ALTERNATIF PENGELOLAAN LIMBAH RUMAH PRODUKTIF KAMPUNG SANAN TEMPE MALANG** Pindo Tutuko * Pindo Tutuko dan Arman Faslih (Mahasiswa Pascasarjana Arsitektur “Permukiman dan Lingkungan ITS Surabaya) Abstrak Tempe merupakan salah satu jenis lauk pauk rakyat Indonesia, karena harganya murah dan nilai gizinya tinggi. Produksi tempe akan menghasilkan limbah berupa kulit kupasan kedelai serta limbah cair sisa perebusan kedelai Kampung Sanan adalah salah satu daerah di Kota Malang sebagai sentra Industri tempe. Limbah kulit kedelai dan hasil perebusan dimanfaatkan sebagai makanan dan minuman ternak sapi untuk penggemukan. Permasalahan yang timbul adalah limbah yang berasal langsung dari rumah produktif tidak terkontrol sehingga perlu adanya pengelolaan lebih lanjut. Pengelolaan dilakukan dengan dua konsep, yaitu on site, yakni pengolahan limbah yang diselesaikan per-unit rumah. dan terpusat (Kandang terpadu), dimana menyatukan beberapa kandang yang dimiliki oleh beberapa rumah produktif untuk dilokalisir menjadi satu kandang besar yang terpadu. Kata Kunci: Rumah Produktif, Limbah Produksi, Konsep Pengelolaan
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Banyak sekali usaha industri kecil di perkotaan yang ternyata berasal dari daerah permukiman yang sebenarnya menurut standar hunian bisa dikatakan tidak layak. Ditambah lagi bukan sekedar hunian untuk melakukan proses metabolisme manusia, melainkan juga sebagai sarana untuk penghidupan atau menghasilkan uang. Sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah industri yang menghasilkan suatu barang untuk didistribusikan dan dijual kepada konsumen. Tempe merupakan salah satu jenis lauk pauk yang seolah telah menjadi ‘lauk pokok’ bangsa kita. Selain karena harganya yang murah, nilai gizinya-pun ternyata cukup tinggi. Mungkin hal ini yang mendorong bertahannya usaha pembuatan tempe. Di kota Malang yang dikenal dengan tempenya, terdapat satu Kampung yang menjadi sentra rumah produktif ** *
Disampaikan pada Seminar Pascasarjana III ITS Surabaya Juni 2003 Dosen Tetap Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unmer Malang
1
tempe. Karena kegiatan produksi tersebut, sehingga pola hunian mereka juga cukup unik. Adanya kecenderungan mempertahankan diri di lingkungan kampung Sanan Tempe
demi mempertahankan image terhadap produksi
tempe mereka, penyatuan rumah tinggal dengan tempat produksi, dan juga adanya usaha sampingan beternak sapi untuk memanfaatkan limbah produksi, adalah keunikan permukiman ini. Produksi tempe menghasilkan limbah berupa kulit kupasan kedelai serta limbah cair bekas perebusan kedelai, dimanfaatkan oleh pengrajin untuk pakan sapi. Sehingga dalam rangka pemanfaatan limbah ini mereka rata-rata memiliki paling tidak satu ekor sapi yang mereka pelihara untuk digemukkan. Penggemukan sapi ini per-ekornya kurang lebih memakan waktu tiga bulan, dengan demikian selain limbah tidak terbuang percuma, setiap tiga bulan sekali mereka juga memperoleh tambahan penghasilan dari penjualan sapi potong tersebut. Namun tentunya keberadaan sapi ini tidak menghapuskan masalah limbah produksi secara keseluruhan, karena selain limbah cair sebagian terbuang langsung ke sungai, sapi ini-pun menghasilkan limbah berupa kotoran yang juga dibuang ke sungai. 1.2. Permasalahan Perlunya suatu alternatif yang ditawarkan kepada warga dalam rangka mengurangi dampak negatif yang terdapat pada lingkungan rumah produktif mereka. Berdasarkan kondisi yang ada maka terdapat dua macam limbah yaitu limbah dari kedelai atau dari rumah produktif langsung, serta limbah dari kandang sapi. Yang pada intinya kedua limbah tersebut pada akhirnya akan memperngaruhi daya dukung permukiman dan proses berkelanjutan usaha tempe. 1.3. Batasan Batasan dari usulan alternatif pengelolaan ini adalah hanya sebatas konsep awal yang berdasarkan asumsi dari kondisi di lapangan. Masalah teknis mengenai pengelolaan limbah dan data yang akurat mengenai kondisi yang ada di lapangan berupa gambaran umum, sehingga ada harapan untuk mengadakan penelitian lanjutan tentang hal ini. 2. Gambaran Umum di Lapangan
2
Kampung Sanan telah terkenal sebagai sentra industri tempe sejak dahulu, bahkan menurut salah satu penduduk yang kami wawancarai yaitu bapak Toha, sekitar tahun 1900-an nenek moyangnya telah membuat tempe di daerah tersebut. Kampung Sanan yang identik dengan tempe ini, merupakan kampung kecil di wilayah Kelurahan Purwantoro, sebelum tahun 1980-an penduduk Sanan hanya memproduksi tempe saja, yang dipasarkan ke semua pasar di Kota dan Kabupaten Malang, namun dalam perkembangannya hingga sekarang, penduduk Sanan melakukan variasi usaha dengan memproduksi kripik tempe dan sambal goreng kering tempe. Dengan bimbingan Dinas Perindustrian setempat tempe dan variasinya dari kampung ini telah ada yang dikemas sedemikian rupa sehingga awet untuk di pasarkan di Swalayan di beberapa kota besar, misalnya Surabaya dan Jakarta. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa kampung kecil Sanan telah menjadi permukiman yang cukup mapan. Dalam pengembangan usahanya warga Sanan Tempe melakukan pemilikan atas tempat usaha dengan tiga cara, yaitu membeli tanah dan membangun, menyewa rumah, dan memperluas rumah. Kecenderungan yang terjadi dalam memperluas tempat usaha adalah mereka membeli tanah, karena kecil kemungkinan penduduk yang umumnya pengusaha tempe menjual rumah mereka. Hal ini dikarenakan kampung Sanan Tempe telah menciptakan image atas produk tempe yang berkualitas. Sedangkan bagi anak atau cucu mereka yang ikut melestarikan usaha ini, bagi yang belum mampu masih menyewa, dan bagi yang sudah mampu mereka membangun tempat usaha di sekitar orang tua mereka. Ide awal penelitian adalah, eksistensi jenis usaha pembuatan tempe di mana objek itu berada, Kampung Sanan Tempe yang keberadaannya sejak sekitar awal tahun 1900-an dan bertahan sampai sekarang. Usaha rumahan ini terus ada dan bertahan, istilah ‘bertahan’ sebenarnya kurang tepat, mungkin lebih tepat jika dikatakan usaha ini
sudah menjadi usaha yang turun menurun dilakukan dari
generasi ke generasi. Walaupun generasi setelahnya atau yang muda tidak berada di tempat itu lagi, mereka masih melakukan produksi di tempat asal. Sedangkan di tempat lain hanya sebagai sarana distribusi atau proses akhir produksi. Apalagi adanya anggapan bahwa tempe Malang adalah tempe Sanan . Kecenderungan mempertahankan Sanan sebagai sentra rumah produktif tempe menarik perhatian peneliti. Pola hunian rumah produktif dan pola permukiman
3
mereka secara keseluruhan dipengaruhi proses produksi yang ada dalam usaha tempe ini. Hal ini menjadikan perubahan pola hunian yang semestinya sebagian besar untuk kebutuhan bertempat tinggal menjadi kegiatan untuk melakukan usaha. Dari aspek kelayakan hunian menjadi relatif tidak layak, meskipun kegiatan berpenghuni atau berkeluarga tetap berjalan namun menjadi kurang optimal. 3. Rumah Produktif 2.2.1. Home Based Enterprises Menurut Johan Silas (1993) rumah yang dikembangkan sendiri oleh pihak masyarakat adalah perkembangan yang berdimensi majemuk (multi dimensional development), jauh lebih lengkap daripada sekedar sebagai tempat hunian saja. Sisi menarik dan makin penting dari perumahan pola ini adalah integrasi dari rumah dengan peluang menggalang sumber daya. Dengan sendirinya aspek produktifitas dalam anti luas (termasuk peningkatan mutu penghuninya) dan fungsi rumah menjadi makin menonjol dalam beragam bentuk dan susunan; terutama sebagai jaminan dari eksistensi dan keberlanjutannya. Mobilisasi dan sumberdaya ini cukup efektif karena dilakukan sendiri oleh anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas pengembangannya. Secara umum Home Based Enterprises (HBEs) adalah kegiatan usaha rumah tangga yang pada dasarnya merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang dijalankan oleh keluarga di mana kegiatannya bersifat fleksibel dan tidak terlalu terikat oleh aturan-aturan yang berlaku umum termasuk jam kerja yang dapat diatur sendiri serta hubungan yang longgar antar modal dengan tempat usaha. Pada masyarakat berpenghasilan rendah, dipercaya ada suatu hubungan yang saling menguntungkan antara rumah dengan HBEs dimana pemilik dapat mengkonsolidasikan atau memperbaiki rumahnya dengan pendapatan yang diperoleh melalui HBEs. Banyak rumah tangga yang tidak mungkin mempunyai rumah tanpa mempunyai HBEs dan banyak usaha yang tidak mungkin berkembang tanpa menggunakan rumah tinggal. Home Based Enterprises sangat penting dalam sektor informal, yang sering kali mendasari mayoritas usaha-usaha. Hal ini khususnya penting sebagai suatu bagian dari usaha kaum perempuan dan industri-industri yang khusus.
Hal ini
sekarang umumnya diterima, bahwa sektor informal sangat penting dalam negara
4
sedang berkembang dimana populasi dan tuntutan akan pekerjaan, barang dan jasa khususnya tumbuh dengan cepat. Karakteristik HBEs1: 1. Ukuran Ruang Kerja 2. Frekuensi dan Distribusi 3. Kondisi Pekerjaan 4. Pekerja/pelaku Menurut Laquian, 1963 dalam Johan Silas (2000) mengatakan bahwa bagi rakyat yang berdiam di tempat kumuh sekalipun, rumah bukan sekedar untuk home-life, tetapi adalah tempat produksi, pemasaran, hiburan, kelembagaan keuangan dan sebagai tempat untuk menyendiri. Dalam kaitannya dengan kondisi permukiman di wilayah penelitian terdapat kesan kumuh pada bagian hunian, yang tentu saja akan berakibat terhadap permukiman dimana hunian tersebut berada. Kegiatan hunian dan usaha yang dijadikan satu kesatuan rumah produktif membawa konsekuensi bagi mereka yaitu faktor perawatan bagi rumah mereka. 2.2.2. Usaha Berbasis Rumah Tangga (UBR) Banyak fihak yang ikut mencoba untik memberi definisi tentang HBEs yang oleh kelompok mahasiswa S-2 ITS (2000) dirumuskan sebagai Usaha Berbasis Rumah tangga (UBR)2. Lipton menyebutkan beberapa karakteristik UBR, antara lain: §
Keluarga mengontrol sebagian besar dari modal dan melibatkan diri bekerja.
§
Sebagian besar dari lahan, modal dan kerja milik keluarga ikut dilibatkan.
§
Kebanyakan dari kerja UBR dilakukan oleh keluarga.
Ada 5 ciri pokok UBR3
yang dibedakan dengan keadaan yang berlaku diluar
(HBEs), yaitu: 1. Rumah dan rumah tangga menjadi modal dan basis dari kegiatan ekonomi keluarga 2. Keluarga menjadi kekuatan pokok dalam penyelenggaraan UBR, mulai dari menyiapkan, menjalankan hingga mengendalikan semua kegiatan, sarana dan prasarana yang terlibat.
1
International Research on Home Based Enterprises 2002, Indonesia-India-South Africa-Bolivia Salah satu istilah yang pertama kali mencoba memahami UBR adalah Lipton (1980) 3 Johan Silas dan rekan; Rumah Produktif, Dalam Dimensi Tradisional dan Pemberdayaan, hal. 19 2
5
3. Dasar dan pola kerja UBR terkait dengan dan menjadi bagian dari penyelenggaraan kerumah-tanggaan. Istri/Ibu dan anak menjadi tulang pungguna dari penyelenggaraan UBR. 4. Rumah makin jelas merupakan proses yang selalu menyesuaikan diri dengan konteks kegiatan yang berlaku, termasuk kegiatan
melakukan berbagai
bentuk UBR. 5. Berbagai konflik yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya UBR di rumah dapat diatasi secara alami, baik internal rumah maupun dengan lingkungan dan tetangga di sekitarnya yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam berbagai kegiatan UBR. Dari sisi alokasi ruang, ternyata bahwa konflik alokasi ruang dan bentuk ruang yang terbuka atau berupa halaman justru menguntungkan bagi kegiatan UBR, karena memberi keleluasaan yang tinggi.4 4. Kondisi Rumah Secara umum kondisi rumah produktif di kampung Sanan Tempe terbagi menjadi 3 tingkatan, yaitu yang atas dalam pengertian mapan , menengah dalam pengertian
berkembang, dan bawah dalam pengertian sedang berkembang.
Pengusaha tempe kelas atas mempunyai perbandingan antara ruang produksi dan hunian berbanding 25% : 75%, Dimana usaha tempe diletakkan di belakang rumah atau bahkan memiliki tempat khusus untuk pembuatan tempe. Mereka memiliki sapi sampai 15 ekor, punya mobil dan bahkan memproduksi varian-varian dari tempe seperti keripik tempe. Luasan rumah sekitar 15M X 15M. Pengusaha tempe kelas menengah mempunyai perbandingan ruang produksi dan hunian sekitar 50% : 50%. Posisi proses produksi berpindah-pindah, kadang di belakang atau di depan rumah, terutama pada proses leleran (peragian), tetapi untuk keperluan hunian relatif tetap. Mereka memiliki sapi sampai dengan 5 ekor, mempunyai sepeda motor dan sebagian mobil, dan memproduksi 100 kg – 200 kg per hari. Mereka rata-rata memiliki mesin slep kedelai sendiri. Luasan rumah sekitar 5M x 13M dan 7 M X 10 M. Sedangkan untuk kelas bawah memiliki perbandingan 75% : 25% untuk tempat usaha dan 4
Hal ini juga dijelaskan dalam buku Rumah Produktif, bahwa banyak kegiatan usaha rumah tangga yang berada di daerah-daerah di indonesia seperti Bali, malah menguntungkan bagi kampung mereka sebagai kawasan wisata atau jalan wisata.
6
hunian. Mereka berusaha untuk memaksimalkan ruang yang ada yang diutamakan untuk produksi. Hal ini mengakibatkan fungsi hunian menjadi resesif. Beberapa bangunan rumah terbuat masih ada yang terbuat dari “gedeg” dan tembok (klenengan).
Sebagai pembantu pemanfaatan limbah, masing-masing pengrajin
memiliki minimal satu ekor sapi. Luasan rumah sekitar 5M X 10M, serta memiliki sepeda motor atau sepeda.
Peta Lokasi Usaha Tempe yang berada di RW 14, 15 dan 16 Kelurahan Purwantoro. Dikenal sebagai Kampung Sanan Tempe
7
Limbah tempe
Limbah sapi
Kandang sapi yang dikelola bersama
Kondisi Hunian (Rumah Cak Min) sekaligus tempat pembuatan tempe
Lingkungan permukiman kampung
Proses perebusan Biji Kedelai dan Penirisan Kedelai setelah direbus
8
5. Proses Kegiatan rumah Produktif Proses pembuatan tempe diawali dengan menampi kedelai untuk memperoleh biji-biji kedelai yang tua, proses ini biasanya dilakukan pada pagi hari. Kemudian biji-biji terpilih dicuci pada air mengalir, penduduk Sanan umumnya memanfaatkan air sumur. Setelah bersih, kemudian direbus sekitar 30 menit atau sampai kedelai setengah matang. Perebusan dilakukan di atas kompor minyak tanah. Setelah perebusan dirasa cukup, kedelai direndam semalaman agar tercapai kondisi asam. Proses perendaman ini ditujukan agar melunakkan biji kedelai untuk memudahkan pengupasan, sekaligus untuk mencegah timbulnya bakteri pembusuk selama fermentasi. Keesokan harinya, kedelai dikelupas kulit arinya dengan menggunakan mesin pengelupas, pengrajin yang belum memiliki mesin pengupas kedelai biasanya menyewa pada orang lain dengan kulit ari sebagai ongkos penggantinya, sehingga si pemilik mesin mendapatkan tambahan kulit kedelai untuk pakan sapi mereka. Setelah keping-keping kedelai terkelupas dari kulit arinya, sekali lagi dicuci seperti mencuci beras yang hendak ditanak. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan perebusan yang ke dua sampai matang, hal ini ditujukan untuk membunuh bakteri yang mungkin tumbuh pada saat perendaman. Kedelai yang telah direbus untuk keduakalinya itu kemudian di tiriskan dalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut ebor. Proses ini sekaligus ditujukan untuk pendinginan. Setelah tiris, biji-biji kedelai tersebut kemudian di ratakan dalam cetakan yang berupa rak-rak dari bambu yang disebut leleran. Leleran ini telah dilapisi plastik, yang ketebalannya sesuai dengan kondisi atau suhu ruang pembuatan tersebut, jika terlalu panas, lapisan untuk alas leleran makin tipis. Setelah itu ditaburkan ragi, proses ini adalah proses inti dalam pembuatan tempe, jumlah ragi yang dipakai tergantung cuaca, jika kondisi udara panas maka ragi yang diberikan lebih sedikit dan sebaliknya. Proses terakhir adalah pemeraman. Biji kedelai yang sudah diragikan dalam rak leleran tadi kemudian ditutup plastik dan diperamkan semalaman. Setelah keesokan harinya, tempe telah masak, tempe yang telah masak kemudian di pasarkan sediri oleh para pengrajin ke pasar-pasar. Jadi sejak proses awal hingga tempe dipasarkan dalam bentuk jadi, membutuhkan waktu kurang lebih tiga hari, namun ada beberapa pengrajin yang menjual dalam bentuk setengah jadi dengan memasukkan kedelai yang telah diragikan ke dalam kantong-kantong plastik dan pembelinya yang akan memeramkan sampai tempe tersebut jadi.
9
Proses pembuatan tempe tersebut di atas menghasilkan beberapa bentuk limbah, limbah padat berupa kulit ari kedelai yang dijadikan pakan sapi, limbah cair bekas cucian rendaman dan tirisan biji kedelai yang dibuang ke sungai kecuali untuk bekas rebusan kedua, dimanfaatkan untuk minum sapi ternak. Proses tersebut juga mengakibatkan polusi udara akibat asap pemasakan dan bau dari buangan limbah cair yang tergenang pada jam-jam tertentu kira-kira antara pukul 11 siang . 6. Limbah Rumah Produktif Seperti halnya semua usaha semacam ini yang prosesnya diawali dari bahan mentah atau bahan baku produksi yang kemudian menjadi barang jadi (produk) tentunya terdapat suatu sistem“input - proses – output”, dimana dalam sistem ini terdapat salah satunya dampaknya adalah limbah produksi. Sentra rumah produktif di Kampung ini menimbulkan dampak yang kurang menyenangkan, yaitu adanya bau yang tidak sedap karena limbah kedelai dan kotoran sapi yang berada di lingkungan tersebut. Hal ini tidak bisa dihindari karena bau tersebut berasal dari limbah industri dan ternak yang menjadi rangkaian dalam produksi tempe. Jika kita urutkan dari prosese pembuatan tempe, maka limbah dapat berasal mulai dari air bekas pencucian dan perebusan pertama, rendaman pertama berupa limbah cair. Kemudian pengupasan menghasilkan limbah padat, dilanjutkan pencucian ke dua sampai penirisan yang juga menghasilkan limbah cair. Di tempat lain sapi-sapi yang diberi pakan dari limbah padat dan sebagian limbah cair dari produksi tempe ini juga menghasilkan kotoran yang pembuangannya langsung ke sungai. Sesuai keterangan puskesmas setempat, dampak kesehatan yang ditimbulkan adalah, adanya gejala sakit perut (diare) dan mual pada balita, yang menurut anggapan penduduk adalah suatu hal yang biasa. Memang pada kenyataannya setelah mereka dewasa kondisi itu berangsur-angsur akan biasa dan bau sudah menjadi suasana yang umum bagi mereka. Setelah diamati, bau yang kurang sedap pada lingkungan ini juga dipicu karena model saluran buangan yang bercampur menjadi satu antara buangan air mandi, dapur, dan produksi tempe, dengan pola drainase yang kurang baik atau tidak adanya bak kontrol.
10
Kedelai
Penyortiran
Sampah Padat Saluran Pembuangan I
Pencucian I
Perebusan I
Sungai Perendaman
Pengupasan Kulit
Kandang Sapi
Saluran pembuangan II
Pencucian II
Perebusan II
Penirisan&Pendinginan
Peragian
Pembungkusan
Diagram Proses Pembuatan Tempe dan Limbah Produksinya
Pemeraman (leleran)
Tempe
Kondisi yang terjadi di lokasi pengamatan bahwa terdapat 2 limbah yang dibuang melalui saluran terbuka yang terdapat terdapat di permukiman, kemudian limbah dari saluran itu dibuang langsung ke sungai. Limbah tersebut berawal dari rumah produktif dan kandang sapi. Kendala yang terjadi di sana akibat limbah tersebut antara lain: §
Terjadinya genangan pada tiap pertemuan saluran buangan yang terutama terdapat pada saluran buangan dari limbah kedelai.
11
§
Genangan tersebut menimbulkan bau yang kurang sedap, yang terjadi bersamaan pada saat proses mengalirkan air kedelai dari proses pembuatan tempe.
§
Karena setiap pengrajin tempe mempunyai sapi yang dikumpulkan dalam beberapa kelompok kandang, menyebabkan terjadinya bau dari kotoran sapi yang merata pada permukiman tersebut.
§
Saluran pembuangan dari sapi kurang terkelola atau terkontrol sehingga hal ini juga menimbulkan genangan dari saluran pembuangan kotoran sapi tersebut.
Sungai Rumah Produktif Kandang
Sungai
RP
Pola Interaksi Rumah Produktif dan Kandang Sapi Ket: RP: Rumah Produktif
RP
Kandang Sapi
RP
RP
RP
RP
Sungai
RP
RP
7. Alternatif Pengelolaan Limbah Jika dilihat dari kondisi yang ada, maka perlu adanya suatu penyelesaian yang dapat mengurangi dampak negatif dari proses pembuatan tempe sampai dengan limbah sapi tersebut.
Disini terdapat 2 alternatif penyelesain terhadap dampak
negatif dari limbah dengan berdasarkan pertimbangan dari kondisi permukiman, jumlah pengusaha tempe, jumlah kandang sapi, posisi saluran buangan limbah
12
kedelai dan limbah kandang sapi, dan kondisi lahan. Karena ini merupakan alternatif yang sifatnya asumsi awal berdasarkan pengamatan sesaat dari kondisi yang ada, maka belum ada pembahasan secara teknis pengelolaan limbahnya maupun data secara akurat tentang jumlah pengusaha tempe (rumah produktif) dan kandang sapinya. Tetapi secara garis besar berdasarkan survey sementara, bahwa disana terdapat 20 kandang sapi besar dengan dengan kapasitas sapi sampai dengan 18 ekor sapi serta beberapa kandang sapi kecil yang menampung sampai dengan 5 ekor sapi. 7.1. Alternatif I Alternatif pertama ini dapat dikatan sebagai alternatif “Kandang Terpadu”, dimana menyatukan beberapa kandang yang dimiliki oleh beberapa rumah produktif untuk dilokalisir menjadi satu kandang besar yang terpadu. Dimana dengan model yang seperti ini terdapat nilai lebih sebagai berikut: §
Terintegrasinya semua kegiatan dari beberapa kelompok Rumah Produktif dalam memantau sapi mereka.
§
Menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar, yang pada gilirannya pemberdayaan masyarakat akan tercapai dengan ikut mengelola kandang tersebut.
§
Pengelolaan limbah dapat dipantau dengan baik, karena limbah yang ada hanya pada kandang sapi terpadu tersebut.
§
Adanya lokalisir bau udara yang berasal dari kandang terpadu saja.
§
Akan terdapat manajemen penglolaan sapi mulai masuk sampai dengan proses penjualannya.
§
Dengan adanya zone-zone pada daerah tertentu yang dipergunakan sebagai kandang terpadu, maka mereka dapat menentukan ditempat mana mereka melakukan koordinasi, pengaturan dan pemeliharaan sapi beserta limbahnya.
Kandang Terpadu
Keterangan: : Rumah Produktif : Kandang Sapi
13
Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan konsep ini adalah: 1. Sosialisasi kepada warga setempat. 2. Pembentukan lembaga yang mengelola kandang terpadu tersebut. 3. Pemilihan lokasi yang mendukung untuk penempatan kandang terpadu. 7.2. Alternatif II Alternatif kedua ini ditempuh yang secara khusus adalah pengelolaan dari limbah produktif yang berupa limbah kedelai, selain itu dilakukan jika warga tidak menyetujui alternatif pertama dilakukan. Hal ini dimungkinkan karena beberapa anggapan sebagai berikut: §
Tidak adanya lahan yang tersedia bagi kandang terpadu pada kawasan tersebut.
§
Adanya rasa tidak percaya warga terhadap sistem pengelolaan kandang terpadu, misalnya aturan-aturan yang dikenakan akan merugikan warga setempat.
Keuntungan dari alternatif yang kedua ini adalah sebagai berikut: §
Terdapat sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang dapat mengurangi dampak negatif baik dari limbah rumah produktif berupa air buangan kedelai maupun limbah kandang sapi yang berupa kotoran sapi tersebut. Saluran terbuka yang sementara dibangun bak kontrol yang berupa bak penangkap dan bak pemisah, sehingga dapat mengurangi genangan yang dapat menimbulkan bau yang kurang sedap dari kedua limbah.
§
Warga masih dapat mengontrol kandang sapi mereka, karena posisi kandang yang relatif dekat dengan rumah produktif
Kandang
Kontrol
Sungai Rumah Produktif
Kontrol
14
7.3. Kecenderungan Dalam hal pengelolaan limbah tentunya kita tidak bisa lepas dari partisipasi warga yang menghuni kawasan tersebut yang dalam hal ini warga Sanan Tempe. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk dan aparat kelurahan setempat (Kelurahan Purwantoro) akan terdapat pola kombinasi dari sistem kandang terpadu dengan IPAL. Hal ini mungkin terjadi karena ada beberapa warga yang menginginkan suatu penyelesaian yang sampai sekarang menjadi masalah di daerah tersebut yaitu mengelola air buangan kedelai dan terutama limbah dari kandang sapi. 8. Kepustakaan Hieronymus Budi Santoso; Pembuatan Tempe & Tahu Kedelai, Bahan Makanan Bergizi Tinggi; Penerbit Kanisius; 1995 International Research on Home Based Enterprises 2002, Indonesia-India-South Africa-Bolivia; Laboratory of housing and Human Settlement ArchitectureITS; 2002 Johan Silas dan rekan; Rumah Produktif, Dalam Dimensi Tradisional dan Pemberdayaan; Laboratorium Perumahan dan Permukiman Jurusan FTSP ITS; UPT Penerbitan ITS, Edisi Pertama, 2000
15