Inti Perkembangan Rumah Produktif dalam Konsep Berkelanjutan Studi Kasus: Sentra Indutri Tempe Sanan Malang Pindo Tutuko Mahasiswa Pascasarjana Arsitektur ITS Alur Permukiman dan Lingkungan Jl. Urip Sumoharjo G-59, Malang 65121 Rumah: 0341-324627/Hp: +62811366494
[email protected] Kekuatan tradisi mendukung stabilitas elemen dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa dari satu kelompok masyarakat terdapat tradisi yang setiap unsur tradisi yang antara lain aktivitas pada umumnya akan diturunkan ke generasi berikutnya. Pengembangan hunian tidak bisa lepas dari sumberdaya yang ada, dikembangkan sendiri oleh pihak masyarakat dengan perkembangan yang berdimensi majemuk (multi dimensional development), hal ini jauh lebih lengkap daripada sekedar sebagai tempat hunian saja. Rumah bukan hanya sekedar tempat berteduh, beristirahat dan berkeluarga namun rumah bisa juga berfungsi untuk menggalang sumberdaya yang dimiliki penghuni dengan melihat peluang yang ada. Pada umumnya konsep rumah dan kerja termasuk dimensi sosial dan budaya, yaitu sebagai rumah dalam hal ini rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal tanpa kegiatan lain yang berarti dan rumah produktif, yaitu rumah yang sebagian digunakan untuk produktif atau kegiatan ekonomis. Lokasi dimana hunian tersebut berada perlu indikator tentang kualitas lahan dalam hal ini adalah Natural environment (sumberdaya alam yang sesuai), Topographical (kondisi topografi yang sesuai), dan Proximity dan accessibility (batas standar minimal hunian dan potensi kemudahan). Keberadaan jenis usaha pembuatan tempe yang terdapat di kampung Sanan ‘Tempe’ telah ada sejak sekitar awal tahun 1900-an dan bertahan sampai sekarang. Usaha rumahan ini terus ada dan usaha ini sudah menjadi usaha yang turun menurun dilakukan dari generasi ke generasi. Pola hunian rumah produktif dan pola permukiman mereka secara keseluruhan dipengaruhi proses produksi yang ada dalam usaha tempe ini. Hal ini menjadikan perubahan pola hunian yang semestinya sebagian besar untuk kebutuhan bertempat tinggal menjadi kegiatan untuk melakukan usaha. Pada kasus penelitian yang terkait dengan perkembangan rumah produktif di Kampung Sanan ‘Tempe’ Malang, mengalami perubahan pola hunian yang dipengaruhi oleh bagian dari rumah yang merupakan inti perkembangan usaha mereka. Hal ini memberikan pengaruh terhadap daya dukung permukiman dimana kegiatan itu berada. Sebagai suatu lokasi usaha pembuat tempe diperlukan adanya faktor-faktor yang mendukung keberlanjutan baik itu dari segi rumah produktif maupun lingkungan permukimannya. Kata Kunci: Perkembangan
Multi Demensional Development; Rumah Produktif; Konsep Berkelanjutan, Inti
1. PENDAHULUAN Warga kampung Sanan ‘Tempe’ dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari kegiatan membuat tempe dan mengolah tempe. Kegiatan tersebut yang membuat keberadaan kampung dengan lingkungan tersebut terlihat sangat spesifik dan berbeda dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya. Mereka berusaha mempertahankan sentra industri tempe mereka, sehingga hal ini yang menyebabkan mereka tetap ada sampai sekarang. Kampung Sanan ‘Tempe’ merupakan suatu kampung dengan lingkungan fisik rumah yang telah dibangun dan dihuni, pemenuhan kebutuhan penghuni (sesuai sosiokultural-ekonomis, estetik dan relegiolitas) diterjemahkan melalui tampilan bangunan rumahnya. Tampilan dari aspek perilaku (selain dari aspek teknikal dan fungsional) merupakan aspek sangat penting yang memperlihatkan tingkat kepuasan pemakaian dari segi sosiologis dan psikologis penghuni. Karena memang terjadi hubungan resiprokal dan saling mempengaruhi antara elemen lingkungan fisik dengan perilaku penghuni yang mendiaminya. Pemahaman bahwa kualitas kehidupan masyarakat sangat tergantung pada permukimannya, dimana suatu lingkungan permukiman yang memberikan peluang bagi pemukimnya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dengan baik dan membawa mereka ke tingkat hidup yang lebih baik. Permukiman sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan dan penghidupan mempunyai salah satu elemennya yaitu rumah. 2. TINJAUAN PUSTAKA Berbicara rumah sebagai tempat pengembangan, Newmark (1977) mengenai istilah tentang rumah sebagai tempat tinggal, antara lain: 1. Shelter (sebagai suatu tempat berlindung secara fisik). 2. House (sebagai tempat bagi manusia untuk melakukan kegiatan sehari-hari). 3. Home (sebagai tempat tinggal atau hunian bagi seseorang atau keluarga yang merupakan sebuah lingkungan psiko-sosial). Dengan demikian, pengertian dari rumah lebih banyak diungkapkan sebagai home, yaitu sebuah tempat tinggal (fisik) seseorang atau keluarga untuk melakukan aktivitas seharihari (sosial) dan sebagai tempat berlangsungnya proses pengembangan diri (budaya).
A. Rumah Produktif Menurut Silas (1993), bagi masyarakat fungsi rumah bukan hanya sekedar tempat berteduh, beristirahat dan berkeluarga (sebagai hunian) namun rumah bisa juga berfungsi untuk menggalang sumberdaya yang dimiliki penghuni dengan melihat peluang yang ada. Pada umumnya konsep rumah dan kerja termasuk dimensi sosial dan budaya. Beberapa detail rumah dapat diuraikan sebagai berikut: • Rumah(saja), yaitu rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal tanpa kegiatan lain yang berarti. • Rumah Produktif, yaitu rumah yang sebagian digunakan untuk produktif atau kegiatan ekonomis, konsekuensinya juga timbul hubungan antara aspek produksi dan perawatan rumah. Sedangkan International Research on Home Based Enterprises 2002 menyatakan bahwa, secara umum Home Based Enterprises (HBEs) adalah kegiatan usaha rumah tangga yang pada dasarnya merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang dijalankan oleh keluarga di mana kegiatannya bersifat fleksibel dan tidak terlalu terikat oleh aturan-aturan yang berlaku umum. Dalam hal ini termasuk jam kerja yang dapat diatur sendiri serta hubungan yang longgar antar modal dengan tempat usaha. Pada masyarakat berpenghasilan rendah, dipercaya ada suatu hubungan yang saling menguntungkan antara rumah dengan HBEs dimana pemilik dapat mengkonsolidasikan atau memperbaiki rumahnya dengan pendapatan yang diperoleh melalui HBEs. Banyak rumah tangga yang tidak mungkin mempunyai rumah tanpa mempunyai HBEs dan banyak usaha yang tidak mungkin berkembang tanpa menggunakan rumah tinggal. B. Perkembangan Rumah a.Proses Bermukim Peningkatan kesejahteraan dapat tercapai melalui proses bermukim yang baik, dimana manusia akan memilih lingkungan dan menghasilkan rumah yang sesuai bagi diri dan keluarganya. Yang dimaksud dengan proses bermukim adalah proses pembangunan perumahan yang melibatkan kepentingan hidup, peran dan tanggung jawab penghuni. b. Dimensi Status, Nilai, dan Kendala Berbicara tentang proses bermukim tidak lepas dan pola pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Baross (dalam Silas, 1993) pola pembangunan oleh masyarakat mempunyai urutan pertama dan terpenting adalah menduduki lahan, kemudian
membangun dan terakhir adalah perencanaan. Harus dipahami bahwa pola masyarakat dalam membangun rumahnya bukan tumbuh linier, namun proses beragam tingkat rampung yang membaik secara dinamis dan berlanjut.1 Proses pengembangan rumah oleh penduduk terdiri dan tiga dimensi yang saling berpengaruh yaitu: 1. Status yang terdiri dan tahap dasar, tumbuh, dan mantap. 2. Nilai meliputi aspek biologis, produktif, dan simbolis. 3. Kendala terdiri dan jaminan, peluang, dan jaringan. Dalam status awal. maka kendala yang dihadapi seseorang dalam mengadakan rumahnya adalah jaminan proses pengembangan. Dan sisi nilai rumah, maka nilai biologis atau dapat merumahkan keluarganya yang diutamakan. Bila memasuki tahap tumbuh maka rumah harus dapat membuka peluang berusaha sebesar mungkin. Sedang nilai rumah sangat terkait dengan kemampuan anggota rumah tangga untuk mengembangkan nilai produktif yang bagi tiap status berbeda. Bila sudah mapan maka nilai yang diperhatikan hanya simbolis saja (diagram 1).
Diagram 1 Matriks Hubungan Status-Nilai-Kendala Sumber: Silas, 1993
Selanjutnya untuk pengembangan hunian tidak bisa lepas dari sumberdaya yang ada, hal ini dijelaskan oleh Silas (1993) yang mengatakan, rumah yang dikembangkan sendiri oleh pihak masyarakat yaitu dengan perkembangan yang berdimensi majemuk (multi dimensional development), jauh lebih lengkap daripada sekedar sebagai tempat hunian saja. Sisi menarik dan makin penting dari perumahan pola ini adalah integrasi dari rumah dengan peluang menggalang sumber daya. Dengan sendirinya aspek produktifitas dalam arti luas (termasuk peningkatan mutu penghuninya) dan fungsi rumah menjadi makin menonjol dalam beragam bentuk dan susunan; terutama sebagai jaminan dari eksistensi dan keberlanjutannya. Mobilisasi 1
Dimana terdapat 3 model diagram proses pengadaan perumahan, yaitu tradisional, modern, dan oleh masyarakat.
dan sumberdaya ini cukup efektif karena dilakukan sendiri oleh anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas pengembangannya. Menurut Silas (1993), ditinjau dari proses pengadaan perumahan dan pola menggalang sumberdaya, pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk dasar. Pada pola pengadaan rumah secara tradisional terjadi siklus harmonis menerus, pada pola modern lebih dahulu harus ada keputusan yang dipengaruhi oleh kemampuan sumberdaya, sedangkan pada pola pembangunan oleh masyarakat sendiri, polanya adalah kombinasi dinamis dari dua pola sebelumnya serta selalu tanggap terhadap peluang dan kesempatan yang waktu itu ada. Silas (1993) menjelaskan bahwa yang harus dipahami adalah pola masyarakat membangun rumahnya bukan tumbuh linier, namun proses beragam tingkat rampung yang membaik secara dinamis dan berlanjut. Perlu dicatat bahwa pada sekitar 70% rumah penduduk berpenghasilan rendah ada kesempatan menggalang penghasilan (sumberdaya) yang terkait dengan perbaikan dan perkembangan rumah. Pola ini merupakan dasar dari pembangunan rumah yang hendak berlangsung atas kemampuan sendiri (Self Prospelling Growth – SPG). Lebih jauh, Sarwono (1992) menyatakan bahwa manusia akan selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan mempertimbangkan unsur kelayakan huni (habitability), yaitu menyangkut seberapa jauh suatu lingkungan dapat memenuhi kebutuhan manusia. Penyesuaian tersebut terdiri dari adaptation, yaitu mengubah tingkah laku sesuai dengan lingkungannya dan adjusment, yaitu mengubah lingkungan agar sesuai dengan tingkah lakunya. c. Housing as a Process Turner (1972) menjelaskan konsep tentang Housing as a Process yang berlandaskan tiga hal yaitu nilai rumah, fungsi ekonomi rumah dan wewenang atas rumah. (1). Nilai rumah Nilai rumah bukan diartikan secara konvensional yaitu nilai material rumah, tetapi lebih menggambarkan proses atau kegiatan merumahkan diri atau kegiatan bermukim. (2). Fungsi Ekonomi rumah Fungsi ekonomi rumah adalah usaha untuk menghasilkan perumahan yang ekonomis dan lebih menitik beratkan pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia, terutama dengan menggunakan sumberdaya yang telah dimiliki masyarakat, yang umumnya merupakan renewable resources.
(3). Wewenang atas rumah Bila penghuni mengendalikan proses mengambil keputusan utama dan bebas memberi masukan dalam perancangan, pembangunan atau pengelolaannya; proses dan lingkungan yang dihasilkan akan merangsang kesejahteraan dari perorangan maupun masyarakat pada umumnya.
Modified Context
luas 194 Ha. Jarak dengan balaikota Malang sejauh 3 KM. Warga kampung Sanan ‘Tempe’ dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari kegiatan membuat tempe dan mengolah tempe. Kegiatan tersebut yang membuat keberadaan kampung dengan lingkungan tersebut terlihat sangat spesifik dan berbeda dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya. Mereka berusaha mempertahankan sentra industri tempe mereka, sehingga hal ini yang menyebabkan mereka tetap ada sampai sekarang.
Lebih jauh dijelaskan menurut diagram Housing as A Process Turner (1976) (diagram 2), bahwa proses perubahan rumah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: 1. Proses transformasi rumah. 2. Proses perbaikan rumah C. Pendukung Rumah Produktif Menurut Agenda 21 Indonesia, tujuan pembangunan perumahan dan permukiman adalah untuk mendukung aktivitas ekonomi dalam suatu sistem yang padu yang menjamin kelestarian daya dukung lingkungan dan sumberdaya alam, sehingga semua lapisan dan golongan masyarakat yang tumbuh dan berkembang oleh aktivitas tersebut terwadahi dalam permukiman yang menunjang kualitas hidup yang berkelanjutan. Jika dilihat dari aset-aset yang ada menurut DPU-UCL tahun 2001, untuk mengetahui usaha sebuah permukiman yang sustainable adalah dengan memperhatikan aset-aset, antara lain: 1. Aset Manusia (Human Assets) 2. Aset Sosial (Social Assets) 3. Aset Alam (Natural Assets) 4. Aset Fisik (Physical Assets) 5. Aset Finansial (Financial Assets)
4. PENDEKATAN A. Dimensi Status-Nilai-Kendala Pendekatan yang dilakukan untuk melakukan studi tentang perkembangan rumah produktif adalah dengan menggunakan teori pengembangan rumah oleh Silas (1993). Sedangkan untuk menelusuri apa-apa saja yang perlu diperhatikan dan ditampilkan dalam bentuk diagramatis ditunjang oleh kognisi lingkungan yang meliputi Image, Skema Cognitive Map, peta mental (Behavioral Map), Orientasi, definisi subyektif tempat, jarak subyektif waktu dan tempat, dan morfologi subyektif yang dikemukakan oleh Rapoport (1977), hal ini dilakukan untuk mencari data yang hilang tetapi masih ada pada pikiran masyarakat tentang keluarga dan lingkungannya. Kedua pendekatan ini akan menjadi dasar dalam penelitian. Dimana dalam proses diagramatiknya atau penggambarannya merupakan kombinasi dari keduanya. Dalam analisis ini dilakukan pendekatan dengan berpedoman pada Satus, Nilai, dan Kendala serta diagram pola pengadaan perumahan oleh masyarakat Silas (1993). Berdasarkan matriks hubungan Status-Nilai-Kendala, maka dalam penelitian ini jika status rumah dinyatakan sebagai Status, pendapatan keluarga per-bulan dinyatakan sebagai Nilai, dan sumber biaya perbaikan/pembangunan rumah dinyatakan sebagai Kendala, maka berdasarkan tabel 1 sebagai berikut:
Past Experience Previous Context
Organism Or Actors
Function or Activities
Environme nt Or Achieveme nts
Future Expectations
Diagram 2 Diagram Housing as A Process Turner (1976)
3. TINJAUAN KAMPUNG SANAN ‘TEMPE’ MALANG Kampung Sanan ‘Tempe’ memiliki luas ± 20Ha dan secara admistratif berada di wilayah kota, yaitu di RW 14 (4 RT), 15 (9 RT), dan 16 (9 RT), Kelurahan Purwantoro, Kota Malang. Di kampung Sanan terdapat ± 660 KK yang menghuni di permukiman yang sangat rapat. Sedangkan Kelurahan Purwontoro sendiri terdiri atas 24 RW dengan
Tabel 1. Hubungan antara Status Bangunan, Sumber Biaya Perbaikan, dan Pendapatan rata-rata per-bulan. Crosstabulation Status Bangunan
Asal
Tabungan Milik Sendiri
Sumber Biaya
Pinjam Pihak Lain
Total Sumber Tabungan Biaya Sewa Total Warisan
Sumber Tabungan
Pendapatan Keluarga rata-rata per-bulan 500.000- 750.000- 1.000.000>1.500.000 750.000 1.000.000 1.500.000 20 25 9 2 3
Total
<500.000 Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count
31.7%
39.7%
14.3%
3.2%
4.8%
59 93.7%
4
4
6.3%
6.3%
24
25
9
2
3
63
38.1%
39.7%
14.3%
3.2%
4.8%
100.0%
2
4
1
7
28.6%
57.1%
14.3%
100.0%
2
4
1
7
28.6%
57.1%
14.3%
100.0%
9
7
4
20
35.0%
20.0%
9
7
4
100.0% 20
45.0%
35.0%
20.0%
100.0%
Sumber: Olah data lapangan 2004 Tabel 2. Matriks Hubungan Status-Nilai-Kendala tabel 1. Kondisi
Status Kepemilikan Rumah
Bangunan milik sendiri
Mantap
Bangunan Sewa
Tumbuh
Bangunan milik keluarga (warisan)
Tumbuh - Mantap
Nilai Produktifitas dari pendapatan Keluarga per-bulan Paling banyak pada keluarga yang berpendapatan Rp. 500.000,- s/d Rp. 750.000,Pada keluarga yang berpendapatan Rp. 500.000,- s/d Rp. 750.000,Pada keluarga yang berpendapatan Rp. 500.000,- s/d Rp. 750.000,-
dari
Kendala Sumber biaya perbaikan/pembangunan rumah Jaminan proses pengembangan rumah berasal dari tabungan (59 responden) dan pinjam dari pihak lain (4 responden). Jaminan proses pengembangan rumah berasal dari tabungan (7 responden). Jaminan proses pengembangan rumah berasal dari tabungan (20 responden).
Sumber: Olah data lapangan 2004
Tetangga
Tetangga
KM/WC
KM/WC
Dari tabel diatas dapat kita simpulkan, bahwa kondisi kampung Sanan ‘Tempe’ dengan status kepemilikan rumah milik sendiri lebih dapat mengatasi kendala dengan berupa tabungan dan melakukan pinjaman ke pihak lain. Dengan kata lain kendala yang dihadapi warga dalam perkembangan rumahnya yang merupakan jaminan dalam proses pengembangan dapat teratasi. Berdasarkan data lapangan dan tabel 2 mengenai kendala dalam proses perbaikan dan pembangunan rumah oleh warga sebagian besar dilakukan dengan menabung dan sebagian kecil pinjam dari pihak lain. Jadi yang kita perlukan untuk membandingkan di sini adalah status dan nilai. Jadi proses pengembangan rumah oleh warga Sanan ‘Tempe’ berdasarkan 3 dimensi Status-Nilai-Kendala adalah sebagai berikut: 1. Status warga Sanan sebagian besar adalah pemilik rumah sendiri yang dapat dikatakan sebagai status mantap, sedangkan pada status bangunan sewa dan warisan (milik keluarga) dikatakan sebagai status tumbuh-mantap. Dikatakan demikian karena usaha yang dilakukan oleh penghuni baik sewa maupun warisan (milik keluarga) sudah dilakukan sejak lama, sehingga dalam pengalaman mengembangkan diri mereka sudah dapat dikatakan mantap, meskipun status bangunan bukan milik sendiri. 2. Kendala yang dihadapi oleh warga Sanan dalam mengadakan perbaikan atau pembangunan rumahnya nampak terlihat dari sumber biaya pembangunan rumah. Sebagian besar mereka mengatasi kendala sebagai jaminan dalam proses pengembangan rumahnya dengan menabung, sedangkan warga yang melakukan pinjaman ke pihak lain lebih berpeluang jika rumahnya milik sendiri.
3. Nilai rumah yang terkait dengan kemampuan anggota keluarga untuk nilai produktif bagi setiap status yang berbeda, sebagian besar melakukan untuk melanjutkan tradisi turun-temurun membuat tempe di kampung Sanan. B. Proses Pengadaan Rumah dan Pola Menggalang Sumberdaya Perkembangan pola hunian rumah ditinjau dari proses pengadaan rumah dan pola menggalang sumberdaya yang terjadi di kampung Sanan ‘Tempe’ termasuk pola yang dikerjakan oleh masyarakat. Untuk menganalisis kondisi tersebut dalam penelitian ini menggunakan kasus dari rumah produktif yang ada di kampung Sanan ‘tempe’ dengan tujuan agar proses analisis dengan pendekatan ini dapat lebih detail. Kasus Rumah Produktif Untuk melihat bagaimana perkembangan pola hunian rumah di kampung Sanan ‘Tempe’ berdasarkan salah satu kasus rumah produktif dari kondisi awal sampai kondisi saat ini adalah sebagai berikut: a. Kondisi Sebelumnya Sebelumnya rumah tersebut adalah milik orang tua responden A, dia menempati rumah sampai sekarang beserta anak-cucunya. Karena penghasilannya hanya didapatkan dari membuat tempe dan ditambah dengan kebutuhan keluarga dengan 3 orang anak, maka kebutuhan merenovasi rumah untuk selanjutnya tertunda sampai sekarang. Posisi dapur berada di belakang dengan ukuran yang luas dan lebar. Terakhir merenovasi pada tahun 2000, karena dapur bagian belakang roboh. Hasil renovasi menghasilkan sebuah kamar di belakang rumah yang dulunya adalah bagian dari dapur (gambar 1). Alasan dibangun kamar lagi adalah menambah ruang untuk anak perempuannya yang sudah menikah.
Kamar R.Keluarga
Dapur
Dapur Produksi Dapur R.Keluarga
Dapur
Kamar Tetangga
R.Tamu
Kamar
1100
45.0%
700
% of Total Count % of Total
Total
1100
Biaya
R.Keluarga
Kamar Tetangga
R.Tamu
Kamar
Teras
Teras
600
450
600
Gambar 1 Denah Rumah Responden A tahun 2000 dan tahun 2004 Sumber: Olahan Wawancara Pengamatan Lapangan
b. Kondisi Sekarang Ruangan yang ada di dalam rumah relatif cukup untuk mereka dengan keterbatasan dana yang mereka miliki.
Meskipun ada keinginan untuk menambah 1 buah kamar lagi. Rencana yang kan dilakukan adalah dengan menambah pada bagian depan rumah. Mereka sangat memerlukan juga adanya ruang khusus untuk leleran dan mungkin untuk memperluas ruang tamu, karena itu adalah mata pencaharian utama keluarga ini. Tempat yang ada sekarang memanfaatkan pojokan dari ruang keluarga. Mereka mempunyai rencana untuk menambah ruang khusus jika dana mencukupi. Posisi tempat menyimpan barangbarang diletakkan di belakang rumah. Pada ruang jalan, dimanfaatkan untuk menyetrika dan keluarga berkumpul. Ruangan ini terlihat lurus dari pintu depan ruang tamu, sehingga dipakai penutup kain agar tidak terlihat langsung dari ruang tamu dan dari luar. Kondisi proses pengadaan rumah dan penggalangan sumberdaya yang terjadi pada kasus diatas yang telah mengalami deviasi (diagram 3) dibandingkan dengan konsep Silas (1993) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan sumberdaya yang ada dan dipengaruhi kuat oleh norma. Keputusan tidak begiti berpengaruh kuat terhadap tindakan dan pengaruh dari hasil. 2. Sumberdaya mempertimbangkan keputusan, dan sangat berpengaruh kuat terhadap tindakan. 3. Tindakan sangat dipengaruhi oleh sumberdaya. Tindakan tidak begitu mempengaruhi hasil terhadap fisik rumah. 4. Hasil yang ada pengaruhnya kecil terhadap norma dan keputusan untuk membangun atau merenovasi kembali. 5. Norma yang ada sangat berpengaruh terhadap keputusan dalam melakukan renovasi atau pembangunan rumah.
sub aktivitas yang saling berhubungan sehingga terbentuk sistem aktivitas. Antara lain terlihat pada penggunaan wadah atau setting yang sama untuk aktivitas yang bermacam-macam dari berbagai kelompok manusia. Di dalam setiap penataan ruang, perlu dilihat sistem aktivitas berbagai kelompok manusia yang terkait dalam ruangruang tadi. Untuk mendapatkan penggunaan ruang produktif dan penggunaan ruang domestik pada hunian di kampung Sanan ‘Tempe’ telah dilakukan penggumpulan data terhadap 8 rumah yang terdiri dari 3 tipe UBR, yaitu atas, menengah, dan kecil. Berdasarkan wawancara dan pengisian tabel kegiatan produktif dan domestik mereka melakukan proses yang sama dalam hal produksi. Yang membedakan hanya ukuran ruang dan banyaknya ruang ruang dalam satu rumah. Karena itu dalam menyajikan matriks digunakan satu denah yang umum terdapat di kampung Sanan ini. Untuk mengetahui seberapa besar frekuensi penggunaan ruang diantara 2 kegiatan ini, dibuat tabel 3 sebagai berikut (Tabel ini berdasarkan 1 kali proses pembuatan tempe): Tabel 3. Matriks Frekuensi Penggunaan Ruang Produktif dan Domestik. Waktu 08.0010.00
N
T
Oleh masyarakat Diagram 3 Diagram Deviasi Pola Pengadaan Perumahan di kampung Sanan ‘Tempe’ Sumber: olah pustaka dan kondisi lapangan
5. Penggunaan Ruang Secara konsepsual menurut Rapoport (1969), sebuah aktivitas dapat terdiri dari sub-
Kegiatan Domestik Mencuci Dilakukan di depan kamar mandi.
Penyimpanan kedelai Pelaku: anggota keluarga, biasanya wanita. Dilakukan di dapur dan gudang. Penyortiran Pelaku: Anggota Keluarga Perabot: Anyaman bambu
Memasak Pelaku: anggota keluarga wanita. Dilakukan di dapur, biasanya terdapat dapur kecil
12.0013.00
Pencucian I Pelaku: Anggota Keluarga Perabot: Tong plastik dan saringan besar. Perebusan I Pelaku: Anggota Keluarga Perabot: Tong dan kompor
Makan Siang Biasanya dilakukan di ruang tengah
Keterangan: K=Keputusan; S=Sumberdaya; T=Tindakan; H=Hasil; N=Norma
H
Penggunaan Ruang
10.0011-00
K
S
Kegiatan Produktif Tidak ada Kegiatan menjual tempe di pasar
14.0005.00
Perendaman Pelaku: Anggota Keluarga Perabot: Tong
Tidur Siang Ruang tidur dan ruang keluarga
05.0006.00
Pengupasan kulit Pelaku: Bapak dan anggota keluarga Perabot: Penggilingan kedelai dan Ebor (wadah besar dari anyaman bambu).
Mandi
11.0014.00
Pencucian II Pelaku: Anggota keluarga Perabot: Tong plastik Perebusan II Pelaku: Anggota keluarga Perabot: Tong drum Penirisan dan Pendinginan Pelaku: Anggota keluarga Perabot: Ebor/anyaman bambu
Makan Siang Biasanya dilakukan di ruang tengah
15.0017.00
Peragian Pelaku: Anggota keluarga Perabot: Anyaman bambu dicampur Peragian dilakukan pada saat kedelai sudah dingin. Kedelai dijamurkan di daun Waru. Pembungkusan Pelaku: Ayah Perabot: Rak leleran Pemeraman (leleran) Pelaku: Ayah Perabot: Rak leleran Kemudian ditutup dengan plastik atau daun pisang. Penyimpanan tempe Perabot: Rak leleran
Menerima Tamu Kegiatan ini dilakukan setelah proses peragian sampai pemeraman selesai. Kadang-kadang dilakukanjuga di teras depan (jika ada)
17.0003.00
Bersantai Dilakukan bersama keluarga. Nonton TV Dilakukan di ruang tamu Membaca Dilakukan di ruang tengah dan runag tamu
Sumber: Wawancara dan Data lapangan 2004
Keterangan:
= K, Produktif (usaha) = K. Domestik (rumah tangga)
Dengan memperhatikan tabel frekuensi penggunaan ruang diatas dapat kita simpulkan bahwa frekuensi penggunaan ruang yang terbanyak adalah pada dapur dan ruang tamu. Dengan penjelasan sebagai berikut: • Pada bagian dapur terdapat frekuensi penggunaan yang tinggi pada jamjam produksi, tetapi waktu produksi tidak berbenturan dengan waktu kegiatan domestik, yaitu memasak di dapur untuk keperluan makan keluarga. Pelaku kedua kegiatan tersebut juga didominasi oleh anggota keluarga wanita. (ibu, anak perempuan). • Kegiatan produksi yang berada di ruang tamu dan ruang keluarga berbenturan dengan kegiatan domestik. Rak-rak leleran diletakkan di ruang depan rumah. • Kondisi yang berlaku di sebagian besar rumah pengusaha tempe di sana terpisah antara kegiatan pembungkusan sampai penyimpanan kedelai dengan proses awal pemilihan kedelai sampai dengan peragian. Jadi dapat kita tentukan bahwa kondisi penyortiran sampai dengan peragian disebut sebagai zona 1 dan mulai pembungkusan sampai dengan penyimpanan kedelai sebagai zona 2. Secara skematik zona-zona tersebut digambarkan sebagai berikut: Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Zona tersebut diletakkan secara terpisah, dengan syarat tetap di dalam ruangan rumah. Karena kondisi tersebut maka ruang yang mereka manfaatkan adalah ruang tamu atau dapur yang luas dan lebar. 2. Terdapat jalur zona produksi yang berada di ruang tengah pada sebagian besar rumah. Zona ini memanfaatkan penghubung ruang antara zona publik dan zona service. Jarak antara zona ini minimal 5 M, dengan alasan bahwa panasnya suhu udara di dapur dapat menganggu proses peragian tempe. 3. Jika dapur luas, maka posisi zona 2 tidak harus di ruangan depan rumah. Beberapa kasus terdapat pada rumah yang memiliki dapur disamping rumah atau dapur yang luas di belakang rumah.
4.
Disebabkan posisi rumah berdempetan dengan tetangga. Pada jenis usaha keripik tempe zona 2 dimanfaatkan untuk meletakkan meja etalase sedangkan zona 1 tetap dipergunakan sebagai produksi. Penambahan ruangan yang dilakukan sebagian besar dengan menambah jumlah lantai. Pola 2, terdapat pada rumah yang memiliki dapur belakang lebar dan luas. Sehingga tidak perlu melewati ruang tengah dalam proses produksi tempe. Kondisi ini lebih menguntungkan bagi kegiatan domestik dibandingkan pola 1 karena tidak terganggu oleh kegiatan produktif (gambar 3).
Dapur
R.Tamu
Teras
10.00
Kamar
700
Tetangga
700
10.00
Dapur
R.Keluarga
R.Keluarga
Zona 2 R.Tamu
R.Tamu
Kamar
Kamar
500
Awal
500
Perkembangan
Gambar 2 Gambar denah pola 1, kondisi awal dan perkembangan Sumber: Olah data lapangan 2004
Pola 1, terdapat pada rumah yang letak dapur berada di belakang rumah dan pada umumnya kurang luas (gambar 2). Kegiatan produksi serta domestiknya terjadi dalam satu ruang. Posisi ruangan depan rumah (ruang tamu/ruang keluarga) berkisar 5 M. Kondisi ini terjadi karena terdapat ruangan tengah untuk sirkulasi rumah tangga ke zona service (dapur). Kecenderungan arah perkembangan pada pola 1 yang mengarah ke depan dan belakang disebabkan karena keterbatasan lahan di bagian kanan dan kiri rumah.
R.Keluarga
Zona 2
R.Tamu
Kamar
Kamar
Perkembanga n Gambar 3 Gambar denah pola 2, kondisi awal dan perkembangan Sumber: Olah data lapangan 2004
Dapur Produksi
Kamar
Kamar
Kamar
Dapur Produksi Dapur
Awal
Zona 1
Dapur
Zona 1
Teras
KM/WC
KM/WC
Kamar R.Keluarga
Dapur
R.Keluarga
KM/WC
KM/WC
Dapur yang luas sangat diperlukan agar penataan perabotnya tidak saling menggangu. Karena perabot yang dipakai produksi tempe lebih besar (tong drum, tong plastik, ebor anyaman bambu) daripada perabot dapur untuk keperluan domestik (rumah tangga). 5. Ruang keluarga adalah ruang yang paling dikalahkan untuk kegiatan produksi, disebabkan karena mereka sendiri adalah pelaku produksi yang berada di ruang keluarga ini. 6. Ruangan di bagian depan juga dapat dimanfaatkan untuk showroom keripik tempe dan jajanan lainnya. Kadang-kadang memang sengaja ditunjukkan rak-rak leleran oleh penghuni sebagai identitas bahwa tempe tersebut memang produk mereka atau menunjukkan bahwa ia juga membuat tempe. Dari uraian di atas maka dapat kita simpulkan pola-pola peletakan zonaberdasarkan kondisi awal dan perkembangan, dimana kondisi awal yang dimaksudkan disini adalah bukan pada saat keberadaan awal rumah, tetapi pada saat sebelum renovasi yang terakhir dilakukan berdasarkan data lapangan. Pola-pola itu dalam bentuk diagram denah sebagai berikut: Tetangga Tetangga
Kencenderungan arah perkembangan pada pola 2 ini adalah pada penambahan ruang. Jika terjadi penambahan ruang, maka yang pertama dilakukan adalah mengorbankan bagian belakang rumah untuk manambah jumlah ruangan (biasanya kamar). Penambahan ini biasanya dilakukan karena terdapat keluarga lebih dari 1 dalam satu rumah. Ruangan yang memungkinkan untuk Tetangga dijadikan penambahan adalah ruang ayng paling luas di dalam rumah. Penambahan ini menyebabkan berpindahnya Zona 2 ke depan atau tengah ruangan. Pola 3, terdapat pada rumah yang memiliki dapur di samping rumah, memanjang dan luas. Pola ini sedikit ditemui karena membutuhkan lahan yang lebih luas. Kondisi ini juga menguntungkan kegiatan domestik. Kekurangan dari model ini adalah aktifitas produksi bisa dilihat dari luar. Biasanya terdapat akses tersendiri yang menuju dapur tanpa harus melewati ruang depan yaitu berupa pintu samping, sehingga proses di zona 2 tidak mengganggu bagian depan rumah (lihat gambar 4). Kecenderungan perkembangan pada pola 3 lebih leluasa dibandingkan pola-pola lainnya disebabkan zona 2 yang berada di bagian samping rumah. Perkembangan zona 2 tidak mempengaruhi kegiatan domestik yang berada di zona 1. Pada kasus di lapangan zona
2 ini seolah-olah induk.
terpisah dengan rumah
Kamar
Kamar Dapur
Dapur R. Keluarga Kamar
Dp. Produksi
Zona 2
R. Keluarga
Kamar
Renc. Tangga Etalase
Etalase R.Tamu
Dp. Produksi
Kamar
R.Tamu
Kamar
Teras
keperluan produksi dan dapur untuk keperluan rumah tangga. Hal ini terjadi juga disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan keluarga akan ruang, antara lain tambahan kamar bagi keluarga baru atau anak-anak yang beranjak remaja memerlukan kamar sendiri. Jika lahan yang ada terbatas , maka ruang dapur yang ada dipergunakan untuk keperluan produksi dan rumah tangga atau dengan kata lain dapur didominasi untuk kegiatan produksi.
Teras
Zona 1 Awal
Perkembangan
Pola 2
Gambar 4 Gambar denah pola 3, kondisi awal dan perkembangan Sumber: Olah data lapangan 2004
Dari pola-pola hunian yang ditampilkan dalam bentuk denah dari data responden pada penjelasan sebelumnya, maka pola hunian dan kecenderungan perkembangan pola huniannya secara diagramatis antara domestik dan produktif ditampilkan sebagai berikut :
Diagram 4 Diagram Perkembangan Pola Hunian 2 Sumber: Hasil Analisis
`
Pola 1
Pola 3
Diagram 3 Diagram Perkembangan Pola Hunian 1 Sumber: Hasil Analisis
Perkembangan pola hunian 1 (diagram 3) pada umumnya terjadi pada lahan yang terbatas luasnya. Pada pola ini posisi dapur terletak di belakang. Dapur dipergunakan juga sebagai tempat kegiatan produksi. Tindakan pertama dilakukan dengan memaksimalkan ruang dapur sesuai dengan kebutuhan yang ada pada saat itu. Selanjutnya sesuai dengan kebutuhan akan ruang kegiatan rumah tangga (domestik) dan khususnya kegiatan ekonomi (produktif), kecenderungan yang terjadi adalah penambahan jumlah lantai. Perkembangan pola hunian 2 (diagram 4) terjadi pada rumah dengan dapur yang luas di belakang, sehingga kegiatan produksi dan kegiatan rumah tangga menjadi satu dalam satu ruangan dapur. Perkembangan selanjutnya terdapat pemisahan yang jelas antara dapur yang dipergunakan untuk
Diagram 5 Diagram Perkembangan Pola Hunian 3 Sumber: Hasil Analisis
Perkembangan pola hunian 3 (diagram 5) terjadi pada dapur yang berada di samping rumah. Semula kegiatan produksi menjadi satu dengan dapur rumah tangga. Seiring dengan kebutuhan akan ruang, maka kecenderungan yang dilakukan adalah memindah ruang produksi ke bagian depan rumah, tetapi tetap disamping rumah dengan akses keluar sendiri. Hal ini dilakukan agar proses produksi lebih efektif dilakukan. Kondisi sebaliknya bisa terjadi, yaitu semua kegiatan produktif diletakkan di belakang, sedangkan domestik diletakkan di luar. Tetapi kondisi ini berlaku pada rumah yang khusus membuat tempe tanpa memerlukan ruangan depan untuk etalase. 6. KESIMPULAN 1. Melalui pendekatan Status-NilaiKendala dapat ditemukan seberapa
2.
3.
4.
5.
besar sumber daya dan peluang apa yang diciptakan untuk perbaikan/pembangunan rumah. Sebagian besar warga Sanan ‘Tempe’ menabung dalam melakukan renovasi. Nilai yang didapat dari pendekatan ini adalah, bahwa warga Sanan ‘Tempe’ sebagian besar mempertahankan nilai turun-temurun dalam melakukan usaha tempe, hal inilah yang menyebabkan usaha tempe di kampung Sanan berkelanjutan. Melalui pendekatan proses pengadaan rumah dan pola menggalang sumberdaya dapat ditemukan, bahwa keputusan dari keluarga sangat mempengaruhi perkembangan rumah. Penggunaan ruang untuk kegiatan produktif dan kegiatan domestik berdasarkan matriks frekuensi penggunaan ruang dapat ditemukan, bahwa kegiatan produktif dibagi atas 2 zona. Dari 2 zona ini kemudian ditemukan 3 pola hunian rumah produktif kampung Sanan ‘Tempe’. Ketiga pola ini memiliki kecenderungan perkembangan yang berbeda-beda tergantung dari luas lahan dan posisi rumah terhadap tetangganya. Pola ini merupakan salah satu alternatif temuan inti perkembangan rumah produktif yang mempengaruhi perkembangan pola hunian rumah rumah produktif.
6. DAFTAR PUSTAKA Habraken, NJ. (1978)., “The Systematic Design of Support”. Massachusset: Laboratory of Arch and Planning MIT, Cambridge. Haughton, G. & Hunter, C., (1994)., Sustainable Cities; Regional Policy and Development Series 7; Regional Studies Association, London. Juhana, (2001)., “Arsitektur dalam Kehidupan Masyarakat, Pengaruh Bentukan Arsitektur dan Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Tinggal Suku Bajoe di Wilayah Pesisir Bajoe Kabupaten Bone Sulawesi Selatan”, Penerbit Bendera, Semarang. Lipton, M., (1980)., “Familiy, Fungibility, and Formality”: Rural Advantages of Informal Non-farm Enterprise versus
the Urban-formal state. Newmark and Thompson. (1977)., ”Self, Space and Shelter: An Introduction to Housing”. New York: Harper and Row Publizer Inc. Rapoport, A.,(1969)., “House Form and Culture”; Foundation aof Cultural Georaphy Series; Prentice-Hall, Inc, USA. Rapoport, A., (1977)., “Urban Aspect of Urban Form”, Pergamon Press, Oxford. Sarwono, S.W., (1992)., “Psikologi Lingkungan”; PPs Program Studi Psikologi Universitas Indonesia dan PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Silas, J., (1993)., “Housing Beyond Home”; Case Study of Surabaya; ITS, Surabaya. Silas, J. dkk., (2000)., “Rumah Produktif, Dalam Dimensi Tradisional dan Pemberdayaan”; Laboratorium Perumahan dan Permukiman Jurusan FTSP ITS; UPT Penerbitan ITS, Edisi Pertama, Surabaya. Silas, J., (1993)., “Perumahan: Hunian dan Fungsi lebihnya, Dari Aspek Sumberdaya dan Eksistensi”; Pidato Pengukuhan Untuk Jabatan Guru Besar Teknik Arsitektur FTSP ITS Surabaya15 Mei 1993, Surabaya. Turner, J. F. C., (1972)., “Freedom to Build”; The Macmillan Company. Tutuko, P. & Faslih, A., (2003)., Alternatif Pengelolaan Limbah Rumah Produksi Tempe: Usulan Konsep Pengelolaan Limbah Rumah Produktif, Proceeding Seminar Nasional Pascasarjana III-2003, Program Pascasarjana Insitut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Tutuko, P., (2003)., Alternatif Pengelolaan Limbah Rumah Produktif Kampung Sanan ‘Tempe’ Malang, Jurnal IlmuIlmu Teknik Diagonal, Volume 4 Nomor 2/Mei 2003, Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang. ---Agenda 21 Indonesia, (1997)., Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan; Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup; Jakarta. ---International Research on Home Based Enterprises 2002, (2002)., IndonesiaIndia-South Africa-Bolivia; Laboratory of housing and Human Settlement Architecture-ITS, Surabaya.