INTERPRETASI PENONTON TERHADAP KONGLOMERASI MEDIA DALAM FILM (Analisis Resepsi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film “Di Balik Frekuensi”) Triansari Prahara 100904119 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi. Film dokumenter ini perdana ditayangkan pada Januari 2013 yang mengangkat isu pemusatan kepemilikan media yang biasa disebut konglomerasi. Film dokumenter garapan Ucu Agustin ini dianggap cukup kontroversial karena mengkritisi kalangan pemilik modal yang menguasai lebih dari satu media. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana interpretasi penonton mengenai konglomerasi media yang ditampilkan dalam film Di Balik Frekuensi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Teori dasar yang digunakan adalah teori encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall tentang bagaimana khalayak memproduksi sebuah pesan dari suatu teks media. Proses tersebut akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap enam informan yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman budaya yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan film Di Balik Frekuensi (2013) dimaknai oleh informan sebagai film dokumenter yang menampilkan wajah media pasca reformasi di Indonesia. Selain itu film ini juga mencoba menyampaikan pesan konglomerasi media serta penggambaran dampak yang terjadi melalui adegan dan dialog yang diangkat dari advokasi kasus Luviana dan kisah perjuangan Hari Suwandi terhadap kesejahteraan masyarakat Sidoarjo akibat bencana lumpur gas. Dalam proses konsumsi dan produksi makna terhadap film Di Balik Frekuensi, perbedaan latar belakang pendidikan, sosial budaya, dan pengalaman informan menjadi faktor yang penting yang membedakan pemaknaan mereka. Kata Kunci : Konglomerasi media, Analisis Resepsi, film dokumenter, Di Balik Frekuensi. PENDAHULUAN Konteks Masalah Film dokumenter menurut KBBI Daring (Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan/online) didefinisikan sebagai dokumentasi dalam bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan (http://kbbi.web.id/film). Khususnya, film dokumenter lebih terkesan jujur, apa adanya, dan tanpa proses rekayasa. Hal tersebut sejalan dengan karya Ucu Agustin, seorang cum wartawan sekaligus sutradara yang memperoduksi
1
beberapa film dokumenter di Indonesia. Salah satu karyanya adalah film dokumenter berjudul Di Balik Frekuensi yang diproduksi pada tahun 2012 hingga 2013. Film ini juga telah meraih penghargaan dalam Festival Film Dokumenter 2013. Dalam catatan dewan juri disebutkan bahwa film ini merupakan sebuah film dengan pesan yang sangat aktual dan kontekstual, sekaligus krusial tentang praksis media massa dan jurnalisme di Indonesia. Film ini adalah peringatan keras tentang praktek politik di balik bisnis media massa, dari mata seorang ibu yang berada dalam pusarannya. Film ini membuka mata dengan keterampilan menggunakan bahasa film yang efektif (www.ffd.or.id/2013/12/peraihpenghargaan-kompetisi-film.html?m=1). Dennis McQuail, menyebut fenomena media massa modern ini sebagai dwi-karakter atau karakter media ganda. McQuail lebih jauh menyebut media memiliki karakter yang tidak terpisahkan yakni, karakter sosial-budaya-politik dan karakter ekonomi. Dimana, faktor ekonomi menjadi penentu terhadap perkembangan industri media massa. Serta menjadi bahan pertimbangan bagaimana media massa kontemporer dibentuk dan dikelola (Kansong, 2009: 23). Dalam perspektif konglomerasi media, publik hanya dilihat sebagai pasar (market). Dengan kata lain, segala informasi yang disajikan melalui media massa semata-mata untuk kepentingan profit pemilik media, bukan lagi untuk kepentingan publik yang harus dicerdaskan sesuai dengan nilai-nilai yang tertera pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-3. Paparan mengenai siapa saja pemilik media di Indonesia pada film Di Balik Frekuensi dimulai pada durasi 01:20:10. Adapun data yang diperoleh adalah sebagai berikut: Indonesia memiliki 1248 stasiun radio, 1706 media cetak, 76 stasiun televisi, 176 stasiun televisi yang sedang mengajukan ijin siaran, serta ribuan portal berita media online. Dari ribuan kanal media yang ada di Indonesia hanya 12 orang saja pemiliknya, yakni : Erick Tohir (Mahaka Media Group), Eddy Kusnadi Sariatmadja (Elang Mahkota Teknologi), Jacoeb Oetama (Kompas Media Group), Hary Tanoesoedibjo (Media Nusantara Citra Group), Dahlan Iskan (Jawa Pos Group), Chairul Tanjung (Transcorp), James Riyadi (Lippo Group), Soetikno Soedarjo (MRA Media Group), Surya Paloh (Media Group), Abu Rizal Bakrie (Visi Media Asia), Pia Alisjahbana (Femina Group), dan Yayasan Tempo (PT.Tempo Inti Media). Hal ini kemudian yang membuat Ucu Agustin juga mulai mempertanyakan keberadaan pasal 33 ayat 3 yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui aturan tersebut, pemilik modal yang berorientasi pada industri media massa dianggap telah menciderai hak publik dalam menyajikan informasi. Karena udara sebagai saluran elektromagnetik dalam frekuensi yang mereka siarkan sesungguhnya merupakan bagian Sumber Daya Alam yang harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat seperti yang tercermin dalam UUD 1945 tersebut di atas. Tak hanya itu, etika pers dalam mementingkan kebutuhan publik juga banyak terdistorsi dengan beragam kepentingan mogul pemilik media.
2
Berbicara mengenai film, pasti berkaitan dengan penonton yang memaknai maksud, bahasa maupun ideologi yang disampaikan. Teks media mendapatkan makna hanya pada saat penerimaan (resepsi), yaitu pada saat mereka dibaca, dilihat dan didengarkan. Dengan kata lain, penonton dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya konsumen konten media. Penonton menginterpretasikan teks media sesuai dengan latar belakang budaya dan pengalaman subyektif yang mereka alami dalam kehidupan. Sehingga satu teks media akan menimbulkan banyak makna dalam sebuah teks yang sama. Setiap teks mengandung ideologi yang menjadikan pentingnya kajian resepsi. Atas dasar inilah peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Di Balik Frekuensi (2013). Fokus Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Di Balik Frekuensi?” KAJIAN PUSTAKA Paradigma Interpretivisme Kalangan interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi maknamakna dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia (sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen atau pemahaman (Bryman, 2008: 16). Analisis Resepsi Reception analysis (Analisis Resepsi) adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (Hadi, 2007: 16). Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah pesan yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Menurut Hall akan ada tiga bentuk pembacaan antara penulis teks dan pembaca serta bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya (Durham & Kellner, 2002: 174-175). 1. Dominant-Hegemonic Position. 2. Negotiated Position. 3. Oppositional Position.
3
Film Dokumenter Teori film dokumenter menurut Teresa Bergman dalam Encyclopedia Of Communication Theory (2009: 317-320) adalah teori film dokumenter berusaha untuk mencapai beberapa tujuan, yang meliputi definisi genre film dokumenter, artikulasi berbagai komponen, dan menggambarkan efek dan digunakan dalam masyarakat. Film dokumenter menginformasikan teori. Isu-isu ini sangat relevan untuk bidang komunikasi dan retorika karena sebagian besar film dokumenter terlibat dalam berbagai bentuk persuasi. Konglomerasi Media Dalam bukunya berjudul Teori Komunikasi Massa, John Vivian (2008: 2632) menyebutkan bahwa konglomerasi adalah menggabungkan perusahaanperusahaan menjadi perusahaan besar. Konglomerasi media dalam hal ini disebut juga sebagai konsentrasi kepemilikan media. Artinya, dari beragam media yang ada, rata-rata pemiliknya hanya terdiri dari kaum elite yang jumlahnya tidak banyak. Kansong (2009) menyebutkan bahwa permasalahan konsentrasi kapital oleh media dibedakan dalam beberapa hal, yaitu level konsentrasi, arah konsentrasi dan level pengamatan, serta derajat konsentrasi media. Konsentrasi media biasanya terjadi diantara situasi monopoli dan persaingan sempurna. Konsentrasi diperhitungkan secara eksesif ketika ada tiga atau empat perusahaan yang menguasai 50% jangkauan pasar. Hal ini juga dipicu oleh persaingan itu sendiri dalam mendapatkan sinergi dan keuntungan maksimal. Model Teoritik Film Dokumenter (Di Balik Frekuensi) Interpretasi Penonton terhadap Konglomerasi Media Posisi Penonton
Hegemoni Dominan
Negosiasi
Oposisi
METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
4
Objek Penelitian Objek penelitian adalah sifat keadaan dari suatu benda, orang atau yang menjadi pusat perhatian dan sasaran penelitian. Adapun objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah interpretasi pluralisme dalam film Cin(T)a. Subjek Penelitian Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian. Subjek penelitian dari penelitian ini disebut informan, dimana dalam teknik pemilihan informannya adalah dengan menggunakan metode purposive sampling. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang sudah pernah menonton film Di Balik Frekuensi (2013) dengan karakteristik yakni: informan berusia diatas 17 tahun, berpendidikan minimal SMA/Sarjana, telah menonton film Di Balik Frekuensi minimal 1 kali. Berdasarkan tingkat pendidikannya, peneliti memilih mahasiswa maupun yang sudah bergelar sarjana, dikarenakan melihat segmentasi film yang dikhususkan bagi penonton remaja maupun dewasa. Kerangka Analisis Penelitian kualitatif ini didesain dengan menggunakan analisis resepsi. Dengan analisis resepsi ini, peneliti berupaya untuk mengetahui bagaimana khalayak memahami dan menginterpretasi isi pesan (memproduksi makna) berdasarkan pengalaman (story of life) dan pandangannya selama berinteraksi dengan media. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi (Observation) 2. Wawancara Medalam (Indepth Interview) 3. Studi Kepustakaan (Library Research) Teknik Analisis Data Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan tahapan coding. Menurut Strauss dan Corbin (Poerwandari, 2005: 150), ada tiga tahapan coding dalam analisis data, yaitu: 1. Open Coding 2. Axial Coding 3. Selective Coding HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dari hasil coding keseluruhan informan yang diteliti, secara spesifik berikut hasil wawancara yang mewakili interpretasi penonton terhadap kongomerasi media: Informan I : “Masih susah ngelawan konglomerasi kalo emang kita gak kompak ya karenakan mereka yang punya modal, mereka yang punya kuasa. Ya kita bisa apa kaya gitu loh.
5
Jadi kalo memang semuanya bisa gak mogok ya itu perusahan media gak bakal kelimpungan. Karena kita yang perlu mereka. Istilahnya gitu loh. Kalopunlah semua dipecatin.. Nah itu kan ada yang di akhir mereka ngerekrut orang, dan semua pada mau masuk jadi reporter gitu kan ya kaya gitu “Lah, elu gak mau kerja disini, masih banyak yang ngantri mau kerja sini kan” Istilahnya kaya gitu. Jadi ya susah gitu. Karena kita ngelawan sistem. Ibaratnya kaya gitu. Jadi kalo memang dari pihak perusahaannya sendiri gak berubah ya bakalan kaya gitu selamanya, gitu.” Informan II : “Pesan besarnya tentang perjuangan besar Luviana dan satu lagi tentang ya cukong-cukong media ini. Apa yang mereka lakukan terhadap kita. Sebenarnya ada sedikit anjuran juga sih buat kita. Ya, bukan anjuran sih, tapi kaya memancing pertanyaan dalam diri.” Informan III : “Sangat bagus. Menurutku ini film yang paling recommended gak hanya anak komunikasi. Bahkan untuk orang-orang yang seperti saya yang dibidang IT atau mungkin yang penggiat media komunitas seperti saya juga ini penting gitu. Kita juga, konglomerasi media itu tidak harus modal rupanya. Jadi kita lihat di Sumatera Utara ini banyak juga media komunitas yang fungsinya untuk capacity building untuk komunitas itu. Tapi juga sebenernya sama karena pelakunya satu orang dan asiknya ketika menjelang pemilu mereka juga sama seperti media mainstream. Ya membuat pemberitaan hanya untuk satu caleg, untuk satu tokoh, untuk satu presiden, begitu. Jadi bagus.” Informan IV : “Bagaimana media itu sebenernya memang lingkaran konglomerasi antara pemilik-pemilik perusahan tersebut seperti yang dikatakan wartawan Kompas, saya lupa namanya. Harusnya media itu berkiblat ke publik gitu ke masyarakat. Memberitakan apa yang ada ya seperti apa yang kata Pak Hari sebut waktu dia di wawancarai. Harusnya membenarkan apa yang ada, berita-berita yang benar. Tapi ternyata dari film ini kita tahu gitu ternyata selama film ini ada polemik-polemik seperti itu, gitu antara internal media itu sendiri.” Informan V : “Kalo menurut saya, media itu gak boleh memihak. Jadi seharusnya, media itu apa yang nampak itu yang diberitakan seharusnya begitu. Terus dari pekerjanya sendiri bagus sih kalo Luviana itu sendiri ya. Kalo dari medianya itu kita gak bisa ini kita gak tau manajmennya itu gimana.”) Informan VI : “Beginilah wajah media Indonesia. Sulit sekali mencari berita yg independen. Untuk itu bagi kita calon-calon
6
jurnalis masa depan, harus menyiapkan mental untuk menghadapi media yg konvensional seperti ini. Jadilah pembuat berita yang benar-benar.” Pembahasan Posisi Penonton 1. Dominant-hegemonic position Dalam kategori Dominant-hegemonic position, peneliti memilih. Informan V dan VI. Dari hasil wawancara ditemukan bahwa penonton dalam kategori ini seluruhnya menerima pesan yang disampaikan oleh pembuat film Di Balik Frekuensi. 2. Negotiated Position Dalam kategori Negotiated Position ini, peneliti memilih Informan I, II, III, IV. Dari hasil wawancara, ditemukan bahwa terdapat beberapa bagian film yang disukai dan disetujui oleh ketiga informan ini. Namun di sisi lain, terdapat pula bagian-bagian yang oleh ketiganya dianggap bertentangan dengan apa yang mereka pahami. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Interpretasi penonton terhadap konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi memunculkan beberapa pemaknaan dengan hanya dua kategori saja, yakni dominant-hegemonic position (posisi hegemonik-dominan) dan negotiated position (posisi ternegosiasi). Sedangkan tidak terdapat temuan yang meletakkan informan dalam klasifikasi oppositional position (posisi oposisi/berlawanan). 2. Informan I termasuk ke dalam posisi negotiated position. Dia sangat menyukai cuplikan adegan demonstrasi para buruh dan Luviana ke gedung kantor Metro Tv yang sarat perjuangan. Ia juga menyukai pesan yang disampaikan oleh film maker yang berusaha menguak kinerja internal media. Sehingga ia menyimpulkan suatu rasa ironis terhadap cara kerja media yang cenderung memiliki afiliasi politik dan mengabaikan hak-hak pekerja media. Meskipun begitu, secara keseluruhan ia melihat cuplikan adegan seharusnya bisa lebih simpel dan terlihat klop jika sebagian yang tidak penting dipotong melalui proses editing. 3. Informan II termasuk ke dalam posisi negotiated position. Ia secara keseluruhan menyukai tampilan dan penggambaran konglomerasi media di Indonesia dalam film Di Balik Frekuensi. Karena ia setuju bahwa kejadian yang ditampilkan dalam film merupakan kisah nyata. Namun, disisi lain menurutnya film ini terlalu simplistis dengan hanya menyoroti kasus personal pekerja media di stasiun televisi. Sehingga menurutnya bias yang terjadi seolah film Di Balik Frekuensi dianggap sebagai advokasi kasus Luviana saja. 4. Informan III termasuk ke dalam posisi negotiated position. Ia menyukai konsep dan pesan yang disampaikan oleh film Di Balik Frekuensi mengenai konglomerasi media. Menurutnya film tersebut dapat membuka
7
5.
6.
7.
8.
9.
wawasan para penonton seperti ia yang mulai mengetahui bahwa konsep konglomerasi media tidak hanya berbasis pada modal dan bisnis saja. Tetapi terlihat dampak berikutnya kepada para pemilik media yang aktif dalam partai politik dan menjadikan media sebagai alat perebutan kekuasaan. Meskipun begitu, ia juga mengkritisi penggambaran yang hanya terfokus kepada Metro Tv saja dan dari sisi audio dan adegan belum melewati proses editing yang baik. Informan IV termasuk ke dalam posisi negotiated position. Meskipun ia tidak menyukai akhir cerita film Di Balik Frekuensi yang terkesan gantung. Namun secara keseluruhan ia menyukai tema dan visualisasi yang disampaikan oleh sutradara mengenai pembelaan diri seorang pekerja media dan fenomena konglomerasi media massa di Indonesia. Menurutnya kepemilikian media yang berdasarkan kepentingan politik sangat merugikan konsumen media. Ia juga menyukai tampilan keseluruhan pemilik media dan media dari berbagai platform dalam tayangan yang menarik dan mudah dimengerti. Informan V termasuk ke dalam posisi dominant-hegemonic position. Ia menyukai seluruh pesan yang diberikan oleh film maker melalui film ini. Menurutna melalui film ini pengetahuannya tentang media bertambah. Ia juga mengakui baru mengerti istilah konglomerasi media melalui film Di Balik Frekuensi. Kemudia ia menginterpretasikan konglomerasi media sebagai fenomena yang menggambarkan satu pemilik media yang memiliki banyak media. Informan VI termasuk ke dalam posisi dominant-hegemonic position. Ia menyetujui diskursus konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi. Menurutya, cara penampilan seluruh tayangan cukup bagus. Sama halnya dengan informan V, informan VI juga menganggap film Di Balik Frekuensi adalah film yang bernilai informatif tinggi. Karena ia baru mengetahui istilah konglomerasi media serta dampaknya bagi konsumen media melalui film tersebut. Salah satu yang menandai informan VI termasuk ke dalam posisi hegemonik dominan adalah pernyataannya yang terpengaruh oleh film bahwa mengkhawatirkan jika pemilik media hanya mementingkan golongan tertentu saja. Hal tersebut secara tersirat sesuai dengan pesan yang disampaikan pengisi suara dalam film Di Balik Frekuensi pada durasi 01:20:10. Konsep konglomerasi media belum banyak diketahui oleh seluruh informan. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang menunjukkan bahwa RS (informan VI) belum mampu mendefenisikan makna konglomerasi media menurut pemahamannya sendiri meskipun menyetujui pesan-pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi. Latar belakang pendidikan dan pengalaman berinteraksi dengan media massa mampu mempengaruhi informan untuk bersikap lebih sikap kritis, mandiri, dan memiliki kedalaman berpikir. Hal ini tergambar dari hasil wawancara kepada MM (informan V), seorang mahasiswi Departemen Ilmu Sejarah yang memberikan jawaban seadanya dan kurang mendalam ketika ditanya mengenai kejelasan fenomena konglomerasi media massa
8
di Indonesia saat ini. Beda dengan LAD (informan II) yang hampir mengetahui segala hal tentang kinerja media beserta para pemilik di baliknya. Menurut peneliti hal ini didukung oleh track record nya dalam berorganisasi dan bekerja di ranah media sejak ia duduk di bangku perguruan tinggi. 10. Dari keseluruhan informan hanya SY, LAD, dan AJR saja yang memahami bahwa konteks konglomerasi media pada dasarnya berbasis bisnis indutri media massa. Sementara STG, MM, dan RS lebih memahami konteks konglomerasi media sebagai fenomena media massa yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Saran 1. Penelitian tentang interpretasi penonton diharapkan dapat mengetahui bahwa proses interpretasi pesan suatu media massa akan menghasilkan makna yang berbeda karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. 2. Isi media massa termasuk film, pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas. Film tidak mencerminkan atau merekam realitas sebagai medium representasi yang lain, melainkan mengkonstruksi dan menghadirkan kembali gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi–konvensi dan ideologi kebudayaannya. DAFTAR PUSTAKA Bryman, Alan. 2008. Social Research Methods. New York: Oxford University Press. Durham, M. G., & D. M. Kellner. (Eds.). 2002. Media and Cultural Studies : Keyworks. Massachusetts: Blackwell Publisher. Hadi, Ido Prijana. 2009. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis - Jurnal Ilmiah SCRIPTURA. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Ks, Usman. (2009). Ekonomi Media. Pengantar Konsep dan Aplikasi. Bogor: Ghalia Indonesia Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. (2009). Encyclopedia of Communication Theory. London: Sage Poerwandari, E Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: FP Universitas Indonesia. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sumber lain : http://kbbi.web.id/film (Diakses pada tanggal 03 September 2014) www.ffd.or.id/2013/12/peraih-penghargaan-kompetisi-film.html?m=1 (Diakses pada tanggal 29 januari 2014)
9