Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
JAM 14, 1 Diterima, Mei 2014 Direvisi, September 2014 April 2015 Januari 2016 Disetujui, Februari 2016
Ferdinand Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Abstract: This study was conducted to see more about the MSME Cluster of Tempe Chips in Sanan Malang. The method uses descriptive qualitative to describe more detail about MSME Cluster of Tempe Chips. The survey results reveal that MSME Cluster of Tempe Chips in Sanan is an active cluster. There are internal and external obstacles in the development of the cluster and the authors recommend development strategies as follows: 1) establish community entrepreneurs tempe chips; 2) the development of business scale; 3) increase the governmental support. Keywords: Cluster, MSME, Active Cluster, Tempe Chips Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk melihat lebih dalam Klaster UMKM Keripik Tempe di Sanan Malang. Metode kualitatif deskriptif digunakan untuk dapat menggambarkan dengan lebih detail berkaitan klaster UMKM keripik tempe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klaster UMKM keripik tempe di Sanan merupakan klaster aktif. Terdapat hambatan internal maupun eksternal dalam pengembangan klaster dan penulis merekomendasikan strategi pengembangan sebagai berikut: 1) membentuk paguyuban pelaku usaha keripik tempe; 2) pengembangan skala usaha; 3) peningkatan dukungan pemerintah. Kata Kunci: Klaster, UMKM, Klaster aktif, keripik tempe
Jurnal Aplikasi Manajemen (JAM) Vol 14 No 1, 2016 Terindeks dalam Google Scholar
Alamat Korespondensi: Ferdinand, Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya E-mail:
[email protected]
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peranan yang signifikan dalam perekonomian nasional. Peran yang besar tersebut mendorong pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai perhatian terhadap UMKM terus berupaya memberdayakan UMKM agar mampu bersaing dalam era globalisasi. Salah satu upaya yang saat ini giat dilakukan adalah pengembangan UMKM melalui pendekatan klaster. Pendekatan klaster menjadi strategis mengingat
klaster bermanfaat baik bagi klaster itu sendiri maupun bagi ekonomi wilayah. Pengembangan klaster juga menjadi salah satu alternatif untuk percepatan pengembangan UMKM karena klaster merupakan aglomerasi ekonomi yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir, sehingga memungkinkan penggabungan skala usaha antar pelaku UMKM, dan karenanya dapat mengeliminasi beberapa kelemahan UMKM, terutama di bidang produksi dan pemasaran. Di samping itu, pengembangan klaster berbasiskan masyarakat mendorong terwujudnya kemakmuran dan kestabilan ekonomi suatu wilayah (daerah) karena dalam klaster tidak ada dominasi pelaku, setiap bagian dalam klaster merupakan kesatuan unit usaha dinamis. Sehingga ketika klaster berkembang, tidak terjadi ada pelaku yang menang dan kalah yang dapat
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011 1
ISSN: 1693-5241
1
Ferdinand
menimbulkan gap atau kesenjangan sosial yang memicu ketidakstabilan. Secara umum klaster di Indonesia masih berupa sentra-sentra UMKM. Sentra UMKM terdiri dari sekumpulan industri skala kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang sama serta telah berkembang cukup lama. Sentra UMKM mencerminkan suatu tipe klaster yang paling sederhana dan berkembang secara alamiah tanpa intervensi dari pemerintah. Klaster-klaster ini pada umumnya berkembang di wilayah pedesaan, merupakan kegiatan tradisional masyarakat yang telah dilakukan secara turun-temurun, serta memiliki komoditi yang spesifik. Jenis klaster yang ada sangat beragam, antara lain klaster kerajinan, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kulit dan produk kulit, kimia dan produk kimia, bahan bangunan, peralatan, dan sebagainya. Selain klaster UMKM yang terbentuk secara alamiah, terdapat pula sejumlah kecil klaster yang tumbuh dan berkembang akibat dukungan pemerintah, misalnya Perkampungan Industri Kecil (PIK) dan Lingkungan Industri Kecil (LIK). Berdasarkan kondisi klaster dengan menilai dari kualitas produksi, teknologi, pasarnya, kapasitas sumber daya manusia dan hubungannya dengan pihakpihak terkait bagi pengembangan klaster baik dari pemerintah, swasta maupun industri terkait, maka klaster dapat digolongkan menjadi 3 yaitu klaster tidak aktif (dormant), klaster aktif (berkembang) dan klaster dinamis (advantage). Beberapa ciri yang dimiliki (disarikan dari Laporan JICA, 2004) adalah sebagai berikut: (1) Klaster tidak aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Produk tidak berkembang (cenderung mempertahankan produk yang sudah ada). (b) Teknologi tidak berkembang (memakai teknologi yang ada, biasanya tradisional, tidak ada investasi untuk peralatan dan mesin). (c) Pasar lokal (memperebutkan pasar yang sudah ada, tidak termotivasi untuk memperluas pasar, ini mendorong terjadinya persaingan pada tingkat harga bukan kualitas) dan tergantung pada perantara/pedagang antara. (d) Tingkat keterampilan pelakunya statis (keterampilan turun-temurun). (e) Tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku rendah (modal sosialnya rendah, mendorong saling menyembunyikan informasi pasar, teknis produksi dsb). (f) Informasi pasar sangat terbatas (hanya perorangan
2
atau kelompok tertentu yang mempunyai akses terhadap pembeli langsung). (2) Klaster Aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Produk berkembang sesuai dengan permintaan pasar (kualitas). (b) Teknologi berkembang untuk memenuhi kualitas produk di pasar. (c) Pamasaran lebih aktif mencari pembeli. (d) Terbentuknya informasi pasar. (e) Berkembangnya kegiatan bersama untuk produksi dan pasar (misalnya pembelian bahan baku bersama, kantor pemasaran bersama dst). (3) Klaster Dinamis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Terbentuknya spesialisasi antar perusahaan dari klaster (misalnya: untuk industri logam ada spesialisasi pengecoran, pembuatan bentuk, pemotongan dsb). (b) Klaster mampu menciptakan produk baru yang dibutuhkan pasar/konsumen. (c) Teknologi berkembang sesuai dengan inovasi produk yang dihasilkan. (d) Berkembangnya kemitraan dengan industri terkait baik dalam pengembangan produk, pengembangan teknologi maupun menjadi bagian industri terkait. (e) Berkembangnya kelembagaan klaster. (f) Berkembangnya informasi pasar. Hasil penelitian dari proyek percontohan pengembangan klaster di Indonesia yang dilakukan oleh JICA (2004) mengungkapkan bahwa Klaster di Indonesia dibatasi oleh bentuknya yang mudah tercerai berai dari modal sosial. Modal sosial yang dimaksud merupakan aset tak wujud seperti “kepercayaan yang terbentuk”, “ikatan internal” atau “jejaring sosial”. Pembentukan dan konsolidasi modal sosial menjadi unsur inti dalam penguatan klaster. Modal sosial klaster ini sebagai ikatan internal akan menjembatani dalam hubungan dengan pihak ekternal. Lokalisasi ekonomi. Melalui klaster, dengan memanfaatkan kedekatan lokasi, UMKM yang menggunakan input (informasi, teknologi atau layanan jasa) yang sama dapat menekan biaya perolehan dalam penggunaan jasa tersebut. Misalnya pendirian pusat pelatihan di klaster akan memudahkan akses UMKM pelaku klaster tersebut. Pemusatan tenaga kerja. Klaster akan menarik tenaga kerja dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan klaster tersebut, sehingga memudahkan UMKM pelaku klaster untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya dan mengurangi biaya pencarian tenaga kerja.
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 14 | NOMOR 1 | MARET 2016
Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
Akses pada pertukaran informasi dan patokan kinerja. UMKM yang tergabung dalam klaster dapat dengan mudah memonitor dan bertukar informasi mengenai kinerja supplier dan nasabah potensial. Dorongan untuk inovasi dan teknologi akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan perbaikan produk. Produk komplemen, karena kedekatan lokasi, produk dari satu pelaku klaster dapat memiliki dampak penting bagi aktivitas usaha UMKM yang lain. Di samping itu kegiatan usaha yang saling melengkapi ini dapat bergabung dalam pemasaran bersama. Definisi UMKM di Indonesia diatur dalam Butir 1, 2, dan 3 Pasal 1 Dalam Bab 1 (Ketentuan Umum) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orangperorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau
Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsungdengan Usaha Kecil atau Usaha Besardengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undangundang ini. Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal dapat dilakukan dengan sistem jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolongmenolong, gotong-royong, simpan pinjam, arisan, lumbung paceklik dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga di perdesaan memiliki fungsi yang mampu memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalahmasalah mereka sendiri.
Tabel 1. Kriteria UMKM Menurut Berbagai Sumber 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 tidak termasuk Usaha Mikro
tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00. 1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangu nan tempat usaha;
Usaha Kecil
atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00. 1. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
Usaha Menengah
usaha; atau 2. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00.
Sumber: UU No 20/2008
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
3
Ferdinand
Selanjutnya untuk mendukung teori kelembagaan tersebut, penulis akan menambah pembahasan tentang teori modal sosial. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan sesamanya manusia untuk dapat saling berinteraksi. Interaksi sesama manusia yang di dalamnya terdapat rasa saling percaya akan menjadi sebuah modal yang penting dalam kehidupan sosial manusia. Beberapa studi telah meneliti lebih dalam mengenai dampak dari budaya sosial, yang mana termasuk struktur sosial pada kepercayaan, norma-norma, peraturan, kerjasama dan jaringan. Kesemuanya itu mengemuka untuk membangun sebuah konsep yang disebut modal sosial (Dinda, 2008). Para ahli yang mendalami konsep modal sosial menyampaikan beberapa definisi yang beragam mengenai modal sosial. Coleman (1990) (dalam Dinda, 2008) mendefinisikan modal sosial sebagai organisasi sosial yang mengkonstitusikan modal sosial, memfasilitasi pencapaian dari tujuan-tujuan yang tidak dapat diraih dalam ketidakhadiran namun dapat diraih hanya dengan biaya yang lebih tinggi. Modal sosial mempunyai tiga level menurut Yuan K. Chou (2006), yaitu yang pertama level mikro dimana modal sosial terdiri dari jaringan dari individuindividu atau rumah tangga. Hal ini dapat diterima bahwa eksternalitas dari interaksi interpersonal dapat negatif atau positif. Sebagai contoh interaksi antar individu dalam sebuah jaringan yang membentuk modal sosial mungkin bermanfaat bagi individu tersebut pada pengurangan biaya-biaya yang dari luar jaringan. Dalam level mikro ini modal sosial terdiri dari bonding dan bridging modal sosial. Level yang kedua adalah level meso. Dalam level ini dikembangkan konsep modal sosial dengan memasukkan assosiasi vertikal dan horizontal serta adanya perilaku di dalamnya dan di dalam entitas tersebut. Sementara ikatan dan penyatuan hubungan terjadi di dalam grup dan ikatan tersebut memfasilitasi interaksi dan tindakan kolektif di dalamnya, hubungan relasi memperkuat ikatan antara grup dan organisasi lainnya. Level yang terakhir adalah level makro, dalam level ini termasuk hubungan institusi yang formal dan terstruktur, seperti rezim politik, undang-undang, sistem pengadilan, dan kebebasan sipil dan politik.
4
Modal sosial mempunyai efek positif yang luar biasa bila dikelola dengan baik khususnya dalam mengatasi kelemahan grup dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Knack and Keefer (1997), Temple and Johnson (1998) (dalam tulisan Dinda, 2008) mengungkapkan bukti-bukti bahwa tingkat kepercayaan yang tinggi dan partisipasi sosial secara positif berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, setelah mengontrol faktor-faktor pendukung pertumbuhan. Sudah banyak tulisan yang menyatakan bahwa pengulangan interaksi kepercayaan dalam ekonomi membuat lapisan kepercayaan semakin meningkat pada kepercayaan yang menyeluruh. Sejauh ini sentra-sentra tersebut merupakan calon klaster yang tidak aktif atau sedang tidur (dormant). Di dalam sentra, pelaku usaha tidak banyak melakukan perubahan terhadap produk, proses produksi maupun pasarnya. Kondisinya tidak banyak berubah dari tahun ke tahun bahkan sampai generasi berikutnya. Secara lebih rinci dari studi yang dilakukan oleh JICA (2004) menyebutkan secara garis besar kondisi klaster di Indonesia adalah sebagai berikut: (a) Kebanyakan UMKM-UMKM dalam klaster merupakan usaha-usaha mikro yang memiliki ketergantungan kuat kepada para pengumpul lokal sehingga seringkali menghilangkan jiwa kewirausahaan. (b) Produkproduknya ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak terlalu menuntut teknologi dan kualitasnya. (c) Sebagian besar UMKM dalam klaster tidak memiliki keterikatan internal satu sama lain sehingga upaya “membangun kepercayaan” (trust building) sulit dilakukan. (d) Rendahnya keterkaitan dengan industri dan insitusi terkait merupakan kendala yang lumrah ditemui sehingga penguatan klaster sulit dilakukan. (e) Sebagian besar klaster memiliki struktur sosial yang mudah bercerai berai dan masih berkutat pada strategi untuk mempertahankan hidup. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk menumbuhkembangkan klaster dibutuhkan pemahaman business nature dari usaha yang bersangkutan dan konteks hulu-hilir berikut pelaku-pelaku yang terkait dalam usahanya, baik internal maupun eksternal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih dalam klaster UMKM keripik tempe di Sanan dengan melihat kondisinya dan dapat mengkaji beberapa hambatan yang dialami baik secara internal maupun
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 14 | NOMOR 1 | MARET 2016
Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
eksternal. Berdasarkan kajian tersebut penulis akan memberikan rekomendasi solusi bagi pengembangan klaster UMKM keripik tempe di Sanan Malang. Pada penelitian ini, klaster yang dipilih adalah salah satu klaster unggulan pemerintah kota Malang yang telah menghasilkan produk makanan ciri khas kota Malang yaitu keripik tempe yang telah berkembang sekian lama dan dikenal banyak orang.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif deskriptif yaitu suatu metode yang digunakan untuk menemukan pengetahuan terhadap subjek penelitian pada suatu saat tertentu. Dalam penelitian desktiptif ini dilakukan pengumpulan informasi mengenai subjek penelitian dan perilaku subjek penelitian pada periode tertentu untuk dapat memberi gambaran tentang gejala atau keadaan yang ada pada saat penelitian dilakukan (Mukhtar, 2013).
Populasi Data Penetapan populasi data primer dengan menggunakan teknik snowball sampling, yakni membiarkan data mengalir dari orang-orang yang menjadi subjek dan berada dalam situasi sosial. Dalam teknik ini akan dicatat siapa yang terlibat sebagai subjek penelitian, unsure dan jumlahnya secara keseluruhan termasuk yang menjadi key informan (Mukhtar, 2013). Survei yang dilakukan di lokasi Klaster UMKM keripik tempe berada, yaitu di Jalan Sanan, Malang yang merupakan lingkungan kasus referensi. Survey dilakukan pada sejumlah populasi yang ada pada lokasi penelitian yang menurut data pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang tahun 2012 terdapat 65 pelaku usaha keripik tempe.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini untuk data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari literatur yang ada (teori dan empiris studi) seperti jurnal, makalah penelitian, majalah, laporan statistik, dan buku dan lain-lain yang mencerminkan tantangan UMKM klaster keripik tempe hadapi dalam menjalankan usaha. Sedangkan untuk teknik pengumpulan data primer yang digunakan oleh peneliti adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan bahwa terdapat 65 responden keripik tempe di lingkungan kampung Sanan. Berdasarkan hasil survey dan sesuai definisi UMKM dalam Butir 1, 2, dan 3 Pasal 1 Dalam Bab 1 (Ketentuan Umum) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pelaku UMKM di Kampung Sanan digolongkan sebagaimana tampak dalam Tabel 2. Jumlah populasi data dari kelompok usaha kecil paling banyak sebanyak 34 unit usaha, dilanjutkan dari kelompok usaha mikro sebanyak 27 unit usaha dan kelompok usaha menengah sebanyak 5 unit usaha.
Pilihan Bentuk Usaha Selama survei dilakukan ditemukan tiga jenis usaha keripik tempe yang dilakukan di lingkungan Kampung Sanan. Sebanyak 22 responden (33,85%) menyatakan bahwa usaha dilakukan berupa produksi keripik tempe kemudian menjual langsung kepada
Tabel 2. Jumlah dan Pembagian Populasi
1.
Usaha Mikro
27
2.
Usaha Kecil
34
3.
Usaha Menengah
5
Jumlah
65
Sumber: Data Primer (diolah)
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
5
Ferdinand
pemesan, jadi responden ini tidak memiliki toko untuk sendiri untuk memasarkan hasil produksinya. Hal ini terjadi karena responden memiliki keterbatasan lahan dan tempat usaha di samping itu juga karena modal yang terbatas sehingga hanya mampu memasarkan hasil produksi langsung kepada pemesan. Pilihan yang kedua adalah responden yang memproduksi keripik tempe sendiri dan memasarkan hasil produksinya di toko milik sendiri dan kepada pemesan. Jumlah responden pada pilihan kedua ini ada 40 responden (61,53%). Pilihan yang kedua ini merupakan jumlah yang terbanyak karena banyak responden yang tempat tinggalnya di sepanjang Jalan Sanan mempunyai peluang besar untuk langsung menjual hasil produksinya dengan mendirikan toko di rumah pribadi responden. Ada juga sebagian responden yang rumahnya tidak di sepanjang Jalan Sanan namun mempunyai gerai toko di sepanjang Jalan S.P. Sudarmo. Pilihan yang terakhir adalah usaha menjual keripik tempe saja tanpa memproduksi keripik tempe. Jumlah unit usaha yang memilih bentuk usaha ini memang sangat sedikit yaitu sebanyak 3 unit usaha (4,61%). Ketiga unit usaha tersebut menggabungkan penjualan keripik tempe dengan makanan lainnya sebagai toko oleh-oleh khas Malang. Mereka pada awalnya dulu memproduksi keripik tempe juga namun setelah melihat bahwa adanya peluang keuntungan dengan menjual beragam jenis makanan oleh-oleh termasuk keripik tempe maka koresponden memilih konsentrasi pada usaha perdagangan makanan oleholeh khas Malang yang tentu saja di dalamnya tetap menjual keripik tempe sebagai olahan khas dari Kampung Sanan.
Spesifikasi yang dimaksud adalah jenis rasa keripik tempe dan ukuran yang diinginkan. Pemasok disini akan menjual kembali keripik tempe tersebut di toko atau tempat penjualan miliknya. Pada umumnya pemasok memberikan stiker merk dagangnya untuk ditempel langsung oleh responden di bungkus keripik tempe. Menurut Ibu Simangunsong (2014) sebagai pembuat keripik tempe yang sudah lama bekerjasama dengan pemasok di kawasan Batu, menyatakan bahwa harga jual produk keripik tempe buatannya sangat rendah yaitu di harga Rp2.000,00.
Metode Pemasaran
Pameran Makanan
Berikut ini akan diuraikan beberapa cara yang ditempuh para responden dalam memasarkan produknya berdasarkan hasil survey melalui wawancara.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang dan Provinsi Jawa Timur serta Dinas Koperasi dan UMKM Kota Malang dan Provinsi Jawa Timur sering mengadakan pameran makanan dan minuman unggulan setiap daerah sebagai agenda rutin dalam rangka meningkatkan kreativitas para responden. Dalam setiap pameran ini selalu melibatkan para responden keripik tempe di Kampung Sanan untuk dapat menunjukkan keunggulan makanan khas Kota Malang.
Pemesanan Tanpa Merk Produk keripik tempe akan dijual kepada pemasok tertentu yang telah memesan keripik tempe dengan spesifikasi dan harga yang telah disepakati.
6
Pemesanan dengan Merk Sama halnya dengan penjelasan pada nomor satu tentang metode pemesanan tanpa merk. Dalam metode ini pemesan biasanya tidak dalam rangka menjual kembali produk keripik tempe namun mengkonsumsinya pada sebuah acara tertentu. Menurut pengakuan Bapak Kosim (2014), biasanya pada menjelang hari raya Idul Fitri maka pemesanan keripik tempe akan meningkat tajam dan ada satu kelompok tertentu (konsumen) yang rutin memesan menjelang hari raya Idul Fitri untuk digunakan sebagai bahan makanan selama hari raya.
Toko Bagi para responden yang sudah memiliki toko keripik tempe maka pemasaran akan dilakukan di toko masing-masing dengan memajang semua produk keripik tempe buatannya di toko. Selain itu ada juga responden yang tinggal di kawasan Kampung Sanan dan mempunyai toko makanan bertindak sebagai pemasok keripik tempe.
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 14 | NOMOR 1 | MARET 2016
Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
Perkembangan Produk Produk keripik tempe cukup berkembang dalam hal pilihan rasa keripik tempe yang semakin beragam, ada 16 pilihan rasa. Awal mula keripik tempe dijadikan produk yang dapat dijual hanya ada satu rasa yaitu rasa asli atau original dan sekarang telah berkembang menjadi 16 pilihan rasa yang dapat menjadi disesuaikan dengan selera konsumen. Dalam hal perkembangan jenis olahan, sampai penelitian ini dilaksanakan keripik tempe tidak dapat dikembangkan lagi menjadi prosuk makanan lainnya. Menurut Rudi Adam, perajin keripik tempe dengan merek Burung Swari, menyatakan alasan pembuatan keripik tempe dalam berbagai rasa dikaitkan dengan produk makanan ringan (snack) yang memiliki berbagai macam rasa. Berikut pernyataannya: Gagasan membuat keripik tempe dengan rasa yang bermacam-macam itu muncul dari produk makanan ringan yang memiliki beragam rasa. Inspirasinya dari berbagai cemilan di supermarket yang rasanya macam-macam. Selain itu para pelaku usaha yang memiliki toko sendiri menjual beragam makanan sebagai oleh-oleh selain keripik tempe seperti keripik buah, carang mas, keripik cakar ayam, keripik belut, keripik singkong, dan lain-lain.
Perkembangan Teknologi Teknologi yang digunakan dalam produksi keripik tempe sangat tradisional seperti pisau pemotong tempe manual, ember dan gayung untuk mencampur adonan sebelum irisan tempe dimasukkan, penggorengan juga manual, serta pengemasan produk yang masih manual dengan menggunakan tenaga manusia serta alat press sederhana. Kosim yang merupakan pemilik usaha Putra Ridho menyatakan alasannya masih menggunakan cara yang manual dalam memproduksi keripik tempe: Ya, kami tetap menggunakan cara manual karena kami masih ingin melibatkan warga di Sanan tuk dapat bagi-bagi rejeki dan sekaligus untuk mengurangi pengangguran di lingkungan sini. Kalo pake mesin nanti kan jadi sedikit yang ikut kerja dengan saya.
Dalam hal produksi keripik tempe memang semua unit usaha di klaster keripik tempe masih menggunakan cara manual dengan melibatkan warga Sanan sebagai tenaga kerjanya. Hal tersebut dipilih para responden agar dapat membagikan rejeki kepada sekitarnya dalam bentuk upah serta dapat mengurangi pengangguran sehingga berdampak lebih lanjut pada peningkatan lapangan pekerjaan. Dalam hal produksi keripik tempe memang masih menggunakan cara tradisional, namun dalam hal penjualan UD Lancar Jaya menggunakan metode baru yang mengandalkan teknologi canggih yaitu dengan sistem online shopping melalui situs lancarjaya keripik.com.
Area Pemasaran Area pemasaran sudah berkembang di daerah selain Malang khususnya kota-kota di dalam Provinsi Jawa Timur dan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung, Makasar, Pontianak. Hal ini menunjukkan bahwa pasar keripik tempe sudah berkembang selain di kota Malang dan membuat keripik tempe sebagai makanan khas Kota Malang semakin banyak dikenal orang. Hal ini berdampak pada peningkatan penjualan keripik tempe pada saat liburan untuk dijadikan oleh-olSidoeh para wisatawan. Namun semua koresponden mengakui bahwa persaingan yang terjadi antar pelaku usaha sangat ketat khususnya dalam memperebutkan pasar di Kota Malang yang mengakibatkan adanya persaingan harga penjualan produk keripik tempe dan banyaknya koresponden yang masih menggantungkan usahanya pada pemasok (perantara penjualan) khususnya para pelaku usaha yang hanya memproduksi keripik tempe saja tanpa mempunyai toko sendiri dan jumlahnya sampai dengan 40 unit usaha (61,53%). Area pemasaran yang dapat dijangkau sampai dengan saat ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tingkat Keterampilam Pekerja Responden menyatakan bahwa kemampuan membuat keripik tempe diperoleh secara otodidak dan turun-temurun sebagai usaha keluarga. Semua pekerja yang menjadi bagian dalam usaha keripik tempe yang terdiri dari pekerjaan pemotongan tempe,
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
7
Ferdinand
Tabel 3. Area NoPemasaran Kripik Area Tempe emasaran
Jumlah Unit Usaha
Persentase
1
Malang
65
100%
2
Blitar
54
83,07%
3
Kediri
10
15,38%
4
Surabaya
20
30,76%
5
Sidoaro
19
29,23%
6
Lamongan
10
15,38%
7
Banyuwangi
15
23,07%
8
Jakarta
20
30,77%
9
Depok
4
6,15%
10
Semarang
6
9,23%
11
Yogyakarta
4
6,15%
12
Makasar
5
7,69%
13
Pontianak
5
7,69%
14
Manado
6
9,23%
Sumber: Data Primer (diolah) Keterangan: persentase dihitung dari jumlah unit usaha dibagi 65 responden dan dikali 100%.
penggorengan tempe dan pengemasan keripik tempe mendapatkan keterampilannya secara otodidak dan belajar dari keluarga/pendahulunya sehingga dapat dikatakan keahliannya statis. Responden menyatakan bahwa kemampuan membuat keripik tempe diperoleh secara otodidak dan turun-temurun sebagai usaha keluarga. Semua pekerja yang menjadi bagian dalam usaha keripik tempe yang terdiri dari pekerjaan pemotongan tempe, penggorengan tempe dan pengemasan keripik tempe mendapatkan keterampilannya secara otodidak dan belajar dari keluarga/pendahulunya sehingga dapat dikatakan keahliannya statis.
Tingkat Kepercayaan Pelaku dan Antar Pelaku Berdasarkan pengakuan semua koresponden bahwa di lingkungan Kampung Sanan sampai dengan penulisan penelitian ini belum terbentuk sebuah paguyuban pelaku usaha keripik tempe. Tanpa paguyuban maka para pelaku usaha tidak akan bersatu untuk dapat mengembangkan klaster keripik tempe. Dampak yang paling terlihat dengan tidak adanya
8
paguyuban pelaku usaha keripik tempe adalah adanya persaingan yang tidak sehat pada harga keripik tempe. Hal ini dimungkinkan karena adanya persaingan usaha yang sangat ketat dan berlanjut pada tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku yang masih rendah. Hal tersebut nampak adanya ketertutupan antar pelaku usaha terhadap informasi pasar. Semua pelaku usaha mempunyai pelanggan tetap sendiri dan berusaha menutupi segala informasi yang berkaitan dengan adanya pasar baru yang dapat dikerjakan bersama-sama.
Luasan Informasi Pasar Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa informasi pasar kepada pembeli langsung tidak merata diketahui semua pelaku usaha. Hanya pada kelompok-kelompok tertentu saja yang mengetahui dengan lengkap informasi pasar baru yang dapat meningkatkan penjualan keripik tempe. Berdasarkan keterangan dari responden, Meyla menyatakan: Tidak semua pelaku usaha rajin mendatangi pelatihan bagi usaha kecil yang diselenggarakan oleh
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 14 | NOMOR 1 | MARET 2016
Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
Dinas terkait baik dari Provinsi maupun dari Malang. Bagi saya yang memang rajin mendatangi pelatihan akan selalu mendapatkan info terbaru tentang pasarpasar baru untuk mengembangkan usaha keripik tempe.
Kondisi Klaster Berdasarkan laporan JICA (2004), kondisi klaster dapat digolongkan menjadi 3 yaitu klaster tidak aktif (dormant), klaster aktif (berkembang) dan klaster dinamis (advantage). Penentuan ketiga hal tersebut dapat dilihat pada hal-hal berikut: (a) Perkembangan Produk. (b) Perkembangan Teknologi. (c) Area Pemasaran. (d) Tingkat keterampilan pelaku (e) Tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku. (f) Luasan Informasi pasar. Berdasarkan uraian tersebut dan sesuai dengan kriteria penggolongan klaster UMKM menurut JICA (2004) maka Klaster UMKM keripik tempe di Jalan Sanan merupakan klaster UMKM dengan kondisi aktif dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) produk yang dijual semakin beragam selain keripik tempe; 2) teknologi produksi yang digunakan tidak berkembang dan masih menggunakan cara manual, namun teknologi pemasaran semakin berkembang melalui online shopping; 3) pasar sudah berkembang hingga di luar Kota Malang walaupun masih menggunakan perantara/pemasok dan terjadi persaingan tingkat harga yang sangat ketat; 4) tingkat keterampilan para tenaga kerja yang diperoleh dari para pendahulunya (turuntemurun) semakin terasah; 5) tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku dalam satu klaster masih terasa kurang sehingga jarang terjadi saling berbagi informasi pasar baru yang dapat mengembangkan usaha; 6) informasi pasar yang ada masih sangat terbatas sehingga hanya sekelompok tertentu yang menikmati penjualan pada ceruk pasar yg diketahuinya.
Hambatan Internal Pengembangan Klaster Belum Adanya Paguyuban Antar Pengusaha Keripik Tempe Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa pelaku usaha keripik tempe di Kampung Sanan belum memiliki sebuah organisasi
perkumpulan para pelaku usaha keripik tempe. Jadi dapat dikatakan setiap pelaku usaha bisa bertahan di usaha keripik tempe karena perjuangan masingmasing pelaku usaha. Alasan yang disampaikan oleh responden dengan tidak terbentuknya paguyuban tersebut karena setiap pelaku usaha sudah mampu mempertahankan usaha masing-masing dan belum adanya kesadaran dari para pelaku usaha tentang pentingnya sebuah organisasi persatuan dalam meningkatkan penjualan dan kesejahteraan bersama. Ada sebuah hambatan bersama yang bersifat kolektif pada klaster keripik tempe di Sanan. Modal sosial yang dimiliki tidak dikembangkan dengan tepat dalam mengembangkan usaha bersama sehingga dapat maju bersama-sama. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa antar pelaku usaha di Sanan masih ada saling kurang percaya. Hal ini mengakibatkan persaingan usaha semakin ketat khususnya dalam harga jual produk.
Teknologi Produksi yang Digunakan Masih Sederhana Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa produksi keripik tempe dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia dibantu dengan alat tradisional (manual). Berdasarkan pengamatan selama proses produksi pada beberapa responden tidak ada penggunaan peralatan dengan menggunakan teknologi canggih atau mesin dalam hal ini mesin pemotong tempe. Hal ini tentu berpengaruh pada kapasitas produksi yang selanjutnya berdampak pada tingkat penjualan dan pendapatan.
Modal Usaha yang Masih Kurang Banyak responden yang mengakui bahwa usaha yang dikerjakan tidak berkembang dengan baik karena modal yang kurang. Banyak keinginan dari responden untuk dapat mempunyai toko sendiri sehingga dapat menjual produknya secara langsung kepada konsumen namun hal tersebut terkendala oleh minimnya dana yang dimiliki karena harga untuk memiliki sebuah toko di lokasi yang strategis sangat mahal bagi para responden.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
9
Ferdinand
Hambatan Eksternal Pengembangan Klaster Pemerintah Belum Maksimal Mendukung UMKM Pemerintah masih terbatas dalam memberi dukungan kepada para pelaku UMKM keripik tempe karena belum adanya bidang atau bagian khusus di dalam struktur organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang yang bertugas khusus terhadap sektor unggulan industri keripik tempe. Selama ini untuk pembinaan terhadap para pelaku usaha keripik tempe hanya dilakukan oleh Subbagian Perindustrian yang juga harus member dukungan yang sama terhadap sektor unggulan Kota Malang lainnya yaitu gerabah di Betek dan rotan di Balerjosari (Elvi, 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan pemerintah terhadap pengembangan klaster masih sangat minim. Para pelaku usaha klaster keripik tempe membutuhkan berbagai ide-ide menarik dalam mengembangkan usaha yang mungkin selama ini belum dapat ditemukan. Di samping itu juga dukungan pemerintah sangat diperlukan dalam hal legalitas seperti pengajuan HAKI ke Departemen Hukum dan HAM. Selain itu pemerintah juga terbatas dalam hal anggaran dana sehingga program bantuan yang diberikan kepada para pelaku usaha juga terbatas. Sampai dengan saat ini pemerintah hanya mampu member bantuan dengan mengadakan pelatihan gratis kepada para pengusaha keripik tempe serta pengadaan acara pameran dagang dengan mengundang para pelaku usaha untuk dapat memamerkan produknya. Pemerintah Kota Malang dan Provinsi Jawa Timur masih belum mampu member bantuan dalam hal pemberian pinjaman lunak yang memang menjadi kebutuhan utama dari para pengusaha.
Tingginya Harga Bahan Baku Harga bahan baku yang terus meningkat menjadi kendala dalam mengembangkan usaha keripik tempe. Menurut responden, Ibu Nurdjanah, kenaikan harga bahan baku secara keseluruhan tidak dengan serta merta pelaku usaha dapat menaikkan harga produk keripik tempe karena persaingan harga yang sangat
10
ketat dengan pelaku usaha lainnya. Hal ini membuat keuntungan yang diperoleh dari setiap penjualan keripik tempe semakin menurun sehingga pendapatan yang diperoleh juga semakin menurun. Kenaikan harga bahan baku pada Tahun 2013 sangat signifikan pada hampir semua bahan baku yang diperlukan untuk membuat keripik tempe. Kenaikan harga bahan baku menjadi faktor penghambat dari luar yang tidak dapat dikendalikan oleh para pelaku usaha. Khususnya untuk bahan baku keripik tempe berupa tempe mengalami kenaikan harga karena bahan baku tempe berupa kedelai yang diperoleh lewat jalur impor harus mengalami kenaikan harga karena nilai tukar rupiah terhadap dollar turun tajam.
REKOMENDASI SOLUSI PENGEMBANGAN KLASTER Membentuk Paguyuban Pelaku Usaha Keripik Tempe Masyarakat di Kampung Sanan sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu hidup dengan peraturan-peraturan informal yang ada atau norma-norma yang ada dalam menciptakan kebersamaan. Kehidupan kemasyarakatan di Kampung Sanan berjalan dengan baik dan rukun dan terjadi sebuah interaksi yang sangat baik seperti pada masyarakat pada umumnya. Hal ini lah yang menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Sanan memiliki modal sosial yang dapat digunakan dalam mengembangkan kegiatan ekonomi mereka yaitu usaha keripik tempe. Warga Kampung Sanan memiliki keterikatan yang kuat pada sejarah kampung tersebut yang dikenal dengan tempenya namun kebersamaan tersebut tidak “berbuah” nyata dalam sebuah organisasi yang dapat memfasilitasi segala kepentingan pelaku usaha untuk memajukan bersama semua usaha keripik tempe. Berdasarkan hal tersebut penulis memberikan rekomendasi agar klaster keripik tempe di Sanan untuk membentuk sebuah paguyuban pelaku usaha keripik tempe yang menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan terdapat 65 pelaku usaha keripik tempe. Paguyuban tersebut dapat juga digabung dengan para pengusaha tempe sehingga dapat terjalin komunikasi yang lancar antar pelaku usaha khususnya bagi pelaku usaha keripik tempe dapat terbentuk
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 14 | NOMOR 1 | MARET 2016
Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
kerjasama yang baik dengan pengusaha tempe sehingga dapat membantu produksi keripik tempe yang optimal. Ada beragam manfaat yang akan diperoleh para pelaku usaha keripik tempe dengan terbentuknya sebuah kelembagaan dalam hal ini disebut paguyuban pelaku usaha keripik tempe. Salah satunya adalah adanya “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Selain itu peran paguyuban sangat penting dalam mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat, untuk itu unsur paguyuban perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan potensi masyarakat guna menunjang pengembangan usaha. Dengan adanya paguyuban pelaku usaha keripik tempe maka akan terjadi kerjasama dalam hal mengatur silang hubungan antar pemilik input dalam menghasilkan output ekonomi desa dan dalam mengatur distribusi dari output tersebut. Paguyuban yang terbentuk diharapkan dapat meredam persaingan usaha yang tidak sehat antara pelaku usaha yaitu dalam hal persaingan harga yang memang banyak dikeluhkan antar sesama pelaku usaha. Klaster usaha keripik tempe akan dapat berkembang dengan baik jika ada langkah bersama dalam penetapan harga yang tentu akan berpengaruh pada kualitas keripik tempe tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan duduk bersama dan membicarakan dengan damai sehingga semua pelaku usaha dari pelaku usaha yang besar hingga yang kecil mendapatkan kesempatan yang sama dalam menikmati keuntungan hasil usaha. Sehingga keripik tempe dari usaha mikro yang dititipkan pada penjual (pelaku usaha menengah) mempunyai kualitas yang prima dan tetap memberi keuntungan yang layak bagi produsen. Pada akhirnya masyarakat luas semakin mengenal kualitas keripik tempe dari Sanan. Paguyuban yang terbentuk dapat juga bersamasama membicarakan untuk mengembangkan kawasan Sanan sebagai kawasan wisata pangan Kota Malang. Ide ini sudah disampaikan oleh beberapa responden yang menginginkan pemerataan karena selama ini menurut mereka penjualan yang paling ramai adalah di toko-toko yang ada di pinggir Jalan Tumenggung Suryo. Jadi, paguyuban pelaku usaha keripik tempe akan memberikan dampak positif bagi pengembangan
klaster karena kebersamaan warga akan terlihat hasilnya dalam pelaksanaan ide-ide para pelaku usaha.
Pengembangan Skala Usaha Klaster UMKM dapat meningkatkan dan mengembangkan skala usaha dengan melakukan dua hal berikut: (1) Inovasi. Hal ini tidak cukup dilakukan pada aspek produksi saja tetapi juga pada aspek lain, seperti keuangan dan pemasaran. Produk kreatif seringkali tidak bisa sampai ke konsumen, tanpa ada sentuhan inovasi pemasaran. (2) Branding. Salah satunya melalui pengemasan yang menarik. Pasalnya, saat ini masyarakat tidak sekadar tertarik dengan produk itu tetapi lebih kepada citra merek. Keripik tempe telah menjadi makanan khas Kota Malang karena cita rasa tradisionalnya dan telah menjadi produk yang sering dijadikan buah tangan oleh para wisatawan/ pengunjung Kota Malang. Hal ini merupakan nilai lebih yang dapat dijadikan pemicu untuk mengembangkan skala usaha yaitu dengan tetap menjaga kualitas produk dan meningkatkan pengemasan produk sehingga membuat konsumen selalu melirik dan mengkonsumsi keripik tempe.
Peningkatan Dukungan Pemerintah Pemerintah dapat melakukan hal yang nyata dan kongkrit terhadap klaster UMKM keripik tempe melalui pemberdayaan UMKM adalah pembangunan prasarana produksi dan pemasaran. Tersedianya prasarana pemasaran dan atau transportasi dari lokasi produksi ke pasar, akan mengurangi rantai pemasaran dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pengusaha mikro, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah. Artinya, dari sisi pemberdayaan ekonomi, maka proyek pembangunan prasarana pendukung sangat strategis. Pemerintah yang mempunyai kekuasaan dan mempunyai banyak sumber informasi dapat membantu klaster keripik tempe dalam meningkatkan jaringan pemasaran. Upaya pengembangan jaringan pemasaran dapat dilakukan dengan berbagai macam strategi misalnya kontak dengan berbagai pusat-pusat informasi bisnis, asosiasi-asosiasi dagang baik di dalam maupun di luar negeri, pendirian dan pembentukan pusat-pusat data bisnis UMKM serta pengembangan
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
11
Ferdinand
situs-situs UMKM di seluruh kantor perwakilan pemerintah di luar negeri. Penguatan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan klaster UMKM, tidak berarti mengalienasi pengusaha besar atau kelompok ekonomi kuat karena pemberdayaan memang bukan menegasikan yang lain, tetapi give power to everybody Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah penguatan bersama, dimana yang besar hanya akan berkembang kalau ada yang kecil dan menengah, dan yang kecil akan berkembang kalau ada yang besar dan menengah. Daya saing yang tinggi hanya ada jika ada keterkaiatan antara yang besar dengan yang menengah dan kecil. Sebab hanya dengan keterkaitan produksi yang adil, efisiensi akan terbangun. Oleh sebab itu, melalui kemitraan dalam bidang permodalan, kemitraan dalam proses produksi, kemitraan dalam distribusi, masing-masing pihak akan diberdayakan. Hal lainnya yang perlu terus dilakukan pemerintah dalam pengembangan klaster keripik tempe adalah pengembangan sumber daya manusia, dalam hal ini orang-orang kunci dari setiap usaha keripik tempe. Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi pelaku UMKM baik dalam aspek kewiraswastaan, administrasi dan pengetahuan serta ketrampilan dalam pengembangan usaha. Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan kerja sama usaha. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan temuan di lapangan dan analisis data maka kesimpulan penelitian ini adalah kriteria penggolongan klaster menurut JICA (2004) maka kondisi Klaster UMKM Keripik Tempe di Sanan adalah klaster aktif. Hambatan internal dalam pengembangan klaster adalah: 1) tidak ada paguyuban antar pelaku usaha yang sama; 2) teknologi yang digunakan masih sederhana (manual); 3) modal yang dimiliki terlalu rendah sehingga sulit mengembangkan usaha. Sedangkan hambatan eksternalnya sebagai berikut: 1)
12
dukungan pemerintah terhadap klaster UMKM keripik tempe sebagai produk unggulan kota Malang masih terbatas; 2) harga bahan baku yang terus meningkat. Saran Penulis untuk pengembangan klaster adalah dengan membentuk paguyuban pelaku usaha keripik tempe dan mengembangan skala usaha keripik tempe.
DAFTAR RUJUKAN __________. 2006. Kaj ian Pe mbi ay aan Dalam Rangka Pengembangan Klaster. Biro Kredit Bank Indonesia. Akcomak, S., Weel, B. 2009. Social capital, innovation and growth: Evidence from Europe. European Economic Review. 53 (2009) 544–567. Chou, Y.K. 2006. Three simple models of social capital and economic growth. The Journal of Socio-Economics. 35 (2006) 889–912 Christiaensen, L., Demery, L., Kuhl, J. 2011. The (evolving) role of agriculture in poverty reduction–An empirical perspective. Journal of Development Economics. 96 (2011) 239–254. Crudeli, L. 2006. Social Capital and economic opportunities. The Journal of Socio-Economics. 35 (2006) 913– 927. Dearmon, G. 2009. Trust and development. Journal of Economic Behavior & Organization 71 (2009) 210– 220. Dinda, S. 2008. Social capital in the creation of human capital and economic growth: A productive consumption approach. The Journal of Socio-Economics 37 (2008) 2020–2033. Glasson, J. 1990. Pengantar Perencanaan Regional. Penerjemah Paul Sitohang. Jakarta: LPFEUI. Hamid, E.S., dan Susilo, Y.S. 2011. Strategi Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12, Nomor 1, Juni. Kuncoro, M. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. : Jakarta: Erlangga. Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Priyono, E. 2004. Usaha Kecil sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi: Berkaca Dari Pengalaman Taiwan. Jurnal Analisis Sosial Volume 9 No. 2 Agustus.
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 14 | NOMOR 1 | MARET 2016
Strategi Pengembangan Klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah Keripik Tempe di Sanan Malang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
______http://dewiqueenastitii.wordpress.com/politik/ teori-kelembagaaninstitusionalisme/ diakses 13 Maret 2014 pukul 08.00 WIB.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
13