dari kelompok-kelompok dengan pola makan secara signifikan berbeda diantara petak hutan primer dan petak hutan 38
but this may be due to its size in comparison to the patches of burned forest surrounding the oldgrowth patches. Avian indicators of forest disturbed by fire A good indicator must: 1) be cost-effective to monitor (restricted to but widespread in primary forest, rather than a rare habitat specialist, for which much area needs to be covered); 2) allow for good measurability (for which sedentary birds with regular singing sessions seem to be most suitable), and 3) reveal meaningful trends. The use of foraging guilds as indicators for disturbed forest is rather complicated. Trends in the foraging guilds are not always transparent if the overall abundance of the guilds is used. This is because large increases in one or two species can mask the decline or loss of others in the same guild. The census results suggest that community structures with respect to the foraging guilds were significantly different between primary forest and burned plots at all localities, although there is hardly any group which consistently contributes most to these differences. Aerial insectivores (mainly swifts/ swiftlets) and terrestrial frugivores (doves and finches) increased in all burned plots. Miscellaneous insectivores/piscivores decreased in all burned plots, e.g. Malaysian Dwarf Kingfisher (Ceyx erithacus), Banded Kingfisher (Lacedo pulchella), and frogmouths. The omnivorous (mixed) feeders apparently are a mix of climax and pioneer species. The most conspicuous group (although its general response to forest fires has not yet been established) is comprised of the large frugivore/ predators, the hornbills. A particularly confusing declining group is that of the nectari/insectivores, sunbirds and flowerpeckers. Especially the sunbirds often thrive in secondary habitats, while both our study and other studies have found flowerpeckers to be sensitive. The species richness and composition in bark-gleaning woodpeckers are little affected by the fires, which is also the case in logged forest. However, as in logged forest, at least two species declined in density rather dramatically in our burned plots, namely Checker-throated Woodpecker (Picus mentalis) and Orange-backed Woodpecker (Reinwardtipicus validus). Individual species that contribute most consistently to the differences in community structure between burned and primary plots, and which are most closely associated with burned forest, are Yellow-vented Bulbul (Pycnonotus goiavier), Striped Tit-Babbler (Macronous gularis) and both Ashy Tailorbird (Ortotomus ruficeps) and Rufoustailed Tailorbird (O. sericeus).
terbakar pada semua lokasi, walaupun tidak ada kelompok yang secara konsisten menyumbang perbedaan-perbedaan paling banyak. Kelompok pemakan serangga di udara (terutama wallet) dan kelompok pemakan buah di tanah (merpati hutan dan pipit) meningkat di semua petak bekas terbakar. Kelompok pemakan bermacam jenis serangga/ pemakan ikan menurun di semua petak-petak hutan terbakar, contohnya burung Udang punggung merah (Ceyx erithacus), Cekakak batu (Lacedo pulchella), dan burung Paruh kodok. Kelompok pemakan segala nampaknya merupakan campuran dari jenis-jenis klimaks dan perintis. Kelompok yang paling menarik perhatian (walaupun respon umumnya terhadap kebakaran hutan belum dibuat) terdiri dari kelompok pemakan buah/pemangsa-pemangsa, rangkong. Kelompok yang penurunannya membingungkan adalah kelompok pemakan nektar/serangga, burung madu dan pelatuk. Burung madu pada khususnya sering berkembang dengan cepat di habitat-habitat sekunder, sementara penelitian kami dan beberapa penelitian lainnya menemukan bahwa pelatuk yang sensitif. Kekayaan jenis dan komposisi dalam kelompok pelatuk pemakan serangga pada pepagan sedikit terpengaruh oleh kebakaran, juga di hutan bekas pembalakan. Walaupun demikian, di hutan bekas pembalakan, paling sedikit ada dua jenis yang kerapatannya turun agak dramatis di dalam petak terbakar, yaitu Pelatuk merah (Picus mentalis) and Pelatuk kundang (Reinwardtipicus validus). Jenis individu yang menyumbang paling konsisten pada perbedaan-perbedaan dalam struktur komunitas di antara petak-petak primer dan bekas terbakar, dan yang berasosiasi paling erat dengan hutan terbakar adalah Merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier), Ciung-air coreng (Macronous gularis), Cinenen kelabu (Ortotomus ruficeps) dan Cinenen merah (Ortotomus sericeus). Empatbelas (52%) dari 27 jenis yang berasosiasi dengan hutan primer dan paling tidak toleran terhadap hutan terbakar (keseluruhan 300-400% menurun) adalah sama seperti jenis-jenis tidak toleran terhadap pembalakan sebagaimana disebutkan oleh F. Lambert dan A. Grieser Johns untuk Kalimatan Utara (Tabel 1). Kebanyakan dari
Kerapatan jenis burung sikatan di dalam hutan yang tidak terbakar adalah tinggi, yaitu seperti Sikatan-rimba dada-kelabu (Rhinomyias umbratilis),Philentoma sayapmerah ( Philentoma pyrhopterum), dan Kehicap ranting (Hypothymis azurea) In unburned forests there is a high density of flycatchers such as Grey-chested Jungle-Flycatcher (Rhinomyias umbratilis), Rufous-winged Philentoma ( Philentoma pyrhopterum), and Black-naped Monarch (Hypothymis azurea)
Pelanduk ekor-pendek (Malacocincla malaccense) Short-tailed Babbler
39
Oriental Dwarf Kingfisher * Banded Kingfisher Red-crowned Barbet Brown Barbet * Checker-throated Woodpecker * Orange-backed Woodpecker * Green Broadbill * Grey-cheeked Bulbul Streaked Bulbul * Moustached Babbler Sooty-capped Babbler Scaly-crowned Babbler * Rufous-crowned Babbler * Chestnut-backed Scimitar-babbler * Chestnut-rumped Babbler Rufous-fronted Babbler * Brown Fulvetta * Grey-chested Rhinomyias * Rufous-chested Flycatcher Bornean Blue Flycatcher * Pale Blue Flycatcher Rufous-winged Philentoma Paradise Flycatcher * Grey-headed Flycatcher * Spotted Fantail Yellow-breasted flowerpecker Spectacled Spiderhunter * )
Ceyx erithacus Lacedo pulchella Megalaima rafflesii Calorhamphus fuliginosus Picus mentalis Reinwardtipicus validus Calyptomena viridis Criniger bres Hypsipetes malaccensis Malacopteron magnirostre Malacopteron affine Malacopteron cinereum Malacopteron magnum Pomatorhinus montanus Stachyris maculata Stachyris rufifrons Alcippe brunneicauda Rhinomyias umbratilis Ficedula dumetoria Cyornis superbus Cyornis unicolor Philentoma pyrrhopterum Terpsiphone paradisi Culicicapa ceylonensis Rhipidura perlata Prionochilus maculatus Arachnothera flavigaster
Jenis yang tidak toleran terhadap kerusakan karena pembalakan/ Species also not tolerant of logging disturbance
Tabel 1. Jenis-jenis burung yang tidak toleran terhadap kerusakan habitat yang disebabkan oleh kebakaran
Table 1. Bird species intolerant of habitat disturbance by fire.
jenis sensitif lain yang disebutkan oleh para peneliti, juga tercatat disepanjang transek kami, tapi telah dibuang dari analisis karena jumlah pengamatan yang sedikit (<10) ataupun karena perbedaanperbedannya tidak signifikan. Sejumlah jenis langka yang rentan terhadap kebakaran (terutama luntur dan berencet ) juga telah dikeluarkan dari analisis, sesungguhnya jenis-jenis ini tidak akan cocok sebagai jenis indikator karena langka. Dari kelompok takur, hanya beberapa yang memiliki cukup data untuk memungkinkan dilakukan analisis. Takur ternyata langka di seluruh daerah, bahkan di hutan primer. Karena hampir semua jenis sikatan dijumpai di hutan-hutan terbakar, kegunaan mereka sebagai kelompok indikator harus dipertimbangkan. Satu kelompok lain yang tidak toleran terhadap kerusakan akibat kebakaran adalah kelompok pelanduk, asi dan wergan, dimana jumlah jenisnya menurun. Kelompok pelanduk, asi dan wergan merupakan penghuni hutan di lapisan-lapisan vegetasi bawah
Fourteen (52%) of the 27 species associated with primary forest and most intolerant of burned forest (i.e. an overall 300-400% decline) were the same as the species intolerant of logging mentioned by F. Lambert and A. Grieser Johns for northern Borneo (Table 1). Most of the other sensitive species mentioned by these researchers had decreased along our transects as well, but have been eliminated from our analysis because of the small numbers of observations (<10) or because the differences were not significant. A number of rare species vulnerable to burning (notably trogons and wren-babblers) may thus have been excluded, but these species would be unfit as indicator species because of their general scarcity. Of the barbets, only few had enough records to allow for an analysis. Barbets were strikingly rare throughout the area, even in the primary forest. Because almost all species of flycatcher declined in the burned forests, their usefulness as an indicator group should be considered. Another group
40
dan tengah, yang seringkali mengalami dampak paling serius akibat kebakaran (Gambar 1). Kelompok marga Malacopteron, Asi layak mendapatkan perhatian khusus: hanya di satu hutan fragmen tidak terbakar terjadi penurunan yang signifikan, sementara keempat jenis dari kelompok tersebut menunjukkan penurunan tajam di hutan terbakar, dan absen dari hutan Bukit Soeharto (jenisjenis tersebut dilaporkan pernah ada di hutan ini selama survei-survei awal sebelum kebakaran oleh C. Boer).
intolerant of fire disturbance were babblers, of which many species declined. These are dwellers of the middle and lower vegetation layers of the forest, which often are the most seriously affected by fires (Fig 1). The group of Malacopteron babblers deserves special mention: in only one unburned fragment was there a significant decrease, while all four species showed a large decline in burned forest, and were absent from the Bukit Soeharto forest (they had been reported in this forest during earlier, pre-fire surveys by C. Boer).
Kesimpulan umum Keragaman jenis burung (kekayaan jenis dan kesamaan) pada umumnya turun di lokasi yang dipengaruhi oleh kebakaran hutan. Lebih jauh lagi, ukuran hutan fragmen dewasa menentukan kekayaan jenis burung di dalam fragmen tersebut, tapi juga memiliki efek yang meringankan terhadap kekayaan jenis di daerah-daerah terbakar yang berdekatan, sehingga nilai konservasinya akan meningkat. Juga telah ditemukan bahwa rendahnya kerapatan burung sikatan dan pelanduk, asi dan wergan, dan tingginya kerapatan cinenen, merupakan indikasi bagi hutan-hutan bekas terbakar.
General conclusions Bird species diversity (species richness and evenness) generally decreases in areas affected by forest fires. Furthermore, the size of a mature forest fragment determines bird species richness inside that fragment, but may also have a mitigating effect on the species richness in adjacent burned areas, by which the conservation value of these would be increased. It has also been found that a low density of flycatchers and babblers, and a high density of tailorbirds, is indicative of burned forests.
Bacaan lebih lanjut/ Further reading
Anonymous. 1995. National conservation plan for Indonesia, Kalimantan (5A-D). Ministry of Forestry, Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, Jakarta. Atmar, W., and Patterson, B. D. 1993. The measure of order and disorder in the distribution of species in fragmented habitat. Oecologia 96: 373-382. Boer, C. 1998. Zur Bedeutung von Baumsturzlücken für die Verteilung und Abundanz von Vogelarten des Unterholzes inPrimär- und Sekundärregenwäldern Ostkalimantans. Julius-Maximilian-Universität Würzburg, PhD thesis. Canterbury, G. E., Martin, T. E., Petit, D. R., Petit, L. J. and Bradford, D. F. 2000. Bird communities and habitat as ecological indicators of forest condition in regional monitoring. Conservation Biology 14: 544-558. van der Hoeven, C. A., de Iongh, H. H., Nijman, V. and van Balen, B. 2000. Biodiversity in disturbed ecosystems. Wageningen, the Netherlands: NWO & Tropenbos Foundation. Tropenbos Documents 16: 1-27. Holmes, D. A. 1985. Ornithological reflections: birds and the great fire. Voice of Nature 33: 17-18. Holmes, D. A., Rombang, W. M., and Octaviani, P. 2001. Daerah penting bagi burung Kalimantan. Bogor: PKA/BirdLife International - Indonesia Programme. Kinnaird, M. F., and O’Brien, T. G. 1998. Ecological effects of wildfire on lowland rainforest in Sumatra. Conservation Biology 12: 954-956. Lawton, J. H., Bignell, D. E., Bolton, B. , Bloemers, G. F., Eggleton, P., Hammond, P. M., Hodda, M., Holt, R. D., Larsen, T. B., Mawdsely, N. A., Stork, N. E., Srivastava, D. S., and Watt, A. D. 1998. Biodiversity inventories, indicator taxa and effects of habitat modification in tropical forest. Nature 391: 72-75. Magurran, A. E. 1988. Ecological diversity and its measurement. London & Sydney: Croom Helm. Schweithelm, J. 1998. The fire this time. An overview of Indonesia’s forest fires in 1997/98. Indonesia discussion paper. World Wildlife Fund, Jakarta. Slik, J. W. F., and Eichhorn, K. A. O. (in prep). Forestfires in the tropical rain forests of east Kalimantan, Indonesia: spatial and temporal changes in plant diversity. van Balen, S. 1999. Differential extinction patterns in Javan forest birds. Tropical Resource Management Papers 30: 3957.
41
Pengaruh-pengaruh pembalakan, fragmentasi hutan dan kebakaran terhadap kekayaan jenis kupu-kupu di Kalimantan
Effects of logging, forest fragmentation and fire on butterfly species richness in Kalimantan
Daniel Cleary
Daniel Cleary
Kawasan cagar alam yang dikelilingi oleh satu susunan habitat alihan tetap mudah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kerusakan yang negatif dan seringkali bencana besar. Selama ENSO tahun 1997/ 98, kebakaran merusak sedikitnya 17 taman nasional dan kawasan-kawasan yang dilindungi di Indonesia, termasuk taman-taman nasional sangat besar di Sumatra (2568-km persegi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) dan di Kalimantan (lebih dari 90% dari sekitar 2000-km persegi Taman Nasional Kutai terbakar). Kawasan-kawasan lindung saja tidak cukup untuk konservasi alam, sehingga strategi-strategi dibutuhkan untuk mengelola seluruh lansekap, termasuk daerah-daerah yang dialokasikan untuk produksi. Fokus dalam pengelolaan ini seharusnya ditujukan pada habitat dan karakteristikkarakteristik komunitas. Suatu bantuan penting untuk keputusan-keputusan pengelolaan barangkali datang dari data kuantitatif berskala ganda tentang kelimpahan jenis dan karakteristik-kerakteristik fungsional. Penelitian sekarang ini menguji dampak berbagai tingkat kerusakan pada beberapa taksa invertebrata. Berikut ini laporan tentang respon kupu-kupu.
Nature reserves surrounded by an altered habitat matrix remain susceptible to negative and often catastrophic forms of disturbance. During the 1997/ 98 ENSO event, fire damaged at least 17 national parks and protected areas in Indonesia, including very large parks in Sumatra (the 2568-km 2 Bukit Barisan Selatan National Park) and Borneo (more than 90% of the ca. 2000-km2 Kutai National Park burned). Reserves alone are not sufficient for nature conservation, and strategies are required for managing whole landscapes, including areas allocated to production. The focus in this management should be on habitat and community characteristics. An important aid for management decisions may come from multi-scale quantitative data on species abundance and functional characteristics. The present study assessed the impact of varying degrees of disturbance on several invertebrate taxa. Reported on here are the responses in butterflies.
Penelitian lapangan Seluruh penelitian dilaksanakan di Kalimantan Indonesia. Sebelum ENSO (1997) beberapa lansekap di ambil contohnya di tiga daerah yang terpisah jauh: Kalimantan Timur (wilayah Balikpapan-Samarinda), wilayah Berau, dan Kalimatan Tengah (Sangai, Kalimantan Tengah). Setelah terjadinya ENSO, total sembilan lansekap diambil contohnya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Setiap lansekap (> 400 hektar) terdiri dari petak-petak yang diatur secara acak dalam satu desain contoh yang hirarki. Pasca-ENSO tiga kelas kerusakan penting diambil contohnya (termasuk pengambilan contoh ulang dari lansekap B2 dan C3): tiga lansekap di hutan yang bersambung, tiga di hutan terisolasi tidak terbakar yang di kelilingi oleh hutan terbakar, dan tiga di hutan terbakar disekeliling hutan terisolasi tidak terbakar. Selama penelitian sejumlah 531 jenis kupu-kupu diidentifikasi diantara 40.840 individu.
42
Field study All research took place in Indonesian Borneo. PreENSO (1997) landscapes were sampled in three widely separated areas: east Borneo (BalikpapanSamarinda region), central Borneo (Sangai, Central Kalimantan), and northeast Borneo (Berau region). Post-ENSO, a total of nine landscapes were sampled in east and central Borneo. Each. landscape (> 400 ha) consisted of randomly assigned plots in a hierarchical sampling design. Post-ENSO three main disturbance classes were sampled (including resampling of the B2 and C3 landscapes): three landscapes in continuous forest, three in unburned forest isolates surrounded by burned forest, and three in the burned forest surrounding the unburned isolates. During the study a total of 531 species of butterflies were identified among 40840 individuals. Habitat disturbance effects on butterflies Butterflies appear to be resilient to logging and even show increased levels of diversity in logged forests when compared to unlogged forest. In burned forests and isolates that remained in burned landscapes after the severe 1997/98 fires, however, butterfly species richness was substantially lower (Fig. 1) and remained lower four years after the fire. Estimates
Pengaruh kerusakan terhadap kupu-kupu Kupu-kupu kelihatannya lenting terhadap pembalakan dan bahkan memperlihatkan peningkatan keragaman di hutan-hutan bekas pembalakan jika dibandingkan dengan hutan-hutan yang tidak dibalak. Di hutan-hutan terbakar dan terisolasi yang tersisa di lansekap hutan terbakar setelah kebakaran parah tahun 1997/98, kekayaan jenis kupu-kupu ternyata lebih rendah (Gambar 1) dan tetap rendah selama empat tahun setelah kebakaran. Perkiraan-perkiraan kekayaan jenis memperlihatkan bahwa lansekap-lansekap yang berlokasi di hutan bersambung memiliki kekayaan jenis jauh lebih tinggi daripada yang berlokasi di hutan terbakar atau di hutan terisolasi tidak terbakar. Perbedaannya adalah paling tidak pada kelebihan 100 jenis dan mendekati 300 jenis di lansekap hutan
Gambar 1. Jumlah perkiraan jenis didasarkan pada taksiran penutupan luas-dasar (ICE) di setiap lansekap dari sembilan lansekap yang diambil contohnya di Kalimantan Indonesia. Lansekap-lansekap tersebut berlokasi di hutan yang menyambung (C1, C2, C3), di hutan terisolasi tidak terbakar yang dikelilingi oleh hutan-hutan bekas terbakar (I1, I2, I3) dan di sekeliling hutan terbakar (B1, B2, B3). Harap dicatat bahwa taksiran-taksiran menyatakan bahwa kekayaan jenis di hutan menyambung melampaui kekayaan jenis yang ada di hutan terisolasi dan hutan bekas terbakar paling sedikit 100 jenis.
Api kecil yang masih menyala di lapisan bawah hutan selama kebakaran di Kalimantan Timur tahun 1998 Smoldering fire in the forest understorey during the 1998 fires in East Kalimantan
Figure 1. Estimated number of species based on the incidence-based cover (ICE) estimate in each of the nine landscapes sampled in Indonesian Borneo. Landscapes were located in continuous forest (C1, C2, C3), in unburned isolates surrounded by burned forest (I1, I2, I3) and in the surrounding burned forest (B1, B2, B3). Note that the estimates suggest that species richness in the continuous forest exceeds that in the isolates and burned forest by at least 100 species.
Rapatnya pertumbuhan kembali tunas dan pancangpancang pohon perintis setelah satu tahun kebakaran A dense re-growth of pioneer saplings and sprouting trees one year after the fire
Athyma nefte, jenis kupu-kupu yang umum di hutan terbakar beberapa tahun setelah kebakaran Athyma nefte, a butterfly species common in burned forest a few years after the fire
Paralaxita telesia, jenis kupu-kupu yang secara khusus ditemukan di dalam hutan yang tidak terbakar Paralaxita telesia, a butterfly species exclusively found in unburned forest.
43
terbakar yang paling miskin. Respon terhadap kerusakan juga bervariasi antara kelompokkelompok dan suku-suku. Hasil-hasil tersebut secara jelas mengarah kepada kebakaran yang dipengaruhi ENSO sebagai satu ancaman besar dan serius terhadap keragaman kupu-kupu di Kalimantan. Indikator-indikator Dalam satu penaksiran kekayaan jenis, marga, dan anak-suku di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, ditemukan bahwa kekayaan tersebut secara signifikan lebih tinggi di hutan bekas pembalakan daripada di hutan yang tidak dibalak dan komposisi komunitas berbeda signifikan pada ketiga tingkat kelompok takson (jenis, marga, dan anak-suku). Lebih jauh lagi, ukuran kekayaan berkorelasi erat diantara ketiga tingkat taksonomi tersebut. Taksa indikator individu yang signifikan ditemukan pada ketiga tingkat taksonomi tersebut, tapi yang terbaik dari keseluruhan taksa (nilai indikator tertinggi) ditemukan pada tingkat marga dan termasuk kupukupu dari marga-marga Ragadia dan Paralaxita sebagai indikator-indikator untuk hutan tidak dibalak dan marga-marga Ypthima, Allotinus, dan Athyma sebagai indikator-indikator untuk hutan bekas pembalakan. Penggunaan marga daripada jenis memberikan sejumlah keuntungan praktis. Identifikasi lebih cepat, lebih mudah, dan lebih dapat dipercaya. Lebih jauh lagi biasanya marga dapat diidentifikasi ‘pada sayap’ karena itu akan mencegah kematian yang tidak disengaja sewaktu penangkapan. Implikasi pengelolaan lansekap Melihat dampak fragmentasi dan kebakaran hutan yang parah terhadap keragaman kupu-kupu di daerah dataran rendah Kalimantan, upaya harus dilakukan untuk memelihara luas hutan-hutan dataran rendah yang tidak terbakar di wilayah ini. Meskipun begitu, daya lenting yang diperlihatkan oleh kupu-kupu dan taksa lainnya terhadap pembalakan mengingatkan bahwa keragaman kupukupu bisa dipelihara di daerah-daerah yang pernah mengalami kerusakan sedang dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Menyadari hutan dataran rendah primer yang hampir hilang, daerah-daerah hutan dataran rendah bekas pembalakan sedang merupakan alternatif terbaik untuk dialokasikan sebagai kawasan konservasi dan untuk proyekproyek kehutanan yang lestari. Dalam kawasankawasan tersebut, keragaman kupu-kupu Kalimantan dapat dipelihara sepanjang tindakantindakan diambil untuk mencegah kebakaran hutan.
44
of species richness showed that landscapes located in continuous forest had considerably higher species richness than did landscapes located in unburned isolates or burned forest. The difference was at least in excess of 100 species and approached 300 species in the most impoverished burned landscape. The response to disturbance also varied among guilds and families. The results thus clearly point to ENSOinduced burning as a serious threat to butterfly diversity in Kalimantan. Indicators In an assessment of species, generic, and subfamily richness in East and Central Kalimantan it was found that richness was significantly higher in logged than unlogged forest and community composition differed significantly at all three taxonomic levels (species, genus, and subfamily). Richness estimators were, furthermore, highly correlated among all three taxonomic levels. Significant individual indicator taxa were found at all three taxonomic levels, but the best overall taxa (highest indicator values) were found at the generic level and included the butterfly genera Ragadia and Paralaxita as indicators of unlogged forest and the genera Ypthima, Allotinus, and Athyma as indicators of logged forest. The use of genera instead of species presents a number of practical advantages. Identification is faster, easier, and more reliable. Genera can, furthermore, usually be identified ‘on the wing’ thereby preventing accidental mortality due to capture. Landscape management implications In view of the severe impact of fragmentation and forest fires on butterfly diversity in lowlands areas of Kalimantan, efforts should be made to maintain large and unburned areas of lowland forests in this region. However, the resilience shown by butterflies and other taxa to logging suggests that butterfly diversity can be maintained in areas that have experienced moderate levels of disturbance and human exploitation. In view of the near-total disappearance of primary lowland forest, moderately logged lowland forest areas are a good alternative for allocation as conservation areas and for sustainable forestry projects. In such areas, Bornean butterfly diversity can be maintained as long as measures are taken to prevent forest fires.
Hasil-hasil proyek/ Output from this project
Cleary, D. F. R. 2003. An examination of scale of assessment, logging, and ENSO induced fires on butterfly diversity in Borneo. Oecologia 135: 313-321. Cleary, D. F. R. 2004. Assessing the use of butterflies as indicators of logging in Borneo at three taxonomic levels. Journal of Economic Entomology, in press. Cleary, D. F. R., and Genner, M. J. 2004. Changes in rainforest butterfly diversity following major ENSO-induced fires in Borneo. Global Ecology and Biogeography 13: 129-140. Cleary, D. F. R., and Mooers, A. Ø. 2004. Butterfly species richness and community composition in forests affected by ENSO-induced burning and habitat isolation in Borneo. Journal of Tropical Ecology, In press. Cleary, D. F. R., Mooers, A, Ø., Eichhorn, K. A. O., van Tol, J., de Jong, R., and Menken, S. B. J. 2004. Diversity and community composition of butterflies and odonates in an ENSO-induced fire affected habitat mosaic: a case study from East Kalimantan, Indonesia. Oikos 105: 426-446. Cleary, D. F. R., and Priadjati, A. 2004. Growth, density, species richness and community composition of saplings and seedlings in unburned and adjacent burned Bornean rain forest. Plant Ecology, in press.
Bacaan lebih lanjut/ Further reading
Bennet, E. L. 2000. Timber certification: where is the voice of the biologist? Conservation Biology 14: 921-923. Braatz, S., Davis, G., Shen, S., and Rees, C. 1993. Conserving biological diversity. A strategy for protected areas in the Asia-Pacific region. World Bank Technical Paper Number 193. Asia Technical Department Series. Hoffmann, A. A., Hinrichs, A., and Siegert, F. 1999. Fire damage in East Kalimantan in 1997/98 related to land use and vegetation classes: satellite radar inventory results and proposals for further actions. IFFM/SFMP Report No. 1a. Margules, C. R. and Pressey, R. L. 2000. Systematic conservation planning. Nature 405: 243-253. Tilman, D. 1999. The ecological consequences of changes in biodiversity: a search for general principles. Ecology 80: 1455-1474.
45
Peranan hutan karet dalam konservasi The role of jungle rubber in rainforest keanekaragaman hayati hutan hujan biodiversity conservation Hendrien Beukema
Hendrien Beukema
Hutan primer dan hutan bekas pembalakan di dataran-dataran rendah Sumatra dan Kalimantan menghilang dengan cepat. Hutan-hutan dataran rendah sekarang dialihfungsikan terutama untuk perkebunan-perkebunan (kelapa sawit, karet, kayu) dan sedikit oleh kepemilikan perhutanianperhutanian rakyat (karet, pohon-pohon buah) . Menghilangnya habitat hutan hujan dataran rendah menggiring kita pada beberapa pertanyaan, yaitu apakah habitat-habitat terganggu semacam perhutaniankaret rakyat dapat memelihara karakterkarakter dan fungsi-fungsi hutan asli, sejauh mana perhutanian rakyat tersebut dapat mendukung ketahanan hidup dan reproduksi jenis-jenis hutan hujan dataran rendah, dan bagaimana fungsi ini dipengaruhi oleh praktek-praktek pengelolaan. Di Sumatra,perhutaniankaretrakyatbarangkalimenjadi vegetasi menyerupai hutan yang paling penting, yang nyata menutupi daerah luas di hutan-hutan dataran rendah dan berfungsi sebagai tempat pengungsian bagi jenis-jenis hutan hujan. Diperkirakan sekitar 7 juta penduduk di pulaupulau Sumatra dan Kalimantan pada saat ini hidup dari perhutanian-perhutanian karet rakyat yang meliputi daerah seluas 2.5 juta hektar. Perhutanan karet rakyat menyusun 84% dari total areal karet di Indonesia dan 76% dari volume produksi karet Indonesia. Karet merupakan komoditas ekspor utama pendukung ekonomi Indonesia. Sekitar 70% petani-petani di propinsi Jambi terlibat dalam produksi perhutanian karet rakyat dan menghasilkan rata-rata hampir 70% dari pendapatan keluarga berasal dari perhutanian karet rakyat tersebut. Karet terutama diproduksi di perhutanian karet rakyat (‘hutan karet’) dan sedikit di pekebunanperkebunan monokultur yang dikelola secara lebih intensif. Kedua sistem produksi tersebut menggunakan sistem tebang dan bakar untuk membersihkan lahan sebelum penanaman. Dalam perkebunan-perkebunan monokultur, getah karet (latex) merupakan satu-satunya produk. Tumbuhan bawah di bawah pohon-pohon karet dijaga tetap rendah dengan menggunakan herbisida dan penyiangan secara manual, sementara pupuk-pupuk disebarkan di sekitar pohon-pohon karet untuk merangsang pertumbuhannya. Penorehan mulai pada saat pohon-pohon karet berumur 5-6 tahun. Pohon-pohon karet masih tetap produktif sampai
Primary and logged-over forests in the lowlands of Sumatra and Kalimantan are rapidly disappearing. The lowland forests are being replaced mainly by plantations (oil palm, rubber, timber) and to a lesser extent by smallholder agroforests (rubber, fruit trees). The disappearance of lowland rainforest habitat leads to several questions, namely whether disturbed habitats such as rubber agroforests maintain some of the characteristics and functions of the original forest, to what extent they can support the survival and reproduction of primary rainforest species, and how this function is influenced by management practices. In Sumatra, rubber agroforests may become the most important forest-like vegetation covering substantially large areas in the lowlands and serving as a refuge for rainforest species. An estimated 7 million people in Sumatra and Kalimantan currently make their living from rubberbased agroforests covering an area of 2.5 million ha. Smallholder rubber constitutes 84% of the total Indonesian rubber area and 76% of the Indonesian rubber production volume. Rubber is a major export commodity supporting the Indonesian economy. Around 70% of farmers in Jambi province are engaged in smallholder rubber production and derive on average nearly 70% of their household income from it. Rubber is produced mainly in rubber agroforests (‘jungle rubber’) and to a lesser extent in more intensively managed monocultural plantations. Both production systems use slash-andburn to clear land before planting. In the monocultural plantations, rubber (latex) is the only product. The undergrowth below the rubber trees is kept low by using herbicides and by manual weeding, while fertilizers are applied around the rubber trees to stimulate their growth. Tapping starts when the rubber treesare 5-6 years old. Treesremain productive until they are 20-25 years old, when a new planting cycle starts. In the jungle rubber production system, there are also a number of secondary products. Rubber is planted together with rice, vegetables, herbs and a limited number of useful trees, such as fruit trees. Weeds are controlled manually and only during the first 2-3 years when rice and vegetables are produced. After that, the secondary vegetation that comes in naturally and includes useful species is allowed to grow with the rubber. A dense secondary forest
46
berumur 20 – 25 tahun, yaitu ketika siklus baru penanaman dimulai. Di dalam sistem produksi hutan karet, juga ada sejumlah produk-produk sekunder. Pohon karet ditanam bersama dengan padi, sayur-sayuran, rumput-rumputan dan sejumlah pohon-pohon berguna, seperti pohon-pohon buah. Rumputrumput liar dikontrol secara tradisional namun hanya selama 2-3 tahun pertama pada saat padi dan sayur-sayuran berproduksi. Setelah itu, vegetasi sekunder yang muncul secara alami dan termasuk jenis berguna di biarkan tumbuh bersama pohon karet. Suatu vegetasi hutan sekunder yang rapat mulai terbentuk. Para petani mengandalkan semaksemak dan vegetasi berkayu yang cepat tumbuh untuk menaungi rumput-rumput liar yang ganas seperti Alang-alang (Imperata cylindrical). Penorehan mulai sekitar sembilan tahun setelah penanaman. Melalui regenerasi alami semai-semai karet dan penanaman kembali rumpang-rumpang secara aktif oleh para petani, perhutanianperhutanian karet rakyat tersebut dapat tetap produktif jauh lebih lama daripada perkebunanperkebunan karet. Hasilnya adalah hutan sekunder yang didominasi oleh pohon karet. Pada rata-rata perhutanian-perhutanian karet rakyat, hanya sekitar 40% pohon-pohon berdiamater lebih dari 10 cm adalah pohon-pohon karet; pohon-pohon lainnya kebanyakan tumbuh kembali secara alami, sementara beberapa pohon ditanam oleh petani. Pohon-pohon liar dan yang ditanam menghasilkan buah-buahan dan bumbu-bumbu juga kayu untuk produksi, kayu bakar dan untuk pembangunan pagar-pagar disekeliling petak-petak karet yang baru. Tambahan lagi, jenis tumbuhan yang luar biasa banyak, khususnya jenis tumbuhan bawah dan epifit-epifit, yang tidak dipergunakan langsung oleh para petani tapi juga dianggap tidak berbahaya; tumbuhan-tumbuhan tersebut dibiarkan tumbuh sebagaimana kebanyakan petani berpendapat bahwa penebasan rumput liar atau pembuangan epifit-epifit tidak memberikan hasil karet yang lebih tinggi juga. Jadi, keragaman hayati di hutan-hutan karet rakyat adalah merupakan hasil dari putusan-putusan pengelolaan para petani yang mempengaruhi struktur dan komposisi vegetasi, dan menyediakan habitat bagi burung-burung, mamalia, serangga dan organisme-organisme lainnya. Dalam proyek penelitian ini, nilai-nilai keragaman hayati hutan primer, hutan-hutan karet rakyat dan perkebunan-perkebunan karet saling dibandingkan dengan menggunakan kekayaan jenis pteridophytes (paku-pakuan dan kerabatnya) sebagai indikator-indikator habitat yang menyerupai hutan. Kehadiran kelompok-kelompok tumbuhan
vegetation builds up. The farmer relies on the quick growth of bushy and woody vegetation to shade out such harmful weeds as Imperata cylindrica. Tapping starts around nine years after planting. Through the natural regeneration of rubber seedlings and the active replanting in gaps by the farmer, rubber agroforests can remain productive much longer than rubber plantations. The result is a secondary forest dominated by rubber. In an average jungle rubber agroforest, only about 40% of the trees with a dbh > 10 cm are rubber trees; the other trees are mostly natural regrowth, while some treesare planted by the farmer. The wild and planted trees provide fruits and spices as well as wood used for timber, fuel wood and for constructing fences around new rubber plots. In addition, there are numerous plant species, especially undergrowth species and epiphytes, that are of no direct use to the farmer but are not considered harmful; they are left to grow as most farmers find that the slashing of undergrowth or the removal of epiphytes does not pay in terms of higher output. Thus, biodiversity in jungle rubber gardens is a result of farmers’ management decisions that influence the structure and composition of the vegetation, which provides a habitat for birds, mammals, insects and other organisms. In this research project, the biodiversity values of primary forest, jungle rubber gardens and rubber plantations were compared by using the species richness of pteridophytes (ferns and fern allies) as indicators of forest-like habitat. The presence of other plant groups was also noted, and the results were compared to existing data on other species groups. The aim of the study was to assess the potential of productive jungle rubber to contribute to biodiversity conservation of lowland rainforest species. The use of ferns and fern allies (pteridophytes) as indicators The species richness of terrestrial pteridophytes alone, without knowing the species or their ecological requirements, is not a useful indicator of habitat quality, as it discriminates poorly between the disturbed landuse types and primary forest. A priori ecological information about the species involved is needed before terrestrial pteridophyte species can be used to indicate the disturbance level or habitat quality of the forest understorey. However, when information from the botanical literature is used to distinguish between species that prefer shady conditions (‘forest species’) and species that prefer more open conditions (‘non-forest species’),
47
lainnya juga dicatat, dan hasil-hasil tersebut dibandingkan dengan data-data yang sudah ada pada kelompok-kelompok jenis lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi hutan karet produktif dalam membantu konservasi keragaman hayati jenis hutan basah dataran rendah. Penggunaan paku-pakuan dan kerabatnya (pteridophytes) sebagai indikator Kekayaan jenis pteridophytes yang tumbuh di tanah, tanpa mengetahui jenis ataupun kebutuhankebutuhan ekologinya, bukanlah merupakan indikator kualitas habitat yang berguna. Karena indikator tersebut tidak membedakan dengan baik antara tipe-tipe lahan terganggu dan hutan primer. Informasi ekologi tentang jenis yang terlibat dibutuhkan sebelum jenis pteridophyte yang tumbuh di tanah dapat digunakan untuk mengindikasi tingkat kerusakan atau kualitas habitat hutan lapisan bawah. Walaupun demikian, pada saat informasi dari pustaka tumbuhan digunakan untuk membedakan antara jenis yang suka naungan (‘jenis hutan’) dan jenis yang suka kondisi lebih terbuka (‘jenis non-hutan’), kehadiran jenis hutan merupakan suatu indikator berguna bagi kondisikondisi menyerupai hutan di tipe-tipe lahan terganggu. Walaupun pteridophyte yang tumbuh di tanah membuktikan dalam penelitian ini merupakan satu kelompok yang terdeskripsi secara baik cocok untuk mengindikasi kondisi-kondisi lingkungan lokal, kelompok ini mungkin tidak mewakili keragaman hayati dari taksa lainnya dengan baik. Spora-spora terpencar dengan perantaraan angin, jadi keberadaan mereka tidak dibatasi oleh kehadiran organismeorganisme lain yang dibutuhkan bagi kebanyakan penyebaran biji atau penyerbukan. Tekanan perburuan dan fragmentasi habitat juga akan mempengaruhi beberapa taksa (misalnya mamalia) lebih daripada yang lainnya. Keragaman hayati di hutan karet rakyat Hasil-hasil untuk keragaman hayati jenis hutan pteridophyte yang tumbuh di tanah diperlihatkan dalam kurva-kurva daerah jenis pada Gambar 1. Perbedaan antara kurva-kurva untuk hutan primer (garis paling atas), hutan karet rakyat (garis tengah) dan perkebunan-perkebunan karet (garis paling bawah) menunjukkan bahwa lingkungan lapisan bawah hutan karet rakyat jauh lebih menyerupai hutan daripada perkebunan-perkebunan karet, tetapi kurang daripada hutan primer. Hasil-hasil untuk kurva-kurva daerah jenis paku-pakuan epifit (pakupakuan tumbuh di pohon) dalam petak-petak sejenis adalah sama. Hutan karet rakyat 48
the presence of forest species is a useful indicator of forest-like conditions in disturbed landuse types. Although terrestrial pteridophytes proved in this study to be a relatively well-described group suitable to indicate local environmental conditions, it may not represent the biodiversity of other taxa very well. The spores are wind dispersed, and thus their occurrence is not limited by the presence of other organisms required for most seed dispersal or pollination. Also, hunting pressure and habitat fragmentation affect some taxa (e.g. mammals) more than others. Biodiversity in jungle rubber Results for the diversity of forest species of terrestrial pteridophytes are shown in species-area curves in Fig. 1. The differences between the curves for primary forest (upper line), jungle rubber (middle line) and rubber plantations (lower line) show that the understorey environment of jungle rubber is much more forest-like than that of rubber plantations, but less so than primary forest. The results for species-area curves of epiphytic ferns (ferns growing on trees) in the same plots were similar. Jungle rubber thus provides a habitat for quite a large share of rainforest pteridophytes, but it is important to note that some primary forest species were not found in any of the jungle rubber or rubber plantation plots. Other researchers found similar species-area curves for diversity of forest birds in jungle rubber in Riau Province, whereas the diversity of trees was found to be much lower in jungle rubber than in primary forest in Jambi.
Gambar 1. Kurva-kurva daerah jenis untuk ‘jenis hutan’ dari paku-pakuan yang tumbuh di tanah dan kerabatnya di hutan, hutan karet rakyat dan perkebunanperkebunan karet. Figure 1. Species-area curves for ‘forest species’ of terrestrial ferns and fern allies in forest, jungle rubber and rubber plantations.
menyediakan habitat bagi sejumlah besar pteridophyte hutan hujan, akan tetapi penting untuk dicatat bahwa beberapa jenis paku-pakuan hutan primer tidak ditemukan di hutan karet rakyat ataupun di petak-petak perkebunan karet. Penelitipeneliti lainnya menemukan kurva-kurva daerah jenis yang serupa untuk keragaman burung-burung hutan di hutan karet di Provinsi Riau, sedangkan keragaman pohon-pohon yang ditemukan di hutan karet rakyat jauh lebih rendah daripada di hutan primer di Jambi. Gambar 2 menunjukkan kehadiran kelompokkelompok tumbuhan di 0.16 hektar petak-petak penelitian. Beberapa kelompok, seperti anggrek, kelihatan lebih sensitif terhadap kerusakan daripada yang lainnya. Hutan karet rakyat (khususnya hutan karet yang lebih tua) melindungi jenis-jenis dari sejumlah besar kelompok daripada perkebunanperkebunan karet. Ditemukan bahwa hutan karet rakyat yang sudah tua menjadi makin lebih dekat menyerupai ekosistem hutan primer dalam struktur dan komposisi jenis, maka semakin besar kontribusinya terhadap konservasi keanekaragaman hayati hutan hujan dataran rendah. Implikasi kebijakan Hutan karet rakyat membantu konservasi jenis hutan primer, tetapi hanya di tempat-tempat dimana hutan primer masih ada, prioritas harus diberikan untuk
Gambar 2. Frekuensi lima kelompok tumbuhan di dalam petak-petak hutan, hutan karet dan perkebunan karet.
Fig. 2 shows the presence of groups of plants in 0.16-ha study plots. Some groups, such as orchids, appear to be more sensitive to disturbance than others. Jungle rubber (especially older jungle rubber) preserves species from a larger number of groups than rubber plantations do. It was found that the older jungle rubber becomes, the closer it resembles a primary forest ecosystem in structure and in species composition, and thus the greater its contribution to the conservation of rainforest biodiversity. Policy implications Jungle rubber contributes to the conservation of primary forest species, but in places where primary forest is still present, priority should be given to conserving the remaining primary forest patches. In places where the primary forest is gone, jungle rubber can play a role in conserving some of the primary forest species, while rubber plantations and oil palm plantations have little conservation value. In areas such as the Jambi lowlands – where there is almost no primary forest left and even loggedover forest has to a large extent already been converted into plantations – jungle rubber might provide for intermediate levels of biodiversity while also providing farmers with an income. However, jungle rubber farmers are not interested in biodiversity in the sense that conservationists are: the farmers make a living by
Figure 2. Frequency of five plant groups in forest, jungle rubber and rubber plantation plots.
49
konservasi petak-petak hutan primer yang tersisa. Ditempat-tempat dimana hutan primer sudah habis, hutan karet rakyat dapat memainkan suatu peranan dalam konservasi beberapa jenis hutan primer, sementara perkebunan-perkebunan karet dan perkebunan-perkebunan kelapa sawit memiliki nilai konservasi yang lebih rendah. Di daerah-daerah seperti dataran-dataran rendah Jambi dimana hampir tidak ada hutan primer yang tersisa dan bahkan hutan bekas pembalakan sebagian besar telah dikonversi menjadi perkebunan, hutan karet rakyat barangkali menyediakan keragaman hayati yang sedang saja walaupun juga menyediakan pendapatan bagi para petani. Meskipun demikian, para petani karet tidak tertarik dengan keragaman hayati dalam pengertian seperti yang dimiliki para konservasionis: para petani hidup dengan menggunakan kekayaan jenis dan fungsi-fungsi ekosistem secara selektif, dan mendasarkan putusan-putusan pengelolaan mereka pada maksimalisasi keuntungan dan minimalisasi kerugian ekologi dan ekonomi. Kenyataan bahwa hutan karet rakyat menggabungkan konservasi keragaman hayati dan keuntungan ekonomi di satu sisi merupakan kekuatan tetapi disisi lain merupakan kelemahan, karena keseimbangan diantara keduanya dapat di kacaukan dengan mudah. Hutan karet rakyat bukan merupakan suatu tipe hutan, tapi ‘perkebunan’, walaupun kelihatannya tidak seperti perkebunan. Hutan karet rakyat dimiliki dan dikelola oleh seorang petani yang mengambil putusan-putusan rasional berdasarkan situasi-situasi sosial-ekonomi dan informasi yang tersedia. Hutan karet rakyat merupakan suatu sistem berpasokan rendah, dengan hasil sedang yang tergantung pada daerah relatif luas yang tersedia untuk menghidupi satu keluarga, walaupun demikian pendapatan keuntungannya cukup baik jika dibandingkan dengan ekonomi nasional Indonesia secara keseluruhan.
selectively using species richness and ecosystem functions, and they base their management decisions on maximizing profitability and minimizing ecological and economical risk. The fact that jungle rubber combines biodiversity conservation and economic profitability is on the one hand a strength but on the other hand a weakness, because the balance between the two is easily disrupted. Jungle rubber is not a forest type, but a ‘plantation’, even though it does not look like one. It is owned and managed by a farmer who takes rational decisions based on socio-economic circumstances and the information available to him. Jungle rubber is a low-input, medium-output system that depends on relatively large areas of available land to make a living for a family, even though its returns to labour are attractive when compared to the national economy of Indonesia as a whole. Projects could be developed to increase the income of smallholders and to promote biodiversity conservation by keeping production in old jungle rubber on a profitable level. Techniques of gap replanting and direct grafting in rubber agroforests using genetically improved rubber could be developed to extend the lifespan of existing rubber agroforests, at the same time reducing the frequency
Hutan karet di Jambi, Sumatera Jungle rubber in Jambi, Sumatra
Petak vegetasi di hutan karet Vegetation plot in jungle rubber
Asplenium nidus adalah sejenis paku-pakuan epifit yang cukup umum di semua hutan karet, tetapi mencapai kematangannya dengan memproduksi spora hanya terjadi di hutan tua dan di hutan alami. Asplenium nidus is a common epiphytic fern in all jungle rubber gardens, but only reaches its mature, spore-producing stage in older gardens and in natural forest.
50
Proyek-proyek dapat dibangun untuk meningkatkan pendapatan petani-petani kecil dan mempromosikan konservasi keragaman hayati dengan menjaga produksi di hutan karet tua tetap pada tingkat yang menguntungkan. Teknik-teknik penanaman rumpang dan pengentenan di perhutanian-perhutanian karet rakyat menggunakan karet unggul secara genetik dapat dikembangkan untuk meningkatkan jangka hidup perhutanian karet rakyat yang sudah ada, dan di saat yang sama mengurangi frekuensi tebas dan bakar di daerah lansekap. Dengan menggunakan teknik-teknik ini, produksi dapat ditingkatkan sementara pengawetan keragaman hayati berasosiasi dengan hutan karet tua. Pengaruh hutan karet rakyat terhadap konservasi keragaman hayati mungkin menjadi paling besar di daerah-daerah yang berdekatan dengan hutan primer ataupun hutan lindung dimana populasi-populasi jenis saling terhubung dan pertukaran keragaman genetik dapat terjadi. Di provinsi Jambi, kerjasama dengan para petani untuk membangun proyek-proyek bagi kelestarian hutan karet rakyat di daerah-daerah dataran rendah berdekatan dengan kawasan Bukit Barisan, Bukit Tigapuluh dan Bukit Duabelas akan pasti membantu memelihara keragaman hayati hutan hujan. Fokus penelitian dimasa mendatang Sejak awal penelitian-penelitian keragaman hayati di hutan karet rakyat telah bersatu dengan penelitianpenelitian sosial-ekonomi dan agronomi. Supaya dapat menggunakan kapasitas penelitian yang terbatas secara optimal, penelitian-penelitian keragaman hayati lebih lanjut idealnya harus ditargetkan pada kelompok-kelompok taksonomi yang menarik bagi para petani (contohnya pohonpohon kayu olahan dan produk-produk sekunder lainnya) ataupun kelompok yang penting terhadap berfungsinya ekosistem (binatang tanah, para penyerbuk, para penyebar biji). Suatu peranan penting bagi penelitian biologi dalam mempelajari pengaruh-pengaruh komponen hutan sekunder seperti kompetisi cahaya dan nutrient, atau ekologi vertebrata pengkonsumsi biji-biji karet dan semai (babi) atau daun-daun muda (primata) begitu juga peranan rayap-rayap yang sangat merugikan dan penyakit-penyakit jamur pada pohon karet.
of slash-and-burn in the landscape. With these techniques, production could be increased while preserving the biodiversity associated with old jungle rubber. The effect of jungle rubber on biodiversity conservation may be largest in areas adjacent to primary forest or protected forest where species populations are connected and the exchange of genetic diversity can take place. In Jambi Province, cooperation with farmers to develop projects for sustainable jungle rubber in lowland areas adjacent to the Bukit Barisan range, the Bukit Tigapuluh range and Bukit Duabelas range would certainly help to preserve rainforest biodiversity. Focus of future research Biodiversity studies in jungle rubber have been integrated with socio-economic and agronomic studies from the beginning. To optimally use the limited research capacity, further biodiversity studies should ideally be targeted at taxonomic groups that either are of direct interest to farmers (e.g. timber trees and other secondary products) or are important to ecosystem functioning (soil fauna, pollinators, seed dispersers). There is also an important role for biological research in studying the effects of the secondary forest component such as competition for light and nutrients, or the ecology of vertebrate consumers of rubber seeds and seedlings (pigs) or young leaves (primates) as well as the role of harmful termites and fungal diseases of rubber.
51
Hasil-hasil proyek/ Output from this project
Beukema, H., and Van Noordwijk, M. 2004. Terrestrial pteridophytes as indicators of a forest-like environment in rubber production systems in the lowlands of Jambi, Sumatra. Agriculture, Ecosystems and Environment (in press). Beukema, H., Danielsen, F., Vincent, G., Hardiwinoto, S., and van Andel, J., in prep. Biodiversity in rubber agroforests.
Bacaan lebih lanjut/ Further reading
Collins, W. W. and Qualset, C. O. (eds.). 1999. Biodiversity in agroecosystems. CRC Press, Boca Raton, USA. Danielsen, F., and Heegaard, M. 1995. Impact of logging and plantation development on species diversity - a case study from Sumatra. - In: Sandbukt, Ø. (ed.), Management of tropical forests: towards an integrated perspective. Centre for Development and the Environment, University of Oslo, Norway, pp. 73-92. Gouyon, A., De Foresta, H., Levang, P. 1993. Does ‘jungle rubber’ deserve its name? An analysis of rubber agroforestry systems in southeast Sumatra. Agroforestry Systems 22, 181-206. Hardiwinoto, S., Adriyanti, D. T., Suwarno, H. B., Aris, D., Wahyudi, M., and Sambas Sn, M. 1999. Draft report of the research: Stand structure and species composition of rubber agroforests in tropical ecosystems of Jambi, Sumatra. Faculty of Forestry, Gadjah Mada University,Yogyakarta, and ICRAF S.E. Asia, Bogor, Indonesia. Michon, G., and De Foresta, H. 1995. The Indonesian agro-forest model. Forest resource management and biodiversity conservation. In: Halladay, P., Gilmour, D.A. (Eds.), Conserving biodiversity outside protected areas. The role of traditional agro-ecosystems. IUCN Forest Conservation Programme, Andalucía, pp. 90-106. Werner, S. 1999. The impact of management practices on species richness within productive rubber agroforests of Indonesia. - In: Sist, P., Sabogal, C. and Byron, Y. (eds.), Management of secondary and logged-over forests in Indonesia. Selected proceedings of an international workshop 17-19 November 1997. CIFOR, Bogor, Indonesia, pp. 33-44.
52
Epilog
Epilogue
Website dan publikasi-publikasi yang akan segera terbit Sebagai tambahan untuk publikasi yang dirangkum dalam buku diseminasi ini, beberapa tulisan dari setiap proyek masih sedang dalam persiapan atau sedang siap cetak, dan akan terbit dalam waktu satu atau dua tahun mendatang. Jika anda tertarik dengan proyek-proyek tertentu, silahkan mengontak peneliti yang bersangkutan untuk mendapatkan informasi tentang tulisan-tulisan yang akan terbit. Website dengan versi elektronik dari buku informasi ini dan dengan hasil-hasil proyek yang selalu baru sedang dipersiapkan (www.nwolipi.biodiversity.or), walaupun website ini belum akan siap bersamaan dengan pencetakan buku informasi ini.
Forthcoming publications and website In addition to the publications summarized in this dissemination booklet, several papers from each of the projects are still in preparation or in press and will appear within one or two years. If you are interested in particular projects please contact the researchers for updates on forthcoming papers. A website with an on-line version of this booklet and with updates on output of the projects are prepared (www.nwolipi.biodiversity.or), although the site is not yet up and running at the time of printing this booklet.
Penelitian lanjutan Proyek-proyek penelitian ini telah mengidentifikasi kelompok-kelompok tumbuhan, kupu-kupu, dan burung yang kelimpahannya turun secara konsisten di habitat-habitat terganggu. Pemahaman tentang dinamika populasi-populasi yang turun kelimpahannya masih tidak ada saat ini, yaitu, tidak ada data yang tersedia tentang reproduksi, migrasi, dan rata-rata angka kematian populasi-populasi di habitat-habitat terganggu untuk dibandingkan dengan habitat-habitat tak terganggu. Apakah populasi-populasi organisme di habitat-habitat terganggu dapat terpelihara pada tingkat penurunan yang konstan? Atau apakah populasi-populasi yang turun di habitat-habitat terganggu tersebut sematamata merupakan kemerosotan populasi yang sementara dapat terpelihara oleh imigran-imigran dari hutan-hutan primer dan pengungsi-pengungsi dari daerah-daerah yang terbasmi hutannya. Pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah penting dan perlu untuk diuji sebelum pemeliharaan jangka panjang terhadap keragaman hayati ….. under continuing disturbance regimes can be assumed…… Proyek-proyek penelitian yang lebih lama daripada penelitian untuk tingkat doktoral diperlukan untuk melihat kepada masalah-masalah tersebut.
Further research These research projects have identified groups of plants, butterflies, and birds whose abundances are consistently reduced in disturbed habitats. Still lacking at present is insight in the dynamics of these reduced populations, that is, there is no data available on the reproduction, migration, and mortality rates of populations in disturbed habitats compared to undisturbed habitats. Are populations of organisms in disturbed habitats able to maintain themselves at a reduced but constant level? Or are the reduced populations in disturbed habitats merely sink populations that are temporarily sustained by immigrants from primary forests and ‘refugees’ from deforested areas? These are crucial questions that
Potensi pemulihan kembali dan tindakantindakan segera Karena ketiadaan data tentang dinamika populasi di habitat-habitat terganggu, tindakan terbaik dalam pengelolaan konservasi adalah untuk memperbaiki kembali habitat-habitat terganggu kepada kondisi hamper sama dengan hutan-hutan primer. Dapat di asumsikan secara aman bahwa organismeorganisme secara negatif dipengaruhi oleh logging
53
dan kebakaran akan memiliki kesempatan terbaik untuk sembuh kembali ke kerapatan yang dapat hidup dan dinamika populasi yang sehat ketika struktur hutan dan komposisi pohon mendekati kondisi sebelum terjadinya kerusakan. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan, jika tidak semua, keragaman hayati asli terpelihara di lansekap bekas terbakar dan bekas pembalakan, walaupun sering dalam kerapatan yang rendah. Maka dari itulah potensi pemulihan kembali keragaman hayati di hutan-hutan dataran rendah yang terganggu di Kalimantan dan Sumatra dirasakan baik. Meskipun demikian, ini hyanyalah suatu potensi pemulihan kembali dan tidak akan terjadi pemulihan kembali tanpa adanya tindakantindakan yang pantas. Tindakan-tindakan segera dibutuhkan untuk menurunkan resiko kepunahan terhadap jenis yang membatasi hutan-hutan dataran rendah Sunda. Paling penting, eksloitasi hutan seharusnya ditingkatkan sepanjang jalur yang direkomendasikan di buku informasi ini dan lebih banyak hutan-hutan dataran rendah harus di lindungi secara efektif.
54
need to be examined before a long-term maintenance of biodiversity under continuing disturbance regimes can be assumed. Projects longer than a typical PhD study are required to look into these matters. Recovery potential and immediate actions In absence of data on population dynamics in disturbed habitats, the best course of action for conservation management is to restore disturbed habitats to conditions reminiscent of primary forests. It can be safely assumed that organisms negatively affected by logging and fire disturbance will have the best chance for recuperating to viable densities and healthy population dynamics when the forest structure and tree composition approach pre-disturbance conditions. Our research shows that most, if not all, of the original biodiversity is maintained in burned and logged landscapes, although often in reduced densities. The recovery potential of biodiversity in disturbed lowland forests in Kalimantan and Sumatra is therefore good. However, this is only a recovery potential and no recovery will take place without appropriate measures. Immediate actions are required to reduce the extinction risk for species that are confined the Sundaic lowland forests. Most importantly, forest exploitation should be improved along the lines recommended in this booklet and more lowland forests must be effectively protected.
Alamat-alamat/ Addresses Jika anda memiliki pertanyaan-pertanyaan mengenai proyek-proyek yang dilaporkan disini, atau menghendaki salinan publikasi-publikasi, silahkan jangan ragu-ragu menghubungi kami. If you have any questions about the projects reported on here, or would like to request reprints of publications, please do not hesitate to contact us. Bas van Balen Tropical Nature Conservation and Vertebrate Ecology group Wageningen Universiteit Bornsesteeg 69 6708 PD Wageningen The Netherlands e-mail:
[email protected] Hendrien Beukema University of Groningen, RUG Biological Sciences Department of Plant Biology P.O. Box 14 9750 AA Haren The Netherlands e-mail:
[email protected] Daniel Cleary Institute for Biodiversity and Ecosystem Dynamics (IBED) Universiteit van Amsterdam P.O. Box 94766 1090 GT Amsterdam The Netherlands or: National Museum of Natural History ‘Naturalis’ P.O. Box 9517 2300 RA Leiden The Netherlands e-mail:
[email protected] or
[email protected] Karl Eichhorn Nationaal Herbarium Nederland Universiteit Leiden Branch P. O. Box 9514 2300 RA Leiden The Netherlands e-mail:
[email protected] or
[email protected]
Martjan Lammertink Institute for Biodiversity and Ecosystem Dynamics (IBED) and Zoological Museum, Universiteit van Amsterdam Mauritskade 61 1092 AD Amsterdam The Netherlands e-mail:
[email protected] Dewi M. Prawiradilaga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Jakarta Km 46 Cibinong 16911 Indonesia e-mail:
[email protected] Utami Setiorini Jl.Trunojoyo 1/C Pontianak 78121 KalimantanBarat Indonesia e-mail:
[email protected] Ferry Slik Nationaal Herbarium Nederland Plantdiversity of the Indopacific and Tropical Asia P.O. Box 9514 2300 RA Leiden The Netherlands e-mail:
[email protected] René Verburg Nationaal Herbarium Nederland Einsteinweg 2 2333 CC Leiden The Netherlands or: Plant Ecology group Universiteit Utrecht Sorbonnelaan 16 3584 CA Utrecht The Netherlands e-mail:
[email protected]
55
56